pengembangan model telekoneksi berbasis indeks mjo dan …
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN
MONSUN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU HUJAN EKSTRIM DI
INDONESIA
Putri Wulandari1, Halmar Halide
2, Eddy Hermawan
3, Paharuddin
4
1Mahasiswa Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS
2Guru Besar bidang Hidro-meteorologi Jurusan Fisika FMIPA UNHAS
3Peneliti Utama Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung
4Staf Pengajar bidang Geomatika Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS
Email: [email protected]
ABSTRAK
Interaksi antar fenomena iklim secara simultan mempengaruhi variabilitas curah hujan
Indonesia. Penelitian ini mengarah pada pengembangan model telekoneksi ketika fenomena
Madden-Julian Oscillation (MJO) dan monsun saling menguatkan, kemudian melihat
dampaknya pada perilaku hujan ekstrim di selatan khatulistiwa, yakni Makassar, Semarang
dan Palembang. Data yang digunakan yaitu indeks OLR 100BT, AUSMI, RMMI, dan curah
hujan dalam skala pentad dari Desember 1999 – Maret 2018. Karakteristik data ditinjau dari
hasil analisis spektral, sedangkan MJO diwakili oleh penyaringan indeks OLR pada periode
30-90 harian. Prediksi curah hujan ekstrim 5 harian dengan model regresi berganda (MR),
chaos, dan persisten diverifikasi berdasar ukuran deterministik (korelasi Pearson, RMSE) dan
probabilistik (Peirce score). Hasilnya menunjukkan bahwa model telekoneksi yang sesuai
antara fenomena MJO dan monsun menggunakan ARIMA musiman (3,0,1)(1,1,0)73
.
Berdasarkan hasil verifikasi kuantitatif, 42,2% anomali curah hujan Makassar saat musim
basah dipengaruhi oleh model telekoneksi. Adapun wilayah Semarang dan Palembang masing
– masing sebesar 51,6% dan 58,6%. Pengaruh model telekoneksi cenderung berkurang
sepanjang bujur menuju wilayah timur Indonesia. Model prediksi curah hujan ekstrim 5
harian menghasilkan nilai yang cukup baik untuk Makassar, namun underestimate di wilayah
Semarang dan Palembang.
Kata kunci: ARIMA; hujan ekstrim; Madden-Julian Oscillation; Monsun; Telekoneksi;
1. PENDAHULUAN
Keunikan dari segi geografis, fisio-
grafis, dan astronomis menjadikan Benua
Maritim Indonesia (BMI) rentan terhadap
perubahan cuaca/iklim (Hermawan, 2010).
Terletak di area tropis, dengan konsekuensi
menerima radiasi matahari terbanyak meng-
akibatkan kawasan ini berperan penting
mengendalikan cuaca dan iklim global.
Hujan merupakan unsur iklim dominan
BMI, dengan parameter atmosfer yang sulit
diprediksi karena keberagaman dalam skala
ruang dan waktu (As-syakur et al., 2011).
Interaksi dua atau lebih fenomena atmosfer
secara simultan dapat saling menguatkan atau
mereduksi. Dari beberapa fenomena global
yang mempengaruhi variabilitas iklim Benua
Maritim, Madden-Julian Oscillation adalah
fenomena intra-musiman yang menarik
perhatian. MJO ditemukan oleh Roland
Madden & Paul Julian (1971) sebagai osilasi
yang bergerak ke arah timur di sepanjang
ekuator dan berdampak pada intensitas hujan
wilayah yang dilaluinya. Fenomena ini
berkaitan erat dengan pembentukan awan-
awan Cb yang dikenal sebagai Super Cloud
Cluster (SCC).
Dari hasil kajian Sperber & Slingo
(2002) mengenai propagasi dan struktur
vertikal MJO periode Nopember - Maret di
sekitar Indonesia terlihat bahwa MJO aktif ke
arah timur, khususnya lapisan 850 hPa.
Penelitian lain oleh Chang et al., (2005)
menunjukkan adanya asimetri spasial curah
hujan di wilayah Asia Tenggara saat monsun
Asia (Desember, Januari, Februari) dan
monsun Australia (Juni, Juli, Agustus).
Akibatnya dua fenomena global dalam skala
berbeda berpeluang terjadi secara bersamaan.
Karakteristik, struktur, mekanisme, dan
propagasi MJO telah diteliti sejak tiga
dekade lalu dengan memanfaatkan data
radar, radiosonde, dan Outgoing Longwave
Radiation (OLR). Adapun monitoring MJO
untuk keperluan prediksi menggunakan data
indeks Real Multivariate MJO (RMM)
(Wheeler and Hendon, 2004).
Seto (2002) menyatakan bahwa ada pola
hubungan yang baik antara Intra-Seasonal
Variation (ISV); aktivitas pertumbuhan awan
dan angin zonal, menggunakan pengamatan
radar secara kontinyu. Evana (2009)
menyebutkan data RMM1 dan RMM2 dapat
digunakan untuk memprediksi fenomena
MJO di Indonesia, serta berkaitan erat
dengan curah hujan ekstrim di Jakarta pada
tahun 2002. Secara lokal, fenomena MJO,
propagasi, struktur vertikal dan pengaruhnya
pada curah hujan di kawasan barat Indonesia,
khususnya Kototabang telah diteliti oleh
Hermawan (2010). Ada banyak kajian
mengenai peran MJO dan monsun secara
terpisah sebagai fenomena dalam sistem
iklim kawasan tropis. Namun, peran dan
dampak fenomena tersebut jika terjadi secara
simultan terhadap curah hujan di Indonesia
belum terungkap jelas.
Menurut database BNPB (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana), jumlah
kejadian bencana alam di Indonesia dari
tahun 1815 s/d Mei 2018 masih didominasi
oleh bencana hidro-meteorologi, dimana
banjir menempati posisi teratas dengan 8911
kejadian. Dalam dekade terakhir, perilaku
hujan ekstrim perlu dikaji mendalam,
mengingat curah hujan adalah unsur penting
dalam identifikasi potensi bencana hidro-
meteorologis, khususnya banjir dan longsor
(Suryantoro dkk., 2016).
Meskipun musim hujan dan kemarau
berlangsung periodik, namun distribusi dan
panjang musim tidak selalu sama setiap
tahun. Intensitas yang melebihi ambang
normal dengan durasi panjang menjadi ciri
khusus hujan ekstrim. Adakalanya surplus
hujan tidak hanya terjadi di musim basah,
namun seringkali ditemui saat musim kering.
Sehingga, analisis terhadap fenomena iklim
global intra-musiman perlu dipertimbangkan.
Oleh karena itu, dilakukan kajian lebih
lanjut mengenai pengaruh MJO saat ber-
interaksi dengan monsun terhadap perilaku
hujan ekstrim di Indonesia, khususnya
wilayah selatan khatulistiwa, karena kuat
dugaan wilayah ini berada dibawah kendali
monsun Australia yang termanifestasi dalam
indeks AUSMI. Studi ini mengambil lokasi
di Makassar, Semarang dan Palembang yang
bertipe hujan monsunal. Fokus penelitian
hanya saat MJO dan monsun sefase, tanpa
melibatkan pengaruh fenomena global lain.
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan
menentukan model telekonenksi yang sesuai
antara fenomena MJO dan monsun, yang
mana masing-masing diwakili oleh indeks
OLR dan AUSMI. Kemudian, menganalisis
pengaruh model telekoneksi terhadap
anomali curah hujan di masing-masing
wilayah, serta memprediksi dan verifikasi
skill model curah hujan ekstrim 5 harian
selama empat step kedepan di tiap wilayah
menggunakan model regresi berganda (MR),
chaos, dan persisten.
2. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan adalah data curah hujan
observasi permukaan dan keluaran satelit
GSMaP, TRMM 3B42 V7, dan CHIRPS.
Adapun data indeks terdiri dari RMMI, OLR
dan angin zonal lapisan 850 hPa dengan
masing-masing periode sebagai berikut:
a) Data curah hujan harian Stasiun Klima-
tologi Klas I Palembang, Stasiun Meteo-
rologi Maritim Tanjung Mas Semarang,
dan Stasiun Meteorologi Maritim Paotere
Makassar selama 35 tahun (1983-2017)
untuk analisis karakteristik hujan, serta
periode 2000-2018 untuk validasi dan
koreksi data satelit hujan.
b) Data curah hujan perjam dari satelit
GSMaP Near Real-Time dengan resolusi
spasial 0.1o
x 0.1o
selama periode
Desember 1999-Maret 2018 yang diakses
melalui ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/
c) Data curah hujan harian dari satelit
TRMM 3B42 V7 dengan resolusi spasial
0.25o x 0.25
o selama periode Desember
1999-Maret 2018 yang diakses di website
NASA GESDIC.
d) Data curah hujan harian CHIRPS dengan
resolusi spasial 0.5o x 0.5
o selama periode
Desember 1999-Maret 2018 yang diakses
di website IRI.
e) Data indeks RMM harian periode
Desember 1999-Maret 2018 diunduh dari
Bureau of Meteorological Australia.
f) Data indeks OLR global 5 harian periode
Desember 1999-Maret 2018 diperoleh dari
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/
g) Data angin zonal lapisan 850 hPa hasil
reanalisis NCEP NCAR CDAS-1 selama
periode Desember 1999-Maret 2018
diperoleh di website IRI.
Ekstraksi Data Satelit.
Masing-masing data satelit yang digunakan
memiliki format NetCDF dalam grid wilayah
Indonesia, 6oLU-11
oLS dan 95
oBT-141
oBT.
Untuk memperoleh data di titik yang
bersesuaian dengan stasiun hujan permukaan,
dilakukan ekstrak data menjadi ASCII file.
Semua data curah hujan baik perjam maupun
harian diakumulasi menjadi data 5 harian.
Karakteristik Curah Hujan Tiap Wilayah
Data harian stasiun hujan diolah menjadi data
bulanan. Pola curah hujan tiap wilayah di-
peroleh dari rata-rata klimatologi (1988-
2017) dan dasawarsa (1988-1997, 1992-
2001, 1996-2005, 2000-2009, 2004-2013,
2008-2017),sedangkan karakteristik temporal
curah hujan berdasar hasil analisis spektral;
Power Spectral Density dan Wavelet.
Koreksi Data Curah Hujan
Data satelit hujan digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan kualitas data curah
hujan, karena resolusi spasial, temporal, ca-
kupan wilayah, serta kelengkapan data yang
baik. Sehingga keterbatasan data observasi
(data tidak terukur/kosong) dapat diatasi.
Sebelum digunakan dalam model prediksi,
data satelit hujan dikoreksi dan validasi
dengan data observasi tiap wilayah. Proses
ini berfokus pada observasi hujan dengan
kelengkapan data diatas 75% saat November
– Maret (NDJFM) dimana dua fenomena
yang diamati berpotensi aktif. Komparasi
data observasi dan masing-masing satelit,
menghasilkan scatterplot dan nilai koefisien
determinasi (R2). Satelit dengan nilai R
2 >
0.5 terpilih untuk dibuatkan persamaan
regresi tiap bulan. Nilai R2 ~ 1 pada data
bulanan digunakan untuk mengoreksi seluruh
dataset curah hujan observasi. Selanjutnya,
dihitung anomali curah hujan pentad tiap
wilayah sejak Desember 1999 – Maret 2018.
Transformasi dan Penyaringan Data OLR
Sebagai radiasi gelombang panjang yang
dipantulkan ke luar angkasa, Outgoing
Longwave Radiation (OLR) merekam hampir
seluruh fenomena atmosfer dari skala harian
hingga tahunan. Oleh karena itu, untuk
menganalisis fenomena MJO, maka data
indeks OLR terutama 100BT difilter dengan
periode cut-off 30 dan 90 harian,
sebagaimana dilakukan oleh Balbeid et al.
(2015). Hal ini bertujuan memunculkan
sinyal MJO yang berosilasi dalam rentang
30-90 harian. Filter yang digunakan yakni
bandpass filter dengan metode Butterworth.
Sebelum dilakukan penyaringan, mula-mula
data indeks OLR ditransformasi ke dalam
kawasan frekuensi menggunakan fast fourier
transform (FFT).
Analisis Deret Waktu ARIMA
Metode ARIMA (Autoregressive Integrated
Moving Average) digunakan untuk
menentukan model telekoneksi yang sesuai
antara fenomena MJO dan monsun. Kedua
fenomena tersebut direpresentasi oleh indeks
OLR dan AUSMI 5 harian. Sebelum
dianalisis, data telekoneksi dibagi menjadi
training sets (Januari 2000 – Desember
2017) dan testing sets (Januari - Maret 2018).
Tahap awal yaitu identifikasi stasioneritas
data dengan plot data deret waktu, fungsi
autokorelasi (ACF), dan autokorelasi parsial
(PACF) dari data training sets. Selanjutnya
menentukan orde proses AR dan MA dari
pola PACF dan ACF. Kemudian menduga
parameter model berdasarkan kriteria least
square. Lalu uji diagnostik yang terdiri dari
uji signifikansi parameter dan uji residual
white noise. Penetapan model ARIMA untuk
peramalan baru dapat dilakukan jika model
lolos uji. Namun, bila uji diagnostik belum
terpenuhi, proses looping parameter model
baru kembali dilakukan. Setelah ditemukan
parameter model yang tepat, selanjutnya
hasil peramalan divalidasi menggunkan
testing sets berdasarkan ukuran statistik sum
square error (SSE), mean square error
(MSE), root mean square error (RMSE), dan
korelasi Pearson (r).
Analisis Pengaruh Model Telekoneksi
Model telekoneksi diaplikasikan terhadap
anomali curah hujan pentad setiap wilayah.
Hal ini dilakukan guna melihat pengaruh
model terhadap fluktuasi curah hujan.
Analisis ini menggunakan metode verifikasi
kualitatif dan kuantitaf berdasarkan hasil plot
time series dan nilai percent correct dari
tabel verifikasi dikotomi. PC(+) diperoleh
bila kedua fenomena berinteraksi positif dan
berdampak pada peningkatan curah hujan.
Hal sebaliknya terjadi ketika PC(-). Adapun
PC(0) menunjukkan respon yang berlawanan,
ketika model bernilai positif (negatif) dan
anomali curah hujan negatif (positif).
Model Prediksi Curah Hujan Ekstrim
Prediksi curah hujan ekstrim pentad
menggunakan model regresi berganda (MR),
Chaos, dan Persisten. Penentuan prediktor
model MR mengacu pada hasil cross-
correlation lag signifikan antara variabel
respon (Yt), anomali curah hujan pentad
terkoreksi terhadap variabel bebas (X1), OLR
100BT dan (X2) AUSMI pentad. Adapun
model chaos dan persisten hanya meng-
gunakan input anomali curah hujan pentad
pada waktu-waktu sebelumnya.
Verifikasi Skill Model Prediksi
Verifikasi berujuan menilai kualitas prediksi
dengan membandingkan antara hasil prediksi
dan observasi secara kualitatif maupun
kuantitatif (Halide, 2009). Skill prediksi da-
lam penelitian ini menggunakan pendekatan
deterministik dan probabilistik. Pendekatan
deterministik terdiri dari korelasi Pearson
dan RMSE yang didefinisikan sebagai
(Wilks, 1995 dalam Halide and Ridd, 2008):
𝑟 = 𝑝𝑚 − 𝑝 𝑜𝑚 − 𝑜 𝑛𝑚=1
𝑝𝑚 − 𝑝 2𝑛𝑚=1 𝑜𝑚 − 𝑜 2𝑛
𝑚=1
... (1)
Sedangkan root mean square error (RMSE)
dirumuskan (Wilks, 1995 dalam Halide and
Ridd, 2008):
Dimana dan adalah prediksi dan
observasi pada waktu-m (m = 1, 2, ..., n).
sedangkan ̅ dan ̅ merupakan nilai rata-rata
dari prediksi dan observasi.
Pendekatan probabilistik diukur dengan
Peirce score, untuk menghitung persentase
kebenaran prediksi curah hujan ekstrim
berdasarkan Yes/No Forecast
Tabel 1. Tabel kontigensi yes/no forecast (Halide and
Ridd, 2008)
Adapun formula untuk skill model prediksi
dan error dihitung dari (Stephenson, 2000
dalam Halide and Ridd, 2008):
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Pola curah hujan Makassar, Semarang dan Palembang
745
530
348
179 97 67 41 12 39
90
201
667
0
200
400
600
800
1000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Akumulasi Hujan Bulanan (mm) Makassar StaMet Maritim Paotere rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 -
2013, dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(1)-2008-2017 Poly. (Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005)
420 367
193 187 143
117 82
50 87
159
224 238
00
100
200
300
400
500
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Akumulasi Hujan Bulanan (mm) StaMet Maritim Tanjung Mas rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 - 2013,
dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017 Poly. (Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017)
238 217
388 351
176 133
78 106 121
237
370 333
00
100
200
300
400
500
600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Akumulasi Hujan Bulanan (mm) StaKlim Klas 1 Palembang rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 - 2013,
dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017 Poly. (Rata2-Klimatologis-1988-2017)
Forecast Observed
Yes No
Yes a (hit) b (false alarm)
No c (miss) d (correct rejection) 𝑅𝑀𝑆𝐸 = 1
𝑛 𝑝𝑚 − 𝑜𝑚 2𝑛
𝑚=1
1/2
... (2)
𝑒𝑃𝑆𝑆 = 𝑛2 – 4 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑 𝑥 𝑃𝑆𝑆2
4𝑛 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑
12
𝑃𝑆𝑆 = 𝑎𝑑 – 𝑏𝑐 / 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑 ... (3)
... (4)
Gambar 1 menunjukkan pola curah hujan
tiga lokasi kajian. Dari hasil analisis secara
klimatologis maupun dasawarsa diperoleh
curah hujan Makassar bertipe monsunal,
membentuk huruf U dengan dasar melebar.
Perbedaan tegas antar puncak musim hujan
(Desember-Februari) dan kemarau (Juli-
Sepetember) terlihat jelas (hal yang sama
diperoleh Fhidayatullah, 2017), dimana saat
musim penghujan, curah hujan tergolong
tinggi (500-750 mm) dan sangat rendah di
musim kemarau. Pola yang sama juga
ditemui pada curah hujan Semarang, namun
dengan dasar lebih sempit dan menyerupai
huruf V. Hampir sepanjang tahun
Semarang mengalami hujan, yang
mengakibatkan peralihan antar kedua
musim tidak cukup tegas. Adapun
wilayah Palembang sedikit berbeda,
karena memiliki dua puncak curah
hujan maksimum (bimodal) yang
identik dengan tipe ekuatorial.
Puncak hujan pertama terjadi pada
Maret (388 mm), sedangkan puncak
kedua (370 mm) pada Nopember.
Bila diperhatikan lebih detail,
akumulasi hujan maksimum terjadi periode
Nopember-April dan minimum pada Mei-
September. Hasil ini mirip dengan pola curah
hujan klimatologi wilayah Bandung yang
dikelompokkan menjadi monsunal, namun
seolah-olah bertipe ekuatorial dalam
penelitian Suryantoro dkk., 2016.
Karakteristik Temporal Curah Hujan
Hasil analisis PSD menunjukkan osilasi
dominan curah hujan di Makassar (garis
biru), Semarang (garis merah) dan
Palembang (garis kuning) sekitar 12 bulanan
(Annual Oscillation/AO) yang berkaitan
dengan fenomena monsun. Sehingga
mengindikasikan curah hujan di ketiga lokasi
penelitian bertipe monsunal. Selain itu,
ditemukan pula osilasi 6 bulanan (Semi-
Annual Oscillation/SAO) di Makassar dan 4
bulanan di Palembang.
Gambar 2. Analisis spektral curah hujan bulanan
selama Januari 1983-Maret 2018
Energi spektral terbesar, yakni 3,8 x 109
Watt/Hz dihasilkan oleh curah hujan
Makassar yang menunjukkan lokasi tersebut
memiliki akumulasi hujan bulanan tertinggi
Most Predominant
Peak Oscillation
~12 Month
Sama halnya dengan
analisis spektral PSD pada
gambar 2, wavelet curah
hujan Makassar juga mem-
perlihatkan pola dominan
satu tahunan yang dicirikan
colorbar berwarna merah.
Intensitas hujan diatas rata-
rata terjadi pada 1988,
1989, 1994-1996, 1998-
2002, 2007-2010, dan
2012-2015. Gambar 3. Analisis wavelet curah hujan bulanan Makassar selama
Januari 1983-Maret 2018
Gambar 4. Boxplot curah hujan bulanan Makassar selama Januari 1983-Maret 2018
Distribusi curah hujan ekstrim berdasar bulan
digambarkan melalui boxplot. Grafik ini
menampilkan statistik deskriptif sebaran data
curah hujan menjadi nilai minimum, kuartil
pertama, median, kuartil ketiga, dan nilai
maksimum. Gambar 4 menunjukkan boxplot
curah hujan bulanan Makassar. Crosshair (+)
berwarna merah adalah nilai-nilai ekstrim.
Secara umum, hujan ekstrim tidak hanya
terjadi pada puncak hujan maksimum
(Desember-Februari), namun juga saat
musim kemarau (Juli-September) dan
peralihan (April, Oktober, Nopember).
Akumulasi hujan terbesar sepanjang Januari
1983-Maret 2018 terjadi pada Januari 1999
(1277 mm), sedangkan akumulasi terendah
saat Januari 1998 (167 mm).
Koreksi Curah Hujan Pentad
Koreksi data curah hujan dilakukan pada
periode hujan maksimum dimana jumlah hari
hujan dengan kelengkapan data diatas 75%.
Periode Nopember 2014 – Maret 2015
memenuhi syarat untuk dilakukan komparasi
data curah hujan observasi dan masing-
masing satelit. Gambar 5 menunjukkan time
series curah hujan observasi dan satelit
pentad untuk wilayah Makassar. Garis
berwarna biru mewakili data observasi
permukaan, sedangkan garis merah, hijau dan
kuning secara berurut menunjukkan data
satelit GSMaP, TRMM dan CHIRPS.
Terlihat bahwa satelit TRMM memiliki
kemiripan pola dengan data observasi
dibanding dua data satelit lainnya.
0
50
100
150
200
250
300
350
04
-No
v-1
40
9-N
ov-
14
14
-No
v-1
41
9-N
ov-
14
24
-No
v-1
42
9-N
ov-
14
04
-Des
-14
09
-Des
-14
14
-Des
-14
19
-Des
-14
24
-Des
-14
29
-Des
-14
03
-Jan
-15
08
-Jan
-15
13
-Jan
-15
18
-Jan
-15
23
-Jan
-15
28
-Jan
-15
02
-Feb
-15
07
-Feb
-15
12
-Feb
-15
17
-Feb
-15
22
-Feb
-15
27
-Feb
-15
04
-Mar
-15
09
-Mar
-15
14
-Mar
-15
19
-Mar
-15
24
-Mar
-15
29
-Mar
-15
Time Series Curah Hujan Pentad Makassar Periode November 2014 - Maret 2015
BMKG GSMaP TRMM CHIRPS
Gambar 5. Komparasi curah hujan observasi dan pentad
satelit di Makassar periode November 2014-Maret 2015
Gambar 6. Scatterplot curah hujan observasi
pentad dengan masing-masing satelit
Hal ini diperkuat oleh hasil scatterplot curah
hujan pentad pada gambar 6, dimana ukuran
koefisien determinasi R2 > 0.5 dianggap
cukup representatif dalam menggambarkan
curah hujan observasi di lokasi kajian.
Satelit GSMaP (R2
= 0.51) dan TRMM (R2
=
0.65) memenuhi syarat. Namun, data satelit
TRMM digunakan untuk koreksi karena
menghasilkan nilai R2 terbesar. Selanjutnya
analisis regresi dilakukan untuk masing-
masing data bulanan selama Nopember 2014
– Maret 2015.
Tabel 2. Persamaan regresi dan koefisien determinasi
Lokasi Persamaan regresi R2
Makassar y = 0.917x + 10.08 0.99
Semarang y = 0.812x + 8.88 0.88
Palembang y = 0.757x – 2.91 0.86
Hasilnya menunjukkan bahwa persamaan
regresi bulan Maret 2015 dengan nilai R2 =
0.99 digunakan untuk mengoreksi dataset
curah hujan Makassar. Sedangkan untuk
wilayah Semarang dan Palembang masing-
masing menghasilkan nilai R2 = 0.88 dan R
2
= 0.86 pada bulan Nopember 2014,
sebagaimana disajikan dalam tabel 2.
Gambar 7. Pentad curah hujan BMKG, TRMM, dan
koreksi tiap wilayah (Nopember 2014-Maret 2018)
Filter Indeks OLR
Berdasarkan hasil FFT indeks OLR,
diperoleh osilasi 30 – 90 harian berada dalam
rentang frekuensi 466.2 sampai 153.1.
sehingga filterisasi hanya dilakukan pada
frekuensi tersebut. Data deret waktu sebelum
dan setelah dilakukan proses penyaringan
ditunjukkan oleh gambar 8.
Gambar 8. Time series indeks OLR sebelum dan
setelah filter (Januari 2000 – Maret 2018)
Model Telekoneksi ARIMA
Model telekoneksi yang digunakan dalam
peramalan indeks MJO dan monsun adalah
ARIMA musiman (3,0,1)(1,1,0)73
dengan
estimasi parameter pada tabel 3. Adapun
hasil prediksi untuk satu tahun kedepan
ditunjukkan oleh garis merah pada gambar 9.
Area berwarna abu-abu tua dan muda
merupakan batas kepercayaan 95% dan 80%.
Tabel 3. Estimasi parameter model ARIMA
Gambar 9. Prediksi indeks telekoneksi satu tahun
kedepan menggunakan ARIMA (3,0,1)(1,1,0)73
AR(1) AR(2) AR(3) MA(1) SAR(1)
1= 1.13 2= -0.45 3= 0.002 1= -0.43 1= -0.46
Pengaruh Model Telekoneksi
Model telekoneksi ARIMA diaplikasikan
terhadap anomali curah hujan pentad ter-
koreksi. Dalam kasus ini, ditampilkan time
series anomali curah hujan terkoreksi beserta
model ARIMA (3,0,1)(1,1,0)73
. Diagram
batang berwarna merah mewakili anomali
curah hujan Makassar, sedangkan warna
hijau dan kuning masing-masing anomali
curah hujan Semarang dan Palembang.
Adapun garis warna biru menunjukkan mo-
del telekoneksi ARIMA. Garis kotak putus-
putus berwarna hitam adalah interaksi antar
MJO dan Monsun Australia. Selain itu juga
ditampilkan diagram Hovmoller OLR, curah
hujan dan akumulasinya pada gambar 10.
Gambar 10. (A) time series anomali curah hujan terkoreksi tiap lokasi serta model telekoneksi (B) diagram
hovmoller OLR harian NOAA/ESRL Physical Sciences Division (C) akumulasi curah hujan harian NDJFM
2003-2004 (D) diagram hovmoller curah hujan DJF 2003-2004
Banjir Palembang (25/12) Banjir Palembang
(29/11)
-11
-6
-1
4
9
14
-50
50
150
250
350
04
-11
-03
09
-11
-03
14
-11
-03
19
-11
-03
24
-11
-03
29
-11
-03
04
-12
-03
09
-12
-03
14
-12
-03
19
-12
-03
24
-12
-03
29
-12
-03
03
-01
-04
08
-01
-04
13
-01
-04
18
-01
-04
23
-01
-04
28
-01
-04
02
-02
-04
07
-02
-04
12
-02
-04
17
-02
-04
22
-02
-04
27
-02
-04
03
-03
-04
08
-03
-04
13
-03
-04
18
-03
-04
23
-03
-04
28
-03
-04
ARIMA Model and Rainfall Anomaly NDJFM 2003-2004
AnomCH Makassar AnomCH Semarang AnomCH Palembang ARIMA Model
A
B
C
D
Verifikasi pengaruh model telekoneksi
terhadap anomali curah hujan secara
kuantitatif menggunakan nilai percent
correct (PC). Hal ini dilakukan pada anomali
curah hujan dan model telekoneksi yang
berada di dalam kotak dengan garis hitam
putus-putus. Secara umum diperoleh bahwa
rata-rata PC(-) memberikan nilai yang lebih
besar dibanding PC (+) di tiap wilayah, yang
berarti telekoneksi negatif berpengaruh besar
terhadap penurunan curah hujan. Untuk
Makassar, 42,2% anomali curah hujannya
dapat dijelaskan oleh model telekoneksi.
9,2% saat anomali hujan dan telekoneksi
bernilai positif, dan 33,2% ketika keduanya
bernilai negatif. Sebanyak 51,6% anomali
curah hujan Semarang dapat dijelaskan oleh
model telekoneksi, dengan 11,6% ketika
bernilai positif dan 40% saat bernilai negatif.
Adapun Palembang, 58,6% anomali curah
hujan dapat dijelaskan oleh model tele-
koneksi. 5,1% saat anomali hujan dan
telekoneksi bernilai positif, sedangkan 53,5%
ketika keduanya negatif.
Tabel 4. 1 Verifikasi pengaruh model telekoneksi
Model Prediksi Curah Hujan Ekstrim
Prediksi curah hujan ekstrim selama 4 step
kedepan menggunakan model regresi
berganda (MR), chaos dan persisten. Gambar
11 menunjukkan fluktuasi model prediksi
curah hujan 5 harian di Makassar. Data
observasi curah hujan terkoreksi diwakili
oleh bulatan berwarna orens, sedangkan
model prediksi MR, chaos dan persisten
masing-masing ditampilkan dalam garis
berwarna biru, kuning, dan hijau. Adapun
garis berwarna merah adalah batas ekstrim
curah hujan 90th
.
Fase Aktif MJO Makassar Semarang Palembang
PC(+) PC(-) PC(0) PC(+) PC(-) PC(0) PC(+) PC(-) PC(0)
NDJFM 2000-2001 33.3 0.0 66.7 33.3 16.7 50.0 0.0 16.7 83.3
NDJFM 2003-2004 16.7 33.3 50.0 0.0 33.3 66.7 0.0 66.7 33.3
NDJFM 2005-2006 14.3 28.6 57.1 57.1 28.6 14.3 14.3 42.9 42.9
NDJFM 2006-2007 0.0 50.0 50.0 0.0 50.0 50.0 33.3 50.0 16.7
NDJFM 2007-2008 0.0 16.7 83.3 16.7 33.3 50.0 0.0 83.3 16.7
NDJFM 2011-2012 0.0 57.1 42.9 0.0 71.4 28.6 0.0 85.7 14.3
NDJFM 2012-2013 28.6 42.9 28.6 0.0 28.6 71.4 0.0 57.1 42.9
NDJFM 2014-2015 0.0 28.6 71.4 0.0 57.1 42.9 0.0 57.1 42.9
NDJFM 2015-2016 0.0 33.3 66.7 0.0 33.3 66.7 0.0 33.3 66.7
NDJFM 2016-2017 8.3 50.0 41.7 8.3 50.0 41.7 8.3 58.3 33.3
NDJFM 2017-2018 0.0 25.0 75.0 12.5 37.5 50.0 0.0 37.5 62.5
Rata-rata 9.2% 33.2% 57.6% 11.6% 40.0% 48.4% 5.1% 53.5% 41.4%
A
Gambar 11. Time series model prediksi MR, chaos dan persisten curah hujan pentad Makassar (A) lead-1 (B)
lead-2 (C) lead-3 dan (D) lead-4
Dari 3 model untuk setiap lokasi kajian,
hanya model chaos dan MR yang cukup baik
mengikuti pola data, meskipun belum
berhasil memprediksi secara tepat. Adapun
model persisten yang dibentuk dari curah
hujan pentad sebelumnya, memperlihatkan
pola bergeser terhadap waktu pengamatan.
Secara umum, hasil plot time series curah
hujan ekstrim menunjukkan nilai yang cukup
baik untuk Makassar, sedangkan dua lokasi
lainnya yang tidak ditampilkan memberikan
hasil kurang signifikan (underestimate).
B
C
D
Gambar 12. Verifikasi skill 3 model prediksi curah hujan ekstrim di Makassar, Semarang, dan Palembang
Gambar 12 menunjukkan verifikasi skill tiga
model prediksi curah hujan ekstrim 5 harian
di Makassar, Semarang, dan Palembang.
Ukuran deterministik yang terdiri dari nilai
korelasi Pearson dan RMSE disajikan dalam
grafik di sisi kiri dan tengah. Adapun ukuran
probabilistik yakni Peirce score tergambar
dalam grafik di sisi kanan. Model MR, chaos
dan persisten secara berurut diwakili garis
berwarna hijau, kuning, dan merah. Akurasi
prediksi lead-1 model MR di Makassar
menghasilkan nilai cukup tinggi (r = 0,58 dan
RMSE = 50,55). Adapun lead-1 model chaos
di Makassar menghasilkan nilai tinggi (r =
0,85 dan RMSE = 35,20). Sedangkan model
persisten di wilayah yang sama hanya mem-
berikan nilai r = 0,49 dan RMSE = 61,77
untuk lead 1 pentad. Seiring dengan me-
ningkatnya step peramalan, maka nilai
akurasi cenderung menurun.
4. KESIMPULAN
Model telekoneksi yang sesuai untuk indeks
MJO dan AUSMI pentad periode Januari
2000-Desember 2017 adalah ARIMA (3,0,1)
(1,1,0)73
. Verifikasi kuantitatif menunjukkan
42,2% anomali curah hujan Makassar di-
pengaruhi oleh model telekoneksi, sedangkan
wilayah Semarang dan Palembang yakni
51,6% dan 58,6%. Secara umum, pengaruh
model cenderung berkurang sepanjang bujur
menuju timur Indonesia. Prediksi curah hujan
ekstrim 5 harian menggunakan model MR,
chaos, dan persisten menghasilkan nilai yang
cukup baik di Makassar. Namun, under-
estimate di Semarang dan Palembang. Dari
tiga model prediksi, model chaos yang
memiliki nilai korelasi tertinggi dan mampu
bertahan hingga 4 pentad kedepan. Sedang-
kan model MR dengan r berkisar 0,52 – 0,58
hanya bertahan hingga lead 3.
Daftar Pustaka
As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R.,
Swardika, I.K., & Kasa, I.W. 2011.
Comparison of TRMM multisatellite
precipitation analysis (TMPA) products
and daily-monthly gauge data over Bali.
International Journal of Remote Sensing,
32(24), 8969-8982.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
http://bnpb.cloud/dibi/ [24 Mei 2018]
Balbeid, N., Atmadipoera, A.S., &
Koropitan, A.F. 2015. Respon Suhu
Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-a
terhadap Madden Julian Oscillation
(MJO) di Laut Indonesia. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(2),
553-572.
Chang, C.P., Wang, Z., McBride, J., & Liu,
C.H. 2005. Annual Cycle of Southeast
Asia-Maritime Continent Rainfall and
The Asymmetric Monsoon Transition. J.
of Clim, 18(2), 287-301.
Evana, L. 2009. Pengembangan Model
Prediksi Madden Julian Oscillation
(MJO) berbasis pada Hasil Analisis Data
Real Time Multivariate MJO (RMM1
dan RMM2). [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor: Bogor
Fhidayatullah, D.M. 2017. Analisis
Fenomena Kemarau Basah di Wilayah
Makassar, Pontianak dan Pekanbaru
berbasis Indeks Madden Julian
Oscillation. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Fhidayatullah, D.M. 2017. Analisis
Fenomena Kemarau Basah di Wilayah
Makassar, Pontianak dan Pekanbaru
berbasis Indeks Madden Julian
Oscillation. [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Halide, H. 2009. Esensi Prediksi. Makassar :
Pustaka Pena Press Makassar.206pp.
Halide, H., & Ridd, P. 2008. Complicated
ENSO models do not significantly
outperform very simple ENSO models.
Int. J. Climatol. 28: 219-233.
Hermawan, Eddy. 2010. Analisis Struktur
Vertikal MJO terkait dengan Aktivitas
Super Cloud Clusters (SCCs) di
Kawasan Barat Indonesia. Jurnal Sains
Dirgantara, 8(1), 25-42.
Madden, R.A & Julian P. 1971. Detection of
a 40-50 day oscillation in the zonal wind
in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28:
702-708.
Physical Sciences Division Boulder
Colorado, NOAA/ESRL
https://www.esrl.noaa.gov/psd/map/time
_plot/ [1 September 2018]
Seto TH. 2002. Pengamatan Osilasi Madden
Julian dengan radar atmosfer equator
(EAR) di Bukittinggi Sumatera Barat.
Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca
3:121-124.
Sperber, K.R & J.M Slingo. 2002.
Propagation and Vertical Structure of
Madden-Julian Oscillation. Center for
Global Atmospheric Modeling and Dept.
Of Meteorology at the University of
Reading, England.
Stephenson, D.B. 2000. Use of the “Odds
ratio” for diagnosing forecast skill.
Weather Forecast 15, 221-232.
Suryantoro, A., Sinatra, T., Nafiisyanti, A., &
Gammamerdianti. 2016. Analisis variasi
temporal hujan di Bandung berbasis data
permukaan dan satelit GPM terkait
dengan identifikasi bencana
hidrometeorologis. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan Kebencanaan Ke-3.
Wheeler, M.C., & Hendon HH. 2004. An all-
season real-time multivariate MJO
index: development of an index for
monitoring and prediction. Month
Weather Rev 132:1917-1932.
Wilks, DS. 1995. Statistical Methods in the
Atmospheric Sciences. San Diego:
Academic Press.