pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

138
UNIVERSITAS INDONESIA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE) SKRIPSI RIANI ATIKA NANDA LUBIS 0706278651 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2011 Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Upload: lamtram

Post on 30-Dec-2016

263 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF

(RESTORATIVE JUSTICE)

SKRIPSI

RIANI ATIKA NANDA LUBIS

0706278651

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

DEPOK

JULI 2011

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 2: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF

(RESTORATIVE JUSTICE)

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

RIANI ATIKA NANDA LUBIS

0706278651

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

DEPOK

JULI 2011

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 3: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini arhlah hasil karya saya sendirio

dan semue sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan bener.

Nama

I\[PM

Tanda Tangan

Tanggal

Riani Atika Nanda Lubis

o7062?8651

2 Juli 20I l

-tl I

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 4: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

HALAMAN PEI\GESAHAN

Skripsi

NamaNPMProgram StudiJudul

Pembimbing

Pembimbing

Penguji

Penguji

Penguji

,4-/,

F A'?/ " -n. , . " "? f i ) '( A I lwuvl- )YY' '

ini diajukan oleh :

Riani Atika Nanda Lubis'0706278651

Ilmu HukumPengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai Salah SatuBentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai

bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(SH) pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Dr. EvaAchjani Zulfa, S.H, M.H

Theodora Yuni Shah Putri, S.H, M.H

Dr. Surastini Fitriasih, S.H, M.H

Akhiar Salmi, S.H, M.H

Gandjar Laksmana, S.H, M.H

Ditetapkan di : Depok

Tanggal :2Juli2011

t l VPengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 5: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan

berkah dan hidayah-Nya mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengembalian Aset Hasil

Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)”

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Dengan selesainya skripsi ini, Penulis berharap bahwa nilai-nilai dari

skripsi ini dapat memperkaya khasanah ilmu dan pembangunan hukum di Indonesia. Penulis

juga berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi Negara Indonesia dan Agama.

Terselesaikannya skripsi ini, tidak terlepas dari doa, bantuan dan semangat dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta, Syahrizal Lubis dan Maharani Nasution yang

senantiasa mendukung, mendoakan, dan luar biasa telah mendidik serta membesarkan

Penulis. Terimakasih banyak untuk Mama dan Ayah atas segala pengorbanannya,

Nothing I can pay for your love and sacrifice, but making you proud. Tidak lupa juga

terimakasih untuk abang dan kakak Penulis, Ichsan Halwan Lubis (beserta keluarga, kak

Astari dan keponakanku tersayang Arkasatya Fauzan Lubis) dan Ade Amalia Lubis yang

selalu mendukung dan membimbing Penulis.

2. Alm. Bapak Dr. Rudy Satrio S.H, M.H selaku Ketua PK 2, yang telah menjadi inspirasi

dan idola Penulis untuk menekuni Hukum Pidana, dan dengan luar biasa telah

memberikan ilmunya juga memberi dukungan penuh dalam penulisan skripsi ini. Bapak

yang dengan sukarela meminta saya menjadi mahasiswa bimbingannya, meskipun dalam

keadaan sakit keras. Saya tidak dapat membalas apapun kecuali memanfaatkan ilmu yang

saya dapat dari Bapak dan doa yang selalu saya panjatkan demi ketenangan Bapak di

akhirat. Saya yakin Allah SWT memberikan tempat terbaik untuk umatnya yang baik

pula.

3. Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa S.H, M.H selaku Pembimbing I dan Ibu Theodora Yuni Shah

Putri, S.H, M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia, yang telah dengan sabar dan

teliti membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak mbak telah

benar-benar membimbing saya dan terimakasih banyak atas bantuannya dalam

mendapatkan materi dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terkesan selama menjadi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 6: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

vi

mahasiswa bimbingan mbak-mbak karena benar-benar merasa diperhatikan dan

dibimbing. Semoga Mbak Eva dan Mbak Theo selalu diberkahi oleh Allah SWT atas

segala yang sedang dikerjakan.

4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar PK 2 yang telah memberikan ilmunya kepada Penulis

selama ini yaitu Ibu Koesriani, Bapak Akhiar Salmi, S.H, M.H, Bapak Gandjar

Laksmana, S.H, M.H, Bapak dr. Handoko, Sp.F, Bapak Fachri Bey, Dr. Surastini, S.H,

M.H, Ibu Nathalina, S.H, M.H, Dr. Topo Santoso, S.H, M.H, Bapak (Alm) Arif Gosita,

Dr. Ignatius Sriyanto, S.H, M.H, Ibu Mariam, Bapak Sontan, Juga penulis sampaikan

kepada Ibu Eha yang selalu membantu dalam penyampaian pesan kepada dosen-dosen.

5. Ibu Neng Djubaedah, selaku Pembimbing Akademis Penulis yang selama empat tahun

menjadi orang tua penulis di kampus. Terima kasih atas bimbingan Ibu selama ini.

Akhirnya saya bisa juga struggle di PK 2 dan lulus empat tahun, Bu.

6. Sahabat-sahabat terdekat dan “satu tongkrongan mizan” Penulis di Fakultas Hukum UI,

Ardyan Winansyah Pulungan, Bagus Satrio Lestanto, Bayu Aji Saputro, Candra Adiguna

Sinaga, Durma Jaya, Fajar Nurrahman Hartanto, Fernandez Libert Sillalahi, Hanifan

Ahda Tarmizi, Muhammad Gerry Adlan, Raissa Almira Pradipta, Ramadyani Prabawitri,

Randi Ikhlas Sardoni, Rizki Hendarmin, Syarifa Aya Savirra. Terimakasih atas segala

dukungan dan doanya, kita pernah susah bersama-sama kawan, semoga esok kita bisa

bersama-sama memetik hasilnya. Pokoknya arisan kita harus jalan lagi, dan amigos para

siempre!! Juga kepada sahabat-sahabat penulis Anindita Dea, Aderina, Adhiningtyas

Sahasrakirana, dan Maria Kresensia.

7. Terimakasih kepada badan-badan otonom dimana Penulis bernanung dan berkarya, yaitu

Asia Law Students’ Association (ALSA) Always Be One!! dan Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM). Special thanks to Dept. Pengembangan Karier BEM FHUI 2009,

Sasa, Rantie, Oji, Dea, Seto, Rantie, Fadhil, Deane, Reza, dkk yang kompak dan setia

kawan.

8. Terimakasih kepada Sahabat-sahabat Penulis semenjak duduk di SMAN 28 Jakarta,

kepada Putri Avicenna, S.E, Putri Rivani, S.Psi, Nandya Titania, S.Ked, Laras

Febriany,S.E, Rezaldi, Renaldy, S.T, Hakim Agung, S.T, Raden Umar, Omar Syarif, S.H,

Adhika “Bobop” Paramartha, S.H, Angela, S.E. Terimakasih atas dukungan dan doa nya

kawan-kawan, thanks for being a great companion in ups and downs, friends..

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 7: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

vii

9. Terimakasih kepada partners on crime, sahabat-sahabat PK 2, Muhammad Audrian,

Mutia Harwati, Tantyo Prabowo, Grace Angelia, Fitro Muniro dan Anugerah Rizki,

sesama warga binaan Mbak Eva yang tetap solid dan struggle menekuni hukum pidana.

Terimakasih atas segala sharing ilmunya, dukungan penuh dan doanya. Walaupun kita

hanya bertujuh di angkatan 2007 ini, semoga kita bisa menerapkan dan memanfaatkan

hukum pidana nantinya.

10. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang penulis dalam penyusunan skripsi

ini, yaitu Anindita Rarasati, Diptanala Dimitri, Arub Charisma, Sheila Ramadhani, Audy

“kiting” Miranti, Lulu Latifa, Yulianti, M. Megah, Heri Herdiansyah, Ridha Aditya, Puri

Paskatya, Agantaranansa, Bang Ega Windratno, Mbak Namira Ali Umar dan teman-

teman Fakultas Hukum lainnnya. Go Fight Win Yes!

11. Kepada abang dan mbak senior Fakultas Hukum UI yang selama ini telah membantu dan

membimbing Penulis menjalani masa kuliah, juga kepada adik-adik junior Fakultas

Hukum UI atas dukungannya.

12. Kepada Bapak Selam Birpen, yang selalu membantu dalam hal surat-menyurat dan

perizinan; Pak Kodir, dkk selaku petugas keamanan parkiran belakang yang senantiasa

memberi semangat setiap pagi dan doanya selalu; dan Ibu Sri, dkk selaku staf pegawai

perpustakaan yang sangat membantu Penulis dalam mengakses literatur; juga kepada

Pakde Barel yang setia membantu dalam masalah percetakan.

13. Serta semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi yang penulis buat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis

selalu menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Depok, 2 Juli 2011

Riani Atika Nanda Lubis

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 8: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

HALAMAN PER}IYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKHIR TJNTUK KEPENTINGAN AKAI}EMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Riani Atika Nanda Lubis

NPM :0746278651

Program Studi : IImu Hukum

Fakultas :Hukum

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Univesitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty- Free

Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Penerapan

Keadilan Restoratif (Restorufive Justice\

Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimparq

mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (dntabase),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di :Depok

Pada tanggal : 2 luli 201I

lx

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 9: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAK

Nama : Riani Atika Nanda Lubis Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu

Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Skripsi ini membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan konsep keadilan restoratif. Untuk itu, dalam pembahasan skripsi ini akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengembalian aset hasil tindak pidana di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Usaha Indonesia dalam upaya pengembalian aset ini pun tidak hanya dengan instrumen nasional seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumen-instrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Bantuan Hukum Timbal Balik. Pendekatan keadilan restoratif sebagai salah satu tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep ini sejalan dan tujuan dari keadilan restoratif dan pengembalian aset pun sejalan dan harmonis. Indonesia sebagai negara berkembang yang masih pelik dengan masalah penindakan hukum atas tindak pidana korupsi memerlukan gagasan dan pemikiran mengenai upaya pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Korupsi, Pengembalian Aset, Keadilan Restoratif

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 10: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRACT Name : Riani Atika Nanda Lubis Study Program: Law Title : Stolen Asset Recovery on Proceeds of Corruption Offense as One of

Application of Restorative Justice This thesis discussed about the relation of stolen asset recovery on proceeds of corruption offense with the concept of restorative justice. So that, the discussion chapters of this thesis explained about the premises and legal basis of stolen asset recovery on the proceeds of corruption offense in Indonesia, the United Kingdom and Thailand. Indonesia’s effort in an endeavor to return these stolen assets was not only mandated by national law instruments such as Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 regarding Corruption Eradication, Law Number 15 Year 2002 regarding The Crime of Money Laundering, but also used of international law instruments such as United Nations Convention Against Corruption 2003 which ratified by Law Number 7 Year 2006 and Mutual Legal Assistance on Criminal Matters (MLA). Restorative justice as one of the objectives of punishment is an appropriate intellection to be applied as the underlying principle of stolen asset recovery is reciprocally along with the concept of restorative justice as the intellection of this concept. Indonesia as a developing country which still complicatedly deal with the eradication of corruption offense matters, seriously needs an idea and reasoning on endeavor of restoring state’s loss caused by corruption offense. Keywords : Corruption, Stolen Asset Recovery, Restorative Justice

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 11: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................ ix

ABSTRAK ................................................................................................................x

ABSTRACT...............................................................................................................xi

DAFTAR ISI…………………………………….……………………………........ xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang ........................................................................................1

1. 2 Rumusan Masalah ..................................................................................11

1. 3 Tujuan Penelitian.....................................................................................11

1. 4 Metode Penulisan.....................................................................................12

1. 5 Definisi Operasional................................................................................13

1. 6 Sistematika Penulisan..............................................................................15

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

2. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana........................................ 17

2.1.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi .......................19

2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia....23

2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam

UNCAC………………………………………………………….28

2. 2 Tahap Pengembalian Aset ..................................................................36

2. 3 Program Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana

di Beberapa Negara.............................................................................49

2.3.1 Britania Raya ...............................................................................49

2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari

Hukum Pidana .......................................................................52

2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 12: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

secara Perdata.........................................................................53

2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil

Tindak Pidana .......................................................................54

2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana ..............55

2.3.1.5 Fungsi ARA ..........................................................................56

2.3.1.6 Aset yang Harus Dikembalikan dan Aset yang Terkait ........57

2.3.2 Thailand.........................................................................................59

2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan...............................63

2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS)........64

BAB 3 TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)........................................................................66 3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif ............................66

3.1.1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif ..............................................66

3.1.2 Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia................................71

3.1.3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional ......................74

3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative

Justice)....................................................................................................75

BAB 4 ANALISIS

4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana

Korupsi dengan Keadilan Restoratif ........................85

4.1.1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas Kerugian

Negara...........................................................................................85

4.1.2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi ..................91

4.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai

Tindakan Restoratif .....................................................................94

4. 2 Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat

Penegak Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana

Korupsi dapat Berjalan Efektif ..........................................................98

4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia…….....98

4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset.................................102

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 13: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai

Alternatif......................................................................................103

4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset

Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi…………………………...105

4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset.109

BAB 5 PENUTUP

5. 1 Kesimpulan .........................................................................................111

5. 2 Saran ...................................................................................................113

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 14: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya intelektualitas dan majunya peradaban penduduk

dunia, masalah yang terjadi di kehidupan manusia pun semakin rumit. Salah satu

momok besar dalam kehidupan manusia di dunia adalah masalah kejahatan

korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena korban yang

diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif karena dengan korupsi, kerugian

yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Sebagaimana

tertuang dalam konsideran Undang-Undang No. 39 tahun 1999 jo Undang-

Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas,

sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan

sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime)1, sehingga upaya

pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan

cara-cara yang luar biasa. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga digolongkan

sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime karena pelakunya

                                                                 

1 Korupsi Kejahatan Luar Biasa, http://bataviase.co.id/detailberita-10387828.html. Diunduh pada 21 Juni 2011. Marzuki Ali, Presiden Asia Parliamentary Assembly (APA), dalam sidang APA yang memperingati Hari Antikorupsi Sedunia menyatakan, "Tindak pidana korupsi disebut kejahatan luar Biasa atau Extra-Ordniary Crime karena korupsi terbukti telah menggerogoti sendi-sendi pembangunan bangsa. Membuat bangsa bukan saja statis, tetapi mengalami suatu kemunduran yang signifikan. Korupsi adalah kejahatan besar yang bersifat kompleks, sistemik, dan pemberantasannya perlu dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan melibatkan semua pihak”.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 15: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

2

Universitas Indonesia 

sebagian besar merupakan orang-orang berintelektual dan memiliki pengaruh

dalam kekuasaan.

Banyak kritik dari masyarakat, media dan golongan lain atas kinerja Presiden

Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu II terhadap pemberantasan

tindak pidana korupsi. Presiden RI yang mengelu-elukan pemberantasan tindak

pidana korupsi sebagai program kerja utamanya dinilai tidak dapat melakukan

tugasnya sebagai badan eksekutif dalam penegakan hukum atas korupsi. Pasti ada

yang salah dalam pola pikir penegak hukum dan aplikasi hukum itu sendiri di

Indonesia. Akan tetapi rakyat Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi

untuk merasakan penderitaan akibat maraknya tindak pidana korupsi yang sangat

merugikan ini.

Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi masih belum tertutupi dan

keresahan masyarakat masih tinggi terhadap penegakan hukum atas tindak pidana

di Indonesia. Pemidanaan merupakan salah satu elemen hukum yang paling

penting dalam penegakan hukum pidana. Hukum pidana tanpa mengaitkannya

dengan pemidanaan bagaikan macan tanpa gigi. Penjatuhan hukuman pidana oleh

pengadilan merupakan suatu upaya yang sah, yang dilandasi oleh hukum untuk

mengenakan nestapa atau penderitaan terhadap seseorang yang terbukti bersalah

melakukan tindak pidana. Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial yang

dikaitkan dengan, dan selalu mencerminkan, nilai dan struktur masyarakat,

sehingga merupakan suatu reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati

nurani bersama” atau collective conscience2, meminjam terminologi Emile

Durkheim.3

                                                                  2 http://en.wikipedia.org/wiki/Collective_consciousness , Collective Conscience: “Durkheim

argued that in traditional/primitive societies (those based around clan, family or tribal relationships) totemic religion played an important role in uniting members through the creation of a common consciousness (conscience collective in the original French). In societies of this type, the contents of an individual's consciousness are largely shared in common with all other members of their society, creating a mechanical solidarity through mutual likeness” (Durkheim berpendapat bahwa dalam adat / masyarakat primitif (yang berbasis di sekitar klan, keluarga atau hubungan suku) totem agama memainkan peran penting dalam menyatukan anggota melalui penciptaan kesadaran umum (hati nurani kolektif dalam asli Perancis). Dalam masyarakat jenis ini, isi kesadaran individu yang sebagian besar bersama-sama dengan semua anggota lain dari

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 16: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

3

Universitas Indonesia 

Mengingat begitu hebatnya kerugian yang diderita akibat korupsi, hukum pidana

sebagai hukum yang bertujuan untuk memberi derita dan nestapa kepada siapapun

yang melanggar merupakan cara yang tepat untuk memberantas dan mencegah

praktik korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Wirjono

Prodjodikoro yang merumuskan dengan sangat singkat yaitu: “Hukum Pidana

adalah Peraturan-Hukum mengenai Pidana”. Kemudian beliau mengatakan Kata

“Pidana” berarti hal yang di-“pidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa

dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan

juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.4 Indonesia sebagai negara

berkembang sangat rentan akan praktik ekonomi karena menurut Fred W. Riggs,

salah satu ciri-ciri dari negara berkembang adalah kentalnya korupsi, kolusi dan

nepotisme5.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pelaku korupsi di Indonesia

masih didominasi jajaran birokrasi. Berdasarkan laporan pemantauan ICW atas

vonis kasus korupsi semester I 2010, terdapat 119 perkara korupsi yang diadili

dengan jumlah terdakwa 183 orang. Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch,

Donald Fariz, merinci bahwa dari 119 perkara korupsi, 103 perkara dengan 66

terdakwa diadili di Pengadilan Umum, sedangkan 16 kasus dengan 17 terdakwa

diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Berdasarkan tingkat vonis

                                                                                                                                                                                masyarakat mereka, menciptakan solidaritas mekanis melalui rupa bersama). Diunduh pada 25 Februari 2011.

3 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap

Proses Litigasi dan Pemidanaan di Indonesia, Disampaikan dalam Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana FHUI di Balai Sidang UI, Depok, 2003.

4 E.Y Kanter dan S. R Sianturi, Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002), hal 15. (Dalam Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hal 1-10)

5 Tri Hayati, et. al, Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan

Perencanaannya, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, hal. 19. Dalam buku ini dijelaskan Fred W. Riggs yang merupakan pendiri Comparative Study Administration Group setelah melakukan studi banding menyatakan bahwa cirri-ciri negara berkembang salah satunya adalah pengangkatan, pemberhentian pegawai terjadi dengan birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 17: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

4

Universitas Indonesia 

untuk koruptor, hukuman terbanyak berada di kisaran 1-2 tahun, yaitu 38

terdakwa (22,89%).6

Menurut data dari Kepala Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW),

Agus Sunaryanto, sepanjang semester I tahun 2010 potensi kerugian negara akibat

korupsi mencapai Rp 2,1 triliun.7 Sayang sekali, Untuk periode 2010, Kejaksaaan

Agung melalui jajaran Pidana Khusus saja mengklaim telah menyelamatkan uang

negara sebesar Rp 133.637.262.558 (seratus tiga puluh tiga miliar, enam ratus tiga

puluh tujuh juta, dua ratus enam puluh dua ribu, lima ratus lima puluh delapan

rupiah). Sedangkan uang negara yang diselamatkan pada bidang perdata dan TUN

sebesar Rp 1.286.578.588.336 (satu triliun, dua ratus delapan puluh enam miliar,

lima ratus tujuh puluh delapan juta, lima ratus delapan puluh delapan ribu, tiga

ratus tiga puluh enam rupiah). “Jika ditotal dengan bidang pidana khusus, maka

ada sekitar Rp 1,4 triliun,” katanya.8

Tidak hanya itu, korupsi ditempatkan dalam program pertama dalam Program

Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode 2 2009-20149. Untuk tingkat

internasional, beberapa perkiraan di negara-negara Eropa menyimpulkan bahwa

korupsi mengakibatkan penggelembungan total utang pemerintah sebesar 15%

                                                                  6Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi,

http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813, diunduh pada 1 April 2011. 7 Mahendra Bungalan, Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun,

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun, diunduh pada 24 Februari 2011. Jumlah yang disebutkan telah merosot pada semester II tahun 2010, ICW menemukan potensi kerugian negara mencapai 1,5 triliun. Menurut beliau, lima sektor korupsi yang menyebabkan kerugian negara terbesar dari Pertambangan (1 kasus), Keuangan Daerah sebesar Rp 344 miliar (44 kasus), energi sebesar Rp 240 miliar dan Pertanahan/lahan Rp 143 miliar (18 kasus)

8 Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi Oktober 2009-

Oktober 2010, http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705, diunduh pada 1 April 2011.

9Susilo Bambang Yudhoyono, Program Kerja 100 Hari KIB II,

http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html. Setelah terpilih lagi menjadi Presiden RI bersama dengan wakilnya Bapak Boediono, Presiden SBY menempatkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi dalam urutan pertama yaitu ” Penataan ulang tata laksana dan hubungan kerja sama antar lembaga penegak hukum termasuk KPK, Kepolisian dan Kejaksaan / Pemberantasan Mafia Hukum”.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 18: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

5

Universitas Indonesia 

atau US$ 200 miliar10. Menurut perkiraan Transparansi Internasional (TI), jumlah

dana yang hilang akibat tindak pidana suap dalam pengadaan perbekalan

pemerintah sekurang-kurangnya mencapai US$ 400 miliar per tahun di seluruh

dunia.11 Melihat perbandingan antara jumlah kerugian negara akibat tindak pidana

korupsi dengan jumlah yang dikembalikan melalui Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tata Usaha Negara, masih banyak sekali selisih dari angka-angka

tersebut merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Bahkan, uang yang

telah dikembalikan kepada negara hanya dua per tiga dari kerugian negara akibat

tindak pidana korupsi semester I tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa kegiatan

pengembalian kerugian negara masih belum berjalan secara optimal. Pemerintah

dan aparat penegak hukum Indonesia harus disadarkan bahwa inilah saatnya untuk

menyelenggarakan dengan serius perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.

Sikap berani Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dan

pengembalian kerugian negara harus konsisten dan realistis.

Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001

sebenarnya sudah berani dan “menggigit” mengatur mengenai pemberantasan

korupsi dan pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi, bahkan penjatuhan

dua pidana pokok sekaligus diperbolehkan12. Dengan keistimewaan dalam

penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi berarti pemidanaan diharapkan

menjadi hal yang berpengaruh sangat kuat dalam penegakan hukum dan

pemberantasan korupsi. Berangkat dari pasal 4 Undang-undang No. 31 tahun

1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mengamanatkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara

                                                                  10 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 3. (Dalam Business Week hal 134-135).

11 Ibid, hal. 76. Data dikutip dari The TI Global Corruption Report 2004 12 Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal

13 UU No 22/2001 jo UU No 31/1999 dalam ancaman pidananya tertulis “dan/atau” antara kedua pidana pokok yang diaturm sehingga terdakwa koruptor dapat di pidana dua pidana pokok sekaligus. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena mengesampingkan asas hukum pidana yang hanya boleh menjatuhkan satu saja dari lima pidana pokok yang diatur dalam pasal 10 KUHP.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 19: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

6

Universitas Indonesia 

atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak

pidana” perampasan aset hasil korupsi sendiri sebenarnya telah diadopsi oleh

Indonesia, tetapi Indonesia lagi-lagi bukan negara yang dengan mudah dapat

menyesuaikan suatu perubahan sistem, apalagi yang berhubungan dengan bidang

penegakan hukum. Pengaruh kolonial masih sangat kental dalam sistem hukum

Indonesia karena walaupun Rancangan KUHP telah disusun sejak tahun 1994 dan

direvisi beberapa kali, hingga saat ini, tahun 2011, Rancangan KUHP tersebut

belum juga disahkan untuk menggantikan KUHP, warisan Belanda puluhan tahun

lalu, yang sampai saat ini masih kita gunakan.

Persoalan asset recovery untuk meminimalkan kerugian negara merupakan

merupakan faktor yang tak kalah penting dari upaya pemberantasan korupsi di

samping memvonis pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya. Langkah

untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak

awal penganan perkara dengan pembekuan dan penyitaan, juga mutlak dilakukan

melalui kerja sama dengan negara lain di mana hasil kejahatan (proceeds of

crime) berada. Untuk itu orientasi penegak hukum mengenai pengembalian aset

ini perlu dipertajam terutama dalam hubungan kerja sama dengan negara lain baik

melalui pertukaran informasi intelijen keuangan yang difasilitasi oleh PPATK,

kordinasi dengan Tim Pemburu Koruptor, maupun kerja sama bantuan hukum

timbal balik antara pemerintah kita dengan pemerintah negara lain.13

Mengingat tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan

sangat mungkin menjadi kejahatan transnasional, maka Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah mengadopsi United

Nations Convention Against Corruption 200314 pada tanggal 30 September 2003.

United Nations Convention Against Corruption dibuka untuk penandatanganan

dalam Konferensi Politik Tingkat Tinggi dengan Tujuan Penandatanganan United

                                                                  13 Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja

Sama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008) hal. 9-10.

14 Dalam UN Press Release, diterbitkan pada saat adopsi UNCAC, 31 Oktober 2003.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 20: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

7

Universitas Indonesia 

Nations Convention Against Corruption di Merida, Meksiko, tanggal 9-11

Desember 2003. United Nation Convention Against Corruption merupakan salah

satu hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak

pidana korupsi.15 Pemerintah Indonesia ikut aktif sejak sidang pertama sampai

dengan sidang ketujuh (terakhir) yang berakhir pada tanggal 1 Oktober 2003.16

Negara Peserta United Nations Convention Against Corruption 2003 mencapai

sebanyak 127 negara, dari jumlah tersebut 99% telah menyatakan kesediaannya

untuk menandatangani konvensi tersebut.17 Dasar pertimbangan keikutsetaan

Indonesia dalam penandatanganan konvensi tersebut mengenai implikasi hukum

peratifikasian konvensi tersebut ke dalam sistem hukum nasional.

Salah satu pembahasan penting yang diatur dalam UNCAC 2003 ini adalah

mengenai hal pengembalian aset (Asset Recovery). Ruang gerak koruptor para

koruptor untuk bersembunyi dan melarikan hasil kejahatannya ke sejumlah negara

kian sempit. Dengan disahkannya Konvensi PBB ini korupsi diakui sebagai

kejahatan global dan akan ditangani dengan semangat kebersamaan. Sebenarnya

sudah lama korupsi dinobatkan sebagai extra-ordinary crime, bahkan sebelum

disahkannya UNCAC 2003. Indonesia termasuk negara yang ikut menandatangani

konvensi tersebut. Pada pasal 3 tentang Scope application, ayat (1) tentang

cooperation with law enforcement authorities, ditegaskan bahwa,

“Each state party shall take appropriate measure to encourage persons who participate or who have participate in the commission of an offense establish in accordance with this convention to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to provide factual, specific help to competent that may contribute to such depriving offenders of the proceeds of crime and recovering such proceeds.”

                                                                  15 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 134. 16 Ibid. 17 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 21: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

8

Universitas Indonesia 

Walaupun perangkat hukum internasional yaitu UNCAC telah diratifikasi oleh

Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan

UNCAC, pengembalian aset hasil korupsi belum juga diterapkan. Sehubungan

dengan masalah tersebut, Barda Nawawi Arif di dalam suatu seminar pernah

menyatakan:

“Bahwa tujuan dari kebijakan menerapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu Perlindungan Masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.” (tujuan demikian nampaknya disepaati oleh seluruh anggota UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute) dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya).18

Menurut Matthew H. Flemming19 dalam dunia internasional, tidak ada definisi

pengembalian aset yang disepakati bersama, Flemming sendiri tidak

mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset

adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari

hasil tindak pidana dan/atau dari sari sarana tindak pidana. United Nations

Convention Against Corruption tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan

merupakan hukuman/penalty seperti didefinisikan dalam Konvensi tentang

Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan dari

Dewan Eropa Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the

Proceeds from Crime (CLSCPC) dari Council of Europe20. Dalam CLSCPC,

penyitaan diartikan sebagai sebuah hukuman atau tindakan, yang diperintahkan

oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan

pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai akibat dari

pencabutan yang permanen atas kekayaannya21. Pada hakikatnya, pengembalian

                                                                  18 Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta,

2010), hal.49. 19 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103. (Dalam Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic, Taxonomy, Draft for Comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal. 1).

20 Ibid., hal. 215.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 22: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

9

Universitas Indonesia 

aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan penegakan hukum

melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.

Menurut UNCAC sendiri, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi dalam

empat tahap, yaitu:

1. Tahap pelacakan aset

2. Tahap tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan

aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan

3. Tahap penyitaan

4. Tahap penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat

aset diperoleh secara tidak sah.22

Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular diantara

pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana) memang efektif memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak

pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak

selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over

capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan.

Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki

berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan

keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.23 Hal ini diperkuat lagi dengan

adanya perkembangan pemikiran masyarakat terhadap hukum pidana di berbagai

belahan dunia. Roeslan Saleh menyatakan bahwa Hukum Pidana merupakan kaca

yuridis yang paling peka terhadap perubahan budaya, keadaan sosial yang pada

umumnya dalam semua keadaan dimana ada manusia.24 Perkembangan pemikiran

tentang hak asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat

dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Tak                                                                                                                                                                                 

21 Council of Europe, Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime, Strasbourg, 8, XI, 1990. Pasal 1 huruf d .

22 Purwaning M. Yanuar, op. cit, hal 207 23 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia 24 Ibid. Mengutip dari Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan

Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal.23.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 23: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

10

Universitas Indonesia 

terkecuali pandangan terhadap pidana dan pemidanaan. Pidana dan pemidanaan

yang pada dasarnya memberikan pembenaran atas penjatuhan satu derita kepada

seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya sepintas lalu akan

bertolak belakang dengan konsep-konsep yang ada dalam hak asasi manusia yang

justru memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.25

Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan dalam penegakan pengembalian

aset hasil tindak pidana korupsi adalah kegiatan ini sejalan dengan salah satu

tujuan dari pemidanaan yaitu keadilan restoratif (restorative justice). Menurut

Welgrave, teori keadilan retributif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada

penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak

pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali

kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.26 Dalam hal ini,

negara sebagai korban dari tindak pidana korupsi dapat menderita kerugian yang

besar dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian pemulihan kerugian yang

diakibatkan tindak pidana korupsi dengan perampasan aset adalah sejalan dengan

teori tujuan pemidanaan yaitu untuk mewujudkan keadilan restoratif. Konsep

utama dari perwujudan keadilan restoratif adalah untuk memulihkan keadaan

akibat terjadinya tindak pidana seperti sebelum terjadinya tindak pidana, dan

apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi maka pengembalian aset

merupakan salah satu cara untuk memulihan kerugian negara akibat tindak pidana

korupsi. Gagasan untuk meningkatkan efektifitas dari tindakan pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi yang disebutkan diatas hanya merupakan gagasan

secara umum. Untuk gagasan mengenai pengembalian aset di Indonesia

selanjutnya pun akan dibahas dalam penulisan ini, sebagaimana yang akan

dijelaskan lebih lanjut dalam Bab 4 mengenai analisis.

                                                                  25 Ibid. 26 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90-91 (Seperti dikutip dalam L. Welgrave, “Met het Oog op Herstel: Bakens voor en Constructief Jeugsantierecht”, Leuven, Universitaire Pers Leuven, hal. 34.)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 24: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

11

Universitas Indonesia 

Pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi memang seakan mustahil

dapat terganti karena jumlahnya yang sangat besar mulai dari kerugian materiil

dan immaterial. Selain itu hambatan lain adalah proses pelacakan dan investigasi

aset yang dikorupsi merupakan tantangan terbesar dalam penindakan hukum

tindak pidana korupsi. Apabila membahas mengenai hasil memang tidak akan ada

habisnya karena pada kejahatan akan selalu ada di dunia selama kehidupan masih

ada di dunia, tetapi alangkah baiknya kita nantinya dapat memahami dan

memperhitungkan assessment atas tindak pidana korupsi sehingga dapat

mengurangi kerugian yang disebabkan tindak pidana korupsi. Dengan demikian,

penulis merasa sangat perlu adanya penelitian mengenai perampasan aset hasil

korupsi yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan restorasi (Restorative

Justice) sebagai tujuan pemidanaan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusah masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upaya

perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang sejalan dengan pendekatan

keadilan restoratif. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam tulisan

ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah perbandingan pengaturan dan pelaksanaan perampasan aset

hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, Britania Raya, dan Thailand?

2) Apakah bentuk perampasan aset hasil tindak pidana korupsi sejalan

dengan program keadilan restoratif yang sedang berkembang saat ini?

3) Hal-hal apa sajakah yang harus disiapkan oleh pemerintah dan aparat

penegak hukum agar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat

berjalan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan Penulis dari penulisan laporan penelitian ini adalah menyadarkan

Bangsa agar lebih peka bahwa dalam tindak pidana korupsi menyebabkan

kerugian yang sangat besar dan sangat merugikan negara dan bangsa. Penulis juga

bertujuan dnegan adanya laporan penelitian ini, bangsa Indonesia menjadi lebih

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 25: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

12

Universitas Indonesia 

kritis bahwa pemidanaan itu bukan hanya ditujukan untuk menghukum seberat-

beratnya terpidana agar mereka jera, tetapi harus diperhatikan aspek korban dan

kerugian dari tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan restoratif sebagai salah

satu hasil perkembangan hukum pidana juga harus lebih sering dan vokal

disuarakan agar seimbang antara penerapan hukum pidana dengan penerapan hak

asasi manusia. Demikianlah tujuan Penulis secara umum dari penulisan laporan

hasil penelitian ini.

Tujuan khusus

Pembahasan mengenai Perampasan Aset Hasil Tindak Korupsi sebagai Bentuk

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bertujuan:

1. Memahami konsep perampasan aset hasil korupsi dan mengetahui

pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Memahami konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dalam

prakteknya di Britania Raya dan Thailand.

3. Memahami konsep keadilan restortif dalam tindak pidana korupsi

4. Menemukan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah yang bagaimana

sebagai persiapan agar perampasan aset atas hasil tindak pidana korupsi

dapat berjalan.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode kepustakaan,

yang bersifat comparative method atau metode perbandingan, yang diartikan oleh

Hugo F. Reading, ” the comparison of matched societies and institutions for the

discovery of associations and correlations”27 (sebagai metode yang

membandingkan sesuai dengan masyarakat dan isntitusi untuk menemukan

hubungan dan kaitan) yang dengan penafsiran secara ekstensif, metodologi

penelitian in idapat digunakan dalam perbandingan konsep perampasan aset hasil

tindak pidana korupsi di berbagai negara.

                                                                  27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2008), hal. 5 (Dalam Hugo F. Reading: 1977)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 26: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

13

Universitas Indonesia 

Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif dan

jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri

dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan

perundang-undangan negara lain dan konvensi-konvensi internasional.

b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan

menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para

sarjana, buku, artikel internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan

makalah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya

ensiklopedia, atau kamus.28

Alat pengumpul data memakai studi dokumen ditambah dengan wawancara

dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pendekatan

analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga

menghasilkan sifat dan bentuk laporan secara deskriptif analitis.

1.5 Definisi Operasional

1. Tindak Pidana Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara29,

                                                                  28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal.

50 s.d. 51. 29 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.

20/2001 jo No. 31/1999, Pasal 2, TLN Republik Indonesia No: 3874

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 27: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

14

Universitas Indonesia 

2. Kekayaan adalah setiap jenis aset, baik berbentuk inkorporeal, bergerak

atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan hukum dokumen

atau instrumen yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset

tersebut30

3. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai

ekonomis.31

4. Perampasan merupakan upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan

atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh

orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di

negara asing32

5. Non-Conviction Based Recovery merupakan pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan

pidana atas tindak pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan

tersebut dilakukan dengan mengacu kepada asas non-conviction based

yang digunakan dalam pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture),

dimana tuduhan secara pidana atau putusan pidana tidak diperlukan dan

yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah terhadap bendanya (in

rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.33

6. Keadilan Restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan

kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses

yang inklusif dan kooperatif.34

                                                                  30 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), Pasal 2 huruf (d) 31 Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pasal 1 ke-1. 32 Ibid, pasal 1 ke-7.

33 Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.

34 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 28: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

15

Universitas Indonesia 

7. Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen,

khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antarnegara, dan

persetujuan hukum internasional35

8. Pidana Penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan

kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup

aau untuk sementara waktu.36

9. Pembekuan atau ”penyitaan” adalah berarti pelarangan sementara

transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayaan atau untuk

sementara menerima penjagaan atau pengawasan kekayaan berdasarkan

suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau lainnya yang

memiliki kompetensi kewenangan atas itu37.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian ini terbagi dalam lima Bab yang dimana secara

keseluruhan akan membahas mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi dan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Berikut

merupakan sistematika penulisan dari laporan penelitian ini:

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan terbagi ke dalam 6 (enam) sub

bab, yaitu latar belakang permasalahan mengenai tulisan ini; pokok-pokok

permasalahan yang akan dijawab melalui penulisan ini berdasarkan teori-teori,

pengertian, dan obyek penelitian yang akan ditinjau; tujuan dari penulisan;

metode-metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan; definisi

operasional yang akan menjelaskan secara umum beberapa istilah yang akan

digunakan dalam penulisan ini; lalu yang terakhir adalah sistematika penulisan

yang akan menjelaskan urutan penulisan.

                                                                  35 Kamus Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ratifikasi, diunduh pada 7

Maret 2011. 36 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010),

hal 92. (Hal ini disampaikan menurut Roeslan Saleh). 37 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, pasal 2 huruf (f).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 29: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

16

Universitas Indonesia 

Bab kedua berisi tentang konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan dalam UNCAC. Dalam bab

ini juga selain dijelaskan konsep pengembalian aset di Indonesia, Thailand dan

Britania Raya pun ikut dibahas sebagai pengayaan materi.

Bab ketiga dalam penulisan ini berisi tentang tinjauan teoritis mengenai konsep

keadilan restoratif. Pembahasan mengenai konsep ini dimulai dari pembahasan

tujuan pemidanaan yang terbagi atas dua yaitu teori konsekuensialis dan teori non-

konsekuensialis yang dimana konsep keadilan restoratif berakar dari pemikiran

tujuan pemidanaan yang berpaham konsekuensialis. Selain itu dalam bab ini juga

dijelaskan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta perdebatan para akademisi dan

ahli mengenai aplikasi keadilan restoratif dalam hukum pidana.

Bab keempat merupakan analisis mengenai masalah yang diangkat dalam topik

besar penulisan ini, yakni seputar keterkaitan pendekatan restoratif yang sejalan

dan dapat menjadi dasar dari tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi di Indonesia. Selain itu dalam bab analisis ini juga akan disebut dan

diuraikan mengenai upaya-upaya apasajakah yang dapat dilakukan pemerintah

dan penegak hukum dalam optmalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi di Indonesia.

Bab kelima, bab yang terakhir dalam penulisan ini, adalah mengenai kesimpulan

dari rangakaian pembahasan dalam penulisan ini. Disamping itu, dalam bab ini

juga dicantumkan saran kepada pemerintah Indonesia dan penegak hukum, serta

rakyat Indonesia pada umumnya untuk mendukung upaya pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi yang bersifat restoratif dimana pemulihan kerugian negara

menjadi priotitas utama.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 30: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

17 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana

Pengembalian aset yang merupakan topik besar dalam pembahasan laporan

penelitian ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ini. Sebagai pembuka, akan

dibahas terlebih dahulu mengenai pengembalian aset dalam tindak pidana secara

umum. Sesuai ketentuan perundang-undangan, penyitaan dan perampasan benda

dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang

berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut.38 Tanpa adanya tindak

pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat

dilakukan. Perlu dibedakan antara ”penyitaan” dengan ”perampasan”.

Penyitaan adalah bagian dari proses penegakan hukum berupaya upaya paksa

yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik

seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.39 Sementara itu,

perampasan adalah pengambilalihan hak milik seseorang yang telah mendapatkan

keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.40 Konsep hukum (legal

concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan                                                                  

38 Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:

The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hal 9. 39 Indonesia Undang-Undang No 8 tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76, TLN Republik Indonesia No. 3209

40 Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:

Yhe Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 9.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 31: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

18

Universitas Indonesia 

barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang

dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam

Pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sejalan dengan amanat dari Pasal 39 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, untuk dapat merampas harta yang akan dikembalikan kepada negara,

penyidik harus menyita harta yang dicurigai hasil dari tindak pidana terlebih

dahulu. Itulah mengapa hakim yang memutus perkara pidana, mengamanatkan

bahwa harta yang telah disita sebelumnya dalam tahap penyidikan dirampas

menjadi milik negara.41

Pada dasarnya pengembalian aset hasil tindak pidana adalah tidak selalu tertuju

pada aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana sendiri perampasan aset dilegalisasi oleh Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan

terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk

melakukan kejahatan, dapat dirampas. Sehingga, disimpulkan bahwa

pengembalian aset dengan perampasan dapat diterapkan dalam semua tindak

pidana dalam KUHP khususnya kejahatan terhadap benda42.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti

istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni menyangkut masalah penyuapan,

yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut

bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang

dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and decision injurious

to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai

keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan

korupsi). Selanjutnya ia menyebutkan the term is often applied also to                                                                  

41 Sebagaimana yang disampaikan oleh Chandra M. Hamzah dalam Diskusi Meja Bundar

tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.

42 Yang termasuk dalam kejahatan terhadap benda dalam KUHP terdiri dari bab XXII

tentang Pencurian, Bab XXIII Tentang Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV tentang Penggelapan, Bab XXV tentang Perbuatan Curang, Bab XXVI tentang Perbutan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak,

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 32: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

19

Universitas Indonesia 

misjudgments by officials in the public economies (istilah ini sering juga

digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang

perekonomian umum). Dikatakan pula,

“Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi).” 43

Dalam praktiknya, perampasan barang tertentu dimungkinkan sebagai pengganti

kerugian negara atau pidana tambahan disamping perampasan terhadap benda

sitaan tersebut, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara.44

Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak

pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana pencucian

uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tindak pidana

perikanan dan tindak pidana korupsi.45 Akan tetapi, dalam penulisan ini

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsilah yang akan dibahas lebih lanjut.

2. 1. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan

tindak pidana korupsi tidak hanya diukur bedasarkan keberhasilan memidana

pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan

                                                                  43 Ibid. 44 Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,

Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi http://www.kompas.co.id )

45 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 33: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

20

Universitas Indonesia 

mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi46. DR Purwaning M. Yanuar,

merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu

”Sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas dan menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana maupun perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban dari hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.”47

Dari rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur penting pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi, yaitu48:

1. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum

2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana

maupun jalur perdata

3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak,

dibekukan, dirampas, disita, diserahkan, dan dikembalikan kepada

negara

4. Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan, dan

pengembalian di dalam maupun diluar negeri

5. Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara yang dilaksanakan

oleh institusi penegak hukum

6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

a. Mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaku

tindak pidana korupsi

                                                                  46 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,

Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hal. 53.

47 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 104. 48 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 34: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

21

Universitas Indonesia 

b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai

alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk

melakukan tindak pidana lainnya

c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan

tindak pidana korupsi.

Gagasan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak semata-

mata untuk memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi

perampasan aset hasil korupsi juga bertujuan sebagai tindakan preventif atau

pencegahan tindak pidana korupsi. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak

adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para pelaku

kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua,

dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku korupsi, maka tidak

ada lagi peluang untuk menikmati hasil dari tindak pidana itu ditiadakan,

setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang

merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat

menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan.

Dampak preventif dari tindakan pengembalian aset yang ketiga, yakni dengan

pengembalian aset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas

bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana

untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberikan pesan

yang kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset hasil tindak

pidana sebagaimana doktrin ”crime does not pay”49. Hal-hal ini memperlemah

keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan

kejahatan.50

                                                                 

49 Doktrin crime does not pay ini berisi pandangan bahwa seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan dari tindakan melanggar hukum umumnya, tindakan kejahatan khususnya. Pandangan ini mengikuti tuntutan bahwa jika hukum itu mempengaruhi tingkah laki orang, maka hukum itu memberikan pesan-pesan yang koheren.

50 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,

Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 42.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 35: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

22

Universitas Indonesia 

Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime (tindak pidana yang

menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang

menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci).51 Apabila aset hasil

tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan tidak segera disita dan

dirampas maka aset tersebut akan mudah sekali untuk dialihkan dengan pencucian

uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan

dirampas secepatnya, tindak pidana turunan semacam tindak pidana pencucian

uang dapat diminimalisasi dan dihindari.

Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi52, yang juga dapat disebut dengan

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, merupakan konsep yang

sebenarnya bukan merupakan produk baru karena sudah ada dalam perumusan

Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan

Korupsi. Menurut Fleming, dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian

aset hasil tindak pidana korupsi mengacu pada proses pelaku tindak pidana

korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan

dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk

menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk

melakukan tindak pidana lain.53

                                                                  51 Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,

Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi http://www.kompas.co.id ).

52 Ibid., hal 8. Definisi aset termuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang

Standar Akuntasi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntasi Pemeirntahan paragraf 60(a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: ”Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah seagai akibat dari peristiwa masa lal dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam saham yang termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejaran dan budaya”.

Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan.atau kekayaan negara yaitu ”semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.

53 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103 (seperti

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 36: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

23

Universitas Indonesia 

2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebenarnya bukan

merupakan konsep yang baru di Indonesia. Telah disinggung diatas bahwa secara

yuridis istilah korupsi telah muncul pada tahun 1957 pada saat diundangkannya

Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan

Korupsi. Setelah itu, lahirlah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-

08/1957 tentang Pemilikan Terhadap Harta Benda. Peraturan ini lahir untuk

mengefektifkan peraturan sebelumnya. Dengan peraturan ini, Penguasa Militer

berwenang untuk mengadakan pemilikan terhadap harta benda setiap orang atau

badan di dalam daerahnya, yang kekayaannya yang diperoleh secara mendadak

dan mencurigakan. Dengan demikian, dalam pemilikan harta benda itu

memungkinkan adanya penyitaan. Selanjutnya status barang yang disita apabila

tidak memiliki syarat-syarat tertentu menjadi milik negara.54

Selanjutnya, dalam Peraturan Militer No. Prt./PM-011/1957 tertanggal 1 Juli

1957, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Penguasa Militer berwenang untuk menyita

dan merampas barang-barang (sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam

Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1957 tentang penilikan terhadap

harta benda). Selanjutnya dalam Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No.

Prt/Perpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Pemeriksaan Tindakan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda dalam Pasal 12

ayat (1)55 dan ayat (3)56, Pasal 33 ayat (1)57, Pasal 40 ayat (2)58 dan ayat (3)59 yang

                                                                                                                                                                                dikutip dalam Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behaviour, An Economic, Taxonomy, Draft for comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal 1 ).

54 Evi Hartanti, Tindakan Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24. 55 Di dalam ayat ini ditentukan bahwa Penilik Harta Benda dapat menyita harta benda

seseorang atau benda apabila ia setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk salah satu rumusan termaksud dalam ayat (2).

56 Ketentuan ini menetapkan bahwaPenilik Harta Benda berhak juga menyita atau menuntut

penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan tentang harta benda seseorang atau suatu badan.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 37: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

24

Universitas Indonesia 

mengatur mengenai penyitaan harta seseorang yang diduga didapat dari perbuatan

yang tidak sah.

Tahun 1957 merupakan tahun yang cukup kritis dalam perjalanan sejarah

pengisian kemerdekaan. Tahun ini berada pada periode tahun 1950 sampai dengan

tahun 1959 yang didalam sejarah politik dan kenegaraan kita merupakan periode

waktu yang dinilai rawan bagi kelangsungan cita-cita kemerdekaan.60 Dalam

periode tahun 1950-1959 terjadi berbagai peristiwa di berbagai bidang kehidupan

yang menempatkan kehidupan negara dan pemerintahan dalam keadaan tidak

stabil61. Dalam suasana yang berhubungan dengan keadaan ketatanegaraan yang

tidak mantap terjadi suatu gejala sosial yang timbul dalam tubuh aparatur

pemerintahan yang sangat menarik perhatian rakyat waktu itu yang kemudian

menjadi terkenal yakni korupsi.62 Pada tanggal 17 April 1958 telah disahkan

Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut nomor Prt/Z./I/7.

Maksud dan tujuan dari peraturan Penguasa Perang ini adalah agar dengan

peraturan Penguasa Perang tersebut di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

dapat diberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang di waktu itu sangat merajalela

                                                                                                                                                                                57 Ketentuan menetapkan bahwa jika seseorang dalam waktu 6 bulan setelah berlakunya

peraturan penguasa perang pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib. Perbuatan korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan peraturan penguasa perang pusat disertai keterangan-keterangan atau bukti-bukti lengkap, maka perbuatan itu tidak dituntut, asal harta benda yang diperolehnya denan/karena perbuatan tersebut diserahkan kepada negara.

58 Ketentuan ini menetapakan bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu

dirampas. 59 Dalam ayat ini ditentukan bahwa si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang

penganti yang jumlahnya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. 60 Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di

Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal. 47. 61 Ketidakstabilan anatara lain diandai dengan diadakannya tindakan-tindakan seperti

dikeluarkannya Keppres RI nomor 40 tahun 1957 tertanggal 14 Maret 1957 tentang Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan Darurat Perang, disusul dengan keputusan-keputusan yang berhubungan. Dan pada gilirannya ditetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945 dan konstituante dibubarkan.

62 Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di

Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal 48.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 38: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

25

Universitas Indonesia 

sebagai akibat dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak

berwibawa lagi.63

Dari perumusan diatas, terlihat bahwa korupsi dalam masa penguasa militer

mempunyai tafsiran yang luas, sehingga meliputi pula perbuatan korupsi lainnya

serta orang-orang yang secara tidak wajar mendadak menjadi kaya dan tidak

mampu membuktikan asal kekayaan tersebut. Peraturan-peraturan penguasa

militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa (political will) pada saat

itu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun masih terdapat

ketidaksempurnaan dalam perumusan peraturan tersebut, tetapi paling tidak

Peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang berharga untuk

disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-undang tentang

pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra

masyarakat Indonesia.64

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pertama disahkan

yaitu Nomor 3 tahun 1971, yaitu tepatnya pada tanggal 29 Maret 1971 juga telah

mengatur mengenai konsep pengembalian aset hasil korupsi sebagaimana yang

terdapat dalam Pasal 34 yang mengatur bahwa :

a. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan yang tak

berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau

yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu,

begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu,

baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan siterhukum

ataupun bukan;

b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan tak

berwujud yang termaksud perusahaan siterhukum, di mana tindak pidana

korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang

menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan

                                                                  63 Ibid., hal 55. 64 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 39: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

26

Universitas Indonesia 

itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya

bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan

tersebut sub a pasal ini.

c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.

Pasal ini merupakan perluasan dari pidana tambahan yang diatur dalam KUHP.

Pengaturannya dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari upaya

pengembalian kerugian uang negara yang hilang. Banyak yang mengatakan

bahwa proses pengusutan dan pemeriksaan atas tindak pidana korupsi sangat

berlebihan dan rawan atas pelanggaran hak asasi manusia. Menyangkut hal ini, J.

E Sahetapy mengemukakan bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sifatnya

eksepsional dan penyimpangan dalam acara pengusutan, penuntutan, dan

pemeriksaan dari hukum acara pidana yang berlaku tentu diharapkan dapat

menutup semua lubang bagi lolosnya para koruptor di Indonesia.65

Seiring perkembangan kebutuhan hukum dan aspirasi masyarakat, menghendaki

penegakan di bidang hukum semakin ditingkatkan sehingga tercapai pemerintahan

yang baik dan bersih. Pada masa sekarang, korupsi tidak hanya dianggap sebagai

masalah suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah transnasional atau lintas batas

teritorial. Disamping itu, korupsi merupakan ”core crime”, yaitu kejahatan yang

merupakan tindak pidana pokok yang berkaitan dengan tindak pidana lain.66 Hal

ini lah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong disusun dan

dikeluarkannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang baru yaitu Undang-

Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan ini berusaha mempertahankan ide hendak menindak orang-orang yang

melakukan perbuatan yang tidak merupakan suatu tindak pidana tetapi dianggap

                                                                  65 Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan

Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984) hal, 120 (hal tersebut dikutip dalam J. E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal 48).

66 Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan Undang-

Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Dept. Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000), hal 41.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 40: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

27

Universitas Indonesia 

bertentangan dengan rasa kewajaran, ialah perbuatan tercela. Yang terakhir ini

disebut ”perbuatan korupsi lainnya”. Sanksi terhadap perbuatan ini tidak berupa

pidana melainkan perampasan harta benda hasil perbuatan tersebut oleh

Pengadilan Tinggi.67 Tindakan-tindakan penguasa yang demikian ini hanya dapat

dilaksanakan dalam keadaan darurat.

Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang –

Undang No. 3 Tahun 1971. Tidak banyak hal mengenai pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi yang berubah setelah berlakunya UU No 31 Tahun 1999,

yang akhirnya pun disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi didalam Pasal 2 dan Pasal 3

ialah adanya kerugian keuangan Negara/perekonomian negara. Konseksuensinya,

pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana

penjara yang menjerakan (deterrence effect), tetapi harus juga dapat

mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Pengembalian kerugian

negara diharapkan mampu menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam

membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.68 Hal ini menandakan bahwa

konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi pun telah dikenal sejak tahun

1958 walaupun konsep perampasan aset ini belum merupakan suatu bentuk pidana

melainkan masih menggunakan hukum acara perdata.

Menurut kedua Undang-Undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian

keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen

pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan

menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut

                                                                  67 Dalam peraturan ini muncul kewenangan Pengadilan Tinggi yang dalam memeriksa

perkara harta-benda berpedoman kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri (pasal 12). Sebenarnya tindakan terhadap perbuatan tercela adalah benar-benar merupakan tindakan yang luar biasa, yang hanya dapat dibearkan dalam keadaan yang luar biasa pula.

68 Soemarno, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana

Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 41: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

28

Universitas Indonesia 

agar dirampas oleh Hakim untuk negara. Selain terhadap barang sitaan, Undang-

undang Korupsi juga mengatur mengenai pidana tambahan salah satunya

pembayaran uang pengganti sebagai bagian dari pengembalian kerugian negara.

2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam UNCAC

Upaya Indonesia dalam memerangi tindak pidana korupsi dan mengembalikan

kerugian yang diakibatkan olehnya tidak hanya melalui instrumen nasional.

Instrumen internasional juga telah Indonesia gunakan dalam rangkaian penegakan

hukum atas tindak pidana korupsi. Salah satu instrumen internasional yang sangat

menonjol dan merupakan terobosan dalam masalah pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006.

Ratifikasi tersebut secara politis telah menempatkan Indonesia sebaga salah satu

negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui

kerjasama Internasional. Hal ini penting karena korupsi di Indonesia terjadi secara

sistematik, sebagai salah satu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat

merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.69 Hal ini pula

membuat Indonesia sebagai salah satu harapan untuk dapat dijadikan sebagai

contoh bagi negara-negara lain di Asia, khususnya bagi negara yang kurang

kooperatif dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia,

disamping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil

korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional

dalam upaya pemberantasan tindak pidana secara global.70

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 adalah instrumen

global pertama yang dirancang untuk memerangi tindak pidana korupsi dan untuk

memberikan pesan yang sangat kuat tentang adanya kesepakatan global dalam

memberantas korupsi. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003 merupakan kulminasi dan perkembangan alamiah dari sejumlah instrumen-

                                                                  69 I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset

Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 3. 70 Ibid., hal 6

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 42: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

29

Universitas Indonesia 

instrumen hukum anti korupsi dalam skala lebih kecil.71 Pada UNCAC 2003

pendekatan bersifat restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam BAB V

Pasal 51 s.d. Pasal 59 tentang Pengembalian Aset (Asset Recovery) merupakan

prinsip mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling

memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. Terobosan

besar dari UNCAC 2003 mengenai Pengembalian Aset yang meliputi sistem

pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 UNCAC 2003),

sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian

aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan

(Pasal 55 UNCAC 2003).72

Konvensi yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

ini telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc. Adopsi atas konvensi ini

merupakan babak baru dalam pemberantasan korupsi secara internasional, dan

juga merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam pengembangan studi

hukum mengenai korupsi dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan

transnasional, bukan lagi semata masalah nasional masing-masing negara.73

Pengembalian aset sendiri diatur khusus dalam Bab V konvensi ini, sedangkan

prinsip-prinsip yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

korupsi dicantumkan pada Pasal 31 tentang Freezing, Seizing dan Confiscation.

Relevan dengan masalah tersebut ditegaskan tentang pentingnya kriminalisasi

pencucian uang seperti tercantum pada pasal 14, karena bagaimanapun dalam

rangka pengembalian aset harus melalui upaya penelusuran aset (tracing asset)

yang dalam hal ini berarti berbicara mengenai proses aliran dana hasil kejahatan

                                                                  71 Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di

Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal 15. (Dalam Catham House, The UN Convention Against Corruption: A Summary of dscussion at the International Law Programme, Discussion Group at Catham House, 27th September 2005).

72 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,

Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 30 73 Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di

Indonesia, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2008). Dalam Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 43: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

30

Universitas Indonesia 

yang juga berarti terjadi pencucian uang. Dengan demikian jelas bahwa konsep

kriminalisasi pencucian uang dan Asset Recovery adalah suatu pesan yang sangat

penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi.74

Secara internasional, konsep pengembalian aset juga telah dikumandangkan dalam

”The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative” oleh United Nations Office on

Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank Group (WBG). Konsep StAR

Initiative ini merupakan cara untuk mencapai tujuan dari strategi dari WBG yang

mengutamakan pemberian bantuan kepada negara berkembang dalam

pengembalian aset curian. Kerangka hukum internasional dari StAR ini telah

dituangkan dalam United Natitons Convention Against Corruption, kesepakatan

pertama mengenai gerakan antikorupsi secara global, yang mulai berlaku secara

sah pada Desember 2005.75 Tahun 2007, International Monetary Fund (IMF)-

World Bank Spring Meeting, pada pengenalan konsep StAR Initiative, para

perwakilan dari negara berkembang dan negara maju memberikan tanggapan dan

dukungan yang sangat kuat atas konsep pengembalian aset ini. Kesepakatan yang

didapat dari rapat tersebut adalah para peserta rapat setuju bahwa konsep

pengembalian aset harus dijadikan salah satu tahap penting dalam penegakan

hukum (khususnya dalam tindak pidana korupsi). Memang kerjasama

internasional dalam penegakan perampasan aset tindak pidana merupakan kunci

sukses dan ajang penyampaian maksud mengenai pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi. Dalam pengertian ini, StAR digambarkan sebagai benang merah

dalam upaya penegakan anti-korupsi yang efektif. Dengan mengecam dan

memperingati para pejabat negara yang korup bahwa aset yang mereka curi akan

dilacak keberadaannya, diambil, disita, dan dikembalikan kepada negara korban,

StAR akan menjadi suatu suatu ancaman dan akan membuat jera para koruptor.76

                                                                  74 Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil

Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 4 (Desember 2004), hal, 629-642 75 UNODC, World Bank Group, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges,

Opportunity, and Action Plan, (Washington: 2007), hal. 2. 76 Ibid., hal. 3.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 44: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

31

Universitas Indonesia 

Melihat bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu

isu global dalam hal penegakan hukum, sangat penting apabila kita membahas

mengenai otoritas pemerintah dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi,

khususnya di Indonesia. Omar Swartz77 mengemukakan teori pengembalian aset

adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang

memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan

institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-

individu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini, Donald W.

Potter78 menyebut public goods yang dibicarakan Swartz dengan istilah political

goods dalam menjelaskan tanggung jawab negara. Menurut Potter, tanggung

jawab negara-negara adalah untuk memberikan political goods seperti keamanan,

kesehatan dan pendidikan, kesempatan ekonomi, pemerintah yang baik, hukum

dan pemerintah, dan keperluan-keperluan infrastruktur dasar (transport dan

komunikasi). Negara-negara dianggap gagal ketika tidak ada lagi kemauan atau

kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.79

Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya

menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari

satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi. Oleh karena itu,

kejahatan ini disebut white collar crime80 atau kejahatan kerah putih.81 Tidak

                                                                  77 Omar Swartz, On Social Justice and Political Struggle, essay, Human Nature Review,

Volume 4, 15 Agustus 2004, hal. 152.

78 Potter W. Donald, State Responsibility, Sovereignty, and Failed States, Referred paper

presented to the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29 September-1 Oktober 2004, hal. 2.

79 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 30. 80 White collar crime atau dalam bahasa Indonesianya kejahatan kerah putih oleh Hazel

Croall dalam bukunya White Collar Crime (hal. 19) dirumuskan sebagai penyalahgunaan wewenang oleh seseorang pegawai yang wewenangnya telah diberikan berdasarkan hukum. Selanjutnya ditambahkan bahwa kejahatan kerah putih adalah seputar penipuan, penggelapan, dan kejahatan lain yang biasa dilakukan pegawai atasan (high status employees).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 45: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

32

Universitas Indonesia 

sedikit tindak pidana korupsi melibatkan pejabat negara, bahkan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

merumuskan pasal-pasal yang mengkhususkan pegawai negeri sebagai subjek

hukum yaitu dalam Pasal 12 huruf (a) sampai dengan huruf (i) UU No 31 tahun

1999 jo UU No 20 tahun 2001. Dalam Pasal 2 Civil Law Convention on

Corruption mendefinisikan

For the purpose of this Convention, "corruption" means requesting, offering, giving or accepting, directly or indirectly, a bribe or any other undue advantage or prospect thereof, which distorts the proper performance of any duty or behaviour required of the recipient of the bribe, the undue advantage or the prospect thereof.

(Korupsi berarti meminta, menawarkan, memberi atau menerima baik langsung atau tidak langsung, suap atau keuntungan yang belum jatuh tempo lainnya atau prospek lainnya, yang mendistorsi kinerja yang tepat dari semua tugas atau tingkah laku yang semestinya dari penerima suap, keuntungan yang tidak semestinya atau prospek daripadanya. )82

Pelakunya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mempunyai jabatan seperti

pegawai negeri dan hakim, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja atau setiap

orang. Dengan syarat bahwa perbuatan yang dilakukan itu merugikan masyarakat,

merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional. Oleh

sebab itu, perbuatan semacam korupsi, dirasakan tidak cukup jika hanya diatur

dalam KUHP saja. Sehingga korupsi dipandang sebagai tindak pidana khusus

karena akibat yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu juga mengakibatkan

persaingan yang tidak sehat antara seorang dengan orang lain. Dan bahaya yang

paling besarnya adalah kerugian terhadap kerugian negara akibat perbuatan

tersebut.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali mengakibatkan

bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

                                                                                                                                                                                81 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2001), hal 36. 82 Civil Law Convention on Corruption, Pasal 2.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 46: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

33

Universitas Indonesia 

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dimitri

Vlasis mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang

maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan

kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.83 Masyarakat dunia menjadi

pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi,

termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena

telah ditransfer ke dan ditempatkan ke luar negeri84 yang dilakukan melalui

pencucian uang85 yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk

menghilangkan jejak.86

Mengingat korupsi merupakan kejahatan transnasional dan kemudahan para

pelaku tindak pidana korupsi untuk menyembunyikan dan melarikan harta hasil

tindak pidana korupsi ke luar negeri, kerjasama internasional dalam pelaksanaan

program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu

kebutuhan yang mendasar. Untuk dapat mengakses aset negara yang dilarikan ke

luar negeri diperlukan adanya yurisdiksi ekstra teritorial87 oleh pengadilan untuk

memperoleh aset tersebut. Pada umumnya, hukum tersebut membolehkan

pelaksanaan yurisdiksi ekstra teritorial apabila syarat tertentu telah terpenuhi,

misalnya tindakan yang menimbulkan perampasan timbul dalam yurisdiksi

                                                                  83 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40. 84 Ibid., Hal tersebut disampaikan dalam Dimitri Vlasis, The United Nations Convention

Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, hal 118.

85 Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dan menurut pasal 1 angka 1 huruf (a), aset hasil tindak pidana korupsi merupakan aset yang biasanya digunakan dalam pencucian uang.

86 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40. 87 Yurisdiksi ekstra teritorial adalah kemampuan pengadilan untuk memberlakukan

yurisdiksi terhadap individual atau harta benda yang berlokasi di luar batasan geografis yurisdiksi dimana pengadilan tersebut berlokasi.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 47: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

34

Universitas Indonesia 

teritorial pengadilan dan hubungan yang telah terbentuk antara yurisdiksi dan

asetnya.88 Ketentuan pengembalian aset UNCAC 2003, khususnya Pasal 54, Pasal

55, dan Pasal 57 menyatakan bahwa negara korban akan dapat memberlakukan

yurisdiksi atas aset yang berlokasi di luar yurisdiksi fisik atas dasar putusan akhir

di yurisdiksi yang meminta. Kemampuan negara korban untuk memperoleh

putusan perampasan terhadap harta benda di yurisdiksi lain, dan untuk yurisdiksi

dimana harta benda berlokasi untuk melaksanakan putusan, sangat membantu

pelaksanaan ketentuan pengembalian aset wajib yang melibatkan dana yang

digelapkan sebagaimana tercakup di Pasal 57 ayat (3) huruf (a). Dengan demikian,

untuk rezim pemulihan aset yang efektif, penting bagi lembaga pengadilan dari

negara korban untuk memiliki wewenang untuk menjatuhkan putusan yang

mempengaruhi hasil tindak pidana yang berlokasi di luar batas negara mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan pengaturan mengenai pemberlakuan

yurisdiksi ekstra teritorial oleh pengadilan saja, program pengembalian aset tidak

dapat berjalan dengan mulus, karena dalam kenyataan dan implementasinya di

lapangan atau dalam kondisi nyata juka suatu negara tempat penyimpanan aset

dari pelaku tindak pidana korupsi tidak mau mengembalikan suatu aset hasil

tindak pidana, maka tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun bagi negara

itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya pengembalian aset sangat

bergantung pada kerja sama yang dibangun antara negara peminta (requesting                                                                  

88 Lihat Undang-Undang Amerika Serikat 28, Bagian 1355 (b) (2) dan Undang-Undang

Amerika Serikat 21, Bagian 853 (j) (menetapkan yurisdiksi atas harta benda “tanpa memperhatikan lokasi harta benda”). Lihat pula UU Anti Pencucian Uang 1999 (Tahiland), Bagian 6, yang melebarkan yurisdiksi di luar negeri seperti: “Siapapun yang melakukan pelanggaran tindak pidana pencucian uang, bahkan ketika pelanggaran tersebut dilakukan di luar Kerajaan, akan menerima hukuman di Kerajaan, sebagaimana dinyatakan dalam UU ini, jika:

1. Baik pelanggar merupakan warga negara Thailand atau bertempat tinggal di dalam Kerajaan

2. Peanggar adalah orang asing dan telah melakukan tindak pidana dalam Kerajaan atau bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi tindak pidana tersebut di Kerajaan, atau Pemerintah Kerajaan Thai adalah korban, atau

3. Pelanggar adalah orang asing yang tindak pidananya dianggap sebagai pelanggaran di negara tempat ia melakukan tindak pidana tersebut berdasarkan yurisdiksinya, dan bila individual tersebut muncul di Kerajaan dan tidak diekstradiksi berdasarkan UU ekstradiksi, Bagian 10 dari Undang-Undang Penal juga akan berlaku mutatis mutandis. (Sebagaimana disampaikan dalam Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 98).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 48: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

35

Universitas Indonesia 

state) yang jadi negara korban dengan negara yang diminta (requested state) yang

jadi negara penyimpan aset. Kerjasama itu dalam bentuk instrumen hukum,

diantaranya Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance.89

Mutual Legal Assistance merupakan suatu alat yang digunakan dan dibutuhkan

untuk mengurus masalah korupsi dalam tingkat internasional. Mutual Legal

Assistance atau yang biasa diistilahkan dengan Mutual Legal Assistance on

Criminal Matters (MLA) merupakan alat yang sangat penting dan perlu sekali

guna menghimpun para korban dan aset hasil korupsi yang dibawa keluar

negeri.90 Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ini dapat dilakukan bagi

negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi91. Sampai saat ini, Indonesia

baru memiliki empat perjanjian ekstradisi yaitu dengan Malaysia, Filipina,

Thailand, dan Australia.92

Dengan adanya bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini dimungkinkan

penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang menyerahkan.

Prinsip dari MLA ini ialah dengan asas resiprokal (asas timbal balik) yaitu

masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku

kejahatan transnasional atas dasar permintaan.93 Bantuan timbal balik dalam

masalah pidana dibentuk karena dilatar belakangi adanya kerjasama antar negara

dalam masalah pidana, sampai saat ini belum ada landasan hukumnya, meskipun

sebelumnya sudah dikenal dengan lembaga ekstradisi. Sesuai dengan Undang-

                                                                 89 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,

Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 46. 90 Marita van Thiel, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development Bank, Asset

Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific,(Disampaikan pada Proceedings of the 6th Regional Seminar on Making International Anti-Corruption Standards Operational, 2008,) hal. 39.

91 Dalam konteks hubungan antar bangsa, maka ekstradisi dipandang sebagai alat atau sarana sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan lintas anegara atau transnasional.

92 Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:

Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal. 150.

93 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 49: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

36

Universitas Indonesia 

Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah

Pidana, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan undang-undang yang

mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang bertujuan

memberikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam meminta dan/atau

memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan juga sebagai

pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana

dengan negara asing.94

Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini merupakan permintaan bantuan

berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Lingkup

bantuan ini, meliputi permintaan administrasi penyidikan, bantuan tindakan,

upaya paksa, pembekuan aset kekayaan, dan bantuan lainnya yang sesuai dengan

undang-undang ini. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini tidak

memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang,

melakukan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan orang, dengan

maksud untuk kepentingan ekstradisi atau penyerahan orang, serta pengalihan

narapidana atau pengalihan perkara. Sebagai prinsip dalam pemberian bantuan

timbal balik dalam masalah pidana ini, dilakukan berdasarkan suatu perjanjian,

sehingga apabila belum ada suatu perjanjian maka bantuan ini dapat dilakukan

atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas.95

2.2 Tahap Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi bukan merupakan tindakan yang

tidak legal, melainkan merupakan tindakan yang sah menurut hukum, berdasarkan

hukum dan dilakukan oleh pihak yang berwenang menurut hukum. Sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan terdapat beberapa pihak/intansi yang berperan

dalam penyitaan-penyimpanan-perampasan. Para pihak tersebut berperan dalam

setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran

                                                                  94 Ibid. 95 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 50: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

37

Universitas Indonesia 

hasil pelelangan ke kas negara. Adapun para pihak yang berwenang adalah

sebagai berikut:96

1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan

2) Penuntut Umum adalah pihak yang bertanggungjawab dalam proses

pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan

oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan

kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita

terkait perkara.

3) Hakim adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara

beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh Penuntut Umum.

Hakim jug amerupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara

dipidana atau tidak dan memutuskan suatu benda yang telah disita

sebelumnya dirampas atau tidak.

4) Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat

benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, yaitu

proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan.

5) Jasa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan

barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan

kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya

ke kas negara.

Dalam Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, Muhammad

Yusuf, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) menyampaikan bahwa

Dalam proses penyidikan, proses penyitaan dan perampasan aset, pihak yang berwenang untuk melakukannya harus berbeda. Penyidik hanya berwenang melakukan penyidikan dengan mencari bukti-bukti tindak

                                                                  96 Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pisana Tertentu, (Jakarta:

The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 17.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 51: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

38

Universitas Indonesia 

pidana yang mendukung unsur-unsur pidana yang disangkakan kepada tersangka. Penyidik tidak perlu ikut melakukan penyitaan, karena penyidik sudah disibukkan dengan tahap penyidikan. Pihak yang berwenang untuk melakukan penyitaan seharusnya adalah tim pelacak aset (asset tracing team), yang dimana tim ini sebaiknya merupakan tim independen semacam Satuan Tugas (Satgas). Masalah kewenangan semacam ini harus dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.97

Pendapat beliau ini senada dengan apa yang diatur dalam Rancangan Undang-

Undang Perampasan Aset98 Pasal 5 yang menyebutkan bahwa dalam tahap

penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, dapat dibentuk satuan tugas

gabungan yang anggotanya terdiri dari instansi-instansi terkait.

Mengenai tindak pidana pencucian uang yang sangat dekat dengan tindak pidana

korupsi, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang secara tegas mengamantkan pembentukan badan Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga sentral untuk

mengoordinasikan pelaksanaan Undang-Undang TPPU. Lembaga yang berdiri

tanggal 17 Oktober 2003 ini, berdasarkan Undang-Undang TPPU dan Keppres

No. 82 tahun 2003 berwenang melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang dan dapat melakukan kerja sama dengan pihak terkait ada

tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, PPATK telah menjalin

kerjasama yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) dengan Bank

Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktoral Jenderal Bea dan Cukai,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bapepam, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Kejaksaan Agung RI, Departemen Kehutanan dan CIFO (Center for

International Forestry Research) yang merupakan lembaga penelitian

                                                                  97 Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang

diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011. 98 Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ini merupakan salah satu Program Legislasi

Nasional Tahun 2008 sebagai salah satu prioritas RUU yang akan dibahas. Sayangnya sampai akhir tahun 2009 ini RUU tersebut belum masuk prioritas yang dibahas di DPR Periode 2004-2009, dan hingga saat ini, tahun 2011, pemerintah juga masih terus membahas RUU tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsiberikut instrumen yang digunakan pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukumnya.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 52: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

39

Universitas Indonesia 

internasional di bidang kehutanan. Kerjasama tersebut merupakan informasi,

pertukaran pegawai, capacity building, dan hal-hal yang terkit dengan rezim anti

pencucian uang di Indonesia99

Mengenai pengenaan perampasan, barang-barang yang dapat dirampas adalah

barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang

sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal pemidanaan karena

kejahatan yang tidak dilakukan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang

ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:

1) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang

diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang

yang telah disita sebelumnya100

2) Jika seseorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai,

memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar

aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian

Indonesia yang tertentu, aturan-aturan mengenai larangan

memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan

barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan

atas barang-barang itu. 101

3) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya, diganti

menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak

diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim,

tidak dibayar.102

4) Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul

oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan

perampasan menjadi milik negara.103

                                                                  99 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 70. 100 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 39. 101 Ibid., Pasal 40. 102 Ibid., Pasal 41.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 53: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

40

Universitas Indonesia 

Substansi sistem hukum sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum

pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian

aset melalui empat tahap yang terdiri dari: 104

1) Pelacakan aset untuk melacak aset;

2) Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan

aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan;

3) Penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan

tersebut baru dapat dilaksanakan tahap

4) Yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban

tempat aset diperoleh secara tidak sah.

Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya

meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi

merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak

pidana korupsi dnegan memvonis pelaku dengan hukuman seberat-beratnya.

Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus

dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui

kerjasama dengan berbagai lembaga negara juga harus difasilitasi dengan bantuan

intelejen keuangan.105

Tahap pertama dari rangakaian proses perampasan aset hasil tindak pidana

korupsi adalah tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana

dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti.

Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John

Conyngham, otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut

                                                                                                                                                                                103 Ibid., Pasal 42. 104 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 206. 105 Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,

Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 9.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 54: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

41

Universitas Indonesia 

bermitra dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi.106 Untuk kepentingan

investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan

dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan

keluarganya.107

Tahap kedua adalah tahap pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan

investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah

memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu

pembekuan atau perampasan aset.108 Menurut United Nation Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003, pembekuan atau perampasan berarti larangan sentara

untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau

untuk sementara dianggap sebagai ditaruh dibawah perwalian atau dibawah

pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang

lainnya.109 Mengingat tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan

transnasional atau tidak jarang terjadi melibatkan atau antara negara lain karena

aset hasil korupsi disimpan di negara lain, maka kerjasama antar negara dalam

proses perampasan aset sangat perlu diperhatikan. Jika aset-aset yang dikorupsi

berada di luar yurisdiksi negara korban110, maka pelaksanaan perintah pembekuan

dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari

negara penerima111.

                                                                  106 Ibid., (Dalam John Conyngham, Esq, Recovering Director’s Plunder, Testimony of John

Conyngham Esq., Global Director of Investigations, Control Risks Group Limited Before the Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Consumer Credit US House Representatives, 9 May 2002, hal. 2)

107 Ibid. 108 Ibid., hal 211. 109 Ibid., ( Sebagaimana tercantum dalam United Nation Convention Against Corruption

2003 Pasal 1 ayat 2 huruf (f)). 110 Negara korban merupakan negara dimana seorang koruptor melakukan tindak pidana

korupsi yang merugikan keuangan negara. 111 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 211.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 55: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

42

Universitas Indonesia 

Ada dua kemungkinan cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan

dari negara korban dalam yuridiksi hukum negara penerima112. Jika hukum

nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut

melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan oleh badan

yang berwenang lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari

badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan. Salah satu

syarat penting untuk melakukan perampasan oleh badan yang berwenang di

negara penerima adalah bahwa aset-aset tersebut merupakan objek dari perintah

penyitaan. Dengan kata lain, pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut

merupakan pengamanan sebelum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat

dilakukan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban.113

Tahap ketiga adalah tahap penyitaan aset-aset. Penyitaan merupakan perintah

pengadilan atau badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak pelaku tindak

pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Biasanya perintah

penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara

penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku

tindak pidana.114 Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan

dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada

kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan.115 Tahap

penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang menetapkan

bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang tidak

berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana, khususnya. Prinsip ini

mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk mempengaruhi tingkah laku

orang, hukum itu harus menyampaikan pesan-pesan yang koheren. Pesan-pesan

itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi berusaha untuk mencegah bentuk

                                                                  112 Negara penerima merupakan negara dimana para koruptor di negara korban

mengamankan hasil dari tindak pidana korupsinya. 113 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 215. 114 Ibid. 115 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Pasal 54 (1)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 56: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

43

Universitas Indonesia 

khusus tingkah laku, tetapi pada sisi yang lain membiarkan seseorang yang

melakukan bentuk khusus tingkah laku yang berusaha dicegah tersebut,

mendapatkan keuntungan. 116 Dengan demikian tindakan penyitaan terhadap aset

hasil tindak pidana korupsi dibenarkan dengan landasan pemikiran bahwa hukum

pidana harus tetap komit untuk tidak memberikan keuntungan kepada pelaku

tindak pidana.

Setiap dugaan korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan harus disita terlebih

dahulu, hal ini merupakan tindakan pengamanan agar aset hasil korupsi tersebut

tidak dibawa pergi atau disembunyikan oleh pelaku. Aset hasil korupsi harus

disita terlebih dahulu agar kemudian setelah putusan bersalah oleh Hakim telah

berkekuatan hukum tetap, aset hasil tindak pidana korupsi yang disita dapat

dikembalikan kepada Negara.117 Tahap penyitaan merupakan tahap yang paling

penting dalam rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Tujuan

dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka sidang pengadilan,

karena tanpa adanya barang bukti, perkara sulit diajukan ke hadapan sidang

pengadilan. Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H mengemukakan bahwa alangkah

baiknya bila penyidik sebelum melakukan penyidikannya, terlebih dahulu

melakukan pengamatan yang seksama atas semua kekayaan calon tersangka. Pada

saat disidik langsung secepatnya kekayaan disita untuk menghindari pengalihan

kekayaan kepada pihak ketiga. Jadi, yang terpenting ialah menyita kekayaan yang

ada, bukan hanya menghitung berapa jumlah yang dikorup dan nanti jumlah itu

diwajibkan baginya untuk membayar kembali kepada negara.118

Tahap keempat dari rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

adalah penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau                                                                  

116 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 218. 117 Chandra M. Hamzah. Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah

Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.

118 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2 (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2002), hal. 54.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 57: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

44

Universitas Indonesia 

negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian aset-aset, baik negara

penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan tindakan

lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing negara sehingga

badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut.

Kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian aset-aset

yang dibekukan dan disita, sehingga pada umumnya masalah pembagian aset-aset

yang diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban

dengan negara penerima.119 Tahap penyitaan sebelum adanya pengembalian aset

tindak pidana korupsi adalah sangat penting adanya, karena tanpa adanya

penyitaan terlebih dahulu atas aset dugaan hasil korupsi, maka aset tersebut tidak

dapat diambil oleh negara sebagai. Hal ini didasarkan pada Pasal 39 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang mengamanatkan bahwa hanya harta yang

telah disita sebelumnya saja yang dapat dirampas oleh negara. Penting untuk

diperhatikan bahwa dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya

pengembalian aset dari terangka, terdakwa dan terpidana korupsi (dan juga

kejahatan lain) terutama jika asetnya berada di luar negeri maka seharusnya

putusan pengadilan memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas

dan detail tentang benuk kebendaan dan lokasinya serta dalam penguasaan atau

pemilikan siapa.

Tugas dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang

dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk

melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Teori

keadilan sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset

oleh negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi, yaitu: 120

a) Alasan pencegahan (prohylactic) yaitu untuk mencegah pelaku

tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara

                                                                  119 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 233. 120 Ibid., hal 101 (Dalam Michael Levi, Tracing and recovering the Proceeds of Crime,

Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hal 17) Michael Levi adalah seorang Professor Kriminologi dari Cardiff University, Wales, UK.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 58: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

45

Universitas Indonesia 

tidak sah atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk

melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang;

b) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana

tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara

tidak sah tersebut;

c) Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi

prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara

tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;

d) Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut

diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan

selaku pemilik aset tersebut.

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan isu yang sangat penting

dalam penegakan hukum. Hal ini dikarenakan pencurian aset negara di negara-

begara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di

negara bersangkutan merupakan masalah serius.121

Secara umum ada dua jenis pengembalian aset hasil tindak pidana yang diterapkan

secara internasional untuk memulihkan hasil dan instrumentalitas122 tindak

kejahatan: Perampasan Aset NCB (Non-Conviction Based)123 dan perampasan

kejahatan.124 Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni perampasan oleh

negara atas hasil dan instrumentalitas tindak kejahatan. Keduanya memiliki

rasional dua sisi yang sama. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan haram

jangan dibiarkan mengambil manfaat dari tindak kejahatannya. Hasilnya harus

disita dan digunakan untuk memberi kompensasi kepada korban, baik yang

                                                                  121 I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset

Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 2.

122 “Instrumentalitas” merupakan aset yang digunakan untuk memudahkan tindakejahatan,

seperti mobil atau kapal yang digunakan untuk mengangkat narkoba. 123 Perampasan NCB merupakan perampasan tanpa pemidanaan sebagai alat pemulihan

aset.

124 Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 59: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

46

Universitas Indonesia 

merupakan negara maupun yang individu. Kedua, kegiatan haram harus dicegah.

Meniadakan keuntungan ekonomis dari tindak kejahatan akan mengecilkan niat

untuk melakukan tindak kejahatan di tingkat pertama. Perampasan

instrumentalitas memastikan bahwa aset demikian tidak akan digunakan untuk

tujuan kejahatan selanjutnya; serta merupakan suatu pencegahan.125

Dalam pengembalian aset secara NCB, pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan pidana atas tindak

pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan

mengacu kepada asas non-conviction based yang digunakan dalam pengembalian

aset secara perdata (civil forfeiture), dimana tuduhan secara pidana atau putusan

pidana tidak diperlukan dan yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah

terhadap bendanya (in rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.

Disamping itu, jenis lain dari pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

berupa perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu

tindakan terhadap seseorang. Ini memerlukan pengadilan pidana dan

penghukumanm dan seringkali merupakan bagian dari proses penghukuman.

Beberapa yurisdiksi menerapkan standar bukti yang lebih rendah untuk proses

perampasan dibandingkan untuk proses bagian tindak kejahatannya. Meskipun

demikian, pada intinya putusan pidana bersalah harus dijatuhkan terlebih dahulu

baru aset dapat dikembalikan kepada negara. Sistem perampasan kejahatan dapat

berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib

membuktikan bahwa aset-aset yang dipermaslahkan merupakan hasil dari atau

instrumentalitas (aset yang digunakan untuk memudahkan melakukan tindak

kejahatan) tindak kejahatan tersebut.

Berbicara mengenai perampasan kejahatan atau perampasan dalam konsep pidana,

secara ekstrim bahkan disebutkan bahwa sistem perampasan kejahatan dapat

berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib

membuktikan bahwa aset-aset yang dipermasalahkan merupakan hasil dari atau                                                                  

125 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 60: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

47

Universitas Indonesia 

instrumentalitas tindak pidana tersebut. Sebagai alternatif, dapat juga merupakan

rezim yang berdasarkan nilai, yang mengizinkan perampasan senilai manfaat

pelaku pelanggaran dari tidak pidana tersebut, tanpa membuktikan hubungan

antara tindak kejahatan dan objek harta benda tersebut.126

Bila dikaitkan dengan jenis-jenis perampasan yang disebutkan oleh StAR

sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf diatas, konsep perampasan yang akan

dipakai dalam tulisan ini adalah jenis perampasan kejahatan atau pengembalian

aset secara pidana. Perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam,

suatu tindakan terhadap seseorang (sebagai contoh, Negara melawan John Smith).

Ini memerlukan pengadilan pidana dan penghukuman, dan seringkali merupakan

bagian dari proses penghukuman.127 Pada tindak pidana korupsi, selain pidana

tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak

yang berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di

mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut.128

Dalam praktek pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Eropa, Mayoritas

negara-negaranya memiliki sistem yang memperbolehkan penyitaan untuk

kekayaan tertentu atau barang-barang senilai dengan hasil kejahatan; dengan

catatan bahwa untuk penyitaan hasil tindak pidana yang serius memerlukan

pemidanaan sebelum penyitaan (meskipun ada pengecualian di beberapa negara);

memerlukan standar pembuktian pidana (pengecualian termasuk Irlandia dan

Inggris di mana standar perdata yang diterapkan).129 Karena itu, menurut Kaisa

                                                                  126 Ibid. 127 Ibid. 128 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31

Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1). 129 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 225 (Dalam

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 61: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

48

Universitas Indonesia 

Hakkinen130, di Eropa, penyitaan terutama dilaksanakan dalam proses pidana.

Dalam hal itu, asas legalitas memberikan limitasi untuk kegunaan penyitaan.

Penyitaan hanya dimungkinkan dan hanya apabila dinyatakan dalam hukum.

Penyitaan di negara Eropa umumnya mengharuskan adanya hubungan antara

tindak pidana dengan kekayaan yang disita. Kaissa Hakkinen mengemukakan tiga

tujuan dari penyitaan, yaitu131:

1) Pelaku tindak pidana tidak boleh menikmati keuntungan atas tindak

pidana yang dilakukannya. Penyitaan dimaksudkan untuk menyingkirkan

keuntungan-keuntungan keuangan dari tindak pidana tersebut

2) Untuk mencegah diinventarisasikannya hasil yang diperoleh tidak sah ke

dalam tindak pidana-tindak pidana baru. Maksudnya untuk mencegah

hasil yang diperoleh secara tidak sah tersebut ditemukan kembali dalam

kegiatan-kegiatan yang tidak sah. Dengan menyita hasil yang diperoleh

secara tidak sah tersebut masyarakat yakin bahwa keuntungan-keuntungan

yang tidak sah dari kejahatan tidak akan ditemukan kembali dalam

kegiatan-kegiatan yang sah.

3) Mencegah sebuah firma mendapatkan keuntungan-keuntungan kompetitif

yang tidak berdasarkan hukum. Dengan menyita hasil yang diperoleh

secara tidak sah mungkin akan memindahkan keuntungan-keuntungan

yang tidak jujur yang telah diperoleh firma tersebut atas pesaing-

pesaingnya.

Sekarang ini bukan saatnya lagi penegakan hukum yang bersifat offenders-

oriented, melainkan penegakan hukum juga harus memperhatikan dan

memperjuangkan hak korban. Korupsi sebagai tindak pidana yang mengakibatkan

                                                                                                                                                                                Council of Europe 2001: Confiscation of Proceeds from Crime in South-Eastern Europe. Project PACO Proceeds. http://www.coe.int/T/E/Legalaffairs/Legal_cooperation/Combating_economic_crime/programme_PACO ))

130 Ibid., hal 225. (Dalam Kaisa Hakkinen, Law and Economic Analysis of Confiscating the

Proceeds of a Crime, A paper presented in the purpose to analyse economic effects and legal aspects of confiscation of the benefit of a crime, University of Joensuu, Department of Business and Economics, Routsalisenraitti 7 B, FIN-53850 Lappeeranta, Finland)

131 Ibid., hal 228

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 62: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

49

Universitas Indonesia 

kerugian yang sangat besar dan korban yang masif harus memiliki penegakan

hukum dan strategi pemberantasan yang ampuh dan dapat mengembalikan

kerugian semaksimal mungkin kepada korbannya. Negara sebagai pihak yang

paling dirugikan oleh tindak pidana korupsi harus mengupayakan pengembalian

aset yang telah dikorupsi, terlebih aset yang dialihkan atau disimpan diluar negeri.

Negara harus menggalakan pola pikir profit-oriented terhadap penegakan hukum

tindak pidana korupsi, yakni pemberantasan tindak pidana yang berorientasi

kepada penyitaan hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dan dikuasai para pelaku

tindak pidana. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan, tetapi pada aset

hasil tindak pidana. Untuk mencapai tujuan tersebut, alangkah baiknya bila kita

membahas mengenai pemahaman konsep pengembalian aset itu sendiri. Karena

tindak pidana korupsi dan pengembalian aset tindak pidana korupsi sebagai salah

satu pemulihan kerugian negara adalah satu rangkaian yang jangan sampai

terpisahkan.

2.3 PROGRAM PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI

BEBERAPA NEGARA

Dalam pembahasan mengenai program pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi di Indonesia, ada baiknya bila pembahasan mengenai program

perampasan aset di negara lain juga dibahas sebagai pembanding dan

pembelajaran. Brtani Raya dan Thailand, dua negara yang akan dibahas dalam

tulisan ini mengenai program perampasan asetnya merupakan negara-negara yang

telah serius melakukan upaya perampasan aset. Keseriusan mereka telah

tergambar dengan telah dimilikinya undang-undang mengenai perampasan aset,

juga telah adanya badan khusus pengembalian aset hasil tindak pidana.

2. 3. 1 Britania Raya

Pada umumnya, peradilan pidana melibatkan negara dalam menentukan kondisi-

kondisi tertentu yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman kepada

seseorang pejabat negara yang melakukan suatu tindak pidana. Kondisi-kondisi

yang dimaksud ini meliputi empat karakteristik, yang diantaranya adalah pertama,

tindak pidana tersebut merupakan perbuatan-perbuatan pidana yang masih belum

dapat dibuktikan atau masih berupa dugaan dan bukan merupakan kejahatan-

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 63: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

50

Universitas Indonesia 

kejahatan pada umumnya. Kedua yaitu pada saat ditemukan adanya bukti-bukti

yang ternyata tidak sah, berkenaan dengan standar bukti yang ada dalam

persyaratan penting dalam nilai-nilai sebagai prasyarat untuk dapat diterima.

Ketiga, adanya hak non-self incrimination132. Keadaan keempat, sebagai

puncaknya yaitu mengenakan sanksi publik sebagai tentangan atas pemberian

pemulihan pribadi terhadap pelaku.133

Pada saat merumuskan keempat poin tersebut, pemikiran bahwa ”seseorang yang

diputus tidak bersalah dapat didakwakan lagi atas tindak pidana yang sama” (yang

merupakan penyimpangan asas ne bis in idem) kemungkinan dapat dijadikan poin

kelima dari rangkaian pemikiran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dianggap

sebagai aksi keberatan atau justifikasi dari ketidaktelitian penyidik dalam

menemukan unsur tindak pidana dan penuntut umum dalam membuktikan bahwa

seseorang bersalah sehingga ia berhasil lolos dengan diputus bebas.134

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penyitaan secara pidana atau yang disebut

dengan ”criminal forfeiture”, maupun pengembalian aset curian secara perdata

atau yang dalam istilah di Inggris disebut dengan ”civil confiscation”, merupakan

tindakan untuk mematahkan prinsip dasar dari Sistem Peradilan yaitu prinsip

perlindungan terhadap hak tersangka. Dalam tahap penyitaan aset hasil tindak

pidana, hal pertama yang penting untuk diingat adalah kita dapat melaporkan

seseorang yang secara tidak lazim (hasil tindak pidana atau dimiliki secara

melawan hukum) memiliki aset yang cukup banyak , meskipun laporan itu hanya

berdasarkan dugaan awal dan belum ada bukti mendukung. Tim pelacak aset hasil

                                                                  132 Luhut M. P Pangaribuan, Non-Self Incrimination,

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/07/KL/mbm.19990607.KL95204.id.html, diunduh pada 8 Juli 2011. Prinsip non-self incrimination bermakna bahwa larangan seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu

133 Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 21-22.

134 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 64: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

51

Universitas Indonesia 

tindak pidana pun dapat menyita aset yang diduga hasil tindak pidana walaupun

belum ada dakwaan tertentu dari penuntut umum. Dalam civil confiscation, negara

hanya boleh menyatakan bahwa seseorang mendapatkan harta tersebut adalah

hasil dari perbuatan tidak sah atau perbuatan melawan hukum hanya kepada

seseorang yang memegang hak milik atas harta tersebut. Sedangkan dalam

criminal confiscation, tidak penting siapa pemilik dari aset tersebut, karena

”pelaku pidana” itu sendiri merupakan orang yang melakukan tindak pidana dan

hasil dari tindak pidana tersebut adalah tidak sah, sampai ia dapat membuktikan

sebaliknya.135

Hal kedua yaitu, keistimewaan dari penegakan hukum dalam pengembalian aset

hasil tindak pidana ini adalah semua pihak yang terkait dengan harta tersebut

diwajibkan (dan dengan paksaan) untuk memberikan informasi dan keterangan

dalam tahap penyidikan atau dalam tahap civil confiscation. Hal ini disebut

istimewa, mengingat dalam Sistem Peradilan biasa yaitu larangan secara mutlak

untuk hanya dapat bertumpu pada seorang saksi atas kesaksiannya yang secara

terpaksa, kecali dalam penuntutan untuk sumpah palsu atau sebagai bukti

bantahan dalam peradilan pidana. Ketiga, kebutuhan untuk menunjuk saksi-saksi

yang kuat dan meyakinkan untuk membuktikan persangkaan-persangkaan yang

telah dilemparkan sebelumnya, sebisa mungin harus dihadirkan. Penggunaan

hearsay evidence harus diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak dihadirkan,

karena kekuatan pembuktian yang dihasilkan oleh hearsay evidence ini tidak kuat,

karena mereka tidak mengalami dan paham secara langsung mengenai tindak

pidana korupsi yang terjadi.

Hal keempat adalah, kebutuhan untuk pembuktian atas pernyataan persangkaan

secara baik dan tidak melanggar norma apapun merupakan tugas yang sangat

serius dan tidak mudah. Pembuktian ini harus benar-benar dilakukan sehingga

pembuktian sampai beyond a reasonable doubt tidak perlu dilakukan. Kelima,

tidak ada lagi ukuran yurisdiksi untuk memulai suatu penyitaan secara perdata dan

pemilihan proses peradilan pidana mana yang akan digunakan, atau, sebagai                                                                  

135 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 65: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

52

Universitas Indonesia 

alternatif, dengan memulai proses pengembalian aset setelah proses penuntutan

secara pidana tidak berhasil.

2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari

Hukum Pidana

Setelah mempertimbangkan karakteristik-karakteristik diatas, pengembalian aset

telah merepresentasi suatu terobosan dari hukum pidana dan penegakan hukum

pidana itu sendiri dengan gigih. Berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan

diatas, konsep dari penyitaan aset menggambarkan bahwa sang pemilik aset tidak

berhak atas hak milik harta yang didapat dari hasil tindak pidana, sehingga

penguasaan atas harta tersebut tidak dalam pemilikan (eigendom) siapapun,

melainkan penguasaannya (bezit) berada pada tangan negara melalui badan

pengelola sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas harta

tersebut. Landasan pemikiran tersebut dikemukakan oleh Jaksa Agung, Lord

Goldsmith dalam Komite House of Lords.

Pusat perhatian yang paling utama dalam pengembalian aset hasil tindak pidana

secara perdata adalah darimana asal aset yang dicurigai merupakan hasil tindak

pidana. Prinsip ini harus ditekankan untuk mengakses aset yang terikat pada

tersangka pelaku kejahatan. dalam pengembalian aset hasil tindak perdata,

pemegang aset yang telah dinyatakan hasil tindak pidana korupsi, atau lebih

tepatnya pelaku tindak pidana, tidak dipertimbangkan melainkan pemegang hak

milik atas aset tersebutlah yang secara hukum menjadi subjeknya.

Pertanyaan mengenai dengan cara apakah pengadilan akan melakukan proses

pengembalian aset hasil tindak pidana, dengan cara perdata ataukah dengan cara

pidana adalah dibahas dengan rinci dalam Bab 7, paragraf 7 Proceeds of Crime

Act (POCA) 2002. Masalah pengembalian aset yang sedang dipertaruhkan disini

adalah tergantung sejauh mana perlindungan dan prosedur dari pengembalian aset

itu sendiri yang sebenarnya telah diatur dalam European Convemtion on Human

Right (ECHR), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) yang akan mempengaruhi pengaturan

prosedur atau aturan umum dari praktek penyitaan secara perdata (civil forfeiture)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 66: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

53

Universitas Indonesia 

maupun penyitaan secara pidana (confiscation), yang keduanya, pada prinsipnya,

tidak mempengaruhi atau menjadi patokan dari tuntutan pidana di Pengadilan

Negeri, juga di Pengadilan Strasbourg. Dengan demikian, apapun konsekuensi

hukum dari ketentuan tersebut tindakan-tindakan pendahuluan tersebut

dikategorikan sebagai tindakan pencegahan utama. Mengenai hal itu, sepertinya

POCA 2002 tidak dapat dilakukan begitu saja dengan cara yang umum dalam

melakukan tuntutan pidana, walaupun pengecualian dari tiap kasus akan muncul.

Yang menjadi perdebatan adalah, bagaimana perlindungan yang akan diberikan

kepada tersangka dalam tahap pengembalian aset tersebut, terlepas dari rangkaian

tindakan tersebut akan berujung pada tuntutan pidana atau tidak karena

bagaimanapun perlindungan terhadap tersangka merupakan hak yang harus

diperhatikan.

2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi secara

Perdata

Walaupun POCA 2002 ini mengatur mengenai hukum pidana di Britania Raya,

tetapi hukum perdata pun masih sedikit dibicarakan dalam peraturan ini. Proceed

of Crime Act (POCA) 2002 menyentuh ranah hukum perdata dalam hal

pengembalian aset hasil tindak pidana dan hal tersebut membuat POCA 2002

menjadi salah satu produk hukum yang paling signifikan dan inovatif sekaligus

juga kontroversial karena pada bagian 5 POCA 2002 terdapat hal baru yang diatur

tentang civil recovery dari suatu tindak pidana, negara melalui Directors of the

Assets Recovery Agency, dapat membawa permasalahan perdata ke pengadilan

untuk memperoleh benda yang didapat secara melawan hukum.136 Dalam

prakteknya penyelesaian secara perdata sering diterapkan sebagai pengganti,

bahkan sebagai tambahan dari suatu proses pidana. Sistem ini diciptakan untuk

mendukung tindakan-tindakan pengembalian secara hukum yang juga baru dan

didalamnya terdapat 2 (dua) aspek penting yaitu pengamanan proses penuntutan

                                                                  136 Ibid., hal. 235.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 67: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

54

Universitas Indonesia 

dan penunjukkan seseorang untuk menyelidiki keadaan kasus tersebut dan

melaporkan penemuannya kepada pengadilan.137

Negara-negara penganut sistem hukum Common Law telah mengenal mekanisme

pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture). Sistem ini tidak lagi

memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata

dalam hal perampasan aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Perbuatan-

perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata telah bercampur

dengan tindak pidana, demikian pula sebaliknya tindak pidana sering juga

berpengaruh terhadap lingkup hukum perdata.

2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil

Tindak Pidana

Lembaga pada Umumnya

Lembaga yang dibahas dalam bagian ini mewakili lembaga penuntut umum utama

yang bertanggungjawab atas penyidikan dan membawa aset hasil tindak pidana

untuk pemulihan kerugian akibat tindak pidana. Lembaga lain, seperti Otoritas

Jasa Keuangan (Financial Services Authority), juga memiliki peran yang sangat

penting dalam rangkaian pengembalian aset tindak pidana ini. Sebuah multi-

lembaga baru, Satuan Tugas (Enforcement Task Force) didirikan pada akhir tahun

2002 yang mengurus kasus-kasus dibawah Criminal Jusice Act (CJA 1988) dan

Drug Trafficking Act (DTA) 1994 terus beroperasi dalam kaitannya dengan kasus-

kasus dibawah rezim mereka. Satuan Tugas tersebut terdiri dari pengacara-

pengacara dan pekerja sosial dari Crown Prosecution Service’s Central

Confiscation Branch (CCB), Enfrorcement Section dan the Asset Forfeiture Unit

(AFU) dari HM Custom and Exercise (HMCE), juga oleh penyidik keuangan dari

kepolisian, the National Crime Squad dan HMCE. Akan tetapi, yang perlu

diperhatikan adalah Satuan Tugas ini tidak akan berurusan dengan praktek

(hukum acara) dari penegakan hukumnya, jadi hanya berurusan dengan

penelusuran aset hasil tindak pidana.138

                                                                 137 Ibid., hal. 236

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 68: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

55

Universitas Indonesia 

2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana

Bagian 1 dari POCA 2002 mengatur mengenai Asset Recovery Agency (ARA)

atau Lembaga Pengembali Aset dari fungsi umum dan kewenangan dari Ketua

ARA secara garis besar. Aset Recovery Agency adalah suatu lembaga pemerintah

yang independen dan non-departemen. Ketua dari ARA ditunjuk oleh dan

bertanggungjawab kepada Sekretaris (Home Secretary). Seorang Wakil Ketua dari

ARA bertanggungjawab atas pelaksanaan kekuasaan Ketua ARA dalam

pengembalian aset di Irlandia Utara (Northern Ireland) dan ARA telah mulai

beroperasi sejak Februari 2003. Lembaga ini berkantor di London dan Belfast.

Tujuan dari ARA adalah tidak lain dari berperang melawan segala tindak pidana

yang mengambil aset negara. ARA memiliki empat tujuan strategis yang

diantaranya:

1. Membantu mengurangi kejahatan dan jaringan penjahat perusahaan

melalui perampasan aset, sehingga dengan tindakan itu dapa mengurangi

efek buruk atas tindak kejahatan di masyarakat

2. Untuk mengembalikan jumlah aset sebesar kerugian negara dengan

ketentuan yang telah diatur dalam aturan mengenai pengembalian aset,

baik langsung ataupun dengan bantuan dari lembaga penegak hukum.

3. Memajukan peran penyidik keuangan, baik didalam ataupun diluar

lembaga

4. sebagai alat untuk memerangi dan menindak kejahatan

5. Mempergunakan ARA untuk hal-hal

a. Membudayakan proses penempatan aset hasil tindak pidana dan

hasil sebagai fokus utama.

b. Menetapkan standar yang tinggi untuk profesionalisme dan

integritas kerja.

c. Mendukung para pekerja baik dalam tim maupun secara individual

dalam proses pengelolaan aset hasil tindak pidana.

                                                                                                                                                                                138 The best identified by Task Force has been utilized to draw up the “National Best

Practice Guide to Confiscation Order Enforcement”, published in August 2003 and available on the Home Office website (http://www.homeoffice.gov.uk).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 69: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

56

Universitas Indonesia 

d. Membangun asas kepercayaan dengan pihak terkait lainnya.

e. Memperjuangkan aset yang diambil secara tidak sah.

2.3.1.5 Fungsi ARA

Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 mengatur mengenai fungsi dari ARA, yaitu:

Bagian 1 mengharuskan Ketua ARA untuk membentuk suatu sistem

penyidik keuangan yang terakreditasi, memantau kinerja para pekerjanya,

dan mencabut akreditasi tersebut dalam keadaan yang sepatutnya. Sebagai

tambahan, Ketua ARA harus memberikan masukan dan panduan kepada

Home Secretary saat diperlukan.

Bagian 2 (di Inggris dan Wales) dan Bagian 4 (Irlandia Utara) memberikan

kekuasaan pada Ketua untuk melakukan permohonan penyitaan secara

pidana, perintah pengendalian atau pengelolaan aset, naik banding, dan

melaksanakan permohonan penyitaan.

Bagian 5, bab 2 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk melakukan

tindakan perdata untuk mendapatkan aset secara perdata di Inggris, Wales,

dan Irlandia Utara. Ada kekuatan tambahan bagi Ketua untuk melakukan

tindakan demi memenuhi permohonan sementara

Bagian 6 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk menaikkan taksiran

pajak terhadap seseorang atau keuntungan dari perusahaan yang layak

untuk dicurigai telah menurunkan pendapatan, keuntungan atau laba dari

kejahatan dan kekuasaan tersebut untuk memperluas ke Skotlandia.

Bagian 8 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk mendapatkan

penyelidikan atas aset curian dan membuat surat perintah dalam

penyelidikan atas penyitaan secara pidana (confiscation) dan penyitaan

secara perdata (civil recovery investigations) dan untuk menerbitkan Surat

Permohonan (Letter of Request) untuk penyelidikan atas penyitaan.

Bagian 11 memberikan kuasa kepada Ketua untuk membantu yurisdiksi

lain dengan pengendalian permintaan pengembalian aset, menerima aset

yang disita secara sementara, serta mengembalikan aset dan menyusun

gugatan untuk penyelidikan eksternal. Permintaan perampasan aset di

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 70: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

57

Universitas Indonesia 

Dewan, di bawah POCA 2002, pada awal 2004 harus sudah dilakukan

untuk memberikan bantuan kepada yurisdiksi lain.

2.3.1.6 Aset yang harus dikembalikan dan aset yang terkait

Sebelum munculnya pertanyaan mengenai pengelolaan aset, pengadilan harus

dipuaskan oleh fakta bahwa aset yang dipertanyakan selama ini adalah aset inti

yang harus dikembalikan ataukah aset yang terkait dengan aset hasil curian.139

Aset yang harus dikembalika, atau yang didalam POCA diistilahkan dengan

”recoverable properties” didefinisikan sangat sederhana, yaitu merupakan ”aset

yang didapat dari perbuatan yang tidak sah”140. ’Perbuatan yang tidak sah’

merupakan salah satu perbuatan yang dikategorikan ’tidak sah’ dalam hukum

pidana Britania Raya, dimana perbuatan itu dilakukan. Selain itu, apabila

perbuatan tersebut dilakukan di negara lain, dan dinyatakan tidak sah baik

Britania Raya maupun negara tersebut, maka POCA 2002 lah yang berlaku.141

Definisi ini menimbulkan pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana bila aset yang

diperoleh secara ’tidak sah’ ini adalah untuk menentang perbuatan pidana. Selama

bertanggung jawab atas Bill in the House of Commons, Bob Ainsworth, Menteri

yang bertanggungjawab atas Bill tersebut mengatakan, dalam konteks istilah yang

dipakai dalam POCA 2002, poin 6, tentang Pendapatan Ketua ARA,

Bagian 2 mengacu pada hal-hal yang akan dihadapi dalam pengadilan pidana,

sehingga terminologi yang akan dipakai adalah seputar sistem peradilan pidana.

Sementara itu, Bagian 5 adalah mengatur hal-hal yang akan dihadapi dalam

pengadilan perdata, sehingga yang perlu diperhatian adalah penggunaan

terminologi juga harus disesuaikan dengan sistem peradilan perdata. Perlu diingat,

sebenarnya apakah ini akan menjadi lingkup pidana atau perdata, hal itu bukan hal

                                                                  139 POCA 2002, s 246(4)-(5) 140 Ibid., s 304(1) 141 Ibid., s 241(2). Ekstra-teritorial dibahas lebih lanjut dalam, paragraf 5.78-80

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 71: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

58

Universitas Indonesia 

yang penting untuk dibahas, melainkan pengembalian aset hasil tindak pidana

harus terwujud.142

Banyak sekali pembahasan mengenai masalah pengembalian aset dan pembahasan

ini berpotensi untuk melahirkan pendekatan yang membingungkan. Menurut

konstruksi hukum pada umumnya, pada saat Parlemen menggunakan istilah yang

berbeda didalam suatu peraturan maka itu dianggap hal yang berbeda. Bagian ini

akan selanjutnya akan menjelaskan tentang maksud dibalik terminologi yang

digunakan dalam POCA 2002 adalah untuk mengaitkan susunan kata dengan

yurisdiksi dari perbuatan tersebut dilakukan. Akan tetapi, sudah sangat mantap

bahwa karakterisasi dari proses pengembalian aset, baik secara pidana maupun

perdata yang tunduk pada pasal 6 dari European Convention on Human Right

tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa melihat substansi dari situasi aslinya. Oleh

karena itu, bila POCA 2002 menciptakan aturan pidana secara substansif yang

dapat diaplikasikan dalam keadaan langsung dan kategorisasi perbuatan kejahatan

itu sendiri dalam Konvensi. Akan tetapi pemilihan istilah yang terkesan selektif

ini tidak menghalangi pelaksanaan pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) POCA 2002

dalam hal perlindungan hukum.

Dalam pengembalian aset curian secara pidana, bukan merupakan hal yang

penting bila tersangka merupakan pemilik sah dari aset tersebut. Hal ini

didasarkan pada pemikiran selama harta tersebut dihasilkan dari sebuah tindak

pidana, maka tahap pengembalian aset tersebut dapat ditelusuri mulai dari pemilik

baru yang notabene secara sah mendapatkan hak milik aset tersebut sampai

pemilik awal yaitu pelaku tindak pidana. Aset curian akan dapat ditelusuri selama

ada rantai atau kaitan yang jelas atas kepemiikan aset tersebut yang mengarah

kembali kepada pelaku predicate crime.143 Namun demikian apabila pemilik baru

mendapatkan harta tersebut dengan cara yang sah dan itikad baik serta tanpa

pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana,

                                                                  142 Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil

Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 150-151 143 Proceeds of Crime Act (POCA) 2002, Pasal 304 (3)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 72: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

59

Universitas Indonesia 

kemungkinan besar barang tersebut tidak dapat diakses atau dieksekusi144. Hal

tersebut menegaskan bahwa penelusuran aset hasil tindak pidana pun memiliki

limitasi dalam penelusuran dan pengembalian aset, bahkan pengaturan ini berada

dalam Bab ’General Exception’ atau pengecualian dalam POCA 2002. Akan

tetapi, pada saat aset tidak dapat di eksekusi, itikad baik berupa partisipasi dari si

pemilik sah yang baru dari aset hasil tindak pidana merupakan modal utama

dalam proses penelusuran aset, selama ia mewakili aset tersebut145. Konsep ini

sangat mirip dengan konsep common law dimana pelapor dapat mengklaim harta

milik tersangka selama ia dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa harta

tersebut didapat dari perbuatan yang tidak sah atau dari kejahatan. Oleh karena

itu, kapanpun tersangka telah melepas haknya atas harta curian dan kemudian ia

mendapatkan harta lain yang belum tentu ia dapatkan dari kejahatan, maka harta

yang disebutkan terakhir ini dapat dieksekusi dan dikembalikan sebagai

perwakilan atau simbol dari aset hasil kejahatannya. 146 Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pengembalian aset dalam konsep ini tidak terlalu

mementingkan asas ’follow the money’, tetapi ’follow the transaction.

2.3.2 Thailand

Tidak berbeda dengan kondisi di Indonesia, pencucian uang pun merupakan

momok besar bagi Pemerintah Thailand selama berpuluh-puluh tahun. Oleh

karena kekhawatiran terhadap perkembangan kejahatan terorganisasi lintas negara

yang dapat mengancam stabilitas dan kemakmuran dari negara, maka Pemerintah

Thailand mengundangkan Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999

(AMLA)147, kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) untuk

                                                                  144 Ibid., Pasal 308 (1) 145 Ibid., Pasal 308 (10) 146 Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil

Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 152. (Lihat Goff dan Jones The Law of Restitution (6th edition, 2002) Sweet & Maxwell, para 2-02lff. A detailed consideration of the principles of tracing at common law is outside the scope of this work and the reader is referred to the practitioner texts on the subject. )

147 Dewan Perwakilan Rakyat meresmikan undang-undang tersebut pada 19 Maret BE 2542.

Kemudian menerbitkannya di Lembaran Kerajaan Volume 116, Bagian 29 Gor pada tanggal 21

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 73: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

60

Universitas Indonesia 

melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap pencucian uang. Kantor Anti-

Pencucian Uang (AMLO) merupakan penegak hukum yang independen dan badan

yang bertugas sebagai pengatur dibawah pengawasan oleh Kementrian

Kehakiman serta bekerja dibawah pengarahan Dewan Anti-Pencucian Uang

(AMLB)148, yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri maupun

delegasinya.149

Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) bertanggungjawab untuk menginvestigasi

kasus-kasus pencucian uang bagi perampasan aset Non-Conviction Based (NCB).

Dibawah ketentuan umum AMLA tahun 1999, sembilan predikat pelanggaran

pencucian uang yang terkena penegakan adalah yang berhubungan dengan

narkotika, perdagangan manusia, pembohongan publik, penggelapan oleh

institusi-institusi keuangan, pelanggaran karena jabatan di perkantoran, pemerasan

dan pemfitnahan, penghindaran pajak, pelanggaran hukum pemilihan umum,

terorisme, dan perjudian ilegal.150 Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO)

memiliki kekuasaan yang luas yaitu untuk mengidentifikasi, menelusuri,

menyelidiki, menahan, dan menyita pendapatan ilegal yang berhubungan dengan

pencucian uang. Dengan persetujuan pengadilan, AMLO diberi penguatan untuk

melakukan penyadapan elektronis guna mendapatkan bukti bagi pencucian uang.

Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) juga bertanggungjawab untuk menyimpan,

mengelola, dan menjual harta benda yang dirampas maupun yang disita.

Menurut bagian 48 dan bagian 49 dari AMLA 1999, tanpa perintah dari

pengadilan melainkan berdasarkan perintah dari Komite Transaksi AMLO,

                                                                                                                                                                                Maret BE 2542. menjadi efektif pada 19 Agustus BE 2542 (B. E adalah Era Buddha. Kurangi 543 dari B.E akan mendapatkan tahun Setelah Masehi)

148 Bagian 24 dari AMLA 1999 diganti dengan bagian 10 dari AMLA (No. 2) 2008 149 Theodore S. Greenberg et.al, Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide untuk

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based / NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 173.

150 Ibid., Dalam Bagian 3 dari AMLA 1999 dan Hukum Pidana di amandemen pada 5

Agustus 2003, untuk menghukum teroris dengan mengikuti Resolusi PBB 1373 dan mengakui pelanggaran bagi teroris keuangan. Perjudian Ilegal baru-baru ini disahkan oleh Parlemen sehingga menjadi pelanggaran dengan predikat kesembilan dibawah AMLA, sejak 2 Maret 2008.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 74: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

61

Universitas Indonesia 

apabila terdapat sebab yang meyakinkan bahwa suatu aset terhubung dnegan suatu

predikat pelangaran atau pencucian uang, maka penyidik dapat merampas

sementara aset tersebut untuk periode yang tidak lebih dari 90 hari. Dalam periode

tersebut AMLO dapat terus mengumpulkan bukti-bukti perihal tersebut untuk

diserahkan kepada jaksa penuntut untuk menginisiasi agenda acara dari suatu

perampasan.

Mengenai konsep ”aset” yang dapat disita, Bagian 3 AMLA medefisikan :

1. Uang atau aset yang diperoleh dari tindakan pencucian uang sesuai satu

atau lebih predikat pelanggaran atau membantu dan terlibat tindakan

tersebut

2. Uang atau harta benda yang diperoleh dari distribusi dengan segala cara

uang atau ahrta benda seperti tersebut dalam butir (1)

3. Hasil dari butir (1) atau (2)

4. Uang atau aset yang digunakan untuk melakukan pelanggaran atau

memfasilitasi pelaksanaan suatu predicate crime

Ketika suatu aset telah disita oleh AMLO, maka aset tersebut akan menjadi

tanggungjawab Biro Pengelolaan Aset, AMLO untuk merawatnya,

memeliharanya hingga aset tersebut menjadi hasil perampasan, dan kemudian

untuk menjualnya. Biro Pengelolaan Aset adalah satu dari lima biro dan dua divisi

dalam AMLO. Pada Maret 2008, AMLA telah diamandemen untuk antara lain

mengembangkan peran AMLO dalam pengelolaan aset, untuk membentuk dana

perampasan, untuk menerapkan pengawasan yang ketat bagi aset-aset yang disita ,

untuk memastikan adanya transparansi dan untuk memastikan bahwa tidak

seorangpun yang memiliki otoritas terhadap seluruh aspek pengelolaan aset.

Sesuai dengan Peraturan Menteri tentang Struktur Organisasi AMLO, Desember

2007, maka Biro Pengelolaan Aset bertangggungjawab terhadap tugas-tugas

berikut:151

1. Untuk menuyusun sistem akuntansi bagi harta benda yang disita atau aset

bawaan, untuk menyimpan dan memelihara harta benda yang disita atau                                                                  

151 Ibid., hal 175.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 75: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

62

Universitas Indonesia 

aset bawaan, untuk meneruskan harta yang disita kepada Menteri

Keuangan, untuk mengembalikan harta benda hasil perampasan atau aset

bawaan untuk mengembalikan harta benda hasil pemilik harta benda, dan

untuk melakukan penilaian aset sesuai AMLA

2. Untuk menyusun sistem pengelolaan aset, untuk menyelesaikan masalah

sehbungan dengan pemakaian harta benda yang disita atau aset bawaan

oleh penuntut, penyewa harta benda, pengangkatan manajer, dan survei

harta benda, untuk keperluan pengelolaan aset sesuai dengan AMLA

3. Untuk menerapkan pekerjaan sesuai undang-undang dan peraturan-

peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan aset, termasuk

pelaksanaan dan penegakkan hukum terhadap siapapun juga yang

melanggar peraturan pengelolaan aset

4. Untuk melaksanakan pelelangan sesuai dengan AMLA aau sesuai dengan

perintah dari Kementrian Keuangan atau Pengadilan

5. Untuk bekerja sebagai sekretaris Komite Pelelangan, Komite Penilaian

terhadap Kerusakan atau Depresiasi, dan sebagai Komite Penilaian Harta

Benda

6. Untuk bekerjasama dengan atau mendukung kinerja departemen terkait

lainnya, atau melaksanakan tugas sesuai perintah.

Suksesnya suatu program pengembalian aset hasil tindak pidana tergantung dari

praktek-praktek pengelolaan aset yang baik. Untuk memastikan bahwa aset-aset

dipelihara sesuai kondisi pada saat perampasan sehingga aset dengan nilai

ekonomi tinggi dapat diselamatkan bagi kepentingan Pemerintah, dimana pada

akhir dari kasus diperlukan pertama-tama bahwa aset tersebut berada dibawah

pemeliharaan AMLO untuk meminimalkan kerusakan dan depresiasi. Segera

setelah disita, aset yang bersangkutan harus dinilai oleh pihak ketiga yang

berkualifikasi untuk menilai dan menentukan nilai pasarnya.152

                                                                  152 Ibid., Dalam Peraturan Menteri No. 10 Bab 2: Penilaian Harta benda; Klausul 16:

“Setelah pengambilan atau perampasan suatu harta benda, maka petugas yang kompeten dan yang telah ditunjuk agar segera menilai harta benda tersebut.)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 76: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

63

Universitas Indonesia 

2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan

Sebelum para aparat penegak hukum yang ditunjuk sebagai pejabat-pejabat yang

kompeten dibawah AMLA mengeksekusi suatu operasi pencarian dan

perampasan, maka mereka 1) harus terlebih dahulu memiliki pengertian tentang

tujuan dan target dari operasi penegakan hukum; 2) seharusnya sudah hingga

batas yang memungkinkan menilai aset yang akan disita; dan 3) seharusnya sudah

melakukan persiapan untuk mengelola aset yang mungkin tidak mudah disita atau

harus dipindahkan dari lokasi semula. Aset-aset yang tidak memiliki nilai

ekonomis tidak akan disita. Hewan liar, hewan berbisa dan hewan besar tidak

akan disita kecuali ada kepentingan untuk melakukan demikian, apabila demikian

maka ahli-ahli yang kompeten akan membantu dalam perampasan. Selanjutnya,

Hukum Perdata melarang perampasan dari peralatan tertentu yang diperlukan ntuk

pekerjaan profesional, seperti peralatan untuk penyembuhan secara medis dan

peralatan mekanik.153

Pejabat yang menyita aset-aset akan mengantarkan harta benda tersebut,

bersamaan dengan dokumen-dokumen yang relevan, seperti Buku Registrasi

Kendaraan, Akte Pemilikan Tanah, dan dokumen serupa lainnya, kepada Biro

Pengelolaan Aset, yang akan memeriksa dan menghitung seluruh aset hasil

perampasan sebelum mengambil alih kendali terhadap aset-aset tersebut. Aset-aset

hasil perampasan tersebut akan diklasifikasikan sebagai aset bergerak atau aset

yang tidak bergerak. Kartu-kartu atau tanda-tanda akan diberikan pada masing-

masing aset tersebut untuk menerangkan rincian yang relevan terhadap harta

benda tersebut, sebagai contoh, nama, kategori, kuantitas, ukuran, berat, dan

kondisi dari harta benda, serta tanggal perampasan. Kemudian harta benda

bersangkutan akan diamankan ditempat-tempat yang sesuai.154

Apabila harta benda yang diamankan berupa uang, maka uang tersebut akan

disimpan di institusi keuangan tanpa penundaan sesuai dengan yang disarankan

                                                                  153 Ibid., hal 176. 154 Ibid., hal 177

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 77: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

64

Universitas Indonesia 

oleh Komite Transaksi. Apabila uang tersebut merupakan uang asing maka uang

tersebut akan ditukar ke mata uang Thailand dan disetorkan kepada institusi-

institusi keuangan. Apabila harta benda yang disita berupa batu permata, emas,

barang-barang perhiasan, atau logam-logam mulia, maka aset tersebut akn

disimpan didalam peti besi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik

AMLO. Aset-aset berharga lainnya disimpan dalam gudang dengan penjagaan

ketat sepanjang 24 jam. Jika akan menyusahkan AMLO dalam memelihara suatu

harta benda, maka AMLO dapat menyewa suatu kontraktor untuk memelihara dan

menjaga harta benda tersebut. 155

Apabila aset yang disita ternyata sulit dan tidak pantas untuk disimpan, maka

pasal 57 dari AMLA mmeberikan otorisasi Sekretaris Jendral dari AMLO untuk

melakukan untuk melakukan hal-hal berikut156:

Mengizinkan pemilik dari aset yang disita untuk tetap memelihara dan

menggunakan aset tersebut sementara dengan persyaratan tertentu serta

jaminan atau tanggungan.

Mengeluarkan perintah untuk menjual dengan cara lelang dan menyimpan

dana yang diperoleh dalam simpanan escrow menunggu penyelesaian dari

agenda acara perampasan; atau

Mengeluarkan perintah untuk mengizinkan penegak hukum atau institusi

lainnya untuk menggunakan sementara aset serupa itu untuk keperluan

resmi.

2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS)

Biro Pengelolaan Aset AMLO menggunakan dengan sepenuhnya sistem teknologi

informasinya untuk pengelolaan aset. Biro tersebut telah mengembangkan sistem

perangat lunak AMCATS yang memungkinkannya untuk bekerja secara

transparan dan akuntabel dengan cara mencatat dan melacak seluruh data yang

berhubungan dengan perampasan suatu aset. Sistem Pelacakan Aset Gabungan

                                                                  155 Ibid. 156 Ibid.,

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 78: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

65

Universitas Indonesia 

AMLO (AMCATS) mencatat rincian tentang suatu perampasan, nama aset, nilai

aset, nama kasus, perintah perampasan, perintah pengadilan, lokasi penyimpanan

aset, pendapatan yang dihasilkan oleh aset dan biaya yang dikeluarkan untuk

memeliharanya, rincian lelang (nama dari penawar lelang, harga yang disarankan,

dan harga penjualan), dan, sepanjang dapat diterapkan, informasi yang

berhubungan dengan penempatan aset yang resmi digunakan oleh Pemerintah.

Dengan mencatat dan melacak data tersebut, maka AMLO dapat lebih baik

melaksanakan fungsi pengelolaan asetnya, yaitu dapat lebih mudah menyusun

laporan-laporan, membuat statistik-statistik, mempertanggungjawabkan

inventarisnya, dan membuat ramalan dan pengawasan biaya pengelolaan aset. 157

                                                                  157 Ibid., hal 178

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 79: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

66 Universitas Indonesia

BAB 3

TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)

3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif

3. 1. 1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif atau yang lazim dibicarakan dengan “restorative justice”

merupakan suatu model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara

pidana yang mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun ini. Berbeda dengan sistem

yang sekarang ada, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi

langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara

pidana.158 Untuk memahami konsep keadilan restoratif lebih dalam, alangkah

baiknya bila kita sedikit membahas mengenai teori tujuan pemidanaan agar

pemahaman konsep keadilan restoratif tidak menjadi bias.

Dalam sejarah perkembangan hukum pidana, suatu tindakan atau perbuatan

pidana bila dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan

kepentingan orang lain. Untuk mengembalikan pada keadaan semula maka

diperlukan tindakan pembalasan terhadap orang/pelaku yang menyebabkan

kerusakan atau kerugian dalam masyarakat tersebut. Pembalasan itu pada

umumnya tidak hanya merupakan kewajiban terhadap seseorang yang dirugikan

                                                                  158 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan

Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok: 2009), hal 1.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 80: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

67

Universitas Indonesia 

atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban terhadap seluruh

keluarga dan bahkan kewajiban terhadap masyarakat.159

Hukuman pembalasan ini sepenuhnya ditentukan oleh orang atau pihak yang

dirugikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sehingga mengganggu keamanan

dan ketertiban serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. penguasa pada saat

itu pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam

kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan yang

dilakukan oleh orang yang dirugikan secara sendiri-sendiri. Demi keamanan dan

ketertiban di masyarakat maka timbullah kemudian “Stelsel komposisi”

(composite stelsel) yaitu kewajiban bagi pelaku tindak pidana (penjahat,

pembunuh dan sebagainya) untuk melakukan “penebusan kesalahan” dengan

memberikan ganti rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. Disamping itu

juga diwajibkan membayar denda kepada masyarakat yang dirugikan (dalam hal

terjadi pembunuhan) untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.

Semula, jumlah denda ditentukan tergantung pada keinginan pihak yang dirugikan

tetapi kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa. Dengan demikian

penghukuman sudah mulai dikembangkan kearah sifat hukum publik, yang

berdasarkan kepentingan masyarakat dan menjadi kewajiban atau kewenangan

penguasa.160

Hukum pidana sejatinya tidak dapat berdiri sendiri dalam mencapai tujuannya,

melainkan juga harus didukung oleh pemidanaan yang menyertai. Pemberlakuan

pemidanaan bagi pelaku pidana adalah tidak tanpa alasan. Adapun pokok

pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan,

dan

                                                                  159 Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,

September 2004, hal 19 s.d 28. 160 Ibid

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 81: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

68

Universitas Indonesia 

c) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang

dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Berbagai tujuan pemidanaan dikelompokkan Anthony Duff dan David Garland ke

dalam dua golongan besar, yakni konsekuensialis dan non-konsekuensialis.

Menurut kelompok non-konsekuensialis, upaya pembenaran untuk penjatuhan

pidana sebagai suatu respons yang patut (appropriate response) terhadap

kejahatan merupakan hal yang penting. Mereka beranggapan bahwa salah

benarnya suatu tindakan harus berdasar pada karakter intrinsiknya, tanpa

memperhitungkan konsekuensinya.161 Pemikiran mengenai paham non-

konsekuensialis ini dianut oleh para retributivis. Mereka percaya bahwa hukuman

itu dijatuhkan sebagai akhir dari tindak pidana itu sendiri, sebagai jawaban dari

tindak pidana yang dilakukan dan sebagai seruan dari norma masyarakat dan

aturan moral.162

Disamping itu bagi kaum konsekuensialis, benar tidaknya sesuatu tergantung

semata-mata pada konsekuensi menyeluruh.163 Aliran konsekuensialis

menekankan bahwa pidana itu dijatuhkan tujuan utamanya adalah untuk

mengurangi tindak pidana. Kita dapat mengurangi tindak pidana dengan menahan

pelakunya untuk memberi contoh kepada orang lain mengenai konsekuensi dari

tindak pidana yang dilakukannya, atau bahkan membina jiwa dan dan keadaan

pelaku tindak pidana tersebut untuk meningkatkan nilai dirinya agar ia tidak

melakukan tindak pidana lagi (rehabilitasi).164 Pada intinya, jika konsekuensinya

                                                                  161 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap

Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.

162 Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of

Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252. 163 Ibid., hal 11 (Seperti dikutip dalam Anthony Duff dan David Garland, A Reader on

Punishment, terjemahan WD Halls, (New York: The Free Press, 1984), hal 52) 164 Ibid., hal 1215-1252.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 82: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

69

Universitas Indonesia 

baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka

tindakan tersebut salah.

Hal yang menjadi pemikiran dari aliran konsekuensialis ini juga bahwa, untuk

mencari pembenaran dari penjatuhan pidana maka harus dibutkikan bahwa a)

pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk;

dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya.

Aliran konsekuensialis yang dianut oleh kaum Utilitarian ini mengamini bahwa,

pencegahan atau preventif merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi

bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial)

yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikarenakan

kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana.165 Hal ini patut dilakukan agar

tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar di masa depan. Aliran ini

berkarakter instrumentalis dan berorientasi ke depan (forward-looking), dan

menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat

mengemuka di kalangan penganut utilitarian klasik yang menggarisbawahi the

greatest happiness for the greatest number.166 Dalam pemikiran konsekuensialis

ini, penaksiran mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku

tindak pidana adalah sesuatu yang harus dilakukan. Disamping itu, jenis hukuman

apa yang dijatuhkan tersebut pun harus disesuaikan dengan kerugian apa yang

diakibatkan oleh tindak pidana ini.

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai paham konsekuensialis ini, sangat

penting bagi kita untuk memahami konsep kerugian itu sendiri. Dalam hukum

pidana, kerugian merupakan segala kehilangan yang diakibatkan oleh suatu tindak

pidana, sehingga kehilangan itu merupakan kerugian akibat tindak pidana.

Pertanyaan akan terus berlanjut dengan siapa sajakah yang dirugikan atas tindak

pidana ini? Apakah hanya korban langsung, atau termasuk masyarakat sekitar,                                                                  

165 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap

Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.

166 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 83: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

70

Universitas Indonesia 

negara, bahkan perekonomian suatu negara pun dapat diperhitungkan menjadi

korban.167 Tindak pidana selalu menghasilkan korban dan kerugian, sedangkan

hukuman itu dijatuhkan dengan pertimbangan jumlah kerugian yang diakibatkan

oleh pelaku tindak pidana. Suatu sistem peradilan pidana harus menyesuaikan

penjatuhan hukuman berupa pengembalian sejumlah kerugian akibat tindak

pidana dengan tujuan dari negara untuk mengembalikan kerugian tersebut ke

keadaan seperti belum terjadi tindak pidana. Dalam pemikiran konsekuensialis ini,

apabila ada pertanyaan mengenai sebesar apa hukuman yang pantas dijatuhkan

kepada suatu pelaku tindak pidana, maka harus dijawab dengan sebesar kerugian

yang diakibatkannya. Pada intinya, suatu hukuman yang dijatuhkan itu harus

layak dan pas untuk jenis tindak pidananya.168

Kembali membicarakan mengenai tujuan pemidanaan, keadilan restoratif yang

berada didalam pemikiran konsekuensialis ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan

dengan pemikiran-pemikiran retributivisme atau rehabilitasi. Sejujurnya, apa yang

membuat konsep keadilan restoratif ini mengemuka adalah karena fokusnya

pemikiran ini pada kerugian akibat tindak pidana, yang dimana orang-orang yang

bukan penganut paham ini dapat yakin akan eksistensi konsep keadilan restoratif

ini meyakinkan. Para pemikir retributif contohnya, merupakan kaum yang paling

mementingkan kerugian yang diderita oleh para korban dari tindak pidana. Para

restitusionis mementingkan besarnya hukuman bagi para pelaku tindak pidana,

dan kaum penganut teori deterrence mementingkan besarnya baik kerugian

materil dari tindak pidana dan proses pemidanaan. Dan dengan senang hati,

pemikiran keadilan restoratif ini mempertimbangkan semua prioritas dalam

pemikiran tersebut.169 Dapat pula dikatakan bahwa pemikiran keadilan restoratif

ini merupakan metateori yang membawahi teori-teori tujuan pemidanaan. Hal ini

disampaikan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H, M. H, dan beliau menambahkan

bahwa pemikiran keadilan restoratif juga mengakomodasi tujuan-tujuan                                                                  

167 Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of

Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252. 168 Ibid. 169 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 84: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

71

Universitas Indonesia 

pemidanaan lain seperti rehabilitasi, retributif, maupun preventif. Akan tetapi,

kelebihan dari pemikiran keadilan restoratif ini adalah turut sertanya baik korban,

pelaku dan masyarakat untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi

tindak pidana.

3. 1. 2 Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia

Disamping tujuan-tujuan pemidanaan yang sepadan dengan yang dikembangkan

di negara Barat, kitab hukum kuno mengenal pula tujuan yang tidak ada dalam

pustaka Barat. Sebagai contoh adalah tentang pengembalian keseimbangan dalam

masyarakat170 atau pemulihan keadaan. Konsep keseimbangan kosmis dalam

masyarakat umumnya lebih berkaitan dengan komunitas yang lebih menekankan

communitarian values daripada nilai individu. Dalam rangka memulihkan

keseimbangan yang dirusak oleh pelaku kejahatan inilah dikenal antara lain ganti

rugi, upacara adat, dan pembayaran uang adat.171 Berbekal hukum adat Indonesia

yang sebenarnya telah mengenal konsep keadilan restoratif dalam pengenaan

sanksi adat, konsep keadilan restoratif pun seharusnya sudah harus diintegrasikan

dalam sistem peradilan di Indonesia.

Di Indonesia, walaupun hukum adat bukan merupakan salah satu sistem hukum

positif, tetapi hukum adat merupakan hukum yang sangat berpengaruh pada

hukum positif di Indonesia karena rakyat Indonesia pun masih konsisten

menganut kebiasan-kebiasaan adatnya masing-masing. Bahkan, pakar hukum

adat, Prof. Supomo, telah menuliskan tujuan hukum pidana Indonesia sebagai

berikut:

”Agar semua kepentingan negara, masyarakat dan individu warga negara

dan atau penduduk Indonesia diayomi dalam keseimbangan yang serasi                                                                  

170 Ibid., hal 15. (Dalam R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya

Paramita, hal. 109-115; Andi ZA Farid, Ibid.; John Ball (1982). 171 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap

Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas Indonesia, (Depok: 2003), hal 16. (Seperti dikutip dalam R. Soepomo, Ibid. Hal 114-115. Dalam piagam adat Lampung Siwo Mego, tindak pidana tertentu harus diselesaikan dengan upacara pembersihan pepadun, atau yang bersangkutan dikucilkan masyarakat.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 85: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

72

Universitas Indonesia 

berdasarkan Pancasila, dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia adalah pengayoman semua kepentingan secara berimbang”172

Melihat definisi diatas, tujuan dari hukum pidana Indonesia sebenarnya telah

mengarah pada pengayoman kepentingan secara berimbang. Keseimbangan

tersebut dapat dicapai dengan cara melibarkan para pihak dalam proses

pemecahan masalah atau perkara pidana tadi. Dari pengalaman penyelesaian

perkara pidana secara adat, sebenarnya kita dapat melihat peran para pihak terkait

dalam menyelesaikan perkara atau pelanggaran yang ada dalam masyarakat. 173

Melihat pada hukum adat yang pernah digunakan dalam menyelesaikan berbagai

perkara (pidana) di Indonesia, penyelesaian perkara dengan pendekatan antara

pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat terbukti memberikan rasa

keadilan di masyarakat.174 Konsep semacam ini merupakan konsep yang sangat

tepat dalam pemulihan suatu kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang, karena dengan pendekatan antara korban dan pelaku maka disamping

pembalasan yang diberkan kepada pelaku, korban pun dapat mengakses keadilan

dengan mendapatkan kerugian yang dideritanya dengan, disamping sistem

peradilan pidana juga duduk bersama membahas bagaimana cara dan berapa

kerugian yang harus dikembalikan.

Apabila membahas keadilan restoratif, baik dalam masyarakat tradisional di

Indonesia maupun dalam masyarakat tradisional di Asia, Afrika, Amerika dan

Australia, milik individu hampir tak dikenal. Oleh karena itu, penyelenggaraan

peradilan pun adalah milik bersama. Kalau seorang anggota komunitas

menyerahkan perkaranya kepada Kepala Adat (suku), bukan sekadar untuk

kepentingan yang bersangkutan. Kepentingan komunitas adat secara keseluruhan

benar-benar dipertaruhkan. Kalau komunitas adat menginginkan kehidupan yang

selaras, keseimbangan hubungan antar manusia dengan kekuatan alam dan harta

                                                                  172 Ibid., (Dalam Supomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, hal. 92) 173 Ibid. 174 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 86: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

73

Universitas Indonesia 

benda harus dipertahankan. Dalam komunitas demikian, tindak pidana bukan

pelanggaran terhadap individu, melainkan pelanggaran terhadap keseimbangan

tadi. Karena itu setiap terjadi gangguan keseimbangan harus dipulihkan dengan

membayar sejumlah uang atau sebagian harta kepada pihak yang dirugikan. Akan

tetapi, karena kehidupan masyarakat tradisional masih sederhana, maka

pemulihan keseimbangan itu tidaklah terlalu mahal dan bahkan dapat diselesaikan

dengan segera. Mengenai hal itu, budaya malu di wilayah nusantara sangat kental,

sehingga melalui musyawarah perdamaian atau penghukuman, pelaku delik adat

memberikan ”penutup malu” dengan cara meminta maaf.175 Kalau tidak, ia harus

dipermalukan agar perkara menjadi selesai. Diungkapkan Andi Zainal Abidin, di

Sulawesi Selatan, misalnya, dikenal prosesi re ule bawi. Caranya, seperti seekor

babi, kedua tangan dan kakinya diikat pada sebatang bambu, pelaku lalu digotong

keliling kampung. Perlakuan demikian adalah memberi malu, karena sepanjang

perjalanan ia ditonton orang sekomunitasnya. 176

Disamping pembayaran ganti rugi dan hukuman dipermalukan, dikenal juga

pembuangan ke hutan dan hukuman nyawa di bayar nyawa, sebagai sanksi yang

lebih berat. Menurut Peter Burns, dalam praktik tradisional berlandasarkan

hukum adat di Indonesia dikenal adanya tradisi rekonsiliasi pasca terjadinya

pembunuhan.177 Adapun menyeimbangkan memulihkan keseimbangan yang

terganggum tidak lain merupakan upaya yang bersifat pemulihan (restorative).

Dari sini dapat ditarik juga asal usul istilah yang kemudian berkembang menjadi

keadilan restoratif.178

                                                                  175 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009),hal. 40. Dalam RM Surachman, Mozaik Hukum I, 30 Bahasan Terpilih (Jakarta: CV Sumber Ilmu Jaya, 1996), hal 228-229 yang merujuk John Ball, Ter Haar, M.B Hooker, R. Soepomo, dan Muhammad Said Dirdjokusumo. Perihal jenis sanksi delik adat, lihat Pandrecten van het Adatrecht, X)

176 Ibid., (seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta:

Ghalia, 1984), hal. 43). 177 Ibid., (Dalam Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, (Jakarta:

PT Pradnya Paramita, 1999), hal 327-328) 178 Ibid.,

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 87: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

74

Universitas Indonesia 

3. 1. 3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional

Pada zaman dahulu, hukuman kepada siapapun yang melakukan kejahatan

biasanya lebih berat dari apa yang penjahat tersebut lakukan, contohnya

pemotongan lidah dan dimasukkan kedalam air mendidih. Sementara itu, setelah

zaman peradaban hal tersebut perlahan mulai dihilangkan dengan pertimbangan

hak asasi manusia. Akan tetapi pada zaman dimana manusia telah beradab ini,

tidak dapat dipungkiri bahwa penghukuman yang begitu kejam dan tidak

memperhitungkan hak asasi manusia masih saja dipraktikkan. Penghukuman

seperti seakan menjadi dilema, karena di satu sisi penghukuman tersebut legal,

tetapi di sisi lain sifat hukuman tersebut merupakan penyiksaan yang melanggar

hak asasi manusia. Pertanyaan yang muncul saat ini adalah hukuman apa yang

pantas dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana dan dengan hukuman tersebut

si pelaku menjadi jera dan keadaan menjadi kondusif kembali seperti sebelum

terjadi tindak pidana.

Keadilan restoratif oleh beberapa negara maju bahkan telah diintegrasikan dalam

sistem peradilan pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan

penyebaran keadilan restoratif mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-

Bangsa. Dalam Kongres Lima Tahunannya yang ke-5 (Jenewa, 1975), PBB mulai

menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif

bagi peradilan pidana retributif.179

Satu dekade berikutnya, PBB melangkah lebih jauh lagi dan secara kongkrit

melindungi dan menegakkan hak-hak para korban melalui beberapa melalui

beberapa instrumen internasional dan ketentuan implementasinya (misalnya

                                                                  179 Ibid., hal 11. Keadilan restoratif di New Zealand misalnya, yang semula dipraktikkan

dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam pengadilan orang dewasa. Maka Selandia Baru pun menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam pengadilan umum (2002) bahkan mencakup kejaharan yang berat. Begitu pula di Belgia, setelah dilembagakan ke dalam KUHAP (2005), keadilan restoratif terwujud dalam “mediation penal”. Yang berkepentingan boleh memohon pengadilan anak-anak maupun pengadilan umum untuk suatu mediasi perkara pidana dari yang teringan hingga yang berat. Adapun di Spanyol korban kini memainkan peran yang penting dan lebih besar dan lebih besar dalam sistem peradilan pidana yang berbau retoratif. Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, lingkupnya kemudian diperluas.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 88: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

75

Universitas Indonesia 

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of

Power (General Assembly Resolution 30/40) dan Implementation of Declaration

of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (ECOSOC

Resolution 1987/57). Puncaknya terjadi dalam Kongres PBB Lima Tahunan ke-11

(Bangkok, 2005) dimana secara eksplisit keadilan restoratif untuk pertama kalinya

disebut dalam salah satu topiknya :”Meningkatkan Reformasi Peradilan Pidana,

termasuk Keadilan Restoratif”. Ini menjadi pertanda bahwa PBB mengakui

kedudukan kedailan restoratif bukan lagi berada di pinggiran sistem (in the

margin of the system), melainkan sudah seimbang dan peranannya tidak lagi

sekadar berhadapan (vis a vis) tetapi sudah komplementer dan bergandengan

tangan (in juxtaposition) dengan proses pidana konvensional. Situasi demikian

lebih terkondisi lagi di tahun 2007 dengan diterbitkannya Handbook on

Restorative Justice Programmes, sebagai Buku Pegangan ini menjadi jaminan

bahwa perkembangan keadilan restoratif selama tiga dekade terakhir tidak akan

surut atau menjadi hilang ditelan zaman. Buku pegangan tersebut disusun

terutama untuk negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, yang

merupakan negara-negara berkembang, dimana konsep kedilan restoratif masih

relatif muda. Di Thailand misalnya yang pernah menjadi tuan rumah kongres PBB

Lima Tahunan ke-11, konsep restorative justice baru saja diadaptasi dengan

sebutan justice for social harmony.180

3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Konsep keadilan restoratif sebenarnya tidak hanya digunakan dalam sistem

peradilan pidana, tetapi juga digunakan dalam penyelesaian masalah non-hukum.

Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam

kelompok yang sempit dan luas. Definisi-definisi yang sempit mengutamakan

makna pertemuan antar pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode

sesudahnya. Di sisi lain, difinis-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai

keadilan restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan

                                                                  180 Ibid, hal 13

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 89: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

76

Universitas Indonesia 

keduanya, dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Kanada sebagai

berikut:

”Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through inclusive and cooperative process.” (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif).181

Keadilan Restoratif merupakan suatu konsep pembaharuan dalam hukum yang

dapat dikatakan mendobrak pemikiran hukum pemidanaan yang selalu

mendahulukan pembalasan untuk memberikan penderitaan kepada pelaku tindak

pidana. Keadilan restorasi sebagai tujuan pemidanaan merupakan konsep yang

mengambil banyak perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa perumus undang-

undang melihat keadilan restoratif sebagai salah satu jalan yang menjanjikan

untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam sistem peradilan pidana yang ada

dalam suatu negara. 182 Keadilan tidak harus dilihat ”hanya sebatas pembalasan”

(”merely as retribution”) dan kecenderungan untuk menyamakan keadilan dengan

retribusi harus ditantang, dan konsep keadilan restoratif harus dipertimbangkan

sebagai salah satu alternatif. Unsur penting dalam keadilan restoratif adalah bukan

hanya menghukum pelaku tindak pidana tetapi juga mengusahakan untuk

memulihkan kerugian dan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana dengan

penyembuhan, harmonis, dan rekonsiliasi.183

Mirian Liebmann184 dalam bukunya Restorative Justice: How It Works

mendefinisikan keadilan restoratif sebagai berikut:185

                                                                  181 Ibid., hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice,

Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3.

182 Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate

Publishing Limited, 2007), hal 10. 183 Ribert I Rotberg dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth

Comissions, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000), hal 69.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 90: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

77

Universitas Indonesia 

“Restorative justice has become the term generally used for an approach to criminal justice (and other justice systems such as a school disciplinary system) that emphasise restoring the victim and the community rather than punishing the offender” (Keadilan restoratif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan hukum pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum sang pelaku tindak pidana.)

Dalam bukunya, Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan

pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu :

a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan

seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana secara

umum merupakan rangakaian tindakan seperti mengidentifikasi pelaku,

menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum

mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang

yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana, dan apa yang

mereka inginkan setelah terjadinya tindak pidana tersebut, dan hampir

semua dari mereka menginginkan apa yang telah diambil oleh para pelaku

tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa

hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta

memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan

para korban dari penegakan hukum adalah para korban mendapatkan

informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapatkan

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan para korban, dan mendapatkan

barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku.

b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang mereka telah

                                                                                                                                                                                184 Miriam Liebmann telah bekerja dalam bidang pendidikan, art therapy, bidang bantuan

dan pemulihan korban, dan menjadi ketua dan penasehat proyek dari Mediation UK selama tujuh tahun. Ia telah menulis dan menjadi editor dari sembilan buku dalam bidang art therapy, mediasi dan penyelesaian sengketa. Belakangan ini ia membagi waktunya sebagai pekerja tidak tetap dalam hal kegiatan mencapai keadilan restorative,, pelatihan mediasi dan konsultasi, art therapy dan menulis

185 Miriam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, (London: Jessica Kingsley

Pubishers, 2007), hal 27.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 91: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

78

Universitas Indonesia 

perbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggung

jawab atas perbuatan mereka. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa

mereka telah selesai dengan hukuman mereka setelah mereka menjalani

hukumannya, padahal dalam kenyataannya mereka telah mengakibatkan

kerugian materil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang

dilakukannya. Hal yang patut ditanamkan dalam konsep keadilan restoratif

adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggungjawab atas

kerugian akibat perbuatan saya”, itulah pandangan awal dari konsep

keadilan restoratif.

c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu

kesepahaman. Sejatinya, korban dari suatu tindak pidana selalu dikelilingi

oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan kejahatan ini? Apa

tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? Apakah pelaku

akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitupun dengan pelaku tindak

pidananya pun dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu

diperlukan suatu dialog khusus diluar pengadilan yang dapat menjadi

sarana penyelesaian pertanyaan-pertanyaan ini. Terkait dalam hal

pengembalian aset tindak pidana korupsi, jumlah dan penyembunyian aset

yang dikorupsi dapat dibahas dalam dialog ini. Cara pengembalian aset ini

pun dapat dilakukan dalam dialog ini

d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat

dilakukan untuk bertanggungjawab atas kejahatan adalah dengan

memulihkan kerugian yang diderita si korban.

e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak

melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada

dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah

salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan

mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.

Pengembalian aset tindak pidana kepada negara oleh koruptor akan

membuat koruptor tersebut kehilangan banyak harta, dipenjara dan

menderita. Keadilan restoratif perlu dukungan dari berbagai aspek untuk

mewujudkan cita-citanya, salah satunya dengan dukungan dari sistem

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 92: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

79

Universitas Indonesia 

peradilan pidana dan penegakan hukum dari aparat penegak hukum.

Dengan demikian, rasa jera akan tumbuh dari pelaku tindak pidana.

Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrianus Meliala adalah

sebagai berikut:

a) Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki

kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya.

b) Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara

konstruktif

c) Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian

masalah

d) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah

e) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang

dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal

Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998 memberikan

penjelasan kembali terhadap definisi keadilan restoratif yang dikemukakan oleh

Tony F. Marshal diatas. Susan Sharpe mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari

keadilan restoratif, yaitu:

1. Restorative justice invites full participation and consensus (keadilan

restoratif mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban

dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga

membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan

mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara

tidak langsung ikut serta pada dasarnya tidak aman atas kejahatan

tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib

hanya sebatas sukarela, walaupun dimikian tentunya pelaku harus

diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.

2. Restorative Justice seeks to heat what is broken (keadilan restoratif

berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya

tindakan kejahatan). Sebuh penyataan penting tentang restorative justice

adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 93: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

80

Universitas Indonesia 

menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan

informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya,

mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang

dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal

dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka

butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk

dibebaskan

3. Restorative justice seeks full and direct accountability (keadilan restoratif

memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh).

Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena

pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau

mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-

orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu

merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan

perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia

juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki

kerusakan dan kerugian tadi.

4. Restorative justice seeks to recinite what has been devide (keadilan

restoratif mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang

telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal

telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini

merupakan salah satu bahaya yang disebabkan. Proses keadilan restoratif

berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah

terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan

penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban

dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam

masyarakat. Perspektif keadilan restoratif adalah julukan “korban” dan

“pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa

depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan

sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau

akibat yang menjadi objek penderita.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 94: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

81

Universitas Indonesia 

Keadilan restoratif juga menyita perhatian para pemuka agama, para pelopor dari

konsep ini, yang tertarik dengan konsep keadilan resotratif ini secara kemanusiaan

dan moral merupakan jalan yang terbaik untuk menghadapi kejahatan dalam

hukum pidana.186 Secara singkat, hal ini diakui oleh sejumlah pemikir konsep

keadilan restoratif bahwa keadilan restoratif merupakan alternatif yang radikal187

dalam cara tradisional untuk memahami hukum dan keadilan dalam menangani

perilaku jahat.188 Ini merupakan pola berpikir yang baru atau sudut pandang baru

dalam menyikapi hukum dan keadilan.189

Salah satu hal yang dianggap berbahaya adalah dasar pemikiran keadilan restoratif

hanyalah berdasarkan asumsi yang salah dan belum akurat kebenarannya sehingga

dapat berdampak kerusakan yang mendasar. Beberapa tahun belakangan ini,

gagasan keadilan restoratif ini banyak mempengaruhi kebijakan hukum pidana,

hukum acara dan reformasi legislatif di seluruh dunia dan konsep keadilan

restoratif ini sudah menyentuh bidang hukum non-pidana (khususnya dalam

kepentingan akademis), memancing sejumlah perhatian diantara para kriminolog

dan akademisi dari disiplin-disiplin ilmu terkait, peneliti, praktisi hukum pidana,

pembuat undang-undang, dan menyumbang banyak kepada kepustakaan.190

Dengan banyaknya popularitas dan banyak dipakainya konsep keadilan restoratif,

tidak sedikit pula kritik yang berdatangan. Sejumlah kritik yang sedikit skeptik

telah dilemparkan kepada para pakar hukum yang mengadvokasi keadilan

restoratif mengenai beberapa kemungkinan yang membahayakan penegakan                                                                  

186 Ibid, (Dalam Zehr 1990; Consedine 1999; Hadley 2001, 2006) 187 Makna kata Radikal disini adalah secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip):

perubahan yg --; (2) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dl berpikir atau bertindak. http://kamusbahasaindonesia.org/radikal

 188 Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate

Publishing Limited, 2007) , hal 11. Yang telah dialihbahasakan secara informal oleh penulis dari kalimat. “In short, it is claimed by a number of restorative justice campaigners that restorative justice is a radical alternative to the traditional way of understanding crime and justice and dealing with criminal behaviour”

189 Ibid. 190 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 95: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

82

Universitas Indonesia 

keadilan restoratif yang ideal.191 Banyak juga kritik yang menguji dan

mempertanyakan apakah perbedaan yang paling dasar dan tajam antara gagasan

retributif dan keadilan restoratif. Memang secara ekstrem dikatakan bahwa

walaupun keadilan restoratif yang ideal itu pada hakikatnya tidak ada kecacatan,

tetapi konsep ini sangat mungkin megantarkan pada kesesatan dan menghasilkan

sesuatu yang tidak hanya berbeda dengan apa yang menjadi tujuan melainkan

bahkan dapat mengantarkan kita pada keadaan yang lebih buruk daripada

penggantian kerugian192. Dikatakan pula keadilan restoratif tidak cocok dengan

peradilan pidana tradisional melainkan baru dapat berfungsi optimal bila

dilakukan dalam peradilan pidana modern.

Akan tetapi, perlu diperhatikan pula apa yang dikatakan oleh Sullivan dan Tifft

(2006) bahwa, “restorative justice must be put down, contained, co-opted, or

modified in some other way to meet the state’s ideological and administrative

requirements”.193 Terlepas dari berbagai kritik tajam mengenai konsep keadilan

restoratif, penerapak keadilan restoratif sebagai tujuan dari pemidanaan harus

disesuaikan sedemikian rupa agar dapat cocok dengan ideologi dari negara dan

persyaratan admnisitrasi dari negara yang memberlakukan konsep ini dengan

tanpa menghilangkan prinsip dasar dari konsep keadilan restoratif.194 Sanggahan

inipun juga disampaikan oleh John Braithwaite yaitu ia mengatakan bahwa:

“Dalam penjatuhan hukuman, beberapa pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah kapan kita hukum harus dijatuhkan? Apa hukuman yang paling tepat untuk dijatuhkan? Pertanyaan yang terakhir inilah yang selalu menjadi pembahasan hangat antar para akademisi maupun aparat penegak hukum. John Braithwaite menyarankan bahwa teori keadilan restoratif ini jangan selalu ditafsirkan sempit, karena teori ini sebenarnya telah tumbuh dalam tradisi-tradisi masyarakat, hanya perlu digali lebih dalam lagi.”195

                                                                  191 Ibid. 192 Ibid. 193 Ibid. 194 Ibid. 195 Andrew Von Hirsch, et. al., ed., Restorative Justice: Competing or Reconcilable

Paradigms?, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003), hal. 7

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 96: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

83

Universitas Indonesia 

Untuk mendukung sanggahan Braithwaite diatas, Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) berpendapat bahwa program keadilan restoratif adalah program apapun

yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang

diinginkan. Program keadilan restoratif juga bertujuan untuk memulihkan

kedamaian dan hubungan yang ruak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan

menguatkan nilai-nilai yang hidup didalam komunitas. Para korban diperhatikan

kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggungjawab. Maka harus

dipahami makna proses restoratif (restorative process) dan makna hasil restoratif

(restorative outcome).196 Proses restoratif adlah proses apapun dimana korban

kejahatan dan pelaku kejahatan, dan bilamana anggota komunitas-komunitasnya

yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama, guna

memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan

biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator.197 Sedangkan, hasil restoratif

adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk misalnya,

pemilihan program seperti program pemulihan program pemberian ganti rugi, dan

program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat, program-programnya dapat

digabungkan dengan tindakan-tindakan lain.198

Dalam berbagai literatur, istilah ”praktek keadilan restoratif” (restorative justice

practice) dan ”program keadilan restoratif” (restorative justice programmes)

sering dipertukarkan. Akan tetapi, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap

konsisten menggunakan istilah ”program keadilan restoratif ” dan PBB hanya

mengarahkan program-programnya hanya pada penyelesaian konflik

permasalahan pidana. Oleh sebab itu penyelesaian konflik diluar pidana, misalnya

konflik-konflik di sekolah dan di lingkungan kerja tidak dibicarakan dalam buku

pegangan tentang keadilan restoratif tersebut.199 Dalam Handbook on Restorative

                                                                  196 UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations,

2006) 197 Ibid., hal. 7. 198 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 97: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

84

Universitas Indonesia 

Justice yang diterbitkan oleh UNODC tersebut dikatakan bahwa praktek keadilan

restoratif tidak bersifat kaku, melainkan dapat diadaptasikan dengan berbagai adat

istiadat maupun masyarakat dimana pemikiran keadilan restoratif diaplikasikan.

Dan sekali lagi, demi tujuan pemulihan keadaan akibat tindak pidana dan

memulihkan hubungan antar korban-pelaku tindak pidana tidak menyisakan

dendam, keadilan restoratif selalu dapat ditegakkan.

                                                                                                                                                                                199 Ibid., hal. 5.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 98: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

85 Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS

4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak

Pidana Korupsi dengan Keadilan Restoratif

4. 1. 1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas

Kerugian Negara

Korupsi mengakibatkan kemiskinan yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai

bentuk pelanggaran yang terburuk, karena aset negara yang seharusnya digunakan

rakyat dikorupsi untuk kepentingan pribadi para pelaku tindak pidana korupsi.

Bertitik tolak dari hal tersebut negara wajib dan bertanggungjawab untuk

melindungi masyarakat dari tindak pidana korupsi dengan segala akibat yang

ditimbulkannya. Perlindungan tersebut tidak hanya meliputi pengemalian aset

hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat melalui

pembangunan berkelanjutan.200

Sesuai dengan ajaran kriminologi dalam teori hedonis201 yang menganggap bahwa

seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang

                                                                  200 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 51. 201 Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, aesuai dengan ajaran kriminologi dalam

teori hedonis yang menganggap bahwa seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 99: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

86

Universitas Indonesia 

akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap

orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula

dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana

korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi. Analisis

ekonomi dalam hukum pidana, menurut J.C Oudijk, mendasarkan diri pada

asumsi bahwa pelaku atau calon pelaku tindak pidana selalu berupaya

memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.202 Hal ini lah yang membuat

penderitaan rakyat semakin berat karena rakyatlah yang harus membayar apa yang

dinikmati para pelaku tindak pidana korupsi itu. Pelaku tindak pidana korupsi

mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk

memakmurkan kehidupan rakyat203. Tindakan pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi juga merupakan pengobatan atas pencorengan terhadap keadilan

sosial204. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi sangat

bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Pelaku

tindak pidana korupsi harus bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian

negara yang diakibatkan oleh korupsi yang mereka lakukan, juga sebagaimana

yang telah dijelaskan dalam Bab 2 bahwa tindakan pengembalian aset pun

memiliki unsur prevention of crime.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya bahwa tindak

pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dampaknya bersifat gradual, maka

                                                                  202 Ibid, hal. 78 . 203 Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan

Korupsi), hal 5

204 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 63. Definisi klasik keadilan  yang  dikemukakan  Louis  Kelso  dan Mortimer Adler  bahwa  keadilan,  dalam  formulasi yang  paling  umum, menekankan  kewajiban‐kewajibn moral  atau  perintah  bagi manusia  yang ebrgabung dalam  tujuan‐tujuan hidup  yang umum,  yaitu bertindak demi  kesejahteraan umum bagi semua, tidak hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia, tidak mencederai satu sama lain, memberikan apa  yang merupakan hak  tiap manusia, dan bertindak adil  terhadap  sesame dalam pertukaran barang dan distribusi kekayaan. Dengan demikian, tindakan pengembalian aset yang  bertujuan  untuk  mengembalikan  aset  yang  dikorupsi  kepada  negara  merupakan  suatu perbuatan  yang  baik  rehabilitatif  bagi  luka masyarakat,  retributif  bagi  si  pelaku  tindak  pidana korupsi, juga restoratif bagi kerugian materil bagi keuangan negara. 

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 100: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

87

Universitas Indonesia 

penjatuhan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana ini sebaiknya

tidak hanya penghukuman yang bersifat membuat jera pelaku saja, tetapi juga

harus disertai hukuman lain untuk mengobati luka dan kerugian dari para

korbannya. Dalam terjadinya tindak pidana korupsi, terkadang para penegak

hukum dan pemerintah perumus peraturan perundang-undangan lupa akan

keadaan korban yang harus sangat diperhatikan. Pemulihan kerugian yang dialami

korban tindak pidana tidak kalah penting daripada penjatuhan hukuman penjara

bagi para pelakunya. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,

walaupun memang rakyat Indonesia yang menjadi korban dalam tindak pidana ini

tidak seluruhnya dan secara langsung menerima restitusi dari tindak pidana ini,

tetapi dengan adanya tindakan hukum secara konkrit berupa pengembalian aset

dan tentunya penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara dapat menjadi obat

bagi luka rakyat Indonesia akibat tindak pidana korupsi ini.

Metode pencegahan, penindakan dan penanggulangan atas tindak pidana korupsi

harus lebih progresif dan efektif. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merupakan penanggulan tindak

pidana melainkan juga merupakan suatu pencegahan terjadinya tindak pidana

karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, yaitu pengembalian aset

itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan

peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong orang

melakukan kejahatan. Idealnya, kejahatan berkurang karena kesadaran

masyarakatnya sendiri, inilah yang disebut dengan Marginal Deterrence.

Marginal Deterrence didefinisikan oleh Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. sebagai

suatu tahap dimana upaya-upaya pencegahan kejahatan sudah berada pada tahap

minim karena menurunnya tingkat kejahatan sebagai hasil pencegahannya yang

semakin efektif dan kesadaran masyarakat sendiri. Bedanya dengan prevention of

crime (pencegahan kejahatan), sebagai langkah konvensional, ialah bahwa

pencegahan kejahatan yang disebut terakhir ini menitik beratkan pendekatan

pemberatan hukuman. Antara kedua bentuk upaya tersebut, jelas marginal

deterrance adalah bentuk yang ideal, karena kejahatan berkurang bukan karena

diperberatnya hukuman dan langkah-langkah represif lainnya, tetapi yang

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 101: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

88

Universitas Indonesia 

dilakukan ialah usaha-usaha pendekatan rasional, persuasif dan proses penyadaran

lainnya.205

Kondisi ini bisa terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan

masyarakat memadai. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan

salah satu sistem penanggulangan atas kerugian dari tindak pidana korupsi.

Keadilan restoratif yang merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang

berorientasi pada pengembalian kerugian dan keadaan seperti sedia kala sebelum

terjadinya tindak pidana, merupakan pemikiran yang harus ditanamkan pada

penegak hukum khususnya tindak pidana korupsi.

Dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang maka akan

mengakibatkan kerugian. Walaupun telah dijatuhkan hukuman pidana, yang

biasanya dijatuhkan hukuman penjara, terhadap pelaku pidana seringkali korban

tetap tidak puas karena kerugian yang diderita korban tidak tergantikan.

Pemecahan masalah menggunakan penjatuhan pidana pokok biasa dirasakan

kurang memberikan keadilan. Keadilan yang dituju atau dicapai dengan cara

tersebut adalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang

kadang-kadang tidak sama dengan keadilan yang dirasakan masyarakat.206

Keadaan ini tidaklah mengherankan kalau kita melihat tujuan pemidanaan yang

selama ini dikembangkan dalam hukum positif kita, yang fokus perhatiannya

lebih banyak pada upaya bagimana agar pelaku ini jera, bagaimana agar pelaku ini

menjadi orang yang berguna di masyarakat dan sebagainya. Titik perhatian utama

dalam proses pemecahan kasus pidana ini, penguasa atau negara lebih banyak

memberikan perhatian kepada pelaku atau pelanggar, agar pelaku berubah

menjadi baik dan berguna dimasyarakat, sementara di pihak lain, korban dan

masyarakat yang merasa terganggu keharmonisannya akibat ulah pelanggar atau

                                                                  205 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2, (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2002), hal 18 206 Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,

September 2004, hal 19 s.d 28.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 102: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

89

Universitas Indonesia 

pelaku tadi kurang mendapatkan perhatian bahkan tidak dilibatkan dalam

memecahkan masalah yang terjadi dan menimpa dirinya tersebut.

Berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana

konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari

pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Terlepas dari kenyataan terebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara

teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak

mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Hal ini juga

didukung dengan pernyataan dari Margarita Zemova dalam bukunya Restorative

Justice: Ideals and Realties yang menyatakan bahwa kunci dari tercapainya

keadilan restoratif adalah suatu tindak pidana tidak hanya dikendalikan oleh

aparat penegak hukum dan penasehat hukum saja, tetapi juga melibatkan para

pelaku tindak pidana dan juga korbannya.207

Pengembalian kerugian atau tindakan untuk mengembalikan keadaan semula

proses pemecahannya adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait

dengan tindak pidana tersebut, termasuk bagaimana memperbaiki kerusakan

tersebut dan siapa yang bertanggungjawab untuk itu. Proses seperti ini akan jauh

lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan

dengan tindak pidana tadi secara bersama-sama juga mencari alternatif

pemecahannya.208 Proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak

pidana tertentu bersama-sama memecahakan masalah dan bagaimana menangani

akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan inilah yang

disebut dengan istilah Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (Tony Marshall

yang kemudian diadopsi oleh Kelompok Kerja Peradilan Anak, PBB). 209

                                                                  207 Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate

Publishing Limited, 2007), hal 10. 208 Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,

September 2004, hal 19 s.d 28. 209 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal. 3. (Dalam Robert I Rutberg dan Dennis

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 103: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

90

Universitas Indonesia 

Welgrave mengemukakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan

yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang

diakibatkan dari tindak pidana.210 Selain itu, konsep keadilan restoratif ini juga

sangat kental dengan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan dari

pemidanaan, yaitu pemulihan keadaan dengan korban, pelaku tindak pidana dan

masyarakat yang bersama-sama sesuai peran masing-masing untuk memulihkan

keadaan. Bila dikaitkan dengan pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi,

dalam rangkaian tindakan penelusuran, pembekuan, penyitaan dan akhirnya tahap

pengembalian aset negara yang dikorupsi adalah sejalan dengan konsep keadilan

restoratif yang megutamakan perbaikan dan pengembalian kerugian yang

diakibatkan oleh tindak pidana.

Telah dikatakan dalam bab 3, bahwa keadilan restoratif tidak dapat dikategorikan

sebagai teori, melainkan metateori yaitu dalam pemikiran keadilan restoratif

mengandung pula unsur-unsur dalam teori-teori pemidanaan yaitu teori retributif,

teori preventif, teori campuran, teori rehabilitatif, dan teori resosialisasi. Dalam

pelaksanaan program keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan, pada

dasarnya kita tidak bisa terlepas dengan tujuan pemidanaan lainnya seperti konsep

rehabilitasi, resosialisasi, retributif, juga konsep prevensi. Begitupun dalam

pengaplikasian keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan dalam

pengembalian aset hasil tindak pidana. Dalam pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi, perampasan aset dengan tujuan pengamanan aset agar tidak

dihilangkan jejaknya merupakan salah satu nestapa yang dijatuhkan kepada para

pelaku tindak pidana korupsi. Gaya hidup modern dan konsumtifitas dari pejabat

negra dewasa ini tidak dapat dielakkan dari godaan praktik korupsi. Bahkan

Gaspare Mutolo, seorang gembong mafia yang bekerjasama dengan komisi anti

                                                                                                                                                                                Thomson, ed., Truth v Justice, The Moralty of Truth Comission (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000).

210 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven: Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal. 249-280).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 104: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

91

Universitas Indonesia 

mafia Italia pada tahun 1992, mengungkapkan bahwa211 ”perasaan paling buruk

yang dialami para penjahat yang melakukan kejahatan dengan motif

mendapatkan keuntungan hasil kejahatan adalah jika aset-aset hasil

kejahatannya itu diambil”.

Sedikit mengkritisi Pasal 4 jo Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa pengembalian kerugian negara

atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana,

dimana pengembalian kerugian negara yang dimaksud adalah dengan pembayaran

denda yang jumlahnya limitatif ditentukan oleh undang-undang, dan maksimal

denda yang diancam adalah hanya 1 milyar rupiah. Melihat realitas di Indonesia

dewasa ini, jumlah uang yang dikorupsi sudah tidak main-main, puluhan milyar

bahkan sampai trilyun. Sebut saja kasus Bank Century yang sangat menyita

perhatian Indonesia pada tahun 2008 yang merugikan keuangan negara kurang

lebih sebesar 6,7 trilyun sangat tidak adil apabila aset yang dicuri tersebut hanya

dikembalikan 1 milyar rupiah (dengan asumsi dikenakan pidana denda maksimal).

Pengembalian aset yang dimaksud dalam undang-undang ini haruslah diperluas,

tidak hanya pidana denda tetapi semua aset yang telah dicuri harus dikembalikan,

beserta segala keuntungan yang didapat dari aset tersebut. Tanggung jawab pelaku

tindak pidana korupsi tidak hanya apa yang diatur dalam undang-undang, yaitu

dengan penjatuhan hukuman penjara atau hukuman mati dan penjatuhan denda,

melainkan juga bertanggungjawab atas segala kerugian negara yang disebabkan

olehnya dan memulihkan keadaan bangsa yang terpuruk atas tindak pidana

korupsi.

4. 1. 2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

dalam pasal 1 huruf 2 mendefinisikan korban sebaagai ”Seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan

oleh suatu tindak pidana”. Kata subjek dalam definisi yang diberikan dalam

                                                                  211 Purwaning Yanuar, Pentingnya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana, Disampaikan

dalam Lokakarya BPHN Departemen Hukum dan HAM pada 18 Agustus 2009, hal. 10.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 105: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

92

Universitas Indonesia 

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut adalah ”seseorang”

yang menunjuk seorang manusia, tetapi definisi tersebut merupakan definisi

’korban’ secara sempit. Bila kita tafsirkan secara luas, yang dapat diklasifikasikan

sebagai korban adalah tidak hanya manusia, melainkan dalam beberapa konteks,

negara pun dapat dikategorikan sebagai korban, tentunya korban tindak pidana.

Dalam tindak pidana korupsi transnasional, dimana suatu negara yang asetnya

dikorupsi dan aset tersebut dilarikan keluar negeri, maka negara yang disebut

pertama ini disebut sebagai negara korban. Dalam topik ini, Negara sebagai

representasi dari rakyatnya yang dikorbankan akibat maraknya tindak pidana

korupsi. Sebagai contoh, rakyat Indonesia yang senantiasa menjadi warga yang

taat dalam membayar pajak, tapi dengan mudahnya pajak yang mereka bayarkan

diselewengkan dan dilarikan ke luar negeri. Negara atas nama Rakyat Indonesia

sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam usaha pemulihan keadaan dengan

pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.212

Disamping itu, negara dapat merepresentasikan rakyatnya sebagai korban dari

tindak pidana dalam hal ada gap sosial antara korban dan pelaku tindak pidana

contohnya dalam tindak pidana korupsi yang merupakan white collar crime dan

korbannya merupakan rakyat Indonesia, khususnya kalangan menengah kebawah

yang membutuhkan bantuan keuangan dari pemerintah dalam untuk

menyelenggarakan kesejahteraannya.213

Apabila mendengar istilah ’korban tindak pidana’ pasti kita otomatis

membayangkan penderitaan berupa luka fisik, atau kehilangan harta benda.

Predikat korban memang sangat dekat dengan penderitaan atasnya akibat tindak

pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pada dasarnya, korban tindak pidana

adalah tidak hanya manusia tetapi Negara pun dapat menjadi korban dari tindak

pidana, yaitu salah satunya tindak pidana korupsi.214 Dengan demikian, Negara

                                                                  212 Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene]. Diterjemahkan

oleh Jane Grigson, (USA: Oxford University Press, 1964), hal 14. 213 Ibid., hal 97 s.d. 99.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 106: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

93

Universitas Indonesia 

diharapkan melakukan upaya-upaya yang akan disarankan berikut mengenai

pemulihan keadaan negara akibat tindak pidana korupsi. Atas terjadinya tindak

pidana korupsi, negara sangat menderita tidak hanya dalam hal finansial tetapi

juga dalam bidang politik, hukum dan kemanusiaan. Salah satu penyebab adanya

tindak pidana korupsi adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas

pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Sedangkan akibat dari korupsi,

keuangan negara digerogoti oleh para pelaku tindak pidana korupsi, dana yang

seharusnya digunakan unutk pembangunan nasional dan kegiatan pemakmuran

rakyat dikorupsi begitu saja oleh mereka. Penderitaan rakyat, khususnya rakyat

kecil, semakin berat. Dengan demikian, jelaslah Negara, dengan ditafsirkan secara

luas, dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi.

Dengan diaturnya ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik atau Mutual

Legal Assistance (MLA) dalam Pasal 46 Bab VI UNCAC 2003 yang mengatur

tentang kerja sama internasional, Negara diharapkan dapat secara aktif melakukan

upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang efektif dan

efisien dapat terlaksana. Bagi aset negara yang dilarikan ke luar negeri oleh para

pelaku tindak pidana korupsi, MLA dapat dijadikan salah satu jawaban atas

pertanyaan yurisdiksi aset yang akan disita melampaui yurisdiksi Indonesia.

Menurut Tim Daniel, dalam TI’s Quarterly Newsletter, jenis-jenis bantuan khusus

yang dapat diminta dari negara lain adalah215:

1. Pelacakan oleh otoritas-otoritas pidana negara tersebut

2. Memberitahukan kepada negara korban tentang informasi yang diperoleh

dari pelacakan; pemberian informasi tunduk pada syarat bahwa informasi

hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan dalam

perkara pidana dan di negara korban;                                                                                                                                                                                 

214 Ibid. Dalam bukunya, Cesare Beccaria menggunakan teori kontrak sosial yang dimana Negara sebagai representasi rakyatnya.

215 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven: Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal 236. (Seperti terdapat dalam Tim Daniel, Tracking Down Stolen Assets: the Nigerian Experience, TI’s Quarterly Newsletter, March 2003, hal. 10).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 107: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

94

Universitas Indonesia 

3. Membekukan aset-aset yang berada di negara yang dimintai bantuannya

Membina hubungan dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan

pencucian uang hasil tindak pidana korupsi guna mempermudah pelacakan aset

merupakan kontribusi negara yang terbesar. Dalam pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi, khususnya dalam hal transnasional, penegak hukum dan tim

pelacak aset tidak dapat bekerja sendiri dalam pelacakan dan pembekuan aset

hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan. Akan tetapi, peran Negara korban

sangat besar dalam hal kontribusinya meminta negara tujuan untuk menyusun

suatu bantuan timbal balik. Keterangan tersangka tindak pidana korupsi tidak

dapat begitu saja dijadikan dasar pelacakan aset, karena pada dasarnya seorang

tersangka pidana dilindungi hak-hak tersangka dan berlaku asas non-self

incrimination. Dalam hal ini, pemikiran mengenai program keadilan restoratif

sangat tepat untuk diaplikasikan, dimana dalam penegakan hukum ada pelaku

tindak pidana, korban dan masyarakat terlibat untuk memulihkan keadaan seperti

sebelum terjadi tindak pidana.

4. 1. 3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai

Tindakan Restoratif

Program keadilan restoratif merupakan jalan untuk menegakkan hukum pidana

demi menyeimbangkan kebutuhan dari masyarakat, korban dan pelaku tindak

pidana. Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitkan

oleh UNODC disebutkan beberapa kriteria atau keistimewaan program keadilan

restoratif, yaitu :

1. Dapat secara fleksibel menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara

kejahatan, pelaku dan korban, yang memungkinkan setiap kasus harus

dipertimbangkan secara individual. Dalam kaitannya dengan proses

pengembalian aset hasil tindak korupsi, penegak hukum harus dapat

membuktikan aset yang diduga hasil tindak pidana dan pula harus berhasil

menjatuhkan pidana terhadap pelaku, sedangkan korban dan dalam topik

ini Negara lah yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi berperan

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 108: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

95

Universitas Indonesia 

dalam urusan political will yang harus kencang melakukan diplomasi

kepada negara tempat aset dilarikan untuk bekerjasama melakukan

penyitaan dan pengembalian aset.

2. Menghargai harga diri dan hak dari para pihak terkait dalam tindak pidana,

membangun kesepahaman antar pihak dan menggalakan keharmonisan

sosial melalui pemulihan kerugian yang diderita korban, pelaku tindak

pidana dan masyarakat. Penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi

dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga merupakan

program pengembalian harga diri bangsa yang telah diremehkan oleh para

pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi karena tidak

terlaksananya sistem good governance dengan baik. Moralitas,

akuntabilitas dan transparansi dari pejabat negara yang melakukan tindak

pidana korupsi sudah begitu bobroknya dan mencoreng nama Indonesia.

Di sisi lain, harga diri pelaku tindak pidana korupsi pun sedikit lebih

dihargai walaupun tetap saja kebencian dari masyarakat masih saja ada,

tetapi dengan mengembalikan aset yang dikorupsinya, setidaknya ia telah

menebus kesalahannya secara materil, dan juga secara immateril, harus

menebus kesalahannya dengan penjatuhan pidana penjara sebagai pidana

pokok.

3. Alternatif yang tepat dimana dapat diintegrasikan dengan sistem peradilan

pidana tradisional dan sistem pemidanaan. Keadilan restoratif ini, selain

dapat diartikan sebagai suatu praktek tetapi bisa juga dijadikan sebagai

dasar pemikiran. Sehingga, dalam sistem peradilan pidana khususnya

dalam penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi, keadilan restoratif

harus dijadikan dasar pemikiran. Begitu fleksibelnya pemikiran ini

membuat keadilan restoratif dapat diintegarasikan dalam sistem peradilan

pidana. Adat istiadat di Indonesia pun telah mengenai konsep yang bersifat

restoratif dalam sistem ganti rugi yang diterapkan pada kehidupan

tradisional sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.

4. Pendekatan yang menggabungkan konsep pemecahan masalah dan

menunjukkan hal apa yang menjadi akar sebab dari tindak pidana. Terkait

dengan program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, lembaga

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 109: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

96

Universitas Indonesia 

pemidanaan berupa pidana pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dirasakan tidak cukup. Akar

masalah dari penegakan hukum atas tindak pidana korupsi ini bukan hanya

penjatuhan hukuman yang memberikan efek jera melainkan juga

pengembalian kerugian negara. Hal yang terakhir disebut inilah merupakan

masalah yang harus dipecahkan.

5. Suatu pendekatan yang peduli akan kerugian dan korban dari tindak pidana

itu sendiri. Sudah jelas, apabila kita kaitkan dengan masalah pengembalian

aset hasil tindak pidana korupsi, program ini mengusung tujuan keadilan

bagi korban tindak pidana korupsi dengan mengembalikan keseimbangan

yang sempat hilang.

6. Suatu pendekatan yang menyadarkan dan mendorong para pelaku tindak

pidana untuk memahami sebab dan akibat dari tindakannya serta

bertanggungjawab atas dasar kesadarannya sendiri. Dengan rangkaian

persidangan dan perampasan aset yang dilakukan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi dengan pengembalian aset, diharapkan para pelaku sadar

akan perbuatan yang mereka lakukan. Dengan perampasan ini pula mereka

harus pula merasa apa yang dirasakan penderitaan rakyat kecil yang

seharusnya mendapatkan hak untuk pembangunan dan penyejahteraan

tetapi dana yang digunakan habis dikorupsi oleh pelaku. Tujuan moral

yang terdapat dalam konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

sangat mulia, yaitu menyadarkan para pelaku akan kemiskinan yang akan

mereka hadapi sebagai konsekuensi perbuatan yang mereka lakukan. Lagi,

prinsip ”crime doesn’t pay” berlaku, yaitu pelaku tindak pidana tidak akan

menerima keuntungan dari perbuatan mereka.

7. Suatu pendekatan yang tidak kaku dan dapat disesuaikan untuk

diadaptasikan dalam berbagai keadaan, tradisi hukum, prinsip dan dasar

filosofi dari sistem hukum nasional masing-masing Negara. Terkait dengan

pengembalian aset, telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa dalam

hal aset yang akan disita berada di luar yurisdiksi Indonesia, maka

pemerintah Indonesia dapat mengajukan MLA kepada negara tujuan.

Disamping itu, UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia pun

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 110: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

97

Universitas Indonesia 

telah mengatur bahwa ketentuan dalam UNCAC 2003 berupa

pengembalian aset yang bersifat restoratif harus mengadopsi ketentuan

hukum pidana dalam UNCAC 2003 ke dalam hukum nasional.

Pemulihan keadaan dari korban, pelaku tindak pidana dan keadaan sekitar yang

kehilangan keseimbangan akibat terjadinya tindak pidana pun merupakan satu

unsur penting dari pendekatan keadilan restoratif. Dalam kaitannya dengan upaya

perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, pemulihan keadaan dari korban

tindak pidana, yang direpresentasikan oleh negara, mendapatkan pemulihan

berupa aset hasil tindak pidana korupsi yang dirampas dari pelaku tindak pidana

dan selanjutnya akan dikembalikan kepada negara. Mengenai pemulihan keadaan

dari pelaku, dengan mengembalikan aset negara yang diambilnya secara melawan

hukum membuat pelaku tindak pidana, berdasarkan penjelasan dari Pasal 4

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun bukan merupakan dasar

penghapus pemidanaan tetapi dapat dijadikan dasar peringan. Oleh karena itu,

dengan mengembalikan aset yang telah ddikorupsinya, para pelaku akan

dipertimbangkan peringanan pidana atasnya.

Melihat konsep pemikiran dari keadilan restoratif, dapat dikatakan bahwa tujuan

pemidanaan ini merupakan konsep yang telah dewasa dalam menghadapi

permasalah di masyarakat khususnya masalah pidana. Pembalasan sekonyong-

konyong bukan satu-satunya tujuan dari suatu pemidanaan. Keadilan restoratif

menawarkan pemikiran yang matang mengenai usaha apa saja yang harus

ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan dari suatu masyarakat atau negara

akibat terjadinya tindak pidana. Dan terkait dengan pendekatan keadilan restoratif

dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tujuan pemulihan keadaan

yang merupakan tujuan dari keadilan restoratif adalah sejalan dengan program

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 111: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

98

Universitas Indonesia 

4. 2. Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat Penegak

Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dapat

Berjalan Efektif

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang menyita banyak perhatian

masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Pertanyaan yang sering

muncul adalah sedemikian rupa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi

diupayakan tetapi mengapa korupsi masih merajalela dan koruptor masih bebas

berkeliaran menikmati hasil korupsinya? Cara apa yang tepat untuk

mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan membasmi korupsi?

4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia

Korupsi sebagai tindak pidana yang bersifat gradual sangat membutuhkan

perhatian yang lebih dan keseriusan yang besar dalam penindakannya karena bila

tidak, stabilitas ekonomi negara pun terancam. Sebagai tindakan awal dari

keseriusan ini adalah dengan kesigapan penegak hukum dalam menanggapi

laporan atau indikasi adanya tindak pidana korupsi. Hal itu dapat dilakukan

dengan pembekuan aset yang dicurigai sebagai hasil tindak pidana sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 31 UNCAC 2003. Kepolisian Republik Indonesia dan

KPK lembaga yang berwenang menerima laporan dari masyarakat atas indikasi

terjadinya tindak pidana korupsi, diharapkan tidak menunda untuk melakukan

penyelidikan dan pelacakan aset terkait laporan tersebut.

Seiring dengan berkembangnya globalisasi, tindak pidana korupsi pun

berkembang semakin rumit karena batas antar negara semakin menipis dan

pencucian uang pun semakin mudah dilakukan. Untuk dapat mengakses aset hasil

tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri menjadi perkara yang tidak

mudah. Seringkali aset-aset tersebut demikian besar jumlahnya, sehingga

pengembalian itu memerlukan prosedur yang tidak mudah. Untuk kepentingan

investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

UNCAC 2003 mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan yang

diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dengan

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 112: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

99

Universitas Indonesia 

tujuan penyitaan.216 Di sisi lain, negara-negara dimana aset hasil tindak pidana

korupsi disimpan harus dengan cepat merespon permintaan bantuan hukum.

Sekali lagi ditekankan bahwa dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi, para pihak terkait harus benar terlibat dan saling bekerjasama memerangi

tindak pidana korupsi dan membantu negara korban dalam memulihkan

kerugiannya akibat tindak pidana korupsi. Mengenai hal ini, bahkan Saldi Isra

berpendapat bahwa Indonesia harus mendesak negara-negara maju melalui

lembaga-lembaga internasional untuk menciptakan kerjasama internasional yang

lebih pro dengan keterbatasan kemampuan negara-negara berkembang terhadap

tekhnologi, akses dan politik internasional dalam upaya pengembalian aset

curian.217

Keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat optimal bila

pola pikir masyarakat Indonesia hanya terpaku pada balas dendam semata pada

para koruptor. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus menanamkan pola

pikir maju dengan tidak berhenti pada pembalasan atas tindak pidana, tetapi juga

bagaimana tindakan selanjutnya untuk mengamankan aset negara yang dikorupsi

serta memulihkan kerusakan dan kerugian akibat tindak pidana. Edukasi

mengenai pentingnya pengembalian aset negara harus ditanamkan kepada

masyarakat Indonesia, sehingga setiap golongan masyarakat Indonesia, khususnya

legislator sang perumus peraturan perundang-undangan dan penegak hukum

Indonesia, mengerti pentingnya penegakan hukum atas pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi.

Program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak dapat begitu saja

dirampas dan dikembalikan ke negara tanpa dilakukan proses yang pantas dan

tepat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2 laporan ini, terkait tahapan-

tahapan pengembalian aset, proses pengembalian aset harus dilakukan selain

                                                                  216 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, Pasal 31 ayat 2. 217 Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama,

http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11, diunduh pada 6 Maret 2011.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 113: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

100

Universitas Indonesia 

dengan kapabilitas dari penegak hukum yang baik, juga harus disertai dengan ada

tim khusus yang fokus melakukan penelusuran aset hasil korupsi. William R.

Schoeder mengatakan bahwa keberhasilan pelacakan tindak pidana korupsi di

sektor publik sangat bergantung kepada kemampuan penyidik dalam mencari

jejak kepemilikan uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari

pelaku-pelakunya.218 Penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, baik di

Indonesia maupun di negara lain, merupakan poin inti dari dari rangkaian proses

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini. Korupsi sebagai kejahatan

kerah putih yang terkadang banyak memboncengi kepentingan para pejabat

pemerintah membuat proses penelusuran aset menjadi semakin sulit. Banyak

sekali kepentingan-kepentingan politik dan pribadi bersarang dalam proses ini.

Sebagai contoh, yang sedang marak sekarang ini adalah korupsi untuk pendanaan

dana kampanye, mark-up dana pengadaan barang dan suap dari pengusaha kepada

Pemerintah Daerah agar menang tender.

Berangkat dari ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mengatakan bahwa dapat dibentuknya tim gabungan bila ditemukan

tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Untuk dapat mengesampingkan

kepentingan-kepentingan tersebut dalam tahap pelacakan aset, maka diperlukan

adanya satu tim khusus219 atau yang dalam Rancangan Undang-Undang

Pengembalian Aset disebut dengan Satuan Tugas atau Task Force. Satuan Tugas

ini terdiri dari gabungan beberapa instansi terkait seperti Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Kejaksaan Agung Repulik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, akademisi,

juga advokat. Disamping itu, dalam program pengembalian aset hasil tindak                                                                  

218 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 209 (Sebagaimana terdapat dalam Willian R. Schoeder, A Review Article: How To Do Financial Asset Investigations: A Practical Guide for Practice Investigators, Collections Personnel, and Asset Recovery Specialists, The FBI Law Enforcement Bulletin, Juli 2001).

219 Tim khusus diperlukan dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan oleh pelaku. Mengapa diperlukan tim khusus karena tim ini dibentuk khusus untuk menjalankan fungsi ini dengan penuh konsentasi dan fokus pada penelusuran aset.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 114: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

101

Universitas Indonesia 

pidana korupsi ini, tidak hanya elemen hukum dan penegak hukum saja yang

dilibatkan. Unsur keuangan sangat kuat disini, penggunaan instrumen hukum saja

tidak cukup, dalam penegakannya instrumen dan penyedia jasa keuangan pun

harus dilibatkan. Jasa perbankan pun harus terlibat secara aktif karena mulai dari

penelusuran dan penyitaan aset yang dilarikan oleh pelaku tindak pidana korupsi

pun tidak dapat lepas dari keahlian para penyedia jasa keuangan dan perbankan.

Terkait dengan legislasi, Indonesia sendiri telah memiliki instrumen hukum

mengenai Mutual Legal Assistance yaitu Undang-Undang 1 Tahun 2006, Undang-

Undang No. 39 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meratifikasi UNCAC, juga telah memiliki

PPATK sebagai lembaga yang dipercaya untuk berwenang dalam hal pelacakan

aset hasil tindak pidana yang dicuci. Akan tetapi instrumen tersebut tidak

digunakan secara maksimal dan harmonis.220 Disamping itu, World Bank Group

(WBG) menyampaikan bahwa terkait dengan perbedaan sistem hukum antar

negara yang berurusan masalah pengembalian aset tidak perlu dirisaukan. Hal

yang menjadi pokok pikiran adanya negara korban yang mengajukan bantuan

dapat menjelaskan keterkaitan kepentingan negara korban atas asetnya yang

dilarikan ke negara tujuan. Sementara itu, yang dialami Indonesia bila melihat ke

kasus Bank Century adalah Swiss, negara tujuan, tidak merasakan adanya iktikad

baik sama sekali terhadap Indonesia sebagai negara pemohon bantuan karena

Indonesia tidak menunjukkan secara maksimal keinginannya untuk bekerjasama

dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kembali lagi ditekankan

bahwa Indonesia harus memiliki keseriusan atas penegakan pengembalian aset ini

dengan meningkatkan political will dari Indonesia sendiri dan mengoptimalkan

penegakan hukum atas tindak pidana korupsi.

                                                                 

220 Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibu Chairijah, Direktur Hukum Internasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, menyampaikan bahwa tidak pernah ada keputusan instrumen yang mana yang akan digunakan dalam “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011”

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 115: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

102

Universitas Indonesia 

4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset

Tersedianya dasar hukum kerja sama internasional mengenai pengembalian aset

yang diperoleh secara tidak sah telah membuka peluang bagi upaya pencegahan

dan pemberantasan kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi. Persoalannya

adalah, ketentuan mekanisme pengembalian yang diatur dalam UNCAC 2003

mengacu pada hukum nasional masing-masing negara pihak UNCAC 2003 yang

pada umumnya berbeda dan dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi hukum

antara negara pihak yang satu dengan yang lainnya. Efektif berlakunya UNCAC

2003 tidak semata-mata bergantung kepada penandatanganan dan ratifikasi

UNCAC 2003 oleh negara-negara pihak, tetapi juga sangat bergantung kepada

sistem hukum nasional masing-masing negara yang dapat bersinergi dengan

ketentuan dalam UNCAC 2003.

Untuk melegalisasi setiap tahap dalam proses pengembalian aset hasil tindak

pidana, Indonesia sebaiknya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang

Perampasan Aset, sehingga Indonesia memiliki instrumen hukum yang

komprehensif mengenai sistem dan mekanisme mengenai proses pengembalian

aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Sebagai tambahan,

Undang-Undang Perampasan Aset yang nantinya akan disahkan harus harmonis

dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh

Indonesia sebelumnya. Dengan harmonisasi tersebut diharapkan ketentuan

mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar

negeri menjadi jelas dan dapat diaplikasikan segera.

Harmomisasi lain yang diperlukan dalam penegakan pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi ini adalah dalam hal peradilan pidana di Indonesia. seperti

yang telah dikemukakan dalam bab 2 bahwa pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi tidak selalu berkaitan dengan aspek hukum tetapi juga dengan

bidang lain, tetapi karena akibat dari tindak pidana korpsi mengakibatkan

kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, maka proses pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi ini membutuhkan seperangkat aturan hukum. Harmonisasi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 116: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

103

Universitas Indonesia 

peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang

tindih antara ketentuan undang-undang yang satu dengan yang lain.

4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai

Alternatif

Non-convicted based forfeiture221 atau perampasan in rem merupakan salah satu

alternatif dalam melegalisasikan tindakan penyitaan dan perampasan aset hasil

tindak pidana korupsi. Lembaga in rem ini merupakan suatu legal action atau

upaya hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk menuntut atas kepemilikan

atas suatu benda, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak (an action

determining the title to property and the rights of the parties, not merely among

themselves, but also against all persons at anytime claiming an interest in that

property).222 Dalam pengembalian aset jenis ini, penyelamatan aset dengan

gugatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat diberikan kepada

pelaku tindak pidana korupsi yang telah diputus bebas oleh pengadilan atas

kejahatan korupsi yang dilakukannya, padahal atas perbuatannya menimbulkan

kerugian terhadap negara. Dikarenakan tuntutan pidana gugur apabila terdakwa

meninggal pada saat berjalannya persidangan, maka gugatan atas harta kekayaan

hasil tindak pidana korupsi juga dapat diberikan kepada terdakwa yang meninggal

dalam proses persidangan pidana atas perkara korupsinya, sebagaimana yang telah

diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.

20 Tahun 2001, yang mengatakan bahwa

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”

                                                                  221 Merupakan pengembalian aset tanpa adanya putusan pidana atas kasus tersebut terlebih

dahulu yang biasa juga disebut sebagai pengembalian aset secara perdata atau civil forfeiture atau perampasan in rem.

222 Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil

Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7, No. 4, Desember 2010, hal 629-644.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 117: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

104

Universitas Indonesia 

Belajar dari penegakan hukum di negara berkembang, Britani Raya contohnya

yang telah mengaplikasikan NCB Recovery untuk mengambil kembali aset negara

yang dikorupsi dengan dipayungi oleh POCA 2002. Pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi bukan merupakan perkara mudah, banyak sekali rintangan

yang akan dihadapi oleh para penegak hukum. Akan tetapi, apapun caranya,

apapun instrumennya, kerugian negara harus tetap dikembalikan demi

mengembalikan keseimbangan dari negara. Pengembalian Aset secara NCB dapat

digunakan dalam hal pelaku tindak pidana telah diputus bebas dari pelanggaran

pidana pokok dikarenakan kurang adanya bukti yang dapat digunakan atau

kegagalan dalam memenuhi beban pembuktian.

Meskipun pengembalian aset secara NCB sekalipun tidak pernah boleh dijadikan

sebagai pengganti untuk penuntutan pidana, dalam banyak hal (terutama dalam

korupsi pejabat), Pengembalian Aset secara NCB mungkin merupakan satu-

satunya alat yang tersedia untuk memulihkan keadaan akibat tindak pidana

korupsi tersebut dan sekali lagi untuk memperoleh keadilan.223 Pengaruh para

pejabat yang korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah para penyelidik

kejahatan secara keseluruhan atau setelah pejabat yang berkaitan telah meninggal

dunia atau kabur. Seringkali terjadi dimana seorang pejabat korup yang telah

merampok negaranya berupaya untuk memperoleh imunitas dari penuntutan. Oleh

karena itu, rezim pengembalian aset secara NCB tidak berhantung pada sebuah

penghukuman pidana, maka dapat dilanjutkan tanpa memangdang adanya

kematian, pelarian atau setiap kekebalan yang mungkin dinikmati pejabat yang

korup tersebut. 224

Pengembalian aset secara NCB sebagai salah satu usulan untuk alternatif

penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada akhirnya pun bermuara pada

sistem peradilan pidana Indonesia sendiri. Indonesia sebaiknya melakukan

                                                                 223 Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 15.

224 Ibid.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 118: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

105

Universitas Indonesia 

reformasi peradilan pidana dengan menanamkan pemikiran Keadilan Restoratif

dalam tujuan pemidanaannya. Dalam setiap perumusan undang-undang

hendaknya tujuan dari pembuatan undang-undang dan penjatuhan hukuman yang

dikenakan adalah berdasarkan suatu cita-cita, bukan hanya untuk membuat jera

para pelaku tindak pidana, Kembali lagi dengan pemikiran aliran konsekuensialis

dimana konsekuensi yang didapat dari seorang tindak pidana harus setimpal

dengan apa yang ia lakukan dan hukuman yang dijatuhkan pun hendaknya

bijaksana dengan mempertimbangkan sisi deterrence, hak asasi manusia, keadilan

juga sisi preventif untuk kemudian hari. Disamping itu, program keadilan

restoratif yang dalam penegakan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh penegak

hukum melainkan adanya partisipasi dari para pelaku tindak pidana, korban, dan

masyarakat yang memegang perannya masing-masing dalam penyelesaian

masalah akan membawa sistem peradilan Indonesia menjadi lebih bijaksana,

dewasa dan mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan dan kepastian

hukum.

4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset

Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi

Dalam pembahasan mengenai program perampasan aset hasil tindak pidana

korupsi berupa Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang

diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011, timbul

suatu rekomendasi yang diutarakan oleh Harry Ponto adalah dengan penggunaan

Hukum Kepailitan sebagai pendekatan upaya perampasan aset hasil tindak pidana.

Dengan rendahnya Indeks Perkiraan Korupsi Indonesia tahun 2010 yaitu 2,8 dari

skala 10,00225, pemerintah, penegak hukum, juga masyarakat Indonesia harus

                                                                  225 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Bertahan, Todung Mengaku Terkejut,

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/10/27/142578-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-bertahan-todung-mengaku-terkejut, diunduh pada 15 Juni 2011. Disampaikan juga bahwa TII merilis IPK Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2,8 atau tidak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. TII melakukan penelitian terhadap tingkat persepsi korupsi pada beberapa negara berdasarkan data gabungan dari hasil survei sejumlah organisasi. Indonesia berada pada posisi 110 dari 178 negara yang dilakukan survei terhadap indeks persepsi korupsi. Singapura, Finlandia, Selandia Baru dan Denmark termasuk kategori negara yang bersih terhadap praktik korupsi dengan poin tertinggi mencapai 9,3.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 119: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

106

Universitas Indonesia 

cerdas dan kritis menghadapi dan melakukan penegakan hukum atas tindak pidana

korupsi, salah satunya dengan penggunaan instrumen hukum perdata berupa

kepailitan untuk mengembalikan aset kepada negara sebagai korban tindak

pidana. Untuk menarik korelasi antara hukum kepailitan dengan pengembalian

aset dalam tindak pidana korupsi, pelaku tindak pidana dikategorikan sebagai

debitur, sedangkan negara dikategorikan sebagai kreditur. Adapun definisi dari

kepailitan itu sendiri adalah

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, karena debitur tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.226

Lembaga kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu pertama

kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitur tidak

akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-

utangnya. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan

kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh para krediturnya.227

Dalam hukum kepailitan, syarat yang harus dipenuhi adalah “seorang Debitur

mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”, dan berikut adalah

penguraian unsurnya:

- Debitur, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan, didefinisikan “orang yang mempunyai utang karena

perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di

muka pengadilan”. Dalam Pasal 1 ke 11 Undang-Undang Kepailitan

                                                                 226 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 28.

(Sebagaimana dikutip dari D. Djohansyah, Pengadilan Niaga, dalam Rudy Lontoh (editor), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23).

227 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 10.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 120: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

107

Universitas Indonesia 

disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau

korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun

yang bukan badan hukum dalam likuidasi ini menafsirkan debitur

sebagai subjek hukum”. Dalam arti luas, debitur didefinisikan dengan

pihak yang memiliki kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul

karena sebab apapun, baik karena perjanjian utang-piutang dan

perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang. Dengan

keleluasaan subjek hukum ini membuat lembaga kepailitan pun dapat

digunakan dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk

mengembalikan aset kepada negara. Seorang tindak pelaku tindak

pidana (terpidana) yang telah dijatuhkan pidana oleh hakim dengan

diwajibkan mengembalikan sejumlah uang untuk mengembalikan

kerugian, dengan begitu uang tersebut menjadi kewajiban bagi pelaku

untuk mengembalikan. Apabila uang yang harus dikembalikan tersebut

belum dikembalikan, maka itu akan menjadi utang bagi terpidana

tersebut, sehingga terpidana dapat dikategorikan sebagai seorang

debitur.

- Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih. Hal yang paling penting dalam unsur ini pertama adalah

adanya utang. Dalam Pasal 1 ke 6 Undang-Undang Kepailitan

disebutkan bahwa “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan

dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata

uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di

kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya

dari harta kekayaan Debitor”. Terkait dengan pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi, dengan putusan pengadilan yang inkracht yang

mengamanatkan adanya perampasan aset yang telah disita dalam tahap

sebelumnya maka aset tersebut diklasifikasikan sebagai utang yang lahir

dari undang-undang228. Putusan hakim yang mengamanatkan bahwa

                                                                 

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 121: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

108

Universitas Indonesia 

terpidana korupsi harus mengembalikan semua aset yang telah

dikorupsi atau dengan pembayaran uang pengganti. Selanjutnya, perlu

dicari satu lagi debitur yang utangnya yang telah jatuh tempo dan belum

dibayar oleh si pelaku tindak pidana untuk dapat mengajukan

permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga.

Terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang melibatkan

seluruh rakyat Indonesia sebagai korban, yang direpresentasikan oleh Negara,

maka kepentingan umum lah yang menjadi masalah disini. Untuk permohonan

kepailitan yang dimana utang oleh kreditur (yaitu aset yang dikorupsi oleh

pelaku), Kejaksaan dapat menjadi lembaga yang berwenang mengajukan

permohonan kepailitan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa “permohonan kepailitan dapat

diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum”. Disebutkan lebih lanjut

dalam penjelasan pasal ini mengenai unsur “kepentigan umum” yakni,

kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya

a.) Debitor melarikan diri; b.) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c.) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan

usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d.) Debitor mempunyai utang

yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e.) Debitor tidak

beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang

yang telah jatuh waktu; atau f.) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan

kepentingan umum.

Permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan pun tidak ada bedanya dengan

permohonan kepailitan oleh orang perorangan atau badan hukum, yaitu

berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit

diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan melengkapi persyaratan yang

diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Mempertimbangkan aset yang dikorupsi

                                                                                                                                                                                228 Ibid., hal 32. Utang ini merupakan utang yang ditafsirkan dalam arti luas, yang dimana

setiap kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar sejmlah uang, sekalipun kewajiban tersebut tidak timbul dari pernjanjian utan-piutang dapat diklasifikasikan sebagai utang menurut Undang-Undang.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 122: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

109

Universitas Indonesia 

oleh para pelaku tindak pidana korupsi sanga besar besar dampak buruknya bagi

kesejahteraan rakyat dan pembangunan negri, permohonan kepailitan oleh

Kejaksaan atas dasar merugikan kepentingan umum adalah sah. Dengan demikian,

lembaga kepailitan hendaknya dapat diperhitungkan sebagai salah satu tindakan

untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian

negara yang mereka sebabkan.

4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset

Selain harmonisasi yang tersebut diatas, dalam Undang-Undang Perampasan Aset

yang akan disahkan, aturan dasar operasi (standard operating procedure)

mengenai permohonan MLA, pihak yang berwenang dalam setiap tahapan

pengembalian dan badan pengembalian aset harus diatur secara jelas dan

komprehensif. Aturan yang diatur dalam undang-undang diharapkan tidak

diboncengi oleh kepentingan manapun, melainkan kepentingan rakyat Indonesia.

Sekali lagi bila kita belajar dari negara Thailand yang memiliki Kantor Pencucian

Uang (AMLO) dan Britania Raya yang memiliki Asset Recovery Agent (ARA)

yang merupakan badan khusus yang independen mengurus aset hasil tindak

pidana yang harus dikembalikan kepada negara, maka Indonesia pun sebaiknya

memiliki badan seperti ini pula. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab

sebelumnya bahwa kepentingan pengembalian aset tidak hanya diperlukan dalam

tindak pidana korupsi melainkan banyak tindak pidana lainnya. Badan yang

khusus memiliki peran dan fungsi untuk menjalankan fungsi tersebut merupakan

sesuatu kebutuhan yang dasar dalam pelaksanaan pengembalian aset. Rancangan

Undang-Undang Perampasan Aset sendiri sebenarnya telah mengatur mengenai

Badan Pengembalian Aset yang dimana Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan

Rampasan Negara (RUPBASAN) merupakan lembaga yang diberi wewenang

untuk menjalankan tugas dan fungsi itu.

Semua gagasan yang telah dikemukakan diatas merupakan poin-poin yang harus

diperhatikan oleh pemerintah dan penegak hukum dalam penegakan hukum

pengembalian aset hasil tindak pidana. Indonesia sebagai negara yang tingkat

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 123: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

110

Universitas Indonesia 

korupsinya tinggi diharapkan memberikan komitmen penuh dan perhatian khusus

dalam hal ini, karena masa depan pembangunan bangsa sangat tergantung dengan

keuangan negara yang sebagian dihimpun dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat

Indonesia kepada negara. Tidak ada kata terlambat dalam penegakan hukum di

Indonesia. Indonesia saat ini boleh saja terpuruk dalam perilaku korupsi, dan

lemahnya penegakan hukum, tetapi cukup hal ini menjadi pelajaran yang cukup

berharga untuk Indonesia melangkah lebih maju, dimulai dengan penegakan

hukum atas tindak pidana korupsi.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 124: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

111 Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang dalam bab-bab sebelumnya dalam penulisan

ini, pada intinya adalah konsep keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan

dapat digunakan sejalan dengan konsep pengembalian aset atas hasil tindak

pidana korupsi. Adapun kesimpulan secara menyeluruh adalah sebagai berikut

:

1. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia telah dikenal

sejak tahun 1957, yakni pada saat disahkannya Peraturan Penguasa Militer

Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Di Indonesia

sendiri, dewasa ini dasar hukum dari tindakan pengembalian aset diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Indonesia sebenarnya telah

memiliki Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang telah

disusun sejak ahun 2008, tetapi sampai tahun 2011 ini undang-undang

tersebut belum juga disahkan. Rancangan Undang-Undang Perampasan

Aset di Indonesia juga mengamanatkan didirikannya Badan Pengembalian

Aset, yaitu RUPBASAN. Sedangkan di Britania Raya, tindakan

pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Proceeds of Crime Act

(POCA) 2002 yang dimana pengembalian aset hasil tindak pidana dapat

dilakukan dengan pengembalian secara pidana, juga pengembalian secara

perdata, bahkan mereka telah memiliki Asset Recovery Agent (ARA) yaitu

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 125: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

112

Universitas Indonesia 

badan independen khusus yang menangani masalah pengembalian aset

hasil tindak pidana. Di negara Thailand, pengembalian aset hasil tindak

pidana diatur dalam Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun

1999 (AMLA), kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang

(AMLO) untuk melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap

pencucian uang.

2. Untuk memaksimalkan upaya penegakan hukum atas tindak pidana

korupsi berupa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka

gagasan yang timbul adalah diantaranya harus adanya keseriusan dari

penegak hukum dan political will dari Indonesia, segera mengesahkan

RUU Perampasan Aset, penggunaan upaya pengembalian aset secara NCB

sebagai alternatif, menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternative

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan pengefektifan

RUPBASAN sebagai badan pengembalian aset.

3. Keadilan Restoratif merupakan pemikiran dari tujuan pemidanaan yang

mengutamakan konsep pemulihan keadaan akibat terjadinya tindak pidana

sehingga keadaan kembali seperti semula dengan pendekatan yang

mengutamakan penyesalan oleh pelaku karena kesadarannya atas

konsekuensi dari perbuatannya, dimana dalam pelaksanaannya pelaku,

korban, penegak hukum dan masyarakat dengan perannya masing-masing

saling bekerjasama untuk memulihkan keadaan. Konsep keadilan restoratif

merupakan sebuah metatori yang secara bijaksana dan fleksibel dapat

diintegrasikan dan diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia,

karena konsep keadilan restoratif tidak dapat ditafsirkan secara sempit

begitu saja. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang sejalan

dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa upaya

pengembalian aset. Hal ini dikarenakan tindakan pengembalian aset

sendiri merupakan tindakan yang bersifat restoratif untuk mengembalian

keseimbangan yaitu mengembalikan kerugian akibat tindak pidana

korupsi. Dalam hal ini, negara dapat dikategorikan sebagai korban dari

tindak pidana korupsi, dan pengembalian aset hasil tindak pidana adalah

tindakan yang bersifat restoratif.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 126: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

113

Universitas Indonesia 

5.2 Saran

Setelah melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, maka saran

yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut

1. Mengintegrasikan pengaturan dalam UNCAC yang merupakan salah satu

hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak

pidana korupsi, ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

2. Konsep keadilan restoratif hendaknya dijadikan salah satu dasar pemikiran

dari penyusunan aturan dalam RUU Perampasan Aset dan Pemerintah

Indonesia harus dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang

Perampasan Aset yang sampai saat ini masih dalam daftar tunggu DPR

untuk pengesahannya. Dengan harapan tindak pidana dapat berkurang

karena masyarakat menyaksikan langsung konsekuensi apa yang akan

mereka dapat bila melanggar suatu ketentuan hukum.

3. Indonesia harus meningkatkan political will dengan meningkatkan

hubungan baik dengan negara lain khususnya negara yang sering menjadi

tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi dan membangun hubungan

baik dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan pelarian aset

hasil tindak pidana korupsi. Disamping itu pemerintah harus membekali

para penegak hukum dengan edukasi komprehensif mengenai teknik

pengembalian aset.

4. Disamping proses persidangan atas pelaku tindak pidana korupsi berjalan,

proses penelusuran, pembekuan dan penyitaan aset harus tetap berjalan.

Penelusuran aset sebaiknya turut melibatkan firma-firma hukum dan

keuangan yang masing-masing ahli dalam bidangnya.

5. Selain pidana penjara, perampasan segala aset hasil tindak pidana terhadap

pelaku tindak pidana korupsi adalah harus dilakukan. Karena pada

dasarnya pelaku tindak pidana korupsi merupakan manusia yang

materialistis dan akan sangat menderita bila hartanya dirampas, dan hal

tersebut merupakan pidana yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu,

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 127: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

114

Universitas Indonesia 

perampasan aset hasil tindak pidana sebagai pidana tambahan harus pula

dijatuhkan kepada terpidana disamping pidana pokok.

6. Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia

pun telah berkembang. Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang

diatur dalam Pasal 10 KUHP saja kurang cukup karena hanya unsur

pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan. Dengan pemikiran

konsekuensialis dan pendekatan keadilan restoratif, diharapkan masyarakat

Indonesia mendapatkan edukasi atas konsekuensi yang akan mereka dapat

bila melakukan tindak pidana.

7. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara

(RUPBASAN), lembaga yang berwenang sebagai Badan Pengembali Aset

harus segera diaktifkan secepatnya setelah pengesahan RUU Perampasan

Aset.

8. Pengembalian aset secara pidana, Pengembalian Aset NCB, dan Lembaga

Kepailitan dapat dijadikan cara untuk mengembalikan aset yang telah

dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 128: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

115 Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

BUKU

Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian

Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

2008.

Beccaria, Cesare. Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene].

Diterjemahkan oleh Jane Grigson. USA: Oxford University Press, 1964.

Dirdjosisworo, Soedjono. Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan

Korupsi di Indonesia. Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984.

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan

Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Jakarta: Departemen Hukum dan Perundang-Undangan

RI, 2000.

Greenberg. Theodore S. et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide

Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB

Asset Forfeiture). Washington DC. The World Bank, 2009.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Semarang. Sinar Grafika, 2005.

. Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Hayati, Tri, et. al. Administrasi Pembangunan : Suatu Pendekatan Hukum dan

Perencanaannya. Depok. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, tahun 2005.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 129: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

116

Universitas Indonesia 

Hirsch, Andrew Von. et. al. ed. Restorative Justice: Competing or Reconcilable

Paradigms?. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003.

Kanter, E.Y dan S. R Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002

Liebmann, Miriam. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley

Pubishers, 2007.

Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta. PT

Kompas Media Nusantara, 2001.

Maheka, Arya. Mengenal dan Memberantas Korupsi. (Jakarta: Komisi

Pemberantasan Korupsi).

Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:

Alumni, 1984.

Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. cet-3. Bandung.

Refika Aditama, 2003.

Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.

Rotberg, Ribert I dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth

Comissions. Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000 .

Santosa, Bima Priya, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu.

Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program

(NLRP), 2010.

Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia.

Bandung: Percetakan Binacipta, 1992.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 130: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

117

Universitas Indonesia 

Setiady, Tolib. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta,

2010

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet III. Jakarta. UI-Press,

1986.

Sunarso, Siswanto. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:

Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasiona. Jakarta: Penerbit

Rineka Cipta, 2009.

Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian

Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

2008.

Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC). World Bank Group, Stolen

Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunity, and Action

Plan. Washington: 2007.

Utama, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi:

Implementasinya di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2008.

Utrecht, Ernst. Hukum Pidana. Bandung: Universitas Press, 1965.

Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam

Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 131: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

118

Universitas Indonesia 

Yanuar, Purwaning. M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi

PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung. PT

Alumni, 2007

Zernova, Margarita. Restorative Justice: Ideals and Realties. England: Ashgate

Publishing Limited, 2007.

INTERNET

Bungalan, Hendra. Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-

Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun. Diunduh pada 24

Februari 2011.

Isra, Saldi. ”Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama”,

http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article

&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-

internasional&catid=23:makalah&Itemid=11. Diunduh pada 6 Maret 2011.

Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi.

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705. Diunduh pada 1

April 2011.

Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi,

http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813. Diunduh

pada 1 April 2011.

Yudhoyono, Susilo Bambang. ”Program Kerja 100 Hari KIB II”.

http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html.

Diunduh pada 1 April 2011.

UNDANG-UNDANG

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 132: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

119

Universitas Indonesia 

Anti Money Laundering Act. Thailand, 1999.

Civil Law Convention on Corruption. Strasbroug, 1999. Entry into force 2003.

Council of Europe. Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation

of the Proceeds from Crime. Strasbourg. 8. XI, 1990

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 8

tahun 1981, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76,

TLN Republik Indonesia No. 3209.

. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU

No. 31 Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874.

. Undang-Undang Tentang Kepailitan, Undang-Undang No 37 Tahun

2004, LN Tahun 2004 Nomor 131, TLN Nomor 4443.

.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, [Wetboek van Strafrecht],

diterjemahkan oleh Moelyatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, 2008.

Proceed of Crime Act. United Kingdom, 2002.

United Nations. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003.

JURNAL

Ariawan, I Gusti Ketut, ”Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam

Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, (Januari 2008).

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 133: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

120

Universitas Indonesia 

Garnasih, Yenti, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset

Hasil Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 7, No. 4, Desember

2010): hal 629-644.

Herlina, Apong. “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No.

III,.(September 2004): hal 19 s.d 28.

Swartz, Omar, “On Social Justice and Political Struggle”, essay, Human Nature

Review. Volume 4, (15 Agustus 2004).

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia.

SEMINAR , LOKAKARYA DAN DISKUSI

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

RI. Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak

Pidana Korupsi, 2009.

Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, yang diselenggarakan

oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.

Donald, Potter W. State Responsibility, Sovereignty, and Failed States. Makalah

disampaikan pada Australian Political Studies Association Conference

University of Adelaide, 29 September-1 Oktober 2004.

Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia”. Makalah

disampaikan pada Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap

dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai

sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003.

Thiel, Marita van, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development

Bank, Asset Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 134: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

121

Universitas Indonesia 

Disampaikan pada Proceedings of the 6th Regional Seminar on Making

International Anti-Corruption Standards Operational, 2008.

TESIS & DISERTASI

Soemarno. Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak

Pidana Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi Tentang

Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek

Penegakan Hukum Pidana”, Disertasi Program Studi Ilmu Hukum

Kekhususan Sistem Peradilan Pidana. Depok, 2009.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 135: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

 

1  

MINUTES OF MEETING THE FIRST UNODC ROUND TABLE DISCUSSION ON ASSET RECOVERY

Day/ Date : Thursday/ April 28th, 2011 Place : Prada Meeting Room, Four Seasons Hotel, South Jakarta Time : 09.30 am to 12.00 pm Moderator : Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri) Participants : 1. Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri) 2. Khasan Ashari (Kementrian Luar Negeri) 3. Oktorian S. Hakim (Kementrian Luar Negeri) 4. Dumas Radityo (Kementrian Luar Negeri) 5. Chandra Hamzah (KPK) 6. Arinta Luthri Handini (KPK) 7. Muhammad Yususf (PPATK) 8. Fithriadi Muslim (PPATK) 9. Chairijah (Kementrian Hukum dan HAM) 10. Pangihutan Siagian (Kementrian Keuangan) 11. Christian (Kementrian Keuangan) 12. Firstda Ayu Fian Nur Agusta (Kementrian Keuangan) 13. Shanti (Kementrian Keuangan) 14. Oktavia Maya Soraya (Kementrian Keuangan) 15. Ahmad Wiyagus (Bareskrim) 16. Trimulyono (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI) 17. Ludfie Jatmiko (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI) 18. Sudarmadji (Biro Hukum Bank Indonesia) 19. Hendra Jaya Sukmana (Biro Hukum Bank Indonesia) 20. Metta Dharmasaputra (Tempo) 21. Budi Setyarso (Tempo) 22. Desita Sari (Tim Pembaharuan MA) 23. Harry Ponto (Kailimang & Ponto) 24. Ahmad Fawaiq (Masyarakat Transparansi Indonesia) 25. Riani Atika Nanda Lubis (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) 26. Ibrahim Tjondronegoro (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta) 27. Ajit Joy (UNODC) 28. Novriady Erman (UNODC) 29. Rizki Indrawansyah (UNODC) 30. Marsha Suryawinata (UNODC) 31. Lisma Marpaung (UNODC) 32. Seri Tarigan (UNODC)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 136: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

 

2  

I. PURPOSE OF MEETING

a. General Purpose

To discuss the problem on asset recovery faced by Indonesia. b. Specific Purpose

1. To raise common understanding amongst law enforcement and related institutions on

asset recovery; 2. To find out the obstacles faced by institutions on asset recovery; and, 3. To find out how UNODC could further contribute on asset recovery matters in Indonesia

II. POINTS DISCUSSED

1. Asset recovery is difficult and complicated matter whereas the current initiatives on asset recovery are still preliminary in nature which further actions are required.

2. Under Indonesian legal context, it is even difficult to establish the crime in which asset recovery is required, i.e. corruption and money laundering, whereas, on the other hand, there is also a problem with definition on asset recovery matters.

3. The difference of legal system amongst countries is not a decisive matter on asset

recovery as long as there are commitments and cooperation amongst law enforcement.

4. Some institutions still find a problem on asset recovery, i.e. in BNP Paribas and Bank Century case, since there is still no single exact requirement on documentations and Standard Operational Procedure (SOP) in seizing the stolen asset overseas, hence, UNODC could provide guidance or best practice from other countries.

5. Previous experiences on asset recovery have shown on how Indonesian officials are too

dependent on foreign investigators. Regardless of the great result on tracing the asset, for example in BPPN case, there is a need to rely more on local resources.

6. We still have a problem in conducting a detailed and comprehensive investigation due to

classical financial problem.

7. In order to promote asset tracing and asset recovery, there is a need to promote a reward for whistleblower.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 137: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

 

3  

8. From legal perspective, there is also still unclear cut between Article 10 of Indonesian Criminal Law and Article 39 of Indonesian Procedural Criminal Law on confiscation of asset.

9. There is differentiation between domestic asset recovery and foreign asset recovery.

Nonetheless, both require court decision which states that there is a direct link between the asset and the predicate crime.

10. It is also important to note that in order an asset can be frozen and recovered, there should

be a specific name of the asset to be confiscated in the court verdict.

11. Investigator cannot be further burdened by being assigned to conduct additional task on asset recovery since they have already been preoccupied by investigation as crucial matters related to the substance of the case.

12. On the other hand, it seems to be that we are lacking in political will. Not to mention,

there is also a problem on cooperation. There is also a possibility to use bankruptcy law in Indonesia to recover asset both located in domestic and overseas.

13. In many cases, it is imperative as well for journalist to understand the law and legal

system, and also to cooperate with law enforcement by not publishing the ongoing investigation in order to prevent any possibility that the suspect from escape or from concealing their assets.

14. Whereas the current mechanism in handling corruption case focuses on capturing the

suspect, there should be a change to establish mindset to prioritize asset recovery.

15. The discussion also suggests several approaches on asset recovery namely, Non-Conviction Based Asset Recovery and Bankruptcy. It is also important to note the draft law on whistleblowing needs to be supported.

16. However, it should be taken into account that Indonesia does not have a mechanism on

trans-boundary insolvency.

17. Considering the fact that third party also enjoy the proceed of corruption, there is also a need to adopt a law which criminalize and confiscate assets of third party.

18. One of the problems in asset recovery relies on the eagerness of public official to cope

with vast-capital owner.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Page 138: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

 

4  

III. FOLLOW UP AND RECOMMENDATION

1. There is a need to establish a task force within, in particular, Indonesian National Police and Attorney General Office which mainly deal with asset-tracing and asset recovery matters and can work with the investigators.

2. There is a need as well to improve capacity of the current investigator and proposed task force on asset recovery.

3. It would be better if this Round Table Discussion does not establish a formal group on

asset recovery since it will create a bureaucratic problem. However an informal group of stakeholders can be established.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011