implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor …

13
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU- X/2012 TERHADAP FUNGSI LEGISLASI DPD Riyan Permana Putra Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yang antara lain Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum begitu mendapatkan tempat yang semestinya seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya direkduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini membawa angin segar bagi Dewan Perwakilan Daerah, yang mana selama ini Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi bayang-bayang dominasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dominasi berlebihan yang dilakoni Dewan Perwakilan Rakyat ini mencederai sistem bicameral yang terbentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balances yang baik. Implications of Constitutional Court Decision No. 92/PUU-X/2012 Against Legislation Function DPD Abstract Amendments Act of 1945 has given rise to some new state institutions, which include the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia. Reality creation of legislation within the framework of the institutional relationship between the House of Representatives and the Regional Representative Council not quite get the appropriate places as indicated in the Constitution of 1945., But after the decision of the Constitutional Court No. 92/PUU-X/2012 has restored the authority of the Board of Representatives areas that were previously reduced by the Law no. 27 of 2009 on the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law. 12 Year 2011 on the Establishment of legislation. It brings fresh air for the Regional Representatives Council, during which the DPD is only a shadow of the dominance of the House of Representatives. Excessive dominance of the House of Representatives acted this bicameral system formed injured for a good cause, namely the creation of a system of checks and balances is good. Keywords : DPD, Legislation, Constitusional Court, Amendments, Constitution Pendahuluan Pengaturan konstitusi terhadap DPD menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai lembaga legislatif tidak akan pernah optimal untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Karena memang sudah diatur sedemikian dengan alasan agar tidak ada dua lembaga legislatif dalam negara kesatuan. Hasil kerjanya tidak bergantung pada dirinya Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-

X/2012 TERHADAP FUNGSI LEGISLASI DPD

Riyan Permana Putra

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yang antara lain Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah belum begitu mendapatkan tempat yang semestinya seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya direkduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini membawa angin segar bagi Dewan Perwakilan Daerah, yang mana selama ini Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi bayang-bayang dominasi Dewan Perwakilan Rakyat. Dominasi berlebihan yang dilakoni Dewan Perwakilan Rakyat ini mencederai sistem bicameral yang terbentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balances yang baik.

Implications of Constitutional Court Decision No. 92/PUU-X/2012 Against Legislation Function DPD

Abstract

Amendments Act of 1945 has given rise to some new state institutions, which include the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia. Reality creation of legislation within the framework of the institutional relationship between the House of Representatives and the Regional Representative Council not quite get the appropriate places as indicated in the Constitution of 1945., But after the decision of the Constitutional Court No. 92/PUU-X/2012 has restored the authority of the Board of Representatives areas that were previously reduced by the Law no. 27 of 2009 on the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law. 12 Year 2011 on the Establishment of legislation. It brings fresh air for the Regional Representatives Council, during which the DPD is only a shadow of the dominance of the House of Representatives. Excessive dominance of the House of Representatives acted this bicameral system formed injured for a good cause, namely the creation of a system of checks and balances is good.

Keywords : DPD, Legislation, Constitusional Court, Amendments, Constitution

Pendahuluan

Pengaturan konstitusi terhadap DPD menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai

lembaga legislatif tidak akan pernah optimal untuk memperjuangkan aspirasi dan

kepentingan daerah. Karena memang sudah diatur sedemikian dengan alasan agar tidak ada

dua lembaga legislatif dalam negara kesatuan. Hasil kerjanya tidak bergantung pada dirinya

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 2: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

sendiri tetapi bergantung pada DPR. DPD adalah lembaga negara dengan kewenangan

terbatas dan tidak mungkin bertambah lagi kewenangannya kecuali terjadi perubahan

(amandemen) konstitusi lagi. Beberapa waktu lalu para anggota DPD sempat

memperjuangkan peningkatan kewenangan DPD melalui upaya perubahan UUD 1945 namun

gagal mendapat dukungan DPR. Upaya tersebut menjadi bukti bahwa para anggota DPD

sendiri merasa kurang puas dengan kewenangan lembaganya yang terbatas tersebut.1

Harus kita sadari bersama berdasarkan amandemen terhadap UUD 1945 telah terjadi

perubahan mendasar terhadap lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Seperti yang

tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih

melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Berdasarkan Pasal

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat ditafsir bahwa seolah-olah sistem perwakilan di

MPR menganut sistem bikameral, di mana MPR adalah forum bersama (joint session) antara

DPR dan DPD. Namun demikian apabila diperbandingkan lebih lanjut lagi antara

kewenangan legislasi DPR dan DPD maka ada ketimpangan derajat diantara dua lembaga

perwakilan tersebut. Diantaranya adalah (1) dalam Pasal 22C UUD 1945 bahwa jumlah

anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, (2) dalam pasal 20 UUD NRI

1945 "DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang" sedangkan dalam pasal 22D

UUD 1945 menegaskan DPD hanya dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-

undang dan ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam hal proses legislasi atau proses pembentukan undang-undang, ketimpangan ini

semakin terlihat di dalam pengaturan kewenangan di dalam Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Contohnya di dalam UU No 12 Tahun 2011 Pasal 20 ayat (1): "Penyusunan Program

Legislasi Nasional (Prolegnas) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah", pengertian Pasal 20

ayat (1) ini tentu tidak sejalan dengan maksud pasal 22D UUD 1945 yang memberikan

                                                                                                                         1Patrialis  Akbar,  Lembaga-­‐Lembaga  Negara  Menurut  UUD  RI  Tahun  1945,  (Jakarta:  Sinar  Grafika,  2013),  hal.  79  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 3: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

kewenangan "Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkait dengan otonomi daerah... ". Ayat (3) di

dalam pasal ini kemudian menyebutkan " Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari

fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.

Selain kewenangan pengajuan RUU, kewenangan dalam hal pembahasan RUU di

parlemen pun dibuat tidak setara antara DPR dan DPD, di dalam Pasal 65 ayat (3) UU No 12

Tahun 2011 keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan

hanya pada pembicaraan tingkat I. Pasal 150 ayat (3) UU No.27 Tahun 2009 juga

mengecualikan DPD untuk terlibat dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah

sebagaimana DPR dan Pemerintah, padahal pengajuan dan pembahasan DIM justru

merupakan inti dari pembahasan RUU dan menentukan politik hukum dari suatu RUU.

Dari beberapa fakta di atas, harus kita pahami DPD RI sebagai perwakilan daerah

dalam menjalankan kewenangannya masih memiliki beberapa kelemahan tetapi selelah

hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 yang dikeluarkan

dengan suara bulat alias tanpa dissenting opinion, hakim konstitusi mengabulkan sebagian

(besar) permohonan uji materi DPD RI terhadap sejumlah Pasal dalam UU No. 27 Tahun

2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengakibatkan beberapa pembahan

yang terjadi terhadap kewenangan DPD dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Perubahan

yang terjadi itulah menjadi menarik untuk menjadi bahasan skripsi yang akan saya ajukan

sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Tinjauan Teoritis

A. Fungsi Legislasi

Kata "legislasi" berasal dari Bahasa Inggris "legislation" yang berarti (1)

perundang- undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itu kata "legislation"

berasal dari kata kerja "to legislate" yang berarti mengatur atau membuat undang-undang.2

                                                                                                                         2   Dikutip   Saldi   Isra,   Pergeseran   Fungsi   Legislasi:   Menguatnya   Model   Legislasi   Parlementer   Dalam   Sistem  Presidensial   Indonesia,   (Jakarta:   Rajawali   Press,   2010),   hal.   78.   Jhon   M.   Echols   dan   Hasan   Shadily,   Kamus  Inggris-­‐lndonesia,  cetakan  ke-­‐XXIV,  (Jakarta:,  Gramedia  Pustaka  Utama,  1997),  hal.  353.  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 4: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata legislasi berarti pembuatan undang-

undang. Dengan demikian, fungsi legislasi adalah fungsi membuat membuat undang-undang.

Sebagai sebuah fungsi untuk membentuk undang-undang, legislasi merupakan sebuah

proses (legislation as a process).3 Oleh karena itu, Woodrow Wilson dalam bukunya

"Congressional Goverment" mengatakan bahwa legislation is an aggregate, nor a simple

production.4 Berhubungan dengan hal itu, Jeremy Bentham dan Jhon Austin mengatakan

bahwa legislasi sebagai "any form of law-making".5 Dengan demikian, bentuk peraturan yang

ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan

pengertian "enacted law", "statute", atau undang-undang dalam arti luas.6 Dalam pengertian

itu, fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan undang-undang.

1. Fungsi Legislasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Sebelum Perubahan

Jika kita memperhatikan rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945

sebelum perubahan, yang menyatakan bahwa: "Presiden memegang kekuasaan membentuk

undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Maka sangat jelas dan

terang, bahwa badan negara yang berkuasa atau berwenang membentuk undang-undang

adalah Presiden. Secara jelas, penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945

sebelum perubahan juga mengatur, bahwa: "Presiden memegang kekuasaan membentuk

undang-undang." Aturan ini menerangkan, Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan

Rakyat menjalankan "legislative power" dalam negara.

Sebagian besar materi UUD Negara RI Tahun 1945 setelah perubahan mengalami

perubahan mendasar apabila dibandingkan dengan naskah aslinya. Perubahan yang perlu kita

perhatikan adalah terjadinya perubahan terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat

(1) UUD Negara RI 1945. Karena perubahan ketentuan yang diatur dalam kedua pasal

tersebut mengindikasikan adanya perubahan substansi dan prosedur konstitusional.

Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum perubahan menentukan, bahwa

Presiden memegang kekuasaan atau memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang

                                                                                                                         3   S.A.   Walkland,   The   Legislative   Process   in   Great   Britain,   (New   York-­‐   Washington:   Frederick   A.   Praeger  Publisher,  1968),  hal.  10.  Pembentukan  undang-­‐undang  sebagai  sebuah  proses   juga  dikemukakan  oleh  Rosiji  Ranggawidjaja,  Menyoal  Perundang-­‐undangan  Indonesia,  (Jakarta:  PT.  Perca,  2006),  hal.  9.  

4  S.A.  Walkland,  Ibid.,  hal.  21.  

5Jimly  Asshiddiqie,  Perihal  Undang-­‐Undang  di   Indonesia,   (Jakarta   :   Sekretariat   Jendral  Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  2006),  hal.  31-­‐32.  

6  Ibid.  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 5: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun setelah perubahan keadaan menjadi

berbalik, seperti diatur dalam Pasal 20 ayat (I) perubahan pertama UUD Negara RI Tahun

1945 yang mengatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang.7

Perubahan tersebut menggambarkan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari

tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, Presidenlah yang

memegang fungsi legislasi atau kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat. Sekarang fungsi legislasi atau kekuasaan membentuk undang-

undang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat seperti ditegaskan dalam Pasal 20 ayat

(1) hasil perubahan pertama UUD Negara RI 1945. Setelah proses perubahan pertama Pasal 5

ayat (1), Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat.

B. Teori Bikameral

1. Sistem Lembaga Perwakilan

Sistem lembaga perwakilan diidentifikasi dan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

sistem unikameral atau bikameral, biasanya dikaitkan dengan bentuk pemerintahan

negara tersebut. Jika bentuk negaranya kesatuan biasanya menganut sistem legislatif

unikameral, yakni hanya ada satu majelis atau kamar atau dewan saja. Sedangkan pada

negara dengan bentuk pemerintahan federal umumnya menganut sistem legislatif

bikameral. Dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka sistem lembaga perwakilan di Indonesia berubah dari sistem

unikameral menjadi bikameral.

2. Lembaga Legislatif Unikameral

Lembaga legislatif yang bersifat unikameral merupakan lembaga legislatif yang

terdiri dari satu kamar atau satu dewan saja. Sistem ini biasanya dianut oleh negara

kesatuan. Hanya sedikit negara kesatuan yang menggunakan sistem legislatif bikameral.

Kebanyakan negara kesatuan yang menganut sistem legislatif unikameral itu karena

secara geografis kecil dan penduduknya tidak majemuk atau multikultural serta jumlah

penduduknya dibawah 10 (sepuluh) juta.

                                                                                                                         7  Jimly  Asshiddiqie,  Konsolidasi  Naskah  UUD  1945  Setelah  Perubahan  Keempat,  op.  cit.,  Pasal  5  ayat  (1)  jo  Pasal  20  ayat  (1).  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 6: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Beberapa keuntungan dari sistem unikameral ini meliputi:

1. Kemungkinan lebih cepat untuk membuat undang-undang, karena satu kamar atau

dewan saja. Sehingga pembahasan rancangan undang-undang tidak akan alot.

2. Tanggung jawab lembaga legislatif akan lebih besar jika suatu produk undang-undang

mengabaikan kepentingan negara karena tidak ada kemungkinan menyalahkan

lembaga lain.

3. Lebih sedikit anggota, sehingga memudahkan masyarakat untuk memantau mereka.

4. Biaya yang murah bagi pemerintahan dan pembayaran pajak.8

3. Lembaga Legislatif Bikameral

Sistem lembaga legislatif bikameral adalah sistem lembaga legislatif dua kamar.

Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi,

kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan yang bersangkutan. Sebenarnya tidak banyak

perbedaan antara sistem unikameral atau bikameral, yang penting adalah sistem

majelis/kamar tunggal atau ganda itu dapat benar-benar berfungsi untuk menyalurkan

aspirasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Metode Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat normatif, yaitu berupaya meneliti akibat setelah adanya

uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis

PermusyawaratanRakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang- undangan terhadap peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam bidang

legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk memperdalam pemahaman penulis

tentang DPD dengan studi kepustakaan serta kajian sebelum dilakukannya uji materi

sejumlah pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hasil Penelitian

1. Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara DPR-

RI dan DPD-RI pra-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X 201 2 masih

                                                                                                                         8  H.  Dahlan  Thaib  dalam  Makmur  Amir  dan  Reni  Dwi  Purnomowati,  Op.  cit.,  hal.  23  -­‐  24.  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 7: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

memperlihatkan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD-RI memberikan

gambaran bahwa sistem bikameral Indonesia tidak dibangun dalam rangka checks

and balances. Keterbatasan itu memberikan makna, gagasan menciptakan sistem dua

kamar untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan

distribusi kekuasaan menjadi sesuatu yang utopis.

2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam kaitannya

dengan pembentukan legislasi antara DPR-RI dan DPD-RI telah mengembalikan

kewenangan DPD-Ri yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD

yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang dibawah dominasi DPR; dominasi

berlebihan yang mencederai sistem bikameral yang konon dibentuk untuk tujuan

mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang baik.

Pembahasan

Mohammad Mahfud MD selaku ketua majelis hakim merangkap anggota

membacakan perintah atau suruhan (amar) putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 92/PUU-

X/2012 dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan

Merdeka Barat No 6, Jakarta, tanggal 27 Maret 2013. Ia bersama para anggota majelis hakim

lainnya: Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadt.

Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman. Tanggal 14 September

2012, pimpinan DPD, yakni Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD),

dan Gusti Kanjeng Ratu H emas (Wakil Ketua DPD), mengajukan pengujian UU 27/2009

serta UU 12/2011 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945).

Dalam perkara pengujian undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi terdiri atas

tiga kemungkinan, yaitu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan ditolak,

atau permohonan dikabulkan.9 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan

uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan                                                                                                                          9  Jimly  Asshiddiqie,  Op.  cit.,  hal.  226.  

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 8: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yaitu permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan

kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27

Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hakim konstitusi mengabulkan

sebagian besar permohonan uji materi Dewan Perwakilan Daerah terhadap sejumlah pasal

dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No 12

Tahun 2011 tentang Fembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tanpa dissenting

opinion. Hal ini disambut baik oleh DPD yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang

dibawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang mencederai sistem bikameral yang konon

dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang baik.

Dari beberapa poin gugatan yang diajukan DPD, 4 (poin) poin diantaranya merupakan

pokok eksistensi dan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang perlu ditegakkan kembali

sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu :

1.1 Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU setara dengan DPR dan Presiden;

1.2 Kewenangan DPD ikut membahas RUU;

1.3 Kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU; dan

1.4 Keterlibatan DPD dalam menyusun Prolegnas.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

Realitas pembentukan legislasi dalam kerangka hubungan kelembagaan antara DPR-RI dan

DPD-RI pra-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X 201 2 masih memperlihatkan

terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD-RI memberikan gambaran bahwa sistem

bikameral Indonesia tidak dibangun dalam rangka checks and balances. Keterbatasan itu

memberikan makna, gagasan menciptakan sistem dua kamar untuk mengakomodasi

kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi sesuatu yang

utopis.

Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam kaitannya dengan

pembentukan legislasi antara DPR-RI dan DPD-RI telah mengembalikan kewenangan DPD-

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 9: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Ri yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD yang selama ini hanya menjadi bayang-

bayang dibawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang mencederai sistem bikameral

yang konon dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang

baik.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran konstruktif yang dapat diberikan

bagi fungsi legislasi DPD kedepannya, yakni :

1. DPD akan kesulitan bertindak tanpa bantuan elemen terkait untuk

mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi itu. Idealnya, ketiga

lembaga negara segera memformulasikan atau merumuskan model tripartit

mekanisme pengajuan RUU bidang tertentu dan pembahasan RUU bidang

tertentu serta penyusunan prolegnas. Langkah-langkahnya antara lain pertemuan

konsultasi. Pertemuan konsultasi DPD dengan Presiden untuk merumuskan proses

legislasi model tripartit. Pimpinan DPD harus menyurati pimpinan DPR agar

kedua pihak segera menggelar pertemuan konsultasi. Pertemuan konsultasi DPD

dengan DPR harus memiliki target utama untuk mengubah peraturan tata tertib

DPR dan peraturan tata tertib DPD.

2. DPD juga perlu melakukan kegiatan sosialisasi tentang beberapa perubahan hak

dan/atau kewenangan DPD pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Kegiatan

sosialisasi yang efektif, efisien, dan massif menjadi perlu untuk dilakukan

mengingat masih banyak penyelenggara negara dan kelompok masyarakat yang

belum memahami dan mengerti konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi,

termasuk nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalamnya. Karena putusan

Mahkamah Konstitusi mengubah model proses legislasi yang selama ini model

dwipartit, yaitu DPR (fraksi), dan Presiden, maka banyak masukan dan harapan

masyarakat yang menghendaki kegiatan sosialisasi yang intensif dan ekstensif

dengan jangkauan yang dalam dan luas.

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 10: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Dengan adanya sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan

terbentuknya kesamaan persepsi dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi,

sehingga mendorong tertransformasikannya seluruh kegiatan DPD dalam

pengajuan RUU bidang tertentu dan pembahasan RUU bidang tertentu serta

penyusunan Prolegnas untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang

transparan dan akuntabel, serta efektif dan efisien.

3. Amandemen kelima UUD 1945 perlu diusulkan DPD untuk semakin meneguhkan

prinsip checks and balances dalam konsep lembaga perwakilan kita. Agar

perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama di bidang legislasi dapat

komprehensif dan menghasilkan produk legislasi yang bermanfaat untuk seluruh

rakyat Indonesia. Sebagai lokomotif pengusul amandemen kelima. Seharusnya

DPD mempersiapkan strategi perjuangan yang matang agar proses amandemen

dapat menjadikan UUD 1945 menjadi konstitusi yang hidup (the living and

working constitution) menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan

dinamika ketatanegaraan secara kontekstual.  

Kepustakaan

I. Buku

Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD RI Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Amir, Makmur dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat. Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Arinanto, Satya. Setelah V1PR menjadi Bikameral. Kompas, 9 Agustus, 2002. Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996. _____, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Jakarta:

Konstitusi Press, 2006. _____, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: MKRI,2006. _____, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006. _____, Hubungan antar Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945. Bahan Ceramah

Diklatpim Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. _____, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 11: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

_____, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. cet.2. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2005.

_____, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Mahkamah Konstitusi, 2006. _____, Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 2006. _____, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai Negara, cet. 1. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005. _____, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. _____, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Sebuah

Dokumen Historis. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2006. Buyung, Adnan Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi S o si o-

Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta : Grafiti, 1992. Dwi, Reni Pumomowati. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Evans, Kevin. Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan. Jakarta : CPPS

Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Farida, Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Fatmawati, Struktur Dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan Antara Indonesia dan Berbagai Negara, Cet. Pertama. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press), 2010. Heryadi. Agus. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. Isra, Saldi, Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: Dari Pakar Hingga Selebritis. Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPD RI, 2009. Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. Internasional IDEA (Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu),

Penilaian Demokratisasi di Indonesia (Pengembangan Kapasitas seri 8). Jakarta: Internasional IDEA, 2000.

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramcdia, 1998. Manan, Bagir. MPR, DPR dan DPD dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH Uli Press.

2003.

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 12: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

Mahfud, Mohammad MD, Amandemen Konstitusi Menuju Refonnasi Hukum Tata Negara. Yogyakarta : Uli Press, 1999.

Mulyosudarmo, Soewoto. Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Jawa

Timur: Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, 2004. Ranggawidjaja, Rosiji. Menyoal Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: PT. Perca, 2006. Reksodiputro, Marjono. Catatan Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Fakutas Hukum

Universitas Indonesia, 1983/1984. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1995. Strong, C.F., Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative Study of

their History and Existing Fonn. London: Sidwick & Jackson Ltd. 1975. Sukanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1982. Surbakti. Ramlan. Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi

Kekuasaan. Jakarta: LP3ES, 2002. Walkland, S.A., The Legislative Process in Great Britain. New York-Washington: Frederick

A. Praeger Publisher, 1968. II. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _____, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara'Republik Indonesia 1945. LN.

Nomor 11 Tahun 2006. _____, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.

Nomor 12 Tahun 2006. —, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.

Nomor 13 Tahun 2006. _____, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. LN.

Nomor 14 Tahun 2006. _____, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. LN. Nomor 92 Tahun 2003.

Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR. DPD, dan DPRD, LN No. 92 tahun 2003, TLN No. 43 10. _____, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. LN. RI. Nomor 53 Tahun 2004.

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014

Page 13: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …

_____, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Keputusan DPR RI Nomor : 08/DPR RI/I/2004-2009 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.  Keputusan DPR RI Tahun 2009-2014 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK'2005 tentang

Pedoman Beracara Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 4.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X.-2012 Sekretariat Jendral DPR RI. Keputusan DPR RI Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. III. Internet Haris, Syamsuddin. Dilema Amandemen Kelima, www.lini.go.id/www.cgi?berita&

117939168&22&2007&, diakses 5 Januari 2014. Isra, Saldi Fungsi Legislasi DPD Dalam Penguatan Aspirasi Daerah,

http://www.saldiisra.web. id/index.php?option=com_content&view-article&id=84:t'un gsi-lciiislasi-dpd-dalam-penguatan-aspirasi-daerah&patid=23:inakalah&ltcmid=l 1. diakses 29 Desember 2013

 

 

 

Implikasi putusan…, Riyan Permana Putra, FH UI, 2014