pengaruh peningkatan viskositas terhadap … · 2010. pengaruh peningkatan konsentrasi carbopol 940...
TRANSCRIPT
PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP
VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Grace Felicyta Kartika
NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP
VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Grace Felicyta Kartika
NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Carbopol 940 Sebagai Bahan
Pengental Terhadap Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo” sebagai
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Semenjak masa perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi,
penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan,
semangat, bimbingan, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
2. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt. selaku dosen Pembimbing Skripsi atas segala
bimbingan, masukan, kritik, dan sarannya.
3. Rini Dwiastuti, S. Farm, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah
meluangkan waktu untuk menguji serta memberi kritik dan saran yang
membangun.
4. Agatha Budi Susiana L., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah
meluangkan waktu untuk menguji, serta atas bimbingannya dalam
perkuliahan.
vii
5. P. Sunu Hardiyanta, S.J., Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., dan A. Tri
Priantoro, M.For., Sc. atas segala bimbingan selama perkuliahan dan
penyusunan proposal.
6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas segala bimbingan dan
ajaran selama perkuliahan.
7. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Iswandi, Mas Ottok, Mas Parlan, Mas Bimo
atas segala bantuan dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian.
8. Orangtua dan Kakak-kakakku atas doa, cinta, dan dukungannya.
9. Sihendra, partnerku selama penelitian, penyusunan skripsi, sekaligus selama
masa kuliah. Terimakasih atas segala masukan, perhatian, semangat,
kebersamaan, dan kasih sayang yang telah kamu berikan.
10. Wiwit, Irene, Rani, Chicha, Intan, terimakasih atas kebersamaan, semangat,
canda tawa, dan bantuannya selama penelitian, kerja di laboratorium, dan
ujian. Serta Lina, Dani, Rico, teman-temanku satu laboratorium, dan Yos, Lia,
Ardani, Ci Vita, teman-temanku satu bimbingan, atas kebersamaan dan
bantuannya.
11. Yoki, Shasha, Anton, Astina, Win, Rani, Aan, Uthie, Chicha, Iwan, Yakob,
Lina, dan Irene teman-teman FST seperjuanganku sejak semester 1 atas
persahabatannya.
12. Lita, Yemi, Rere, Nancy, sahabat-sahabatku dan teman-temanku kos Muria,
atas persahabatan dan canda tawanya, serta Mbak Niken.
13. Teman-teman FST 2006, teman-teman kelas C 2006, dan semua teman-teman
Farmasi atas segala kebersamaannya.
viii
14. Segenap karyawan dan laboran yang telah membantu selama perkuliahan
penulis di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
15. Semua pihak dan teman-teman yang telah membantu yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini oleh
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ix
x
INTISARI
Suatu sediaan shampoo harus memiliki viskositas yang memadai serta mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil. Karena hal tersebut mempengaruhi efisiensi pembersihan dan persepsi konsumen. Tetapi busa memiliki karakteristik mudah hilang atau pecah. Maka salah satu cara untuk meningkatkan kestabilan busa adalah dengan menaikkan viskositas sediaan. Lewat penelitian eksperimental ini diharapkan dapat diketahui apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo. Sekaligus untuk mengetahui hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa. Pada penelitian dibuat 5 jenis sediaan shampoo menggunakan bahan pengental Carbopol 940 dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b. Kemudian dilakukan pengukuran viskositas dan ketahanan busa pada waktu 2 hari, 15 hari, dan 30 hari setelah pembuatan. Hasil yang didapat diuji statistik menggunakan SPSS 16.0 dengan uji korelasi Pearson. Ditemukan bahwa peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas sediaan shampoo, namun diperkirakan tidak berpengaruh terhadap ketahanan busa sediaan shampoo. Maka dari itu belum dapat ditemukan hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada sediaan shampoo.
Kata kunci : shampoo, Carbopol, viskositas, ketahanan busa
xi
ABSTRACT
In addition to good viscosity, shampoo should be able to produce stable and sufficient amount of foam. Because both affect the cleansing efficiency and the consumers’ perception. But the foam has the characteristic of being easily lost or collapsed. One way to increase the foam stability is by increasing the bulk viscosity. The aim of this experimental research is to know whether the increase of Carbopol 940 concentration is able to affect the viscosity and foam stability of shampoo, and at the same time to know the correlation between viscosity and foam stability.
In this research, 5 types of shampoo were made using Carbopol 940 as a thickening agent with concentration 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% w/w. Then the viscosity and foam stability were measured 2 days, 15 days, and 30 days after being manufactured. The results were analyzed using SPSS 16.0 with Pearson correlation analysis. The result showed that the increase of Carbopol 940 concentration affected the shampoo viscosity, but it maynot affect the foam stability of the shampoo. So the correlation between viscosity and foam stability of shampoo hasnot been found in this research. Key words : shampoo, Carbopol, viscosity, foam stability
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i
HALAMAN JUDUL …………………………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….. iii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................... vi
PRAKATA ............................................................................................... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................... x
INTISARI ................................................................................................. xi
ABSTRACT ............................................................................................. xii
DAFTAR ISI ............................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL .................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xviii
BAB I PENGANTAR .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Keaslian Penelitian ............................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
E. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................... 6
xiii
A. Shampoo ........................................................................................... 6
1. Karakteristik shampoo ................................................................ 6
2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo ........................ 6
3. Formulasi shampoo ..................................................................... 7
B. Surfaktan ........................................................................................... 9
1. Karakteristik surfaktan ................................................................ 9
2. Jenis-jenis surfaktan ................................................................... 10
3. Sodium lauryl sulphate .................................................................... 11
4. Cocamidopropyl betaine .............................................................. 11
C. Carbopol ............................................................................................ 12
D. Viskositas .......................................................................................... 13
E. Busa .................................................................................................. 15
1. Karakteristik busa ....................................................................... 15
2. Mekanisme pembentukan busa ................................................... 16
3. Stabilitas busa.............................................................................. 16
4. Metode pengukuran stabilitas busa ............................................ 17
F. Landasan Teori ................................................................................. 21
G. Hipotesis ........................................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 23
A. Jenis Rancangan Penelitian ........................................................ ...... 23
B. Variabel Penelitian ............................................................................. 23
C. Definisi Operasional .......................................................................... 23
D. Alat dan Bahan Penelitian ................................................................. 24
xiv
E. Tata Cara Penelitian ............................................................................ 25
1. Pembuatan shampoo ...................................................................... 25
2. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo ................................. 26
F. Analisis Hasil ...................................................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 28
A. Formulasi Sediaan Shampoo ............................................................... 28
B. Viskositas Sediaan Shampoo ............................................................... 32
C. Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ..................................................... 37
D. Hubungan Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ........... 42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 44
A. Kesimpulan ................................................................................. ........ 44
B. Saran .................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 45
LAMPIRAN ............................................................................................. 49
BIOGRAFI PENULIS ............................................................................. 65
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson
antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo... 33
Tabel II. Hasil uji Repeated Anova viskositas sediaan shampoo
pada hari 2, 15, dan 30 .............................................................. 35
Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10,
30, 60, 90, dan 120 ................................................................... 38
Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi
Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan
busa shampoo ........................................................................... 39
Tabel V. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa sediaan shampoo
pada hari 2, 15, dan 30 .............................................................. 41
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol.......................... 12
Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian........................................................ 14
Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis ................................................... 15
Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis ........................ 18
Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis ............................. 19
Gambar 6. Struktur skematik Carbopol...................................................... 30
Gambar 7. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas
shampoo ................................................................................... 34
Gambar 8. Kurva perubahan viskositas shampoo pada hari 2, 15
dan 30 ...................................................................................... 36
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa
shampoo ................................................................................... 40
Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2,
15 dan 30 .................................................................................. 42
xvii
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengukuran dan uji viskositas sediaan shampoo................... 49
Lampiran 2. Pengukuran dan uji ketahanan busa sediaan shampoo ......... 53
Lampiran 3. Pengukuran dan uji ketahanan busa antarmenit.................... 57
Lampiran 4. Uji pH sediaan shampoo ....................................................... 60
Lampiran 5. Dokumentasi........................................................................ 61
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Rambut yang menghiasi kepala manusia merupakan suatu kebutuhan
estetika, sehingga orang menghabiskan banyak waktu untuk merawat dan
memperbaiki rambutnya. Maka tidak heran apabila shampoo menduduki 12%
pasaran kosmetik karena penggunanya yang sangat banyak. Shampoo juga
merupakan produk utama dalam kosmetik perawatan rambut (Limbani, 2009). Ini
berarti formulasi shampoo yang baik sangat diperlukan. Shampoo sendiri adalah
sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun aerosol yang mengandung
surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi, humektan, dan menghasilkan busa
(foaming) (Rieger, 2000). Shampoo berguna untuk menghilangkan kotoran,
lemak, dan minyak dari rambut, serta membuat rambut berkilau dan mudah diatur
(Young, 1972).
Hal yang perlu diperhatikan dalam memformulasi shampoo antara lain
adalah viskositas dan sifat alir sediaan. Karena selain mempengaruhi efisiensi
pembersihan, viskositas juga mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk
yang bersangkutan. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu sediaan shampoo
untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah
dari tangan. Selain itu viskositas juga berpengaruh terhadap karakteristik busa,
efisiensi pengisian produk, dan pengemasan (Leidetrier, 1995 dan De Lathauwer,
2004). Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa bahan pengental (thickening
1
2
agent) atau pengatur viskositas (viscosity modifier) memainkan peran penting
dalam formulasi sediaan kosmetik (Karsheva, 2007).
Di samping itu busa dari shampoo juga merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut,
membuat rambut mudah dicuci, serta mencegah batangan-batangan rambut
menyatu sehingga menyebabkan kusut (Mitsui, 1997). Sifat busa (foaming) dari
shampoo terutama ditentukan oleh surfaktan. Busa (foam) sendiri ialah suatu
dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan
(Schramm, 2005).
Selain itu karakteristik busa shampoo juga berperan penting dalam
menentukan apakah sediaan shampoo tersebut dapat diterima oleh konsumen atau
tidak. Suatu sediaan shampoo harus mampu menghasilkan busa dalam jumlah
cukup dan stabil (Limbani, 2009). Namun busa sebenarnya tergolong sulit untuk
dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan pecahnya
lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas busa adalah
viskositas sediaan (Schramm, 2005). Maka dari itu dapat diartikan bahwa selain
befungsi sebagai pengatur viskositas, bahan pengental secara tidak langsung juga
berperan sebagai penstabil busa (Fonseca, 2005).
Ada bermacam-macam jenis bahan pengental yang banyak digunakan di
industri kosmetik, seperti natrium klorida, gum, derivat selulosa, dan carbomer
(Fonseca, 2005). Namun yang paling sering digunakan adalah elektrolit seperti
natrium klorida, karena tidak mahal dan efektif (Klein, 2004). Sehingga
3
kebanyakan penelitian yang berkaitan dengan viskositas dan busa menggunakan
bahan pengental natrium klorida.
Karsheva (2005) menguji pengaruh bahan pengental dan suhu terhadap
rheologi sediaan shampoo. Ditemukan bahwa suhu mempengaruhi rheologi dan
NaCl dalam jumlah yang cukup diperlukan pula untuk memperoleh viskositas
yang sesuai.
Selain itu Evren (2007) juga menguji mengenai viskositas dan busa dari 30
macam sediaan shampoo yang semuanya mengandung SLES, betaine, dan NaCl.
Menurut hasil penelitian, konsentrasi NaCl 3-5% akan menaikkan viskositas,
namun di atas konsentrasi 7% viskositas menurun. Ditemukan pula bahwa
peningkatan konsentrasi NaCl akan meningkatkan kapasitas busa dan viskositas
shampoo dengan campuran betaine dan SLES akan meningkat seiring dengan
bertambahnya konsentrasi kedua surfaktan tersebut.
Berdasarkan informasi tersebut dapat ditarik perkiraan bahwa
kemungkinan ketahanan busa dipengaruhi oleh viskositas. Maka peneliti ingin
menguji tentang pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol sebagai bahan
pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo. Sejauh
pengetahuan penulis penelitian ini belum pernah dilakukan. Carbopol 940 dipilih
sebagai bahan pengental karena tahan terhadap mikroba sehingga stabilitasnya
sebagai pengental tinggi. Selain itu efisiensinya sebagai pengental sangat baik,
karena pada kadar rendah sudah memiliki viskositas yang relatif tinggi (Allen,
2002 dan De Lathauwer, 2004). Carbopol juga digunakan secara luas di dunia
farmasetika maupun kosmetika (Anonim, 1997).
4
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah :
1. Apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap
viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo ?
2. Apakah viskositas berhubungan dengan ketahanan busa sediaan shampoo?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai pengaruh peningkatan
konsentrasi Carbopol 940 terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan
shampoo belum pernah dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai hubungan
antara viskositas dengan ketahanan busa shampoo.
2. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai metode
pengukuran ketahanan busa.
3. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan
shampoo terutama menyangkut jumlah bahan pengental yang digunakan.
5
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap
viskositas shampoo.
2. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap
ketahanan busa shampoo.
3. Untuk mengetahui hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada
sediaan shampoo.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Shampoo
1. Karakteristik shampoo
Shampoo adalah sediaan kosmetik dalam bentuk cair, gel, emulsi, ataupun
aeorosol yang mengandung surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi,
humektan, dan menghasilkan busa (foaming) (Fonseca, 2005). Shampoo harus
memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran dari rambut dan kulit kepala
tanpa menghilangkan terlalu banyak sebum (Mitsui, 1997). Selain berguna untuk
menghilangkan kotoran, shampoo juga membuat rambut tetap berkilau dan mudah
diatur (Young, 1972).
Shampoo yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu :
a. Memiliki kemampuan membersihkan yang baik.
b. Menghasilkan busa yang banyak (creamy) dan tahan lama.
c. Melindungi rambut dari gesekan selama pencucian atau keramas.
d. Membuat rambut berkilau dan lembut setelah pemakaian.
e. Aman bagi kulit kepala, rambut, dan mata (Mitsui, 1997).
2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo
Surfaktan pada shampoo akan menurunkan tegangan antarmuka antara
kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan
akan berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non
polar akan berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak. Surfaktan-
6
7
surfaktan tersebut akan menyusun diri membentuk micel dengan kotoran terjebak
di bagian dalamnya. Bagian luar micel yang merupakan gugus polar mudah
berinteraksi dengan air, sehingga saat pembilasan micel tersebut akan terbawa
oleh air dan kotoran juga akan ikut terbawa (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000).
3. Formulasi shampoo
Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula shampoo meliputi:
a. Surfaktan primer yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan
anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat
pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan
kationik sebenarnya juga bisa digunakan, karena mampu membentuk busa
dengan baik, mampu membersihkan, dan membuat rambut mudah diatur.
Namun sifatnya iritatif khususnya untuk mata, sehingga perlu dikombinasi
dengan surfaktan nonionik atau amfoter (Rieger, 2000).
b. Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant yang bekerja memperbaiki
detergensi dan pembusaan, serta menjaga kondisi rambut. Surfaktan amfoter
banyak digunakan karena dapat melembutkan rambut. Beberapa jenis
surfaktan nonionik juga digunakan karena dapat memperbanyak dan
menstabilkan busa (Rieger, 2000).
c. Bahan aditif yang berfungsi untuk menunjang formula dan memberikan
karakteristik tertentu. Bahan aditif meliputi :
1) Pengatur viskositas: untuk meningkatkan viskositas dapat digunakan
elektrolit (1-4%b/b ammonium klorida atau sodium klorida, gum (karaya,
tragakan), alginat, derivat selulosa (hidroksietil, hidroksipropil,
8
karboksimetil), dan polimer karboksivinil (Carbopol). Sedangkan untuk
menurunkan viskositas dapat digunakan sejumlah kecil solven seperti
alkohol, senyawa polioksialkilen, atau sodium xilen sulfonat (Rieger,
2000).
2) Pelembut (conditioning agent): berfungsi untuk membuat rambut mudah
diatur dan berkilau. Selain surfaktan kationik, umumnya juga digunakan
senyawa berlemak seperti lanolin dan mineral oil, polipeptida, dan resin
sintetik (Rieger, 2000).
3) Agen pengkelat: berfungsi untuk mencegah pembentukan dan deposisi
sabun Ca dan Mg pada rambut saat pencucian dengan air sadah. Umumnya
menggunakan garam EDTA atau polifosfat (Rieger, 2000).
4) Agen pemburam (opacifier) dan penjernih (clarifying agent): untuk
memperoleh penampilan buram atau berkilau seperti mutiara
(pearlesence) dapat ditambahkan alkalonamid (stearat, behenat),
glikolmonostearat, glikoldistearat, propilen glikol, zinc oxide, titanium
dioxide, dan magnesium aluminium silikat (Veegum). Sedangkan untuk
membuat shampoo menjadi transparan dapat digunakan alkohol (etanol,
isopropanol, propilen glikol, hexilen glikol, dan dimetiloktindiol) (Rieger,
2000).
5) Pengawet: bahan-bahan dalam shampoo modern umumnya rentan
terhadap jamur, sehingga perlu ditambahkan pengawet seperti senyawa
ester hidroksibenzoat (Rieger, 2000).
9
6) Pewarna: digunakan pewarna yang sesuai untuk makanan, obat, dan
kosmetik (Food Drug & Cosmetic grade) (Fonseca, 2005).
7) Fragrance atau parfum: diperlukan untuk meningkatkan penerimaan
konsumen. Dalam penggunaannya harus diperhatikan kelarutan dan
kompatibilitasnya (tidak berpengaruh pada viskositas dan stabilitas
sediaan). Parfum juga tidak boleh menyebabkan perubahan warna pada
sediaan maupun rambut dan harus non-irititatif (Rieger, 2000).
8) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH shampoo, biasanya
5,5-6,5. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam fosfat
(Fonseca, 2005).
Selain itu shampoo juga dapat dicampur dengan zat aktif tertentu jika
diinginkan adanya suatu efek terapetik. Misalnya dengan penambahan zinc
pyrithione, ketoconazole, selenium sulfida, ataupun ekstrak tanaman (Fonseca,
2005).
B. Surfaktan
1. Karakteristik surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada
konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface)
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka
menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur,
sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah
10
satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut
juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk
membuat sistem tetap dalam dua fase yang tidak bercampur, sehingga terbentuk
batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan
muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan
antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).
Molekul surfaktan memiliki gugus polar (hidrofilik) dan nonpolar
(lipofilik). Struktur ini memungkinkan surfaktan untuk kontak dengan zat polar
seperti air sekaligus kontak dengan zat nonpolar yang tidak campur dengan air.
Sehingga surfaktan disebut sebagai senyawa amfifil. Bagian polar dari surfaktan
sering disebut sebagai kepala, sedangkan bagian nonpolar yang berupa rantai
hidrokarbon disebut sebagai ekor (Rieger, 1996).
2. Jenis-jenis surfaktan
Berdasarkan gugus polarnya, surfaktan digolongkan menjadi:
a. Surfaktan anionik: bermuatan negatif, contohnya yaitu RCOO-Na+ (sabun) dan
RC6H4SO3-Na+ (alkylbenzene sulfonat).
b. Surfaktan kationik: bermuatan positif, contohnya yaitu RNH3+Cl- (garam
amina rantai panjang) dan RN(CH3)3+Cl- (amonium klorida kuarterner).
c. Surfaktan zwitterionik atau amfoter: bemuatan positif dan negatif sekaligus,
contohnya yaitu RN+H2CH2COO- (asam amino rantai panjang) dan
RN+(CH3)2CH2CH2SO3- (sulfobetaine).
d. Surfaktan nonionik: tidak memiliki muatan, contohnya yaitu
RCOOCH2CHOHCH2OH (monogliserida asam lemak rantai panjang),
11
RC6H4(OC2H4)xOH (polioksietilen alkilfenol), dan R(OC2H4)xOH
(polioksietilen alkohol) (Rosen, 2004).
3. Sodium lauryl sulphate
Sodium lauryl sulphate (SLS) termasuk dalam golongan surfaktan alkil
sulfat dan sifatnya anionik. Alkil sulfat merupakan ester organik dari asam sulfat
dengan rantai hidrokarbon yang berbeda-beda panjangnya dan umumnya memiliki
sifat sebagai pembentuk busa yang baik. SLS memiliki 12 atom karbon dan
merupakan surfaktan yang paling sering digunakan dan cukup baik ditoleransi
oleh kulit. SLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel
dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel, 2009). SLS umumnya diperoleh
dalam bentuk serbuk putih atau atau pasta. Sifatnya sukar larut dalam air dingin
namun kelarutannya meningkat dengan cepat seiring dengan kenaikan suhu.
Sehingga dapat dibuat larutan SLS yang sangat jenuh pada suhu 35-400C (Rieger,
2000).
4. Cocoamidopropyl betaine
Menurut Guertechin (2009) meskipun betaine umumnya digolongkan ke
dalam surfaktan amfoterik, sebenarnya penggolongan ini tidak tepat karena
surfaktan ini tidak pernah ada dalam bentuk anionik tunggal. Alkil betaine selalu
bermuatan positif, sehingga dikelompokkan sebagai surfaktan kationik. Namun
karena surfaktan ini juga memiliki gugus bermuatan negatif dalam kondisi pH
netral dan basa, maka sering dianggap sebagai surfaktan amfoter. Memang
pengelompokan ini masih menjadi perdebatan sampai sekarang.
12
Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel,
2009). Selain itu betaine juga merupakan surfaktan yang lembut, daya busanya
tidak dipengaruhi oleh pH, dan sifatnya kompatibel dengan surfaktan anionik,
kationik, maupun nonionik (Rieger, 2000). Betaine sifatnya tidak begitu
mengiritasi, bahkan dengan adanya betaine dapat menurunkan efek iritasi
surfaktan anionik (Barel, 2009). Hal tersebut terbukti dari penelitian Teglia dan
Secchi (1994) bahwa cocoamidopropyl betaine memiliki efek antiiritan yang
mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke larutan SLS. Baik wheat
protein maupun cocoamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi.
Sehingga betaine tepat untuk produk-produk seperti shampoo dan sabun cair.
C. Carbopol
Resin carbomer atau Carbopol merupakan polimer sintetik dari asam
akrilat dengan bobot molekul tinggi. Rantai polimernya terhubung silang-
menyilang (crosslinked) dengan alil sukrosa atau alil pentaeritritol. Secara teoritis
bobot molekul Carbopol diperkirakan antara 7 x 105 sampai 4 x 109. Carbopol
digunakan dalam formulasi sediaan farmasetik cair dan semi padat sebagai
pengatur sifat alit (rheology modifier) (Rowe, 2009).
Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol (Rowe, 2009)
13
Pemeriannya yaitu serbuk kering, putih, ringan, higroskopis, densitas bulk
tinggi, mengandung lembab maksimum 2%, dan memiliki pKa 6,0±0,5. pH untuk
dispersi Carbopol 0,5% dalam air berkisar antara 2,7-3,5. Ada bermacam-macam
resin Carbopol dengan viskositas 0-80.000 cps. Viskositas Carbopol sendiri juga
dipengaruhi oleh pH dan keberadaan elektrolit. Jumlah maksimum elektrolit yang
boleh ada hanyalah 3%, karena jika lebih dari itu maka akan terbentuk massa yang
sangat elastis seperti karet. Viskositas maksimum Carbopol dicapai pada pH 7,
namun sebenarnya pada pH 4,5-11 pun sudah menunjukkan viskositas dan
kejernihan yang cukup baik. Netralisasi yang berlebihan akan membuat suasana
menjadi sangat basa sehingga viskositas Carbopol justru menurun dan tidak dapat
balik lagi meskipun ditambahkan asam. Carbomer dapat mengembang hingga
1000 kali dalam air dan membentuk gel pada pH 4,5-11. Hal ini bisa terjadi
karena gugus karboksilat pada senyawa ini akan terionisasi saat ada penambahan
basa. Sehingga polimer ini menjadi bermuatan negatif dan akan terjadi saling
tolak-menolak antara sesamanya (Allen, 2002).
Carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien di antara semua Carbopol
yang lain, di mana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada
kadar 0,5% dengan pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen, 2002).
D. Viskositas
Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas ()
digambarkan dengan persamaan metematika :
rateshear
stressshear
14
Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress)
akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk
senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati.
Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer
umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian, viskositas
tidak berbanding lurus dengan kecepatan geser. Tipe non-Newtonian meliputi
plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).
Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)
Pada tipe pseudoplastis, viskositas akan menurun dengan meningkatnya
kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir
pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air
seperti tragakan, alginat, metil selulosa, dan polivinilpirolidon. Dalam suatu
larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan
saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak
bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun
diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan
15
memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan
terlepas, sehingga viskositas turun (Aulton, 1988).
Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)
Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena
thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang
kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga
menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser
dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun
proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari
tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).
E. Busa
1. Karakteristik busa
Busa (foam) adalah suatu sistem dispersi yang terdiri atas gelembung gas
yang dibungkus oleh lapisan cairan. Karena adanya perbedaaan densitas yang
signifikan antara gelembung dan medium cairan, maka sistem akan memisah
16
menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung akan naik ke atas. Ketika
gelembung gas terbentuk di bawah permukaan cairan, maka gelembung itu akan
langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi atau gaya
tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan berbusa kecuali diberi
surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka
gas/cairan sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan (Exerowa, 1998).
2. Mekanisme pembentukan busa
Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke
dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka
gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau
disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas
lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan
yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak
bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan.
Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling
mendekat, sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling
bergabung membentuk busa yang lebih besar (Exerowa, 1998).
3. Stabilitas busa
Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan
parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu. Parameter
tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa.
“Waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk
menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).
17
Penyebab utama dari pecahnya busa (foam collapse) adalah penipisan
(thinning) lapisan film dan koalesen. Thinning terjadi karena busa cenderung naik
ke atas namun sekaligus ditarik ke bawah karena adanya aliran cairan (drainage)
akibat gaya gravitasi. Karena ditarik dari 2 arah maka film busa menipis sehingga
lebih mudah pecah (rupture). Di samping itu, ukuran busa yang bervariasi
menyebabkan adanya gradien tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas, di
mana busa-busa kecil akan bergabung menjadi busa yang lebih besar (koalesen).
Ukuran busa yang semakin besar berarti tegangan permukaan semakin besar,
sehingga semakin mudah pecah (Tadros, 2005 dan Schramm, 2005).
Untuk mencegah pecahnya busa dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan viskositas bulk dari cairan, misalnya dengan penambahan gliserol
atau polimer. Peningkatan viskositas sediaan akan membuat kecepatan drainage
menurun. Bila kecepatan drainage menurun, maka thinning dapat diminimalisasi.
(Tadros, 2005). Di samping itu polimer yang mengelilingi busa akan menciptakan
suatu halangan sterik sehingga menghambat busa-busa untuk saling bergabung
(Schramm, 2005). Selain itu stabilitas busa juga dapat didukung oleh peningkatan
viskositas permukaan dan atau elastisitas permukaan lewat pencampuran beberapa
macam surfaktan sehingga didapat film surfaktan yang rapat dan tidak mudah
pecah (Tadros, 2005).
4. Metode pengukuran stabilitas busa
Menurut Schramm (2005) terdapat 3 cara untuk mengukur busa, yaitu :
18
a. Mengukur waktu hidup suatu gelembung tunggal. Cara ini kurang
reprodusibel karena adanya kemungkinan intervensi dari luar berupa getaran
ataupun faktor pengacau lain yang turut mempengaruhi hilangnya busa.
b. Mengukur volume busa yang terbentuk lewat pemberian aliran gas,
penggojokan, atau pengadukan (uji dinamis) seperti pada gambar 4. Metode
ini relatif sulit, karena pembentukan dan hilangnya busa tidak selalu seragam.
Namun demikian ini adalah metode yang banyak digunakan. Pada metode ini
gas dengan kecepatan konstan dialirkan ke dalam larutan yang akan diuji
lewat semacam ayakan berpori (porous orifice). Kemudian dilakukan
pengukuran volume busa yang terjadi pada keadaan steady state.
Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis (Schramm, 2005)
c. Mengukur kecepatan hilangnya busa pada suatu kolom (uji statis) seperti pada
gambar 5. Metode yang biasa digunakan adalah uji busa Ross-Miles. Pada
metode ini busa dibentuk lewat penetesan larutan uji (misalnya larutan
19
surfaktan) menggunakan pipet pada jarak tertentu ke dalam wadah lain yang
berisi larutan yang sama. Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang
terbentuk dan yang hilang setiap periode tertentu.
Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis (Schramm, 2005)
Selain itu ada pula prosedur metode-metode lain yang telah dilakukan oleh
para peneliti, antara lain:
a. Sebanyak 2,95 g sabun ditimbang, diserbuk, dan dilarutkan dalam 800ml
aquadest. Kemudian diambil 500 ml larutan tersebut, dituang ke dalam labu,
dan diaduk dengan kuat selama 2 menit menggunakan pengaduk mekanik
elektris. Lalu didiamkan 5 menit dan diamati tinggi busanya (Edoga, 2009).
20
b. Sebanyak 0,5 g sampel shampoo diencerkan dengan 50 ml (400C) aquadest
dan diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojok
20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit
ke-0 dan ke-5 (Evren, 2007).
c. Pinazo (2001) melakukan modifikasi metode Ross-Miles dengan cara menjaga
volume cairan dalam wadah bagian atas tetap konstan lewat pemompaan
kembali larutan yang telah diteteskan. Kemudian diukur tinggi busa setelah
larutan mengalir selama 1 menit dan diamati perubahan tinggi busa selama
periode waktu tertentu.
d. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dengan konsentrasi 0,5-1,5%b/v
dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. Kemudian busa dibentuk lewat
sistem pengadukan Janke and Kunkel Ultra-Turrax T25 (Staufen, Germany)
selama 10 detik. Lalu diukur volume busa yang terbentuk pada menit ke-0, ke-
60, dan ke-120 (Amaral, 2008).
e. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dituang ke silinder gelas berdiameter 42 mm
dengan lempeng gelas G-2 di bagian dasarnya. Sebuah syringe dihubungkan
ke bagian dasar silinder. Kemudian gas dimasukkan secara manual lewat
syringe tersebut selama waktu tertentu. Lalu diukur tinggi busa yang terbentuk
dan diukur perubahan tinggi busanya selama waktu tertentu (Lunkenheimer,
2003).
f. Sebanyak 10 ml larutan uji dimasukkan ke gelas ukur 25 ml. Kemudian
digojok dengan tangan 20 kali hingga terbentuk busa. Lalu diukur tinggi
busanya dan perubahan tinggi busa selama waktu tertentu (Kim, 1997).
21
g. Sebanyak 40 ml larutan surfaktan 0,1%b/v dituang ke gelas ukur 100 ml.
Kemudian gelas ukur tersebut diputar balik selama 10 kali dengan kecepatan 2
detik per putaran. Busa yang terbentuk diukur dalam satuan mm pada menit
ke-0 dan menit ke-1 (Piispanen, 2004).
Dari semua metode tersebut sebenarnya tidak ada yang benar-benar tepat,
karena semuanya memberikan hasil dengan variasi yang besar. Walaupun terdapat
banyak modifikasi dan standarisasi metode lain berdasarkan uji Ross-Miles,
namun tetap saja tidak ada metode baku yang seragam untuk mengukur busa. Hal
ini karena adanya difusi dan kemungkinan terjadinya perubahan distribusi ukuran
busa. Saat ini para peneliti tengah mendiskusikan tentang penggunaan
spektroskopi NMR atau MRI untuk memonitor stabilitas busa (Lunkenheimer,
2003 dan Schramm, 2005).
F. Landasan Teori
Untuk mendapatkan sediaan shampoo yang baik, maka salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal
tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan rambut juga menentukan
persepsi dan penerimaan konsumen.
Pada sediaan shampoo, busa diperoleh dengan pemakaian surfaktan dalam
formula. Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka gas/cairan
sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan. Namun terkadang campuran
surfaktan saja tidak cukup untuk memberikan busa yang stabil. Karena busa
sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan mudah pecah atau hilang
22
karena berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain adalah koalesen dan penipisan
(thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan (drainage). Salah satu
cara untuk mencegah thinning pada busa adalah dengan meningkatkan viskositas
dari sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga film busa
tidak cepat pecah. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan viskositas adalah
polimer. Di samping itu polimer juga akan menghalangi busa untuk saling
bergabung satu sama lain.
Carbopol merupakan suatu polimer dan biasa digunakan sebagai bahan
pengental. Jenis Carbopol yang memiliki viskositas dan kejernihan paling baik
adalah Carbopol 940. Maka dengan dibuat beberapa sediaan shampoo
menggunakan bahan pengental Carbopol 940 yang konsentrasinya dibuat
bertingkat dan kemudian dianalisis, dapat diketahui bagaimana konsentrasi
Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa. Dari situ
dapat diketahui pula bagaimana hubungan antara viskositas dengan kestabilan
atau ketahanan busa.
G. Hipotesis
Peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas
dan ketahanan busa sediaan shampoo.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Jenis rancangan penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian
eksperimental. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Sediaan Padat-
Semi Solid Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah peningkatan konsentrasi Carbopol
940.
2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah viskositas dan ketahanan
busa shampoo.
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah alat dan bahan
yang digunakan, kecepatan putar pengaduk, dan lama waktu pencampuran.
4. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah jumlah gas
(udara) yang masuk ke tabung pada saat pengukuran ketahanan busa.
C. Definisi Operasional
1. Shampoo adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas dua macam
surfaktan, pengental, air, serta bahan aditif lain yang meliputi pengatur pH dan
pengawet, dan dibuat sesuai prosedur pembuatan shampoo pada penelitian ini.
23
24
2. Carbopol 940 adalah bahan pengental yang digunakan dalam formula
shampoo, dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b.
3. Viskositas adalah tahanan shampoo untuk mengalir yang diukur dengan
menggunakan viscotester dan dinyatakan dalam satuan cps.
4. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang
selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa pada
menit ke-0 setelah divortex dengan tinggi busa pada menit ke-5 setelah
divortex dan dinyatakan dalam satuan cm.
D. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan meliputi seperangkat alat gelas Pyrex-Germany,
neraca Mettler-Toledo GB3002, neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate
Cenco, thermometer, stirrer paddle, pH meter merk Hanna, vortex dari Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma, viscotester seri VT 04 RION-Japan, tabung
reaksi berskala dan bertutup FORTUNA® W.-Germany.
Bahan yang digunakan meliputi sodium lauryl sulphate (Bratachem),
cocamidopropyl betaine (Bratachem), Carbopol 940 (Bratachem), natrium
hidroksida (Asia Lab), asam sitrat (Asia Lab), nipagin (Asia Lab), natrium klorida
(Asia Lab), dan aqua demineralisata.
25
E. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan shampoo
Formula:
A Carbopol 940 * gram
Natrium hidroksida 20%b/v q.s pH 7,0
B Sodium lauryl sulphate 10,0 gram
Nipagin 0,1 gram
C Cocamidopropyl betaine 10,0 gram
Asam sitrat 50%b/v q.s pH 5,0 - 6,0
Natrium klorida 25%b/v 8,0 gram
Aqua demineralisata ad 100,0 gram
* 0,1 ; 0,3; 0,5 ; 0,7; 0,9
Bagian A: Setengah bagian aqua demineralisata dimasukkan ke dalam
beaker gelas. Pasang ke alat pengaduk beserta stirrer paddle, lalu nyalakan
dengan kecepatan tinggi (800 rpm). Masukkan Carbopol 940 sedikit demi sedikit.
Setelah semua Carbopol 940 dimasukkan, lanjutkan pengadukan selama 15 menit
dengan kecepatan 400 rpm. Kemudian ditambahkan larutan natrium hidroksida
20%b/v secukupnya hingga pH 7,0 dan aduk dengan kecepatan 100 rpm.
Pengadukan dilanjutkan selama 2 menit hingga terbentuk suatu mucilago.
Bagian B: Panaskan setengah bagian aqua demineralisata dan sodium
lauryl sulphate dalam beaker gelas hingga 500C. Masukkan nipagin dan aduk
hingga larut.
26
Bagian C: Masukkan larutan sodium lauryl sulphate ke dalam mucilago
Carbopol dan aduk dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit. Tambahkan
natrium klorida 25%b/v dan lanjutkan pengadukan selama 5 menit. Tambahkan
cocamidopropyl betaine dan asam sitrat 50%b/v secukupnya hingga pH 6,0 lalu
lanjutkan lagi pengadukan selama 10 menit.
Untuk satu kali pembuatan dibuat shampoo sebanyak 600 g, kemudian
dibagi 3 ke wadah yang berbeda untuk disimpan selama 2 hari, 15 hari, dan 30
hari sebelum dilakukan pengukuran. Masing-masing direplikasi 3 kali.
2. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo
a. Uji viskositas. Sebanyak 150 g shampoo dimasukkan perlahan-lahan
ke dalam wadah dan dipasang pada viscotester. Nyalakan alat dan lihat
viskositasnya dengan mengamati gerakan jarum penunjuk pada viscotester.
b. Uji ketahanan busa. Ditimbang shampoo sebanyak 0,5 g dan larutkan
dalam 50 ml air. Ambil 10 ml larutan shampoo dan masukkan perlahan-lahan
lewat dinding ke tabung reaksi berskala ukuran 25 ml yang telah ditempeli dengan
kertas milimeter blok. Tutup bagian atas tabung reaksi dan vortex dengan
kecepatan maksimal selama 2 menit. Catat tinggi busa pada menit ke-0 dan menit
ke-5. Hitung selisih tinggi busa sebagai nilai ketahanan busa.
F. Analisis Hasil
Hasil yang didapat diuji statistik menggunakan program SPSS 16.0 dengan
uji Normality, uji Correlation, dan General Linear Model. Kemudian dibuat kurva
27
hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas, serta kurva hubungan
antara konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Formulasi Sediaan Shampoo
Bahan-bahan dasar untuk membuat sediaan shampoo meliputi surfaktan
primer, surfaktan sekunder, dan bahan aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan
utama karena bertanggung jawab atas sifat detergensi dan pembersihan rambut.
Larutan surfaktan akan membasahi baik kotoran maupun rambut lewat penurunan
tegangan muka. Kemudian kotoran maupun minyak pada rambut akan terdispersi
pada larutan surfaktan tersebut dan menjadi mudah dibilas oleh air (Rieger, 2000).
Surfaktan yang dipilih untuk pembuatan shampoo ini adalah surfaktan
yang banyak digunakan dalam sediaan shampoo yang beredar di pasaran, yaitu
sodium lauryl sulphate (SLS) sebagai surfaktan primer dan cocamidopropyl
betaine (CAB) sebagai surfaktan sekunder. SLS merupakan surfaktan anionik
yang memiliki karakteristik sebagai pembentuk busa yang baik, memiliki daya
pembersih yang tinggi, dan stabil pada air sadah. Sifatnya sebagai pembentuk
busa dan pembersih yang baik dapat terlihat dari nilai HLB SLS yang tinggi, yaitu
40. Menurut Liebermann (1996) surfaktan dikatakan memiliki sifat sebagai
pembersih yang baik bila memiliki nilai HLB di atas 12, karena berarti surfaktan
tersebut cenderung bersifat hidrofil, sehingga saat penggunaannya akan mudah
terbilas oleh air. SLS bersifat sukar larut dalam air dingin, namun kelarutannya
meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000). Maka
dalam proses pembuatan shampoo digunakan air hangat untuk
28
29
melarutkan SLS yang berbentuk serbuk. Di samping itu penambahan CAB di sini
bertujuan supaya busa yang dihasilkan oleh SLS lebih stabil dan sekaligus untuk
mengurangi sifat iritatif dari SLS. CAB sendiri merupakan jenis surfaktan
amfoter, namun karena pH shampoo di sini asam maka CAB akan cenderung
berada dalam bentuk kation.
Sebagai pengatur kekentalan (viscosity modifier) digunakan Carbopol 940.
Carbopol 940 merupakan tipe Carbopol yang memiliki penampilan paling jernih
dan viskositas paling tinggi, yaitu 40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH
7,5) (Allen, 2002). Carbopol 940 mampu bekerja menaikkan viskositas sediaan
karena dapat mengembang dalam air sehingga membentuk suatu sistem gel yang
kaku. Di mana struktur Carbopol yang semula berbentuk coiled akan menjadi
lurus, seperti terlihat pada gambar 6. Supaya pengembangannya maksimum maka
perlu ditambahkan suatu basa. Di sini bahan yang digunakan adalah NaOH, di
mana 1 g Carbopol dapat dinetralisasi oleh kurang lebih 0,4 g NaOH (Rowe,
2009). Untuk netralisasi Carbopol 940 di sini dipilih NaOH, karena dari hasil
percobaan diperoleh mucilago Carbopol yang lebih bening daripada jika
menggunakan trietanolamin.
Lewat penambahan NaOH akan terbentuk gugus COONa sesuai
persamaan reaksi (1). Gugus COONa yang merupakan garam akan terdisosiasi
dalam air menjadi COO- dan Na+ sesuai persamaan reaksi (2).
COOH + NaOH COONa + H2O (1)
COONa COO- + Na+ (2)
30
Karena sama-sama bermuatan negatif, maka antar gugus-gugus COO- ini akan
terjadi saling tolak-menolak. Selain itu NaOH juga akan menyebabkan putusnya
rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Pada akhirnya Carbopol yang
telah berinteraksi dengan air ini akan membentuk suatu struktur jaringan koloidal
3 dimensi atau yang sering disebut house of card, sehingga terbentuk suatu sistem
yang kental dan bersifat viskoelastis (Osborne, 1990). Viskoelastis berarti sediaan
tersebut memiliki sifat viscous seperti cairan dan elastis seperti padatan (Martin,
1983). Jadi saat ada gaya geser maka sediaan tersebut akan memiliki tahanan
untuk mengalir, namun akan mulur seiring dengan meningkatnya gaya atau stress
yang diberikan. Kemudian sediaan tersebut akan dengan cepat kembali ke
konsistensi semula ketika stress dihilangkan.
Gambar 6. Struktur skematik Carbopol (Osborne, 1990)
Dalam proses penelitian ditemukan bahwa shampoo yang terbuat dari
SLS, CAB, Carbopol 940, dan air ini viskositasnya sangat tinggi sehingga sukar
dituang. Maka perlu ditambahkan suatu viscosity modifier lain yang sifatnya
menurunkan kekentalan. Di sini dipilih suatu elektrolit yaitu natrium klorida
31
(NaCl). NaCl yang merupakan garam akan terdisosiasi sempurna saat berada
dalam air menjadi Na+ dan Cl-. Karena kekuatan disosiasi NaCl lebih besar
daripada COONa, maka reaksi akan bergeser sehingga terbentuk molekul COONa
lagi. Karena ion-ion Na+ menutupi sebagian gugus COO- pada Carbopol, maka
muatan menjadi netral, gaya tolak-menolak berkurang, dan viskositas menurun.
pH shampoo harus disesuaikan dengan pH rambut dan kulit kepala, yaitu
sekitar 5-6. pH shampoo yang terlalu asam akan merusak ikatan hidrogen dan
jembatan garam pada struktur rambut. Sebaliknya pH lebih dari 8,5 akan merusak
ikatan disulfida dan pH lebih dari 12 akan merusak ikatan hidrogen dan jembatan
garam pula. Bila ketiga ikatan tersebut hilang maka rambut akan menjadi kasar
dan kemudian rusak (Corcoran, 1997). Karena pH awal sediaan shampoo yang
dibuat sekitar 7, maka ditambahkan asam sitrat sampai dicapai pH yang sesuai.
Sebenarnya pH juga berpengaruh pada viskositas, di mana dengan
penambahan asam maka ion-ion H+ dapat berinteraksi lagi dengan COO- menjadi
COOH lagi, sehingga gaya tolak-menolak berkurang dan viskositas menurun.
Namun dalam hal ini untuk mencapai viskositas shampoo yang memadai atau
mudah dituang diperlukan penambahan asam cukup banyak hingga pH 3. Maka
dari itu penambahan asam sitrat di sini tidak diperuntukkan sebagai viscosity
modifier.
Selain itu bahan lain yang perlu ditambahkan adalah pengawet. Hal ini
dikarenakan shampoo merupakan sediaan berair yang dapat menjadi tempat
tumbuh jamur dan bakteri. Pengawet yang dipilih di sini adalah nipagin. Karena
nipagin mampu bekerja efektif pada rentang pH yang lebar, memiliki aktivitas
32
antimikroba spektrum luas, dan sangat efisien melawan kapang maupun jamur
(Rowe, 2009). Selain itu berdasarkan Anonim (1999) dinyatakan bahwa nipagin
ataupun nipasol merupakan pengawet yang sesuai bagi sediaan gel, karena tidak
mempengaruhi efisiensi polimer untuk menaikkan viskositas sediaan. Di samping
itu nipagin merupakan pengawet golongan paraben yang memiliki kelarutan
paling tinggi dalam air dibanding jenis paraben yang lain (Anonim, 1979).
Untuk pembuatan shampoo ini digunakan air demineralisata. Tujuannya
adalah untuk menghindari keberadaan mineral-mineral seperti Ca dan Mg yang
mungkin terdapat dalam air. Karena ion-ion tersebut dapat menutup muatan
negatif pada Carbopol sehingga viskositas menjadi lebih sulit dikendalikan. Selain
itu pada proses pencampuran sebaiknya dilakukan pengadukan perlahan. Hal ini
supaya tidak banyak udara yang masuk dan terjebak sehingga mengakibatkan
munculnya banyak gelembung.
B. Viskositas Sediaan Shampoo
Pengukuran viskositas shampoo dilakukan 3 kali, yaitu 2 hari, 15 hari, dan
30 hari setelah pembuatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi
perubahan viskositas selama penyimpanan sediaan. Kemudian dilakukan analisis
korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara peningkatan konsentrasi
Carbopol 940 dan viskositas. Dipilih uji Pearson karena data yang diperoleh
memiliki distribusi normal. Jika data memiliki distribusi tidak normal maka
digunakan uji korelasi Spearman. Selain itu uji Pearson memang bertujuan untuk
menghitung kekuatan hubungan antara dua variabel (De Muth, 1999). Uji regresi
33
linier tidak digunakan di sini karena tidak dikehendaki suatu persamaan linier
yang berfungsi untuk memprediksi nilai variabel tergantung dari nilai variabel
bebas ataupun sebaliknya. Jadi dengan uji Pearson sudah cukup untuk mengetahui
kekuatan hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas shampoo.
Kekuatan hubungan tersebut dinyatakan dengan nilai r seperti terlihat pada tabel I.
Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo
Rata-rata viskositas (cps) Konsentrasi Carbopol (%b/b)
2 hari 15 hari 30 hari
0,1 0,3 0,5 0,7 0,9
4033,33 ± 1504,44 5066,67 ± 1113,55 6033,33 ± 1761,63 6433,33 ± 1365,04 7166,67 ± 1154,70
5000,00 ± 2022,37 6433,33 ±1601,04 7300,00 ± 854,40 8466,67 ± 642,91 9500,00 ± 1000,00
5500,00 ± 2179,45 6833,33 ± 1527,53 8000,00 ± 1322,88 9000,00 ± 1322,88 10100,00 ± 793,73
r 0,988 0,998 0,999 p 0,002 0,000 0,000
Apabila nilai r yang diperoleh berada di antara 0,80 – 1,000 maka berarti
terdapat korelasi yang kuat antara variabel yang diuji. Selain itu nilai p < 0,05
mengindikasikan adanya korelasi yang bermakna antara dua variabel tersebut
(Dahlan, 2009). Dari hasil perhitungan diperoleh adanya korelasi yang kuat
antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas sediaan shampoo. Hasil juga
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi Carbopol
dengan viskositas sediaan shampoo. Hubungan antara konsentrasi Carbopol 940
dengan viskositas shampoo ditunjukkan pada gambar 7. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi Carbopol 940 maka viskositas
shampoo juga akan meningkat.
34
Selain itu dari data di tabel I terlihat pula bahwa SD yang diperoleh sangat
besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rentang viskositas Carbopol 940
yang lebar pada konsentrasi yang sama. Hal tersebut ditunjukan dari pernyataan
bahwa pada kadar 0,5% dengan pH 7,5 Carbopol memiliki viskositas 40.000-
60.000 cps (Allen, 2002). Rentang viskositas yang cukup lebar ini kemungkinan
mengakibatkan nilai viskositas shampoo yang diperoleh memiliki SD yang cukup
besar, karena dengan konsentrasi Carbopol yang sama viskositas yang diperoleh
belum tentu sama persis. Rentang viskositas yang lebar ini disebabkan karena
nilai viskositas tidak semata-mata hanya ditentukan dari konsentrasi bahan
pengental saja. Namun juga dari interaksi yang terjadi antara bahan pengental atau
polimer tersebut dengan solven, seperti interaksi karena muatannya (Attwood,
2008).
0.000.000.00
1333.33
4600.00
3500.00
2500.00
1033.34
2400.00
2000.00
3133.34
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
3500.00
4000.00
4500.00
5000.00
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
Vis
ko
sit
as
(c
ps
)
2300.00
1433.33
3466.67
4500.00
hari ke-2 hari ke-15 hari ke-30
r = 0,999
r = 0,998
r = 0,988
Keterangan: nilai viskositas pada kurva merupakan selisih terhadap nilai viskositas shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.
Gambar 7. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas shampoo
35
Kemudian dilakukan perbandingan hasil pengukuran viskositas pada hari
ke-2, ke-15, dan ke-30 dengan uji Repeated Anova. Tujuannya adalah untuk
melihat kestabilan viskositas dari sediaan shampoo yang dibuat. Uji Repeated
Anova dipilih karena kelompok data yang akan diuji memiliki distribusi normal
dan merupakan hasil pengukuran secara berkelanjutan dari kelompok awal yang
sama. Contohnya yaitu shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b diukur
pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 sehingga diperoleh 3 kelompok data. Apabila
data berupa kelompok yang berbeda sejak awal maka digunakan uji One Way
Anova. Hasil uji Repeated Anova untuk masing-masing sediaan shampoo tertera
pada tabel II. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam nilai p yang merupakan nilai
signifikansi perbedaan.
Tabel II. Hasil uji Repeated Anova viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
p
0,1 0,3 0,5 0,7 0,9
0,306 0,161 0,090 0,127 0,105
Dari tabel II terlihat bahwa nilai p > 0,05. Maka berarti tidak ada
perbedaan viskositas shampoo pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30. Jadi walaupun
terdapat perubahan viskositas shampoo pada hari ke-15 dan ke-30, namun
perubahan itu masih dapat diabaikan dan viskositasnya dianggap sama.
Hal tersebut digambarkan pada kurva seperti yang terlihat pada gambar 8.
Tampak bahwa garis kurva cenderung mendatar dengan nilai slope berkisar antara
733,34 sampai dengan 1466,67. Nilai anti tan dari slope ini menunjukkan
36
kemiringan garis adalah antara 89,920 - 89,960. Sudut kemiringan ini hampir
mendekati 900. Berarti garis tersebut mendekati lurus dan artinya viskositas dari
hari ke-2, ke-15, sampai ke-30 hanya mengalami sedikit perubahan, yaitu semakin
meningkat.
Peningkatan viskositas pada hari ke-15 dan ke-30 kemungkinan terjadi
karena adanya hidrasi berkelanjutan dari polimernya yaitu Carbopol 940. Hal ini
seperti yang disebutkan oleh Liebermann (1996), bahwa salah satu faktor
penyebab peningkatan viskositas sediaan selama penyimpanan adalah hidrasi
polimer, di mana viskositas sediaan akan meningkat setelah 1-2 minggu.
Meskipun demikian tetap saja seringkali dirasakan sukar untuk menentukan
penyebab pasti dari peningkatan viskositas. Maka dari itu sedikit perubahan
viskositas biasanya dianggap masih dapat diterima.
y = 883.33x + 4344.45
y = 1466.67x + 5988.89
y = 1283.34x + 5400.00
y = 983.33x + 5144.44
y = 733.34x + 3377.8
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2 15 30Hari
Vis
kosi
tas
Sh
amp
oo
(cp
s)
carbopol 0,1%b/b carbopol 0,3%b/bcarbopol 0,5%b/b carbopol 0,7%b/bcarbopol 0,9%b/b Linear (carbopol 0,3%b/b)Linear (carbopol 0,5%b/b) Linear (carbopol 0,7%b/b)Linear (carbopol 0,9%b/b) Linear (carbopol 0,1%b/b)
Gambar 8. Kurva perubahan viskositas shampoo pada hari 2, 15 dan 30
37
C. Ketahanan Busa Sediaan Shampoo
Metode pengukuran ketahanan busa yang dilakukan ini diadaptasi dari
prosedur pengukuran busa sabun oleh Edoga (2009). Metode tersebut dilakukan
dengan cara mengaduk larutan sabun dengan sangat kuat, kemudian didiamkan 5
menit dan diamati tinggi busanya. Metode ini juga mirip dengan prosedur dari
Evren (2007), yaitu dengan melarutkan 0,5 gram shampoo dalam 50 ml aquadest
pada suhu 400, dimasukkan ke tabung berskala, digojok 20 kali dengan kecepatan
konstan, dan diukur volume busanya pada menit ke-0 dan ke-5. Namun Amaral
(2008) melakukan uji stabilitas busa dengan mengamati volume busa setelah 60
dan 120 menit setelah pengadukan. Maka untuk mengetahui apakah ada
perbedaan nilai ketahanan busa bila diukur pada waktu pengamatan yang berbeda,
dilakukan pengukuran ketahanan busa pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120
setelah penggojokan. Namun karena keterbatasan peneliti dalam hal waktu
penemuan sumber dan pustaka tersebut, maka pengukuran ini hanya dilakukan
pada hari ke-15 dan ke-30 setelah pembuatan sediaan.
Untuk menganalisis data perbedaan nilai ketahanan busa digunakan uji
Repeated Anova dengan alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada
halaman 32. Yaitu karena data berasal dari kelompok awal yang sama namun
dilakukan pengukuran berkelanjutan. Jadi dari setiap sediaan shampoo diukur
ketahanan busanya 6 kali pada menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120 sehingga
diperoleh 6 kelompok data. Hasil uji dinyatakan dengan nilai p yang merupakan
nilai signifikansi perbedaan.
38
Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120
p Konsentrasi Carbopol (%b/b) Hari ke-15 Hari ke-30
0,1 0,3 0,5 0,7 0,9
0,101 0,048 0,125 0,173 0,258
0,422 0,272 0,187 0,142 0,132
Dari data di tabel III terlihat bahwa nilai p yang diperoleh hampir
semuanya lebih besar dari 0,05. Kecuali nilai p pada konsentrasi Carbopol
0,3%b/b hari ke-15, ditemukan bahwa nilai ketahanan busa berbeda pada menit
ke-10. Nilai p > 0,05 menunjukkan tidak adanya perbedaan antara ketahanan busa
sediaan shampoo pada menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Berarti dalam
penelitian ini tidak diperlukan pengamatan hingga 120 menit untuk mengukur
ketahanan busa, melainkan cukup 5 menit saja.
Menurut Exerowa (1998) metode pengukuran busa dapat dilakukan
menggunakan parameter tinggi kolom busa (volume). Pada metode pengukuran
busa yang dilakukan di sini digunakan parameter tinggi busa. Karena dalam
penelitian ini alat yang digunakan, yaitu tabung reaksi, hanya memiliki skala
volume dengan interval 0,2 ml. Karena dirasa kurang sensitif, maka digunakan
kertas milimeter yang memiliki skala tinggi dengan interval 0,1 cm.
Nilai ketahanan busa yang didapat kemudian dianalisis dengan korelasi
Pearson untuk mengetahui hubungan antara peningkatan konsentrasi Carbopol
940 dengan ketahanan busa. Kekuatan hubungan antara konsentrasi Carbopol 940
dan ketahanan busa shampoo dinyatakan dengan nilai r seperti pada tabel IV.
39
Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa shampoo
Rata-rata Ketahanan busa (cm)
Konsentrasi Carbopol (%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari
0,1 0,3 0,5 0,7 0,9
0,72 ± 0,10 0,60 ± 0,13 0,60 ± 0,18 0,57 ± 0,08 0,88 ± 0,25
0,72 ± 0,33 0,77 ± 0,06 1,02 ± 0,03 0,95 ± 0,23 0,93 ± 0,23
1,00 ± 0,10 1,05 ± 0,18 1,27 ± 0,31 1,12 ± 0,24 1,20 ± 0,10
r 0,356 0,016 0,679 p 0,556 0,980 0,207
Dari tabel IV terlihat bahwa nilai r ketahanan busa pada hari ke-2 berada
di antara 0,20 – 0,399. Sesuai dengan Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya
korelasi yang lemah antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa
sediaan shampoo yang dibuat. Di samping itu nilai r pada hari ke-15 berada di
antara 0,00 – 0,199, di mana menurut Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya
korelasi yang sangat lemah di antara variabel yang diukur. Tetapi nilai r pada hari
ke-30 berada di antara 0,60 – 0,799. Ini berarti terdapat korelasi yang kuat antara
konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa sediaan shampoo. Namun
semua nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Ini mengindikasikan tidak
adanya korelasi yang bermakna antara konsentrasi Carbopol 940 dengan
ketahanan busa sediaan shampoo. Dengan demikian diperkirakan bahwa
peningkatan konsentrasi Carbopol 940 kemungkinan tidak berpengaruh terhadap
ketahanan busa. Hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan
busa shampoo ditunjukkan pada gambar 9.
Dari gambar 9 terlihat bahwa dengan peningkatan konsentrasi Carbopol
940 tidak diikuti dengan peningkatan ketahanan busa secara linier. Melainkan
40
justru terjadi fluktuasi nilai ketahanan busa. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena ukuran busa yang dihasilkan sangat bervariasi, sehingga kecepatan
hilangnya busa juga bervariasi. Misalnya jika lebih banyak terbentuk busa dengan
ukuran besar, maka busa tersebut akan lebih cepat hilang dan ini berarti ketahanan
busa menurun. Untuk mengatasi hal ini bisa dengan menggunakan metode yang
relatif lebih akurat dan sensitif, misalnya dengan metode Ross-Miles seperti telah
dijelaskan pada halaman 18-19. Namun karena keterbatasan alat pada penelitian
maka metode ini tidak bisa diterapkan di sini.
0.000.000.000.05
0.12
0.20
0.27
0.16
-0.15-0.12-0.12
-0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
Ke
tah
an
an
Bu
sa
(c
m)
0.05
0.30
0.23
0.21
hari ke-2 hari ke-15 hari ke-30
r = 0,679
r = 0,016
r = 0,356
Keterangan: nilai ketahanan busa pada kurva merupakan selisih terhadap nilai ketahanan busa shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.
Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa shampoo
Pengukuran ketahanan busa juga dilakukan 3 kali, yaitu 2 hari, 15 hari,
dan 30 hari setelah pembuatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi
41
perubahan ketahanan busa selama penyimpanan sediaan. Untuk membandingkan
hasil pengukuran pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 maka dilakukan uji
menggunakan Repeated Anova. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam nilai p
yang merupakan nilai signifikansi perbedaan.
Tabel V. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
p
0,1 0,3 0,5 0,7 0,9
0,214 0,171 0,401 0,307 0,516
Dari tabel V terlihat bahwa semua nilai p > 0,05. Maka berarti tidak
terdapat perbedaan ketahanan busa shampoo pada hari ke-2, 15, dan 30. Jadi
walaupun terdapat perubahan ketahanan busa shampoo dari hari ke-15 dan ke-30,
namun perubahan itu masih dapat diabaikan dan ketahanan busanya dianggap
sama. Perubahan ketahanan busa yang terjadi terlihat seperti pada gambar 10.
Dari gambar 10 diperoleh hasil bahwa kurva yang dihasilkan memiliki
slope 0,14 sampai dengan 0,34. Nilai slope ini memiliki makna bahwa kemiringan
garis adalah antara 7,970 – 18,780. Sudut kemiringan ini sangat tajam. Ini berarti
dapat dianggap bahwa perubahan ketahanan busa dari hari ke hari hanya
mengalami sedikit perubahan.
42
y = 0.14x + 0.53
y = 0.23x + 0.30
y = 0.34x + 0.29
y = 0.16x + 0.68
y = 0.28x + 0.33
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
2 15 30Hari
Ke
tah
an
an
Bu
sa
Sh
am
po
o (
cm
)
carbopol 0,1%b/b carbopol 0,3%b/b carbopol 0,5%b/b
carbopol 0,7%b/b carbopol 0,9%b/b Linear (carbopol 0,1%b/b)
Linear (carbopol 0,3%b/b) Linear (carbopol 0,5%b/b) Linear (carbopol 0,7%b/b)
Linear (carbopol 0,9%b/b)
Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2, 15 dan 30
D. Hubungan Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo
Menurut Tadros (2005) salah satu faktor penyebab hilangnya busa adalah
gaya gravitasi yang mempercepat drainage sehingga mengakibatkan thinning
pada lapisan film busa. Untuk memperlambat drainage, maka viskositas bulk dari
sediaan perlu ditingkatkan. Misalnya dengan penambahan bahan seperti polimer.
Selain lewat peningkatan viskositas, penambahan polimer semestinya juga dapat
meningkatkan halangan sterik, sehingga busa-busa kecil tidak bergabung menjadi
busa yang lebih besar dan mudah pecah.
Jika disesuaikan dengan teori tersebut maka seharusnya peningkatan
konsentrasi Carbopol 940 yang merupakan polimer akan diiringi oleh peningkatan
ketahanan busa dengan diperantarai oleh kenaikan viskositas. Namun telah
43
dibahas sebelumnya bahwa ternyata peningkatan konsentrasi Carbopol 940 tidak
berpengaruh signifikan terhadap ketahanan busa. Dengan demikian dalam
penelitian ini hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa belum bisa
ditentukan.
Namun jika dicoba membandingkan antara gambar 8 dan gambar 10,
terlihat bahwa garis kurva sama-sama semakin naik seiring dengan pertambahan
hari. Hal itu berarti menunjukkan terjadinya peningkatan viskositas maupun
ketahanan busa pada penyimpanan, meskipun peningkatan tersebut tidak
signifikan secara statistik. Maka dari situ dapat ditarik perkiraan adanya suatu
kecenderungan di mana peningkatan viskositas berpengaruh terhadap peningkatan
ketahanan busa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peningkatan konsentrasi Carbopol berpengaruh terhadap viskositas sediaan
shampoo.
2. Peningkatan konsentrasi Carbopol kemungkinan tidak berpengaruh terhadap
ketahanan busa sediaan shampoo.
3. Belum ditemukan adanya hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa
pada sediaan shampoo.
B. Saran
Perlu dilakukan perbaikan atau modifikasi metode untuk pengukuran
ketahanan busa agar diperoleh hasil yang lebih akurat dan sensitif.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L.V., 2002, The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical Compounding, 308-310, American Pharmaceutical Association, Washington D.C.
Amaral, M. H., das Neves, J., Oliveira, A. Z., dan Bahia M. F., 2008, Foamability
of Detergent Solutions Prepared with Different Types of Surfactants and Water, Journal of Surfactant and Detergent No. 11, 276
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia IV, 158, 372, 551, 713, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1997, Featured Excipient: Carbopols (Carbomers), International Journal
of Pharmaceutical Compounding Vol. 1 No. 4, 265 Anonim, 1999, Featured Excipient: Preservatives, International Journal of
Pharmaceutical Compounding Vol. 3 No. 2, 1 Attwood, D., Alexander, T.F., 2008, Fast Track: Physical Pharmacy, 84,
Pharmaceutical Press, London Aulton, M.E., 1988, Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, 2nd
edition., 26-29, Churchill Livingstone, London Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I., 2009, Handbook of Cosmetic Science
and Technology, 3rd edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc., New York
Corcoran, F., dan Akona, K., 1997, The pH of Hair Shampoos: A Topical High
School Experiment, Journal of Chemical Education, 54 Dahlan, M. S., 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, 111, 157,
Salemba Medika, Jakarta De Lathauwer, G., De Rycke, D., Duynslager, A., Tanghe, S., dan Oudt, C., 2004,
Thickening Of Foaming Cosmetic Formulations, Proceeding of the 6th World Surfactant Congress CESIO, Berlin Germany
De Muth, J., 1999, Basic Statistics and Pharmaceutical Statistical Application,
298, Marcel Dekker, Inc., New York
46
Edoga, M. O., 2009, Comparison of Various Fatty Acid Sources for Making Soft Soap (Part 1): Qualitative Analysis, Journal of Engineering and Applied Sciences Vol.4 No. 2, 110-112
Evren, S., Gedik, G., Colbourn, E., dan Türkoglu, M., 2007, Artificial Neural
Network Modeling and Optimization of Shampoo Formulations, Marmara University, Istanbul
Exerowa, D., dan Kruglyakov, P.M., 1998, Foam and Foam Films: Theory,
Experiment, Application, 1-3, 494, Elsevier, Netherlands Fonseca, S., 2005, Basics of Compounding for Hair Care – Part 1: Medicated
Shampoos, International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 9 No. 2, 140
Guertechin, L.O., 2009, Surfactants: Classification, in Barel, A.O., Paye, M., dan
Maibach, H.I., (Eds.), Handbook of Cosmetic Science and Technology, 3rd edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc., New York
Joseph, D.D., 1997, Understanding Foams and Foaming, University of
Minnesota, US Karsheva, M., Georgieva, S., dan Birov, G., 2005, Flow Behaviour Of Two
Industrially Made Shampoos, Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 323-328
Karsheva, M., Georgieva, S., dan Handjieva, S., 2007, The Choice of the
Thickener - A Way to Improve the Cosmetics Sensory Properties, Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 187
Kim, Y.H., dan Kim, C.U., 1997, Mechanism of Aqueous Foam Stability and
Antifoaming Action, Journal of Ind. & Eng. Chemistry Vol.3 No.2, 140 Klein, K., 2004, Shampoo Formulation: The Basic, Cosmetic and Toiletries
Magazine, 11 Leidetrier, H., Jenny, K., dan Maczkiewitz, U., 1995, Rheology of Toiletry
Products – Physical Properties and Sensory Assesment, Th.Goldschmidt AGD-45116 Essen, Germany
Liebermann, H.A., Rieger, M.M., dan Banker, G.S., 1996, Pharmaceutical
Dosage Forms: Disperse System, volume 1, 2nd edition, 157-158, 213, 291, Marcel Dekker, Inc., New York
47
Limbani, M., Dabhi, M.R., Raval, M.K., dan Sheth, N.R., 2009, Clear Shampoo: an Important Formulation Aspect with Consideration of the Toxicity of Commonly Used Shampoo Ingredients, Saurashtra University, India
Lunkenheimer, K., dan Malysa, K., 2003, Simple and Generally Applicable
Method of Determination and Evaluation of Foam Properties, Journal of Surfactants and Detergents Vol. 6 No. 1, 69
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A., 1983, Physical Pharmacy, 3rd
edition, 524-526, Lea & Febiger, Philadelphia Mitsui, T., 1997, New Cosmetic Science, 406, Elsevier, Netherlands Osborne, D. W., dan Amann, A. H., 1990, Topical Drug Delivery Formulations,
volume 42, 381, 384, Marcel Dekker Inc., New York Piispanen, P.A., Persson, M., Claesson, P., dan Norin, T., 2004, Surface
Properties of Surfactants Derived from Natural Products. Part 2: Structure/Property Relationships—Foaming, Dispersion, and Wetting, Journal of Surfactants and Detergents Vol. 7 No. 2, 162
Pinazo, A.P., Infante, M.R., dan Frances, E.I., 2001, Relation of Foam Stability to
Solution and Surface Properties of Gemini Cationic Surfactants Derived from Arginine, Colloids Surf. A, 70
Rieger, M.M., 2000, Harry’s Cosmetology 8th ed, 431-432, 446-448, Chemical
Publishing Co. Inc., New York Rosen, M.J., 2004, Surfactants and Interfacial Phenomena, 3rd edition, 1-3, John
Wiley & Sons, Inc., New Jersey Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipient,s 6th edition, 110, 327, 441-442, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association, United Kingdom
Schramm, L.L., 2005, Emulsion, Foams, and Suspensions, 47-49, 141-142,
Wiley-VCH Verlag GmbH&Co.KGaA, Weinheim Tadros, T.F., 2005, Applied Surfactants: Principles and Applications, 259-263,
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim Teglia A., dan Secchi G., 1994, New Protein Ingredients for Skin Detergency:
Native Wheat Protein-Surfactant Complexes, International Journal of Cosmetics Science, 235–246
48
Young, A., 1972, Practical Cosmetic Science, 95, Mills and Boon Limited, London
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengukuran dan uji viskositas sediaan shampoo
1 cps = 0,01 dPas Hasil pengukuran viskositas formula 1 (konsentrasi Carbopol 0.1%b/b)
Replikasi ke-
Viskositas hari ke-2
(cps)
Viskositas hari ke-15
(cps)
Viskositas hari ke-30
(cps) 1 2 3
2300 5000 4800
2700 6500 5800
3000 7000 6500
Rata-rata 4033.33 5000 5500 SD 1504.44 2022.37 2179.45
Hasil pengukuran viskositas formula 2 (konsentrasi Carbopol 0.3%b/b)
Replikasi ke-
Viskositas hari ke-2
(cps)
Viskositas hari ke-15
(cps)
Viskositas hari ke-30
(cps) 1 2 3
3800 6000 4600
4800 8000 6500
5500 8500 6500
Rata-rata 5066.67 6433.33 6833.33 SD 1113.55 1601.04 1527.53
Hasil pengukuran viskositas formula 3 (konsentrasi Carbopol 0.5%b/b)
Replikasi ke-
Viskositas hari ke-2
(cps)
Viskositas hari ke-15
(cps)
Viskositas hari ke-30
(cps) 1 2 3
4600 8000 5500
6500 8200 7200
7000 9500 7500
Rata-rata 6033.33 7300.00 8000.00 SD 1761.63 854.40 1322.88
50
Hasil pengukuran viskositas formula 4 (konsentrasi Carbopol 0.7%b/b)
Replikasi ke-
Viskositas hari ke-2
(cps)
Viskositas hari ke-15
(cps)
Viskositas hari ke-30
(cps) 1 2 3
5800 8000 5500
8000 9200 8200
8000 10500 8500
Rata-rata 6433.33 8466.67 9000.00 SD 1365.04 642.91 1322.88
Hasil pengukuran viskositas formula 5 (konsentrasi Carbopol 0.9%b/b)
Replikasi ke-
Viskositas hari ke-2
(cps)
Viskositas hari ke-15
(cps)
Viskositas hari ke-30
(cps) 1 2 3
6500 8500 6500
8500 10500 9500
9500 11000 9800
Rata-rata 7166.67 9500.00 10100.00 SD 1154.70 1000.00 793.73
Uji normalitas data viskositas Hipotesis 1 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai p > 0.05 Hipotesis 2 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Data viskositas p (Saphiro-Wilk) Rasio skewness 2 hari 15 hari 30 hari
0.784 0.644 0.705
-0.055 -1.307 -1.135
1) Nilai p yang diperoleh > 0.05 Ho ditolak, berarti data normal 2) Nilai rasio skewnesss yang diperoleh ada di antara -2 s/d 2 Ho ditolak, berarti data normal
51
Uji korelasi Pearson konsentrasi Carbopol dan viskositas
Viskositas rata-rata (cps) Konsentrasi Carbopol (%b/b)
2 hari 15 hari 30 hari
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
4033.33 5066.67 6033.33 6433.33 7166.67
5000.00 6433.33 7300.00 8466.67 9500.00
5500.00 6833.33 8000.00 9000.00 10100.00
r 0.988 0.998 0.999 p 0.002 0.000 0.000
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r)
0.00 – 0.199 0.20 – 0.399 0.40 – 0.599 0.60 – 0.799 0.80 – 1.000
sangat lemah lemah sedang kuat sangat kuat
Nilai p
< 0.05 > 0.05
Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Tidak terdapat korelasi bermakna antara dua variabel yang diuji.
52
Uji Repeated Anova viskositas antarhari Hipotesis H1 : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 berbeda Ho : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Viskositas (cps) Konsentra- si Carbopol
(%b/b)
Replikasi ke- 2 hari 15 hari 30 hari
0.1
1 2 3
2300 5000 4800
2700 6500 5800
3000 7000 6500
p 0.306
0.3
1 2 3
3800 6000 4600
4800 8000 6500
5500 8500 6500
p 0.161
0.5
1 2 3
4600 8000 5500
6500 8200 7200
7000 9500 7500
p 0.090
0.7 1 2 3
5800 8000 5500
8000 9200 8200
8000 10500 8500
p 0.127
0.9 1 2 3
6500 8500 6500
8500 10500 9500
9500 11000 9800
p 0.105 Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda
53
Lampiran 2. Pengukuran dan uji ketahanan busa sediaan shampoo Hasil pengukuran ketahanan busa formula 1 (konsentrasi Carbopol 0.1%b/b)
Replikasi ke-
Ketahanan busa hari ke-2 (cm)
Ketahanan busa hari ke-15 (cm)
Ketahanan busa hari ke-30 (cm)
1 2 3
0.75 0.80 0.60
0.70 0.80 0.80
1.10 1.00 0.90
Rata-rata 0.72 0.77 1.00 SD 0.10 0.06 0.10
Hasil pengukuran ketahanan busa formula 2 (konsentrasi Carbopol 0.3%b/b)
Replikasi ke-
Ketahanan busa hari ke-2 (cm)
Ketahanan busa hari ke-15 (cm)
Ketahanan busa hari ke-30 (cm)
1 2 3
0.70 0.45 0.65
1.05 1.00 1.00
1.00 0.90 1.25
Rata-rata 0.60 1.02 1.05 SD 0.13 0.03 0.18
Hasil pengukuran ketahanan busa formula 3 (konsentrasi Carbopol 0.5%b/b)
Replikasi ke-
Ketahanan busa hari ke-2 (cm)
Ketahanan busa hari ke-15 (cm)
Ketahanan busa hari ke-30 (cm)
1 2 3
0.40 0.65 0.75
1.20 0.75 0.90
1.20 1.60 1.00
Rata-rata 0.60 0.95 1.27 SD 0.18 0.23 0.31
Hasil pengukuran ketahanan busa formula 4 (konsentrasi Carbopol 0.7%b/b)
Replikasi ke-
Ketahanan busa hari ke-2 (cm)
Ketahanan busa hari ke-15 (cm)
Ketahanan busa hari ke-30 (cm)
1 2 3
0.65 0.55 0.50
0.80 0.80 1.20
1.30 0.85 1.20
Rata-rata 0.57 0.93 1.12 SD 0.08 0.23 0.24
54
Hasil pengukuran ketahanan busa formula 5 (konsentrasi Carbopol 0.9%b/b)
Replikasi ke-
Ketahanan busa hari ke-2 (cm)
Ketahanan busa hari ke-15 (cm)
Ketahanan busa hari ke-30 (cm)
1 2 3
1.00 1.05 0.60
0.40 1.05 1.00
1.30 1.10 1.20
Rata-rata 0.88 0.82 1.20 SD 0.25 0.36 0.10
Uji normalitas data ketahanan busa Hipotesis 1 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai p > 0.05 Hipotesis 2 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Data ketahanan busa p (Saphiro-Wilk) Rasio skewness 2 hari 15 hari 30 hari
0.422 0.296 0.348
1.238 -1.110 1.278
1) Nilai p yang diperoleh > 0.05 Ho ditolak, berarti data normal 2) Nilai rasio skewnesss yang diperoleh ada di antara -2 s/d 2 Ho ditolak, berarti data normal
55
Uji korelasi Pearson konsentrasi Carbopol dan ketahanan busa
Ketahanan busa rata-rata (cm)
Konsentrasi Carbopol (%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
0.72 0.60 0.60 0.57 0.88
0.77 1.02 0.95 0.93 0.82
1.00 1.05 1.27 1.12 1.20
r 0.356 0.016 0.679 p 0.556 0.980 0.207
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r)
0.00 – 0.199 0.20 – 0.399 0.40 – 0.599 0.60 – 0.799 0.80 – 1.000
sangat lemah lemah sedang kuat sangat kuat
Nilai p
< 0.05 > 0.05
Terdapat korelasi bermakna antara dua variabel yang diuji. Tidak terdapat korelasi bermakna antara dua variabel yang diuji.
56
Uji Repeated Anova ketahanan busa antarhari Hipotesis H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 berbeda Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Ketahanan busa (cm) Konsentra- si Carbopol
(%b/b)
Replikasi ke- 2 hari 15 hari 30 hari
0.1
1 2 3
0.75 0.80 0.60
0.70 0.80 0.80
1.10 1.00 0.90
p 0.214
0.3
1 2 3
0.70 0.45 0.65
1.05 1.00 1.00
1.00 0.90 1.25
p 0.171
0.5
1 2 3
0.40 0.65 0.75
1.20 0.75 0.90
1.20 1.60 1.00
p 0.401
0.7 1 2 3
0.65 0.55 0.50
0.80 0.80 1.20
1.30 0.85 1.20
p 0.307
0.9 1 2 3
1.00 1.05 0.60
0.40 1.05 1.00
1.30 1.10 1.20
p 0.516 Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda
57
Lampiran 3. Pengukuran dan uji ketahanan busa antarmenit Uji normalitas ketahanan busa antarmenit hari 15 dan hari 30 Hipotesis 1 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai p > 0.05 Hipotesis 2 H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2
Data ketahanan busa Hari Menit ke-
p (Saphiro-Wilk) Rasio skewness
15
5 10 30 60 90 120
0.296 0.322 0.114 0.831 0.216 0.297
-1.110 0.509 1.998 0.497 1.419 1.085
30
5 10 30 60 90 120
0.348 0.473 0.548 0.690 0.727 0.664
0.605 0.927 1.635 0.621 0.000 0.096
1) Nilai p yang diperoleh > 0.05 Ho ditolak, berarti data normal 2) Nilai rasio skewnesss yang diperoleh ada di antara -2 s/d 2 Ho ditolak, berarti data normal
58
Hasil pengukuran ketahanan busa antarmenit hari 15
Ketahanan busa (cm) Konsentrasi Carbopol
(%b/b)
Replika- si ke- 5
menit 10
menit 30
menit 60
menit 90
menit 120
menit 1 0.70 0.90 1.00 1.30 2.00 2.10
2 0.80 1.05 1.20 1.50 1.60 1.80 0.1 3 0.80 1.00 1.20 1.40 1.40 1.55
1 1.05 1.20 1.40 1.60 1.70 1.70
2 1.00 1.20 1.30 1.60 2.00 2.40 0.3 3 1.00 1.15 1.30 1.40 1.40 1.50
1 1.20 1.70 2.10 2.20 2.50 2.50
2 0.75 0.85 1.05 1.25 1.35 1.35 0.5 3 0.90 1.10 1.40 1.50 1.60 1.70
1 0.80 1.10 1.25 1.35 1.35 1.85
2 0.80 1.30 1.50 2.00 2.20 2.30 0.7 3 1.20 1.30 1.80 1.80 1.80 1.90
1 0.40 0.60 0.90 0.90 1.30 1.50
2 1.05 1.15 1.30 1.55 1.70 1.80 0.9
3 1.00 1.10 1.40 1.70 1.80 1.80
Uji Repeated Anova ketahanan busa antarmenit hari 15 Hipotesis H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 berbeda Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
p
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
0.101 0.048 0.125 0.173 0.258
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda
59
Hasil pengukuran ketahanan busa antarmenit hari 30
Ketahanan busa (cm) Konsentrasi Carbopol
(%b/b)
Replika- si ke-
5 menit
10 menit
30 menit
60 menit
90 menit
120 menit
1 1.10 1.20 1.20 1.30 1.30 1.50
2 1.00 1.30 1.40 1.40 1.50 1.70 0.1
3 0.90 1.00 1.20 1.40 1.40 1.60
1 1.00 1.30 1.90 2.05 2.20 2.30
2 0.90 1.00 1.40 1.50 1.60 1.90 0.3
3 1.25 1.35 1.60 1.70 1.70 1.70
1 1.20 1.30 1.55 1.55 1.70 1.75
2 1.60 1.65 1.80 1.80 1.80 1.80 0.5
3 1.00 1.30 1.60 1.70 1.70 1.70
1 1.30 1.50 1.70 1.70 1.80 1.90
2 0.85 1.45 1.70 1.75 1.75 2.05 0.7
3 1.20 1.40 1.55 1.70 1.90 2.10
1 1.30 1.75 1.95 2.10 2.10 2.20
2 1.10 1.30 1.80 1.90 2.10 2.10 0.9
3 1.20 1.60 1.60 1.80 1.80 1.80
Uji Repeated Anova ketahanan busa antarmenit hari 30 Hipotesis H1 : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 berbeda Ho : ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda Ho ditolak bila nilai p < 0.05
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
p
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
0.422 0.272 0.187 0.142 0.132
Nilai p > 0.05 Ho diterima, berarti ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 tidak berbeda
60
Lampiran 4. Uji pH sediaan shampoo
pH Replikasi
ke-
Konsentrasi Carbopol (%b/b)
2 hari 15 hari 30 hari
1
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
5.4 5.6 5.4 5.4 5.4
5.4 5.6 5.4 5.4 5.4
5.4 5.6 5.4 5.4 5.4
2
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
5.6 5.8 5.6 5.6 5.6
5.6 5.8 5.6 5.6 5.6
5.6 5.8 5.6 5.6 5.6
3
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
5.7 5.9 5.5 5.5 5.5
5.7 5.9 5.5 5.5 5.5
5.7 5.9 5.5 5.5 5.5
61
Lampiran 5. Dokumentasi
Sediaan shampoo formula 1 (konsentrasi Carbopol 0.1%b/b)
Sediaan shampoo formula 2 (konsentrasi Carbopol 0.3%b/b)
Sediaan shampoo formula 3 (konsentrasi Carbopol 0.5%b/b)
Sediaan shampoo formula 4 (konsentrasi Carbopol 0.7%b/b)
Sediaan shampoo formula 5 (konsentrasi Carbopol 0.9%b/b)
62
Stirrer paddle (untuk pencampuran shampoo)
Stirrer paddle (untuk pencampuran shampoo)
Viscotester RION VT-04 (untuk uji viskositas)
Viscotester RION VT-04 (untuk uji viskositas)
63
Vortex (untuk uji ketahanan busa)
64
Pengukuran busa menit ke-0
Pengukuran busa menit ke-5
Pengukuran busa menit ke-10
Pengukuran busa menit ke-60
Pengukuran busa menit ke-90
Pengukuran busa menit ke-120
65
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Grace Felicyta Kartika
dilahirkan pada tanggal 8 November 1988 di Salatiga
sebagai putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan
Wibowo Kusuma dan Ratna Riyanti. Penulis skripsi
yang berjudul ”Pengaruh Peningkatan Konsentrasi
Carbopol Sebagai Bahan Pengental Terhadap
Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo” ini
menempuh pendidikan formal di TK Santo Fransiskus Xaverius Marsudirini 78
Salatiga pada tahun 1993 – 1994, SD Santo Fransiskus Xaverius Marsudirini 78
Salatiga pada tahun 1994 – 2000, SMP Kristen 2 Salatiga pada tahun 2000 –
2003, dan SMA Negeri 1 Salatiga pada tahun 2003 – 2006. Kemudian penulis
melanjutkan studi di program S1 Fakultas Farmasi Sanata Dharma pada tahun
2006-2009. Selama masa kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum
Formulasi dan Teknologi Sediaan Solid serta Farmasetika Dasar. Selain itu
penulis juga terlibat dalam kegiatan Campus Ministry dan Jaringan Mahasiswa
Kesehatan Indonesia (JMKI).