pengembangan strategi keamanan produk … · kebijakan keamanan produk perikanan indonesia. hasil...

64
PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT LELY RAHMAWATY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: lykien

Post on 02-Mar-2019

252 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK

PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT

LELY RAHMAWATY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Strategi

Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tugas akhir ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Lely Rahmawaty

NIM F252100135

RINGKASAN

LELY RAHMAWATY. Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan

untuk Ekspor ke Amerika Serikat. Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan

HARSI D. KUSUMANINGRUM.

Pada era perdagangan bebas, produk perikanan Indonesia menghadapi

berbagai tantangan untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu produk

maupun efisiensi dalam produksi. Tantangan terbesar bagi produk pangan

termasuk produk perikanan di Indonesia yang paling utama adalah keamanan

pangan. Walaupun pemerintah Indonesia telah mewajibkan rantai pasok perikanan

menerapkan sistem mutu HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu

(PMMT) berdasarkan konsep HACCP pada tahun 1998, namun masih terdapat

produk perikanan yang ditolak di Amerika Serikat. Sejak tahun 2010 hingga tahun

2012 tercatat 1203 kasus penolakan dari FDA (Food and Drug Administration).

Padahal Amerika Serikat adalah negara tujuan utama ekspor hasil perikanan

Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus-kasus penolakan produk

perikanan yang didukung oleh studi kasus dan untuk merancang rekomendasi

strategi kebijakan keamanan produk perikanan Indonesia. Digunakan metode

pengambilan data dan gap analisis untuk merumuskan rekomendasi strategi

kebijakan keamanan produk perikanan Indonesia.

Hasil pengumpulan data FDA menunjukkan bahwa penolakan produk

Indonesia oleh FDA mengalami fluktuasi, pada tahun 2010 terdapat sebanyak 351

kasus, 2011 meningkat sebanyak 587 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 541 kasus

dengan 83, 84, dan 77% didominasi produk perikanan. Penyebab penolakan

tertinggi pada tahun 2010 adalah filthy (41 % atau 118 kasus) dan Salmonella

(37% atau 108 kasus), tahun 2011 filthy (30 % atau 146 kasus) dan Salmonella

(64% atau 315 kasus), dan tahun 2012 filthy (42 % atau 176 kasus) dan

Salmonella (27% atau 111 kasus). Penyebab penolakan terkait dengan praktek

GMP, sanitasi, serta dokumentasi dan penerapan HACCP.

Studi kasus penerapan HACCP di PT. AAA ditemuan 8 gap terhadap

regulasi FDA (21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan the Fish and Fishery

Products Hazards and Controls Guidance) yang menunjukkan kegagalan dalam

penerapan sistem HACCP karena perbedaan standar, regulasi dan audit sertifikasi

HACCP. Analisis gap standar dan regulasi Indonesia dengan FDA menghasilkan

7 (tujuh) strategi tambahan untuk memperkokoh strategi pengembangan sistem

sertifikasi HACCP yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan

BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil

Perikanan). Ke tujuh strategi tambahan tersebut adalah: 1) pelaksanaan National

Single Window yang efektif, 2) perumusan regulasi yang simpel dan

komprehensif, 3) harmonisasi standar, 4) akreditasi lembaga sertifikasi HACCP

sektor perikanan, 5) penyediaan infrastruktur lembaga sertifikasi produk, 6)

pemutakhiran infrastruktur laboratorium, 7) perintisan kerjasama internasional.

Kata kunci: akreditasi, HACCP, produk perikanan, standardisasi, strategi

kebijakan keamanan produk perikanan.

SUMMARY

LELY RAHMAWATY. Food Safety Strategy Development of Fishery Products

Export to the United States. Under direction of WINIATI P. RAHAYU and

HARSI D. KUSUMANINGRUM.

In the era of free trade, Indonesian fishery products face challenges to

improve competitiveness, in quality of product and production efficiency. The

biggest challenge for Indonesian fishery products in the era of free trade is food

safety. Although the Indonesian government has required the fisheries supply

chain to implement the HACCP quality system through the Integrated Quality

Management Program (IQMP) in 1998 based on HACCP concept, but Indonesia

still face rejection fishery products in the United States. In 2010 – 2012 recorded

1203 cases of refusal fishery products from FDA (Food and Drug

Administration). United States is the main export of Indonesian fishery products.

This study aims to analysis fishery products rejection case supported by case

study and to design a recommendation on food safety strategy development of

fishery products export to United State. Use data collection method and gap

analysis to design the recommendation food safety strategy development of

fishery products export to the United States.

The results of data collection indicate that Indonesian products rejection by

FDA in 2010, 2011, and 2012 has fluctuated, 351 cases in 2010, 587 in 2011, and

541 cases in 2012. In percentage 83, 84, and 77% dominated by fishery products.

The highest cause of rejection in 2010 are filthy (41 % or 118 cases) and

Salmonella (37% or 108 cases), in 2011 are filthy (30 % or 146 cases) and

Salmonella (64% or 315 cases), and 2012 are filthy (42 % or 176 cases) and

Salmonella (27% or 111 cases). Cause of rejection related to GMP, sanitation and

HACCP documentation and implementation.

The case study on application of HACCP system in PT. AAA found 8 gaps

of FDA regulation (21 CFR 123, FDA Food Code 2009 and the Fish and Fishery

Products Hazards and Controls Guidance) which indicates the failure of

implementation of HACCP systems due to differences in standards, regulations

and auditing HACCP certification. Based on the gap analysis between the existing

regulation for fishery products in Indonesia and FDA regulation, 7 (seven)

recommendations are proposed. They are 1) effective implementation of National

Single Window (NSW), 2) establish a simple and comprehensive regulatory, 3)

harmonization of HACCP standards, 4) the accreditation of ISO 17021 for

HACCP Certification Bodies, 5) the provision of infrastructure of product

certification, 6) improve laboratory infrastructure and 7) build MoU cooperation

development with United State of America.

Keywords: accreditation, fishery products, HACCP, standardization, strategy

policy.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013-07-29

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK

PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT

LELY RAHMAWATY

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi

pada

Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas akhir: Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk

Ekspor ke Amerika Serikat

Nama : Lely Rahmawaty

NIM : F2521001351PTP

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

I Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013 Tanggal Lulus: 1 9 SEP 2013

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk

Ekspor ke Amerika Serikat

Nama : Lely Rahmawaty

NIM : F252100135/PTP

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013 Tanggal Lulus:

PRAKATA

Keheningan malam menghantarkan doa dan harapan yang tiada terhingga

atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan keindahan yang telah menorehkan

tinta-tinta pelajaran kehidupan menghantarkan pada akhir perjalanan pendidikan

magister profesi teknologi pangan dengan terselesaikannya karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan

September 2012 dengan tema keamanan pangan, dengan judul Pengembangan

Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Winiati P. Rahayu dan

Dr. Harsi D. Kusumaningrum selaku pembimbing, serta Dr. Feri Kusnandar dan

Dr. Puspo Edi Giriwono yang telah banyak memberi saran. Ucapan terimakasih

dan rasa syukur yang tak terhingga penulis ucapkan kepada suami tercinta, Bapak

Kusman Haryono. Kepada ibunda tercinta Ibu Rohmah untuk doanya atas

kesuksesan dan kemudahan dalam mengarungi setiap tantangan kehidupan.

Kepada Bapak Hardi Harmen atas kepercayaannya dalam pendirian PT Narrada

Sigma Indonesia dan mendukung proses pendidikan. Kepada teman-teman di

Badan Standardisasi Nasional dan teman-teman SMAN I Leuwiliang serta

manajemen dan kolega di PT TUV Rheinland Indonesia yang selalu memberikan

dorongan semangat. Handai taulan dan keluarga besar Ali Rais atas kesabarannya

dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Lely Rahmawaty

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...............................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xi

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xi

PENDAHULUAN ..............................................................................................1

Latar Belakang ........................................................................................1

Tujuan Penelitian ....................................................................................2

Manfaat Penelitian ..................................................................................2

Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................2

METODE . ......... ................................................................................................3

Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................3

Bahan...... ................................................................................................3

Metode Penelitian....................................................................................3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Penolakan Produk Perikanan Indonesia oleh FDA ........4

Gap Analisis dan Rekomendasi Strategi Kebijakan Keamanan Produk

Perikanan Indonesia terhadap FDA ........................................................17

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................26

LAMPIRAN ....... ................................................................................................30

ROWAYAT HIDUP ...........................................................................................45

DAFTAR TABEL

1 Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011 ......................... 5

2 Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju ................. 6

3 Penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra .................................... 11

4 Gap penerapan sistem HACCP PT. AAA terhadap regulasi FDA .............. 14

5 Identifikasi rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan .. 17

DAFTAR GAMBAR

1 Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012

(FDA 2013a) ............................................................................................... 7

2 Penolakan produk Indonesia tahun 2010 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a) ................................................................................................ 7

3 Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a) ................................................................................................ 8

4 Penolakan produk Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a) ................................................................................................ 8

5 Alasan penolakan produk perikanan Indonesia periode 2010-2012 ........... 9

6 Alasan penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012...... 11

7 Kategori penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012 ... 12

8 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan jumlah sertifikat HACCP yang telah

diterbitkan tahun 2006 – 2010 berdasarkan data BKIPM ........................... 22

9 Perkembangan SDM inspektur mutu tahun 2016 – 2010 ............................ 23

10 Jumlah UPI terdaftar di negara mitra .......................................................... 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rencana HACCP PT. AAA sebelum di audit ............................................. 31

2 Rekomendasi analisis bahaya ...................................................................... 32

3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia .............. 36

DAFTAR ISTILAH

1. Chloramphenicol : Antibiotik spektrum luas efektif terhadap rickettsia,

bakteri Gram positif dan Gram negatif, dan spirochetes

tertentu, biasanya digunakan dalam budidaya perikanan.

2. Filthy : Setiap jenis benda atau material yang tidak termasuk

dalam produk pangan atau disebut sebagai pengotor

produk pangan.

3. Foreign object : Partikel pengotor, berbau atau terurai atau tidak sesuai

untuk pangan..

4. Histamine : Suatu senyawa nitrogen organik yang dalam jumlah

tertentu dapat membahayakan kesehatan yang dihasilkan

dari dekomposisi histidin oleh enzim histidin

dekarboksilase dari bakteri enterik termasuk Morganella

morganii.

5. Insanitary : Kondisi yang tidak bersih yang mungkin telah

terkontaminasi oleh kotoran, yang dapat membahayakan

kesehatan.

6. Listeria : Bakteri basil Gram positif yang dapat menyebabkan

infeksi fatal pada orang tua, bayi baru lahir, wanita hamil,

dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah.

7. Mercury : Logam berat (cair pada suhu normal) yang merupakan

racun sistemik dan biasanya terdapat pada pangan karena

kontaminasi peralatan dan lingkungan.

8. Misbranding : Label pada produk tidak sesuai dengan data pada dokumen

pengiriman.

9. MFRHACCP : Sistem analisis bahaya dan penetapan titik kendali kritis

pada produksi pangan, penyimpanan, dan sistem

pemantauan distribusi untuk identifikasi dan kontrol

bahaya kesehatan yang terkait.

10. Poisonous : Zat beracun atau merusak yang dapat membahayakan

kesehatan.

11. Poor temperature

control : Produk pangan di proses dengan pengendalian suhu yang

tidak memadai sehingga mungkin berbahaya bagi

kesehatan.

12. Salmonella : Bakteri basil Gram negatif yang dapat menyebabkan

infeksi fatal pada orang tua, bayi baru lahir, wanita hamil,

dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah.

13. Unauthorized : Produk mengandung seluruh atau sebagian partikel

substances pengotor, berbau atau terurai atau tidak sesuai untuk

pangan.

14. Under process : Proses yang tidak memadai dalam melakukan penyiapan,

pengolahan, pengemasan atau dilakukan dalam kondisi

tidak sehat yang mungkin berbahaya bagi kesehatan.

15. Unsafe additive : Bahan tambahan pangan yang tidak aman.

16. Vetdrugres : Obat hewan (konversi dari produk sejenisnya.

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada era perdagangan bebas, produk perikanan Indonesia menghadapi

berbagai tantangan untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu produk

maupun efisiensi dalam produksi. Tantangan terbesar bagi produk pangan

termasuk produk perikanan di Indonesia yang paling utama adalah keamanan

pangan. Persyaratan keamanan pangan menjadi hambatan non-tarif untuk

memasuki pasar ekspor, utamanya pada kualitas produk yang tidak memenuhi

standar kualitas yang ditetapkan negara pengimpor.

Standar untuk keamanan pangan (food safety) yang dirumuskan oleh Codex

Alimentarius Commission dan secara internasional telah diakui adalah sistem

mutu Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP). Sistem mutu HACCP

merupakan sistem yang dikembangkan dengan prinsip dimana pengawasan mutu

dilakukan secara sistematis, terpadu sejak dari awal sampai produk siap

dikonsumsi. Sistem mutu HACCP merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi

oleh semua perusahaan perikanan yang akan melakukan ekspor produknya ke

Amerika Serikat dan Uni Eropa yang diberlakukan sejak tahun 1995 berdasarkan

ketentuan Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) .

Di Indonesia, sistem mutu untuk produk perikanan telah diatur dalam

Undang-Undang (UU) No.9 tahun 1985 tentang Perikanan, yang diperbaharui

dengan UU No.31 tahun 2004 dan UU No.45 tahun 2009. Penerapan sistem mutu

telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No.41/Kpts/IK.210/1998,

selanjutnya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/Men/2002

tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

Persyaratan mengenai jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan diatur

melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.

01/MEN/2007. Pada Keputusan Menteri tersebut telah tersirat dengan jelas

persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan produk-produk perikanan, mulai

dari proses produksi, pengolahan dan distribusi.

Walaupun pemerintah Indonesia telah mewajibkan rantai pasok perikanan

menerapkan sistem mutu HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu

(PMMT) berdasarkan konsep HACCP pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan

Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998, namun masih terdapat produk

perikanan yang ditolak di Amerika dan Uni Eropa. Berdasarkan hasil penelitian

Rinto (2010), pada tahun 2010 tercatat 146 kasus penolakan dari FDA (Food and

Drug Administration). Sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan adanya bakteri

patogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy,

6% disebabkan adanya residu kimia, dan 4% disebabkan misbranding. Penolakan

produk perikanan terbesar di Amerika Serikat disebabkan adanya kontaminasi

bakteri patogen (termasuk Salmonella) dan filthy.

Sejak tahun 2004, Indonesia menjadi negara penghasil tuna nomor satu di

dunia. Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

menargetkan kenaikan produksi dari 5.38 juta ton di tahun 2010 menjadi 5,5 juta

ton pada tahun 2014 [KKP-RI 2012]. Negara tujuan ekspor utama produk

perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat disusul kemudian Cina, Jepang, Uni

2

Eropa serta negara-negara lain. Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan

sebesar 3,5 miliar dollar AS (Rp 33.250 triliun), negara utama tujuan ekspor

produk perikanan yakni Amerika Serikat 1,07 miliar dollar AS atau Rp 10.165

triliun (30,4 %), Jepang 806 juta dollar AS atau Rp 7.657 triliun (22,9 %), dan

Eropa 459,8 juta dollar AS atau Rp 4.368 triliun (13,1 %). Akan tetapi kasus

penahanan dan penolakan produk perikanan Indonesia masih sering terjadi.

Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor produk perikanan,

oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian untuk menggali permasalahan-

permasalahan yang dihadapi perusahaan yang mengalami penolakan dari FDA

dengan melakukan studi kasus terhadap perusahaan yang mendapat surat

peringatan dari FDA. Dalam hal ini digunakan PT. AAA yang merupakan

produsen sashimi ikan tuna beku yang mendapatkan surat peringatan (Case I.D

167873) dari FDA, sebagai prototipe perusahaan yang memberikan gambaran

penerapan sistem HACCP di industri perikanan sehingga dapat diperoleh strategi

perbaikan sistem HACCP sesuai persyaratan FDA. Di samping itu, diperlukan

studi mengenai gap antara standar Indonesia terhadap standar yang diberlakukan

FDA, sehingga diperoleh strategi perumusan kebijakan yang tepat untuk regulasi

HACCP di sektor perikanan Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis perkembangan penolakan

produk perikanan oleh FDA yang diperkuat dengan studi kasus penerapan sistem

HACCP di perusahaan pengolahan tuna, 2) melakukan “gap analysis” persyaratan

standar dan regulasi Indonesia terhadap FDA, dan 3) mengembangkan strategi

peningkatan keamanan produk perikanan yang tepat untuk ekspor ke Amerika

Serikat.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah membuat suatu prototipe

penerapan sistem HACCP di sektor perikanan agar dapat menembus pasar

Amerika. Disamping itu, penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan

regulasi wajib penerapan sistem HACCP di Indonesia dan memberikan masukan

atas pengembangan regulasi keamanan pangan untuk pengembangan industri

perikanan Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup penolakan ekspor seluruh produk perikanan baik

darat maupun laut, serta berbagai pengolahannya tahun 2010 – 2012. Selain itu,

dilakukan pengambilan data penolakan ekspor oleh Eropa khusus tahun 2012

yang digunakan sebagai pelengkap data. Studi kasus dilakukan pada PT. AAA

yang menghasilkan produk tuna beku untuk sashimi yang di kemas vakum.

Regulasi dan standar yang digunakan sebagai dasar “gap analysis” hanya regulasi

dan standar produk perikanan Indonesia dan Amerika Serikat.

3

2. METODE

Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan mengakses website FDA (FDA 2013a) dan

Eropa (Europa 2013) serta menganalisis peraturan perundangan Kementerian

Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang dilakukan di Bogor. Disamping

itu, dilakukan studi kasus di PT AAA yang merupakan perusahaan pengolahan

ikan tuna untuk kebutuhan ekspor dan lokal. PT AAA berlokasi di Jakarta Utara,

Indonesia. Penelitian berlangsung selama 11 (sebelas) bulan dan dilaksanakan

pada bulan September 2012 dan diselesaikan pada bulan Juli 2013.

Bahan

Penelitian ini memerlukan bahan berupa data sekunder dari akses website

FDA dan RASFF (Rapid Alert System for Food and Feed), hasil penelitian,

jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku mengenai sistem HACCP dan penerapannya di

sektor perikanan, data perkembangan isu ekspor produk perikanan Indonesia dan

peraturan perundangan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang

diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, standar keamanan hasil

perikanan dari Badan Standardisasi Nasional, regulasi dan standar keamanan

pangan sektor perikanan FDA. Di samping itu, diperlukan data primer studi kasus

dari dokumen-dokumen sistem HACCP PT AAA dan rekaman hasil pemantauan

di lapangan berupa data hasil wawancara, hasil audit, foto-foto dan bukti

pelaksanaan observasi lapangan, bukti hasil audit atau surat peringatan FDA.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1) pengumpulan data, 2)

analisis data, dan 3) rekomendasi.

a. Pengumpulan Data

Data perkembangan penolakan produk perikanan Indonesia di Amerika

Serikat, dalam hal ini tidak dibedakan antara perikanan darat dan laut, merupakan

data sekunder yang diperoleh dengan cara mengakses data melalui internet yang

dipublikasikan oleh FDA (FDA 2013a). Sebagai data tambahan dilakukan

pengumpulan data penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa yang

diperoleh dengan cara mengakses website yang dipublikasikan oleh RASFF Uni

Eropa (Europa 2013). Data yang diambil adalah data tiga tahun terakhir yaitu

2010, 2011 dan 2012.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi kasus ke PT. AAA

dengan cara observasi dokumen sistem HACCP perusahaan, wawancara, dan

audit. Audit adalah proses terdokumentasi yang sistematik dan independen untuk

mengumpulkan bukti audit dan mengevaluasinya secara objektif untuk

menentukan sejauh mana kriteria audit terpenuhi. Teknik audit dilaksanakan

sesuai standar ISO 19011:2010, sedangkan pertanyaan audit mengacu pada

standar CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997), Amd. (1999), SNI 01-4852-199, 21

CFR 123, FDA Food Code 2009, dan Fish and Fishery Products Hazards and

4

Controls Guidance, Fourth Edition – April 2011. Wawancara dilakukan untuk

mengetahui visi, misi, komitmen manajemen terhadap penerapan sistem HACCP.

Di samping itu, untuk mengetahui alasan penolakan dan respon tindakan

perbaikan yang telah dilakukan perusahaan. Studi kasus ini untuk memperkuat

data penolakan produk perikanan bagi perusahaan yang telah mendapat sertifikat

penerapan HACCP dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Pengumpulan data perkembangan regulasi dan standar keamanan produk

perikanan Indonesia dan FDA diperoleh dengan mengakses website Kementerian

Kelautan dan Perikanan, serta website FDA. Data yang diambil adalah seluruh

peraturan perundangan dan standar yang terkait dengan keamanan produk

perikanan Indonesia dan Amerika Serikat dengan revisi atau edisi terbaru

(peraturan perundangan belum dicabut).

b. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode “gap analysis” (Poole et al. 2000)

dengan membandingkan regulasi dan standar keamanan produk perikanan

Indonesia dengan regulasi dan standar keamanan produk perikanan FDA. Dalam

melakukan “gap analysis” ditetapkan 7 (tujuh) komponen pembanding yang

didasarkan pada konsep globalisasi yang menyatakan globalisasi dipengaruhi oleh

pemerintah, peraturan, standar, sertifikasi sistem dan sertifikasi produk, akreditasi

dan kerjasama internasional (Zou 1997). Sebagai bukti bahwa regulasi dan standar

keamanan produk perikanan Indonesia belum harmonis dengan regulasi dan

standar keamanan produk perikanan FDA, maka dilakukan studi kasus “gap

analysis” dokumentasi sistem HACCP PT. AAA yang telah mendapat sertifikat

penerapan HACCP dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atau telah

memenuhi standar dan regulasi keamanan produk perikanan Indonesia, dengan

sistem HACCP FDA.

c. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis kasus penolakan produk oleh FDA dan “gap

analysis” terhadap gap regulasi, standar dan implementasi keamanan produk

perikanan Indonesia dan FDA, diperoleh strategi peningkatan keamanan produk

perikanan sebagai faktor kunci keberhasilan pemenuhan atau harmonisasi regulasi

dan standar Amerika Serikat yang dapat diterapkan di Indonesia.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Penolakan Produk Perikanan Indonesia Oleh Fda

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki

kurang lebih 13.427 pulau dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2 dari total luas

territorial Indonesia sebesar 7,1 juta km2. Panjang pantai Indonesia mencapai

95.181 km (KKP-RI 2011) yang memiliki potensi sumber daya kelautan

perikanan yang cukup besar termasuk didalamnya kekayaan keanekaragaman

hayati.

5

Pada tahun 2008, produksi perikanan Indonesia mencapai 9 juta ton (KKP-

RI 2008) dan menjadi ketiga penghasil perikanan tangkap laut, ketujuh di

perikanan tangkap darat dan keempat dalam perikanan budidaya di di dunia (FAO

2008). Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat kenaikan nilai ekspor

perikanan sebesar 10,8 persen pada Tahun 2010, dengan komoditas udang sebagai

penyumbang terbesar ekspor produk perikanan yakni sebesar 40%. Sementara

peringkat kedua diduduki oleh komoditi tuna, tongkol, cakalang sebesar 12 persen

dari total keseluruhan kinerja ekspor (Kemendag-RI 2012). Sedangkan dalam

catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Amerika Serikat (AS) memang

mendominasi tujuan ekspor perikanan hingga 30% atau senilai US$ 1,13 miliar

(Rp 10,7 triliun) (KKP-RI 2012).

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP-RI 2012),

pada tahun 2006, Amerika Serikat masih duduk sebagai negara tujuan utama

produk perikanan disusul kemudian Cina, Jepang, Uni Eropa serta negara negara

lain (Tabel 1). Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar US$ 3,5

miliar (Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan

yakni Amerika Serikat US$ 1,07 miliar atau Rp 10.165 triliun (30,4 %), Jepang

US$ 806 juta atau Rp 7.657 triliun (22,9 %), dan Eropa US$ 459,8 juta atau Rp

4.368 triliun (13,1 %). Akan tetapi kasus penahanan dan penolakan produk

perikanan Indonesia masih sering terjadi.

Tabel 1. Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011

Negara

Tujuan

2006 2011

Volume

Ekspor (Ton)

Nilai Ekspor

(US$juta)

% Total

Ekspor

Nilai Ekspor

(US$juta)

% Total

Ekspor

Amerika

Serikat

83.347 475.14 12.54 1.070.0 30.4

Cina 78.686 409.66 11.84 - -

Jepang 74.973 48.39 11.28 806.0 22.9

Eropa 51.976 193.56 7.82 459.8 13.1

Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Kebijakan yang diterapkan oleh negara pengimpor Ikan tuna Indonesia

makin hari memang semakin ketat dan meningkat permintaan mutunya, berkaitan

dengan aspek-aspek keamanan pangan, jaminan mutu, dan kemamputelusuran

agar mendapatkan kepuasan konsumen domestik negara pengimpor secara

optimal.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia sebagai Competent Authority (CA) melakukan

tindakan nyata yaitu reformasi sistem manajemen pada jaminan mutu dan

keamanan produk perikanan untuk mencapai harmonisasi dengan standar mutu di

negara-negara tujuan ekspor ikan tuna Indonesia, dan produk perikanan lainnya.

Walaupun demikian, kasus penolakan produk perikanan Indonesia masih masih

terjadi dan terkait dengan masalah keamanan pangan.

6

Data penolakan produk Indonesia di FDA dibandingkan dengan negara-

negara di ASEAN (Association South East Asia Nation) menunjukkan bahwa

Indonesia mengalami penolakan yang hampir setara dengan Filipina, Thailand dan

Vietnam, tapi lebih tinggi dari Malaysia (Tabel 2). Secara persentase, pada tahun

2011 Indonesia mengalami penurunan penolakan (0,7%), namun secara kuantitas

Indonesia mengalami lonjakan dari 351 di tahun 2010, meningkat menjadi 587 di

tahun 2011 dan 541 di tahun 2012. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti

Jepang, posisi Indonesia hampir menyamai, namun penolakannya masih di bawah

Korea. China, India, Kanada dan AS juga mengalami penolakan produk yang

tinggi, namun hal ini dikaitkan dengan produktivitas ekspor produk negara

tersebut yang juga sangat tinggi.

Tabel 2. Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju

Negara Penolakan pada Tahun

2010 2010 (%) 2011 2011 (%) 2012 2012 (%)

Indonesia 351 1.9 587 0.7 541 2.3

Malaysia 174 1.0 153 0.2 142 0.6

Filipina 355 1.9 384 0.5 396 1.7

Thailand 416 2.3 396 0.5 564 2.4

Vietnam 374 2.1 409 0.5 348 1.5

China 2015 11.1 2805 3.3 2502 10.7

India 2036 11.2 2414 2.9 2373 10.1

Jepang 429 2.4 571 0.7 384 1.6

Korea 469 2.6 785 0.9 827 3.5

Kanada 1119 6.1 1282 1.5 1000 4.3

AS 610 3.3 833 1.0 698 3.0

Total 18229 84093 23385

Sumber: FDA 2013a

Berdasarkan hasil penelusuran (Gambar 1) menunjukkan bahwa penolakan

produk Indonesia sejak 2010 sampai 2012 mencapai 1479 kasus penolakan dan

mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2010 sebanyak 351 kasus, 2011

meningkat sebanyak 587 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 541 kasus. Terdapat

1203 kasus penolakan produk perikanan Indonesia dari keseluruhan kasus selama

2010-2012, dan 53 kasus penolakan merupakan produk ikan kaleng (canned fish).

Jika dilakukan perbandingan jumlah produk perikanan Indonesia yang ditolak

terhadap keseluruhan produk Indonesia yang ditolak FDA dari 351 kasus

penolakan di tahun 2010, terdapat 290 kasus penolakan produk perikanan

Indonesia. Tahun 2011 kasus penolakan produk Indonesia mengalami

peningkatan tertinggi, dari 587 kasus terdapat 494 kasus produk perikanan. Tahun

2012 mengalami sedikit penurunan, dari 541 kasus penolakan terdapat 419 kasus

produk perikanan. Jadi jika dilakukan persentase perbandingan produk perikanan

Indonesia yang ditolak FDA terhadap keseluruhan kasus penolakan produk

Indonesia di tahun 2010 mencapai 82,6%, setara di tahun 2011 sebesar 84,2%,

dan menurun di tahun 2012 menjadi 77,4%.

7

Gambar 1. Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012

(FDA 2013a)

Jika dilakukan pengelompokan data, tidak hanya membandingkan produk

perikanan, namun juga membandingkan dengan produk lain maka hasilnya dapat

dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4. Hasil pengelompokan data berdasarkan jenis

produk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa posisi penolakan tertinggi tetap

dimiliki oleh produk perikanan yaitu 83% atau 290 kasus jika dibandingkan

dengan produk lain yaitu sebesar 4% atau 16 kasus produk kosmetik, 3% atau 12

kasus produk kue dan makanan ringan, dan 3% atau 12 kasus produk jamu dan

obat-obatan, sisanya 7% tersebar di produk pangan dan non pangan. Tahun 2011

tidak jauh berbeda dengan tahun 2010, produk perikanan mendominasi dengan

angka 84% atau 494 kasus, sebesar 6% atau 33 kasus produk rempah-rempah dan

bumbu, sisanya 8% adalah produk pangan dan non pangan. Tahun 2012

mengalami penurunan produk perikanan yang ditolak FDA sebesar 77% atau 491

kasus, sebesar 9% atau 48 kasus jamu dan obat-obatan, 6% atau 33 kasus

kosmetik, 4% atau 31 kasus rempah-rempah dan bumbu, sisanya 4% adalah

produk pangan dan non pangan. Penolakan kakao dan produk kakao dari tahun

2010 sampai 2012 tetap konsisten pada kisaran 4 atau 5 kasus penolakan.

Gambar 2. Penolakan produk Indonesia tahun 2010 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a)

8

Gambar 3. Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a)

Gambar 4. Penolakan produk Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis produk

(FDA 2013a)

FDA menetapkan 214 kode penolakan produk berdasarkan referensi

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Amerika serikat yang memuat

alasan penolakan produk. Dari 214 kode penolakan, yang sering terjadi di kasus

penolakan produk perikanan Indonesia berada pada kisaran 12-14 kode

penolakan. Kode penolakan yang sering terjadi diantaranya filthy, Salmonella,

Listeria, Poisonous, Vetdrugres, Chlorampenicol, Histamine, Insanitary, Under

Process, Unsave Additive, Foreign object, Manufacturing HACCP

(MFRHACCP), misbranding.

Berdasarkan pengelompokan, alasan penolakan tahun 2010-2012 (Gambar

5) memberikan hasil tahun 2010 alasan penolakan tertinggi adalah karena filthy 41

% atau 118 kasus dan Salmonella 37% atau 108 kasus. Tahun 2011 kasus

Salmonella mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu 64% atau 315 kasus,

sedangkan alasan filthy secara persentase menurun menjadi 30%, namun secara

jumlah meningkat menjadi 146 kasus. Tahun 2012 secara persentase memiliki

pola yang hampir sama dengan tahun 2010, alasan penolakan tertinggi adalah

9

filthy 42%, namun dengan jumlah yang meningkat 176 kasus. Sedangkan karena

alasan Salmonella dengan persentase 27%, dengan jumlah yang hampir sama

dengan tahun 2010 yaitu 111 kasus. Sisanya 11% atau 46 kasus karena, 6% atau

26 kasus karena, 6% atau 24 kasus karena, dan 5% atau 22 kasus karena

MFRHACCP. Data tersebut menunjukkan bahwa alasan penolakan tertinggi

adalah karena Salmonella dan filthy. Alasan penolakan lain yang juga perlu

mendapat perhatian adalah adanya kasus penolakan karena chloramphenicol,

vetdrugres, poisonous, histamin, Listeria, dan MFRHACCP.

Gambar 5. Alasan penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012

Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2011), selama tahun 2002-2010

Indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak di Amerika Serikat yaitu pada

tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203

kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus. Jika

dibandingkan dengan data yang diperoleh tahun 2010-2012 maka kasus penolakan

tertinggi adalah 587 kasus penolakan pada tahun 2012 dengan 84% diantaranya

adalah produk perikanan. Hal ini menunjukkan kebijakan dan program-program

yang diterapkan KKP belum cukup efektif untuk menurunkan kasus penolakan

produk perikanan Indonesia oleh AS.

Hasil penelitian Saputra (2011) menyatakan alasan penolakan terbesar

produk perikanan Indonesia di AS adalah filthy. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa alasan terbesar kasus penolakan produk perikanan Indonesia adalah filthy

dan Salmonella. Karena penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang

disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi Salmonella terjadi di

tahun 2011.

Peningkatan kasus penolakan pada tahun 2011 dan 2012 jika dilihat dari

perkembangan regulasi FDA disebabkan karena FDA melakukan revisi terhadap

Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance yang diterbitkan pada

bulan April 2011. Pedoman tersebut tidak hanya memuat mengenai 7 (tujuh)

prinsip HACCP, akan tetapi standar bahaya kimia, fisik dan mikrobiologi yang

10

dirinci untuk masing-masing jenis dan spesies ikan, dan untuk masing-masing

proses pengolahan. Di samping itu, diberikan contoh rencana HACCP dan

penetapan batas kritis dan CCP serta tindakan perbaikan dan verifikasinya beserta

format formulirnya.

Perubahan atas regulasi FDA 21 CFR 123 dan pedoman produk perikanan

(FDA 2013b) didasarkan atas hasil penelitian General Accounting Office (GAO

2001) mengenai regulasi FDA terhadap produk perikanan terdahulu yang tidak

cukup melindungi konsumen. GAO (2001) melakukan evaluasi penerapan

HACCP di tiga distrik penghasil produk perikanan negara Amerika Serikat, yaitu

Seattle, New England dan Florida, serta di negara pengimpor terbesar produk

perikanan, yaitu Chili dan Kanada. Hasil evaluasi menunjukkan adanya

kelemahan dalam penerapan program keamanan produk perikanan baik domestik

maupun impor. Yang pertama adalah meskipun telah ada regulasi HACCP FDA,

karena berbagai alasan, masih terdapat industri perikanan dalam jumlah yang

cukup signifikan yang belum menerapkan sistem HACCP. Kedua, walaupun

industri perikanan telah memiliki sistem HACCP, namun masih banyak

kelemahannya, seperti kegagalan dalam mengidentifikasi tingkat keseringan

bahaya terjadi. Ketiga, pada saat inspektur menemukan pelanggaran yang

signifikan, surat peringatan tidak diterbitkan. Pada tahun 2000, 94% surat

peringatan diterbitkan lebih dari 15 hari dan rata-rata membutuhkan 73 hari untuk

penerbitannya. Keempat, FDA belum menetapkan alokasi dana untuk menilai

keefektivan penerapan HACCP produk perikanan.

Sistem FDA dalam memastikan keamanan impor produk perikanan

menggunakan empat strategi dasar, yaitu 1) perjanjian kesepakatan atau MoU

(Memorandum of Understanding), 2) meninjau rekaman importir, 3) melakukan

inspeksi terhadap produsen produk perikanan asing, dan 4) pengujian produk di

pelabuhan. Dengan empat strategi ini bukan berarti FDA tidak mengalami

kesulitan dalam pelaksanaannya, karena membutuhkan sumber daya manusia dan

sumber daya keuangan yang tinggi. Oleh karena itu, FDA memperketat

peraturannya untuk melindungi konsumen AS dan melakukan upaya kerjasama

dengan berbagai negara untuk melakukan efisiensi sumber daya, namun dengan

ketentuan harmonisasi standar dan peraturan yang berlaku di negara mitra.

Dengan demikian, apabila Indonesia telah melakukan harmonisasi standar dan

peraturannya dengan FDA maka peluang Indonesia untuk melakukan kerjasama

dan menurunkan kasus penolakan yang berdampak pada efisiensi biaya juga

tinggi.

Jumlah kasus penolakan produk perikanan dari Eropa selama tahun 2006

hingga 2010 menunjukkan adanya terdapat penurunan kasus penolakan, dari tahun

2006 yang mencapai 34 kasus, tahun 2007 menurun menjadi 17 kasus, tahun 2008

dan 2009 hanya terdapat 6 dan 9 kasus, tahun 2010 meningkat lagi menjadi 11

kasus (Tabel 3) (KKP-RI 2012). Selanjutnya tahun 2011 terjadi penurunan kasus

menjadi 7 kasus, sedangkan pada tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup

signifikan atas penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa, yaitu dari 35

kasus penolakan 25 kasus diantaranya adalah produk perikanan (Europa 2013).

Pada Gambar 6 dapat dilihat, 60% atau 15 kasus ditolak dengan alasan

Salmonella, 20% atau 5 kasus karena suhu tidak terkendali pada rantai proses, 8%

atau 2 kasus merkuri, masing-masing 4% atau 1 kasus karena adanya Listeria,

histamin dan substansi yang tidak diizinkan. Data ini berbeda dengan hasil

11

penelitian Saputra (2011) yang menyatakan kasus penolakan di Eropa tertinggi

adalah karena tercemar mercury. Karena penelitian ini menunjukkan adanya

perbedaan yang disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi

Salmonella terjadi di tahun 2012.

Tabel 3. Penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia per negara mitra

No Negara Tahun Penolakan

2006 2007 2008 2009 2010

1 Uni Eropa 34 17 6 9 11

2 Korea 0 0 6 4 3

3 China 10 21 2 12 0

4 Rusia 0 0 1 1 7

5 Kanada 0 0 0 6 1 Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Gambar 6. Alasan penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012

Berdasarkan kategori penolakan (Gambar 7), 60% atau 20 kasus termasuk

border rejection, 12% atau 3 kasus termasuk information for attention, dan 8%

atau 2 kasus masuk ke dalam sistem alert. Terdapat empat tipe pemberitahuan

yang diinformasikan melalui RASFF, yaitu alert notifications, information

notifications, border rejection notifications dan news notifications. Alert

notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan peringatan’ atau peringatan ke negara

anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika

tindakan cepat diperlukan seperti penarikan karena produk telah mencapai pasar.

Information notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan informasi’ menyangkut

suatu pangan atau pakan ke negara anggota jika risiko telah teridentifikasi, tapi

tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai

pasar atau tidak ada di pasar. Border rejection notifications adalah suatu

‘pemberitahuan batas penolakan’ suatu pangan atau pakan yang ditolak masuk

karena alasan risiko terhadap kesehatan manusia dan hewan. News notifications

adalah suatu ‘pemberitahuan berita’ menyangkut jenis informasi yang

berhubungan dengan keamanan pangan atau pakan yang belum disampaikan

sebagai peringatan, informasi atau batas penolakan, oleh pihak yang berwenang di

12

negara-negara anggota berdasarkan informasi yang diambil dari media atau

disampaikan oleh pihak berwenang negara ketiga atau organisasi internasional

setelah diverifikasi oleh negara-negara anggota yang bersangkutan.

Gambar 7. Kategori penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis dua kasus penolakan AS dan Eropa ini dapat

disimpulkan penyebab tertinggi adalah filthy dan Salmonella. Menurut Jay et al.

(2005), Salmonella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerob

fakultatif dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini tergolong patogen, yakni

dapat menyebabkan penyakit bagi yang mengonsumsinya. Penyakit yang dapat

ditimbulkan oleh Salmonella sp. antara lain tifus (Salmonella Typhi), paratifus

(Salmonella Paratyphi), dan infeksi yang disebut Salmonellosis. Salmonella sp.

sensitif terhadap panas. Keberadaan Salmonella menunjukan adanya kontaminasi

selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi

komoditi perikanan. Salmonella sp. dapat dimusnahkan dengan pemanasan pada

suhu 60oC selama 30 menit atau 65

oC selama 15 menit (Jay et al. 2005).

Adanya pengotor atau benda asing yang disebut dengan istilah filthy.

Analisis benda asing adalah elemen analisis yang sangat penting baik dalam

memilih bahan baku maupun untuk memonitoring mutu produk. Adanya benda

asing pada produk sangat tidak diharapkan dan dapat menyebabkan bahaya bagi

kesehatan konsumen. Hal ini juga menunjukkan bahwa produk tidak diolah

dengan baik dan kondisi sanitasi produksi, penyimpanan atau distribusi yang

kurang baik. Keberadaan benda asing dalam produk dapat menyebabkan produk

tercemar dan tidak sesuai untuk konsumsi manusia. Dogan et al. (2010)

mengkategorikan menjadi filth, heavy filth, light filth, dan sieved filth. Filth adalah

benda asing yang berasal dari kontaminasi hewan seperti tikus, serangga, atau

burung ataupun benda asing lain karena kondisi sanitasi yang kurang baik. Heavy

filth adalah benda asing yang dapat dipisahkan dari produk dengan cara

sedimentasi berdasarkan berat jenis benda asing, partikel pangan, dan imersi cair,

seperti pasir, tanah, serangga dan kotoran tikus. Light filth adalah partikel larut

minyak dan dapat dipisahkan dari produk dengan melarutkan dalam emulsi air

dan minyak, seperti potongan serangga, serangga utuh, rambut dan potongan

tikus. Sieved filth adalah partikel benda asing yang memiliki kisaran ukuran

tertentu yang dapat dipisahkan secara kuantitatif dengan menggunakan saringan

mesh terpilih.

13

Berbagai penelitian mengenai kontaminasi Salmonella dan filthy yang

dihubungkan dengan penerapan HACCP telah dilaporkan. Cato (1998)

menjelaskan kejadian keracunan ikan dan produk perikanan di Amerika, Eropa,

Kanada dan Jepang dengan penyebab tertinggi adalah Salmonella, Staphylococcus

aureaus, Clostridium botulinum, dan histamin. Penerapan sistem HACCP efektif

untuk mengurangi kejadian penyakit atau keracunan karena makanan laut (Cato

1998). Hal ini juga telah dibuktikan sebelumnya oleh Ahmed (1991). Pembuktian

penurunan jumlah Salmonella pada daging dan produk daging yang dikelola

dengan sistem HACCP dilakukan di Tehran (Majd dan Mehrabian 2013). HACCP

juga digunakan pada peternakan ayam dan produsen pakan untuk menurunkan

Salmonella (Ziggers 2012) dan ayam siap saji (Ndife et al. 2010). HACCP juga

telah diterapkan melalui studi kasus pada produk tuna segar (Maulana et al. 2012).

Sistem HACCP juga digunakan untuk mereduksi Salmonella Typhi di sistem

distribusi (Martel et al. 2006).

Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar 3,5 miliar dollar AS

(Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni

Amerika Serikat 1,07 miliar dollar AS atau Rp 10.165 triliun (30,4%), Jepang 806

juta dollar AS atau Rp 7.657 triliun (22,9%), dan Eropa 459,8 juta dollar AS atau

Rp 4.368 triliun (13,1%) (KKP-RI 2012). Oleh karena itu, perbaikan sistem

keamanan pangan produk perikanan Indonesia harus terus ditingkatkan guna

mendukung peningkatan nilai ekspor tahun 2013 sebesar 28,2% dan peningkatan

volume ekspor sebesar 13,5% seperti yang telah dicanangkan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Sistem dokumentasi yang terstruktur dengan baik adalah salah satu kunci

keberhasilan bisnis dan dapat membuka jalan kerjasama ke berbagai belahan

dunia. Dokumen yang memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu (ISO 9001)

atau sistem manajemen keamanan pangan (ISO 22000 dan HACCP),

mencerminkan perusahaan yang memiliki komitmen untuk menjaga mutu dan

keamanan produk, memiliki ketelusuran data, memiliki akses untuk penanganan

keluhan pelanggan dan menjamin keberlanjutan bisnis. Dalam dunia bisnis dan

kerjasama nasional dan internasional, kepercayaan menjadi hal yang sangat

penting. Konsumen mungkin tidak dapat mengetahui secara rinci perihal

perusahaan, namun dengan dokumentasi yang baik, dapat menjadi gambaran

kondisi perusahaan dan memberikan kepercayaan kepada konsumen.

PT. AAA adalah perusahan pengolahan produk ikan tuna di wilayah Jakarta

yang mendapatkan surat peringatan penolakan produk (Case I.D 167873) karena

Salmonella dan MFRHACCP. Hasil studi kasus yang dilakukan dengan

melakukan identifikasi penyebab kasus penolakan berdasarkan regulasi Indonesia

dan regulasi FDA No. 21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan pedoman FDA

(FDA 2013b), diperoleh 8 gap (Tabel 4).

Permasalahan terjadi pada prinsip HACCP 1, 2, dan 3, yaitu identifikasi

bahaya dan penetapan titik kritis yang belum memasukan potensi bahaya

Salmonella, pertumbuhan dan pembentukan toksin Clostridium botulinum dan

kontrol waktu untuk pembentukan histamin. PT. AAA memproduksi sashimi tuna

beku yang diproses dengan karbondioksida dan dikemas vakum. Oleh karena itu,

Clostridium botulinum menjadi salah satu risiko bahaya yang harus diidentifikasi.

Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, bakteri berbentuk batang

yang menghasilkan beberapa racun. Racun yang paling dikenal adalah

14

neurotoksin yang, dibagi dalam jenis AG, yang menyebabkan kelumpuhan otot.

Clostridium botulinum tidak menyukai oksigen atau disebut anaerobik dan

menghasilkan spora yang umumnya ditemukan di dalam tanah. Oleh karena

bersifat anaerobik dan menghasilkan spora yang tahan pada suhu tinggi maka

Clostridium botulinum adalah bakteri yang harus diwaspadai pada produk kaleng

atau kemasan tanpa oksigen (Jay et al. 2005).

Tabel 4. Gap penerapan sistem HACCP PT. AAA terhadap regulasi FDA

No Kasus Pelanggaran

Sistem HACCP

Regulasi Indonesia Regulasi FDA

1 Tidak dilakukan analisis

bahaya terhadap toksin

Clostridium botulinum,

Salmonella dan histamin.

Prinsip 1 Tidak menetapkan

jenis bahaya, hanya

standar produk akhir

(BSN 2006a).

Menetapkan jenis

bahaya (FDA 2013b).

2 Kesalahan dalam

menetapkan titik kendali

kritis terhadap suhu dan

waktu

Prinsip 2 Tidak menetapkan

titik kendali kritis

(BSN 2006a).

Menetapkan titik

kendali kritis (FDA

2013b).

3 Kegagalan dalam

mengidentifikasi batas

kritis dekomposisi dan

histamin.

Prinsip 3 Tidak menetapkan

batas kritis lulus uji

(BSN 2006b).

Menetapkan batas

kritis lulus uji bahan

baku (FDA 2013b).

4 Tidak melakukan

pemantauan suhu dan

waktu menggunakan alat

terkalibrasi.

Prinsip 4 Hanya menetapkan

suhu (BSN 2006c).

Menetapkan

pemantauan suhu dan

waktu (FDA 2013b).

5 Tindakan korektif yang

tidak tepat terhadap bahaya

dekomposisi dan histamin.

Prinsip 5 Tidak menetapkan

tindakan korektif

(BSN 2006c).

Menetapkan tindakan

korektif (FDA 2013b).

6 Tindakan korektif tidak

diterapkan dan tidak

didokumentasikan.

Prinsip 6 dan

7

Tidak menetapkan

dokumentasi tindakan

korektif (BSN

2006c).

Menetapkan

dokumentasi tindakan

korektif (FDA 2013b).

7 Ketidaksesuaian dalam

penetapan pengambilan

sampel

Metode

pengambilan

sampel

Tidak menetapkan

jumlah sampel (BSN

2006c).

Menetapkan jumlah

sampel (FDA 2013b).

8 Terdapat drainase terbuka

untuk fasilitas pengolahan

limbah cair.

Fasilitas

pengolahan

limbah

Tidak menetapkan

ketentuan pengolahan

limbah (KKP-RI

2002)

Regulasi FDA 21 CFR

123 Bab 5 menetapkan

ketentuan pengolahan

limbah

Disamping itu, ikan tuna merupakan ikan laut yang termasuk dalam spesies

Scombridae, bermarga Thunnus, berdaging merah muda sampai merah tua karena

otot ikan tuna mengandung lebih banyak mioglobin dari pada ikan lainnya.

Spesies Scombridae menyebabkan sindrom scromboid yang dihasilkan dari

penanganan yang tidak sesuai selama pengolahan atau penyimpanan. Salah satu

komponen beracun penyebab keracunan Scombroid adalah histidin, yang dipecah

menjadi histamin. Ikan tuna secara alami mengandung histidin. Pada suhu di atas

16 °C (60 °F) dan jika terjadi kontak udara maka histidin dikonversi ke histamin

oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh bakteri enterik termasuk

Morganella morganii (ini adalah salah satu alasan mengapa ikan harus disimpan

pada suhu rendah). Histamin tidak hancur oleh suhu memasak normal. Histamin

15

adalah mediator reaksi alergi, sehingga dapat menghasilkan gejala respon alergi

yang parah (Kim et al. 1999). Pencegahan dekomposisi histidin menjadi histamin

dapat dilakukan dengan pengaturan suhu dan waktu, yaitu pada suhu < 4.4oC

dalam waktu 8 jam, apabila suhu pengolahan berfluktuasi maka waktu pengolahan

harus diperketat kurang dari 4 jam (Kerr et al. 2002).

Rencana HACCP PT. AAA menetapkan 3 (tiga) CCP yaitu pada

dekomposisi dan histamin pada penerimaan material serta fragmen logam pada

produk akhir (Lampiran 1). Sedangkan, Rencana HACCP yang telah mengacu

pada standar FDA (Lampiran 2) mengidentifikasi 9 (sembilan) CCP, meliputi: 1)

suhu, dekomposisi, mikrobiologi, histamin, dan logam berat pada penerimaan

bahan baku; 2) bakteri patogen, logam berat dan COD pada penerimaan air dan es,

3) fragmen logam pada deteksi logam dan UV; 4) parasit pada tahap pembentukan

ukuran (sizing); 5) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan vakum

(vacuum sealing); 6) parasit pada tahap pembekuan dan penyimpanan dingin

(freezing and cold storage); 7) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan

sekunder dan pelabelan; 8) bakteri patogen pada produk akhir; dan 9)

pengontrolan waktu dan suhu selama proses untuk mencegah pembentukan

histamin. Hal ini menunjukkan dalam melakukan analisis bahaya, penetapan CCP

dan batas kritis PT. AAA belum sesuai standar FDA.

Tidak terpenuhinya 3 (tiga) prinsip HACCP berdampak pada prinsip 4, 5, 6

dan 7. Hal ini terbukti pada temuan pemantauan suhu dan waktu tidak dikontrol,

sanitasi ruang, peralatan, dan personel yang tidak terkontrol, tindakan korektif dan

dokumentasi. Dengan demikian, hasil gap analisis menunjukkan tidak

terpenuhinya 7 (tujuh) prinsip HACCP.

Kasus penolakan PT. AAA juga terkait dengan ditemukannya Salmonella

pada produk yang diekspor ke Amerika Serikat. Seperti yang dinyatakan Jay et al.

(2005), keberadaan Salmonella menunjukkan adanya kontaminasi selama proses

produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi

perikanan. PT. AAA telah menetapkan sistem sanitasi peralatan dan personel,

namun terdapat temuan mengenai sistem monitoring atau prinsip 4 HACCP yang

tidak terkontrol, yaitu monitoring sanitasi peralatan, bangunan dan sanitasi

personel. Berdasarkan hasil uji mikroba (termasuk Salmonella) yang dilakukan

selama proses dan sebelum pengapalan melalui uji ke laboratorium KKP yang

telah terakreditasi tidak menunjukkan temuan mikroba, namun hasil dari FDA

menunjukkan adanya Salmonella. Hal ini menunjukkan bahwa metode

pengambilan sampel yang berbeda juga menyebabkan perbedaan dalam hasil uji

mikroba laboratorium antara Indonesia dan FDA. FDA merekomendasikan

pemantauan suhu dan dekomposisi minimal 12 (dua belas) ikan per lot

kedatangan dan menetapkan batas kritis bahan baku >2.5% ikan membusuk maka

dipertimbangkan menolak seluruh lot karena berpotensi tidak aman. Pada produk

jadi FDA menetapkan metode AQL (Acceptance Quality Limit) yaitu metode

yang banyak digunakan untuk mengukur sampel order produksi untuk

menemukan apakah urutan seluruh produk telah memenuhi spesifikasi klien

(Hughes 2005). Tabel standar Amerika Serikat ini setara dengan semua standar

organisasi standardisasi internasional (ANSI atau ASQC Z1.4, NF06-022, BS

6001, DIN 40080). SNI 2326: 2010 mengenai metode contoh produk perikanan

tidak menetapkan jumlah sampel bahan baku, hanya sampel produk jadi, serta

16

terdapat tabel A1-A11 yang menjadi acuan penetapan jumlah sampel tidak

terdapat dalam dokumen standar.

Permasalahan kompetensi juga menjadi hal yang harus diperhatikan, karena

penerapan sistem HACCP harus didukung dengan pemenuhan kompetensi dan

sosialisasi sistem, karena pelaksanaan HACCP melibatkan seluruh personil

terkait.

PT. AAA telah berdiri sejak tahun 1999, dan telah menerapkan sistem

HACCP sejak dari perencanaan pembangunan, karena produk yang dihasilkan

untuk di ekspor. Hal ini dibuktikan dengan pemenuhan persyaratan GMP sesuai

ketentuan FDA Food Code 2009 yaitu:

1). Pemenuhan standar identifikasi, penampakan dan pelabelan telah dibuat

sesuai standar FDA;

2). Berlokasi di kawasan pelabuhan perikanan dengan lay out bangunan kantor

dan ruang produksi yang terpisah, lalu lintas produk dirancang efektif, desain

(dinding dan lantai) terbuat dari marmer sesuai persyaratan terbuat dari bahan

yang licin dan mudah dibersihkan, pencahayaan cukup dan lampu

berpenutup;

3). Peralatan dan perlengkapan produksi terbuat dari bahan stainlessteel dan

plastik, dengan permukaan licin dan mudah dibersihkan;

4). Memiliki instalasi pengolahan limbah cair dan padat, pengolahan air proses

(sesuai standar air minum) dengan lalu lintas limbah cair, limbah padat dan

air produksi yang dirancang mencegah kontaminasi silang;

5). Fasilitas kebersihan karyawan (wastafel, kamar mandi, loker, sabun, sikat

kuku, dll) sesuai standar dilengkapi air shower dan hair roller, seragam

produksi dan tamu (baju, celana, sarung tangan, masker, hairnet, sepatu, dll)

disediakan beserta laundri, loker terpisah, dan desinfektan sepatu;

Sistem HACCP telah disertifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan

(KKP) sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998 yang

mewajibkan penerapan sistem HACCP. Ditinjau dari hasil audit yang

dilaksanakan oleh KKP, terlihat bahwa fokus dari audit hanya pada permasalahan

GMP seperti ditemukan sarang laba-laba. Hal-hal mendasar kurang diperhatikan

pada saat pelaksanaan audit. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi auditor

KKP harus ditingkatkan dengan pemenuhan standar internasional sesuai ISO

17021, ISO 19011 dan ISO 22003 untuk kompetensi auditor sistem manajemen

keamanan pangan. Tidak hanya pemenuhan kompetensi auditor, namun

pemeliharaan dan peningkatan kompetensi harus dilakukan, karena sistem

manajemen keamanan pangan terus mengalami perkembangan.

Permasalahan ini juga tidak terlepas dari standar acuan yang digunakan,

standar sistem HACCP Indonesia yaitu SNI 01-4852-1998 masih mengacu pada

standar CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997), sedangkan standar tersebut telah

berkembang dengan revisi terakhir revisi 4 tahun 2003 (CAC 2003), yang

kemungkinan belum diadopsi Indonesia. Perlu dikembangkan juga standar sistem

HACCP khusus produk perikanan yang mengacu pada CAC/RCP 52-2003.

Sedangkan, FDA telah meningkatkan sistem HACCP di atas level Codex, dengan

terus melakukan perbaikan standar dengan diterbitkannya FDA Food Code 2009

dan Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, Fourth Edition –

April 2011.

17

Berdasarkan data analisis penolakan produk perikanan Indonesia, penyebab

utama penolakan adalah karena Salmonella dan filthy. Kedua penyebab ini

berkaitan dengan lemahnya penerapan standar sistem HACCP. Data tersebut

diperkuat dengan studi kasus PT. AAA, yang menunjukkan terdapat perbedaan

standar dan regulasi sistem HACCP yang ditetapkan FDA dan perbedaan dalam

hasil audit sertifikasi HACCP FDA dan KKP.

Gap Analisis Dan Rekomendasi Strategi Peningkatan Keamanan Produk

Perikanan Indonesia Terhadap FDA

Analisis gap dilakukan dengan menetapkan 7 (tujuh) komponen

pembanding untuk melakukan gap analisis regulasi dan standar (Tabel 5). Dari

komponen pembanding tersebut dirumuskanlah strategi peningkatan keamanan

produk perikanan yang dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

Tabel 5. Identifikasi rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan

No Komponen Regulasi Indonesia Regulasi AS Rekomendasi

Strategi

1 Kewenangan NSW: BKIPM (sejak

2011)

NSW: FDA (sejak

1938)

Pelaksanaan NSW

yang efektif

2 Peraturan

karantina, jaminan

mutu dan

keamanan produk

perikanan

40 regulasi baku pada

karantina, 8 regulasi

jaminan mutu dan

keamanan hasil

perikanan

21 CFR 123, FDA

Food Code 2009

dan Pedoman FDA

(FDA 2013b).

Perumusan regulasi

yang simpel dan

komprehensif.

3 Standar keamanan

produk perikanan

SNI HACCP (BSN

1998) dan SNI produk

perikanan

21 CFR 123, FDA

Food Code 2009

dan Pedoman FDA

(FDA 2013).

Harmonisasi

standar

4 Sertifikasi

HACCP

Atas penunjukkan dan

belum terakreditasi

Dilakukan

Lembaga Sertifikasi

diakreditasi ANAB

Akreditasi lembaga

sertifikasi HACCP

5 Sertifikasi produk Menetapkan wajib SNI

43 produk perikanan

Tidak

mensyaratkan

Penyediaan

infrastruktur

6 Laboratorium

acuan dan penguji

Laboratorium KKP dan

swasta yang ditunjuk

Laboratorium

swasta, FDA

sebagai pengawas.

Pemutakhiran

infrastruktur

(metode, alat,

SDM)

7 Kerjasama

internasional

Sudah dilakukan, namun

belum dengan AS

Sudah dilakukan Perintisan MoU

dengan AS

1. Pelaksanaan National Single Window (NSW) yang Efektif

Komponen pembanding pertama adalah mengenai kewenangan karantina,

jaminan mutu dan keamanan produk perikanan. Di Amerika Serikat kewenangan

karantina, jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dilakukan oleh FDA

semenjak 24 Juni 1938 dengan mewujudkan NSW (Nasional Single Window).

Jaminan mutu dan keamanan ini berlaku untuk semua jenis pangan, kosmetik dan

obat-obatan. Di Indonesia wewenang jaminan mutu dan keamanan untuk produk

pangan dan obat-obatan dipegang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan,

sedangkan pangan hidup, segar dan mentah (bahan baku) merupakan wewenang

Kementerian terkait. Khusus sektor perikanan NSW diwujudkan dengan

18

penunjukkan BKIPM sebagai penanggung jawab karantina ikan, jaminan mutu

dan keamanan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri KKP tahun 2011

(KKP-RI 2011).

Sebelumnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01 Tahun 2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan

menetapkan penanggung jawab utama pelaksanaan sistem jaminan mutu dan

keamanan hasil perikanan dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten. Sedangkan tanggung

jawab pengendalian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Perikanan. Otoritas Kompeten dapat mendelegasikan tugas

tertentu tentang pengendalian mutu kepada Dinas atau pihak ketiga yang

berkompeten.

Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.

PER.15/MEN/2010 tanggal 6 Agustus 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai tindak lanjut dari Peraturan

Presiden No. 24 tahun 2010, menetapkan BKIPM sebagai penanggung jawab

karantina ikan, jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. BKIPM merupakan

salah satu unit eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan

penggabungan dari Pusat Karantina Ikan, Sekretariat Jenderal dengan Direktorat

Standarisasi dan Akreditasi, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Perikanan (P2HP).

Dasar pemikiran terbentuknya BKIPM (KKP-RI 2011) antara lain: a)

efisiensi dan efektifitas pelayanan sertifikasi secara terpadu dalam penjaminan

kualitas (quality assurance) hasil perikanan; b) ratifikasi perjanjian GATT (tahun

1986-1993) tentang penerapan SPS agreement terhadap perlindungan kesehatan

ikan dan kesehatan manusia; c) peningkatan lalu lintas komoditas perikanan antar

Negara dan antar area di wilayah Republik Indonesia yang berdampak terhadap

peningkatan resiko masuk dan tersebarnya hama penyakit ikan; d) meningkatnya

kecenderungan pola konsumsi protein hewani dari daging merah ke daging putih

disertai tuntutan adanya pengendalian mutu terhadap keamanan dan kesehatan

hasil perikanan; e) pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan serta

pencegahan hama dan penyakit ikan harus dilakukan secara holistic dan konsisten

dalam suatu sistem management mutu; f) karantina ikan dan pengendalian mutu

hasil perikanan sebagai salah satu unit pelayanan yang merupakan bagian dari

Trade Facilitation dalam kegiatan ekspor dan impor.

Dengan ditetapkannya BKIPM sebagai penanggung jawab jaminan mutu

dan keamanan hasil perikanan, maka tumpang tindih kewenangan dapat dihindari.

Petunjuk teknis mengenai pelaksanaan NSW baru diterbitkan pada tahun 2013

(BKIPM-RI 2013). Peraturan ini masih memerlukan sosialisasi dan koordinasi ke

Kementerian atau Direktorat terkait sehingga dapat berjalan efektif dan sinergis.

Diperlukan strategi untuk menjamin keefektivan pelaksanaan NSW.

2. Perumusan Regulasi yang Simpel dan Komprehensif

Komponen pembanding yang kedua adalah peraturan karantina, jaminan

mutu dan keamanan produk perikanan. Regulasi Indonesia terkait jaminan mutu

19

dan keamanan hasil perikanan (Lampiran 3) ada 63 peraturan, terdiri dari: 4

(empat) undang-undang, 1 (satu) peraturan pemerintah, 1 (satu) peraturan

presiden, 27 (dua puluh delapan) peraturan menteri, 13 (tiga belas) keputusan

menteri, 13 (tiga belas) keputusan Kepala BKIPM (Badan Karantina Ikan,

Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) dan 4 (empat perjanjian

kerjasama). Dari data tersebut yang benar-benar terkait karantina ikan terdapat 40

(empat puluh) peraturan perundangan, dan 8 (delapan) peraturan terkait

pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.

Undang-undang adalah legalitas tertinggi dari suatu regulasi. Undang-

undang juga memuat sanksi apabila terjadi pelanggaran atau tindak pidana.

Undang-undang tertinggi karantina hewan, ikan dan tumbuhan, UU No. 16 Tahun

1992, menyatakan kewajiban untuk melengkapi sertifikat kesehatan.

Pada Undang-undang perikanan UU No. 45 Tahun 2009 merupakan

perubahan dari undang-undang sebelumnya yakni UU No. 31 Tahun 2004,

terdapat tujuan untuk meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya

saing, yang menjadi payung program dan kegiatan jaminan mutu dan keamanan

hasil perikanan.

Pada Pasal 20 UU No. 45 Tahun 2009, dinyatakan proses pengolahan ikan

dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan,

sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Sertifikat yang dimaksud

berupa Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dan Sertifikat Penerapan Program

Manajemen Mutu Terpadu (PMMT). Pasal 21 mempersyaratkan Sertifikat

Kesehatan (Health Certificate = HC) untuk pemasukan atau pengeluaran ikan

dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia.

Pasal 23 UU No. 31 Tahun 2004 yang diubah oleh UU No. 45 Tahun 2009

menyatakan setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan

makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia

dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan.

Pemerintah menetapkan dan melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan

makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia

dan/atau lingkungan. Pasal 25 terdapat penambahan ketentuan pemenuhan standar

mutu hasil perikanan budidaya.

Pada Pasal 89 UU No. 31 Tahun 2004, dinyatakan setiap orang yang

melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak

menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan

keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (3), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Undang-undang pangan terbaru, UU No 18 Tahun 2012, menyatakan

lingkup keamanan pangan, yang dijelaskan di Bab VII Pasal 67-72. Pasal 68 ayat

(3) spesifik untuk perikanan menyatakan “Petani, nelayan, pembudi daya ikan dan

pelaku usaha pangan wajib menerapkan norma, standar dan prosedur kriteria

Keamanan Pangan. Pelanggaran pada pasal-pasal tersebut diberikan sanksi

administratif. Sedangkan untuk bahan tambahan pangan diatur di pasal 73-76.

Berdasarkan informasi tersebut, secara perundang-undangan penerapan

sertifikasi mutu dan keamanan hasil perikanan telah didukung, diatur, dan

ditetapkan dalam Undang-undang. Implementasi atas perundang-undangan

dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan

20

Peraturan Menteri (Permen). Dari 42 peraturan dan keputusan menteri. Peraturan

pemerintah No. 15 Tahun 2002 tentang karantina ikan, adalah satu-satunya

peraturan pemerintah terkait karantina ikan, jaminan mutu dan keamanan hasil

perikanan, yang memuat mengenai Sertifikat Kesehatan dan tindakan karantina.

Akan tetapi, di dalam PP tersebut tidak memuat ketentuan mengenai jaminan

mutu dan keamanan hasil perikanan.

Regulasi yang digunakan oleh FDA adalah FDA Food Code 2009 dan 21

CFR 123, yang memuat secara rinci ketentuan GMP (Good Manufacturing

Practices) terkait bangunan, konstruksi, sumber daya manusia, higiene personil,

training, pengolahan air, pengolahan limbah, dll.

Perincian gap analisis standar jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan

Indonesia dan FDA, atas regulasi FDA 21 CFR 123 (FDA 2013d) dengan

Kepmen No. KEP.01/MEN/2002 dan PER.03/BKIPM/2011, memberi kesimpulan

bahwa regulasi FDA lebih mengarah pada terlaksananya GMP, tindakan

perbaikan, verifikasi, pengendalian dokumen dan rekaman, training, SSOP, 7

(tujuh) prinsip HACCP, ketentuan impor produk, dan beberapa produk sensitif.

Regulasi FDA ini berlaku sama, baik untuk produk lokal maupun impor.

Banyaknya peraturan perundangan karantina ikan, jaminan mutu dan

keamanan produk perikanan menimbulkan kesulitan dalam penerapan. Hasil studi

kasus PT. AAA menunjukkan bahwa peraturan terkait keamanan produk

perikanan belum mencakup hal-hal yang lebih spesifik seperti regulasi fasilitas

pengolahan limbah, dan ketentuan GMP yang spesifik lainnya. Oleh karena itu

diperlukan strategi regulasi yang lebih simpel untuk memudahkan penerapan dan

komprehensif yang mencakup keseluruhan aspek GMP terkait keamanan produk

perikanan.

3. Harmonisasi Standar

Komponen pembanding ketiga adalah standar keamanan produk perikanan.

Di Indonesia mengacu pada standar SNI 01-4852-1998 (BSN 1998) yang

mengacu pada CAC/RCP 1-1969. Standar Codex yang menjadi acuan telah

memasuki edisi keempat pada tahun 2003, namun SNI terkait belum direview

sesuai perkembangan standar acuan Codex. Codex juga menetapkan standar

sistem HACCP khusus sektor perikanan yakni CAC/RCP No. 52-2003 (CAC

2003b) yang dapat diadopsi ke dalam SNI sistem HACCP sektor perikanan.

Penerapan sistem HACCP FDA sendiri menggunakan Fish and Fishery Products

Hazards and Controls Guidance, edisi keempat, diterbitkan April 2011. Pedoman

ini juga merupakan adopsi dari CAC/RCP 1-1969, revisi 4, 2003 yang

dikembangkan dan diperketat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika

Serikat.

FDA Food Code 2009 memuat tentang GMP, standar GMP dan format

formulir yang dapat digunakan. GMP pada FDA Food Code 2009, memuat

ketentuan yang lebih rinci atau seperti petunjuk teknis dan standarnya. FDA Food

Code 2009 menjelaskan secara rinci seperti kesehatan karyawan, tidak hanya

menyatakan harus mencegah kebiasaan buruk dan pelaksanaan praktek higiene,

namun memuat mengenai standar uji kesehatan, gejala, diagnosa, dan sejarah

penyakit; peralatan, perlengkapan dan bangunan, tidak hanya menyatakan

mengenai praktek higiene akan tetapi mengatur juga mengenai material

21

konstruksi, desain, lokasi, pengaturan pipa, limbah, air, dan lain-lain; juga

memuat referensi yang dapat digunakan sebagai acuan.

Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, tidak hanya

memuat mengenai 7 (tujuh) prinsip HACCP, akan tetapi standar bahaya kimia,

fisik dan mikrobiologi yang dirinci untuk masing-masing jenis dan spesies ikan,

dan untuk masing-masing proses pengolahan. Disamping itu, juga diberikan

contoh rencana HACCP dan penetapan batas kritis dan CCP serta tindakan

perbaikan dan verifikasinya beserta format formulirnya. FDA Food Code 2009

berlaku untuk semua jenis pangan, sedangkan Fish and Fishery Products Hazards

and Controls Guidance dikhususkan untuk ikan dan produk perikanan, akan tetapi

semua jenis ikan telah dijabarkan dalam standar ini.

Diperlukan strategi ketiga yaitu harmonisasi standar sistem HACCP

Indonesia yang mengadopsi versi terbaru CAC/RCP 1-1969 dan pedoman sistem

HACCP khusus sektor perikanan FDA yang disesuaikan dengan pedoman

HACCP sektor perikanan FDA (FDA 2013b).

4. Akreditasi Lembaga Sertifikasi HACCP

Pembanding yang keempat adalah sertifikasi HACCP sektor perikanan, di

Indonesia merupakan wewenang pemerintah khususnya Direktorat Jenderal

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan BKIPM di Pusat Sertifikasi Mutu

dan Keamanan Hasil Perikanan. Pejabat penandatangan dan pejabat pengganti,

serta inspektur mutu ditetapkan atau ditunjuk oleh Otoritas Kompeten. Akan

tetapi, lembaga pemerintah yang berwenang ini belum diakreditasi oleh KAN

(Komite Akreditasi Nasional) atau dengan kata lain hanya berdasarkan

penunjukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan atau self declaration.

Regulasi FDA ini menunjukkan, kewenangan FDA terbatas pada

penyediaan pedoman dan standar pemerintah untuk penerapan HACCP,

sedangkan kewenangan sertifikasi dan tatacaranya diserahkan pada ketentuan

internasional yang mengatur mengenai kompetensi lembaga sertifikasi dan tata

cara sertifikasi berdasarkan ISO 17021. Dalam hal ini, FDA kembali ke fungsi

pemerintahan sebagai badan pembuat regulasi dan pelaksana pengawasan dalam

penegakan regulasi, tanpa perlu diberikan tugas tambahan melakukan sertifikasi

yang dapat berdampak pada pembengkakan anggaran pemeliharaan kompetensi,

pedoman dan dokumentasi. Di sisi regulasi Indonesia, Kepmen No.

KEP.01/MEN/2002 dan PER.03/BKIPM/2011, lebih mengarah pada birokrasi

tatacara registrasi dan sertifikasi HACCP, serta standar GMP, sedangkan standar

acuan disesuaikan dengan SNI. Pemerintah disamping melakukan fungsi pembuat

regulasi dan pelaksana pengawasan juga terlibat dalam pelaksanaan sertifikasi

HACCP. Namun, tanpa dibarengi dengan ketentuan akreditasi untuk mendapatkan

pengakuan internasional.

Komite Akreditasi Nasional adalah suatu lembaga non struktural yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dibentuk berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001. Komite Akreditasi Nasional (KAN)

sebagai badan akreditasi yang mewakili Indonesia dalam forum Pacific

Accreditation Cooperation (PAC) telah berhasil memperoleh pengakuan di bidang

akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu pada tanggal 24 Agustus

2000, lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan pada tanggal 8 Juli 2004,

lembaga sertifikasi produk pada tanggal 18 Juni 2009, dan lembaga sertifikasi

22

sistem manajemen keamanan pangan pada tanggal 22 Mei 2013 di tingkat Asia

Pacific melalui PAC Multilateral Recognition Arrangement (MLA). Sedangkan di

tingkat internasional oleh IAF (International Accreditation Forum), Komite

Akreditasi Nasional (KAN) telah berhasil memperoleh pengakuan untuk bidang

akreditasi sistem manajemen mutu tanggal 10 November 2000, bidang akreditasi

sistem manajemen lingkungan tanggal 9 Oktober 2004 dan bidang akreditasi

produk tanggal 19 Oktober 2009.

Dengan pengakuan internasional terhadap akreditasi KAN, maka lembaga

sertifikasi yang diakreditasi KAN juga diakui secara internasional. Dari tujuh

lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi HACCP (KAN 2013), tidak terdapat

BKIPM, yang mendapat otoritas kompeten untuk melaksanakan sertifikasi sistem

HACCP sektor perikanan.

Berdasarkan gambaran umum capaian pembangunan dalam Rencana

Strategi BKIPM tahun 2011-2014, dilaporkan pada tahun 2010 sebanyak 1.085

sertifikat HACCP telah diterbitkan BKIPM (Gambar 8). BKIPM memiliki target

program dan kegiatan tahun 2013 dan 2014 untuk meningkatkan Jumlah Unit

Pengolahan Ikan (UPI) dan hasil perikanan yang bersertifikat HACCP 1.115 pada

tahun 2013 dan 1.125 pada tahun 2014 (KKP-RI 2012).

Definisi resmi dari ISO/ IEC 17000 (ISO 2004) untuk akreditasi adalah

pengesahan pihak ketiga terkait dengan menunjukan kompetensi Lembaga

penilaian kesesuaian untuk melaksanakan tugas-tugas penilaian kesesuaian

tertentu. Sedangkan, sertifikasi adalah pengesahan pihak ketiga terkait dengan

produk. proses, sistem atau orang.

Keterangan: A = jumlah UPI, B = sertifikat HACCP

Gambar 8. Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan jumlah sertifikat HACCP yang telah

diterbitkan tahun 2006 – 2010 berdasarkan data BKIPM

Akreditasi mempersyaratkan lembaga sertifikasi untuk melakukan

pemilihan auditor, meningkatkan kompetensi auditor, melakukan evaluasi auditor

dan memelihara kompetensi auditor. Berdasarkan data BKIPM jumlah inspektur

mutu yang mempunyai nomor registrasi untuk melaksanakan inspeksi dan

pengawasan terhadap mutu hasil perikanan adalah 480 orang, terdiri dari 47

inspektur pusat dan 433 inspektur daerah (Gambar 9). Berdasarkan ISO 17021

Tahun

Jum

lah

23

klausul 7.1, penunjukan auditor/ inspektur dan pemenuhan kompetensi (memiliki

latar belakang pendidikan di bidang teknologi pangan, biologi, kimia, atau bidang

terkait, dan memiliki pengalaman kerja di industri pangan sejenis minimal 4

tahun) tidaklah cukup, dibutuhkan evaluasi kompetensi secara berkala dan

pemeliharaan kompetensi melalui mekanisme tertentu.

Di Amerika Serikat, FDA tidak melakukan sertifikasi HACCP. Sertifikasi

HACCP diserahkan kepada Lembaga Sertifikasi pemerintah maupun swasta yang

telah diakreditasi ANAB (ANSI-ASQ National Accreditation Board). ANAB

merupakan badan akreditasi yang mewakili Amerika Serikat dan telah

mendapatkan pengakuan internasional. Hal ini memberikan keringanan pada

beban kinerja pemerintah, dengan sistem sertifikasi mandiri mengurangi anggaran

belanja negara (anggaran pemeliharaan kompetensi, pemenuhan jumlah SDM,

pemenuhan infrastruktur, dll), mempermudah pengawasan atau pemerintah cukup

melakukan pengawasan dan pengendalian. Jaminan mutu dan keamanan

diserahkan kepada mekanisme internasional.

Gambar 9. Perkembangan SDM inspektur mutu tahun 2016 – 2010

Dengan demikian diperlukan strategi keempat yaitu akreditasi lembaga

sertifikasi HACCP di bawah naungan dan penunjukkan BKIPM, agar prinsip-

prinsip sebuah lembaga sertifikasi HACCP terpenuhi termasuk didalamnya

pemeliharaan kompetensi auditor HACCP BKIPM.

5. Penyediaan Infrastruktur Lembaga Sertifikasi Produk

Komponen pembanding kelima adalah sertifikasi produk. Indonesia

selangkah lebih maju dalam sertifikasi produk karena telah mewajibkan sertifikasi

SNI terhadap 43 produk, 7 (tujuh) metode pengemasan, dan 31 metode uji (KKP-

RI 2009). FDA sendiri tidak mensyaratkan sertifikasi produk perikanan.

Penetapan SNI wajib memberikan konsekuensi penyediaan infrastruktur untuk

sertifikasi produk yang mempersyaratkan akreditasi ISO 17065:2012 (ISO 2012)

untuk lembaga sertifikasi produk SNI.

Penggunaan logo SNI harus mengikuti PSN 306-2006 (KAN 2006) yang

dikeluarkan KAN, yakni memenuhi standar SNI dan standar sistem manajemen

mutu ISO 9001:2008. Sertifikasi produk tidak dapat ditetapkan hanya melalui

Keputusan Menteri. Hasil penelusuran terhadap website KAN (KAN 2013)

Jum

lah I

nsp

ektu

r M

utu

Tahun

24

menunjukkan dari 33 Lembaga Sertifikasi Produk, hanya dua lembaga sertifikasi

yang terakreditasi untuk melakukan sertifikasi produk dengan empat SNI wajib,

yakni yaitu ABIPro untuk SNI 01-2712.3:2006 Ikan tuna dalam kaleng - Bagian

3: Penanganan dan pengolahan, dan ILPro untuk SNI 2725.2:2009 Ikan asap -

Bagian 1: Spesifikasi, SNI 2725.3:2009 Ikan asap - Bagian 2: Persyaratan bahan

baku, SNI 2725.3:2009 Ikan asap - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan.

Kemungkinan kurangnya pengawasan dan pengendalian, serta penegakan sanksi

produk perikanan wajib SNI, yang menyebabkan sertifikasi produk perikanan

kurang berkembang.

Dengan demikian, untuk mendukung pelaksanaan wajib SNI produk

perikanan dalam rangka meningkatkan mutu dan keamanan produk perikanan

diperlukan strategi kelima yaitu, penyediaan infrastruktur lembaga sertifikasi

produk perikanan yang lengkap, terakreditasi ISO 17065 (ISO 2012) dan

diperlukan komitmen pelaksanaan wajib SNI dan pengawasannya.

6. Pemutakhiran Infrastruktur Laboratorium Acuan dan Penguji

Komponen pembanding keenam adalah penyediaan laboratorium acuan dan

laboratorium penguji. Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan

memiliki komitmen kuat untuk mewajibkan akreditasi berdasarkan ISO 17025

terhadap laboratorium acuan dan laboratorium pengujian yang berada di bawah

tanggung jawab KKP (KKP-RI 2008; KKP-RI 2013). Laboratorium acuan dan

laboratorium pengujian berasal dari pemerintah ataupun swasta berdasarkan

penunjukkan Dirjen Kep. Dirjen Perikanan Budidaya No.502/DPB/

PB.430.D4/I/2008 dan keputusan Kepala BKIPM 115/KEP-BKIPM/2013.

Berdasarkan Renstra BKIPM 2011-2014, Indonesia memiliki BBP2HP

sebagai laboratorium acuan dan 39 Laboratorium Pengendalian dan Pengujian

Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) di seluruh Indonesia. Sebanyak 25 LPPMH

telah terakreditasi dan 14 LPPMHP belum terakreditasi. Masing-masing LPPMHP

memiliki ruang lingkup yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dan

kewenangan masing-masing. Direktorat lain dari Kementerian Kelautan dan

Perikanan juga telah diakreditasi, terbukti dari hasil penelusuran data website

BSN (KAN 2013), terdapat 64 (enam puluh empat) laboratorium uji produk

perikanan dari 608 laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh KAN.

Laboratorium swasta yang telah terkareditasi KAN belum berpartisipasi sebagai

laboratorium yang terdaftar atau ditunjuk sebagai laboratorium acuan atau penguji

hasil perikanan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi pengujian dan metode laboratorium

semakin maju dan berkembang, peralatan yang diproduksi semakin canggih,

simpel dan memiliki presisi yang tinggi. Diakui dalam restra BKIPM (KKP-RI

2012) bahwa sarana dan prasarana laboratorium belum memenuhi standar,

Metode standar pemeriksaan HPI/HPIK dan pengujian mutu yang belum lengkap

dan belum dapat diterapkan sepenuhnya oleh UPT dan kualitas dan penyebaran

SDM teknis/ fungsional/ nonteknis belum sesuai dengan beban kerja yang ada di

unit pelaksana teknis. Hasil studi kasus juga menunjukkan perbedaan

pengambilan sampel dan hasil uji yang berbeda antara laboratorium Indonesia dan

FDA. Oleh karena itu, diperlukan strategi keenam mengenai pemutakhiran

infrastruktur laboratorium (metode, alat dan SDM) di seluruh UPT yang

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

25

7. Perintisan Kerjasama Internasional

Komponen pembanding ketujuh adalah kerjasama internasional.

Perkembangan kerjasama bilateral dan multilateral Indonesia cukup

membanggakan. Indonesia telah memiliki MRA/ MoU dengan Kanada, China,

Rusia dan Korea, akan tetapi belum memiliki kerjasama dengan Amerika Serikat

sebagai negara tujuan utama ekspor. Dampak dari belum adanya kerjasama adalah

Indonesia mengalami hambatan non tarif yang cukup tinggi di Jepang (3.5%)

(Anonim 2013a), Amerika (35%) (Anonim 2012) dan Eropa (24% untuk ikan

kaleng, 18% untuk ikan tuna beku) (Anonim 2013b). Di lain sisi Indonesia harus

bersaing dengan negara tetangga seperti Vietnam, Filipina dan Thailand yang

telah menandatangani FTA (Free Trade Agreement) dengan Jepang dan sedang

merintis dengan Amerika.

Dampak dari adanya kerjasama adalah kemudahan kegiatan ekspor dan

impor, kemudahan pengawasan dan pengendalian, dan menurunkan penggunaan

anggaran (perluasan instalasi karantina, peningkatan jumlah petugas tata layanan,

pemeliharaan kompetensi, pengujian laboratorium, pengambilan sampel dan

tindakan karantina lainnya). Kegiatan sertifikasi mutu dan keamanan hasil

perikanan telah berhasil menekan jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan

ke negara mitra. Disamping itu, terjalinnya harmonisasi sistem jaminan mutu dan

keamanan hasil perikanan dengan negara mitra peningkatan jumlah UPI terdaftar

di negara mitra seperti pada Gambar 10.

Sumber: Renstra BKIPM 2001-2014

Gambar 10. Jumlah UPI terdaftar di negara mitra

Amerika Serikat telah membuka kerjasama kepada banyak negara mitra

sebagai strategi untuk menekan anggaran pengujian dan menjamin pengawasan

produk perikanan (GAO, 2001). FDA sendiri telah memiliki kerjasama MRA/

MoU dengan tiga negara yaitu, Kanada, China dan Jepang. FDA telah menerima

permintaan untuk melakukan perjanjian kepatuhan atau kesepakatan dari 30 (tiga

puluh) negara pengeskpor produk perikanan ke Amerika Serikat. Akan tetapi,

baru delapan yang memiliki sistem regulasi yang harmonis dengan FDA. Oleh

karena, Amerika Serikat adalah negara tujuan ekspor utama Indonesia, dan

Negara Mitra

Jum

lah

UP

I

26

kesepakatan kerjasama MoU menjadi pertimbangan dalam menentukan kuota

impor dari suatu negara dan mekanisme yang berbeda dengan adanya MoU, maka

diperlukan strategi ketujuh yaitu pengembangan kerjasama dengan Amerika

Serikat untuk mengurangi hambatan non-tarif dan meningkatkan ekspor.

4. SIMPULAN DAN SARAN

Adanya ketidak setaraan standar dan regulasi Indonesia dengan Amerika

Serikat menimbulkan dampak penolakan produk perikanan Indonesia di negara

tersebut. Selama tahun 2010-2012 terjadi penolakan produk Indonesia yang

didominasi oleh produk perikanan, dengan penyebab utama Salmonella dan filthy.

Penyebab penolakan tersebut terkait dengan praktek GMP, sanitasi dan penerapan

HACCP. Studi kasus terhadap perusahaan olahan tuna PT. AAA juga

menunjukkan kegagalan implementasi sistem HACCP karena perbedaan standar,

regulasi dan audit sertifikasi Indonesia dan FDA. Oleh karena itu, peningkatan

produktivitas dan ekspor produk perikanan harus dibarengi dengan peningkatan

mutu dan keamanan produk perikanan melalui penerapan 7 (tujuh) strategi

tambahan, yaitu: 1) National Single Window yang efektif, 2) regulasi yang simpel

dan komprehensif, 3) harmonisasi standar, 4) akreditasi lembaga sertifikasi

HACCP sektor perikanan, 5) infrastruktur lembaga sertifikasi produk, 6)

pemutakhiran infrastruktur laboratorium, 7) kerjasama internasional dan

memperkokoh posisi Indonesia dalam menghadapi era globalisasi perdagangan.

Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat

ekonomi penerapan strategi kebijakan keamanan pangan di sektor perikanan

dengan menggunakan metodologi ISO. Studi ekonomi tersebut dapat menghitung

kerugian penolakan ekspor produk ke Amerika Serikat dan dijadikan dasar untuk

mendukung penerapan strategi kebijakan keamanan produk perikanan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, F E. 1991. Seafood Safety. Washington: National Academy Press.

Anonim. 2012. Harmonized Tariff Schedule of the United States. Washington

D.C.: U. S. International Trade Commission.

Anonim. Customs Tariff Schedules of Japan. 2013a. http://www.customs.go.jp/-

english/tariff/2012_1/data/i201201e_03.htm [20 Mei 2013]

Anonim. Online customs tariff database. 2013b. http://ec.europa.eu/taxation-

customs/customs/customs_duties/tariff_aspects/customs_tarif [20 Mei 2013]

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Sistem Analisis Bahaya dan

Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. SNI 01-

4852-1998. Jakarta: RI.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. Tuna Beku-Bagian 1: Spesifikasi.

SNI 01-2710.1-2006. Jakarta: RI.

27

BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006b. Tuna Beku-Bagian 2: Persyaratan

Bahan Baku. SNI 01-2710.2-2006. Jakarta: RI.

BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006c. Tuna Beku-Bagian 3: Penanganan

dan Pengolahan. SNI 01-2710.3-2006. Jakarta: RI.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003a. Recommended International

Code of Practice – General Principles of Food Hygiene. 1-1969, Rev. 4,

2003: CAC/RCP.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003b. Code of Practice for Fish and

Fishery Products. 52-2003, Rev. 2004, 2005, 2007: CAC/RCP.

Cato, J C. 1998. Economic Values Associated with Seafood Safety and

Implementation of Seafood. FAO Fisheries Technical Paper. No. 381. ISSN

0429-9345: FAO.

Dogan H, Subramanyan B, dan Pedersen JR. 2010. Analysis for Extraneous

Matter. USA: Springer Science and Bussiness Media Inc.

Europa. 2013. RASFF Portal. Website. https://webgate.ec.europa.eu/rasff-

window/portal. [12 April 2013]

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2010. The State

of the World Fisheries and Aquaculture 2010. Roma: FAO.

[FDA] Food and Drug Administration. 2013a. Import Refusal.

http://www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals. [11 April 2013]

[FDA] Food and Drug Administration. 2013b. Fish and Fishery Products Hazards

and Controls Guidance. www.fda.gov/downloads/Food/Guidance-

Regulation/UCM251970.pdf [8 Maret 2013]

[FDA] Food and Drug Administration. 2013c. Food Code 2009.

http://www.registrarcorp.com/fda-food/index.jsp [8 Maret 2013]

[FDA] Food and Drug Administration. 2013d. 21 Code of Federal Regulation

123. http://www.accessdata.fda.gov/scripts/cdrh/cfdocs/cfcfr/CFRSearch.-

cfm?CFRPart=123 [8 Maret 2013]

[GAO] United States General Accounting Office. 2001. Federal Oversight of

Seafood Does not Sufficiently Protect Consumers. Washington D.C.: USA.

Hughes CC. 2005. State Construction Quality Assurance Programs. Washington,

D.C: Transportation Research Board.

[ISO] International Organization for Standardization. 2004. Conformity

Assessment – Vocabulary and Definition. ISO/ IEC 17000:2004.

[ISO] International Organization for Standardization. 2008. Quality Management

System. 2011. Conformity assessment - Requirements for bodies providing

audit and certification of management systems. ISO 17021.

[ISO] International Organization for Standardization. 2011. Guidelines for

Auditing Management System. ISO 19011.

28

[ISO] International Organization for Standardization. 2012. Conformity

assessment - Requirements for bodies certifying products, processes and

services. ISO 17065.

Jay JM, Loessnar MJ, dan Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology 7th

Edition. USA: Springer Science and Bussiness Media Inc.

[KAN] Komite Akreditasi Nasional. 2006. Penilaian Kesesuaian–ketentuan

Umum Penggunaan Tanda Kesesuaian Produk SNI. PSN 306-2006. Jakarta:

RI.

[KAN] Komite Akreditasi Nasional. 2013. Lembaga Sertifikasi Produk. http://-

sisni.bsn.go.id/index.php/lembsert/inspeksi/publik/1/X9/X9/1/X9/X9. [22

April 2013]

[Kemendag-RI] Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2012. Ikan Tuna

Indonesia. Warta Ekspor, Edisi Juni, No. 003: 1-19.

[Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1998. Keputusan

Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998 tentang Sistem Manajemen

Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Jakarta: RI.

Kerr M, Lawicki P, Aguirre S dan Rayner C. 2002. Effect of Storage Conditions

on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Victoria: Public Health

Division Victorian Government Department of Human Services.

Kim, SH, An H, dan Price RJ. 1999. Histamine Formation and Bacterial Spoilage

of Albacor Harvested off the U.S.Northwest coast. Journal of Food Science,

64(2): 340-343.

[KKP-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1998. Keputusan Menteri

Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998 tentang Sistem Manajemen Mutu

Terpadu Hasil Perikanan. Jakarta (ID): RI.

[KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2008.

Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No.502/DPB/

PB.430.D4/I/2008 tentang Penunjukkan Laboratorium Acuan dan

Laboratorium Pengujian Kandungan Residu Obat Ikan, Bahan Kimia,

Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. Jakarta (ID):

RI.

[KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2009.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61/MEN/2009 tentang

Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia Bidang Kelautan dan

Perikanan.

[KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011.

Peraturan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil

Perikanan No. PER. 03/BKIPM/2011 tentang Pedoman Teknis Penerapan

Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta (ID): RI.

[KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

PER.15/MEN/2012 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan

Perikanan Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): RI.

29

[KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2013.

Keputusan Kepala BKIPM 115/KEP-BKIPM/2013 tentang Pendelegasian

Kewenangan kepada Lembaga Inspeksi dan Sertifikasi dalam Penerbitan

Sertifikat Kesehatan. Jakarta (ID): RI.

Majd E dan Mehrabian S. 2013. Use of HACCP to Control Salmonella Safety in

Meat and Meat Products. International Journal Education and Research,

1(1): 1-9.

Martel K, Kirmeyer G, Hanson A, Stevens M, Mullenger J, dan Deere D. 2006.

Application of HACCP for Distribution System Protection. Awwa Research

Foundation: IWA.

Maulana H, Afrianto E, dan Rustikawati I. 2012. Analisis Bahaya dan Penentuan

Titik Pengendalian Kritis Penanganan Tuna Segar Utuh di PT. Bali Ocean

Anugrah Linger Indonesia Benoa-Bali. Jurnal Perikanan dan Kelautan,

3(4): 1-5.

Ndife J, Egege SC, dan Komolafe GO. 2010. Comprehensive HACCP Strategies

for Reducing Incidence of Food Poisoning (Salmonella Prevalence) in

Ready-To-Eat-Broiler Chicken. African Journal of Food Science and

Technology, 1(4): 99-104.

Poole MS, Van de Ven AH, Dooley K, dan Colmes ME. 2000. Organizational

Changes Processes: Theory and Methods for Research. New York: Oxford

University Press.

Rinto. 2010. Kajian Penolakan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ke Amerika

Serikat [skripsi]. Palembang: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

Saputra MA. 2011. Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia

oleh Amerika Serikat dan Eropa Selama Tahun 2002 – 2010 [skripsi].

Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ziggers, D. 2012. HACCP and Feed Additive Measures Successfully Control

Salmonella of SADA. All About Feed, 2(4): 1-23.

Zou S. 1997. Standardization of International Marketing Strategy by Firms from a

Developing Country. International Marketing Review, 14(2): 107-125.

30

LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana HACCP PT. AAA sebelum di audit

31

3. IDENTIFICATION OF CCP (Critical Control Point)

Identifikasi Titik Kritis

3.1. USING DECISION TREE

Diagram Pohon keputusan

CCP IDENTIFICATION

PROCESS STEP SIGNIFICANT

HAZARD Do preventive measures

exist at this step or

subsequent steps for the

identified hazard ?

⇒ If No = Not CCP,

modify step, process

or product

⇒ If Yes = Proceed to Q2

Does this step eliminate or

reduce the likely occurrence

of a hazard to an acceptable

level ?

⇒ If Yes = CCP

⇒ If No = Proceed to Q3

Could contamination with

identified hazard occur in

excess of acceptable levels

or could these increase to

unacceptable levels ?

⇒ If No = Not CCP

⇒ If Yes = Proceed to Q4

Will a subsequent step

eliminate identified hazards or

reduce the likely occurrence

to an acceptable level ?

⇒ If Yes = Not CCP

⇒ If No = CCP

CCP

Receiving Raw

Material & Sorting

Penerimaan bahan

baku dan proses sortir

Decomposition

Dekomposisi

Histamine

Histamin

Heavy metal

Logam berat

Yes

Yes

No

Yes

Yes

-

-

-

-

-

-

-

CCP

CCP

Not CCP

Metal Detecting

Pengecekan logam

Metal Fragment

Fragmen logam

Yes Yes - - CCP

32

CONTROL ESTABLISHMENT OF CCP

CCP

SIGNIFICANT

HAZARD

CRITICAL LIMIT

FOR EACH

PREVENTIVE MEASURES

MONITORING

CORRECTIVE

ACTION

RECORD

VERIFICATION WHAT HOW FREQUENCY WHO

(1)

Receiving

material fresh

tuna

B-Pathogen:

- E.coli

- Salmonella

- Coliform

- Listeria

monocytoge

nes

Fish temperature

<2oC

Fish

temperature

at receiving

Recorder

thermometer

Temperature check

every lot by sampling

(at least 12/ lot)

QA Section Re-icing if

temperature >2oC

− Recorder

thermometer chart

− Internal calibration

record and external

calibration

certificate

Internal calibration at

least once a week and

external calibration

once a year

Decomposition odor Sensory evaluation

based on

unacceptable

sensory FDA

standard

Every fish QA Section Returning rejected

fish to supplier if >

2.5% fresh tuna

decomposed per lot

and discontinue use

of supplier after

evidence is obtained

and harvesting

practices have

changed

− Sensory evaluation

record

− Returning supplier

record

− Sensory

evaluation

training once a

year

− General term and

condition

supplier

Microbiological level

more than standard

Microbiologic

al level

Microbiological test Every lot of supplier QA Section Destroy raw material

and related product

produced during

deviant periode if

microbiological level

more than standard.

Result of internal and

external test

External test

periodically or every 3

month or when

nonconformity occur

CCP

SIGNIFICANT

HAZARD

CRITICAL LIMIT

FOR EACH

PREVENTIVE MEASURES

MONITORING

CORRECTIVE

ACTION

RECORD

VERIFICATION WHAT HOW FREQUENCY WHO

C-Natural

chemical:

Histamine

Histamine level

standard < 50 ppm

Histamine

level

Lab analysis of

histamine level

Every lot of supplier QA Section Returning rejected lot

to supplier because

the safety of

histamine limits is

dependent upon

proper handling at

− Sensory evaluation

record

− Returning supplier

record

External test

periodically or every 3

month or when

nonconformity occur

Lampiran 2 Rekomendasi analisis bahaya (lanjutan)

PT AAA

OPRP – HACCP PLAN

Number HACCP/Ed-2/10/12

Revision 00

Page

33

sea.

Generally, fish

should be placed in

ice or in refrigerated

seawater or brine at

40°F (4.4°C) or less

within 12 hours of

death, or large tuna

(i.e., above 20 lbs.)

that are eviscerated

before on-board

chilling should be

placed in

refrigerated

seawater or brine at

40°F (4.4°C) or less

within 6 hours of

death.

Fish

temperature

at receiving

and duration

of death

Recorder

thermometer

Temperature check

every lot by sampling

(at least 12/ lot)

QA Section Re-icing if

temperature >2oC

− Recorder

thermometer chart

− Internal calibration

record and external

calibration

certificate

Internal calibration at

least once a week and

external calibration

once a year

C-Contaminant

(heavy metal):

− Mercury

− Cadmium

− Lead

Standard based on

buyer specification

Heavy metal Lab analysis of

heavy metal

Every 3 month or

periodically and

incidental if the

weight of fish more

than 60 kg

QA Section Returning rejected lot

to supplier and

discontinue use of

supplier after evidence

is obtained

Certificate of heavy

metal lab test

Review monitoring,

corrective action and

verification records

CCP

SIGNIFICANT

HAZARD

CRITICAL LIMIT

FOR EACH

PREVENTIVE MEASURES

MONITORING

CORRECTIVE

ACTION

RECORD

VERIFICATION WHAT HOW FREQUENCY WHO

(2)

Receiving

material

water and ice

B-Pathogen:

− E. coli

− Coliform

− Salmonella

Water and ice

microbiological more

than standard

Microbiologic

al level

Microbiological test Monthly QA Section Check UV lamp and

filter condition

− Microbiological test

result

− Visual and sensory

test result

− UV lamp

maintenance

External test

periodically or every 3

month

Check odour, taste,

colour and pH.

Before production

34

record

C-

Environmental

chemicals:

heavy metal,

COD

Standard based on

drinking water

specification

Heavy metal Lab analysis of

heavy metal

Monthly QA Section Destroy product

produced during

deviant periode and

complaint to water

supplier

Certificate of heavy

metal lab test

External test

periodically or every 3

month

(3)

Metal

detector

and UV

(step 3, 5, 8,

9, 11, 12)

Metal fragment No damage to saw

blade

Fe < 2 mm

Sus < 3 mm

Check saw

blade for

damage

Metal detector Every finish product Production

Section

Stop production

Adjust equipment

Isolate product since

last visual check

Hold product until it

can be run through

metal detector and

destroy rejects

Record of metal

detector

Equipment

maintenance log

Internal validation

metal detector and

check metal detector

before use and every

30 minutes during the

process

Review monitoring

and corrective action

records within one

week of preparation

(4)

Sizing

Parasites B-Parasites and

protozoa: Larva of

parasites such as

trematodes, cestodes,

or nematodes. e.g.

Clonorchis sinensis,

Anisakis sp., Capillaria

philippinensis, etc

Parasites and

protozoa

Candling

procedure

(Parasites are often

present in the

species being

processed)

Every lot Production

Section

Freezing and cold

storage process

Candling test result Review monitoring

and corrective action

records

CCP

SIGNIFICANT

HAZARD

CRITICAL LIMIT

FOR EACH

PREVENTIVE MEASURES

MONITORING

CORRECTIVE

ACTION

RECORD

VERIFICATION WHAT HOW FREQUENCY WHO

(5)

Vacuum

Sealing

Clostridium

botulinum

Immediately frozen

after processing

C. botulinum

toxin produce

during

process

Microbiological test Monthly QA Section Destroy related

product produced

during deviant periode

if the test result are

not negative.

Result of internal and

external test

External test

periodically or every 3

month or when

nonconformity occur

(6)

Freezing

and cold

storage

Parasites Freeze at 35oF or

below for 48-60

minutes and hold at

-4°F (-20°C) or below

for 24 hours is

sufficient to kill

parasites.

Internal fish

temperature

Recorded

thermometer

Continuous, with

visual check at end of

each freezing cycle

Freezer

operator

Adjust freezer

Refreeze product

Recorder chart, with

notations for start

and end of each cycle

Review monitoring,

corrective action and

verification records

within one week of

preparation

Length of

time at -35°F

internal

temperature

Visual check of

when internal

temperature first

reaches -35°F and

at end of freezing

Start and end of each

freezing cycle

Freezer

operator

Check the accuracy of

the temperature

recording device

daily.

Lampiran 2 Rekomendasi analisis bahaya (lanjutan)

PT AAA

OPRP – HACCP PLAN

Number HACCP/Ed-2/10/12

Revision 00

Page

35

cycle

(7)

Packing and

Labeling

Clostridium

botulinum

Maintained frozen

throughout

distribution and label

of all finish products

seal vacuum shall

contain a “KEEP

FROZEN UNTIL USE

and THAWING

PRODUCT WITH

RUNNING WATER

WITH TEMPERATURE

0-1oC”

Label of finish

product

Visual check Every finished

product packaging

and labeling

Production

Section

− Segregate, then re-

vacuum and re-

label the product

− Segregate and

destroy non

standard label

Record of labeling Review monitoring,

corrective action and

verification records

by QA Section

CCP

SIGNIFICANT

HAZARD

CRITICAL LIMIT

FOR EACH

PREVENTIVE MEASURES

MONITORING

CORRECTIVE

ACTION

RECORD

VERIFICATION WHAT HOW FREQUENCY WHO

(8)

Finished

product

B-Pathogen:

- E.coli

- Salmonella

- Coliform

- Listeria

monocytoge

nes

Microbiological level

more than standard

during the process

Microbiologic

al level

Microbiological test Every lot of product QA Section Destroy related

product produced

during deviant periode

if microbiological level

more than standard.

Result of internal and

external test

External test

periodically or every 3

month or when

nonconformity occur

(9)

Time and

Tempe-

rature

during the

controlled

process (2-

16)

Histamine Cumulatively process

>4 hours if

temperature of

product >4.4°C

Increasing of

histamine

level

Control of time (< 4

hours) temperature

of product (<4.4°C)

Each step Production

Section

Re-icing if

temperature product

>4.4oC

Time and

temperature product

recorder

Check stopwatch

number and

condition

Internal calibration at

least once a week and

external calibration

once a year

36

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

Undang-undang

1 UU No. 16 Tahun

1992

Karantina hewan, ikan dan

tumbuhan

Mengenai tujuan, persyaratan, tindakan, kawasan karantina,

jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu dan media

pembawa, serta tempat pemasukan dan pengeluaran, serta

sanksi. Kewajiban dilengkapinya sertifikat kesehatan.

2 UU No. 31 Tahun

2004

Perikanan Asas, tujuan, ruang lingkup, wilayah dan pengelolaan, usaha

(SIUP, SIPI, SIKPI) perikanan, sistem informasi dan statistika

perikanan, pemungutan perikanan, penelitian dan

pengembangan perikanan, pendidikan, pelatihan dan

penyuluhan perikanan, pemberdayaan nelayan dan pembudi-

daya ikan kecil, pengawasan, pengadilan, penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan.

3 UU No. 45 Tahun

2009

Perubahan atas Undang-undang

No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan

Perubahan pada Pasal 2, 7, 9, 14, 23, 25, 27, 28, 32, 35, 36, 41-

44, 46, 48, 50, 65, 66, 69, 71, 73, 75, 76, 78, 83, 93, 94, 98,

100, 110.

4 UU No 18 Tahun

2012

Pangan Penyelenggaraan pangan memenuhi kebutuhan dasar manusia

yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan

berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian

pangan dan ketahanan pangan.

Peraturan Pemerintah

5 PP No. 15 Tahun

2002

Karantina ikan Setiap media pembawa dilengkapi dengan sertifikat kesehatan

masuk melalui tempat-tempat pemasukan yang telah

disediakan dan dikenakan tindakan karantina, ketentuan

mengenai pemasukan kembali media pembawa yang ditolak di

luar negeri dengan dilengkapi surat keterangan penolakan,

penetapan kawasan karantina, instalasi karantina, penetapan

jenis-jenis hama dan penyakit, pemungutan jasa karantina, dan

kerjasama antar negara.

Peraturan Presiden

6 Perpres No. 24 Tahun

2010

Kedudukan, tugas dan fungsi

kementerian negara serta

susunan organisasi, tugas dan

fungsi eselon I kementerian

negara

Tugas dan fungsi sekjen, inspektorat, dirjen dan badan. Badan

Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil

Perikanan (BKIPM) mempunyai tugas melaksanakan

perkarantinaan ikan serta pengendalian mutu dan keamanan

hasil perikanan. Fungsi: a) penyusunan kebijakan teknis,

rencana dan program perkarantinaan ikan serta pengendalian

mutu dan keamanan hasil perikanan, b) pelaksanaan

perkarantinaan ikan serta pengendalian mutu dan keamanan

hasil perikanan, c) pemantauan, evaluasi dan pelaporan

pelaksanaan perkarantinaan ikan serta pengendalian mutu dan

keamanan hasil perikanan, d) pelaksanaan administrasi.

Peraturan Menteri

7 Permen KP No. 03

Tahun 2005

Tindakan karantina ikan oleh

pihak ketiga

Setiap media pembawa yang dimasukan atau dikeluarkan dari

wilayah Indonesia dikenakan tindakan karantina yang dapat

dilakukan pihak ketiga dengan persetujuan dari Kepala UPT

Karantina Ikan setempat.

8 Permen KP No. 05

Tahun 2005

Tindakan karantina ikan untuk

pengeluaran media pembawa

hama dan penyakit ikan

karantina

Setiap pengeluaran media pembawa ke luar negeri wajib

melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan,

dilaporkan dan diserahkan ke petugas karantina dan dilengkapi

surat kesehatan ikan, memenuhi ketentuan impor dari negara

tujuan dan ketentuan internasional yang mengikat. Media

pembawa cadangan maksimal 5%, tindakan karantina

dilaksanakan dalam 14 hari, pemeriksaan ulang maksimal 2

jam sebelum pemberangkatan dilaksanakan minimal 25% dari

jenis, jumlah/ ukuran media pembawa yang akan dikeluarkan

yang dipilih secara acak.

37

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

9 Permen KP No. 21

Tahun 2006

Tindakan karantina ikan

dalam hal transit

Setiap transit alat angkut melaporkan kedatangan ke petugas

karantina, wajib dilengkapi sertifikat kesehatan, jika tidak memenuhi

persyaratan maka dalam 2 hari harus meninggalkan wilayah transit

dan jika melebihi maka akan dimusnahkan, wajib mengganti

kemasan jika rusak, melaporkan jika dibongkar/ diganti air/ oksigen,

jika tertular HPIK maka dimusnahkan, pengawalan dilakukan untuk

kapal, tidak berlaku untuk pesawat udara.

10 Permen KP No. 01

Tahun 2007

Pengendalian sistem jaminan

mutu dan keamanan hasil

perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

11 Permen KP No. 02

Tahun 2007

Monitoring residu obat,

bahan kimia, bahan biologi,

dan kontaminan pada

pembudidayaan ikan

Monitoring pembenihan dan pembesaran ikan, menetapkan rencana

monitoring tahunan, dilakukan dengan cara pengambilan, pengujian

contoh, pencatatan, analisa data dan pelaporan. Pelaksana UPT dan

pihak ketiga yang kompeten, hasil monitoring disampaikan ke dirjen

3 bulan sekali, ke otoritas kompeten akhir tahun.

12 Permen KP No. 09

Tahun 2007

Ketentuan pemasukan media

pembawa berupa ikan hidup

sebagai barang bawaan ke

dalam wilayah negara

republik indonesia

Setiap pemasukan media pembawa dari luar negeri wajib melalui

tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan, dilaporkan dan

diserahkan ke petugas karantina dan dilengkapi surat kesehatan ikan,

tidak merupakan jenis yang dilarang, bukan jenis/ varietas baru,

tidak untuk diperdagangkan/ dibudidayakan, berukuran 5-10 cm

maksimal 10 ekor, 11-20 cm maksimal 5 ekor, media pembawa yang

ditolak dikembalikan ke negara asal 24 jam/ dimusnahkan.

13 Permen KP No. 13

Tahun 2007

Sistem pemantauan hama dan

penyakit ikan karantina

Menginventarisir jenis HPIK, inang dan penyebarannya, sebagai

bahan penyusunan peta daerah sebar HPIK dan penetapan kebijakan

operasional. Sistemnya meliputi pelaksanaan pemantauan UPT

karantina ikan melibatkan Badan Riset Perikanan dan Kelautan,

Dirjen Perikanan Budidaya, dan Dinas Pemda, target jenis media

pembawa berpotensi sebagai media pembawa HPIK, frekuensi lalu

lintas tinggi dan terserang penyakit endemik, frekuensi 2 kali dalam

setahun, lokasi di sentra-sentra produksi dan pemasaran hasil

perikanan dan hasil pemantauan dilaporkan ke Kepala Pusat

Karantina Ikan untuk dievaluasi berupa peta sebaran HPIK.

14 Permen KP No. 14

Tahun 2007

Keadaan kritis yang

membahayakan atau dapat

membahayakan sediaan ikan,

spesies ikan atau lahan

pembudidayaan

Pelestarian sumber daya, lingkungan dan lahan pembudidayaan,

penyebab keadaan kritis seperti penangkapan ikan berlebihan, wabah

penyakit ikan atau kerusakan lingkungan. Penanganan keadaan kritis

dengan pengumpulan data dan informasi, koordinasi dan melaporkan

ke Dirjen dan Gubernur/ Bupati/ Walikota, serta Menteri KKP.

Kemudian dilakukan kaji lapangan, pengujian lab, analisis dan

evaluasi. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan kritis,

evaluasi selama 2 tahun.

15 Permen KP No. 20

Tahun 2007

Tindakan karantina untuk

pemasukan media pembawa

hama dan penyakit ikan

karantina dari luar negeri dan

dari suatu area ke area lain di

dalam wilayah negara

Republik Indonesia

Setiap pemasukan media pembawa ke luar negeri/ dari satu area ke

area lain wajib melalui tempat-tempat pemasukan yang telah

ditetapkan, dilaporkan dan diserahkan ke petugas karantina dan

dilengkapi surat kesehatan ikan, wajib dilakukan tindakan karantina,

untuk ikan hidup yang dikirim via pos harus melaporkan paling

lambat 5 hari sebelum kedatangan, dalam bentuk barang muatan

dilaporkan 2 hari sebelum kedatangan, ikan mati 1 hari sebelum

kedatangan, dokumen tidak lengkap ditahan maksimal 3 hari, lebih

dari 3 hari ditolak/ dimusnahkan, untuk analisa media pembawa

dilebihkan 5 %. Media pembawa bebas HPIK diberikan sertifikat

pelepasan dan surat persetujuan pengeluaran media pembawa dari

tempat pemasukan, tertular HPIK golongan II disuci hamakan di alat

angkut, tidak bebas HPIK golongan I ditolak/ dimusnahkan. Masa

karantina 15 hari. Alat angkut harus dilengkapi sarana pemeriksaan

dan sarana pengasingan. Pemasukan media pembawa yang menurut

ketentuan tidak dikenakan tindakan karantina wajib dilengkapi Surat

Keterangan Lalu Lintas Ikan/ Produk Perikanan.

38

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

16 Permen KP No.

21 Tahun 2008

Organisasi dan tata kerja unit

pelaksana teknis karantina ikan

Tidak berlaku digantikan oleh PER.25/MEN/2011

Lampiran

Permen KP No.

21 Tahun 2008

Organisasi dan tata kerja unit

pelaksana teknis karantina ikan

Total 45 terdiri dari 2 Balai Besar, 7 Balai Karantina Kelas I, 5

Balai Karantina Kelas II, 17 Stasiun Karantina Kelas I, 14

Stasiun Karantina Kelas II.

17 Permen KP No.

26 Tahun 2008

Kewenangan penerbitan, format, dan

pemeriksaan sertifikat kesehatan di

bidang karantina ikan dan sertifikat

kesehatan di bidang mutu dan

keamanan hasil perikanan

Sertifikat kesehatan di bidang karantina ikan diterbitkan oleh

UPT Karantina Ikan dan sertifikat kesehatan di bidang mutu dan

keamanan hasil perikanan diterbitkan oleh pengawas mutu hasil

perikanan atau petugas laboratorium (format khusus untuk Uni

Eropa). Produk lulus sertifikat kesehatan diterbitkan Surat

Persetujuan Muat (SPM).

18 Permen KP No.

27 Tahun 2008

Instalasi dan tempat penimbunan

sementara karantina ikan

TPS ditetapkan Kepala Pusat milik pemerintah/ perorangan/

badan hukum berlaku selama 6 bulan, berupa lapangan,

bangunan/ gudang, atau gudang berpendingin.

19 Permen KP No.

28 Tahun 2008

Jenis, tata cara penerbitan, dan

format dokumen tindakan karantina

ikan

Tidak berlaku digantikan PER.32/MEN/2012

Lampiran

Permen KP No.

28 Tahun 2008

Jenis, tata cara penerbitan, dan

format dokumen tindakan karantina

ikan

Tidak berlaku digantikan PER.32/MEN/2012

20 Permen KP No.

29 Tahun 2008

Persyaratan pemasukan media

pembawa berupa ikan hidup

Pemasukan melalui tempat-tempat pemasukan yang ditetapkan

oleh Menteri, dilengkapi Surat Izin dan Surat Kesehatan.

Penerbitan surat izin 3 hari kerja.

21 Permen KP No.

76 Tahun 2008

Pelaksanaan sistem elektronik dalam

kerangka indonesia national single

window di lingkungan Departemen

Kelautan dan Perikanan

national single window berkaitan dengan ekspor/ impor bidang

perikanan, dilakukan Pusat Karantina Ikan berkoordinasi dengan

instansi terkait, menggunakan sistem elektronik dalam bentuk

Prosedur Operasional Standar dan Service Level Arrangement

ditetapkan oleh Sekjen atas nama Menteri.

22 Permen KP No.

09 Tahun 2009

Pencabutan Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No.

KEP.04/MEN/2003 tentang

persyaratan pengeluaran nener (benih

bandeng) dari wilayah Republik

Indonesia

Pencabutan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

KEP.04/MEN/2003 tentang persyaratan pengeluaran nener

(benih bandeng) dari wilayah Republik Indonesia

23 Permen KP No.

18 Tahun 2009

Larangan pengeluaran benih sidat

(Anguilla Spp) dari wilayah negara

Republik Indonesia ke luar wilayah

negara Republik Indonesia

Benih sidat ukuran panjang sampai 35 cm dan/atau berat 100

gram per ekor dan/atau diameter 2,5 cm.

24 Permen KP No.

PER. 07/MEN/

2010

Surat Laik Operasi (SLO) kapal

perikanan

Diterbitkan pengawas perikanan (diangkat dan diberhentikan

oleh Menteri), memenuhi syarat administrasi seperti SIPI asli,

tanda pelunasan pungutan hasil perikanan asli, stiker barcode

(kapal > 30 GT), SKAT (kapal > 60 GT), SLO asal, surat

keterangan asal ikan, sertifikat kesehatan ikan, surat

pemberitahuan ekspor barang (PEB), berlaku 2 x 24 jam.

25 Permen KP No.

12 Tahun 2010

Minapolitan -

26 Permen KP No.

17 Tahun 2010

Pengendalian mutu dan keamanan

hasil perikanan yang masuk ke dalam

wilayah Republik Indonesia

Tidak berlaku diganti PER.15/MEN/2011

27 Permen No. 19/

MEN/ 2010

Pengendalian Sistem Jaminan Mutu

dan Keamanan Hasil Perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

28 PER.11/MEN/

2011

Instalasi karantina ikan Dibangun pemerintah (penetapan berlaku 2 tahun)/ perorangan/

badan hukum (sarana lengkap dan layak, serta memiliki SDM

bidang perikanan/ biologi, memiliki UKP-UPL, surat keterangan

dari dinas, dan peta/ lay out, penetapan berlaku 1 tahun),

dilaksanakan oleh Badan, dikelola UPT, meliputi pelabuhan laut,

sungai, penyebrangan, bandar udara, kantor pos, terminal darat

dan pos perbatasan.

39

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

29 Permen KP No. 15

Tahun 2010

Organisasi dan tata kerja

kementerian kelautan dan

perikanan

Tugas dan fungsi sekjen, inspektorat, dirjen dan badan. Dirjen

Budidaya terdapat Direktorat Produksi yang membawahi

Subdirektorat Sertifikasi (penerapan, monitoring dan evaluasi

sertifikasi) dan Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP)

terdapat Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Badan Karantina

Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

(BKIPM) terdapat Pusat Sertifikasi Mutu dan Keamanan Hasil

Perikanan yang berfungsi a) penyusunan kebijakan, penyusunan

norma, standar, prosedur dan kriteria sertifikasi mutu dan

keamanan hasil perikanan, b) pelaksanaan kegiatan sertifikasi,

akreditasi dan monitoring, harmonisasi dan penanganan kasus

dalam rangka sertifikasi mutu dan keamanan hasil perikanan, c)

monitoring, evaluasi dan pelaporan sistem sertifikasi mutu dan

keamanan hasil perikanan, d) pelaksanaan urusan tata usaha dan

rumah tangga. Membidangi inspeksi dan verifikasi, akreditasi

dan monitoring, harmonisasi dan penanganan kasus dan

subbagian tata usaha. BKIPM juga membawahi Pusat

Manajemen Mutu yang membidangi manajemen mutu produksi,

manajemen mutu laboratorium dan lembaga inspeksi, bimbingan

teknis manajemen mutu dan subbagian tata usaha. Pusat Analisis

Kerjasama Internasional dan Antarlembaga di bawah Menteri

dan bertanggung jawab kepada Sekjen.

30 PER.12/MEN/2011 Hasil perikanan dan sarana

produksi budidaya ikan dari

negara jepang yang masuk ke

dalam wilayah negara Republik

Indonesia

Syarat hasil perikanan yang masuk wajib dilengkapi sertifikat

kesehatan bidang karantina dan sertifikat kesehatan bidang mutu,

surat keterangan asal (Certificate of origin – CoO), hasil uji lab

bebas cemaran mikro, residu, kontaminan, serta bahan berbahaya

lain sesuai SNI, memenuhi ketentuan label dan iklan, dilakukan

penggelasan (glazing) maksimal 20% untuk produk beku, dan

sertifikat Good Agriculture Practices (GAP) untuk ikan

budidaya, sertifikat bebas zat radioaktif, analisis resiko importasi

dan untuk produk non konsumsi wajib rekomendasi Dirjen

Budidaya. Obat ikan dari jepang wajib dilengkapi CoO, CoA,

GMP dan Certificate of Free Sale. Pakan ikan dari Jepang wajib

dilengkapi surat keterangan/ publikasi dari pemerintah Jepang,

CoA, surat penunjukkan produsen, surat keterangan mengenai

dampak positif pakan, sertifikat bebas zat radioaktif. Masuk

melalui pelabuhan yang ditunjuk.

31 PER.15/MEN/2011 Pengendalian mutu dan

keamanan hasil perikanan yang

masuk ke dalam wilayah

negara Republik Indonesia

Terkait mutu dan keamanan perikanan

32 PER.25/MEN/2011 Organisasi dan tata kerja unit

pelaksana teknis karantina ikan,

pengendalian mutu, dan

keamanan hasil perikanan

Pelaksana pencegahan masuk/ keluar dan tersebarnya HPIK

dari/keluar negeri, pelaksana tindakan karantina, pemantau,

pengawas, pengendali, surveilan, sertifikasi kesehatan, dan

pengujian HPIK, mutu dan keamanan, inspeksi UPI dalam

rangka sertifikasi PMMT, penerapan sistem manajemen mutu lab

dan pelayanan operasional, pembuatan koleksi media pembawa/

HPIK, pengumpulan, pengolahan data dan informasi

perkarantinaan ikan, mutu dan keamanan, pelaksana urusan TU

dan RT. Bidang tata pelayanan terdiri dari seksi pelayanan lab

dan instalasi, dan pelayanan teknis (pelaksana sertifikasi

kesehatan, mutu, keamanan hasil perikanan). Bidang

pengawasan, pengendalian dan informasi bertugas melakukan

pengawasan, inspeksi UPI dalam rangka sertifikasi PMMT.

BUSKIPM (Bidang pelayanan uji standar karantina ikan,

pengendalian mutu, dan keamanan hasil perikanan) bertugas

pengembangan teknis dan metode karantina ikan, mutu dan

keamanan hasil perikanan, dan uji profisiensi.

40

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

33 PER.32/MEN/2012 Jenis, penerbitan, dan bentuk

dokumen tindak karantina ikan

Jenis dokumen karantina: sertifikat kesehatan ikan dan produk

perikanan, sertifikat kesehatan ikan domestik, surat keterangan

lalu lintas ikan/ produk perikanan, surat persetujuan muat,

surat pemberitahuan pelaksanaan tindakan karantina ikan

terhadap media pembawa di atas alat angkut, surat persetujuan

bongkar, surat persetujuan pengeluaran media pembawa, dari

tempat pemasukan, surat keterangan masuk instalasi karantina

ikan, surat keterangan masuk tempat penimbunan sementara

(TPS) karantina ikan, surat penahanan sementara, surat

penolakan, sertifikat pelepasan, surat pemusnahan, berita acara

pemusnahan, surat keterangan transit, surat keterangan benda

lain, surat pemberitahuan tindakan karantina ikan terhadap alat

angkut.

Dokumen memuat hasil uji klinis dan laboratoris untuk HPIK,

namun tidak menyatakan hasil uji pemenuhan SNI wajib

terhadap persyaratan mutu dan keamanan pangan.

Keputusan Menteri

34 Kepmen KP No. 41

Tahun 2003

Tata cara penetapan dan

pencabutan kawasan karantina

ikan

Ditetapkan oleh Menteri/ Gubernur/ Bupati/ Walikota, berlaku

2 tahun berturut-turut, berdasarkan laporan dan riset Badan

Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Dirjen Perikanan

Budidaya. Pembinaan, pengendalian dan pemberantasan

menjadi tanggung jawab Dirjen Perikanan Budidaya.

35 Kepmen KP No. 33

Tahun 2004

Organisasi dan tata kerja balai

uji standar karantina ikan

-

36 Kepmen KP No. 05

Tahun 2007

Pencabutan Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No.

KEP.40/MEN/2002 tentang

penetapan pulau jawa dan

pulau bali sebagai daerah

terjangkit penyakit koi herves

virus pada ikan mas dan koi

-

37 Kepmen KP No. 06

Tahun 2007

Pencabutan Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No.

KEK.55/MEN/2004 tentang

penetapan wilayah sumatera

sebagai kawasan karantina

terhadap ikan mas dan koi

-

38 Kepmen KP No. 33

Tahun 2007

Penetapan jenis-jenis penyakit

ikan yang berpotensi menjadi

wabah penyakit ikan

Penyebab penyakit virus, bakteri, parasit dan mikotik.

39 Kepmen KP No. 61

Tahun 2009

Pemberlakuan wajib standar

nasional indonesia bidang

kelautan dan perikanan

43 produk, 7 pengemasan, 31 metode uji

40 Kepmen KP No. 03

Tahun 2010

Penetapan jenis-jenis hama dan

penyakit ikan karantina,

golongan, media pembawa, dan

sebarannya

Potensi penyakit pada ikan tuna bakteri (fish tubercolosis)

daerah penyebaran AS, Jepang, Perancis, Thailand, Eropa,

Inggris, Jawa, Sumatera, Bali.

41 Kepmen KP No. 09

Tahun 2010

Prosedur operasional standar

dan service level arrangement

untuk impor komoditas ikan

dalam kerangka indonesia

national single window di

lingkungan kementerian

kelautan dan perikanan

Membagi dalam 2 jalur: jalur merah (media pembawa beresiko

tinggi/ komoditas dilarang dan dibatasi, SLA 450 menit) dan

jalur hijau (SLA 180 menit). Waktu layanan 24 jam. Petugas:

penerima dokumen/ operator, verifikasi/ koordinator analis,

pemeriksa dokumen, pemeriksa klinis, pengawas. Syarat

pemasukan: importir teregistrasi, memiliki izin dari Dirjen

Perikanan Budidaya, dilengkapi sertifikat kesehatan,

pemasukan melalui tempat-tempat yang telah ditetapkan,

dilaporkan ke petugas karantina ikan dan siap dilakukan

pemeriksaan fisik.

42 Kepmen KP No. 32

Tahun 2010

Penetapan kawasan

minapolitan

197 kabupaten/ kota pada 33 provinsi

41

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

43 Kepmen KP No. 53

Tahun 2010

Penetapan tempat pemasukan dan

pengeluaran media pembawa

hama dan penyakit ikan karantina

71 bandar udara, 98 pelabuhan laut/ sungai, 40 pelabuhan

penyebrangan, 18 kantor pos besar, 5 pos pemeriksaan lintas

batas, 6 pelabuhan perikanan, 3 terminal darat.

44

Kepmen KP No.

KEP.21/MEN/2004

Sistem Pengawasan dan

Pengendalian Mutu Hasil

Perikanan untuk Pasar Uni Eropa

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 1 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Persyaratan Kapal Penangkap

Ikan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 2 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Persyaratan Pendaratan dan

Distribusi

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 3 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Persyaratan Unit Pengolahan

Ikan (UPI)

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 4 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Persyaratan Pengolahan Hasil

Perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 5 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Monitoring dan Pengawasan

Produksi

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 6 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Persyaratan Pengemasan Terkait mutu dan keamanan perikanan

Lampiran 7 Kepmen

KP No.

KEP.21/MEN/2004

Penyimpanan dan Pengangkutan Terkait mutu dan keamanan perikanan

45 Kepmen No.

KEP.01/MEN/2007

Persyaratan Jaminan Mutu dan

Keamanan Hasil Perikanan Pada

Proses Produksi, Pengolahan dan

Distribusi

Terkait mutu dan keamanan perikanan

46 Kepmen No.

KEP.01/MEN/2002

Sistem Manajemen Terpadu

Hasil Perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

Keputusan Kepala BKIPM/ Dirjen

47 PER. 03/BKIPM/

2011

Pedoman teknis penerapan sistem

jaminan mutu dan keamanan

hasil perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

48 KEP. 04/BKIPM/

2011

Pendelegasian kewenangan

kepada lembaga inspeksi dan

sertifikasi dalam penerbitan

sertifikat kesehatan

Tidak berlaku digantikan oleh 115/KEP-BKIPM/2013

49 KEP.05/BKIPM/

2011

Penunjukkan pejabat penanda

tangan sertifikat kesehatan

Atas usulan Lembaga Inspeksi dan Sertifikasi yang ditunjuk

dengan syarat: memiliki latar belakang pendidikan di bidang

teknologi pengolahan hasil perikanan, teknologi pangan,

biologi, kimia, gizi, dan/atau bidang ilmu teknis yang

berkaitan dengan produksi perikanan dan keamanan pangan,

mengikuti dan lulus pelatihan audit sistem HACCP di bidang

perikanan sesuai kurikulum yang ditetapkan Otoritas

Kompeten dan memiliki nomor registrasi, memiliki sertifikat

pelatihan ISO 17020 dan ISO 17025. LPPMHP/BPPMHP

dilengkapi pejabat penandatangan dan pejabat pengganti.

50 KEP. 28 / BKIPM /

2011

Penunjukkan pelayanan sertifikat

kesehatan ikan sebagai lokasi

penerapan metode peningkatan

kualitas pelayanan publik dengan

partisipasi masyarakat

UPT Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan sebagai lokasi penerapan metode

peningkatan kualitas pelayanan publik dengan partisipasi

masyarakat.

42

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

51 KEP.118/BKIPM/

2011

Rencana strategis badan

karantina ikan, pengendalian

mutu dan keamanan hasil

perikanan tahun 2011-2014

52 KEP.437/BKIPM/

2011

Pedoman penetapan hama dan

penyakit ikan karantina

Penetapan jenis HPIK, penggolongan HPIK, media

pembawa dan daerah sebaran.

53 KEP.337/BKIPM/

2011

Pedoman analisis risiko hama

dan penyakit ikan

Identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko,

komunikasi risiko.

54 KEP.460/BKIPM/

XII/2011

Pedoman teknis tindakan

karantina ikan secara terintegrasi

berbasis in line inspection di unit

pembenihan, pembesaran, dan

penampungan/ pengumpulan ikan

Pedoman terdiri dari:

- Pedoman teknis tindakan karantina ikan secara integrasi

berbasis in line inspection

- Petunjuk pelaksanaan pengelolaan instalasi karantina ikan

- Penerapan biosecurity di farm/ instalasi

- Log book

- Lampiran 1. Desinfeksi sarana dan prasarana instalasi

karantina ikan

- Lampiran 2. Pengambilan sampel media pembawa hidup

air tawar/ payau/ laut

- Lampiran 3. Pengambilan sampel media pembawa pada

produk perikanan segar/ beku/ kering/ bagian tubuh

- Lampiran 4. Pemeriksaan klinis dan/atau visual media

pembawa hidup kelompok moluska dan amphibia

- Lampiran 5. Pemeriksaan klinis dan/atau visual media

pembawa hidup kelompok pisces dan crustacea

- Lampiran 6. Pemeriksaan berkala keragaan on farm

- Lampiran 7. Pengamatan terhadap media pembawa HPI/

HPIK hidup dalam pengasingan di instalasi karantina ikan

- Lampiran 8. Perawatan dan pemeliharaan ikan bersirip

- Lampiran 9. Pemeliharaan dan perawatan udang

- Lampiran 10. Perlakuan media pembawa HPI/ HPIK

golongan parasit dan cendawan

- Lampiran 11. Perlakuan media pembawa HPI/ HPIK

golongan bakteri

- Lampiran 12. Pemusnahan media pembawa dan

kemasannya

- Lampiran 13. Pengamatan peubah fisika kimia air

- Lampiran 14. Pengelolaan limbah lab

55 KEP.33/BKIPM/

2012

Penunjukan petugas tata

pelayanan dan petugas

pengawasan, pengendalian dan

informasi pada stasiun KIPM

kelas II

Petugas tata layanan mengkoordinasikan pelaksanaan

pencegahan masuk, tersebar dan keluarnya HPIK,

melakukan pengujian mutu dan keamanan, sertifikasi

kesehatan dan koleksi media pembawa.

Petugas pengawasan, pengendalian dan informasi melakukan

surveilan HPIK, inspeksi dalam rangka sertifikasi PMMT.

Ditunjuk 14 petugas tata layanan dan 14 petugas

pengawasan, pengendalian dan informasi di stasiun KIPM

kelas II.

56 KEP.02/BKIPM/

2013

Kategori tingkat risiko media

pembawa hama dan penyakit

ikan karantina (HPIK)

Penetapan kategori tinggi, sedang, rendah dan dapat

diabaikan. Ikan/ udang/ moluska/ coelenterata/

echinodermata/ amphibia/ reptilia/ mamalia/ alga/ pakan

segar, beku dan hidup masuk kategori tinggi; ikan olahan

(penjemuran, pengasapan, fillet, dll), moluska (segar),

moluska/ echinodermata kering dan olahan mentah lainnya

dan udang olahan (segar, basah, kering) masuk kategori

sedang; ikan/ alga/ pakan olahan (pengeringan, pengasapan,

dll) masuk kategori rendah; ikan olahan (pengalengan,

pemindangan, dll) dan udang olahan matang (basah dan

kering) masuk kategori dapat diabaikan.

43

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

57 KEP. 10 /BKIPM/

2013

Petunjuk teknis Peraturan

Menteri Kelautan dan

Perikanan N0.

Per.25/MEN/2011 tentang

organisasi dan tata kerja unit

pelaksana teknis karantina ikan,

pengendalian mutu dan

keamanan hasil perikanan

Terkait mutu dan keamanan perikanan

58 115/KEP-BKIPM/

2013

Pendelegasian kewenangan

kepala lembaga inspeksi dan

sertifikasi dalam penerbitan

sertifikat kesehatan

Pendelegasian penerbitan sertifikat kesehatan kepada lembaga

inspeksi dan sertifikasi maka wajib melaksanakan surveilan,

pengambilan contoh, mempunyai inspektur mutu dalam jumlah

dan kualitas memadai dan biaya operasional, wajib melakukan

akreditasi parameter uji, melakukan sub kontrak dan

mempertahankan status akreditasi, melaporkan ke Kepala

BKIPM, memelihara kompetensi dan diaudit 1 tahun sekali,

berpedoman kepada peraturan perundangan. BKIPM

menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi

dengan unit kerja terkait. Sertifikat kesehatan diterbitkan

berdasarkan hasil surveilan dan pengujian selama proses

produksi, hasil pengujian dari lab terakreditasi.

31 LPPMHP/ BPPMHP diberikan kewenangan menerbitkan

sertifikat kesehatan.

59 Kep. Dirjen

Perikanan Budidaya

No.502/DPB/

PB.430.D4/I/2008

Penunjukkan laboratorium

acuan dan laboratorium

pengujian kandungan residu

obat ikan, bahan kimia, bahan

biologi dan kontaminan pada

pembudidayaan ikan

Lab harus diaudit (internal dan eksternal) dan terakreditasi ISO

17025, sudah tervalidasi minimal terhadap substansi uji yang

tercantum pada Rencana Nasional Monitoring Residu dengan

mengacu pada standar/ peraturan nasional/ internasional;

menerapkan sistem mutu (kalibrasi dan metrologi peralatan;

menggunakan metode kemamputelusuran dan tervalidasi;

kompetensi laboran; prosedur dan rekaman yang

terdokumentasi; berpartisipasi dalam uji profisiensi yang

mengacu pada “International Harmonised Protocol for the

Proficiency Testing of (Chemical) Analytical Laboratories”

yang dilakukan di bawah pengawasan IUPAC/ ISO/ AOAC;

melakukan sampling terintegrasi dan menjaga kerahasiaan;

prosedur penanganan keluhan pelanggan dan prosedur audit

internal dan eksternal.

Lab acuan: Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil

Perikanan (BBPPHP) dan Balai Besar Pengembangan Air

Tawar Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi

Lab pengujian: Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Laut

(BBPBAL) Lampung, Balai Besar Pengembangan Budidaya

Air Payau (BBPBAP) Jepara, Laboratorium Pembinaan dan

Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Surabaya,

LPPMHP Jakarta, PT. Mutu Agung Lestari, BPOM.

Perjanjian Kerjasama

60 Perjanjian kerjasama

dengan China

Cooperative Agreement

Between Ministry Of Marine

Affairs And Fisheries Of The

Republic Of Indonesia And

General Administration Of

Quality Supervision, Inspection

And Quarantine Of The

Peoples Republic Of China On

Safety Assurance In The Import

And Export

Terkait mutu dan keamanan perikanan

44

Lampiran 3 Regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia (lanjutan)

No. Peraturan

Indonesia

Tentang Keterangan

Perjanjian Kerjasama

61 Perjanjian kerjasama

dengan Korea

Arragement On The

Cooperation In Quality Control

And Hygiene Safety Of Import

And Export Fish And Fishery

Products Between The Ministry

Of Marine Affairs And

Fisheries Of The Republic Of

Indonesia And The Ministry Of

Maritime Affairs And Fisheries

Of The Korea

Terkait mutu dan keamanan perikanan

62 Perjanjian kerjasama

dengan Rusia

Arrangement On Quality

Control And Hygiene Safety Of

Import And Export Fish And

Fishery Products Between The

Ministry Of Marine Affairs And

Fisheries Of The Republic Of

Indonesia And The Federal

Service For Veterinary And

Phitosanitary Surveillance Of

The Russia

Terkait mutu dan keamanan perikanan

63 Perjanjian kerjasama

dengan Kanada

Arrangement On Mutual

Recognition Of Fish And

Fishery Products Inspection

And Control Systems Between

Canadian Food Inspection

Agency And The Directorate

General Of Capture Fisheries

Terkait mutu dan keamanan perikanan

45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Juni 1981 dari

ayah Rismunandar dan ibu Rohmah. Penulis merupakan putri

kedua dari enam bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri I Leuwiliang

dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor

Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian.

Penulis berhasil menamatkan pendidikan sarjana pada tahun

2004. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi

Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Pascasarjana IPB dan

menamatkannya pada tahun 2013.

Penulis memiliki beberapa pengalaman bekerja di berbagai bidang,

khususnya bidang pangan, standardisasi dan sistem manajemen. Tahun 2004

sampai 2006 penulis bekerja di PT. Amerta Indah Otsuka, sebagai Product

Development and Technical Support. Pada tahun 2006 sampai 2008 penulis

bekerja di PT. Djojonegoro C1000, sebagai Sekretariat Sistem Manajemen. Pada

tahun 2008 penulis bekerja di PT. Embrio Biotekindo sebagai Manajer Mutu

Lembaga Sertifikasi HACCP dan ISO 22000. Tahun 2009 sampai 2011 penulis

bekerja di PT. TUV Rheinland Indonesia, Lembaga Sertifikasi Sistem

Manajemen, sebagai Lead Auditor and Project Development. Pada tahun 2011

sampai 2013 penulis mengabdi pada negara di Badan Standardisasi Nasional,

sebagai Analis Kerjasama Standardisasi Bilateral dan Regional. Pada tahun 2013

penulis mendirikan lembaga konsultan PT. Narrada Sigma Indonesia yang

bergerak di bidang sistem manajemen (ISO 9001, ISO 22000, HACCP, ISO

14001, OHSAS 18001, ISO 17025, GAP, ISCC, ISPO, dll) (www.narrada-

sigma.com).

Latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja penulis, diharapkan

dapat mendukung penulis dalam berkontribusi kepada kemajuan ilmu dan

teknologi serta kemajuan bangsa dan negara.