pengaruh pola asuh belajar, lingkungan … · pembelajaran dengan motivasi belajar siswa, 6)...
TRANSCRIPT
63
PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGANPEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI
AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIKSISWA SEKOLAH DASAR
KARTIKA WANDINI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGAFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
KARTIKA WANDINI. A54104046. Pengaruh Pola Asuh Belajar, LingkunganPembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik terhadap Prestasi AkademikSiswa Sekolah Dasar. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH.
Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh belajar,lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasiakademik siswa sekolah dasar. Tujuan khususnya adalah:1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga pada lingkungan pembelajaran, 2)Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan prestasiakademik siswa pada situasi lingkungan pembelajaran,3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar siswa, 4)Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuhbelajar siswa, 5) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkunganpembelajaran dengan motivasi belajar siswa,6) Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasibelajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa,7) Menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajardan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa.
Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukandi tiga sekolah dasar dari tiga model lingkungan pembelajaran berbeda yang dipilihsecara purposive, yaitu SDN Sukadamai 3 (kelompok 1), SD Amaliah (kelompok 2) danSD Citra Alam (kelompok 3). Pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Mei 2008.Contoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah dasar.Pada masing-masing sekolah dipilih secara purposive 30 contoh untuk dianalisis lebihlanjut.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primermeliputi karakteristik individu, karakteristik keluarga, pola asuh belajar (gayapengasuhan dan fasilitas belajar), motivasi belajar, dan potensi akademik. Datasekunder meliputi prestasi akademik dan keadaan umum lingkungan pembelajaran.Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Pengolahan dananalisis data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan Statistical Package forSosial Science (SPSS) 10,0 for Windows.Untuk melihat ada tidaknya perbedaan padamasing-masing variabel contoh di ketiga lingkungan pembelajaran digunakan ujiKruskal-Wallis dan uji lanjut Duncan. Untuk menganalisis hubungan antar variabeldigunakan uji korelasi Spearman dan Chi-Square. Untuk menganalisis pengaruh polaasuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi akademik terhadapprestasi akademik contoh digunakan analisis regresi linear berganda.
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata umur contoh pada ketiga lingkunganpembelajaran adalah 10,4 tahun, dengan kisaran umur antara 10,0-11,4 tahun (73,3%)dan jenis kelamin perempuan (53%) sebagai proporsi terbesar. Proporsi terbesar tingkatpendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi (83,9%), pekerjaan ayah adalah pegawaiswasta (50%) dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga (42%). Sementara itu,proporsi terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%),dan tidak memiliki pendapatan tambahan (77,8%), untuk ibu tidak memiliki pendapatanutama (35,6%) dan tambahan (90%). Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5orang. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan tingkat pendidikanorang tua (p<0,01), jenis pekerjaan orang tua (p<0,01), tingkat pendapatan utama ibu(p<0,01) dan tingkat pendapatan tambahan ayah (p<0,01) antar kelompok lingkunganpembelajaran.
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, tidak terdapat perbedaan motivasi belajar,gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar antar kelompok lingkunganpembelajaran, namun terdapat perbedaan pada potensi akademik contoh (p<0,01) danprestasi akademik (p<0,01). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan potensi
akademik dan prestasi akademik, terdapat pada contoh di Kelompok 1 dengan contoh dikelompok 2 dan di kelompok 3.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatifantara umur dengan motivasi belajar (p<0,01; rs=-0,416). Berdasarkan hasil uji Chi-Square, tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antaraumur dengan gaya pengasuhan orang tua, namun terdapat hubungan negatif antaraumur dengan fasilitas belajar (p<0,05; rs=-0,211). Berdasarkan hasil uji Chi-Square,terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan orangtua (p<0,01),namun tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan fasilitas belajar. Hasil ujikorelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkatpendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas belajar.Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan antara jenis pekerjaan ayahdengan gaya pengasuhan orang tua (p<0,01), namun tidak terdapat hubungan antarajenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan orang tua, dan antara jenis pekerjaanorang tua dengan fasilitas belajar contoh. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tidakterdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan orang tua danfasilitas belajar contoh.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positifantara gaya pengasuhan orang tua dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,270) danantara fasilitas belajar dengan motivasi belajar (p<0,05; rs=0,261). Berdasarkan hasil ujiChi-Square, tidak terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasibelajar.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan positif antara gayapengasuhan orang tua dengan prestasi akademik (p<0,05; rs=0,254) dan antara fasilitasbelajar dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,333). Berdasarkan hasil uji Chi-Square,terdapat hubungan (p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik.Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara motivasibelajar dengan prestasi akademik, namun terdapat hubungan positif antara potensiakademik dengan prestasi akademik (p<0,01; rs=0,651). Hasil analisis regresi linearberganda menunjukkan bahwa 59,8 persen prestasi akademik dipengaruhi oleh faktorgaya pengasuhan orang tua, lingkungan pembelajaran dan potensi akademik.
Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik, makadisarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan yang baik.Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namundengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian. Mengingatsekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik, maka disarankan kepada pihaksekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat merangsang minat siswauntuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara mengajar yangmemungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan melakukan aktivitasbelajar dengan penuh percaya diri
PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGANPEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI
AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIKSISWA SEKOLAH DASAR
KARTIKA WANDINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PertanianProgram Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGAFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
JUDUL : PENGARUH POLA ASUH BELAJAR, LINGKUNGAN
PEMBELAJARAN, MOTIVASI BELAJAR DAN POTENSI
AKADEMIK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA
SEKOLAH DASAR
NAMA : Kartika Wandini
NOMOR POKOK : A54104046
Disetujui
Dosen Pembimbing
Ir. Melly Latifah, M.SiNip. 131879327
Diketahui
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kehadirat Nabi Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan
terima kasih kepada :
1. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberi arahan kepada penulis.
2. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc, Ph.D yang telah meluangkan waktu untuk memberi
masukan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing seminar dan dosen penguji atas
arahan dan saran yang diberikan.
4. Katrin Roosita, Sp, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
5. SD Negeri Sukadamai 3 Bogor, SD Islam Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam
Ciganjur atas ijin yang telah diberikan sehingga penulis dapat melakukan penelitian.
6. Teman-teman Pondok Surya, Wiwik dan Fiska (STK 41) atas masukan kepada
penulis selama masa pengolahan data.
7. Best friends (Devita, Rizka, Ima, Veny, Ratna, Lia, Angel, Dedew, Ani, Devy, Inur,
Rika, Ira, Ana (GMK 40)) dan seluruh GAMASAKERS 41 yang tidak penulis
sebutkan satu per satu.
8. M. Idris yang telah banyak memberi perhatian dan bantuan kepada penulis.
9. Kakak, Ayah, dan Ibu atas kasih sayang, doa serta dukungan moril dan materil yang
senantiasa diberikan kepada penulis. Penulis berharap skripsi ini menjadi awal
kebanggaan untuk Ayah dan Ibu.
10. Pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memperhatikan
dunia pendidikan.
Bogor, Agustus 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Kartika Wandini, lahir di Jakarta, pada 11 Desember 1986 dan merupakan anak
kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02
Pagi Rambutan Jakarta Timur pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di MTs
Negeri 7 Model Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun 2001. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di SMU negeri 58 Jakarta dan menyelesaikan studi pada tahun
2004. Selanjutnya, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian
pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi antara
lain Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), GMSK English
Club (GEC), dan Bina Desa. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitian
dan menjadi ketua panitia Food Nutrition Competition X dalam rangkaian Nuansa
Pangan dan Gizi Keluarga X. Tahun 2006, penulis menjadi finalis dalam Project
Proposal Competition yang diadakan oleh Meat and Livestock Australia. Penulis juga
menjadi finalis dalam rangka Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan
tingkat IPB.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL…...........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
PENDAHULUAN .............................................................................................
Latar Belakang ........................................................................................
Perumusan Masalah................................................................................
Tujuan Penelitian.....................................................................................
Kegunaan Penelitian ...............................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar....................................................
Prestasi Akademik…………………..........................................................
Potensi Akademik…..................................................................................
Motivasi Belajar….....................................................................................
Pola Asuh Belajar……………...................................................................
Lingkungan Pembelajaran........................................................................
Karakteristik Keluarga...............................................................................
Pendidikan Orang Tua..........................................................................
Pekerjaan Orang Tua...........................................................................
Pendapatan Keluarga...........................................................................
Besar Keluarga.....................................................................................
Karakteristik Individu.................................................................................
Umur...................................................................................................
Jenis Kelamin…………………..............................................................
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................
METODE PENELITIAN ...................................................................................
Desain, Tempat dan Waktu .....................................................................
Penarikan Contoh.....................................................................................
Jenis dan Cara Pengambilan Data ..........................................................
Pengolahan dan Analisis Data.................................................................
Definisi Operasional.................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
Karakteristik Individu Contoh....................................................................
Karakteristik Keluarga Contoh..................................................................
iii
v
vi
1
1
3
4
4
5
5
6
7
8
9
12
13
13
14
14
15
16
16
17
18
20
20
20
20
21
23
25
25
26
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran….........................................
Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi Akademik, dan PrestasiAkademik Contoh pada Lingkungan Pembelajaran…….………….....
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar Contoh
Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga dengan PolaAsuh Belajar Contoh…………………………………………………..….
Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajarandengan Motivasi Belajar Contoh…………………………………………
Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran,Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi AkademikContoh…………………………………………………………………...…
Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, dan PotensiAkademik terhadap Prestasi Akademik Contoh
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
LAMPIRAN.......................................................................................................
30
32
36
38
47
49
54
57
59
62
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1 Jenis dan cara pengambilan data....................................................... 21
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan rentang umur ...................................... 25
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin....................................... 26
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua................. 26
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua...................... 27
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua ... 28
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orangtua............................................................................................. 29
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga..................................... 30
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan....... 33
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan ................................ 33
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar..................................... 34
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar.................................... 34
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik................................. 35
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik................................ 36
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar.................... 37
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar ....... 38
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan ................ 39
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur orangtua dan fasilitas belajar...... 40
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan.... 40
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar......... 41
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dangaya pengasuhan............................................................................... 42
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua danfasilitas belajar ................................................................................... 43
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua dan gayapengasuhan ....................................................................................... 44
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua danfasilitas belajar ................................................................................... 45
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuhbelajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar )................................. 46
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan motivasibelajar………………........................................................................... 47
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar ................................................................................ 49
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar dan prestasi Akademik ......................................................................................... 50
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik ............................................................................ 51
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik ......................................................................................... 52
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik ......................................................................................... 53
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Hubungan Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajar, dan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Siswa Sekolah Dasar ...................................................................... 19
DAFTAR LAMPIRAN
HalamanLampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis.............................................................. 63
Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran....................................................... 63
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ........................................................... 64
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ........................................................... 64
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran .......................................................... 64
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ............................... 64
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran ............................................ 65
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran............................................................ 65
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran..................................................... 65
Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearman ........................................ 66
Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square ............................................................. 67
Lampiran 12 Hasil analisis regresi linear berganda........................................... 67
PENDAHULUAN
Latar BelakangPrestasi akademik adalah cerminan kemampuan siswa dalam mengikuti
pembelajaran di sekolah dan dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan
proses belajar. Berdasarkan teori Erikson, anak usia sekolah berada pada fase industry
versus inferiority (Papalia & Olds 1989; Gunarsa 2006). Pada fase tersebut, anak
sedang membangun kepribadiannya. Apakah anak akan menjadi pribadi yang merasa
mampu dan percaya diri (industry) atau sebaliknya, merasa rendah diri (inferiority)
sangat tergantung kepada stimulasi psikososial yang diperoleh di rumah, sekolah, dan
lingkungan teman sebaya.
Nilai rapor dapat menjadi pemacu anak dalam mengembangkan rasa industry.
Nilai rapor yang memuaskan akan membuat anak merasa mampu dan percaya diri di
bidang akademik. Selanjutnya, hal tersebut akan memotivasi anak untuk belajar lebih
giat. Menurut Suryabrata (2005), rasa industry membantu anak mencapai prestasi
akademik yang diharapkan, sehingga makin menumbuhkan rasa percaya diri.
Sebaliknya, bila prestasi akademik anak kurang atau buruk, maka akan menumbuhkan
rasa inferiority yang selanjutnya menghambat prestasi akademik. Dengan demikian,
prestasi akademik menjadi penting artinya bagi anak usia sekolah dalam membangun
kepribadiannya.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari dalam diri atau pun luar diri anak. Faktor dalam diri yang
dapat mempengaruhi prestasi akademik anak antara lain, motivasi belajar dan potensi
akademik. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi belajar memberi kontribusi
sebesar 36% terhadap prestasi belajar, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain,
diantaranya kecerdasan (potensi akademik). Apabila anak mempunyai tingkat
kecerdasan normal atau di atas normal, maka secara potensi, anak dapat mencapai
prestasi yang baik. Namun, potensi saja tidak dapat dijadikan jaminan keberhasilan.
Sadli (1986) menyatakan bahwa potensi akademik tanpa rangsangan pendidikan,
pengalaman, serta latihan yang tepat, akan membuat potensi tidak berkembang optimal,
sehingga prestasi yang dicapai juga tidak optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai
prestasi yang diharapkan, dibutuhkan dukungan positif dari faktor luar (orang tua dan
sekolah).
Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan motivasi belajar dan
mencapai prestasi akademik. Peran tersebut diterapkan orang tua melalui pola asuh
belajar. Cara orang tua dalam menerapkan pola asuh belajar dipengaruhi oleh kondisi
keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Hurlock 1981). Selain itu, untuk mewujudkan
prestasi akademik, diperlukan adanya kerjasama antara orang tua dengan pihak
sekolah. Peran sekolah dalam mewujudkan prestasi akademik, dapat dijelaskan melalui
berbagai hal, antara lain kegiatan belajar mengajar, keadaan dan fasilitas sekolah,
peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa pola asuh belajar, lingkungan
pembelajaran di sekolah, motivasi belajar, dan potensi akademik berperan dalam
menunjang prestasi akademik anak. Mengingat pentingnya prestasi akademik bagi
pengembangan kepribadian anak, maka penting untuk meneliti pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap prestasi akademik.
.
Perumusan MasalahPrestasi akademik berperan penting dalam membangun kepribadian anak usia
sekolah. Dengan prestasi akademik yang baik akan terbangun rasa percaya diri
(industry) pada anak. Sebaliknya, bila prestasi akademiknya buruk, akan timbul rasa
rendah diri (inferiority) pada anak.
Prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam atau pun luar.
Motivasi belajar dan potensi akademik adalah dua dari beberapa faktor dalam diri yang
dapat mempengaruhi prestasi akademik. Dalam pengembangannya, motivasi dan
potensi membutuhkan stimulus dari lingkungan (orang tua dan sekolah) agar bisa
mencapai hasil yang optimal. Stimulus yang diberikan orang tua, diterapkan melalui pola
asuh belajar di rumah, sedangkan stimulus dari sekolah diwujudkan melalui situasi dan
kondisi lingkungan pembelajaran.
Untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
prestasi akademik, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat
memberi saran yang mendukung peningkatan prestasi akademik.
Berdasarkan hal tersebut, maka yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah
bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar, hubungan
antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola asuh belajar, hubungan antara
pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar, hubungan
antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan potensi
akademik dengan prestasi akademik. Pada akhirnya, sejauh mana pengaruh pola asuh
belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap
prestasi akademik menjadi penting untuk diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat
menjadi masukan untuk perbaikan prestasi akademik.
TujuanTujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola asuh
belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap
prestasi akademik siswa sekolah dasar.
Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga pada lingkungan
pembelajaran siswa sekolah dasar.
2. Mengidentifikasi pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik dan
prestasi akademik siswa pada lingkungan pembelajaran.
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan motivasi belajar
siswa sekolah dasar.
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola
asuh belajar siswa sekolah dasar.
5. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar dan lingkungan pembelajaran
dengan motivasi belajar siswa sekolah dasar.
6. Menganalisis hubungan antara pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran,
motivasi belajar, dan potensi akademik dengan prestasi akademik siswa sekolah
dasar.
7. Menganalisis pengaruh motivasi belajar, pola asuh belajar, lingkungan
pembelajaran, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik siswa sekolah
dasar.
Kegunaan PenelitianHasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para orang tua
dan para pendidik tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik
siswa sekolah dasar. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki
kualitas sumberdaya manusia generasi penerus bangsa melalui peningkatan kualitas
pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran, motivasi belajar dan prestasi akademik
siswa sekolah dasar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi
pengembangan keilmuan, khususnya di bidang perkembangan dan pendidikan anak
usia sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Anak Usia Sekolah DasarBerdasarkan teori perkembangan Papalia dan Old, pada usia 6 hingga 12 tahun
anak berada pada masa usia sekolah. Menurut Kogan (1966) dalam Turner dan Helms
(1990), pada usia sekolah anak berada pada periode kritis. Periode tersebut merupakan
periode tertentu ketika lingkungan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan
kognitif seorang anak. Hawadi (2001) menambahkan, bila pada masa tersebut anak
membentuk kebiasaan untuk mencapi sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.
Apabila anak mengembangkan kebiasaan untuk bekerja sesuai, di bawah, atau di atas
kemampuan, maka kebiasaan ini akan menetap dan cenderung mengenai semua
bidang kehidupan tidak hanya di bidang akademik. Menurut Hurlock (1991), perbedaan
seks dalam pertumbuhan fisik hampir tidak tampak secara nyata hingga akhir masa
kanak-kanak. Namun, anak laki-laki cenderung lebih pendek dan ringan daripada anak
perempuan dengan usia yang sama hingga matang secara seksual.
Salah satu tugas perkembangan anak usia sekolah adalah mengembangkan
keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung (Hurlock 1991). Menurut
Suryabrata (1982), pada akhir sekolah dasar terdapat beberapa sifat khas pada anak,
antara lain minat realistik ingin tahu dan ingin belajar, minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus, sampai kurang lebih usia sebelas tahun anak pada umumnya
menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas, anak berusaha menyelesaikan tugas
sendiri, dan anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai
prestasi sekolah.
Menurut pandangan Sigmund Freud, pada usia sekolah terjadi perkembangan
yang luar biasa secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan (Gunarsa 2006).
Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, usia 7-12 tahun tergolong masa konkrit
operasional. Pada masa itu, anak sudah dapat berfikir logis dan mulai mengenal adanya
hubungan fungsional (Soeitoe 1982). Anak mempunyai struktur kognitif untuk dapat
berpikir dan melakukan tindakan tanpa bertindak secara nyata. Namun, apa yang
dipikirkan masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang
konkrit, suatu realitas secara fisik, dan benda-benda yang nyata. Oleh karena itu, benda-
benda atau kejadian yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit dengan
realitas masih sulit dipikirkan oleh anak usia sekolah dasar.
Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson, pada masa usia sekolah,
anak berada pada fase industry versus inferiority. Fase industry adalah fase ketika anak
memiliki keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu. Namun disisi lain, Erikson juga
menyebutkan bahwa fase inferiority seringkali timbul pada anak usia sekolah. Fase ini
terjadi ketika anak menemui kegagalan dan merasa kegagalan tersebut terlihat
dihadapan orang lain sehingga akan timbul rasa rendah diri (Gunarsa 2006).
Prestasi AkademikIstilah hasil belajar berasal dari bahasa Belanda “prestatie, yang berarti hasil
usaha (Abdullah 2008). Menurut Winkel (1996) dalam Ridwan (2008), belajar adalah
suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan. Belajar menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, dan nilai sikap. Prestasi akademik merupakan tingkat kemampuan yang
dimiliki siswa untuk menerima, menolak, dan menilai informasi yang diperoleh dalam
proses belajar mengajar (Ridwan 2008).
Setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan.
Prestasi akademik yang dicapai seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam
mempelajari materi pelajaran setelah mengalami proses belajar. Menurut Somantri
(1978) dalam Nurani (2004), prestasi akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam
kurun waktu tertentu pada mata pelajaran tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka
dan dirumuskan dalam rapor.
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar
karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari
proses belajar. Untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Hawadi (2001), faktor-
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berasal dari dalam diri (faktor intrinsik)
dan luar diri seseorang (faktor ekstrinsik). Adapun faktor intrinsik yang mempengaruhi
prestasi belajar antara lain potensi akademik, bakat, minat dan motivasi belajar,
sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain keadaan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah (Ridwan 2008). Menurut
(Gunarsa dan Gunarsa 2006), kurangnya hasrat untuk berprestasi pada siswa dapat
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain ketidakpuasan terhadap prestasi yang
diperoleh dan kurangnya rangsangan dari pihak sekolah atau orang tua dan guru yang
terlalu menekan.
Potensi Akademik
Potensi adalah salah satu kemampuan manusia untuk melakukan suatu
kegiatan. Turner dan Helms (1990) mengindikasikan bahwa potensi yang dimiliki
seseorang berasal dari faktor genetik yang diwarisi orang tua, sementara dalam
perkembangannya ada pengaruh dari faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian
Turner dan Helms, bila anak kembar identik dibesarkan pada lingkungan yang sama,
maka kecerdasan anak dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Apabila anak kembar
tersebut dibesarkan pada lingkungan yang berbeda dan ternyata memiliki kecerdasan
berbeda, maka lingkungan berperan penting untuk membantu anak mengoptimalkan
potensi, sedangkan bila kecerdasan anak tersebut sama, diasumsikan karena adanya
persamaan genetik. Sementara itu, bila anak kembar dengan genetik yang berbeda
dibesarkan pada lingkungan yang sama dan lingkungan menunjukkan sebagai faktor
yang signifikan, maka hal ini sama seperti hubungan yang terjadi pada anak kembar
identik.
Potensi menyangkut persoalan kecerdasan atau inteligensi yang merupakan
struktur mental untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami sesuatu (Sardiman
2005). Kecerdasan (potensi akademik) merupakan salah satu aspek penting yang
sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. jika anak mempunyai tingkat
kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi anak dapat mencapai
prestasi yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan intelegensi anak, maka semakin besar
peluang untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi
seseorang maka semakin kecil peluang untuk meraih sukses (Muhibbin 1999 dalam
Ridwan 2008).
Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget, usia sekolah berada pada
tahapan konkrit operasional. Tahapan ini menjelaskan bahwa kemampuan anak untuk
berkomunikasi dan berpikir semakin baik dibanding tahapan sebelumnya tetapi cara
berpikir anak masih terbatas pada apa yang ada dihadapan anak dan apa yang terjadi
saat itu (Papalia & Olds 1989).
Terdapat dua pendapat mengenai dapat tidaknya inteligensi dikembangkan.
Pertama, menurut Binet dan W. Stern, inteligensi tidak dapat di kembangkan. Kedua,
menurut Kohnstamm, inteligensi dapat dikembangkan, namun hanya mengenai segi
kualitas dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena setiap manusia memiliki
batas yang berlainan, maka pengembangan hanya sampai pada batas kemampuan
(Sujanto 2004). Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai
kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup,
lingkungan yang positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya
potensi yang telah ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan
tersebut. Sadli (1986) menyatakan bahwa bakat inteligensi tanpa rangsangan
pendidikan, pengalaman serta latihan yang tepat dan memadai tidak akan berkembang
optimal, sehingga prestasi yang dicapai seseorang juga tidak optimal.
Menurut Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002), untuk mencapai prestasi
akademik yang diharapkan, anak usia sekolah hendaknya menguasai lima keterampilan
dasar dalam proses pembelajaran. Lima keterampilan tersebut adalah Seeing selectively
(melihat secara selektif), Hearing accurately (mendengar secara akurat), Reading and
understanding words (membaca dan memahami kata-kata), Coordinating visual-motor
activities (mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik) dan Thinking logically (berpikir
logis).
Seeing selectively merupakan proses visual yang diukur berdasarkan
kemampuan seseorang untuk mengingat kembali pola-pola visual (Visual Memory).
Hearing accurately merupakan proses mendengar yang diukur dari kemampuan untuk
mengingat kembali urutan informasi yang telah didengar (Auditory Sequencing) dan
kemampuan seseorang untuk menyebutkan kembali informasi-informasi yang telah
didengar (Auditory Memory). Reading and understanding words merupakan proses
verbal yang diukur dari kemampuan seseorang berkaitan dengan seberapa besar
pengetahuan anak tentang kata-kata yang telah dikenal (Vocabulary). Coordinating
visual-motor activities merupakan proses kinesthetic Learning yang diukur dari
kemampuan seseorang untuk mempelajari bentuk-bentuk perubahan. Sementara itu,
Thinking logically merupakan proses berpikir abstrak yang diukur dari kemampuan
seseorang untuk mengkombinasikan beberapa proses (Integration) dan kemampuan
seseorang untuk memperhatikan stimulasi atau rangsangan tertentu (Concentration)
(Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002).
Motivasi BelajarMotivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Menurut
Wlodkowski (1985) dalam Suciaty dan Irawan (2001) motivasi dalam pandangan
behaviorisme merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku
tertentu, dan memberi arah serta ketahanan pada suatu tingkah laku. Menurut Ames
dan Ames (1984) dalam Suciaty dan Irawan (2001) Motivasi menurut pandangan kognitif
adalah perspektif yang dimiliki seseorang mengenai diri dan lingkungan.
Heckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa, motivasi belajar amat
penting dalam keberhasilan belajar. Menurut Suciaty dan Irawan (2001), motivasi
merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Motivasi
memberi kontribusi sebesar 36% terhadap prestasi akademik. Sadli (1986) menyatakan
bahwa, potensi yang dimiliki seseorang akan tetap kurang berkembang bila tidak cukup
disertai dengan motivasi. Individu yang mempunyai kemampuan memotivasi tinggi, akan
memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus
asa dalam menyelesaikan masalah. Sukmadinata (2003) menyatakan, dengan
kemampuan memotivasi diri seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang
positif dalam menilai segala sesuatu.
Menurut Hawadi (2001), ragam motivasi belajar memiliki dua bentuk. Pertama,
motivasi belajar yang berasal dari dalam diri (intrinsik). Motivasi ini muncul tanpa adanya
dorongan dari pihak luar, siswa belajar karena kesadaran atau keinginan untuk belajar
dan berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan. Kedua, motivasi belajar
yang berasal dari luar diri (ekstrinsik). Motivasi ini muncul karena faktor di luar diri baik
dari lingkungan keluarga atau dari sekolah. Penelitian Ames dan Achter (1987) dalam
Hawadi (2001) menyebutkan, pada ibu yang amat menekankan nilai rapor anaknya,
maka motivasi yang berkembang lebih ke arah ekstrinsik, sedangkan ibu yang lebih
mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat bahwa keberhasilan adalah
hasil dari usaha, maka motivasi yang berkembang lebih ke arah intrinsik.
Selain faktor keluarga, faktor sekolah turut mempengaruhi pembentukan ragam
motivasi siswa. Situasi belajar, besar kecilnya kelas serta konsep dan metode
pembelajaran yang diterapkan merupakan aspek yang terkait dengan lingkungan
sekolah. Pada umumnya, siswa akan terdorong bekerja lebih tekun pada mata pelajaran
yang diajarkan oleh guru yang disenangi (Hawadi 2001).
Pola Asuh Belajar
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak (Anonim 2008). Stimulasi orang
tua merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan
kognitif seorang anak (Hoghughi & Long 2004). Dibidang pendidikan, orang tua memiliki
pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua
lakukan untuk menunjang prestasi akademik anak usia sekolah antara lain,
menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-
buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak,
memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 19889).
Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting
dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Secara umum, ayah cenderung
menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak.
Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi
dorongan pada anak. Akan tetapi, pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu
harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orang
tua yang efektif adalah orang tua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan
informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di
awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orang tua terhadap belajar anak
merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak.
Menurut Becker (1964) dalam Hawadi (2001), baik buruknya hubungan orang tua
dengan anak akan mempengaruhi sikap agresif dan disiplin anak di sekolah. Selain itu,
adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima seorang anak dari orang tua
terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi akademik yang baik dari anak di
sekolah.
Terdapat beberapa gaya pengasuhan pada anak yakni secara otoriter, permisif
dan demokratis. Pada cara otoriter, orang tua menentukan aturan dan batasan-batasan
yang mutlak dan harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh, tunduk, dan tidak boleh
bertanya, tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapat anak.
Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh otoriter antara lain, kekuasaan
orang tua sangat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap tingkah
laku anak sangat ketat dan anak akan diancam atau dihukum jika tidak menjalankan
aturan (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah 2008).
Dengan demikian akan timbul perasaan takut pada anak sehingga peraturan
yang dijalani anak bukan karena kesadaran atau senang hati. Cara otoriter dapat
menyebabkan hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktifitas anak menjadi
tumpul. Secara umum kepribadian dan kepercayaan diri anak akan lemah. Hawadi
(2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah pada umumnya
lebih otoritarian.
Cara permisif yang dilakukan orang tua adalah membiarkan anak mencari dan
menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan terhadap tingkah laku anak. Orang
tua baru bertindak jika anak dianggap telah melanggar batasan. Cara permisif
membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik, orang tua
memberi kebebasan penuh pada anak untuk berbuat (Gunarsa & Gunarsa 2006; Latifah
2008).
Adapun beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh permisif antara lain, anak
mendominasi dirinya sendiri, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua, serta
sangat kurangnya kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak (Latifah 2008).
Umumnya cara ini terdapat pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja dan terlalu
sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga hubungan anak dengan orang tua menjadi
tidak akrab. Perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah dan akan tumbuh
jiwa “keakuan” (egosentrisme), sehingga mudah menimbulkan kesulitan jika harus
menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Cara demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan
anak dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian
antara anak dengan orang tua (Gunarsa & Gunarsa 2006). Adapun beberapa ciri yang
terdapat pada pola asuh demokrasi antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan
anak, anak diakui sebagai pribadi, orang tua memberikan bimbingan dan pengarahan
serta kontrol yang tidak kaku (Latifah 2008). Melalui cara tersebut, pada anak akan
tumbuh rasa tanggung jawab dan selanjutnya memupuk kepercayaan diri sehingga anak
akan mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada untuk
memperoleh kepuasan (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Cara demokratis merupakan cara yang paling ideal untuk diterapkan.
Mengingatkan pada anak sesuatu yang salah tanpa tekanan dan emosi serta
menunjukkan apa yang sebaiknya dilakukan akan sangat bermanfaat dalam
menghadapi anak terutama pada masa usia sekolah dasar (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Menurut Hawadi (2001), anak dengan pola asuh demokratis lebih dapat
mengekspresikan diri minat dan aktivitasnya sendiri. Terlebih lingkungan memberi
kesempatan pada anak untuk meraih pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan.
Lingkungan PembelajaranPasal I Undang- undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional
menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sekolah dasar merupakan
lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat
mendorong siswa untuk belajar lebih giat (Ridwan 2008). Hampir sepertiga dari
kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah, sehingga sekolah turut
membantu dan membimbing anak agar berhasil (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Manrique (1994) dalam studi kasusnya menyebutkan, pendidikan dasar terbagi
menjadi tiga tahap yang berhubungan dengan tahap perkembangan siswa berkaitan
dengan minat dan sifat siswa. Masing-masing tahap memiliki tiga tingkatan kelas. Tahap
pertama terdiri dari kelas I, II dan III. Tahap ini menekankan pengembangan membaca,
menulis dan kemampuan matematik pada anak usia 6 sampai 10 tahun. Proses kognitif
ini membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Tahap kedua terdiri
dari kelas IV, V dan VI ketika siswa berusia antara 10 sampai 13 tahun. Tahap ini
menekankan pada kemampuan komunikasi, penggunaan bahasa, pengembangan
pemikiran logis dan penguatan nilai-nilai budaya nasional. Selebihnya, pada tahap
ketiga yakni pada kelas VII, VIII dan IX ketika anak berusia antara 13 sampai 15 tahun,
penekanan ditujukan pada ilmu, teknologi dan seni secara merata.
Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) mengemukakan bahwa, situasi
belajar dapat mempengaruhi prestasi sekolah anak. Bagaimana keadaan ruangan yang
digunakan sebagai tempat belajar, apakah memenuhi syarat agar anak dapat belajar
dengan baik turut mempengaruhi prestasi anak. Selain situasi, fasilitas belajar juga
dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kekurangan fasilitas belajar dapat
mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga
menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik.
Agar nyaman digunakan untuk belajar, sekolah harus bersih, tertata rapi, aman
dan jauh dari kebisingan serta tersedia sarana umum dan sarana khusus. Sarana umum
berarti tersedia ruang kelas, ruang UKS, perpustakaan, jamban, lapangan upacara,
halaman sekolah, kantin, dan kebun sekolah. Sarana khusus berarti tersedianya kantor
kepala sekolah, ruang guru, kantor tata usaha, dan rumah penjaga sekolah (Latifah,
Djamaludin, Damayanthi, Atmojo 2002).
Selain situasi dan fasilitas, alat pendidikan yang dimiliki oleh suatu lingkungan
pembelajaran termasuk jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut mempengaruhi
sistem pendidikan. Alat pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan. Ditinjau dari segi wujud, alat pendidikan dapat
berupa nasihat atau pun dalam bentuk benda sebagai alat bantu penunjang tercapainya
tujuan pendidikan (Hasbullah 2006).
Kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran
tenaga pendidik (guru). Apabila tenaga pendidik selain secara rutin mengajar di kelas
juga berperan menciptakan kondisi yang memungkinkan hadirnya profesionalisme ke
dalam kelas untuk berbagi pengalaman, maka peran guru sebagai motivator dapat
tercapai (Ibrahim 1993).
Karakakteristik Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh
kemampuan dasar. Keluarga berperan penting dalam perkembangan seorang anak.
Peran yang dijalankan orang tua dalam perkembangan anak dipengaruhi antara lain
oleh kondisi keluarga (Gunarsa & Gunarsa 2006; Hurlock 1981).
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan memegang peran penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
seseorang. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pendidikan orang tua akan
berpengaruh terhadap perkembangan (pendidikan) anak. Semakin tinggi pendidikan
orang tua, semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Dengan
demikian, orang tua diharapkan dapat memberi stimulasi dan fasilitas yang dapat
menunjang proses belajar seorang anak. Sebagaimana pendapat Alsa dan Bachroni
(1984) dalam Nurani (2004) bahwa tingkat pendidikan orang tua berkorelasi positif
dengan cara mendidik anak.
Menurut Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005), orang tua dengan
pendidikan formal yang tinggi akan memiliki partisipasi yang lebih besar pada segala
sesuatu yang berhubungan dengan stimulasi dan pendidikan anak, dibandingkan
dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hal ini secara langsung maupun tidak,
akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orang tua berperan penting dalam
memenuhi faktor-faktor yang dapat menunjang keberhasilan anak.
Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan
ketersediaan waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak. Menurut Hawadi (2001),
keluarga yang mempunyai latar belakang ekonomi rendah akan memaksa ayah sebagai
kepala keluarga untuk bekerja lebih keras. Kondisi tersebut akan menyebabkan ibu
sebagai orang yang ikut bertanggung jawab terhadap keluarga juga bekerja untuk
mencari tambahan pendapatan. Hal ini menyebabkan waktu untuk kebersamaan
keluarga semakin berkurang. Semakin sibuk orangtua, semakin sedikit waktu yang
tersedia untuk anak semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila di sela-
sela kesibukan orang tua dapat memberi perhatian dengan kualitas yang baik. Perhatian
orang tua terhadap pendidikan anak adalah perhatian pada kebutuhan belajar anak
untuk mencapai prestasi yang diharapkan.
Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) menyatakan apabila suasana
pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, maka ayah atau ibu akan
pulang dengan suasana emosi yang menyenangkan sehingga akan terbina hubungan
yang baik dengan masing-masing anggota keluarga. Jika suasana pekerjaan tidak
menyenangkan dan ada perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan, maka ayah
atau ibu akan pulang dalam keadaan frustasi dan marah. Hal ini akan membawa
dampak negatif pada hubungan antar anggota keluarga. Apabila pekerjaan dianggap
sangat membosankan dan melelahkan, maka ayah atau ibu akan pulang dengan
keadaan fisik yang sangat lelah dan tidak ada lagi energi untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.
Menurut Megawangi (1993), semakin sedikit waktu yang digunakan orang tua
untuk anak, maka semakin besar resiko yang dihadapi anak. Menurut Gunarsa dan
Gunarsa (2006), sedikitnya waktu yang digunakan orang tua untuk anak akan
menyebabkan hubungan antara orang tua dengan anak menjadi tidak akrab. Hal ini
akan meyebabkan orang tua cenderung menerapkan gaya pengasuhan permisif.
Apabila orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk mengawasi kegiatan anak dan
memperhatikan kebutuhan anak, akan berdampak pada kegagalan anak dalam
mencapai prestasi yang diharapkan.
Pendapatan Keluarga
Keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan penting dalam
pendidikan anak, perhatian orang tua akan tercurah lebih mendalam kepada anak jika
orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer (Gerungan 1981 diacu
dalam Nurani 2004). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), keluarga yang telah mampu
mencukupi kebutuhan ekonomi akan memiliki banyak waktu untuk membimbing anak,
sebaliknya keluarga yang rendah ekonominya banyak disibukkan untuk mencari nafkah.
Tidak jarang anak juga dituntut untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah,
sehingga anak tidak dapat menghasilkan prestasi yang baik karena kekurangan waktu
belajar
Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006), menyatakan bahwa keluarga
yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh pada keadaan emosi dan perilaku
individu dalam keluarga, termasuk perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Menurut
Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi
ekonomi dan emosional maka semakin tercurah perhatian orangtua dalam membimbing,
merawat serta mendidik anak.
Hawadi (2001) menyatakan bahwa keluarga dengan status ekonomi tinggi pada
umumnya lebih demokratis. Namun, bukan berarti keluarga dengan pendapatan yang
kurang memadai tidak dapat mendidik anak dengan baik. Effendi (1995) menyatakan
bahwa keluarga dengan ukuran ekonomi menengah ataupun lemah dapat berhasil
mendidik anak-anak mereka dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya dorongan
motivasi, dorongan moril dan orang tua yang mengikuti perkembangan anak yang selalu
membutuhkan perhatian, sehingga anak memiliki kepercayaan diri untuk berusaha
menapak kehidupan melalui jenjang pendidikan.
Besar Keluarga
Hurlock (1981) membagi jenis keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga.
Keluarga kecil memiliki dua atau tiga anak. Keluarga sedang memiliki tiga, empat atau
lima anak. Sedangkan keluarga besar memiliki enam anak atau lebih. Menurut Hurlock,
besar keluarga akan mempengaruhi gaya pengasuhan dan fasilitas belajar yang
disediakan orang tua. Secara langsung maupun tidak, kedua hal tersebut akan
mempengaruhi prestasi akademik anak di sekolah.
Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil pengasuhan orang tua umumnya
bersifat demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang
cukup pada anak. Namun, orang tua cenderung menekan anak untuk mencapai prestasi
akademik, sehingga orang tua cenderung membandingkan prestasi anak yang satu
dengan yang lain. Pada keluarga kecil orang tua memiliki kemauan dan kemampuan
untuk memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak.
Pengasuhan orang tua pada keluarga sedang, umumnya kurang demokratis dan
bertambah otoriter dengan meningkatnya anggota keluarga. Tekanan orang tua untuk
prestasi biasanya terpusat pada anak pertama. Selain itu, terdapat keterbatasan untuk
memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak. Pada keluarga
besar, pendidikan otoriter diperlukan untuk menghindari kekacauan atau anarki.
Sedangkan dari segi fasilitas dan lambang status, orang tua seringkali tidak mampu
untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak (Hurlock 1981).
Effendi (1995) menyatakan bahwa orang tua yang berhasil dalam mendidik anak
ditunjang dengan jumlah anggota keluarga yang kecil sesuai dengan taraf kehidupan
keluarga itu sendiri. Lebih lanjut Effendi menyatakan bahwa keluarga kecil merupakan
salah satu usaha menuju tercapainya keluarga sejahtera. Usaha tersebut dapat
menghasilkan anak-anak yang cerdas dan terdidik menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas. Disisi lain Hawadi (2001) menyatakan bahwa pada keluarga besar sifat pola
asuh anak lebih otoritarian dan hal ini lebih banyak dijumpai pada keluarga dengan
kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.
Karakteristik IndividuKarakteristik individu merupakan bagian dari identitas diri seseorang yang antara
lain dapat dilihat melalui umur dan Jenis kelamin. Berikut ciri-ciri yang terdapat pada
anak usia sekolah terkait dengan umur dan jenis kelamin.
Umur
Bertambahnya usia anak akan menjadikan lingkup sosial anak semakin luas.
Kehidupan pada masa anak-anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa
kehidupan yang sangat penting, khususnya berkaitan dengan diterimanya stimulasi
lingkungan. Pada masa usia sekolah, anak-anak dirasa telah mampu menerima
pendidikan formal dan dapat menyerap berbagai hal yang ada di lingkungan.
Menurut Hawadi (2001) anak selalu tertarik pada sesuatu yang baru dan berbeda
dengan dunia yang dimiliki. Namun, rasa ingin tahu dan dorongan untuk belajar semakin
berkurang dengan bertambahnya usia anak. Hal ini terjadi apabila cara siswa dalam
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dirasa begitu majemuk dan memakan
waktu sehingga membuat sebagian minat siswa menghilang.
Menurut Piaget, pada setiap tahapan perkembangan, proses belajar setiap anak
berbeda. Semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur dan abstrak cara
bepikir seseorang (Suciaty & Irawan 2001). Namun, tidak berarti bertambahnya umur
akan membuat seseorang semakin pintar karena stimulasi lingkungan juga berperan
penting dalam menunjang keberhasilan.
Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan orang tua
dalam berinteraksi dengan anak. Keadaan biologis manusia dianggap dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia (Megawangi 1993). Hawadi (2001) menyatakan
bahwa praktik pengasuhan yang berbeda antar jenis kelamin disebabkan karena adanya
pertumbuhan fisik, perkembangan mental, dan sosial anak terutama pada masa akhir
sekolah. Anak laki-laki dianggap lebih diberi kesempatan untuk mandiri, sehingga
mereka lebih menunjukkan inisiatif dan spontan. Hurlock (1993b) menyatakan bahwa
jenis kelamin akan mempengaruhi sikap orangtua yang selanjutnya akan mempengaruhi
perilaku dan hubungan orangtua dengan anak.
Horner (1968) dalam Hawadi (2001) mengatakan bahwa prestasi akademik
sering diasosiasikan sebagai sesuatu yang sifatnya maskulin. Menurut Megawangi
(2001) meskipun ada perbedaan mendasar secara biologis antara laki-laki dan
perempuan, hal ini tidak menjadikan perempuan lebih inferior dalam hal kemampuan
intelektual. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal
intelegensi antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut Megawangi (2001), rata-rata
IQ anak laki-laki usia balita di Indonesia tidak berbeda nyata dengan anak perempuan.
Penemuan terakhir menunjukkan meskipun rata-rata kemampuan inteligensi antara laki-
laki dan perempuan sama, tetapi pengaruh biologi tetap berperan dalam perkembangan
otak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya hormon seks (esterogen) yang berpengaruh
terhadap perkembangan otak wanita.
KERANGKA PEMIKIRAN
Adanya hubungan timbal balik antara prestasi akademik dengan fase industry
versus inferiority pada anak usia sekolah menjadikan prestasi akademik anak usia
sekolah penting untuk diteliti. Prestasi akademik yang baik akan menumbuhkan rasa
percaya diri (industry), sehingga akan mendorong anak untuk meningkatkan prestasi
akademik yang didapat sebelumnya. Sebaliknya, prestasi akademik yang buruk akan
menumbuhkan rasa rendah diri (inferiority), sehingga membuat anak merasa tidak
mampu untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan.
Prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni individu anak,
keluarga, dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Motivasi belajar dan potensi
akademik adalah faktor yang berasal dari individu anak, sedangkan faktor dari luar
berasal dari lingkungan pembelajaran dan keluarga yang diterapkan melalui pola asuh
belajar. Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua terdiri dari gaya pengasuhan dan
fasilitas belajar. Motivasi belajar pada diri anak dipengaruhi oleh karakteristik anak,
yakni umur dan jenis kelamin. Sementara itu, gaya pengasuhan dan fasilitas belajar
yang disediakan orang tua dipengaruhi oleh karakteristik individu dan keluarga.
Dengan demikian jelas bahwa motivasi belajar, potensi akademik, pola asuh
belajar, dan lingkungan pembelajaran berperan dalam menunjang prestasi akademik
anak usia sekolah. Secara ringkas, faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh
terhadap prestasi akademik dapat dilihat pada gambar 1.
.
KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 1. Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran,Potensi Akademik dan Motivasi Belajar dengan Prestasi AkademikSiswa Sekolah Dasar.
Keterangan :
= Variabel yang diteiliti
= Hubungan yang diteliti
Karakteristik Keluarga:• Tingkat Pendidikan
Orangtua• Jenis Pekerjaan Orangtua• Tingkat Pendapatan
Keluarga
KarakteristikIndividu:• Jenis Kelamin• Umur
LingkunganPembelajaran
di Sekolah
Pola Asuh Belajar:• Gaya Pengasuhan• Fasilitas Belajar
PotensiAkademik
PrestasiAkademik
Motivasi Belajar
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan waktuPenelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian dilakukan
di tiga lokasi yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan mewakili tiga
lingkungan pembelajaran yang berbeda yaitu di SDN Sukadamai 3 Kabupaten Bogor,
SD Amaliah Ciawi, dan SD Citra Alam Ciganjur. Untuk selanjutnya, SDN Sukadamai 3
disebut sebagai kelompok 1, SD Amaliah sebagai kelompok 2, dan SD Citra Alam
sebagai kelompok 3. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei
2008.
Penarikan ContohContoh adalah keluarga inti lengkap yang memiliki anak kelas IV dan V sekolah
dasar dengan asumsi contoh mendapatkan pengasuhan dari orang tua secara utuh.
Untuk mewakili setiap lingkungan pembelajaran, dipilih masing-masing secara purposive
30 siswa dari ketiga lokasi.
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan siswa kelas IV dan V
sebagai contoh adalah pada kelas IV dan V anak berada pada tahap kemampuan
komunikasi, penggunaan bahasa dan pengembangan pemikiran logis, sedangkan pada
tahap sebelumnya, yakni kelas I, II dan III anak berada pada tahap pengembangan
membaca, menulis dan kemampuan matematik (Manrique 1994). Proses kognitif ini
membantu perkembangan daya fikir abstrak, logis dan verbal. Berdasarkan hal tersebut,
diharapkan pada tahap kedua yakni ketika berada di kelas IV dan V, siswa telah
menguasai tugas perkembangan di tahap pertama sekolah dasar sehingga
memudahkan pelaksanaan penelitian.
Jenis dan Cara Pengumpulan DataJenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi: (1) Karakteristik individu (umur dan jenis kelamin);
(2) Karakteristik keluarga (tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua,
tingkat pendapatan keluarga, dan besar keluarga); (3) Pola asuh belajar (gaya
pengasuhan dan fasilitas belajar); (4) Motivasi belajar; (5) Potensi akademik (visual
processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic processing, dan thinking
logically). Untuk mengukur potensi akademik digunakan modifikasi instrument Rilley
Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina
2002). Data sekunder meliputi prestasi akademik siswa dan keadaan umum lingkungan
pembelajaran yang diperoleh melalui data sekolah. Jenis dan cara pengumpulan data
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Variabel Alat Bantu Skala-Umur RasioKarakteristik Individu -Jenis kelamin Kuesioner Nominal-Besar keluarga Rasio-Pendidikan orang tua Ordinal-Pekerjaan orang tua NominalKarakteristik keluarga
-Pendapatan Keluarga
Kuesioner
Interval-Cara permisif Ordinal-Cara Otoriter OrdinalGaya pengasuhan
-Cara Demokratis
Kuesioner
OrdinalFasilitas Belajar Kuesioner OrdinalMotivasi Belajar Kuesioner OrdinalPotensi Akademik Instrument RIBLS OrdinalPrestasi Akademik Rapor Siswa IntervalJumlah Siswa Data Sekolah RasioKeadaan UmumLingkungan Pembelajaran Data Sekolah
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel
dan program komputer Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 10,0. Data
tersebut dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Tingkat pendidikan orang tua
digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan
Perguruan Tinggi. Jenis pekerjaan orang tua meliputi wiraswasta, karyawan swasta,
pegawai negeri, ABRI/Polisi, dan ibu rumah tangga. Tingkat pendapatan keluarga diukur
berdasarkan pendapatan utama dan tambahan ayah dan ibu contoh per bulan. Besar
keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu kecil (< 4 orang), sedang (5-7 orang) dan
besar (> 8 orang) (Hurlock 1993a).
Prestasi akademik dilihat dari rata-rata nilai rapor dari mata pelajaran yang
sama-sama dimiliki oleh ketiga sekolah pada semester satu tahun ajaran 2007/2008,
yakni Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, dan Penjaskes.
Prestasi akademik dikategorikan berdasarkan standar Kriteria Ketuntasan Minimum
(KKM) pada kriteria in take yaitu rendah (50-64), sedang (65-80), dan tinggi (81-100).
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2007, KKM merupakan batas minimal
ketercapaian standar kompentensi dari aspek penilaian mata pelajaran yang harus
dikuasai oleh peserta didik.
Motivasi belajar dan pola asuh belajar diukur melalui penjumlahan skor,
standarisasi dengan skala 0-100 dan dikategorikan berdasarkan rumus interval kelas.
Pengkategorian menggunakan rumus berikut (Slamet 1993).
Interval Kelas (i) = Skor maksimum (NT) – Skor minimum (NR)
Jumlah kategori
Kategori :
Kurang = NR sampai (NR+i)
Sedang = (NR + i) sampai [(NR+i)+i]
Baik = [(NR+i)+i] sampai NT
Berdasarkan rumus tersebut didapat kategori kurang (0-33), sedang
(34-67), baik (68-100). Penilaian tingkat kecerdasan kognitif dilakukan berdasarkan
standar RIBLS yang digolongkan dalam lima kategori, yaitu jauh dibawah rata-rata (<7),
di bawah rata-rata (7,1-9,0), rata-rata (9,1-11,0), di atas rata-rata (11,1-13,0) dan jauh di
atas rata-rata (>13,0) (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Untuk
mengidentifikasi dan mengetahui ada tidaknya perbedaan karakteristik individu,
karakteristik keluarga, pola asuh belajar, motivasi belajar, potensi akademik, dan
prestasi akademik pada lingkungan pembelajaran digunakan analisis deskriptif dan uji
Kruskal Wallis, jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata,
maka akan digunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui letak perbedaan tersebut.
Untuk menganalisis hubungan antar variabel yang berskala ordinal digunakan uji
korelasi Spearman, sedangkan untuk variabel yang berskala nominal digunakan uji Chi-
Square. Untuk menganalisis pengaruh pola asuh belajar, lingkungan pembelajaran,
motivasi belajar, dan potensi akademik terhadap prestasi akademik digunakan analisis
regresi linear berganda.
Model umum analisis regresi linear berganda:
Keterangan :
Y = Prestasi akademik (variabel dependen)
a = Konstanta
b1-b5 = Koefisien regresi
X1 = Motivasi belajar (variabel independen)
X2 = Gaya pengasuhan (variabel independen)
X3 = Fasilitas belajar (variabel independen)
X4 = Lingkungan pembelajaran (variabel independen)
X5 = Potensi akademik (variabel independen)
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 +
Definisi Operasional
Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun (berdasarkan teori Papalia dan
Old). Contoh dalam penelitian berada pada kelas IV dan V Sekolah Dasar
(usia 9,0-11,9 tahun).
Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh hubungan
perkawinan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri dari ayah, ibu, anak,
dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap.
Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti
ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat belajar/ijazah,
tanpa memperhitungkan lama tinggal kelas. Pendidikan orangvtua
dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan
Tinggi.
Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari
pendapatan utama dan tambahan orangvtua.
Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga kecil (<4
orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang) (Hurlock 1993a).
Pola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan
kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. pengasuhan dalam mendidik
anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan
demokratis) dan penyediaan fasilitas belajar.
Gaya Pengasuhan Otoriter adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada
anak dengan menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan
harus ditaati oleh anak, sehingga pendapat anak tidak di dengar oleh orang
tua. Penerapan cara otoriter pada anak usia sekolah akan menyebabkan
daya inisiatif dan kepercayaan diri anak melemah (Gunarsa & Gunarsa
2006).
Gaya Pengasuhan Permisif adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin dengan
membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang anak anggap
baik, sedangkan pada usia sekolah anak masih sangat membutuhkan
bimbingan orang tua. Cara permisif akan membuat perkembangan
kepribadian anak menjadi tidak terarah dan menumbuhkan sikap
egosentrisme, sehingga menimbulkan kesulitan saat anak menghadapi
peraturan dalam lingkungan sosial (Gunarsa dan Gunarsa 2006; Latifah
2008).
Gaya Pengasuhan Demokratis adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin pada
anak dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun
dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh pengertian
antara orang tua dengan anak. Melalui cara otoriter akan tumbuh rasa
tanggung jawab yang selanjutnya mengembangkan kepercayaan diri,
sehingga anak akan memperoleh kepuasan sesuai dengan norma yang
berlaku (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Lingkungan Pembelajaran adalah kondisi pembelajaran di sekolah yang
mempengaruhi kegiatan belajar mengajar, seperti keadaan gedung sekolah,
fasilitas sekolah, peraturan sekolah, guru, dan cara penyajian materi
pelajaran di sekolah.
Motivasi Belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk mencapai taraf prestasi
akademik, sesuai dengan yang anak tetapkan (Suciaty dan Irawan 2001).
Potensi Akademik adalah kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan
kognitif yang dinilai dari kemampuan visual processing (mengingat
berdasarkan penglihatan), auditory processing (mengurutkan berdasarkan
pendengaran), verbal processing (kosa kata), kinesthetic processing
(kinestetik), dan thinking logically (kemampuan berpikir logis) (Rilley 1992
diacu dalam Latifah & Dina 2002).
Prestasi Akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi
pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai rapor
dari mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
IPA, IPS, dan Penjaskes.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Individu ContohMasa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa
keserasian bersekolah. Sejak usia sekolah anak mulai memasuki tahap awal dari
lingkungan pembelajaran formal dan tidak lagi sepenuhnya berada di bawah
pengawasan orangtua. Variabel karakteristik individu pada penelitian ini dilihat
berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Umur ContohBerdasarkan teori Papalia dan Old, masa usia sekolah berada ketika individu
berusia 6-12 tahun (Hawadi 2001). Umur contoh pada penelitian ini diklasifikasikan
berdasarkan instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) (Rilley 1992
diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh berdasarkan umur disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan umur
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Umur
(Tahun) n % n % n %
9,0-9,4 2 6,7 1 3,3 5 16,7
9,5-9,9 1 3,3 6 20,0 6 20,0
10,0-10,4 10 33,3 4 13,3 7 23,310,5-10,9 10 33,3 11 36,7 6 20,0
11,0-11,4 7 23,3 8 26,7 3 10,011,5-11,9 0 0,0 0 0,0 3 10,0
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
Min 9,1, Max 11,9, x : 10,4, SD + 0,6
Berdasarkan hasil penelitian, umur maksimum contoh adalah 11,9 tahun, umur
minimumnya 9,1 tahun dan rata-rata umurnya 10,4 tahun. Persentase terbesar contoh
pada kelompok 1 (89,9%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (53,3%) berumur antara
10,0-11,4 tahun. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada umur contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.
Jenis Kelamin Contoh
Jenis kelamin merupakan salah satu karakteristik individu pada penelitian ini
yang ingin diidentifikasi. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Jenis
kelamin n % n % n %
Laki-laki 13 43,3 10 33,3 19 63,3Perempuan 17 56,7 20 66,7 11 36,7
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
Modus Perempuan
Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar jenis kelamin contoh adalah
perempuan (53%). Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (56,7%) dan kelompok 2
(66,7%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan lebih dari separuh contoh (63,3%)
pada kelompok 3 berjenis kelamin laki-laki. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi jenis kelamin contoh antar
kelompok lingkungan pembelajaran.
Karakteristik Keluarga ContohKeluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang memberi stimulasi
dalam perkembangan seorang anak. Kualitas pengasuhan yang orang tua berikan,
umumnya tergantung pada kondisi keluarga. Karakteristik keluarga yang ingin
diidentifikasi dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan
orang tua, tingkat pendapatan keluarga dan besar keluarga.
Tingkat Pendidikan Orang Tua ContohPendidikan memegang peran penting yang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku seseorang. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin tinggi pengetahuan
orang tua akan pentingnya pendidikan anak. Tingkat pendidikan orang tua pada
penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah, dan Perguruan Tinggi. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan
orang tua disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu
TingkatPendidikanOrangtua n % n % n % n % n % n %
SekolahMenengah 5 16,7 5 16,7 5 16,7 14 46,7 0 0,0 0 0,0
PerguruanTinggi 25 83,3 25 83,3 25 83,3 16 53,3 30 100,0 30 100,0
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0 30 100,0
Modus: Perguruan Tinggi
Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua
contoh adalah Perguruan Tinggi (83,9%). Persentase terbesar orang tua pada kelompok
1 (83,3%), kelompok 2 (ayah 83,3%; ibu (53,3%), dan kelompok 3 (100%) berpendidikan
hingga Perguruan Tinggi.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat
pendidikan ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara ayah
di kelompok 2 dengan ayah di kelompok 3, sedangkan perbedaan tingkat pendidikan ibu
terdapat antar ketiga kelompok lingkungan pembelajaran.
Jenis Pekerjaan Orang Tua ContohJenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga dan
ketersediaan waktu orang tua untuk anak. Secara umum, semakin sibuk orang tua,
semakin sedikit waktu yang tersedia untuk keluarga, khususnya untuk anak, kecuali bila
orang tua dapat member kualitas yang baik di sela-sela waktu luang. Sebaran contoh
berdasarkan jenis pekerjaan orang tua disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua.
SDN Sukadamai 3 SD Amaliah SD Citra AlamAyah Ibu Ayah Ibu Ayah IbuJenis Pekerjaan
Orangtuan % n % n % n % n % n %
Wiraswasta 5 16.7 4 13.3 14 46.7 7 23.3 6 20.0 11 36.7Pegawai swasta 13 43.3 4 13.3 12 40.0 4 13.3 20 66.7 14 46.7Pegawai negeri 10 33.3 3 10.0 4 13.3 3 10.0 3 10.0 0 0ABRI/Polisi 0 0 0 0.0 0 0 0 0 1 3.3 0 0IRT 0 0 17 56.7 0 0 16 53.3 0 0 5 16.7Lainnya 2 6.7 2 6.7 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100
Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar ayah bekerja sebagai pegawai
swasta (50%) dan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (42%). Persentase terbesar
ayah di kelompok 1 (43,3%) dan di kelompok 3 (66,7%) bekerja sebagai pegawai
swasta, sedangkan persentase terbesar ayah di kelompok 2 bekerja sebagai wiraswasta
(46%). Persentase terbesar ibu di kelompok 1 (56,7%) dan di kelompok 2 (53,3%)
bekerja sebagai ibu rumah tangga, sedangkan persentase terbesar ibu di kelompok 3
bekerja sebagai pegawai swasta (46,7%).
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis pekerjaan
ayah (p<0,01) dan ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji
lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan jenis pekerjaan antara ayah di
kelompok 1 dengan ayah di kelompok 2 dan di kelompok 3. Perbedaan jenis pekerjaan
ibu terdapat antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di kelompok 2.
Tingkat Pendapatan Keluarga ContohKeadaan sosial ekonomi keluarga memiliki peran penting dalam memenuhi
pendidikan anak. Secara umum, orang tua dapat menyediakan fasilitas belajar yang baik
bagi anak jika orang tua tidak memiliki kesulitan ekonomi. Penelitian ini mengukur
tingkat pendapatan keluarga berdasarkan pendapatan utama dan tambahan orang tua
per bulan. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan utama orang tua
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu
Tingkat
Pendapatan/
bulan (Rp) n % n % n % n % n % n %
Tidak ada 0 0 14 46,7 0 0 13 43,3 0 0 5 16,7
0-2.500.000 7 23,3 11 36,7 8 26,7 7 23,3 0 0 4 13,3
2.500.001-5.000.000 6 20,0 5 16,7 8 26,7 9 30,0 5 16,7 12 40,0
5.000.001-7.500.000 4 13,3 0 0,0 4 13,3 1 3,3 12 40,0 9 30,0
7.500.001-10.000.000 6 20,0 0 0,0 4 13,3 0 0,0 12 40,0 0 0,0
>10.000.000 7 23,3 0 0,0 6 20,0 0 0,0 1 3,3 0 0,0
Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100
Ayah: max:>10000000, min<2500000, modus: 7500001-10000000
Ibu: max 5000001-7500000, min <2500000, modus: tidak ada pendapatan
Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan utama maksimum ayah contoh adalah
>Rp.10.000.000, pendapatan utama minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi
terbesarnya Rp.7.500.001-10.000.000 (24,4%). Pendapatan utama maksimum ibu
contoh adalah Rp.5.000.001-7.500.000, pendapatan utama minimumnya Rp.0-
2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki pendapatan utama (35,6%).
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga contoh
cukup tinggi.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat
pendapatan utama ayah antar kelompok lingkungan pembelajaran, namun terdapat
perbedaan tingkat pendapatan utama ibu (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan
pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan tingkat
pendapatan utama antara ibu di kelompok 3 dengan ibu di kelompok 1 dan di
kelompok 2.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan tambahan orang tua
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu
Tingkat
Pendapatan/bulan
(Rp) n % n % n % n % n % n %
Tidak ada 20 66,7 26 86,7 20 66,7 26 86,7 30 100 29 96,7
0-2.500.000 2 6,7 4 13,3 2 6,7 1 3,3 0 0,0 0 0,0
2.500.001-5.000.000 5 16,7 0 0,0 5 16,7 2 6,7 0 0,0 1 3,3
5.000.001-7.500.000 1 3,3 0 0,0 1 3,3 1 3,3 0 0,0 0 0,0
7.500.001-10.000.000 0 0,0 0 0,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0
>10.000.000 2 6,7 0 0,0 1 3,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100
Ayah: max>10000000, min<2500000, modus: tidak ada pendapatan
Ibu: max: 5000001-7500000 min <2500000 modus: tidak ada pendapatan
Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan tambahan maksimum ayah contoh
adalah >Rp.10.000.000, pendapatan tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan
proporsi terbesarnya tidak memiliki pedapatan tambahan (77,8%). Pendapatan
tambahan maksimum ibu contoh adalah Rp.5.000.001-7.500.000, pendapatan
tambahan minimumnya Rp.0-2.500.000 dan proporsi terbesarnya tidak memiliki
pendapatan tambahan (90%).
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
pendapatan tambahan ayah (p<0,01) di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran,
namun tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan tambahan ibu antar kelompok
lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan
tingkat pendapatan tambahan antara ayah di kelompok 3 dengan ayah di kelompok 1
dan di kelompok 2.
Besar Keluarga Contoh
Secara umum, semakin besar keluarga, semakin terpecah perhatian orang tua
untuk memenuhi kebutuhan anak. Penelitian ini mengklasifikasikan besar keluarga ke
dalam tiga kategori yakni kecil, sedang dan besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang
terdiri dari dua anak, keluarga sedang terdiri dari tiga, empat atau lima anak, sedangkan
keluarga besar terdiri dari enam anak atau lebih (Hurlock 1993a). Sebaran contoh
berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Besar
Keluarga n % n % n %
Kecil 14 46,7 20 66,7 19 63,3
Sedang 16 53,3 10 33,3 11 36,7
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
Max: 7, Min: 3, x : 4, SD + 0,91
Berdasarkan hasil penelitian, maksimum jumlah anggota keluarga contoh adalah
7 orang, minimumnya 3 orang, dan rata-rata anggota keluarga contoh berjumlah 4
orang. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 1 (53,3%) memiliki besar keluarga
sedang dan sisanya adalah keluarga kecil. Lebih dari separuh contoh pada kelompok 2
(66,7%) dan kelompok 3 (63,3%) memiliki besar keluarga kecil dan sisanya adalah
keluarga sedang. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada besar keluarga contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.
Keadaan Umum Lingkungan PembelajaranSekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang
baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Berikut gambaran umum sekolah
yang menjadi lokasi penelitian.
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran SD Negeri Sukadamai 3 SD Negeri Sukadamai 3 beralamat di Jl. Perdana Nomor 8 Komplek Perumahan
Budi Agung Kabupaten Bogor. Kelompok 1 merupakan salah satu sekolah terbaik di
Kota Bogor dan menjadi salah satu dari SDN Koalisi ASEAN. Sekolah ini memiliki luas
wilayah + 2,957 m2 dengan 23 ruang belajar, satu ruang laboratorium bahasa, satu
ruang laboratorium komputer, satu ruang perpustakaan, satu ruang musholla, satu ruang
UKS, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Tenaga pengajar yang dimiliki
sekolah ini berjumlah 48 orang yang terdiri dari 27 orang guru tetap dan 21 orang guru
honor, dengan jumlah siswa sebanyak 1260 orang.
Sesuai kurikulum saat ini kelompok 1 menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dengan standar nasional. Guna memenuhi Standar Nasional
Pendidikan (SNP) sekolah ini melakukan peningkatan mutu dalam penyusunan program
sekolah. Peningkatan mutu meliputi input, proses dan output. Output sangat ditentukan
oleh proses dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Untuk
mengembangkan input siswa, sekolah menerapkan model Pembelajaran Aktif Kreatif
Efektif Menyenangkan (PAKEM) sehingga diharapkan siswa dapat belajar aktif. Melalui
model PAKEM, siswa diharapkan dapat bekerja, belajar, mencari dan memecahkan
masalah, guru hanya sebagai fasilitator.
Kelompok 1 mengadakan kelas Bahasa Inggris untuk pendidik dan tenaga
kependidikan setiap hari Sabtu untuk mengembangkan kualitas pendidik dan tenaga
kependidikan. Pengembangan sarana dan fasilitas sekolah dilakukan dengan
membangun ruang kelas tambahan dan laboratorium MIPA. Untuk memantau
perkembangan siswa, setiap hari Jumat diadakan pertemuan guru guna membicarakan
proses belajar mengajar secara keseluruhan.
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar AmaliahKelompok 2 beralamat di Jalan Tol Ciawi Nomor 1, Ciawi Bogor. Kelompok 2
merupakan sekolah dasar yang berlandaskan keagamaan. Sekolah dengan status
disamakan ini memiliki luas wilayah + 1750 m2. Kelompok 2 memiliki dua kelas paralel
untuk masing-masing tingkatan, satu ruang mushollah, satu ruang kepala sekolah, satu
ruang guru, satu ruang perpustakaan, satu laboratorium komputer serta satu lapangan
terbuka untuk olah raga dan upacara. Tenaga pengajar yang dimiliki sekolah ini
berjumlah 21 orang dengan jumlah siswa sebanyak 408 orang.
Sesuai kurikulum saat ini Kelompok 2 menerapkan KTSP. Adapun metode
pembelajaran yang diterapkan adalah metode belajar tanya jawab, demonstrasi, dan
praktik sesuai dengan indikator dan materi pembelajaran. Setiap tiga bulan sekolah
mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa dan menghadirkan psikolog untuk
membicarakan perkembangan siswa. Landasan keagamaan yang diterapkan pada
seolah ini salah satunya dicirikan oleh diberlakukannya mata pelajaran Bahasa Arab
bagi siswa serta diadakannya kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial untuk
memperingati hari besar Islam.
Keadaan Umum Lingkungan Pembelajaran Sekolah Dasar Citra Alam
Kelompok 3 beralamat di Jl. Damai II No. 54 Ciganjur, Jakarta Selatan. Sekolah
swasta dengan jenjang akreditasi tingkat B ini memiliki luas wilayah 10,128 m2 dengan
luas bangunan 700 m2. Sekolah ini memiliki sepuluh ruang kelas, satu masjid, satu
ruang tata usaha, satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan,
satu ruang laboratorium komputer, satu ruang sanggar, satu lapangan terbuka untuk
olah raga, serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan play ground. Tenaga
pengajar yang dimiliki sekolah ini berjumlah 29 orang guru dengan jumlah siswa
sebanyak 163 orang.
Kelompok 3 merupakan sekolah dasar dengan konsep pembelajaran yang
berbasis pada eksistensi alam. Adapun metode pembelajaran yang diterapkan
mencakup empat segi yakni intelektual, sosial emosional, fisik, dan psikologi. Secara
keseluruhan keempat hal tersebut berbasis pada spiritual. Berdasarkan segi intelektual,
sekolah menerapkan kurikulum nasional yakni KTSP. Berdasarkan segi sosial emosi
sekolah menerapkan kurikulum karakter berlandaskan Asmaul Husna. Berdasarkan segi
fisik, sekolah menerapkan kurikulum alam dengan harapan siswa dapat bereksplorasi
dengan alam untuk mengoptimalkan perkembangan setiap potensi diri. Berdasarkan
segi psikologi, dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah seorang guru disapa
dengan sebutan “kakak”. Hal tersebut bertujuan untuk memunculkan keakraban antara
guru dengan siswa. Sekolah ini juga memberlakukan adanya sistem otonomi kelas, hal
ini dimaksudkan agar seorang wali kelas mengetahui benar bagaimana karakteristik
anak didik sehingga diharapkan dapat menyesuaikan metode pembelajaran dengan
karakter anak didik.
Pola Asuh Belajar, Motivasi Belajar, Potensi dan Prestasi Akademik Contoh PadaLingkungan Pembelajaran
Sekolah adalah lingkungan kedua setelah keluarga yang memiliki peran besar
dalam keberhasilan anak didik. Lingkungan pembelajaran di sekolah bertugas
mengembangkan kemampuan dasar anak didik yang sebelumnya didapat dari
lingkungan keluarga. Berikut paparan mengenai pola asuh belajar, motivasi belajar,
potensi akademik, dan prestasi akademik contoh pada kelompok 1, kelompok 2, dan
kelompok 3.
Pola Asuh Belajar ContohPola Asuh Belajar adalah interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. Gaya pengasuhan dalam
mendidik anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan demokratis)
dan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya
pengasuhan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan orang tua
Gaya Pengasuhan n %Demokratis 87 96,7Permisif Otoriter 1 1,1Permisif Otoriter Demokrasi 2 2,2
Total 90 100,0
Hampir seluruh orang tua contoh (96,7%) cenderung menerapkan gaya
pegasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), dibandingkan gaya
pengasuhan permisif dan otoriter, gaya pengasuhan demokratis merupakan gaya
pengasuhan yang paling ideal untuk diterapkan. Penerapan gaya pengasuhan
demokratis dilakukan dengan memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun
dengan kebebasan yang tidak mutlak. Menurut Latifah (2008), beberapa ciri yang
terdapat pada pola asuh demokratis antara lain, adanya kerjasama antara orang tua dan
anak, anak diakui sebagai pribadi, dan orang tua memberikan bimbingan, pengarahan
serta kontrol yang tidak kaku. Gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa
tanggung jawab pada individu yang selanjutnya memupuk kepercayaan diri individu.
Hawadi (2001) menyatakan bahwa individu dengan pola asuh demokratis lebih dapat
mengekspresikan diri, minat dan aktivitas.
Gaya pengasuhan pada penelitian ini dikelompokan ke dalam tiga kategori yakni
kurang, sedang dan baik berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100.
Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar disajikan pada
Tabel 10 dan 11.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Gaya Pengasuhann % n % n %
Sedang 0 0,0 1 3,3 4 13,3Baik 30 100,0 29 96,7 26 86,7
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0max skor: 100, min skor: 50, x : 86,3 SD + 11,18
Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor
minimumnya 50 dan rata-rata skornya 86,37. Persentase terbesar contoh pada
kelompok 1 (100%), kelompok 2 (96,7%), maupun kelompok 3 (86,7%) memiliki orang
tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada gaya pengasuhan orang tua antar
kelompok lingkungan pembelajaran.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan fasilitas belajar
Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 100, skor
minimumnya 40 dan rata-rata skornya 79,89. Sebagian besar contoh pada kelompok 1
(90%), kelompok 2 (76,7%) dan kelompok 3 (76,7%) memiliki fasilitas belajar yang baik.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada fasilitas belajar yang disediakan orang tua untuk contoh antar kelompok
lingkungan pembelajaran.
Motivasi Belajar ContohMotivasi adalah daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan perilaku
tertentu (Wlodkowski 1985 diacu dalam Suciaty dan Irawan 2001). Motivasi belajar
adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi
belajar dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni kurang, sedang,
dan tinggi berdasarkan skor yang diperoleh contoh pada skala 0-100. Sebaran contoh
berdasarkan motivasi belajar disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Motivasi Belajar
n % n % n %
Sedang 6 20,0 5 16,7 9 30,0
Tinggi 24 80,0 25 83,3 21 70,0
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
max skor: 96, min skor: 53, x skor: 74,35, SD + 9,64
Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh adalah 96, skor
minimumnya 53 dan rata-rata skornya 74,35. Persentase terbesar contoh pada pada
kelompok 1 (80%), kelompok 2 (83,3%) dan kelompok 3 (70%) memiliki motivasi belajar
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Fasilitas belajar
n % n % n %
Sedang 3 10,0 7 23,3 7 23,3
Baik 27 90,0 23 76,7 23 76,7
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
max skor: 100, min skor: 40 , x skor: 79,89 SD + 15,83
yang tinggi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada motivasi belajar contoh antar kelompok lingkungan pembelajaran.
Potensi Akademik Contoh
Potensi adalah salah satu kemampuan individu untuk melakukan suatu kegiatan
dan sudah ada sejak individu dilahirkan (Sardiman 2005). Potensi akademik adalah
kemampuan inteligensi berdasarkan tingkat kecerdasan kognitif yang dinilai berdasarkan
kemampuan visual processing, auditory processing, verbal processing, kinesthetic
processing, dan thinking logically (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002).
Variabel potensi akademik pada penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan skor skala
rata-rata dari instrumen Rilley Inventory of Basic Learning Skills (RIBLS) sebagai tes
potensi akademik (Rilley 1992 diacu dalam Latifah & Dina 2002). Sebaran contoh
berdasarkan potensi akademik disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik
Berdasarkan hasil penelitian, skor maksimum contoh dari rata-rata skor skala tes
potensi akademik adalah 16,4, skor minimumnya 8,3 dan proporsi terbesar contoh
memperoleh skor 13,9. Hasil penelitian menunjukkan, proporsi terbesar contoh (43,3%)
memiliki potensi akademik jauh di atas rata-rata. Persentase terbesar contoh pada
kelompok 1 (76,7%) dan kelompok 3 (36,7%) memiliki potensi akademik jauh di atas
rata-rata, sedangkan pada kelompok 2 56,7% contoh memiliki potensi akademik di atas
rata-rata.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,01)
potensi akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan, terdapat perbedaan potensi akademik antara contoh di kelompok
1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3.
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Potensi Akademik
n % n % n %
Di bawah rata-rata 0 0,0 0 0,0 2 6,7
Rata-rata 0 0,0 8 26,7 9 30,0
Di atas rata-rata 7 23,3 17 56,7 8 26,7
Jauh di atas rata-rata 23 76,7 5 16,7 11 36,7
Total 30 100,0 30 100,0 30 100,0
max skor skala: 16,4, min skor skala: 8,3, modus: 13,9
Prestasi Akademik Contoh
Prestasi akademik merupakan salah satu gambaran penguasaan siswa terhadap
materi pelajaran di sekolah. Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) skor prestasi
akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu pada mata
pelajaran tertentu dalam bentuk angka dan dirumuskan dalam rapor. Variabel prestasi
akademik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni kurang,
sedang, dan baik berdasarkan rata-rata nilai rapor. Sebaran contoh berdasarkan
prestasi akademik disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3Prestasi Akademik
n % n % n %
Sedang 1 3,3 17 56,7 21 70Baik 29 96,7 13 43,3 9 30
Total 30 100,0 30 100,0 30 100
max: 92, min: 66 , x : 81,39, SD + 6,81
Berdasarkan hasil penelitian, maksimum rata-rata nilai rapor contoh adalah 92,
minimumnya 66 dan rata-rata keseluruhannya 81,39. Hampir seluruh contoh pada
kelompok 1 (96,7%) memiliki prestasi akademik dengan kategori baik. Proporsi terbesar
contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi akademik
dengan kategori sedang.
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan (p<0,01) prestasi
akademik contoh di ketiga kelompok lingkungan pembelajaran. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prestasi akademik antara contoh di kelompok
1 dengan contoh di kelompok 2 dan di kelompok 3. Diduga, hal ini terkait dengan potensi
akademik contoh di kelompok 1.
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Motivasi Belajar ContohMotivasi belajar adalah salah satu faktor penting yang mendorong seseorang
untuk belajar. Motivasi belajar dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik yang ingin dikaitkan dengan motivasi belajar pada penelitian ini berasal
dari karakteristik individu, yakni umur dan jenis kelamin.
Umur dengan Motivasi Belajar ContohBerdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar contoh pada masing-masing
kelompok umur memiliki motivasi belajar yang tinggi. Terlihat kecenderungan semakin
bertambahnya umur, persentase terbesar contoh yang memiliki motivasi belajar tinggi
semakin berkurang. Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar disajikan
pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan umur dan motivasi belajar
Motivasi Belajar
Sedang TinggiTotal
Umur (Tahun)
n % n % n %
9,0-9,4 0 0,0 8 100,0 8 100,0
9,5-9,9 2 15,4 11 84,6 13 100,0
10,0-10,4 3 14,3 18 85,7 21 100,0
10,5-10,9 7 25,9 20 74,1 27 100,0
11,0-11,4 7 38,9 11 61,1 18 100,0
11,5-11,9 1 33,3 2 66,7 3 100,0
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan (p<0,01) negatif
(rs=-0,416) antara umur dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi
umur pada anak usia sekolah, maka motivasi belajar semakin berkurang.
Adanya hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar didukung oleh
pernyataan Hawadi (2001) bahwa anak selalu tertarik untuk mengetahui dan
mempelajari sesuatu yang baru dan berbeda, namun rasa ingin tahu dan dorongan
untuk belajar akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia. Menurut Hawadi,
sebagian minat anak akan menghilang apabila cara untuk memperoleh pengetahuan
dan keterampilan dirasa membosankan dan memakan waktu. Menurut Gunarsa dan
Gunarsa (2006), anak akan tertarik memperhatikan dan mempelajari sesuatu yang baru,
namun jika hal tersebut telah anak pahami atau kuasai, maka rasa perhatian anak akan
berkurang, kecuali jika hal tersebut masih meninggalkan rasa penasaran pada diri anak.
Baradja (2005) berpendapat bahwa orang tua yang selalu menginginkan anak
untuk berprestasi di sekolah tanpa mempertimbangkan kemampuan anak, lambat laun
akan membuat anak merasa dituntut untuk menghasilkan sesuatu di luar batas
kemampuan yang anak miliki, sehingga menyebabkan motivasi belajar anak semakin
berkurang atau bahkan menghilang.
Jenis Kelamin dengan Motivasi Belajar ContohBerdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh contoh laki-laki (71,4%) dan
sebagian besar contoh perempuan (83,3%) memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar disajikan pada
Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan motivasi belajar
Motivasi Belajar
Sedang TinggiTotal
Jenis Kelamin
n % n % n %
Laki-laki 12 28,6 30 71,4 42 100,0
Perempuan 8 16,7 40 83,3 48 100,0
Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis
kelamin dengan motivasi belajar. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti lingkungan
keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan keluarga dan lingkungan sosial merupakan
faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar. Menurut
Ridwan (2008), keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Perhatian
orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak belajar dengan
tekun. Lingkungan sosial pun memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi
anak. Menurut Kartono (1995) dalam Ridwan (2008), lingkungan dapat membentuk
kepribadian anak. Apabila anak berada pada lingkungan (teman sebaya) yang rajin
belajar maka besar kemungkinan anak akan terpengaruh untuk rajin belajar.
Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar secara
tidak langsung didukung oleh pendapat Megawangi (2001), adanya perbedaan
mendasar secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak menjadikan perempuan
lebih inferior dibandingkan laki-laki. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan motivasi
belajar berarti laki-laki belum tentu memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibanding
perempuan ataupun sebaliknya. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin tidak dapat
dijadikan suatu hal yang menentukan motivasi belajar.
Hubungan antara Karakteristik Individu dan Keluarga denganPola Asuh Belajar Contoh
Pola asuh belajar memiliki pengaruh besar bagi perkembangan seorang anak.
Pola asuh belajar yang diterapkan orang tua dapat berupa gaya pengasuhan dan
penyediaan fasilitas belajar. Secara umum, pola asuh belajar yang diterapkan orang tua
terkait dengan karakteristik individu (umur dan jenis kelamin) dan karakteristik keluarga
(tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua dan besar keluarga). Berikut
paparan mengenai hubungan antara karakteristik individu dan keluarga dengan pola
asuh belajar.
Umur dengan Pola Asuh Belajar Contoh
Umur menggambarkan tahapan perkembangan setiap individu. Salah satu aspek
yang dibutuhkan untuk menunjang perkembangan individu antara lain, gaya
pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya
pengasuhan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan umur dan gaya pengasuhan
Gaya Pengasuhan
Sedang BaikTotal
Umur (Tahun)
n % n % n %
9.0-9.4 0 0.0 8 100.0 8 100.0
9.5-9.9 0 0.0 13 100.0 13 100.0
10.0-10.4 1 4.8 20 95.2 21 100.0
10.5-10.9 3 11.1 24 88.9 27 100.0
11.0-11.4 0 0.0 18 100.0 18 100.0
11.5-11.9 1 33.3 2 66.7 3 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok
umur memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Kelompok umur 11,5-11,9
tahun memiliki persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil
uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur contoh
dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya pengasuhan
yang diterapkan orang tua tidak tergantung pada umur anak.
Tidak adanya hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan diduga karena
ada faktor lain, seperti kondisi keluarga (kesibukan orang tua dan besar keluarga).
Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa orang tua yang terlalu sibuk dengan
berbagai kegiatan akan menyebabkan hubungan anak dengan orang tua menjadi tidak
akrab. Hal ini menjadi salah satu penyebab orang tua cenderung menerapkan gaya
pengasuhan permisif. Menurut Hurlock (1993a), besar keluarga dapat mempengaruhi
gaya pengasuhan orang tua. Pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya
bersifat demokratis. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, pengasuhan orang tua
cenderung semakin bertambah otoriter.
Fasilitas belajar merupakan sarana yang orang tua sediakan untuk menunjang
proses belajar anak di rumah. Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar
disajikan pada tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan umur dan fasilitas belajar
Fasilitas Belajar
Sedang BaikTotal
Umur (Tahun)
n % n % n %
9.0-9.4 0 0.0 8 100.0 8 100.0
9.5-9.9 2 15.4 11 84.6 13 100.0
10.0-10.4 2 9.5 19 90.5 21 100.0
10.5-10.9 6 22.2 21 77.8 27 100.0
11.0-11.4 6 33.3 12 66.7 18 100.0
11.5-11.9 1 33.3 2 66.7 3 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar masing-masing kelompok
umur memiliki fasilitas belajar yang baik. Kelompok umur 11,0-11,9 tahun memiliki
persentase terkecil (66,7%) dibanding kelompok umur sebelumnya. Hasil uji korelasi
Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) negatif (rs=-0,211) antara
umur contoh dengan gaya pengasuhan orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
bertambah umur anak, maka fasilitas belajar yang disediakan orang tua semakin
berkurang.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) dalam Yusuf (2002), sejak memasuki usia
sekolah, pengaruh teman sebaya dan lingkungan luar akan semakin kuat, sedangkan
pengaruh keluarga semakin berkurang. Hal ini memungkinkan teman sebaya dan
lingkungan luar (sekolah) dapat menunjang kebutuhan fasilitas belajar anak, sehingga
fasilitas belajar yang anak butuhkan tidak sepenuhnya lagi berasal dari orang tua.
Jenis Kelamin dengan Pola Asuh Belajar Contoh Perbedaan jenis kelamin menggambarkan salah satu karakteristik setiap
individu. Ketika laki-laki dan perempuan tidak dinilai setara, pengasuhan dapat berbeda
antar jenis kelamin. Umumnya, orang tua memberi perhatian yang lebih besar pada
anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
dan gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan gaya pengasuhan
Gaya PengasuhanSedang Baik
TotalJenis Kelamin
n % n % n %Laki-laki 5 11.9 37 88.1 42 100.0Perempuan 0 0.0 48 100.0 48 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar anak laki-laki (88,1%) dan seluruh
anak perempuan memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik. Hasil uji Chi-
Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara jenis kelamin dengan
gaya pengasuhan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1993b) bahwa jenis
kelamin akan mempengaruhi sikap orang tua yang selanjutnya akan mempengaruhi
perilaku dan hubungan antara orang tua dengan anak.
Menurut Megawangi (1993), keadaan biologis manusia dianggap dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia. Anak laki-laki cenderung memiliki pola tingkah
laku yang lebih sulit dibandingkan dengan anak perempuan, sehingga pada umumnya
anak laki-laki lebih sulit diatur dibandingkan anak perempuan (Anonim 2007). Hal ini
memungkinkan orang tua cenderung lebih tegas pada anak laki-laki dalam menerapkan
gaya pengasuhan.
Perhatian orang tua dapat pula dilihat dari fasilitas belajar yang disediakan.
Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar disajikan pada
Tabel 20.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan fasilitas belajar
Fasilitas Belajar
Sedang BaikTotalJenis
Kelaminn % n % n %
Laki-laki 11 26.2 31 73.8 42 100.0
Perempuan 6 12.5 42 87.5 48 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar contoh laki-laki (73,8%) dan
sebagian besar contoh perempuan (87,5%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Hasil uji
Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan
fasilitas belajar yang disediakan orang tua. Hal ini berarti fasilitas belajar yang
disediakan orang tua tidak tergantung pada jenis kelamin anak.
Hal ini mungkin karena besarnya perhatian orang tua terhadap fasilitas yang
anak butuhkan dalam proses belajar, didukung oleh pendapatan keluarga yang
memadai. Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak,
ditunjang oleh pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
Gerungan (1981) dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi
keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada
anak akan lebih besar jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jenis kelamin menjadi tidak berhubungan
dengan fasilitas belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan
belajar anak ditunjang oleh pendapatan keluarga yang memadai.
Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Asuh Belajar ContohPendidikan memegang peranan penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
orang tua. Menurut Alsa dan Bachroni (1984) dalam Nurani (2004), semakin tinggi
pendidikan orang tua, maka semakin baik pengasuhan yang orang tua terapkan pada
anak. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya
pengasuhan disajikan pada tabel 21.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan
Gaya Pengasuhan
Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan
Ayahn % n % n %
Sekolah Menengah 0 0,0 10 100,0 10 100,0
Perguruan Tinggi 5 6,3 75 93,8 80 100,0
Gaya Pengasuhan
Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan
Ibun % n % n %
Sekolah Menengah 0 0,0 19 100,0 19 100,0
Perguruan Tinggi 5 7,0 66 93,0 71 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat
pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran
contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menerapkan gaya
pengasuhan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam
Ginting (2005) bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki
partisipasi yang lebih besar dalam menstimulasi perkembangan anak dibandingkan
dengan orang tua yang berpendidikan rendah.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan orang tua dengan gaya pengasuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
pendidikan orang tua tidak dapat menentukan gaya pengasuhan yang diterapkan orang
tua. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang mempengaruhi sikap orang tua dalam
menerapkan gaya pengasuhan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengalaman
masa lalu berhubungan erat dengan pola asuh yang orang tua terapkan pada anak.
Orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang sama jika hal tersebut dirasakan
manfaatnya. Sebaliknya, orang tua cenderung untuk tidak mengulangi pola asuh yang
sama jika hal tersebut dirasakan tidak ada manfaatnya.
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek karakteristik keluarga
yang ingin diketahui hubungannya dengan penyediaan fasilitas belajar. Sebaran contoh
berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dan fasilitas belajar disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dengan
fasilitas belajar
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh orang tua contoh memiliki tingkat
pendidikan yang tergolong tinggi (Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi). Sebaran
contoh menunjukkan bahwa persentase terbesar orang tua menyediakan fasilitas belajar
yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Csikezentnihalyi (1996) dalam Ginting (2005)
bahwa orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi memiliki partisipasi yang lebih
besar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan anak dibandingkan
dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Menurut Ginting (2005), pendidikan orang
tua berkaitan dengan partisipasi orang tua pada segala sesuatu yang berhubungan
dengan aktivitas sekolah anak termasuk dalam hal menyediakan fasilitas belajar.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan orang tua dengan fasilitas belajar. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
pendidikan orang tua tidak dapat menentukan penyediaan fasilitas belajar anak di
rumah. Hal ini diduga karena ada faktor lain seperti kondisi ekonomi keluarga. Menurut
Freeman dan Munandar (2000) dalam Nurani (2004), semakin aman orang tua dari segi
ekonomi, maka orang tua akan sepenuhnya mencurahkan perhatian salah satunya pada
penyediaan fasilitas belajar. Conger dan Elder (1994) dalam Priantini (2006) juga
Fasilitas Belajar
Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan
Ayahn % n % n %
Sekolah Menengah 2 20,0 8 80,0 10 100,0
Perguruan Tinggi 15 18,8 65 81,3 80 100,0
Fasilitas Belajar
Sedang BaikTotalTingkat Pendidikan
Ibun % n % n %
Sekolah Menengah 5 26,3 14 73,7 19 100,0
Perguruan Tinggi 12 16,9 59 83,1 71 100,0
menyatakan bahwa keluarga yang mendapat tekanan ekonomi akan berpengaruh
pengasuhan orang tua, termasuk dalam hal pola asuh belajar.
Jenis Pekerjaan Orang Tua dan Pola Asuh Belajar Contoh
Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan ketersediaan waktu untuk keluarga,
khususnya untuk anak. Semakin sibuk orang tua, semakin sedikit waktu yang tersedia,
semakin sedikit perhatian yang anak peroleh, kecuali bila orang tua memberi perhatian
dengan kualitas yang baik. Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan
gaya pengasuhan disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan gaya pengasuhan
Gaya PengasuhanSedang Baik
TotalJenis PekerjaanAyah
n % n % n %Wiraswasta 1 4.0 24 96.0 25 100.0pegawai swasta 3 6.7 42 93.3 45 100.0Pegawai negeri 0 0.0 17 100.0 17 100.0ABRI/Polisi 1 100.0 0 0.0 1 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0
Gaya PengasuhanSedang Baik
TotalJenis Pekerjaan Ibun % n % n %
Wiraswasta 1 4.5 21 95.5 22 100.0Pegawai swasta 3 13.6 19 86.4 22 100.0Pegawai negeri 0 0.0 6 100.0 6 100.0IRT 1 2.6 37 97.4 38 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh
memiliki persentase terbesar dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Ayah
contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menerapkan gaya pengasuhan dengan
kategori sedang.
Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) antara
jenis pekerjaan ayah dengan gaya pengasuhan. Namun, tidak terdapat hubungan antara
jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan. Menurut Anonim (2008), ayah lebih
berperan mencari nafkah (bekerja) untuk keluarga. Secara umum, semakin sibuk ayah
maka semakin sedikit waktu yang diberikan untuk keluarga.
Menurut Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993), jika suasana pekerjaan
cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan maka pada saat pulang ke rumah
suasana emosi akan menyenangkan dalam membina hubungan dengan masing-masing
anggota keluarga. Jika pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan maka
sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat lelah dan tidak ada energi yang
tertinggal untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.
Aspek pekerjaan orang tua akan berpengaruh kepada kondisi ekonomi keluarga
yang selanjutnya akan terkait dengan penyediaan fasilitas belajar anak. Sebaran contoh
berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan fasilitas belajar disajikan pada
Tabel 24.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua dan fasilitas belajar
Fasilitas BelajarSedang Baik TotalJenis Pekerjaann % n % n %
Wiraswasta 5 20.0 20 80.0 25 100.0Pegawai swata 8 17.8 37 82.2 45 100.0Pegawai negeri 2 11.8 15 88.2 17 100.0ABRI/Polisi 1 100.0 0 0.0 1 100.0Lainnya 1 50.0 1 50.0 2 100.0
Fasilitas BelajarSedang Baik TotalJenis Pekerjaann % n % n %
Wiraswasta 5 22.7 17 77.3 22 100.0Pegawai swata 4 18.2 18 81.8 22 100.0Pegawai negeri 0 0.0 6 100.0 6 100.0IRT 8 21.1 30 78.9 38 100.0Lainnya 0 0.0 2 100.0 2 100.0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh jenis pekerjaan orang tua contoh
memiliki persentase terbesar dalam menyediakan fasilitas belajar yang baik. Ayah
contoh dengan jenis pekerjaan ABRI/Polisi menyediakan fasilitas beajar pada kategori
sedang.
Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis
pekerjaan orang tua dengan ketersediaan fasilitas belajar. Hal ini diduga karena ada
faktor lain seperti perhatian orangtua. Menurut Ridwan (2008), perhatian dan dukungan
orang tua sangat dibutuhkan dalam keberhasilan belajar seorang anak. Untuk mencapai
keberhasilan, anak membutuhkan fasilitas belajar. Hal ini berarti, meskipun kondisi
keluarga mendukung pemenuhan kebutuhan anak, namun tidak diiringi dengan
perhatian dan dukungan orang tua untuk memenuhi fasilitas belajar anak, maka
pekerjaan orangtua sebagai salah satu aspek yang berpengaruh pada kondisi keluarga
menjadi tidak berhubungan dengan fasilitas belajar.
Besar Keluarga dan Pola Asuh Belajar Contoh
Secara umum, besar keluarga memiliki keterkaitan dengan pola asuh belajar.
Semakin besar keluarga, maka semakin terpecah perhatian orang tua untuk
sepenuhnya memberi perhatian pada anak termasuk dalam hal pola asuh belajar
(penerapan gaya pengasuhan dan penyediaan fasilitas belajar). Sebaran contoh
berdasarkan besar keluarga dan gaya pengasuhan disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan pola asuh belajar
Gaya Pengasuhan
Sedang BaikTotal
Besar Keluarga
n % n % n %
Kecil 4 7,5 49 92,5 53 100,0
Sedang 1 2,7 36 97,3 37 100,0
Fasilitas Belajar
Sedang BaikTotal
Besar Keluarga
n % n % n %
Kecil 10 18,9 43 81,1 53 100,0
Sedang 7 18,9 30 81,1 37 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh contoh dengan keluarga kecil
(92,5%) dan sedang (97,3%) memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang baik.
Menurut Hurlock (1981), pada keluarga kecil, pengasuhan orang tua umumnya bersifat
demokratis dan orang tua mampu mencurahkan waktu serta perhatian yang cukup pada
anak, pada keluarga sedang, umumnya pengasuhan yang dilakukan orang tua
cenderung otoriter, sedangkan pada keluarga besar, pendidikan otoriter diperlukan
untuk menghindari kekacauan atau anarki. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan gaya pengasuhan.
Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh dengan keluarga kecil
(81,1%) dan sedang (81,1%) memiliki fasilitas belajar yang baik. Menurut Hurlock
(1981), pada keluarga kecil, orang tua memiliki kemauan dan kemampuan untuk
memberi fasilitas dan lambang status yang sama pada setiap anak, pada keluarga
sedang, umumnya orang tua memiliki keterbatasan untuk memberi fasilitas dan lambang
status yang sama pada setiap anak, sedangkan pada keluarga besar, orang tua
seringkali tidak mampu untuk memberikan hal yang sama dengan teman sebaya anak.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar
keluarga dengan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar.
Hal ini mungkin karena pola asuh belajar yang diterapkan orang tua pada setiap
besar keluarga adalah baik, didukung dengan pendapatan keluarga yang memadai.
Menurut Effendi (1995), keberhasilan orang tua dalam mendidik anak, ditunjang oleh
pendapatan keluarga yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Gerungan (1981)
dalam Nurani (2004) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai
peran penting dalam pendidikan anak. Perhatian orang tua pada anak akan lebih besar
jika orang tua tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa besar keluarga menjadi tidak berhubungan dengan pola asuh
belajar jika pengertian orang tua untuk memperhatikan kebutuhan belajar anak ditunjang
oleh pendapatan keluarga yang memadai.
Hubungan antara Pola Asuh Belajar dan Lingkungan Pembelajarandengan Motivasi Belajar Contoh
Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti “menggerakkan”. Motivasi
belajar adalah daya penggerak dalam diri anak untuk melakukan kegiatan belajar.
Munculnya daya penggerak dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
ekstrinsik pada penelitian ini dijelaskan melalui pola asuh belajar orang tua dan
lingkungan pembelajaran di sekolah.
Pola Asuh Belajar dengan Motivasi Belajar Contoh
Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi dari luar diri seseorang yang
menyebabkan seseorang melakukan kegiatan belajar. Faktor ekstrinsik melalui pola
asuh belajar diteliti berdasarkan gaya pengasuhan dan fasilitas belajar. Sebaran contoh
berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi
belajar disajikan pada tabel 26.
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) dan motivasi belajar
Motivasi BelajarSedang Tinggi TotalGaya
Pengasuhann % n % n %
Sedang 1 20,0 4 80,0 5 100,0Baik 19 22,4 66 77,6 85 100,0
Motivasi BelajarSedang Tinggi
TotalFasilitasBelajar
n % n % n %Sedang 6 35,3 11 64,7 17 100,0Baik 14 19,2 59 80,8 73 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh dengan gaya pengasuhan
sedang (80%) dan baik (77,6%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs=
0,270) antara gaya pengasuhan dengan motivasi belajar. Hal mengindikasikan bahwa
semakin baik pengasuhan orang tua, maka semakin tinggi motivasi belajar anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh dengan fasilitas
belajar sedang (64,7%) dan baik (80,8%), masing-masing memiliki motivasi belajar yang
tinggi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan, terdapat hubungan (p<0,05) positif (rs=
0,261) antara fasilitas belajar dengan motivasi belajar. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin baik fasilitas belajar yang disedikan orang tua, maka semakin tinggi motivasi
belajar anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa
fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang.
Adanya hubungan antara pola asuh belajar (gaya pengasuhan orang tua dan
fasilitas belajar) dengan motivasi belajar sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa
perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi belajar sehingga anak
dapat belajar dengan tekun karena anak memerlukan waktu, tempat,dan keadaan yang
baik untuk belajar.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya (Tabel 9) diketahui bahwa orang tua
cenderung menerapkan gaya pengasuhan demokratis. Menurut Gunarsa dan Gunarsa
(2006), gaya pengasuhan demokratis akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada
anak dan memupuk kepercayaan diri anak. Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom
dalam Hawadi (2001), dorongan orang tua dianggap sebagai hal yang utama dalam
mengarahkan tujuan individu. Hal ini merupakan bekal terbentuknya motivasi belajar
yang tinggi.
Lingkungan Pembelajaran dengan Motivasi Belajar Contoh Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan anak terutama pada masa usia sekolah. Kualitas
pendidikan dalam lingkungan pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik,
sarana prasarana, peraturan sekolah, dan cara penyajian materi pelajaran di sekolah
(Ibrahim 1993; Hawadi 2001; Gunarsa dan Gunarsa 2006). Kualitas pendidikan yang
baik akan mendorong anak didik untuk belajar lebih giat. Sebaran contoh berdasarkan
lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan motivasi belajar
Motivasi Belajar
Sedang TinggiTotal
Lingkungan Belajar
n % n % n %
Kelompok 1 6 20,0 24 80,0 30 100,0
Kelompok 2 5 16,7 25 83,3 30 100,0
Kelompok 3 9 30,0 21 70,0 30 100,0
Persentase terbesar contoh pada masing-masing lingkungan pembelajaran
memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar. Hal ini
diduga karena ada faktor lain yang dapat berperan pada motivasi belajar, seperti faktor
sekolah, keluarga atau pun faktor dalam diri.
Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa hampir sepertiga dari
kehidupan anak sehari-hari berada di dalam gedung sekolah. Hal ini berarti hampir
duapertiga dari kehidupan anak berada di luar sekolah, sehingga memungkinkan anak
lebih memiliki banyak waktu diluar sekolah. Menurut Ridwan (2008), dukungan keluarga
sangat penting dalam keberhasilan seseorang karena dukungan keluarga membuat
seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif. Dukungan dari keluarga
merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk
belajar. Menurut Sadli (1986), Individu yang mempunyai motivasi tinggi akan memiliki
daya juang yang lebih tinggi dalam mencapai cita-cita dan tidak mudah putus asa dalam
menyelesaikan suatu masalah. Hal ini mengindikasikan bahwa dukungan lingkungan
pembelajaran menjadi kurang berarti jika tidak ditunjang oleh motivasi dalam diri dan
dukungan dari keluarga.
Hubungan antara Pola Asuh Belajar, Lingkungan Pembelajaran, Motivasi Belajardan Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik Contoh
Syah (1997) dalam Abdullah (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar
merupakan taraf keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah
yang dinyatakan dalam bentuk skor. Skor diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah
materi pelajaran tertentu. Menurut Hawadi (2001), prestasi belajar dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (potensi akademik dan motivasi belajar) dan faktor ekstrinsik (lingkungan
keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah).
Pola Asuh Belajar dengan Prestasi Akademik Contoh
Menurut Hasbullah (2006), keluarga merupakan lingkungan pertama tempat
anak mendapat pendidikan dan bimbingan. Tugas utama keluarga adalah memberikan
pola asuh belajar (gaya pengasuhan dan fasilitas belajar) yang baik sebagai dukungan
bagi keberhasilan belajar seorang anak. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar
dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh belajar dan prestasi akademik
Prestasi Akademik
Sedang Baik TotalGaya
Pengasuhan n % n % n %
Sedang 5 100,0 0 0,0 5 100,0
Baik 34 40,0 51 60,0 85 100,0
Prestasi Akademik
Sedang Baik TotalFasilitas
Belajar n % n % n %Sedang 13 76,5 4 23,5 17 100,0Baik 26 35,6 47 64,4 73 100,0
Berdasarkan hasil penelitian, seluruh contoh dengan gaya pengasuhan yang
sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan lebih dari separuh
contoh (60%) dengan gaya pengasuhan yang baik memiliki prestasi akademik pada
kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
(p<0,05) positif (rs= 0,254) antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi
akademik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik pengasuhan orang tua,
maka semakin baik prestasi akademik anak.
Adanya hubungan positif antara gaya pengasuhan orang tua dengan prestasi
akademik didukung oleh pendapat Becker (1964) dalam Hawadi (2001) bahwa adanya
afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima anak dari orang tua akan berdampak
pada penyesuaian diri dan prestasi akademik anak di sekolah. Gunarsa dan Gunarsa
(2006) juga menyebutkan bahwa hubungan antara orang tua dengan anak,
sebagaimana bimbingan dan dorongan yang orang tua berikan akan mendukung anak
untuk berprestasi.
Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar contoh (76,5%) dengan fasilitas
belajar yang sedang memiliki prestasi akademik pada kategori sedang, sedangkan
64,4% contoh dengan fasilitas belajar yang baik memiliki prestasi akademik pada
kategori baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
(p<0,01) positif (rs=0,333) antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin baik fasilitas belajar yang orang tua sediakan, maka
semakin baik prestasi akademik anak usia sekolah.
Adanya hubungan positif antara fasilitas belajar dengan prestasi akademik
didukung oleh pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2006) bahwa fasilitas belajar dapat
mempengaruhi proses belajar seseorang. Kekurangan fasilitas belajar dapat
mengakibatkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga
menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademik. Hawadi (2001) juga menyatakan
bahwa rangsangan pendidikan (penyediaan fasilitas belajar) dari orang tua merupakan
salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi akademik anak.
Lingkungan Pembelajaran dengan Prestasi Akademik ContohSekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan belajar siswa (Ridwan 2008). Sebaran contoh
berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan pembelajaran dan prestasi akademik
Prestasi AkademikSedang Baik TotalLingkungan
Pembelajaran n % n % n %Kelompok 1 1 3,3 29 96,7 30 100,0Kelompok 2 17 56,7 13 43,3 30 100,0Kelompok 3 21 70,0 9 30,0 30 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh pada kelompok
1 (96,7%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik, sedangkan persentase
terbesar contoh pada kelompok 2 (56,7%) dan kelompok 3 (70%) memiliki prestasi
akademik pada kategori sedang. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan
(p<0,01) antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik.
Adanya hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik
sesuai dengan pendapat Ridwan (2008) bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa.
Oleh karena itu, lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar
lebih giat. Keadaan sekolah dapat dilihat melalui penyajian pelajaran, hubungan guru
dengan siswa, kondisi ruangan, dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa yang
kurang baik akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Guru sebagai motivator yang
merangsang pengembangan pengetahuan siswa merupakan salah satu faktor yang turut
mempengaruhi kualitas pendidikan dalam lingkungan pembelajaran (Ibrahim 1993).
Adanya keterkaitan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik
juga didukung oleh pendapat Hasbullah (2006) bahwa sarana prasarana yang dimiliki
oleh suatu lingkungan pembelajaran dan jumlah siswa dalam suatu ruangan kelas turut
mempengaruhi sistem pendidikan. Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006)
mengemukakan bahwa situasi dan keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat
belajar akan mempengaruhi prestasi akademik. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kualitas lingkungan pembelajaran dapat menetukan kualitas prestasi akademik
anak didik.
Motivasi dengan Prestasi Akademik ContohHeckhaussen dalam Hawadi (2001) menyatakan bahwa motivasi belajar sangat
penting dalam keberhasilan belajar. Motivasi belajar dapat mempertahankan perilaku
berprestasi dan mendorong siswa untuk memilih dan menyukai kegiatan belajar.
Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik disajikan pada
Tabel 30.
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar dan prestasi akademik
Prestasi AkademikSedang Baik
TotalMotivasi Belajar
n % n % n %Sedang 10 50,0 10 50,0 20 100,0Tinggi 29 41,4 41 58,6 70 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh dengan motivasi belajar pada
kategori sedang memiliki prestasi akademik dengan persentase yang sama antara
kategori sedang (50%) dan baik (50%). Lebih dari separuh contoh (58,6%) dengan
motivasi belajar yang tinggi memiliki prestasi akademik pada kategori baik. Berdasarkan
hasil uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan
prestasi akademik.
Tidak adanya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik
diduga karena adanya faktor lain yang lebih berperan dalam menentukan prestasi
akademik, seperti potensi akademik dan lingkungan anak (keluarga dan seklah).
Menurut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007), untuk mencapai kompetensi
intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang
positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah
ada serta peran aktif anak dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), pengertian orang tua terhadap
kemampuan dan minat anak akan berpengaruh positif terhadap usaha anak dalam
mencapai prestasi akademik, sedangkan di sekolah, anak akan lebih mudah
mempelajari dan memahami sesuatu yang enarik perhatian. Oleh karena itu, cara guru
dalam menyajikan pelajaran akan mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa potensi akademik dan
lingkungan anak (keluarga dan sekolah) dapat menyebabkan motivasi belajar menjadi
tidak berhubungan dengan prestasi akademik anak usia sekolah.
Potensi Akademik dengan Prestasi Akademik ContohPotensi akademik sebagai implikasi dari dimensi intelektual merupakan salah
satu dimensi psikologis pada bakat seseorang (Suryabrata 2005). Potensi yang dimiliki
akan memudahkan seseorang untuk mewujudkan kemampuan dalam memahami
sesuatu (Sardiman 2005). Berbekal potensi akademik yang dimiliki, diharapkan dapat
menunjang keberhasilan prestasi akademik individu. Sebaran contoh berdasarkan
potensi akademik dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi akademik dan prestasi akademik
Prestasi AkademikSedang Baik TotalPotensi Akademikn % n % n %
Di bawah rata-rata 2 100,0 0 0,0 2 100,0Rata-rata 15 88,2 2 11,8 17 100,0Di atas rata-rata 17 53,1 15 46,9 32 100,0Jauh di atas rata-rata 5 12,8 34 87,2 39 100,0
Persentase terbesar contoh dengan potensi akademik pada kategori di bawah
rata-rata (100%), rata-rata (88,2%), dan di atas rata-rata (53,1%) memiliki prestasi
akademik pada kategori sedang. Persentase terbesar contoh dengan kategori potensi
akademik jauh di atas rata-rata (87,2%) memiliki prestasi akademik pada kategori baik.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0,01) positif
(rs=0,651) antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini berarti semakin
tinggi potensi akademik maka semakin baik prestasi akademik.
Adanya hubungan positif antara potensi akademik dan prestasi akademik sesuai
dengan pendapat Muhibbin (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi
akademik, maka semakin besar peluang untuk meraih prestasi akademik. Sebaliknya,
semakin rendah potensi akademik maka semakin kecil peluang untuk meraih prestasi
akademik. Lebih lanjut Atmodiwirjo (1993) dalam Novita (2007) menyatakan bahwa
untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang
cukup. Hal ini berarti, potensi memiliki peran penting dalam menunjang proses belajar
untuk mencapai prestasi akademik yang diharapakan.
Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk
mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima
keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk
menguasai lima dasar dengan mudah merupakan cerminan dari potensi akademik.
Kelima keterampilan tersebut yakni melihat secara selektif, mendengar secara akurat,
membaca dan memahami kata-kata, mengkoordinasikan aktivitas visual-motorik dan
berfikir logis, adalah bekal yang dibutuhkan siswa untuk dapat menguasai mata
pelajaran.
Pengaruh Pola Asuh Belajar, Lingkungan pembelajaran, dan Potensi Akademikterhadap Prestasi Akademik Contoh
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa 59,8% dari faktor-
faktor yang mempengaruhi prestasi akademik dapat dijelaskan oleh pola asuh belajar
(gaya pengasuhan (p<0,05)), lingkungan pembelajaran (p<0,05), dan potensi akademik
(p<0,01). Dengan demikian, model persamaan regresi linear berganda yang dapat
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik contoh adalah sebagai
berikut:
Keterangan: Y adalah prestasi akademik, a adalah konstanta yaitu 40,671, b2 adalah
koefisien regresi untuk gaya pengasuhan yaitu 0,117, X2 adalah gaya pengasuhan, b4
adalah koefisien regresi untuk lingkungan pembelajaran yaitu 2,699, X4 adalah
lingkungan pembelajaran, b5 adalah koefisien regresi untuk potensi akademik yaitu
1,962, dan X5 adalah potensi akademik.
Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 29), diketahui bahwa terdapat
hubungan positif antara gaya pengasuhan dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas
oleh hasil uji regresi linear berganda bahwa gaya pengasuhan berpengaruh positif
terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa gaya
pengasuhan yang baik dari orang tua akan mempengaruhi keberhasilan prestasi
akademik anak di sekolah. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hawadi (2001) bahwa
partisipasi orang tua terhadap belajar individu merupakan sumbangan yang signifikan
pada prestasi individu. Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2006) menyatakan bahwa
kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu, dalam hal ini penerapan gaya pengasuhan
orang tua akan mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi anak di
sekolah.
Y = a + b2X2 + b4X4 +
Faktor lain yang tidak kalah penting untuk menunjang keberhasilan anak adalah
faktor sekolah. Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 30) diketahui bahwa
terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik. Hal ini
dipertegas oleh hasil uji regresi linear berganda yang menunjukkan bahwa lingkungan
pembelajaran berpengaruh positif terhadap prestasi akademik. Berdasarkan hasil
tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin baik lingkungan pembelajaran akan semakin
mendukung keberhasilan prestasi akademik.
Adanya pengaruh lingkungan pembelajaran terhadap prestasi akademik sesuai
dengan pendapat Lindgren dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) yang menyatakan
bahwa situasi belajar dan fasilitas belajar dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa
di sekolah. Kekurangan fasilitas belajar dapat mengakibatkan siswa kurang dapat
mengaktualisasikan kemampuan dasar sehingga menimbulkan kegagalan dalam
prestasi akademik. Keadaan ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar turut
mempengaruhi prestasi akademik siswa. Kualitas pendidikan dalam lingkungan
pembelajaran tidak terlepas dari peran tenaga pendidik (guru). Selain secara rutin
mengajar di kelas, guru juga berperan menciptakan kondisi yang dapat menarik minat
dan perhatian siswa untuk belajar, sehingga peran guru sebagai fasilitator, motivator,
dan inspirator bagi anak didik dapat tercapai (Ibrahim 1993; Gunarsa & Gunarsa 2006).
Selain gaya pengasuhan dan lingkungan pembelajaran, potensi akademik
merupakan salah satu aspek penting yang sangat menunjang keberhasilan belajar anak
didik. Menurut pendapat Rilley (1992) dalam Latifah dan Dina (2002) bahwa untuk
mencapai prestasi akademik yang diharapkan, anak usia sekolah memerlukan lima
keterampilan dasar untuk membantu proses pembelajaran. Kemampuan anak untuk
dapat menguasai lima kemampuan dasar dengan mudah merupakan cerminan dari
potensi akademik. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2006), anak dengan tingkat
kecerdasan (potensi akademik) yang relatif tinggi, akan lebih mudah memahami materi
pelajaran di sekolah dibandingkan anak yang memiliki kecerdasan lebih rendah.
Mengingat pembahasan sebelumnya (Tabel 31), diketahui bahwa terdapat
hubungan antara potensi akademik dengan prestasi akademik. Hal ini dipertegas oleh
hasil uji regresi linear yang menunjukkan bahwa potensi akademik berpengaruh positif
terhadap prestasi akademik contoh. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi potensi
akademik maka prestasi akademik akan semakin baik. Hasil ini sesuai dengan pendapat
Syah (1999) dalam Ridwan (2008) bahwa semakin tinggi potensi akademik siswa maka
semakin besar peluang untuk meraih prestasi. Sebaliknya, semakin rendah potensi
akademik siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih prestasi. Kohnstamm
menegaskan bahwa seseorang tidak akan mampu mengerjakan sesuatu di atas mutu
inteligensinya (potensi akademik) (Sujanto 2004). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa usaha anak untuk mencapai prestasi akademik terbatas pada potensi akademik
yang dimiliki.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa terwujudnya suatu
prestasi akademik tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor yang mendukung
tercapainya prestasi akademik, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Ditinjau dari segi
intrinsik, potensi yang dimiliki siswa sangat berpengaruh terhadap tercapainya prestasi
yang diharapkan, namun untuk merealisasikan potensi menjadi prestasi, seseorang
tetap membutuhkan stimulasi. Stimulasi yang dibutuhkan seorang siswa dapat berasal
dari lingkungan keluarga dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Ditinjau dari segi
ekstrinsik, gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dan situasi lingkungan
pembelajaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan guna mendukung tercapainya
prestasi akademik yang diharapkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Rata-rata umur contoh di ketiga lokasi penelitian adalah 10,4 tahun dengan proporsi
terbesar contoh berkisar antara umur 10,0-11,4 tahun. Sebagian besar contoh
berjenis kelamin permpuan.
2. Proporsi terbesar tingkat pendidikan orang tua adalah Perguruan Tinggi, pekerjaan
ayah adalah pegawai swasta dan pekerjaan ibu adalah ibu rumah tangga. Proporsi
terbesar pendapatan utama ayah adalah Rp.7.500.001-10.000.000, sedangkan ibu
tidak memiliki pendapatan. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh sebanyak 5
orang.
3. Tidak terdapat perbedaan motivasi belajar, gaya pengasuhan orang tua dan fasilitas
belajar contoh di ketiga lingkungan pembelajaran. Terdapat perbedaan potensi
akademik dan prestasi akademik contoh di ketiga lingkungan pembelajaran.
4. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi belajar. Terdapat
hubungan negatif antara umur dengan motivasi belajar.
5. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan gaya pengasuhan, antara jenis
kelamin dengan fasilitas belajar, antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola
asuh belajar, antara jenis pekerjaan ibu dengan gaya pengasuhan, antara jenis
pekerjaan orang tua dengan fasilitas belajar, dan antara besar keluarga dengan pola
asuh belajar. Terdapat hubungan antara umur dengan fasilitas belajar, antara jenis
kelamin dengan gaya pengasuhan, dan antara jenis pekerjaan ayah dengan gaya
pengasuhan.
6. Terdapat hubungan positif antara pola asuh belajar dengan motivasi belajar. Tidak
terdapat hubungan antara lingkungan pembelajaran dengan motivasi belajar.
7. Terdapat hubungan antara pola asuh belajar dan potensi akademik dengan prestasi
akademik dan antara lingkungan pembelajaran dengan prestasi akademik, namun
tidak terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi akademik.
8. Prestasi akademik dapat dipengaruhi oleh faktor gaya pengasuhan, lingkungan
pembelajaran, dan potensi akademik.
Saran
Mengingat gaya pengasuhan berpengaruh terhadap prestasi akademik anak,
maka disarankan kepada para orang tua agar dapat menerapkan gaya pengasuhan
yang baik. Orang tua diharapkan dapat memperhatikan dan menghargai kebebasan
anak, namun dengan kebebasan yang tidak mutlak dan bimbingan yang penuh
pengertian terhadap kebutuhan belajar anak.
Mengingat sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik anak, maka
disarankan kepada pihak sekolah agar dapat menciptakan situasi belajar yang dapat
merangsang minat siswa untuk giat belajar. Guru diharapkan dapat menerapkan cara
mengajar yang memungkinkan siswa untuk mudah memahami materi pelajaran dan
melakukan aktivitas belajar dengan penuh percaya diri. Selain itu, diharapkan adanya
kerja sama antara pihak orang tua dengan pihak sekolah untuk menyediakan fasilitas
belajar yang menunjang keberhasilan proses belajar anak didik di sekolah.
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan, sehingga pada penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengambil data pendapatan melalui pendekatan pengeluaran
keluarga. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk melakukan pemilihan contoh
secara acak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah A. 2008. Prestasi Belajar. [terhubung berkala]. http://spesialis-torch.com. [28Agustus 2008].
Anonim. 2007. Perubahan Peranan Kaum Pria. [terhubung berkala].http://www.norwegia.or.id. [31 Agustus 2008].
. 2008. BAB II: Bimbingan Bagi Orang Tua dalam Penerapan Pola Asuh untukMeningkatkan Kematangan Sosial Anak. [terhubung berkala].http://www.damandiri.or.id. [31 Agustus 2008].
Baradja, A. 2005. Psikologi Perkembangan Tahapan-tahapan dan Aspek-aspeknya dari0 Sampai Akhil Baliq. Jakarta: Studia Press.
Effendi S. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ginting EB. 2005. Hubungan pengasuhan dan Kecerdasan Emosi Dengan PrestasiBelajar Pada Remaja [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor.
Gunarsa S. 2006. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT BPK GunungMulya.
, Gunarsa Y. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PTBPK Gunung Mulya.
Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Ed ke-5. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Hawadi RA. 2001. Psikologi Perkembangan Anak : Mengenal Sifat, Bakat, danKemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo.
Hoghughi M, Long N, editor. 2004. Handbook of Parenting Theory and Research forPractice. London: Sage Publication.
Hurlock EB. 1981. Child Development. Ed ke-6. Tokyo: Mc Graw-Hill, Inc.
. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Ridwan MS, editor. Ed ke-5.Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psikology: A Life-SpanApproach.
. 1993a. Perkembangan Anak. M Tjandrasa, penerjemah. Ed ke-6. Jakarta:Erlangga.Terjemahan dari: Child Development.
. 1993b. Perkembangan Anak Jilid 2. M Tjandrasa, M Zarkasih, penerjemah.Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development.
Ibrahim MD. 1993. Substansi Sistem Pendidikan Nasional Optimalisasi dan AktualisasiPotensi Manusia. Prosiding Seminar Deregulasi Pendidikan Dalam RangkaMenyukseskan Implementasi Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 TentangSistem Pendidikan Nasional; Malang, 1 Februari 1993. Malang: KerjasamaLembaga Pertahanan Nasional Dengan Universitas Merdeka Malang.
Latifah M. 2008. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak. [terhubungberkala].http://www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com.html. [10 Maret 2008].
, Dina NN. 2002. Panduan Tes Kemampuan Kognitif Anak Usia Sekolah (10-11 Tahun): Modifikasi dari Stanley Riley Inventory of Basic Learning SkillsAcademic Therapy Publications Novato, California 1992. Bogor: FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.
, Djamaludin M, Dhamayanthi E, Atmojo S. 2002. Sekolah Kita: Bahan AjarBerwawasan Pola Hidup Sehat Untuk Siswa Kelas 4. Bogor: Kerja SamaBalitbang Depdiknas dengan Lembaga Penelitian IPB.
Manrique I. 1994. Sebuah Studi Kasus Dari Venezuela. Di dalam: Ranaweera, A.M.Pendekatan Non-Konvensional Dalam Pendikan Pada Tingkat Dasar. Slamet, A.& Sofwan A, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari:Non-Convertional Approaches to Education at The Primary Level.
Megawangi R. 1993. Keluarga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia DalamRangka Menyongsong Abad Ke-21. Di dalam : Rihati Kusno, dkk, editor.Prosiding Seminar Keluarga Menyongsong Abad ke-21 dan Perananya dalamPengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: Kerjasama JurusanGizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor dengan BKKBN.
. 2001. Membiarkan Berbeda ?: Sudut Pandang Baru Tentang RelasiGender. Bandung: Mizan.
Novita. 2007. Pengaruh Status Gizi dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi BelajarSiswa Sekolah Dasar di Beberapa Kelurahan, Kecamatan Pasar Minggu, JakartaSelatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nurani AT. 2004. Pengaruh Kualitas Perkawinan, Pengasuhan Anak dan KecerdasanEmosonal Terhadap Prestasi Belajar Anak [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor.
Papalia DE, Olds SW. 1989. Human Development. Ed ke-4. USA: McGraww-Hill, Inc.
Priantini W. 2006. Pengaruh Pengasuhan, Lingkungan sekolah dan Peran TemanSebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja [Tesis]. Bogor: FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ridwan. 2008. Ketercapaian Prestasi Belajar. [terhubung berkala].http://ridwan202.wordpress.com. [28 Agustus 2008]
Sadli S. 1986. Inteligensi Bakat dan Test IQ. Jakarta: PT. Gaya Favorit Press.
Sardiman AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher.
Soeitoe S. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia.
Suciaty Irawan P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: PAU-PPAI, UniversitasTerbuka.
Sujanto A. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmadinata NS. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: RemajaRosdakarya.
Suryabrata S. 1982. Perkembangan Individu. Jakarta: C.V Rajawali
. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Turner JS, Helms DB. 1990. Lifespan Deselopment. Ed ke-4. USA: Holt, Rinehart andWinston, Inc.
Yusuf A. 2002. Kiat Sukses Dalam Karier. Jakarta: Ghalia Indonesia.
.
Lampiran 1 Hasil analisis Kruskal-Wallis
Variabel Chi-Square df Asymp.sig
Jenis Kelamin 5,563 2 0,062
Umur 2,378 2 0,305
Pendidikan Ayah 9,652 2 0,008Pendidikan Ibu 24,520 2 0,000
Pekerjaan Ayah 10,324 2 0,007Pekerjaan Ibu 15,295 2 0,000Pendapatan Utama Ayah 2,672 2 0,263
Pendapatan Tambahan Ayah 12,487 2 0,002
Pendapatan Utama Ibu 18,487 2 0,000Pendapatan Tambahan Ibu 2,112 2 0,348
Besar Keluarga 2,814 2 0,245
Gaya Pengasuhan 0,252 2 0,882
Fasilitas Belajar 4,030 2 0,133
Motivasi 1,252 2 0,535
Potensi Akademik 24,425 2 0,000Prestasi Akademik 31,577 2 0,000
Keterangan : variabel dikelompokkan berdasarkan lingkungan pembelajaran
Lampiran 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ayah contoh pada tigalingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 4,50
SDN Sukadamai 3 A,B 4,87
SD Citra Alam B 5,20
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendidikan ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 3,80
SDN Sukadamai 3 B 4,53
SD Citra Alam C 5,00
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ayah contoh pada tigalingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 2,67
SDN Sukadamai 3 B 3,50
SD Citra Alam A 2,97
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk pekerjaan ibu contoh pada tigalingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah B 4,47
SDN Sukadamai 3 B 5,00
SD Citra Alam A 3,13
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan tambahan ayah contoh pada tiga lingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah B 0,80
SDN Sukadamai 3 B 0,83
SD Citra Alam A 0,00
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan untuk pendapatan utama ibu contoh pada tiga lingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 0,93
SDN Sukadamai 3 A 0,70
SD Citra Alam B 1,83
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk potensi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 11,990
SDN Sukadamai 3 B 13,886
SD Citra Alam A 12,086
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk prestasi akademik contoh pada tiga lingkungan pembelajaran
Variabel Pengelompokan Duncan Rata-rata
SD Amaliah A 79,96
SDN Sukadamai 3 B 86,74
SD Citra Alam A 77,47
140
Lampiran 10 Hasil analisis korelasi Rank-Spearmann
* Correlation is significant at the .05 level (2-tailed)** Correlation is significant at the .01 level (2-tailed)
Umurresponden
Pendidikanayah
Pendidikanibu
Besarkeluarga
Gayapengasuhan
Fasilitasbelajar
Motivasibelajar
Potensiakademik
Prestasiakademik
Correlation Coefficient 1.000 -.058 -.169 .160 -.202 -.211* -.416** -.272** -.133Sig. (2-tailed) . .587 .111 .133 .056 .045 .000 .009 .212
Umurresponden
N 90 90 90 90 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - 1.000 .563** .004 .106 .045 -.056 .047 .098Sig. (2-tailed) - . .000 .971 .319 .674 .598 .660 .358
Pendidikanayah N - 90 90 90 90 90 90 90 90
Correlation Coefficient - - 1.000 .103 .028 .082 -.013 .000 .049Sig. (2-tailed) - - . .334 .797 .445 .904 .999 .647
Pendidikanibu N - - 90 90 90 90 90 90 90
Correlation Coefficient - - - 1.000 -.141 .013 -.125 .089 .118Sig. (2-tailed) - - - . .185 .904 .241 .406 .267Besar
keluargaN - - - 90 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - 1.000 .241* .270* .164 .254Sig. (2-tailed) - - - - . .022 .010 .122 .016Gaya
pengasuhanN - - - - 90 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - 1.000 .261* .279** .333**Sig. (2-tailed) - - - - - . .013 .008 .001Fasilitas
belajarN - - - - - 90 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - - 1.000 .027 .151Sig. (2-tailed) - - - - - - . .803 .154
Motivasibelajar
N - - - - - - 90 90 90Correlation Coefficient - - - - - - - 1.000 .651**Sig. (2-tailed) - - - - - - - . .000
Potensiakademik N - - - - - - - 90 90
Correlation Coefficient - - - - - - - - 1.000Sig. (2-tailed) - - - - - - - - .
Prestasiakademik N - - - - - - - - 90
Lampiran 11 Hasil analisis Chi-Square
p value
Pola Asuh BelajarMotivasi
BelajarGaya
Pengasuhan
Fasilitas
Belajar
Prestasi
Akademik
Jenis kelamin 0,175 0,014 0,098Jenis Pekerjaan Ayah 0,001 0,186
Jenis Pekerjaan Ibu 0,424 0,699
Lingkungan Pembelajaran 0,434 0,000
Lampiran 12 Hasil analisis Regresi Linear Berganda
Unstandardized
Coefficients
Standardized
CoefficientsModel
B Std. Eror Beta
t Sig
(Constant) 40,671 5,793 7,021 0,000
Lingkungan Pembelajaran 2,699 1,312 0,188 2,057 0,043
Gaya Pengasuhan 0,117 0,045 0,192 2,605 0,011Fasilitas Belajar 2,277E-02 0,033 0,053 0,688 0,493
Motivasi Belajar 2,315E-02 0,052 0,033 0,442 0,660
Potensi Akademik 1,926 0,340 0,481 5,660 0,000
R Square 59,8%
Dependent variable: prestasi akademik