pengaruh tradisi lokal dalam tata cara...
TRANSCRIPT
PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA
IBADAH AGAMA CINA
(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)
Disusun Oleh:
RUQOIDAH
NIM: 102032124646
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA
IBADAH AGAMA CINA
(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)
Oleh:
RUQOIDAH
NIM: 102032124646
Di bawah bimbingan,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA
NIP: 150 273 478
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQOSYAH
Skripsi yang berjudul Pengaruh Tradisi Lokal dalam Tata Cara Ibadah
agama Cina (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio, di lingkungan komunitas Cina
Benteng, Tangerang), telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2008. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Strata
1 (S-1) pada jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 6 Januari 2009
Sidang Munaqosyah
Ketua Sekretaris
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Maulana,MA.
NIP: 150 326 915 NIP: 150 293 221
Anggota,
Penguji I Penguji II
Siti Nadroh, MA. Saiful Azmi, MA.
NIP: 150 282 310 NIP: 150 282 397
Pembimbing,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA.
NIP: 150 273 478
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke
Hadirat Allah SWT. Tidak ada kekuatan apa pun dalam diri ini, selain Karunia dan
Ridho-Nya. Dan karena anugerah-Nya lah , penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan judul : “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH
AGAMA CINA (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Komunitas Cina
Benteng, Tangerang)”, shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada sumber
inspirasi umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan bagi
seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan
skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan Penulis, dan diwarnai dengan
berbagai cobaan, tantangan dan penuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, tidak
berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. A. Dasuki Mahmud dan Hj. Marwiyah, atas
semua pengorbanan, kesabaran, support dan kasih sayang yang tiada terperih,
baik berupa moril mau pun materiil, serta doa yang tidak pernah putus sepanjang
masa untuk keberhasilan dan kesuksesan studi Penulis.
2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
univerasitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beserta staff dan
jajarannya.
3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Agama dan
Bapak Maulana, MA., selaku sekretaris Perbandingan Agama.
4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA., terima kasih yang setulusnya kepada bapak
atas kesabaran yang sangat luar biasa dan telah bersedia meluangkan waktu untuk
mengoreksi san memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. Tanpa pengarahan
dan kritikan yang telah bapak berikan, skripsi ini tidak akan pernah selesai.
5. Bapak Agus Darmaji, M.Fils., sebagai ketua dalam sidang Munaqosyah dan
Bapak Maulana, MA., sebagai sekretaris Sidang Munaqosyah. Penulis ucapkan
banyak terima kasih atas kesediaannya untuk memimpin dan turut memberi nilai
dalam Sidang Skripsi Penulis pada tanggal 18 November 2008.
6. Ibu Siti Nadroh, MA., dan Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Pengguji I dan II
dalam sidang Munaqosyah Penulis.
7. Bapak Eva Nugraha, MA., yang telah membimbing saat KKN di Desa Cinangsih,
Tasikmalaya, mau pun setelah KKN. Begitu banyak ilmu dan pengalaman yang
bapak berikan kepada Penulis dan teman-teman KKN IKHLAS. Terima kasih
juga Penulis sampaikan atas budi baik bapak dan keluarga yang selalu
meluangkan waktu dan menyediakan tempat ketika teman-teman KKN IKHLAS
berkumpul. Semoga Allah SWT membalasnya.
8. Para dosen yang telah memberikan ilmu kepada Penulis di Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, baik secara langsung mau pun tidak langsung, selama Penulis
menjalani perkuliahan di kampus tercinta.
9. Bapak Oey Tjin Eng, tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas kerelaan waktu, tenaga dan pikirannya. Juga atas
kesediaan bapak menjadi Informan Kunci dalam penulisan skripsi Penulis dengan
penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dibalas dengan semestinya dan
keberkahan serta kesehatan selalu menyertai bapak.
10. Warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat (komunitas Cina Benteng)
yang telah bersedia manjadi responden dan dapat mengisi questioner untuk
memperkuat pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
11. Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dengan cukup
lengkap, sehingga dapat mempermudah Mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas kuliah.
12. Keluarga besar kakak-kakak Penulis, ka’ Yayah, yang selalu memberikan
motivasi belajar dan membimbing dengan sabar sejak awal Penulis duduk di
bangku Sekolah Dasar sampai kuliah sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi
S-1 ini. Terlalu banyak yang sudah ka’ Yayah berikan kepada Penulis, semua itu
tidak mungin terwujud tanpa dorongan dan bantuan ka’ Yayah. Dan ka’ Ali yang
telah memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi
ini. Ka’ Mimi, A Ujer, ka’ Nja, ka’ Robi, ka’ Hasbi, ka’ Irma, ka’ Wiwi, bang
Dilah, Sahid, dan adik-adik Penulis, Uut dan Nding, yang tidak pernah lelah
menanyakan penyelesaian skripsi ini dan memberikan semangat agar cepat-cepat
menyelesaikan studi S-1 ini.
13. Keponakan-keponakan Penulis, Reza, Ulya, Sefi, Jamil, Mikhail, neng Sarah,
Aufan, Zaki, Nayla dan Sabrina, yang selalu membuat Penulis tertawa di sela-sela
kepenatan mendera saat mengerjakan skripsi.
14. Hamami Nashirudin, S.Sos., Curahan tenaga, pikiran dan waktu yang diberikan
demi kelancaran penyelesaian skripsi ini sangat berarti dan yang sangat berkesan,
hanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan semuanya.
15. Keluarga besar Bapak H. Tri Suheri dan Ibu Hj. Iroh Masturoh. Mba Ida, Mas
Boy dan Angga, semua ini tak lepas dari doa kalian semua. Terima kasih atas doa
dan dukungannya selama penulisan skripsi ini hingga Penulis dapat
menyelesaikannya walau dengan kurun waktu yang sangat lama.
16. Kawan-kawan seperjuangan di kelas Perbandingan Agama “Angkatan 2002”.
Nunu, Yeyeh, Sahal, Acun, Desi, Phei, Parida, Mia, Abew, MC, jeng Tati, mba
Eni, dan semua teman-teman yang tak dapat ditulis satu-persatu.
17. Kawan-kawan KKN IKHLAS 2005, Desi, Puji, Abew, MC, Adam, Amsari,
Aisyah, Norma, mpo Dhinul, Mely, Ida, Iwan, Ade, Sri, Nurur dan Anwari.
Pengalaman KKN bersama kalian selalu membuatku rindu. Semoga kebersamaan
kita akan selalu terjaga.
18. Teman-teman di MAN 1 Tangerang. Umroh, Dedeh, Elisa. Terima kasih untuk
nasehat dan dukungan semangat kepada Penulis. Tak lupa untuk teman-teman
Gatress lainnya: Yani, Atun, Eva, Iyom, Ina, Eni, Oom, dan Leni. I miss you all.
19. Teman-teman di Semanggi, Ical yang telah memberikan saran dan nasehatnya.
Ayik, terima kasih atas kritik dan saran yang sudah diberikan dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima
segala kebaikan dan ketulusan mereka. Terakhir, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan dapat menambah khasanah dalam keilmuan kita semua. Amin.
Jakarta, 18 Nopember 2008
Penulis
Ruqoidah
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………….... i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………. iii
MOTTO ………………………………………………………………………………. iv
DEDIKASI …………………………………………………………………………. .. v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… ix
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1-14
A. Latar belakang Penulisan ………………………………………….. 1
B. Perumusan masalah ………………………………………………... 9
C. Pembatasan Masalah .……………………………………………… 9
D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan …………………….. 10
E. Kerangka dan Kajian Teori ……………………………………… 11
1. Tradisi Lokal …………………………………………….. 11
2. Praktek Agama …………………………………………... 12
3. Keramat ………………………………………………….. 14
F. Sistematika penulisan …………………………………………..... 14
BAB II. GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG ……… 16-30
A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk ……………………..…. 16
B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng ……….. …... 20
C. Sistem Kekerabatan ……………………………………………… 23
D. Kawin Campur (Integrasi) ……………………………………….. 24
E. Mata Pencaharian ………………………………………………… 26
F. Bahasa …………………………………………………………… 28
BAB III. PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA
BENTENG ....……………………………………………………… 31-39
A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal ………………… 33
B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakt Lokal ……………………. 37
BAB IV. PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH
CHUN ……………………………………………………………… 40-51
A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan
dalam Upacara serta Simbolisasinya ……..……………………… 40
B. Tata Cara ………………………………………………………… 43
C. Perhitungan Waktu Pelaksanaan ………………………………… 46
D. Tujuan dan Manfaat …………………………………………….. 48
E. Analisis Kritis …………………………………………………… 48
BAB V. PENUTUP ………………………………………………………… 52-55
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 52
B. Saran-saran …………………………………………………….... 54
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 56-58
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Tiongkok, atau Chung-kuo dalam bahasa Mandarin, artinya Negara Tengah.
Nama ini baru populer sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama setelah lahirnya
Republik Tiongkok pada tahun 1912.1 Negara Cina memiliki jumlah penduduk terbesar
di seluruh dunia, sekalipun program Keluarga Berencana dianjurkan. Sejak beberapa
ratus tahun sebelum masehi, peradaban Cina telah tumbuh dan berkembang dengan pesat
dalam bentuk kebudayaan masyarakat. Mulai dari fisik arsitektur bangunan, administrasi
pembangunan hingga tradisi spiritual dan agama. Dalam sejarah peradaban dunia,
masyarakat Cina dikenal dengan kebudayaannya yang sampai saat ini masih kental.
Ajaran-ajaran spiritual seperti Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme dipercayai secara
luas oleh masyarakat Cina. Begitu kuatnya masyarakat memegang teguh tradisi spiritual
itu, berbagai praktek keagamaan tetap terpelihara sejak awal masuk ke negara Indonesia
sampai saat ini dan telah mewarnai kehidupan masyarakat Cina perantauan di Indonesia.
Kehidupan keagamaan komunitas Cina perantauan juga menggambarkan
fenomena ini. Meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat setempat, meskipun kehidupan mereka senantiasa dilandasi suatu upaya
memelihara kepercayaan tradisi yang diperoleh dari negara asalnya.
Keberadaan Cina sebagai etnis minoritas di Indonesia dengan berbagai
permasalahannya, sering disorot secara umum. Mereka dikelompokkan sebagai suatu
etnis yang memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah, seperti
1 Ensiklopedi Indonesia, jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, hlm. 3561.
komunitas Cina yang tinggal di Sumatra Barat, Medan, Pontianak, Surabaya, Tangerang
dan daerah-daerah lainnya yang tersebar di Indonesia. Perbedaan ini bisa jadi karena
pengaruh pada saat waktu kedatangan, perbedaan daerah asal, dialek bahasa, pekerjaan,
pendidikan, budaya serta adat istiadat daerah tempat tinggal mereka yang baru.2
Bahkan dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas
mengatakan “Khonghucu bukan Cina”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi
tidak jelas. Namun, akhirnya pada zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid
(Gusdur), agama Khonghucu mulai mendapat ketenangan. Hal ini dapat di lihat dari
pertemuan Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh agama di Bali pada bulan Oktober
1999, dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing pada November 1999.
ketenangan yang merupakan angin segar bagi pemeluk agama Khonghucu ini tidak
pernah dijumpai pada zaman Orde Baru. Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah
mulai mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datangnya dari
presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut Gusdur,3 sebuah agama dapat
dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupi agama
bukan jaminan pemerintah, tapi hati manusia. 4
Dalam Ensiklopedi Indonesia,5 dikatakan bahwa peranakan Tionghoa yang hidup
di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen,6 dan kompleks. Secara kultural,
mereka terbagi atas: peranakan, yaitu Tionghoa yang berbahasa daerah sebesar 55% dan
lahir di tanah Indonesia. Peranakan yang dimaksud bukan hanya dalam artian biologis
2 Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. xiii.
3 Nama panggilan dari Abdurrahman Wahid (presiden ke-4 Republik Indonesia) 4 M. Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2000, hlm. 105-106.
5 Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, hlm. 3560.
6 Terdiri atas berbagai unsur yang berbeda, bervariasi, beraneka ragam. Lihat Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Media Centre, hlm. 254.
saja tetapi juga dalam arti kebudayaan. Di rumah, mereka memakai bahasa sehari-hari di
mana mereka tinggal, misalnya di Jawa, mereka memakai Bahasa Jawa, begitu juga
komunitas Cina Peranakan yang tinggal di Tangerang. Kebanyakan dari mereka tidak
bisa menggunakan bahasa Cina. Adat istiadat mereka juga tidak sepenuhnya Cina, tetapi
mereka telah mengambil adat istiadat daerah setempat,7 dan komunitas Cina Totok, yaitu
komunitas Cina yang berbahasa Cina sebanyak 45%, mereka sangat memegang teguh
adat istiadat Cina. Oleh sebab itu, komunitas Cina pun menganut kepercayaan yang
berbeda-beda, seperti: Budha, Tao, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, Sam Kauw (Tri
Dharma) dan kebatinan.
Menelusuri jalan kehidupan sebagian dari penduduk Negeri Cina yang ingin
mengadu nasib di “negeri seberang”, maka sampailah beribu-ribu orang dalam waktu
puluhan tahun ke berbagai kawasan. Kisah keberanian suatu generasi yang mendobrak
keadaan untuk mengubah nasib keturunannya itu kemudian terangkai dalam kisah
bagaimana kaum pendatang berintegrasi dengan dunia barunya. Di Indonesia, Kaum
pendatang dari Cina itu cukup banyak sumbangsihnya dalam mengembangkan
perkebunan dan teknologi. Tanpa terasa kaum pendatang melebur melalui budaya,
teknologi, kuliner dan perkawinan dengan masyarakat pribumi.8
Meja leluhur adalah suatu ajaran Cina yang masih dipertahankan oleh masyarakat
Cina peranakan, tetapi dengan berbagai sifat yang sama sekali bukan adat Cina. Seperti
yang diketahui bahwa kebudayaan di Tiongkok 100% patrilokaal.9 Hal itu juga terlihat
7 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 35. 8 Pribumi: Penduduk asli suatu wilayah. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre,
hlm. 428.
9 Patrilokaal, patriarkat. Susunan masyarakat menurut garis bapak. Istilah yang menunjukkan ciri-
ciri tertentu pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh
kaum laki-laki yang tertua. Hukum keturunan dalam patriarkat dalam menurut garis bapak. Nama, harta,
pada meja sembahyang leluhur, ajaran yang paling penting bagi mereka. Di meja
sembahyang tidak diperbolehkan adanya sin-ci,10
pihak perempuan, namun di Jawa
larangan tersebut diabaikan.
Hari raya Ywan Yang, ialah hari suci bersujud ke hadirat Thia Yang Maha Esa
yang telah dilakukan umat Khonghucu sejak zaman purbakala. Kata Twan Yang berasal
dari bahasa Hokkian, Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau
sumber, dan Yang artinya sifat positif atau matahari; jadi Twan Yang ialah matahari yang
memancarkan cahaya paling keras atau terang. Hari raya ini juga disebut Twan Ngo.
Ngo, artinya saat antara pukul 11:00–13:00; jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat
tengah hari. Saat itulah pada perayaan Peh Chun, matahai benar-benar melambangkan
curahnya Rahmat Tuhan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cahaya
mataharimerupakan sumber kehidupan, lambing rahmat dan Kemurahan Thian atas
manusia dan segenap makhluk hidup.
Perayaan Peh Chun ialah waktunya untuk bersuci, bersujud, menyampaikan
sembah dan syukur kepada Thian. Perayaan ini dipercaya sebagai hari yang tepat untuk
memohon kapada Thian, dan mayarakat Cina percaya bahwa ramuan obat-obatanyang
dipetik pada saat hari itu akan lebih berkhasiat. Mereka pun percaya bahwa telur ayam
dapat berdiri tegak pada pukul 11:00-13:00, hal ini dikarenakan posisi matahari yang
tegak lurus. Peh Chun juga dapat diartikan merengkuh dayung atau beratus perahu,
milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariska kepada laki-laki. Lihat Ensiklopedi Indonesia jilid
5, hlm. 2585. Patrilokaal (Bel.): menetap di rumah pihak keluarga suami setelah menikah.
10 Sin-ci (Hok.): sebuah papan penghormatan terhadap orang yang sangat dihormati -terutama
keluarga- yang telah meninggal dunia. Papan itu terdiri dari dua lapis. Lapis luar berisi informasi tentang orang yang dihormati, terutama jenis kelaminnya, nama resmi atau nama jabatan, jabatan semasa hidup
(bila ada), nama keturunan (anak, cucu dan buyut)-nya. Lapis dalam, berisi informasi khusus yang bersifat
pribadi, seperti nama kecil, tentang kelahiran (jam tanggal, bulan dan tahun) dan tentang beberapa hal
kematiannya (jam, tanggal, bulan, tahun, letak makam dan arah hadap makam menurut peritungan
fengshui).
karena pada hari itu sering diadakan perlombaan perahu. Mengenai perlombaan perahu
itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang di zaman Cian Kok di negeri
Cho, yang kisahnya sebagai berikut:
“Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman peperangan (403-231 SM) sudah
tidak berarti lagi sebagai Negara pusat. Pada zaman itu, ada tujuh negara besar. Ketujuh
negara itu ialah Negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi, Cho dan Chien. Negeri Chien adalah
negeri yang paling dan agresif, maka enam Negara lainnya itu sering bersekutu untuk
bersama-sama menghadapi Negeri Chien. Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan
setia dari Negeri Cho, beliau seorang tokoh yang Cho paling berhasil menyatulkan
keenam negeri itu untuk menghadapi Negeri Chien. Oleh sebab itu, orang-orang Negeri
Chien terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan
raja negeri Cho, Cho Hwai Ong.
Di negeri Cho ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti
Khongcu Lan, Siangkwan Taihu, Khien Sieng dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang
itu, Tio Gi, seorang menteri dari Negeri Chien yang cerdik dan licik telah berhasil
meretakkan dan merenggangkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho. Khut
Gwan dipecat dari persatuan keenam negeri itu. Bahkan Cho Hwai Ong, tebujuk dengan
janji-janji ynag menyenangkan, dan dating ke Negeri Chien untuk memenuhi undangan.
Sesampainya di sana, Cho Hwai Ong ditawan dan baru menyesali perbuatannya.
Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan
kepada Khut Gwan. Keenam negeri tadi pun dapat dipersatukan kembali walaupun tidak
sekokoh dahulu. Pada 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien
dihancurkan dan dibinasakan 240.000 orang rakyatnya. Dengan adanya peristiwa tesebut,
Khut Gwan kembali difitnah akan membawa negeri Cho mengalami nasib seperti Negeri
Han dan Gwi. Akhirnya Khut Gwan dipecat kembali dan dibuang ke daerah danau Tong
Ting, dekat sungai Bik Loo. Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan sering merasa
kesepian dan jenuh.
Pada saat itu, beliau berkenalan dngan seorang nelayan. Orang itu pandai
menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu (bapak nelayan). Dengan
Gi Hu ini Khut Gwan mendapat teman bicara meskipun pandangan hidupnyabtdak
sepaham. Di sana, Khut Gwan dikejutkan dengan berita hancurnya ibukota negeri Cho,
tempat bio leluhurnya itu diserbu oleh orang-orang negeri Chien.
Hal itu membuat Khut Gwan merasa kehidupannya tidak berari lagi. Suatu ketika,
di saat hari raya Twan Yang, Khut Gwan mendayung perahunya ke tengah sungai Bik
Loo, sambil dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitar, yang
isinya mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Setelah sampai di tempat yang
sudah sangat jauh dari kerumunan orang itu, Khut Gwan menenggelamkan dirinya ke
dalam sungai yang deras alirannya. Beberapa orang yang mengetahui kejadian itu segera
berusaha menolong, tetapi hasinya nihil, jenazahnya tidak ditemukan. Gi Hu, seorang
nelayan yang berkawan dengan Khut Gwan mengerahkan kawan-kawannya untuk
mencari, tetapi hasilnya sia-sia belaka.”11
11 MATAKIN, Tata Agama dan Laksana Upacara Agama Khonghucu, hlm. 71-73.
Demikianlah, kematian Khut Gwan tidak sia-sia, kematian itu mampu
menggerakkan hati rakyat kepada cinta yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu
yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan.
Diadakannya perlombaanperahu yang dihiasi gambargambar naga (liong), mengingatkan
usaha mencari jenazah Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu
dari negeri Cho itu. Di Kota Tangerang, pada hari suci Twan Yang, disamping
mengadakan perlombaan Perahu (Peh Chun), komunitas Cina Benteng juga mengadakan
Upacara pemandian Perahu. Dan upacara ini hanya dilakukan oleh komunitas Cina
lainnya, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, bahkan di negeri Tiongkok sendiri
tidak ada upacara pemandian perahu yang dikeramatkan pada hari perayaan Peh Chun.
Mengenai kronologi perahu ini di keramtkan, berawal pada sekitar tahun 1850,
ketika nenek buyut Rudi A. Kuhu menemukan potongan kayu yang merupakankayu
bekas kapal yang hanyut terbawa arus dan melewati Sungai Cisadane. Potongan kayu itu
akan dijadikan kayu bakar karena masyarakat Tangerang pada saat itu masih
menggunakan kayu untuk memasak. Setelah beberapa hari setelah kayu itu dijemur,
nenek buyut Rudi A. Kuhu bermimpi, bahwa kayu itu memohon agar dirawat dan jangan
dijadikan kayu bakar.
Nenek buyut Rudi A. Kuhu percaya, jika menyimpan dan merawat kayu tersebut,
maka ia akan selamat dan terhindar dari bahaya. Karena itulah, nenek membangun
sebuah tempat untuk menyimpan potongan kayu itu di daerah Karawaci. Tempat
penyimpanan perahu itu awalnya hanya berupa gubug yang sederhana, namun dengan
berjalannya perkembangan zaman bangunan itu direnovasi sehingga menkjadi lebih
bagus.
Kemudian sekitar tahun 1900, seorang Kapitan yang bernama Oey Khe Tay
membuat perahu papak hijau dan dua tahun kemudian (tahun 1902), para hartawan dan
dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu gang Kalipasir,
gang Tengah (Cilangkap) dan gang Gula (Cirarab)membuat perahu papak merah untuk
disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Pada perayaan Peh Chun tahun 1911,
saat perlombaan perahu papak hijau dan perahu papah merah, ada getek (rakit) yang
melintang di tengah sungai, sehinga perahu papak hijau menabrak dan terpantal hingga
jatuh di atas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah
pada bagian tengah badan perahu.
Perahu papak hijau yang terbelah menjadi dua itu kemudian disimpan dan
disatukan dengan potongan kayu yang ditemukan nenek buyut Rudi A. Kuhu di kawasan
Karawaci. Walaupun perahu itu telah terbelah dua, komunitas Cina Benteng tetap
merawatnya, dan menganggap perahu tersebut adalah perahu yang keramat. Mereka juga
percaya bahwa jika mereka tidak merawat potongan kayu dan perahu itu, maka kampung
halaman mereka akan tertimpa musibah. Dari cerita itulah, masyarakat Cina Benteng
menganggap perahu itu sebagai perahu yang keramat.
Tidak hanya pendatang dari Cina saja yang memberikan sumbangsih terhadap
masyarakat Indonesia yang didiami oleh mereka, para pendatang itu pun mendapat
sumbangsih melalui berbagai elemen, termasuk dalam bidang bahasa, budaya dan tata
cara ibadahnya. Bahkan, tata cara ibadah dalam agama Cina telah mengalami akulturasi.
Hal ini terlihat pada tradisi mengkeramatkan suatu benda yang biasanya dilakukan oleh
masyarakat lokal, pada perahu keramat ini, dilakuakn oleh komunitas Cina Benteng,
padahal dalam tardisi Cina itu sendiri tidak mengenal keramat. Masalah akulturasi inilah
yang menjadi bahan pertimbangan Penulis dalam penulisan skripsi ini.
Tujuan Penulis membahas skripsi yang berjudul “PENGARUH TRADISI
LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA” (Studi Kasus Kelenteng
Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang) ini, untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai tradisi masyarakat lokal yang juga dipakai atau dilakukan oleh
masyarakat Cina Benteng, khususnya mengenai pemandian perahu keramat dalam
upacara Peh Chun. Dan seberapa besar pengaruh tradisi setempat terhadap peribadatan
agama Cina dalam kelenteng tersebut. Penulis juga ingin mendeskripsikan tradisi
keagamaan yang dijalankan oleh komunitas Cina Benteng. Mengenai pemilihan terhadap
lokasi Boen Tek Bio ini berawal dari pertimbangan bahwa tempat ini merupakan suatu
kelenteng tertua di kawasan Tangerang dan Kelenteng Boen Tek Bio ini memiliki hak
otonom dalam pelaksanaan upacara pemandian perahu keramat ini.
B. Perumusan Masalah
Komunitas Cina di berbagai daerah, masing-masing memiliki karakteristik
tertentu. Komunitas Cina Benteng di Tangerang memiliki karakteristik yang berbeda
dengan komunitas Cina lainnya, seperti yang terlihat dari segi bahasa, warna kulit,
kesenian, mata pencaharian dan juga ada perayaan-perayaan tertentu yang hanya ada di
Tangerang ini. Mengingat luasnya jarak dan waktu antara tradisi Cina asal dengan
kebudayaan lokal, maka Penulis merumuskan masalah skripsi ini, sebagai berikut:
1. Apakah ada tradisi lokal yang mempengaruhi tata cara ibadah komunitas Cina
Benteng, khususnya mengenai pengkeramatan suatu benda (perahu)?
2. Mengapa perahu itu dikeramatkan oleh komunitas Cina Benteng?
C. Pembatasan Masalah
Praktek ibadah dalam agama Cina begitu banyak. Agar tidak menyimpang dari
pokok pembahasan, maka Penulis membatasi pada masalah, “Pengaruh Tradisi Lokal
dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina, khususnya komunitas Cina Benteng di Kelenteng
Boen Tek Bio, Tangerang, dengan memfokuskan pada proses akulturasi antara tradisi
lokal terhadap upacara agama Cina, dalam hal ini pemandian perahu keramat.
D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan pendekatan:
1. Penelitian Kepustakaan (Library Researcah), Penulis mengumpulkan dan
membaca bahan dari berbagai buku, majalah, koran dan literatur lainnya. Setelah
mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber tersebut, Penulis mengadakan
studi perbandingan terhadap tulisan-tulisan yang kemudian diambil satu
kesimpulan.
2. Penelitian Lapangan (Field Research), dalam metode ini Penulis meneliti dan
datang ke objek-objek terkait dengan pendekatan dan mengadakan observasi baik
langsung maupun tidak langsung. Hal ini untuk mengetahui aspek lokalitas
Kelenteng Boen Tek Bio dan tempat penyelenggaraan upacara pemandian perahu
keramat dalam bingkai dinamika komunitas Cina Benteng. Penelitian lapangan ini
bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang,
dan juga mempelajari interaksi dua kelompok. Dalam penelitian lapangan ini,
Penulis melakukan interview, yaitu Tanya jawab dengan pihak terkait yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain interview, Penulis juga
menyebar questioner dan yang berperan sebagai respondennya, yaitu beberapa
warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat atau yang disebut komunitas
Cina Benteng, tepatnya jl. Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang.
3. Antropologi, istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, Anthropos, yang
berarti ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia, dengan
mempelajari tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat,
kepercayaan pada masa lampau, masyarakat, dan kebudayaannya. Pendekatan
Antropologi ini dilakukan sebagai upaya untuk menunjang Penelitian
Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).
Berkaitan dengan tehnik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang dijadikan
pedoman di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yaitu “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta”, yang
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, dengan
penyesuaian yang diperlukan.
E. Kerangka dan Kajian Teori
1. Tradisi Lokal
Pengertian dan Fungsi Tradisi Lokal
Kata tradisi menurut Ensiklopedi Indonesia berasal dari bahasa latin, “tradition”,
yang artinya kabar, penerusan. Hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa
lampau mengenai adat, bahasa, tata kemasyarakatan, keyakinan dan lain sebagainya,
maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering kali
proses penerusan terjadi tanpa dipertanyaka sama sekali, khususnya dalam masyarakat
tertutup. Di mana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan paling baik diambil alih
begitu saja. Memang, tidak ada kehidupan menusia tanpa suatu tradisi. Bahasa daerah
yang dipakai, dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang.12
Sedangkan kata lokal juga berasal dari bahasa latin, “locus” yang artinya tempat.
Lokal merupakan ruang yang jelas, suatu daerah setempat. Jadi, pengertian tradisi lokal
dapat diartikan sebagai adanya kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang
dijalankan oleh masyarakat yang tinggal di suatu tempat atau daerah tertentu.
2. Upacara atau Ritual
Pengertian dan Fungsi Upacara atau Ritual
Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan peringatan
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia
untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka memperingati hari-hari bersejarah yang
dipimpin oleh pemimpin tertinggi dalam suatu organisasi atau biasa disebut dengan
12 Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, hlm. 3608.
upacara suci. Religi dan upacara merupakan suatu unsur dalam kehidupan manusia di
dunia.13
Sedangkan kata upacara atau ritual berakar daru dua suku kata, yaitu upa dan
cara. Upa artinya mendekat. Dan cara berakar dari urutan car yang memiliki arti
harmonis, seimbang, selaras. Upacara artinya keseimbangan, keharmonisan dan
keselarasan dalam hidup akan mendekatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.14
Dapat
dikatakan, upacara adalah suatu permohonan dalam pemujaan berterima kasih atau
pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan-kekuasaan leluhur yang menggenggam
kehidupan manusia dalam tangannya. Dan fungsi dari upacara adalah sebagai alat
komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus
ditaati.
Peranan upacara juga dapat dikatakan agar selalu mengingatkan manusia
berkenaan dengan eksistensi,15
dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya
upacara, suatu masyarakat tidak hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk
menggunakan symbol-simbol yang bersifat abstrak,16
yang berada pada tingkat
pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secara
rutin (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif,17
dan
yang nyata menjadi kabur, dan upacara-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya
13 Ali Lukman dan kawan-kawan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Depdikbud, 1996, hlm. 25.
14 Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna FilosofisUpacara dan Upakara, Surabaya: Paramita,
2004, hlm. 46. 15 Eksistensi: keberadaan, adanya. Lihat Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta:
Media Centre, hlm. 197.
16 Abstrak: tidak berwujud, tidak berbentuk, tidak dapat dijangkau oleh panca indera.
17 Imajinatif: bersifat khayal; imajinasi:daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar-
gambar, karangan dan lain-lain.
bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi
sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata.18
Upacara merupakan suatu perwujudan dari atau agama yang memerlukan studi
dan analisa yang khusus. Upacara agama, yang bersama-sama mempunyai fungsi sosial
untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu agama memang
menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh,
tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi
mereka tidak hnya untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami
kepuasan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa mwlakukan
upacara adalah suatu kewajiban sosial.19
3. Keramat
Pengertian dan Fungsi Keramat
Kata keramat dalam Ensiklopedi Indonesia, yang ditulis oleh Hassan Shadily,
berasal dari bahasa arab dari kata keramah, yang artinya mulia, agung. Dalam pengertian
Sufi, berarti pekerjaan luar biasa yang dilakukan para wali.20
Keramat dapat juga diartikan sebagai tempat atau sesuatu yang suci atau
disakralkan. Menurut R. Otto, keramat atau sacer adalah suatu konsep tentang hal yang
gaib yang dianggap maha dahsyat, maha abadi, maha baik, adil, bijaksana. Dengan kata
lain, bahwa keramat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan.
18 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983,
hlm. xi-xii.
19 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hlm. 67-
68.
20 Ensiklopedi Indonesia, jilid 3, hlm. 1750.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan; bab ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan,
Perumusan Masalah, Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan, kerangka
dan Kajian Teori, yang terdiri atas Tradisi Lokal, Upacara atau Ritualdan
Keramat, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : Gambaran Umum Komunitas Cina Benteng; bab ini menjelaskan tentang
Letak Geografis dan keadaan Penduduk yang merupakan tempat di mana
Penulis melakukan penelitian. Kemudian dengan Sejarah Kedatangan dan
Penyebutan Cina Benteng, Sistem Kekerabatan, Kawin Campur (Integrasi),
Mata Pencaharian dan Bahasa.
BAB III : Proses Akulturasi dalam Komunitas Cina Benteng; dalam bab ini berisikan
tentang Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal, dan Unsur Mitos
dalam Masyarakat Lokal.
BAB IV : Pemandian Perahu Keramat dalam Upacara Peh Chun; dalam bab ini akan
mendiskusikan tentang Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan
yang digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya, Tata Cara,
Perhitungan Waktu Pelaksanaan, Tujuan dan Manfaat sertabdiakhiri dengan
Analisis Kritis.
BAB V : Penutup; yang menjelaskan mengenai Kesimpulan dan Sara-saran.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG
A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk
Kota Tangerang yang mempunyai luas wilayah sekitar 17.729,746 hektar,21
lahir
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993, pada tanggal 28 Februari 1993. Kini
pertumbuhannya begitu pesat. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang karena letak
geografisnya berbatasan dengan Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, yang
senantiasa terkait langsung dengan dinamika pembangunan nasional.22
Secara geografis, Kota Tangerang terletak antara 6 6 Lintang Selatan sampai 6 13
Lintang Selatan dan 106 36 Bujur Timur sampai dengan 106 42 Bujur Timur.
Sedangkan batas wilayahnya, yaitu:
1) Sebelah Utara
Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan, Kabupaten
Tangerang.
2) Sebelah Selatan
Berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok
Aren, Kabupaten Tangerang.
3) Sebelah Timur
Berbatasan dengan DKI Jakarta
4) Sebelah Barat
Berbatasan dengan Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.
21 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 88.
22 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 86.
Sebagai daerah yang sedang berkembang, Kota Tangerang mempunyai visi misi.
Untuk mewujudkan visi pengembangan Kota Tangerang sebagai kota Industri dan
perdagangan yang modern, mau tidak mau pemerintah Kota Tangerang harus
mengarahkan kota ini menjadi kota yang mandiri. Visi Kota Tangerang yaitu “Menuju
kota industri, perdagangan dan pemukiman yang ramah lingkungan dalam masyarakat
yang ber-akhlaqulkarimah.”
Misi adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenagna dan tanggung
jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi dan situasi yang diinginkan
pada akhir kurun waktu tertentu yang menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai
sebagai prasyarat terwujudnya visi. Dari rumusan visi diatas, dapat diuraikan misi yang
diemban Kota Tangerang adalah:
• Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik
• Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan mewujudkan
pemerintahan yang ramah lingkungan.
Sebelumnya, Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis
pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.23
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kota Tangerang, khususnya
wilayah Kelurahan Sukasari berjumlah 19.820 jiwa, yang terdiri atas 9.764 jiwa laki-laki
dan 10.053 jiwa perempuan. Rasio jenis kelamin laki-laki (sex ratio) penduduk Sukasari
23 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 23.
Tangerang tahun 2008 adalah 9.764, artinya komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit
dibandingkan penduduk perempuan.
Di Kota Tangerang inilah, terdapat tempat ibadah tertua agama Cina yang disebut
Kelenteng Boen Tek Bio.24
Terletak di Jalan Bakti No. 4 Sukasari, Kecamatan
Tangerang. Di sekitar kawasan itu juga terdapat tempat tinggal dan pasar komunitas yang
disebut komunitas Cina Benteng. Keberadaan Kelenteng Boen tek Bio, yang didirikan
sekitar tahun 1684,25
ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Kota Tangerang.
Luas wilayah Kelurahan Sukasari sendiri 187 hektar,26
dilihat dari kondisi
geografis, Kelurahan Sukasari berbatasan dengan Kelurahan Sukaasih di sebelah Utara
Sukasari, Kelurahan Babakan di sebelah Selatan, Kelurahan Sukajadi di sebelah Barat,
dan Kelurahan Buaran Indah di sebelah Timur.
Melihat sisi keagamaan yang dianut oleh masyarakat Tangerang, khususnya
Kelurahan Sukasari, sangat variatif. Sama seperti keagamaan yang tersebar di daerah-
daerah lainnya di Indonesia, agama Islam menduduki jumlah penduduk yang mayoritas
pemeluknya, sebanyak 10.948 jiwa. Dan pemeluk agama Budha berada di peringkat
kedua, sebanyak 5.949, termasuk Khonghucu dan Tao di dalamnya.
Berikut ini akan ditunjukkan data jumlah pemeluk agama di kelurahan Sukasari,
Tangerang pada Tabel I.
24 Boen Tek Bio, kata Boen: sastra, Tek: kebajikan, Bio: tempat ibadah), menurut Claudine Salmon,
dalam bukunya yang berjudul “Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia” menyebut Kelenteng Boen
Tek Bio sebagai “Kelenteng Kebajikan Benteng”.
25 Kelenteng Boen Tek Bio, hlm. 2.
26 Buku Monografi Kelurahan, Keluran Sukasari.
Tabel I
Jumlah Pemeluk Agama di Kelurahan Sukasari, Tangerang
No. Pemeluk Agama/ Religions Follower Jumlah
1. Islam 10.948
2. Kristen Protestan 2.844
3. Kristen Katolik 1.182
4. Hindu 127
5. Budha 5.949
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
Kelurahan sukasari memiliki sarana peribadatan dan beberapa majelis keagamaan
yang digunakan oleh berbagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Yang mana
keberadaan musholla paling dominan di Kelurahan Sukasari ini. Sedangkan Majelis
Ta’lim dan Majelis Budha menduduki peringkat pertama dan kedua yang kelompok serta
anggotanya paling dominan. Hal ini membuktikan bahwa komunitas Cina di Kelurahan
Sukasari cukup banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II dan Tabel III
berikut.
Table II
Sarana Peribadatan di Kelurahan Sukasari, Tangerang
No. Sarana Peribadatan/ Religions Facility Jumlah Gedung
1. Masjid 9
2. Musholla 15
3. Gereja 5
4. Vihara dan Kelenteng 3
5. Pura -
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
Tabel III
Jumlah Majelis Keagamaan di Kelurahan Sukasari, Tangerang
JUMLAH
No.
Majelis Keagamaan Kelompok Anggota
1. Majelis Ta’lim 18 253
2. Majelis Gereja 1 30
3. Majelis Budha 3 79
4. Majelis Hindu 1 10
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng
Awal kedatangan orang Cina ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Dalam
kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (catatan dari Parahyangan).
Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di
suatu daerah perkampungan nelayan di muara Sungai Cisadane, yaitu di Teluk Naga,
merupakan suatu tempat di mana awalya orang Cina datang ke Tangerang pada tahun
1407.27
Perahu rombongan Halung yang semula ingin mengunjungi Jayakarta, akhirnya
terdampar dan mengalami kerusakan serta perbekalan mereka telah habis.
Gelombang kedua, kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang dalam buku “Nusa
Jawa Silang Budaya”, pada tahun 1740 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Andrian
27 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 28.
Valkenier telah terjadi pembantaian massal terhadap masyarakat Cina, lebih dari 10.000
orang Cina di benteng Belanda dibantai oleh Belanda28
, mereka adalah korban berbagai
peraturan yang ruang geraknya dibatasi Belanda, mereka dituduh merencanakan
pemberontakan dan ingin menghancurkan VOC (Veneenigde Oostindische Compagnie).
Belanda yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang
Cina ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan permukiman bagi orang
Cina pondok-pondok yang dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok
Aren dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir atau kali Pasir, Belanda mendirikan
perkampungan Tionghoa yang di kenal dengan nama Petak Sembilan.
Perkampungan ini kemudian dengan bertambahnya waktu berkembang menjadi
pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Dan rencananya
kawasan ini akan dijadikan sebagai kota Wisata Tangerang oleh pemerintah Kota
Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama.
Berbicara mengenai sejarah Cina Benteng sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama
sebagai suatu permukiman pertama bagi komunitas Cina di Tangerang. Persaingan
perdagangan yang keras terjadi antara Banten dan Batavia (Jakarta saat ini). Di suatu
pihak, kompeni Belanda mendesakkan keinginannya untuk melakukan monopoli
perdagangan di wilayah kesultanan Banten. Akan tetapi di pihak lain, Sultan Banten
sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Karena terlalu
kerasnya persaingan itu, terjadilah konflik politik dan akhirnya terjadi konflik senjata.
Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang terjadi daerah pertahanan dan
merangkap sebagai medan pertempuran serta daerah rebutan antara Batavia dan Banten.
Kemudian Banten membangunan benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane
28 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 29.
dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai
Cisadane untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari
tangan Belanda. Benteng itu sekarang sudah rata dengan tanah. Akan tetapi sangat
disayangkan tidak ada keterangan tahun berapa benteng itu didirikan. Itulah sebabnya,
dahulu daerah Tangerang dikenal dengan nama “Benteng” dan saat ini masih ada
segelintir orang yang menyebutnya demikian. Jadi, Cina Benteng merupakan komunitas
Cina yang tinggal di Benteng (Tangerang).
Cina Benteng tidak seperti Cina peranakan pada umumya yang berkulit putih
meletak. Cina Benteng memang sering diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit
hitam dan gelap. Sehingga sulit dibedakan dengan “orang kampung” (pribumi atau
masyarakat lokal).
C. Sistem Kekerabatan
Para ahli antropologi lebih banyak memberi perhatian pada cara orang memberi
nama kepada sanak keluarga mereka dalam berbagai masyarakat.29
Apa yang terungkap
dalam peristilahan kekerabatan itu? Dari situ sudah pasti kita dapat memperoleh
gambaran yang baik tentang struktur keluarga, hubungan-hubungan mana yang dinggap
dekat atau jauh, dan kadang terlihat sikap terhadap hubungan yang mana yang dianggap
penting.30
Isilah-istilah kekerabatan berbau Cina juga sangat diperhatikan. Istilah ncik-ncim,
toaku-toakim, cek-kong-cimpo, dan lainnya masih dipetahankan. Sebagai perhormatan,
orang lain yang baru dikenal sering disapa dengan kode, kependekan dari koko gede
29 William A. Haviland, Antropologi edisi keempat Jilid 1, Jakarta: Erlangga, hlm. 378
30 Antropologi edisi keempat Jilid 1, hlm. 380.
(kakak laki-laki besar), cide atau cici gede (kakak perempuan besar). Istilah ini aslinya
lambang kekerabatan seorang adik terhadap kakak laki-laki atau perempuan sulung.
Kedudukan perempuan bagi orang Cina dahulu adalah sangat rendah. Pada waktu
masih kecil, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada
waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Setelah menikah, seorang perempuan
harus tunduk kepada suaminya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar
rumah. Keadaan seperti itu sudah lama ditinggalkan. Seorang perempuan dapat mengikuti
perkumpulan-perkumpulan, sekolah dan dalam kehidupan ekonomi peranan pembantu
suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting. Pada masa sekarang ini,
wanita berhak mendapat harta yang sama dengan laki-laki dalam hal warisan. Bahkan
kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus
ikut tinggal di rumah orang tuanya. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada lagi
kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan, komunitas
Cina menganut sistem patrilinier. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih
erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu
sama eratnya dengan pihak ayah.31
D. Kawin Campur (Integrasi)
Pada tahun 1407, sebuah perahu terdampar di daerah Teluk Naga yang dipimpin
oleh Tjen Tjie Lung (Halung), menurut kitab Babad Sunda Tina Layang Parahyang,
beliau membawa 9 orang gadis dari negeri Cina, 9 gadis ini dinikahi oleh wakilnya
adipati dan diberikan tanah, dan laki-lakinya mengalami integrasi, lalu berkembang dan
31 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet. ke-22, Jakarta: Djambatan, 2007,
hlm. 364.
pindah ke desa Pangkalan, makin lama semakin berkembang mereka pindah lagi ke
daerah Pasar Lama, Pasar Baru, Serpong, dan Teluk Naga. Hal ini dapat terlihat dengan
adanya bangunan Kelenteng-kelenteng tua yang terdapat di daerah-daerah tersebut.
Perkawinan merupakan masa penutupan dalam kehidupan sesorang, yaitu dari
masa lajang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa,
bila ia telah menikah. Upacara perkawinan orang Cina di Indonesia adalah tergantung
pada agamanya yang dianut. Oleh karena itu, perkawinan orang Cina yang satu berbeda
lain dengan Cina lainnya. Perkawinan orang Cina Totok berbeda pula dengan yang
dilakukan oleh orang Cina Peranakan. Sampai pada awal abad ke-20 perkawinan diatur
oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami dan istri tidak mengetahui calon
kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari pernikahan. Sekarang keadaan
semacam itu sudah tidak banyak terjadi.
Orang Cina Peranakan dalam memilih jodoh mempunyai batasan-batasannya.
Perkawinan yang dilarang yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga,
nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai mana she
yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya, saudara sepupu), dibolehkan.
Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan
kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki
menikah dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya pernikahan
seorang wanita dengan seorang anggota keluarga dari genarasi yang lebih tua, dapat
diterima. Alasan dari keadaan ini ialah seorang suami tidak boleh muda atau rendah
tingkatannya dari istrinya.
Peraturan lain ialah seorang adik wanita tidak boleh mendahului kakak wanitanya
menikah. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki. Tetapi
adik wanita boleh mendahului kakak laki-lakinya menikah, demikian juga adik laki-laki
boleh mendahului kakak wanitanya menikah. Akan tetapi, sering kali terjadi pelanggaran
terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada
kakaknya yang didahului menikah itu.32
E. Mata Pencaharian
Sebagian besar dari masyarakat Cina di Indonesia sekarang memang hidup dari
perdagangan dan hal ini suatu fakta terutama di Jawa. Dan diantaranya kebanyakan dari
mereka adalah orang Hokkian. Memang 50% dari orang Hokkian di Indonesia adalah
pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatera ada banyak orang Hokkian
yang bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi
(Riau) orang Hokkian umumnya menjadi penangkap ikan. Orang Hakka di Jawa dan
Madura banyak yang menjadi pedagang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha
industri kecil. Di Sumatera orang Hakka bekerja di pertambangan, sedangkan di
Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani.
Masyarakat Cina yang datang dan telah mengalami akulturasi dengan masyarakat
lokal (Indonesia) berasal dari suku Hokkian, Hakka, Tao Chiu, Hai Lan atau Hai Nan,
dan Kong Hu. Dalam komunitas Cina Benteng, mayoritas berasal dari suku Hokkian yang
umumnya bermatapencaharian seperti petani, pedagang, nelayan, dan ahli perkebunan.33
Menurut penelitian seorang sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain
32 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 362-363.
33 Wawancara pribadi dengan Informan kunci, Bapak Oey Tjin Eng, pada Tanggal 20 Juli 2008.
Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang
keras, hal itu terjadi agar mereka bisa bertahan hidup.34
Keberadaan Cina Benteng menegaskan seakan tidak semua orang Cina
mempunyai posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan
tidak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Realitas Cina
Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat
etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi
ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, seorang
Pengamat Budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain
Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin Sampai sekarang masih
banyak komunitas Cina Benteng yang ekonominya pas-pasan atau bahkan kekurangan,
misalnya, jika melihat di belakang bangunan Kelenteng Boen Tek Bio, masih ada
masyarakat Cina Benteng yang menjadi nelayan tepatnya di Sungai Cisadane, atau
tukang becak yang penghasilannya tidak menentu tiap harinya. Terlebih lagi kalau
melihat komunitas Cina Benteng yang tinggal di desa desa dan pesisir pantai (Tanjung
Kait dan Tanjung Pasir). Oey Tjin Eng pernah mengunjungi daerah tersebut dan
mendapati suatu rumah, yang terbuat dari anyaman dan bilik bambu, jika akan memasuki
rumah tersebut harus membungkukkan badan, karena terlalu kecil dan mudah rubuh jika
disentuh. Hal itu sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan, yang umumnya
berprofesi sebagai pedagang dan dapat dikategorikan kelas menengah.
Sedangkan, jika dilihat secara umum mata pencaharian dari penduduk Kelurahan
Sukasari memang mayoritas berprofesi sebagai wiraswasta atau pedagang. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel IV berikut.
34 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 33.
Tabel IV
Mata Pencaharian di Kelurahan Sukasari
No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Karyawan
1) Pegawai Negeri Sipil
2) ABRI
3) Swasta
117
8
1.120
2. Wiraswasta atau Pedagang 2030
3. Pertukangan 5
4. Buruh Tani 105
5. Pensiunan 97
6. Jasa 53
Sumber: Laporan Monografi Kelurahan Sukasari
F. Bahasa
Sejak dahulu orang sudah tahu bahwa manusia dari aneka warna asal dan bangsa
itu mengucapkan beraneka ragam bahasa pula, tetapi suatu hal yang menarik perhatian
para ahli kesusastraan abad ke-18 yang mulai mempelajari naskah-naskah kuno dalam
bahasa arab, Sanksreta, Cina dan lain-lain, adalah adanya berbagai persamaan azasi
dalam bahasa-bahasa Eropa dengan bahasa Sankserta, bahasa klasik di India, baik
dipandang dari sudut bentuk kata-katanya, maupun dari tata bahasanya.
Bahasa adalah sistem untuk mengkomunikasikan dalam bentuk lambang, segala
macam informasi. Setiap bahasa manusia, baik Inggris maupun Cina adalah sarana untuk
menyampaikan informasi dan pengalaman, baik yang bersifat cultural mau pun
individual, dengan orang lain.35
Bahasa mencerminkan realita kebudayaan dan kalau
kebudayaan berubah, bahasa pun akan berubah.36
Orang Cina yang ada di Indonesia, sebenarnya merupakan bukan suatu kelompok
yang berasal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa
yang berasal dari dua propinsi, yaitu: Fukien dan Kwangtung, yang saling berjauhan
daerahnya. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa ekbudayaan suku bangsanya
sendiri bersama dengan perbedaan bahasnya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah
bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang perbedaannya begitu besar, sehingga
pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti dengan pembicara yang lain.37
Bentuk-bentuk bahasa yang berbeda tetapi cukup besar persamaannya sehingga
dapat saling dipahami, dikenal dengan nama dialek. Secara teknis, semua dialek adalah
bahasa –tidak ada sesuatu yang bersifat parsial atau sub-linguistik pada dialek- dan batas
di mana dua dialek yang berbeda itu menjadi dua bahasa yang terpisah, pada garis
besarnya adalah batas di mana orang-orang yang berbicara dalam dialek yang satu hampir
sama sekali tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbicara dalam dialek
yang lain. Batas-batas itu dapat bersifat psikologis, sosiologis atau ekonomis, dan tidak
begitu jelas. 38
Telah disebutkan di atas, bahwa tidak seperti Cina Totok yang sampai sekarang
masih memegang teguh adat dan bahasa Cina. Masyarakat Cina Peranakan sebagian
besar sudah tidak dapat lagi menggunakan bahasa Cina, khususnya komunitas Cina
Benteng. Keunikan dari komunitas Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah
35 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 360.
36 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 377.
37 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 353.
38 Antropologi edisi keempat, jilid ke-1, hlm. 382.
berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam
percakapan sehari-hari, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka
bahkan sudah sangat kental dengan Sunda pinggiran bercampur dengan bahasa Betawi.
Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang
berbahasa Ina.
Logat Cina Benteng memang khas. Misalnya, ketika mengucapkan kalimat, “mau
ke mana”, kata “na” diucapkan lebih panjang, sehingga terdengar “mau kemanaaa”.39
Hal
ini dikarenakan komunitas Cina Benteng sangat membuka peluang masuknya kebiasaan
dan tata bahasa masyarakat lokal, yang sebagian besar menggunakan logat Betawi.
39 Ziarah Budaya Kota Tangerang, hlm. 33.
BAB III
PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG
Proses akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila kelompok-kelompok atau
individu-individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan langsung
secara intensif, dengan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari
salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang
banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi, dan
semangat persaudaraan dalam hubungannya; siapa dan apakah datangnya pengaruh itu
timbal balik atau tidak. Akulturasi dapat diartikan sebagai, perubahan-perubahan besar
dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar kebudayaan yang
berlangsung lama40
Akulturasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang sesuai dengan hakikat
kebudayaannya. Proses ini mengarah kepada keserasian sosial yang bersifat wajar dan
manusiawi. Istilah akulturasi muncul sejak 1936 dikalangan Antropolog Amerika sebagai
reaksi terhadap studi rekontruksi histories yang dianggapnya kurang lengkap karena tidak
menceritakan seluruh perubahan sosio-kulturalnya. Oleh karena itu sampai sekarang studi
akulturasi dipandang sebagai salah satu bidang studi yang cukup terkenal mengenai
pemahaman proses sosio-kultural.
Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara
dua kebudayaan; keduanya saling memberi dan menerima, mengutip pendapat seorang
Antropolog, Shorter, yang mengatakan bahwa akulturasi adalah pertemuan antara dua
40 William A. Haviland, Antropologi edisi keempat Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm 263.
kebudayaan. Lebih lanjut seorang Antropolog lain, Bee (William A. Haviland:1985)
memberikan beberapa parameter mengenai pengertian akulturasi, diantaranya:
1. Akulturasi menunjukan kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi
apabila dua sistem budaya bertemu;
2. Akulturasi menunjukan kepada suatu proses perubahan yang dibedakan
dari proses-proses difusi41
, inovasi,42
invensi,43
maupun penemuan; dan
3. Akulturasi dipahami sebagai suatu konsep yang dapat digunakan sebagai
kata sifat untuk menunjukan suatu kondisi, misalnya kondisi kelompok
budaya yang satu lebih terakulturasi dari budaya yang lain.
Oleh karena itu, beberapa studi akulturasi yang saling terkait dapat dibedakan
antara lain: beberapa sistem kultural; sifat dari situasi hubungan; keserasian atau
keakraban antara hubungan berbagai macam budaya; dan kehidupan proses budaya
karena adanya hubungan sistem.44
A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal
Masyarakat Cina Benteng sudah berakulturasi dan berintegrasi dengan lingkungan
dan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Seperti, yang terlihat jelas pada warna
kulitnya yang kecoklatan, tidak putih meletak pada umumnya komunitas Cina.
Mendengar mereka berbicara pun sudah sangat mirip dengan masyarakat lokal. Meski
demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat
41 Difusi, proses penyebaran sesuatu dari satu pihak ke pihak lain (tentang kebudayaan, teknologi,
dan sebagainya; pengaruh pengalihan pranata budaya melewati batas-batas bahasa. Lihat, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 185. 42 Inovasi, pembaharuan, pengenalan terhadap hal-hal yang masih baru. Lihat, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, hlm. 269.
43 Invensi, penciptaan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, hlm. 272.
44 Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Pustaka. 2006, hlm.
istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah tampak
pada keberadaan Meja Abu di setiap rumah orang Cina Benteng. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Cina Benteng selain mereka berakulturasi dan beradaptasi dengan
budaya masyarakat lokal (Betawi) namun mereka masih tetap mempertahankan tradisi
dan adat istiadat kepercayaan leluhur mereka yang sudah ratusan tahun. Akulturasi
budaya masyarakat Cina Benteng dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi) terlihat
pada busana pakaian pengantin yang merupakan campuran atau akulturasi budaya Cina
dengan Betawi, akulturasi bahasa, akulturasi kesenian dan sebagainya.
Melihat fenomena Cina Benteng Tangerang membuktikan bahwa betapa harmonis
dan toleransinya kebudayaan Cina dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Hal ini
membuktikan bahwa masyarakat Cina Benteng Tangerang hampir tidak pernah
mengalami friksi (permusuhan atau perpecahan) dengan etnis lainya.
Dalam proses akulturasi budaya, tentu keduanya saling mempengaruhi antara
budaya lokal dan budaya Cina, artinya bahwa ada aspek-aspek yang berperan, katakanlah
peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, atau ada unsur-usnur mitos dalam tradisi
masyarakat lokal. Tradisi budaya pengkeramatan dalam pemandian perahu pn ini
dikatakan tidak lain adalah pengaruh dari tradisi budaya masyarakat lokal Tangerang.
Koentjaranigrat membagi konsep kebudayaan kedalam tiga golongan,
diantaranya:
1) Gagasan
2) Kelakuan
3) Hasil-hasil kelakuan.
Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan
dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil
kelakuan dapat diamati dan atau dapat diraba. Kelakuan dan hasil kelakuan adalah
produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan
antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan
sebab akibat; dan karena itu, gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan
sebagai sebuah golongan yang sama namanya kebudayaan.45
Dalam tataran peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, Ritual keagamaan
merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat; inilah agama
dalam praktek (in action). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial
kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-
peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu
mengganggu masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk
diderita.
Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang berbeda-
beda diantaranya
a. Upacara inisiasi / peralihan (rites of passage)46
yang mengenai tahapan-tahapan
dalam siklus kehidupan manusia.
b. Upacara peralihan (rites of passage) merupakan upacara keagamaan yang
berhubungan dengan tahapan-tahapan yang penting dalam kehidupan manusia,
seperti upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian; dan
45 Seni dalam Ritual Agama, hlm.
46Antropologi edisi keempat Jilid 2, hlm. 207
c. Upacara Intensifikasi (rites of intensifikasi), yang diadakan pada waktu kehidupan
kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi
satu47
. Sedangkna upacara intensifikasi adalah upacara keagamaan yang diadakan
pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial. Upacara intensifikasi
dapat dikatakan upacara yang menyertai keadaan krisis dalam kehidupan
individu.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang
berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat
khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu
pengalaman yang suci.48
Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau
dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang Tertinggi, dan
hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi
sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang
pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama
ibadah atau liturgi. Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah
merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah
pengungkapan iman. Oleh karena itu, upacara ritual agama diselenggarakan pada
beberapa tempat, dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, dan berbagai
peralatan ritus lain yang bersifat sakral.
Berbagai macam bentuk ritual seperti itu merupakan transformasi simbolis dari
beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang
spontan, tanpa rancangan, dan kadang kala tanpa disadari, namun polanya benar-benar
47 Antropologi edisi keempat Jilid 2, hlm. 207
48 Seni dalam Ritual Agama, hlm. 31
alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan
jenis-jenis ritus magi, yang didalamnya mengandung kekuatan yang menghubungkan
kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyangnya, dan mempengaruhi
kekuatan lainnya. Dalam masyarakat primitive (kuno) menirukan gerakan binatang
tertentu sebelum berburu merupakan ritus magi imitative atau simpatetis, dengan maksud
agar binatang yang diinginkan dapat ditangkap. Segala pengalaman manusia dari sejak
masyarakat primitive sampai sekarang, ternyata pengalaman religi dan pengalaman estetis
tidak dapat dipisahkan.
Ritual ataupun ibadah merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-
pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal
dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti
betapapun peliknya ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan tujuan yang disadari,
pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.49
Manusia ataupun
masyarakat menjalankan ajaran yang ada di dalam agamanya hanya terbatas pada ritual
yang dilaksanakan tanpa memahami kandungan dan isi dari ritual-ritual yang
dijalankannya, terkadanag banyak juga yang sama sekali tidak memahami tetapi
menjalankan ritual tersebut. Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara
individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi,
dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat)
yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau
seluruh masyarakat.50
49 Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1985, hlm. 76. 50 Roland Robertson, ed., Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, hlm. viii.
B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakat Lokal
Mitos pada dasarnya bersifat religius, karena memberi rasio pada kepercayaan
dan praktek keagamaan. Masalah yang dibicarakannya adalah masalah-masalah pokok
kehidupan manusia; dari mana asal kita dan segala sesuatu yang ada di dunia ini,
mengapa kita disini, dan kemana tujuan kita. Setiap aspek masalah-masalah yang sangat
luas itu dapat disebut mitos. Fungsi mitos adalah untuk menerangkan, memberi gambaran
dan penjelasan tentang alam semesta yang teratur, yang merupakan latar belakang
perilaku yang teratur. Mitos dapat diartikan secara istilah sebagai cerita tentang peristiwa-
peristiwa semihistoris yang menerangkan masalah-masalah akhir kehidupan manusia.
Van Peursen, seorang Antropolog mendefinisikan mitos sebagai sebuah cerita
yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, lebih lanjut Van
Peursen menjelaskan fungsi mitos yaitu untuk menyadarkan manusia bahwa ada
kekuatan-kekuatan ajaib/ghaib, memberi jaminan bagi masa kini, memberikan
pengetahuan tentang dunia. Mitos dimunculkan lewat kesenian rakyat, atau biasa disebut
sebagai kesenian tradisional. Pada dasarnya sebuah komunitas akan memiliki ragam
kebudayaannya masing-masing, seperti contoh dalam budaya dan kepercayaan
masyarakat Cina yaitu ada ritual perahu keramat dalam perayaan peh chun kemudian ada
tabur beras kuning dalam perkawinan chiou-thaou.
Sementara pengertian tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
(dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan
filosofi dan kearifan lokal. Mitos juga dapat diartikan sebagai cerita sakral yang
ditempatkan dalam zaman yang berbeda dengan zaman pencerita, sambil
mengungkapkan pemahaman realitas yang menjelaskan beberapa adat kebiasaan dalam
masyarakat sang pencerita. Dengan kata lain maka mitos ternyata juga lahir dari suatu
kebutuhan “intelektual” akan penjelasan yang memuaskan, dan bukan hanya ekspresi
perasaan primitive. Hanya sebagian kecil mitos adalah jelas berkaitan dengan ritus, kaitan
mana memungkinkan suatu masyarakat untuk masuk secara imajinatif ke dalam keadaan
yang digambarkan dalam mitos mereka. Maka kaitan seperti itu tidak boleh begitu saja
diandaikan, tetapi harus dapat ditunjukan.
Selama mitos belum ditulis dan masih diperankan kembali dalam masyarakat, isi
mitos dapat dan akan berubah agar tetap mencerminkan situasi politis, sosial dan
konomis yang sesuai zaman. Tetapi setelah ditulis, mitos dicocokan dengan situasi-situasi
yang berubah-ubah melalui interpretasi teologis. Kalau masyarakat bertambah rasional,
hubungan erat antara mitos yang kuno dan pemahaman situasi aktual melemah, bisa
sampai hampir menghilang. Tetapi mitos sendiri tidak menghilang. Karena mitos
mengandung pemahaman intuitif akan realitas yang memungkinkan orang untuk
melampaui keadaannya yang langsung, maka mitos tetap menjadi sumber untuk drama,
puisi, dan seni.
Sekalipun mitos sebagai fiksi cenderung dilawankan dengan sejarah, namun
demikian kisah-kisah tentang peristiwa-peristiwa sejarah dapat juga seperti mitos
berperan sebagai ekspresi dan peneguhan keyakinan-keyakinan serta nilai-nilai sebuah
masyarakat. Misalnya versi-versi popular cerita perang kemerdekaan akan memuliakan
kepahlawanan bangsa dan memperlihatkan bagaimana yang baik biarpun kurang berdaya
menang atas pihak jahat yang kuat. Proses ini dapat disebut mitologi sejarah. Karena itu
bagi sebagian peneliti distingsi lama antara mitos dan legenda menjadi kabur, kurang
berdasar dan kurang praktis.
BAB IV
PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH CHUN
A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan dalam
Upacara serta Simbolisasinya
Upacara pemandian perahu keramat biasanya diadakan secara meriah. Untuk
menyambut upacara itu, dibentuk kepanitian yang terdiri atas pengurus perahu keramat
dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio. Biasanya, sebelum upacara pemandian
perahu dimulai, panitia penyelenggara mengadakan pertunjukan-pertunjukan atau atraksi-
atraksi untuk memeriahkan upacara memandikan perahu pemandian perahu keramat.
Pertunjukan itu diadakan berbeda-beda setiap tahunnya. Seperti dua tahun yang lalu
(2006), acara ini dimeriahkan dengan pertunjukan jalan di atas bara api yang sedang
menyala, pertunjukan Liong danBarongsai,51
pertunjukan mandi minyak yang masih
mendidih (panas). Tetapi pada tahun 2008 ini, upacara diadakan tidak terlalu meriah dari
pada tahun sebelumnya, karena keadaan dana yang terbatas, jadi hanya dimeriahkan
dengan pertunjukan Gambang Kromong dan Barongsai.52
Upacara ini tidak hanya diramaikan oleh komunitas Cina Benteng, tetapi juga
diramaikan oleh masyarakat lokal. Bahkan, para turis yang datang dari Malaysia,
Singapura, dan Negara lainnya. Bagi para turis, upacara pemandian perahu keramat ini
etrbilang unik, karena tradisi ini tidak diadakan di temapt lain. Pada saat memandikan
perahu keramat, panitia menyiapkan air yang diambil dari Sungai Cisadane, kembang
51 Liong dan Barongsai: Seni tari yang berasal dari Cina yang menampilkan tiruan binatang buas,
diperankan oleh 2 orang atau lebih.
52 Wawancara dengan Bapak Willy, pada Tanggal 20 Juli 2008.
tujuh rupa, dan kain merah,53
berbentuk segituga sebanyak 500 lembar kain. Air kembang
bekas memandikan perahu banyak diperebutkan oleh masyarakat yang datang. Bagi
mereka yang percaya, jika air tersebut dicampur dengan air biasa dan digunakan untuk
mandi atau membasuh muka, mereka akan diberi umur panjang, sembuh dari penyakit,
awet muda, dan enteng jodoh. Selain membawa air kembang, mereka juga menyimpan
kain merah tadi untuk dijadikan jimat,54
agar mereka diberi keselamatan dan rejeki yang
berlimpah. Dan uniknya lagi, menurut mereka, jika mengambil air kembang tersebut
secara berebut dan saling dorong, maka khasiatnya akan lebih manjur.
Sebelum upacara dimulai, panitia juga menyiapkan sesaji di depan Perahu
Keramat dan altar-altar para leluhur. Sesaji yang disediakan terdiri dari lima macam
buah, yang disebut Ngo Koo (Wu Guo).55
Seperti pisang dan jeruk, merupakan jenis
buah-buahan pokok yang digunakan dalam sembahyang, sedangkan tiga buah lainnya
boleh apa saja, kecuali jenis buah berduri, seperti durian, salak, karena buah berkulit
tajam itu dipercaya dapat melukai.
Khonghucu mengajarkan bahwa bersembahyang secara sederhana lebih baik dari
pada terlalu mewah. Ajaran konfusianisme juga tidak mengharuskan untuk menyediakan
sesaji yang sulit diperoleh. Selain bua-buahan, sesaji yang disediakan adalah masakan
matang seperti (maaf), daging Babi, merupakan salah satu sesaji yang biasa disediakan
oleh komunitas Cina Benteng. Selain itu, dalam upacara pemandian perahu keramat ini
wajib menyediakan Bacang dan Kue Cang. Bacang adalah makanan yang terbuat dari
53 Warna merah, dipercaya sebagai warna keberuntungan dan penolak bala (bahaya) dalam kepercayaan komunitas Cina.
54 Jimat , dari kata azimat, benda yang dianggap keramat dan mempunyai kekuatan magis.
55 Ngo Koo: lima jenis buah-buahan. Melambangkan lima hubungan, yakni hubungan raja dengan
menteri, ayah dengan anak, suami dengan istri, kakak dengan adik, kawan dengan sahabat. Lima perkara
inilah jalan suci yang ditempuh di dunia (Tiong YongXIX: 8).
beras ketan yang dibungkus daun bambu dan di dalamnya diisi daging cincang yang
sudah diberi bumbu.
Pada awalnya, Bacang ini dibuat di dalam tempurung bambu, tetapi pada 338
tahun kemudian setelah peristiwa Khut Gwan menerjunkan diri ke Sungai Bik Loo (Mi
Loo), ada seseorang yang bernama Au Hui, yang berasal dari Chang Sha bermimpi.
Dalam mimpinya itu, Au Hui bertemu dengan Khut Gwan dan mengatakan bahwa,
makanan yang selama ini untuk Khut Gwan tidak dapat dinikmati atau tidak sampai ke
tujuan karena telah dimakan ikan-ikan dan naga-naga sungai. Khut Gwan meminta,
agarberas yang dikirimkan harus dibungkus dahulu dengna daun-daun yang kasap
(berduri), seperti daun bambu, dan mengikatnya dengan benang sutera merah, karena
daun berduri dan benang sutera merah dapat menakut-nakuti naga dan ikan. Maka
lahirlah Kue Cang yang berbentuk segitiga itu.56
Perbedaan antara bacang dengan kue cang, kalau bacang berisi daging Babi,
sedangkan kue cang tidak ada isinya, kue cang biasanya dilengkapi dengna air gula, dan
kue cang lebih kecil dari pada bacang. Bacang dan kue cang ini dibuat sehari sebelum
upacara pemandian perahu keramat dimulai. Esok harinya setelah pemandian perahu
keramat, yaitu pada perayaan Peh Chun, tepatnya pada tanggal 5 bulan V, bacang ini
dilempar ke sungai sebagai persembahan bagi Khut Gwan. Hal ini juga memiliki makna
yang sama seperti memandikan perahu keramat, agar masyarakat selalu dalam keadaan
selamat, sehat dan dimudahkan dalam mencari rejeki.
56 Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, hlm. 157.
B. Tata Cara
Semakin malam semakin banyak orang yang mendatangi tempat penyimpanan
Perahu Keramat yang juga sebagai tempat upacara diadakan. Sebelum upacara dimulai,
komunitas Cina Benteng yang datang melakukan sembahyang, termasuk para penari
Liong dan Barongsai. Setelah selesai melakukan pertunjukan, mereka wajib melakukan
sembahyang kepada Perahu Keramat sebagai tanda penghormatan. Sembahyang upacara
pemandian Perahu Keramat dilakukan dengan beberapa, yaitu:
a) Sembahyang kepada Thian
Setiap perayaan, komunitas cina benteng selalu bersembahyang kepada Thian
(Dewa Langit), sebelum sembahyang kepada dewa-dewa lainnya, mereka wajib
menyembah Thian. Dalam peersembahynagan kepada Thian ini, sambil
membakar tiga batang hio. Altar pemujaan kepada Thian terletak di muka
bangunan tempat Perahu Keramat disimpan.
b) Sembahyang kepada Dewa Bumi (Hok Tek Ceng Sin / Fu De Zheng Shen)
Setelah sembahyang kepada Thian, mereka sembahyang kepada Dewa Bumi,
dengan tujuan meminta izin, agar dalam pelaksanaan upacara bias berjalan secara
lancar tanpa ada ganggguan apa pun. Hio yang dibakar sebanyak tiga batang juga.
c) Sembahyang kepada Dewa Harimau
Setelah sembahyang kepada Dewa Bumi, lalumereka sembahyang kepada Dewa
harimau dengan membakar tiga batang hio juga, yang terletak di samping altar
Dewa Bumi. Dewa Harimau dipercaya sebagai penungggu rumah dan penjaga
pintu dengna tujuan yang sama dengan Dewa Bumi.
d) Sembahyang kepada Empe Lumut dan Ema Lumut
Sebutan Empe Lumut dan Ema Lumut berasal dari sepasang batu nisan yang
ditemukan oleh Nenek Buyut Rudi A. Kuhu, bersamaan dengan potongan kayu di
tepi Sungai Casadane apada tahun 1850, yang kemuduian disimpan di tempat
yang sama di mana Perahu Keramat disimpan. Kemungkinan besar, batu nisan ini
adalah batu nisan sepasang suami istri yang disebut Empe Lumut dan Ema
Lumut. Nisan ini disembahyangi oleh komunitas Cina Benteng sebagai
penghormatan kepada Empe Lumut dan Ema Lumut yang diwakili oleh batu
nisan itu dengan membakar empat batang hio.
e) Sembahyang kepada Perahu Keramat
Sembahyang kepada Perahu Keramat adalah tahapan terakhir dari sembahyang
upacara pemandian perahu yang dilakukan sebelum upacara dimulai.
Kemudian membakar kertas sembahyang yang berwarna kuning emas (Siu Kim)
dan abunya diletakkan di Kim Loo.57
Setelah semua umat selesai sembahyang, tepat pada
pukul 23:00, keturunan Nenek Buyut Rudi A. Kuhu dan para pengurus Perahu Keramat
berdoa secara agama Budha yang ditujuakn kepada perahu keramat tersebut. Tahap ini
dilakukan memakan waktu sekitar setengah sampai satu jam. Stelah pembacaan doa-doa
selasai, sekitar pukul 23:40 upacara pemandian perahu keramat dimulai.
Pertama, keluarga Nenek Buyut Rudi A. Kuhu58
dan para pengurus (panitia)
termasuk perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio membuka kain penutup berwarna
merah,59
sepanjang 11 meter. Di atas kain merah itu terdapat kain berwarna-warni
57 Kim Lo, artinya tungku pembakaran kertas emas. 58 Nenek moyang Rudi A. Kuhu adalah orang yang menemukan dan memimpikan perahu keramat ini. 59 Warna merah dipercaya sebagai warna keberuntungan dan sebagai penolak bala (bahaya) dalam
kepercayaan masyarakat Cina.
berbentuk bunga sejumlah lima lembar, yaitu: merah, yang berarti naga darat; kuning,
berarti naga langit; hijau, naga laut; putih dan biru atau hitam, sebagai simbol warna yin
yang. Masing-masing sepanjang 5 meter sebagai hiasan.
Sebagai giliran pertama, dimulai dengan keluarga Nenek Buyut Rudi A. Kuhu,
untuk memandikan Perahu Keramat, giliran kedua adalah para panitia. Kemudian
komunitas Cina Benteng lainnya mau pun masyarakat sekitar. Pada saat akan
memandikan perahu, panitia membagikan kain segitiga berwarna merah sebanyak 500
lembar kepada siapa saja yang ingin ikut serta memandikan Perahu Keramat.
Setelah itu, secara bergantian memandikan perahu dengan cara mencelupkan kain
merah ke dalam ember berisi air Sungai Cisadane dan kembang tujuh rupa, lalu
mengusapkan kain ke badan perahu secara perlahan sambil memohon doa dalam hati.
Suasana saat itu terlihat sangat ramai. Masyarakat yang datang saling berebut
mendapatkan giliran memandikan Perahu Keramat dengan harapan akan mendapatkan
banyak rejeki dan selalu dalam keadaan selamat, sehat dan enteng jodoh.
Setelah Perahu Keramat selesai dimandikan, kemudian ditutup kembali dengan
kain merah yang baru, dan penutup ini tidak boleh dibuka sampai perahu tersebut
dimandikan kembali pada tahun berikutnya. Walaupun penutup perahu tidak boleh
diganti dalam kurun waktu satu tahun, tetapi sejak perahu Keramat diurus oleh Ibu Ida,60
pada tahun 2000, penutup perahu boleh dibuka sebanyak dua kali dalam setahun.
Pertama, pada malam hari raya Peh Chun, kedua pada waktu menjelang Imlek, tepatnya
seminggu sebelum hari raya Imlek.
60 Ida Herawati Syalim adalah keluarga bapak Rudi A. Kuhu, beliau juga menjabat sebagai pengurus
perahu keramat, yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkaitan mengenai perahu keramat.
Hal ini dilakukan hanya semata-mata karena pada hari raya Imlek, masyarakat
Cina selalu menginginkan segala sesatunya terlihat baru, agar perahu terlihat bersih.
Penggantian kain merah ini dilaksanakan lebih sederhana, hanya dilakukan oleh keluarga
keturunan Nenek Buyut Rudi A. Kuhu dan para penggurus Perahu Keramat.
C. Perhitungan Waktu Pelaksanaaan Upacara
Kronologi penanggalan Imlek (Khongcu Lek) dibuat oleh kaisar pertama, Oey
Tee / Huang Di (2698-2596 SM), bermarga Kongsun bernama Yu Kiong (Hoo Lam), Yu
HimKok, dan makamnya di Siamsay Kiau Ling. Wahyu Liok Tho atau peta Firman
diterima beliau ketika melakkan inspeksi antara Suangi Hoo dan Lo do pusaran air yang
bernama Cwi Kwi dan seekor ikan besar berenang mendekati beliau dengan membawa
peta tersebut. Dikenal dengan sebutan Bapak Ilmu Pengetahuan dan Kebuadayaan karena
dengan pembantunya, baginda membuat karya-karya besar bagi umat manusia, seperti:
a. Baginda senang mempelajari Ilmu falak dan ditemukannya kompas dan
pembantunya, Yong Sin menemukan teropong dan mendirikan observatorium
yang hebat.
b. Dengan dibantu oleh seorang ahli astronominya, dihitung tahun dengan sistem
Hwa Kak Cu / Lak Cap Kak Cie dan kemudian menjadi acuan umum penaggalan
Imlek / Khongcu Lek / Long Lek (Penanggalan Petani) sampai sekarang.
Penaggalan ini mulai dipakai oleh pendiri Dinasti He / Shia Yaitu Tay I / Da Yu
masa pemerintahan (2205-1766 SM), maka dinamakan He Lek (Penaggalan Dinasti He).
Setelah Dinasti He / Shia, berdirilah Dinasti Siang / Sang, kemudian oleh raja ditetapkan,
hari Tang Ce / Dong Zhi dianggap sebagai permulaan tahun. Setelah silih berganti
dinasti, pada masa Dinasti Han (masa pemerintahan Han Bu Tee / Han Wu Di, 104 SM),
penanggalan Dinasti He Lek / Imlek / Long Lek mulai dipakai kembali sampai sekarang.
Han Bu Tee sangat menghormati Nabi Khongcu, karena itulah penanggalan dihitung
sejak kelahiran Nabi Khongcu, yaitu tahun 551 SM.
Persembahyangan pada hari Twan Yang disertai dengan sembahyang Yue (eling
dan takwa kepada Thian Yang Maha Esa), yang dilakukan oleh umat Khonghucu
mengartikan bahwa manusia diingatkan untuk selalu ingat pada kekuasaan Tuhan, yang
tidak boleh dilupakan dan tidak bisa dipungkiri. Dengan takwa kepada-Nya, manusia
memohon agar selalu diberi kekuatan dalam cobaan dan diberi keselamatan dalam
menjalani hidup ini.
Persembahyangan Twan Yang (Go Gwe Ce Go) dilakukan pada tengah hari.
Bersamaan dengan hari raya Twan Yang, setelah tragedi Khut Gwan, masyarakat Cina
sekarang lebih mengenal hari itu sebagai hari raya Peh Chun, dan pada malam hari
sebelumnya, komunitas Cina Benteng melakukan upacara pemandian Perahu Keramat,
tepatnya sekitar pukul 00:00 WIB.
D. Tujuan dan Manfaat
Tradisi pemandian Perahu Keramat bertujuan untuk memberi penghormatan
kepada perahu yang dianggap keramat itu. Karena mereka percaya bahwa jika perahu
tersebut dirawat, maka masyarakat tersebut akan diberikan keselamatan dan terhindar
dari mara bahaya. Sedangkan manfaatnya, mereka akan mendapatkan berkah. Selain itu,
dilihat dari segi sosialnya, pelaksanaan upacara tersebut dapat mempererat hubungan
sosial, karena di tempat itu mereka berkumpul, bertemu antar sesama komunitas Cina itu
sendiri, juga dengan komunitas masyarakat lokal, serta untuk melestarikan tradisi Cina
yang sudah ada.
E. Analisis Kritis
Masyarakat Cina merupakan bagian komunitas masyarakat terbesar di dunia,
tetapi di Indonesia masyarakat Cina merupakan bagian komunitas yang minoritas dari
heterogenitas masyarakat Indonesia. Hal yang menarik dari komunitas Cina adalah
kebudayaanya yang estetis dan Maha Karya, dan begitu juga dengan agama komunitas
Cina. Inilah bukti bahwa komunitas Cina adalah sebuah komunitas yang kaya akan
budaya bernilai tinggi. Sejatinya, bahwa tradisi suatu masyarakat adalah sebuah cermin
dari pola konstruksi sosial itu sendiri atau hasil cipta, karsa, dan karya manusia.
Keunikan dari tradisi masyarakat Cina terlihat pada sebuah komunitas Cina
Benteng di Tangerang yaitu, tradisi perayaan Pek Cun (Duan Wu Jie), Ceng Beng ( Qing
Ming), hari raya Imlek (Chun Jie), Festifal lentera atau Cap Go Meh (Yuan Xiao Jie), dan
sebagainya. Terkait Cina Benteng Tangerang, tentu mempunyai sejarah tersendiri,
penjelasan mengenai bagaimana sejarah Cina Benteng Tangerang penulis sudah jelaskan
di atas.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menganalisa bahwa apakah ada pengaruh
tradisi lokal dalam tata cara ibadah agama Cina, dalam teori dasar antropologi, bahwa
sebuah tradisi budaya masyarakat merupakan pola hidup untuk berinteraksi dengan
komunitasnya. Tradisi merupakan simbolisme sebuah komunitas masyarakat. Dalam hal
ini masyarakat Cina mempunyai tradisi budaya tersendiri seperti, halnya Bangsa Inggris,
Indonesia, Arab, India, dan Afrika masing-masing mempunyai tradisi budaya dan cara
masing-masing, sehingga jika dalam sebuah komunitas masyarakat terdapat tradisi
budaya yang berbeda. Dalam teori dasar antropologi disebutkan bahwa, akulturasi budaya
atau integrasi akan terjadi, karena adanya interaksi antara dua kebudayaan yang berbeda
di suatu tempat tertentu. Jika kita lihat bahwa dalam kajian skripsi ini tentu disini terjadi
adanya akulturasi atau integrasi antara kebudayaan Cina dengan kebudayaan masyarakat
Indonesia itu sendiri .
Sejarah komunitas masyarakat Cina yang datang atau bermigrasi ke Indonesia
untuk mencari peruntungan, merubah nasib dan ingin bertahan hidup di negeri orang,
bukan ingin mempengaruhi masyarakat lokal (Indonesia),61
tentu dengan membawa
tradisi budaya dan agama Nenek Moyang mereka yaitu konfuisianisme (Khonghucu),
inilah kemudian yang menjadi sebuah pangkal persoalan dan Penulis mengangkat
persoalan ini, sebuah pertanyaan sederhana adalah apakah ada pengaruhnya tradisi
masyarakat lokal dalam tata cara ibadah agama Cina. Dikatakan bahwa dalam tradisi
Cina tidak mengenal keramat (sesuatu yang dikeramatkan).62
Komunitas Cina Benteng mengenal keramat tidak lain karena adanya pengaruh
dari tradisi budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, tetapi dalam tataran komunitas
masyarakat Cina Benteng Tangerang tentu sangat dipengaruhi oleh tradisi budaya
masyarakat setempat (Tangerang). Hal ini terlihat pada prosesi upacara pemandian
perahu keramat mpe Peh Chun, Pengkeramatan ini merupakan bagian dari tradisi budaya
masyarakat lokal yang merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat lokal, yang
kemudian mengalami proses akulturasi dengan tradisi budaya masyarakat Cina Benteng
pada khususnya.
61 Wawancara dengan informan kunci, Oey Tjin Eng, pada Tanggal 20 Juli 2008. 62 Wawancara dengan informan kunci, Oey Tjin Eng, pada Tanggal 20 Juli 2008.
Indikasi pengaruh tradisi lokal dalam tata cara ibadah agama Cina dapat
disimpulkan bahwa, pengaruh budaya masyarakat lokal dalam tata cara ibadah agama
Cina memang ada. Hal ini disebabkan adanya interaksi sosial dua kebudayaan sehingga
memungkinkan terjadinya proses akulturasi antara dua tradisi kebudayaan. Dijelaskan
juga bahwa dalam akulturasi budaya Cina dengan budaya lokal terjadi pada prosesi
upacara pernikahan masyarakat Cina (Chiou Thaou).
Hal ini terlihat jelas dengan adanya perpaduan dua kebudayaan, yaitu pada busana
dan aksesories pengantin yang menggunakan pakaian kebesaran Panglima Tiongkok pada
pengantin pria dan pemakaian aksesories kembang goyang,63
pada pengantin wanita.
Serta dalam upacara pernikahannya terlihat juga unsur akulturasi pada tabur beras
kuning. Padahal sebenarnya, tabur beras kuning ini biasanya dilakukan oleh masyarakat
sunda. Walaupun demikian komunitas masyarakat Cina tetap tidak menghilangkan
estetika budaya mereka yang sesungguhnya. Hal ini untuk menjaga dan melestarikan
budaya nenek moyang dan leluhur mereka (masyarakat Cina).
63 Salah satu aksesoris pengantin wanita pada perayaan Chou Thaou menggunakan kembang goyang. Hal
ini menunjukkan adanya proses akulturasi antara masyarakat Cina Benteng dengan masyarakat lokal
(dalam hal ini dengan masyarakat Betawi)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang Antropolog, Bee (William A Haviland: 1985), menyatakan bahwa, suatu
proses akulturasi menunjukan pada suatau proses perubahan yang dibedakan atas proses-
proses difusi, inovasi dan penemuan. Dalam hal pengkeramatan perahu yang dilakukan
oleh komunitas Cina Benteng ini, komunitas Cina Benteng mengalami proses difusi,
yaitu proses penyebaran sesuatu dari satu pihak ke pihak lain dan dapat juga dikatakan
sebagai pengaruh pengalihan pranata budaya melewati batas-batas bahasa karena
komunitas Cina Benteng menggunakan bahasa dengan logat Betawi Sunda dan mereka
tidak dapat menggunakan bahasa Cina bahkan tidak mengerti berbahasa Cina.
Secara umum, tidak ada pengaruhnya yang sangat signifikan yang diberikan oleh
tradisi lokal terhadap tata cara ibadah komunitas Cina Benteng. Tetapi bukan berarti tidak
ada sama sekali pengaruhnya, karena ada beberapa hal tradisi lokal yang mempengaruhi
komunitas Cina Benteng. Seperti contohnya: tabur beras kuning yang dilakukan pada saat
upacara Chiou Thaou (pernikahan adat Cina) dan tradisi ini biasanya dilakukan oleh
masyarakat lokal (Sunda). Selain tabur beras kuning dan bahasa yang mengalami proses
akulturasi, pengkeramtan benda juga dilakukan oleh komunitas Cina Benteng. Menurut
bapak Oey Tjin Eng, dalam agama Cina tidak ada ajaran mengenai pengkeramatan suatu
benda, dalam hal ini perahu. Menurutnya, pengkeramatan perahu ini merupakan hasil
proses akulturasi yang terjadi antara komunitas Cina Benteng dengan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal di sini bukanlah masyarakat Tangerang saja, tetapi juga ada campur
tangan masyarakat Jawa.
Kalau ditelisik secara luas, bangsa semua bangsa di dunia memiliki aneka suku
dan budaya, termasuk di Indonesia dan Cina. Dari berbagai suku dan budaya itulah
terdapat cirri khas yang berbeda, tapi ada juga yang satu sama lain memiliki kemiripan
(sama). Hal itu bisa saja terjadi dikarenakan lokasi yang tidak berjauhan. Dari zaman
dahulu sampai sekarang, banyak sekelompok masyarakat yang berasal dari satu suku
pindah ke tempat lain yang berlainan suku dan budaya. Misalnya, orang Jawa yang lebih
dikenal dengan melakukan ritual-ritual, menyimpan benda-benda pusaka atau keramat,
percaya dengan hal-hal yang magis dan mitos, seperti yang dipercaya dengan masyarakat
Indonesia pada umumnya, pindah ke Tangerang, yang mana masyarakat aslinya berasal
dari suku Sunda dan Betawi, dengan membawa budaya dan tradisi nenek moyang mereka
(Jawa).
Setelah berjalannya waktu, mereka yang datang membaur dengan kelompok
masyarakat lokal (Tangerang), kedua kelompok tersebut (Jawa-Betawi/Sunda)
mengalami suatu proses akulturasi dan integrasi. Begitu juga yang terjadi pada komunitas
Cina yang sekarang dikenal dengan sebutan Cina Benteng mengalami proses akulturasi
dengan masyarakat lokal dalam hal pengkeramatan perahu. Masyarakat lokal di sini
adalah masyarakat Jawa yang meninggalkan tradisi nenek moyangnya di tanah
Tangerang. Jadi, tradisi masyarakat Jawa lah yang mempengaruhi komunitas Cina
Benteng di Tangerang yang kemudian mengkeramatkan perahu. Pengkeramatan perahu
ini hanya ada di Tangerang. Mungkin di daerah lain banyak keramat-kaeramat lainnya,
hanya saja perahu keramat ini hanya ada di Tangerang.
Walaupun sangat banyak masyarakat Cina Benteng yang ingin ikut serta dalam
upacara pemandian perahu keramat, tetapi sangat sedikit orang yang tahu sejarah perahu
keramat dan arti simbolisasi perahu keramat serta pengetahuan mereka mengenai proses
akulturasi yang terjadi pada pengkeramatan perahu tersebut. Masih banyak di antaranya
yang berpendapat bahwa tradisi pemandian perahu keramat merupakan tradisi asli Cina,
seperti yang diungkapkan oleh responden Nancyta.
Komunitas Cina Benteng melakukan pengkeramatan perahu ini dengan maksud,
memohon perlindungan (protect) kepada Thien melalui perantaranya, yaitu melalui
perahu keramat. Namun, dengan masuknya tradisi budaya lokal, tidak membuat
komunitas Cina Benteng meninggalkan tradisi leluhurnya begitu saja. Mereka masih
sangat menghormati dan tetap menjalankan ajaran nenek moyang.
Fenomena Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy
Prabowo Witanto MA, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina
dengan budaya lokal.
B. Saran-saran
Setelah Penulis mengambil sebagian dari ajaran agama Cina, khususnya agama
Khonghucu yang berasal dari berbagai literatur, maka di sini Penulis mencoba untuk
memberikan saran atau masukan untuk bahan kajian studi mengenai agama-agama, yaitu:
1. Semua pemeluk agama dapat mengembangkan sikap toleransi antar umat
beragama, tidak saling mencurigai dan tidak menganggap bahwa hanya agamanya
sajalah yang paling benar. Sehingga antar pemeluk agama tersebut dapat hidup
saling rukun, damai dan tenteram. Karena pada dasarnya, semua agama itu
mengajarkan kebaikan, hanya saja tata caranya berbeda-beda.
2. Bagi Mahasiswa atau siapa pun yang belum pernah dan akan melakukan
penelitian, khususnya studi lapangan, sebaiknya koreksi kembali jawaban atau
hal-hal yang seharusnya diisi oleh responden, jangan sampai ada yang kosong,
karena hal itu akan sedikit mempersulit kita ketika mengolah hasil jawaban
tersebut.
3. Penulis sangat mengharapkan, agar buku-buku atau dalam bentuk literatur lainnya
mengenai agama-agama di dunia atau agama kepercayaan yang lebih spesifik
dapat diperbanyak, agar para pengkaji tidak mengalami kesulitan. Dan buku
mengenai komunitas Cina Benteng Tangerang diadakan di perpustakaan
khususnya perpustakaan kota Tangerang itu sendiri, agar masyarakat lebih banyak
mengetahui sejarah dan tradisi yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A.Haviland, William, Antropologi, edisi ke-4, Jilid 1, Jakarta: Erlangga, 1985.
_________, Antropologi, edisi ke-4, Jilid 2, Jakarta: Erlangga.
Badudu, J. S., dan Zais, Sultan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. Ke-3,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Cheng, Albert, Thong Sing: buku Kebijaksanaan Cina, cet. Ke-2, Jakarta: Abdi Tandur,
2001.
Daruni, D., Su si: Kitab nan Empat, Solo: MATAKIN, 1985.
Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang, Yogyakarta: Ombak, 2007.
Etnik Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Intisari, 2006.
F.O’dea, Thomas, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1985.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, cet.ke-2, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hadi, Y. Sumandiyo, Seni dalam Ritual Agama,Yogyakarta: Pustaka, 2006.
Halim, Wahidin, Ziarah Budaya Kota Tangerang, Jakarta: Pendulum, 2005.
Ham, Ong Hok, Riwayta Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu,
2005.
Hutomo, Suryo B. S., Tata Ibadah dan Dasar Agama Khonghucu, Jakarta: MATAKIN,
1983.
Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang, http/www.Arsitekturindis.com, diakses pada tanggal
22 Mei 2007.
Kelenteng Boen Tek Bio, Tangerang, tanpa Penerbit, tanpa Tahun.
Kelenteng Pak Kik Bio: Hian Thia Shiang Tee, 1951-2001, Surabaya: Widya Karya,
2001.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet.ke-22, Jakarta: Djambatan,
2007.
_____________, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987.
Lan, Nio Joe, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Jakarta: Keng Po, 1961.
Liliweli, Alo, makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Lkis, 2003.
Lombard, Dennys, Nusa Jawa: Silang Budaya, edisi 2, Jakarta: Gramedia Indo-Pustaka,
2000.
Lukman, Ali dan kawan-kawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Depdikbud, 1996.
MATAKIN, Kitab Bakti (Hau King), 2001.
_________, Kitab Tata Agama dan Laksana Upacara Agama Khonghucu, tanpa tahun.
Ming, Chau, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Khongfusianisme, Taoisme dan
Budhisme, Jakarta: Akademi Budhis Nalanda, 1986.
MSH, Yoest, Tradisi dan Kultur Tionghoa, Jakarta: Gerak Insani Mandiri, 2004.
Pandita Mpu Jaya wijayananda, Ida, Makna Filosofis Upacara dan Upakara, Surabaya:
Paramita, 2004.
Shadily, Hasan, Ensyklopedia Indonesia, jilid 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve,
tanpa tahun.
______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa
tahun.
______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa
tahun.
______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa
tahun.
Smith, Huston, Agama-agama Manusia (Terj.), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (Terj.), Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta Yogyakarta: Kepel Press, 2008.
Tanggok, M. Ikhsan, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, Tanpa Tahun.
Usman, H., dan Akbar, P.S., Metodologi Penelitian Sosiologi, Jakarta: Bumi Aksara,
2004.
RUMUSAN WAWANCARA DENGAN KOMUNITAS
CINA BENTENG
Nama :
Agama :
Alamat :
Hari/Tanggal wawancara :
Pertanyaan : 1. Sebagai komunitas Cina Benteng, apakah Anda tahu mengenai perahu keramat?
a) Tahu d) Tidak Tahu
b) Kurang Tahu e) Sangat Tidak Tahu
c) Sangat Tahu
2. Apakah Anda percaya dengan perahu keramat?
a) Percaya d) Tidak Percaya
b) Kurang Percaya e) Sangat Tidak Percaya
c) Sangat Percaya
3. Apakah Anda selalu melakukan ritual pemandian perahu keramat setiap
tahunnya?
a) Ya (Selalu) d) Tidak Pernah
b) Kadang-kadang e) Tidak Pernah sama sekali
c) Jarang
4. Apa arti perahu keramat menurut anda?
Jawab:
5. Apakah Anda percaya jika melakukan pemandian ritual tersebut seseorang akan
diberikan kemudahan dalam mencari rejeki, jodoh, kesehatan dan sebagaianya?
a) Percaya d) Tidak Percaya
b) Kurang Percaya e) Sangat Tidak Tahu
c) Sangat Percaya
6. Apakah perahu keramat itu bagian dari kepercayaan agama Cina?
a) Ya b) Bukan c) Tidak Tahu
7. Apakah Anda setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa dalam agama Cina
tidak ada tradisi mengenai pengkeramatan suatu benda (dalam hal ini perahu)?
a) Setuju d) Tidak Setuju
b) Kurang Setuju e) Sangat Tidak Setuju
c) Sangat Setuju
8. Apakah Anda tahu sejarah pengkeramatan perahu keramat?
a) Tahu d) Tidak Tahu
b) Kurang Tahu e) Sangat Tidak Tahu
c) Sangat Tidak Tahu
9. Apa arti pemandian perahu keramat menurut kepercayaan agama Cina?
Jawab :
10. Kapan pemandian perahu keramat itu dilakukan?
Jawab :
11. Apakah dalam ritual pemandian perahu keramat ada ritual-ritual tertentu, dan
biasanya pada jam berapakah pemandian perahu keramat itu dilakukan?
Jawab :
12. Apakah dalam ritual upacara pemandian perahu keramat tersebut dilakukan
berdasarkan cara asli kebudayaan Cina?
a) Ya b) Tidak c) Tidak Tahu
13. Apakah ritual pemandian perahu keramat mendapat pengaruh dari tradisi
masyarakat lokal?
a) Ya b) Tidak c) Tidak Tahu
14. Siapakah pemimpin yang memimpin dalam ritual pemandian perahu keramat?
Jawab :
TERIMA KASIH
(^_^)
RUMUSAN HASIL WAWANCARA
Nama : Oey Tjin Eng
Jabatan : Budayawan dan mantan pengurus Kelenteng Boen Tek Bio
Agama : Khonghucu
Alamat : Jl. Ki Sama’un, Pasar Lama, Tangerang
Hari/Tanggal : 20 Juli 2008
Hasil wawancara.
1. Tanya Apakah Anda sangat mengenal tradisi budaya masyarakat Cina?
Jawab: Saya masih dalam taraf pembalajaran untuk mengetahui lebih banyak lagi.
Tetapi, kalau berbicara masalah budaya, banyak sekali, contohnya, bahasa
itu termasuk budaya. Dalam bentuk upacara keagamaan juga ada, tetapi
upacara dalam agama Cina terwarnai dengan agama khonghucu, karena
dalam agama Budha tidak ada ajaran mengenai upacara.
2. Tanya: Dalam Kelenteng Boen Tek Bio ini tradisi apa saja yang selalu
dirayakan?
Jawab: Saya akan sedikit menjelaskan dahulu mengenai inti dari pada kelenteng
itu sendiri, yaitu memuliakan Tuhan, menghormati leluhur. Seperti
perayaan Kwan Im Po Chou, perayaan ini dilaksanakan secara besar-
besaran di Tangerang, tepatnya pada tanggal 19 bulan 9, sebagai hari
pencapaian kesempurnaannya sampai kembali kepada penguasa langit dan
bumi.
3. Tanya: Apakah tradisi dalam Kelenteng Boen Tek Bio ini ada yang
mengalami proses akulturasi antara Cina dengan tradisi lokal? Tradisi apa
saja?
Jawab: Kalau yang mengalami proses akulturasi antara agama Cina dengan tradisi
lokal itu tidak ada. Tetapi kalau dilihat ke Kelenteng Sam Poo Kong, yang
telah kita ketahui bahwa tokohnya (Ceng Ho)itu beragama Islam, tetapi
penduduk lokal (Indonesia) ketika menziarahi tempat itu (Kelenteng Sam
Poo Kong) menggunakan hio. Akan tetapi akaua kita melihat dalam
Kelenteng Boen Tek Bio itu, tidak ada pengaruh dari tradisi lokal yang
mengalami proses akulturasi itu hanya terdapat pada perahu keramat.
Perahu keramat ini disimpan di sekitar jalan Imam Bonjo, Karawaci, kalau
dari Kelenteng menyeberangi Sungai Cisadane dapat menggunakan
sampan/getek.
4. Tanya: Pada tradisi pemandian perahu keramat dalam perayaan Peh Chun,
Anda katakana bahwa tradisi ini mengalami proses akulturasi, tolong
jelaskan!
Jawab: Hal ini dapat dikatakan mengalami proses akulturasi. Karena dalam tradisi
agama tradisional, Cina tidak mengenal istilah keramat, yang biasanya
menggunakan istilah ini etrdapat pada tradisi masyarakat lokal (dalam hal
ini Jawa/kejawen)
5. Tanya: Apakah tujuan dan manfaat dari tradisi pemandian perahu keramat
tersebut?
Jawab: denganmandi air kembang bekas pemandian perahu keramat, bagi yang
percaya, air ini bermanfaat dan akan memperoleh keberkahan,
keselamatan, enteng jodoh bagi yang lajang, serta dimudahnkan
ekonominya.
6. Tanya: Apakah tradisi ini diadakan hanya oleh komunitas Cina Benteng
saja, atau mungkin diadakan juga oleh masyarakat Cina lainnya selain di
Tangerang?
Jawab: Tradisi pemandian perahu keramat ini hanya dilakukan di Tangerang ini.
7. Tanya: Dalam Kelenteng terdapat tiga agama Cina, apakah ketiga agama
tersebut mempunya tradisi yang sama?
Jawab: Dalam Tri Dharma ini mesing-masing memiliki tata ibadah sendiri, tetapi
untuk tradisi upacara tiga agama ini terwarnai oleh ajaran Khonghucu,
karena agama Khonghucu itu merupakan agama Negara (Tiongkok).
8. Tanya: Kapan upacara pemandian perahu keramat itu dilakukan?
Jawab: Pada malam Tanggal 5 bulan 5 Imlek, atau dikenal akrab oleh masyarakat
lokal dengan sebutan Go Gwe Che Go.
9. Tanya: Sejak kapan tradisi pemandian perahu keramat berlangsung?
Jawab: Sejak tahun 1912 Masehi
10. Tanya: Apakah dalam kitab suci terdapat ayat yang menyinggung tentang
pemandian perahu keramat ini?
Jawab: Tidak ada, karena pemandian perahu keramat merupakan tradisi lokal dan
bukan bukan tradisi Cina kuno.
11. Tanya: Persiapannya apa saja yang dilakukan untuk menyambut tradisi ini?
Jawab: Kira-kira sebulan sebelum diadakan acara pemandian perahu keramat,
kami membentuk kepanitiaan yang terdiri atas pengurus perahu keramat
(keluarga Rudi A. Kuhu) dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio. Dan
untuk memeriahkan acara tersebut, panitia menyusun berbagai acara,
mulai dari pertunjukan Liong dan Barongsai, Gambang Kromong sampai
acara puncaknya, pemandian perahu keramat.
12. Tanya: Adakah sesajian yang khas dalam melaksanakan tradisi pemnadian
perahu keramat?
Jawab: Biasanya masyarakat Cina Benteng membuat Bacang dan Kue Cang
sehari sebelum upacara pemandian perahu keramat dilaksanakan sebagai
makanan khas hari raya Peh Chun. Bacang dan Kue Cang ini disajikan
dengan makanan-makanan yang akan dipersembahyangkan di depan
perahu keramat.
13. Tanya: Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini? Serta apa
saja arti simbolisasinya?
Jawab: Panitia menyiapkan sesaji di depan perahu keramat dan altar-altar para
leluhur. Sesaji yang disediakan terdiri dari linma macam buah, yang
disebut Ngo Koo (Wu Guo). Seperti pisang dan jeruk yang merupakan
jenis buah-buahan pokok yang digunakan dalam sembahyang. Sedangkan
tiga buah lainnya boleh buah apa saja, kecuali jenis buah berduri seperti
durian atau salak, karena buah berkulit tajam itu dipercaya dapat melukai.
Pada saat memandikan perahu keramat, Panitia mempersiapkan air yang
diambil dari Sungai Cisadane, dicampur dengan kembang tujuh rupa, dan
kain merah (sebagai warna keberuntungan dan penolak bahaya), berbentuk
persegi sebanyak 500 lembar. Dan kain merah ini akan dibagikan kepada
siapa saja yang ingin ikut serta memandikan perahu keramat ini.
14. Tanya: Bagaimana tata cara dan waktu pelaksanaannya?
Jawab: Mendekati pukul 00:00, semua yang hadir di lokasi upacara berkumpul di
tempat penyimpanan perahu keramat, diawali dengan pembacaan doa-doa
yang dipimpin oleh pemuka agama Budha. Kemudian kain yang berwarna
merah sepanjang 11 meter yang menutupi perahu keramat itu dibuka. Dan
diatas kain tersebut terdapat kain yang berbentuk bunga sebanyak 5 ikat
dan beraneka warna, yaitu berwarna hijau, kuning, biru/hitam, putih dan
merah. Masing-masing sepanjang 5 meter. Setelah dibuka, perahu keramat
disiram dengan air yang diambil dari Sungai Cisadane (karena masyarakat
sekitar Sungai Cisadane percaya bahwa denag menggunakan air sungai itu
akan mendapatkan keberkahan). Dan agar lebih tercium aroma segar
ditambahkan shampoo. Pemandian perahu keramat ini dimulai oleh
keturunan keluarga nanak buyut Rudi A. Kuhu, kemudian para pengurus
perahu keramat dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian
diteruskan dengan warga yang ingin memandikan perahu keramat, baik
dari komunitas Cina Benteng maupun masyarakat lokal.
15. Tanya: kemudian, apa arti simbolisasi dari lima warna kain tersebut?
Jawab: Tiga warna dari kain, yaituhijau, kuning dan merah, melambangkan warna
naga. Hijau sebagai warna naga laut, kuning sebagai warna naga langit,
dan merah sebagai naga darat. Dan kedua warna lainnya, putih dan biru
atau dapat juga digantikan warna hitam, melambngkan Yin Yang
(keseimbangan).
16. Tanya: Apa yang membedakan antara Peh Chun dengan Twan Yang?
Jawab: Peh Chun (pesta air) dirayakan untuk mngenang jasa Khut Gwan yang
telah banyak berkorban untuk negaranya dan setelah negeri tercintanya
hancur, Khut Gwan merelakan dirinya mati dengan cara menceburkan diri
ke Sungai Bek Lo. Kejadian tersebut bertepatan dengan hari raya Twan
Yang. Jadi, sebelum adanya Peh Chun, masyarakat Cina sudah lebih dulu
merayakan hari Twan Yang.
17. Tanya: Menurut Anda, apakah pengertian dan makna “keramat”?
Jawab: Keramat adalah mensaksalkan sesuatu, baik berupa benda suci atau yang
mempunyai kekuatan supranatural, atau mensucikan orang yang telah
meninggal dunia dan telah berjasa kepada masyarakat sekitar selama
hidup di dunia.
18. Tanya: Mengenai kawin campur, perkawinan yang terjadi antara orang
Cina dengan masyarakat lokal, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Jawab: Sebelumnya, saya akan menjelaskan bagaimana awal kedatangan orang-
orang Cina ke Tangerang. Karena hal ini sangat berhubungan erat dengan
terjadinya kawin campur antara Cina Benteng dengan penduduk lokal.
Pada tahun 1407 terdampar sebuah peraahu di Teluk Naga yang dibawa
oleh Tjen Tji Lung (Ha Lung). Perahu tersebut mengalami kerusakan dan
juga kehabisan perbekalan. Menurut kitab Babad Sunda yang berjudul
Tina Layang Parahyang (catatan dari Parahnyangan), Ha Lung membawa
9 orang gadis dari Cina dan para gadis itu dinikahi oleh pegawainya yang
berpenduduk lokal, Anggalarang, aeorang wakil adipati. Dan yang laki-
laki dari Cina menikah dengan wanita pribumi atau yang disebut kawin
campur. Seiring berjalannya waktu desa teluk Naga tersebut berkembang,
setelah berkembang mereka pindah ke desa Pangkalan, di sana mereka
semakin berkembang dan pindah lagi ke tempat lainnya.
19. Tanya: Sebenarnya, dalam agama Cina apakah ada larangan kawin
campur?
Jawab: Tidak ada
20. Mengenai Cina Benteng, bagaimana asal usul penyebutan Cina Benteng itu?
Jawab: Dahulu di sepanjang pesisir Sungai Cisadane dari Babakan sampai
Benteng Makasar ada sebuah benteng yang dibangun oleh colonial
Belanda, benteng itu dibangun untuk tempat perlindungan atau benteng
pertahanan Belanda ketika berperang dengan kerajaan Banten. Tapi
sekarang benteng itu sudah hancur, ada yang bilang hancur karena terkikis
erosi. Di daerah tersebut dijadikan tempat pengungsian orang-orang Cina
samapai sekarang banyak komunitas Cina yang tinggal di sana. Orang-
orang itulah yang disebut komunitas Cina Benteng karena tinggal di
benteng.
21. Menurut Anda, apakah yang menjadi daya tarik atau ciri khas masyarakat
Cina Benteng Tangerang?
Jawab: Komunitas Cina Benteng ciri-cirinya berkulit hitam, bahasa sehari-harinya
berlogat Betawi-Sunda dan bicaranya canderung kasar, perekonomiannya
pas-pasan.
22. Apa sebutan orang yang memimpin upacara agama dalam hal ini upacara
tradisi pemandian perahu keramat?
Jawab: Dalam upacara pemandian perahu keramat, tidak ada sebutan tertentu
untuk sebutan orang yang memimpin upacara.
23. Tanya: Dalam hal bahasa, apakah ada pengaruh bahasa lokal yang mesuk
ke dalam dialektika bahasa Cina (Cina Benteng)?
Jawab: Jelas ada. Orang Cina Benteng mendapat pengaruh bahasa dari bahasa
Sunda dan Betawi. Mayoritas masyarakatnya sudah tidak bisa berbahasa
Hokkian (Cina), termasuk saya, saya tidak bisa berbahasa Cina, tetapi
kalau bahasa mandarin saya masih bisa.
24. Tanya: Apakah dalam keseharian masyarakat Cina Benteng menggunakan
abahasa Cina untuk berintegrasi dengan sesame Cina?
Jawab: Mayoritas menggunakan bahasa lokal
25. Sebagian besar komunitas Cina Benteng itu mata pencahariannya sebagai
apa?
Jawab: Mayoritas komunitas Cina Benteng pekerjaannya sebagai pedagang dan
ada juga yang berprofesi sebagai nelayan di Sungai Cisadane, tukang
becak. Sebagian besar komunitas Cina di Indonesia terdiri atas orang
Hokkian, yang biasanya berprofesi sebagai petani, nelayan, ahli
perkebunan, pedagang. Kemudian ada juga orang Hakka, biasanya sebagai
bekas kuli tambang batu bara,orang Tio Tjiu, biasanya sebagai juru masak,
kemudin ada orang Kong Hu, sebagai ahli pahat, orang Hai Lan (Hinan),
itu menurut Yan Qi Kwang, seorang guru besar universitas di Cina.