penilaian status gizi
DESCRIPTION
Penilaian Status GiziTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi
1. Pengertian Status Gizi
Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan
menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat
badannya berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS
( Depkes RI,2005).
Jumlah BGM dirinci menurut :
1. Gizi Buruk (BB/U < - 3 SD) atau ada tanda klinis.
2. Gizi Kurang (BB/U < - 2 SD)
( Depkes RI 2003)
2. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi sangat penting untuk mengetahui keadaan gizi
penduduk. Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada
kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh
manusia yang dikenal Antropometri. Antropometri telah dikenal sebagai
indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat.
Pengukuran Antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya
memerlukan latihan sederhana.
Di Indonesia jenis Antropometri yang banyak digunakan baik
dalam kegiatan program maupun penelitian adalah Berat Badan dan
Tinggi Badan. Yang menjadi obyek penelitian antropometri pada
umumnya anak-anak di bawah umur lima tahun (Balita). Dalam
pemakaian untuk penelitian status gizi, antropometri disajikan dalam
bentuk indeks yang dikaitkan dengan variasi lain, seperti : berat badan
menurut umur (BB / U), panjang badan menurut umur (BB / PB) dan
sebagainya. Masing-masing indeks antropometri tersebut memiliki buku
tujuan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang
atau masyarakat (Depkes RI, 1994)
Penilaian status gizi dianjurkan pertama kali oleh WHO pada
tahun 1979. Pada semiloka Antropometri, Ciloto, Jawa Barat 4 – 7
Februari 1991, telah disepakati Z-Skor untuk penilaian status gizi anak
balita. Penilaian status gizi berdasarkan Z – Skor dilakukan dengan
melihat distribusi median dalam unit simpang baku dengan asumsi
distribusi normal.
Perhitungan dengan rumus, SB
MXSkorZ −=−
Keterangan : X : BB atau TB aktual / hasil pengukuran
M : Nilai Baku Median BB atau TB
SB : Nilai Simpang Baku
Jika BB aktual yang diketahui berada di atas nilai median maka SB yang
digunakan adalah jarak antara 0 SD dengan 1 SD tetapi, jika BB aktual
yang diketahui berada dibawah nilai median maka SB yang digunakan
adalah jarak antara 0 SD dengan - 1 SD ( Supariasa dkk,2002 )
3. Indeks Berat Badan Menurut Umur
Penggunaan indeks BB/ U sebagai indikator status gizi memiliki
kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian. Kelebihan
indeks BB / U antara lain :
a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
b. Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
c. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil.
d. Dapat mendeteksi kegemukan ( over weight ).
Kelemahan indeks BB/U antara lain:
a. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat
odema maupun asites.
b. Memerlukan data umur yang akurat terutama untuk anak di bawah
usia lima tahun.
c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian
atau gerakan anak pada saat penimbangan.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil,maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini ( Supariasa dkk,2002 )
4. Klassifikasi Status Gizi
Pada diskusi pakar dibidang gizi yang diselenggarakan oleh
PERSAGI bekerja sama dengan UNICEF, Indonesia dan LIPI
menyepakati bahwa:
1. Baku antropometri yang digunakan adalah WHO NCHS
2. Istilah Status gizi
a)BB/ U : Gizi lebih = > +2 SD
Gizi baik = ≥ -2 SD s/d + 2 SD
Gizi kurang = < -2 SD sampai ≥ - 3SD
Gizi buruk = < -3 SD
b)TB / U : Normal = ≥ 2 SD
Pendek = < -2 SD
c)BB / TB : Gemuk = > + 2 SD
: Normal = ≥ -2 SD s/d + 2 SD
: Kurus = < -2 SD sampai ≥ -3 SD
: Sangat Kurus = < -3 SD
(Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII, 2000)
5. Klasifikasi KEP
Penentuan KEP dilakukan dengan menimbang berat badan anak
dibandingkan dengan umur. Untuk menyatakan bahwa balita
dikatagorikan KEP ringan, sedang, berat dengan menggunakan standart
baku BB/U WHO-NCHS (Depkes RI,1999)
a. KEP Ringan bila hasil penimbangan barat badan pada KMS terletak
pada pita warna kuning,atua BB/U 70% - 80% baku median WHO-
NCHS.
b. KEP Sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak
dibawah garis merah (BGM) atau BB/U 60% - 70% baku median
WHO-NCHS.
c. KEP Berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median WHO
NCHS
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor Langsung
1) Konsumsi Makanan
Faktor makanan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang karena
konsumsi makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh,
baik kualitas maupun kuantitas dapat menimbulkan masalah
gizi (Khumaidi,1996)
2) Infeksi
Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang,
tetapi juga karena penyakit. Anak mendapatkan makanan cukup
baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat
menderita KEP. Sebaliknya anak yang makannya tidak cukup
baik, daya tahan tubuh dapat melemah. Dalam keadaan
demikian mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan
akhirnya mudah terserang KEP (Soekirman, 2000)
b. Faktor tidak langsung
1. Tingkat Pendapatan
Pendapatan keluarga merupakan penghasilan dalam jumlah
uang yang akan dibelanjakan oleh keluarga dalam bentuk
makanan. Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang
menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini
harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini
relatif mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen
pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk
keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya
(Suhardjo, 1996)
2. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi ibu merupakan proses untuk merubah
sikap dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan kehidupan
yang sehat jasmani dan rohani. Pengetahuan ibu yang ada
kaitannya dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya dengan
pendidikan ibu. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi
pula pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya. Hal ini
akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang
dikonsumsi oleh anggota keluarga ( Soekirman,2000)
3. Sanitasi Lingkungan
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik
memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain
diare,kecacingan,dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak
menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi
akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat
gizi.Seseorang kekurangan zat gizi akan mudah terserang
penyakit,dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa dkk,2002)
B. Status Sosial Ekonomi
1. Pengertian Status Sosial Ekonomi
Dalam kehidupan bermasyarakat setiap individu sudah memiliki
kedudukan atau status uang diperolehnya secara otomatis maupun
merupakan suatu proses yang dicapainya, setiap masyarakat senantiasa
mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam
masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi kalau
masyarakat lebih menghargai kekayaan material dari kehormatan, maka
mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati
kedudukan yang lebih dibandingkan masyarakat lain yang tidak atau
kurang memiliki. Gejala ini menimbulkan pelapisan masyarakat, yang
merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal (Soekanto, 1990)
Pada dasarnya pengertian status sosial atau kedudukan sosial sama
yaitu tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan
orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, dan hak-hak
serta kewajiban-kewajiban (Soekanto, 1990)
2. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Terhadap Status Gizi
a. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi berkaitan erat dengan keadaan gizi balita karena
masalah ekonomi merupakan faktor penting bagi ketersediaan pangan
yang cukup, terutama bagi anak-anak balita yang sedang tumbuh
kembang serta dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan yang
layak (Depkes RI, 1990).
Kondisi ekonomi ini sebagai indikator dari kemiskinan.
Kemiskinan inilah salah satu sebab yang dapat mempercepat keadaan
gizi kurang, dimana menduduki posisi pertama pada keadaan umum,
karena kemiskinan merupakan dasar timbulnya KEP dan merupakan
problem bagi golongan termiskin dalam masyarakat. Golongan ini
merupakan sebagian terbesar dari pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan pangan (Suhardjo, 1992). Dalam mengukur tingkat ekonomi
sering digunakan indikator pengeluaran sebagai porsi pendapatan.
Pendapatan tinggi juga merupakan sarana untuk perbaikan gizi, karena
akan menentukan jumlah dan mutu makanan sehingga terdapat
hubungan yang erat dalam tingkat pendapatan dengan status gizi. Anak
yang makanannya kurang memadai biasanya terdapat pada keluarga
yang pendapatannya amat rendah (Berg, 1986).
Rendahnya tingkat pendapatan merupakan salah satu sebab
rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang
gizi akan mengurangi daya tahan tubuh, rentan terhadap penyakit,
menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan pendapatan. Akhirnya
masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi kurang gizi dan
randahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya (Hardinsyah,
1985).
Menurut Sayogya, 1997 garis kemiskinan ditentukan dengan
tingkat konsumsi pangan, tergolong miskin apabila untuk pedesaan
serta dengan beras 240 kg perkapita pertahun sedangkan pada
masyarakat perkotaan bila pendapatannya serta dengan beras 360 kg.
Tolak ukur lain BPS (Biro Pusat Statistik), garis kemiskinan
berdasarkan pengeluaran dalam rupiah, tergolong miskin apabila
pendapatan perkapita per bulan Rp.< 150.000 (Biro Pusat Statistik
[BPS], 2005).
Para ahli mengemukakan bahwa ada keragaman keadaan gizi
pada golongan ekonomi yang sama. Disimpulkan pula bahwa status
ekonomi yang tinggi juga belum tentu menjamin tercapainya keadaan
gizi yang baik. Ini berarti masalah gizi bukan merupakan masalah
ekonomi semata. Berdasarkan kenyataan bahwa golongan ekonomi
tinggi masih terdapat masalah gizi. Pada situasi ini kemungkinan besar
pengetahuan gizi masih kurang sehingga pemanfaatan pendapatan
untuk keperluan pangan kurang efisien (Soekirman dan Jalal,1999)
b. Jumlah Keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi
terlihat nyata pada masing-masing keluarga.Sumber pangan keluarga
terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makannya jika yang harus dilayani jumlahnya sedikit.Besar keluarga
mungkin berpengaruh terhadap distribusi makanan dalam
keluarga.Keadaan demikian juga dapat mengakibatkan perhatian ibu
terhadap perawatan anak menjadi berkurang,karena perhatian ibu
dalam merawat dan membesarkan anak balita dapat terpengaruh bila
banyak anak yang dimiliki.Bila besar keluarga bertambah maka porsi
makanan untuk setiap anak berkurang (Suharjo,1992)
c. Tingkat Pendidikan
Latar belakang pendidikan orang tua, baik suami maupun istri
merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keadaan
gizi anak.Penelitian lain mengemukan bahwa masyarakat dengan
pendidikan cukup tinggi maka pravalensi gizi kurang umumnya
rendah, sebaliknya bila pendidikan orang tua rendah pravalensi gizi
kurang umumnya tinggi. Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat
pendidikan orang tua dengan keadaan ekonomi rumah tangga.
Pendidikan istri disamping merupakan modal utama dalam menunjang
perekonomian rumah tangga juga berperan dalam penyusunan pola
makan rumah tangga maupun pola pengasuhan anak (Sayogya, 1983).
d. Kebiasaan Makan
1. Kebiasaan makan merupakan gambaran mengenai cara masyarakat
ataupun individu dalam memilih dan mengkonsumsi makanan
setiap hari. Biasanya makanan yang tersedia didasarkan pada faktor
sosial ekonomi dan budaya dimana ia tinggal. Pola makan disuatu
daerah berubah-ubah sesuai dengan persediaan bahan pangan dan
faktor adat. Adat, kebiasaan daerah setempat memegang peran
penting dalam pola konsumsi makan penduduk ( Sri Karjati,
1985).
2. Pola dan kebiasaan antara satu orang dengan yang lain dapat
berbeda. Demikian pula dengan pola dan kebiasaan makan pada
anak belita. Perbedaan ini dapat terjadi pertama karena perbedaan
tempat, dimana daerah yang satu berlainan, kedua perbedaan
tersedianya bahan pangan dapat menyebabkan perubahan
kebiasaan dan variasi dari makanan yang dikonsumsinya sehari-
hari, ketiga keadaan balita sendiri yang disebabkan variasi makan
sesuai dengan yang diterima, selera dan penyakit yang diderita,
keempat keadaan keluarga yang variasi makannya ditentukan oleh
kemampuan daya beli, kesibukan dan lain-lain (Samsudin, 1985).
C. Kerangka Teori
GAMBAR 1
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI
Status Gizi
Persediaan Pangan di Keluarga
Pola Asuh Balita
Asupan Zat Gizi
Sanitasi Air Bersih
Sankes Dasar Pendapatan
Penyakit Infeksi
Sumber : Soekirman, 2000, dengan modifikasi
D. Kerangka Konsep
E. Hipotesis
1. Ada hubungan pendapatan perkapita dengan status gizi pada balita
BGM.
2. Ada hubungan pendidikan ibu dengan status gizi pada balita BGM.
3. Ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan status gizi pada balita
BGM.
Pendapatan Perkapita
Pendidikan Ibu
Jumlah Anggota Keluarga
Status Gizi Pada Balita BGM
Jumlah anggota Keluarga
Lapangan kerja,stabilitas nilai uang Ketersediaan pangan, daya beli.
Pemberdayaan Wanita , Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat
Stabilitas Ekonomi, Politik dan Sosial
Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Dan Keterampilan