penurunan dosis gagal ginjal

54
Tugas Compounding and Dispensing PENURUNAN DOSIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL Disusun oleh : Ardiyani Erna S 2601121130503 Nurul Fitrializa R 2601121130517 Rahmad Noor Budi 2601121130518 Rizqi Permata H 2601121130528 Siska Oktaviani 2601121130536 Risa Nurfatihani 2601121130542 FAKULTAS FARMASI 1

Upload: farichafm

Post on 26-Dec-2015

192 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

adjust dose

TRANSCRIPT

Tugas Compounding and Dispensing

PENURUNAN DOSIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Disusun oleh :

Ardiyani Erna S 2601121130503

Nurul Fitrializa R 2601121130517

Rahmad Noor Budi 2601121130518

Rizqi Permata H 2601121130528

Siska Oktaviani 2601121130536

Risa Nurfatihani 2601121130542

FAKULTAS FARMASIPROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGOR

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Anatomi fisiologis Ginjal

1. Susunan Umum Ginjal dan Saluran Kemih

Kedua ginjal terletak di dinding posterior perut, di luar rongga

peritoneal. Ginjal manusia dewasa beratnya sekitar 150 gram dan

seukuran kepalan tinju. Sisi tengah dari masing-masing ginjal

mengandung daerah indentasi disebut hilus yang melewati arteri renalis

dan pembuluh darah, limfatik, suplai saraf, dan saluran kencing, yang

membawa urin akhir dari ginjal ke kandung kemih, dari disimpan

sampai dikosongkan. Ginjal dikelilingi oleh kapsul fibrosa yang keras

yang melindungi struktur bagian dalam yang halus.

Gambar 1. Ginjal dan urinari sistem

Jika ginjal dibagi dari atas ke bawah, dua daerah utama yang

dapat divisualisasikan adalah bagian terluar merupakan korteks dan

bagian dalam disebut medula. Medula dibagi menjadi beberapa

berbentuk kerucut dari jaringan yang disebut piramida ginjal. Dasar

setiap piramida berasal di perbatasan antara korteks dan medula dan

berakhir di papilla, yang dilanjutkan ke dalam ruang pelvis renalis,

merupakan kelanjutan yang berbentuk corong dari ujung atas ureter.

2

Batas luar pelvis dibagi menjadi kantong terbuka disebut calyces utama

yang memanjang ke bawah dan dibagi menjadi calyces kecil, yang

mengumpulkan urin dari tubulus setiap papilla. Dinding calyces, pelvis,

dan ureter mengandung unsur kontraktil yang mendorong urine menuju

kandung kemih, di mana urin disimpan sampai dikosongkan oleh

kantung kemih.

2. Renal Suplai Darah

Aliran darah ke dua ginjal biasanya sekitar 22% dari cardiac

output, atau 1100 ml / menit. Arteri ginjal memasuki ginjal melalui

hilus dan kemudian cabang progresif untuk membentuk arteri

interlobar, arteri arkuata, arteri interlobular (juga disebut radialarteri)

dan arteriol aferen, yang mengarah pada kapiler glomerulus, di mana

sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) akan

disaring kemulai pembentukan urin. Ujung kapiler glomerulus distal

masing-masing bergabung untuk membentuk arteri eferen, yang

mengarah ke kapiler kedua jaringan, kapiler peritubular, yang

mengelilingi tubulus ginjal. Sirkulasi ginjal unik karena memiliki dua

kapiler tidur, kapiler glomerulus dan peritubular, yang disusun secara

seri dan dipisahkan oleh arteriol eferen, yang membantu mengatur

hidrostatik tekanan di kedua set kapiler. Hidrostatik tinggi tekanan

kapiler glomerulus (sekitar 60 mm Hg) menyebabkan filtrasi cairan

yang cepat, sedangkan tekanan hidrostatik jauh lebih rendah di kapiler

peritubular (sekitar 13 mm Hg) yang memungkinkan reabsorpsi cairan

yang cepat. Dengan menyesuaikan perlawanan dari aferen yang dan

arteriol eferen, ginjal dapat mengatur tekanan hidrostatik baik di

glomerulus dan kapiler peritubular, sehingga mengubah tingkat filtrasi

glomerulus, tubular reabsorpsi, atau keduanya dalam menanggapi

tuntutan homeostatis tubuh. Kapiler peritubular kosong ke dalam

pembuluh sistem vena, yang berjalan sejajar dengan pembuluh arteri

dan membentuk vena interlobular, vena arkuata, interlobar vena, dan

vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri ginjal dan

ureter.

3

Gambar 2. Bagian-bagian ginjal

3. Unit Fungsional Nefron Ginjal

Setiap ginjal pada manusia mengandung sekitar 1 juta nefron,

masing-masing mampu membentuk urin. Ginjal tidak bisa regenerasi

nefron. Di atas usia 40, jumlah fungsi nefron biasanya menurun sekitar

10% setiap 10 tahun, dengan demikian, pada usia 80, banyak orang

memiliki fungsi nefron 40% lebih sedikit dari mereka miliki pada usia

40. Kerugian ini tidak mengancam nyawa karena perubahan adaptif

dalam nefron yang tersisa memungkinkan mereka untuk mengeluarkan

jumlah yang air, elektrolit, dan produk-produk limbah yang sesuai.

Setiap nefron berisi ( 1 ) sebuah kapiler glomerulus disebut

glomerulus, merupakan tempat cairan yang disaring dari darah dalam

jumlah besar, dan ( 2 ) tubulus yang panjang di mana cairan yang

disaring diubah menjadi urin di perjalan menuju pelvis ginjal.

Glomerulus mengandung jaringan bercabang dan kapiler glomerulus,

4

yang dibandingkan dengan kapiler lainnya memiliki tekanan hidrostatik

tinggi (sekitar 60 mm Hg). Kapiler glomerulus ditutupi oleh sel-sel

epitel, dan seluruh glomerulus terbungkus dalam kapsul Bowman.

Cairan yang disaring dari kapiler glomerulus mengalir ke kapsul

Bowman dan kemudian ke tubulus proksimal, yang terletak di korteks

ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke lengkung Henle,

yang masuk ke medula ginjal. Setiap lengkung terdiri dari bentuk yang

menaik dan menurun. Dinding cabang menurun dan ujung bawah

cabang yang menaik sangat tipis dan oleh karena itu disebut segmen

tipis lengkung Henle. Setelah bentuk lengkung yang menaik telah

kembali setengah jalan ke korteks, dindingnya menjadi lebih tebal, dan

ini disebut sebagai segmen tebal cabang yang menaik. Pada akhir

cabang tebal pendek segmen, yang sebenarnya adalah sebuah plak di

dinding, yang dikenal sebagai macula densa. Makula densa memainkan

peran penting dalam mengendalikan fungsi nefron. Di luar densa

makula, cairan memasuki tubulus distal, yang seperti tubulus proksimal,

terletak pada korteks ginjal. Yang diikuti oleh tubulus penghubung dan

tubulus pengumpul kortikal, yang menjadi duktus pengumpul kortikal.

Bagian awal dari 8 sampai 10 kortikal mengumpulkan saluran yang

bergabung untuk membentuk pengumpulan yang lebih besar berupa

saluran tunggal yang berjalan ke bawah ke medula danmenjadi medula

duktus pengumpul. Saluran pengumpul bergabung dan membentuk

saluran yang semakin besar yang akhirnya mengosongkan ke dalam

pelvis ginjal melalui ujung-ujung papila ginjal. Pada setiap ginjal, ada

sekitar 250 dari saluran-saluran pengumpul yang sangat besar, yang

masing-masing mengumpulkan urin dari sekitar 4000 nefron.

Perbedaan Daerah dalam Struktur Nefron : kortikal dan

Juxtamedullary Nephrons. Meskipun masing-masing nefron memiliki

semua komponen yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa perbedaan,

tergantung pada seberapa dalam nefron berasa dalam ginjal .Nefron

yang memiliki glomeruli terletak di korteks luar disebut korteks nefron,

mereka memiliki lengkung Henle pendek yang menembus hanya jarak

5

pendek ke medula. Sekitar 20 sampai 30 persen dari nefron memiliki

glomeruli yang terletak jauh di dalam korteks ginjal dekat medulla dan

disebut nefron juxtamedullary. Nefron ini memiliki lengkung panjang

Henle dip yang dalam ke medula, dalam beberapa kasus sampai ke

ujung papila ginjal. Struktur vaskular memasok juxtamedullary yang

nefron juga berbeda dari yang memasok nefron kortikal. Untuk nefron

kortikal, yang seluruh sistem tubular dikelilingi oleh luas jaringan

kapiler peritubular. Untuk juxtamedullary ini nefron, arteriol eferen

panjang memperpanjang dari glomerulus turun ke medulla luar dan

kemudian membagi menjadi kapiler peritubular khusus disebut vasa

recta yang memanjang menurun ke dalam medulla, berdampingan

berbaring dengan lengkung of Henle. Seperti lengkung Henle, yang

pembuluh ke rectum kembali menuju korteks dan telah kosong dalam

vena kortikal. Jaringan kapiler khusus menjadikan medulla sebagai

peran penting dalam pembentukan konsentrasi urin (Guyton dan Hall,

2006).

Gambar 3. Tubulus-tubulus dalam ginjal

6

4. Penyakit Gagal Ginjal

Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh

sebab itu, normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi

senyawa endogen dan eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di

dalam tubuh. Dalam proses eksresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi

dan reabsorbsi, proses ini dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah

di ginjal. Karena berkaitan dengan sirkulasi sistemik, maka jumlah dan

kecepatan eksresi obat melalui ginjal juga ditentukan oleh curah

jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal (renal blood

flow). Kecepatan aliran darah diperkirakan 1200 ml/menit. Oleh sebab

itu, setiap kejadian yang mengubah aliran darah ginjal akan mengubah

kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu

dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah

obat yang tak terikat protein (albumin atau AAG), maka kadar protein

darah menentukan jumlah obat yang tereksresi. Seperti diketahui,

karena biosintesis protein terjadi di hati, maka normalitas fungsi hati

secara tidak langsung turut menentukan kapasitas eksresi ginjal. Jadi

ternyata jumlah dan kecepatan eksresi renal tidak hanya ditentukan oleh

fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain factor

fisiko-kimiawi obat itu sendiri. Obat-obat yang memiliki rasio ekstraksi

renal tinggi (misalnya golongan penisilin, konjugat ulfat dan

glukuronat), eksresinya lebih tergantung dari perubahan kecepatan

aliran darah ke dan di ginjal ketimbang yang rasio ekstraksi renal

rendah (misalnya asetazolamid, digoksin, furosemid, klorpropamid,

tetrasiklin, tobramisin, dan sulfisoksazol). Perubahan aliran darah ginjal

sering dapat disamakan dengan perubahan GFR ketika merancang

regimen dosis pada gagal ginjal (Hakim, 2011).

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversible, yang biasanya pada keadaan

tertentu memerlukan terapi hemodialisis. Keadaan gagal ginjal kronik

yang memerlukan hemodialisis adalah bila faal ginjal yang masih

7

tersisa sudah minimal seperti sudah tidak bisa diberi pengobatan

konservatif dan farmakologik (Silviani, et al, 2011).

Pasien yang telah di diagnose dengan penyakit gagal ginjal

kronik memerlukan penanganan pre-dialisis yang optimal untuk

meningkatkan outcome dari terapi dialysis dan tranplantasi. Focus

penanganan atau manajemen meliputi perkiraan waktu memulai

dialysis atau menahan laju progresif penyakit ginjal, mencegah dan

mengobati komplikasi, penanganan kardiovaskular, dan jika

memungkinkan perencanaan tranplantasi (Sazli, et al, 2013)

Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan

dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan

(dialiser) yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme

protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara

kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui membrane

semipermeabel. Telah diketahui bahwa suatu tindakan hemodialisis

akan meningkatkan mortalitas pada pasien gagal ginjal kronik. Serum

plasma/ albumin yang merupaka suatu predictor mortalitas dan

morbiditas suatu pasien gagal ginjal kronik. Albumin yang merupakan

suatu predictor kondisi pasien gagal ginjal yang melakukan

hemodialisis adalah serum/plasma hipoalbumin. Target yang

disarankan pada penderita hemodialisis adalah kadar albumin > 4

gr/dL3 (Silviani, et al, 2011)..

5. Indeks Fungsi Ginjala. Stage Gagal Ginjal Berdasarkan Kreatinin Klirens

Kreatinin klirens lazim digunakan untuk mengukur fungsi

ginjal. Kreatinin memiliki berat molekul 113 dalton, merupakan

hasil metabolisme kreatin di dalam tubuh. Senyawa endogen

tersebut terdistribusi di dalam air tubuh total, tak terikat protein

plasma, dan tersaring sempurna oleh glomeruli ke dalam filtrate

(urin). Yang penting dalam pengobatan, kenaikan kadar kreatinin

serum proporsional dengan penurunan fungsi glomeruli, bahkan

lazim digunakan sebagai indikator penurun fungsi ginjal (Matzke &

8

Comstock, 2006). Berdasarkan klirens kreatinin ini maka fungsi

ginjal normal dan gagal ginjal pada orang dewasa dibagi menjadi

beberapa tingkat (Tabel 1).

Fungsi Ginjal Klirens Kreatinin

(mL/menit)

Normal 80-120

Gagal Ginjal Ringan 20-50

Gagal Ginjal Sedang 10-20

Gagal Ginjal Berat <10

Tabel 1. Hubungan antara klirens keratinin dan fungsi ginjal (Wiffen

dkk,2007)

Selain yang telah disebutkan diatas, beberapa kelemahan lain

pengukuran berdasarkan kreatinin klirens :

1. Produksi keratin dari prekursornya (arginin,glisin dan

metionin) tidak konstan pada penderita malnutrisi,

rabdomyolisis, luka bakar berat, trauma atau penyakit hati.

2. Produksi kreatinin di dalam otot terganggu oleh trimetoprim,

atau produksinya yang berlebihan jika mengkonsumsi daging

matang. Sekresi tubular kreatinin dapat dihambat oleh

trimetoprim dan simetidin.

3. Produksi dan pelepasan kreatinin konstan pada LBW (Lean

Body Weight) atau lebih praktisnya menggunakan IBW (Ideal

Body Weight). Perbedaan antar individu dalam hal hubungan

IBW dan produksi kreatinin cukup besar, khususnya jika

menyangkut wanita,neonates, dan usia lanjut dimana eksresi

urin kreatinin relative lebih rendah dibanding dengan berat

badan normal.

4. Pada gagal ginjal tahap akhir kreatinin di metabolism oleh

flora usus sampai 50% sehingga menurunkan kadar kreatinin

serum dan meningkatkan nilai GFR.

5. Beberapa obat/senyawa menganggu penetapan kadar kreatinin

serum, misalnya aseton dan asam asetoasetat (pada diabetes

9

dengan ketoasidosis), vitamin c, barbiturate, sefoksitin,

sefpirom, dan seforanid.

Namun keunggulan klirens kreatinin, senyawa endogen ini juga

disekresi di tubuli proksimal (sekitar 10-15%) sehingga

menggambarkan fungsi renal secara utuh pada ginjal normal, sebab

sebagai senyawa polar, kemungkinan ia tidak mengal;ami

rebasorpsi tubular. Namun ketika fungsi ginjal menurun, sekresi

kreatinin meningkat hingga 100 % (Brater & Chennavasin, 1984,

Matzke & Comstock, 2006).

b. Menghitung Klirens Kreatinin

Berikut akan dikemukakan beberapa persamaan

untuk menghitung klirens kreatinin ketika fungsi

ginjal tidak stabil (tabel 2).

Metode* Persamaan klirens kreatinin (CLcr) pria wanita

Jelliffe-jellife Ess = IBW x [29,3 - (0,203 x usia)] Ess = IBW x [25,1 - (0,175 x usia)]Ess cor = Ess [1,035 - (0,0337 x Scr)] Ess cor = Ess [1,035 - (0,0337 x Scr)]

E = Ess cor - 4 x IBW x (Scr2 - Scr1) E = Ess cor - 4 x IBW x (Scr2 - Scr1) ∆t ∆t

Clcr = E Clcr = E 14,4 x Scr 14,4 x Scr

Chiou Vd = 0,61 L / kg (IBW) Vd = 0,61 L / kg (IBW)

Clcr = 2IBW [28 - 0,2 (usia)] + Clcr = 2IBW [22,4 - 0,16 (usia)] + 1,44 (Scr2 + Scr1) 1,44 (Scr2 + Scr1)2 [Vd (Scr1 - Scr2)] - [Clcr NR x IBW] 2 [Vd (Scr1 - Scr2)] - [Clcr NR x IBW](Scr1 + Scr2) ∆t menit (Scr1 + Scr2) ∆t menit

Brater a. Clcr pria: [293 - (2,03 x usia)] x [1,035 - 0,01685 (Scr1 + Scr2)] + 49 (Scr1 + Scr2)

Scr1 + Scr2 (Scr1 + Scr2) ∆t harib. Clcr wanita = Clcr pria x 0,86

Tabel 2. Estimasi klirens kreatinin (CLcr) pada fungsi

ginjal tidak stabil (Matzke & Comstock,2006)

*Satuan CLcr : Jelliffe-Jellife dalam mL/menit/1,73 m2;

Chiou dalam mL/menit; Brater dalam mL/menit/70 kg;

Ess = Ekskresi kreatininurea pada keadaan tunak

perhari; Ess cor = ekskresi kreatinin terkoreksi; ∆hari

= waktu dalam hari, antara dua pengukuran kreatinin

serum; ∆hari = waktu dalam menit, antara dua

10

pengukuran kreatinin serum; Clcr NR = 0,048

mL/menit (klirens kreatinin non-renal); IBW = berat

badan ideal; Vd = volume distribusi; Scr = kreatinin

serum rata-rata.

Berikut adalah persamaan untuk menghitung GFR

ketika fungsi ginjal stabil (Gambar 4).

Gambar 4. Persamaan untuk memprediksi GFR pada pasien

gagal ginjal stabil

Berikut adalah pembagian stage gagal ginjal berdasarkan nilai

GFR:

11

Tabel 3. Stage Gagal Ginjal Kronis

6. Ethiologi

Penyebab gagal ginjal yang utama disebabkan oleh diabetes,

penyakit glomerular dan polikistik, hipertensi, sedangkan penyebab

gagal ginjal yang lainnya adalah karena penyakit genetic seperti

kelainan kekebalan, cacat lahir dan sebab-sebab lainnya (Sazli, et al,

2013).

12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Obat-Obat Penginduksi Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal yang diduga timbul akibat adanya induksi dari obat-

obatan tertentu biasanya dapat dideteksi secara dini melalui kreatinin serum

dan nitrogen urea darah. Kedua parameter tersebut layak dijadikan parameter

karena keduanya memiliki hubungan temporal antara tingkat toksisitas ginjal

dan penggunaan obat-obat yang berpotensi nefrotoksik. Mekanisme

terbentuknya penyakit ginjal akibat induksi obat dapat terjadi melalui

toksisitas imunologik (misal: glomerulonefritis dan nefritis interstisial

alergik) maupun toksisitas nonimunologik. Toksisitas imunologik maupun

nonimunologik secara langsung akan mempengaruhi karakteristik fungsi

ginjal yang normal. Pencegahan penyakit ginjal akibat induksi obat yang

terbaik adalah dengan menghindari penggunaan obat-obat yang potensial

nefrotoksik. Namun, dalam kondisi tertentu dimana penggunaan obat-obat

tersebut tidak dapat dihindari, maka minimalisasi faktor resiko dengan teknik

13

spesifik seperti hidrasi dapat digunakan untuk mengurangi resiko nefrotoksik

tersebut (Dipiro, et all, 2008).

Penyakit ginjal terinduksi obat atau nefrotoksisitas obat merupakan

suatu komplikasi yang umum terjadi pada pasien yang menerima pengobatan

dengan beberapa obat sekaligus. Manivestasi klinis dari kondisi tersebut

diantaranya adalah:

a. Kelainana asam-basa

b. Ketidakseimbangan elektrolit

c. Kelainan pada sedimentasi urin

d. Proteinuria

e. Pyuria, dan atau

f. Hematuria

Namun manivestasi paling umum dari nefrotoksisitas ini adalah

adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate)

yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum (Scr) dan

nitrogen urea darah (BUN = blood urea nitrogen). Sehingga wajar jika BUN

dan Scr dijadikan sebagai sarana deteksi awal bagi penyakit ginjal akibat

induksi obat ini. BUN dan Scr akan memberikan gambaran temporal antara

tingkat toksisitas ginjal dengan jangka waktu penggunaan obat-obat yang

berpotensi menyebabkan nefrotoksik (Dipiro, et all, 2008).

Nefrotoksisitas akibat induksi obat terjadi disemua bagian pengaturan

dimana obat tersebut diberikan. Nefrotoksisitas obat terjadi pada sekitar 7%

dari semua kasus toksisitas obat dan sekitar 18-27% kasus gagal ginjal akut

yang menjalani perawatan di rumah sakit dan berkontribusi pada sekitar 35%

pada kasus nekrosis tubular akut (NTA) dan pada sebagian besar kasus

nefritis interstisial alergik (NIA), serta nefropati yang terjadi karena adanya

perubahan hemodinamik ginjal dan obstruksi postrenal (Dipiro, et all, 2008).

Prinsip Pencegahan Nefropati Obat

Prinsip utama pencegahan nefrotoksisitas terinduksi obat adalah

dengan menghindari penggunaan obat-obat yang potensial menyebabkan

14

terjadinya nefrotoksisitas. Namun bila penggunaan obat-obat tersebut tidak

mungkin dihindari maka penggunaannya harus disertai dengan pengenalan

faktor-faktor resiko dan penerapan teknik-teknik khusus untuk meminimalisir

kemungkinan terjadinya nefrotoksisitas. Tidak ada faktor resiko yang umum

yang berlaku terhadap semua jenis obat, dan toksisitas biasanya berkembang

melalui berbagai mekanisme, baik melalui reaksi hipersensitivitas

idiosinkratik maupun melalui toksisitas seluler langsung. Dengan

pengecualian pada gagal ginjal akut yang disebabkan oleh AINS dan ACE

inhibitor, toksisitasnya sering kali dapat dicegah setelah diketahui adanya

insufisiensi ginjal, penurunan aliran darah efektif ke ginjal akibat adanya

deplesi volume, gagal jantung atau penyakit liver. Pada pasien dengan

hipertensi atau gagal jantung sangat sensitif terhadap kombinasi ACE

inhibitor dan AINS, terlebih bila penggunaannya juga bersamaan dengan

diuretik (Dipiro, et all, 2008).

Obat-obat yang menginduksi perubahan struktur dan fungsi ginjal

adalah sebagai berikut:

Kerusakan sel epitel tubular Nefropati ObstruktifNekrosis Tubular akut:antibiotik aminoglikosida\ media kontras radiografi cisplatin/ karboplatinamfoterisin B

Obstuksi intratubular:AsiklovirSulfadiazinIndinavirFoskarnetMetotreksat

Nefrosis osmotik:manitoldekstranimunoglobulin intravena

Obstruksi ekstrarenal:Antidepresan trisiklikIndinavir

Gagal ginjal secara hemodinamik:Inhibitor ACEAntagonis reseptor angiotensin IIAntiinflamasi nonsteroid

Nefrolitiasis:TriamterenIndinavir

Penyakit Glomerular Penyakit TubulointerstisialAINSPamidronat

Nefritis interstisial akut:PenisilinSiprofloksasinAINSOmeprazolFurosemidNefritis interstisial kronis:

15

SiklosporinLithiumNekrosis papilari:Kombinasi fenasetin, aspirin dan kafeinVaskulitis ginjal, trombosis, dan kolesterol emboli, Vaskulitis dan Trombosis:HidralazinPropiltiourasilAllopurinolPenisilamineGemsitabinMitomisin CMetamfetamiKolesterol emboli:WarfarinAgen trombolitikGagal ginjal semu:KortikosteroidTrimetoprimSimetidin

B. Farmakokinetik pada gagal ginjal

1. Absobsi Obat

Pada keadaan normal ginjal dapat melakukan reabsorpsi air dan zat

terlarut terjadi di sepanjang nefron, sementara reabsorpsi obat yang paling

dominan terjadi di sepanjang tubulus distal dan sepanjang saluran duktus.

Laju aliran urin dan karakteristik fisikokimia molekul mempengaruhi

proses ini, senyawa yang sangat terionisasi tidak direabsorpsi kecuali

terdapat peningkatan fraksi pH dalam urin, sehingga reabsorpsi dapat

difasilitasi (Suryawati, 1985).

Pasien dengan gagal ginjal dapat mengalami gangguan gastro-

intestinal seperti: mual, muntah, diare dan/ atau edema usus, yang

menyebabkan malabsorpsi obat, yang akan diperburuk oleh obat golongan

nonsteroidal anti-inflammatory Drugs (NSAID). Peningkatan urea dalam

saliva pada pasien dengan gagal ginjal, oleh ureases lambung akan

dikonversi menjadi amonia, yang akan meningkatkan pH lambung dan

menyebabkan penurunan penyerapan besi, ketoconazole, itraconazole dan

obat lainnya yang membutuhkan medium asam untuk penyerapan mereka

(Setiyawati, 2012).

16

Variasi Ketersediaan Hayati Obat Per Oral pada Keadaaan Gagal

Ginjal (Matzke dan Comstock, 2006).

Berkurang Tidak Berubah MeningkatD-xylose

FurosemidPindolol

Siklosporin

DigoksinKodein

LabetalolSimetidin

SiprofloksasinSulfametoksazol

Trimetoprim

BufuralolD-propoksifenDihidrokodein

EritromisinOksprenololPropanololTakrolimusTolamolol

Sebagai contoh propanolol, terjadi kenaikan ketersediaan hayati

sekitar 4 sampai 7 kali lipat dibandingkan dengan pasien ginjal normal,

setelah pemberian 40 mg propanolol per oral. Kemudian contoh lainnya,

penggunaan 0,5 mg digoksi pada pasien gagal ginjal kronik meningkatkan

Cmaks hampir 2 kali lipat dari 2,3 ± 0,1 ng/mL (pada subyek normal

Tmaks 1 jam) menjadi 4,1 ± 0,1 ng/mL (Tmaks 2 jam), karena

menurunnya kecepatan absorpsi digoksin tetapi tidak mengubah

ketersediaan hayatinya (Matzke dan Comstock, 2006).

2. Distribusi & Ikatan Protein

a. Distribusi Obat

Edema pada gagal ginjal menyebabkan peningkatan volume

distribusi obat yang larut dalam air. Dalam mengukur volume

distribusi, biasanya digunakan volume distribusi sentral (Vs), volume

fase terminal atau volume area (Vβ atau Varea), dan volume pada

keadaan tunak (Vss). Parameter Vc yang merupakan ukuran volume

cairan ekstraseluler (0,2-0,25 L/kg berat badan total) atau volume darah

(0,05-0,08 L/Kg berat badan total) meningkat pada pasien gagal ginjal

kronik, terutama pada gagal ginjal akut dengan oliguria yang sering

disertai kelebihan cairan. Namun untuk menilai perubahan volume

distribusi obat, lebih tepat digunakan Vss, sebab parameter ini terbebas

dari pengeruh eliminasi. Seperti diketahui, eliminasi obat melambat

pada gagal ginjal (Setiawati, 2012 dan Hakim, 2011).

17

Pengaruh Gagal Ginjal terhadap Volume Distribusi Obat

(Matzke dan Comstock, 2006).

Meningkat BerkurangObat N GGK Obat N GGK Obat N GGK

AmikasinAzlosilinDikloksasilinErtiromisinFeniitoinFurosemidGentamisinIsoniazidKlofibrat

0,200,210,080,570,640,110,200,600,14

0,290,280,181,091,400,180,290,800,24

KloksasilinMinoksidilMoxalaktamNaproksenSefazolinSefonisidSefoksitinSefuroksimTrimetoprimVankomisin

0,142,609,100,120,130,110,160,201,360,64

0,264,9021,4a

0,170,160,140,260,261,830,85

DigoksinKloramfenikolEtambutolMetisilinPindolol

7,300,873,700,452,10

4,100,601,600,301,10

*satuan volume distribusi: L/Kg Berat Badan; N: Ginjal Normal; GGK: Gagal Ginjal Kronik; Perubahan > 25% bermakna Klinik, a: satuan L/1,73 m2

Persamaan yang menerangkan perubahan volume distribusi pada

keadaan tunak (Vss) akibat perubahan fraksi obat yang terikat protein,

Vss=Vb+ fu . vtfu , t

Keterangan: Vb: volume darah; vt: volume jaringan; fu: farksi obat

bebas dalam darah; fu,t: fraksi obat bebas dalam jaringan

Volume distribusi beberapa obat menjadi lebih kecil pada gagal

ginjal kronik dan diperkirakan hal ini disebabkan karena adanya

peningkatan fraksi obat bebas yang berada di jaringan. Dalam hal ini

digoksin dan pindolol, ternyata ada hubungan antara penurunan Vss dan

klirens kreatinin (CLcr), dan untuk digoksin, hubungan tersebut

dinyatakan dengan persamaan berikut:

Vss=+298(CLcr)29,1+CLcr

Keterangan: Vss dalam liter, CLcr dalam mL/menit (Hakim, 2011).

b. Ikatan Protein Plasma dengan Obat

Uremia dan peningkatan asam lemak bebas di plasma terjadi

pada pasien gagal ginjal akan menyebabkan penurunan ikatan protein

dengan obat, sehingga terjadi peningkatan obat bebas dalam plasma.

Keadaan Malnutrisi dan proteinuria yang terjadi pada pasien gagal

ginjal akan menyebabkan penurunan protein serum dan juga akan

18

menyebabkan peningkatan obat bebas dalam plasma. Peningkatan obat

bebas dalam plasma akan menyebabkan peningkatan distribusi obat,

peningkatan efek obat, eliminasi obat, dan penurunan konsentrasi

plasma total. karena hanya obat bebas dapat mencapai pembuluh darah

kapiler untuk didistribusikan pada reseptor tempat mereka beraksi, dan

mencapai organ-organ eliminasi dimana mereka dieliminasi yang

mengarah ke penurunan total konsentrasi plasma. Ikatan obat oleh

protein plasma juga berubah pada gagal ginjal kronik. Misalnya,

antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin, fenitoin, furosemid,

glikosida jantung, barbiturate, klofibrat, salisilat berkurang.

Kemungkinan karena hipoalbuminemia, perubahan kimiawi albumin,

atau adanya kompetisi dengan obat/metabolit, atau senyawa endogen

(asam hipurat depat menghambat ikatan protein teofilin dan fenitoin),

mengenai obat-obat basa lemah, seperti bepridil dan disopiramid,

ternyata ikatannya dengan AAG justru lebih banyak, karena protein

tersebut kadarnya meningkat pada gagal ginjal kronik (Setiawati, 2012).

Ikatan protein-obat pada gangguan gagal ginjal :

Obat-obat asam lemahObat Norma

lGagal ginjal Keterangan

Asam valporatDiazoksidDikloksasilinDiflusinalFenilbutazonFenitoin

FlukloksasilinKaptoprilKlofibratKloksasilinMetolazonMoksalaktamNaproksenSalisilat

SefazolinSefoksitinSulfametoksazolWarfarin

92949788

93-968893943097959552

99,8879785736699

77849156

82-86748492-

91809036

99,2748469224298

Serum kreatinin >5 mg/dL

Pasien uremia, hemodialisis rutin

Pasien uremia, hemodialisis rutinCLcr <15 mL/menit

CLcr <20 mL/menit

Pasien uremia, hemodialisis rutin

Pasien uremia, hemodialisis rutinCLcr 30±8 mL/menit/1,73 m2

Obat-obat basa lemah

19

DesipraminDiazepamKarbamazepinKinidinKloramfenikolKlorpromazinKlorazepatMorfinPrazosinPropoksifenTriamterenTrimetoprimd-TubokurarinVerapamil

90988285-9751989835937681674489

88927877-9746989529918057664188

Serum kreatinin >7 mg/dL

Serum kreatinin 4,8±1,6 mg/dL

(Hakim, 2011)

3. Metabolisme Obat

Pada keadaan normal ginjal melaksanakan berbagai fungsi

metabolisme, termasuk aktivasi vitamin D3, glukoneogenesis, dan

metabolisme senyawa endogen seperti insulin, steroid, dan xenobiotic.

Gangguan fungsi ginjal terlihat dalam penurunan pembentukan aktivasi

vitamin D3 dan penurunan metabolisme insulin. Hal ini biasa terjadi pada

pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronis yang harus untuk

mengurangi insulin eksogen dan terapi tambahan dengan aktivasi vitamin

D3 (kalsitriol) atau analog vitamin D (paricalcitol, doxercalciferol) yang

sering dipakai untuk mencegah pengeroposan tulang dan nyeri terkait

dengan osteodystrophy ginjal. Sitokrom P450, N-asetiltransferase,

glutation transferase, ginjal peptidase, dan enzim lain yang bertanggung

jawab atas degradasi dan aktivasi beberapa senyawa endogen dan eksogen

telah teeridentifikasi dalam ginjal. Sitokrom P450 (CYP) pada ginjal aktif

seperti didalam hati, ketika mengoreksi untuk massa organ. Penelitian

secara in vitro telah menunjukkan gangguan fungsi dari CYP3A4 dan

CYP2C9, sedangkan CYP1A2, CYP2C19, dan CYP2D6 tidak

terpengaruh. Data ini didukung oleh uji klinis terbaru dalam stadium akhir

penyakit ginjal pada pasien yang menerima hemodialisis, di mana aktivitas

CYP3A pada hati dilaporkan akan dikurangi sebanyak 28% dari nilai

yang diamati pada usia-kontrol, koreksi parsial tercatat setelah prosedur

hemodialisis (Dipiro, et all, 2008).

20

Hasil penelitian belakangan ini membuktikan bahwa ternyata pada

gagal ginjal kronis (end stage renal disease, ESRD) terjadi juga perubahan

kapasitas metabolism di hati, dan organ eliminasi selain ginjal. Mekanisme

kausalnya sangat kompleks, sebab merupakan komposit dari berbagai

perubahan fisiologis dan biokimiawi yang diakibatkan oleh gagal ginjal.

Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat-obat yang sebagian besar

tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat-obat yang

sebagian besar temetabolisme juga mengalami perubahan klirens.

Sedangkan untuk obat yang dimetabolisme sepenuhnya oleh hati dalam

bentuk metabolit inaktif, tidak ada dosis penyesuaian diperlukan pada

pasien dengan gagal ginjal. Metabolisme fase II atau reaksi konjugasi pada

gagal ginjal, antara fase I, oksidasi mikrosomal adalah normal atau

dipercepat. Sementara itu, pengurangan (mis. kortisol), hidrolisis peptida

(misalnya insulin, glucagon dan PTH), dan ester hidrolisis (mis. difl

Unisal dan prokain), akan melambat karena penurunan nonhepatic

(terutama ginjal) metabolisme (Setiawati, 2012 dan Hakim, 2011)..

Perubahan klirens non-renal pada gagal ginjal kronis (Matzke dan

Comstock, 2006).

Klirens obat melambatAsiklovirAztreonamBufuralolEnkainidEritromisisGuanadrelImipenemIsoniazid

KaptoprilKortisolKuinaprilMetilprednisolonMetoklopramidMinoksidilMoksalaktamNikardipin

NitrendipinNimopidinProkainamidRoksitromisinSefmenoksimSefmetazolSefosinidSefotiam

SefotaksimSefsulodinSilastatinSimetidinSiprofloksasinVerapamilZidovudin

Klirens obat meningkatBumetanidFenitoin

FosinoprilNifedipin

SefpiramidSulfadimidin

Penurunan klirens metabolisme tersebut ternyata berkolerasi

dengan penurunan klirens kreatinin untuk obat-obat yang dimetabolisme

melalui hidroksilasi, O-demetilasi, N-demetilasi, deasetilasi, sulfoksidasi,

atau glukuronidasi. Meskipun tingkat penurunannya masih lebih rendah

dibandingkan klirens renal, namun pengaruhnya terhadap penurunan

klirens total menjadi bermakna dan membawa akibat klinik. Dalam

21

kaitannya dengan pendosisan, keadaan gagal ginjal kronis juga

mempengaruhi system metabolism di hati, maka penetapan dan

penyesuaian dosis obat tidak cukup dengan mengukur serum kreatinin atau

klirens kreatinin seperti yang berlaku saat ini, sebab klirens kreatinin

hanya mengukur fungsi ginjal saja. Penurunan metabolisme di hati bukan

hanya terjadi pada gagal ginjal kronis, tetapi juga gagal ginjal akut. Oleh

sebab itu, karena dua organ utama eliminasi mengalami ganguan fungsi,

maka klirens renal dan hepatik hendaknya digunakan sebagai patokan

dalam pendosisan. Jika pasien tidak harus dihemodialisis, maka solusi

paling tepat untuk penyesuaian dosis ialah melakukan TDM dulu, sehingga

diketahui dengan pasti nilai klirens obat pada pasien (Hakim, 2011)..

4. Ekskresi

Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiko-

kimia obat, ikatan dengan protein plasma dan faal ginjal. Nefron

merupakan unit utama fungsi ginjal, terdiri atas glomerulus, tubulus

proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis dan duktus kolektikus.

Glomerulus menyaring darah dan filtrat mengalir ke tubulus. Hampir

semua air dari filtrat direabsorpsi, dan hanya 1—2 ml/menit saja yang

menjadi urin. Sementara itu terjadi pula sekresi dan reabsorpsi di

sepanjang tubuli proksimalis dan distalis. Jumlah obat yang diekskresi ke

dalam urin merupakan hasil filtrasi, sekresi dan reabsorpsi. Filtrasi dan

sekresi memperbesar jumlah obat, sedangkan reabsorpsi mengurangi

(Suryawati, 1985). Dengan kata lain :

Beberapa obat terutama dieliminasi melalui ekskresi ginjal, obat

ini diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk tidak berubah, dan akan

terakumulasi pada pasien dengan kasus gagal ginjal, sehingga

menyebabkan peningkatan farmakologis dan toksisitas, maka dosis

22

mereka harus dikurangi pada gagal ginjal. Contoh obat yang dieliminasi di

ginjal, seperti:

a. Nitrofurantoin

b. Penicillins

c. Cephalosporins

d. Aminoglicosides

e. Diuretics

f. Tetracyclines

g. Sulfonamides

h. ACE inhibitors

i. Digoxin

j. Ethambutol

k. Atenolol

l. Disopyramide

Hanya obat terikat dengan berat molekul kurang dari 60.000 Dalton

yang dapat disaring oleh nefron. Pada gagal ginjal, massa nefron menurun,

menyebabkan penurunan filtrasi di glomerulus. Sebagai contoh, ampisilin,

aminoglikosida, dan digoxin diekskresikan terutama oleh glomerulus.

Ampisilin memiliki resiko yang besar terhadap penurunan filtrasi

glomerular, yang diiringi oleh peningkatan ekskresi empedu. Karena itu

penurunan dosis diperlukan hanya jika GFR kurang dari 20 mL per menit.

Akumulasi metabolit toksik pada gagal ginjal menyebabkan peningkatan

reaksi obat yang merugikan, misalnya akumulasi metabolit toksik

meperidine menyebabkan kejang, bahwa penyebab nitrofurantoin

neuropati perifer, sedangkan morfin menyebabkan depresi pernapasan

berlebih. Pada stadium akhir penyakit ginjal ( ESRD ) kemampuan filtrasi

glomerulus hampir tidak ada (Suryawati, 1985).

Filtrasi Glomerulus

Kira-kira 25% volume semenit jantung, yaitu 1,2 — 1,5 liter darah

permenit, mengalir ke ginjal. Sepuluh persen dari jumlah tersebut difiltrasi

di glomerulus. Hanya obat dalam bentuk bebas yang terfiltrasi. Molekul

23

obat yang terikat pada makromolekul atau sel-sel darah tak dapat melalui

membran glomeruler (Suryawati, 1985)..

Dengan demikian filtrat mengandung obat dengan kadar yang

identik dengan kadarnya di cairan plasma, yaitu fraksi obat yang bebas (=

Cb). Kecepatan filtrasi pada orang dewasa normal adalah sebesar kira-kira

125 ml/menit, dan disebut sebagai kecepatan filtrasi glomeruler atau GFR

(glomenilar filtration rate), sehingga :

Mengingat hanya obat dalam bentuk bebas yang dapat terfiltrasi,

dan fraksi obat yang bebas sebesar fb, maka :

kecepatan filtrasi = fb x GFR x C

C adalah kadar obat di dalam darah. Bila ekskresi obat ke dalam urin

terutama dengan menggunakan cara filtrasi glomeruler, dan mengingat

bahwa:

dianggap bahwa kecepatan ekskresi ginjal sama dengan kecepatan filtrasi.

sehingga :

Kreatinin, suatu senyawa endogen dan inulin, suatu polisakarida

eksogen, tidak terikat pada protein plasma dan tidak mengalami sekresi

maupun reabsorpsi. Dikatakan bahwa jumlah yang terfiltrasi, seluruhnya

berada dalam urin sehingga nilai klirens ginjal kedua obat ini dapat

digunakan untuk mengukur besarnya kecepatan filtrasi glomeruler

(Suryawati, 1985)..

Obat-obat yang harus diperhatikan pada penderita gagal ginjal

(Setiawati, 2012):

1. NSAID nefrotoksik

Penghambatan prostaglandin oleh NSAIDs menyebabkan

vasokonstriksi ginjal, yang menyebabkan gagal ginjal akut. NSAID

24

juga dapat menyebabkan drughypersensitivity, mengakibatkan nefritis

interstitial. Penggunaan jangka panjang NSAID dapat menyebabkan

nekrosis ginjal papiler. Hindari penggunaan pada pasien berisiko

tinggi, yaitu orang tua atau gangguan filtrasi darah pada ginjal dan

penderita infeksi saluran kemih. Jika penggunaan diperlukan, terutama

untuk jangka panjang, lakukan pemantauan ketat ClCr dan teratur .

2. Analgesik

Nefropati analgesik dapat dihindari dengan menggunakan

analgesik tunggal, bukan campuran lebih dari 1 analgesik , terutama

dalam kombinasi dengan caffeine atau kodein.

3. Obat Jantung

a. ACE inhibitor dan receptor angiotensin blocker (ARB)

Obat ini pada disfungsi ginjal membutuhkan penurunan dosis.

Fungsi ginjal harus diperiksa 3 sampai 4 hari setelah memulai

terapi untuk memastikan tidak ada penurunan GFR atau

meningkat kalium.

b. Saluran kalsium ( CCBs )

Obat ini dieliminasi oleh metabolisme hati , maka mereka

digunakan dalam dosis biasa di RF.

c. Digoxin

Dosis lazim dan Dosis Maksimum harus dikurangi pada penderita

gagal ginjal dan pemantauan konsentrasi plasma.

d. β – blocker

β - blocker yang terutama dieliminasi oleh ginjal harus dikurangi.

4. Diuretik

Diuretik loop

Diperlukan untuk menghindari volume yang berlebih. Obat ini

terikat kuat pada protein , oleh karena itu tidak banyak difiltrasi di

glomerulus, tetapi disekresi di tubulus ginjal. Oleh karena itu,

dosis harus ditingkatkan oleh dua kali lipat dosis setiap 30 sampai

60 menit.

5. Tiazid

25

Umumnya tidak eff afektif ketika ClCr kurang dari 25 mL / menit.

Perlu penyesuaian dosis.

6. Agen antimikroba ( AMs )

a. Aminoglikosida ( AGS )

AGS memperburuk gangguan ginjal yang sudah ada sebelumnya,

tetapi juga menyebabkan gagal ginjal akut. Nefrotoksisitas

biasanya reversibel, tetapi ototoxicity dapat menyebabkan

kerusakan vestibular ireversibel. Oleh karena itu, penyesuaian

dosis harus dilakukan terutama dengan pendekatan interval.

Puncak dan palung serum tingkat serta ClCr harus diukur untuk

memantau terapi dan menghindari toksisitas.

b. Vancomycin

Obat ini menyebabkan nefrotoksik dan ototoksik, karena itu

harus dilakukan pemantauan konsentrasi plasma.

c. Tetrasiklin

Obat ini sangat meningkatkan BUN di RF sehingga memperburuk

ginjal yang disfungsi . Oleh karena itu penggunaan obat ini harus

dihindari di RF , kecuali doksisiklin dan minocycline.

d. Obat Antituberkulosis

Streptomisin dan etambutol harus dihindari sedapat mungkin .

menyebabkan Toksisitas vestibular, oleh karena itu jika

diperlukan, dilakukan pengurangan dosis, diberikan 2 atau 3 kali

seminggu untuk 2 bulan pertama, dan dilakukan pemantauan

kadar plasma. Etambutol menyebabkan neuritis optik jika dosis

yang digunakan berlebihan atau fungsi ginjal terganggu . Oleh

karena itu dosis harus dikurangi dan tidak diberikan dalam jangka

waktu yang lama.

7. Amfoterisin B

Obat ini nefrotoksik. Obat ini digunakan pada penderita gagal ginjal

hanya sebagai alternatif dan tingkat plasma dan fungsi ginjal harus

dipantau secara ketat.

8. Obat Antivirus

26

Acyclovir dan gansiklovir dieliminasi oleh ginjal, sehingga dosis

harus dikurangi, karena akumulasi menyebabkan toksisitas SSP

hingga ketidaksadaran.

9. Lithium dan Antidepresan

Lithium harus dihindari atau dilakukan penurunan dosis dengan

pemantauan hati-hati kadar plasma.

C. Prinsip penyesuaian dosis

Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan

sering kali diperlukan. Jika dosis obat yang diberikan terlalu rendah maka

terapi penyembuhan yang diperlukan tidak tercapai. Dosis yang terlalu rendah

ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi

sehingga pasien tidak sembuh atau bahkan memperburuk kondisi kesehatan.

Begitu pula pemberian dosis yang terlalu tinggi dibanding dengan dosis

terapinya, hal ini akan berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek

toksik dan bisa membahayakan kondisi pasien. Hal ini akan lebih

mengkhawatirkan jika pengobatan menggunakan obat-obat yang memiliki

kisaran teraupeutik sempit, sementara pasien mengalami gangguan fisiologis

yang berat, terutama yang berkaitan dengan ADME. Daftar obat dengan

rentang teraupeutik sempit memerlukan monitoring kadar dan individualisasi

dosis. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal diperlukan jika :

1. Eliminasi obat oleh ginjal lebih dari 33%

2. Metabolitnya aktif

3. Laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) kurang dari 50 mL/menit, untuk

kebanyakan antibiotik, jika LFG kurang dari 20%

4. Obat-obat dengan jendela terapi yang sempit (misalnya: aminoglikosida,

vankomisin, digoksin) (Setiawati, 2012).

Eliminasi obat di ginjal dapat diasumsikan sebanding dengan GFR

dan kreatinin klirens biasanya dijadikan patokan tuntuk menghitung GFR.

Persamaan Cockroft & Gault mengkonversi nilai kreatinin serum menjadi

kreatinin klirens.

27

(Setiawati, 2012)

Untuk pasien penderita gagal ginjal dengan nilai Clcr kurang dari 10

ml/menit harus dilakukan penyesuaian dosis.

1. Loading Dose (DL) atau Penyesuaian Dosis Awal

Loading dose biasanya diberikan untuk mencapai konsentrasi

teraupetik secara langsung.

DL (mg/kg) : kadar terapi puncak (mg/L) x Vd (L/kg)

Tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk loading dose pada

pasien kerusakan ginjal kecuali untuk digoksin 50-75% dari DL biasa dan

aminoglikosida 70-80% dari DL biasa, hal ini disebabkan karena adanya

penurunan Vd dan jendela terapinya sempit.

2. Maintence Dose (DM) atau Penyesuaian Dosis Rumatan

Penyesuaian dosis yang dibutuhan untuk maintenance dose pada

kerusakan ginjal ada dua metode, yaitu sebagai berikut.

a. Memperpanjang Interval dengan DM Normal (I)

Pada penggunaan metode ini dapat menimbulkan interval

pemberian yang tidak lazim sehingga dapat meningkatkan

pendosisan yang salah dan penurunan kepatuhan. Metode ini tidak

digunakan untuk obat yang memiliki jendela terapi sempit

dikarenakan akan menyebabkan fluktuasi kadar plasma darah tetapi

dianjurkan untuk obat-obat antibiotik yang konsentrasi dependent

contohnya aminoglikosida.

b. DM Diturunkan dengan Interval yang Tetap (D)

28

Metode ini cocok digunakan untuk obat dengan jendela terapi

yang sempit, contohnya digitalis, antiaritmia, antidepresi,

antikonvulsi.

c. Kombinasi Antara Metode 1 dan 2

Kombinasi ini dapat digunakan dengan alasan efektifitas dan

keamanan. Rumus penyesuaian dosis (DM) :

(Setiawati, 2012).

E. Obat yang butuh penyesuaian dosis

Perhatian khusus pada penggunaan obat oleh pasien dengan insufisiensi ginjal

NSAID - Menurunkan respon diuretik dan meningkatkan

kecenderungan hiperkalemia jika bersamaan dengan

diuretik hemat kalium dan ACE-inhibitor.

Chlorpropamide - Meningkatkan waktu paruh ketika diminum oleh pasien

dengan insufisiensi ginjal dan memperpanjang

hipoglikemia

Metformin - Sebaiknya tidak diberikan jika klirens kreatinin < 50

ml/min karena dapat menyebabkan asidosis laktat yang

mengancam jiwa

Insulin - Ada penurunan klirens ginjal secara eksogen saat

diberikan insulin dan, karena itu, potensi peningkatan

29

reaksi hipoglikemik karena penurunan klirens

kreatinin.

Aminoglycosides

Vancomycin

- Penyesuaian dosis diperlukan, karena obat ini akan

dengan cepat menumpuk pada kerusakan ginjal dan

berpotensi nefrotoksik.

- Pemantauan terapeutik obatdianjurkan.

Cimetidine

Triamterene

Trimethoprim

- Menghambat sekresi tubular kreatinin dan karena itu

menyebabkan peningkatan serum kreatinin, yang

reversibel bila obat ini dihentikan

Penyesuaian dosis untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

Obat yang Membutuhkan

Penyesuaian Dosis

Obat yang Tidak Membutuhkan

Penyesuaian Dosis

Semua Antibiotik kecuali Cloxacillin, clindamycin,

metronidazole, makrolida

Antihipertensi

Atenolol, nadolol, ACE-inhibitor

Antihipertensi

Ca-channel blocker, minoxidil, ARB,

clonidinee, α-blocker seperti prazosin

Obat Kardio

Digoxin, sotalol

Obat Kardio

Amiodarone, nitrate

Diuretik

Hindari diuretik hemat kalium pada

pasien dengan klirens kreatinin < 30

ml/min

Narkotik

Fentanyl, hydromorphone, morphine

Lipid-Lowering Agents

HMG-CoA reduktase inhibitor,

benafibrate, clofibrate, fenofibrate

Psikotropik

Antidepresan trisiklik, nefazodone,

Penghambat reuptake serotonin

selektif

Narkotik

Codeine, meperidine

Pengobatan Hipoglikemia

Repaglinide, rosiglitazone

30

Psikotropik

Lithium, chloral hydrate, gabapentin,

trazodone, paroxentine, primidone,

topiramate, vigabatrin

Lain-lain

Proton pump inhibitor (PPI)

Pengobatan hipoglikemia

Acarbose, glyburide, gliclazide,

chlorpropamide, metformin, insulin

Lain-lain

Allupurinol, colchinine, Antagonis

reseptor histamine2, diklofenak,

ketorolac

STUDI KASUS

I. Data Pasien

Nama : Tn. H (48 thn) BB : 67 kg TB : 170 cm

Keluhan : Mual, nyeri, muntah, sering terbangun untuk buang air

kecil namun sedikit-sedikit, lidah kering, kulit kering

Riwayat penyakit : Hipertensi 3 tahun

II. Data Klinik dan Laboratorium

Data Normal Hasil Lab Pasien

TD 100-120/70-80 mmHg 160/100 mmHg

Nadi 80-100 kali/menit 95 kali/menit

RR 20 kali/menit 24 kali/menit

Suhu 370C 380C

HB 12,0-14,0 g/dL (P)13,0-16,0 g/dL (L)

13,0 g/dL

HCT 37-47% 37%

SGOT 5-34 U/L 35 U/L

SGPT 11-60 U/L 21 U/L

Creatinin 0,6-1,1 mg/dL 1,8 mg/dL

K 3,5-5 mmol/L 4,5 mmol/L

31

Na 135-145 mmol/L 135 mmol/L

Ca 8,1-10,4 mmol/L 0,72 mmol/L

GFR 43 ml/menit/1,73m²

III. Diagnosis  : Gagal ginjal kronik stage III

IV. Terapi

Non Farmakologi: a. Istirahat

b. Diet makanan lunak

c. Diet rendah garam dan protein

Farmakologi

Terapi Dosis Rute

IVFD NaCl 20 tts/menit Inf

Lisinopril 10 mg/hari PO

Gentamisin 3 mg/kg perhari terbagi setiap 8 jam sekali67 mg 3x sehari

IV

V. Pembahasan Kasus

Gagal ginjal kronik

Berdasarkan riwayat penyakit, data klinik dan data laboratorium

pasien, pasien mengalami hipertensi stage II (NIH, 2003). Kondisi ini

dapat terjadi karena pasien sudah mengalami hipertensi selama 3 tahun

dan pasien tidak berobat teratur sehingga tekanan darahnya tidak

terkontrol. Tekanan darah tinggi yang terjadi dalam waktu yang lama dan

tidak diterapi dengan benar, maka dapat menimbulkan neuropati dan

nefropati. Ketika pasien mengalami hipertensi, maka akan terjadi

vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga aliran darah ke ginjal akan

terganggu, menyebabkan sel ginjal mengalami kerusakan,yang

mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi ginjal (Tjahjono, 2010).

Jika terjadi kerusakan pada ginjal lebih dari 3 bulan dimana ditemukan

32

kerusakan struktur/penurunan fungsi ginjal dengan/tanpa penururan laju

filtrasi glomerulus/glomerulus filtration rate (LFG/GFR) maka akan terjadi

gagal ginjal kronik (Admin, 2002). Sesuai pembagian Stage of Chronic

Kidney Disesase, nilai GFR pasien diantara 30-59ml/menit/1,73m², pasien

menderita gagal ginjal kronik stage III.

Dalam pemberian obat-obatan kepada pasien penderita gagal ginjal,

dibutuhkan penyesuaian dosis.Pasien memperoleh IVFD NaCl untuk

mengganti cairan elektrolit di dalam tubuh yang hilang karena pasien

muntah. Firstline therapy yang diberikan kepada pasien gagal ginjal

kronik dengan riwayat hipertensi adalah obat antihipertensi golongan

ACE-I atau ARB. Pada kasus ini, pasien diterapi dengan Nopril (lisinopril)

yang merupakan obat golongan ACE-I (Dipiro, et al, 2008).

Pasien mengalami demam, mual, muntah, nyeri, sering terbangun

untuk buang air kecil namun sedikit-sedikit. Jika dihubungkan keluhan

pasien dengan pemberian terapi yang diresepkan oleh dokter, selain

menderita gagal ginjal kronis stage III, pasien juga mengalami ISK

(infeksi saluran kemih), yang memiliki gejala sakit kepala, mual, muntah,

demam, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang, kencingdengan air

kemihsedikit-sedikit(Tessy,2001).Pemberian antibiotik gentamisin,

golongan aminoglikosida, untuk mengobati ISK yang diderita oleh pasien.

A. Gentamisin

Dosis : 3 mg/kg perhari terbagi setiap 8 jam sekali

K% uremia K% normal t ½ normal

a = 2,0 % jam

b = 0,28 % jam

30,0 % jam 2,3 jam

1. Loading dose atau penyesuaian dosis awal

a. Menentukan IBW

Untuk menghitung penurunan dosis awal, maka terlebih dahulu

menentukan index body weight (IBW) pasien.

IBW = 45,5 + (2,3 x (TB/2,5 – 60)) kg

= 45,5 + (2,3 x (170/2,5 – 60)) kg

33

= 63,9 kg

IBW lebih kecil dari berat badan, sehingga yang digunakan

dalam perhitungan selanjutnya yaitu nilai IBW.

b. Menentukan Clcr

Menghitung kreatinin klirens pasien menggunakan persamaan

Crokroft & Gault :

Clcr = (140−48 ) x 63,9 kg

72 x1,8 mg /dl= 45,36 ml/menit

c. Menghitung K% uremiaK%uremia = a+b.Clcr

= 2,0 % jam + 0,28 % jam x 45,36 ml/menit= 2,0 % jam + 0,127 % jam= 2,127 % jam

Dosisuremia=dosis normal xK % uremiaK % normal

¿67 mg x2,127 % jam30,0 % jam

= 4,75 mg 3 kali sehari melalui IV

Gentamisin diberikan sebanyak 4,75 mg 3 kali sehari melalui

IV dan selanjutnya diberikan maintenance dose.Untuk

menghitung maintenance dose, menggunakan persamaan

Giusti Hayton

34

f =% ekskresi100%

= 90 %100 %

=0,9

G=1−f (1− GFR pasienGFRnormal )

¿1−0,9(1− 43100 )=0,48

DmF=67 mg x 0,48=32,16 mg3kali sehari melalui IV

Sediaan Gentamisin : 1njeksi 40 mg/ml (ampul 1 ml).

Perhitungan :

32,16 mg40 mg

x1 ml=0,8 ml

Untuk memperoleh gentamisin 32,16 mg, dapat diperoleh

dengan cara mengambil 0,8 ml sediaan gentamisin dalam

ampul 1ml

B. Lisinopril

Lisinopril diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk tidak

berubah dan akan terakumulasi dalam ginjal sehingga dosis obat harus

dikurangi pada gagal ginjal.Berdasarkan Drug Information Handbook

dosis Lisinopril untuk pasien kerusakan ginjal :

Clcr >30 mL/minute 10 mg/day

Clcr 10-30 mL/minute 5 mg/day

(Lacy, 2009)

Berdasarkan perhitungan persamaan Cockroft & Gault, Clcr pasien

adalah 45,36 ml/menit sehingga pasien tidak memerlukan penyesuaian

dosis Lisinopril.

35

DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2002. Kidney Disease Outcome Quality Initiative. National Kidney

Foundation. USA

Brater, DG & Chennavasin, P. 1984. Effect of Renal Disease : Pharmacocinetics

Considerattions. Dalam Benet LZ, Massoud N, Gambertoglio JG (Editor).

Pharmaco-kinetics Basic for Drug Treatment. Raven Press. New York.

Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke, G.R, Wells, B.G, Posey, L.M. 2008.

Pharmacotherapy A Pathopysiologic Approach, Seventh Edition. The

McGraw-Hill Companies, Inc. New york-Chicago.

Guyton, M.D., and Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th edition.

Elsevier Saunders.

Hakim, L. 2011. Farmakokinetika Klinik. Bursa Ilmu. Jogjakarta.

Lacy. 2009. Drug information handbook. Lexi comp. Amerika.

Matzke GR, Comstock TJ. 2006. Influence of renal function and dialysis on drug

disposition. In : Burton ME, Shaw LM, Schentag JJ, Evans WE (eds)

Applied pharmacokinetics and pharmacodynamics : principles of

therapeutic drug monitoring, 4th edn. Lippincott Williams & Wilkins,

Philadelphia, pg. 187–212.

NIH. 2003. JNC 7 Express : The Seventh Report of the Joint National Committe

on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure. National Institute of Health.

36

Sazli, Brahma Ihsan dan Octo Tumbur. 2013. Manajemen Pre- Dialisis Penyakit

Ginjal Kronik Secara Umum. Divisi Nefrologi Hipertensi- Dept Ilmu

Penyakit Dalam USU

Setiawati, A. 2012. Drug Use in Patients with Renal Failure. Dept. of

Pharmacology & Therapeutics Faculty of Medicine, University of

Indonesia. Jakarta

Silviani, D, Adityawarman, dan Lieza, D. 2011. Hubungan Lama Periode

Hemodialisis Dengan Status Albumin Penderita Gagal Ginjal Kronik Di

Unit Hemodialisis RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun

2010. Mandala of Heart Volume 5, Nomor 2. Purwokerto.

Suryawati, S. 1985. Farmakokinetika Klinik. Dalam jurnal: Cermin Dunia

Kedokteran No. 37. Pusat Penelitian Dan Pengembangan PT. Kalbe farma.

Jakarta.

Tessy, A. Suwanto. 2001. Infeksi Saluran Kemih dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Tjahjono. 2010. Hipertensi. http://student.umm.ac.id. Diakses tanggal 12 Maret

2014.

Wiffen. P, Mitchell. M, Snelling. M, Stoner. N. 2007. Oxford Handbook of

Clinical Pharmacy. Oxford University Press.Oxford.

37