penyakit campylobacteriosis yang disebabkan oleh campylobacter jejuni

Upload: salli-marindha

Post on 20-Jul-2015

273 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1.

Latar Belakang Campylobacteriosis merupakan penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh bakteri

Campylobacter jejuni. Campylobacteriosis adalah penyakit diare akut, dimana banyak kasus infeksi terhadap manusia dan hewan tidak menunjukkan adanya gejala. Gejala-gejala dari penyakit campylobacteriosis yaitu diare (kadang-kadang sampai berdarah, sakit pada bagian perut, demam, mual, dan muntah. Gejala-gejala tersebut biasanya mulai terlihat setelah 2 hari hingga 5 hari setelah proses infeksi (Missouri Departement of Health and Senior Services, 2006). Setiap tahunnya terdapat banyak sekali kasus campylobacteriosis yang disebabkan oleh C. jejuni. Jumlah bakteri C. jejuni yang masuk ke dalam tubuh manusia untuk dapat menimbulkan penyakit (dosis infeksi) adalah rendah, berkisar antara 500 sel hingga 10.000 sel bakteri. Dosis infeksi ini berdasarkan beberapa faktor termasuk faktor transmisi dan kerentanan atau ketahanan tubuh setiap individu. Biasanya pada anak-anak, dosis infeksi lebih rendah dari orang dewasa (Food Safety Authority of Ireland, 2002). Patogenesis dari C. jejuni meliputi inang/host dan faktor spesifik patogen. Menurut Altekruse (et al., 1999), patogenisitas dari C. jejuni kemungkinan meliputi beberapa hal yaitu kemotaksis, motilitas, dan flagela, dimana dibutuhkan untuk penempelan dan kolonisasi di dinding epitel usus. Selain itu, menurut Wassenaar (1997), terdapat empat faktor patogenitas yang dikenali dari C. jejuni yaitu motilitas, pelekatan (adherence), invasi, dan produksi toksin. Motilitas tidak hanya dibutuhkan oleh C. jejuni untuk mencapai situs penempelan tetapi juga dibutuhkan untuk penetrasi C. jejuni ke dalam sel-sel usus. Pelekatan C. jejuni ke permukaan epitelial merupakan hal yang penting untuk kolonisasi dan akan meningkatkan konsentrasi lokal dari produk sekresi bakteri. Setelah terjadi kolonisasi lalu terjadi invasi yang diikuti dengan penempelan yang disertai dengan penetrasi ke dalam sel. Setelah itu adalah produksi toksin yang merupakan faktor yang penting untuk patogenesis C. jejuni (Wassenaar, 1997). Sekali kolonisasi C. jejuni terjadi, akan menimbulkan invasi terhadap sel inang, produksi toksin, inflamasi dan sekresi yang aktif (active secretion), dan gangguan epitelial dengan kebocoran cairan serosal. Sebagian besar kasus penyakit campylobacteriosis pada manusia adalah sporadis atau tersebar. Transmisi C. jejuni terhadap manusia biasanya dikarenakan oleh beberapa hal yaitu konsumsi raw milk, air minum, memakan daging unggas yang kurang matang, konsumsi daging ternak, kontak langsung dengan anjing atau kucing (biasanya anjing atau kucing yang terkena diare), dan lain-lain (Altekruse et al., 1999).

Gambar 1. Campylobacter jejuni (Altekruse et al., 1999)

2.

Mekanisme C. jejuni yang masuk ke dalam tubuh manusia memproduksi toksin yang merupakan salah

satu faktor patogenitas. Toksin yang dihasilkan oleh C. jejuni adalah Cytolethal Distending Toksin (CDT) (Whitehouse et al., 1998). CDT ini termasuk ke dalam tipe eksotoksin (Shimeld, 1999), yaitu toksin yang diproduksi di dalam sel bakteri sebagai bagian dari proses pertumbuhan dan metabolisme serta disekresikan oleh bakteri tersebut ke dalam media tempat bakteri tersebut tumbuh (Tortora et al., 2004). Eksotoksin merupakan suatu protein yang secara enzimatis cukup berbahaya walaupun dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, eksotoksin mudah terlarut dalam cairan tubuh, sehingga akan mudah untuk masuk dan berdifusi ke dalam darah serta cepat tertransportasi ke dalam sel-sel pada jaringan tubuh. Secara umum, eksotoksin bekerja dengan menghancurkan bagian tertentu dari sel inang atau dengan menghambat fungsi metabolik tubuh. Eksotoksin memiliki sifat yang spesifik pada jaringan tubuh tertentu, seperti CDT yang dihasilkan oleh C.jejuni bekerja pada sel epitel usus. Eksotoksin terbagi atas 3 tipe yang berdasarkan pada struktur dan fungsinya yaitu (1) A-B toksin, (2) membrane-disrupting toxin, dan (3) superantigen (Tortora et al., 2004). Menurut Lara-Tejero & Galan (2001, dalam Jinadasa et al., 2011), CDT merupakan termasuk tipe A-B toksin. A-B toksin juga disebut toksin tipe III, dimana toksin tersebut terbagi atas dua bagian yaitu bagian A dan B yang keduanya merupakan polipeptida. Bagian A merupakan komponen aktif yang biasanya merupakan enzim dan bagian B merupakan komponen binding (Tortora et al., 2004). CDT yang diproduksi oleh C. jejuni memiliki bagian B yang terdiri dari CdtA dan CdtC sebagai komponen binding. Cdt A dan CdtC berikatan dengan lipid membran sel (CDT bersifat hidrofobik) karena terdapat reseptor pada membran sel tersebut yang berupa glikolipid atau glikoprotein, oleh karena itu dapat terjadi perlekatan. Setelah itu, CdtB yang merupakan bagian A

sebagai komponen aktif masuk ke dalam sel. CdtB ini dilapisi oleh clathrin-coated pit, sehingga memudahkan transportasi menuju ke dalam nukleus melalui badan golgi dan retikulum endoplasma (Jinadasa et al., 2011).

Gambar 2. Masuknya CDT ke dalam sel epitel usus (Jinadasa et al., 2011)

Produksi CDT pada C.jejuni bergantung dari ekspresi tiga gen yaitu cdtA, cdtB, dan cdtC (Whitehouse et al., 1998). Secara spesifik, CDT menyebabkan kegagalan aktivasi CDC2 dan memblok siklus sel pada fase G2. CDC2 merupakan cyclin dependent kinase A-1, yang juga dikenal sebagai cell division control (Sarmoko dan Larasati, 2010). Siklus sel terbagi menjadi dua fase utama yaitu fase M dan interfase. Fase M adalah fase yang terjadi selama proses mitosis terjadi dan selama duplikasi kromosom terpisah menjadi dua nuclei, serta sitokinesis yaitu selama seluruh sel terbagi menjadi dua sel anak. Interfase merupakan periode di antara pembelahan sel, dimana merupakan saat sel tumbuh dan mulai melakukan berbagai aktivitas metabolisme. Interfase meliputi fase G1, fase S, dan fase G2. Fase G1 adalah tahap pertumbuhan sel, mulai terjadi metabolisme, dan duplikasi organel sel. Fase S merupakan sintesis DNA dimana terjadi replikasi DNA dan duplikasi kromosom dan Fase G2 adalah tahap pertumbuhan sel dan persiapan untuk mitosis. Pada sel mamalia, fase M biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam, sedangkan interfase membutuhkan waktu lebih lama yaitu berhari-hari (Karp, 2010).

Gambar 3. Siklus Sel (Karp, 2010)

Menurut Whitehouse (et al., 1998), target langsung dari CDT belum dapat teridentifasi tetapi pengaruh utama dari CDT adalah memblok siklus sel pada fase G2, dimana CDT menyebabkan kerusakan checkpoint pada siklus sel fase G2 akibatnya siklus sel terganggu. Setiap tahap dalam siklus sel dikontrol oleh regulator siklus sel yaitu cyclin (terdiri atas cyclin D, E, A, dan B), Cyclin Dependent Kinase (Cdk) terdiri atas Cdk4, Cdk6, Cdk2, dan Cdk1 = CDC2), dan Cdk Inhibitor (CKI). Siklus sel dimulai dari masuknya sel dari fase G0 ke fase G1 karena adanya stimulus dari growth factor. 1. Pada fase awal G1, Cdk4 dan Cdk 6 diaktifkan oleh CycD. Kompleks Cdk4-Cdk6 dan CycD akan menginisiasi fosforilasi protein retinoblastoma (pRb) sehingga fungsi histon deasetilasi (menjaga kekompakan struktur kromatin) menjadi terganggu akibatnya struktur DNA menjadi longgar dan faktor transkripsi (p53) menjadi lepas yang semula diikat oleh pRb dan transkripsi dari E2F responsive genes yang dibutuhkan dalam progresi siklus sel ke fase S menjadi aktif. 2. Pada fase transisi dari G1 ke S, Cdk2 aktif dengan berikatan dengan CycE. Kompleks tersebut melanjutkan fosforilasi pRb (hiperfosforilasi) sehingga proses transkripsi yang dipacu oleh E2F tetap aktif dan restriction point yang ada di batas fase G1/S dapat terlampaui. Pada saat inilah CycA ditranskripsi. Ketika siklus sel akan memasuki fase S, CycE akan didegradasi dan Cdk2 yang dibebaskan akan mengikat CycA. Kompleks Cdk2-CycA dibutuhkan sel untuk mereplikasi DNA selama fase S. Kompleks ini akan memfosforilasi protein yang dibutuhkan dalam replikasi DNA supaya aktif (CDC6 = Cell Division Cycle 6). Kompleks tersebut juga menjaga agar tidak terjadi multireplikasi DNA. 3. Pada akhir fase S, CycA akan melepas Cdk2 dan mengikat Cdk1 (CDC2) yang meregulasi transisi sel dari S ke G2. Kompleks CycA-Cdk1 akan memfasilitasi kondensasi kromatin yang

dibutuhkan untuk penggandaan sel. Pada fase G2, sel juga memiliki kesempatan untuk melakukan mekanisme repair apabila terjadi kesalahan sintesis DNA. 4. Memasuki fase mitosis, CycA akan didegradasi dan akan terjadi peningkatan ekspresi CycB yang akan berikatan dengan Cdk1. Kompleks Cdk1-CycB secara aktif memacu mitosis. Kompleks ini berperan penting dalam control rearrangement mikrotubul selama mitosis. (Sarmoko dan Larasati, 2010). Berdasarkan proses siklus sel tersebut, CDT yang dihasilkan oleh C. jejuni menyebabkan tidak aktifnya CDC2 atau Cdk1 sehingga tidak dapat berikatan dengan CycA dan tidak dapat membentuk kompleks Cdk1-CycA akibatnya siklus sel terhenti di fase G2. Oleh karena itu terjadi kematian sel dan kerusakan sel pada bagian sel epitel di mukosa usus. Kerusakan mukosa usus ini menyebabkan gangguan absorpsi dan sekresi abnormal (Whitehouse et al., 1998).

3.

Kesimpulan Campylobacteriosis yang disebabkan oleh bakteri C. jejuni menghasilkan Cytolethal

Distending Toxin (CDT) yang merupakan toksin jenis eksotoksin. Pengaruh adanya CDT pada tubuh menyebabkan kerusakan sel epitel pada mukosa usus, hal ini dikarenakan terjadinya blok pada siklus sel fase G2 sehingga terjadi kerusakan sel dan kematian sel. Kerusakan mukosa usus ini mengakibatkan gangguan absorpsi dan sekresi abnormal.

4.

Daftar PustakaPathogen. Vol. 5, No. 1. Department of Agriculture, Athens, Georgia.

Altekruse, S.F., Stern, N.J., Field, P.I., and Swerdlow, D.L. 1999. Campylobacter jejuni an Emerging Foodborne

Food Safety Authority or Ireland. 2002. Control of Campylobacter Species in the Food Chain. Abbey Court. Dublin. Jinadasa, R.N., Bloom, S.E., Weiss, R.S., and Duhamel, G.E. 2011. Cytholethal Distending Toxin : a Conserved Bacterial Genotoxin That Blocks Cell Cycle Progression, Leading to Apoptosis of a Broad Range of Mammalia Cell Lineages. Microbiology, Vol 157, p 1851-1875. Department of Biomedical Sciences. USA. Karp, G. 2010. Cell and Molecular Biology : Concepts and Experiments Sixth Edition. John Wiley and Sons, Inc. USA. Missouri Departement of Health and Senior Services. 2006. Campylobacteriosis. Division of Community and Public Manual. Sarmoko dan Larasati. 2010. Regulasi Siklus Sel. Cancer Chemoprevention Research Center. Jakarta. Shimeld, L.A. 1999. Essential of Diagnostic Microbiology. Delmar Publisher. USA. Tortora, Funke, and Case. 2004. Microbiology an Introduction Eight Edition. Pearson Education, Inc. San Francisco. Wassenaar, T.M. 1997. Toxin Production by Campylobacter spp. Clinical Microbiological Reviews, Vol. 10 No. 3. p 446-467. Institute of Medical Microbiology and Hygiene, University of Mainz, Germany. Whitehouse, C.A., Balbo, P.B., Pesci, E.C., Cottle, D. L., Mirabito, P.M., dan Pickett, C.L. 1998. Campylobacter jejuni Cytolethal Distending Toxin Causes a G2-Phases Cell Cycle Block. Infection and Immunity, Vol. 66, No. 5, p. 1934-1940. Department of Microbiology and Immunology, University of Kentucky.

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGANPENYAKIT CAMPYLOBACTERIOSIS YANG DISEBABKAN OLEH Campylobacter jejuni

27 April 2012Disusun Oleh : Salli Marindha 25311029

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011