penyertaan dalam pembunuhan berencana dalam...
TRANSCRIPT
PENYERTAAN DALAM PEMBUNUHAN BERENCANA DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Kajian Yurisprudensi no.1429 K/Pid/2010)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Syari’ah (S.sy)
Oleh:
Hanifah Azwar
(107045102219)
JURUSAN KEPIDANAAN ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENYERTAAN DALAM PEMBUNUHAN BERENCANA DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (YURISPRUDENSI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh
Hanifah Azwar
107045102219
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing I : Pembimbing II :
Zubir Laini, S.H Dr. H.M.Nurul Irfan, M.Ag
150009273 197308022003121001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil kaya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 21 September 2011
Hanifah Azwar
i
ABSTRAK
Hanifah azwar (107045102219)
“ Penyertaan dalam Pembunuhan Berencana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif”
(Kajian Yurispudensi no.1429 K/Pid/2010).(127,vi)
Tindak pidana semakin marak terjadi di kota- kata besar baik perampokan, pencurian hingga
pembunuhan yang direncanakan .
Dalam perkembangan zaman dan pertambahan manusia yang sangat pesat manusia telah
mengalami urbanisasi yang sangat tinggi. Masyarakat pedesaan beranggapan bahwa di kota
besar seperti Jakarta terdapat lapangan pekerjaan yang banyak. Meningkatnya urbanisasi ke
Jakarta telah menjadi zoon politicon, manusia dalam berinteraksi satu sama yang lain
seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara
mereka, konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan
pelangaran hak dan kewajiban dari pihak satu ke pihak yang lain. Konflik-konflik seperti itu
tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk
menyelesaikanya. Dalam keadaan seperti ini hukum sangat diperlukan untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi. Seperti ungkapan “di mana ada masyarakat, maka di situlah
diperlukan hukum”. Eksitensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia,
tanpa adanya hukum, kehidupan manusia akan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang.
Maka perumusan masalah adalah Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan
pandangan hukum positif tentang masalah tindak pidana pembunuhan berencana
Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap kasus No. 1429
K/PID/2010
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Adapun cara
menganalisa datanya adalah deskripif kualitatif, yaitu penelitian yang menggambarkan
secermat mungkin tentang hal yang diteliti, dengan jalan mengumpulkan data-data atau
informasi yang berkaitan dengan penyertaan dalam pembunuhan berencana, dengan cara
menganalisa putusan No. 1429 K/PID/2010 dan disajikan menurut hukum pidana Islam dan
hukum pidana Indonesia.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
tiada terhenti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalwat dan salam seiring
salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan, Nabi
Muhammad SAW.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa, skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan, dan kesulitan yang ditemui.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis di dalamnya, karena
keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak
pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Dengan kerendahan hati dan rasa hormat, peneliti mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta jajaranya.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Pidana Islam yang
telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama peneliti berada di
kampus ini.
iii
3. Sekretaris Program Studi Pidana Islam, Bapak Afwan, S.Ag., yang telah
membantu peneliti selama masa kuliah untuk menyelesaikan nilai akademis di
kampus ini.
4. Bapak Zubir Laini, S.H., dan Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., yang telah
membimbing, memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh
keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan, do’a, waktu, dan motivasi sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan
ilmunya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan,
bermanfaat dan berguna untuk penulis.
6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membantu peneliti dalam mencari referensi berupa buku-buku
yang menunjang dalam skripsi ini.
7. Seluruh karyawan serta Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
yang telah meluangkan waktunya kepada penulis dalam mencari sumber data
dalam penulisan skripsi ini.
8. Ibunda Nur Istianah dan ayahanda Sahmari tercinta, yang telah menjaga
dengan kesabaran, membesarkan dengan cinta dan kasih sayang, mendidik
dengan pengorbanan yang tidak mengharapkan balik jasa dari buaian hingga
saat ini, serta do`a-do`anya dengan harapan peneliti menjadi manusia yang
iv
berguna untuk masyarakat, negara, dan khususnya agama Islam. Dan kepada
adik-adikku yang selalu memberi semangat, Kurnia Poppy Rahmawati dan
Safira Yuni Sahana, semoga kita sekeluarga dijadikan oleh Allah SWT
menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan, teman-teman Jurusan Pidana Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum angkatan 2007, khususnya Dori, Farhan Huri, dan
Shanti, teman-teman KKN Remigio 2010, teman-teman dlitzamba, khususnya
Bigwanto, juga untuk Nur Hasanah Ismatullah yang memberikan konstribusi
besar dan slalu mendukung dan memberikan motifasi kepada saya dalam
menyelesaikan tugas akhir ini, dan Aam Aminah yang banyak membantu
dalam menyelesaikan skirpsi ini, terima kasih atas dukungan dan semangatnya
yang tak pernah putus kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
10. Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,
terimakasih atas
Dengan harapan yang tinggi, semoga Allah SWT membalas amal dan
kebaikan mereka dengan pahala yang berlipat ganda atas bantuannya kepada peneliti
secara moril maupun materil. Terima kasih atas segalanya. Kurang dan lebihnya
penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya.
Jakarta, 21 September 2011
Hanifah Azwar
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
E. Metode penelitian .................................................................. 9
F. Sistematik Penulisan ............................................................ 12
BAB II PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana .............................. 14
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................... 14
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................ 18
3. Pembagian Tindak Pidana ............................................... 22
B. Pengertian Penyertaan ........................................................... 31
C. Bentuk-Bentuk Penyertaan.................................................... 35
vi
BAB III TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DAN SANKSI HUKUMANYA
A. Pengertian Tindak Pembunuhan ........................................... 44
B. Kualifiksi Pembunuhan ....................................................... 47
C. Sanksi Pidana Pembunuhan ................................................. 62
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
A. Deskripsi Kasus Pembunuhan Berencana ............................. 84
1. Kronologis Pembunuhan ................................................. 84
2. Dakwaan dan tuntutan jaksa............................................ 99
B. Putusan Hakim Mahkamah Agung ..................................... 100
C. Analisa Putusan Mahkamah Agung ...................................... 103
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 125
B. Saran ...................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 128
LAMPIRAN ...................................................................................................... 131
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan zaman dan pertambahan manusia yang sangat pesat
manusia telah mengalami urbanisasi yang sangat tinggi. Masyarakat pedesaan
beranggapan bahwa di kota besar seperti Jakarta terdapat lapangan pekerjaan
yang banyak. Meningkatnya urbanisasi ke Jakarta telah menjadi zoon politicon,
manusia dalam berinteraksi satu sama yang lain seringkali tidak dapat
menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara mereka, konflik
yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan
pelangaran hak dan kewajiban dari pihak satu ke pihak yang lain. Konflik-konflik
seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum
untuk menyelesaikanya. Dalam keadaan seperti ini hukum sangat diperlukan
untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Seperti ungkapan “di mana ada
masyarakat, maka di situlah diperlukan hukum”. Eksitensi hukum sangat
diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa adanya hukum, kehidupan
manusia akan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang.1
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan tentang kejahatan, khususnya kejahatan
yang bersifat kekerasan terhadap fisik manusia, pertama kali diperkenalkan di
1 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan
Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 2.
2
bumi ini oleh anak Adam, Qabil pada waktu ia membunuh Habil, saudaranya
sendiri. Demikianlah seterusnya kekerasan demi kekerasan dalam berbagai
bentuknya mengancam jiwa manusia yang dilakukan oleh dan terhadap anak-anak
manusia itu sendiri berlangsung terus hingga sekarang.2
Adapun perbuatan tindak pidana dapat berupa pelanggaran atau
kejahatan, yang dimaksud dengan perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang
oleh aturan-aturan hukum dilarang dan diancam dengan hukuman pidana bagi
masyarakat yang tidak mentaati dan melanggar aturan tersebut.3
Perbuatan tindak pidana ditinjau dari objek kejahatannya dibagi menjadi
dua macam, yaitu:
1. Kejahatan terhadap benda-benda sebagai objek hukum;
2. Kejahatan yang berhubungan dengan subjek hukum yaitu tubuh dan nyawa
seseorang.
Kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu
dan tempat, kehadirannya di bumi ini dapat dianggap setua dengan umur manusia
dengan banyaknya pemberitaan tentang kejahatan khususnya dalam hal
pembunuhan dan perbuatan anarki dan perbuatan sadisme, bertambahnya tingkat
kejahatan tersebut terjadi dikarenakan banyaknya kekurangan sarana dan pra
sarana yang dapat menghambat perkembangan kejahatan. Pembunuhan dalam
2 JE. Sahetapy, Viktimologi Sibuah Bangsa Bunga Rampai (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1987), cet. ke-1, h. 35-36.
3 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 130.
3
bahasa Indonesia diartikan dengan prosis, perbuatan atau cara membunuh.4
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh sesorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang
meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dan atau
beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau
dikelompokkan menjadi: disengaja (amd), tidak disengaja (khata), dan semi
disengaja (syibhu al-amd).5
Jadi dalam Islam pemidanaan dapat berfungsi sebagai pencegahan dan
juga perbaikan, dan lain halnya dengan hukum pidana positif yang hanya
mengancam dengan hukuman dan menghukumnya. Oleh karena itu kita
membutuhkan suatu tatanan hukum untuk memperbaiki keseimbangan suasana
dengan mengadakan suatu aturan hukum yang disepakati bersama dalam menutup
kebobrokan moral dengan hukum yang tegas dan lugas dalam menyikapi suatu
persoalan hukum.6
Pada saat ini kejahatan merajalela di mana-mana, dan sudah tidak menjadi
rahasia lagi, terutama di kota-kota besar di Indonesia khususnya kota metropolitan
Jakarta banyak atau sering terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari
satu orang atau secara beramai-ramai. Khususnya dalam tindak pidana
pembunuhan yang akan penulis bahas, banyak sekali dilakukan oleh lebih dari
4 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 136.
5 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24.
6 Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: As-Syamil, 2000), h. 190.
4
satu orang, yang disebut dengan “penyertaan dalam tindak pidana“ sesuai
dengan pasal 340 KUHP pasal 55 (ayat 1).
Dalam kasus pembunuhan telah banyak terjadi di Jakarta khususnya di
daerah Jakarta selatan, di catatan pengadilan negeri Jakarta Selatan dimulai dari
bulan Januari hingga bulan April telah tercatat ada 1 kasus tehadap kejahatan
terhadap nyawa dan 2 kasus kejahatan yang menyebabkan kematian. Di antara
kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan Jakarta selatan di antaranya adalah
kasus pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen direktur PT. Rajawali Sakti
yang dilakukan oleh Antasari Azhar.
Dalam kasus pembunuhan berencana, yang merupakan tindakan kejahatan
yang mengancam eksistensi jiwa dan nyawa seseorang. Tindakan tersebut
merupakan tindakan kejahatan yang bisa menggoncang stabilitas keamanan
terhadap jiwa dan nyawa masyarakat. Oleh karena itulah, Al-Qur’an melarang
keras tindakan kejahatan tersebut dan menegaskan ancaman hukuman secara rinci
dan berat atas diri pelanggarnya.7 Dalam kejahatan tersebut bukan hanya
dilakukan seseorang saja tetapi banyak dilakukan oleh lebih dari seseorang, ada
yang merencanakan, ada yang menyuruh, ada yang melakukan langsung atau
lainnya, baik terlibat langsung maupun tidak langsung. Dalam Qur’an Surat Al-
Maidah Allah swt. tegas melarang umat manusia untuk saling tolong menolong
dalam kejahatan.8
7 Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek Dan Tantangan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. ke-1, h. 108.
8 Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h.
200.
5
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sidang mereka mencari
kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sisuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sisungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah/5 : 2)
Ketentuan penyertaan yang dibentuk dan dimuat dalam kitab undang-
undang hukum pidana yang bertujuan agar dapat dipertanggung-jawabkan dan
dipidana orang-orang yang terlibat dan mempunyai andil baik secara fisik
(objektif) maupun psikis (subjektif). Pembentuk undang-undang merasa perlu
membebani tanggung jawab pidana dan yang sekaligus besarnya bagi orang-orang
yang perbuatannya semacam itu, untuk menjadi pegangan hakim dalam
menjatuhkan pidana.
Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama untuk mewujudkan tindak
pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda antara satu dengan yang
6
lain, dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu
hubungan yang sedemikian eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang
perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu tujuan yaitu
terwujudnya tindak pidana.9 Perampasan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana yang mengambil kebebasan seseorang untuk hidup.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengetahui bagaimana tindak pidana pembunuhan berencana, dan bagaimana
tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan dan
bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang tindak pidana pembunuhan
berencana yang dilakukan dengan penyertaan yang ditulis dalam sebuah skripsi
dengan judul: “PENYERTAAN DALAM PEMBUNUHAN BERENCANA
DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: Kajian Yurisprudensi
No. 1429 K/PID/2010
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat ditemukan suatu permasalahan yang cukup
penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang
mengenai permasalahan yang akan dikaji.
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini penulis mencoba
untuk membatasi masalah ini, sebagai berikut:
9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), cet. ke-1, h. 71.
7
1. Tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan
yang penulis maksud adalah tindak pidana pembunuhan yang telah
direncanakan dengan matang yang dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu:
pelaku, pihak yang menyuruh melakukan, pihak yang turut melakukan, pihak
yang memberi upah, jani-janji atau sengaja membujuk, pihak yang membantu
waktu kejahatan dilakukan dan atau yang sengaja memberikan kesempatan,
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
2. Hukum Islam yang dimaksud di sini adalah kajian hukum pidana Islam yang
membahas tentang tindak pidana (jarimah) khususnya tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan.
3. Hukum positif yang penulis maksud adalah hukum positif yang terkait dalam
pembahasan mengenai pembunuhan berencana yang dilakukan dengan
penyertaan.
Beralih dari pembahasan dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di
atas, maka penulis memformulasikan permasalahan dalam perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pandangan hukum positif tentang
masalah tindak pidana pembunuhan berencana?
2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap kasus No.
1429 K/PID/2010?
8
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Memberikan gambaran atau penjelasan menurut hukum Islam dan hukum
positif tentang bentuk penyertaan dalam pembunuhan berencana.
b. Untuk memberikan gambaran atau penjelasan mengenai tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan menurut
pandangan hukum Islam.
c. Untuk memberikan gambaran atau penjelasan mengenai tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan menurut
pandangan hukum pidana positif.
2. Manfaat penelitian
a. Hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan studi hukum pidana Islam
mengenai tindak pidana khususnya mengenai pembunuhan berencana
yang dilakukan dengan penyertaan menurut hukum Islam.
b. Hasil penelitian ini berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan
dalam tranformasi hukum Islam dalam tindak pidana pembunuhan
berencana yang dilakukan dengan penyertaan.
c. Hasil penelitian ini berguna bagi akademisi hukum pidana Islam dalam
rangka mengembangkan pemikiran dan khazanah hukum pidana Islam.
9
D. Tinjauan Pustaka
Sehubungan dengan skripsi yang penulis buat, terdapat sejumlah
penelitian tentang topik tindak pidana yang dilakukan dengan penyertaan yang
telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik maupun yang menyingung
secara umum. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut.
Karya ilmiyah dari skripsi Suniroh yang berjudul “Sanksi Pidana Atas
Tindak Pidana Penyertaan Dalam Perampokan Menurut Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Indonesia (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat)”.
Pokok masalah yang dikaji membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-
unsur tindak pidana serta pembagian tindak pidana, pengertian penyertaan,
bentuk-bentuk penyertaan, pengertian perampokan, bentuk-bentuk perampokan,
sanksi pidana terhadap pelaku perampokan, sanksi pidana atas tindak pidana
penyertaan perampokan.
Temuan penting dalam skripsi ini adalah bahwa hukum pidana Islam tidak
sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan tidaklah memberikan
keadaan yang sesungguhnya karena syarat dari pemberian hukuman telah
terpenuhi. Yang seharusnya dalam kasus tersebut menurut hukum pidana Islam,
apabila pelaku mengambil harta orang lain tanpa membunuh maka hukumannya
adalah potong tangan dan kakinya dengan bersilang. Sedangkan menurut hukum
pidana Indonesia pelaku seharusnya dikenakan hukuman pidana penjara paling
lama 12 tahun karena perbuatan tersebut dilakukan di jalan umum.
10
Jadi dalam skripsi ini hanya menitik-beratkan pada sanksi yang diberikan
pada pelaku perampokan yang disertai dengan kekerasan, sedangkan skripsi yang
ditulis oleh penulis ini menjelaskan tentang keikutsertaan dalam tindak pidana
pembunuhan berencana, meskipun terdapat kesamaan dalam menjelaskan tindak
pidana secara umum.
E. Metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah library
resiarch, dengan mengacu pada:
1. Sumber data
a. Data Primer
1) Wawancara (interview), yaitu metode pengumpulan data dengan jalan
tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.10
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan
yang diwawancarai, tetapi dapat juga tidak secara langsung seperti
memberikan daftar pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain.11
Wawancara akan membantu mengungkapkan apa yang berkaitan
dengan penelitian12
yaitu dengan mewawancarai narasumber yang
10
Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research (Jakarta: Adi Offset, 1990), cet. ke-2, h. 193.
11
Jalaluddin Rachmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik,
h. 51.
12
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan
Penelitian Dalam Kajian Media dan Budaya (Bandung: PT. Bentang Pustaka, 2006), cet. ke-1, h. 135.
11
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu pihak Panitera Pengadilan
Jakarta Selatan, Bagian Hukum dan Bagian Banding dan Kasasi.
2) Sumber data lapangan, yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang berupa data
putusan No. 1429 K/PID/2010, data tahun 2011 tentang kejahatan
terhadap jiwa dan kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang.
b. Data Sekunder
Dokumentasi yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-
dokumen. Pengumpulan data ini diperoleh dari dokumen-dokumen yang
berupa catatatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah
beberapa literatur baik berupa buku-buku,catatan-catatan dan dokumen
atau diktat yang ada pada redaksi.13
yaitu buku-buku,catatan-catatan dan
dokumen yang berhubungan dengan dengan judul skripsi ini (Literature
dan referensi kepustakaan).
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
dokumentasi (keputusan), yaitu pengumpulan data-data yang terdapat di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berupa Putusan Majelis Hakim No. 1429
K/Pid/2010/Mahkamah Agung, tentang pembunuhan berencana yang
13
Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi
Aksara, 1998), h. 32.
12
dilakukan dengan penyertaan, dan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi
ini, dan berita yang disiarkan kepada media masa.14
3. Teknik analisa data
Adapun cara menganalisa datanya adalah deskripif kualitatif, yaitu
penelitian yang menggambarkan secermat mungkin tentang hal yang diteliti,
dengan jalan mengumpulkan data-data atau informasi yang berkaitan dengan
penyertaan dalam pembunuhan berencana, dengan cara menganalisa putusan
No. 1429 K/PID/2010 dan disajikan menurut hukum pidana Islam dan hukum
pidana Indonesia.
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan
skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah
dan Hukum, tahun 2007.
F. Sistematis Penulisan
Untuk mencapai sarana seperti yang diharapkan, maka sistematika
pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan
dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori
dan konsiptual, sistematika penulisan.
14
Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cet.
ke-1, h. 163.
13
BAB II : Pada bab ini membahas tentang penyertaan dalam tindak pidana
menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia yang
dibagi menjadi: A. Tinjauan umum tentang tindak pidana yang
terdiri dari: 1. Pengertian tindak pidana 2. Unsur-unsur tindak pidana
3. Pembagian tindak pidana B. Pengertian penyertaan C. Bentuk-
bentuk penyertaan.
BAB III : Pada bab ini menjelaskan tentang tindak pidana pembunuhan
berencana menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia, yang
dibagi menjadi: A. Pengertian pembunuhan B. Macam-macam
pembunuhan C. Sanksi pidana dan konsep pemaafan.
BAB IV : Pada bab ini menjelaskan tentang penyertaan dalam pembunuhan
berencana (studi kasus putusan No. 1429 K/PID/2010): A. Dalam
hukum Islam B. Dalam hukum positif.
BAB V : Penutup merupakan hasil akhir yang memuat beberapa kesimpulan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan perbandingan antara
Hukum Islam dan Hukum positif. Selanjutnya penulis juga
memberikan saran-saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan
yang dibahas dalam skripsi ini.
14
BAB II
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
a. Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana sering
diistilahkan dengan jarimah, yang berasal dari kata َجَرَم yang berarti
melakukan usaha atau upaya.15
Pengertian secara umum yaitu:
Melakukan perbuatan yang diharamkan yang dikenal dengan sanksi atas
melakukan perbuatan itu atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan yang dikenai sanksi atas meninggalkan perbuatan tersebut.
Imam Al-Mawardi mendefinisikan jarimah sebagai berikut:
Segala larangan-larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan
atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan
hukuman had atau takzir.16
15
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2000), h. 11.
16
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Musthafa Al-Baby Al-Halaby,
Mesir, 1975), cet. ke-3, h. 219.
15
Para fuqaha mendefinisikan jarimah:
“segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah yang
diancam dengan hukuman had atau takzir, maksud al-mahdhurot ialah: baik
mengerjakan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang
dilarang”
Larangan-larangan menurut definisi yang diberikan oleh para fuqaha di
atas, adakalanya mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan
perbuatan yang diwajibkan kepadanya, dan dapat dikenakan sanksi berupa had
atau qishas. Adanya kata syara berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap
sebagai jarimah apabila telah ada larangan dari syara.
Kemudian Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri Al-Jina’i Al-
Islami mengemukakan sebagai berikut:
“jinayah menurut bahasa adalah nama dari tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang dari kejahatan yang ia lakukan, dan menurut istilah ialah nama dari
perbuatan yang diharamkan oleh syari’at baik perbuatan itu terhadap jiwa, atau
harta atau yang lainnya”17
Para fuqaha juga sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah.
Semula pengertian jinayah ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi
kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan
17
Abdul Al-Qodir Audah, Al-tasri’ Al-Jinai Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
jilid I, h. 67.
16
kata-kata jinayah adalah perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan itu
mengenai (merugikan) jiwa atau harta maupun benda lainnya.
Kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan
yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai,
memukul, mengugurkan kandungan dan sebagainya. Ada pula golongan fuqaha
yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qishas
saja.
Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah dan
jarimah di kalangan para fuqaha, maka dapatlah kita mengatakan bahwa kata-kata
jinayah dalam istilah fuqaha sama pengertiannya dengan kata jarimah.18
A.Hanafi dalam buku Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam
mengemukakan sebagai berikut: hukum pidana ialah kumpulan aturan-aturan
yang mengatur cara melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan
kepentingan masyarakat (Negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan yang
tidak dibenarkan.19
Sedangkan menurut Haliman, hukum pidana Islam ialah ketentuan-
ketentuan hukum syariat Islam yang melarang orang untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, dan terhadap pelanggaran ketentuan hukum tersebut dikenakan
hukuman yang berupa penderitaan badan atau denda kepada pelakunya.20
18
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), cet. ke-5, h.
1-2.
19
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 45.
20
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), h. 64.
17
b. Menurut Hukum Positif
Pembentuk undang-undang kita telah mengunakan perkataan “straffbaar
feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam
kitab undang-undang hukum pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”.
Tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu,
sehingga para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah itu.
Sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.21
Kemudian
muncullah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan
yang ada dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemah dari istilah straffbaar
feit ini, antara lain:
1) Moeljatno memberikan rumusan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum dan diancam dengan pidana bagi yang
melanggarnya.22
Dan perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang telah dicita-citakan oleh
masyarakat itu.
2) R.Tresna memilih peristiwa pidana yang berarti sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan lainnya terhadap perbuatan yang diadakan tindakan penghukuman.23
21
Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), cet. ke-1, h. 67.
22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. ke-7, h. 54.
23
Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Tiara Limiter, 1959), h. 27.
18
3) Wirjono lebih memilih pada tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman atau sanksi pidana.24
Dalam bahasa feit berarti sebagian dari kenyataan sedangkan strafbaar
berarti dapat dihukum, maka secara harfiah strafbaar feit berarti sebagian dari
sesuatu kenyataan yang dapat dihukum.25
Menurut hukum positif kita, tindak pidana adalah suatu tindakan yang
menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.26
Sesungguhnya tidak ada seorangpun dapat dihukum kecuali
apabila tindakanya itu memang benar-benar bersifat melanggar hukum dan telah
dilakukan berdasarkan kesengajaan ataupun tidak sengaja.
Tindak pidana adalah:
a. Suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
c. Perbuatan harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
a. Menurut Hukum Islam
Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana atau jarimah itu memiliki
unsur-unsur atau rukun-rukun, yaitu unsur umum dan unsur khusus.27
Unsur
24
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco
Jakarta, 1981), cet. ke-3, h. 50.
25
Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, h. 62.
26
Pompe, Handboek, h. 39.
27
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2000), h. 12.
19
umum jarimah adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, yang
terdiri dari:
1) Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yakni adanya nash yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman;
2) Unsur materil (al-rukn al-madi), yakni adanya perbuatan yang membentuk
jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan;
3) Unsur moril (al-rukn al-adaby), yakni pelaku jarimah, ia adalah orang
yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif, atau disebut
sebagai mukallaf.
Menurut unsur khusus jarimah adalah unsur yang terdapat pada suatu
jarimah yang lain. Sebagai contoh: menghilangkan nyawa manusia oleh
manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan.
b. Menurut Hukum Positif
Unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang,
yakni: dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud dari teoritis
adalah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi
rumusannya. Sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-
pasal peraturan perundang-undangan yang ada.28
28
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), cet. ke-1, h. 78-79.
20
1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi
Menurut moeljatno, unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Diadakan tindakan penghukuman atau sanksi.
Menurut Apeldoorn elemen atau unsur delik itu terdiri dari elemen
objektif yang berupa adanya suatu tindakan yang bertentangan dengan
hukum (onrecht matig/wederrechttelijk) dan elemen subjektif yang
berupa adanya seorang pembuat (dader) yang mampu
bertanggungjawab atau dipersalahkan (toerekeningsyat baarheid)
terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum.29
Di samping itu pula ada yang membagi unsur tindak pidana secara
terperinci, dan ini didasarkan atas susunan dari tiap-tiap tindak pidana
yang bersangkutan, sehingga secara alternatif setiap tindak pidana harus
mempunyai unsur yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan
tindak pidana yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan
29
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradya Paramita, 1978), cet. ke-15,
h. 338-339.
21
tindak pidana yang berkembang dalam ilmu pengetahuan. Kemudian
dalam hal menentukan pembagian perincian unsur-unsur dalam suatu
tindak pidana tidak terdapat kesatuan doktrin dari para ahli.
Dari unsur yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana harus memiliki unsur-
unsur yang terdiri dari:
a) Subjek;
b) Kesalahan;
c) Sifat melawan hukum;
d) Suatu tindakan yang diancam dengan hukuman atau sanksi.
2) Unsur Tindak Pidana dalam Rumusan Undang-Undang
Buku II KUHP memuat rumusan perihal tindak pidana tertentu
yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam buku III adalah
pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap
rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan. Unsur kesalahan dan
melawan hukum terkadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak
dicantumkan.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka
dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:
a) Tingkah laku;
b) Melawan hukum;
c) Kesalahan;
22
d) Akibat konstitutif;
e) Keadaan yang menyertai;
f) Syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;
g) Syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h) Syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.30
3. Pembagian Tindak Pidana
a. Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam seperti telah disebutkan sebelumnya tindak
pidana disebut dengan jarimah. Menurut cara meninjaunya jarimah dapat
dibedakan menjadi:
1) Dilihat dari segi berat ringanya hukuman jarimah dibagi menjadi tiga,
yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas diyat dan jarimah takzir.
2) Dilihat dari segi niat si pelaku, jarimah dibagi menjadi: sengaja dan tidak
sengaja.
3) Dilihat dari cara mengerjakan, jarimah dibagi menjadi positif dan negatif.
4) Dan dari segi yang menjadi korban, jarimah dibagi menjadi jarimah
perseorangan dan jarimah masyarakat.31
30
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), cet. ke-1, h. 81-82.
31
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 7.
23
1) Jarimah: Hudud, Qishas Diyat dan Takzir
a) Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Adapun pengertian hukuman had sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, adalah:
“hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan
merupakan hak Allah SWT”.32
Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah, maka
hukuman tersebut tidak dapat digugurkan oleh perseorangan (korban
atau pihak keluarga) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.
Yang termasuk dalam jarimah hudud ada tujuh macam, yaitu:
1. Zina;
2. Qadzaf atau menuduh berzina;
3. Syurbul khamar atau meminum minuman keras;
4. Pencurian;
5. Hirabah atau perampokan;
6. Riddah atau murtad;
7. Jarimah pemberontakan.
32
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 79.
24
b) Jarimah Qishas-Diyat
Jarimah qishas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman qishas atau hukuman diyat, tidak mempunyai batas
terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan
pengertian bahwa si korban atau ahli warisnya dapat memaafkan si
pelaku kejahatan. Bila dimaafkan, maka hukumanya dapat terhapus.
Jarimah ini terdiri dari lima macam, yaitu:
1) Pembunuhan sengaja;
2) Pembunuhan menyerupai sengaja;
3) Pembunuhan karena kesalahan;
4) Penganiayaan sengaja;
5) Penganiayaan tidak sengaja.
c) Jarimah takzir
Yang termasuk jarimah golongan ini ialah perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman takzir. Jarimah
takzir dari segi bahasa berartikan mencegah atau menolak, sedangkan
menurut istilah berartikan peraturan mengenai jarimah yang ancaman
hukumnya diserahkan kepada kebijakan hakim. Jadi secara definisi
jarimah takzir ialah suatu tindakan yang diancam dengan hukuman
takzir. Dalam hal ini, syara tidak menentukan macam-macamnya
hukuman untuk tiap-tiap jarimah takzir, tetapi hanya menyebutkan
sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringanya sampai pada yang
25
seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk
memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah
takzir serta keadaan si pelaku.
2) Jarimah Sengaja dan Jarimah Tidak Sengaja
Pada jarimah sengaja, si pembuat dengan sengaja melakukan
perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah).
Begitulah arti umum tentang kesengajaan, meskipun pada jarimah
pembunuhan, kesengajaan mempunyai arti khusus, yaitu sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dan akibat perbuatan itu dikehendaki
pula. Kalau si pelaku dengan sengaja berbuat tetapi tidak menghendaki
akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut pembunuhan semi sengaja.
Pada jarimah tidak sengaja, si pelaku tidak sengaja melakukan
perbutan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat
kekeliruan.33
3) Jarimah Positif dan Jarimah Negatif
Jarimah positif (jarimah ijabiyah) terjadi karena mengerjakan
suatu perbuatan yang dilarang, seperti: mencuri, memukul, dan
sebagainya. Disebut juga sebagai delicta commissionis. Jarimah negatif
(jarimah salabiyah) terjadi karena tidak mengerjakan suatu perbuatan
yang diperintahkan. Disebut juga sebagai delicta ommissionis.
33
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 11-12.
26
4) Jarimah Masyarakat dan Jarimah Perorangan
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah di mana hukuman
terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik
jarimah itu mengenai perseorangan atau mengenai ketentranman
masyarakat dan keamananya.
Jarimah perseorangan adalah suata jarimah di mana hukuman
terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan,
meskipun sebenarnya apa yang menyingung perseorangan juga berarti
menyinggung masyarakat.34
b. Menurut Hukum Positif dan menurut KUHP dan doktrin
Dalam hukum positif, tindak pidana dibagi menjadi:
1) Menurut KUHP, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu kejahatan
dan pelangaran. Di dalam KUHP dibagi menjadi tiga buku, yaitu buku I
yang berisikan tentang aturan-aturan umum, buku II yang berisikan
tentang tindak pidana yang termasuk dalam tindak pidana kejahatan, dan
dalam buku III berisikan tentang tindak pidana yang termasuk dalam
pelangaran.35
Dalam hal ini undang-undang hanya membagi penggolangan
saja tanpa memberikan arti yang jelas.
34
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 14.
35
Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 118.
27
Manfaat pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelangarn:
a) Pada pasal 5 kejahatan yang dilakukan di luar negeri dapat dijatuhkan
hukuman sedangkan pelanggaran tidak.
b) Pada pasal 10 hukuman kejahatan lebih berat daripada hukuman
pelaggaran.
c) Kesalahan dalam kejahatan harus dibuktikan dengan tegas sedangkan
pelanggaran tidak perlu dibuktikan dengan tegas.
d) Pada pasal 53 percobaan melakukan tindak kejahatan dapat dikenakan
hukuman sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak.
e) Pada pasal 56 membantu dalam kejahatan dihukum sedangkan dalam
pelanggaran tidak.
f) Pada pasal 65 dan 66 mengenai pengabungan tindak pidana hanya
dijatuhkan satu hukumn tersebut sedangkan pada pasal 70 jika terjadi
pengabungan terhadap pelanggaran maka dihukum sendiri-sendiri.
Namun demikian oleh ilmu pengetahuan hukum mencoba lebih
lanjut memberikan ukuran perbedaan kejahatan dan pelanggaran sebagai
berikut:
a) Kejahatan adalah recht delict, yakni perbuatan yang bertentangan
dengan kepentingan hukum. Dan pelanggaran adalah wet delict,
perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang
ditentukan oleh penguasa Negara.
28
b) Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum (krenkings
delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya. Sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang hanya membahayakan
kepentingan hukum, seperti menabrak dan melewati lampu merah,
dan lain-lain.
2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formil delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian
rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu
adalah melakukan perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil
tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya sesuatu akibat
tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana,
melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan tindak pidana
materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang,
karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana.36
3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culposi
delicten).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
36
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 122.
29
Sedangkan tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung unsur culpa dan tindak pidana culpa adalah
tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena
kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.37
4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta comissionis)
dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
ommissionis).
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya merupakan
perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk
mewujudkanya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang
berbuat. Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang
dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Sedangkan tindak
pidana pasif adalah di dalam tindak pidana pasif ada suatu kondisi atau
keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum
untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan perbuatan itu
maka ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Di sini ia telah
melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat juga disibut juga
tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.38
37
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 124-125.
38
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 125-126.
30
5) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II dan buku III
KUHP), sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana
yang terdapat di luar kodifikasi tersebut, misalnya tindak pidana korupsi,
tindak pidana psikotropika, dan lain-lain.39
6) Dilihat dari sudut hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan
tindak pidana propria (dapat dilakukanhanya oleh orang yang memiliki
kualitas pribadi tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku
pada semua orang, dan memang sebagian tersebar tindak pidana itu dirumuskan
dengan maksud yang demikian, akan tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tidak
patut tertentu yang khusus hanya dapat oleh orang berkualitas tertentu saja,
misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nahkoda (pada kejahatan
pelayaran dan sebagainya). Di samping itu ada juga tindak pidana yang berdiri
sendiri, misalnya seorang ibu melakukan pembunuhan bayinya.40
39
Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 127.
40
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 128.
31
B. Pengertian Penyertaan
1. Menurut Hukum Islam
Dalam bahasa Arab penertaan berasal dari kata yang ِإْشَتَرَك َيْشَتِرُك ِإْشِتَراًكا
berarti persekutuan, perserikatan, asosialisasi dan partnership. Dalam hukum
Islam terdapat istilah (istirak fi jarimah) yang berarti bersama-sama,
keterlibatan atau delik penyertaan.41
Penyertaan menurut hukum Islam seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Qodir Audah adalah:
Suatu jarimah kadang-kadang dilakukan oleh individu sindiri, kadang-kadang
dilakukan oleh beberapa orang yang masing-masing individu mendapat
bagian dalam pelaksanaan jarimah tersebut atau saling membantu satu
dengan yang lainnya demi terlaksananya jarimah tersebut.
Setelah memperhatikan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
dari penyertaan dalam suatu tindak pidana menurut hukum Islam adalah suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Di dalam hukum pidana Islam apabila jarimah atau tindak pidana itu
diperbuat oleh beberapa orang maka bentuk kerjasama mereka, tidak lebih
dari empat macam bentuk, yaitu:
41
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2003), cet. ke-8, h. 131.
32
a. Pelaku jarimah bersama-sama dengan orang lain melaksanakan suatu jarimah
atau dengan pengertian bahwa mereka secara kebetulan bersama-sama
melakukan jarimah tersebut;
b. Pelaku mangadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan
jarimah;
c. Pelaku menghasut atau menyuruh orang lain untuk melaksanakan jarimah;
d. Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan
berbagai macam cara, tanpa ikut melakukanya.42
Setelah memeperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan turut serta melakukan suatu jarimah atau suatu tindak
pidana menurut hukum Islam adalah turut serta seseorang atau lebih dalam
melakukan suatu perbuatan kejahatan atau kriminal, baik pelakunya turut serta
secara langsung atau tidak langsung.
Selanjutnya dalam hal turut serta ini, hal yang harus dipahami adalah
bagaimana dan sejauh mana peranan para pelaku tindak pidana dalam
melaksanakan kejahatan itu. Hal ini sangat penting karena pertanggungjawaban
dan hukuman masing-masing pelaku sangat tergantung pada seberapa jauh
peranan masing-masing dalam melakukan tindak pidana tersebut.
42
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 357.
33
2. Menurut Hukum Positif
Penyertaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu deelneming
berasal dari kata deelnemen, Satochid Kartanegara mendefinisikan bahwa yang
dimaksud dengan deelneming adalah apabila dalam suatu tindak pidana
tersangkut lebih dari satu orang atau beberapa orang (lebih dari seorang).43
Pendapat Satochid Kartanegara di atas kurang tepat, karena walaupun
tersangkut beberapa orang, jika hanya satu orang yang dapat
dipertanggungjawabkan, perbuatan tersebut tidak termasuk deelneming. Lebih
tepat deelneming diartikan suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang
dapat dipertanggung jawabkan.44
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa yang dinamakan
deelneming adalah berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang
lain melakukan suatu tindak pidana.45
Dalam turut serta ini, sesuatu yang perlu dipahami adalah bagaimana
hubungan dari tiap-tiap peserta terhadap tindak pidana yang terjadi. Hal ini
disebabkan karena hubungan di antara para peserta itu dapat bermacam-macam,
yaitu:
43
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. II (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), h. 1.
44
Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke
33, h. 77.
45
Wijaono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco
Jakarta, 1981), h. 108.
34
a. Mereka bersama-sama melakukan tindak pidana yang terjadi;
b. Hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan orang lain yang
melaksanakan tindak pidana tersebut;
c. Seseorang yang melakukan tindak pidana sedangkan yang lain memberikan
bantuan kepadanya untuk melaksanakan tindak pidana.
Oleh karena itulah maka setiap pelaku mempunyai hubungan dan peranan
yang berbeda-beda terhadap pelaku tindak pidana tersebut, maka semua ini
berpangkal kepada penetuan pertanggungjawaban dari pada setiap peserta
terhadap tindak pidana yang terjadi.46
Di dalam KUHP istilah penyertaan tidak dijelaskan secara definisi.
Namun, berdasarkan pasal 55 dan 56 KUHP yang hanya menyebutkan bentuk-
bentuk penyertaan saja,47
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
penyertaan adalah tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang dalam
mewujudkan perbuatan tindak pidana.
Ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP itu menurut rumusannya yang
asli di dalam bahasa Belanda yang artinya:
1. Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
a. mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau yang turut
melakukan
46
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), h. 1.
47
Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 78.
35
b. mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan,
ancaman, atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan
memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan,
dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakukan tindak
pidana yang bersangkutan.
2. Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggung
jawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja
telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-
akibatnya dihukum sebagai pembantu-pembantu di dalam suatu kejahatan,
yaitu:
a. mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan
kejahatan tersebut;
b. mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempata, sarana-sarana
atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.48
C. Bentuk-Bentuk Penyertaan
1. Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam penyertaan hanya dibedakan berdasarkan
keikutsertaan seseorang dalam melakukan jarimah. Apakah secara langsung
atau tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut para fuqaha membagi
penyertaan menjadi dua golongan, yaitu:
48
Moeljatno, KUHP (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), cet. ke-24, h. 25-26.
36
a. Turut Berbuat Langsung
Yang dimaksud dengan turut berbuat langsung adalah orang yang
secara langsung turut serta melakukan tindak pidana. Dalam istilah fiqh
jinayah peristiwa turut berbuat langsung disibut isytirak mubasyir.
Abdul Qodir Audah berpendapat bahwa turut berbuat langsung pada
dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata
lebih dari seseorang atau berbilangnya jumlah pelaku. 49
Para fuqaha mengadakan pemisahan tentang kerjasama para pelaku
dalam mewujudkan tindak pidana yang terjadi. Dikatakan apabila kerjasama
antar mereka dalam melakukan suatu tindak pidana terjadi secara kebetulan
maka kejadian ini dinamakan tawafuq, dan kerja sama yang terjadi memang
sudah direncanaan maka kejahatan itu dinamakan tamalu.50
Pada tawafuq pelaku tindak pidana tidak mempunyai kesepakatan
sebelumnya, melainkan masing-masing berbuat karena dorongan pribadi dan
fikiran yang timbul secara tiba-tiba, seperti yang sering terjadi pada kerusuhan
dalam demontrasi atau perkelahian masal. Dan masing-masing pelaku
bertangung jawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab
atas perbuatan orang lain.
49
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 360.
50
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 107.
37
Adapaun tamalu pelaku telah bersepakat sebelumnya untuk melakukan
tindak pidana dan mereka menginginkan terlaksananya kejahatan tersebut,
serta saling bantu membantu melaksanakanya. Misalnya ada dua orang
bersepakat untuk membunuh orang ketiga, kemudian keduanya pergi
menemui orang tersebut, yang satu mengikat korban yang lainnya memukul
kepala korban sampai korban tewas, maka kedua pelaku tersebut bertanggung
jawab atas kematian korban. Dan para pelaku harus
mempertanggungjawabkan secara keseluruhan. Apabila korban kejahatan
meninggal maka setiap pelaku dapat dihukum sebagai pembunuh.51
Menurut para fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban antar pelaku
tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing pelaku hanya bertanggung
jawab atas akibat perbuatnya saja, dan tidak bertanggung jawab atas pebuatan
orang lain. Akan tetapi pada tamalu para peserta harus
mempertanggungjawabkan akibat perbuatan sebagai keseluruhan. Apabila
korban meninggal maka masing-masing pelaku dianggap sebagai pembunuh.
Adapun menurut imam Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama
saja hukumnya, yaitu masing-masing pelaku hanya bertanggung jawab atas
akibat perbuatannya sendiri, jadi dalam keadaan tamalu seperti pada contoh
51
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 108.
38
tersebut hukumanya adalah yang dipersalahkan karena mengikat dan yang
lainnya karena memukuli.52
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa yang dinamakan turut berbuat langsung dalam tindak
pidana adalah berbilangnya para pelaku dalam melaksanakan tindak pidana
baik secara kebetulan atau berencana, atau adanya keterlibatan orang lain
dalam suatu tindak pidana, baik keterlibatan secara kebetulan atau berencana.
Dengan adanya keterlibatan orang lain dalam suatu tindak pidana, dan
dengan adanya bermacam-macam bentuk tindak pidana, maka para fuqaha
mengadakan pemisahan kerjasama mereka dengan tawafuq dan tamalu, yaitu
kerjasama yang terjadi karena kebetulan dan kerjasama yang terjadi
berdasarkan adanya kesepakatan, agar mudah menjatuhkan hukuman pada
masing-masing pelaku.
b. Turut Berbuat tidak Langsung
Yang dimaksud dengan turut berbuat tidak langsung adalah setiap
orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan
dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.53
52
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 108. 53
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 111.
39
Definisi yang kongkrit adalah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah, yaitu:
“Dianggap sebagai turut berbuat tidak langsung, orang yang mengadakan
persikokongkolan dengan orang lain unutk melakukan suatu tindak pidana
atau menyuruh orang lain atau member bantuan dalam perbuatan
tersebut”.54
Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut berbuat
tidak langsung, yaitu:
1) Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah);
2) Niatan dari orang yang turut berbuat agar sikapnya itu perbuatan yang
dimaksudkan dapat terjadi;
3) Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan kesepakatan, atau
menyuruh, atau membantu.55
Unsur pertama
Perbuatan di mana kawan berbuat tidak langsung memberi bagian
dalam pelaksanaannya, tidak diperklukan harus selesai dan juga tidak
diperlukan si pelaku asli (pelaku langsung) harus dihukum pula. Jadi pada
jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum.
54
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998),
h. 365-366.
55
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h.
111.
40
Unsur kedua
Dengan kesepakatan atau dengan hasutan atau bantuan, dimaksudkan
oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu.
Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut
berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.
Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkan, maka tidak ada turut
berbuat, meskipun karena kesepakatan dan lain-lain itu sindiri ia dijatuhkan
hukuman.56
Unsur ketiga
Turut berbuat tidak langsung bias terjadi dengan jalan:
1) Kesepakatan
Kesepakatan biasanya terjadi karena adanya saling memahami dan
karena kesamaan kehendak untuk memperbuat jarimah. Kalau tidak ada
kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat. Jadi tidak ada
turut berbuat kalau sudah ada kesepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas
jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2) Menyuruh (menghasut)
Yang dimaksudkan dengan menghasut adalah membujuk orang
lain untuk melakukan jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk
diperbutnya suatu jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan,
56
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h.
111.
41
maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik
bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun
bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhkan hukuman.57
3) Memberi bantuan
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam meperbuat
jarimah dianggap sebagai kawan berbuat langsung, meskipun tidak ada
kesepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mempelajari jalan untuk
memudahkan melakukan tindak pidana. Perbedaan antara memberi
bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli adalah orang yang
memperbuat pekerjaan yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat
atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan
perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang
ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.58
2. Menurut Hukum Pidana Positif
Dapat diketahui bahwa hukum positif tidak mengadakan perbedaan
deelneming seperti yang terdapat dalam hukum Islam, tetapi membuat perincian
antara pelaku (dader) dan membantu melakukan (medeplichtigheid).
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut
ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal 55 dan 56 KUHP itu dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu:
57
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 112.
58
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 113.
42
a. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal
55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader),
adalah mereka:
1) Pihak yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat
pelaksana (pleger)
2) Pihak yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan
pembuat penyuruh (doen pleger), Doen plegen atau menyuruh melakukan
adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana, syarat yang terpenting adalah bahwa yang disuruh adalah orang
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti dalam pasal 44 dan 48
KUHP.
3) Pihak yang turut serta melakukan (made plegen), orangya disebut dengan
pembuat peserta (mede pleger), Medeplegen atau turut melakukan: adalah
seseorang pelaku dan seseorang atau lebih pelaku yang turut melakukan
tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Bersama-sama melakukan
suatu tindak pidana.
4) Mereka yang sengaja menganjurkan (uitlokken), orangnya disebut sebagai
pembuat penganjur (uitlokker).59
Uitloken atau menggerakkan orang lain
melakukan tindak pidana: adalah orang yang dengan sengaja menggerakan
orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk
59
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 79.
43
melakukan suatu tindak pidana dengan mengunakan cara-cara yang telah
ditentukan oleh undang-undang karena telah bergerak, orang tersebut
kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang
bersangkutan.
b. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige)
kejahatan, Medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana adalah
seseorang yang dengan sengaja membantu melakukan kejahatan, atau orang
yang dengan sengaja membantu dengan cara memberikan cara untuk
mempermudah orang lain melakukan kejahatan, bantuan yang diberikan dapat
berupa materi seperti memberikan senjata pada orang yang akan mengeksikusi
korban, dapat juga berupa intelektual misalnya meberikan kesempatan pada
orang lain untuk mencuri barang-barang yang berada di dalam pengawasanya,
yang dibedakan menjadi:
1) Yang membantu waktu kejahatan dilakukan;
2) Yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan, sebelum kejahatan dilakukan.
44
BAB III
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DAN SANKSI HUKUMANYA
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
1. Menurut Hukum Pidana Islam
Definisi pembunuhan menurut hukum pidana Islam yaitu perbuatan
seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa
anak Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain. Dalam bahasa Arab,
pembunuhan berasal dari kata قتل yang sinonimnya ا ما ت dalam istilah,
pembunuhan didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut:
Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya
kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia
dengan perbuatan manusia lainya.60
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur
jarimah pembunuhan adalah:
a. Menghilangkan nyawa manusia
b. Adanya perbuatan, baik perbuatan itu aktif maupun pasif. Maksud dari
aktif adalah adanya perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan sehingga
meninggalnya seseorang, misalnya menusuk seseorang dengan pisau.
60
Abdul Qodir Al-Audah, Al-Tasri‟ Al-jinaiy Al-Islami Juz 1 (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 6.
45
Perbuatan pasif, misalnya seorang ibu tidak mau menyusui anaknya yang
sedang lapar sehingga anak tersebut meninggal, tidak ada perbuatan atau
tingkah laku yang dilakukan tetapi karena tidak berbuat itu mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang.
Adapun definisi pembunuhan dalam hukum Islam, menurut Wahbah Al-
Zuhaili yaitu:
Pembunuhan adalah perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa atau
mematikan jiwa atau perbuatan dari sebagian manusia yang menyebabkan
hilangnya kehidupan, maksudnya perbuatan tersebut dapat merusak hakikat
kemanusiaan.61
Tindak pidana pembunuhan sering juga disebut dengan al-jinayah „ala an-
nafs al-insaniyyah yang berarti kejahatan terhadap jiwa manusia,62
ulama fiqh
mendifinisikan pembunuhan dengan “perbuatan manusia yang berakibat
hilangnya nyawa seseorang”.
Jenis pembunuhan dalam hukum Islam ada dua macam. Yaitu
pembunuhan yang diharamkan. Adapun maksud dari pembunuhan yang
diharamkan yaitu setiap pembunuhan yang didasari dengan niat pelaku untuk
melawan hukum. Jenis pembunuhan lainnya yaitu pembunuhan secara legal.
Artinya, setiap pembunuhan tanpa ada niat melawan hukum, seperti membunuh
61
Wahbah Al-zuhaili, Al-fiah Al-Islam Wa Adillatuhu (Damsik: Dar Al-Fikr, 1989), cet. ke-3,
h. 217.
62
Abdul Aziz Dahlan, et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1379.
46
orang yang membunuh orang lain dan membunuh orang murtad (keluar dari
Islam).63
2. Menurut Hukum Positif
Tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.64
Kata bunuh berarti mematikan, menghilangkan nyawa, membunuh artinya
membuat seseorang mati, pembunuhan berarti perkara membunuh, perbuatan atau
hal membunuh. Perbuatan yang dikatakan pembunuhan adalah perbuatan oleh
siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.65
Pembunuhan adalah suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang, yaitu
berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang
dilindungi dan merupakan objek kejahatan ini adalah nyawa manusia.
Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada pasal 338 KUHP
yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.66
Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa:
a. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain.
63
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), cet. ke-
2, h. 177.
64
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco,1981),
cet. ke-3, h. 55.
65
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992), h. 129.
66
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), cet. ke-11, h. 134.
47
b. Pembunuhan itu disengaja, artinya diniatkan untuk melakukan pembunuhan.
c. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk
membunuh.67
B. Kualifikasi Pembunuhan
1. Menurut hukum Islam
Dalam syariat Islam pembunuhan pada dasarnya terbagi menjadi dua,
yaitu:
a. Pembunuhan yang dilarang, yakni pembunuhan yang dilakukan dengan
melawan hukum.
b. Pembunuhan yang hak, yakni pembunuhan yang tidak melawan hukum
seperti seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan hukuman mati.68
Menurut imam Malik pembunuhan dilihat dari segi niat pelaku terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Pembunuhan sengaja;
b. Pembunuhan tersalah.69
Adapun jumhur fuqaha membagi pembunuhan menjadi tiga bagian,
yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, dan
pembunuhan karena kesalahan.70
67
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal (Bandung: PT.
Karya Nusantara, 1989), h. 207.
68
Abdul Qodir Audah, Al-tasyri Al-jinaiy Al-Islami Juz II (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 6.
69
Abdul Qodir Audah, Al-tasyri Al-jinaiy Al-Islami Juz II (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 7.
48
a. Pembunuhan sengaja (القتل العمد)
Pembunuhan sengaja sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul
Qodir Audah adalah:
“Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan di mana perbuatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa itu disertai dengan niat untuk membunuh
korban.”71
Dalam redaksi yang lain, Sayyid Sabiq memberikan definisi
pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan yang di mana seorang
mukallaf sengaja untuk membunuh orang lain, yang dijamin keselamatanya
dengan mengunakan alat yang menurut dugaan kuat dapat membunuh
(mematikan).72
Dari kedua definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa
pembunuhan sengaja adalah pembunuhan di mana pelaku perbuatan tersebut
sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari
perbuatannya, yakni matinya orang yang menjadi korban. Sehingga indikator
dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang
70
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. ke-1, h.
139. 71
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 180.
72
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid X (Bandung: PT Al-Maarif), h. 28.
49
digunakannya. Dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah
alat yang lumrahnya dapat mematikan. 73
Berdasarkan definisi di atas, untuk dapat dikatakan suatu kejahatan
terhadap nyawa sebagai pembunuhan disengaja, paling tidak harus ada tiga
unsur pokok yang harus dipenuhi dalam tindak pidana pembunuhan sengaja.
Unsur pertama tindak pidana pembunuhan sengaja, yaitu korban yang
dibunuh adalah manusia yang hidup. Tindak pidana pembunuhn atas jiwa
pada dasarnya adalah tindak pidana terhadap manusia hidup. Karena itu
fuqaha menamainya dengan tindak pidana atas jiwa. Untuk memastikan
terjadinya tindak pidana pembunuhan sengaja, korban harus manusia hidup.
Unsur kedua, dari tindak pidana pembunuhan sengaja yaitu kematian
adalah hasil dari perbuatan pelaku. Untuk memastikan unsur ini, kematian
disyaratkan harus akibat dari perbuatan pelaku dan perbuatan tersebut
biasanya memang mengakibatkan kematian. Suatu perbuatan tidak
disyaratkan berupa jenis-jenis tertentu untuk dianggap sebagai pembunuhan.
Karenanya, perbuatan bisa berupa pemukulan, melukai, menyembelih,
membakar, mencekik, meracuni, atau bentuk yang lain.74
Unsur ketiga, dari tindak pidana pembunuhan sengaja yaitu pelaku
tersebut menghendaki terjadinya kematian (bermaksud melakukan
pembunuhan). Untuk menentukan bahwa suatu pembunuhan dianggap
73
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. ke-1, h.
140. 74
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 193.
50
pembunuhan disengaja, imam Abu Hanifah, As-Syafi‟i, dan Ahmad bin
Hambal mensyaratkan pelaku harus memiliki tujuan ingin membunuh. Jika
tujuan itu tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak dianggap pembunuhan
disengaja, karena niat tanpa ada maksud ingin membunuh tidak cukup untuk
menjadikan suatu perbuatan sebagai pembunuhan sengaja. Adapun imam
Malik berpendapat lain, pada pembunuhan disengaja ini beliau tidak
mensyaratkan harus ada niat membunuh dari pelaku. Menurutnya, tujuan
pelaku yang ingin membunuh korban atau berbuat dengan melawan hukum,
namun tidak ada niat untuk membunuh, nilainnya sama selama ia tidak
berbuat untuk bermain-main atau memberi pendidikan.75
Unsur keempat, dari tindak pidana pembunuhan sengaja yaitu alat
yang digunakan dalam pembunuhan sengaja dapat mematikan korban. Dalam
hal ini imam Abu Hanifah mensyaratkan alat yang digunakan dalam
pembunuhan sengaja adalah alat yang biasanya mengakibatkan kematian.
Sedangkan menurut imam Syafi‟i dan imam Ahmad mensyaratkan alatnya,
yaitu alat yang biasa digunakan untuk mebunuh, sekalipun tidak melukai. Alat
yang digunakan untuk membunuh itu ada tiga macam, yaitu alat yang
umumnya dan secara tabiat dapat digunakan untuk membunuh seperti tombak,
pedang, dan sebagainya, alat yang kadang-kadang digunakan untuk
membunuh, sehingga tidak jarang mengakibatkan kematian seperti cambuk,
75
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 241.
51
tongkat. Selanjutnya alat yang jarang mengakibatkan kematian pada tabiatnya,
seperti mengunakan tangan kosong.76
b. Pembunuhan semi sengaja (القتل شبه العمد)
Menurut Abdul Qodir Audah, pembunuhan semi sengaja adalah
perbuatan yang disengaja oleh pelaku sebagai penganiayaan (permusuhan)
terhadap diri korban, tetapi tidak bermaksud pembunuhan tetapi korban mati
akibat perbuatan tersebut. Sayid Sabiq mendifinisikan bahwa perbuatan semi
sengaja yakni seorang mukallaf bermaksud memukul orang tersebut yang
dilindungi darahnya dengan suatu alat yang galibnya tidak mematikan seperti
memukul dengan tongkat atau batu kecil atau menampar dengan tangan atau
cemeti dan semestinya.77
Dari kedua definisi di atas, kiranya jelas bahwa pembunuhan semi
sengaja adalah setiap perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku, tetapi
perbuatannya tersebut tidak dimaksudkan untuk membunuhnya dan korban
meninggal, sebagai akibat dari pebuatan pelaku. Berdasarkan definisi di atas,
suatu perbuatan baru dianggap sebagai pembunuhan semi sengaja apabila
memenuhi unsur-unsur pokok yang terkandung dalam pembunuhan semi
sengaja.
76
A Ddazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penangulangan Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 129. 77
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 255.
52
Unsur pertama, dari tindak pidana pembunuhan semi sengaja yaitu
adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian. Untuk
memenuhi unsur ini pelaku disyaratkan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kematian korban, apapun bentuk perbuatan baik pemukulan,
pelukaan, maupun lainnya dari beragam bentuk penganiayaan dan menyakiti
yang tidak termasuk pemukulan dan pelukaan, seperti menengelamkan,
membakar, memberikan racun dengan tanpa niat membunuh.78
Adapun unsur kedua, dari pembunuhan semi sengaja yakni adanya
maksud kesengajaan dalam melakukan perbuatan. Pelaku disyaratkan
melakukan perbuatan secara sengaja yang mengakibatkan kematian tanpa niat
membunuh korban secara sengaja. Hal ini adalah satu-satunya yang utama
untuk membedakan antara pembunuhan sengaja dan pembunuhan menyerupai
sengaja. Dalam pembunuhan sengaja, pelaku melakukan perbuatan secara
sengaja dan niat membunuh korban. Adapun dalam pembunuhan menyerupai
disengaja, pelaku melakukan perbuatnya secara sengaja tetapi tidak berniat
membunuh korban.
Kemudian unsur ketiga dari pembunuhan semi sengaja yaitu kematian
adalah akibat dari perbuatan pelaku. Artinya perbuatan tersebut merupakan
ilat (penyebab) langsung terhadap kematian. Jika tidak ada hubungan sebab
78
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam., cet. ke-2, h. 256.
53
akibat, pelaku tidak bertanggung jawab atas kematian korban, tetapi pelaku
harus bertanggung jawab karena melakukan pelukaan atau pemukulan.79
Terhadap pembunuhan semi sengaja, diterapkan prinsip-prinsip hukum
dalam pembunuhan semi sengaja, yang membedakan antara pembunuhan
sengaja dan pembunuhan semi sengaja adalah dalam pembunuhan sengaja, si
pelaku memang sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian.
Sedangkan dalam pembunuhan semi sengaja, si pelaku tidak bermaksud
melakukan pembunuhan, sekalipun ia melakukan penganiayaan.80
c. Pembunuhan tersalah (القتل الخطاء)
Dasar hukum pembunuhan tersalah adalah firman Allah, dalam surat
An-Nisa/4 : 92 yang berbunyi:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa membunuh
79 Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 261.
80 A. Ddazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penangulangan Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 133.
54
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah.” (Q.S. An-Nisa/4 : 92)
Pengertian pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq pembunuhan karena kesalahan adalah seorang mukallaf
melakukan perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan, seperti
menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian
mengenai orang yang dijamin keselamatanya dan membunuhnya.Wahbah
Zuhaili memberikan definisi pembunuhan karena kesalahan yaitu,
pembunuhan yang terjadi karena tanpa maksud melawan hukum, baik dalam
perbuatannya maupun objeknya. Adapun pembunuhan yang bermakna
tersalah adalah pembunuhan yang tidak direncanakan untuk dilakukan atau
tindakan itu mengenai orang yang bukan menjadi sasaran. Artinya pelaku
tidak sengaja tersalah, sama sekali tidak ada unsur melakukan perbuatan yang
menyebabkan kematian dan tidak bermaksud membunuh korban.81
Dari definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
pembunuhan karena tersalah, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk
melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana pembunuhan yang
terjadi itu karena adanya kekuranghati-hatian atau karena kelalaian pelaku.
Dalam hal ini, pelaku tetap dipersalahkan. Karena ia lalai dan kurang hati-hati
sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
81
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 263.
55
Adapun unsur-unsur pembunuhan karena tersalah atau kesalahan
yaitu: pertama, adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban.
Dalam hal ini disyaratkan adanya perlakuan terhadap korban yang dilakukan
oleh pelaku atau disebabkan oleh pelaku, baik pelaku sengaja dan
menghendaki perbuatan tersebut, seperti hendak menembak binatang buruan,
tetapi mengenai manusia, maupun perbuatan tersebut terjadi akibat kelalaian
dan ketidakhati-hatiannya tanpa maksud melakukanya, seperti berbalik ketika
sidang tidur dan menindih anak kecil yang ada di sebelahnya kemudian anak
tersebut mati.82
Selanjutnya unsur kedua, dari pembunuhan tersalah yaitu perbuatan
tersebut terjadi karena kesalahan (kelalaian pelaku). Tersalah atau kelalaian
ini adalah unsur utama yang membedakan tindak pidana tersalah secara
umum. Jika tidak ada kekeliruan, hukumanpun tidak ada. Kekeliruan
dianggap ada apabila sikap berbuat atau sikap tidak berbuat menimbulkan
akibat yang tidak bisa ditolak pelaku, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Baik pelaku menghendaki sikap berbuat atau tidak berbuat. Dari
dua perbuatan tersebut terjadi satu akibat karena pelaku tidak berusaha
menghendaki atau karena melawan intruksi pemerintah dan nash-nash syara‟.
Adapun unsur ketiga, dari pembunuhan tersalah yaitu antara perbuatan
kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sibab akibat. Agar pelaku
82
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 267.
56
bertanggung jawab, tindak pidana disyaratkan harus terjadi sebagai sebab
akibat dari kekelirruan, di mana kekeliruan tersebut sebagai penyebab
kematian.83
2. Menurut Hukum Positif
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) diatur dalam buku II
pasal 338-350 tentang “kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang”. Pembunuhan
adalah termasuk tindak pidana material, artinya untuk kesempurnaan tindak
pidana ini tidak cukup dengan dilakukanya perbuatan itu, akan tetapi menjadi
syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu.
Pada dasarnya pembunuhan itu terbagi pada dua bagian, yaitu dilihat dari
kesalahan pelaku dan sasaran. Jika disandarkan pada kesalahan pelakunya, maka
diperinci atas dua golonngan, yakni:
a. Kejahatan yang ditujukkan terhadap jiwa manusia yang dilakukan dengan
sengaja. Terdapat pada bab XIX pasal 338-350 KUHP.
b. Kejahatan yang ditujukkan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena
kealpaan. Terdapat pada pasal 359 KUHP.84
Sedangkan jika disandarkan kepada sasaranya, dibedakan menjadi tiga
macam:
a. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia pada umumnya.
83
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 207-209. 84
M. Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek, dan Tantangan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 143.
57
b. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seorang anak yang sedang atau belum
lama dilahirkan.
c. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seorang anak yang masih dalam
kandungan.85
Di sini akan dijelaskan kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan
dengan sengaja dan yang dilakukan dengan kealpaan. Pembunuhan sengaja
adalah perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, kematian itu
dikehendaki oleh pelaku. Dalam KUHP pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja, dikelompokan ke dalam beberapa jenis, antara lain:
a. Pembunuhan biasa;
b. Pembunuhan terkwalifikasi;
c. Pembunuhan yang direncanakan;
d. Pembunuhan anak;
e. Pembunuhan atas permintaan si korban;
f. Pembunuhan diri sendiri;
g. Mengugurkan kandungan.86
Di bawah ini akan dijelaskan ketujuh macam pembunuhan tersebut.
a. Pembunuhan biasa
Pembunuhan biasa ini terdapat dalam pasal 338 KUHP, yang
berbunyi: “barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
85
M. Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek, dan Tantangan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 144. 86
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (Bandung: Remaja
Karya, 1986), cet. ke-2, h. 121.
58
dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.87
Istilah “orang lain” dalam pasal 338 itu, maksudnya adalah bukan
dirinya sendiri, jadi terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi
soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak, ibu, atau anak
sendiri.
Dalam pembunuhan biasa, harus terpenuhi beberapa unsur:
1) Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul
seketika itu juga, ditujukan pada maksud supaya orang itu mati.
2) Melenyapkan nyawa orang itu harus merupakan perbuatan yang “positif”
atau sempurna walaupun dengan perbuatan yang kecil sekalipun.
3) Perbuatan itu harus menyebabkan matinya seseorang, seketika itu juga
atau beberapa saat setelah dilakukanya perbuatan itu.88
b. Pembunuhan terkualifikasi
Jenis pembunuhan ini adalah pembunuhan yang diikuti, disertai, atau
didahului dengan perbuatan lain. Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 339
yaitu:
“pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu delik, yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya
dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan
87
Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, h. 134. 88
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (Bandung: Remaja
Karya, 1986), cet. ke-2, h. 121.
59
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
pidana dengan pidana penjara siumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun”.89
Apabila rumusan tersebut diperinci, maka terdiri dari beberapa unsur,
yaitu:
1) Semua unsur dalam pasal 338;
2) Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain;
3) Pembunuhan yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan tindak
pidana lain dan untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain
dalam hal tertangkap tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana atau supaya apa yang didapat dari
perbuatan itu tetap ada ditanganya.
c. Pembunuhan yang direncanakan
Pembunuhan yang dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
dalam keadaan tenang untuk malenyapkan nyawa orang atau lebih dikenal
dengan pembunuhan berencana. Pembunuhan ini diatur dalam pasal 340
KUHP dengan ancaman hukuman yang paling berat, yaitu hukuman mati atau
pidana penjara seumur hidup. Terdapat beberapa unsur dalam pembunuhan
berencana, antara lain:
1) Adanya kesengajaan, yaitu kesengajaan yang disertai dengan suatu
perencanaan terlebih dahulu.
89
Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, h. 134.
60
2) Yang bersalah dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan
pembunuhan itu dan kemudian melakukan maksudnya dan tidak menjadi
soal berapa lama waktunya.
3) Di antara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan
pembunuhan itu, ada waktu ketenangan pikiran.90
d. Pembunuhan anak
Yang terkena pasal ini adalah seorang ibu, baik yang sudah kawin
maupun tidak, yang dengan sengaja membunuh anaknya pada waktu
dilahirkan atau tidak beberapa lama setelah dilahirkan. Pembunuhan ini
dirumuskan dalam pasal 341 dan 342.91
Untuk pembunuhan dalam pasal 341 diancam dengan hukuman selama
lamanya tujuh tahun penjara. Pasal 342 memuat perbuatan yang wujudnya
sama dengan yang dimuat dalam pasal 341 dengan perbedaan bahwa dalam
pasal 342 perbuatannya dilakukan untuk menjalankan kehendak yang
ditentukan sebelum anak dilahirkan. Tindak pidana ini diancam dengan
maksimum hukuman Sembilan tahun penjara.
e. Pembunuhan atas permintaan si korban
90
M. Bassar Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam KUHP, h. 123-124. 91
Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, h. 135.
61
Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 344: “Barang siapa yang
merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sangat tegas dan sungguh-
sungguh, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal di atas diketahui bahwa pembunuhan ini mempunyai
unsur sebagai berikut:
1) Atas permintaan yang tegas dari si korban, dan
2) Sungguh-sungguh nyata.92
f. Bunuh diri
Pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam kejahatan bunuh diri
karena tidak ada pelaku secara langsung dalam melakukan kejahatan tersebut.
Hanya saja di sini akan diancam hukuman bagi orang yang sengaja menghasut
atau menolong orang lain untuk bunuh diri, yaitu akan dikenakan pasal 345
KUHP yang akan diancam hukuman penjara paling lama empat tahun.
Dengan syarat membunuh diri itu harus benar-benar terjadi dilakukanya,
artinya orangnya sampai mati karena bunuh diri tersebut.
g. Manggugurkan kandungan
Pembunuhan kandungan atau penguguran terdapat pada pasal 346-
349. Dilihat dari subjek hukumnya maka pembunuhan jenis ini dapat
dibedakan menjadi:
1) Yang dilakukan sendiri pada pasal 346 diancam dengan penjara 4 tahun
92
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, h. 109.
62
2) Yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuanya pada pasal 347 atau
tidak atas persetujuanya pada pasal 348
3) Yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu seperti
dokter, bidan dan juru obat baik atas persetujuanya ataupun tidak.
Kejahatan yang dilakukan Pembunuh disebabkan kealpaan, diatur
dalam pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “barang siapa karena
kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun.”
Kealpaan terjadi karena tidak berhati-hati dalam melakukan suatu
perbuatan, di samping menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin terjadi kealpaan jika
pembuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul
suatu akibat yang dilarang undang-undang.93
Umumnya para pakar hukum sependapat bahwa kealpaan adalah
bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Untuk itu, sanksi
atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan
dengan kealpaan lebih ringan.
C. Sanksi Pidana Pembunuhan
1. Berdasarkan Hukum Islam
93
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet.
ke-3, h. 25.
63
Sanksi pidana atau hukuman dalam bahasa Arab disebut “uqubah”.
Lafaz uqubah menurut bahasa berasal dari lafaz uqubah berasal dari kata عقب
yang sinonimnya جزاه سواء بما فعل artinya membalasnya sesuai dengan apa
yang dilakukan.94
Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Qodir Audah adalah:
“hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakt,
karena adanya pelanggran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara”.95
Sedangkan pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-
Mawardi adalah sebagai berikut:
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam
dengan hukuman haad atau takzir.96
Ancaman hukuman terhadap berbagai macam kejahatan diperlukan guna
menjaga agar kejahatan tidak terulang lagi. Dan sigala larangan atau perintah
melakukan sisuatu perbuatan tanpa sanksi, tidak dijamin akan dipatuhi. Hal ini
sejalan dengan kecenderungan hawa nafsu yang ada dalam jiwa manusia untuk
94
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.143-146. 95
Abdul Qodir Audah, A-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islami Juz 1 (Bairut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 609.
96
Abdul Qodir Audah, A-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islami Juz 1 (Bairut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 12.
64
melanggar larangan atau mengabaikan perintah. Hukuman dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai “siksa” atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.97
Tindak pidana yang dikenakan hukuman-hukuman tertentu dalam syari‟at
Islam dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang
ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi tindak pidana berdasarkan
aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-
Qur‟an atau Al-Hadist. Atas dasar ini, mereka membaginya menjadi tiga
macam.98
a. Tindak Pidana Hudud
Hudud secara bahasa berarti larangan, sedangkan secara istilah tindak
pidana hudud adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman had,
pengertian had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, hukuman
had adalah hukuman yang ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah
swt.99
Adapun makna hudud yakni “ hukuman yang sudah ditentukan”.
Artinya syara‟ telah menentukan jenis dan membatasi kadarnya, tidak
membiarkan pilihan atau kadar hukuman kepada penguasa atau hakim.
Maksud hukuman yang telah ditentukan Allah swt adalah berupa hukuman
had tidak memiliki batasan minimal, ataupun batasan maksimal. Maksud hak
97
Anton M. Moeliono, et.al, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
cet. ke-2, h. 315.
98
Abdul Qodir Audah, A-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islami Juz 1 (Bairut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 99. 99
Abdul Qodir Audah, A-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islami Juz 1 (Bairut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 100.
65
Allah swt ialah hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan
atau masyarakat.100
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas dari tindak
pidana hudud yaitu hukumanya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa
hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal
dan maksimal. Selanjutnya hukuman hudud tersebut merupakan hak Allah swt
semata-mata atau kalau ada hak manusia di samping hak Allah swt, maka hak
Allah swt yang lebih dominan. Lebih lanjut tindak pidana hudud meliputi
perzinaan, tuduhan berzina, minum minuman yang memabukkan, pencurian,
perampokan, pembrontakan dan murtad.
b. Tindak pidana qishas dan diyat
Di dalam syariat Islam tindak pidana qishas dan diyat adalah tindak
pidana yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat. Arti qishas adalah
setimpal. Artinya, membalas pelaku sesuai dengan apa yang dilakukan, atau
menyamakan, maksudnya membalas pelaku kejahatan sesuai dengan
perbuatan yang sama dalam hal pelaksanaannya.101
Sedangkan pengertian diyat menurut bahasa adalah membayar tebusan
dengan sejumlah harta benda karena perbuatannya. Keduanya merupakan hak
indifidu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan
minimal dan maksimal. Maksud hak individu di sini adalah sang korban atau
keluarga korban dapat membatalkan hukuman tersebut dengan memaafkan
100
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Jild 1, h. 99-100. 101
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Jild 1, h. 99.
66
sang pelaku jika ia menghendakinya. Tindak pidana qishas meliputi
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, penganiayaan sengaja,
penganiayaan tersalah.102
c. Tindak pidana takzir
Tindak pidana takzir dalam hukum Islam adalah hukuman atas tindak
pidana yang hukumanya belum ditentukan oleh syara‟ tetapi sepenuhnya
diserahkan atau ditentukan oleh hakim atau ulul amri.103
Yang dimaksd
dengan takzir ialah ta‟dib, yaitu memberi pendidikan (pendisiplinan). Hukum
Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap tindak
pidana takzir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan sampai ke yang paling berat. Tindak pidana takzir meliputi
tindak pidana hudud, qishas, diyat yang syubuhat, atau tidak memenuhi syarat
tetapi sudah merupakan maksiat. Kemudian tindak pidana yang telah
ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Al-Hadist, namun tidak ditentukan sanksinya.
Selanjutnya tindak pidana yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan
umat.
Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang
sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan si pelaku, singkatnya
hukuman tindak pidana takzir tidak mempunyai batasan tertentu. Meskipun
demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa atau
hakim untuk menentukan tindak pidana setengah hati, tetapi harus sesuai
102
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Jild 1, h. 100.
103
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafindo, 2005), h. 249.
67
dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash
(ketentuan) serta prinsip umum hukum Islam. Dari keterangan di atas, jelaslah
bahwa tidak ada satu kejahatanpun yang tidak dikenakan sanksi hukuman.104
Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan mewujudkan
kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah.
Sebagaimana tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam
syariat Islam adalah sebagai pencegahan perbuatan jarimah, perbaikan dan
pendidikan.105
Macam-macam hukuman dalam hukum pidana Islam dibagi menjadi
empat bagian. Bagian pertama, yaitu hukuman yang didasarkan atas pertalian
antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya. Dalam hal ini pula
terdapat empat macam hukuman yakni:
1) Bentuk hukuman pokok (uqubah asliyyah) atau hukuman asal adalah
hukuman yang diberlakukan dan dijatuhkan terhadap suatu jarimah atau
kejahatan yang aturanya telah diatur secara jelas oleh Al-Qur‟an.
2) Bentuk hukuman penganti (uqubah badaliyyah) yakni hukuman yang
mengantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasan yang sah.
3) Hukuman tambahan (uqubah tabaiyyah) yakni hukuman yang mengikuti
hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri.
104
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Jild 1, h. 100.
105
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, h.
137-138.
68
4) Selanjutnya bentuk yang keempat yakni hukuman pelengkap (uqubah
takmiliyyah) yakni hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan
syarat adanya keputusan tersendiri dalam hakim.106
Bagian kedua dari macam-macam hukuman yaitu ditinjau dari segi
kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringanya hukuman. Dalam hal ini
terdapat 2 (dua) macam hukuman yakni (1) hukuman yang hanya mempunyai
satu batas. Artinya tidak ada batasan tertinggi dan terendah, seperti hukuman
had, dan (2) hukuman yang mempunyai batasan tertinggi dan terendah, di
mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai dengan
kedua batas tersebut.107
Kemudian bagian ketiga, dari macam-macam hukuman yaitu
didasarkan atas terdapat atau tidaknya nash dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist.
Mengenai hukuman yang didasarkan pada ada atau tidaknya nash dibagi
menjadi dua macam hukuman yaitu meliputi jarimah Hudud, ialah hukuman
yang ditetapkan atas jarimah hudud, yaitu: zina, menuduh berzina, pencurian,
perampokan, minum minuman keras, murtad dan pemberontakan). Qishas dan
diat, ialah hukuman yang sudah ditentukan syara pada jarimah pembunuhan
dan penganiayaan. Kifaraat, ialah hukuman yang ditetapkan untuk sebagian
jarimah qishas dan diat dan beberapa jarimah takzir. Adapun yang lainnya
yaitu hukuman yang tidak ada nashnya. Hukuman ini disebut dengan
106
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Jild 1, h. 39. 107
A. Hanafi, Azaz-Azaz Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), cet. ke-1,
h. 260-261.
69
hukuman takzir, yaitu hukuman yang diserahkan kepada kebijaksanaan
penguasa.
Selanjutna bagian keempat, dari macam-macam hukuman yaitu
digolongkan berdasarkan atas tempat dilakukanya atau sasaran hukuman.
Mengenai penggolongan yang didasarkan pada tempat dilakukan ini, terdapat
tiga macam. Macam hukumanya yaitu hukuman badan atau hukuman yang
dikenakan terhadap jiwa manusia dan hukuman harta. Hukuman badan adalah
hukuman yang dikenakan terhadap badan manusia, seperti hukamn jilid.
Sedangkan maksud dari hukuman jiwa adalah hukuman mati. Adapun
hukuman harta yaitu hukuman yang dikenakan terhadap harta terhukum,
seperti diyah dan perampasan.108
Dari penjelasan singkat di atas, penulis tidak menguraikan tiap-tiap
hukuman yang akan dijatuhkan pada setiap tindak pidana, tetapi penulis hanya
membatasi pada hukuman yang berkenaan dengan kejahatan terhadap nyawa
atau pembunuhan. Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai
pengetian pembunuhan, macam-macam pembunuhan yang terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja dan
pembunuhan tesalah, maka dalam point ini penulis akan membahas mengenai
hukuman pada tiap-tiap pembunuhan tesebut, dan bagaimana sanksi hukuman
bagi pelaku pembunuhan berencana dalam Islam.
108
A Dazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penangulangan Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 29.
70
d. Hukuman pembunuhan sengaja
Pembunuhan sengaja dalam syariat Islam diancam dengan beberapa
hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan penganti, dan sebagian
lagi merupakan hukuman tambahan. Adapun hukuman pokok untuk
pembunuhan sengaja adalah qishas dan kafaraat, sedangkan hukuman
pengantinya adalah diyah dan takzir, dan hukuman tambahan adalah hukuman
penghapus hak waris dan hak wasiat. Untuk lebih jelasnya penulis
memaparkan dengan pemaparan sebagai berikut:
1) Hukuman qishas.
Qishas berasal dari kata qashsha yang berarti memotong, atau
berasal dari kata aqtashsha yang berarti mengikuti, yakni mengikuti
perbuatan penjahat untuk pembalasan yang sama dari pada perbuatannya
itu.109
Qishas juga diartikan sebagai keseimbangan dan kesepadanan.
Hukuman qishas didasarkan kepada firman Allah swt dalam surat Al-
Baqarah ayat 178-179:
109
H. A. Nasution, Hukum Pidana Syariat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 275.
71
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu qishah
berkenaan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
yang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hedaklah
(yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang member maaf dengan
cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah
itu, maka baginya siksa yang pedih. Dan dalam qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah 2: 178-179)
Jadi bagi pelaku pembunuhan sengaja akan dihukum mati sesuai
dengan apa yang dilakukan pada korban. Sesuai dengan pengertian qishas
menurut istilah yaitu memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan
perbuatannya.110
2) Hukuman penganti adalah diat.
Diat dijadikan hukuman penganti dari hukuman qishas, apabila
korban atau walinya memaafkan. Karena korban atau walinya diberi
wewenang untuk mengampuni pelaku dari qishas, baik dengan imbangan
diat maupun tidak memakai imbangan sama sekali.111
Hal ini sesuai dengan apa yang tertera dalam surat Al-Baqoroh
ayat 178:
110
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 148-149.
111
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. ke-6,
h. 209.
72
…..
…..
“….. maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari
saudaranya, hedaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari tuhanmu dan suatu rahmat…”
Menurut Sayid Sabiq diat adalah sejumlah harta yang dibebankan
kepada pelaku, karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau
penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya.112
Hukuman qishas dapat terhapus karena berbagai hal. Pertama
hilangnya tempat untuk qishas. Yang dimaksud hilangnya tempat untuk
qishas adalah hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang diqishas
sebelum dilaksanakan hukuman.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, imam Malik dan imam
Abu Hanifah berpendapat, bahwa hilangnya anggota badan atau jiwa
orang yang wajib di qishas itu menyebabkan hapusnya hukuman.
Sedangkan menurut imam Syafi‟i dan imam Ahmad dalam kasus
hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang wajib diqishas terhapus
hukumanya, akan tetapi wajib membayar diyat, karena qishas dan diyat
keduanya wajib, bila salah satunya tidak dapat dilaksanakan maka diganti
112
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Beirut: Daar Al-Fiqh, 1981), h. 465.
73
dengan hukuman lainnya.113
Kemudian hal lainnya yang dapat menghapus
hukuman qishas yaitu adanya pemaafan dari pihak korban maupun
keluarga korban. Konsep pemaafan hanya terdapat dalam hukum pidana
Islam. Allah swt berfirman dalam al-quran surat Al-Baqarah ayat 178:
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu qishah
berkenaan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
yang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hedaklah
(yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah
itu, maka baginya siksa yang pedih.” (QS. Al-Baqoroh 2: 178)
Yang dimaksud dengan pemaafan menurut imam Syafi‟i dan imam
Ahmad adalah qishas atau tanpa imbalan apa-apa. Sedangakan menurut
imam Malik dan imam Abu Hanifah pemaafan terhadap qishas dan diyat
itu bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku. Jadi menurut kedua ulama
terakhir ini pemaafan adalah pemaafan qishas tanpa imbalan apa-apa.
Adapun pemaafan diyat itu, bukan pemaafan melainkan perdamaian. Hal
113
A Ddazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penangulangan Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 154-155.
74
lainnya yang dapat menghapus qishas yaitu adanya sulh (perdamaian).114
Para ulama telah bersepakat tentang diperbolehkanya sulh (perdamaian)
dalam hukuman qishas, dengan demikian hukuman qishas menjadi gugur.
Adapun dasar hukum tentang diperbolehkanya sulh adalah hadis yang
diriwayatkan oleh imam Tirmidzi, bahwa Rasulullah telah bersabda:
Barang siapa yang dibunuh dengan sengaja maka urusanya diserahkan
kepada wali korban. Apabila ia menghendaki, ia bisa mengqishas ia boleh
mengambil diyat 30 hiqqah unta dan 40 khilfah, dan apabila megadakan
perdamaian (shulh) maka itu adalah hak mereka dan demikian itu untuk
menguatkan akal (H.R At-Tirmidzi.)115
3) Hukuman kafarat
Kafarat adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat
untuk menebus dosa akibat melakukan perbuatan tersebut. Hukuman
kafarat pada dasarnya adalah salah satu bentuk ibadah, karena berupa
pembebasan hamba sahaya, memberi makan fakir miskin, atau berpuasa.
Jika dikenakan terhadap perbuatan maksiat, kafarat adalah hukuman
pidana murni atau bisa berupa hukuman ibadah. Tindak pidana yang
terkena hukuman kafarat adalah terbatas pada: perusakan puasa, perusakan
114
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh wa Adillatuhu Juz VI (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), h. 293. 115
Abi Isa Muhammd bin Isa bin Syaurah, Sunan At-Tirmidzi (Bairut: Dar Ma‟rifah, 2002),
cet. ke-1, h.583.
75
ihram, pelangaran sumpah, bersengama dengan isteri yang sedang haid,
bersengama dengan isteri yang sidang dirzihar, dan membunuh.116
Hukuman kafarat sebagai hukuman pokok untuk tindak pidana
pembunuhan sengaja, merupakan hukuman yang diperselisihkan oleh para
fuqaha, menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya, hukuman kafarat tidak wajib
dilaksanakan dalam pembunuhan sengaja. Dalam hal ini karena kafarat,
merupakan hukuman yang ditetapkan oleh syara‟ untuk pembunuhan
karena kesalahan, sehingga tidak bisa disamakan dengan pembunuhan
sengaja. Adapun menurut Syafi‟iah, diwajibkan kafarat bagi pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja, semi sengaja ataupun tersalah. Alasanya
adalah bahwa maksud disyari‟atkannya kafarat itu adalah menghapus
dosa.117
4) Hukuman diyat
Hukuman qishas dan kafarat untuk pembunuhan sengaja
merupakan hukuman pokok. Apabila hukuman itu tidak bisa dilaksanakan
karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara‟ maka hukuman
pengantinya adalah hukuman diyat untuk hukuman qishas dan puasa untuk
kafarat. Adapun dalam hal jenis-jenis dan kadarnya, para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan jenis diyat. Menurut imam Malik, imam Abu
116
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 83. 117
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 84.
76
Hanifah, dan imam Syafi‟i dalam qaul qadim, diyat dapat dibayar dengan
salah satu dari tiga jenis, yaitu: unta, emas dan perak.118
Menurut imam Abu Yusuf, imam Muhammad ibn Hasan, dan
imam Ahmad ibn Hanbal, jenis diyat itu ada enam macam, yaitu: unta,
emas , perak, sapi, kambing, dan pakaian. Menurut Hanabilah ada lima
jenis yang disibut pertama, dalam hal ini emas, merupakan asal diyat.
Sedangkan jenis diyat yang ke enam, yakni pakaian bukan asal, karena
bisa berubah-ubah. Alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang ke dua
ini dalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari amr Ibn Syu‟aib
dari ayahnya dari kakeknya, bahwa sayyidina Umar berpidato: “ingatlah,
sesungguhnya harga unta lebih naik (mahal). Berkata perawi maka umar
memberikan harga kepada pemilik emas dengan seribu dinar, kepada
pemilik perak dua belas dirham, kepada pemilik sapi dua ratus ekor sapi,
kepada pemilik kambing seribu ekor kambing dan kepada pemilik pakaian
dua ratus stel (pasang) pakaian. Adapun hukuman tambahan bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja yakni penghapusan hak waris dan
wasiat.119
e. Hukuman bagi pembunuhan semi sengaja
Pembunuhan semi sengaja dalam hukum pidana Islam, diancam
dengan beberapa hukuman. Sebagian hukuman pokok dan penganti, dan
118
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 327. 119
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 328.
77
sebagian lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak pidana
pembunuhan semi sengaja adalah hukuman diyat dan kafarat. Hukuman diyat
pembunuhan semi sengaja tidak diancam dengan hukuman qishas, melainkan
dengan hukuman diyat.120
Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Nasai, dan Ibn Majah dari Abdullah bin Umr ibn Ash, bahwa Rasulullah telah
bersabda:
“Ingatlah sesungguhnya diyat kekeliruan dan semi sengaja yaitu pembunuhan
dengan cambuk dan tongkat adalah 100 ekor unta di antaranya 40 ekor
didalam perutnya ada anaknya (sedang bunting).121
(HR. Abu Daud dan Nasai)
Diyat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan pembunuhan
sengaja, baik dalam kadar, jenis maupun beratnya. Selain itu pembunuhan
semi sengaja juga dikenakan hukuman kafarat. Menurut jumhur ulama selain
Malikiyah, hukuman kafarat diberlakukan untuk pembunuhan semi sengaja.
Hal ini disebabkan karena statusnya dipersamakan dengan pembunuhan
karena kesalahan, dalam hal ini tidak dikenakan hukuman qishas, pembebanan
diyat pada aqilah dan pembayaranya dengan angsuran selama 3 tahun. Kafarat
merupakan hukuman pokok yang kedua bagi pembunuhan semi sengaja.122
120
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 329. 121
Imam Hafiz Abi Daud Sulaiman ibn Asy‟ab Sajastany, Sunan Abi Daud (Bairut: Dar
A‟lam, 2003), h. 749.
122
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum pidana Islam, h. 340.
78
Selain dari pada itu pula, ada hukuman penganti bagi pembunuhan semi
sengaja pula dikenakan hukuman takzir. Apabila hukuman diyat gugur karena
sebab pengampunan atau lainnya, hukuman tersebut diganti dengan hukuman
diyat. Seperti halnya dengan pembunuhan sengaja, dalam pembunuhan sini
sengaja ini, hakim diberikan kebebasan untuk menentukan hukuman takzir
yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Adapun hukuman
yang lainnya yaitu hukuman tambahan. Seperti halnya dalam pembunuhan
sengaja dalam pembunuhan semi sengaja juga terdapat hukuman tambahan,
yaitu penghapusan hak waris dan wasiat.123
f. Hukuman pembunuhan tersalah
Hukuman untuk pembunuhan karena kesalahan ini sama dengan
hukuman untuk pembunuhan semi sengaja yaitu hukuman pokoknya diyat dan
kifarat. Adapun hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
tersalah ini yaitu penghapusan hak dan waris.
Hukuman diyat untuk pembunuhan karena kesalahan, seperti telah
disingung di atas adalah diyat mukhafafah, yaitu diyat yang diperingan.
Keringanan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek kewajiban
pembayaran dibebankan kepada keluarga. Aspek lainnya yaitu pembayaran
diangsur selama tiga tahun. Adapun komposisi diyat bagi pembunuhan
tersalah dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 20 ekor unta banat makhad
(unta betina memasuki usia 2 tahun), 20 ekor banu makhad (unta jantan
123
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 348.
79
memasuki 2 tahun), 20 ekor unta banat labun (unta usia 2 tahun masuk 3
tahun), 20 ekor hiqqah (unta memasuki usia 4 tahun), 20 ekor jaz‟ah (unta
simpurna usia 4 tahun). Hukuman kafarat untuk pembunuhan karena
kesalahan merupakan hukuman pokok. Adapun jenis kafarat ini sama seperti
dalam pembicaraan mengenai hukuman bagi pembunuhan semi sengaja, yakni
memerdekakan hamba sahaya mukmin124
.
Jadi, pembunuhan berencana dalam hukum Islam dikenal dengan tamalu,
tamalu adalah kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya. Jika jumlah
perbuatan pelaku secara langsung lebih dari satu, baik semuanya sebagai
pembunuh, maupun sebagian saja yang membunuh, atau melakukanya secara
bersamaan atau bergantian, pelaku harus bertanggung jawab sebagai pembunuhan
disengaja, selama satu perbuatannya atau beberapa perbuatannya bisa
menyebabkan kematian dan membantu terjadinya kematian. Oleh karena itu,
kejahatan ini dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja dan pelakunya
dikenakan hukuman qishas sebagai hukuman pokok.
1. Diat untuk pembunuhan sengaja adalah diat mughaladzah artinya diat yang
diperberat. Dengan ketentuan yaitu:
a. Memberikan seratus ekor unta, menurut syafi‟iyaah dengan ketentuan
umur unta lebih dari tiga tahun dan sebagianya harus sedang bunting;
b. Pembayaran ditanggung sepenuhnya oleh pelaku;
124
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 348.
80
c. Pembayaran harus tunai (tidak boleh dicicil).125
Hukuman tambahannya adalah pencambutan atas hak waris dan hak wasiat,
jika pelaku dan korban mempunyai ikatan keluarga.
2. Untuk pembunuhan semi sengaja, hukumanya ialah:126
a. Hukuman pokok adalah diat mughaladzah.
Diat mughaladzah adalah diat yang diperberat. Pemberatan diat
dalam pembunuhan semi sengaja dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu:
1) Pembayaran ditanggung oleh aqilah (keluarga pelaku);
2) Pembayaran dapat diangsur dalam waktu tiga tahun;
3) Umur unta lebih dewasa, komposisinya menurut malikiyah dan
syafi‟iyah dibagi menjadi tiga kelompok:
a) Tiga puluh ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun);
b) Tiga puluh ekor unta jadza‟ah (umur 4-5 tahun);
c) Empat puluh ekor unta khalifah (sidang bunting).127
Ketentuan diat sebagai hukuman pokok untuk pembunuhan semi
sengaja adalah pada firman Allah SWT:
125
A. Wardi, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 171.
126
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 20. 127
A. Wardi, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 170.
81
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut turut untuk penerimaan taubat
dari Allah. Dan adalah Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
(QS. An-nisaa 04:92).
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa seseorang yang membunuh
seorang mukmin karena tersalah atau tidak sengaja, maka hukumanya
adalah membayar diat yang diserahkan kepada keluarga korban. Dan
diatnya adalah seratus ekor unta.
b. Hukuman pengganti adalah kaffaraat dan takzir. Kaffaraat dalam
pembunuhan semi sengaja ini bentuknya adalah memerdekakan hamba
82
sahaya yang mu‟min, apabila hamba tidak ditemukan ia diganti dengan
puasa dua bulan berturut-turut.128
c. Hukuman tambahan adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat.
3. Pembunuhan tersalah, hukumanya ialah sama dengan pembunuhan semi
sengaja hanya saja diatnya adalah diat mukhaffafah atau diat yang diperingan.
Keringanan tersebut dapat dilihat dalam tiga aspek, yakni:
a. kewajiban pembayaran dibebankan kepada „aqilah (keluarga pelaku);
b. pembayaran diangsur selama tiga tahun;
c. komposisi diat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1) 20 ekor unta bintu makhadh (unta betina 1-2 tahun);
2) 20 ekor unta ibnu makhadh (unta jantan 1-2 tahun) menurut hanafiyah
dan hanabilah, atau 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan umur 2-3
tahun), menurut malikiyah dan syafi‟iyah.
3) 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur 2-3 tahun);
4) 20 ekor unta hiqqah (unta umur 3-4 tahun);
5) 20 ekor unta jadza‟ah (unta umur 4-5 tahun).129
2. Berdasarkan Hukum Positif
Dalam hukum positif di Indonesia tentang ancaman hukuman terhadap
suatu kejahatan termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan jenis-jenis pidana atau
128
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 174. 129
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 175.
83
hukuman yang termaktub dalam pasal 10 KUHP. Dibagi dalam dua bagian, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan.
a. Hukuman pokok terdiri atas empat jenis, yaitu:130
1) Hukuman mati
Hukuman ini adalah hukuman yang terberat dari semua pidana yang
diancamkan terhadap berbagai kejahatan yang sanggat berat, misalnya
pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).
2) Hukuman penjara
Hukuman ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang.
Hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang menunjukkan watak
buruk dan nafsu jahat. Hukuman penjara minimum satu hari dan
maksimum seumur hidup.
Hukuman penjara diancam pada berbagai kejahatan, di antaranya adalah
pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP), pembunuhan terkwalifikasi (pasal
339 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341 dan 342 KUHP), pembunuhan
atas permintaan korban.
130
Laden Marpaung, Asas-Teori Praktek Hukum Pidana, h. 107-110.
84
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
A. Deskripsi Kasus Pembunuhan Berencana
Dalam analisa putusan ini, penulis mengambil data perkara ini dari
Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tindak pidana penyertaan dalam
pembunuhan berencana. Dalam kasus ini saudara Antasari Azhar sebagai
terdakwa 1 dengan identitas: nama lengkap Antasari Azhar, tempat lahir Bangka,
umur dan tanggal lahir 57 tahun/18 Maret 1953, dengan jenis kelamin laki-laki,
kebangsaan Indonesia, dan bertempat tinggal di Perumahan Giri Loka II Blok
A/13 Rt. 001/02, Kelurahan Lekong Wetan, Bumi Serpong Damai (BSD),
Serpong, Kabupaten Tangerang, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
(ketua KPK non aktif).131
1. Kronologis pembunuhan
Perkara ini, berkaitan dengan tindak pidana penyertaan dalam
pembunuhan berencana. Dengan terdakwa Antasari Azhar sebagai terdakwa.
Peristiwa ini berawal dari pertemuan saksi Rani Juliani dan terdakwa pada
sekitar bulan Mei 2008 di kamar 803 hotel Grand Mahakam membicarakan
keanggotaan (membership) terdakwa di Modern Golf Tangerang, saat akan
pulang terdakwa memberi saksi Rani Juliani uang sebesar US$ 300 (tiga ratus
US dolar) dan memeluknya, serta mengajak bersetubuh, namun ajakan
131
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
85
tersebut ditolaknya dengan mengatakan “lain kali aja pak”, kemudian
terdakwa mencium pipi kiri dan pipi kananya.132
Pertemuan tersebut diceritakanya terhadap korban yang kemudian
meminta menemui terdakwa lagi untuk meminta bantuanya agar korban
dilantik sebagai direktur di BUMN karena SK telah diterima.
Setelah dihubungi terdakwa bersedia bertemu di tempat yang sama di
kamar nomor 803 hotel Grand Mahakam Jakarta Selatan, selanjutnya bersama
mengunakan taxi saksi Rani Juliani menuju hotel Grand Mahakam Jakarta
Selatan, saat akan menuju kamar nomor 803 korban meminta agar
mengaktifkan telepon selularnya (HP) supaya bisa mendengar pembicaraan.
Pada saat masuk terdakwa sudah berada di kamar hotel dan
mempersilahkan duduk di sofa. Dalam pembicaraan saksi Rani Juliani
meminta terdakwa untuk kembali menjadi anggota Modern Land Golf dan
meminta terdakwa untuk membantu saudaranya yang sudah mempunyai SK
sebagai direktur di BUMN agar bisa dilantik.
Disela pembicaraan terdakwa meminta saksi Rani Juliani untuk
memijat pungungnya, saat dipijat terdakwa membalikan tubuh lalu mencium
pipi, bibir, membuka kancing baju dan menurunkan bra sebelah kirinya
sambil berkata “katanya pertemuan selanjutnya kamu mau”.
Ajakan tersebut ditolaknya dengan mengatakan “jangan pak, jangan”,
karena takut terdengar korban saksi Rani Juliani mematikan telepon
132
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
86
selularnya. Meskipun ditolak terdakwa masih terus menjamah tubuh saksi
Rani Juliani dengan meremas-remas dan mencium serta menjilati payudara,
kemudian terdakwa membuka kancing dan resleting celananya lalu meminta
saksi Rani Juliani memegangi kemaluanya sambil menggerakkan tangan ke
atas dan ke bawah (mengocok) hingga mengeluarkan sperma.
Pada saat terdakwa ke kamar mandi, korban menelpon saksi Rani Juliani
dan menanyakan “kenapa hp-nya dimatikan ?” namun ia hanya mengiakan.133
Sebelum pulang terdakwa memberikan uang sebesar US$ 500 (lima ratus
US dolar) dan ketika akan keluar kamar tiba-tiba korban masuk dan marah sambil
berkata kepada terdakwa “mengapa bapak bertemu dengan isteri saya di sini dan
apa yang bapak lakukan terhadap isteri saya?, saat ini saya bisa panggil wartawan
untuk menghancurkan karir bapak” kemudian menampar pipi Rani Juliani.
Mendengar kemarahan korban, terdakwa menjawab:
“Jangan pak saya masih ingin memperbaiki negara”, lalu merangkul dan
mengajaknya berbicara di sudut ruangan kamar hotel dan berusaha
menenangkanya dengan mengatakan “kita saudara, ya sudah nanti kita
satu tim”.
Setelah tenang korban mengajak saksi Rani Juliani pulang dan keesokan
harinya korban meminta pengakuan saksi Rani Juliani di bawah Al-Quran untuk
menceritakan perbuatan apa yang sebenarnya dilakukan di kamar nomor 803
hotel Grand Mahakam.
133
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
87
Setelah mengetahui perbuatan terdakwa terhadap saksi Rani Juliani, pada
kurun waktu bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008, korban
mengunakan kesempata itu untuk menemui terdakwa di kantornya sebanyak 5
(lima) kali antara lain : meminta terdakwa selaku ketua komisi pemberantasan
korupsi agar membantu pelantikan korban menjadi direktur di PT. Rajawali
Nusantara Indonesia (RNI).
Meminta terdakwa melakukan intervensi kepada pihak ketiga supaya
memberikan proyek kepada dirinya.
Menyampaikan informasi korupsi di PT. Rajawali Nusantara Indonesia
(RNI) meminta bantuan menghubungi PT. Aneka Tambang (ANTAM) supaya
mempercepat perijinan dan konfirmasi tindak lanjut proses perijinan PT.
Ronggolawe.
Bulan Desember 2008, terdakwa menerima sms dari korban yang isinya
“bahwa ternyata pada waktu bapak berjumpa di hotel Grand Mahakam dengan
isteri saya, ternyata melakukan pelecehan seksual” dan terdakwa membalas sms
tersebut “Astagfirullah...pak janganlah sekejam itu menuduh saya”, kemudian
meminta korban untuk datang ke kantornya.134
Atas permintaan tersebut korban menemui terdakwa dan menuduhnya
telah melakukan pelecehan seksual terhadap isterinya (saksi Rani Juliani), dan
kesempatan itu korban kembali menanyakan proses perijinan PT. Rongolawe
namun tidak ditanggapi.
134
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
88
Karena keinginanya tidak dipenuhi, korban mengancam akan
mempublikasikan perbuatan terdakwa terhadap isterinya dikamar nomor 803
hotel Grand Mahakam ke media dan akan mengadukan permasalahan tersebut
kepada DPR.
Pada saat merayakan pergantian tahun baru 2009 di Bali, isteri terdakwa
(saksi Ida Laksmiwati) menerima telepon dari seseorang yang mengatakan,
“Suamimu tidur dengan perempuan lain, perempuanya ada di sampingku”.
Kemudian tedengar suara perempuan, mengatakan, “Suamimu sudah kutiduri”.
Atas ancaman dan teror tersebut terdakwa merasa takut dan panik, lalu
menduga orang yang meneror tersebut adalah korban, kemudian saksi Sigit Haryo
Wibisono diminta membantunya mengatasi teror korban tersebut dengan cara
mengamankan atau menghabisinya.135
Awal bulan Januari 2009, terdakwa bertemu dengan saksi Sigit Haryo
Wibisono dan saksi kombes pol. Chairul Anwar, Di rumah saksi Sigit Wibisono
jalan Pati Unus No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, membicarakan tentang
teror yang dialami keluarga dan dirinya serta pemerasan yang dilakukan korban
terhadapnya, kemudian memberitahukan permasalah tersebut kepada kapolri
meminta perlindungan hukum atas dirinya selaku ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi beserta keluarganya.
Terhadap pemberitauan dan permintaan tersebut kapolri membentuk tim
yang diketuai kombes pol. Chairul anwar, Untuk melakukan tugas penyelidikan
135
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
89
dan hasil penyelidikanya diberitahukan kepada terdakwa, telah diperoleh foto
korban, foto mobil yang biasa digunakannya, alamat rumah serta alamat kantor.
Informasi diperoleh dari terdakwa, bahwa saksi Rani Juliani bukan isteri
korban dan korban sebagai penguna narkoba, tim yang diketuai kombes pol
Chairul Anwar. Melakukan penyelidikan, pada pertengahan Januari 2009, tim
melakukan pengerebekan di salah satu kamar hotel tempat korban dan saksi Rani
Juliani menginap di Kendari, kemudian melakukan rasia narkoba di lantai 3 (tiga)
salah satu kamar hotel di Makasar tempat korban menginap.
Karena tidak ditemukan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korban, tim
yang dibentuk kapolri menyarankan kepada terdakwa untuk membuat laporan
polisi, namun tidak disitujui dengan alasan privasi dirinya sebagai ketua KPK.136
Selain meminta bantuan kapolri sebagaimana disebutkan di atas, terdakwa
selaku ketua KPK, juga memerintahkan staffnya Budi Ibrahin dan saksi Ina
Susanti untuk melakukan pelacakan dan penyadapan nomor telepon yang masuk
ke telepon gengam isterinya kemudian menyerahkan catatan secarik kertas yang
berisi No HP 0811978245, 081311695795, 081381202747 dan 0818883155 dan
meminta agar No HP 08161113244 juga ikut disadap, 2 (dua) di antara No HP
tersebut di atas adalah milik korban yaitu No HP 0811978245 dan HP
08161113244. Ketika saksi Budi Ibrahim bersama saksi Ina Susanti menyerahkan
laporan hasil penyadapan, sekaligus meminta terdakwa untuk menghentikanya
136
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
90
karena menghabiskan waktu, biaya dan tidak level, namun terdakwa mengatakan
“saya apa dia yang mati”.
Karena kerja tim tidak dapat menghentikan ancaman dan teror yang
dilakukan korban terhadap diri dan keluarganya, terdakwa semakin panik dan
takut, selanjutnya kembali menemui saksi Sigit Haryo Wibisono di rumahnya di
jalan Pati Unus No.35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan menyampaikan
keluhannya serta meminta saksi Sigit Haryo Wibisono mencari cara
mengamankan atau menghabisi korban.137
Karena terus menerus didesak, saksi Sigit Haryo Wibisono menyetujui
permintaan dan bersedia membantu terdakwa untuk menghabisi korban dengan
cara menjadikan korban sebagai tersangka dalam perkara korupsi oleh KPK,
menjadikan korban sebagai korban perampokan yang akan dilakukan oleh TKI
(orang-orang yang tidak bekerja di Indonesia) dengan tujuan untuk menghabisi
korban, kemudian saksi Sigit Haryo Wibisono menyampaikan kepada terdakwa
akan mengusahakan orang yang bisa menghabisi korban melalui saksi Kombes
Pol Wiliardi Wizar. Setelah itu saksi Sigit Haryo Wibisono menghubungi saksi
Kombes Pol. Wiliardi Wizar dan menyampaikan permasalahan yang dihadapi
terdakwa serta keinginan terdakwa untuk menghabisi korban, apabila berhasil
mewujudkan keinginan tersebut, maka terdakwa akan membicarakan promosi
kenaikan pangkat dan jabatan kepada kapolri.
137
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
91
Selanjutnya akhir bulan Januari 2009, terdakwa dipertemukan oleh saksi
Sigit Haryo Wibisono dengan saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar di jalan Pati
Unus No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Setelah bertemu terdakwa
menyampaikan keluhan/teror yang dialaminya dan keluarga kepada saksi Sigit
Haryo Wibisono dan saksi Kombes Pol wiliardi wizar, kemudian meminta saksi
Kombes Pol Wiliardi Wizar untuk menyelesaikan teror dan ancaman yang
dilakukan korban terhadap diri dan keluarganya dengan cara menghabisi korban
dan saksi Sigit Haryo Wibisono akan mempersiapkan dana oprasional untuk
mewujudkan pekerjaan tersebut, sebaliknya saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar
menyampaikan keinginanya agar terdakwa membicarakan kemungkinan kenaikan
pangkat dan jabatannya kepada kapolri. Dengan adanya harapan serta peluang
promosi jabatan, saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar mengatakan “siap
mengamankan”.
Hasil pertemuan itu disepakati terdakwa akan membicarakan
kemungkinan kenaikan pangkat dan jabatan saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar
dengan kapolri dan saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar akan mencari orang yang
bisa menghabisi korban, guna menghentikan ancaman dan teror yang
dilakukannya terhadap terdakwa.138
Sesuai kesepakatan terdakwa memberikan foto korban, foto mobil, alamat
rumah dan alamat kantor korban kepada saksi Kombes Pol Wiliardi Wizar yang
138
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
92
diserahkan oleh saksi Sigit Haryo Wibisono, yang sebelumnya diterima dari tim
yang dibentuk kapolri yang diketuai Kombes Pol chairul anwar.
Bahwa setelah menerima foto korban, foto mobil, alamat rumah dan
alamat kantor korban dari terdakwa dan ada janji dari terdakwa yang akan
membicarakan promosi pangkat dan jabatan kepada kapolri, serta janji saksi Sigit
Haryo Wibisono memberikan dana oprasioanal menghabisi korban, selanjutnya
pada tanggal 1 Februari 2009 saksi Kombes Pol wiliardi wizar menghubungi dan
mendatangi saksi Jerry Hermawan Lo di kantornya di Kedoya Raya kav. 27 No
13 Pesing Koneng Jakarta Barat.139
Pada pertemuan tersebut, saksi Kombes Pol wiliardi wizar menyerahkan 1
(satu) lembar kertas HVS yang ada digambar foto siorang laki-laki yang di
bawahnya bertuliskan nama korban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar beserta alamat
lengkap rumah dan kantornya dan 1 (satu) lembar kertas HVS bergambar mobil
BMW warna silver dengan plat nomor polisi B 191 E, selanjutnya meminta
bantuan saksi Jerry Hermawan Lo untuk mencarikan seseorang yang dapat
menghabisi nyawa korban karena orang tersebut sangat berbahaya bagi Negara
dan misi tersebut merupakan tugas Negara.
Menyikapi permintaan tersebut pada malam itu juga saksi Jerry
Hermawan Lo menghubungi dan meminta saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete
alias Edo untuk bersidia bertemu dengan saksi Kombes Pol wiliardi wizar serta
datang kerumahnya di komplek Perumahan Permata Buana Blok A7 No. 13
139
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
93
Kembangan Jakarta barat, ketika bertemu saksi Jerry Hermawan Lo sambil
memperlihatkan foto yang diterimanya dari saksi Kombes Pol wiliardi wizar
menyampaikan ada tugas Negara dan sangat rahasia yaitu mengenalkan seorang
yang dapat menghabisi nyawa seorang laki-laki yang fotonya ada pada kertas
HVS sambil menunjukkan foto yang diterimanya dari saksi Kombes Pol wiliardi
wizar.
Setelah pembicaraan tersebut saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo
meninggalkan rumah saksi Jerry Hermawan Lo, lalu menghubungi saksi
Hendrikus Kia Walen alias Hendrik dan menyampaikan adanya orderan untuk
menghilangkan nyawa korban.140
Keesokan harinya pada tanggal 2 Februari 2009 sekira pukul 19.00 wib
saksi Kombes Pol wiliardi wizar, saksi Jerry Hermawan Lo dan saksi Eduardus
Noe Ndopo Mbete alias Edo bertemu di cafe/restoran arena bowling Ancol
Jakarta Utara, pada pertemuan tersebut saksi Jerry Hermawan Lo kembali
meminta saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo agar mencari orang guna
menghabisi orang yang fotonya pernah ditujukkanya karena membahayakan
keamaan Negara sambil menyerahkan amplop warna coklat berisi 2 (dua) lembar
foto yang dicetak di atas kertas hvs yaitu: foto korban Nasrudin Zulkarnaen
Iskandar beserta alamat lengkap rumah dan kantornya dan foto mobil BMW
warna silver dengan plat nomor Polisi B 191 E.
140
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
94
Pada kesempata itu Kombes Pol wiliardi wizar juga menjelaskan hal yang
sama kepada saksi Eduardus Noe Ndaopo Mbete alias Edo untuk melaksanakan
atau menyelesaikan tugas Negara tersebut menjelang pemilu legislatif karena
membahayakan Negara dan meminta mengenalkan seseorang yang dapat
melaksanakan tugas menghabisi nyawa korban.
Setelah pertemuan saksi Eduardus Noe Ndapo Mbete alias Edo menemui
saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik yang telah menunggu di parkiran mobil
kemudian menyerahkan amplop besar warna coklat sambil mengatakan pekerjaan
yang akan dilakukan menyangkut tugas Negara yaitu menghabisi orang yang ada
fotonya di amplop coklat tersebut karena mebahayakan keamanan Negara dan
nanti akan disediakan sarana serta uang oprasional untuk memperlancar pekerjaan
tersebut.
Karena terdakwa masih terus diteror oleh korban, pada bulan Februari
2009 itu juga terdakwa mengirim sms kepada korban yang isinya “maaf mas
masalah ini yang tahu hanya kita berdua kalau sampai terblow up tahu
konsikuensinya” yang kemudian diperlihatkan kepada saksi Etza Imelda Fitri,
Dan saksi Jeffry Lumempouw.141
Selanjutnya pada awal bulan Maret 2009 saksi Kombes Pol wiliardi wizar
menemui saksi Sigit Haryo Wibisono di kantor pers Indonesia merdeka jalan
Kerinci VII No 63 Kebayoran Baru Jakarta Selatan meminta dana oprasional
141
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
95
untuk melaksanakan niat menghabisi nyawa korban sebesar Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
Permintaan tersebut saksi Sigit Haryo Wibisono menugaskan saksi Setyo
Wahyudi menyerahkan dana sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta) kepada
saksi Kombes Pol wiliardi wizar namun sebelum menyerahkan uang saksi Sigit
Haryo Wibisono memberitahukan terlebih dahulu kepada terdakwa via telepon
dan mengatakan bahwa ia akan menyerahkan uang oprasional kepada saksi
Kombes Pol wiliardi wizar sibesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan
uang tersebut adalah sebagai pinjaman yang harus dikembalikan lagi dan
terdakwa menjawab “nanti akan dicarikan gantinya”.
Setelah menerima dana oprasional sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah) saksi Kombes Pol wiliardi wizar menemui saksi Eduardus Noe
Ndopo Mbete alias Edo di pelataran lobby Cilandak Town Square (CITOS) lalu
menyerahkan uang sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk biaya
oprasional.142
Pada malam itu juga saksi Eduardu Noe Ndopo Mbete alias Edo
menyerahkan uang oprasional mengahabisi korban sebesar Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) kepada saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik di MC
Donal Tebet dan menugaskan agar segera mengahabisi korban namun uang yang
diambil hanya sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) saja.
142
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
96
Setelah menyerahkan uang sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)
saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo mengatakan kepada saksi Hendrikus
Kia Walen alias Hendrik harus bertanggung jawab melaksankan tugas menghabisi
korban.
Untuk memastikan tugas menghabisi korban sudah dijalankan atau belum,
saksi Kombes Pol wiliardi wizar menghubungi Eduardus Noe Ndopo Mbete alais
Edo dan mengajak bertemu di ruang kerjanya di Subdit Pariwisata Babinkam
Mabes Polri Jakarta, pada pertemuan tersebut saksi Kombes Pol wiliardi wizar
kembali menegaskan bahwa tugas mengahabisi korban benar-benar tugas Negara
dan pelaksanaannya jangan sampai lewat pemilu legislatif tahun 2009 karena
akan sia-sia serta akan meledak sebab menyangkut keamanan Negara dan
menegaskan supaya saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo tidak usah
khawatir karena semua itu sudah diatur dan diamankan, bila pekerjaan ini berhasil
maka pangkat dan karirnya akan naik.
Sebaliknya saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo mengatakan
bahwa dana oprasional yang telah diterima sudah diserahkan kepada seorang
pelaksana dilapangan.
Setelah menerima uang oprasional sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta
rupiah) saksi Hendrikus Kia Walen alias Hendrik menghubungi dan mengajak
saksi Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi, saksi Heri Santosa bin Rasja alias
Bagol, saksi Daniel Daen Sabon alias Danil, untuk menghabisi nyawa korban
dengan dalih pekerjaan tersebut adalah tugas Negara dan korban adalah orang
97
yang membahayakan keamanan Negara bila berhasil maka saksi fransiskus
Tadon Kerans alias Amsi memperoleh imbalan sebesar Rp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah), saksi Heri Santosa bin Rasja alias Bagol akan memperoleh
imbalan sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) dan saksi Daniel Daen
Sabon alias Danil akan memperoleh imbalan sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh
puluh lima juta rupiah), atas ajakan tersebut mereka bersedia untuk menghabisi
nyawa korban.
Selanjutnya dengan adanya gambar foto korban, foto mobil sedan BMW
warna silver No. Pol B 191 E dan dana oprasional telah diterima maka diadakan
pertemuan disibuah gudang kosong pabrik PT. Yasun Litex di Batu Ceper
Tangerang untuk mempersiapkan pelaksanaan menghilangkan nyawa korban.143
Setelah perencanaan dan persiapan telah matang atau sempurna pada hari
sabtu tanggal 14 Maret 2009 sekitar jam 14.30 wib bertempat di jalan Hartono
Raya Modern Land Tangerang ketika korban berada di dalam mobil BMW warna
silver No Pol B 191 E yang dikemudikan saksi Suparmin, laju kendaraanya di
halang-halangi oleh mobil Toyota Avanza warna silver No Pol B 8870 NP yang
dikemudukan saksi Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi dan seketika, saat mobil
BMW dinaiki korban yang berjalan pelan akan melewati undakan (polisi tidur)
lalu sepeda motor Yamaha Scorpio warna gelap No Pol B 6862 SNY yang
dikendarai saksi Heri Santosa bin Rajsa alias Bagol dengan memboncengi saksi
Daniel Daen Sabon alias Danil bergerak mendekati samping kiri mobil BMW
143
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
98
yang dinaiki korban hingga berjarak lebih kurang sekitar 0,5 (nol koma lima)
meter kemudian saksi Daniel Daen Sabo alias Danil mengarahkan senjata api
jenis Revolver tipe S & W caliber 38 yang telah dipersiapkan ke arah samping
kiri belakang mobil BMW lurus searah dengan kepala korban lalu menembak atau
menarik pelatuk senjata api tersebut sebanyak 2 (dua) kali, sehingga peluru
menembus kaca pintu mobil dan kena tepat di kepala korban.
Setelah mengetahui bahwa korban telah meniggal dunia karena ditembak,
saksi Sigit Haryono Wibisono menghubungi terdakwa dan mengatakan “
bagaimana nich pak, bisa runyam kita?” dan terdakwa menjawab “tenang saja
saya sudah koordinasikan” kemudian sekitar akhir bulan Maret 2009 saksi
Kombes Pol wiliardi wizar datang ke rumah terdakwa yang diantar saksi Setyo
Wahyudi atas sepengetahuan saksi Sigit Haryono Wibisono untuk menanyakan
perkembangan karier yang pernah dibicarakan sebelumnya.144
Akibat penembakan yang dilakukn saksi Daniel Daen Sabon alias Danil
menyebabkan korban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar meninggal dunia sebagaimna
diterangkan dalam visum Et Repertum Nomor: 1030/SKIII/03/2-2009 tanggal 30
Maret 2009 yang ditanda tangani oleh Dr. Abdul Mun’im Idries, SpF dokter
pemerintah pada rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo yang pada kesimpulanya
menerangkan: “pada mayat laki-laki yang berumur sekitar empat puluh tahun ini
didapatkan 2 (dua) buah luka tembak masuk pada sisi kepala sebelah kiri,
kerusakan jaringan otak serta pendarahan dalam rongga tengkorak serta 2 (dua)
144
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
99
butir anak peluru yang sudah tidak utuh”. “sebab matinya orang ini akibat
tembakan senjata api yang masuk dari sebelah kiri, berdasarkan sifat lukanya
kedua luka tembak tersebut merupakan luka tembak jarak jauh, peluru pertama
masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari
arah depan sisi kepala kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 (sembilan)
milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang
ditembakan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S & W”.145
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
Bahwa terdakwa Antasari Azhar. Tersebut sibgaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo
pasal 340 KUHP.
Setelah jaksa penuntut umum mengamati dan mencermati kasus ini, maka
para terdakwa ditunut oleh jaksa penuntut umum dengan pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 340 KUHP. Jaksa penuntut umum
menuntut agar majelis hakim menjatuhkan putusan. Pertama, menyatakan
terdakwa Antasari Azhar. Terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah
melakukan tindak pidana “orang yang turut melakukan perbuatan membunjuk
orang lain melakukan pembunuhan berencana” sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 pasal 340 KUH Pidana
sebagaimana dalam surat dakwwaan. Kedua, menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa Antasari Azhar. Dengan pidana mati. Ketiga, menyatakan barang bukti
145
Putusan Mahkamah Agung No. 1429 K/PID/2010
100
berupa: 3 (tiga) buah kartu access card hotel Grand Mahakam, 1 (satu) buah
kardus handphone Nokia 6300 nomor imey 355714022899576, 1 (satu) amplop
cokelat dari Sigit Haryo Wibisono kepada Antasari Azhar berisi: satu bendel hasil
pemeriksaan assit eks pemegang saham dari BPK, satu bendel hasil pemeriksaan
penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) dari BPK dan satu surat
berjudul The Untouchable: Salim bersaudara, 1 (satu) amplop cokelat dari Mega
Simarmata wartawati inilah.com kepada Antasari Azhar private and confidential
diserahkan via ibu Ida (sekertaris) berisi print out email dari microsoft outlook
inbox dan exhibit S-GSM off-air intercept, 1 (satu) buah map warna biru berisi
copy surat nota kesepahaman antara PT. Graha Artha Citra Mandiri dan PT.
Rajawali Nusantara Indonesia No: 78/spj.PNRNI/X/2002 dan copy surat
keputusan menteri negara badan usaha milik negara No: KEP-/MBU/2007 dan
copy surat PT. Rajawali Nusantara Indonesia No: S-20/RNI.00/VI/2004 tanggal 2
Juni 2005, hal tanggapan komisaris atas laporan tahunan tahun buku 2004 dan
copy surat daftar riwayat hidup Nasrudin Zulkarnen, 1 (satu) buah hardisk merk
Western digital, model WD 800ZD serial number WMM9X647149, datanya
memiliki nilai MD5HASH6D42AE68F9 DE4CB2COCC60f7B488ZC4
kapasitasnya 80 GB. Keempat, menetapkan terdakwa membayar biaya perkara
sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).146
146
Putusan Mahkamah Agung No. 1429 K/PID/2010
101
B. Putusan Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah agung yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan
No perkara: 1429 K/Pid/2010, dan selama terdakwa dalam masa tahanan oleh
penyidik sijak tanggal 04 Mei 2009. Setelah mendengar pembacaan surat
dakwaan, keterangan saksi-saksi dan terdakwa, setelah melihat dan meneliti
barang bukti yang diajukan dalam persidangan oleh penuntut umum. Menimbang
bahwa dalam dakwaan primer, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Membaca putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan No. 1532/Pid.
B/2009/PN. JKT. SEL tanggal 11 februari 2010 yang amar lengkapnya sebagai
berikut:147
1. Menyatakan terdakwa Antasari Azhar. Yang identitasnya disebutkan di muka,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“TURUT SERTA MENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA”,
memidana terdakwa tersebut, dengan pidana penjara selama: 18 (delapan
belas) tahun, menetapkan bahwa masa tahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhanya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan terdakwa
tetap ada dalam tahanan, menetapkan barang bukti,
2. Menyatakan gugatan ganti rugi pemohon tidak dapat diterima: membaca
putusan pengadilan tinggi Jakarta No. 71/PID/2010/PT.DKI tanggal 17 Juni
2010 yang amarnya sebagai berikut:
147
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
102
- Menerima permintaan banding terdakwa/ penasihat hukum terdakwa dan
penuntut umum di atas, menguatkan putusan pengadilan negeri Jakarta
Selatan No: 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 Februari 2010 yang
dimintakan pemeriksaan dalam tingkat banding dengan mengubah sekedar
mengenai kwalifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
sehingga amarnya adalah sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa Antasari Azhar. Yang identitasnya tersebut di
atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana: “MENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA”
b. Memerintahkan kepada terdakwa agar tetap dalam tahanan
c. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua
tingkat peradilan yang pada pengadilan tingkat banding sebanyak
Rp.2.000,- (dua ribu rupiah)
Putusan Mahkamah Agung Jakarta No. 1429 K/Pid/2010 yang amar
lengkapnya sebagai berikut:
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I: JAKSA PENUNTUT
UMUM pada kejaksaan negeri JAKARTA SELATAN dan Pemohon Kasasi
II/Terdakwa: ANTASARI AZHAR. Tersebut.148
Memperbaiki amar putusan pengadilan tinggi Jakarta No: 71/PID/2010/PT.DKI
tanggal 17 Juni 2010 yang mengubah putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan
No: 1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL tanggal 11 Februari 2010 sekedar mengenai
148
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
103
kwalifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sehingga berbunyi
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Antasari Azhar. Yang identitas lengkapnya tersebut di
muka, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“TURUT SERTA MENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA”
- Memidana terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama: 18 (delapan
belas) tahun
- Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
- Menetapkan terdakawa tetap ada dalam tahanan
- Menetapkan barang bukti
2. Menyatakan gugatan pemohon tidak diterima.149
C. Analisis Putusan Mahkamah Agung Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif
1. Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, semua tindak pidana yang menyangkut nyawa
manusia harus dipertanggung jawabkan, sesuai dengan perbuatannya baik
delik pidana itu dilakukan dengan sengaja (al-a’md) maupun dengan tidak
sengaja (al-khata).150
149
Putusan Mahkamah Agung No. 1429 K/PID/2010
150
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jild III, h. 210.
104
Dalam hukum Islam tindak pidana akan melalui tahapan-tahapan tertentu
sebelum terpidana melakukanya. Tahap pertama, yaitu adanya pemikiran dan
perencanaan. Artinya pemikiran untuk melakukan tindak pidana dan perencanaan
untuk melaksanakan aksinya, ini tidak dipandang sebagai maksiat yang patut
mendapatkan hukuman takzir dan tidak diangap sebagai tindak pidana yang patut
mendapat hukuman. Hal ini karena kaidah Islam tidak menghukum bisikan hati
manusia atau suara hati atas suatu perkataaan atau perbuatan, begitu juga tidak
mengambil tindakan terhadap apa yang masih direncanakan oleh seseorang.
Dengan demikian, manusia hanya akan dituntut atas apa yang telah diucapkan dan
apa yang telah diperbuatnya.151
Adapun tahap kedua, yaitu tahap persiapan. Tahap ini tidak dapat
dianggap sebagai maksiat. Hukum Islam tidak menghukum seseorang atas
tindakanya menyiapkan sarana untuk melakukan tindak pidana kecuali tindakan
menyiapkan itu dianggap sebagai maksiat pada zatnya. Seperti seseorang yang
hendak mencuri dengan cara membuat seseorang mabuk, si pencuri membeli
sesuatu yang memabukan. Dalam hal ini hal seperti itu diangap sebagai maksiat,
pelaku dapat dihukum tanpa harus menunggu hingga ia melaksanakan tujuan
utamanya, yaitu mencuri.
Selanjutnya tahap ketiga, yaitu tahap pelaksanaan. Tahap ini satu-satunya
tahapan yang pelakunya dianggap telah melakukan tindak pidana. Suatu tindak
pidana dianggap sebagai tindak pidana jika perbuatan tersebut dikategorikan
151
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid III, h. 24-25.
105
sebagai perbuatan maksiat. Artinya, perbuatan tersebut melanggar hak masyarakat
dah hak perorangan.152
Dalam kasus pembunuhan ini, menurut hukum Islam, terhadap pelaku
tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (al-a’md) ancamanya lebih berat
dari qishaslah yang tepat untuk tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja.
Allah swt telah memulai uraiannya dalam surat Al-Baqorah ayat 178
dengan menyeru kaum beriman, ini diwajibkan kalau kamu wahai keluarga
terbunuh menghedakinya sebagai sanksi akibat pembunuhan tidak sah atas
keluarga kalian. Tetapi pembalasan itu harus malalui orang yang berwenang
dengan ketetapan bahwa orang merdeka dengan orang merdeka dan hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita, jangan menuntut seperti adat jahiliyah,
jangan juga menuntut balas terhadap 2 atau banyak orang kalau yang terbunuhnya
hanya seseorang, karena makna dari qishas adalah “persamaan”, boleh menuntut
laki-laki jikalau yang terbunuhnya adalah wanita, dan lain juga sebaliknya. Kaena
itulah keadilan dan persamaan dalam mencabut nyawa mnusia.153
Dari putusan yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Antasari
Azhar. Di atas, dengan pandangan hukum Islam, pada kasus pembunuhan
berencana di mahkamah agung Jakarta tersebut, dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja, karena melihat terdakwa merencanakan pembunuhan
korban yang bernama Nasrudin Zulkarnaen Iskandar. Adapun untuk dikatakan
152
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid III, h. 26.
153
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Juz I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. ke-10, h.
393.
106
suatu kejahatan terhadap nyawa sebagai pembunuhan disengaja, paling tidak
harus ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu:
Unsur pertama, korban yang dibunuh adalah manusia hidup. Tindak
pidana terhadap pembunuhn atas jiwa pada dasarnya adalah tindak pidana
terhadap manusia hidup. Karena itu, para fuqaha menamainya dengan tindak
pidana atas jiwa. Untuk memastikan terjadinya tindak pidana, korban harus
berupa manusia hidup. Adapun dalam kasus ini korban berinisial Nasrudin
Zulkarnaen Iskandar yang menjabat sebagai pegawai di PT. Rajawali Nusantara
Indonesia (RNI).
Unsur kedua, dari unsur pembunuhan yaitu, kematian adalah hasil dari
perbuatan pelaku. Unutk memastikan unsur ini, kematian disyaratkan harus akibat
dari perbuatan pelaku dan perbuatan tersebut biasanya memang mengakkibatkan
kematian. Sautu perbuatan tidak disyaratkan berupa jenis-jenis tertentu untuk
dianggap sebagi pembunuhan. Karenanya, perbuatan bisa berupa memukul,
melukai, menyembelih, membakar, mencekik, meracu, atau bentuk lainnya.
Dalam kasus pembunuhan berencana di atas, bahwa korban meninggal karena
luka tembak jarak jauh, peluru pertama masuk dari arah depan sisi kepala sebelah
kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala kiri, diameter kedua
anak peluru tersebut 9 (sembilan) milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut
sesuai dengan peluru yang ditembakan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S & W.154
Unsur lainnya, dari unsur pembunuhan yaitu pelaku menghendaki
terjadinya kematian korban (bermaksud melakukan pembunuhan). Berdasarkan
154 Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
107
fakta dipersidangan bahwa korban saat di jalan Hartono Raya Modern Land
Tangerang ketika korban berada di dalam mobil BMW warna silver No Pol B 191
E yang dikemudikan saksi Suparmin, laju kendaraanya di halang-halangi oleh
mobil Toyota Avanza warna silver No Pol B 8870 NP yang dikemudukan saksi
Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi dan seketika, saat mobil BMW dinaiki
korban yang berjalan pelan akan melewati undakan (polisi tidur) lalu sepeda
motor Yamaha Scorpio warna gelap No Pol B 6862 SNY yang dikendarai saksi
Heri Santosa bin Rajsa alias Bagol dengan memboncengi saksi Daniel Daen
Sabon alias Danil bergerak mendekati samping kiri mobil BMW yang dinaiki
korban hingga berjarak lebih kurang sekitar 0,5 (nol koma lima) meter kemudian
saksi Daniel Daen Sabo alias Danil mengarahkan senjata api jenis Revolver tipe S
& W caliber 38 yang telah dipersiapkan ke arah samping kiri belakang mobil
BMW lurus searah dengan kepala korban lalu menembak atau menarik pelatuk
senjata api tersebut sebanyak 2 (dua) kali, sehingga peluru menembus kaca pintu
mobil dan kena tepat di kepala korban.155
Untuk menentukan bahwa suatu pembunuhan dianggap pembunuhan
sengaja, imam Abu Hanifah, As-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal mensyaratkan
pelaku harus memiliki tujuan ingin membunuh. Jika tujuan tersebut tidak
dipenuhi, perbuatan tersebut tidak dianggap pembunuhan sengaja, karena niat
tanpa ada maksud ingin membunuh tidak cukup untuk menjadikan suatu
perbuatan sebagai pembunuhan disengaja. Adapun imam Malik berpendapat lain,
155
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
108
pada pembunuhan disengaja ini beliau tidak mensyaratkan harus ada niat
membunuh dari pelaku. Menurutnya, tujuan pelaku ingin membunuh korban atau
berbuat dengan melawan hukum, namun tidak ada niat untuk membunuh,
nilainnya sama selama ia tidak berbuat bermain-main atau memberi
pendidikan.156
Unsur lain dari pembunuhan yaitu alat yang digunakan dalam
pembunuhan dapat mematikan korban. Dalam hal ini imam Abu Hanifah
mensyaratkan alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja adalah yang
biasanya mengakibatkan kematian. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam
Ahmad mensyaratkan alatnya, yaitu alat yang biasa digunakan untuk membunuh,
sekalipun tidak melukai. Berdasarka alat bukti di persidangan alat yang digunakan
oleh saksi Daniel Daen Sabo alias Danil adalah senjata api jenis Revolver tipe S
& W caliber 38.
Adapun permasalahan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
dalam hukum pidana Islam, dikenal dengan tamalu dan tawafuk, tamalu adalah
kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya. Adapun tawafuk adalah
perbuatan yang dilihat dari niat orang-orang yang turut serta dalam tindak pidana
adalah untuk melakukanya, tanpa ada kesepakatan (pemufakatan) sebelumnya di
antara mereka. Dengan kata lain, masing-masing pelaku berbuat dengan
pribadinya dan pikiranya yang timbul seketika itu. Hal ini seperti dalam kasus
kerusuhan yang terjadi secara spontanitas.157
156
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 241.
157
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 207.
109
Dalam kasus tamalu para pelaku telah sepakat untuk melakukan suatu
tindak pidana dan mengiginkan bersama terjadinya hasil tindak pidana tersebut.
Apabila dua orang bersepakat untuk membunuh seseorang kemudian keduanya
pergi menjalankan aksinya, seorang di antaranya mengikat korban, sedangkan
yang lain memukul kepalanya hingga mati, maka keduanya bertanggung jawab
ataas pembunuhan tersebut. Adapun hukumannya menurut hukum Islam, jika
jumlah perbuatan pelaku secara langsung lebih dari satu, baik simuanya sebagai
pembunuh, maupun sebagian saja yang membunuh, atau melakukan secara
bersamaan atau bergantian, pelaku harus bertanggung jawab sebagai pembunuhan
disengaja, selama satu perbuatannya atau beberapa perbuatannya bisa
menyebabkan kematian dan membantu terjadinya kematian.158
Singkatnya, kasus pembunuhan Antasari Azhar. Dalam hukum Islam
dikategorikan sebagi pembunuhan disengaja. Pembunuhan disengaja menurut
syariat Islam diancam dengan beberapa hukuman, sebagian merupakan hukuman
pokok dan penganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Adapun
hukuman pokok untuk pembunuhan disengaja adalah qishas dan kafarat,
sedangkan hukuman penganti qishas dan kafarat apabila ada unsur penghapusan
hukuman maka hukuman pengantinya yaitu hukuman diyat dan takzir. Adapun
hukuman tambahan adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat. Untuk lebih
jelasnya penulis akan memaparkan dengan pemaparan sebagai berikut:
158
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid II, h. 38-39.
110
a. Hukuman qishas
Menurut hukum Islam, hukuman qishas wajib atas orang yang
melakukan pembunuhan disengaja. Qishas artinya menelusuri jejak. Karena
orang yang berhak atas qishas mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana
dari pelaku. Qishas juga diartikan sebagai keseimbangan atau kesepadanan.
Menurut Abdul Qodir Audah qishas adalah setimpal, maksudnya yaitu
membalas pelaku sesuai dengan apa yang dilakukanya. Artinya kalau pelaku
membunuh, maka si pelaku juga harus dibunuh. Untuk menjatuhkan hukuman
qishas, baik dalam pembunuhan yang didahului dengan ancaman, intaian,
maupun tanpa didahului hal tersebut, dalam hukum Islam hukumanya sama.159
Hukuman qishas pula, dapat terhapus dengan berbagai hal yaitu
hilangnya tempat untuk qishas, pemaafan, perdamaian dan diwariskanya hak
qishas. Yang dimaksud dengan hilangnya tempat untuk diqishas yaitu
hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang diqishas sebelum
dilaksnakanya hukuman.160
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, imam Malik dan imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa hilangnya anggota badan atau jiwa orang
yang wajib di qishas itu menyebabkan hapusnya hukuman. Sedangkan
menurut imam As-Syafi’i dan imam Ahmad dalam kasus hilangnya anggota
badan atau jiwa orang yang wajib diqishas terhapus hukumnya, akan tetapi
159
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 271.
160
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 271.
111
wajib membayar diyat, karena qishas dan diyat keduanya wajib, bila salah
satunya tidak dapat dilaksanakan maka diganti dengan hukuman yang lain.161
Yang dimaksud dengan pemaafan menurut imam Syafi’i dan imam
Ahmad adalah qishas atau diyat tanpa imbalan apa-apa, sedangkan menurut
imam Malik dan imam Abu Hanifah pemaafan terhadap qishas dan diyat itu
bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku. Jadi menurut kedua ulama terakhir
ini pemaafan adalah qishas tanpa imbalan apa-apa. Adapun pemaafan diyat
itu, bukan pemaafan melainkan perdamaian.162
Selanjutnya, yang dapat
menghapus qishas yaitu adanya sulh (perdamaian),163
dasar hukum tentang
diperbolehkanya perdamaina adalah hadist yang diriwayatkan oleh imam
Tirmidzi, bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Barang siapa yang dibunuh dengan sengaja maka urusanya disirahkan
kepada wali korban. Apabila ia menghendaki, ia bisa mengqishas ia boleh
mengambil diyat 30 hiqqah unta dan 40 khilfah, dan apabila megadakan
perdamaian (shulh) maka itu adalh hak mereka dan demikian itu untuk
menguatkan akal”. (H.R At-Tirmidzi.)164
161
A. Dazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 154.
162
A Ddazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), cet. ke-2, h. 155.
163
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Wa Adillatuhu Juz VI (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), h. 293.
164
Abi Isa Muhammd bin Isa bin Syaurah, Sunan At-Tirmidzi (Bairut: Dar Ma’rifah, 2002),
cet. ke-1, h. 583.
112
Selanjutnya yang dapat menghapus qishas yaitu diwariskanya hak
qishas. Contohnya, seperti orang yang divonis qishas, kemudian pemilik
qishas meninggal, dan pembunuh tersebut diwarisis oleh orang yang tidak
mempunyai hak qishas dari pembunh, yakni anakanya.165
b. Hukuman kafarat
Kafarat adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat untuk
menebus dosa akibat melakukan perbuatan tersebut. Kafarat jika dikenakan
terhadap perbuatan maksiat, kafarat adalah hukuman pidana murni atau bisa
berupa hukuman ibadah. Tindak pidana yang terkena hukuman kafarat adalah
terbatas pada: perusakan puasa, perusakan ihram, pelangaran sumpah,
bersengama dengan isteri yang sedang haid, bersengama dengan isteri yang
sedang berzihar, dan membunuh.166
Hukuman kafarat sebagai hukuman pokok untuk tindak pidana
pembunuhan sengaja, merupakan hukuman yang diperselisihkan oleh para
fuqaha, menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah dalam salah satu riwayatnya, hukuman kafarat tidak wajib
dilaksanakan dalam pembunuhan sengaja. Dalam hal ini karena kafarat,
merupakan hukuman yang ditetapkan oleh syara’ untuk pembunuhan karena
kesalahan, sehingga tidak bisa disamakan dengan pembunuhan sengaja.167
165
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 309.
166
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III, h. 83.
167
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III, h. 83.
113
Adapun menurut Syafi’iah, diwajibkan kafarat bagi pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja, semi sengaja ataupun tersalah. Alasanya adalah
bahwa maksud disyari’atkannya kafarat itu adalah menghapus dosa.168
c. Hukuman diyat
Hukuman qishas dan kafarat untuk pembunuhan sengaja merupakan
hukuman pokok. Apabila hukuman itu tidak bisa dilaksanakan karena sebab-
sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukuman pengantinya adalah
hukuman diyat untuk hukuman qishas dan puasa untuk kafarat. Adapun
hukuman diyat untuk qishas dan puasa untuk hukuman kafarat. Adapun
hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, yakni
penghapusan hak waris dan hak wasiat.
Akan tetapi, jikalau dari pihak keluarga terbunuh (korban)
menghendaki untuk memaafkan dengan mengugurkan sanksi dan
mengantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan. Disini terlihat
bahwa syariat Islam tidak melaksanakan pemafan, karena pemaafan yang
dipaksakan berdampak buruk. Keluarga yang ingin memaafkan dengan
pertimbangan apapun dapat dibenarkan.169
Adapun neraka jahannam, sebagai ganjaran diakherat kelak, akibat
buruk dari sanksi ukrawi bagi pembunuhan sengaja terhadap mu’min,
168
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III, h. 84.
169
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Juz I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. ke-10, h.
393.
114
sebagaimana yang tercantum dalam firman ALLAH SWT, dalam surat An-
Nisa ayat 93 yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang membunuh siorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(Q.S. An-Nisa/4 : 93)
Ayat ini tidak menyebutkan sanksi duniawi, bahwa sebagian ulama
menetapka bahwa dosa yang bersangkutan tidak akan mendapatkan
pengampunan ilahi. Ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat nabi
Muhammad saw, Ibnu Abbas menganut paham ini, tetapi mayoritas
menolaknya.170
Dilihat dari segi pembuktian dalam pandangan hukum Islam, dalam
menetapkan tindak pidana ini para fuqaha tidak menerima kesaksian satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan, juga seorang saksi yang bersumpah
dan sumpah korban. Karena qishas adalah merupakan darah sebagai hukuman
atas tindak pidana, demi kehati-hatian untuk menolaknya, disyaratkan ada dua
saksi yang adil seperti dalam hukuman hudud. Ini adalah pendapat mayoritas
fuqaha.171
170
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Juz I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. ke-10, h.
555.
171
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 118-119.
115
Ulama yang mensyartakan dua saksi dalam tindak pidana qishas,
mereka tidak membedakan antara qishas pada jiwa dan qishas pada
penganiayaan. Dalam menetapkan tindak pidana yang mewajibkan qishas, ia
mewajibkan dua saksi yang adil. Imam Malik tidak perpendapat demikian,
karena ia tidak mewajibkan kesaksian dua orang laki-laki adil kecuali pada
qishas jiwa. Imam Malik mengishaskan luka dengan harta, karena dianggap
sebagai hal baik. Dengan kesaksian dua orang saksi tindak pidana yang
mewajibkan qisah menjadi tetap. Salah satu saksi itu bukan korban karena
korban dianggap pengugat bukan saksi.172
Allah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 194, bahwa seseorang
yang mengangu orang lain dapat dibalas pula sesuai dengan perlakuan korban
sesuai dengan perlakuan seorang terhadap orang lain. Berkaitan dalam hal ini,
Antasar Azhar, SH. MH dapat membalas perlakuan korban sesuai dengaan
apa yang dilakukan korban terhadap dirinya, dengan catatan tidak melakukan
perbuatn semena-mena atau berlebihan. Terkait tindakan Antasari Azhar.
Terhadap korban terlalu berlebihan yaitu melakukan pembunuhan terhadap
korban, karena Allah swt tidak menyukai hambanya yang berlebihan.
Pada pelaksanaan hukuman atau eksikusi terhadap pelaku
pembunuhan, maka penguasa atau hakim harus melaksanakan ketentuan-
ketentuan yag tertera dalam nash Al-Quran dan Al-Hadist. Oleh karena itu
penulis berpendapat bahwa hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan oleh
172
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jild III, h. 117..
116
hakim dalam kasus pembunuhan sengaja dan direncanakan belum sesuai
dengan ketentuan hukum pidana Islam, karena tindak pidana yang dilakukan
atau yang dilaksanakan ini, termasuk dalam kategori tindak pidana qishas dan
sebagaimana yang dilandaskan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 45 yang
berbunyi:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang lalim. (Q.S. Al-Maidah/5 : 45)
Surat Al-Baqarah : 178
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
117
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih.” (Q.S. Al-Baqarah/2 : 178)
Surat al-Baqarah : 179
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah/2 : 179)
2. Menurut hukum positif
Adapun fakta yang terungkap di persidangan, berdasarkan bukti tertulis,
saksi, maupun barang bukti yang diajukan serta keterangan terdakwa. Bukti
tertulis yang diajukan berupa visum Et Repertum Nomor: 1030/SKIII/03/2-2009
tanggal 30 Maret 2009 yang ditandatangani oleh Abdul Mun’im Idries, dokter
pemerintah pada rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Hasil visum tersebut
menunjukkan, bahwa korban meninggal dunia karena pada mayat laki-laki yang
berumur sekitar empat puluh tahun ini didapatkan 2 (dua) buah luka tembak
masuk pada sisi kepala sebelah kiri, kerusakan jaringan otak serta pendarahan
dalam rongga tengkorak serta 2 (dua) butir anak peluru yang sudah tidak utuh”.
“sebab matinya orang ini akibat tembakan senjata api yang masuk dari sebelah
kiri, berdasarkan sifat lukanya kedua luka tembak tersebut merupakan luka
118
tembak jarak jauh, peluru pertama masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri
dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala kiri, diameter kedua
anak peluru tersebut 9 (sembilan) milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut
sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S &
W”..
Berdasarkan semua fakta yang telah terungkap dalam persidangan, maka
dapatlah dianalisis bahwa kejadian pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen
Iskandar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan berencana
(moord).
Pengertian pembunuhan berencana menurut kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP), tentang pembunuhna berencana diatur dalam pasa 340 KUHP
yang berbunyi: “barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan terlebih
dahulu dalam keadaan tenang menimbulkan matinya orang lain, dipidana karena
pembunuhan yang direncanakan (moord) dengan pidana mati, atau penjara
seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun”. Pembunuhan berencana yaitu
kejahatn merampas nyawa manusia lain, ataau membunuh, setelah dilakukan
perencanaan mengenai waktu atau metode, dengan tujuan memastikan
pembunuhan untuk menghindari penangkapan.173
Ada tiga pilar utama dalam hukum yang dapat dijadikan tolak ukur untuk
mengukur suatu putusan hakim, yaitu:
a. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan hukum
173
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, h. 82.
119
b. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kegunaan hukum
c. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kepasttian hukum
Dalam kerangka berfikir hukum, tentunya ketiga aspek nilai-nilai hukum
tersebut tidak dapat dipisahkan dari instrumen yang digunakan untuk dapat
tataran ketiga nilai tersebut. Dalam kerangka tiga tolak ukur di atas dalam menilai
putusan hakim, maka suatu proses hukum dalam perkara pidana haruslah
mengungkapkan sidalam-dalamya tentang fakta telah terjadinya suatu tindak
pidana dan pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan hakim.
Untuk itulah, dalam kajian putusan hakim mahkamah agung no. 1429
K/PID/2010. Yang mengfokuskan pada penilaian terhadap fakta persidangan dan
pertimbangan dalam putusan tersebut dengan mengacu pada tiga tolok ukur
diatas. Analisa selanjutnya ditinjau dari berbagai aspek
a. Aspek keadilan hukum
Berdasarkan fakta di persidangan yang ada dalam putusan mahkamah
agung Jakarta no. 1429 K/PID/2010. Majelis hakim berpendapat, bahwa
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, karena itu terdakwa harus
dipidana sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini
terdakwa dikenakan pasal 340 KUHP Jo pasal 55 KUHP, sesuai dengan
dakwaan jaksa penuntut umum.
120
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim tersebut dilihat dari aspek
keadilan, dari sisi terdakwa sudah dapat dikatakan sesuai dengan nilai
keadilan, karena dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa
terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana,
sebagai mana yang didakwakan kepadanya. Sebab seluruh saksi yang
diajukan di persidangan oleh penuntut umum, melihat, mendengar, dan
mengetahui langsung perbuatan terdakwa. Terdakwa juga telah menyesali
perbuatannya dan belum pernah dihukum.174
Hakim menimbang bahwa terdakwa sudah ada perasaaan terganggu
oleh sikap korban. Karena ia sudah mempunyai isteri dan mengancam
kedudukanya sebagai ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK). Oleh
karena itu terdakwa tidak mengiginkan peristiwa pembunuhan berencana. Hal
ini dilakukan karena ketakutan terdakwa tentang hubunganya dengan saksi
Rani Juliani akan terblowup.
Dari putusan yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa tersebut
di atas, dilihat dari aspek keadilan dari sisi hakim dapat dikatakan keputusan
ini memenuhi nilai keadilan, karena keputusan itu diambil atas dasar hukum
yang pasti dapat diterima, sehingga apa yang diputuskan itu sungguh-sungguh
dapat dipertanggungjawabkan.
174
Putusan mahkamah agung no. 1429 K/PID/2010
121
b. Aspek kegunaan hukum
Aspek kegunaan hukum adalah terwujudnya ketertiban, maka berbagai
keperluan sosial manusia dalam masyarakat dapat terpenuhi. Untuk
mewujudkan ketertiban manusia memunculkan keharusan-keharusan
berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam kaidah. Ketertiban
dan kaidah yang diperkukan manusia adalah ketertiban yang otentik
menciptakan manusia secara wajar mewujudkan kepribadianya secara utuh,
yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti
apa yang secara bebas dikehendakinya.175
Dalam kasus pembunuhan berencana, dengan terdakwa Antasari
Azhar. majelis hakim berpandangan bahwa kejadian itu adalah bentuk
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. Karena itu, unsur-unsur yang
terdapat pada pasal 340 KUHP telah terbukti menurut hukum. Dengan
demikian para terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah atas dakwaan
primer dan para terdakwa dipidana dari dakwaan itu.
c. Aspek kepastian hukum
Kepastian memiliki arti ketentuan dan ketetapan. Sedangkan,
kepastian hukum memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu
manjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.176
175
Johny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Nomatif (Malang: Bayamedia, 2005),
h. 2.
176
Anton m. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
652.
122
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, pada putusan
mahkamah agung Jakarta No. 1429 K/PID/2010. Apa yang didakwakan
kepada terdakwa, yaitu dakwaan primer berupa pembunuhan berencana yang
diatur dan diancam pidana dalam pasal 340 KUHP, Jo pasal 55 (1) ke 1
KUHP. Berdasarkan hal tersebut, untuk menentukan apakah terdakwa dapat
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, sebagaimana yang didakwakan
dinyatakan bersalah melaksukan tindak pidana, sebagaimana yang
didakwakan atasnya, terlebih dahulu harus dibuktikan dakwaan primernya.
Sebagaimana yang termuat dalam putusan mahkamah agung Jakarta
No. 1429K/PID/2010. Dakwaan primer berupa pembunuhan berencana yang
diatur dan diancam pidana pada pasal 340 KUHP. Yang unsurnya yaitu ada 2
(dua) usur yang harus dipenuhi untuk penetapan hukuman, yaitu pertama
unsur subjektif terdiri dari, unsur dengan sengaja dan dengan direncanakan
terlebih dahulu. Adapun unsur yang kedua yaitu unsur objektifnya yang terdiri
dari unsur perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain. Dalam fakta
persidangan, bahwa menurut terdakwa Antasari Azhar pembunuhan ini
dilakukan karena perlakuan korban yang selalu menteror terdakwa dengan
persilingkuhanya terhadap isteri korban. Dan terdakwa menceritakan kepada
kombes Pol Wiliardi Wizard bahwa dirinya diteror dan akan menguncang
kestabilan negara dan meminta kepada kombes Pol Wiliardi Wizard untuk
mengamankan korban. Adapun pihak-pihak yang berperan dalam
pembunuhan sengaja tersebut adalah sebagai berikut:
123
Antasari Azhar sebagai otak kejahatan dan memberikan janji kepada
Kombes Pol Wiliardi Wizar, Kombes pol Wiliardi Wizard sebagai pihak
pencari eksekusi, Sigit haryo wibisono sebagai pihak yang memberikan dana
oprasional menghabisi korban, Jerry hermawan lo sebagai pihak yang
mencarikan orang untuk mengeksikusi. Adapun pihak yang mengeksikusi
korban adalah Heri Santosa bin Rajsa alias Bagol dengan memboncengi saksi
Daniel Daen Sabon alias Danil, Fransiskus Tadon Kerans alias Amsi.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya
mengandung 3 syarat/unsur, yaitu memutuskan kehendak dalam suasana
tenang, maksudnya yakni adanya atau tersedianya waktu yang cukup, sejak
timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan unsur adanya
pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Memutuskan kehendak dalam suasana tenang maksudnya adalah pada
saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana
batin yang tenang. Suasana batin adalah suasan tidak tergesa-gesa atau tiba-
tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Dalam hal ini para
terdakwa tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba membunuh korban.
Sedangkan ada tengang waktu yang cukup, maksudnya yaitu antara
sejak waktu timbulnya atau diputuskanya kehendak sampai pelaksanaan
kehendaknya itu, waktu yang cukup ini relatif, dalam arti tidak diukur dari
lamanya waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian
kongkrit yang berlaku. Tidak terlalu singkat karena jika terlalu singkat, tidak
124
mempunyai kesempata untuk berfikir, karena tergesa-gesa, waktu demikian
sudah tidak mengambarkan suasana tenang.
Mengenai syarat yang ketiga, berupa pelaksanaan pembunuhan itu
dalam suasan batin yang tenang. Bahkan syarat yang ketiga ini banyak diakui
oleh banyak orang sebagai yang terpenting. Maksudnya suasana hati dalam
melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana tergesa-gesa, marah yang
tinggi, rasa takut yang berlebihan dan sebagainya.177
Majelis hakim dalam kontruksi dalam kasus ini, terlihat telah
menerapkan kepastian hukum, dengan melihat unusur-unsur tindak pidana.
Karena, hakim menurut peneliti telah menerapkan asas legalitas yang
diidentikkan dengan kepastian hukum. Majelis hakim juga telah memberikan
perlindungan terhadap warga negara dari tindakan kejahatan. Sebagaimana
ciri suatu negara hukum adalah adanya perlindugan hukum terhadap warga
negara. Dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 dinyatakan bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan
kesewenangan belaka. Sehingga hukumlah yang mempunyai arti yang
terutama dalam segala segi penghidupan masyarakat.
177
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, h. 84.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam syariat Islam pembunuhan pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian,
yaitu pembunuhan yang dilarang dan pembunuhan yang bisa dibebankan.
Sidangkan menurut pandangan hukum positif sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam buku II pasal 338-350 tentang
“Kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang”. Pembunuhan adalah termasuk
tindak pidana material, artinya untuk kesimpurnaan tindak pidana ini tidak
cukup dengan dilakukanya perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat juga
adanya akibat dari perbuatan itu.
2. Dalam hukum Islam penyertaan hanya dibedakan berdasarkan keikutsertaan
seseorang dalam melakukan jarimah. Apakah secara langsung atau tidak
langsung. Berdasarkan hal tersebut para fuqaha membagi penyertaan menjadi
dua golongan, yaitu: turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung.
3. Pandangan hukum Islam terhadap kasus No. 1429 K/PID/Mahkamah Agung
pada kasus pembunuhan berencana di Mahkamah Agung Jakarta tesibut,
dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena melihat terdakwa
merencanakan pembunuhan korban yang bernama Nasrudin Zulkarnaen
Iskandar.
126
4. Perbandingan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam
kasus ini yaitu:
a. Dalam hukum Islam dikenal dengan tamalu, tamalu adalah kasus pidana
yang sudah direncanakan sebelumnya. Jika jumlah perbuatan pelaku
secara langsung lebih dari satu, baik semuanya sebagai pembunuh,
maupun sebagian saja yang membunuh, atau melakukanya secara
bersamaan atau bergantian, pelaku harus bertanggung jawab sebagai
pembunuhan disengaja, selama satu perbuatannya atau beberapa
perbuatannya bisa menyebabkan kematian dan membantu terjadinya
kematian. Oleh karena itu, kejahatan ini dikategorikan sebagai
pembunuhan sengaja dan pelakunya dikenakan hukuman qishas sebagai
hukuman pokok.
b. Dalam hukum positif di Indonesia tentang ancaman hukuman terhadap
suatu kejahatan termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan jenis-jenis
pidana atau hukuman yang termaktub dalam pasal 10 KUHP. Dibagi
dalam dua bagian, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebagai sumbang pikir peneliti untuk dijadikan sebagai bahan masukkan dan
saran-saran, antara lain:
127
1. Penegak hukum hendaknya, harus bertindak secara objektif dalam
memutuskan suatu kasus, jangan sampai terinterfensi oleh kekuasaan atau
kekuatan dari politik manapun.
2. Penegak hukum harus bertindak siadil, siarif dan sibijaksana mungkin, jangan
sampai memutuskan suatu kasus orang yang bersalah menjadi benar (tidak
bersalah) dan orang yang benar menjadi terdakwa atau bersalah.
3. Penegak hukum hendaknya, memperkarakan sibuah kasus dengan pasal-pasal
atau dasar-dasar hukum yang sesuai dan relevan dengan kasus-kasus yang
sidang diperkarakan.
4. Penegak hukum hendaknya, bisa memposisikan sebagai pihak yang
independen, tidak terpengaruh oleh kekuata intimidasi, kekuasaan, materi
(tergoda dengan sogokan uang ataupun barang mewah).
Kepada masyarakat umum, hendaknya mengetahui tentang hukum yang
ada, berprilaku tertib hukum (mentaati hukum/peraturan yang ada dan tidak
melanggar hukum-hukum yang sudah ditetapkan).
128
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an Al-Kariim.
Al-Mawardi, Abu Al-Hasan. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Musthafa Al-Baby Al-
Halaby, Mesir, 1975.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2003.
Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 2007.
Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya Paramita, 1978.
Audah, Abdul Qadir. Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami. Beirut: Muatsatsah Al-Risalah,
1998.
Bassar, M. Sudrajat. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP. Bandung:
Remaja Karya, 1986.
Bin Syaurah, Abi Isa Muhammd bin Isa. Sunan At-Tirmidzi. Bairut: Dar Ma’rifah,
2002.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana bag III. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Djazuli, A. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2000.
Hadi, Sutrisno. Metode Penelitian Research. Jakarta: Adi Offset, 1990.
Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Hafiz, Imam Hafiz Abi Daud Sulaiman ibn Asy’ab Sajastany. Sunan Abi Daud.
Bairut: Dar A’lam, 2003.
Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah. Jakarta: Bulan
Bintang, 1970.
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, cet 11. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005.
129
Ibrahim, Johny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Nomatif. Malang: Bayamedia,
2005.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana bag II. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Marpaung, Laden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Moleong, Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Nasution, H. A. Hukum Pidana Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971
Nawawi, Imam. Terjemahan Riyadhus Shalihin Jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani,
1999.
Purnomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Rachmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis
Statistik.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Bandung: PT Al-Maarif, t.tt.
Sahetapy, JE. Viktimologi Sibuah Bangsa Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987.
Santoso, Topo Santoso. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung, As-Syamil, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Juz I. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bandung:
PT. Karya Nusantara, 1989
Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan
Penelitian Dalam Kajian Media dan Budaya. Bandung: PT. Bentang
Pustaka, 2006.
Suma, Muhammad Amin, dkk. Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek Dan
Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti Dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press, 2006.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Eresco
Jakarta, 1981.
130
Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung
Usman, Husni, dan Purnomo Setiadi Akbar. Metodelogi Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara, 1998.
Tresna. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Tiara Limiter, 1959.
Wardi, Ahmad Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 2005.