penyelenggaraan jasa angkutan kereta api …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/jurnal on-line...
TRANSCRIPT
PENYELENGGARAAN JASA ANGKUTAN KERETA API STUDI TENTANG
KERETA REL LISTRIK (KRL) LINGKAR JABODETABEK OLEH PT.KAI
(Persero)
(Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)
Implementation Of Services Rail Transport Study On Electric Rail Train (ERT) Jabodetabek
Circular Line By PT.KAI (Persero)
(Based on the Act No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition)
Lia Amalia (E1A008005)
Dosen Pembimbing I : SUTOYO
Dosen Pembimbing II : SUKIRMAN
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Jl. Prof. Dr. HR. Boenjamin No. 708 Grendeng – Purwokerto 53122
Telepon : (0281) 638339 Faks. (0281) 627203
Laman : www.fh.unsoed.ac.id, Email : [email protected]
Alamat korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Penyelenggaraan perkeretaapian kini telah menunjukkan peningkatan peran yang
penting dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian. Terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan PT.KAI untuk menyelenggarakan
prasarana dan sarana kereta Bandara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jabodetabek, justru
menegaskan monopoli PT KAI, sehingga dalam perkembangannya menimbulkan
kekhawatiran adanya suatu praktek monopoli yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa
angkutan KRL.
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan adanya data sekunder maupun data primer mengenai
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Melalui penelitian studi kepustakaan yang
kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif yang
akhirnya disajikan dalam bentuk deskriptif.
Pada hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa penyelenggaraan kereta
rel listrik (KRL) lingkar Jabodetabek di Daop I Jakarta tidak dapat digolongkan sebagai
praktek monopoli yang dapat dipidana menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkeretaapian
diselenggarakan dengan prinsip dan tujuan yang tidak sama dengan prinsip-prinsip yang
dilarang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, karena PT.KAI (Persero)
dalam hubungannya dengan penyelenggaraan KRL Lingkar Jabodetabek adalah dalam
rangka melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan PT.KAI
untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Bandara Soekarno-Hatta dan Jalur
Lingkar Jabodetabek.
Kata kunci : Monopoli, Persaingan Usaha, Kereta Rel Listrik (KRL).
ABSTRACT
Operation of railways has now demonstrated increased a significant role in
supporting and encouraging economic activity. The issuance of Presidential Decree No.
83/2011 on assignment PT.KAI to organize railway infrastructure Soekarno-Hatta Airport
and Jabodetabek Circle Line it is asserted monopoly PT KAI. However their development
raises fears of a monopoly that occurs in the operation of freight services electric train.
The research was carried out with normative juridical studies, using approaches
legislation and the secondary data and primary data on halal certification and labeling.
Through the bibliography research afterwards was processed and analyzed by using
qualitative methods are ultimately normative presented in descriptive form.
On these findings, the conclusion in implementation of electric train in Jabodetabek
circumference Daop I Jakarta can not be classified as a monopoly may be liable under the
Act No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition. Railways organized by the principles and objectives that are not the same as the
principles are prohibited under Article 17 of Law No. 5 of 1999, because PT.KAI (Persero) in
relation to holding of Electric Train Jabodetabek Circle Line is an order to implement the
Presidential Decree No. 83 Year 2011 Assignment of PT.KAI for Railway Infrastructure
Conducting Soekarno-Hatta Jabodetabek Circle Line.
Keywords : Monopoly, Business Competition, electric train (KRL).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak terdengar. Adanya kelompok
tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk tertentu mulai menjangkiti dan mewabah
di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan
saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan
mekanisme perekonomian.1
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 monopoli dikategorikan sebagai salah
satu kegiatan yang dilarang untuk dilakukan yaitu penyalahgunaan posisi monopoli yang
1 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. “Anti Monopoli”. Jakarta: Rajawali Pers.hal 3.
dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan tindakan-tindakan persaingan usaha tersebut,
sehingga mengakibatkan persaingan usaha menjadi tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Semangat dan ruh utama dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian adalah menghilangkan monopoli PT.KAI, karena berdasarkan undang-undang
perkeretaapian dimungkinkan lebih dari satu operator yang mengoperasikan kereta api dalam
satu lintasan. Artinya, di lintasan KRL Jabodetabek maupun lintasan kereta api ke Bandara
dimungkinkan beberapa operator kereta mengoperasikan sarananya.
Dalam Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan bahwa :
“Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perbuatan dan atau
perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
Dari Pasal 50 huruf (a) tersebut jelas bahwa penyelenggaraan sarana dan prasarana kereta rel
listrik jalur lingkar Jabodetabek dikecualikan dari praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Akan tetapi, dalam perkembangannya menimbulkan kekhawatiran adanya suatu
praktek monopoli yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa angkutan KRL. Menurut Sigit
yang merupakan Anggota Panja (Panitia Kerja) Kereta Api Komisi V DPR RI dari Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera, terbitnya Peraturan Presiden No.83 Tahun 2011 tentang Penugasan
PT.KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta Bandara Soekarno-Hatta dan
Jalur Lingkar Jabodetabek, justru menegaskan monopoli PT KAI. 2
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditarik suatu perumusan masalah
sebagai berikut: Apakah usaha jasa angkutan KRL (Kereta Rel Listrik) yang dilakukan
PT.KAI sebagai pelaku usaha, dapat dikategorikan sebagai praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat atau tidakkah penyelenggaraan
jasa angkutan kereta rel listrik yang dilakukan oleh PT.KAI dikategorikan sebagai badan
2 Ade Mulyana, 06 Desember 2011, “Pemerintah Harus Pertegas Dukung Industri Kereta Api”, tersedia
di website http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=48068, diakses tanggal 12 Maret 2012.
usaha yang melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang monopoli ditinjau dari hukum
persaingan usaha, sehingga hukum dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi
masyarakat dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam memberntuk
aturan mengenai perkeretaapian sehingga aturan tentang penyelenggaraan KRL lebih
diperhatikan.
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan : Yuridis Normatif.3
2. Spesifikasi Penelitian : Deskriptif
3. Lokasi Penelitian : PT. KCJ (KAI Commuter
Jabodetabek) DAOP 1 Jakarta
4. Sumber Bahan Hukum : Data Sekunder meliputi bahan
hukum primer, sekunder dan
tersier dan Data Primer
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum : Inventarisasi peraturan perundang-
undangan, Dokumentasi dan Studi
Kepustakaan
6. Metode Penyajian Bahan Hukum : Teks naratif
7. Metode Analisis Bahan Hukum : Analisis Normatif Kualitatif
3 Ronny Hanitijo Soemitro. 1988. “Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri“.Cetakan Ketiga. Jakarta :
Ghalia Indonesia. hal 13-14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
1.1. Pendirian dan Kegiatan Usaha PT. KAI (Persero)
PT. Kereta Api Indonesia (KAI) adalah Badan Usaha Milik Negara
Indonesia yang menyelenggarakan jasa angkutan kereta api. Layanan PT Kereta
Api Indonesia (Persero) meliputi angkutan penumpang dan barang. Pelayanan
KRL di wilayah Jabotabek berada di bawah PT KAI Commuter Jabodetabek
yang merupakan anak perusahaan dari PT KERETA API INDONESIA (Persero).
Perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian
Umum Nomor: KP. 260 Tahun 2010 dan Izin Operasi Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian Nomor: KP. 264 Tahun 2010 yang semuanya dikeluarkan oleh
Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
1.1.1 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KP. 260 Tahun 2010 tentang Izin
Usaha Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian Umum PT. KAI Commuter
Jabodetabek
Pertimbangan dikeluarkannya Izin Usaha Penyelenggaraan Sarana
Perkeretaapian Umum PT. KAI Commuter Jabodetabek adalah:
a. bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Pasal 305 ayat (2) huruf a
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Perkeretaapian telah diatur bahwa badan usaha yang menyelenggarakan
sarana perkeretaapian wajib memiliki izin usaha dan izin operasi;
b. bahwa berdasarkan hasil berita acara evaluasi Nomor
21A/KI.3/BA/DJKA/III/10 tanggal 8 Maret 2010, terhadap permohonan
PT. KAI Commuter Jabodetabek, telah memenuhi persyaratan sebagai
penyelenggara sarana perkeretaapian umum.
Dalam surat keputusan Nomor: KP. 260 Tahun 2010, Menteri
Perhubungan memberikan 7 (tujuh) keputusan yaitu:
PERTAMA : Memberikan Surat Izin Usaha Penyelenggaraan Sarana
Perkeretaapian Umum kepada:
a. Nama Perusahaan: PT. KAI Commuter Jabodetabek
b. Akta Pendirian: No. 457 Tanggal 15 September 2008,
dibuat dihadapan Notaris Ilmiawan Dekrit Supatmo, SH
yang diubah terakhir dengan Akta Notaris No. 7 Tanggal 6
November 2009 oleh Notaris Vidya Syah, SH, yang telah
disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM No. AHU-
74707.AH.01.01 Tahun 2008
c. Alamat Perusahaan: Jl. Ir. H. Juada 1B No. 8-10, Kel.
Kebon Kelapa, Kec. Gambir, Jakarta Pusat
d. NPWP: 02.491.6835.074.000
e. Nama Direktur Utama: Bambang Wibiyanto
KEDUA : Izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum oleh
PT. KAI Commuter Jabodetabek berlaku diseluruh wilayah
Republik Indonesia dan di luar negeri sepanjang memenuhi
ketentuan yang berlaku di Negara yang bersangkutan.
KETIGA : Pemegang Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada Diktum
PERTAMA berkewajiban:
a. Memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang
perkeretaapian;
b. Melaporkan perubahan kepemilikan perusahaan atau
domisili perusahaan apabila terjadi perubahan;
c. Mengusahakan sarana perkeretaapian umum sesuai
ketentuan yang berlaku; dan
d. Melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun kepada
Direktur Jenderal Perkeretaapian.
KEEMPAT : Pemegang Izin Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada Diktum KETIGA dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
KELIMA : Izin Usaha Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian Umum ini
berlaku selama PT. KAI Commuter Jabodetabek masih
menjalankan usahanya.
KEENAM : Direktur Jenderal Perkeretaapian melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
1.1.2 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KP. 264 Tahun 2010 tentang Izin
Operasi Sarana Perkeretaapian Umum PT. KAI Commuter Jabodetabek
Pertimbangan dikeluarkannya Izin Operasi Sarana Perkeretaapian
Umum PT. KAI Commuter Jabodetabek yaitu:
a. bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Pasal 305 ayat (2) huruf a
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Perkeretaapian telah diatur bahwa badan usaha yang menyelenggarakan
sarana perkeretaapian wajib memiliki izin usaha dan izin operasi;
b. bahwa berdasarkan hasil berita acara evaluasi Nomor
21A/KI.3/BA/DJKA/III/10 tanggal 8 Maret 2010, terhadap permohonan
PT. KAI Commuter Jabodetabek, telah memenuhi persyaratan sebagai
penyelenggara sarana perkeretaapian umum;
c. bahwa PT. KAI Commuter Jabodetabek telah memiliki izin usaha
penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum berdasarkan Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor KP. 260 tahun 2010 tentang Izin Usaha
Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian Umum PT. KAI Commuter
Jabodetabek;
Dalam surat keputusan Nomor: KP. 264 Tahun 2010, Menteri
Perhubungan memberikan 7 (tujuh) keputusan yaitu:
PERTAMA : Memberikan Izin Operasi Sarana Perkeretaapian Umum
kepada:
a. Nama Perusahaan: PT. KAI Commuter Jabodetabek
b. Akta Pendirian: No. 457 Tanggal 15 September 2008,
dibuat dihadapan Notaris Ilmiawan Dekrit Supatmo, SH
yang diubah terakhir dengan Akta Notaris No. 7 Tanggal 6
November 2009 oleh Notaris Vidya Syah, SH, yang telah
disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM No. AHU-
74707.AH.01.01 Tahun 2008
c. Alamat Perusahaan: Jl. Ir. H. Juada 1B No. 8-10, Kel.
Kebon Kelapa, Kec. Gambir, Jakarta Pusat
d. NPWP: 02.491.6835.074.000
e. Nama Direktur Utama: Bambang Wibiyanto
KEDUA : Izin Operasi Sarana Perkeretaapian Umum oleh PT. KAI
Commuter Jabodetabek meliputi jaringan pelayanan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan lintas pelayanan
sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan
dari Keputusan ini.
KETIGA : Pemegang Izin Operasi sebagaimana dimaksud pada Diktum
PERTAMA berkewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang
Perkeretaapian dan bidang lain yang terkait;
b. mengoperasikan dan merawat sarana perkeretaapian umum
sesuai standar dan tata cara yang telah ditetapkan;
c. melaksanakan pengoperasian sarana perkeretaapian sesuai
dengan grafik perjalanan kereta api;
d. menjamin tersediaanya pelayanan perkeretaapian umum
sesuai ketentuan yang berlaku;
e. mematuhi ketentuan pelaksanaan perjalanan kereta api luar
biasa yang mengutamakan pelayanan perkeretaapian umum,
kecuali untuk kepentingan perawatan, bantuan dan angkutan
khusus;
f. bertanggung jawab atas pengoperasian sarana
perkeretaapian;
g. melaporkan kegiatan operasional sarana perkeretaapian
secara berkala kepada Direktur Jenderal Perkeretaapian.
KEEMPAT : Pemegang Izin Operasi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada Diktum KETIGA dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
KELIMA : Izin Operasi Sarana Perkeretaapian Umum berlaku selama 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya Keputusan ini dan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan
yang berlaku.
KEENAM : Direktur Jenderal Perkeretaapian melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
2. Data Primer
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Karina Amanda selaku
Legal Business Assistant Manager PT. KAI Commuter Jabodetabek, diperoleh data
sebagai berikut:
2.1 Bidang perkeretaapian sifatnya adalah sarana publik (public utility) ketika masuk
pasar, tarif dan pelayanan, keseluruhannya diatur oleh peraturan. Kereta api
merupakan moda transportasi yang sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu,
seperti mengangkut muatan berjumlah besar dalam jarak jauh, membawa sejumlah
besar penumpang dalam jarak sedang, dan sebagai sarana angkutan Commuter di
kota-kota besar.
2.2 Bidang perkeretaapian diberikan pengecualian monopoli dengan dasar pemberian
proteksi kepada suatu bidang tertentu yang dianggap masih memerlukan
perlindungan dengan alasan industri ini masih belum mampu menghadapi
persaingan karena salah satu faktor yang sangat mempengaruhinya adalah
keterbatasan modal. Untuk bisa membangun suatu usaha di bidang perkeretaapian
membutuhkan modal yang sangat banyak. Infrastruktur kereta api sangat mahal.
Suatu perusahaan yang ingin membuka usaha dalam bidang perkeretaapian harus
menyediakan investasi yang besar yang digunakan untuk pembiayaan dalam
menyediakan seluruh peralatan basis dan fasilitas operasi dari kereta api.
Pembahasan
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007, perkretaapian
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana sarana dan sumber daya manusia
serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta
api.
Persaingan usaha dalam rumusan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
yaitu:
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Diperoleh gambaran, bahwa persaingan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum dan implikasinya akan
menghambat persaingan usaha secara sehat.
Dalam rangka penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian Jalur Lingkar
Jabodetabek, Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 83 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
Dalam rangka penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian Jalur Lingkar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, PT Kereta Api Indonesia (Persero):
a. bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset
properti PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang berada di wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Jawa Barat
dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset properti PT Kereta
Api Indonesia (Persero) yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat; dan
c. dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Banten dalam
pengembangan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset properti PT Kereta Api
Indonesia (Persero) yang berada di wilayah Provinsi Banten.
Secara lebih lanjut, dalam Pasal 23 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian merumuskan bahwa:
Pasal 23
(1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik
secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana
perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.
Pasal 31
(1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik
secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana
perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.
Berdasarkan hasil penelitian baik dalam data sekunder maupun yang didukung
dengan data primer, belum ada pihak swasta yang ikut atau bekerjasama dalam
penyelenggaraan KRL atau perkeretaapian umum, sebab dibutuhkan modal investasi yang
jumlahnya sangat besar. Mereka akan mengalami kerugian yang cukup besar karena
dalam hal kereta penumpang untuk pengembalian modalnya atau memperoleh
keuntungan sangatlah sulit, mereka harus memenuhi pelayanan yang baik dengan harga
yang cukup murah. Perkeretaapian umum berbeda dengan perkeretaapian khusus yang
hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu dan tidak
digunakan untuk melayani masyarakat umum, seperti PT Bukit Asal di Sumatera Selatan
yang telah bekerjasama dengan PT.KAI (Persero) dan Pemerintah juga telah memberikan
persetujuan kepada Bupati Kutai Timur untuk menerbitkan persetujuan pembangunan
perkeretaapian khusus kepada PT. Trans Kutai.4
Menurut pendapat Praptono Djunaedi, pertimbangan dasar bidang perkeretaapian
dikuasai oleh negara adalah Pasal 33 UUD 1945 bahwa bidang yang mencakup
kehidupan atau hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh Negara. Undang-
Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
memungkinkan adanya monopoli oleh suatu Badan Usaha Milik Negara yang dirumuskan
dalam Pasal 51 atau merupakan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Latar belakang filosofis yuridis mengenai pengecualian Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 adalah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain pengecualian yang terdapat dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, ada beberapa alasan pengecualian lain yang diberlakukan
dalam hukum persaingan usaha yaitu:
a. Industri atau badan yang dikecualikan umumnya telah diregulasikan atau
diatur oleh badan pemerintah yang lain dengan tujuan memberikan
perlindungan khusus atas nama kepentingan umum, misalnya transportasi, air
minum, listrik dan lain-lain. Atau disebut dengan monopoli alamiah (natural
monopoly).
b. Suatu industri membutuhkan adanya perlindungan khusus karena praktek
kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan atau lebih baik memberikan proteksi
yang jelas kepada suatu pihak daripada berupaya memberlakukan undang-
undang.
c. Suatu industri diberikan pengecualian dengan dasar pemberian proteksi
kepada suatu industri tertentu yang dianggap masih memerlukan perlindungan
dengan alasan industri ini masih belum mampu menghadapi persaingan karena
berbagai faktor, misalnya keterbatasan modal, belum efisien, distribusi, belum
inovatif sehingga tidak akan mampu bertahan di pasar.
4 Hen. Harian Ekonomi Neraca: 28 April 2010. PT KA Lepas Monopoli, Undang Investor Swasta.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/95911-[_Konten_]-PT%20KA-Hen.pdf. diakses
tanggal 10 September 2012
d. Pemberian proteksi terhadap jenis pelaku usaha tertentu pada umumnya bukan
saja diberikan berdasarkan kemampuan, tetapi juga dengan melihat jumlah
mereka dalam roda ekonomi, apakah sifatnya mayoritas atau tidak.5
Berdasarkan pengecualian yang diberlakukan dalam hukum persaingan usaha,
adanya pengecualian pada PT. KAI (Persero) dalam penyelenggaraan bidang
perkeretaapian adalah karena bidang perkeretaapian merupakan bidang-bidang usaha
yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Didukung pula hasil wawancara
dengan Karina Amanda selaku Legal Business Assistant Manager PT. KCJ, yang
mengatakan bahwa PT.KAI dalam penyelenggaraan KRL lingkar Jabodetabek tidak
melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebab bidang perkeretaapian sifatnya
adalah sarana publik (public utility) dimana masuk pasar, tarif dan pelayanan,
keseluruhannya diatur oleh peraturan. Kereta api merupakan moda transportasi yang
sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti mengangkut muatan berjumlah besar
dalam jarak jauh, membawa sejumlah besar penumpang dalam jarak sedang, dan sebagai
sarana angkutan Commuter di kota-kota besar.
Monopoli diatur dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999
yaitu:
Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sementara itu dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
disebutkan bahwa adanya penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
jasa dapat patut diduga atau dianggap jika:
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Penyelenggaraan KRL bila dikaitkan dengan unsur-unsur dalam Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka dapat dideskripsikan:
a. Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
5 Ningrum Natasya Sirait. 2004. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press. hal
21.
Dalam pembahasan ini PT.KAI (Persero) menyediakan jasa angkutan umum
orang khususnya di daerah Jabodetabek dengan kereta rel listrik (KRL) yaitu
sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun
dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang
bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api. Mulai 1
Oktober 2012 biaya angkutan KRL lingkar Jabodetabek naik Rp 2000,- hanya
KRL non subsidi saja yang naik sedangkan KRL Ekonomi tidak ada kenaikan,
hal ini demi peningkatan pelayanan terhadap masyarakat jabodetabek yang
pada umumnya mempunyai mobilitas yang tinggi, dan per-hari-nya KRL ini
dapat mengangkut lebih dari empat ratus ribu penumpang per hari. Hal ini
berarti yang dimaksud substitusi adalah jasa angkutan umum orang/publik
dengan KRL untuk Daerah Operasi I Jakarta yang diharapkan dapat berfungsi
sebagai pilihan bagi konsumen sesuai dengan harga dan kualitas yang
ditawarkan, maka dapat dikatakan unsur ini dapat dipenuhi dikarenakan tidak
adanya substitusi untuk barang yang sama dilihat dari sifat fisik dan tujuan
pemakaian sehingga tidak dapat dipertukarkan.
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan/atau jasa yang sama.
Dalam penyelenggaraan perkeretaapian tidak dapat dikatakan sebagai
menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha dan/atau jasa
yang sama, walaupun dalam penyelenggaraan perkeretaapian khususnya KRL
di wilayah Jabodetabek hanya terdapat satu pelaku usaha yaitu PT.KAI
(Persero), unsur menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam
persaingan usaha dan/atau jasa yang sama tidak dapat terpenuhi sebab
Undang-Undang tentang Perkeretaapian telah membuka peluang kerjasama
bagi Pihak Swasta maupun Pemda.
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang dan/atau jasa tertentu.
Dalam penyelenggaraan KRL dapat dikatakan satu pelaku usaha karena PT.
KAI (Persero) merupakan satu-satunya BUMN yang bergerak di bidang
perkeretaapian dan menguasai seluruh pangsa pasar.
Dalam penyelenggaraan jasa angkutan kereta api telah memenuhi unsur patut
diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi barang dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketiga unsur yang ditetapkan sebagai pilihan yang
alternatif (dilihat dari kata “atau”), pada penyelenggaraan KRL hanya dua unsur saja yang
terpenuhi yaitu barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya dan satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang dan/atau jasa tertentu. Dengan demikian walaupun
hanya salah satu unsur saja yang tidak terpenuhi namun penyelenggaraan KRL lingkar
Jabodetabek tersebut dapat dijadikan parameter yang menunjukkan adanya penguasaan
atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Apabila penyelenggaran KRL lingkar Jabodetabek dapat digolongkan sebagai
monopoli yang dilarang menurut salah satu unsur Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, tidak berarti terhadap penyelenggaraan KRL lingkar Jabodetabek
oleh PT.KAI itu dapat langsung diterapkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, karena Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur hal-hal
yang dikecualikan, sebagai berikut:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
Didukung pula hasil wawancara dari Karina Amanda selaku Legal Business
Assistant Manager PT. KCJ, yang mengatakan bahwa Bidang perkeretaapian diberikan
pengecualian monopoli dengan dasar pemberian proteksi kepada suatu bidang tertentu
yang dianggap masih memerlukan perlindungan dengan alasan industri ini masih belum
mampu menghadapi persaingan karena salah satu faktor yang sangat mempengaruhinya
adalah keterbatasan modal.
Tujuan dari pengecualian atas perbuatan dan/atau perjanjian tertentu dari
pemberlakuan ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
agar suatu perbuatan walaupun menghilangkan persaingan sehat tetapi mempunyai tujuan
yang lebih besar bagi masyarakat pada umumnya, maka akan dikecualikan. Perbuatan
dan/atau perjanjian tertentu itu akan mendapatkan legitimasi atas penyelenggaraan
monopoli.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa tidak semua
monopoli adalah dilarang menurut hukum persaingan usaha, karena ada monopoli yang lahir
secara alamiah dan didukung oleh iklim usaha, sehingga penyelenggaraan kereta rel listrik
(KRL) lingkar Jabodetabek di Daop I Jakarta tidak dapat digolongkan sebagai praktek
monopoli yang dapat di pidana menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkeretaapian
diselenggarakan dengan prinsip dan tujuan yang tidak sama dengan prinsip-prinsip yang
dilarang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, karena PT.KAI (Persero)
dalam hubungannya dengan penyelenggaraan KRL Lingkar Jabodetabek adalah dalam
rangka melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan PT.KAI
untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Bandara Soekarno-Hatta dan Jalur
Lingkar Jabodetabek.
SARAN
Pemerintah hendaknya mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai
kerjasama/kemitraan antara PT KAI dengan badan usaha lainnya yang berkaitan dengan
operasional KRL di wilayah Jabodetabek dan mengawasi penyelenggaraan pengangkutan
kereta api khususnya kereta rel listrik agar tidak merugikan kepentingan umum dan dapat
mencapai tujuan yang telah direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Sirait, Ningrum Natasya. 2004. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa
Press.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao. 2010. Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 1999. Anti Monopoli. Jakarta: Rajawali Pers.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak sehat
Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Peraturan Presiden No.83 Tahun 2011 tentang Penugasan Kepada PT. KAI untuk
Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta
dan Jalur Lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
Sumber Lain
Ade Mulyana, 06 Desember 2011, “Pemerintah Harus Pertegas Dukung Industri Kereta
Api”, tersedia di website http://www.rakyatmerdekaonline.com/ news.php?id=48068,
diakses tanggal 12 Maret 2012.
Hen. Harian Ekonomi Neraca: 28 April 2010. PT KA Lepas Monopoli, Undang Investor
Swasta. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital /95911-
[_Konten_]-PT%20KA-Hen.pdf. diakses tanggal 10 September 2012.