pengertian pendidikan kewarganegaraan 1
DESCRIPTION
pknTRANSCRIPT
PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6). Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatn¬ya. Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI). Pendidikan Kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Lebih lanjut Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa:PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
civic education1999:4Menurut Branson dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan.
e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD NRI 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.f. Kegiatan dasar manusia.g. Pengertian pendidikan IPS
Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan Kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebgai salah satu tujuan pendidikan IPS.Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut
(Somantri, 2001:159):Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu Kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuanpendidikan IPS.
Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD NRI 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD NRI 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).f. Dalam kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Al-Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan
perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.
TUJUAN
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang sedang dan mengkaji dan akan menguasai imu pengetahuaan dan teknologi serta seni.
Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai perilaku yang:
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa serta menghayati nilai-nilai falsafah bangsa.
2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masnyarakat berbangsa dan bernegara.
3. Rasional, dinamis, dan sabar akan hak dan kewajiban warga negara.4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui pendidikan Kewarganegaraan , warga negara Republik indonesia diharapkan mampu “memahami”, menganalisa, dan menjawab masalah-masalah yang di hadapi oleh masyarakat , bangsa dan negaranya secra konsisten dan berkesinambungan dalam cita-cita dan tujuan nasional seperti yang di gariskan dalam pembukaan UUD 1945.
2.1 Pengertian Urgensi dan Orientasi Pendidikan Kewarganegaraan
Sejak timbulnya gerakan reformasi dan demokratisaasi di indonesia pada
akhir dasawarsa 1990-an yang ternyata telah berhasil mengakhiri secara formal
tatanan dan instrumentasi demokrasi semu di era orde baru, dan secara perlahan
menapaki era baru orde reformasi, mulai berkembang pemikiran perlunya
merekonseptualisasi dan meresponsisi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks
pendidikan demokrasi dalam arti mendasar. Dan sesuai dengan undang undang no.
2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional didalam kurikulum pendidikan
tinggi telah ditetapkan adanya mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
(kewiraan) sebagai salah satu komponen dari kelompok mata kuliah umum.
Sampai saat ini secara umum mata kuliah ini mencakup materi pendidikan
kewarganegaraan dengan tujuan untuk mengembangkan mahasiswa agar mampu
berperan aktif sebagai warga negara dalam kontek bela negara. Hal ini dapat
dipahami karena memang pada awalnya, yakni sebelum ada undang-undang no. 2
tahun 1989 itu, mata kuliah ini lebih dikenal sebagai mata kuliah kewiraan. Dan
kini telah menjadi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan dari jalur
pendidikan formal akan menjadi warga negara yang memiliki berbagai
kemampuan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat dan menjadi agent
perubahan bagi masyarakatnya serta mampu melakukan proses pembelajaran diri,
proses pengewanjatahan nilai-nilai dan pengalihan prinsip-prinsip dalam
kehidupan nyata.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (penjelasan
pasal ayat 1 uu no.20/2003) dalam kontek pendidikan nasional pendidikan
kewarganegaraan dijadikan sebagai wadah dan instrument untuk menwujudkan
tujuan pendidikan nasional yaitu perkembangan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan dari pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah bagaimana
menjadikan warga negara yang cerdas dan baik serta mampu mendukung
keberlangsungan bangsa dan negara. Upaya kewarganegaraan individu atau orang-
orang yang hidup dalam suatu negara merupakan tugas pokok negara. Konsep
warga negara yang cerdas dan baik tentunya tergantung dari pandangan hidup dan
sistem politik negara yang bersangkutan. Pendidikam kewarganegaraan, khususnya
sepanjang pemerintahan orde baru, telah direkayasa sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan melalui cara indoktrinasi, manipulasi atas demokrasi
dan pancasila, dan tindakan paradoks penguasa orde baru. Sikap paradoks orde
baru terlihat dari tidak jalannya antara program pendidikan kewiraan dan pancasila
dengan perilaku elit orde baru dalam mengelola negara yang penuh dengan praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme (kkn). Besarnya jumlah masyarakat indonesia yang
awam tentang demokrasi , maka membutuhkan sebuah model pendidikan
kewarganegaraan yang memperdayakan dan membebaskan rakyat dari keawaman
demokrasi tersebut.
Penggunaan pendidikan kewarganegaraan tidak lepas dari realitas empiris
bangsa indonesia saat ini yang masih awam tentang demokrasi. Dengan kata lain,
pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah suatu program pendidikan
yang berusaha menggabungkan unsur-unsur substantif dari komponen civic
education diatas melalui model pembelajaran yang demokratis, interaktif, dan
humanis dalam lingkungan yang demokratis. Unsur-unsur substantif civic
education tersebut terangkum dalam tiga komponen inti yang saling terkait dalam
pendidikan kewarganegaraan yaitu: demokrasi, ham, dan masyarakat madani.
Dengan kata lain, pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah suatu
program pendidikan yang berusaha menggabungkan unsur-unsur substantif dari
komponen civic education diatas melalui model pembelajaran yang demokratis,
interaktif, dan humanis dalam lingkungan yang demokratis. Unsur-unsur
substantif civic education tersebut terangkum dalam tiga komponen inti yang
saling terkait dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu: demokrasi, ham, dan
masyarakat madani. Dengan kata lain, pendidikan kewarganegaraan (civic
education) adalah suatu program pendidikan yang berusaha menggabungkan
unsur-unsur substantif dari komponen civic education diatas melalui model
pembelajaran yang demokratis, interaktif, dan humanis dalam lingkungan yang
demokratis. Unsur-unsur substantif civic education tersebut terangkum dalam tiga
komponen inti yang saling terkait dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu:
demokrasi, ham, dan masyarakat madani. Pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan paradigma demokratis yakni orientasi yang menekankan pada
upaya penberdayaan mahasiswa sebagai warga negara indonesia secara
demokratis. Paradigma demokratis dalam pendidikan menempatkan peserta didik
sebagai subyek aktif, pendidik sebagai mitra peserta didik dalam proses
pembelajaran.sedangkan tujuan dari paradigma demokrasi ini adalah sebagai upaya
pembelajaran yang diarahkan agar peserta didik tidak hanya mengetahuai sesuatu
melainkan dapat belajar untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab sebagai
individu dan makhluk sosial serta belajar untuk melakukan sesuatu yang didasari
oleh pengetahuan yang memilikinya.
Sebagai output dari pendidikan yang demokratis, kedewasaan warga negara
dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi adanya keterkaitan antara
sikap-sikap demokratis warga negara dan program pendidikan demokrasi, populer
dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh
melalui jalur pendidikan formal.
Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia,
pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat sipil
yang beradab dan demokratis amat penting diakukan.
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah
pendidikan nasional. Di era Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan
dikenal dengan pendidikan civic.
Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk
pendidikan yang memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku
universal, di mana prinsip umum demokrasi yang mengandung pengertian
mekanisme sosial politik yang dilakukan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk
warga negara menjadi fondasi dan tujuannya.
Mengaca pada realitas demokrasi di Indonesia, pendidikan demokrasi yang
disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan dengan konsep itu sudah
saatnya dilakukan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membangun kesadaran
peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu
menggunakannya secara demokratis dan beradab.
Orientasi lama pengajaran PPKn yang lebih menekankan kepatuhan peserta
didik kepada negara sudah saatnya diubah ke arah pengajaran yang berorientasi
pada penyiapan peserta didik menjadi warga negara yang kritis, aktif, toleran, dan
mandiri.
Jika orientasi pendidikan PPKn masa lalu telah terbukti gagal melahirkan
manusia Indonesia yang mandiri dan kreatif, karena terlalu kuatnya muatan
“pengarahan” negara atas warga negara, pendidikan kewarganegaraan mendatang
seharusnya diarahkan untuk membangun daya kreativitas dan inovasi peserta didik
melalui pola-pola pendidikan yang demokratis dan partisipatif.
Perilaku budaya demokrasi harus terus dikembangkan dalam kehidupan
demokrasi, baik dalam suprastruktur maupun infrastruktur. Perilaku budaya
demokrasi yang dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara akan menghasilkan demokrasi yang berbudaya dan peradaban. Kondisi
demikian merupakan iklim yang cukup mendukung terwujudnya masyarakat
madani.
Untuk membentuk suatu negara yang demokratis, maka negara tersebut
harus melaksanakan prinsip demokrasi yang didukung oleh warga negara. Prinsip
demokrasi adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai
demokrasi tersebut antara lain : adil, terbuka, menghargai, mengakui perbedaan,
anti kekerasan, damai, tanggung jawab ,dan kerja sama.
Sistem politik demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah Sistem Politik
Demokrasi Pancasila. Budaya demokrasi Pancasila merupakan paham demokrasi
yang berpedoman pada asas kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanaan yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan bersama sama
menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keinginan rakyat dapat
tersalurkan baik dalam lembaga suprastruktur politik (lembaga negara), maupun
dalam infrastruktur politik (partai politik, organisasi massa, dan media politik
lainnya).
Membiasakan diri melaksanakan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-
hari dapat dilakukan di lingkungan keluarga ,maupun lingkungan sekolah, di
organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik (parpol), serta di DPR sebagai
lembaga pembuat Undang-Undang.
Tujuan dari pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah bagaimana
menjadikan warga negara yang cerdas dan baik serta mampu mendukung
keberlangsungan bangsa dan negara.
Penggunaan pendidikan kewarganegaraan tidak lepas dari realitas empiris
bangsa indonesia saat ini yang masih awam tentang demokrasi .pendidikan
kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air Pendidikan
kewarganegaraan dijadikan sebagai wadah dan instrument untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional yaitu perkembangan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
2.2 Implementasi Sikap Kritis, Analitis, dan Logis
Implementasi sikap berpikir kritis, analitis, dan logis dalam melihat makna
civic education (Pendidikan Kewarganegaraan)
a. Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial
untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak
1942. Penelitian dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik
pembicaraan dalam sepuluh tahun terakhir ini (Patrick, 2000:1). Definisi berpikir
kritis banyak dikemukakan para ahli.
Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau
strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah
menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-
merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan
masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan
membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara
efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan
mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala
menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis
juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang
akan dituju.
Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya
mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat
keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi
siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis
pekerjaan di masa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang
memiliki kemampuan berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum
merasuk ke jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal di masyarakat
yang serba praktis saat ini. Sebuah laporan di Malaysia menyebutkan bahwa
pembelajaran kognisi tingkat tinggi membantu siswa untuk menjadi pembelajar
mandiri, mengembangkan keterampilan berpikir siswa lebih umum dinyatakan
sebagai tujuan pendidikan saja. Rajendran (2002) menemukan kurangnya
kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di
sekolah dan kelas ke permasalahan yang mereka temui dalam kehidupan sehari-
hari. Dia menegaskan bahwa banyak siswa tidak mampu memberikan bukti tak
lebih dari pemahaman yang dangkal tentang konsep dan hubungan yang mendasar
bagi mata pelajaran yang telah mereka pelajari, atau ketidakmampuan untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ke dalam permasalahan
dunia nyata (Rajendran, 2002).
Menurut kajian ini kebutuhan untuk mengajarkan kemampuan berpikir
sebagai bagian yang menyatu dengan kurikulum sekolah merupakan hal yang
sangat penting. Sebagian besar negara mempedulikan kenaikan standar pendidikan
melalui wajib belajar pada pendidikan formal. Menurut Cotton (2003), pada
tatanan masyarakat yang serba praktis ini, pendidikan anak-anak menjadi tujuan
utama pendidikan. Hal ini akan membekali anak-anak dengan pembelajaran
sepanjang hayat dan kemampuan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk menangkap
fakta dan memproses informasi di era dunia yang makin berkembang ini. Salah
satu dari fungsi sekolah adalah menyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan siap
dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat, maka penting pembelajaran
berpikir dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Selain perhatian terhadap
penguasaan hal-hal dasar seperti membaca, menulis, sains dan matematika,
perhatian yang sama juga terletak pada kemampuan berpikir kritis. Pengetahuan
dasar atau penguasaannya saja tidak cukup untuk memenuhi tuntutan
perkembangan dunia masa yang akan datang. Beberapa kajian pedagogi yang
memiliki kontribusi terhadap antara lain Bourke (2004), See (1998), See dan Lim
(2003), Dhinsa dan Shanmuganathan (2002).
Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol (2001)
sangat berguna dalam meningkatkan level berpikir kritis. Peneliti Chai dan Tan
(2003) mengusulkan sebuah pendekatan yang disebut dengan knowledge building
community untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Mereka
menyatakan bahwa pendekatan ini mampu mengubah struktur wacana tradisional
penyampaian ilmu pengetahuan di kelas untuk mengembangkan ide-ide dan
keterampilan berpikir kritis. Rangkaian guru mengajukan pertanyaan, siswa
menjawab dan kemudian guru mengevaluasi dan menjelaskan kembali secara rinci
jawaban dari siswa, adalah tipikal kelas tradisional (Chai dan Tan 2003).
Apa yang dibutuhkan sekarang adalah suatu konteks ramah sosial bagi
peserta didik untuk membawa ide mereka ke dalam kelas. Lee (1999) mengatakan
bahwa memberikan materi yang tepat, arahan yang benar dan suasana
pembelajaran yang kondusif, anak-anak dari usia berapapun akan mampu
berkembang kemampuan berpikir kritisnya.
Kunci berpikir kritis adalah mengembangkan pendekatan impersonal yang
memperhatikan argumentasi dan fakta sejalan dengan pandangan, pendapat dan
perasaan personal. Wacana akademik didasarkan pada prinsip-prinsip berpikir
kritis yang dijelaskan oleh Northedge (2005) sebagai berikut: Debat: membantah
poin-poin yang memiliki pandangan berbeda. Keilmuan: kesadaran akan hal lain
apa yang telah ditulis, dan mengutipnya dengan tepat. Argumen: mengembangkan
poin-poin dalam urutan logis yang akan mengarah pada kesimpulan. Kritis:
mengetahui/ memperhatikan kekuatan dan kelemahan. Analisis: menguraikan
argumen yang dikemukakan. Bukti: meyakinkan orang bahwa argumen yang
dibawa didukung oleh bukti yang valid. Objektif: tidak memihak dan emosional
serta tanpa menimbulkan daya tarik langsung pada orang lain. Presisi: menuju
ketepatan, hal-hal apapun yang tidak terkait dengan argumen harus dihilangkan.
Pemikiran kritis dan analitis harus diaplikasikan pada semua aspek kegiatan
akademik, misalnya aktivitas memilih informasi, membaca, menulis, berbicara,
dan menyimak. Belajar membaca dan mengevaluasi informasi secara kritis
merupakan keahlian yang paling penting, apabila telah dikuasai dapat
diaplikasikan di bidang-bidang lainnya.
Contoh : pada saat kemarin BBM akan naik seharusnya kita tidak panik tetapi kita
membuat bahan pengganti BBM yang lebih murah dan mudah dalam membuatnya.
b. Analitis
Kemampuan analitis adalah kemampuan siswa untuk menguraikan atau
memisahkan suatu hal ke dalam bagian-bagiannya dan dapat mencari keterkaitan
antara bagian-bagian tersebut. Menganalisis adalah kemampuan memisahkan
materi (informasi) ke dalam bagian-bagiannya yang perlu, mencari hubungan
antarabagian-bagiannya, mampu melihat (mengenal) komponen-komponennya,
bagaimana komponen-komponen itu berhubungan dan terorganisasikan,
membedakan fakta dari hayalan.
Dalam kemampuan analisis ini juga termasuk kemampuan menyelesaikan
soal-soal yang tidak rutin, menemukan hubungan, membuktikan dan
mengomentari bukti, dan merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu
generalisasi, tetapi baru dalam tahap analisis belum dapat menyusun.
Pendapat lain yang sejalan, Suherman dan Sukjaya (1990: 49) menyatakan
bahwa kemampuan analisis adalah kemampuan untuk merinci atau menguraikan
suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta
mampu untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Hal ini juga
diperkuat oleh Bloom yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir analitis
menekankan pada pemecahan materi ke dalam bagian-bagian yang lebih khusus
atau kecil dan mendeteksi hubungan-hubungan dan bagian-bagian tersebut dan
bagian-bagian itu diorganisir.
Ross mengungkapkan beberapa indikator kemampuan analitis, yaitu:
1) Memberikan alasan mengapa sebuah jawaban atau pendekatan suatu masalah
adalah masuk akal.
2) Membuat dan mengevaluasi kesimpulan umum berdasarkan atas penyelidikan atau
penelitian.
3) Meramalkan atau menggambarkan kesimpulan atau putusan dari informasi yang
sesuai.
4) Mempertimbangkan validitas dari argumen dengan menggunakan berpikir
deduktif dan induktif.
5) Menggunakan data yang mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang
digunakan dalam jawaban adalah benar.
c. Logis (Rasional)
Rasional diambil dari kata bahasa inggris yaitu “rational” yang mempunyai
definisi yaitu dapat diterima oleh akal dan pikiran dapat ditalar sesuai dengan
kemampuan otak.Hal-hal yang rasional adalah suatu hal yang di dalam prosesnya
dapat dimengerti sesuai dengan kenyataan dan realitas yang ada.Biasanya kata
rasional ditujukan untuk suatu hal atau kegiatan yang masuk diakal dan diterima
dengan baik oleh masyarakat . Rasional juga berarti norma norma yang sudah
baku di dalam masyarakat dan telah menjadi suatu hal yang biasa dan permanen.
Contoh : saat dihadapkan pada kericuhan atau masalah, kita tidak boleh
berpikir bahwa dunia sudah berakhir, namun berpikir secara nalar bahwa masalah
pasti akan ada jalan keluarnya dan hidup akan tetap berjalan.
2.3 Perilaku Positif yang Mencerminkan Nilai-Nilai Pendidikan
Kewarganegaraan
Dalam kehidupan, terdapat nilai-nilai yang lahir dalam suatu masyarakat.
Nilai itu sendiri adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar. Nilai adalah sesuatu
yang dianggap berharga oleh suatu masyarakat. Nilai itu sendiri diwujudkan dalam
bentuk norma yang berguna untuk mengatur hidup manusia. Nilai tersebut
diimplementasikan dalam bentuk norma. Berikut adalah beberapa nilai yang
dikaitkan hubungannya dengan integrasi nasional, antara lain :
a. Kesopanan
Bahasa dan sopan santun menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Sifat atau
watak pribadi seseorang dapat dilihat dari perkataan yang ia ucapkan maupun
penampilan diri. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis,
teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi yang berbudi. Bagi saya nilai
kesopanan merupakan perwujudan budi pekerti luhur yang diperoleh melalui
pendidikan dan latihan dari berbagai orang dalam kedudukannya masing-masing,
seperti: orang tua dan guru, para pemuka agama dan masyarakat umum dan
tulisan-tulisan dan hasil karya para bijak.
Dari pendidikan dan latihan tersebut, saya mewujudkannya dalam bentuk sikap
dan perilaku yang sehat dan serasi dengan kodrat, tempat waktu dan lingkungan
dimana saya berada sehari-hari. Perwujudan nilai sopan santun disesuaikan dengan
kondisi dan situasi secara pribadi ( individu ) maupun secara kelompok. Secara
Pribadi dapat mewujudkan tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari–
hari sesuai nilai sopan santun sebagai pencerminan kepribadian dan budi pekerti
luhur.Sikap dan perilaku tersebut saya wujudkan dalam:
1) Sikap berbicara
2) Sikap duduk
3) Sikap berdiri
4) Sikap berjalan
5) Sikap berpakaian
6) Sikap makan dan minum
7) Sikap pergaulan
8) Sikap penghormatan
9) Sikap menggunakan fasilitas umum Secara Kelompok
Sebagai mahluk sosial yang memiliki norma nilai sopan santun,
berkepribadian dan berbudi pekerti luhur harus dapat mewujudkan sikap dan
perilaku kelompok sehari-hari sesuai dengan norma nilai sopan santun
dilingkungan sosialnya. Pencerminan sikap dan perilaku bermasyarakat dan
bernegara antara lain sebagai berikut :
1) Menghormati orang yang lebih tua.
2) Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
3) Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
4) Tidak meludah di sembarang tempat.
Nilai kesopanan merupakan karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi persaudaraan, saling menghormati dan menghargai orang
lainnya sangatlah kental, bahkan kadang sering saya lihat banyak yang berbasa-
basi atau memaksakan diri untuk menegur dan bercengkrama hanya untuk
menanyakan kabar pribadi dan keluarga masing-masing, kemudian baru
dilanjutkan dengan membicarakan suatu kejadian, masalah ataupun topik
pembicaraan yang menarik perhatian sehingga akhirnya menyatu didalam
komunikasi yang hangat dan bersahabat.
Keadaan sekarang ini yang secara realita kebudayaan terus berubah karena
masuknya budaya barat akan sulit mempertahankan kesopanan di semua keadaan
ataupun di semua tempat. Misalnya saja sopan santun dalam tutur kata. Di barat,
anak-anak yang sudah dewasa biasanya memanggil orang tuanya dengan sebutan
nama, tetapi di Indonesia sendiri panggilan tersebut sangat tidak sopan karena
orang tua umurnya lebih tua dari kita dan kita harus memanggilnya bapak ataupun
ibu. Kemudian sopan santun dalam berpakaian, di luar negeri orang yang
berpakaian bikini di pantai bagi mereka wajar. Tapi bagi kita berpakaian seperti itu
sangat tidak sopan karena dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan.
Maka dapat disimpulkan bahwa nilai kesopanan merupakan bentuk dari jati
diri bangsa. Bangsa tersebut dapat dikatakan baik atau buruknya etika warga
Negara terlihat jelas dari nilai kesopanan. Oleh karena itu, sangat penting kita
terapkan nilai kesopanan mulai dari sekarang, terutama dalam bermasyarakat dan
bernegara karena nilai kesopanan merupakan pembentuk jati diri bangsa. Integrasi
nasional menjadi benteng kita dari dampak negative globalisasi dan alat pemersatu
nilai kesopanan dengan menempatkan kurikulum yang memberikan pendidikan
Karakter kepada peserta didik sebagai masa depan Indonesia. Pada tingkat dasar
pendidikan karakter masuk dalam Pendidikan Kewarganegaraan(PKn). Pendidikan
karakter mengajarkan budi pekerti yang berisi nilai-nilai perilaku manusia yang
akan diukur menurut kebaikan dan ke-burukannya melalui ukuran norma agama,
norma hukum, tata krama, dan sopan santun, norma budaya/adat istiadat
masyarakat. Pendidikan karakter akan mengidentifikasi perilaku positif yang
diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan,
dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti luhur dapat menciptakan sikap sopan
santun, suatu sikap dan perbuatan menunjukkan hormat, takzim, tertib menurut
adat yang baik yang menunjukkan tingkah laku yang beradab.
b. Nilai Ketekunan
Ketekunan merupakan sikap pantang menyerah, telaten dan ulet yang
ditunjukkan seorang manusia untuk mencapai tujuan. Nilai ketekunan amat sangat
penting bagi kehidupan manusia karena melalui nilai itulah bisa diukur seberapa
besar tekad dan usaha seseorang untuk mencapai keinginannya.
Dalam konteks pendidikan nasional, ketekunan merupakan salah satu pilar
yang sangat penting. Terdapat sembilan pilar yang saling berkaitan dalam system
pendidikan di Indonesia, yaitu responsibility (tanggung jawab), respect (rasa
hormat), fairness (keadilan), courage (keberanian), honesty (kejujuran), citizenship
(kewarganegaraan), self-discipline (disiplin diri), caring (peduli), dan perseverance
(ketekunan).
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/28/pendidikan-karakter-untuk-bangsa-
yang-rapuh-berkarakter/)
Dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, nilai ketekunan bisa
ditemukan dalam tindakan seperti berikut :
1) Untuk menjadi juara kelas, maka harus tekun belajar.
2) Untuk membeli suatu barang yang diinginkan tanpa meminta uang dari orang tua,
harus tekun mengumpulkan uang atau menyisakan uang saku.
3) Supaya tugas selesai dengan baik dan tepat waktu, harus dikerjakan secara telaten
dan sungguh-sungguh.
4) Untuk mendapat IP yang tinggi, harus tekun mengikuti perkuliahan, yaitu dengan
rajin masuk kuliah, mengerjakan semua tugas, dan belajar dengan sungguh-
sungguh.
Berkaitan dengan integrasi nasional, nilai ketekunan memegang peranan
penting bagi persatuan negara Indonesia. Ketekunan harus diterapkan bagi masing-
masing diri warga negara Indonesia. Jika semua warga negara Indonesia memiliki
ketekunan dalam masing-masing kegiatannya, maka tidak heran jika negara ini
akan menjadi negara maju. Kemajuan suatu negara akan sangat berpengaruh bagi
integrasi/persatuan suatu negara. Jarang sekali kita mendengar dalam negara maju
terjadi pemberontakan dari suatu kelompok masyarakat yang ingin berlepas diri
dari negara itu.
Contoh nyata dari nilai ketekunan yang sangat berpengaruh bagi integrasi
nasional adalah negara jepang. Jepang dikenal sebagai negara maju yang
penduduknya memiliki ketekunan yang sangat tinggi. Mereka sanggup
menciptakan teknologi melalui ketekunan kerja mereka. Tidak heran jika warga
Jepang sangat membanggakan negaranya dan memiliki nasionalisme yang sangat
tinggi terhadap negaranya. Hal inilah yang sepatutnya ditiru bangsa Indonesia.
Melalui ketekunan, kita warga Indonesia bisa melakukan sustu hal yang dapat
mengharumkan nama negeri ini sehingga kecintaan kita terhadap tanah air akan
sangat tinggi.
c. Disiplin
1) Pengertian Kedisiplinan
`Disiplin adalah sikap/ tindakan yang sesuai dengan aturan dan tata tertib
yang berlaku. Jadi, kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk
melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukan nilai – nilai ketaatan,
kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Kedisiplinan dalam proses
pendidikan sangat diperlukan karena bukan hanya untuk menjaga kondisi suasana
belajar dan mengajar berjalan dengan lancar, tetapi juga untuk menciptakan pribadi
yang kuat bagi peserta didik.
2) Contoh/ Fakta Perilaku Disiplin Dalam Kehidupan Sehari-hari
a) Set iap har i saya bangun t idur jam 5 pagi dengan tekun dan te l i t i
la lu merapikan tempat tidur, setelah tempat tidurnya rapi, bersiap-siap mandi.
Selesai mandi, saya melakukan sholat subuh, kemudian bersiap-siap. Saya menuju
ke meja makan untuk sarapan pagi bersama keluarga. Saya kemudian berpamitan
pada kedua orang tuanya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh saya pun
berangkat ke kampus.
b) Setiap hari, perkuliahan masuk pukul 07.30. Setiap hari saya sampai di
kampus pukul 07.15 sehingga saya tidak pernah terlambat dalam mengikuti
perkuliahan.
c) Ketika saya mengendarai sepeda motor, diperempatan jalan lampu lalu
lintas berwarna kuning menyala. Saya mengurangi laju sepeda motor saya. Ketika
lampu berwarna merah saya berhenti. Dan juga selalu memakai helm dan
membawa SIM dan STNK kemanapun saya pergi.
3) Ciri-ciri Orang Disiplin
a) Selalu menaati peraturan/ tata tertib yang ada.
b) Selalu melaksanakan tugas dan kewajiban yang diterimanya dengan tepat
waktu.
c) Kehidupannya teratur.
d) Tidak mengulur-ulur waktu dan menunda peker jaan.
4) Manfaat Disiplin
a) Kehidupannya tenang, tenteram dan teratur.
b) Menumbuhkan sikap tanggung jawab anggota keluarga terhadap kepentingan
bersama dalam keluarga.
c) Membiasakan mengatur dan mentaati penggunaan waktu untuk urusan keluarga
secara teratur.
d) Membiasakan hidup tertib.
e) Mentaati norma sopan santun, norma moral dan norma keagamaan dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
f) Tugas dapat se lesa i tepat pada waktunya
g) Menguntungkan di r i sendi r i dan orang la in
h) Dapat menghemat waktu , b iaya , dan tenaga
5) Kaitan Antara Kedisiplinan dengan Integrasi Nasional
Setiap orang dalam hidup bernegara pasti diatur oleh hukum yang berlaku pada
suatu negara itu. Di Indonesia, misalnya setiap warga negara wajib membayar
pajak kepada negara. Kalau semua warga negara disiplin dalam membayar pajak
maka pembangunan negara akan berjalan lancar, ekonomi negarapun akan jadi
kuat. Jika semua warga negara sadar akan hal itu maka negara Indonesia akan
maju, tidak akan ada wilayah dari negara Indonesia yang ingin keluar dari
Indonesia karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan kehidupan
rakyatnya pun akan menjadi makmur dan sejahtera. Dengan semua itu maka akan
menyatukan semua warga Indonesia (integrasi) yang terdiri dari berbagai suku, ras,
agama, dan budaya dengan semboyan “Walaupun berbeda-beda tetap satu juga”
d. Tenggang Rasa dan Kepedulian
Nilai tenggang rasa adalah nilai yang harus ada dan tertanam dalam seluruh
elemen masyarakat khususnya masyarakat dalam satu kesatuan utuh sebagai
bagian dari satu bangsa dan satu Negara.
Nilai kepedulian adalah nilai yang harus muncul dan terwujud dalam pribadi diri
seseorang kemudian nilai tersebut di praktekan di dalam kehidupan sehari-hari dan
berkesimbungan ke masyarakat lain sebagai pihak yang saling berkaitan,
selanjutnya nilai tersebut mewujudkan kesadaran bahwa individu-individu yang
saling berkaitan itu tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan, adanya
nilai kepedulian ini sebagai tanda dan dari nilai inilah terciptakan sebuat ikatan
batin di antara individu satu dengan individu yang lainnya.
Kedua nilai diatas sebagai perwujudan pembentuk keeratan antara
individu/kelompok satu dengan individu/kelompok lain berkaitan erat dan
membentuk rasa persatuan dan kesatuan sebagai bagian dari satu bangsa dan satu
Negara yang utuh.
e. Kerukunan
Kerukunan adalah salah satu nilai yang berkaitan erat dengan integrasi nasional.
Kerukunan di sini memiliki arti yang luas, bukan hanya menjurus pada kerukunan
beragama saja. Namun, juga merupakan kerukunan dalam hal lain seperti
kerukunan antar suku, ras, dan lain-lain. Dalam kerukunan, haruslah kita
mengedepankan sikap toleransi yagn tinggi. Toleransi merupakan kunci dari
kerukunan tersebut. Jika kita sudah tidak dapat toleransi, maka dapat timbul suatu
konflik. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari, Ani dan Ana akan mengerjakan
tugas kuliah bersama, di waktu bersamaan datang waktu shalat Duhur. Ana yang
memiliki agama yang berbeda harus memiliki rasa toleransi kepada temannya si
Ani untuk mengizinkannya melakukan kewajibannya itu.
Kaitan kerukunan dengan integrasi nasional adalah kerukunan dapat
memperkokoh integrasi nasional. Apabila semua warga negara dapat
mengedepankan kerukunan dengan menunjukkan sikap dan perilaku toleransi yang
ada, maka negara ini rasa persatuannya akan semakin kokoh.
Rendahnya empati dan kepedulian terhadap persoalan minoritas merupakan
gejala dari toleransi pasif. Ketidaktegasan pemerintah dalam penyelesaian konflik
sektarian seperti kasus Ahmadiyah, Syiah, dan sengketa rumah ibadah
mempertebal apatisme publik. Ketidaktuntasan proses penyelesaian konflik-konflik
telah menggerus rasa kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah.
Kondisi semacam ini memicu ketidakpuasan kelompok masyarakat yang berujung
pada lunturnya kepercayaan mereka terhadap efektivitas penegakan hukum. Masa
depan kerukunan umat beragama menjadi taruhannya mengingat potensi konflik
sektarian menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas heterogenitas etnis dan
agama.
Meningkatnya intensitas konflik sosial berlatar agama, khususnya tiga tahun
terakhir, telah memaksa kita memahami kembali makna kerukunan kehidupan
beragama dalam konteks kekinian. Penelitian Lazuardi Birru menyimpulkan bahwa
indeks kerentanan radikalisme nasional di tahun 2011 sebesar 43,6 persen, masih
jauh dari zona aman, yaitu 33,33 persen. Topik kerukunan ini mengemuka dalam
diskusi terbatas yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional (20/3/2012) di
Jakarta. Kerentanan kerukunan antar-umat beragama akan mengancam integrasi
bangsa. Terlebih, potensi konflik sosial di Indonesia diperkirakan semakin
mengeskalasi beberapa tahun ke depan.