pengelolaan risiko iklim untuk sistem usaha tani … · 2015-08-28 · sebagai pendekatannya. ......
TRANSCRIPT
SUCIANTINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI
MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul
“Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik” adalah hasil karya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Suciantini NRP G261070031
ABSTRACT
SUCIANTINI. Climate Risk Management Based on Operating Farming Systems for Rice through The Use of Dynamic Cropping Pattern. Supervised by RIZALDI BOER, IRSAL LAS, and AGUS BUONO.
El-Nino events can lead to decreased production of rice, due to the addition of the planting area is experiencing drought and loss yield. Early withdrawal of the rainy season could lead to the resignation of a second crop. This second crop is susceptible to drought. Therefore, the scheduling of planting taking into account the possibility of extreme climate events are contained within a planting calendar is one solution. Research preparation of the planting calendar has been started since 2007 (Las et al, 2007) by the Ministry of Agriculture. Output produced in the early years, a map of the plant which is divided into four scenarios, using historical data. On the other hand, Boer et al (2007) also researched the planting calendar with use decision and bayesian network. However, the resulting decision regarding just planting time only. Therefore, to develop a planting calendar that has been generated, the research done by adding the decision issued by measuring the utility function as an approach, in addition to overcome the problem of drought due to improper planting time. This study aimed to look for alternative cropping patterns ideal economically advantageous in terms of a combination of rice cultivation (planting time, fertilizer, irrigation, varieties) on a farm in a particular season, which gives the maximum production with minimal loss rate.
Key words : drought, Fuzzy Inference System, risk function
RINGKASAN
SUCIANTINI. Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik. Dibimbing oleh: RIZALDI BOER, IRSAL LAS, dan AGUS BUONO.
Salah satu informasi penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah kalender tanam. Informasi kalender tanam tanaman pangan secara nasional sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007. Output yang dihasilkan berupa peta waktu tanam yang terbagi ke dalam empat skenario, yaitu existing petani, waktu tanam tahun Normal, waktu tanam tahun La-Nina dan tahun El-Nino. Data yang digunakan merupakan data rata-rata historis jangka panjang. Kalender tanam ini mulai tahun 2011, diupdate setahun tiga kali, dan pada perkembangannya menyertakan juga hasil prakiraan musim BMKG.
Sejalan dengan itu, tahun 2007 Boer et al. juga melakukan riset terkait kalender tanam yang sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan Bayesian network dan decision network. Namun demikian, decision yang dihasilkan oleh Boer et al. (2007) baru mencakup waktu tanam. Oleh karena itu, untuk mengembangkan kalender tanam yang sudah dihasilkan, dilakukan penelitian dengan menambah decision yang dikeluarkan. Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya.
Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman. Decision yang dihasilkan, tidak saja menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian berdasarkan hasil usaha tani dan output keluaran simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003). Decision network dioptimasi dengan penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy, sebagai tool untuk mendukung penyusunan kalender tanam dinamik. Berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis teknologi tersebut.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) pada suatu usaha tani pada suatu musim tertentu yang memberi produksi maksimal dengan tingkat kerugian yang minimal dengan menggunakan fungsi utilitas. Kebaruan dari penelitian ini adalah penyusunan model fungsi utilitas dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy yang menghubungkan keragaman iklim dengan alternatif teknologi budidaya tanaman dengan menggunakan DSSAT sebagai tool, untuk diperoleh pilihan teknologi dengan tingkat risiko iklim minimum, atau memiliki nilai ekonomis yang terbaik.
Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Simulasi yang dilakukan menggunakan perbedaan varietas, irigasi dan pemupukan. Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk setiap perlakuan, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen. Kerentanan terhadap
produksi tanaman tertinggi pada musim tanam kedua (MK1), sehingga penanaman untuk waktu tanam ini perlu diantisipasi dengan persiapan yang lebih awal. Hal itu terkait dengan informasi prakiraan iklim yang diberikan, dan pilihan waktu tanam dan teknologi yang diterapkan. Tanggal tanam merupakan peubah yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan, hal tersebut diindikasikan oleh error (RMSE) yang dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan. Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas.
Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina didasarkan pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT Kecamatan Pacitan. Dengan menarik garis batas BC Rasio pada nilai 1.5, penanaman pada tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian lebih baik adalah pada 15 Februari hingga 15 Maret. Penanaman pada tahun-tahun El-Nino, perlu mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang tahun, terutama dari Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, penanaman 15 Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan. Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
Kabupaten Pacitan seperti halnya wilayah lain yang memiliki pola hujan monsunal sangat terpengaruh oleh dampak keragaman iklim, yang apabila tidak diantisipasi dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya risiko penurunan hasil tanaman. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan perencanaan tanam yang baik. Untuk mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa hal terkait, diantaranya adalah aplikasi kalender tanam. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani perlu selalu diupdate. Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh hasil karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang Wajar Institut Pertanian Bogor
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
SUCIANTINI G. 261070031
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI
MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
Penguji Luar Komisi : Dr. Rini Hidayati Dr. Eleonora Runtunuwu
Judul Disertasi : Pengelolaan Risiko Iklim pada Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik
Nama : Suciantini NRP : G261070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Rizaldi Boer, M.Sc. Ketua
Prof. Dr.Ir.Irsal Las. M.S. Dr. Agus Buono, M.Si,M.Kom Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Klimatologi Terapan Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ketua Komisi
Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian dan Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, atas perkenannya kepada penulis untuk melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar serta mendapatkan beasiswa.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc., atas kesediaannya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan, dukungan dan kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S., dan Bapak Dr. Agus Buono, M.Si, M.Kom, atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing, Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar dan menyusun disertasi ini.
4. Ketua program Studi Klimatologi Terapan IPB (Bapak Prof. Rizaldi Boer, Bapak Dr. Sobri, Bapak Prof. Handoko, dan Bapak Dr. Impron), atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar.
5. Ibu Dr. Rini Hidayati dan Dr. Eleonora Runtunuwu, atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar. Juga kesediaan untuk menjadi Penguji Luar Komisi.
6. Bapak Prof. Ahmad Bey, Bapak Prof.Hidayat Pawitan, dan Bapak serta Ibu Dosen Geomet atas bimbingan, nasihat, selama penulis menjalani perkuliahan.
7. Bpk Prof. Istiqlal Amien, Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA, Dr. Yayan Apriyana, Dr. Ir. Aris Pramudia, M.Si, Ir. Erni Susanti, Dr. Nani Heryani, Haryono, SP,MM. Ir. Elza Surmaini, M.Si, Dr. Popi, Dr. Budi Kartiwa, Fadhlullah Ramadhani, ST, MSc. Slamet Effendi, Drs. Ganjar Jayanto, Pak Suprapto, Wahyu Sukendar, Pak Sidik Talaohu, dan Gina Maulana, ST, atas dukungan moril, dorongan semangat, kerjasama, serta masukan pemikirannya selama penulis menjadi petugas belajar dan menyusun disertasi ini.
8. Rekan rekan peneliti, teknisi, dan staf di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi atas dukungan, kerjasama, dan kemudahan dalam memanfaatkan fasilitas untuk pengolahan data dan penyusunan disertasi.
9. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan, Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan, Ibu Budi beserta Staf, Bapak Reno, Bapak KOPT dan Bapak-bapak POPT Kecamatan di Kabupaten Pacitan dan Bapak/Ibu yang membantu di lapangan, atas dukungan perizinan, koordinasi lapangan dan bantuan data. Juga untuk Pak Agus driver, yang selalu setia mengantar ke lapangan.
10. Bapak Koesnomo Tamkani, atas inspirasi dan transfer ilmu Beliau di lapangan. 11. Rekan seperjuangan mahasiswa S3 Program Studi Klimatologi Terapan IPB,
Indah Prasasti atas kekompakan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan. Juga untuk Woro Estiningtyas, dan Salwati atas dukungan dan kerjasamanya.
12. Pak Jun, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Pono, Aziz, Nandang, Pak Udin dan lain-lain di Departemen GEOMET atas partisipasinya dan bantuannya dalam berbagai aktifitas kepengurusan akademik.
13. Adik-adik CCROM (Adi, Kiki, Mbak Pipit, Ani, Sisi, Diva, Doddy, Ihsan, Gito, dan lain-lain) atas bantuannya selama masa tugas belajar.
14. Adik-adik yang membantu pengumpulan data di lapang (Icha, Rahmi, Galih, Andrea, Fajar, Fitri, Daniel dan Tamara).
15. Bapak R. Imam Mudrika Sanusi dan Bapak Iyeng Lendrawita beserta keluarga besar, atas do’a, kasih sayang, bimbingan serta dukungan moril.
16. Ayahanda H.O. Suryana (Alm), Ibunda tercinta Hj. Curasih, adinda Bena, Hadi, Yanti, Nur, atas do’a, kasih sayang, bimbingan, dukungan moril dan materil sampai selesainya tugas belajar. Juga untuk April, Rafi, Shaqila dan Afau, atas hari-hari yang menyenangkan.
17. Bapak dan Ibu Mertua, Bapak Damanhuri (Alm) dan Ibu Eti Suhaeti yang selalu memberikan do’a selama masa tugas belajar.
18. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) DIPA TA. 2008-2009, atas dukungan dana selama penelitian berlangsung.
19. Program I-MHERE B2C IPB, atas dukungan penelitian. 20. Mbak Sian dan Teman-teman di Trio, atas bantuannya. 21. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, yang telah turut berpartisipasi
mendukung selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan. 22. Terakhir, untuk suami tercinta Ade S Daman atas kesabaran dan
ketabahannya dalam mendampingi dan menghadapi masa tugas belajar penulis yang sangat tidak mudah untuk ditempuh.
Penulis berharap semoga do’a, bimbingan, dukungan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi amal sholeh dan mendapat ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di bidang pertanian.
Bogor, Agustus 2012
Suciantini
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 30 November 1967 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H.O. Suryana (Alm) dan Hj. Curasih. Pendidikan dasar dan menengah penulis tempuh di SD Cibeber I Cimahi, lulus tahun 1980, SMP Negeri Leuwigajah Cimahi lulus tahun 1983, SMA Negeri I Cimahi lulus tahun 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di PS Agrometeorologi Jurusan Geofisika IPB dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi S2 di PS. Agroklimatologi, diselesaikan pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di PS Klimatologi Terapan Fakultas MIPA IPB memperoleh beasiswa dari Badan Litbang Pertanian.
Sejak tahun 1994 hingga 1998 menjadi staf peneliti di Balai Penelitian Tanaman Hias Jakarta. Tahun 1998 tercatat sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, pada kelti Agroklimat dan Hidrologi (sekarang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumbedaya Lahan Pertanian). Sekarang penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang Agroklimatologi dan Hidrologi. Penulis juga adalah anggota dan pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Sepanjang menempuh pendidikan S3, penulis sudah menghasilkan beberapa tulisan, dan salah satu yang berkaitan dengan disertasi diterbitkan di Jurnal Tanah dan Iklim yang diberi judul “Penentuan Fungsi Risiko pada Pengelolaan Risiko Iklim untuk Mendukung Kalender Tanam Dinamik”.
xv
DAFTAR ISI DAFTAR ISI.........................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviiiiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviiii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah / Kerangka Pemikiran .................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6 1.4. Keluaran Penelitian ....................................................................... 6 1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7 1.6. Kebaruan (Novelty) ....................................................................... 7 1.7. Sistematika Penulisan .................................................................. 7 II. SINTESIS PERMASALAHAN PENGELOLAAN RISIKO IKLIM
UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK ..................................... 11
2.1. Kabupaten Pacitan ..................................................................... 11 2.2. Roadmap Sektor Pertanian ......................................................... 12 2.3. Keragaman dan perubahan iklim dan efeknya terhadap
produksi padi .............................................................................. 14 2.4. ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan
kekeringan .................................................................................. 15 2.5. Model Simulasi DSSAT............................................................... 17 2.6. Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System) ...................... 20 2.7. Bayesian dan Decision Network ................................................ 24 2.8. Kalender Tanam ......................................................................... 25 III. EVALUASI DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP
KERAGAMAN HASIL TANAMAN PADA BERBAGAI TEKNOLOGI BUDIDAYA SERTA KELAYAKAN EKONOMI ..................... 33
3.1. Pendahuluan .............................................................................. 36 3.2. Metodologi .................................................................................. 36
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 36 3.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak ........................................... 36 3.2.3. Metodologi Penelitian .............................................................. 36
3.3. Hasil dan Pembahasan ............................................................... 42 3.3.1. Karakteristik sistem usaha tani di Pacitan ................................ 42 3.3.2.Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah
hujan 50 3.3.3. Dampak ENSO terhadap kekeringan ........................................ 57 3.3.4. Analisis hubungan keragaman Iklim dengan sistem
usaha tani padi ......................................................................... 60 3.4. Simpulan .................................................................................... 70 IV. ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI TEKNOLOGI BUDIDAYA
UNTUK PENANGGULANGAN RISIKO IKLIM .......................................... 73 4.1. Pendahuluan .............................................................................. 73 4.2. Metodologi .................................................................................. 74
xvi
4.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 74 4.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak .............................................. 74 4.2.3. Metodologi Penelitian .................................................................. 75
4.3. Hasil dan Pembahasan ............................................................... 77 4.2.1. Analisis BC Ratio Responden ..................................................... 77 4.2.2. Analisis kelayakan ekonomi teknologi budidaya ........................ 78
4.4. Simpulan .................................................................................. 86 V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI
INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM ............................. 87 5.1. Pendahuluan .............................................................................. 87 5.2. Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal
kalender tanam ........................................................................... 90 5.3. Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia ................. 95
5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian ................................... 95 5.3.2. CCROM-IPB dengan BMKG ..................................................... 101 5.3.3. I-MHERE B2C IPB .................................................................. 106
5.4. Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini .............................................................................. 108
5.5. Simpulan ................................................................................... 110 VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI
DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK ..................................... 113
6.1. Pendahuluan ............................................................................ 113 6.2. Metodologi ................................................................................ 114
6.2.1. Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS ....................................................................................... 114
6.2.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS ....................................................................................... 115
6.3. Hasil dan Pembahasan ............................................................. 115 6.3.1. Analisis optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan
model FIS .................................................................................. 115 6.3.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model
FIS ....................................................................................... 121 6.4. Simpulan ................................................................................... 124 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK
SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI ....................................................... 125 7.1. Pendahuluan ............................................................................ 125 7.2. Metodologi ................................................................................ 126
7.2.1. Penyusunan jejaring bayes (Bayesian Network) ...................... 126 7.2.2. Penyusunan jejaring pengambilan keputusan (Decision
Network). ................................................................................... 128 7.2.3. Penyusunan kalender tanam dinamik ....................................... 130
7.3. Hasil dan Pembahasan ............................................................ 131 7.3.1. Bayesian dan decision network ................................................ 131 7.3.2. Kalender tanam dinamik ........................................................... 133 7.3.3. Rekomendasi Teknologi ............................................................ 136
7.4. Simpulan ................................................................................... 138
xvii
VIII. POTENSI DAN KENDALA PENERAPAN KALENDER TANAM DALAM MENGANTISIPASI KEJADIAN IKLIM EKSTRIM ....................... 141
IX. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 149 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 151 LAMPIRAN ...................................................................................................... 157
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Rata-rata luas areal tanam musim kemarau yang
dipengaruhi oleh kekeringan pada tahun-tahun El-Nino (Boer et al. 2011) ...........................................................................
Gambar 1.2 Kerangka Penelitian 2
....................................................................... 9 Gambar 1.3 Keterkaitan antar bab Penelitian .................................................. 10 Gambar 2.1 Peta administrasi Kabupaten Pacitan. ......................................... 12 Gambar 2.2 Kemungkinan pergeseran curah hujan di Jawa dan Bali
(Naylor et al. 2007). ..................................................................... Gambar 2.3 Sekilas komponen dan struktur modular dari DSSAT-
CSM
15
............................................................................................ .19 Gambar 2.4 Diagam blok Sistem Inferensi Fuzzy (Kusumadewi dan
Hartati 2010) ............................................................................... 22 Gambar 2.5 Kalender tanam existing (Lee et al. 2005) .................................... 26 Gambar 2.6 Kalender tanam usulan (Lee et al. 2005) ..................................... 27 Gambar 2.7 Peta kalender tanam level kabupaten untuk skenario
tahun basah Pulau Jawa (Las et al. 2007a) ................................ 28 Gambar 2.8 Peta Kalender Tanam level kabupaten untuk tahun
basah di Pulau Jawa (Las et al. 2007a). ..................................... 29 Gambar 2.9 Distribusi kalender tanam rata-rata propinsi Kalimantan:
(a) Kalimantan Barat, (b) Kalimantan Tengah, (c) Kalimantan Timur, dan (d) Kalimantan Selatan (Runtunuwu et al. 2009). ............................................................ 29
Gambar 2.10 Tampilan untuk masuk ke aplikasi web Kalender Tanam Terpadu ....................................................................................... 31
Gambar 2.11 Tampilan peta tematik kekeringan skala nasional pada Kalender Tanam Terpadu ............................................................ 31
Gambar 3.1 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT v3.5 (Jones et al. 2003)
.................. 39 Gambar 3.2 Diagram alir evaluasi dampak keragaman iklim terhadap
keragaman hasil tanaman ........................................................... 42 Gambar 3.3 Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten
Pacitan ......................................................................................... 43 Gambar 3.4 Hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten
Pacitan ........................................................................................ 43 Gambar 3.5 Luas lahan yang diusahakan Responden ..................................... 44 Gambar 3.6 Waktu tanam pada MT-1, MT-2, MT-3 menurut
Responden .................................................................................. 45 Gambar 3.7 Tanaman yang diusahakan Responden pada setiap
musim tanam ............................................................................... 46 Gambar 3.8 Tren produktivitas ubi kayu di Kabupaten Pacitan ........................ 48 Gambar 3.9 Pemakaian benih Responden pada MT-1 .................................... 49 Gambar 3.10 Jarak tanam yang digunakan ....................................................... 50 Gambar 3.11 Rata-rata CH bulanan setiap kecamatan...................................... 51 Gambar 3.12 Rata-rata CH tahunan setiap kecamatan ..................................... 51 Gambar 3.13 Rata-rata curah hujan bulanan dan simpangan baku
setiap kecamatan ......................................................................... 52
xix
Gambar 3.14 Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO .......................................................................... 54
Gambar 3.15 Awal musim hujan vs anomali SST Nino4 bulan Agustus ............. 55 Gambar 3.16 Panjang musim hujan vs anomali SST Nino4 bulan
Agustus ........................................................................................ 56 Gambar 3.17 Penyebab gagal panen menurut Responden ............................... 58 Gambar 3.18 Tahun terjadinya kekeringan menurut Responden ....................... 58 Gambar 3.19 Luas terkena dan puso areal padi tahun 1995-2010 .................... 59 Gambar 3.20 Luas areal padi yang mengalami puso tahun 2006-2008
di Pacitan ..................................................................................... 59 Gambar 3.21 Luas terkena kekeringan kecamatan pada tahun 1991,
1994, 1997, 2003, 2007 ............................................................... 60 Gambar 3.22 Luas panen padi bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di
Kabupaten Pacitan ....................................................................... 61 Gambar 3.23 Luas tambah tanam bulanan (ha) dan curah hujan tahun
2006 hingga 2009 ........................................................................ 62 Gambar 3.24 Luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten Pacitan
dari tahun 1990 hingga 2010 ....................................................... 63 Gambar 3.25 Anomali luas panen padi per tahun di Kabupaten Pacitan ........... 63 Gambar 3.26 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan
menggunakan irigasi dan tanpa irigasi di Kecamatan Pacitan ......................................................................................... 66
Gambar 3.27 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan perbedaan pupuk dan perbedaan irigasi di Kecamatan Pacitan ...................................................................... 66
Gambar 3.28 Plot error pada setiap tanggal tanam ........................................... 70 Gambar 4.1 Diagram alir analisis kelayakan teknologi budidaya ..................... 76 Gambar 4.2 BC Ratio sebagian Responden .................................................... 78 Gambar 4.3 BC Ratio pada tahun-tahun Normal ............................................. 80 Gambar 4.4 BC Ratio pada tahun-tahun El-Nino ............................................. 80 Gambar 4.5 BC Ratio pada tahun-tahun La-Nina ............................................ 81 Gambar 5.1 Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan
risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al, 2009) ....................................................... 89
Gambar 5.2 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html) ................. 92
Gambar 5.3 Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial (Syahbuddin 2007) ................................................. 96
Gambar 5.4 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu (Ramadhani et al. 2011) .................................................. 98
Gambar 5.5 Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi prakiraan iklim BMKG ................................................ 100
Gambar 5.6 Bayesian network dengan tiga peubah ...................................... 104 Gambar 5.7 Bayesian network....................................................................... 104 Gambar 5.8 Decision network ....................................................................... 105 Gambar 5.9 Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al.
2010) ......................................................................................... 107 Gambar 6.1 Model FIS untuk pendugaan nilai risiko ...................................... 114 Gambar 6.2 Fungsi keanggotaan untuk Anomali SST Nino4 ........................ 118
xx
Gambar 6.3 Fungsi keanggotaan untuk CHMK.............................................. 118 Gambar 6.4 Fungsi keanggotaan untuk PMH ................................................ 119 Gambar 6.5 Fungsi keanggotaan untuk kekeringan ....................................... 119 Gambar 6.6 Contoh pilihan skenario di fuzzy rule .......................................... 120 Gambar 6.7 Contoh output di fuzzy rule......................................................... 120 Gambar 6.8 Hasil verifikasi FIS dengan observasi ........................................ 122 Gambar 6.9 Perbandingan nilai kekeringan observasi dengan hasil
keluaran FIS ............................................................................. 123 Gambar 7.1 Bayesian network dengan empat peubah .................................. 127 Gambar 7.2 Decision network ........................................................................ 129 Gambar 7.3 Model Kalender tanam dinamik .................................................. 130 Gambar 7.4 Pengkategorian bencana kekeringan (Buono et al. 2011) .......... 131 Gambar 7.5 Peluang kekeringan pada tingkat/kategori kekeringan
(K1 hingga K5) di 10 kecamatan di Pacitan ................................ 133 Gambar 7.6 Ilustrasi antara peluang terjadinya kekeringan dengan
kejadian bencana kekeringan antara tahun 1988 hingga tahun 2007 (Buono et al. 2011) .................................................. 135
Gambar 7.7 Tingkat / kategori kekeringan berdasarkan bayesian.................. 135 Gambar 7.8 Ilustrasi pertanaman berdasarkan tanggal tanam ....................... 136 Gambar 7.9 Contoh prediksi kehilangan hasil ................................................ 137
xxi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Prediktor untuk membentuk persamaan hasil tanaman ................... 41 Tabel 3.2 Pola tanam existing petani .............................................................. 47 Tabel 3.3a Pengelompokan tahun-tahun normal, El-Nino dan La-Nina
berdasarkan Indeks ONI ................................................................. 53 Tabel 3.3b Pengelompokan tahun-tahun normal, El-Nino dan La-Nina
berdasarkan Indeks ONI yang diperbaharui tanggal 5 April 2012................................................................................................ 53
Tabel 3.4 Pengurangan hasil antara perlakuan irigasi dengan tanpa irigasi di Kecamatan Pacitan ........................................................... 65
Tabel 3.5 Persamaan hasil untuk Kecamatan Pacitan ................................... 67 Tabel 4.1 Prediktor untuk mendapatkan persamaan BC Ratio ....................... 77 Tabel 4.2 Ilustrasi penghitungan BC Ratio (Kecamatan Arjosari) ................... 79 Tabel 4.3 Persamaan BC Ratio setiap tanggal tanam .................................... 81 Tabel 4.4 Koefisien persamaan BC Ratio dan kontribusi masing-
masing prediktor ............................................................................ 85 Tabel 5.1 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada
tahun normal ................................................................................ 100 Tabel 5.2 Nilai kelima peubah yang digunakan dalam penyusunan
bayesian network (Boer et al. 2007) ............................................. 102 Tabel 6.1 Contoh himpunan fuzzy untuk input (Anomali SST Nino 4,
PMH dan CHMK) ......................................................................... 116 Tabel 6.2 Contoh himpunan fuzzy untuk output (kekeringan) ....................... 117 Tabel 6.3 Contoh himpunan fuzzy untuk kekeringan Kecamatan
Tulakan ......................................................................................... 117 Tabel 7.1 Kategori kekeringan ...................................................................... 128
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Salah satu sektor yang berperan penting terhadap perekonomian nasional
adalah sektor pertanian. Sektor ini menyerap sekitar 44,47% dari keseluruhan
tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 2006, sektor ini menyumbang 13% PDB
nasional (Daryanto 2007), dan mencapai peningkatan pertumbuhan tertinggi dari
Triwulan II 2009 ke Triwulan III 2009, yaitu sebesar 7,3% (Badan Pusat Statistik
2009). Dari tahun 2004 hingga 2008, sektor pertanian berhasil meningkatkan
produksi padi dari 54,1 juta ton GKG pada tahun 2004 menjadi 60,3 juta ton GKG
pada 2008 atau meningkat rata-rata 2,8% per tahun, bahkan laju peningkatan
produksi padi tahun 2006-2008 mencapai 5,2% per tahun. Kenaikan produksi ini
menjadikan Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2008. Selain
padi, produksi jagung dan kedelai juga mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 9,5% dan 3,14% per tahun (Ditjen Tanaman Pangan 2009; Apryantono
et al. 2009). Namun demikian, sektor pertanian terutama tanaman pangan pada
umumnya paling rentan terhadap keragaman dan perubahan iklim (Stern et al.
2006) sehingga upaya adaptasi sangat diperlukan.
Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat didefinisikan
sebagai tingkat kekurangberdayaan sistem usaha tani dalam mempertahankan
dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara optimal dalam menghadapi
cekaman iklim (Tim Roadmap Sektor Pertanian 2010). Pada dasarnya kerentanan
bersifat dinamis sejalan dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi,
sumberdaya alam dan lingkungan. Kerentanan dipengaruhi oleh tingkat
keterpaparan (exposure) terhadap bahaya dan tingkat sensitivitas adaptif. Hal lain
yang berkaitan dengan kerentanan adalah dampak yang ditimbulkan yang
mungkin terjadi. Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara fisik,
produk, maupun secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman
perubahan iklim (Tim Roadmap Sektor Pertanian 2010).
Di Indonesia, kejadian akibat cekaman perubahan iklim yang
mengakibatkan kondisi iklim ekstrim umumnya dipengaruhi oleh kejadian ENSO
(El-Nino Southern Oscillation). Kejadian El-Nino (periode hangat ENSO) secara
signifikan dapat mengurangi curah hujan pada musim kemarau. Selama periode
La-Nina, curah hujan meningkat secara signifikan. Akibatnya, selama periode El-
2
Nino musim kemarau akan terjadi lebih panjang dibandingkan pada tahun-tahun
normal, dan sebaliknya selama La-Nina, musim kemarau akan berakhir lebih
cepat. Keeratan hubungan antara ENSO dan variabilitas iklim di Indonesia terjadi
di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali pada sebagian wilayah Sumatera
(Boer et al. 2011). Pengaruh yang kuat terjadi di sebagian besar wilayah
Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Jawa, Nusa Tenggara dan Papua (Gambar
1.1).
Gambar 1.1. Rata-rata luas areal tanam musim kemarau yang dipengaruhi oleh
kekeringan pada tahun-tahun El-Nino (Boer et al. 2011).
Fenomena ENSO memungkinkan terjadinya fluktuasi Produksi padi di
Indonesia (Naylor 2007, Boer et al. 2011). Kejadian El-Nino dapat menjadi pemicu
penurunan produksi padi, akibat penambahan luas areal tanam yang mengalami
kekeringan dan puso. Mundurnya awal musim hujan dapat menyebabkan
mundurnya pertanaman kedua. Pertanaman kedua inilah yang rentan mengalami
kekeringan. Pada periode 1989-2010 untuk tingkat nasional, akumulasi luas
tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 117 ribu sampai dengan
1,1 juta ha dan puso 8 ribu sampai dengan 263 ribu ha (Direktorat Perlindungan
Tanaman 2011), terutama pada tahun-tahun El Nino.
Tingkat kerentanan pertanaman padi di suatu wilayah, tergantung pada
tingkat kesiapan wilayah tersebut dalam menghadapi bencana. Dengan
melakukan antisipasi yang baik dari semua sektor terkait, akan membantu petani
dalam mengeliminir kerugian yang mungkin terjadi, karena sosialisasi yang baik
terhadap petani dalam menyesuaikan kegiatan pertanamannya akan memberikan
dampak yang signifikan, sejauh aplikasi yang dilakukan petani dalam merespon
3
informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, penjadwalan tanam dengan
memperhitungkan kemungkinan kejadian iklim ekstrim yang tertuang dalam suatu
kalender tanam merupakan salah satu solusi. Manfaat dari kalender tanam adalah
untuk memandu petani dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, mengingat
pentingnya jadwal penanaman, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman
hingga panen.
Dalam mengintegrasikan dan menganalisis berbagai faktor atau informasi
penting dalam pelaksanaan strategi budidaya tanaman padi dalam kaitannya
dengan perubahan dan keragaman iklim, diperlukan suatu kemasan pemodelan.
Model tersebut merupakan gambaran pada kondisi bagaimana suatu informasi
iklim dan budidaya yang diaplikasikan dapat dikatakan memiliki risiko gangguan
iklim terendah secara sosial ekonomi. Pemodelan yang dimaksud merupakan
suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utilitas yang dikaitkan
dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas
padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan
kalender tanam serta analisis sosial ekonomi dalam hubungannya dengan
produktivitas tanaman. Dalam penyusunan model utilitas tersebut digunakan
sistem inferensi fuzzy.
Informasi iklim yang dikeluarkan lembaga-lembaga penelitian dalam
kaitannya untuk peningkatan produktivitas tanaman padi sudah banyak dilakukan.
Salah satu informasi penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani
adalah kalender tanam. Informasi kalender tanam tanaman pangan secara
nasional sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007. Produk kalender tanam yang
sudah dihasilkan adalah Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan 1:1.000.000 dan
Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan 1:250.000 untuk Pulau Jawa (Las et al.
2007), Pulau Sumatera (Las et al. 2008), Pulau Kalimantan (Las et al. 2009a),
Pulau Sulawesi (Las et al. 2009b), dan wilayah Indonesia timur yang meliputi tujuh
provinsi (Bali, Maluku Utara, Maluku, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat), (Las et
al. 2010). Adapun manfaat dari kalender tanam adalah untuk memandu petani
dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, mengingat pentingnya jadwal
penanaman, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman, dan panen.
Informasi kalender tanam yang dibuat oleh Kementerian Pertanian tersebut
mengembangkan kalender tanam untuk tahun kering, normal dan basah (Las et al.
4
2007). Kalender tanam yang sudah dikembangkan saat ini membagi tiga bentuk
pola tanam rekomendasi pada tahun ENSO dan tahun normal, namun belum
memperhatikan sifat (intensitas dan lama siklus) dari fenomena tersebut. Output
yang dihasilkan berupa Atlas waktu tanam yang terbagi ke dalam empat skenario,
yaitu existing petani, waktu tanam tahun Normal, waktu tanam tahun La-Nina dan
tahun El-Nino. Data yang digunakan merupakan data rata-rata historis jangka
panjang. Kalender tanam ini mulai tahun 2011, diupdate setahun tiga kali, dan
pada perkembangannya menyertakan juga hasil prakiraan musim BMKG. Sejalan
dengan itu, tahun 2007 Boer et al. juga melakukan riset terkait kalender tanam
yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan sudah
lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim, sebagai
alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan
Bayesian network dan decision network. Dalam Decision Network (DN),
keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi
lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al. 2010). Informasi
dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan sebagai
indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan
panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam. Hal itu sejalan dengan
pendapat Lo et al. (2007) dan Robertson et a.l (2009) yang menyatakan bahwa
awal musim serta kekuatan dan durasi dari musim hujan merupakan karakteristik
kunci dari keragaman hujan dan berkaitan dengan kuat pada keragaman pola
ENSO.
Decision yang dihasilkan oleh Boer et al. (2007) baru mencakup waktu
tanam. Oleh karena itu, untuk mengembangkan kalender tanam yang sudah
dihasilkan, dilakukan penelitian dengan menambah decision yang dikeluarkan.
Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim
dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya. Pemodelan tersebut
dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan
produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem
informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman.
Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja menyangkut waktu tanam, tetapi
juga sudah memasukkan pilihan pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan
pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang
berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan
5
kerugian yang dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang
digabung dengan hasil simulasi DSSAT (Decision Support System for
Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan
kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat
pemilihan salah jenis teknologi tersebut.
Adapun tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan kalender
tanam dinamik sebagai alat bantu pengambil keputusan dalam menyusun strategi
pertanaman yang dapat meminimalkan risiko iklim tetapi di sisi lain akan
meningkatkan keuntungan ekonomi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari
pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi ditinjau dari
kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) pada suatu usaha
tani pada suatu musim tertentu yang memberi produksi maksimal dengan tingkat
kerugian yang minimal dengan menggunakan fungsi utilitas.
1.2. Perumusan Masalah / Kerangka Pemikiran Keragaman hasil tanaman semusim di Indonesia sangat berkaitan erat
dengan keragaman curah hujan. Bahkan pada kondisi iklim ekstrim, produksi
pertanian terutama tanaman pangan sangat terpengaruh. Sektor pertanian,
terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim
terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan
karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif
sensitif terhadap cekaman, teutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air.
Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan
dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta
varietas tanaman (Las et al. 2008).
Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang
berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim
ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan
muka laut. Awal masuk, lama dan sifat musim yang merupakan kunci dalam
menentukan keragaman hasil tanaman, sangat dipengaruhi oleh fenomena global
seperti ENSO, IOD dan lainnya (Lo et al. 2007; Robertson et al. 2009).
Mundurnya awal musim hujan akan menggeser pola dan rotasi tanaman yang
menyebabkan risiko tanaman kedua terkena kekeringan meningkat. Sementara
6
peningkatan hujan yang signifikan sampai jauh di atas normal pada musim hujan
juga berpotensi menimbulkan banjir.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, perlu diupayakan teknologi
budidaya adaptif, sehingga dapat mengurangi dampak dari kejadian iklim ekstrim.
Teknologi budidaya adaptif terhadap iklim ekstrim juga sudah dilakukan oleh
petani. Dalam kaitan ini, teknologi budidaya adaptif tersebut juga dipilah
berdasarkan hasil simulasi DSSAT yang digunakan untuk evaluasi dampak
keragaman iklim dan keragaman hasil tanaman pada berbagai teknologi budidaya.
Selanjutnya teknologi budidaya adaptif tersebut dievaluasi kelayakannya secara
ekonomi, baik teknologi adaptif yang sudah maupun yang belum digunakan
petani. Dalam menghubungkan keragaman iklim dan teknologi budidaya tanaman,
dilakukan penyusunan model utilitas (fungsi risiko) dengan menggunakan system
inferensi fuzzy (fuzzy inference system).
1.3. Tujuan Penelitian
1. Melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman
produksi tanaman yang dapat meminimumkan dampak negatif keragaman
iklim.
2. Melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap kelayakan ekonomi
teknologi budidaya untuk penanggulangan risiko iklim.
3. Menyusun state of the art pengembangan kalender tanam dinamik di
Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim.
4. Menyusun Decision Network yang dioptimasi dengan sistem inferensi
fuzzy (Fuzzy Inference System) untuk penyusunan kalender tanam
dinamik.
5. Melakukan evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk
pengelolaan risiko iklim.
1.4. Keluaran Penelitian 1. Informasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman hasil tanaman
serta teknologi-teknologi budidaya terpilih untuk meminimumkan dampak
negatif keragaman iklim.
2. Informasi teknologi-teknologi budidaya terpilih yang layak secara ekonomi
untuk meminimumkan dampak negatif keragaman iklim.
7
3. State of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia untuk
pengelolaan risiko iklim.
4. Informasi Decision Network yang dioptimasi dengan sistem inferensi fuzzy
(Fuzzy Inference System) untuk penyusunan kalender tanam dinamik.
5. Informasi hasil evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk
pengelolaan risiko iklim.
1.5. Manfaat Penelitian Kalender tanam dinamik merupakan pengembangan alat bantu
pengambilan keputusan yang diharapkan dapat membantu otoritas lokal untuk
mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada
musim tanam tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan. Dengan
demikian dapat membantu dalam mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim
ke depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam yang sesuai
dengan kondisi iklim, dan diharapkan dapat memperkecil potensi risiko iklim pada
musim tertentu.
1.6. Kebaruan (Novelty) Model fungsi utilitas dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy yang
menghubungkan keragaman iklim dengan alternatif teknologi budidaya tanaman
dengan menggunakan DSSAT sebagai tool, untuk diperoleh pilihan teknologi
dengan tingkat risiko iklim minimum, atau memiliki nilai ekonomis yang terbaik.
Mengintegrasikan data dan interpretasi SST Nino4, varietas, pemupukan,
Irigasi, dan penggunaan bahan organik, yang digunakan sebagai input untuk
menghasilkan opsi-opsi teknologi dan kelayakan ekonomi teknologi dalam
penyusunan kalender tanam.
1.7. Sistematika Penulisan Penulisan disertasi ini direncanakan terdiri atas 9 Bab. Secara khusus Bab
1 membahas tentang latar belakang penyusunan kalender tanam yang didasarkan
kepada sektoral roadmap tentang kebijakan pemerintah, perumusan masalah yang
mendasari penelitian, tujuan, keluaran, manfaat, kebaruan penelitian dan
sistematika penulisan. Bab 2 berupa tinjauan pustaka yang memaparkan sintesis
dari penelitian yang berkaitan dengan lokasi penelitian, keragaman iklim,
8
Roadmap Sektor Pertanian, ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan
kekeringan, fungsi utilitas, sistem inferensi fuzzy, kalender tanam, Bayesian dan
Decision Network dan mengenai model simulasi yang digunakan. Bab 3
membahas mengenai dampak keragaman iklim terhadap produksi padi, dikaitkan
dengan sistem budidaya dan teknologi adaptasi serta penggunaan simulasi
DSSAT, sebagai tool untuk menilai teknologi terpilih. Bab 4 membahas mengenai
tinjauan kelayakan ekonomi pada teknologi budidaya. Bab 5 menguraikan state of
the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia. Bab 6 menjelaskan
mengenai model fungsi risiko atau fungsi utilitas dalam bencana kekeringan
dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy (Fuzzy Inference System) untuk
optimasi decision network dalam pengembangan kalender tanam dinamik. Bab 7
membahas mengenai pemanfaatan kalender tanam dinamik. Bab 8 menjelaskan
mengenai potensi dan kendala penerapan kalender tanam serta kebijakan terkait.
Bab 8 tersebut merupakan pembahasan menyeluruh dari bab 3 hingga bab 7.
Simpulan dan saran disajikan pada Bab 9. Keterkaitan antar Bab secara
keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.2 dan 1.3.
9
Gambar 1.2. Kerangka penelitian
Data Seri Iklim
Data Sifat Genetis
Data Tanah
Teknologi Budidaya
DSSAT (Evaluasi dampak keragaman iklim dan
keragaman hasil tanaman)
Evaluasi Kelayakan Ekonomi
Data biaya-biaya, harga, hasil tanaman
State of the art Kalender Tanam Dinamik
Data ENSO
Data Sifat Musim
Sistem Inferensi Fuzzy untuk Decision Network dalam pengembangan Kalender Tanam Dinamik
Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik
Data Riil Observasi
Bab III
Bab VI
Bab V
Bab IV
Bab VII
10
Gambar 1.3. Keterkaitan antar bab penelitian
Bab I. PENDAHULUAN
Bab VIII. Potensi dan Kendala Penerapan Kalender Tanam
dalam Mengantisipasi Kejadian Iklim Ekstrim
Bab V. State of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia untuk
pengelolaan risiko iklim
Bab VII. Evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk pengelolaan
risiko iklim
Bab III. Keragaman Iklim dan Teknologi Budidaya yang dapat Meminimumkan
Dampak Negatif Keragaman Iklim
Bab II. Sintesis Permasalahan Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan
Kalender Tanam Dinamik
Bab IX. SIMPULAN dan SARAN
Bab IV. Evaluasi Kelayakan Ekonomi Teknologi Budidaya yang dapat
Meminimumkan Dampak Negatif Keragaman Iklim
Bab VI. Penyusunan Decision network yang dioptimasi dengan Sistem Inferensi
Fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik
11
II. SINTESIS PERMASALAHAN PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
2.1. Kabupaten Pacitan
Kabupaten Pacitan yang terletak di bagian paling barat daya Propinsi Jawa
Timur dan berada di kawasan pantai selatan Pulau Jawa berbatasan langsung
dengan Propinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah daratan 1.419, 44 Km2.
Secara administratif terbagi dalam 12 kecamatan, 5 kelurahan, 159 desa dan
1.032 dusun. Letak geografis berada antara 110˚55’ – 111˚25’ Bujur Timur dan
7˚55’ – 8˚17’ Lintang Selatan. Sekitar 21% dari luas Kabupaten Pacitan adalah
kawasan pegunungan kapur (kars) dengan topografi: 85% wilayah berbukit
sampai bergunung, 10% bergelombang, dan 5% wilayah datar.
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di
Provinsi Jawa Timur. Hal itu sejalan dengan Wahab et al. (2007) menyatakan
bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, luas tanam Kab. Pacitan seluas
13.005 Ha, sedangkan pada MK 2003 seluas 3.071 Ha. Terjadi musim kemarau
panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso. Luas areal yang terkena
bencana alam kekeringan pada MK-2003 adalah 2.074,67 Ha. Dari jumlah
tersebut 1.570,67 Ha mengalami puso. Bila rata-rata produktivitas padi di
Kabupaten Pacitan adalah 38,5 kw/ha GKG, maka terjadi kehilangan hasil
produksi padi sebesar 79,87 ton GKG atau sekitar 67.56%. Dari hasil survei yang
dilaksanakan pada 2(dua) desa menunjukkan bahwa semua petani mengalami
kekeringan dalam berusahatani terutama untuk tanaman pangan (padi + palawija).
Walaupun kekeringan yang melanda hampir terjadi setiap tahun, tetapi kekeringan
paling serius yang dialami petani pada 5 (lima) tahun terakhir adalah terjadi pada
tahun 2003 (Wahab et al 2007).
Akibat kekeringan tahun 2003, luas panen tanaman padi mengalami
penurunan sebesar 12,2 % dibanding luas tanam tahun 1999, sedangkan produksi
terjadi penurunan lebih besar yaitu mencapai 15,2 %. Bahkan untuk tanaman
kedelai telah terjadi penurunan lebih besar yaitu pada luas panen sebesar 28,5 %,
sedangkan untuk produksi mencapai penurunan sebesar 23,8 % (Wahab et al.
2007).
12
Gambar 2.1 Peta administratif Kabupaten Pacitan
2.2. Road Map sektor Pertanian
Dalam hubungannya dengan pengelolaan risiko iklim terhadap pertanian,
diperlukan suatu acuan, yang tertuang dalam Road Map. Road Map 2012-2020
disusun berdasarkan analisis dan kajian secara komprehensif terhadap dinamika
dan skenario perubahan iklim, kerentanan sektor pertanian dan berbagai kebijakan
pemerintah terkait. Road map dipilah berdasarkan tahapan dan waktu
pelaksanaan kegiatan sejak 2012 sampai 2020. Program dan kegiatan tersebut
dikelompokkan ke dalam lima bagian utama: (1) penelitian dan pengembangan, (2)
diseminasi dan advokasi, (3) antisipasi perubahan iklim, (4) adaptasi dan mitigasi,
dan (5) manajemen adaptasi dan mitigasi (Tim Road Map Sektor Pertanian 2011).
1. Penelitian dan Pengembangan
Kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendukung rencana aksi
sektor pertanian secara umum bertujuan untuk melakukan inventarisasi emisi GRK
dan penyerapan karbon sektor pertanian, analis dampak perubahan iklim, mencari
teknologi mitigasi dan adaptasi, dan menetapkan strategi dan kebijakan.
13
Penelitian adaptasi perubahan iklim sektor pertanian difokuskan pada
tanaman pangan dan hortikultura untuk RPJM 2012-2020. Ruang lingkup
penelitian adaptasi mencakup pengembangan varietas tanaman yang adaptif,
teknik pengelolaan tanah dan air, dan teknik budidaya tanaman. Penelitian mitigasi
perubahan iklim difokuskan pada subsektor perkebunan dan pertanian di lahan
gambut. Hasil penelitian akan disintesis untuk menghasilkan usulan kebijakan
dalam pembangunan pertanian, terutama yang berkaitan dengan antisipasi,
adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim.
2. Advokasi dan Diseminasi
Penelitian advokasi kebijakan dan diseminasi teknologi diarahkan bagi
upaya peningkatan pemahaman petani dan masyarakat luas tentang pemanfaatan
informasi iklim dan UU/peraturan terkait. Tindakan advokasi diarahkan pada
sosialisasi advokasi peraturan perundangan yang menyangkut ketentuan
pelestarian lingkungan dan pengembangan dan replikasi SLPTT.
3. Antisipasi Perubahan Iklim
Kegiatan antisipasi bertujuan untuk menetapkan arah dan strategi
kebijakan secara dini, serta menyiapkan program, teknologi, tool, pengembangan
kapasitas (capacity building), roadmap dan pedoman umum dalam rangka
menghadapi dampak perubahan iklim. Kegiatan antisipasi perubahan iklim tahun
2012-2020 diarahkan pada 1) pengembangan infrasruktur, terutama jaringan
irigasi, 2) Pengembangan sistem prediksi hujan dan awal musim, peringatan dini
banjir dan kekeringan, 3) penyusunan roadmap, pedoman umum mitigasi dan
adaptasi, kalender tanam dinamik, 4) Peningkatan kapasitas SDM dalam
pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dan 5) Penyusunan dan penerapan (enforcement) peraturan
perundangan mengenai lahan pertanian.
4. Adaptasi dan Mitigasi
Program adaptasi iklim mencakup fasilitasi pemerintah untuk aplikasi
teknologi budidaya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim (penyediaan
varietas adaptif, fasilitasi penerapan teknik pengelolaan lahan dan air),
peningkatan indeks panen, penurunan risiko gagal panen, peningkatan
produktivitas dan kapasitas irigasi. Mitigasi GRK mencakup ekstensifikasi
perkebunan pada lahan terlantar, pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan,
dan aplikasi teknologi rendah emisi seperti penyiapan lahan tanpa bakar,
14
pengembangan biofuel, penggunaan bahan organik dan pakan ternak rendah
emisi.
5. Manajemen Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Untuk dapat mengukur kerberhasilan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim diperlukan manajemen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup
aspek perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, monitoring, evaluasi dan
pelaporan.
2.3. Keragaman dan perubahan iklim dan efeknya terhadap produksi padi
Perubahan iklim mempengaruhi sektor pertanian baik secara langsung
maupun tidak langsung diantaranya melalui efeknya terhadap suhu dan perubahan
curah hujan dalam biologi dan fisik lingkungan (Brown dan Rosenberg 1997 yang
diacu dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello 2009). Ketersediaan air merupakan
salah satu konsekuensi paling dramatis perubahan iklim untuk sektor pertanian
(Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello 2009). Penurunan kelembaban tanah
menyiratkan pengurangan yang signifikan pada produktivitas tanaman lahan
kering potensial. Di sisi lain, peningkatan hujan lebat berdampak pada erosi dan
tanah.
Ketika terjadi perubahan iklim, produksi tanaman terpengaruh. Ada
banyak studi yang mempertimbangkan jenis dan jumlah produksi untuk perubahan
tanaman tertentu, tempat dan skenario. Lainnya mencoba memperluas
pengetahuan tentang perubahan produksi dan dampak ekonomi serta
kesejahteraan daerah mereka (Adams et al. 1990; Brown dan Rosenberg 1997;
Brown et al. 2000; Easterling et al. 2000 dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello
2009). Pendekatan yang digunakan untuk menilai respon tanaman untuk
perubahan iklim bervariasi dari model regresi sederhana hingga model yang
kompleks.
Dalam lima tahun terakhir, petani di Jawa dan Sumatera telah
mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal yaitu permulaan musim hujan
bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kemarau sekitar 10-60 hari lebih
cepat (Handoko et al. 2008). Perubahan iklim yang terjadi telah mengubah pola
tanam yang dilakukan oleh petani. Secara umum Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Timur yang pasokan airnya lebih tersedia, memiliki intensitas tanam yang lebih
tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Jawa. Namun, di kedua
15
provinsi tersebut telah terjadi perubahan pola tanam, yang sebelumnya padi-padi-
padi menjadi padi-padi-palawija. Hal ini mengindikasikan bahwa petani telah
menyesuaikan terhadap adanya perubahan iklim (utamanya berupa penurunan
curah hujan dan jumlah bulan hujan) dengan menyesuaikan jenis tanaman yang
diusahakan, yaitu dari padi yang memerlukan pasokan air yang banyak ke palawija
yang memerlukan lebih sedikit air (Handoko et al. 2008)
Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah
selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur
Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode
musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim
kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat (Gambar
2.2). Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan
kekeringan. Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007).
rain
fall
Aug Dec May
Frekuensi banjirmeningkat
Frekuensi kekeringanmeningkat
rain
fall
Aug Dec May
Frekuensi banjirmeningkatFrekuensi banjirmeningkat
Frekuensi kekeringanmeningkatFrekuensi kekeringanmeningkat
Gambar 2.2 Kemungkinan pergeseran curah hujan di Jawa dan Bali (Naylor et
al. 2007) 2.4. ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan kekeringan
Musim hujan di Indonesia dipengaruh oleh El Niño - Southern Oscillation
(ENSO) yang sangat kuat pengaruhnya pada bulan September-Desember
(Hamada et al. 2002). Pengaruh ENSO semakin berkurang selama bulan
Desember – Februari (Giannini et al. 2007) sehingga waktu masuknya musim
hujan dan kemarau dapat diramalkan dengan memperhatikan kekuatan pengaruh
Pola hujan sekarang
Pola hujan mendatang
16
ENSO. Mengingat prediktabilitas variabilitas iklim musiman terkait dengan ENSO,
dapat digunakan untuk mengurangi resiko pertanian.
Haryanto (1998) menyatakan bahwa curah hujan DAS Citarum terkait erat
dengan fase SOI. Baik El-Nino maupun La-Nina hanya berkaitan erat dengan
anomali curah hujan pada musim kemarau, sedangkan dengan anomali curah
hujan musim penghujan keterkaitan fase SOI dengan curah hujan DAS Citarum
menjadi lemah. Bila pada musim kemarau terjadi El-Nino maka anomali terbesar
yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -84% atau rata-ratanya
-36%. Sedangkan bila terjadi La-Nina, anomali terbesar yang pernah terjadi adalah
+65% atau rata-ratanya +39%. Bila pada musim penghujan terjadi El-Nino, maka
anomali terbesar yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -31%
atau rata-ratanya -5%, sedangkan bila terjadi La-Nina anomali terbesar yang
pernah terjadi adalah +8% atau rata-ratanya +5%.
Falcon et al. (2006) melakukan pengamatan pengaruh ENSO terhadap
keragaman hujan di seluruh Provinsi di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa
keragaman curah hujan seluruh Provinsi di Pulau Jawa-Madura, dan Bali secara
signifikan dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Lebih lanjut Battisti et al. (2007)
menganalisis korelasi ENSO terhadap curah hujan bulanan di Indonesia. Untuk
Pulau Jawa, keragaman curah hujannya pada bulan Januari-April tidak berkorelasi
dengan fenomena ENSO, curah hujan bulan Mei-Agustus berkorelasi dengan
ENSO sebesar 40-60%, sedangkan curah hujan pada bulan September-Desember
sangat berkorelasi (Nilai korelasi 80-100%).
Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak
kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak
bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah 2005). Hal ini
menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
fenomena ini. Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian
besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Pengamatan terhadap
tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh
bahwa untuk setiap 1oC peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3
rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm.
Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu
muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal (Boer dan Subbiah 2005).
17
Salah satu penyebab terjadinya kekeringan adalah musim hujan berakhir
lebih awal dari biasanya atau dari normalnya. Menurut Boer et al. (2009), pada
saat fenomena El-Nino berlangsung, pada banyak daerah musim hujan dapat
berakhir lebih cepat dari biasanya atau hujan mendadak hilang pada bulan-bulan
berikutnya, sehingga tanaman kedua terkena kekeringan. Masalah ini muncul
karena pada waktu musim tanam pertama berakhir, hujan biasanya masih banyak
dan petani biasanya akan melanjutkannya dengan penanaman kedua. Setelah
penanaman dilakukan, musim hujan berakhir lebih cepat sehingga tanaman
terkena kekeringan. Lebih lanjut Boer et al. (2009) menjelaskan bahwa dampak
dari kekeringan yang terjadi adalah kegagalan panen pada tanaman musim
kemarau. Gagal panen tidak hanya dapat terjadi pada lahan tadah hujan, tetapi
juga pada lahan beririgasi. Hal ini terjadi karena sumber air utama musim
kemarau adalah air irigasi, tetapi karena hujan turun di bawah normal, maka
jumlah air irigasi menjadi berkurang sehingga tidak cukup untuk bisa mengairi
semua pertanaman yang ada dan akhirnya menimbulkan masalah kekeringan.
2.5. Model Simulasi DSSAT
The decision support system for agrotechnology transfer (DSSAT) awalnya
dikembangkan oleh ilmuwan jaringan internasional, yang bekerja sama dalam
proyek Benchmark Sites Network for Agrotechnology Transfer (Jones et al. 2003),
untuk memfasilitasi penerapan model tanaman dalam pendekatan sistem
penelitian agronomi. Penyusunan awalnya didorong oleh kebutuhan untuk
mengintegrasikan pengetahuan tentang tanah, iklim, tanaman, dan manajemen
untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam mentransfer teknologi produksi
dari satu lokasi ke lokasi lain di mana tanah dan iklim berbeda (Jones et al. 2003).
DSSAT adalah kumpulan program-program independen yang beroperasi
bersama-sama. Database menggambarkan cuaca, tanah, kondisi percobaan dan
pengukuran, dan informasi genotipe untuk menerapkan model pada situasi yang
berbeda. Perangkat lunak membantu pengguna mempersiapkan database
tersebut dan membandingkan hasil simulasi dengan pengamatan untuk memberi
mereka keyakinan terhadap model atau untuk menentukan apakah modifikasi-
modifikasi diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Jones et al. 2003). Selain itu,
program yang terdapat dalam DSSAT memungkinkan pengguna untuk
18
mensimulasikan opsi untuk pengelolaan tanaman selama beberapa tahun untuk
menilai risiko yang terkait dengan opsi masing-masing.
DSSAT pertama kali dirilis (v2.1) pada tahun 1989; rilis tambahan dibuat
pada tahun 1994 (V3.0) (Tsuji et al. 1994 dalam Jones et al. 2003) Dan 1998
(v3.5) (Hoogenboom et al. 1999 dalam Jones et al. 2003). Dalam
perkembangannya DSSAT direvisi kembali dengan intinya adalah menyusun
cropping system model yang baru (DSSAT-CSM).
Tujuan dari DSSAT- CSM (Jones et al. 2003) adalah:
1. Untuk simulasi sistem produksi tanaman monokultur dengan
mempertimbangkan cuaca, genetika, tanah air, karbon tanah dan nitrogen, dan
manajemen dalam satu atau beberapa musim serta rotasi tanaman pada
setiap lokasi dimana input minimum disediakan.
2. menyediakan sebuah platform untuk menggabungkan modul faktor abiotik dan
biotik lainnya secara lebih mudah, seperti fosfor tanah dan penyakit tanaman.
3. untuk menyediakan platform yang memungkinkan seseorang untuk dengan
mudah membandingkan modul alternatif untuk komponen tertentu dalam
memfasilitasi perbaikan model, evolusi, dan dokumentasi, dan
4. untuk menyediakan kemudahan dalam memperkenalkan CSM ke aplikasi
tambahan program dalam suatu modul.
DSSAT-CSM memiliki driver program utama, sebuah unit modul lahan, dan
modul untuk komponen-komponen utama yang membentuk unit lahan dalam
sistem tanaman (Gambar 2.3). Modul Primer adalah cuaca, tanah, tanaman,
penghubung tanah-tanaman-atmosfer dan komponen-komponen pengelolaannya.
Secara keseluruhan, komponen ini menggambarkan perubahan-perubahan waktu
dalam tanah dan tanaman yang terjadi pada satu unit lahan sebagai respons
terhadap cuaca dan manajemen.
Untuk berjalannya model, DSSAT memerlukan data minimum, mencakup
data di wilayah mana model akan dioperasikan, pada cuaca harian selama siklus
pertumbuhan, karakteristik tanah pada awal siklus atau urutan tumbuh tanaman,
dan pada pengelolaan tanaman (misalnya tingkat pembibitan, aplikasi pupuk,
irigasi) (Jones et al. 2003 ; Thorp et al. 2008). Data cuaca yang diperlukan
mencakup data harian intensitas radiasi matahari total pada bagian atas kanopi
tanaman, suhu udara maksimum dan minimum di atas tanaman, dan curah hujan.
Namun, diakui bahwa semua data cuaca yang diperlukan untuk wilayah tertentu
19
dan periode waktu tertentu sering tidak tersedia. Dalam kasus tersebut, untuk
memenuhi data minimum diupayakan dengan menghitung nilai pengganti atau
menggunakan data dari site di dekatnya. Untuk menghitung nilai pengganti,
statistik iklim di site tertentu adalah penting dan sangat mungkin diperlukan (Jones
et al. 2003).
Gambar 2.3 Sekilas komponen dan struktur modular dari DSSAT-CSM
Model tanaman DSSAT telah banyak digunakan selama 15 tahun terakhir
oleh banyak peneliti pada aplikasi yang berbeda. Banyak dari aplikasi ini telah
dilakukan untuk mempelajari manajemen pilihan pada lokasi penelitian, termasuk
pupuk, irigasi, hama, dan pertanian spesifik lokasi. Aplikasi ini telah dilakukan oleh
peneliti pertanian dari berbagai disiplin ilmu, sering bekerja dalam tim untuk
mengintegrasikan sistem analisis tanaman dengan menggunakan model bidang
penelitian agronomi dan informasi sosial ekonomi untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang kompleks tentang produksi, ekonomi, dan lingkungan.
Sebuah aspek penting dari banyak studi ini adalah pertimbangan bahwa
cuaca mempengaruhi kinerja tanaman, berinteraksi dengan cara yang rumit
dengan tanah dan tanaman. Peneliti telah menerapkan model-model untuk
mempelajari ketidakpastian produksi tanaman terkait dengan variabilitas cuaca
dan risiko ekonomi terkait dengan variabilitas iklim (Jones et al. 2003).
20
Pada DSSAT versi 4.0, tersedia EasyGrapher (Yang dan Huffman 2004)
yaitu tampilan grafis dan program validasi statistik yang dirancang untuk model
DSSAT. EasyGrapher dapat mempercepat validasi DSSAT output, yang biasanya
membutuhkan waktu dan usaha untuk mengekspor output data ke dalam paket
statistik eksternal. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membuat grafik validasi,
menampilkan simulasi data terhadap kebenaran data tanah dan menghitung
statistik validasi seperti root mean square error, mean error, efisiensi peramalan
dan t-tes berpasangan.
Selanjutnya Thorp et al. (2008) memperkenalkan sebuah prototipe sistem
pendukung keputusan (DSS) yang disebut Apollo yang dikembangkan untuk
membantu peneliti dalam menggunakan DSSAT model pertumbuhan tanaman
untuk menganalisis set data pertanian secara presisi. Karena model DSSAT ditulis
untuk mensimulasikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam unit
tanah homogen, Apollo DSS memiliki fungsi khusus untuk menjalankan model
DSSAT untuk mensimulasikan dan menganalisis variabel dan pengelolaan tanah
secara spasial. DSS memiliki modul yang memungkinkan pengguna untuk
membangun file input untuk model simulasi spasial di zona standar manajemen,
mengkalibrasi model untuk mensimulasikan hasil variabilitas spasial secara
history, validasi model untuk musim tidak digunakan untuk kalibrasi, dan
memperkirakan respon tanaman dan dampak lingkungan dari nitrogen, populasi
tanaman, kultivar, dan dosis irigasi.
2.6. Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System)
Logika fuzzy merupakan salah satu komponen pembentuk soft computing.
Pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lofti A. Zadeh pada tahun 1965. Dasar
logika fuzzy adalah teori himpunan fuzzy. Pada teori himpunan fuzzy, peranan
derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan elemen dalam suatu himpunan
sangatlah penting. Nilai keanggotaan atau derajat keanggotaan atau membership
function menjadi ciri utama dari penalaran logika fuzzy tersebut (Kusumadewi dan
Purnomo 2010). Dalam banyak hal, logika fuzzy digunakan sebagai suatu cara
untuk memetakan permasalahan dari input menuju output yang diharapkan.
Logika fuzzy dapat dianggap sebagai kotak hitam yang menghubungkan antara
ruang input menuju ke ruang output.
21
Beberapa keunggulan logika fuzzy (Kusumadewi dan Purnomo 2010),
diantaranya adalah :
1. Konsep logika fuzzy yang menggunakan dasar teori himpunan, mudah
dimengerti.
2. Sangat fleksibel, artinya mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan
dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan.
3. Memiliki toleransi terhadap data yang tidak tepat, sehingga jika ada data yang
tidak homogen, logika fuzzy memiliki kemampuan untuk menangani data
tersebut.
4. Mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat kompleks.
5. Dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para
pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan.
6. Dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendali secara konvensional.
7. Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami, sehingga mudah dimengerti.
Pada himpunan tegas (crisp), nilai keanggotaan hanya ada dua
kemungkinan, yaitu 0 atau 1. Pada himpunan fuzzy, nilai keanggotaan terletak
pada rentang 0 sampai 1. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan
probabilitas menimbulkan kerancuan, karena keduanya memiliki nilai interval [0,1],
namun interpretasi nilainya sangat berbeda, antara fuzzy dan probablitas.
Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan,
sedangkan probabilitas mengindikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil
bernilai benar dalam jangka panjang (Kusumadewi dan Purnomo 2010).
Ada tiga operator dasar untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan
fuzzy, yang diciptakan Zadeh, yaitu operator AND, OR dan NOT (Kusumadewi dan
Purnomo 2010). Tiap-tiap aturan (proposisi) pada basis pengetahuan fuzzy akan
berhubungan dengan suatu relasi fuzzy. Bentuk umum dari aturan yang
digunakan dalam fungsi implikasi adalah :
IF x is A THEN y is B
Dengan x dan y adalah skalar, dan A dan B adalah himpunan fuzzy. Proposisi
yang mengikuti IF disebut sebagai anteseden, sedangkan proposisi yang
mengikuti THEN disebut sebagai konsekuen.
Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System atau FIS) merupakan
suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada teori himpunan fuzzy, aturan
fuzzy berbentuk IF-THEN, dan penalaran fuzzy (Kusumadewi dan Hartati 2010).
22
Sistem inferensi fuzzy menerima input crisp. Input ini kemudian dikirim ke basis
pengetahuan yang berisi n aturan fuzzy dalam bentuk IF-THEN. Fire strength
akan dicari pada setiap aturan. Apabila jumlah aturan lebih dari satu, maka akan
dilakukan agregasi dari semua aturan. Selanjutnya, pada hasil agregasi akan
dilakukan defuzzy untuk mendapatkan nilai crisp sebagai output system (Gambar
2.4).
Aturan-1
fuzzy
crips
Aturan-n fuzzy
fuzzy
crisp Gambar 2.4 Diagram blok Sistem Inferensi Fuzzy (Kusumadewi dan Hartati
2010) Ada beberapa metode Fuzzy Inference System (FIS) (Kusumadewi dan
Purnomo 2010), yaitu :
1. Metode Tsukamoto
Metode Tsukamoto merupakan perluasan dari penalaran monoton, pada
metode ini, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-THEN harus
direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi
INPUT
IF-THEN
IF-THEN
AGREGASI
DEFUZZY
OUTPUT
23
keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari
tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire
strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata
terbobot.
2. Metode Mamdani
Metode Mamdani dikenal sebagai metode max-min yang diperkenalkan
oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975.
Untuk mendapatkan output pada metode Mamdani, diperlukan 4 tahapan,
yaitu:
a. Pembentukan himpunan fuzzy
Pada Metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output
dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy.
b. Aplikasi fungsi implikasi
Pada metode Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min.
c. Komposisi aturan
Ada 3 metode komposisi aturan yang digunakan dalam melakukan
inferensi sistem fuzzy, yaitu: max, additive dan probabilistik OR
(probor). Pada Metode Max, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan
cara mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya
untuk memodifikasi daerah fuzzy, dan mengaplikasikannya ke output
dengan menggunakan operator OR (union). Jika semua proposisi telah
dievaluasi, maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang
merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap preposisi. Pada metode Additive
(sum), solusi himpunan fuzzy diperoleh denagn cara melakukan
bounded-sum terhadap semua output daerah fuzzy. Sedangkan
metode probabilistik OR (probor), solusi himpunan fuzzy diperoleh
dengan cara melakukan product terhadap semua output daerah fuzzy.
d. Penegasan (defuzzy)
Input dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang
diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang
dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy
tersebut. Sehingga jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range
tertentu, maka harus dapat diambil suatu nilai crisp tertentu sebagai
output.
24
3. Metode Sugeno
Penalaran menggunakan metode Sugeno hampir sama dengan penalaran
pada metode Mamdani, hanya saja output system tidak berupa himpunan
fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan linear. Metode ini
diperkenalkan tahun 1985 oleh Takagi-Sugeno Kang, sehingga metode ini
sering juga dinamakan dengan metode TSK (Kusumadewi dan Purnomo
2010)
2.7. Bayesian dan Decision Network Dalam dekade terakhir, Bayesian Network semakin banyak diterapkan
dalam berbagai bidang ilmu. Barton et al. (2008) melaporkan bahwa Bayesian
Network juga diterapkan di bawah ketidakpastian pengelolaan lingkungan dan juga
untuk pengelolaan air terpadu.
Bayesian Network terdiri dari struktur grafis dan deskripsi hubungan
probabilistik antara variabel dalam sistem (Borsuk et al. 2004). Oleh karena itu,
maka pada Bayesian Network, peluang dari suatu peubah tertentu dapat diketahui
kalau diketahui nilai peubah lain. Lebih jauh Borsuk et al. (2004) menyatakan
bahwa struktur grafis secara eksplisit merupakan asumsi sebab akibat yang
memungkinkan suatu rantai sebab akibat terhubung secara kompleks yang
memungkinkan adanya hubungan bersyarat. Setiap hubungan ini kemudian dapat
secara independen diukur menggunakan sub model yang sesuai untuk jenis dan
skala informasi yang tersedia. Pendekatan ini sangat berguna untuk pemodelan
ekologis karena pola diprediksi dapat muncul pada berbagai skala, sehingga
dibutuhkan bermacam-macam bentuk model.
Sedangkan pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana
kaitan dari tiga hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta
ketidakpastian dari peubah-peubah dalam Bayesian Network. Decision Network
(DN) atau sering disebut juga sebagai Influenced Network merupakan
pengembangan dari Bayesian Network (BN).
Ada tiga hal yang merupakan hal penting dalam suatu Bayesian Network
yaitu :
• Himpunan node (setiap peubah diwakili satu node)
• Link antar dua node (merepresentasikan keterkaitan sebab-akibat dari node
sumber ke node terminal)
25
• Tabel peluang bersyarat pada stiap node dengan syarat parent dari node
tersebut.
Pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana kaitan dari tiga
hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta ketidakpastian dari
peubah-peubah dalam Bayesian Network. Decision Network merupakan hasil
integrasi antara Bayesian Network dengan keputusan yang diambil dan fungsi
utility (fungsi keuntungan/risiko).
Decision Network (DN) terdiri dari tiga jenis node, yaitu :
a. Chance node : node yang merepresentasikan peubah-peubah dalam
BN. Node ini dilambangkan dengan simbol
b. Decision node : node yang merepresentasikan peubah keputusan,
sehingga nilai dari node ini adalah semua kemungkinan keputusan
yang bisa diambil. Decision node dilambangkan dengan :
c. Utility node : node yang merepresentasikan nilai resiko yang mungkin
terjadi. Oleh karena itu, nilai dari node ini adalah semua kemungkinan
resiko yang bisa terjadi akibat dari keputusan yang diambil dan
ketakpastian yang ada pada BN. Utility node dilambangkan dengan :
2.8. Kalender Tanam Sebuah studi mengenai kalender tanam dilakukan di Malaysia oleh Lee et
al. (2005). Studi ini membahas cara-cara dan sarana untuk mengatasi masalah
kelangkaan air dengan menetapkan kalender untuk jadwal tanam dengan
mempertimbangkan curah hujan, sungai yang tersedia dan kebutuhan air irigasi di
aliran sebagai acuan. Sebuah pendekatan neraca air dengan menggunakan data
cuaca dan curah hujan selama 48 tahun digunakan dalam penelitian ini.
Chance node :
Decision node :
Utility node :
26
Pola tanam existing adalah padi-padi (Gambar 2.5). Kalender tanam
dicirikan oleh dua musim: main season dan off season. Dalam jadwal kalender ini,
off season berlangsung dari Mei sampai Oktober sedangkan main season dari
November sampai April. Pada off season, kalender tanam existing menghadapi
kelangkaan air. Varietas yang ditanam merupakan varietas dengan produksi tinggi
dan pematangan cepat, dengan durasi pertumbuhan 120-125 hari. Jadwal tanam
secara tradisional mengikuti pola curah hujan di Malaysia (Hill, 1977 dalam Lee et
al. 2005).
Gambar 2.5 Kalender tanam existing (Lee et al. 2005)
Jadwal penanaman tanaman yang telah disesuaikan untuk menghasilkan
manfaat maksimal dari aliran sungai maupun dari distribusi curah hujan
ditunjukkan pada Gambar 2.6. Jadwal tanam yang diusulkan memperhitungkan
fitur penting sebagai berikut: (1) periode persiapan lahan bertepatan dengan
curah hujan, (2) target panen dari tanaman dalam periode kering; dan (3)
menghindari penanaman pada bulan November / Desember dimana intensitas
angin musim timur laut pada puncaknya. Dengan demikian, tanaman main-season
kemudian harus dijadwalkan antara bulan September dan Februari, sedangkan
27
panen off season ditetapkan antara bulan Maret dan Agustus. Jadwal tanam telah
diatur sebagai berikut; tanaman main-season dimulai sebelum dimulainya musim
timur laut, dan berakhir dengan panen pada bulan Februari, saat kering. Untuk
tanaman off season, ditargetkan untuk panen pada bulan Agustus, menghindari
datangnya monsun timur laut pada bulan September. Kalender tanam yang
diusulkan dapat mengurangi kebutuhan air irigasi sebesar 30% dan 19% masing-
masing pada saat main-season dan off season, sehingga jadwal tanam menjadi
lebih baik (Lee et al. 2005).
Gambar 2.6 Kalender tanam usulan (Lee et al. 2005)
28
Gambar 2.7 Peta kalender tanam level kabupaten untuk skenario tahun basah
Pulau Jawa (Las et al. 2007a)
Penyusunan mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai TA 2007
(Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera) di Departemen Pertanian melalui
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan telah menyusun Peta
Kalender Tanam Pulau Jawa dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala
1:1.000.000 (Gambar 2.7) dan berbasis kecamatan dengan skala 1:250.000
(Gambar 2.8). Peta ini menggambarkan waktu tanam dan pola tanam tanaman
semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim
dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b). Sedangkan pada tahun 2009,
sudah disusun Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Kalimantan dan
Pulau Sulawesi 1:1.000.000 dan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau
Kalimantan dan Pulau Sulawesi 1:250.000 (Runtunuwu et al. 2009).
Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam
yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun
basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender
dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing
kondisi iklim tersebut. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana
mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian,
kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam, sesuai
dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu dinamis, karena
29
disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada skala kecamatan,
spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air
setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna karena
disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Gambar 2.8 Peta Kalender Tanam level kabupaten untuk tahun basah di Pulau
Jawa (Las et al. 2007a).
Kalimantan Barat
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Timur
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Tengah
0
10000
20000
30000
40000
50000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Selatan
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Barat
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Timur
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Tengah
0
10000
20000
30000
40000
50000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Kalimantan Selatan
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Luas
Tan
am (h
a)
2007 TN2006 TN2005 TK2004 TB2003 TN2002 TN2001 TK2000 TN
Gambar 2.9 Distribusi kalender tanam rata-rata propinsi Kalimantan: (a)
Kalimantan Barat, (b) Kalimantan Tengah, (c) Kalimantan Timur, dan (d) Kalimantan Selatan (Runtunuwu et al. 2009).
30
Jika diperhatikan kalender tanam per propinsi pada Gambar 2.10, waktu
tanam di Kalimantan Barat relatif seragam antar tahun. Tidak terlihat perubahan
luas tanam yang signifikan pada tahun normal, tahun basah dan tahun kering.
Selain itu juga luas penanaman pada MT2 sangat kecil dibanding dengan luas
taman pada waktu MT1.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan kalender tanam Departemen Pertanian
juga mulai melakukan sosialisasi kalender tanam. Pada tahun 2007 selain telah
dihasilkan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Jawa yang berisikan
saran informasi tanggal tanam untuk setiap kecamatan di Pulau Jawa dengan
output yang dihasilkan, selain Atlas juga Buku, CD dan WEB. Kegiatan ini
dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
pertanian d seluruh Pulau Jawa. Pada bulan Desember 2007, kegiatan sosialisasi
telah dlakukan oleh Litbang Pertanian melalui Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian (BBSDLP) yang diikuti oleh Dinas Pertanian di Pulau Jawa. Pada tahun
2008, Litbang Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Pengelolaan Lahan dan
Air juga melakukan kegiatan sosialisasi Kalender Tanam di seluruh Indonesia
secara bertahap (Runtunuwu et al. 2009).
Materi utama yang disampaikan pada setiap kegiatan sosialisasi ada tiga
hal, yaitu (1) Kalender Tanam Untuk Menghadapi Dampak Perubahan Iklim pada
Sektor Pertanian, (2) Dasar Penyusunan Kalender Tanam, dan (3) Cara membaca
Atlas dan Buku Kalender Tanam.
Sejak tahun 2010 dirintis pengembangan model kalender tanam dinamik,
yang mengakomodasi sifat dinamik perubahan variabel lain penentu sifat iklim,
seperti fase SOI dan SST. Model kalender tanam dinamik diharapkan dapat
mudah digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai alat bantu pengambil
keputusan untuk menyusun strategi pertanaman pada musim tanam tertentu yang
menyesuaikan dengan kondisi iklim. Pengembangan alat bantu pengambilan
keputusan tersebut diharapkan juga dapat membantu otoritas lokal untuk
mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada
musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan, sehingga dapat
meminimalkan risiko iklim tetapi di sisi lain dapat meningkatkan keuntungan
ekonomi. Kegiatan ini dimulai dengan kegiatan di proyek I-MHERE IPB 2-C (Boer
et al. 2010), dan pada saat yang sama risetnya dikembangkan lebih jauh lagi
31
dengan kegiatan KKP3T dengan menggunakan metode yang lebih diperluas
cakupannya (Buono et al. 2010).
Salah satu pendekatan model kalender tanam dinamik adalah jejaring
pengambilan keputusan (Decision Network). Dalam Decision Network (DN),
keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi
lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al. 2010). Informasi
dimaksud diantaranya anomali SST yang dapat digunakan sebagai indikator
tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang
musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam. Hal itu sejalan dengan pendapat
Lo et al. (2007) dan Robertson et al. (2009) yang menyatakan bahwa awal musim
serta kekuatan dan durasi dari musim hujan merupakan karakteristik kunci dari
keragaman hujan dan berkaitan dengan kuat pada keragaman pola ENSO.
Gambar 2.10 Tampilan untuk masuk ke aplikasi web Kalender Tanam Terpadu
Gambar 2.11 Tampilan peta tematik kekeringan skala nasional pada Kalender Tanam Terpadu
32
Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian yang dimotori oleh Balai
Besar Sumberdaya Lahan Pertanian meluncurkan ”Soft Launching Kalender
Tanam Terpadu”. Pada kalender tanam terpadu sudah menggabungkan
teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi yang optimal,
diantaranya varietas, pemupukan, metodologi identifikasi bencana banjir,
kekeringan dan OPT serta menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu
ditunjang dengan basisdata yang terorganisir dengan baik. Kalender tanam
terpadu dapat diakses pengguna dan bersifat user friendly. Pengguna dapat
mengakses dan juga menambahkan data pada feature yang sudah disediakan,
sesuai lokasi yang ingin diketahui. Akses tersedia di situs Badan litbang
Pertanian, http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam Terpadu.
Contoh tampilan dari Kalender Tanam Terpadu disajikan pada Gambar 2.10 dan
2.11.
33
III. EVALUASI DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP KERAGAMAN HASIL TANAMAN PADA BERBAGAI
TEKNOLOGI BUDIDAYA 3.1. Pendahuluan
Keragaman iklim terutama curah hujan sangat besar variasinya, sesuai
dengan ruang dan waktu. Ada beberapa hal yang menyebabkan keragaman iklim
di Indonesia, seperti letak Indonesia yang berada di antara dua samudera (Pasifik
dan Hindia), posisinya diantara pulau-pulau, kondisi kontur dan pegunungan yang
mempengaruhi kondisi lokal, dipengaruhi oleh dua sirkulasi besar dunia yaitu
sirkulasi zonal (Walker) dan meridional (Hadley), pengaruh angin monsoon,
Indonesia juga dilalui garis khatulistiwa yang menyebabkan variasinya hujannya
semakin tinggi.
Faktor-faktor di atas mempengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia,
meskipun besar pengaruhnya bervariasi antara satu dengan yang lain, tergantung
pada ruang dan waktu. Variasi iklim yang cukup besar pengaruhnya adalah
kondisi perubahan suhu muka laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan
terjadinya banjir dan kekeringan di Indonesia.
Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah
selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur
Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode
musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim
kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat.
Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan
kekeringan. Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007).
Selain curah hujan keragaman iklim dapat juga diakibatkan karena kondisi
lain. Penelitian terbaru KP3I (Boer et al. 2008) menggambarkan bahwa
peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan rata-rata
hasil tanaman dan secara langsung juga akan menurunkan tingkat produksi.
Dengan menggunakan asumsi bahwa tidak ada konversi sawah dan indeks
penanaman tidak mengalami peningkatan (Skenario 1), diperkirakan pada tahun
2025 produksi padi pada tingkat kabupaten akan mengalami penurunan antara
12.500 ton hingga 72.500 ton. Dengan menggunakan asumsi laju konversi lahan
34
sawah 0.77% per tahun dan tidak ada perubahan indeks penanaman (Skenario 2),
maka penurunan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding
produksi saat ini berkisar antara 42.500 ton sampai 162.500 ton. Apabila
diasumsikan tidak terjadi konversi sawah di Jawa (Skenario 3), pengaruh negatif
dari kenaikan suhu terhadap produksi padi dapat dihilangkan dengan
meningkatkan indeks penanaman padi. Dengan asumsi indeks penanaman padi
dapat ditingkatkan mengikuti skenario 3, tingkat produksi padi tahun 2025 di
sebagian besar Kabupaten di Jawa dapat dipertahankan atau bahkan meningkat
dibanding tingkat produksi saat ini kecuali di beberapa kabupaten seperti
Tulungagung, Kediri, Purworedjo, Wonosobo, Magelang, Sleman, Klaten dan
Sukohardjo. Selanjutnya apabila konversi sawah tetap terjadi dengan laju 0.77%
per tahun, peningkatan indeks penanaman (Skenario 4) dalam mengurangi
dampak negatif kenaikan suhu pada tahun 2025 tidak lagi efektif terutama di
kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah. Upaya peningkatan IP dapat
mempertahankan atau meningkatkan tingkat produksi tahun 2025 dari tingkat
produksi saat ini pada sebagian kabupaten-kabupaten di Jawa Barat dan Jawa
Timur.
Kejadian kekeringan di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan
fenomena El-Nino. Namun demikian, apabila dikaitkan dengan produksi,
berlangsungnya El-Nino tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan produksi
yang mencolok. Misalnya produksi beras tidak mengalami penurunan yang
drastis akibat kejadian tersebut kecuali tahun 1991, 1994 dan 1997. Ada
beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kondisi tersebut yaitu
(Boer dan Meinke 2002; Malingreau 1987; Bottema 1997): (a) Perhitungan
produksi didasarkan pada tahun kalender, sementara kejadian iklim ekstrim (El-
Nino) tidak mengikuti tahun kalendar, (b) Pengaruh El-Nino kuat hanya pada
beberapa daerah pusat produksi saja. (c) Adanya perubahan keputusan petani,
misalnya dari menanam padi menjadi menanam kedelai akibat kurangnya
ketersediaan air pada waktu kejadian El-Nino (d) Terjadinya peningkatan hasil per
satuan luas pada lahan beririgasi pada tahun El-Nino karena adanya peningkatan
intensitas penurunan produksi juga terjadi setelah tahun El-Nino akibat
menurunnya jumlah input (pupuk, pestisida dll) yang diberikan oleh petani sebagai
akibat dari menurunnya daya beli.
35
Penurunan dampak negatif keragaman iklim, dilakukan melalui langkah-
langkah berupa teknologi antisipasi yang dapat dilakukan. Dalam Sektoral Road
Map yang sudah dikeluarkan pemerintah, dibahas mengenai teknologi-teknologi
yang dapat diaplikasikan. Di samping itu, teknologi antisipasi dapat digali dari
kebiasaan petani setempat yang merupakan indigenous knowledge. Di daerah
tertentu, petani mempunyai langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan risiko kehilangan hasil panen, yang sifatnya sudah menjadi
kebiasaan setempat. Di Indramayu Provinsi Jawa Barat dikenal beberapa
teknologi sederhana sebagai teknologi antisipasi, salah satunya adalah sistem
culik. Sistem culik adalah suatu teknologi untuk percepatan tanam pada musim
kemarau, sehingga kemunduran waktu tanam apabila awal musim hujan mundur,
tidak berpengaruh terhadap penanaman musim kemarau. Sisitem ini terkenal
dengan memanen sebagian kecil lahan lebih cepat, supaya dapat dilakukan
pembibitan, dan begitu panen musim hujan, tidak begitu lama untuk transplanting
tanaman musim kemarau, supaya tanaman pada musim kemarau tidak mengalami
kekeringan, sehingga kegagalan panen dapat ditekan.
Evaluasi teknologi adaptasi mengamati teknologi apa yang dilakukan
petani, bagaimana variasi sarana produksi yang digunakan petani, misalnya
bagaimana pupuknya, berapa takaran yang digunakan, varietas apa yang
digunakan, bagaimana sistem irigasinya. Salah satu hal yang dilakukan petani
untuk mempercepat panen diantaranya adalah dengan menggunakan varietas
genjah. Meskipun pada dasarnya, hal tersebut sesuai dengan kebiasaan petani
setempat. Sedangkan teknologi dari sisi irigasi biasanya yang dilakukan petani
adalah dengan membuat sumur bor, sehingga mempunyai cukup persediaan air
untuk waktu tanam tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi dampak keragaman iklim
terhadap keragaman produksi tanaman terutama padi yang dapat meminimumkan
dampak negatif keragaman iklim. Dengan menggunakan data-data yang
kemudian disimulasikan dalam DSSAT, akan diperoleh keragaman hasil (yield)
tanaman berdasarkan skenario atau alternatif teknologi budidaya yang bervariasi.
Teknologi budidaya yang menjadi input merupakan teknologi budidaya existing
dan skenario.
36
3.2. Metodologi
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan
salah satu kabupaten yang cukup kering di Provinsi Jawa Timur. Menurut Wahab
et al. (2007) bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, terjadi musim kemarau
panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso dan terjadi kehilangan hasil
produksi padi sekitar 67.56%.
3.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak Bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini, yaitu:
1. Data hujan harian pada beberapa stasiun di Kabupaten Pacitan
2. Data suhu harian dan bulanan dan data suhu maksimum dan minimum
harian
3. Data intensitas radiasi
4. Naskah Roadmap Sektor Pertanian 2010-2014
5. Data sawah Kabupaten Pacitan
6. Data produksi dan produktivitas padi
7. Data luas tanam dan panen
8. Data fisik dan kimia tanah
9. Data penggunaan pupuk existing
10. Data irigasi
11. Data varietas existing
12. Data pola tanam existing
13. Data tanah, meliputi fisik dan kimia tanah
3.2.3. Metodologi Penelitian 3.2.3.1. Survai Teknologi Budidaya untuk mengetahui karakteristik sistem
usaha tani padi di Pacitan
Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data Primer diperoleh melalui teknik wawancara (survai) dan dipandu
dengan kuisioner. Survai sistem usaha tani dimaksudkan untuk memahami model
pola tanam, varietas yang digunakan, pemupukan, irigasi dan kejadian kekeringan
yang dihadapi oleh petani di lokasi penelitian. Survai dilakukan di beberapa desa
37
terpilih yang didasarkan kepada kerentanannya terhadap kondisi kekeringan,
namun demikian didominasi oleh sistem usaha tani berbasis padi. Pengambilan
responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Stratifikasi sampel
berdasarkan golongan sistem pengairan yaitu irigasi teknis, setengah teknis dan
non-teknis (tadah hujan).
Survai dilaksanakan di Kecamatan Pringkuku, yang meliputi dua desa,
yaitu Desa Pringkuku dan Desa Candi. Desa Pringkuku mewakili wilayah
penelitian yang respondennya bervariasi. Ada petani yang menggunakan cara
irigasi penuh, semi serta tadah hujan. Luas lahan kering di lokasi ini sangatlah
besar persentasenya dari luas tanam tanaman pangan keseluruhan. Desa Candi
mewakili lokasi yang menggunakan irigasi penuh.
Informasi yang dikumpulkan melalui survai meliputi:
- Sumberdaya Pertanian. Bentuk informasi ini antara lain meliputi status
kepemilikan lahan, jadwal pergiliran tanaman per tahun (pola tanam), produksi,
sumber air di musim kemarau dan musim hujan, varietas, penggunaan pupuk
dan informasi penunjang lainnya.
- Masalah Iklim. Kejadian bencana iklim yang diidentifikasi adalah kekeringan.
Informasi yang diperlukan antara lain frekuensi dan distribusi waktu kejadian.
Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Pacitan,
Dinas Binamarga dan BMKG daerah. Data yang dikumpulkan meliputi; data
penggunaan lahan, varietas, kebiasaan budidaya petani, status irigasi lahan
pertanian, luas tanam dan panen, data iklim terutama curah hujan harian dan
bulanan, data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan, data harga
komoditas pertanian, bencana iklim (banjir, kekeringan, angin kencang).
Pengumpulan data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan serta
data iklim dari instansi terkait untuk mengetahui potensi curah hujan dalam kondisi
iklim normal, basah, dan kering. Pola tanam mencakup waktu tanam, intensitas
tanam, dan rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani selama satu tahun di
masing-masing wilayah (desa). Selain itu, untuk mengetahui perubahan kondisi
ENSO, dikumpulkan data ENSO.
Hasil survai kemudian ditabulasi sesuai kebutuhan untuk pengolahan data.
Sebagian satuan data yang tidak sama dilakukan konversi. Pengolahan data
umumnya ditujukan untuk melihat persentase responden terhadap kondisi atau
permasalahan tertentu. Selanjutnya persentase responden ini digunakan sebagai
38
acuan pengambilan kesimpulan untuk permasalahan tertentu, terutama ditujukan
untuk melengkapi mengenai informasi karakteristik usaha tani padi di Pacitan.
3.2.3.2. Analisis karakteristik ENSO dan hubungannya dengan sifat hujan
Analisis ini didasarkan kepada karakteristik ENSO pada tahun-tahun El-
Nino, Normal dan La-Nina yang dihubungkan dengan sifat curah hujan jangka
panjang. Karakteristik ENSO diperoleh berdasarkan indikator suhu permukaan
laut (SST pada NINO 4).
Adapun tahapan analisis adalah sebagai berikut :
a. Data mengenai keterkaitan antara fenomena ENSO dengan kejadian iklim
ekstrim dan bentuk informasi iklim yang diperlukan untuk penyusunan pola
tanam direkapitulasi dan diolah secara statistik deskriptif dan disajikan
hasilnya dalam bentuk tabulasi atau grafik sesuai kebutuhan.
b. Data ENSO yang digunakan menyangkut data SST terutama pada NINO 4.
Data yang diperoleh kemudian dihubungkan dengan kondisi curah hujan
menyangkut lama musim hujan dan sifat musim.
3.2.3.3. Analisis dampak ENSO terhadap kekeringan
Berdasarkan karakteristik ENSO, dilihat bagaimana hubungannya terhadap
bencana kekeringan dengan menggunakan analisis statistik, menyangkut luas
maupun bentuk bencana yang terjadi.
3.2.3.4. Analisis hubungan keragaman iklim dan kinerja SUT Padi
Dampak keragaman iklim jangka panjang kaitannya dengan produksi, dikaji
melalui tahapan sebagai berikut:
a. Data iklim menyangkut data curah hujan, suhu udara rata-rata, suhu udara
maksimum dan suhu udara minimum harian digunakan sebagai input untuk
menghitung file .wth, yaitu salah satu file yang dibutuhkan dalam proses
simulasi DSSAT. File .wth diperoleh dengan memasukkan data-data
tersebut dalam format excel, dan dipanggil di software Math lab. Data
terlebih dahulu disusun berdasarkan urutan tahun, sesuai dengan
ketersediaannya. DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology
39
Transfer) adalah paket perangkat lunak yang mengintegrasikan pengaruh
tanah, fenotipe tanaman, cuaca dan pilihan manajemen (Jones et al. 2003).
Gambar. 3.1 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak
pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT v3.5 (Jones et al. 2003)
b. Sebagai input untuk simulasi DSSAT, selain data iklim adalah data fisik dan
kimia tanah menyangkut penggunaan pupuk tertentu, data varietas, irigasi,
dan skenario penggunaan alternatif-alternatif teknologi.
Data tanah diperoleh melalui pengambilan sampel tanah. Dengan
menggunakan peta land system sebagai acuan, diperoleh beberapa lokasi
pertanian yang mempunyai karakteristik tanah yang berbeda. Berdasarkan
penentuan ini dilakukan pengambilan sampel tanah, dengan membedakan
lahan sawah dan lahan kering pada beberapa kecamatan. Kecamatan yang
diambil sampel tanahnya meliputi, Kecamatan Pacitan, Arjosari, Kebon
Agung, Ngadirojo dan Pringkuku. Di Kecamatan Pacitan, sampel diambil
dari Desa Kayen, Mentoro dan Arjowinangun, dengan kategori tanah sawah.
Di Kecamatan Arjosari diambil dari Desa Burang dengan kategori tanah
sawah. Di Kecamatan Kebon Agung diambil dari Desa Kebon Agung
dengan kategori sawah. Di Kecamatan Ngadirojo, pengambilan sampel
untuk kategori tanah sawah irigasi diambil dari Desa Ngadirojo, Cokro
Kembang, dan Desa Tanjungpuro, sedangkan untuk kategori lahan kering
40
diambil dari Desa Hadiwarno dan Sidomulyo. Di Kecamatan Pringkuku,
sampel di ambil dari Desa Candi dan Pringkuku yang mewakili tanah sawah,
serta Desa Pringkuku yang mewakili kategori lahan kering. Sampel tanah
untuk analisis fisik diambil dari dua kedalaman dengan menggunakan ring
sampel, sedangkan untuk analisis kimia diambil secara komposit. Adapun
analisis yang dilakukan adalah tekstur 3 fraksi (pasir, debu dan liat), pH, C-
Organik, N-Kjedahl, P tersedia, K tersedia, K-dd, Al-dd, NH4, NO3, Ca
tersedia, bulk density, dan lain-lain.
c. Penelaahan teknologi adaptasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelaahan
teknologi adaptasi yang dilakukan secara global dan penelaahan teknologi
adaptasi yang dilakukan oleh petani setempat. Penelaahan teknologi
didasarkan pada komponen teknologi apa yang digunakan oleh petani,
seperti pupuk, varietas, irigasi dan juga terhadap teknologi-teknologi yang
sudah dilakukan petani dalam waktu lama yang mungkin saja merupakan
kearifan lokal.
d. Proses berikutnya adalah pemilihan perlakuan yang digunakan, banyaknya
tahun untuk evaluasi dan running simulasi.
e. Output dari hasil simulasi DSSAT adalah diantaranya ‘hasil’ dalam kg, yang
menyatakan hasil pada tahun tertentu sesuai perlakuan yang digunakan.
f. Masukan teknologi yang bervariasi akan memberikan keragaman hasil yang
cukup menyebar. Berdasarkan hasil yang tertinggi, dengan menelaah
teknologi yang digunakan, kemudian dilakukan pemilihan teknologi-teknologi
budidaya. Proses tersebut disajikan pada Gambar 3.2.
g. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat
teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam
tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang diproses
dengan regresi menggunakan minitab ver. 14. Persamaan tersebut berasal
dari prediktor yang beberapa diantaranya dibuat variabel dummy (Tabel.
3.1). Untuk prediktor yang memberikan pengaruh yang signifikan, diberi
garis bawah pada persamaan, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata pada taraf α=0.05.
41
Tabel 3.1 Prediktor untuk membentuk persamaan hasil tanaman
No. Prediktor Keterangan 1. V menunjukkan varietas, 0=IR 64, 1=IR 8 Variabel dummy 2. AnoSSTNino4 adalah anomali SST Nino 4 bulan Agustus 3. CHfase1 adalah curah hujan fase 1 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman 1-55 hari)
4. CHfase2 adalah curah hujan fase 2 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman 56-75 hari)
5. CHfase3 adalah curah hujan fase 3 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman
76-95 hari) 6. Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada Variabel dummy fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm 7. Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. Variabel dummy -1 = Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0 = Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1 = Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi anjuran untuk Kecamatan Pacitan) 8. Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. Variabel dummy 0 = tanpa BO, -1 = diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha,
1 = diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha ___________________________________________________________________ Keterangan : CH fase berdasarkan data curah hujan hasil keluaran simulasi DSSAT
42
Gambar 3.2 Diagram alir evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman
hasil tanaman 3.3. Hasil dan Pembahasan
3.3.1. Karakteristik Sistem Usaha Tani di Pacitan Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan
(2009) menyatakan bahwa dari 12 Kecamatan di Kabupaten Pacitan, semua
kecamatan melakukan pertanian tanaman pangan dengan persentase terbesar di
Kecamatan Nawangan (15%), Kebon Agung dan Tulakan (14%). Persentase
tersebut didasarkan kepada luas sawah yang diusahakan pada setiap kecamatan
(Gambar 3.3).
Opsi
teknologi
Persamaan hasil
TEKNOLOGI REKOMENDASI
berdasarkan Persamaan hasil terbaik
Pilihan teknologi
Data iklim, sifat genetis, tanah, dan alternatif teknologi
Hasil prediksi
keluaran model simulasi
DSSAT
Data irigasi dan SST Nino 4 bulan
Agustus
Curah hujan fase1, 2 dan 3 (output DSSAT)
43
Gambar 3.3 Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan
Gambar 3.4 Hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Pacitan
Secara umum Kabupaten Pacitan memiliki empat tipe irigasi, yaitu sawah
dengan irigasi teknis seluas 264,17 Ha (0,19%), irigasi semi teknis sekitar
2.130,01 Ha (1,54%), irigasi sederhana sekitar 3.313,99 Ha (2,39%) dan sawah
tadah hujan sekitar 6.707,09 Ha (4,85%). Irigasi teknis terluas dapat ditemukan di
Kecamatan Ngadirojo, sedangkan irigasi semi teknis terluas di Kecamatan Bandar.
Lahan tadah hujan terluas di Kecamatan Nawangan, yang merupakan sentra
tanaman pangan terbesar di Pacitan. Di samping lahan tadah hujan yang cukup
luas, Kabupaten Pacitan juga memiliki lahan kering (tegalan) yang cukup luas,
yaitu sekitar 125.971,90 Ha (Anonimus 2006). Dari total luasan untuk lahan
sawah dan lahan kering sekitar 44.230 ha, maka 21.931 ha merupakan lahan
kering dengan hanya ditanami palawija satu kali setahun (sumber Dinas Pertanian
44
dan Peternakan Kabupaten Pacitan 2010). Gambaran pertanaman pada kedua
tipe lahan tersebut disajikan pada Gambar 3.4.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al. 2007), bahwa
wilayah Pacitan yang cukup kritis terhadap bencana adalah wilayah sebelah barat
meliputi Kecamatan Punung, Donorojo dan Pringkuku. Maka lokasi survai
kemudian terpilih di Kecamatan Pringkuku, yang ditinjau dari segi pengairan
maupun pola tanamnya relatif tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Donorojo
maupun Punung. Untuk Kecamatan Pringkuku sendiri, lokasi diutamakan di Desa
Pringkuku, yang dianggap sudah mewakili dari beberapa tipe irigasi. Ada 4 tipe
irigasi di Pacitan, yaitu; irigasi teknis, irigasi semi teknis, irigasi swadaya dan lahan
kering. Ketiga sistem irigasi sudah terwakili di Desa Pringkuku, kecuali irigasi
teknis, yang banyak dilakukan di Desa Candi. Sehingga pengambilan sampel
berikutnya ke Desa Candi. Survai ke petani dilakukan melalui wawancara
mendalam. Diambil 75 sampel dari Desa Pringkuku dan 25 sampel dari Desa
Candi. Pengambilan sampel di wilayah ini dianggap sudah mewakili kondisi
Pacitan secara keseluruhan.
Responden di Pacitan sebagian besar mengusahakan sendiri pertanaman
tanaman pangannya, hanya sebagian kecil yang sewa atau maro. Luas lahan
yang diupayakan Responden sebagian besar berada pada luas < 1 ha. Hanya
sekitar 10% yang > 1 ha.
Gambar 3.5 Luas lahan yang diusahakan Responden
Pola budidaya pertanian dalam penelitian dimaksudkan sebagai kombinasi
dari Varietas, Pengolahan tanah, dan jarak tanam, pemupukan dan awal
penanaman. Pola tanam pada sawah dengan irigasi teknis secara umum
0 5 10 15 20 25 30 35 40
<= 0.25 ha
0.26 - 0.50 ha
0.51 - 0.75 ha
0.76 - 1.00 ha
>1 ha
ND
Persentase Responden
45
mencakup padi-padi-padi yang dimulai umumnya pada bulan Oktober, November
atau Desember dan berakhir pada bulan September. Pertanaman MT II, dominan
dilakukan Responden pada bulan Maret. Sebagian Responden ada juga yang
melakukan penanaman MT II pada bulan Februari dan April. Penanaman MT III
semakin berkurang dan dilakukan Responden pada bulan Juni dan Juli.
Pertanaman padi musim tanam pertama (MT I) menggunakan varietas
dengan umur sekitar 100-110 hari, sedangkan untuk MT II dan MT III
menggunakan varietas yang lebih genjah. Varietas-varietas genjah (yang berumur
pendek) tersebut diantaranya adalah : Situ Bagendit, Situ Patenggang, dan Batu
Tegi. Namun demikian, pola tanam seperti ini hanya digunakan oleh sebagian
kecil petani yaitu mencakup sekitar 434 ha. Selain pola tanam padi-padi-padi,
pada lahan sawah irigasi teknis juga terdapat pola tanam padi-padi-palawija. Pola
tanam ini cukup luas digunakan oleh Petani Pacitan yaitu sekitar 4.176 ha.
Keserempakan waktu tanam, mempunyai toleransi lebih kurang 2 minggu. Jika
hujan 3 kali berturut-turut dalam jumlah yang cukup, petani sudah melakukan
penanaman. Tetapi jika hujan kurang lebat, petani ragu untuk mulai melakukan
penanaman, sehingga waktu bertanam menjadi tidak seragam.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus
Pers
enta
se R
espo
nden
MT1
MT2
MT3
Gambar 3.6 Waktu tanam pada MT I, MT II, MT III menurut Responden
46
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
MT-3
MT-2
MT-1
Gambar 3.7 Tanaman yang diusahakan Responden pada setiap musim tanam
Berdasarkan catatan dari Responden diketahui bahwa pada umumnya
penanaman pada MT-1 adalah >90% padi monokultur, dan hanya sebagian kecil
yang menanam padi ditumpangsarikan dengan palawija. Tanaman pada MT II,
lebih bervariasi, karena pada umumnya petani sudah memahami kesulitan
pengairan untuk pertanaman padi, meskipun untuk sebagian kecil wilayah ada
yang mengusahakan padi bahkan hingga pertanaman ke 3, seperti di Desa Candi
Kecamatan Pringkuku.
Varietas yang banyak digunakan di Pringkuku adalah Ciherang (110 hari)
dengan produksi 4-6 ton/ha (di lahan sawah) dan 2-4 ton/ha (di lahan kering).
Varietas lain yang cukup bagus di Pringkuku adalah Situ Bagendit, tetapi karena
adanya serangan hama, petani kurang berminat untuk menanam kembali.
Sedangkan di Kecamatan Ngadirojo, yaitu salah satu sentra padi di Pacitan,
produksi padi sawah mencapai 5-8 ton/ha, dan kalau menggunakan Hibrida,
produksi rata-rata 8-11 ton/ha. Varietas yang digunakan di Ngadirojo : Ciherang,
IR 64, Cibogo, Situ Bagendit.
Terdapat variasi pola ketatalaksanaan usaha tani dikaitkan dengan kondisi
iklim dan produktivitas lahan di wilayah kajian. Pola tanam existing petani di
Kecamatan Pringkuku dan Ngadirojo disajikan pada Tabel 3.2.
47
Tabel 3.2 Pola tanam existing petani
Kecamatan Pola tanam Karakteristik wilayah Pringkuku Padi-padi-bera Dominasi lahan kering Padi-padi-padi Padi-kedelai-bera Padi-kacang tanah-bera Padi-kedelai-sayuran Padi-kedelai-kacang hijau Padi-kacang tanah-sayuran Padi gogo/jagung/ketela pohon-kacang tanah
Ngadirojo Padi-padi Dominasi lahan sawah Padi-padi-padi Padi-padi-palawija Padi-palawija-palawija Palawija (kedelai, jagung, kacang tanah)
Pola tanam pada lahan sawah tadah hujan, umumnya adalah padi-
palawija/sayuran dan padi-bera. Pola tanam padi-palawija mencakup 1691 ha,
dengan penanaman dimulai bulan Desember atau Januari. Sedangkan pola
tanam padi-bera, mencakup luasan sekitar 5.027 ha. Di lahan kering penanaman
lebih cepat, umumnya sekitar pertengahan bulan November dengan pola
tanamnya adalah 1. padi gogo+palawija – palawija, 2. padi gogo+palawija-bera, 3.
palawija-palawija-bera dan 4. palawija saja. Luasan yang menanam palawija saja
di lahan kering merupakan luasan terbesar. Lahan kering ditanami padi gogo,
jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, ubi jalar dan sorgum.
Untuk lahan kering selain padi gogo, ubi kayu mendominasi penanaman. Ubi kayu
ditanam pada musim tanam kedua setelah padi. Ubi kayu dipanen pada saat
menjelang musim hujan, dimana penanaman padi pada musim hujan akan dimulai.
Produktivitas ubi kayu dari tahun 1990 hingga 2010 memperlihatkan tren kenaikan
(Gambar 3.8). Tren produktivitas ubi kayu tersebut terlihat lebih dipengaruhi oleh
penambahan luas tanam dibanding kondisi curah hujan. Hal ini dapat dilihat dari
pola curah hujan dari tahun ke tahun sebagaimana yang disajikan pada gambar
3.8.
48
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
0
50
100
150
200
250
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
mm
ku/h
a
CH tahunan (mm) Produktivitas (ku/ha)
Gambar 3.8 Tren produktivitas ubi kayu di Kabupaten Pacitan
Tata cara pengolahan tanah secara umum ada dua, yaitu pengolahan
tanah dengan traktor dan pengolahan tanah dengan bajak. Pada umumnya,
petani di wilayah kajian melakukan pemupukan dengan komposisi Urea (800
kg/ha) + TSP ( 400 kg/ha)+ pupuk kandang.
Dalam hal penanaman awal, terlihat bahwa petani melakukan penanaman
secara normal pada kisaran bulan Oktober-November, yaitu dalam hal ini tanam
setelah 3 kali hujan dengan intensitas cukup tinggi. Rata-rata petani masih
menggunakan pranatamangsa, adanya tolu (Guntur) yang menggelegar sebagai
tanda akan mulai musim hujan. Jika ada hujan awal den-gan hitungan satu pacul
tanah basah, sekitar 20 cm, petani sudah berani memulai pertanaman.
Pada musim rendeng, pembenihan dilakukan dengan sistem “nyegat”
(sebar benih pada saat belum ada hujan di lahan langsung, kira-kira 1 bulan
sebelum hujan, pada saat hujan benih langsung tumbuh). Hal ini merupakan salah
satu teknik adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satu hal yang
mungkin terjadi akibat terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran
musim, yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu. Salah satu kejadian
yang mungkin terjadi di areal penanaman adalah adanya hujan tipuan atau ‘false
rain’. Apabila terjadi hujan tipuan, biasanya benih akan rusak, sedangkan apabila
tidak ada hujan selama 1 bulan dan untuk selanjutnya hujan turun dengan
intensitas yang mencukupi untuk dilakukan penanaman, maka benih dapat
berhasil tumbuh dengan baik. Menurut beberapa orang petani, lebih baik
menanam segera, karena tanah masih ‘hangat’, hal ini dikaitkan dengan keaktifan
49
mikroorganisma di dalam tanah, yang dapat membantu kesuburan tanah,
sehingga hasil panen lebih baik. Pengolahan tanah dilakukan dengan traktor dan
pada sebagian petani dengan menggunakan bajak. Penanaman benih di lahan
kering dilakukan dengan cara menugal.
Bencana iklim yang kerap terjadi di Pacitan adalah kekeringan, apalagi
pada topografi pengunungan karst. Namun demikian, banjir juga terjadi karena
adanya luapan Sungai Grindulu sebagai pusat pengairan pada irigasi usahatani
dan kondisi saluran yang belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Produksi pertanaman ditentukan oleh banyak hal, diantaranya adanya OPT
(organisma pengganggu tanaman). OPT utama yang berkembang pada tanaman
padi dan palawija di Kabupaten Pacitan meliputi : belalang kumbara, tikus, wereng
batang cokelat, penggerek batang, ulat grayak, keong mas, uret, Phyricularia
oryzae, Xanthomonas oryzae dan cercosphora oryzae. Berdasarkan hasil survai
pada petani megenai tingkat serangan OPT ternyata tingkat serangan OPT
dirasakan petani lebih berat pada musim hujan.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
<=10 kg
11-20 kg
21-30 kg
31-40 kg
41-50 kg
>50 kg
ND
Persentase Responden
Gambar 3.9 Pemakaian benih Responden pada MT-1
Pada usaha tani padi di Pacitan, petani rata-rata menggunakan benih 10-
20 kg/ha (Gambar 3.9). Harga benih di pasar sekitar Rp.7000 hingga Rp. 8000,
untuk IR-64 dan Ciherang. Banyak Responden mengusahakan benih sendiri dari
pertanamannya. Benih ditanam ke lapang, setelah 20-25 hari di persemaian.
Jarak tanam yang digunakan Responden bervariasi antara 10x25 hingga 40x80
cm. Namun umumnya Responden menggunakan jarak tanam 15x30 cm (Gambar
3.10). Pengeluaran untuk tenaga kerja berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp.
1.100.000. Hal itu karena banyak Responden melaksanakan sendiri sebagian
50
penyelenggaraan bertaninya, sehingga biaya tenaga kerja tidak dihitung.
Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan bersama dengan yang lain adalah tanam,
penyiangan dan panen. Untuk kegiatan panen dan tanam, mereka melakukan
secara bergotong royong. Sedangkan untuk pengolahan tanah, sebagian
memakai cangkul, dan sebagian lain menggunakan traktor dengan cara menyewa.
Untuk penggunaan pupuk, Responden kebanyakan menggunakan urea, ponska,
NPK, dan TSP. Sedangkan pemakaian KCl hanya ditemukan pada satu
responden.
Gambar 3.10 Jarak tanam yang digunakan
3.3.2. Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan
Berdasarkan gambaran pola hujan setiap kecamatan di Pacitan, terlihat
bahwa Pacitan seperti halnya wilayah Pulau Jawa lainnya, termasuk dalam pola
monsunal dengan satu puncak hujan. Aldrian dan Susanto (2003) memaparkan
bahwa El-Nino dan La-Nina di daerah dengan pola hujan monsun kuat
pengaruhnya, pada daerah berpola equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan
pada daerah berpola lokal tidak jelas. Curah hujan setiap kecamatan bervariasi
pada jeluk hujannya, dengan bulan kering antara 2 hingga 5 bulan, dengan rata-
rata bulan kering 4 bulan (Gambar 3.11). Sedangkan bulan basah antara 4 hingga
6 bulan dan puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari. Hal itu sejalan
dengan data yang diperoleh dari sebagian besar Responden di Pringkuku yang
menyatakan bahwa puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari. Curah
hujan rata-rata tahunan bervariasi di atas 2000 mm yaitu antara 2012 (Kecamatan
Tegalombo) hingga 2837 mm (Kecamatan Kebonagung) (Gambar 3.12). Awal
51
musim hujan menurut sebagian besar responden umumnya terjadi pada bulan
Oktober, sedangkan akhir musim hujan berakhir pada bulan Maret dan sebagian
responden lain menyatakan musim hujan berakhir bulan Mei.
0
100
200
300
400
500
600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (m
m)
bulan
ArjosariBandarDonorojoKebonagungNawanganNgadirojoPacitanPringkukuPunungSudimoroTegalomboTulakan
Gambar 3.11 Rata-rata CH bulanan setiap kecamatan
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
CH ra
ta-ra
ta ta
huna
n (c
m)
kecamatan
Gambar 3.12 Rata-rata CH tahunan (bawah) setiap kecamatan
Kecamatan Kebonagung merupakan kecamatan yang paling basah dengan
hanya memiliki rata-rata dua bulan kering per tahunnya. Sedangkan wilayah yang
paling kering di Pacitan, dengan 5 bulan kering terjadi di Kecamatan Arjosari,
Pacitan, Pringkuku, Punung dan Tegalombo. Gambaran curah hujan setiap
kecamatan yang diwakili dengan rata-rata curah hujan dan simpang bakunya
disajikan pada Gambar 3.13. Pola curah hujan pada hampir seluruh kecamatan
memperlihatkan gambaran bahwa bulan Agustus merupakan bulan terkering di
Pacitan. Sedangkan bulan terbasah umumnya terjadi pada bulan Januari, kecuali
di Kecamatan Pacitan, Kebonagung, Sudimoro dan Tulakan.
52
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
CH
(mm
)
Arjosari
0
100
200
300
400
500
600
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Bandar
0
100
200
300
400
500
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Donorojo
0
100
200
300
400
500
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
CH
(mm
)
Kebonagung
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Nawangan
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Ngadirojo
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
CH
(mm
)
Pacitan
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Pringkuku
050
100150200250300350400450
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Punung
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
CH
(mm
)
Sudimoro
Rata-rata Simpangan baku
050
100150200250300350
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Tegalombo
Rata-rata Simpangan baku
050
100150200250300350400
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep Okt
Nov
Des
Tulakan
Rata-rata Simpangan baku
Gambar 3.13 Rata-rata curah hujan bulanan dan simpangan baku setiap
kecamatan
Karakteristik ENSO diwakili oleh kondisi curah hujan pada tahun-tahun El-
Nino dan La-Nina, yaitu pada saat kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi
normalnya. Pada saat terjadi El-Nino, curah hujan di wilayah Indonesia umumnya
53
akan berada di bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjangnya). Sebaliknya
pada saat terjadi La-Nina, curah hujan akan berada di atas normalnya (di atas
rata-rata jangka panjangnya). Hadi et al. (2003) memaparkan bahwa dampak El-
Nino di wlayah Indonesia yang utama adalah memperparah atau memperpanjang
musim kering, sedangkan dampak La-Nina adalah memungkinkan lebih
banyaknya pertumbuhan awan di musim hujan. Fenomena ENSO terjadi karena
adanya perubahan tekanan antara Darwin dan Tahiti, yang menyebabkan
berpindahnya massa udara panas, yang berakibat terhadap lebih banyak atau
berkurangnya awan-awan hujan.
Tabel 3.3a Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina
berdasarkan indeks ONI (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal El-Nino La-Nina
Lemah Sedang Kuat Lemah Sedang Kuat 1981 1951 1986 1957 1950 1954 1955 1983 1963 1987 1965 1956 1964 1973 1985 1968 1994 1972 1962 1970 1975 1989 1969 2002 1982 1967 1998 1988 1990 1976 1991 1971 1999 1992 1977 1997 1974 2007 1993 2004 2009 1984 1996 2006 1995 2001 2000 2003 2005 2008
Tabel 3.3b Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina
berdasarkan indeks ONI yang diperbaharui tanggal 5 April 2012 (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal El-Nino La-Nina
Lemah Sedang Kuat Lemah Sedang Kuat 1981 1969 1951 1957 1950 1955 1973 1983 1976 1963 1965 1954 1970 1975 1985 1977 1968 1972 1956 1998 1988 1989 2004 1986 1982 1962 2007 1999 1990 2006 1987 1997 1964 2010 1992 1991 1967 1993 1994 1971 1996 2002 1974 2001 2009 1984 2003 1995 2005 2000 2008 2011
54
Berbeda dengan kejadian El-Nino, pada saat terjadi La-Nina, curah hujan
turun lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama sehingga waktu tanam
padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk pertanaman
padi, kondisi La-Nina dianggap cukup menguntungkan. Pengelompokan tahun-
tahun Normal, El-Nino dan La-Nina berdasarkan indeks ONI (Oceanic Nino Index),
seperti yang disajikan pada Tabel 3.3a. Tabel ini selanjutnya diacu dalam analisis
penentuan El-Nino maupun La-Nina.
Untuk mengetahui sejauhmana respon atau hubungan antara curah hujan
di Kabupaten Pacitan dengan ENSO, maka dilihat pola hujan berdasarkan tahun-
tahun Normal, El-Nino serta La-Nina. Pada tahun Normal, curah hujan >200 mm
terjadi pada bulan November hingga bulan Maret (Gambar 3.14). Sedangkan
pada tahun-tahun La-Nina, curah hujan maksimum pada bulan November,
Desember, Februari dan Maret. Pada tahun-tahun El-Nino kuat, curah hujan
maksimum terjadi pada bulan Desember hingga Februari. Hal ini menunjukkan,
bahwa semakin kuat terjadi peristiwa El-Nino, maka curah hujan maksimum
menjadi mundur waktunya dibandingkan dengan pada kondisi normal. El-Nino
dapat menyebabkan lambatnya onset dan mundurnya awal musim hujan
(Lansigan et al. 2000). Hal lain yang harus diwaspadai adalah terjadinya
penurunan curah hujan yang cukup signifikan pada kejadian El-Nino kuat terutama
pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober).
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (m
m)
CH tahun Normal CH tahun El-Nino CH tahun La-Nina
Gambar 3.14 Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO
55
Y= 2.8584X + 30.655R² = 0.2113p=0.005**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
nArjosari
Y= 1.9761X + 30.207R² = 0.1441p=0.039*
20
24
28
32
36
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Bandar
Y = 2.9149X + 30.809R² = 0.2537p=0.002**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Donorojo
Y = 2.8786X + 28.623R² = 0.2209p=0.012*
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Kebonagung
Y = 2.4513X + 30.273R² = 0.2845p=0.002**
20
24
28
32
36
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Nawangan
Y= 2.9549X + 29.742R² = 0.2423p=0.003**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Ngadirojo
Y = 3.073X + 29.112R² = 0.3012p=0.002**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Pacitan
Y= 2.5859X+ 29.517R² = 0.1862p=0.011*
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Pringkuku
Y = 2.9218X + 30.527R² = 0.2201p=0.006**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Punung
Y= 0.7991X+ 30.66R² = 0.0211
p=0.41320
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Tegalombo
Y = 3.7815X + 29.058R² = 0.4025p=0.001**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Tulakan
Y = 3.6009X+ 28.591R² = 0.3571p=0.001**
20
24
28
32
36
40
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Sudimoro
Gambar 3.15 Awal Musim Hujan vs anomali SST Nino 4 bulan
Agustus
56
Y = -1.8225X + 20.032R² = 0.0691
p=0.176
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Bandar
Y= -3.8779X + 17.196R² = 0.2237p =0.004**
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Arjosari
Y = -3.4497X+ 19.444R² = 0.2102p=0.014*
048
121620242832
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Kebonagung
Y = -2.5726X + 19.69R² = 0.1267p=0.005**
048
121620242832
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Nawangan
Y = -3.5354X + 18.278R² = 0.2175p=0.046*
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Ngadirojo
Y = -2.4266X+ 17.803R² = 0.16p=0.035*
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Pacitan
Y= -2.2205X+ 17.974R² = 0.0975
p=0.0720
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Pringkuku
Y = -4.0912X + 17.604R² = 0.2397p=0.006**
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Punung
Y= -3.0905X + 18.499R² = 0.1249
p=0.065048
121620242832
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Das
aria
n
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Sudimoro
Y= -1.2857X + 19.057R² = 0.0387
p=0.2650
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Tegalombo
Y = -3.6738X + 19.455R² = 0.365p=0.002**
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Tulakan
Y = -3.0361X + 16.92R² = 0.1453p=0.026*
0
4
8
12
16
20
24
28
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
Donorojo
Gambar 3.16 Panjang Musim Hujan vs anomali SST Nino 4 bulan Agustus Hubungan antara anomali SST Nino 4 dengan curah hujan yang diwakili
dengan awal musim hujan dan panjang musim hujan diperlihatkan pada Gambar
3.15 dan 3.16. Penetapan SST Nino 4 dilakukan karena wilayah ini yang paling
dekat dengan Indonesia dan masih agak jarang penelitian di wilayah ini, juga
57
terbukti memiliki pengaruh yang nyata terhadap kondisi curah hujan di Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan tingkat keterkaitan awal musim hujan yang nyata
terpengaruh SST Nino4 pada hampir seluruh kecamatan. Data SST Nino 4 yang
digunakan adalah data SST bulan Agustus. Hal ini diacu dari hasil penelitian Boer
et al. (2010) yang menyatakan bahwa indeks SOI bulan Agustus tahun berjalan
dapat digunakan untuk memperkirakan besar kerugian ekonomi MK tahun depan
di Kabupaten Indramayu. Selain itu Boer et al. (2010) juga menyatakan bahwa
fenomena ENSO sangat kuat pengaruhnya terhadap keragaman hujan musim
transisi, maka kemampuan untuk memprakirakan (forecast skill) masuknya awal
musim hujan dengan menggunakan indeks ENSO bulan-bulan awal
pembentukannya (Juni hingga September) cukup tinggi. Mengingat antara SOI
dengan SST, keduanya merupakan indikator ENSO, maka penetapan SST bulan
Agustus tahun berjalan sebagai acuan dirasakan cukup tepat.
Tingkat keragaman data awal musim hujan dalam kaitannya dengan SST
Nino 4 diperlihatkan dengan cukup besarnya kisaran koefisien determinasi
terkoreksi untuk kecamatan-kecamatan di Pacitan dari 0.0211 (Kecamatan
Tegalombo) hingga 0.4025 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.15). Demikian juga
untuk panjang musim hujan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 0.0387
(Kecamatan Tegalombo) hingga 0.365 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.16).
Berdasarkan nilai p-value yang diperoleh awal musim hujan pada sebagian besar
kecamatan nyata dan sangat nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4. Hanya satu
kecamatan yang memperlihatkan nilai yang berbeda. Panjang musim hujan juga
nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4, namun hanya terjadi pada delapan
kecamatan.
3.3.3. Dampak ENSO terhadap kekeringan
Secara umum, masalah dalam pertanian di Pacitan adalah terjadinya
kegagalan panen, puso, salah prediksi iklim dan penanaman berulang kali.
Masalah-masalah tersebut muncul karena terjadinya bencana iklim yang akhirnya
menyebabkan produksi pertanaman menurun. Hasil survai menyatakan bahwa
kegagalan panen akibat kekeringan menempati urutan pertama (sekitar 60%
responden) di Pacitan (Gambar 3.17) dan tahun 1997 merupakan tahun yang
kering menurut responden (Gambar 3.18).
58
Pada saat kejadian El-Nino berlangsung, Indonesia mengalami masa
kekeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi pertanian,
karena turunnya pasokan air hujan. Kerap kali musim hujan mundur dari waktu
normalnya, dan curah hujan turun dalam selang yang lebih singkat dibanding pada
kondisi normalnya, yang implikasinya terhadap sektor pertanian terutama tanaman
pangan menyebabkan kerugian pertanaman. Kekeringan yang terjadi di Desa
Pringkuku terutama terjadi pada MT 2005/06 yang menyerang tanaman kedelai
dan jagung. Luasan lahan usahatani yang mengalami kekeringan pada MT
2005/06 hanya terjadi pada MT-3. Kerugian yang ditimbulkannya berupa
penurunan produksi sebesar 58,7% (Wahab et al. 2007).
Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Tanaman untuk luas
terkena di Kabupaten Pacitan periode tahun 1995 hingga 2010, terlihat bahwa
Kabupaten Pacitan mengalami kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997,
1999, 2007 dan 2009. Dari luasan tersebut yang mengalami puso terbanyak tahun
1997 dan 1999 (Gambar 3.19). Sedangkan tahun 2007, meskipun mengalami luas
terkena yang sangat luas tetapi tidak sampai puso, hal itu dikarenakan terdapat
cukup pasokan air pada kondisi-kondisi kritis tanaman.
Gambar 3.17 Penyebab gagal panen menurut Responden
Gambar 3.18 Tahun terjadinya kekeringan menurut Responden
59
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas
kek
erin
gan
(ha)
Terkena Puso
Gambar 3.19 Luas terkena dan puso areal padi tahun 1995-2010
Gambar 3.20 Luas areal padi yang mengalami puso tahun 2006-2008 di Pacitan
Berdasarkan data tahun 2006 hingga 2008, luas puso paling besar terjadi
pada bulan Agustus pada penanaman padi sawah. Dibanding padi sawah, puso
padi gogo tidak terlalu signifikan, kecuali pada Januari 2008. Untuk padi sawah,
puso terjadi mulai Juni hingga Januari dengan puncaknya terjadi pada bulan
Agustus (Gambar 3.20).
Hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al., 2007), bahwa wilayah Pacitan
yang cukup kritis terhadap bencana kekeringan adalah wilayah sebelah barat
meliputi Kecamatan Punung, Donorejo dan Pringkuku. Gambar 3.21 menunjukkan
luas terjadi kekeringan setiap tahun di setiap kecamatan. Berdasarkan gambar
tersebut terlihat bahwa kecamatan di Pacitan berdasarkan data tahun 1989-2008,
umumnya mengalami kekeringan mulai dari tahun 1991 dan meningkat pada tahun
60
1994, mencapai kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997 dan puncaknya
terjadi pada tahun 2007. Kecamatan Tulakan merupakan kecamatan yang paling
rentan terhadap bencana kekeringan, hal itu terlihat dari besarnya luasan yang
terkena pada tahun-tahun yang disebutkan di atas.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Arjosari Donorojo Kebonagung Nawangan Pacitan Pringkuku Punung Tegalombo Tulakan
luas
kek
erin
gan
(ha)
1991 1994 1997 2002 2004 2006
Gambar 3.21 Luas terkena kekeringan kecamatan pada 1991, 1994, 1997, 2003 dan 2007
3.3.4. Analisis hubungan keragaman iklim dengan sistem usaha tani padi
Berdasarkan data luas panen bulanan Pacitan tahun 2006 hingga 2010
(sumber data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan
tahun 2007 hingga 2011) terlihat bahwa untuk padi sawah, persentase terbesar
pada bulan Februari hingga Mei, untuk penanaman musim hujan, dan kemudian
mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya. Umumnya penanaman 2 kali
setahun, kecuali pada tahun 2010, karena curah hujan cukup tinggi sepanjang
tahun (Gambar 3.22). Sedangkan untuk padi gogo, penanaman dilakukan sekali
setahun, dan panen dari bulan Januari hingga Mei. Pada tahun 2007 terjadi
pergeseran puncak tanam yaitu pada bulan April, namun demikian luas panen
lebih tinggi dibanding bulan lainnya, karena pada tahun tersebut terjadi La-Nina.
Ilustrasi mengenai luas tambah tanam setiap kecamatan dari tahun 2006 hingga
2009 disajikan pada Gambar 3.23.
61
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
luas
pan
en (h
a)
bulan
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 3.22 Luas panen padi bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di
Kabupaten Pacitan
Dari informasi luas panen dan luas tanam terlihat bahwa sentra produksi
padi untuk Kabupaten Pacitan adalah Kecamatan Pringkuku, Punung dan
Donorojo. Namun demikian, padi yang dihasilkan dominannya merupakan padi
lahan kering. Karena memiliki lahan kering yang luas, maka selain mengusahakan
padi, Kabupaten Pacitan juga mengusahakan tanaman pangan lain, seperti
jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan lain-lain. Dari beberapa tanaman
pangan non padi tersebut, ubi kayu ditanam paling luas, terutama pada tiga
kecamatan penghasil padi gogo, yaitu Donorojo, Punung dan Pringkuku.
Mengingat ketiga lokasi yang berada di sebelah Barat Pacitan ini memiliki kondisi
iklim yang relatif mirip. Ubi kayu biasa dipanen puncaknya pada bulan Agustus
hingga September. Luas panen dan produksi ubi kayu mengalami kenaikan cukup
signifikan mulai tahun 2003 (Gambar 3.24), kecuali pada tahun 2009-2010
mengalami penurunan, hal tersebut terjadi karena lahan yang biasa ditanami ubi
kayu, beralih ditanami padi, mengingat hujan berlangsung terus hingga
penanaman musim tanam ketiga.
62
0100200300400500600
0100200300400500600
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
Luas
tam
bah
tan
am (h
a)
Arjosari
0100200300400500600
0200400600800
10001200140016001800
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
Bandar
0100200300400500600
01000200030004000500060007000
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
CH
(mm
)
Donorojo
0100200300400500600
0200400600800
10001200140016001800
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
luas
tam
bah
tan
am (h
a)
Kebonagung
0100200300400500600
0
500
1000
1500
2000
2500Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep
2006 2007 2008 2009
Nawangan
0100200300400500600
0100200300400500600700800
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
CH
(mm
)
Ngadirojo
0100200300400500600
0200400600800
100012001400
Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep
2006 2007 2008 2009
luas
tam
bah
tan
am (h
a)
Pacitan
0100200300400500600
0100020003000400050006000
Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep
2006 2007 2008 2009
Pringkuku
0100200300400500600
0500
100015002000250030003500400045005000
Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep
2006 2007 2008 2009
CH
(mm
)
Punung
0100200300400500600
0100200300400500600
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
luas
tam
bah
tan
am (h
a)
Sudimoro
CH (mm) luas tambah tanam (ha)
0100200300400500600
0200400600800
10001200
Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep Jan
May
Sep
2006 2007 2008 2009
Tegalombo
CH (mm) luas tambah tanam (ha)
0100200300400500600
0200400600800
1000120014001600
Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep Jan
May
Sep Ja
nM
ayS
ep
2006 2007 2008 2009
CH
(mm
)Tulakan
CH (mm) luas tambah tanam (ha)
Gambar 3.23 Luas tambah tanam bulanan (ha) dan curah hujan tahun 2006
hingga 2009
63
Gambar 3.24 Luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten Pacitan dari tahun
1990 hingga 2010
Gambar 3.25 Anomali luas panen padi per tahun di Kabupaten Pacitan
Dalam kaitannya dengan produksi, tahun-tahun ENSO memperlihatkan
perbedaan. Sebagai contoh, berdasarkan data luas panen padi, diperoleh bahwa
pada tahun 1998 dan 1999 terdapat peningkatan luas panen (Gambar 3.25).
Meskipun demikian pada tahun 2003, yang menurut indeks ONI termasuk pada
tahun Normal, luas panen padi pada tahun tersebut mengalami penurunan luas
panen yang sangat signifikan, bahkan hingga hampir mencapai 4000 ha. Kejadian
64
El-Nino tahun 1991 terlihat cukup signifikan mempengaruhi luas panen padi di
Pacitan, terjadi anomali luas panen negatif hingga mencapai 2000 ha. Hal tersebut
sejalan dengan Boer dan Setyadipratikto (2003) yang menyatakan bahwa anomali
produksi padi yang negatif umumnya terjadi pada tahun-tahun El-Nino sedangkan
yang positif terjadi pada tahun-tahun bukan El-Nino. Berdasarkan kajian yang
sudah dilakukan, penyebab penurunan produksi tersebut adalah; 1). El-Nino
berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi
pada MH, menjadi mundur dari biasanya. Akibatnya tanaman padi kedua
mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi
karena hujan sudah mengalami penurunan yang besar. 2). El-Nino menyebabkan
hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak
cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. 3). El-Nino menyebabkan awal
musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua
mengalami cekaman kekeringan.
Alternatif pola tanam bila terjadi kejadian El-Nino kuat adalah dengan
waktu tanam padi mundur hingga beberapa dasarian atau mengganti dengan
tanaman palawija. Sedangkan pada kondisi La-Nina, waktu tanam padi dapat
dimajukan beberapa dasarian, atau dapat pula dilakukan penanaman palawija
yang berumur pendek sebelum menanam padi.
Untuk menjelaskan perbedaan perlakuan irigasi, dilakukan penghitungan
hasil simulasi pada perlakuan irigasi yang dibandingkan dengan hasil pada
perlakuan non irigasi. Untuk menghitung perbedaan hasil digunakan rumus yang
mengacu pada Soler et al. (2007),
Dimana, = pengurangan hasil (yield) = hasil (yield) pada kondisi tanpa irigasi = hasil (yield) pada kondisi irigasi
Pada Tabel 3.4 terlihat bahwa perbedaan hasil yang cukup signifikan akan
diperoleh apabila penanaman dilakukan pada 1 Maret hingga 15 Juni untuk
Kecamatan Pacitan. Diperlukan input irigasi yang cukup banyak, apabila
penanaman akan dilakukan pada Bulan ini. Sedangkan pada awal Januari,
November dan Desember perbedaan hasil tidak begitu tinggi karena pada bulan
tersebut curah hujan tinggi.
65
Tabel 3.4 Pengurangan hasil antara perlakuan Irigasi dengan tanpa Irigasi di Kecamatan Pacitan
Tanggal tanam
Tanpa Irigasi (kg/ha)
Dengan Irigasi (kg/ha)
Yr (%) (pengurangan hasil)
1-Jan 2745 4674 41.3 15-Jan 2641 4425 40.3 1-Feb 2093 4751 55.9 15-Feb 2041 5009 59.3 1-Mar 1915 5121 62.6 15-Mar 1492 5102 70.8 1-Apr 1578 5374 70.6 15-Apr 1669 5484 69.6 01-Mei 1579 5540 71.5 15-Mei 1543 5361 71.2 1-Jun 1634 5141 68.2
15-Jun 1687 4663 63.8 1-Jul 1868 4476 58.3 15-Jul 2185 4333 49.6 01-Agu 2653 4264 37.8 15-Agu 3072 4210 27.0 1-Sep 3384 4051 16.5
15-Sep 3585 3971 9.7 01-Okt 3727 3915 4.8 15-Okt 3714 3854 3.6 1-Nov 3705 3959 6.4
15-Nov 3576 4039 11.5 01-Des 2936 4095 28.3 15-Des 2767 4134 33.1
Ilustrasi mengenai ‘hasil’ yang diperoleh pada perlakuan irigasi-tanpa
irigasi, varietas genjah-varietas dalam dan pemupukan di Kecamatan Pacitan
disajikan pada Gambar 3.26 dan 3.27. Penggunaan pupuk yang ditambah bahan
organik, sedikit meningkatkan hasil dari bulan Februari hingga Agustus, pada
kondisi tanpa Irigasi. Namun demikian, pada kondisi adanya penambahan Irigasi,
perlakuan pupuk tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa
adanya irigasi, merupakan pelarut yang baik untuk pupuk yang diberikan, sehingga
menjadi lebih tersedia bagi tanaman. ‘Hasil’ pada varietas dipengaruhi oleh
kondisi endogen dan eksogen. Pada lingkungan eksogen yang sama, varietas
yang berbeda menampakkan hasil yang berbeda. Gambar 3.27 memperlihatkan
66
bahwa pada kondisi tidak diirigasi, pemberian bahan organik dapat meningkatkan
hasil cukup besar, walaupun tidak nyata.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
hasi
l (kg
/ha)
tanggal tanam
Tanpa irigasi Dengan irigasi
Gambar 3.26 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan Irigasi dan tanpa Irigasi di Kecamatan Pacitan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
1-Ja
n15
-Jan
1-Fe
b15
-Feb
1-M
ar15
-Mar
1-Ap
r15
-Apr
1-M
ei15
-Mei
1-Ju
n15
-Jun
1-Ju
l15
-Jul
1-Ag
u15
-Agu
1-Se
p15
-Sep
1-O
kt15
-Okt
1-N
ov15
-Nov
1-D
es15
-Des
hasi
l (kg
/ha)
tanggal tanam
Tanpa BO-non irigasi
BO jerami-non irigasi
BO pukan -non irigasi
Tanpa BO + irigasi
BO jerami + irigasi
BO pukan + irigasi
Gambar 3.27 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan
menggunakan perbedaan pupuk dan perbedaan Irigasi di Kecamatan Pacitan
67
Tabel 3.5 Persamaan hasil untuk Kecamatan Pacitan
Tanggal tanam
Persamaan R2 p RMSE
1 Jan Hasil_1 Jan = 3531 - 715 V – 43 AnoSSTNino4 - 0.877 CH-fase1 + 1.15 CH-fase2 - 0.596 CH-fase3 + 2735 Irigasi
58.4
- 1 Pupuk + 5 Organik
0.000 1237.1
15 Jan Hasil_15 Jan = 2833 - 469 V - 492 AnoSSTNino4- 0.331 CH-fase1 - 0.660 CH-fase2 + 1.89 CH-fase3 + 2528 Irigasi
53.8
- 42 Pupuk + 103 Organik
0.000 1242.3
1 Feb Hasil_1 Feb = 2161 - 604 V - 322 AnoSSTNino4 + 0.274 CH-fase1 - 0.595 CH-fase2 + 4.10 CH-fase3 + 3040 Irigasi
66.4
- 57 Pupuk + 166 Organik
0.000 1151.4
15 Feb Hasil_15 Feb = 2279 - 415 V - 297 AnoSSTNino4 - 0.256 CH-fase1 + 1.51 CH-fase2 + 1.79 CH-fase3 + 3266 Irigasi
67.2
+ 4 Pupuk + 78 Organik
0.000 1181.2
1 Mar Hasil_1 Mar = 2335 - 400 V - 291 AnoSSTNino4 - 0.447 CH-fase1 + 1.68 CH-fase2 + 0.44 CH-fase3 + 3390 Irigasi
62.3
- 13 Pupuk + 87 Organik
0.000 1358.5
15 Mar Hasil_15 Mar = 2202 - 603 V - 227 AnoSSTNino4 - 0.137 CH-fase1 - 0.758 CH-fase2 - 0.92 CH-fase3 + 3636 Irigasi
64.8
- 92 Pupuk + 187 Organik
0.000 1382.1
1 Apr Hasil_1 Apr = 1714 - 603 V - 96 AnoSSTNino4 + 0.349 CH-fase1 - 1.74 CH-fase2 + 8.23 CH-fase3 + 3636 Irigasi
71.1
- 92 Pupuk + 187 Organik
0.000 1253.1
15 Apr Hasil_15 Apr = 1590 - 549 V - 421 AnoSSTNino4 + 0.519 CH-fase1 + 3.34 CH-fase2 + 17.3 CH-fase3 + 3610 Irigasi
72.9
- 12 Pupuk + 0 Organik
0.000 1229.8
1 Mei Hasil_1 Mei = 1579 - 428 V - 204 AnoSSTNino4 + 0.858 CH-fase1 + 8.31 CH-fase2+ 7.60 CH-fase3 + 3538 Irigasi
70.4
- 57 Pupuk + 143 Organik
0.000 1266.6
15 Mei Hasil_15 Mei = 1412 - 441 V - 20 AnoSSTNino4 + 3.21 CH-fase1 + 7.83 CH-fase2+ 9.17 CH-fase3 + 3375 Irigasi
69.4
- 34 Pupuk + 189 Organik
0.000 1227.3
1 Jun Hasil_1 Jun = 1551 - 495 V + 99 AnoSSTNino4 + 4.90 CH-fase1 + 6.03 CH-fase2 + 3.78 CH-fase3 + 3124 Irigasi
70.0
- 35 Pupuk + 198 Organik
0.000 1137.9
15 Jun Hasil_15 Jun = 1604 - 599 V + 149 AnoSSTNino4 + 5.45 CH-fase1 + 0.16 CH-fase2 + 6.34 CH-fase3 + 2890 Irigasi
71.9
- 35 Pupuk + 286 Organik
0.000 1047.7
1 Jul Hasil-1 Jul = 1733 - 590 V + 134 AnoSSTNino4 + 7.07 CH-fase1 + 4.60 CH-fase2 + 4.10 CH-fase3 + 2547 Irigasi
67.8
- 58 Pupuk + 300 Organik
0.000 1042.7
68
Tanggal tanam
Persamaan R2 p RMSE
15 Jul Hasil_15 Jul = 2140 - 757 V + 145 AnoSSTNino4 + 7.11 CH-fase1 + 1.89 CH-fase2 + 3.06 CH-fase3 + 2228 Irigasi
65.6
- 34 Pupuk + 164 Organik
0.000 986.7
1 Agu Hasil_1 Agu = 2722 - 763 V - 265 AnoSSTNino4 + 3.59 CH-fase1 + 0.969 CH-fase2 + 2.26 CH-fase3 + 1637 Irigasi
60.1
- 32 Pupuk + 158 Organik
0.000 888.1
15 Agu Hasil_15 Agu = 3320 - 707 V - 440 AnoSSTNino4 + 1.56 CH-fase1 + 1.33 CH-fase2 + 0.427 CH-fase3 + 1158 Irigasi
54.2
- 25 Pupuk + 110 Organik
0.000 780.6
1 Sep Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CH-fase2 + 0.827 CH-fase3 + 743 Irigasi
52.4
+ 2.0 Pupuk + 106 Organik
0.000 645.1
15 Sep Hasil_15 Sep = 4012 - 866 V - 215 AnoSSTNino4 + 0.562 CH-fase1 + 0.455 CH-fase2 + 0.722 CH-fase3 + 409 Irigasi
65.5
+ 0.5 Pupuk + 17.5 Organik
0.000 400.5
1 Okt Hasil_1 Okt = 4272 - 911 V - 53.5 AnoSSTNino4 + 0.373 CH-fase1 + 0.375 CH-fase2 + 0.439 CH-fase3 + 244 Irigasi
71.6
+ 13.0 Pupuk - 6.0 Organik
0.000 314.3
15 Okt Hasil_15 Okt = 4389 - 922 V + 55.4 AnoSSTNino4 + 0.435 CH-fase1 + 0.224 CH-fase2 - 0.567 CH-fase3 + 320 Irigasi
48.3
+ 14.3 Pupuk - 11 Organik
0.000 529.0
1 Nov Hasil_1 Nov = 4576 - 937 V - 102 AnoSSTNino4 + 0.295 CH-fase1 - 1.78 CH-fase2 + 0.745 CH-fase3 + 467 Irigasi
47.4
+ 24.8 Pupuk - 55 Organik
0.000 602.8
15 Nov Hasil_15 Nov = 3987 - 559 V - 317 AnoSSTNino4 + 0.041 CH-fase1 - 0.932 CH-fase2 + 0.471 CH-fase3 + 883 Irigasi
34.5
+ 14 Pupuk + 28 Organik
0.000 796.7
1 Des Hasil_1 Des = 3786 - 640 V - 361 AnoSSTNino4 - 0.424 CH-fase1 - 0.831 CH-fase2 + 0.957 CH-fase3 + 1432 Irigasi
43.7
+ 20 Pupuk - 35 Organik
0.000 951.7
15 Des Hasil_15 Des = 4110 - 925 V - 333 AnoSSTNino4 - 0.625 CH-fase1 - 0.339 CH-fase2 + 0.629 CH-fase3 + 1411 Irigasi
48.2
+ 16 Pupuk - 77 Organik
0.000 909.3
Keterangan : yang diberi garis bawah, nyata pada taraf α=0.05 Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CH-
fase2 + 0.827 CH-fase3 + 743 Irigasi + 2.0 Pupuk + 106 Organik
69
Persamaan di atas bermakna :
• Konstanta = 3604, menunjukkan hasil yang diharapkan akan diperoleh pada tanggal tanam 1 September kalau menggunakan varietas IR 8, SST pada kondisi rata-rata, tidak ada hujan pada fase 1, fase 2 dan fase 3, tanpa irigasi, paket pupuk yang digunakan paket 230 kg Urea-100 kg SP-36-50 kg KCl dan tanpa bahan organik.
• - 824 V = Kalau menggunakan varietas yang pertama (IR 64) maka akan memberikan hasil yang lebih rendah 824 kg/ha dibanding varietas yang kedua (IR 8).
• - 298 AnoSSTNino4 = Kalau AnoSSTNino4 turun sebesar 1 satuan (1oC) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 298 kg/ha.
• 0.57 CH fase1 = Setiap peningkatan CHfase1 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.57 kg/ha.
• 0.904 CH fase2 =Setiap peningkatan CHfase2 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.904 kg/ha.
• 0.827 CH fase3 =Setiap peningkatan CHfase3 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.827 kg/ha.
• 743 Irigasi =kalau menggunakan Irigasi maka akan memberikan hasil yang lebih tinggi sebesar 743 kg/ha dibanding tanpa Irigasi pada tanggal tanam 1 September
• 2 pupuk = kalau menggunakan kombinasi pupuk yang pertama maka akan terjadi pengurangan hasil 2 kg/ha, dibanding kalau menggunakan kombinasi pupuk yang kedua, sedangkan kalau menggunakan kombinasi pupuk yang ketiga akan memberikan penambahan hasil sebesar 2 kg/ha.
• 106 organik = kalau menggunakan bahan organik jerami maka akan terjadi pengurangan hasil 106 kg/ha dibanding kalau tanpa menggunakan bahan organik, sedangkan kalau menggunakan bahan organik pukan 2 ton/ha akan memberikan penambahan hasil sebesar 106 kg/ha.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat
teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam
tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang disampaikan
Tabel 3.5. Persamaan di atas memberikan tanggal tanam terbaik serta prediktor
apa yang berpengaruh pada hasil yang diperoleh. Prediktor tersebut sekaligus
merupakan indikator, teknologi apa yang perlu diperhatikan pada pertanaman
setiap tanggal tersebut. Tanggal tanam merupakan peubah yang paling
menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh
70
untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang
paling menguntungkan, hal tersebut diindikasikan oleh error (RMSE) yang
dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei (Gambar
3.28). Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas.
Gambar 3.28 Plot error pada setiap tanggal tanam
3.4. Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa iklim sangat
berpengaruh terhadap produksi tanaman, dan fluktuasi produktivitas tanaman
pangan terutama padi di Kabupaten Pacitan. Curah hujan sebagai unsur iklim
yang sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air selama pertanaman, sehingga
fluktuasi penurunan curah hujan selama pertumbuhan tanaman akan
mempengaruhi keragaman hasil tanaman. Hal tersebut dijelaskan dengan
menurunnya produksi pada tahun-tahun kering, sebaliknya produksi tinggi pada
tahun-tahun basah. Curah hujan erat terkait dengan suhu permukaan laut (SST),
dan berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa terdapat hubungan nyata
dan sangat nyata antara awal musim hujan dengan SST Nino 4 bulan Agustus
pada hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan. Informasi mengenai
dampak keragaman iklim di suatu daerah tertentu, merupakan informasi yang
71
menjadi perencanaan utama dalam menetapkan jadwal dan pola tanam, terutama
tanaman pangan.
Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi,
bahan organik, yang didukung dengan informasi pola curah hujan dapat dijadikan
sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik, untuk meminimalkan
dampak variabilitas iklim. Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik
yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal.
Kerentanan terhadap produksi tanaman tertinggi pada musim tanam kedua
(MK1), sehingga penanaman untuk waktu tanam ini perlu diantisipasi dengan
persiapan yang lebih awal. Hal itu terkait dengan informasi prakiraan iklim yang
diberikan, dan pilihan waktu tanam dan teknologi yang diterapkan. Tanggal tanam
merupakan peubah yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan panen.
Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa
penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan, hal tersebut
diindikasikan oleh error (RMSE) yang dihasilkan yang paling rendah, dibanding
bulan Maret, April atau Mei. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya
menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan
sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan.
Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas.
Bahasan pada Bab berikutnya adalah kelayakan ekonomi teknologi
budidaya yang dihasilkan. Berdasarkan perhitungan ekonominya, dipilih teknologi
yang terbaik dengan biaya minimal.
72
73
IV. ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI TEKNOLOGI BUDIDAYA UNTUK PENANGGULANGAN RISIKO IKLIM
4.1. Pendahuluan
Evaluasi teknologi adaptasi mengamati teknologi apa yang dilakukan
petani, bagaimana variasi sarana produksi yang digunakan petani, misalnya
bagaimana pupuknya, berapa takaran yang digunakan, varietas apa yang
digunakan, bagaimana sistem irigasinya, sehingga diperoleh pilihan teknologi
terbaik.
Untuk melakukan pemilihan teknologi terbaik, dilakukan dengan
pendekatan fungsi risiko. Fungsi risiko merupakan bagian dari fungsi produksi
dalam pertanian. Fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan
hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input)
(Pindyck dan Rubenfeld 2001 yang diacu dalam Rianse dan Abdi (2009)).
Produksi merupakan penciptaan kegunaan atau penciptaan barang dan jasa yang
ingin dibeli masyarakat (Rianse dan Abdi 2009). Teori produksi adalah
menganalisis perilaku suatu usaha dengan teknologi yang ada dan
menkombinasikan berbagai faktor input untuk menghasilkan output yang secara
ekonomi efisien.
Secara matematik fungsi produksi dapat diformulasikan sebagai berikut :
Y =f(Xi,X2,X3,....Xn)
Keterangan : Y = output yang dihasilkan
Xi,....Xn = faktor-faktor produksi yang merupakan variabel input seperti tenaga
kerja, pupuk, pestisida, bibit, jam penggunaan traktor dan lain-lain
Sedangkan apabila dikaitkan dengan faktor tetap (Z), maka : Y = f (Xi, Zi),
dimana Z terdiri dari lahan, peralatan, infrastruktur, pelayanan penyuluhan, dan
kondisi eksogen seperti cuaca dan lain-lain.
Dalam fungsi produksi yang ingin diketahui adalah seberapa besar
keuntungan atau keuntungan maksimum yang mungkin diperoleh dari suatu usaha
tani. Berkaitan dengan hal inilah fungsi risiko diperhitungkan. Fungsi risiko
merupakan fungsi yang diperoleh dari input-input penentu yang mempengaruhi
terhadap fluktuasi keuntungan atau kerugian suatu usaha tani.
Menurut Soekartawi (2006) adalah penting untuk memahami analisis
usaha tani. Ilmu usaha tani didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari bagaimana
74
seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk
tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif
apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka
miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut
menghasilkan output yang melebihi input.
Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi,
bahan organik, yang didukung dengan informasi pola curah hujan dapat dijadikan
sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik, untuk meminimalkan
dampak variabilitas iklim. Pilihan teknologi yang ideal memungkinkan suatu usaha
tani berlangsung secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemilihan teknologi
didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal.
Penelaahan teknologi ini dilakukan melalui evaluasi dampak keragaman
iklim terhadap kelayakan ekonomi teknologi budidaya untuk penanggulangan risiko
iklim. Termasuk di dalamnya adalah upaya untuk memahami sistem usaha tani
petani, yang dilengkapi dengan cost analisis (benefit and cost ratio). Sehingga
dengan penggunaan teknologi adaptasi yang dilakukan tersebut dapat dihitung
untung ruginya. Sehingga diperoleh komponen teknologi dengan output yang
terbaik, mengingat masukan teknologi yang bervariasi, akan memberikan output
yang juga bervariasi.
4.2. Metodologi
4.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pacitan.
4.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak Bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini, yaitu:
14. Data penggunaan pupuk existing
15. Data irigasi
16. Data varietas existing
17. Data pola tanam existing
18. Output keluaran hasi simulasi DSSAT
19. Data harga
20. Data biaya
75
4.2.3. Metodologi Penelitian
4.2.3.1. Analisis kelayakan ekonomi Teknologi budidaya Dampak keragaman iklim jangka panjang kaitannya dengan produksi, dikaji
melalui tahapan sebagai berikut:
h. Masukan teknologi yang bervariasi akan memberikan keragaman hasil yang
cukup menyebar. Berdasarkan hasil yang tertinggi, dengan menelaah
teknologi yang digunakan, kemudian dilakukan pemilihan teknologi-teknologi
budidaya. Opsi teknologi tersebut kemudian digunakan sebagai input dalam
penghitungan keuntungan dan kerugian. Proses tersebut disajikan pada
Gambar 4.1.
i. Penilaian teknologi menyangkut keuntungan atau kerugian dilakukan
berdasarkan kelayakan secara ekonomi, dengan menggunakan analisis
biaya manfaat. Dengan melakukan analisis biaya manfaat dapat dinilai
apakah suatu kegiatan atau teknologi dapat dilaksanakan atau tidak, sesuai
dengan masukan teknologi terpilih. Dalam prakteknya digunakan kriteria
investasi untuk menilai kelayakan yaitu Net Benefit-Cost Ratio (BCR).
Digunakan data biaya, data harga, data iklim dan opsi teknologi berdasarkan
keluaran model simulasi DSSAT yang diperoleh dari hasil sebelumnya.
Perhitungan Net BCR dilakukan untuk melihat berapa manfaat bersih yang
diterima oleh suatu kegiatan untuk setiap satu rupiah pengeluaran bersih.
Net BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika Net
BCR >1. Sedangkan apabila Net BCR= 1, maka kegiatan tersebut tidak
untung dan juga tidak rugi (marjinal atau pas-pasan), sehingga terserah
kepada penilai pengambil keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila Net
BCR < 1 maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak
dilaksanakan. Persamaan net BC Ratio disajikan pada persamaan berikut.
j. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat
teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam
tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan mengenai BC
Ratio yang diproses dengan regresi menggunakan minitab ver. 14.
76
Persamaan tersebut berasal dari prediktor yang beberapa diantaranya dibuat
variabel dummy (Tabel. 4.1). Untuk prediktor yang memberikan pengaruh
yang signifikan, diberi garis bawah pada persamaan, yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf α=0.05.
Gambar 4.1. Diagram alir analisis kelayakan teknologi budidaya
Data biaya dan harga
BCR
Kelayakan teknologi budidaya
TEKNOLOGI REKOMENDASI
berdasarkan KELAYAKAN SECARA EKONOMI
Stop
Tidak layak
Layak
Data iklim, sifat genetis, tanah, dan alternatif teknologi
‘Yield’ keluaran model simulasi teknologi budidaya
Keuntungan Pendapatan
77
Tabel 4.1 Prediktor untuk mendapatkan persamaan BC Ratio
No. Prediktor Keterangan 7. V menunjukkan varietas, 0=IR 64, 1=IR 8 Variabel dummy 8. AnoSSTNino4 adalah anomali SST Nino 4 bulan Agustus 9. CHfase1 adalah curah hujan fase 1 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman 1-55 hari)
10. CHfase2 adalah curah hujan fase 2 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman 56-75 hari)
11. CHfase3 adalah curah hujan fase 3 (merupakan Keluaran DSSAT akumulasi curah hujan pada umur tanaman
76-96 hari) 12. Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada Variabel dummy fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm 7. Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. Variabel dummy -1 = Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0 = Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1 = Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi anjuran untuk Kecamatan Pacitan) 8. Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. Variabel dummy 0 = tanpa BO, -1 = diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha,
1 = diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha ___________________________________________________________________ Keterangan : CH fase berdasarkan data curah hujan hasil keluaran simulasi DSSAT
4.3. Hasil dan Pembahasan
4.3.1. Analisis BC Ratio Responden Perhitungan usaha tani Responden di Kecamatan Pringkuku didasarkan
kepada hasil survey Responden. Gambar 4.2 menyajikan hasil perhitungan BC
Ratio Responden yang bervariasi mulai dari 0 hingga 2.4. Asumsi yang
digunakan adalah tenaga kerja dihitung sebagai input biaya dan BC Ratio minus
dianggap keuntungan sama dengan nol. Hanya sebagian Responden yang
untung dalam usaha taninya, atau sekitar 42%. Usaha tani dikatakan untung
apabila nilai BC Ratio>1.
78
Gambar 4.2 BC Ratio sebagian responden
4.3.2. Analisis kelayakan eknolomi teknologi budidaya Perhitungan BC Ratio dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung
analisis usaha tani. Sebagai input usaha tani adalah kebiasaan petani yang
diperoleh dari hasil survey. Sedangkan asumsi harga gabah disesuaikan dengan
kondisi terakhir. Hasil analisis usaha tani kemudian dibandingkan terhadap ‘hasil’
yang diperoleh dari simulasi DSSAT.
Hasil BC Ratio pada Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa tanggal tanam untuk
musim tanam kedua akan memberikan penurunan hasil, apabila waktu tanam
mundur. Penanaman hingga 1 Maret masih memberikan peluang yang
menjanjikan (BC Ratio>1) artinya penanaman masih menguntungkan.
Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan
biaya yang lebih minimal. Simulasi yang dilakukan menggunakan perbedaan
varietas, irigasi dan pemupukan. Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk
setiap perlakuan, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang sangat
menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen. Kombinasi tanggal
tanam dengan perlakuan pupuk, irigasi dan varietas, memberikan hasil bahwa
untuk musim tanam kedua, akan memberikan hasil yang terbaik apabila ditanam
pada pertengahan Januari atau awal Februari. Dengan pertimbangan saat itu,
79
penanaman pada MH sudah panen. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya
menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan
sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan.
Tabel 4.2 Ilustrasi penghitungan BC Ratio (Kecamatan Arjosari)
Tanggal tanam
Hasil Arjosari
Harga gabah
Pendapatan Biaya produksi
Keuntungan BC RATIO
1-Jan 3,746.50 4,100.00 15,360,650.00 4,874,000.00 10,486,650.00 2.15 15-Jan 3,467.39 4,100.00 14,216,294.44 4,874,000.00 9,342,294.44 1.92 1-Feb 2,994.11 4,100.00 12,275,855.56 4,949,000.00 7,326,855.56 1.48
15-Feb 2,914.28 4,100.00 11,948,538.89 4,949,000.00 6,999,538.89 1.41 1-Mar 2,888.33 4,100.00 11,842,166.67 5,024,000.00 6,818,166.67 1.36
15-Mar 2,015.17 4,100.00 8,262,183.33 5,024,000.00 3,238,183.33 0.64 1-Apr 1,681.94 4,100.00 6,895,972.22 5,099,000.00 1,796,972.22 0.35
15-Apr 1,360.44 4,100.00 5,577,822.22 5,099,000.00 478,822.22 0.09 01-Mei 1,608.11 4,100.00 6,593,255.56 5,174,000.00 1,419,255.56 0.27 15-Mei 1,473.44 4,100.00 6,041,122.22 5,174,000.00 867,122.22 0.17
1-Jun 921.44 4,100.00 3,777,922.22 5,249,000.00 0 0.00 15-Jun 988.28 4,100.00 4,051,938.89 5,249,000.00 0 0.00
1-Jul 1,179.17 4,100.00 4,834,583.33 5,324,000.00 0 0.00 15-Jul 1,095.58 4,100.00 4,491,891.67 5,324,000.00 0 0.00
01-Agu 1,595.42 4,100.00 6,541,208.33 5,474,000.00 1,067,208.33 0.19 15-Agu 2,311.25 4,100.00 9,476,125.00 5,474,000.00 4,002,125.00 0.73
1-Sep 2,920.67 4,100.00 11,974,733.33 5,474,000.00 6,500,733.33 1.19 15-Sep 3,057.33 4,100.00 12,535,066.67 5,474,000.00 7,061,066.67 1.29 01-Okt 3,146.08 4,100.00 12,898,941.67 5,474,000.00 7,424,941.67 1.36 15-Okt 3,254.75 4,100.00 13,344,475.00 5,474,000.00 7,870,475.00 1.44 1-Nov 3,239.58 4,100.00 13,282,291.67 4,874,000.00 8,408,291.67 1.73
15-Nov 3,166.33 4,100.00 12,981,966.67 4,874,000.00 8,107,966.67 1.66 01-Des 3,063.67 4,100.00 12,561,033.33 4,874,000.00 7,687,033.33 1.58 15-Des 2,673.33 4,100.00 10,960,666.67 4,874,000.00 6,086,666.67 1.25
Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina
diilustrasikan pada Gambar 4.2 hingga 4.4. Penghitungan tersebut didasarkan
pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT Kecamatan
Pacitan. Dengan menarik garis batas BC Ratio pada nilai 1.5, penanaman pada
tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian lebih baik adalah
80
pada 15 Februari hingga 15 Maret. Penanaman pada tahun-tahun El-Nino, perlu
mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang tahun, terutama dari
Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, penanaman 15
Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Gambar 4.2 BC Ratio tahun-tahun Normal Gambar 4.3 BC Ratio tahun-tahun El-Nino
Dat
a
15-D
es
01-D
es
15-N
ov
01-N
ov
15-O
kt
01-O
kt
15-S
ep
01-S
ep
15-A
gu
01-A
gu15
-Jul
01-Ju
l
15-Ju
n
01-Ju
n
15-M
ei
01-M
ei
15-A
pr
01-A
pr
15-M
ar
01-M
ar
15-Feb
01-Feb
15-Ja
n
01-Ja
n
6
5
4
3
2
1
0
1.5
BC Rasio Tahun-tahun Normal
Dat
a
15-D
es
01-D
es
15-N
ov
01-N
ov
15=Okt
01-O
kt
15-S
ep
01-S
ep
15-A
gu
01-A
gu15
-Jul
01-Ju
l
15-Ju
n
01-Ju
n
15-M
ei
01-M
ei
15-A
pr
01-A
pr
15-M
ar
01-M
ar
15-Fe
b
01-Fe
b
15-Ja
n
01-Ja
n
6
5
4
3
2
1
0
1.5
BC Rasio Tahun-tahun El-Nino
81
Gambar 4.4 BC Ratio tahun-tahun La-Nina
Tabel 4.3 Persamaan BC Ratio setiap tanggal tanam
Tanggal tanam
Persamaan R2 p RMSE
1 Jan BCR_1 Jan = 2.20 - 0.605 V - 0.459 AnoSSTNino4 - 0.000863 CH-fase1 + 0.000607 CH-fase2 + 0.000137 CH-fase3 + 2.47 Irigasi - 0.476 Pupuk
59.2
+ 0.177 Organik
0.000 1.129
15 Jan BCR_15 Jan = 1.56 - 0.391 V - 0.425 AnoSSTNino4 - 0.000268 CH-fase1 - 0.000318 CH-fase2 + 0.00162 CH-fase3 + 2.28 Irigasi - 0.425 Pupuk
54.8
+ 0.138 Organik
0.000 1.130
1 Feb BCR_1 Feb = 0.994 - 0.463 V - 0.299 AnoSSTNino4 + 0.000258 CH-fase1 - 0.000537 CH-fase2 + 0.00374 CH-fase3 + 2.25 Irigasi - 0.331 Pupuk
58.4
+ 0.0935 Organik
0.000 1.047
15 Feb BCR_15 Feb = 1.06 - 0.302 V - 0.276 AnoSSTNino4 - 0.000225 CH-fase1 + 0.00137 CH-fase2 + 0.00163 CH-fase3 + 2.45 Irigasi - 0.324 Pupuk
59.3
+ 0.116 Organik
0.000 1.074
1 Mar BCR_1 Mar = 1.11 - 0.291 V - 0.268 AnoSSTNino4 - 0.000399 CH-fase1 + 0.00152 CH-fase2 + 0.000389 CH-fase3 + 2.50 Irigasi - 0.322 Pupuk
53.1
+ 0.108 Organik
0.000 1.232
15 Mar BCR_15 Mar = 1.05 - 0.472 V - 0.210 AnoSSTNino4 - 0.000094 CH-fase1 - 0.000710 CH-fase2 - 0.00085 CH-fase3 + 2.72 Irigasi - 0.318 Pupuk
56.4
+ 0.074 Organik
0.000 1.256
1 Apr
BCR_1 Apr = 0.831 - 0.457 V - 0.357 AnoSSTNino4 + 0.000011 CH-fase1 - 0.00170 CH-fase2 + 0.00884 CH-fase3 + 2.57 Irigasi - 0.312 Pupuk
60.0
+ 0.0948 Organik
0.000 1.231
Dat
a
15-D
es
01-D
es
15-N
ov
01-N
ov
15-O
kt
01-O
kt
15-S
ep
01-S
ep
15-A
gu
01-A
gu15
-Jul
01-Ju
l
15-Ju
n
01-Ju
n
15-M
ei
01-M
ei
15-A
pr
01-A
pr
15-M
ar
01-M
ar
15-Feb
01-Feb
15-Ja
n
01-Ja
n
6
5
4
3
2
1
0
1.5
BC Rasio Tahun-tahun La-Nina
82
Tanggal tanam
Persamaan R2 p RMSE
15 Apr BCR_15 Apr = 0.379 - 0.418 V - 0.385 AnoSSTNino4 + 0.000474 CH-fase1 + 0.00308 CH-fase2 + 0.0157 CH-fase3 + 2.62 Irigasi - 0.362 Pupuk
65.5
+ 0.129 Organik
0.000 1.128
1 Mei BCR_1 Mei = 0.460 - 0.318 V - 0.191 AnoSSTNino4 + 0.000779 CH-fase1 + 0.00753 CH-fase2 + 0.00681 CH-fase3 + 2.51 Irigasi - 0.303 Pupuk
61.8
+ 0.0810 Organik
0.000 1.153
15 Mei BCR_15 Mei = 0.337 - 0.332 V - 0.020 AnoSSTNino4 + 0.00291 CH-fase1 + 0.00698 CH-fase2 + 0.00828 CH-fase3 + 2.38 Irigasi - 0.251 Pupuk
59.8
+ 0.0653 Organik
0.000 1.120
1 Jun BCR_1 Jun = 0.458 - 0.365 V + 0.094 AnoSSTNino4 + 0.00443 CH-fase1 + 0.00543 CH-fase2 + 0.00342 CH-fase3 + 2.06 Irigasi - 0.231 Pupuk
58.7
+ 0.0567 Organik
0.000 1.034
15 Jun BCR_15 Jun = 0.553 - 0.449 V + 0.139 AnoSSTNino4 + 0.00495 CH-fase1 + 0.00019 CH-fase2 + 0.00572 CH-fase3 + 1.87 Irigasi - 0.180 Pupuk
61.2
+ 0.0316 Organik
0.000 0.950
1 Jul BCR_1 Jul = 0.681 - 0.435 V + 0.123 AnoSSTNino4 + 0.00640 CH-fase1 + 0.00419 CH-fase2 + 0.00368 CH-fase3 + 1.49 Irigasi - 0.185 Pupuk
54.3
+ 0.0252 Organik
0.000 0.943
15 Jul BCR_15 Jul = 0.965 - 0.570 V + 0.130 AnoSSTNino4 + 0.00643 CH-fase1 + 0.00171 CH-fase2 + 0.00276 CH-fase3 + 1.20 Irigasi - 0.263 Pupuk
51.6
+ 0.0731 Organik
0.000 0.888
1 Agu BCR_1 Agu = 1.68 - 0.586 V - 0.177 AnoSSTNino4 + 0.00298 CH-fase1 + 0.000849 CH-fase2 + 0.00168 CH-fase3 + 0.668 Irigasi - 0.304 Pupuk
49.7
+ 0.0942 Organik
0.000 0.684
15 Agu BCR_15 Agu = 2.01 - 0.543 V - 0.394 AnoSSTNino4 + 0.00142 CH-fase1 + 0.00119 CH-fase2 + 0.000390 CH-fase3 + 0.358 Irigasi - 0.342 Pupuk
42.7
+ 0.110 Organik
0.000 0.706
1 Sep BCR_1 Sep = 2.31 - 0.608 V - 0.265 AnoSSTNino4 + 0.000446 CH-fase1 + 0.000794 CH-fase2 + 0.000744 CH-fase3 + 0.0515 Irigasi - 0.393 Pupuk
47.5
+ 0.144 Organik
0.000 0.557
15 Sep BCR_15 Sep = 2.58 - 0.686 V - 0.195 AnoSSTNino4 + 0.000506 CH-fase1 + 0.000422 CH-fase2 + 0.000654 CH-fase3 - 0.199 Irigasi - 0.413 Pupuk
67.4
+ 0.152 Organik
0.000 0.366
1 Okt BCR_1 Okt = 2.80 - 0.732 V - 0.0495 AnoSSTNino4 + 0.000341 CH-fase1 + 0.000344 CH-fase2 + 0.000406 CH-fase3 - 0.245 Irigasi - 0.435 Pupuk
76.6
+ 0.166 Organik
0.000 0.288
15 Okt BCR_15 Okt = 2.90 - 0.736 V + 0.0515 AnoSSTNino4 + 0.000398 CH-fase1 + 0.000204 CH-fase2 - 0.000490 CH-fase3 - 0.177 Irigasi - 0.433 Pupuk
52.6
+ 0.166 Organik
0.000 0.482
1 Nov BCR_1 Nov = 3.48 - 0.803 V - 0.0912 AnoSSTNino4 + 0.000268 CH-fase1 - 0.00159 CH-fase2 + 0.000686 CH-fase3 + 0.422 Irigasi - 0.105 Pupuk
56.8
- 0.614 Organik
0.000 0.541
15 Nov BCR_15 Nov = 2.59 - 0.461 V - 0.288 AnoSSTNino4 + 0.000037 CH-fase1 - 0.000841 CH-fase2 + 0.000430 CH-fase3 + 0.804 Irigasi - 0.450 Pupuk
40.5
+ 0.170 Organik
0.000 0.738
1 Des BCR_1 Des = 2.37 - 0.545 V - 0.330 AnoSSTNino4 - 0.000380 CH-fase1 - 0.000731 CH-fase2 + 0.000868 CH-fase3 + 1.30 Irigasi - 0.458 Pupuk
47.4
+ 0.180 Organik
0.000 0.867
15 Des BCR_15 Des = 2.66 - 0.802 V - 0.309 AnoSSTNino4 - 0.000556 CH-fase1 - 0.000332 CH-fase2 + 0.000507 CH-fase3 + 1.28 Irigasi - 0.495 Pupuk
51.5
+ 0.196 Organik
0.000 0.838
Keterangan : yang diberi garis bawah, nyata pada α=0.05
83
BCR_1 Jun = 0.458 - 0.365 V + 0.094 AnoSSTNino4 + 0.00443 CH-fase1 + 0.00543 CH-fase2 + 0.00342 CH-fase3 + 2.06 Irigasi - 0.231 Pupuk + 0.0567 Organik
Persamaan di atas bermakna :
• Konstanta = 0.458, menunjukkan BC ratio yang diharapkan akan diperoleh pada tanggal tanam 1 Juni kalau menggunakan varietas IR 8, SST pada kondisi rata-rata, tidak ada hujan pada fase 1, fase 2 dan fase 3, tanpa irigasi, paket pupuk yang digunakan paket 230 kg Urea-100 kg SP-36-50 kg KCl dan tanpa bahan organik.
• - 0.365 V = Kalau menggunakan varietas yang pertama (IR 64) maka akan memberikan BC ratio yang lebih rendah 0.365 dibanding varietas yang kedua (IR 8).
• 0.094 AnoSSTNino4= Kalau AnoSSTNino4 naik sebesar 1 satuan (1oC) akan menyebabkan penurunan BCR sebesar 0.094
• 0.00443 CH fase1 = Setiap peningkatan CHfase1 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00443.
• 0.00543 CH fase2 = Setiap peningkatan CHfase2 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00543.
• 0.00342 CH fase3 = Setiap peningkatan CHfase3 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00342.
• 2.06 Irigasi = kalau menggunakan Irigasi maka akan memberikan prediksi BCR yang lebih tinggi sebesar 2.06 dibanding tanpa Irigasi pada tanggal tanam 1 Juni
• -0.231 pupuk = kalau menggunakan kombinasi pupuk yang pertama maka akan terjadi peningkatan BCR sebesar 0.231, dibanding kalau menggunakan kombinasi pupuk yang kedua, sedangkan kalau menggunakan kombinasi pupuk yang ketiga akan menurunkan BCR sebesar 0.231.
• 0.0567 organik = kalau menggunakan bahan organik jerami maka akan terjadi pengurangan BCR 0.0567 dibanding kalau tanpa menggunakan bahan organik, sedangkan kalau menggunakan bahan organik pukan 2 ton/ha akan memberikan peningkatan BCR sebesar 0.0567.
84
Berdasarkan penghitungan kelayakan ekonomi yang diwakili dengan
penghitungan BC Ratio, terlihat bahwa penanaman MT II pada tanggal tanam 1
Februari memberikan error yang paling rendah, dibanding bulan-bulan lain, dimana
petani biasa melakukan penanaman untuk MT II dan pada saat itu penanaman
pada MH sudah panen. Pada persamaan BC Ratio, selain irigasi dan varietas,
pupuk juga memperlihatkan nilai yang signifikan. Hal tersebut diperlihatkan
dengan kontribusi pupuk terhadap model persamaan yang diperoleh, yang
ditunjukkan pada Tabel 4.4. Koefisien dan SS (sumbangan keragaman terhadap
model/ persamaan yang dihasilkan memperlihatkan bahwa irigasi memberi
pengaruh dominan pada tanggal tanam, kecuali tanggal tanam 15 Agustus hingga
1 November. Pada tanggal-tanggal tersebut, keragaman persamaan lebih
diperlihatkan oleh perbedaan pupuk yang diberikan. Dengan demikian, pada
tanggal tanam 15 Agustus hingga 1 November perbedaan perlakuan pupuk
memberikan perbedaan BC Ratio yang cukup signifikan. Sejalan dengan
penggunaan pupuk, penggunaan varietas pada tanggal-tanggal tersebut juga
mmeberikan sumbangan keragaman yang dominan terhadap persamaan BC Ratio
yag dihasilkan.
85
Tabel 4.4. Koefisien persamaan BC Rasio dan kontribusi masing-masing prediktor
Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS
K 1.56 1.59 0.99 1.06 1.11
V -0.39 2.54 -0.39 2.53 -0.46 3.58 -0.30 1.39 -0.29 1.27
AnoSST -0.42 3.28 -0.44 3.28 -0.30 2.30 -0.28 1.77 -0.27 1.39
CH-fase1 0.00 0.17 0.00 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11
CH-fase2 0.00 0.07 0.00 0.01 0.00 0.08 0.00 1.30 0.00 0.56
CH-fase3 0.00 1.17 0.00 1.35 0.00 5.42 0.00 0.28 0.00 0.05
Irigasi 2.28 86.53 2.28 86.41 2.25 84.73 2.45 91.95 2.50 93.39
Pupuk -0.42 5.61 -0.42 5.61 -0.33 3.61 -0.32 2.89 -0.32 2.88
Organik 0.14 0.63 0.14 0.63 0.09 0.29 0.12 0.41 0.11 0.35
Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS
K 1.05 0.83 0.38 0.46 0.34
V -0.47 2.82 -0.46 2.37 -0.42 1.86 -0.32 1.21 -0.33 1.52
AnoSST -0.21 0.62 -0.36 3.08 -0.38 2.87 -0.19 2.03 -0.02 1.12
CH-fase1 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00 1.40 0.00 8.84
CH-fase2 0.00 0.14 0.00 1.18 0.00 9.39 0.01 13.43 0.01 7.61
CH-fase3 0.00 0.07 0.01 16.16 0.02 9.69 0.01 4.20 0.01 1.06
Irigasi 2.72 93.47 2.57 74.89 2.62 73.27 2.51 75.37 2.38 77.96
Pupuk -0.32 2.66 -0.31 2.11 -0.36 2.52 -0.30 2.20 -0.25 1.76
Organik 0.07 0.14 0.09 0.20 0.13 0.36 0.08 0.16 0.07 0.12
Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS
K 0.46 0.55 0.68 0.96 1.68
V -0.37 2.26 -0.45 3.64 -0.44 4.61 -0.57 9.93 -0.59 19.13
AnoSST 0.09 0.68 0.14 0.66 0.12 0.79 0.13 1.17 -0.18 17.97
CH-fase1 0.00 21.28 0.00 21.78 0.01 23.95 0.01 18.38 0.00 9.94
CH-fase2 0.01 1.28 0.00 0.29 0.00 9.74 0.00 13.58 0.00 12.18
CH-fase3 0.00 0.76 0.01 9.16 0.00 5.24 0.00 8.45 0.00 5.15
Irigasi 2.06 71.79 1.87 63.14 1.49 53.71 1.20 43.99 0.67 24.82
Pupuk -0.23 1.86 -0.18 1.30 -0.18 1.92 -0.26 4.18 -0.30 9.83
Organik 0.06 0.11 0.03 0.04 0.03 0.03 0.07 0.33 0.09 0.99
Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS
K 2.01 2.31 2.58 2.80 2.90
V -0.54 20.42 -0.61 33.94 -0.69 43.71 -0.73 51.13 -0.74 53.87
AnoSST -0.39 27.56 -0.26 18.93 -0.19 8.96 -0.05 1.20 0.05 0.01
CH-fase1 0.00 20.01 0.00 10.54 0.00 6.07 0.00 3.16 0.00 3.85
CH-fase2 0.00 5.57 0.00 1.05 0.00 1.85 0.00 1.38 0.00 0.47
CH-fase3 0.00 0.63 0.00 6.25 0.00 3.33 0.00 0.59 0.00 0.73
Irigasi 0.36 8.89 0.05 0.24 -0.20 3.67 -0.25 5.73 -0.18 3.12
Pupuk -0.34 15.24 -0.39 25.22 -0.41 28.11 -0.44 31.54 -0.43 32.47
Organik 0.11 1.68 0.14 3.82 0.15 4.30 0.17 5.27 0.17 5.48
Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS
K 3.07 2.59 2.37 2.66
V -0.80 42.95 -0.46 14.73 -0.54 11.27 -0.80 22.19
AnoSST -0.09 0.26 -0.29 8.43 -0.33 5.37 -0.31 2.79
CH-fase1 0.00 0.66 0.00 0.27 0.00 0.06 0.00 0.76
CH-fase2 0.00 7.43 0.00 2.55 0.00 1.71 0.00 0.10
CH-fase3 0.00 1.09 0.00 0.59 0.00 1.21 0.00 0.26
Irigasi 0.42 11.88 0.80 44.82 1.30 64.20 1.28 56.80
Pupuk -0.51 30.15 -0.45 24.61 -0.46 13.71 -0.49 14.45
Organik 0.20 5.57 0.17 4.01 0.18 2.46 0.20 2.66
15-Mar 1-Apr 15-Apr 1 Mei 15 Mei
1-Jan 15-Jan 1-Feb 15-Feb 1-Mar
15 Des
1-Jul 15-Jul 1-Aug
15-Aug 1-Sep 15-Sep 1-Oct 15-Oct
1-Nov 15-Nov 1 Des
15 Juni1 Juni
86
4.4. Simpulan Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk setiap perlakuan, seperti
halnya produksi yang diperoleh, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang
sangat menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen. Kombinasi
tanggal tanam dengan perlakuan pupuk, irigasi dan varietas, memberikan hasil
bahwa untuk musim tanam kedua, akan memberikan hasil yang terbaik apabila
ditanam pada pertengahan Januari atau awal Februari. Penanaman MT II pada
tanggal tanam 1 Februari memberikan error yang paling rendah, dibanding bulan-
bulan lain.
Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina
didasarkan pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT
Kecamatan Pacitan. Dengan menarik garis batas BC Ratio pada nilai 1.5,
penanaman pada tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian
lebih baik adalah pada 15 Februari hingga 15 Maret dan 1 Juni. Penanaman pada
tahun-tahun El-Nino, perlu mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang
tahun, terutama dari Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun La-
Nina, penanaman 15 Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaik-
baiknya.
Analisis kelayakan ekonomi yang dilakukan adalah untuk menghitung
pertanaman pada tanggal tanam berbeda yang didukung dengan pilihan teknologi
budidaya, sehingga diperoleh gambaran untuk memilih teknologi yang dianggap
terbaik. Informasi yang diperoleh ini merupakan salah satu dukungan terhadap
informasi kalender tanam dinamik. Oleh karena itu, pada bab berikutnya akan
dibahas mengenai state of the art (pengembangan) kalender tanam dinamik di
Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim.
87
V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM
5.1. Pendahuluan
Kalender tanam pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat tani oleh
Kementerian Pertanian (Syahbuddin et al. 2007; Las et al. 2007). Di pihak lain,
IPB melalui CCROM bekerja sama dengan BMKG, melakukan penelitian yang
menghasilkan sebuah Kalender Pertanian Indonesia (Boer et al. 2007). Gaung
kalender tanam semakin terdengar, ketika kalender tanam dipromosikan
Kementerian Pertanian mulai tahun 2007 dan dirangkum/direvisi dalam sebuah
kalender tanam terpadu mulai akhir tahun 2011 (http://www.katam.litbang.go.id).
Menurut Boer (2002), kalender tanaman merupakan sistem penanggalan
yang menunjukkan tingkat kepentingan hubungan antara kondisi lingkungan
dengan fase pertumbuhan tanaman. Jadi kalender tanaman akan memperlihatkan
kondisi lingkungan yang bagaimana yang tidak diinginkan atau diinginkan tanaman
dan pada fase pertumbuhan yang mana tanaman menjadi sangat sensitif terhadap
kondisi lingkungan tersebut. Pendapat Syahbuddin et al. (2007) menyatakan
bahwa Kalender tanam adalah suatu informasi yang menggambarkan potensi pola
tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi
dan dinamika sumber daya iklim dan air. Kalender tanam ini merekomendasikan
alternatif pola tanam.
Pada awal perkenalan mengenai kalender tanam yang dikeluarkan Litbang
Pertanian, kalender tanam yang ada merupakan tabulasi dari tahun Normal, El-
Nino, La-Nina dan existing petani setempat. Namun demikian sudah
merekomendasikan pola tanam sampai level kecamatan, meskipun masih bersifat
statis. Di lain pihak, kalender pertanian yang diperkenalkan Boer et al. (2007),
menyampaikan permulaan teknik-teknik yang menyajikan informasi kalender
tanam yang dapat diakses dan digunakan pengguna dengan memasukkan nilai
tertentu pada web. Metode yang diperkenalkan dalam hal ini mengarah pada
penggunaan kalender tanam dinamik.
Kalender tanam perlu dikembangkan ke arah yang berorientasi dinamik,
karena dengan dikeluarkannya kalender tanam dinamik, dapat diketahui informasi
untuk setiap musim tanam, berdasarkan hasil prakiraan iklim yang dikeluarkan.
88
Pengembangan kalender tanam dinamik berfungsi sebagai alat bantu
pengambilan keputusan. Kalender tanam dinamik diharapkan dapat membantu
otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan
keputusan tertentu pada musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang
diberikan. Informasi iklim pada musim yang akan datang, memungkinkan petani
mempunyai pilihan apakah akan menanam atau tidak, apa jenis tanaman yang
akan ditanam, varietas apa yang akan ditanam dan lain-lain. Sejalan dengan
pernyataan Buono et al. (2010) yang menegaskan bahwa penyusunan kalender
tanam dimaksudkan untuk memberi informasi kepada pengguna secara lebih
dinamis, sehingga diharapkan dapat menjadi panduan operasional baik bagi
penyuluh pertanian maupun petani dalam menjalankan usahataninya secara
berkelanjutan. Informasi yang komphrehensif dari berbagai sektor terkait dapat
membantu otoritas lokal untuk mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim ke
depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam menyesuaikan
dengan kondisi iklim.
Adapun manfaat Kalender Tanam, secara umum adalah (Runtunuwu et al.
2009):
• Menentukan waktu tanam per kecamatan berdasarkan kondisi iklim (basah-
kering-normal)
• Menentukan pola tanam berdasarkan potensi sumber daya air
• Menetapkan strategi penyediaan & distribusi sarana produksi
• Perencanaan budidaya & pengelolaan tanaman untuk
menghindari/mengurangi resiko iklim
Dalam kaitannya dengan kalender tanam, ada beberapa hal yang
melatarbelakangi mengapa kalender tanam perlu disusun. Hal ini terkait dengan
perlunya pengelolaan risiko iklim. Hal-hal tersebut, yaitu : 1). kejadian bencana
iklim terutama akibat iklim ekstrim dan pengaruhnya pada ketersediaan air untuk
pertanian yang merupakan bagian dari risiko iklim, 2). Sebagai perencanaan awal
pertanian kaitannya dengan sistem informasi iklim, 3). teknologi yang digunakan
petani menyangkut pola bertanam petani sebagai bagian teknologi adaptasi yang
perlu disiapkan dan 4). kelembagaan yang menyertai, baik itu kelembagaan pusat
maupun daerah, menyangkut sarana dan prasarana.
Pribadi (2008) yang diacu dalam Lassa et al. (2009) menyatakan bahwa
suatu proses pengelolaan risiko bencana dapat melibatkan secara aktif
89
masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau,
dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan
meningkatkan kemampuannya. Menurut Abarquez & Murshed (2004), dalam
pengelolaan risiko bencana diperlukan upaya pemberdayaan komunitas agar
dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan pihak atau kelompok
masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam
kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri. Gambar 5.1. menyajikan sistem
pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan
mengutamakan komunikasi dan koordinasi pada pihak-pihak terkait.
Gambar 5.1 Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan risiko
bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al. 2009)
Dalam kaitannya dengan kalender tanam, kegagalan dan keberhasilan
panen merupakan bagian dari pengelolaan risiko iklim. Berbicara mengenai risiko
(risk) berarti berbicara mengenai peluang (Boer 2002). Jadi dalam hal ini pilihan
pola tanam pada kalender tanam diharapkan dapat mengkalkulasi / menentukan
besarnya peluang suatu keadaan yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan
kegagalan atau kerusakan.
5.2. Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal kalender tanam
90
Secara tradisional, kalender tanam telah lama dikembangkan oleh petani
Indonesia. Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda),
Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan
sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Syahbuddin 2007)
Pranata mangsa merupakan pengetahuan indigenous. Menurut Johnson
(1992) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous
adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat
dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.
Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara
terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal
dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu
pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno,
terbelakang, statis atau tak berubah.
Pranata mangsa adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan
kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau
penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya
(setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi
dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan
usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah
penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada
waktu-waktu tertentu.
Pranata mangsa berbentuk kalender tahunan yang bukan berdasarkan
kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi
berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau,
musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama
terhadap pasang surutnya air laut (Wiriadiwangsa 2005). Pranata Mangsa
dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan
sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam
atau melaut sebagai nelayan, merantau dan mungkin juga berperang.
Tabel Pranata Mangsa selama setahun dengan sistem pertanaman padi
masih setahun sekali (IP100):
1. Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.
91
2. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam
palawija kedua.
3. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian
bertunas, panen palawija.
4. Kapat (Kaopat) 18/19 September-13/14 Oktober. Musim sumur kering,
kapuk berbuah, tanam pisang.
5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan,
pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
6. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan
mulai tua, mulai menggarap sawah.
7. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai,
longsor, mulai tandur.
8. Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat,
banyak penyakit.
9. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga,
turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih
hijau, burung- burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk
palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
12. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami,
tanda-tanda udara dingin di pagi hari (Sumber: Wiriadiwangsa, 2005 dari
Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000).
92
Gambar 5.2 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek
moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html)
Teknik membaca mangsa didasarkan atas nampaknya Rasi Waluku
(Orion) Apabila Rasi Waluku terbit pada waktu shubuh, hal ini berarti hari tersebut
adalah permulaan mangsa kasa (mangsa pertama). Dengan terbitnya Rasi Waluku
merupakan pertanda bagi para petani untuk mempersiapkan bajaknya (waluku-
nya). Apabila pada shubuh hari Rasi waluku telah merembang (dekat dengan
zenith) maka berarti permulaan mangsa kapat (mangsa labuh/hujan kiriman).
Apabila waktu shubuh Rasi Waluku mulai tenggelam berarti permulaan mangsa
kapitu (mangsa ketujuh). Pada mangsa kapitu biasanya ditandai dengan musim
hujan rendheng. Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku merembang maka
pertanda permulaan awal mangsa kasanga (mangsa kesembilan). Apabila pada
waktu maghrib Rasi Waluku mulai terbenam maka pertanda awal mangsa desta
(mangsa kesebelas). Pada masa ini orang-orang tidak bisa melihat Rasi Waluku,
sehingga diartikan sebagai masa selo atau apit. Yang artinya meng-apit waluku-
nya (menyimpan bajaknya).
Menurut Supriyono (2012), fenomena mongso untuk penciri dimulainya
pertanaman terbagi ke dalam empat musim, yaitu;
1. Fenomena Mongso Labuh (http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa-fenomena-cuaca-pertanian/) Mongso labuh adalah saat dimulainya kegiatan bercocok tanam setelah
musim kemarau yang dimulai pada mongso IV yang diawali dengan kegiatan
93
pengolahan tanah. Untuk menanam benih, petani menunggu sampai tanah
menjadi dingin dan cukup lembab. Indikasi dinginnya tanah yang dipedomani
petani adalah mulai bertunasnya umbi-umbian, baik yang disimpan di rumah
maupun yang masih berada di kebun, seperti, gadung, uwi, talas dll. Apabila saat
itu tanah masih kering, mereka menunggu pergantian musim yang ditandai dengan
hembusan angin konstan berubah-ubah arah selama beberapa hari dan pada
saat angin berhenti itulah saat pergantian mongso yang sering disertai dengan
turunnya hujan yang disebut sebagai hujan menjelang pergantian mongso (udan
mapag mongso).
Komponen cuaca yang relevan dengan fenomena dinginnya tanah adalah
suhu tanah permukaan setiap jam 13.00 yang mendekati suhu maksimum
hariannya. Rata2 dasarian suhu tanah permukaan mencapai puncaknya pada
dekade ke 28 atau dekade-1 Oktober yang masih masuk mongso IV dan pada
dekade berikutnya yang mulai masuk mongso V suhu tanah permukaan mulai
menurun dan pada perioda tersebut umbi2an mulai bertunas dan rumput mulai
menghijau meskipun hujan belum turun.
Penyimpangan cuaca yang bisa mengacaukan perhitungan ini adalah
curah hujan berkepanjangan pada musim kemarau, terlebih pada saat munculnya
fenomena alam La-Nina, karena penyakit bulai sudah mulai muncul pada mongso
V. Meskipun demikian, pertanaman pada mongso V resikonya tetap lebih rendah.
2. Fenomena Mongso Bedhidhing
Mongso ke II dikenali masyarakat sebagai musim dingin atau mongso
bedhidhing dan masih bisa dijumpai setiap tahun. Fenomena alam yang sering
terjadi pada mongso ini adalah minyak kelapa membeku di pagi hari, banyak ayam
sakit dan mati sehingga sering disebut juga musim aratan atau pagebluk. Kapuk
randu mulai membentuk kuncup bunga sehingga ada masyarakat yang
menyebut bunga kapuk sebagai Karo.
Pada mongso I, bumi berada pada jarak terjauh ke matahari dan
dampaknya mulai dirasakan pada mongso ke II dimana udara malam sangat
dingin. Data cuaca pertanian yang relevan dengan fenomena ini adalah rata2
suhu udara minimum di malam hari, yang setiap tahun mencapai suhu terendah
pada dekade 23 atau dekade-2 Agustus, artinya yang masih bagian dari mongso
karo.
94
3. Fenomena Mongso Rendengan
Sampai saat ini mongso VI masih diyakini sebagai masa tanam terbaik
untuk padi sawah dan sepanjang situasinya mendukung para petani berupaya
agar bisa tanam pada mongso VI. Kenyataan yang belum berubah sampai saat ini
adalah, padi yang ditanam pada mongso kanem memiliki resiko terendah
terhadap penyakit tanaman disamping produktivitasnya paling tinggi. Selama tiga
dekade pengamatan, dengan jenis padi dan cara tanam yang sama, tanaman
dengan masa panen sekitar mongso IX memiliki produktivitas tertinggi,
sedangkan memasuki mongso X produktivitasnya mulai menurun dan
penurunannya bisa mencapai 50%.
Faktor cuaca pertanian yang berperan disini bukan saja cuaca pada saat
tanam, tetapi juga cuaca menjelang panen, terutama untuk ukuran padi genjah,
yang relevan dengan jenis padi yang ditanam saat ini. Di dalam hal ini suhu tanah
pada kedalaman 1 meter setiap jam 07.00 pagi adalah komponen cuaca yang
paling berperan, terutama di dataran rendah. Suhu tanah ini mencapai puncaknya
pada dekade ke 10 atau dekade 1 April yang masuk mongso ke- X. Pada kondisi
suhu tinggi dari dalam tanah sawah akan keluar cairan berwarna merah pada
malam hari yang pada pagi harinya berubah menjadi kuning kecoklatan dan
dikenal sebagai karat tanah. Cairan inilah yang menyebabkan kerusakan
perakaran tanaman yang potensial dan mengganggu proses fisiologis sehingga
pengisian malai tidak sempurna atau dalam kata lain banyak bulir padi yang
kosong atau hampa.
4. Fenomena Mongso Gadu
Padi sawah yang ditanam pada mongso X – XI pertumbuhannya sangat
lambat dan anakannya kurang sehingga produktivitasnya juga kurang, tetapi yang
jauh lebih penting bagi petani adalah masalah hama tikus. Tanaman yang masa
tanamnya mongso X – XI apabila terserang hama tikus tingkat kepulihannya
<30%, sebaliknya, pertanaman mulai mongso XI pertumbuhannya berangsur-
angsur lebih bagus dan apabila terserang tikus tingkat kepulihan masih bisa >80%.
(Supriyono, 2012 diambil dari http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa-
fenomena-cuaca-pertanian/).
Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang atas Bulan-4 sampai Bulan-6
yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan
95
pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4
ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai
munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi
bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintang-
bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga
diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan
datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi 1997).
Pranata mangsa yang merupakan kearifan lokal ini merupakan kalender
tanam tradisional yang sudah diadopsi petani di suatu wilayah tertentu secara
turun temurun. Suatu tool untuk sinkronisasi kalender tanam dinamik dengan
pranata mangsa akan sangat berguna untuk menggabungkan keduanya.
5.3. Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia
5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian
Hasil-hasil penelitian mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai TA
2007 (Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera), tahun 2009 (Pulau Sulawesi
dan Kalimantan) dan 2010 (Bali, Papua Barat, NTB, NTT, Maluku) di Kementerian
Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kalender
tanam Kementerian Pertanian telah menyusun Peta Kalender Tanam Pulau Jawa
dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala 1:1.000.000 dan berbasis
kecamatan dengan skala 1:250.000. Peta ini menggambarkan waktu tanam dan
pola tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika
sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b).
Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam
yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun
basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender
dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing
kondisi iklim tersebut. Dengan kata lain, dalam penggunaannya kalender tanam
ini bersifat ‘look up table’. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun
sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas
pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola
tanam, sesuai dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu
dinamis, karena disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada
96
skala kecamatan, spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya
iklim dan air setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna
karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Gambar 5.3 Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial (Syahbuddin 2007)
Dalam kalender tanam yang disusun Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
• Pola Tanam (waktu tanam, jenis tanaman, dll) dengan 4 skenario :
Eksisting
CH Normal,
Kering (El-Nino),
Basah (La-Nina)
• Pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi
• Elastisitas ketersediaan air menurut skenario perubahan/anomali iklim
(maju-mundur, Basah, Kering, Normal) awal musim & jumlah CH
• Indeks & tingkat kekeringan, perubahan waktu dan durasi ketersediaan air
• Alternatif pola tanam (waktu tanam, varietas, dan jenis tanaman, dll)
Kalender tanam hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
ditampilkan dalam dua bentuk yaitu :
- Spatial dalam bentuk Peta Kalender Tanam
- Tabular dalam bentuk Tabel Rekomendasi Pola Tanam (& Waktu Tanam) per
Kecamatan, oleh karena itu kalender tanam ini berdasarkan ‘look up table’.
97
Publikasi dalam bentuk Atlas Kalender Tanam sudah disusun sebanyak 3
volume:
- Volume I : Jawa (+ Madura) (2007)
- Valume II : Sumatera, Kalimantan (2008)
- Valume III : Bali, NTB, Sulawesi,dll (2008/09)
- Volume IV : Papua, Maluku, Malut, Bali, NTT, NTB, dan Makasar (2010)
Kalender Tanam Terpadu
Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian meluncurkan ”Soft
Launching Kalender Tanam Terpadu”. Pada kalender tanam terpadu sudah
menggabungkan teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi
yang optimal, diantaranya varietas dan proporsi benih yang dianjurkan, pemupukan
berimbang, metodologi identifikasi bencana banjir, kekeringan dan OPT serta
menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu ditunjang dengan basisdata
yang terorganisir dengan baik. Kalender tanam yang dihasilkan diharapkan dapat
membantu di dalam menetapkan strategi penyediaan dan distribusi sarana produksi
serta perencanaan pola tanam, teknik budidaya pengelolaan tanaman untuk
menghindari/mengurangi resiko iklim pada tanaman pangan lahan sawah. Oleh
karena itu, diharapkan para pengambil kebijakan dapat dengan mudah dan cepat
melakukan perencanaan pertanian tanaman pangan di lahan sawah yang
mempertimbangkan prediksi iklim near real time yang meliputi waktu tanam, luas
tanam, rekomendasi dan kebutuhan pupuk, rekomendasi varietas dan kebutuhan
benih, serta informasi wilayah rawan banjir, kekeringan dan rawan OPT (Ramadhani
et al. 2011). Pengguna dapat mengakses dan juga menambahkan data pada feature
yang sudah disediakan, sesuai lokasi yang ingin diketahui. Akses tersedia di situs
Badan litbang Pertanian, http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam
Terpadu.
Desain sistem kalender tanam terpadu terdiri dari tiga tahapan (Gambar
5.4) (Ramadhani et al, 2011):
1. Desain database, data yang sudah dikumpulkan dalam tahap sebelumnya
disimpan dalam bentuk tabel relasional. Dalam tahap ini, tabel dibuat sesuai
dengan tingkat data administrasi dan data pendukungnya.
98
2. Desain aplikasi berbasis desktop untuk mendukung kemampuan updating
data secara otomatis, aplikasi desktop ini dibutuhkan sebagai alat penghasil
data dinamis jika data tertentu atau algortima analisis diperbaruhi sewaktu-
waktu, sehingga aplikasi berbasis web dapat menampilkan data atau
informasi yang telah diubah secara cepat dan mudah.
3. Desain aplikasi berbasis web untuk publikasi data, perancangan antar muka
dalam aplikasi berbasis web ini akan terdiri dari peta digital dan interaktif,
data tabular yang mudah digunakan, dan kemampuan menyediakan peta
digital yang sudah di-layout dalam bentuk Portable Document Format (pdf)
dan tabel tabularnya secara dinamis.
Brainstorming
Inventarisirhasil penelitian
Pembuatan desain sistemkalender tanam terpadu
Desain database
Penyusunanalgoritma
analisis
Desainaplikasiberbasis
web
Desainaplikasiberbasisdesktop
Pembuatan sistem informasikalender tanam terpadu
PembuatanAplikasidesktop
Layout petakalender tanam
PembuatanAplikasi
berbasis web
Testing aplikasi berbasis web dan desktop
Instalasi server di tempat colocationVerifikasi lapang
Gambar 5.4 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu
(Ramadhani et al. 2011)
Kalender tanam terpadu ini direncanakan akan diupdate setiap 3 kali
setahun, yaitu untuk informasi awal musim hujan, awal musim kemarau dan
informasi untuk MK II. Update pertama untuk tahun 2012 dilakukan untuk
informasi musim tanam II (MK I).
Adapun pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kalender
tanam terpadu pada dasarnya sama dengan informasi yang dikeluarkan
sebelumnya, yaitu penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial dengan
99
menggunakan analisis klimatologis. Kalender tanam aktual didasarkan pada
informasi luas baku sawah dan luas tanam dengan menginformasikan kalender
tanam existing petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam
rata-rata sepuluh harian per kecamatan untuk periode lima sampai sembilan tahun
terakhir tergantung ketersediaan data di setiap provinsi. Awal tanam MT I
ditentukan pada saat 8% dari luas baku sawah kecamatan yang bersangkutan
telah ditanami padi. Awal tanam MT II ditentukan pada saat 6% dari luas baku
sawah telah ditanami padi. Sedangkan awal tanam MT III ditentukan pada saat 2%
dari luas baku sawah telah ditanami padi (Runtunuwu et al. 2008).
Kalender tanam potensial berdasarkan informasi curah hujan (isohyets,
onset dan indeks pertanaman), informasi yang dikeluarkan berupa kalender tanam
pada kondisi tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Penyusunan kalender tanam
potensial menggunakan informasi iklim/curah hujan sebagai parameter utama di
dalam penentuan onset musim tanam. Komponen utama deliniasi kalender tanam
adalah curah hujan dan ketersediaan air irigasi. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap awal adalah menginventarisasi data sumberdaya iklim, terutama curah
hujan, yang kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik curah hujan, yaitu
variabilitas iklim, zona agroklimat, potensi awal musim tanam (onset), dan
intensitas pertanaman (IP) (Runtunuwu et al. 2008).
Onset Waktu Tanam Potensial Onset mencirikan waktu tanam pada MT I.
Onset dimulai apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/dasarian selama tiga
dasarian berturut-turut. Penentuan ini sangat terkait dengan jumlah dasarian (1
dasarian = 10 hari) selama setahun yang memiliki curah hujan lebih dari 35
mm/dasarian (LGP, length growth period).
Karakteristik sumberdaya iklim di atas masih merupakan informasi per
stasiun iklim, sehingga perlu dispasialkan untuk mendapatkan informasi utuh di
seluruh wilayah. Spasialisasi dilakukan berdasarkan tiga variabilitas iklim, yaitu
tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Dari masing-masing variabilitas iklim
tersebut dibuat dua layer zonasi digital, yaitu layer zona agroklimat dan layer
gabungan antara onset kalender tanam potensial dan IP. Kedua layer digital
selanjutnya ditumpangtepatkan (overlay) untuk mendapatkan kombinasi data yang
memiliki karakteristik iklim yang relatif homogen. Agar informasi yang diperoleh
sesuai dengan target, yaitu mengenai sawah, maka kedua layer tersebut juga
ditumpangtepatkan dengan layer distribusi sawah dari setiap kecamatan. Hasil
100
overlay merupakan basis data kalender tanam yang kemudian digunakan untuk
menentukan onset setiap kecamatan, berdasarkan onset areal sawah yang
terluas.
Pada kalender tanam terpadu ada penambahan informasi baru berupa
informasi hasil prakiraan iklim sebagai input dinamik sekaligus mengembangkan
Atlas Kalender Tanam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian menjadi suatu informasi yang dinamik dan interaktif. Hasil
prakiraan yang dikeluarkan merupakan hasil prakiraan Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hingga Januari 2012, terhadap hasil prakiraan
BMKG ini tidak dilakukan analisis, hanya dilakukan interpretasi saja.
Tabel 5.1 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal
Gambar 5.5 Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi
prakiraan iklim BMKG
101
Informasi hasil prediksi musim yang terdiri dari prediksi awal musim,
pergeseran musim dan sifat hujan, serta perkembangan prediksi iklim near real
time dari BMKG sedemikian rupa dimanfaatkan sebagai input dinamik yang akan
menjadi dasar pemilihan skenario anomali iklim pada Kalender Tanam yang akan
diterapkan pada musim yang akan datang. Beberapa hal yang dilakukan antara
lain, mempelajari peluang kejadian skenario anomali iklim dalam 2-3 musim
berurutan, penyetaraan satuan peta dasar terkecil dari zona musim (ZOM) atau
daerah bukan zona musim (Non-ZOM) menjadi berbasis administrasi di tingkat
kecamatan, menterjemahkan informasi prediksi musim dari berbasis ZOM dan
Non-ZOM menjadi berbasis kecamatan, serta menyusun informasi awal tanam dan
luas tanam berdasarkan informasi prediksi musim dan perkembangan prediksi
iklim near real time (Gambar 5.5) (Pramudia et al. 2011).
Pada kalender tanam terpadu, selain dilengkapi dengan hasil informasi
prakiraan iklim, juga dilengkapi dengan informasi identifkasi OPT dan analisis
wilayah rawan banjir dan kekeringan, varietas dan pupuk. Untuk identifikasi
wilayah rawan kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
dilakukan analisis tingkat kerawanan banjir dan kekeringan, analisis wilayah
endemis OPT dan waktu puncak luas serangan banjir, kekeringan dan OPT.
5.3.2. CCROM-IPB dengan BMG Sejalan dengan penyusunan kalender tanam Kementerian Pertanian, pada
tahun yang sama (tahun 2007) Boer et a.l juga melakukan riset terkait kalender
tanam yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan
sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim,
sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan
menggunakan Bayesian network dan decision network. Dalam Decision Network
(DN), keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan
informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al 2010).
Informasi dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan
sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan,
prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam.
102
Dalam penyusunan decision network, ada lima jenis data yang digunakan,
yaitu; data ENSO (dalam kajian ini ialah data SOI Phase), lama musim hujan, sifat
musim, luas tanam dan kejadian kekeringan untuk pengambilan keputusan bentuk
pola tanam dengan tingkat risiko terkena kekeringan minimum. Keterkaitan antara
informasi-informasi ini disusun dalam suatu perangkat lunak SIPOTAN dengan
menggunakan bahasa pemograman PHP berbasis web. Ke lima jenis data ini
disusun dalam bentuk Bayesian Network dan nilai yang digunakan dalam bentuk
kode nilai.
Tabel 5.2 Nilai ke lima peubah yang digunakan dalam penyusunan Bayesian
Network (Boer et al. 2007) No Variabel Nilai Arti Ketersedi
aan Data 1 E-Phase :
SOI Phase Bln Agustus
1 Near Zero Ags ’89 s/d Nov. ’07 2 Consistent Negative, Rapidly Falling
3 Consistent Positive, Rapidly Rising
2 CH : Curah Hujan
1 CH<(0.85*Rataan tahunan) Jan ’89 s/d Sep. ’06 2 (0.85*Rataan tahuan)<CH<1.15*Rataan
Tahunan)
3 CH>(1.15*Rataan Tahunan)
3 SDMH : Sisa Dasarian Musim Hujan
1 Sisa MH <10 dasarian Nov. ’89 s/d Des. ’01 2 Sisa MH : 10, 11, 12, dan 13 dasarian
3 Sisa MH > 13 dasarian
4 LT : Luas Tanam
1 LT<0.85*LT Rataan tahunan Okt. ’89 s/d Sep. ’06 2 0.85*LT Rataan tahunan<LT<1.15*LT Rataan
Tahunan
3 LT>1.15*LT Rataan Tahunan
5 K : Kekeringan
1 Tidak ada lahan kekeringan Jan. ’89 s/d Des. ’04 2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha
3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha
4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha
Praproses untuk mentransformasi mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori tersebut adalah sebagai berikut (Boer et al. 2007):
1. SOI (SOI Phase) : diambil dari situs www.longpadock.qld.gov.au. 2. CH (Curah Hujan) :
103
a. Dihitung rata-rata tahunan nilai curah hujan untuk setiap bulan (ada 12 bulan)
b. Untuk setiap bulan, nilai CH adalah : CH = 1 jika : Nilai CH < 0.85*Rata-rata Tahunan CH = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai CH<1.15*Rata-rata Tahunan CH = 3 Nilai CH>1.15*Rata-rata Tahunan
3. SDMH (Sisa Dasarian Musim Hujan) : a. Ditentukan Jumlah Sisa Dasarian pada setiap bulan berdasar
informasi Awal Musim Hujan (AMH) dan Lama Musim Hujan (LMH). b. Nilai SDMH adalah sebagai berikut :
SDMH=1 Jika Jumlah Sisa Dasarian <10 dasarian SDMH=2 Jika Jumlah Sisa Dasarian 10, 11, 12, atau 13 dasarian SDMH=3 Jika Jumlah Sisa Dasarian >13
4. LT (LuasTanam) : a. Dihitung rata-rata tahunan nilai LuasTanam untuk setiap bulan (ada
12 bulan) b. Untuk setiap bulan, nilai Luas Tanam adalah :
LT = 1 jika : Nilai LT < 0.85*Rata-rata Tahunan LT = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai LT<1.15*Rata-rata Tahunan LT = 3 Nilai LT>1.15*Rata-rata Tahunan
5. K (Kekeringan) : Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti pada berikut :
1 Tidak ada lahan kekeringan
2 0<luas lahan kekeringan<5000 Ha
3 5000 Ha<luas lahan kekeringan<15.000 Ha
4 luas lahan kekeringan>15.000 Ha
Dari grafik di atas, maka luas lahan kekeringan dibagi menjadi 4 daerah seperti telah disebutkan di atas.
Dalam kajian ini, untuk menentukan tingkat kekeringan terdapat empat
peubah, yaitu SOI Phase, Curah Hujan (CH), Sisa Dasarian Musim Hujan (SDMH)
dan Kejadian Kekeringan (K). Keterkaitan tiga peubah tersebut adalah seperti
dalam Gambar 5.6 berikut (Boer et al. 2007):
104
Gambar 5.6 Bayesian Network dengan tiga peubah Setelah diperoleh diagram keterkaitan di atas, dengan menggunakan data sample,
maka pada setiap node dihitung tabel peluang bersyaratnya, (Conditional
Probability Table, CPT). Secara lengkap akan diperoleh suatu BN, seperti
digambarkan pada Gambar 5.7 berikut :
CH
K ENSOPhase SDMH
Nilai P(ENSO) 1 0.3630 2 0.3904 3 0.2466
E
P(CH|E) 1 2 3
1 0.3774 0.2075 0.4151 2 0.4737 0.0702 0.4561 3 0.3889 0.1944 0.4167
E
P(SDMH|E) 1 2 3
1 0.6792 0.1132 0.2075 2 0.6316 0.1579 0.2105 3 0.6667 0.0833 0.2500
CH SDMH P(K|CH,SDMH) n 1 2 3 4
1 1 0.6304 0.1957 0.0652 0.1087 46 1 2 1 0 0 0 7 1 3 0.8750 0.1250 0 0 8 2 1 0.8182 0.1818 0 0 11 2 2 1 0 0 0 5 2 3 0.8333 0.1667 0 0 6 3 1 0.8462 0.1538 0 0 39 3 2 1 0 0 0 6 3 3 1 0 0 0 18
Gambar 5.7 Bayesian network
CH
K ENSOPhase SDMH
105
Kemudian dibentuk decision network untuk membentuk pola tanam (Gambar 5.8)
Gambar 5.8 Decision network
Nilai dari keputusan (D) adalah berupa pilihan pola penanaman, yaitu :
a. D1= padi-padi penanaman dimulai awal musim hujan
b. D2= padi-padi penanaman dimulai satu bulan setelah musim hujan
c. D3= padi-padi penanaman dimulai dua bulan setelah musim hujan
d. D4= padi-padi penanaman dimulai tiga bulan setelah musim hujan
Sedangkan node U adalah fungsi utilitas yang nilainya tergantung dari Keputusan
(D) yang diambil dan kemunculan (outcome) dari node Kekeringan (K). Oleh
karena node K mempunyai 4 kemungkinan nilai (Tabel 3.2) dan D juga mempunyai
4 kemungkinan tindakan, maka node U terdiri dari 4x4=16 kemungkinan/baris.
Dari sini dapat dihitung nilai harapan kerugian yang timbul dari setiap keputusan
yang diambil. Sedangkan penghitungan Fungsi Utilitasnya dengan
menggunakan alur logika sebagai berikut :
a. Penetapan 3 bulan mundur setelah AMH sebagai tanam kedua dari D1,
satu bulan berikutnya adalah tanam kedua dari D2, satu bulan berikutnya
lagi sebagai tanam kedua dari D3, dan satu bulan berikutnya sebagai
tanam kedua dari D4.
b. Penghitungan proporsi luas tanam setiap D1, D2, D3, dan D4 pada bulan
berjalan.
c. Proporsi luas tanam dikalikan dengan total luas lahan kekeringan
CH
K SOI Phase SDMH
D: Pola Tanam
U
106
5.3.3. I-MHERE B2C IPB
Mulai tahun 2010 riset tentang kalender tanam dilaksanakan oleh
Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan CCROM melalui I-MHERE B2C
IPB (Boer et al. 2010). Penelitian ini diberi judul besar “Improving Research
Excellence On Agricultural Adaptation (A)” dengan aktivitas “Increasing The
Resilience Of Agriculture System To Global Warming and Climate Change (A2)”.
Topik ini merupakan salah satu upaya dalam adaptasi terhadap perubahan iklim.
Salah satu rekomendasi untuk mengatasi penurunan produksi padi dalam
menghadapi keragaman dan perubahan iklim adalah dengan pengaturan waktu
tanam. Penelitian pada tahun I telah menghasilkan sistem penentuan kalender
tanam dinamik dan semi-dinamik berdasarkan kondisi iklim yang digambarkan
oleh kondisi ENSO. Penelitian ini merupakan pengembangan dari riset yang
dilakukan tahun 2007. Hasil penelitian tersebut memerlukan verifikasi dan
sosialisi kalender tanam yang telah dihasilkan. Verifikasi dilakukan untuk
mengetahui detail wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim
tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada
ketiga musim tanam pada kondisi normal. Sebagai bahan sosialisasi dibuat
modul/panduan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Modul/panduan berupa
booklet dan dapat di download di website, berisi cara menggunakan kalender
tanam dinamik maupun semi-dinamik. Namun demikian pemanfaatan kelendar
tanaman dinamik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan pembangunan
kemampuan kelembagaan daerah untuk memanfaatkannya dalam menyusun
strategi dan program pengelolaan risiko iklim. Penguatan kelembagaan daerah
dalam pengelolaa risiko iklim dilakukan melalui konsultasi dengan pejabat
berwenang, diskusi, workshop dan pelatihan untuk para pemangku kepentingan
terkait serta pembentukan kelompok kerja yang akan berperan dalam melakukan
penataan dan penyusunan perangkat yang diperlukan dalam pengembangan
sistem pengelolaan risiko iklim yang lebih efektif.
107
Gambar 5.9 Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al. 2010)
Untuk tahun 2011, penelitian dilaksanakan dalam bentuk penelitian lapang
dan desk study. Penelitian lapang dilakukan untuk meninjau langsung
persawahan dan wawancara dengan PPL dan petugas lapangan pelapor
gangguan tanaman di setiap wilayah hujan untuk mendapatkan informasi
mengenai ketersediaan air irigasi dan periode tanam pada bagian wilayah
108
kecamatan yang mendapat rekomendasi tanam. Informasi ini diperlukan untuk
mengetahui wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan
memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga
musim tanam pada kondisi normal. Kegiatan lapang juga dilakukan dalam rangka
identifikasi dan penetapan SKPD yang akan menjadi pengguna kalender tanam
dinamik dan semi dinamik serta pelatihan terhadap petugas PPL dan SKPD dalam
memanfaatkan informasi kalender tanam yang telah disusun.
Desk studi dilakukan untuk melakukan validasi, evaluasi sistem
pengelolaan risiko iklim dan menyusun bahan panduan penggunaan kalender
tanam sebagai bahan sosialisasi hasil yang telah diperoleh dari penelitian tahun
2010. Bahan panduan yang disusun akan di upload di website CCROM_SEAP
dan Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.
5.4. Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini
Pengembangan kalender tanam dinamik dalam penelitian ini dititikberatkan
pada penambahan decision yang dihasilkan. Decision network yang dihasilkan
menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility
sebagai pendekatannya. Dengan demikian, kalender tanam dinamik yang
dikembangkan merupakan sistem informasi yang menyajikan pemilihan
tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman, pemupukan, irigasi, varietas ,
teknik budidaya lain) yang mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang
bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut,
dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan
tatalaksana terbaik.
Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam
hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan
komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya
dengan produktivitas tanaman. Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja
menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan teknologi
budidaya seperti pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas
maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada
tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian yang
dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang digabung dengan
109
hasil simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer)
(Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat
diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis atau
kombinasi teknologi tersebut.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang
menguntungkan secara ekonomi, ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi
(pupuk, irigasi, varietas) suatu usaha tani pada suatu musim tertentu. Kombinasi
teknologi budidaya tersebut diharapkan dapat memberi produksi maksimal dengan
tingkat kerugian yang minimal
Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System) Fungsi utility diharapkan dapat menggambarkan potensi pola tanam dan
waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika
sumber daya iklim dan air, serta kalkulasi input dan output pada suatu usaha tani,
sehingga diketahui keuntungan dan kerugiannya. Nilai risiko untuk setiap
kombinasi antara keputusan pola tanam dengan kemunculan kejadian peubah
iklim diprediksi sebagai rata-rata dari beberapa tahun kejadian bencana
kekeringan. Dengan demikian, komponen ketakpastian dari data kurang
diakomodasi oleh model. Oleh karena itu, fungsi risiko yang memetakan
kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasikan
dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Dengan model FIS, tranformasi
dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko dilakukan
berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut selanjutnya
diformalkan dalam dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan
dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian
terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi.
Pada Gambar 2, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3
peubah, yaitu nilai anomali SST Nino4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah
Hujan Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan
memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output
yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung
dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua
rule.
110
Hasil keluaran dari FIS berupa nilai kekeringan dalam ha. Untuk
mengetahui keuntungan dan kerugian usaha tani per ha, digunakan hasil dari
simulasi DSSAT yang digabungkan dengan hasil analisis usaha tani, sehingga
diperoleh input, output dan keuntungan / kerugian dalam bentuk rupiah. Kombinasi
yang paling menguntungkan itulah yang dipilih sebagai alternatif pola tanam ideal.
Dengan demikian pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya
adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi.
Kombinasi tersebut merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal
tanam, terutama ketersediaan air Irigasi yang sangat mempengaruhi hasil
tanaman. Hasil riset sebelumnya utility berupa table sehingga nilainya discret dan
data terbatas.
5.5. Simpulan
Riset kalender tanam dimulai sejak tahun 2007 oleh Kementerian Pertanian
yang lebih bersifat ‘look up table” dengan menggunakan tahun-tahun El-Nino,
La-Nina dan Normal yang diperoleh berdasarkan data rata-rata historis jangka
panjang. Prediksi disesuaikan dengan pola yang terbentuk pada tahun-tahun
tersebut dengan panduan peta dan table-tabel.
Riset kalender tanam yang disusun oleh Boer et al, lebih bersifat dinamik, karena
sudah memasukkan hasil prakiraan iklim, dan menggunakan Peluang yang
ditampilkan dalam Bayesian network. Decision yang dihasilkan adalah pilihan pola
tanam.
Pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision
yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi. Kombinasi tersebut
merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam. Dengan
demikian, kalender tanam dinamik yang dikembangkan merupakan sistem
informasi yang menyajikan pemilihan tatalaksana pertanaman (pola, awal
penanaman, pemupukan, irigasi, varietas, teknik budidaya lain) yang
mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk
mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis
ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan tatalaksana terbaik.
111
Berdasarkan state of the art kalender tanam ini, maka pada bab berikutnya
akan dipaparkan mengenai pengembangan decision network yang dioptimasi
dengan sistem inferensi fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik.
112
113
VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK
6.1. Pendahuluan
Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah
menentukan solusi terbaik yang optimal dari suatu tujuan yang dimodelkan melalui
suatu fungsi objektif. Dalam hal ini, konsep dan prinsip ekonomis memegang
peranan penting sebagai parameter/indikator keberhasilan. Solusi optimal yang
dimaksud adalah solusi yang layak untuk diambil sebagai suatu keputusan dan
dapat mengatasi semua kendala yang muncul dalam pencapaian fungsi tujuan
tersebut. Dalam berbagai bidang, tingkat keuntungan yang maksimal atau tingkat
kerugian yang minimal menjadi fungsi tujuan yang ingin dicapai. Sehingga secara
alamiah, proses optimisasi sangatlah familiar dengan kehidupan manusia secara
umum (Sudradjat et al. 2009).
Lebih lanjut Sudradjat et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi optimal
akan menjadi suatu tantangan untuk dicapai apabila muncul berbagai kendala
yang membatasi pencapaian kondisi optimal tersebut. Sebagai contoh pada
pemodelan optimisasi pola tanam pada lahan kering, terdapat variabel keputusan
yang tidak diketahui besarannya sebelum kondisi terbaik yang optimal tercapai
dengan mengatasi seluruh kendala yang ada.
Optimisasi decision network dimaksudkan dengan mencari nilai fungsi
utilitas yang paling optimal sebagai masukan untuk kalender tanam dinamik.
Optimisasi diformulasi dengan menggunakan fuzzy inference system (FIS).
Pengujian keabsahan model merupakan tahapan yang penting dalam
pemodelan, karena harus selalu disadari bahwa tidak ada model simulasi yang
berlaku untuk segala keadaan. Model selalu dikembangkan berdasarkan sejumlah
asumsi yang membatasi keabsahan model. Pertimbangan akhir dari model yang
teruji adalah model yang memenuhi kriteria : (1) model konseptual yang
memberikan representasi baik bagi proses sesungguhnya; dan (2) lulus pengujian
yang dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi model dengan hasil
pengamatan eksperimental dan pengukuran lapang (Pawitan 2002). Pengujian
tersebut merupakan validasi model. Menurut Handoko (2002) validasi model
identik dengan pengujian hipotesis yang dalam hal ini, model itu sendiri
merupakan hipotesisnya. Validasi model dapat dilakukan melalui beberapa cara
114
mulai dari yang bersifat deskriptif misalnya melalui perbandingan secara grafis,
yaitu membandingkan antara hasil keluaran model dengan hasil pengukuran
lapang pada grafik. Cara ini lebih mudah dilihat dan dibayangkan proses yang
dimodelkan serta bagaimana kesamaan atau perbedaannya dengan hasil
pengamatan lapang. Dalam bab ini, selain pemaparan mengenai fungsi risiko,
juga dipaparkan perihal verifikasi (validasi) fungsi risiko.
6.2. Metodologi
6.2.1. Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Fungsi risiko yang memetakan kombinasi keputusan dengan kejadian iklim
ke nilai kerugian diformulasi dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Hal ini
dengan pertimbangan bahwa data yang tersedia sangat sedikit, sehingga tidak
mampu memprediksi parameter model dengan baik. Dengan model FIS,
tranformasi dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko
dilakukan berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut
selanjutnya diformalkan dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...)
dan dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian
terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi. Diagram model FIS secara
umum adalah sesuai gambar berikut :
VI.
VII.
Gambar 6.1 Model FIS untuk pendugaan nilai risiko
Pada Gambar 6.1, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3
peubah, yaitu indeks SST Nino 4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah Hujan
115
Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan memasuki rule
1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output yang merupakan
nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung dengan formula
defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua rule. Proses
Fuzzy Inference System (FIS) dilakukan di Mathlab ver.7. Pada optimisasi dengan
menggunakan FIS digunakan data observasi dan digunakan untuk menghitung
fungsi risiko Kabupaten Pacitan.
6.2.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Verifikasi terhadap fungsi risiko dilakukan dengan membandingkan
kekeringan yang diperoleh dari data observasi lapang dan dibandingkan dengan
kekeringan yang diperoleh dari model.
6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Analisis Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS
Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa
besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan
luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian
yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang
digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman
berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko.
Ada beberapa tahapan dalam proses fuzzy inference system (FIS).
Tahapan tersebut meliputi; perumusan masalah, penyusunan fuzzy membership,
penyusunan rule, serta proses lain di mathlab. Perumusan masalah merupakan
penentuan input dan output sebagai peubah penentu. Terdapat tiga peubah
penentu, yaitu; anomali SST Nino 4 bulan Agustus (oC), panjang musim hujan
(PMH) dalam dasarian, dan akumulasi curah hujan musim kemarau (bulan Mei
hingga Agustus). Digunakan SST Nino 4 bulan Agustus sebagai acuan untuk
prediksi curah hujan, karena pada bulan Agustus hampir >60% anomali curah
hujan di wilayah Indonesia mencapai nilai negatif (Aldrian 2003). Sedangkan
output adalah bencana kekeringan. Data yang digunakan merupakan data
tahunan.
116
Langkah selanjutnya adalah penyusunan fuzzy membership (penetapan
fungsi keanggotan), yaitu penentuan range nilai sehingga dapat diketahui pada
posisi mana nilai tersebut berada. Range nilai tersebut adalah sebagai berikut;
peubah SST Nino 4 meliputi range nilai antara -2 hingga 2 dengan acuan
penetapan dari data jangka panjang (Tabel 6.1), panjang musim hujan berada
dalam kisaran 1 hingga 36 dasarian, curah hujan musim kemarau berada pada
kisaran <85% hingga >115% dari rata-rata tahunan untuk empat bulan musim
kemarau (Mei hingga Agustus). Sedangkan bencana kekeringan diklasifikasikan
menjadi tidak terkena, terkena ringan, terkena sedang, berat dan puso. Dimana
tidak terkena berarti tidak mengalami kejadian, atau kejadian tersebut sangat kecil
sehingga dapat diabaikan. Terkena ringan mempunyai rentang dari nol hingga
<Q1 (quartile 1) dari luas kekeringan, terkena sedang (Q1<luas kekeringan<Q2),
terkena berat (Q2<luas kekeringan<Q3), dan puso (>Q3). Rentang fuzzifikasi ini
dapat berbeda-beda pada setiap kecamatan, karena baik input terutama curah
hujan musim kemarau dan panjang musim hujan berbeda, juga outputnya,
mengalami luas kekeringan yang berbeda, sehingga rentangnya menjadi tidak
sama antar kecamatan.
Tabel 6.1 Contoh himpunan fuzzy untuk input (Anomali SST Nino 4, PMH dan CHMK)
Himpunan
Fuzzy Klasifikasi Representasi
Interval Rentang Fuzzifikasi
Anomali
SST Nino4
La-Nina 1 trapesium < -2.0, -1.5, -1.0 -0.5>
Normal 2 trapesium < -1.0, -0.5, 0.5 1.0 >
El-Nino 3 trapesium < 0.5 1.0, 1.5, 2.0 >
PMH Rendah 1 trapesium < 1, 1, 8, 12 >
Sedang 2 trapesium < 8, 12, 18, 22 >
Tinggi 3 trapesium < 18, 22, 36, 36 >
CHMK BN 1 trapesium < 0, 0, 115, 165>
N 2 segitiga <115, 165, 215 >
AN 3 trapesium < 165, 215, 600, 600>
117
Tabel 6.2 Contoh himpunan fuzzy untuk output (Kekeringan)
Himpunan Fuzzy
Klasifikasi Representasi Interval
Rentang Fuzzifikasi
Kekeringan Tidak ada 1 0 atau nilai dapat diabaikan
Ringan 2 < 25 % luas kekeringan
Sedang 3 25 - 50% luas kekeringan
Berat 4 50 – 75% luas kekeringan
Puso 5 >75% luas kekeringan
Tabel 6.3 Contoh himpunan fuzzy untuk kekeringan Kecamatan Tulakan
Himpunan
Fuzzy Klasifikasi Representasi
Interval Rentang Fuzzifikasi
Kekeringan Tidak ada 1 0 atau nilai dapat diabaikan
Ringan 2 Luas kekeringan < 1,86 ha
Sedang 3 1.86 < luas Kekeringan< 7.04 ha
Berat 4 7.04 < luas Kekeringan < 43.02 ha
Puso 5 Luas kekeringan >43.02 ha
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas
kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. sebagai contoh jika SST
Nino 4 bernilai +2, panjang musim hujan <10 dasarian, curah hujan musim
kemarau <85% dari nilai rata-rata tahunan (bawah normal/BN), dan luas tambah
tanam berada pada kisaran >115% (atas normal atau AN) maka bencana
kekeringan yang terjadi akan berada pada kisaran yang cukup luas. Misal, jika
SST Nino4 =1.12, PMH =13, CHMK =54, maka kekeringan yang mungkin terjadi
adalah seluas 250 ha. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan
logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi
kekeringan yang diperoleh.
118
Gambar 6.2 Fungsi keanggotaan untuk Anomali SST Nino4
Gambar 6.3 Fungsi keanggotaan untuk CHMK
119
Gambar 6.4 Fungsi keanggotaan untuk PMH
Gambar 6.5 Fungsi keanggotaan untuk kekeringan
120
Gambar 6.6 Contoh pilihan skenario di fuzzy rule
Gambar 6.7 Contoh output di fuzzy rule
121
6.3.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Verifikasi terhadap fungsi risiko disajikan pada Gambar 6.8. Dari aspek
output nilai risiko kekeringan, terlihat bahwa prediksi nilai kekeringan dengan
model FIS memberikan nilai prediksi yang mengikuti pola observasi sebenarnya.
Namun demikian, secara umum ada trend bahwa prediksi dengan FIS berbias ke
atas. Hampir semua prediksi berada di atas nilai observasi (kecuali pada tahun
terakhir dan kecuali untuk Kecamatan Tulakan). Hal ini terjadi karena ada
beberapa hal yang ditempuh. Pertama, karena sudah diperkirakan lebih dahulu,
air tidak akan mencukupi, maka petani tidak melakukan penanaman. Kedua,
dilakukannya strategi antisipasi/adaptasi, sehingga dilakukan langkah-langkah
penanaman yang memperhitungkan kondisi ketersediaan air, sehingga kerugian
yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, maka pada
kondisi observasi/riil di lapang, kekeringan sering mendekati nilai lebih rendah
daripada yang dihitung dengan model, hal itu terjadi karena petani tidak
melakukan penanaman. Oleh karena itu perlu satu faktor koreksi dari model
tersebut agar hasil prediksi menjadi lebih tepat. Kepakaran dalam menentukan
selang fuzzy (fuzzy membership) juga memberikan kontribusi terhadap ketepatan
hasil prediksi.
Hasil FIS sangat jelas terlihat terutama pada tahun-tahun ketika terjadi El-
Nino, dan terjadi kekeringan seperti pada tahun 1991, 1994, 1997 dan 2007 pada
sebagian besar kecamatan (Gambar 6.8). Dengan hasil tersebut, FIS dapat
digunakan untuk memprediksi kejadian kekeringan dalam bentuk luasan yang
mungkin terjadi. Informasi SST Nino 4 yang dituangkan kemudian dalam prediksi
curah hujan, sehingga berikutnya dapat menghitung CHMK dan PMH, diharapkan
dapat memberikan informasi prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi.
Hasil regresi linier antara nilai Kekeringan observasi dengan nilai
kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar
yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo/ Gambar
6.9). Namun demikian, koefisien determinasi stasiun terbanyak berada pada nilai
0.7. Hal ini memperlihatkan bahwa hingga sekitar 70% dari persamaan
diakomodir oleh model/persamaan, sedangkan sisanya tidak dapat dijelaskan
oleh model. Prediksi FIS pada tahun 2003 memperlihatkan kemungkinan terjadi
kekeringan yang cukup luas, namun diperkirakan antisipasi petani sebelumnya
dapat menekan kemungkinan terjadi kerugian pada wilayah yang luas.
122
0
100
200
300
400
500
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
luas
terk
ena
keke
ringa
n (h
a)
Arjosari
0
50
100
150
200
250
300
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Donorojo
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
luas
terk
ena
keke
ringa
n (h
a)
Kebonagung
0
50
100
150
200
250
300
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Nawangan
0
50
100
150
200
250
300
350
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
luas
terk
ena
keke
ringa
n (h
a)
Ngadirojo
0
50
100
150
200
250
300
350
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pacitan
0
50
100
150
200
250
300
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
luas
terk
ena
keke
ringa
n (h
a)
Punung
0
50
100
150
200
250
300
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pringkuku
0
100
200
300
400
500
600
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
luas
terk
ena
keke
ringa
n (h
a)
Tegalombo
Observasi FIS
0
300
600
900
1200
1500
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tulakan
Observasi FIS
Gambar 6.8 Hasil verifikasi FIS dengan observasi
123
y = 0.629x + 68.32R² = 0.3763
0
100
200
300
400
0 100 200 300 400 500
FIS
Arjosari
y = 1.7979x + 15.532R² = 0.7597
0
100
200
300
400
0 50 100 150 200 250
Donorojo
y = 0.5483x + 41.86R² = 0.7052
0
100
200
300
400
500
0 200 400 600 800
FIS
Kebonagung
y = 2.0232x + 14.356R² = 0.7631
0
100
200
300
400
0 50 100 150 200
Nawangan
y = 1.8843x + 9.4229R² = 0.8821
0
50
100
150
200
250
300
350
0 50 100 150 200
FIS
Ngadirojo
y = 1.4875x + 38.197R² = 0.7108
0
100
200
300
400
500
0 50 100 150 200 250 300
Pacitan
y = 0.7073x + 30.289R² = 0.7344
0
100
200
300
400
500
0 100 200 300 400 500 600
FIS
Luas terkena kekeringan observasi (ha)
Tegalombo
y = 0.3424x + 67.828R² = 0.6339
0
100
200
300
400
500
600
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Luas terkena kekeringan observasi (ha)
Tulakan
y = 1.9578x + 14.425R² = 0.7599
0
100
200
300
400
0 50 100 150 200
FIS
Punung
y = 1.3984x + 17.942R² = 0.7628
0
100
200
300
400
0 50 100 150 200 250 300
Pringkuku
Gambar 6.9 Perbandingan nilai kekeringan observasi dengan hasil keluaran FIS
124
6.4. Simpulan Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa
besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan
luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian
yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang
digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman
berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko.
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas
kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan
rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan
dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
Hasil regresi linier antara nilai kekeringan observasi dengan nilai
kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar
yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo).
Dalam penetapan rule untuk fuzzy inference system, diperlukan kepekaan
yang cukup tinggi untuk menghasilkan prediksi yang mendekati ketepatan, oleh
karena itu diperlukan suatu tool lain seperti algoritma genetika sebagai alat bantu
dalam meningkatkan tingkat ketepatan.
Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu alat ukur dalam penyusunan
fungsi risiko, sebagai bagian dari decision network untuk mendukung kalender
tanam dinamik. Oleh karena itu, bahasan pada bab selanjutnya memaparkan
mengenai pengembangan kalender tanam dinamik.
125
VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI
7.1. Pendahuluan
Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan
penjadwalan penanaman petani adalah kalender tanam. Manfaat dari kalender
tanam adalah untuk memandu petani dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam,
mengingat pentingnya jadwal penanaman, mulai dari masa persiapan tanah,
penanaman, dan panen.
Informasi kalender tanam sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007 dan semakin
dikembangkan setiap tahun (Runtunuwu et al. 2009). Input awal dari kalender
tanam yang telah dilakukan adalah peta kalender tanam. Peta ini menggambarkan
potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi,
berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007).
Sejak tahun 2007 pula, Boer et al. merintis pengembangan model kalender
tanam dinamik, yang mengakomodasi sifat dinamik perubahan variabel lain
penentu sifat iklim, seperti fase SOI, decision dan bayesian network. Kegiatan ini
dilanjutkan dengan kegiatan di proyek I-MHERE IPB 2-C (Boer et al. 2010), dan
pada saat yang sama risetnya dikembangkan lebih jauh lagi dengan kegiatan
KKP3T dengan menggunakan metode yang lebih diperluas cakupannya (Buono et
al. 2010), dengan menggunakan pendekatan jejaring pengambilan keputusan
(Decision Network).
Decision Network (DN) dapat diaplikasikan sebagai strategi penyesuaian
bentuk pola tanam dengan prakiraan musim, untuk mengatasi masalah kekeringan
yang mungkin terjadi pada tanaman ke dua apabila sifat hujan di bawah normal,
atau awal masuk musim hujan mengalami keterlambatan dari normal sehingga
penanaman kedua mengalami kemunduran.
Dalam penyusunan decision network sehingga dihasilkan pola tanam
terbaik, dilakukan penggabungan fungsi utility dengan bayesian network sehingga
merupakan suatu pendekatan yang lebih komprehensif. Fungsi utility yang
merupakan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas,
diperoleh dari hasil bab sebelumnya (Bab VI), sedangkan dari Bayesian Network,
kita dapat mengetahui peluang dari suatu peubah tertentu. Pada dasarnya
126
Bayesian Network merupakan model visual menggunakan graph dari distribusi
bersama sejumlah peubah.
Mengingat Kalender tanam dinamik pada prinsipnya merupakan sebuah
model, oleh karena itu validasi yang dilakukan merupakan validasi yang digunakan
untuk sebuah model. Sedangkan validasi yang sebenarnya di lapangan, tidaklah
demikian, karena pada prinsipnya kalender tanam dinamik adalah sebuah
decision, yang dalam validasinya berbeda dengan simulasi biasa, namun
didasarkan kepada kondisi yang diperoleh sebagai hasil decision yang dikeluarkan
kalender tanam dinamik, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi sebenarnya
di lapangan, sesuai skenario iklim yang terjadi. Mengingat harus dibuat skenario-
skenario, untuk membedakan kondisi pada tahun-tahun Normal, tahun-tahun
kering (El-Nino) dan basah (La-Nina). Namun demikian, karena tahun yang
digunakan dalam penelitian terbatas, sehingga belum mampu untuk melakukan
validasi pada kondisi tahun-tahun tersebut. Validasi yang dilakukan baru berupa
validasi acak terhadap kondisi tahun yang digunakan sebagai data validasi. Salah
satu hal lain yang kurang mendukung terhadap hal ini juga adalah kesulitan data
yang diperoleh di lapangan. Padahal data tersebut merupakan data-data yang
sangat diperlukan untuk mendukung akuratnya sebuah model dan validasinya.
7.2. Metodologi Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
7.2.1. Penyusunan jejaring bayes (Bayesian Network)
Untuk penentuan pola tanam ideal, digunakan data ENSO, musim hujan,
luas tanam, sifat musim dan kejadian bencana iklim. Bayesian Network merupakan
suatu Directed Acyclic Graph (DAG) untuk merepresentasikan secara visual
mengenai keterkaitan langsung antar peubah di atas.
Tahapan dalam penyusunan Bayesian Network:
a. Penentuan peubah untuk kekeringan. Dalam kajian ini, untuk menentukan
tingkat kekeringan terdapat empat peubah, yaitu 1). SST Nino 4, 2). Curah
Hujan Musim Kemarau (CHMK/CH bulan Mei+Juni+Juli+Agustus), 3).
Panjang Musim Hujan (PMH) dalam setahun dan 4). Kejadian Kekeringan
(K). Keterkaitan empat peubah tersebut adalah seperti dalam Gambar 5.1.
berikut :
127
Bayesian Network
Q
S1 S2 S3
P3P2P1
K1 K2 K3 K5K4
C1 C2 C3
I1 I2 I3 I5I4
SST NINO4
CHMK PMH
queri
KEKERINGAN
Peluang akhir
)()(
)|(QP
QIPQIP j
j
∧=
Gambar 7.1 Bayesian Network dengan empat peubah
b. Transformasi untuk mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori tersebut
adalah sebagai berikut:
- SST NINO 4 : diambil dari situs
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/ersst3b.nino.mth.ascii
- CHMK (Curah Hujan) :
a. Dihitung total nilai curah hujan bulan Mei,Juni, Juli dan Agustus.
b. Untuk setiap bulan, nilai CHMK adalah :
CH = 1 Nilai CH < 0.85*Rata-rata Total Mei-Juni-Juli-Agustus
CH = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan<Nilai CH<1.15*Rata-rata Total
bulan Mei-Juni-Juli-Agustus
CH = 3 Nilai CH>1.15*Rata-rata Total Mei-Juni-Juli-Agustus
Contoh : Rata-rata CH bulan Juni adalah 21, maka jika CH bulan
tersebut kurang dari 21 akan diberi kode CH=1.
- PMH (Panjang Musim Hujan) :
a. Panjang Musim hujan ditentukan berdasarkan berapa lama musim
hujan pada satu tahun.
b. Dihitung berdasar informasi Awal Musim Hujan (AMH) hingga akhir
musim hujan.
128
Untuk ilustrasi sebagai berikut : AMH 97/98 adalah dasarian 32 ini
artinya AMH pada pertengahan November th 1997. PMH = 21 Dasarian
- K (Kekeringan) :
Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti berikut :
Tabel 7.1 Kategori kekeringan
Tingkat kekeringan Keterangan
1 Tidak ada lahan kekeringan
2 0<luas lahan kekeringan<Q1 (kuartil pertama)
3 Q1<luas lahan kekeringan<Q2 (kuartil kedua)
4 Q2<luas lahan kekeringan<Q3 (kuartil ketiga)
5 luas lahan kekeringan>Q3
Contoh teorema Bayesian :
Pada sistem yang akan dikembangkan, parameter model (yang berupa
tabel peluang bersyarat untuk setiap peubah dalam Bayesian Network)
diformulasikan selain menggunakan data historis, juga menggunakan informasi
iklim yang muncul (baik yang berasal dari data observasi maupun berdasar model
prediksi), sehingga secara dinamis sistem melakukan adaptasi terhadap kondisi
nyata yang sedang terjadi.
7.2.2. Penyusunan jejaring pengambilan keputusan (Decision Network)
Penyusunan kalender tanam dinamik dilakukan dengan
mengintegrasikan keseluruhan komponen yang dianggap menunjang
terhadap keluarnya sebuah keputusan yang diharapkan lebih akurat dalam
penentuan awal musim tanam, dalam suatu Decision Network (DN). Oleh
karena itu terdapat kombinasi alternatif decision yang sangat beragam.
Masing-masing alternatif decision dikembangkan sesuai dengan masukan
dari bayesian network, fungsi utility (yang diakomodir oleh
129
Bayesian Network
Q
S1 S2 S3
P3P2P1
K1 K2 K3 K5K4
C1 C2 C3
I1 I2 I3 I5I4
SST NINO4
CHMK PMH
queri
KEKERINGAN
Peluang akhir
Decision Waktu tanam Irigasi Varietas Pemupukan D1 D2 D3 D4 D5 … Dn
T1 T2 T3 T4 T5 … Tn
I1 I1 I1 I1 I1 … In
V1 V1 V1 V1 V1 … Vn
P1 P1 P1 P1 P1 … Pn
Pilihan perlakuan (Waktu tanam,
Irigasi, varietas dan pemupukan)
DSSAT ‘Yield’ hasil simulasi
kg per hektar
Asumsi harga gabah (Rp.)
INPUT (Rp.) OUTPUT
(Rp.)
Keuntungan/kerugian
BAYESIAN FUNGSI UTILITY
DECISON
SIMULASI DSSAT
Gambar 7.2. Decision Network
130
sistem inferensi fuzzy) dan hasil keluaran dari simulasi DSSAT. Pilihan
yang dikeluarkan untuk pengambilan keputusan dalam suatu decision
network sudah mengakomodir unsur-unsur itu, sehingga dapat diambil
keputusan terbaik (pola tanam terbaik), berdasarkan pilihan yang
dikeluarkan tersebut. Pola tanam terbaik adalah didasarkan kepada bukan
saja memberikan hasil yang terbaik, tetapi juga memperhatikan biaya yang
dikeluarkan. Sebagai ilustrasi Gambar 7.2. berikut menyajikan diagram dari
suatu DN.
7.2.3. Penyusunan kalender tanam dinamik
Dengan mengintegrasikan hasil survey, penyusunan jejaring bayes dan
penyusunan Decision Network, yang dikaitkan dengan hasil prakiraan iklim, maka
dapat dilakukan penentuan pola tanam dan onset musim tanam. Sebagai alat
bantu pengambil keputusan, pengembangan dari Kalender Tanam dinamik
diharapkan mampu menyediakan alternatif pola tanam atau teknologi berdasarkan
prakiraan yang diberikan untuk musim tertentu dengan risiko minimum dan di sisi
lain menyumbangkan hasil yang ditinjau secara ekonomi lebih tinggi.
Gambar 7.3. Model kalender tanam dinamik
Data CH
Informasi sifat hujan
Rekomendasi Teknologi
Penyusunan kalender tanam dinamik
Verifikasi
Penyusunan berbagai alternatif pola tanam
Data dinamika pola tanam
petani
Data luas
tanam
Penyusunan Bayesian dan Decision Network
131
7.3. Hasil dan Pembahasan 7.3.1. Bayesian dan decision network
Peubah dalam BN yang berpengaruh langsung adalah kekeringan yang
terjadi pada pertanaman kedua. Dilakukan lima pengkategorian kekeringan.
Pengkategorian ini didasarkan pada data hasil observasi lapang mengenai
kejadian kekeringan, dan secara visual terlihat pada Gambar 7.4.
Batas-batas kategori kekeringan berdasar gembar di atas adalah sebagai berikut :
K1 : tidak ada kekeringan
K2 : terjadi kekeringan rendah, yaitu 0<Kekeringan≤Q1
K3 : terjadi kekeringan sedang, yaitu Q1<Kekeringan≤Q2
K4 : terjadi kekeringan tinggi, yaitu Q2<Kekeringan≤Q3
K5 : terjadi kekeringan sangat tinggi, yaitu Kekeringan>Q3
Hasil yang diberikan BN merupakan peluang kekeringan, yang dapat
digunakan untuk menduga potensi kekeringan di suatu daerah tertentu
berdasarkan peluang yang tersedia.
Gambar 7.4 Pengkategorian bencana kekeringan (Buono et al., 2011)
Berdasarkan perhitungan pada SST Nino 4, diperoleh hasil bahwa dalam
kurun waktu penggunaan data dari tahun 1989 hingga 2010, diketahui bahwa
peluang terjadi kekeringan hingga K5 lebih banyak didominasi pada kondisi El-
Nino. Sedangkan kondisi peluang K1 atau tidak terjadi kekeringan, diwakili pada
kondisi tahun La-Nina, tahun Normal, dan sedikit pada tahun El-Nino. Secara
umum peluang kekeringan untuk kondisi Elnino adalah lebih tinggi dibanding
1 1 2 2 3 4 515 16 20 22 23 25 25
3442 45
5561
96
131139
158
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
Luas
laha
n Kek
ering
an
K2 K3 K4 K5
132
kondisi Normal dan Lanina. Namun demikian, menurut Buono (2011), jika terjadi
curah hujan di musim kemarau diatas normal ataupun normal, maka peluang ini
mengecil. Sedangkan jika curah hujannya di bawah normal, maka peluang
kekeringan langsung meningkat tajam, baik kondisi ENSO Elnino, Normal maupun
Lanina. Pendapat lain dipaparkan oleh Liong et al. (2003) yang menyatakan
bahwa pada saat intensitas El-Nino tinggi akan menyebabkan kekeringan di
Indonesia, tetapi ketika intensitas El-Nino rendah pengaruh lain dapat menjadi
dominan sehingga mungkin saja kekeringan terjadi. Seperti dipaparkan oleh Lubis
et al. (2003), bahwa nilai anomali maksimum El-Nino tahun 1982/1983 >
1997/1998, akan tetapi Kekeringan yang terjadi tahun 1997/1998 > 1982/1983.
Decision network merupakan gabungan bayesian network, keputusan dan
fungsi utilitas. Dalam penelitian, risiko kekeringan diformulasikan dengan fungsi
utilitas yang dimodelkan dengan FIS seperti pada Bab sebelumnya. Selanjutnya
parameter Bayes diduga dengan data yang ada (dengan metode kemungkinan
maksimum) yang digabungkan dengan pertimbangan pakar. Hal ini diperlukan
mengingat data yang tersedia tidak mencukupi secara statistik untuk melakukan
pendugaan terhadap semua parameter dalam model Bayes.
133
0.00.10.10.20.20.30.30.40.40.5
K1 K2 K3 K4 K5
Donorojo
0.00.10.10.20.20.30.30.40.40.5
K1 K2 K3 K4 K5
Pe
luan
g ke
keri
nga
nArjosari
0.00.10.10.20.20.30.30.40.40.5
K1 K2 K3 K4 K5
Kebonagung
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
K1 K2 K3 K4 K5
Pe
luan
g ke
keri
nga
n
Nawangan
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
K1 K2 K3 K4 K5
Ngadirojo
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
K1 K2 K3 K4 K5
Pacitan
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
K1 K2 K3 K4 K5
Pe
luan
g ke
keri
nga
n
Pringkuku
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
K1 K2 K3 K4 K5
Punung
0.00.10.10.20.20.30.30.40.40.5
K1 K2 K3 K4 K5
Tegalombo
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
K1 K2 K3 K4 K5
Pe
luan
g ke
keri
nga
n
Tulakan
La-Nina
Normal
El-Nino
Gambar 7.5 Peluang kekeringan pada tingkat / kategori kekeringan (K1 hingga
K5) di 10 kecamatan di Pacitan
7.3.2. Kalender tanam dinamik Dalam Decision Network diintegrasikan antara Bayesian Network yang
menyediakan informasi seberapa besar peluang kekeringan yang mungkin terjadi.
134
Sedangkan fuzzy inference system memberikan informasi potensi luas kekeringan
yang mungkin terjadi. Hasil simulasi DSSAT memberikan informasi seberapa
besar ‘yield’ yang akan diperoleh pada kondisi iklim tertentu, pada kondisi tanah
tertentu dengan pemilihan teknik budidaya tertentu. Sehingga ketiga potensi
penduga ini dapat diintegrasikan untuk melengkapi satu dengan yang lain.
Berdasarkan nilai-nilai simulasi DSSAT maka nilai utility untuk setiap
pasangan pola tanam yang dipilih, Di, dan kejadian kekeringan Kj, dihitung dengan
rumus :
U(Di,Kj)=[Pi*(L-Kj)]*H-[Ci*(L-Kj)]
dengan :
U(Di,Kj) : perolehan rupiah kalau memilih pola Di dan terjadi
kekeringan kategori Kj, dengan i=1, 2, 3, …, 288, dan j=1,
2, 3, 4, 5.
Pi : produktivitas lahan per hektar kalau memilih pola Di
L : luas lahan yang tersedia
Kj : luas lahan yang terkena kekeringan pada kategori Kj
Kj merupakan perpaduan antara hasil peluang kekeringan
yang diperoleh dari Bayesian network, dengan luas
kekeringan yang diperoleh dari system inferensi fuzzy.
H : harga produk
Ci : biaya input yang harus dikeluarkan kalau memilih pola Di
Misal apabila diketahui peluang kekeringan sebesar 0.7 berdasarkan Bayesian
network, Peluang tersebut kemudian dikonversikan ke luas lahan yang tersedia,
akan diketahui luas lahan yang berpotensi kekeringan. Potensi luas lahan
kekeringan tersebut, dibandingkan dengan hasil pendugaan luas kekeringan dari
system inferensi fuzzy. Dengan demikian proyeksi luas kekeringan yang
diberikan diharapkan akan lebih mendekati ketepatan. Menurut Buono et al.
(2011), jika hasil observasi dikaitkan dengan kekeringan, dapat memperlihatkan
hasil prediksi sistem sudah tepat, yaitu jika diprediksi bahwa tahun depan terjadi
kekeringan dengan peluang tinggi, maka memang benar bahwa tahun depan
terjadi. Meskipun tidak menutup kemungkinan, terdapat beberapa kesalahan,
namun semua kejadian kekeringan mampu diprediksi dengan peluang yang tinggi,
seperti disajikan pada gambar berikut :
135
Gambar 7.6 Ilustrasi antara peluang terjadinya kekeringan dengan kejadian bencana kekeringan tahun 1988 hingga 2007 (Buono et al. 2011)
Gambar 7.7 Tingkat/kategori kekeringan berdasarkan bayesian
Kesalahan dalam penggunaan model dapat terjadi yang disebabkan
beberapa hal, seperti : keterbatasan data, atau bisa juga bahwa petani telah
menerapkan teknik adaptasi dengan baik, sehingga meskipun hujan rendah, maka
bencana kekeringan tidak terjadi. Sehingga meskipun diprediksi peluang akan
terjadi kekeringan tinggi, namun karena petani sudah menyiapkan diri, maka
Kekeringan tidak terjadi.
136
Dari hasil Bayesian dan FIS diketahui potensi terjadi kekeringan pada luas
tertentu, kemudian prediksi tersebut digabungkan dengan hasil simulasi DSSAT.
Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu, produksi rata-rata/musim tanam.
Keluaran dari hasil simulasi DSSAT (kg/ha), yang digabungkan dengan
produktivitas lahan dan luas lahan yang tersedia, yang ditunjang dengan input
biaya, akan diperoleh nilai fungsi risiko dalam rupiah.
7.3.3. Rekomendasi Teknologi
Rekomendasi dilakukan untuk pilihan terbaik dari hasil DSSAT yang
diperoleh sebelumnya. Hasil simulasi DSSAT dapat memberikan alternatif pilihan
kombinasi tanggal tanam dengan budidaya yang akan digunakan. Berdasarkan
hasil tersebut, pada umumnya tanggal tanam merupakan indikator yang sangat
penting untuk diperhatikan, terutama pada pertanaman kedua, untuk menghindari
risiko kekeringan (Gambar 7.8). Pada prinsipnya, rekomendasi dipilih berdasarkan
opsi-opsi teknologi yang dapat dikembangkan, dan dipilih opsi teknologi yang
memberi risiko minimum akibat kejadian kekeringan. Opsi tersebut sudah
termasuk di dalamnya tanggal-tanggal tanam, yang memberikan hasil yang tinggi
tetapi dengan risiko minimum dengan keuntungan maksimum.
Gambar 7.8. Ilustrasi pertanaman berdasarkan tanggal tanam
Risiko kekeringan pada MT 2 semakin bertambah akibat mundurya waktu tanam
137
Gambar 7.9. Contoh prediksi kehilangan hasil
Hasil masing-masing kombinasi perlakuan terlihat pada jumlah kehilangan
hasil. Perlakuan terbaik juga mengindikasikan perlakuan yang mempunyai
kehilangan hasil yang paling minimal. Kehilangan hasil per tahun disajikan pada
Gambar di bawah ini. Perlakuan yang memberikan kehilangan hasil terendah
dapat digunakan sebagai acuan untuk rekomendasi teknologi budidaya pada
tahun-tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Sebagai pewakil tahun Normal
adalah tahun 1993, pewakil untuk tahun El-Nino adalah gambar dari tahun 1997,
pewakil tahun La-Nina adalah tahun 1998. Pada tahun 1993, perlakuan I1V2P3
(perlakuan tanpa Irigasi, varietas IR 8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik
pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha) merupakan yang terbaik. Sedangkan untuk
tahun 1997 perlakuan terbaik adalah I2V2P3 (perlakuan dengan Irigasi, varietas IR
8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha).
138
Sedangkan untuk tahun 1998, hanya dipengaruhi oleh perbedaan varietas.
Berdasarkan gambaran dari kehilangan hasil tersebut juga terlihat bahwa pada
tahun-tahun El-Nino, kehilangan hasil dalam rupiah mempunyai kemungkinan lebih
besar daripada tahun-tahun Normal dan tahun-tahun La-Nina. Sebaliknya pada
tahun-tahun La-Nina kehilangan hasil lebih rendah daripada tahun-tahun Normal
dan tahun-tahun El-Nino.
Perhitungan kehilangan hasil juga dilakukan dengan menggunakan
persamaan dari BC Ratio, sehingga diperoleh pada tanggal kapan yang secara
ekonomi layak dan memberikan keuntungan. Untuk pertanaman kedua,
penanaman tanggal 1 Februari memberikan hasil yang terbaik, hal tersebut
ditunjukkan dengan error yang paling rendah.
7.4. Simpulan
Kabupaten Pacitan seperti halnya wilayah lain yang memiliki pola hujan
monsunal sangat terpengaruh oleh dampak keragaman iklim, yang apabila tidak
diantisipasi dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya risiko penurunan hasil
tanaman. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan perencanaan
tanam yang baik. Untuk mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan
beberapa hal terkait, diantaranya adalah aplikasi kalender tanam. Kalender tanam
sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani perlu selalu diupdate. Untuk
mendukung hal tersebut, maka informasi mengenai decision network, yang terkait
dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko
berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang
dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi
kalender tanam yang sudah tersedia.
Dalam Decision Network diintegrasikan antara Bayesian Network yang
menyediakan informasi seberapa besar peluang kekeringan yang mungkin terjadi.
Sedangkan fuzzy inference system memberikan informasi potensi luas kekeringan
yang mungkin terjadi. Hasil simulasi DSSAT memberikan informasi seberapa
besar ‘yield’ yang akan diperoleh pada kondisi iklim tertentu, pada kondisi tanah
tertentu dengan pemilihan teknik budidaya tertentu. Sehingga ketiga potensi
penduga ini dapat diintegrasikan untuk melengkapi satu dengan yang lain, sebagai
unsur pendukung untuk kalender tanam dinamik.
139
Dalam aplikasinya, kalender tanam memerlukan keterpaduan banyak
pihak, terutama sektor terkait, dalam hal ini pengambil kebijakan, petani/ kelompok
tani/gapoktan, penyuluh, peneliti, LSM, lembaga yang terkait dengan keuangan
dan lain-lain. Sinergi antar sektor tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani pada akhirnya, mengingat untuk meningkatkan
kesejahteraan petani harus dilihat dari mulai hulu ke hilir, dari mulai penyiapan
benih, subsidi pupuk, informasi tanam dan lain-lain, hingga ke pasca panen dan
pemasaran.
Metode ini dapat lebih dioptimalkan dengan memasukkannya ke dalam
sistem yang terstruktur yang ketika suatu input dasar diterima, misalnya hasil
prakiraan iklim, dapat secara cepat memperlihatkan kemungkinan output yang
terjadi, sehingga informasi dapat lebih cepat disalurkan, dan bahkan pengguna
dapat menggunakan langsung dengan memasukkan input dasar tersebut. Metode
ini diharapkan dapat mendukung pengembangan sistem informasi Kalender
Tanam Terpadu yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Pertanian.
140
141
VIII. POTENSI DAN KENDALA PENERAPAN KALENDER TANAM DALAM MENGANTISIPASI KEJADIAN IKLIM EKSTRIM
Persoalan mendasar sektor pertanian menurut Tim Penyusun Road Map
(2010) diantaranya adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan
iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air, status
dan luas kepemilikan lahan yang kecil (< 0.5 ha pada 9,55 juta KK), lemahnya
sistem perbenihan dan pembibitan nasional, keterbatasan akses petani terhadap
permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, lemahnya kapasitas dan
kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan
ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya
nilai tukar petani (NTP), belum terpadunya antar sektor dalam menunjang
pembangunan pertanian dan kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi
pertanian.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masih rawannya ketahanan
pangan dan ketahanan energi. Berkaitan dengan ketahanan pangan yang
dikorelasikan dengan adanya perubahan iklim global, menuntut perhatian yang
lebih tinggi pada sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai visi misi yang
jelas sesuai yang tertuang pada Road Map untuk 2009-2014. Visinya adalah
“Pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk
meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan
petani”.
Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah mundurnya awal musim
hujan dan semakin panjangnya musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan
selama 30 hari akan menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah
6.5% dan Bali 11%. Sebagai langkah kebijakan strategis dalam menghadapi
kondisi di atas salah satunya adalah dengan menyiapkan beberapa tool dan
pedoman/panduan, yang merupakan bentuk penuangan dari kebijakan
pemerintah.
Menurut Pendleton dan Lawson (1988), iklim dan cuaca serta variasinya
sangat berpengaruh terhadap fluktuasi ketersediaan pangan. Handoko (2008)
menyatakan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya
yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama
(padi) sebesar 20.6%, jagung sebesar 13,6% dan kedelai 12,4%.
142
Kehilangan produksi tanaman pangan mengharuskan risiko iklim dikelola
dengan baik untuk meminimumkan kerugian. Pengelolaan risiko iklim, perlu
diberikan target, apakah untuk jangka pendek, sedang atau panjang. Kaitannya
dengan hal itu tentulah perencanaan menjadi bagian yang sangat penting,
mengingat pengelolaan risiko iklim juga perlu sumberdaya yang terkait dengan
masalah yang dihadapi. Dalam tataran jangka panjang, kita menggunakan
skenario-skenario untuk pelaksanaannya. Sedangkan untuk jangka pendek,
perencaan ini untuk meminimumkan dampak negatif yang mungkin terjadi.
Perencanaan perlu dilakukan sebagai suatu early warning system dengan
menyiapkan resources. Contoh kalau sudah diketahui berdasarkan prakiraan
iklim, bahwa kan terjadi kemarau panjang, maka dapat merubah varietas yang
akan digunakan dengan yang tahan kering.
Dalam pengelolaan risiko bencana terutama bencana iklim, ada siklus
sebagai berikut (Boer 2007):
1. Identifikasi: indetifkasi bahwa risiko ada dan beri nama risiko yang
dimaksud, misalkan risiko banjir.
2. Analisis: Tentukan tingkat risiko dalam bentuk matrix. Apabila risiko dapat
diabaikan maka tidak perlu diteruskan analisis, tapi kalau risiko dapat
menimbulkan kerusakan maka lakukan analisis lebih lanjut.
3. Rencana: Tentukan bagaimana mengatasi risiko tersebut sesuai dengan
tingkat keseriusannya dan kemungkinan terjadinya.
4. Mitigasi: Ikuti rencana yang telah disiapkan sebisa mungkin dan apabila
gagal, lakukan perencanaan ulang dan lakukan lagi upaya mitigasi kalau
masih belum bisa, lakukan analisis apakah tingkat kerusakan di bawah
batas toleransi.
5. Traking: Apabila risiko dapat dimitigasi dan diatasi sehingga tingkat
kerusakan berada dalam selang toleransi, simpan dan catat teknologi atau
cara mitigasi tersebut untuk memastikan keberlanjtan upaya pengendalian
risiko dimaksud di masa datang.
Semakin seringnya terjadi bencana yang berpengaruh terhadap kestabilan
pangan yang diakibatkan oleh iklim, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan terkait iklim yang tertuang dalam bentuk Sektoral Road Map. Riset yang
dilakukan bertujuan untuk mendukung kebijakan pemerintah seperti yang tertuang
dalam Road Map tersebut, untuk membantu petani dalam penentuan waktu tanam
143
dalam bentuk kalender tanam dinamik, supaya apabila terjadi bencana iklim,
khususnya kekeringan, akan lebih cepat ditanggulangi dan kerugian yang dapat
terjadi dapat diminimalkan. Mengingat apabila akibat bencana iklim, tidak
diantisipasi dengan baik dapat menyebabkan kegagalan panen petani.
Kegagalan panen akibat kejadian kekeringan merupakan salah satu bentuk
bencana iklim yang paling sering terjadi di Indonesia. Kegagalan panen yang
terjadi lebih sering karena antisipasi yang kurang dalam menyikapi kejadian iklim
ekstrim. Akibat kegagalan panen tentulah produksi menjadi menurun dari yang
telah ditargetkan. Peran kalender tanam dalam hal ini adalah menurunkan risiko
kegagalan panen tersebut, pada tingkat yang dapat diantisipasi, meskipun untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan keterpaduan pada banyak komponen dan
instansi pendukung. Di samping itu, dampak terjadinya perubahan ikim, juga
menyebabkan tingkat kekerapan bencana iklim akhir-akhir ini lebih sering dari
kurun waktu sebelumnya. Misalnya saja, kehilangan produksi padi nasional pada
era 1990 hingga 2000 hingga tiga kali lipat dibandingkan era 1980-1990 (Boer
2007). Intensitas bencana yang semakin sering, menjadi ancaman terhadap
produktivitas, karena menjadi semakin seringnya kegagalan panen terjadi, ujung-
ujungnya mempengaruhi terhadap perekonomian petani. Frekuensi kejadian
kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali
dalam 4 tahun, kemudian dalam periode 1961-2006 frekuensinya meningkat
menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer dan Subbiah 2005; Boer 2007).
Suatu informasi iklim yang baik didukung oleh beberapa hal yang
tertangani dengan baik, diantaranya adalah kebutuhan terhadap data yang akurat
dapat dipenuhi, kelembagaan terstruktur dengan baik dan juga lancar dalam
realisasinya, analisis yang dilakukan akurat yang didukung dengan data dan tool
yang memadai dan lain-lain, yang semuanya itu mendukung terhadap sistem
informasi yang efektif dan efisien. Hal-hal tersebut merupakan permasalahan yang
kompleks di lapangan. Sebagai contoh, faktor kelembagaan merupakan daya
dukung yang sangat tepat untuk terciptanya suatu informasi dalam pelaksanaan
usaha tani oleh petani bahkan dapat mendukung kegiatan ekonomi di daerah.
Kelembagaan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika didukung dengan
adanya pembagian kerja yang jelas, berorientasi pada peningkatan pendapatan,
petani memberi keleluasaan pada perluasan usaha dan kebebasan untuk
memperoleh peluang ekonomi (Daryanto 2004).
144
Berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktivitas padi, terdapat
beberapa instrumen kebijakan yang yang harus dipenuhi untuk memberikan
dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional
meliputi: (1) pengembangan infrastruktur untuk mendukung usaha tani padi, (2)
peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber pemodalan, (3)
peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi
maju, (4) ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak
dan daerah bukaan baru dan (5) peningkatan akses petani terhadap sarana
pengolahan pascapanen dan pemasaran (Kasryno et al. 2004).
Program kalender tanam merupakan program yang mempunyai potensi
yang sangat baik untuk terus dikembangkan. Agar diperoleh hasil yang baik,
diperlukan dukungan berupa informasi teknik budidaya untuk efisiensi, sehingga
input biaya lebih rendah dengan tingkat risiko gagal panen lebih rendah. Potensi
pemanfaatan kalender tanam untuk petani antara lain menjadi salah satu teknologi
terutama terkait dengan informasi untuk mendukung perencanaan waktu dan
pilihan teknologi penanaman untuk petani, agar diperoleh dari input yang minimal,
hasil yang optimal atau risiko kerugian yang minimal. Hal ini diharapkan terkait
dengan semakin optimalnya produktivitas yang diperoleh petani. Dengan adanya
kalender tanam yang merupakan acuan penjadwalan waktu tanam petani, dapat
diberikan pemahaman kepada petani dan pengambil kebijakan mengenai waktu
tanam yang tepat dan teknologi yang perlu diambil terkait waktu tanam tersebut.
Dalam penyusunan kalender tanam, seperti halnya penyusunan model lain
mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan, namun di sisi lain dalam
penerapannya dapat terkendala oleh hal-hal lain. Kendala-kendala yang dihadapi
tidak lepas dari kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk terwujudnya suatu
informasi iklim yang dapat diterima petani dan diaplikasikan di lapangan. Untuk
terwujudnya suatu sistem informasi yang baik diperlukan data dukung yang cukup
baik, juga pelayanan lain seperti infrastruktur, sarana produksi, serta sistem
penyaluran informasi yang diteruskan ke petani, mengingat yang diperlukan petani
adalah layanan yang tepat pada waktu yang tepat, sehingga dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Kesadaran petani akan pentingnya informasi yang akurat
merupakan salah satu hal yang perlu disediakan. Keterpaduan berbagai sektor
terkait dalam mengupayakan diterimanya informasi oleh petani sehingga dapat
diaplikasikan diharapkan dapat mengurangi risiko kerugian petani.
145
Salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan usaha pertanian
diantaranya adalah tingkat adopsi petani terhadap teknologi yang didiseminasikan.
Semakin tinggi tingkat adopsi petani, yang diperlihatkan dengan aplikasinya di
lapang, maka kemungkinan untuk terjadinya kegagalan dapat diturunkan, dan
sebaliknya. Meskipun tidak menutup kemungkinan petani merasa bahwa teknologi
budidaya yang dilakukan, sudah cukup baik sehingga dirasakan tidak perlu lagi
mengadopsi teknologi budidaya yang dianjurkan. Boer dan Surmaini (2006)
menyatakan bahwa petani yang konsisten menggunakan informasi prakiraan iklim,
pada kurun waktu yang panjang akan mendapatkan income yang lebih tinggi
dibanding yang tidak merespon terhadap prakiraan iklim.
Dalam kaitan dengan tingkat adopsi petani, sebagai penerima dari
teknologi ini, mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima
bahkan cenderung untuk menolak seperti :
1. Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan
atau bukan dari kalangan petani seperti mereka. Kebiasaan seperti ini,
sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan
para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka.
2. Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau
kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan
dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak
saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang
telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau “dosa”
terhadap norma-norma tradisional yang harus dipertahankan atau
dihormati serta dijunjung tinggi (Tamba 2007).
Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995) yang diacu dalam Sunaryo dan
Joshi (2003) ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi
yang ditawarkan ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang
direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani
sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak
lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru
menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi
sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya
tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi
penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan
146
dengan tepat. (6) Adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru,
seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian
dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya).
Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat
memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga
teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada.
Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak
diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa gagalnya
masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif,
irrasional, malas atau bodoh (De Boef et al. diacu dalam Sunaryo dan Joshi
2003), tetapi lebih dikarenakan 3 rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak
sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.
Perkembangan teknologi pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan
masyarakatnya dalam menyikapi perubahan atau dinamika lingkungan tempat
mereka tinggal. Cerita panjang dan kejadian alam dari tempat mereka tinggal
menjadi sumber inspirasi, termasuk tanggapan mereka dalam mengatasi gejolak
alam yang menjadi catatan penting mereka, yang kemudian diceritakan dari
generagi ke generasi sebagai pengetahuan dalam menyikapi alam dan
perubahannya (Noor dan Jumberi 2012).
Keberhasilan kalender tanam di Indonesia tentunya tidak lepas dari riset
instansi lain yang mendukung. Misalnya, BB Padi secara aktif mengembangkan
teknologi budidaya untuk menanggulangi dampak perubahan iklim global salah
satunya adalah dengan penyaluran benih dari UPBS BB Padi untuk
menanggulangi dampak perubahan iklim (Sembiring 2011). BB Padi sebagai
lembaga penelitian padi satu-satunya di Indonesia, terus aktif mencari inovasi
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengembangan varietas sangat
genjah, tahan kering, tahan rendaman, tahan salinitas, dan tahan OPT.
Pembentukan varietas sawah tadah hujan toleran kekeringan dan berumur sangat
genjah. Pada tahun 2009, menyalurkan benih VUB 49.6 ton yang terdiri dari tahan
kekeringan (5.2 ton), umur sangat genjah (39 ton), tahan rendaman (253 kg),
tahan salinitas (367 kg), dan tahan wereng coklat (4.7 ton). Sedangkan tahun
2010 juga menyalurkan benih VUB 79.5 ton yang terdiri dari tahan kekeringan
(11.2 ton), umur sangat genjah (27.1 ton), tahan rendaman (2.6 ton), tahan
salinitas (19 kg), dan tahan wereng coklat (38.6 ton).
147
Untuk tidak lanjut berikutnya, dapat diupayakan beberapa hal diantaranya
adalah; penggabungan dengan kearifan lokal, dengan mengeksplor kearifan lokal
yang dapat digabungkan pada kalender tanam yang telah ada, dan
penggabungan unsur-unsur iklim lain, serta memprogramkan kalender tanam
supaya lebih user friendly.
Hasil penelitian ini diharapkan merupakan salah satu pendukung dalam
upaya menyempurnakan Kalender Tanam Terpadu yang sedang dikembangkan
dan terus dikembangkan, mengingat informasi mengenai kalender tanam
merupakan suatu terobosan teknologi yang perlu terus dikembangkan sehingga
diharapkan secara kontinyu menjadi acuan rutin untuk petani dalam pelaksanaan
budidayanya.
148
149
BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan
Informasi mengenai dampak keragaman iklim di suatu daerah, merupakan
informasi yang perlu untuk ditindaklanjuti lebih lanjut terkait pelaksanaan tanam,
terutama tanaman pangan, mengingat aspek inilah yang paling rentan dalam
kaitannya dengan variabilitas iklim yang terjadi. Informasi akurat yang diberikan
kepada petani diharapkan dapat meminimalkan tingkat kerugian petani, akibat
fluktuasi unsur iklim.
Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi,
bahan organik, yang dilakukan pada tanggal tanam tertentu, dapat dijadikan
sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik yang dipadukan dengan
teknologi yang diaplikasikan, untuk meminimalkan dampak variabilitas iklim.
Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya
yang lebih minimal.
Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk setiap perlakuan, umumnya
tanggal tanam merupakan peubah yang sangat menentukan terhadap
keberhasilan atau kegagalan panen. Pertanaman yang sangat rentan terhadap
ketersediaan air terutama pada MT II, mengingat pada awal penanaman biasanya
air masih berlimpah, tetapi pada akhir penanaman kerap mengalami kekeringan
yang dapat menjadikan puso, terutama apabila kekeringan pada fase-fase dimana
tanaman masih membutuhkan cukup air. Persamaan hasil yang diperoleh untuk
pertanaman MT II memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling
menguntungkan, hal tersebut terlihat dari error yang dihasilkan yang paling
rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei. Demikian pula berdasarkan
penghitungan kelayakan ekonomi yang diwakili dengan penghitungan BC Rasio,
terlihat bahwa penanaman MT II pada tanggal tanam 1 Februari juga memberikan
error yang paling rendah dibanding bulan-bulan lain dimana petani biasa
melakukan penanaman untuk MT II, dengan pertimbangan penanaman pada MH
sudah panen. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya menggunakan varietas
genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan teknologi, sehingga
waktu persemaian dapat disegerakan.
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas
kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
150
Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan
rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan
dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
Dalam mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa
hal terkait kalender tanam, baik oleh Kementerian Pertanian maupun Perguruan
Tinggi seperti IPB. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan
petani semakin disempurnakan. Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi
mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem
inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait
dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan
informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia.
9.2. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh, rekomendasi untuk tanggal tanam
terbaik pada MT II sebaiknya dilakukan pada bulan Februari, terutama tanggal 1
Februari. Apabila terjadi kemunduran awal musim hujan yang menyebabkan
mundurnya penanaman pada MH (MT I), maka perlu diantisipasi dengan
persiapan penanaman pada MT II yang dilaksanakan lebih cepat, dengan
melakukan pembibitan lebih awal dan penggunaan varietas genjah.
Dalam pelaksanaan kegiatan ini masih banyak hal yang diperlukan untuk
memperbaiki metodologi yang dilakukan, mengingat hasil yang diperoleh sangat
terkait dengan spesifik lokasi dan dibutuhkan data yang berbeda untuk ruang yang
berbeda. Demikian pula dengan metodologi yang diaplikasikan, masih banyak hal
yang dapat dikembangkan yang disesuaikan dengan penggunaannya.
Diharapkan kerjasama yang baik antar sektor secara berkesinambungan,
sehingga informasi yang diperoleh dapat didelegasikan pada sektor yang
berhubungan dengan penyiapan musim tanam dan pasca panen hingga informasi
sampai ke petani pada waktu yang tepat dan hasil yang akurat. Untuk
meningkatkan kesejahteraan petani, banyak sektor yang harus dilibatkan, harus
dilihat dari mulai hulu ke hilir, mulai penyiapan benih, subsidi pupuk, informasi
tanam dan lain-lain, hingga ke pasca panen dan pemasaran.
151
DAFTAR PUSTAKA Abarquez I, Murshed Z. 2004. Community based disaster risk management: Field
practitioners handbook. ADPC : Bangkok. Adams RM, Houston LL, McCarl BA, Tiscareño LM, Matus GJ, Weiher RF.2003.
The benefits to Mexican agriculture of an El Niño-southern oscillation (ENSO) early warning system. Agricultural and Forest Meteorology 2003;115: 183–194.
Aldrian E. 2003. Simulations of Indonesian rainfall with a hierarchy of climate models, PhD dissertation, Max Planck Institute for Meteorology.
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol. 23 : 1435-1452.
Apryantono. A. Irianto SG, Suyamto, Las I, Soedaryanto T, Alamsyah T. 2009. Indonesia Experience : Regaining Rice Self-Sufficiency. Indonesian Ministry of Agriculture
Badan Pusat Statistik. 2009. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2009. Berita Resmi Statistik-Badan Pusat Statistik No.69/11/Th.XII, 10 November 2009. [http://dds.bps.go.id/brs_file/pdb-10nov09.pdf][5 Februari 2009].
Barton DN, Saloranta T, Moe SJ, Eggestad HO, Kuikka S. 2008. Analysis Bayesian belief networks as a meta-modelling tool in integrated river basin management — Pros and cons in evaluating nutrient abatement decisions under uncertainty in a Norwegian river basin. Ecological Economics 2008;66: 91-104.
Boer R. 2002. Analisis Resiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Disampaikan pada Pelatihan Dosen perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Boer R, Meinke H. 2002. Pertumbuhan tanaman dan Osilasi Selatan. Dalam Kapan Hari Akan Hujan? Department of Primary Industry, Quensland, Australia.
Boer R, Setyadipratikto A. 2003. Nilai Ekonomi Prakiraan Iklim. Disajikan dalam Workshop “Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera Barat” Auditorium Universitas Bung Hatta, Padang, 11-13 Agustus 2003.
Boer R, Subbiah AR. 2005. Agriculture drought in Indonesia. Dalam Vijendra S. Boken, Arthur P. Cracknell and Ronald L. Heathcote (eds.). Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A Global Study. Oxford University Press, pp 330-344.
Boer R, Surmaini E. 2006. Economics benefits of using SOI Phase Information fo Crop Management Decision in Rice-Base Farming System of West Java, Indonesia. International Conference on Living with Climate Variability and Change : Understanding the Uncertainties and Managing the Risks.Espoo-Finland, 17-21 July 2006.
Boer R et al. 2007. Penyusunan Kalender Pertanian. Laporan Hasil Penelitian Tim Peneliti IPB dan Badan Litbang BMG.
152
Boer R. 2007. Konsep tentang analisis risiko iklim. Bahan kuliah Klimatologi Pertanian Terapan. FMIPA-IPB. Bogor.
Boer R et al. 2008. Pengembangan Sistim Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Boer R, Buono A, Sumaryanto, Surmaini E, Estiningtyas W, Kartikasari K, Fitriyani. 2009. Agricuture Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta.
Boer R, Buono A, Suciantini. 2010. Pengembangan Kalender Tanaman Dinamik sebagai Alat dalam Menyesuaikan Pola Tanam dengan Prakiraan Iklim Musiman. Bogor: Laporan Hasil Penelitian I-MHERE B2C-IPB.
Boer R, Faqih A, Ariani R. 2011. Relationship between Pacific and Indian Ocean Sea Surface Temperature Variability and Rice Production, Harvesting Area and Yield in Indonesia. Poster Presented at the 1st Intrenational Conference on Climate Services Columbia University, New York 17-19 November 2011.
Borsuk ME, Stow CA, Reckhow KH. 2004. A Bayesian Network of eutrophication models for synthesis, prediction, and uncertainty analysis. Ecological Modelling 2004;173: 219–239.
Bottema, J.W.T. 1997. A note on the estimation of the impact of a long dry season. Paper for UN/ESCAP/CGPRT Bogor.
[BMKG]. 2011. Prakiraan Musim Hujan 2011/2012. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. 88 hal.
Buono A, Boer R, Runtunuwu E, Suciantini, Ramadhan A. 2010. Pengembangan Fungsi Utilitas pada Decision Network untuk Model Kalender Tanam Dinamik dalam Pengelolaan Risiko Iklim Guna Menekan Kerugian Pertanaman hingga >40%. Bogor : Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Kerjasama IPB-Sekretariat Badan Litbang Pertanian.
Buono A, Boer R, Pramudia A, Suciantini, Febriyanti S. 2011. Optimasi Fungsi Risiko pada Decision Network untuk Model Kalender Tanam Dinamik dan Sosialisasinya dalam Pengelolaan Risiko Iklim. Bogor : Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Kerjasama IPB-Sekretariat Badan Litbang Pertanian.
Daryanto A. 2004. Penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat sebagai modal sosial pembangunan. Agrimedia Vol 9 No. 1, Maret 2004.
Daryanto, A. 2007. Peranan dan Pengembangan Hortikultura melalui Pendekatan Klaster dan Contract Farming. Kertas Kerja disampaikan dalam Konperensi Nasional (Konpernas) ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Hotel Sahid Raya, Solo, 3-5 Agustus 2007.
Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan. Data Produksi Padi dan Palawija di Kabupaten Pacitan tahun 2006 hingga 2010.
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman. 2011. Data luas kekeringan kabupaten. Direktorat Perlindungan Tanaman-Jakarta.
153
Falcon W, Naylor R, Battisti D, Burke M. 2006. Climate variability, climate change, and Indonesian rice production. Makalah pada Roundtable Discussion : Coping With Climate Variability and Changes in Food Production. 8 November 2006. Bogor.
Giannini A, Robertson AW, Qian JH. 2007. A role for tropical tropospheric temperature adjustment to ENSO in the seasonality of monsoonal Indonesia precipitation predictability. J. Geophys. Res. (Atmosphere). 112: D16110, doi:10.1029/2007JD008519.
Hadi TW, Dupe ZL, Lubis A. 2003. Evolusi El-Nino/La-Nina di Pasifik dan dampaknya di Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, 2002, Bandung 31 Juli 2002.
Hamada JI., Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J. Meteo. Soc. of Japan. 80 : 285-310.
Handoko. 2002. Validasi Model. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan perubahan iklim dan produksi pangan strategis : telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Haryanto U. 1998. Keterkaitan fase Indeks Osilasi Selatan (SOI) terhadap curah hujan di DAS Citarum. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jones JW, Hoogenboom G, Porter CH, Boote KJ, Batchelor WD, Hunt LA, Wilkens PW, Singh U, Gijsman AJ, Ritchie JT. 2003. The DSSAT cropping system model. Europ. J. Agronomy 2003; 18: 235-265.
Kasryno F. 2004. Reposisi padi dan beras dalam perekonomian nasional. Dalam F Kasryno, E Pasandaran dan A.M. Fagi (Ed). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian, Jakarta.
Kusumadewi S, Hartati S. 2010. Neuro-Fuzzy, Integrasi Sistem Fuzzy & Jaringan Syaraf. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kusumadewi S, Purnomo H. 2010. Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lansigan FP, Santos WLDL, Coladilla JO. 2000. Agronomic impacts of climate variability on rice production in the Philippines. Agriculture, Ecosystems and Environment 82 (2000): 129-137.
Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007a. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 96 hal.
Las I, Surmaini E, Runtunuwu E. 2007b. Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim: Antisipasi, Mitigasi, dan Adaptasi. Dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX: “Harmonisasi IPTEK, Alam, dan Budaya Menuju Masyarakat Sejahtera”, Jakarta, 20-22 November 2007.
154
Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2008. Atlas Kalender Tanam Pulau Sumatera. Edisi I. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2009a. Atlas Kalender Tanam Pulau Kalimantan. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor:Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2009b. Atlas Kalender Tanam Pulau Sulawesi (8 Jilid). Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor :Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Las et al. 2010. Atlas Kalender Tanam Provinsi Bali, Maluku Utara, Maluku, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat. Bogor :Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Lassa J, Pujiono P, Pristiyanto D, Paripurno ET, Magatani A, Purwati H. 2009. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komoditas (PRBBK). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lee TS, Haque MA, Najim MMM. 2005. Scheduling the cropping calendar in wet-seeded rice schemes in Malaysia. Agricultural Water Management 2005; 71 :71–84.
Liong TH, Siregar P, Bannu. 2003. Peranan pengelompokan dalam prediksi kekeringan di Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional 2002; Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, Bandung, 31 Juli 2002. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). ISBN 979-8554-65-5.
Lo F, Wheeler MC, Meinke H, Donald A. 2007. Probabilistic forecasts of the onset of the North Australian wet season. Monthly Weather Review, 135: 3506–3520.
Lubis A, Dupe ZL, Hadi TW. 2003. Definisi Karakteristik El-Nino dan La-Nina. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, 2002, Bandung 31 Juli 2002.
Malingreau, J.P. 1987. The 1982-83 drought in Indonesia: Assessment and monitoring. In M. Blantz, R. Katz and M. Krenz. Climate crisis: The societal impacts associated with the 1982-83 worldwide climate anomalies. UNEP.
Mestre-Sanchís F, Feijóo-Bello ML. 2009. Analysis Climate change and its marginalizing effect on agriculture. Ecological Economics 2009; 68: 896-904.
Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc. Nat. Acad. Sci. 104 : 7752-7757.
Noor M, Jumberi A. Kearifan budaya lokal dalam perspektif pengembangan pertanian di lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. [http://balittra.litbang.deptan.go.id./lokal/Kearifan-1%20M-Noor.pdf.] [15 Juli 2012].
Pawitan, H. 2002. Terapan Pemodelan Hidrologi Daerah Aliran Sungai dalam Pertanian dan Pengelolaan Lingkungan. Disampaikan pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi
155
Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Pendleton JW, and Lawson TL. 1988. Climatic Variability and Sustainability of Crop yields in the humid tropics. International Symposium on Climatic Varability and Food Security in Developing Countries 5 – 9 Februari 1987. New Delhi. IRRI: 54 – 58.
Pramudia A, Hariyanti KS, Trinugroho MW, Sarvina Y, Las I. 2011. Pengembangan Model Integrasi Kalender Tanam Dinamik Berdasarkan Hasil Prediksi BMKG. Pada Kegiatan Pengembangan Kalender Tanam Dinamik Terpadu Untuk Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan.
Ramadhani F, Las I, Setyanto P, Syahbuddin H, Runtunuwu E, Nugroho MWT, Rahayu B. 2011. Pengembangan Kalender Tanam Terpadu Untuk Mengamankan Produksi Pangan Menghadapi Perubahan Iklim. Pada Kegiatan Pengembangan Kalender Tanam Dinamik Terpadu Untuk Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan.
Rianse U, Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi. Bandung : Alfabeta.
Robertson AW, Moron V, Swarinoto Y, 2009. Seasonal predictability of daily rainfall statistics over Indramayu district, Indonesia. Int. J. Climatology, 29 : 1449-1462.
Runtunuwu et al. 2009. Penyusunan Kalender Tanam Kalimantan dan Sulawesi untuk Mengurangi Resiko dan dampak Variabilitas dan Perubahan Iklim. [Laporan Tengah Tahun 2009]. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sembiring H. 2011. Kesiapan Teknologi Budidaya Padi Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementrian Pertanian. 2011. ISBN 978-979-540-056-1.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press). Soler CMT, Hoogenboom G, Sentelhas PC, Duarte AP. 2007. Growth analysis of
maize grown off-season in a subtropical environment under rainfed and irrigated conditions. Journal of Agronomy and Crop Science. 193(4) : 247-261.
Sudradjat, Chaerani D, Supriatna AK, Hadi S. 2009. Model Optimasi Pola Tanam Pada Lahan Kering di Kabupaten Bandung. Laporan Akhir Hibah Penelitian Strategis Nasional 2009. Fakultas MIPA-Universitas Padjadjaran.
Sunaryo, Joshi L. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforetri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia.
156
Supriyono, 2012 diambil dari http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa fenomena-cuaca-pertanian/
Stern N, Peters S, Bakhshi V, Bowen A, Cameron C, Catovsky S, Crane D, Cruickshank S, Dietz S, Edmonson N, Garbett SL, Hamid L, Hoffman G, Ingram D, Jones B, Patmore N, Radcliffe H, Sathiyarajah R, Stock M, Taylor C, Vernon T, Wanjie H, Zenghelis D.. 2006. Stern Review : The Economics of Climate Change. HM Treasury. London.
Syahbuddin H, Las I, Unadi A, Runtunuwu E. 2007. Identifikasi Dan Delineasi Kalender Tanam Dan Pola Tanam Pada Lahan Sawah Terhadap Anomali Iklim Di Pulau Jawa. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi-Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Departemen Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan.
Tamba M. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran : Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, kasus di Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Thorp KR, DeJonge KC, Kaleita AL, Batchelor WD, Paz JO. 2008. Methodology for the use of DSSAT models for precision agriculture decision support. Computers and Electronics in Agriculture 2008; 64 : 276–285
Tim Roadmap Sektor Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Tim Roadmap Sektor Pertanian. 2011. Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Wahab MI, Antoyo, Boer R. 2007. Farming System and Climate Related Problems at Pacitan District, East Java. Laporan Akhir CAPaBle.
Wiriadiwangsa D. 2005. Pranata Mangsa, Masih Penting untuk Pertanian. Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005.
Wisnubroto S, Attaqi R. 1997. Pengenalan waktu tradisional “Bulan Berladang” kesamaannya dengan keadaan meteorologis dan pemanfaatannya untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Desember 1997. 1(1): 61-66.
Yang JY, Huffman EC. 2004. EasyGrapher: software for graphical and statistical validation of DSSAT outputs. Application note. Computers and Electronics in Agriculture 45 (2004) 125–1321
[http:/ggweather.com/enso/oni.htm].El-Nino-La-Nina.[10 Oktober 2011]. [http:/ggweather.com/enso/oni.htm].El-Nino-La-Nina.[20 April 2012]. [http://www.katam.litbang.go.id [12 Desember 2011]. [http:/www.longpadock.qld.gov.au] [17 Januari 2010]. [http:/www.litbang,deptan.go.id].Kalender Tanam Terpadu.[12 Desember 2011]. [http://meteora.ucsd.edu/~pierce/elnino/nino_4_region.html. [5 Desember 2010]. [http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-teknologi-kuno-bangsa-
Indonesia-yang-canggih.html][ 5 Februari 2012].
157
Lampiran 1. Paket teknologi budidaya
Tanggal tanam
Paket teknologi
V (varietas)
Irigasi Pupuk
Bahan Organik
Biaya (x Rp.1,000.00)
1 Januari 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
15 Januari 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
1 Februari 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.515 5.269 5.439
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.565 5.319 5.489
15 Februari 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.515 5.269 5.439
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.565 5.319 5.489
1 Maret 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.590 5.344 5.514
7 8
0 0
0 0
-1 0
0 -1
4.040 4.794
158
9 0 0 1 1 4.964 10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.640 5.394 5.564
15 Maret 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.590 5.344 5.514
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.640 5.394 5.564
1 April 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.665 5.419 5.589
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.715 5.469 5.639
15 April 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.665 5.419 5.589
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.715 5.469 5.639
1 Mei 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.740 5.494 5.664
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.790 5.544 5.714
15 Mei 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.740 5.494 5.664
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 0 1 -1 0 4.790
159
11 12
0 0
1 1
0 1
-1 1
5.544 5.714
1 Juni 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.890 5.644 5.814
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.940 5.694 5.864
15 Juni 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.890 5.644 5.814
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.940 5.694 5.864
1 Juli 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
5.040 5.794 5.964
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
5.090 5.844 6.014
15 Juli 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
5.040 5.794 5.964
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
5.090 5.844 6.014
1 Agustus 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.890 5.644 5.814
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.940 5.694 5.864
160
15 Agustus 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.890 5.644 5.814
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.940 5.694 5.864
1 September 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.740 5.494 5.664
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.790 5.544 5.714
15 September 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.740 5.494 5.664
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.790 5.544 5.714
1 Oktober 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.590 5.344 5.514
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.640 5.394 5.564
15 Oktober 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.590 5.344 5.514
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.640 5.394 5.564
1 November 1 2
1 1
0 0
-1 0
0 -1
3.990 4.744
161
3 1 0 1 1 4.914 4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
15 November 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
1 Desember 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
15 Desember 1 2 3
1 1 1
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
4 5 6
1 1 1
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
3.990 4.744 4.914
7 8 9
0 0 0
0 0 0
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
10 11 12
0 0 0
1 1 1
-1 0 1
0 -1 1
4.040 4.794 4.964
Keterangan : Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm
Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. -1=Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg
0=Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1=Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi untuk Kec.Pacitan) Bahan Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. 0=tanpa BO, -1=diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha
1=diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha
162
Lampiran 2. Contoh perhitungan BC Ratio pada suatu usaha tani padi
a. Biaya produksi Unit Nilai / unit Rp. 1 Sewa lahan 1 500,000.00 500,000.00 2 Benih 25 7,000.00 175,000.00 3 Pupuk
- Urea 200 1,580.00 316,000.00
- ZA 50 1,650.00 82,500.00
- SP-35 100 1,640.00 164,000.00
-Ponska 50 3,000.00 150,000.00
- KCl 75 3,800.00 285,000.00
- PPC/ZPT 1 50,000.00 50,000.00
-pukan 40 3,000.00 120,000.00
4 Pestisida 1 100,000.00 100,000.00 5 Tenaga kerja
- Persemaian 5 15,000.00 75,000.00
- Pengolahan tanah dgn mesin 1 500,000.00 500,000.00
- Menanam 20 20,000.00 400,000.00
- Penyiangan 15 15,000.00 225,000.00
- Pemupukan 9 25,000.00 225,000.00
- Pemberantasan OPT 4 25,000.00 100,000.00
6 Panen dan pascapanen
- Merontok, keringkan, angkut 72 20,000.00 1,440,000.00
- Ongkos angkut ke pasar
0.00
7 Bunga Bank
300,000.00
Jumlah biaya produksi
5,207,500.00
b. Pendapatan 3535 4,000.00 14,140,000.00 c. Keuntungan
8,932,500.00
d. Parameter kelayakan usaha
B/C Ratio
1.72
Layak
Ket : asumsi harga gabah Rp. 4,000.00 dan hasil panen 3.54 ton
163
Lampiran 3. Koefisien dan SS (sumbangan keragaman terhadap model) untuk 'yield'/hasil
1-Jan 15-Jan 1-Feb 15-Feb Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 3531.4 2832.7 2161.2 2279.4 V -714.7 6.131 -468.9 3.156 -604.5 3.594 -414.6 1.548 AnoSST -437.4 2.504 -491.8 3.472 -322.2 1.573 -296.7 1.205 CH-fase1 -0.9 0.968 -0.3 0.198 0.3 0.000 -0.2556 0.001 CH-fase2 1.1 0.407 -0.7 0.012 -0.6 0.051 1.5075 0.927 CH-fase3 -0.6 0.180 1.9 1.408 4.1 3.820 1.788 0.200 Irigasi 2735.4 89.810 2528.2 91.716 3040.0 90.885 3266.2 96.061 Pupuk -1.0 0.000 -41.6 0.004 -57.3 0.017 4.5 0.045 Organik 4.6 0.000 102.7 0.034 165.8 0.060 78 0.012
1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 2335.3 2202.4 1714.5 1589.7 V -400.1 1.354 -602.6 2.655 -602.6 2.421 -548.8 1.902 AnoSST -290.8 0.924 -227 0.417 -96.1 0.380 -420.7 2.035 CH-fase1 -0.4468 0.081 -0.1369 0.076 0.3487 0.061 0.5188 0.031 CH-fase2 1.684 0.388 -0.7582 0.093 -1.74 0.686 3.34 6.682 CH-fase3 0.442 0.035 -0.924 0.047 8.231 8.255 17.344 7.048 Irigasi 3390.2 97.183 3635.9 96.656 3635.9 88.145 3610 82.300 Pupuk -13.3 0.020 -91.5 0.000 -91.5 0.000 -11.8 0.002 Organik 86.7 0.014 187.3 0.057 187.3 0.052 0.1 0.000
1 Mei 15 Mei 1 Juni 15 Juni Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 1578.7 1412.3 1550.8 1604.3 V -428 1.234 -440.9 1.464 -495.3 2.086 -598.9 3.288 AnoSST -204 1.356 -19.9 0.743 99.3 0.436 149.3 0.420 CH-fase1 0.8578 0.961 3.2133 5.912 4.8974 13.068 5.4533 13.390 CH-fase2 8.315 9.213 7.826 5.195 6.03 0.793 0.156 0.171 CH-fase3 7.597 2.930 9.173 0.715 3.779 0.465 6.3405 5.718 Irigasi 3537.6 84.271 3375.3 85.836 3123.7 82.987 2889.7 76.560 Pupuk -57.2 0.004 -34 0.074 -35.4 0.091 -34.7 0.286 Organik 142.9 0.031 189.5 0.060 197.8 0.074 285.8 0.166
164
Lampiran 3. Lanjutan
1-Jul 15-Jul 1-Aug 15-Aug Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 1733.4 2139.6 2721.5 3319.8 V -589.8 3.918 -756.6 7.938 -762.9 12.591 -707.14 17.856 AnoSST 134.1 0.452 144.8 0.642 -265 12.786 -440.11 17.610 CH-fase1 7.0718 13.567 7.105 10.161 3.5904 5.326 1.5605 12.491 CH-fase2 4.605 5.500 1.8924 7.548 0.9686 7.480 1.3294 3.551 CH-fase3 4.1005 3.009 3.0598 4.700 2.2558 3.605 0.4274 0.388 Irigasi 2547.2 73.074 2228.2 68.843 1636.9 57.963 1158.45 47.921 Pupuk -58.1 0.255 -34.1 0.085 -31.6 0.129 -25 0.087 Organik 300.5 0.226 164 0.083 157.8 0.120 110.4 0.097
1-Sep 15-Sep 1-Oct 15-Oct Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 3603.7 4011.62 4271.59 4389.4 V -824.35 38.139 -865.71 63.391 -910.87 85.641 -922.46 83.797 AnoSST -298.36 15.282 -214.84 9.963 -53.48 1.540 55.42 0.016 CH-fase1 0.5697 9.379 0.5624 6.761 0.37324 4.106 0.4353 4.537 CH-fase2 0.904 0.867 0.4555 1.992 0.3752 1.775 0.2245 0.574 CH-fase3 0.8265 4.722 0.7221 3.702 0.4394 0.742 -0.5668 0.962 Irigasi 743.38 31.014 409.24 14.166 244.44 6.168 320.1 10.091 Pupuk 2.03 0.455 0.53 0.020 13.02 0.028 14.27 0.020 Organik 106.3 0.141 17.55 0.006 -5.96 0.001 -11.2 0.003
1-Nov 15-Nov 1 Des 15 Des Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS Koefisien SS K 4576.5 3986.8 3786 4110.4 V -936.69 68.955 -558.62 23.992 -640.4 15.039 -924.9 28.651 AnoSST -101.65 0.378 -316.89 11.294 -360.9 6.155 -332.9 3.156 CH-fase1 0.2952 0.939 0.0412 0.360 -0.4245 0.064 -0.6245 0.902 CH-fase2 -1.7849 11.000 -0.932 3.459 -0.8311 2.103 -0.3393 0.102 CH-fase3 0.7447 1.516 0.471 0.789 0.9574 1.422 0.6293 0.386 Irigasi 467.23 17.157 882.9 59.931 1432.1 75.207 1411.4 66.714 Pupuk 24.77 0.002 13.9 0.160 20.1 0.001 16 0.046 Organik -55.5 0.054 28 0.013 -34.8 0.010 -77.2 0.044
165
Lampiran 4. Rekomendasi pemupukan di Kabupaten Pacitan (Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/I/2006. Tgl 3 Januari 2006)
Kecamatan Tanpa BO Penambahan 5 ton jerami/ha
Penambahan pukan 2 ton/ha
Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl
Donorojo Punung Pringkuku Pacitan Kebonagung Arjosari Nawangan Bandar Tegalombo Tulakan Ngadirojo Sudimoro
200 200 200 250 250 250 250 200 200 200 250 200
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
180 180 180 230 230 230 230 180 180 180 230 180
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
150 150 150 200 200 200 200 150 150 150 200 150
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80
80
166
Lampiran 5. Posisi Nino 4 (http://meteora.ucsd.edu/~pierce/elnino/nino_4_region.html )
167
Lampiran 6. Anomali SST Nino 4 (2006-2010)