pengaruh pola asuh belajar, lingkungan … · pembelajaran dengan motivasi belajar siswa, 6)...

79
63 PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA SEKOLAH DASAR KARTIKA WANDINI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: nguyennguyet

Post on 02-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

63

PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGANPEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI

AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIKSISWA SEKOLAH DASAR

KARTIKA WANDINI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGAFAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008

KARTIKA WANDINI. A54104046. Pengaruh Pola Asuh Belajar, LingkunganPembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik terhadap Prestasi AkademikSiswa Sekolah Dasar. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH.

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar,lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasiakademik siswa sekolah dasar. Tujuan khususnya adalah:1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga pada lingkungan pembelajaran, 2)Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan prestasiakademik siswa pada situasi lingkungan pembelajaran,3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar siswa, 4)Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuhbelajar siswa, 5) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkunganpembelajaran dengan motivasi belajar siswa,6) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasibelajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa,7) Menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajardan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa.

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukandi tiga sekolah dasar dari tiga model lingkungan pembelajaran berbeda yang dipilihsecara purposive, yaitu SDN Sukadamai 3 (kelompok 1), SD Amaliah (kelompok 2) danSD Citra Alam (kelompok 3). Pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Mei 2008.Contoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah dasar.Pada masing-masing sekolah dipilih secara purposive 30 contoh untuk dianalisis lebihlanjut.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primermeliputi karakteristik individu, karakteristik keluarga, pola asuh belajar (gayapengasuhan dan fasilitas belajar), motivasi belajar, dan potensi akademik. Datasekunder meliputi prestasi akademik dan keadaan umum lingkungan pembelajaran.Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Pengolahan dananalisis data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan Statistical Package forSosial Science (SPSS) 10,0 for Windows.Untuk melihat ada tidaknya perbedaan padamasing-masing variabel contoh di ketiga lingkungan pembelajaran digunakan ujiKruskal-Wallis dan uji lanjut Duncan. Untuk menganalisis hubungan antar variabeldigunakan uji korelasi Spearman dan Chi-Square. Untuk menganalisis pengaruh polaasuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi akademik terhadapprestasi akademik contoh digunakan analisis regresi linear berganda.

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata umur contoh pada ketiga lingkunganpembelajaran adalah 10,4 tahun, dengan kisaran umur antara 10,0-11,4 tahun (73,3%)dan jenis kelamin perempuan (53%) sebagai proporsi terbesar. Proporsi terbesar tingkatpendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi (83,9%), pekerjaan ayah adalah pegawaiswasta (50%) dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga (42%). Sementara itu,proporsi terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%),dan tidak memiliki pendapatan tambahan (77,8%), untuk ibu tidak memiliki pendapatanutama (35,6%) dan tambahan (90%). Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5orang. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan tingkat pendidikanorang tua (p<0,01), jenis pekerjaan orang tua (p<0,01), tingkat pendapatan utama ibu(p<0,01) dan tingkat pendapatan tambahan ayah (p<0,01) antar kelompok lingkunganpembelajaran.

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, tidak terdapat perbedaan motivasi belajar,gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar antar kelompok lingkunganpembelajaran, namun terdapat perbedaan pada potensi akademik contoh (p<0,01) danprestasi akademik (p<0,01). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan potensi

akademik dan prestasi akademik, terdapat pada contoh di Kelompok 1 dengan contoh dikelompok 2 dan di kelompok 3.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatifantara umur dengan motivasi belajar (p<0,01; rs=-0,416). Berdasarkan hasil uji Chi-Square, tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antaraumur dengan gaya pengasuhan orang tua, namun terdapat hubungan negatif antaraumur dengan fasilitas belajar (p<0,05; rs=-0,211). Berdasarkan hasil uji Chi-Square,terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan orangtua (p<0,01),namun tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan fasilitas belajar. Hasil ujikorelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkatpendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar.Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan antara jenis pekerjaan ayahdengan gaya pengasuhan orang tua (p<0,01), namun tidak terdapat hubungan antarajenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan orang tua, dan antara jenis pekerjaanorang tua dengan fasilitas belajar contoh. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tidakterdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan orang tua danfasilitas belajar contoh.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positifantara gaya pengasuhan orang tua dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,270) danantara fasilitas belajar dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,261). Berdasarkan hasil ujiChi-Square, tidak terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasibelajar.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan positif antara gayapengasuhan orang tua dengan prestasi akademik (p<0,05; rs=0,254) dan antara fasilitasbelajar dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,333). Berdasarkan hasil uji Chi-Square,terdapat hubungan (p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik.Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara motivasibelajar dengan prestasi akademik, namun terdapat hubungan positif antara potensiakademik dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,651). Hasil analisis regresi linearberganda menunjukkan bahwa 59,8 persen prestasi akademik dipengaruhi oleh faktorgaya pengasuhan orang tua, lingkungan pembelajaran dan potensi akademik.

Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik, makadisarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan yang baik.Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namundengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian. Mengingatsekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik, maka disarankan kepada pihaksekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat merangsang minat siswauntuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara mengajar yangmemungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan melakukan aktivitasbelajar dengan penuh percaya diri

PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGANPEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI

AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIKSISWA SEKOLAH DASAR

KARTIKA WANDINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PertanianProgram Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGAFAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008

JUDUL : PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN

PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI

AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA

SEKOLAH DASAR

NAMA : Kartika Wandini

NOMOR POKOK : A54104046

Disetujui

Dosen Pembimbing

Ir. Melly Latifah, M.SiNip. 131879327

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kehadirat Nabi Muhammad SAW,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk

membimbing dan memberi arahan kepada penulis.

2. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc, Ph.D yang telah meluangkan waktu untuk memberi

masukan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing seminar dan dosen penguji atas

arahan dan saran yang diberikan.

4. Katrin Roosita, Sp, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.

5. SD Negeri Sukadamai 3 Bogor, SD Islam Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam

Ciganjur atas ijin yang telah diberikan sehingga penulis dapat melakukan penelitian.

6. Teman-teman Pondok Surya, Wiwik dan Fiska (STK 41) atas masukan kepada

penulis selama masa pengolahan data.

7. Best friends (Devita, Rizka, Ima, Veny, Ratna, Lia, Angel, Dedew, Ani, Devy, Inur,

Rika, Ira, Ana (GMK 40)) dan seluruh GAMASAKERS 41 yang tidak penulis

sebutkan satu per satu.

8. M. Idris yang telah banyak memberi perhatian dan bantuan kepada penulis.

9. Kakak, Ayah, dan Ibu atas kasih sayang, doa serta dukungan moril dan materil yang

senantiasa diberikan kepada penulis. Penulis berharap skripsi ini menjadi awal

kebanggaan untuk Ayah dan Ibu.

10. Pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis

berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memperhatikan

dunia pendidikan.

Bogor, Agustus 2008

Penulis,

RIWAYAT HIDUP

Kartika Wandini, lahir di Jakarta, pada 11 Desember 1986 dan merupakan anak

kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02

Pagi Rambutan Jakarta Timur pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di MTs

Negeri 7 Model Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun 2001. Penulis kemudian

melanjutkan pendidikan di SMU negeri 58 Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun

2004. Selanjutnya, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian

pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi antara

lain Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), GMSK English

Club (GEC), dan Bina Desa. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitian

dan menjadi ketua panitia Food Nutrition Competition X dalam rangkaian Nuansa

Pangan dan Gizi Keluarga X. Tahun 2006, penulis menjadi finalis dalam Project

Proposal Competition yang diadakan oleh Meat and Livestock Australia. Penulis juga

menjadi finalis dalam rangka Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan

tingkat IPB.

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL…...........................................................................................

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................

PENDAHULUAN .............................................................................................

Latar Belakang ........................................................................................

Perumusan Masalah................................................................................

Tujuan Penelitian.....................................................................................

Kegunaan Penelitian ...............................................................................

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................

Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar....................................................

Prestasi Akademik…………………..........................................................

Potensi Akademik…..................................................................................

Motivasi Belajar….....................................................................................

Pola Asuh Belajar……………...................................................................

Lingkungan Pembelajaran........................................................................

Karakteristik Keluarga...............................................................................

Pendidikan Orang Tua..........................................................................

Pekerjaan Orang Tua...........................................................................

Pendapatan Keluarga...........................................................................

Besar Keluarga.....................................................................................

Karakteristik Individu.................................................................................

Umur...................................................................................................

Jenis Kelamin…………………..............................................................

KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................

METODE PENELITIAN ...................................................................................

Desain, Tempat dan Waktu .....................................................................

Penarikan Contoh.....................................................................................

Jenis dan Cara Pengambilan Data ..........................................................

Pengolahan dan Analisis Data.................................................................

Definisi Operasional.................................................................................

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................

Karakteristik Individu Contoh....................................................................

Karakteristik Keluarga Contoh..................................................................

iii

v

vi

1

1

3

4

4

5

5

6

7

8

9

12

13

13

14

14

15

16

16

17

18

20

20

20

20

21

23

25

25

26

Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran….........................................

Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi Akademik, dan PrestasiAkademik Contoh pada Lingkungan Pembelajaran…….………….....

Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar Contoh

Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga dengan PolaAsuh Belajar Contoh…………………………………………………..….

Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajarandengan Motivasi Belajar Contoh…………………………………………

Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran,Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi AkademikContoh…………………………………………………………………...…

Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, dan PotensiAkademik terhadap Prestasi Akademik Contoh

KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................

LAMPIRAN.......................................................................................................

30

32

36

38

47

49

54

57

59

62

DAFTAR TABEL

HalamanTabel 1 Jenis dan cara pengambilan data....................................................... 21

Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan rentang umur ...................................... 25

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin....................................... 26

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua................. 26

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua...................... 27

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua ... 28

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orangtua............................................................................................. 29

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga..................................... 30

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan....... 33

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan ................................ 33

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar..................................... 34

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar.................................... 34

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik................................. 35

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik................................ 36

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar.................... 37

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar ....... 38

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan ................ 39

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur orangtua dan fasilitas belajar...... 40

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan.... 40

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar......... 41

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dangaya pengasuhan............................................................................... 42

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua danfasilitas belajar ................................................................................... 43

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua dan gayapengasuhan ....................................................................................... 44

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua danfasilitas belajar ................................................................................... 45

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuhbelajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar )................................. 46

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan motivasibelajar………………........................................................................... 47

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar ................................................................................ 49

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar dan prestasi Akademik ......................................................................................... 50

Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik ............................................................................ 51

Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik ......................................................................................... 52

Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik ......................................................................................... 53

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Hubungan Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Siswa Sekolah Dasar ...................................................................... 19

DAFTAR LAMPIRAN

HalamanLampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis.............................................................. 63

Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran....................................................... 63

Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ........................................................... 64

Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ........................................................... 64

Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran .......................................................... 64

Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ............................... 64

Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ............................................ 65

Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran............................................................ 65

Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran..................................................... 65

Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearman ........................................ 66

Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square ............................................................. 67

Lampiran 12 Hasil analisis regresi linear berganda........................................... 67

PENDAHULUAN

Latar BelakangPrestasi akademik adalah cerminan kemampuan siswa dalam mengikuti

pembelajaran di sekolah dan dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan

proses belajar. Berdasarkan teori Erikson, anak usia sekolah berada pada fase industry

versus inferiority (Papalia & Olds 1989; Gunarsa 2006). Pada fase tersebut, anak

sedang membangun kepribadiannya. Apakah anak akan menjadi pribadi yang merasa

mampu dan percaya diri (industry) atau sebaliknya, merasa rendah diri (inferiority)

sangat tergantung kepada stimulasi psikososial yang diperoleh di rumah, sekolah, dan

lingkungan teman sebaya.

Nilai rapor dapat menjadi pemacu anak dalam mengembangkan rasa industry.

Nilai rapor yang memuaskan akan membuat anak merasa mampu dan percaya diri di

bidang akademik. Selanjutnya, hal tersebut akan memotivasi anak untuk belajar lebih

giat. Menurut Suryabrata (2005), rasa industry membantu anak mencapai prestasi

akademik yang diharapkan, sehingga makin menumbuhkan rasa percaya diri.

Sebaliknya, bila prestasi akademik anak kurang atau buruk, maka akan menumbuhkan

rasa inferiority yang selanjutnya menghambat prestasi akademik. Dengan demikian,

prestasi akademik menjadi penting artinya bagi anak usia sekolah dalam membangun

kepribadiannya.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Faktor-faktor

tersebut dapat berasal dari dalam diri atau pun luar diri anak. Faktor dalam diri yang

dapat mempengaruhi prestasi akademik anak antara lain, motivasi belajar dan potensi

akademik. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi belajar memberi kontribusi

sebesar 36% terhadap prestasi belajar, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain,

diantaranya kecerdasan (potensi akademik). Apabila anak mempunyai tingkat

kecerdasan normal atau di atas normal, maka secara potensi, anak dapat mencapai

prestasi yang baik. Namun, potensi saja tidak dapat dijadikan jaminan keberhasilan.

Sadli (1986) menyatakan bahwa potensi akademik tanpa rangsangan pendidikan,

pengalaman, serta latihan yang tepat, akan membuat potensi tidak berkembang optimal,

sehingga prestasi yang dicapai juga tidak optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai

prestasi yang diharapkan, dibutuhkan dukungan positif dari faktor luar (orang tua dan

sekolah).

Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan motivasi belajar dan

mencapai prestasi akademik. Peran tersebut diterapkan orang tua melalui pola asuh

belajar. Cara orang tua dalam menerapkan pola asuh belajar dipengaruhi oleh kondisi

keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Hurlock 1981). Selain itu, untuk mewujudkan

prestasi akademik, diperlukan adanya kerjasama antara orang tua dengan pihak

sekolah. Peran sekolah dalam mewujudkan prestasi akademik, dapat dijelaskan melalui

berbagai hal, antara lain kegiatan belajar mengajar, keadaan dan fasilitas sekolah,

peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi pelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa pola asuh belajar, lingkungan

pembelajaran di sekolah, motivasi belajar, dan potensi akademik berperan dalam

menunjang prestasi akademik anak. Mengingat pentingnya prestasi akademik bagi

pengembangan kepribadian anak, maka penting untuk meneliti pengaruh faktor-faktor

tersebut terhadap prestasi akademik.

.

Perumusan MasalahPrestasi akademik berperan penting dalam membangun kepribadian anak usia

sekolah. Dengan prestasi akademik yang baik akan terbangun rasa percaya diri

(industry) pada anak. Sebaliknya, bila prestasi akademiknya buruk, akan timbul rasa

rendah diri (inferiority) pada anak.

Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam atau pun luar.

Motivasi belajar dan potensi akademik adalah dua dari beberapa faktor dalam diri yang

dapat mempengaruhi prestasi akademik. Dalam pengembangannya, motivasi dan

potensi membutuhkan stimulus dari lingkungan (orang tua dan sekolah) agar bisa

mencapai hasil yang optimal. Stimulus yang diberikan orang tua, diterapkan melalui pola

asuh belajar di rumah, sedangkan stimulus dari sekolah diwujudkan melalui situasi dan

kondisi lingkungan pembelajaran.

Untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi

prestasi akademik, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat

memberi saran yang mendukung peningkatan prestasi akademik.

Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah

bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar, hubungan

antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar, hubungan antara

pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar, hubungan

antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi

akademik dengan prestasi akademik. Pada akhirnya, sejauh mana pengaruh pola asuh

belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap

prestasi akademik menjadi penting untuk diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat

menjadi masukan untuk perbaikan prestasi akademik.

TujuanTujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola asuh

belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap

prestasi akademik siswa sekolah dasar.

Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga pada lingkungan

pembelajaran siswa sekolah dasar.

2. Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan

prestasi akademik siswa pada lingkungan pembelajaran.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar

siswa sekolah dasar.

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola

asuh belajar siswa sekolah dasar.

5. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran

dengan motivasi belajar siswa sekolah dasar.

6. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran,

motivasi belajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa sekolah

dasar.

7. Menganalisis pengaruh motivasi belajar, pola asuh belajar, lingkungan

pembelajaran, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa sekolah

dasar.

Kegunaan PenelitianHasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para orang tua

dan para pendidik tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik

siswa sekolah dasar. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki

kualitas sumberdaya manusia generasi penerus bangsa melalui peningkatan kualitas

pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan prestasi akademik

siswa sekolah dasar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi

pengembangan keilmuan, khususnya di bidang perkembangan dan pendidikan anak

usia sekolah.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Anak Usia Sekolah DasarBerdasarkan teori perkembangan Papalia dan Old, pada usia 6 hingga 12 tahun

anak berada pada masa usia sekolah. Menurut Kogan (1966) dalam Turner dan Helms

(1990), pada usia sekolah anak berada pada periode kritis. Periode tersebut merupakan

periode tertentu ketika lingkungan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan

kognitif seorang anak. Hawadi (2001) menambahkan, bila pada masa tersebut anak

membentuk kebiasaan untuk mencapi sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.

Apabila anak mengembangkan kebiasaan untuk bekerja sesuai, di bawah, atau di atas

kemampuan, maka kebiasaan ini akan menetap dan cenderung mengenai semua

bidang kehidupan tidak hanya di bidang akademik. Menurut Hurlock (1991), perbedaan

seks dalam pertumbuhan fisik hampir tidak tampak secara nyata hingga akhir masa

kanak-kanak. Namun, anak laki-laki cenderung lebih pendek dan ringan daripada anak

perempuan dengan usia yang sama hingga matang secara seksual.

Salah satu tugas perkembangan anak usia sekolah adalah mengembangkan

keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung (Hurlock 1991). Menurut

Suryabrata (1982), pada akhir sekolah dasar terdapat beberapa sifat khas pada anak,

antara lain minat realistik ingin tahu dan ingin belajar, minat kepada hal-hal dan mata

pelajaran khusus, sampai kurang lebih usia sebelas tahun anak pada umumnya

menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas, anak berusaha menyelesaikan tugas

sendiri, dan anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai

prestasi sekolah.

Menurut pandangan Sigmund Freud, pada usia sekolah terjadi perkembangan

yang luar biasa secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan (Gunarsa 2006).

Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, usia 7-12 tahun tergolong masa konkrit

operasional. Pada masa itu, anak sudah dapat berfikir logis dan mulai mengenal adanya

hubungan fungsional (Soeitoe 1982). Anak mempunyai struktur kognitif untuk dapat

berpikir dan melakukan tindakan tanpa bertindak secara nyata. Namun, apa yang

dipikirkan masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang

konkrit, suatu realitas secara fisik, dan benda-benda yang nyata. Oleh karena itu, benda-

benda atau kejadian yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit dengan

realitas masih sulit dipikirkan oleh anak usia sekolah dasar.

Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson, pada masa usia sekolah,

anak berada pada fase industry versus inferiority. Fase industry adalah fase ketika anak

memiliki keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu. Namun disisi lain, Erikson juga

menyebutkan bahwa fase inferiority seringkali timbul pada anak usia sekolah. Fase ini

terjadi ketika anak menemui kegagalan dan merasa kegagalan tersebut terlihat

dihadapan orang lain sehingga akan timbul rasa rendah diri (Gunarsa 2006).

Prestasi AkademikIstilah hasil belajar berasal dari bahasa Belanda “prestatie, yang berarti hasil

usaha (Abdullah 2008). Menurut Winkel (1996) dalam Ridwan (2008), belajar adalah

suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan. Belajar menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, dan nilai sikap. Prestasi akademik merupakan tingkat kemampuan yang

dimiliki siswa untuk menerima, menolak, dan menilai informasi yang diperoleh dalam

proses belajar mengajar (Ridwan 2008).

Setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan.

Prestasi akademik yang dicapai seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam

mempelajari materi pelajaran setelah mengalami proses belajar. Menurut Somantri

(1978) dalam Nurani (2004), prestasi akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam

kurun waktu tertentu pada mata pelajaran tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka

dan dirumuskan dalam rapor.

Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar

karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari

proses belajar. Untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, maka perlu

diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Hawadi (2001), faktor-

faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berasal dari dalam diri (faktor intrinsik)

dan luar diri seseorang (faktor ekstrinsik). Adapun faktor intrinsik yang mempengaruhi

prestasi belajar antara lain potensi akademik, bakat, minat dan motivasi belajar,

sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain keadaan

keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah (Ridwan 2008). Menurut

(Gunarsa dan Gunarsa 2006), kurangnya hasrat untuk berprestasi pada siswa dapat

disebabkan oleh berbagai hal, antara lain ketidakpuasan terhadap prestasi yang

diperoleh dan kurangnya rangsangan dari pihak sekolah atau orang tua dan guru yang

terlalu menekan.

Potensi Akademik

Potensi adalah salah satu kemampuan manusia untuk melakukan suatu

kegiatan. Turner dan Helms (1990) mengindikasikan bahwa potensi yang dimiliki

seseorang berasal dari faktor genetik yang diwarisi orang tua, sementara dalam

perkembangannya ada pengaruh dari faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian

Turner dan Helms, bila anak kembar identik dibesarkan pada lingkungan yang sama,

maka kecerdasan anak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Apabila anak kembar

tersebut dibesarkan pada lingkungan yang berbeda dan ternyata memiliki kecerdasan

berbeda, maka lingkungan berperan penting untuk membantu anak mengoptimalkan

potensi, sedangkan bila kecerdasan anak tersebut sama, diasumsikan karena adanya

persamaan genetik. Sementara itu, bila anak kembar dengan genetik yang berbeda

dibesarkan pada lingkungan yang sama dan lingkungan menunjukkan sebagai faktor

yang signifikan, maka hal ini sama seperti hubungan yang terjadi pada anak kembar

identik.

Potensi menyangkut persoalan kecerdasan atau inteligensi yang merupakan

struktur mental untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami sesuatu (Sardiman

2005). Kecerdasan (potensi akademik) merupakan salah satu aspek penting yang

sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. jika anak mempunyai tingkat

kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi anak dapat mencapai

prestasi yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan intelegensi anak, maka semakin besar

peluang untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi

seseorang maka semakin kecil peluang untuk meraih sukses (Muhibbin 1999 dalam

Ridwan 2008).

Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget, usia sekolah berada pada

tahapan konkrit operasional. Tahapan ini menjelaskan bahwa kemampuan anak untuk

berkomunikasi dan berpikir semakin baik dibanding tahapan sebelumnya tetapi cara

berpikir anak masih terbatas pada apa yang ada dihadapan anak dan apa yang terjadi

saat itu (Papalia & Olds 1989).

Terdapat dua pendapat mengenai dapat tidaknya inteligensi dikembangkan.

Pertama, menurut Binet dan W. Stern, inteligensi tidak dapat di kembangkan. Kedua,

menurut Kohnstamm, inteligensi dapat dikembangkan, namun hanya mengenai segi

kualitas dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena setiap manusia memiliki

batas yang berlainan, maka pengembangan hanya sampai pada batas kemampuan

(Sujanto 2004). Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai

kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup,

lingkungan yang positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya

potensi yang telah ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan

tersebut. Sadli (1986) menyatakan bahwa bakat inteligensi tanpa rangsangan

pendidikan, pengalaman serta latihan yang tepat dan memadai tidak akan berkembang

optimal, sehingga prestasi yang dicapai seseorang juga tidak optimal.

Menurut Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002), untuk mencapai prestasi

akademik yang diharapkan, anak usia sekolah hendaknya menguasai lima keterampilan

dasar dalam proses pembelajaran. Lima keterampilan tersebut adalah Seeing selectively

(melihat secara selektif), Hearing accurately (mendengar secara akurat), Reading and

understanding words (membaca dan memahami kata-kata), Coordinating visual-motor

activities (mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik) dan Thinking logically (berpikir

logis).

Seeing selectively merupakan proses visual yang diukur berdasarkan

kemampuan seseorang untuk mengingat kembali pola-pola visual (Visual Memory).

Hearing accurately merupakan proses mendengar yang diukur dari kemampuan untuk

mengingat kembali urutan informasi yang telah didengar (Auditory Sequencing) dan

kemampuan seseorang untuk menyebutkan kembali informasi-informasi yang telah

didengar (Auditory Memory). Reading and understanding words merupakan proses

verbal yang diukur dari kemampuan seseorang berkaitan dengan seberapa besar

pengetahuan anak tentang kata-kata yang telah dikenal (Vocabulary). Coordinating

visual-motor activities merupakan proses kinesthetic Learning yang diukur dari

kemampuan seseorang untuk mempelajari bentuk-bentuk perubahan. Sementara itu,

Thinking logically merupakan proses berpikir abstrak yang diukur dari kemampuan

seseorang untuk mengkombinasikan beberapa proses (Integration) dan kemampuan

seseorang untuk memperhatikan stimulasi atau rangsangan tertentu (Concentration)

(Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002).

Motivasi BelajarMotivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Menurut

Wlodkowski (1985) dalam Suciaty dan Irawan (2001) motivasi dalam pandangan

behaviorisme merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku

tertentu, dan memberi arah serta ketahanan pada suatu tingkah laku. Menurut Ames

dan Ames (1984) dalam Suciaty dan Irawan (2001) Motivasi menurut pandangan kognitif

adalah perspektif yang dimiliki seseorang mengenai diri dan lingkungan.

Heckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa, motivasi belajar amat

penting dalam keberhasilan belajar. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi

merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Motivasi

memberi kontribusi sebesar 36% terhadap prestasi akademik. Sadli (1986) menyatakan

bahwa, potensi yang dimiliki seseorang akan tetap kurang berkembang bila tidak cukup

disertai dengan motivasi. Individu yang mempunyai kemampuan memotivasi tinggi, akan

memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus

asa dalam menyelesaikan masalah. Sukmadinata (2003) menyatakan, dengan

kemampuan memotivasi diri seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang

positif dalam menilai segala sesuatu.

Menurut Hawadi (2001), ragam motivasi belajar memiliki dua bentuk. Pertama,

motivasi belajar yang berasal dari dalam diri (intrinsik). Motivasi ini muncul tanpa adanya

dorongan dari pihak luar, siswa belajar karena kesadaran atau keinginan untuk belajar

dan berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan. Kedua, motivasi belajar

yang berasal dari luar diri (ekstrinsik). Motivasi ini muncul karena faktor di luar diri baik

dari lingkungan keluarga atau dari sekolah. Penelitian Ames dan Achter (1987) dalam

Hawadi (2001) menyebutkan, pada ibu yang amat menekankan nilai rapor anaknya,

maka motivasi yang berkembang lebih ke arah ekstrinsik, sedangkan ibu yang lebih

mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat bahwa keberhasilan adalah

hasil dari usaha, maka motivasi yang berkembang lebih ke arah intrinsik.

Selain faktor keluarga, faktor sekolah turut mempengaruhi pembentukan ragam

motivasi siswa. Situasi belajar, besar kecilnya kelas serta konsep dan metode

pembelajaran yang diterapkan merupakan aspek yang terkait dengan lingkungan

sekolah. Pada umumnya, siswa akan terdorong bekerja lebih tekun pada mata pelajaran

yang diajarkan oleh guru yang disenangi (Hawadi 2001).

Pola Asuh Belajar

Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,

membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak (Anonim 2008). Stimulasi orang

tua merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan

kognitif seorang anak (Hoghughi & Long 2004). Dibidang pendidikan, orang tua memiliki

pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua

lakukan untuk menunjang prestasi akademik anak usia sekolah antara lain,

menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-

buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak,

memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 19889).

Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting

dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Secara umum, ayah cenderung

menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak.

Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi

dorongan pada anak. Akan tetapi, pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu

harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orang

tua yang efektif adalah orang tua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan

informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di

awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orang tua terhadap belajar anak

merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak.

Menurut Becker (1964) dalam Hawadi (2001), baik buruknya hubungan orang tua

dengan anak akan mempengaruhi sikap agresif dan disiplin anak di sekolah. Selain itu,

adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima seorang anak dari orang tua

terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi akademik yang baik dari anak di

sekolah.

Terdapat beberapa gaya pengasuhan pada anak yakni secara otoriter, permisif

dan demokratis. Pada cara otoriter, orang tua menentukan aturan dan batasan-batasan

yang mutlak dan harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh, tunduk, dan tidak boleh

bertanya, tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapat anak.

Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh otoriter antara lain, kekuasaan

orang tua sangat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap tingkah

laku anak sangat ketat dan anak akan diancam atau dihukum jika tidak menjalankan

aturan (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah 2008).

Dengan demikian akan timbul perasaan takut pada anak sehingga peraturan

yang dijalani anak bukan karena kesadaran atau senang hati. Cara otoriter dapat

menyebabkan hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktifitas anak menjadi

tumpul. Secara umum kepribadian dan kepercayaan diri anak akan lemah. Hawadi

(2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah pada umumnya

lebih otoritarian.

Cara permisif yang dilakukan orang tua adalah membiarkan anak mencari dan

menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan terhadap tingkah laku anak. Orang

tua baru bertindak jika anak dianggap telah melanggar batasan. Cara permisif

membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik, orang tua

memberi kebebasan penuh pada anak untuk berbuat (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah

2008).

Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh permisif antara lain, anak

mendominasi dirinya sendiri, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua, serta

sangat kurangnya kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak (Latifah 2008).

Umumnya cara ini terdapat pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja dan terlalu

sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga hubungan anak dengan orang tua menjadi

tidak akrab. Perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah dan akan tumbuh

jiwa “keakuan” (egosentrisme), sehingga mudah menimbulkan kesulitan jika harus

menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Cara demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan

anak dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian

antara anak dengan orang tua (Gunarsa & Gunarsa 2006). Adapun beberapa ciri yang

terdapat pada pola asuh demokrasi antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan

anak, anak diakui sebagai pribadi, orang tua memberikan bimbingan dan pengarahan

serta kontrol yang tidak kaku (Latifah 2008). Melalui cara tersebut, pada anak akan

tumbuh rasa tanggung jawab dan selanjutnya memupuk kepercayaan diri sehingga anak

akan mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada untuk

memperoleh kepuasan (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Cara demokratis merupakan cara yang paling ideal untuk diterapkan.

Mengingatkan pada anak sesuatu yang salah tanpa tekanan dan emosi serta

menunjukkan apa yang sebaiknya dilakukan akan sangat bermanfaat dalam

menghadapi anak terutama pada masa usia sekolah dasar (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Menurut Hawadi (2001), anak dengan pola asuh demokratis lebih dapat

mengekspresikan diri minat dan aktivitasnya sendiri. Terlebih lingkungan memberi

kesempatan pada anak untuk meraih pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan.

Lingkungan PembelajaranPasal I Undang- undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional

menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan

pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sekolah dasar merupakan

lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan

keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat

mendorong siswa untuk belajar lebih giat (Ridwan 2008). Hampir sepertiga dari

kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah, sehingga sekolah turut

membantu dan membimbing anak agar berhasil (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Manrique (1994) dalam studi kasusnya menyebutkan, pendidikan dasar terbagi

menjadi tiga tahap yang berhubungan dengan tahap perkembangan siswa berkaitan

dengan minat dan sifat siswa. Masing-masing tahap memiliki tiga tingkatan kelas. Tahap

pertama terdiri dari kelas I, II dan III. Tahap ini menekankan pengembangan membaca,

menulis dan kemampuan matematik pada anak usia 6 sampai 10 tahun. Proses kognitif

ini membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Tahap kedua terdiri

dari kelas IV, V dan VI ketika siswa berusia antara 10 sampai 13 tahun. Tahap ini

menekankan pada kemampuan komunikasi, penggunaan bahasa, pengembangan

pemikiran logis dan penguatan nilai-nilai budaya nasional. Selebihnya, pada tahap

ketiga yakni pada kelas VII, VIII dan IX ketika anak berusia antara 13 sampai 15 tahun,

penekanan ditujukan pada ilmu, teknologi dan seni secara merata.

Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) mengemukakan bahwa, situasi

belajar dapat mempengaruhi prestasi sekolah anak. Bagaimana keadaan ruangan yang

digunakan sebagai tempat belajar, apakah memenuhi syarat agar anak dapat belajar

dengan baik turut mempengaruhi prestasi anak. Selain situasi, fasilitas belajar juga

dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kekurangan fasilitas belajar dapat

mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga

menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik.

Agar nyaman digunakan untuk belajar, sekolah harus bersih, tertata rapi, aman

dan jauh dari kebisingan serta tersedia sarana umum dan sarana khusus. Sarana umum

berarti tersedia ruang kelas, ruang UKS, perpustakaan, jamban, lapangan upacara,

halaman sekolah, kantin, dan kebun sekolah. Sarana khusus berarti tersedianya kantor

kepala sekolah, ruang guru, kantor tata usaha, dan rumah penjaga sekolah (Latifah,

Djamaludin, Damayanthi, Atmojo 2002).

Selain situasi dan fasilitas, alat pendidikan yang dimiliki oleh suatu lingkungan

pembelajaran termasuk jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut mempengaruhi

sistem pendidikan. Alat pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan

untuk mencapai tujuan pendidikan. Ditinjau dari segi wujud, alat pendidikan dapat

berupa nasihat atau pun dalam bentuk benda sebagai alat bantu penunjang tercapainya

tujuan pendidikan (Hasbullah 2006).

Kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran

tenaga pendidik (guru). Apabila tenaga pendidik selain secara rutin mengajar di kelas

juga berperan menciptakan kondisi yang memungkinkan hadirnya profesionalisme ke

dalam kelas untuk berbagi pengalaman, maka peran guru sebagai motivator dapat

tercapai (Ibrahim 1993).

Karakakteristik Keluarga

Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh

kemampuan dasar. Keluarga berperan penting dalam perkembangan seorang anak.

Peran yang dijalankan orang tua dalam perkembangan anak dipengaruhi antara lain

oleh kondisi keluarga (Gunarsa & Gunarsa 2006; Hurlock 1981).

Pendidikan Orang Tua

Pendidikan memegang peran penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku

seseorang. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pendidikan orang tua akan

berpengaruh terhadap perkembangan (pendidikan) anak. Semakin tinggi pendidikan

orang tua, semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Dengan

demikian, orang tua diharapkan dapat memberi stimulasi dan fasilitas yang dapat

menunjang proses belajar seorang anak. Sebagaimana pendapat Alsa dan Bachroni

(1984) dalam Nurani (2004) bahwa tingkat pendidikan orang tua berkorelasi positif

dengan cara mendidik anak.

Menurut Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005), orang tua dengan

pendidikan formal yang tinggi akan memiliki partisipasi yang lebih besar pada segala

sesuatu yang berhubungan dengan stimulasi dan pendidikan anak, dibandingkan

dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hal ini secara langsung maupun tidak,

akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orang tua berperan penting dalam

memenuhi faktor-faktor yang dapat menunjang keberhasilan anak.

Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan

ketersediaan waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak. Menurut Hawadi (2001),

keluarga yang mempunyai latar belakang ekonomi rendah akan memaksa ayah sebagai

kepala keluarga untuk bekerja lebih keras. Kondisi tersebut akan menyebabkan ibu

sebagai orang yang ikut bertanggung jawab terhadap keluarga juga bekerja untuk

mencari tambahan pendapatan. Hal ini menyebabkan waktu untuk kebersamaan

keluarga semakin berkurang. Semakin sibuk orangtua, semakin sedikit waktu yang

tersedia untuk anak semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila di sela-

sela kesibukan orang tua dapat memberi perhatian dengan kualitas yang baik. Perhatian

orang tua terhadap pendidikan anak adalah perhatian pada kebutuhan belajar anak

untuk mencapai prestasi yang diharapkan.

Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) menyatakan apabila suasana

pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, maka ayah atau ibu akan

pulang dengan suasana emosi yang menyenangkan sehingga akan terbina hubungan

yang baik dengan masing-masing anggota keluarga. Jika suasana pekerjaan tidak

menyenangkan dan ada perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan, maka ayah

atau ibu akan pulang dalam keadaan frustasi dan marah. Hal ini akan membawa

dampak negatif pada hubungan antar anggota keluarga. Apabila pekerjaan dianggap

sangat membosankan dan melelahkan, maka ayah atau ibu akan pulang dengan

keadaan fisik yang sangat lelah dan tidak ada lagi energi untuk berinteraksi dan

berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.

Menurut Megawangi (1993), semakin sedikit waktu yang digunakan orang tua

untuk anak, maka semakin besar resiko yang dihadapi anak. Menurut Gunarsa dan

Gunarsa (2006), sedikitnya waktu yang digunakan orang tua untuk anak akan

menyebabkan hubungan antara orang tua dengan anak menjadi tidak akrab. Hal ini

akan meyebabkan orang tua cenderung menerapkan gaya pengasuhan permisif.

Apabila orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi kegiatan anak dan

memperhatikan kebutuhan anak, akan berdampak pada kegagalan anak dalam

mencapai prestasi yang diharapkan.

Pendapatan Keluarga

Keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan penting dalam

pendidikan anak, perhatian orang tua akan tercurah lebih mendalam kepada anak jika

orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer (Gerungan 1981 diacu

dalam Nurani 2004). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), keluarga yang telah mampu

mencukupi kebutuhan ekonomi akan memiliki banyak waktu untuk membimbing anak,

sebaliknya keluarga yang rendah ekonominya banyak disibukkan untuk mencari nafkah.

Tidak jarang anak juga dituntut untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah,

sehingga anak tidak dapat menghasilkan prestasi yang baik karena kekurangan waktu

belajar

Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006), menyatakan bahwa keluarga

yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh pada keadaan emosi dan perilaku

individu dalam keluarga, termasuk perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Menurut

Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi

ekonomi dan emosional maka semakin tercurah perhatian orangtua dalam membimbing,

merawat serta mendidik anak.

Hawadi (2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi tinggi pada

umumnya lebih demokratis. Namun, bukan berarti keluarga dengan pendapatan yang

kurang memadai tidak dapat mendidik anak dengan baik. Effendi (1995) menyatakan

bahwa keluarga dengan ukuran ekonomi menengah ataupun lemah dapat berhasil

mendidik anak-anak mereka dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya dorongan

motivasi, dorongan moril dan orang tua yang mengikuti perkembangan anak yang selalu

membutuhkan perhatian, sehingga anak memiliki kepercayaan diri untuk berusaha

menapak kehidupan melalui jenjang pendidikan.

Besar Keluarga

Hurlock (1981) membagi jenis keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga.

Keluarga kecil memiliki dua atau tiga anak. Keluarga sedang memiliki tiga, empat atau

lima anak. Sedangkan keluarga besar memiliki enam anak atau lebih. Menurut Hurlock,

besar keluarga akan mempengaruhi gaya pengasuhan dan fasilitas belajar yang

disediakan orang tua. Secara langsung maupun tidak, kedua hal tersebut akan

mempengaruhi prestasi akademik anak di sekolah.

Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil pengasuhan orang tua umumnya

bersifat demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang

cukup pada anak. Namun, orang tua cenderung menekan anak untuk mencapai prestasi

akademik, sehingga orang tua cenderung membandingkan prestasi anak yang satu

dengan yang lain. Pada keluarga kecil orang tua memiliki kemauan dan kemampuan

untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak.

Pengasuhan orang tua pada keluarga sedang, umumnya kurang demokratis dan

bertambah otoriter dengan meningkatnya anggota keluarga. Tekanan orang tua untuk

prestasi biasanya terpusat pada anak pertama. Selain itu, terdapat keterbatasan untuk

memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak. Pada keluarga

besar, pendidikan otoriter diperlukan untuk menghindari kekacauan atau anarki.

Sedangkan dari segi fasilitas dan lambang status, orang tua seringkali tidak mampu

untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak (Hurlock 1981).

Effendi (1995) menyatakan bahwa orang tua yang berhasil dalam mendidik anak

ditunjang dengan jumlah anggota keluarga yang kecil sesuai dengan taraf kehidupan

keluarga itu sendiri. Lebih lanjut Effendi menyatakan bahwa keluarga kecil merupakan

salah satu usaha menuju tercapainya keluarga sejahtera. Usaha tersebut dapat

menghasilkan anak-anak yang cerdas dan terdidik menjadi sumber daya manusia yang

berkualitas. Disisi lain Hawadi (2001) menyatakan bahwa pada keluarga besar sifat pola

asuh anak lebih otoritarian dan hal ini lebih banyak dijumpai pada keluarga dengan

kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Karakteristik IndividuKarakteristik individu merupakan bagian dari identitas diri seseorang yang antara

lain dapat dilihat melalui umur dan Jenis kelamin. Berikut ciri-ciri yang terdapat pada

anak usia sekolah terkait dengan umur dan jenis kelamin.

Umur

Bertambahnya usia anak akan menjadikan lingkup sosial anak semakin luas.

Kehidupan pada masa anak-anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa

kehidupan yang sangat penting, khususnya berkaitan dengan diterimanya stimulasi

lingkungan. Pada masa usia sekolah, anak-anak dirasa telah mampu menerima

pendidikan formal dan dapat menyerap berbagai hal yang ada di lingkungan.

Menurut Hawadi (2001) anak selalu tertarik pada sesuatu yang baru dan berbeda

dengan dunia yang dimiliki. Namun, rasa ingin tahu dan dorongan untuk belajar semakin

berkurang dengan bertambahnya usia anak. Hal ini terjadi apabila cara siswa dalam

memperoleh pengetahuan dan keterampilan dirasa begitu majemuk dan memakan

waktu sehingga membuat sebagian minat siswa menghilang.

Menurut Piaget, pada setiap tahapan perkembangan, proses belajar setiap anak

berbeda. Semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur dan abstrak cara

bepikir seseorang (Suciaty & Irawan 2001). Namun, tidak berarti bertambahnya umur

akan membuat seseorang semakin pintar karena stimulasi lingkungan juga berperan

penting dalam menunjang keberhasilan.

Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan orang tua

dalam berinteraksi dengan anak. Keadaan biologis manusia dianggap dapat

mempengaruhi tingkah laku manusia (Megawangi 1993). Hawadi (2001) menyatakan

bahwa praktik pengasuhan yang berbeda antar jenis kelamin disebabkan karena adanya

pertumbuhan fisik, perkembangan mental, dan sosial anak terutama pada masa akhir

sekolah. Anak laki-laki dianggap lebih diberi kesempatan untuk mandiri, sehingga

mereka lebih menunjukkan inisiatif dan spontan. Hurlock (1993b) menyatakan bahwa

jenis kelamin akan mempengaruhi sikap orangtua yang selanjutnya akan mempengaruhi

perilaku dan hubungan orangtua dengan anak.

Horner (1968) dalam Hawadi (2001) mengatakan bahwa prestasi akademik

sering diasosiasikan sebagai sesuatu yang sifatnya maskulin. Menurut Megawangi

(2001) meskipun ada perbedaan mendasar secara biologis antara laki-laki dan

perempuan, hal ini tidak menjadikan perempuan lebih inferior dalam hal kemampuan

intelektual. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal

intelegensi antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut Megawangi (2001), rata-rata

IQ anak laki-laki usia balita di Indonesia tidak berbeda nyata dengan anak perempuan.

Penemuan terakhir menunjukkan meskipun rata-rata kemampuan inteligensi antara laki-

laki dan perempuan sama, tetapi pengaruh biologi tetap berperan dalam perkembangan

otak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya hormon seks (esterogen) yang berpengaruh

terhadap perkembangan otak wanita.

KERANGKA PEMIKIRAN

Adanya hubungan timbal balik antara prestasi akademik dengan fase industry

versus inferiority pada anak usia sekolah menjadikan prestasi akademik anak usia

sekolah penting untuk diteliti. Prestasi akademik yang baik akan menumbuhkan rasa

percaya diri (industry), sehingga akan mendorong anak untuk meningkatkan prestasi

akademik yang didapat sebelumnya. Sebaliknya, prestasi akademik yang buruk akan

menumbuhkan rasa rendah diri (inferiority), sehingga membuat anak merasa tidak

mampu untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan.

Prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni individu anak,

keluarga, dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Motivasi belajar dan potensi

akademik adalah faktor yang berasal dari individu anak, sedangkan faktor dari luar

berasal dari lingkungan pembelajaran dan keluarga yang diterapkan melalui pola asuh

belajar. Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua terdiri dari gaya pengasuhan dan

fasilitas belajar. Motivasi belajar pada diri anak dipengaruhi oleh karakteristik anak,

yakni umur dan jenis kelamin. Sementara itu, gaya pengasuhan dan fasilitas belajar

yang disediakan orang tua dipengaruhi oleh karakteristik individu dan keluarga.

Dengan demikian jelas bahwa motivasi belajar, potensi akademik, pola asuh

belajar, dan lingkungan pembelajaran berperan dalam menunjang prestasi akademik

anak usia sekolah. Secara ringkas, faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh

terhadap prestasi akademik dapat dilihat pada gambar 1.

.

KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar 1. Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran,Potensi Akademik dan Motivasi Belajar dengan Prestasi AkademikSiswa Sekolah Dasar.

Keterangan :

= Variabel yang diteiliti

= Hubungan yang diteliti

Karakteristik Keluarga:• Tingkat Pendidikan

Orangtua• Jenis Pekerjaan Orangtua• Tingkat Pendapatan

Keluarga

KarakteristikIndividu:• Jenis Kelamin• Umur

LingkunganPembelajaran

di Sekolah

Pola Asuh Belajar:• Gaya Pengasuhan• Fasilitas Belajar

PotensiAkademik

PrestasiAkademik

Motivasi Belajar

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan waktuPenelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukan

di tiga lokasi yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan mewakili tiga

lingkungan pembelajaran yang berbeda yaitu di SDN Sukadamai 3 Kabupaten Bogor,

SD Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam Ciganjur. Untuk selanjutnya, SDN Sukadamai 3

disebut sebagai kelompok 1, SD Amaliah sebagai kelompok 2, dan SD Citra Alam

sebagai kelompok 3. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei

2008.

Penarikan ContohContoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah

dasar dengan asumsi contoh mendapatkan pengasuhan dari orang tua secara utuh.

Untuk mewakili setiap lingkungan pembelajaran, dipilih masing-masing secara purposive

30 siswa dari ketiga lokasi.

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan siswa kelas IV dan V

sebagai contoh adalah pada kelas IV dan V anak berada pada tahap kemampuan

komunikasi, penggunaan bahasa dan pengembangan pemikiran logis, sedangkan pada

tahap sebelumnya, yakni kelas I, II dan III anak berada pada tahap pengembangan

membaca, menulis dan kemampuan matematik (Manrique 1994). Proses kognitif ini

membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Berdasarkan hal tersebut,

diharapkan pada tahap kedua yakni ketika berada di kelas IV dan V, siswa telah

menguasai tugas perkembangan di tahap pertama sekolah dasar sehingga

memudahkan pelaksanaan penelitian.

Jenis dan Cara Pengumpulan DataJenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi: (1) Karakteristik individu (umur dan jenis kelamin);

(2) Karakteristik keluarga (tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua,

tingkat pendapatan keluarga, dan besar keluarga); (3) Pola asuh belajar (gaya

pengasuhan dan fasilitas belajar); (4) Motivasi belajar; (5) Potensi akademik (visual

processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic processing, dan thinking

logically). Untuk mengukur potensi akademik digunakan modifikasi instrument Rilley

Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina

2002). Data sekunder meliputi prestasi akademik siswa dan keadaan umum lingkungan

pembelajaran yang diperoleh melalui data sekolah. Jenis dan cara pengumpulan data

disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Variabel Alat Bantu Skala-Umur RasioKarakteristik Individu -Jenis kelamin Kuesioner Nominal-Besar keluarga Rasio-Pendidikan orang tua Ordinal-Pekerjaan orang tua NominalKarakteristik keluarga

-Pendapatan Keluarga

Kuesioner

Interval-Cara permisif Ordinal-Cara Otoriter OrdinalGaya pengasuhan

-Cara Demokratis

Kuesioner

OrdinalFasilitas Belajar Kuesioner OrdinalMotivasi Belajar Kuesioner OrdinalPotensi Akademik Instrument RIBLS OrdinalPrestasi Akademik Rapor Siswa IntervalJumlah Siswa Data Sekolah RasioKeadaan UmumLingkungan Pembelajaran Data Sekolah

Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel

dan program komputer Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 10,0. Data

tersebut dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Tingkat pendidikan orang tua

digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan

Perguruan Tinggi. Jenis pekerjaan orang tua meliputi wiraswasta, karyawan swasta,

pegawai negeri, ABRI/Polisi, dan ibu rumah tangga. Tingkat pendapatan keluarga diukur

berdasarkan pendapatan utama dan tambahan ayah dan ibu contoh per bulan. Besar

keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu kecil (< 4 orang), sedang (5-7 orang) dan

besar (> 8 orang) (Hurlock 1993a).

Prestasi akademik dilihat dari rata-rata nilai rapor dari mata pelajaran yang

sama-sama dimiliki oleh ketiga sekolah pada semester satu tahun ajaran 2007/2008,

yakni Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, dan Penjaskes.

Prestasi akademik dikategorikan berdasarkan standar Kriteria Ketuntasan Minimum

(KKM) pada kriteria in take yaitu rendah (50-64), sedang (65-80), dan tinggi (81-100).

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2007, KKM merupakan batas minimal

ketercapaian standar kompentensi dari aspek penilaian mata pelajaran yang harus

dikuasai oleh peserta didik.

Motivasi belajar dan pola asuh belajar diukur melalui penjumlahan skor,

standarisasi dengan skala 0-100 dan dikategorikan berdasarkan rumus interval kelas.

Pengkategorian menggunakan rumus berikut (Slamet 1993).

Interval Kelas (i) = Skor maksimum (NT) – Skor minimum (NR)

Jumlah kategori

Kategori :

Kurang = NR sampai (NR+i)

Sedang = (NR + i) sampai [(NR+i)+i]

Baik = [(NR+i)+i] sampai NT

Berdasarkan rumus tersebut didapat kategori kurang (0-33), sedang

(34-67), baik (68-100). Penilaian tingkat kecerdasan kognitif dilakukan berdasarkan

standar RIBLS yang digolongkan dalam lima kategori, yaitu jauh dibawah rata-rata (<7),

di bawah rata-rata (7,1-9,0), rata-rata (9,1-11,0), di atas rata-rata (11,1-13,0) dan jauh di

atas rata-rata (>13,0) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Untuk

mengidentifikasi dan mengetahui ada tidaknya perbedaan karakteristik individu,

karakteristik keluarga, pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik, dan

prestasi akademik pada lingkungan pembelajaran digunakan analisis deskriptif dan uji

Kruskal Wallis, jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata,

maka akan digunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui letak perbedaan tersebut.

Untuk menganalisis hubungan antar variabel yang berskala ordinal digunakan uji

korelasi Spearman, sedangkan untuk variabel yang berskala nominal digunakan uji Chi-

Square. Untuk menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran,

motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik digunakan analisis

regresi linear berganda.

Model umum analisis regresi linear berganda:

Keterangan :

Y = Prestasi akademik (variabel dependen)

a = Konstanta

b1-b5 = Koefisien regresi

X1 = Motivasi belajar (variabel independen)

X2 = Gaya pengasuhan (variabel independen)

X3 = Fasilitas belajar (variabel independen)

X4 = Lingkungan pembelajaran (variabel independen)

X5 = Potensi akademik (variabel independen)

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 +

Definisi Operasional

Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun (berdasarkan teori Papalia dan

Old). Contoh dalam penelitian berada pada kelas IV dan V Sekolah Dasar

(usia 9,0-11,9 tahun).

Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh hubungan

perkawinan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri dari ayah, ibu, anak,

dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap.

Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti

ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat belajar/ijazah,

tanpa memperhitungkan lama tinggal kelas. Pendidikan orangvtua

dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan

Tinggi.

Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari

pendapatan utama dan tambahan orangvtua.

Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga kecil (<4

orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang) (Hurlock 1993a).

Pola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan

kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. pengasuhan dalam mendidik

anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan

demokratis) dan penyediaan fasilitas belajar.

Gaya Pengasuhan Otoriter adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada

anak dengan menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan

harus ditaati oleh anak, sehingga pendapat anak tidak di dengar oleh orang

tua. Penerapan cara otoriter pada anak usia sekolah akan menyebabkan

daya inisiatif dan kepercayaan diri anak melemah (Gunarsa & Gunarsa

2006).

Gaya Pengasuhan Permisif adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin dengan

membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang anak anggap

baik, sedangkan pada usia sekolah anak masih sangat membutuhkan

bimbingan orang tua. Cara permisif akan membuat perkembangan

kepribadian anak menjadi tidak terarah dan menumbuhkan sikap

egosentrisme, sehingga menimbulkan kesulitan saat anak menghadapi

peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Latifah

2008).

Gaya Pengasuhan Demokratis adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada

anak dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun

dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian

antara orang tua dengan anak. Melalui cara otoriter akan tumbuh rasa

tanggung jawab yang selanjutnya mengembangkan kepercayaan diri,

sehingga anak akan memperoleh kepuasan sesuai dengan norma yang

berlaku (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Lingkungan Pembelajaran adalah kondisi pembelajaran di sekolah yang

mempengaruhi kegiatan belajar mengajar, seperti keadaan gedung sekolah,

fasilitas sekolah, peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi

pelajaran di sekolah.

Motivasi Belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk mencapai taraf prestasi

akademik, sesuai dengan yang anak tetapkan (Suciaty dan Irawan 2001).

Potensi Akademik adalah kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan

kognitif yang dinilai dari kemampuan visual processing (mengingat

berdasarkan penglihatan), auditory processing (mengurutkan berdasarkan

pendengaran), verbal processing (kosa kata), kinesthetic processing

(kinestetik), dan thinking logically (kemampuan berpikir logis) (Rilley 1992

diacu dalam Latifah & Dina 2002).

Prestasi Akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi

pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai rapor

dari mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,

IPA, IPS, dan Penjaskes.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Individu ContohMasa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa

keserasian bersekolah. Sejak usia sekolah anak mulai memasuki tahap awal dari

lingkungan pembelajaran formal dan tidak lagi sepenuhnya berada di bawah

pengawasan orangtua. Variabel karakteristik individu pada penelitian ini dilihat

berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Umur ContohBerdasarkan teori Papalia dan Old, masa usia sekolah berada ketika individu

berusia 6-12 tahun (Hawadi 2001). Umur contoh pada penelitian ini diklasifikasikan

berdasarkan instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992

diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh berdasarkan umur disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan umur

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Umur

(Tahun) n % n % n %

9,0-9,4 2 6,7 1 3,3 5 16,7

9,5-9,9 1 3,3 6 20,0 6 20,0

10,0-10,4 10 33,3 4 13,3 7 23,310,5-10,9 10 33,3 11 36,7 6 20,0

11,0-11,4 7 23,3 8 26,7 3 10,011,5-11,9 0 0,0 0 0,0 3 10,0

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

Min 9,1, Max 11,9, x : 10,4, SD + 0,6

Berdasarkan hasil penelitian, umur maksimum contoh adalah 11,9 tahun, umur

minimumnya 9,1 tahun dan rata-rata umurnya 10,4 tahun. Persentase terbesar contoh

pada kelompok 1 (89,9%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (53,3%) berumur antara

10,0-11,4 tahun. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada umur contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.

Jenis Kelamin Contoh

Jenis kelamin merupakan salah satu karakteristik individu pada penelitian ini

yang ingin diidentifikasi. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Jenis

kelamin n % n % n %

Laki-laki 13 43,3 10 33,3 19 63,3Perempuan 17 56,7 20 66,7 11 36,7

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

Modus Perempuan

Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar jenis kelamin contoh adalah

perempuan (53%). Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (56,7%) dan kelompok 2

(66,7%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan lebih dari separuh contoh (63,3%)

pada kelompok 3 berjenis kelamin laki-laki. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi jenis kelamin contoh antar

kelompok lingkungan pembelajaran.

Karakteristik Keluarga ContohKeluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang memberi stimulasi

dalam perkembangan seorang anak. Kualitas pengasuhan yang orang tua berikan,

umumnya tergantung pada kondisi keluarga. Karakteristik keluarga yang ingin

diidentifikasi dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan

orang tua, tingkat pendapatan keluarga dan besar keluarga.

Tingkat Pendidikan Orang Tua ContohPendidikan memegang peran penting yang akan mempengaruhi sikap dan

perilaku seseorang. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin tinggi pengetahuan

orang tua akan pentingnya pendidikan anak. Tingkat pendidikan orang tua pada

penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah, dan Perguruan Tinggi. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan

orang tua disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu

TingkatPendidikanOrangtua n % n % n % n % n % n %

SekolahMenengah 5 16,7 5 16,7 5 16,7 14 46,7 0 0,0 0 0,0

PerguruanTinggi 25 83,3 25 83,3 25 83,3 16 53,3 30 100,0 30 100,0

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0

Modus: Perguruan Tinggi

Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua

contoh adalah Perguruan Tinggi (83,9%). Persentase terbesar orang tua pada kelompok

1 (83,3%), kelompok 2 (ayah 83,3%; ibu (53,3%), dan kelompok 3 (100%) berpendidikan

hingga Perguruan Tinggi.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat

pendidikan ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara ayah

di kelompok 2 dengan ayah di kelompok 3, sedangkan perbedaan tingkat pendidikan ibu

terdapat antar ketiga kelompok lingkungan pembelajaran.

Jenis Pekerjaan Orang Tua ContohJenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan

ketersediaan waktu orang tua untuk anak. Secara umum, semakin sibuk orang tua,

semakin sedikit waktu yang tersedia untuk keluarga, khususnya untuk anak, kecuali bila

orang tua dapat member kualitas yang baik di sela-sela waktu luang. Sebaran contoh

berdasarkan jenis pekerjaan orang tua disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua.

SDN Sukadamai 3 SD Amaliah SD Citra AlamAyah Ibu Ayah Ibu Ayah IbuJenis Pekerjaan

Orangtuan % n % n % n % n % n %

Wiraswasta 5 16.7 4 13.3 14 46.7 7 23.3 6 20.0 11 36.7Pegawai swasta 13 43.3 4 13.3 12 40.0 4 13.3 20 66.7 14 46.7Pegawai negeri 10 33.3 3 10.0 4 13.3 3 10.0 3 10.0 0 0ABRI/Polisi 0 0 0 0.0 0 0 0 0 1 3.3 0 0IRT 0 0 17 56.7 0 0 16 53.3 0 0 5 16.7Lainnya 2 6.7 2 6.7 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100

Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar ayah bekerja sebagai pegawai

swasta (50%) dan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (42%). Persentase terbesar

ayah di kelompok 1 (43,3%) dan di kelompok 3 (66,7%) bekerja sebagai pegawai

swasta, sedangkan persentase terbesar ayah di kelompok 2 bekerja sebagai wiraswasta

(46%). Persentase terbesar ibu di kelompok 1 (56,7%) dan di kelompok 2 (53,3%)

bekerja sebagai ibu rumah tangga, sedangkan persentase terbesar ibu di kelompok 3

bekerja sebagai pegawai swasta (46,7%).

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis pekerjaan

ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji

lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan jenis pekerjaan antara ayah di

kelompok 1 dengan ayah di kelompok 2 dan di kelompok 3. Perbedaan jenis pekerjaan

ibu terdapat antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di kelompok 2.

Tingkat Pendapatan Keluarga ContohKeadaan sosial ekonomi keluarga memiliki peran penting dalam memenuhi

pendidikan anak. Secara umum, orang tua dapat menyediakan fasilitas belajar yang baik

bagi anak jika orang tua tidak memiliki kesulitan ekonomi. Penelitian ini mengukur

tingkat pendapatan keluarga berdasarkan pendapatan utama dan tambahan orang tua

per bulan. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua disajikan

pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3

Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu

Tingkat

Pendapatan/

bulan (Rp) n % n % n % n % n % n %

Tidak ada 0 0 14 46,7 0 0 13 43,3 0 0 5 16,7

0-2.500.000 7 23,3 11 36,7 8 26,7 7 23,3 0 0 4 13,3

2.500.001-5.000.000 6 20,0 5 16,7 8 26,7 9 30,0 5 16,7 12 40,0

5.000.001-7.500.000 4 13,3 0 0,0 4 13,3 1 3,3 12 40,0 9 30,0

7.500.001-10.000.000 6 20,0 0 0,0 4 13,3 0 0,0 12 40,0 0 0,0

>10.000.000 7 23,3 0 0,0 6 20,0 0 0,0 1 3,3 0 0,0

Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100

Ayah: max:>10000000, min<2500000, modus: 7500001-10000000

Ibu: max 5000001-7500000, min <2500000, modus: tidak ada pendapatan

Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan utama maksimum ayah contoh adalah

>Rp.10.000.000, pendapatan utama minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi

terbesarnya Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%). Pendapatan utama maksimum ibu

contoh adalah Rp.5.000.001-7.500.000, pendapatan utama minimumnya Rp.0-

2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki pendapatan utama (35,6%).

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga contoh

cukup tinggi.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat

pendapatan utama ayah antar kelompok lingkungan pembelajaran, namun terdapat

perbedaan tingkat pendapatan utama ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan

pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat

pendapatan utama antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di

kelompok 2.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orang tua

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3

Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu

Tingkat

Pendapatan/bulan

(Rp) n % n % n % n % n % n %

Tidak ada 20 66,7 26 86,7 20 66,7 26 86,7 30 100 29 96,7

0-2.500.000 2 6,7 4 13,3 2 6,7 1 3,3 0 0,0 0 0,0

2.500.001-5.000.000 5 16,7 0 0,0 5 16,7 2 6,7 0 0,0 1 3,3

5.000.001-7.500.000 1 3,3 0 0,0 1 3,3 1 3,3 0 0,0 0 0,0

7.500.001-10.000.000 0 0,0 0 0,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0

>10.000.000 2 6,7 0 0,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100

Ayah: max>10000000, min<2500000, modus: tidak ada pendapatan

Ibu: max: 5000001-7500000 min <2500000 modus: tidak ada pendapatan

Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan tambahan maksimum ayah contoh

adalah >Rp.10.000.000, pendapatan tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan

proporsi terbesarnya tidak memiliki pedapatan tambahan (77,8%). Pendapatan

tambahan maksimum ibu contoh adalah Rp.5.000.001-7.500.000, pendapatan

tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki

pendapatan tambahan (90%).

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat

pendapatan tambahan ayah (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran,

namun tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan tambahan ibu antar kelompok

lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan

tingkat pendapatan tambahan antara ayah di kelompok 3 dengan ayah di kelompok 1

dan di kelompok 2.

Besar Keluarga Contoh

Secara umum, semakin besar keluarga, semakin terpecah perhatian orang tua

untuk memenuhi kebutuhan anak. Penelitian ini mengklasifikasikan besar keluarga ke

dalam tiga kategori yakni kecil, sedang dan besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang

terdiri dari dua anak, keluarga sedang terdiri dari tiga, empat atau lima anak, sedangkan

keluarga besar terdiri dari enam anak atau lebih (Hurlock 1993a). Sebaran contoh

berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Besar

Keluarga n % n % n %

Kecil 14 46,7 20 66,7 19 63,3

Sedang 16 53,3 10 33,3 11 36,7

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

Max: 7, Min: 3, x : 4, SD + 0,91

Berdasarkan hasil penelitian, maksimum jumlah anggota keluarga contoh adalah

7 orang, minimumnya 3 orang, dan rata-rata anggota keluarga contoh berjumlah 4

orang. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (53,3%) memiliki besar keluarga

sedang dan sisanya adalah keluarga kecil. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 2

(66,7%) dan kelompok 3 (63,3%) memiliki besar keluarga kecil dan sisanya adalah

keluarga sedang. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan pada besar keluarga contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.

Keadaan Umum Lingkungan PembelajaranSekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang

baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Berikut gambaran umum sekolah

yang menjadi lokasi penelitian.

Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran SD Negeri Sukadamai 3 SD Negeri Sukadamai 3 beralamat di Jl. Perdana Nomor 8 Komplek Perumahan

Budi Agung Kabupaten Bogor. Kelompok 1 merupakan salah satu sekolah terbaik di

Kota Bogor dan menjadi salah satu dari SDN Koalisi ASEAN. Sekolah ini memiliki luas

wilayah + 2,957 m2 dengan 23 ruang belajar, satu ruang laboratorium bahasa, satu

ruang laboratorium komputer, satu ruang perpustakaan, satu ruang musholla, satu ruang

UKS, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Tenaga pengajar yang dimiliki

sekolah ini berjumlah 48 orang yang terdiri dari 27 orang guru tetap dan 21 orang guru

honor, dengan jumlah siswa sebanyak 1260 orang.

Sesuai kurikulum saat ini kelompok 1 menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dengan standar nasional. Guna memenuhi Standar Nasional

Pendidikan (SNP) sekolah ini melakukan peningkatan mutu dalam penyusunan program

sekolah. Peningkatan mutu meliputi input, proses dan output. Output sangat ditentukan

oleh proses dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Untuk

mengembangkan input siswa, sekolah menerapkan model Pembelajaran Aktif Kreatif

Efektif Menyenangkan (PAKEM) sehingga diharapkan siswa dapat belajar aktif. Melalui

model PAKEM, siswa diharapkan dapat bekerja, belajar, mencari dan memecahkan

masalah, guru hanya sebagai fasilitator.

Kelompok 1 mengadakan kelas Bahasa Inggris untuk pendidik dan tenaga

kependidikan setiap hari Sabtu untuk mengembangkan kualitas pendidik dan tenaga

kependidikan. Pengembangan sarana dan fasilitas sekolah dilakukan dengan

membangun ruang kelas tambahan dan laboratorium MIPA. Untuk memantau

perkembangan siswa, setiap hari Jumat diadakan pertemuan guru guna membicarakan

proses belajar mengajar secara keseluruhan.

Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar AmaliahKelompok 2 beralamat di Jalan Tol Ciawi Nomor 1, Ciawi Bogor. Kelompok 2

merupakan sekolah dasar yang berlandaskan keagamaan. Sekolah dengan status

disamakan ini memiliki luas wilayah + 1750 m2. Kelompok 2 memiliki dua kelas paralel

untuk masing-masing tingkatan, satu ruang mushollah, satu ruang kepala sekolah, satu

ruang guru, satu ruang perpustakaan, satu laboratorium komputer serta satu lapangan

terbuka untuk olah raga dan upacara. Tenaga pengajar yang dimiliki sekolah ini

berjumlah 21 orang dengan jumlah siswa sebanyak 408 orang.

Sesuai kurikulum saat ini Kelompok 2 menerapkan KTSP. Adapun metode

pembelajaran yang diterapkan adalah metode belajar tanya jawab, demonstrasi, dan

praktik sesuai dengan indikator dan materi pembelajaran. Setiap tiga bulan sekolah

mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa dan menghadirkan psikolog untuk

membicarakan perkembangan siswa. Landasan keagamaan yang diterapkan pada

seolah ini salah satunya dicirikan oleh diberlakukannya mata pelajaran Bahasa Arab

bagi siswa serta diadakannya kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial untuk

memperingati hari besar Islam.

Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar Citra Alam

Kelompok 3 beralamat di Jl. Damai II No. 54 Ciganjur, Jakarta Selatan. Sekolah

swasta dengan jenjang akreditasi tingkat B ini memiliki luas wilayah 10,128 m2 dengan

luas bangunan 700 m2. Sekolah ini memiliki sepuluh ruang kelas, satu masjid, satu

ruang tata usaha, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan,

satu ruang laboratorium komputer, satu ruang sanggar, satu lapangan terbuka untuk

olah raga, serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan play ground. Tenaga

pengajar yang dimiliki sekolah ini berjumlah 29 orang guru dengan jumlah siswa

sebanyak 163 orang.

Kelompok 3 merupakan sekolah dasar dengan konsep pembelajaran yang

berbasis pada eksistensi alam. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan

mencakup empat segi yakni intelektual, sosial emosional, fisik, dan psikologi. Secara

keseluruhan keempat hal tersebut berbasis pada spiritual. Berdasarkan segi intelektual,

sekolah menerapkan kurikulum nasional yakni KTSP. Berdasarkan segi sosial emosi

sekolah menerapkan kurikulum karakter berlandaskan Asmaul Husna. Berdasarkan segi

fisik, sekolah menerapkan kurikulum alam dengan harapan siswa dapat bereksplorasi

dengan alam untuk mengoptimalkan perkembangan setiap potensi diri. Berdasarkan

segi psikologi, dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah seorang guru disapa

dengan sebutan “kakak”. Hal tersebut bertujuan untuk memunculkan keakraban antara

guru dengan siswa. Sekolah ini juga memberlakukan adanya sistem otonomi kelas, hal

ini dimaksudkan agar seorang wali kelas mengetahui benar bagaimana karakteristik

anak didik sehingga diharapkan dapat menyesuaikan metode pembelajaran dengan

karakter anak didik.

Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi dan Prestasi Akademik Contoh PadaLingkungan Pembelajaran

Sekolah adalah lingkungan kedua setelah keluarga yang memiliki peran besar

dalam keberhasilan anak didik. Lingkungan pembelajaran di sekolah bertugas

mengembangkan kemampuan dasar anak didik yang sebelumnya didapat dari

lingkungan keluarga. Berikut paparan mengenai pola asuh belajar, motivasi belajar,

potensi akademik, dan prestasi akademik contoh pada kelompok 1, kelompok 2, dan

kelompok 3.

Pola Asuh Belajar ContohPola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. Gaya pengasuhan dalam

mendidik anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan demokratis)

dan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya

pengasuhan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan orang tua

Gaya Pengasuhan n %Demokratis 87 96,7Permisif Otoriter 1 1,1Permisif Otoriter Demokrasi 2 2,2

Total 90 100,0

Hampir seluruh orang tua contoh (96,7%) cenderung menerapkan gaya

pegasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), dibandingkan gaya

pengasuhan permisif dan otoriter, gaya pengasuhan demokratis merupakan gaya

pengasuhan yang paling ideal untuk diterapkan. Penerapan gaya pengasuhan

demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun

dengan kebebasan yang tidak mutlak. Menurut Latifah (2008), beberapa ciri yang

terdapat pada pola asuh demokratis antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan

anak, anak diakui sebagai pribadi, dan orang tua memberikan bimbingan, pengarahan

serta kontrol yang tidak kaku. Gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa

tanggung jawab pada individu yang selanjutnya memupuk kepercayaan diri individu.

Hawadi (2001) menyatakan bahwa individu dengan pola asuh demokratis lebih dapat

mengekspresikan diri, minat dan aktivitas.

Gaya pengasuhan pada penelitian ini dikelompokan ke dalam tiga kategori yakni

kurang, sedang dan baik berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100.

Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar disajikan pada

Tabel 10 dan 11.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Gaya Pengasuhann % n % n %

Sedang 0 0,0 1 3,3 4 13,3Baik 30 100,0 29 96,7 26 86,7

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0max skor: 100, min skor: 50, x : 86,3 SD + 11,18

Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor

minimumnya 50 dan rata-rata skornya 86,37. Persentase terbesar contoh pada

kelompok 1 (100%), kelompok 2 (96,7%), maupun kelompok 3 (86,7%) memiliki orang

tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada gaya pengasuhan orang tua antar

kelompok lingkungan pembelajaran.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar

Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor

minimumnya 40 dan rata-rata skornya 79,89. Sebagian besar contoh pada kelompok 1

(90%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (76,7%) memiliki fasilitas belajar yang baik.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan

pada fasilitas belajar yang disediakan orang tua untuk contoh antar kelompok

lingkungan pembelajaran.

Motivasi Belajar ContohMotivasi adalah daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan perilaku

tertentu (Wlodkowski 1985 diacu dalam Suciaty dan Irawan 2001). Motivasi belajar

adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi

belajar dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni kurang, sedang,

dan tinggi berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100. Sebaran contoh

berdasarkan motivasi belajar disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Motivasi Belajar

n % n % n %

Sedang 6 20,0 5 16,7 9 30,0

Tinggi 24 80,0 25 83,3 21 70,0

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

max skor: 96, min skor: 53, x skor: 74,35, SD + 9,64

Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 96, skor

minimumnya 53 dan rata-rata skornya 74,35. Persentase terbesar contoh pada pada

kelompok 1 (80%), kelompok 2 (83,3%) dan kelompok 3 (70%) memiliki motivasi belajar

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Fasilitas belajar

n % n % n %

Sedang 3 10,0 7 23,3 7 23,3

Baik 27 90,0 23 76,7 23 76,7

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

max skor: 100, min skor: 40 , x skor: 79,89 SD + 15,83

yang tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

signifikan pada motivasi belajar contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.

Potensi Akademik Contoh

Potensi adalah salah satu kemampuan individu untuk melakukan suatu kegiatan

dan sudah ada sejak individu dilahirkan (Sardiman 2005). Potensi akademik adalah

kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan kognitif yang dinilai berdasarkan

kemampuan visual processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic

processing, dan thinking logically (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002).

Variabel potensi akademik pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan skor skala

rata-rata dari instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) sebagai tes

potensi akademik (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh

berdasarkan potensi akademik disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik

Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh dari rata-rata skor skala tes

potensi akademik adalah 16,4, skor minimumnya 8,3 dan proporsi terbesar contoh

memperoleh skor 13,9. Hasil penelitian menunjukkan, proporsi terbesar contoh (43,3%)

memiliki potensi akademik jauh di atas rata-rata. Persentase terbesar contoh pada

kelompok 1 (76,7%) dan kelompok 3 (36,7%) memiliki potensi akademik jauh di atas

rata-rata, sedangkan pada kelompok 2 56,7% contoh memiliki potensi akademik di atas

rata-rata.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,01)

potensi akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan potensi akademik antara contoh di kelompok

1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3.

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Potensi Akademik

n % n % n %

Di bawah rata-rata 0 0,0 0 0,0 2 6,7

Rata-rata 0 0,0 8 26,7 9 30,0

Di atas rata-rata 7 23,3 17 56,7 8 26,7

Jauh di atas rata-rata 23 76,7 5 16,7 11 36,7

Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0

max skor skala: 16,4, min skor skala: 8,3, modus: 13,9

Prestasi Akademik Contoh

Prestasi akademik merupakan salah satu gambaran penguasaan siswa terhadap

materi pelajaran di sekolah. Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) skor prestasi

akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu pada mata

pelajaran tertentu dalam bentuk angka dan dirumuskan dalam rapor. Variabel prestasi

akademik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni kurang,

sedang, dan baik berdasarkan rata-rata nilai rapor. Sebaran contoh berdasarkan

prestasi akademik disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Prestasi Akademik

n % n % n %

Sedang 1 3,3 17 56,7 21 70Baik 29 96,7 13 43,3 9 30

Total 30 100,0 30 100,0 30 100

max: 92, min: 66 , x : 81,39, SD + 6,81

Berdasarkan hasil penelitian, maksimum rata-rata nilai rapor contoh adalah 92,

minimumnya 66 dan rata-rata keseluruhannya 81,39. Hampir seluruh contoh pada

kelompok 1 (96,7%) memiliki prestasi akademik dengan kategori baik. Proporsi terbesar

contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi akademik

dengan kategori sedang.

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan (p<0,01) prestasi

akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prestasi akademik antara contoh di kelompok

1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3. Diduga, hal ini terkait dengan potensi

akademik contoh di kelompok 1.

Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar ContohMotivasi belajar adalah salah satu faktor penting yang mendorong seseorang

untuk belajar. Motivasi belajar dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Faktor intrinsik yang ingin dikaitkan dengan motivasi belajar pada penelitian ini berasal

dari karakteristik individu, yakni umur dan jenis kelamin.

Umur dengan Motivasi Belajar ContohBerdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar contoh pada masing-masing

kelompok umur memiliki motivasi belajar yang tinggi. Terlihat kecenderungan semakin

bertambahnya umur, persentase terbesar contoh yang memiliki motivasi belajar tinggi

semakin berkurang. Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar disajikan

pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar

Motivasi Belajar

Sedang TinggiTotal

Umur (Tahun)

n % n % n %

9,0-9,4 0 0,0 8 100,0 8 100,0

9,5-9,9 2 15,4 11 84,6 13 100,0

10,0-10,4 3 14,3 18 85,7 21 100,0

10,5-10,9 7 25,9 20 74,1 27 100,0

11,0-11,4 7 38,9 11 61,1 18 100,0

11,5-11,9 1 33,3 2 66,7 3 100,0

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan (p<0,01) negatif

(rs=-0,416) antara umur dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi

umur pada anak usia sekolah, maka motivasi belajar semakin berkurang.

Adanya hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar didukung oleh

pernyataan Hawadi (2001) bahwa anak selalu tertarik untuk mengetahui dan

mempelajari sesuatu yang baru dan berbeda, namun rasa ingin tahu dan dorongan

untuk belajar akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia. Menurut Hawadi,

sebagian minat anak akan menghilang apabila cara untuk memperoleh pengetahuan

dan keterampilan dirasa membosankan dan memakan waktu. Menurut Gunarsa dan

Gunarsa (2006), anak akan tertarik memperhatikan dan mempelajari sesuatu yang baru,

namun jika hal tersebut telah anak pahami atau kuasai, maka rasa perhatian anak akan

berkurang, kecuali jika hal tersebut masih meninggalkan rasa penasaran pada diri anak.

Baradja (2005) berpendapat bahwa orang tua yang selalu menginginkan anak

untuk berprestasi di sekolah tanpa mempertimbangkan kemampuan anak, lambat laun

akan membuat anak merasa dituntut untuk menghasilkan sesuatu di luar batas

kemampuan yang anak miliki, sehingga menyebabkan motivasi belajar anak semakin

berkurang atau bahkan menghilang.

Jenis Kelamin dengan Motivasi Belajar ContohBerdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh contoh laki-laki (71,4%) dan

sebagian besar contoh perempuan (83,3%) memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar disajikan pada

Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar

Motivasi Belajar

Sedang TinggiTotal

Jenis Kelamin

n % n % n %

Laki-laki 12 28,6 30 71,4 42 100,0

Perempuan 8 16,7 40 83,3 48 100,0

Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis

kelamin dengan motivasi belajar. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti lingkungan

keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan keluarga dan lingkungan sosial merupakan

faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar. Menurut

Ridwan (2008), keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Perhatian

orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak belajar dengan

tekun. Lingkungan sosial pun memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi

anak. Menurut Kartono (1995) dalam Ridwan (2008), lingkungan dapat membentuk

kepribadian anak. Apabila anak berada pada lingkungan (teman sebaya) yang rajin

belajar maka besar kemungkinan anak akan terpengaruh untuk rajin belajar.

Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar secara

tidak langsung didukung oleh pendapat Megawangi (2001), adanya perbedaan

mendasar secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak menjadikan perempuan

lebih inferior dibandingkan laki-laki. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan motivasi

belajar berarti laki-laki belum tentu memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibanding

perempuan ataupun sebaliknya. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin tidak dapat

dijadikan suatu hal yang menentukan motivasi belajar.

Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga denganPola Asuh Belajar Contoh

Pola asuh belajar memiliki pengaruh besar bagi perkembangan seorang anak.

Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua dapat berupa gaya pengasuhan dan

penyediaan fasilitas belajar. Secara umum, pola asuh belajar yang diterapkan orang tua

terkait dengan karakteristik individu (umur dan jenis kelamin) dan karakteristik keluarga

(tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan besar keluarga). Berikut

paparan mengenai hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola

asuh belajar.

Umur dengan Pola Asuh Belajar Contoh

Umur menggambarkan tahapan perkembangan setiap individu. Salah satu aspek

yang dibutuhkan untuk menunjang perkembangan individu antara lain, gaya

pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya

pengasuhan disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan

Gaya Pengasuhan

Sedang BaikTotal

Umur (Tahun)

n % n % n %

9.0-9.4 0 0.0 8 100.0 8 100.0

9.5-9.9 0 0.0 13 100.0 13 100.0

10.0-10.4 1 4.8 20 95.2 21 100.0

10.5-10.9 3 11.1 24 88.9 27 100.0

11.0-11.4 0 0.0 18 100.0 18 100.0

11.5-11.9 1 33.3 2 66.7 3 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok

umur memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Kelompok umur 11,5-11,9

tahun memiliki persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil

uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur contoh

dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya pengasuhan

yang diterapkan orang tua tidak tergantung pada umur anak.

Tidak adanya hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan diduga karena

ada faktor lain, seperti kondisi keluarga (kesibukan orang tua dan besar keluarga).

Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa orang tua yang terlalu sibuk dengan

berbagai kegiatan akan menyebabkan hubungan anak dengan orang tua menjadi tidak

akrab. Hal ini menjadi salah satu penyebab orang tua cenderung menerapkan gaya

pengasuhan permisif. Menurut Hurlock (1993a), besar keluarga dapat mempengaruhi

gaya pengasuhan orang tua. Pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya

bersifat demokratis. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, pengasuhan orang tua

cenderung semakin bertambah otoriter.

Fasilitas belajar merupakan sarana yang orang tua sediakan untuk menunjang

proses belajar anak di rumah. Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar

disajikan pada tabel 18.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar

Fasilitas Belajar

Sedang BaikTotal

Umur (Tahun)

n % n % n %

9.0-9.4 0 0.0 8 100.0 8 100.0

9.5-9.9 2 15.4 11 84.6 13 100.0

10.0-10.4 2 9.5 19 90.5 21 100.0

10.5-10.9 6 22.2 21 77.8 27 100.0

11.0-11.4 6 33.3 12 66.7 18 100.0

11.5-11.9 1 33.3 2 66.7 3 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok

umur memiliki fasilitas belajar yang baik. Kelompok umur 11,0-11,9 tahun memiliki

persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil uji korelasi

Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) negatif (rs=-0,211) antara

umur contoh dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

bertambah umur anak, maka fasilitas belajar yang disediakan orang tua semakin

berkurang.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) dalam Yusuf (2002), sejak memasuki usia

sekolah, pengaruh teman sebaya dan lingkungan luar akan semakin kuat, sedangkan

pengaruh keluarga semakin berkurang. Hal ini memungkinkan teman sebaya dan

lingkungan luar (sekolah) dapat menunjang kebutuhan fasilitas belajar anak, sehingga

fasilitas belajar yang anak butuhkan tidak sepenuhnya lagi berasal dari orang tua.

Jenis Kelamin dengan Pola Asuh Belajar Contoh Perbedaan jenis kelamin menggambarkan salah satu karakteristik setiap

individu. Ketika laki-laki dan perempuan tidak dinilai setara, pengasuhan dapat berbeda

antar jenis kelamin. Umumnya, orang tua memberi perhatian yang lebih besar pada

anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin

dan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan

Gaya PengasuhanSedang Baik

TotalJenis Kelamin

n % n % n %Laki-laki 5 11.9 37 88.1 42 100.0Perempuan 0 0.0 48 100.0 48 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar anak laki-laki (88,1%) dan seluruh

anak perempuan memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji Chi-

Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara jenis kelamin dengan

gaya pengasuhan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1993b) bahwa jenis

kelamin akan mempengaruhi sikap orang tua yang selanjutnya akan mempengaruhi

perilaku dan hubungan antara orang tua dengan anak.

Menurut Megawangi (1993), keadaan biologis manusia dianggap dapat

mempengaruhi tingkah laku manusia. Anak laki-laki cenderung memiliki pola tingkah

laku yang lebih sulit dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga pada umumnya

anak laki-laki lebih sulit diatur dibandingkan anak perempuan (Anonim 2007). Hal ini

memungkinkan orang tua cenderung lebih tegas pada anak laki-laki dalam menerapkan

gaya pengasuhan.

Perhatian orang tua dapat pula dilihat dari fasilitas belajar yang disediakan.

Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar disajikan pada

Tabel 20.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar

Fasilitas Belajar

Sedang BaikTotalJenis

Kelaminn % n % n %

Laki-laki 11 26.2 31 73.8 42 100.0

Perempuan 6 12.5 42 87.5 48 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar contoh laki-laki (73,8%) dan

sebagian besar contoh perempuan (87,5%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Hasil uji

Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan

fasilitas belajar yang disediakan orang tua. Hal ini berarti fasilitas belajar yang

disediakan orang tua tidak tergantung pada jenis kelamin anak.

Hal ini mungkin karena besarnya perhatian orang tua terhadap fasilitas yang

anak butuhkan dalam proses belajar, didukung oleh pendapatan keluarga yang

memadai. Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak,

ditunjang oleh pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga.

Gerungan (1981) dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi

keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada

anak akan lebih besar jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jenis kelamin menjadi tidak berhubungan

dengan fasilitas belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan

belajar anak ditunjang oleh pendapatan keluarga yang memadai.

Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Asuh Belajar ContohPendidikan memegang peranan penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku

orang tua. Menurut Alsa dan Bachroni (1984) dalam Nurani (2004), semakin tinggi

pendidikan orang tua, maka semakin baik pengasuhan yang orang tua terapkan pada

anak. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya

pengasuhan disajikan pada tabel 21.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan

Gaya Pengasuhan

Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan

Ayahn % n % n %

Sekolah Menengah 0 0,0 10 100,0 10 100,0

Perguruan Tinggi 5 6,3 75 93,8 80 100,0

Gaya Pengasuhan

Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan

Ibun % n % n %

Sekolah Menengah 0 0,0 19 100,0 19 100,0

Perguruan Tinggi 5 7,0 66 93,0 71 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat

pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran

contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menerapkan gaya

pengasuhan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam

Ginting (2005) bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki

partisipasi yang lebih besar dalam menstimulasi perkembangan anak dibandingkan

dengan orang tua yang berpendidikan rendah.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat

pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

pendidikan orang tua tidak dapat menentukan gaya pengasuhan yang diterapkan orang

tua. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang mempengaruhi sikap orang tua dalam

menerapkan gaya pengasuhan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengalaman

masa lalu berhubungan erat dengan pola asuh yang orang tua terapkan pada anak.

Orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang sama jika hal tersebut dirasakan

manfaatnya. Sebaliknya, orang tua cenderung untuk tidak mengulangi pola asuh yang

sama jika hal tersebut dirasakan tidak ada manfaatnya.

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek karakteristik keluarga

yang ingin diketahui hubungannya dengan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh

berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dan fasilitas belajar disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan

fasilitas belajar

Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat

pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran

contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menyediakan fasilitas belajar

yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005)

bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki partisipasi yang lebih

besar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan anak dibandingkan

dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Menurut Ginting (2005), pendidikan orang

tua berkaitan dengan partisipasi orang tua pada segala sesuatu yang berhubungan

dengan aktivitas sekolah anak termasuk dalam hal menyediakan fasilitas belajar.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat

pendidikan orang tua dengan fasilitas belajar. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

pendidikan orang tua tidak dapat menentukan penyediaan fasilitas belajar anak di

rumah. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti kondisi ekonomi keluarga. Menurut

Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi

ekonomi, maka orang tua akan sepenuhnya mencurahkan perhatian salah satunya pada

penyediaan fasilitas belajar. Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006) juga

Fasilitas Belajar

Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan

Ayahn % n % n %

Sekolah Menengah 2 20,0 8 80,0 10 100,0

Perguruan Tinggi 15 18,8 65 81,3 80 100,0

Fasilitas Belajar

Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan

Ibun % n % n %

Sekolah Menengah 5 26,3 14 73,7 19 100,0

Perguruan Tinggi 12 16,9 59 83,1 71 100,0

menyatakan bahwa keluarga yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh

pengasuhan orang tua, termasuk dalam hal pola asuh belajar.

Jenis Pekerjaan Orang Tua dan Pola Asuh Belajar Contoh

Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan ketersediaan waktu untuk keluarga,

khususnya untuk anak. Semakin sibuk orang tua, semakin sedikit waktu yang tersedia,

semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila orang tua memberi perhatian

dengan kualitas yang baik. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan

gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan gaya pengasuhan

Gaya PengasuhanSedang Baik

TotalJenis PekerjaanAyah

n % n % n %Wiraswasta 1 4.0 24 96.0 25 100.0pegawai swasta 3 6.7 42 93.3 45 100.0Pegawai negeri 0 0.0 17 100.0 17 100.0ABRI/Polisi 1 100.0 0 0.0 1 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0

Gaya PengasuhanSedang Baik

TotalJenis Pekerjaan Ibun % n % n %

Wiraswasta 1 4.5 21 95.5 22 100.0Pegawai swasta 3 13.6 19 86.4 22 100.0Pegawai negeri 0 0.0 6 100.0 6 100.0IRT 1 2.6 37 97.4 38 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh

memiliki persentase terbesar dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Ayah

contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menerapkan gaya pengasuhan dengan

kategori sedang.

Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara

jenis pekerjaan ayah dengan gaya pengasuhan. Namun, tidak terdapat hubungan antara

jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan. Menurut Anonim (2008), ayah lebih

berperan mencari nafkah (bekerja) untuk keluarga. Secara umum, semakin sibuk ayah

maka semakin sedikit waktu yang diberikan untuk keluarga.

Menurut Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993), jika suasana pekerjaan

cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan maka pada saat pulang ke rumah

suasana emosi akan menyenangkan dalam membina hubungan dengan masing-masing

anggota keluarga. Jika pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan maka

sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat lelah dan tidak ada energi yang

tertinggal untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.

Aspek pekerjaan orang tua akan berpengaruh kepada kondisi ekonomi keluarga

yang selanjutnya akan terkait dengan penyediaan fasilitas belajar anak. Sebaran contoh

berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan fasilitas belajar disajikan pada

Tabel 24.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan fasilitas belajar

Fasilitas BelajarSedang Baik TotalJenis Pekerjaann % n % n %

Wiraswasta 5 20.0 20 80.0 25 100.0Pegawai swata 8 17.8 37 82.2 45 100.0Pegawai negeri 2 11.8 15 88.2 17 100.0ABRI/Polisi 1 100.0 0 0.0 1 100.0Lainnya 1 50.0 1 50.0 2 100.0

Fasilitas BelajarSedang Baik TotalJenis Pekerjaann % n % n %

Wiraswasta 5 22.7 17 77.3 22 100.0Pegawai swata 4 18.2 18 81.8 22 100.0Pegawai negeri 0 0.0 6 100.0 6 100.0IRT 8 21.1 30 78.9 38 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0

Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh

memiliki persentase terbesar dalam menyediakan fasilitas belajar yang baik. Ayah

contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menyediakan fasilitas beajar pada kategori

sedang.

Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis

pekerjaan orang tua dengan ketersediaan fasilitas belajar. Hal ini diduga karena ada

faktor lain seperti perhatian orangtua. Menurut Ridwan (2008), perhatian dan dukungan

orang tua sangat dibutuhkan dalam keberhasilan belajar seorang anak. Untuk mencapai

keberhasilan, anak membutuhkan fasilitas belajar. Hal ini berarti, meskipun kondisi

keluarga mendukung pemenuhan kebutuhan anak, namun tidak diiringi dengan

perhatian dan dukungan orang tua untuk memenuhi fasilitas belajar anak, maka

pekerjaan orangtua sebagai salah satu aspek yang berpengaruh pada kondisi keluarga

menjadi tidak berhubungan dengan fasilitas belajar.

Besar Keluarga dan Pola Asuh Belajar Contoh

Secara umum, besar keluarga memiliki keterkaitan dengan pola asuh belajar.

Semakin besar keluarga, maka semakin terpecah perhatian orang tua untuk

sepenuhnya memberi perhatian pada anak termasuk dalam hal pola asuh belajar

(penerapan gaya pengasuhan dan penyediaan fasilitas belajar). Sebaran contoh

berdasarkan besar keluarga dan gaya pengasuhan disajikan pada

Tabel 25.

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuh belajar

Gaya Pengasuhan

Sedang BaikTotal

Besar Keluarga

n % n % n %

Kecil 4 7,5 49 92,5 53 100,0

Sedang 1 2,7 36 97,3 37 100,0

Fasilitas Belajar

Sedang BaikTotal

Besar Keluarga

n % n % n %

Kecil 10 18,9 43 81,1 53 100,0

Sedang 7 18,9 30 81,1 37 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh contoh dengan keluarga kecil

(92,5%) dan sedang (97,3%) memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik.

Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya bersifat

demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang cukup pada

anak, pada keluarga sedang, umumnya pengasuhan yang dilakukan orang tua

cenderung otoriter, sedangkan pada keluarga besar, pendidikan otoriter diperlukan

untuk menghindari kekacauan atau anarki. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan.

Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh dengan keluarga kecil

(81,1%) dan sedang (81,1%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Menurut Hurlock

(1981), pada keluarga kecil, orang tua memiliki kemauan dan kemampuan untuk

memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak, pada keluarga

sedang, umumnya orang tua memiliki keterbatasan untuk memberi fasilitas dan lambang

status yang sama pada setiap anak, sedangkan pada keluarga besar, orang tua

seringkali tidak mampu untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar

keluarga dengan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar.

Hal ini mungkin karena pola asuh belajar yang diterapkan orang tua pada setiap

besar keluarga adalah baik, didukung dengan pendapatan keluarga yang memadai.

Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak, ditunjang oleh

pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Gerungan (1981)

dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai

peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada anak akan lebih besar

jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa besar keluarga menjadi tidak berhubungan dengan pola asuh

belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan belajar anak ditunjang

oleh pendapatan keluarga yang memadai.

Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajarandengan Motivasi Belajar Contoh

Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Motivasi

belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar.

Munculnya daya penggerak dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor

ekstrinsik pada penelitian ini dijelaskan melalui pola asuh belajar orang tua dan

lingkungan pembelajaran di sekolah.

Pola Asuh Belajar dengan Motivasi Belajar Contoh

Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi dari luar diri seseorang yang

menyebabkan seseorang melakukan kegiatan belajar. Faktor ekstrinsik melalui pola

asuh belajar diteliti berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh

berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi

belajar disajikan pada tabel 26.

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi belajar

Motivasi BelajarSedang Tinggi TotalGaya

Pengasuhann % n % n %

Sedang 1 20,0 4 80,0 5 100,0Baik 19 22,4 66 77,6 85 100,0

Motivasi BelajarSedang Tinggi

TotalFasilitasBelajar

n % n % n %Sedang 6 35,3 11 64,7 17 100,0Baik 14 19,2 59 80,8 73 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh dengan gaya pengasuhan

sedang (80%) dan baik (77,6%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs=

0,270) antara gaya pengasuhan dengan motivasi belajar. Hal mengindikasikan bahwa

semakin baik pengasuhan orang tua, maka semakin tinggi motivasi belajar anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh dengan fasilitas

belajar sedang (64,7%) dan baik (80,8%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang

tinggi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs=

0,261) antara fasilitas belajar dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin baik fasilitas belajar yang disedikan orang tua, maka semakin tinggi motivasi

belajar anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa

fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang.

Adanya hubungan antara pola asuh belajar (gaya pengasuhan orang tua dan

fasilitas belajar) dengan motivasi belajar sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa

perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi belajar sehingga anak

dapat belajar dengan tekun karena anak memerlukan waktu, tempat,dan keadaan yang

baik untuk belajar.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya (Tabel 9) diketahui bahwa orang tua

cenderung menerapkan gaya pengasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa

(2006), gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada

anak dan memupuk kepercayaan diri anak. Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom

dalam Hawadi (2001), dorongan orang tua dianggap sebagai hal yang utama dalam

mengarahkan tujuan individu. Hal ini merupakan bekal terbentuknya motivasi belajar

yang tinggi.

Lingkungan Pembelajaran dengan Motivasi Belajar Contoh Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat

berpengaruh dalam kehidupan anak terutama pada masa usia sekolah. Kualitas

pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik,

sarana prasarana, peraturan sekolah, dan cara penyajian materi pelajaran di sekolah

(Ibrahim 1993; Hawadi 2001; Gunarsa dan Gunarsa 2006). Kualitas pendidikan yang

baik akan mendorong anak didik untuk belajar lebih giat. Sebaran contoh berdasarkan

lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar

Motivasi Belajar

Sedang TinggiTotal

Lingkungan Belajar

n % n % n %

Kelompok 1 6 20,0 24 80,0 30 100,0

Kelompok 2 5 16,7 25 83,3 30 100,0

Kelompok 3 9 30,0 21 70,0 30 100,0

Persentase terbesar contoh pada masing-masing lingkungan pembelajaran

memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar. Hal ini

diduga karena ada faktor lain yang dapat berperan pada motivasi belajar, seperti faktor

sekolah, keluarga atau pun faktor dalam diri.

Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa hampir sepertiga dari

kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah. Hal ini berarti hampir

duapertiga dari kehidupan anak berada di luar sekolah, sehingga memungkinkan anak

lebih memiliki banyak waktu diluar sekolah. Menurut Ridwan (2008), dukungan keluarga

sangat penting dalam keberhasilan seseorang karena dukungan keluarga membuat

seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif. Dukungan dari keluarga

merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk

belajar. Menurut Sadli (1986), Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan memiliki

daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus asa dalam

menyelesaikan suatu masalah. Hal ini mengindikasikan bahwa dukungan lingkungan

pembelajaran menjadi kurang berarti jika tidak ditunjang oleh motivasi dalam diri dan

dukungan dari keluarga.

Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajardan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Contoh

Syah (1997) dalam Abdullah (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar

merupakan taraf keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah

yang dinyatakan dalam bentuk skor. Skor diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah

materi pelajaran tertentu. Menurut Hawadi (2001), prestasi belajar dipengaruhi oleh

faktor intrinsik (potensi akademik dan motivasi belajar) dan faktor ekstrinsik (lingkungan

keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah).

Pola Asuh Belajar dengan Prestasi Akademik Contoh

Menurut Hasbullah (2006), keluarga merupakan lingkungan pertama tempat

anak mendapat pendidikan dan bimbingan. Tugas utama keluarga adalah memberikan

pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) yang baik sebagai dukungan

bagi keberhasilan belajar seorang anak. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar

dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan prestasi akademik

Prestasi Akademik

Sedang Baik TotalGaya

Pengasuhan n % n % n %

Sedang 5 100,0 0 0,0 5 100,0

Baik 34 40,0 51 60,0 85 100,0

Prestasi Akademik

Sedang Baik TotalFasilitas

Belajar n % n % n %Sedang 13 76,5 4 23,5 17 100,0Baik 26 35,6 47 64,4 73 100,0

Berdasarkan hasil penelitian, seluruh contoh dengan gaya pengasuhan yang

sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan lebih dari separuh

contoh (60%) dengan gaya pengasuhan yang baik memiliki prestasi akademik pada

kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

(p<0,05) positif (rs= 0,254) antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi

akademik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik pengasuhan orang tua,

maka semakin baik prestasi akademik anak.

Adanya hubungan positif antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi

akademik didukung oleh pendapat Becker (1964) dalam Hawadi (2001) bahwa adanya

afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima anak dari orang tua akan berdampak

pada penyesuaian diri dan prestasi akademik anak di sekolah. Gunarsa dan Gunarsa

(2006) juga menyebutkan bahwa hubungan antara orang tua dengan anak,

sebagaimana bimbingan dan dorongan yang orang tua berikan akan mendukung anak

untuk berprestasi.

Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh (76,5%) dengan fasilitas

belajar yang sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan

64,4% contoh dengan fasilitas belajar yang baik memiliki prestasi akademik pada

kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

(p<0,01) positif (rs=0,333) antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin baik fasilitas belajar yang orang tua sediakan, maka

semakin baik prestasi akademik anak usia sekolah.

Adanya hubungan positif antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik

didukung oleh pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa fasilitas belajar dapat

mempengaruhi proses belajar seseorang. Kekurangan fasilitas belajar dapat

mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga

menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik. Hawadi (2001) juga menyatakan

bahwa rangsangan pendidikan (penyediaan fasilitas belajar) dari orang tua merupakan

salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi akademik anak.

Lingkungan Pembelajaran dengan Prestasi Akademik ContohSekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan belajar siswa (Ridwan 2008). Sebaran contoh

berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik

Prestasi AkademikSedang Baik TotalLingkungan

Pembelajaran n % n % n %Kelompok 1 1 3,3 29 96,7 30 100,0Kelompok 2 17 56,7 13 43,3 30 100,0Kelompok 3 21 70,0 9 30,0 30 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh pada kelompok

1 (96,7%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik, sedangkan persentase

terbesar contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi

akademik pada kategori sedang. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan

(p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik.

Adanya hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik

sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan

formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa.

Oleh karena itu, lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar

lebih giat. Keadaan sekolah dapat dilihat melalui penyajian pelajaran, hubungan guru

dengan siswa, kondisi ruangan, dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa yang

kurang baik akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Guru sebagai motivator yang

merangsang pengembangan pengetahuan siswa merupakan salah satu faktor yang turut

mempengaruhi kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran (Ibrahim 1993).

Adanya keterkaitan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik

juga didukung oleh pendapat Hasbullah (2006) bahwa sarana prasarana yang dimiliki

oleh suatu lingkungan pembelajaran dan jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut

mempengaruhi sistem pendidikan. Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006)

mengemukakan bahwa situasi dan keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat

belajar akan mempengaruhi prestasi akademik. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa kualitas lingkungan pembelajaran dapat menetukan kualitas prestasi akademik

anak didik.

Motivasi dengan Prestasi Akademik ContohHeckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa motivasi belajar sangat

penting dalam keberhasilan belajar. Motivasi belajar dapat mempertahankan perilaku

berprestasi dan mendorong siswa untuk memilih dan menyukai kegiatan belajar.

Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik disajikan pada

Tabel 30.

Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik

Prestasi AkademikSedang Baik

TotalMotivasi Belajar

n % n % n %Sedang 10 50,0 10 50,0 20 100,0Tinggi 29 41,4 41 58,6 70 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh dengan motivasi belajar pada

kategori sedang memiliki prestasi akademik dengan persentase yang sama antara

kategori sedang (50%) dan baik (50%). Lebih dari separuh contoh (58,6%) dengan

motivasi belajar yang tinggi memiliki prestasi akademik pada kategori baik. Berdasarkan

hasil uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan

prestasi akademik.

Tidak adanya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik

diduga karena adanya faktor lain yang lebih berperan dalam menentukan prestasi

akademik, seperti potensi akademik dan lingkungan anak (keluarga dan seklah).

Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai kompetensi

intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang

positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah

ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengertian orang tua terhadap

kemampuan dan minat anak akan berpengaruh positif terhadap usaha anak dalam

mencapai prestasi akademik, sedangkan di sekolah, anak akan lebih mudah

mempelajari dan memahami sesuatu yang enarik perhatian. Oleh karena itu, cara guru

dalam menyajikan pelajaran akan mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa potensi akademik dan

lingkungan anak (keluarga dan sekolah) dapat menyebabkan motivasi belajar menjadi

tidak berhubungan dengan prestasi akademik anak usia sekolah.

Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik ContohPotensi akademik sebagai implikasi dari dimensi intelektual merupakan salah

satu dimensi psikologis pada bakat seseorang (Suryabrata 2005). Potensi yang dimiliki

akan memudahkan seseorang untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami

sesuatu (Sardiman 2005). Berbekal potensi akademik yang dimiliki, diharapkan dapat

menunjang keberhasilan prestasi akademik individu. Sebaran contoh berdasarkan

potensi akademik dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik

Prestasi AkademikSedang Baik TotalPotensi Akademikn % n % n %

Di bawah rata-rata 2 100,0 0 0,0 2 100,0Rata-rata 15 88,2 2 11,8 17 100,0Di atas rata-rata 17 53,1 15 46,9 32 100,0Jauh di atas rata-rata 5 12,8 34 87,2 39 100,0

Persentase terbesar contoh dengan potensi akademik pada kategori di bawah

rata-rata (100%), rata-rata (88,2%), dan di atas rata-rata (53,1%) memiliki prestasi

akademik pada kategori sedang. Persentase terbesar contoh dengan kategori potensi

akademik jauh di atas rata-rata (87,2%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) positif

(rs=0,651) antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini berarti semakin

tinggi potensi akademik maka semakin baik prestasi akademik.

Adanya hubungan positif antara potensi akademik dan prestasi akademik sesuai

dengan pendapat Muhibbin (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi

akademik, maka semakin besar peluang untuk meraih prestasi akademik. Sebaliknya,

semakin rendah potensi akademik maka semakin kecil peluang untuk meraih prestasi

akademik. Lebih lanjut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007) menyatakan bahwa

untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang

cukup. Hal ini berarti, potensi memiliki peran penting dalam menunjang proses belajar

untuk mencapai prestasi akademik yang diharapakan.

Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk

mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima

keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk

menguasai lima dasar dengan mudah merupakan cerminan dari potensi akademik.

Kelima keterampilan tersebut yakni melihat secara selektif, mendengar secara akurat,

membaca dan memahami kata-kata, mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik dan

berfikir logis, adalah bekal yang dibutuhkan siswa untuk dapat menguasai mata

pelajaran.

Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan pembelajaran, dan Potensi Akademikterhadap Prestasi Akademik Contoh

Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa 59,8% dari faktor-

faktor yang mempengaruhi prestasi akademik dapat dijelaskan oleh pola asuh belajar

(gaya pengasuhan (p<0,05)), lingkungan pembelajaran (p<0,05), dan potensi akademik

(p<0,01). Dengan demikian, model persamaan regresi linear berganda yang dapat

menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik contoh adalah sebagai

berikut:

Keterangan: Y adalah prestasi akademik, a adalah konstanta yaitu 40,671, b2 adalah

koefisien regresi untuk gaya pengasuhan yaitu 0,117, X2 adalah gaya pengasuhan, b4

adalah koefisien regresi untuk lingkungan pembelajaran yaitu 2,699, X4 adalah

lingkungan pembelajaran, b5 adalah koefisien regresi untuk potensi akademik yaitu

1,962, dan X5 adalah potensi akademik.

Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 29), diketahui bahwa terdapat

hubungan positif antara gaya pengasuhan dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas

oleh hasil uji regresi linear berganda bahwa gaya pengasuhan berpengaruh positif

terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa gaya

pengasuhan yang baik dari orang tua akan mempengaruhi keberhasilan prestasi

akademik anak di sekolah. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hawadi (2001) bahwa

partisipasi orang tua terhadap belajar individu merupakan sumbangan yang signifikan

pada prestasi individu. Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa

kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu, dalam hal ini penerapan gaya pengasuhan

orang tua akan mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi anak di

sekolah.

Y = a + b2X2 + b4X4 +

Faktor lain yang tidak kalah penting untuk menunjang keberhasilan anak adalah

faktor sekolah. Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 30) diketahui bahwa

terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik. Hal ini

dipertegas oleh hasil uji regresi linear berganda yang menunjukkan bahwa lingkungan

pembelajaran berpengaruh positif terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil

tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin baik lingkungan pembelajaran akan semakin

mendukung keberhasilan prestasi akademik.

Adanya pengaruh lingkungan pembelajaran terhadap prestasi akademik sesuai

dengan pendapat Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) yang menyatakan

bahwa situasi belajar dan fasilitas belajar dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa

di sekolah. Kekurangan fasilitas belajar dapat mengakibatkan siswa kurang dapat

mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga menimbulkan kegagalan dalam

prestasi akademik. Keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar turut

mempengaruhi prestasi akademik siswa. Kualitas pendidikan dalam lingkungan

pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik (guru). Selain secara rutin

mengajar di kelas, guru juga berperan menciptakan kondisi yang dapat menarik minat

dan perhatian siswa untuk belajar, sehingga peran guru sebagai fasilitator, motivator,

dan inspirator bagi anak didik dapat tercapai (Ibrahim 1993; Gunarsa & Gunarsa 2006).

Selain gaya pengasuhan dan lingkungan pembelajaran, potensi akademik

merupakan salah satu aspek penting yang sangat menunjang keberhasilan belajar anak

didik. Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk

mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima

keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk

dapat menguasai lima kemampuan dasar dengan mudah merupakan cerminan dari

potensi akademik. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), anak dengan tingkat

kecerdasan (potensi akademik) yang relatif tinggi, akan lebih mudah memahami materi

pelajaran di sekolah dibandingkan anak yang memiliki kecerdasan lebih rendah.

Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 31), diketahui bahwa terdapat

hubungan antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas oleh

hasil uji regresi linear yang menunjukkan bahwa potensi akademik berpengaruh positif

terhadap prestasi akademik contoh. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi potensi

akademik maka prestasi akademik akan semakin baik. Hasil ini sesuai dengan pendapat

Syah (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi akademik siswa maka

semakin besar peluang untuk meraih prestasi. Sebaliknya, semakin rendah potensi

akademik siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih prestasi. Kohnstamm

menegaskan bahwa seseorang tidak akan mampu mengerjakan sesuatu di atas mutu

inteligensinya (potensi akademik) (Sujanto 2004). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa usaha anak untuk mencapai prestasi akademik terbatas pada potensi akademik

yang dimiliki.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa terwujudnya suatu

prestasi akademik tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor yang mendukung

tercapainya prestasi akademik, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Ditinjau dari segi

intrinsik, potensi yang dimiliki siswa sangat berpengaruh terhadap tercapainya prestasi

yang diharapkan, namun untuk merealisasikan potensi menjadi prestasi, seseorang

tetap membutuhkan stimulasi. Stimulasi yang dibutuhkan seorang siswa dapat berasal

dari lingkungan keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Ditinjau dari segi

ekstrinsik, gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dan situasi lingkungan

pembelajaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan guna mendukung tercapainya

prestasi akademik yang diharapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Rata-rata umur contoh di ketiga lokasi penelitian adalah 10,4 tahun dengan proporsi

terbesar contoh berkisar antara umur 10,0-11,4 tahun. Sebagian besar contoh

berjenis kelamin permpuan.

2. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi, pekerjaan

ayah adalah pegawai swasta dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga. Proporsi

terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000, sedangkan ibu

tidak memiliki pendapatan. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh sebanyak 5

orang.

3. Tidak terdapat perbedaan motivasi belajar, gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas

belajar contoh di ketiga lingkungan pembelajaran. Terdapat perbedaan potensi

akademik dan prestasi akademik contoh di ketiga lingkungan pembelajaran.

4. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar. Terdapat

hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar.

5. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan, antara jenis

kelamin dengan fasilitas belajar, antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola

asuh belajar, antara jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan, antara jenis

pekerjaan orang tua dengan fasilitas belajar, dan antara besar keluarga dengan pola

asuh belajar. Terdapat hubungan antara umur dengan fasilitas belajar, antara jenis

kelamin dengan gaya pengasuhan, dan antara jenis pekerjaan ayah dengan gaya

pengasuhan.

6. Terdapat hubungan positif antara pola asuh belajar dengan motivasi belajar. Tidak

terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar.

7. Terdapat hubungan antara pola asuh belajar dan potensi akademik dengan prestasi

akademik dan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik, namun

tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik.

8. Prestasi akademik dapat dipengaruhi oleh faktor gaya pengasuhan, lingkungan

pembelajaran, dan potensi akademik.

Saran

Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik anak,

maka disarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan

yang baik. Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan

anak, namun dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh

pengertian terhadap kebutuhan belajar anak.

Mengingat sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik anak, maka

disarankan kepada pihak sekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat

merangsang minat siswa untuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara

mengajar yang memungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan

melakukan aktivitas belajar dengan penuh percaya diri. Selain itu, diharapkan adanya

kerja sama antara pihak orang tua dengan pihak sekolah untuk menyediakan fasilitas

belajar yang menunjang keberhasilan proses belajar anak didik di sekolah.

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan, sehingga pada penelitian selanjutnya

disarankan untuk mengambil data pendapatan melalui pendekatan pengeluaran

keluarga. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk melakukan pemilihan contoh

secara acak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A. 2008. Prestasi Belajar. [terhubung berkala]. http://spesialis-torch.com. [28Agustus 2008].

Anonim. 2007. Perubahan Peranan Kaum Pria. [terhubung berkala].http://www.norwegia.or.id. [31 Agustus 2008].

. 2008. BAB II: Bimbingan Bagi Orang Tua dalam Penerapan Pola Asuh untukMeningkatkan Kematangan Sosial Anak. [terhubung berkala].http://www.damandiri.or.id. [31 Agustus 2008].

Baradja, A. 2005. Psikologi Perkembangan Tahapan-tahapan dan Aspek-aspeknya dari0 Sampai Akhil Baliq. Jakarta: Studia Press.

Effendi S. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ginting EB. 2005. Hubungan pengasuhan dan Kecerdasan Emosi Dengan PrestasiBelajar Pada Remaja [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor.

Gunarsa S. 2006. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT BPK GunungMulya.

, Gunarsa Y. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PTBPK Gunung Mulya.

Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Ed ke-5. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

Hawadi RA. 2001. Psikologi Perkembangan Anak : Mengenal Sifat, Bakat, danKemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo.

Hoghughi M, Long N, editor. 2004. Handbook of Parenting Theory and Research forPractice. London: Sage Publication.

Hurlock EB. 1981. Child Development. Ed ke-6. Tokyo: Mc Graw-Hill, Inc.

. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Ridwan MS, editor. Ed ke-5.Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psikology: A Life-SpanApproach.

. 1993a. Perkembangan Anak. M Tjandrasa, penerjemah. Ed ke-6. Jakarta:Erlangga.Terjemahan dari: Child Development.

. 1993b. Perkembangan Anak Jilid 2. M Tjandrasa, M Zarkasih, penerjemah.Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development.

Ibrahim MD. 1993. Substansi Sistem Pendidikan Nasional Optimalisasi dan AktualisasiPotensi Manusia. Prosiding Seminar Deregulasi Pendidikan Dalam RangkaMenyukseskan Implementasi Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 TentangSistem Pendidikan Nasional; Malang, 1 Februari 1993. Malang: KerjasamaLembaga Pertahanan Nasional Dengan Universitas Merdeka Malang.

Latifah M. 2008. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak. [terhubungberkala].http://www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com.html. [10 Maret 2008].

, Dina NN. 2002. Panduan Tes Kemampuan Kognitif Anak Usia Sekolah (10-11 Tahun): Modifikasi dari Stanley Riley Inventory of Basic Learning SkillsAcademic Therapy Publications Novato, California 1992. Bogor: FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.

, Djamaludin M, Dhamayanthi E, Atmojo S. 2002. Sekolah Kita: Bahan AjarBerwawasan Pola Hidup Sehat Untuk Siswa Kelas 4. Bogor: Kerja SamaBalitbang Depdiknas dengan Lembaga Penelitian IPB.

Manrique I. 1994. Sebuah Studi Kasus Dari Venezuela. Di dalam: Ranaweera, A.M.Pendekatan Non-Konvensional Dalam Pendikan Pada Tingkat Dasar. Slamet, A.& Sofwan A, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari:Non-Convertional Approaches to Education at The Primary Level.

Megawangi R. 1993. Keluarga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia DalamRangka Menyongsong Abad Ke-21. Di dalam : Rihati Kusno, dkk, editor.Prosiding Seminar Keluarga Menyongsong Abad ke-21 dan Perananya dalamPengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: Kerjasama JurusanGizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor dengan BKKBN.

. 2001. Membiarkan Berbeda ?: Sudut Pandang Baru Tentang RelasiGender. Bandung: Mizan.

Novita. 2007. Pengaruh Status Gizi dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi BelajarSiswa Sekolah Dasar di Beberapa Kelurahan, Kecamatan Pasar Minggu, JakartaSelatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nurani AT. 2004. Pengaruh Kualitas Perkawinan, Pengasuhan Anak dan KecerdasanEmosonal Terhadap Prestasi Belajar Anak [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor.

Papalia DE, Olds SW. 1989. Human Development. Ed ke-4. USA: McGraww-Hill, Inc.

Priantini W. 2006. Pengaruh Pengasuhan, Lingkungan sekolah dan Peran TemanSebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja [Tesis]. Bogor: FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ridwan. 2008. Ketercapaian Prestasi Belajar. [terhubung berkala].http://ridwan202.wordpress.com. [28 Agustus 2008]

Sadli S. 1986. Inteligensi Bakat dan Test IQ. Jakarta: PT. Gaya Favorit Press.

Sardiman AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher.

Soeitoe S. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia.

Suciaty Irawan P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: PAU-PPAI, UniversitasTerbuka.

Sujanto A. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata NS. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: RemajaRosdakarya.

Suryabrata S. 1982. Perkembangan Individu. Jakarta: C.V Rajawali

. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Turner JS, Helms DB. 1990. Lifespan Deselopment. Ed ke-4. USA: Holt, Rinehart andWinston, Inc.

Yusuf A. 2002. Kiat Sukses Dalam Karier. Jakarta: Ghalia Indonesia.

.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis

Variabel Chi-Square df Asymp.sig

Jenis Kelamin 5,563 2 0,062

Umur 2,378 2 0,305

Pendidikan Ayah 9,652 2 0,008Pendidikan Ibu 24,520 2 0,000

Pekerjaan Ayah 10,324 2 0,007Pekerjaan Ibu 15,295 2 0,000Pendapatan Utama Ayah 2,672 2 0,263

Pendapatan Tambahan Ayah 12,487 2 0,002

Pendapatan Utama Ibu 18,487 2 0,000Pendapatan Tambahan Ibu 2,112 2 0,348

Besar Keluarga 2,814 2 0,245

Gaya Pengasuhan 0,252 2 0,882

Fasilitas Belajar 4,030 2 0,133

Motivasi 1,252 2 0,535

Potensi Akademik 24,425 2 0,000Prestasi Akademik 31,577 2 0,000

Keterangan : variabel dikelompokkan berdasarkan lingkungan pembelajaran

Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tigalingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 4,50

SDN Sukadamai 3 A,B 4,87

SD Citra Alam B 5,20

Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 3,80

SDN Sukadamai 3 B 4,53

SD Citra Alam C 5,00

Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tigalingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 2,67

SDN Sukadamai 3 B 3,50

SD Citra Alam A 2,97

Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tigalingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah B 4,47

SDN Sukadamai 3 B 5,00

SD Citra Alam A 3,13

Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah B 0,80

SDN Sukadamai 3 B 0,83

SD Citra Alam A 0,00

Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 0,93

SDN Sukadamai 3 A 0,70

SD Citra Alam B 1,83

Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 11,990

SDN Sukadamai 3 B 13,886

SD Citra Alam A 12,086

Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran

Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata

SD Amaliah A 79,96

SDN Sukadamai 3 B 86,74

SD Citra Alam A 77,47

140

Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearmann

* Correlation is significant at the .05 level (2-tailed)** Correlation is significant at the .01 level (2-tailed)

Umurresponden

Pendidikanayah

Pendidikanibu

Besarkeluarga

Gayapengasuhan

Fasilitasbelajar

Motivasibelajar

Potensiakademik

Prestasiakademik

Correlation Coefficient 1.000 -.058 -.169 .160 -.202 -.211* -.416** -.272** -.133Sig. (2-tailed) . .587 .111 .133 .056 .045 .000 .009 .212

Umurresponden

N 90 90 90 90 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - 1.000 .563** .004 .106 .045 -.056 .047 .098Sig. (2-tailed) - . .000 .971 .319 .674 .598 .660 .358

Pendidikanayah N - 90 90 90 90 90 90 90 90

Correlation Coefficient - - 1.000 .103 .028 .082 -.013 .000 .049Sig. (2-tailed) - - . .334 .797 .445 .904 .999 .647

Pendidikanibu N - - 90 90 90 90 90 90 90

Correlation Coefficient - - - 1.000 -.141 .013 -.125 .089 .118Sig. (2-tailed) - - - . .185 .904 .241 .406 .267Besar

keluargaN - - - 90 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - 1.000 .241* .270* .164 .254Sig. (2-tailed) - - - - . .022 .010 .122 .016Gaya

pengasuhanN - - - - 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - 1.000 .261* .279** .333**Sig. (2-tailed) - - - - - . .013 .008 .001Fasilitas

belajarN - - - - - 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - - 1.000 .027 .151Sig. (2-tailed) - - - - - - . .803 .154

Motivasibelajar

N - - - - - - 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - - - 1.000 .651**Sig. (2-tailed) - - - - - - - . .000

Potensiakademik N - - - - - - - 90 90

Correlation Coefficient - - - - - - - - 1.000Sig. (2-tailed) - - - - - - - - .

Prestasiakademik N - - - - - - - - 90

Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square

p value

Pola Asuh BelajarMotivasi

BelajarGaya

Pengasuhan

Fasilitas

Belajar

Prestasi

Akademik

Jenis kelamin 0,175 0,014 0,098Jenis Pekerjaan Ayah 0,001 0,186

Jenis Pekerjaan Ibu 0,424 0,699

Lingkungan Pembelajaran 0,434 0,000

Lampiran 12 Hasil analisis Regresi Linear Berganda

Unstandardized

Coefficients

Standardized

CoefficientsModel

B Std. Eror Beta

t Sig

(Constant) 40,671 5,793 7,021 0,000

Lingkungan Pembelajaran 2,699 1,312 0,188 2,057 0,043

Gaya Pengasuhan 0,117 0,045 0,192 2,605 0,011Fasilitas Belajar 2,277E-02 0,033 0,053 0,688 0,493

Motivasi Belajar 2,315E-02 0,052 0,033 0,442 0,660

Potensi Akademik 1,926 0,340 0,481 5,660 0,000

R Square 59,8%

Dependent variable: prestasi akademik