penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi
DESCRIPTION
dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi baik dri cara pelaporannya hingga mekanisme persidangannya.TRANSCRIPT
KATA PENGENTAR
Alhamdulliah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat berjudul
“Penyelesaian Sengketa Pemilu Di mahkamah Konstitusi” tepat pada waktunya dan kita
semua dapat membaca serta mepelajari makalah saya yang sangat sederhana ini.
Makalah ini pada mengupas pemahaman-pemahaman yang berkaitan tentang
Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Mahkamah Konstitusi yang diuraikan dan disusun secara
sistematis agar semua orang dengan mudah dapat memahaminya.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain Ibu
dosen pembimbing yaitu dan juga teman-teman yang selalu memberikan masukan kepada
saya.
Akhir kata saya mengucapkan mohon maaf karena masih banyaknya kekurangan
disana-sini yang terdapat dalam makalah ini, oleh sebab itu saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak agar kiranya dapat mencapai kesempurnaan
makalah-makalah kami diwaktu yang akan datang. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang mau mempelajarinya dengan ikhlas.
Pekanbaru, 12 Juni 2013
Penulis
INDRA WIJAYA
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................. 1
DAFTAR ISI ................................................................................. 2
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah ................................................................ 3
Rumusan masalah .......................................................................... 4
Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
BAB II
Pembahasan
A. Pelanggaran Pemilu ....................................…....……..…. 6
B. Semgketa Pemilu ............................................................... 6
C. Sengketa Hasil Pemilu ....................................................... 9
D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu ................................................................ 10
E. Alur Dan Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Pemilu ....................................... 12
F. Prosedur Pengajuan perselisiha
Di Mahkamah Konstitusi ................................................... 16
BAB III
Penutup
Kesimpulan .................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….………. 19
BAB I
2
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak adanya pengalihan kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilu dari Mahkamah
Agung (MA) pada 2008 silam atau dalam kurun waktu lima tahun, Mahkamah Konstitusi
(MK) sudah menerima sekitar 549 gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU)
Pemilu Kada. Artinya, hampir semua pelaksanaan Pemilu Kada di Indonesia berujung
gugatan di MK.
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban
menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada
29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi
menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal
236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah
Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu,
Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil
pemilukada di Indonesia.
Selanjutnya, dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam
penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudian
membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, di
samping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan
hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada, juga terdapat Hukum
3
Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008) yang menjadi landasan hukum yang bersifat
khusus bagi Mahkamah Konstitusi. Bagaimana sebenarnya Hukum Acara Penyelesaian
Perselisihan Hasil Pemilukada itu mengatur mekanisme penyelesaian sengketa atau
perselisihan hasil pemilukada di Indonesia ? Tulisan kecil ini akan membahasnya.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut1: (1) Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (2)
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (3) Memutus pembubaran
partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta satu
kewajibannya adalah Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Pemilu ?
2. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Pemilu ?
3. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Hasil Pemilu ?
4. Bagaimana Alur Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu ?
5. Bagaimana mekanisme Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi ?
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, jakarta, rajawali pers, 2010, hal 247
4
C. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan perumusan masalah, dan isi
pembahasan, maka tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui arti dari Pelanggaran Pemilu
2. Untuk mengetahui arti dari Sengketa Pemilu
3. Untuk mengetahui arti dari Sengketa Hasil Pemilu
4. Untuk mengetahui Alur Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu
5. Untuk mengetahui Mekanisme atau Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah
Konstitusi
BAB II
5
PEMBAHASAN
A. Pelanggaran Pemilu
Pelanggaran pemilu adalah semua tindakan yang menurut Undang-undang pemilu telah
keluar dari apa yang telah digariskan oleh Undang-undang tersebut
Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu
yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)2 :
1. Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan yang menurut Undang-undang Pemilu
ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/atau
denda.
2. Pelanggaran Administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dan
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu dan tidak didefinisikan
sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda.
Konsekwensi dari pelanggaran Administratif adalah tidak diikutsertakannya DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota sebagai peserta Pemilu. Pelanggaran Pemilu
diselesaikan oleh Panwaslu atau KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
B. Sengketa Pemilu
Hassil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitingan suara yang di ikuti
oleh pembagian kursi yand di perabutkan, yang di umumkan secara resmi oleh lembaga
penyelenggara pemilhan umum serng kali tidak memuaskan peserta pemilihan umum yang
tidak berhasil tampil sebagai pemenang3.
Sengketa Pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan
penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta
kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari
salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak
yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
2 Ramlan subakti dkk, penanganan Sengketa pemilu,jakarta, kemitraan Bagi Pemberuan Tata Pemerintaha, hal. 23 Ibid. Hlm. 428
6
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya adalah:
a. Penyelenggara Pemilu.
b. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan
Pimpinan Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
c. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
d. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
e. Warga Negara yang memiliki hak pilih.
f. Pemantau Pemilu.
Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai berikut4:
a. Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia Pengawas
Penerima Laporan.
b. Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima
laporan kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu oleh
Pengawas Pemilu yang berwenang.
d. Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang
berwenang.
Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat
tercapai, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Secara
Musyawarah dan Mufakat.
a. Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas Pemilu yang
berwenang menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak yang bersengketa,
dan apabila disetujui, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
b. Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu atau kedua
belah pihak yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan putusan final dan
mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu
Melalui Putusan Pengawas Pemilu.
4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
7
Suatu sengketa pemilu yang ditangani oleh pengawas pemilu telah selesai, apabila:
a. Dicapainya Musyawarah dan Mufakat sebagaimana dimaksud dalam butir 5
(sebagaimana penjelasannya diatas) yang ditandai dengan dibuatnya Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu secara Masyawarah dan Mufakat.
b. Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihak-pihak yang
bersengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai dengan Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Alternatif penyelesaian Pengawas Pemilu.
c. Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 yang
ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Putusan
Pengawas Pemilu.
Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini adalah
sebagai berikut:
a. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari
setelah laporan diterima.
b. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari
setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7
(tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
c. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari
setelah angka 2 dilakukan.
d. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling lama 3 (tiga)
hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7
(tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
e. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau
paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
f. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan paling lama 14
(empat belas) hari setelah angka 5 dilakukan.
Permohonan sengketa penyelesaian sengketa pemilu gugur, apabila:
a. Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam
pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh Pengawas
Pemilu yang berwenang dalam Berita “Berita Acara Gugurnya Sengketa”.
8
b. Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali setelah
pertemuan pertama, yang dituangkan dalam “Berita Acara Pencabutan
Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu”.
c. Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh) hari setelah
terjadinya sengketa.
C. Sengketa Hasil Pemilu
Dalam sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan
10 (sepuluh) kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan umum itu merupakan
salah bentuk dari pesta demokrasi. Dalam waktu yang relatif cukup panjang tersebut, segala
bentuk kecurangan dan/atau manipulasi yang berujung pada sengketa Pemilu, yang
merupakan persoalan yang cukup mendasar dan menjadi perhatian serius kita semua,
mengingat asas Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan
Adil (JURDIL) selalu saja diciderai dengan tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik
tertentu yang menimbulkan pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut5.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan
dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.
Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu wewenang
Mahkamah Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945.
D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu,
5 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press), 2005, hal.25
9
negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara
pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung
(MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY) . Mahkamah Konstitusi (MK)
merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk
mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan
politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang
menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan
akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang
diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai
Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The
Constitution.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai
berikut:
10
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan
setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk dalam buku
registrasi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan
selambat-lambatnya tiga hari setelah perkara tersebut masuk dalam buku registrasi
Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
E. Alur Dan Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa
Pemilu
11
Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan penyusunan
dengan segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur hal-hal
yang bersifat teknis, administratif yang meliputi antara lain: prosedur pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dan Ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
selengkapnya menyatakan, sebagai berikut “Pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan
Undang-undang”.
Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun
2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut:
1. Pemohon
a. Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Peserta Pemilihan Umum
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden,
c. Partai Politik pserta Pemilihan Umum
Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing dan
tentunya tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum di
Mahkamah Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan
umum berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu
tersebut masuk dalam kewenangan panitia pengawas Pemilu.
Permohonan sengketa pemilu yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi,
adalah hanya dapat diajukan penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat mempengaruhi:
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
12
b. Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran
kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
c. Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan umum
disuatu Daerah Pemilihan.
Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara nasional
diatas, merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh setiap pemohon,
sehingga sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan persidangan
Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak terpenuhi, maka
permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun posisi Komisi
Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak termohon.
Adapun alur dari proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut :
1. Pengajuan Permohonan pasca Penetapan KPU
a. Permohonan yang dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam
BRPK
b. Permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahu pada
Pemohon untuk diperbaiki 1 x 24 jam
c. Salinan Permohonan dikirmkan ke KPU dikirimkan paling lambat 3 hari kerja
disertai permintaan jawaban tertulisdan bukti hasil penghitungan suara yang
diperselisihkan
2. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
a. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama, paling lambat 7 hari sejak
permohonan dicatat di BRPK
b. Jawaban paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan
c. Penetapan hari sidang pertama diberitahu kepada Pemohon dan KPU paling
lambat 3 hari sebelum hari sidang;
3. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Jumlah Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim;
b. Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
13
c. Panel Hakim memberi nasihat untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan apabila terdapat kekurangan;
d. Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam waktu
1x24 jam
4. Pemeriksaan Persidangan
a. Pemeriksaan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau
Pleno Hakim dan dilakukan setelah selesainya pemeriksaan pendahuluan;
b. Tahapan pemeriksaan meliputi:
• Jawaban Termohon;
• Keterangan Pihak Terkait;
• Pembuktian oleh Pemohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
• Kesimpulan;
c. Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah dapat memanggil:
• KPU Provinsi;
• KPU Kabupaten/ Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota;
d. Mahkamah dapat menetapkan Putusan Sela;
5. Pembuktian
a. Surat atau Tulisan;
(i) Berita Acara dan Salinan Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD di
tempat Pemungutan Suara (TPS);
(ii) Berita Acara dan salinan Rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta
Pemilu dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dari Panitia Pemilihan
Kecamatan;
(iii) Berita Acara dan salinan Rekapitulasi hasil penghitungan suara partai
politik peserta Pemilu dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dari
KPU Kabupaten/ Kota;
(iv) Berita Acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota
DPR, DPRD Kabupaten/ Kota;
(v) Berita Acara dan salinan Rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
Provinsi;
(vi) Berita Acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara Anggota
DPRD provinsi;
14
(vii) Berita Acara dan salinan Rekapitulasi penghitungan suara dari KPU;
(viii) Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara
nasional Anggota DPR, DPD dan DPRD dari KPU
(ix) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta pemilu dan
calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD kabupaten/
kota;
(x) Dokumen tertulis lainnya;
(xi) Bukti Surat atau tulisan tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan
obyek perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah
b. Keterangan saksi;
(i) Saksi resmi peserta Pemilu;
(ii) Saksi Pemantau Pemilu bersertifikat;
(iii) Saksi lain yang dipanggil Mahkamah;
Saksi dimaksud harus melihat, mendengar atau mengalami sendiri proses
penghitungan suara yang dimaksud;
c. Keterangan Ahli;
d. Keterangan Para Pihak;
e. Petunjuk; dan
f. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eelektronik;
6. Rapat Permusyawaratan Hakim
7. Putusan
Ada beberapa jenis putusan, yaitu sebagai berikut:
a. Permohonan tidak dapat diterima
Alasannya: permohonan tidak memenuhi sayarat sebagiaman disebut dalam pasal
3 ayat (1) dan/ atau Pasal 5 dan/atau Pasal 6 ayat (1);
b. Permohonan ditolak
Alasanyya permohonan terbukti tidak beralasan
c. Permohonan diterima
Alasannya permohonan terbukti beralasan dan selanjytnya Mahkamah
membatalkan hasil penghitungan suara Kpu seerta menetapkan hasil penghitungan
suara yang benar
15
F. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi
Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut
yang secara administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang
memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang
ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua
belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan
hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan
Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa:
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a. calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan
kuasanya
c. Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat
partai politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat antaranya:
a. Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon
seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain
meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu
pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai politik dan
perseorangan calon anggota DPD).
2. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan
melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana
dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
3. Uraian yang jelas tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon
16
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar
menurut pemohon.
4. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan
tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan
suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap jenjang
penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap 12
(dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasi. Apabila
pemohon berkehendak mengajukan saksi dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae
saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama permohonannya.
5. Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga
kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil
pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5
ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka
waktu pengajuan permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga
dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa
permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk
diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana
dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan
bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan permohonan,
baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan antar
lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara
ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat,
Mahkamah Konstitusi.
17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pelanggaran Pemilu
Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang
Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran
pidana dan pelanggaran administrasi.
2. Sengketa Pemilu
Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran
antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan
atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah
satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang
lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.
3. Sengketa Hasil Pemilu
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang
berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada
hasil pemilu.
4. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk
mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan
kehidupan politik. Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu
18
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta, rajawali pers, 2010
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2005
Nurtjahjo, Hendra, Politik Hukum TataNegara Indonesia, Jakarta, PSHTN-FHUI,2004
Soedarsosno, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilu 2004 Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekeretariat Jendra Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 1998
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
19