penilaian produktivitas perairan dengan …ii abstrak muh. takbir dg. sijaya (l111 09 281) penilaian...
TRANSCRIPT
i
i
PENILAIAN PRODUKTIVITAS PERAIRAN DENGAN
MENGGUNAKAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR
DI PERAIRAN KABUPATEN MAMUJU
SKRIPSI
MUH.TAKBIR.DG.SIJAYA
L111 09 281
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
ii
ABSTRAK
Muh. Takbir Dg. Sijaya (L111 09 281) Penilaian Produktivitas Perairan dengan Menggunakan Makrozoobentos sebagai Indikator di Perairan Kabupaten Mamuju.dibawah bimbingan Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si dan Prof. Dr. Ir, Chair Rani, M.Si
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan jenis
makrozoobentos, menganalisis indeks ekologi makrozoobentos di perairan Kabupaten Mamuju, mengetahui keterkaitan sebaran makrozoobentos dengan ukuran butiran sedimen dan menganalisis tingkat produktifitas perairan berdasarkan pertumbuhan makrozoobentos. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data/informasi untuk pemerintah dan bahan pertimbangan untuk pengembangan wilayah pesisir perairan Kabupaten Mamuju. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini berlangsung pada bulan Juli sampai September 2015. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari identifikasi makrozoobentos, keanekaragaman, indeks dominansi orgamis memakrozoobentos, dan parameter lingkungan seperti tipe substrat sedimen dan kandungan bahan organik sedimen (BOT),suhu dan ph.Pengolahan data dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus sedangkan analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis secara deskriptif dengan menggunakan table dan grafik serta analisis One-way ANOVA dengan menggunakan software SPSS. Hasil yang diperoleh adalah makroozobentos yang paling mendominasi untuk stasiun pengamatan yaitu, kelas gastropoda sebanyak 31 jenis, kelas bivalvia 4 jenis, kelas brachiopoda1 jenis dan hydrophidae 1 jenis; indeks ekologi makrozoobentos di perairan Kabupaten Mamuju bervariasi; sebaran makrozoobentos dengan ukuran butiran sedimen di temukan tinggi hingga yang terendah pada berbagai jenis substrat berurutan pasir sedang, pasir sangat kasar, pasir kasar, pasir halus serta untuk produktifitas perairan,pada stasiun I,II dan III sudah menurun, sedangkan pada stasiun IV dan V berada pada kondisi rendah.
Kata Kunci :Kabupaten Mamuju dan Produkvifitas Perairan dengan Menggunakan Makrozoobentos sebagai Indikator
iii
PENILAIAN PRODUKTIVITAS PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR DI PERAIRAN KABUPATEN
MAMUJU
Oleh : MUH. TAKBIR DG. SIJAYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2016
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul skripsi :Penilaian Produktivitas Perairan Dengan Menggunakan Makrozoobentos Sebagai Indikator Di Kabupaten Mamuju
Nama : Muh.Takbir.Dg.Sijaya
Nomor Pokok : L 111 09 281
Jurusan : Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing Utama
Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si NIP. 196901251993031002
Pembimbing Anggota
Prof.Dr.Ir. Chair Rani, M.Si NIP. 196804021992021001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc NIP : 19670308 199003 1 001
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan,
Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc.
NIP. 19701029 199503 1 001
Tanggal lulus :
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 April 1990 di
Makassar, Sulawesi Selatan. Anak pertama dari enam
bersaudara pasangan dari Ayahanda Abd Majid.S
dengan Ibunda Ramlawati. Pada tahun 2003 lulus dari
SD Inpres Paccerakkang Makassar, tahun 2006 lulus dari
SMPN 34 Makassar, dan tahun 2009 lulus dari SMA 06
Makassar. Pada tahun 2009, melalui seleksi masuk
perguruan tinggi neggeri (SMPTN). Penulis berhasil diterima pada Program Studi Ilmu
Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Penulis aktif pada bidang kemahasiswaan dengan mengikuti organisasi Mahasiswa yaitu
Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin (SEMA KELAUTAN UH) periode
2011-2012, Pada tahun 2014, penulis melaksanakan salah satu tridarma perguruan tinggi
yaitu pengabdian masyarakat dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) gelombang 87, di
Desa Carigading, Kec.Awangpone, Kab.Bone, Sulawesi Selatan. Pada saat bersamaan,
penulis sekaligus melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Kajuara,
Kec.Awangpone, Kab.Bone dengan judul “Inventarisasi Jenis-Jenis mangrove di Desa
Kajuara Kec.Awangpone Kabupaten Bone’
Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi akhirnya telah terselesaikan, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Penilaian Produtifitas Perairan dengan menggunakan
Makrozoobentos sebagai indikator di Perairan Kabupaten Mamuju” dibawah bimbingan
bapak Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si
vi
KATA PENGANTAR
Tak ada kata yang pantas selain mengagungkan kebesaranmu ya ALLAH,
atas segala karunia dan pertolongan yang engkau berikan kepada penulis selama
dalam proses penyelesaian karya ini yang berjudul “Keanekaragaman Fauna Non
Bentik Pada Ekosistem Mangrove Di Sungai Tallo Kota Makassar” yang merupakan
sebuah hasil penelitian untuk memperoleh gelar sarjan dalam bidang kelautan.
Shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW berserta
para sahabat yang telah menegakkan agama ALLAH dalam ajaran Islam di bumi ini.
Ya ALLAH, pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Melalui setiap kesempatan
nafas yang engkau berikan. Aku memohon ampunanmu atas segala keselahan yang
pernahku perbuat. Dan ampunilah pula segala dosa ibu dan ayahku ya robbi, baik
kesalahan yang disengaja maupun tak disengaja yang dibuat oleh beliau.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak-pihak yang telah membantu terciptanya sebuah
karya sederhana yang lahir berkat bantuan pemikiran, saran dan motivasi selama
proses penyusunan skripsi hingga akhirnya penelitian ini dapat selesai.
Penulis,
Muh Takbir Dg Sijaya
vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa atas
berkah, anugerah-Nya serta kasih sayang-Nya yang tidak henti-henti, khususnya
kepada penulis dan keluarga penulis, hingga saat ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sangat
tulus kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis mulai dari awal perkuliahan
hingga tersusunnya skripsi ini.
1. Kepada kedua orangtuaku, Ayahanda Abd. Majid. S dan Ibunda Ramlawati yang
telah bersedia dengan ikhlas menerima beban senang dan sakit yang dirasakan
selama merawatku, menjaga serta mengarahkanku ketika salah, menerimaku apa
adanya dan banyak hal yang tidak bisa diungkapkan atas semua pengorbanan
dan kasih sayang mereka.
2. Kepada Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si yang
telah meluangkan waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
melalui kritik dan saran yang membangun hingga skripsi ini dapat selesai sesuai
yang diinginkan.
3. Kepada Dr.Mahatma Lanuru,ST.,M.Sc, Dr.Ir. Muhammad Farid Samawi,M.Si
dan Prof.Dr.Ir. Rohani Ambo Rappe,M.Si selaku dosen penguji, memberikan
tanggapan, dan saran terhadap penyempurnaan skripsi ini.
.4. Kepada Bapak Prof.Dr.Ir.Jamaluddin Djompa, M.Sc selaku Dekan FIKP
beserta jajarannya, Bapak Dr.Mahatma Lanuru,ST.,M.Sc selaku Ketua Jurusan
Ilmu Kelautan.
viii
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kelautan yang telah membagikan
pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.
6. Seluruh Staf pegawai FIKP UH dan Laboratarium yang tidak dapat disebutkan
namanya satu per satu yang selalu mendukung penulis secara ikhlas, sadar
ataupun tidak, membantu penulis mengurus berkas, serta penyemangat disaat
penulis butuh.
7. Kepada Saudara-saudaraku dan seperjuanganku di KOSLET 09 (Kosong
Sembilan Kelautan Unhas), fahri, wanda, ipul, rizal, tarsan, eni, mayang, dila,
tri, lisda, steven, yaya, dedof, uga, iccank, jesy, novi, arni, yang selalu
mendampingi, menyemangati, susah senang bersama, pengingat terbaik,
memberikan hidup penulis lebih berwarna dengan hadirnya kalian.
8. Kepada Keluarga Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas
dukungan, doa, serta canda tawanya. Terima kasih atas semua pelajaran hidup
yang kalian berikan.
“Hidup bagaikan skripsi, banyak halaman dan bab yang perlu direvisi, tetapi
semuanya akan berakhir indah, tergantung dari usaha kita sendiri”
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
ix
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan .................................................................................... 2
C. Ruang Lingkup ........................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 4
A. Makrozoobentos ............................................................................................ 4
B. Klasifikasi Bentos ........................................................................................... 5
C. Habitat dan Distribusi Makrozoobenthos .................................................... 6
D. Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Distribusi Makrozoobentos ......... 7
1. Substrat (Sedimen) ..................................................................................... 7
2. Bahan Organik Total (BOT) ........................................................................ 8
3. Tingkat Keasaman (pH) .............................................................................. 9
4. Suhu ......................................................................................................... 10
E. Indeks Ekologi .............................................................................................. 11
1. Indeks Keanekaragaman(H’) .................................................................... 11
2. Indeks Keseragaman (E) .......................................................................... 12
3. Indeks Dominansi (C) ............................................................................... 13
F. Produktivitas Perairan .................................................................................. 14
III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 16
A. Waktu dan Tempat ....................................................................................... 16
B. Alat dan Bahan ............................................................................................ 17
C. Prosedur Kerja ......................................................................................... 18
1. Tahap Persiapan ...................................................................................... 18
2. Penentuan Stasiun ................................................................................... 18
3. Pengambilan data di lapangan ................................................................. 18
4. Tahap Analisis Laboratorium .................................................................... 19
5. Pengolahan Data ...................................................................................... 21
6. Analisis Data ............................................................................................ 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 26
A. Gambaran Umum Lokasi ............................................................................. 26
x
B. Faktor Lingkungan ....................................................................................... 28
1. Suhu ......................................................................................................... 28
2. Derajat keasaman (pH) ............................................................................ 29
3. Sedimen ................................................................................................... 30
4. Bahan organik total (BOT) sedimen .......................................................... 32
C. Distribusi, komposisi jenis kelimpahan makrozoobentos........................... 33
D. Keragaman dan sebaran Makrozoobentos dengan tipe sedimen ............. 41
1. Sebaran Jumlah individu dan kepadatan Makrozoobentos Menurut Jenis Sedimen .......................................................................................................... 42
2. Keterkaitan ukuran butiran sedimen dengan nilai kepadatan makrozoobentos, jumlah jenis dan BOT .......................................................... 45
E. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) ........... 48
F. Tingkat produktifitas perairan ....................................................................... 50
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 53
xi
Daftar Tabel
Tabel 1Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen ....................................... 9
Tabel 2 Kategori indeks keanekaragaman (H’) ....................................................... 12
Tabel 3. Kategori indeks keseragaman (E) ............................................................. 13
Tabel 4. Kategori indeks dominansi (C) .................................................................. 14
Tabel 5. Skala Wentworth untuk penentuan butiran sedimen. ................................ 20
Tabel 6. Stadium produktifitas Perairan .................................................................. 25
Tabel 7. Tipe butiran sedimen untuk seluruh stasiun .............................................. 31
xii
Daftar Gambar
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di daerah Kabupaten Mamuju ............................ 166
Gambar 2. Model grafik suksesi ekosistem Frointer (Frointer, 1985) ...................... 25
Gambar 3 Suhu pada setiap stasiun ....................................................................... 29
Gambar 4 . Ph pada setiap stasiun ......................................................................... 30
Gambar 5 Rata-rata bahan organik total (BOT) sedimen pada tiap-tiap stasiun
pengamatan ........................................................................................................... 33
Gambar 6 Komposisi (a) jumlah jenis dan (b) jumlah individu makrozoobentos pada
seluruh stasiun ....................................................................................................... 36
Gambar 7 Komposisi jenis makrozoobentos pada setiap stasiun ........................... 37
Gambar 8 Jumlah jenis makrozoobentos setiap stasiun pengamatan. .................... 38
Gambar 9 Kelimpahan jenis makrozoobentos pada 5 stasiun pengamatan .......... 40
Gambar 10 Grafik keterkaitan ukuran sedimen dengan jumlah jenis ...................... 46
Gambar 11 Grafik keterkaitan ukuran sedimen dengan kepadatan makrozoobentos
............................................................................................................................... 46
Gambar 12 . Grafik hubungan ukuran butiran sedimen dengan niliai bot sedimen. . 47
Gambar 13 Indeks ekologi pada setiap stasiun (indeks keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi) ................................................................................ 48
Gambar 14 Tingkat Produktivitas Perairan ............................................................. 50
xiii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Parameter lingkungan di lokasi stasiun pengamatan.........................1655
Lampiran 2 Jenis sedimen yang mendominasi (Softwear Gradistat) ...................5716
Lampiran 3 Analisis Kelimpahan Makrozoobenthos .............................................6216
Lampiran 4 Jumlah Jenis Makrozoobenthos ........................................................... 65
Lampiran 5 Jumlah jenis dan jumlah individu .......................................................... 68
Lampiran 6 Komposisi jenis makrozoobentos ......................................................... 69
Lampiran 7 Indeks ekologi pada setiap stasiun (indeks keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi) ............................................................................... 70
Lampiran 8 Spesies makrozoobentos di lokasi penelitian ....................................... 71
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut di Indonesia mempunyai peranan penting dalam
menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang memiliki nilai potensi
yang cukup besar.Sumberdaya alam diharapkan dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi di Indonesia, sumberdaya alam tersebut selayaknya dikelola dengan baik
untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Bentos merupakan sumber daya hayati perairan alam linkungan pesisir yang
hidup di dasar perairan. Organisme yang relatif mudah identifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam
kelompok makrozoobentos (Rizky 2007). Hewan ini sangat peka terhadap
perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga dapat berpengaruh terhadap
komposisi dan distribusinya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan
adanya perubahan lingkungan dari waktu ke waktu, karena organisme ini terus
menerus terendam oleh air yang kualitasnya berubah-ubah.
Makrozoobentos dapat dijadikan sebagai organisme bioindikator dalam
menilai suatu kondisi perairan. Perubahan kondisi perairan termasuk habitat akan
mempengaruhi jumlah, kelimpahan dan penyebaran dari organisme ini (Integre,
1984 dalam Lebuan, 2000). Selain sebagai penjaga kestabilan lingkungan,
organisme tersebut juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses
pendaurulangan bahan organik dan proses mineralisasi mengingat fungsinya
sebagai dekomposer awal dalam struktur komunitas perairan. Seiring dengan laju
2
pertumbuhan penduduk dan aktivitas pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai
di beberapa daerah telah mengalami penurungan atau rusak. Hal ini diindikasikan
oleh adanya proses erosi/abrasi pantai, intrusi air laut dan degradasi sumberdaya
hayati perairan.
Perairan pesisir Kabupaten Mamuju diduga mengalami penurunan fungsi
sebagai mana yang dijelaskan diatas untuk itu, Penelitian tentang penilaian
produktifitas perairan menggunakan makrozoobentos sebagai indikator kualitas
perairan pesisir Kabupaten Mamuju penting dilakukan karena wilayah tersebut
sangat berpotensi untuk dikembangkan baik untuk kegiatan budidaya atau
penangkapan wilayah konservasi.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui distribusi dan kelimpahan jenis Makrozoobentos.
2. Menganalisis indeks Ekologi Makrozoobentos di perairan Kabupaten
Mamuju.
3. Mengetahui keterkaitan sebaran Makrozoobentos dengan ukuran butiran
sedimen.
4. Menganalisis tingkat produktifitas perairan berdasarkan jenis dan kelimpahan
Makrozoobentos.
Kegunaan penelitian ini yaitudiharapkan dapat menjadi data/informasi untuk
pemerintah dan bahan pertimbangan untuk pengembangan wilayah pesisir perairan
Kabupaten Mamuju.
3
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian yaitu identifikasi makrozoobentos,
keanekaragaman, indeks dominansi orgamisme makrozoobentos, dan parameter
lingkungan seperti tipe substrat sedimen dan kandungan bahan organik sedimen
(BOT),suhu dan ph.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Makrozoobentos
Makrozoobentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal
dalam sedimen dasar perairan. Organisme bentos mencakup organisme nabati yang
disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos (Odum, 1971).
Makrozoobentos adalah organisme yang tersaring oleh saringan bertingkat pada
ukuran 0,6 mm (Lind, 1979). Pada saat mencapai pertumbuhan maksimum,
makrozoobentos akan berukuran sekurang-kurangnya 3 hingga 5 mm (Sudarja,
1987).
Dalam siklus hidupnya, terdapat beberapa makrozoobentos yang hidupnya
hanya sebagian saja sebagai bentos, misalnya pada stadia muda saja atau
sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai bentos pada stadia
dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai bentos pada stadia larva
(Nybakken,1988), selanjutnya dinyatakan zoobentos umumnya bersifat relatif tidak
aktif dengan ciri khusus seperti: tubuhnya dilindungi cangkang, memiliki bagian
tubuh yang dapat dijulurkan, berkembangnya bagian tubuh tambahan seperti
rambut, bulu-bulu keras serta tersusun atas otot-otot yang memudahkan
pergerakannya di atas maupun di dalam sedimen.
5
B. Klasifikasi Bentos
Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobentos menjadi
dua kelompok besar yaitu mikrozoobentos dan makrozoobentos. Sejalan dengan
ukurannya, Hutabarat dan Evans (1985) juga mengklasifikasikan zoobentos ke
dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :
1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang
digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.
2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas
krustasea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.
3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan
beberapa filum annelida.
Berdasarkan tempat hidupnya, zoobentos dibagi atas dua kelompok, yaitu :
(a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan
substrat, (b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat)
dengan cara menggali lubang (Hutabarat dan Evans, 1985; Nyabkken 1988).
Odum (1971) mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan kebiasaan
makannya ke dalam dua kelompok yaitu : (a) filter-feeder yaitu hewan yang
menyaring partikel-partikel detritus yang melayang-layang dalam perairan misalnya
Balanus (Crustacea), Chaetopterus (Polyhaeta) dan Crepudia (Gastropoda). (b)
deposit-feeder yaitu hewan bentos yang memakan partikel-partikel detritus yang
6
telah mengendap di dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile (Polychaeta),
Tellina dan Arba (Bivalvia).
Sejalan dengan kebiasaan makannya, Knox (1986) membagi pula ke dalam
lima kelompok yaitu : hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus
yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar, dan
hewan yang sumber makanannya dari atas permukaan.
C. Habitat dan Distribusi Makrozoobentos
Zona subtidal merupakan daerah yang terletek antara batas air surut
terendah di pantai dengan ujung paparan benua (continental shelf), dengan
kedalaman sekitar 200 meter. Pada skema klasifikasi ini dikenal sebagai sublitoral.
Zona paparan atau sublitoral adalah zona bentik pada paparan benua di bawah
zona pelagik neritik. Zona ini mendapat cahaya dan pada umumnya dihuni oleh
bermacam jenis biota laut yang melimpah dari berbagai komunitas, termasuk
padang lamun dan terumbu karang. Zona subtidal meliputi daerah dibawah rata-rata
level pasang surut yang rendah dan biasanya selalu digenangi air secara terus
menerus.
Substrat dasar mempunyai pengaruh terhadap komposisi dan distribusi
makrozoobentho karena merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran
organisme makrozoobentos. Jenis substrat hubungannya dengan kandungan
oksigen dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Pada susbstrat pasir, kandungan
oksigen relative besar dibandingkan dengan jenis substrat yang lebih halus, hal ini
dikarenakan pada jenis substrat pasir terdapat pori udara yang memungkinkan
terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun demikian,
7
nutrient tida banyak terdapat dalam substrat berpasir. Arus yang kuat tidak hanya
menghanyutkan partikel sedimen yang berukuran kecil saja tapi juga
menghanyutkan nutrien saja. Untuk pantai yang berpasir tidak menyediakan susbtrat
yang tetap untuk melekat bagi organisme. Dua kelompok ukuran organisme yang
mampu beradaptasi pada kondisi substrat berpasir yaitu organisme infauna makro
(berukuran 1-10 cm)yang mampu menggali liang di dalam pasir dan organisme
meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1 mm) yang hidup diantara butiran pasir dalam
ruang interstitial. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu banyak,
tapi biasanaya nutrient tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian
jenis substrat yang diperkirakan oleh bentos adalah kombinasi dari ketiga jenis
substrat (pasir, lumpur dan liat) (Bengen, 1994).
D. Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Distribusi Makrozoobentos
1. Substrat (Sedimen)
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien
dalam sedimen. Pada jenis substrat berpasir kandungan oksigen relatif lebih besar
dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat
pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan
air di atasnya, namun demikian nutrien tidak banyak terdapat dalam substrat
berpasir. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu banyak tetapi
biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen et al., 1994
dalam Siregar, 1997).
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobentos, selanjutnya Lind (1979) menyatakan bahwa hewan bentos lebih
8
menyenangi dasar perairan dengan substrat lumpur, pasir, kerikil dan substrat
sampah. Bentos tidak menyenangi dasar perairan berupa batuan, tetapi jika dasar
batuan tersebut memiliki bahan organik yang tinggi, maka habitat tersebut akan
kaya akan hewan bentos (Nichol, 1981 dalam Sudarja, 1987)
2. Bahan Organik Total (BOT)
Bahan Organik Total (BOT) menggambarkan kandungan bahan organik total
suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi (partikulate) dan
koloid. Bahan organik ditemukan dalam semua jenis perairan, baik dalam bentuk
terlarut, tersuspensi maupun sebagai koloid, dimana kesuburan suatu perairan
tergantung dari kandungan Bahan Organik Total (BOT) dalam perairan itu
sendiri.Bahan organik pada sedimen merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan
dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan (Soepardi, 1986).
Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit
dibandingkan jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki
kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis
sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik.
Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik
total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68-17ppm
(Soepardi, 1989 dalam Ukkas, 2009). Reynold (1971) mengklasifikasikan
kandungan bahan organik dalam sedimen yaitu terlihat dalam tabel 1.
9
Tabel 1 Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen
No
Kandungan bahan organic (%) Kriteria
1 >35 Sangat Tinggi
2 17 – 35 Tinggi
3 7 – 17 Sedang
4 3,5 – 7 Rendah
5 < 3,5 Sangat Rendah
Sumber : Reynold (1971)
3. Tingkat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran tentang besarnya konsentrasi ion
hydrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau bersifat basa dalam
reaksinya (Wardoyo, 1989).Nilai pH menunjukkan derajat kemasaman atau
kebasaan suatu perairan dimana fluktuasinya dipengaruhi oleh kapasitas penyangga
(buffer), yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang larut dalam air.
Hawkes (1978) mengatakan bahwa kisaran pH 5,0 – 9,0 kemungkinan sedikit
sekali pengaruhnya terhadap hewan bentos. Dalam kisaran ini organisme yang
berlainan mempunyai kisaran yang berbeda pula, dimana sebagian besar cacing di
Inggris terdapat dalam kisaran tersebut. Gastropoda terdapat pada perairan dengan
pH lebih besar dari 7,0 sedangkan bivalvia memiliki kisaran pH 5,6 – 8,3.Menurut
pada umumnya derajat kemasaman untuk perairan dalam berkisar antara 4 – 9 dan
kadang-kadang bersifat agak alkalis karena adanya karbonat dan bikarbonat.
Penyimpangan yang cukup besar dari harga pH semestinya dapat dipakai sebagai
petunjuk akan adanya buangan industri yang bersifat asam, karena banyak bahan
10
organik di kawasan tersebut. Nilai pH perairan serta hubungannya dengan proses
biologis dari biota akuatik. Menurut Odum (1993) bahwa perubahan pH pada
perairan laut biasanya sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi
massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan.
4. Suhu
Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis dan
fisiologis di dalam ekosisitem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai
pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air naik maka
kelarutan oksigen di dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas
metabolism akuatik, sehingga kebutuhan juga oksigen juga meningkat
(Satrawijaya,2000). Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (1996) menyatakan
bahwa akibat meningkatkanya laju respirasi akan meyebabkan konsumsi oksigen
meningkat, sementara di sisi lain dengan naiknya suhu akan menyebabkan
kelarutan oksigen dalam air akan menjadi berkurang.Menurut Suriawiria (1996)
kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut. Suhu
merupakan faktor pembatas bagi pertumbuahn bentos.Batas toleransi hewan
terhadap suhu tergantung kepada spesiesnya. Umumnya suhu diatas 300C dapat
menekan pertumbuhan populasi hewan bentos (Nybakken,1992).
11
E. Indeks Ekologi
1. Indeks Keanekaragaman(H’)
Indeks keanekaragaman adalah penggambaran yang menunjukkan sifat
suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman dalam suatu
komunitas. Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan
banyaknya jenis dan kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan.
Semakin besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang
didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-
masing jenis atau genera (Odum, 1971).
Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal
dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil didapat jika
semua individu berasal dari satu genus atau spesies saja (Odum, 1971). Adapun
kategori indeks keanekaragaman jenis dapat dilihat pada Tabel 2.
12
Tabel 2. Kategori indeks keanekaragaman (H’)
No. Keanekaragaman (H’) Kategori
1. H’ < 2,0 Rendah
2. 2,0 < H’ < 3,0 Sedang
3. H’ ≥ 3,0 Tinggi
Sumber: (Odum, 1971).
Nilai indeks keanekaragaman dengan kriteria sebagai berikut:
Jika H’ < 2,0 : Keanekaragaman genera/spesies rendah, penyebaran
jumlah individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan
komunitas rendah dan keadaan perairan mulai tercemar.
Jika 2,0 < H’ < 3,0 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu
sedang dan kestabilan perairan telah tercemar sedang.
Jika H’ ≥ 3,0 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap
spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan
perairannya masih belum tercemar.
2. Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman adalah penggambaran mengenai sifat organisme yang
mendiami suatu komunitas yang dihuni atau didiami oleh organisme yang sama atau
seragam. Keseragaman (E) dapat menunjukkan keseimbangan dalam suatu
pembagian jumlah individu tiap jenis.
13
Keseragaman (E) mempunyai nilai yang besar jika individu yang ditemukan
berasal dari spesies atau genera yang berbeda-beda, semakin kecil indeks
keseragaman (E) semakin kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, artinya
penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi
oleh jenis tertentu. Nilai indeks keseragaman (E) yaitu 0,75< E < 1,00 menandakan
kondisi komunitas yang stabil. Komunitas yang stabil menandakan ekosistem
tersebut mempunyai keanekaragaman yang tinggi, tidak ada jenis yang dominan
serta pembagian jumlah individu (Odum, 1971).
Tabel 3. Kategori indeks keseragaman (E)
No. Keseragaman (E) Kategori
1. 0,00 < E < 0,50 Komunitas Tertekan
2. 0,50 < E < 0,75 Komunitas Labil
3. 0,75 < E < 1,00 Komunitas Stabil
Sumber : (Odum, 1971).
3. Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi adalah penggambaran suatu kondisi dimana suatu
komunitas didominasi oleh suatu organisme tertentu.Dominasi (C) merupakan
penggambaran mengenai perubahan struktur dan komunitas suatu perairan untuk
mengetahui peranan suatu sisitem komunitas serta efek gangguan pada komposisi,
struktur dan laju pertumbuhannya.Jika nilai indeks dominansi mendekati satu berarti
suatu komunitas didominasi oleh jenis tertentu, dan jika nilai indeks dominasi
mendekati nol berarti tidak ada yang dominan.Kategori Indeks Dominansi dapat
dilihat di Tabel 4.
14
Tabel 4. Kategori indeks dominansi (C)
No. Dominansi (C) Kategori
1. 0,00 < C < 0,50 Rendah
2. 0,50 < C < 0,75 Sedang
3. 0,75 < C < 1,00 Tinggi
Sumber : (Odum, 1971).
F. Produktifitas Perairan
Produktifitas perairan merupakan parameter ekologi yang sangat penting.
Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintergrasikan pengaruh
kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung di dalam ekosistem.
Jika produktifitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu
yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika
terjadi perubahan yang drastis, maka menunjukan telah terjadi perubahan
lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi diantara
organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985).
Produktifitas primer perairan didefinisikan sebagai laju pembentukan
senyawa-senyawa organik dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh
bahan organik yang terbentuk dalam proses produktifitas primer kotor atau produksi
total ini digunakan oleh tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan proses hidup yang
secara kolektif disebut respirasi. Hanya sebagian dari produksi total yang tersedia
bagi pemindahan kalori atau pemanfaatan oleh organisme tersebut. Produktifitas
15
primer bersih merupakan selisih dari produktivitas primer kotor dengan respirasi oleh
tumbuhan (Nybakken,1992).
16
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2015.
Pengambilan data di lapangan, analisis sampel di laboratorium, pengolahan data,
analisis data, dan pembuatan skripsi. Pengambilan sampel makrozoobentos dan
sedimen dasar dilakukan di perairan Kabupaten Mamuju. Sampel makrozoobentos
di identifikasi di Laboratorium Ekologi Laut dengan menggunakan buku indentifikasi
Siput dan Kerang Indonesia Jilid I dan Conchology, Ind (http://www.conchology.be).
Analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Osenografi fisika dan
Geomorfologi Pantai. Pengukuran ph dan suhu dilaksanakan langsung dilapangan.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar.1 :
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di daerah Kabupaten Mamuju
17
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System
(GPS) untuk menentukan titik stasiun, Grab sampler untuk pengambilan substrat
(sampel Makrozoobentos dan sedimen) di dasar Laut,Sieve net untuk memisahkan
Makrozoobentos dengan Sedimen,Coolbox untuk menyimpan sampel, bakisebagai
wadah sampel saat identifikasi di laboratorium,pinset untuk mengambil sampel
makrozoobentos dari baki,Makroskop untuk mengamati dan membantu dalam
proses identifikasi sampel, ayakan sedimen untuk memisahkan butiran sedimen
berdasarkan diameter butirannya, Oven untuk mengeringkan sampel sedimen.
Kamera untuk dokumentasi sampel dan kegiatan penelitian,alat dasar selam untuk
membantu mengambil sampel Makrozoobentos dan Sedimen, Untuk pengukuran
data Oseanografi digunakanpH meter untuk mengukur pH perairan, termometer
untuk mengukur suhu perairan, dan Alat tulis.
Bahan yangdigunakan selama penelitian adalah kantong untuk tempat
penyimpan sampel bentos dan Sedimen, label untuk memberi tanda setiap kantong
sampel maupun keperluan lainnya, aquades untuk membersihkan alat, alkohol 70%
untuk mengawetkan sampel, dan buku identifikasi untuk mengidentifikasi sampel.
18
C. Prosedur Kerja
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi konsultasi dengan pembimbing survey menyangkut
kondisi makrozoobentos dan substrat (sedimen) di lapangan, dan menyiapkan alat-
alat yang akan digunakan selama penelitian.
2. Penentuan Stasiun
Penentuan stasiundilakukan di zona intertidal pesisir Mamuju.Penentuan lokasi
ini didasarkan pada stasiun berdasarkan kondisi dan keadaan di lapangan.yaitu
memilih perairan.
3. Pengambilan data di lapangan
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Grab
sampler dengan luas bukaan grab Sampler. Lokasi pengambilan sampel berada
pada daerah intertidal. Pada setiap stasiun dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali,
sehingga terdapat 15 titik sampling pada seluruh stasiun pengamatan. Pengambilan
sampel makrozoobentos,grab sampler diturunkan dari atas perahu dalam keadaan
terbuka. Setelah grab sampler mencapai dasar perairan, grab sampler akan tertutup
secara otomatis sebelum tali grab ditarik ke atas perahu sehingga diperoleh
sejumlah substrat. Substrat yang terambil kemudian dimasukan ke dalam kantong
sampel dan dipisahkan tiap substasiun dan diberikan tanda tiap kantong sampelnya.
Sampel yang terambil kemudian disaring dengan menggunakan sieve net
dan organisme makrozoobentos yang tersaring diambil dan kemudian dimasukkan
ke dalam kantong sampel yang kemudian diberi bahan pengawet alkohol 70%.
19
Selanjutnya sampel bentos diidentifikasi dengan bantuan lup dan buku identifikasi
makrozoobentos di laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, fakultas Ilmu
kelautan dan perikanan Universitas Hasanuddin. Buku identifikasi yang digunakan
adalah Dharma (1988) dan Conchology, Ind (http://www.conchology.be).
4. Tahap Analisis Laboratorium
a. Ukuran Butir Sedimen
Penentuan ukuran butiran sedimendilakukan dengan metode pengayakan
kering (dry sieving). Sekitar 100gr sedimen diayak selama 10 menit dengan
menggunakan sievenet yang tersusun secara berurutan dengan ukuran 2mm,
1mm, 0,5mm, 0,25mm, 0,125mm dan 0,063 mm. Porsi sedimen yang tertahan
pada setiap ayakan ditimbang dan dikalisifikasikan menurut ukuran butirannya.
Untuk melakukan pengukuran persentase berat sedimen digunakan rumus
seperti dibawah ini :
Berat sedimen = 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 X 100%
Analisis sampel sedimendilakukan dengan metode Wentworth.Metode ini
dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butiran sedimen untuk mengetahui
dominansi jenis sedimen pada daerah penelitian (Tabel 5).
20
Tabel 5. Skala Wentworth untuk penentuan butiran sedimen,( Hutabarat S dan M.
Evans S 1985).
b. Kandungan Bahan Organik Sedimen
Pengukuran kandungan organik sedimen dilakukan dengan metode loss by
ignition mengikuti metode yang digunakan oleh Fairhurst dan Graham (2003).
Lima gram sedimen yang telah dikeringkan di oven pada suhu 105ºC,
dimasukkan ke dalam cawan, kemudian diukur beratnya untuk mengetahui berat
awal (Wa). Sampel selanjutnya ditempatkan di pembakaran (tanur) pada suhu
550 ºC selama 2 jam. Untuk menghitung berat akhir sampel sedimen (Wt),
sampel sedimen yang sudah dibakar/ditanur ditimbang kembali untuk
menghitung kandungan organik sedimen. Persentase kandungan organik total
sedimen dihitung dengan menggunakan rumus:
21
Kandungan Organik sedimen = (𝑊𝑎−𝑊𝑡)
𝑊𝑎X100%
Dimana, Wa= berat awal (gram)
Wt = berat akhir (gram)
5. Pengolahan Data
a. Kelimpahan kumulatif (Aziz, 1998)
Makrozoobentos yang didapatkandikelompokkan manurut jenis dan titik
sampling dan dihitung kelimpahannya. Kelimpahan makrozoobentos dihitung
dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Y = 1000 X a
B
Dimana, Y = jumlah individu (ind/m2)
a = jumlah makrozobentos yang tersaring (ind)
b = luas bukaan grab sampler (cm2)
10000 = nilai konversi dari cm2ke m2
b. Kelimpahan Relatif (Brower et al., 1990)
Menghitung kelimpahan relatif makrozoobentos dengan menggunakan
formula sebagai berikut:
Dimana, KR = Kelimpahan relatif (%)
ni = Jumlah individu setiap spesies
N = Jumlah seluruh individu
22
Jumlah jenis dan kelimpahan makrozoobentos dikelompokkan
menurut stasiun yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik.
c. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman makrozoobentos dihitung dengan menggunakan
formula Evennes Indeks (Odum 1971) sebagai berikut:
H’ = -Σ ni/N x In ni/N
Dimana, H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah seluruh individu
d. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman makrozoobentos dihitung dengan menggunakan
formula Evennes Indeks (Odum 1971) sebagai berikut:
E = H’ / LnS
Dimana, E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekragaman jenis
S = jumlah jenis organisme
23
e. Indeks Dominansi
Indeks dominansi organisme makrozoobenthos dihitung dengan
menggunakan formula Odum (1971) sebagai berikut :
C = Σ (ni/N)2
Dimana, C = indeks dominasi
ni = jumlah individu jenis
N = jumlah total individu
24
6. Analisis Data
1. Untuk mengetahui perbedaan kelimpahan makrozoobentos dikelompokkan 5
stasiun dengan menggunakan analisis one way anova.
2. Indeks ekologi,juga dikelompokkan memuat jarak di garis pantai dan dianalisis
perkembangan secara deskriftif dengan bantuan grafik atau tabel.
3. Keterkaitan ukuran butiran sedimen dengan sebaran makrozoobentos di
analisis dengan analisis regresi linear,dengan bantuan diagram linear sebagai
variabel X yaitu median ukuran butir sedimen dan sumbu Y adalah jumlah
jenis dan kepadatan makrozoobentos
4. Tingkat produktifitas biologi dan kondisi perairan,Penilaian produktifitas biologi
perairan digunakan Grafik suksesi Ekosistem (Frontier, 1985). Grafik suksesi
disajikan untuk setiap stasiun dengan nilai log kelimpahan relatif sebagai
sumbu Y dan log ranking spesies (dari terbesar keterendah) sebagai sumbu x.
Pola-pola grafik yang terbentuk dijadikan dasar untuk penilaian produktifitas
biologi perairan (Gambar 2). Penilaian pola-pola tersebut dibandingkan antara
stasiun.
25
Gambar 2. Model grafik suksesi ekosistem Frointer (Frointer, 1985)
Grafik baku terdiri dari 3 stadium dengan karakteristik masing-masing seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Stadium produktivitas Perairan
Stadium Karakteristik
I Produktivitas biologi rendah, kondisi labil, kompetisi antara jenis tinggi, keanekaragaman rendah dan SR (keberlangsungan hidup organisme)
minium.
II Produktivitas biologi tinggi, kondisi stabil, kompetisi antara jenis rendah, keanekaragaman tinggi dan SR (keberlangsungan hidup organisme)
maksimal.
III Produktivitas biologi menurun, kondisi masih baik, kompetisi antara jenis rendah, keanekaragaman menurun dan SR (keberlangsungan hidup
organisme) sedang.
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Kabupaten Mamuju merupakan salah satu kabupaten dari wilayah Provinsi
Sulawesi Barat, yang pada awalnya terdiri dari 16 Kecamatan namun seiring dengan
perkembangan dan aspirasi masyarakatnya maka pada tanggal 14 Desember 2012
resmi dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Mamuju dan dan
Kabupaten Mamuju Tengah. Jumlah kecamatan di Kabupaten Mamuju tinggal 11
yang terdiri dari 7 kecamatan pesisir dan 3 Kecamatan non-pesisir. Secara
Geografis Kabupaten Mamuju terletak terletak diantara 2o10'48'' – 2o57'35'' Lintang
selatan ; 1150 4'47''- 119051'35'' Bujur Timur, Kabupaten Mamuju merupakan
wilayah dengan potensi kawasan strategis sebagai pengembangan ibukota
kabupaten untuk Provinsi Sulawesi Barat dengan luas wilayah 8.014,06 km2 dan
secara administratif berbatasan dengan :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Tengah
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kab. Majene, Kab. Polmas, Kab. Tana
Toraja (Provinsi Sulawesi Selatan)
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara (Provinsi
Sulawesi Selatan)
Sebelah Barat : berbatasan Selat Makassar (Provinsi Kalimantan Timur)
Kabupaten ini terdiri atas 11 wilayah kecamatan, 11 Kecamatan dimaksud
adalah Tapalang, Tapalang Barat, Mamuju, Simboro dan Kepulauan Balabalakang,
Kalukku, Papalang, Sampaga, Tommo, Kalumpang, DAN Bonehau. Kecamatan
Kalumpang merupakan Kecamatan terluas dengan luas 1.178,21 km persegi atau
27
22,19 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju. Sedangkan yang terkecil
adalah Kecamatan Sampaga dengan luas 95,94 km Persegi. Di samping itu
kabupaten Mamuju memiliki 17 pulau dan 8 gugus, yang merupakan bagian dari
wilayah Kecamatan Balabalakang. Dari 17 pulau tersebut terdapat 11 pulau yang
berpenghuni dan 6 pulau yang tidak berpenghuni. Di antara 11 Kecamatan di
Kabupaten Mamuju, Ibukota Kecamatan yang letaknya terjauh dari Ibukota
Kabupaten adalah Ibukota Kecamatan Balabalakang
Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju sebelum pemekaran pada Desember
2012 adalah adalah 336.973 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk sebesar 42
jiwa/km2.Jumlah penduduk laki-laki adalah sebanyak 173.413 dan Perempuan
163.569 jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk 3,91 % yang relatif tinggi jika
dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata Provinsi Sul-Bar sebesar 2,68 %.
Jumlah rumah tangga berdasarkan data statistik tahun 2012 terhitung 75.754 rumah
tangga atau 4,45 orang per rumah tangga.
Lokasi penelitian berada pada zona subtidal di sekitar daerah perairan pesisir
Mamuju terdiri dari 5 stasiun Kecamatan Tapalang barat, Kecamatan Simboro,
Kecamatan Kalukku, Kecamatan Papalang, Kecamatan Sampaga.
28
B. Faktor Lingkungan
1. Suhu
Nilai rata-rata suhu yang didapatkan pada Stasiun I yaitu 31.93°C, untuk Stasiun
II didapat nilai suhu 32.50°C, pada Stasiun III nilai suhu yang didapat 30.80°C, pada
Stasiun IV nilai suhu yang didapat 30.15°C, dan nilai yang didapat pada Stasiun
V28.63°C.
Suhu yang diukur pada setiap stasiun penelitian masih berada dalam batas
normal untuk perkembangan makrozoobentos yaitu kisaran antara 28°C -31°C.
Kisaran ini merupakan kisaran yang optimum untuk pertumbuhan makrozoobentos
(Zimmerman 1987) dan suhu yang kritis bagi makrozoobentos berkisar 35°C-40°C
(Hawkes 1978), karena dapat menyebabkan kematian. Pengaruh suhu bagi
kehidupan organisme sangat vital yaitu proses metabolisme.
29
Gambar 3. Suhu pada setiap stasiun
2. Derajat keasaman (pH)
Nilai rata-rata pH yang diukur pada Stasiun I yaitu 6.80.Pada Stasiun II yaitu
6.63.Pada Stasiun III yaitu 7.58.Pada Stasiun IV yaitu 7.41 dan pada Stasiun
V7.40.Nilai pH yang diperoleh pada setiap stasiun tergolong masih normal untuk
perairan tropis.Selanjutnya Nontji (2005) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH)
merupakan suatu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan.
Kisaran pH yang berada antara 7–9 cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan
lamun di perairan.pH di kawasan lamun ikut berpengaruh terhadap keberadaan
makrozoobentos.
Nilai kisaran pH menunjukkan adanya kelimpahan individu dari organisme
makrozoobentos khususnya dari kelas Gastropoda dan Bivalvia, hal ini sesuai
31,93 32,50 30,80 30,15 28,6326,00
27,00
28,00
29,00
30,00
31,00
32,00
33,00
34,00
I II III IV V
Suh
u C
Stasiun
30
dengan data yang diperoleh di lapangan dimana komunitas makrozoobentos yang
ditemukan pada kedua stasiun penelitian umumnya dari klas Gastropda dan klas
Bivalvia.
Gambar 4. Ph pada setiap stasiun
3. Sedimen
Dari hasil analisi sampel, jenis sedimen yang ditemukan dilokasi penetian dapat
digolongkan kedalam pasir sangat kasar (1mm-2mm), pasir kasar (diameter 0,5mm-
> 2mm), pasir sedang (diameter 0,25mm–0,5mm), dan pasir halus (diameter 0,063
mm-0,25mm). selanjutnya dari data tersebut, diteruskan dengan menggunakan
Software Gradistat untuk mengetahui jenis sedimen yang mendominasi untuk tiap
stasiun penelitian yang disajikan pada Tabel 7
6,80 6,63 7,58 7,41 7,405,80
6,00
6,20
6,40
6,60
6,80
7,00
7,20
7,40
7,60
7,80
I II III IV V
Ph
Stasiun
31
Tabel 7. Tipe butiran sedimen untuk seluruh stasiun
Stasiun Substasiun Ukuran median (mm) Jenis sedimen
I
I.1 1.13 Pasir sangat kasar
I.2 1.13 Pasir sangat kasar
I.3 1.14 Pasir sangat kasar
II
II.1 0.59 Pasir kasar
II.2 0.61 Pasir kasar
II.3 0.60 Pasir kasar
III
III.1 0.28 Pasir sedang
III.2 0.28 Pasir sedang
III.3 0.29 Pasir sedang
IV
IV.1 0.25 Pasir halus
IV.2 0.30 Pasir sedang
IV.3 0.31 Pasir sedang
V
V.1 0.23 Pasir halus
V.2 0.26 Pasir sedang
V.3 0.25 Pasir sedang
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan software Gradistat jenis
sedimen yang banyak ditemukan di tiap stasiun adalah Tipe pasir sedang yang
ditemukan di 7 substasiun penelitian, dan untuk nilai tertinggi sampai terendah pada
jenis pasir sedang adalah 0,47-0,27 mm. Kemudian sedimen terbesar selanjutnya
ialah pasir sangat kasar, yang diperoleh di 3 substasiun 1-2 mm, dan sedimen
terbesar selanjutnya ialah pasir kasar di 3 substasiun berkisar 0,96-0,54 mm, Lalu
jenis sedimen yang paling sedikit adalah pasir halus 2 substasiun yang berkisar
0,22-0,19 mm.
32
4. Bahan organik total (BOT) sedimen
Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Oseanografi Kimia untuk
mendapatkan nilai bahan organik total (BOT) sedimen. Nilai BOT sedimen yang
diperoleh pada semua stasiun pengamatan yaitu berkisar antara 6,00 – 29,04%.
Berdasarkan hasil diperoleh, nilai BOT bervariasi pada kelima stasiun pengamatan.
Nilai BOT tertinggi ditemukan pada stasiun I dengan nilai 29,04%, selanjutnya pada
stasiunIII dan II juga didapatkan nilai BOT yang besar secara berurut yaitu 26,12%
dan 23,57%. Menurut Reynold (1971) ketiga stasiun ini tergolong dalam kriteria yang
memiliki kandungan bahan organik yang tinggi yaitu berkisar antara 17-35%.
Kandungan bahan organik yang tinggi pada sedimen, biasanya mengindikasi bahwa
sedimen tersebut kaya akan benthos (Lind, 1979). Terlihat dari banyaknya jenis
makrozoobenthos yang ditemukan pada ketiga stasiun. Beda halnya dengan stasiun
IV dan V memiliki nilai BOT 6,00 dan 6,70% yang menurutReynold (1971) tergolong
rendah dan didapatkan jenis makrozoobentos yang sedikit pada kedua stasiun ini.
33
Gambar 5. Rata-rata bahan organik total (BOT) sedimen pada tiap-tiap stasiun pengamatan.
C. Distribusi, komposisi jenis dan kelimpahan makrozoobentos
Distribusi makroozobentos pada tiap-tiap Stasiun disajikan pada Tabel 8
Makroozobentos yang paling mendominasi untuk stasiun pengamatan yaitu, kelas
gastropoda sebanyak 31 jenis, kelas bivalvia 4 jenis, kelas brachiopoda 1 jenis dan
hydrophidae 1 jenis.
29,04
23,5726,12
6,70 6,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
I II III IV V
Nila
i BO
T Se
dim
en
(%
)
Stasiun
34
Tabel.8. Distribusi makrozoobentos pada tiap-tiap stasiun
No Jenis Stasiun
I II III IV V
Gastropoda 1 Atys sp √
2 Bittium sp √
3 Cerithium rostratum √
4 Cerithium sp √ √ √
5 Cancilla sp √
6 Mitra sp √
7 Conus sp √
8 Donax sp √
9 Euplica sp √
10 Gibberulus gibberulus √
11 Hebra corticata √
12 Hebra sp √
13 Nassarius albecens √
14 Nassarius elegantisimus √ √
15 Nassarius gracilis √
16 Nassarius sp √ √ √ √
17 Iniforis sp √
18 Mastonia sp √
19 Myurella sp √ √
20 Notocochlis venustula √
21 Polineces flemingianus √
22 Polinices aurantius √
23 Olivia sp √
24 Pisania sp √
25 Retinella sp √
26 Retusa sp √ √ √
27 Tornatina sp √
28 Rissoina angasi √
29 Trivia sp √
30 Vexillum leucodesma √
31 Vexillum sp √ √ √
Bivalvia
32 Callista sp √
33 Tellina radiata √ √ √
34 Tellina ramies √ √
35 Tellina tokunagai √
Brachiopoda
36 Lingula sp √
Hydrophidae
37 Bintang menular √
Jumlah Jenis 14 14 15 4 4
35
Berdasarkan tabel distribusi jumlah jenis makrozoobentos terbanyak ditemukan
Pada Stasiun III. Melimpahnya distribusi makrozoobentos Pada Stasiun III yang
ditemukan3kelas dan 15 jenis yang memiliki kondisi ekologi baik sehingga mampu
mendukung kehidupan makrozoobentos. Faktor utama yang mendukung kondisi
tersebut antara lain, substrat berpasir yang stabil, membaiknya kondisi ekologi dan
bahan organik total yang sangat baik pada stasiun tersebut.
Sedangkan untuk pada Stasiun IV dan V yang merupakan stasiun yang paling
sedikit ditemukan jenis makrozoobentos.Faktor sedikitnya jumlah jenis
makrozoobentos pada Stasiun IV karena nilai bahan organik sedikit dan pada
stasiun ini juga dipengaruhi oleh sedimentasi dari muara sungai yang berdekatan
dengan titik pengamatan. Selanjutnya pada stasiun V faktor perairan yang keruh,
tingginya sedimentasi akibat hujan.Semua faktor tersebut menyebabkan substrat
dasar perairan menjadi kurang stabil dan kurang mendukung untuk pertumbuhan
dan penyebaran makrozoobentos.
Distribusi makrozoobentos secara umum didominasi oleh kelas gastropoda.
Dominannya kelas gastropoda karena memiliki kemampuan adaptasi yang cukup
baik terhadap lingkungannya. Pada kelas gastropoda terdapat kulit kedap air yang
berfungsi sebagai pembatas, banyak diantaranya yang bernafas melalui udara dan
memakan plankton atau bahan organik. Dominannya kelas gastropoda menurut
Nybakken (1992), juga disebabkan oleh daya tahan tubuh dan adaptasi cangkang
yang keras dan lebih memungkinkan untuk bertahan hidup dibanding kelas lain.
Gastropoda mempunyai operkulum yang menutup rapat celah cangkang, ketika
36
pasang turun mereka masuk dalam cangkang lalu menutup celah menggunakan
operkulum sehingga kekurangan air dapat diatasi.
Kelas Bivalvia merupakan kelompok organisme kedua yang paling banyak
ditemukan setelah kelas gastropoda.Karena kelas bivalvia termasuk dalam
kelompok organisme yang dapat hidup pada daerah dengan sedimen mulai dari
lumpur sampai pasir kasar. Kelas Bivalvia masuk dalam kategori organisme
pemakan suspensi dan deposit (Nybakken, 1992).
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan 37 jenis makrozoobentos yang
tersebar di lima stasiun pengamatan (Gambar 7 a). Makrozoobentos yang
ditemukan terdiri atas 4 kelas yaitu, kelas gastropoda sebanyak 84 jenis, kelas
bivalvia 11 jenis, kelas bracihiopoda 1 jenis dan hydrophidae 1 jenis. Sedangkan
jumlah individu yang ditemukan pada seluruh stasiun (Gambar 7 b), yaitu 81
individu/cm2 dimana gastropoda berjumlah 70Individu/cm2 , bivalvia 9Individu/cm2,
bracihiopoda 1 Individu/cm2, hydrophidae 1 Individu/cm2.
Gambar 6. Komposisi (a) jumlah jenis dan (b) jumlah individu makrozoobentos pada seluruh stasiun
37
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada keseluruhan stasiun
pengamatan terdiri atas 4 kelas yakni, gastropoda, bivalvia, branchipoda dan
hydropidae. Pada Stasiun I ditemukan 2 kelas yaitu gastropoda sebanyak 93.10%
atau sama dengan 27 individu dan kelas bivalvia 6.90% dengan 2 individu, Pada
Stasiun II ditemukan 2 kelas yaitu gastropoda sebanyak 81.25 % atau sama dengan
13 individu dan kelas bivalvia 18.75% dengan 3 individu, Pada Stasiun III ditemukan
3 kelas yaitu kelas gastropoda 92.31% atau sama dengan 24 individu, kelas bivalvia
3.85% atau sama dengan 1 individu, kelas brachiopoda 3.85% atau sama dengan 1
individu, Pada Stasiun IV ditemukan 3 kelas yaitu gastropoda 20.00% atau sama
dengan 1 individu, kelas bivalvia 60.00% atau sama dengan 3 individu, kelas
hydrophidae 20.00% atau sama dengan 1 individu sedangkan Pada Stasiun V
ditemukan 1 kelas yaitu kelas gastropoda 100.00 atau sama dengan 5 individu.
Jenis makrozoobentos pada setiap stasiun disajikan pada gambar 8.
Gambar 7. Komposisi jenis makrozoobentos pada setiap stasiun
93,10
81,2592,31
20,00
100,00
6,90
18,75
3,85
60,00
3,85
20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
I II III IV V
Ko
mp
osi
si je
nis
(%
)
Stasiun
Gastropoda Bivalvia Brachiopoda Hydrophidae
38
Seperti yang terdapat pada Gambar 8 komposisi jenis makrozoobentos pada
Kelas Gastropoda dan Bivalvia merupakan organisme yang paling sering ditemukan
pada setiap stasiun.Dominannya kedua kelas tersebut, selain karena kemampuan
adaptasinya yang tinggi serta ditemukan pada semua jenis substrat dengan relung
makanan yang luas (Ruppert & Barnes, 1994).Pada daerah dasar subtidal, di mana
jenis yang dominan adalah pemakan suspensi dan pemakan deposit, persaingan
biasanya karena tempat makan dalam bentuk detritus atau plankton selalu
melimpah (Nybakken, 1992).
Jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan di stasiun pengamatan
berkisar 6-1 jenis di setiap stasiunnya.Stasiun III merupakan stasiun dengan
kekayaan jenis makrozoobentos tertinggi dengan 6 jenis. Sedangkan kekayaan jenis
makrozoobenthos terendah ditemukan di Stasiun IV dengan 1 jenis (Gambar 9)
Gambar 8 Jumlah jenis makrozoobentos setiap stasiun pengamatan.
6 5 6 1 10
1
2
3
4
5
6
7
I II III IV V
Rat
a-ra
ta ju
mla
h je
nis
Stasiun
abaaa
ba
ba
aa
39
Hasil analisis ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata terhadap
jumlah jenis antara stasiun penelitian (Gambar 9).Stasiun I dan III merupakan
stasiun yang memiliki jumlah jenis yang tinggi dan berbeda nyata dengan Stasiun IV
dan V yang merupakan stasiun dengan jumlah jenis yang rendah.
Tingginya kekayaan jenis makrozoobentos pada Stasiun I dan III karena
memiliki bahan organik total yang sangat banyak, sedangkan pada stasiun IV yang
merupakan stasiun dengan kekayaan jenis makrozoobentos terendah hanya
ditemukan 1 jenis karena bahan organik total sangat kurang.
Hal tersebut berdampak pada ketersediaan bahan makanan yang dapat
dimanfaatkan oleh organisme bentik. Hasil analisis One-way Anova, menujukkan
bahwa jumlah jenis makrozoobenthos total tidak berbeda nyata antara stasiun
dengan nilai p sebesar 004.
40
Kemudian untuk nilai kelimpahan yang diperoleh dari seluruh stasiun
pengamatan dengan menggunakan perhitungan nilai kelimpahan kumulatif (Azis,
1998).
Gambar 9 Kelimpahan jenis makrozoobentos pada 5 stasiun pengamatan
Hasil yang didapatkan berdasarkan uji one way anova nilai P <
0.05.Memperlihatkan bahwa, Kelimpahan makrozoobentos disepanjang garis pantai
perairan kab.mamuju pada Stasiun 5 penelitian berbeda nyata (P,<0,05) post hoc
test menunjukkan bahwa Stasiun 1 berbeda nyata dan Stasiun 4 dan 5. Sedangkan
Stasiun 1 terhadap 2 dan 3 tidak berbeda nyata. Stasiun 2 terhadap stasiun 3, 4 dan
5 tidak berbeda nyata (>0,05). Lampiran 3 kelimpahan makrozoobentos lebih tinggi
pada stasiun 1 didapatkan karena adanya bahan organik sedimen yang tinggi,
biasanya mengidikasikan habitat kaya dengan hewan benthos (Lind,1979).Begitu
pula pada Stasiun 4 dan 5, makrozoobentos pada stasiun ini tidak melimpah.Hal ini
diduga kemungkinan erat kaitannya dengan ketersediaan bahan organik yang ada
a
ab
ab
bcbc
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
I II III IV V
Ke
limp
ahan
(in
d/m
2)
41
pada lokasi ini. Hasil analisis sampel bahan orgnaik total juga memperlihatkan
bahwa, kandungan bahan organik pada stasiun 4 dan 5 lebih rendah dibandingkan
dengan stasiun lainnya. Hasil penelitian (Lind,1979) juga menduga bahwa
ketersediaan bahan organik serta jenis sedimen mempengaruhi keberadaan
ataupun kelimpahan makrozoobentos pada suatu daerah.
D. Keragaman dan sebaran Makrozoobentos dengan tipe sedimen
Berdasarkan hasil analisis menggunakan Sotfware Gradistat untuk
mengetahui jenis sedimen yang dominan pada ditiap stasiun penelitian dan sedimen
dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis sedimen yaitu pasir sangat kasar, pasir kasar,
pasir sedang, dan pasir halus. Pada 15 lokasi titik penelitian,3 substasiun didominasi
oleh jenis pasir sangat kasar,3 substasiun pasir kasar,7 substasiun termasuk pasir
sedang dan 2 substasiun termasuk jenis pasir halus.
42
1. Sebaran Jumlah individu dan kepadatan Makrozoobentos Menurut Jenis Sedimen
Jumlah individu makrozoobentos yang ditemukan pada pasir kasar, sedang
dan pasir halus di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah individu makrozoobentos dengan jenis sedimen
Jumlah jenis
Stasiun Jenis Sedimen
Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus
I
I.1 6
I.2 6
I.3 7
II
II.1 5
II.2 7
II.3 2
III
III.1 7
III.2 5
III.3 6
IV
IV.1 1
IV.2 2
IV.3 1
V
V.1 0
V.2 3
V.3 1
Total Individu Makrozoobenthos
19 14 25 1
Total Grab 3 3 7 2
Rata-rata 6.33 4.67 3.57 0.50
StDev 0.58 2.52 2.44 0.71
SE 0.33 1.45 0.92 0.71
43
Seperti pada tabel yang diatas jumlah jenis makrozoobentos terbanyak
ditemukan pada jenis pasir sedang.Dominannya jenis sedimen tersebut
mengindikasikan bahwa substrat berpasir merupakan habitat yang stabil untuk
makrozoobentos. Pada substrat yang berbentuk pasir terdapat pemakan suspensi
yang lebih melimpah, bahan organik yang melimpah dan dimana pemakan deposit
akan menemukan lebih sedikit makanan serta sukar menggali (Nybakken, 1992). ini
terbukti dari banyak jenis makrozoobentos ditemukan dari kelas gastropoda.
pemakan suspensi dapat membentuk dirinya sendiri karena memiliki kemampuan
untuk menggali sedimen dan menyaring partikel-partikel yang tersuspensi dengan
menggunakan sifon yang terdapat pada bagian tubuh dan menjulurkannya ke
permukaan untuk memperoleh makanan. Bahan organik yang terdeposit diperoleh
dengan cara menggali lubang kemudian menyaring bahan organik tersebut
(Nybakken, 1992).
44
Nilai kepadatan makrozoobentos pada pasir sangat kasar, pasir kasar, pasir
sedang dan pasir halus di Lokasi penelitian disajikan Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah kepadatan makrozoobentos dengan jenis sedimen
Kepadatan
Stasiun
Jenis Sedimen
Pasir sangat kasar
Pasir kasar
Pasir sedang Pasir halus
I
I.1 350.72
I.2 482.24
I.3 438.40
II
II.1 306.88
II.2 306.88
II.3 87.68
III
III.1 569.93
III.2 263.04
III.3 306.88
IV
IV.1 43.84
IV.2 87.68
IV.3 87.68
V
V.1 0.00
V.2 175.36
V.3 43.84
kepadatan (ekor/m2)
1271.37 701.45 1534.41 43.84
Total Grab 3.00 3.00 7.00 2.00
Rata-rata 423.79 233.82 219.20 43.84
StDev 66.97 126.56 182.52 31.00
SE 38.66 73.07 68.99 31.00
45
Berdasarkan gambar diatas diketahui dari empat jenis pasir (pasir sangat
kasar, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus) nilai kepadatan makrozoobentos
tertinggi diperoleh pada pasir sedang dengan nilai kepadatan sebesar 1534,41
ekor/m2 pada 7 substasiun pengamatan rata-rata yaitu 219,20. Kemudian untuk nilai
kepadatan terbesar selanjutnya di peroleh jenis pasir sangat kasar dengan nilai
kepadatan 1271,37 ekor/m2 dari substasiun 3 dari nilai rata-rata 423,79. Kemudian
untuk nilai kepadatan terbesar selanjutnya diperoleh jenis pasir kasar dengan nilai
kepadatan 701,45 ekor/m2 dari 3 substasiun nilai rata-rata 233,82 dannilai
kepadatan yang terendah pada2 substasiun diperoleh dari jenis pasir halus dengan
nilai hanya 43,84 ekor/m2 dengan nilai rata-rata 43,84.
Nilai kepadatan yang tertinggi diperoleh pada stasiun III.1 dan I.2 yang
dimana dari dua substasiun ini memiliki kondisi ekologi yang masih baik.Seperti
pada stasiun III.1 faktor yang mendukung adalah substrat yang masih bagus.
Sedangkan I.2 faktor yang mendukung adalah padang lamunnya masih bagus.
2. Keterkaitan ukuran butiran sedimen dengan nilai kepadatan makrozoobentos, jumlah jenis dan BOT Berdasarkan grafik hubungan antara ukuran besar butir sedimen dengan jumlah
jenis, Menujukkan semakin besar butir sedimen maka semakin tinggi Jumlah jenis
makrozoobentos, menurut Sumich, 1976 bahwa kelimpahan dan distribusi
makrozoobenthos dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kandungan bahan organik di
dasar perairan. Untuk lebih jelas mengenai hubungan antara ukuran besar butir
sedimen dengan jumlah jenis dan kepadatan dan dilihat pada gambar 10 dan 11.
46
Gambar 10. Grafik keterkaitan ukuran sedimen dengan jumlah jenis
Gambar 11. Grafik keterkaitan ukuran sedimen dengan kepadatan makrozoobentos
y = x + 2E-14R² = 0,4668
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7
Jum
lah
jen
is
Ukuran butiran sedimen (mm)
y = 65,917x - 22,535R² = 0,4272
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00
Ke
pad
atan
Mak
rozo
be
nto
s (e
kor/
m2
)
Ukuran butiran sedimen (mm)
47
Dari grafik diatas dapat dilihat dari hasil analisis linier sederhana menujukkan
hubungan keterkaitan antara parameter ukuran besar butir sedimen dengan jumlah
jenis makrozoobentos menujukkan korelasi (R2) yang sangat rendah yaitu 0,46.
Hasil analisis pada setiap lokasi menujukkan keterkaitan yang ukuran besar butir
sedimen dan kepadatan makrozoobentos yang kuat di tunjukan pada titik 5 dengan
nilai korelasi (R2) 0,42.Hasil analisis menujukkan persamaan antara ukuran butiran
sedimen dan bot sedimen dalamy = 19.74x + 8.216, dengan koefisien regresi liniear
R² = 0.446. Nilai tersebut menujukkan bahwa setiap perubahan nilai ukuran butiran
sedimen akan mempengaruhi perubahan nilai bot sedimen sebesar 44.6% yang
menunjukkan hubungan antara ukuran sedimen dan nilai bot sedimen sedang.
Gambar 12. Grafik hubungan ukuran butiran sedimen dengan niliai bot sedimen.
Bahan organik penting dalam sedimen karena pengaruhnya terhadap
kehidupan di lingkungan sedimen tersebut. Bahan organik memainkan peranan
penting dalam fungsi ekosistemyaitu sebagai sumber bahan makanan dan energi
y = 19,744x + 8,2164R² = 0,4465
0
5
10
15
20
25
30
35
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
nila
i bo
t se
dim
en
(%
)
ukuran butir sedimen (mm)
48
bagi organisme. Nilai bahan organik tersebut cukup untuk pengaruh populasi
organisme dasar. Kandungan bahan organik yang tinggi pada sedimen,
mengindikasikan bahwa habitat tersebut kaya akan hewan bentos (Lind, 1979).
E. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)
Nilai Indeks ekologi (Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan
Dominansi C) secara umum untuk semua stasiun pengamatan disajikan dalam
bentuk grafik dibawah ini :
Gambar 13. Indeks ekologi pada setiap stasiun (indeks keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi)
Nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan dominansi secara
umum (Gambar 11) menunjukkan bahwa pada berapa stasiun pengamatan
ditemukan nilai indeks ekologi yang bervariasi mulai dari nilai tertinggi maupun nilai
yang terkecil.Untuk nilai indeks keanekaragaman yang tertinggi pada stasiun
I.Iberkisaran 1.73.Berdasarkan katagori indeks Kenakeragaman, ini tergolong tinggi.
Menurut (Odum, 1971) keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
I II III IV V
Nila
i In
de
ks e
kolo
gi
Stasiun
H
E
C
49
spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairannya masih belum
tercemar mengindikasi bahwa lingkungan tersebut masih baik.
Untuk indeks keseragaman stasiun I di dapatkan nilai indeks keseragaman
dengan nilai yaitu 0.90, untuk stasiun II nilai indeks keseragaman 0.98, untuk stasiun
III nilai indeks keseragaman yaitu 0.93, untuk stasiun IV nilai indeks 0.96 dan untuk
stasiun V nilai indeks 0.96. Ini mengindikasikan bahwa komunitas tersebut tergolong
stabil.Tinggi nilai indeks keseragaman untuk tiap-tiap stasiun menandakan, selain
jenis yang ditemukan tinggi, jumlah kelimpahan individunya merata atau tidak ada
jenis makrozoobentos yang mendominasi.Komunitas yang stabil menandakan
ekosistem tersebut mempunyai keanekaragamn yang tinggi, tidak ada jenis yang
dominan serta pembagian jumlah individu merata (Odum, 1971).
Untuk indeks dominansi stasiun I didapatkan dengan nilai 0.12, stasiun II
didapatkan dengan nilai 0.08, stasiun III didapatkan dengan nilai 0.11, stasiun IV
didapatkan dengan nilai 0.28 dan stasiun V didapatkan dengan nilai 0.28.
berdasarkan katagori indeks dominasi (Odum, 1971) nilai yang diperoleh setiap
stasiun tergolong rendah. Secara keseluruhan pada stasiun penelitian nilai indeks
dominansinya rendah.Dominansi jenis yang rendah pada komunitas
makrozoobenthos menandakan ekosistem tersebut mempunyai keseragaman yang
merata.
50
F. Tingkat Produktifitas Perairan
Penilaian tingkat produktivitas perairan dianalisis berdasarkan grafik Frontier,
berupa persentase kelimpahan relatif jenis-jenis bentos menurut rankingnya. Bentuk
grafik yang dihasilkan pada setiap stasiun sajikan pada Gambar 12 berikut.
Gambar 14 Tingkat Produktivitas Perairan
Berdasarkan pola grafik pada Gambar 14 menunjukan bahwa, untuk stasiun
I,II dan III telah berada pada Stadium III, yaitu suatu stadium yang mengindikasikan
bahwa ekosistem masih dalam kondisi baik, namun pruduktifitas biologi dan
keanekaragamannya sudah menurun dengan kompetisi antara jenis tergolong
rendah (Frointier,1985). Stadium ini dapat diartikan bahwa, dari 3 stasiun (I,II dan II).
Ekosistem sudah terganggu dari aktivitas masyarakat setempat dan telah memberi
pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya.
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
Stasiun V
51
Tabel 15. Stadium produktifitas perairan pada tiap stasiun
Stasiun Stadium Karakteristik
IV dan V I
Produktivitas biologi rendah, kondisi labil, kompetisi antara jenistinggi, keanekaragaman rendah dan SR (keberlangsungan hidup organisme) minium.
II
Produktivitas biologi tinggi, kondisi stabil, kompetisi antara jenis rendah, keanekaragamantinggi dan SR (keberlangsungan hidup organisme) maksimal.
I,II dan III
III
Produktivitas biologi menurun, kondisi masih baik, kom-petisi antara jenis rendah, keanekaragaman menurun dan SR (keberlangsungan hidup organisme) sedang.
Sedangkan pada tabelstasiun IV dan V. grafiknya memperlihatkan bahwa
ekosistem sudah berada dalam stadium I. Stadium I yang artinya suatu kondisi
dengan produktivitas biologi yang rendah dengan kondisi yang labil,
keanekaragaman yang rendah dengan kompetisi antara jenis yang tinggi (Frontier,
1985).Stadium ini menegaskan bahwa pada stasiun IV dan V ekosistemnya sudah
terganggu dengan kondisi yang labil. Ke tidak stabilan pada stasiun tersebut karena
pengaruh sedimentasi dari muara.
52
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini diperolehkesimpulan:
1. Makroozobentos yang paling mendominasi untuk stasiun pengamatan yaitu,
kelas gastropoda sebanyak 31 jenis, kelas bivalvia 4 jenis, kelas brachiopoda
1 jenis dan hydrophidae 1 jenis.
2. Indeks Ekologi Makrozoobentos di perairan Kabupaten Mamujubervariasi.
3. Terdapat keterkaitan sebaran makrozoobentos dengan ukuran butiran
sedimen, yaitu jumlah jenis makrozoobentos ditemukan tinggi pada pasir
sedang.
4. Produktifivitas biologi distasiun IV dan V sudah rendah sedangkan stasiun
I,II,III. Produktivitas biologi sudah menurun meskipun kondisinya sudah baik.
B. Saran
Demi menjaga kelestarian alam diharapkan kesadaran lebih awal akan
kepedulian terhadap lingkungan demi keberlangsungan makhluk hidup dan
makrozoobentos pada khususnya. Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
53
DAFTAR PUSTAKA
Aziz K.A., 1989. Teknik Penarikan Contoh Populasi Biologis (Bahan Pengajaran)
Depdikbud, Dirjen Dikti, PAU-Ilmu Hayat. IPB Bogor. 156 hal.
Barus, T.A. 1996. MetodologiEkologis Untuk Menilai Kualitas Perairan Lotik.Jurusan
biologi.FMIPA.USU.
Bengen, D.R., Widodo dan S. Haryadi., 1995. Tipologi Fungsional Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perairan Pesisir Muara Jaya, bekasi. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian IPB. Bogor
Brower,J.E.J.H. Zar. C.N van Ende., 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology.Third edition.WMC.Brown ublisher, Dubuque, Indiana. USA.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT Sarana Graha. Jakarta.
Frontier S. 1985.Diversity and Structure in Aquatic Ecosystems.Oceanogr. Mar. Biol.
Ann. Rev. 23: 253-312
Hawkes, H. A., 1978 River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By. B.
A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
Hutabarat dan Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta
Jordan, C.F. 1985. Canges in Nutrient Cycles due to Disturbance. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem: Principles and Their Application in Management and Conservation. John Willey and Sons. New York.
Knox, G. A., 1986. Estuarine Ecosistem and System Aproach. Vol I CRC. Press Inc. Bacaration. Florida.
Lind, L. T., 1979. Hand Book of Common Method in Lymnology. Second Edition.The
C. V. Mosby Company St. Louis. Toronto. London.
Nontji, Anugerah., 2005. Laut Nusantara. Cetakan Keempat. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah:
H.Muhammad Eidman. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
54
Odum, E. P., & Srigandono, B. (1993).Dasar-dasar ekologi.Gadjah Mada
University Press.
Reynold, S. C. 1971. A Manual of Introductory Soil Science and Simple Soil Analysis
Methods. South Pasific,Nouena New Caledonia
Ruppert, E.E, R.D. Barnes. 1994. Invertebrate Zoology. Saunders College Publishing.
Sastrawijaya, A. T., 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.
Siregar, B. P., 1997. Struktur Sebaran Spasial dan Asosiasi Komunitas
Makrozoobentos pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Teluk Banten,
Jawa Barat. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Soepardi. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Modul Pembelajaran. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudarja, Y., 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dari Hulu ke
Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik, Dermaga.Kab Bogor.
Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Suriawiria, U. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan
AirBuangan Secara Biologis, Penerbit Alumni, Bandung.
Sumich J,1976. An Introduction to the Biology of Marine Life Library of Congress
Catalog.Number : 91-71936 America
Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan.Hibah Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan
Perikanan.Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen
Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.
Zimmerman RC, Smith RD, Alberte RS. 1987. Is Growth of the Eelgrass Nitrogen
Limiteda Numerical Simulation of Effect of Light and Nitrogen on the Growth Dynamics of Zostera marina. Marine Ecology Progress Series 41:167-176.