peran dan efektivitas mediator hakim dalam menekan...
TRANSCRIPT
PERAN DAN EFEKTIVITAS MEDIATOR HAKIM DALAM
MENEKAN ANGKA PERCERAIAN
(Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2017-2018)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
ACHMAD MUBAROK
NIM : 21114003
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Permudahlah dan jangan mempersulit,
gembirakanlah dan janganlah menakut-nakuti”
”JUST DO IT”
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunian-Nya,
shalawat salam semoga tetap tercurah kepada rasulullah SAW, skripsi ini penulis
persembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibuku tercinta, karya ini terangkai dari keringat, kasih sayang dan
do’a kalian. Setiap keringat dan kasih sayangmu yang keluar karenaku menjelma
dalam setiap huruf, setiap do’a yang terpanjat menyatu menyampuli karya
hidupku.
2. Kakak dan Adikku yang aku sayangi dan ku banggakan, semangat semagat
kalian menjadi cambuk dan semangatku pula tuk belajar selalu. Semoga karya
ini mampu membuat kalian bangga dan mampu menggantikan peranku sebagai
kakak dan adik yang selama ini belum bisa menjadi saudara yang baik bagi
kalian karena masih terabai oleh ego dan inginku.
3. Saudara, sahabat, dan orang yang saya cintai yang tidak bisa saya sebutkan
disini, seluruh keluarga besar Ma’had Al-jami’ah IAIN Salatiga dan segenap
teman-teman KMW (Keluarga Mahasiswa Wonosobo) di Salatiga.
vii
KATA PENGANTAR
Segala piji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis
panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya kejalan
yang benar sekaligus menyempurnakan akhlak. Berkat limpahan rahmat, taufiq,
dan hidayahnya akhirnya penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul: “PERAN
DAN EFEKTIFITAS MEDITOR HAKIM DALAM MENEKAN ANGKA
PERCERAIAN (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2017-2018)”
Skripsi ini penulis susun guna memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana dalam
ilmu hukum syari’ah pada fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. Dengan berkat bantuan
dari berbagai pihak, penulis menyampaikan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam
dan pengasuh Ma’had Al-Jami’ah IAIN Salatiga.
4. Bapak Farkhani, M.H. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
6. Ketua Pengadilan Agama Salatiga, Hakim, dan beserta seluruh stafnya yang
mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian dan telah memberikan waktu
dan ilmunya untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian
penulis.
7. Kepada Ibu, Bapak, Kakak, adik dan seluruh saudara penulis yang telah
memberikan dan mencurahkan segala kemampuan dan do’anya untuk
mendukung memenuhi keinginan penulis untuk tetap bersemangat.
viii
8. Seluruh teman-teman seperjuanganku di Jurusan Hukum Keluarga Islam
angkatan 2014 atas segala semangat dan hiburannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini
9. Seluruh keluarga besar Ma’had Al-jami’ah IAIN Salatiga, Direktur, Pengasuh,
Pengurus dan seluruh santri.
10. Keluarga Mahasiswa Wonosobo (KMW) di Salatiga.
11. Serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah berupa skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas
semua bantuan dan do’a yang diberikan, semoga Allah Swt senantiasa
membalas amal baik mereka dengan sebaik-baik balasan atas naungan
ridhanya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis sadar sepenuhnya bahwa
karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga kritik dan saran konstruktif
sangat penulis harapkan demi perbaikan karya tulis selanjutnya. Penulis berharap,
skripsi ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi generasi penerus, dan semoga
karya kecil ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan untuk pembaca pada
umumnya.
ix
ABSTRAK
Mubarok, Achmad. “PERAN DAN EFEKTIVITAS MEDIATOR HAKIM DALAM
MENEKAN ANGKA PERCERAIAN (Studi Kasus Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2017-2018)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum
Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing
Farkhani, M.H.
Kata kunci: Peran, Efektivitas, Mediasi
Mahkamah Agung merevisi atau merubah Peraturan Mahkamah Agung No.1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perubahan Perma ini
dituangkan dalam Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Perubahan Perma mediasi ini merupakan perubahan ketiga. Sebelumnya, aturan
proses mediasi diatur Perma No. 2 Tahun 2003 dan Perma No.1 Tahun 2008. Perma
No.1 Tahun 2016 diterbitkan karena tingkat keberhasilan Perma No.1 Tahun 2008
belum sesuai harapan. Adapun permasalahan dalam skripsi ini yaitu, bagaimana
peran dan efektivitas mediator hakim dalam menekan angka perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran
dan efektivitas mediator hakim dalam menekan angka perceraian di Pengadilan
Agama Salatiga dan menggali prosedur mediasi, faktor penghambat dan pendukung
keberhasilan mediasi, serta upaya yang dilakukan mediator dalam meningkatkan
keberhasilan mediasi.
Penelitian ini termasuk dalam jenis empiris. Karena penulis terjun langsung ke
lokasi penelitian untuk mencari data primer melalui penelitian lapangan untuk
menganalisa peran dan keefektifan suatu hukum. Penelitian jenis empiris ini terdiri
dari penelitian terhadap identifikasi peran dan efektivitas mediasi. Pendekatan yang
digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif namun untuk lebih meyakinkan hasil
penelitian, maka terdapat data kuantitatif, maka untuk menyusun dan menganalisis
data-data penulis menggunakan metode campuran antara kualilatif dan kualitatif.
Hasil penelitian di Pengadilan Agama Salatiga secara umum sudah menerapkan
perubahan ketentuan Prosedur mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi. Hanya saja terkait batas waktu mediasi 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi tidak diberlakukan secara
general 30 (tiga puluh) hari dalam semua perkara, ini dikarenakan disisi lain
peradilan menganut asas cepat, sederhana, dan biaya ringan yang tujuan utamanya
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Artinya waktu mediasi di
Pengadilan Agama Salatiga sifatnya kondisional. Terkait penerapan atau
pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga sudah sejalan dengan hukum
Islam. Dimana para pihak menjadikan seseorang atau pihak ketiga yang disebut
hakam sebagai penengah atau juru damai. Kedua, mediasi pasca Perma Nomor 1
tahun 2016 di Pengadilan Agama Salatiga belum begitu efektif. Tingkat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2018 sampai pada
bulan Agustus adalah 0%. Sedangkan pada tahun sebelumnya atau tahun 2017
tingkat keberhasilannya 1,3 %, artinya keberhasilan mediasi mengalami penurunan
dan tentu saja tingkat keefektivitasanya masih rendah.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LOGO ..................................................................................................................... ii
NOTA PEMBIMBING ............................................ Error! Bookmark not defined.
PENGESAHAN ........................................................ Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN KEASLIAN .................................. Error! Bookmark not defined.
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 5
E. Penegasan Istilah .................................................................................. 6
F. Penelitian Terdahulu ............................................................................. 7
G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 8
xi
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II: KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Peran dan Efektivitas .............................................................. 13
B. Kajian Umum tentang Mediasi .......................................................... 17
BAB III: TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian Pengadilan Agama Salatiga ................. 32
B. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Salatiga .............................. 42
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi ............... 48
D. Upaya yang dilakukan Hakim Mediator Dalam Mengatasi Masalah
Mediasi ............................................................................................... 52
BAB IV: ANALISIS DATA PENELITIAN
A. Analisis Peran Dan Efektivitas Mediator Hakim Dalam Menekan
Angka Perceraian ............................................................................... 55
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 65
B. Saran ................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum perceraian merupakan suatu keadaan yang tidak
diinginkan bagi pasangan menikah dimanapun. Karena pada dasarnya
pernikahan adalah sebuah usaha dari pasangan laki-laki dan perempuan
untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis, dalam perceraian
menyangkut beberapa aspek, seperti ekonomi maupun sosial. Meskipun
diperbolehkan, namun perceraian dianggap sebagai suatu masalah sosial.
Indonesia merupakan negara dengan angka perceraian yang cukup
tinggi, khususnya kasus perceraian di Kota Salatiga yang setiap tahunnya
cenderung meningkat, dalam satu hari, pasangan atau salah satu pasangan
suami isteri yang mendaftarkan perceraian ke Pengadilan Agama Salatiga
bisa mencapai angka puluhan. Sementara rata-rata dalam satu hari majelis
hakim Pengadilan Agama Salatiga mengeluarkan 5-8 putusan cerai, dan dari
data pengadilan selama tahun 2016 tercatat ada 1.457 perkara, baik perkara
permohonan maupun gugatan, sementara pada tahun 2017 terdapat 1.744
perkara dan pada tahun 2018 sampai pada bulan agustus sudah terdapat 1225
perkara dan kemungkinan terus bertambah.
penyebab utama perceraian masih didominasi faktor ekonomi. Banyak
pasangan yang tidak bisa bertahan lantaran terhimpit masalah ekonomi.
Banyaknya suami yang tidak bertanggung jawab, tidak bisa memberikan
nafkah lahir kepada isteri dan juga faktor kekerasan dalam keluarga juga
2
berdampak pada kasus perceraian. Kemajuan tekonologi yang terus
berkembang, juga memiliki korelasi dengan semakin meningkatnya kasus
perceraian. banyak pasangan yang mengajukan perceraian lantaran pasangan
lainnya berselingkuh baik lewat handphone maupun internet dan juga
tingginya angka perceraian, satu di antaranya disebabkan oleh belum
terkendalinya warga yang menikah di usia dini
Melihat fenomena perceraian di Pengadilan Agama Salatiga, dengan
angka pertumbuhan yang meningkat, akan sangat bertentangan dengan
prinsip dalam perkawinan yang mengharapakn kehidupan yang rukun dan
damai. Meskipun memungkinkan untuk terjadi, perceraian harus dilakukan
dihadapan pengadilan berdasarkan atas alasan-alasan serta telah diupayakan
untuk didamaikan oleh hakim melalui nasehat-nasehat dalam proses
mediasi. Upaya perdamaian dalam menyelesaikan suatu masalah merupakan
hal yang wajib dilakukan oleh setiap pihak yang bersengketa agar tetap
menjaga komunikasi dan menata berbagai aspek kehidupan di dunia dengan
baik antar sesama manusia (Mujahidin,2012:15). Walaupun dalam
prakteknya, upaya perdamaian oleh mediator telah ditempuh, tetapi tetapa
saja angka perceraian di Pengadilan Agama Salatiga cukup sulit untuk
diturunkan jumlahnya.
Mediasi perceraian sebagai salah satu penyelesaian sengketa yang hadir
untuk meminimalisir efek dari masalah yang hadir dalam sengketa
perceraian. maksud dari mediasi ini pun sudah jelas yaitu menghasilkan
suatu putusan perdamaian agar tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan
3
para pihak dalam perkara perceraian (Rachmadi,2003:79). Mediator yang
dipilih para pihak atau ditentukan majelis hakim mempunyai peran penting
agar tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak dan bekerja atas dasar
peraturan tentang mediasi yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia
sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 melihat pentingnya integrasi
mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak pada pasal 130 HIR/Pasal 145
R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat memaksa.
Berangkat dari pemahaman demikian, maka diterbitkanlah Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 01 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Tujuan penerbita
SEMA adalah pembatasan perkara secara substansif dan prosedural. Sebab
apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui
perdamaian, akan berakibat berkurangnya jumlah perkara pada tingkat
kasasi.
Belum genap 2 tahun dikeluarkannya SEMA Nomor 01 tahun 2002, MA
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun
2003 yang berjudul Prosedur Mediasi di Pengadilan. Salah satu alasan
PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum lengkap
atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam
sistem peradilan yang secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan
akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif
memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.
4
Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di
pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan
permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk
mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi
PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi PERMA Nomor 01 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Namun karena PERMA tersebut
dirasa belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan mediasi yang lebih
berdayaguna dan mampu meningkatkan keberhasilan mediasi, maka
kemudian disahkanlah PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan. Dengan peraturan yang terus disempurnakan oleh
Mahkamah Agung, tentunya sangat diharapkan bagi para hakim meditor
untuk bekerja lebih efektif lagi menangani masalah perceraian agar
jumlahnya bisa diminimalisir.
Dalam penelitian ini penyusun menjadikan Pengadilan Agama Kota
Salatiga sebagai subjek penelitian dengan alasan Pengadilan Agama Kota
Salatiga terletak di daerah yang setiap tahunnya angka perceraian terus
mengalami peningkatan, seperti yang telas dijelaskan sehingga dengan
penelitian ini dapat diketahui sejauh mana peran dan fungsi lembaga mediasi
(mediator hakim) di Pengadilan Agama Salatiga berperan aktif dalam
menekan jumlah angka perceraian.
5
B. Rumusan Masalah
Pokok masalah dalam pembahasan skripsi ini terkait dengan “Peran dan
Efektivitas Mediator Hakim Dalam Menekan Angka Perceraian Di Pengadilan
Agama Kota Salatiga. Dari pokok masalah ini, selanjutnya akan dikembangkan
menjadi dua sub masalah, yaitu:
1. Bagaimana peran dan efektifitas mediator hakim dalam menekan angka
perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017-2018?
2. Apa faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama
Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini untuk
mengetahui peran dan upaya dalam menekan angka perceraian di Pengadilan
Agama Salatiga;
1. Untuk mengetahui peran dan efektivitas mediator hakim dalam menekan
angka perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017-2018.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi di
Pengadilan Agama Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian
penelitian ini diharapkan dapat memberikan maanfaat atau
pengaruh terhadap peneliti dan yang hendak diteliti:
1. Secara Teoritis
6
Sebagai bahan referensi dan sumbangan pemikiran untuk pembaca
yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut tentang peran mediator hakim
dalam menekan angka perceraian.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu
pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi:
a. Peneliti
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Hukum
Keluarga Islam dan sebagai wawasan ilmu pengetahuan yang berguna
ketika peneliti sudah berperan aktif dalam masyarakat.
b. Masyarakat Umum
sumbangan bagi khazanah keilmuan dan kepustakaan terutama
terkait dengan penelitian serupa yaitu upaya hakim mediator dalam
menekan angka perceraian di Kota Salatiga.
E. Penegasan Istilah
1. Hakim adalah seorang yang mempunyai fungsi mengadili serta
mengatur administrasi pengadilan.
2. Mediator adalah pihak ketiga atau fasilitator yang bersifat netral dan
tidak memihak, yang akan membantu para pihak untuk mencapai
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
3. Mediasi adalah proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian sengketa antara dua pihak.
7
4. Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri
dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara
suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.
F. Penelitian Terdahulu
Untuk memperjelas permasalahan yang diangkat, maka diperlukan kajian
pustaka untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian yang telah ada. Dari
penelusuran yang dilakukan, ditemukan karya ilmiah yang berkenaan dengan
penelitian yang akan dilakukan, di antaranya:
Karya ilmiah dari Ainur Rofiq yang memuat tentang hakim mediasi
berjudul “Penerapan Mediasi di Pengadilan Agama Yogyakarta Pasca SEMA
No. 01 Tahun 2002”, dalam skripsi ini dijelaskan upaya hakim dalam
mendamaikan pihak berperkara melalui jalan mediasi, dengan harapan
perceraian dapat dihindarkan dan dapat memulihkan kembali tujuan perkawinan.
Skripsi berjudul “PRAKTIK MEDIASI PERCERAIAN (STUDI DI
PENGADILAN AGAMA TEMANGGUNG TAHUN 2009-2011)” karya
Muhammad Irfa’i yang menjelaskan faktor pendorong untuk terbantunya
keberhasialan mediasi antara lain, mediasi jangan dianggap sekedar formalitas
tetapi hal yang substansial serta urgen, motivasi adanya penghargaan bagi
mediator yang berhasil memediasi, kultur masyarakat yang tetap menganut
musyawarah mufakat, penekanan pada tujuan pernikahan pada setiap keluarga,
disediakannya ruangan yang kondusif, santai sekaligus memberikan informasi
tentang keluarga yang bahagia, rukun, dan tenteram.
8
Skripsi yang ketiga oleh Intan Atiqoh adalah “Efektifitas Mediasi dalam
Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Klaten), menjelaskan bahwa
proses mediasi yang terjadi cenderung tidak efektif dari tingkat biaya dan
waktu yang cukup lama. Terlebih lagi mediasi memiliki tingkat keberhasilan
yang minim, namun secara kualitatif mediasi dapat mempengaruhi sikap para
pihak dalam persidangan setelah dilakukannya mediasi.
Berdasarkan hasil pembacaan terhadap literatur-literatur tersebut penulis
jadikan sebagai rujukan dan kajian pustaka, sebab berhubungan dengan masalah
yang akan diteliti oleh penulis, namun penelitian yang akan dilakukan penulis
berbeda dengan penelitian yang ada, selain berbeda tempat, penelitian tersebut
masih bersumber pada PERMA No.1 tahun 2008 di mana penulis akan meneliti
permasalahan yang menitikberatkan pada bagaimana peran dan upaya hakim
dalam menekan angka perceraian di Pengadilan Agama Kota Salatiga dan cuga
factor-faktor penghambat keberhasilan mediasi dengan peraturan yang telah
diperbarui yaitu PERMA No.1 tahun 2016 tentang mediasi.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan Skripsi ini penulis akan menggunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dalam arti
data-data diperoleh berdasarkan survai lapangan, yang dilakukan dengan cara
menghimpun informasi-informasi melalui wawancara mendalam (in-depth
9
interview) terhadap sejumlah responden dari hakim mediator di lingkungan
Pengadilan Agama Salatiga.
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang
diteliti dengan sifat hokum yang nyata atau sesuai dengan
kenyataan hidup dalam masyarakat, jadi penelitian dengan
pendekatan empiris harus dilakukan di lapangan, dengan
menggunakan Teknik penelitian lapangan.
b. Pendekatan Yuridis
Penyusun menganalisis hasil penelitian dengan dasar
PERMA No.1 tahun 2016 tentang mediasi beserta peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan PERMA
tersebut.
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Kota Salatiga,
sebab angka perceraian cukup tinggi sehingga sejauh mana fungsi dari
lembaga mediator ini dalam upaya menekan angka perceraian.
4. Sumber data
Karena penelitian ini menggunakan adalah penelitian
lapangan, maka data diambil dari berbagai sumber, yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
10
narasumber, yakni berupa kata-kata dan tindakan dari narasumber. Sumber
data utama ini dicatat dan direkam. Narasumber dipilih dan diurutkan
sesuai kapasitasnya.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu data tangan kedua yang merupakan data
yang diperoleh dari sumber lain, tidak langsung diperoleh dari subyek
penelitiannya, data didapat secara langsung dari bahan-bahan pustaka.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Mengadakan pengamatan langsung terhadap mekanisme mediasi di
Pengadilan Agama Salatiga dan sejauh mana perannya dalam upaya
menekan jumlah perceraian.
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data
dengan teknik komunikasi secara langsung. Wawancara dalam penelitian
ini dengan menggunakan dialog langsung dengan beberapa Hakim
mediator di Pengadilan Agama Salatiga
c. Dokumentasi
Penyusun menggunakan beberapa sumber tertulis dalam penelitian
ini, yaitu: surat keputusan, putusan-putusan perkara, data, dokumen, dan
variabel lain yang berkaitan dengan proses mediasi di Pengadilan Agama
Salatiga serta peraturan perundang-undangan terkait proses mediasi.
11
6. Metode analisis data
Dalam analisis data penulis akan menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu suatu metode dalam meneliti suatu subyek, kondisi, sistem
pemikiran dan suatu relevansi peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
metode ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis dan akurat
mengenai fakta-fakta, dan juga untuk mengetahui sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki. Setelah data terkumpul semua maka penulis
menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut. Analisa data
merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah. Karena dengan
analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah peneletian.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab dan
tiap bab terdiri atas beberapa sub-bab yang masing-masing saling
berkaitan dari awal hingga akhir bab. Adapun Perincian bab yang
dimaksud dari penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan yang menjadi landasan pokok
untuk mengkaji masalah yang akan diteliti. Landasan pokok tersebut
terdiri dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
12
BAB II pada bab ini berisi kajian teoritis yang meliputi: kajian
mengenai peran dan efektifitas, pengertian hakim, meditor dan mediasi
dalam sistem peradilan, dasar hukum mediasi dalam hukum islam dan
hukum positif, tahapan tugas mediator, pengangkatan dan syarat
mediator, prosedur dan tahapan proses mediasi.
BAB III memaparkan tentang hasil penelitian, gambaran tempat
penelitian, prosedur mediasi di Pengadilan Agama Salatiga, hal-hal yang
mendukung dan menghambat keberhasilan mediasi kasus perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga, serta peran dan upaya yang dilakukan hakim
mediator dalam mengatasi problem-problem mediasi dalam menekan angka
perceraian.
BAB IV berisi pembahasan atau analisis terkait dengan temuan data-
data yang didapat saat melakukan penelitian di lapangan dari sisi peran dan
efektifitas mediator hakim dalam menekan angka perceraian.
BAB V merupakan bab terakhir dalam pembahasan Skripsi ini. Bab ini
terdiri dari; kesimpulan dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak
yang terkait dalam penelitian ini.
13
BAB II
KAJIAN PERAN DAN EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Kajian Peran Dan Efektivitas
1. Peran
Istilah “peran” dalam bahasa Inggris disebut the role, berarti
keterlibatan atau keikutsertaan secara aktif dalam suatu proses pencapaian
tujuan yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok yang diorganisir serta
berlandaskan kemampuan dan kemauan yang memadai, turut serta dalam
mewujudkan tujuan dengan rasa tanggung jawab yang dijiwai oleh rasa turut
memiliki atau kesadaran dalam melaksanakan kegiatan (Rafid, 2009: 39).
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, peranan adalah sesuatu
yang menjadi bagian atau memegang pimpinan terutama dalam terjadinya
suatu hal atau peristiwa Peranan dapat diartikan juga sebagai suatu proses
kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan sadar, yang mengikutsertakan
baik jiwa maupun harta bendanya, untuk mendukung terlaksananya suatu
kegiatan tertentu baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Konsep tentang Peran (role) menurut Komarudin (1994: 768), yaitu
sebagai berikut:
a. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen.
b. Pola prilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
c. Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.
14
d. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik
yang ada padanya.
e. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa
peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian
dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran
mengenai hubungan 2 (dua) variabel yang merupakan hubungan sebab akibat.
2. Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah
populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna
atau menunjang tujuan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan
ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran
seperti yang telah ditentukan (Soewarno, 2006: 16).
Efektivitas memiliki arti berhasil atau tepat guna. Efektif merupakan
kata dasar, sementara kata sifat dari efektif adalah efektivitas. Efektivitas
merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target
dapat tercapai. Pendapat tersebut menyatakan bahwa efektivitas merupakan
suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh lembaga atau organisasi dapat tercapai. Hal
tersebut sangat penting peranannya di dalam setiap lembaga atau organisasi
dan berguna untuk melihat perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh
15
suatu lembaga atau organisasi itu sendiri (Sedarmayanti, 2006: 61).
Menurut Soerjono Soekanto (2007: 8), efektif tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini mempunyai arti netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut, yaitu:
a. Faktor hukum itu sendiri (undang-undang)
Maksudnya adalah undang-undang dalam arti materil adalah
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat
maupun daerah yang sah.
b. Faktor penegak hukum
Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, oleh
karena mencangkup mereka yang secara langsung dan secara tidak
langsung berkecimpung dibidang penegakkan hukum.
c. Faktor perilaku masyarakat terhadap penegakan hukum
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penegak hukum adalah
kesadaran hukum msyarakat, maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik, sebaliknya semakin rendah tingkat
kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan penegakan hukum. Kalau semua hal-hal tersebut tidak
terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan tercapai tujuannya.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara
rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan.
Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak
16
tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang
diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif.
Menurut Mahmudi (2005: 92), efektivitas merupakan hubungan
antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output
terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program
atau kegiatan. Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa efektivitas
mempunyai hubungan timbal balik antara output dengan tujuan, semakin
besar kontribusi output, maka semakin efektif suatu program atau
kegiatan.
Efektifitas berfokus pada outcome (hasil), program atau kegiatan yang
dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang
diharapkan atau dikatakan spending wisely, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada table dibawah mengenai hubungan arti efektivitas.
Hubungan Efektivitas
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 =𝑂𝑈𝑇𝐶𝑂𝑀𝐸
𝑂𝑈𝑇𝑃𝑈𝑇 x 100%
Sehubungan dengan hal tersebut, maka efektivitas adalah
menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output yang mengacu
pada hasil guna daripada suatu organisasi, program atau kegiatan yang
menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah
dicapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai
tujuannya dan mencapai target-targetnya. Hal ini berarti, bahwa pengertian
17
efektivitas yang dipentingkan adalah semata-mata hasil atau tujuan yang
dikehendaki.
Berdasarkan pejelasantersebut diatas, maka pengukuran merupakan
penilaian dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya
debgan menggunakan sasaran yang telah tersedia. Jelasnya bila sasaran
atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya
dalah efektif. Jadi, apabila suatu tujuan atau sasaran itu tidak sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan, maka tidak efektif. Efektivitas merupakan
fungsi dari manejemen, dimana dalam sebuah efektivitas diperlukan
adanya prosedur, strategi, kebijaksanaan, program dan pedoman.
Tercapainya tujuan itu adalah efektif sebab mempunyai efek atau
pengaruh yang besar terhadap kepentingan bersama.
B. Kajian Umum Tentang Mediasi
1. Pengertian
a) Hakim
Hakim berasal dari kata dalam bahasa arab yaitu hakimun yang
diambil dari akar kata hakama-yahkumu-hakaman yang artinya
memimpin, memerintah, menetapkan, memutuskan. al-hakimu bisa
diartikan sebagai hakim pengadilan, bisa juga diartikan sebagai orang yang
arif, orang yang bijaksana. Ada juga yang diartikan sebagai orang yang
teliti, orang yang tepat, orang yang sempurna (Munawwir, 2000: 289).
18
Sedangkan menurut undang-undang Republik Indonesia nomer 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan
hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkunganperadilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
b) Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa
tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian,
mediator yang dilibatkan dalam proses mediasi baik perorangan maupun
dalam bentuk lembaga independen yang bersifat netral yang tidak
memihak, karena pemihakan mediator kepada salah satu pihak akan
mengancam gagalnya mediasi. Mediator berupaya menemukan
kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa para pihak (Zaidah, 2010:
29).
Dalam PERMA No.01 Tahun 2016 menyebutkan bahwa mediator
adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai
pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
19
Mediator yang dimaksud dalam PERMA ini adalah mediator yang
menjalankan tugasnya di Pengadilan. Mediator yang bertugas pada
Pengadilan dapat saja berasal dari hakim pengadilan atau dari mediator
luar pengadilan. Hakim mediator adalah hakim yang menjalankan tugas
mediasi setelah ada penunjukan dari ketua majelis
Mediator di Pengadilan Agama adalah hakim yang ditunjuk oleh
majelis hakim yang berusaha untuk mendamaikan perkara yang masuk
ke Pengadilan Agama. Ketua pengadilan menunjuk mediator hakim
yang bukan hakim pemeriksa perkara yang memutus. Pada umumnya
perkara yang dimediasi di Pengadilan Agama adalah perkara
perceraian, poligami dan perkara kebendaan dengan prosedur yang
terdapat pada PERMA No.01 Tahun 2016 yang berlaku untuk Pengadilan
Umum dan Pengadilan Agama, seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat
14, yaitu: “Pengadilan adalah Pengadilan tingkat pertama dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan agama”.
c) Mediasi
Mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif
yang bersifat konsensus. Secara etimologi (bahasa) mediasi berasal dari
bahasa latin yaitu “mediare” yang berarti ditengah “berada ditengah”
karena orang yang melakukan mediasi (mediator) harus berada ditengah
orang yang bertikai. Mediator harus bersikap netral dan tidak memihak
dalm penyelesaian sengketa, ia harus menjaga kepentngan para pihak yang
bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan
20
dari para pihak yang bersengketa (Abbas, 2009: 2).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa
sebagai penasehat. Pengertian mediasi dalam KBBI sendiri mempunyai
tiga unsur penting, pertama, mediasi merupakan penyelesaian sengketa
yang terjadi antara du pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam
penyelesaian sengketa adalah pihak dari luar pihak yang bersengketa.
Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bersifat
sebagai nasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam
pengambilan keputusan.
Di Indonesia, pengertian mediasi secara lebih konkrit dapat
ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No.01 Tahun 2016,
mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Dari ketentuan Pasal 1 PERMA dapat dipahami bahwa esensi dari
mediasi adalah perundingan antara para pihak bersengketa yang dipandu
oleh pihak ketiga (mediator). Perundingan akan menghasilkan sejumlah
kesepakatan yang dapat mengakhiri persengketaan. Dalam perundingan
akan dilakukan negosiasi antara para pihak mengenai kepentingan masing-
masing pihak yang dibantu oleh mediator.
21
2. Dasar Hukum Mediasi
a. Mediasi dalam Islam
Mediasi dalam literatur hukum islam dapat disamakan dengan
“Tahkim” yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang atau pihak
ketiga yang disebut hakam sebagai penengah suatu sengeketa. Tahkim
adalah “menjadikan hakim” atau dapat juga diartikan “berlindungnya dua
pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui
serta rela menerima keputusannya menyelesaikan persengketaanya
mereka (Dahlan, 2001: 720).
Dasar hukum mediasi sebagai usaha untuk mencapai perdamaian,
firman Allah swt. Dalam surah Al-Hujurat: 9
تلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت وإن طائفتان من ٱلمؤمنين ٱقت
فإن تلوا ٱلتي تبغي حتى تفيء إلى أمر ٱلل إحدىهما على ٱلخرى فق
يحب ٱلمقسطين إن ٱلل فاءت فأصلحوا بينهما بٱلعدل وأقسطوا
Artinya: “Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antar keduanya. Jika salah
salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan)
yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan
berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.
Tafsir ayat ini memerintahkan untuk melakukan perdamaian diantara
dua kelompok orang yang beriman. Seruan itu menggunakan lafadz
“ashlihu” berasal dari kata “ishlah-shaluha” yang artinya manfaat,
22
tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat. Ishlah adalah
upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sehingga
manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam kontek hubungan manusia, nilai-
nilai itu tercermin dalam keharmonian hubungan. Jika hubungan diantara
dua pihak retak atau terganggu, akan terjadi kerusakan dan hilang atau
berkurangnya kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Sehingga
menuntut adannya ishlah, yakni perbaikan agar kembali harmonis
sehingga akan menimbulkan kemaslahatan.
Kata damai dalam bahasa Arab juga dikenal dengan al-Sulhu, yang
artinya perdamian, penghentian perselisihan, pengehentian peperangan.
Al-Sulhu dikategorikan sebagai salah satu akad yang berisi perjanjian
antara kedua orang yang berselisih atau mereka yang sedang berperkara
untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara keduanya (Shihab,
2012: 71). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 10
لعلكم إنما ٱلمؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم وٱتقوا ٱلل
ترحمون
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Berdasarkan dua ayat di atas memberikan petunjuk bahwa Alla swt.
Sangat menganjurkan penyelesaian perkara atau sengketa di antara
keluarga atau masyarakat pada umumnya secara damai melalui
musyawarah untuk mencari jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak.
23
Salah satu kegiatan dalam mediasi adalah pada hakekatnya para pihak
melakukan musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan
(Wirhanudin,2014:41).
Landasan Al-Qur’an yang menjelaskan tentang anjuran
menyelesaikan konflik dengan cara mediasi juga terdapat dalam QS. An-
Nisa’: 35.
ن أهلها إن ن أهلهۦ وحكما م وإن خفتم شقاق بينهما فٱبعثوا حكما م
كان ع بينهما إن ٱلل حا يوفق ٱلل ليما خبيرا يريدا إصل
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Juru damai dalam ayat di atas adalah lafadz “hakam”, fungsi
utamanya adalah mendamaiakan. Menurut satu riwayat hakam disini
kedudukannya hanya sebagai penengah yang mendamaikan antara suami
dan istri yang sedang bertingkai. Hakam tidak memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan bercerai atau tidak, kewenangan tetap berada
ditangan pasangan tersebut (Shihab, 2012: 521).
b. Mediasi dalam hukum positif
Beberapa landasan yuridis upaya damai pada lembaga peradilan
mengenai mediasi untuk penyelesaian perkara perdata di Indonesia, yaitu
memiliki dasar hukum sebagai berikut:
24
1) Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas
penyelesaian sengketa adalah musyawarah dan mufakat.
2) HIR Pasal 130/Pasal 154 RBg, tentang kewajiban hakim untuk
mengadakan perdamaian.
3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.01 Tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan
Lembaga Damai.
4) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor.02 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor.01 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
6) Mediasi atau APS Di Luar Pengadilan diatur dalam pasal 6 UU
Nomor.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
7) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor.01 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
3. Tahapan tugas mediator
Dalam menjalankan tugas sebagai seorang mediator, mediator juga
mempunyai sejumlah tahapan tugas dalam proses mediasi. Mediator
memperoleh tugas dan kewengan tersebut dari para pihak dimana mereka
“mengizinkan dan setuju” adanya para pihak ketiga dalam pada upaya
menjaga mempertahankan dan memastikan bahwa mediasi sudah berjalan
sebagaimana mestinya. Pada pasal 14 PERMA Nomor 01 Tahun 2016, dalam
25
menjalankan fungsinya, mediator bertugas:
a. memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk
saling memperkenalkan diri.
b. menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak.
c. menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan.
d. membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak.
e. menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu
pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus).
f. menyusun jadwal mediasi bersama para pihak.
g. mengisi formulir jadwal mediasi.
h. memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian.
i. menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan
berdasarkan skala proritas.
j. memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:
1) menelusuri dan menggali kepentingan para pihak.
2) mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak dan
3) bekerja sama mencapai penyelesaian.
k. membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan
perdamaian.
l. menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak
dapat dilaksanakannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara.
26
m. menyatakan salah satu atau para pihak tidak beriktikad baik dan
menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara.
n. tugas lain dalam menjalankan fungsinya.
4. Pengangkatan dan syarat mediator
Pengankatan mediator sangat tergantung pada situasi dimana mediasi
dijalankan. Bila mediasi dijalankan oleh lembaga formal seperti pengadilan
maupun lembaga penyedia jasa mediasi, maka pengangkatan mediator
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan sedangkan bila mediasi
dijalankan oleh mediator yang berasal dari anggota masyarakat, maka
pengangkatan mediator tidak mengikat dengan ketentuan aturan formal.
Prinsip utama untuk pengangkatan mediator adalah harus memenuhi
persyaratan kemampuan personal dan persyaratan yang berhubungan dengan
masalah sengketa para pihak. Jika persyaratan ini telah di penuhi baru
mediator dapat menjalankan mediasi. Akan tetapi jika ini tdak dipenuhi maka
akan sangat sulit untuk menjalankan mediasi, di sebabkan posisi yang sangat
lemah dan ketidakberdayaannya dalam menerapkan kemampuan personal.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam sistem peradilan, dibantu
oleh mediator. Sehubungan dengan siapa yang dapat bertindak sebagai
mediator dijelaskan dalam PERMA No.01 Tahun 2016 pasal 13 tentang
sertifikasi mediator, yaitu:
a. Setiap mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah
mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator yang
27
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
b. Berdasarkan surat keputusan ketua pengadilan, hakim tidak bersertifikat
dapat menjalankan fungsi Mediator dalam hal tidak ada atau terdapat
keterbatasan jumlah mediator bersertifikat.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara sertifikasi Mediator
dan pemberian akreditasi lembaga sertifikasi Mediator ditetapkan dengan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
5. Prosedur dan tahapan mediasi
Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi, ada beberapa prosedur
mediasi yang dilaksanakan di pengadilan sesuai dengan PERMA No.01 tahun
2016. Adapun prosedur mediasi menurut PERMA No.1 Tahun 2016 adalah
sebagai berikut:
a. Tahap pra mediasi
Pasal 17 PERMA No. 1 Tahun 2016 menerangkan bahwa: “Pada hari
sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, hakim
pemeriksa perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.”
yang dimana harus disertai dengan iktikad baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1), kemudian hakim wajib menunda proses siding
perkara untuk memberi kesempatan para pihak menempuh proses mediasi.
Disamping itu hakim pemeriksa perkara wajib menjelaskan prosedur
mediasi kepada para pihak
28
Dalam Pasal 19 ayat (1) sampai dengan ayat (2) dijelaskan para pihak
berhak memilih seorang atau lebih mediator yang tercatat dalam daftar
mediator di Pengadilan. Jika dalam proses mediasi terdapat lebih dari satu
orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh
para mediator. Honorarium mediator (biaya mediator) di jelaskan dalam
Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang menerangkan apabila para pihak
menggunakan jasa mediator hakim dan pegawai pengadilan tidak
dikenakan biaya, tetapi apabila para pihak menggunakan jasa mediator
nonhakim dan bukan pegawai pengadilan ditanggung bersama atau
berdasarkan kesepakatan para pihak.
Batas waktu pemilihan mediator diatur dalam Pasal 20, yaitu:
1) Setelah memberikan penjelasan mengenai kewajiban melakukan
Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7), Hakim
Pemeriksa Perkara mewajibkan Para pihak pada hari itu juga, atau
paling lama 2 (dua) hari berikutnya untuk berunding guna memilih
Mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan.
2) Para pihak segera menyampaikan Mediator pilihan mereka kepada
Hakim Pemeriksa Perkara.
3) Apabila Para pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua majelis
Hakim Pemeriksa Perkara segera menunjuk Mediator Hakim atau
Pegawai Pengadilan.
29
4) Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat Hakim bukan
pemeriksa perkara dan Pegawai Pengadilan yang bersertifikat, ketua
majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk salah satu Hakim
Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan
mengutamakan Hakim yang bersertifikat.
5) Jika Para pihak telah memilih Mediator sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk
Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), ketua
majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan yang
memuat perintah untuk melakukan Mediasi dan menunjuk Mediator.
6) Hakim Pemeriksa Perkara memberitahukan penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) kepada Mediator melalui panitera pengganti.
7) Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda proses persidangan untuk
memberikan kesempatan kepada Para pihak menempuh Mediasi.
b. Tahapan proses mediasi
Pasal 24 ayat (1) sampai (4) mengenai tahapan proses mediasi,
diawali dengan penyerahan resum perkara dan jangka waktu proses, yaitu
sebagai berikut:
1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5), Para pihak dapat
menyerahkan Resume Perkara kepada pihak lain dan Mediator.
2) Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.
30
3) Atas dasar kesepakatan Para pihak, jangka waktu Mediasi dapat
diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4) Mediator atas permintaan Para pihak mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai dengan alasannya.
Kewajiban beriktikad baik dalam menempuh mediasi diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) dan (2), para pihak atau kuasa hukumnya wajib menempuh
mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak atau para pihak dan/atau
kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh mediator
dalam hal yang bersangkutan;
1) tidak hadir setelah dipanggil secara patun 2 (dua) kali berturut-turut
dalam pertemuan mediasi tanpa alasan sah.
2) menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada
pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua)
kali berturut-turut tanpa alasan sah.
3) ketidak hadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan
mediasi tanpa alasan sah.
4) menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak
menanggapi resume perkara pihak lain.
5) tidak menandatangani konsep kesepakatan perdamaian yang telah
disepakati tanpa alasan sah.
31
Pasal 26 ayat (1) dan (2) atas persetujuan para pihak dan atau kuasa
hukum, mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh
masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat. Para pihak harus terlebih
dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak
mengikat dari penjelasan dan atau penilaian ahli dan atau tokoh
masyarakat.
32
BAB III
PERAN DAN EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pengadilan Agama Salatiga
1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga
a. Masa sebelum penjajahan
Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal sekarang
ini embrionya sudah ada sejak agama islam masuk ke Indonesia.
Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan
kelompok masyarakat yang beragama islam di Salatiga dan Kabupaten
Semarang, masyarakat islam di Salatiga dan di daerah Kabupaten
Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka
menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat oleh
sultan atau raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari waliyul amri
yakni penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang diangkat oleh sultan adalah
alim ulama’ yang ahli di bidang agama islam.
b. Masa penjajahan Belanda sampai dengan Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk pulau Jawa khususnya di Salatiga,
dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan menjalankan
syari’at islam, demikian pula dalam bidang peradilan umat islam Salatiga
dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan keputusannya kepada para
hakim sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan
kenyataan ini.
33
Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus
pegangan hidup masyarakat islam yang sudah mendarah daging di
Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian
pemerintah Kolonial belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische
Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan
masyarakat islam di bidang peradian yaitu berdirinya Raad agama,
disamping itu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan kepada para
bupati yang termuat dalam Staatblad tahun 1820 No. 22 yang menyatakan
bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat
hendaknya diserahkan kepada alim ulama.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun
1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid
Kauman salatiga dengan ketua dan hakim anggotanya diambil dari
alumnus pondok pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang yaitu
K. Salim sebagai Ketua, K. Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan
Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara serta seorang pesuruh.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan
Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.
Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris,
perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu penjajahan
Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga
masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada tahun 1942 sampai
dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang
34
dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga
masih sama.
c. Masa kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan
Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa, kemudian pada tahun 1949,
ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai, kantor yang
ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga
dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang
sama-sama mengunakan serambi masjid sebagai kantor.
Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi
Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga sampai
tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor Pengadilan Agama
Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei 2009 di Jl. Lingkar
Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kemudian kantor lama
digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas. kemudian pada tahun 1953
Ketua dijabat oleh K. Moh Muslih, pada tahun 1963 Ketua dijabat oleh
KH. Musyafa’.Pada tahun 1967 Ketua dijabat oleh K. Sa’adullah, semua
adalah alumnus Pondok Pesantren.
d. Masa berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974
Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi Peradilan
Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga,
namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum
35
mempunyai undang-undang yang mengatur tentang keluarga muslim.
Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973 membawa suhu politik
naik, para ulama dan umat islam di Salatiga juga berjuang ikut
berpartisipasi, akan terwujudnya undang-undang perkawinan, maka
akhirnya terbitlah undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.Setelah secara efektif Undang-
undang Perkawinan berlaku yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975.
Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti
dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin
mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh Pengadilan
Agama.di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang
menjadi kewenangannya. Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai
Talak disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah
(Pengesahan Nikah), karena di Pengadilan Agama Salatiga yang
wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Daerah Kota Salatiga dan
Kabupaten Semarang, maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun
1982 tanggal 2 Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10
Nopember 1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran.
Adapun penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada tanggal 27 April
1984 dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. A.M. Samsudin Anwar
kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa yaitu sebagian wilayah
Kabupaten Semarang dan wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga
36
yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan yaitu:
1. Wilayah Kota Salatiga ada 4 Kecamatan: Kecamatan Sidorejo,
Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir.
2. Wilayah kabupaten Semarang ada 9 Kecamatan: Kecamatan Bringin,
Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan Getasan,
Kecamatan tengaran, Kecamatan Susukan, Kecamatan Suruh,
Kecamatan Pabelan, Kecamatan kaliwungu.
e. Masa berlakunya undang-undang nomor 7 tahun 1989
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 posisi
Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat, Pengadilan Agama berwenang
menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan
Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama
dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Untuk
melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada petugas
Jurusita. Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Pengadilan Agama
ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan pembinaan
dari Departemen Agama RI dan secara teknis Yustisial mendapatkan
pembinaan dari Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan
Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya
menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari segi
fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih ketinggalan
dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang tersedia untuk
37
sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas sumber daya manusia
Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan
Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut harus malalui seleksi
yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.Sejak Pengadilan
Agama mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI mulai
diadakan pemisahan jabatan antara Kepaniteraan dan Kesekretariatan
begitu juga rangkap jabatan antara Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi
para Hakim juga diberi tugas Pengawasan bidang-bidang. Upaya
pembenahan di Pengadilan Agama Salatiga selalu ditingkatkan.
2. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga
Pengadilan Agama Salatiga melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Permohonan.
1) Izin beristri lebih dari satu (poligami).
2) Dispensasi nikah.
3) Wali adhol.
4) Pengangkatan anak/ adopsi.
5) Perubahan nama.
38
b. Gugatan.
1) Cerai.
a) Yang diajukan suami (talak).
b) Yang diajukan istri (gugat).
c) Karena melanggar shighot tahlik talak (khuluk).
2) Pembagian harta bersama.
3) Waris.
4) Ekonomi syariah.
5) Nafkah yang lalu.
6) Pemeliharaan anak (khadhonah).
3. Identitas tempat kegiatan praktikum
Gedung Pengadilan Agama Salatiga yang baru, ditempati sejak tanggal
1 Mei 2009 berdiri di atas tanah seluas 5425 m2, dengan luas bangunan 1300
m2. Status gedung tersebut adalah hak pakai dari Pemerintah RI c.q
Mahkamah Agung RI.Pengadilan Agama Salatiga beralamat di Jalan Raya
Lingkar Selatan, Dusun Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan
Argomulyo, Kota Salatiga. Dengan nomor telepon (0298) 322853, fax (0298)
325243, e-mail web pa-salatiga.co.id., e-mail tabayun
[email protected] dan website www.pa-salatiga.go.id.
39
Pengadilan Agama Salatiga memiliki wilayah yuridiksi sebagai berikut:
a. Wilayah Kota Salatiga
1) Kecamatan Sidorejo, terdiri dari 6 (enam) kelurahan, yaitu: Kelurahan
Pulutan, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Bugel, Kelurahan Salatiga,
Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Sidorejo Lor.
2) Kecamatan Argomulyo, terdiri dari 6 (enam) kelurahan, yaitu:
Kelurahan Cebongan, Kelurahan Ledok, Kelurahan Tegalrejo,
Kelurahan Noborejo, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Randuacir.
3) Kecamatan Tingkir, terdiri dari 5 (lima) kelurahan, yaitu: Kelurahan
Tingkir Tengah, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan Sidorejo Kidul,
Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Gendongan.
4) Kelurahan Sidomukti, terdiri dari 4 (empat) kelurahan, yaitu:
Kelurahan Dukuh, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Kalicacing,
Kelurahan Kecandran.
b. Wilayah Kabupaten Semarang
1) Kecamatan Bringin, terdiri dari 15 (lima belas) desa, yaitu: Desa
Bringin, Desa Popongan, Desa Pakis, Desa Banding, Desa Lebak, Desa
Sendang, Desa Tanjung, Desa Kalijambe, Desa Rembes, Desa
Gogodalem, Desa Tempuran, Desa Wiru, Desa Nyemoh, Desa
Kalikurmo, Desa Sambirejo.
2) Kecamatan Bancak, terdiri dari 9 (sembilan) desa, yaitu: Desa Boto,
Desa Bancak, Desa Wonokerto, Desa Jlumpang, Desa Bantal, Desa
Lembu, Desa Rejosari, Desa Plumutan, Desa Pucung.
40
3) Kecamatan Suruh, terdiri dari 17 (tujuh belas) desa, yaitu: Desa
Kebowan, Desa Beji Lor, Desa Jatirejo, Desa Suruh, Desa Plumbon,
Desa Dersansari, Desa Purworejo, Desa Ketanggi, Desa Medayu, Desa
Reksosari, Desa Sukorejo, Desa Krandon Lor, Desa Bonomerto, Desa
Gunung Tumpeng, Desa Cukilan, Desa Dadapayam, Desa
Kedungringin.
4) Kecamatan Tuntang, terdiri dari 16 (enam belas) desa, yaitu: Desa
Kalibeji, Desa Rowosari, Desa Gedangan, Desa Sraten, Desa Jombor,
Desa Candirejo, Desa Tuntang, Desa Lopait, Desa Karanganyar, Desa
Karangtengah, Desa Tlogo, Desa Tlompakan, Desa Ngajaran, Desa
Delik, Desa Watu Agung, Desa Kesongo.
5) Kecamatan Getasan terdiri dari 13 (tiga belas) desa, yaitu: Desa
Sumogawe, Desa Samirono, Desa Polobogo, Desa Getasan, Desa
Kopeng, Desa Tolokan, Desa Ngrawan, Desa Jetak, Desa Batur, Desa
Wates, Desa Nogosaren, Desa Tajuk, Desa Manggihan.
6) Kecamatan Pabelan terdiri dari 17 (tujuh belas) desa, yaitu: Desa
Ujung-ujung, Desa Kauman Lor, Desa Pabelan, Desa Jimbrak, Desa
Sukoharjo, Desa Bejaten, Desa Kadirejo, Desa Giling, Desa Padaan,
Desa Glawan, Desa Tukang, Desa Bendungan, Desa Karanggondang,
Desa Segiri, Desa Terban, Desa Sumberejo.
7) Kecamatan Tengaran, terdiri 15 (lima belas) desa, yaitu: Desa Klero,
Desa Bener, Desa Butuh, Desa Tegalwaton, Desa Sruwen, Desa
Nyamat, Dasa Tegalrejo, Desa Tengaran, Desa Regunung, Desa Cukil,
41
Desa Barukan, Desa Patemon, Desa Sugihan, Desa Duren, Desa
Karangduren
8) Kecamatan Susukan, tediri dari 13 (tiga belas) desa, yaitu: Desa
Badran, Desa Ketapang, Desa Bakalrejo, Desa Gentan, Desa Koripan,
Desa Tawang, Desa Kenteng, Desa Kemetul, Desa Susukan, Desa
Timpik, Desa Sidoharjo, Desa Muncar, Desa Ngasinan.
9) Kecamatan Kaliwungu, terdiri dari 11 desa, yaitu: Desa Rogomulyo,
Desa Kaliwungu, Desa Papringan, Desa Payungan, Desa Udanwuh,
Desa Mukiran, Desa Pager, Desa Kener, Desa Jetis, Desa Kradenan,
Desa Siwa.
4. Struktur organisasi
Ketua pengadilan : Drs. H. Umar Muchlis
Hakim : 1. Drs. M. Syaifudin Zuhri, S.H.
2. Drs. Silachudin
3. Drs. H. Anwar Rosidi
4. Drs. H. Salim, S.H, M.H.
5. Drs. Moh. Rusdi, M.H
6. Drs. M. Muslih
Panitera : Drs. H. Muhadi
Panitera muda Hukum : Mu’asyarotul A, S.H.
Panitera muda gugatan : Fannanie, S.H.
Panmud permohonan : Handayani, S.H.
42
Panitera pengganti : 1.Hj. Wasilatun, S.H.
2.Mujahidah, S.H.
3.Dra. Hj. Siti Zulaikah
4.Fitri Ambarwati, S.H
Juru sita : M. Nawal Annaji
Juru sita pengganti : 1. Danang Prasetyo N, S.Sy.
2. Ria Hakima Surya, S.H.
3. Syarif Nurul Huda, S.Ag.
4. Badriyah
Sekretaris : Siti Khalimah, S.H.
Kasubag perencanaan, TI, dan : Ruly Arista Wardani, S.Kom.
Pelaporan
Kasubag umum dan keuangan : Suhardi
Kasubag kepegawaian, : Mir’atul Hidayah, S.H.I.
organisasi, dan tata laksana
B. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Salatiga
Dengan ditetapkanya PERMA Nomor 01 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan dalam praktek peradilan di
Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterima, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan
43
yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan,
tetapi sekarang pengadilan juga menampakan diri sebagai lembaga yang
mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Pemberlakuan PERMA tentang mediasi yang terbilang masih baru ini juga
dipraktikan di Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu institusi yang
mempraktikan mediasi, karenanya Pengadilan Agama Salatiga butuh waktu
penyesuaian untuk memaksimalkan tingkat keefektifitas keberhasilan mediasi.
Menurut Bapak Moh Rusdi yang merupakan salah satu hakim mengatakan
bahwa:
“antara PERMA yang lama (PERMA Nomor 01 Tahun 2008) dengan yang
telah diberbarui (PERMA Nomor 1 Tahun 2018) sebenarnya tidaklah jauh
berbeda, hanya saja PERMA yang baru lebih menitik beratkan pada itikad baik
dari kedua belah pihak yang berperkara dengan hadir langsung pada saat proses
mediasi dengan ataupun tidak didampingi oleh kuasa hukum”
Adapun penerapan tahapan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga menurut
data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Tahapan pra mediasi
Dimulai dengan pendaftaran gugatan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Salatiga, kemudian melunasi pembayaran panjar biaya perkara dan
penandatanganan surat kuasa untuk membayar (SKUM) dan dilanjutkan
dengan penunjukan majelis hakim pemeriksa perkara oleh Ketua Pengadilan
Agama dan juga hari sidangnya.
Ketika para pihak hadir dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim
memberikan penjelasan kepada para pihak untuk melaksanakan mediasi
dengan mediator dari hakim Pengadilan Agama atau bisa juga dari luar
44
Pengadilan Agama Salatiga, dan berikut daftar hakim di Pengadilan Agama
Salatiga baik yang sudah memperoleh sertifikasi mediator maupun belum,
yaitu:
No. Nama Hakim Sertifikasi mediasi
1. Drs. H. Umar Muchlis Belum
2. Drs. M. Syaifudin Zuhri, S.H. Belum
3. Drs. Silachudin Belum
4. Drs. H. Anwar Rosidi Belum
5. Drs. H. Salim, S.H, M.H Belum
6. Drs. Moh. Rusdi, M.H Sudah Sertifikasi
7. Drs. M. Muslih Belum
Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri
kedua belah pihak, majelis hakim Pengadilan Agama Salatiga menjelaskan
tentang kewajiban para pihak untuk menempuh proses mediasi dan
keharusan adanya iktikad baik selama menempuh proses mediasi serta
menjelaskan prosedur mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung.
Jika para pihak memilih hakim mediator, para pihak berhak memilih
salah satu atau lebih mediator yang tertera di dalam daftar mediator. Hakim
yang memeriksa perkara tidak boleh ditunjuk sebagai mediator kecuali
dalam hal tidak terdapat mediator lain. Setelah para pihak telah memilih
mediator, ketua majelis hakim pemeriksa perkara menerbitkan penetapan
yang memuat perintah untuk melakukan mediasi dan menunjuk mediator.
45
Hakim pemeriksa perkara memberitahukan penetapan kepada mediator
melalui panitera pengganti. Selanjutnya sidang ditunda untuk memberikan
kesempatan menempuh proses mediasi.
2. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Salatiga
Mediasi dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Agama Salatiga,
atau di tempat lain di luar pengadilan yang disepakati oleh para pihak,
apabila mediator bukan dari hakim. Proses mediasi berlangsung paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi.
Danatas persetujuan para pihak/atau kuasa hukum, mediator dapat
mengahadirkanseorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau
tokoh adat. Pada hari pelaksanaan mediasi yang dihadiri oleh kedua pihak
terlebih dahulu mediator melakukan hal-hal diantaranya berikut:
a. Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk
saling memperkenalkan diri.
b. Menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan.
c. Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian.
d. Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Dalam hal kedua belah pihak tidak hadir maka mediasi ditunda untuk
memanggil para pihak. Apabila telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak
hadir tanpa alasan yang sah, tidak menanggapi atau mengajukan resume, dan
tidak menandatangani konsep kesepakatan perdamaian dapat dinyatakan
46
tidak beriktikat baik oleh mediator dalam hal yang bersangkutan, maka
mediator menyatakan mediasi gagal. Proses mediasi diawali dengan
identifikasi masalah, untuk itu mediator memberi kesempatan kepada kedua
pihak yang hadir untuk menyiapkan ‘resume perkara’ baik secara lisan
maupun tertulis dan jika diperlukan bisa mendatangkan para ahli atau tokoh
masyarakat atas kesepakatan para pihak untuk dimintai pendapat mencari
solusi terbaik bagipara pihak guna tercapainya kesepakatan damai. Setelah
mengidentifikasi permasalahan dan alternatif penyelesaian yang
disampaikan para pihak, mediator menawarkan kepada pihak tergugat
alternatif solusi yang diajukan penggugat dan sebaliknya, untuk dimintai
pendapat.
3. Laporan mediasi
Jika mediasi mencapai kesepakatan atau kesepakatan perdamaian
sebagian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan
kesepakatan tersebut secara tertulis dalam kesepakatan perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Setelah kesepakatan tersebut
disetujui dan ditandatangani para pihak dan mediator, mediator wajib
melaporkan secara tertulis keberhasilan mediasi kepada majelis hakim.
Dalam hal tidak diperoleh kesepakatan, mediator menyatakan proses mediasi
gagal, mediator memberitahukannya secara tertulis kepada hakim pemeriksa
perkara. Setelah menerima pemberitahuan tersebut hakim pemeriksa perkara
segera menerbitkan penetapan untuk melanjukan perkaralewat persidangan.
Dibawah ini penulis akan menyajikan laporan data mediasi setelah
47
diberlakukannya PERMA terbaru di Pengadilan Agama Salatiga pada
tahun2017dan tahun 2018 dalam bentuk table:
Laporan mediasi pengadilan agama salatiga tahun 2017
No Bulan Perkara
Diterima
Perkara
Yang
Dimediasi
Penyelesaian Mediasi
Tidak
Berhasil Berhasil
1 Januari 162 13 13 -
2 Februari 108 10 10 -
3 Maret 127 23 22 1
4 April 96 21 21 -
5 Mei 123 18 18 -
6 Juni 37 16 16 -
7 Juli 163 8 8 -
8 Agustus 152 26 24 2
9 September 142 19 19 -
10 Oktober 124 25 25 -
11 November 137 23 23 -
12 Desember 86 13 13 -
Jumlah 1457 215 212 3
Laporan mediasi pengadilan agama salatiga tahun 2018
No Bulan Perkara
Diterima
Perkara
Yang
Dimediasi
Penyelesaian Mediasi
Tidak
Berhasil Berhasil
1 Januari 150 22 22 -
2 Februari 104 21 21 -
3 Maret 118 17 17 -
4 April 115 18 18 -
5 Mei 82 18 18 -
6 Juni 55 9 9 -
7 Juli 176 11 11 -
8 Agustus 115 26 26 -
Jumlah 915 142 142 0
Melihat data di atas, dimana jumlah perkara yang dimediasi tidak
sebanding dengan perkara yang dimediasi, maka peneliti mengambil
beberapa sampel perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun
48
2017 dan 2018, dimana sebagian besar mediasi tidak bisa dilakukan karena
salah satu pihak tidak hadir saat proses mediasi, perkara tersebut yaitu:
1. Nomor perkara PA.Sal_2017_Pdt.G_052, kedua belah pihak hadir
namun tidak dapat didamaikan atau bisa dikatakan mediasi gagal.
2. Nomor perkara PA.Sal_2017_Pdt.G_0597, termohon tidak hadir.
3. Nomor perkara PA.Sal_2017_Pdt.G_634, tergugat tidak hadir.
4. Nomor perkara PA.Sal_2017_Pdt.G_0640, tergugat tidak hadir.
5. Nomor perkara PA.Sal_2017_Pdt.G_0687, tergugat tidak hadir.
6. Nomor perkara PA.Sal_2018_Pdt.G_0322, tergugat tidak hadir.
7. Nomor perkara PA.Sal_2018_Pdt.G_0378, tergugat tidak hadir.
8. Nomor perkara PA.Sal_2018_Pdt.G_0444, tergugat tidak hadir.
9. Nomor perkara PA.Sal_2018_Pdt.G_0464, tergugat tidak hadir.
10. Nomor perkara PA.Sal_2018_Pdt.G_0476, tergugat tidak hadir.
Dalam menentukan efektif tidaknya mediasi sebenarnya bisa dilihat
dari dua segi, yakni dari segi penggunaan, dan dari segi hasilnya. Dari segi
penggunaan adalah bahwa mediasi berfungsi untuk mendamaikan para pihak
dengan berharap gugatan dapat dicabut, mediasi juga dapat berfungsi untuk
memisahkan para pihak dengan cara yang baik, serta meminimalisir tingkat
pertengkaran antar kedua belah pihak yang bersengketa walaupun pada
kenyataan tingkat kesadaran para pihak untuk datang dalam proses mediasi
masih sangat rendah. Jadi dari tahun 2017 s/d Agustus 2018, mediasi di
Pengadilan Agama Salatiga masih perlu diupayakan lagi.
49
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan mediasi
Dari banyaknya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Salatiga, di
dominasi oleh perkara perceraian, dilihat dari kurun waktu 3 tahun terakhir, yaitu
tahun 2016, 2017, dan 2018, faktor penyebab tingginya angka perceraian dari
tahun ke tahun lebih karena faktor ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, dan
sudah tidak adanya keharmonisan dalam berumah tangga karena sering
terjadinya konflik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa hakim mediator
yangmerupakan hakim Pengadilan Agama Salatiga, dapat dijelaskanbahwa
faktor-faktor yang mendukung keberhasilan mediasi adalah sebgai berikut:
1. Adanya itikad baik dari para pihak dan adanya sikap yang kooperatif dari
para pihak yang memang mempunyai keinginan untuk berdamai. Itikad baik
para pihak akan memudahkan mediasi, karena mereka akan mudah
menerima masukan-masukan dari mediator, tapi sekeras apapun mediator
berusaha untuk mendamaikan para pihak sedangkan para pihak memang
tidak memiliki itikad untuk rukun maka bediasi itu tidak akan berhasil.
Menurut salah satu hakim, Bapak Salim, beliau mengatakan bahwa:
” Dasar utama atau inti keberhasilan mediasi itu adalah kedua belah
pihak punya etikat untuk berdamai, itu intinya, kalau salah satu pihak tetap
bersikeras bahwa apapun yang terjadi dia tetap ingin bercerai, maka ya
sudah, mediasi pasti gagal. Kita hanya memberika masukan, memberikan
nasehat dan sebagainya tetap tidakakan berhasil, tapi kalau kedua belah
pihak masih punya itikat baik, artinya masih membuka ruang untuk
berdialok, itu masih mungkin berhasil.
2. Adanya bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan agar
terciptanya perdamaian. Artinya pihak keluarga juga ikut berperan mencari
50
jalan keluar atau solusi agar kedua belah pihak yang perperkara supaya bisa
berdamai.
3. Adanya tempat untuk mediasi yang nyaman dan kondusif untuk para pihak
yang sedang dimediasi agar para pihak bias lebih tenang dan tidak tegang.
4. Tentunya hakim mediator dengan kemampuan, keahlian dan kepiawaianya
dalam menyelesaikan masalah dan hakim mediator bisa dengan sabar
memberikan nasehat dan waktu yang cukup untuk para pihak dalam
menguraikan masalahnya. Kemampuan mediator mengelola konflik dan
berkomunikasi sehingga dapat mengupayakan adanya titik temu antara para
pihak akan mudah mendorong terjadinya perdamaian. Oleh karena itu,
kemampuan seorang mediator berpengaruh akan keberhasilan mediasi.
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat keberhasilan mediasi
perceraiadi pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Keinginan kuat para pihak untuk bercerai dan tidak ada niatan untuk
berdamai, para pihak menganggap bahwa Pengadilan Agama adalah tempat
untuk bercerai dan merupakan upaya terakhir, bukan tempat untuk mecari
solusi atau nasehat kepada orang yang memiki pengetahuan dan pemahaman
dibidang perkawinan. Kedatangan para pihak ke pengadilan Agama biasanya
terjadi setelah adanya upaya perdamaian terlebih dahulu dari pihak keluarga,
karena di Indonesia sendiri masih berpegang teguh pada adat. Berbeda
dengan negara yang hanya berpedoman pada hukum negaranya
51
2. Sudah terjadi konflik berkepanjangan dan sangat rumit, konflik yang terjadi
antara para pihak sudah terjadi terlalu lama sehingga menjadi sangat rumit.
Sehingga saat mediasi para pihak tidak dapat meredam emosinya, sehingga
para pihak tidak dapat lagi menerima masukan-masukan dari mediator dan
merasa paling benar. Bahkan ada saat dimana pihak Penggugat sudah tidak
bisa lagi memaafkan tergugat ataupu sebaliknya.
Karena masalah kelurga adalah masalah hati, sedangkan hati adalah
tempat yang paling tidak menentu dalam diri manusia. Apabila hati ini
disakiti, maka sebaik apapun mediasi yang dilaksanakan tidak akan menuju
pada kerukunan rumah tangga kembali, apalagi sebelum bercerai, biasanya
para pihak sudah menemukan pengganti, sehingga keinginan untuk bercerai
sangat besar.
3. Rendahnya tingkat kesadaran dan komunikasi di antara para pihak untuk
menyelesaiakan sengketanya melalui mediasi, mereka menganggapbahwa
penyelesaian melalui persidangan (litigasi) merupakan solusi terbaik yang
harus diambil untuk menyelesaiakan perkara yang dihadapi.
4. Kekecewaan yang mendalam salah satu pihak, kondisi ini sering kali
menjadi hambatan bagi mediator untuk mendamaikan kedua belah pihak,
kekecewaan yang sangan mendalam menyebabkan penggugat menjadi tidak
ingin melanjutkan ikatan perkawinannya. Sehingga tidak ada pilihan lain
selain mengakhiri perkawinannya. Dan tidak bisa memaafkan salah satu
pihak
52
5. Para pihak sering menunjukkan iktikad tidak baik dimana ketika jadwal
mediasi sudah ditetapkan ada salah satu pihak yang tidak menghadiri
mediasi dengan berbagai alasan dan diwakilkan kepada kuasa hukumnya,
sehingga untuk tercapainya keberhasilan mediasi kemungkinannya kecil
karena salah satu pihak tidak menghadiri mediasi secara langsung yang
menjadi faktor penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama
Salatiga. Banyak juga pihak yang kooperatif akan tetapi sifatnya hanya
formalitas saja guna mempercepat proses persidangan
6. Para pihak tidak kunjung menemukan kesepakatan, maksudnya selama
pertemuan para pihak tidak bisa mencari solusi bisa membuat para pihak
berdamai walaupun sudah dibantu oleh mediator, alhasil mediasi berakhir
dengan kegagalan karena tidak adanya solusi yang menguntungkan dan
disetujui kedua belah pihak.
7. Kemampuan mediator itu sendiri, mediator harus memiliki kemampuan
mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga dapat mengupayakan
adanya titik temu antara para pihak akan mendorong terjadinya perdamaian.
Oleh karena itu, kemampuan seorang mediator berpengaruh akan
keberhasilan mediasi. Diperlukan pula ketelitian mediator untuk
mengungkap masalah diantara para pihak dan kebijaksanaan dari mediator,
sehingga para pihakberhasil menyelesaiakan masalah dengan baik dan
damai. Dalam fakta di lapangan bahwa hanya ada satu hakim mediator di
Pengadilan Agama Salatiga yang bersertifikat, oleh karena itulah dibutuhkan
adanya pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI agar para
53
hakim mediator dapat mengikuti pelatihan mediasi agar memiliki
kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator serta mengetahui
tehnik-tehnik memediasi yang hanya dapat diperoleh melalui pelatihan,
dengan kemampuan yang lebih baik serta tehnik yang benar diharapkan
nantinya mediator dapat mengefektifkan mediasi
D. Upaya yang Dilakukan Hakim Mediator Pengadilan Agama Salatiga
dalam mengatasi Problem dalam Mediasi
Dalam menjalankan proses mediasi, hakim mediator diberikan kebebasan
untuk menciptakan sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak
menemukan kesepakatan yang dapat mengakhiri sengketa mereka. Mediator
harus sungguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah
kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan mereka.
Kesungguhan para hakim mediator di Pengadilan Agama Salatiga dapat dilihat
dari upaya dan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengatasi beberapa
problem mediasi perceraian diatas. Adapun upaya dan langkah-langkah hakim
mediator tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memberikan penjelasan kepada para pihak yang ingin bercerai tentang
manfaat dan keutamaan mediasi. Pada persidangan pertama majelis hakim
yang memeriksa perkara wajib memberikan penjelasan kepada para pihak
mengenai pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016, dimana majelis
hakim menekankan tentang keharusan para pihak untuk menjalani mediasi
terlebih dahulu dalam menyelesaikan perkaranya sebelum dilanjutkan ke
persidangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 PERMA Nomor 1 Tahun
54
2016, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong
para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
2. Memberikan nasehat bagi para pihak untuk tidak bercerai baik melalui
pendekatan agama dan sosial, pertama-tama seorang mediator harus
mengetahui terlebih dahulu inti permasalahannya dengan menanyakan
langsung kepada pihak yang berperkara tanpa menyinggung perasaan dari
para pihak dan itu juga tergantung dari itikad baik dari para pihak,
permasalahan bisa dicari solusinya jika mereka yang berperkara bisa
kooperatif
3. Memberikan solusi terbaik bagi kedua belah pihak, mediator tetap
mengusahakan agar kedua belah pihak tidak bercerai, namun apaila proses
mediasi gagal dan para pihak tetap ingin bercerai, maka tetap dicarikan solusi
sebaik-baiknya untuk mereka tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.
4. Mengingatkan para pihak akibat yang timbul setelah terjadi perceraian.
Apabila perceraian terjadi maka para pihak yang bercerai tidak lagi bisa
saling mengayomi satu satu sama lain, tidak bisa lagi saling berbagi kasih
sayang, bangunan rumah tangga tidak lagi kokoh dan otomatis kebahagiaan
akan sirna, disamping anak tidak terurus dengan baik karena kedua orang
tuanya tidak bisa mendidik secara bersama-sama. Hal ini dapat terjadi karena
antara suami isteri tidak dapat lagi berkerjasama diakibatkan perceraian
diantara keduanya.
55
BAB IV
ANALISIS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
A. Analisis Peran dan Efektivitas Mediator Hakim
Mengenai peran dan tingkat kefektifan pemberlakuan perma ini bisa
dikatakan belum begitu efektif. Seperti yang diutarakan para hakim sebagai
mediator di Pengadilan Agama Salatiga, sejak diberlakukannya Perma No.1
tahun 2016 di Pengadilan Agama Salatiga belum ada peningkatan keberhasilan
mediasi yang signifikan dan cenderung stagnan. Proses mediasi yang belum
efektif di Pengadilan Agama Salatiga ini dikarenakan terdapat beberapa faktor
penyebab ketidakefektifan mediasi yaitu faktor masyarakat yang masih rendah
akan pentingnya perdamaian serta anggapan bahwa syarat mediasi itu hanya
sebatas formalitas saja yang menimbulkan tingkat keberhasilan mediasi
tergolong rendah. Terlebih dalam kasus perceraian yang sulit untuk
didamaikan. Upaya yang dilakukan oleh hakim dalam mengatasi hambatan-
hambatan para pihak belum mampu menciptakan mediasi yang efektif, hal ini
dikarenakan faktor para pihak sendiri yang memang sudah tidak mau adanya
perdamaian. Pernyataan dari para mediator hakim di Pengadilan Agama
Salatiga dikuatkan dengan data yang penulis dapatkan dari panitera. Laporan
data mediasi pada tahun 2017 adalah sebesar 215 perkara yang dimediasi, dari
215 perkara yang dimediasi tersebut yang berhasil dimediasi hanya 3 perkara.
Sisanya tidak berhasil dimediasi (gagal di tengah jalan karena kurangnya
iktikad baik) dan gagal saat proses mediasi sudah dilaksanakan. Sedangkan
pada tahun sebelum tahun 2018 sampai bulan Agustus perkara yang dimediasi
56
adalah sebesar 142 perkara, dari 142 perkara tersebut belum ada satu
mediasipun yang berhasil didamaikan, Artinya jika dibandingkan laporan
mediasi tahun 2017, pada tahun 2018 keberhasilan mediasi mengalami
penurunan. Berdasarkan teori efektifitas hukum yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto, efektif tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 3 (tiga) unsur
atau faktor. Pertama, faktor hukum itu sendiri atau subtansi hukum (legal
subtance), dalam hal ini adalah Perma No.1 tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan. Kedua, berkaitan dengan faktor penegak hukum atau
format yang mencakup unsur-unsur kelembagaan, penegakan, pelayanan,
pengelolaan hukum pada umumnya, seperti badan pembentuk undang-undang,
peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan administrasi negara yang mengelola
pembentukan atau pemberian pelayanan hukum dan lain sebagainya. Ketiga,
faktor dari masyarakat itu sendiri, berkenaan dengan sikap-sikap dan nilai-nilai
terhadap hukum, sikap tersebut berkaitan dengan sikap budaya pada umumnya,
karenanya akan memberi pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah
laku yang berkaitan dengan hukum. Dari ketiga unsur tersebut bisa menjadi
alat ukur tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga. Berikut
adalah penguraian mengenai analisa efektifitas mediasi:
a. Faktor hukum itu sendiri (undang-undang)
Faktor hukum ini mencakup berbagai aturan formal, aturan yang
hidup dalam masyarakat (the living Law) dan berbagai produk yang timbul
akibat penerapan hukum. Subtansi hukum (legal substance) dalam hal ini
adalah Perma No.1 tahun 2016. Landasan yuridis Perma No.1 Tahun 2016
57
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah peraturan perundang-
undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Perma merupakan pelengkap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang tentang Mahkamah
Agung
Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang
berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan.
Kekuasaan dan kewenangan itu diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimanan telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Menyebutkan bahwa; “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-
hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.
Dimana dalam penjelasannya berbunyi, “Apabila dalam jalannya
peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal,
Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap
untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum dalam jalannya
peradilan”. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentukan
Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-
58
undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan.
Perma No.1 tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Salatiga. Dengan ditetapkannya Perma No.1
tahun 2016 di pengadilan, telah terjadi perubahan fundametal dalam
praktek mediasi di peradilan. Perma No.1 tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum mengikat dan daya paksa
dalam perkara perdata bagi para pihak yang berperkara di pengadilan,
dimana jika ada para pihak yang tidak menempuh mediasi maka putusan
pengadilan menjadi batal demi hukum. Hal paling baru dari Perma 2016
adalah ditekankannya pada iktikad baik dari para pihak, dengan adanya
iktikad baik inilah diharapkan proses mediasi akan berjalan dengan efektif
dan efesien. Akibat hukum apabila tidak beriktikad baik dari penggugat
maka gugatan dinyatakan tidak diterima oleh hakim pemeriksa perkara
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 01 Tahun
2016 tentang akibat hukum apabila para pihak tidak beriktikad baik dan
juga dikenai kewajiban pembayaran biaya mediasi.
b. Faktor penegak hukum
Faktor penegak hukum berkaitan dengan bentuk atau format yang
mencakup unsur-unsur kelembagaan, penegakan, pelayanan, pengelolaan
hukum pada umumnya, seperti badan pembentuk undang-undang,
peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan administrasi negara yang mengelola
pembentukan atau pemberian pelayanan hukum dan lain sebagainya.
59
Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, dalam
hal ini adalah hakim mediator dan pelayanan hukum yang ada.
Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara, sangat sejalan dengan tuntunan dan ajaran Islam. Islam selalu
menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui
pendekatan Ishlah (fa aslikhu baina akhwaikum). Karena itu, layak sekali
para hakim Pengadilan Agama menyadari dan mengemban fungsi
“mendamaikan”. Sebab bagaimanapun adilnya putusan, namun akan lebih
baik dan lebih adil hasil perdamaian. Seadil-adilnya putusan yang
dijatuhkan hakim, akan dianggap dan dirasa adil oleh pihak yang menang,
lain halnya dengan perdamaian, hasil perdamaian yang tulus berdasarkan
kesepakatan bersama dari pihak yang bersengketa, terbebas dari
kualifikasi menang dan kalah. Mereka sama-sama menang dan sama-sama
kalah atau win-win solution, sehingga kedua belah pihak pulih dalam
suasana rukun dan persaudaraan.
Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses mediasi,
gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang
ditampilkan mediator. Didalam Perma No.1 Tahun 2016 Pasal 13 ayat (1)
dijelaskan bahwa setiap mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat
mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam
pelatihan sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah
Agung. Namun dalam prakteknya Pengadilan Agama Salatiga masih
60
belum bisa memenuhi apa yang menjadi amanat dari pasal tersebut karena
sebagian besar hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum memiliki
sertifikat mediator dari Mahkamah Agung atau lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
Salah satu unsur pendukung mediasi adalah kemampuan
professional mediator. Keadaan mediator di Pengadilan Agama Salatiga
sampai saat ini masih didominasi oleh hakim yang diberi tugas untuk
menjalankan fungsi mediator berdasarkan surat penetapan ketua
pengadilan dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah mediator
bersertifikat tanpa keterampilan yang mumpuni dalam melaksanakan
tugas mediator terutama yang belum pernah mendapatkan pelatihan
mediator secara profesional. Dari jumlah hakim di Pengadilan Agama
Salatiga yang ditetapkan menjadi hakim mediator 7 (tujuh) orang yang
telah memiliki sertifikat mediator hanya 1 (satu) orang. Hakim yang
melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat paling tidak
memiliki tingkat kemampuan dan keberhasilan lebih dibanding yang
melaksanakan fungsi mediator namun tidak bersertifikat.
Sedangkan dalam pelayanan hukum dalam hal ini kaitannya dengan
fasilitas ruang mediasi. Pengadilan Agama Salatiga hanya terdapat satu
ruang yang mungkin ukurannya tidak terlalu luas tapi cukup nyaman
dimana di dalamnya terdapat satu meja panjang dan kursi menyesuaikan
para pihak yang akan dimediasi, dalam ruang tersebut dilakukan proses
mediasi dengan waktu kurang lebih 30 menit karena harus bergantian
61
dengan yang lain yang sudah menunggu giliran dimediasi. Fasilitas ruang
mediasi di Pengadilan Agama Salatiga yang mana hanya terdapat satu
ruangan bisa dibilang kurang ideal dan tidak sebanding dengan jumlah
para pihak berperkara yang akan melakukan mediasi, para pihak sering
terlihat mengantri. Dari faktor tersebut bisa menjadi kendala belum
optimalnya proses mediasi di Pengadilan Agama Salatiga.
c. Faktor perilaku masyarakat terhadap penegakan hukum
Kepatuhan masyarakat terhadap hukum sangat dipengaruhi ole
kesadaran masyarakat terhadap hukum itu sendiri. dalam hal ini kesadaran
para pihak mengenai pentingnya perdamaian atau mediasi di Pengadilan
Agama Salatiga masih rendah. Ada suatu kecenderungan yang kuat dalam
masyarakat untuk mematuhi hukum oleh karena rasa takut terkena sanksi
apabila hukum itu dilanggar. Banyak dari para pihak yang kooperatif,
namun sikap tersebut mereka lakukan agar proses mediasi cepat selesai
hingga dapat dilanjutkan ke proses persidangan selanjutnya. Karena para
pihak banyak yang mengikuti mediasi hanya sebagai formalitas saja.
Sehingga esensi dari mediasi atau perdamaian itu tidak ada. Dalam hal
mediasi di pengadilan agama kita ketahui pencari keadilan adalah umat
islam, nilai-nilai islam menjadi sarat pedoman dalam kehidupan
masyarakat muslim. Namun pemahaman masyarakat yang rendah
terhadap upaya damai menyebabkan pelaksanaan mediasi di Pengadilan
Agama Salatiga kurang efektif. Masyarakat sebagai pendukung
berjalannya sistem hukum mediasi di pengadilan bersikap enggan untuk
62
melaksanakan mediasi. Berdasarkan apa yang didapat oleh peneliti
keengganan para pihak untuk dimediasi karena permasalahan yang sudah
komplek sehingga sulit untuk didamaikan. Dalam agama islam perceraian
adalah perbuatan yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah. Masyarakat
(para pihak) beranggapan penyelesaian perkara dengan jalan damai dan
hasilnya adalah perceraian dipandang lebih bermaslahat dan menjadi jalan
terbaik bagi para pihak ketimbang terus terjadi percecokan terus-menerus
yang akan menyebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Demikian 3 (tiga) unsur utama keberhasilan mediasi menurut Soerjono
Soekanto yang dijadikan penulis sebagai salah satu alat ukur penelitian ini.
Konsep efektivitas sistem hukum yang telah diuraikan diatas paling tidak
merupakan tawaran ide yang apabila diterapkan akan mampu menunjang
kinerja lembaga peradilan di Indonesia. Efektif tidaknya penegakan hukum ini,
terkait erat dengan efektif tidaknya semua unsur atau faktor tersebut
dijalankan. Apabila unsur-unsur tersebut tidak berjalan efektif maka
penegakan hukum akan sulit terealisasikan.
Melihat unsur-unsur dalam sistem hukum diatas tidak semua unsur
memenuhi konsep sistem hukum yang dikemukakan, sehingga sulit untuk
tercapai keberhasilan mediasi. Ketidak efektifan mediasi tersebut terlihat jelas
dari laporan data mediasi, jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama
Salatiga, dan jumlah perkara yang diputus di Pengadilan Agama Salatiga.
Kemudian mengacu pada efektivitas mediasi secara kuantitatif menurut
Mahmudi (2005: 92), efektivitas berfokus pada hasilnya, apabila tujuan yang
63
diharapkan memenuhi target maka dapat dikatakan efektif, begitupun
sebaliknya. Tingakat efektifitas dihitung dari jumlah keberhasilan mediasi
kemudian dibagi dengan jumlah perkara yang dimediasi dan dikalikan seratus
persen (100%) untuk mengetahui jumlah persentase keberhasilannya.
Dari data yang ada pada tabel bab sebelumnya dapat dilihat perkara yang
masuk di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2017 adalah sebesar 1.744,
dari jumlah perkara keseluruhan yang dimediasi dan keberhasilan mediasi
dapat dilihat pada laporan mediasi tahun 2017, angka persentasi
keberhasilannya bisa dikatakan sangat kecil, jumlah perkara yang dimediasi
pada tahun 2017 sebesar 215 dan yang berhasil dimediasi hanya 3 perkara, jika
dipersentasikan tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga
pada tahun 2017 adalah jika dihitung berdasarkan rumus efektivitas, yaitu
jumlah keberhasilan (3 perkara) dibagi dengan jumlah perkara yang dimediasi
(215 perkara), maka hasilnya adalah sekitar 1,3 %. Sedangkan pada tahun
tahun 2018 perkara yang dimediasi sampai pada bulan agustus adalah sebesar
142 perkara, dari 142 perkara tersebut yang belum ada perkara yang berhasil
dimediasi, jika dipersentasikan keberhasilannya tentu saja 0%. Artinya jika
dibandingkan laporan mediasi tahun 2017, pada tahun 2018 keberhasilan
mediasi mengalami penurunan. Jadi dapat dikatakan tingkat keberhasilan
mediasi pasca diterbitkannya PERMA No.1 tahun 2016 tetap masih sangat
minim.
Penulis berkesimpulan faktor dominan penghambat tidak efektifnya
mediasi di Pengadilan Agama Salatiga yaitu sebagian besar dari para pihak
64
berperkara yang masih rendah akan kesadaran mengenai pentingnya
perdamaian. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pihak yang tidak beriktikad
baik dalam proses mediasi. Padahal dalam Perma No.1 tahun 2016 sudah diatur
mengenai keharusan para pihak menempuh mediasi dengan iktikad baik dan
akibat hukum tidak beriktikad baik bagi para pihak, namun nampaknya
peraturan tersebut tidak berdampak banyak terhadap keberhasilan mediasi. Hal
ini menurut para mediator hakim dikarenakan pihak berperkara di Pengadilan
Agama Salatiga yang sebagian besar adalah perkara perceraian umumnya
permasalahannya sudah komplek ibarat penyakit sudah kronis, para pihak
datang ke pengadilan dengan tujuan untuk bercerai dan bukan untuk
didamaikan, sehinggga keberhasilan mediasi sulit diwujudkan. Beda halnya
dengan perkara gono-gini (harta bersama) atau waris yang menyangkut
kebendaaan umumnya berhasil dimediasi.
keberhasilan mediasi hendaknya tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif
tapi juga kualitatif. Seperti dalam mediasi perkara perceraian yang terkait
dengan masalah perasaan, bukan masalah harta benda yang mudah untuk
dibagi sebagai hasil kesepakatan. Jika para pihak bersepakat untuk cerai dan
cerainya dilakukan dengan damai dan tanpa konflik, maka mediasinya
dianggap berhasil. Dasar argumennya adalah kalau seseorang tidak jadi
bercerai, maka lakukanlah dengan cara yang makruf, dan jika terjadi perceraian
maka lakukanlah dengan cara yang baik. Perceraian dalam Islam adalah
sesuatu yang halal namun dibenci Allah
65
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil beberapa poin untuk
dijadikan kesimpulan atas masalah yang dibahas dalam skripsi ini, antara lain
yaitu:
1. Peran mediator dalam penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan
Agama Salatiga belum maksimal dalam penyelesaian perkara perceraian,
dimana dari tujuh hakim hanya ada satu yang mempunyai sertifikat, proses
mediasi yang hanya dilakukan sekali dan hanya berlangsung sebentar, dan
juga bisa dikarenakan karena biaya dimana mediasi dilakukan tanpa adanya
biaya, jadi seakan-akan proses mediasi dilakukan hanya sebagai formalitas
untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan.
Mediasi setelah PERMA Nomor 1 tahun 2016 di Pengadilan Agama
Salatiga belum begitu efektif. Ini dapat dilihat pada laporan mediasi tahun
2018 jumlah perkara yang dimediasi samapi bulan Agustus adalah sebesar
142 dan dan belum ada yang berhasil, jika dipersentase tingkat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2018 adalah 0%.
Sedangkan pada tahun sebelumnya atau tahun 2017 perkara yang dimediasi
adalah sebesar 215 perkara dan dari 215 perkara tersebut yang berhasil
dimediasi sebesar 3 perkara, jika dipersentasikan keberhasilannya 1,3 %.
Artinya jika dibandingkan laporan mediasi tahun 2017, pada tahun 2018
keberhasilan mediasi belum mengalami peningkatan. Jika dikaitkan dengan
66
tiga faktor efektivitas hukum, yakni undang-undang, penegak hukum, dan
faktor masyarakat itu sendiri tidak semuanya memenuhi klasifikasi yang
terdapat dalam ketiga faktor tersebut terutama unsur penegak hukum dalam
hal ini adalah mediator dan faktor dari masyarakatitu sendiri yang merupakan
faktor yang paling dominan menghambat efektivitas keberhasilan mediasi.
2. Faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi, yaitu keinginan kuat para
pihak untuk bercerai dan tidak ada niatan untuk berdamai karena sudah terjadi
konflik berkepanjangan dan sangat rumit dan para pihak tidak kunjung
menemukan kesepakatan karena mengalami kekecewaan yang mendalam
dirasakan salah satu pihak, kemudian karena rendahnya tingkat kesadaran dan
komunikasi di antara para pihak untuk menyelesaiakan sengketanya melalui
mediasi, dan juga para pihak sering menunjukkan iktikad tidak baik sperti
tidak pernah hadir saat persidangan maupun saat proses mediasi.
Dari sisi mediator mediator itu sendiri seharusnya lebih professional dalam
menjalankan tugasnya, melihat bahwa hanya satu hakim yang bersertifikat
tentu saja sangat mempengaruhi proses mediasi karena banyaknya jumlah
perkara, karena hakim pemeriksa perkara tidak bisa menjadi mediator dari
perkara yang ditangani, tentu saja majelis akan menunjuk hakim lain yang
tidak mempunyai sertifikat sebagai mediator yang tentu saja kemampuannya
berbeda dengan yang sudah mempunyai sertifikat.
67
B. SARAN
Penyusun dalam melaksanakan penelitian ini banyak menemukan hal-hal
yang kiranya perlu diperbaiki lebih lanjut. Oleh sebab itu, penyusun ingin
memberikan saran-saran sebagaimana berikut;
1. Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat tertinggi, perlu adanya
tindakan lanjut dan perhatian terhadap peningkatan mediator yang kompeten
dan telah lulus uji dengan mengantongi sertifikat mediator, terutama di
Pengadilan Agama Salatiga yang hanya mempunyai satu hakim yang
bersertifikat, mediator yang berkompeten sedikit banyak berpengaruh
terhadap hasil mediasi.
2. Kepada para mediator hakim yang menangani perkara supaya berusaha
semaksimal dan seprofesional mungkin untuk memberikan pencerahan
kepada para pihak, karena mediasi merupakan produk islami dalam rangka
penyelesaian dalam sengketa di Pengadilan. Oleh sebab itu, mediasi melalui
mediator harus dilaksanakan secara optimal sebagai sebuah proses ijtihad
demi mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi kedua
belah pihak yang bersengketa.
3. Di Pengadilan Agama Salatiga sangat diperlukan tambahan mediator,
dikarenakan hanya ada satu hakim yang memiliki sertifikat mediator, maka
perlu adanya tambahan mediator dari luar pengadilan atau mediator non-
hakim yang lebih professional dan lebih maksimal dalam melaksanakan
tugasnya.
68
4. Bagi masyarakat umum, khususnya pasangan suami isteri yang rentan akan
perceraian perlu mengetahui, bahwa perceraian bukanlah sebagai jalan
terakhir bagi masalah rumah tangga yang menimpa. Oleh sebab itulah kenapa
mediasi wajib dilaksanakan dalam perkara perceraian, melainkan bertujuan
untuk menghasilkan solusi lain yang malah menguntungkan masing-masing
pihak. Bukankah pernikahan yang dulunya terjadi adalah karena hasil
kesepakatan bersama dan dengan ridhonya Allah SWT, maka mediasi adalah
jalan terbaik untuk memperoleh solusi dan kesepaatan bersama sebelum
terjadinya perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,
Dan Hukum Nasional.Jakarta: kencana.
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Fuady, Munir. 2005. Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa
Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Komarudin. 1994. Ensiklopedia Manajemen.Jakarta: Bumi Aksara.
Lubis, Sulaikin. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
Jakarta: Kencana.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Munawwir. 2000. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberti.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
Rachmadi, Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar
Pengadilan.Bandung: PT Citra Adtya Bakti.
Saifullah, Muhammad. 2007. Sejarah Dan Perkembangan Mediasi Di Indonesia,
Semarang: WMC.
Sedarmayanti. 2006. Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja.Bandung:
Mandar Maju.
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Soekanto, Soerjono. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Raja Grafindo.
Soekanto, Soerjono. 2007. Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soewarno, hadayaningrat. 2006. Ilmu Administrasi Dan Manajemen. Jakarta:
Gunung Agung.
Sugiyono. 2007. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
2
Tim Pustaka Phoenix. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Media
Pustaka Phoenix.
Wirhanuddin. 2014. Mediasi Perspektif Hukum Islam. Semarang: Fatawa
Publishing.
Yarotul, Yayah, Salamah. 2010. Medisi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan
Agama. Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi.
Zaidah, Yuzna. 2015. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Dan Arbitrase
Syari’ah Di Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
3
LAMPIRAN
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14