peran dan kontribusi habib salim bin jindan 1925-1969

13
1 Universitas Indonesia PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969 Rozinah Nabihah, Dr. Mohammad Iskandar, S.S., M.Hum. Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, 16424 Surel: [email protected] Abstrak Indonesia memiliki banyak sosok ulama yang memiliki peran besar bagi bangsa Indonesia. Namun, tidak semua ulama meninggalkan jejak yang jelas sehingga pengetahuan kita tentang mereka menjadi terbatas. Skripsi ini mengulas secara singkat perjalanan hidup salah seorang ulama Indonesia, Habib Salim bin Jindan, dan memaparkan tentang kegiatan dakwah yang dilakukan olehnya. Ia merupakan salah seorang ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu hadis dan ilmu sanad. Dalam menjalankan kegiatan dakwah, ia kadangkala harus menghadapi hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Meskipun demikian, ia tidak gentar dan tetap menyerukan ajaran agama Islam sampai akhir hayatnya. Kata Kunci: Dakwah, Habib Salim bin Jindan, Ulama THE ROLE AND CONTRIBUTION OF HABIB SALIM BIN JINDAN IN THE FIELD OF DAWAH 1925-1969 Rozinah Nabihah, Dr. Mohammad Iskandar, S.S., M.Hum. History Studies, Faculty of Humanities, University of Indonesia, Depok, Indonesia, 16424 Email: [email protected] Abstract Indonesia has many moslem scholar great character for Indonesian. But not many of them have clear history, so that our knowledge about them limited. This thesis tell a little about Habib Salim ibn Jindan, and his lecture. He is a skilled moslem scholar about hadits and sanad. Sometimes in his lecture he faced the matter which endangering him. Without fear he settled announce about Islam till his life end. Key Words: Dawah, Habib Salim ibn Jindan, Moslem Scholar 1. Pendahuluan 1. 1. Latar Belakang Kegiatan menyiarkan serta mengembangkan ajaran agama Islam di kalangan masyarakat disebut dakwah (TIM Penyusun, 2002: 232). Orang yang melakukan kegiatan dakwah disebut dai (juru dakwah). Kata dai seringkali hanya dihubungkan dengan orang yang menyampaikan ajaran agama Islam melalui lisan, yaitu orang yang berbicara di atas mimbar. Padahal seorang dai bisa juga berdakwah melalui tulisan, perbuatan, dan sebagainya. Setiap umat Islam memikul tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dakwah sesuai dengan ruang lingkup dan kemampuannya masing-masing. Namun, ada golongan yang memiliki intensitas yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan dakwah dibanding yang lainnya. Golongan yang dimaksud adalah mereka yang secara khusus mempelajari ajaran agama Islam untuk kemudian disampaikan kepada orang-orang di Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

1    

Universitas Indonesia

PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

Rozinah Nabihah, Dr. Mohammad Iskandar, S.S., M.Hum.

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, 16424

Surel: [email protected]

Abstrak

Indonesia memiliki banyak sosok ulama yang memiliki peran besar bagi bangsa Indonesia. Namun, tidak semua ulama meninggalkan jejak yang jelas sehingga pengetahuan kita tentang mereka menjadi terbatas. Skripsi ini mengulas secara singkat perjalanan hidup salah seorang ulama Indonesia, Habib Salim bin Jindan, dan memaparkan tentang kegiatan dakwah yang dilakukan olehnya. Ia merupakan salah seorang ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu hadis dan ilmu sanad. Dalam menjalankan kegiatan dakwah, ia kadangkala harus menghadapi hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Meskipun demikian, ia tidak gentar dan tetap menyerukan ajaran agama Islam sampai akhir hayatnya.

Kata Kunci: Dakwah, Habib Salim bin Jindan, Ulama

THE ROLE AND CONTRIBUTION OF HABIB SALIM BIN JINDAN IN THE FIELD OF DA’WAH 1925-1969

Rozinah Nabihah, Dr. Mohammad Iskandar, S.S., M.Hum.

History Studies, Faculty of Humanities, University of Indonesia, Depok, Indonesia, 16424

Email: [email protected]

Abstract

Indonesia has many moslem scholar great character for Indonesian. But not many of them have clear history, so that our knowledge about them limited. This thesis tell a little about Habib Salim ibn Jindan, and his lecture. He is a skilled moslem scholar about hadits and sanad. Sometimes in his lecture he faced the matter which endangering him. Without fear he settled announce about Islam till his life end. Key Words: Da’wah, Habib Salim ibn Jindan, Moslem Scholar 1. Pendahuluan 1. 1. Latar Belakang Kegiatan menyiarkan serta mengembangkan ajaran agama Islam di kalangan masyarakat disebut dakwah (TIM Penyusun, 2002: 232). Orang yang melakukan kegiatan dakwah disebut da’i (juru dakwah). Kata da’i seringkali hanya dihubungkan dengan orang yang menyampaikan ajaran agama Islam melalui lisan, yaitu orang yang berbicara di atas

mimbar. Padahal seorang da’i bisa juga berdakwah melalui tulisan, perbuatan, dan sebagainya.

Setiap umat Islam memikul tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dakwah sesuai dengan ruang lingkup dan kemampuannya masing-masing. Namun, ada golongan yang memiliki intensitas yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan dakwah dibanding yang lainnya. Golongan yang dimaksud adalah mereka yang secara khusus mempelajari ajaran agama Islam untuk kemudian disampaikan kepada orang-orang di

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 2: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

2    

Universitas Indonesia

sekitarnya dengan tujuan agar orang yang menerimanya dapat berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Apabila seseorang telah menguasai ilmu Agama Islam dengan baik dan mampu menyampaikannya dengan baik pula kepada banyak orang, maka biasanya dia disebut sebagai ulama (Tim Penulis, 2002: 10).

Sosok ulama di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang panjang dimulai dari masa menyiarkan ajaran agama Islam di wilayah Indonesia, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sampai mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, Negara Indonesia termasuk negara yang menghasilkan banyak tokoh ulama. Sosok-sosok itu memiliki jasa besar dalam menyiarkan ajaran agama Islam dan menjadikan ajaran agama Islam masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hasilnya bisa kita rasakan sampai hari ini bahwa agama Islam menjadi agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Penulisan ini akan khusus membahas kegiatan dakwah yang dilakukan oleh salah satu sosok ulama Indonesia, Habib Salim bin Jindan. Ia adalah salah seorang muhadis, musnid, ulama besar pada zamannya yang banyak menghabiskan waktu dalam hidupnya untuk menuntut ilmu, menulis kitab, mengajar, dan membela serta menyiarkan ajaran agama Islam baik secara lisan, tulisan, maupun amal perbuatan. Untuk melakukan hal-hal tersebut, ia aktif melakukan perjalanan ke berbagai daerah.

Di sela-sela perjalanannya, ia rajin mengumpulkan sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab yang akan menambah koleksinya di dalam perpustakaan pribadinya. Atas keuletannya, ia mampu memiliki koleksi kitab dalam perpustakaan pribadinya sejumlah 15.000 koleksi. Ia pun rajin menulis sehingga tidak kurang dari 100 buah kitab lahir dari pemikirannya (lihat Lampiran IV). Tema dari koleksi kitab yang dimilikinya maupun yang dihasilkan oleh pemikirannya sangat beragam, antara lain mengenai peristiwa sejarah, fikih, hadis, tasawuf, dan sebagainya. Pada masa hidupnya, perpustakaan pribadi itu dapat diakses oleh semua orang, namun tentunya dengan pengawasan Habib Salim sendiri agar koleksi-koleksi tersebut terjaga keberadaanya serta keadaanya.

Habib Salim memulai perjalanan dakwahnya pada usia 19 tahun (Jindan, 2002: 4). Awalnya, ia berdakwah di beberapa daerah di Jawa Timur (Al-Mashhur, 1984). Sebelum tahun 1940, Habib Salim masih tinggal di Surabaya dengan membuka Majelis Taklim dan Da’watul Islam di rumahnya. Dakwahnya terus berkembang ke kota-kota lainnya dan selalu dihadiri massa yang banyak baik dari golongan pria dan wanita, yang tua maupun yang muda hingga sampai ke Ibu Kota Jakarta pada tahun 1930 (Bandjar, 1977: 72-74). Kemudian pada tahun 1939, Habib Salim menetap di Jakarta dikarenakan intensitas kegiatannya

dengan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dan Habib Ali bin Husein Al-Attas.

Kegiatan dakwah tentunya tidak selalu mendapat respons positif terutama bagi dakwah mereka yang tidak kenal kompromi dengan kemungkaran, begitu juga dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Habib Salim bin Jindan. Adanya tantangan dalam dakwah merupakan bagian dari jalan perjuangan dakwah. Sepanjang sejarah, setiap pembawa risalah, baik dari kalangan nabi dan rasul maupun dari kalangan para pengikut dan pelanjut perjuangan mereka, selalu mendapati bermacam ragam yang menghambat jalan perjuangan dakwahnya. Di antara rintangan yang dihadapi Habib Salim dalam melakukan kegiatan dakwahnya adalah beberapa penangkapan dan pemenjaraan baik pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru. Selama berada di ruang tahanan, ia sempat merasakan penyiksaan. 1. 2. Masalah dan Hipotesis

Pemilihan tokoh Habib Salim bin Jindan untuk penelitian kali disebabkan dari sekian banyak karya sejarah Islam Indonesia yang membahas biografi ulama, hanya sebagian kecil yang menulis tentang Habib Salim bin Jindan. Kisah hidup Habib Salim juga menarik untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia. Untuk mengetahui lebih rinci isi dari penelitian ini, berikut adalah pertanyaan penelitiannya:

a. Bagaimana perjalanan hidup Habib Salim bin Jindan? b. Bagaimana perjalanan dakwah Habib Salim bin Jindan? c. Bagaimana respons yang diterima Habib Salim bin Jindan dari perjalanan dakwah yang dilakukannya?a. Siapakah sosok Habib Salim bin Jindan?

1. 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kembali peranan Habib Salim bin Jindan sebagai da’i yang semenjak muda sudah istikamah (konsisten) menjalankan kegiatan dakwah meskipun kadangkala kegiatan tersebut membahayakan dirinya. Selain itu juga, untuk mengambil pelajaran dari sosok Habib Salim bin Jindan sebagai salah seorang ulama yang patut dijadikan contoh dalam melakukan kegiatan dakwah di masa sekarang. 2. Biografi Singkat Habib Salim bin Jindan Habib Salim bin Jindan lahir di Kampung Sasak, Surabaya, Jawa Timur, pada hari Jum’at tanggal 07 September 1906 M (Al-Dubayan, 2003: 336). Nasab Habib Salim berlanjut sampai Sayyidina Husein bin Ali (cucu Rasulullah SAW), yang juga disebut Bani Alawi atau Ba’alawi (untuk melihat rangkaian nasab Habib Salim bin Jindan lihat Lampiran I.

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 3: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

3    

Universitas Indonesia

Rangkain nasab tersebut di dapat dari Lembaga Rabithah Alawiyah yang merupakan organisasi massa Islam yang salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan dan menjaga pelaksanaan pencatatan nasab Alawiyyin. Bani Alawi yaitu keturunan Alawi (Alwi) bin Ubaidillah yang berlanjut sampai Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Al-haddad, 1992:13)). Habib Salim wafat pada hari Minggu, tanggal 01 Juni 1969 dan dimakamkan pada hari Senin, tanggal 02 Juni 1969 di kompleks pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur. Setelah wafat, Habib Salim meninggalkan wasiat berupa surat wakaf yang salah satu isinya menerangkan bahwa Habib Salim menjadikan perpustakaan miliknya yang diberi nama Perpustakaan Al-Fakhriyah sebagai wakaf.

Usaha Habib Salim dalam mencari ilmu,

bukan hanya dilakukannya di Surabaya, tetapi juga di Pekalongan, Tegal, Bogor, Jakarta bahkan sampai ke Mekah, Tarim-Hadramaut, dan sebagainya (Bandjar, 1977: 72). Metode belajar yang ia sering lakukan adalah metode belajar yang dikenal pada umumnya dengan istilah sorogan. Untuk memahami suatu ilmu, ia mendatangi guru yang ahli terhadap ilmu tersebut. Selain dengan cara demikian, ia juga menuntut ilmu dengan menghadiri majelis-majelis para ulama dan juga dengan membaca kitab-kitab. Dengan bekal ilmu yang ia dapatkan dari perjalanannya menuntut ilmu, Habib Salim memulai kegiatan dakwahnya ke berbagai daerah seperti Pekalongan, Tegal, hingga Bogor. Namanya makin dikenal setelah ia melakukan kegiatan dakwah di Jakarta.

2. 1. Karya-karya Pemikiran Habib Salim Hasil dari pemikiran Habib Salim berupa

kitab-kitab yang berisi tentang ilmu hadis, ilmu sanad, ilmu fikih, bahkan cerita perjalanan yang dilalui Habib Salim, dan lain sebagainya. Pada setiap halaman judul kitab yang ia tulis sendiri, Habib Salim selalu menuliskan namanya dengan menggabungkan antara silsilah Bani Alawi dan kebangsaan Indonesia menjadi Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawi Al-Husaini Al-Indonesi. Seluruh kitab karangannya ditulis dengan tangannya dan menggunakan bahasa Arab yang sebagiannya ditulis dengan memakai sentuhan satra. Seperti telah disebutkan sebelumnya, jumlah kitab karya Habib Salim tidak kurang dari 100 buah (lihat Lampiran III).

3. Dinamika Dakwah Habib Salim

Ciri yang paling dikenali dari sosok Habib Salim bin Jindan adalah keberaniannya dalam menyampaikan sesuatu. Ia juga memiliki pendirian yang teguh dan sikap yang tegas sehingga tidak segan dalam menegur ataupun mengkritik seseorang, bahkan para pejabat yang lalai dalam menjalankan amanat rakyat pun tidak luput dari perhatiannya. Ia peduli terhadap kehidupan masyarakat dan juga kehidupan bernegara.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Habib Salim membakar semangat pejuang untuk berjihad melawan penjajahan Belanda dengan melakukan pidato yang lantang dalam berbagai forum (Mauladdawilah, 2009: 73). Pada masa pendudukan Jepang, tentara Jepang memaksa semua orang untuk keluar dari rumahnya dan melakukan saikerei, namun Habib Salim menolaknya. Ia justru berorasi menentang kegiatan saikerei (Wawancara dengan Abah Alwi

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 4: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

4    

Universitas Indonesia

Shahab pada hari Senin, tanggal 09 April 2012, pukul 13.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Berita Republika, Jakarta; Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas pada hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta; Al-Mashhur, 1984). Sebagai ulama, Habib Salim melakukan demikian untuk mencontohkan dan menegaskan kepada masyarakat agar tidak melakukan hal yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Ketika Indonesia merdeka, Habib Salim mengibarkan bendera merah putih di halaman rumah untuk ikut serta dalam menyemangati jiwa kemerdekaan Bangsa. Bendera merah putih itu terus berkibar di halaman rumahnya, meskipun kemudian Belanda datang kembali (Wawancara dengan Abah Alwi Shahab pada hari Senin, tanggal 09 April 2012, pukul 13.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Berita Republika, Jakarta; Wawancara dengan Babeh Ridwan Saidi pada hari Rabu, tanggal 22 Mei 2013, pukul 10.23 WIB melalui media telepon; Wawancara dengan Habib Muhammad Alhamid pada hari Jum’at, tanggal 06 September 2013, pukul 09.00 WIB di kediamannya di Cililitan, Jakarta; Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas pada hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta; Wawancara dengan Habib Muhammad Alkaaf pada hari Kamis, tanggal 12 November 2013, pukul 09.30 WIB di kediamannya di Condet, Jakarta). Pada pidatonya, ia sering mengingatkan kepada masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.

Di masa Presiden Soekarno, yaitu zaman Orde Lama, Habib Salim mengajak partai-partai Islam untuk melakukan maslahat (sesuatu yang mendatangkan kebaikan) bagi agama dan umat Islam untuk mewujudkan pemerintahan Islam. Kemudian secara aktif ia membantu perjuangan partai-partai Islam dalam menuju dan melaksanakan pemilu I, khusunya bagi Partai Masyumi (Bandjar, 1977: 78). Cara-cara tersebut ditempuh olehnya sebab ia menentang paham komunis (paham yang berada di luar dan bertentangan dengan ajaran agama Islam).

Ketika zakat akan diambil alih urusannya oleh negara pada masa Presiden Soeharto, Habib Salim menolak secara keras dan menyampaikannya di berbagai forum (Presiden Soharto dalam pidatonya pada malam peringatan Isra’ Mi’raj hari Sabtu, tanggal 26 Oktober 1968 di Istana Negara mengeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisir. Secara pribadi, ia menyatakan diri bersedia menjadi Amil Zakat tingkat nasional. Selanjutnya diikuti dengan Surat Perintah Presiden RI No. 07/PRIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968, menugaskan kepada Mayjen TNI Alamsyah RatuprawiraNegara, Kol. H. Drs. Azwar Hamid dan Kol. Ali Affandi untuk membantu dalam membuat rancangan pelaksanaan seruan Presiden pada peringatan Isra’ Mi’raj tersebut yang khusus mengenai

pelaksanaan zakat (Wiwoho, 1991: 264)). Ia merasa pada saat itu pemerintah Negara Republik tidak konsisten, sebab pemerintahannya menganut paham nasional/kebangsaan tetapi ikut mengurusi zakat. Ia mengatakan jika negara ingin mengatur agama, jangan peraturan mengenai zakat yang didahulukan, tetapi atur dahulu mengenai hukum kejahatan, perzinahan, dan sebagainya yang menjadi faktor-faktor utama hancurnya iman seseorang, hancurnya bangsa, hancurnya negara, hancurnya peradaban (Ceramah Habib Salim, 1968).

Habib Salim tidak kehabisan akal dalam berdakwah. Ia bahkan tidak segan untuk mendatangi suatu tempat dan mengumpulkan orang di tempat itu untuk mendengarkan dakwahnya. Untuk dapat melakukan dakwah dengan subyek para intelektual, Habib Salim mengenakan pakaian yang tidak lazim digunakan oleh umat Islam di Indonesia terutama ulama pada masa itu. Ia mengenakan jas lengkap dengan celana serta dasi yang bahkan diharamkan oleh beberapa ulama karena dianggap mengikuti kebudayaan orang Belanda yang merupakan orang kafir. Permusuhan kepada Belanda karena telah melakukan tindakan penjajahan yang tidak berprikemanusiaan menjadi faktor lain bagi orang pribumi untuk tidak bergaya seperti Belanda. Namun, jusrtu Habib Salim seringkali terlihat mengenakannya.

Gambar 1 Mengenakan pakaian Belanda

Sumber: Koleksi milik Keluarga Habib Salim bin Jindan

4. Respons Terhadap Dakwah Habib Salim bin Jindan 4.1 Reaksi Pemerintah

Ketika masih tinggal di Jawa Timur, Habib Salim bin Jindan pernah didatangi oleh utusan dari pemerintah kolonial Belanda untuk memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh Habib Salim seperti rumah, mobil, uang bulanan, dan kebebasan mengajar agama sekehendak Habib Salim. Tentu saja pemberian

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 5: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

5    

Universitas Indonesia

fasilitas itu tidak cuma-cuma, melainkan dengan catatan bahwa Habib Salim tidak perlu berpolitik dan/ membakar semangat kaum muslimin Indonesia yang akan berimbas pada perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Utusan tersebut bernama Van der Plas (pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur 1936-1941). Tetapi, Habib Salim menolak bantuan pemerintah kolonial itu, karena ia merasa bahwa di antara ucapannya dalam dakwah yang membangkitkan semangat muslimin Indonesia melawan pemerintah kolonial, tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Setelah ditolak, Van der Plas berusaha merubah keyakinan Habib Salim dengan mengatakan bahwa orang Arab seperti Habib Salim tidak akan diberi kedudukan dalam pemerintahan Indonesia. Maka, tidak ada untungnya bagi Habib Salim atas apa yang ia lakukan kepada bangsa Indonesia saat itu. Namun, pernyataan Van der Plas tersebut tidak membuat Habib Salim bergeming, lantas Van der Plas pun pergi (Bandjar, 1977: 72-73).

Setelah tahun 1945 (ketika Belanda mencoba untuk menguasai Indonesia kembali), Habib Salim bin Jindan gencar mendorong masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam setiap khotbah-khotbahnya. Karena sikapnya itu, ia sering dibawa ke markas tentara untuk diajak berdiskusi dengan tujuan untuk mengajak Habib Salim bekerjasama dan bersikap moderat pada Belanda. Hal ini terjadi beberapa kali sampai mereka merasa putus asa untuk mengajak Habib Salim memihak mereka. Habib Salim pun kemudian dibiarkan dalam melancarkan kegiatan dakwahnya (Bandjar, 1977: 72-73).

Pada tahun 1947, di Masjid Jami Kebun Jeruk, Krukut, sehabis salat Jum’at, Habib Salim bin Jindan membahas perjuangan kemerdekaan Indonesia dan sekaligus mengajak para hadirin untuk berdoa meminta kemenangan Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini juga dilakukannya di Masjid Jami Gg.Tengah Salemba. Setelah selesai berkhotbah dan hendak pulang, tiba di depan pintu gerbang masjid tersebut pasukan NICA Belanda yang sudah bersiap hendak membawa Habib Salim ke seksi VII Jatinegara dan kemudian dibawa ke Hoofd Bureau (Kantor Kepolisian) Gambir, Jakarta. Setelah pemerikasaan pada waktu siang hari, di malam harinya Habib Salim dilepaskan dari penahanan. Dalam pemeriksaan, Habib Salim dibujuk untuk dapat membantu perjuangan Pemerintah Belanda dengan imbalan diberikan kehidupan yang tenang. Di sana, Habib Salim menegaskan bahwa ia berjuang dan berdakwah hanya semata-mata karena Allah SWT. Maka, ia tidak akan membantu dalam urusan yang sifatnya bertentangan dengan seruan Allah SWT. Demikian pula sewaktu Habib Salim berkhotbah di Masjid Tanah Abang pada tahun 1948, di sekitar masjid sudah siap Tentara Belanda dan Polisi NICA untuk membawanya. Sesaat setelah keluar dari masjid, datanglah Polisi NICA menjemputnya dan

membawanya ke Kantor Kepolisian Gambir. Kemudian pada keesokan harinya dilepaskan kembali dan diantarkan pulang sampai ke rumahnya (Bandjar, 1977: 75).

Pada masa pendudukan Jepang, terdapat pemaksaan terhadap masyarakat Indonesia untuk melakukan rukuk ke arah matahari setiap pagi. Habib Salim bin Jindan seperti dijelaskan pada bab sebelumnya tentu menentang kegiatan itu dan kemudian ia sering berorasi di setiap tempat untuk memperingatkan masyarakat Indonesia agar tidak rukuk kepada selain Allah SWT (Al-Mashhur, 1984). Gerakan dakwah Habib Salim yang demikian tercium oleh agen-agen Pemerintah Jepang. Maka, pada suatu hari Habib Salim ditangkap di rumahnya dan kemudian dibawa oleh Kompetai (Polisi Jepang) ke Gambir, Jakarta. Di sana, Habib Salim ditahan dalam ruangan yang gelap dan luasnya hanya 1 m2 dengan lubang angin seluas 10x10 cm2 (Bandjar, 1977: 74). Habib Salim ditahan selama sebelas bulan pada tahun 1943. Selama itu, ia mengalami penyiksaan dan kelaparan. Para tahanan ada kalanya diberi waktu untuk keluar ke halaman, tujuannya untuk rukuk kepada matahari. Di balik dinding ruang tahanannya, Habib Salim meneriaki mereka bahwa matahari bukanlah Tuhan yang patut disembah (Al-Mashhur, 1984).

Di pertengahan tahun 1945, Habib Salim bin Jindan kembali ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang. Ketika Habib Abdurrahman membesuk Habib Salim di penjara, Habib Salim sedang menekan perutnya. Ia meminum air sabun sampai 2 hari 2 malam. Pada malam ketiganya di ruang tahanan, ia didatangi oleh datuknya yaitu Syekh Abubakar bin Salim. Syekh Abubakar bin Salim mengatakan bahwa Habib Salim harus bersabar dan Syekh Abubakar bin Salim membawa berita gembira bahwa Habib Salim akan dibebaskan besok malam. Pembebasan Habib Salim ini dikarenakan menyerahnya Jepang kepada sekutu akibat bom yang diturunkan di wilayah Nagasaki dan Hiroshima. Kejadian itu menjadikan Jepang menyerah tanpa syarat dan pergi dari wilayah pendudukannya (Wawancara dengan Abah Alwi Shahab pada hari Senin, tanggal 09 April 2012, pukul 13.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Berita Republika, Jakarta; Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas pada hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta. Wawancara dengan Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Kamis, tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang).

Pada Zaman Orde Lama, Habib Salim bin Jindan melakukan penolakan terhadap muncul dan berkembangnya paham komunis. Sikapnya ini mengakibatkan ia mengalami hambatan dalam melakukan kegiatan dakwahnya oleh pemerintah, seperti yang terjadi di Sumatera pada tahun 1950

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 6: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

6    

Universitas Indonesia

(Syarifuddin, 2005: 10). Saat berada di Jambi, tiba-tiba pada malam harinya datang satu Jeep petugas dengan membawa surat perintah yang isinya melarang Habib Salim berada di Sumatera Selatan. Saat itu juga Habib Salim langsung dibawa ke Palembang dan terus diantar ke lapangan terbang untuk dipulangkan ke Jakarta (Bandjar, 1977: 76). Pada tahun 1955, Habib Salim ditahan di Kota Yogyakarta selama 18 bulan. Tuduhannya yakni Habib Salim dicurigai melakukan kegiatan yang menentang paham komunis (Al-Mashhur, 1984).

Ibnu Umar Junior dalam risalah Fenomena Kramat Jati menulis, ''Gara-gara keberaniannya, Kolonel Sabur (salah satu ajudan Bung Karno) sampai berang setengah mati kepada Habib Salim ketika dia melancarkan kritik-kritik terhadap pemerintah di sebuah acara di Palembang tahun 1957 yang dihadiri Presiden Soekarno. Kolonel Sabur menyuruh Habib Salim turun dari mimbar. Di kesempatan itu, ia berkata kepada para hadirin, 'Suara rakyat adalah suara Tuhan. Apakah saya harus terus ceramah atau tidak?' Serempak para hadirin menjawab,'Teruuus!'.'' (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/29/m6dyxj-hujjatul-islam-habib-salim-bin-djindan-guru-para-habaib-2 diunduh pada tanggal 10 Maret 2013 pukul 18.25 WIB).

Ia mengeluarkan kritik yang cukup keras terhadap Ideologi Nasakom yang dipromosikan oleh Soekarno. Sejak dilarang pada tahun 1927, PKI tak pernah muncul lagi sampai berakhirnya masa kolonial. Pada tahun 1948, PKI yang muncul kembali, melakukan pemberontakkan dan kemudian dilumpuhkan. Pada 1950-an, PKI muncul kembali dan menjadi kekuatan penting pada Masa Demokrasi Terpimpin (Ranoh, 1999: 43).

Meski demikian, Habib Salim bin Jindan tetap dimintai pendapatnya oleh Dewan Pertimbangan Agama, yaitu mengenai Kabinet Gotong Royong yang telah diharamkan hukumnya berdasarkan hasil dari Mu’tamar Alim Ulama di Palembang pada tahun 1957. Untuk menangani hal tersebut, Habib Salim mengadakan Musyawarah Alim Ulama Jakarta Raya di rumahnya pada tanggal 10 November 1957. Musyawarah tersebut dihadiri antara lain oleh K.H. Achmad Khatib Banten, dan para Ulama Jakarta seperti K.H. Hasbiyallah, K.H. Achmad, K.H. Moh. Husen, dan K.H. Moh. Hasan. Setelah diadakan tukar pikiran, musyawarah memutuskan bahwa Kabinet Gotong Royong Pemerintah RI saat itu yang diwakili oleh berbagai ideologi Partai Politik seperti Ideologi Agama, Ideologi Kebangsaan, dan Ideologi Sosialis, maka kedudukan hukumnya adalah mubah. Hasil dari

musyawarah ini dituangkan dalam suatu risalah yang berjudul “Penolakan Putusan Mu’tamar Alim Ulama di Palembang”. Diawali oleh kegagalan Kabinet Ali untuk membujuk Masyumi masuk ke kabinet, karena menentang kehadiran PKI, Ali menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno dan kemudian pada tanggal 21 Februari 1957 pukul 20.10, Presiden mengumumkan akan dibentuk Kabinet Gotong Royong (Hakiem, 2008: 176).

Habib Salim bin Jindan menolak kebijakan zakat pada zaman Soeharto dan menyampaikannya di dalam ceramah-ceramahnya. Oleh karena itu, ia mendapatkan teror. Ia didatangi oleh orang yang bertugas membawa surat peringatan. Kemudian orang itu berkata, “Pak kiai, kalau pak kiai masih berani mempersoalkan mengenai kebijakan zakat, menentang kemauan pemerintah, maka besok pak kiai akan ditangkap.” Mendengar hal tersebut, Habib Salim mengatakan, “Jangan besok, kalau mau tangkap, sekarang.” Selanjutnya ia mengatakan, “Memangnya di atas kalian tidak ada Tuhan, tidak ada Allah SWT. Saya hanya takut kepada Allah SWT.” (Ceramah Habib Salim, 1968).

Tahun 1967, Menteri Agama mengirimkan RUU zakat ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dengan Surat Nomor MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Selain kepada DPR-GR, Menteri Agama juga mengirim surat kepada Menteri Keuangan dan Menteri Sosial untuk mendapatkan usul dan tanggapan, terkait Departemen Keuangan yang berpengalaman dalam pengumpulan dana masyarakat dan Departemen Sosial yang berpengalaman dalam distribusi dana sosial ke masyarakat. Kemudian Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat (Azra, 2003: 184).

Setiap kali ceramah di masa Orde Baru, Habib Salim selalu diikuti oleh intel. Beberapa masjid melarang Habib Salim untuk pidato (Wawancara dengan Bapak Fadel Muhammad pada hari Kamis, tanggal 11 April 2013, pukul 10.00 WIB di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta; Wawancara dengan Babeh Ridwan Saidi pada hari Rabu, tanggal 22 Mei 2013, pukul 10.23 WIB melalui media telepon; Wawancara dengan Habib Muhammad Alhamid pada hari Jum’at, tanggal 06 September 2013, pukul 09.00 WIB di kediamannya di Cililitan, Jakarta; Wawancara dengan Habib Muhammad Alkaaf pada hari Kamis, tanggal 12 November 2013, pukul 09.30 WIB di kediamannya di Condet, Jakarta; Wawancara dengan Bapak Thoriq Husein pada hari Jum’at, tanggal 11 April 2014, pukul 08.30 WIB di Depok). Bahkan di Majelis Taklim Kwitang, tempat ia biasa berpidato secara rutin setiap hari Minggu, Habib Salim pernah diminta untuk tidak

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 7: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

7    

Universitas Indonesia

berpidato lagi. Sebab, pada pidatonya di Majelis Kwitang, ia seringkali menyinggung dengan keras kinerja ataupun kebijakan pemerintah yang tidak baik menurutnya. Sikapnya ini menyebabkan Majelis Kwitang diminta oleh Istana agar tidak lagi mempersilakan Habib Salim untuk melakukan pidato di Kwitang. Namun, para ulama akhirnya berunding dan bersepakat untuk tetap mempersilakan Habib Salim melakukan pidato seperti biasa.

4. 2 Kesaksian

Habib Salim bin Jindan merasa tidak ingin dikenal dan dipuja-puja. Meski demikian, kalau kita berada di daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah dakwahnya, orang-orang di sana banyak yang akan bercerita bahwa Habib Salim pernah ke tempat itu. Sejatinya ia tidak menyukai pengkultusan terhadap dirinya, agar anak-anaknya tidak mengambil keuntungan yang tidak dianjurkan agama dari hal tersebut. Semasa hidupnya, Habib Salim tidak menerima ketika ada orang yang menuliskan kisah biografinya. Abdurrahman Bagadir, muridnya, pernah menulis kitab tentang perjalanan Habib Salim sampai 2 jilid. Namun, pada waktu siang di suatu hari, Habib Salim datang dan masuk ke rumah muridnya ini dan langsung membuka lemari kitab yang ada di sana. Ia mencari dan kemudian membakar kitab karangan Abdurrahman Bagadir tersebut di depan Abdurrahman Bagadir. Ia lantas mengatakan, “Saya tidak ingin ditulis seperti ini, saya tidak ingin jika nantinya disembah.” Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia memiliki sifat zuhud, yaitu menghindari pujian dan pengkultusan. Ia merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang telah dilalui dan dilakukan oleh para rasul (Wawancara dengan Abah Alwi Shahab pada hari Senin, tanggal 09 April 2012, pukul 13.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Berita Republika, Jakarta; Wawancara dengan Kiai Syaifudin Amsyir pada hari Rabu, tanggal 10 April 2013, pukul 17.30 WIB di kediamannya di Kalimalang, Jakarta; Wawancara dengan Habib Muhammad Alhamid pada hari Jum’at, tanggal 06 September 2013, pukul 09.00 WIB di kediamannya di Cililitan, Jakarta; Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas pada hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta; Wawancara dengan Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Kamis, tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang).

Meskipun Habib Salim bin Jindan tidak mendirikan sekolah, madrasah, pesantren, masjid, organisasi, partai, dan sebagainya, tetapi ia tetap medukung orang-orang yang punya usaha ke arah sana. Ia tidak memiliki masalah secara pribadi dengan organisasi manapun. Ia dapat berhubungan baik dengan ulama NU ataupun dengan ulama Muhammadiyah,

yang keduanya memiliki paham yang berbeda. Meski demikian, ia tidak memiliki afiliasi langsung ke dalam dua organisasi Islam itu. Bahkan ia tidak terlibat secara langsung dalam organisasi alawiyyin di Indonesia yaitu Organisasi Rabithah Alawiyah (Wawancara dengan Bapak Fadel Muhammad pada hari Kamis, tanggal 11 April 2013, pukul 10.00 WIB di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta; Wawancara dengan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Rabu, tanggal 01 Mei 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang; Wawancara dengan Bapak Mastur pada hari Senin, tanggal 30 September 2013, pukul 10.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama, Jakarta; Wawancara dengan Bapak Zaenal pada hari Rabu, tanggal 18 September 2013, pukul 14.00 WIB di ruang kerjanya di Kantor Pusat Muhammadiyah, Jakarta). Habib Salim sempat menghadiri undangan beberapa acara yang dibuat oleh Masyumi di beberapa tempat salah satunya di Lombok sekitar tahun 1950an dan Habib Salim pernah berkampanye untuk Partai Masyumi pada Pemilu 1955 (Wawancara dengan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Rabu, tanggal 01 Mei 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang; Wawancara dengan Babeh Ridwan Saidi pada hari Rabu, tanggal 22 Mei 2013, pukul 10.23 WIB melalui media telepon). Ia berhubungan baik dengan orang-orang yang ada dalam organisasi ataupun partai manapun. Namun, ia tetap tidak segan mengkritik apabila mereka melakukan kesalahan.

Habib Salim tidak mudah mengkafirkan suatu kelompok. Buktinya, ia menyambut setiap tamu dari berbagai golongan. Ia berpendapat orang kafir adalah mereka yang tidak berkeyakinan atau yang berkeyakinan hanya sebagian mengenai isi Al-Qur’an, mereka yang menganggap Imam Ali adalah Tuhan, mereka yang berkeyakinan bahwa seharusnya malaikat Jibril menyampaikan wahyu ke Imam Ali bukan kepada Nabi Muhammad SAW (ini terkait penegasan Habib Salim dalam menanggapi pengkafiran pengikut paham syi’ah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat). Dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis (Persatuan Islam), Habib Salim pun tidak memutuskan hubungan walaupun seringkali berlawanan paham. Ahmad Hasan seringkali berkunjung ke tempat Habib Salim dan sebaliknya (Wawancara dengan Bapak Fadel Muhammad pada hari Kamis, tanggal 11 April 2013, pukul 10.00 WIB di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta; Wawancara dengan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Rabu, tanggal 01 Mei 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang; Habib Muhammad Alhamid pada hari Jum’at, tanggal 06 September 2013, pukul 09.00 WIB di kediamannya di Cililitan, Jakarta;

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 8: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

8    

Universitas Indonesia

Wawancara dengan Habib Muhammad Alkaaf pada hari Kamis, tanggal 12 November 2013, pukul 09.30 WIB di kediamannya di Condet, Jakarta).

Mufti Hanafiyah Zabid Syaikh Qasim bin Shalih Karim Az-Zabidi menguraikan kesannya tentang sosok Habib Salim Bin Jindan, “Nama Habib Salim Bin Jindan cukup dikenal di kalangan ulama Zabid”, bahkan dirinya memiliki ijazah sanad keilmuan yang menyebut Habib Salim Jindan, yang diperolehnya lewat guru-gurunya, seperti Syaikh Hasan Masysyath dan Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah. Menurut Habib Ali bin Hasan Al-Bahr, “Untuk menyebut keutamaan dan tadzkirah al-mahasin (mengingat kebaikan-kebaikan) Habib Salim Jindan, tidak cukup dengan waktu yang sedikit, karena ia bagaikan lautan ilmu yang luas. Bahkan ia dijuluki Bukhariyyu zamanihi (Imam Bukhari pada zamannya), lantaran ketepatan dan penguasaannya atas ribuan hadis datuknya berikut sanad periwayatannya”. Habib Ali bin Hasan Al-Bahr mengutip satu syair untuk menggambarkan kealiman dan ketermasyhuran Habib Salim Jindan, “Zamanuka bustanu   wa ‘Ashruka ahdharu. Dakhalta ‘ala tarikhina dzata laylah. Fa ra-ihah at-tarikh miskun wa ‘anbaru” artinya Zamanmu, wahai Habib Salim, laksana kebun yang memberi manfaat, sedangkan masa hidupmu laksana hijau yang mewarnai kebun itu. Engkau masuki sejarah kehidupan kami dalam satu malam saja maka semerbak sejarah ini laksana semerbak misk dan anbar (http://www.majalah-alkisah.com/index.php/berita-terhangat/817-maulid-di-masjid-keramat-luar-batang-hidup-dan-wafatnya-adalah-kebaikan diunduh pada hari Jum’at tanggal 23 Februari 2014 pukul 15.07).

Berikut ini terdapat syair mengenang Habib Salim yang ditulis oleh Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Jindan, 2002: 9-10) :

Di Jakarta berserta semua penduduknya, bahkan semua bumi dan langit menangis Pada suatu hari, di mana saya tidak melihat seorangpun kecuali dalam keadaan sedih dan haru, diiringi tangisan Semua malam menjadi tidak bisa terlelap Namun apabila sebuah keputusan Allah SWT sudah tiba, maka wajib hukumnya menerima Menerima terhadap hilangnya seseorang yang selalu menjadi pujian bagi setiap pecintanya Telah meninggal seorang Wali terdepan dari kita Maka sebab kematiannya, semua yang lapang terasa sempit Saya katakan “Iya” bahwa meninggalnya Sayyid Jindan adalah sebuah petaka yang amat besar Manakala ia berdiri untuk berkhutbah, dan menyampaikan penolakannya terhadap orang

yang tidak benar, maka mereka akan kembali dengan segala rasa kerugian Penolakkannya selalu dikuatkan dengan Al- Qur’an dan Al-Hadis Sosok seperti Ibn Jindan, adalah sosok yang langka di muka bumi Dipercaya oleh para ulama terkemuka Tidak heran, karena ia terbimbing dari rumah yang penuh dengan ilmu Kemudian mampu menjadi bendera untuk semua umat Mencintainya adalah suatu hal yang pasti tanpa sedikit keraguan Akan muncul setelahnya seorang pengganti, yang akan meneruskan jejak langkahnya dalam mempimpin umat

Wafatnya Habib Salim berdekatan dengan acara-acara maulid besar di Jakarta sehingga sebagian besar isi ceramah dalam setiap maulid mengenai wafatnya Habib Salim (Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas pada hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta; Wawancara dengan Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Kamis, tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang).

Murid-murid Habib Salim bin Jindan antara lain K.H. Abdullah bin Toha Assegaf, Habib Abdurrahman Bagadir Alattas, K.H. Hasbiyallah, H. Umar, H. Achmad Anwar, dan K.H. Muh. Junus, K.H. Abdulrazak Makmun, K.H. Zayadi, Kiai Umar Manaf di Pengadegan, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Tebet, Kiai Syafi’i Hadzami, Kiai Syukur Yakub, Kiai Maimun Zubair, Kiai Kasyful Anwar, Muhammad Al-Hamid, dan Kiai Abdul Hamid bin Kholid. Mereka sering berkunjung ke rumah Habib Salim untuk belajar kitab. Habib Salim bin Hafidz dalam manuskripnya menyebutkan Habib Salim Jindan pernah memberinya ijazah di Masjid Tanah Abang. Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dan Sayyid Hasyim Al-Padangi juga mengatakan pernah mendapat ijazah dari Habib Salim (Lihat contoh ijazah di Lampiran V. Wawancara dengan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Rabu, tanggal 01 Mei 2013, pukul 15.30 WIB di kediaman beliau di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang; Wawancara dengan Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan pada hari Kamis, tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang; As, 1996: 293; Bandjar, 1977: 74).

Setelah Habib Salim bin Jindan bergabung dengan Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Al-Attas di Kwitang, banyak murid Habib Ali Al-Habsyi seperti Abdullah Syafe'i dan Tohir Rohili mulai sering berkunjung ke rumah Habib Salim. Posisi Habib Salim

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 9: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

9    

Universitas Indonesia

sebagai muhadis yang telah tersebar luas ke tengah masyarakat, seringkali dimanfaatkan juga oleh muridnya seperti yang dilakukan antara lain oleh K.H. Abdullah Syafei yang setiap tahun mengundang Habib Salim ke sekolah miliknya, Assyafiiyah, untuk mengajar kepada siswa di sana (Alattas, 2008: 41). 5. Kesimpulan

Kegiatan dakwah merupakan kewajiban bagi setiap pemeluk Islam. Cara menyampaikannya tidak selalu dengan berada pada mimbar dan melakukan ceramah. Fungsi dari kegiatan dakwah adalah memberi pemahaman mengenai pokok ajaran Islam kepada masyarakat luas dan memberikan solusi terhadap perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Orang yang konsen melakukan kegiatan dakwah memiliki banyak sebutan, dan lazimnya mereka disebut sebagai ulama. Sikap hidup para pemeluk Islam seharusnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, tidak semua orang tentunya dapat memahami ajaran agama Islam itu sendiri. Sebagai orang yang konsen dalam melakukan kegiatan dakwah, ulama memiliki peranan yang penting untuk memberikan pemahaman ajaran agama Islam kepada masyarakat. Ulama juga memiliki peran dan tanggung jawab yang besar untuk mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat. Ketika para ulama memiliki kedalaman ilmu dan sikap yang tegas, maka ia akan menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian terhadap berbagai bentuk persoalan bangsa.

Pada periode 1925-1969 terdapat sosok ulama Indonesia, Habib Salim bin Jindan, yang seharusnya tidak asing di masyarakat muslim Indonesia, terutama di Jakarta. Namun demikian, ia termasuk orang yang tidak ingin mendapati popularitas dan publikasi. Semasa ia masih hidup, ia tidak mengizinkan siapapun untuk membuat karya biografi yang memuat kisah dirinya. Ini merupakan salah satu sikap yang patut diteladani dari Habib Salim bin Jindan, yaitu menghindari pujian dan pengkultusan. Ia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuannya dalam berdakwah melainkan menghidupkan dan menjunjung nilai-nilai ajaran agama Islam pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena Allah SWT. Habib Salim dilahirkan pada tanggal 07 September 1906 M/18 Rajab 1324 H di Kota Surabaya dan wafat pada hari Minggu, tanggal 01 Juni 1969/16 Rabiul Awal 1389 H. Ia dimakamkan pada keesokan harinya, yaitu hari Senin, tanggal 02 Juni 1969 di kompleks pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.

Selama hidup, Habib Salim bin Jindan menghabiskan banyak waktunya untuk menuntut ilmu, mengajar, dan berdakwah. Dalam menuntut ilmu, Habib Salim giat mempelajari ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu tasawuf, ilmu sastra, ilmu sejarah, dan ilmu nasab. Dengan ketekunannya dalam menuntut ilmu, di usia yang masih 19 tahun, Habib Salim telah mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama ilmu hadis,

ilmu sejarah, dan ilmu nasab. Dengan bekal ilmu demikian, Habib Salim memulai kegiatan dakwahnya ke berbagai daerah seperti Pekalongan, Tegal, hingga Bogor. Namanya semakin dikenal setelah ia melakukan kegiatan dakwah di Jakarta. Ia mengajak umat manusia untuk berpegang teguh dalam menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhkan larangan Allah SWT.

Selain gencar dan semangat dalam menuntut ilmu dan menyiarkan ajaran agama Islam di Indonesia, Habib Salim bin Jindan juga gencar menuangkan pemikirannya ke dalam kitab-kitab dengan tema yang beragam. Ia telah menulis sekitar 100 kitab. Kepeduliannya terhadap sosok guru-gurunya menjadikan beberapa karya Habib Salim mengulas tentang sosok tersebut. Kitab-kitab itu termasuk sumber yang penting untuk mengetahui biografi syekh dan para ulama Indonesia yang pada masa sekarang ini sudah sulit didapati jejaknya. Namun, tentunya yang dituliskan oleh Habib Salim tidak sampai meliputi perjalanan mereka secara lengkap hingga wafatnya, sebab ketika Habib Salim menulis kitab, guru-gurunya itu masih hidup.

Kesempatan mencari ilmu dan berdakwah di berbagai daerah, dimanfaatkan juga oleh Habib Salim bin Jindan untuk mengumpulkan data mengenai sejarah Islam. Seperti data mengenai sejarah perkembangan dan peradaban Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Sumatera, Pulau Roti, dan Pulau Jawa. Juga sambil mengumpulkan hadis beserta sumber historisnya. Setelah mendapatkan banyak kitab dan manuskrip langka, ia mendirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama Al-Maktab Al-Fakhriyah (Perpustakaan Kebanggaan) di rumahnya. Terdapat koleksi kitab yang pada saat itu mencapai sekitar 15.000 kitab. Setelah ia wafat, perpustakaannya ini dijadikan amal wakaf olehnya. Namun, sampai saat ini perpustakaan tersebut belum dapat diakses kembali karena sedang dilakukan perawatan kitab-kitab dan sedang direncanakan pembangunan gedung perpustakaan oleh keturunannya.

Salah satu keistimewaan Habib Salim bin Jindan dalam berdakwah adalah sikapnya yang tegas. Ia tidak mengenal kata takut dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan niat menyiarkan ajaran agama Islam, tidak hanya persoalaan masyarakat dalam hal keagamaan/ibadah saja yang menjadi perhatiannya, tetapi juga persoalan masyarakat dalam hal kebangsaan/kenegaraan pun menjadi perhatian Habib Salim. Kegiatan aktifnya dalam mengikuti perkembangan situasi negara, menjadikan dirinya termasuk salah seorang ulama Indonesia yang vokal.

Akibat sikapnya yang tegas, jalan yang harus dilalui Habib Salim bin Jindan dalam melakukan kegiatan dakwah tidaklah mudah. Di antara rintangan yang dihadapi Habib Salim dalam melakukan kegiatan dakwahnya adalah beberapa penangkapan dan pemenjaraan baik pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, masa Orde Lama, dan masa Orde

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 10: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

10    

Universitas Indonesia

Baru. Selama berada di ruang tahanan, ia sempat merasakan penyiksaan. Namun, dokumen mengenai Habib Salim bin Jindan masih tercecer di berbagai tempat dan individu dan masih belum dapat ditemui serta dihimpun oleh penulis sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut setelah penelitian ini selesai. Sikap-sikap yang dimiliki oleh Habib Salim bin Jindan diperlukan oleh bangsa Indonesia saat ini. Meskipun Habib Salim harus mengorbankan keselamatan dirinya, ia tetap berusaha dalam menghidupkan nilai-nilai Islam dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat. 6. Daftar Acuan Arsip Personal: Rekaman Ceramah Habib Salim di Jombang dalam Haul Habib Husein bin Muhammad bin Tohir Alhadad tahun 1949 Rekaman Ceramah Habib Salim di Solo dalam Haul Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyie tahun 1965 Rekaman Ceramah Habib Salim di Masjid Matraman pada tahun 1968 Salinan surat wakaf Habib Salim bin Jindan, tt Surat Kabar dan Majalah: Harian Republika Rabu 28 Maret 2012. Pandji Poestaka No.53, Tahoen XIII, 05 Juli 1935 No.15, Tahoen XVII, 22 Februari 1939 No.3, Tahoen XX, 25 April 1942 Artikel: Badri, KH. Ali. Sikap Mempribumi Kunci Sukses Da’wah Ulama’ Alawiyyin di Nusantara. Jakarta, 01 Juli 2012. Bandjar, H. Jusuf. Sejarah K.H. Habib Salim bin Ahmad. Mimbar Ulama: Suara Majelis Ulama Indonesia. Tahun II. Jakarta: Percetakan Cemara Indah. Juli, 1977. Tim Panitia Seminar Internasional Peran Alawiyyin dalam Dakwah Damai Islam di Nusantara. Sekapur Sirih Sejarah Alawiyyin dan Perannya dalam Dakwah Damai di Nusantara. Jakarta, Juli 2012. Tim Panitia Seminar Sejarah Dakwah dan Pendidikan Islam. Peran Mufti Betawi Sayid Utsman bin Yahya dan Dampaknya Pada Perkembangan Pola Dakwah Generasi Berikut. Jakarta, Desember 2012. Buku: Aidid, Muhammad Hasan. Petunjuk Monogram Silsilah berikut Biografi dan Arti Gelar Masing masing Leluhur Alawiyyin. Jakarta: Amal Shaleh. 1999. Al-haddad, Sayid Abdullah. Thariqah Menuju Kebahagiaan. Bandung: Mizan, 1992.

Al-Habsyi, Ali Umar. Keistimewaan dan Tanggung Jawab Keturunan Nabi SAW. Bangil: Pandu. 2007. Al-Masjhoer, Edrus Alwi. Jamiat Kheir: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir. 2005. Al-Masyhur, Idrus Alwi. Keutamaan dan Kemulian Keluarga Rasulullah SAW. Jakarta: Saraz. 2012. -------------. Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika. Jakarta: Saraz. 2010. Al-Nadwi, Abul Hasan Ali. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta: Anam Kosong Anam. 1988. Alaydrus, Novel bin Muhammad. Jalan Nan Lurus: Sekilas pandang Tarekat Bani ‘Alawi. Surakarta: Taman Ilmu. 2006. Algadri, Mr.Hamid. Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung. 1988 Al-Mashhur, Abdurrahman bin Muhammad. Shams Al Zahira. Vol.I. Jeddah: ‘Alam Al-Ma’rifa. 1984. As, H. Muhammad Syamsu. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya. Jakarta: Penerbit Lentera. 1996. Assagaf, M.Hasyim. Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifa. Bandung: Rosda. 2000. Aziz, Abdul. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos. 2002. Azra, Azyumardi. Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Bandung; Mizan. 2002. Bachtiar M.Hum, Tiar Anwar. Lajur-lajur Pemikiran Islam: Kilasan Pergulatan Intelektual Islam di Indonesia. Depok: Komunitas Nuun. 2011. Balfaqih, Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad. Alawiyyin: Asal-usul dan Peranannya. Jakarta: Lentera Basritama. 1999. Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Bandung: Firma Ekonomi. 1980. Berg, L.W.C van den. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta: INIS. 1989. Bin Sumaith, Al-‘Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da’i Ilallah Al-Habib Zain bin Ibrahim. Thariqah Alawiyah: Jalan Lurus Menuju Allah. Jakarta: Rabithah Alawiyah. 2009. Hakiem, Lukman. 100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah. Jakarta: Republika. 2008. Hitti, Philip. K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2010. Horikoshi, Dr.Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. 1987. Hosen, Prof. K.H. Ibrahim. Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Yayasan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ). 1997. Hurgronje, C. Snouck. Islam di Hindia Belanda.Jakarta: Bhratara. 1973. Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah:

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 11: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

11    

Universitas Indonesia

Pergulatan Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900 1950. Yogyakarta: Mata Bangsa. 2001. Isma’il M.S, Drs. H. Ibnu Qoyim. Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press. 1997. Kansil S.H, Drs.C.S.T, dan Drs. Julianto M.A, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1990. Kartodirdjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. -------------. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. -------------. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. -------------. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. Kesheh, Natalie Mobini. Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia. Jakarta: Akbar. 2007. Kiki, Rakhmad Zailani, dkk. Geanologi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta. Jakarta Islamic Centre. 2011. Leirissa, R.Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: Akademika Pressindo. 1985. Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2008. Mauladdawilah, Abdul Qodir. 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia. Malang: Pustaka Bayan. 2009. -------------. Tiga Serangkai Ulama Tanah Betawi. Malang: Pustaka Basma. 2009. Murni, Sylviana. Database Orang Betawi. Jakarta: Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta. 2012. Nagazumi, Akira. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1989. Nasar S.sos, M. Fuad. H. S. M Nasaruddin Latif: Biografi dan Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press. 1996. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1980. Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia. Risalah Seminar: Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia. Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia. 1963. Pringgodigdo SH, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. 1978. Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno. BPK Gunung Mulia. 1999. Rasyid MA, Dr.K.H.M. Hamdan. K.H. Achmad

Mursyidi: Ulama, Pejuang, dan Politisi dari Betawi. Jakarta: Darul Hikmah. 2003. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008. Salim, Arskal, dan Azyumardi Azra. Shari'a and Politics in Modern Indonesia. ISEAS series on Islam. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003. Santoso, Budi. Peranan Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Progress. 2003. Sihbudi, Riza. Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek. Jakarta: Gema Insani Press. 1997. Subarkah, Amin. Pengaruh PAN-Islamisme Terhadap Kebangkitan Golongan Arab di Jakarta 190-1941. Depok: Ulinnuha Press. 2001. Suminto, H.Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985 Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1993. TIM Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III Cet.II. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. 2002. Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Cet.I. Jakarta: PT. Gramedia. 2009. Wiwoho, B. (eds). Zakat dan Pajak. PT. Bina Rena Pariwara. 1991 Zulkabir, dkk. Islam Konseptual dan Kontekstual. Bandung: Itqan. 1993. Karya Tidak Terbit: Al Indonesi, Sayid Salim bin Ahmad bin Husein bin Jindan Al Alawi Al Huseini As Syafi’i. Mar Atuzzaman fii Hayati Ibnu Jindan. Al Indonesi, Sayid Salim bin Ahmad bin Husein bin Jindan Al Alawi Al Huseini As Syafi’i. Diwan Al ‘Andhaliib Lakal Sya’ir wa Adiib Alattas, Ismail Fajrie. Securing Their Place: The Ba’alawi Prophetic Piety and Islamic Resurgence in Indonesia. Singapura: Departement of History National University of Singapore. 2008. Jayadi. Pemikiran dan Aktifitas Dakwah Habib Abdul Rahman Alhabsyi di Islamic Center Indonesia Kwitang Jakarta Pusat. Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah. 2008. Jindan, Ahmad bin Novel. Mukhtasor Roihaatul Jinaan: Manaqib Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Jakarta: Yayasan Al-Fakhriyyah. 2002. Syarifuddin, Kms. H. Andi. Kunjungan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan ke Palembang. Palembang. 2005. -------------. Ittihad Al-Ihsan: Perkumpulan Arab Palembang. Palembang. 2011 -------------. Sejarah Ringkas Majelis Ulama Pertimbangan Igama Islam (MUPII) Palembang. Palembang. 2011. Tim Penulis. Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Putra Prima. 2002.

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 12: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

12    

Universitas Indonesia

Jurnal: Al-Dubayan, Ahmad bin Muhammad. Kitab Rawdat Al-Wildan Fi Thabt Ibn Jindan by Salim Ibn Jindan. The Islamic Quarterly. 2003. Aprianto, Joni. Tumbuhnya Nasionalisme di Gorontalo: Sebuah Pencitraan Historiograf. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Inovasi. Vol.V, No.2, Juni, 2008. Wawancara: Wawancara dengan Abah Alwi Shahab, wartawan senior, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Senin, tanggal 09 April 2012, pukul 13.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Berita Republika, Jakarta. Wawancara dengan Babeh Ridwan Saidi, budayawan Betawi, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 22 Mei 2013, pukul 10.23 WIB melalui media telepon. Wawancara dengan Bapak Achmad Rofie, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, anak dari muridnya Habib Salim bin Jindan, hari Kamis, tanggal 30 Januari 2014, pukul 21.26 melalui media facebook. Wawancara dengan Bapak Fadel Muhammad, politikus Indonesia, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Kamis, tanggal 11 April 2013, pukul 10.00 WIB di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta Wawancara dengan Bapak Mastur, pengurus Nahdlatul Ulama wilayah Jakarta, murid dari sahabat anaknya Habib Salim bin Jindan, hari Senin, tanggal 30 September 2013, pukul 10.30 WIB di tempat kerjanya di Kantor Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama, Jakarta. Wawancara dengan Bapak Satiri Ahmad, menantu dari Kiai Tohir Rohili, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Jum’at, tanggal 20 September 2013, pukul 08.00 WIB di lingkungan pendidikan Attahiriyah, Jakarta. Wawancara dengan Bapak Thoriq Husein, konsultan hukum, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Jum’at, tanggal 11 April 2014, pukul 08.30 WIB di Depok Wawancara dengan Bapak Zaenal, pengurus Muhammadiyah, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 18 September 2013, pukul 14.00 WIB di ruang kerjanya di Kantor Pusat Muhammadiyah, Jakarta. Wawancara dengan Habib Abdullah bin Abdurrahman BSA, murid Habib Salim bin Jindan, hari Minggu, tanggal 27 Oktober 2013, pukul 13.44 WIB di kediamannya di Bangil, Jawa Timur. Wawancara dengan Habib Abdurrahman bin Syech bin Salim Al-Attas, murid Habib Salim bin Jindan, hari Minggu, tanggal 06 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB di kediamannya di Tebet, Jakarta. Wawancara dengan Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan, cucu Habib Salim bin Jindan, hari Kamis, tanggal 17 Oktober 2013, pukul 15.30

WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang. Wawancara dengan Habib Alwi bin Jindan, keponakan Habib Salim bin Jindan, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Selasa, tanggal 22 Oktober 2013, pukul 11.00 WIB di kediamannya di Gresik, Jawa Timur. Wawancara dengan Habib Hadi Alkaaf, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Jum’at, tanggal 25 Oktober 2013, pukul 17.00 WIB di kediamannya di Malang, Jawa Timur. Wawancara dengan Habib Husin bin Abdullah Assegaf, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Selasa, tanggal 22 Oktober 2013, pukul 16.21 WIB di kediamannya di Gresik, Jawa Timur. Wawancara dengan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan, cucu Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 01 Mei 2013, pukul 15.30 WIB di kediamannya di kawasan Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang. Wawancara dengan Habib Muhammad Alhamid, murid Habib Salim bin Jindan, hari Jum’at, tanggal 06 September 2013, pukul 09.00 WIB di kediamannya di Cililitan, Jakarta. Wawancara dengan Habib Muhammad Alkaaf, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Kamis, tanggal 12 November 2013, pukul 09.30 WIB di kediamannya di Condet, Jakarta. Wawancara dengan Habib Salim bin Muhammad Solahudin bin Salim bin Ahmad bin Jindan, cucu Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 07 Maret 2012, pukul 15.30 di wakaf Habib Salim bin Jindan di Otista, Jakarta. Wawancara dengan Kiai Syaifudin Amsyir, pengurus Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 10 April 2013, pukul 17.30 WIB di kediamannya di Kalimalang, Jakarta. Wawancara dengan Prof. Yasmine Zaki Shahab, Guru Besar Program Studi Ilmu Antropologi Universitas Indonesia, saksi sezaman Habib Salim bin Jindan, hari Rabu, tanggal 14 Maret 2012, pukul 14.00 WIB di tempat kerjanya di Kampus Universitas Indonesia, Depok. Internet: http://alialhinduan.wordpress.com/2013/11/21/jawaban-yang-jitu/ diunduh pada hari Selasa, tanggal 21 Januari 2014 pukul 15.45 WIB http://algembira.blog.com/2007/02/25/yang-datang-dan-kemudian-pergi/ diunduh pada hari Senin, tanggal 03 Maret 2014 pukul 20.15 https://www.mail-archive.com/[email protected]/msg18642.html diunduh pada hari Rabu, tanggal 30 Oktober 2013 pukul 20.14 http://www.majalah-alkisah.com/index.php/berita-terhangat/817-maulid-di-masjid-keramat-luar-batang-hidup-dan-wafatnya-adalah-kebaikan diunduh pada hari Jum’at tanggal 23 Februari 2014 pukul 15.07

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014

Page 13: PERAN DAN KONTRIBUSI HABIB SALIM BIN JINDAN 1925-1969

13    

Universitas Indonesia

http://www.muslimedianews.com/2013/11/wanita-pengharap-surga-dari-suaminya.html#ixzz0XFIGzxRW diunduh pada hari Jum’at tanggal 28 Februari 2014 pukul 02.02 WIB http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/30/m6faqy-hujjatul-islam-habib-salim-bin-djindan-guru-para-habaib-3 diunduh pada hari Minggu, tanggal 10 Maret 2013 pukul 18.26 WIB http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/29/m6dyxj-hujjatul-islam-habib-salim-bin-djindan-guru-para-habaib-2 diunduh pada hari Minggu, tanggal 10 Maret 2013 pukul 18.25 http://sayyidfajar.blogspot.com/2013/10/al-habib-salim-bin-thoha-al-haddad.html diunduh pada hari Jum’at, tanggal 28 Februari 2014 pukul 02.15 WIB http://softoh-jamaah.blogspot.com/2004/10/cikini-atawa-cekini.html diunduh pada hari Minggu, tanggal 10 Maret 2013 pukul 19.20 http://therealestate-rumahwahanaberbincang.blogspot.com/2011/11/kisah-datu-dan-ulama-kalimantan_15.html diunduh pada hari Jum’at, tanggal 28 Februari 2014 pukul 02.00 WIB

Peran dan .…, Rozinah Nabihah, FIB UI, 2014