penyuluhan pada petani lahan marjinal: kasus adopsi ... · penyelenggaraan penyuluhan perlu menjadi...
TRANSCRIPT
PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING
DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
KURNIA SUCI INDRANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat “ adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2010
Kurnia Suci Indraningsih NIM I362060121
ABSTRACT
KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Extension of Farmers in Marginal Land: The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry-Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province. Under supervision of BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, and HARI WIJAYANTO
Marginal land in Indonesia is potential for agribusiness development. At present, 17.1 million hectares or 22.8 percent of dry-land areas is cultivated for agriculture. Objectives of this research were to analyze the factors affecting: (1) perceptions of farmers towards extension, (2) farmers' perceptions on innovation characteristics, (3) the decision of farmers in adopting the technology, (4) farmers’ performance, and (5) strategies for planned changes on farmers in marginal lands. The research used an explanatory survey method. Units of analysis were individuals, and the sample farmers were the respondents. The population in this study was all farmers in the villages of the districts of Talaga (Cianjur Regency) and Jatiwangi (Garut Regency). Number of samples was determined using Slovin’s formula with total samples of 302 respondents. Sampling method of this research employed that of stratified random. Data were collected from December 2008 to March 2009. Analyses of the data consisted of: (1) descriptive data analysis: frequency distribution, Odds ratio, and (2) inferential data analysis: Pearson correlation, multiple regression, and path analysis. Results of the study showed that (1) Factors influencing the perception of adopting-farmers toward extension were mobility, intelligence, and risk-taking levels, and cooperation, while those for non-adopting farmers were purchasing power, cooperation, exposure to the media, and availability of financial facilities; (2) Factors influencing the perception of adopting farmers’ on innovation characteristics were income level, land use, attitude toward change, competence and role of extension agents, while those for non-adopting farmers were intelligence, risk-taking, and cosmopolite levels, inputs availability, and marketing facilities; (3) Factors affecting farmers’ decisions to adopt technology for adopting farmers were relative advantage, compatibility of technology, and farmers' perceptions on media influence/ interpersonal information, while those for non-adopting farmers were conformity and complexity of technology, and the farmers’ perceptions on media influence/ interpersonal information; (4) Factors affecting the performance of both adopting and non-adopting farmers were the farmers' decisions in using production facilities; and (5) Formulation of sustainable agricultural extension strategies in marginal land areas should take into account the characteristics and communication behavior of targeted audiences (farmers), supporting business climate, and both central and local governments’ policies.
Keywords: innovation characteristics, integrated farming, marginal land
RINGKASAN
KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, dan HARI WIJAYANTO
Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang luas, namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha. Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan. Pada tahun 2008, penggunaan lahan untuk tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha, lahan ladang/huma adalah 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah 14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha, sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada. Lahan kering dapat dikelola untuk usaha produktif yang dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan kering, melalui kegiatan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi. Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh petani yang tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat petani yang menolak inovasi teknologi tersebut.
Untuk mengadopsi teknologi, petani memerlukan modal yang lebih besar dan mengubah kebiasaan bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko besar. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempenga-ruhi keputusan petani dalam mengadopsi teknologi; (4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani; dan (5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi yang adaptif sesuai dengan preferensi petani.
Penelitian menggunakan metode survai yang bersifat eksplanasi. Unit analisis adalah individu, petani responden penelitian. Populasi dalam penelitian adalah semua petani yang berada di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut. Penentuan jumlah sampel petani menggunakan rumus Slovin sebanyak 302 petani
responden, masing-masing 93 petani di Cianjur dan 209 petani di Garut (petani adopter sebanyak 137 dan petani non adopter sebanyak 165). Pengambilan sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling), dengan stratifikasi petani adopter dan petani non adopter. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara, dengan menggunakan kuesioner yang telah memenuhi persyaratan kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dari sumber lain (informan kunci) adalah penyuluh, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung untuk verifikasi. Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif: distribusi frekuensi dan rasio Odds, serta (2) analisis inferensial: korelasi Pearson, regresi ganda, dan analisis jalur.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Melalui kegiatan penyuluhan yang intensif, persepsi petani terhadap manfaat penyuluhan dapat ditingkatkan, yang semula tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani (mobilitas, luas lahan, intelegensi, dan sikap terhadap perubahan), serta perilaku komunikasi (kerjasama, kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media); (2) Persepsi petani terhadap inovasi teknologi menunjukkan peningkatan yang berarti jika pada inovasi teknologi tersebut terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal ataupun usahatani terpadu. Peningkatan persepsi petani terhadap inovasi akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat sifat berani mengambil resiko dan lebih berorientasi ke luar sistem sosialnya (kosmopolit). Faktor penting yang menunjang peningkatan persepsi petani terhadap inovasi adalah ketersediaan input (sarana produksi), sarana pemasaran (termasuk sistem pemasaran yang baik); (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi adalah manfaat langsung dari teknologi yang berupa keuntungan relatif (termasuk keuntungan ekonomi yang lebih tinggi), kesesuaian teknologi terhadap nilai-nilai sosial budaya, cara dan kebiasaan berusahatani, kerumitan penerapan teknologi, serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani; (4) Keputusan petani dalam berusahatani ditentukan oleh keunggulan ekonomi komoditas, penggunaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja. Keunggulan komoditas yang didukung dengan ketersediaan input (sarana produksi) dan keterjangkauan daya beli petani terhadap input mempengaruhi kinerja usahatani yang dikelola petani; (5) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk mengatasi masalah kelambatan adopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Rumusan strategi ini perlu didasarkan pada karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak sasaran (petani), dukungan iklim usaha dan dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan penyuluhan perlu menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada kebutuhan petani.
Kata kunci: karakteristik inovasi, usahatani terpadu, lahan kering marjinal
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING
DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
KURNIA SUCI INDRANINGSIH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup: 1. Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. (Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc. (Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. H. R. Margono Slamet (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) 2. Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi Suradisastra (Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
Judul Disertasi : Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat
Nama : Kurnia Suci Indraningsih
NIM : I362060121
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota
Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S. Anggota
Diketahui
Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 23 September 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, sehingga penulisan disertasi dengan judul “ Penyuluhan pada Petani
Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat” ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setulusnya kepada
Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A., Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto,
M.Sc., Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari, dan Bapak Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S.
sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberikan bimbingan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada:
(1) Bapak Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. dan Bapak Dr. Ir.
Bambang Sayaka, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi
Pembimbing dalam Ujian Tertutup, serta memberikan saran-saran perbaikan.
(2) Bapak Prof. Dr. H. R. Margono Slamet dan Bapak Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi
Suradisastra yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing
dalam Ujian Terbuka, serta memberikan saran-saran perbaikan.
(3) Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, Ibu
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. dan jajarannya yang telah memberikan pelayanan
akademik kepada penulis.
(4) Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membimbing penulis
selama mengikuti perkuliahan.
(5) Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP),
Bapak Prof. (Ris) Dr. Tahlim Sudaryanto yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti program S3 di IPB.
(6) Bapak Prof. Dr. Zairin Yunior, Ibu Prof. Dr. Aida Vitayala S. Hubeis, dan
Prof. (Ris) Dr. Pantjar Simatupang yang telah memberikan rekomendasi
kepada penulis, sebagai syarat pendaftaran pada Sekolah Pascasarjana IPB.
(7) Para petani responden di Desa Talaga-Cianjur, Desa Jatiwangi-Garut, para
penyuluh BPP Kecamatan Cugenang, BPP Kecamatan Pakenjeng, tenaga
detasir Prima Tani Cianjur (Ir. Aup Pahruddin) dan Garut (Atik Kurniadi),
manajer Prima Tani Cianjur (Ir. Euis Rokayah, M.P) dan Garut (Ir. Endjang
Sudjitno, M.P) yang telah memberikan data dan informasi pada penelitian ini.
(8) Fhebi Irliyandi, S.Pi, Putriana, S.Pi., Lalu Nova, Cecep Alinurdin, Putut
Purwanto, dan Titania Aulia yang telah membantu enumerasi dalam kegiatan
penelitian ini.
(9) Bapak Sjafi’i Kartosoebroto (alm), Ibu Sutji Sulastri (alm) dan kakak-kakak,
serta keluarga besar Bapak Darmosuwito (alm) yang telah mendoakan dan
memberikan dorongan moril kepada penulis.
(10) Suami (Dr. Tatag Budiardi) dan anak-anak (Titania Aulia dan Diardian
Febiani) yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
(11) Rekan-rekan peneliti PSE-KP dan rekan-rekan mahasiswa PPN-IPB yang
telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan sumbangan
pemikiran kepada penulis.
Penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Oktober 2010
Kurnia Suci Indraningsih
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 7 Oktober 1963 sebagai anak
keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak Sjafii Kartosoebroto dengan Ibu
Sutji Sulastri. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1986.
Pada tahun 1999 penulis melanjutkan studi pada Program Magister Sains pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada tahun 2002 dengan
beasiswa on going dari Agriculture Research Management-Project (ARM-P)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2006, penulis dengan
sumber beasiswa dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian memperoleh kesempatan mengikuti
program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1987-1991 penulis bekerja sebagai staf pada Sub Direktorat
Pengembangan Pelabuhan, Direktorat Bina Prasarana, Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta. Sejak tahun 1991 penulis bekerja
sebagai staf peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(PSE-KP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian di Bogor.
Artikel berjudul “Kinerja Penyuluh dari Perspektif Petani dan Eksistensi
Penyuluh Swadaya Sebagai Pendamping Penyuluh Pertanian PNS (Studi Kasus di
Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat)” akan diterbitkan pada Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari
disertasi penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xix
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ...................................................................................... 1 Masalah Penelitian ................................................................................. 3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 5 Kegunaan Penelitian ............................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu ............................ 7 Karakteristik Petani ............................................................................... 12
Tingkat Rasionalitas ...................................................................... 13 Tingkat Intelegensi ....................................................................... 15 Sikap terhadap Perubahan ........................................................... 16
Perilaku Komunikasi Petani.................................................................... 17 Kerjasama ..................................................................................... 17 Tingkat Kekosmopolitan .............................................................. 18 Keterdedahan terhadap Media ...................................................... 19
Dukungan Iklim Usaha .......................................................................... 19 Penyuluhan ............................................................................................ 22
Kompetensi Penyuluh ................................................................... 26 Peran Penyuluh ............................................................................. 29 Materi/Program Penyuluhan ........................................................ 31 Metode Penyuluhan ..................................................................... 33
Persepsi ................................................................................................. 35 Inovasi ................................................................................................. 37 Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi.................................................. 39
Ciri-ciri Inovasi ........................................................................... 40 Kecepatan Adopsi Inovasi............................................................. 42
Saluran Komunikasi ............................................................................... 46 Keputusan Petani ................................................................................... 48 Kinerja Usahatani .................................................................................. 49
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ................................................ 51
Kerangka Berpikir................................................................................... 51 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 53
METODE PENELITIAN ................................................................................. 55
Rancangan Penelitian.............................................................................. 55 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 55 Populasi dan Sampel ............................................................................. 57 Data dan Instrumentasi ......................................................................... 58
Data .............................................................................................. 58 Instrumentasi ................................................................................ 59
Kesahihan dan Keterandalan ................................................................ 59 Kesahihan ..................................................................................... 59 Keterandalan ................................................................................. 60
Peubah Penelitian .................................................................................. 61 Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah ...................................... 62 Analisis Data ......................................................................................... 73
Analisis Korelasi Pearson ............................................................. 74 Analisis Regresi Ganda ................................................................ 75 Analisis Jalur (Path Analysis) ..................................................... 75
Pengolahan Data ................................................................................... 77
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 78
Keragaan Wilayah Penelitian.................................................................. 78 Kabupaten Cianjur ........................................................................ 78 Kabupaten Garut ........................................................................... 81
Karakteristik Petani ................................................................................ 84 Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ............................................ 84 Karakteristik Pribadi Petani .......................................................... 95
Perilaku Komunikasi Petani ................................................................... 101 Kerjasama ..................................................................................... 101 Tingkat Kekosmopolitan .............................................................. 103 Keterdedahan terhadap Media ...................................................... 104
Dukungan Iklim Usaha .......................................................................... 106 Ketersediaan Sarana Produksi (Input) .......................................... 107 Ketersediaan Fasilitas Keuangan .................................................. 109 Ketersediaan Sarana Pemasaran ................................................... 114
Persepsi Petani terhadap Penyuluhan .................................................... 117 Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh .......................... 119 Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh ..................................... 124 Persepsi Petani terhadap Materi Penyuluhan ............................... 131 Persepsi Petani terhadap Metode Penyuluhan .............................. 134
Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, dan Dukungan Iklim Usaha dengan Persepsi Petani terhadap
Penyuluhan ........................................................................................ 136 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap
Penyuluhan ........................................................................................ 142 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi .............................................. 152
Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi Usahatani Terpadu ................................................................................. 152
Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur ........................................ 153 Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut ...................................... 153 Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif .............................. 155 Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi................................ 158 Persepsi Petani terhadap Kerumitan Inovasi ................................. 160 Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diujicoba .............. 162 Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diamati ................. 163
Persepsi Petani terhadap Pengaruh Media/Informasi ............................. 164 Persepsi Petani terhadap Media Massa ........................................ 164 Persepsi Petani terhadap Informasi Interpersonal ........................ 165
Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, Dukungan Iklim Usaha, dan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan dengan Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi ............................. 166
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi .............................................................................................. 170
Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi ........................................ 184 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam
Mengadopsi Inovasi ........................................................................... 186 Kinerja Usahatani .................................................................................. 191 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usahatani ......................... 200
Manfaat Usahatani Terpadu ......................................................... 205 Pengetahuan Petani Non Adopter terhadap Usahatani Terpadu .. 207
Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan pada Lahan Kering Marjinal untuk Peningkatan Kinerja Usahatani ................................ 210
Justifikasi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan .......................... 210 Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan .............................. 213 Masukan .................................................................................... 213 Proses ......................................................................................... 215 Keluaran .................................................................................... 223 Dampak ...................................................................................... 225
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 227
Kesimpulan ............................................................................................ 227 Saran ....................................................................................................... 228
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 230
LAMPIRAN ................................................................................................... 242
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja ................................ 13
2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan ............ 34
3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar ................. 35
4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi ................... 44
5 Karakteristik saluran komunikasi ............................................................. 47
6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian ......... 58
7 Hasil uji keterandalan instrumen penelitian dengan tenik belah dua........ 61
8 Sub peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani ................... 63
9 Sub peubah, indikator dan pengukuran perilaku komunikasi petani ...... 66
10 Sub peubah, indikator dan pengukuran dukungan iklim usaha ............... 67
11 Sub peubah, indikator dan pengukuran penyuluhan ............................... 69
12 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi ...................................................................................................... 70
13 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap pengaruh informasi/media ........................................................................................ 72
14 Sub peubah, indikator dan pengukuran keputusan ................................... 72
15 Sub peubah, indikator dan pengukuran kinerja usahatani ....................... 73
16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian .......................... 80
17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian ...................... 83
18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat .................................................................................. 85
19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ................................................................ 88
20 Rata-rata biaya produksi usahatani per hektar .......................................... 94
21 Karakteristik pribadi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat .................................................................................. 95
22 Perilaku komunikasi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................................................................ 102
23 Dukungan iklim usaha di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................................................................ 107
24 Tempat petani melakukan transaksi jual beli .......................................... 116
25 Jumlah penyuluh pertanian berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenjang jabatan tahun 2008 ............................................ 118
26 Persepsi petani terhadap penyuluhan di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat.................................................................................. 120
27 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat .......................................................................................................... 141
28 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa
Barat ......................................................................................................... 143
29 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut,
Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 146
30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 150
31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ............................................... 154
32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ............................... 155
33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ....................................................................... 156
34 Persepsi petani terhadap pengaruh media informasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ................................................... 165
35 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 168
36 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur
dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................................ 171
37 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................................ 173
38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani adopter dan petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ......... 175
39 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 175
40 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 178
41 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ............................................... 180
42 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ...................................... 182
43 Keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat .................................................................................. 186
44 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 187
45 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 189
46 Kinerja usahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ......................................................................................................... 193
47 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ........................................ 199
48 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat .................................. 201
49 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter di Kab. Cianjur dan Kab. Garut,
Prov. Jawa Barat ....................................................................................... 202
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984) ........................ 36
2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993).................. 43
3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marginal 54
4 Model spesifik dari path analysis (Bryman dan Gramer, 1990) .............. 76
5 Model pengaruh antar peubah dalam penelitian ...................................... 77
6 Sub peubah - sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan ............................................................................................... 147
7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan ..................................................... 151
8 Peubah-peubah yang mempengaruhi petani terhadap ciri-ciri inovasi .... 177
9 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi ......................................................................................... 179
10 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi ........................................................................... 181
11 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi ............................................................. 183
12 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi ...................................................................................................... 188
13 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani adopter dalam adopsi inovasi ........................................................................................... 190
14 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani non adopter dalam adopsi inovasi ................................................................................ 191
15 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani ................ 201
16 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani adopter....................................................................................................... 203
17 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani non adopter....................................................................................................... 205
18 Diagram pohon adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu .................... 208
19 Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan pada lahan kering marjinal untuk peningkatan kinerja usahatani ........................................................ 226
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Cianjur .......................................... 243
2 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Garut ............................................. 244
3 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur .................................................................................. 245
4 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ................................................................................... 246
5 Tata guna lahan di Kabupaten Cianjur ................................................... 248
6 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur .................................................................................................... 248
7 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Cianjur .......................... 249
8 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Cianjur ................. 249
9 Tata guna lahan di Kabupaten Garut ...................................................... 250
10 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Garut 250
11 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Garut ............................. 251
12 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Garut .................... 251
13 Distribusi rumah tangga pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai ................................................................................................... 252
14 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur .............................. 253
15 Daftar pertanyaan petani ....................................................................... 255
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang relatif luas,
namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Lahan pertanian marjinal
telah diidentifikasi sebagai areal yang digunakan untuk pertanian, penggembalaan
ternak dan atau agroforestry. Di Indonesia lahan pertanian marjinal diantaranya
lahan kering, dibedakan berdasarkan ketinggian tempat (dataran rendah dan
dataran tinggi). Luas lahan kering yang memungkinkan untuk pengembangan
pertanian mencapai 75,1 juta ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, 2001). Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan
baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha.
Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk
pengembangan tanaman pangan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Pada tahun 2008,
penggunaan lahan di Indonesia untuk lahan tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha,
lahan ladang/huma 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah
14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha
atau sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada (Badan Pusat
Statistik, 2009).
Karakteristik lahan pertanian marjinal dicirikan dengan tingkat kesuburan
tanah yang rendah (defisiensi nutrisi, keasaman, salinitas, dan kapasitas
kelembaban rendah). Masyarakatnya tidak mempunyai aksesibilitas terhadap
komunikasi, tidak mempunyai mobilitas terhadap aspek sosial dan ekonomi,
rapuh (kapasitas penyerapan input yang rendah, rasio input-output yang tinggi,
kapasitas bertahan terhadap gangguan terbatas. Kondisi lahan mudah rusak
sampai kerusakan yang tidak dapat diubah) dan heterogen, keragaman fisik dan
budaya dengan kendala yang spesifik dan peluang penerapan teknologi secara
umum terbatas atau adanya kelembagaan untuk meniadakan kendala atau
memanfaatkan peluang (World Bank, 1999).
Lahan kering yang merupakan lahan pertanian marjinal, dapat dikelola
untuk usaha produktif, sebagaimana diungkap oleh hasil penelitian Swastika et al.
(2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya lahan pertanian
2
marjinal dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian. Masyarakat di
lahan ini mengandalkan sumber pendapatan rumah tangga tertinggi berasal dari
sektor pertanian dan kesempatan kerja non-pertanian adalah relatif kecil. Pola
tanam yang umum dilakukan pada petani lahan kering di Bali adalah padi-
palawija atau padi-sayuran ditambah usaha ternak babi, ataupun sapi dan ayam
buras.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan lahan kering, melalui
kegiatan penelitian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi, antara lain
teknologi pengendalian erosi lahan berlereng, teknologi rehabilitasi dan reklamasi
lahan kering, teknologi pengelolaan bahan organik tanah, serta teknologi hemat
air dan irigasi suplemen. Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal
menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang
dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian cenderung
lambat, bahkan menurun. Teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk diketahui oleh 50 persen
Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). Tenggang waktu sampainya informasi dan
adopsi teknologi tersebut di tingkat petani tentu diperlukan waktu lebih lama lagi.
Kesenjangan antara subsistem penyampaian dan subsistem penerimaan inovasi
merupakan penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat
adopsi inovasi (Badan Litbang Pertanian, 2004).
Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah
diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh masyarakat petani yang
tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil
modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah
disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat
petani yang menolak inovasi teknologi tersebut. Ketidakpastian dukungan input
dan pemasaran hasil yang terkait dengan harga jual menyebabkan petani lebih
bertahan menggunakan teknologi lokal (termasuk indigenous technology) atau
teknologi yang telah digunakan sebelumnya. Sarana dan prasarana pendukung
kurang memadai serta keterlibatan penyuluh dalam proses difusi inovasi adalah
rendah. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan usaha petani di lahan kering yang
didominasi oleh skala usaha kecil yang masih lemah di berbagai bidang seperti
3
keterbatasan aset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi, sehingga tidak mampu
berkembang secara mandiri dan dinamis.
Mencermati fakta empiris dari kehidupan petani lahan kering marjinal yang
tergolong miskin, timbul pertanyaan mengapa petani tetap bertahan menetap di
wilayah tersebut? Apakah faktor internal seperti fatalistik, motivasi yang rendah
dan kurang berorientasi pada masa depan demikian melekat pada diri petani atau
faktor eksternal di luar diri petani yang dominan? Seperti gambaran masyarakat
pedesaan pada umumnya, petani lahan kering menjunjung tinggi solidaritas
masyarakat, penghargaan terhadap tata nilai yang berkembang di masyarakat,
budaya gotong royong, dan guyub dengan sesama petani. Keseluruhan hal
tersebut merupakan faktor yang membuat petani nyaman dalam mengelola lahan
kering yang marjinal. Meskipun beberapa inovasi teknologi telah diperkenalkan,
namun tampak petani masih menghadapi berbagai kendala dalam penerapannya.
Untuk mendapatkan jawaban ataupun solusi permasalahan tersebut, perlu
dilakukan penelitian sebagai upaya mengidentifikasi teknologi yang sesuai dengan
kebutuhan petani. Langkah ini akan efektif bila disertai dengan upaya penyuluh
yang berperan aktif dalam melakukan diseminasi. Pertanyaan mendasar yang juga
perlu digali jawabannya adalah transformasi perilaku petani dalam mengelola
lahan kering marjinal, sehingga kehidupan petani menjadi lebih baik.
Masalah Penelitian
Banyak lahan kering marjinal yang telah bisa diperbaiki melalui inovasi
teknologi dan telah ada upaya untuk mempromosikannya. Kenyataan
menunjukkan masih terdapat petani yang menolak inovasi teknologi yang
diperkenalkan. Untuk itu perlu dipertanyakan faktor-faktor penyebab, yang
menekankan pada perilaku petani. Rogers (2003) mengemukakan karakteristik
inovasi teknologi mencakup: (1) keuntungan relatif (relative advantage) terutama
keuntungan ekonomi minimal meningkat berkisar antara 25-30 persen; (2)
kesesuaian (compatibility) yang terkait dengan nilai-nilai dan kepercayaan sosial
budaya, inovasi yang telah diperkenalkan sebelumnya serta kebutuhan petani
terhadap inovasi; (3) kerumitan (complexity); (4) dapat diujicoba (trialability ); dan
(5) dapat diamati (observability).
4
Meskipun beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa hasil analisis
ekonomi dengan menerapkan inovasi teknologi diperoleh peningkatan pendapatan
melebihi 30 persen, namun fakta menunjukkan masih ada petani yang tidak
menerapkan teknologi tersebut. Mengikuti pendapat Rogers (2003), dalam
komponen keuntungan relatif selain keuntungan ekonomis, juga mencakup biaya
awal yang rendah, resiko yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, hemat
tenaga dan waktu, serta imbalan yang dapat segera diperoleh. Aspek non
ekonomis yang perlu diperhatikan adalah prestise sosial dan penerimaan sosial.
Seberapa jauh ciri-ciri inovasi teknologi yang diperkenalkan telah
dipertimbangkan, apakah terdapat kesenjangan antara teori (sebagaimana yang
dikemukakan Rogers, 2003 tentang difusi inovasi) dengan fakta empiris?
Mengingat fakta di lapangan, masih terdapat kesenjangan antara teknologi yang
dianjurkan dengan teknologi yang dibutuhkan petani. Keterkaitan dengan proses
penyuluhan yang telah berlangsung apakah sudah benar, peran penyuluh dalam
menyampaikan inovasi apakah telah memahami prinsip-prinsip penyuluhan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengubah teknologi, petani memerlukan
modal yang lebih besar. Di samping itu, mengubah kebiasaan bukan merupakan
pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko terlalu besar. Hal ini terkait dengan
masalah sosial budaya. Semakin kecil skala usaha petani, maka petani semakin
takut dengan resiko karena kegagalan panen akan berpengaruh pada masalah
ketahanan pangan.
Hasil penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian antara 1990-
1993 menunjukkan bahwa intensitas dan besaran kemiskinan di kawasan pedesaan
beragroekosistem lahan kering perbukitan secara umum lebih tinggi dan lebih
besar dibanding kawasan pedesaan beragroekosistem persawahan atau dataran
rendah. Berbagai permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan spesifik yang
diidentifikasi sebagai berikut:
(1) Bagaimana persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor apa yang
berpengaruh terhadap pembentukan persepsi tersebut?
(2) Bagaimana persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani
terpadu yang diperkenalkan, dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap
pembentukan persepsi tersebut?
5
(3) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam
mengadopsi teknologi?
(4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja usahatani petani?
(5) Bagaimana merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana
terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi
teknologi usahatani terpadu yang adaptif sesuai dengan preferensi petani?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan:
(1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut.
(2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu
yang diperkenalkan, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan persepsi tersebut.
(3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
mengadopsi teknologi.
(4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani.
(5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan terencana terhadap petani
pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi usahatani terpadu
yang adaptif sesuai dengan preferensi petani.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik berupa
sumbangan pemikiran bagi pengembangan:
(1) Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam upaya membuktikan bahwa petani
pada lahan kering marjinal mempunyai karakteristik yang khusus yang
berbeda dengan yang lainnya, sehingga memerlukan pendekatan penyuluhan
yang berbeda. Selanjutnya diusahakan membangun strategi penyuluhan untuk
perubahan terencana bagi petani lahan kering marjinal.
(2) Inovasi teknologi spesifik lokasi dengan mempertimbangkan teknologi
sebelumnya yang telah digunakan, sehingga sesuai dengan preferensi petani.
Kegunaan lain, diharapkan dari kegiatan penelitian ini dapat memberikan
manfaat praktis berupa:
6
(1) Masukan untuk bahan pertimbangan kepada instansi pemerintah yang
memiliki mandat dalam merancang inovasi teknologi bagi masyarakat petani
lahan kering marjinal, dan instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam
melaksanakan penyuluhan.
(2) Bahan pertimbangan untuk meningkatkan wawasan bagi masyarakat/
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, penyuluh/agen
pembaruan dan pelaku dunia usaha dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (petani) pada lahan kering marjinal.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu
Suatu teknologi dapat dikatakan tepatguna apabila memenuhi kriteria: (1)
secara teknis mudah dilakukan, (2) secara finansial (bahkan ekonomi)
menguntungkan, (3) secara sosial budaya diterima masyarakat, dan (4) tidak
merusak lingkungan (Swastika, 2004). Untuk itu perlu diupayakan
mengidentifikasi teknologi dan sistem usahatani yang sesuai dengan kondisi
agroekosistem dan mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal.
Beragamnya sumber pendapatan rumah tangga petani perlu dipandang sebagai
suatu kekuatan yang harus dikembangkan, terutama usaha non-pertanian, ke arah
yang bersifat usaha mandiri. Selain itu, sumberdaya pertanian yang dikuasai
petani (terutama di lahan kering dan sawah tadah hujan) perlu dikelola secara
optimal, sehingga menjadi sumberdaya yang produktif dan mampu meningkatkan
pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga tani. Sistem usahatani
terpadu (integrated farming system) sebagai salah satu upaya penganekaragaman
sumber pendapatan dari sektor pertanian, sekaligus pemanfaatan sumberdaya
secara optimal.
Sistem usahatani terpadu merupakan revolusi konvensional dari usahatani
peternakan, perikanan, hortikultura, agro-industri dan kegiatan-kegiatan lain di
beberapa negara, khususnya di wilayah tropikal dan sub tropikal yang tidak
gersang. Secara keseluruhan usahatani di belahan dunia ini tidak menunjukkan
kinerja yang baik kecuali jika ditambahkan input yang relatif besar agar diperoleh
hasil yang berkelanjutan dan seringkali berkompromi dengan aspek keberlajutan
ekologis maupun aspek ekonomi. Sistem usahatani terpadu dapat mengatasi
kendala tersebut melalui pemecahan masalah terbaik tidak hanya dari aspek
ekonomi dan ekologis, bahkan menghasilkan bahan bakar, pupuk dan bahan
pangan di samping peningkatan produktivitas. Hal ini dapat mengubah sistem
usahatani yang telah dilakukan selama ini, khususnya di negara-negara miskin
dalam memperhatikan aspek ekonomi dan sistem keseimbangan ekologi, tidak
hanya mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat mencegah bencana (Chan, 2003).
8
Usahatani terpadu dapat diartikan sebagai suatu sistem usahatani yang
terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi dan terintegrasi satu
dengan lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Usahatani terpadu terdiri dari
cabang-cabang usahatani padi, palawija, ternak dan ikan yang dilakukan secara
terpadu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Sistem usahatani tanaman-ternak (SUTT) telah lama dilaksanakan oleh
sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ciri utama SUTT adalah
keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai
pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman.
Oleh sebab itu, SUTT umumnya diterapkan di daerah di tempat terdapatnya
perbedaan yang nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK)
dengan bulan kering lebih dari tiga bulan berturut-turut. Jerami padi, jerami
jagung, dan limbah tanaman kacang-kacangan, bahkan daun pisang, jerami
bambu, dan sebagainya merupakan pakan alternatif saat rumput alami kurang
tersedia pada MK. Tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli
jerami padi dari luar desa, luar kecamatan, bahkan dari luar kabupaten. Di Kediri,
Jawa Timur, petani-peternak bekerja sebagai pemanen jagung hibrida pada MK
dengan upah limbah tanaman jagung (Fagi et al., 2004).
Hasil kajian Bulu et al. (2004) menunjukkan bahwa sistem usahatani
terpadu tanaman-ternak dengan penggunaan teknologi sederhana yang telah
dilakukan petani saat ini merupakan bagian dari bentuk budaya petani. Usaha
agribisnis, termasuk sistem usahatani tanaman-ternak di Lombok, merupakan
usaha agribisnis rumah tangga dengan segala keterbatasannya. Keterbatasan-
keterbatasan sumberdaya tersebut menghambat pengembangan usaha.
Kelembagaan pertanian di pedesaan selama ini belum dimanfaatkan dalam
pengembangan inovasi teknologi sistem usahatani tanaman-ternak. Sistem
usahatani terpadu tanaman-ternak meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.
Kontribusi pendapatan dari usaha peternakan mencapai 40,6 persen dari total
pendapatan. Namun demikian kontribusi nyata tersebut tidak diikuti oleh
peningkatan investasi usaha peternakan. Aliran modal secara timbal balik antara
usaha tanaman dan peternakan relatif kecil, karena keuntungan yang diperoleh
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (pangan dan non pangan).
9
Pengelolaan atau pemilikan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan masalah
utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas usahataninya.
Pengembangan model sistem usahatani tanaman-ternak introduksi perlu
memperhatikan kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan
teknologi lokal serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Mengutip pendapat Getz dan Warner (2006), dengan meningkatnya
teknologi untuk pengaturan lingkungan pertanian menstimulir peningkatan
perhatian terhadap sistem usahatani terpadu dan bentuk partisipasi penyuluhan.
Kemitraan pertanian-lingkungan menjadi strategi utama sebagai strategi
pencegahan polusi pertanian di California, menunjukkan strategi alternatif yang
potensial mengendalikan hama. Struktur organisasi kemitraan ini dengan strategi
belajar bersama dan partisipasi yang lebih besar merupakan kunci sukses mereka.
Perubahan bentuk dari suatu model ”transfer teknologi” pada partisipasi belajar
bersama dan pengambilan keputusan, mendukung perbaikan layanan
penyampaian penyuluhan dan sebagai suatu strategi penting untuk kegiatan
penyuluhan dengan cakupan klien dalam wilayah yang luas.
Pada tahun 1993, Lembaga Penelitian Nasional Tanah dan Kualitas Air
(National Research Council’s Soil and Water Quality) merekomendasikan sistem
usahatani terpadu untuk kegiatan pertanian yang menjadi dasar program tanah
lokal dan kualitas air. Hal ini didasari atas pendekatan sistem tingkatan untuk
menganalisis sistem produksi pertanian terkait dengan kualitas konservasi tanah,
memperbaiki penggunaan input secara efisien, peningkatan resistensi erosi dan
limpasan serta penggunaan zona penyangga. Alternatif strategi pengelolaan
tanah, air dan ”farmscape” merupakan potensi untuk mengurangi penggunaan
insektisida dan dampak lingkungan, tetapi pendekatan sistem usahatani terpadu
membutuhkan praktek penyuluhan dan menumbuhkan pembelajaran (Getz dan
Warner, 2006).
Sejalan dengan upaya peningkatan potensi lahan kering, inovasi teknologi
rehabilitasi lahan kering telah diujicobakan pada tanaman jagung (tahun 1996) di
Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produktivitas jagung yang diperoleh pada
awal tahun tanpa rehabilitasi mencapai 2,49 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,50
ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,60 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp.
10
3,68 ton/ha. Produktivitas jagung pada tahun ke-9 tanpa rehabilitasi mencapai
1,48 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,38 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,59
ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp. 3,59 ton/ha (Kurnia et al., 2002).
Pengkajian yang dilaksanakan di Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet,
Kabupaten Garut, Jawa Barat, dari bulan Januari sampai dengan April 1998
”dengan penerapan sistem pertanaman lorong” dan ”tanpa penerapan sistem
pertanaman lorong (tumpangsari biasa)” menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-kooperator.
Pendapatan masing-masing mencapai Rp 2,27 juta dan Rp 1,24 juta per hektar per
tahun. Dari hasil kajian kelayakan dan efisiensi penggunaan masukan (benih,
pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) dan hasil penerimaan berdasarkan kriteria
kemiringan lahan diketahui bahwa, teknologi pertanaman lorong yang diterapkan
pada kriteria kemiringan lahan 15-30 persen lebih efisien dalam penggunaan
masukan dan layak secara finansial dibandingkan pada kriteria kemiringan kurang
dari 15 persen. Berdasarkan basis tanaman buah-buahan, maka pertanaman lorong
dengan basis tanaman pisang lebih layak secara finansial dibandingkan basis
tanaman mangga terhadap efisiensi penggunaan masukan dan tingkat pendapatan
(keuntungan) yang diperoleh petani. Model pertanaman (Pisang + Rumput gajah +
Gliricidia sp./ Flemingia congesta)/(Padi gogo/Kacang tanah + Jagung +
Ubikayu) – (Kacang tanah) – (Bera) merupakan model pertanaman yang paling
sesuai diterapkan di wilayah setempat (Ishaq et al., 2002).
Selain itu, inovasi yang diperkenalkan di lahan kering adalah Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima
Tani). Beberapa pendekatan yang digunakan dalam Prima Tani, yaitu: (1)
agroekosistem, (2) agribisnis, (3) wilayah, (4) kelembagaan, dan (5)
kesejahteraan. Pendekatan agroekosistem berarti Prima Tani diimplementasikan
dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lahan kering dataran
rendah yang meliputi aspek sumberdaya lahan, air, wilayah komoditas dan
komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti struktur dan keterkaitan
subsistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pengolahan, pemasaran dan
penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan
lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Salah satu
11
komoditas pertanian dapat menjadi perhatian utama, sedangkan beberapa
komoditas lain sebagai pendukung, terutama dalam kaitannya dengan resiko
ekonomi (harga). Pendekatan kelembagaan berarti memperhatikan keberadaan
dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input
dan output, termasuk modal sosial, norma dan aturan.
Bila dicermati, inovasi Prima Tani sesungguhnya menggunakan pendekatan
sistem usahatani terpadu. Menurut Adiningsih et al. (1994), sistem usahatani
terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan
air yang tepat berasaskan konservasi, merupakan pendekatan terbaik untuk
melestarikan bahkan meningkatkan produktivitas lahan marjinal. Faktor-faktor
sosial ekonomi, budaya, penyediaan sarana/prasarana dan penanganan pasca
panen yang kondusif sangat menentukan keberhasilan pendekatan tersebut.
Sebagai contoh, inovasi teknologi yang diintroduksikan mencakup konservasi
lahan, kesepadanan teknologi yang diusahakan (komoditas kedelai, kacang tanah
dan padi gogo) dan pengelolaan ternak domba didukung dengan kelembagaan.
Kesepadanan teknologi yang diusahakan merupakan modifikasi dari teknologi
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang meliputi
penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik
berdasarkan status kesuburan tanah serta perbaikan jarak tanam.
Kegiatan Prima Tani antara lain dilakukan di Kecamatan Leuwisadeng,
Kabupaten Bogor. Di lokasi tersebut sejak tahun 2006 telah diimplementasikan
inovasi teknis dan inovasi kelembagaan. Berdasarkan potensi dan permasalahan
usahatani di Kecamatan Leuwisadeng, inovasi teknologi yang dikembangkan
berupa ”Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi” yaitu integrasi antara
tanaman dan ternak yang didukung dengan kelembagaan. Pada tahun 2007
dilakukan perbaikan budidaya tanaman utama (jambu biji), pengendalian hama
penyakit, pemupukan, introduksi varietas unggul dan perbaikan teknologi
produksi tanaman padi gogo serta pemeliharaan ternak domba (bibit unggul dan
pakan). Inovasi teknis yang diperkenalkan merupakan upaya perbaikan terhadap
kegiatan usahatani yang selama ini telah dilakukan petani. Keuntungan yang
diperoleh petani (sebelum Prima Tani) dari usahatani jambu biji sebesar Rp 5,7
juta/tahun untuk 200 pohon dengan luasan lahan 1.000 m2. Dengan skala usaha
12
3.500 m2 (0,35 ha), usahatani jambu biji dinilai layak secara ekonomis. Hal ini
terbukti dari beberapa petani yang mengikuti menanam komoditas jambu biji.
Karakteristik wilayah miskin, yang berada pada zona agroekosistem lahan
kering marjinal dicirikan oleh: (1) penguasaan teknologi budidaya pertanian
umumnya rendah, bahkan masih bersifat tradisional; (2) kurang berfungsinya
lembaga-lembaga penyedia sarana produksi; (3) ketiadaan atau kurang
berfungsinya lembaga pemasaran sehingga orientasinya bersifat subsisten; serta
(4) rendahnya kualitas prasarana transportasi dan komunikasi yang berkaitan erat
dengan rendahnya kepadatan penduduk, produktivitas kerja serta rendahnya
marketable surplus hasil usahatani (Taryoto, 1995). Lebih lanjut Tjitropranoto
(2005) mengungkapkan bahwa secara umum petani di lahan kering marjinal
berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang
menghambat kemajuannya, seperti: (1) kapasitas diri petani yang rendah, (2)
pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang
berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah, (3) apatis akibat usaha yang telah
dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (4)
kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung
untuk melakukan usaha, (5) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak
berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (6) tidak
memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil
produksi, dan (7) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari
petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan.
Karakteristik Petani
Sejumlah literatur yang telah mengakumulasikan hasil-hasil penelitian
tentang peubah yang berhubungan dengan keinovatifan, telah disarikan Rogers
(2003) menjadi tiga bagian, yang melekat pada individu:
(1) Karakteristik sosial ekonomi: umur (tidak ada perbedaan antara pelopor-
earlier adopters dengan pengikut akhir-later adopters, dilihat dari sisi umur),
sedangkan pendidikan formal, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas
sosial, dan skala usaha pada pelopor lebih tinggi dibandingkan dengan
pengikut akhir.
13
(2) Pribadi (personalitas): pelopor memiliki tingkat empati, kemampuan abstraksi,
rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian
menanggung resiko dan ketidakpastian, serta tingkat aspirasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengikut akhir; dengan tingkat dogmatis dan fatalistik
yang lebih rendah.
(3) Perilaku komunikasi: pelopor memiliki partisipasi sosial, jaringan interper-
sonal, tingkat kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaruan, keterdedahan
terhadap media, keterdedahan terhadap komunikasi interpersonal, pencarian
informasi tentang inovasi, dan tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengikut akhir.
Tingkat Rasionalitas
Jung (Sujanto et al., 2004) mendefinisikan fungsi jiwa adalah suatu bentuk
aktivitas kejiwaan yang secara teoritis tidak berubah dalam lingkungan yang
berbeda-beda. Lebih lanjut Jung membedakan fungsi jiwa dalam empat hal yaitu
pikiran, perasaan, pendirian dan intuisi, sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja
Fungsi Jiwa Sifat Mekanisme Kerja
(1) Pikiran rasional dengan penilaian: benar-salah
(2) Perasaan rasional dengan penilaian: senang-tidak senang
(3) Pendirian irrasional tanpa penilaian: sadar indriah
(4) Intuisi irrasional tanpa penilaian: sadar naluriah Sumber: Jung (Sujanto et al., 2004)
Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi tersebut, namun
biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi
yang paling berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe
orang. Terdapat orang yang bertipe pemikir, perasa, pendria dan intuitif. Keempat
fungsi tersebut berpasang-pasangan, jika suatu fungsi menjadi superior
(menguasai kehidupan alam sadar), maka fungsi pasangannya menjadi inferior,
yang berada dalam ketidaksadaran. Dua fungsi yang lain menjadi fungsi bantu,
sebagian terletak dalam alam sadar dan sebagian lagi terletak dalam alam tidak
14
sadar. Fungsi yang berpasang-pasangan, berhubungan secara kompensatoris.
Semakin berkembang fungsi superior, maka makin besar kebutuhan fungsi
inferior akan kompensasi, yang mengganggu keseimbangan jiwa (terefleksikan
dalam tindakan yang tidak terkendali). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tingkat rasionalitas dapat didekati melalui pikiran (berpikir) dan perasaan.
Mengutip pendapat Plato (Suryabrata, 2005), berpikir adalah berbicara
dalam hati. Tujuan berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian
pengetahuan (segala sesuatu yang telah dimiliki), berupa pengertian-pengertian
dan dalam batas tertentu juga tanggapan. Berpikir merupakan proses yang dina-
mis dan dapat digambarkan menurut proses atau jalannya. Terdapat tiga langkah
dalam proses atau jalannya berpikir (Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004):
(1) Pembentukan pengertian: menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek sejenis,
membandingkan ciri-ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri yang sama dan
tidak sama, serta mengabstraksikan (menyisihkan, membuang ciri-ciri yang
tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki).
(2) Pembentukan pendapat: meletakkan hubungan antara dua pengertian atau
lebih. Pendapat dapat dibedakan menjadi tiga macam: pendapat afirmatif
(positif), pendapat negatif, dan pendapat modalitas (kemungkinan-
kemungkinan).
(3) Penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan: berdasarkan pendapat-
pendapat yang telah ada.
Selain berpikir, tingkat rasionalitas juga memasukkan unsur perasaan, yang
merupakan gejala psikis yang bersifat subyektif dan umumnya berhubungan
dengan gejala mengenal. Perasaan dapat timbul karena mengamati, menanggapi,
mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan dibedakan atas:
(1) Perasaan jasmaniah: perasaan indriah (berhubungan dengan perangsangan
pancaindera: manis, asin, pahit) dan perasaan vital (berhubungan dengan
keadaan jasmani: segar, letih, sehat).
(2) Perasaan rohaniah: perasaan intelektual (kesanggupan intelek dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi: senang, kecewa), perasaan
kesusilaan/etis (tentang baik-buruk, terkait dengan norma-norma), perasaan
keindahan, perasaan sosial (mengikatkan individu dengan sesama manusia,
15
hidup bermasyarakat, bergaul, saling tolong-menolong, memberi dan
menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan), perasaan harga diri (positif:
puas, senang, gembira, bahagia; dan negatif: kecewa, tidak senang, tidak
berdaya), perasaan keagamaan (terkait dengan kepercayaan seseorang
terhadap Tuhan: rasa kagum, rasa syukur).
Tingkat Intelegensi
Binet (Suryabrata, 2005) menyatakan bahwa sifat hakikat intelegensi ada
tiga macam, yaitu:
(1) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan)
tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakap membuat tujuan
sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas
seseorang, makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang
lain dan suasana lain.
(2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai
tujuan itu. Jadi semakin cerdas seseorang akan makin dapat menyesuaikan
cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis.
(3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri,
kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas
seseorang makin dapat belajar dari kesalahannya.
Menurut Stern (Sujanto, 2004), intelegensi merupakan kesanggupan jiwa
untuk dapat menyesuaikan diri cepat dan tepat dalam suatu situasi yang baru.
Berdasarkan arah atau hasilnya intelegensi dibedakan atas dua jenis:
(1) Intelegensi praktis: untuk mengatasi suatu situasi yang sulit dalam pekerjaan,
yang berlangsung secara cepat dan tepat.
(2) Intelegensi teoritis: untuk mendapatkan suatu pikiran penyelesaian soal atau
masalah dengan cepat dan tepat.
Faktor yang mempengaruhi intelegensi adalah: pembawaan (kesanggupan yang
dibawa sejak lahir, tidak sama pada setiap orang); kematangan (munculnya daya
jiwa yang kemudian berkembang); pembentukan (faktor luar yang mempengaruhi
intelegensi di masa perkembangannya); dan minat (motor penggerak intelegensi).
16
Howard Gardner (Wikipedia, 2010) berpendapat bahwa tingkat intelegensi
merupakan kemampuan dasar yang terkait dengan kemampuan abstraksi, logika
dan daya tangkap. Intelegansi dibedakan atas:
(1) Intelegensi linguistik, intelegensi yang menggunakan dan mengolah kata-kata,
baik lisan maupun tulisan, secara efektif.
(2) Intelegensi matematis-logis, kemampuan yang lebih berkaitan dengan
penggunaan bilangan pada kepekaan pola logika dan perhitungan.
(3) Intelegensi ruang, kemampuan yang berkenaan dengan kepekaan mengenal
bentuk dan benda secara tepat serta kemampuan menangkap dunia visual
secara cepat.
(4) Intelegensi kinestetik-badani, kemampuan menggunakan gerak tubuh untuk
mengekspresikan gagasan dan perasaan.
(5) Intelegensi musikal, kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan
dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.
(6) Intelegensi interpersonal, kemampuan seseorang untuk mengerti dan menjadi
peka terhadap perasaan, motivasi, dan watak temperamen orang lain seperti
yang dimiliki oleh seorang motivator dan fasilitator.
(7) Intelegensi intrapersonal, kemampuan seseorang dalam mengenali dirinya
sendiri. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan berefleksi (merenung)
dan keseimbangan diri.
(8) Intelegensi naturalis, kemampuan seseorang untuk mengenal alam, flora dan
fauna dengan baik.
(9) Intelegensi eksistensial, kemampuan seseorang menyangkut kepekaan
menjawab persoalan-persoalan terdalam keberadaan manusia, seperti apa
makna hidup, mengapa manusia harus diciptakan dan mengapa kita hidup dan
akhirnya mati.
Sikap terhadap Perubahan
Salah satu strategi difusi yang dapat dilakukan agen pembaruan (penyuluh)
adalah mengembangkan sikap umum yang positif terhadap perubahan, pada
sebagian kliennya. Individu anggota sistem yang berorientasi pada perubahan
akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari
17
informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada
perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk
diperkenalkan secara berurutan. Cara lain yaitu dengan mengekspos sejumlah
pesan modernisasi walaupun pesan tersebut mungkin tidak berkaitan dengan
inovasi tertentu. Contoh pendekatan ini dijumpai di kalangan petani di negara-
negara berkembang. Media massa seperti radio, televisi, film, dan surat kabar
dapat menciptakan iklim modernisasi dengan jalan mengekspos pesan-pesan
pembangunan yang mendukung perubahan. Salah satu hasil penyajian pesan-
pesan (informasi) seperti itu adalah timbulnya sikap positif terhadap perubahan,
yang memudahkan pengadopsian ide-ide baru (Rogers dan Shoemaker, 1971).
Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa ada dua tingkatan sikap,
yaitu: (1) sikap khusus terhadap inovasi, dan (2) sikap umum terhadap perubahan.
Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenan atau tidaknya seseorang, percaya
atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri.
Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya.
Pengalaman positif dengan pengadopsian inovasi yang terdahulu pada umumnya
menimbulkan sikap-sikap yang positif pula terhadap inovasi yang diperkenalkan
berikutnya. Sebaliknya pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi, yang
dianggap sebagai suatu kegagalan, akan menjadi perintang bagi masuknya ide-ide
baru pada masa mendatang. Oleh karena itu agen pembaruan harus memulai
kegiatannya terhadap klien tertentu dengan inovasi yang memiliki taraf
keuntungan yang relatif tinggi, yang sesuai dengan kepercayaan yang ada dan
mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu menciptakan
sikap positif terhadap perubahan dan melancarkan jalan untuk ide-ide yang akan
diperkenalkan selanjutnya.
Perilaku Komunikasi Petani
Kerjasama
Mengikuti pemikiran Etzioni (1961) bahwa kerjasama yang didasari
keterikatan dan keterlibatan, dapat dibedakan atas tiga tipe, yakni kerjasama
ekonomi, keamanan dan budaya. Dalam pandangan masyarakat madani,
Martinelli (2002) berpendapat bahwa kerjasama di masyarakat dibagi dalam tiga
tipe, yakni masyarakat pasar, pemerintah dan masyarakat komunal.
18
Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui
berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip
kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan
keadaban (civility). Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu
tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelom-
pok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis
keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated
social experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious
beliefs) cenderung memiliki kohesivitas tinggi, tetapi rentang jaringan maupun
kepercayaan (trust) yang terbangun adalah sangat sempit. Sebaliknya pada
kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan
ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi
anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada
tipologi kelompok ini akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi
kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara
luas (Hasbullah, 2006).
Tingkat Kekosmopolitan
Rogers (2003) mendefinisikan tingkat kekosmopolitan adalah sebagai
berikut:
“Cosmopoliteness is the degree to which an individual is oriented outside a social
system.”
Inovator (perintis) adalah anggota dari suatu sistem sosial tetapi memiliki
orientasi yang kosmopolit ke luar sistem. Orientasi tersebut membuat inovator
terlepas dari kendala sistem lokal dan memungkinkan untuk memiliki kebebasan
pribadi dalam mencoba ide-ide baru yang belum pernah dicoba. Mengacu
pendapat Mardikanto (1993), tingkat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan
jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi
masyarakat yang relatif kosmopolit, adopsi inovasi berlangsung lebih cepat.
Namun bagi yang lebih lokalit (tertutup di dalam sistem sosialnya sendiri), proses
adopsi inovasi berlangsung lebih lamban karena tidak ada keinginan-keinginan
baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dialami oleh orang lain di luar
sistem sosialnya sendiri.
19
Keterdedahan terhadap Media
Media massa memiliki ciri sangat efektif dalam menyampaikan
pengetahuan dan relatif cepat menjangkau sasaran yang luas dalam waktu yang
singkat. Hal ini memungkinkan media massa dapat berperan penting pada tahap
pengenalan suatu inovasi ke masyarakat (Rogers dan Shoemaker, 1971). Media
massa dapat digunakan untuk penyebaran inovasi-inovasi yang tidak rumit.
Menurut teori 'psikodinamik model DeFleur's' (McQuail dan Windahl, 1981),
media massa tidak hanya berpengaruh secara langsung pada individu, tetapi juga
mempengaruhi budaya, memberikan andil terhadap pengetahuan, norma-norma
dan nilai-nilai masyarakat. Media massa menyajikan serangkaian gambar, ide, dan
evaluasi, sehingga dapat menarik khalayak dalam memilih perilaku yang sesuai.
Kecenderungan media massa untuk menyampaikan ideologi (secara implisit);
pembentukan pendapat; distribusi diferensial pengetahuan dalam masyarakat;
perubahan jangka panjang dalam budaya, institusi dan bahkan struktur sosial.
Dukungan Iklim Usaha
Mosher (1966) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas
pertanian, setiap petani semakin lama semakin bergantung pada sumber-sumber
dari luar lingkungannya. Bila pertanian hendak dimajukan, maka petani harus
didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok
pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut terdiri atas: (1)
pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya
sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani,
dan (5) pengangkutan/transportasi.
Syarat pokok pertama: pasar untuk hasil usahatani. Peningkatan produksi
pertanian dari usahatani menghasilkan surplus. Konsekuensi dari peningkatan
produksi pertanian adalah meningkatnya kebutuhan petani akan pihak-pihak yang
berperan dalam meningkatkan: permintaan pasar (market demand), baik di dalam
maupun luar negeri, dan sistem tataniaga (marketing system) yang melibatkan
berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam pemasaran hasil usahatani: dari
pedagang pengumpul di tingkat desa sampai dengan nasional dan internasional
yang berperan sebagai eksportir.
20
Kedua: teknologi yang senantiasa berubah. Dalam konteks ini, agar
pembangunan pertanian dapat berlangsung terus menuntut adanya suatu
perubahan berkelanjutan dalam hal teknologi pertanian. Selalu muncul tuntutan
adanya penelitian dan pengembangan pertanian yang menghasilkan inovasi
teknologi pertanian. Inovasi ini mutlak diperlukan untuk menyesuaikan dengan
tuntutan perubahan dalam sistem pertanian/agribisnis. Sejak proses budidaya
sampai pascapanen komoditas pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas,
mutu dan efisiensi pertanian secara berkelanjutan. Inovasi teknologi tersebut
sangat relatif. Bisa merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang dikembangkan
petani, ditemukan petani dan peneliti lain, dari beragam kelembagaan pemerintah
dan atau swasta di dalam dan luar negeri.
Syarat pokok ketiga: tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal.
Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi dari temuan inovasi teknologi pertanian
atau sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, pakan
ternak, alat mesin pertanian, dan sebagainya. Sarana produksi dan peralatan yang
ditawarkan kepada petani hendaknya harus memiliki 5 (lima) sifat berikut,
sehingga petani akan cenderung terus membeli: (1) keefektifan dari segi teknis,
(2) mutu produk dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di
lokasi petani berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani,
serta (5) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani.
Syarat pokok keempat adalah perangsang produksi bagi petani. Menurut
Mosher (1966), petani sangat rasional dalam mengambil keputusan tentang
usahataninya. Petani menghendaki perbandingan harga yang menguntungkan,
bagi hasil yang wajar, dan tersedianya barang serta jasa yang ingin dibeli oleh
petani untuk keluarganya. Petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi
bila: (1) harga komoditas yang dianjurkan mempunyai harga pasar yang tinggi, (2)
barang-barang input yang diperlukan tersedia secara lokal, (3) mengetahui
bagaimana menggunakan input secara efektif, (4) harga input tidak terlalu tinggi
dibandingkan dengan harga yang diharapkan dari hasil produksinya, dan (5)
tataniaganya lebih efisien.
Pengangkutan/transportasi merupakan syarat pokok kelima dalam
pembangunan pertanian. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, keempat
21
syarat pokok tersebut diatas tidak dapat diadakan secara efektif. Jaringan
pengangkutan yang luas diperlukan mengingat lokasi pertanian dan masyarakat
pertanian tersebar luas. Dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur
yang baik, tidak hanya memudahkan dalam penyediaan saprodi secara lokal tetapi
juga untuk memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan
secara langsung mempengaruhi efisien tidaknya sistem tataniaga suatu komoditas
pertanian. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga
sarana produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal,
serta menentukan terhadap tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan
dipasarkan.
Mosher (1978) menambahkan bahwa untuk membangun pertanian yang
modern di pedesaan, perlu tambahan dukungan (selain yang telah dikemukakan
sebelumnya), yaitu: (1) kredit produksi dan (2) pendidikan penyuluhan yang
bertujuan membantu petani mendapatkan informasi baru dan mengembangkan
keterampilan baru. Setiap penyuluh membutuhkan pemahaman tentang: (1)
produksi tanaman dan ternak, (2) pertanian sebagai suatu usaha, (3) pembangunan
pertanian, (4) petani dan bagaimana mereka belajar, dan (5) masyarakat pedesaan.
Syahyuti (2003) membedakan pengelompokan kelembagaan yang berkaitan
dengan pertanian atau pedesaan atas sistem agribisnis, dibagi menjadi lima
kelompok kelembagaan. Pertama, kelembagaan pengadaan sarana input produksi.
Dalam kelompok ini misalnya termasuk kelembagaan kredit atau kelembagaan
permodalan usahatani, kelembagaan pupuk yang mencakup mulai dari pengadaan
sampai distribusinya, kelembagaan benih yang juga begitu kompleksnya yang
salah satu bagiannya dikenal dengan struktur JABAL (Jaringan Benih Antar
Lapang), serta kelembagaan penyediaan dan distribusi pestisida.
Kedua, kelembagaan dalam aktivitas budidaya, mencakup kelembagaan
tenaga kerja, kelembagaan pengairan, kelembagaan lahan dalam hal tata hubungan
antara pemilik dan petani penggarap, serta kelembagaan panen. Ketiga,
kelembagaan terkait dengan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Seluruh orang
yang terlibat di dalamnya dapat diidentifikasi, karena diikat oleh kepentingan
yang sama, dan tunduk pada kesepakatan-kesepakatan yang diakui secara
bersama. Keempat, kelembagaan pemasaran. Hal ini merupakan kelembagaan
22
yang cukup kompleks. Dalam pengertian Purcell (Syahyuti, 2003), analisis
kelembagaan pada tataniaga pertanian merupakan proses penyampaian suatu
barang dari produsen ke konsumen, dan efisiensi merupakan indikator
kelembagaan yang penting. Kelima, kelembagaan pendukung yang meliputi
kelembagaan koperasi, kelembagaan penyuluhan pertanian, dan kelembagaan
penelitian mulai dari penciptaan sampai dengan delivery system-nya
membutuhkan suatu organisasi khusus.
Penyuluhan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006
Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan penyuluhan adalah:
”proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.”
Selanjutnya pada Pasal 26 ayat (3), ”penyuluhan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.”
Pada Pasal 2 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, “penyuluhan diselenggarakan
berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan,
keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan,
pemerataan, dan bertanggung gugat.” Penjelasan lebih lanjut dalam UU tersebut,
sebagai berikut:
(1) Penyuluhan berasaskan demokrasi, yaitu penyuluhan yang diselenggarakan
dengan saling menghormati pendapat antara pemerintah, pemerintah daerah
dan pelaku utama serta pelaku usaha.
(2) Penyuluhan berasaskan manfaat, yaitu penyuluhan yang harus memberikan
nilai manfaat bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan
perilaku untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan
pelaku utama dan pelaku usaha.
23
(3) Penyuluhan berasaskan kesetaraan, yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku
utama dan pelaku usaha yang harus merupakan mitra sejajar.
(4) Penyuluhan berasaskan keterpaduan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan
yang dilaksanakan secara terpadu antar kepentingan pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat.
(5) Penyuluhan berasaskan keseimbangan, yaitu setiap penyelenggaraan
penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi
teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, pengarusutamaan gender,
keseimbangan pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta
keseimbangan antara kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif
masih tertinggal.
(6) Penyuluhan berasaskan keterbukaan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan
dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan pelaku utama serta pelaku
usaha.
(7) Penyuluhan berasaskan kerjasama, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus
dilaksanakan secara sinergis dalam kegiatan pembangunan pertanian,
perikanan dan kehutanan serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama
antara pemerintah dan masyarakat.
(8) Penyuluhan berasaskan partisipatif, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang
melibatkan secara aktif pelaku utama dan pelaku usaha dan penyuluh sejak
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
(9) Penyuluhan berasaskan kemitraan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menghargai, saling menguntung-
kan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan antara pelaku utama dan
pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.
(10) Penyuluhan berasaskan berkelanjutan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan
dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar
pengetahuan, keterampilan serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha
semakin baik sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud
kemandirian.
(11) Penyuluhan berasaskan berkeadilan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan
yang memposisikan pelaku utama dan pelaku usaha berhak mendapatkan
24
pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta
kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.
(12) Penyuluhan berasaskan pemerataan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan
harus dapat dilaksanakan secara merata bagi seluruh wilayah Republik
Indonesia dan segenap lapisan pelaku utama dan pelaku usaha.
(13) Penyuluhan berasaskan bertanggung gugat, yaitu bahwa evaluasi kinerja
penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah
dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur,
dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan.
Pada Pasal 3 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, tujuan pengaturan sistem
penyuluhan meliputi pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal
sosial, yaitu:
(1) Memperkuat pengembangan pertanian, perikanan serta kehutanan yang
maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan;
(2) Memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan
kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan
motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan
kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi;
(3) Memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang
produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka,
berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan,
berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin
terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan serta kehutanan;
(4) Memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum bagi pelaku
utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta
bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan;
(5) Mengembangkan sumberdaya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai
pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pasal 4 UU RI Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan, bahwa fungsi sistem
penyuluhan meliputi:
(1) Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;
25
(2) Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber
informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat
mengembangkan usahanya;
(3) Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan
pelaku utama dan pelaku usaha;
(4) Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan
organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi,
produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan;
(5) Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang
dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam
mengelola usaha;
(6) Menumbuhkembangkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap
kelestarian lingkungan;
(7) Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan
kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang
dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuhkembangan dinamika
organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan peningkatan
kapasitas pelaku utama yang profesional, sebagaimana tertuang dalam UU RI
Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 ayat (1).
Menurut van den Ban dan Hawkins (2005), penyuluhan didefinisikan secara
sistematis sebagai proses yang:
(1) Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan
perkiraan ke depan;
(2) Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah
dari analisis tersebut;
(3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu
masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan
yang dimiliki petani;
(4) Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat
mereka sudah optimal;
26
(5) Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan
cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya
sehingga mereka mempunyai alternatif tindakan;
(6) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan
(7) Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan
mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.
Namun demikian, penyuluhan tidak mencakup semua aspek tersebut. Dengan
pemberian satu atau beberapa aspek permasalahan, petani akan mampu
memecahkan sendiri masalah selebihnya, bahkan kadang-kadang cukup dengan
hanya penjelasan masalah dan analisis yang sistematis. Pada kesempatan lain
mungkin cukup dengan hanya memberi tambahan informasi. Penyuluh perlu
terlebih dahulu menganalisis keadaan petani sebelum memutuskan untuk
membantunya.
Mosher (1978) mendefinisikan penyuluhan adalah sebagai berikut:
”The extension process is that of working with rural people through out-of-school education, along those lines of their current interest and need which are closely related to gaining livelihood, improving the physical level of living of rural families, and fostering rural community.”
Kompetensi Penyuluh
Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi adalah sebagai
berikut:
”A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally
related to creterion-referenced effective and/or superior performance in a job or
situation.”
Kata ”underlying characteristic” mempunyai arti bahwa kompetensi adalah
bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang, serta dapat
memprediksi perilaku pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. ”Causally
related” bermakna kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya
kinerja atau dapat digunakan untuk memprediksi perilaku seseorang. Kata
”creterion-referenced” memiliki makna bahwa kompetensi sebenarnya mempre-
diksi “siapa?” seseorang yang berkinerja baik atau buruk, diukur dari kriteria atau
standar khusus yang digunakan.
27
Menurut Sumardjo (2008), kompetensi penyuluh adalah karakteristik yang
melekat pada diri penyuluh yang menentukan keefektifan kinerja penyuluh dalam
mengemban misi penyuluhan. Dalam organisasi penyuluhan dibutuhkan
penentuan tingkat kompetensi, agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang
diharapkan. Penentuan kebutuhan ambang kompetensi penyuluh dapat dijadikan
dasar bagi proses-proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan
pengembangan kompetensi masing-masing level kualifikasi penyuluh. Merujuk
pada karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer (1993) dan Mitrani et
al. (Sumardjo, 2008), terdapat lima karakteristik kompetensi penyuluh, yaitu: (1)
”Motives,” (2) ”Traits,” (3) ”Self Concept,” (4) ”Knowledge,” dan (5) ”Skills.”
Motif (” Motives”) adalah sesuatu bilamana seseorang secara konsisten
berpikir sehingga ia melakukan tindakan. Motif penyuluh adalah dorongan
(drive), arah (direct), dan pilihan (select) perilaku penyuluh melalui tindakan
tertentu atau menuju tujuan tertentu penyuluhan (motives adalah drive, direct and
select behavior toward certain action or goals and away from others). Misalnya
dengan mengacu pada filosofi penyuluhan, maka dapat diusulkan bahwa secara
normatif motif penyuluh dalam konteks profesi adalah ”mengembangkan karir
melalui profesi pengembangan kompetensi petani agar petani mampu
meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya.” Dalam hal ini
terdapat sinergi antara penyuluh, petani dan negara, yang diindikasikan oleh
adanya pencapaian kesejahteraan penyuluh dan kesejahteraan petani, serta dengan
kesejahteraan rakyat dan bangsa (tujuan negara).
Sifat bawaan (”Traits”) adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau
watak mandiri yang membuat seseorang (penyuluh) berperilaku tertentu (secara
otonom) dalam merespon sesuatu dengan cara tertentu. Misalnya percaya diri
(self confident), kontrol diri (self control), kesiapan diri (self-readiness),
ketahanan terhadap stres (stress resistence), atau ketabahan/daya tahan
(hardiness). Secara normatif dapat diusulkan seorang penyuluh seharusnya
mempunyai karakter senantiasa konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan
diri, arif, mampu bersinergi (interdependent), berwawasan luas, adil dan beradab.
Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang
berlaku dan mampu berempati dalam mengemban misi atau tugas-tugasnya.
28
Konsep diri (”Self Concept”) adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki
seseorang (penyuluh). Secara normatif dapat diusulkan, ”seseorang penyuluh
memiliki sikap dan nilai (value) yang jelas dan positif terhadap diri sendiri, misi
penyuluhan, keberpihakan pada keadilan, egaliter, kerjasama yang sinergis dan
konvergen antar pihak-pihak terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan diri,
keluarga dan masyarakat melalui penyuluhan.” Petani bukanlah bawahan
penyuluh pertanian, melainkan mitra dalam mewujudkan kesejahteraan bersama
rakyat dan bangsa/negara. Oleh karena itu pendekatan dalam kegiatan dan
program penyuluhan harus partisipatif dan dialogis. Penyuluh juga bukan sub-
ordinat (bawahan) dinas teknis, tetapi mitra sejajar dalam upaya mewujudkan
tujuan pihak-pihak terkait. Di sini peran penyuluh adalah sebagai fasilitator dan
pendamping pihak-pihak terkait dalam mewujudkan kesejahteraan petani.
Pengetahuan (”Knowledge”) adalah informasi yang dimiliki seseorang
(penyuluh) untuk bidang tertentu (terkait dengan substansi/inovasi, metode/teknik,
dan pendekatan, serta pengelolaan program penyuluhan yang sesuai dengan
potensi, permasalahan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat serta lingkungan
setempat). Secara normatif, misalnya seorang penyuluh harus memiliki informasi
terkait dengan wawasan yang luas (inovasi, metode dan teknik, kebutuhan, serta
budaya masyarakat) atau persepsi yang tepat terkait dengan potensi sumberdaya,
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan pihak-pihak
terkait dalam program penyuluhan di wilayah kerja yang menjadi tanggung
jawabnya. Selain itu, yang terpenting penyuluh harus memiliki pengetahuan
tentang perilaku khalayak sasaran (petani, peternak, nelayan dan sebagainya).
Keterampilan (”Skills”) adalah kemampuan (penyuluh) untuk melaksanakan
suatu tugas (penyuluhan) baik secara fisik maupun mental. Seperti disebutkan
dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 16 ayat (2), penyuluh perlu memiliki
keterampilan dalam hal:
(1) Menyusun program penyuluhan;
(2) Melaksanakan penyuluhan;
(3) Menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya;
(4) Melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan
model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
29
(5) Menumbuhkembangkan kepemimpinan, kewirausahaan, serta kelembagaan
pelaku utama dan pelaku usaha;
(6) Melaksanakan kegiatan rembuk, pertemuan teknis, temu lapang, dan metode
penyuluhan lain bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
(7) Memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan serta pelatihan bagi
pelaku utama dan pelaku usaha;
(8) Memfasilitasi forum penyuluhan pedesaan.
Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi suatu pekerjaan,
Spencer dan Spencer (1993) membedakan kompetensi menjadi dua kategori,
yaitu: (1) ”threshold” dan (2) ”differentiating.” Threshold competencies
merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat
melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan
atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Dalam konteks
penyuluhan, keahlian dasar seorang penyuluh adalah memahami perilaku dan
kebutuhan khalayak sasaran. Di samping itu juga kemampuan berkomunikasi
secara efektif, kemampuan membangun kerjasama (networking), dan kemampuan
mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Differentiating competencies
adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu
yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah. Dalam konteks penyuluh,
menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya. Seorang
penyuluh yang motivasinya mengembangkan kompetensi petani agar dapat
meraih kesejahteraannya yang lebih tinggi, akan berkinerja lebih tinggi, dibanding
penyuluh yang motivasinya hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas mencapai
target produksi yang telah ditetapkan oleh atasannya.
Peran Penyuluh
Beberapa hal yang harus diperankan penyuluh dalam mendorong terjadinya
pembaruan (Lippitt et al., 1958), yaitu:
(1) Mendiagnosis permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh klien.
(2) Tahapan ini dapat dilakukan dengan menggunakan sumber lain atau
mendiagnosis permasalahan klien secara langsung.
(3) Mengenali sistem motivasi klien dan kapasitasnya untuk melakukan
pembaruan. Motivasi merupakan sistem yang kompleks mencakup baik
30
bersifat altruisme (ikhlas) untuk kepentingan pihak lain maupun untuk
kepentingan diri sendiri.
(4) Mengenali motivasi penyuluh dan sumberdaya yang tersedia. Penyuluh
harus mengacu kepada kebutuhannnya, preferensi pribadi, dan
keyakinannya terhadap hal yang benar dan yang salah.
(5) Memilih tujuan pembaruan yang tepat. Dalam pemilihan ini peran yang
harus diambil oleh penyuluh bergantung pada interpretasi diagnostiknya
dalam menentukan langkah awal dan sekuensi atas tahapan-tahapan yang
harus dilalui serta tujuan akhir yang hendak diwujudkan.
(6) Menentukan peran yang tepat. Penyuluh harus memberikan suatu inisiatif
tentang keputusan tujuan pembaruan, bagaimana mewujudkannya dan apa
yang harus dilakukan pertama kali.
(7) Membangun dan memelihara hubungan dengan sistem klien. Semua
diagnostik dari penyuluh dan kegiatan-kegiatan yang membantu harus
dilaksanakan dalam konteks membangun hubungan yang telah dibangun
dengan sistem klien.
(8) Mengenalkan dan memandu tahap-tahap pembaruan. Setiap pembaruan
harus dilakukan dengan tahapan-tahapan yang jelas serta klien dipandu
dengan benar.
(9) Penyuluh harus mampu memilih teknik-teknik yang spesifik dan model
perilaku secara tepat, karena banyak teknik dan model perilaku yang dapat
digunakan.
(10) Penyuluh harus menstimulir dirinya untuk berkembang bersama-sama
dengan klien serta dapat memberikan kontribusi melalui penelitian dan
perumusan konsep.
Hasil identifikasi Rogers (2003) terdapat tujuh peran penyuluh sebagai agen
pembaruan, yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) untuk
menetapkan suatu hubungan pertukaran informasi, (3) mengdiagnosis masalah,
(4) menciptakan suatu maksud pada klien untuk berubah, (5) mewujudkan suatu
maksud dalam tindakan, (6) memantapkan adopsi dan mencegah penghentian, dan
(7) mencapai hubungan akhir (tujuan akhir penyuluh adalah mengembangkan
perilaku memperbarui sendiri pada klien).
31
Materi/Program Penyuluhan
Dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (22), disebutkan bahwa
materi penyuluhan adalah:
“bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan.”
Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan, bahwa: “materi penyuluhan dibuat berdasarkan
kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan
memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan,
dan kehutanan.” Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (2) dinyatakan, bahwa:
“materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan.”
Pada Pasal 28 ayat (1) dinyatakan, bahwa ”materi penyuluhan dalam bentuk
teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha
harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang
bersumber dari pengetahuan tradisional.” Pada bagian penjelasan atas UU RI
tersebut dijelaskan istilah-istilah “teknologi,“ “teknologi tertentu,“ serta
“teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.“ Istilah “teknologi“
dapat berupa produk atau proses. Produk dapat berupa bibit, benih, alat, dan
mesin, bahan, pestisida, dan obat hewan/ikan, sedangkan proses berupa paket
teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Istilah “teknologi
tertentu“ dimaksudkan sebagai teknologi yang diperkirakan dapat merusak
lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, dan
menimbulkan kerugian ekonomi bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan
masyarakat. Misalnya teknologi rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan
teknologi pengendalian hama penyakit. Adapun “teknologi yang bersumber dari
pengetahuan tradisional“ merupakan produk atau proses yang ditemukan oleh
masyarakat dan/atau telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat
kebiasaan secara turun temurun.
Clements (1999) mengungkapkan bahwa suatu program penyuluhan telah
memotivasi beberapa partisipan untuk mengubah perilaku atau memperbaiki
32
praktek. Penyuluh memberikan tambahan informasi dan mendukung untuk
membantu individu mengadopsi praktek terbaik. Penyuluh ditantang untuk
membuat program yang berdampak bagi sejumlah klien untuk mengubah
prakteknya, yang mendukung perubahan perilaku; menjadi lebih terlibat dengan
individu; dan akan belajar bagaimana program yang akan datang diubah lebih
efektif dalam mendorong adopsi. Diperlukan usaha untuk memotivasi tiap
partisipan, menjelaskan tahapan-tahapan dalam suatu proses, menyediakan
sumberdaya, dan menyediakan waktu untuk “memulai“ pada tiap tahap yang tidak
cukup menjamin perubahan perilaku. Beberapa partisipan membutuhkan
dorongan dan dukungan dalam bentuk informasi yang lebih banyak, pedoman
praktek, dan penguatan yang membuat kemajuan mereka terintegrasi dengan
kompetensi baru dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Prochasca, Norcross dan DiClemente (Clements, 1999) menyarankan enam
tahapan perubahan: sebelum perenungan (precontemplation), perenungan
(contemplation), mengumpulkan informasi, tindakan, adopsi dan internalisasi.
Jika pergerakan dari satu tahap ke tahap yang lain didokumentasikan, maka
terlihat adanya perubahan perilaku. Suatu program harus didefinisikan secara
jelas, dan apa yang menjadi prioritas, dalam tujuan program diketahui perilaku
khusus yang ingin diubah, dan waktu untuk melakukan perubahan, alat evaluasi
harus dikembangkan selama perencanaan program, perlu motivasi partisipan
untuk memulai mengubah perilakunya, diperlukan waktu untuk menindaklanjuti
evaluasi administrasi sebagai alat perencanaan program, perkiraan jumlah klien
dalam program yang dapat diharapkan secara realistik untuk mengadopsi
teknologi baru. Administrator harus proaktif dalam membantu penyuluhan
profesional dengan mempromosikan dan mendokumentasikan perubahan perilaku.
Menurut Mukmin (1992), persyaratan materi penyuluhan adalah
menguntungkan, sesuai dengan teknologi setempat, mudah dimengerti, mudah
dicoba dalam skala kecil, dan cepat dapat dirasakan hasilnya. Jenis materi
meliputi teknologi (pemanfaatan, pelestarian dan rehabilitasi sumberdaya alam),
dan materi pembinaan sikap mental untuk memupuk kesadaran masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam.
33
Metode Penyuluhan
Berdasarkan jumlah sasaran khalayak, metode penyuluhan dapat dibedakan
dalam tiga macam teknik komunikasi (Mukmin, 1992; van den Ban dan Hawkins,
2005), yaitu:
(1) Komunikasi secara perseorangan (interpersonal), terutama dilakukan untuk
mempengaruhi tokoh masyarakat yang menjadi kunci pendorong
keberhasilan kegiatan penyuluhan pembangunan, seperti tokoh kader
usahatani menetap, kader santri penghijauan, kader konservasi sumberdaya
alam dan sebagainya. Penyuluhan secara interpersonal merupakan dialog
antara penyuluh dengan tokoh masyarakat ataupun dengan petani.
(2) Komunikasi secara kelompok, dilakukan untuk menjangkau masyarakat
sasaran penyuluhan pertanian, seperti kelompok-kelompok tani, kelompok
pelestari sumberdaya alam, dan sebagainya, misalnya untuk menyampaikan
informasi pembinaan keterampilan dalam pelestarian sumberdaya alam.
Metode kelompok mencapai lebih sedikit petani, tetapi memberi banyak
kesempatan untuk berinteraksi dan memperoleh umpan balik.
(3) Komunikasi secara masal, yang dilakukan untuk memberi informasi kepada
masyarakat secara luas. Media cetak dan elektronik seperti surat kabar,
radio dan televisi membantu penyuluh mencapai sejumlah besar petani
secara serentak. Walaupun demikian, hanya sedikit kesempatan bagi petani
untuk saling berinteraksi atau memberikan umpan balik kepada penyuluh.
Media massa dapat menyebabkan perubahan perilaku, terutama yang terkait
dengan perubahan pengetahuan, namun tidak menyebabkan perubahan sikap. Hal
ini disebabkan oleh pengirim dan penerima pesan cenderung menggunakan
proses-proses selektif saat menggunakan media massa sehingga pesan pengirim
mengalami distorsi. Proses-proses tersebut meliputi: publikasi selektif, perhatian
selektif, persepsi selektif, daya ingat selektif, penerimaan selektif, dan diskusi
selektif. Ada kecenderungan untuk menganggap penerima pesan bersifat resisten
bila media gagal melakukan perubahan. Padahal secara logika sumber mungkin
saja ikut bertanggung jawab. Kredibilitas, keandalan dan relevansi sumber sangat
besar artinya. Kredibilitas pada umumnya tinggi, jika sumber dianggap memiliki
keahlian, sesuai dengan pendapat penerima dalam hal-hal yang penting, dan yakin
34
akan kesungguhannya untuk membantu secara tulus (van den Ban dan Hawkins,
2005).
Metode penyuluhan kelompok lebih menguntungkan dari media massa,
karena terjadi umpan balik yang baik. Kesalahan pengertian yang mungkin terjadi
antara penyuluh dengan petani dapat dihindari. Interaksi ini memberi kesempatan
untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para
anggota kelompok. Metode kelompok satu sama lain berbeda di dalam
kesempatan memperoleh umpan balik dan berinteraksi. Biaya menggunakan
metode kelompok cenderung lebih tinggi daripada media massa terutama jika
penyuluhan dilakukan terhadap kelompok kecil. Metode kelompok sering
mencapai bagian tertentu dari kelompok sasaran, karena hanya petani yang betul-
betul berminat pada penyuluhan dan/atau petani anggota organisasi tertentu yang
datang ke pertemuan. Ceramah, demonstrasi, widyakarya, dan diskusi kelompok
merupakan metode kelompok (Tabel 2).
Tabel 2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan
Media yang sesuai atau memiliki ciri khas
Media massa
Wejangan Demon-strasi
Media rakyat
Diskusi kelompok
Dialog/ interaktif
1. Menciptakan kesadaran akan inovasi
xxx x xx xx 0 0
2. Menciptakan kesadaran akan masalah sendiri
0 x xx xxx xxx xxx
3. Alih pengetahuan xxx xx xx xx x xx
4. Perubahan perilaku 0 0 xx x xxx xx
5. Menggunakan pengetahuan sesama petani
0 0 x xx xxx x
6. Membangkitkan proses belajar
0 0 x x xxx xx
7. Menyesuaikan dengan masalah petani
0 0 x xx xx xxx
8. Tingkat abstraksi xxx xx 0 0 x x
9. Biaya/petani yang dicapai
0 x x xx xx xxx
Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005) Keterangan: 0 = tidak cocok; x = cocok; xx=sangat cocok; xxx=amat sangat cocok
35
Metode kelompok terutama penting jika digunakan bersama-sama dengan
metode lain dalam penyuluhan. Demonstrasi dan widyakarya mempunyai
keuntungan, karena petani dapat melihat sendiri penerapan suatu metode dan
mengetahui keuntungan dan kekurangan suatu inovasi. Petani cenderung
mengubah perilakunya sesuai dengan yang dianjurkan, jika petani berkesempatan
mendiskusikan yang diamati dengan pengelola demonstrasi, dengan anggota lain
dari kelompoknya, dan dengan penyuluh serta sesama petani. Kekurangan dan
kelebihan suatu metode tidak hanya bergantung pada metode yang dipilih, tetapi
juga cara metode digunakan.
Pada Tabel 3 ditunjukkan beberapa pendekatan yang berbeda berdasarkan
tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui metode tertentu.
Tabel 3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar
Sifat tujuan belajar Strategi Metode yang disukai
(1) Mengetahui (kognitif)
Alih informasi (dari luar)
Publikasi dan rekomendasi dari media massa, ceramah, selebaran, dialog yang diarahkan
(2) Sikap (afektif) Belajar dari penga-laman (informasi dari dalam)
Diskusi kelompok, dialog tidak diarahkan, simulasi dan film
(3) Tindakan/ melakukan (psikomotorik)
Latihan dalam keterampilan
Metode yang mendorong tindakan = latihan, persiapan dengan demonstrasi atau film demonstrasi
Sumber: van den Ban dan Hawkins (2005)
Persepsi
Litterer (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi adalah: ”the understanding
or view people have of things in the world around them.”
Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa: ”perception is the
interpretation by individuals of how things seem of them, espicially in reference to
how individuals view themselves in relation to the world in which they are
involved.”
Wikipedia (2008) mengartikan persepsi sebagai proses pemahaman ataupun
pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari
36
proses penginderaan terhadap obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar
gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses kognisi dimulai dari persepsi.
Secara teori persepsi dibedakan menjadi: (1) the sense-datum theory, (2) the
adverbial theory, (3) the intentional theory, dan (4) the disjunctive theory
(Stanford Encyclopedia, 2005).
Litterer (Asngari, 1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan
manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui
makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh
persepsi mereka pada suatu situasi. Pengalaman akan berperan pada persepsi
orang tersebut. Persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu
keadaan, fakta atau tindakan. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-
bagian informasi, dengan cepat disusunnya menjadi suatu gambaran yang
menyeluruh. Ada tiga mekanisme pembentukan mekanisme: (1) selectivity, (2)
closure, dan (3) interpretation, yang secara skematis ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
Informasi yang disampaikan kepada seseorang menyebabkan individu yang
bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya,
kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang
bermakna, dan akhirnya terjadi interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi
itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu memegang peranan penting.
Closure
Selectivity
Interpretation
Persepsi
Mekanisme pembentukan persepsi
Informasi sampai ke individu
Pembentukan persepsi
Pengalaman masa silam
Perilaku
37
Litterer (Asngari, 1984) menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu
yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya.
Sebaliknya, bila seseorang beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata,
walau kenyataaannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilaku
atau tindakannya.
Brunner dan Tagiuri (Asngari, 1984) menyatakan bahwa melalui interaksi,
seseorang memperoleh banyak informasi. Hal ini dapat meningkatkan ketepatan
persepsinya. Dalam studinya di Caleta, Australia, Tully (Asngari, 1984)
menemukan bahwa interaksi di antara anggota kelompok akan meluruskan
persepsi dan pengertian yang salah terhadap informasi yang diterimanya.
Interaksi yang didasari oleh persepsi yang realistik akan mendorong tercapainya
kesepakatan, dan selanjutnya meningkatkan motivasi dan tindakan bersama yang
efektif. Sebaliknya, interaksi yang didasari oleh persepsi yang salah terhadap
sesuatu akan menimbulkan pertentangan.
Inovasi
Rogers (2003) dan van den Ban dan Hawkins (2005) berpandangan bahwa
inovasi merupakan suatu ide (gagasan), praktek atau obyek yang dirasakan
sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang (individu) atau unit lain yang
mengadopsi. Tidak menjadi masalah, sejauh dikaitkan dengan perilaku manusia,
apakah ide (gagasan) tersebut secara obyektif dinilai baru atau tidak bila diukur
dengan selang waktu sejak pertama kali digunakan atau ditemukan? Kebaruan
suatu ide bagi seseorang ditentukan oleh reaksinya. Bila ide tersebut merupakan
sesuatu yang baru bagi seseorang, maka dapat dikatakan sebagai suatu inovasi;
tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sistem metrik
misalnya, masih merupakan suatu inovasi bagi beberapa orang Amerika Utara
(Anglo-Saxon), walaupun sistem tersebut telah dikembangkan sekitar 200 tahun
yang lalu. Kemungkinan seseorang telah mengetahui suatu inovasi, tetapi tidak
bersikap mengadopsi atau menolak. Kebaruan suatu inovasi ditunjukkan dengan
adanya pengenalan, persuasi atau suatu keputusan untuk mengadopsi.
Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai
sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau
38
dapat mendorong terjadinya pembaruan dalam masyarakat atau lokalitas tertentu.
Pengertian ”baru” di sini, mengandung makna bukan sekedar ”baru diketahui”
oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara
luas oleh seluruh warga masyarakat setempat dalam arti sikap mental (attitude),
dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh
seluruh warga masyarakat setempat. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa
inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi
mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakan-
gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk kehidupan
masyarakat. Lebih lanjut pengertian inovasi diperluas menjadi: ”Sesuatu ide,
perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak
diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar
warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau
mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan
masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap
individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.”
Menurut pakar sosiologi, inovasi merupakan salah satu butir proses spesifik
yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, di samping tiga butir lainnya
yaitu: penemuan (discovery), invensi (invention), dan difusi (diffusion) (Garcia,
1985). Hagen (Garcia, 1985) berpendapat bahwa inovasi meliputi baik
pencapaian konsep mental baru maupun perubahan yang masuk dalam konsep
tindakan atau dalam bentuk material. Contoh inovasi adalah perencanaan ulang
dari beberapa item perlengkapan fisikal, pekerjaan teknik, pendidikan modern,
industri dan bisnis, dan bahkan suatu kelompok organisasi manusia yang masuk
dalam kelompok aktif yang menanamkan konsep baru dalam latihan. Dalam
inovasi, baik kreativitas maupun sikap yang tepat diperlukan untuk memperbaiki
hasil atau latihan. Dalam inovasi, seseorang menemukan lebih baik dan lebih
efisien melalui kecerdasannya, imajinasi dan orisinalitas. Penerimaan terhadap
sikap yang diinginkan, hanya dalam lingkup inovasi tempat seseorang
mendapatkan kepuasan.
Teori tentang perubahan berencana (Lippitt et al., 1958) dapat digunakan
sebagai alat analisis untuk menelaah pendekatan yang dapat mendorong terjadinya
39
perubahan perilaku suatu komunitas. Dalam melakukan pembaruan, paling tidak
terdapat tujuh tahapan proses pembaruan, yaitu:
(1) Tahap 1: Mengembangkan kebutuhan untuk berubah (Development of a need
for change, “unfreezing”). Pada fase ini perlu dikembangkan suatu kesadaran
akan masalah-masalah yang dihadapi serta keinginan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Tanpa kesadaran terhadap masalah tidak mungkin
ada keinginan untuk melakukan pembaruan.
(2) Tahap 2: Membentuk suatu perubahan hubungan (Establishment of a change
relationship). Perlu dibangun kesamaan pandangan atas masalah-masalah
yang dihadapi klien, antara penyuluh dengan klien sehingga memudahkan
penyuluh dalam membantu klien menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi.
(3) Tahap 3,4,5: Bekerja menuju perubahan (Working toward change, “moving”).
Sebelum menyusun program kerja paling tidak ada tiga hal yang harus
dilakukan, yaitu: Tahap 3: mengklarifikasi atau mendiagnosis permasalahan-
permasalahan klien; Tahap 4: menguji alternatif tujuan, menetapkan tujuan
dan tindakan-tindakan yang tepat; Tahap 5: menterjemahkan apa yang telah
ditetapkan dan direncanakan dalam tindakan nyata.
(4) Tahap 6: Mengeneralisasikan dan memantapkan suatu perubahan
(Generalization and stabilization of change, “ freezing”). Tahap ini dilakukan
untuk memastikan pembaruan-pembaruan yang dilakukan benar-besar sesuai
dengan karakteristik permanen dari sistem. Dengan demikian pembaruan
yang dilakukan tetap bertahan dan tidak hilang begitu saja setelah program
pembaruan dilakukan.
(5) Tahap 7: Pencapaian akhir suatu hubungan (Achieving a terminal
relationship). Proses ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
kebergantungan yang mendalam antara klien dengan penyuluh.
Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi
Difusi beberapa inovasi dari pertama diperkenalkan dalam beberapa tahun
menyebar penggunaannya, sebagai contoh dari tahun 1989-2002, penduduk
Amerika dewasa yang mengadopsi internet telah mencapai 71 persen. Kecepatan
40
adopsi merupakan kecepatan relatif di tempat suatu inovasi diadopsi oleh anggota
suatu sistem sosial. Biasanya kecepatan adopsi diukur berdasarkan jumlah
individu yang mengadopsi suatu ide baru dalam periode waktu tertentu, misalnya
dalam satu tahun. Ciri inovasi merupakan satu hal penting yang menjelaskan
kecepatan adopsi suatu inovasi (Rogers, 2003).
Ciri-ciri Inovasi
(1) Keuntungan relatif (relative advantage): tingkatan suatu inovasi dianggap
lebih baik daripada ide sebelumnya, seringkali dinyatakan sebagai keuntungan
ekonomi, prestise sosial, atau dengan cara lain. Keuntungan relatif merupakan
rasio keuntungan yang diharapkan dengan biaya adopsi suatu inovasi. Sub
dimensi keuntungan relatif termasuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang
rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat waktu dan
tenaga, imbalan yang segera didapat. Faktor terakhir yang menjelaskan
mengapa kecepatan adopsi inovasi preventif biasanya rendah. Inovasi
preventif merupakan ide baru yang diadopsi individu saat ini dan peluang
memperkirakan masa mendatang rendah. Sebagai contoh: berhenti merokok,
menggunakan sabuk pengaman mobil, mengadopsi praktek konservasi tanah,
memeriksa kanker payudara, mendapat suntikan untuk melawan penyakit,
pencegahan HIV/AIDS, dan metode adopsi kontrasepsi. Keuntungan relatif
inovasi preventif sulit didemonstrasikan oleh agen pembaruan kepada klien,
karena keuntungannya baru diperoleh di masa mendatang dan tidak
mengetahui waktunya, ketidakpastiannya tinggi.
(2) Kesesuaian (compatibility): tingkatan suatu inovasi dianggap konsisten
dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensial
adopter. Hal ini akan membantu individu memahami ide baru, sehingga lebih
mudah mengenal (familiar). Suatu inovasi dapat sesuai atau tidak dengan: (a)
nilai-nilai sosiobudaya, (b) ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya,
dan/atau (c) kebutuhan klien akan inovasi. Seperti varietas padi yang
diperkenalkan International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 1960,
tidak sesuai dengan rasa yang diinginkan masyarakat. Empat puluh tahun
kemudian, petani India masih menanam (sedikit) varietas padi lokal
(tradisional) untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan jenis padi IRRI untuk
41
dijual. Saat ini ahli pemuliaan tanaman IRRI telah mulai memperkenalkan
varietas padi baru yang sesuai dengan selera konsumen, seperti halnya
produksi yang tinggi. Kesesuaian suatu inovasi tidak hanya dengan nilai-nilai
budaya, tetapi juga dengan ide sebelumnya; dan ini dapat mempercepat
kecepatan adopsi. Ide-ide lama merupakan alat mental utama yang digunakan
individu untuk akses terhadap ide-ide baru dan memaknainya. Salah satu
indikasi kesesuaian inovasi adalah tingkatan pemenuhan kebutuhan yang
dirasakan klien. Agen pembaruan menentukan kebutuhan klien dan
merekomendasikan inovasi yang memenuhi kebutuhan tersebut. Agen
pembaruan harus memiliki tingkat empati yang tinggi dan akrab dengan klien
agar dapat memperkirakan kebutuhan klien dengan tepat. Penyelidikan
informal, kontak interpersonal dengan klien, dan survai terhadap klien dapat
digunakan untuk menentukan kebutuhan inovasi. Di sini agen pembaruan
harus berhati-hati dalam menggali kebutuhan klien, jangan sampai hanya
merupakan refleksi kebutuhan agen pembaruan.
(3) Kerumitan (complexity): tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk
dipahami dan digunakan. Ide baru dapat diklasifikasikan dalam kontinum
rumit-sederhana. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dipahami oleh
adopter yang potensial, sedangkan yang lain tidak. Kerumitan suatu inovasi
dianggap oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan negatif dengan
kecepatan adopsi. Kerumitan mungkin tidak demikian penting dibandingkan
dengan keuntungan relatif atau kesesuaian untuk beberapa inovasi, tetapi
beberapa ide baru yang rumit merupakan suatu rintangan untuk diadopsi.
(4) Dapat diujicoba (trialability ): tingkatan suatu inovasi dapat dicoba dengan
skala yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba, biasanya lebih cepat
diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba. Beberapa inovasi lebih
sulit untuk dicoba, dibandingkan dengan yang lain. Individu yang mencoba
suatu inovasi merupakan salah satu cara untuk memberikan makna pada suatu
inovasi dan menemukan cara bagaimana bekerja dengan kondisi yang ada
pada dirinya. Dapat dicobanya suatu inovasi dianggap oleh anggota sistem
sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsi. Jika suatu inovasi
dirancang lebih mudah dicoba, maka akan lebih mempercepat adopsi.
42
(5) Dapat diamati (observability): tingkatan hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh
orang lain. Beberapa ide mudah diamati dan dikomunikasikan kepada
masyarakat, namun terdapat juga inovasi yang sulit diamati ataupun
digambarkan kepada orang lain. Dapat diamatinya suatu inovasi dianggap
oleh anggota suatu sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan
adopsi.
Kecepatan Adopsi Inovasi
Sebagian besar perbedaan kecepatan adopsi suatu inovasi, dari 49-87
persen, dapat dijelaskan dengan lima karateristik: keuntungan relatif, kesesuaian,
kerumitan, dapat diujicoba dan dapat diamati. Selain kelima karateristik tersebut,
terdapat peubah lain seperti: (1) tipe keputusan inovasi (opsional, kolektif dan
otoritas), (2) saluran komunikasi yang menyebarkan inovasi pada berbagai kondisi
dalam proses keputusan inovasi, (3) sistem sosial di tempat inovasi disebarkan,
dan (4) tingkat upaya promosi agen pembaruan dalam menyebarkan inovasi, yang
mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi (Rogers, 2003).
Secara umum keputusan inovasi secara optional yang dilakukan individu
lebih cepat dibandingkan bila dilakukan oleh suatu organisasi. Lebih banyak
orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kecepatan adopsinya
semakin lambat. Berarti salah satu cara untuk mempercepat adopsi suatu inovasi
adalah berupaya memilih unit pengambilan keputusan yang lebih sedikit
melibatkan orang (individu).
Saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan suatu inovasi
mungkin juga mempunyai pengaruh terhadap kecepatan adopsi suatu inovasi.
Misal, jika saluran komunikasi interpersonal (daripada saluran media massa)
menimbulkan kesadaran-pengetahuan, seperti yang sering terjadi pada pengikut
akhir (later adopter), kecepatan adopsinya berjalan lambat. Pada suatu sistem
sosial alami, seperti norma-norma, dan tingkatan struktur jaringan komunikasi
saling berhubungan erat, juga berdampak pada kecepatan adopsi suatu inovasi.
Kecepatan adopsi suatu inovasi juga dipengaruhi oleh upaya promosi agen
pembaruan. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan upaya agen pembaruan,
mungkin tidak langsung dan linear. Suatu hasil terbesar dari sejumlah kegiatan
agen pembaruan pasti terdapat tahapan-tahapan dalam suatu difusi inovasi.
43
Respon terbesar dari upaya agen pembaruan terjadi ketika pemuka pendapat
mengadopsi, di suatu tempat biasanya terjadi antara 3-16 persen mengadopsi
dalam sebagian besar sistem. Inovasi akan terus disebarkan dengan upaya promosi
yang lebih sedikit oleh agen pembaruan, setelah titik kritis pengadopsi tercapai.
Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat
diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan
(cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri
seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada
masyarakat sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar ”tahu”
tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar
serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi
tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh
orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: pengetahuan, sikap dan
keterampilannya. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian
pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi dapat digambarkan
sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi
sampai dengan terjadinya perubahan, seperti ditampilkan pada Gambar 2
(Mardikanto, 1993).
Gambar 2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993)
Proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/
menerapkan, meskipun selang waktu antara tahapan yang satu dengan yang
lainnya tidak selalu sama. Dalam setiap tahapan adopsi, terdapat faktor pribadi
dan lingkungan yang berpengaruh (Tabel 4).
KOGNITIF pengetahuan
PSIKOMOTORIK keterampilan
INFORMATIF
INOVASI pesan
Persuasif dan entertainment
AFEKTIF sikap
ADOPSI INOVASI perubahan perilaku
44
Tabel 4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi
Tahapan Adopsi Faktor Pribadi Faktor Lingkungan
(1) Sadar - Kontak dengan sumber-sumber informasi di luar masyarakatnya
- Kontak dengan individu dan kelompok dalam masyarakatnya
- Tersedianya media komunikasi
- Adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat
- Bahasa dan kebudayaan
(2) Minat - Tingkat kebutuhan - Kontak dengan sumber
informasi - Keaktifan mencari sumber
informasi
- Adanya sumber informasi secara rinci
- Dorongan dari warga masyarakat setempat
(3) Menilai - Pengetahuan tentang keuntungan relatif dari praktek yang bersangkutan
- Tujuan dari usahataninya
- Penerangan tentang keuntungan relatif
- Pengalaman petani lain - Tipe pertanian dan derajat
komersialisasinya
(4) Mencoba - Keterampilan spesifik - Kepuasan pada cara-cara
lama - Keberanian menanggung
resiko
- Penerangan tentang cara-cara praktek yang spesifik
- Faktor-faktor alam - Faktor-faktor harga input
dan produk
(5) Menerapkan - Kepuasan pada pengalaman pertama
- Kemampuan mengelola dengan cara baru
- Analisis keberhasilan/ kegagalan
- Tujuan dan minat keluarga
Sumber: Slamet (Mardikanto, 1993)
Proses adopsi tersebut terdiri atas lima tahap (Lionberger, 1968; Rogers dan
Shoemaker, 1971; Mardikanto, 1993), yaitu:
(1) Tahap kesadaran, yaitu seseorang (sasaran) mulai sadar tentang adanya
inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
(2) Tahap menaruh minat, sering ditandai oleh keinginan seseorang (sasaran)
untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
(3) Tahap penilaian, yaitu seseorang (sasaran) melakukan penilaian terhadap
inovasi, baik aspek teknis, ekonomi, maupun sosial budaya, dikaitkan dengan
45
kondisi sasaran tersebut pada saat ini dan masa mendatang serta menentukan
mencobanya atau tidak.
(4) Tahap mencoba: seseorang (sasaran) menerapkan inovasi dalam skala kecil
untuk menentukan kegunaan dan kesesuaian dengan kondisi orang tersebut.
(5) Tahap penerimaan atau menerapkan dengan keyakinan berdasarkan penilaian
dan uji coba yang telah dilakukan.
Lionberger (1968) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi, yakni:
(1) Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani
yang lebih muda.
(2) Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi
pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi
pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung
semakin mudah menerima praktek-praktek baru.
(3) Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme,
orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas
didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin
dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan
penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain,
keterdedahan terhadap sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya,
dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.
(4) Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani
cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.
(5) Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi,
karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
(6) Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung
semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi
mendapatkan simbol status).
(7) Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinas-
dinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya
masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani.
46
(8) Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovasi maka semakin lambat
tingkat adopsinya. Berikut contoh dari yang paling cepat diterima, hingga
yang paling sulit:
(a) Perubahan hanya di bahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau
pelaksanaan (misal: varietas baru suatu benih).
(b) Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam bahan
atau alat (misal: perubahan dalam rotasi tanaman).
(c) Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour
cropping).
(d) Perubahan total kegiatan usaha (misal: dari usahatani tanaman ke
peternakan).
Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek
pertanian, seperti:
(a) Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat
diadopsi dibandingkan dengan modal kecil.
(b) Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekkan, maka akan lebih
cepat diadopsi.
(c) Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode
konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi.
(d) Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya, lebih
lambat diadopsi.
(e) Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat
akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin
dilakukan.
(9) Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas
dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu
inovasi.
Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi dibedakan atas: (1) saluran interpersonal dan media
massa; serta (2) saluran lokalit dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal
merupakan saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka (sumber dan
penerima) antara dua orang atau lebih. Misalkan rapat atau pertemuan kelompok,
47
tanya jawab antara petani dengan penyuluh. Saluran media massa merupakan
alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber dapat menjangkau
khalayak dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang,
misalkan televisi, radio, film, surat kabar, buku dan sebagainya. Perbedaan
penting antara saluran media massa dan interpersonal ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik saluran komunikasi
Saluran Karakteristik Media massa Interpersonal
(1) Arus pesan Cenderung satu arah Cenderung dua arah
(2) Konteks komunikasi Mentransmisikan pesan melalui media
Tatap muka
(3) Kemungkinan umpan balik Rendah Tinggi
(4) Kemampuan mengatasi proses selektif (selective exposure)
Rendah Tinggi
(5) Kecepatan menjangkau khalayak dalam jumlah besar
Relatif cepat dan efisien
Relatif lambat
(6) Kemungkinan untuk menyesuaikan pesan dengan penerima
Kecil Besar
(7) Biaya yang diperlukan untuk menjangkau per orang
Rendah Tinggi
(8) Kemungkinan pesan diabaikan oleh penerima
Tinggi Rendah
(9) Pesan yang sama bagi semua penerima pesan
Ya Tidak
(10) Pihak pemberi informasi Pakar atau penguasa Setiap orang
(11) Efek yang mungkin dihasilkan
Perubahan pengetahuan
Perubahan dan pembentukan sikap
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971); Rogers (2003)
Saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit, jika menghubungkan
sumber di atau dari luar sistem sosial. Sebagai contoh seorang anggota sistem
sosial melakukan perjalanan ke luar daerah untuk menjumpai sumber informasi.
Dapat juga seseorang dari luar daerah yang berkunjung ke dalam sistem sosial dan
mengadakan pertemuan dengan anggota sistem sosial untuk menyampaikan
48
informasi. Saluran interpersonal dikatakan lokalit bila kontak langsung yang
terjadi sebatas daerah atau sistem sosial itu saja. Sebaliknya saluran media massa
dapat dipastikan bersifat kosmopolit.
Keputusan Petani
Dalam kegiatan usahatani terdapat sejumlah kendala yang berada diluar
kemampuan petani, namun terdapat beberapa hal yang dapat dikontrol. Kontrol
disini berarti bahwa petani dapat mengambil keputusan mengenai penggunaan
faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal dan penjualan
produk. Derajat kontrol terhadap faktor produksi usahatani dan produknya
bergantung pada organisasi sosial dan masyarakatnya, yaitu direncanakan secara
terpusat atau lebih berorientasi terhadap pasar (FAO, 1990). Untuk analisis
usahatani, perlu mengetahui derajat kebebasan yang dimiliki rumah tangga tani
dalam pengambilan keputusan. Terdapat beberapa jenis keputusan yang dapat
dibuat oleh rumah tangga tani, berdasarkan orientasi terhadap: (1) produksi, (2)
penggunaan sumberdaya, (3) investasi, (4) likuiditas, yakni banyaknya uang tunai
yang dibutuhkan rumah tangga tani, (5) pengolahan dan pemasaran, serta (6)
komunitas (seperti partisipasi dalam suatu organisasi petani, peningkatan status,
apa yang diharapkan komunitas dari usahatani dalam hal produksi, waktu).
Semua keputusan tersebut diambil dari sudut pandang tujuan-tujuan rumah
tangga tani seperti tujuan dasar yang terkait dengan kebutuhan biologis (pangan,
sandang, papan, dan pemeliharaan kesehatan); serta tujuan sosial yang terkait
dengan lingkungan. Tujuan sosial mengacu pada peran dan fungsi yang dimiliki
rumah tangga tani dalam komunitasnya. Perilaku anggota rumah tangga tani
seringkali ditentukan oleh tradisi dan nilai-nilai. Perasaan sebagai manusia
seringkali berhubungan dengan derajat keberhasilan dalam mencapai tujuan
sosial. Pendekatan lain yang secara tidak langsung mengarah ke identifikasi
tujuan adalah analisis kebutuhan dan permasalahan yang dirasakan. Pada
tingkatan yang lebih jauh lagi dalam pembangunan pertanian, banyak tujuan sosial
yang diperoleh dengan peningkatan produksi dan pendapatan. Simbol-simbol
status merupakan hal yang individual, seperti memiliki beberapa ekor sapi cukup
untuk meningkatkan status sosial seseorang.
49
Kinerja Usahatani
Untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja usahatani petani, perlu
mengidentifikasi apakah teknologi yang diterapkan petani dalam usahataninya
mampu mencapai tujuan yang diinginkan? Tujuan petani dalam mengelola
usahatani antara lain : (1) mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun, (2)
memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan dan kesehatan, (3)
mampu memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya, (4) mampu menabung untuk
jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima masyarakat serta memperoleh
penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990).
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang
tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Pengukuran kinerja adalah
suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber
daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa; hasil kegiatan
dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan (Akuntansi Sektor Publik, 2008).
ARDictionary (2008) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai berikut:
The act of performing; of doing something successfully; using knowledge as
distinguished from merely possessing it; “ they criticised his performance as
mayor"; "experience generally improves performance.”
Hasil kajian BPTP Jawa Tengah menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan
usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan konsolidasi manajemen
usahatani dalam Corporate Farming (CF). Perbaikan tersebut bisa terjadi apabila
ada peningkatan produktivitas, penurunan input produksi dan peningkatan harga
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Struktur dan tingkah laku pasar produk
usahatani strategis mengikis manfaat konsolidasi pengelolaan usahatani dalam
CF. Analisis kinerja usahatani korporasi ini difokuskan pada aspek-aspek alokasi
dan pengelolaan sumber daya, produksi dan harga produk yang dihasilkan
(Sarjana et al., 2008).
50
Menurut Sulistiyani (Wikipedia, 2009), kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil
kerjanya. Hasibuan (Wikipedia, 2009) mengemukakan kinerja (prestasi kerja)
adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas
yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu. Witmore (Wikipedia, 2009) mendefinisikan kinerja
adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan,
suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.
Karakteristik usahatani komersial yang sudah berkembang secara efisien
dan produktif menurut FAO (1990) adalah:
(1) Tingkat spesialisasi yang tinggi, orientasi pasar secara penuh.
(2) Padat modal, pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, penggunaan
alsintan, handling yang baik, perkandangan yang baik, dan memungkinkan
rasio lahan/orang atau ternak/orang yang lebih tinggi.
(3) Input tenaga kerja yang rendah.
(4) Teknologi tinggi dengan input yang tinggi, benih atau bibit ternak yang
berkualitas, asuransi tanaman/ternak.
(5) Manajemen yang baik.
(6) Produksi per area atau per ekor ternak per hari yang tinggi, produktivitas
tenaga kerja/hari yang tinggi, tingkat pengembalian modal tunai yang tinggi
dan cepat.
(7) Penanganan pascapanen sudah secara industri, rantai pemasaran
berkembang dengan baik, jaringan agribisnis yang efisien.
(8) Sistem pendukung berkembang dengan baik (perbankan, kredit, bengkel
alsintan, penyuluhan organisasi petani, sarana komunikasi dan transportasi).
(9) Tersedianya suplai input dengan sistem penyampaian yang cepat.
(10) Petani memiliki rumah yang memadai, dengan peralatan modern seperti
televisi, air ledeng, listrik dan telepon.
(11) Sistem jaminan sosial berkembang seperti asuransi kesehatan, dan
pendidikan yang memadai.
51
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Lahan kering marjinal mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk
usaha pertanian. Melalui inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan
kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan biofisik, sosial budaya serta
kapasitas petani, maka hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan
pendapatan petani. Inovasi dapat berasal dari luar sistem sosial, namun perlu
digali potensi sumberdaya yang ada dalam sistem sosial setempat.
Dengan mengacu pada teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi, model
lima tahapan dalam proses keputusan inovasi, memperhatikan karakteristik unit
pengambil keputusan yang mencakup karakteristik sosial ekonomi, karakteristik
pribadi dan perilaku komunikasi digunakan sebagai peubah bebas. Ciri-ciri
inovasi meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan
dapat diamati. Difusi merupakan proses suatu inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial.
Menurut Beal dan Bohlen (Hubbard dan Sandmann, 2007), dalam kerangka
difusi mencakup beberapa "sub-teori" atau konsep. Konsep-konsep ini secara
bersamaan memberikan pemahaman tentang sifat alami dan sifat sosial manusia,
termasuk bagaimana informasi baru diterima (atau tidak diterima) oleh pengguna
potensial? Komponen dari kerangka difusi klasik termasuk teori keputusan
inovasi, teori keinovatifan individu, teori tingkat adopsi, dan teori lambang/simbol
yang digunakan sebagai atribut (theory perceived attributes) (Rogers, 2003).
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan dibatasi pada teori keputusan inovasi,
di samping teori yang berkaitan dengan aspek komunikasi dan saluran
komunikasi, yang relevan dengan keputusan adopsi oleh individu. Beberapa faktor
di luar kerangka difusi tetapi berkaitan dengan keputusan adopsi, juga digunakan
dalam penelitian ini yakni dukungan iklim usaha dan penyuluhan (dilihat dari
persepsi petani).
Proses keputusan inovasi merupakan suatu proses mental sejak seseorang
mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap
inovasi tersebut, mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak,
52
mengimplementasikan ide baru dan membuat konfirmasi atas keputusan tersebut.
Proses ini terdiri atas rangkaian pilihan dan tindakan individu dari waktu ke waktu
atau suatu sistem evaluasi ide baru dan memutuskan mempraktekkan inovasi atau
menolaknya. Perilaku ketidakpastian dalam memutuskan tentang suatu alternatif
baru ini terkait dengan ide yang telah ada sebelumnya. Sifat suatu inovasi dan
ketidakpastian berhubungan dengan sifat tersebut yang merupakan aspek khusus
dari pengambilan keputusan inovasi (Rogers, 2003).
Kerangka berpikir dibangun dengan mengintegrasikan teori Rogers (2003)
tentang proses keputusan inovasi, syarat-syarat pokok pembangunan pertanian
(Mosher, 1966) dan dukungan untuk membangun pertanian yang modern di
pedesaan (Mosher, 1978) serta aspek penyuluhan (UU RI No. 16 Tahun 2006;
van den Ban dan Hawkins, 2005; Spencer dan Spencer,1993; Lippitt et al.,1958).
Dalam merakit inovasi teknologi pertanian di lahan kering marjinal diperlukan
keterlibatan penyuluhan, tidak hanya penyuluh namun juga partisipasi petani. Di
masa lalu pendekatan penyuluhan yang terfokus pada transfer teknologi terbukti
hanya menimbulkan permasalahan pada petani (Röling, 1988; Pretty,1995). Pada
prinsipnya, penyuluhan merupakan proses yang sistematis untuk membantu petani
menyelesaikan masalah secara mandiri, sehingga pendekatan penyuluhan perlu
memprioritaskan kebutuhan partisipan penyuluhan. Penyuluhan adalah proses
perubahan berencana secara berkesinambungan, di dalamnya tercakup kegiatan
pembelajaran bagi individu, kelompok, organisasi, komunitas, hingga masyarakat
yang lebih luas guna melakukan transformasi atau perbaikan situasi (situation
improvement) melalui perubahan perilaku (Amanah, 2000).
Inovasi yang diteliti adalah teknologi usahatani terpadu. Istilah terpadu
diartikan pemanfaatan sumberdaya yang ada (sesuai potensi) yang disinergikan
antar komponen, sehingga menghasilkan output yang tinggi. Konsep usahatani
terpadu merupakan keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman
digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk
organik untuk tanaman. Dalam penelitian ini, lima tahapan dalam proses
keputusan inovasi (Rogers, 2003) hanya dibatasi pada satu tahap saja, yakni tahap
keputusan inovasi, untuk menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel.
Hal ini mengingat setiap tahapan dalam proses keputusan inovasi memerlukan
53
durasi waktu yang tidak sama, dan untuk menggali informasi pada setiap tahapan
yang telah terlewati memerlukan waktu yang lama, karena penelitian tidak
dilakukan pada tahap awal (pengenalan). Selain itu, dalam penelitian ini
keputusan (Y1) adopsi inovasi antara dua lokasi penelitian ditetapkan pada tahun
yang berbeda, yakni Kabupaten Cianjur pada tahun 2007 dan Kabupaten Garut
pada tahun 2005. Keputusan adopsi inovasi petani di lahan kering marjinal
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) karakteristik petani (yang mencakup
karakteristik sosial ekonomi petani dan karakteristik pribadi petani), (2) perilaku
komunikasi petani, (3) dukungan iklim usaha, (4) persepsi petani terhadap
penyuluhan, (5) persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan (6) persepsi petani
terhadap pengaruh media/informasi. Keseluruhan proses ini diduga berpengaruh
terhadap kinerja usahatani di tingkat petani. Diagram kerangka berpikir
ditampilkan pada Gambar 3.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan:
(1) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dan dukungan iklim usaha,
berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.
(2) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, dan
persepsi petani terhadap penyuluhan, berpengaruh nyata pada persepsi petani
terhadap ciri-ciri inovasi.
(3) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap
pengaruh media/informasi berpengaruh nyata terhadap keputusan petani
dalam adopsi inovasi.
(4) Keputusan petani dalam mengadopsi inovasi berpengaruh nyata pada kinerja
usahatani.
Gambar 3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marjinal
Perilaku Komunikasi Petani (X2) X2.1 Kerjasama X2.2 Tingkat Kekosmopolitan X2.3 Keterdedahan thd media
Dukungan Iklim Usaha (X3) X3.1 Ketersediaan Input (saprodi) X3.2 Ketersediaan Fasilitas Keuangan
(KUD, Bank) X3.3 Ketersediaan Sarana
Persepsi Petani terhadap Ciri Inovasi (X5)
(Teknologi lokal dan anjuran) X5.1 Keuntungan relatif X5.2 Kesesuaian X5.3 Kerumitan X5.4 Dapat diujicoba X5.5 Dapat diamati
Karakteristik Petani (X1) X1.1 Umur X1.2 Pendidikan X1.3 Tingkat Pendapatan X1.4 Tingkat Mobilitas X1.5 Luas Lahan X1.6 Daya Beli Saprodi X1.7 Tingkat Rasionalitas X1.8 Tingkat Intelegensi X1.9 Sikap terhadap Perubahan X1.10 Tingkat Keberanian Beresiko
Persepsi Petani terhadap Penyuluhan (X4) X4.1 Kompetensi Penyuluh X4.2 Peran Penyuluh X4.3 Materi/Substansi Penyuluhan X4.4 Metode Penyuluhan
Persepsi Petani thd Pengaruh Media/Informasi (X6)
X6.1 Media massa X6.2 Interpersonal
Keputusan (Y1) Y1.1 Penentuan komoditas Y1.2 Penggunaan saprodi
Adopsi Tidak Adopsi
Kinerja Usahatani (Y2)
Menolak Adopsi Adopsi Menolak
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian dirancang dengan metode survai yang bersifat eksplanasi, yakni
menjelaskan fenomena perilaku petani yang terjadi dalam tahapan proses
keputusan inovasi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu, petani
sebagai responden penelitian. Sebagai peubah bebas adalah karakteristik petani
(karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik kepribadian petani), perilaku
komunikasi petani, dukungan iklim usaha, persepsi petani terhadap penyuluhan,
persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan pengaruh media/informasi. Peubah
terikat adalah keputusan adopsi inovasi teknologi dan kinerja usahatani di tingkat
petani.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Provinsi Jawa Barat memiliki 1,64 juta ha lahan kering atau sekitar 29 persen
dari luasan lahan kering di Pulau Jawa (5,64 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, 2001). Pada tahun 2008, penggunaan lahan di Jawa Barat untuk
lahan tegalan/kebun mencapai 576.565 ha, lahan ladang/huma 221.749 ha dan
lahan yang sementara tidak diusahakan 12.487 ha. Total luasan penggunaan lahan
untuk pertanian baru mencapai 798.314 ha atau sekitar 48,7 persen dibandingkan
total potensi yang ada (Badan Pusat Statistik, 2009).
Melihat potensi tersebut, maka penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 – Maret 2009. Penentuan
lokasi, berdasarkan pada agroekosistem lahan kering dengan tipologi yang berbeda,
yakni dataran tinggi dan dataran rendah, masing-masing adalah Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Garut. Setiap kabupaten dipilih satu kecamatan, yang merupakan
lokasi atau wilayah inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan dan
tersentralisir pada satu desa, yakni Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten
Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Desa Talaga,
Kecamatan Cugenang berada pada ketinggian 700-1.100 meter di atas permukaan
laut (dpl), dengan tingkat kemiringan lahan 2-15 persen. Desa Jatiwangi, Kecamatan
56
Pakenjeng, berada pada ketinggian 240-860 meter dpl, dengan topografi datar
sampai berbukit, berombak sampai berbukit dan berbukit sampai bergunung.
Wilayah yang diperkenalkan inovasi usahatani terpadu di Desa Talaga berada pada
ketinggian > 700 meter dpl, sehingga dikategorikan sebagai wilayah dataran tinggi,
sedangkan di Desa Jatiwangi < 700 meter dpl, termasuk wilayah dataran rendah.
Inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani di dua kabupaten tersebut,
adalah inovasi Prima Tani berupa: (1) inovasi teknologi dan (2) inovasi
kelembagaan. Namun hasil pengamatan pada waktu pra survai di lapangan,
inovasi kelembagaan belum berjalan dengan baik, sehingga penelitian ini dibatasi
hanya pada inovasi teknologi. Secara konsep inovasi teknologi yang
diperkenalkan merupakan inovasi usahatani terpadu (tanaman dengan ternak).
Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah inovasi teknologi usahatani
terpadu.
Di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur inovasi teknologi
usahatani terpadu yang diperkenalkan sejak tahun 2007 berupa teknik budidaya
tanaman pisang (pengaturan jarak tanam, penjarangan anakan, pemupukan,
pemotongan jantung, pembrongsongan dan penggunaan trichoderma), teknik
budidaya cabai rawit dan caisin. Teknologi ternak domba berupa sanitasi kandang,
sistem perkandangan, pemberian obat cacing. Selain itu pembuatan kompos dari
limbah ternak dan tanaman pisang, yang kemudian digunakan sebagai pupuk bagi
tanaman pisang. Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani
di Desa Talaga tertera pada Lampiran 3.
Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan di Desa Jatiwangi,
Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, sejak tahun 2005 berupa konservasi lahan,
teknik budidaya nilam, padi gogo, pisang dan kacang tanah (pembenihan,
penanaman, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit), penanganan
pascapanen, ternak domba, pembuatan kompos serta pembibitan buah-buahan
(rambutan dan durian). Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada
petani di Desa Talaga tertera pada Lampiran 4.
57
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang berada di kedua
desa penelitian (Desa Talaga dan Desa Jatiwangi). Mengingat anggota populasi
petani lahan kering marjinal terdapat petani yang mengadopsi inovasi teknologi
usahatani terpadu dan petani yang tidak mengadopsi, maka teknik pengambilan
sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random
sampling). Penentuan banyaknya responden yang dijadikan sampel penelitian
berdasarkan pada tingkat representatif dan heterogenitas yang diharapkan dari
populasi penelitian. Ketersediaan waktu, biaya dan tenaga juga dijadikan
pertimbangan dalam menentukan jumlah sampel. Penentuan jumlah sampel
penelitian menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al., 1993) sebagai berikut:
n = { N/[1 + N(e)2]}
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi) ditentukan sebesar 5 persen
Data Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di Desa Talaga,
Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan
Pakenjeng, Kabupaten Garut diperoleh jumlah populasi petani sebanyak 1.426.
Berdasarkan rumus Slovin tersebut diperoleh perhitungan sebagai berikut:
n = {1.426/[1 + 1.426 (0,05)2]}
n = 1.426/4,565
n = 302,38 atau dibulatkan menjadi 302
Rincian jumlah populasi petani dan sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 6.
Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 302 petani responden di lokasi
penelitian yang diambil secara acak stratifikasi telah memenuhi persyaratan untuk
dilakukan uji statistik. Stratifikasi dipilah berdasarkan petani adopter dan petani
non adopter. Keseluruhan petani (di Cianjur dan Garut) anggota kelompok tani
yang ikut serta dalam program usahatani terpadu dan menerapkan teknologi
tersebut dalam penelitian ini disebut petani adopter. Fakta di lapangan yang
dimaksud dengan petani adopter ialah petani kooperator Prima Tani. Petani yang
58
tidak masuk dalam anggota kelompok tani dan tidak ikut serta dalam program
usahatani terpadu disebut petani non adopter (petani non kooperator Prima Tani).
Tabel 6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian
Populasi Petani Sampel Petani Lokasi
Penelitian Adopsi1)
Non
adopsi Total2)
Adopsi
Non adopsi
Total
(1) Kab. Cianjur Kec. Cugenang - Desa Talaga
103
223
326
46
47
93 (2) Kab. Garut Kec. Pakenjeng - Desa Jatiwangi
190
910
1.100
91
118
209
Total 293 1.133 1.426 137 165 302 Sumber: 1) BPTP Jawa Barat (data diolah)
2) BPP Kecamatan Cugenang dan BPP Kecamatan Pakenjeng
Termonilogi lahan marjinal dalam penelitian ini dibatasi pada lahan kering.
Secara umum lahan kering, lahan pasang surut, dan sawah tadah hujan
mempunyai produktivitas yang relatif rendah dibandingkan dengan sawah irigasi.
Oleh karena itu, ketiga agro ekosistem ini sering digolongkan ke dalam kelompok
lahan marjinal (Swastika et al., 2006). Sesuai dengan istilah sebagai lahan
marjinal, berbagai masalah yang menyebabkan produktivitas rendah dijumpai di
agro ekosistem ini. Lahan kering mempunyai lapisan solum yang tipis dengan
kandungan hara yang rendah, serta topografi yang bergelombang, sehingga rentan
terhadap erosi. Makin sering terjadi erosi makin kritis kondisi lahan, sehingga
makin tidak produktif.
Data dan Instrumentasi
Data
Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data utama yang digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap.
Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara.
Data dari sumber lain (informan kunci) seperti penyuluh, ketua kelompok tani dan
pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara
59
mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi.
Wawancara mendalam (in depth interview) merupakan wawancara yang
dilakukan secara intensif kepada informan, sehingga terelaborasi beberapa elemen
dalam jawaban informan, yakni opini, nilai-nilai (values), motivasi, pengalaman-
pengalaman maupun perasaan informan. Dalam wawancara mendalam, peneliti
memperhatikan jawaban verbal maupun respon-respon non verbal dari informan.
Selain itu juga dilakukan pengamatan partisipatif.
Cakupan data primer terdiri atas data kuantitatif (jawaban pertanyaan
terstruktur dalam kuisioner yang berbentuk angka) dan data kualitatif (data
penjelas dari fenomena yang diamati, baik yang diperoleh dari petani responden
maupun informan kunci, berupa kalimat atau gambar). Data sekunder diperoleh
dari instansi, seperti: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Kantor Desa dan
Badan Pusat Statistik (BPS). Berbagai bahan atau studi yang berkaitan dengan
pemanfaatan lahan pertanian marjinal diperoleh dari perguruan tinggi dan
lembaga penelitian. Data sekunder yang berasal dari sumber-sumber tertulis yang
diinterpretasikan, dapat dikategorikan sebagai data kualitatif (Nawawi dan Hadari,
2006).
Instrumentasi
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan
terstruktur yang berkaitan dengan peubah-peubah yang diteliti. Penelitian
dipandang ilmiah bila instrumen yang digunakan memenuhi persyaratan
kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan
(Kerlinger,2000; Nawawi dan Hadari, 2006).
Kesahihan dan Keterandalan
Kesahihan
Kesahihan (validitas) menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu
mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu
benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur
yang sahih (valid) bila digunakan untuk mengukur berat, karena timbangan
60
memang mengukur berat. Menurut Kerlinger (2000), tipe kesahihan dibedakan
atas: (1) kesahihan isi, (2) kesahihan kriteria, dan (3) kesahihan konstrak.
Penelitian ini menggunakan kesahihan isi. Mengacu pada pendapat Ancok
(1995), bahwa suatu alat ukur dikatakan sahih atau valid bila alat ukur tersebut
dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya akan
diukur. Kesahihan isi suatu alat pengukur ditentukan oleh isi alat pengukur
tersebut yang merepresentasikan semua aspek yang dianggap sebagai aspek
kerangka konsep. Data dengan tingkat kesahihan tinggi diharapkan dapat
diperoleh dari daftar pertanyaan yang memenuhi kriteria:
(1) Mempelajari teori-teori yang relevan dengan substansi penelitian dan
kenyataan yang telah diungkapkan di berbagai kepustakaan.
(2) Menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden.
(3) Memperhatikan masukan dari para ahli, terutama dari Komisi Pembimbing
(4) Melakukan uji coba instrumen (daftar pertanyaan) kepada responden yang
memiliki karakteristik mirip dengan karakteristik petani contoh. Selanjutnya
melakukan perbaikan daftar pertanyaan sesuai dengan hasil uji coba.
Keterandalan
Keterandalan (reliabilitas) merupakan indeks yang menunjukkan suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Bila suatu alat ukur digunakan dua
kali, untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh
relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut terandal. Keterandalan
menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang
sama (Ancok, 1995). Uji keterandalan yang digunakan pada penelitian ini adalah
teknik belah dua (split half reliability) dengan menggunakan program Statistical
Package for the Social Sciences (SPSS) versi 15.0.
Pengujian kesahihan dan instrumen keterandalan dilakukan terhadap 30
petani responden yang memiliki karakteristik yang setipe lokasi penelitian. Hasil
uji kesahihan menunjukkan nilai koefisien korelasi hitung yang tertera pada Tabel
7 dibandingkan dengan angka kritik nilai-r (pada db = 28) lebih tinggi. Angka
kritik pada taraf nyata satu persen dan lima persen, masing-masing sebesar 0,463
dan 0,361. Dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi, maka pernyataan-
61
pernyataan dalam instrumen memiliki kesahihan isi yang sahih dan terandal,
sehingga instrumen yang telah diujicoba, dapat digunakan dalam kegiatan
penelitian.
Tabel 7 Hasil uji kesahihan dan keterandalan instrumen penelitian dengan teknik belah dua
No. Peubah Kisaran nilai koefisien korelasi (per item
pertanyaan)
Keterandalan
(1) Perilaku komunikasi petani (X2) 0,444 – 0,775* 0,9035
(2) Dukungan iklim usaha (X3) 0,449 – 0,859** 0,8980
(3) Persepsi petani terhadap penyuluhan (X4)
0,407 – 0,853* 0,8877
(4) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (X5)
0,419 – 0,878* 0,8981
(5) Pengaruh media/informasi (X6) 0,369 – 0,710* 0,7760
Keterangan: ** nyata pada taraf α = 0,01 * nyata pada taraf α = 0,05
Peubah Penelitian
Terdapat enam peubah bebas dan dua peubah terikat yang diukur. Keenam
peubah bebas tersebut adalah:
X1 = Karakteristik petani (karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik pribadi
petani),
X2 = Perilaku komunikasi petani,
X3 = Dukungan iklim usaha,
X4 = Persepsi petani terhadap penyuluhan,
X5 = Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi,
X6 = Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi.
Peubah terikat dalam penelitian ini adalah:
Y1 = Keputusan adopsi inovasi teknologi,
Y2 = Kinerja usahatani di tingkat petani.
62
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang
jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional
dan pengukuran peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Karakteristik petani mencakup karakteristik sosial ekonomi petani dan
karakteristik pribadi petani. Karakteristik sosial ekonomi petani merupakan
hal yang melekat pada diri petani. Peubah ini meliputi umur, pendidikan
(formal dan non formal), status sosial, tingkat mobilitas dan luas lahan
(Tabel 8):
(a) Umur petani dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun
terdekat dengan waktu penelitian dilakukan.
(b) Pendidikan formal adalah lama pendidikan yang ditempuh di bangku
sekolah, yang dihitung dalam jumlah tahun.
(c) Pendidikan non formal adalah frekuensi mengikuti pendidikan di luar
bangku sekolah, yang diukur dari jumlah mengikuti kegiatan penyuluhan
ataupun plot demonstrasi. Kegiatan penyuluhan merupakan pertemuan
yang dilakukan dengan penyuluh, baik berupa ceramah, diskusi maupun
tanya jawab di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun
terakhir saat penelitian dilakukan. Kegiatan plot demonstrasi terkait
dengan keterlibatan responden dalam pelaksanaan plot demonstrasi
maupun kehadiran dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam
periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.
(d) Tingkat pendapatan merupakan besarnya perolehan penghasilan dari
kegiatan berusahatani, termasuk berburuh tani (on farm) dan kegiatan
usaha lain di luar pertanian (off farm).
(e) Tingkat mobilitas petani diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke
luar desa terkait dengan kegiatan usahatani dalam satu tahun terakhir.
(f) Luas lahan merupakan luasan pengusahaan lahan garapan petani, yang
mencakup luas penguasaan lahan (milik), maupun luasan garapan bukan
milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar.
(g) Daya beli saprodi merupakan tingkat kemampuan atau keterjangkauan
petani secara ekonomis dalam membeli benih/bibit, pupuk dan pestisida.
63
Tabel 8 Sub-peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
A. Karakteristik sosial ekonomi
(1) Umur
Lama tahun kehidupan
Dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan
(2) Pendidikan
- Pendidikan formal
- Pendidikan non formal
Lama pendidikan yang ditempuh petani di bangku sekolah
Frekuensi petani mengikuti pendidikan di luar bangku sekolah
Jumlah tahun selama mengikuti pendidikan formal
- Frekuensi petani mengikuti ceramah,
diskusi ataupun tanya jawab dengan penyuluh yang terkait dengan usaha-tani pertanian dalam periode satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.
- Frekuensi petani dalam keterlibatan pelaksanaan plot demonstrasi, frekuensi petani hadir dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.
(3) Tingkat pendapatan
Sumber pengha-silan dari pertanian dan di luar pertanian
Besarnya perolehan penghasilan dari kegiatan berusahatani (termasuk berburuh tani) dan kegiatan di luar pertanian dari seluruh anggota keluarga dalam satu tahun terakhir
(4) Tingkat mobilitas
Frekuensi petani ke luar desa - Pembelian saprodi - Penjualan produk
Diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa dan jarak tempuh terkait dengan kegiatan usahatani (pembelian saprodi dan penjualan produk) dalam satu tahun terakhir
(5) Luas lahan Luasan pengusahaan lahan garapan petani
Diukur berdasarkan luas penguasaan lahan (milik), maupun luasan garapan bukan milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar
(6) Daya beli saprodi
Kemampuan membeli saprodi
Kemampuan petani dalam membeli benih/bibit, pupuk dan obat-obatan yang dilakukan secara tunai
64
Tabel 8 (lanjutan)
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
B. Karakteristik pribadi petani
(1) Tingkat rasionali-tas
- Kemampuan petani dalam menilai suatu teknologi baru yang diperkenalkan
- Penilaian petani terhadap teknologi usahatani terpadu, baik penilaian negatif/merugikan, positif/ meng-untungkan, maupun kemungkinan merugikan namun juga menguntungkan
(2) Tingkat intelegensi
- Kemampuan petani dalam hal mempertimbang-kan penerapan teknologi baru dan memprediksi manfaatnya
- Kemampuan petani memper-timbangkan pilihan yang ada dalam mengelola usahatani
- Kemampuan petani dalam memprediksi manfaat penerapan teknologi
(3) Sikap terhadap perubahan
Kecenderungan sikap petani terhadap teknologi usahatani terpadu
Diukur berdasarkan:
- Tingkat penerimaan petani terhadap teknologi usahatani terpadu: (1) adaptif (langsung menerima), (2) melihat dulu yang dilakukan petani lain (menerima dengan cara meniru), (3) ragu-ragu (tidak yakin meskipun telah melihat hasil petani lain), (4) menolak perubahan inovasi teknologi
- Tingkat keyakinan petani terhadap peningkatan pendapatan bila menerapkan teknologi usahatani terpadu.
(4) Tingkat keberanian beresiko
Tingkat keberanian petani dalam menanggung suatu kejadian yang buruk
Diukur berdasarkan tingkat keberanian dalam: - Mengganti sarana produksi - Menambah/mengurangi jenis
komoditas yang diusahakan - Menjual hasil langsung ke pasar - Mengembangkan skala usahatani - Mengambil kredit dari bank untuk
menambah modal usahatani
Karakteristik pribadi petani merupakan ciri-ciri bawaan berupa kemampuan
dalam menampilkan diri. Peubah ini meliputi: tingkat rasionalitas, tingkat
intelegensi, sikap terhadap perubahan, tingkat keberanian mengambil resiko:
65
(a) Tingkat rasionalitas merupakan kemampuan berpikir petani yang
diwujudkan dalam bentuk pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif,
dan pendapat modalitas (kemungkinan-kemungkinan); serta ungkapan
perasaan yang dinyatakan dalam sikap petani, terkait dengan inovasi
teknologi usahatani terpadu.
(b) Tingkat intelegensi merupakan kemampuan dalam menetapkan dan
mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu, punya inisiatif
sendiri (tidak menunggu perintah), dapat menyesuaikan cara-cara
menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis,
mempunyai kemampuan belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.
(c) Sikap terhadap perubahan, diukur berdasarkan kecenderungan petani
selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari
informasi, percaya atau tidaknya petani terhadap kegunaan inovasi
teknologi usahatani terpadu, penilaian positif petani terhadap inovasi
teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan.
(d) Tingkat keberanian mengambil resiko merupakan tingkat keberanian
petani dalam menanggung terjadinya suatu kejadian buruk yang
disebabkan oleh suatu tindakan.
(2) Perilaku komunikasi petani merupakan upaya petani mencari informasi
tentang teknologi yang dianggap sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan
lingkungan, termasuk kemampuan dalam menjalin kerjasama dengan
pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan usahatani, penanganan pascapanen,
maupun kegiatan pemasaran (Tabel 9). Peubah ini meliputi: kerjasama,
tingkat kekosmopolitan, keterdedahan terhadap media, yang merupakan sub
peubah.
(a) Kerjasama merupakan kemampuan petani dalam menjalin kerjasama
dengan pihak lain, dilihat dari sikap keaktifan dan keuntungan yang
dirasakan petani, baik yang terkait dengan kegiatan usahatani, penanganan
pascapanen, maupun kegiatan pemasaran.
(b) Tingkat kekosmopolitan merupakan tingkat keterbukaan petani yang
berorientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang
luas.
66
(c) Keterdedahan terhadap media merupakan frekuensi keterjangkauan pesan
melalui media massa dalam satu bulan terakhir dilihat dari jumlah jam
yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi dari media massa, baik
dari media cetak seperti dari surat kabar, buletin, brosur, leaflet, majalah
dan, buku petunjuk teknis usahatani maupun dari media elektronik seperti
dari televisi dan radio, yang terkait dengan kegiatan usahatani ataupun
inovasi teknologi usahatani terpadu.
Tabel 9 Sub-peubah, indikator dan pengukuran perilaku komunikasi petani
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Kerjasama Kemampuan dalam menjalin hubungan kerjasama dengan pihak lain
Intensitas hubungan petani dengan pedagang (input/saprodi dan output/produk), pengolah/ perusahaan, lembaga pembiayaan, penangkar benih, kelompok tani, dan penyuluh
(2) Tingkat kekos-mopolitan
Orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang luas
Frekuensi petani bepergian ke luar desa dalam mengakses informasi: (1) pasar (harga saprodi, harga jual produk, komoditas yang dibutuhkan konsumen), (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan petani; serta (3) kompetisi usaha lain
(3) Keterdedahan terhadap media
Keterjangkauan petani terhadap informasi teknologi usahatani melalui media massa, yang dibedakan atas:
− Media elektronik: televisi, dan radio.
− Media cetak: surat kabar, buletin, brosur, leaflet, majalah mau-pun buku petunjuk teknis usahatani
Diukur berdasarkan jumlah jam dalam satu bulan terakhir saat penelitian dilakukan, yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi teknologi usahatani dari media massa, baik elektronik maupun cetak
67
(2) Dukungan iklim usaha, sebagai wadah proses pembelajaran, wahana
kerjasama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit pemasaran dan
unit jasa penunjang (keuangan) yang berfungsi mendukung kegiatan usahatani
yang dilakukan oleh petani (Tabel 10). Komponen dukungan iklim usaha
diuraikan sebagai berikut:
(a) Ketersediaan input (sarana produksi): kemudahan petani dalam
memperoleh benih atau bibit, pupuk, dan obat-obatan, baik melalui kios
sarana produksi maupun kelompok tani.
(b) Ketersediaan fasilitas keuangan: kemudahan petani dalam mengakses
peminjaman modal usaha pada lembaga keuangan (KUD maupun Bank).
(c) Ketersediaan sarana pemasaran: kemudahan petani dalam memasarkan
produk yang dihasilkan, dengan tersedianya sarana pengangkutan,
prasarana jalan yang memadai dan pasar.
Tabel 10 Sub-peubah, indikator dan pengukuran dukungan iklim usaha
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Ketersediaan input
Adanya kios saprodi yang mudah dijangkau petani
- Tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk dan obat-obatan
- Jarak tempat penjualan saprodi dari lahan petani
(2) Ketersediaan fasilitas keuangan
Akses petani terhadap permodalan
- Prosedur peminjaman ke lembaga keuangan (koperasi, perbankan, Lembaga Perkreditan Desa)
- Jaminan pinjaman yang harus dipenuhi petani
- Tingkat suku bunga per tahun
(3) Ketersediaan sarana pemasaran
Adanya alat transportasi, prasarana jalan dan pasar (tempat transaksi jual beli)
- Kualitas jalan dari lahan petani ke pasar terdekat (aspal, makadam, berbatu, tanah)
- Jenis alat transportasi yang ada ke pasar terdekat
- Lokasi pasar (desa, kecamatan, kabupaten)
68
(3) Persepsi petani terhadap penyuluhan. Penyuluhan merupakan kegiatan
(proses) pembelajaran bagi petani, agar petani mau dan mampu menolong
serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya (Tabel 11):
(a) Persepsi petani terhadap kompetensi penyuluh: penilaian petani terhadap
kemampuan yang melekat pada diri penyuluh berupa pengetahuan, sikap
dan keterampilan yang dimiliki.
(b) Persepsi petani terhadap peran penyuluh: penilaian petani terhadap peran
penyuluh dalam melakukan kegiatan usahatani.
(c) Persepsi petani terhadap materi penyuluhan: penilaian petani terhadap
materi/bahan penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani,
baik tentang usahatani maupun informasi yang dibutuhkan petani.
(d) Persepsi petani terhadap metode penyuluhan: penilaian petani terhadap
cara-cara penyuluh menyampaian materi penyuluhan kepada para petani,
baik melalui media atau komunikasi interpersonal berupa ceramah, diskusi
kelompok, dialog/tanya jawab antara petani-penyuluh, maupun plot
demonstrasi.
Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang
setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi
tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang
setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00).
(4) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi menunjukkan penilaian petani
terhadap lima ciri-ciri inovasi. Petani adopter menilai teknologi usahatani
terpadu, sedangkan petani non adopter menilai teknologi lokal (Tabel 12):
(a) Keuntungan relatif merupakan penilaian petani terhadap inovasi yang
diukur dalam bentuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah,
berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat tenaga dan waktu
serta imbalan yang dapat segera diperoleh.
(b) Kesesuaian suatu inovasi dilihat berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan
sosiobudaya petani, teknologi yang telah diterapkan sebelumnya, dan
kebutuhan petani akan inovasi.
69
Tabel 11 Sub-peubah, indikator dan pengukuran penyuluhan
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Kompetensi penyuluh
Persepsi petani terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki penyuluh
Penilaian petani terhadap kemampuan penyuluh, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan yang melekat pada diri penyuluh
− Pengetahuan: memiliki informasi dengan wawasan yang luas (inovasi, metode dan teknik, potensi sumberdaya, kebutuhan dan permasalahan serta budaya masyarakat)
− Sikap: positif terhadap diri sendiri, keberpihakan pada keadilan, egaliter, partisipatif dan dialogis
− Keterampilan: kemampuan berkomuni-kasi secara efektif, membangun kerja- sama, mengembangkan inovasi secara berkelanjutan, memiliki motivasi dalam mengembangkan kemampuan petani
(2) Peran penyuluh
Persepsi petani terhadap peran penyuluh pada kegiatan usahatani petani
Penilaian petani terhadap peran penyuluh dalam:
− Mendiagnosis masalah petani
− Mengidentifikasi kebutuhan petani
− Memotivasi petani untuk berubah
− Membangun dan memelihara hubungan dengan sistem sosial petani
− Mendorong petani untuk mengadopsi inovasi
− Mendorong petani mengembangkan skala usaha
(3) Materi penyuluhan
Persepsi petani terhadap materi penyuluhan yang disampaikan penyuluh
Penilaian petani terhadap kesesuaian materi penyuluhan (seperti: informasi ataupun teknologi usahatani pertanian) yang disampaikan penyuluh dengan kebutuhan petani
(4) Metode penyuluhan
Persepsi petani terhadap metode penyuluhan yang digunakan penyuluh
Penilaian petani terhadap metode yang digunakan penyuluh (ceramah, diskusi kelompok, dialog/tanya jawab, petak percontohan/plot demonstrasi ataupun penggunaan media: OHP, video, poster, brosur/leaflet, film, LCD-P)
70
Tabel 12 Sub-peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap ciri- ciri inovasi
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Keuntungan relatif
Persepsi petani terhadap suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Keuntungan ekonomi - Biaya awal yang rendah - Berkurangnya ketidaknyamanan - Prestise (kebanggaan) sosial - Hemat waktu dan tenaga - Imbalan yang segera didapat
(2) Kesesuaian Persepsi petani terhadap suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensial petani
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap kesesuaian teknologi dengan: - Nilai-nilai sosiobudaya - Ide-ide yang telah diperkenalkan
sebelumnya - Kebutuhan petani akan inovasi
(3) Kerumitan Persepsi petani terhadap tingkat kerumitan suatu inovasi
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Komponen teknologi - Teknis penerapan - Keterbatasan sumberdaya (lahan, modal, tenaga kerja)
(4) Dapat diujicoba
Persepsi petani terhadap suatu inovasi untuk dapat dicoba dengan skala yang terbatas
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Kemudahan petani dalam
melakukan ujicoba pada skala yang terbatas (sempit)
- Cara petani bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya
(5) Dapat diamati
Persepsi petani terhadap suatu inovasi untuk dapat dilihat oleh orang lain
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: - Kemudahan petani mengamati
hasil yang dicapai dalam penerapan inovasi teknologi
- Keunggulan teknologi yang diperkenalkan dengan teknologi sebelumnya
- Dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas
71
(c) Kerumitan inovasi diukur berdasarkan pandangan petani terhadap tingkat
kesulitan dalam memahami dan menerapkan inovasi teknologi usahatani.
(d) Dapat diujicoba, diukur berdasarkan kemudahan petani dalam melakukan
ujicoba dan cara petani bekerja dengan kondisi yang ada pada dirinya.
(e) Dapat diamati merupakan tingkat kemudahan bagi petani dalam
mengamati hasil yang dicapai dalam penerapan inovasi teknologi dan
dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas.
Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang
setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi
tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang
setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00).
(5) Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi (Tabel 13):
(a) Media massa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan
inovasi, berupa media cetak (leaflet, brosur, buku, dan surat kabar) atau
media elektronik (radio, televisi, telepon genggam dan internet).
(b) Interpersonal merupakan kontak atau pertemuan tatap muka antara dua
orang atau lebih yang terkait dengan penyampaian informasi tentang
inovasi (pertemuan kelompok, perbincangan antar petani, diskusi atau
tanya jawab antara petani dan penyuluh).
Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak setuju), 2 (kurang
setuju), 3 (setuju), dan 4 (sangat setuju), kemudian data dikategorikan menjadi
tiga: 1 (rendah) = tidak setuju-kurang setuju (1,00-2,00); 2 (sedang) = kurang
setuju-setuju (2,01-3,00); dan 3 (tinggi) = setuju-sangat setuju (3,01-4,00).
(6) Keputusan adopsi teknologi merupakan tahap penentuan petani dalam
merespon inovasi teknologi yang dianjurkan. Terdapat dua keputusan yang
dilakukan petani, yakni mengadopsi dan tidak mengadopsi teknologi yang
dianjurkan (Tabel 14). Dengan berjalannya waktu, petani yang mengadopsi
dapat terus berlanjut mengadopsi ataupun berhenti mengadopsi dengan
berbagai alasan. Demikian halnya dengan petani yang tidak mengadopsi
teknologi yang dianjurkan, ada dua kemungkinan keputusan petani, yakni
mengadopsi dan menolak.
72
Tabel 13 Sub-peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap pengaruh informasi/media
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Media massa Persepsi petani terhadap perubahan pengetahuan
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: pengaruh media cetak (leaflet, brosur, buku, dan surat kabar) maupun media elektronik (radio, televisi, telepon genggam dan internet) terhadap kegiatan berusahatani
(2) Interpersonal Persepsi petani terhadap perubahan dan pembentukan sikap
Diukur berdasarkan penilaian petani terhadap: pengaruh penyuluh, tokoh masyarakat, pedagang, maupun sesama petani terhadap kegiatan berusahatani
Tabel 14 Sub-peubah, indikator dan pengukuran keputusan
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Adopsi - Adopsi (berlanjut)
- Menolak (berhenti)
Diukur berdasarkan manfaat yang diperoleh petani dari penerapan teknologi usahatani terpadu yang dianjurkan
(2) Tidak mengadopsi
- Adopsi
- Menolak
Diukur berdasarkan tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi usahatani terpadu
(3) Penentuan komoditas
- Penggunaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan modal)
Diukur berdasarkan pertimbangan petani dalam menentukan komoditas yang diusahakan
(4) Penggunaan saprodi
Kesesuaian penggunaan saprodi dengan rekomendasi penyuluh
Diukur berdasarkan pertimbangan petani dalam menggunakan sarana produksi
(7) Kinerja usahatani, diukur berdasarkan produktivitas, orientasi usaha dan
penanganan hasil atau penanganan pascapanen yang dilakukan petani dalam
kegiatan usahatani di lahan kering marjinal (Tabel 15). Pengukuran
73
produktivitas produk yang dihasilkan petani didekati dengan cara
membandingkan antara produktivitas aktual di tingkat petani dengan
produktivitas potensial. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan usahatani
terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, dilakukan perhitungan antara
pendapatan usahatani dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dalam satu
tahun. Semakin tinggi produktivitas, orientasi usaha yang telah mengarah
komersial, dan penanganan hasil ke produk olahan yang memberikan nilai
tambah bagi petani, maka kinerja usahatani petani tergolong tinggi.
Tabel 15 Sub-peubah, indikator dan pengukuran kinerja usahatani
Sub-Peubah Indikator Pengukuran
(1) Produktivitas petani
Produksi per hektar - Produksi per hektar komoditas yang dominan diusahakan petani
- Tingkat pendapatan usahatani (on farm) dan di luar pertanian (off-farm) dibandingkan dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun
(2) Orientasi usaha
Usahatani telah mengarah komersial atau masih subsisten
- Produk yang dihasilkan telah dijual ke pasar atau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
- Pengetahuan tentang jenis dan mutu produk yang diinginkan pembeli
(3) Penanganan hasil
- Penanganan pascapanen
- Jenis produk
- Upaya yang dilakukan petani setelah panen
- Jenis produk yang dipasarkan: bahan mentah, setengah jadi atau bentuk olahan
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis statistik deskriptif,
dan (2) analisis statistik inferensial. Analisis data deskriptif dilakukan melalui
statistik deskriptif, yakni statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi
gambaran terhadap obyek yang diteliti (petani lahan kering marjinal) tanpa
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Analisis statistik deskriptif
74
mencakup: (1) distribusi frekuensi dan (2) rasio Odds. Analisis data inferensial
dilakukan dengan statistik inferensial, yakni statistik yang berfungsi
mengeneralisasikan hasil penelitian sampel bagi populasi (Muhidin dan
Abdurahman, 2007; Sugiyono, 2009). Analisis statistik inferensial yang
digunakan meliputi analisis: (1) korelasi Pearson, (2) regresi ganda, dan (3)
analisis jalur.
Dalam penelitian ini tingkat kesalahan (alpha/α) ditentukan sebesar 15
persen. Beberapa penelitian sosial lain menggunakan tingkat kesalahan hingga 20
persen (Cahyono et al., 2006; Aritonang, 2009). Dalam ilmu sosial, tingkat
kesalahan yang sering digunakan adalah 1 persen, 5 persen atau 10 persen. Pada
dasarnya seorang peneliti bebas menentukan berapa besar tingkat kesalahan yang
akan digunakan (Candrawita, 2010). Perbedaan nilai alpha antara lain disebabkan
ukuran sampel dan seberapa besar pengaruh luar (di luar yang bisa dikontrol atau
di luar peubah yang masuk dalam model) terhadap respon peneliti.
Analisis Korelasi Pearson
Analisis ini digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan dua peubah
dengan skala data interval atau rasio. Data dalam penelitian ini yang berskala
ordinal ditransformasi menjadi data interval dengan menggunakan Method of
Successive Interval (MSI) (Muhidin dan Abdurahman, 2007). Tahapan dalam
melakukan transformasi dengan MSI adalah:
(1) Menghitung frekuensi responden yang memberikan respon terhadap alternatif
jawaban yang tersedia.
(2) Menghitung proporsi dengan membagi setiap frekuensi dengan jumlah
responden.
(3) Menghitung proporsi kumulatif dengan menjumlahkan proporsi secara
berurutan untuk setiap respon.
(4) Menghitung nilai Ztab untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh, dengan
menggunakan Tabel Distribusi normal baku.
(5) Menghitung nilai densitas untuk setiap nilai Z yang diperoleh (dari Tabel)
dengan rumus:
)(5, 2
2
1)( zoeZf −=
π
75
(6) Menghitung nilai skala (NS) dengan menggunakan rumus:
Density at lower limit – Density at upper limit NS =
Area under upper limit – Area under lower limit (7) Menentukan nilai transformasi (Y) dengan rumus:
Y = NS + k
k = 1 + | NS min |
Data ordinal yang telah ditransformasi menjadi data interval dapat dianalisis
dengan korelasi product moment Pearson. Rumus yang digunakan adalah:
Analisis Regresi Ganda
Analisis regresi ganda merupakan analisis statistika yang memanfaatkan
hubungan antara dua atau lebih peubah kuantitatif, sehingga salah satu peubah
dapat diramalkan dari peubah lain. Model regresi sederhana:
Yi = β0 + β1 Xi + εi ; i = 1, 2, ..., n
β0 = nilai rataan Y pada X
β1 = perubahan nilai Y untuk setiap kenaikan X satu satuan
Salah satu ukuran kebaikan model adalah R2 (koefisien determinasi: % keragaman
Y yang mampu dijelaskan oleh X).
Analisis Jalur (Path Analysis)
Analisis jalur (path analysis) merupakan suatu bentuk terapan dari analisis
multi-regresi. Diagram jalur digunakan untuk membantu konseptualisasi masalah
atau menguji hipotesis yang kompleks. Dengan menggunakan analisis ini dapat
dihitung pengaruh langsung dan tidak langsung dari peubah-peubah bebas
terhadap suatu peubah terikat. Pengaruh-pengaruh tersebut tercermin dari
koefisien jalur (path coefficients) yang sesungguhnya adalah koefisien yang telah
dibakukan (beta, β). Selain itu, analisis ini dapat digunakan untuk menguji
∑ ∑
∑ ∑ ∑
−−
−=
))()()((
))((
2222iiii
iiiixy
yynxxn
yxyxnr
76
berbagai model jalur untuk mengetahui kongruensinya dengan data yang teramati
(Kerlinger, 2000). Penggunaan analasis jalur didasarkan pada beberapa asumsi
(MacDonald, 1977; Sugiyono, 2009):
a. Hubungan antar peubah berbentuk linier, aditif dan kausal.
b. Peubah-peubah residual tidak berkorelasi dengan peubah yang lebih dahulu,
dan tidak juga berkorelasi dengan peubah yang lain.
c. Model hubungan peubah hanya terdapat jalur kausal/sebab-akibat searah.
d. Data setiap peubah yang dianalisis paling tidak berada pada tingkat
pengukuran interval.
Model spesifik dari path analysis dijelaskan seperti pada Gambar 4, dengan
persamaan sebagai berikut:
Persamaan 1: X4 = b11 X1 + b12 X2 + b13 X3 + e1
Persamaan 2: X3 = b21 X1 + b22 X2 + e2
Persamaan 3: X2 = b31 X1 + e1
Gambar 4 Model spesifik dari path analysis (Bryman dan Gramer, 1990)
Model dalam penelitian ini dijelaskan seperti pada Gambar 5, dengan
persamaan sebagai berikut:
Persamaan 1: X4 * = b1 X1* + b2 X2* + b3 X3*
Persamaan 2: X5* = b1 X1* + b2 X2* + b3 X3* + b4 X4* ∧
Persamaan 3: Y1 * = b5 X5 * + b6 X6 *
Persamaan 4: Y2 * = b1 Y1 *
Keterangan: b = Koefisien jalur * = menunjukkan bahwa peubah tersebut sudah ditransformasi normal baku dengan
rumus:
X4 X1
X2
X3
X* = (X – X )/Sx
77
Keterangan: X1 = Karakteristik petani; X2 = Perilaku komunikasi petani; X3 = Dukungan iklim
usaha; X4 = Persepsi petani terhadap penyuluhan; X5 = Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi; X6
= Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi; Y1 = Keputusan adopsi inovasi teknologi; Y2 = Kinerja usahatani di tingkat petani
Gambar 5 Model pengaruh antar peubah dalam penelitian
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan komputer untuk menjamin tingkat
akurasi perhitungan. Transformasi data dari ordinal ke interval menggunakan
program Microsoft Office Excel 2003. Uji korelasi Pearson, regresi ganda dan
analisis jalur menggunakan program Statistical Product and Service Solutions
(SPSS) versi 15.0.
X1
X2
X3
X4
X5 Y1 Y2
X6
78
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Wilayah Penelitian
Kabupaten Cianjur
Cianjur merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat,
berada di antara 6021’ – 7025’ Lintang Selatan dan 106042’ – 107025’ Bujur
Timur. Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 hektar dengan jumlah
penduduk pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa (Pemerintah Kabupaten
Cianjur, 2009). Wilayah kabupaten ini terletak di lintasan jalur yang strategis
antara Jakarta dan Bandung. Secara administratif, Kabupaten Cianjur dibagi
dalam 30 kecamatan, dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia,
serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata
1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun
(Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009). Dengan kondisi alam tersebut, Kabupaten
Cianjur memiliki kesuburan tanah yang baik dan mengandung keanekaragaman
kekayaan sumberdaya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan
potensi investasi. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi
masyarakat. Cakupan wilayah Kabupaten Cianjur seluas 350.148 hektar
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti tertera pada Lampiran 5.
Penduduk Kabupaten Cianjur sebagian besar bekerja di sektor pertanian
yaitu sekitar 63,0 persen. Sektor pertanian ini merupakan penyumbang terbesar
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,8 persen.
Sektor lain yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan
dan jasa yaitu sekitar 14,60 persen. Sebagai daerah agraris yang pembangunannya
bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah
swa-sembada padi. Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di
Kabupaten Cianjur secara rinci ditampilkan pada Lampiran 6.
79
Luas areal padi gogo yang ditanam di lahan kering Kabupaten Cianjur
tampak jauh lebih rendah, yakni sekitar 14 persen dibandingkan padi sawah
(Lampiran 4). Produktivitas padi gogo yang rendah (3,1 ton/ha), menjadikan
komoditas ini tidak banyak ditanam dibandingkan padi sawah dengan
produktivitas yang lebih tinggi (5,3 ton/ha). Perhatian pemerintah terhadap padi
gogo adalah relatif kurang dibandingkan padi sawah. Inovasi teknologi padi gogo
terlihat tidak banyak berubah, sedangkan teknologi padi sawah terus berkembang,
dari mulai teknik budidaya hingga varietas unggul baru diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas. Tanaman padi banyak dijumpai di daerah Cianjur
Tengah, sedangkan tanaman palawija tumbuh dengan baik di wilayah Cianjur
Selatan.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara tumbuh subur
tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Jenis sayuran yang banyak ditanam
petani Cianjur adalah daun bawang, pete dan wortel (Lampiran 7). Salah satu
jenis sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah cabe. Produktivitas
cabe besar dan cabe rawit tergolong tinggi, masing-masing sebesar 10,7 ton/ha
dan 10,3 ton/ha. Meskipun harga cabe fluktuatif seperti harga komoditas sayuran
yang lain, namun pada saat-saat tertentu harga komoditas cabe di tingkat petani
dapat mencapai Rp 30.000,00/kg. Kondisi ini yang mendorong petani untuk tetap
menanam cabe.
Di wilayah Cianjur Selatan, selain terdapat tanaman palawija, juga banyak
dijumpai tanaman buah-buahan. Komoditas pisang menjadi komoditas unggulan
di Cianjur, produksi yang dihasilkan selama tahun 2007 mencapai 232.614 ton
(Lampiran 8). Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan adalah tanaman perkebunan
yang cukup besar, sekitar 16,5 persen dari seluruh luas merupakan areal
perkebunan. Selama ini dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN),
Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR). Peningkatan
produksi perkebunan, terutama komoditas teh cukup baik. Produktivitas teh
rakyat mampu mencapai antara 1.400 - 1.500 kg teh kering per hektar, sedangkan
yang dikelola oleh perkebunan besar rata-rata mencapai di atas 2.000 kg per
hektar.
80
Desa Talaga adalah desa penelitian merupakan salah satu desa di
Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Desa tersebut dibagi dalam tiga
dusun, yakni Dusun 1, Dusun 2 dan Dusun 3. Dusun 1 mencakup 4 kampung,
yakni Pasir Pendey, Lebak Songgom, Cilebak dan Sindang Palay, sedangkan
Dusun 2 meliputi Kampung Koleberes, Marilid, Salamuncang dan Angkrong.
Dusun 3 terdiri atas Kampung Kabandungan, Salahuni dan Bayabang. Wilayah
Desa Talaga seluas 365,6 ha dengan tingkat kemiringan tanah berkisar antara 200
- 350 dan tinggi tempat berada 750 m di atas permukaan laut (dpl), serta jenis
tanah dominan berupa andosol. Suhu rata-rata harian mencapai 280 C, dengan
curah hujan 450 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun.
Penduduk Desa Talaga berjumlah 5.459 jiwa, yang terdiri atas penduduk
laki-laki sebanyak 2.733 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.726. Kepadatan penduduk tergolong
padat, yakni 607 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk berdasarkan
mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 16. Persentase penduduk yang bekerja
sebagai buruh swasta/pembantu rumah tangga (PRT) mencapai 35,1% dan 350
orang (27,3%) di antaranya sebagai PRT.
Tabel 16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian
No. Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) (1) Petani 326 25,4 (2) Buruh tani 108 8,4 (3) Buruh swasta/PRT 450 35,1 (4) Pegawai negeri/pensiunan 35 2,7 (5) Pengrajin 250 19,5 (6) Pedagang 11 0,9 (7) Jasa 102 8,0
Jumlah 1.282 100,0 Sumber: Potensi Desa Talaga, 2008
Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat memperkenalkan teknologi
usahatani terpadu kepada petani di Desa Talaga. Model inovasi yang
dikembangkan merupakan inovasi untuk memanfaatkan secara optimal
sumberdaya pertanian yang ada dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
petani. Terdapat lima kelompok tani yang diikutsertakan dalam kegiatan
tersebut, yakni kelompok tani: (1) Sumber Arum, anggota 18 petani; (2) Intan
81
Langsung Makmur, anggota 21 petani; (3) Sumber Tani, anggota 24 petani; (4)
Jembar Tani, anggota 21 petani; dan (5) Sumur Sari, anggota 19 petani. Seluruh
petani yang berjumlah 103 menjadi petani adopter. Kelompok Tani Sumber
Arum merupakan kelompok tani yang tumbuh dari masyarakat, dibentuk pada
akhir tahun 2005. Kelompok lain dibentuk berdasarkan kepentingan program
pemerintah, agar lebih mempermudah diseminasi teknologi usahatani terpadu.
Kabupaten Garut
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada
koordinat 6º 56' 49'' - 7º 45' 00'' Lintang Selatan dan 107º 25 '8'' - 108º 7' 30''
Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar
306.519 ha atau 3.065,19 km² (Pemerintah Kabupaten Garut, 2009) dengan batas-
batas sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang,
sebelah timur dengan sebelah Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan
Samudera Indonesia, serta sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Cianjur.
Secara geografis Kabupaten Garut berdekatan dengan Kota Bandung
sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat. Daerah ini merupakan daerah penyangga
dan hinterland bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu,
Kabupaten Garut mempunyai kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan
warga Kota dan Kabupaten Bandung sekaligus berperan di dalam mengendalikan
keseimbangan lingkungan.
Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi
antara 0-40 persen, di antaranya sebesar 71,4 persen atau 218.924 ha berada pada
tingkat kemiringan antara 8-25 persen. Luas daerah landai dengan tingkat
kemiringan di bawah 3 persen mencapai 29.033 ha atau 9,5 persen; wilayah
dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8 persen mencakup areal seluas 79.214
ha atau 25,8 persen; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15 persen
mencapai 62.975 ha atau 20,6 persen wilayah dengan tingkat kemiringan sampai
dengan 40 persen mencapai luas areal 7.550 ha atau sekitar 2,5 persen
(Pemerintah Kabupaten Garut, 2009).
82
Berdasarkan jenis tanah dan topografi di Kabupaten Garut, penggunaan
lahan secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan
didominasi oleh perkebunan dan hutan. Rincian penggunaan lahan Kabupaten
Garut tertera pada Lampiran 9.
Perekonomian Kabupaten Garut dari tahun ke tahun selalu didominasi oleh
sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Dengan kondisi ini Garut dapat
dikatakan sebagai kabupaten yang berbasis pertanian. Kebijakan pengembangan
ekonomi Garut diarahkan kepada pengembangan ekonomi rakyat terutama di
daerah pedesaan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sektor pertanian
dijadikan andalan Kabupatan Garut agar mendapat peluang mendorong roda
ekonomi Garut, juga dapat turut andil dalam perekonomian Jawa Barat.
Di antara komoditas pangan, padi merupakan bahan pangan pokok bagi
sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga ketersediaan padi (beras) menjadi
tolok ukur ketersediaan pangan. Di Garut, produktivitas padi gogo (3,0 ton/ha)
lebih rendah dibandingkan dengan padi sawah (6,2 ton/ha), demikian juga dengan
luas areal panen. Kondisi ini menunjukkan bahwa padi gogo kurang
diprioritaskan. Pada kenyataannya, produktivitas padi gogo sulit ditingkatkan.
Berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan peningkatan produksi padi,
baik melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun perluasan areal tanam, lebih
diarahkan pada tanaman padi sawah. Pada tanaman palawija, komoditas ubi kayu
memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan komoditas lain, mencapai 22,0
ton/ha (Lampiran 10).
Selama tahun 2008, di Garut produksi tanaman sayuran yang tergolong
tinggi adalah kentang, kubis dan tomat (Lampiran 11), produksi buah-buahan
tertinggi adalah pisang (Lampiran 12). Perubahan harga pada komoditas
hortikultura (sayuran maupun buah-buahan) menyebabkan penerimaan petani dari
hasil penjualan mengalami perubahan. Kondisi demikian kurang kondusif bagi
pengembangan usaha hortikultura, karena keuntungan yang diperoleh menjadi
tidak stabil dan tidak dapat diperkirakan dengan baik. Padahal tingkat keuntungan
yang tinggi justru merupakan daya tarik utama bagi petani untuk berusahatani dan
memperluas skala usaha.
83
Desa Jatiwangi merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Garut dan
berada di Kecamatan Pakenjeng. Desa tersebut dibagi dalam empat dusun, yakni
Ciakar, Pasirkaliki, Halimun, dan Bojong dengan cakupan wilayah seluas
2.242,43 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi mencapai 300-700 meter
diatas permukaan laut (dpl). Jenis tanah termasuk latosol, sebagian andosol
dengan tekstur liat berlempung, sebagian berbatuan dan terjal, dengan pH tanah
berkisar antara 4 – 6 (Monografi Desa Jatiwangi, 2008).
Topografi Desa Jatiwangi dari mulai datar sampai berbukit, bergelombang
sampai berbukit, dan berbukit sampai bergunung, dengan jenis tanah berupa
latosol (33,6%) dan podsolik merah kuning (66,4%). Terdapat dua sungai yang
berada di desa tersebut, yakni Sungai Cikandang dan Ciarinem. Berdasarkan
klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Desa Jatiwangi tergolong ke dalam
tipe C. Suhu harian rata-rata berkisar antara 200 C-270 C dengan curah hujan
2.000 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun (Monografi Desa Jatiwangi, 2008).
Penduduk Desa Jatiwangi berjumlah 7.709 jiwa, yang terdiri atas penduduk
laki-laki sebanyak 3.870 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.242. Kepadatan penduduk tergolong
jarang (tidak padat), yakni 34 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk
berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian
No. Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) (1) Petani 1.100 57,3 (2) Buruh tani 445 23,2 (3) Buruh swasta 2 0,1 (4) Pegawai negeri 95 4,9 (5) Pengrajin 26 1,4 (6) Pedagang 142 7,4 (7) Jasa 109 5,7
Jumlah 1.919 100,0 Sumber: Monografi Desa Jatiwangi, 2008
Inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan di Desa Jatiwangi pada
tahun 2005 (dua tahun lebih awal dibanding Desa Talaga). Pada tahun 2005
hanya dua kelompok tani yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, yakni
Kelompok Tani: Saluyu, 25 anggota dan Mekar Hurip, 30 anggota. Kedua
kelompok tani tersebut telah ada sebelum teknologi usahatani terpadu
84
diperkenalkan, tumbuh atas inisiatif masyarakat setempat. Sampai tahun 2008
jumlah kelompok tani yang ikut serta bertambah, yakni Kelompok Tani: (1)
Arimba, 30 anggota; (2) Nusawargi, 25 anggota; (3) Harapan Jaya, 30 anggota;
(4) Mekar Harapan, 25 anggota; dan (5) Mekar Baru, 25 anggota. Kelima
kelompok tani tersebut merupakan kelompok bentukan, dengan tujuan
memudahkan alih teknologi usahatani terpadu, dibandingkan melalui pendekatan
individu. Keseluruhan petani Desa Jatiwangi yang menjadi anggota kelompok tani
berjumlah 190.
Karakteristik Petani
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa sebagian besar petani adopter
(59,1%) dan petani non adopter (53,9%) di lokasi penelitian berada pada usia
produktif (Tabel 18). Persentase petani yang berumur tua (≥ 65 tahun) relatif
kecil (kurang dari 14%). Batasan usia kerja menurut Badan Pusat Statistik (2009)
berada pada kisaran usia 15-64 tahun dan digolongkan sebagai umur produktif.
Walaupun terdapat kecenderungan golongan usia muda tidak berminat bekerja di
sektor pertanian, namun petani responden yang berusia muda (27-45 tahun)
beranggapan bahwa sektor ini masih mampu memberikan penghidupan. Hal ini
memperkuat temuan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2008) mengenai Panel Petani Nasional
(Patanas). Petani yang berusia 45 tahun ke bawah, sebanyak 55 persen
digolongkan sebagai angkatan kerja produktif yang bekerja di sektor pertanian.
Bila dicermati lebih lanjut, ternyata petani yang berusia produktif
berpendidikan sampai sekolah dasar (Tabel 18). Beberapa di antara petani
tersebut bahkan ada yang tidak bersekolah. Proporsi terbesar petani responden
(71,4% - 95,7%) berpendidikan SD. Tanpa pendidikan dan keterampilan
memadai, masyarakat hanya dapat memasuki lapangan pekerjaan yang
mengandalkan kekuatan fisik. Mata pencaharian sebagai petani tidak
mensyaratkan pendidikan formal yang memadai. Diperkirakan masyarakat desa
yang berusia muda dan berpendidikan SLTP ataupun SLTA mulai beralih ke
sektor non-pertanian di perkotaan. Terdapat kecenderungan tenaga muda pedesaan
85
yang relatif terdidik tidak tertarik bekerja di sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan
pada Tabel 18 bahwa petani yang berpendidikan SLTA (≥ 10 tahun) relatif rendah
(0-13%). Performa masyarakat yang bekerja di pertanian dinilai kurang menarik,
baik dilihat dari sisi penampilan maupun perolehan pendapatan.
Tabel 18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter
(n=46)
Non adopter(n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Umur Muda
Dewasa Tua
Tahun 27-45
46-64 ≥ 65
60,9 32,6 6,5
42,5 51,1
6,4
58,2 33,0 8,8
58,4 28,0 13,6
59,1 32,9
8,0
53,9 34,6 11,5
Pendidikan formal Rendah Sedang Tinggi
Tahun 0-6 7-9
≥ 10
76,1 10,9 13,0
95,7
4,3 0,0
71,4 19,8 8,8
80,5 15,3
4,2
73,0 16,8 10,2
84,8 12,1
3,0 Tingkat pendapatan Rendah Sedang Tinggi
Rp (Juta) <4,51
4,51-6,70 ≥ 6,71
41,3 21,7 37,0
66,0 31,9
2,1
37,3 30,8 31,9
55,9 35,6
8,5
38,7 27,7 33,6
58,8 34,5
6,7
Tingkat mobilitas Rendah Sedang Tinggi
Skor 1-6
7-12 13-14
58,7 32,6
8,7
83,0
8,5 8,5
67,0 24,2 8,8
75,4 21,2
3,4
64,2 27,0
8,8
77,6 17,6
4,8
Luas lahan Sempit Sedang Luas
Hektar 0,04-0,25 0,26-0,50
≥ 0,51
19,6 54,3 26,1
80,9 12,7
6,4
57,1 27,5 15,4
65,3 28,8
5,9
44,5 36,5 19,0
69,7 24,2
6,1 Daya beli saprodi Rendah Sedang Tinggi
Skor 0-1 2
3-4
19,6 43,4 37,0
80,9 8,5
10,6
42,9 18,6 38,5
74,6 15,2 10,2
35,0 27,0 38,0
76,4 13,3 10,3
Keterangan: Rentang skor tk mobilitas 1-14; daya beli 0-4
Informasi yang diperoleh dari tokoh masyarakat setempat menyatakan
telah terjadi pergeseran orientasi dari desa ke kota di kalangan muda Cianjur dan
Garut. Hal ini dilihat dari tingkat migrasi yang dilakukan tenaga kerja muda ke
luar daerah, baik migrasi sementara (harian, bulanan), maupun migrasi permanen.
Para migran ini bekerja di sektor formal dan informal, yaitu sebagai karyawan
(sipil, swasta), buruh dan tukang bangunan, pedagang, pembantu rumah tangga,
TKI, dan sebagainya. Selain lebih memilih bermigrasi, para pemuda yang
menetap di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor jasa angkutan (sopir
angkutan, ojeg), dengan alasan lebih mudah untuk memperoleh penghasilan
86
sehari-hari dan lebih bergengsi dilihat dari status sosial, dibanding harus bekerja
sebagai petani. Keberhasilan tenaga kerja yang lebih dulu merantau ke daerah
perkotaan ataupun ke luar negeri, memotivasi tenaga kerja lain di pedesaan yang
merasa memiliki peluang sama.
Pendidikan non formal masih menjadi tumpuan proses alih teknologi
pertanian. Namun demikian, sebagian besar petani responden baik di Desa Talaga
(94,6%) maupun di Desa Jatiwangi (96,7%) dalam satu tahun terakhir (2008-
2009), tidak mengikuti pendidikan non formal (seperti pelatihan, kegiatan
penyuluhan ataupun plot demonstrasi). Pemberian informasi tentang teknologi
usahatani terpadu dilakukan oleh peneliti (sebagai manajer lapang) dan penyuluh
(sebagai tenaga detasir) BPTP Jawa Barat serta penyuluh pertanian dari BPP.
Informasi hanya disampaikan kepada ketua kelompok tani dan sekretaris atau
bendahara kelompok. Selama tahun 2008, kegiatan diskusi teknologi usahatani
terpadu antara tenaga detasir dan penyuluh pertanian dari BPP dilakukan
sebanyak 8 -10 kali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh ketua kelompok tani diteruskan kepada petani lain
dalam kelompok masing-masing. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Cianjur pada tahun 2008, diikuti 8 petani adopter (17,4%)
dan 13 petani non adopter (27,7%) dari Desa Talaga. Proses belajar mengajar
dalam SLPHT dilakukan 12 kali pertemuan. Pokok bahasan difokuskan pada
pengendalian hama terpadu komoditas cabe. Pada bulan September 2008 Kantor
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Garut mengadakan Pelatihan Penyuluh Pertanian Swadaya yang diikuti oleh
seorang petani adopter yang merupakan ketua kelompok tani dari Desa Jatiwangi.
Rata-rata pendapatan petani non adopter selama satu tahun (2008), baik di
Desa Talaga Cianjur maupun Desa Jatiwangi Garut (Tabel 19) adalah kurang dari
Rp 4,51 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2005
pendapatan rata-rata buruh tani sebesar Rp 4,511.900,00 dan rumah tangga
pengusaha pertanian sebesar Rp 6.706.500,00. Batas garis kemiskinan yang
ditetapkan BPS pada tahun 2008 untuk masyarakat pedesaan adalah sebesar
Rp 161.831,00/ kapita/bulan atau Rp 1,94 juta/kapita/tahun. Bila dalam satu
87
rumah tangga, kepala keluarga menanggung 3 orang anggota keluarga (istri dan 2
anak), maka batas garis kemiskinan Rp 647.324,00/rumah tangga/bulan atau
Rp 7,77 juta/rumah tangga. Dengan demikian petani adopter Cianjur yang
termasuk dalam kategori miskin sebesar 71,7 persen dan seluruh petani non
adopter tergolong miskin (100,0%). Petani adopter Garut yang termasuk kategori
miskin ada sebanyak 78,0 persen, sedangkan petani non adopter yang tergolong
miskin sebesar 94,9 persen. Bila menggunakan indikator batas garis kemiskinan
menurut Bank Dunia sebesar $ 2.0/kapita/hari atau Rp 6,77 juta/kapita/tahun ($
1.0 setara dengan Rp 9.400,00) atau Rp 27,08 juta/rumah tangga/tahun, maka
seluruh petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong miskin. Kondisi ini
didukung data pada tahun 2007, sekitar 63,5 persen penduduk miskin di Indonesia
merupakan penduduk pedesaan dan sebagian besar menggantungkan sumber
pendapatan dari sektor pertanian (Syafa’at et al., 2007; Sumaryanto dan
Sudaryanto, 2009).
Petani adopter di Cianjur masih mengandalkan sektor pertanian sebagai
sumber pendapatan utama. Hal ini terlihat dari proporsi pendapatan dari usahatani
(63,7%) dan berburuh tani lebih tinggi dibanding non pertanian (Tabel 19).
Pendapatan usahatani dan non pertanian bagi petani non adopter Cianjur, petani
adopter dan non adopter Garut dapat dikatakan hampir seimbang. Dengan kondisi
demikian, petani-petani tersebut sulit diharapkan untuk mengadopsi teknologi
baru dengan biaya tinggi. Di tingkat produsen, petani rentan mengalami
kegagalan dalam bertani, baik yang disebabkan anomali musim yang tidak dapat
diprediksi petani ataupun serangan hama penyakit pada komoditas yang
diusahakan. Serangan hama kuuk menimbulkan kerugian finansial yang relatif
besar pada sebagian besar petani di Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut.
Petani yang memiliki lahan garapan relatif sempit dan peluang untuk
mencari pekerjaan di luar sektor pertanian relatif sulit, maka kegiatan berburuh
tani merupakan salah satu alternatif sebagai mata pencaharian sampingan, baik di
dalam maupun di luar desa sebagai upaya diversifikasi usaha. Upah buruh tani
pria berkisar antara Rp 10.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp
17.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas) dengan jam kerja
7.00 – 12.00 WIB. Upah buruh wanita dengan jam kerja yang sama 7.00 – 12.00
88
WIB berkisar antara Rp 6.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp
10.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas). Ketimpangan
upah buruh pria dan wanita dikarenakan buruh pria melakukan pekerjaan yang
dinilai lebih berat dibandingkan wanita, seperti mencangkul, mengangkut hasil
panen dan menyemprot; sedangkan buruh wanita melakukan pekerjaan tanam,
menyiang, dan panen.
Tabel 19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008
Petani Cianjur (Rp 1.000) Petani Garut (Rp 1.000) No. Uraian Adopter
(n=46) Non adopter
(n=47) Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
(1) Usahatani 3.981,0 (63,7)
1.681,4 (44,8)
2.693,7 (47,7)
1.704,7 (39,1)
(2) Buruh tani 348,7 (5,6 )
327,8 (8,7)
582,8 (10,3)
580,9 (13,3)
(3) Non pertanian 1.916,4 (30,7)
1.748,1 (46,5)
2.376,5 (42,0)
2.077,6 (47,6)
Total 6.246,1 (100,0)
3.757,3 (100,0)
5.653,0 (100,0)
4.363,2 (100,0)
Keterangan: Angka (…) merupakan persentase terhadap total
Kontribusi pendapatan non pertanian terhadap total pendapatan petani
adalah relatif tinggi (berkisar antara 30,7% - 47,6%). Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pekerjaan sampingan selain bertani adalah berdagang, usaha jasa ojeg,
kerajinan bambu, dan buruh bangunan dibutuhkan petani. Usaha pertanian
setahun tidak mampu menopang kehidupan petani dan keluarganya. Bagi petani
yang memiliki sepeda motor, waktu luang setelah bertani digunakan untuk usaha
jasa ojeg. Selain itu, terdapat pula petani yang berburuh membuat anyaman bilik
dari bambu. Perolehan upah yang diterima petani dalam menganyam bambu
ukuran 2x3 m2 adalah Rp 1.000,00 dan dalam satu hari mampu menganyam
hingga 4 lembar. Pada waktu musim kemarau beberapa petani merantau ke kota,
bekerja sebagai buruh bangunan ataupun berdagang.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini di lingkup mikro
memperlihatkan bahwa peran sektor non pertanian adalah meningkat sebagai
sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan. Namun sebagian besar hasil-hasil
89
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan tersebut masih belum sesuai
dengan harapan. Sebagian besar kesempatan kerja non pertanian yang dapat
diakses masyarakat pedesaan adalah di sektor non formal, baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini, lebih rendah dari
pertumbuhan angkatan kerja. Laju peningkatan kesempatan kerja non pertanian
yang mempunyai kaitan kuat dengan sektor pertanian adalah relatif rendah. Oleh
karena itu, peningkatan peran sektor non pertanian sebagai sumber pendapatan
rumah tangga berkorelasi positif dengan peningkatan urbanisasi tenaga kerja ke
wilayah perkotaan (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009).
Untuk mengatasi fenomena laju urbanisasi, perlu ada kebijakan pemerintah
daerah setempat (baik Cianjur maupun Garut) yang mengupayakan pembangunan
agro-industri di tingkat pedesaan. Salah satu upaya untuk melaksanakannya
dengan pemberian insentif dalam bentuk modal kerja, disertai dengan penyediaan
infrastruktur yang memadai. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan lapangan
kerja bagi tenaga muda pedesaan yang relatif terdidik dan memberikan nilai
tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Dengan upaya tersebut
diharapkan pendapatan masyarakat pedesaan meningkat dan dapat menekan laju
urbanisasi.
Tingkat mobilitas petani responden yang dikaitkan dengan tujuan ekonomi,
seperti pembelian sarana produksi atau penjualan hasil pertanian adalah tergolong
rendah dengan kisaran persentase antara 58,7 - 83,0 persen. Kebutuhan petani
responden terhadap sarana produksi dipenuhi oleh kios-kios sarana produksi di
dalam desa yang menyediakan bibit/benih, pupuk dan obat-obatan. Jarak tempuh
antara lahan petani dengan kios sarana produksi adalah relatif dekat. Petani
responden cenderung menjual hasil pertanian di dalam desa, karena telah
melakukan perhitungan antara dijual di dalam desa dan di luar desa. Biaya
transportasi yang harus dikeluarkan secara tunai dan curahan tenaga kerja tidak
seimbang dengan selisih nilai jual yang diperoleh. Petani yang pergi ke luar desa
dengan tujuan konsumtif, jarang ditemui. Hanya petani yang dinilai mampu yang
pergi ke luar desa bukan untuk tujuan ekonomi. Mobilitas petani dari desa ke
daerah lain yang didasarkan atas keperluan kekerabatan, tidak hanya terjadi pada
90
petani yang mampu saja, namun juga berlaku pada petani yang dinilai kurang
mampu, misal pada hajatan pernikahan, atau kematian kerabat dekat.
Dalam kegiatan usahatani, lahan merupakan faktor yang sangat penting,
bukan saja sebagai media tumbuh bagi tanaman yang dibudidayakan, tetapi juga
pemilikan lahan mempunyai arti sosial bagi pemiliknya. Luas pengusahaan lahan
mencakup luas lahan milik, sewa dan sakap. Terlihat perbedaan antara petani
adopter Cianjur dan Garut, di Cianjur banyak dijumpai petani adopter (54,3%)
yang pengusahaan lahannya berkisar antara 0,26 - 0,50 ha (kategori sedang).
Petani adopter Garut yang terbanyak (57,1%) adalah berlahan sempit (0,04 - 0,25
ha). Pada luasan lahan tersebut petani dapat mengelola usahatani dengan baik.
Kendala yang dihadapi petani dalam mengusahakan lahan adalah tingkat
kesuburan lahan, ketersediaan tenaga kerja keluarga untuk mengolah dan
kecukupan modal. Secara umum, lahan yang diusahakan petani responden (di
Cianjur dan Garut) tidak berada dalam satu hamparan, tetapi terpencar dalam
beberapa tempat, dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Hal ini menyebabkan
petani mengalami kesulitan pengelolaan lahan. Bagi petani yang memiliki lahan
terpencar, hanya lahan yang berdekatan yang digarap secara intensif, sedangkan
petak lain yang berjauhan sering tidak tertangani, sehingga diberakan (tidak
terurus) atau disewakan kepada petani lain ataupun sistem bagi hasil (sakap). Dari
berbagai kajian tentang lahan, masalah yang muncul terkait dengan faktor-faktor
berikut: (1) konfigurasi daratan dan ketimpangan penduduk, (2) rata-rata luas
lahan penguasaan lahan petani yang sempit dan cenderung semakin sempit, (3)
konversi lahan pertanian produktif yang kurang terkendali, (4) degradasi lahan
pertanian yang terus berlangsung, dan (5) sistem administrasi pertanahan yang
lemah dan implementasi Undang-Undang Penataan Ruang tidak terlaksana secara
konsisten (Nasution dan Winoto, 1994; Sumaryanto et al., 2002; Saptana et al.,
2004).
Pengalihan lahan garapan dilakukan oleh petani responden adalah dengan
sistem sewa. Biaya sewa lahan di Cianjur berkisar antara Rp 1,2 juta - Rp 5,0
juta/ha. Besarnya biaya sewa tergantung pada kelas lahan, yang diatur oleh
pemerintah desa sebagai dasar dalam penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Terdapat 13,0 persen petani adopter yang menyewa lahan, sedangkan petani non
91
adopter hanya 6,4 persen. Luas lahan yang disewa petani adopter 0,04 - 0,5 ha;
petani non adopter 0,08 - 0,4 ha. Kisaran biaya sewa lahan di Garut Rp 1,0 juta -
Rp 3,125 juta/ha; sebanyak 2,2 persen petani adopter menyewa lahan dengan
luasan 0,08 - 0,16 ha, sedangkan petani non adopter 1,7 persen dengan luasan
0,16 - 0,20 ha. Di Garut dijumpai penggarapan lahan secara bergiliran oleh anak-
anak petani yang telah berkeluarga. Selain itu terdapat juga pembagian tanah
petani menjadi petakan-petakan kecil yang dibagikan kepada anak-anaknya
melalui pola pewarisan.
Proporsi terbesar pengusahaan lahan petani non adopter adalah dengan
luasan berkisar antara 0,02-0,25 ha. Sebagian besar petani non adopter di Cianjur
tidak memiliki lahan sendiri, tetapi menggarap lahan milik orang lain tanpa biaya
sewa. Pada saat panen petani tersebut akan menyerahkan sebagian dari hasil
panen. Biaya produksi ditanggung petani penggarap dan bila gagal panen, maka
petani tidak dibebani biaya apapun oleh pemilik lahan. Berdasarkan hasil sensus
pertanian BPS, proporsi petani (rumah tangga pertanian) yang memiliki lahan
lebih dari 0,5 ha menurun dari 45,3 persen pada tahun 1983 menjadi 38,7 persen
pada tahun 2003. Sebaliknya petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha,
meningkat dari 48,9 persen pada tahun 1983 menjadi 56,4 persen pada tahun 2003
(Lampiran 13). Hal ini perlu dicermati, karena sebagian besar petani ini akan
bergeser ke petani tuna kisma, yang menurut Winoto (1995) posisinya sangat
rentan terhadap para spekulan tanah yang menjadi kaki tangan pemilik modal di
perkotaan atau tuan-tuan tanah di pedesaan. Fakta empiris di lapangan gejala
tersebut terlihat di Cianjur, banyak petani pemilik yang terpaksa menjual lahan
garapannya kepada pemilik modal dari kota, untuk pemenuhan kebutuhan dasar
yang mendesak. Petani yang semula berstatus pemilik, bergeser menjadi petani
penyakap dengan sistem bagi hasil dan rata-rata luas lahan yang disakap 0,04 ha.
Masalah lain yang timbul adalah hak waris tanah dari petani responden
kepada keturunannya (anak-anak), sehingga kepemilikan lahan pada anak-anak
petani menjadi lebih sempit. Untuk menghindari hal tersebut, seharusnya ada
perlindungan hak, fungsi dan manfaat dengan mempertahankan kearifan lokal
yang berlaku. Intinya hak waris tanah bukan dialihkan secara fisik, tetapi lebih
pada manfaat. Alih fungsi lahan juga menjadi ancaman bagi sektor pertanian.
92
Peraturan yang telah dibuat telah memuat seluruh aspek, namun dalam
pelaksanaan di lapangan masih belum sepenuhnya menaati peraturan yang ada.
Selalu ada kata ‘apabila’ sehingga ada celah untuk ‘mengakali’ misal: lahan
pertanian tidak bisa dialihfungsikan kecuali ‘apabila’ untuk kepentingan umum
(yang tidak jelas definisinya).
Gejala ”pelambatan dan instabilitas” produksi komoditas pertanian seperti
yang digambarkan Simatupang (2000) lebih banyak disebabkan oleh penguasaan
lahan petani yang makin menyempit. Luas penguasaan lahan berkaitan erat
dengan tingkat produktivitas. Petani dengan rata-rata penguasaan lahan yang
sempit, alternatif teknologi yang diharapkan dapat memacu peningkatan
produktivitas juga semakin terbatas. Hanya teknologi yang tidak mensyaratkan
skala usaha yang mungkin untuk dikembangkan seperti benih dan pupuk, karena
secara umum penguasaan lahan petani tidak kondusif bagi pengembangan
teknologi yang menghendaki skala usaha tertentu.
Daya beli petani terkait dengan harga produk yang dihasilkan petani dan
harga produk yang dibeli petani. Apabila kenaikan harga produk yang dihasilkan
petani lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka daya beli petani
akan meningkat atau petani lebih sejahtera, begitu pula sebaliknya. Alat ukur
daya beli petani yang mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut
diformulasikan dalam bentuk nilai tukar petani (NTP). NTP didefinisikan sebagai
nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar
petani. Dengan demikian NTP merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk
yang dihasilkan petani terhadap produk dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga
petani, baik dalam rangka usaha produksi pertanian maupun konsumsi rumah
tangga. Fluktuasi NTP menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran atau
tingkat pendapatan riil petani. Kegiatan pertanian tidak terlepas dari kegiatan di
luar pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh perilaku
sektor di luar pertanian (Killick, 1981; Timmer et al., 1983). Berarti daya beli
petani dapat didekati dari tingkat pendapatan petani. Dalam hal ini daya beli
petani responden dikaitkan dengan kemampuan membeli sarana produksi, seperti
benih/bibit, pupuk, obat-obatan dan peralatan pertanian.
93
Daya beli petani adopter di Cianjur relatif lebih baik (sebanyak 19,6% yang
tergolong rendah) dibanding petani adopter di Garut (42,9% rendah). Meskipun
41,3 persen petani adopter Cianjur tergolong berpendapatan rendah, dan 37,3
persen petani adopter Garut juga berpendapatan rendah (Tabel 18), namun dalam
kenyataan tidak semua pendapatan dialokasikan untuk kepentingan usahatani.
Penggunaan sarana produksi di tingkat petani, selain ditentukan oleh daya beli
juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan petani akan manfaat produk. Manfaat
penggunaan benih bermutu (berlabel) dalam usahatani merupakan titik awal untuk
mencapai produktivitas tinggi. Ada empat lembaga pemerintah yang terkait
secara langsung dengan kebijakan perbenihan nasional. Instansi-instansi tersebut
adalah PT. Sang Hyang Seri sebagai Perusahaan Benih Milik Pemerintah, Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih, Badan Benih Nasional, dan Balai Penelitian
Tanaman (Sayaka et al., 2006).
Petani cenderung memilih varietas unggul untuk usahatani yang diperoleh
melalui sistem benih formal maupun tradisional. Sistem benih formal yang dijual
harus memenuhi standar kualitas yang dicantumkan pada kemasan. Benih
tradisional merupakan benih yang diproduksi sendiri oleh petani yang beredar
secara informal dan tidak harus memenuhi syarat-syarat mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah. Benih tradisional ini sebagian besar digunakan petani di Cianjur
maupun di Garut, yang diperoleh dari pemilihan hasil panen yang dinilai petani
bermutu baik dilihat dari umur dan ukuran. Walaupun fakta menunjukkan bahwa
benih yang dihasilkan petani cukup baik, namun dalam jangka panjang mutu
benih tidak dapat dijamin, terutama yang terkait dengan kemurnian varietas.
Dalam hal harga, benih berlabel yang dijual lebih mahal dibandingkan benih
tradisional, seperti benih jagung manis (sweet boy) berlabel di Cianjur seharga Rp
120 ribu/kg, benih jagung P12 seharga Rp 35 ribu/kg, sedangkan benih jagung
tradisional Rp 5 ribu/kg. Temuan penelitian Sayaka et al. (2006) menunjukkan
bahwa secara nasional penggunaan benih berlabel untuk padi, jagung dan kedelai
relatif masih kecil. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005) rata-rata
penggunaan benih padi berlabel baru sekitar 22,02 persen dari total luas tanam.
Demikian juga penggunaan benih jagung berlabel dan kedelai berlabel masih
relatif rendah, yaitu masing-masing 7,04 persen dan 2,80 persen.
94
Tabel 20 Rata-rata biaya produksi usahatani per hektar
Petani Cianjur (Rp 1.000) Petani Garut (Rp 1.000) No. Uraian Adopter
(n=46) Non adopter
(n=47) Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
(1) Benih/bibit 4.008,5 (52,4)
1.513,5 (33,2)
220,6 (13,0)
204,4 (13,7)
(2) Pupuk 1.793,7 (23,4)
1.738,9 (38,1)
634,8 (37,5)
609,9 (41,0)
(3) Obat-obatan/ pestisida
553,8 (7,2)
408,3 (8,9)
254,8 (15,1)
267,2 (18,0)
(4) Tenaga kerja 1.141,6 (14,9)
777,7 (17,0)
536,6 (31,7)
380,7 (25,6)
(5) Sewa lahan 158,4 (2,1)
124,1 (2,7)
45,8 (2,7)
25,4 (1,7)
Total
7.656,0 (100,0)
4.562,5 (100,0)
1.692,6 (100,0)
1.487, 6 (100,0)
Keterangan: Angka (…) merupakan persentase terhadap total
Biaya yang digunakan petani adopter di Cianjur, proporsi terbesar (52,4%)
untuk pembelian bibit ternak domba, kisaran harga bibit antra Rp 400 ribu - Rp
500 ribu dan benih komoditas yang diusahakan. Pada petani non adopter Cianjur
38,1 persen pendapatan dialokasikan pembelian pupuk (Tabel 20). Demikian pula
petani di Garut, baik adopter maupun non adopter, proporsi biaya tertinggi untuk
pembelian pupuk, masing-masing sebesar 37,5 persen dan 41,0 persen. Sebagian
besar petani di Garut menghadapi kendala biaya produksi, sehingga dalam
mengelola usahatani didasarkan pada biaya minimum (cost minimization) bukan
keuntungan maksimum (profit maximization), yang mengkondisikan tidak ada
kendala biaya produksi. Hal ini berarti bahwa insentif input lebih sesuai dengan
kondisi daya beli (anggaran) petani dibanding insentif output. Syafa’at et al.
(2007) berpandangan bahwa untuk meningkatkan daya beli pupuk di tingkat
petani, setidaknya ada dua kebijakan yang perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan
meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petani dengan insentif harga (yang
dimaknai sebagai biaya subsidi terhadap harga pupuk); dan kedua, kebijakan
keefektifan penyaluran dan pengendalian pupuk. Data yang tertera pada Tabel 20
memperlihatkan bahwa petani Cianjur memiliki daya beli sarana produksi yang
lebih tinggi dibandingkan petani Garut. Hal ini disebabkan adanya kucuran kredit
Penguatan Modal Usaha Kecil (PMUK) bagi petani Cianjur. Untuk meningkatkan
95
penggunaan sarana produksi oleh petani di Garut, dan dengan pertimbangan
penggunaan sarana produksi masih di bawah dosis yang dianjurkan, serta daya
beli terhadap sarana produksi relatif rendah, maka perlu ada kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Garut yang memberikan subsidi harga (melalui APBD),
sehingga harga beli di tingkat petani di bawah harga pasar.
Karakteristik Pribadi Petani
Tingkat rasionalitas petani merupakan kemampuan berpikir petani yang
diwujudkan dalam bentuk pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif, dan
pendapat modalitas (kemungkinan-kemungkinan); serta ungkapan perasaan yang
dinyatakan dalam sikap petani, terkait dengan inovasi teknologi usahatani terpadu
(Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004). Tabel 21 memperlihatkan tingkat rasionalitas
petani adopter dan non adopter Cianjur tergolong sedang. Petani Cianjur menilai
komponen inovasi teknologi terpadu yang diintroduksikan, ada yang
menguntungkan dan ada yang merugikan. Penilaian ini berkaitan dengan
pengalaman bertani, luas pemilikan lahan, modal, dan tenaga kerja dalam keluarga
yang mengelola usahatani.
Tabel 21 Karakteristik pribadi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter
(n=46)
Non
adopter (n=47)
Adopter
(n=91)
Non
adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non
adopter (n=165)
Tingkat rasionalitas Rendah Sedang Tinggi
Skor 10-19 20-29 30-40
32,6 45,7 21,7
46,8 51,1 2,1
23,1 28,5 48,4
49,2 24,5 26,3
26,3 34,3 39,4
48,5 32,1 19,4
Tingkat intelegensi Rendah Sedang Tinggi
Skor 4-5 6-7 8-9
43,5 47,8 8,7
80,9 17,0 2,1
22,0 51,6 26,4
42,4 49,1 8,5
29,2 50,4 20,4
53,3 40,0 6,7
Sikap thd perubahan Rendah Sedang Tinggi
Skor 3-5 6-9
10-12
21,7 56,6 21,7
46,8 53,2 0,0
11,0 50,5 38,5
3,4
61,9 34,7
14,6 52,6 32,8
15,8 59,4 24,8
Tingkat keberanian mengambil resiko Rendah Sedang Tinggi
Skor
7-13 14-21 22-28
50,0 41,3
8,7
63,8 36,2 0,0
41,8 52,7 5,5
76,3 23,7 0,0
44,5 48,9 6,6
72,7 27,3 0,0
Keterangan: Rentang skor tingkat rasionalitas 10-40; tingkat intelegensi 4-9 sikap thd perubahan 3-12; tk. keberanian beresiko 7-28
96
Keluhan petani adalah pada cara tanam pisang dengan membuat lubang
berukuran 50x50x50 cm3. Cara ini memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih
lama dibandingkan pembuatan lubang yang biasa dilakukan petani, yakni dua kali
mengayunkan cangkul. Perbedaan tingkat rasionalitas petani adopter Garut
(48,4% tergolong tinggi), dengan petani adopter Cianjur yang menilai inovasi
teknologi menguntungkan, diduga karena petani adopter Garut lebih lama
menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu. Sebaliknya 49,2 persen petani
non adopter Garut menilai bahwa teknologi lokal yang diterapkan adalah kurang
menguntungkan. Namun, petani non adopter tersebut mengemukakan bahwa
untuk menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu diperlukan modal
usahatani (sebagai biaya produksi) yang relatif tinggi dan skala usaha yang luas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang disampaikan petani non adopter Garut
merupakan alasan yang rasional. Namun demikian petani non adopter Garut
menyatakan, bila pemerintah memberikan bantuan modal usahatani dan tidak
mensyaratkan luasan kepemilikan lahan, maka petani non adopter cenderung akan
menerapkan teknologi usahatani terpadu. Fakta empiris menunjukkan bahwa
selama ini petani akan menerapkan suatu inovasi teknologi yang diintroduksikan
pemerintah bila ada bantuan sarana produksi diberikan oleh pihak lain
(pemerintah). Bila bantuan sarana produksi tidak lagi diberikan dan tenaga
pendamping (detasir) sudah meninggalkan petani, maka petani cenderung
menggunakan kembali teknologi semula. Petani kelompok ini sangat tergantung
pada bantuan pemerintah. Hal ini kemungkinan akibat dari pelaksanaan proyek
yang selama ini tidak memberdayakan petani untuk mandiri.
Tingkat intelegensi petani adopter Cianjur, petani adopter Garut dan non
adopter Garut adalah tergolong sedang, masing-masing dengan proporsi 47,8
persen; 51,6 persen dan 49,1 persen; sedangkan petani non adopter Cianjur adalah
tergolong rendah (80,9%). Ini berarti sebagian besar petani responden memiliki
kemampuan yang sedang dalam: (1) mempertimbangkan pilihan yang ada dalam
mengelola usahatani dan (2) memprediksi manfaat penerapan teknologi usahatani
terpadu. Pertimbangan penentuan komoditas yang diusahakan, perolehan
informasi dan belajar teknik usahatani tidak hanya bersumber dari sesama petani.
Sumber lain diperoleh dari pedagang sarana produksi, pedagang pengumpul dan
97
penyuluh, serta media. Sumber-sumber tersebut memberikan pengaruh kognitif
pada petani.
Petani non adopter Cianjur dalam menentukan jenis tanaman yang
dibudidayakan lebih berdasarkan pada kebiasaan yang dilakukan (74,5%) maupun
mengikuti petani lain (25,5%). Mengutip pemikiran Howard Gardner (Wikipedia,
2010), tingkat intelegensi petani lebih mengarah pada intelegensi eksistensial,
yakni kemampuan seseorang menyangkut kepekaan dalam menjawab persoalan-
persoalan yang dihadapi terkait dengan pengelolaan usahatani. Hal ini tercermin
dari upaya-upaya yang dilakukan petani dalam mengakses informasi pasar, modal,
teknologi dan sumberdaya lain yang relevan dengan usahatani yang dikelola.
Penentuan komoditas yang diusahakan tidak terlepas dari informasi harga beli
benih, harga jual produk, preferensi konsumen terhadap produk tersebut yang
menyangkut mutu, modal untuk biaya produksi, ketersediaan teknologi dan
ketersediaan lahan serta tenaga kerja. Keseluruhan informasi tersebut menjadi
input bagi petani dan melakukan sintesis berdasarkan kemampuan intelegensi
eksistensial, yang secara personal berbeda antara petani.
Sikap petani responden, baik di Cianjur maupun Garut dalam merespon
perubahan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 21). Hal ini mengindikasikan
bahwa untuk inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan maka sikap
petani berada pada posisi kurang setuju dan setuju, tidak pada posisi ekstrim tidak
setuju ataupun sangat setuju. Demikian juga dengan penerimaan petani terhadap
teknologi usahatani terpadu, petani berpikir terlebih dahulu tentang manfaat
teknologi tersebut ataupun melihat dahulu petani lain, selanjutnya baru menerima
dengan cara meniru. Dengan demikian plot demonstrasi merupakan metode yang
tepat untuk menyampaikan suatu inovasi teknologi. Metode ini telah lama
diterapkan, seperti pada waktu memperkenalkan teknologi Bimas maupun Inmas.
Sikap petani terhadap kegunaan teknologi usahatani terpadu berada dalam
posisi antara kurang yakin dan yakin dapat meningkatkan pendapatan. Sikap
petani responden yang demikian menurut Rogers dan Shoemaker (1971),
dikategorikan dalam sikap khusus terhadap inovasi. Sikap ini mengarah pada
petani berkenan atau tidak, petani percaya atau tidak terhadap kegunaan suatu
inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi
98
dengan inovasi lainnya. Bila petani responden (adopter) memiliki pengalaman
positif dengan inovasi teknologi yang diperkenalkan sebelum teknologi usahatani
terpadu, maka kecenderungan petani adopter juga bersikap positif terhadap
inovasi teknologi usahatani terpadu. Sebaliknya, jika petani responden mengalami
kegagalan dalam menerapkan inovasi teknologi yang diperkenalkan sebelumnya,
maka akan ada kendala bila inovasi lain diperkenalkan.
Petani yang berperan sebagai pengurus kelompok (ketua, sekretaris,
bendahara ataupun seksi-seksi) cenderung bersikap positif terhadap inovasi
teknologi usahatani terpadu. Hal ini disebabkan petani-petani tersebut yang
mengikuti sosialisasi inovasi yang diperkenalkan oleh peneliti dan penyuluh
BPTP Jawa Barat, juga ikut serta dalam kegiatan penyuluhan, sehingga mendapat
banyak pengetahuan dan keterampilan. Dalam teori psikologi terdapat dua
penjelasan sikap petani terhadap perubahan. Pertama, konsistensi kognitif yakni
kecenderungan semua orang untuk berupaya mencari konsistensi di dalam pikiran,
baik dalam hal keyakinan, nilai-nilai maupun persepsi. Jika tidak konsisten, maka
akan berusaha menjadi konsisten. Kedua, komunikasi persuasif yakni informasi
yang disampaikan penyuluh akan mengubah sikap petani. Terdapat beberapa
ketentuan agar persuasi dapat mengubah sikap: (1) penyuluh sebagai komunikator
atau penyampai persuasi, (2) isi pesan, dan (3) petani, sebagai khalayak atau pihak
yang dipersuasi harus saling menunjang.
Petani adopter yang mengalami kegagalan dalam menerapkan komponen-
komponen teknologi yang diperkenalkan sebelumnya, akan bersikap negatif
terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu. Secara umum, petani akan lebih
memperhatikan informasi yang konsisten dengan sikapnya dan mengabaikan yang
tidak konsisten. Namun melalui komunikasi persuasif, penyuluh dapat
menyampaikan keunggulan dan manfaat teknologi usahatani terpadu, sehingga
petani yang semula bersikap negatif berubah positif. Oleh karena itu langkah ini
yang seharusnya ditempuh penyuluh, yakni mengidentifikasi petani adopter yang
telah berhasil dan gagal dalam menerapkan teknologi sebelumnya. Selanjutnya
penyuluh memulai kegiatannya terhadap petani adopter tertentu (yang berhasil)
dengan komponen teknologi yang memiliki taraf keuntungan relatif yang tinggi,
yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat petani yang ada, tidak
99
rumit, dan mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu
menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan mempermudah penyuluh dalam
memperkenalkan komponen-komponen lain dalam teknologi usahatani terpadu.
Dalam hal ini prinsip falsafah membakar sampah dapat diterapkan dalam
memperkenalkan inovasi teknologi, yakni dimulai dari petani yang telah memiliki
sikap positif terhadap perubahan, baru dilanjutkan kepada petani lain yang
bersikap negatif. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa suatu kegiatan untuk
memperkenalkan inovasi teknologi ataupun inovasi lain, tidak bisa tiba-tiba
dihentikan. Diperlukan adanya “strategi penyuluhan berkelanjutan,” paling
sedikit bimbingan yang terus menerus oleh penyuluh pertanian BPP setempat.
Bahkan kalau memungkinkan, dengan bantuan sedikit dana dari APBD. “Strategi
penyuluhan berkelanjutan” ini harus dimulai paling sedikit pada tahun terakhir
kegiatan dilakukan. Pada saat penyuluh BPTP (tenaga detasir) meninggalkan
petani yang dibina, penyuluh BPP dapat melanjutkan kegiatan penyuluhan
teknologi usahatani terpadu, berperan sebagai fasilitator maupun motivator.
Sikap negatif petani adopter tidak selamanya demikian, dalam jangka waktu
tertentu dapat berubah, karena ada pengaruh petani adopter lain yang bersikap
positif melalui interaksi sosial. Azwar (2000) mengemukakan bahwa sikap
merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap
lingkungan. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di
antara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola
sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya.
Tingkat keberanian mengambil resiko merupakan salah satu faktor
psikologis petani responden dalam menghadapi berbagai kemungkinan atas
keputusan yang diambil dalam kegiatan usahatani. Menurut Frank Knight
(Muhamad, 2010), resiko adalah sesuatu yang belum pasti terjadi, tetapi dapat
dihitung probabilitasnya. Usahatani yang dilakukan petani reponden secara umum
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum atau untuk keamanan
dengan cara meminimalkan resiko, termasuk keinginan untuk mempunyai
persediaan pangan yang cukup untuk konsumsi rumah tangga dan selebihnya
dijual. Hasil pengamatan di lapangan memberikan gambaran bahwa petani
membudidayakan berbagai jenis komoditas, termasuk beternak (on farm) dan
100
usaha lain, seperti berburuh tani (on farm) serta non pertanian (off farm).
Tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengurangi resiko jika tidak
memperoleh pendapatan dari kegiatan bertani, karena adanya serangan hama
penyakit ataupun bencana alam yang mengakibatkan puso (gagal panen).
Petani (adopter dan non adopter) Cianjur serta petani non adopter Garut
tergolong memiliki tingkat keberanian mengambil resiko yang rendah. Terdapat
kecenderungan petani tersebut tidak pernah atau jarang: (1) mengganti sarana
produksi (benih/bibit, pupuk ataupun obat-obatan) yang dinilai lebih
menguntungkan, (2) menambah atau mengurangi jenis komoditas yang
diusahakan, (3) langsung menjual hasil ke pasar, (4) menambah luasan usahatani,
dan (5) mengambil kredit dari bank untuk menambah modal usahatani. Hal ini
diduga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal petani responden seperti kegagalan
panen karena masalah hama penyakit ataupun bencana alam (kekeringan, tanah
longsor). Selain itu, harga jual dari komoditas yang diusahakan dinilai rendah
dibandingkan dengan harga beli sarana produksi yang cenderung naik, serta
terdapat peluang kerja di sektor lain seperti di sektor jasa. Sebaliknya petani
adopter Garut memiliki tingkat keberanian mengambil resiko yang sedang.
Dalam teori ekonomi, tingkat resiko dibedakan menjadi tiga (Pindyck dan
Rubinfeld, 1995), yakni: (1) menolak resiko (risk averse), (2) netral terhadap
resiko (risk neutral), dan (3) menyukai resiko (risk loving). Petani dengan tingkat
keberanian beresiko rendah dapat dikategorikan menolak resiko. Inovasi
teknologi pada kelompok petani ini dipandang beresiko tinggi terhadap keamanan
pangan. Dengan pemilikan lahan yang relatif sempit, petani tidak berani
berspekulasi mencoba hal baru. Pada petani dengan tingkat keberanian beresiko
sedang dapat dikategorikan netral terhadap resiko. Terkadang petani menilai
suatu inovasi teknologi merugikan dari satu sisi, tetapi menguntungkan dinilai
dari aspek lain. Sebagai contoh, pembuatan teras (sengkedan) atau guludan,
terutama pada lahan yang miring yang diikuti dengan penguatan teras dengan
tanaman pakan ternak, dinilai menambah curahan tenaga kerja. Namun dari sisi
lain inovasi tersebut merupakan upaya mencegah erosi dan menjamin ketersediaan
pakan ternak. Baik petani adopter maupun non adopter tidak ada yang termasuk
dalam kategori tingkat keberanian beresiko tinggi atau menyukai resiko (risk
101
loving). Hal ini dapat dipahami, karena dalam mengelola usahatani petani
berhadapan dengan faktor alam yang tidak dapat dikontrol, termasuk perubahan
iklim yang banyak dikeluhkan petani.
Bila dikaitkan dengan tingkat rasionalitas, terlihat bahwa petani adopter
Garut sebagian besar memiliki tingkat rasionalitas yang tinggi. Hal ini berarti
petani responden dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, relatif lebih berani
menanggung resiko. Secara rasional petani adopter Garut dapat memperkirakan
resiko dalam berusahatani, seperti frekuensi terjadi kerugian, komoditas yang
rentan terhadap kekeringan ataupun serangan hama penyakit tertentu. Hama ulat
putih (diistilahkan kuuk) yang menyerang hampir sebagian besar lahan kering
milik petani responden, diatasi petani adopter dengan mengganti jenis tanaman
yang diusahakan dari padi gogo menjadi tanaman keras/tahunan (albasia).
Kemampuan memprediksi kondisi tersebut membuat sebagian besar petani
adopter Garut relatif lebih berani mengambil resiko dibanding petani (adopter dan
non adopter) Cianjur serta petani non adopter Garut.
Perilaku Komunikasi Petani
Kerjasama
Kerjasama dimaknai sebagai kemampuan petani dalam menjalin hubungan
kerja dengan pihak lain yang terkait dengan kegiatan usahatani. Proses terjadinya
kerjasama adalah melalui interaksi personal, baik antara sesama petani maupun
antara petani dengan pedagang sarana produksi, pedagang hasil, perusahaan
pengolah, lembaga pembiayaan, tokoh masyarakat dan penyuluh. Mengikuti
pemikiran Etzioni (1961) bahwa kerjasama yang didasari keterikatan dan
keterlibatan yang terkait dengan aspek ekonomi, dapat digolongkan sebagai
kerjasama ekonomi. Bila mengacu pada pendapat Martinelli (2002) kerjasama
tersebut termasuk dalam kerjasama masyarakat pasar.
Kerjasama sebagian besar petani responden (sekitar 45,7%-74,5%) termasuk
kategori rendah, kecuali pada petani adopter Garut (62,6%) tergolong sedang
(Tabel 22). Hal ini mengindikasikan bahwa intensitas hubungan petani responden
dengan perusahaan pengolah, lembaga pembiayaan (KUD, Lembaga Perkreditan
Desa, Bank) maupun penyuluh berada dalam posisi tidak pernah ataupun jarang.
102
Hubungan yang terjalin dengan sesama petani atau kelompok tani dapat
menumbuhkan kepercayaan dalam hal: (1) saling tukar informasi tentang
usahatani; (2) memberikan pinjaman, baik berupa uang tunai maupun sarana
produksi; (3) menyampaikan keluhan tentang kegagalan dalam berusahatani; dan
(4) memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan usahatani. Kerjasama
antara sesama petani tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi saja, numun juga
aspek budaya, seperti gotong royong ketika menanam. Meskipun budaya tersebut
sudah mulai terkikis dan persentasenya relatif kecil (karena adanya buruh tanam
sebagai tenaga yang dibayar), namun keberadaannya tidak bisa diabaikan.
Tabel 22 Perilaku komunikasi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter
(n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Kerjasama Rendah Sedang Tinggi
Skor 16-32 33-49 50-64
45,7 34,7 19,6
74,5 14,9 10,6
30,8 62,6 6,6
72,9 22,9 4,2
35,8 53,3 10.9
73,3 20,6 6.1
Tingkat kekosmopo-litan Rendah Sedang Tinggi
Skor
5- 9 10-14 15-20
56,5 19,6 23,9
66,0 21,3 12,8
58,2 27,5 14,3
74,6 21,2 4,2
57,7 24,8 17,5
72,1 21,2 6,7
Keterdedahan terhadap media Rendah Sedang Tinggi
Skor
7-13 14-20 21-28
69,6 23,9 6,5
83,0 8,5 8,5
68,1 26,4 5,5
80,5 17,0 2,5
68,6 25,5 5,8
81,2 14,5 4,2
Keterangan: Rentang skor kerjasama 16-64; tingkat kekosmopolitan 5-20 keterdedahan terhadap media 7-28
Beberapa petani menjalin kerjasama ekonomi dengan pedagang sarana
produksi dan pedagang hasil, yang memberikan pinjaman baik berupa sarana
produksi maupun uang tunai. Kerjasama di antara kedua belah pihak relatif lentur
(fleksibel). Aturan-aturan yang disepakati biasanya didasarkan atas kepercayaan
dan bersifat informal. Bagi pedagang hasil, kerjasama ini memberikan keuntungan
berupa terjaminnya kesinambungan pasokan, jumlah bahkan mutu yang
dikehendaki dari produk yang dihasilkan petani. Keuntungan bagi petani
responden sebagai produsen adalah jaminan pemasaran produk dan kemudahan
memperoleh pinjaman baik berupa sarana produksi maupun uang tunai (kapanpun
103
dibutuhkan, bahkan tidak terbatas untuk keperluan usahatani) tanpa disertai
agunan. Keterikatan ini membawa konsekuensi, petani harus menjual hasil panen
kepada pedagang hasil tersebut, tanpa mempunyai posisi tawar (bargaining
position). Berapapun harga beli dari pedagang hasil akan diterima oleh petani,
meskipun petani mengetahui terdapat selisih harga antara Rp 100,00 sampai
Rp 200,00/kg produk jika dijual ke pedagang lain yang tidak terikat peminjaman.
Di Desa Jatiwangi, Garut terdapat petani yang merangkap pedagang hasil
sekaligus juga tokoh masyarakat (kepala dusun atau papunduh). Sebagai tokoh
masyarakat berperan menggerakkan petani non adopter untuk menerapkan
teknologi usahatani terpadu, seperti penggunaan varietas padi baru, usaha ternak
domba/kambing di mana kotorannya dapat diolah menjadi kompos sebagai pupuk
organik.
Tingkat Kekosmopolitan
Tingkat kekosmopolitan diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial
dengan hubungan interpersonal yang luas. Tingkat kekosmopolitan proporsi
terbesar petani adopter (57,7%) dan petani non adopter (72,1%) adalah tergolong
rendah (Tabel 22). Hal ini memberikan gambaran bahwa sebagian petani
responden tidak pernah atau jarang bepergian ke luar desa dalam mengakses
informasi: (1) pasar, (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungan petani, serta (3) usaha lain yang kompetitif. Dengan
skala usaha yang relatif sempit dan kebutuhan terhadap sarana produksi tidak
terlalu tinggi, informasi harga diperoleh dari sesama petani di dalam desa. Sikap
menyerah pada nasib (fatalistik) terlihat pada petani responden dengan tingkat
kosmopolitan yang rendah. Ketidakmampuan menguasai faktor-faktor eksternal
menyebabkan petani responden pesimis, tidak berkeinginan mengembangkan
usahatani menjadi lebih baik. Petani responden dengan tingkat kekosmopolitan
tinggi (sekitar 4,2-23,9%) adalah ketua kelompok tani, tokoh masyarakat, petani
yang merangkap sebagai pedagang sarana produksi ataupun pedagang hasil.
Termasuk juga petani yang merantau ke kota pada saat musim paceklik (musim
kemarau). Kecenderungan pedagang hasil bepergian ke luar desa adalah untuk
memperoleh informasi mengenai mutu komoditas (produk) yang dibutuhkan
konsumen, seperti komoditas organik (dalam proses produksi tidak menggunakan
104
bahan kimia). Bahkan persyaratan mutu produk yang masuk ke supermarket
perlu dicermati dengan baik, karena bila kriteria yang telah ditentukan tidak bisa
dipenuhi, produk ditolak dan pegadang mengalami kerugian.
Keterdedahan terhadap Media
Media dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) media cetak yang meliputi surat
kabar, majalah, brosur dan buku; dan (2) media elektronik yang mencakup radio,
televisi, dan telepon genggam. Proporsi tertinggi keterdedahan terhadap media
pada petani responden yang terkait dengan informasi pengelolaan usahatani
adalah tergolong rendah (Tabel 22). Sebanyak 69,6 persen petani adopter dan
87,2 persen petani non adopter di Cianjur tidak pernah mendapatkan informasi
tentang usahatani dari media surat kabar; di Garut bahkan mencapai 81,3 persen
(petani adopter) hingga 92,4 persen (petani non adopter). Demikian juga dengan
media cetak lain (majalah, brosur dan buku) memberikan gambaran yang sama.
Hal ini berarti minat baca di kalangan petani responden relatif rendah, yang
diperkirakan berkaitan dengan tingkat pendidikan formal yang ditempuh. Di
samping itu, jangkauan wilayah pedesaan yang jauh dari perkotaan, terlebih jarak
dari Desa Jatiwangi ke pusat kota Garut, menghambat distribusi media cetak,
sehingga ketersediaan bahan-bahan cetak di pedesaan sangat terbatas.
Di Desa Talaga dan Jatiwangi juga tidak terdapat perpustakaan desa.
Meskipun terdapat beberapa petani responden yang menyatakan membaca surat
kabar, namun materi yang dibaca berkisar pada bidang olah raga, berita politik
dan aspek ekonomi. Akses sebagian besar petani responden terhadap informasi
usahatani dari media elektronik (radio, televisi, dan telepon genggam) termasuk
rendah. Dari hasil pengamatan, beberapa petani responden terlihat tidak memiliki
radio. Bagi sebagian besar petani responden yang memiliki radio, mengemukakan
bahwa materi yang didengarkan melalui radio terbatas pada hiburan.
Porsi informasi tentang pertanian ataupun cara mengatasi berbagai
permasalahan dalam bertani, yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI)
melalui acara Siaran Pedesaan, relatif sedikit. Berdasarkan informasi dari
koordinator acara Siaran Pedesaan RRI, keterbatasan jam penyiaran yaitu hanya
satu jam per minggu selama tiga kali per bulan tidak memungkinkan seluruh
materi yang mencapai 22 materi dari sektor pertanian dan perikanan dapat
105
dijadwalkan dengan baik. Faktor lain yang perlu dicermati dalam pengembangan
penyusunan program Siaran Pedesaan adalah perlunya dilakukan riset khalayak.
Dengan memperhatikan unsur demografi, geografi, jenis kelamin, pendidikan
maupun bahasa diharapkan dapat diketahui permasalahan yang dihadapi khalayak
sasaran jangkauan siaran. Kemudian ditentukan alternatif pemecahan masalah
dengan mempertimbangkan bahwa pesan yang disampaikan oleh pengelola radio
sesuai dengan kebutuhan khalayak yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Mengacu pendapat Smith (1981), suatu program yang baik mempunyai
karakteristik sebagai berikut: mutu khusus (lebih ditekankan pada keaslian atau
orisinalitas), unik (bermutu dan terpadu), beragam (berganti secara terus menerus
baik performa, materi, suasana, serta tempo), langkah baik (tidak membosankan,
harus dinamis dan mempunyai ritme yang menarik dalam satu kepaduan), rutinitas
baik (menyeleksi dan mempersiapkan program) dan mutu teknis yang baik
(melalui penggunaan peralatan).
Televisi yang dilengkapi dengan visual dinilai petani responden lebih
menarik, dibandingkan dengan radio. Petani responden lebih memanfaatkan
televisi sebagai media hiburan. Termasuk di dalamnya menyaksikan pertandingan
olahraga, dan berita-berita nasional. Sebagian besar petani responden tidak
memperoleh informasi tentang usahatani selama satu bulan terakhir pada saat
penelitian dilakukan. Hal ini tampaknya terkait erat dengan proporsi penayangan
acara televisi yang didominasi oleh acara hiburan, baik di televisi swasta yang
berjumlah relatif banyak maupun di TVRI. Curahan waktu dalam menyaksikan
siaran televisi relatif jauh lebih tinggi dibanding dengan radio. Meskipun
demikian, masih terdapat beberapa petani responden yang tidak pernah menikmati
sajian acara televisi, karena tidak memiliki televisi.
Kepemilikan telepon genggam oleh beberapa petani berusia muda, fungsi
atau penggunaannya masih terbatas untuk berkomunikasi dengan sesama teman
ataupun kerabat, belum berfungsi untuk mendapatkan informasi usahatani.
Kecuali petani yang merangkap sebagai pedagang, maka telepon genggam
bermanfaat untuk memperoleh informasi tentang harga beli produk, tempat
pembelian produk atau info lain yang menyangkut usaha dagang yang dikelola.
106
Secara keseluruhan dapat dikatakan, bahwa baik media cetak maupun media
elektronik belum memberikan tambahan pengetahuan maupun wawasan kepada
sebagian besar petani responden (di Cianjur dan Garut) yang berkaitan dengan
usahatani. Padahal menurut Depari dan MacAndrews (1982), media massa telah
dibuktikan mampu berperan secara efektif dalam menambah pengetahuan. Untuk
itu, agar dicapai tingkat keefektifan media massa diperlukan interaksi kedua pihak
baik khalayak (sebagai penerima informasi) maupun sumber informasi.
Melihat kenyataan di atas, maka perlu diupayakan memotivasi petani
responden untuk menggali informasi terbaru dari media massa, baik dari aspek
teknik budidaya, penanganan pascapanen maupun pemasaran. Di kalangan para
pengelola media massa hendaknya tidak hanya berorientasi pada sisi keuntungan
saja. Namun para pengelola juga dituntut mempunyai fungsi sosial atau
pendidikan yang dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan. Faktanya
para pengelola media massa (pengusaha) hanya berpikir jangka pendek. Perhatian
pemerintah maupun swasta terhadap masyarakat petani di pedesaan (terutama
yang mengelola lahan marjinal) perlu ditingkatkan dengan cara menyampaikan
informasi sesuai kebutuhan. Diharapkan materi yang disiarkan antara hiburan,
berita, informasi teknologi pertanian dan bisnis dalam proporsi yang berimbang.
Terutama pada media televisi yang telah mampu menarik banyak pemirsa dengan
daya jangkau siaran yang telah merambah luas hingga pelosok tanah air.
Dukungan Iklim Usaha
Mosher (1966) mengemukakan bahwa, untuk memajukan sektor pertanian,
maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima
syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut
terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah,
(3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang
produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi. Lebih lanjut Mosher
(1966) menyatakan bahwa teknologi pertanian secara umum yang ditawarkan
kepada petani hendaknya harus memiliki lima sifat berikut, sehingga petani akan
cenderung terus mengadopsi: (1) keefektifan dari segi teknis, (2) mutu produk
dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di tempat di mana petani
107
berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani, dan (5) dijual
dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani.
Ketersediaan Sarana Produksi (Input)
Sarana produksi seperti benih/bibit, pupuk dan obat-obatan merupakan
faktor produksi yang berperan terhadap jumlah maupun mutu produk yang
dihasilkan petani. Dukungan pemerintah terhadap ketersediaan sarana produksi
seperti pupuk ditunjukkan dengan pemberlakuan peraturan Menteri Pertanian No.
29/Permentan/OT.140/6/2008 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi
(HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Ketersediaan sarana produksi
bagi sebagian besar petani adopter Cianjur, petani adopter dan petani non adopter
Garut tergolong sedang (Tabel 23).
Tabel 23 Dukungan iklim usaha di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter
(n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Ketersediaan input (saprodi) Rendah Sedang Tinggi
Skor
12-23 24-36 37-48
26,1 56,5 17,4
55,3 40,4 4,3
6,6 56,0 37,4
2,5 61,9 35,6
13,1 56,2 30,7
17,6 55,8 26,7
Ketersediaan fasilitas keuangan Rendah Sedang Tinggi
Skor
12-23 24-36 37-48
34,8 54,3 10,9
53,2 46,8 0,0
18,7 79,1 2,2
28,8 67,0 4,2
24,1 70,8 5,1
35,8 61,2 3,0
Ketersediaan sarana pemasaran Rendah Sedang Tinggi
Skor
5- 9 10-15 16-20
19,6 60,8 19,6
17,0 78,7 4,3
0,0 59,3 40,7
26,3 61,9 11,8
6,6 59,9 33,6
23,6 66,7 9,7
Keterangan: Rentang skor ketersediaan input dan fasilitas keuangan 12-48; ketersediaan sarana pemasaran 5-20 Hal ini terkait dengan pendapat petani responden yang sebagian menyatakan sulit
dan sebagian yang lain menyatakan mudah dalam memperoleh sarana produksi.
Keberadaan kios pengecer sarana produksi yang telah memasuki wilayah
pedesaan, membuat jarak lahan petani dengan kios sarana produksi relatif dekat,
sehingga mudah dijangkau.
Di Desa Talaga Cianjur, terdapat dua kios sarana produksi, yakni di
Kampung Salahuni dan Kampung Lebak Songgom, sedangkan di Desa Jatiwangi
108
Garut terdapat enam kios sarana produksi berada di Kampung Bojong Randu,
Kampung Kadudampit, Kampung Ciwaru, Kampung Sampora, Kampung Arinem
dan Kampung Dangdeur. Dengan demikian, petani responden relatif mudah
memperoleh benih/bibit yang dibutuhkan, baik yang membeli di kios maupun
yang dibuat sendiri oleh petani. Kesulitan yang dihadapi beberapa petani
responden dalam mendapatkan pupuk NPK, phonska dan obat decis supergo pada
waktu dibutuhkan. Terjadinya kelangkaan pupuk tersebut diduga akibat sistem
distribusi yang tidak berjalan dengan baik. Dalam hal pengamanan ketersediaan
pupuk, menurut Rachman (2009) yang perlu mendapatkan perhatian adalah
manajemen stok yang harus dilakukan oleh produsen pupuk sebagaimana diatur
dalam Permendag No 21/M-DAG/PER/6/2008. Pada puncak musim tanam
diharapkan stok pupuk dapat ditingkatkan terutama di wilayah yang sulit
dijangkau. Meskipun peraturan Menteri Pertanian No. 29/Permentan/OT.140/6/
2008 telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang
berlaku untuk pembelian pupuk di kios pengecer resmi, namun fakta di lapangan
petani membeli pupuk dengan harga lebih tinggi dari HET. Seperti harga pupuk
Urea yang dibeli petani dapat mencapai Rp 1.500,00 dan ZA Rp 2.500,00
sedangkan HET pupuk Urea Rp 1.200,00/kg dan ZA Rp 1.050,00. Rachman
(2009) mengungkapkan bahwa masalah yang menimbulkan kelangkaan dan harga
pupuk yang melebihi HET akibat seringkali ditemukan kebocoran penyaluran
pupuk bersubsidi ke luar petani sasaran.
Ketersediaan sarana produksi tidak hanya dicirikan oleh tingkat kemudahan
atau kesulitan petani responden dalam mendapatkan sarana produksi, namun juga
pengaruh mutu dan takaran yang sesuai kebutuhan. Petani responden menyatakan
permasalahan lain yang muncul menyangkut mutu pupuk dan obat-obatan.
Beberapa petani responden mendapati pupuk Urea palsu yang bertekstur seperti
tepung, padahal seharusnya Urea berbentuk butiran. Hasil yang diperoleh petani
juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara tanaman yang dipupuk dengan
Urea palsu dan tanpa pemupukan. Pupuk SP36 juga dipalsukan, yang asli berwarna
agak putih, sedangkan yang palsu berwarna agak kehitaman. Obat-obatan seperti
matador juga dipalsukan. Dengan kemasan yang sama, matador yang palsu
berwarna putih (bodas), sedangkan yang asli bening (herang). Fakta ini
109
mengindikasikan pengawasan yang lemah terhadap produk pupuk dan obat-
obatan, sehingga muncul oknum yang memalsukan produk tersebut. Upaya
mengatasi permasalahan tersebut tidak mudah. Untuk itu perlu ada peraturan yang
mengharuskan produsen mencantumkan secara rinci komponen yang dikandung
pada kemasan pupuk atau obat-obatan, disertai sanksi bila dilakukan pemalsuan.
Persoalan lain yang timbul di kalangan petani responden adalah kesulitan dalam
mendapatkan obat-obatan yang sesuai dengan takaran yang dibutuhkan. Misal
obat decis hanya diperlukan 50 ml, tetapi decis yang tersedia di pasaran berukuran
100 ml. Berarti petani responden harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi
dibandingkan biaya yang harus dibayar bila decis tersedia dalam ukuran 50 ml.
Ketersediaan Fasilitas Keuangan
Petani dalam melakukan kegiatan usahatani memerlukan modal. Sejalan
dengan perkembangan teknologi pertanian, petani membutuhkan modal yang
memadai, baik untuk pembelian alat-alat pertanian maupun sarana produksi.
Nurmanaf (2007) menyatakan bahwa permodalan merupakan salah satu faktor
produksi penting dan dalam batas-batas tertentu merupakan faktor kritikal.
Kecukupan modal melalui bantuan pembiayaan dapat berfungsi efektif untuk
mencapai titik optimal dalam skala usaha dan adopsi teknologi maupun
penanganan pascapanen. Perolehan modal petani responden dalam melakukan
kegiatan usahatani, selain berasal dari diri sendiri (petani yang bersangkutan),
juga bersumber dari lembaga perkreditan pedesaan.
Permodalan sering menjadi kendala bagi petani berskala kecil. Tidak jarang
ditemui bahwa kekurangan modal dapat menghambat petani dalam mengelola dan
mengembangkan usahatani. Hasil kajian Syukur et al. (1993) menunjukkan bahwa
peranan kredit tidak hanya sebagai pelancar pembangunan, namun juga dapat
menjadi unsur pemacu adopsi teknologi yang diharapkan mampu meningkatkan
produksi, nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Terdapat dua jenis kredit
sebagai sumber pembiayaan petani, yakni kredit formal dan non formal yang
memiliki karakteristik yang khas. Menurut Sudaryanto dan Syukur (2001),
kekhasan ini menyangkut aspek sasaran kelompok, syarat peminjaman dan
pengajuan, cara pengembalian, sistem insentif dan sanksi.
110
Kredit formal di pedesaan mencakup: (1) kredit program, terkait dengan
program pemerintah, sasaran kredit terbatas, ditangani lembaga perbankan
pemerintah; dan (2) kredit non program, dilakukan oleh lembaga pembiayaan
pemerintah maupun swasta. Kredit non formal di pedesaan biasanya diberikan
oleh petani kaya, pedagang hasil pertanian, pedagang sarana produksi, pemilik
penggilingan padi ataupun pihak lain yang menjadi pelaku ekonomi pedesaan.
Lembaga pembiayaan non formal menetapkan tingkat suku bunga jauh lebih
tinggi dibandingkan bank formal (Ashari dan Saptana, 2005).
Ketersediaan fasilitas keuangan bagi sebagian besar petani adopter Cianjur,
petani adopter dan petani non adopter Garut tergolong sedang (Tabel 23). Hal ini
menandakan bahwa petani responden sebagian menyatakan kesulitan dan
sebagian yang lain menyatakan mudah dalam mengakses lembaga keuangan
berada dalam posisi antara sulit dan mudah. Petani responden mengalami
kesulitan ketika akan mengakses kredit formal dari lembaga perbankan. Salah
satu persyaratan yang sulit dipenuhi petani adalah adanya keharusan dari pihak
perbankan untuk menyerahkan agunan. Agunan peminjaman yang dinilai
berharga oleh pihak perbankan adalah sertifikat kepemilikan tanah, rumah
ataupun surat Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Bagi petani responden yang memiliki lahan garapan relatif sempit, dengan
penguasaan aset rumah tangga yang serba terbatas, tentu agunan yang
dipersyaratkan menjadi suatu kendala. Apalagi di pedesaan masih banyak
kepemilikan tanah yang belum disertifikat, masih berstatus girik (surat yang
dikeluarkan desa). Selain itu, prosedur pengurusan administrasi yang terlalu rumit
dan penyaluran dana peminjaman membutuhan waktu yang lama, serta cicilan
pinjaman yang harus diangsur setiap bulan menyebabkan petani responden tidak
berani meminjam ke bank, karena tidak sesuai dengan pendapatan petani yang
bersifat musiman. Ashari (2009) mengemukakan bahwa secara teori perbankan
nasional memiliki potensi yang besar sebagai pendukung pembiayaan pertanian
karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan, tetapi
fakta yang ada mengindikasikan bahwa penyaluran kredit perbankan nasional ke
sektor pertanian masih dikategorikan sangat kecil, yaitu di bawah enam persen.
111
Pada tahun 2006, terdapat kredit program berupa Penguatan Modal Usaha
Kecil (PMUK) yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan disalurkan melalui Dinas Pertanian. Untuk Desa Talaga Cianjur,
kredit PMUK hanya terbatas diberikan kepada satu kelompok tani Sumber Arum
dengan nilai kredit sebesar Rp 90 juta. Pada tahun 2007 kredit PMUK kembali
digulirkan kepada lima kelompok tani di Desa Talaga Cianjur, yakni Kelompok
Tani Intan Langsung Makmur memperoleh kredit sebesar Rp 170 juta 400 ribu.
Empat kelompok tani yang lain, yakni Sumber Arum, Sumber Tani, Jembar Tani
dan Sumur Sari mendapatkan kredit masing-masing sejumlah Rp 100 juta. Dana
kredit tersebut dialokasikan untuk budidaya pisang (60%), usaha ternak (20%) dan
pembelian hasil (20%). Kecuali pada Sumber Tani terdapat sedikit perbedaan
dalam pengalokasian dana, yakni pada usaha ternak proporsinya meningkat (30%)
dan pembelian hasil proporsinya menurun (10%).
Pada tahun 2008, Departemen Pertanian mengucurkan dana melalui
program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program ini
merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang
masuk dalam keanggotaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gapoktan
merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP sebagai penyalur bantuan modal
usaha bagi anggota. Dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh tenaga
Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani. Nilai kredit PUAP yang
diberikan kepada Gapoktan sebesar Rp 100 juta. Uang tersebut disalurkan
sebagai bantuan modal bergulir yang dapat diakses kelompok-kelompok tani yang
bergabung dalam Gapoktan. Dana PUAP di Desa Talaga Cianjur disalurkan
kepada pengrajin anyaman bambu (di luar kelompok tani teknologi usahatani
terpadu). Seperti Kelompok Tani Telaga Sari, beranggotakan 27 orang, dibentuk
secara mendadak satu bulan sebelum pencairan dana PUAP. Setiap anggota
mendapatkan kredit sebesar Rp 350 ribu dengan jangka waku peminjaman selama
6 bulan. Pencairan dana pada termin pertama sebesar 50 persen dari total dana
sedangkan kekurangannya pada termin berikutnya. Angsuran pinjaman dilakukan
setiap bulan dengan menyerahkan anyaman bambu berupa ”geblek” sebanyak 10
buah, satu buah ”geblek” dihargai Rp 7 ribu. Total yang dibayarkan selama enam
112
bulan sejumlah Rp 420 ribu. Dengan kata lain pengrajin dikenakan suku bunga
sebesar 20 persen selama enam bulan. Ketentuan dalam Kelompok Tani Telaga
Sari: (1) anggota kelompok dapat membeli bambu sendiri, (2) anggota kelompok
dapat membeli bambu dari ketua kelompok tani, dan (3) anggota dapat
mengangsur pinjaman dengan upah sebagai tenaga kerja. Upah tenaga kerja
untuk memotong bambu menjadi satu ”geblek” daging Rp 5 ribu, menganyam
satu ”geblek” daging Rp 1,5 ribu, sedangkan ”geblek” kulit Rp 3 ribu. Harga jual
satu ”geblek” daging Rp 9 ribu dan satu ”geblek” kulit Rp 30 ribu. Selisih harga
jual dan harga beli (Rp 2 ribu) digunakan untuk biaya pemasaran (transportasi dan
tenaga kerja).
Di Desa Jatiwangi Garut, dana PUAP dialokasikan kepada tujuh kelompok
tani. Empat kelompok tani mendapatkan kucuran kredit masing-masing sebesar
Rp 7 juta, dua kelompok tani lain memperoleh kredit masing-masing sebesar
Rp 8 juta dan satu kelompok tani mendapatkan kredit sebesar Rp 42 juta, yang
diberikan dalam dua kali termin. Dana pada termin pertama diterima kelompok
tani sebesar 50 persen. Dalam jangka waktu empat bulan, disusulkan dana termin
kedua (50%), setelah dana pinjaman termin pertama didistribusikan kepada
anggota dan dibuat laporan pertanggungjawaban. Dana PUAP digunakan untuk
kegiatan produktif yang memberikan nilai tambah pada komoditas yang
diusahakan, seperti pembuatan wajik, pembuatan keripik pisang ataupun jual beli
kambing. Pada Kelompok Tani Harapan Jaya, minimal anggota meminjam Rp
300 ribu dengan angsuran setiap bulan sebesar Rp 36 ribu selama jangka waktu 10
bulan. Penetapan tingkat suku bunga atau diistilahkan jasa sebesar 2 persen per
bulan merupakan hasil kesepatan dari tujuh ketua kelompok tani.
Membandingkan tingkat suku bunga kredit PUAP yang dibebankan pada
anggota kelompok tani di Cianjur dan Garut, terlihat sama yaitu 20 persen dari
total pinjaman. Namun perbedaan terletak di jangka waktu pengembalian kredit,
di Cianjur beban bunga 20 persen ditanggung anggota kelompok tani selama enam
bulan atau 3,3 persen per bulan, sedangkan di Garut hanya 2 persen per bulan,
karena kredit dapat dicicil selama 10 bulan. Fakta di lapangan memberikan
gambaran bahwa kredit program yang telah memiliki acuan jelas, dalam
implementasinya dapat diterjemahkan berbeda tergantung pada kesepakatan
113
seluruh kelompok tani. Termasuk jumlah dana PUAP yang diterimakan BRI
sebesar Rp 100 juta tiap Gapoktan, penyaluran di kelompok tani di Desa
Jatiwangi Garut hanya sekitar 86 persen dari total dana. Keterlibatan banyak pihak
dalam pengucuran dana PUAP menyebabkan tidak semua dana dapat
dimanfaatkan petani. Menurut informasi petani responden, terdapat sebagian dana
PUAP dialokasikan untuk kepala desa, camat dan polsek. Di tingkat petani terjadi
juga permasalahan, terkait dengan kemacetan dalam pengembalian pinjaman,
bahkan beberapa petani beranggapan sebagai bantuan modal yang tidak harus
dikembalikan. Fenomena ini perlu dicermati sebagai ketidakefektifan kucuran
kredit program dari pemerintah dengan rantai birokrasi yang panjang. Meskipun
manajer lapang program kredit PUAP dan teknologi usahatani terpadu dirangkap
oleh personil yang sama, namun sebenarnya PUAP tidak terlalu banyak
membantu petani, sehingga petani masih banyak yang menggunakan kredit non
formal.
Kemudahan petani responden dalam mengakses kredit non formal, baik ke
pedagang sarana produksi, pedagang hasil, kelompok tani, maupun pelepas uang
(rentenir), dipandang sebagai alternatif pembiayaan yang sangat membantu petani
responden pada saat dibutuhkan. Pencairan dana relatif cepat, tanpa agunan
dengan prosedur yang mudah dan sederhana, namun ketersediaan dana relatif
terbatas, serta suku bunga yang dibebankan ke petani tergolong tinggi.
Pembiayaan non formal ini didasari pada prinsip kepercayaan, sudah saling
mengenal, seperti hubungan keluarga atau kerabat dekat, tetangga, mitra kerja dan
hubungan kekerabatan yang lain, tanpa aturan atau kesepakatan yang tertulis.
Informasi dari petani responden yang meminjam uang sebesar Rp 100 ribu kepada
pelepas uang, setiap hari Kamis membayar cicilan sebesar Rp 13,5 ribu selama
jangka waktu 10 minggu. Tingkat suku bunga yang dibebankan kepada petani
responden mencapai 35 persen dalam waktu 2,5 bulan atau 168 persen per tahun.
Petani menyadari jika bunga yang dikenakan sangat tinggi, namun kondisi ini
terpaksa dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan
dukungan sepenuhnya dari lembaga pembiayaan yang berkoordinasi dengan
pemerintah daerah setempat guna memberikan pelayanan pembiayaan kepada
petani skala kecil. Prosedur peminjaman dibuat relatif sederhana, agunan yang
114
mampu dipenuhi petani dengan tingkat suku bunga yang rendah dan angsuran
disesuaikan dengan pendapatan petani yang bersifat musiman.
Ketersediaan Sarana Pemasaran
Sarana pemasaran yang dimaksud dititikberatkan pada prasarana jalan,
sarana transportasi dan pasar sebagai tempat transaksi antara penjual dan pembeli.
Sebagian besar petani adopter (59,9%) dan petani non adopter (66,7%) baik di
Cianjur maupun Garut menyatakan bahwa ketersediaan prasarana pemasaran
tergolong sedang (Tabel 23). Hasil pengamatan di lapangan memberikan
gambaran bahwa prasarana jalan utama, baik yang menghubungkan ibukota
Kabupaten Cianjur ke Desa Talaga maupun ibukota Kabupaten Garut ke Desa
Jatiwangi, tergolong bagus berupa jalan aspal. Kondisi ini berperan penting bagi
kelancaran pengangkutan produk pertanian yang dihasilkan petani responden,
terutama yang terkait dengan waktu angkut produk dari desa ke kota. Jalan dalam
desa yang menghubungkan antara satu dusun dengan dusun lain di Desa Talaga
dan Desa Jatiwangi sebagian besar merupakan jalan makadam (tanah berbatu) dan
hanya sedikit yang berupa jalan tanah. Menurut persepsi petani responden
prasarana jalan yang telah dibangun sangat memudahkan petani dalam
mendistribusikan produk yang dihasilkan. Dukungan pemerintah dalam
membangun prasarana jalan tersebut patut diapresiasi. Aksesibilitas masyarakat
desa terhadap wilayah perkotaan begitu terbuka, demikian pula sebaliknya,
sehingga membawa pengaruh positif terhadap pembangunan pertanian di
pedesaan.
Sarana transportasi umum yang ada di Desa Talaga Cianjur berupa colt dan
sepeda motor (ojeg), sedangkan Desa Jatiwangi Garut berupa mini bus elf dan
ojeg. Jumlah colt yang menjangkau wilayah Desa Talaga Cianjur relatif banyak
dibandingkan jumlah mini bus elf di Desa Jatiwangi Garut, sehingga frekuensi
lintasan menjadi jarang. Keadaan ini membuka peluang alat transportasi ojeg
untuk mengisi ketiadaan alat angkut pada saat dibutuhkan. Dengan rute dan jarak
tempuh yang sama, biaya transportasi bila menggunakan ojeg relatif lebih mahal
dibandingkan dengan colt ataupun mini bus elf. Meski demikian, keberadaan ojeg,
dinilai petani responden sangat membantu dalam pengangkutan, terutama pada
jalur-jalur yang tidak dilalui kendaraan roda empat. Mosher (1966) mensyaratkan
115
pengangkutan produk pertanian hendaknya efisien dan murah, sehingga harga
sarana produksi menjadi lebih rendah dan penerimaan petani dari penjualan
produk akan lebih tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi biaya
pengangkutan antara lain: (1) sifat barang yang diangkut (terkait dengan berat);
(2) penanganan terhadap barang, perlu hati-hati atau tidak untuk mencegah
kerusakan, mudah busuk dan perlu cepat diangkut atau tidak; (3) jarak angkut; (4)
volume per trip; serta (5) jenis alat angkut yang digunakan. Fasilitas
pengangkutan yang tersedia di Cianjur dan Garut, baik yang menyangkut
prasarana jalan maupun sarana transportasi, memungkinkan berbagai komoditas
pertanian dibudidayakan, termasuk ternak. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap
kecepatan pembangunan pertanian.
Selain prasarana jalan dan sarana transportasi, ketersediaan pasar juga
diperlukan untuk memudahkan distribusi produk pertanian dari petani ke tangan
konsumen. Di Desa Talaga Cianjur tidak terdapat fasilitas pasar, namun sekitar
10 kilo meter di kota Cianjur terdapat pasar sebagai tempat transaksi jual beli
produk dari berbagai desa di Cianjur. Di Desa Jatiwangi Garut terdapat pasar
permanen yang buka hanya pada hari Senin dan Kamis, berlokasi di Kampung
Kadudampit, Dusun Ciakar. Petani responden yang menjual hasil pertanian ke
pasar hanya berkisar antara 2,2 - 5,1 persen; petani tersebut merangkap sebagai
pedagang (Tabel 23). Sebagian besar petani responden Cianjur (adopter dan non
adopter) menjual hasil di lahan petani. Pilihan tersebut didasari pertimbangan
bahwa selisih penerimaan menjual hasil di lahan petani dan di pasar tidak jauh
berbeda. Petani responden telah memperhitungkan biaya transportasi dan curahan
tenaga kerja, bila menjual hasil pertanian ke pasar. Di samping itu, dijumpai
beberapa petani responden yang mempunyai ikatan hutang uang kepada
pedagang, baik untuk biaya usahatani maupun kebutuhan keluarga. Produk yang
dihasilkan petani menjadi jaminan untuk membayar hutang tersebut. Penentuan
waktu dan kegiatan panen dilakukan oleh pedagang.
Bagi petani adopter di Cianjur, pemasaran komoditas pisang dilakukan
secara kolektif melalui kelompok tani. Di dalam kelompok tani terdapat seksi
pemasaran, yakni petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul tingkat
desa. Anggota kelompok tani (petani adopter) membawa hasil pisang ke bagian
116
pemasaran. Pisang tersebut dijual ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten di
Cipanas (dua pedagang), Cianjur (satu pedagang) dan Jakarta (dua pedagang).
Sebagai pengikat, para pedagang pengumpul tingkat kabupaten memberikan
panjar kepada seksi pemasaran sebesar Rp 2 juta – Rp 5 juta yang diberikan 1-2
minggu sebelum dilakukan transaksi jual beli. Harga pisang di tingkat pedagang
(seksi pemasaran), tergantung pada jenis dan mutu pisang. Seperti jenis pisang
raja bulu grade satu dihargai Rp 2.500,00/kg (dipasok ke super market), grade
dua dan grade tiga, masing-masing Rp 2.000,00/kg dan Rp 1.500,00 – Rp
1.750,00/kg. Harga di tingkat petani berkurang Rp 500,00/kg yang dialokasikan
untuk biaya angkut (transportasi) sebesar Rp 100,00; upah tenaga kerja Rp
100,00; uang kas kelompok tani Rp 100,00 dan keuntungan sebagai pedagang Rp
200,00. Bagi petani bukan anggota kelompok tani, bila menjual pisang ke seksi
pemasaran dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 100,00/kg sehingga selisih
harga di tingkat petani dan pedagang pengumpul tingkat desa menjadi Rp
600,00/kg.
Sebagian besar petani adopter (41,7%) dan petani non adopter (35,6%) di
Garut menjual hasil di rumah petani (Tabel 24). Terdapat kecenderungan petani
untuk tidak menjual seluruh produk pangan seperti padi, jagung dan singkong.
Tabel 24 Tempat petani melakukan transaksi jual beli
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%)
No. Uraian Adopter (n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
(1) Lahan petani 56,5 44,7 16,5 24,6 (2) Rumah petani 4,3 8,5 41,7 35,6 (3) Tempat pedagang 37,0 42,5 38,5 34,7 (4) Pasar 2,2 4,3 3,3 5,1
Total 100,0 100,0 100,0 100,0
Pola penyimpanan hasil pertanian, selain untuk keamanan pangan, juga
berkaitan dengan beberapa hal seperti tingkat kesesuaian harga yang berlaku di
pasaran dengan keinginan petani, kemampuan penanganan pasca panen, dan
kebutuhan uang tunai untuk keperluan sehari-hari termasuk untuk membiayai
usahatani. Meskipun tempat petani melakukan transaksi jual beli beragam, namun
terdapat satu kesamaan, yakni posisi tawar petani responden yang lemah dalam
menjual hasil pertanian. Petani responden lebih berperan sebagai penerima harga,
117
sedangkan penentu harga lebih didominasi oleh para pedagang, terlebih bila ada
keterikatan hutang, selisih harga dapat mencapai Rp 50,00 – Rp 100,00/kg
Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
Pemberlakuan UU Otonomi Daerah memberi keleluasaan bagi kepala
daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah, sehingga kelembagaan
penyuluhan yang ada di daerah bervariasi. Sebelum otonomi daerah, Balai
Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP) merupakan unit kerja kelembagaan
penyuluhan pertanian. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menko
Wasbangkan, penyuluhan pertanian (BIPP) diserahkan kepada pemerintah daerah
pada tahun 1996. Setelah reformasi digulirkan, pada tahun 2000 kelembagaan
BIPP berubah menjadi Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian (KIPP). Di
dalamnya terdapat lembaga penyuluhan pertanian, dan lembaga ketahanan
pangan. Pada tahun 2003 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 8 Tahun 2003
tentang struktur pemerintah daerah membatasi jumlah institusi/dinas di daerah,
lembaga tersebut dirampingkan.
Di Cianjur, penyuluhan pertanian masuk dalam instansi Dinas Pertanian
Kabupaten Cianjur, sedangkan di Garut penyuluhan pertanian dan ketahanan
pangan digabung menjadi Kantor Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan
Pangan. Instansi ini merupakan unit kerja eselon III-A yang bertanggungjawab
kepada Bupati melalui Sekretaris Wilayah Daerah (Setwilda). Struktur organisasi
yang dibentuk terdapat tiga seksi yang berada pada Kantor Pengembangan SDM
Pertanian dan Ketahanan Pangan, yakni seksi: (1) Pengembangan SDM, (2)
Ketahanan Pangan, dan (3) Pemberdayaan BPP dan Kelompok Tani. Jumlah
personil pada tahun 1999 sebanyak 246 orang PNS, yang pada tahun 2008
mengalami penurunan menjadi 180 orang. Pada tahun 2009 Kantor
Pengembangan SDM Pertanian dan Ketahanan Pangan di Garut sudah tidak ada
lagi, dan penyuluhan pertanian berada di Badan Ketahanan Pangan.
Instalasi penyuluhan di wilayah kecamatan adalah Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP), yang menginduk pada Badan Ketahanan Pangan. Secara
keseluruhan BPP di Kabupaten Garut berjumlah 42 yang menyebar di seluruh
kecamatan. Masing-masing BPP terdapat tenaga penyuluh berkisar 3-12 orang.
Selain itu di tingkat desa terdapat Pos Pelayanan Penyuluhan Pertanian. Namun
118
dari total desa sebanyak 424, pada tahun 2008 baru terdapat 147 Posluh, satu di
antara desa tersebut adalah Desa Jatiwangi (Posluh Pertanian Mekarwangi), yang
berarti masih terdapat 277 desa yang belum mempunyai Posluh. Gambaran
keseluruhan jumlah penyuluh pertanian yang ada berdasarkan jenis kelamin,
tingkat pendidikan dan jenjang jabatan di lokasi penelitian (kondisi tahun 2008)
ditampilkan pada Tabel 25.
Tabel 25 Jumlah penyuluh pertanian berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenjang jabatan, tahun 2008
(orang) Kab. Cianjur
(n=152) Kab. Garut
(n=180) Prov. Jabar
(n=180) No. Uraian Jumlah % Jumlah % Jumlah %
(1) Berdasarkan jenis kelamin
- Laki-laki 131 86 147 82 2.137 84 - Perempuan 21 14 33 18 397 16
(2) Berdasarkan tk pendidikan
- SLTA 2 1 52 29 294 12 - D3 reguler 71 47 26 14 75 34 - D3 penyetaraan 24 16 - - 27 13 - D4 - - 1 1 8 1 - S1 49 32 95 53 70 38 - S2 6 4 6 3 47 2
(3) Berdasarkan jen-jang jabatan
- Pelaksana 6 4 9 5 171 7 - Pelaksana
lanjutan 35 23 27 15 45 18
- Penyelia 58 38 43 24 1.012 40 - Pertama 14 9 20 11 217 9 - Muda 19 13 46 26 377 16 - Madya 20 13 35 19 242 10
Sumber: Pusat Pengembangan Penyuluhan, Badan Pengembangan SDM Pertanian (2009)
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006
Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan:
”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.”
119
Sumardjo (2008) menekankan bahwa fokus utama penyuluhan adalah
pembangunan manusia sebagai bagian dari sistem sosial. Penyuluhan melakukan
upaya pembangunan struktur masyarakat secara konvergen, dialogis, demokratis
dan partisipatif. Untuk itu dalam keprofesian penyuluh diperlukan standar
kompetensi penyuluh yang jelas dan didukung oleh kontrol yang efektif.
Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh
Penyuluh yang diketahui dan dikenal petani adopter (terutama pengurus
kelompok tani) adalah: (1) penyuluh PNS yang membina masyarakat petani,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) UU RI No 16/2006; dan (2)
penyuluh yang memperkenalkan teknologi usahatani terpadu, yakni penyuluh
yang bernaung di instansi BPTP Jawa Barat. Sebagian besar (74,5%) petani non
adopter Cianjur tidak mengenal penyuluh. Bagi petani non adopter Garut,
penyuluh PNS yang bertugas di Desa Jatiwangi tidak dikenal, justru penyuluh
desa lain yang dikenal, karena berdomisili di Jatiwangi dan berinteraksi dengan
petani setempat. Persepsi sebagian besar (63,0%) petani adopter Cianjur dan
petani adopter serta non adopter Garut (sekitar 65,3% - 70,3%) terhadap
kompetensi penyuluh termasuk dalam kategori sedang (Tabel 26). Hal ini
menggambarkan persepsi petani responden berada pada posisi kurang setuju atau
setuju terhadap penilaian kemampuan penyuluh.
Penguasaan penyuluh terhadap teknik budidaya komoditas pertanian dinilai
memadai, termasuk pengetahuan tentang produksi tanaman dan ternak. Penyuluh
dari BPTP Jawa Barat dinilai mampu menjelaskan teknologi usahatani terpadu
sebagai teknologi yang dinilai lebih baik. Penyuluh dapat berkomunikasi dengan
bahasa yang mudah dipahami petani responden. Di Cianjur, penyuluh telah
ikutserta membangun kerjasama antara pengurus kelompok tani (yang beranggota
petani adopter) dengan pedagang tingkat kabupaten ataupun supermarket dalam
pemasaran pisang. Dengan demikian, kelompok tani mempunyai posisi tawar
yang kuat sehingga diperoleh harga jual produk yang relatif lebih tinggi dibanding
jika petani menjual secara individu. Di samping itu biaya pemasaran dapat lebih
ditekan. Kepala Desa Talaga Cianjur yang merangkap sebagai Ketua Kelompok
Tani Intan Langsung Makmur ikut berperan dalam menjalin kemitraan. Sebelum
120
dipilih sebagai kepala desa, berprofesi sebagai supplier produk pertanian ke
supermarket sehingga telah memiliki jaringan pemasaran. Kondisi pemasaran
bersama ini tidak ditemui di Garut, baik penyuluh maupun tokoh masyarakat
belum merintis ke arah tersebut.
Tabel 26 Persepsi petani terhadap penyuluhan di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur Petani Garut Total Petani
Persepsi Petani terhadap
Adopter
(n=46)
Non adopter
(n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter
(n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter
(n=165)
Adopter & Non
adopter (n=302)
Kompetensi Penyuluh
2,69 1,75 2,54 2,33 2,62 2,04 2,33
Peran Penyuluh 2,74 1,71 2,60 2,45 2,67 2,08 2,38
Materi penyuluhan 2,73 1,46 2,86 2,76 2,80 2,11 2,46
Metode penyuluhan 2,89 2,34 2,74 2,81 2,82 2,58 2,70
Penyuluhan 2,76 1,81 2,68 2,59 2,72 2,20 2,46
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Beberapa kemampuan penyuluh yang dipandang petani responden perlu
ditingkatkan adalah pengetahuan yang baik terhadap potensi sumberdaya wilayah
binaan, budaya dan kebutuhan masyarakat petani. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa kesetaraan antara penyuluh dan petani responden belum terwujud dengan
baik. Penyuluh lebih berperan sebagai “petugas” dinas dalam melaksanakan
program daripada sebagai penyuluh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini
ditandai dengan instruksi penyuluh kepada petani responden, seperti pembuatan
kompos dari kotoran domba, dan pembuatan trichoderma. Hubungan yang terjalin
seperti antara guru dan murid. Interaksi antara penyuluh dengan petani responden
belum mencerminkan hubungan yang egaliter.
Keberpihakan penyuluh kepada petani belum tampak, seperti keterlibatan
penyuluh sebagai tenaga (penyuluh) pendamping dalam penyaluran kredit PUAP
belum sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan. Penyimpangan terhadap
jumlah dan alokasi dana PUAP masih ditemukan. Semestinya program kredit
121
PUAP dan pengembalian pinjaman diawasi dengan lebih baik, dalam artian
pengawasan terhadap penggunaan kredit dilakukan dengan bijaksana.
Pengembalian pinjaman menjadi lebih mudah, efektif dan terkontrol dengan
adanya kerjasama antara petani dan penyuluh pendamping. Dalam penyusunan
rencana kebutuhan pupuk bersubdisi, penyuluh tidak didukung data kebutuhan riil
petani di lapangan. Penghitungan penyuluh hanya berdasarkan prediksi
penggunaan pupuk per hektar dikalikan total luas areal pertanian di tingkat
kecamatan.
Menurut informasi penyuluh, pupuk bersubsidi (Urea, phonska, ZA, NPK
kujang dan SP36) yang tersedia di kios pengecer resmi lingkup Kecamatan
Pakenjeng Garut pada tahun 2009 mencapai sekitar 2000 ton, namun yang
terserap hanya 50 persen. Keuntungan kios tersebut diperoleh dari fee yang telah
ditetapkan sebesar Rp 2.000,00/karung (50 kg) atau Rp 40,00/kg pupuk.
Faktanya, beberapa petani responden di Desa Jatiwangi Garut kesulitan dalam
mendapatkan pupuk phonska dan NPK kujang. Diduga faktor penyebab
kelangkaan tersebut adalah distribusi pupuk bersubsidi yang tidak sesuai
kebutuhan petani, dan penyimpangan alokasi pupuk bersubsidi kepada pihak lain
yang tidak berhak, namun menjanjikan keuntungan yang lebih tinggi. Kondisi
yang timpang ini mengindikasikan penyuluh belum berpihak kepada petani.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (72,3%) terhadap
kompetensi penyuluh tergolong rendah (Tabel 26). Berarti petani non adopter
Cianjur cenderung bersikap tidak setuju – kurang setuju terhadap penilaian
kompetensi penyuluh. Sikap tersebut lebih disebabkan petani responden tidak
mengenal penyuluh, sehingga tidak dapat menilai kompetensi dan kinerja
penyuluh. Sebagian besar petani (74,5%) non adopter Cianjur menyatakan bahwa
penyuluh tidak melakukan kegiatan penyuluhan yang menjadi tugasnya.
Kenyataan ini sering dibantah oleh pejabat dinas maupun pejabat Kementerian
Pertanian. Masalahnya, pengertian pejabat tentang penyuluh sangat berbeda.
Pejabat selalu menganggap penyuluh sebagai petugas bawahannya, dan harus
meneruskan instruksi kepada petani.
Penyuluh yang berada di BPP Kecamatan Cugenang Cianjur berjumlah lima
orang, termasuk satu orang penyuluh koordinator, yang membina 16 desa. BPP
122
Kecamatan Pakenjeng Garut memiliki tiga Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu
Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) dan satu orang penyuluh koordinator yang telah
berstatus PNS, dengan 12 desa binaan. Berarti satu tenaga penyuluh membina 3-4
desa. Tugas penyuluh pertanian PNS ataupun THL-TBPP selain membina petani,
juga menyusun programa penyuluhan, laporan kegiatan per bulan, membuat
rencana kebutuhan pupuk bersubsidi, mengikuti latihan gabungan di BPP dengan
instruktur dari kabupaten, dan menghadiri rapat mingguan.
Bagi THL-TBPP masih terdapat tambahan tugas untuk mengikuti kegiatan
pembinaan yang dilakukan di kabupaten. Kegiatan penyuluh menjadi bertambah
lagi dengan masuknya suatu program atau proyek ke desa binaan. Sebagai
gambaran di Desa Jatiwangi dalam waktu bersamaan terdapat program Farmer
Empowerment through Agricultural Technology and Information Project
(FEATI), program pertanggungjawaban sosial perusahaan Antam berupa petak
percontohan (plot demonstrasi) usahatani jagung, tomat dan cabe pada areal 0,5 ha
dan program Sarjana Membangun Desa yang mengintroduksikan 88 ekor
kambing PE untuk usaha ternak. Satu kelompok peternak terdiri dari 8 orang.
FEATI atau Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi
Pertanian (P3TIP) merupakan program yang dirancang untuk mewujudkan sistem
penelitian dan penyuluhan pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan petani
dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Keseluruhan kegiatan di luar
membina petani, menyita waktu penyuluh sehingga tugas pokok melakukan
kegiatan penyuluhan sering diabaikan. Menurut informan kunci, THL-TBPP di
Desa Jatiwangi mengunjungi rumah petani pada waktu petani berada di ladang.
Kunjungan penyuluh tersebut dinilai hanya untuk memenuhi laporan
administratif.
Tjitropranoto (2003) menyoroti kompetensi penyuluh perlu ditingkatkan
melalui pengetahuan penyuluh terhadap sifat-sifat, potensi dan keadaan
sumberdaya alam, iklim serta lingkungan di wilayah petani binaan. Selain itu,
penyuluh perlu memahami perilaku petani dan potensi pengembangannya,
pemahaman terhadap kesempatan usaha pertanian yang menguntungkan petani,
membantu petani dalam mengakses informasi harga dan pasar, memahami
peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan usaha pertanian. Hasil
123
penelitian Muliady (2009) menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh
berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh (pengelolaan informasi dan
kepemimpinan).
Dimensi kompetensi penyuluh mencakup kemampuan dalam aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilam. Berdasarkan teori kritis pendidikan orang
dewasa yang dikembangkan oleh Friere dan Horton (Page dan Czuba,1999),
kemampuan individu dapat diubah dan dapat dikembangkan, sedangkan teori
tabula rasa yang diperkenalkan John Locke (Salkind, 1985) bahwa faktor
lingkungan lebih dominan dalam menentukan perkembangan kualitas sumberdaya
manusia dibanding faktor genetik. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
Anwas (2009) bahwa faktor lingkungan mempengaruhi kompetensi penyuluh,
sehingga untuk meningkatkan kompetensi penyuluh di lingkungan lembaga
penyuluhan harus diciptakan suasana yang mendorong penyuluh untuk melakukan
proses belajar. Dengan demikian, kompetensi penyuluh dapat ditingkatkan
melalui pendidikan formal, non formal (melalui pelatihan-pelatihan), dan informal
(pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal, dan lingkungan
tempat bekerja) yang memungkinkan peningkatan kemampuan penyuluh.
Upaya-upaya peningkatan kompetensi penyuluh perlu disertai dengan
pemberian insentif (reward) yang akan memotivasi penyuluh dalam memberikan
kinerja yang optimal. Biaya operasional penyuluh (BOP) hanya sebesar Rp 250
ribu/bulan bagi penyuluh PNS, sedangkan THL-TBPP yang berpendidikan SLTA
sebesar Rp 100 ribu/bulan (dengan perolehan honorarium Rp 1 juta/bulan selama
10 bulan dalam satu tahun). Padahal dalam menjalankan tugas tidak ada
perbedaan antara penyuluh PNS dan THL-TBPP, bahkan THL-TBPP mendapat
tambahan tugas untuk mengikuti pembinaan di tingkat kabupaten. Perekrutan
terhadap THL-TBPP juga memunculkan kritikan. Dalam beberapa kasus, THL-
TBPP diragukan integritasnya. Dengan status sebagai tenaga kontrak, dianggap
sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status
tersebut mempengaruhi semangat dan kinerja THL-TBPP di lapangan. Untuk itu,
keseimbangan antara beban tugas dengan insentif perlu menjadi prioritas utama.
Apresiasi terhadap kinerja THL-TBPP yang baik, perlu dilakukan dengan
memberikan sertifikat penghargaan, juga kesempatan untuk mengikuti berbagai
124
kegiatan pelatihan, dengan materi tentang pemecahan masalah yang dihadapi
petani binaan.
Pemerintah dalam memberikan BOP kepada penyuluh PNS tidak
memperhatikan wilayah yang dibina, antara agroekosistem lahan sawah, dan lahan
marjinal (lahan kering dan pasang surut) tidak dibedakan. Tingkat keterjangkauan
ketiga agroekosistem tersebut tentu tidak sama. Jarak tempuh dan tingkat
kesulitan capaian suatu wilayah tidak dipertimbangkan pemerintah, baik pusat
maupun daerah untuk memberi insentif yang layak kepada penyuluh. Suatu
wilayah yang terpencil dengan prasarana jalan yang kurang memadai, tidak
mengherankan apabila tidak pernah dikunjungi penyuluh. Seperti Kampung Pasir
Kaliki di Desa Jatiwangi Garut, jalan yang ada berupa jalan tanah setapak, tidak
bisa dijangkau kendaraan bermotor (ojeg). Waktu tempuh yang diperlukan sekitar
satu jam berjalan kaki dari kantor desa ke kampung tersebut.
Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh
Sejalan dengan arus globalisasi berupa liberalisasi perdagangan, perubahan
preferensi konsumen terhadap produk pertanian dan upaya terhadap kelestarian
lingkungan, menuntut pendekatan penyuluhan pertanian yang dinamis mengikuti
perubahan. Penyuluh pertanian dituntut tidak hanya sekedar sebagai penyampai
(desiminator) teknologi dan informasi, tetapi lebih ke arah sebagai motivator,
dinamisator, pendidik, fasilitator dan konsultan bagi petani (Tjitropranoto, 2003;
Subejo, 2009). Lippitt et al. (1958) dan Rogers (2003) bahkan menambahkan
bahwa penyuluh pertanian harus dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan
yang dihadapi oleh klien (petani), membangun dan memelihara hubungan dengan
sistem klien (petani), memantapkan adopsi inovasi serta mencegah penghentian.
Untuk mendukung peran-peran tersebut, penyuluh pertanian perlu mampu
menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi, komunikasi dan edukasi. Pada
saat ini penyuluh PNS dan THL-TBPP berhadapan dengan sales yang merupakan
pelayan teknis perusahaan sarana produksi nasional dan multinasional serta
berperan sebagai penyuluh swasta telah memasuki pedesaan. Untuk itu penyuluh
pertanian (PNS dan THL-TBPP) diharapkan dapat berperan dengan lebih baik,
sehingga keberadaannya memiliki arti dan dibutuhkan bagi petani. Penyuluh
125
swasta (dari perusahaan) bertugas menyampaikan informasi tentang keefektifan
produk yang dihasilkan perusahaan, sedangkan penyuluh PNS harus netral, tidak
berpihak kepada produk perusahaan tertentu, melainkan harus berpihak kepada
petani. Namun demikian penyuluh PNS perlu bekerjasama atau berkoordinasi
dengan penyuluh swasta yang menawarkan produk (sarana produksi) yang
bermutu baik bagi petani.
Persepsi sebagian besar petani adopter (63,5%) dan petani non adopter
(sekitar 44,2%) terhadap peran penyuluh adalah tergolong sedang (Tabel 26). Hal
ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani responden (adopter dan non
adopter) bersikap kurang setuju – setuju dalam menilai peran penyuluh.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani responden tidak semuanya
dapat diatasi penyuluh, seperti layu daun dan busuk pada pangkal batang pisang
yang dihadapi petani adopter Cianjur. Petani responden Garut menghadapi
kesulitan dalam mengatasi hama ulat (kuuk), dan memperoleh benih padi gogo
jenis Situ patenggang dan Situ bagendit karena tidak dijual di pasaran. Penyuluh
dinilai petani responden belum berperan dalam mengidentifikasi permasalahan
berteknologi usahatani terpadu, termasuk juga mengidentifikasi kebutuhan petani
responden. Untuk itu penyuluh perlu berperan sebagai fasilitator, paling sedikit
mencarikan informasi dari instansi berwenang untuk menyelesaikan masalah dan
memenuhi kebutuhan petani. Dalam hal pemasaran, petani responden di Desa
Jatiwangi Garut membutuhkan kerjasama dengan pihak lain untuk menampung
produk pertanian yang telah diolah sehingga petani mendapatkan nilai tambah,
seperti minyak atsiri dari daun nilam. Dinas Perindustrian telah memberikan
batuan alat penyulingan, namun dalam pembuatan minyak atsiri dibutuhkan
modal yang relatif besar.
Alat penyulingan yang didanai pemerintah tersebut tidak dimanfaatkan
dengan baik, disimpan di gudang dan tidak terawat. Petani menjual nilam dalam
bentuk bahan mentah (daun nilam basah atau kering) dengan harga jual yang terus
menurun. Pada tahun 2004 harga daun nilam basah Rp 2.000,00/kg dan pada
tahun 2008 hanya berkisar antara Rp 700,00/kg - Rp 1.000,00/kg. Keadaan ini
membuat petani tidak termotivasi untuk mengurus tanaman nilam. Lahan yang
telah ditanami nilam menjadi terlantar, tidak dipelihara. Hal ini terlepas dari
126
perhatian penyuluh. Padahal Slamet (2003) telah menegaskan bahwa penyuluh
harus mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru.
Dalam paradigma baru penyuluhan pertanian, salah satu faktornya adalah harus
berorientasi agribisnis yang memandang usahatani sebagai bisnis, dengan motif
mendapatkan keuntungan. Sebagai konsekuensinya, lembaga penyuluhan
pertanian di tingkat pusat (Badan Pengembangan SDM) perlu melakukan
kerjasama dan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian. Kerjasama ini perlu ditindaklanjuti sampai tingkat
kabupaten yang melibatkan penyuluh dan petani (sebagai produsen komoditas
pertanian). Selain itu, penyuluh juga harus mampu berperan sebagai penghubung
dan fasilitator dalam membangun kerjasama antara petani (kelompok tani) dengan
pihak swasta (pengusaha swasta) yang menangani pengolahan dan pemasaran
produk olahan pertanian.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (74,5%) terhadap
terhadap peran penyuluh tergolong rendah (Tabel 26). Petani responden (non
adopter) menyatakan tidak mengenal dan tidak pernah dikunjungi penyuluh
pertanian. Tidak ada kinerja penyuluh pertanian yang ditunjukkan. Penyuluh
pertanian dianggap tidak berperan dalam kegiatan berusahatani petani non adopter
Cianjur. Tidak ada andil penyuluh pertanian dalam mengatasi berbagai persoalan
bertani yang dihadapi petani non adopter Cianjur. Di Kampung Bayabang Desa
Talaga Cianjur yang mendatangi warga tani justru tiga tenaga perempuan yang
direkrut United States Agency for International Development (USAID) dan berada
dalam Yayasan Bina Sehat Sejahtera.
Salah satu program USAID yang masuk ke kampung tersebut adalah
program peduli lingkungan. Pada bulan Maret 2008 dibentuk Kelompok Peduli
Lingkungan (Kempel) yang beranggotakan 13 orang perempuan. Kempel terdiri
atas empat orang sebagai pengurus kelompok (ketua, wakil, sekretaris dan
bendahara) dan sembilan orang anggota. Selama dua bulan dari awal
pembentukan kelompok, diadakan pertemuan mingguan. Setelah itu pertemuan
dilakukan satu bulan sekali. Kegiatan yang dilaksanakan berupa pembuatan: (1)
tas dari bekas pembungkus kopi instan, (2) bunga dari kantong plastik, (3) taplak
meja dari sedotan, dan (4) kompos. Informasi dari anggota Kempel, cara
127
pembuatan kompos dengan memanfaatkan sampah rumah tangga. Potongan
sayuran yang tidak digunakan, sisa makanan, kulit pisang atau tomat busuk,
semua dicacah, kemudian ditambah kotoran kambing, dedak, kapur pertanian dan
bahan kimia EM-4. Proses pembusukan dilakukan selama dua minggu dengan
cara memasukkan semua bahan-bahan dalam kantong plastik dan ditutup rapat.
Kompos yang telah dicampur dengan tanah dapat digunakan untuk tanaman hias.
Secara keseluruhan bahan-bahan pembuatan kompos mudah didapat, kecuali
bahan kimia EM-4. Fungsi EM-4 untuk meningkatkan dekomposisi limbah dan
sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan
aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.
Teknik pembuatan kompos seharusnya menjadi peran penyuluh pertanian,
yakni sebagai tenaga teknis edukatif yang bertindak sebagai penyedia jasa
konsultan (pendidikan non formal) yang membimbing, melatih, mengarahkan, dan
memberikan transfer informasi dan teknologi usahatani (Hendayana, 2009).
Namun peran tersebut diambil alih oleh tenaga yang direkrut USAID. Tidak dapat
dipungkiri, insentif yang diterima tenaga tersebut relatif lebih besar dibanding
honor yang diterima penyuluh bantu (THL-TBPP). Hal ini menjadi faktor
pendorong bagi tenaga yang direkrut USAID untuk memasuki kampung-kampung
dan mengajarkan suatu inovasi. Plastik kemasan bekas yang selama ini dibuang
dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang mempunyai nilai jual. Ini juga
merupakan peran penyuluh yang mendorong masyarakat untuk berwirausaha,
dengan mengembangkan kreativitas yang bersifat inovatif.
Selama ini keberadaan penyuluh pertanian dipandang sangat diperlukan,
terutama dalam tugas pendampingan dan konsultasi bagi para petani dalam
mengembangkan kegiatan usahatani. Hal ini diperkuat dengan diberlakukan UU
RI No. 16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan; berikut Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2009 tentang
pembiayaan, pembinaan, dan pengawasan penyuluh pertanian, perikanan, dan
kehutanan. Kementerian Pertanian telah mengambil kebijakan menempatkan satu
desa satu penyuluh pertanian. Jumlah seluruh desa di Indonesia mencapai 70.150
dan total tenaga penyuluh pertanian PNS dan THL-TBPP sampai tahun 2009
sebanyak 52.507 orang (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010).
128
Berarti satu orang tenaga penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP bertugas di 1-
2 desa. Namun fakta yang ada, baik di Desa Talaga Cianjur maupun di Desa
Jatiwangi Garut satu orang tenaga penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP
bertugas di 3-4 desa.
Kenyataan di lapangan bahwa peran penyuluh pertanian PNS atau THL-
TBPP baru dirasakan oleh petani adopter (terutama pengurus kelompok tani) dan
curahan waktu penyuluh lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat administratif
dibanding penyuluhan, serta beban wilayah binaan mencapai 3-4 desa, maka perlu
dicari alternatif perbaikan. Pada UU RI No. 16 Tahun 2006, Bab VI tentang
tenaga penyuluh Pasal 20 ayat (1) Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS,
penyuluh swasta, dan/atau penyuluh swadaya; ayat (3). Keberadaan penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku
utama dan pelaku usaha. Lebih lanjut pada Pasal 30 ayat (3) penyuluh swasta dan
penyuluh swadaya dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan
pelaku usaha dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS. Pada Pasal 1 ayat (20)
penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga
yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; ayat (21) penyuluh
swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga
masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi
penyuluh.
Mencermati makna eksplisit yang tertuang dalam UU tersebut terutama
Pasal 1 ayat (21) dan Pasal 30 ayat (3), penyuluh swadaya dalam mengemban
tugas melakukan penyuluhan dapat bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS
atau THL-TBPP. Selama ini, setiap ada proyek/program pemerintah, penyuluh
selalu bekerjasama dengan kelompok tani. Interaksi yang tergolong sering
dilakukan dengan pengurus kelompok tani, terutama ketua kelompok tani.
Implikasinya, ketua kelompok tani dapat dikategorikan sebagai penyuluh
swadaya. Semestinya di tingkat masyarakat petani perlu dilakukan sosialisasi
bahwa selain penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP, terdapat pula penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya (dapat berasal dari kalangan petani). Sosialisasi ini
perlu dilakukan mengingat selama ini yang dikenal masyarakat petani secara luas
adalah penyuluh dari pemerintah/penyuluh PNS.
129
Secara personal ketua kelompok tani sebagai pemimpin anggota kelompok
mempunyai beberapa kualifikasi yang lebih baik dibanding dengan anggota
kelompok. Pertama, tingkat pendidikan ketua kelompok relatif lebih tinggi. Rata-
rata anggota kelompok berpendidikan SD, sedangkan ketua kelompok di Desa
Talaga Cianjur, dua orang (40%) berpendidikan SLTP dan tiga orang (60%)
berpendidikan SLTA. Di Desa Jatiwangi Garut, tiga orang (50%) berpendidikan
SD, dua orang (33%) berpendidikan SLTP, dan satu orang (17%) berpendidikan
SLTA. Meskipun 50% ketua kelompok hanya berpendidikan SD, mereka
termasuk tokoh masyarakat yang telah berpengalaman dalam kegiatan bertani dan
termasuk berhasil. Kedua, status sosial ketua kelompok dipandang lebih tinggi,
yang dapat dilihat dari dua hal (achieved status dan assigned status). Pemilikan
kekayaan ketua kelompok di atas rata-rata petani anggota, secara fisik terlihat dari
kepemilikan aset seperti lahan, rumah dan perabotan, serta ternak. Selain sebagai
petani, beberapa ketua kelompok juga mempunyai pekerjaan lain yang dinilai
terpandang oleh masyarakat, seperti pamong desa (kepala dusun, ketua badan
permusyawaratan desa), tenaga honorer di kecamatan, pensiunan PNS, pedagang,
dan tenaga pendamping yang direkrut USAID (untuk menyadarkan masyarakat
terhadap lingkungan). Baik kekayaan maupun pekerjaan dipandang sebagai
achieved status (diperoleh karena prestasi, kerja keras dan keuletan), sedangkan
kepercayaan dipilih sebagai ketua kelompok merupakan assigned status. Ketiga,
terkait dengan pekerjaan yang dilakukan ketua kelompok, telah terbina jaringan
kerjasama dengan lingkungan tempat kerja.
Interaksi dengan banyak pihak memperkaya wawasan ketua kelompok tani
dan ini memberikan manfaat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat
kelompok. Ketiga kelebihan tersebut diperkirakan mampu memunculkan inisiatif
atau prakarsa dan pandangan ke depan untuk memajukan kehidupan petani.
Mardikanto (1993) menambahkan bahwa pemimpin kelompok mempunyai
tanggung jawab sosial yang tinggi, dinamis dan selalu merasa terpanggil untuk
menggerakkan masyarakat guna melakukan perubahan ke arah yang lebih baik
Bila para ketua kelompok tani atas kesadaran sendiri bersedia menjadi
penyuluh swadaya (sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (21) UU RI No. 16 Tahun
2006), maka ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh. Dukungan
130
pemerintah daerah setempat dalam memberikan reward kepada para penyuluh
swadaya sangat diperlukan berupa surat penunjukkan tertulis (sebagai bentuk
penghargaan) dan insentif atau honorarium. Hal ini perlu didahului dengan
sosialisasi dari pihak yang mempunyai otoritas dalam menterjemahkan Pasal
tersebut di tataran implementasi. Di Cianjur kelembagaan penyuluhan berada di
Dinas Pertanian, sedangkan di Garut berada di Badan Ketahanan Pangan. Dengan
memberdayakan ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya, maka target
Kementerian Pertanian untuk menempatkan satu orang penyuluh dalam satu desa
dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan penyuluhan, seperti diamanatkan pada Pasal 30 ayat (3)
UU RI No. 16 Tahun 2006, penyuluh swadaya dapat bekerjasama dengan
penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP. Kerjasama ini akan menguntungkan
dari sisi penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan
perencanaan bersama atau “join planning” (Asngari, pers comm) atau
”participatory planning” (Tjitropranoto, pers comm), yakni kepentingan
pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat “top-down” dipadukan dengan
kebutuhan petani yang bersifat “bottom-up.” Bagi petani yang tinggal di wilayah
marjinal (lahan kering) seperti di Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut,
pendekatan “bottom-up” belum bisa diterapkan secara murni. Pendekatan
“bottom-up” dapat dilakukan, asalkan penyuluh PNS benar-benar berpihak kepada
petani dan memberikan bimbingan/pendampingan yang intensif dalam
perencanaan sesuai dengan kebutuhan petani dan peluang yang ada sesuai
keadaan lingkungan terutama alam.
Mengingat karakteristik petani (baik sosial ekonomi maupun pribadi)
sebagaimana telah dipaparkan, dalam jangka pendek belum memungkinkan
pendekatan “bottom-up” diimplementasikan dengan baik. Melalui keterpaduan
kedua pendekatan tersebut (“top-down” dan “bottom-up”), kebijakan yang dinilai
penyuluh swadaya tidak tepat dapat dilakukan modifikasi sesuai dengan
kebutuhan petani. Keterlibatkan petani dalam menyusun perencanaan program
penyuluhan, akan berdampak pada penerimaan program dan dukungan terhadap
pelaksanaan program penyuluhan pertanian. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Tjondronegoro (1998) bahwa dalam gagasan tentang partisipasi publik dan
131
komunikasi dua arah terdapat dua unsur yang ingin dikembangkan sekaligus,
yakni: (1) prakarsa dari bawah sesuai dengan kebutuhan, dan (2) kendali atau
pengawasan sosial (social control) yang efektif.
Keuntungan lain jika menempatkan ketua kelompok tani sebagai penyuluh
swadaya, adalah akan terjalin komunikasi yang efektif dengan petani yang dibina.
Kedekatan secara fisik karena ikatan teritorial berada dalam wilayah pemukiman
yang sama dan kesamaan etnis menyebabkan kesepahaman terhadap nilai-nilai
dan kepercayaan yang dianut. Hal ini memudahkan interaksi kedua belah pihak,
terjadi tukar pikiran dengan menggunakan bahasa daerah yang sama dan
diharapkan karena saling mengenal, maka timbul keterbukaan. Sistem belajar dari
petani ke petani lain atau antar petani cenderung lebih lancar dan langsung karena
tidak ada kemungkinan faktor psikologis yang menghambat proses belajar. Pada
kondisi demikian, Rogers dan Shoemaker (1971) berpendapat bahwa suatu
inovasi dapat dikomunikasikan dengan lebih baik dan kemungkinan memberikan
dampak yang besar pada aspek perilaku petani, yakni pengetahuan yang
diperoleh, perubahan sikap dan peningkatan keterampilan.
Analisis yang dilakukan Bonnal (2001) menunjukkan bahwa kelompok tani yang bekerja sama
dengan penyuluh dapat mendefinisikan program tahunan, melaksanakan kegiatan demonstrasi dan
penyuluhan lain, serta mempersiapkan proyek skala kecil untuk memecahkan permasalahan yang terkait
dengan adopsi teknologi baru. Semacam bentuk desentralisasi menyediakan mekanisme yang memperbaiki
akuntabilitas, relevansi dan efisiensi biaya.
Persepsi Petani terhadap Materi Penyuluhan
Materi penyuluhan merupakan pesan-pesan yang dikomunikasikan
penyuluh kepada masyarakat sasaran (petani). Pesan tersebut harus bersifat
inovatif yang mampu mengubah atau mendorong perubahan, sehingga terwujud
perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh masyarakat
(Mardikanto, 1993). Berdasarkan UU RI Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat
(22), disebutkan bahwa materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang
disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam
berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen,
ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan,
bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku
132
utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian
sumberdaya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat
(2) dinyatakan, bahwa materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial,
serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum,
dan pelestarian lingkungan. UU tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
Pertanian No. 25/Permentan/OT.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Programa Penyuluhan Pertanian.
Dalam implementasi di lapangan, programa penyuluhan pertanian masih
berorientasi pada kebijakan yang bersifat penyeragaman (pendekatan “top-
down”). Seperti program penyuluhan yang disusun Kantor Pengembangan SDM
Pertanian dan Ketahanan Pangan Garut telah mengfungsikan sepuluh fungsi BPP
dan ketahanan pangan. Langkah tersebut sebagai upaya memotivasi masyarakat
agar tidak bergantung pada beras saja sebagai makanan pokok, tetapi diarahkan
pada diversifikasi pangan. Beberapa bahan pangan alternatif yang dapat
dikonsumsi seperti talas, ganyong dan jawawut. Selain itu juga diupayakan
mengembangkan desa mandiri pangan dan desa lumbung pangan. Perlu dicermati
bahwa program diversifikasi pangan, desa mandiri pangan dan desa lumbung
pangan merupakan kebijakan yang dicanangkan Kementerian Pertanian, sehingga
diberlakukan secara nasional, tanpa membedakan wilayah. Dalam penyusunan
programa penyuluhan pertanian, penyuluh mengikuti kebijakan dari ”atas,” masih
belum memperhatikan kebutuhan petani sasaran kegiatan penyuluhan.
Persepsi sebagian besar petani adopter (73,7%) dan petani non adopter
(70,9%) terhadap materi penyuluhan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 26).
Petani responden setuju dengan materi penyuluhan yang berkaitan dengan
usahatani, namun materi mengenai teknologi usahatani terpadu hanya
disampaikan kepada pengurus kelompok yang biasa diwakili ketua, sekretaris dan
bendahara kelompok tani. Materi tersebut di Desa Talaga Cianjur mencakup
teknik budidaya pisang, cabe, caisin, dan ternak domba serta kambing. Di Desa
Jatiwangi Garut, materi penyuluhan teknologi usahatani terpadu meliputi teknik
budidaya padi, nilam, pisang, kacang tanah dan ternak domba. Materi lain berupa
pembuatan kompos dari kotoran ternak maupun limbah penyulingan nilam.
133
Materi mengenai upaya menjaga kesuburan lahan masih diperlukan petani
responden, termasuk juga pengendalian hama ulat (berwarna putih) yang
menyerang sebagian besar lahan petani responden. Sebagian (18,9%) petani
responden di Desa Jatiwangi Garut kurang setuju terhadap materi mengenai teknik
budidaya, yang dibutuhkan materi tentang cara menjalin kemitraan dengan
pengusaha. Hasil penelitian Purnaningsih (2006); Saptana et al. (2006)
mengungkapkan tiga manfaat yang dapat diperoleh petani dari kemitraan usaha,
yakni manfaat ekonomi, teknis dan sosial. Dalam kemitraan usaha persyaratan
yang harus dipenuhi adalah jumlah, mutu dan kesinambungan produk yang
merupakan entry point bagi kelangsungan suatu kerjasama antara pelaku
kemitraan.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (70,2%) terhadap materi
penyuluhan termasuk dalam kategori rendah (Tabel 26). Petani responden yang
bersikap tidak setuju - kurang setuju terhadap materi penyuluhan lebih disebabkan
tidak mengenal penyuluh pertanian (baik PNS maupun THL-TBPP).
Diasumsikan bila petani non adopter Cianjur mendapatkan kegiatan penyuluhan,
maka materi penyuluhan yang dibutuhkan tentang pengendalian hama penyakit,
menjaga kesuburan lahan dan pertanian organik. Menyikapi perdagangan global
yang tengah dihadapi, perubahan preferensi konsumen terhadap produk pertanian
perlu dicermati dengan baik. Spesifikasi mutu produk pertanian yang diminati
konsumen perlu diketahui petani sebagai penjamin mutu produk di tingkat
produsen.
Sebagaimana dikemukakan Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan selama
tiga dekade lebih didominasi oleh aspek alih teknologi, berorientasi pada
kepentingan program/proyek untuk mencapai target suatu produksi. Untuk itu,
cakupan materi penyuluhan perlu diperluas, tidak lagi terbatas pada teknologi
produksi. Namun juga memperhatikan teknologi panen, pengolahan,
pengemasan, transportasi, informasi harga dan informasi pasar, sehingga
usahatani yang dikelola petani menguntungkan dan berkelanjutan. Materi
penyuluhan yang dibutuhkan petani harus didasarkan pada kesempatan, kemauan
dan kemampuan petani untuk menerapkan, bukan karena perhitungan ilmiah yang
dinilai menguntungkan.
134
Subejo (2009) juga melakukan kritik serupa, agar materi penyuluhan
pertanian bergeser tidak hanya sekedar peningkatan produksi namun
menyesuaikan dengan isu global yang lain. Seperti upaya menyiapkan petani
dalam mengatasi persoalan perubahan iklim global. Petani perlu dikenalkan
dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan
iklim. Selain itu, materi penyuluhan ke depan perlu berorientasi pada teknik
bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu
tinggi. Materi penyuluhan lain yang juga perlu diperhatikan adalah pengaruh
fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina terhadap produksi pangan (Irawan,
2006). Kebijakan yang komprehensif diperlukan sebagai upaya menekan dampak
negatif El Nino dan La Nina terhadap produksi pangan, yang mencakup: (1)
pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim; (2) pengembangan sistem
diseminasi informasi yang efisien tentang anomali iklim; dan (3)
mengembangkan, mendiseminasikan dan memfasilitasi petani untuk menerapkan
teknik budidaya tanaman yang adaptif terhadap situasi kekeringan, serta
mengembangkan teknik pemanenan hujan. Ketiga kebijakan tersebut perlu diacu
sebagai materi penyuluhan dengan terlebih dahulu disesuaikan dengan kebutuhan
petani yang dituju dan kondisi wilayah.
Persepsi Petani terhadap Metode Penyuluhan
Penyuluh pertanian dalam memilih suatu metode penyuluhan tergantung
pada tujuan yang akan dicapai dan situasi kerja. Beberapa metode penyuluhan
digunakan untuk membantu petani membentuk pendapat dan mengambil
keputusan (van den Ban dan Hawkins, 2005). Mengacu pada pendapat Srinivasan
(Mardikanto, 1993) bahwa, dalam memilih suatu metode penyuluhan perlu
memperhatikan: (1) pemecahan masalah sebagai pusat kegiatan belajar, (2)
menstimulir kemampuan berpikir, dan (3) mengembangkan aktualisasi diri, dapat
berupa pengembangan kemampuan diri, pengembangan konsep diri, serta
pengembangan daya imajinasi yang kreatif.
Persepsi sebagian besar petani adopter (72,3%) dan petani non adopter
(63,6%)) terhadap metode penyuluhan termasuk dalam kategori sedang (Tabel
26). Petani responden bersikap kurang setuju – setuju terhadap metode
135
penyuluhan yang disampaikan penyuluh pertanian PNS ataupun THL-TBPP.
Metode ceramah dinilai petani responden sulit dipahami, karena penyuluh lebih
banyak menyampaikan materi dan sedikit memberi kesempatan kepada petani
responden untuk bertanya. Pemahaman dan daya ingat petani responden terhadap
materi ceramah relatif rendah, sehingga petani responden kurang setuju terhadap
metode ceramah. Hal ini sejalan dengan pernyataan van den Ban dan Hawkins
(2005) tentang kekurangan ceramah yakni materi yang disampaikan secara lisan
cenderung mudah dilupakan dibandingkan dengan materi tertulis. Di samping itu
sulit mempertahankan perhatian peserta terhadap pokok ceramah lebih dari 15
menit. Ceramah juga merupakan metode yang lemah untuk mengajarkan
penerapan suatu inovasi.
Petani responden bersikap setuju dengan metode penyuluhan diskusi
kelompok, dialog/tanya jawab dan petak percontohan atau plot demonstrasi.
Penyampaian materi dengan teknik-teknik tersebut dinilai petani responden
mudah dipahami. Bila diurutkan berdasarkan tingkat kemudahan memahami
materi penyuluhan, sebagian besar petani responden memilih plot demonstrasi
sebagai prioritas utama, setelah itu dialog/tanya jawab dan terakhir diskusi
kelompok. Melalui plot demonstrasi, petani responden dapat melihat langsung
hasil dari suatu inovasi yang diperkenalkan penyuluh pertanian. Hasil ini
memperkuat temuan penelitian yang telah dilakukan Barao (1992) pada petani di
Amerika Serikat yang diintroduksikan teknologi atau program Dairy Herd
Improvement. Untuk mentransfer teknologi spesifik tersebut ke tingkat petani, cara yang efektif di
lapangan adalah demonstrasi. Sebagai dampak, 34 persen petani mengatakan telah mengadopsi teknologi
penanganan rumput dan 26 persen mengadopsi teknologi pembuatan sistem pagar untuk meningkatkan
produktivitas, pengelolaan, dan penggunaan sumberdaya padang rumput sebagai sumber pakan sapi potong
dengan biaya rendah. Mardikanto (1993) juga mengemukakan bahwa metode
demonstrasi seringkali dipandang sebagai metode yang paling efektif. Petani
sasaran penyuluhan ditunjukkan bukti-bukti nyata, sehingga petani cenderung
cepat terdorong untuk mencoba dan menerapkan inovasi (materi) yang
diperkenalkan.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur (51,1%) terhadap
metode penyuluhan termasuk dalam kategori rendah (Tabel 26). Penilaian
tersebut lebih didasari pada sikap apriori petani responden yang tidak pernah
136
mendapatkan penyuluhan. Bahkan beberapa petani responden yang tinggal di
lereng pegunungan tidak mengenal nama penyuluh.
Metode penyuluhan seperti ceramah dan diskusi kelompok diketahui petani
non adopter dari kegiatan di luar pertanian, seperti pada kegiatan pengajian,
sedangkan tanya jawab dapat dilakukan dengan sesama petani ataupun antara
petani dengan pedagang (baik pedagang sarana produksi maupun pedagang hasil).
Di Desa Talaga Cianjur terdapat posko teknologi usahatani terpadu yang
memasang poster tentang teknis budidaya tanaman pisang, dan juga tersedia
leaflet pengolahan pisang, pengendalian penyakit pisang, budidaya cabai rawit,
budidaya caisin dan pembibitan ternak domba. Demikian juga di Desa Jatiwangi
Garut, posko teknologi usahatani terpadu menyediakan leaflet tentang budidaya
padi gogo, budidaya pisang dan pembibitan pisang. Sebagian besar petani
responden tergolong melek huruf, namun karena tingkat pendidikan yang relatif
rendah maka materi penyuluhan yang berupa media cetak (poster, brosur, dan
leaflet) kurang diminati.
Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, dan Dukungan Iklim Usaha dengan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik petani
adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif
dengan persepsi petani terhadap penyuluhan adalah tingkat pendapatan, tingkat
mobilitas, luas lahan, daya beli saprodi, tingkat rasionalitas, tingkat intelegensi,
sikap terhadap perubahan dan tingkat keberanian beresiko (Tabel 27). Meskipun
nilai korelasi < 0,5 menunjukkan hubungan yang lemah, namun peubah-peubah
tersebut ikut membentuk persepsi petani terhadap penyuluhan. Interaksi antara
penyuluh pertanian yang mempromosikan teknologi usahatani terpadu hanya
terjadi dengan petani adopter dari kalangan elit (pengurus kelompok, pamong
desa). Dalam pembentukan kelompok tani didasarkan atas penguasaan lahan
pertanian. Semakin luas lahan yang dimiliki petani adopter, terdapat
kecenderungan modal yang dimiliki juga semakin besar dan daya beli sarana
produksi semakin tinggi.
Petani adopter di luar pengurus kelompok tani hanya diposisikan sebagai
sasaran pelaksanaan teknologi usahatani terpadu, sehingga tidak memiliki cukup
137
keleluasaan dalam berinteraksi dengan penyuluh pertanian. Upaya penyampaian
informasi teknologi usahatani terpadu hanya melalui kalangan elit petani, dapat
menghemat biaya, tenaga dan waktu (Rogers dan Shoemaker, 1971). Penyuluh
pertanian tidak perlu lagi menghubungi semua anggota kelompok tani (adopter),
karena inovasi teknologi usahatani terpadu akan tersebar melalui pengurus
kelompok dan pamong desa. Litterer (Asngari, 1984) berpandangan bahwa
pengalaman akan berperan pada pembentukan persepsi seseorang. Persepsi petani
adopter terhadap penyuluhan selain berhubungan kondisi internal petani
(karakteristik petani) juga terkait dengan pandangan terhadap keadaan, fakta atau
tindakan selama berinteraksi dengan penyuluh. Walaupun petani adopter hanya
mendapat bagian-bagian informasi, dengan cepat disusun menjadi suatu gambaran
yang menyeluruh.
Karakteristik petani non adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang
berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap penyuluhan adalah
tingkat intelegensi dan sikap terhadap perubahan. Karakteristik internal ini yang
membangun persepsi petani non adopter, berdasarkan kemampuan memahami
kondisi orang lain dan daya inisiatif yang dimiliki, karena kelompok petani ini
tidak pernah dikunjungi penyuluh pertanian. Bila terjadi interaksi antara petani
non adopter dengan penyuluh pertanian, seperti di Desa Jatiwangi Garut karena
terdapat penyuluh pertanian yang bertugas di desa lain, namun menetap dan
menjadi warga di Desa Jatiwangi. Meskipun ikatan-ikatan tradisional di
masyarakat pedesaan telah terlihat melemah, tetapi kepedulian sesama warga
masih terlihat.
Menyikapi permasalahan kinerja penyuluhan yang dalam menjalankan tugas
semata-mata berorientasi pada program/proyek, perlu ditinjau pembinaan tenaga
penyuluh. Pembinaan ini mulai dari kegiatan pelatihan-pelatihan tentang
penyuluhan yang benar, materi penyuluhan yang seharusnya lebih fokus pada
pemahaman petani dan lingkungannya, kompetensi sebagai penyuluh dan bukan
sebagai petugas yang meneruskan instruksi, dan sebagainya. Penyuluh benar-
benar memahami tugas dan fungsinya terutama dalam membantu petani, bukan
memberikan instruksi kepada petani. Pada dasarnya, advokasi kepada para
pejabat pertanian (termasuk pejabat Kementerian Pertanian) dan pemerintah
138
daerah tentang makna penyuluhan yang berpihak kepada petani dan pemahaman
materi UU RI No.16/2006 sangat diperlukan. Masalah sistem penghargaan
(reward system) untuk penyuluh perlu dipertimbangkan, misalkan dapat dalam
bentuk pemberian insentif yang memadai. Dengan dukungan tersebut diharapkan
penyuluh pertanian memiliki kompetensi yang handal dan dapat berperan
memenuhi harapan serta kebutuhan petani. Kondisi penyuluhan di Filipina, yang
dikemukakan Malvicini (Bonnal, 2001) dapat dijadikan perbandingan dengan kondisi
penyuluhan di Cianjur dan Garut. Penyuluh yang ditugaskan di Filipina telah kehilangan
perspektif pengembangan karir, kenaikan gaji yang dihambat untuk menyelaraskan remunerasi dengan
karyawan kota lain dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Selain itu, tidak tersedia dana untuk
pelatihan dan masalah politisasi perekrutan tenaga penyuluh yang baru. Padahal pelatihan diperlukan untuk
memfasilitasi reorientasi untuk melakukan pendekatan berbasis masyarakat. Hal tersebut berakibat kualitas
pelayanan penyuluh menjadi menurun. Pembelajaran dari negara tetangga perlu direspon oleh pengambil
kebijakan (pusat maupun daerah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat) bahwa pembangunan
sumberdaya manusia merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan.
Pemikiran Garfield dan Rivera (Bonnal, 2001) mengenai tiga arah kebijakan utama
mendominasi desentralisasi penyuluhan: (1) reformasi struktural untuk meningkatkan respon institusional dan
akuntabilitas, (2) desentralisasi fiskal untuk berbagi biaya penyuluhan dengan pemerintah daerah, dan (3)
keterlibatan petani secara partisipatif dalam pembuatan keputusan dan manajemen desentralisasi. Ide tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan tambahan dalam mengatasi kinerja penyuluhan di Cianjur
dan Garut. Mengingat sudah banyak peraturan perundangan yang menetapkan ketiga
hal tersebut, tetapi pemahaman dan kerelaan berpihak kepada petani yang masih
sangat kurang. Lebih lanjut Bonnal (2001) mengkritisi keterkaitan antara kondisi sosial
ekonomi petani yang beragam dengan permasalahan yang dihadapi. Melalui pendekatan desentralisasi,
penyuluhan publik tidak dapat mengatasi kebutuhan semua kelompok. Peran sektor publik harus didefinisikan
kembali. Kondisi ini memungkinkan beberapa pendekatan yang menjelaskan keragaman pengguna, kemitraan
dengan organisasi-organisasi petani, LSM dan sektor swasta, sehingga penyediaan layanan masyarakat dapat
dikembangkan.
Perilaku komunikasi (kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan
terhadap media) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap
penyuluhan. Hal ini berarti penilaian seluruh petani responden (adopter dan non
adopter) di Cianjur dan Garut terhadap penyuluhan berhubungan dengan interaksi
ataupun kerjasama dengan penyuluh. Keberadaan tenaga yang direkrut USAID
telah membentuk persepsi petani non adopter Cianjur terhadap orang di luar
komunitas yang berperan sebagai agen perubahan. Persepsi petani non adopter
139
Garut terhadap penyuluhan juga juga dibentuk dari hasil interaksi dengan warga
satu desa yang berprofesi sebagai penyuluh di wilayah lain.
Semakin sering petani responden bepergian ke luar desa dalam mengakses
informasi, maka gambaran petani responden dalam membangun persepsi terhadap
penyuluhan semakin tinggi. Selama beberapa dekade penyuluh telah berperan
dalam menyampaikan teknologi pertanian seperti penggunaan varietas unggul,
cara pengendalian hama penyakit dan teknik budidaya lain. Teknologi yang telah
diterapkan petani dan memberikan hasil yang menguntungkan, tentu akan
terdifusi di kalangan para petani. Petani yang dinilai berhasil akan diacu sebagai
sumber informasi bagi petani lain.
Kondisi petani responden yang semakin terdedah terhadap media, baik
media elektronik (radio dan televisi) maupun media cetak (majalah, leaflet
ataupun brosur), maka persepsi petani responden terhadap penyuluhan semakin
tinggi. Institusi seperti BPTP Jawa Barat menghasilkan leaflet ataupun brosur
tentang teknik budidaya berbagai komoditas pertanian. Berkaitan dengan hal ini,
BPTP banyak memproduksi leaflet dan brosur, tetapi penyebarannya sangat
terbatas. Kalau BPTP mau mengganti kertas yang mahal dengan HVS 80 gram,
maka tiras leaflet akan makin besar. Alternatif lain, BPTP mempersilahkan
kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten untuk mereproduksi leaflet dengan
keadaan yang ada di masing-masing kabupaten. Hasil pengamatan di lapangan,
melalui penyuluh BPTP (tenaga detasir di lapangan), media tersebut disampaikan
kepada petani adopter terutama pengurus kelompok tani (Cianjur dan Garut)
sebagai informasi pendukung inovasi teknologi usahatani terpadu. Petani non
adopter tidak mendapatkan leaflet tersebut.
Dukungan iklim usaha yang terkait dengan ketersediaan sarana produksi
(input) berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani responden terhadap
penyuluhan. Semakin tinggi ketersediaan sarana produksi, maka persepsi petani
responden terhadap penyuluhan semakin tinggi. Hal ini terkait dengan pandangan
petani responden terhadap penyuluh pertanian. Penyuluh menganjurkan
penggunaan benih berlabel dengan standar mutu yang telah dijamin, takaran
(dosis) pemupukan yang berimbang ataupun penggunaan obat-obatan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan.
140
Ketersediaan fasilitas keuangan berhubungan nyata dan positif dengan
persepsi petani adopter Garut terhadap penyuluhan, sedangkan pada petani non
adopter berhubungan nyata dan negatif. Petani adopter Garut memperoleh kredit
PUAP dengan penyuluh pertanian sebagai tenaga pendamping. Kredit
dimaksudkan untuk mendukung kegiatan usahatani yang dikelola petani adopter.
Interaksi antara petani adopter dengan penyuluh pertanian pada saat
merencanakan kegiatan sampai pencairan dan pertanggungjawaban dana PUAP
telah membangun persepsi petani adopter terhadap penyuluhan. Walaupun petani
non adopter tidak mendapatkan dana PUAP, namun tetap terjalin interaksi dengan
warga yang berprofesi sebagai penyuluh pertanian. Bila dicermati keseluruhan
petani adopter dan non adopter, tidak ada hubungan yang nyata antara
ketersediaan fasilitas keuangan dengan persepsi petani responden terhadap
penyuluhan (Tabel 27).
Ketersediaan sarana pemasaran berhubungan nyata dan positif dengan
persepsi petani responden (non adopter Cianjur dan petani adopter Garut)
terhadap penyuluhan. Bagi petani non adopter Cianjur yang tidak mengenal
penyuluh pertanian namun mengenal petugas yang direkrut USAID yang
memperkenalkan berbagai inovasi, telah dianggap sebagai “penyuluh.”
Ketersediaan prasarana jalan dan sarana transportasi tentu memperlancar
kunjungan “penyuluh” dari USAID.
Tabel 27 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Petani Cianjur Petani Garut Total Petani
Peubah Adopter
(n=46)
Non adopter
(n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter
(n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter
(n=165)
Karakteristik Petani
Umur -0,273 -0,192 0,163 0,175* 0,037 0,041
Pendidikan 0,161 0,304** -0,034 0,046 0,031 0,123
Tingkat pendapatan 0,277 0,292** 0,292*** -0,082 0,292*** 0,065
Tingkat mobilitas 0,119 -0,005 0,263** 0,128 0,226*** 0,085
Luas lahan 0,355** 0,124 0,291*** 0,024 0,362*** 0,102
Daya beli saprodi 0,493*** -0,068 0,412*** -0,038 0,485*** -0,024
Tingkat rasionalitas 0,382*** 0,110 0,554*** 0,061 0,405*** 0,094
141
Tingkat intelegensi 0,272* 0,042 0,479*** 0,201** 0,432*** 0,252***
Sikap terhadap perubahan
0,493*** 0,179 0,462*** 0,260*** 0,346*** 0,382***
Tingkat keberanian beresiko
0,383*** 0,205 0,514*** 0,170 0,419*** 0,167*
Perilaku Komunikasi Petani
Kerjasama 0,584*** 0.642*** 0,484*** 0,264*** 0,505*** 0,391***
Tingkat kekosmopolitan
0,451*** 0.349** 0,515*** 0,263*** 0,457*** 0,288***
Keterdedahan thd media
0,451*** 0.580*** 0,455*** 0,192** 0,428*** 0,306***
Dukungan Iklim Usaha
Ketersediaan input (saprodi)
0,511*** 0,257* 0,391*** 0,179* 0,364*** 0,170**
Ketersediaan fasilitas keuangan (KUD, bank)
-0,009 0,233 0,197* -0,193** 0,098 -0,022
Ketersediaan sarana pemasaran
0,184 0,264* 0,359*** -0,004 0,192** 0,140*
Keterangan: ***Nyata pada taraf α = 0,01; **Nyata pada taraf α = 0,05; *Nyata pada taraf α = 0,10
Bagi petani adopter Garut ketersediaan prasarana jalan dan sarana
transportasi yang memadai akan memperlancar petani adopter dalam mencapai
pasar. Tujuan petani adopter ke pasar, baik untuk mendapatkan sarana produksi
maupun penjualan hasil dari kegiatan teknologi usahatani terpadu yang
diperkenalkan penyuluh pertanian. Petani adopter Garut dalam melakukan
pemasaran hasil masih secara individual, belum ada pemasaran bersama dalam
kelompok tani.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa peubah yang
berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan adalah
karakteristik petani dan perilaku komunikasi petani. Hipotesis 1, yakni:
“Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dan dukungan iklim usaha,
berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.” Ternyata
dukungan iklim usaha yang mencakup ketersediaan input (sarana produksi),
142
fasilitas keuangan (KUD, perbankan) dan sarana pemasaran tidak berpengaruh
nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Hal ini menunjukkan adanya
faktor lain yang cukup dominan (yang tidak diteliti pada penelitian ini ), sehingga
pengaruh dukungan iklim usaha tidak terdeteksi. Hasil pengamatan di lapangan,
dukungan iklim usaha penting, maka pada penelitian serupa nantinya perlu digali
faktor dominan tersebut, seperti bantuan sarana produksi yang diberikan
pemerintah, bantuan kredit dari pemerintah.
Dukungan iklim usaha, terutama yang terkait dengan ketersediaan fasilitas
keuangan (berupa kredit dari perbankan, koperasi) yang dapat diakses petani, baik
di Cianjur maupun Garut terlihat masih rendah. Menurut hasil kajian Asian
Development Bank (2004) dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan akses petani
terhadap kredit, yang mengakibatkan kemampuan petani dalam melakukan
kegiatan diversifikasi relatif terbatas. Padahal kredit dapat memberikan
kesempatan pada petani untuk: (1) pembelian input produksi, (2) pembelian alat
dan mesin pertanian, (3) melakukan diversifikasi antara berbagai jenis komoditas
dan atau ternak dengan tanaman yang bernilai tinggi, (4) melaksanakan
pengolahan pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian, dan
(5) melaksanakan diversifikasi usaha antara pertanian dan non pertanian.
143
Tabel 28 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
X1 Karakteristik Petani 0,280 0,000
X2 Perilaku Komunikasi Petani 0,383 0,000
R2 32,9% Keterangan: peubah yang dicantumkan sangat nyata pada taraf α = 0,01
Penilaian petani responden terhadap penyuluhan lebih dipengaruhi oleh
keadaan internal yang ada pada diri petani. Pengalaman petani adopter selama
berinteraksi dengan penyuluh ataupun informasi yang diperoleh petani non
adopter tentang penyuluh akan membentuk persepsi petani responden. Informasi
yang diterima petani non adopter diinterpretasikan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
Bila ditelusuri lebih lanjut karakteristik petani yang mempengaruhi persepsi
petani terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, luas lahan, tingkat
intelegensi, dan sikap terhadap perubahan. Perilaku komunikasi petani yang
mempengaruhi adalah kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan
terhadap media (Tabel 29). Tingkat mobilitas diukur berdasarkan frekuensi petani
bepergian ke luar desa dan jarak tempuh terkait dengan kegiatan usahatani
(pembelian saprodi dan penjualan produk) dalam satu tahun terakhir. Semakin
tinggi tingkat mobilitas petani responden, maka persepsi petani terhadap
penyuluhan juga semakin tinggi. Petani responden dengan tingkat mobilitas yang
tinggi cenderung lebih dinamis dibandingkan dengan petani responden yang
memiliki tingkat mobilitas rendah. Terdapat kecenderungan informasi yang
diperoleh petani kelompok ini lebih banyak.
Tingkat mobilitas yang tinggi menunjukkan bahwa petani responden
mengikuti anjuran penyuluh pertanian dalam menggunakan sarana produksi.
Benih berlabel relatif tidak mudah diperoleh di kios desa, juga pupuk phonska
ataupun pestisida tertentu. Petani responden yang merangkap sebagai pedagang
sarana produksi ataupun hasil pertanian, juga memiliki tingkat mobilitas yang
tinggi. Pembelian sarana produksi ataupun penjualan hasil pertanian dilakukan di
pasar tingkat kabupaten, untuk mendapatkan selisih harga jual sebagai
144
keuntungan. Intensitas hubungan antara petani yang merangkap pedagang dengan
penyuluh pertanian akan didapatkan informasi tentang benih berlabel, pupuk dan
obat-obatan/pestisida. Aksesibilitas petani yang merangkap pedagang (Cianjur
dan Garut) terhadap informasi penyuluh cukup besar karena mempunyai posisi
sebagai pengurus kelompok tani, yakni bendahara kelompok.
Lahan merupakan sumberdaya alam, dari sudut pandang sosial terdapat
berbagai golongan petani yang mempunyai hak dan kuasa berbeda-beda atas
lahan.
Petani responden yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi cenderung memiliki
lahan yang luas, dan ini menjadi simbol status sosial. Luas lahan berpengaruh
positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Kepemilikan lahan petani
merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan petani adopter. Semakin
luas lahan yang dikelola petani responden, terdapat kecenderungan pada petani
pemilik untuk mendapatkan informasi tentang usahatani dari berbagai sumber,
termasuk penyuluh pertanian. Hal ini diperjelas oleh analisis Tjondronegoro
(1998) yang menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan luas terlebih dahulu
mengakses inovasi suatu teknologi. Meskipun demikian, pemilik lahan yang luas
tidak selalu sebagai petani, tetapi pemilik modal. Seperti yang terjadi di Cianjur
terdapat gejala akumulasi pemilikan lahan oleh orang dari daerah lain, seperti
Jakarta dan Bandung yang sulit diidentifikasi. Hal ini disebabkan petani-petani
yang telah menjual lahannya masih terdaftar sebagai pemilik lahan. Walaupun
sebenarnya kuasa petani atas lahan tersebut sudah tidak ada lagi. Petani-petani ini
yang kemudian menjadi penggarap di atas lahan yang pernah dimiliki. Untuk
mengatasi masalah tersebut, Sajogyo (1990) telah mencetuskan gagasan pada
tahun 1975 tentang “tanah komunal” dalam hal land reform, bahwa lahan milik
golongan petani gurem dengan luasan < 0,2 ha dibeli oleh pemerintah. “Lahan
negara” ini kemudian dikelola Badan Usaha Buruh Tani dengan bekas pemilik
lahan sebagai anggota. Pamong desa bertugas sebagai pengawas pengurusan
lahan negara di tangan golongan tersebut. Meskipun gagasan “tanah komunal”
sudah 35 tahun yang lalu, namun masih relevan jika direalisasikan pada saat ini.
Paling tidak persoalan tentang pemilikan akumulasi lahan seperti yang terjadi di
Cianjur dapat dicegah.
145
Tingkat intelegensi menggambarkan kemampuan petani mempertimbangkan
berbagai pilihan yang ada dalam mengelola usahatani dan memprediksi manfaat
penerapan teknologi. Faktor ini berpengaruh positif nyata pada persepsi petani
terhadap penyuluhan. Pesan (teknologi usahatani terpadu) yang disampaikan
penyuluh BPTP Jawa Barat dan penyuluh BPP (sebagai sumber informasi)
terlebih dahulu dipertimbangkan petani adopter. Terlihat di lapangan setelah
petani adopter tidak mendapatkan bantuan sarana produksi, ada keragaman dalam
penerapan komponen teknologi usahatani terpadu. Kecenderungan ini juga terjadi
pada petani non adopter dalam menerapkan teknologi lokal. Proses penyampaian
inovasi teknologi usahatani terpadu dari penyuluh BPTP Jawa Barat dan penyuluh
BPP kepada petani lebih bersifat searah. Petani hanya diberi dan menerima suatu
inovasi teknologi, tidak dilibatkan dalam setiap perencanaan dan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan usahatani yang dikelola. Dengan demikian
harapan bahwa inovasi teknologi yang diadopsi petani dapat berlangsung secara
berkesinambungan dan berkembang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, sulit
terwujud. Menurut Fagi et al. (2002), upaya untuk memenuhi harapan tersebut
adalah dengan menerapkan pendekatan sistem akuisisi (acqusition system) yang
mengarahkan petani untuk mencari teknologi langsung ke sumber informasi dan
membina kemandirian petani. Ciri utama dari sistem ini adalah: (1) pendekatan
bottom-up, (2) hierarkhi kerja bersifat horizontal, dan (3) alih teknologi yang
bersifat partisipatif dialogis dan interaktif.
Sikap terhadap perubahan menggambarkan bentuk kesiapan dalam
merespon terhadap suatu perubahan (dalam hal ini perubahan teknologi). Sub-
peubah ini berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.
Dalam pandangan Rogers dan Shoemaker (1971), individu anggota sistem sosial
yang berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-
hal baru dan giat mencari informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap
atau orientasi pada perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang
layak untuk diperkenalkan secara berurutan.
146
Tabel 29 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
X14 Tingkat Mobilitas 0,105 0,030
X15 Luas Lahan 0,097 0,068
X18 Tingkat intelegensi 0,191 0,001
X19 Sikap terhadap perubahan 0,158 0,005
X21 Kerjasama 0,270 0,000
X22 Tingkat kekosmopolitan -0,128 0,061
X23 Keterdedahan thd media 0,126 0,035
R2 40,4%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Petani responden yang mempunyai sikap terbuka terhadap perubahan akan
mudah berinteraksi dengan penyuluh pertanian. Pengalaman selama mengelola
kegiatan usahatani akan membentuk sikap petani terhadap inovasi teknologi
usahatani terpadu yang diperkenalkan penyuluh pertanian. Di antara berbagai
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau
lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi di dalam diri
individu. Sikap yang diperoleh melalui pengalaman akan menimbulkan pengaruh
langsung terhadap perilaku berikutnya. Terdapat kecenderungan ketua kelompok
tani, juga tokoh masyarakat, bersikap positif terhadap teknologi usahatani terpadu.
Hal ini memudahkan penyuluh BPTP Jawa Barat yang bertugas sebagai tenaga
detasir untuk membaur dan tinggal di pemukiman masyarakat petani yang
didampingi. Persamaan etnis dan bahasa (Sunda) yang digunakan dalam
komunikasi sehari-hari, membuat tenaga detasir cepat beradaptasi dengan
lingkungan. Dengan demikian semakin tinggi sikap terbuka terhadap perubahan,
maka semakin tinggi persepsi petani terhadap penyuluhan, sebagaimana yang
terlihat pada nilai koefisien jalur pada Gambar 6.
Kerjasama merupakan faktor yang berpengaruh positif nyata pada persepsi
petani terhadap penyuluhan. Petani adopter Cianjur telah melakukan kerjasama
147
berupa pemasaran komoditas pisang dalam lingkup kelompok tani. Pemasaran
bersama ini menguntungkan dari segi teknis maupun ekonomis. Sebagaimana
diungkapkan dalam temuan penelitian yang dilakukan Saptana et al. (2006) bahwa
kinerja suatu kerjasama sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga
merupakan refleksi kinerja para pelaku yang terlibat di dalamnya. Secara umum
faktor yang mempengaruhi keefektifan suatu kerjasama dapat dikelompokkan
menjadi empat faktor yaitu teknis, ekonomis, sosial kelembagaan dan kebijakan.
Gambar 6 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan
Faktor teknis lebih terkait dengan upaya penjaminan akan jumlah, mutu, dan
kesinambungan pasokan suatu komoditas. Faktor ekonomis lebih ditekankan
pada sistem insentif yang menarik, sehingga para pelaku yang terlibat dalam
kerjasama mendapat keuntungan dan akhirnya tetap bertahan dalam suatu ikatan
X1.4 Tingkat Mobilitas
X1.5 Luas Lahan
X1.8 Tingkat Intelegensi
X1.9 Sikap terhadap Perubahan
X2.1 Kerjasama
X2.2 Tingkat Kekosmopolitan
X2.3 Keterdedahan thd media
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
0,105 (0,030)
0,097 (0,068)
0,191 (0,001)
-0,128 (0,061)
0,126 (0,035)
0,270 (0,000)
0,158 (0,005)
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMUNIKASI PETANI
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α=0,15
148
kelembagaan kerjasama. Sebagai contoh, adanya kepastian pasar dan harga.
Faktor sosial kelembagaan, terkait dengan hubungan interpersonal yang
menumbuhkan kepercayaan yang kuat antar pelaku yang berinteraksi.
Kepercayaan ini menjadi dasar bagi keberlangsungan kerjasama yang dibangun,
menjadi jaminan antar pelaku yang melengkapi aturan main tidak tertulis yang
berlaku. Kebijakan terkait dengan posisi dan peran pemerintah dalam
menciptakan iklim yang kondusif bagi kinerja suatu kerjasama, seperti kebijakan
subsidi pupuk, ataupun bantuan kredit lunak dengan tingkat suku bunga yang
rendah.
Peran penyuluh pertanian dalam pemasaran bersama terkait dengan mutu
komoditas pisang yang dihasilkan petani adopter Cianjur melalui kegiatan
pembrongsongan. Ukuran pisang yang dibrongsong relatif lebih besar dengan
kulit tanpa bintik-bintik hitam. Produk pisang yang dihasilkan petani mampu
memasuki supermarket (melalui supplier), yang dikenal memiliki persyaratan
cukup ketat terhadap kriteria mutu produk yang dibutuhkan, bila dibandingkan
pedagang pengumpul. Namun demikian, tidak semua petani adopter Cianjur
melakukan pembrongsongan pisang. Alasan yang dikemukakan berkaitan dengan
biaya yang harus dikeluarkan menjadi meningkat dan plastik pembrongsong tidak
tersedia di kios desa.
Tingkat kekosmopolitan berpengaruh negatif nyata pada persepsi petani
terhadap penyuluhan. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat
kekosmopolitan sebagian besar petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong
rendah dan dapat dikategorikan sebagai petani lokalit. Akses terhadap informasi
usahatani cukup diperoleh dari sesama petani di dalam desa. Frekuensi petani
responden dalam mencari teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, dilihat dari
aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat, keuntungan finansial dan
kelestarian lingkungan, tergolong sangat jarang. Paling tidak tingkat pendidikan
formal petani responden yang dikategorikan rendah ikut memberikan kontribusi
terhadap keadaan petani yang lokalit. Pendidikan dengan cara pandang atau
wawasan petani memiliki keterkaitan yang erat. Di samping itu dengan skala
usaha yang sempit (petani non adopter Cianjur, petani adopter dan non adopter
Garut), petani responden merasa tidak memiliki daya sama sekali untuk
149
mengembangkan usaha pada skala yang lebih luas. Keyakinan pada nasib yang
tidak dapat diubah, petani cenderung tidak berkeinginan untuk mencari informasi
teknologi ke luar desa. Untuk itu peran penyuluh sebagai motivator dan fasilitator
dituntut untuk mampu membuka pemikiran petani kelompok ini, bahwa nasib
berbeda dengan takdir, sehingga dapat diubah dengan kemauan dan peningkatan
kemampuan.
Keterdedahan terhadap media berpengaruh positif nyata pada persepsi
petani terhadap penyuluhan. Meskipun proporsi petani responden dengan
keterdedahan terhadap media tergolong sedang sampai tinggi relatif kecil, berkisar
antara 17 - 31,9 persen (Tabel 29), namun memberikan pengaruh nyata pada
persepsi petani terhadap penyuluhan. Petani kelompok ini mempunyai tingkat
pendidikan di atas rata-rata petani secara umum di desanya dan memiliki
pekerjaan lain di luar bertani dan dinilai terpandang oleh petani lain di sekitarnya.
Petani kelompok ini tergolong petani elit yang menjadi pengurus dalam kelompok
tani dan berinteraksi dengan penyuluh.
Dalam penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu oleh penyuluh
BPTP Jawa Barat disertai dengan pembagian leaflet, brosur dan poster yang berisi
informasi tentang teknik budidaya komoditas yang direkomendasikan (termasuk
ternak domba). Sebagaimana dikemukakan Berlo (1960), Face dan Faules (1998)
bahwa dalam pemilihan media dapat didasarkan pada pertimbangan sifat-sifat
media yang dapat diakses oleh sebagian besar komunikan dengan biaya paling
rendah, hasil-hasil yang diinginkan, dan budaya masyarakat penerima pesan, serta
preferensi komunikan.
Keterdedahan terhadap media akan menentukan pemahaman petani
responden terhadap informasi-informasi pertanian. Bahkan pada petani non
adopter yang merangkap sebagai pedagang telah menggunakan media elektronik,
berupa telepon selular untuk mendapatkan informasi tentang harga jual produk
pertanian. Informasi dari berbagai media ini akan menentukan sikap petani
responden dalam merespon inovasi suatu teknologi.
150
Bila petani responden dibedakan atas petani adopter dan petani non adopter,
maka tampak faktor-faktor yang mempengaruhi positif nyata persepsi petani
adopter terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, tingkat intelegensi,
keberanian beresiko, dan kerjasama. Pada petani non adopter, faktor-faktor
tersebut adalah sikap terhadap perubahan, kerjasama, keterdedahan terhadap
media, dan ketersediaan fasilitas keuangan; sedangkan faktor yang mempengaruhi
negatif nyata adalah daya beli (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi daya beli petani non adopter, maka persepsi terhadap penyuluhan semakin
rendah. Petani non adopter ini tidak mengenal penyuluh, interaksi lebih sering
dilakukan dengan pedagang sarana produksi ataupun pedagang hasil.
Tabel 30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
Peubah Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
X1 Karakteristik Petani
X14 Tingkat mobilitas 0,127 0,085
X18 Tingkat intelegensi 0,202 0,021
X110 Keberanian beresiko 0,161 0,065
X16 Dayabeli -0,153 0,099
X19 Sikap terhadap perubahan 0,290 0,001
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X21 Kerjasama 0,168 0,249 0,105 0,006
X23 Keterdedahan terhadap media 0,136 0,114
X3 Dukungan Iklim Usaha
X32 Ketersediaan fasilitas keuangan 0,132 0,129
R2 42% 30%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Faktor kerjasama mempengaruhi persepsi petani, baik adopter maupun non
adopter terhadap penyuluhan (Gambar 7). Peran penyuluh sebagai fasilitator
diperlukan petani adopter dan petani non adopter dalam membangun kerjasama
dengan pihak lain, baik yang terkait dengan ketersediaan modal usahatani maupun
jaminan pemasaran produk yang dihasilkan petani. Penyuluh dalam
151
menyampaikan pesan inovasi kepada seluruh khalayak sasaran perlu
memperhatikan perilaku komunikasi ini (kerjasama). Nilai koefisien jalur sub
peubah kerjasama pada petani non adopter adalah lebih tinggi dibandingkan
petani adopter. Hal ini menggambarkan bahwa petani non adopter mempunyai
tingkat kebutuhan yang relatif lebih tinggi untuk difasilitasi bekerjasama dengan
pihak lain. Kehadiran penyuluh pertanian sangat diharapkan petani non adopter
untuk dapat mengembangkan usahatani yang dikelolanya selama ini. Asas
berkeadilan, belum tercermin dalam penyelenggaraan penyuluhan yang
memposisikan petani non adopter berhak mendapatkan pelayanan secara
proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhannya.
Gambar 7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan
X4 Persepsi
Petani terhadap
Penyuluhan
-0,153 (0,099)
0,202 (0,021)
0,161 (0,065)
0,168 (0,105)
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMUNI-KASI PETANI
X1.4 Tingkat mobilitas
X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Keberanian beresiko
X2.1 Kerjasama
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMUNI-KASI PETANI
X1.6 Daya beli
X1.9 Tingkat intelegensi
X2.1 Kerjasama
X2.3 Keterdedahan terhadap media
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
X3.2 Ketersediaan fasilitas
keuangan
PETANI ADOPTER
PETANI NON ADOPTER
0,127 (0,085)
0,290 (0,001)
0,136 (0,114)
0,132 (0,129)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α=0,15
0,248 (0,006)
152
Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi
Banyak pengamat pertanian mempertanyakan perkembangan teknologi
pertanian saat ini yang dinilai lambat. Sebagian pengamat menilai bahwa
perkembangan teknologi pertanian lambat, karena lembaga penelitian tidak
menghasilkan terobosan teknologi yang nyata dalam peningkatan produksi.
Pengamat lain berpendapat bahwa, lembaga penelitian telah banyak menghasilkan
teknologi, tetapi teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan petani, atau
belum diadopsi petani secara progresif, karena: (1) Faktor internal petani, seperti
sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung resiko terhadap
perubahan; dan (2) Faktor eksternal petani, seperti dukungan infrastruktur dalam
adopsi teknologi baru yang dinilai kurang, atau bahkan yang lebih ironis adalah
bahwa teknologi itu sendiri tidak tersedia di pasar (Simatupang dan Syafaat,
2003).
Lebih lanjut Simatupang dan Syafaat (2003) menyatakan bahwa untuk
mendorong pengembangan teknologi pertanian, diperlukan perhatian terhadap tiga
aspek, yaitu: (1) Terobosan teknologi spesifik lokasi yang disesuaikan dengan
kebutuhan petani; (2) Pengembangan sistem inovasi teknologi, sehingga berbagai
teknologi yang telah dihasilkan dapat dirakit menjadi teknologi spesifik lokasi
yang siap untuk disebarluaskan kepada petani; dan (3) Melakukan komersialisasi
teknologi melalui pengembangan infrastruktur pendukung, sehingga teknologi
tersebut tersedia di pasar dan mudah diakses oleh petani.
Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi Usahatani Terpadu
Di Desa Talaga Cianjur, kegiatan usahatani terpadu dimulai pada tahun
2007 dan berakhir tahun 2009 (3 tahun), sedangkan di Desa Jatiwangi Garut
kegiatan dimulai pada tahun 2005 dan berakhir tahun 2009 (5 tahun). Pada tahun
pertama, kegiatan diawali dengan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau
Participatory Rural Appraisal (PRA) yang melibatkan calon petani pelaksana,
penyuluh pertanian, peneliti dan perekayasa BPTP Jawa Barat, aparat daerah
setempat serta instansi terkait lain. PRA dimaksudkan untuk mengumpulkan dan
menganalisis berbagai informasi yang dibutuhkan guna merancang jenis-jenis
153
inovasi yang dikembangkan. Tahapan setelah PRA, dilanjutkan dengan kegiatan
baseline survey. Pada tataran konsep kegiatan usahatani terpadu telah diupayakan
penerapan pendekatan bottom-up yang merupakan koreksi terhadap pendekatan
top-down.
Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur
Desa Talaga Cianjur merupakan daerah yang mewakili daerah lahan kering
dataran tinggi. Di desa tersebut terdapat beberapa komoditas pertanian yang
berpotensi untuk dikembangkan, seperti berbagai jenis pisang (raja bulu, ambon
lumut, pisang Jepang, pisang nangka, pisang cavendish, pisang muli/emas, pisang
tanduk dan pisang cere), sayuran (cabai rawit dan caisin), domba serta kambing.
Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada petani di Desa
Talaga Cianjur merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan
komoditas yang telah diusahakan petani. Teknologi lokal pada komoditas pisang
belum ada pengaturan jarak tanam, terutama untuk tanaman tumpang sari. Di
samping itu teknik budidaya domba/kambing belum diketahui dengan baik,
terutama dalam hal pemilihan bibit unggul, pemberian pakan, sanitasi kandang,
sistem perkandangan, kesehatan ternak dan reproduksi ternak. Pada Tabel 31
ditampilkan teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa
Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.
Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut
Wilayah Desa Jatiwangi Garut mewakili daerah lahan kering dataran rendah
beriklim basah. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada
petani di desa tersebut merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan
komoditas yang telah diusahakan petani. Gambaran tentang teknologi lokal dan
inovasi teknologi usahatani terpadu ditampilkan pada Tabel 32.
Pada komoditas padi gogo yang menggunakan teknologi lokal, hama tikus
menjadi permasalahan yang dihadapi petani. Untuk komoditas pisang, petani
menjual pisang langsung dari hasil panen. Belum ada petani yang mengolah
pisang, untuk mendapatkan nilai tambah. Pada ternak domba, masalah penyakit
cacingan dan sakit mata belum tertangani dengan baik. Untuk itu, inovasi
teknologi usahatani terpadu berupaya memperbaiki teknologi lokal yang telah
154
digunakan petani, terutama yang terkait dengan budidaya padi gogo, nilam, dan
pembibitan ternak domba. Di samping itu diperkenalkan upaya konservasi lahan
yang merupakan hal baru bagi petani.
Tabel 31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur
No. Komoditas Teknologi Lokal Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu1)
(1) Pisang - Bibit masih lokal - Belum ada
pengaturan jarak tanam
- Pemupukan belum sesuai dosis
- Sanitasi kebun belum intensif
- Pengendalian hama dan penyakit belum optimal
- Pemilihan bibit unggul - Pengaturan jarak tanam - Pemberian pupuk kandang dan
pupuk anorganik sesuai rekomendasi
- Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif)
- Pembrongsongan buah pisang - Pengendalian hama dan
penyakit - Penanganan panen dan pasca
panen
(2) Sayuran (cabai rawit, caisin)
- Bibit masih lokal - Belum ada
pengaturan jarak tanam
- Pemupukan belum sesuai dosis
- Pengendalian hama dan penyakit belum sesuai konsep PHT
- Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)
1) Penggunaan varietas unggul 2) Pengaturan jarak tanam 3) Penggunaan pupuk sesuai
dosis 4) Pengairan 5) Pengendalian OPT sesuai
dengan konsep PHT
(3) Domba - Belum diketahui teknik budidaya dengan baik
- Skala usaha kecil, sampingan
- Kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal
- Perbaikan bibit (pemilihan bibit unggul)
- Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina)
- Sistem perkandangan: komunal - Pakan: perbaikan nutrisi - Reproduksi: memperpendek
jarak kelahiran - Kesehatan: pengendalian
penyakit, dan sanitasi kandang serta lingkungan
- Pengolahan pupuk kandang
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah Keterangan: 1) Rincian inovasi teknologi usahatani terpadu dicantumkan pada Lampiran 3
155
Tabel 32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut
No. Komoditas Teknologi Lokal Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu1)
(1) Padi gogo - Jarak tanam tidak teratur
- Tidak menggunakan pupuk organik
- Jarak tanam 15 cm memotong lereng 30 cm, searah lereng
- Penggunaan pupuk organik
(2) Ubi kayu - Ditanam pada lahan sampai bibir teras
- Tanaman ubi kayu ditiadakan
(3) Rumput dan gliricidia
- Belum ada upaya konservasi vegetatif (alley cropping)
- Rumput dan gliricidia ditanam di bibir teras (strip rumput) sebagai tanaman konservasi dan pakan ternak
- Pemeliharaan tanaman konservasi
(4) Nilam - Jarak tanam tidak teratur
- Tidak menggunakan bahan organik
- Jarak tanam 50 cm memotong lereng 100 cm, searah lereng
- Pupuk organik diberikan pada saat tanam sebanyak 2 kg per lubang tanam
(5) Domba/ kambing
- Ukuran domba kecil - Tidak ada bibit
bermutu - Mutu pakan rendah
- Pengadaan bibit bermutu - Manajemen terpadu (sanitasi
kandang dan ternak, aplikasi obat cacing, nutrisi)
- Suplemen leguminosa 20-40% dalam campuran hijauan
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah Keterangan: 1) Rincian inovasi teknologi usahatani terpadu dicantumkan pada Lampiran 4
Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif
Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (73,0%) terhadap
keuntungan relatif inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel
33). Petani adopter bersikap kurang setuju-setuju dalam menilai usahatani
terpadu. Petani adopter kurang setuju bila usahatani terpadu dikatakan
memerlukan biaya awal (biaya produksi) yang rendah, dalam pengelolaan
menghemat waktu, dan menghemat curahan tenaga kerja. Kenyataan yang
dihadapi petani adopter, justru sebaliknya yakni biaya produksi relatif lebih
156
tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mengelola relatif lebih banyak dengan
curahan tenaga kerja yang lebih banyak. Namun petani adopter Cianjur (71,7%)
dan petani adopter Garut (63,8%) bersikap setuju bahwa penerapan teknologi
usahatani terpadu lebih menguntungkan dibanding teknologi lokal (dengan
mengikuti ketentuan sesuai anjuran).
Tabel 33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur Petani Garut Total Petani
Persepsi Petani terhadap
Adopter
(n=46)
Non adopter
(n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter
(n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter
(n=165)
Adopter & Non
adopter (n=302)
Keuntungan relatif 2,50 2,25 2,59 2,31 2,55 2,28 2,42
Kesesuaian 2,70 2,58 2,62 2,67 2,66 2,63 2,65
Kerumitan 2,47 2,69 2,49 2,60 2,48 2,65 2,57
Dapat diujicoba 2,77 2,73 2,74 2,72 2,76 2,73 2,75
Dapat diamati 2,91 2,68 2,80 2,65 2,86 2,67 2,77
Ciri-ciri inovasi 2,67 2,59 2,65 2,59 2,66 2,59 2,63
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Petani adopter merasa bangga (prestise) dapat menerapkan teknologi
usahatani terpadu. Ada hal-hal baru yang diterapkan petani adopter seperti
pemberongsongan buah pisang dengan menggunakan plastik warna biru.
Pembrongsongan pisang ini banyak diminati petani adopter Cianjur. Karena
penggunaan plastik brongsong mampu meningkatkan bobot buah per tandan, per
sisir serta mutu kulit buah yang lebih baik (mulus), sehingga dapat meningkatkan
harga jual pisang. Di samping itu dampak lain pembrongsongan adalah dapat
mengurangi kehilangan hasil panen buah pisang akibat tindakan pencurian yang
sering terjadi di Desa Talaga Cianjur. Dengan pembrongsongan buah pisang,
pencuri harus membuka brongsongan terlebih dahulu sebelum tanaman pisang
ditebang. Kondisi tersebut akan mempersulit pencuri. Selain itu, pengenalan
varietas padi gogo yang baru yakni Situ patenggang, Situ bagendit, Limboto,
Towuti dan Batu tegi kepada petani adopter Garut, membuat petani desa lain
157
tertarik menanam benih tersebut, terutama benih Situ patenggang dan Situ
bagendit, karena rasa nasi pulen dan wangi. Hal ini tentu menguntungkan bagi
petani adopter Garut, terutama Kelompok Tani Mekar Hurip yang secara khusus
melakukan pembenihan kedua varietas padi gogo tersebut.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (80,0%)
terhadap keuntungan relatif teknologi lokal tergolong sedang. Petani non adopter
menilai bahwa biaya produksi teknologi lokal sesuai kemampuan petani, sarana
produksi yang digunakan tidak mengikuti anjuran penyuluh; dalam pengelolaan
dapat menghemat waktu dan curahan tenaga kerja. Petani non adopter merasa
nyaman dalam menerapkan teknologi lokal, karena tidak ada aturan yang
mengikat. Dari sisi pendapatan, penggunaan teknologi lokal dinilai petani kurang
menguntungkan dan petani tidak merasa bangga dalam menerapkan teknologi
tersebut. Hasil dari kegiatan bertani tidak dapat dipastikan, baik dari aspek
produksi maupun harga jual produk.
Persepsi 23,4 persen petani non adopter Cianjur terhadap keuntungan relatif
teknologi lokal dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani ini tidak memiliki tanah,
hanya sebagai penggarap lahan milik orang lain dengan kondisi telah ada tanaman
di lahan tersebut, seperti tanaman teh dan pisang. Luas lahan garapan berkisar
antara 200m2 – 800m2 atau rata-rata 400m2. Komoditas yang ditanam petani non
adopter merupakan tanaman sela. Biaya produksi dan resiko kegiatan usahatani
tanaman sela ditanggung penggarap. Pemilik lahan mendapatkan bagian dari hasil
tanaman pokok yang telah ada di lahan tersebut (teh dan pisang) ditambah
sebagian hasil tanaman sela petani penggarap. Jenis tanaman sela yang diusahakan
seringkali berupa tanaman pangan, singkong atau jagung untuk konsumsi sendiri
ataupun jenis sayuran seperti tomat, dan cabai rawit. Tidak ada ketentuan yang
mengikat, besaran bagi hasil untuk pemilik lahan, lebih didasari keikhlasan
penggarap. Sistem ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, bagi pemilik
lahan diuntungkan dari sisi perawatan lahan dan tanaman yang ada, sehingga tidak
ditumbuhi ilalang dan hasil tanaman tetap diperoleh, tidak membayar upah tenaga
kerja. Penggarap juga diuntungkan, memanfaatkan lahan dengan menanami
tanaman sela, tanpa dipungut biaya sewa. Dengan kondisi demikian, petani non
adopter menilai bahwa biaya produksi, curahan tenaga kerja relatif rendah, namun
158
keuntungan yang diperoleh juga relatif rendah dengan luas lahan garapan yang
sempit.
Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi
Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (81,0%) terhadap
kesesuaian inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33).
Berarti petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap kesesuaian inovasi
teknologi usahatani terpadu. Penilaian petani adopter terhadap komponen
teknologi yang diperkenalkan sesuai dengan kebiasaan petani setempat, sehingga
petani adopter telah memiliki pengalaman dalam menerapkannya. Perbaikan
teknik budidaya dilakukan pada komoditas yang telah dikembangkan petani,
sesuai dengan agroekologi dan layak diusahakan. Varietas unggul yang
diperkenalkan juga pada komoditas yang biasa ditanam petani. Namun terdapat
petani adopter yang berpendapat bahwa Kampung Dangder (Babakan Darusalam)
dan Kampung Arinem dengan ketinggian antara 680 - 700 meter dpl kurang tepat
dikategorikan sebagai daerah lahan kering dataran rendah. Konsekuensinya,
varietas unggul baru yang diperkenalkan dinilai kurang tepat untuk ditanam di
kedua kampung tersebut dan tidak sesuai kebutuhan petani adopter.
Menurut petani adopter, tanaman yang cocok dibudidayakan di Kampung
Dangdeur dan Arinem adalah tanaman kayu seperti albasia/sengon. Kebutuhan
petani ini menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, sehingga perlu ada
upaya koordinasi lintas kementerian dalam mengintrodusikan suatu inovasi.
Secara teknis, kondisi agroekologi di Kampung Dangdeur dan Arinem sesuai
untuk tanaman nilam, dan perbaikan teknik budidaya nilam merupakan salah satu
komponen teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan. Namun, secara
ekonomis harga jual nilam pada tahun 2008-2009 relatif turun dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, sehingga petani kurang tertarik menanam nilam. Hal ini
yang menyebabkan petani adopter ingin beralih menanam komoditas kayu.
Kecenderungan petani menanam albasia/sengon, karena tidak memerlukan
perawatan intensif dan memperoleh keuntungan relatif besar, tetapi kurang
diperhatikan bahwa albasia/sengon baru dapat dipanen/dijual kayunya setelah
tanaman berumur 1,5 – 2 tahun.
159
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (73,9%)
terhadap kesesuaian teknologi lokal tergolong sedang (Tabel 33). Cara bertani
yang diajarkan orang tua atau sesama petani dinilai petani non adopter sesuai
dengan kebiasaan masyarakat petani setempat. Beberapa petani non adopter
memodifikasi cara bertani lama, seperti pengaturan pola tanam disesuaikan
dengan kondisi lahan sebagai upaya menjaga kesuburan lahan dan mencegah
resistensi hama penyakit. Pengalaman selama bertani mengajarkan beberapa hal
positif yang mengarah ke perbaikan, seperti takaran dalam penggunaan benih,
pupuk ataupun pestisida. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hubbard dan
Sandmann (2007) yang mengemukakan bahwa faktor kesesuaian tidak hanya melihat dari
aspek sumberdaya yang tepat (tanah atau lainnya) tetapi lebih melibatkan banyak konsep-konsep filosofis
seperti kepedulian atas penerapan pestisida atau pupuk yang berlebihan untuk tanaman organik.
Persepsi petani non adopter Cianjur sebanyak 27,7 persen terhadap
kesesuaian teknologi lokal tergolong rendah (Tabel 33). Petani non adopter
Cianjur bersikap tidak setuju – kurang setuju terhadap teknologi lokal. Penilaian
petani non adopter bahwa teknologi lokal kurang sesuai dengan kebiasaan
masyarakat setempat saat ini, dan dalam penerapannya tidak sesuai dengan
ketersediaan tenaga kerja. Salah satu teknologi lokal berupa alat panen ani-ani,
meskipun waktu yang dibutuhkan untuk memanen padi gogo dengan ani-ani
relatif lama, namun jumlah kehilangan hasil panen relatif kecil (kurang dari 5%).
Bagi sebagian petani, ani-ani dianggap tidak sesuai lagi karena tidak efisien dari
segi waktu, digantikan dengan alat sabit. Bagi petani penggarap lahan milik orang
lain, yang menjadi perhitungan justru perolehan hasil gabah.
Dengan kondisi hanya menggarap lahan milik orang lain yang relatif sempit,
modal terbatas, dan usahatani bersifat subsisten serta tidak dapat diandalkan
sebagai penopang kehidupan keluarga, maka penggunaan alat panen ani-ani lebih
dipilih daripada sabit. Hal yang sama berlaku juga pada penggunaan varietas
lokal padi gogo, masa tanam butuh waktu lama, namun karena benih mudah
diperoleh dan rasa nasi pulen, maka varietas lokal tetap ditanam. Keadaan ini
sesuai dengan temuan penelitian Efa et al. (2005) di Ethiopia Baratdaya juga
menunjukkan kecenderungan yang sama. Indigenous technology masih banyak
dijumpai pada petani jagung, terutama yang terkait dengan benih lokal, sistem
pengadaan benih secara informal, pengendalian hama penyakit secara tradisional
160
dan kontrol terhadap produksi dan penggunaan jagung. Faktor dukungan
pemilikan sumberdaya, umur, jenis kelamin dan pengalaman bertani
mempengaruhi penggunaan indigenous technology. Munculnya inovasi teknologi
baru cenderung berpotensi musnahnya indigenous technology.
Dalam dunia penelitian indigenous technology tetap penting karena
memiliki sifat-sifat yang tidak dipunyai teknologi baru, karena itu perlu
dilestarikan. Hal ini menjadi tugas Badan Litbang Pertanian, khususnya BPTP,
untuk mengumpulkan, menginventarisasi dan melakukan upaya konservasi, serta
pengembangannya. Indigenous technology ini sebenarnya masih punya potensi
untuk dikembangkan lebih lanjut (contoh ikan nila sebenarnya hasil
pengembangan ikan mujair). Indigenous technology tidak hanya penting untuk
penelitian saja, tetapi penting pula untuk petani yang berlahan sempit dan modal
kecil, terutama teknologi yang mempunyai keunggulan seperti rasa nasi
enak/pulen dan kelebihan lainnya yang tidak ada pada teknologi baru.
Persepsi Petani terhadap Kerumitan Inovasi
Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (81,0%) terhadap
kerumitan inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33).
Petani adopter bersikap setuju – kurang setuju terhadap kerumitan usahatani
terpadu. Petani adopter menilai bahwa inovasi teknologi usahatani terpadu tidak
rumit, karena sebagian besar komponen teknologi yang diperkenalkan merupakan
perbaikan teknik budidaya yang telah dilakukan petani. Secara teknis, petani
adopter tidak mengalami hambatan di dalam penerapan. Namun yang menjadi
faktor pembatas adalah kondisi pemilikan sumberdaya petani adopter, seperti
penguasaan lahan, modal dan tenaga kerja. Sebagai gambaran, pemanfaatan
kotoran domba di Desa Jatiwangi untuk diolah menjadi kompos diperlukan bahan
baku dalam jumlah memadai (sekitar satu ton), agar ekonomis. Fakta di lapangan
ternyata tidak mudah menggalang petani untuk secara kolektif membuat kompos.
Ketersediaan dua unit alat penggilingan kompos yang merupakan bantuan dari
BPTP Jawa Barat yang diberikan kepada Kelompok Tani Harapan Jaya dan
Harapan Baru tidak mampu memotivasi petani adopter. Faktor lain yang menjadi
kendala bagi petani adopter adalah pemasaran kompos bila diproduksi dalam
161
jumlah banyak. Kesulitan pemasaran kompos diperkirakan petani adopter akan
menyebabkan modal yang digunakan, tidak memberikan keuntungan (tidak ada
perputaran uang). Untuk itu diperlukan bimbingan/pendampingan yang
berkelanjutan dan kepemimpinan kelompok tani atau tokoh informal.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (70,9%)
terhadap kerumitan teknologi lokal tergolong sedang (Tabel 33). Petani non
adopter menilai dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, modal dan
tenaga kerja) tidak menjadi hambatan dalam menerapkan teknologi lokal. Karena
di dalam penerapan teknologi lokal, petani non adopter melakukan modifikasi
sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki, termasuk penggunaan sarana produksi.
Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga yang mengelola usahatani
mempengaruhi intensitas pemeliharaan terhadap komoditas yang ditanam. Petani
non adopter tidak mengalami kendala secara teknis dalam menerapkan teknologi
lokal yang dinilai tidak rumit dan mudah diterapkan. Demikian pula dengan
indigeneous technology.
Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (25,5%) terhadap kerumitan
teknologi lokal dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani non adopter menilai
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki justru menjadi masalah dalam menerapkan
teknologi lokal. Dengan lahan garapan milik orang lain, curahan tenaga kerja
yang tersedia menjadi terbagi dalam dua kegiatan yakni pemeliharaan terhadap
tanaman sela milik sendiri dan pemeliharaan terhadap tanaman pokok pemilik
tanah. Di samping itu, dalam penggarapan lahan tidak ada perjanjian tertulis
ataupun sejenis kontrak, sehingga posisi sebagai penggarap lemah. Petani non
adopter tidak memiliki kepastian untuk bisa menggarap lahan tersebut pada
musim tanam berikutnya, bila pemilik lahan tidak lagi memberikan ijin. Dalam
pengelolaan usahatani yang rentan terhadap keadaan alam (kekeringan, serangan
hama penyakit), petani non adopter harus menanggung resiko sendiri tanpa
berbagi beban dengan pemilik lahan. Namun demikian, dengan akumulasi
pengalaman dalam kegiatan bertani, secara teknis teknologi lokal dinilai petani
non adopter Cianjur tidak rumit dan mudah diterapkan.
162
Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diujicoba
Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (89,1%) terhadap
inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong sedang (Tabel
33). Petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap usahatani terpadu
yang dapat diujicoba. Petani adopter menilai bahwa usahatani terpadu dapat
diujicoba pada lahan petani yang relatif sempit (400 m2). Terdapat petani adopter
di Cianjur pada saat melakukan ujicoba pembuatan lubang untuk tanaman pisang
berukuran 50 x 50 x 50 cm3; dirasakan cara kerja tersebut kurang sesuai dengan
kondisi petani adopter. Curahan tenaga kerja yang diperlukan relatif lama,
sehingga petani melakukan modifikasi cara tersebut sebagaimana yang biasa
dilakukan, yakni galian sedalam dua kali cangkul (diperkirakan sekitar 30 cm).
Penelitian yang dilakukan Hubbard dan Sandmann (2007) juga mengungkapkan
hal yang sama bahwa jika seorang petani dapat melaksanakan praktek inovasi baru pada tingkat ujicoba,
maka kemungkinan praktik potensial dapat dimodifikasi lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan petani
secara spesifik.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (74,5%)
terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong
sedang (Tabel 33). Menurut petani non adopter, teknologi lokal yang diterapkan
telah melalui proses ujicoba dan disesuaikan dengan kondisi petani. Cara tanam,
jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit
disesuaikan dengan modal dan tenaga kerja yang dimiliki.
Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (25,5%) terhadap inovasi
teknologi usahatani terpadu yang dapat diujicoba tergolong rendah (Tabel 33).
Penilaian petani non adopter terhadap teknologi lokal lebih terkait dengan resiko
yang harus dihadapi. Petani non adopter yang berstatus sebagai petani penggarap
cenderung menerapkan teknologi yang beresiko terendah. Petani non adopter
pada kelompok ini tidak berani mempertaruhkan usahatani yang dikelola untuk
keamanan pangan keluarga. Ujicoba terhadap teknologi lokal yang saat ini
diterapkan petani non adopter, tidak dilakukan sendiri karena dianggap beresiko
tinggi. Petani non adopter cenderung melihat hasil ujicoba yang dilakukan petani
lain dan bila dinilai berhasil akan ditiru.
163
Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diamati
Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (89,1%) terhadap
inovasi teknologi usahatani terpadu yang dapat diamati tergolong sedang (Tabel
33). Petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap usahatani terpadu
yang dapat diamati. Petani adopter menilai bahwa melalui plot demonstrasi
usahatani terpadu dapat diamati dengan baik. Petani adopter mempunyai
kesempatan untuk melaksanakan plot demonstrasi dan melihat langsung hasil
yang diperoleh. Selain itu, petani adopter juga dapat mengamati keunggulan
teknologi usahatani terpadu dibandingkan dengan teknologi lain. Keunggulan-
keunggulan yang teramati secara nyata akan memungkinkan petani mengadopsi
teknologi tersebut lebih cepat. Namun dalam plot demonstrasi komponen
teknologi usahatani terpadu yang diterapkan mengikuti rekomendasi yang telah
ditetapkan. Bila petani adopter memodifikasi teknologi anjuran sesuai dengan
sumberdaya yang dimiliki tentu hasil yang didapat akan berbeda. Hasil penelitian
Seevers et al. (Vergot III et al., 2005) menunjukkan bahwa suatu teknologi baru,
dapat dilihat dari tetangga (petani lain) yang telah mempraktekkan, sehingga dapat
diamati hasil yang dicapai, cara mencapai hal tersebut dan memperhitungkan
keuntungan yang diperoleh. Hal ini merupakan salah satu faktor yang memovitasi
kuat bagi pihak pengamat untuk membuat perubahan yang diinginkan.
Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (73,3%)
terhadap teknologi lokal yang dapat diamati dikategorikan sedang (Tabel 33).
Petani non adopter yang berpendidikan rendah dengan keterbatasan modal,
sebelum menerapkan teknologi lokal perlu mengamati usahatani milik petani lain.
Hasil pengamatan tersebut lebih meyakinkan petani dibanding hanya mendapat
informasi dari sesama petani non adopter.
Persepsi sebagian petani non adopter Cianjur (27,7%) terhadap teknologi
lokal yang dapat diamati dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani non adopter ini
bersikap setuju jika teknologi lokal dapat diamati dengan baik, termasuk
keunggulan yang ada dan teknologi lokal tersebut dapat dikomunikasikan dengan
sesama petani non adopter. Petani non adopter kurang setuju bila pengamatan
teknologi lokal pada usahatani milik petani lain, dijadikan dasar untuk ikut
164
menerapkan teknologi tersebut. Bila dipraktekkan sendiri ada faktor-faktor yang
tidak bisa dikendalikan petani dan ini harus dipertimbangkan secara proposional.
Artinya petani non adopter pada kelompok ini tidak bisa berharap hasil yang
diperoleh akan sama bila terkendala masalah penyakit seperti layu fusarium atau
hama ulat penggulung daun pada tanaman pisang.
Persepsi Petani terhadap Pengaruh Media/Informasi
Media dibedakan atas dua hal, yakni media massa dan media interpersonal.
Menurut Gonzales (1993); Effendi (1993) terdapat tiga dimensi pengaruh media
massa, yakni: kognitif, afektif dan konatif. Pengaruh kognitif meliputi
peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Pengaruh afektif
berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap), sedangkan pengaruh
konatif berhubungan dengan tindakan dan niat untuk melakukan sesuatu dengan
cara tertentu. Nehiley (Vergot III et al., 2005) menyatakan bahwa penggunaan
media massa untuk menyampaikan topik yang relevan dengan khalayak,
menciptakan kesadaran terutama untuk khalayak dalam jumlah banyak dan
menyebar luas. Namun Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (2003)
berpendapat bahwa dalam konteks komunikasi yang ditransmisikan melalui media
massa, pengaruh yang mungkin dihasilkan hanya pada ranah perubahan kognitif
(pengetahuan). Pada media (komunikasi) interpersonal yang berlangsung secara
tatap muka, terjadi umpan balik, pengaruh yang mungkin dihasilkan pada ranah
perubahan dan pembentukan sikap.
Persepsi Petani terhadap Media Massa
Pengaruh media massa pada sebagian besar petani adopter Cianjur dan
Garut (96,4%) dan petani non adopter (100,0%) berkategori rendah (Tabel 34).
Petani responden tidak memperoleh informasi tentang teknik budidaya,
penanganan pascapanen ataupun informasi pasar komoditas pertanian dari media
massa. Peran media elektronik seperti radio dan televisi hanya sebagai media
hiburan. Demikian juga dengan media cetak seperti buku, majalah dan koran,
tidak berperan dalam mengubah pengetahuan petani responden terhadap kegiatan
berusahatani.
165
Petani responden yang berpendidikan rendah kurang memahami bila media
cetak (buku-buku praktis tentang teknik budidaya, majalah pertanian dan koran
Sinar Tani) bermanfaat dalam menambah pengetahuan petani responden. Daya
beli petani responden yang rendah, menyebabkan media cetak bukan merupakan
barang prioritas yang harus dibeli dalam kegiatan berusahatani. Di samping itu,
ketersediaan media cetak tersebut di pedesaan tidak ada.
Tabel 34 Persepsi petani terhadap pengaruh media informasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur Petani Garut Total Petani Persepsi Petani
terhadap Pengaruh
Adopter
(n=46)
Non adopter
(n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter
(n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter
(n=165)
Adopter & Non
adopter (n=302)
Media massa 1,07 1,00 1,04 1,00 1,06 1,00 1,03
Informasi interpersonal
2,57 1,86 2,44 2,03 2,51 1,94 2,23
Media/informasi 1,82 1,43 1,74 1,52 1,79 1,47 1,63
Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00 Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00
Persepsi Petani terhadap Informasi Interpersonal
Pengaruh informasi (saluran komunikasi) interpersonal pada sebagian besar
petani adoper Cianjur dan Garut (67,2%) dan petani non adopter Garut (51,7%)
dikategorikan sedang (Tabel 34). Sumber informasi tentang teknis budidaya
pertanian diperoleh dari ketua kelompok tani atau sesama petani, varietas unggul
dari penyuluh pertanian ataupun pedagang saprodi. Informasi pasar, seperti harga
jual, jenis dan jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan pembeli, mutu produk
serta tujuan pemasaran diperoleh dari pedagang hasil pertanian. Dapat dikatakan
media/informasi interpersonal lebih memberikan pengaruh pada petani responden
dibandingkan media massa. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Vergot III et al. (2005) dan Licht dan Martin (2007). Peternak sapi
potong di Baratlaut Florida mendapatkan sumber informasi dari dokter hewan
(sebagai peringkat tinggi untuk konsultasi). Fakta menunjukkan bahwa peternak
166
sangat mengandalkan keahlian dokter hewan untuk pemeliharaan kesehatan ternak
dan mendiagnosis penyebab kematian ternak. Peringkat berikut sebagai sumber
informasi adalah pedagang lokal sebagai pemasok ternak dan tenaga ahli dari
universitas (Vergot III et al., 2005). Hasil studi Licht dan Martin (2007) mengungkapkan
bahwa petani jagung dan kedelai di Iowa lebih menyukai informasi yang diperoleh melalui konsultasi pribadi
untuk semua metode komunikasi. Petani tersebut menilai bahwa informasi melalui konsultasi dapat
diandalkan, tepat waktu, dan informasi bersifat spesifik terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi petani
jagung dan kedelai.
Pengaruh informasi (saluran komunikasi) interpersonal pada sebagian besar
petani non adoper Cianjur (78,7%) dikategorikan rendah (Tabel 34). Keadaan ini
disebabkan petani non adopter tidak mengenal penyuluh pertanian. Interaksi
dengan sesama petani, pedagang saprodi maupun pedagang hasil yang dapat
berperan sumber informasi juga relatif terbatas. Pemilikan lahan yang relatif
sempit atau bahkan hanya menggarap lahan milik orang lain (yang juga sempit)
dengan jangka waktu masa garap yang tidak jelas, modal terbatas, maka tidak ada
upaya untuk memperbaiki usahatani yang dikelola. Kelompok petani non adopter
ini menilai pertanian tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama,
sehingga beralih ke non pertanian.
Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, Dukungan Iklim Usaha, dan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
dengan Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa karakteristik petani
adopter (Cianjur dan Garut) yang berhubungan nyata dan positif dengan persepsi
petani terhadap ciri-ciri inovasi (teknologi usahatani terpadu) adalah tingkat
pendapatan, luas lahan, daya beli sarana produksi, tingkat rasionalitas, tingkat
intelegensi, sikap terhadap perubahan dan tingkat keberanian beresiko (Tabel 35).
Terdapat kecenderungan pihak pemerintah (BPTP Jawa Barat) dalam
memperkenalkan inovasi teknologi usahatani terpadu ditujukan kepada petani
yang memiliki lahan relatif luas. Secara keseluruhan petani adopter (Cianjur dan
Garut) yang mengusahakan lahan > 0,25 ha sebanyak 55,5 persen (Tabel 18).
Petani kelompok ini memperoleh pendapatan relatif lebih tinggi dibandingkan
petani yang mempunyai lahan < 0,25 ha, sehingga secara ekonomi memiliki daya
beli yang lebih baik. Petani berkecukupan cenderung berani menanggung resiko.
167
Dengan didukung tingkat rasionalitas dan tingkat intelegensi yang tinggi, serta
sikap terhadap perubahan yang positif, maka persepsi petani dalam menilai ciri-
ciri inovasi semakin baik. Nilai koefisien korelasi pada peubah sikap terhadap
perubahan > 0,5 mengindikasikan hubungan yang kuat. Sebelum usahatani
terpadu diperkenalkan, beberapa petani adopter telah mengenal beberapa program
yang digulirkan Departemen Pertanian. Program seperti Bimas, program
pengentasan kemiskinan, Sistem Usahatani Padi Berwawasan Agribisnis
(SUTPA) ataupun Gema Palagung, secara akumulatif telah memperkaya
pengalaman petani. Dampak positif pengalaman tersebut terefleksi dalam sikap
merespon suatu hal baru termasuk teknologi usahatani terpadu.
Karakteristik petani non adopter keseluruhan (Cianjur dan Garut) yang
berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
(teknologi lokal) adalah tingkat pendapatan, daya beli saprodi, tingkat rasionalitas,
tingkat intelegensi, dan tingkat keberanian beresiko. Petani non adopter memiliki
luas lahan berkisar antara 0,04 - 0,25 ha sebanyak 69,7 persen (Tabel 18). Bagi
petani skala kecil yang telah lama beradaptasi dengan teknologi lokal melalui
proses pembelajaran trial and error, maka teknologi lokal tersebut dinilai
mengurangi resiko dalam produksi. Selain itu, petani non adopter dengan berpikir
rasional, menghitung tingkat pendapatan yang diperoleh, daya beli terhadap
sarana produksi, menjadi pertimbangan dalam menilai teknologi lokal.
Perilaku komunikasi (kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan keterdedahan
terhadap media) petani adopter (Cianjur dan Garut) berhubungan nyata dan positif
dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (dengan tingkat hubungan yang
lemah). Intensitas hubungan petani adopter dengan pedagang (input/sarana
produksi maupun output/hasil), lembaga pembiayaan, kelompok tani, dan
penyuluh pertanian akan membangun pandangan petani adopter terhadap
karakteristik usahatani terpadu. Terutama yang terkait dengan keuntungan relatif,
yakni perhitungan petani adopter terhadap nilai hasil penjualan dikurangi biaya
produksi, jumlah biaya produksi yang dikeluarkan, kebanggaan sosial dapat
bergabung dalam kelompok tani. Frekuensi petani bepergian ke luar desa dalam
mengakses informasi: (1) pasar (harga saprodi, harga jual produk, komoditas yang
dibutuhkan konsumen), (2) pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial,
168
ekonomi dan lingkungan petani; serta (3) kompetisi usaha lain; ikut membangun
persepsi petani adopter terhadap tingkat kerumitan dan kesesuaian usahatani
terpadu. Selain itu keterjangkauan petani terhadap informasi teknologi usahatani
melalui media massa, seperti leaflet, brosur, poster, radio dan televisi.
Tabel 35 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Petani Cianjur Petani Garut Total Petani
Peubah Adopter
(n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Karakteristik Petani
Umur -0,142 -0.126 0,121 0,078 0,041 0,027
Pendidikan 0,003 0.103 0,051 -0,096 0,036 -0,053
Tingkat pendapatan 0,372** -0.083 0,281*** 0,347*** 0,318*** 0,223***
Tingkat mobilitas 0,116 0.327** 0,083 -0,052 0,100 0,063
Luas lahan 0.490*** -0.066 0,206* 0,112 0,317*** 0,065
Daya beli saprodi 0.432*** 0.038 0,390*** 0,396*** 0,412*** 0,295***
Tingkat rasionalitas 0.429*** -0.119 0,402*** 0,379*** 0,389*** 0,255***
Tingkat intelegensi 0.300** -0.064 0,271*** 0,309*** 0,290*** 0,202***
Sikap terhadap perubahan 0.593*** 0.118 0,541*** -0,097 0,518*** -0,034
Tingkat keberanian beresiko 0.552*** 0.195 0,290*** 0,213** 0,373*** 0,208***
Perilaku Komunikasi Petani
Kerjasama 0.578*** 0,025 0,365*** 0,238*** 0,444*** 0,169**
Tingkat kekosmopolitan 0.382*** 0,035 0,376*** -0,078 0,375*** -0,043
Keterdedahan terhadap media 0.469*** 0,064 0,376*** -0,009 0,404*** 0,014
Dukungan Iklim Usaha
Ketersediaan input (saprodi) 0,478*** 0,116 0,185* 0,238*** 0,276*** 0,197**
Ketersediaan fasilitas keuangan (KUD, bank)
-0,070 -0,416*** 0,041 0,204** -0,003 0,039
Ketersediaan sarana pemasaran
0,219 0,290** 0,167 0,073 0,162* 0,143*
Penyuluhan
Kompetensi penyuluh 0,501*** -0,034 0,416*** -0,071 0,447*** -0,061
Peran penyuluh 0,385*** 0,117 0,416*** -0,247*** 0,412*** -0,147*
Materi/substansi penyuluhan 0,187 0,200 0,322*** -0,136 0,288*** -0,031
Metode penyuluhan 0,141 -0,157 0,222** 0,085 0,208*** -0,004
Keterangan: ***Nyata pada taraf α = 0,01 **Nyata pada taraf α = 0,05 *Nyata pada taraf α = 0,10
169
Perilaku komunikasi petani non adopter (Cianjur dan Garut) yang
berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
hanya kerjasama. Ini mengindikasikan bahwa petani non adopter yang
berinteraksi dengan pedagang, telah banyak mendapatkan berbagai informasi yang
berkaitan dengan teknologi lokal, sehingga pandangan terhadap karakteristik
teknologi lokal dapat terbentuk.
Dukungan iklim usaha petani adopter dan non adopter (Cianjur dan Garut)
berhubungan nyata dan positif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
adalah ketersediaan sarana produksi (input) dan ketersediaan sarana pemasaran.
Tingkat kemudahan petani adopter dan non adopter dalam mendapatkan sarana
produksi (benih/bibit, pupuk dan obat-obatan), aksesibilitas terhadap prasarana
jalan dan sarana angkutan serta pasar, membentuk persepsi petani terhadap
karakteristik usahatani terpadu dan teknologi lokal. Keberadaan kios di desa
melayani petani yang membutuhkan sarana produksi, tanpa membedakan antara
petani adopter dan non adopter. Demikian juga dengan prasarana jalan, sarana
angkutan dan fasilitas pasar berlaku bagi semua warga masyarakat. Menurut
Mosher (1966), dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur yang baik,
tidak hanya memudahkan dalam penyediaan sarana produksi secara lokal tetapi
juga memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan secara
langsung mempengaruhi sistem tataniaga suatu komoditas pertanian efisien atau
tidak. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga sarana
produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal, serta
menentukan tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan dipasarkan.
Persepsi petani adopter terhadap penyuluhan berhubungan nyata dan positif
dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Kompetensi penyuluh, peran
penyuluh, materi dan metode penyuluhan merepresentasikan kinerja penyuluh.
Selama berlangsung kegiatan usahatani terpadu, terdapat pendampingan tenaga
detasir (penyuluh dari BPTP) dan penyuluh pertanian dari BPP. Melalui interaksi
antara penyuluh pertanian dengan petani adopter akan terjadi transfer
pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan usahatani terpadu.
Kompetensi penyuluh pertanian akan menentukan “terjemahan” dari konsep
usahatani terpadu ke dalam implementasi di lapangan. Kondisi di lapangan ini
170
yang membangun persepsi petani adopter tentang usahatani terpadu. Hasil
penelitian Haile dan Israel pada tahun 2005 yang dirujuk Gonzales dan Israel
(2010), dikemukakan bahwa penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi
menujukkan kepedulian yang tinggi terhadap klien. Bila dikaitkan dengan
penelitian ini, kepedulian penyuluh lebih mengarah pada kegiatan keproyekan
yang menjadi tanggung jawab penyuluh terhadap kegiatan yang ditargetkan dari
institusi pemerintah. Peningkatan kesejahteraan petani masih sekedar menjadi
wacana di tingkat pengambil kebijakan, karena kebijakan pemerintah masih
berorientasi pada peningkatan produksi.
Persepsi petani non adopter terhadap penyuluhan yang berhubungan nyata
dan negatif dengan persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi adalah peran
penyuluh. Penyuluh pertanian tidak dikenal dan tidak pernah melakukan kegiatan
penyuluhan kepada petani non adopter, sehingga tidak berperan dalam kegiatan
usahatani yang dilakukan petani non adopter. Ini mencerminkan bahwa
penyuluhan belum menyentuh semua petani. Semakin penyuluh pertanian tidak
berperan dalam kegiatan usahatani, maka persepsi petani non adopter terhadap
karakteristik teknologi lokal semakin tinggi. Teknologi lokal ini diketahui petani
orangtua (turun temurun) dan sesama petani (tetangga). Hasil penelitian Sugihen
et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor penyebab petani tidak mengenal
penyuluh, antara lain: (1) tidak ada penyuluh pertanian yang bertugas di wilayah
setempat, (2) lokasi pemukiman petani relatif sulit dijangkau, sehingga tidak
memungkinkan penyuluh pertanian setiap saat berkunjung, dan (3) kegiatan
penyuluhan tidak intensif dilakukan, sehingga momentum pertemuan antara
penyuluh pertanian dengan petani sangat terbatas, serta sebagian kecil dari petani
yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap
Ciri-ciri Inovasi
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa karakteristik petani,
perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha berpengaruh positif nyata pada
persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Hipotesis 2: Karakteristik petani,
perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, dan persepsi petani terhadap
penyuluhan, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi.
171
Ternyata persepsi petani terhadap penyuluhan, tidak berpengaruh nyata pada
persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi.
Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang cukup dominan (yang tidak
diteliti pada penelitian ini), sehingga pengaruh persepsi petani terhadap
penyuluhan tidak terdeteksi. Hasil pengamatan di lapangan, persepsi petani
terhadap penyuluhan dipengaruhi banyak faktor, maka pada penelitian serupa
nantinya perlu digali faktor dominan tersebut, seperti seperti intensitas
penyuluhan, sasaran kegiatan penyuluhan yang menjangkau seluruh petani,
kompleksitas tugas penyuluh.
Hasil penelitian ini memperkuat teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi.
Diagram proses keputusan inovasi, pada tahap persuasi sewaktu ciri-ciri inovasi
diperkenalkan, tahap tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individu (sosial
ekonomi, pribadi dan perilaku komunikasi) sebagai unit pengambil keputusan,
pada waktu tahap pengetahuan (knowledge). Sub peubah yang berpengaruh
langsung pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi adalah tingkat keberanian
beresiko, tingkat kekosmopolitan, ketersediaan input (saprodi), dan ketersediaan
sarana pemasaran (Tabel 37). Petani dalam kegiatan berusahatani berhadapan
dengan faktor resiko. Nelson et al. (Soedjana, 2007) telah mengidentifikasi faktor
resiko di bidang pertanian, yaitu berasal dari produksi, harga dan pasar, usaha dan
finansial, teknologi, kerusakan, sosial dan hukum, serta manusia.
Tabel 36 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
X1 Karakteristik Petani 0,167 0,033
X2 Perilaku Komunikasi Petani 0,151 0,052
X3 Dukungan Iklim Usaha 0,213 0,002
R2 17,4% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Resiko produksi terjadi karena keragaman hasil akibat berbagai faktor yang
sulit diduga, seperti cuaca (kekeringan, kebanjiran), hama, penyakit, variasi
genetik dan waktu pelaksanaan. Resiko harga dan pasar dikaitkan dengan
keragaman dan ketidaktentuan harga yang diterima petani dan yang harus
172
dibayarkan untuk input produksi. Resiko usaha dan finansial berkaitan dengan
pembiayaan dari usaha yang dijalankan, modal yang dipengaruhi, serta kewajiban
kredit. Resiko kerusakan merupakan sumber resiko tradisional, seperti kehilangan
harta karena kebakaran, angin, banjir, ataupun pencurian. Dalam usahatani, resiko
kerusakan hasil dapat berupa patah, pecah dan sebagainya atau bahkan busuk
karena lama dsimpan. Resiko sosial dan hukum berkaitan dengan peraturan
pemerintah dan keputusan lain, seperti peraturan baru mengenai penggunaan input
produksi, pembatasan subsidi, dan perencanaan lokasi baru untuk daerah
pertanian. Resiko faktor manusia berkaitan dengan perilaku, kesehatan, dan sifat-
sifat seseorang yang tidak diduga yang mengakibatkan kerugian dalam usahatani.
Pada petani adopter dan petani non adopter terdapat kecenderungan
semakin luas lahan yang dimiliki, maka semakin tinggi tingkat keberanian
beresiko. Untuk inovasi teknologi (usahatani terpadu) yang baru diterapkan
petani adopter mengandung resiko produksi, meskipun teknologi tersebut telah
dirancang dengan resiko minimal. Resiko produksi yang menyebabkan kegagalan
panen lebih dapat ditanggung petani yang memiliki lahan luas, dibandingkan
petani yang berlahan sempit. Petani golongan ini telah mencermati karakteristik
usahatani terpadu (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan
dan diamati) pada waktu dilakukan plot demonstrasi oleh peneliti, penyuluh BPTP
dan penyuluh pertanian BPP.
Tingkat kekosmopolitan yang tinggi mencerminkan petani adopter dan
petani non adopter sering bepergian ke luar desa untuk mendapatkan informasi
tentang pasar dan harga, pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungan petani; serta kompetisi usaha lain. Semakin banyak
informasi yang diperoleh akan mempengaruhi pandangan petani adopter terhadap
karakteristik usahatani terpadu. Pengetahuan (informasi) yang dimiliki petani
adopter menjadi salah satu dasar penilaian terhadap layak atau tidak komponen-
komponen usahatani terpadu diterapkan. Hal ini juga berlaku bagi petani non
adopter yang melakukan penilaian terhadap karakteristik teknologi lokal, terus
diterapkan atau beralih ke teknologi usahatani terpadu.
Ketersediaan input (saprodi) berkaitan dengan tingkat kemudahan petani
dalam mendapatkan benih/bibit, pupuk dan obat-obatan/pestisida, serta jarak
173
tempat penjualan saprodi dari lahan petani. Kemudahan petani adopter dalam
mendapatkan benih padi berlabel dengan varietas unggul yang direkomendasikan
(seperti Situ patenggang, dan Situ bagendit) akan mempengaruhi persepsi petani
terhadap karakteristik usahatani terpadu. Demikian pula pada petani non adopter,
ketersediaan input (saprodi) akan membentuk pandangan petani terhadap
karakteristik teknologi lokal. Mosher (1966) menyatakan bahwa bila pertanian
hendak dimajukan, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang
dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-
syarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi
yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara
lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi.
Syarat pokok pembangunan pertanian yang pertama dan kelima berupa
pasar dan pengangkutan/transportasi (sarana pemasaran), ternyata faktor ini
mempengaruhi persepsi petani terhadap karakteristik usahatani terpadu maupun
teknologi lokal. Ketersediaan sarana pemasaran (prasarana jalan, sarana/alat
transportasi dan pasar) mencerminkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan
petani responden dapat diangkut dan dipasarkan ke berbagai tujuan sesuai dengan
mutu. Seperti komoditas pisang yang dihasilkan petani adopter Cianjur dengan
mutu Grade 1 dipasarkan ke supermarket, Grade 2 ke pedagang pengumpul
tingkat kabupaten di pasar Cianjur.
Tabel 37 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Sub peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
X110 Tingkat keberanian beresiko 0,101 0,119
X22 Tingkat kekosmopolitan 0,234 0,003
X31 Ketersediaan input (saprodi) 0,096 0,130
X33 Ketersediaan sarana pemasaran 0,154 0,055
R2 23,7% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Faktor-faktor yang berpengaruh langsung positif nyata pada persepsi petani
adopter terhadap ciri-ciri inovasi adalah karakteristik petani adopter (tingkat
pendapatan, luas lahan, sikap terhadap perubahan) dan persepsi petani adopter
174
terhadap penyuluhan (kompetensi penyuluh dan peran penyuluh). Sikap terhadap
perubahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh relatif lebih kuat
dibanding dengan faktor lain (Tabel 38). Ini mengindikasikan bahwa petani
adopter dalam menilai suatu inovasi dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan
terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya pada petani non adopter, faktor sikap
terhadap perubahan memberikan pengaruh negatif nyata. Artinya semakin tinggi
sikap terhadap perubahan pada petani non adopter, maka semakin rendah
penilaian terhadap teknologi lokal. Terdapat kecenderungan petani non adopter
akan mencari teknologi yang lebih baik dibanding teknologi lokal yang telah
diterapkan. Ketersediaan sarana pemasaran memberikan pengaruh positif nyata
yang relatif lebih kuat dibanding faktor lain.
Hasil analisis jalur menunjukkan karakteristik petani dan perilaku
komunikasi mempengaruhi langsung secara nyata dengan arah positif, sedangkan
pengaruh tidak langsung (melalui persepsi petani terhadap penyuluhan) berarah
negatif (Tabel 39) pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi. Hal ini
disebabkan persepsi petani terhadap penyuluhan tidak berpengaruh nyata pada
persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (nilai P = 0,158 > α = 0,15). Petani
adopter dan petani non adopter menilai bahwa penyuluh tidak menjelaskan
tentang ciri-ciri inovasi (baik usahatani terpadu maupun teknologi lokal).
Penyuluh (BPTP Jawa Barat dan BPP) sekedar melakukan transfer teknologi
usahatani terpadu. Penyampaian usahatani terpadu dilakukan melalui metode
ceramah, diskusi, dan plot demonstrasi. Seharusnya penyuluh dapat berperan
sebagai fasilitator yang menjelaskan karakteristik usahatani terpadu (keuntungan
relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba, dan dapat diamati). Mengutip
pendapat Getz dan Warner (2006), pergeseran dari model ”transfer teknologi" ke arah
”pembelajaran partisipatif dan pengambilan keputusan bersama,” dapat mendukung peningkatan pelayanan
penyuluhan serta berfungsi sebagai strategi penyuluhan dengan melibatkan klien pada skala yang lebih luas.
Hal ini yang diperlukan petani di Indonesia, terutama petani di lahan kering
marjinal.
175
Tabel 38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung mempengaruhi persepsi petani adopter dan petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
Peubah Adopter
(n=137)
Non Adopter (n=165)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
X1 Karakteristik Petani X13 Tingkat pendapatan 0,145 0,119 X15 Luas lahan 0,123 0,136 X19 Sikap thd perubahan 0,424 -0,204 0,000 0,027 X18 Tingkat intelegensi 0,131 0,137 X110 Tingkat keberanian beresiko 0,132 0,118
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X22 Tingkat kekosmopolitan 0,175 0,081
X3 Dukungan Iklim Usaha
X31 Ketersediaan input 0,151 0,088
X33 Ketersediaan sarana pemasaran 0,324 0,003
X4 Persepsi petani thd penyuluhan
X41 Kompetensi Penyuluh 0,175 0,089
X42 Peran Penyuluh 0,163 0,061
R2 47% 32%
Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Konsep inovasi teknologi usahatani terpadu dirancang di tingkat pusat,
kemudian didesiminasikan secara nasional. Pada awal pelaksanaan program
tahun 2005, usahatani terpadu diperkenalkan di 14 provinsi yang mencakup 22
desa. Pada tahun 2006 inovasi teknologi tersebut telah diperkenalkan di 25
provinsi (33 desa) dan tahun 2007 telah mencapai 33 provinsi (201 desa).
Tabel 39 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di
Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
Pengaruh Total
X1 Karakteristik Petani 0,167 -0,025 0,142
X2 Perilaku Komunikasi Petani 0,151 -0,035 0,116
X3 Dukungan Iklim Usaha 0,213 0,005 0,218
X4 Persepsi Petani thd Penyuluhan -0,091 - -0,091
176
Mencermati wilayah diseminasi yang meluas ke seluruh provinsi,
menimbulkan kesan kendali pemerintah pusat demikian kuat. Ini diindikasikan
oleh penunjukan 200 orang tenaga peneliti yang berasal dari berbagai unit kerja
lingkup Badan Litbang Pertanian, sebagai pemandu teknologi (tahun 2007). Para
peneliti ini ditugaskan langsung ke 200 desa lokasi usahatani terpadu. Selain
kesan “top-down” yang kuat, usahatani terpadu kurang memperhatikan keadaan
lingkungan petani yang spesifik, terutama untuk keadaan non-teknis, seperti
kebiasaan, tradisi, kemampuan, kebutuhan petani dan sebagainya. Sebenarnya
kalau peneliti memberi kesempatan kepada penyuluh yang ada di lokasi (dengan
sebelumnya membekali penyuluh dengan hal-hal teknis), maka keberlanjutan
penerapan teknologi tersebut akan lebih besar karena adanya fasilitasi oleh
penyuluh setempat walaupun kegiatan Badan Litbang Pertanian telah selesai.
Hasil pengamatan di lapangan, memberi indikasi ada kesenjangan antara
rancangan konsep inovasi teknologi usahatani terpadu dengan implementasi di
lapangan. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, terjemahan
dari konsep ke pelaksanaan tidak dalam satu visi pemahaman yang sama
(pengetahuan, pengalaman dan pendidikan tidak sepadan), sehingga penyuluh
kurang tepat dalam penerapan. Disinilah indikasi bahwa hubungan peneliti-
penyuluh tidak bisa seperti atasan-bawahan atau pemberi-dengan yang diberi
teknologi, hubungan harus bersifat “partnerships,” peneliti harus mau menerima
penyuluh sebagai “partner” dalam mengintroduksikan inovasi teknologi. Kedua,
pendekatan pelaksanaan kegiatan masih bersifat top-down. Meskipun dalam
merancang komponen teknologi yang dikembangkan telah menerapkan
pemahaman pedesaan secara partisipatif (PRA), namun belum memperhatikan
kebutuhan petani. Petani merasa tidak berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan
inovasi teknologi. Ketiga, harga sarana produksi dari tahun ke tahun cenderung
meningkat yang berpengaruh terhadap penggunaan sarana produksi yang sesuai
dengan anjuran. Terdapat kecenderungan petani mengurangi takaran penggunaan
sarana produksi untuk menekan biaya produksi. Keempat, kegiatan masih
berorientasi pada keproyekan. Sebagai contoh klinik agribisnis yang dirancang
sebagai inovasi kelembagaan, tempat petani berkonsultasi tentang usahatani
dengan peneliti dan penyuluh (BPTP Jawa Barat serta BPP), tidak berfungsi.
177
Secara konsep rencana kegiatan klinik agribisnis ditujukan untuk: (1)
membantu menangani permasalahan yang ada di lapangan, (2) memanfaatkan dan
mengembangkan potensi dan peluang yang tersedia, (3) memperbaiki teknologi
yang ada dengan inovasi teknologi sesuai kebutuhan petani, serta (4)
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola usahatani.
Di Cianjur telah dilakukan pembangunan fisik klinik agribisnis lengkap dengan
papan nama, yang didanai Pemda Cianjur. Namun kegiatan yang direncanakan
belum terwujud. Di Garut terdapat kesan bahwa klinik agribisnis semata-mata
hanya simbol, yang terlihat dari papan nama klinik agribisnis terletak pada tempat
yang sama dengan papan nama posko tenaga detasir. Keberadaan fisik klinik
agribisnis hanya untuk memenuhi target atau pertanggungjawaban keproyekan,
bahwa klinik agribisnis itu ada (bertempat di rumah penduduk yang disewa).
Dukungan iklim usaha memberikan pengaruh total (pengaruh langsung dan
pengaruh tidak langsung melalui persepsi petani terhadap penyuluhan) yang
positif pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 8). Dibandingkan
karakteristik petani dan perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha relatif
lebih diperhatikan petani dalam membangun persepsi tentang ciri-ciri inovasi.
Ketersediaan sarana produksi akan menentukan pilihan terhadap komponen
teknologi yang diterapkan (sebagian atau seluruh komponen), yang terkait dengan
kesesuaian ciri-ciri inovasi. Ketersediaan sarana pemasaran, setidaknya memberi
jaminan kepada petani bahwa produk pertanian yang dihasilkan dapat dipasarkan.
Gambar 8 Peubah-peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
0,151 (0,052)
0,167(0,033) X1 Karakteristik Petani
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X3 Dukungan Iklim Usaha
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
-0,091 (0,158)
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
0,280 (0,000)
0,383 (0,000)
0,213 (0,002)
-0,053 (0,396)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang divantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
178
Rincian lebih lanjut, sub peubah yang berpengaruh langsung dan tidak
langsung pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, ditampilkan pada Tabel
40. Pengaruh total sub peubah tingkat mobilitas, luas lahan, tingkat intelegensi,
sikap terhadap perubahan, kerjasama, dan keterdedahan terhadap media (melalui
peubah persepsi petani terhadap penyuluhan) pada persepsi petani terhadap ciri-
ciri inovasi, berarah negatif (Gambar 9). Fenomena ini memberikan gambaran
bahwa figur penyuluh (BPTP Jawa Barat dan BPP) tidak dikenal oleh sebagian
besar petani responden. Penyuluhan pertanian di Desa Talaga Cianjur dan Desa
Jatiwangi Garut, dapat dikatakan tidak berjalan. Sebagaimana penjelasan pada
bagian terdahulu, penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu yang
dilakukan oleh peneliti BPTP Jawa Barat dan penyuluh (BPTP Jawa Barat dan
BPP) hanya terbatas kepada petani adopter pengurus kelompok tani.
Tabel 40 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
Pengaruh Total
X14 Tingkat mobilitas - -0,009 -0,009
X15 Luas lahan - -0,009 -0,009
X18 Tingkat intelegensi - -0,017 -0,017
X19 Sikap terhadap perubahan - -0,014 -0,014
X110 Tingkat keberanian beresiko 0,101 - 0,101
X21 Kerjasama - -0,025 -0,025
X22 Tingkat kekosmopolitan 0,234 -0,012 0,222
X23 Keterdedahan thd media - -0,011 -0,011
X31 Ketersediaan input (saprodi) 0,096 - 0,096
X33 Ketersediaan sarana pemasaran 0,154 - 0,154
Program usahatani terpadu yang masuk di wilayah kedua desa tersebut,
memang menstimulir pelaksanaan kegiatan penyuluhan, karena ada dukungan
dana APBN untuk kegiatan usahatani terpadu. Namun begitu memasuki tahun
terakhir (awal tahun 2009) pelaksanaan kegiatan usahatani terpadu, tenaga detasir
sudah tidak lagi berada di posko desa. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di
Desa Talaga Cianjur dan Desa Jatiwangi Garut, namun juga terjadi di Oklahoma.
Hasil penelitian Cartmell, Orr, dan Kelemen pada tahun 2006 (Brunson dan Price,
179
2009) menemukan, dua-pertiga dari pemilik lahan skala sempit di Oklahoma,
tidak ada kegiatan penyuluhan karena lokasinya sulit dijangkau penyuluh.
Gambar 9 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi
0,097 (0,068)
X1.4 Tingkat Mobilitas
X1.5 Luas Lahan
X1.8 Tingkat Intelegensi
X1.9 Sikap terhadap Perubahan
X1.10 Tingkat Kebera-nian Beresiko
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X4.1 Kompetensi
Penyuluh
X4.2 Peran Penyuluh
X4.3 Materi Penyuluhan
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
X3.3 Ketersediaan Sarana Pemasaran
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
0,158
(0,005)
(0,001)
(0,191)
0,105 (0,030)
0,270
(0,000)
0,128
(0,061)
0,096 (0,130)
0,234 (0,003)
0,154 (0,055)
0,126
(0,035)
0,101 (0,119)
-0,091
(0,158)
X4.4 Metode penyuluhan
X3.1 Ketersediaan Input (saprodi)
X2.2 Tingkat Kekosmopolitan
X2.3 Keterdedahan thd Media
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X2.1 Kerjasama
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
180
Menarik untuk dicermati pada petani adopter, pengaruh langsung dan
pengaruh tidak langsung (melalui persepsi petani adopter terhadap penyuluhan)
bernilai positif, sehingga pengaruh total bernilai positif (Tabel 41). Pengaruh total
sub peubah tingkat keberanian beresiko, tingkat kekosmopolitan, ketersediaan
input (saprodi), dan ketersediaan sarana pemasaran pada persepsi petani terhadap
ciri-ciri inovasi berarah positif. Hal ini berarti bahwa dengan kondisi penyuluhan
yang tidak berjalan sesuai UU No. 16 Tahun 2006, pada saat suatu inovasi
teknologi akan diperkenalkan, maka faktor-faktor tersebut terlebih dahulu
diidentifikasi di tingkat internal dan eksternal petani. Intervensi pemerintah
daerah masih tetap diperlukan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif,
terutama yang terkait dengan pembangunan ataupun pemeliharaan prasarana jalan,
dan ketersediaan bangunan fisik pasar. Ketergantungan masyarakat desa terhadap
pemerintah (pusat maupun daerah) dalam hal ketersediaan sarana pemasaran,
masih tinggi.
Tabel 41 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung1)
Pengaruh Total
X1 Karakteristik Petani X13 Pendapatan 0,145 - 0,145
X15 Lahan 0,123 - 0,123
X19 Sikap thd perubahan 0,424 - 0,424
X14 Mobilitas - 0,032 0,032
X18 Intelegensi - 0,051 0,051
X110 Keberanian beresiko - 0,041 0,041
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X21 Kerjasama - 0,042 0,042
X4 Persepsi Petani thd Penyuluhan
X41 Kompetensi Penyuluh 0,175 - 0,175
X42 Peran Penyuluh 0,163 - 0,163
Keterangan: 1) melalui X4 = persepsi petani terhadap penyuluhan
181
Persepsi petani adopter terhadap penyuluhan memberikan pengaruh positif
nyata pada persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 10). Ini
mengindikasikan bahwa kegiatan penyuluhan telah dilakukan pada beberapa
petani adopter (tidak semua petani adopter).
Gambar 10 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani
adopter terhadap ciri-ciri inovasi
Kompetensi penyuluh, terutama yang terkait dengan pengetahuan mengenai
hal-hal yang bersifat spesifik komoditas, seperti teknik budidaya tanaman/ternak,
hama/penyakit, pascapanen, pengolahan, dan informasi harga/pasar, terlihat
kurang lengkap, karena banyak sekali komoditas pertanian yang ditanam petani.
Untuk komoditas pangan (padi dan palawija) penyuluh pertanian telah mampu
berperan sebagai pentransfer teknologi/informasi, karena sudah lebih dikenal.
Sebaliknya, untuk komoditas sayuran, pisang, nilam, domba, penyuluh pertanian
belum menguasai dengan baik teknologinya, di samping itu informasi harga/pasar
komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) sangat dinamis, sehingga peran
penyuluh pertanian kurang optimal. Untuk itu, kurikulum pendidikan formal
X1.3 Tingkat pendapatan
X1.5 Luas Lahan
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2.1 Kerjasama
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X4.1 Kompetensi
Penyuluh
X4.2 Peran Penyuluh
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
0,202
(0,021)
(0,085) (0,127)
0,145 (0,119)
0,168 (0,105)
0,252
(0,005)
X1.4 Tingkat mobilitas
X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,123 (0,136)
(0,424) (0,000)
0,161
(0,065)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
182
maupun non formal bagi penyuluh pertanian dibutuhkan materi/substansi yang
lebih komprehensif, sehingga dapat membantu petani mengatasi berbagai
persoalan yang dihadapi dalam mengelola usahatani.
Persepsi petani non adopter terhadap penyuluhan memberikan pengaruh
negatif nyata pada persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi, sehingga
faktor-faktor yang mempunyai pengaruh tidak langsung bernilai negatif, kecuali
daya beli (Tabel 42). Pengaruh total yang bernilai negatif: sikap terhadap
perubahan, kerjasama, keterdedahan terhadap media, dan ketersediaan fasilitas
keuangan, berarti semakin tinggi faktor-faktor tersebut, maka semakin rendah
penilaian petani non adopter terhadap teknologi lokal. Terdapat kecenderungan
petani non adopter kelompok ini mencari teknologi yang lebih menguntungkan
dibandingkan teknologi lokal. Ketersediaan sarana pemasaran memberikan
pengaruh total yang paling kuat dibandingkan faktor lain.
Tabel 42 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung1)
Pengaruh Total
X1 Karakteristik Petani
X18 Intelegensi 0,131 - 0,131
X19 Sikap thd perubahan -0,204 -0,060 -0,264
X110 Keberanian beresiko 0,132 - 0,132
X16 Dayabeli 0,032 0,032
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X22 Kosmopolitan 0,175 - 0,175
X21 Kerjasama - -0,051 -0,051
X23 Keterdedahan thd media -0,028 -0,028
X3 Dukungan Iklim Usaha
X31 Ketersediaan input 0,151 - 0,151 X33 Ketersediaan sarana
pemasaran 0,324 - 0,324
X32 Ketersediaan fasilitas keuangan
- -0,027 -0,027
Keterangan: 1) melalui X4 = persepsi petani terhadap penyuluhan
183
Faktor daya beli dapat digambarkan dari nilai tukar petani yang mengukur
kemampuan nilai tukar produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang
atau jasa yang dibutuhkan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk
kegiatan produksi. Daya beli merupakan faktor yang berpengaruh tidak langsung
pada persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi (Gambar 11).
Gambar 11 Sub peubah – sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X4
PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X5 PERSEPSI PETANI
TERHADAP CIRI-CIRI INOVASI
-0,153 (0,099)
0,131 (0,137)
-0,206
(0,008)
X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
-0,204 (0,027)
X1.6 Daya beli
0,132 (0,138)
X2.1 Kerjasama
X2.2 Tingkat kekosmopolitan
X2.3 Keterdedahan thd media
0,249 (0,006)
0,136 (0,114)
0,175 (0,081)
-0,290 (0,001)
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
X3.2 Ketersediaan fasi-litas keuangan
X3.1 Ketersediaan input
X3.3 Ketersediaan sarana pemasaran
0,132 (0,129)
0,151 (0,088)
0,324 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
184
Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi
Keputusan petani responden (Cianjur dan Garut), dalam mengadopsi inovasi
usahatani terpadu termasuk dalam keputusan kolektif (Rogers dan Shoemaker,
1971; Rogers, 2003). Pengambilan keputusan dilakukan oleh pengurus kelompok
tani (ketua, sekretaris dan bendahara) yang secara informal mewakili anggota
kelompok tani. Pembentukan kelompok tani sebagian besar (80,0% kelompok
tani Cianjur dan 71,4% kelompok tani Garut) didasari atas kepentingan
pemerintah untuk mendiseminasikan teknologi usahatani terpadu. Faktor yang
mendorong petani responden mengadopsi usahatani terpadu adalah perolehan
bantuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Bantuan bagi petani
adopter di Cianjur berupa pupuk kimia Urea dan Phonska masing-masing
sebanyak 100 kg dan 150 kg untuk luasan areal 0,5 ha. Selain itu bantuan kredit
PUMK sebesar Rp 100 juta per kelompok, yang dialokasikan untuk pembelian
bibit pisang Rp 3,5 juta setiap 1,0 ha lahan dan pembelian domba Rp 20 juta
dengan cara digulirkan kepada anggota yang belum memiliki ternak domba. Hal-
hal ini yang menyebabkan ketergantungan petani pada proyek dan mematikan
kemandirian dalam pengambilan keputusan.
Perolehan bantuan yang diterima melalui kelompok tani (petani adopter
Garut) berupa ternak 23 ekor domba pada tahun 2006 (21 betina dan 2 jantan)
yang dikelola sistem gaduh, setelah domba tersebut beranak semua anggota dapat.
Bantuan lain yang diberikan berupa: (1) benih padi gogo varietas Tauti, Limboto,
Batutegi, Situ bagendit dan Situ patenggang sebanyak 100 kg (untuk areal 5,0 ha)
dan benih kedelai 40 kg (untuk areal 1,0 ha); (2) obat-obatan seperti furadan
(untuk hama ulat tanah), baykrap (untuk hama ulat) dan obat tepung berwarna
kuning; (3) pupuk Urea 750 kg, SP36 250 kg, dan KCl 250 kg; (4) benih pisang
600 pohon; (5) hand sprayer satu buah pada tahun 2006 dan sampai tahun 2009
total menjadi 3 buah. Pada akhir tahun 2007, kelompok tani juga mendapat
bantuan dari Telkom berupa bibit durian, rambutan, petai, belina, jati, albasia, dan
suren. Pembagian bantuan berdasarkan luas areal lahan garapan petani adopter.
Keseluruhan bantuan yang diperoleh petani adopter dapat diartikan bahwa
dalam menerapkan usahatani terpadu, petani adopter hanya menyiapkan lahan dan
tenaga kerja. Modal usahatani untuk pembelian sarana produksi telah
185
tertanggulangi. Pendampingan tenaga detasir (tenaga penyuluh dari BPTP Jawa
Barat) di lapangan dapat menekan kekhawatiran petani adopter tentang resiko
kegagalan panen ataupun pemasaran hasil. Walaupun petani hanya menyiapkan
lahan dan tenaga, tetapi kalau petani diikutsertakan dalam perencanaan
pelaksanaan, dan diberi kepercayaan untuk melaksanakan sendiri (dengan
bimbingan oleh penyuluh setempat yang telah dilatih oleh peneliti, maka dalam
diri petani akan tumbuh rasa ”memiliki” terhadap teknologi usahatani terpadu. Hal
ini yang akan memotivasi petani untuk benar-benar memahami teknologi
usahatani terpadu, sehingga petani akan dapat memutuskan untuk meneruskan
atau memodifikasi teknologi tersebut. FAO (1990) telah mengidentifikasi
beberapa jenis keputusan yang dapat dibuat oleh rumah tangga tani, berdasarkan
orientasi terhadap: (1) produksi, (2) penggunaan sumberdaya, (3) investasi, (4)
likuiditas, yakni jumlah uang tunai yang dibutuhkan rumah tangga tani, (5)
pengolahan dan pemasaran, serta (6) komunitas (seperti partisipasi dalam suatu
organisasi petani, peningkatan status, harapan komunitas terhadap usahatani
dalam hal produksi).
Penentuan komoditas yang ditanam petani responden (Cianjur dan Garut)
tergolong rendah (Tabel 43). Pertimbangan yang digunakan sebagian besar petani
adopter, petani non adopter Cianjur dan petani adopter Garut dalam menentukan
komoditas yang ditanam adalah kemudahan dalam mendapatkan benih/bibit serta
besaran biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan. Meskipun suatu
komoditas dilihat dari aspek ekonomi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif
tinggi, namun jika benih/bibit sulit diperoleh, petani responden cenderung tidak
menanam komoditas tersebut. Karena ini akan terkait dengan biaya transportasi,
konsekuensinya biaya usahatani menjadi meningkat. Petani non adopter Garut
dalam menanam komoditas, selain kemudahan dalam mendapatkan benih/bibit
juga mempertimbangkan kesesuaian penggunaan sumberdaya lahan. Penggunaan
tenaga kerja dan keberhasilan petani lain (untuk kemudian diikuti) juga menjadi
pertimbangan petani adopter yang tergolong sedang – tinggi dalam penentuan
komoditas yang ditanam.
Penggunaan sarana produksi sebagian besar petani adopter, petani non
adopter Cianjur dan petani adopter Garut tergolong sedang, adapun pada petani
186
non adopter Garut tergolong rendah. Petani adopter (Cianjur dan Garut) berharap
dengan menggunakan sarana produksi sesuai dengan rekomendasi penyuluh
pertanian, produksi akan lebih baik dibandingkan bila penggunaan sarana
produksi terbatas sesuai modal yang tersedia. Dengan peningkatan produksi,
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usahatani terpadu juga akan meningkat.
Penggunaan tenaga kerja sebagian besar berasal dari tenaga kerja dalam keluarga.
Hal ini sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Brashear et al.
(2000) terhadap peternak babi di Illinois. Faktor yang dipertimbangkan dalam
menerapkan teknologi baru adalah keuntungan, tenaga kerja, dan pemasaran hasil.
Tabel 43 Keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter
(n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter
(n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Penentuan komoditas Rendah Sedang Tinggi
Skor
1-2 3-4 5
60,9 23,9 15,2
91,4 4,3 4,3
40,7 27,4 31,9
63,3 13,6 22,9
47,4 26,3 26,3
71,5 10,9 17,6
Penggunaan saprodi Rendah Sedang Tinggi
Skor
1-2 3-4 5
28,3 63,0 8,7
10,6 76,6 12,8
40,7 45,0 14,3
62,7 28,0 9,3
36,5 51,1 12,4
47,9 41,8 41,8
Keterangan: Rentang skor 1-5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa persepsi petani
terhadap ciri-ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi
berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi. Hasil ini
sesuai dengan Hipotesis 3, berarti Hipotesis 3 diterima. Rincian sub peubah yang
berpengaruh nyata positif terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi,
ditampilkan pada Tabel 44. Meskipun tidak semua sub peubah (dapat diujicoba,
dapat diamati, dan persepsi petani terhadap pengaruh media massa) berpengaruh
nyata pada keputusan petani dalam adopsi inovasi, namun hasil penelitian ini telah
memperkuat teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi.
187
Tabel 44 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Koefisien regresi yang
telah distandarkan P
X51 Keuntungan relatif 0,154 0,002
X52 Kesesuaian 0,306 0,000
X53 Kerumitan 0,148 0,008
X62 Interpersonal 0,287 0,000
R2 36,5% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Penilaian petani responden terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani
terpadu, pada aspek keuntungan usahatani, kebanggaan (prestise) sosial,
kesesuaian dengan kondisi sosiobudaya, dan teknis penerapan. Petani responden
menilai teknologi lokal berdasarkan penggunaan biaya awal yang rendah, hemat
waktu dan tenaga, kesesuaian dengan kondisi sosiobudaya, dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki (lahan, modal, dan tenaga kerja) masih memungkinkan
untuk menerapkan teknologi lokal.
Persepsi petani terhadap pengaruh informasi interpersonal berpengaruh
positif nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi (Gambar 12).
Penyuluh pertanian merupakan sumber informasi yang dipercaya oleh petani
adopter yang mempunyai posisi sebagai pengurus kelompok tani. Bagi petani
adopter tetapi bukan pengurus kelompok tani dan petani non adopter, sumber
informasi yang dipercaya adalah sesama petani (termasuk ketua kelompok tani)
dan tokoh masyarakat. Sumber informasi interpersonal dinilai petani responden
dapat dipercaya dan informasi yang diperoleh relevan dengan kebutuhan petani.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gonzales dan Israel (2010) yang
menunjukkan bahwa preferensi klien dalam memilih saluran komunikasi (media
massa atau media interpersonal) ditentukan oleh manfaat yang diperoleh, biaya
yang dikeluarkan dan tingkat kepercayaan terhadap sumber informasi.
188
Gambar 12 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi Inovasi
Keputusan petani adopter dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani
terpadu dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif, kesesuaian, dan persepsi
petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal, sedangkan pada petani
non adopter dipengaruhi oleh faktor kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani
terhadap pengaruh media/informasi interpersonal. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor kesesuaian dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi menjadi
tolok ukur petani adopter maupun petani non adopter dalam mengadopsi suatu
teknologi (Tabel 45).
Suatu inovasi dapat sesuai atau tidak dengan petani, dilihat dari aspek: (1)
nilai-nilai sosiobudaya, (2) ide-ide yang telah diperkenalkan sebelumnya, dan/atau
(3) kebutuhan petani akan inovasi. Bagi petani adopter, faktor keuntungan relatif
menjadi prioritas penilaian dalam pengambilan keputusan adopsi teknologi,
sedangkan petani non adopter lebih mengutamakan faktor kesesuaian. Petani
adopter mempunyai lahan yang relatif lebih luas dibanding petani non adopter,
sehingga faktor keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya
0,287 (0,000)
0,154 (0,002)
0,148 (0,008)
0,213 (0,002)
-0,053 (0,396)
0,151 (0,052)
0,383 (0,000)
-0,091 (0,158)
0,280 (0,000)
0,167(0,033)
X1 Karakteristik Petani
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X3 Dukungan Iklim Usaha
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
Y1 Keputusan Petani
X6 Persepsi Petani thd Pengaruh Media/ Informasi
X5.1 Keuntungan relatif
X5.2 Kesesuaian
X5.3 Kerumitan
0,306 (0,000)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
189
ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat waktu dan tenaga, serta imbalan yang
segera didapat menjadi pertimbangan pengambilan keputusan adopsi teknologi
usahatani terpadu.
Tabel 45 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Koefisien regresi yang telah distandarkan
P
Peubah Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
Adopter
(n=137)
Non adopter (n=165)
X5 Persepsi petani thd ciri inovasi
X51 Keuntungan relatif 0,273 0,002 X52 Kesesuaian 0,155 0,435 0,068 0,000 X53 Kerumitan 0,290 0,000 X6 Persepsi petani thd pengaruh media/informasi X61 Interpersonal 0,225 0,125 0,007 0,032
R2 27% 51% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi (langsung dan tidak
langsung) terhadap keputusan petani adopter dalam mengadopsi teknologi
usahatani terpadu ditampilkan pada Gambar 13. Media interpersonal yang
berperan menyampaikan informasi teknologi usahatani terpadu kepada petani
adopter (pengurus kelompok tani) adalah penyuluh.
Proses difusi inovasi berlangsung dari pengurus kelompok tani kepada
petani adopter lain pada forum pertemuan kelompok tani, pengajian, atau
perbincangan pada saat bekerja di ladang. Peranan ketua kelompok tani dalam
penyampaian inovasi kepada anggota kelompok merupakan hal yang penting,
disertai dengan partisipasi aktif dari anggota kelompok tani serta bantuan saprodi
dan kredit modal usahatani dari pemerintah merupakan faktor pendorong petani
dalam mengadopsi teknologi usahatani terpadu. Ketua kelompok tani
mengajarkan dan mempengaruhi anggota kelompok tani lainnya. “Petani
belajar dari petani lain” merupakan pendekatan yang efektif untuk mengenalkan
teknologi usahatani terpadu. Pendekatan dengan saluran komunikasi melalui
media interpersonal merupakan mekanisme yang efektif dalam membawa
190
perubahan pada wilayah pedesaan lahan kering seperti Desa Talaga Cianjur dan
Desa Jatiwangi Garut.
Gambar 13 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani adopter dalam
adopsi inovasi
Pada petani non adopter yang mempunyai aset lahan relatif terbatas, bahkan
beberapa di antaranya tidak mempunyai lahan, maka faktor kesesuaian dan
kerumitan menjadi pertimbangan pengambilan keputusan adopsi teknologi lokal
(Gambar 14). Hal ini berkaitan dengan curahan tenaga kerja, karena selain
mengelola usahatani petani non adopter bekerja sebagai buruh tani atau buruh di
luar pertanian.
X1.3 Tingkat pendapatan
X1.5 Luas lahan
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X4.1 Kompetensi
penyuluh
X4.2 Peran penyuluh
X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI INOVASI
0,202 (0,021)
0,145 (0,119)
X1.4 Tingkat mobilitas
X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,123 (0,136)
0,161 (0,065)
X5.1 Keuntungan relatif
X5.2 Kesesuaian
Y1 KEPUTUSAN PETANI
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
0,127
(0,085)
0,424
(0,000) X5.1 Interpersonal
X2.1 Kerjasama 0,168 (0,105)
0,175
(0,089)
0,163
(0,061) 0,155 (0,068)
0,273 (0,002)
0,225 (0,007)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
191
Gambar 14 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani non adopter dalam adopsi inovasi
Kinerja Usahatani
Kinerja usahatani petani responden dilihat dari: (1) orientasi usaha, (2)
penanganan hasil/pascapanen, dan (3) produktivitas dari komoditas yang
diusahakan petani. Orientasi usaha sebagian besar petani adopter Cianjur
tergolong sedang. Hal ini berarti bahwa 58,7 persen petani adopter Cianjur masih
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI INOVASI
0,131 (0,137) X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,132 (0,138)
X5.2 Kesesuaian
X5.3 Kerumitan
Y1 KEPUTUSAN PETANI
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
- 0,153
(0,099)
- 0,204
(0,027) X5.1 Interpersonal
X2.1 Kerjasama
0,136 (0,114)
-0,206
(0,008)
0,290 (0,000)
0,435 (0,000)
0,125 (0,032)
X1.6 Daya beli
X2.3 Keterdedahan thd media
X2.2 Tk. kekosmopolitan
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan
X3.1 Ketersediaan input
X3.3 Ketersediaan sara-na pemasaran
0,249
(0,006)
0,175 (0,081)
0,132 (0,129)
0,151 (0,088)
0,324 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
192
berada pada karakteristik usaha semi subsisten, sebagian besar produk pertanian
dijual dan sebagian kecil dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga petani.
Bahkan 30,4 persen petani adopter Ciajur masih berorientasi usaha yang bersifat
subsisten. Orientasi usaha sebagian besar petani adopter Garut masih tergolong
rendah (39,6%) atau orientasi usaha masih bersifat subsisten. Namun demikian
terdapat petani adopter Garut yang telah berorientasi semi subsisen (29,6% ) dan
bahkan 30,8% telah mengarah ke usaha komersial. Petani adopter (Cianjur dan
Garut) dengan pengusahaan lahan usahatani > 1,0 ha dan/atau merangkap sebagai
pedagang hasil, terdapat kecenderungan mengarah ke usaha komersial.
Petani adopter yang berperan sebagai pedagang hasil menguasai hasil petani
skala kecil yang memerlukan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tjondronegoro (1999) berpandangan bahwa keadaan petani yang lemah tersebut
terus berlangsung, karena secara ekonomi petani skala kecil tidak berdaya, lemah
dalam posisi rebut tawar (bargaining position). Secara sosial, petani skala kecil
tidak diperhitungkan, karena tidak didukung suatu organisasi yang mengarahkan
dan memperjuangkan kepentingannya.
Orientasi usaha sebagian besar petani non adopter Cianjur (83,0%) dan
Garut(65,3%) tergolong rendah (Tabel 46) dengan usahatani yang dikelola
bersifat subsisten. Golongan petani non adopter tersebut termasuk kategori petani
skala kecil dan buruh tani (Tabel 18). Pendapatan usahatani yang bersifat
musiman tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, sedangkan kesempatan
kerja di pedesaan relatif terbatas. Hal ini mendorong petani skala kecil dan buruh
tani melakukan migrasi ke kota, mencari pekerjaan tanpa berbekal keterampilan
dengan jenis pekerjaan sebagai tenaga buruh kasar berupah harian atau borongan.
Secara keseluruhan petani non adopter (Cianjur dan Garut) belum
memperoleh kesempatan mendapatkan bantuan sarana produksi dan peralatan
pertanian yang disediakan pemerintah (BPTP Jawa Barat) ataupun kredit PMUK
serta PUAP. Akibat keterbatasan modal, pengelolaan usahatani dilakukan secara
sederhana, misal pemupukan tanaman pisang yang seharusnya dilakukan setiap
tiga bulan sekali, hanya satu kali pemupukan. Kondisi ini yang menyebabkan
petani non adopter kurang peduli terhadap inovasi teknologi usahatani terpadu.
193
Tabel 46 Kinerja usahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat
Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)
Peubah Kategori Adopter (n=46)
Non adopter (n=47)
Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
Adopter (n=137)
Non adopter (n=165)
Orientasi usaha Rendah Sedang Tinggi
Skor
1- 3 4- 7 8-10
30,4 58,7 10,9
83,0 14,9 2,1
39,6 29,6 30,8
65,3 17,8 16,9
36,5 39,4 24,1
70,3 17,0 12,7
Penanganan hasil Rendah Sedang Tinggi
Skor
2- 5 6- 9
10-13
65,2 28,3 6,5
57,4 38,3 4,3
35,2 53,8 11,0
58,5 38,1 3,4
45,3 45,3 9,4
58,2 38,2 3,6
Produktivitas cabai rawit Rendah Sedang Tinggi
Kg/ha
< 1.968 1.968-4.669
≥ 4.670
67,4 30,4 2,2
78,7 19,1 2,1
-
-
-
-
Produktivitas pisang Rendah Sedang Tinggi
Kg/ha
< 1.191 1.191-5.556
≥ 5.557
76,1 17,4 6,5
95,8 2,1 2,1
72,5 27,5 0,0
87,3 12,7 0,0
73,7 24,1 2,2
89,7 9,7 0,6
Prodv padi Rendah Sedang Tinggi
Kg/ha < 1.437
1.437-2.999 ≥ 3.000
-
-
63,7 35,2 1,1
88,1 11,9 0,0
-
-
Produktivitas jagung Rendah Sedang Tinggi
Kg/ha
< 1.005 1.005-2.836
≥ 2.837
-
-
69,2 30,8 0,0
91,5 8,5 0,0
-
-
Keterangan: Rentang skor orientasi usaha 1-10; penanganan hasil 2-13
Untuk meningkatkan orientasi usaha petani non adopter (terutama petani
skala kecil dan buruh tani) dari subsisten menjadi semi subsisten, perlu ada
campur tangan pemerintah daerah setempat untuk melakukan: pertama, penataan
penguasaan lahan pertanian melalui implementasi reforma agraria. Kedua,
mempermudah petani non adopter untuk mengakses berbagai informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya; sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 (ayat 2) UU RI No 16 Tahun 2006 melalui pembinaan penyuluh pertanian.
Ketiga, menumbuhkan kelompok tani sebagai wahana pembelajaran, dimulai dari
kegiatan produksi, pengolahan yang menghasilkan produk akhir sampai ke
194
pemasaran hasil. Keempat, adanya jaminan dari pemerintah daerah setempat
(melalui Dinas Pertanian) dalam hal proteksi dan jaminan pasar terhadap produk
yang dihasilkan petani non adopter.
Penanganan hasil/pascapanen dimaksudkan untuk menjamin mutu yang baik
dan mendapatkan nilai tambah produksi di tingkat petani. Penanganan hasil
sebagian besar petani adopter Cianjur (65,2%) tergolong rendah (Tabel 46).
Komoditas pisang yang dominan ditanam petani adopter Cianjur, dijual tanpa ada
penanganan khusus. Bahkan petani adopter yang mempunyai pinjaman uang di
bendahara kelompok tani, pemanenan dilakukan oleh bagian pemasaran.
Penanganan hasil dilakukan di tingkat petani yang merangkap sebagai pedagang
(bagian pemasaran kelompok) dengan cara melakukan sortasi berdasarkan ukuran.
Pengolahan pisang menjadi kripik pisang dengan berbagai rasa (asin, manis,
coklat dan keju) masih terbatas dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT)
Desa Talaga Cianjur. Pemasaran kripik pisang yang telah dikemas menjadi
kendala dalam pengolahan produk pisang. Untuk itu, KWT yang diketuai oleh
istri kepala desa membatasi kegiatan pengolahan kripik pisang dilakukan pada
saat pameran hasil pertanian di tingkat kecamatan atau kabupaten. Penanganan
hasil sebagian besar petani adopter Garut (53,8%) tergolong sedang (Tabel 46).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adopter Garut telah melakukan
penanganan hasil, dengan perlakuan pengeringan pada komoditas padi dan
jagung. Untuk komoditas pisang dijual tanpa ada penanganan (”asalan”).
Penanganan hasil sebagian besar petani non adopter Cianjur (57,4%) dan
Garut (58,5%) tergolong rendah (Tabel 46). Berbagai jenis komoditas yang
diusahakan sebagian besar petani non adopter Cianjur, seperti tanaman palawija
(ubi kayu, jagung), tanaman hortikultura (cabai rawit, caisin, pisang), dan teh
dijual tanpa ada penanganan (”asalan”). Demikian juga dengan jenis komoditas
yang diusahakan sebagian besar petani non adopter Garut: padi, jagung, ubi kayu,
pisang, dan cabai rawit dijual tanpa ada penanganan (”asalan”). Selama belum
ada pasar yang baik, terutama yang membedakan harga jual antara hasil dengan
penanganan baik dan kurang baik, hal ini akan terus terjadi. Penanganan hasil
tidak dapat dilakukan oleh 1-2 kelompok tetapi banyak kelompok yang terkait
dalam ”jaringan pemasaran,” sehingga jaminan mutu, kesinambungan
195
ketersediaan hasil akan terjamin. Hal ini yang akan merangsang tumbuh dan
berkembangnya pasar bagi hasil olahan dan penanganan hasil yang baik. Bagi
petani non adopter dengan skala usaha relatif kecil, pengelolaan usahatani yang
masih bersifat subsisten, hasil padi ataupun palawija (jagung, ubi kayu) digunakan
untuk kebutuhan pangan keluarga. Petani non adopter kelompok ini melakukan
penanganan hasil dengan perlakuan pengeringan untuk mengurangi kadar air (agar
aman disimpan) dan mencegah perkembangbiakan cendawan (jamur).
Setelah dua tahun (2007-2009) usahatani terpadu diperkenalkan di Cianjur,
dengan salah satu komponen teknologi berupa varietas unggul tanaman pisang,
cabai rawit dan caisin. Ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa komoditas
yang dominan ditanam petani adopter Cianjur adalah tanaman pisang, dan cabai
rawit. Tanaman caisin hanya ditanam 4,3 persen petani adopter Cianjur. Alasan
petani adopter Cianjur tidak menanam caisin, karena: (1) perlu pemeliharaan yang
intensif, (2) rentan terhadap hama, terutama ulat, dan (3) harga jual relatif rendah,
berkisar antara Rp 300,00 – Rp 700,00 per kg sehingga seringkali petani adopter
merugi. Produktivitas cabai rawit maupun pisang yang diusahakan sebagian besar
petani adopter Cianjur tergolong rendah dibanding produktivitas di tingkat
kabupaten. Namun bila dilihat antara petani adopter dan petani non adopter
Cianjur, proporsi petani adopter dengan kategori produktivitas sedang (untuk
cabai rawit maupun pisang) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non
adopter (Tabel 46). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan inovasi
teknologi usahatani terpadu telah meningkatkan produktivitas hasil pada beberapa
petani adopter Cianjur.
Produktivitas pisang, padi dan jagung yang diusahakan sebagian besar
petani adopter Garut tergolong rendah dibanding produktivitas di tingkat
kabupaten. Tetapi proporsi petani adopter dengan kategori produktivitas sedang
(untuk pisang, padi dan jagung) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani
non adopter (Tabel 46). Setelah empat tahun (2005-2009), ternyata tanaman
nilam, kacang tanah dan sayuran kurang diminati petani adopter Garut. Tanaman
nilam ditanam 13,2 persen petani adopter Garut, dengan produktivitas berkisar
antara 1,2 – 5,0 ton daun basah atau 300 kg – 1,25 ton daun kering per hektar,
jauh lebih rendah dibanding produktivitas potensial. Hasil penelitian Emmyzar
196
dan Ferry (2004) produktivitas nilam dengan pemeliharaan yang baik dapat
mencapai 15-20 ton daun basah atau 3,75 – 5,0 ton daun kering per hektar.
Dengan rendemen minyak 2,5 – 4 persen, produksi minyak atsiri mencapai 100 –
200 kg/ha/tahun.
Dengan menerapkan teknologi usahatani terpadu, terdapat peningkatan
produktivitas tanaman yang diusahakan petani adopter (Cianjur dan Garut).
Usahatani terpadu merupakan pemanfaatan sumberdaya secara optimal, dapat
meningkatkan produktivitas, di samping menghasilkan bahan bakar, pupuk dan
bahan pangan (Chan, 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Irawan et al.
(2007) yang menyatakan bahwa perubahan produktivitas dapat disebabkan oleh
perubahan tingkat teknologi yang dilakukan petani. Pada intinya meliputi dua
unsur utama, yaitu daya produksi varietas yang digunakan dan teknik budidaya
yang diterapkan, seperti cara penanaman, pemeliharaan dan sebagainya. Jenis
varietas yang digunakan menentukan produktivitas potensial yang dapat dicapai
petani. Teknik budidaya yang diterapkan menentukan sejauh mana produktivitas
potensial yang melekat pada varietas yang digunakan dapat dieksploitasi oleh
petani.
Meskipun demikian, Tjondronegoro (1999), Tjitropranoto (2003), dan
Slamet (2008) mengingatkan bahwa pembangunan sektor pertanian yang berhasil,
seyogianya tidak hanya diukur dari peningkatan produksi per satuan areal
pertanian atau tanah garapan (produktivitas). Lebih lanjut Tjondronegoro (1999)
mengemukakan bahwa indikator peningkatan produktivitas seringkali mengelabui
dan tidak memperhatikan ketimpangan sosial di daerah pedesaan. Peningkatan
produktivitas per satuan kerja pun perlu diperhatikan. Di samping itu perlu
diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan proses peningkatan produksi serta
hasil nilai uang yang diperoleh yang dapat dimanfaatkan atau bagian yang dapat
dinikmati petani skala kecil.
Hasil pengamatan di lapangan, petani yang tergolong mampu (kaya) di
Cianjur dan Garut dengan pemilikan lahan relatif luas, masuk dalam kelompok
tani sebagai petani adopter yang mendapatkan bantuan sarana produksi, peralatan
pertanian dan kredit permodalan. Hal ini telah dikritik oleh (Tjondronegoro,
1998) bahwa inovasi suatu teknologi terlebih dahulu dimanfaatkan oleh golongan
197
petani kuat yang menguasai 0,75 hektar lahan garapan atau lebih. Petani skala
kecil dihadapkan dengan kekuasaan petani kaya yang menyerap keuntungan
pembangunan lebih dulu. Di daerah pedesaan, gerakan-gerakan kooperatif dalam
pengertian usaha bersama yang memberi kesempatan kerja lebih banyak pada
buruh tani, tidak tercapai.
Dalam pandangan Rogers dan Shoemaker (1971), dan Rogers (2003)
sasaran utama penerima inovasi teknologi yang dikatakan sebagai inovator perlu
memiliki persyaratan modal finansial yang relatif kuat. Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi bila inovasi teknologi yang diperkenalkan tidak menguntungkan.
Selain itu, inovator juga disyaratkan memiliki kemampuan rasionalitas dan
intelegensi yang tinggi untuk memahami hal yang rumit; berani beresiko; terbuka
terhadap perubahan; mobilitas tinggi serta kosmopolit. Langkah ini yang telah
ditempuh pemerintah (BPTP Jawa Barat) dalam mendiseminasikan inovasi
teknologi usahatani terpadu.
Untuk mengatasi ketimpangan seperti yang disinyalir Tjondronegoro
(1999), perlu upaya memperkuat kelompok tani yang telah dibentuk agar dinamis
dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggota kelompok. Kelompok tani tidak
hanya sekedar memenuhi persyaratan untuk mendapatkan berbagai bantuan.
Namun perlu disertai perencanaan kegiatan bersama yang mendatangkan manfaat
serta memberikan keuntungan bagi semua anggota secara proposional sesuai
kontribusi anggota. Seperti kegiatan pemasaran bersama (untuk mendapatkan
posisi tawar yang baik), usaha simpan pinjam lingkup kelompok (sebagai
alternatif mendapatkan modal bagi petani skala kecil dengan suku bunga rendah).
Keberhasilan kelompok tani di daerah lain, seperti kelompok tani di Bali yang
telah berhasil dalam pengelolaan subak, dapat dijadikan pembelajaran dalam
mengelola kelompok tani, sehingga diakui keberadaannya dan mandiri.
Dalam menganalisis dan mengevaluasi kinerja usahatani petani, FAO (1990)
mengisyaratkan perlu mengidentifikasi apakah teknologi yang diterapkan petani
dalam berusahatani mampu mencapai tujuan yang diinginkan? Tujuan petani
dalam mengelola usahatani antara lain : (1) mencukupi kebutuhan pangan
sepanjang tahun, (2) memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti sandang, papan
dan kesehatan, (3) mampu memenuhi biaya pendidikan anak usia sekolah,
198
(4) mampu menabung untuk jaminan hidup dan investasi, dan (5) dapat diterima
masyarakat serta memperoleh penghargaan diri dan reputasi (FAO, 1990). Untuk
keperluan tersebut pada Tabel 47 ditampilkan pengeluaran rumah tangga petani
responden selama satu tahun.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian mengungkapkan bahwa pendapatan rumah
tangga mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan. Terdapat kecenderungan
rumah tangga dengan pendapatan tinggi akan mengupayakan mutu pangan yang
lebih baik. Bahan pangan dengan banyak kandungan karbohidrat akan dikurangi,
seperti konsumsi beras cenderung menurun dan beralih pada produk pangan
dengan kandungan protein tinggi seperti pangan hewani, sayur dan buah, atau
makanan jadi. Rumah tangga berpendapatan rendah, penambahan pendapatan
justru meningkatkan konsumsi beras dan mengurangi atau beralih dari pangan
pokok seperti jagung dan ubi kayu; dan pada tingkat pendapatan tertentu,
konsumsi beras akan menurun. Dikaitkan dengan status sosial, seringkali proporsi
tingkat pengeluaran rumah tangga dijadikan tolok ukur. Semakin tinggi status
sosial, maka proporsi untuk pembelian bahan makanan semakin rendah.
Sebaliknya semakin rendah status sosial, persentase untuk pembelian kebutuhan
pangan semakin tinggi.
Pangsa pengeluaran petani responden selama satu tahun untuk pembelian
makanan/minuman tergolong tinggi, berkisar antara 66,7-71,4 persen yang
didominasi untuk pembelian beras dan lauk-pauk/sayuran. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebutuhan pangan masih merupakan kebutuhan dasar
utama yang diprioritaskan. Petani responden dalam mencari nafkah masih
berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Rata-rata pengeluaran petani
responden untuk biaya pendidikan relatif rendah (1,3%-3,2%). Hal ini disebabkan
biaya pendidikan SD–SLTP di Cianjur dan Garut gratis, sehingga petani
responden hanya menangung biaya pembelian alat-alat tulis dan buku pelajaran.
Sangat jarang anak petani responden yang bersekolah hingga SLTP – SLTA.
Pendidikan bagi anak-anak petani responden masih dipandang sebagai sesuatu
yang mewah dan sulit dijangkau. Pada aspek kesehatan, bila petani responden
merasa kurang sehat, perlakuan dengan obat yang dijual bebas di warung dekat
199
pemukiman. Walaupun layanan kesehatan, seperti puskesmas pembantu telah
menjangkau wilayah pedesaan, namun kesadaran petani responden memanfaatkan
layanan tersebut relatif rendah. Biaya transportasi (ojeg) menuju puskesmas
pembantu dan biaya pengobatan masih menjadi kendala. Uang tunai yang dimiliki
lebih diutamakan untuk keperluan pembelian bahan pangan bagi keluarga.
Tabel 47 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008
Petani Cianjur (Rp 1.000) Petani Garut (Rp 1.000) Uraian Adopter
(n=46) Non adopter
(n=47) Adopter (n=91)
Non adopter (n=118)
Makanan/minuman 1. Beras 2.321 1.740 1.739 1.790 2. Mie dan makanan
selingan (jajanan) 936
570 404
3. Kopi/gula/teh/susu 533 330 454 402 4. Lauk pauk/sayuran 1.971 915 1.305 990 5. Rokok/tembakau 521 495 895 463 Sub total 6.282 4.050 5.128 4.049 Non makanan 1. Bahan bakar (minyak
tanah/gas) 448 353 141 137
2. Penerangan/listrik 410 374 353 320 3. Pendidikan 217 78 193 193 4. Kesehatan 103 76 181 146 5. Transportasi 317 254 403 307 6. Pakaian 336 199 344 283 7. Sosial/sumbangan 116 85 71 42 8. Hajatan/selamatan keluarga 29 16 130 80 9. Iuran/acara keagamaan 59 40 41 33 10. Pajak PBB lahan dan
bangunan 72 29 18 17
11. Sabun cuci/mandi, pasta gigi, sampo
361 340 380 384
12. Lain-lain 46 32 - 85 Sub total 2.514 1.876 2.255 2.027 Total 8.796 5.926 7.383 6.076
Bila mencermati rata-rata pendapatan rumah tangga petani responden
selama satu tahun (Tabel 19), maka terlihat petani responden belum mampu
memenuhi kebutuhan pengeluaran rumah tangga. Rata-rata pendapatan rumah
tangga yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran.
Pendapatan minimal petani adopter (Cianjur dan Garut) Rp 1,1 juta dengan
pengeluaran minimal sebesar Rp 2,9 juta, sedangkan pendapatan maksimal
200
Rp 15,9 pengeluaran maksimal Rp 13,3 juta. Pendapatan minimal petani non
adopter (Cianjur dan Garut) Rp 677,5 ribu dengan pengeluaran minimal sebesar
Rp 2,2 juta, sedangkan pendapatan maksmimal Rp 9,4 juta pengeluaran
maksmimal Rp 9,7 juta. Kenyataan ini menggambarkan bahwa pada tingkat
pendapatan tertinggi petani adopter baru dapat mencukupi kebutuhan rumah
tangga (dalam kondisi surplus). Ketimpangan pendapatan dari tertinggi –
terendah, baik pada petani adopter maupun petani non adopter menimbulkan
ketergantungan terhadap pedagang hasil (tengkulak) dan pelepas uang atau
rentenir. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, terutama
pada petani responden skala kecil (0,04 – 0,25 ha).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usahatani
Hasil analisis regresi menunjukkan keputusan petani dalam adopsi inovasi
berpengaruh nyata positif (pada taraf α = 0,01) terhadap kinerja usahatani (Tabel
48). Hasil ini sesuai dengan hipotesis 4, berarti hipotesis 4 diterima. Sub peubah
yang berpengaruh adalah penentuan komoditas, sedangkan sub peubah
penggunaan saprodi tidak berpengaruh nyata. Namun ini tidak selalu berarti tidak
ada pengaruh. Pengaruh sub peubah tersebut bisa saja tidak terdeteksi, karena ada
faktor lain yang cukup dominan, seperti ketepatan takaran/dosis dan waktu
pemberian pupuk, pengaruh musim, ataupun pola tanam. Dalam penentuan
komoditas, ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja dan modal) merupakan
faktor yang penting menunjang kinerja usahatani. Selain itu kemampuan bersaing
melalui proses produksi yang efisien merupakan landasan utama bagi
kelangsungan kegiatan usahatani, terutama bila dikaitkan dengan orientasi usaha
yang komersial.
Petani adopter dalam menggunakan sarana produksi sesuai anjuran
penyuluh, sewaktu mendapat bantuan sarana produksi. Namun setelah bantuan
tersebut tidak ada lagi, penggunaan sarana produksi bergantung pada modal
usahatani yang dimiliki. Di samping itu, dalam komponen teknologi usahatani
terpadu terdapat bahan yang tidak terdapat di kios desa, seperti plastik
pembrongsong pisang, trichoderma, bahan kimia EM-4 sebagai bahan pencampur
dalam pembuatan kompos. Pada petani non adopter menggunakan sarana
201
produksi juga bergantung pada modal usahatani yang dimiliki. Untuk itu agar
kinerja usahatani petani responden memberikan dampak pada peningkatan
pendapatan, perlu ada intervensi pemerintah (pusat maupun daerah) yang
mendukung ketersediaan permodalan bagi kegiatan usahatani. Gambar 15
menunjukkan bahwa peubah keputusan petani dalam adopsi menginovasi
berpengaruh nyata terhadap kinerja usahatani.
Tabel 48 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Peubah Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
Y11 Penentuan komoditas 0,596 0,000
R2 42,0% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Gambar 15 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani
Muhammad dan Isikhuemhen (2009) menyatakan bahwa ketersediaan
informasi tentang biaya produksi (modal usahatani) dan pendapatan usahatani
secara keseluruhan akan sangat membantu petani. Kedua hal tersebut dijadikan
pertimbangan utama dalam menentukan teknologi yang akan diterapkan.
0,596 (0,000)
0,287 (0,000)
0,148 (0,008)
0,306 (0,000)
0,154 (0,002)
0,213 (0,002)
-0,053 (0,396)
0,151 (0,052)
0,383 (0,000)
-0,091 (0,158)
0,280 (0,000)
0,167 (0,033)
X5 Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri inovasi
X1 Karakteristik Petani
X2 Perilaku Komunikasi Petani
X3 Dukungan Iklim Usaha
X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan
Y1 Keputusan Petani
X6 Persepsi Petani thd Pengaruh Media/ Informasi
X5.1 Keuntungan relatif
X5.2 Kesesuaian
X5.3 Kerumitan
Y2 Kinerja Usahatani
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p); = tidak nyata
Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
202
Semakin tinggi biaya produksi suatu teknologi dan informasi yang kurang tentang
pendapatan usahatani (termasuk informasi pasar), maka akan mempengaruhi
penerapan teknologi tersebut.
Faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter
adalah penggunaan saprodi (benih/bibit tanaman/ternak, pupuk, dan obat-
obatan/pestisida). Nilai koefisien jalur pada petani adopter adalah > 0,5 yang
berarti bahwa penggunaan saprodi mempunyai pengaruh kuat dalam kinerja
usahatani (Tabel 49). Hasil pengamatan di lapang, kinerja usahatani petani
adopter dan petani non adopter dilihat dari produktivitas yang dihasilkan,
orientasi usaha dan penanganan produk, dapat dikategorikan sebagai usahatani
yang kurang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
usahatani petani adopter dan petani non adopter ditampilkan pada Gambar 16 dan
Gambar 17.
Tabel 49 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani adopter dan petani non adopter di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat
Koefisien jalur yang telah distandarkan
P
Peubah Adopter Non adopter
Adopter Non adopter
Y1 Keputusan Y12 Penggunaan saprodi 0,519 0,245 0,003 0,001
R2 45% 6% Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf α = 0,15
Menurut FAO (1990) karakteristik usahatani yang kurang berkembang,
dicirikan antara lain:
(1) Usahatani dikelola pada tingkat subsisten dan semi subsisten, hanya
sebagian yang sudah komersial.
(2) Sumberdaya (seperti lahan, tenaga kerja, modal, dan tabungan) digabung
sedemikian rupa untuk memproduksi output dalam upaya memenuhi
kebutuhan dasar petani.
(3) Kualitas sumberdaya pertanian yang rendah menyebabkan output dan
pendapatan yang dihasilkan juga rendah. Kegiatan off-farm merupakan
sumber pendapatan tambahan yang penting.
203
(4) Tanaman pangan untuk konsumsi keluarga, kalau berlebih dijual. Untuk
membeli barang-barang yang tidak dihasilkan sendiri, maka ditanam
tanaman perdagangan (cash crop).
(5) Ternak seperti ayam, itik, dan kelinci dipelihara untuk konsumsi keluarga,
kalau surplus baru dijual.
(6) Ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dipelihara untuk sumber
tenaga kerja, susu, kulit, tabungan, dan sebagainya.
(7) Masalah yang berhubungan dengan air minum memerlukan input tenaga
kerja yang cukup besar.
(8) Untuk memperoleh material bangunan juga memerlukan tenaga kerja yang
khusus sehingga tidak bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif
atau kegiatan yang mendatangkan uang tunai.
(9) Sebagian besar jasa-jasa penunjang untuk masyarakat tidak ada atau tidak
berfungsi.
(10) Fasilitas transportasi yang tidak memadai, menghambat petani dalam
memasarkan produknya.
Gambar 16 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani
adopter
X1.3 Tingkat pendapatan
X1.5 Luas lahan
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMU-
NIKASI PETANI
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
X4.1 Kompetensi
penyuluh
X4.2 Peran penyuluh
X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI INOVASI
0,202 (0,021)
0,145 (0,119)
X1.4 Tingkat mobilitas
X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,123 (0,136)
0,161 (0,065)
X5.1 Keuntungan
relatif
X5.2 Kesesuaian
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
0,127
(0,085)
0,424
(0,000) X61Interpersonal
X2.1 Kerjasama 0,168 (0,105)
0,175
(0,089)
0,163
(0,061) 0,155 (0,068)
0,273 (0,002)
0,225 (0,007)
Y1 KEPUTUSAN PETANI
Y2 KINERJA USAHA TANI
Y1.2
Penggunaan saprodi
0,519 (0,003)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
204
Kinerja usahatani terpadu dalam pengembangannya masih menghadapi
berbagai kendala, terutama masalah permodalan usahatani dan pemasaran produk
yang dihasilkan petani adopter (khususnya di Desa Jatiwangi Garut).
Keberlanjutan kegiatan diseminasi teknologi usahatani terpadu yang dilakukan
penyuluh pertanian PNS dari BPP perlu disangsikan karena program telah
berakhir. Di lapangan, kegiatan penyuluhan berorientasi pada program/proyek.
Di lain pihak petani dalam mengadopsi teknologi usahatani terpadu juga
bergantung pada bantuan sarana produksi dan kredit modal usaha dari pemerintah.
Keadaan ini perlu ada upaya perbaikan, agar teknologi yang diperkenalkan
tidak berhenti diadopsi petani setelah proyek selesai. Kerjasama antara BPTP
Jawa Barat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciajur dan Garut tidak hanya di
awal program, namun perlu dilanjutkan hingga program berakhir. Paling tidak
tenaga detasir (penyuluh pertanian PNS dari BPTP) yang selama program berjalan
mendampingi petani, digantikan posisinya oleh penyuluh pertanian PNS dari BPP
begitu tenaga detasir tidak lagi bertugas. Sikap mental ketergantungan petani
terhadap bantuan pemerintah perlu diubah, lebih mengarah pada upaya
pemberdayaan petani dengan menggali potensi yang ada. Langkah operasional
yang dapat dilakukan di lapangan adalah mensinergikan antara program
pemerintah daerah dengan inovasi teknologi yang akan diperkenalkan, sehingga
terwujud strategi penyuluhan berkelanjutan.
Berbagai upaya tersebut hendaknya bermuara pada keberpihakan kepada
masyarakat petani, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Karena kinerja penyuluh pertanian PNS yang selama ini belum menunjukkan manfaat
yang nyata dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, perlu didorong
agar menghasilkan kinerja yang optimal. Asas keseimbangan kegiatan
penyuluhan, yang memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi
teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, keseimbangan pemanfaatan
sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antar kawasan yang
maju (lahan sawah) dengan kawasan yang relatif tertinggal (lahan kering
marjinal), perlu dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) agar dapat
terlaksana dengan baik.
205
Gambar 17 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani
non adopter
Manfaat Usahatani Terpadu
Persepsi sebagian besar petani adopter (Cianjur dan Garut) terhadap
manfaat usahatani terpadu tergolong sedang (Gambar 18). Hal ini berarti petani
adopter telah merasakan manfaat adanya usaha ternak domba sebagai
X1.9 Sikap thd perubahan
X1 KARAKTERISTIK PETANI
X2 PERILAKU KOMU-NIKASI PETANI
X5 PERSEPSI PETANI THD CIRI-CIRI INOVASI
0,131 (0,137) X1.8 Tingkat intelegensi
X1.10 Tingkat keberanian beresiko
0,132 (0,138)
X5.2 Kesesuaian
X5.3 Kerumitan
X6 PERSEPSI PETANI THD MEDIA/ INFORMASI
- 0,153
(0,099)
- 0,204
(0,027) X6.1 Interpersonal
X2.1 Kerjasama
0,136 (0,114)
-0,206
(0,008)
0,290 (0,000)
0,435 (0,000)
0,125 (0,032)
X1.6 Daya beli
X2.3 Keterdedahan thd media
X2.2 Tk. kekosmopolitan
X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA
X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan
X3.1 Ketersediaan input
X3.3 Ketersediaan sara-na pemasaran
0,249
(0,006)
0,175 (0,081)
0,132 (0,129)
0,151 (0,088)
0,324 (0,003)
Y1 KEPUTUSAN PETANI
Y2 KINERJA USAHA TANI
Y1.2 Penggunaan saprodi
0,245 (0,001)
Keterangan: ..... (.......) = koefisien jalur (nilai-p) Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf α= 0,15
X4 PERSEPSI PETANI THD PENYULUHAN
206
penganekaragaman usaha, sumber pupuk kandang, sebagai tabungan keluarga
(sewaktu-waktu dapat dijual pada saat membutuhkan uang tunai) dan dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Keterkaitan usahatani tanaman dengan ternak, dari tanaman dapat
menghasilkan hijauan pakan ternak, sedangkan dari ternak menghasilkan pupuk
kandang dan daging. Kegiatan konservasi lahan dengan pembuatan teras bangku
dan guludan serta penanaman penguatan teras dengan tanaman pakan ternak
(rumput dan leguminosa). Menurut petani adopter manfaat konservasi lahan
dapat mencegah pengikisan tanah, meningkatkan kesuburan lahan, sehingga dapat
menghemat penggunaan pupuk. Pengaturan pola tanam dinilai petani adopter
dapat menekan pertumbuhan gulma dan hama penyakit serta mempertahankan
kesuburan lahan. De Boer dan Welsch (Soedjana, 2007) menyatakan, usahatani
terpadu tanaman-ternak banyak dijumpai di negara berkembang dengan pola dan
tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesejahteraan keluarga petani melalui
penyebaran resiko usaha dengan menganekaragamkan komponen usahatani.
Petani adopter dengan manfaat usahatani sedang – tinggi terdapat
kecenderungan untuk terus menerapkan usahatani terpadu. Semakin tinggi
manfaat yang diperoleh dari kegiatan usahatani terpadu, maka proporsi petani
adopter yang melanjutkan adopsi juga semakin tinggi. Meskipun bantuan sarana
produksi untuk kegiatan usahatani terpadu pada tahun 2009 sudah tidak ada lagi,
namun masih ada bantuan kredit PUAP. Penerima bantuan kredit PUAP di Desa
Talaga adalah para pengrajin bambu (pembuat bilik atau ”gedeg”), sedangkan di
Desa Jatiwangi Garut, para petani adopter usahatani terpadu. Diduga kredit
PUAP ini yang menyebabkan petani adopter terus menerapkan usahatani terpadu.
Kelompok petani adopter ini, sebagian besar (61,2%) menyampaikan inovasi
teknologi usahatani terpadu kepada anggota keluarga yang membantu mengelola
kegiatan usahatani, terutama yang terkait dengan teknik budidaya.
Sebanyak 7,8 persen petani adopter (ketua kelompok tani) menyampaikan
inovasi teknologi usahatani terpadu kepada petani lain, tentang keunggulan
varietas baru yang diperkenalkan, manfaat teras bangku dan pengaturan pola
tanam serta keuntungan beternak domba. Petani adopter yang memiliki lahan
relatif sempit dengan kisaran luas 0,04-0,25 ha, cenderung tidak meneruskan
207
informasi tentang usahatani terpadu kepada petani lain. Bantuan sarana produksi
yang diperoleh ekuivalen dengan luas lahan garapan petani adopter yang relatif
sempit. Petani adopter ini hanya menerapkan komponen teknologi yang dianggap
sederhana dan tidak rumit seperti anjuran menanam pisang, cabai rawit dan padi
gogo serta pembuatan teras bangku termasuk penanaman rumput penguat teras.
Pengelolaan usahatani masih bersifat subsisten, sehingga petani adopter ini tidak
memperhitungkan keuntungan, masih berorientasi pada keamanan pangan
keluarga (subsisten).
Petani adopter yang memutuskan berhenti adopsi (15,3%) termasuk dalam
kategori petani skala kecil dengan pemilikan lahan relatif sempit (0,04-0,25 ha).
Kelompok petani adopter ini menilai bahwa keuntungan finansial usahatani
terpadu pada saat terdapat serangan hama dan penyakit, tidak berbeda dengan
teknologi lokal yang biasa diterapkan. Petani adopter ini memutuskan berhenti
menanam komoditas yang dianjurkan dan beralih menanam kayu yang tahan
terhadap hama dan penyakit serta tidak membutuhkan pemeliharaan yang rutin.
Petani adopter ini rentan terhadap resiko produksi, penguasaan sumberdaya lahan
dan kapital yang terbatas dengan pendidikan relatif rendah. Beberapa petani
adopter ini tidak lagi beternak domba, karena telah menjual domba yang dimiliki
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bila kegiatan penyuluhan dilakukan secara intensif dan berkelanjutan,
dengan asumsi penyuluh pertanian telah berperan sebagai fasilitator, motivator,
serta dalam menyampaikan inovasi telah memahami prinsip-prinsip penyuluhan,
maka manfaat teknologi usahatani terpadu bagi petani adopter dapat ditingkatkan.
Dengan menggunakan perhitungan rasio Odds, petani adopter yang merasa
manfaat teknologi usahatani terpadu tergolong sedang, dan dapat ditingkatkan
manfaatnya ke kategori tinggi. Potensi petani adopter tersebut melanjutkan adopsi
teknologi usahatani terpadu menjadi empat kali lipat.
Pengetahuan Petani Non Adopter terhadap Usahatani Terpadu
Sebagian besar (49,7%) petani non adopter (Cianjur dan Garut) memiliki
pengetahuan tentang usahatani terpadu dan termasuk dalam kategori sedang
(Gambar 18). Pengetahuan ini diperoleh dari petani adopter yang mempunyai
208
hubungan kekerabatan dengan petani non adopter. Pengetahuan petani non
adopter berada pada kisaran kurang tahu – tahu tentang usahatani terpadu. Petani
non adopter kurang mengetahui upaya konservasi lahan dan penanganan
pascapanen. Pemahaman petani non adopter terhadap kedua hal tersebut relatif
rendah. Karena tidak ada penyuluh pertanian yang menyampaikan manfaat
konservasi lahan dan perolehan nilai tambah pada penanganan pascapanen produk
pertanian. Petani non adopter di Desa Talaga Cianjur mengetahui teknik budidaya
tanaman pisang dengan cabai rawit melalui plot demonstrasi Kelompok Tani
Sumber Tani. Teknik budidaya tersebut mencakup pengaturan jarak tanam,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pembrongsongan buah pisang.
Gambar 18 Diagram pohon adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu
Beberapa petani non adopter mempunyai hubungan kekerabatan dengan
pengurus kelompok tani, dari sini terjadi penyebaran informasi usahatani terpadu.
Kelompok pengajian juga merupakan media penyampaian informasi usahatani
terpadu yang dilakukan oleh ketua kelompok tani. Difusi usahatani terpadu antara
petani adopter dengan petani non adopter dengan cara tersebut juga terjadi di
RESPONDEN n=302 (100%)
ADOPTER
(45,4%) NON ADOPTER
(54,6%)
Manfaat UTT rendah (0%)
Manfaat UTT sedang (65,0%)
Manfaat UTT tinggi (35,0%)
Pengetahuan UTT rendah (46,7%)
Pengetahuan UTT sedang (49,7%)
Pengetahuan UTT tinggi (3,6%)
LANJUT ADOPSI (84,7%)
BERHENTI ADOPSI (15,3%)
Diteruskan kepada anggota keluarga
(61,2%)
Diteruskan kepada petani lain (7,8%)
MAU ADOPSI (37,6%)
MENOLAK ADOPSI (62,4%)
Tidak diteruskan (31,0%)
n = 137 n = 165
93,7%
6,3% 28,6%
71,4% 42,7% 57,3%
85,0% 15,0%
20,2% 79,8%
209
Desa Jatiwangi Garut. Teknik budidaya nilam justru diketahui dari sesama petani
non adopter yang menjadi transmigran ke Bengkulu (1982-1998) dan kembali ke
Desa Jatiwangi pascagempa Gunung Galunggung. Sebanyak 10.000 bibit
tanaman nilam dibawa dari Bengkulu, karena dinilai cocok untuk dikembangkan
di Desa Jatiwangi. Bibit tanaman nilam diberikan kepada petani yang berminat
membudidayakan dan hasil panen nilam dijual kepada petani pemberi bibit yang
merangkap sebagai pedagang. Hasil penjualan nilam yang diterima petani telah
dikurangi biaya bibit, namun bila terjadi gagal panen tidak ada biaya bibit yang
harus dibayar petani.
Proporsi terbesar (85,0%) petani non adopter yang mempunyai pengetahuan
usahatani terpadu tergolong tinggi, cenderung berkeinginan untuk mengadopsi
usahatani terpadu. Sebanyak 42,7 persen petani non adopter yang
berpengetahuan sedang berminat adopsi usahatani terpadu. Hasil penelitian
Brunson dan Price (2009) mengungkapkan bahwa petani skala kecil
membutuhkan informasi tentang cara terbaik untuk mengelola lahan yang
dimiliki. Akses terhadap informasi tersebut didapat dari sesama petani (tetangga)
ataupun kerabat. Sumber alternatif lain yang dipandang dapat dipercaya adalah
dari tenaga penyuluh. Fakta ini didukung analisis yang dilakukan Soedjana
(2007) bahwa, tingkat pengetahuan petani terhadap informasi sangat bervariasi.
Untuk itu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan resiko dan
ketidakpastian perlu mempertimbangkan dengan baik berdasarkan informasi yang
tersedia (diupayakan selengkap mungkin).
Dalam proses difusi, sebanyak 37,6 persen petani non adopter yang
berminat adopsi diharapkan dapat didekati oleh penyuluh pertanian atau ketua
kelompok tani untuk menerapkan usahatani terpadu. Keinginan petani non
adopter untuk mengadopsi usahatani terpadu didasarkan pada pengetahuan yang
diperoleh tentang berbagai kelebihan teknologi tersebut dibandingkan dengan
teknologi lokal yang telah diterapkan.
Petani non adopter mengusahakan lahan garapan dengan kategori tergolong
sedang (0,26-0,50 ha) dan luas (> 0,51 ha). Petani non adopter kelompok ini
relatif lebih mampu memperbaiki nasib berdasarkan lahan yang digarap dan
modal yang dimiliki, dibandingkan petani non adopter skala kecil/sempit (0,04-
210
0,25 ha). Bahkan menurut Tjondronegoro (1998) pada petani non adopter skala
luas (≥ 0,75 ha; kategori luas dalam penelitian ini > 0,51 ha) dapat menanggung
resiko kegagalan panen karena faktor-faktor yang tidak dikuasai petani (seperti
kekeringan, serangan hama dan penyakit).
Apabila kegiatan penyuluhan juga dilakukan secara intensif dan
berkelanjutan kepada petani non adopter, maka pengetahuan teknologi usahatani
terpadu kepada petani non adopter dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan
perhitungan rasio Odds, petani non adopter yang merasa tingkat pengetahuan
teknologi usahatani terpadu tergolong rendah, dan dapat ditingkatkan
pengetahuannya ke kategori tinggi, maka potensi petani non adopter tersebut mau
mengadopsi teknologi usahatani terpadu menjadi 14 kali lipat. Pada petani non
adopter yang dapat ditingkatkan pengetahuannya dari kategori rendah ke sedang;
dari kategori sedang ke tinggi, maka potensi petani tersebut mau mengadopsi
teknologi usahatani terpadu masing-masing menjadi dua dan delapan kali lipat.
Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan pada Lahan Kering
Marjinal untuk Peningkatan Kinerja Usahatani
Justifikasi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan
Sampai saat ini penyuluhan pertanian masih dipersepsikan sebagai alat
pemerintah untuk pencapaian target produksi secara nasional dengan pendekatan
yang bersifat top-down dan sentralistik. Kritikan terhadap pendekatan ini telah
banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Para petani dinilai tidak mendapatkan
cukup insentif dan termotivasi melaksanakan pencapaian target produksi yang
direncanakan pemerintah (Slamet, 2008). Sebagai respon terhadap kritikan
tersebut pada akhir 2005 Menteri Pertanian mencanangkan Revitalisasi
Penyuluhan Pertanian (RPP). Pencanangan RPP dimaksudkan sebagai upaya
mendudukkan, memerankan dan memfungsikan serta menata kembali penyuluhan
pertanian agar terwujud kesatuan pengertian, kesatuan korp dan kesatuan arah
kebijakan. Sebagai tindak lanjut RPP, pada tahun 2006 pemerintah
memberlakukan UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan.
211
Penyuluhan seyogianya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan
kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha. Berdasarkan UU
No.16/2006 tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2009 (PP No.43/2009) tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan
Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Mengingat
berbagai kendala yang dijumpai di lapangan implementasi dari PP No.43/2009 ini
belum sesuai dengan rencana.
Feder et al. (Mardikanto, 2008) telah mengidentifikasi kendala yang
dihadapi penyuluh dalam menjalankan tugasnya yaitu: (1) skala dan kompleksitas
dari tugas-tugas penyuluh; (2) ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah; (3)
ketidakmampuan aparat pemerintah untuk menelusuri hubungan sebab akibat
yang ditimbulkan oleh kegiatan penyuluhan, kaitannya dengan masalah-masalah
yang dihadapi, dukungan politis, alokasi anggaran dan akuntabilitas kegiatan
penyuluhan; (4) komitmen dan dukungan politis yang berubah-ubah, terutama
yang diakibatkan oleh seringnya terjadi pergantian (pemegang) kekuasaan di
tingkat pusat; (5) akuntabilitas, yang menyangkut kinerja penyuluhan, dan kinerja
staf yang berhubungan dengan petani (terutama penyuluh pertanian, peneliti); (6)
kelayakan sebagai lembaga layanan inovasi dan informasi yang harus mampu
menjangkau semua kelompok sasaran, aparat pemerintah di lapisan terbawah, dan
pemangku kepentingan lain yang memerlukan; (7) keberlanjutan operasionalisasi
fiskal dan sumberdaya lain, baik karena ketidakpastian anggaran maupun
rendahnya pengembalian dana yang telah digunakan untuk kegiatan penyuluhan;
serta (8) masih lemahnya interaksi antara penyuluhan dengan penelitian.
Hasil pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh PNS
(dari BPTP) yang bertugas sebagai tenaga pendamping berakhir pada saat
program atau proyek kegiatan usahatani terpadu juga berakhir. Tidak ada tindak
lanjut tenaga pendampingan penyuluh PNS (dari BPP), sehingga upaya
memperkenalkan teknologi usahatani terpadu yang mulai dirintis sejak tahun 2-4
tahun (Cianjur 2007-2009 dan Garut 2005-2009) seperti berhenti di akhir
program. Dukungan instansi lain, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian,
Dinas Peternakan dan pemerintah daerah setempat di awal program juga ikut
212
terhenti. Padahal beberapa petani yang telah menerapkan teknologi usahatani
terpadu tergolong rentan terhadap kondisi internal (dari diri petani) dan eksternal
(lingkungan) yang akan kembali pada keadaan awal sebelum mengenal teknologi
usahatani terpadu. Mengingat proses adopsi untuk sampai pada tahap konfirmasi
butuh waktu yang relatif lama, karena memerlukan perubahan perilaku petani, dan
perlu dukungan penguatan dari pihak lain, terutama penyuluh pertanian. Untuk
itu pemikiran tentang penyuluhan pertanian berkelanjutan dipandang sebagai
langkah yang dapat ditempuh agar usahatani terpadu terus diterapkan petani.
Beberapa argumen yang mendukung pentingnya penyuluhan pertanian
berkelanjutan antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, kegiatan usahatani
terpadu diperlukan bukan hanya untuk kepentingan petani di lahan kering
marjinal, tetapi juga membantu pemerintah daerah setempat (seperti di Cianjur
dan Garut) dalam pembangunan pertanian di wilayah pedesaan. Inovasi teknologi
usahatani terpadu untuk memanfaatkan lahan kering marjinal yang potensial
sebagai pertanian organik. Kedua, selama ini terdapat kecederungan bahwa petani
dalam menerapkan suatu inovasi, akan berhenti mengadopsi begitu program atau
proyek telah selesai. Hal ini akibat menjadikan petani selalu bergantung pada
proyek. Ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa keputusan petani
adopter sebagian besar (84,7%) masih akan terus menerapkan teknologi usahatani
terpadu dan petani non adopter (37,6%) juga bermaksud mengadopsi (Gambar
19), merupakan suatu potensi yang perlu dikembangkan. Keempat, pada tahun
2010 dialokasikan dana dekonsentrasi antara lain digunakan untuk pengawalan
dan pendampingan penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Dana tersebut
dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan monitoring dan evaluasi (monev)
penyelenggaraan penyuluhan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Pusat
Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010). Diusulkan melalui pemerintah
daerah setempat, dalam kegiatan monev tersebut dapat disertakan kegiatan
pendampingan penyelenggaraan penyuluhan pertanian terhadap kegiatan
usahatani terpadu. Kelima, hasil penelitian ini dan hasil penelitian Deutchmann
serta Fals Borda di masyarakat pedesaan Kolombia (Rogers dan Shoemaker,
1971) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keberhasilan
change agent (penyuluh pertanian) dengan gencarnya upaya promosi yang
213
dilakukan dalam mendiseminasikan suatu inovasi. Upaya tersebut ditandai
dengan frekuensi keberadaan penyuluh pertanian di lapangan yang relatif sering
dibandingkan berada di kantor.
Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan
Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan ini (Gambar 19) dimaksudkan
sebagai upaya mengatasi kemandegan penyuluhan pertanian setelah program atau
proyek kegiatan suatu inovasi teknologi (usahatani terpadu) berakhir. Padahal
kegiatan penyuluhan pertanian harus berjalan terus untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Sebagaimana tujuan penyuluhan pertanian yang tertuang dalam UU
RI No. 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2) bahwa proses pembelajaran bagi pelaku
utama (petani) dan pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannnya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Strategi
penyuluhan pertanian berkelanjutan dibangun berdasarkan sintesis hasil penelitian
ini, adalah sebagai berikut :
Masukan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik petani (tingkat
mobilitas, luas lahan, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, dan tingkat
keberanian beresiko) serta perilaku komunikasi petani (ketersediaan sarana
produksi, tingkat kekosmopolitan, dan keterdedahan terhadap media) berpengaruh
terhadap persepsi petani terhadap penyuluhan. Faktor-faktor ini perlu dicermati
pada saat kegiatan penyuluhan dilakukan secara berkelompok. Kondisi
masyarakat petani yang heterogen dapat disiasati dengan menggunakan falsafah
“membakar sampah,” yakni petani yang tergolong cepat merespon suatu inovasi
teknologi akan menyampaikan kepada petani lain yang tergolong lambat. Sasaran
inovasi teknologi pada petani “lapisan atas” ini menuai kritikan Tjondronegoro
(1998) tentang gejala pelapisan sosial, sebagai dampak program Bimbingan
Massal (BIMAS). Petani kaya lebih mampu memperbaiki nasib berdasarkan aset
214
pemilikan lahan dan modal (cepat menerapkan inovasi teknologi, karena resiko
kegagalan mampu ditanggung) dibanding petani miskin dengan luas lahan sempit.
Respon terhadap kritikan tersebut dapat dikaitkan dengan gagasan
pemikiran Sajogyo (1990) pada tahun 1975 tentang “tanah komunal.” Dalam hal
land reform, bahwa lahan milik golongan petani gurem dengan luasan < 0,2 ha
dibeli oleh pemerintah. Mengadaptasi ide tersebut dalam konteks saat ini
diselaraskan dengan kondisi petani, maka pengelolaan “tanah komunal” dapat
diserahkan kepada pemerintah desa. Petani yang memiliki lahan < 0,2 ha dan
bermaksud menjual lahan harus ditawarkan kepada pemerintah, melalui
pemerintah desa. Peruntukan “tanah komunal” ini tetap dijaga untuk lahan
pertanian, sehingga mencegah upaya konversi lahan. Petani bekas pemilik lahan
dapat tetap menggarap lahan tersebut dengan cara menyewa kepada pemerintah
desa dengan biaya sewa yang relatif rendah, sehingga dapat dijangkau. Upaya ini
selain mencegah pemilikan akumulasi lahan pada petani tertentu (yang disebut
“tuan tanah”), juga petani pemilik lahan dapat beralih sebagai petani penggarap
(tidak sekedar buruh tani), sehingga masih bisa mengambil keputusan dalam
kegiatan usahatani.
Dalam satu kelompok tani, petani penggarap “tanah komunal” ini digabung
dengan petani pemilik lahan, dengan proporsi petani penggarap lebih dominan.
Kegiatan peyuluhan pertanian dilakukan untuk seluruh anggota kelompok, tidak
dibatasi hanya pengurus kelompok saja, sehingga semua petani memperoleh
kesempatan yang sama untuk mengembangkan usahatani yang dikelola.
Keberadaan petani penggarap tidak hanya sekedar pelengkap untuk memenuhi
keperluan administrasi dalam pembentukan kelompok yang mensyaratkan jumlah
angggota. Namun seluruh petani (pemilik dan penggarap) sebagai pelaku utama
pembangunan pertanian dapat diberdayakan sesuai Pasal 3 UU RI No. 16/2006,
melalui penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang,
peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.
Tersedianya teknologi yang potensial di lahan kering, salah satu di
antaranya adalah teknologi usahatani terpadu dapat untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Potensi petani sendiri, baik di Cianjur
maupun Garut dilihat dari karakteristik petani apabila ditingkatkan
215
kemampuannya dan diberi kesempatan; maka kedua hal tersebut memungkinkan
untuk mendukung penyuluhan yang berkelanjutan. Dalam memperkenalkan
inovasi teknologi yang lain perlu memperhatikan ciri-ciri inovasi, terutama yang
terkait dengan keuntungan relatif, tingkat kesesuaian dan tingkat kerumitan.
Dukungan iklim usaha yang tidak berpengaruh pada persepsi petani
terhadap penyuluhan, perlu dikritisi dengan memasukkan dukungan kebijakan
pemerintah (pusat maupun daerah) berupa peraturan yang mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif sesuai Pasal 3 UU RI No. 16/2006. Terutama yang
terkait dengan ketersediaan fasilitas keuangan perlu mendapat perhatian
pemerintah daerah setempat, mengingat akses petani terhadap lembaga perbankan
relatif sulit. Petani lebih mudah mengakses kredit non formal, baik ke pedagang
sarana produksi, pedagang hasil, kelompok tani, maupun pelepas uang (rentenir),
dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi. Pemerintah daerah dapat
memanfaatkan seoptimal mungkin lembaga perbankan yang telah eksis untuk
didorong agar memiliki kepedulian yang besar terhadap sektor pertanian. Untuk
mengatasi masalah permodalan petani, Syukur (2009) menyarankan
pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agribisnis yang mempunyai
keunggulan: (1) kemudahan akses, (2) proses yang cepat, (3) prosedur relatif
sederhana, (4) berdasarkan budaya setempat dan dekat lokasi usaha, dan (5)
pengelola LKM lebih paham mengenai karakter petani.
Proses
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap
penyuluhan tidak berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri
inovasi. Hal ini berarti penyuluhan pertanian yang telah berlangsung belum
menyentuh semua masyarakat petani. Penyuluh dalam menyampaikan inovasi
teknologi usahatani terpadu belum memahami prinsip-prinsip penyuluhan.
Dahama dan Bhatnagar (Mardikanto, 1993) menyatakan ada 12 prinsip
penyuluhan pertanian, yakni:
(1) Prinsip minat dan kebutuhan
Untuk lebih efektif, penyuluhan pertanian harus dimulai dengan minat dan
kebutuhan subyek penyuluhan. Pemenuhan kebutuhan petani harus
disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia dan diberi skala prioritas.
216
(2) Prinsip yang didasarkan pada organisasi masyarakat bawah (grass-roots)
Penyuluhan yang efektif harus melibatkan masyarakat pada tingkat bawah
(grass-roots), sejak dari setiap keluarga/kekerabatan.
(3) Prinsip perbedaan kebudayaan
Penyuluhan pertanian harus menggunakan pendekatan dan prosedur yang
tidak bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, kepercayaan, sistem
nilai, adat kebiasaan, dan norma di lingkungan petani tersebut berada.
(4) Prinsip perubahan kebudayaan
Kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Penyuluh
harus memperhatikan nilai budaya lokal, seperti tabu, kebiasaan- kebiasaan,
sehingga perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan budaya.
(5) Prinsip kerjasama dan partisipasi
Penyuluh dapat bekerja secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan
penyuluhan, jika bekerjasama dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan lain yang ada di wilayah kerjanya. Penyuluh memerlukan
dukungan pihak-pihak tersebut, karena pada dasarnya penyuluh hanya
sebagai fasilitator dan motivator.
(6) Prinsip pengetahuan terapan dan pendekatan demokratik
Ilmu penyuluhan sebagai bagian dari ilmu terapan, bukan hasil praktek dan
proses penyuluhan yang berjalan searah (sepihak). Dalam hal ini teori-teori
diaplikasikan di lapangan menghasilkan konsep, teori dan pendekatan baru.
(7) Prinsip belajar sambil bekerja (learning by doing)
Penyuluh bukan hanya menumbuhkan motivasi belajar, tetapi juga kemauan
untuk bertindak sendiri (untuk mendapatkan pengalaman). Selain
mendorong subyek penyuluhan untuk mandiri, prinsip ini juga
menumbuhkan kepercayaan diri pada petani.
(8) Prinsip spesialis yang terlatih
Penyuluh harus memperoleh latihan yang sesuai dengan fungsinya.
Penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan khusus akan lebih
efektif dibandingkan yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan.
217
(9) Prinsip penggunaan metode penyuluhan yang adaptif
Tidak ada satupun sistem pengajaran atau pendekatan penyuluhan yang
paling efektif dalam semua situasi penyuluhan. Materi penyuluhan tertulis
tidak mungkin dapat diakses oleh petani yang buta huruf. Selain
keterbatasan fasilitas, penyuluh dihadapkan pada situasi dengan sejumlah
petani yang beragam latar belakang dan minat. Penyuluh harus menyeleksi
metode yang dipilih agar tujuan tercapai.
(10) Prinsip kepemimpinan
Penyuluh memerlukan orang-orang yang akan membantu secara sukarela.
Setiap komunitas memiliki struktur, yang di dalamnya terdapat pemimpin
dan atau yang berpotensi sebagai pemimpin. Keterlibatan pemimpin lokal
merupakan bagian penting dalam mewujudkan keberhasilan penyuluhan,
karena umumnya memiliki kekuasaan mempengaruhi warga komunitasnya.
(11) Prinsip melibatkan semua anggota keluarga
Keluarga/rumah tangga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri
atas individu-individu yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi keluarga
(ekonomi, bekerja, pendidikan, kasih sayang dan lain-lain). Penyuluh harus
melibatkan anggota keluarga secara setara dalam program penyuluhan.
(12) Prinsip kepuasan
Kepuasan subyek penyuluhan merupakan yang esensial dalam penyuluhan
pertanian. Karena itu penyuluhan harus dilakukan dengan memenuhi
kebutuhan yang sangat dirasakan dan disertai dengan berbagai aspek yang
mendukung tercapainya pemenuhan kebutuhan petani.
Hasil penelitian Agussabti (2002) memperlihatkan bahwa misi penyuluhan
yang terlalu mengedepankan pencapaian target produksi dengan disertai bantuan
yang bersifat material dan kurang menempatkan target pengembangan mutu
sumberdaya manusia sebagai sentra kegiatan penyuluhan ternyata gagal membuat
petani lebih mandiri dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi. Mengacu
pendapat Slamet (2009), penyuluhan pertanian hendaknya:
(1) Menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral.
(2) Pendekatan yang humanistik, menjadikan petani sebagai subyek yang
berpotensi untuk mandiri (people centered development).
218
(3) Mengusahakan agar petani mampu meningkatkan kesejahteraannya.
(4) Petani tidak tersubordinasi oleh pihak manapun dan oleh kepentingan pihak
lain yang manapun.
(5) Misi penyuluhan pertanian adalah melayani kebutuhan-kebutuhan petani,
sehingga petani merasa puas, serta mengembangkan kemandirian petani,
bukan mengembangkan ketergantuan pada pihak lain.
Lebih lanjut Slamet (2009) mengemukakan, bahwa para penyuluh pertanian PNS
selain merupakan tenaga fungsional, juga harus sebagai tenaga kerja yang
profesional. Profesionalisasi penyuluh pertanian perlu perubahan orientasi, dari
pendekatan instansi ke pengembangan mutu individu penyuluh, dari hierakhi kerja
vertikal ke kerjasama horizontal, dari pendekatan instruktif ke partisipatif dialogis,
dari sistem kerja linier (masing-masing) ke sistem kerja jaringan.
Untuk memenuhi tuntutan kerja yang profesional penyuluh pertanian harus
memiliki kompetensi yang tinggi dilihat dari aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang pesat, terutama di bidang telekomunikasi dan
bioteknologi, sehingga peningkatan kompetensi penyuluh melalui pendidikan
formal dan non formal merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Dalam
kegiatan penyuluhan dilakukan oleh penyuluh pertanian PNS, penyuluh swasta,
dan/atau penyuluh swadaya (ketua kelompok tani), sesuai pasal 20 ayat (1) UU RI
No. 16 Tahun 2006.
Mengingat rasio satu tenaga penyuluh pertanian PNS di lokasi penelitian
membina 3-4 desa. Usulan merekrut ketua kelompok tani sebagai penyuluh
pertanian swadaya, didampingi penyuluh pertanian PNS dapat dipandang sebagai
alternatif mengatasi kompleksitas kegiatan dan tugas-tugas penyuluhan di
lapangan. Di samping itu, kebijakan yang telah dicanangkan Kementerian
Pertanian menetapkan satu desa satu penyuluh pertanian dapat direalisasikan. Hal
ini akan menghasilkan strategi yang operasional, asalkan didukung dengan
kebijakan pemerintah daerah (kabupaten dan kecamatan); karena penyuluh
pertanian PNS hanya patuh pada peraturan/kebijakan pemerintah (pusat dan
daerah) daripada tuntutan petani. Seharusnya penyelenggaraan kegiatan
penyuluhan didasarkan pada kebutuhan masyarakat petani.
219
Biaya operasional penyuluh pertanian swadaya dapat dibebankan pada dana
APBD yang memungkinkan untuk pelaksanaan plot demonstrasi (paling sedikit
satu plot demonstrasi untuk 1-3 desa yang berdekatan). Diversifikasi pendanaan
kegiatan penyuluhan dapat dilakukan, baik dari APBN, APBD maupun partisipasi
sektor swasta melalui kemitraan dengan petani. Metode penyuluhan plot
demonstrasi dinilai efektif untuk menunjukkan kepada masyarakat petani
keunggulan suatu inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani. Dengan
memposisikan ketua kelompok tani sebagai penyuluh pertanian swadaya, yang
berasal dari sistem sosial yang sama petani sasaran (homofili), maka akan terjalin
komunikasi yang dialogis dan partisipatif.
Peran penyuluh sebagai fasilitator dan motivator, sebagaimana tertera pada
Pasal 4 UU RI No. 16/2006, fungsi sistem penyuluhan meliputi: (a) memfasilitasi
proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (b) mengupayakan
kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi,
dan sumberdaya lainnya agar dapat mengembangkan usahanya; (c) meningkatkan
kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan
pelaku usaha; (d) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuh-
kembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing
tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan;
(e) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang
dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola
usaha; (f) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terdahap
kelestarian fungsi lingkungan; dan (g) melembagakan nilai-nilai budaya
pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi
pelaku utama secara berkelanjutan.
Selama ini keberadaan penyuluh pertanian PNS sebagai tenaga fungsional
terlihat tidak setara dengan tenaga fungsional lain yang sudah mapan seperti
dokter dan tenaga para medis lain, dosen, peneliti, hakim ataupun jaksa. Hal ini
tercermin dari lembaga tempat bernaung penyuluh pertanian PNS mengalami
beberapa kali perubahan. Perubahan kelembagaan penyuluhan yang selama ini
terjadi berpengaruh negatif terhadap kinerja para penyuluh. Bahkan dengan
diberlakukan UU Otonomi Daerah memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah
220
untuk mengatur kelembagaan daerah, sehingga kelembagaan penyuluhan yang ada
di daerah terlihat beragam. Semenjak diberlakukan otonomi daerah tanggung
jawab penyuluhan pertanian diserahkan kepada daerah, namun tidak semua daerah
siap untuk menerimanya. Hal ini terbukti dari penyelenggaraan penyuluhan yang
tergantung pada kegiatan program/proyek (seperti yang terjadi di desa Talaga dan
Desa Jatiwangi).
Seyogianya kelembagaan penyuluhan pertanian tetap berada dalam satu
institusi, sehingga tidak membingungkan posisi penyuluh. Walaupun terjadi
reorganisasi di berbagai institusi, namun seharusnya kelembagaan penyuluhan
pertanian tetap. Seperti halnya kelembagaan Badan Pusat Statistik yang tetap
berada di bawah Sekretariat Negara. Kondisi ini membuat tenaga fungsional yang
bekerja di dalamnya berada dalam lingkungan kerja yang kondusif, dari tingkat
pusat sampai tingkat desa, dan dapat melakukan tugas pokok dan fungsinya
dengan baik. Hal ini sebagai bentuk apresiasi terhadap keberadaan penyuluh
pertanian yang dinilai sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Dengan
struktur kelembagaan yang jelas, dari tingkat pusat hingga desa, sarana dan
fasilitas-fasilitas yang memadai, kegiatan penyuluhan pertanian diharapkan dapat
berjalan dengan baik.
Menurut Slamet (2008), bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian
merupakan suatu keputusan yang harus diambil oleh pembuat kebijakan (di
tingkat pemerintah pusat maupun daerah). Keputusan tersebut akan sangat
dipengaruhi oleh persepsi pembuat kebijakan itu tentang dua hal penting, yaitu
tentang pembangunan pertanian dan tentang penyuluhan pertanian. Berdasarkan
UU No 16/2006 kelembagaan penyuluhan di tingkat pusat berbentuk badan yang
menangani penyuluhan; pada tingkat provinsi berbentuk badan koordinasi
penyuluhan; pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan;
dan pada tingkat kecamatan berbentuk balai penyuluhan. Dalam implemen-
tasinya, terkait dengan otonomi daerah, maka pemerintah daerah dari tingkat
provinsi hingga kecamatan memegang peran penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini program pembangunan daerah lebih
berorintasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan kegiatan
penyuluhan dinilai tidak dapat meningkatkan PAD, sehingga kurang mendapatkan
221
perhatian. Seyogianya pemerintah daerah memandang kegiatan penyuluhan
sebagai investasi jangka panjang, sebagai upaya untuk memberdayakan petani
agar mandiri sehingga kesejahteraannya meningkat. Selanjutnya petani yang
mandiri akan sangat membantu penyelenggaraan program-program pemerintah.
Melalui pemerintah daerah dapat dibangun jejaring kerja dengan pihak-
pihak swasta untuk dapat menjalin kemitraan dengan kelompok tani agar
permodalan usahatani dan pemasaran produk terjamin dengan harga jual yang
menguntungkan petani. Pemerintah daerah dengan dukungan dana APBD dapat
mengusahakan fasilitas kerja yang memadai bagi tenaga penyuluh agar tercapai
kinerja penyuluh yang optimal. Pemerintah daerah juga dapat menjamin
masyarakat petani mendapatkan hak pelayanan secara proporsional sesuai dengan
kemampuan, kondisi, serta kebutuhan petani sebagai pelaku usaha.
Di tingkat operasional, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten perlu
membuat prosedur dan standar kinerja penyuluh. Pemerintah daerah tingkat
kabupaten perlu menetapkan sistem kompensasi berupa insentif, ataupun reward
dan punishment, serta fasilitas kerja yang memadai untuk menjamin adanya
motivasi kerja yang tinggi dari seluruh tenaga fungsional penyuluh pertanian.
Reward dapat diberikan kepada penyuluh pertanian berupa pemberian kesempatan
mengikuti pendidikan formal dan pendidikan non formal (pelatihan-pelatihan,
menghadiri seminar, workshop dan sebagainya) sebagai upaya meningkatkan
kompetensi penyuluh.
Kegiatan penyuluhan pertanian yang selama ini (termasuk diseminasi
usahatani terpadu di Cianjur dan Garut dalam penelitian ini) menggunakan
pendekatan ”top-down” perlu mengarah ke titik temu antara pendekatan ”top-
down” dengan “bottom-up,” dengan partisipasi petani dan kelompok tani,
terutama dalam penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan
perencanaan bersama atau “join planning” (Asngari, pers comm) atau
”participatory planning” (Tjitropranoto, pers comm). Kepentingan pemerintah
pusat yang berupa kebijakan bersifat “top-down” dipadukan dengan kebutuhan
petani yang bersifat “bottom-up.” Penyelenggaraan penyuluhan yang selama ini
cenderung mengarah kepada transfer teknologi perlu bergeser ke arah
pemberdayaan petani (capacity building of grass root community), dengan
222
penyediaan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani.
Penyuluh pertanian berperan sebagai dinamisator, fasilitator dan motivator.
Kegiatan usahatani terpadu telah memperoleh dukungan dari pemerintah
daerah, seperti Pemda Cianjur telah menyediakan lahan dan pengadaan bangunan
fisik ”Klinik Agribisnis,” kredit PMUK dari dana APBN yang disalurkan melalui
Dinas Pertanian Cianjur, dan bantuan ternak domba dari Dinas Peternakan Garut,
serta bantuan alat penyulingan minyak atsiri dari Dinas Perindustrian Garut.
Dukungan ini menunjukkan antara pemerintah pusat (BPTP Jawa Barat) dengan
pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain telah ada keterkaitan program
dan terjalin kerjasama yang sinergis pada saat program usahatani terpadu masih
berjalan. Setelah program usahatani berakhir kegiatan penyuluhan perlu
diserahterimakan kepada Pemda setempat melalui Dinas Pertanian Cianjur dan
Badan Ketahanan Pangan Garut. Keberlanjutan kegiatan penyuluhan pertanian
usahatani terpadu diperlukan untuk memfasilitasi dan memotivasi petani yang
telah mengadopsi usahatani terpadu untuk terus berlanjut menerapkan teknologi
tersebut. Demikian juga pada petani lain (non adopter) yang berminat
mengadopsi usahatani terpadu dapat dibina dan didampingi oleh penyuluh
pertanian PNS (dari BPP) dan penyuluh swadaya (ketua kelompok tani).
Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi yang berpengaruh nyata pada
keputusan adopsi inovasi adalah keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, dan
tingkat kerumitan. Ketiga ciri-ciri tersebut yang menentukan dalam pemilihan
komoditas yang diusahakan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani
(lahan, modal, dan tenaga kerja). Teknologi yang diadopsi petani merupakan
teknologi (baik usahatani terpadu maupun teknologi lokal) yang dinilai petani
secara ekonomi menguntungkan, biaya awal yang rendah, mempunyai
kebanggaan (prestise) sosial, hemat waktu dan tenaga, imbalan yang segera
didapat. Selain itu teknologi tersebut juga dinilai petani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada, sesuai dengan kebiasaan petani setempat, sesuai dengan pengalaman
masa lalu, dan sesuai kebutuhan petani. Secara teknis teknologi yang diadopsi
mudah untuk diterapkan, tidak rumit. Dengan kegiatan penyuluhan pertanian
berkelanjutan, dapat dilakukan plot demonstrasi penerapan usahatani terpadu di
lahan petani dengan partisipasi petani.
223
Pengembangan inovasi dan diseminasi teknologi secara partisipatif akan
meningkatkan keefektifan adopsi teknologi di tingkat petani. Petani (non
adopter) dapat memilih komponen teknologi yang sesuai dengan preferensi dan
kemampuan modal usahatani yang dimiliki. Melalui kegiatan plot demonstrasi,
teknologi usahatani terpadu dapat dikomunikasikan kepada petani lain, karena
teknologi tersebut dapat diamati secara langsung keunggulannya di lapangan.
Mengikuti pemikiran Harrison (1988), teknologi merupakan faktor penentu bagi
modernisasi. Dalam penelitian ini, adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu
dapat dijadikan indikator perkembangan masyarakat pedesaan di Cianjur dan
Garut. Selain tingkat produktivitas, perkembangan teknologi dapat ditelusuri dari
penggunaan input (di luar tenaga kerja), seperti benih/bibit, pupuk, dan obat-
obatan/pestisida.
Keluaran
Kegiatan penyuluhan pertanian berkelanjutan harus dipandang masyarakat
ilmiah dan para pemangku kepentingan sebagai upaya untuk menyejahterakan
petani dan diposisikan sebagai penggerak perekonomian pedesaan. Bukan
sebagai upaya untuk meningkatkan produksi semata. Adopsi dan diseminasi
teknologi usahatani terpadu merupakan bagian dari proses peningkatan nilai
tambah sumberdaya pertanian, tidak hanya terbatas pada pengembangan usahatani
di pedesaan. Hasil akhir adopsi dan diseminasi teknologi usahatani terpadu harus
tercermin pada peningkatan nilai tambah produk (output) akhir dari komoditas
yang dikembangkan. Produk pertanian yang dijual tidak hanya berupa bahan
mentah, namun produk olahan yang siap bersaing di pasar lokal maupun regional,
seperti pisang yang diolah menjadi kripik pisang aneka rasa (asin, manis, keju,
dan coklat), sale pisang, serta cake pisang.
Adanya perjanjian perdagangan bebas telah mendorong permintaan pasar
pada produk pertanian yang berkualitas, penggunaan pestisida yang rendah,
bahkan cenderung mengarah pada produk pertanian organik yang ramah
lingkungan. Untuk merespon keadaan tersebut, peran penyuluh pertanian sebagai
fasilitator sangat dibutuhkan petani. Blum (2007) mengemukakan penyuluhan
model fasilitasi bertujuan untuk pemberdayaan dan kepemilikan (ownership),
224
dengan sumber inovasi berasal dari pengetahuan lokal dan inovasi, penyuluh
pertanian berperan sebagai fasilitator, petani belajar sambil bekerja (learning by
doing) dan juga belajar dari petani lain dengan asumsi petani rela berinteraksi
dengan petani lain, petani berperan aktif dalam pemecahan masalah, orientasi
penyuluhan pada proses dan permintaan pasar, dengan sasaran penyuluhan adalah
kelompok tani dan organisasi petani, berinteraksi dengan para pemangku
kepentingan, serta membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak.
Untuk itu kegiatan penyuluhan berkelanjutan juga memerlukan peran
penelitian. Pendekatan penelitian dalam memperkenalkan suatu inovasi teknologi
seperti di Cianjur dan Garut ini ialah dengan memperhatikan:
(1) BPTP atau institusi penelitian hendaknya tidak berjalan sendiri, tetapi benar-
benar melakukan kegiatan kolaboratif dengan pendekatan “partnerships”
yang saling menguntungkan dengan instansi pemerintah daerah yang terkait.
Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan adalah dengan
mensinergikan antara program pemerintah daerah dengan inovasi teknologi
yang akan diperkenalkan, sehingga terwujud strategi penyuluhan
berkelanjutan;
(2) Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada awal kegiatan pemerintah
daerah perlu diyakinkan bahwa: (i) kegiatan BPTP ini hanya merupakan
stimulan/pembuka jalan untuk kegiatan usahatani berkelanjutan di daerah,
(ii) kegiatan ini adalah kegiatan daerah, BPTP hanya membantu pemerintah
daerah untuk mengawali dengan memperkenalkan usahatani terpadu ini.
Untuk itu pemerintah daerah dan juga masyarakat setempat menjadi
“pemilik” program ini. Dengan menumbuhkan “rasa memiliki” program ini,
maka akan tumbuh pula rasa tanggung jawab untuk mengusahakan
keberlanjutannya;
(3) Penyuluh BPTP perlu mengikutsertakan penyuluh BPP sebagai mitra untuk
keberhasilan program. Bahkan, sedikit demi sedikit penyuluh BPTP
menyerahkan pengelolaan program kepada penyuluh BPP (hendaknya tidak
menunggu hingga waktu akhir program, sebaiknya sudah dimulai sejak awal
program).
225
Dampak
Bila berbagai saran perbaikan penyelenggaraan penyuluhan tidak
dilaksanakan, setidaknya akan menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, kinerja
penyuluh pertanian tidak akan mengalami perubahan yang berarti, penyuluh tetap
berorientasi pada kebijakan pemerintah (pusat) untuk meningkatkan produksi
pertanian nasional, tidak berpihak kepada petani petani kecil (pro poor farmers),
tidak berupaya meningkatkan kesejahteraan petani. Kedua, penyuluh pertanian
dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya lebih mengutamakan tugas-tugas
administrasi, dan pencapaian angka kredit untuk jabatan fungsionalnya, tugas di
lapangan hanya dilakukan bila disertai dengan adanya program/proyek yang
membutuhkan tenaga penyuluh sebagai pendamping. Penyuluh pertanian sebagai
ujung tombak pembangunan hanya merupakan slogan saja. Sebaliknya, bila
pemerintah (pusat dan daerah) memperhatikan saran perbaikan penyelenggaraan
penyuluhan dan mengimplementasikannya, maka diperkirakan petani akan
mampu mengembangkan potensi dirinya dan dapat bertindak sebagai manajer
dalam usahatani yang dikelolanya. Hal ini akan berdampak pada peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
Gambar 19 Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan pada petani lahan kering marjinal untuk peningkatan kinerja usahatani
Perilaku Komunikasi Petani - Kerjasama - Tingkat kekosmopolitan - Keterdedahan thd media
Dukungan Iklim Usaha - Ketersediaan input (saprodi) - Ketersediaan fasilitas
keuangan (KUD, Bank) - Ketersediaan sarana
pemasaran
Kinerja petani - Usahatani
terpadu berorientasi komersial
- Berwawasan agribisnis
Karakteristik Petani - Tingkat mobilitas - Luas lahan - Tingkat intelegensi - Sikap terhadap perubahan - Tingkat keberanian beresiko
Ketenagaan - Penyuluh pertanian PNS berkoordinasi
dengan ketua kelompok tani (sebagai penyuluh swadaya), mengacu UU RI No.16 Tahun 2006 Pasal 20 ayat (1)
- Memiliki kompetensi tinggi - Berperan sebagai fasilitator dan motivator
bagi petani
Kelembagaan - Tenaga penyuluh pertanian berada dalam
satu institusi yang tetap (dengan mengacu UU RI No.16 Tahun 2006)
Penyelenggaraan Penyuluhan - Pendekatan ’participatory/join planning’
(titik temu antara ’bottom up’ dan ’top down’)
- Model ’transfer teknologi’ bergeser ke ’pembelajaran parsitipatif dan pengambilan keputusan bersama’
- Materi: berorientasi pada kebutuhan petani
- Penyuluhan pertanian berkelanjutan
MASUKAN
PROSES
KELUARAN
DAMPAK
Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
Usahatani Terpadu yang Adaptif sesuai dengan Kebutuhan Preferensi Petani - Keuntungan relatif yang tinggi - Tingkat kesesuaian yang tinggi - Tingkat kerumitan yang rendah
Dukungan Kebijakan Pemerintah
(Pusat dan Daerah)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(6) Melalui kegiatan penyuluhan yang intensif, karakteristik petani adopter dan
non adopter (mobilitas, luas lahan, intelegensi, dan sikap terhadap perubahan)
serta perilaku komunikasi (kerjasama, kekosmopolitan dan keterdedahan
terhadap media) dapat dikembangkan, yang mempengaruhi peningkatan
persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan yang semula
tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi).
(7) Dengan memperhatikan kebutuhan dan preferensi petani adopter dan non
adopter terhadap teknologi (baik lokal maupun usahatani terpadu) serta
faktor-faktor keberanian beresiko, kekosmopolitan, ketersediaan input atau
saprodi, dan ketersediaan sarana pemasaran, mempengaruhi peningkatan
persepsi petani adopter dan non adopter terhadap ciri-ciri inovasi yang semula
tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi).
(8) Keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani terhadap
pengaruh media/informasi interpersonal merupakan faktor-faktor yang
dicermati petani serta mempengaruhi keputusan petani adopter dan non
adopter dalam mengadopsi teknologi (baik lokal maupun usahatani terpadu).
(9) Keputusan petani adopter dan non adopter dalam penentuan komoditas dan
penggunaan sarana produksi mempengaruhi kinerja usahatani yang dikelola.
(10) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk
mengatasi permasalahan lambatnya adopsi inovasi teknologi di tingkat petani
dengan memperhatikan karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak
sasaran (petani), dukungan iklim usaha serta dukungan kebijakan (pemerintah
pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan
penyuluhan menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi
pada kebutuhan petani.
228
Saran
Akademis
Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa petani pada lahan kering
marjinal mempunyai karakteristik yang khusus yang berbeda dengan yang
lainnya, sehingga memerlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengkaitkan persepsi penyuluh
pertanian terhadap keputusan petani dalam mengadopsi inovasi teknologi.
Praktis/Implikasi Kebijakan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap
penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi, dan keberanian
petani untuk mengambil keputusan dalam mengadopsi inovasi teknologi perlu
ditingkatkan, termasuk juga upaya meningkatkan kinerja usahatani petani. Untuk
itu perlu dilakukan beberapa perbaikan terhadap kebijakan yang ada:
(1) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan perlu diimplementasikan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perubahan perilaku memerlukan
waktu yang lama, sehingga penyuluhan yang berkelanjutan penting sekali
dilaksanakan, dengan memperhatikan: (a) Target Kementerian Pertanian
untuk menempatkan satu orang penyuluh pertanian dalam satu desa dapat
tercapai bila merekrut ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya; (b)
Dalam penyusunan program penyuluhan pertanian dapat dilakukan melalui
pendekatan perencanaan bersama: “join planning” atau ”participatory
planning”, yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan
bersifat “top-down” dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat
“bottom-up;” (c) Materi penyuluhan tidak lagi terbatas pada teknologi
budidaya, namun perlu memperhatikan aspek lain, yakni unsur
pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta
unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum,
dan pelestarian lingkungan; (d) Kelembagaan penyuluhan pertanian yang
tidak berubah-ubah.
(2) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan perlu dimulai dengan membina
kebersamaan antara penyuluh BPTP dengan penyuluh BPP, sehingga tumbuh
229
rasa memiliki program inovasi teknologi oleh penyuluh BPP, dan
keberlanjutan program (setelah BPTP selesai) dapat diteruskan oleh penyuluh
BPP.
(3) Hubungan peneliti-penyuluh tidak bisa seperti atasan-bawahan atau pemberi-
dengan yang diberi teknologi; hubungan harus bersifat “partnerships,”
peneliti seyogianya mau menerima penyuluh sebagai mitra dalam
mengintroduksikan inovasi teknologi. Penyuluh juga mau menerima peneliti
sebagai mitra. Partisipasi aktif Pemerintah Daerah (termasuk dinas teknis
terkait, baik tingkat provinsi maupun kabupaten) dan masyarakat setempat
sangat diperlukan, untuk menumbuhkan “rasa memiliki” inovasi teknologi
yang diintroduksikan, sehingga tumbuh pula rasa tanggung jawab untuk
mengusahakan keberlanjutannya.
(4) Sikap mental ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah perlu
diubah, lebih mengarah pada upaya pemberdayaan petani dengan menggali
potensi yang ada. Langkah operasional yang dapat dilakukan di lapangan
adalah mensinergikan antara program Pemerintah Daerah dengan inovasi
teknologi yang akan diperkenalkan, sehingga terwujud strategi penyuluhan
berkelanjutan.
(5) Dalam dunia penelitian indigenous technology tetap penting karena memiliki
sifat-sifat yang tidak dipunyai teknologi baru, karena itu perlu dilestarikan.
Hal ini menjadi tugas Badan Litbang Pertanian, khususnya BPTP, untuk
mengumpulkan, menginventarisasi dan melakukan upaya konservasi, serta
pengembangannya. Indigenous technology tidak hanya penting untuk
penelitian saja, tetapi penting pula untuk petani yang berlahan sempit dan
modal kecil, terutama teknologi yang mempunyai keunggulan seperti rasa
nasi enak/pulen dan kelebihan lain yang tidak ada pada teknologi baru.
230
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih JS, D. Djaenudin, S. Sukmana, S. Karama. 1994. Potensi Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal untuk Menunjang Diversifikasi Pangan dan Gizi. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V: Riset dan Teknologi Unggulan Mengenai Pangan dan Gizi Ganda Pembangunan Jangka Panjang. Jakarta, 20-22 April 1993. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Agussabti. 2002. ”Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
Akuntansi Sektor Publik. 2008. Definisi Kinerja dan Pengukuran Kinerja http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/akuntansi-sektor-publik/definisi-kinerja-dan-pengukuran-kinerja-akuntansi-sektor-publik. (12 November 2008).
Ancok D. 1995. “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian.” Dalam:
Metode Penelitian Survai. Diedit oleh S. Singarimbun dan S. Effendi. Jakarta: LP3ES.
Anwas EOM. 2009. “Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
ARDictionary. 2008. Performace. http://ardictionary.com/Performance/3914. (12 November 2008).
Aritonang B. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani Tanaman Hias (Kasus Pedagang di Kota Bogor, Jawa Barat).” Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Ashari, Saptana. 2005. “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE). 23 (2): 132-147. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Ashari. 2009. ”Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE). 27 (1): 13-27. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Asian Development Bank. 2004. Agriculture and Rural Development Strategy Study. Final Report Volume 1: Main Report. Bogor: Searca-IFRI-CRECENT.
Asngari PS. 1984. ”Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat “Karesidenan” dan Kepala Penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga
231
Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat.” Media Peternakan 9 (2): 1-43. Bogor: Fakultas Peternakan IPB.
Azwar S. 2000. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 1984. Sensus Pertanian 1983. Jakarta: BPS.
________. 2004. Sensus Pertanian 2003. Jakarta: BPS.
________ Kabupaten Cianjur. 2008. Cianjur dalam Angka. Cianjur: BPS Kabupaten Cianjur.
________. 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: BPS. ________ Kabupaten Garut. 2009. Garut dalam Angka. Garut: BPS Kabupaten
Garut.
________. 2009. Luas Lahan Menurut Penggunaannya. Jakarta: BPS.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2006. Laporan Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah Prima Tani Melalui Participatory Rural Appraisal di Empat Kabupaten (Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung). Lembang: BPTP Jawa Barat.
________. 2007. Laporan Akhir Tahun 2006 Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah (LKDRIB) Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Lembang: BPTP Jawa Barat.
Barao SM. 1992. “Behavioral Aspects of Technology Adoption.” Journal of Extension (On-line), 30 (2).http://www.joe.org/joe/1992summer/a4.php (25 Januari 2010).
Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory
and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Blum ML. 2007. Trends and Challenges in Agricultural Extension –Policies and
Strategies for Reform. Dalam Workshop, Skopje 27-29 Juni 2007: Building Partnerships for Technology Generation, Assessment and Sharing in Agriculture among West Balkan Countries. Rome: FAO.
Bonnal J. 2001. Challenges to Decentralisation of Agricultural Extension.
Rome: FAO. http://www.ciesin.columbia.edu/decentralization/English/ Issues/Agrextension.html (10 April 2010).
232
Brashear GL, G. Hollis, MB. Wheeler. 2000. “Information Transfer In The Illinois Swine Industry: How Producers are Informed of New Technologies.” Journal of Extension (On-line), 38 (1). http://www.joe. org/joe/2000 february/rb4.php (25 Januari 2010).
Brunson M, EA. Price. 2009. “Information Use and Delivery Preferences Among
Small-Acreage Owners in Areas of Rapid Exurban Population Growth.” Journal of Extension (On-line), 47 (5). http://www.joe.org/joe/2009october/ a4.php (12 Pebruari 2010).
Bulu YG, K. Puspadi, A. Muzani, TS. Panjaitan. 2004. ”Pendekatan Sosial-Budaya dalam Pengembangan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.” Dalam Prosiding Lokakarya: Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Semarang, 7 Oktober 2003. Diedit oleh AM. Fagi, Hermanto. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 24-32.
Cahyono SA, NA. Jariyah, Y. Indrajaya. 2006. ”Karakteristik Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah Pinus di Desa Somagede, Kebumen, Jawa Tengah.” Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 7 (2): 1-18. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. http://puslitsosekhut.web.id/publikasi. php? sub=1&page=4 (3 Agustus 2010).
Candrawita K. 2010. Pengantar Statistik Sosial. Pusat Layanan Pustaka Universitas Terbuka (On-line). http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php? option=com_content&view=article&id=80:isip4215-pengantar-statistik-sosial&Itemid=74&catid=29:fisip (3 Agustus 2010).
Chan LG. 2003. What Does Integrated Farming System Do? http://www. scizerinm.org/joe/index.html. (2 Agustus 2008).
Clements J. 1999. “Results? Behavior Change!” Journal of Extension (On-line). 37 (2). http://www.joe.org/joe/1999april/comml.html. (30 Nopember 2007).
Depari E, MacAndrew. 1982. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta: UGM Pr.
Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2008. Data Statistik. http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php?mod=statistik&id MenuKiri=520&idKategori=3&link=dataStatBuah (5 Pebruari 2010).
Efa N, M. Gorman, J. Phelan. 2005. ”Implications of an Extension Package Approach for Farmers’ Indigenous Knowledge: The Maize Extension Package in South-western Ethiopia.” Journal of International Agricultural and Extension Education, 12 (3): 67-78. http://www.aiaee.org/jiaee/current/ V12.3.67-78.pdf (12 Februari 2010).
233
Effendi OU. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Emmyzar, Y. Ferry. 2004. Pola Budidaya untuk Peningkatan Produktivitas dan Mutu Minyak Nilam. Perkembangan Teknologi TRO, 16 (2): 52-61. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. http://www.scribd. com/doc/3880633/Produktivitas-Minyak-Nilam (18 Maret 2010).
Etzioni A. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organization on Power, Involvement, and Their Correlates. New York: The Free Press of Glencoe, Inc.
Fagi AM, S. Abdulrachman, A. Gani. 2002. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Fagi AM, IG. Ismail, S. Kartaatmadja. 2004. “Evaluasi Pendahuluan Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur.” Dalam Prosiding Lokakarya: Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Diedit oleh AM. Fagi dan Hermanto. Semarang, 7 Oktober 2003. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 11-23.
Food and Agriculture Organization. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pelatihan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Tim Asistensi, penerjemah; Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Terjemahan dari: Guidelines for The Conduct of A Training in Farming System Development.
Garcia MB. 1985. Sociology of Development Perspective and Issues. Metro
Manila: National Book Store, Inc. Getz C, KD. Warner. 2006. “Integrated Farming Systems and Pollution
Prevention Initiatives Stimulate Co-Learning Extension Strategies.” Journal of Extension (On-line). 44(5). http://www.joe.org/joe/2006october/a4.shtml. (2 Agustus 2008).
Gonzalez H. 1993. “Efek Komunikasi Massa.” Dalam: Komunikasi Massa dan
Pembangunan Pedesaan di Negara- Negara Dunia Ketiga. Disunting oleh Amri Jahi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gonzalez SG, GD. Israel. 2010. “The Influence of Type of Contact with
Extension on Client Satisfaction.” Journal of Extension (On-line), 48 (1). http:// www. joe.org/joe/2010february/a4.php (8 april 2010).
Harrison D. 1988. The Sociology of Modernization and Development. London:
Unwin Hyman. Hasbullah J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Pr.
234
Hendayana D. 2009. Alternatif Peranan Penyuluh Pertanian dalam Menjaga Stabilitas Peningkatan Produksi Pangan (Padi) diatas 5% per Tahun. http://bppcijati.blogspot.com/2009/11/peranan-alterantif-ppl-dalam-mendukung.html. (26 Maret 2010).
Hidayat A, A. Mulyani. 2002. “Lahan Kering untuk Pertanian.” Dalam: Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Disunting oleh A. Adimihardja, Mappaona, A. Saleh. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Hubbard WG, LR. Sandmann. 2007. “Using Diffusion of Innovation Concepts for Improved Program Evaluation.” Journal of Extension (On-line), 45 (2) http://www.joe.org/joe/2007october/a1.php (12 Februari 2010).
Irawan B. 2006. “Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya terhadap Produksi Pangan.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), 24 (1): 28-45. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Irawan B, H. Tarigan, B. Wiryono, J. Hestina, Ashari. 2007. “Kinerja dan Prospek Pembangunan Hortikultura.” Dalam Prosiding: Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Disunting oleh K. Suradisatra, Y. Yusdja Y, PU. Hadi. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Ishaq I, S. Bachrein, E. Sujitno. 2002. ”Dampak Penerapan Beberapa Sistem Pertanaman Lorong terhadap Pendapatan Petani Lahan Kering di Garut.” Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 5 (1): 81-90. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Kerlinger FN. 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral. Simatupang LR, penerjemah. Diedit oleh Koesoemanto H.J. Terjemahan dari: Foundation of Behavioral Research. Yogyakarta: UGM Pr.
Killick T. 1981. Policy Economics: A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society.
Kurnia U, Sudirman, H. Kusnadi. 2002. “Teknologi Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Kering.” (147-182). Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Licht MAR, RA. Martin. 2007. “Communication Channel Preferences of Corn
and Soybean Producers.” Journal of Extension (On-line), 45 (6). http://www.joe.org/joe/2007december/rb2.php (12 Februari 2010).
Lionberger HF. 1968. Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University Pr.
235
Lionberger HF, PH. Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Danville, Illinois: The Interstate Printers & Publishers, Inc.
Lippitt R, J. Watson, B. Westley. 1958. Planned Change: A Comparative Study of Principles and Techniques. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
MacDonald, K.I. 1977. “Path Analysis.” Dalam: The Analysis of Survey Data Model Fitting. Vol 2. Diedit oleh C.A. O’Muircheartaigh dan C. Payne. London: John Wiley&Sons.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Pr.
________. 2008. “Refleksi dan Rekomendasi Implementasi Penyuluhan Pembangunan Pertanian.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina, Adjat Sudradjat. Bogor: Sydex Plus.
Martinelli A. 2002. Markets, Government, Communities and Global Governance. Presidential Address. Brisbane: ISA (International Sociological Association) Conggress XV.
McQuail D, S. Windahl. 1981. Communication Models: for the Study of Mass Communications. New York: Longman Inc.
Mosher AT. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization. New York: Frederick A. Praeger.
________. 1978. An Introduction to Agricultural Extension. New York: Agricultural Development Council.
________. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Krisnandhi S, Samad B, penyadur. Jakarta: CV. Yasaguna. Terjemahan dari: Getting Agriculture Moving.
Muhammad S, OS. Isikhuemhen. 2009. “Promoting Alternative Enterprises:
Assessing Farmers' Needs in Research, Education, and Extension.” Journal of Extension (On-line), 47 (6). http://www.joe.org/joe/2009december/rb5. php (12 Februari 2010).
Muhamad R. 2010. Mengerti Resiko Sistemik. Jakarta: Kompas 12 Januari
2010.
Muhidin SA, M. Abdurahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Mukmin U. 1992. ”Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Pelestarian Sumberdaya Alam.” Dalam: Penyuluhan Pembangunan Indonesia:
236
Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh AVS Hubeis, P. Tjitropranoto, W. Ruwiyanto. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
Muliady TR. 2009. ”Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Kinerja Penyuluh dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Tiga Kabupaten Jawa Barat .” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
Nasoetion L, J.Winoto. 1994. “Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan.” Dalam Prosiding Lokakarya: Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Disunting oleh Hermanto et al. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
Nawawi H, M. Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Pr.
Nurmanaf R. 2007. “Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani”. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). 5 (2): 99-109. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Pace RW, DF. Faules. 1998. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Mulyana D, penerjemah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Terjemahan dari: Communication of Organization.
Page N, CE. Czuba. 1999. “Empowerment: What is it?” Journal of Extension (On-line), 37 (5). http://www.joe.org/joe/1999october/comm1.php (16 Maret 2010).
Pemerintah Kabupaten Cianjur. 2008. Daftar Isian Potensi Desa Talaga Kecamatan Cugenang. Cianjur: Pemda Cianjur.
________. 2009. Profil Kabupaten Cianjur. http://www.puncakview.com/
Profile_Kab.Cianjur.htm (20 januari 2010). Pemerintah Kabupaten Garut. 2008. Monografi Desa Jatiwangi Kecamatan
Pakenjeng. Garut: Pemda Garut. ________. 2009. Profil Kabupaten Garut. http://www. garutkab.go.id/ (20 januari
2010). Pindyck RS, DL. Rubinfeld. 1995. Microeconomics. New Jersey: Prentice Hall.
Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture. London: Earthscan Publication.
Purnaningsih N. 2006. “Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
237
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat . 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1 : 1.000.000. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Dana Dekonsentrasi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Pusbangluh Pertanian.
Rachman B. 2009. “Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen dan Regulasi.” Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). 7 (2):131-146. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Rogers EM, FF. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach. New York: The Free Pr.
Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. New York: The Free Pr.
Röling N. 1988. Extension Science. Cambridge: Cambridge University Pr. Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. Canada:
John Wiley&Sons, Inc. Sajogyo. 1990. “Masalah Penduduk dan Kemiskinan.” Dalam: Sosiologi
Pedesaan: Kumpulan Bacaan Jilid II. Diedit oleh Sajogyo dan Pudjiwati. Yogyakarta: UGM Pr.
Saptana, HPS. Rachman, TP. Purwantini. 2004. Struktur Penguasaan Lahan dan Kelembagaan Pasar Lahan di Pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Saptana, EL. Hastuti, KS. Indraningsih, Ashari, S. Friyatno, Sunarsih, V. Darwis. 2006. Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Bali. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Sarjana C, Setiani, T. Prasetyo. 2008. Kajian Kinerja Sistem Usahatani Korporasi di Lahan Irigasi Ditinjau dari Aspek Pendapatan dan Petani. Ungaran: BPTP Jawa Tengah. http://jateng.litbang.deptan.go.id/index.php?option= com_content&task=view&id=75&Itemid=46. (12 November 2008).
Sayaka B, IK. Kariyasa, Waluyo, Y. Marisa, T. Nurasa. 2006. Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Sekretariat Negara RI. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
238
Sevilla CG, JA. Ochave, TG. Punsalam, BP. Regala, GG. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Diterjemahkan oleh A. Tuwu, A. Syah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods.
Simatupang P. 2000. “Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya.” Dalam Makalah pada Seminar Nasional: Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor 9-10 Nopember 2000. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Simatupang P, N. Syafa’at. 2003. “Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif.” (1-11). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna. Mataram: BPTP Nusatenggara Barat.
Siti Amanah. 2000. “New Approaches to Agricultural Extension.” Dalam Prosiding: The International Congress and Symposium on Southeast Asian Agricultural Sciences. Bogor: CREATA-ICSSAAS.
Slamet M. 2003. “Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Pr.
________. 2008. “Menuju Pembangunan Berkelanjutan melalui Implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, perikanan dan kehutanan.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: Sydex Plus.
________. 2009. Restrukturisasi dan Reorientasi Penyuluhan Pertanian: untuk Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. http://margonoipb.files.wordpress.com/ 2009/03/rekonstruksi-revitalisasi-pp.ppt#273,19,Slide 19 (18 Mei 2010).
Smith VJ. 1981. Programming for Radio and Television. United States: University Pr of America.
Soedjana TD. 2007. ”Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak sebagai Respons Petani terhadap Faktor Resiko.” Jurnal Litbang Pertanian, 26 (2): 82-87. Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Spencer LM, SM. Spencer. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2005. The Problem of Perception. http://plato.stanford.edu/entries/perception-problem/#3. (12 Nov 2008).
239
Subejo. 2009. Revolusi Hijau dan Penyuluhan Pertanian. Tokyo: Indonesian Agricultural Sciences Association. http://www.iasa-pusat.org/artikel/ revolusi-hijau-dan-penyuluhan-pertanian.html (10 Februari 2010).
Sudaryanto T, M. Syukur. 2001. Pengembangan Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sugihen BG, E. Basuno, S. Amanah, EL. Hastuti. 2007. Pengembangan Sistem Penyuluhan Pertanian di Lahan Marjinal pada Kondisi Sosio Budaya yang Berbeda dalam Kerangka Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan. Bogor: IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Litbang Pertanian
Sujanto A, H. Lubis, T. Hadi. 2004. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.
Sujanto A. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sumardjo. 1999. “Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat).” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
________. 2008. “Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina, Adjat Sudradjat. Medan: Pustaka Bangsa Pr.
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, AM. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia: Implikasinya terhadap Pembaruan Agraria. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumaryanto, T. Sudaryanto. 2009. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan: Analisis Data Patanas Tahun 1995 dan 2007. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Suryabrata S. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Swastika DKS. 2004. ”Beberapa Teknik Analisis dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.” Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7 (1). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Swastika DKS, H. Supriyadi, KS. Indraningsih, R. Elizabeth, J. Hestina. 2006. Pola Pengembangan Multiusaha Rumah Tangga Pertanian. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
240
Syafa’at N, A. Purwoto, SK. Dermoredjo, K. Kariyasa, M. Maulana, P. Simatupang. 2007. ”Indikator Makro Sektor Pertanian Indonesia.” Dalam Prosiding Seminar Nasional: Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Disunting oleh K. Suradisatra, Y Yusdja, PU. Hadi. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Syukur M, Sumaryanto, C. Muslim. 1993. ”Pola Pelayanan Kredit untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah di Pedesaan Jawa Barat.” Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), 11 (2): 1-13. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Syukur M. 2009. Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian. Makalah disampaikan pada Round Table Discussion: Mencari Alternatif Pembiayaan Pertanian, 16 April 2009. Jakarta: Kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Departemen Agribisnis, FEM-IPB.
Taryoto AH. 1995. ”Kemiskinan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Lingkup Departemen Pertanian: Suatu Upaya Introspeksi.” Dalam Prosiding: Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Diedit oleh Hermanto, dkk. Buku 2. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Timmer CP, WP. Falcon, SR. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Baltimore: John Hopkins Univ. Pr.
Tjitropranoto P. 2003. “Penyuluh Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Pr.
________. 2005. Penyediaan dan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian untuk Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Marjinal: Peningkatan Mutu Partisipasi. Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Lahan Marjinal. Mataram 30-31 Agustus 2005.
Tjondronegoro SMP. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
________. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Sitorus MTF, Wiradi G, penyunting. Bandung: Yayasan Akatiga.
van den Ban AW, Hawkins HS. 2005. Penyuluhan Pertanian. Herdiasti AD, penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Agricultural Extension.
241
Vergot III P, G. Israel, DE. Mayo. 2005. “Sources and Channels of Information Used by Beef Cattle Producers in 12 Counties of the Northwest Florida Extension District.” Journal of Extension (On-line), 43 (2) http://www.joe. org/joe/2005april/rb6.php (18 Februari 2010).
Wikipedia. 2008. Perception. http://en.wikipedia.org/wiki/Perception. (12 November 2008).
________. 2009. Kinerja. http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja. (4 Nopember 2009).
________. 2010. Potensi Diri. http://id.wikipedia.org/wiki/Potensi_diri. (14 Juli 2010).
Winoto, J. 1995. Impact of Urbanization on Agricutural Development in Northern Coastal Region West Java. Michigan: Michigan State University and University Microfilm.
World Bank. 1999. Reducing Poverty through Cutting-edge Science: CGIAR Research Priorities for Marginal Lands. http://www.worldbank.org/html/ cgiar/publications/icw99/tac9912.pdf. (19 Maret 2008).
246
Lampiran 4 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut
No. Komoditas Inovasi Teknologi
1. Konservasi Lahan - Tindakan fisik melalui pembuatan teras (sengkedan) atau guludan, terutama pada lahan yang miring yang diikuti dengan penguatan teras dengan tanaman pakan ternak
- Pengelolaan usahatani melalui sistem budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi
- Konservasi vegetatif (alley cropping)
Komoditas Unggulan
1. Nilam - Pembibitan: penggunaan stek batang atau stek pucuk
- Penanaman varietas unggul Sidikalang - Jarak tanam 100 cm x 50 cm dengan lubang
tanam 30 x 30 x 30 cm - Pemupukan: berdasarkan hasil analisa tanah dan
pemanfaatan kompos limbah penyulingan nilam atau pupuk kandang
- Pemulsaan: diberikan sekitar tanaman dengan menggunakan mulsa alang-alang atau belukar
- Pengendalian hama dan penyakit: monitoring secara berkala, panen serentak, penggunaan pestisida nabati
- Pemanenan: panen pertama setelah tanaman berumur 6 bulan, kemudian dilakukan 3 bulan sekali
- Pengeringan 4-5 hari - Pasca panen (teknologi penyulingan minyak
nilam, penyimpanan)
2. Ternak (Domba) - Jenis: domba Garut - Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8
betina) - Sistem perkandangan: komunal - Pakan: perbaikan nutrisi dengan suplementasi
leguminosa - Reproduksi: memperpendek jarak kelahiran
dengan deteksi birahi dan kawin kelompok (group mating)
- Kesehatan: pengendalian parasit cacing saluran pencernaan, sanitasi kandang dan lingkungannya
247
Lampiran 4 (Lanjutan)
Komoditas Utama
Padi Gogo PTT Padi Gogo: - Penggunaan varietas unggul (Batu Tegi, Situ
Patenggang, Limboto, Situ Bagendt, Towuti) - Penambahan bahan organik tanah - Pemupukan berimbang berdasarkan status
kesuburan tanah - Jarak tanam: sistem tegel (30 x 15 cm) - Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT
Komoditas Potensial
Pisang - Penanaman bibit unggul/bermutu (bebas penyakit) atau sesuai dengan permintaan pasar dan kondisi wilayah
- Pengaturan jarak tanam - Pemberian pupuk kandang dan pupuk an-organik
(TSP, KCl, dan ZA) sesuai rekomendasi - Penyiangan gulma dan sanitasi kebun
(pemeliharaan intensif) - Pengendalian hama dan penyakit - Penanganan panen dan pasca panen
Komoditas Penunjang
Kacang Tanah - Penggunaan varietas unggul - Pengaturan jarak tanam - Pemberian pupuk organik - Pemberian pupuk an-organik sesuai dengan hasil
analisa tanah - Pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT - Penerapan alsistan (alat perontok polong) - Penanganan panen dan pasca panen
Sumber: BPTP Jawa Barat (2006)
248
Lampiran 5 Tata guna lahan di Kabupaten Cianjur
No. Uraian Luas (Ha) Persentase (%)
(1) Sawah 58.101 16,59
(2) Hutan produktif dan konservasi 83.034 23,71
(3) Tanah kering /tegalan 97.227 27,76
(4) Perkebunan 57.735 16,49
(5) Pemukiman/pekarangan 25.261 7,20
(6) Penggembalaan/pekarangan 3.500 0,10
(7) Tambak/kolam 1.239 0,04
(8) Penggunaan lainnya 22.483 6,42
Jumlah 350.148 100,00
Sumber: Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009
Lampiran 6 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur
No. Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
Padi
(1) Padi sawah 609.808 115.061
(2) Padi gogo 49.691 16.100
Jumlah padi 659.499 131.161
Palawija
(1) Jagung 28.757 6.313
(2) Kedelai 1.228 968
(3) Kacang tanah 13.632 10.864
(4) Kacang hijau 327 324
(5) Ubi kayu 119.454 6.994
Jumlah palawija 163.398 25.463
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Jawa Barat, 2008 (data diolah)
249
Lampiran 7 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Cianjur
No. Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
(1) Bawang merah 693 33
(2) Bawang daun 61.885 3.525
(3) Kentang 1.325 107
(4) Kubis 21.792 1.203
(5) Pete 45.441 2.515
(6) Wortel 48.429 2.544
(7) Kacang merah 4.322 574
(8) Kacang panjang 10.056 803
(9) Cabe besar 14.935 1.402
(10) Cabe rawit 14.643 1.422
(11) Tomat 27.347 1.212
(12) Sayuran lain 44.568 3.025
Jumlah 300.628 18.774
Sumber: Kabupaten Cianjur dalam Angka, 2008 (data diolah)
Lampiran 8 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Cianjur
No Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
(1) Pisang 232.614 19.414
(2) Durian 8.376 62.198
(3) Alpukat 7.952 71.000
(4) Jambu biji 7.697 22.801
(5) Mangga 7.267 11.455
(6) Buah lain 33.366 1.131.668
Jumlah 297.172 1.626.838
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Cianjur, 2007 (data diolah)
250
Lampiran 9 Tata guna lahan di Kabupaten Garut
No. Uraian Luas (Ha) Persentase (%)
(1) Sawah 49.455 16,13
(2) Hutan 71.265 23,25
(3) Kebun 56.124 18,31
(4) Tanah kering/tegalan 51.146 16,69
(5) Perkebunan 26.825 8,75
(6) Pemukiman/perkampungan 39.513 12,89
(7) Padang semak 7.005 2,29
(8) Pertambangan 200 0,07
(9) Industri 41 0,01
(10) Kolam 1.826 0,60
(11) Situ/danau 157 0,05
(12) Penggunaan tanah lainnya 2.962 0,97
Jumlah 306.519 100,00
Sumber: BPN Kabupaten Garut, 2008
Lampiran 10 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Garut
No. Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
Padi
(1) Padi sawah 656.471 106.204
(2) Padi gogo 73.691 24.273
Jumlah Padi 730.162 130.477
Palawija
(1) Jagung 401.924 55.852
(2) Kedelai 7.858 5.584
(3) Kacang tanah 22.579 15.022
(4) Kacang hijau 1.675 1.703
(5) Ubi kayu 536.979 24.364
(6) Ubi jalar 67.591 5.244
Jumlah Palawija 1.038.606 107.769 Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
251
Lampiran 11 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Garut
No. Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
(1) Bawang merah 9.791 1.504
(2) Bawang daun 35.195 2.301
(3) Kentang 135.911 5.833
(4) Kubis 100.207 4.096
(5) Pete 37.641 1.913
(6) Wortel 29.654 1.473
(7) Kacang merah 37.732 4.539
(8) Kacang panjang 11.037 919
(9) Cabe besar 61.054 4.239
(10) Cabe rawit 17.327 1.442
(11) Tomat 84.670 3.123
(12) Sayuran lain 59.928 53.062
Jumlah 620.147 84.444
Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
Lampiran 12 Produksi dan luas areal pertanian buah-buahan di Kabupaten Garut
No. Komoditas Produksi (Ton) Luas (Ha)
(1) Pisang 1.641.160 3.135.881
(2) Alpukat 447.077 457.275
(3) Mangga 269.518 573.806
(4) Jeruk siem/keprok 109.729 548.092
(5) Sirsak 62.037 65.508
(6) Buah lain 317.728 1.255.014
Jumlah buah-buahan 2.847.249 6.035.576
Sumber: Kabupaten Garut dalam Angka, 2009 (data diolah)
252
Lampiran 13 Distribusi rumah tangga pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai
1983 (Ha) 2003 (Ha) No. Wilayah
<0,5 0,5-3,0 >0,5 <0,5 0,5-3,0 >0,5
(1) Sumatera 28,2 61,7 10,1 32,5 57,3 10,2
(2) Jawa 63,1 35,3 1,5 74,8 24,4 0,7
(3) Nusa Tenggara
34,0 57,0 9,0 45,3 50,7 4,0
(4) Kalimantan 20,3 54,2 25,4 27,8 53,9 18,3
(5) Sulawesi 27,1 62,9 9,9 31,0 60,2 8,8
(6) Maluku dan Papua
30,3 53,5 16,3 47,1 46,0 6,9
(7) Indonesia 48,9 45,3 5,8 56,4 38,7 4,9
Sumber: Badan Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1983 dan 2003)
253
Lampiran 14 Teknologi lokal dan inovasi teknologi Prima Tani di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur
No. Komoditas Teknologi Lokal Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu
(1) Pisang - Bibit yang digunakan masih bersifat lokal
- Pengaturan jarak tanam belum diketahui secara pasti terutama untuk tumpang sari
- Pemupukan belum sesuai dosis
- Sanitasi kebun belum intensif
- Pengendalian hama dan penyakit belum optimal
- Penanganan panen dan pasca panen
- Pemasaran - Luas garapan sempit
- Pemilihan bibit unggul/bermutu (bebas hama-penyakit)
- Pengaturan jarak tanam untuk tumpang sari dengan sayuran
- Pemberian pupuk kandang dan pupuk an-organik (TSP, KCl, dan ZA) sesuai rekomendasi
- Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif)
- Pengendalian hama dan penyakit
- Penanganan panen dan pasca panen 3) Teknik pengemasan buah
sesuai lokasi sasaran pemasaran
4) Teknologi alsin pengolahan hasil yang sesuai dengan kondisi setempat (kapasitas alat, jenis produk, dll)
(2) Sayuran - Bibit yang digunakan masih bersifat lokal
- Pengaturan jarak tanam belum diketahui secara pasti
- Pemupukan belum sesuai dosis
- Pengendalian hama dan penyakit belum sesuai dengan konsep PHT
- Pengairan terutama pada musim kemarau
- Luas garapan sempit
- Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)
1) Penggunaan varietas unggul 2) Pengaturan jarak tanam 3) Penggunaan pupuk sesuai
dosis 4) Pengairan 5) Pengendalian OPT sesuai
dengan konsep PHT
254
Lampiran 14 (Lanjutan)
(3) Domba - Belum diketahui teknik budidaya dengan baik, terutama dalam hal: 1) pemilihan bibit
unggul 2) pemberian pakan 3) sanitasi kandang 4) sistem
perkandangan 5) kesehatan ternak 6) reproduksi ternak
- Skala usaha kecil masih bersifat sampingan
- Kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal
- Perbaikan bibit (pemilihan bibit unggul)
- Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina)
- Sistem perkandangan: komunal atau di rumah petani, koloni di rumah petani
- Pakan: perbaikan nutrisi dengan suplementasi leguminosa
- Reproduksi: memperpendek jarak kelahiran dengan deteksi birahi dan kawin kelompok (group mating)
- Kesehatan: pengendalian parasit cacing, saluran pencernaan, penyakit kulit, dan sanitasi kandang dan lingkungannya
- Pengolahan pupuk kandang
Sumber: diadaptasi dari BPTP Jawa Barat (2006)
255
Lampiran 15 Daftar pertanyaan petani
PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING DI KABUPATEN
CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT PROVINSI JAWA BARAT
DAFTAR PERTANYAAN
PETANI
Nama Petani (KK) : ____________________________________ Desa/Dusun/RW/RT : ____________________________________ Kecamatan : ____________________________________ Kabupaten : ____________________________________ Status Petani : 1. Adopter
2. Non adopter
Pewawancara : ___________________
Tgl. Wawancara : ___________________
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
256
I. KARAKTERISTIK PETANI (X1)
A. Karakteristik Sosial Ekonomi
1. Umur Bapak/Saudara saat ini:___________ tahun
2. Pendidikan formal yang diikuti:
a. Lama pendidikan: __________ tahun
b. Pendidikan yang ditamatkan:_______________ (Isikan: 1=SD, 2=SLTP, 3= SLTA, 3=Diploma, 4=PT)
3. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara menghadiri pertemuan dengan penyuluh (di desa/kecamatan) yang berhubungan dengan usaha pertanian?___ kali.
4. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara menghadiri petak percontohan (demonstrasi plot)?_______ kali.
5. Dalam pelaksanaan petak percontohan, apakah Bapak/Saudara ikut langsung dalam hal: (isikan: 1=ya; 2=tidak) a. Perencanaan percontohan b. Pelaksanaan kegiatan percontohan
(1) Pengolahan tanah (2) Menanam (3) Menyiang (4) Pemupukan (5) Pengendalian hama penyakit (6) Panen (7) Penimbangan hasil panen
c. Penilaian hasil percontohan d. Pemanfaatan hasil percontohan
6. Dalam tahun 2008, berapa kali Bapak/Saudara hadir dalam temu lapang? di desa____ kali; kecamatan ____ kali dan kabupaten _____ kali.
7. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli benih/bibit ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km
8. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli pupuk ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km
9. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli obat-obatan ke luar desa dalam tahun 2008: ________ kali, dengan jarak tempuh terjauh: _________ km
10. Frekuensi Bapak/Saudara dalam membeli alat-alat pertanian ke luar desa dalam tahun 2008: _____ kali, dengan jarak tempuh terjauh: ______ km
11. Penjualan produk biasanya di dalam desa atau ke luar desa? (isikan: 1=dalam desa; 2=luar desa) a. Padi dijual di_____ b. Palawija (jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian); dijual di ___ c. Sayuran dijual di ______ d. Buah-buahan dijual di ______
e. Ternak dijual di ______
257
12. Penerimaan usahatani tahun 2008 (Rp), pola tanam_____________________ a. Tanaman semusim:
(1) Padi: ____________________________________________________ (2) Palawija:_________________________________________________ (3) Sayuran: _________________________________________________ (4) Buah-buahan: _____________________________________________
b. Tanaman perkebunan/tahunan:_________________________________________
c. Peternakan: _________________________________________________ d. Berburuh tani:________________________________________________ e. Lainnya: ____________________________________________________
Penerimaan total: ________________________________________________
13. Biaya-biaya produksi tahun 2008 (Rp): a. Benih/bibit: __________________________________________________ b. Pupuk: _____________________________________________________ c. Obat-obatan: _________________________________________________ d. Tenaga kerja: ________________________________________________ e. Sewa lahan: _________________________________________________ f. Lainnya: ____________________________________________________ Pengeluaran total:________________________________________________
14. Pendapatan rumah tangga dari non pertanian tahun 2008 (Rp): a. Usaha dagang ________________________________________________
b. Industri/kerajinan ____________________________________________ c. Usaha jasa transportasi ________________________________________
d. Buruh non tani: ______________________________________________ e. Lainnya: ____________________________________________________ Pendapatan total non pertanian _____________________________________
15. Luasan pengusahaan lahan garapan Bapak/Saudara: a. Luas lahan kering yang dimiliki____________ ha
Yang digarap sendiri ____________________ ha Yang digarap orang lain__________________ ha
b. Luas lahan kering garapan yang disewa_________ ha c. Luas lahan kering garapan yang disakap_________ ha
16. Apakah Bapak/Saudara membeli benih/bibit berlabel yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ ______________________________________________________________
17. Apakah Bapak/Saudara membeli pupuk kimia/anorganik yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________ ______________________________________________________________
18. Apakah Bapak/Saudara membeli obat-obatan: pestisida, herbisida, insektisida yang dianjurkan sesuai dengan kebutuhan usahataninya? (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________
_______________________________________________________________
258
19. Apakah Bapak/Saudara membeli peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan usahatani? Sebutkan ______________________________________ (isikan: 1=ya; 2=tidak) Jelaskan alasannya ______________________________________________
______________________________________________________________ Karakteristik Kepribadian Petani
20. Penilaian Bapak/Saudara terhadap usahatani baru yang diperkenalkan: (isikan: 1=tidak tahu; 2=berpikir negatif/merugikan; 3=ada kemungkinan merugikan juga menguntungkan; 4=berpikir positif/menguntungkan) a. Anjuran penggunaan varietas/tanaman tertentu b. Upaya menjaga kesuburan lahan (penanaman rumput, pembuatan teras
bangku, penggunaan pupuk kandang, mulsa, pergiliran tanaman) c. Teknik baru yang dianjurkan untuk budidaya tanaman d. Penanganan pascapanen yang dianjurkan e. Usaha ternak domba, kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk tanaman dan pakannya diperoleh dari tanaman
21. Bagaimana pendapat Bapak/Saudara terhadap usahatani baru? (isikan: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Anjuran menanam komoditas tertentu____________________________ b. Upaya menjaga kesuburan tanah________________________________ c. Cara-cara baru yang dianjurkan untuk budidaya tanaman: ____________ __________________________________________________________ d. Penanganan pascapanen yang dianjurkan_________________________ e. Mengusahakan ternak domba, _________________________________ __________________________________________________________
22. Tanggapan Bapak/Saudara terhadap adanya usahatani baru (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu)
a. Dalam menentukan komoditas yang diusahakan, Bapak mempertimbangkan:
(1) Kebiasaan yang telah dilakukan (2) Mengikuti petani lain (3) Anjuran penyuluh (4) Komoditas yang laku di pasaran
b. Bapak/Saudara mencari informasi tentang usahatani yang lebih baik pada: (1) Sesama petani (2) Pedagang saprodi (3) Pedagang pengumpul (4) Tokoh masyarakat,_______________ (5) Aparat desa,_____________________ (6) Penyuluh (7) Media cetak: koran, majalah, buku, brosur (8) Media elektronik: radio, televisi, HP, internet
259
c. Dalam melakukan usahatani baru, Bapak/Saudara belajar teknik/cara dari: (1) Sesama petani (2) Pedagang,___________________ (3) Tokoh masyarakat,____________ (4) Penyuluh (5) Lainnya, ____________________
d. Bapak/Saudara menilai keuntungan/manfaat usahatani baru yang diperkenalkan dilihat dari: (1) Jumlah produksi yang dihasilkan (2) Jumlah pendapatan yang diperoleh (3) Produk yang dihasilkan dibutuhkan pasar/pedagang (4) Penggunaan pupuk kandang dari ternak sendiri (5) Lainnya,______________________________
23. Sikap Bapak/Saudara terhadap adanya perubahan berupa usahatani baru: a. Setiap ada hal-hal baru yang dianjurkan apakah Bapak langsung
menerima? (isikan: 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
b. Tingkat penerimaan Bapak terhadap usahatani baru: (isikan: 1= menolak perubahan; 2= berpikir dulu; 3= melihat dulu petani lain/menerima dengan cara meniru; ; 4= langsung menerima)
c. Bapak percaya/yakin bahwa kegunaan usahatani baru yang diperkenalkan, dapat meningkatkan pendapatan (isikan: 1=tidak yakin; 2=kurang yakin; 3=yakin; 4= sangat yakin)
24. Tingkat keberanian Bapak/Saudara mengambil resiko (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
a. Bapak/Saudara berani mengganti benih/bibit yang dinilai lebih menguntungkan b. Bapak/Saudara berani mengganti pupuk yang dinilai lebih menguntungkan c. Bapak/Saudara berani mengganti obat-obatan yang dinilai lebih menguntungkan d. Bapak/Saudara berani menambah/mengurangi jenis komoditas yang diusahakan e. Bapak/Saudara berani langsung menjual hasil ke pasar f. Bapak/Saudara berani menambah luasan usahatani g. Mengambil kredit dari bank untuk menambah modal usahatani
II. PERILAKU KOMUNIKASI PETANI (X2) 25. Jaringan kerjasama, berupa kemampuan Bapak/Saudara dalam menjalin
hubungan dengan pihak lain (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu):
a. Intensitas hubungan Bapak dengan petani lain dalam tukar informasi dan pengadaan sarana produksi, dalam tahun 2008_______kali
b. Intensitas hubungan Bapak dengan pedagang sarana produksi dalam tahun 2008_______kali
c. Intensitas hubungan Bapak dengan pedagang hasil dalam tahun 2008______kali
260
d. Intensitas hubungan Bapak dengan perusahaan pengolah dalam tahun 2008______kali e. Intensitas hubungan Bapak dalam melakukan kerjasama dengan lembaga pembiayaan (KUD, Lembaga Perkreditan Desa, Bank) dalam tahun 2008______kali f. Intensitas hubungan Bapak dalam melakukan kerjasama dengan kelompok tani dalam tahun 2008 ______kali i. Intensitas hubungan Bapak dengan penyuluh dalam tahun 2008 ____kali
26. Hubungan yang sudah terjalin dengan sesama petani dalam kelompok dapat menumbuhkan kepercayaan dalam hal (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang;
3=sering; 4= selalu): a. Saling tukar informasi tentang usahatani baru b. Memberikan pinjaman, baik berupa uang tunai maupun sarana produksi c. Menyampaikan keluhan tentang kegagalan dalam berusahani d. Memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan usahatani
27. Bapak/Saudara menaruh kepercayaan kepada tokoh masyarakat (___________) dalam hal (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu): a. Penyelesaian masalah sengketa lahan dengan petani b. Masalah penyakit tanaman c. Masalah penurunan produksi
d. Penjualan produk e. Menggerakkan petani dalam menerapkan usahatani baru
28. Tingkat kekosmopolitan Bapak/Saudara: (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4= selalu)
a. Frekuensi Bapak bepergian ke luar desa dalam tahun 2008 untuk memperoleh informasi yang terkait dengan pasar (harga sarana produksi,
harga jual hasil) dan komoditas yang dibutuhkan konsumen____kali b. Frekuensi Bapak bepergian ke luar desa dalam tahun 2008 untuk
mengetahui usaha lain yang dinilai lebih menguntungkan____ kali c. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi
sosial ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali d. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi
ekonomi ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali e. Frekuensi Bapak dalam pencarian teknologi yang sesuai dengan kondisi
lingkungan ke luar desa dalam tahun 2008 ______kali
29. Keterdedahan terhadap media, terkait dengan usahatani yang dilakukan Bapak/ Saudara (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu): a. Media cetak (1) Koran: tentang _____________________________, _____jam/hari (2) Majalah: tentang ___________________________, _____jam/hari (3) Buku: tentang _____________________________, _____jam/hari (4) Brosur/leaflet: tentang _______________________, _____jam/hari b. Media elektronik (1) Radio: tentang _____________________________, _____jam/hari (2) Televisi: tentang ___________________________, _____jam/hari (3) Telepon genggam (HP) ______________________, _____jam/hari
261
III. DUKUNGAN IKLIM USAHA (X3) 30. Ketersediaan sarana produksi berupa adanya kios sarana produksi yang mudah dijangkau Bapak/Saudara:
a. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan benih/bibit (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah)
b. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan pupuk (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) c. Tingkat kemudahan Bapak dalam mendapatkan obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) d. Benih/bibit dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) e. Pupuk dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak
(isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) f. Obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan Bapak (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) g. Mutu benih/bibit yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) h. Mutu pupuk yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) i. Mutu obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) yang dijual di kios saprodi dapat dipercaya (isikan: 1=tidak pernah;2=jarang; 3=sering; 4=sangat sering) j. Jarak tempat penjualan benih/bibit dari lahan petani_______km
(isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat) k. Jarak tempat penjualan pupuk dari lahan Bapak _______km
(isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat) l. Jarak tempat penjualan obat-obatan (pestisida, herbisida dan insektisida) dari lahan petani_______km
(isikan: 1=sangat jauh; 2=jauh; 3=dekat; 4=sangat dekat)
31. Ketersediaan fasilitas keuangan dalam mengakses permodalan: a. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani
ke perbankan (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak __________________________
Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah)
b. Kemudahan petani Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke Lembaga Perkreditan Desa (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________
Tingkat suku bunga per tahun________persen (isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah)
262
c. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke koperasi (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah)
Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen
(isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah d. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke kelompok tani (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah)
Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen
(isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah e. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke rentenir (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen
(isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah f. Kemudahan Bapak dalam meminjam uang untuk modal usahatani ke keluarga/kerabat (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat
mudah) Jaminan yang harus diserahkan Bapak ____________________________ Tingkat suku bunga per tahun________persen
(isikan: 1=sangat tinggi; 2=tinggi; 3=rendah; 4=sangat rendah
32. Ketersediaan sarana pemasaran berupa adanya alat transportasi, prasarana jalan dan pasar (tempat transaksi jual beli): a. Kualitas jalan ke pasar terdekat (isikan: 1= tanah; 2= berbatu;
3= makadam; 4=aspal) b. Alat transportasi yang ada ke pasar terdekat
(isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah) (1) Angkot (2) Ojeg (sepeda motor) (3) Sepeda kayuh (4) Lainnya,__________________________
c. Lokasi pasar terdekat dengan lahan Bapak, jarak:__________km (isikan: 1=dusun; 2=desa; 3=kecamatan; 4=kabupaten) d. Tempat Bapak melakukan transaksi jual beli (isikan: 1=lahan petani; 2=rumah petani; 3=tempat pedagang;
4=pasar)
IV. PENYULUHAN (X4) 33. Kemampuan penyuluh terkait dengan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan menurut persepsi Bapak/Saudara:
(isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Penyuluh mengetahui produksi tanaman b. Penyuluh mengetahui produksi ternak c. Penyuluh dapat menjelaskan suatu teknologi baru sebagai teknologi yang dinilai lebih baik d. Penyuluh mengetahui dengan baik potensi sumberdaya wilayah yang menjadi binaannya e. Penyuluh memahami kebutuhan petani yang menjadi binaannya
263
f. Penyuluh mengetahui budaya masyarakat petani yang menjadi binaannya g. Penyuluh dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan petani secara tuntas dan memberi penjelasan dengan baik h. Penyuluh selalu berpihak kepada petani i. Penyuluh selalu beranggapan bahwa petani setara kedudukannya dengan penyuluh j. Penyuluh dapat berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami petani k. Penyuluh dapat membangun jaringan kerjasama antara petani dengan pihak lain sebagai mitra usaha l. Penyuluh dapat mengembangkan usahatani baru secara berkelanjutan m. Penyuluh selalu mendorong petani untuk mengembangkan kemampuannya
34. Menurut Bapak/Saudara, penyuluh berperan dalam: (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Mengidentifikasi permasalahan petani b. Mengidentifikasi kebutuhan petani c. Mendorong petani untuk berubah d. Membangun dan memelihara hubungan dengan lingkungan petani e. Mendorong petani untuk menerapkan usahatani baru f. Mendorong petani mengembangkan skala usaha yang lebih luas g. Mendengarkan permasalahan-permasalahan petani dalam mengelola usahatani dan mencari pemecahannya h. Mendatangi petani/kelompok tani untuk melakukan kegiatan penyuluhan
35. Materi penyuluhan yang dibutuhkan menurut Bapak/Saudara: a. Informasi tentang usahatani
(isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) b. Apakah informasi tentang usahatani, sesuai dengan kebutuhan Bapak? (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) c. Sesungguhnya materi penyuluhan yang dibutuhan Bapak saat ini: (isikan: 1=upaya menjaga kesuburan lahan; 2=varietas baru yang unggul;
3=teknik budidaya; 4=cara menjalin kemitraan dengan pengusaha; 5=lainnya,__________________________)
36. Teknik penyampaian penyuluhan yang mudah dimengerti menurut Bapak/ Saudara (isikan: 1=sangat sulit; 2=sulit; 3=mudah; 4=sangat mudah)
a. Ceramah b. Diskusi kelompok c. Dialog/tanya jawab d. Petak percontohan/demonstrasi plot e. Urutkan keempat teknik tersebut menurut Bapak, ___________________
37. Selama tahun 2008, penyuluh menggunakan: a. Brosur/Leaflet, _______ kali b. Poster, _______ kali c. OHP, ________ kali d. Video, _______ kali e. Film, ________ kali f. LCD-P, ______ kali
264
V. PERSEPSI PETANI TERHADAP KARAKTERISTIK INOVASI (X5)
A. Teknologi Lokal 38. Penilaian Bapak/Saudara terhadap teknologi lokal (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Apakah teknologi lokal yang Bapak terapkan memberikan keuntungan? b. Apakah untuk menerapkan teknologi lokal diperlukan
biaya awal (produksi) yang rendah? c. Bapak merasa lebih nyaman dengan menerapkan teknologi lokal d. Bapak memiliki kebanggaan pada saat menerapkan teknologi lokal e. Dalam mengelola usahatani dengan teknologi lokal, Bapak dapat menghemat waktu f. Dalam mengelola usahatani dengan teknologi lokal, Bapak dapat menghemat curahan tenaga kerja g. Apakah Bapak lebih pasti memperoleh imbalan dari produk yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi lokal?
39. Kesesuaian teknologi (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Teknologi lokal sesuai dengan adat-istiadat ataupun kebiasaan masyarakat petani setempat b. Teknologi lokal telah sesuai dengan pengalaman Bapak selama ini c. Teknologi lokal telah sesuai dengan kebutuhan Bapak
40. Kerumitan teknologi lokal (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Komponen teknologi lokal sangat sederhana, sehingga mudah diterapkan
b. Bapak tidak mengalami hambatan secara teknis dalam penerapan teknologi lokal
c. Teknologi lokal memungkinkan diterapkan dengan keterbatasan sumberdaya(lahan, modal, tenaga kerja) yang Bapak miliki
41. Teknologi lokal dapat diujicoba (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Teknologi lokal mudah diujicoba di lahan Bapak pada skala terbatas (sempit) b. Pada saat melakukan ujicoba teknologi lokal Bapak merasakan cara bekerjanya sesuai dengan kondisi yang ada pada diri Bapak
42. Teknologi lokal dapat diamati (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Bapak dapat mengamati dengan baik hasil yang dicapai dalam penerapan teknologi lokal b. Keunggulan teknologi lokal mudah untuk diamati dibandingkan teknologi lain yang umumnya rumit c. Teknologi lokal mudah dikomunikasikan kepada petani lain
43. Apakah Bapak/Saudara puas dengan terhadap teknologi lokal? (isikan: 1=puas; 2=tidak puas)
44. Apakah Bapak/Saudara melestarikan (mengajarkan) teknologi lokal kepada keluarga/keturunan? (isikan: 1=ya; 2=tidak)
265
B. Teknologi Usahatani Baru
45. Penilaian Bapak/Saudara terhadap usahatani baru dianggap lebih baik daripada teknologi sebelumnya (lokal) (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Usahatani baru yang dianjurkan lebih menguntungkan dibandingkan teknologi yang telah diterapkan sebelumnya b. Untuk penerapan usahatani baru perlu biaya awal (produksi) yang rendah c. Bapak/Saudara merasa lebih nyaman dengan menerapkan usahatani
baru dibandingkan ketika menerapkan teknologi sebelumnya (lokal) d. Bapak/Saudara merasa memiliki kebanggaan pada saat menerapkan usahatani baru e. Dalam mengelola usahatani baru, Bapak/Saudara dapat menghemat waktu f. Dalam mengelola usahatani baru, Bapak/Saudara dapat menghemat
curahan tenaga kerja g. Bapak lebih pasti memperoleh imbalan dari produk yang dihasilkan
dari usahatani baru
46. Kesesuaian teknologi usahatani baru (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Usahatani baru yang dianjurkan telah sesuai dengan adat-istiadat ataupun kebiasaan masyarakat petani setempat b. Komponen usahatani baru telah sesuai dengan teknologi yang telah
diperkenalkan sebelumnya, sehingga Bapak telah memiliki pengalaman dalam penerapannya c. Usahatani baru yang dianjurkan telah sesuai dengan kebutuhan Bapak
47. Kerumitan usahatani baru (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
a. Usahatani baru yang dianjurkan tidak rumit dan mudah diterapkan b. Bapak tidak mengalami hambatan secara teknis dalam menerapkan usahatani baru c. Dengan keterbatasan sumberdaya (lahan, modal, tenaga kerja) yang dimiliki, Bapak dapat menerapkan usahatani baru
48. Usahatani baru dapat dilakukan ujicoba (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Usahatani baru dapat diujicoba dengan baik di lahan yang sempit b. Pada saat melakukan ujicoba usahatani baru Bapak merasakan cara
bekerjanya sesuai dengan kondisi yang ada pada diri Bapak
49. Usahatani baru dapat diamati (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju) a. Bapak dapat mengamati dengan baik hasil yang dicapai dalam menerapkan usahatani baru? b. Keunggulan usahatani baru dapat diamati dengan baik dibandingkan teknologi sebelumnya (lokal) c. Usahatani baru dapat dikomunikasikan kepada petani lain
266
50. Pengetahuan Bapak/Saudara terhadap usahatani baru (isikan 1=tidak tahu; 2=kurang tahu; 3=tahu; 4= sangat tahu)
a. Teknik budidaya tanaman:____________________________________ b. Ternak domba: _____________________________________________
__________________________________________________________ c. Pembuatan kompos dari limbah ternak dan tanaman ________________ __________________________________________________________ d. Upaya menjaga kesuburan lahan:_______________________________ e. Penanganan pascapanen ______________________________________
51. Apakah Bapak/Saudara puas dengan terhadap teknologi usahatani baru? (isikan: 1=puas; 2=tidak puas) 52. Apakah Bapak/Saudara melestarikan (mengajarkan) teknologi usahatani baru kepada keluarga/keturunan? (isikan: 1=ya; 2=tidak)
VI. PENGARUH MEDIA INFORMASI (X6) Bapak/Saudara memperoleh informasi dari media cetak (koran, majalah, buku, leaflet, brosur), media elektronik (radio, televisi, HP, internet) ataupun media interpersonal (penyuluh, ketua kelompok, sesama petani,tokoh masyarakat) yang terkait dengan: (isikan: 1= media cetak; 2= media elektronik; 3=media interpersonal) 53. Cara pengolahan lahan dengan mempertimbangkan upaya menjaga kesuburan lahan (konservasi) Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui ___________________________________ _______________________________________________________________ 54. Jenis (varietas) komoditas pertanian unggulan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
55. Cara tanam komoditas pertanian yang dianjurkan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
56. Pemupukan berimbang dengan memperhatikan kondisi lahan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
57. Pengendalian hama penyakit dengan memperhatikan kelestarian lingkungan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
58. Penanganan pascapanen untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari produk yang dihasilkan Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________
267
59. Harga jual produk yang dihasilkan petani di pasaran Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
60. Jenis-jenis dan jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan pembeli Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
61. Mutu produk yang diinginkan pembeli Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
62. Tujuan (tempat) pemasaran produk yang dihasilkan petani Sumber informasi: _______________________________________________ Informasi apa saja yang diketahui____________________________________ _______________________________________________________________
Pengaruh media interpersonal secara khusus apakah mempengaruhi sikap Bapak/Saudara terhadap beberapa hal di bawah ini: (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
63. Bapak/Saudara hadir dalam kegiatan penyuluhan tentang usahatani dan berpartisipasi aktif 64. Bapak/Saudara bertukar pikiran dengan petani lain tentang materi usahatani yang disampaikan penyuluh
65. Bapak/Saudara membandingkan antara usahatani baru dengan teknologi sebelumnya ataupun teknologi lokal
66. Bapak/Saudara mempraktekkan usahatani baru dan mempengaruhi petani lain untuk ikut menerapkannya
67. Bapak/Saudara selalu mencoba untuk menanam komoditas baru (isikan 1= tidak pernah; 2=jarang; 3= sering; 4= selalu)
68. Bapak/Saudara selalu memilih komoditas yang ditanam berdasarkan informasi pasar, meskipun beresiko gagal yang tinggi
(isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
69. Bapak/Saudara mempunyai ide-ide baru untuk mengatasi persoalan dalam kegiatan berusahatani selama ini (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
70. Bapak/Saudara selalu mencari sumber informasi untuk mendapatkan cara- cara baru yang lebih baik dalam berusahatani (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
71. Bapak/Saudara dalam melakukan kegiatan berusahatani selalu berpikiran produk yang dihasilkan harus bersifat terus menerus (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu) 72. Bapak/Saudara berupaya menjalin hubungan kemitraan dengan pihak pemodal yang sekaligus sebagai pembeli selama ini (isikan: 1=tidak pernah; 2=jarang; 3=sering; 4=selalu)
268
Persepsi Bapak/Saudara terhadap manfaat usahatani baru yang dianjurkan (isikan 1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=setuju; 4= sangat setuju)
73. Upaya menjaga kesuburan lahan dapat: a. Meningkatkan pendapatan b. Menghemat tenaga kerja c. Menghemat penggunaan sarana produksi: (1) Benih; (2) Pupuk; (3) Obat d. Menghemat biaya sarana produksi
e. Meningkatkan kesuburan lahan 74. Pembuatan bokasi, kompos dari limbah ternak dan tanaman, dapat:
a. Menyuburkan tanah b. Menghemat biaya pembelian pupuk kimia/anorganik c. Meningkatkan produktivitas hasil d. Memanfaatkan limbah
75. Pengaturan pola tanam dapat: a. Meningkatkan produktivitas hasil b. Mempertahankan kesuburan lahan c. Menekan pertumbuhan gulma dan hama penyakit
d. Adanya jaminan pemasaran komoditas 76. Usaha ternak (domba) dapat: a. Meningkatkan pendapatan
b. Sebagai tabungan keluarga c. Penganekaragaman usaha d. Sumber pupuk kandang
VII. TAHAP KEPUTUSAN (Y1) (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu)
77. Keputusan untuk menerapkan teknologi (lokal ataupun usahatani baru) dilakukan oleh:
a. Individu (opsional) b. Kelompok tani (kolektif) c. Pemerintah (otoritas) d. Lainnya____________________________ Sebutkan alasannya_______________________________________________
78. Pertimbangan Bapak/Saudara dalam menentukan komoditas yang diusahakan berdasarkan pada:
a. Benih/bibit mudah didapat b. Penggunaan sumberdaya lahan yang sesuai c. Penggunaan tenaga kerja yang ada/tersedia d. Besarnya biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan e. Mengikuti petani lain yang sudah berhasil
79. Bapak/Saudara dalam menggunakan sarana produksi: a. Hanya menggunakan sarana produksi yang dapat dihasilkan sendiri,
seperti bibit/benih dan pupuk kandang b. Disesuaikan dengan ketersediaan modal yang dimilki c. Agar tanaman tumbuh subur d. Mengikuti rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh
269
80. Bapak/Saudara yang telah mengadopsi usahatani baru, keputusan yang dilakukan saat ini:
a. Berlanjut mengadopsi, alasan: ___________________________________ ____________________________________________________________ b. Berhenti mengadopsi, alasan: ____________________________________
____________________________________________________________
81. Bapak/Saudara yang menerapkan teknologi lokal, keputusan yang dilakukan pada saat ini:
a. Mengadopsi usahatani baru, alasan:_______________________________ ____________________________________________________________ b. Tetap menolak usahatani baru, alasan: _____________________________ ____________________________________________________________
82. Teknologi yang diterapkan petani saat ini _____________________________ _______________________________________________________________ KINERJA USAHATANI (Y2) 83. Produktivitas di tingkat petani tahun 2008: a. Padi: ______________ ton/ha b. Palawija: ___________________________________________________ c. Sayuran: ____________________________________________________ d. Lainnya: ____________________________________________________
84. Curahan tenaga kerja (TK) pada teknologi lokal per musim a. TK pria: __________ HOK, upah per hari Rp _______________________ b. TK wanita: ________ HOK, upah per hari Rp _______________________
85. Curahan tenaga kerja (TK) pada usahatani baru per musim a. TK pria: __________ HOK, upah per hari Rp _______________________ b. TK wanita: ________ HOK, upah per hari Rp _______________________
86. Orientasi usaha Bapak/Saudara (lingkari jawaban yang dipilih): a. Semua produk yang dihasilkan dijual ke pasar b. Semua produk yang dihasilkan hanya untuk konsumsi sendiri c. Sebagian besar produk dijual, sebagian kecil untuk konsumsi sendiri d. Sebagian kecil produk dijual, sebagian besar untuk konsumsi sendiri
87. Jumlah masukan (sarana produksi) yang dibeli tunai tahun 2008: a. Benih/bibit tanaman: __________________________________________ b. Bibit ternak: _________________________________________________ c. Pupuk: ______________________________________________________ d. Obat-obatan: _________________________________________________
88. Apakah Bapak/Saudara mengetahui jenis dan mutu produk yang diinginkan pembeli?
(isikan: 1=ya; 2=tidak)
89. Jika ya, sebutkan ________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________
270
90. Apakah Bapak/Saudara mampu memenuhi jenis dan mutu produk yang Diinginkan pembeli? (isikan: 1=ya; 2=tidak)
91. Jika ya, sebutkan ________________________________________________ _______________________________________________________________ _______________________________________________________________
92. Hasil panen Bapak/Saudara: (lingkari jawaban yang dipilih dan jawaban dapat lebih dari satu)
a. Dijual asalan, tanpa ada penanganan b. Dikeringkan agar kadar air rendah c. Disortir berdasarkan ukuran kecil, sedang dan besar d. Ditempatkan dalam wadah untuk memudahkan pengangkutan
93. Bentuk produk yang dipasarkan Bapak/Saudara berupa: a. Bahan mentah: ________________________________________________ b. Bahan setengah jadi: ___________________________________________ c. Bentuk olahan: ________________________________________________
94. Pengeluaran rumah tangga Bapak/Saudara dalam tahun 2008
Uraian Seminggu
(Rp) Sebulan
(Rp) Total/tahun
(Rp)
Makanan/minuman: a. Beras
b. Mie dan makanan selingan (jajanan)
c. Kopi/gula/teh/susu
d. Lauk pauk/sayuran
e. Rokok/tembakau
Non makanan a. Bahan bakar (minyak tanah/gas)
b. Penerangan/listrik X
c. Pendidikan X
d. Kesehatan
e. Transportasi
f. Pakaian X X
g. Sosial/sumbangan X
h. Hajatan/selamatan keluarga X X
i. Iuran/acara keagamaan X
j. Pajak PBB lahan & bangunan X X
k. Sabun cuci/mandi,pasta gigi, sampo
l. Lainnya
Total