pengawasan pemerintah terhadap peredaran produk impor...
TRANSCRIPT
PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PEREDARAN PRODUK
IMPOR TANPA LABEL BAHASA INDONESIA PADA BARANG DI DKI
JAKARTA TAHUN 2016-2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
EUIS NUR ATIKAH
NIM 11140480000073
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H /2019 M
iv
ABSTRAK
Euis Nur Atikah. NIM 11140480000073. PENGAWASAN PEMERINTAH
TERHADAP PEREDARAN PRODUK IMPOR TANPA LABEL BAHASA
INDONESIA PADA BARANG DI JAKARTA TAHUN 2016-2018. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2019 M. xi + 86
halaman + 2 halaman daftar pustaka.
Permasalahan utama didalam skripsi ini adalah mengenai pengawasan
terhadap produk impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta tahun 2016-
2018 oleh Direktorat Jendral Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Studi ini menjelaskan apa dan
bagaimana mengenai pengawasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan penelitian normatif empiris. Penelitian yang dilakukan
selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-
buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti
juga melakukan penelitian langsung kelapangan dengan cara observasi dan
wawancara kepada pihak yang berhubungan, yaitu Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebenarnya regulasi hukum sudah ada
yaitu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-
DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia pada Barang. Pelaksanaan mengenai pengawasan terhadap label dalam
bahasa Indonesia pada produk impor di DKI Jakarta tahun 20016-2018 sudah
dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, namun masih banyak ditemukan
produk impor yang tidak mencantumkan labeel dalam bahasa Indonesia di DKI
Jakarta .
Kata Kunci: Label, Label Bahasa Indonesia, Produk, Produk Impor, Pengawasan
Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.HI, M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1979-2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PEREDARAN
PRODUK IMPOR TANPA LABEL BAHASA INDONESIA PADA BARANG
DI JAKARTA TAHUN 2016-2018”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam, yang telah membawa
umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan
ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie,S.H.,M.H.,M.A Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Terkhusus Indra Rahmatullah, S.HI, MH Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat
berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia yang telah memberikan informasi dan memberikan data
kepada peneliti.
vi
6. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang bisa penulis berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali
dengan ucapan doa dan terima kasih.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan
Terima kasih.
Jakarta, 29 Januari 2019
Euis Nur Atikah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
ABSTRAK ..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan
Masalah ................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4
D. Manfaat penelitian ................................................................ 4
E. Metode Penelitian................................................................. 4
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 7
BAB II KEWAJIBAN LABEL BAHASA INDONESIA
DIPRODUK IMPOR ................................................................ 9
A. Kerangka Konseptual ........................................................... 9
B. Kerangka Teori..................................................................... 10
C. Label Bahasa Indonesia ....................................................... 12
1. Definisi Label .................. .............................................. 12
2. Tujuan Pelabelan ........................................................... 14
3. Fungsi Pelabelan ........................................................... 14
4. Bentuk Label .................................................................. 15
D. Produk Impor ....................................................................... 16
E. Label Bahasa Indonesia Pada Produk Impor Aspek
Perlindungan Konsumen ..................................................... 24
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 31
viii
BAB III PERAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN
KONSUMEN DAN TERTIB NIAGA KEMENTERIAN
PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA ....................... 32
A. Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia .............................................................. 32
1. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia ............ 32
2. Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan
Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia ........................................................................ 35
3. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa .......... 36
B. Ruang Lingkup Pengawasan Barang .................................. 38
1. Standar Nasional Indonesia (SNI) .................................. 38
2. Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/
Garansi ........................................................................... 46
3. Label Bahasa Indonesia.................................................. 52
BAB IV ANALISIS PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN
PRODUK IMPOR TANPA LABEL BAHASA
INDONESIA .............................................................................. 58
A. Pengawasan Produk Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia
di DKI Jakarta oleh Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia............................................................... 58
B. Penegakan Hukum Produk Impor Tanpa Label Bahasa
Indonesia di DKI Jakarta oleh Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia............................................................... 76
BAB V PENUTUP .................................................................................. 83
A. Kesimpulan .......................................................................... 83
B. Rekomendasi ........................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah terlibat dalam
aktivitas ekspor maupun impor dengan negara lain. Untuk kegiatan impor
Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990. Kebutuhan impor barang dan jasa
di Indonesia dirasakan meningkat setelah terjadinya krisis ekonomi. Hal ini
dikarenakan banyak kebutuhan akan barang dan jasa masyarakat konsumen di
Indonesia yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri, disamping
juga kualitas produk impor dipandang mempunyai kualitas tinggi.1
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan konsumen akan produk yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis
dan kualitas produk sesuai keinginan dan kemampuan konsumen. Disisi lain,
kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
dan konsumen menjadi tidak seimbang karena produk yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin beraneka ragam
sehingga timbul kesenjangan terhahadap kebenaran informasi suatu produk
dan daya tanggap konsumen sebagai akibat tidak dicantumkannya informasi
dengan benar dalam bahasa Indonesia.
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen mempunyai
gambaran yang jelas pada suatu produk. Informasi ini dapat disampaikan
dengan cara, yang salah satunya adalah mencantumkan label pada kemasan.
Informasi pada label kemasan produk sangat diperlukan bagi masyarakat agar
masing-masing individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum
membeli dan mengkonsumsi produk tersebut. Diantara berbagai informasi
1 Irna Nurhayati, “Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen”, Jurnal
mimbar hukum, volume 21 (Desember, 2009), h. 34.
2
tentang produk barang atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang
paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari
kalangan pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa
mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi lainnya.2
Salah satu kerugian yang sering diterima oleh konsumen adalah
beredarnya barang-barang yang tidak dilengkapi keterangan, informasi dan
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan Pasal 8
Ayat 1 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Huruf (j) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi
atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak mencantumkan informasi
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku usaha juga dilarang
untuk memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa yang tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang
atau dibuat.
Dalam menghadapi berkembangnya ekspor dan impor di Indonesia,
produk dari luar negeri dapat keluar masuk dengan mudah sehingga apabila
pengawasan lemah maka konsumen yang akan dirugikan. Meski Indonesia
memiliki dengan semakin maraknya kesempatan untuk memasarkan berbagai
produk di pasar luar negeri dengan lebih leluasa, aspek perlindungan
konsumen di dalam negeri sendiri juga perlu diawasi secara ketat. Hal ini
diperjelas dengan semakin maraknya produk impor di Indonesia.
Peredaran produk impor tanpa label Bahasa Indonesia masih ditemukan
dan beredar dipasaran. Maka dari itu berdasarkan uraian latar belakang
masalah yang telah dijelaskan, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul skripsi ”Pengawasan Pemerintah Terhadap
2 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafik,
2011), h. 71.
3
Peredaran Produk Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia Pada Barang
di Jakarta Tahun 2016 – 2018”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Pengawasan terhadap peredaran produk tanpa label Bahasa
Indonesia.
b. Penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang mengedarkan produk
impor tanpa label Bahasa Indonesia.
c. Meningkatnya jumlah kasus pelanggaran terhadap terhadap produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di Jakarta.
d. Identifikasi terhadap faktor penyebab masih beredarnya produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di Jakarta
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian kualitatif, pembatasan masalah merupakan salah
satu tahapan yang sangat menentukan walaupun sifatnya masih tentatif.
Dalam hal ini batasan masalah ini hanya dengan pada pengawasan dan
penegakan hukum. Pembahasan skripsi ini akan berpusat pada penjelasan
mengenai pengawasan produk impor tanpa label bahasa Indonesia di
Jakarta tahun 2016-2018.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah utama adalah mengapa masih banyak produk
impor yang beredar tanpa label bahasa Indonesia, maka pertanyaan riset
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengawasan terhadap peredaran produk tanpa label
Bahasa Indonesia di Jakarta?
b. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang
mengedarkan produk impor tanpa label Bahasa Indonesia di Jakarta?
4
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa pokok permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengawasan terhadap peredaran produk tanpa label
Bahasa Indonesia
2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang
mengedarkan produk impor tanpa label Bahasa Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka manfaat penelitian
dari penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Melatih kemampuan untuk untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk
tulisan.
b. Menerakan teori - teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan
menghubungkan dengan praktik di lapangan.
c. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dibidang hukum pada
umumnya maupun dibidang hukum bisnis pada khususnya yaitu
dengan mempelajari litelatur yang ada dikombinikasikan dengan
perkembangan yang terjadi dilapangan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah masukan
bagi perkembangan hukum mengenai peredaran produk tanpa label
Bahasa Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang bersifat normatif empiris yang artinya
adalah penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research)
5
yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti juga melakukan penelitian
langsung kelapangan dengan cara observasi dan wawancara kepada pihak
yang berhubungan, yaitu Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.3
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, Yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan
makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian
sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian
dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.4
3. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.5
a. Bahan hukum primer
Pada penulisan penulisan ini terdapat bahan hukum yang
bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat kepada masyarakat berupa bahan-bahan
hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-
putusan hukum.6
b. Bahan hukum sekunder
3 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali, 1985), h.15.
4 Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 23.
5 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, Metodelogi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju,
2002), h. 108.
6 Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141
6
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-
buku, surat kabar, artikel, jurnal, serta majalah yang berkaitan
dengan penanaman modal.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder berupa kamus bahasa Indonesia, kamus
ekonomi, ensiklopedia, bibiliografi, website resmi dalam internet
dan juga melakukan wawancara.
4. Sumber Data
Dalam pengerjaan penulisan ini terdapat sumber data terdiri bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier
yang telah dapat didapatkan dari peraturan terkait, penelitian, observasi,
data dan juga wawancara.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengerjaan penulisan penulisan ini terdapat metode
pengumpulan data dalam yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier yang telah dapat didapatkan
kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan klarifikasi
menurut sumber hierarkinya.7
6. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang
dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data
penelitian. Dalam penelitian ini, subjek penelitian adalah Kementrian
Perdagangan.
7. Metode Analisis data
Pendekatan data utama penelitian ini adalah normatif, maka akan
dilakukan dengan analisis isi (content analisis). Teknik analisis ini
7 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 46.
7
diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan
perundang-udangan ataupun referensi-referensi hukum pencantuman
label berbahasa Indonesia.8 Kemudian hasil riset tersebut, selanjutnya
dikaji isi (content), baik terkait kata-katanya (word), makna (meaning),
simbol, ide, tema-tema, dan berbagai pesan lainya. Langkah-langkah
yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah pertama, semua
bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematiskan dan
klarifikasikan menurut masing-masing objek bahasannya. Kedua, setelah
disistematiskan dan diklarifikasikan kemudian di lakukan eksplikasi,
yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan
teori. 9
8. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis
dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya
ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017”.
F. Sistematika Penulisan
Agar dapat memberikan penjelasan menyeluruh mengenai isi skripsi ini,
oleh karena itu dibuatlah sistematika penulisan skripsi yang terangkum
sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN, Bab ini membahas mengenai Latar Belakang
Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka
Teori dan Konseptual, Metode Penelitian, dan Rancangan
Sistematika Penulisan.
8Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayu Media,
2005), h. 302.
9 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
8
BAB II: KEWAJIBAN LABEL BAHASA INDONESIA DI PRODUK
IMPOR, Bab ini membahas mengenai label Bahasa Indonesia,
produk impor, label Bahasa Indonesia pada produk impor dalam
aspek perlindungan konsumen.
BAB III: PERAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN
KONSUMEN DAN TERTIB NIAGA KEMENTERIAN
PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Bab ini membahas
diantaranya yaitu profil, tugas dan fungsi, ruang lingkup
pengawasan barang dari Direktorat Jenderal Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia
BAB IV: ANALISIS PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN
PRODUK IMPOR TANPA LABEL BAHASA INDONESIA
bab ini menjelaskan mengenai pengawasan produk impor tanpa
label bahasa Indonesia di DKI Jakarta oleh Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia dan penegakan hukum produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta oleh
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
BAB V: PENUTUP, Bab ini yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, di
samping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap
perlu.
9
BAB II
KEWAJIBAN LABEL BAHASA INDONESIA
DIPRODUK IMPOR
A. Kerangka Konseptual
1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain atau tidak untuk diperdagangkan.
2. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia
atau badan usaha yang berbentuk badan hukum, atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum negara kesatuan
republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang
perdagangan.
3. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
4. Label adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk tulisan,
kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang memuat informasi
tentang barang dan keterangan pelaku usaha, serta informasi lainnya
yang disertakan pada barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan atau
melekat pada barang, tercetak pada barang, dan atau merupakan bagian
kemasan barang.
5. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Informasi
barang dan atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling
10
berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan
pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label.1
Label merupakan suatu bagian dari sebuah produk yang membawa
informasi verbal tentang produk atau penjualnya, label adalah tulisan,
gambar, atau kombinasi keduanya yang disertakan pada wadah atau kemasan
suatu produk dengan cara dimasukkan ke dalam, ditempelkan atau dicetak
dan merupakan bagian dari kemasan tersebut. Tujuannya untuk memberikan
informasi menyeluruh dan secara utuh dari isi wadah atau kemasan produk
tersebut. Pelabelan pada kemasan produk harus dipersyaratkan sedemikian
rupa, sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau
rusak serta terletak pada bagian kemasan yang mudah untuk dilihat dan
dibaca dengan jelas.
Keberadaan label pada suatu produk sangatlah penting. Hal ini
dikarenakan label merupakan identitas dari sebuah produk. Dengan adanya
label, konsumen bisa membedakan antara produk satu dengan yang lainnya.
Selain itu, konsumen juga dapat memperoleh produk sesuai dengan yang
diinginkannya. Adanya label juga dapat menghilangkan keraguan konsumen
dalam membeli suatu produk.2
B. Kerangka Teori
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan
hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik
sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan
1Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,
2011), h. 71
2 Angipora, Marinus, Dasar-Dasar Pemasaran, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002),
h. 192
11
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam
mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara proseduralyang ditetapkan oleh hukum formal.3
Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum adalah :4
1. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka
pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian.
2. Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum
memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian
penegak hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung
pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
3 DellyanaShant, Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty,1988), h.33.
4 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,,2004), h.42
12
mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah
pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus
yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh
polisi begitu luas dan banyak.
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono
Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
C. Label Bahasa Indonesia
1. Definisi Label
Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
Informasi barang dan atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya
yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber
dari kalangan pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label.5
5Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 71
13
Label merupakan suatu bagian dari sebuah produk yang membawa
informasi verbal tentang produk atau penjualnya, label adalah tulisan,
gambar, atau kombinasi keduanya yang disertakan pada wadah atau
kemasan suatu produk dengan cara dimasukkan ke dalam, ditempelkan
atau dicetak dan merupakan bagian dari kemasan tersebut.
Tujuannya untuk memberikan informasi menyeluruh dan secara
utuh dari isi wadah atau kemasan produk tersebut. Pelabelan pada
kemasan produk harus dipersyaratkan sedemikian rupa, sehingga tidak
mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak serta
terletak pada bagian kemasan yang mudah untuk dilihat dan dibaca
dengan jelas.
Keberadaan label pada suatu produk sangatlah penting. Hal ini
dikarenakan label merupakan identitas dari sebuah produk. Dengan
adanya label, konsumen bisa membedakan antara produk satu dengan
yang lainnya. Selain itu, konsumen juga dapat memperoleh produk sesuai
dengan yang diinginkannya. Adanya label juga dapat menghilangkan
keraguan konsumen dalam membeli suatu produk.6
Label merupakan bagian dari suatu produk yang menyampaikan
informasi mengenai produk dan penjual. Sebuah label biasa merupakan
bagian dari kemasan, atau bisa pula merupakan tanda pengenal yang
dicantumkan pada produk. Label adalah tampilan sederhana pada produk
atau gambar yang dirancang dengan rumit yang merupakan satu kesatuan
dengan kemasan. Label bisa hanya mencantumkan merek atau
informasi.7
Label merupakan keterangan yang melengkapi suatu kemasan
barang yang berisi tentang bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
barang tersebut, cara pengggunaan, efek samping dan sebagainya. Label
adalah identiti suatu produk, tanpa label kita tidak dapat membedakan
6 Angipora, Marinus, Dasar-Dasar Pemasaran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 192
7 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran,( Jakarta: Prenhallindo, 2000), h. 477.
14
antara produk yang satu produk dengan produk yang lain. Label adalah
bagian yang sangat penting dari suatu produk agar pengguna memperoleh
produk sesuai yang diharapkan dan aman selama digunakan. Beberapa
Industri besar yang memerlukan label untuk produk-produk mereka
adalah industri makanan dan minuman, obat-obatan, penjagaan diri,
kosmetik atau kecantikan, mainan, elektronik, bahan kimia (Chemical),
rumah tangga dan lain-lain.
Semua informasi tentang sebuah produk umumnya berada pada
label yang tercantum pada produk tersebut. Label dapat didefinisikan
sebagai tulisan, tag, gambar atau pengertian lain yang tertulis, dicetak,
distensil, diukir, dihias atau dicantumkan dengan cara apapun, pemberi
kesan yang terdapat pada suatu wadah atau pengemas.
2. Tujuan Pelabelan
Tujuan pelabelan adalah sebagai berikut:
a. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi kemasan tanpa
harus membuka kemasan
b. Memberi petunjuk yang tepat bagi konsumen sehingga diperoleh
fungsi produk yang optimum
c. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen
tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk
tersebut, terutama hal-hal yang tak dapat diketahui secara fisik
d. Sarana periklanan bagi produsen
e. Memberi rasa aman pada konsumen
3. Fungsi Label
Fungsi label adalah sebagai berikut:8
a. Label mengidentifikasi produk atau merek
b. Label menentukan kelas produk
c. Label menggambarkan beberapa hal mengenai produk (siapa
pembuatnya, dimana dibuat, kapan dibuat, apa isinya, bagaimana
menggunakannya, dan bagaimana menggunakan secara aman)
8 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran Jilid 2, ( Jakarta: Prenhallindo, 2000), h.478.
15
d. Label mempromosikan produk lewat aneka gambar yang menarik.
4. Bentuk Label
Bentuk label adalah sebagai berikut:
Tanda dengan tulisan.
a. Gambar pada kemasan makanan minuman dan barang yang lain.
b. Brosur atau selebaran yang dimasukkan kedalam wadah atau
pembungkus.
Dengan demikian para konsumen membiasakan diri untuk
membaca label tersebut karena dengan mambaca label akan diketahui isi
bungkusan atau wadah produk tersebut.
Pemberian label (labeling) merupakan elemen produk yang sangat
penting yang patut memperoleh perhatian seksama dengan tujuan untuk
menarik para konsumen. Pemberian label dipengaruhi oleh penetapan,
yaitu: harga unit (unit princing) menyatakan harga per unit dari ukuran
standar dan tanggal kadaluarsa (open dating) menyatakan berapa lama
produk layak dikonsumsi.
Keuntungan menggunakan label yang efektif. Adapun keuntungan
penggunaan label yang efektif adalah meningkatkan penjualan,
mendorong promosi yang lebih besar, perlindungan terhadap konsumen,
perlindungan terhadap persaingan yang tidak baik dan pejalan dengan
tujuan ekonomi.
Hanya saja, mengingat label juga berfungsi sebagai iklan, di
samping sudah menjadi sifat manusia untuk mudah jatuh dalam
kekhilafan dengan berbuat “kecurangan” baik yang disengaja maupun
yang tidak disengaja, maka perlu dibuat rambu-rambu yang mengatur.
Dengan adanya rambu-rambu ini diharapkan fungsi label dalam memberi
“rasa aman” pada konsumen dapat tercapai.9
Terdapat tiga macam label yang sering digunakan oleh beberapa
perusahaan, yaitu: Brand label adalah label yang semata-mata sebagai
9 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), h. 18.
16
brand. Misalnya pada kain atau tekstil. Nama-nama tersebut digunakan
oleh semua perusahaan yang memproduksinya. Selain brand label ini,
masing–masing perusahaan juga mencantumkan merk yang dimilikinya
pada tekstil yang diproduksi., grade label adalah label yang
menunjukkan tingkat kualitas tertentu dari suatu barang. Label ini
dinyatakan dengan suatu tulisan atau kata-kata, dan descriptive label atau
juga disebut informative label merupakan label yang menggambarkan
tentang cara penggunaan, susunan, pemeliharaan, hasil kerja darisuatu
barang.10
D. Produk Impor
Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu
negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan.
Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas
dari negara lain ke dalam negeri. Kegiatan impor berarti melibatkan dua
negara. Dalam hal ini bisa diwakili oleh kepentingan dua perusahaan antar
dua negara tersebut, yang berbeda dan pastinya juga peraturan serta bertindak
sebagai supplier dan satunya bertindak sebagai negara penerima.Impor barang
secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara
pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan
internasional, lawannya adalah ekspor.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan
mendefinisikan pengertian impor, ekspor dan antar pulau (barang tertentu).
Dalam Pasal 1 Angka 13 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan impor
adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Lebih lanjut
ditetapkan dalam Pasal 2 bahwa barang yang dimasukkan ke dalam daerah
pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.11
Kewenangan pabean mengenai pengawasan dan penindakan atas barang
10
Basu Swastha, Asas-Asas Marketing, (Yogyakarta: Liberty,1984), h.142.
11 Abidin Zainal, Modul Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, (Jakarta:
Pusdiklat Bea dan Cukai, 2011), h.4
17
impor, barang ekspor dan barang antar pulau (barang tertentu) ditetapkan
dalam Pasal 6 Undang-undang Kepabeanan.12
Terhadap barang yang diimpor
atau diekspor berlaku segala ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Menurut Sadono Sukino, manfaat Impor adalah sebagai berikut:13
Menjalin Persahabatan Antar Negara, memperoleh barang yang tidak dapat
diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang memengaruhi
perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-Faktor tersebut di
antaranya: Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain.
Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan
perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang
diwujudkan oleh spesialisasi. Dalam pengertiannya suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh
negara lain, tapi adakalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor
barang tersebut dari luar negeri.
Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Para pengusaha tidak
menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena
mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan
turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional,
pengusaha dapat menjalankan mesin mesinnya secara maksimal, dan menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri.
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk
mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen
yang lebih modern. Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan
perdagangan internasional, antara lain :14
12
Purwito M. Ali, Kepabeanan dan Cukai Lalu Lintas Barang, Konsep dan Aplikasinya,
(Jakarta: Cetakan Keempat, Kajian Hukum fiscal FHUI, 2010), h. 7
13Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabeanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 24
14 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabeanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 27
18
1. Faktor Alam atau Potensi Alam
2. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
3. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan
negara
4. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi.
5. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk
menjual produk tersebut.
6. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga
kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya
perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
7. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
8. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari
negara lain.
9. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat
hidup sendiri.
Indonesia mengimpor 3 jenis barang yaitu barang konsumsi, barang
modal, dan barang baku penolong.15
Barang Konsumsi adalah barang-barang
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,seperti makanan,
minuman, susu, mentega, beras, dan daging. Barang-barang konsumsi
merupakan barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari,seperti makanan, minuman, susu, mentega, beras, dan daging.
bahan baku dan bahan penolong merupakan barang- barang yang diperlukan
untuk kegiatan industri.
Bahan Baku atau Bahan Penolong merupakan barang- barang yang
diperlukan untuk kegiatan industri baik sebagai bahan baku maupun bahan
pendukung, seperti kertas, bahan-bahan kimia, obat-obatan dan kendaraan
bermotor.
15
Semedi Bambang, Pengawasan Kepabeanan, (Jakarta: Widyaiswara Pusdiklat Bea dan
Cukai, 2013), h. 22
19
Barang Modal adalah barang yang digunakan untuk modal usaha seperti
mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat. Barang
Modal adalah barang yang digunakan untuk modal usaha seperti mesin, suku
cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat. produk impor
indonesia yang berupa hasil pertanian, antara lain, beras, terigu, kacang
kedelai dan buah-buahan. produk impor indonesia yang berupa hasil
peternakan antara lain daging dan susu.
Sebelum seseorang atau suatu badan usaha melakukan impor, syarat-
syarat yang harus dipenuhi adalah: Mengajukan dan mengisi formulir dengan
melampirkan copy akte pendirian perusahaan yang terlegalisir, siup, domisili
perusahaan, nomor penggunan wajib pajak (NPWP), neraca awal,
referensi bank yang bersangkutan, bukti adanya hubungan atau kontak
dengan luar negeri, penunjukan agen yang terdaftar di Deperindag dan
tanda daftar perusahaan dan Setelah data diperiksa dengan benar dan lengkap,
Kanwil Deperindag menerbitkan API (Angka Pengenal Impor).
Dokumen-Dokumen Impor adalah sebagai berikut:
1. RKSP (Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut)
2. PIB (Pemberitahuan Impor Barang) adalah pemberitahuan oleh
pemberitahu atas barang yang akan diimpor berdasarkan dokumen
pelengkap Pabean sesuai prinsip self asessment.
3. Manifest merupakan dokumen yang berisi daftar cargo. Dokumen ini
berisi tentang jenis barang, merek barang, dan jumlah barang.
4. Invoice merupakan dokumen yang digunakan sebagai pernyataan tagihan
yang harus dibayar oleh customer.
5. COO (Certificat of Origin) merupakan sertifikasi asal barang, dimana
dinyatakan dalam sertifikat tersebut bahwa barang atau komoditas yang
diekspor adalah berasal dari daerah atau negara pengekspor.
6. D/O (Delivery Order) merupakan dokumen yang berfungsi sebagai surat
perintah penyerahan barang kepada pembawa surat tersebut, yang
ditujukan kepada bagian yang menyimpan barang (Bagian gudang) milik
perusahaan atau bagian gudang perusahaan lain yang memiliki konsensus
dengan perusahaan yang menerbitkan Delivery Order.
20
Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor.16
Daerah pabean adalah
wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah daratan, perairan, dan
ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landasan kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di
pelabuhan laut, bandar udara atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu
lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat
Jendral Bea dan Cukai.
Pemberitahuan pabean adalah Pemberitahuan Impor Barang (PIB),
dibuat dengan modul importir/PPJK. Dokumen pelengkap pabean antara lain:
PIB adalah pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang yang diimpor
untuk dipakai, invoice adalah daftar barang kiriman yang dilengkapi dengan
nama, jumlah dan harga yang harus dibayar oleh pembeli, packing List adalah
dokumen yang menerangkantentang jenis, jumlah, berat dan volume
barang/komoditi dalam perdagangan internasional, dan bill of lading adalah
dokumen perjalanan barang melalui laut/dokumen pengapalan yang
menyatakan bukti penerimaan barang bukti kepemilikan barang dan bukti
adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan.
Surat Kuasa adalah sebuah surat yang menyatakan pemberian
wewenang untuk melakukan sebuah kegiatan dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa yang keduanya menyertakan buktisah dengan pernyataan
disetai materai atau tanda tangan sebagai bukti.
Impor untuk dipakai, memasukkan barang ke dalam daerah pabean
dengan tujuan untuk dipakai oleh orang yang berdomisili di Indonesia dan
memasukan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh
orang yang berdomisili di Indonesia.
Pengeluaran barang impor untuk dipakai setelah diserahkan
pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuk dan PDRI, diserahkan
16
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabeanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 24
21
pemberitahuan pabean dan jaminan dan diserahkan dokumen pelengkap
pabean dan jaminan.
Penjaluran, barang impor yang telah diajukan PIB dilakukan
pemeriksaan pabean secara selektif, dalam rangka pemeriksaan pabean secara
selektif inilah ditetapkan jalur pengeluaran barang, yaitu :
1. Jalur merah
Adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang
impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik, dan dilakukan penelitian
dokumen sebelum diterbitkannya Surat Persetujuan Pengeluaran Barang
(SPPB).
2. Jalur hijau
Adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang
impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan
penelitian dokumen setelah diterbitkannya Surat Persetujuan Pengeluaran
Barang (SPPB).
3. Jalur kuning
Adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang
impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan
penelitian dokumen sebelum diterbitkannya Surat Persetujuan
Pengeluaran Barang (SPPB).
4. Jalur prioritas
Adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang
impor yang tidak dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen,
setelah ada penetapan dari Pemerintah terhadap importir jalur prioritas
tersebut.
5. Kriteria Penjaluran
Arus barang impor yang masuk ke Indonesia dan melalui Kantor
Bea dan Cukai, kemudian akan didistribusikan sesuai klasifikasi dan
identifikasi barang impor. Setiap penjaluran penanganan barang impor
yang masuk memiliki kriteria masing-masing, berikut penjelasannya:
22
Kriteria jalur kuning adalah Importir yang beresiko tinggi yang
mengimpor komoditi beresiko rendah, artinya importir tersebut belum terlalu
dikenal kejujurannya oleh aparat Bea dan Cukai. Lazimnya, mereka adalah
importir pemula atau importir yang pernah melakukan illegal activities dan
masuk dalam daftar hitam dan Importir yang beresiko menengah yang
mengimpor komoditi beresiko menengah.
Kriteria jalur hijau adalah importir yang berisiko menengah yang
mengimpor komoditi beresiko rendah dan importir yang beresiko rendah yang
mengimpor komoditi beresiko rendah atau menengah.
Kriteria jalur prioritas adalah importir yang ditetapkan oleh Pemerintah
sebagai importir jalur prioritas dan barang impor yang terkena pemeriksaan
acak.
Kriteria jalur merah adalah orang atau perusahaan yang memasukkan
barang-barang dari luar negeri atau mengimpor barang untuk pertama
kalinya, importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi adalah importir
yang tingkat pelanggarannya tinggi atau importir yang telah banyak
melakukan pelanggaran ketentuan pabean, barang impor sementara adalah
barang yang di impor untuk sementara waktu yang selanjutnya akan diekspor
kembali, barang re-impor adalah barang ekspor yang karena sebab tertentu
diimpor kembali karena terkena pemeriksaan acak, barang impor tertentu
yang ditetapkan pemerintah dan barang impor yang termasuk dalam komoditi
berisiko tinggi dan berasal dari negara yang berisiko tinggi.
Instansi – Instansi terkait dalam impor dalam melaksanakan kegiatan
pengurusan dokumen impor selalu berhubungan dengan instansi-instansi
pemerintah maupun swasta. Adapun instansi-instansi tersebut antara lain:17
a. Perusahaan Pelayaran
Adalah suatu perusahaan yang menitik beratkan pada usaha
pelayaran yaitu menjual jasa angkutan laut bagi siapa saja yang
membutuhkan dengan mengoperasikan kapal-kapal yang dimilikinya.
17
MS, Amir, Ekspor-Impor Teori dan Penerapannya, (Jakarta, PT. Binaman Pressindo
PPM, 2003), h.45.
23
b. EMKL
Adalah suatu badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas,
yang melakukan usahanya pada kegiatan pengurusan dokumen dan
pekerjaan yang menyangkut menerima / menyerahkan muatan yang
diangkut melalui lautan, untuk diserahkan kepada / diterima dari
perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilik barang.
c. Bank Devisa
Adalah instansi pemerintah maupun swasta yang bergerak dalam
jasa perbankan nasional dan internasional.
d. Direktorat Jendral Bea dan Cukai
Adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi pemerintahan
tentang pembinaan, pengaturan, dan pengawasan arus lalu lintas barang
yang keluar masuk daerah pabean dan pemungutan bea masuk.
e. PT. PELINDO
Adalah suatu instansi dibawah pengawasan Menteri Perhubungan
yang berbentuk persero yang mengelola asset pelabuhan yang dapat
dimanfaatkan oleh pengguna jasa pelabuhan. Aset itu meliputi : kolam
pelabuhan, dermaga, gudang penempatan , dll.
f. Administrator Pelabuhan ( ADPEL )
Adalah kepala organik dilingkungan Departemen Perhubungan
melaksanakan tugas pelabuhan dan mengkoordinasikan instansi
pemerintah lainnya, unit kerja dan badan usaha milik negara untuk
kelancaran tugas kepelabuhan yang diusahakan badan usaha pelabuhan.
g. Perusahaan Asuransi
Adalah perusahaan yang bergerak dalam penyediaan jasa asuransi
untuk mengasuransikan barang-barang yang dikirim baik impor maupun
ekspor.
h. Perusahaan Pengangkutan
Adalah perusahaan yang menawarkan jasa dibidang angkutan darat.
i. Perusahaan Depo Kontainer
Adalah perusahaan yang bergerak dibidang penyediaan lapangan
penumpukan dan container kosong.
24
Biaya – biaya yang timbul dalam kegiatan impor antara lain: biaya
pabean Bea Masuk, Cukai dan PDRI. Biaya pelayaran meliputi, biaya THC
(Terminal Handling Charge) yaitu biaya yang timbul atas penanganan
muatan dipelabuhan muat (Port of Loading) dan biaya tebus D/O, Adm.D/O,
dan Doc. Fee yaitu biaya yang dibebankan oleh Pelayaran atas pengambilan
D/O. Biaya Pelabuhan meliputi biaya penumpukan dan lift on full, yang
besarnya dapat dihitung masa I yaitu hari pertama sampai ke lima dihitung
satu hari besarnya sesuai tarif dasar dan masa II yaitu hari keenam sampai
kesepuluh dihitung lima hari besarnya dua kali tarif dasar. Dan yang terakhir,
biaya operasional adalah biaya-biaya yang dikeluarkan EMKL meliputi biaya
angkutan darat, biaya empty container, dan biaya non kwitansi yang tetap
dihitung dalam laporan keuangan.
E. Label Bahasa Indonesia Pada Produk Impor Dalam Aspek Perlindungan
Konsumen.
Label memiliki kegunaan untuk memberikan infomasi yang benar, jelas
dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang
diperlukan mengenai barang yang diperdagangkan. Dengan adanya label
konsumen akan memperoleh informasi yang benar, jelas dan baik mengenai
kuantitas, isi, kualitas mengenai barang dan jasa beredar dan dapat
menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa.
Label bisa berupa gantungan sederhana yang ditempelkan pada produk atau
gambar yang direncanakan secara rumit dan menjadi bagian kemasan. Label
bisa membawa nama merek saja, atau sejumlah besar informasi. Bahkan jika
penjual memilih label sederhana, hukum mensyaratkan lebih banyak.
Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Informasi
barang dan atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling
berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan
pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label.18
18
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 71.
25
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan atau jasa sebagaimana diatur oleh Pasal 8 Ayat (1) huruf i UUPK,
yaitu tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pencantuman label suatu produk kosmetik
merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha, dengan tujuan agar hak
konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi suatu
produk kosmetik dapat tercapai. Sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi
konsumen pada saat membeli dan menggunakannya. Selain itu, larangan
tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan agar barang dan atau jasa yang
beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain, asal
usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket,
iklan, dan lain sebagainya.19
Keberadaan Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 1 Angka 1 merupakan upaya untuk menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen yang
merasa dilanggar hak-haknya oleh pelaku usaha telah mempunyai kepastian
hukum untuk menuntut hak-haknya. Adapun hak-hak konsumen adalah
sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa
19
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), h. 18.
26
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya
Bagi konsumen, label mempunyai peranan yang sangat penting,
setidaknya ada tiga hal pokok yang mendasarinya yaitu20
Informasi yang
dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk membeli atau tidak produk tertentu,
dengan pengetahuan tersebut, konsumen dapat menentukan, memilih satu
produk atas produk sejenis lainnya,dan dengan informasi yang benar dan
lengkap, konsumen juga dapat terhindar dari kemungkinan gangguan
keamanan dan keselamatan konsumsinya, bila produksi bersangkutan tidak
cocok untuk dirinya atau mengandung suatu zat yang membahayakan.
Undang - Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menetapkan tujuan untuk melindungi kepentingan
konsumen dari dampak buruk pemakaian barang dan jasa. Pelaku usaha
dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa
yang:21
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan
20
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006), h. 3.
21 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h.71.
27
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
3. Tidak sesuai dengan ukuran takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan
atau jasa tersebut
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan,
gaya, model atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan
iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang atau dibuat
10. Tidak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan
agar barang dan jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang
layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi
pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.
Pencantuman label pada barang pengaturannya dikeluarkan oleh
Menteri Perdagangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman
Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang. Setiap pelaku usaha yang
28
memasarkan produk barang impor wajib untuk mencantumkan label bahasa
Indonesia pada produk nya yang dipasarkan di pasar Indonesia. Bagi pelaku
usaha yang melanggar ketentuan dengan tidak mencantumkan label bahasa
Indonesia maka akan dikenakan sanksi administratuf berupa pencabutan
perijinan di bidang perdagangan dan atau pencabutan izin usaha lainnya oleh
pejabat berwenang.
Pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor barang untuk
diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib mencantumkan label dalam
bahasa Indonesia yang dijelaskan di dalam pasal 2 ayat (1) dijelaskan dalam
pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam
Bahasa Indonesia pada Barang dilakukan oleh Produsen untuk barang
produksi dalam negeri dan Importir untuk barang asal Impor
Daftar jenis Barang yang diproduksi atau diimpor untuk dipedagangkan
di pasar dalam negeri yang dijelaskan di dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015
Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia terdiri dari:
1. Barang elektronika keperluan rumah tangga, telekomunikasi, dan
informatika
2. Barang bahan bangunan
3. Barang keperluan kendaraan bermotor (suku cadang dan lainnya)
4. Barang tekstil dan produk tekstil
5. Barang lainnya
Ketentuan kewajiban pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban
Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia, tidak berlaku untuk barang
curah yang dikemas dan diperdagangkan secara langsung dihadapan
konsumen dan arang yang diproduksi pelaku usaha mikro dan pelaku usaha
kecil
29
Label dalam bahasa Indonesia paling sedikit menggunakan bahasa
Indonesia yang jelas, mudah dibaca, dan mudah dimengerti. Penggunaan
bahasa, angka, dan huruf selain bahasa Indonesia, angka arab dan huruf latin
dapat digunakan jika tidak ada atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Pencantuman label dalam bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam
Bahasa Indonesia pada Barang dapat berupa:
1. Embos atau tercetak
2. Ditempel atau melekat secara utuh
3. Disertakanatau dimaksukkan ke dalam barang dan kemasan.
4. Keterangan atau penjelasan label dalam bahasa Indonesia pada barang
dan kemasan yang terkait dengan keselamatan, kemanan, dan kesehatan
konsumen serta lingkungan hidup, harus memuat cara penggunaan dan
simbol bahaya dan tanda peringatan yang jelas dan mudah dimengerti.
Besarnya label yang ditempel atau melekat secara utuh sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf b disesuaikan dengan ukuran
barang atau kemasan secara proporsional. label sebagaimana dimaksud pada
pasal 4 Ayat (1) Huruf b rusak jika dapat dilepas dari barang atau kemasan.
Keterangan atau penjelasan label dalam Bahasa Indonesia pada barang
atau kemasan yang terkait dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan
konsumen serta lingkungan hidup, yang dijelaskan di dalam Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-
DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia harus memuat cara penggunaan dan simbol bahaya atau tanda
peringatan yang jelas dan mudah dimengerti
Selain keterangan atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
Ayat (1), pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan atau penjelasan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dicantumkan. Untuk
barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib, pencantuman Label dalam
Bahasa indonesia mengikuti penandaan yang ditetapkan dalam SNI
30
Keterangan mengenai identitas pelaku usaha pada label untuk barang
dijelaskan di dalam Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban
Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia paling sedikit memuat nama dan
alamat produsen untuk barang produksi dalam negeri, nama dan alamat
importir untuk barang asal impor dan nama dan alamat pedagang pengumpul
jika memperoleh dan memperdagangkan barang hasil produksi pelaku usaha
mikro dan pelaku usaha kecil
Di dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label
dalam Bahasa Indonesia Pelaku usaha dilarang mencantumkan Label dalam
Bahasa Indonesia yang memuat informasi secara tidak lengkap dan tidak
benar atau menyesatkan konsumen
Produsen, importir, atau pedagang pengumpul yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 wajib menarik barang dari
peredaran dan dilarang memperdagangkan barang yang dimaksud.
Pembinaan dan pengawasan pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia dilakukan oleh menteri Menteri mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana yang dimaksud kepada Direktur Jenderal yang
menangani bidang perlindungan konsumen. Pelaksanaan pembinaan dapat
dilakukan oleh Direktur Jenderal yang menangani bidang perlindungan
konsumen secara sendiri atau bersama-sama dengan instansi teknis terkait di
pusat atau di daerah. Pembinaan dilakukan terhadap barang yang beredar
dipasar dan di tempat penyimpanan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pengawasan barang.
Pada Pasal 13 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label
dalam Bahasa Indonesia produsen, importir, dan pedagang pengumpul yang
melanggar ketentuan dikenakan sanksi administratif berupa Pencabutan
perizinan dibidang perdagangan dan pencabutan izin usaha lainnya oleh
pejabat berwenang
31
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam pembuatan proposal skripsi ini peneliti menjumpai berbagai
penelitian yang juga membahas dibidang perlindungan konsumen yang
terutama menyangkut perlindungan hukum yang terutama menyangkut
perlindungan konsumen terhadap produk impor tanpa mencantumkan label
bahasa Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
1. Skripsi
Yuli Mega Anggraeni, Universitas Jenderal Soedirman, 2015, Judul
Skripsi “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk Pangan Impor
Yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia Di Kabupaten
Banyumas”, dalam skripsi ini lebih membahas mengenai lebih dalam
terhadap perlindugan terhadap konsumen terhadap produk pangan impor
tanpa label Bahasa Indonesia di Kabupaten Banyumas, sedangkan
perbedaan dengan skripsi ini adalah lebih membahas pengawasan terhadap
peredaran produk tanpa label Bahasa Indonesia.
2. Buku
Happy Susanto Judul “Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan” Tahun 2008,
dalam buku ini lebih membahas mengenai panduan praktis dan peta hak
konsumen yang hanya membahas ke perlindungan konsumen saja,
sedangkan perbedaan skripsi ini lebih membahas mengenai pengawasan
terhadap peredaran produk tanpa label Bahasa Indonesia.
3. Jurnal
Ni Putu Lisna Y dan I gede Putra A, Judul “Tanggung Jawab Pelaku
Usaha Terhadap Produk Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen” Tahun 2014, dalam Jurnal ini lebih membahas
bagaimana tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap produk impor yang
tidak berlabel Bahasa Indonesia, sedangkan perbedaan dengan skripsi ini
membahas mengenai pengawasan terhadap peredaran produk tanpa label
Bahasa Indonesia.
32
BAB III
PERAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN KONSUMEN
DAN TERTIB NIAGA KEMENTERIAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
A. Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan
Tertib Niaga
1. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (disingkat
Kemendag) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang
membidangi urusan perdagangan. Kementerian Perdagangan dipimpin
oleh seorang Menteri Perdagangan (Mendag) yang sejak tanggal 27 Juli
2016 dijabat oleh Enggartiasto Lukita.
a. Visi dan Misi Kementerian Perdagangan RI
Visi Kementerian Perdagangan RI adalah “Perdagangan
sebagai sektor penggerak, pertumbuhan dan daya saing ekonomi
serta pencipta kemakmuran rakyat yang berkeadilan”.
Misi Kementerian Perdagangan RI adalah untuk mewujudkan
visi pembangunan Kementerian Perdagangan RI tersebut, maka misi
yang diemban adalah:
1) Meningkatkan kinerja ekspor non-migas secara berkualitas.
2) Menguatkan pasar dalam negeri.
3) Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan jaringan
distribusi nasional
b. Tugas dan Fungsi Kementerian Perdagangan RI
Kementerian Perdagangan RI mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan di bidang perdagangan dalam
pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara.
Dalam melaksanakan fungsi Kementerian Perdagangan
menyelenggarakan fungsi:
33
1) Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang penguatan dan
pengembangan perdagangan dalam negeri, pemberdayaan
konsumen, standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu
barang, tertib ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau
jasa di pasar, serta pengawasan kegiatan perdagangan,
peningkatan dan fasilitasi ekspor barang nonmigas yang bernilai
tambah dan jasa, pengendalian, pengelolaan dan fasilitasi impor
serta pengamanan perdagangan, peningkatan akses pasar barang
dan jasa di forum internasional, promosi, pengembangan dan
peningkatan produk, pasar ekspor serta pelaku ekspor, serta
pengembangan, pembinaan dan pengawasan di bidang
perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang dan pasar
lelang komoditas
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang penguatan dan pengembangan
perdagangan dalam negeri, pemberdayaan konsumen,
standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib
ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di pasar,
serta pengawasan kegiatan perdagangan, peningkatan dan
fasilitasi ekspor barang nonmigas yang bernilai tambah dan jasa,
pengendalian, pengelolaan dan fasilitasi impor serta
pengamanan perdagangan, peningkatan akses pasar barang dan
jasa di forum internasional, promosi, pengembangan dan
peningkatan produk, pasar ekspor serta pelaku ekspor, serta
pengembangan, pembinaan dan pengawasan di bidang
perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang dan pasar
lelang komoditas
3) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
kebijakan di bidang penguatan dan pengembangan perdagangan
dalam negeri, pemberdayaan konsumen, standardisasi
perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib ukur, dan
pengawasan barang beredar atau jasa di pasar, serta pengawasan
34
kegiatan perdagangan, peningkatan dan fasilitasi ekspor barang
nonmigas yang bernilai tambah dan jasa, pengendalian,
pengelolaan dan fasilitasi impor serta pengamanan perdagangan,
promosi, pengembangan dan peningkatan produk, pasar ekspor
serta pelaku ekspor, serta pengembangan, pembinaan dan
pengawasan di bidang sistem resi gudang dan pasar lelang
komoditas
4) Pelaksanaan pengkajian dan pengembangan di bidang
perdagangan
5) Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Perdagangan
6) Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan
Kementerian Perdagangan
7) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Perdagangan
8) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Perdagangan.
c. Struktur Organisasi Kementerian Perdagangan RI
1) Staf Ahli Menteri
2) Sekretariat Jenderal
3) Inspektorat Jenderal
4) Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
5) Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
6) Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional
7) Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional
8) Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
9) Badan Pengkajian dan Pengemban Perdagangan
10) Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga.
35
2. Direktorat Jendral Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia
Bahwa Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga (disingkat DJPKTN) merupakan bagian dari Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga (DJPKTN) dijabat oleh Veri Anggriono
Sutiarto.
a. Tugas Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga:
Menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pemberdayaan konsumen,standardisasi perdagangan dan
pengendalian mutu barang,tertib ukur, dan pengawasan barang
beredar dan/atau jasadi pasar, serta pengawasan kegiatan
perdagangan.
b. Fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga :
1) Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan konsumen,
standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib
ukur, pengawasan barang beredar dan/atau jasa di pasar, serta
pengawasan kegiatan perdagangan
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan konsumen,
standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu barang, tertib
ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di pasar,
serta pengawasan kegiatan perdagangan
3) Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria dibidang
pemberdayaan konsumen, standardisasi perdagangan dan
pengendalian mutu barang, tertib ukur, pengawasan barang
beredar dan/atau jasa
4) Pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di
bidang pemberdayaan konsumen, standardisasi perdagangan dan
pengendalian mutu barang, tertib ukur, dan pengawasan barang
36
beredar dan/atau jasa di pasar, serta pengawasan kegiatan
perdagangan
5) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pemberdayaan
konsumen, standardisasi perdagangan dan pengendalian mutu
barang, tertib ukur, dan pengawasan barang beredar dan/atau
jasa di pasar, serta pengawasan kegiatan perdagangan
6) Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga; dan
7) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
c. Struktur Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga
1) Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan
Tertib Niaga
2) Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu
3) Direktorat Pemberdayaan Konsumen
4) Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
5) Direktorat Metrologi
6) Pusat Pengawasan Mutu Barang
7) Direktorat Tertib Niaga
3. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
Bahwa berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku
untuk mengawasi terkait dengan label bahasa Indonesia pada produk
impor, pemerintah telah membentuk sebuah Direktorat khusus untuk
menangani hal tersebut yaitu Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa ini merupakan
bagian dari Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga (DJPKTN). Direktorat Jenderal Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa dijabat oleh Ojak Simon Manurung.
a. Tugas Direktorat Jenderal Pengawasan Barang Beredar dan Jasa:
Melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian
37
bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di
bidang pengawasan barang beredar dan jasa.
b. Fungsi Direktorat Jenderal Pengawasan Barang Beredar dan Jasa:
1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, analisa kasus
perlindungan konsumen dan bimbingan operasional Petugas
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan
hukum perlindungan konsumen
2) Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, analisa kasus
perlindungan konsumen dan bimbingan operasional Petugas
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
SipilPerlindungan Konsumen (PPNS-PK) dan penegakan hukum
perlindungan konsumen
3) Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria di
bidang pengawasan produk logam, mesin dan elektronika,
pengawasan produk hasil pertanian, kimia dan aneka,
pengawasan jasa, analisa kasus perlindungan konsumen dan
bimbingan operasional Petugas Pengawas Barang dan Jasa
(PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil-Perlindungan
Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan hukum perlindungan
konsumen
4) Penyiapan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi di bidang pengawasan produk logam, mesin dan
elektronika, pengawasan produk hasil pertanian, kimia dan
aneka, pengawasan jasa, bimbingan operasional Petugas
Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
38
Sipil-Perlindungan Konsumen (PPNS-PK), serta penegakan
hukum perlindungan konsumen
5) Penyiapan evaluasi dan pelaporan di bidang pengawasan produk
logam, mesin dan elektronika, pengawasan produk hasil
pertanian, kimia dan aneka, pengawasan jasa, bimbingan
operasional Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-
PK), serta penegakan hukum perlindungan konsumen.
B. Ruang Lingkup Pengawasan Barang
Berdasarkan kebijakan pengawasan barang beredar bahwa ruang lingkup
pengawasan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga
dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Standar Nasional Indonesia (SNI)
a. Standar
Standar sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan kita
sehari-hari meskipun seringkali kita tak menyadarinya, tanpa juga
pernah memikirkan bagaimana standar tersebut diciptakan ataupun
manfaat yang dapat diperoleh.
Kata standar berasal dari bahasa Inggris “standard”, dapat
merupakan terjemahan dari bahasa Perancis “norme” dan “etalon”.
Istilah “norme” dapat didefinisikan sebagai standar dalam bentuk
dokumen, sedangkan “etalon” adalah standar fisis atau standar
pengukuran. Untuk membedakan definisi dari istilah standar
tersebut, maka istilah “standard” diberi makna sebagai “norme”,
sedangkan “etalon” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai
“measurement standard”.1
Standar pada hakikatnya adalah spesifikasi teknis yang
ditetapkan oleh pihak yang berkepentingan, Pengertian Standar
1 Purwanggono Bambang,Pengantar Standarisasi, (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional,
2009), h.12.
39
menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional adalah
spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara
dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang
terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini, dan masa
yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya.
Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan
termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus
semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman,
perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya.
b. Standarisasi
Standardisasi adalah proses merencanakan, merumuskan,
menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan
mengawasi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama
dengan semua pemangku kepentingan.2
Di dalam Pasal 1 Angka (1) Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian, L.N.R.I Tahun 2014 Nomor 216 (selanjutnya
disingkat dengan UUSPK) Standardisasi dilaksanakan berdasarkan
asas:
1) Manfaat
2) Konsensus dan tidak memihak,
3) Transparansi dan keterbukaan,
2 Tim Penyusun, Pengantar Standarisasi, (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2009),
h.10.
40
4) Efektif dan relevan,
5) Koheren,
6) Dimensi pembangunan nasional, dan
7) Kompeten dan tertelusur.
Di dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian,
standardisasi bertujuan untuk:
1) Meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing
nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam
perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan pelaku usaha,
serta kemampuan inovasi teknologi.
2) Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha,
tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari
aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian
fungsi lingkungan hidup, dan
3) Meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi
perdagangan barang dan/ atau jasa di dalam negeri dan luar
negeri.
Standardisasi memberikan manfaat secara umum bagi
masyarakat, dalam hal:3
1) Memperlancar transaksi arus barang dan jasa dalam
perdagangan domestik maupun internasional. Selain itu, berguna
untuk menghilangkan hambatan teknis dalam perdagangan
melalui harmonisasi standar.
2) Membantu mempercepat desiminasi sistem manajemen,
teknologi dan inovasi.
3) Meningkatkan daya saing bisnis dengan fokus terhadap mutu,
keamanan, keselamatan, kesehatan dan pelestarian lingkungan.
4) Memfasilitasi penilaian dan pembuktian kesesuaian.
3 Tim Penyusun, Pengantar Standarisasi, (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2009),
h.14.
41
5) Optimalisasi infrastruktur standardisasi.
c. Standar Nasional Indonesia
Standar Nasional Indonesia adalah dokumen berisi ketentuan
teknis dari suatu kegiatan yang hasilnya dirumuskan secara
konsensus (untuk menjamin agar suatu standar merupakan
kesepakatan pihak yang berkepentingan) dan ditetapkan (berlaku di
seluruh wilayah nasional) oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN)
untuk dipergunakan oleh seluruh pemangku kepentingan dengan
tujuan untuk mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari
konteks keperluan tertentu. SNI saat ini diusahakan agar menjadi
standar nasional yang efektif (harus setara dengan Standar
Internasional) untuk memperkuat daya saing nasional, meningkatkan
keamanan produk, transparansi dan efisiensi pasar, sekaligus
melindungi (keamanan produk), keselamatan konsumen, kesehatan
masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup.4
Pada prinsipnya standar dilakukan secara sukarela khususnya
dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu
internal atau untuk kepentingan promosi bahwa produk terkait
memiliki kualitas yang baik atau terjamin. Penerapan dan
pemberlakuan SNI secara wajib terhadap produk apabila dipandang
bahwa produk menyangkut dengan keselamatan, keamanan,
kesehatan dan kelestarian lingkungan.5 Sesuai dengan keperluan dan
kepentingan nasional melalui regulasi teknis, SNI dapat diterapkan
secara wajib. Standar terkait dengan kesehatan, keamanan,
keselamatan, kepentingan perkembangan ekonomi nasional dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka standar dapat diacu dalam
suatu regulasi teknis yang selanjutnya pemenuhannya bersifat wajib
(mandatory).
4 Tim Penyusun, Pengantar Standarisasi, (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2009),
h.70.
5 Tim Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, “Analisis Pengembangan SNI Dalam
Rangka Pengawasan Barang Beredar”, h.8
42
Pemberlakuan SNI secara wajib perlu dilakukan secara hati-
hati untuk menghindari sejumlah dampak yang menghambat
persaingan sehat, menghambat inovasi dan menghambat
perkembangan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang
perlu didukung oleh pengawasan pasar baik pengawasan pra-pasar
dan pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi atau mengkoreksi
produk yang tidak memenuhi SNI tersebut.6
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan daya saing,
pemerintah telah menetapkan tujuan dari pengembangan
standardisasi nasional tahun 2015-2025 yaitu ”Mewujudkan Sistem
Standardisasi Nasional untuk Meningkatkan Daya Saing dan
Kualitas Hidup Bangsa”, yang diarahkan antara lain terwujudnya
sistem standardisasi nasional untuk melindungi keselamatan,
keamanan, dan kesehatan masyarakat serta kelestarian lingkungan
hidup. Untuk mewujudkannya, terdapat 5 sasaran pokok yaitu:7
1) Tersedianya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menetapkan
persyaratan minimal bagi produk, proses, sistem maupun aspek
lain yang berpotensi membahayakan keselamatan, keamanan
dan kesehatan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.
2) Diterapkannya good regulatory practice dalam regulasi teknis
berbasis SNI dengan skema yang tepat dan didukung oleh
pengawasan dan penegakan hukum yang adil dan konsisten.
3) Tersedianya lembaga penilaian kesesuaian yang terdiri dari
laboratorium, lembaga inspeksi, dan lembaga sertifikasi untuk
memfasilitasi produk, proses, sistem maupun aspek lain yang
dihasilkan oleh pelaku usaha nasional untuk memenuhi
persyaratan regulasi teknis berbasis SNI.
6 Tim Penyusun, Pengantar Standarisasi, (Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2009),
h.34-35
7 Tim Penyusun Departemen Luar Negeri, “Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Blue Print)”, h.16
43
4) Termanfaatkannya saling pengakuan regional dan internasional
antar lembaga badan akreditasi dan antar lembaga penilaian
kesesuaian untuk mencegah masuknya produk impor yang
berpotensi membahayakan keselamatan, keamanan, dan
kesehatan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.
5) Tersedianya Standar Nasional Satuan Ukuran (SNSU), bahan
acuan bersertifikat, dan laboratorium kalibrasi untuk mendukung
kegiatan produksi dan kegiatan penilaian kesesuaian yang
diperlukan untuk penerapan regulasi teknis berbasis SNI.
6) Meningkatnya kesadaran pelaku usaha untuk mematuhi regulasi
teknis berbasis SNI dan kesadaran konsumen untuk memilih
produk bertanda SNI untuk menjamin keselamatan, keamanan
dan kesehatannya serta menjaga kelestarian lingkungan
hidupnya.
Berdasarkan hal tersebut, secara umum standardisasi nasional
memiliki peranan yang sangat penting untuk memastikan produk
yang dapat melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan
segenap bangsa, dan perlindungan kelestarian lingkungan di seluruh
wilayah tanah air, serta untuk memastikan daya saing produk yang
diperlukan untuk membentuk kepercayaan di pasar domestik
maupun pasar global.8
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan,
mengatur bahwa SNI atau standar lain yang diakui yang belum
diberlakukan secara wajib dapat diberlakukan berdasarkan atas
kriteria keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Produsen atau importir yang memperdagangan barang yang terkait
dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup
wajib: a.mendaftarkan barang yang diperdagangkan kepada menteri;
dan b.mencantumkan nomor tanda pendaftaran pada barang dan
kemasannya.
8 Tim Penyusun Departemen Luar Negeri, “Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Blue Print)”, h.16
44
Pengawasan SNI diatur pelaksanaannya dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 72/M-DAG/PER/9/2015 Tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib
Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan, bahwa
pengawasan SNI secara wajib terhadap barang yang diperdagangkan
dilakukan baik terhadap barang produksi dalam negeri maupun
impor, yang dilakukan melalui pengawasan pra pasar dan di pasar.
Untuk itu, pemerintah menetapkan Program Pengembangan
Standardisasi Nasional yang difokuskan untuk memantapkan peran
Standardisasi Nasional dalam hal untuk:9
1) Melindungi kepentingan publik dan lingkungan
2) Meningkatkan kepercayaan terhadap produk nasional di pasar
domestik, dan
3) Membuka akses produk nasional di pasar global.
Prosedur perjanjian penerapan SNI terhadap barang dan jasa
produk dalam negeri maupun impor adalah sebagai berikut :
1) Penerapan SNI terhadap barang dan jasa produksi dalam negeri
a) Manurut Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
72/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Standardisasi Jasa Bidang
Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang
dan jasa yang diperdagangkan Pengawasan pra pasar
terhadap barang produksi dalam negeri yang
diperdagangkan, dikecualikan terhadap pangan olahan, obat,
kosmetik, dan alat kesehatan, dilakukan melalui Nomor
Registrasi Produk (NRP) yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktur Pengawasan
dan Mutu Barang.
b) Salah satu syarat untuk memperoleh NRP adalah adanya
sertifikasi kesesuaian (SPPT SNI) yang dikeluarkan oleh
9 Eddy Herjanto, “Standardisasi: Peran Dan Perkembangannya Dalam Memfasilitasi
Perdagangan Di Indonesia”, h.7
45
Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam hal ini Lembaga
Sertifikasi Produk (LS Pro).
c) Pasal 9 jo Pasal 8 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
86 Tahun 2009 tentang Standar Nasional Indonesia di
Bidang Industri Produsen yang memproduksi barang dan
jasa wajib memiliki SPPT ANI yang diterbitkan oleh LS
Pro dan wajib membubuhkan tanda SNI pada setiap barang,
kemasan dan atau label pada hasil produksinya, sedangkan
yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pembubuhan
wajib disertakan salinan SPPT SNI.
2) Penerapan SNI terhadap barang dan jasa berasal dari impor
menurut Pasal 9 Ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
72 Tahun 2015:
a) Pengawasan pra pasar terhadap barang impor dilakukan
melalui Surat Pendaftaran Barang (SPB) yang didalamnya
terdapat Nomor Pendaftaran Barang (NPB) yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktur
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang.
b) Barang impor yang telah diberlakukan SNI wajib dan akan
memasuki daerah pabean untuk memperoleh NPB wajib
dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diterbitkan
oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang telah
terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
c) Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang belum
diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) sesuai
dengan ruang lingkupnya, apabilan ditunjuk oleh Pimpinan
Instansi Teknis sesuai ketentuan yang berlaku, dapat
melakukan Penilaian Kesesuaian.
d) LPK dari luar negeri dapat melakukan penilaian kesesuaian
terhadap barang impor yang telah diberlakukan SNI Wajib,
apabila terakreditasi oleh KAN atau Badan Akreditasi di
46
negara yang bersangkutan yang memiliki perjanjian saling
pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA) dengan
KAN.
e) Barang impor yang telah diberlakukan SNI Wajib berada di
Kawasan Pabean tidak dapat memasuki Daerah Pabean
apabila tidak dilengkapi dengan SPB.
f) Barang impor yang telah diberlakukan SNI Wajib berada di
Kawasan Pabean wajib di re-ekspor atau dimusnahkan oleh
Pelaku Usaha apabila permohonan SPB ditolak atau tidak
memiliki Sertifikat Kesesuaian.
2. Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan / Garansi
Dalam era Globalisasi manusia berkembang sangat dinamis, oleh
karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi pun berkembang sangat pesat.
Sehingga orang sekarang lebih banyak menggunakan teknologi didalam
kehidupan sehari-harinya. Seperti mengugunakan motor atau mobil
menuju tempat tujuan tidak lagi berjalan kaki, menggunakan mesin cuci
untuk mencuci pakiannya, komputer atau laptop serta handphone untuk
berhubungan dengan orang yang jaraknya jauh dan untuk mengetahui
perkembangan dunia. Manusia sudah sangat jarang menggunakan sesuatu
yang manual dengan kemampuan sendiri, manusia lebih menyukai yang
otomatis atau yang praktis digunakan. Manusia dewasa ini hidup
dikelilingi dan sangat bergantung pada produk elektronik.
Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk
Penggunaan Manual Dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam
Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika Dan Elektronika menyebutkan
bahwa “Produk elektronika adalah produk-produk elektronika konsumsi
yang dipergunakan di dalam kehidupan rumah tangga.”
Ketika membeli produk elektronik, manusia sebagai konsumen akan
mendapatkan kartu garansi. Pada Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009
47
tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan Manual) Dan Kartu
Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk
Telematika Dan Elektronika menyatakan bahwa “Kartu jaminan/garansi
purna jual dalam Bahasa Indonesia yang selanjutnya disebut kartu
jaminan adalah kartu yang menyatakan adanya jaminan ketersediaan
suku cadang serta fasilitas dan pelayanan purna jual produk telematika
dan elektronika.”
Untuk menjamin tidak adanya kecacatan suatu produk. Hukum
perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena
menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja
masyarakat selalu konsumen saja yang mendapt perlindungan, namun
pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat
perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban.10
Kartu Jaminan atau Garansi (warranty) adalah surat keterangan dari
suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari
kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu.11
Biasanya konsumen sebagai pengguna terakhir dan penjual melengkapi
pengisian data pada surat keterangan tersebut untuk kemudian dikirim ke
pelaku agar didaftarkan tanggal mulai periode garansi.
Kartu garansi yang didapat dalam pembelian suatu produk elektronik
untuk membuktikan keaslian dan menjamin bahwa barang itu tidak
mengalami kecacatan. Pemberian kartu jaminan atau garansi pada produk
elektronik diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk
Penggunaan Manual) Dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam
Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika Dan Elektronika yang
menyatakan bahwa “Setiap produk telematika dan elektronika yang
10
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,
2011) h.13
11 Sutedi adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Ghalia
Indonesia,Bogor,2008) h.76
48
diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri
wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan
(garansi purna jual) dalam Bahasa Indonesia.”
Garansi pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan antara dua
pihak yang berupa tanggungan atau jaminan dari seorang penjual bahwa
barang yang dijual tersebut bebas dari kerusakan atau cacat yang tidak
diketahui atau diberi tahu sebelumnya oleh penjual, dan lazimnya garansi
atau jaminan ini mempunyai jangka waktu tertentu (lazimnya 1 tahun, 2
tahun atau 3 tahun).12
Konsumen yang akan mengklaim garansi layanan purna jual
memerlukan suatu bukti bahwa produk tersebut dijamin oleh produsen
apabila terjadi kerusakan selama masa garansi yaitu dengan adanya kartu
garansi. Kewajiban pencantuman kartu garansi yang dikeluarkan oleh
Menteri Perdagangan tahun 2009 pada pasal 2 Permendag Nomor 19
tahun 2009 mengatur bahwa setiap produk telematika dan elektronika
yang diproduksi dan diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam
negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan
atau garansi dalam Bahasa Indonesia.
Petunjuk penggunaan (manual) dalam Bahasa Indonesia adalah
buku, lembaran, atau bentuk lainnya yang berisi petunjuk atau cara
menggunakan produk telematika dan elektronika.
Kartu jaminan atau garansi dalam Bahasa Indonesia adalah kartu
yang menyatakan adanya jaminan ketersediaan suku cadang serta
fasilitas dan pelayanan purna jual produk telematika dan elektronika.13
Kewajiban ini sebenarnya ditentukan dalam rangka menjamin
diperolehnya hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang yang akan dipakai, digunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.
12
Chairuman Pasaribu dan Suwahardi K.Lubis,Hukum Perjanjian dalam Islam,(Sinar
grafika,Jakarta,2009)h.43.
13 Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kebijakan Pengawasan Barang
Beredar dan Jasa, Jakarta,2018
49
Petunjuk Penggunaan (manual) dan Kartu Jaminan atau Garansi
Purna Jual menurut Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk
Penggunaan Manual) dan Kartu Jaminan atau Garansi Purna Jual Dalam
Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika Dan Elektronika:
Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau
diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi
dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dalam Bahasa Indonesia.
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dapat disandingkan dengan
bahasa asing sesuai kebutuhan.
Menurut Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19
tahun 2009 petunjuk penggunaan harus memuat informasi sekurang-
kurangnya mengenai:
a. Nama dan alamat tempat usaha produsen (perusahaan/pabrik) untuk
produk dalam negeri
b. Nama dan alamat tempat usaha importir untuk produk impor
c. Merek, jenis, tipe, dan/atau model produk
d. Spesifikasi produk
e. Cara penggunaan sesuai fungsi produk
f. Petunjuk pemeliharaan.
Menurut Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19
tahun 2009 kartu jaminan harus memuat informasi sekurang-kurangnya:
a. Masa garansi
b. Biaya perbaikan gratis selama masa garansi yang diperjanjikan
c. Pemberian pelayanan purna jual berupa jaminan ketersediaan suku
cadang dalam masa garansi dan pasca garansi
d. Nama dan alamat pusat pelayanan purna jual (service center)
e. Nama dan alamat tempat usaha produsen (perusahaan/pabrik) untuk
produk dalam negeri
f. Nama dan alamat tempat usaha importir untuk produk impor.
50
Tata Cara Pendaftaran:
a. Pendaftaran petunjuk penggunaan dan kartu jaminan produk
telematika dan elektronika dilakukan sebelum produk beredar di
pasar dalam negeri
b. Pendaftaran produk dalam negeri dilakukan oleh produsen dan
produk luar negeri dilakukan oleh importir
c. Produsen mengajukan permohonan pendaftaran petunjuk
penggunaan dan kartu jaminan kepada Direktur dengan
menggunakan format dan melampirkan persyaratan sebagai
berikut:
1) Fotokopi Surat Izin Usaha Industri (IUI)/Tanda Daftar
Industri (TDI)
2) Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
3) Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4) Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai jaminan
ketersediaan suku cadang dan memiliki pusat pelayanan
purna jual (service center)
5) Surat perjanjian kerjasama dengan pusat pelayanan purna
jual (service center) milik perusahaan lain bagi produsen
yang tidak memiliki pusat pelayanan purna jual (service
center)
6) Contoh petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dengan
memuat informasi
7) Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai kesesuaian isi
petunjuk penggunaan dengan produk telematika dan
elektronika
8) Rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal ini Kepala
Dinas kabupaten/kota setempat, kecuali Provinsi DKI
Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini Kepala
Dinas Provinsi DKI Jakarta bagi produsen yang belum
memiliki tanda pendaftaran.
51
d. Menurut Pasal 12 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 19 tahun 2009 importir mengajukan permohonan
pendaftaran petunjuk penggunaan dan kartu jaminan kepada
Direktur dengan menggunakan format dan melampirkan
persyaratan sebagai berikut:
1) Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
2) Fotokopi Angka Pengenal Importir (API)
3) Fotokopi Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK), khusus
bagi produk telematika dan elektronika yang dipersyaratkan
mempunyai NPIK
4) Fotokopi bukti pembayaran bea masuk dan/atau bukti
pembayaran pajak pemasukan produk telematika dan
elektronika dengan menunjukkan aslinya
5) Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai jaminan
ketersediaan suku cadang dan memiliki pusat pelayanan
purna jual (service center)
6) Surat perjanjian kerjasama dengan pusat pelayanan purna
jual (service center) milik perusahaan lain bagi importir
yang tidak memiliki pusat pelayanan purna jual (service
center)
7) Contoh petunjuk penggunaan dan kartu jaminan dengan
memuat informasi
8) Surat pernyataan bermeterai cukup mengenai kesesuaian isi
petunjuk penggunaan dengan produk telematika dan
elektronika
9) Rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal ini Kepala
Dinas kabupaten/kota setempat, kecuali Provinsi DKI
Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini Kepala
Dinas Provinsi DKI Jakarta bagi importir yang belum
memiliki tanda pendaftaran.
52
Menurut Pasal 18 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 tahun
2009 pembinaan dan Pengawasan:
a. Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap petunjuk penggunaan dan kartu jaminan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan instansi teknis terkait sesuai dengan
kewenangan masing-masing
b. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelayanan dan penyebarluasan
informasi, edukasi, dan konsultasi secara langsung kepada pelaku
usaha dan/atau konsumen
c. Pengawasan terhadap ketentuan petunjuk penggunaan dan kartu
jaminan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
mengenai ketentuan dan tata cara pengawasan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
3. Label Bahasa Indonesia
Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
Informasi barang dan atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya
yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber
dari kalangan pelaku usaha terutama dalam bentuk iklan atau label.14
Label merupakan suatu bagian dari sebuah produk yang membawa
informasi verbal tentang produk atau penjualnya, label adalah tulisan,
gambar, atau kombinasi keduanya yang disertakan pada wadah atau
kemasan suatu produk dengan cara dimasukkan ke dalam, ditempelkan
atau dicetak dan merupakan bagian dari kemasan tersebut. Tujuannya
untuk memberikan informasi menyeluruh dan secara utuh dari isi wadah
atau kemasan produk tersebut. Pelabelan pada kemasan produk harus
dipersyaratkan sedemikian rupa, sehingga tidak mudah lepas dari
kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak serta terletak pada bagian
kemasan yang mudah untuk dilihat dan dibaca dengan jelas. Keberadaan
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,
2011), h. 71
53
label pada suatu produk sangatlah penting. Hal ini dikarenakan label
merupakan identitas dari sebuah produk. Dengan adanya label, konsumen
bisa membedakan antara produk satu dengan yang lainnya. Selain itu,
konsumen juga dapat memperoleh produk sesuai dengan yang
diinginkannya. Adanya label juga dapat menghilangkan keraguan
konsumen dalam membeli suatu produk.15
Label merupakan bagian dari suatu produk yang menyampaikan
informasi mengenai produk dan penjual. Sebuah label biasa merupakan
bagian dari kemasan, atau bisa pula merupakan etiket (tanda pengenal)
yang dicantumkan pada produk. Label adalah tampilan sederhana pada
produk atau gambar yang dirancang dengan rumit yang merupakan satu
kesatuan dengan kemasan. Label bisa hanya mencantumkan merek atau
informasi.16
Semua informasi tentang sebuah produk umumnya berada pada label
yang tercantum pada produk tersebut. Label dapat didefinisikan sebagai
tulisan, tag, gambar atau pengertian lain yang tertulis, dicetak, distensil,
diukir, dihias atau dicantumkan dengan cara apapun, pemberi kesan yang
terdapat pada suatu wadah atau pengemas. Secara garis besar, tujuan
pelabelan adalah sebagai berikut:
a. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi kemasan tanpa
harus membuka kemasan
b. Memberi petunjuk yang tepat bagi konsumen sehingga diperoleh
fungsi produk yang optimum
c. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen
tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk
tersebut, terutama hal-hal yang tak dapat diketahui secara fisik
d. Sarana periklanan bagi produsen
15
Angipora, Marinus, Dasar-Dasar Pemasaran, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002), h. 192
16 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran,( Prenhallindo, Jakarta, 2000), h. 477.
54
e. Memberi rasa aman pada konsumen
f. Fungsi label adalah sebagai berikut:17
g. Label mengidentifikasi produk atau merek
h. Label menentukan kelas produk
i. Label menggambarkan beberapa hal mengenai produk (siapa
pembuatnya, dimana dibuat, kapan dibuat, apa isinya, bagaimana
menggunakannya, dan bagaimana menggunakan secara aman)
j. Label mempromosikan produk lewat aneka gambar yang menarik.
k. Merupakan salah satu bentuk perlindungan pemerintah kepada para
konsumen yang baru.yang berupa pelaksanaan tertib suatu undang-
undang bahan makanan dan minuman atau obat.dalam hal ini
pemerintah mewajibkan produsen untuk melekatkan label/etiket
pada hasil produksinya sesuai dengan peraturn yang tercantum
dalam undang-undang bahan makan.
l. Dengan melekatkan label sesuai dengan peraturan berarti produsen
memberikan keterangan yang diperlakukan oleh para konsumen agar
dapat memilih memebeli serta meneliti secara bijaksana
m. Merupakan jaminan bahwa barang yang telah dipilih tidak berbahaya
bila digunakan ,untuk megatasi hal ini maka para konsumen
mmembiasakan diri untuk membaca label terlebih dahulu sebelum
membelinya d)Bagi produsen label dipergunakan untuk alat promosi
dn perkenalan terhadap barang tersebut.
n. Dengan demikian para konsumen membiasakan diri untuk membaca
label tersebut karena dengan mambaca label akan diketahui isi
bungkusan /wadah barng tersebut.hampir semua makanan jadiyang
dijual berada dalam kemasan sehingga konsumen tidak dapat
memeriksa apa dan bagaimana keadaan isinya waktu membeli
Dengan demikian para konsumen membiasakan diri untuk membaca
label tersebut karena dengan mambaca label akan diketahui isi
bungkusan atau wadah produk tersebut.
17
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran Jilid 2..., h.478.
55
Bentuk label adalah sebagai berikut:
a. Tanda dengan tulisan.
b. Gambar pada kemasan makanan minuman dan barang yang lain.
c. Brosur atau selebaran yang dimasukkan kedalam wadah atau
pembungkus.
Di samping itu ada beberapa macam label secara spesifik yang
mempunyai pengertian berbeda antara lain:
a. Label produk (product label) adalah bagian dari pengemasan sebuah
produk yang mengandung informasi mengenai produk atau
penjualan produk.
b. Label merek (brand label) adalah nama merek yang diletakkan pada
pengemasan produk.
c. Label tingkat (grade label) mengidentifikasi mutu produk, label ini
bisa terdiri dari huruf, angka atau metode lainya untuk menunjukkan
tingkat kualitas dari produk itu sendiri.
d. Label diskriptif (descriptive label) mendaftar isi, menggambarkan
pemakaian dan mendaftar ciri-ciri produk yang lainya.
Pemberian label (labeling) merupakan elemen produk yang sangat
penting yang patut memperoleh perhatian seksama dengan tujuan untuk
menarik para konsumen.
Pemberian label dipengaruhi oleh penetapan, yaitu:
a. Harga unit (unit princing) menyatakan harga per unit dari
ukuran standar
b. Tanggal kadaluarsa (open dating) menyatakan berapa lama
produk layak dikonsumsi
Keuntungan menggunakan label yang efektif. Adapun keuntungan
penggunaan label yang efektif adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan penjualan
b. Mendorong promosi yang lebih besar
c. Perlindungan terhadap konsumen
d. Perlindungan terhadap persaingan yang tidak baik
56
e. Sejalan dengan tujuan ekonomi.
Hanya saja, mengingat label juga berfungsi sebagai iklan, di
samping sudah menjadi sifat manusia untuk mudah jatuh dalam
kekhilafan dengan berbuat “kecurangan” baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja, maka perlu dibuat rambu-rambu yang
mengatur. Dengan adanya rambu-rambu ini diharapkan fungsi label
dalam memberi “rasa aman” pada konsumen dapat tercapai.18
Terdapat tiga macam label yang sering digunakan oleh
beberapa perusahaan, yaitu:
a. Brand label adalah label yang semata-mata sebagai brand.
Misalnya pada kain atau tekstil. Nama-nama tersebut digunakan
oleh semua perusahaan yang memproduksinya. Selain brand
label ini, masing–masing perusahaan juga mencantumkan merk
yang dimilikinya pada tekstil yang diproduksi.
b. Grade label adalah label yang menunjukkan tingkat kualitas
tertentu dari suatu barang. Label ini dinyatakan dengan suatu
tulisan atau kata-kata.
c. Descriptive label atau juga disebut informative label merupakan
label yang menggambarkan tentang cara penggunaan, susunan,
pemeliharaan, hasil kerja darisuatu barang.19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan
informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
18
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Mandar Maju,
Bandung, 2000), h. 18.
19 Basu Swastha, Asas-Asas Marketing, (Liberty, Yogyakarta,1984), h.142.
57
Pencantuman label berbahasa Indonesia sifatnya wajib pada
saat barang diperdagangkan di pasar dalam negeri bukan pada saat
barang masuk wilayah pabean Indonesia. Pelaku usaha dilarang
untuk memperdagangkan atau memproduksi suatu barang tanpa
mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam
Bahasa Indonesia.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
73/M- Dag/Per/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label
Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang sebagai peraturan pelaksana
menjelaskan bahwa setiap barang yag masuk ke pasar dalam negeri
harus berlabel bahasa Indonesia. Keterangan atau penjelasan label
dalam bahasa Indonesia pada barang dan/atau kemasan yang terkait
dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan konsumen, serta
lingkungan hidup, harus memuat:
a. Cara penggunaan
b. Simbol bahaya dan/atau tanda peringatan yang jelas dan mudah
dimengerti.
Tujuan dari adanya aturan itu sendiri adalah untuk melindungi
konsumen untuk mendapatkan hak atas keamanan, kenyamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta hak atas informasi
yang jelas dan benar dalam bahasa Indonesia.
58
BAB IV
ANALISIS PENGAWASAN TERHADAP PEREDARAN PRODUK
IMPOR TANPA LABEL BAHASA INDONESIA
A. Pengawasan Produk Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia di DKI
Jakarta oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 69 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa,
pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas
pengawas untuk memastikan kesesuaian Barang Beredar dan Jasa dalam
memenuhi Standar mutu produksi Barang Beredar dan/atau Jasa,
pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia, Petunjuk Penggunaan, Jaminan
Layanan Puma Jual, Cara Menjual, Pengiklanan, Jaminan dan/atau Garansi
yang disepakati dan/atau diperjanjikan dan/atau Klausula Baku.
Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia adalah instansi terkait yang mengawasi peredaran produk
barang di Indonesia. Ruang Lingkup Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia disini mengawasi barang beredar dan jasa yang beredar di pasar
terhadap standar mutu, pencantuman label dalam bahasa Indonesia, klausula
baku, jaminan layanan purna jual, cara menjual dan pengiklanan produk yang
beredar. Pengawasan ini dilakukan terhadap barang yang berasal dari
produksi dalam negeri dan impor.1
Berdasarkan hasil wawancara dengan Michael Indra Junias, Kepala Sub
Direktorat Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Kimia dan Aneka
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia,2 pengawasan barang beredar
1 Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa, Kebijakan Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa, (Jakarta, 15 maret 2018).
2Wawancara dengan Michael Indra Junias,tanggal 12 Oktober 2018 di Direktorat Jenderal
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Inodnesia
59
dimulai saat barang tersebut masih berada di pelabuhan. Pengawasan yang
dilakukan oleh pihak Bea dan Cukai sedangkan saat di pasar maka
pengawasan barang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia. Pegawai pengawas yang melakukan pengawasan haruslah
diberikan pendidikan dan pelatihan agar dapat menjadi pengawas, jadi tidak
semua pegawai pengawas berwenang melakukan pengawasan barang beredar.
Berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen huruf j dijelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa yang tidak
mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku
usaha juga dilarang untuk memproduksi dan memperdagangkan barang dan
jasa yang tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang atau dibuat.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah melakukan
pengawasan barang beredar untuk kategori barang yang tidak mencantumkan
label dalam bahasa Indonesia di wilayah DKI Jakarta berikut adalah hasil
pengawasan barang beredar yang tidak mencantumkan label dalam bahasa
Indonesia selama Tahun 2016-2018.3
Tahun
Pengawasan
Total Barang
yang Diawasi
Sesuai
Standar
Tidak Sesuai
Standar
2016 111 51 60
2017 255 189 66
2018 263 195 68
3 Data Pengawasan Barang Beredar dan Jasa yang Tidak Mencantumkan Label dalam
Bahasa Indonesia di DKI Jakarta 2016-1018 yang Diperoleh dari Direktorat Barang Beredar dan
Jasa Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia
60
Dalam pengawasan barang beredar terdapat pelaku usaha yang masih
melanggar peraturan yang berlaku, maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi
berupa sanksi administratif dan sanksi pidana yang terdapat di Pasal 62 Ayat
1 dan Pasal 63 Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999. Berikut adalah jumlah pelaku usaha yang dikenakan sanksi terhadap
barang beredar yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia di
DKI Jakarta selama Tahun 2016-2018.4
Tahun
Pengawasan
Total Barang
Tidak Sesuai
Standar
Sanksi
Administrasi
Sanksi
Pidana
2016 60 48 12
2017 66 52 14
2018 68 51 17
Dapat disimpulkan bahwa pengawasan terhadap produk barang impor
yang tidak mencantumkan label bahasa Indonesia di wilayah DKI Jakarta
belum berlaku secara efektif. Hal ini dilihat dari masih terdapat produk
barang impor yang masuk dan beredar di wilayah DKI Jakarta tanpa
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan serta masih ditemukan produk
yang tidak sesuai dengan standar kualitas yang berlaku.
Mengutip dari hasil wawancara dengan Michael Indra Junias, Kepala
Sub Direktorat Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Kimia dan Aneka
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia5 pengawasan dilaksanakan
berdasarkan peraturan sehingga pengawasan dilakukan secara terbuka.
4 Data Pengawasan Barang Beredar dan Jasa yang Tidak Mencantumkan Label dalam
Bahasa Indonesia di DKI Jakarta 2016-1018 yang Diperoleh dari Direktorat Barang Beredar dan
Jasa Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia.
5 Wawancara dengan Michael Indra Junias, tanggal 12 Oktober 2018 di Direktorat Jenderal
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Inodnesia.
61
Kementerian Perdagangan memberitahukan apabila akan melakukan
pengawasan, sehingga jika diberitahu terlebih dahulu akan dilakukannya
pengawasan oleh Kementerian Perdagangan maka artinya memberitahu
identitas dari Kementerian Perdagangan yang mana pelaku usaha memiliki
peluang untuk menjadi lebih peka, jadinya produk yang seharusnya dibawah
proses pengawasan malah disembunyikan oleh pihak pelaku usaha. Selain
kurangnya pengawasan dari pemerintah, hal ini disebabkan oleh perilaku
pelaku usaha yang kerap masih melanggar peraturan meski mengetahui
bahwa produk barang impor yang diedarkan tidak layak untuk di edar.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun
2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa memberikan pedoman
dan wewenang kepada Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap
produk barang yang beredar di Indonesia, termasuk tata cara pengawasan
produk yang beredar. Dalam hal ini produk barang impor yang tidak
mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yang terakreditasi juga
termasuk salah satu produk yang diawasi oleh Kementerian Perdagangan.
Pengawasan yang dilakukan merupakan salah satu upaya untuk
memberikan perlindungan konsumen sekaligus menumbuhkan kesadaran dan
tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi dan memperdagangkan
produk barang. Maka untuk melaksanakan pengawasan dengan baik
dikeluarkan peraturan Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia pada Barang sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-
DAG/PER/9/2015.
Semua barang yang beredar harus menggunakan label bahasa Indonesia
dikarenakan tidak semua orang Indonesia terutama orang tua yang tidak
mengerti bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Thailand, bahasa China
dan bahasa asing lainnya, mereka akan mengalami kesulitan pada saat
belanja, contohnya seperti komposisi dan ukuran ternyata yang dibeli berbeda
tidak sesuai dengan kebutuhan dikarenakan didalam keterangan tersebut
62
memakai bahasa asing. Hal seperti ini yang harus disampaikan dari pelaku
usaha ke konsumen yang intinya konsumen harus mendapatkan informasi
keterangan yang benar baik dari segi ukuran, takaran, timbangan, komposisi
dan penjelasan produk harus sesuai dengan barang tersebut, maka dikeluarkan
Peraturan Menteri Nomor 73 Tahun 2015 tentang Kewajiban Pencantuman
Label Bahasa Indonesia pada Barang.
Latar belakangan dari pengawasan barang beredar yang dilakukan oleh
Kementerian Perdagangan ini dikarenakan adanya pengaduan dari konsumen
secara langsung dan banyaknya kasus-kasus yang terjadi di masyarakat
terhadap produk barang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
upaya untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang yang terkait dengan
aspek keselamatan, keamanan, kesehatan konsumen, dan lingkungan hidup
(K3L) dan mendorong pelaku usaha untuk berusaha dengan jujur dan
bertanggung jawab.6
Tujuan dari pengawasan Produk Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia
oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga adalah
untuk memperlancar arus perdagangan, mengantisipasi dimulainya
perdagangan bebas, memajukan produktivitas dalam rangka meningkatkan
daya saing yang kuat di pasar dalam negeri maupun luar negeri, memberikan
perlindungan kepada konsumen dan mewujudkan jaminan mutu. Sehingga
produk yang di perjual-belikan dapat memajukan industri dalam
mengembangkan daya saing dan mutu produk yang beredar di dalam negeri.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2018 tentang
Standarisasi Bidang Perdagangan, pengawasan yang dilakukan oleh
Kementerian Perdagangan terbagi menjadi dua yaitu pengawasan pra pasar
(dilakukan sebelum barang beredar di pasar oleh Pusat Pengawasan Mutu
Barang Kementerian Perdagangan Republik Indonesia) dan Pengawasan di
Pasar (dilakukan setelah barang beredar di pasar oleh Direktorat Pengawasan
6 Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa, Kebijakan Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa,(Jakarta, 15 maret 2018).
63
Barang Beredar dan Jasa). Barang beredar di pasar dalam negeri pada
dasarnya dibentuk oleh barang hasil produksi perusahaan-perusahaan di
dalam negeri, ditambah barang yang diimpor dari luar negeri.
Tahap pra pasar dimaksudkan untuk memastikan bahwa barang yang
akan beredar, telah memenuhi standar dan ruang lingkup pengawasan lainnya
sesuai peraturan yang ada. Tahap pra pasar meliputi pengujian mutu dan
pendaftaran barang kepada Kementerian Perdagangan, atau badan lain yang
ditunjuk. Kementerian Perdagangan, dalam upaya melindungi konsumen,
telah mengeluarkan tata cara dan ketentuan yang harus diikuti oleh suatu
barang sebelum memasuki pasar untuk dipertukarkan kepada konsumen
(tahap Pra-Pasar) wajib dicantumkan pada setiap barang dan kemasan, yaitu:7
1. Nomor Registrasi Produk (NRP) untuk produksi dalam negeri
2. Nomor Pendaftaran Barang (NPB) untuk produk impor.
Setelah pengawasan pada tahap Pra-Pasar, pengawasan kemudian
dilanjutkan pada tahap setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang
beredar dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa,
yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
(Ditwas), bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang
berhubungan, dan masyarakat. Menurut mekanismenya, pengawasan
dilakukan secara berkala (yang terjadwal) dan pengawasan khusus yaitu
pengawasan dilakukan secara cepat yang dilakukan oleh Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan
Konsumen (PPNS-PK) berdasarkan laporan dan pengaduan konsumen atau
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Objek pengawasan terhadap barang beredar dalam memenuhi
pencantuman label dalam bahasa Indonesia menurut Pasal 19 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2018 Tentang
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa berupa :
7 Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan jasa, Kebijakan Pengawasan barang beredar,
(Jakarta,29 Januari 2018)
64
1. Pencantuman label dalam bahasa Indonesia pada barang dan kemasan
sekurang-kurangnya memuat merek atau logo, nama perusahaan, tipe
atau model, dan ukuran
2. Keterangan atau penjelasan label dalam bahasa Indonesia pada barang
atau kemasan terkait dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan
konsumen serta lingkungan hidup (K3L)
3. Kesesuaian keterangan label pada barang atau kemasan dengan kondisi
barang
4. Kelengkapan keterangan atau informasi label yang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Berdasarakan lampiran Peraturan Menteri perdagangan Nomor73/M-
DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia pada Barang, lingkup barang yang wajib mencantumkan label
dalam bahasa Indonesia yaitu:
1. Barang keperluan rumah tangga, telekomunikasi, dan informatika
(lampiran I).
2. Barang bahan bangunan (lampiran II).
3. Barang keperluan kendaraan bermotor (suku cadang lainnya) (lampiran
III).
4. Barang tekstil dan keperluan tekstil (lampiran IV)
5. Barang kebutuhan lainnya (lampiran V)
Mekanisme pengawasan terhadap barang beredar dalam memenuhi
pencantuman label dalam bahasa Indonesia menurut Pasal 7 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2018 Tentang
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa :
1. Persiapan pelaksanaan pengawasan ( pra pengawasan )
a. Penyusunan rencana kerja atau proposal yang memuat merek dan
klasifikasi barang yang dibeli, wilayah pasar, waktu pelaksanaan,
jumlah petugas dan biaya pelaksanaan
b. Pembuatan surat perintah tugas pengawasan
65
c. Pelatihan dan bimbingan teknis PPNS-PK (Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perlindungan Konsumen) dan PPBJ (Petugas Pengawasan
Barang atau Jasa), persyaratan untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
d. Direktur atau Kepala Dinas selaku Kepala Unit Kerja menugaskan
PPNS-PK (Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen)
dan PPBJ (Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) dan Pegawai
Negeri Sipil yang bertugas pada unit yang bertanggung jawab di
bidang perdagangan atau di bidang perlindungan konsumen untuk
malakukan proses pengawasan.
2. Pelaksanaan pengawasan barang beredar meliputi :
a. Pengawasan berkala
Menurut Pasal 12 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 69 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
pengawasan berkala dilaksanakan dalam waktu tertentu berdasakan
prioritas barang beredar yang diawasi dan terencana sesuai dengan
program dan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1) Membahayakan konsumen dalam aspek keselamatan, keamanan,
kesehatan konsumen, dan lingkungan hidup
2) Pengamanan pasar dalam negeri
3) Sering terjadi pengelabuan atau penyesatan yang dibuat oleh
pelaku usaha kepada konsumen dalam pemenuhan ketentuan label
petunjuk dalam bahasa Indonesia
4) Terjadi cara menjual melalui pemaksaan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen
5) Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pelindungan konsumen.
Pengawasan berkala dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1) Kepala Unit Kerja menugaskan kepada Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) untuk menyusun rencana kerja
66
pelaksanaan pengawasan barang di pasar, yang telah ditetapkan
sebagai salah satu daftar prioritas barang yang diawasi.
2) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) menyiapkan dan
menyampaikan konsep rencana kerja berupa usulan proposal
kepada Kepala Unit Kerja untuk mendapatkan persetujuan.
3) Setelah menyetujui usulan proposal, Kepala Unit Kerja
memberikan surat perintah tugas kepada Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) untuk melaksanakan pengawasan barang.
4) PPBJ ( Petugas Pengawasan Barang atau Jasa ) membawa surat
perintah tugas pengawasan dan menggunakan tanda pengenal
(bila dibutuhkan) pada saat melaksanakan tugas pengawasan.
5) Pembelian sampel produk di pasar (kios, toko, pasar swalayan,
dan lain-lain).
6) Jumlah sampel yang diambil sebanyak 9 buah untuk setiap merek
barang dan jenis dengan ukuran yang boleh berbeda, antara lain :
8 buah untuk pengujian dan 1 untuk arsip.
7) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) melakukan
kodefikasi terhadap produk dan kemasan barang.
8) PPBJ (Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) melakukan
pengamatan kasat mata dengan membuat tabulasi hasil
pengamatan terhadap kelengkapan label yang dibeli sebagai data
dan bahan untuk analisa dan evaluasi.
9) PPBJ (Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) dapat
menyampaikan kepada Kepala Dinas selaku Kepala Unit Kerja
laporan sementara berdasarkan tabulasi hasil pengamatan kasat
mata barang yang dibeli.
10) Dalam rangka kelengkapan bahan pengambilan keputusan,
bilamana diperlukan Kepala Unit Kerja dapat memerintahkan
PPBJ (Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) untuk mengirimkan
barang yang dibeli ke laboratorium uji yang ditunjuk atau
terakreditasi.
67
11) Dengan surat pengantar uji barang dari Kepala Unit Kerja, PPBJ
(Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) mengirimkan barang
yang dibeli ke laboratorium uji dan meminta bukti tanda terima
dari petugas laboratorium uji atas pengujian barang yang dibeli.
12) Setelah hasil uji barang diterima, PPBJ (Petugas Pengawasan
Barang atau Jasa) melakukan evaluasi dan tanggapan terhadap
hasil uji barang yang dibeli.
13) PPBJ (Petugas Pengawasan Barang atau Jasa) menyampaikan
laporan akhir hasil pengawasan barang kepada Kepala Unit Kerja.
14) Berdasakan laporan akhir tersebut, Kepala Unit Kerja dapat
menentukan tindak lanjut hasil pengawasan barang di pasar,
apakah dilakukan publikasi hasil pengawasan berkala, pembinaan,
maupun pelaksanaan pengawasan khusus.
b. Pengawasan khusus
Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 69 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
pengawasan khusus dilaksanakan sewaktu-waktu berdasarkan:
1) Pengaduan dari mayarakat, LPKSM (Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat), pelaku usaha atau Asosiasi
Pelaku Usaha.
2) Informasi melalui media cetak, media elektronik, dan media
lainnya.
3) Informasi lain tentang barang beredar di pasar yang memerlukan
tindak lanjut.
Pengawasan khusus dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1) Kepala Unit Kerja menugaskan kepada Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) untuk menyiapkan rencana
kerja pengawasan khusus barang secara terpadu.
2) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK)
68
menyampaikan kepada Kepala Unit Kerja tentang konsep rencana
kerja, berupa usulan proposal untuk mendapatkan persetujuan.
3) Setelah menyetujui usulan proposal, Kepala Unit Kerja
memberikan surat perintah tugas kepada Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) beserta Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) untuk melaksanakan
pengawasan khusus barang.
4) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) membawa Surat
Perintah Tugas Pengawasan dan menggunakan tanda pengenal
(bila dibutuhkan) pada saat melaksanakan tugas pengawasan.
5) Pengawasan khusus barang dilakukan Petugas Pengawasan
Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) melalui pengecekan ulang di
lokasi atau pasar dimana barang dibeli (yang hasilnya tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku)
6) Bila diperlukan bersama pelaku usaha (produsen atau importir),
Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK)
melakukan pengkajian (analisis, evaluasi, dan penyidikan)
terhadap barang yang dibeli ulang dalam aspek kelengkapan
pencantuman label dan standar mutu produk.
7) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK)
bersama pelaku usaha membuat kesepakatan tertulis dalam bentuk
Berita Acara Pengecekkan (BAP) ulang barang.
8) Petugas Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK)
menyampaikan kepada Kepala Unit Kerja tentang laporan hasil
pengecekan ulang yang disertai Berita Acara Pengecekan (BAP).
9) Berdasarkan laporan tersebut Kepala Unit Kerja (KUK) dapat
melakukan publikasi ke masyarakat bila dinyatakan hasilnya tidak
69
melanggar, apabila hasilnya melanggar, Kepala Unit Kerja dapat
menindak lanjuti melalui penegakan hukum (penarikan barang
atau proses penyidikan).
Laporan hasil pengawasan disusun oleh Tim Pengawas Barang
Beredar, dan disampaikan kepada :
1. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri ditingkat Pusat
2. Gubernur di tingkat Provinsi
3. Bupati atau Walikota di tingkat Kabupaten atau Kota
4. Instansi-instansi terkait.
Hasil pengawasan yang dilakukan Departemen Perdagangan, Gubernur,
Bupati atau Walikota dapat di publikasikan kepada masyarakat. Hasil
pengawasan tersebut digunakan sebagai dasar bagi Menteri Teknis untuk
melakukan pembinaan dan penerapan sanksi sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Tindak lanjut hasil pengawasan:
1. Pembinaan :
a. Hasil pengawasan disampaikan kepada instansi pembina untuk
produk terkait untuk dilakukan pembinaan kepada pelaku
usaha dalam rangka memenuhi persyaratan label dalam bahasa
Indonesia.
b. Kepada pelaku usaha yang diduga memproduksi,
memperdagangkan barang yang tidak memenuhi persyaratan
label dalam bahasa Indonesia dalam pengawasan berkala
diberikan persyaratan agar memenuhi persyaratan label dalam
bahasa Indonesia.
c. Kepada pelaku usaha diberikan sosialisasi mengenai kewajiban
untuk memproduksi dan memperdagangkan barang yang
memenuhi standar mutu label dalam bahasa Indonesia yang
telah ditetapkan.
70
2. Publikasi hasil pengawasan tim pengawas
Hasil pengawasan dapat dipublikasikan melalui media cetak
dan elektronik dalam rangka memberikan penghargaan kepada
pelaku usaha yang memproduksi dan memperdagangkan barang
yang konsisten memenuhi persyaratan label dalam bahasa
Indonesia serta edukasi bagi pelaku usaha lainnya dan konsumen.
Pelaku usaha diberikan apresiasi secara tertulis yaitu dorongan
kepada pelaku usaha untuk selalu memperdagangkan produk sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, menjaga konsistensi mutu barang
yang diperdagangkan, apresiasi karena telah berpartisipasi dalam
memberikan perlindungan terhadap konsumen.
3. Tindak lanjut pengawasan
Dengan adanya dugaan tindak pidana, hasil pengawasan
diteruskan melalui proses penyidikan. Serta dilakukan kordinasi
dengan instansi teknis yang berwenang dan institusi terkait lainnya
untuk mendapatkan masukan dalam rangka menyimpulkan tindak
lanjut sebagai berikut :
a) Pelaku usaha ditegur secara tertulis
b) Penarikan produk barang yang tidak sesuai standar
c) Penegakan hukum jika diduga terdapat indikasi terjadi tindak
pidana melalui proses pengadilan.
d) Larangan memperdagangkan barang
e) Ancaman pemberian sanksi adminisratif berupa pencabutan
izin usaha atau legalitas lain
f) Ancaman pemberian sanksi pidana apabila sanksi administratif
tidak dilaksanakan.
Pelaku usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan karena
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia melanggar
beberapa peraturan. Oleh karena itu, akan diuraikan berdasarkan
peraturan perundangan-undangan yaitu pelanggaran-pelanggaran
71
bagi pelaku usaha yang mengedarkan barang yang tidak
mencantumkan label dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Dalam Pasal 8 Ayat 1 huruf J Undang-undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur bahwa
pelaku usaha dilarang memproduksi dan memperdagangkan
barang atau jasa yang tidak mencantumkan informasi atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Maka pelaku usaha yang menjual barang impor tanpa
mencantumkan keterangan mengenai label dalam bahasa
Indonesia melanggar perbuatan yang dilarang dengan menjual
barang impor yang tidak memiliki keterangan dalam bahasa
Indonesia. Maka pelaku usaha melanggar Pasal 8 Ayat 1 huruf
j Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen karena telah menjual barang yang tidak memiliki
keterangan dalam bahasa Indonesia.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdangangan
Dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdangangan menekankan bahwa setiap pelaku
usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa
Indonesia pada barang yang diperdagangkan didalam negeri.
Apabila merujuk pada Pasal tersebut maka setiap orang
yang mengimpor barang untuk kemudian dijual di pasar dalam
negeri memiliki kewajiban untuk mencantumkan keterangan
mengenai label dalam bahasa Indonesia. Apabila pelaku usaha
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia, maka
pelaku usaha melanggar Pasal 6 Ayat 1 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan karena telah
menjual barang yang tidak memiliki keterangan dalam bahasa
Indonesia.
72
3. Peraturan Menteri Perdagangan No.73 Tahun 2015 tentang
Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada
Barang
Menurut Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan
No.73 Tahun 2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label
dalam Bahasa Indonesia pada Barang menjelaskan bahwa
pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor barang
untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib
mencantumkan label dalam bahasa Indonesia.
Maka bagi pelaku usaha yang memproduksi dan
memasukkan barang impor ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan di pasar dalam negeri tanpa mencantumkan
label dalam bahasa Indonesia telah melanggar kewajiban
pencantuman label dalam bahasa Indonesia pada kemasan
barang, sehingga apabila mengacu kepada penelitian penulis,
importir yang mengimpor produk barang impor dan
memasukkannya ke pasar melanggar Pasal 2 Ayat 1 karena
mengimpor barang tanpa mencantumkan label dalam bahasa
Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa masih
ditemukan barang impor yang tidak layak edar dan tetap
beredar di Indonesia terutama di DKI Jakarta. Barang impor
masuk dan diedarkan di pasar dalam negeri melalui importir
lalu didistribusikan secara luas ke wilayah Indonesia. Barang
impor tersebut diedarkan secara tidak layak yaitu tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Kemudian,
sesuai dengan hasil wawancara Michael Indra Junias, selaku
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Produk Hasil Pertanian,
Kimia dan Aneka Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia8 bahwa masih sering ditemukan barang yang tidak
8 Wawancara dengan Michael Indra Junias, tanggal 12 Oktober 2018 di Direktorat Jenderal
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Inodnesia
73
mencantumkan label dalam bahasa Indonesia, terdapat
beberapa importir yang mengimpor barang yang tidak
mencantumkan label dalam bahasa Indonesia. Maka akan
timbul pertanyaan mengenai siapa yang bertanggung jawab
atas pelanggaran tersebut.
Pasal 21 Ayat 1 Undang-undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa importir
bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan produsen luar negeri. Importir bertanggung
jawab atas produk yang diimpornya sehingga apabila produk
yang diimpornya tidak memenuhi ketentuan Undang-undang
dan dinilai tidak layak untuk diedarkan di pasar dalam negeri
maka yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah
importir yang mengimpor barang tersebut.
Apabila barang tersebut menimbulkan kerugian terhadap
konsumen, berdasarkan Pasal 19 Ayat 1 Undang-undang
Perlindungan konsumen, disebutkan bahwa pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan kerugian akibat mengkonsumsi barang yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
Barang impor yang beredar di pasar dalam negeri seperti
dijual di pasar, di supermarket dapat masuk melalui importir,
sehingga jika ternyata barang tersebut menimbulkan kerugian
akibat mengkonsumsi barang tersebut, importir bertanggung
jawab selayaknya pembuat barang yang diimpor tersebut
karena yang melakukan impor barang tersebut adalah importir,
maka konsumen dapat meminta pertanggung jawaban kepada
importir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha
yang memasukkan barang barang impor tanpa memenuhi
ketentuan undang-undang yaitu pencantuman label dalam
bahasa Indonesia dapat dimintai pertanggung jawaban.
74
Sedangkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pelaku usaha
yang melanggar akan dikenakan sanksi
1. Perampasan barang tertentu
2. Pengumuman keputusan hakim
3. Pembayaran ganti rugi
4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
6. Pencabutan izin usaha
Selain sanksi administratif, pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat 1 Undang-undang
Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 Ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 Ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf e, Ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
75
RANTAI KEGIATAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DI PASAR
PENGAWASAN BERKALA
Sampling melalui pembelian
PENGAMATAN
KASAT MATA
LABEL
UJI LAB
- STANDAR
- SPESIFIKASI
INDIKASI
PELANGGARAN
PENGAWASAN KHUSUS
PENGAMATAN
KASAT MATA
LABEL
UJI LAB
- STANDAR
- SPESIFIKASI
SESUAI
KETENTUAN
TIDAK
SESUAI
KETENTUAN
PROJUSTISIA
PROSES PENYIDIKAN
PUBLIKASI
76
B. Penegakan Hukum Produk Impor Tanpa Label Bahasa Indonesia di
DKI Jakarta oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan
hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi
pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar
itu supaya ditegakkan kembali.9 Penegakan hukum senantiasa mendorong
pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing dengan menghasilkan produk
yang bermutu sesuai ketentuan atau peraturan yang berlaku dan menciptakan
iklim perdagangan yang sehat dan kondusif. Penegakan hukum merupakan
usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang
diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu
proses yang melibatkan banyak hal.10
Barang yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia sampai
sekarang masih beredar luas di pasar, supermarket, dan minimarket di DKI
Jakarta. Penindakan terhadap produk barang yang tidak mencantumkan label
dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum maksimal dalam proses tindak
lanjut oleh instansi terkait yang berwenang dalam menindak masalah ini, dan
apa yang terjadi diatas tentu saja bertentangan, yang mana sudah dijelaskan
didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 8 Ayat 1 huruf j yaitu “pelaku usaha dilarang
memproduksi dan memperdagangkan barang atau jasa yang tidak
mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Serta bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal diatas juga akan
dikenakan sanksi pidana yang terdapat pada Pasal 62 Ayat 1 yang berbunyi
“pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
9 Tri Novita Sari Manihuruk, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Phedofilia di
Wilayah Hukum Polisi Resor Kota Pekanbaru, Skripsi, Program Kekhususan Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Riau, (Pekanbaru, 2015) h.41-42
10 Shant Dellyana, Konsep Penegakan Hukum, (Yogyakarta, Liberty, 1988) h. 32
77
Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000.00 (dua milyar rupiah)”.
Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia untuk
peredaran produk yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia di
pasaran diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73 Tahun 2015
tentang Kewajiban Pencantuman Label Bahasa Indonesia pada Barang, semua
harus menggunakan label bahasa Indonesia.
Sehingga dari permasalahan yang masih terjadi sekarang penulis
berpendapat bahwasanya penegakan hukum terhadap produk barang yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia di DKI Jakarta saat ini
bisa dikatakan kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia), karena barang
tersebut sebagian masih beredar dipasaran mengakibatkan kurangnya
pengawasan dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dalam
melakukan sidak, penyitaan, pengawasan, dan uji laboratorium terhadap
barang yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia, dengan tidak
adanya keterangan label dalam bahasa Indonesia pada barang tersebut maka
informasi yang tercantum pada barang diragukan.
Berbicara penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga ada teori yang mendukung di
dalam untuk memberikan pengawasan terhadap suatu produk, seperti berikut
ini menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum adalah :11
1. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif.
11
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum(Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2004) h.42
78
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian.
Maka dari itu didalam melaksanakan penegakan hukum produk
impor tanpa label dalam bahasa Indonesia di DKI Jakarta dibutuhkan
penegakan hukum, seperti landasan hukum seperti peraturan perundang-
undangan, di DKI Jakarta landasan hukum terhadap produk impor tanpa
label Bahasa Indonesia diatur didalam:
a) Peraturan Menteri Perdagangan Rapublik Indonesia Nomor 73/M-
DAG/Per/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam
Bahasa Indonesia pada Barang. Di dalam peraturan ini menjelaskan
aturan-aturan mengenai pencantuman label dalam bahasa Indonesia
pada barang.
b) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 2018 Tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Di
dalam peraturan ini menjelaskan cara pengawasan yang dilakukan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia terhadap label dalam
bahasa Indonesia.
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Di dalam Undang-Undang ini sudah mengatur kewajiban
pelaku usaha untuk mencantumkan informasi barang dalam bahasa
Indonesia dan ancaman sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan.
2. Faktor Penegak Hukum
Fungsi Hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik tetapi
kualitas petugas kurang baik akan menjadi masalah dalam melakukan
penegakan hukum. Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
79
Maka dari itu didalam melaksanakan penegakan hukum produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta dibutuhkan kebijakan
dan tindakan dari para lembaga-lembaga yang terkait. Untuk pengawasan
produk barang yang beredar tanpa label dalam bahasa Indonesia di
pasaran, Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia adalah instansi yang terkait untuk mengawasi barang
tersebut.
Semula Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
mempunyai perpanjangan tangan sampai ke Kabupaten Kota tetapi
semenjak adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, dikarenakan dengan adanya Undang-undang yang
mengikat dan Undang-undang yang mengurangi kewenangan Direktorat
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa tidak bisa menyentuh ke semua
atau keseluruh wilayah Indonesia dikarenakan keterbatasan SDM
(Sumber Daya Manusia) yang jumlahnya tidak banyak.
Direktorat Jenderal Pengawasan Barang dan Jasa mengalami
keterbatasan kewenangan, jadi untuk kewenangan di Kabupaten sudah
tidak ada lagi baik untuk pembinaan maupun pengawasan barang
beredar. Kewenangan Kabupaten Kota sudah tidak ada lagi maka
kewenangan ada di tingkat Provinsi, ada di Kementerian Pusat dan
Provinsi.12
Sebagian besar karyawan di Provinsi sudah berusia lanjut yang
mana untuk pengawasan yang sebegitu luasnya mereka juga mengalami
keterbatasan fisik. Rata-rata di Provinsi untuk penerimaan pegawai baru
juga berkurang kapasitasnya dan tidak semua pegawai baru di Provinsi
itu jenjang pendidikannya Strata-1, karena persyaratan untuk menjadi
12
Wawancara dengan Michael Indra Junias,tanggal 12 Oktober 2018 di Direktorat Jenderal
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Inodnesia
80
penyidik adalah Strata-1 karena penyidik dilatih di kepolisian selama dua
bulan di Pusat Pendidikan Reserse dan Kriminal (Pusdik Reskrim) Mega
Mendung untuk lulus dalam status penyidik, PPNS-PK (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen) yang mana mereka bisa
melakukan penegakan hukum.
Karena faktor SDM (Sumber Daya Manusia) untuk penegak
hukum yang melakukan pegawasan jumlahnya terbatas terkait dengan
produk barang yang tidak mencantumkan label dalam Bahasa Indonesia
menjadi permasalahan yang belum ada penyelesaiannya, karena dalam
melakukan pengawasan terhadap peredaran barang impor yang tidak
mencantumkan label dalama bahasa Indonesia membutuhkan banyak
SDM (Sumber Daya Manusia) untuk pemerataan sampai ke daerah
tingkat Kabupaten dan Kota bukan hanya tingkat Provinsi dan Pusat saja.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Fasilitas atau sarana sangat penting untuk mengefektifkan suatu
aturan tertentu.13
Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak
mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar, sehingga
sulit rasanya bisa terwujud penegakan hukum sebagaimana mestinya atau
sebagaimana yang diharapkan.
Maka dari itu didalam melaksanakan penegakan hukum produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta dibutuhkan sarana dan
fasilitas pendukung, di DKI Jakarta sendiri sarana dan fasilitas
pendukung didalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap produk
impor tanpa label Bahasa Indonesia yang dibutuhkan terkait hal tersebut
tidak ada.14
13
Ledy Diana, Penyakit Sosial dan Efektivitas Hukum di Indonesia, (Jurnal Ilmu Hukum,
Vol 2 No.1 Februari,2011),h.153.
14 Wawancara dengan Michael Indra Junias,tanggal 12 Oktober 2018 di Direktorat Jenderal
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
Kementerian Perdagangan Republik Inodnesia
81
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Konsumen di Indonesia banyak yang tidak mengerti atau bisa
dikatakan tidak terlalu pintar dalam hal menggunakan haknya sebagai
konsumen. Dari sekian banyak konsumen yang tidak mengerti akan
haknya sebagai konsumen sering dimanfaatkan kelemahan oleh pelaku
usaha dengan tidak memberikan informasi pada label dalam bahasa
Indonesia yang jelas dan benar akan produk yang mereka produksi.
Maka dari itu didalam pelaksanaan penegakan hukum produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta masih banyak
peredaran dan penjualan produk impor tanpa label Bahasa Indonesia.
Kondisi ini semakin diperburuk karena masyarakat masih apatis terhadap
Undang-undang yang berlaku, dengan lemahnya dan tidak memadainya
pendidikan masyarakat terhadap akibat buruk dari penggunaan barang
yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia.
5. Faktor Budaya
Berdasarkan konsep budaya sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Budaya menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu
mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,
berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian, budaya adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan, dan apa yang dilarang.
82
Adanya perkembangan zaman yang kian pesat pada bidang
perdagangan memungkinkan berbagai jenis barang yang akan masuk ke
wilayah Indonesia dari berbagai macam negara, dengan banyaknya
barang yang masuk ke Indonesia membuat perubahan yang ada di
masyarakat.
Maka dari itu didalam pelaksanaan penegakan hukum produk
impor tanpa label bahasa Indonesia di DKI Jakarta masih banyak
peredaran dan penjualan produk impor tanpa label Bahasa Indonesia
karena produk tersebut memang muncul karena kebiasaan masyarakat,
seperti contohnya ialah penulis telah melakukan observasi di daerah Pluit
Jakarta Utara pada tanggal 14 Agustus 201, disana terdapat toko-toko
kelontong menjual beraneka macam makanan dan juga barang yang
menjual produk dari China, seperti produk elektronik, keperluan rumah
tangga, dan makanan. Produk yang dijual merupakan produk yang
langsung diimpor dari China, terdapat banyak produk impor yang tidak
memenuhi syarat yaitu tidak mencantumkan label dalam bahasa
Indonesia.
Hal tersebut muncul dikarenakan kebudayaan masyarakat
keturunan China di Indonesia yang membutuhkan produk-produk impor
dari China untuk memenuhi kebutuhan kehidupan mereka. Dan juga
karena rata-rata dari yang membutuhkan produk tersebut paham bahasa
China maka dari itu mereka tidak mempermasalahkan produk impor yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengawasan yang dilakukan merupakan salah satu upaya untuk
memberikan perlindungan konsumen sekaligus menumbuhkan kesadaran dan
tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi dan memperdagangkan
produk barang. Maka untuk melaksanakan pengawasan dengan baik
dikeluarkan peraturan Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
Indonesia pada Barang sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015. Pemerintah berharap hal ini dapat
mengurangi beredarnya produk impor yang tidak mencantumkan label dalam
bahasa Indonesia pada barang.
Pemerintah sendiri sudah melakukan pengawasan di pasar dengan
memberi wewenang kepada Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia untuk memantau keadaan produk barang
dengan melakukan pengamatan, pengujian, penelitian dan survei terhadap
barang impor yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia
dipasaran. Pengawasan ini dilakukan atas pedoman Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa.
Pengawasan peredaran produk impor yang tidak mencantumkan label
dalam bahasa Indonesia oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
belum dapat dikatakan sudah efektif. Masih terdapatnya produk impor yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yang beredar bebas di
Indonesia terutama di DKI Jakarta. Belum efektifnya pengawasan dari
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia terhadap produk impor yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yang beredar dipasaran
tersebut dapat merugikan konsumen, sehingga perlindungan terhadap
84
konsumen yang menjadi cita-cita yang ingin dicapai oleh peraturan
perundang-undangan menjadi tidak terwujud.
Sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak mencantumkan label
dalam bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 63 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha yang
melanggar akan dikenakan sanksi perampasan barang tertentu, pengumuman
keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban
penarikan barang dari peredaran, pencabutan izin usaha.
Selain sanksi administratif, pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat 1 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 Ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 Ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e
Ayat 2 dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah).
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia dalam pengawasan terhadap peredaran produk impor
yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yaitu
keterbatasannya SDM (Sumber Daya Manusia) dari Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia untuk pengawasan barang beredar. Jumlah
SDM (Sumber Daya Manusia) yang terbatas ini tentu mempengaruhi
pelaksanaan tugas pengawasan dari Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia, ditambah lagi dengan dibatasinya kewenangan pengawasan yang
mana kewenangan tingkat Kabupaten atau Kota sudah tidak ada lagi, maka
kewenangan pengawasan hanya ada di tingkat Provinsi dan Pusat. Sehingga,
hal ini akan berpengaruh pada intensitas pengawasan yang rendah ataupun
lingkup pengawasan barang yang lebih sempit.
Hal ini terjadi dikarenakan masih rendahnya kesadaran masyarakat
selaku konsumen untuk melakukan pengaduan atau laporan kepada
85
pemerintah ataupun Lembaga Perlindunga Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM), terkait adanya produk impor yang tidak mencantumkan label
bahasa Indonesia pada barang.
B. Rekomendasi
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-
DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia
pada Barang untuk memberikan perlindungan konsumen sekaligus menumbuhkan
kesadaran dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi dan
memperdagangkan produk barang. Namun hal ini harus juga disertai beberapa
langkah untuk mengedukasi masyarakat agar memilih barang yang mencantumkan
label dalam bahasa Indonesia yang beredar di pasar secara teliti dan bukan karena
harganya yang murah saja. Dan harus dihimbau pula kepada pelaku usaha, untuk
tidak memasarkan barang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh konsumen, pelaku usaha, maupun
pemerintah yaitu :
1. Bagi konsumen hendaknya selalu berhati-hati terhadap produk barang
impor yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia yang akan
dibeli untuk menghindari timbulnya kerugian, yaitu dengan membeli
produk barang yang memiliki label dalam bahasa Indonesia. Dan
dibutuhkan peran serta masyarakat selaku konsumen untuk mengatasi
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak patuh dengan
ketentuan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dapat membantu
aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah tersebut, masyarakat
diharapkan dapat bekerja sama denga aparat penegak hukum agar
terciptanya kedamaian dan keadilan.
2. Bagi pelaku usaha hendaknya tidak hanya memikirkan keuntungan
semata, tetapi juga memperhatikan syarat dan ketentuan mengenai
pelabelan serta memperhatikan pemenuhan hak-hak konsumen
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat 1 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha selaku
importir seharusnya tidak memproduksi serta menjual barang impor yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia karena hal ini dapat
86
dikenai sanksi pidana maupun sanksi administratif dari negara. Selain itu
peredaran barang impor yang tidak mencantumkan label bahasa
Indonesia juga dapat merugikan masyarakat yang membeli barang
tersebut.
3. Pemerintah sudah menerapkan sistem label dalam bahasa Indonesia pada
barang impor, hal ini juga secara tidak langsung menjaga kualitas produk
yang beredar di pasar serta membuat konsumen tidak dirugikan oleh
produk impor yang tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia.
Namun hal ini masih belum mendapatkan pengawasan baik karena masih
banyak barang impor yang beredar tanpa label dalam bahasa Indonesia.
Juga dikarenakan SDM (Sumber Daya Manusia) di Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia khususnya Direktorat Peredaran Barang
Beredar dan Jasa, penulis mendorong legislator agar dapat merevisi Pasal
13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah terkait dibatasinya kewenangan pengawasan yang mana
kewenangan pengawasan hanya ada di tingkat Provinsi dan Pusat.
Penulis berpendapat sebaiknya untuk mengatasi permasalahan yang ada
dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran barang impor yang
tidak mencantumkan label dalam bahasa Indonesia, maka diperlukan
adanya penambahan SDM (Sumber Daya Manusia) pada Direktorat
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Direktorat Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia.
87
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Buku
Amir, MS, Ekspor-Impor Teori dan Penerapannya, Jakarta, PT. Binaman
Pressindo PPM, 2003.
Bambang, Purwanggono, Pengantar Standarisasi, Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional, 2009.
Bambang, Semedi Pengawasan Kepabeanan, Jakarta: Widyaiswara Pusdiklat
Bea dan Cukai, 2013.
Burhan, Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafik, 2011.
Chairuman Pasaribu dan Suwahardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
Sinar grafika, Jakarta, 2009.
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: Mandar Maju, 2000.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
Bayu Media, 2005.
Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran, Jakarta: Prenhallindo, 2000.
Marinus, Angipora, Dasar-Dasar Pemasaran, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
Sari Manihuruk, Tri Novita, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Phedofilia di Wilayah Hukum Polisi Resor Kota Pekanbaru”, Skripsi
S1, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Riau, 2015.
Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, Metodelogi Penelitian, Bandung:
Mandar Maju, 2002.
Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006.
88
Soekanto, Soejono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Soekanto, Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Rajawali, 1985.
Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan
Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi
Universitas Indonesia, 1979.
Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Kepabeanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Swastha, Basu, Asas-Asas Marketing, Yogyakarta: Liberty,1984.
Tim Penyusun, Pengantar Standarisasi, Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional, 2009.
Zainal, Abidin Modul Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai, 2011.
Bahan Jurnal
Diana, Ledy, Penyakit Sosial dan Efektivitas Hukum di Indonesia, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol 2 No.1 Februari, 2011.
M. Ali, Purwito Kepabeanan dan Cukai Lalu Lintas Barang, Konsep dan
Aplikasinya, Jakarta: Cetakan Keempat, Kajian Hukum fiscal FHUI,
2010.
Tim Penyusun Departemen Luar Negeri, Cetak Biru Komunitas Ekonomi
ASEAN” ASEAN Economic Blue Print
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2015
Tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada
Barang
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2018
tentang Pengawasan Barang Beredar dan Jasa