pengertian rinitis alerg didi

21
Pengertian Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rhinitis : 1. Rhinitis alergi à disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung. 2. Rhinitis non alergi à disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : Rhinitis vasomotor, rhinitis medicamentosa, rhinitis struktural Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Upload: didi

Post on 05-Jan-2016

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pengkajian tentang rinitis alergi

TRANSCRIPT

Page 1: Pengertian Rinitis Alerg Didi

Pengertian

 Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi  pada pasien atopi

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia  ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis

alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rhinitis :

1. Rhinitis alergi à disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung.

2. Rhinitis non alergi à disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : Rhinitis vasomotor,

rhinitis medicamentosa, rhinitis struktural

Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1.      Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4  minggu.

2.      Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjad i:

1.    Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,

belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2.      Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas(Bousquet et al,

2001).

         Etiologi rinitis alergi

    Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis

alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada

dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari

klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan

rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

Page 2: Pengertian Rinitis Alerg Didi

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides

farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan

binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai

tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi

merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan

memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau

aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1.   Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,

serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

2.  Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,

ikan dan udang.

3.    Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya

bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

         Patofisiologi

    Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1.    Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung

sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit,

setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena

hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif

seperti histamin.

2.     Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai

24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini

berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 +

Page 3: Pengertian Rinitis Alerg Didi

sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret

kental.

Patogenesis Rinitis Alergi      

Page 4: Pengertian Rinitis Alerg Didi

Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi

dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.

Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bersama udara

pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti

sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan

alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks

histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0

(sel T helper) melalui MHC-II  dan reseptornya  (TcR-CD4)  memicu deferensiasi  Sel  Th0

menjadi  sel Th2.  Beberapa  sitokin  yaitu IL3,  IL4,  IL5,  IL9,IL10,  IL13 dan granulocyte-

macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.

IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga

sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan

di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

Page 5: Pengertian Rinitis Alerg Didi

berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk

ikatan IgE-sel mast. Individu yang  mengandung  komplek tersebut  disebut  individu yang 

sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

           

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa

gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel

goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

Page 6: Pengertian Rinitis Alerg Didi

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5

dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban

udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel

goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang

tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan

masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :

1. Respon primer

   Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat

berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi

respon sekunder.

2. Respon sekunder

    Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas

seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,

reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka

reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

  Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs

mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate

hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau

Page 7: Pengertian Rinitis Alerg Didi

reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak

dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

         Gejala klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan

sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap

serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis

(Soepardi, Iskandar, 2004).

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan

mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda

alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan

hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering

menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema

mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret

mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani

atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk

faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk

suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.

WHO, 2001).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,

penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah

dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

         Diagnosis

      Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Page 8: Pengertian Rinitis Alerg Didi

   Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah

terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak

air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama

atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,

identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi

rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat

ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5

kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,

dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik

    Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan

gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002).

Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi

bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh

punggung tangan (allergic salute).

      Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid

dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan

septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat

pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis

dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

   Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan

IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila

tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno

Page 9: Pengertian Rinitis Alerg Didi

Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivo

   Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial

untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000).

         Tujuan terapi

     Meminimalisasi/mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin dan biaya

pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.

          Penatalaksanaan

1. Terapi Non-farmakologi

    Terapi non-farmakologi  yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya

(avoidance) dan eliminasi.

2.  Terapi Farmakologi  (Terapi Simptomatis)

a.   Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,

kortikosteroid dan antikolinergik topikal.

      Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1 berikatan

dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin.

Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan

rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan

secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1

(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat

Page 10: Pengertian Rinitis Alerg Didi

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek

kolinergik.

Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih

banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi

otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang

baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi

gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti

hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

         Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral

dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal

hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi,

menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.

a.       Dekongestan oral 

      Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada

pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,

berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa,

retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan

dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral

efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

b.      Dekongestan intranasal 

      Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)

juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini

Page 11: Pengertian Rinitis Alerg Didi

bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang

dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti

sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis

alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang

sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

         Preparat Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena

sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh

pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa kortikosteroid

menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis

factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF).

Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,  regulated on activation normal T cell

expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-1α),

dan monocyt chemoattractant protein-1.

a.       Kortikosteroid intranasal 

      Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini

merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap

kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah

beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena

efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek

samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal

hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu

pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang

menonjol.

b.      Kortikosteroid oral/IM  

      Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,

prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan

Page 12: Pengertian Rinitis Alerg Didi

hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,

kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek

samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas.

Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak

kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

         Sodium Kromolin

Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan

mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang

antigen melewati membran sel mast.

        Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi

rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

         Anti-leukotrien  seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor

CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi

dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek

sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

c.       Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau

troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

d.      Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa

gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi.

Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG

spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan

hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya

berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak

membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo, 2006).

Page 13: Pengertian Rinitis Alerg Didi

         Bila ada konjungtivitis, tambahkan :o   Penghambat H1 oralo   Atau penghambat H1 Intra-okulero   Atau kromolin intra-okulero   (atau larutan garam fisiologis)

         Pertimbangkan Imunoterapi spesifikBila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap berikutnya.

         Komplikasi

1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya

pada anak-anak.

Page 14: Pengertian Rinitis Alerg Didi

5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma

bronkial.

Daftar Pustaka

            Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.

            ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on  asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

            Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi kedua. Thieme. New York: 242-260.

            Benjamini E., Coico R., Sunshine G., 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed. John Wiley & sons. Available from:  URL http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March 2010].

            Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group. World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical immunol : S147-S276.

            Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.

            Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika

            Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.

            Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.

            Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem USA:P, 12

            Mulyarjo, 2006. Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada  Simptom, Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan Septorinoplasti, Malang : pp10, 2, 1-18.

            Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and Management of Allergic Rhinitis : a Guide for Family Physicians. Texas  Acad. Fam. Physicians. 1-15 .

Page 15: Pengertian Rinitis Alerg Didi

            Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI            Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.            Von Pirquet C. Klinische studien uber Vaccination und vaccinale allergie. ... J. Immunol 1986. 133: 1594-1600. (Accepted 12 March 1986).