implementasi peraturan mahkamah konstitusi nomor …
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH
KONSTITUSI (STUDI KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013)
SKRIPSI
Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Sutan Sorik 130200204
Departemen Hukum Tata Negara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas nikmat Iman, Islam dan ridho-Nya
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam kepada Nabi
Besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan untuk sekalian alam.
Skripsi ini berjudul “Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
(Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor
01/MKMK/X/2013)” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekurangan
dalam penulisan skripsi ini, semoga kedepannya penulis dapat lebih memperbaiki
karya ilmiah penulis, baik dari segi substansi maupun metodologi penulisan.
Alhamdulillah, Penulis mendapat banyak doa, semangat, motivasi, saran, dan
dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu
pada kesempatan ini, izinkan penulis menyebutkan beberapa nama, dengan setulus
hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak. Prof. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Faisal Akbar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I
penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam
memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini;
8. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., MA. selaku Dosen Pembimbing II penulis
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan
bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini;
9. Seluruh Dosen Departemen Hukum Tata Negara yang telah memberikan
banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik kepribadian penulis;
10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan
mendidik kepribadian penulis;
11. Teristimewa kedua orang tua penulis, Ayahanda Hasim Muda Hasibuan
dan Ibunda Elvi Nur Nasution yang telah membesarkan, mendidik, dan
mencurahkan kasih sayang serta doa agar penulis menjadi manusia yang
bermanfaat bagi agama, keluarga, negara, dan sesama manusia lainnya.
Universitas Sumatera Utara
12. Saudara laki-laki dan perempuan penulis sekaligus sahabat berjuang dalam
hidup, Aliun, Raja, Zai, Sultan, Nur Hapidah Hasibuan S.Sos, Ruspa
Hasibuan, S.Pd., Norma Wahani, Suaibah dan juga seluruh keluarga besar
penulis, terimakasih atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.
13. Sahabat seperjuangan di Hijau Hitam kader 2013, Muhammad Fazli
Lubis, Ahmad Fadli Hasibuan, Nur Liza Br Angkat, Galuh Eka,
Rayyanda, Bagus Salam Siregar, Siti Rizki Midana, Wahyuzi, Syifa, Siti
Madina, Dina Afriana, Sofyan, Bahrin, Ghazali, Ilkham, dan sahabat-
sahabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
14. Semua pengurus periode 2013-2014, Abangda Hary Azhar, Ihsan, Yusuf,
Kakanda Izma, Nurul, pengurus periode 2015-2016 Angda Fairuz, Kaya,
Rizki, Kakanda Rafika, Nanda, Suci, beserta kakanda, senioren dan alumni
Himpunan Mahasiswa Islam yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Bahagia HMI, Jayalah Kohati (Yakusa !!!)
15. Semua pengurus Pemerintahan Mahasiswa FH USU periode 2014-2015
kabinet Pekerja, terkhusus jajaran bidang eksternal.
16. GSku dalam suka dan duka yang telah menjadi teman diskusiku selama
kuliah di FH USU, Fazli, Liza, Una, Dara, Eci, Ica, Bunga, Denny,
Yohana.
17. Semua pengurus PERMATA periode 2016-2017 yang telah memberikan
banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar pemikiran-pemikiran
kepada penulis.
Universitas Sumatera Utara
18. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang tak bisa penulis
sebutkan satu-persatu terutama stambuk 2013 Grup B FH USU, baik
dalam organisasi-organisasi kemahasiswaaan maupun di kelas yang telah
memberikan banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar
pemikiran- pemikiran kepada penulis.
19. Seluruh Dosen dan sahabat-sahabat penulis di bumi Airlangga (Excellent
With Morality).
20. Seluruh senior-senior dan alumni mahasiswa yang tak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang telah banyak menurunkan ilmu akademik dan
non akademik kepada penulis;
21. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
22. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Indonesia yang pernah berjumpa dengan
penulis untuk dapat bertukar pemikiran dan pengalaman melalui Lomba
Karya Tulis Ilmiah, Debat dan Konferensi Nasional.
Medan, 03 Januari 2017
Penulis
Sutan Sorik
NIM. 130200204
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I : PENDAHULUAN ………………….………………..…………….... 1
A. Latar Belakang ………………………………………..…………… 1
B. Perumusan Masalah ………………………...…...……………….. 15
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan …………………………………... 16
D. Keaslian Penulisan …………………………………….……...….. 17
E. Tinjauan Kepustakaan ………………………………….………… 18
F. Metode Penelitian ……………………………………………...… 21
G. Metode Pengumpulan Data ………………………….…………… 28
H. Sistematika Penulisan………………………………….….……… 29
BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI ………………………..…………… 31
A. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah
Konstitusi ……...………………………………………..……...... 31
1. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah
Konstitusi di Dunia ………..…..……...………….……………. 31 2. Sejarah Pembentukan Kelembagaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia ..……..……..…………………………. 33
B. Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia …...… 38
Universitas Sumatera Utara
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……….........… 38
2. Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……………...…….. 39
C. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
di Indonesia ……………..………………………..…………….… 41
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……….....….. 41
2. Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……………..… 53
D. Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi
di Indonesia ……………….………………………………...…… 54
1. Pengangkatan Hakim Konstitusi …………..…….…………..… 54
2. Pemberhentian Hakim Konstitusi ……………..…………….… 56
BAB III : MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI ….... 58
A. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi …………………..…… 58
B. Dewan Etik Hakim Konstitusi ……………………………...……. 67
A. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Sebagai
Alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi …..…….. 72
BAB IV : IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG
MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013 …… 87
A. Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Dalam Memeriksa dan Mengambil Keputusan
Universitas Sumatera Utara
Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Nomor 01/MKMK/X/2013………………………………..……… 89
B. Analisa Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ………………………..….. 91
BAB V : PENUTUP …………………………………………………............ 116
A. Kesimpulan………………………………………………….…... 116
B. Saran ……………………………………………….…………… 120
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…… 121
Universitas Sumatera Utara
IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH
KONSTITUSI (STUDI KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013)
ABSTRAK
Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum.1
Drs. Nazaruddin, S.H., M.A.
2
Sutan Sorik
3
1Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara
Sebagai negara demokrasi praktek penegakan hukum haruslah fair, jelas dan tegas. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan hakimnya. Sejak dibentuk pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki permasalahan dalam aspek pengawasan hakimnya. Terbukti dengan tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi aktif oleh komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 2 Oktober tahun 2013 dengan dugaan tindak pidana korupsi.
Skripsi ini membahas tentang implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan menganalisis keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yaitu Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013 atas nama Hakim terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.,. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penerapan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dianalisis dengan Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013 untuk menemukan jawaban secara komperhensif dan kongkret terhadap permasalahan pada skripsi ini. Dari analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan adalah kebebasan hakim untuk menjalankan fungsi, kewenangan, serta kewajibannya merupakan hal yang mutlak harus dimiliki, akan tetapi demi manjamin kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi, sebagai syarat yang harus dipenuhi Hakim Konstitusi sebelum terpilih menjadi Hakim Konstitusi, yaitu: memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta negarawan tetap terjaga, sehingga kebebasan tersebut tidak disalahgunakan menjadi tameng hukum oleh Hakim Konstitusi maka harus ada mekanisme mempertanggungjawabkan setiap perbuatan Hakim Konstitusi melalui pengawasan.
Penetapan PMK Nomor 2 Tahun 2014 memberikan kepastian hukum dan tidak terjadi kekosongan hukum, dan serta memberikan kejelasan lembaga pengawas perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga kedepannya pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tidak terjadi lagi, serta anggapan tirani yudisial, dan tirani kekuasaan kehakiman yang dijalankan Mahkamah Konstitusi secara monopolistik tidak benar-benar terjadi di Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk
selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945, menegaskan bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.4 Selain
itu UUD NRI 1945 juga menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.5
Dalam negara hukum yang pokoknya adalah adanya pembatasan kekuasaan
oleh hukum,
6 sebagaimana slogan yang disampaikan Mochtar Kusumaatmadja
yang dikutip Ellydar Chaidiri dalam bukunya yang berjudul Hukum dan konstitusi
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman”7, dan sebagaimana juga dalil termasyhur Lord Action yang
menyatakan bahwa, “power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely”. Pemerintah selalu diselenggarakan oleh manusia dan pada manusia
itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan, untuk itu perlu membatasi
kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan dalam negara haruslah dipisah dan
dibagi8
4Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. 5Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. 6Fatkhurohman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. h.7 7Ellydar Chaidiri, Hukum dan Konstitusi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, h.
46.
kedalam kekuasaan tertentu. Pembatasan kekuasaan pemerintah juga harus
8Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa prinsip anutan paham pemisahan atau pembagian kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan negara secara keseluruhan,Mterutama dalam hubungannya dengan penerapan prinsip Checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara termasuk dalam
Universitas Sumatera Utara
tunduk pada kehendak rakyat dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum
pada tingkat tertinggi yang disebut konstitusi9
Menurut tafsiran kuno, konstitusi diartikan sebagai nama bagi ketentuan-
ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang
tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, atau suatu badan tertentu.
Misalnya di masa-masa pemerintahan kerajaan absolute “konstitusi” itu diartikan
sebagai kekuasaan perorangan yang tak terbatas dari sang Raja.
.
10 Sedangkan
menurut tafsiran yang baru yaitu dimulai sejak tahun 1776 berdasarkan dokumen
konstitusi pertama di dunia dalam bentuk Virginia Bill of Rights, kemudian
disusul oleh Konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787.11
Dalam perkembangan pemahaman tentang konstitusi, lahirlah berbagai
teori-teori tentang konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman
tentang pengertian paham “konstitusionalisme”
12 yang intinya memiliki arti
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggara
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, demi menjamin hak-hak warga
negara terlindungi.13
fungsi kekuasaan kehakiman. Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011. h. 19.
9Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, April 2013. h. 117.
10M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 2008. h. 29. 11Ibid, h. 30.
12Konstitusionalisme Menurut Carl J. Friedrich adalah sebuah gagasan yang menganggap pemerintah sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada pembatasan-pembatasan Konstitusional sebagai jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintah tersebut tidak disalah gunakan oleh mereka yang mendapat tugas dari pemerintah. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. h.88
13Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi Ed.Revisi-6, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 19.
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori klasik mengenal istilah pemisahan kekuasaan (separation of
power) yang dikenal dengan sebutan Trias Politika dari Montesquieu. Inti dari
teori Trias Politika adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan
menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan
Eksekutif, dan Kekuasaan Yudikatif.14 Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif
harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting.
Pemikirannya tersebut dikarenakan pengalamannya sebagai hakim, di mana
kekuasaan yudikatif menurutnya sangat berbeda dengan kekuasaan ekskutif.15
14Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepanitraaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. h. 7.
15Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta , 2009, h. 12.
Keberadaan kekuasaan yudikatif atau biasa disebut kekuasaan kehakiman dalam
suatu negara hukum merupakan suatu keharusan untuk dapat mewujudkan
penegakan hukum itu sendiri.
Di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 teori pemisahan kekuasaan
sebagaimana yang dikemukakan Montesquieu tidak dianut secara mutlak dalam
UUD NRI 1945. Hal ini dapat dilihat dari pembagian kekuasaan yang ada dalam
UUD NRI 1945. Dalam UUD NRI 1945 terlihat jelas bahwa selain menganut
pembagian kekuasaan akan tetapi juga menekankan adanya check and balance
antara lembaga tinggi negara misalnya dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) yaitu
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Lembaga-lembaga negara mempunyai tugas dan kewenangan
konstitusioal masing-masing, sesuai dengan yang telah diatur dalam UUD NRI
1945.
Universitas Sumatera Utara
Namun walaupun setelah perubahan UUD NRI 1945 tidak mengenal
pembagian kekuasaan secara mutlak, berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya
lembaga-lembaga tinggi negara masih dapat digolongkan menjadi tiga golongan
besar yaitu kekuasaan dibidang Legislatif, Kekasaan Eksekutif, dan Kekuasaan
Yudikatif.
Salah satu materi muatan UUD NRI 1945 setelah perubahan ketiga yang
paling mendasar adalah dibidang kekuasaan yudikatif. UUD NRI 1945 membagi
kekuasaan dibidang yudikatif dalam dua kamar (bicameral) yaitu; Mahkamah
Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24
ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kemudian pada ayat (2) diperjelas lagi bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah “Mahkamah Agung” dan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah “Mahkamah Konstitusi”.
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman disamping Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) dan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut dan Mahkamah Konstitusi
juga terikat dengan prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka tanpa campur tangan dan pengaruh dari pihak manapun untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. hal ini
sejalan dengan pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan
bermartabat.16
Pada hakikatnya, fungsi utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah
untuk mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of
constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of
constitutions).
Berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945 Mahkamah
Konstitusi harus dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003.
Sebelum tanggal 17 Agustus Tahun 2003, tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003,
Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan yaitu Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316) untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini
disebut dengan UU No. 24 Tahun 2003. Waktu pengesahan UU No. 24 Tahun
2003 inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi.
17
16
Dalam Konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua,
Mahkamah Konstitusi mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung
jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan
http://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/422-putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-dan-masa-depan-komisi-yudisial.html. Diakses tanggal 4 September 2016, pukul 20:30 WIB.
17Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 221-222
Universitas Sumatera Utara
mewarnai keberlangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Dengan fungsi
dan kewenangan tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting
dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena
segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur
dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan juga bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki
satu kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), untuk selanjutnya dalam
penulisan skripsi ini disebut dengan UU No. 8 Tahun 2011, menjelaskan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Undang-Undang ini mencakup pula hukum mengikat (final and binding).
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh
Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 3
(tiga) orang oleh Presiden.18 Walaupun cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan
Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga tersebut diatas yaitu MA,
DPR, dan Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003, namun pencalonannya harus dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif, serta pemilihannya harus dilaksanakan secara objektif dan
akuntabel.19
Kesembilan Hakim Konstitusi merupakan pejabat negara, serta mempunyai
masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu
kali masa jabatan berikutnya.
20 Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.21
Sebagai Negara demokrasi praktek penegakan hukum haruslah fair, jelas
dan tegas. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip
persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan
hakimnya, yang bertujuan untuk dapat memelihara kehormatan dan keluhuran
martabat seorang hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. Maka
menurut Ahmad Fadlil harus dibentuk Kode Etik dan Perilaku Hakim yang
merupakan instrumen dan sekaligus tolok ukur yang harus terimplementasikan di
18Ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 19Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 20Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 21Ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945
Universitas Sumatera Utara
dalam pelaksanaan tugas yudisialnya maupun diluar itu.22
Walaupun sudah terbentuk Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, akan
tetapi menurut Nietzsche sebagaimana dikutip Ansyahrul dalam bukunya
Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum
Acara, manusia itu merupakan mahkluk yang kontradiktoris dan kompleks. Secara
emosional mampu melakukan kejahatan-kejahatan justru karena mampu hidup
dalam keadaan yang persis berlawanan dengan kejahatan tersebut, yakni
keutamaan (virtue). Keutamaan menjadi tidak nyata seandainya ia tidak memiliki
alternatif yang berlawanan yaitu kejahatan (evil), ketika manusia memasukan
konsep moralitas pada dirinya, maka akan ada kemungkinan juga kecenderungan
untuk bertindak immoral.
Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi inilah yang harus dapat dibentuk dan dipertahankan untuk
selalu memiliki karakter ideal seorang Hakim Konstitusi. Oleh karenanya pada
tahun 2006 Kode Etik Hakim Konstitusi telah dibentuk dan termuat dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006. Selanjutnya disebut
dengan PMK No. 09/PMK/2006.
23
Dengan demikian sebagai seorang manusia normal, maka Hakim Konstitusi
memiliki kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim tersebut.
Oleh karenanya, kekuasaan kehakiman mutlak harus diawasi karena menyangkut
pertaruhan atas kehormatan dan independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Akan tetapi penerapan konsep pengawasan kekuasaan kehakiman tidak boleh
22Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Setara Press, Jakarta Timur, 2001, h. 217.
23Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, h. 213
Universitas Sumatera Utara
absolut alias harus diletakkan dalam konteks tidak bebas mutlak, tetapi harus
tetap dipertanggungjawabkan.
Untuk mencapai hasil yang ideal, maka dalam melakukan pengawasan
tidak dapat hanya mengandalkan pada orang, tetapi harus dibentuk suatu sistem
pengawasan yang jelas dan tegas, dan sistem pengawasannya tetap harus dalam
koridor konsep yang menjaga independency of judiciary (kekuasaan kehakiman
yang merdeka/mandiri).
Ada sejumlah alasan yang mendasari pentingnya penegasan gagasan untuk
menerapkan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman baik Hakim Mahkamah
Agung maupun Hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu24
a) Ada realitas sosial berupa situasi hukum dan penegakan hukum yang telah melahirkan ketidakpercayaan masyarakat secara luas (social distrust) terhadap kinerja penegakan hukum terutama oleh hakim melalui putusan-putusannya yang “janggal” atau bernuansa ketidak adilan.
:
b) Khusus pentingnya pengawasan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi, adalah dilatarbelakangi oleh dimilikinya kekuasaan kehakiman oleh mereka secara absolute konstitusional (dalam arti putusannya bersifat pertama dan terakhir). Padahal setiap manusia termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak obyektif dan tidak professional.
c) Untuk meletakkan kehormatan dan martabat hakim Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan dari Kode Etik dan Perilaku dari Hakim
Konstitusi inilah yang dapat menjamin agar Hakim Konstitusi menggunakan
kekuasaanya sebagaimana idealnya.
Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi pertama kali diawasi oleh Komisi
Yudisial, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 tahun
24 Universitas Islam Indonesia, “Sistem Pengawasan & Kode Etik Hakim Konstitusi”, http://pascasarjanahukum.uii.ac.id/content/view/43/50/, dikunjungi terakhir kali pada tanggal 06 September 2016.
Universitas Sumatera Utara
2004 tentang Komisi Yudisial juncto Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Komisi
Yudisial berwenang melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
Hakim. Namun kewenangan Komisi Yudisal dalam mengawasi Hakim Konstitusi
dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.
Inkonstitusionalitas pengawasan Komisi Yusidial menurut Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya didasarkan pada dua legal reasioning utama, yaitu
problematika interpretasi pembentuk konstitusi (original intent) dan sistematis,
yang keduanya menurut mahkamah terjadi inskonsistensi antara penormaan Pasal
24B ayat (1) UUD NRI 1945 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman terkait pelaksanaan wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sehingga
pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi dikualifikasikan
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Untuk selanjutnya guna menghindari kekosongan hukum dan lembaga
pengawas perilaku Hakim Konstitusi, setelah perubahan UU No. 24 Tahun 2003
dibuatlah penormaan untuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, yaitu
berdasarkan Pasal 27A ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:
Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis kehormatan Konstitusi yang beranggotakan terdiri atas: a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang Komisi Yudisial c. 1 (satu) orang dari unsur DPR
Universitas Sumatera Utara
d. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum; dan d. 1 (satu) orang hakim agung.
Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-
IX/2011 pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Mahkamah berpendapat adanya unsur DPR, unsur pemerintah, dan hakim agung
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah dan
Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-1X/2011
tersebut pengawasan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tidak ada lagi.
Maka secara internal, Mahkamah Konstitusi membentuk Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun
2013, untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut PMK No. 1 Tahun
2013, beranggotakan lima orang, terdiri dari unsur Hakim Konstitusi, komisioner
Komisi Yudisial, mantan pimpinan lembaga negara, mantan Hakim
Konstitusi/Hakim Agung dan Guru Besar Senior Ilmu Hukum. Berdasarkan pasal
12 PMK No. 1 Tahun 2013 ini, Majelis Kehormatan ini dibentuk apabila ada
permintaan hakim terlapor, dan laporan informasi dari masyarakat.
Pada tanggal 2 Oktober 2013 terjadi peristiwa yang mengejutkan banyak
rakyat Indonesia, yaitu tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi aktif
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan tindak pidana korupsi. Atas
peristiwa tersebut seakan mementahkan legal reasioning Putusan Makamah
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, serta memberikan jawab atas dugaan tidak
efektifnya lembaga pengawas internal dalam lembaga peradilan.25
Berbeda dengan spirit Perppu No. 1 Tahun 2013 yang mendorong
keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan,
Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas keterlibatan Komisi Yudisial
ditandai dengan dibentuknya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2013 tentang Dewan Etik, untuk selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut
dengan PMK No. 2 Tahun 2013, Pada saat Pembentukan PMK No. 2 Tahun 2013
tersebut, membuat masyarakat mempertanyakan keberadaan Dewan Etik
dikarenakan mengenai waktu pembentukan Dewan Etik. Kenapa Dewan Etik
baru dibentuk pada tahun 2013 padahal Mahkamah Konstitusi sudah terbentuk
dari tahun 2003, siapa yang menjadi penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi beberapa tahun belakangan. Jika tidak ada, maka tidaklah
mengherankan ketika Ketua Mahkamah Konstitusi pada saat itu kena operasi
Dengan kejadian tersebut oleh Presiden Republik Indonesia menganggap
peristiwa tersebut merupakan kondisi yang memenuhi kaidah hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD NRI
1945. Demi menyelamatkan lembaga Mahkamah Konstitusi Presiden mengambil
langkah konstitusional dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut
dengan Perppu No. 1 Tahun 2013.
25Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Leip-MA, 2003, h. 93
Universitas Sumatera Utara
tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Tahun 2013 yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi. Karena memang pada selama ini tidak
ada institusi yang secara permanen melakukan pengawasan Hakim Konstitusi
untuk menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Permasalahan selanjutnya adalah munculnya berbagai anggapan negatif di
masyarakat yang berpandangan pembentukan Dewan Etik merupakan reaksi
terhadap dibentuknya Perppu No. 1 Tahun 2013, yang mengatur perbaikan sistem
pengawasan Hakim Konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
yang dipermanenkan.
Hal yang lebih mengejutkan publik lagi hanya berselang dalam jangka
waktu kurang dari satu bulan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493), untuk selanjutnya dalam
penulisan skripsi ini disebut dengan UU No. 4 Tahun 2014, Mahkamah Konstitusi
pada hari Kamis, 13 Februari 2014 mengabulkan permohonan pengujian UU No.
4 Tahun 2014 dengan Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian UU
No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan bahwa UU
No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD NRI 1945, tidak mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kekuatan hukum mengikat serta memberlakukan kembali UU No. 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.26
Konsekuensi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 1-2/PUU-XII/2014
tersebut adalah keberadaan lembaga rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi atau
panel ahli, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi , dan syarat-syarat lain
yang diatur dalam Perppu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
mengikat. Dengan demikian, penghapusan kembali lembaga pengawas perilaku
Hakim Konstitusi dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum di Mahkamah
Konstitusi, yang memungkinkan dapat menyuburkan “tirani yudisial”, dan “tirani
kekuasaan kehakiman”, yang dijalankan Mahkamah Konstitusi.
27
Oleh karena itu penulis tertarik membahas masalah ini dengan mengangkat
judul “Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014
Namun untuk menjaga kepastian hukum, agar tidak terjadi kekosongan
hukum dan lembaga pengawas Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi mengeluarkan kembali peraturan mengenai Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Kehormatan Mahkamah Konstitusi, untuk selanjutnya dalam
penulisan skripsi ini disebut dengan PMK No. 2 Tahun 2014. Dalam peraturan
tersebut, tepatnya pada BAB XVII Pasal 78 menyatakan bahwa PMK No. 1 tahun
2013 dan PMK No. 2 Tahun 2013 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
26Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014. h. 121-122 27Muhtadi, Politik Hukum Pengawasan Hakim Konstitusi, Fakultas Hukum,
Universitas Lampung, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 3, Juli-September 2015. h. 321
Universitas Sumatera Utara
Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013).
Penulis mencoba membahas lebih lanjut bagaimana sebenarnya penerapan
PMK No. 2 Tahun 2014. Dengan menganalisa keputusan yang telah pernah
dikeluarkan oleh Majelis Mahkamah Konstitusi terhadap dugaan laporan dan
informasi yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Dimana kasus dan keputusan
tersebut sepengetahuan penulis sampai saat ini merupakan satu-satunya kasus
pelanggaran berat yang dilakukan Hakim Konstitusi sejak berdirinya Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2013, dan satu-satunya keputusan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, baik sebelum maupun sesudah ditetapkannya PMK No. 2
Tahun 2014 tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis hendak mengangkat masalah ini
menjadi fokus dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membatasi hanya
membahas dengan terperinci implementasi peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014 terhadap keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 agar permasalahan yang akan dibahas
tidak terlalu melebar. Setelah mengulas beberapa pokok pikiran diatas, maka perlu
kiranya penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan sebagai kerangka
acuan dalam skripsi ini sehingga diharapkan alur pemikiran serta kesimpulan yang
diperoleh pada akhir penulisan dapat dengan mudah dipahami.
Adapun beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana Sejarah, Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Kewajiban
Mahkamah Konstitusi, Serta Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim
Konstitusi Sebagai Salah Satu Bagian Dari Kekuasaan Kehakiman
Menurut UUD NRI 1945 ?
2. Bagaimana Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi, Dewan Etik Dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Dalam Menjaga Dan
Menegakkan Kehormatan, Keleluhuran Martabat, Serta Kode Etik Hakim
Konstitusi Sebagai Lembaga Penegak Kode Etik Dan Perilaku Hakim
Konstitusi ?
3. Bagaimana Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
a) Mengetahui kedudukan, fungsi, wewenang, serta kewajiban Mahkamah
Konstitusi, serta Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi
sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman menurut UUD
NRI 1945.
b) Mengetahui tugas dan wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi sebagai alat penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
c) Mengetahui implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 Terhadap Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013
2. Manfaat Penulisan
Adapun Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang
penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :
a) Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep pemikiran yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
Hukum Tata Negara, khususnya yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dan kiranya tulisan ini nantinya dapat
menjadi sebagai bahan referensi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan Departemen Hukum Tata Negara.
b) Manfaat praktis
1) Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi
Pemerintah dan kalangan masyarakat luas.
2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam bidang
Mahkamah Konstitusi.
3) Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
serta pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.
4) Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah
wawasan dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara, khususnya yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi serta pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang penulis ketahui melalui penelusuran skripsi di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi meyangkut
Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013) sampai saat ini belum ada.
Oleh karena itu, penulis memberanikan diri untuk menulis suatu karya
ilmiah yang membahas mengenai Penerapan PMK No. 2 Tahun 2014 dengan
menganalisa suatu Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang
pernah ada yaitu Keputusan Nomor 01/MKMK/X/2013. Ide pokok penulisan
skripsi ini berasal dari pemikiran penulis sendiri, sebab keberadaan PMK No. 2
Tahun 2014 ini masih sangatlah baru sehingga penulis merasa tertarik ingin
membahasnya lebih dalam. Oleh karena itu penulis menuangkan dalam suatu
karya ilmiah, skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Mahkamah Konstitusi
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden,
yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga)
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
Kemudian dalam Pasal 24C ayat (5) ditegaskan bahwa ke 9 (sembilan) orang
Universitas Sumatera Utara
anggota hakim Mahkamah Konstitusi tersebut harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan
negarawan, dibentuklah suatu Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang
berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan
tugasnya. Dengan tujuan agar Hakim Konstitusi tidak ada yang diberhentikan
secara tidak hormat. Hal ini diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode
Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Meskipun telah dibentuk Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi, sebagai seorang manusia normal maka Hakim Konstitusi memiliki
kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilakun Hakim tersebut. Dengan
demikian Hakim Konstitusi mutlak harus diawasi, untuk mencapai hasil yang
ideal, maka dalam melakukan pengawasan tidak dapat hanya mengandalkan pada
orang, tetapi harus dibentuk suatu lembaga pengawasan yang jelas dan tegas.
2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pertama kali disebutkan pada
Pasal 23 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003, yaitu: “Permintaan pemberhentian
dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi. Namun Majelis Keormatan Mahkamah Konstitusi baru didefinisikan
dan diatur lebih spesifik setelah ditetapkan UU No. 8 Tahun 2011.
Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2011 memberikan definisi, yang
menyatakan bahwa: “Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi adalah perangkat
yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan
merekomendasikan tindakan terhadap Hakim konstitusi, yang diduga melanggar
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Kemudian pada Bab IVA Pasal 27A ayat (2) menyatakan bahwa: untuk
menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi maka dibentuk
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya terdiri dari:
a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang dari unsur DPR; d. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum; dan e. 1 (satu) orang hakim agung.
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU/IX/2011 pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
RI 1945.
Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kemudian secara
spesifik dibentuk pada tanggal 21 Maret 2013 melalui PMK No. 1 Tahun 2013.
Namun Peraturan tentang Majelis Kehormatan ini tidak berlaku lama, hanya
berlaku berlaku sekitar kurang dari satu tahun. Pengaturan Majelis Kehormatan
kemudian diatur dalam PMK No. 2 tahun 2014.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PMK No. Tahun 2014 menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh
Mahkamah konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keleluhuran
martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai
dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.
3. Implementasi
Kata “Implementasi” disadur dari bahasa Inggris yaitu “Implementation”
yang artinya adalah “Pelaksaaan” sebagai kata bendanya, dan “Implement” yang
artinya “melaksanakan” sebagai kata kerjanya.28
Metode adalah cara kerja untuk memahami atau mawas objek yang menjadi
Dalam skripsi ini implementasi
didefinisikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan dari suatu kewenangan
yang ada dalam suatu lembaga negara, dalam hal ini adalah pelaksanaan
kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang
diberikan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 yang
menegaskan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan Kode Etik
Hakim Konstitusi terkait dengan dugaaan pelanggaran berat yang dilakukan
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, terkhusus terhadap Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 yang menjadi
pembahasan penulis.
F. Metode Penelitian
28Jhon M Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Jakarta, 1996. h. 313.
Universitas Sumatera Utara
sasaran ilmu yang bersangkutan.29 Menurut Peter R. Senn,30 sebagaimana dikutip
Bambang Sunggono dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Hukum
“metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki
langkah-langkah yang sistematis”, untuk lebih memahami mengenai metode
dapat dilihat dari peranan metode dalam penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan sebagai berikut31
1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap;
:
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner;
4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal yang mengkaji hukum
yang dikonsepkan sebagai kaidah perundang-undangan menurut doktrin
Positivisme,32 atau penelitian normative. Menurut Johny Ibrahim,33
29M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 21.
30Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, h. 46.
31Soerjono Soekanto (a), Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, h. 7. 32Soetadyo Wigjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
HUMA, Jakarta, 2002, h. 147-160. 33Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia
Publishing, 2005, h. 47.
“Penelitian
Hukum Normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.”
Sedangkan, ilmu hukum (normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau
Universitas Sumatera Utara
menawarkan penyelesaian terhadap masalah kongkret.34
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma, dan berhenti pada lingkup
konsepsi hukum, asas hukum, dan kaidah peraturan atau substansi hukum,
35
karena merupakan penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan taraf
sinkronisasi horizontal36 berbagai peraturan perundang-undangan terkait
Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Penelitian
ini bersifat deskriftif analitis karena mendeskripsikan dan memberikan data seteliti
mungkin37
Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan,
dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari pelbagai
mengenai Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait kemudian
menganalisa data tersebut dalam rangka mengkaji Implementasi Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi terhadap keputusan yang pernah dikeluarkan terkait
pelanggaran berat yang dilakukan hakim konstitusi yaitu Keputusan Nomor
01/MKMK/X/2013.
2. Pendekatan Masalah
34Ibid. h. 53. 35Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, Cetakan 1, PT.
Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 2010, h. 28. 36Soerjono Soekanto (b), Pengantar Pelitian Hukum, Cetakan 3, UI Press, Jakarta,
1986, h. 50-51. 37Ibid, h. 9-10.
Universitas Sumatera Utara
aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya,38
antara lain39
a) Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach)
:
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akadmis, penliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam undang- undang itu dan dapat menyimpukan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.
b) Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus- kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.
c) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi.
3. Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada
penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki
ciri-ciri umum sebagai berikut40
a) Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made);
:
b) Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh
38Peter Mahmud Marzuki, Penelitain Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h. 93.
39Ibid. hlm. 95. 40Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1995, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
peneliti- peneliti terdahulu; dan c) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu
dan tempat.
Jenis data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian hukum normatif
ini adalah terdiri dari41
a) Bahan Hukum Primer
:
Bahan hukum primer merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang
bersifat normative seperti peraturan perundang-undangan, keputusan maupun
ketetapan dari lembaga yang berwenang. Dalam penulisan skripsi ini
menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan
regulasi yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan
Konstitusi , yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316) sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran Negara
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358) Telah Dicabut dan
41Soerjono Soekanto (b), Op.Cit., h. 52.
Universitas Sumatera Utara
Diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4415) sebagaimana telah
dirubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5250).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang. (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5493).
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Kode Etik Dan Perilaku
Hakim Konstitusi.
8. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2012 Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi.
9. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
10. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2013 Tentang Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.
11. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
12. Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
13. Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2013 Tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
14. Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Mekanisme Kerja Dan Tatacara Pemeriksaan Laporan Dan
Informasi
15. Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:
01/MKMK/X/2013.
16. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
Universitas Sumatera Utara
17. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011
18. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder didapatkan dari penelahaan pendapat-
pendapat hukum yang terkait dengan masalah yang akan dibahas serta karya-
karya ilmiah, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Bahan-
bahan hukum tersebut berupa buku-buku hukum, kamus, majalah, makalah,
website, Koran, ataupun karya ilmiah yang tidak dipublikasikan yaitu diambil dari
jurnal hukum, bahan ajar, skripsi, tesis, disertasi, dan makalah dari suatu seminar
ilmiah.
G. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan
pustaka (library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis dengan menggunakan content analysis, yakni teknik untuk membuat
kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik tertentu dari sebuah pesan
secara objektif dan sistematis.42
42Ibid., h. 21-22
Metode analisis data dikumpulkan dan dianalisis
dengan metode normatif kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk uraian.
Sedangkan cara untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mengunjungi berbagai perpustakaan, terutama
perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
Perpustakaan pusat Universitas Sumatera Utara, toko buku, dan website.
Universitas Sumatera Utara
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini yang dibicarakan adalah dasar-dasar pemikiran
penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta
berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian
skripsi ini, dimulai dengan mengemukakan latar belakang,
Pemilihan Judul, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.
BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada bab ini, penulis mencoba memaparkan lebih spesifik
mengenai sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia, Kedudukan dan
Fungsi, tugas dan wewenang dari Mahkamah Konstitusi, serta
Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
dirubah dengan UU No. 8 Tahun 2011, serta Peraturan
Mahkamah Konstitusi.
BAB III : MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada bab ini, penulis berusaha memaparkan mengenai Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak
Universitas Sumatera Utara
kode etik dan perilaku hakim konstitusi baik Kedudukan,
Keanggotaan, Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,
serta Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.
BAB IV :IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013
Pada bab ini, merupakan pokok utama dari kajian penelitian
skripsi penulis, yaitu implementasi PMK No. 2 Tahun 2014
dengan menganalisa keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013. Menangani Kasus Laporan
Dugaan Pelanggaran Berat yang dilakukan Hakim Konstitusi.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan
pembahasan Pada Bab I, II, III, dan IV Serta saran yang penulis
ajukan berdasarkan pemikiran penulis.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Dunia
Mahkamah konstitusi sebagai special tribunal berdiri secara terpisah dari
Mahkamah Agung, yang memiliki tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat
ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern national state),
yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan
norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah Modern judicial review, yang merupakan
ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah
Agung yang mengalami perkembangan selama 250 tahun, mulai dari tidak
diterima sampai dengan peneriman yang luas.43
Momentum utama munculnya judicial review adalah pada keputusan
Mahkamah Agung Amerika serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada tahun
1803. Dalam kasus tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan
ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi
Amerika Serikat. Walaupun pada saat itu tidak ada dalam konstitusi maupun
undang-undang ketentuan yang memberikan wewenang judicial review kepada
Mahkamah Agung, para hakim agung Amerika Serikat dimana ketuanya adalah
43Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 3
Universitas Sumatera Utara
John Marshal berpendapat hal ini adalah kewajiban konstitusional mereka yang
telah bersumpah menjungjung tinggi dan menjaga konstitusi.44
Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat itu memicu perdebatan tentang
judicial review hingga ke Eropa yang pada masa itu didominasi pandangan bahwa
hukum adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang menghendaki supremasi
parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
45 Perkembangan selanjutnya, ahli
hukum George Jellinek (Austria) mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19
agar kepada Mahkamah Agung Austria ditambahkan kewenangan melakukan
judicial review seperti diperaktikkan oleh John Marshall.46 Mahkamah Agung
Austria memang pada saat itu sudah mempunyai kewenangan untuk mengadili
sengketa antara warga negara dengan pemerintah terkait dengan perlindungan hak
politik, bahkan pengadilan negeri bagian telah memiliki wewenang memutus
keberatan konstitusioal yang diajukan warga negara atas tindakan negara.47
Revolusi Prancis dan konsep separation of power dari Rosseau dan
Montesqieu merupakan bibit pengembangan judicial review, setelah keberhasilan
awal tentara Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya
Prancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa dengan
sistem hukumnya yang berbeda. Akan tetapi pemikiran Amerika Serikat tentang
judicial review setelah kasus Marbury vs. Madison (1803) dan kemudian kasus
Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1957, menyebabkan tokoh pemikir di
44Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010. h. 1
45 Ibid., h. 2 46Jimly, Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 24 47Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., h. 2.
Universitas Sumatera Utara
benua Eropa mulai berpendapat bahwa Mahkamah semacam itu mungkin berguna
juga di Eropa.48
Hans Kelsen seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad
ke-20, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria, salah
satu gagasan dari Hans Kelsen adalah pemebentukan peradilan tersendiri di luar
Mahkamah Agung untuk menangani perkara Judicial Riview. Gagasan tersebut
diterima dan menjadi bagian dalam konstitusi Austria pada tahun 1920 yang di
dalamnya dibentuk Mahkamah konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat
itulah dikenal dan berkembang Mahkamah Konstitusi yang berada diluar
Mahkamah Agung yang secara khusus menangani judicial Riview dan perkara
konstitusioal lainnya.
49
2. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan judicial
riview menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi
secara terpisah dari Mahkamah Agung. Sampai sekarang sudah 78 negara yang
mengadopsi sistem Mahkamah konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah
Agungnya.
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah
Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena negara
modern abad ke-20. Mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga peradilan
48Maruarar Siahaan, Op.Cit., h. 3 49Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., h. 3.
Universitas Sumatera Utara
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung
(MA) di bentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah konstitusi di Indonesia muncul dan menguat
di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun
demikian dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan
UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Mahammad
Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi
kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun Prof. Soepomo
menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun
pada saat itu tidak menganut paham trias politika dan kondisi pada saat itu belum
banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman judiacial review.50
Pada masa berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat, judicial
review pernah menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Agung, akan tetapi
hanya untuk menguji Undang-Undang Negara bagian terhadap konstitusi.
51
50Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Ibid,. h. 5, dikutip dari Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, h. 341-342.
51Sri Soemantri, Hak Menguji Materil di Indonesia, Alumni, Bandung. 1986. h. 25.
Pada
masa di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS yaitu pada
tahun 1966-1967 yang merekomendasikan diberikannya kewenangan terhadap
Mahkamah Agung untuk menguji material Undang-Undang, namun rekomendasi
tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa hanya Majelis
Permusyawaratan Rakyatlah yang mempunyai kewenangan untuk mengawal
konstitusi. Ide perlunya judicial review kembali muncul pada saat pembahasan
Rancangan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman . pada waktu itu Ikatan Hakim Indonesia mengusulkan pendapat agar
diberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Karena materi muatan tersebut dipandang materi
muatan Konstitusi sedangkan UUD 195 tidak ada mengatur tentang itu, akhirya
usulan tersebut tidak diterima. Pada tahun 1973 Mahkamah Agung ditetapkan
mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dengan ketentuan harus dalam
pemeriksaan kasasi, ketentuan ini termaktub dalam Tap MPR Nomor
VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978. Pada tahun 1992 perdebatan
mengenai judicial review kembali muncul, ketika Ketua Mahkamah Agung Ali
Said berpendapat memberikan hak uji kepada Mahkamah Agung adalah
proporsional karena Mahkamah Agung adalah salah satu dari pilar demokrasi.
Jika Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan membuat
dan menetapkan Undang-Undang, maka Mahkamah Agung bertugas untuk
menguji. Gagasan tersebut didasarkan pada prinsip checks and balances.52
52Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.Cit. h. 5-6
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan sebelum
dibentukya Mahkamah konstitusi wewenang menguji Undang-Undang Terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dipegang oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
Namun pengujian ini tidak dapat disebut sebagai judicial review, Karena Majelis
Pemusyawaratan Rakyat bukan merupakan lembaga peradilan.
Universitas Sumatera Utara
Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi
kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, atau
Mahkamah Konstitusi. Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri, yaitu
Mahkmah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, dengan
pertimbangan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan wakil organisasi dan
kelompok kepentingan politik bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan
konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung sendiri sudah terlalu banyak beban
tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi kewenangannya.53
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dipahami
dari dua sisi , yaitu sisi hukum dan dari sisi politik, dari sisi hukum keberadaan
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi dari supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara keastuan,
prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,
keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden. Dalam praktik pada masa itu sudah muncul sengketa antara lembaga
negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikannya. Kelembagaan
yang paling sesuai adalah Mahkamah Konstitusi.
54
Pembentukan Mahkamah Konstitusi juga merupakan penegasan terhadap
prinsip Negara Hukum dan perlindungan Hak Asasi (Hak Konstitusional) yang
53Ibid., h. 7 54Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
telah dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam
praktik ketatanegaraaan yang sebelumnya tidak ditentukan.55 Keberadaan dari
Mahkamah Konstitusi juga memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan
di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada institusi
peradilan.56
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 pembentukan Mahkamah Konstitusi
segera dilakukan melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga lembaga negara,
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Mahkmah Agung. Setelah melalui
tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga,
akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung menetapkan
masing-masing tiga calon Hakim Konstitusi, yang selanjutnya ditetapkan oleh
Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, tidak dengan sendirinya
Mahkamah Konstitusi sebagai organisasi telah terbentuk walaupun dari sisi
hukum kelembagaan itu sudah ada. Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
menyatakan untuk dibentuknya Mahkamah Konstitusi paling lambat 17 Agustus
2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk segala kewenangannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung.
Pada tanggal 13 Agustus 2003 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
disahkan yaitu UU No. 24 Tahun 2003. Waktu pengesahan UU No. 24 Tahun
2003 inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi.
55Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, h. 4.
56Ibid. h. 6.
Universitas Sumatera Utara
Presiden sebagai Hakim Konstitusi. Sembilan Hakim Konstitusi pertama
ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan dilakukan di istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003, dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19
Agustus 2003.
B. Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 2 UU No. 24
Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaaan kehakiman, kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menagakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada
dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian
kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasan
kehakiman, di samping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga
peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup
dan wewenang yang dimilikinya, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai
pelaku kekuasaaan kehakiman sejajar dengan kekuasaan kehakiman lain, seperti
Mahkamah Agung, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang
kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi
dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga negara lainnya meliputi
Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Universitas Sumatera Utara
Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Setiap lembaga negara
menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat
berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.57
2. Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki
oleh Mahkamah Konstitusi adalah Fungsi peradilan untuk mengakkan hukum dan
keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik seperti halnya fungsi
yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat
ditelusuri dari latar belakang pembentukaannya, yaitu untuk menegakkan
supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang
ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri,
yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan
juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, prinsip perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak
konstitusional warga negara.
Berdasarkan penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 fungsi mahkamah
Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi atau
perkara konstitusional tertentu dalam menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain
itu keberadaan Mahkamah konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil , dan juga merupakan koreksi terhadap
57Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit. h. 10.
Universitas Sumatera Utara
pengalaman kehidupan ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas
konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah
konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi.58
Berdasarkan uraian diatas setidaknya ada 5 (lima) fungsi yang melekat pada
keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya,
yaitu
59
1. Visi Mahkamah Konstitusi
: sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir
final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi
manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitusiol warga negara
(the protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the
protector democracy).
Atas dasar fungsi Mahkamah konstitusi tersebut, maka visi dan misi
Mahkamah Konstitusi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang
bermartabat.60
2. Misi Mahkamah Konstitusi
a. Mewejudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan
kehakiman yang terpercaya
b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi.61
58A.Mukhtie Fadjar, Hukum konstitusi dan Mahkamah konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006. h. 119
59Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit,. 60A.Mukhtie Fadjar, Op.Cit.,
Universitas Sumatera Utara
Dengan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya, Mahkamah Konstitusi
diharapkan dapat melaksanakan kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD NRI
1945.
C. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana yang telah jelaskan pada pembahasan sebelumnya, ide pertama
pembentukan Mahkamah Kontitusi adalah untuk melaksanakan judicial riview,
namun dalam perkembangannya menurut Hamdan Zoelva62
a) menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
:
Konsep dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances, prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia serta pengalaman politik masing-masing negara.
Dari berbagai ide pembentukan Mahkmahah Konstitusi yang ada, di
Indonesia sendiri telah merumuskan kewenangan Mahkamah konstitusi sesuai
kebutuhan perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Indonesia mempunyai kewenangan menangani
perkara-perkara ketatanegaraan tertentu, secara limitatif kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945
juncto Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003, yaitu :
b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
61Ibid,. 62Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”
<http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/07/mahkamah-konstitusi-dalam-sistem- ketatanegaraan-ri/>. Diakses pada tanggal 5 September 2016.
Universitas Sumatera Utara
c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut Abdul Rasyid63
a) Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar
, wewenang a dan b merupakan wewenang utama,
sedangkan wewenang c dan d adalah wewenang tambahan (accessoir). Untuk
pelaksaan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dengan Hukum Acara
Mahkamah konstitusi yang terdiri dari hukum acara umum untuk kewenangan
Mahkamah konstitusi dan hukum acara khusus. Pelaksanaan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU No. 24 Tahun 2003, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD, kemudian dalam penjelasan Pasal 10
ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
Putusan Mahkmah Konstitusi yang bersifat final, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak di ucakpan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding).
63Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 223.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah konstitusi.64
1) Pengujian Formal (Formele Toetsingrecht)
Secara teoritis maupun dalam praktek dikenal ada dua macam judicial review: 1)
Pengujian Formal, 2) Pengujian Materiil, yaitu sebagai berikut:
Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu
produk hukum legislative dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak, serta apakah
suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Ketentuan Pasal
51 ayat (3) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 juncto Pasal 51A ayat (3) dan (4) UU
No. 8 Tahun 2011 merupakan dasar hukum yang mengatur tentang pengujian
formil. Dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa apabila permohonan
berupa permohonan pengujian formal, pemeriksaan dan putusan didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Sri Soemantri dan Harun Alrasid dalam Buku Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi mendefiniskan pengujian formal
sebagaimana yang dikemukakan dalam UU No. 24 Tahun 2003 juncto UU No. 8
Tahun 2011. Menurut sri Soemantri yang dimaksud dengan hak menguji formal
adalah wewenang untuk menilai, apakah sutau produk legislatif, seperti undang-
undang misalnya, terjelma melalui cara-cara sebagaimna telah ditentukan/diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan Harun
64 Maruarar Siahaan, Op.Cit. h. 14
Universitas Sumatera Utara
Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formal adalah mengenai prosedur
pembuatan Undang-Undang. Namun menurut Jimly Asshiddiqie dalam Buku
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
secara umum yang dapat disebut dengan pengujian formil tidak hanya mencakup
proses pembentukan Undang-undang secara sempit, tetapi juga mencakup
pengajuan mengenai aspek bentuk Undang-Undang, dan pemberlakuan Undang-
Undang. Kemudian dijelaskan juga bahwa pengujian formal biasanya terkait soal-
soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya.65
a. Mengabulkan permohonan pemohon
Dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 menegaskan
bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan keputusan berupa permohonan
pengajian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam ketentuan
ayat (4) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf c PMK Nomor 06/PMK/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, dijelaskan juga
bahwa apabila ingin mengajukan permohonan pengajuan berupa permohonan
formil hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan Judicial Review
adalah:
b. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan Pembentukan UU berdasarkan UUD NRI 1945
c. Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
65Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op. Cit. h. 92
Universitas Sumatera Utara
2) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingrecht)
Ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 juncto Pasal
51A ayat (5) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah konstitusi merupakan
dasar hukum yang mengatur tentang pengujian materiil. Dimana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Mengenai pengujian materiil diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2)
Peraturan Mahkmah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara pengujian Undang-Undang, dalam ketentuan tersebut menyatakan
bahwa pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Maruar Siahaan menjelaskan bahwa pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar tidak hanya dilakukan terhadap Pasal tertentu saja akan
tetapi UUD harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari Pembukaan
dan Batang Tubuh.66
Jika dilihat lebih detail lagi dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No. 24
Tahun 2003 diatur mengenai pengujian materiil pada ayat, pasal, dan/atau bagian
Undang-Undang, kemudian dalam Pasal 51A ayat (5) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf
d PMK Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang diatur dalam hal permohonan pengujian berupa
66 Maruarar Siahaan, Op,Cit., h. 29
Universitas Sumatera Utara
permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam
permohonan meliputi:
a. Mengabulkan permohonan pemohon; b. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian dalam Pasal 57 UU No. 24 Tahun 20013 juga diatur bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tentang ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, akan tetapi dalam hal
salah satu pasal atau pasal-pasal tertentu tersebut menyebabkan Undang-Undang
tersebut tidak dapat dilaksanakan karenanya, maka tidak hanya ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, akan
tetapi keseluruhan Undang-Undang tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI 1945.
b). Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Sebelum adanya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia belum ada aturan mengenai mekanisme aturan
penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Barulah
setelah adanya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, yang mengadopsi pembentukan
lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah
memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, sistem ketatanegaran Indonesia
Universitas Sumatera Utara
memiliki mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa konstitusional lembaga
negara.67
Secara definitif yang dimaksud dengan sengketa kewenangan antara
lembaga negara perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antara
lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain mengenai
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Dengan
demikian yang menjadi objek sengketa adalah persengketaan (dispute) mengenai
kewenangan konstitusioanal antar lembaga negara.
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 2 , Pasal 61 sampai dengan
67 UU No. 24 Tahun 2003 adalah dasar konstitusional kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Salah satu
kewenangan konkritnya adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.
68
Lembaga-lembaga negara dapat bersengketa dikarenakan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang diadopsi sesudah perubahan UUD 1945,
mekanisme hubungan antara lembaga negara bersifat horizontal, tidak lagi bersifat
vertikal. Jika sebelum perubahan UUD NRI 1945 mengenal adanya lembaga
tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, maka setelah perubahan UUD 1945
tidak ada lagi lembaga tinggi negara. Hubungan antara satu lembaga dengan
lembaga negara lainnya saling diikat dengan prinsip chek and balances. Dalam
67Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, 2005, hal. 2.
68Ibid., h. 30.
Universitas Sumatera Utara
prinsip tersebut, lembaga-lembaga tinggi negara itu diakui sederajat, dan saling
mengimbangi satu sama lain.69
Partai politik merupakan salah satu ciri utama negara demokrasi modern.
Bahkan, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi modern, yaitu
demokrasi perwakilan. Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat
Sebagai akibat adanya mekanisme chek and balances, timbul kemungkinan
dalam pelaksannan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam
tafsiran amanat UUD NRI 1945. Jika timbul persengketaan semacam itu, maka
diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu.
Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsi dalam UUD NRI 1945,
mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui
proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, Perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara merupakan perkara yang pemohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan,
dan dalam ayat (2) pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan
kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga
negara yang jadi termohon.
c). Memutus Pembubaran Partai Politik
69Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Op.cit. h. 150
Universitas Sumatera Utara
diperlukan adanya partai politik. Peranan partai politik adalah menata aspirasi
rakyat yang berbeda-beda, dijadikan pendapat umum sehingga dapat menjadi
bahan pembuatan keputusan yang teratur.70
Keberadaan partai politik memang merupakan manifestasi dari hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak menyatakan pendapat, namun
demikian, hak dan kebebasan tersebut dapat dibatasi dengan melakukan
pengaturan, termasuk pembubaran partai politik. Namun agar tidak memberangus
kebebasan berserikat, pembatasan harus dilakukan secara ketat, dimana menurut
doktrin militant democracy meliputi: (1) pembatasn harus diatur dalam aturan
hukum; (2) dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat
demokratis dan (3) memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional
sesuai dengan kebutuhan sosial.
71
Di Indonesia dengan adanya perubahan UUD 1945 kewenangan
pembubaran partai politik menjadi bagian dari wewenang Mahkamah Konstitusi.
Pemberian wewenang itu menerut Pataniari Siahaan karena perkara pembubaran
partai politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi.
72
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai
politik secara jelas diatur dalam Pasal 68 sampai dengan pasal 73 UU No. 24
tahun 2003. dalam ketentuan pasal 68 ayat (1) Pemohon adalah pemerintah.
Dalam penjelasan Pasal 68 ayat (1) dijelaskan juga bahwa yang dimaksud dengan
70Ibid., h. 194 71Ibid, h. 195 72Risalah Sidang Rapat pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29
Mei 2001. Yang dikutip dari buku Hukum Acara Mahkmah Konstitusi yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. h. 201.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah adalah pemerintah pusat. Karena pemerintah dipimpin oleh Presiden,
maka departemen pemerintahan yang mewakili pemerintah untuk mengajukan
permohonan untuk membubarkan partai politik wajib dengan persetujuan Presiden
atau didasarkan pada surat kuasa.
Dalam permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah konstitusi
harus disebutkan dengan tegas partai politik yang dimohon untuk dibubarkan.
Dengan demikian partai politik yang dimohonkan secara tegas kedudukannya
sebagai pihak termohon. Adapun alasan permohonan yang harus dijabarkan dalam
permohonan, sebagaimana diatur dalam pasal 68 ayat (2) adalah ideologi, asas,
tujuan, program, dan kegiatan parpol yang bersangkutan yang dianggap
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Menurut Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12/PMK/2008 tentang aturan
hukum acara tentang pembubaran partai politik, mengatakan bahwa akibat hukum
Putusan MK tentang Pembubaran Partai Politik adalah:
1) Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di seluruh Indonesia;
2) Pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;
3) Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan politik;
4) Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
d). Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum
Negara yang direpresentasikan kepada pemerintahan dibentuk dengan
harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintahan yang
mengupayakan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian rakyat.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga adagium tokoh demokrasi terkenal dunia Abraham Lincol yang
mengatakan bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, benar-benar wujud. Rakyat memang membutuhkan pemerintahan yang
memiliki kehendak untuk menyejahterakan rakyatnya.73
Namun menurut Stephen A. Siegel yang dikutip dalam buku Sekretariat
Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi permasalahan dalam
pelaksanaan pemilu adalah permasalahn penghitungan suara, dimana permasalah
tersebut menurut beliau adalah permasalah pemilu yang paling tua dalam sebuah
negara bangsa diantara pelbagai permasalahn-permasalahn palig tua lainnya
dalam hukum tata negara.
Kebutuhan akan pemerintahan tersebut membutuhkan mekanisme
pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan harapan dari
pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan mekanisme pemilihan
pemerintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep pemilihan umum (pemilu).
74
73Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraaan Mahkamah Konstitusi. Op.Cit. h. 215 74Ibid., h. 216
Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang
menangani khusus penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilu.
Di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 lembaga yang berwenang
memutus perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi. hal ini diatur
dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 juncto Pasal 10, Pasal 74 sampai dengan Pasal
79 UU No. 24 Tahun 2003.
Berdasarkan ketentuan pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 pemohon
dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum adalah :
Universitas Sumatera Utara
1) perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
2) pasangan calon presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
3) partai politik peserta pemilihan umum.
Sedangkan objek permohonan dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU
yang mempengaruhi75
1) terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
:
2) penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
3) perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Jangka waktu paling lama megajukan permohoan sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum lama 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan
hasil pemilu secara nasional. Hal-Hal Yang Wajib Diuraikan Pemohon yaitu:
1) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan
hasil penghitungan yang benar menurut pemohon
2) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara
yang benar menurut pemohon
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam rangka kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum ini, Mahkamah
Konstitusi juga dapat dikatakan sebagai pengawal proses demokratisasi dengan
cara menyediakan saran dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan
75Ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
pendapat diantara penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu yang dapat
memicu konflik politik dan bahkan konflik sosial di tengah masyarakat.76
2. Kewajiban Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Mahkamah Konstitusi mempunyai satu kewajiban sebagaimna tercantum
dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa: Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI 1945. Pemberhentian
diatur secara khusus untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan istilah “dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya” yang merupakan salah satu instrument
mewujudkan pemerintahan presidensial.77
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU No. 24
Tahun 2003. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat
Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
76Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , 2006, hlm. 153.
77Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit., h. 256
Universitas Sumatera Utara
diberhentikan sebelum masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih
langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before
law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD NRI 1945. Tetapi proses
pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang
presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud
dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.78
D. Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi Di Indonesia
Dalam hal ini hanya Dewan Perwakilan Rakyat yang dapat mengajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat
semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan
Rakyat yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-
kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
1. Pengangkatan Hakim Konstitusi
Pembicaraan mengenai hukum selalu berkaitan erat dengan masalah
penegakkan hukum dan keadilan, dan lebih kongkret diarahkan lagi kepada aparat
penegak hukum, dan yang paling dominan adalah hakim. Hakim inilah yang pada
akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara atas dasar hukum dan
keadilan sesuai dengan hati nuraninya. Hakim adalah konkritisasi hukum dan
78http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11768#.V-NPCE197IU. Diakses pada tanggal 15 September 2016, pukul 19.20.
Universitas Sumatera Utara
keadilan yang bersifat abstrak. Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai
wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.79
Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat yaitu memiliki integritas, dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketata negaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Demikian pula dalam Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstitusi memegang
peranan yang sangat penting dalam rangka menjamin terwujudnya peradilan
konstitusi yang independen. Oleh karena itu diperlukan adanya persyaratan-
persyaratan dalam pemilihan hakim konstitusi. Proses pemilihan hakim konstitusi,
secara khusus diatur dalam Undang-Undang, dengan persyaratan-persyaratan
yang mendukung tercapainya tujuan kemandirian tersebut.
80 Pengangkatan
hakim konstitusi dilakukan dengan harus memenuhi syarat, yaitu sebagai
berikut81
a) warga negara Indonesia
:
b) berijazah doktor dan magister dengan sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
c) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia d) berusia paling rendah empat puluh tujuh tahun dan paling tinggi
enam puluh lima tahun pada saat pengangkatan e) mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewajiban f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan h) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit lima
belas tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
79https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/independensi-mahkamah-konstitusi-dalam-memutus-perkara/. Diakses pada tanggal 09 Agustus Tahun 2016, Pukul 14.40.
80Ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 Jo. Pasal 15 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011.
81Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
komposisi dan kualitas hakim konstitusi yang diharapkan dapat benar-benar
mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang bersifat netral dan independen.
2. Pemberhentian Hakim Konstitusi
Hakim dapat diangkat dan dapat diberhentikan dalam masa tugasnya.
Hakim Konstitusi dapat diberhentikan dengan dua cara yaitu : 1) Pemberhentian
dengan hormat, 2) pemberhentian dengan tidak hormat.
Sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (6) yang menyatakan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Pengaturan
pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 2011,
sebagaimana disebutkan pada ayat (1) hakim konstitusi diberhentikan dengan
hormat dengan alasan :
a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c) telah berusia tujuh puluh tahun; d) telah berakhir masa jabatannya; e) sakit jasmanai atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan
sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Sedangkan pada ayat (2) menerangkan bahwa Hakim Konstitusi dapat
diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; b) melakukan
perbuatan tercela, c) tidak meghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
Universitas Sumatera Utara
kewajiban selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d) melanggar
sumpah atau janji jabatan; e) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi
memberi putusan dalam waktu yang telah ditentukan Pasal 7B ayat (4) UUD NRI
1945; f) melanggar larangan rangkap jabatan; g) tidak lagi memenihi syarat
sebagai hakim konstitusi; h) melangggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi.
Pemberhentian tidak hormat hakim konstitusi apabila melanggar ketentuan
haruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan h dilakukan setelah hakim
konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan
negarawan, dibentuklah suatu Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang
berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan
tugasnya. Dengan tujuan agar Hakim Konstitusi tidak ada yang diberhentikan
secara tidak hormat. Hal ini diatur dalam peraturan Mahkmah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan
Perilaku Hakim Konstitusi. Namun walaupun demikan sebagai manusia biasa,
pasti ada kalanya kadang bersifat khilaf dan salah sehingga ada kemungkinan
Hakim konstitusi akan melanggar Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi yang
telah ditetapkan. Demi untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi apabila ada pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi
dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Sehingga integritas,
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan Hakim Konstitusi tetap terjaga.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 juncto Pasal 15 ayat (1) UU No. 8
Tahun 2011 menyatakan bahwa Hakim konstitusi sebagai pejabat yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, dalam mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi
kehidupan kehidupan kebangsaan yang kenegaraan yang bermartabat.
Citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman
yang merdeka, sebagai benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan
keadilan, sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku para
hakim konstitusi dalam melaksanakan amanah untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang diajukan kepadanya Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk menegakkan integritas dan kepribadian hakim konstitusi yang adil
dan tidak tercela, maka ditetapkanlah Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.82
82Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia disebut dengan Sapta Karsa Hutama.
Sebagai pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur menilai
perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus menerus, dan untuk membantu
masyarakat pada umumnya termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan
lain, agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang kode etik dan perilaku hakim
konstitusi ditetapkan pertama kali pada tanggal 18 Oktober 2005, Nomor
07/PMK/2005. Namun peraturan ini tidak berlaku lagi setelah ditetapkannya
Peraturan Mahkamah Konstitusi yang baru tentang dekralasi kode etik dan
perilaku hakim konstitusi yaitu Nomor 09/PMK/2006.83
“The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi
(independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan
dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan
(competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik
hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur
dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran,
amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras,
Untuk selanjutnya dalam
penulisan skripsi ini disebut dengan PMK No. 09/PMK/2016.
Dalam pembukaan Dekralasi Kode Etik tersebut disebutkan bahwa
penyusunan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi merujuk kepada “The
Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh
negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”,
disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan
berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku.
83Ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 09/PMK/2006
Universitas Sumatera Utara
kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai
hakim konstitusi.84
1. Hakim konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
Prinsip yang termuat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
dimaksud untuk melengkapi dan bukan untuk mengurangi ketentuan hukum dan
perilaku yang sudah ada, yang mengikat hakim konstitusi.
Adapun prinsip-prinsip kode etik dan perilaku hakim konstitsi serta
penerapannya berdasarkan PMK No. 09/PMK/2006 adalah sebagai berikut:
PERTAMA PRINSIP INDEPENDENSI
Independensi hakim konstitusi merupakan Prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. penerapan:
2.Hakim konstitusi harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.
84Pembukaan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
3.Hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislative, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4.Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim konstitusi harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5.Hakim konstitusi harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun kelembagaan.
6.Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah.
KEDUA PRINSIP KETAKBERPIHAKAN
Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antara kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahap proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa
prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong kepada salah satu pihak.
2.Hakim konstitusi harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun diluar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim konstitusi dan Mahkamah.
3.Hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara.
4.Hakim konstitusi dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim konstitusi lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjels putusan.
5.Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;
KETIGA PRINSIP INTEGRITAS
Integritas merupakan sikap batin yang tercermin keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniayah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya. Penerapan: 1.Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut
pandang pengamatan yang layak. 2.Tindak tanduk dan perilaku hakim konstitusi harus memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa Mahkamah. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga tampak dilaksanakan.
3.Hakim konstitusi dilarang meminta atau menerima atau harus menjamin bahwa anggota keluarganya tidak meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat atau janji untuk menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat dari pihak yang berperkara atau pihak lain yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksa yang dapat memengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya.
4.Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan pegawai Mahkamah atau pihak lain yang berada di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangannya untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman atau imbalan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim konstitusi berkenaan dengan pelaksanaan tugas Mahkamah.
KEEMPAT
PRINSIP KEPANTASAN DAN KESOPANAN
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan
Universitas Sumatera Utara
dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antara pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesame hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak
pantas dalam segala kegiatan. 2.Sebagai abdi hukum yang terus menjadi pusat perhatian masyarakat,
hakim konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hari serta bertingkahlaku sejalan dengan martabat Mahkamah.
3.Dalam hubungan pribadi dengan angota-anggota profesi hukum lainnya yang beracara di Mahkamah, hakim konstitusi harus menghindari keadaan yang menurut penalaran yang wajar dapat menimbulkan kecurigaan dan memperlihatkan sikap berpihak.
4.Hakim konstitusi tidak akan mengizinkan tempat tinggalnya untuk digunakan oleh anggota suatu profesi hukum lain sebagai tempat untuk menerima klien atau menerima angota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
5.Sebagaimana warga negara pada umumnya , hakim konstitusi berhak atas kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan berkumpul, sepanjang dalam menggunakan hak-hak tersebut, hakim konstitusi selalu menjaga martabat Mahkamah, prinsip ketakberpihakan dan independensi Mahkamah.
6.Hakim konstitusi harus menginformasikan secara terbuka tentang keadaan kekayaan pribadi dan keluarganya atas kesadaran sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.Hakim konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarganya dan/atau relasi sosial lainnya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara.
8.Hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim kosntitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya.
9.Keterangan rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya dilarang dipegunakan atau diungkapkan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan tugas Mahkamah.
Universitas Sumatera Utara
10. Dengan tetap mengutamakan dak terikat pada aturan-aturan tentang tugas-tugasnya di bidang peadilan serta dengan tetap mempertahankan prinsip independensi dan ketakberpihakan, hakim konstitusi boleh:
a. Menulis, member kuliah, mengajar, dan turut serta dalam kegitan-kegitan ilmiah di bidang hukum dan peradilan atau hal-hal terkait dengannya;
b. Atas persetujuan pimpinan, tampil dalam forum dengar pendapat umum di hadapan suatu lembaga resmi berkenaan dengan hal-hal yang terkait dengan hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengan hukum dan peradilan atau hal-hal yang terkait dengannya;
c. Atas persetujuan pimpinan, berperan sebagai penasihat pemerintah, atau dalam suatu kepanitiaan, komite, atau komisi tidak tetap lainnya; atau
d. Melakukan kegiatan lain sepanjang tidak mengurangi martabat Mahkamah atau mengganggu pelaksanaan tugas Mahkamah.
11. Hakim konstitusi dapat ikut serta dalam perkumpulan sosial atau professional yang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai hakim konstitusi.
KELIMA PRINSIP KESETARAAN
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menyadari dan memahami kemajemukan
dalam masyarakat serta perbedaan-perbedaan yang timbul berdasarkan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan politik.
2.Dalam melaksanakan tugasnya, baik dengan perkataan maupun tindakannya, hakim konstitusi dilarang berpurba sangka atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasanan-alasan yang tidak relevan.
3.Dalam melaksnakan tugasnya, hakim konstitusi harus memperhatikan dengan selayaknya semua orang yang berhubungan dengan Mahkamah, seperti para pihak, saksi, ahli, advokat atau kuasa hukum,
Universitas Sumatera Utara
staf Mahkamah atau rekan sejawat hakim konstitusi, dengan tidak membeda-bedakan tanpa alasan yang relevan.
4.Hakim konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan staf Mahkamah atau pihak-pihak lain yang berada di bawah pengaruh, petunjuk atau pengawasannya untuk membeda-bedakan para pihak yang terkait dengan perkara yang diadili oleh hakim konstitusi atas alasan yang tidak relevan.
5.Hakim konstitusi harus mewajibkan para advokat atau kuasa hukum dalam persidangan untuk tidak memperlihatkan purbasangka atau bias, baik dengan perkataan maupun perbuatan, tanpa alasan yang relevan.
KEENAM PRINSIP KECAKAPAN DAN KESEKSAMAAN
Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan professional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dan pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan. Penerapan: 1.Hakim konstitusi mengutamakan tugas Mahkamah di atas segala
kegiatan lainnya. 2.Hakim konstitusi harus mendedikasikan diri untuk pelaksanaan tugas-
tugasnya, baik dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab Mahkamah maupun tugas-tugas lain yang berhubungan dengan hal itu.
3.Hakim konstitusi harus senantiasa meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan pribadi lainnya melalui berbagai saranan dan media yang tersedia yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Mahkamah yang baik.
4.Hakim konstitusi harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum nasional dan internasional yang relevan, termasuk konvensi-konvensi dan perangkat-perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
5.Hakim konstitusi harus menjamin penyelesaian perkara secara efesien, baik dan tepat waktu, termasuk pengucapan dan penyampaian putusan kepada pihak-pihak.
KETUJUH PRINSIP KEARIFAN DAN KEBIJAKSANAAN
Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada
Universitas Sumatera Utara
saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar tetapi tegas dab lugas. Penerapan: 1.Hakim konstitusi harus menjaga tata tertib persidangan, santun, dan
menghargai semua pihak dalam persidangan, sebagaimana para pihak menghormati hakim kosntitusi sesuai dengan tata tertib persidangan.
2.Hakim konstitusi harus mendengar keterangan para pihak dengan sabar.
3.Hakim konstitusi harus menjawab dengan sikap penuh pengertian (Empathy).
4.Hakim konstitusi harus bersikap tenang (sober) dalam memeriksa dan memutus setiap perkara.
5.Hakim konstitusi harus bersikap penuh wibawa dan bermartabat (dignity).
Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi pada dasarnya telah mengatur sedemikian rinci bagaimana kode
etik dan perilaku hakim konstitusi dalam menjalanakan tugas dan
kewenangannya. Bahkan dalam peraturan Mahkamah Konstitusi telah mengatur
bagaimana pedoman Hakim Konstitusi terhadap keluarga agar berupaya menjaga
keluarga dari perbuatan menurut norma hukum dan kesusilaan.
Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU No. 8
Tahun 2011. Dalam pasal tersebut mengatur tentang pemberhentian dengan tidak
hormat terhadap hakim konstitusi. Dimana salah satu ketentuan, hakim konstitusi
diberhentikan dengan tidak hormat adalah melakukan perbuatan tercela dan/atau
melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.85
85Lidya Suryani Widayati, “Pemberhentian Hakim Konstitusi Tidak Dengan Hormat”, Jurnal Hukum, Vol. V, No.21/I/P3DI/November/2013.
Universitas Sumatera Utara
B. Dewan Etik Hakim Konstitusi
Tertangkap tangannya salah seorang Hakim konstitusi pada hari Rabu, 8
Oktober 2013 dengan dugaan penyuapan, membuat Mahkamah Konstitusi
mengevaluasi struktur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Akhirnya
Mahkamah Konstitusi membentuk komponen dari Mahkamah Konstitusi yang
baru yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi melalui PMK No. 2 Tahun 2013.
Namun PMK No. 2 Tahun 2013 yang ditetapkan pada tanggal 29 Oktober
2013 tersebut tidak berlaku lama, pada tanggal 18 Maret 2014 Peraturan tersebut
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemudian pengaturan tentang Dewan
Etik diatur pada PMK No. 2 Tahun 2014. Dengan berdasar pada PMK No. 2
Tahun 2014 tersebut maka Dewan Etik menetapkan Peraturan Dewan Etik Hakim
Konstitusi Nomor 1 tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja Dan Tata Cara
Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (5) PMK No. 2 Tahun 2014 juncto
Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dewan Etik Nomor 1 Tahun
2014 memberikan definisi, “Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan perangkat
yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, serta Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama), terkait dengan
laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim
Terlapor dan Hakim Terduga86
86Hakim terlapor adalah hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan laporan yang diperoleh Dewan Etik dari masyarakat secara tertulis, sedangkan yang dimaksud dengan Hakim terduga adalah hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan informasi yang diperoleh Dewan Etik melalui pemberitaan media massa, baik cetak
yang disampaikan oleh masyarakat”.
Universitas Sumatera Utara
Dewan Etik “besifat tetap” dan berkantor di Mahkamah Konstitusi.87
Dewan etik terdiri dari seorang Ketua dan merangkap anggota dan dua orang
anggota, Ketua dewan etik dipilih dari dan oleh anggota Dewan Etik secara
musyawarah dan mufakat, jika mufakat tidak tercapai, pemilihan Ketua dilakukan
dengan suara terbanyak. Dewan etik juga mempunyai sekretariat yang dipimpin
oleh Sekretaris Dewan Etik yang diangkat dan diberhentikan oleh Sekretaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi.88
Dengan masa jabatan tiga tahun dan tidak dapat dipilih lagi.
Dewan Etik mempunyai struktur keanggotaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 15 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014, yaitu terdiri atas:
a. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan c. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
89 Anggota
Dewan Etik harus memenuhi syarat untuk diangkat menjadai Dewan Etik, adapun
persyaratan, tersebut terdiri atas90
a. jujur, adil, dan tidak memihak;
:
b. berusia paling rentah 60 (enam puluh)tahun; c. berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Pada ketentuan Pasal 20 PMK Nomor 2 Tahun 2014 mengatur bahwa
Dewan Etik akan dipilih oleh Panitia Seleksi yang bersifat independen, Panitia
maupun elektonik, dan dari masyarakat luas. . Lihat Pasal 1 angka 6 dan 7 PMK No. 2 Tahun 2014.
87Ketentuan Pasal 14 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2014 Juncto Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014.
88Ketentuan Pasal 3 Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014. 89Ketentuan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2014 90Ketentuan Pasal 19 PMK No. 2 Tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
Seksi ini terdiri atas tiga orang anggota yang dipilih dalam Rapat Pleno Hakim
yang bersifat tertutup. Panitia Seleksi ini terdiri atas:
a. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang akademisi; dan c. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Dewan Etik mempunyai tugas yang diatur pada Pasal 21 PMK No. 2 Tahun
2014 juncto Pasal 4 Peraturan Dewan Etik No. 1 Tahun 2014. Pasal 4 Peraturan
Dewan Etik Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan sebagai berikut:
a. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim tidak melakukan pelanggaran berupa: a) melakukan perbuatan tercela; b) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c) melanggar sumpah janji atau jabatan; d) dengan sengaja menghambat Mahkamah member putusan dalam
waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana di maksud dalam Pasal 7B ayat (4) UUD NRI 1945;
e) melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi; f) melanggar larangan sebagai Hakim Untuk:
1) merangkap jabatan sebagaimana pejabat-pejabat negara lainnya, anggota-anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri;
2) Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung mapun tidak langsung;
3) Mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan;
g) tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim untuk: 1) Menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya; 2) Memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil,
tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan 3) Menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta
dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan penelaahan laporan dan
informasi tentang perilaku Hakim; c. Memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan
pelanggaran sebagaimanadimaksud Pasal 4 huruf a;
Universitas Sumatera Utara
d. Mengusulkan kepada Mahkamah untuk membentuk Majelis Kehormatan dan membebas tugaskan sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagai Hakim Konstitusi apabila Dewan Etik menyimpulkan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah melakukan pelanggaran berat;
e. Menyampaikan laporan dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditelaah tentang perilkau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran beratn dalam sidang Majelis Kehormatan;
f. Menyampaikan laporan peelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk melaksanakan tugasnya Dewan Etik mempunyai wewenang yang
diatur pada Pasal 22 PMK No. 2 Tahun 2014 Juncto Pasal 5 Peraturan Dewan
Etik No. 1 Tahun 2014, yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan pendapat secara tertulis atas pernyataan Hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;
b. Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, Pelapor, serta pihak lain yang berkaitan;
c. Memberikan teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;
d. Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggran berat atau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;
e. Mengusulkan kepada Mahkamah untuk membebastugaskan sementara sebagai Hakim Konstitusi terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggran berat.
Sejak Mahkamah Konstitusi mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19
Agustus 2003, Dewan Etik baru dibentuk pada tahun 2013. Sebagaimana pada
tanggal 12 Desember 2013, Hamdan Zoelva menyampaikan keanggotaan Panitia
Seleksi Dewan Etik Hakim Konstitusi yang terdiri dari:
a. Laica Marzuki sebagai koordinator; b. Slamet Effendy Yusuf sebagai anggota; dan
Universitas Sumatera Utara
c. Aswanto sebagai anggota
Panitia Seleksi Dewan Etik Hakim Konstitusi yang telah terbentuk ini
memilih tiga dari 37 calon yang mendaftarkan diri maupun diusulkan oleh
masyarakat. Dewan Etik Hakim Konstitusi yang yang dipilih oleh Panitia Seleksi
untuk periode 2013-2016, yaitu terdiri atas91
:
a. Abdul Mukthie Fadjar dari unsur mantan Hakim Konstitusi; b. Zaidun dari unsur akademisi; dan c. A. Malik Madani dari unsur tokoh masyarakat.
Dewan Etik dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 18 PMK No.
2 Tahun 2014 akan dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya
Dewan Etik mempunyai kaitan yang erat dengan salah satu lembaga yang
dibentuk Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014 juga,
yaitu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana ketentuan Pasal 22 PMK No. 2 Tahun 2014, yang
menyatakan bahwa salah satu wewenang Dewan Etik adalah mengusulkan
pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan
terhadap Hakim Terduga yang diduga telah telah melakukan pelanggaran berat
dan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/atau tulisan sebanyak
tiga kali.
91Mahkamah Konstitusi, “Dewan Etik MK Resmi Bekerja” <http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=9731>. Diakses pada tanggal 11 September 2016, Pukul 20.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
C. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Penegak
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah
ada sejak ditetapkannya UU No. 24 Tahun 2003, yaitu pada Pasal 23 ayat (3),
yang menyatakan bahwa; “Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.” Kemudian pada tahun
2006 Mahkamah Konstitusi membentuk Peraturan tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yaitu peraturan Nomor 10/PMK/2006. Pada perubahan UU
No. 24 Tahun 2003 Majelis Kehormatan baru didefinisikan yaitu setelah
ditetapkannya UU No. 8 Tahun 2011.
Pada Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2011 memberikan defenisi, yang
menyatakan bahwa: “Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi adalah perangkat
yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa dan
merekomendasikan tindakan terhadap Hakim konstitusi, yang diduga melanggar
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Kemudian lebih lanjut pada Bab IVA Pasal 27A ayat (2) menyatakan
bahwa: untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
maka dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya
terdiri dari:
a. 1 (satu) orang hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintah di bidang hukum; dan
Universitas Sumatera Utara
d. 1 (satu) orang hakim agung.
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU/IX/2011, Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
NRI 1945 dengan pendapat Mahkamah pada halaman putusan tersebut
sebagai berikut:
Adanya unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 beralasan menurut hukum. Oleh karena Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 saling memiliki keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 8/2011 maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara spesifik baru
dibentuk pada tanggal 21 Maret 2013 melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi
No. 1 Tahun 2013. Namun Peraturan tentang Majelis Kehormatan ini hanya tidak
berlaku lam yaitu hanya berlaku berlaku sekitar kurang dari satu tahun. Seperti
halnya Pengaturan Mahkamah konstitusi No. 2 Tahun 2013, pada tanggal 18
Maret PMK No. 1 Tahun 2013 ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pengaturan Majelis Kehormatan kemudian diatur dalam PMK No. 2 Tahun 2014.
Adapun pengaturan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam Peraturan
Mahkamah nomor 2 Tahun 2014 tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Kedudukan dan Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkmah Konstitusi
Universitas Sumatera Utara
Untuk menegakkan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi dibentuk
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi merupakan perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik hakim
konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh
Dewan Etik.92 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi atas usulan Dewan Etik.93 Berdasarkan ketentuan Pasal 3
PMK No. 2 tahun 2014 menyatakan bahwa usulan pembentukan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi disampaikan secara tertulis disertai dengan
usul pembebas tugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Kemudian dalam
jangka waktu palig lama tujuh hari kerja sejak diterimanya usulan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi harus sudah membentuk Majelis Kehormatan dan
membebas tugaskan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.94
Dalam melaksanakan tugasnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
berpedoman kepada: a) Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; b)
tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; c) norma
dan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan
Majelis Kehormatan dan pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
kemudian ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
95
92Ketentuan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 2 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014 93Ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK No. 2 Tahun 2014 94Ketentuan Pasal 3 PMK No. 2 Tahun 2014 95Ketentuan Pasal 27A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini bersifat ad hoc, sehingga
Majelis Kehormatan Hakim konstitusi hanya akan dibentuk oleh Mahkamah
Konstitusi apabila ada usulan dari Dewan Etik.
2. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana telah penulis jelaskan bahwa ketentuan keanggotaan Majelis
Kehormatan berdasarkan Pasal 27A ayat 2 telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI 1945. Sehingga stuktur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi saat ini merujuk pada PMK No. 2 Tahun 2014, Pasal 5 PMK No. 2
Tahun 2014 menyatakan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah
terdiri atas unsur:
a. 1 (satu) orang Hakim Konstitusi; b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; d. 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; e. 1 (satu) orang tokoh masyarakat
Calon anggota Majelis Kehormatan dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang
bersifat tertutup. Untuk yang berasal dari Komisi Yudisial akan ditugaskan oleh
Komisi Yudisial sesuai sengan permintaan Mahkamah Konstitusi. Kemudiaan
setelah terpilih akan ditetapkan menjadi Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.96
3. Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
96Ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 7 PMK No. 2 tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
Susunan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai PMK No. 2
Tahun 2014 Pasal 8 ayat (1) terdiri atas:
a. 1 (satu) orang Ketua Merangkap anggota; b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota; dan c. 3 (tiga) orang anggota.
Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini ditetapkan dengan
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan tugasnya
berdasarkan Pasal 10 PMK No. 2 Tahun 2014, Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi.
4. Syarat Keanggotaan Majelis Kehormatan
Untuk mendapatkan anggota Majelis Kehormatan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku maka perlu dibuat ketentuan beberapa syarat
untuk bisa menjadi anggota Majelis Kehormatan, Pasal 11 PMK No. 2 Tahun
2014 Untuk menjadi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi harus
memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:
a. jujur, adil, dan tidak memihak; b. berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun untuk anggota Majelis
Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, huruf d, dan huruf e;
c. berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
5. Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Dalam menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sudah seyogyanya mendapatkan tugas dan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 PMK No. 2 Tahun Tahun
2014, tugas Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:
a. melakukan pengelolaan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;
b. menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk menunjang pelaksanaan tugasnya, berdasarkan Pasal 13 PMK No. 2
Tahun 2014 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang,
yaitu sebagai berikut:
a. memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diajukan oleh Dewan Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
b. memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk diminta keterangan, termasuk untuk meminta dokumen atau alat bukti lain; dan
c. menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah pernah dibentuk pada
pada tanggal 3 Oktober 2014,97 yang terdiri dari98
1. Dr. Harjono, S.H., M.C.L., yang berasal dari Hakim Konstitusi
:
2. Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., yang berasal dari Wakil Ketua Komisi Yudisial
3. Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., yang berasal dari mantan Ketua Mahkamah Agung
4. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., yang berasal dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
97Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
98Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 8 Tahun 2013 tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
5. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., yang berasal dari Guru Besar Senior Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Pembentukan Majelis kehormatan tersebut untuk memeriksa dan mengadili
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang diduga melakukan tindak pidana
korupsi.
6. Persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dugaan
pelanggaran berat yang dilakukan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
diajukan oleh Dewan Etik akan melakukan persidangan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 33 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa Persidangan Majelis
Kehormatan terdiri atas: sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang pemeriksaan
lanjutan, dan rapat pleno majelis kehormatan. Untuk lebih lanjut megenai
persidangan Majelis Kehormatan, yaitu sebagai berikut:
a) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pemeriksaan pendahuluan sesuai dengan Pasal 34 PMK No. 2
Tahun 2014 dilaksanakan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat.
Sidang pemeriksaan pendahuluan ini bersifat tertutup untuk umum, namun setelah
mendapatkan keputusan hasil pemeriksaan, Keputusan tersebut harus disampaikan
Majelis Kehormatan yang terbuka untuk khalayak umum. Berdasarkan Pasal 36
PMK No. 2 Tahun 2014 Pemeriksaan pendahuluan meliputi:
a. Mendengarkan keterangan Dewan Etik; b. Mendengarkan keterangan pelapor; c. Memeriksa alat bukti; dan/atau
Universitas Sumatera Utara
d. Mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
Sidang pemeriksaan pendahuluan ini berdasarkan ketentuan Pasal 37 (1)
PMK No. 2 Tahun 2014 dilaksanakan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
sejak ditetapkannya Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi tentang pembentukan
Majelis Kehormatan, kemudian lebih lanjut pada ayat (2) mengatakan Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 15
(lima belas) hari kerja.
Setelah selesai mendengarkan penjelasan dari para pihak berdasarkan
sidang pemeriksaan pendahuluan akan menghasilkan kesimpulan Majelis
Kehormatan yang menyatakan bahwa99
a. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan
pelanggaran
:
Apabila Hakim Terduga atau Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan
pelanggaran maka Majelis Kehormatan harus mengambil keputusan bahwa Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan
merehabilitasi yang bersangkutan. Rehabilitasi akan ditetapkan dengan keputusan
Ketua Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak
diterimanya Keputusan Majelis Kehormatan.
b. Hakim Terlapor atau Terduga Terbukti Melakukan Pelanggaran
Ringan
99Ketentuan Pasal 40 PMK Nomor 2 Tahun 201
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan Majelis
Kehormatan harus mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan Majelis Kehormatan dalam
keputusannya harus memuat penjatuhan sanksi terhadap Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga berupa tuguran lisan.
c. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga Diduga Melakukan Pelanggaran
Berat
Jika Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran berat, maka Majelis
Kehormatan mengambil keputusan melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang Pemeriksaan Lanjutan, disertai
dengan pemberhentian sementara.
b) Sidang Pemeriksaan Lanjutan
Sidang pemeriksaan lanjutan ini sesuai ketentuan Pasal 44 PMK No. 2
Tahun 2014 dilaksanakan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat dan
melakukan pemeriksaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah
mendapatkan teguran lisan sebanyak tiga kali, serta membacakan Keputusan
Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.
Universitas Sumatera Utara
Sidang pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan beberapa tahap, dimana
setiap tahap pemeriksaan lanjutan harus dihadiri oleh Dewan Etik, adapun tahap-
tahapnya yaitu sebagai berikut100
a. Mendengarkan keterangan Dewan Etik;
:
b. Mendengarkan keterangan pelapor; c. Memeriksa alat bukti; d. Menjelaskan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga; Setelah selesai mendengarkan dan memeriksa alat bukti dari para pihak
sidang pemeriksaaan lanjutan sesuai dengan Pasal 50 PMK No. 2 Tahun 2014,
akan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang menyatakan bahwa:
a. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan
pelanggaran
Apabila dalam pemeriksaan lanjutan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
menyimpulkan tidak terbukti melakukan pelanggaran, Maka Majelis Kehormatan
juga akan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Terduga tidak
terbukti melakukan pelanggaran dan memeberikan usulan merehabilitasi yang
bersangkutan yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan
Mahkamah Konstitusi.
b. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga Terbukti Melakukan
Pelanggaran Ringan
Apabila pada tahap sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, maka
100Ketentuan Pasal 44 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dalam keputusan Majelis
Kehormatan harus memuat penjatuhan sanksi berupa teguran lisan.
c. Hakim Terlapor Atau Hakim Terduga Terbukti Melakukan
Pelanggaran Berat
Dalam hal sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, maka dalam
keputusan Majelis Hakim harus memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis
atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Jika keputusan Majelis Kehormatan memuat penjatuhan sanksi berupa
pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, Maka
Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan
hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanaya keputusan Majelis Kehormatan
oleh Mahkamah Konstitusi.
c) Rapat Pleno Majelis Kehormatan
Berdasarkan Pasal 54 PMK No. 2 Tahun 2014 Rapat pleno Majelis
kehormatan dilakukan secara tertutup untuk umum, Rapat ini dilaksanakan untuk
mengambil keputusan Majelis Kehormatan mengenai dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Universitas Sumatera Utara
7. Prinsip Sifat Dasar dan Muatan Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Sebagai Alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mempunyai hubungan yang erat
dalam pelaksanakaan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi merupakan dua lembaga yang
berperan dalam menegakkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Dimana
salah satu wewenang Dewan Etik adalah mengusulkan pembentukan Majelis
Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat dan
untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/atau tertulis sebanyak tiga kali,
sedangkan salah satu tugas Majelis Kehormatan adalah melakukan pengelolaan
dan penelahaan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik Tersebut. Pada
saat Majelis Kehormatan melaksanakan persidangan, baik sidang pemeriksaan
pendahuluan, maupun sidang pemeriksaan lanjutan harus dihadiri oleh Dewan
Etik.
Bahkan pengaturan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan diatur pada
Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sama yaitu Peraturan Mahkmah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014, dan bahkan Pada Bab VIII Dan Bab XIII pengaturan
tentang prinsip-prinsip pelaksanaan tugas dan wewenang serta tentang sifat, dasar,
dan mutan keputusan, serta pengambilan keputusan Dewan etik dan Majelis
Kehormatan diatur pada Bab yang sama juga.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa Dewan
Etik dan Majelis Kehormatan merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menegakkan Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi, agar persyaratan integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan tetap terjaga, selama Hakim
Konstitusi melaksanakan wewenang dan kewajibannya sebagaimana yang telah
ditentukan dalam UUD NRI 1945.
Namun walaupun demikian dalam Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi sebagai alat penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi juga harus mematuhi prinsip-prinsip pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, adapun prinsip-prinsip yang dimaksud diatur dalam Pasal 55 PMK
No. 2 Tahun 2014 yaitu sebagai berikut:
a. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang sedang ditangani;
b. Prinsip Objektifitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus menggunakan kriteria, parameter, data, informasi, dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan;
c. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksnakan tugas dan wewenangnya tidak memihak kepada siapapun dan kepentingan apapun;
d. Prinsip Penghormatan Kepada Profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib menjaga kehormatan dan keleluhuran martabat Hakim Konstitusi;
e. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terduga atau Terlapor dianggap tidak bersalah sampai dengan dibuktikannya sebaliknya berdasarkan Keputusan Dewan Etik atau Keputusan Majelis Kehormatan;
f. Prinsip Transparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi, Keputusan Dewan Etik dan Keputusan Majelis Kehormatan, kecuali hal-hal yang ditentukan lain dalam Peraturan ini; dan
Universitas Sumatera Utara
g. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang.
Dalam keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi sebagai alat Penegak Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
memiliki sifat, dasar, dan muatan, yaitu sebagai berikut:
a) Sifat Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Pasal 69 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa Keputusan Dewan
Etik dan Majelis Kehormatan bersifat final dan mengikat.
b) Dasar Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Pasal 70 PMK No. 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa dalam mengambil
keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mendasarkan pada:
a) asas kepatutan, moral, dan etik; b) fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat; c) Kode Etik Hakim Konstitusi; dan d) keyakinan anggota Dewan Etik dan anggota Majelis Kehormatan.
c) Muatan Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan sesuai dengan pasal 71
PMK No. 2 Tahun 2014, harus memuat:
a) identitas Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; b) uraian singkat laporan atau informasi mengenai dugaaan pelanggaran
oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; c) fakta-fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat; d) pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; e) pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat
serta pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
Universitas Sumatera Utara
f) dasar hukum dan etika dalam pengambilan keputusan; g) amar keputusan; h) hari, tanggal, bulan, dan tahun keputusan; dan i) nama tanda tangan Ketua dan Anggota Dewan Etik dalam hal
keputusan Dewan Etik serta nama dan tanda tangan Ketua dan Anggota Majelis Kehormatan dalam hal keputusan Majelis Kehormatan.
Dalam pengambilan keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
berdasarkan Pasal 72 PMK No. 2 Tahun 2014 dilakukan dengan secara
musyawarah mufakat dalam rapat tertutup untuk umum. Ketika tidak mencapai
mufakat, maka keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak, apabila
keputusan tidak bisa diambil berdasarkan suara terbanyak, suara terakhir yang
menentukan keputusan adalah Ketua Rapat Dewan Etik dan Majelis Kehormatan.
Kemudian Pasal 73 PMK No. 2 Tahun 2014 Rapat wajib dihadiri oleh seluruh
anggota Dewan Etik dan Majelis Kehormatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2
TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 01/MKMK/X/2013
Hakim adalah konkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak.
Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Bagir Manan menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yang berwujud kebebasan hakim dalam memutus
perkara tidaklah tanpa resiko. Sangat besar kemungkinan terjadi untuk
menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang atas nama
kebebasan hakim. Sehingga perlu dibuat batasan-batasan tertentu tanpa
mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman,
pembatasan tersebut diantaranya101
1. Hakim memutus menurut hukum.
:
2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan.
3. Dalam melakukan penafsiran konstruksi atau penemuan hukum, hakim
harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general
principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of
nature justice).
101Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995, h. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim
yang sewenang-wenang untuk menyalahgunakan kebebasannya.
Berhubungan dengan pendapat mengenai pembatasan keempat, Bagir
Manan menjelaskan tindakan yang dimaksud bukan mengenai fungsi yustisialnya.
Karena tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya
dianggap kurang adil. Akan tetapi tindakan terhadap hakim atas perilaku
pribadinya yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan
kehakiman.102
102Ibid., h. 13.
Pendapat yang dijabarkan oleh Bagir Manan terbukti dalam tataran praktis.
yaitu, Pada tanggal 2 Oktober 2013 tertangkap tangannya Ketua Mahkamah
Konstitusi aktif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan pembahasan pada Bab sebelumya mengenai PMK No. 2
Tahun 2014 yang mengatur tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan
mengenai dugaan “pelanggaran berat” yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi.
Untuk dapat menilai sejauh mana pelaksanaan Peraturan Mahkamah Konstitusi
tersebut Maka akan dikaji dengan menganalisa Keputusan Majelis Kohormatan
Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 Dengan Hakim Terlapor Dr.
H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
Universitas Sumatera Utara
A. Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Dalam
Memeriksa dan Mengambil Keputusan Pelanggaran Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini debentuk secara ad hoc, yang dibentuk
hanya ketika ada dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga atas usulan Dewan Etik, yang kemudian akan ditetapkan
dalam keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Untuk memeriksa dan mengambil
keputusan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Nomor
01/MKMK/X/2013 dibentuk bedasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi
Nomor 7 Tahun 2013 juncto Nomor 8 Tahun 2013.
Dalam Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013 pada
bagian menimbangnya mengatakan:
a. bahwa untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Rapat Pleno Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 3 Oktober 2013 menyepakati untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
b. bahwa untuk maksud sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu menetapkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kemudian Berdasarkan pertimbangan Rapat Pleno Hakim Konstitusi pada
hari Kamis, tanggal tanggal 3 Oktober 2013 tersebut menetapkan Keputusan
Ketua Mahkamah Konstitusi Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang Hakim Konstitusi b. 1 (satu) orang pimpinan Komisi Yudisial
Universitas Sumatera Utara
c. 1 (satu) orang mantan pimpinan lembaga negara; d. 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi atau mantan Hakim Agung,
dan e. 1 (satu) orang guru besar senior dalam ilmu hukum.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tersebut berwenang memeriksa
dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H.M. Akil Mochtar,
S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam melaksankan
tugasnya Majelis Kehormatan dibantu oleh Sekretariat yang ditetapkan oleh
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah dibentuk tersebut
dalam melaksanakan tugasnya memiliki jangka waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal ditetapkan dibentuk, dan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Setelah nantinya majelis Kehormatan telah
mempunyai keputusan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh
Hakim Konstitusi Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H., maka Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus disampaikan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak ditetapkan.
Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2013
tersebut maka dalam menetapkan nama-nama keanggotaan Majelis Kehormatan
untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Konstitusi Dr. H.M.
Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ketua
Mahkamah Konstitusi kemudian mengelurkan lagi Keputusan Nomor 8 Tahun
2013.
Dalam keputusan Nomor 8 Tahun 2013 tersebut menetapkan nama-nama
anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Dr. Harjono, S.H., M.C.L., yang berasal dari Hakim Konstitusi 2. Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., yang berasal dari Wakil Ketua
Komisi Yudisial 3. Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., yang berasal dari mantan
Ketua Mahkamah Agung 4. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., yang berasal dari Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi 5. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., yang berasal dari
Guru Besar Senior Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
B. Analisa Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor
01/MKMK/X/2013
Sebagaimana telah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa
dalam Keputusan Majelis kehormatan, harus memuat antara lain:
1. identitas Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
2. uraian singkat laporan atau informasi mengenai dugaaan pelanggaran oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
3. fakta-fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat;
4. pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
5. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat serta
pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;
6. dasar hukum dan etika dalam pengambilan keputusan;
7. amar keputusan;
Oleh karena itu, dalam menganalisa Keputusan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013 ini, penulis akan
menguraikannya satu persatu, yaitu sebagai berikut:
1. Identitas Hakim Terlapor
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat ketentuan dari Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014, tidak ada
menjelaskan hal-hal apa saja yang harus di uraikan Majelis Kehormatan mengenai
identitas Hakim Terlapor, Dalam ketentuan pasal 71 hanya menyatakan dalam
Keputusan Majelis Kehormatan harus memuat identitas Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga. Dalam Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 01/MKMK/2013, memuat identitas Hakim Terlapor, yaitu:
1. Nama : Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
2. Tempat/Tanggal Lahir : Putussibau. 18 Oktober 1960
3. Jabatan : Hakim Konstitusi
4. Alamat : Jl. Widya Chandra III No. 7 Jakarta Selatan.
2. Ringkasan Informasi Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Hakim Terlapor
Ketentuan Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang muatan keputusan
Majelis Kehormatan mengenai uraian singkat laporan atau Informasi mengenai
dugaan pelanggaran oleh Hakim Terlapor. Dalam Keputusan Majelis Kehormatan
Nomor: 01/MKMK/X/2013, Informasi mengenai dugaan pelanggaran oleh Hakim
Terlapor, penulis mengkategorisasikannya dalam beberapa poin penting, yaitu
sebagai berikut:
a) Bepergian Tanpa Pemberitahuan Kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi
Hakim Terlapor diduga bepergian pada tanggal 21 September 2013 ke
Singapura bersama ajudan-KSN dan Sopir-DYN, Menurut dokumen yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh oleh Majelis Kehormatan diketahui Hakim Terlapor ke Singapura dan
kenegara lainnya tanpa ada pemberitahuan kepada Sekretariat Jenderal.
b) Pelanggaran Hukum Atas Kepemilikan Barang Harta Kekayaan
Hakim terlapor diduga melakukan pelanggaran hukum mengenai hak atas
harta kepemilikannya, diantaranya; Hakim Terlapor diduga memiliki mobil
Toyota Crown Athlete yang tidak didaftarkan ke Ditlantas Polda Metro Jaya dan
diduga memilki mobil Sedan Mercedes Benz yang diatas namakan Sopir Hakim
Terlapor-DYN.
c) Penyalahgunaan Kewenangan
Hakim terlapor diduga melakukan penyalahgunaan kewenagan jabatannya,
dimana ketika Hakim Terlapor masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah
Konstitusi pernah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk
mengeluarkan surat terkait pelaksanaan Putusan Perkara Perselisihan Hasil
pemilkukada Banyuasin, dan Hakim Terlapor juga diduga mengeluarkan surat
yang menegaskan kebenaran surat yang dikirimkanm Panitera adalah atas perintah
Hakim Terlapor.
Selain itu Hakim terlapor diduga mengadakan pertemuan dengan Anggota
DPR yang berinisial CHN di ruang kerja Hakim Terlapor pada tanggal 9 Juli
2013. Selain itu, Hakim Terlapor dan Anggota DPR yang berinisial CHN berada
ditempat yang sama pada saat keduanya ditangkap KPK di Rumah Jabatan Hakim
Terlapor yaitu pada tanggal 2 Oktober 2013 karena dugaan penyuapan.
Universitas Sumatera Utara
Hakim Terlapor juga diduga menggunakan Kewenangannya sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan pembagian penanganan perkara pada
Panel-nya lebih banyak daripada Panel lainnya.
d) Transaksi Keuangan Yang Tidak Wajar
Hakim Terlapor diduga mempunyai dana yang tersimpan di 15 rekening
bank dan isti Hakim terlapor juga mempunyai dana yang tersimpan di 5 rekening
bang dengan jumlah dan lalu lintas transaksi yang tidak wajar, serta adanya
informasi bahwa tansaksi keuangan direkening Hakim Terlapor dan istrinya
dilakukan oleh baik Sekretarisnya yang berinisial YS, maupun Sopirnya yang
berinisial DYN.
Dalam rekening Hakim Terlapor juga diduga adanya transaksi keuangan
yang dilakukan oleh STA yang meruppakan kuasa hukum para pihak yang
berperkara, dan pihak-pihak lain yang berperkara di Mahkamah Konstitusi
melalui setoran tunai dan transfer antara bank.
e) Pemakain dan Penyimpanan Barang Terlarang
Hakim terlapor diduga menyimpan barang berupa Narkotika dan obat-obat
terlarang seperti: 3 linting ganja dalam keadaan utuh dan 1 (satu) linting ganja
dalam keadaan bekas pakai, dan 2 (dua) buah pil inex berwarna ungu dan hijau di
raung kerja Ketua Mahkamah Konstitusi.
3. Fakta Yang Terungkap Dalam Sidang Majelis Kehormatan
Ketentuan Pasal 71 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang muatan keputusan
Majelis Kehormatan mengenai fakta-fakta yang terungkap. Dalam Keputusan
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan Nomor: 01/MKMK/X/2013 telah memeriksa dan/atau
meminta keterangan sejumlah saksi-saksi dan dokumen-dokumen, dan/atau
sumber informasi sebagai alat bukti. Saksi-saksi dibawah sumpah sebanyak 14
(empat belas) orang, diantaranya sebagai berikut:
a) Saksi Yuanna Sisilia
Saksi Yuanna Sisilia merupakan Sekretaris Ketua Mahkamah Konstitusi,
saksi Yuanna Sisilia pada pokoknya menerangkan bahwa:
1) Hakim Terlapor sering pergi keluar negeri bersama keluarga, Sopir
Hakim Terlapor, dan ajudanya, dimana dalam frekuensi waktu setahun
Hakim Terlapor bepergian ke Singapura 2 sampai 3 kali. Saksi pernah
menerima oleh-oleh dari Hakim Terlapor berupa tas, jam tangan, dan
parfum dari luar negeri;
2) Saksi juga pernah diminta melakukan penyetoran uang tunai ke
Rekenig Hakim Terlapor pada saat Hakim Terlapor menjadi Ketua
Mahkamah Konstitusi dalam jumalah bervariasi: Rp 10 juta, 50 juta,
100 juta, dan 200 juta yang dilakukan beberapa kali dalam satu bulan,
dan pernah sekali melakukan penyetoran sejumlah Rp 500 juta;
3) Saksi sering diminta Hakim Terlapor melakukan transaksi keuangan
melalui ATM atas nama Hakim terlapor dan memberikan PIN ATM
Hakim Terlapor kepada saksi.
4) Serta Hakim terlapor kadang-kadang menerima tamu pribadi tanpa
mengisi formulir penerimaan tamu pimpinan.
Universitas Sumatera Utara
b) Saksi Sutarman
Saksi Sutarman merupakan Office Boy/Cleaningbservice Lantai 15 Gedung
Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya pada pokoknya menerangkan bahwa
Hakim Terlapor selama saksi menjalankan tugasnya Office Boy/Cleaningbservice
yang pekerjaannya membersihkan ruang kerja Hakim Terlapor tidak pernah
melihat Hakim Terlapor merokok, tidak pernah menemukan abu rokok, tidak
pernah barang mencurugakan seperti Narkoba, tidak pernah meliaht mesin
penyedot asap, bahkan ada asbak rokok tetapi fungsinya sebagai tempat alat tulis.
c) Saksi Ardiansyah Salim
Saksi Ardiansyah Salim merupakan Kepala Subbagian Protokol Mahkamah
Konstitusi, dalam persidangan saksi menerangkan bahwa: Saksi menyaksikan
penggeledahan di ruangannya dan rungan Ketua Mahkmah Konstitusi, pada saat
Tim KPK menemukan barang yang diduga Narkoba, Saksi dipanggil oleh Tim
KPK untuk ikut menyaksikannya, namun barang tersebut sudah berpindah tempat,
dari keterangan saksi Hakim Terlapor sudah berhenti merokok.
d) Saksi Teguh Wahyudi
Saksi Teguh Wahyudi merupakan Kepala Bagian Protokol dan TU
Pimpinan Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya dia menerangkan bawa:
Saksi dipanggil oleh KPK untuk menyaksikan ada temuan barang yang diduga
narkoba diruang kerja Hakim Terlapor.
Pada tanggal 7 Oktober 2013 ada tamu yang menemui Hakim Terlapor di
raung kerjanya kurang lebi 30 menit yang bernama Chairunissa yang dan
merupakan anngota DPR.
Universitas Sumatera Utara
e) Saksi Sarmili
Saksi Sarmili merupakan Staf Subbagian Protokol Mahkamah Konstitusi,
dalam kesaksiannya pada pokoknya menerangkan bahwa: pernah menerima uang
tips dari Hakim Terlapor sebesar Rp 2 Juta, pada saat kunjungan dinas ke daerah,
Hakim Terlapor sering menerima tamu dari Federasi Panjat Tebing.
f) Saksi Kombes (Pol) Slamet Pribadi
Saksi merupakan Ketua Penyidik Narkotika Nasional, dalam kesaksiannya
pada pokoknya menerangkan bahwa dari hasil uji laboratorium, dinyatakan urine
dan rambut Hakim terlapor negatif. Namun saksi menerangkan bahwa Badan
Narkotika Nasional akan melakukan tes lanjutan yaitu test DNA untuk
mengetahui siapa pemilik dari barng tersebut.
g) Saksi dr. Amrita
Saksi merupakan Ketua Tim Pengambil Sampel urine dan Rambut
Badan dan Narkotika Nasional, dalam kesaksiannya menerangkan dari uji tes kit
dan uji laboratorium, Hakim Terlapor negative menggunakan Narkoba.
h) Saksi IPDA Kasno
Saksi merupakan Ajudan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya
menjelaskan tentang kronologi tertangkapnya Hakim Terlapor yaitu: Hakim
Terlapor tertangkap pada hari Rabu, tanggal 2 Oktober 2013 Sekitar Pukul 20.15
WIB, Hakim Terlapor pulang dari kantor menuju rumah jabatan. Sewaktu perjalan
menuju rumah jabatan Hakim Terlapor berjalan seperti biasanya yakni dengan
rangkaian pengawal berinisial BM di posisi paling depan, Mobil Toyota Crown RI
9 yang didalamnya terdapat Hakim Terlapor, dan mobil patwal Nissan X-Trail.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat tiba di kediaman Hakim Terlapor di kompleks Widya Chandra Sikitar
Pukul 20.30 WIB, pintu gerbang dibuka petugas, baik dari security maupun dari
polisi kemudian mobil masuk, saksi membukakan pintu mobil Hakim Terlapor
kemudian Hakim Terlapor masuk ke dalam rumah kediaman. Saksi kemudian
berganti pakaian di pos jaga kemudian makan malam bersama dengan rekan-rekan
security dan polisi di dapu.
Setelah makan, sekitar Pukul 21.00 WIB, dating dua orang tamu, satu laki-
laki satu perempuan. Setelah dibukakan pintu gerbang oleh petugas jaga, perugas
melaporkan ke dalam rumah bahwa ada tamu dating. Setelah petugas melaporkan
ke dalam rumah, kedua tamu tersebut dipersilahkan menunggu teras. Selang
beberapa waktu kemudian, petugas KPK dating ke kediaman Hakim Terlapor dan
langsung menghampiri tamu tersebut. Tidak lama kemudian Hakim Terlapor
kemudian keluar dari dalm rumah.
Kemudian saksi menyatakan bahwa pada saat itu posisinya tidak
berdekatan dengan Hakim Terlapor karena berada di depan pos jaga bersama
rekan-rekan security dan polisi lainnya setelah sebelumnya dikumpulkan oleh
petugas KPK dan tidak diperkenankan membuat gerakan atau aktifitas. Setelah
itu, saksi melihat Hakim Terlapor dibawa petugas KPK ke dalam mobil.
Berselang 2 jam kemudian Petugas KPK datang kembali, saksi melihat
petugas KPK mengambil tas kerja Hakim Terlapor di ruang pribadi istri Hakim
Terlapor. Tas tersebut dimaksukkan ke dalam mobil Toyota Crown RI 9 tanpa
terlebih dahulu memeriksa dan memperlihatkan isi tas tersebut. Setelah itu saksi
melihat mobil Toyota Crown RI 9 disegel oleh petugas KPK.
Universitas Sumatera Utara
i) Saksi Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.,
Saksi merupakan Hakim Konstitusi, dalam kesaksiannya pada pokoknya
menerangkan bahwa: saksi merupakan Hakim Konstitusi yang satu Panel Hakim
Terlapor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) kepala daerah. Saksi menerangkan bahwa selama proses
penagan dua perkara PHPU Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak, mulai
dari sidang pertama sampai terakhir dilakukan sesuai dengan hukum acara yang
berlaku. Menurut saksi tidak ada hal yang aneh dan mencurigakan.
Namun saksi membenarkan bahwa Panel Hakim Terlapor banyak
menangani perkara PHPU Kepala Daerah. Akan tetapi, sak si tidak mengetahui
jumlah perkaranya, apakah jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan panel
hakim lain.
j) Saksi Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.,
Saksi merupakan Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam kesaksiannya
menerangkan bahwa : saksi merupakan Hakim Konstitusi yang satu Panel Hakim
Terlapor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) kepala daerah. Saksi menerangkan bahwa tidak pernah
merasa terpengaruh, baik oleh pemberitaan media massa maupun Hakim Panel
lainnya, kemudian saksi juga menerangkan bahwa saksi tidak ada tekanan dlam
pengambilan keputusan, baik pengambilan keputusan perkara PHPUD Kabupaten
Gunung Mas maupun Kabupaten Lebak. Dalam pengambilan Putusan PHPUD
Kabupaten Gunung Mas maupun Kabupaten Lebak seluruh anggota Panel
Universitas Sumatera Utara
memutuskan secara bulat tanpa ada anggota panel yang mengaukan dissenting
opinion.
k) Saksi Kasianur Sidauruk
Dalam kesaksiannya, saksi Kasianur Sidauruk pada pokoknya menerangkan
bahwa:
1) Jumlah perkara PHPUD yang masuk di MK sebanyak 141 perkara yang
dibagi ke dalam tiga panel;
2) Distribusi penanganan perkara masing-masing panel diupayakan merata.
Namun mengingat banyaknya perkara yang masuk maka Panel Hakim
Terlapor sedikit lebih banyak dari pada Panel lainnya dengan alasan
Hakim Terlapor merasa bertanggungjawab untuk memperioritaskan
penyelesaian perkara yang ada di Mahkamah Konstitusi;
3) Hakim terlapor menangani hampir semua PHPU kepala daerah di daerah
Kalimantan;
4) Selain menerangkan PHPUD Kabupaten Gunung Mas dan Lebak, Saksi
Juga menerangkan mengenai PHPUD kepala daerah Kabupaten Banyuasin
yang telah diputus 10 Juli 2013;
5) Saksi mengatakan pada tanggal 18 Juli 2013, sekitar pukul 14.00 WIB,
saksi dipanggil Hakim Terlapor ke ruangan kerja Hakim Terlapor. Dalam
ruangan tersebut, saksi diminta untuk membuat surat yang ditujukan
kepada Menteri Dalam Negeri terkait PHPU kepala daerah Kabupaten
Banyuasin yang pada pokoknya berisikan penundaan pengesahan dan
Universitas Sumatera Utara
pengangkatan pasangan calon Bupati terpilih sampai pemasalahan dalam
penyelenggaraan Pemilukada diselesaikan;
6) Terhadap perintah tersebut, Saksi mengatakan bahwa perkara Banyuasin
sudah final dan mengikat sejak 10 Juli 2013, namun Hakim Terlapor tetap
memerintahkan pembuatan surat tersebut dan berjanji akan menyampaikan
perihal tersebut ke Rapat Permusyawaratan Hakim;
Selain keterangan sejumlah saksi-saksi dan/atau sumber informasi dibawah
sumpah Majelis Kehormatan juga memeriksa dan mempelajari dokumen-
dokumen sebagai alat bukti yang sah yang terkait dengan dugaan pelanggaran
Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi yang dilakukan Hakim terlapor,
diantaranya yaitu sebagai berikur:
1) Surat Komisi Pemberantasn Korupsi Nomor B-2832/01-23/10/2013,
tanggal 9 Oktober 2013, perihal pemberitahuan penahanan tersangka atas
nama Hakim Terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. dalam perkara
dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait dengan
penangan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Provinsi
Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Provinsi BANTEN Tahun
2013 di Mahkamah Konstitusi.
2) Berita Acara penemuan Barang diduga Narkotika dan obat-obatan
terlarang, tertanggal 3 oktober 2013 dari KPK.
3) Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris dari Badan Narkotika Nasional
Nomor SS20J/X/2013 tetanggal 6 oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
4) Berita acara Pemeriksaan Laboratoris dari Badan Narkotika Nasional
Nomor 909/X/2013/UPT.LAB UJI NARKOBA tertanggal 7 Oktober 2013
yang menerangkan urine dan rambut Hakim Terlapor adalah benar
negative, tidak mengandung golongan Narkotika
5) Surat Direktorat Lalu Lintas Polda Metrojaya Nomor B/2999/X/2013 Dit
Lantas tertanggal 10 oktober 2013, yang pada pokoknya menerangkan
bahwa mobil sedan Marcedes Benz s-350 L/2013 warna hitam metalikatas
nama DYN yang beralamatdi Jalan Pancoran Indah III/8 RT 9/2 Pancoran,
Jakarta Selatan. Sedangkan mobil sedan Toyota Crown Athlete dengan
nomor B 161 SCZ, belum terdaftar di Ditlantas Polda Metro Jaya.
6) Dokumen dari lembaga yang mempunyai otoritas menerangkan adannya
transaksi yang tidak wajar di rekening Hakim Terlapor dan Istri Terlapor.
7) Surat pengunduran diri sebagai Hakim Konstitusi atas nama Dr. H. M.
Akil Mochtar, S.H., M.H., tertanggal 3 Oktober 2013.
8) Berita Acara Pemeriksaan Hakim terlapor oleh Majelis Kehormatan, yang
berisi pernyataan Hakim Terlapor tidak bersedia memberikan keterangan
dan menggunkan hak pembelaan diri.
9) Surat Badan Narkotika Nasional Nomor R/12-NAL/X/2013/BNN yang
menyatakan bahwa barang bukti : BB/01/X/2013/BNN identik dengan
Profil DNA Hakim Terlapor.
Selama proses pemeriksaan Hakim Terlapor dalam persidangan untuk
menemukan fakta-fakta mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
Hakim Terlapor baik melalui saksi maupun alat bukti surat yang berupa dokumen
Universitas Sumatera Utara
Majelis kehormatan juga telah membaca dan mempelajari Surat Hakim Terlapor
yang ditujukan kepada Mahkamah konstitusi, dimasa salah satu isinya adalah
pernyataan pengunduran diri Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi.
Jika dikaitkan dengan pengaturan alat bukti pada PMK No. 2 Tahun
2014 mengenai pemeriksaan alat bukti, yag diatur diatur dalam BAB XI tentang
Pemeriksaan Alat Bukti, yaitu sebagai berikut:
Pasal 61 (1) Dewan Etik, Pelapor, dan/atau Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
atau Hakim dapat mengajukan alat bukti. (2) Dewan Etik atau Majelis Kehormatan dapat meminta alat bukti
kepada pihak lain. Pasal 62
(1) Alat bukti yang digunakan dalam rapat Dewan Etik, Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan meliputi:
a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli;
d.alat bukti lain berupa data dan/atau informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
e. petunjuk. (2) Dewan Etik atau Majelis Kehormatan menentukan sah atau tidak
sahnya alat bukti dalam Rapat Dewan Etik, Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan.
Dapat dilihat bahwa Pasal 62 tersebut alat bukti yang digunakan dalam
persidangan Majelis Kehormatan dalam pengambilan Keputusan Nomor:
01/MKMK/X/2013 adalah alat bukti surat atau tulisan dan keterangan saksi. Akan
tetapi pengaturan tentang alat bukti ini, menurut penulis kurang spesifik. Apalagi
pengaturan alat bukti yang dipakai sama saja dengan alat bukti yang digunakan
oleh Dewan Etik. Padahal sebelumnya sudah diperiksa oleh Dewan Etik. Hanya
Universitas Sumatera Utara
saja karena Dewan Etik tidak punya kewenangan untuk memutuskan Hakim
Terlapor diberhentikan dengan tidak hormat. Sebagaimana juga sebutkan dalam
Pasal 36 ayat (2) setiap sidang pemeriksaan pendahuluan dihadiri oleh Dewan
Etik, kemudian ketentuan Pasal 44 ayat (3) juga menyebutkan setiap sidang
pemeriksaan lanjutan dihadiri oleh Dewan Etik, jadi dapat disimpulkan disetiap
sidang Majelis Kehormatan selalu dihadiri oleh Dewan Etik yang sudah terlebih
dahulu diperiksa oleh Dewan Etik.
4. Pembelaan Hakim Terlapor
Dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:
01/MKMK/X/2013, Menjelaskan bahwa:
Majelis kehormatan telah mendatangi Hakim Terlapor di Gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk meminta keterangan hakim terlapor sekaligus
memberikan kesempatan kepada Hakim Terlapor untuk menyampaikan
pembelaan diri dalam sidang Majelis Kehormatan akan tetapi Hakim Terlapor
menolak menyampaikan pembelaan diri dengan alasan Hakim Terlapor telah
mengundurkan diri sebagai Hakim konstitusi sejak tanggal 3 Oktober 2013 dan
pemberian keterangan dan pembelaan diri Hakim Terlapor dilakukan dalam
sidang Majelis Kehormatan yang bersifat tertutup untuk umum.
Selain itu hakim terlapor juga mempersilahkan Majelis Kehormatan untuk
mengambil keputusan tanpa mendengarkan keterangan dan pembelaan diri Hakim
Terlapor, serta apabila dipandang perlu Majelis Kehormatan dapat menggunakan
Universitas Sumatera Utara
keterangan Hakim Terlapor sebagaimana tercantum dalam surat pengunduran diri
Hakim Terlapor sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 68 PMK No. 2 Tahun 2014, dimana
bunyi pasalnya, menyatakan bahwa:
1) hakim Terlapor atau Hakim Terduga berhak megajukan klarifikasi dan/atau pembelaan dalam Rapat Dewan Etik, sidang pemeriksaan Pendahuluan, dan Sidang Pemeriksaan Lanjutan,
2) klarifikasi dan/atau pembelaan sebagaimna dimaksud pada yat (1) disampaikan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain.
3) dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak menggunakan haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Etik atau Majelis Kehormatan melanjutkan rapat atau sidang untuk mengambil keputusan tanpa klarifikasi dan/atau pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Dengan ketentuan pasal tersebut menurut hemat penulis Hakim Terlapor
secara tidak langsung tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan
terhadap dugaan pelanggaran yang telah diperbuatnya. Padahal sebagai Hakim
Konstitusi, jika melakukan pelanggaran haruslah berani bertanggung jawab atas
perbuatan yang telah diperbuatnya.
5. Pertimbangan Terhadap Fakta Yang Terungkap Dalam Sidang Majelis
Kehormatan Dan Pembelaan Hakim Terlapor
Dalam pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan
Majelis Kehormatan dan pembelaan Hakim Terlapor, Majelis Kehormatan
Berpendapat antara lain yaitu sebagai berikut:
a) Mengenai Hakim Terlapor sering bepergian keluar negeri bersama
keluarga, Ajudan, dan/atau DYN (Sopir), dari dokumen yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara
Majelis Kehormatan, diketahui bahwa bepergian Hakim Terlapor sering
tanpa pemberitahuan kepada secretariat Jenderal.
b) Mengenai Surat Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Nomor
B/2999/X/2013Dit Lantas, mobil Toyota Crown Athlete milik Hakim
Terlapor tidak di daftarkan ke Ditlantas polda Metro Jaya. Majelis
Kehormatan berpendapat bahwa hal yyang demikian memberi kesan
adanya kepemilikan mobil secara tidak sah, bahkan mobil tersebut dapat
dikesankan sebagai mobil gelap.
c) Mengenai keterangan saksi, dalam kurun waktu tiga bulan, Hakim
Terlapor memiliki dua mobil mewah baru yaitu Sedan Mercedes Benz S-
350 dan Sedan Toyota Crown Athlete. Atas kepemilikan mobil mewah
terebut, saksi merasa ngeri dan takut mengingat kepemilikannya dalam
jangka waktu yang relative dekat.
d) Mengenai Surat dari Ditlantas Polda Metro Jaya Nomor
B/2999/X/2013Dit Lantas diketahui bahwa mobil sedan Mercedes Benz
milik Hakim terlapor ternyata diatas namakan orang lain yaitu atas nama
supi Hakim Terlapor-DYN. Maka Majelis kehormatan berpendapat
perbuatan Hakim Terlapor tersebut patut diduga sebagai upaya untuk
menyamarkan hara kekayaaan yang dimiliki Hakim Terlapor. Padahal
sebagai pejabat negara, apalagi sebagai Ketua Mahkamah Kontitusi,
seharusnya Hakim Terlaporbersifat jujur dengan tidak mengatas namakan
harta kekayaan yang dimilikinya atas nama orang lain.
Universitas Sumatera Utara
e) Mengenai keterangan saksi yang mengatakan bahwa Hakim Terlapor ada
pertemuan dengan Anggota DPR yang berinisial CHN di ruang kerjanya.
Selain itu, juga ada peristiwa hukum bahwa Anggota DPR yang berinisial
CHN berada di tempat yang sama dengan Hakim Terlapor pada saat
keduanya di tangkap oleh KPK di Rumah Jabatan Hakim Terlapor karena
dugaan penyuapan.
f) Mengenai keterangan saksi yang mengatakan bahwa Hakim Terlapor
menggunakan kewenangannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi
untuk menetapkan pembagaian penanganan perkara pada Panel-nya lebih
banyak dari pada Panel yang lainnya. Majelis Hakim berpendapat
seharusnya jumlah perkara Pemilukada didistribusikan kepada ketiga
Panel Hakim secara proporsioanal, atau seyognyanya Panel Hakim
Terlapor menanagani jumlah perkara yang lebih sedikit dibandingkan
dengan Panel Hakim lainnya mengingat dalam kedudukannya sebagai
Ketua Mahkamah Konstitusi, Hakim terlapor memiliki tugas-tugas
kenegaraan lainnya.
g) Mengenai informasi yang diperoleh Majelis Kehormatan dari lembaga
yang mempunyai otoritas, Hakim Terlapor mempunyai 15 rekening dan
istrinya juga mempunyai dana yang tersimpana di 5 rekening bank dengan
jumlah lalu lintas transaksi keunagan yang tidak wajar. Juga diperoleh
informasi bahwa transaksi keunagan di rekening Hakim Terlapor dan
istrinya dilakukan oleh, baik Sekretaris Hakim Terlapor berinisial YS,
maupun Sopir Hakim Terlapor berinisial DYN. Selain itu juga
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan informasi yang diperoleh Majelis Kehormatan dalam
rekening Hakim Terlapor terlacak adanya transaksi keungan yang
dilakukan oleh yang berinisial STA yang merupakan kuasa hukum para
pihak yang berperkara, serta pihak-pihak lain yang berperkara di
Mahkamah Konstitusi melalui setoran tunai dan transfer antar-bank.
h) Mengenai hasil penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
tertuang dalam Berita Acara Penemuan Barang yang Diduga Obat-Obotan
Terlarang, telah ditemukan barang yang di duga Narkotika dan obat-
obatan terlarang dalm sebuah amplop coklat berukuran 23,5 cm x 10,5 cm
yang bersisi: satu buah bungkus kotak rokok merek Sampoerna Menthol
berisi tiga linting yang diduga ganja dalam keadaan utuh dan satu buah
linting yang didiga dalam keadaaan bekas pakai, dan dua buah pil
berwarna pil berwarnaungu hijau yang diduga inex. Berdasarkan uji
laboratorium dan dipastikan dengan hasil analisa bahwa benar itu
merupakan obat-obatan terlarang. Lebih lanjut lagi menurut Badan
Narkotika Nasional melalui Surat Nomor R/12-NAL/X/2013/BNN
Perihal Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan DNA yang menerangkan
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan analisa terhadap seluruh profil
DNA dari sampel barang bukti, maka telah dapat dibuktikan secara
alamiah dan tidak terbantahkan secara genetik bahwa sebagain profil
DNA pada linting ke 1 kertas putih bekas pakai yang berisikan
bahan/daun nomor register barang bukti: BB/01/X/2013/BNN identik
denga profil DNA Hakim Terlapor.
Universitas Sumatera Utara
i) Mengenai Hakim Terlapor menolak memberikan keterangan dan menolak
menyampaikan pembelaan diri dengan alasan: sudah mengundurkan diri
sebagai Hakim Konstitusi dan pemberian keterangan dan pembelaan diri
Hakim Terlapor dilakukan dalam Sidang Majelis Kehormatan yang
bersifat tertutup untuk umum, kemudian Hakim Terlapor mempersilahkan
Majelis Kehormatan untuk mengambil keputusan tanpa mendengarkan
keterangan dan pembelaan diri Hakim Terlapor, dan jika dipandang perlu,
Hakim TERLAPOR MEMPERSILAHKAN Majelis Kehormatan
menggunakan keterangan Hakim Terlapor sebagaimna tercantum dalam
surat pengunduran Hakim Terlapor sebagai dasar dalam mengambil
Keputusan.
j) Mengenai surat dari kuasa hukum Hakim Terlapor kepada Majelis yang
intinya menghendaki agar Majelis KEHORMATAN MELAKAUKAN
PENUNDAAN ATAU PENANGGUHAN Keputusan Majelis
Kehormatan sampai dengan diberikannya kesempatan kepada Hakim
Terlapor untuk didengar keterangannya dalam Sidang Majelis
Kehormatan yang terbuka untuk umum.
6. Pertimbangan Hukum Dan Etika Yang Menjadi Dasar Pengambilan
Keputusan Oleh Majelis Hakim
Dari ringkasan informasi dugaaan pelanggaran oleh hakim terlapor, fakta
yang terungkap dalam sidang, pembelaan Hakim Terlapor, pertimbangan terhadap
fakta yang terungkap dalam sidang Majelis Kehormatan dan pembelaan Hakim
Universitas Sumatera Utara
Terlapor, maka selanjutnya adalah pertimbangan hukum dan etika yang menjadi
dasar pengembilan keputusan.
Adapun pertimbanagan hukum dan etika yang menjadi dasar pengambilan
keputusan Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:
a) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang bepergian ke Singapura,
termasuk bepergian Hakim Terlapor ke beberapa negara lain tanpa
pemberitahuan kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
merupakan perilaku yang melanggar etika. Menurut Majelis
Kehormatan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, yaitu Prinsip keempat: Prinsip
Kepantasan dan Kesopanan, yaitu pada penerapan angka 2.
b) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang tidak mendaftarkan mobil
Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda Metro Jaya.
Mencermikan perilaku yang tidak jujur. Terhadap perilaku hakim
tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor
melakukan pelanggaran prinsip ketiga yaitu prinsip Integritas,
Penerapan Angka ke 1. Selain itu juga Majelis Kehormatan berpendapat
bahwa Hakim Terlapor juga terbukti melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 23 huruf b UU No. 24 Tahun sebagaimna telah dirubah
dengan UU No. 8 Tahun 2011 yang menyatakan Hakim Konstitusi
diberhentikan tidak dengan hormata apabila melakukan perbuatan
tercela.
Universitas Sumatera Utara
c) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang menyamarkan kepemilikan
mobil sedan Mercedes Benz S-350 dengan mengatas namakan Sopir
Hakim Terlapor yang berinisial DYN. Majelis Kehormatan berpendapat
bahwa Hakim Terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip
Keempat: Prinsip kepantasan dan kesopanan, penerapan angka enam.
d) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang saat itu menjabat sebagai
Ketua Mahkmah Konstitusi memerintahkan secara langsung Panitera
Mahkamah Konstitusi untuk berkirim Surat Nomor
137/PAN.MK/7/2013 dan mengeluarkan surat nomor
1760/AP.00.03/07/2013, yag isinya memerintahkan penundaan
pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap adalah
perbuatan yang melampaui kewenanagn karena tanpa dimusyawarahkan
dengan para Hakim Konstitusi melalui rapat yang sah terlebih lagi
isinya bertentangan dengan Pasal 24C UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) UU
MK yang menentukan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Final dan
mengikat. Terhadap perilaku tersebut Majelis Kehormatan berpendapat
Hakim Terlapor terbukti melakukaan pelanggaran Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip tentang
Integritas Penerapan Angka 1.
e) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang mengadakan pertemuan
dengan Anggota DPR yang berinisial-CHN di ruang kerja Hakim
Terlapor di hubungkan dengan peristiwa penangkapan Anggota DPR
yang berinisial CHN yang berada di tempat yang sama dengan Hakim
Universitas Sumatera Utara
Terlapor karena dugaan penyuapan. Majelis Kehormatan berkeyakinan
bahwa pertemuan tersebut berhubungan denga perkara yang sedang
ditangani oleh Hakim Terlapor. Terhadap perilaku Hakim Terlapor
tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor
terbukti melanggar Kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi yaitu
prinsip Pertama, Prinsip Independensi, Penerapan Angka 1.
f) Terhadap perilaku Hakim Terlapor yang menggunakan kewenangannya
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dalam menentukan pendistribusian
perkara Pemilukada kepada masing-masing Panel Hakim, telah
menetapkan ppembagian penanganan perkara Pemilukada yang
jumlahnya lebih banyak kepada Panel Hakim Terlapor daripada Panel
Hakim yang lainnya. Terhadap perilaku Hakim Terlapor tersebut,
Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim Terlapor terbukti
melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yaitu
Prinsip Ketiga, Prinsip Integritas Penerapan angka 1 dan angka 3.
g) Terhadap perilaku Hakim terlapor memerintahkan Sekretarisnya yang
berinisial YS dan Sopirnya yang berinisial DYN melakukan transaksi
keunagan ke rekening Hakim Terlapor. Terhadap perilaku Hakim
Terlapor tersebut Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran
Kode Etik dan Perilaku Hakim konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip
Integritas penerapan angka 4.
h) Berdasarkan informasi dari lembaga yang mempunyai otoritas terkait
dengan transaksi keuangan, Hakim terlapor terbukti menerima sejumlah
Universitas Sumatera Utara
dana dari orang yang berinisial STA yang merupkan Kuasa Hukum para
pihak yang berperkara, dan dari sumber-sumber lain yang ada kaitan
denga perkara di Mahkamah Konstitusi. Terhadap perilaku Hakim
Terlapor tersebut Majelis Kehormatan berpendapat bahwa Hakim
Terlapor terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip Tentang Integritas,
Penerapan Angka 3.
i) berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasional
terkait temuannya oleh penyidik KPK berupa barang Narkotika dan
obat-obatan terlarang di ruang kerja Ketua Mahkmah Konstitusi,
terbukti bahwa terdapat kesesuaian antara samel dengan DNA Hakim
Terlapor dengan DNA yang terdapat pada linting ganja bekas pakai.
Maka terhadap perilaku Hakim Terlapor tersebut Majelis Kehormatan
berpendapat bahwa Hakim Terlapor terbukti melanggar Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi yaitu Prinsip Ketiga, Prinsip Integritas,
Peneapan Angka 1.
j) Meskipun Hakim Terlapor menolak memberikan keterangan dan
menolak menyampaikan pembelaan diri. Majelis kehormatan tetap
melanjutkan sidang dan mengambil keputusan.
k) Terhadap penundaan/penangguhan putusan Majelis Kehormatan yang
disampaikan oleh Kuasa Hukum Terlapor dan mengenai Surat Kuasa
Khusus, Majelis Kehormatan berpendapat bahwa permohonan tersebut
tidak dapat dikabulkan, karena Majelis Kehormatan telah memberikan
Universitas Sumatera Utara
kesempatan kepada Hakim Terlapor untuk membela diri, tetapi Hakim
Terlapor menyatakan secara langsung dan tertulis tidak bersedia untuk
menggunakan hak pembelaan diri dihadapan Sidang Majelis
Kehormatan dan Surat Kuasa Khusus yang disampaikan oleh Kuasa
Hukum Hakim Terlapor tidak dapat dijadikan dasar hukum mewakili
Hakim Terlapor dalam Sidang Majelis Kehormatan.
7. Amar Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Dalam Amar Keputusan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:
01/MKMK/X/2013 dengan Hakim Terlapor Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.,
menyatakan:
1. Hakim Terlapor Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi;
2. Menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat kepada Hakim Terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
Keputusan ini ditetapkan berdasarkan Sidang Majelis Kehormatan dengan
lima anggota Majelis Kehormatan, yaitu Dr. Harjono, S.H.,M.C.L., selaku Ketua
merangkap Anggota, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D., selaku
Sekretaris merangkap Anggota, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Prof. Dr.
Moh. Mahfud MD, S.H., Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H., masing-masing sebagai
Anggota, pada hari kamis tanggal tiga puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu
tiga belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Majelis Kehormatan yang terbuka
untuk umum pada hari Jumat tanggal satu bulan November tahun duaribu tiga
belas.
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat dari Pasal 53 ayat (2) PMK No. 2 tahun 2014, yang menyatakan
bahwa dalam hal keputusan Majelis Kehormatan menyatakan Hakim Terlapor
atau hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, Keputusan Majelis
Kehormatanm memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis atau
pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Kemudian dalam jangka waktu paling lama dua hari kerja harus disampaikan
kepada Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut pada ayat (4) menjelaskan bahwa
dalam hal keputusan Majelis Kehormatan memuat penjatuhan sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga,
Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan
hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam jangka waktu
paling lama tiga hari kerja. Keputusan Majelis Kehormatan ini berdasarkan Pasal
69 PMK No. 2 tahun 2014 adalah bersifat final dan mengikat, jadi tidak ada lagi
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Momentum utama munculnya judicial review di dunia adalah pada
keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs.
Madison pada tahun 1803. Setelah perang dunia kedua, gagasan
Mahkamah Konstitusi dengan judicial review menyebar keseluruh Eropa,
dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah
Agung. Di Indonesia pada tanggal 13 Agustus 2003, UU No. 24 Tahun
2003 di undangkan, waktu pengesahan inilah ditetapkan sebagai hari
lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Indonesia merupakan negara
ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi di Dunia. Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman. Fungsi Mahkamah Konstitusi ada lima
yaitu: a) sebagai pengawal konstitusi, b) penafsir final konstitusi, c)
pelindung hak asasi manusia, d) pelindung hak konstitusiol warga negara,
e) pelindung demokrasi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu: a)
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, b) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, c) memutus pembubaran partai politik, d)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan
Universitas Sumatera Utara
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pengangkatan hakim
konstitusi dilakukan dengan harus memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:
a) warga negara Indonesia, b)berijazah doktor dan magister dengan sarjana
yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, c) bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, d) berusia paling rendah
empat puluh tujuh tahun dan paling tinggi enam puluh lima tahun pada
saat pengangkatan, e) mampu secara jasmani dan rohani dalam
menjalankan tugas dan kewajiban, f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, h)
mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit lima belas
tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara. Pemberhentian Hakim
Hakim Konstitusi, yaitu: 1) diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c) telah
berusia tujuh puluh tahun; d) telah berakhir masa jabatannya; e) sakit
jasmanai atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga
tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter. 2) Hakim Konstitusi dapat diberhentikan tidak dengan
hormat apabila: a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara; b) melakukan perbuatan
tercela, c) tidak meghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
selama lima kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d) melanggar
sumpah atau janji jabatan; e) dengan sengaja menghambat Mahkamah
Konstitusi memberi putusan dalam waktu yang telah ditentukan Pasal 7B
ayat (4) UUD NRI 1945; f) melanggar larangan rangkap jabatan; g) tidak
lagi memenihi syarat sebagai hakim konstitusi; h) melangggar Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
2. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ditetapkan untuk menegakkan
integritas dan kepribadian hakim konstitusi yang adil dan tidak tercela,
yang diatur dalam PMK No. 09/PMK/2016, adapun prinsip-prinsip kode
etik dan perilaku hakim konstitsi berdasarkan PMK No. 09/PMK/2006
adalah sebagai berikut: a) prinsip independensi, b) prinsip
ketakberpihakan, c) prinsip integritas, d) prinsip kepantasan dan
kesopanan, e) prinsip kesetaraan, f) prinsip kecakapan dan keseksamaan,
g) prinsip kearifan dan kebijaksanaan. Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014, dalam bentuk lembaga permanen Hakim Konstitusi
diawasi oleh Dewan Etik, namun Dewan Etik ini hanya mempunyai tugas
dan kewenangan terhadap pelanggaran ringan Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi. Selanjutnya apabila Dewan Etik dalam keputusannya,
menyatakan ada dugaan Hakim Terlapor/Hakim Terduga melakukan
pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
maka dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis
Universitas Sumatera Utara
Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini bersifat ad hoc, hanya dibentuk
apabila ada rekomendasi dari Dewan Etik.
3. Meskipun Penetapan PMK Nomor 2 Tahun 2014 memberikan kepastian
hukum dan tidak terjadi kekosongan hukum, serta memberikan kejelasan
lembaga pengawas perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi, serta anggapan
tirani yudisial, dan tirani kekuasaan kehakiman yang dijalankan
Mahkamah Konstitusi secara monopolistik tidak benar-benar terjadi di
Mahkamah Konstitusi. Penerapan Tugas dan Kewenangan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014
terhadap dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Dr. H.M. Akil
Mochtar, S.H., M.H. yang dianalisa berdasarkan Keputusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK/X/2013 dapat
diterapkan. Dimana Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam
amar putusannya menyatakan Hakim terlapor tersebut Terbukti Melakukan
Pelanggaran Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi, dan Menjatuhkan
Sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Kepada Hakim Terlapor.
Akan tetapi masih banyak kekurangan-kekurangan dalam PMK No. 2
Tahun 2014 tersebut, karena mulai dari pengaturan alat bukti, prinsip-
prinsip pelaksanaan tugas dan wewenang, sifat, dasar, dan muatan
keputusan, serta pengambilan keputusan Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan sama saja, tanpa ada perbedaan yang signifikan.
Perbedaannya hanya sebatas Dewan Etik berwenang dalam menangani
pelanggaran ringan dan Majelis Kehormatan menangani pelanggaran berat
Universitas Sumatera Utara
terhadap Hakim Terduga atau Hakim Terlapor yang diduga melakukan
pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
B. Saran
1. Pengaturan mengenai pengawasan terhadap Hakim Konstitusi kedepannya
harus diupayakan untuk terus dievaluasi agar menciptakan sistem
pengawasan yang efektif dan efesien.
2. Pengaturan lembaga pengawas dan penegak Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi, yang terdapat dalam PMK No. 2 Tahun 2014 ini
jangan hanya sekedar aturan normatif belaka, akan tetapi harus diterapkan
secara konsisten, sehingga kedepannya tidak ada lagi Hakim Konstitusi
yang melakukan pelanggaran berat, ataupun ringan terhadap Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi.
3. Pengaturan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan seharusnya dibuat dalam
Peraturan yang berbeda. Agar lebih spesifik lagi pengaturan tentang
lembaga pengawas Hakim Mahkamah Konstitusi, atau dipilih salah satu
lembaga pengawas saja, apakah Dewan Etik ataukah Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ansyahrul, 2008, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim,
Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Sengketa kewenangan antar lembaga negara, Jakarta,
konstitusi press.
.........., 2006 (a), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara
Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
.........., 2006 (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepanitraaan Mahkamah Konstitusi RI.
.........., 2010 (c), Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Jakarta: Sinar Grafika.
Chaidiri, Ellydar, 2007, Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Echols, Jhon M, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gremadia Jakarta.
Fadjar, A.Mukhtie, 2006. Hukum konstitusi dan Mahkamah konstitusi, Sekretariat,
Jakarta: Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.
Fatkhurohman, dkk, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di
Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Ghoffar, Abdul, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah
Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana.
Universitas Sumatera Utara
Ibrahim, Johny, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing.
Indonesia, Mahkamah Agung, 2003, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung
RI, Jakarta: Leip-MA.
.........., Mahkamah Konstitusi, 2004, Cetak Biru membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan
Terpercaya, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
.........., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010,
Hukum acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
.........., Sekretariat Jenderal MPR RI, 2013, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara, Jakarta.
Lubis , M. Solly, 1994, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar
Maju.
.........., 2008, Hukum Tata Negara, Bandung: CV. Mandar Maju.
Manan, Bagir, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM
Universitas Islam Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, PenelitainHukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
ND, Mukti Fajar, Yulianto Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum, Cetakan 1,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Siahaan, Maruarar, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.
Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono, 1986 (a), Pengantar Pelitian Hukum, Cetakan 3, Jakarta: UI
Press.
.........., 2010 (b), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
.........., Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Soemantri, Sri, 1986, Hak Menguji Materil di Indonesia, Bandung: Alumni.
Sunggono, Bambang, 1998, Metode Peneitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sumadi, Ahmad Fadlil, 2001, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta
Timur: Setara Press.
Thaib, Dahlan., dkk. 2006, Teori dan Hukum Konstitusi Ed.Revisi-6, , Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Thalib, Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Wigjosoebroto, Soetadyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, HUMA, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (Lembaran
Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4358) Telah Dicabut Dan Diganti Dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4415) sebagaimana telah dirubah Dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Universitas Sumatera Utara
Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang. (Lembaran
Negara Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5493).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006
Tentang Pemberlakuan Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012
Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013
Tentang Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013
Tentang Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013
Tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Mekanisme Kerja Dan Tatacara Pemeriksaan Laporan Dan Informasi
Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor:
01/MKMK/X/2013.
Universitas Sumatera Utara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014.
Jurnal:
Lidya Suryani Widayati, ‘Pemberhentian Hakim Konstitusi Tidak Dengan Hormat’,
Jurnal Hukum, Vol. V, No.21/I/P3DI/November/2013.
Muhtadi, Politik Hukum Pengawasan Hakim Konstitusi, Fakultas Hukum,
Universitas Lampung, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 3,
Juli-September 2015.
Internet:
Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”
<http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/07/mahkamah-konstitusi-
dalam-sistem- ketatanegaraan-ri/>. Diakses pada tanggal 5 September 2016.
http://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/422-
putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-dan-masa-
depan-komisi-yudisial.html. Diakses tanggal 4 September 2016, pukul 20:30
WIB.
https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/independensi-mahkamah-
konstitusi-dalam-memutus-perkara/. Diakses pada tanggal 09 Agustus
Tahun 2016, Pukul 14.40.
Universitas Sumatera Utara
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11768#.V
-NPCE197IU. Diakses pada tanggal 15 September 2016, pukul 19.20.
Universitas Islam Indonesia, “Sistem Pengawasan & Kode Etik Hakim
Konstitusi”,http://pascasarjanahukum.uii.ac.id/content/view/43/50/,
dikunjungi terakhir kali pada tanggal 06 September 2016.
Universitas Sumatera Utara