penyelesaian sengketa pajak ditinjau dari aspek hukum...
TRANSCRIPT
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
13
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DITINJAU DARI
ASPEK HUKUM ADMINISTASI NEGARA
Iin Suny Atmadja
Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Keywords: tax, dispute, tax court
A. Pendahuluan
Hukum pajak merupakan ranah hukum yang (terutama) di negara kita masih
sangat tidak populer dan bahkan lebih banyak kajian dari sisi ekonominya,
permasalahn pajak juga tidak hanya masalah dari negara (pemerintah) sebagai
pemungut pajak tetapi juga menajdi persoalan rakyat sebagai wajib pajak
sehingga permasalahan hukum pajak dan proses beracaranya tidak hanya menjadi
konsumsi dari pihak pemerintah saja tetapi juga oleh rakyat. Dalam
perkembanganya hukum pajak tidak hanya sebatas kewajiban dari rakyat untuk
dipungut pajak tetapi juga ketika terjadi sengketa dalam proses pungutan pajak itu
diwadahi oleh lembaga penyelesaian sengketa pajak yang salah satu tujuannya
untuk melindungi hak dari wajib pajak jika ada kesalahan perhitungan dalam
pemungutan pajak.
Sistem hukum awal dari hukum pajak adalah merupakan turunan dari hukum
administrasi negara karena proses pemungutan pajak melibatakan hubungan
antara pemungut pajak (negara) dan wajib pajak (rakyat) dimana hal tersebut
Abstract
This paper raised the issue of How Tax Dispute Settlement Body
Relations with the Tax Court and How to settlement of tax disputes
goggles State administrative law? The results of this paper Relations
conduction Agency dispute resolution Tax and the Tax Court can
actually dikatak BPSP is the forerunner of the Tax Court on the grounds
that BPSP can not be said as a court of pure and considered also not
neutral because on one side are not in the neighborhood of the Supreme
Court and on the other hand BPSP are in the Ministry of Finance that
allows for conflict of interest when BPSP resolve tax disputes.
In addition, the course of history in terms of changing the tax
dispute resolution in accordance with this Bangas economic conditions
and the existence of institutions perjalananya sengeketa tax settlement
initially until the end of a purely administrative court although the shape
and position is different but also in terms of proceedings does not refer to
the provisions of Law State Administrative Court Law but rather refers to
its own procedural law in Act No. 14 of 2002 on the tax court.
Additionally within the scope of the State Administration Law, the
administrative effort in the resolution of tax disputes can be seen when
the taxpayer makes an objection to the state administrative official who
issued the decision on the tax levy.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
14
melibatkan keputusan pejabat Tata Usaha Negara dalam hal pungutan pajak.
Hukum pajak juga disebut hukum fiskal yang berati keseluruhan dari peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan mealalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-
hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan hukum yang
berkewajiban membayar (selanjutnya disebut wajib pajak).1
Diliahat diatas hukum pajak merupakan hukum publik yang sangat variatif bukan
hanya menjadi ranah hukum administrasi negara sja tetapi juga menjadi ranah
hukum publik lainnya seperti hukum pidana jika berbicara sengketa pajak. Tetapi
dalam perjalannay hukum pajak banyak sekali bahkan sering terjadi perubahan
peraturan perundang-undangan yang hal ini terjadi akibat perubahan yang terdapat
pada perkonomian negara Indonesia yang sangat bergantung kepada pasar dan hal
tersebut tidak dapat dipungkiri.
Berbicara pajak yang juga tidak kalah menjadi perhatian adalah bagaimana jika
terjadi sengketa dalam perpajakan dimana dalam prakteknya ada dua upaya
penyelesaian yang baik melalui lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dan Pengadilan Pajak
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Dari uraian ini terlihat bahwa
penyelesaian pajak dapat diselesaikan melalui dua upaya tersebut yang dapat
melalui upaya administrasi (BPSP) sesuai Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dan memalui pengadilan umum yang dikenal dengan Pengadilan
Pajak.
B. Rumusan Masalah
Melihat dari uraian diatas maka memunculkan satu pertanyaan yang mendasar
Bagaimana Hubungan Badan Penyelesaian Sngketa Perpajakan dengan
Pengadilan Pajak dan Bagaimana penyelesaian sengketa pajak dari kacamata
hukum administrasi Negara?
C. Upaya Administrasi Penyelesaian Sengketa Pajak
Pada mulanya, bila terjadi sengketa antara rakyat dengan alat-alat Negara, secara
umum diselesaikan oleh Pengadilan Negeri (Umum), yang hasilnya kurang
memuaskan, karena perselisihan itu terjadi di bidang tata usaha Negara.Tetapi
setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, permasalahan tersebut
menjadi kewenangan Peradilan Administrasi Negara/Peradilan Tata Usaha
Negara.
Khususnya mengenai sengketa pajak, oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuk
Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan Stb.1927 No.29. Lembaga ini berstatus
sebagai lembaga peradilan administrasi yang akan memberikan perlindungan
hukum kepada para wajib pajak. Sehingga segala sengketa pajak setelah melalui
1 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama, Bandung, 2003,
hal. 1.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
15
prosedur tertentu pada akhirnya akan diselesaikan oleh Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP)
Berbicara upaya administrasi dalam penyelsaian sengketa pajak dikenal dengan
sebuah instansi peradilan yang dikenal dengan Majelis Pertimbangan Pajak yang
keberadaan lembaga peradilan ini diluar peradilan sipil. Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP) berkedudukan di Jakarta dimana untuk adanya proses banding ketika
putusan di tingkat pertama tidak perlu melalui Mahkamah Agung karena institusi
memiliki wiwenang untuk hal itu dan di dalam lembaga ini telah duduk dua orang
anggota dari Mahkamah Agung, sehingga jika tetap dilakukan hanya akan
merupakan suatu formalitas belaka.2
Adapun yang diberi keputusan oleh MPP adalah perselisihan-perselisiahan
mengenai:3
1. Segala pajak negara, bilaman oleh undnag-undang yang bersangkutan
diperbolehkannya.
2. Segala pajak dareah, bilamana diperkenankan oleh undang-undang yang
bersangkutan pula.
Ketua majelis dingakat oleh Presiden yang sekaligus juga menunjuk wakil ketua
dari anggota. Ususlan anggota dalam MPP diusulkan kepada presiden dengan
komposisi dua orang atas usulan Mahkamah agung dan dua orang dari Kamar
Dagang dan Industri di Jakarta dengan tiap-tiap anggota ada satu orang pengganti.
Majelis dipecah menjadi dua dewan dengan catatan anggota dari MA tidak boleh
duduk dalam satu dewan dan berlaku juga kepada utusan dari KADIN.4
Dalam MPP jika seorang wajib pajak merasa tidak mendapatkan keadilan dari
putusan MPP, wajib pajak dapat mengajukan suart banding yang harus dibubuhi
materai dan jika tidak permintaan tersebut akan dikembalikan untuk dimintkan
pembubuhan materainya. Dalam hal keberatan oleh wajib pajak dibenarkan untuk
sebagian atau untuk seluruhnya, dan bialamana pengembalian itu tidak boleh
dilakukan yang disebabkan oleh adanya kenaikan, maka jumlah itu dipergunakan
untuk mengurangkan kenaikan, yang mungkin harus dikenakan kepadanya itu
menurut bunyi undang-undang.5
Kenyataan menjadi lain setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang mulai berjalan pada akhir Tahun 1991, karena PTUN yang baru ini
juga berkompetensi menyelesaikan sengketa dalam bidang perpajakan. Maka
dengan adanya undang-undang ini, penyelesaian sengketa pajak masuk dalam
kekuasaan pengadilan, yang akhirnya dapat bermuara ke Mahkamah Agung.
Sejarah hukum ternyata berkehendak lain, dimana kedudukan dan Kompetensi
dikembalikan pada fungsi semula yaitu setelah diundangkannya Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 (Jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 / Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 menyebutkan bahwa
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan hanya kepada Badan Peradilan
terhadap Keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
2 Ibid, hal. 146.
3 Ibid.
4 Ibid, hal. 147.
5 Ibid.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
16
Jenderal Pajak. Namun sebelum Badan Peradilan Pajak tersebut dibentuk,
permohonan Banding tetap diajukan ke Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang
putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
Keberadaan MPP ternyata dalam perjalanannya menimbulkan permaslahan bik
dar sisi hukum tata negara maupoun hukum administrasi negara.
Dimana menurut kekuasaan kehakiman sebagaimana diataur dalam Pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan III dan IV) dinyatakan bahwa:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Dilihat dari ketentuan di atas yang jadi pertanyaan dimana keberadaan MPP dan
jika sebuah peradilan pajak dikategorikan sebagai peradilan khusus tentunya perlu
ada pembaruan hukum sehingga dari sisi ketatanegaran keberadaan MPP juga
perlu ditelah lagi keberadaaanya
Dari sisi hukum administrasi negara seharusnya masalah sengketa perpajakan
diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dan sangat tidak logis jika
dipisahakan karena masalah perpajakan merupakan perbuatan pemerintahan atau
tindakan pejabat tata usaha negara yang merupakan kompetesi dari Pengadilan
Tata Usaha Negara.6
Dari sisi keadilan bagi pencari keadilan yang dalam hal ini pembayar pajak (wajib
pajak) juga sangat lemah, karena dalam ketentuan dengan alasan untuk kepastian
hukum. Sesuai dengan ketentuan Regeling Van Ghet Beroep in Belastingzaken
tahun 1927 ordonantie ini tidak membuka kemunkinan untuk adanya upaya
hukum lanjutan setelah putusan MPP dan hal ini dipertegas lagi dalam Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa putusan Badan Peradilan
Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.7
Padahal jika memang MPP adalah sebuah lembaga peradilan murni maka ada
upaya lain baik untuk tingkat pengadilan yang memerikasa perkara secara judex
facti sampai ke pemeriksaan secara judex yuris dengan upaya banding, kasasi dan
bahkan Peninjauan Kembali jika dikemudian hari ditemukan adanya bukti baru
untuk mendukung wajib pajak dalam mebuktikan bahwa ada kesalahan dalam
pemungutan pajak atau penetapan pajak atas dirinya.
Namun dalam sebuah disertasi oleh Prof Rachmat Soemitro dinyatakan bahwa
MPP adalah peradilan administrasi murni dengan persyaratan sebagai berikut:8
a) Syarat umum sebagai instansi peradilan:
6 Jamal Wiwoho, Lulik Djatmiko, Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004, hal. 21 7 Ibid, hal. 24.
8 R. Santoso Brotodihardjo, op.cit, hal. 141.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
17
Adanya peraturan hukum yang abstrak yang mengikat umum dan
merupakan peraturan umum yang harus ditaati, dapat tertulis dan tidak
tertulis.
Adanya suatu perselisihan hukum yang kongkret.
Adanya sekurang-kurangnya du pihak yang berlawanan
Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan
perselisihan. Aparatur tersebut dapat berbentuk Peradilan tingkat pertama,
tingkat banding atau tingkat kasasi.
b) Syarat khusus sebagai instansi peradilan administrasi dalam peradilan pajak:
Salah satu pihak merupakan bagian dari administrasi negara, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak.
Hukum yang diterapkan harus bersifat ”hukum publik” (termasuk hukum
administrasi negara).
Pada biasanya suatu peradilan dilaksanakan oleh badan peradilan seperti
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung maka untuk
peradilan administrasi terlihat di sini diadakannya suatu badan tertentu yang
berdiri sendiri untuk mengadakan peradilan tersebut, dengan syarat yang
terpenuhi pula, bahwa badan peradilan ini berdiri sendiri dan tidak ada di dalam
atau di bawah salah satu pihak yang berselisih.9
D. Upaya Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP)
Lahirnya BPSP setelah perubahan sistem hukum dalam PTUN dimana dalam
periode sebelumnya penyelesaian sengketa pajak melalui MPP namun
dikarenakan panjangnya proses penyelesaian melalui MPP yang mana mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan adanya ketidakadilan bagi
wajib pajak itu sendiri seperti diuraikan diatas.
Latar belakang berdirinya BPSP dengan pedoman Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1994 dapat dilihat dari penjelasan undang-undang ini, dimana secara garis
besar dinyatakan bahwa perubahan MPP menjadi BPSP dikarenakan dalam
perkembangan perekonomian yang relatif bergerak dengan cepat dan juga
memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, maka
prosedur beracara yang dianggap panjang tersebut dapat diselesaikan secara
dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah.
Karateristik BPSP dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, anatara lain:10
1. BPSP adalah badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan
memutus sengketa pajak berupa:
a. Banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang
b. Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perpajakan di bidang penagihan
2. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir
bagi pembayar pajak.
9 Ibid.
10 Galang Asmara, Pengadilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) dalam Hukum
Pajak di Imdonesia, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hal. 23-24.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
18
3. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan BPSP dilakukan oleh
Departemen Keuangan.
4. Apabila putusan tidak diambil dalam waktu ditentukan maka banding datau
gugatan akan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, sedangkan apabila syarat-
syarat formal pengajuan banding atau gugatan tidak dipenuhi maka gugatan
tidak dapat diterima.
5. Syarat-syarat fromal yang wajib dipenuhi adalah sebelum mengajukan
banding atau gugatan, seluruh jumlah pajak yang disengketakan harus dibayar
lunas dan apabila banding dikabulkan seluruhnya atau sebagian, maka kepada
pemohon banding diberikan imbalan 2% per bulan untuk selama-lamanya 24
bulan atas kelebihan pembayran pajak.
6. Pemeriksaan dilakukan dengan ”acara cepat” dan dapat dilakukan oleh Majelis
atau Anggota Tunggal.
7. BPSP dialkukan dalam bentuk persidangan tertutup tetapi putusan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
8. Keputusan BPSP bersifat final dan mengikat tanpa bisa diajaukan kembali ke
PTUN atau peradilan umum lainnya.
9. Dalam sistem peradilan pajak ini Mahkamah agung tidak berwenang untuk
menyelesaikan sengketa pajak.
Dilihat dari karateristik diatas tampak sekali jika sebenarnya lembaga BPSB tidak
dapat dikatakan sebagai lembaga peradilan murni karena keberadaan lembaga
tersebut tidak di bawah MA tetapi lebih terlihat sebagai lembaga penyelesaian
alternatif di luar pengadilan selain itu juga tidak ada upaya pengajuan ketingkat
pengadilan yang lebih tinggi karena keberadaaan BPSP berada di Departemen
Keuangan.
Keberadaan BPSP yang berada diluar peradilan dipertegas dalam Pasal 28
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa BPSP
mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa pajak,
dimana tugas dan kewenangan tersebut berada di luar tugas dan kewenangan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.11
Sehingga dari ketentuan ini
tidak ada upaya hukum lain yang dapat diajukan ke Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara jika dirasakan oleh satu pihak adanya ketidakadilan
dalam putusan BPSP.
Masalah lain yang timbul adalah keberadaan BPSP di daerah yang memiliki status
yang sama dengan BPSP yang berkedudukan di pusat (Jakarta) dalam hal putusan
yang final dan mengikat atau tetap. Keadaan ini menimbulkan resiko dalam hal
kemungkinan adanya ketidaksamaan penerapan hukum serta putusan BPSP antar
daerah sehingga hal ini akan mweujudkan rasa keadilan tidak terjkamin kaeran
juga diketahui bahwa tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan BPSP.12
Dari permasalahan yang diuraikan dengan begitu banyak terlihat bahwa BPSP
seperti lembag yang setengah hati dalam memberikan perlindungan kepada wajib
pajak yang merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil belum lagi lembaga ini
11
Jamal Wiwoho, Lulik Djatmiko, op.cit, hal. 25 12
Ibid, hal. 26-27
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
19
juga dianggap tidak netral karena berada di bawah lingkungan Departemen
Keuangan bukan Mahkamah Agung.
E. Penyelesaian Sengeketa Pajak Melalui Pengadilan Pajak
Melihat begitu banyaknya permasalahan baik ketika adanya MPP dan juga
termasuk BPSP dalam penyelesaian sengketa perpajakan, maka pada tahun 2002
Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak yang berlaku sampai sekarang.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam
penyelesaian sengketa pajak dan merupakan babak baru hukum positif di
Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan peradilan pajak di
Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga
peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu
menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang
merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak.
Perubahan yang terjadi dalam sistem peradilan pajak baru ini antara lain:13
1. Perubahan nama BPSP menjadi Pengadilan Pajak
2. Pengadilan Pajak merupakan salah satu Pengadilan Khusus
3. Pembinaan administrasi, organisasi dan finansial pengadilan pajak berada di
Departemen Keuangan tetapi pembinaan peradilan berada di bawah
Mahkamah Agung
4. Persidangan dinyatakan dibuka untuk umum
5. Pengadilan pajak merupakan putusan yang terakhir yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Prosedur beracara pada Pengadilan Pajak dalam jalannya acara persidangan sama
dengan peradilan umum biasa namum memiliki kekhususan tertentu, yaitu:14
1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus
yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum
atau sarjana lain.
2. Sengeketa yang diproses khusus menyangkut sengketa perpajakan.
3. Putusan pengadilan pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang wajib
pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak
langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak terutang yang
dikenakan. Sebagai akibat dari putusan tersebut juga mengabulkan sebagian,
seluruhnya atau menambah pajak terutang yang harus di bayar.
Berbicara kompetisi peradilan sudah sangat jelas bahwa pengadilan pajak hanya
memeriksa dan memutus sengketa pajak, namun untuk objek sengketa pajak yang
menjadi sengketa adalah keputusan dari pejabat yang berwenang dalam hal ini
adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur,
Bupati/Walikota dan pejabat lain yang memeang berwenang dan ditunjuk oleh
undang-undang ini.15
Sedangkan pajak yang dimaksud adalah segala jenis pajak
baik berupa pajak pemerintah pusat maupun pajak yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundng-undangan yang berlaku.
13
Galang Asmara, op.cit, hal. 30. 14
Ibid, hal. 58. 15
Ibid, hal. 61.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
20
Jenis-jenis ketetapan atau keputusan Tata Usaha Negara mengenai pajak tersebut
dapat berupa:16
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil
5. Pemotongan datau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peratuaran perundang-undangan;
6. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuan Lelang;
7. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)17
dan Pasal 26;
8. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan
dengan Surat Tagihan Pajak;
9. Keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3618
yang berkaitan
dengan Surat Tagihan Pajak; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan
pajak. (Isi Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 serta 36).
Dalam pengadilan Pajak juga dikenal dengan adanya gugatan dan banding serta
upaya hukum luar biasa melalui peninjaun kembali19
namun untuk tahap awal di
luar pengadilan dapat melalui mekanisme keberatan.
Keberatan yang dimakasud dalam sengketa perpajakan adalah terjadinya
ketidaksamaan persepsi atau perebdaan pendapat antara wajib pajak atas pajak
terhutang atau nilai pabean/pos tarif.20
Keberatan diajukan diajukan secara langsung kepada instatnsi yang berwenang
atau pejabat yang berwnang menerbitkan, untuk pajak pusat ditangani Direktorat
Jenderal Pajak untuk penetapan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan nilai,
Pajak Bumi dan Bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Selain
itu juga diajukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa keberatan atas
tarif dan nilai pabean, cukai. Serta juga keberatan dapat diajukan kepada
pemerintah daerah dengan pajak yang dikelurakan oleh pemerintah daerah.21
16
Ibid, hal. 61-62 17
Isi Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 dimana yang dimaksud keputasan
selain dari peajabat ini yaitu “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai
Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen
Keuangan”. 18
Yang dimaksud pejabat Tata Usaha Negara dalam pasal ini adalah Panitera atau Panitera
Pengganti. 19
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
merupakan upaya hukum luar biasa, disamping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang
vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum
dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus
oleh Mahakamah Agung. Proses peninjauan kembali melalui Pengadilan Pajak hanya sebatas
prosedur pelayanan administrasi yang perlu dilakukan secara cepat, oleh karena itu dalam
Undang-undang ini diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik di tinggat Pengadilan Pajak
maupun di tingkat Mahkamah Agung 20
Jamal Wiwoho, Lulik Djatmiko, op.cit, hal. 55 21
Lihat Ibid, hal. 55-63. Untuk ketentuan jenis keberatan baik keberatan yang ditujukan kepadan
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
21
Upaya banding dapt dilakukan jikan wajiba pajak merasa kurang puas atas
putusan keberatan dari Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 3 bulan sejak putusan
itu ditetapkan dan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam waktu 6 bulan
sejak ditetapkan melalui pengadilan pajak.
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan
yang dapat diajukan gugagtan sebagaimana yang diatur dalam perundng-
undangan perpajakan.
Untuk hal-hal yang dapat diajukan gugatan adalah:22
1. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan atau
pengumuman lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata-tata Cara Perpajakan;
3. Keputusan pembetulan surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata-tata Cara
Perpajakan;
4. Keputusan sebagaimana ketentuan Pasal 3623
Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata-tata Cara Perpajakan yang bekaitan dengan Surat
Tagihan Pajak.
F. Penyelesaian sengketa Pajak dalam Optik HAN
Seperti diuraikan diatas bahwa keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa
Perpajakan (BPSP) dengan Pengadilan Pajak pada perkembangannya digantikan
oleh Pengadilan Pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang secara otomatis mengubah BPSP,
namun keberadaan dari pengadilan pajak tidak terlapas dari keberadaan lembaga-
lembaga penyelesaai sengketa pajak sebelumnya dan keberadaan lembag-lemba
yang ada sebelumnya memang tidak diberlakukan lagi saat ini karena dengan
alasan mendasar dinyatakan bahwa lembaga-lembaga sebelumnya tidak seperti
peradilan murni yang ada dilingkngan Mahkamah Agung.
Jika dilihat dari optik hukum administaris negara, sebagaimana yang diuraikan
sebelumya bahwa yang masuk kriteria sengketa dalam permasalah pajak hanya
dibatasi kepada putusan pejabat tata usaha negara yang dalam hal ini sebagaiman
putusan tentang pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
penetapan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan nilai, Pajak Bumi dan
Bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, kemudian juga
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa keberatan atas tarif dan nilai pabean,
cukai. Serta juga keberatan dapat diajukan kepada pemerintah daerah dengan
pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam kondisi tetntang putusan
yang dianggap wajib pajak tidak sesuai dengan yang seharusnya, pengadilan pajak
memberikan ruang kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada
22
Ibid, hal. 86. 23
Pasal 36 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut peraturan
perundang-undangan baik karena kesalahan wajib pajak atau bukan kesalahanya
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
22
pejabat yang bersangkutan, dimana prosedur ini dilakukan sebelum masuk ke
pengadilan pajak dan dapat dikategorikan sebagai upaya administratif dalam hal
penyelesaian sengketa pajak.
G. Penutup
1. Hubungan antaran Badan penyelesaian sengketa Pajak dan Pengadilan Pajak
sebenarnya dapat dikatak BPSP adalah cikal bakal dari Pengadilan Pajak
dengan landasan bahwa BPSP tidak dapat dikatakan sebagai pengadilan murni
dan dianggap juga tidak netral karena di satu sisi tidak berada di dalam
lingkungan Mahkamah Agung dan di sisi lain BPSP berada di Departemen
Keuangan yang memungkinkan adanya konflik kepntingan ketika BPSP
menyelesaikan sengketa perpajakan
2. Perjalanan sejarah dalam hal penyelesaian sengketa pajak berubah sesuai
dengan kondisi perekonomian bangas ini dan dalam perjalananya keberadaaan
lembaga penyelesaian sengeketa pajak pada awalnya sampai dengan akhir
merupakan murni pengadilan administrasi walaupun bentuk dan kedudukannya
berbeda tetapi juga dalam hal beracara tidak mengacu kepada ketentuan
Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara tetapi lebih mengacu kepada
hukum acara sendiri di Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang
pengadilan pajak. Selain itu dalam lingkup Hukum Administrasi Negara, upaya
administratif dalam penyelesaian sengketa pajak dapat dilihat ketika wajib
pajak melakukan keberatan kepada pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keutusan tentang pungutan pajak.
Daftar Pustaka
Galang Asmara, Pengadilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)
dalam Hukum Pajak di Imdonesia, LaksBang Pressindo, Yogyakarta,
2006.
Jamal Wiwoho, Lulik Djatmiko, Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama,
Bandung, 2003.