penilaian status gizi

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat badannya berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS ( Depkes RI,2005). Jumlah BGM dirinci menurut : 1. Gizi Buruk (BB/U < - 3 SD) atau ada tanda klinis. 2. Gizi Kurang (BB/U < - 2 SD) ( Depkes RI 2003) 2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi sangat penting untuk mengetahui keadaan gizi penduduk. Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal Antropometri. Antropometri telah dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran Antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya memerlukan latihan sederhana. Di Indonesia jenis Antropometri yang banyak digunakan baik dalam kegiatan program maupun penelitian adalah Berat Badan dan Tinggi Badan. Yang menjadi obyek penelitian antropometri pada umumnya anak-anak di bawah umur lima tahun (Balita). Dalam pemakaian untuk penelitian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variasi lain, seperti : berat badan

Upload: addy-ft

Post on 14-Dec-2014

146 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Penilaian Status Gizi

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi

1. Pengertian Status Gizi

Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari

keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan

menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat

konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat

badannya berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS

( Depkes RI,2005).

Jumlah BGM dirinci menurut :

1. Gizi Buruk (BB/U < - 3 SD) atau ada tanda klinis.

2. Gizi Kurang (BB/U < - 2 SD)

( Depkes RI 2003)

2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi sangat penting untuk mengetahui keadaan gizi

penduduk. Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada

kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh

manusia yang dikenal Antropometri. Antropometri telah dikenal sebagai

indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat.

Pengukuran Antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya

memerlukan latihan sederhana.

Di Indonesia jenis Antropometri yang banyak digunakan baik

dalam kegiatan program maupun penelitian adalah Berat Badan dan

Tinggi Badan. Yang menjadi obyek penelitian antropometri pada

umumnya anak-anak di bawah umur lima tahun (Balita). Dalam

pemakaian untuk penelitian status gizi, antropometri disajikan dalam

bentuk indeks yang dikaitkan dengan variasi lain, seperti : berat badan

menurut umur (BB / U), panjang badan menurut umur (BB / PB) dan

sebagainya. Masing-masing indeks antropometri tersebut memiliki buku

tujuan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang

atau masyarakat (Depkes RI, 1994)

Penilaian status gizi dianjurkan pertama kali oleh WHO pada

tahun 1979. Pada semiloka Antropometri, Ciloto, Jawa Barat 4 – 7

Februari 1991, telah disepakati Z-Skor untuk penilaian status gizi anak

balita. Penilaian status gizi berdasarkan Z – Skor dilakukan dengan

melihat distribusi median dalam unit simpang baku dengan asumsi

distribusi normal.

Perhitungan dengan rumus, SB

MXSkorZ −=−

Keterangan : X : BB atau TB aktual / hasil pengukuran

M : Nilai Baku Median BB atau TB

SB : Nilai Simpang Baku

Jika BB aktual yang diketahui berada di atas nilai median maka SB yang

digunakan adalah jarak antara 0 SD dengan 1 SD tetapi, jika BB aktual

yang diketahui berada dibawah nilai median maka SB yang digunakan

adalah jarak antara 0 SD dengan - 1 SD ( Supariasa dkk,2002 )

3. Indeks Berat Badan Menurut Umur

Penggunaan indeks BB/ U sebagai indikator status gizi memiliki

kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian. Kelebihan

indeks BB / U antara lain :

a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

b. Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis

c. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil.

d. Dapat mendeteksi kegemukan ( over weight ).

Kelemahan indeks BB/U antara lain:

a. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat

odema maupun asites.

b. Memerlukan data umur yang akurat terutama untuk anak di bawah

usia lima tahun.

c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian

atau gerakan anak pada saat penimbangan.

Mengingat karakteristik berat badan yang labil,maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini ( Supariasa dkk,2002 )

4. Klassifikasi Status Gizi

Pada diskusi pakar dibidang gizi yang diselenggarakan oleh

PERSAGI bekerja sama dengan UNICEF, Indonesia dan LIPI

menyepakati bahwa:

1. Baku antropometri yang digunakan adalah WHO NCHS

2. Istilah Status gizi

a)BB/ U : Gizi lebih = > +2 SD

Gizi baik = ≥ -2 SD s/d + 2 SD

Gizi kurang = < -2 SD sampai ≥ - 3SD

Gizi buruk = < -3 SD

b)TB / U : Normal = ≥ 2 SD

Pendek = < -2 SD

c)BB / TB : Gemuk = > + 2 SD

: Normal = ≥ -2 SD s/d + 2 SD

: Kurus = < -2 SD sampai ≥ -3 SD

: Sangat Kurus = < -3 SD

(Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII, 2000)

5. Klasifikasi KEP

Penentuan KEP dilakukan dengan menimbang berat badan anak

dibandingkan dengan umur. Untuk menyatakan bahwa balita

dikatagorikan KEP ringan, sedang, berat dengan menggunakan standart

baku BB/U WHO-NCHS (Depkes RI,1999)

a. KEP Ringan bila hasil penimbangan barat badan pada KMS terletak

pada pita warna kuning,atua BB/U 70% - 80% baku median WHO-

NCHS.

b. KEP Sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak

dibawah garis merah (BGM) atau BB/U 60% - 70% baku median

WHO-NCHS.

c. KEP Berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median WHO

NCHS

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

a. Faktor Langsung

1) Konsumsi Makanan

Faktor makanan merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang karena

konsumsi makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh,

baik kualitas maupun kuantitas dapat menimbulkan masalah

gizi (Khumaidi,1996)

2) Infeksi

Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang,

tetapi juga karena penyakit. Anak mendapatkan makanan cukup

baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat

menderita KEP. Sebaliknya anak yang makannya tidak cukup

baik, daya tahan tubuh dapat melemah. Dalam keadaan

demikian mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan

akhirnya mudah terserang KEP (Soekirman, 2000)

b. Faktor tidak langsung

1. Tingkat Pendapatan

Pendapatan keluarga merupakan penghasilan dalam jumlah

uang yang akan dibelanjakan oleh keluarga dalam bentuk

makanan. Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang

menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini

harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini

relatif mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen

pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk

keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya

(Suhardjo, 1996)

2. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi ibu merupakan proses untuk merubah

sikap dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan kehidupan

yang sehat jasmani dan rohani. Pengetahuan ibu yang ada

kaitannya dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya dengan

pendidikan ibu. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi

pula pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya. Hal ini

akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang

dikonsumsi oleh anggota keluarga ( Soekirman,2000)

3. Sanitasi Lingkungan

Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik

memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain

diare,kecacingan,dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak

menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi

akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat

gizi.Seseorang kekurangan zat gizi akan mudah terserang

penyakit,dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa dkk,2002)

B. Status Sosial Ekonomi

1. Pengertian Status Sosial Ekonomi

Dalam kehidupan bermasyarakat setiap individu sudah memiliki

kedudukan atau status uang diperolehnya secara otomatis maupun

merupakan suatu proses yang dicapainya, setiap masyarakat senantiasa

mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam

masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi kalau

masyarakat lebih menghargai kekayaan material dari kehormatan, maka

mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati

kedudukan yang lebih dibandingkan masyarakat lain yang tidak atau

kurang memiliki. Gejala ini menimbulkan pelapisan masyarakat, yang

merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam

kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal (Soekanto, 1990)

Pada dasarnya pengertian status sosial atau kedudukan sosial sama

yaitu tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan

orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, dan hak-hak

serta kewajiban-kewajiban (Soekanto, 1990)

2. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Terhadap Status Gizi

a. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi berkaitan erat dengan keadaan gizi balita karena

masalah ekonomi merupakan faktor penting bagi ketersediaan pangan

yang cukup, terutama bagi anak-anak balita yang sedang tumbuh

kembang serta dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan yang

layak (Depkes RI, 1990).

Kondisi ekonomi ini sebagai indikator dari kemiskinan.

Kemiskinan inilah salah satu sebab yang dapat mempercepat keadaan

gizi kurang, dimana menduduki posisi pertama pada keadaan umum,

karena kemiskinan merupakan dasar timbulnya KEP dan merupakan

problem bagi golongan termiskin dalam masyarakat. Golongan ini

merupakan sebagian terbesar dari pendapatannya untuk memenuhi

kebutuhan pangan (Suhardjo, 1992). Dalam mengukur tingkat ekonomi

sering digunakan indikator pengeluaran sebagai porsi pendapatan.

Pendapatan tinggi juga merupakan sarana untuk perbaikan gizi, karena

akan menentukan jumlah dan mutu makanan sehingga terdapat

hubungan yang erat dalam tingkat pendapatan dengan status gizi. Anak

yang makanannya kurang memadai biasanya terdapat pada keluarga

yang pendapatannya amat rendah (Berg, 1986).

Rendahnya tingkat pendapatan merupakan salah satu sebab

rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang

gizi akan mengurangi daya tahan tubuh, rentan terhadap penyakit,

menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan pendapatan. Akhirnya

masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi kurang gizi dan

randahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya (Hardinsyah,

1985).

Menurut Sayogya, 1997 garis kemiskinan ditentukan dengan

tingkat konsumsi pangan, tergolong miskin apabila untuk pedesaan

serta dengan beras 240 kg perkapita pertahun sedangkan pada

masyarakat perkotaan bila pendapatannya serta dengan beras 360 kg.

Tolak ukur lain BPS (Biro Pusat Statistik), garis kemiskinan

berdasarkan pengeluaran dalam rupiah, tergolong miskin apabila

pendapatan perkapita per bulan Rp.< 150.000 (Biro Pusat Statistik

[BPS], 2005).

Para ahli mengemukakan bahwa ada keragaman keadaan gizi

pada golongan ekonomi yang sama. Disimpulkan pula bahwa status

ekonomi yang tinggi juga belum tentu menjamin tercapainya keadaan

gizi yang baik. Ini berarti masalah gizi bukan merupakan masalah

ekonomi semata. Berdasarkan kenyataan bahwa golongan ekonomi

tinggi masih terdapat masalah gizi. Pada situasi ini kemungkinan besar

pengetahuan gizi masih kurang sehingga pemanfaatan pendapatan

untuk keperluan pangan kurang efisien (Soekirman dan Jalal,1999)

b. Jumlah Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi

terlihat nyata pada masing-masing keluarga.Sumber pangan keluarga

terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan

makannya jika yang harus dilayani jumlahnya sedikit.Besar keluarga

mungkin berpengaruh terhadap distribusi makanan dalam

keluarga.Keadaan demikian juga dapat mengakibatkan perhatian ibu

terhadap perawatan anak menjadi berkurang,karena perhatian ibu

dalam merawat dan membesarkan anak balita dapat terpengaruh bila

banyak anak yang dimiliki.Bila besar keluarga bertambah maka porsi

makanan untuk setiap anak berkurang (Suharjo,1992)

c. Tingkat Pendidikan

Latar belakang pendidikan orang tua, baik suami maupun istri

merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keadaan

gizi anak.Penelitian lain mengemukan bahwa masyarakat dengan

pendidikan cukup tinggi maka pravalensi gizi kurang umumnya

rendah, sebaliknya bila pendidikan orang tua rendah pravalensi gizi

kurang umumnya tinggi. Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat

pendidikan orang tua dengan keadaan ekonomi rumah tangga.

Pendidikan istri disamping merupakan modal utama dalam menunjang

perekonomian rumah tangga juga berperan dalam penyusunan pola

makan rumah tangga maupun pola pengasuhan anak (Sayogya, 1983).

d. Kebiasaan Makan

1. Kebiasaan makan merupakan gambaran mengenai cara masyarakat

ataupun individu dalam memilih dan mengkonsumsi makanan

setiap hari. Biasanya makanan yang tersedia didasarkan pada faktor

sosial ekonomi dan budaya dimana ia tinggal. Pola makan disuatu

daerah berubah-ubah sesuai dengan persediaan bahan pangan dan

faktor adat. Adat, kebiasaan daerah setempat memegang peran

penting dalam pola konsumsi makan penduduk ( Sri Karjati,

1985).

2. Pola dan kebiasaan antara satu orang dengan yang lain dapat

berbeda. Demikian pula dengan pola dan kebiasaan makan pada

anak belita. Perbedaan ini dapat terjadi pertama karena perbedaan

tempat, dimana daerah yang satu berlainan, kedua perbedaan

tersedianya bahan pangan dapat menyebabkan perubahan

kebiasaan dan variasi dari makanan yang dikonsumsinya sehari-

hari, ketiga keadaan balita sendiri yang disebabkan variasi makan

sesuai dengan yang diterima, selera dan penyakit yang diderita,

keempat keadaan keluarga yang variasi makannya ditentukan oleh

kemampuan daya beli, kesibukan dan lain-lain (Samsudin, 1985).

C. Kerangka Teori

GAMBAR 1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

Status Gizi

Persediaan Pangan di Keluarga

Pola Asuh Balita

Asupan Zat Gizi

Sanitasi Air Bersih

Sankes Dasar Pendapatan

Penyakit Infeksi

Sumber : Soekirman, 2000, dengan modifikasi

D. Kerangka Konsep

E. Hipotesis

1. Ada hubungan pendapatan perkapita dengan status gizi pada balita

BGM.

2. Ada hubungan pendidikan ibu dengan status gizi pada balita BGM.

3. Ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan status gizi pada balita

BGM.

Pendapatan Perkapita

Pendidikan Ibu

Jumlah Anggota Keluarga

Status Gizi Pada Balita BGM

Jumlah anggota Keluarga

Lapangan kerja,stabilitas nilai uang Ketersediaan pangan, daya beli.

Pemberdayaan Wanita , Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat

Stabilitas Ekonomi, Politik dan Sosial

Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Dan Keterampilan