pengolahan sampah daun

9

Click here to load reader

Upload: ernita-nurliani

Post on 22-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

teknologi pengolahan limbah daun menjadi pupuk kompos

TRANSCRIPT

Page 1: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

9

PENDAYAGUNAAN SAMPAH DAUN DI KAMPUS UNHAS

SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN KOMPOS

Fahruddin dan As’adi Abdullah

Jurusan Biologi, Fakultas Mipa, Universitas Hasanuddin, Tamalanrea, Makassar

90245. email: [email protected]

ABSTRACT

Areas within the campus is filled with shady trees for reforestation, it does not

provide a good view when the leaves are not cleaned, so that the necessary

utilization of waste such as leaves, compost as an action-based waste processing

environment. Therefore, research aimed at bioactivator in caparative leaf

composting process that originates in the campus area. The method used is to make

the treatment of three types of treatment that is added only bioactivator cow dung

10%, 10% addition of EM4 and mixed with cow dung and EM4 respectively 5%,

then made observations every 5 days during incubation for 30 days including

temperature, pH, water content and decrease the volume of waste. The results

showed treatment with only the addition of cow manure at least 10% better than the

two other treatment.

Keywords: garbage, bioactivator, EM4

PENDAHULUAN

Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di

Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya

perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat

mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara. Penanganan dan pengendalian akan

menjadi semakin kompleks dan rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi

dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Oleh karena itu penanganan

sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di desa-desa (Sulistiorini, 2008)

Konsep rencana pengelolaan sampah perlu dibuat dengan tujuan untuk

mengembangkan suatu sistem pengelolaan sampah yang modern, dapat diandalkan dan efisien

dengan tehnologi yang ramah lingkungan. Dalam sistem tersebut harus dapat melayani seluruh

penduduk, meningkatkan standar kesehatan masyarakat dan memberikan peluang bagi

masyarakat dan pihak swasta untuk berpartisipasi aktif. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk

mengubah cara pandang “sampah dari bencana menjadi berkah”. Hal ini penting karena pada

hakikatnya pada timbunan sampah itu kadang-kadang masih mengandung komponen-

komponen yang sangat bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi tinggi namun karena tercampur

Page 2: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

10

secara acak maka nilai ekonominya hilang dan bahkan sebaliknya malah menimbulkan

bencana yang dapat membahayakan lingkungan hidup (Suriawira, 2002).

Salah satu sumber sampah perkotaan adalah kampus, termasuk banyak

menyumbangkan sampah di daerah sekitarnya. Adapun sampahnya adalah sisa – sisa kertas,

dos makanan, kaleng, dan berbagai sampah organik seperti sisa makanan dari kantin, ranting –

ranting dan dedaunan. Di Unhas sendiri, tampaknya dedaunan dapat menjadi sumber sampah

yang besar, mengingat banyaknya pula pohon – pohon dan tanaman hias lainnya yang tumbuh

di dalam lingkungan Unhas. Adanya sampah daun yang melimpah, sangat potensial untuk

dijadikan kompos yang dapat memberikan manfaat ekonomi berbasis lingkungan, sehingga

perlu dibuat Tempat Pengolahan Sampah Organik di Kampus (TPK) menjadi kompos.

Penelitian ini dilakukan untuk mendayagunakan sampah organik dikampus untuk menghasikan

kompos secara khusus bertujuan untukMembandingkan efektifitas pengomposan dari setiap

jenis daun melalui penambahan bioaktivator dari kotoran ternak.

METODE KERJA

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah kotoran sapi,sampah organik berupa dedaunan dari

wilayah kampus Unhas yaitu: daun bungur, jati putih, dan kihujan; dan larutan EM4; Alat –

alat yang digunakan adalah Sekop untuk mencampur atau membalikkan kotoran sapi, ember

untuk membuat larutan EM4, karung goni, dan untuk pembuatan kotak pengamposan

diperlukan balok, papan, dan paku.

Cara kerja

a. Pembuatan Kotak Pengomposan

Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala besar. Bahan-bahan mentah akan

dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Adapun pembuatan kotak pengomposan adalah

kotak dibuat dengan ukuran 80 x 80 cm dan ketinggian 1 m. Terbuat dari kerangka balok yang

dipasangan dinding dari papan, setiap jarak 15 cm dibuat celah untuk pengudaraan. Kotak

pengomposan dibuat 3, atau dibuat sesuai dengan jumlah perlakuan.

b.Perlakuan

Proses pengomposan dilakukan selama 30 hari dengan penambahan bioaktivator

10% berdasarkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya (Isroi, 2008), selama proses

tersebut dilakukan pengukuran karakteristik fisika-kimia seperti suhu, pH, kelembaban,

penyusutan berat atau reduksi limbah dedaunan dan indikator lainnya seperti bau, warna serta

Page 3: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

11

ukuran partikel kompos. Daun yang digunakan adalah berasal dari tanaman yang dominan

tumbuh di dalam wilayah kampus Unhas dan dipilih tiga jenis daun. Adapun perlakuan dari

proses dekomposisi sampah daun yaitu:

P1 = Sampah campuran daun + 10% Kotoran sapi

P2 = Sampah campuran daun + 10% EM4

P3 = sampah campuran daun + 5% kotoran sapi + 5% EM4

c. Analisis Hasil Pengomposan

Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji

dilaboratorium untuk atau pun pengamatan sederhana di lapang. Berikut ini disampaikan cara

sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos :

- Penyusutan

Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat

kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya masih

kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.

- Suhu

Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu

kompos yang masih tinggi, atau di atas 50o

C, berarti proses pengomposan masih berlangsung

aktif.

- Kandungan air kompos

Kompos yang sudah matang memiliki kandungan kurang lebih 55-65%. Cara mengukur

kandungan air kompos adalah sebagai berikut:

- Ambil sampel kompos dan ditimbang, kompos dikeringkan di dalam oven atau microwave

hingga beratnya konstan, kompos ditimbang kembali. Kandungan air kompos dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari semua perlakuan memperlihatkan

kemampuan dekomposisi yang berbeda-beda. Pada EM4 menghasilkan kemampuan yang lebih

rendah dari perlakuan lainnya. Sedangkan bioaktivator yang hanya menggunakan kotoran sapi

Page 4: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

12

dapat direkomendasikan sebagai perlakuan yang memberikan hasil yang lebih baik

berdasarkan parameter fisika-kimia dan besarnya reduksi sampah.

Proses dekomposisi dilakukan selama 30 hari, selama proses tersebut dilakukan

pengukuran karakteristik fisika-kimia seperti suhu, pH, kelembaban, penyusutan berat atau

reduksi limbah dedaunan dan indikator lainnya seperti bau, warna serta ukuran partikel

kompos. Daun yang digunakan adalah berasal dari tanaman yang dominan tumbuh di dalam

wilayah kampus Unhas dan dipilih tiga jenis daun yaitu daun bungur, jati putih, dan kihujan.

Suhu

Pada awal dekomposisi atau hari ke-0, rata-rata suhu limbah setelah percampuran

adalah 250C. Pada hari ke-5 suhu proses dekomposisi sampah organik pada semua perlakuan

ada peningkatan yang menandakan proses dekomposisi sudah berjalan, yaitu sekitar 32 - 340C.

Suhu tertinggi adalah 340C pada perlakuan campuran bioaktivator antara kotoran sapi dengan

EM4. Penurunan suhu perlahan –lahan mulai terjadi pada hari ke-20 yaitu pada semua

perlakuan. Selama proses dekomposisi sampah daun pada semua perlakuan, dilakukan

pengamatan terhadap suhu dan hasilnya seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Perubahan suhu selama proses dekomposisi sampah daun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hari ke-0 suhu mulai meningkat yang

menandakan dimulainya proses dekomposisi. Peningkatan suhu maksimum selama proses

dekomposisi mencapai 480C terlihat pada hari ke-15 untuk perlakuan campuran bioaktivator

P3. Menurut Ruskandi (2006) temperatur tinggi yaitu 550C perlu dipertahankan sekurang-

Suhu

Hari

Page 5: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

13

kurangnya 15 hari berturut –turut, dan tumpukan dibalik 5 kali selama proses dekomposisi.

Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Bioaktivator inokulum campuran berbagai jenis

mikriorganisme selulllitik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan.

Suhu mempengaruhi jenis mikrorganisme yang hidup di dalam media. Suhu

poengomposan yang dicapai dalam penelitian ini sekitar 28-300C dan berlangsung secara

optimal sampai hari ke-30. Menurut Ruskandi (2006) dalam proses pengomposan aerobik

terhadap dua fase yaitu fase mesofilik 23-450C dan fase termofilik 45-65

0C. Kisaran

temperatur ideal tumpukan kompos adalah 55-650C. Kisaran temperatur ideal tumpukan

kompos adalah 55-650C. Pada temperatur tersebut perkembangbiakan mikroorganisme adalah

yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang dihasilkan untuk

menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya. Suhu yang selama awal proses

dekomposisi sangat penting, karena: membunuh bibit penyakit,menetralisir bibit hama,

mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten.Selain itu, temperatur yang tinggi

dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur serangga pada sampah, serangga dan bakteri

patogen akan mati. Temperatur udara luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam

tumpukan kompos.

pH

Nilai pH pada hari ke-0 relatif sama pada setiap perlakuan yaitu antara pH 6,6 -6,7.

Fluktuasi perubahan pada masing – masing perlakuan disajikan pada Gambar 2. Selama proses

dekomposisi sampah organik daun pada hari ke-0 mengalami penurunan, pH terendah adalah

4,6 pada perlakuan penambahan hanya kotoran sapi pada hari ke-15 disusul pada perlakuan

penambahan EM4 yaitu pH 5 pada hari ke-20, sedangkan pada perlakuan campuran yaitu pH

5,5 dicapai pada hari ke-10. Pada akhir proses dekomposisi pH akan mengalami peningkatan

ke arah pH netral, dari pengamatan mulai terjadi peningkatan pH pada hari ke -20 untuk

perlakukan penambahan kotoran sapi P1 sampai hari ke-30 dari pH 4,6 menjadi pH 6,8 dihari

ke-30, pada perlakuan campuran bioaktivatot P3 lebih cepat mengalami peningktan pH yaitu

sejak hari ke-15 yaitu pH 6,1, sedangkan pada perlakuan penambahan EM4 P2 relatif tidak

terjadi peningkatan pH yang menonjol sejak hari hari ke-20 hingga hari ke-30.

Derajat keasaman atau pH pada awal dekomposisi turun karena sejumlah mikroba

tertentu bahan limbah organik menjadi asam organik, namun proses selanjutnya, mikroba jenis

lainnya menggunakan asam organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali.

Page 6: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

14

Menurut Shiddieqy (2005), aktifitas mikroba indigenous di dalam sampah organik. Selanjutnya

asam organik digunakan mikroba jenis lain sehingga derajat keasaman kembali netral. Hal ini

disebabkan sejumlah mikroorganisme tertentu mengubah sampah organik menjadi asam

organik. Setelah beberapa hari pH kembali naik karena asam- asam organik dikonsumsi oleh

mikroorganisme sehingga pH menjadi naik kembali sampai kompos tersebut matang.

Gambar 2. Perubahan pH selama proses dekomposisi sampah daun

Rata-rata hasil perubahan pH yang memperlihatkan peningkatan kembali pH masing-

masing perlakuan.Menurut Ruskandi (2006) pH yang terlalu basa akan mengeluarkan amonia

yang berbau tida sedap. pH yang terlalu basa maupun terlalu asam akan mengeluarkan bau dan

ini akan mengundang lalat. Dalam proses ini diperkirakan aktivitas biologis berkurang,

nitrogen habis dan sebagian mikroorganisme mati.

Rata-rata pH akhir dari proses dekomposisi bahan sampah pada semua perlakukan

hampir sama, yaitu sekitar pH 6,4-6,8. Menurut Hadisumarno (1992) menyatakan bahwa pH

ideal dekomposisi aerobik antara 6,0-8,0, karena pada derajat tersebut mikroba dapat tumbuh

dan mengadakan aktifitasnya dalam mendekomposisi bahan organik.

Kelembaban

Selama proses dekomposisi sampah daun mencapai 26-30% untuk semua perlakuan

hingga hari ke-30. Pada hari ke-15 kelembaban perlakuan sekitar 43-48%. Kelembaban mulai

menurun pada hari ke-20, terutama pada perlakuan campuran bioaktivator.Nilai kelembaban

disajikan pada Gambar 3. Menurut Shiddieqy (2005) jika tumpukan terlalu lembab maka

Hari

pH

Page 7: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

15

proses dekomposisi kan terhambat, ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara

di dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan

tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik.

Gambar 3. Perubahan kandungan air selama proses dekomposisi sampah daun

Kelembaban yang berlebihan juga menurunkan suhu dalam tumpukan sampah organik

dan menimbulkan bau, oleh karena itu, setiap satu minggu dilakukan pembalikan karena

dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos akan mengembalikan kondisi tumpukan

menjadi normal kembali. Pembalikan memberikan sirkulasi udara segar yang diperlukan untuk

mengurangi kadar air dan menghindari kondisi anaerob. Menurut Isroi (2008) kondisi anaerob

tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap.

Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti asam-

asam organik, amonia dan H2S.

Kelembaban mulai berkurang ditandai jika pada saat tumpukan ditusuk dengan

menggunakan batang kayu, maka tusukan kayu tersebut masih terasa lengket dan agak basah.

Selanjutnya dinyatakan oleh Ruskandi (2006) kadar air atau kelembaban yang ideal adalah

antara 40-60% dengan kadar yang terbaik adalah 50%. Kisaran tersebut harus dipertahankan

untuk memperoleh jumlah populasi mikroorganisme terbesar, karena semakin besar

populasinya maka makin cepat proses pembusukannya.

Volume Sampah

Penyususutan berat reduksi hasil deekomposisi berkaitan erat dengan penurunan tinggi

tumpukan. Tinggi tumpukan pada hari ke-0 adalah sekitar 35 cm. Rata-rata penurunan berat

awal sampah daun selama lima minggu proses dekomposisi disajikan pada Gambar 4.

Hari

Kandungan Air(%)

Page 8: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

16

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan berat dari berat awal

sampah pada semua perlakuan sangat maksimal terjadi pada hari ke-20. Rerata reduksi sampah

daun terjadi paling maksimal pada perlakuan penambahan bioaktvator kotoran sapi P1 yaitu

sebesar 22 cm .

Menurut Syukur et al., ( 2006) bahan organik diurai menjadi unsur –unsur yang dapat

diserap oleh mikroorganisme, maka ukuran bahan organik berubah menjadi partikel kecil, yang

menyebabkan volume tumpukan menyusut kurang lebih tiga perempatnya sepanjang proses

pencernaan tersebut. Berat berkurang sampai setengahnya, ini karena proses perombakan

tersebut menghasilkan panas yang menguapkan kandungan air dan CO2 dalam pengolahan

sampah.

Gambar 4. Perubahan volume selama proses dekomposisi sampah daun

Berdasarkan pada keempat pengamatan tersebut, juga dilakukan pengamatan lain

seperti bau yaitu terasa bau seperti layaknya kompos pada umumnya yang sudah jadi, tidak

memberikan bau yang busuk untuk dimanfaatkan dalam pemupukan, begitu pula pada

pengamatan pada warna memperlihatkan warna hitam kecoklatan seperti warna tanah humus,

sedangkan ukuran partikel kompos memperlihatkan bahan organik yang hancur yang layak

digunakan pula dalam pemupukan.

Volume (cm)

Hari

Page 9: pengolahan Sampah Daun

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.1(1) Maret 2010 ISSN 2086-4604

17

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pendayagunaan sampah daun sebagai bahan

pengomposan maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil pengomposan menunjukkan

perlakuan dengan hanya penambahan kotoran sapi 10% paling baik dibandingkan pada dua

perlakuan lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan Terima Kasih Kepada Dekan Fakultas Mipa Atas Bantuan Biaya

Penelitianya Melalui Proyek Penelitian Berbasis Laboratorium Dana PNBP Tahun Anggaran

2009.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik

Domestik. SNI 19-7030-2004

Benoît Pharand, Odile Carisse, and Nicole Benhamou. 2002. Cytological Aspects of Compost-

Mediated Induced Resistance Against Fusarium Crown and Root Rot in Tomato.

Biochemistry and Cell Biology Vol. 92, No. 4, 2002 p. 424 - 438

CIWBM (The California Integrated Waste Management Board). 2003. The Important of

Compost Maturity. Publication #443-03-007, February 2003.

Craig Coker. 200. Composting Industrial and Commercial Organics. Waste Reduction

Partners, Quarterly Meeting.

Crawford. J.H. . Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and

Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77.

Hadisumarno, D. 1992. Tehnik Pembuatan Kompos. Penerbit CIPS, Jakarta

Isroi, 2008. Kmpos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.

Ruskandi. 2006. Tehnik Pembuatan Kompos Limbah Kebun Pertanaman Kelapa Polikultur.

Buletin Tehnik Pertanian Vol.11 (10).pp. 112-115.

Shiddieqy, M.I. 2005. Sayang, Sampah Organik Tidak Dikomposkan. www. pikiran-

rakyat.com (10 oktobor 2009)

Sulistiorini,L. 2008. Pengelolaan sampah dengan cara menjadikan kompos. Jurnal Kesehatan

Lingkungan. Vol.2.

Suriawira, U. 2002. Pupuk organik kompos dari sampah. Penerbit Alumni. Bandung.

Syukur, A dan Nur I. 2006. Kajian Pengaruh Pemberian Macam Pupuk Organik Terhadap

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol.6(2) p.

124-131.