penggunaan eswl pada batu saluran kemih

Download Penggunaan ESWL Pada Batu Saluran Kemih

If you can't read please download the document

Upload: cendol34

Post on 03-Jan-2016

276 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

asa

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna, baik di Indonesia maupun di dunia. Prevalensi penyakit batu diperkirakan sebesar 13% pad a laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa.1 Prevalensi batu ginjal di Amerika bervaria si tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Empat dari lima pasien adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai keempat.2 Angka kejadian batu ginjal di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di selur uh Indonesia adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang, dengan jumlah kematian a dalah sebesar 378 orang.3 Beban ekonomi akibat batu saluran kemih sangat besar. Pada tahun 2000, biaya tot al untuk pengobatan urolitiasis di Amerika Serikat diperkirakan 2,1 milyar dolar, y ang meliputi 971 juta dolar untuk pasien rawat inap, 607 juta dolar untuk pasien rawat jalan dan kunjungan praktik dokter, serta 490 juta dolar untuk pelayanan gawat darurat. Angka-angka tersebut menggambarkan kenaikan sebesar 50% dari biaya pengobatan urolitiasis sebesar 1,3 4 milyar dolar pada tahun 1994.1 Di Indonesia belum ada data mengenai beban biaya kesehat an untuk batu saluran kemih. Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien urolitiasis, berbagai fakto r harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, komp osisi dan lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uret ero-pelvic junction, divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya infeksi, obesit as, deformitas habitus tubuh, koagulopati, anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal ginjal).4 Kemajuan dalam bidang endourologi telah secara drastis mengubah tatalaksana pasi en dengan batu simtomatik yang membutuhkan operasi terbuka untuk pengangkatan batu. Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic int rarenal surgery (RIRS), percutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) telah memicu kontroversi mengenai teknik mana yang paling efe ktif. ESWL merupakan terapi non invasif yang menggunakan gelombang kejut berintensitas tinggi. Gelombang ini dibangkitkan di luar tubuh pasien lalu ditembakkan ke batu ginjal atau ureter. Sejak ESWL diperkenalkan pada tahun 1980-an, teknologi dalam bidang lito tripsi gelombang kejut telah sangat berkembang. Kemajuan dalam teknologi ESWL dipusatka n ke arahpeningkatan peralatan pencitraan (imaging), pengembangan sumber energi ESWL, pengembangan suatu alat yang dapat berfungsi sebagai litotriptor dan meja tindak anendourologi, serta usaha untuk mengurangi tekanan gelombang kejut sehingga mengu rangi ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan memungkinkan prosedur ESWL tanpa mengunakan anestesi. Permasalahan Penggunaan ESWL sudah sangat luas, namun sampai saat ini di Indonesia belum ada keseragaman dalam hal indikasi ESWL; ini menyangkut jenis, ukuran dan lokasi bat u yang bagaimana yang memberikan hasil terbaik dengan terapi ESWL. Masih banyak pula ko ntroversi lainnya seputar penggunaan ESWL, antara lain efektivitas dan cost-effectiveness ESWL dibandingkan modalitas terapi invasif minimal lain (URS dan PNL); bilamana ESWL perlu dikombinasi dengan modalitas terapi lain; pemberian antibiotik profilaksis untuk ESWL; serta tak kalah pentingnya kemajuan dalam teknologi mesin ESWL sendiri, yang menuntut pert imbangan yang rasional dalam memilih mesin yang paling sesuai untuk suatu institusi. Tujuan Tujuan Umum . Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi dalam menetapkan kebijakan mengenai penggunaan ESWL untuk batu saluran kemih di Indonesia.Tujuan Khusus . Melakukan penapisan teknologi ESWL, yang meliputi penetapan indikasi, prosedur, dan teknologi mesin ESWL berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih.Rekomendasi HTA bertujuan untuk memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan, baik di lingkungan Departemen Kesehatan, Rumah Sakit, Instistusi Pend idikan, Badan Penelitian, maupun institusi terkait lainnya. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan pertimbangan klinis. Keputusan definitif dalam penanganan pasien be rgantung pada kasus pasien, kondisi lokal, pilihan pasien dan pertimbangan klinis dari ti m kesehatan yang terlibat.BAB II METODOLOGI PENILAIAN II.1. Penelusuran Kepustakaan Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik : Pubmed, Cochrane Library, British Medical Journal, The Journal of Urology, Briti sh Journal of Urology International, Urology dalam 15 tahun terakhir (1990-2005). Informasi ju ga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh American Urological Assoc iation (AUA) dan European Association of Urology (EAU). Kata kunci yang digunakan adalah ESWL, Extracorporeal Shockwave Lithotripsy, ureteral stone, renal stone, kidney stone, staghorn stone, ESWL + cost effective ness. II.2. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine, ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care P olicy and Research. Hierarchy of evidence: Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials. Ib. Minimal satu randomised controlled trials. IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV. Konsensus dan pendapat ahli Derajat rekomendasi : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib. B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan IIb. C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.II.3. Pengumpulan Data Lokal Data lokal diperoleh dari jumlah pasien yang menjalani ESWL di RSCM selama 1 tah un terakhir, daftar tarif ESWL di RSCM serta RS pemerintah dan swasta lain. II.4. Ruang Lingkup Kajian ESWL ini dibatasi pada kontroversi seputar ESWL yang meliputi indikasi, kontraindikasi, komplikasi, pemberian antibiotik profilaksis, prosedur tambahan pra ESWL, kompetensi profesi pelaku, pemilihan jenis mesin ESWL serta analisis biaya.BAB III BATU SALURAN KEMIH III.1 Anatomi Saluran Kemih Pembagian ureter secara anatomi perlu diketahui karena berkaitan dengan tatalaks ana batu ureter. Ureter dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ureter atas, mulai dari ur eteropelvic junction sampai ke tepi atas os ileum, ureter tengah yaitu mulai dari tepi atas os ileum sampai ke tepi atas sacroileal joint dan ureter bawah, mulai dari tepi atas sacroileal joint sampai ke orifisium ureter. Pembagian ureter menjadi tiga bagian ini terutama berkaitan dengan pendekatan be dah untuk mengangkat batu.1 Saat ini, operasi terbuka untuk mengangkat batu ureter sudah jarang dilakukan, k ecuali pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan saat ini telah digantikan oleh terapi-tera pi baru yang non invasif maupun invasif minimal, seperti extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL), ureterorenoskopi dan percutaneus nephrolithotomy. Sebagai konsekuensinya, ureter saat ini dibagi hanya menjadi dua bagian, yaitu ureter proksimal atau ureter atas (gabung an dari ureter atas dan tengah berdasarkan pembagian sebelumnya) dan ureter distal atau ureter bawah. Batas dari ureter proksimal dan ureter distal adalah titik potong saat ureter me nyilang arteri iliaka dan menyempit, sehingga menciptakan hambatan bagi ureteroskop.5 Pedoman dari Ame rican Urological Association (AUA) dan European Urological Asociation (EUA) menggunaka n pembagian ureter yang terbaru.5,6 III.2 Komposisi Batu Saluran Kemih Komposisi dari batu ureter bervariasi, Pada umumnya batu terbentuk dari garam ka lsium seperti kalsium oksalat monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat. Tipe lain yang kurang sering didapat yaitu batu asam urat dan batu struvit, sedangkan yang jara ng didapat adalah batu sistin.5 Beberapa material batu sulit dihancurkan oleh metode apa pun, misalnya batu kals ium oksalat monohidrat, yang keras dan padat. Apabila batu tersebut terletak di dist al, maka ekstraksi menggunakan ureteroskopi dengan keranjang atau forseps akan lebih efektif daripa da fragmentasi. Sebaliknya, batu kalsium oksalat dihidrat akan dengan mudah dipecah dan biasanya merupakan kandidat yang baik untuk ESWL atau litotripsi intrakorporal. 5III.3 Diagnosis Batu Saluran Kemih Klinis Pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah dan demam, serta mungkin mempunyai riwayat penyakit batu. Diagnosis klinis haruslah ditunjang oleh pemeriksaan pencitraan yang sesuai. Hal ini akan membantu memutus kan apakah cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan terapi lain. 6 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu radioopak. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto ab domen dari ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau excretory pyelography (Intravenous Pyelography, IVP). Excretory pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien dengan alergi media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan metfor min, dan myelomatosis.6 Pemeriksaan radiologi khusus yang dapat dilakukan meliputi : 6 . Retrograde atau antegrade pyelography . Spiral (helical) unenhanced computed tomography (CT) . Scintigraphy CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan terbaik untuk diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifisitas 98 %. CT Scan tanpa kontras tersedia luas di negara-negara maju dan juga dapat memberikan informasi mengenai abnormalitas di luar saluran kemih. IVP memiliki sensitivitas 64% dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu cukup lama dan harus dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap kontras. 7 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes dipstik untuk mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin. Untuk mengetah ui fungsi ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam, sebaiknya diperiksa C-rea ctive protein, hitung leukosit sel B, dan kultur urin. Pada keadaan muntah, sebaiknya diperiksa natrium dan kalium darah. Untuk mencari faktor risiko metabolik, sebaiknya diper iksa kadar kalsium dan asam urat darah.6 Panduan pemeriksaan laboratorium selengkapny a dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana Urolitiasis dari European Association of Urology.III.4 Macam Modalitas Terapi Terapi untuk pasien dengan batu ureter dapat dikelompokkan ke dalam lima kategor i secara garis besar :5 1. Observasi (juga disebut expectant management dan watchful waiting) 2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 3. Percutaneus Nephrolithotomy (PNL) 4. Ureterorenoskopi (URS) 5. Pembedahan terbuka (merujuk kepada setiap tindakan yang memerlukan paparan be dah terbuka terhadap ureter dan pengangkatan batu).Berikut ini akan djelaskan secara singkat satu per satu dari modalitas terapi di atas. III.4.1. Manajemen Observasi Seperti telah disebutkan sebelumnya, mayoritas batu ureter cukup kecil sehingga dapat lewat spontan tanpa menimbulkan keluhan/gejala klinis yang berarti. Untuk batubatu seperti ini, observasi merupakan pilihan terapi yang terbaik. Pasien diinst ruksikan untuk meningkatkan asupan cairan sedikitnya 3 liter/hari, yang bertujuan untuk mempertahankan produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus membatasi asupa n oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani.8 Obat obatan yang digunakan untuk mengatasi kolik sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik narkotik dan oba t anti inflamasi non steroid.5,6 Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak intervensi, ukuran dan lokasi batu merupakan faktor utama. Batu dengan lebar = 5 mm di ureter proks imal memiliki kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan dan kemungkinan ini akan lebih besar apabila batu tersebut terletak di ureter distal.5 Namun, ukuran mungkin pula bukan merupakan faktor terpenting jika pasien mengalami nyeri yang tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi yang terbaik adala h intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi infeksi saluran kemi h, maka ginjal berisiko mengalami pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu dila kukan terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.5 Faktor lain adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang ekstrim, pasien dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi dapat diobservasi selam a satu tahun atau lebih sebelum akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif. Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal soliter, dan ginjal transplantasi tidak dapat bertahan terhadap obstruksi ringan sekalipun.5Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien dengan batu ure ter unilateral simtomatik, yang direkrut saat datang ke unit gawat darurat dengan ke luhan kolik ureter. Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam ure ter dan diameter = 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien adalah fungsi ginjal yang baik (de ngan renografi), nyeri terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada tanda sepsis ur ologik. Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi kontras. Renogram dengan radioisot op MAG3 dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1 bulan setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah kehilangan fungsi (= 5%) ip silateral, infeksi, nyeri atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang d irekrut (18 batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24 sepertiga bawah), terapi kon servatif dilakukan pada 18 pasien, namun pada perjalanan, 4 pasien memerlukan intervensi dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi segera karena nyeri (8 pasien), penurunan fungsi ginjal (15), dan penurunan fungsi ginjal disertai infe ksi (13). Hasilnya, tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi. Kesimpulan dari stud i ini adalah bahwa manajemen konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman, dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk mengidentifikasi ginjal yang memerlukan intervensi.9 Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih terapi. Misalnya, bila pasien sering melakukan perjalanan jauh atau menghabiskan banyak waktu di negara asing, terapi aktif dapat dipertimbangkan bahkan untuk batu asimtomatik.5 III.4.2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) telah menjadi metode yang paling sering digunakan dalam tatalaksana aktif batu ureter. ESWL didasarkan pad a prinsip bahwa gelombang kejut bertekanan tinggi akan melepaskan energi ketika melewati area-area yang memiliki kepadatan akustik berbeda. Gelombang kejut yang dibangkitkan di luar tubuh dapat difokuskan ke sebuah batu menggunakan berbagai teknik geometrik. Gelombang kejut melewati tubuh dan melepaskan energinya saat melewati sebuah batu. Tujuan dari metode ini adalah untuk memecah batu menjadi partikel-partikel yang cukup kecil sehingga dapat melewati ureter tanpa menimbul kan nyeri yang berarti.5,10III.4.3. Ureterorenoskopi (URS)Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara dramatismanajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan bersama dengan litotr ipsiultrasonik, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser dan litotripsi pneumati k agar memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat dilakukan dengan ekstr aksi keranjang di bawah pengamatan langsung dengan fluoroskopi. Perkembangan dalam bidang serat optik dan sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu ureteroskop semirigid yang lebih kecil. (6,9 sampai 8,5 F). Penemuan miniskop semirigid dan ureteroskop fleksibel membuat kita dapat mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya saluran untuk bekerja.5 Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi batu dan pengalama n klinikus, serta ketersediaan alat. III.4.4. Percutaneus Nephrolithotomy (PNL) Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan dan pengangkatan batu. Untuk mencapai akses perkutan, urolog atau radiolog memasang kabel penuntu n fleksibel berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui pinggang pasien k e dalam ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses sudah diperoleh, saluran dilebarkan samp ai ukuran 30 F dan dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop rigid / fleksibe l dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan fluoroskopi dan endokamera, batu diangkat secara utuh atau setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorpora l. PNL memiliki keuntungan sebagai berikut : (1) Jika batu dapat dilihat, hampir dipastikan batu tersebut dapat dihancurkan. (2) Dengan alat fleksibel, ureter da pat dilihat secara langsung sehingga fragmen kecil dapat diidentifikasi dan diangkat. (3) Pr oses cepat, dengan hasil yang dapat diketahui saat itu juga. Perawatan di rumah sakit biasanya 3 sampai 5 hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas ringan setelah 1 sampai 2 minggu. Angka transfusi PNL sekita r 26%. Angka perawatan kembali, yaitu angka dimana instrumen harus dimasukkan kemba li untuk mengangkat batu yang tersisa bervariasi dari 10% sampai 40-50%. Angka beba s batu adalah 75-90%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan, infeksi, dan fistula arteri-vena.5 III.4.5. Pembedahan TerbukaBerbagai variasi operasi spesifik dapat dilakukan untuk mengangkat batu ureter. Bergantung pada anatomi dan lokasi batu, ureterolitotomi dapat dilakukan melalui insisi samping, dorsal atau anterior. Saat ini, ureterolitotomi sudah jarang dilakukan, kecualipada kasus dimana batu berukuran besar atau pasien memiliki kelainan anatomi gin jal atau ureter. Perawatan di rumah sakit berkisar antara 2 sampai 7 hari. Disabilitas pasca operasi berkisar antara 4 sampai 6 minggu.5III.4.6. Stenting Stenting bukanlah pilihan utama, namun memegang peranan penting sebagai terapi tambahan pada hampir semua tatalaksana batu ureter. Misalnya, pasien deng an sepsis dan obstruksi membutuhkan drainase internal (menggunakan Double J stent) atau drainase eksternal (menggunakan nefrostomi perkutan). 5BAB IV EXTRACORPOREAL SHOCKWAVE LITHOTRIPSYExtracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal d an ureter dihancurkan menjadi fragmen fragmen kecil dengan menggunakan gelombang ke jut. Fragmen kecil ini kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi non-invasif ini m embuat pasien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.IV.1. Teknologi Mesin ESWL Dornier HM3 (Human Model 3) adalah prototip mesin ESWL pertama yang dirancang oleh Christian Chaussy dari Jerman, dan menjadi standar pembanding untuk mesin-m esin baru. Mesin ini menggunakan generator gelombang kejut spark-gap. Pasien dan dan genera tor ditempatkan pada sebuah bak air, sehingga gelombang kejut dengan mudah melalui a ir serta jaringan dan terarah pada batu. Lokalisasi dilakukan menggunakan fluoroskopi bip lanar. Dalam perkembangannya, dilakukan modifikasi untuk mengurangi penggunaan anestesi , lokalisasi batu lebih akurat, dan meningkatkan efektivitas. Bak air yang digunak an oleh Dornier HM3 digantikan oleh generator kecil dan kasur air. Dengan desain baru ini, pasie n dapat diterapi dalam berbagai posisi yang membantu lokalisasi dan maksimalisasi efek. Generator elektromagnetik merupakan generator yang banyak digunakan saat ini. Alat ini mem iliki zona fokus lebih kecil dari Dornier HM3 dan lebih sedikit menggunakan anestesi. Pada mesin generasi baru juga dijumpai kombinasi ultrasonik dan fluoroskopi. 4 Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1) sumber energi (gener ator gelombang kejut), (2) focusing system, (3) pencitraan atau unit lokalisasi, dan (4) mekanisme coupling.4 IV.1.1. Generator gelombang kejut Semua generator gelombang kejut didasari oleh prinsip geometri elips. Gelombang kejut dibuat pada titik fokus pertama dari ellipsoid (F1 dalam separuh elips) dan dikirim ke titik fokus kedua (F2) pada pasien. Zona fokus adalah daerah pada F2 dimana gelombang kejut terkonsentrasi. Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut, yaitu elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi elektromagnetik. Energi elektrohidrolik. Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuahelektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian ini menghasilkangelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi. Energi pizoelektrik. Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi ata u perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan gelombang kejut. Energi elektromagnetik. Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada sil inder berisi air. Lapangan magnetik menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang menghasilkan gelombang kejut.10 IV.1.2. Focusing system Semua litotriptor gelombang kejut memiliki sebuah focusing system yang mengkonsentrasikan dan mengarahkan energi gelombang kejut ke batu, yaitu pada F2 , sehingga batu hancur menjadi fragmen. Sistem elektrohidrolik menggunakan prinsip dari elips untuk mengarahkan energi yang di buat dari elektroda spark-gap. Pada sistem pizoelektrik, kristal diatur pada lempeng hemisfer, sehingga energi yang dihasilkan diarahkan pada satu titik pusa t. Sistem elektromagnetik menggunakan lensa akustik atau reflektor silindris untuk memfokuskan gelombang.10 IV.1.3. Sistem lokalisasi Pencitraan dikerjakan untuk melokalisasi batu dan mengarahkan gelombang kejut pada batu. Selama terapi, pencitraan tetap dilakukan dengan tujuan untuk membantu meyakinkan gelombang kejut ditembakkan pada arah yang tepat. Terdapat dua metode yang digunakan untuk melokalisasi batu, yaitu fluoroskopi dan ultraso und. Fluoroskopi memiliki keuntungan yaitu dapat mengidentifikasi batu renal dan ureter dan dapat membantu menghitung perpindahan fragmen. Kerugian fluoroskopi adalah penggunaan radiasi ion dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen atau radioopak minimal. Penggunaan kontras intravena selama terapi bermanfaat untuk melokalisasi batu dengan fluoroskopi. Teknik visualisasi yang l ain juga menggunakan kateter ureter yang ditempatkan sebelumnya sehingga kontras dapat langsung dimasukkan ke dalam ureter dan pelvis ginjal kapan pun. Jika menggunaka n double-J stent, kontras dapat dimasukkan ke kandung kemih dengan kateter, kemudi an kontras mengalami refluks ke ginjal sehingga dapat divisualisasi. Ultrasound dapat memvisualisasikan kedua batu radioopak dan radiolusen tanpa kontras intravena seperti pada fluoroskopi. Ultrasound juga dapat langsung memon itorproses litotripsi. Meskipun memiliki keuntungan tidak ada paparan radiasi, batu ureter seringkali sulit dilokalisasi dengan sonografi.10 IV.1.4. Mekanisme coupling Sistem coupling dibutuhkan untuk menyalurkan energi yang dihasilkan oleh generator dan gelombang tekanan pada permukaan kulit, yang kemudian akan menembus jaringan tubuh untuk mencapai batu. Dahulu hal ini dilakukan dengan menempatkan pasien pada bak mandi besar (Dornier HM3, generasi ke-1). Saat ini, mesin generasi ke-2 dan ke-3 menggunakan kolam kecil berisi air atau bantal beri si air dilapisi membran silikon untuk mencegah kontak udara dengan kulit pasien.10 IV.2. Pedoman Penggunaan ESWL Kajian ini bertujuan untuk menyusun suatu pedoman penggunaan ESWL, yang meliputi indikasi, kontraindikasi, prosedur tambahan pra ESWL, perkembangan teknologi mes in beserta perbandingan klinis efektivitas berbagai jenis mesin, dan analisis biaya. American Urological Asociation (AUA) dan European Association of Urology (EAU) telah mengeluarkan pedoman tatalaksana batu saluran kemih. Pedoman tersebut juga merupakan referensi dalam menyusun rekomendasi ini. IV.2.1. Indikasi ESWL A. Penggunaan ESWL untuk Batu Ureter Berdasarkan pedoman dari AUA, ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter distal maupun proksimal, namun tidak untuk batu ureter tengah. Sedangkan pedoman dari EAU lebih rinci menguraikan bahwa ESWL in situ merupakan pilihan pertama terapi untuk batu radioopak, batu infeksi dan batu sistin semua ukuran d i ureter proksimal; batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter tengah; serta batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter dista l, ureter tengah. Terdapat kontroversi dalam hal terapi mana yang terbaik untuk batu urete r, terutama batu ureter distal, apakah ESWL atau URS. 5,6 B. Penggunaan ESWL untuk Batu Ginjal Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan batu maksimal (dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan morbiditas minimal. Dalam memilihpendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu faktor batu, an atomi ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Tabel 1 . Faktor-faktor yang mempengaruhi tatalaksana batu ginjal 4 Batu Anatomi ginjal Pasien (klinis) Ukuran Jumlah Komposisi Lokasi Primer/Residif Obstruksi/stasis Hidronefrosis Obstruksi ureteropelvic junction Divertikel kaliks Ginjal tapal kuda dan anomali ektopik Anatomi kutub bawah ginjal Infeksi Obesitas Deformitas habitus tubuh Koagulopati Anak-anak Orangtua Hipertensi Gagal ginjalBatu berukuran diameter 2cm paling baik diterapi dengan teknik endoskopi.11 El-Anany melakukan uji klinis te rhadap 30 pasien dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser holmium melalui ureter oskop. Keberhasilan didefinisikan sebagai fragmentasi total mencapai 3cm, terapi membutuhkan 135 (75-160) menit dan sukses pada tiga pasien. Semakin kecil beban batu, semakin besar kesuksesan dan semakin sedikit waktu yang dibutuhkan. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa terapi batu ginjal menggunakan ureteropieloskopik merupakan terapi invasif minimal dibandingkan PNL dan operasi terbuka, aman serta efektif untuk batu pelvis besar.12 IV.2.2. Kontradindikasi ESWL A. Kontraindikasi Absolut Kontra indikasi absolut adalah : infeksi saluran kemih akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal. 10Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol dari data sekunder terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu ginjal yang menjalani t erapi ESWL (Dornier HM3). Dari jumlah tersebut, enam wanita sedang mengalami kehamilan bulan pertama saat menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien pernah melahirkan bayi cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up terhitung sejak sesi ter akhir ESWL adalah 32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang kejut yang diberikan adalah 2850 (800-6300), sedangkan rata-rata ukuran batu adalah 12 (5-18) mm. Kee nam wanita tersebut melahirkan bayi tanpa malformasi ataupun anomali kromosom. Studi ini menyimpulkan bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu ginjal tampaknya aman pada wanita hamil. Namun, jumlah pasien yang lebih besar dengan studi prosp ektif dibutuhkan untuk menilai efek jangka panjang; studi ini tidak menyarankan litotr ipsi sebagai terapi batu ginjal untuk wanita hamil.13 Frankenschmidt melaporkan kasus seorang wanita 28 tahun, hamil 25 minggu dengan nyeri pinggang kanan. Ultrasound menunjukkan dilatasi sistem pengumpul gi njal kiri dan ureter proksimal, terdapat batu berukuran 16x5 mm di ureter proksimal. Upaya mendorong batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami serangan kolik berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena itu dianjurlkan nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien dijelaskan mengenai risiko perdarahan, infeksi, pergeseran tube dan oklusi serta kemungkinan diversi ureter, sehingga p asien meminta dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang cukup (11 cm) antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL pizoelektrik dengan penunt un ultrasound. Batu berhasil dihancurkan dan fragmen keluar spontan tanpa kolik. Un tuk menghindari steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3 minggu.14 B. Kontraindikasi Relatif Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah :10 . Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur. . Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada pasien sep erti ini sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu . Pasien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malform asi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapa t menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL . Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi.. Pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus. . Pasien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom perirenal pasca terapi. . Pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi.Pasien harus menghentikan terapi antikoagulan, seperti coumarin, sehingga cukup waktu untuk faktor pembekuan kembali normal. Produk aspirin dan anti infla masi non- steroid dihentikan 7-10 hari sebelum terapi untuk menormalkan fungsi platel et.6,10 IV.2.3. Prosedur ESWL Bila seseorang telah ditentukan memenuhi indikasi ESWL dan memberikan informed consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra ESWL sebagai berikut:6,10 . Laboratorium Pemeriksaan laboratorium berikut dilakukan sebelum terapi untuk memastikan bahwa pasien tidak menderita infeksi saluran kemih ataupun gangguan perdarahan : - Fungsi ginjal : kreatinin serum - Analisis urin, kultur urin - Hitung darah lengkap, prothrombin time (PT) dan activated parsial thromboplastin time (APTT) . Pencitraan - pielografi intravena - ultrasonografi ginjal - CT scan non kontras . Pemeriksaan lain - EKG pada pasien berusia > 50 tahun IV.2.4. Peranan Terapi Farmakologik Beberapa studi melaporkan efektivitas dari terapi farmakologik (antagonis kalsium dan kortikosteroid) dalam memfasilitasi ekspulsi batu ureter. Pada sebua h uji acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo, nifedipin (kalsium antagonis) dig unakan bersama dengan kortikosteroid (metilprednislon) untuk membantu pengeluaran spont an batu ureter.5Porpiglia et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap 80 pasien dengan yang menjalani ESWL. Pasien dibagi secara random ke dalam dua kelompok : 40 pasi en mendapat terapi adjuvan dengan terapi medis oral (nifedipin dan deflazacort); 40 pasien lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasilnya, ekspulsi komplit terjadi pada 30 (75 %) pasien dari kelompok pertama dan 20 (50%) pasien dari kelompok kontrol. Diperole h perbedaan signifikan dalam hal angka bebas batu (p=0,02). Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa nifedipin dan deflazacort yang diberikan setelah ESWL dapat meningkatkan keberhasilan terapi. 15 IV.2.5. Komplikasi Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat terapi ESWL. Komplikasi Ginjal10 . Hematoma perinefrik, subkapsular dan intranefrik, yang dapat mengakibatkan nyeri hebat, ileus dan syok/hipotensi. . Hematuria. Ini terjadi pada sebagian besar pasien dan hilang dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Kadang-kadang terjadi banyak bekuan darah sehingga memerlukan pencitraan segera untuk mencari sumber retroperitoneal dan atau renal . . Sepsis. Hal ini jarang terjadi bila urin preoperatif steril. . Steinstrasse. Jika asimtomatik dan tidak menimbulkan obstruksi, pasien dimonitor dengan pencitraan berkala. Jika terjadi obstruksi, infeksi, gejala klinis, maka sebaiknya dilakukan nefrostomi perkutaneus atau ureteroskopi dengan stenting. . Hipertensi. Hal ini jarang terjadi, kemungkinan akan lebih besar bila terbentuk hematom perinefrik yang besar. Elves melakukan uji klinis acak terkontrol mengen ai efek ESWL terhadap tekanan arah. Sebanyak 228 pasien dengan batu kaliks kecil (2 cm) atau untuk mengurangi ny eri. EQ tidak dapat membedakan antara prosedur adjuvan atau kuratif pasca ESWL, diman a data ini diperlukan untuk mengeksklusi pasien yang mencapai bebas batu oleh ureteroskopi, nefrolitomi perkutan atau bahkan operasi terbuka. Oleh karena itu, diajukan EQmod sebagai berikut, yang memperhitungkan prosedur tambahan baik pra maupun pasca ESWL : % pasien bebas batu EQ = -------------------------------------------------------------------------100% + %ESWL ulang + % prosedur post ESWL%pasien bebas batu - %prosedur tambahan kuratif EQmod = --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------100% + %ESWL ulang + %prosedur tambahan pra ESWL + %prosedur tamb pasca ESWLKarena angka bebas batu sangat menentukan dalam penghitungan rumus EQ, rerata jangka waktu observasi harus disebutkan (misalnya, EQ3bln). Pada studi ya ng dilakukan oleh Rassweiler, angka bebas batu masih meningkat melebihi jangka wakt u 12 bulan. Di RSCM, terdapat kesulitan dalam menghitung EQ, dikarenakan data rekam medis yang tidak lengkap dan pasien kontrol berpindah-pindah.IV.3.4. Standard Aktual ESWL Tidak dalam oleh mesin L telah diragukan bahwa Dornier HM3 telah menjadi standard yang cukup tinggi penentuan efektivitas klinis ESWL, dimana hal tersebut tidak dapat dicapai generasi kedua. Namun pada saat ini, perkembangan teknologi dan klinis ESW berubah drastis :. Jumlah prosedur pra ESWL meningkat secara bermakna dari 0-10% menjadi 2030% sehingga mengurangi morbiditas pasca ESWL . ESWL dilakukan di bawah anestesi minor atau bahkan tanpa anestesi . Biaya ESWL sangat terjangkau, membutuhkan lebih sedikit ruangan dan pemeliharaan alat yang lebih baik.Perubahan-perubahan tersebut memiliki dampak penting pada pemilihan litotriptor. Efficacy Quotient seperti yang diperkenalkan oleh Clayman tidak dap at diterapkan. Yang lebih tepat adalah EQ modifikasi yang memasukkan jumlah prosedu r pra ESWL dan membedakan antara prosedur tambahan pasca ESWL yang bersifat adjuvan dan kuratif. Hal yang menarik adalah bahwa EQ modifikasi dengan jelas menyatakan bahwa efektivitas mesin generasi ketiga sama sekali tidak berbeda dar i Dornier HM3 (tabel 2), bahkan memiliki kelebihan karena cukup dilakukan analgesi a intravena dan prosedur tambahan dapat dilakukan di atas meja yang sama.19 Bierkens juga melakukan studi perbandingan multisenter terhadap 17 pusat ESWL yang menggunakan Siemen Lithostar, Dornier HM4, Wolf Piezolith 2300, Direx Tripter X-1 dan Breakstone Lithotriptor. Studi ini merupakan studi prospektif, t anpa kontrol dan tidak acak, dan menghitung efficacy quotient untuk setiap mesin menggunakan rumus dari Clayman. Hasilnya, angka kesuksesan terapi dengan mesin generasi kedua masih di bawah mesin generasi pertama, Dornier HM3. Kelima mesin generasi kedua tersebut memiliki perbedaan dalam jenis batu, yang berkaitan deng an teknik pencitraan, penggunaan anestesi, prosedur tambahan dan hospitalisasi, tet api angka kesuksesan antara kelima mesin tersebut adalah sama. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa mesin ESWL generasi kedua kurang efektif dibandingkan generasi pertama.19Tabel 2. Perbandingan antara Berbagai Generasi Litotriptor menggunakan Efficacy Quotient (EQ1) dan Efficacy Quotient modifikasi (EQ2)19 Litotriptor Batu ureter ESWL ulang (%) Prosedur tambahan (%) Angka bebas batu (%) Efficacy Quotient Batu (%) >2cm (%) Pre Post Kuratif EQ1 EQ2 1st Generation Dornier HM3 USA Study Stuttgart 2nd Generation Dornier HM3+ Piezolith 2000 3rd Generation Lithostar Puls Modulith SL 20 Actual Lithotriptor Dornier Litho S Siemens Multiline 13 17 31 23 37 34 30 34 14 1315 17 9 6 9 9 16 14 16 45 27 28 13 25 10 22 15 33 31 2 8 8 14 5 14 9 7 8 6 5 3 1 3 6 3 2 2 66 73 75 72 85 84 87 78 0,53 0,570,61 0,45 0,63 0,62 0,71 0,56 0,51 0,52 0,52 0,40 0,49 0,50 0,70 0,55BAB V HASIL DAN DISKUSI Masih banyak ditemui kontroversi mengenai indikasi ESWL untuk jenis dan lokasi b atu tertentu, pengulangan ESWL pasca ESWL primer, tatalaksana efek steinstrasse pasc a ESWL, pemberian antibiotik profilaksis, pemilihan mesin ESWL serta kompetensi untuk me lakukan ESWL. Hal-hal tersebut membutuhkan pengkajian dan diskusi lebih lanjut. Akan dib ahas satu per satu berikut ini. V.1. Batu Ginjal V.1.1. Batu Staghorn Batu staghorn didefinisikan sebagai batu bercabang yang menempati sistem pengumpul ginjal. Tatalaksana optimal untuk batu ini perlu mempertimbangkan tiga faktor utama : . Beban batu keseluruhan . Lokasi beban batu (kaliks mana dan berapa banyak kaliks yang terlibat) . Anatomi sistem pengumpul (misalnya, adakah dilatasi sistem pengumpul) Berikut ini adalah kriteria dalam pemilihan terapi untuk batu staghorn : Tabel 3. Kriteria pemilihan terapi untuk batu staghorn 20 Kriteria ESWL PCNL Kombinasi Beban batu Minor Mayor Mayor Distribusi batu Perifer Sentral sentral+perifer Sistem pengumpul ginjal Sempit Dilatasisempit/dilatasi Radioopasitas Cukup Kurang Cukup Komposisi kimiawi Tidak ada sistin -Operasi Terbuka Operasi terbuka merupakan pilihan terapi yang potensial utuk batu staghorn, karena dapat membersihkan sebagian besar batu melalui sekali prosedur dan menghasilkan angka bebas batu yang sebanding. Oleh karena itu, beberapa penulis masih menganjurkan operasi terbuka untuk batu staghorn komplit. Namun, kerugian dari operasi ini adalah berkurangnya fungsi ginjal setelah pembedahan yang ekstensif seperti pielolitotomi intersegmental anatrofik, yang terjadi pada 30-50% pasien. Angka r esidu batu setelah operasi terbuka adalah 15%, dengan rekurensi 30% setelah 6 tahun da n risiko infeksi saluran kemih 40%. Berdasarkan hal tersebut, Rassweiler membatasiindikasi operasi terbuka hanya untuk pasien dengan beban batu masif yang tidak d apat dicapai secara endoskopik atau dengan beberapa kali tindakan ESWL, atau bila dibutuhkan operasi rekonstruktif tambahan (misalnya kaliko-ureterostomi, pielopl asti).20 Pedoman dari AUA Pedoman AUA untuk batu staghorn menyatakan bahwa standar terapi untuk batu staghorn struvite yang baru terdiagnosis adalah intervensi aktif. Pasien ha rus diinformasikan mengenai keempat modalitas intervensi aktif yaitu : operasi terbu ka, percutaneus nephrolithotomy (PNL), ESWL serta kombinasi PNL dan ESWL beserta segenap keuntungan dan kerugian dari pilihan terapi tersebut.11 Monoterapi ESWL atau Kombinasi ESWL+PNL ? Meretyk, dkk melakukan uji klinis prospektif acak untuk membandingkan hasil antara monoterapi ESWL dengan kombinasi ESWL+PNL untuk batu staghorn komplit. Studi ini melibatkan 50 unit ginjal: 27 ginjal diterapi dengan monoterapi ESWL ( grup 1) dan 23 (grup 2) diterapi dengan kombinasi PNL (inisial) + ESWL. Kedua grup ini dibandingkan dalam hal ukuran batu, derajat dilatasi sistem pengumpul, kultur ur in saat presentasi, jumlah sesi terapi, dosis narkotik, episode kolik renal, komplikasi septik, prosedur tambahan yang tidak direncanakan, lama perawatan rumah sakit, durasi te rapi total dan angka bebas batu setelah 6 bulan. Hasilnya, angka bebas batu secara signifikan lebih besar pada grup 2 daripada grup 1 (74 versus 22%, p=0,0005). Angka komplikasi lebih besar pada grup 1, yait u 15 komplikasi septik pada 10 pasien dibandingkan dengan hanya 2 episode pada grup 2 (p=0,007). Lama terapi keseluruhan secara signifikan lebih pendek pada grup 2 ( 1 versus 6 bulan, p=0,0006). Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal jumlah prosedur yang dilakukan dengan anestesi atau lama hari perawatan antara kedua gr up. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kombinasi PNL dan ESWL harus direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan batu staghorn.2 1 (Level of evidence IIa) Batu Staghorn pada Anak Terapi batu staghorn pada anak-anak merupakan tantangan. Al-Busaidy melakukan studi klinis terhadap 42 anak ( 9 bulan sampai 12 tahun) dengan batu staghorn (33 parsial dan 9 komplit) menggunakan Piezolith 2501. Kelompok awal sebanyak 19 pasien menjalani ESWL tanpa stenting profilaksis, sedangkan pada kelompok lainnya (23 pasien) dilakukan pemasangan double J stent sebelum sesi ES WL pertama. Parameter yang dinilai adalah umur rata-rata pasien, ukuran batu, jumla hgelombang kejut, jumlah sesi ESWL, lama perawatan, angka bebas batu dan komplika si mayor. Hasilnya, sebanyak 33 anak (79%) mengalami bebas batu setelah 3 bulan. Kedua grup sebanding dalam hal umur, ukuran batu, jumlah gelombang kejur dan ses i ESWL serta angka bebas batu. Komplikasi mayor terjadi pada 21% kelompok tanpa stent, dan tidak terjadi sama sekali pada kelompok yang distent (p=0,035). Tujuh prosedur tambahan pasca ESWL dibutuhkan pada kelompok tanpa stent. Perawatan rumah sakit lebih lama pada kelompok tanpa stent dibandingkan kelompok stent (p=0,022). Pada follow-up setelah 9 102 bulan (rata-rata 47) terjadi rekurensi p ada 2 anak, yang kemudian diterapi dengan ESWL. Kesimpulan studi ini adalah monoterapi ESWL merupakan modalitas yang efisien dan aman utuk terapi batu staghorn anak-anak. Pasien yang distent mengal ami komplikasi lebih sedikit dan masa perawatan lebih singkat. Dianjurkan untuk mela kukan stenting profilaksis sebelum terapi ESWL pada anak-anak dengan batu staghorn.22 (Level of evidence IIa) V.1.2. Batu Ginjal Kutub Bawah (Lower Calyx) Batu kutub bawah dikenal memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan menunjukkan angka bebas batu yang rendah dengan ESWL. Beberapa faktor berkaitan dengan anatomi ginjal telah dilaporkan berpengaruh terhadap angka bersihan batu kutub bawah. Sumino melakukan studi dengan tujuan menentukan faktor-faktor prediktor bersihan batu kutub bawah untuk membantu mengambil keputusan dalam terapi ESWL untuk batu kutub bawah. Studi dilakukan terhadap 63 pasien dengan batu kutub baw ah tunggal unilateral berkuran = 2 cm. Dilakukan urografi ekskretori untuk menentuk an sudut infundibulopelvic bawah, tinggi caliceal pelvic dan panjang serta diameter infun dibulum kutub bawah, rasio panjang terhadap diameter infundibulum bawah dan jumlah kalik s minor kutub bawah. Angka bebas batu dinilai dengan sinar X. Hasilnya, angka bers ihan batu 54%. Dengan menggunakan analisis univariat terhadap tinggi caliceal pelvic, panjang, rasio panjang terhadap diameter, dan diameter infundibulum bawah, serta jumlah kaliks minor, didapatkan perbedaan dalam hal angka bebas batu dan angka residual. Namun menggunakan analisis multivariat logistik didapatkan bahwa rasio penjang terhadap diameter infundibulum bawah, diameter dan jumlah kaliks minor merupakan faktor prediktor independen untuk keberhasilan bersihan batu. Ke-13 pa sien yang memiliki 3 faktor anatomi positif (rasio panjang terhadap diameter infundib ulum bawah 4mm dan sebuah kaliks minor tunggal) mencapai angka bersihan batu 84,6%. Pada pasien dengan hanya 1 atau 2 faktor positif, angka ber sihan batu masih lebih besar dari 60%.Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kesuksesan ESWL sangat dipengaruhi oleh anatomi kutub bawah ginjal. Jika seorang pasien dengan batu kutub bawah mem iliki sedikitnya satu dari faktor-faktor positif yang telah disebutkan sebelumnya. ESW L dapat dianjurkan sebagai terapi lini pertama dengan kemungkinan keberhasilan > 60%. Pi lihan terapi lain harus dipertimbangkan pada mereka yang tidak memiliki satu pun fakto r positif.23 (Level of evidence IIIa) Lingeman melakukan evaluasi terhadap perbandingan hasil PNL dan ESWL dalam tatalaksana batu ginjal kutub bawah, melalui 32 pasien yang menjalani PNL dan meta analisis terhadap 13 studi tentang ESWL dan 3 studi tentang tentang PNL. An gka bebas batu secara keseluruhan pada ESWL sebesar 60%, sedangkan pada PNL sebesar 90% (p 20 mm, angka bebas batu untuk SWL sebesar 33% dibandingkan 94% untuk PNL (p