“pengaruh metode pretreatment pada bahan...

12
E10- 1 MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO “ Ketahanan Pangan dan Energi “ Surabaya, 24 Juni 2010 ISSN 1978 - 0427 “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan Lignosellulosa terhadap Kualitas Hidrolisat yang dihasilkan” Orchidea R., Andi Krishnanta W., Dedy Ricardo P., Lisa Febriyanti S., Khoir Lazuardi, Reza Pahlevi dan Cakra Dharma Mendila Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111 Telp: 031-5946240, Fax: 031-5999282, E-mail: [email protected] Abstrak Limbah lignoselulosa merupakan bahan baku generasi kedua dalam pembuatan bioetanol. Ketersediaan bahan limbah lignoselulosa yang melimpah dan tidak mengancam keseimbangan ketersediaan bahan pangan dan pakan menjadikannya sebagai sumber bahan baku ideal untuk memproduksi etanol. Bahan lignoselulosa dapat dipecah menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasikan hingga menghasilkan etanol. Untuk memecah bahan lignoselulosa menjadi gula sederhana yang siap difermentasi diperlukan proses perlakuan awal dan hidrolisa enzimatik. Pada hidrolisa enzimatik, lignoselulosa tidak dapat langsung dipecah menjadi fraksi-fraksi gula sederhana akibat kuatnya ikatan lignin dan sifat kristal dari sellulosa yang ada di dalam lignoselulosa. Oleh karena itu diperlukan perlakuan awal yang dapat merusak ikatan lingnin dan mengubah struktur kristal daripada selulosa menjadi amorf agar perolehan yield glukosa pada hidrolisa enzimatis meningkat. Penelitian ini membandingkan metode perlakuan awal dengan penambahan katalis asam (0,25, 0,5 dan 0,75 b/b pada 155 o C, 10 bar dan waktu operasi 5, 15, 30 dan 45 menit) dan pada kondisi air- subkritis (50 o C, 1 bar dan 110 o C, 3 bar dengan waktu operasi 10, 20 dan 30 menit) pada bahan lignosellulosa Bagasse. Bagasse terlebih dahulu dianalisa kandungan sellulosa, hemisellulosa, dan ligninnya selain derajat kekristalannya menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Selain itu, hidrolisat hasil perlakuan asam ditambahkan metode netralisasi dengan kombinasi penambahan Ca(OH) 2 dan H 2 SO 4 hingga pH hidrolisat mencapai 5,5. Penelitian ditujukan untuk mengetahui metode pretreatment terbaik, antara metode asam dan Liquid Hot Water/LHW, yang dapat merusak struktur sel bagasse terbesar namun tetap meminimalisir terbentuknya glukosa dan senyawa inhibitor pada hidrolisat yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asam (H 2 SO 4 ) yang diberikan dan semakin lama waktu hidrolisa maka yield glukosa yang diperoleh akan semakin besar, yield glukosa maksimal sebesar 59,14 g glukosa/g bagasse diperoleh pada kondisi 155 o C, 10 bar dengan konsentrasi H 2 SO 4 0,75 (b/b) selama 45 menit; tahap detoksifikasi mengakibatkan penurunan kandungan glukosa 15–25 %, asam formiat 25–30% dan senyawa phenol monomer sebesar 20–25 %. Sedangkan pada metode LHW, tekanan dan waktu operasi mempengaruhi kerusakan struktur sel bagas dan yield glukosa yang diperoleh. Yield glukosa tertinggi, 10,77 g glukosa/g bagasse, diperoleh pada 110 o C, 3 bar dengan 30 menit waktu operasi. Penambahan larutan buffer akan memperkecil penghilangan hemisellulosa dan lignin pada bagas. Proses LHW ini tidak memberikan produk samping yang diidentifikasi secara kualitatif sebagai furfural, hidroksimetilfurfural (HMF) dan senyawa-senyawa turunan fenol. Sehingga secara keseluruhan metode LHW lebih unggul dibandingkan metode asam mengingat metode LHW menghasilkan hidrolisat dengan sedikit kandungan glukosa serta tidak adanya senyawa inhibitor di dalamnya. Kata kunci : bagasse, acid-catalyzed, liquid hot water, pretreatment.

Upload: duongkien

Post on 29-Jul-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 1

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

“Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan Lignosellulosa terhadap Kualitas Hidrolisat yang dihasilkan”

Orchidea R., Andi Krishnanta W., Dedy Ricardo P., Lisa Febriyanti S., Khoir Lazuardi,

Reza Pahlevi dan Cakra Dharma Mendila

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

Telp: 031-5946240, Fax: 031-5999282, E-mail: [email protected]

Abstrak

Limbah lignoselulosa merupakan bahan baku generasi kedua dalam pembuatan bioetanol. Ketersediaan bahan limbah lignoselulosa yang melimpah dan tidak mengancam keseimbangan ketersediaan bahan pangan dan pakan menjadikannya sebagai sumber bahan baku ideal untuk memproduksi etanol. Bahan lignoselulosa dapat dipecah menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasikan hingga menghasilkan etanol. Untuk memecah bahan lignoselulosa menjadi gula sederhana yang siap difermentasi diperlukan proses perlakuan awal dan hidrolisa enzimatik. Pada hidrolisa enzimatik, lignoselulosa tidak dapat langsung dipecah menjadi fraksi-fraksi gula sederhana akibat kuatnya ikatan lignin dan sifat kristal dari sellulosa yang ada di dalam lignoselulosa. Oleh karena itu diperlukan perlakuan awal yang dapat merusak ikatan lingnin dan mengubah struktur kristal daripada selulosa menjadi amorf agar perolehan yield glukosa pada hidrolisa enzimatis meningkat. Penelitian ini membandingkan metode perlakuan awal dengan penambahan katalis asam (0,25, 0,5 dan 0,75 b/b pada 155oC, 10 bar dan waktu operasi 5, 15, 30 dan 45 menit) dan pada kondisi air-subkritis (50oC, 1 bar dan 110oC, 3 bar dengan waktu operasi 10, 20 dan 30 menit) pada bahan lignosellulosa Bagasse. Bagasse terlebih dahulu dianalisa kandungan sellulosa, hemisellulosa, dan ligninnya selain derajat kekristalannya menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Selain itu, hidrolisat hasil perlakuan asam ditambahkan metode netralisasi dengan kombinasi penambahan Ca(OH)2 dan H2SO4 hingga pH hidrolisat mencapai 5,5. Penelitian ditujukan untuk mengetahui metode pretreatment terbaik, antara metode asam dan Liquid Hot Water/LHW, yang dapat merusak struktur sel bagasse terbesar namun tetap meminimalisir terbentuknya glukosa dan senyawa inhibitor pada hidrolisat yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asam (H2SO4) yang diberikan dan semakin lama waktu hidrolisa maka yield glukosa yang diperoleh akan semakin besar, yield glukosa maksimal sebesar 59,14 g glukosa/g bagasse diperoleh pada kondisi 155oC, 10 bar dengan konsentrasi H2SO4 0,75 (b/b) selama 45 menit; tahap detoksifikasi mengakibatkan penurunan kandungan glukosa 15–25 %, asam formiat 25–30% dan senyawa phenol monomer sebesar 20–25 %. Sedangkan pada metode LHW, tekanan dan waktu operasi mempengaruhi kerusakan struktur sel bagas dan yield glukosa yang diperoleh. Yield glukosa tertinggi, 10,77 g glukosa/g bagasse, diperoleh pada 110oC, 3 bar dengan 30 menit waktu operasi. Penambahan larutan buffer akan memperkecil penghilangan hemisellulosa dan lignin pada bagas. Proses LHW ini tidak memberikan produk samping yang diidentifikasi secara kualitatif sebagai furfural, hidroksimetilfurfural (HMF) dan senyawa-senyawa turunan fenol. Sehingga secara keseluruhan metode LHW lebih unggul dibandingkan metode asam mengingat metode LHW menghasilkan hidrolisat dengan sedikit kandungan glukosa serta tidak adanya senyawa inhibitor di dalamnya. Kata kunci : bagasse, acid-catalyzed, liquid hot water, pretreatment.

Page 2: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 2

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Pendahuluan Limbah lignoselulosa merupakan bahan baku generasi kedua dalam pembuatan bioetanol. Ketersediaan bahan limbah lignoselulosa yang melimpah dan tidak mengancam keseimbangan ketersediaan bahan pangan dan pakan menjadikannya sebagai sumber bahan baku ideal untuk memproduksi etanol. Bahan lignoselulosa dapat dipecah menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasikan hingga menghasilkan etanol. Untuk memecah bahan lignoselulosa menjadi gula sederhana yang siap difermentasi diperlukan proses perlakuan awal dan hidrolisa enzimatik. Pada hidrolisa enzimatik, lignoselulosa tidak dapat langsung dipecah menjadi fraksi-fraksi gula sederhana akibat kuatnya ikatan lignin dan sifat kristal dari sellulosa yang ada di dalam lignoselulosa. Oleh karena itu diperlukan perlakuan awal yang dapat merusak ikatan lingnin dan mengubah struktur kristal daripada selulosa menjadi amorf agar perolehan yield glukosa pada hidrolisa enzimatis meningkat. Pembuatan bahan-bahan lignosellulosa hingga menjadi etanol melalui empat proses utama: pretreatment/hidrolisa, fermentasi, dan terakhir adalah pemisahan serta pemurnian produk etanol (Mosier dkk., 2005).

Gambar 1. Ilustrasi mikrofibril dan makrofibril dalam serat selulosa bahan lignoselulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Bahan-bahan lignosellulosa umumnya terdiri dari sellulosa, hemisellulosa dan lignin. Sellulosa secara

alami diikat oleh hemisellulosa dan dilindungi oleh lignin (Gambar 1). Adanya senyawa pengikat lignin inilah yang menyebabkan bahan-bahan lignosellulosa sulit untuk dihidrolisa (Iranmahboob dkk., 2002). Oleh sebab itu, proses pretreatment dan hidrolisa merupakan tahapan proses yang sangat penting yang dapat mempengaruhi perolehan yield etanol. Proses pretreatment dilakukan untuk mengkondisikan bahan-bahan lignosellulosa baik dari segi struktur dan ukuran dengan memecah dan menghilangkan kandungan lignin dan hemisellulosa, merusak struktur krital dari sellulosa serta meningkatkan porositas bahan (Sun and Cheng, 2002). Rusaknya struktur kristal sellulosa akan mempermudah terurainya sellulosa menjadi glukosa. Selain itu, hemisellulosa akan turut terurai menjadi senyawa gula sederhana: glukosa, galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa. Selanjutnya senyawa-senyawa gula sederhana tersebut yang akan difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan etanol (Mosier dkk., 2005).

Walaupun terdapat berbagai macam metode hidrolisa untuk bahan-bahan lignosellulosa, hidrolisa asam dan hidrolisa enzimatik merupakan dua metode utama yang banyak digunakan khususnya untuk bahan-bahan lignosellulosa dari limbah pertanian dan potongan-potongan kayu (Mussantto dan Roberto, 2004). Hidrolisa sellulosa secara enzimatik memberi yield etanol sedilkit lebih tinggi dibandingkan metode hidrolisa asam (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Namun proses enzimatik tersebut merupakan proses yang paling mahal. Proses recycle dan recovery enzim sellulose diperlukan untuk menekan tingginya biaya produksi (Iranmahboob dkk., 2002; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Selain itu, proses hidrolisa enzimatik memerlukan pretreatment bahan baku agar struktur sellulosa siap untuk dihirolisa oleh enzim (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Mengingat kerumitan proses hidrolisa enzimatik sebagaimana tersebut di atas, hidrolisa enzimatik dengan enzim sellulose mempengaruhi 43,7% biaya total produksi (Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan dua proses perlakuan awal, hidrolisa asam dan liquid hot water, dan pengaruhnya terhadap hidrolisat yang dihasilkan.

Page 3: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 3

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Asam konsentrasi rendah (encer) pada kondisi reaksi moderat akan mudah menghidrolisa hemisellulosa akan tetapi diperlukan kondisi yang lebih ekstrim untuk dapat menghidrolisa sellulosa. Keuntungan utama hidrolisa dengan asam encer adalah, tidak diperlukannya recovery asam, dan tidak adanya kehilangan asam dalam proses (Iranmahboob dkk., 2002). Umumnya asam yang digunakan adalah H2SO4 atau HCl (Mussatto dan Roberto, 2004) pada range konsentrasi 2-5% (Iranmahboob dkk., 2002; Sun dan Cheng, 2002), dan suhu reaksi ±160oC. Konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya senyawa-senyawa yang bersifat racun pada proses fermentasi. Suhu moderat (<160oC) harus dijaga untuk dapat menghidrolisa hemisellulosa dan menekan dekomposisi gula sederhana. Suhu yang lebih tinggi akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin (Mussatto dan Roberto, 2004). Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xilosa akan terdegradasi menjadi furfural dan hidroksimetilfurfural. Jika furfural dan hidroksimetilfurfural terdekomposisi lanjut, akan didapat asam levulinat dan asam formiat (Mussatto dan Roberto, 2004; Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Degradasi senyawa lignin akan menghasilkan senyawa-senyawa fenol yang sangat berbahaya (Gambar 2) bagi mikroorganisme khususnya bagi membran dan matrik enzim dalam sel (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Oleh karena itu, hidrolisat hasil hidrolisis asam harus dinetralisasi terlebih dahulu untuk meminimalisasi produk inhibitor dan untuk mengkondisikan hidrolisat supaya siap digunakan pada proses selanjutnya (Mussatto dan Roberto, 2004). Mengingat hidrolisa asam encer efektif untuk menghidrolisis hemisellulosa tanpa proses pretreatment terlebih dahulu, proses ini masih tetap digunakan (Iranmahboob dkk., 2002). Untuk meminimalisasi terbentuknya produk inhibitor dari degradasi gula-gula sederhana dan degradasi lignin diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap parameter-parameter proses hidrolisa asam serta proses detoksifikasi (Mussatto dan Roberto, 2004; Iranmahboob dkk., 2002; Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Parameter konsentrasi asam, suhu dan waktu hidrolisa merupakan parameter yang sangat krusial pada proses hidrolisa selain metode detoksifikasi yang tepat sehingga dapat meminimalkan produk inhibitor yang pada akhirnya meningkatkan yield etanol di akhir proses fermentasi (Campo dkk., 2006; Mussatto dan Roberto, 2004; Lavarack dkk., 2002).

Proses hidrolisa secara enzimatis bisa lebih menguntungkan dengan catatan diperlukan proses perlakuan awal yang tepat tanpa membentuk produk samping yang bersifat inhibitor untuk proses fermentasi selanjutnya sehingga yield etanol yang diperoleh optimal (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Salah satu metode perlakuan awal alternatif yang paling banyak dipelajari untuk hidrolisa selulosa/hemiselulosa adalah Liquid Hot Water (LHW) (Bobleter, 1994). LHW dilaporkan memiliki potensi untuk melarutkan sebagian besar hemiselulosa sekaligus meminimalisir hidrolisa selulosa dan reaksi degradasi gula (Perez dan Ballesteros, 2008). Metode ini memiliki range suhu operasi di atas 100oC dengan tetap mempertahankan air (H2O) pada fase liquid. Pada metode ini, struktur ikatan lignin akan terurai akibat perlakuan hidrothermal sedangkan hemiselulosa dan selulosa akan terlarut dalam air sehingga struktur selulosa akan lebih mudah ditembus oleh perlakuan biologis (enzimatik). Selain itu, dalam kondisi terkompresi seiring dengan peningkatan suhu, konstanta disosiasi air (Kw) akan meningkat. Pada 200oC, konstanta disosiasi air (Kw) bernilai 6,0x10-12 (pH=5,61). Sehingga semakin meningkat suhu maka pH larutan akan semakin rendah akibat dari semakin besarnya nilai disosiasi air (Kw). Oleh sebab itu, pada suhu tinggi air dapat berlaku sebagai asam akibat terurainya H2O mejadi ion H+ dan OH- serta tingginya nilai konstanta disosiasi air (Kw) (Mosier dan Hendricson). Sehingga proses hidrolisa akan berjalan efektif, sebagaimana hidrolisa dengan penambahan asam (H2SO4 atupun HCl) disertai keunggulan tanpa terbentuknya senyawa inhibitor diakhir reaksi dan tanpa adanya korosifitas pada peralatan proses, mengingat kondisi asam timbul bukan karena penambahan asam akan tetapi karena adanya ion H+ dari ionisasi air akibat air yang terkompresi (Baig dkk., 2006). Melihat tinjauan literatur yang telah diuraikan di atas, LHW nampaknya merupakan solusi yang paling tepat untuk menghidrolisa bahan lignoselulosa. Mengingat metode ini merupakan metode sederhana, hanya berupa perlakuan fisik, tanpa melibatkan penambahan katalis dan tanpa perlakuan khusus terhadap effluent yang cukup menjanjikan sehingga tidak menimbulkan masalah korosi pada peralatan dan relatif tidak menghasilkan residu yang bersifat inhibitor. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan dua proses perlakuan awal, hidrolisa asam dan liquid hot water, dan pengaruhnya terhadap hidrolisat yang dihasilkan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh metode perlakuan awal yang digunakan (asam dan LHW) terhadap kualitas hidrolisat dengan mengetahui kandungan glukosa yang terbentuk dan ada/tidaknya produk samping (furfural, hidroksi-metil-furfural/HMF, dan senyawa-senyawa turunan fenol yang dihasilkan dalam hidrolisat.

Page 4: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 4

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Gambar 2. Produk samping hasil degradasi lanjut monosakarida (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000)

Metodologi Penelitian Bagasse digunakan sebagai bahan utama pada penelitian ini. Bagas yang tidak segera diproses

disimpan terlebih dahulu di lemari es untuk menghindari tumbuhnya jamur dan atau mikroorganisme. Sedangkan untuk bagas yang akan digunakan, dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105oC selama 16 jam selanjutnya disimpan dalam desikator untuk mempertahankan level moisture (Lavarack dkk., 2002). Sebagian dari bagasse yang telah dijaga level moisture-nya diperkecil ukurannya hingga lolos 120 mesh (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal, 2000). Selanjutnya bagas siap untuk di treatment sesuai dengan kondisi operasi yang telah ditetapkan (Gambar 3) dengan solid/liquid ratio 0,05 w/w.

Pada penelitian dengan metode hidrolisa asam, penelitian ini dilakukan dalam dua tahap: tahap hidrolisa asam dan tahap detoksifikasi. Bahan bagasse yang telah disiapkan dilakukan hidrolisa dengan ditambahkan H2SO4 (0,25, 0,5 dan 0,75 w/w) pada 155oC, 10 bar dan berbagai waktu hidrolisa (5, 15, 30, dan 45 menit). Tahap berikutnya adalah netralisasi /detoksifikasi, yaitu dengan menambahkan kombinasi Ca(OH)2 dan H2SO4 hingga pH hidrolisat mencapai 5,5 (Mussatto dan Roberto, 2004) atau hanya dengan menambahkan NaOH 1 N hingga pH hidrolisat mencapai 5,5 (Iranmahboob dkk., 2002). Sedangkan pada proses LHW pengaruh tekanan, waktu operasi dan pH larutan terhadap kerusakan struktur bagas diteliti dengan melakukan penelitian LHW pada tekanan tinggi (3 bar) dengan tetap mempertahankan air pada fase liquid. Selain itu, penelitian pada tekanan 1 atm (1 bar) juga dilakukan sebagai kondisi kontrol/pembanding. Penelitian ini juga dilakukan dengan memvariasikan waktu operasi (10, 20 dan 30 menit) serta pH larutan dengan ada/tanpa penambahan larutan buffer.

Page 5: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 5

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Gambar 3. Tahapan-tahapan penelitian

Analisa dilakukan di awal maupun diakhir proses, yaitu analisa bahan baku bagas, dan analisa terhadap

hidrolisat yang meliputi analisa glukosa, dan ada/tidaknya senyawa inhibitor (furfural, hidroksimetilfurfural dan senyawa-senyawa turunan fenol) secara kualitatif. Analisa lignin dilakukan dengan metode klason, dan analisa kadar hemisellulosa dan -sellulosa dilakukan dengan menggunakan metode TAPPI Tentative. Hidrolisat yang diperoleh dianalisa kadar glukosa dan xilosanya, ada/tidaknya HMF (hidroksimetil furfural), furfural dan senyawa-senyawa turunan phenol yang dilakukan secara kualitatif. Identifikasi HMF, furfural secara kualitatif menggunakan uji Molisch dengan menambahkan reagen -naphtol (Abdul Rohman dkk., 2007) dan senyawa turunan phenol dengan menambahkan FeCl3 (Auterhoff dkk., 1987). Analisa XRD juga dilakukan untuk mengetahui jenis kristal selulosa dan menghitung derajat kekristalan (CrI) yang ada pada sampel (Yu dkk., 2009). Hasil analisa XRD memberikan data bentuk amorph dan kristal, dimana bentuk

Perlakuan awal-Bagas Pengeringan (105oC, 16 jam) & Pengecilan ukuran (lolos 120

mesh)

Perlakuan Liquid Hot Water 10 g, solid /liquid ratio = 0,05 w/w Suhu dan tekanan operasi : 50oC dan 1 bar;

110oC dan 3 bar Waktu proses (10, 20, dan 30 min) pH larutan : tanpa dan dengan penambahan

buffer basa untuk mempertahankan pH = ± 7

analisa struktur sel bagas (SEM dan XRD)

Hidrolisa asam solid /liquid ratio = 0,05 w/w, 155oC, 10 bar konsentrasi H2SO4 (0,25, 0,5 dan 0,75

w/w) Waktu hidrolisa (5, 15, 30 dan 45 min)

filtrasi

+ Ca(OH)2 hingga pH = 10 + H2SO4 hingga pH = 5,5

+ NaOH 1 N hingga pH = 5,5

detoksifikasi

Hidrolisat analisa glukosa (kuantitatif) Furfural, HMF, senyawa turunan

fenol (kualitatif)

Hidrolisat analisa glukosa (kuantitatif) Furfural, HMF, senyawa

turunan fenol (kualitatif)

Hidrolisat analisa glukosa

(kuantitatif) Furfural, HMF, senyawa

turunan fenol (kualitatif)

Hidrolisat analisa glukosa

(kuantitatif) Furfural, HMF, senyawa

turunan fenol (kualitatif)

Ampas bagas analisa struktur

sel (SEM dan XRD)

filtrasi

Page 6: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 6

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

amorph dibaca pada 2=18,7o dan kristal pada 2=22,4o. Data intensitas amorph (Iam) dan kristal (I002) tersebut digunakan untuk menghitung derajat kekristalan (CrI) sesuai dengan persamaan (1) (Yu dkk., 2009)berikut:

%100002

002 xI

IICrI am (1)

Analisa struktur sel bagase, menggunakan SEM, hanya dilakukan terhadap residu hasil perlakuan awal dengan metode LHW, mengingat metode ini dilaporkan dapat merusak struktur sel secara efektif untuk digunakan pada proses enzimatik selanjutnya. Secara lengkap tahapan penelitian ditampilkan pada Gambar 3. Hasil dan Pembahasan Analisa terhadap bahan baku bagas yang digunakan pada penilitian ini sbb: kadar lignin sebesar 17,08% dan berturut-turut kadar hemisellulosa dan -sellulosa sebesar 42,28; dan 40,66%-berat dengan derajat kekristalan (CrI) sebesar 60,54%.

Bagas adalah bahan lignoselulosa yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah polimer dari polisakarida berantai lurus yang tersusun atas unit-unit glukosa atau unit sellobiosa dengan penghubung ikatan -1-4-glukan. Hemiselulosa merupakan heteropolimer yang mengandung galaktosa, glukosa, arabinosa, dan sedikit rhamnosa, asam glukoronik, asam metil glukoronik dan asam galakturonik. Berkebalikan dengan selulosa, hemiselulosa memiliki struktur acak dan amorph sehingga lebih mudah dihirolisa dibandingkan selulosa yang memiliki struktur kristal (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Sedangkan lignin adalah molekul komplek yang terdiri atas unit-unit fenilpropana yang umumnya sulit didegradasi (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Umumnya unit-unit fenilpropana tersebut merupakan jaringan senyawa bergugus fenol (alkohol aromatik) yaitu: koniferil, sinapil, dan p-koumaril alkohol (Bjerre dan Schmidt, 1997). Perlakuan Awal dengan Metode Asam Encer Metode perlakuan awal dengan asam encer ini sekaligus juga menghidrolisa hemisellulosa dan sellulosa menjadi gula-gula sederhana yang siap untuk difermentasi, sehingga hidrolisat yang didapatkan dari metode ini harus siap untuk digunakan pada proses fermentasi selanjutnya. Penelitian pendahuluan untuk asam encer ini dilakukan menggunakan alat yang berbeda, yaitu autoclave dan oven. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel (konsentrasi asam, suhu dan waktu hidrolisa) terhadap yield glukosa. Lavarack dkk. (2002) mendapatkan kondisi optimum pada suhu maksimum 160oC, tekanan 2–3 bar dengan waktu hidrolisa 3–4 jam. Hidrolisa menggunakan autoclave dilakukan pada 121–126oC, 1–1,5 bar dan waktu hidrolisa 70, 90, 110, 130 menit, sedangkan pada oven dilakukan pada suhu 125oC dan tekanan 1 atm selama 180, 200, 220, 240 menit. Penelitian pendahuluan ini menggunakan bagasse dengan solid/liquid ratio 0,05 w/w dan konsentrasi H2SO4 0,25 dan 0,75 w/w.

Hasil analisa glukosa menunjukkan bahwa semakin lama hidrolisa dilakukan maka semakin besar perolehan yield glukosa. Namun terdapat beberapa hasil yang menunjukkan adanya penurunan perolehan glukosa (data tidak ditnjukkan). Penurunan tersebut disebabkan tidak homogennya campuran bagasse dengan larutan H2SO4 sehingga luas permukaan kontak antara bagasse dengan larutan H2SO4 tidak optimal. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya bagasse yang terapung dan tidak tercampur dengan larutan H2SO4 di akhir proses hidrolisa. Perolehan hasil glukosa menunjukkan bahwa kondisi hirolisa 121–126oC dan 1-1,5 bar lebih baik, karena yield glukosa yang diperoleh lebih besar dengan waktu yang lebih singkat, 18,7411% dengan waktu hidrolisa130 menit. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan operasi mempengaruhi proses hidrolisa.

Perolehan yield glukosa dari kedua metode tersebut tidak optimal (maksimal perolehan yield glukosa sebesar 21,4313 g glukosa/g bagasse dengan waktu hidrolisa 240 menit). Menurut Balat (2007), hidrolisa pada suhu tinggi 180–220oC, hemiselulosa dapat terkonversi sebesar 80–95% dan selulosa terkonversi sebesar 50–55%. Mengingat, kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam bahan baku bagasse yang digunakan lebih besar dari 50% maka seharusnya yield glukosa yang diperoleh dapat lebih besar. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dilakukan pada suhu dan tekanan operasi yang lebih tinggi dan disertai pengadukan. Hidrolisa

Page 7: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 7

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

selanjutnya dilakukan pada 155oC, 10 bar selama 5, 15, 30, dan 45 menit. memberikan yield glukosa maksimum sebesar 59,1378 g glukosa/g bagasse pada konsentrasi H2SO4 0,75 (w/w) dan waktu hidrolisa 45 menit (Gambar 4).

Gambar 4. Yield glukosa (%) hasil hidrolisa asam pada kondisi 155oC, 10 bar dengan berbagai konsentrasi asam (H2SO4) dan waktu reaksi.

Konsentrasi asam yang tinggi menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih mudah terdegradasi

menjadi glukosa dan senyawa gula lainnya, terlebih lagi diiringi waktu kontak yang lama. Namun, seiring dengan tingginya konsentrasi asam dan waktu reaksi, inhibitor yang dihasilkan juga semakin besar. Menurut Kim et al (2002), dengan bahan yang sama diperoleh yield glukosa maksimal sebesar 34% pada suhu 200oC, konsentrasi asam 0,3% selama waktu 20 menit. Sedangkan pada penelitian ini yield glukosa maksimal sebesar 59,1378 g glukosa/g bagasse pada temperatur 155oC, konsentrasi asam 0,75% selama 45 menit.

Gambar 5. Yield glukosa (%) sebelum dan setelah proses detoksifikasi (kondisi hidrolisa:155oC, 10 bar, 45 menit waktu hidrolisa dan berbagai konsentrasi asam (H2SO4)).

Detoksifikasi bertujuan agar hidrolisat yang dihasilkan mempunyai kandungan inhibitor yang lebih

kecil, selain itu juga mengatur pH agar tidak mengganggu pertumbuhan bakteri pada proses fermentasi

Page 8: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 8

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

pembentukan etanol. Gambar 5 menunjukkan bahwa yield glukosa setelah detoksifikasi mengalami penurunan sebesar 15–25%. Hal ini terjadi pada hidrolisat hasil konsentrasi asam 0,75 w/w sebelum detoksifikasi yield glukosa sebesar 59,1378 g glukosa/g bagasse, sedangkan setelah detoksifikasi (menambahkan Ca(OH)2 hingga pH = 10 selanjutnya ditambahkan H2SO4 hingga pH = 5,5) yield glukosa menjadi 46,2489 g glukosa/g bagasse dan setelah detoksifikasi 2 (menambahkan NaOH 1 N hingga pH = 5,5) menjadi 47,3156 g glukosa/g bagasse. Martin et al., (2002) juga menunjukkan adanya penurunan yield senyawa gula setelah mengalami proses detoksifikasi.

Kedua metode detoksifikasi tersebut di atas, tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap penurunan yield glukosa ataupun senyawa inhibitor yang dihasilkan (asam formiat dan phenol monomer), yaitu berkisar antara 2–5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi H2SO4 maka kadar asam formiat juga semakin besar. Kadar asam formiat terbesar yaitu 17,637% dengan yield glukosa maksimum 59,1378 g glukosa/g bagasse tercapai pada konsentrasi H2SO4 0,75 w/w. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan konsentrasi yang tinggi, glukosa dan senyawa gula lainnya akan lebih banyak terdegradasi membentuk hidroksi-metilfurfural dan furfural (Palmqvist and Hahn-Hagerdal, 2000). Detoksifikasi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penurunan kadar asam formiat, antara 25–30%. Kadar asam fomiat pada konsentrasi asam 0,75 w/w sebesar 17,637%, sebelum detoksifikasi sedangkan dengan menggunakan metode detoksifikasi 1 kadar asam formiat sebesar 11,534% dan dengan metode detoksifikasi 2 diperoleh kadar 13,139%. Kedua metode detoksifikasi yang dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap penurunan kadar asam formiat. Kecenderungan hasil yang sama juga terdapat pada kandungan phenol monomer. Proses detoksifikasi memberikan penurunan kadar phenol monomer 20–25%, namun kedua metode detoksifikasi tersebut tidak memberikan perbedaan yang cukup signifikan terhadap penurunan kadar phenol monomer. Hasil penurunan kandungan asam formiat dan senyawa phenol monomer dengan kedua metode detoksifikasi yang dilakukan tidaklah signifikan dimungkinkan karena pH hidrolisat akhir yang diinginkan sama (pH = 5,5). Perlakuan Awal dengan Metode LHW Metode perlakuan awal dengan Liquid Hot Water ini berbeda dengan metode asam yang dilakukan sebelumnya. Dimana Hidrolisat yang dihasilkan akan digabungkan dengan residu yang telah mengalami proses enzimatik lanjut sebagai bahan untuk proses fermentasi. Oleh sebab itu, pada proses LHW ini, keberadaan hidrolisat dan residu sangat penting karena keduanya masih akan dimanfaatkan pada proses berikutnya.

Gambar 6. Kromatogram hasil analisa XRD untuk residu bagasse pada berbagai kondisi operasi LHW

Gambar 6 menunjukkan hasil analisa XRD bagas pada berbagai kondisi perlakuan LHW. Terlihat bahwa bagas sebelum dan sesudah perlakuan LHW masih memiliki komponen-komponen dengan bentuk amorph (hemiselulosa dan lignin) dan kristal (selulosa) (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Bentuk amorph

kristal

amorph

untreated bagas 10 min, 101,35kPa 10 min, 304,05kPa 30 min, 304,05kPa

Page 9: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 9

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

ditunjukkan saat 2=18,7o dan kristal pada 2 =22,4o (Yu dkk., 2009). Selanjutnya data intesitas untuk masing-masing 2tersebut digunakan untuk menghitung derajat kekristalan (CrI) sesuai dengan persamaan (1) dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 1.

Nilai derajat kekristalan selulosa (CrI) meningkat dengan adanya peningkatan tekanan dan waktu operasi. Hal ini berhubungan dengan terpisahkannya komponen-komponen amorph (lignin dan hemiselulosa) pada bagas (Yu dkk., 2009), sehingga intensitas kristal keseluruhan meningkat. Namun derajat kekristalan tidak dapat dijadikan satu-satunya faktor pengukur aksesibilitas bahan lignoselulosa terhadap perlakuan enzimatik sehingga perlu didukung oleh data-data lainnya.

Tabel I. Kandungan glukosa dan yield glukosa di dalam hidrolisat hasil perlakuan LHW (110oC, 3 bar)

Kondisi operasi Waktu (menit)

Kadar glukosa (g/L)

Yield glukosa (g glukosa/g bagasse)

1 bar 50oC

Buffer/B

10 7,7715 0,3886 15 8,4780 0,4239 20 9,1845 0,4592 30 10,2443 0,5122

Non Buffer/

NB

10 15,8963 0,7948 15 18,0158 0,9008 20 18,3690 0,9185 30 19,4288 0,9714

3 bar 110oC

Buffer/B

10 18,0158 0,9008 15 18,7223 0,9361 20 19,7820 0,9891 30 20,8418 1,0421

Non Buffer/

NB

10 125,4038 6,2702 15 160,3755 8,0188 20 201,3525 10,0676 30 215,4825 10,7741

Tabel I menunjukkan bahwa kenaikan waktu operasi akan memperbesar kandungan glukosa pada

hidrolisat, baik dengan ataupun tanpa penambahan larutan buffer. Waktu kontak antara bahan dengan air akan semakin besar dengan meningkatknya waktu operasi, sehingga akan semakin lama waktu reaksi hidrolisa sellulosa menjadi glukosa dan hemisellulosa menjadi unit-unit gula penyusunnya.

Sejauh ini, tujuan untuk mendapatkan glukosa seminim mungkin di dalam hidrolisat telah tercapai, didapatkan kadar glukosa sebesar 7,7715-215,4825 g/L di dalam hidrolisat atau yield glukosa 0,3886-10,7741 g glukosa/ g bagasse. Nilai tersebut jauhlebih kecil dibandingkan perolehan glukosa di dalam hidrolisat hasil perlakuan asam, 59,1378 g glukosa/ g bagasse. Diinginkan kandungan glukosa minimal di dalam hidrolisat di karenakan konversi hidrolisa maksimal diinginkan terjadi saat bahan lignosellulosa dihidrolisa secara enzimatik. Semakin kecil produk monosakarida yang diperoleh setelah perlakuan LHW maka semakin kecil pula kemungkinan terjadinya degradasi monosakarida menjadi senyawa turunananya, furfural, HMF dan fenol (Gambar 2) yang bersifat inhibitor.

Analisa kualitatif terhadap hidrolisat untuk identifikasi adanya senyawa turunan fenol menunjukkan hasil yang negatif. Analisa dilakukan dengan menambahkan larutan FeCl3 untuk mendeteksi adanya senyawa dengan gugus fenol. Reaksi positif jika hidrolisat yang ditambahkan larutan FeCl3 memberikan perubahan warna merah hingga keunguan (Auterhoff, 1987). Sebagaimana telah diuraikan di atas, umumnya unit-unit fenilpropana penyusun lignin merupakan jaringan senyawa dengan gugus fenol (alkohol aromatik) yaitu: koniferil, sinapil, dan p-koumaril alkohol (Bjerre dan Schmidt, 1997). Akan tetapi Bjerre dan Schmidt (1997) juga menyebutkan bahwa lignin dapat tersusun atas asam-asam seperti: asam ferulat, asam p-koumarik dan p-hidroksi asam benzoat. Mengingat analisa kualitatif dengan larutan FeCl3 memberikan hasil yang negatif, diduga lignin bagas tidak terdiri atas senyawa dengan gugus fenol (koniferil, sinapil, dan p-koumaril alkohol) akan tetapi tersusun atas asam-asam. Selain itu, uji kualitatif juga dilakukan untuk mengidentifikasi adanya furfural dan hidroksimetilfurfural (HMF) dalam hidrolisat yang diperoleh. Uji dilakukan dengan

Page 10: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 10

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

menambahkan larutan -naphtol ke dalam hidrolisat, uji positif jika larutan berubah warna menjadi keunguan (Auterhoff, 1987). Ternyata hasil uji furfural dan HMF adalah negatif sehingga dapat dikatakan bahwa LHW tidak menghasilkan produk samping sebagai akibat dari degradasi monosakarida. Perlakuan awal metode LHW pada suhu dan tekanan yang lebih tinggi Mengingat hidrolisat hasil LHW tidak terdapat furfural, hidroksi metil furfural dan senyawa-senyawa turunan fenol maka lebih lanjut pengaruh kondisi operasi LHW penelitian juga dilakukan pada Rumput Galah (Saccharum spontaneum Linn) yang masih berkerabat dekat dengan bagasse (Saccharum officinarum sp.). Penelitian dilakukan pada kondisi operasi 200oC dan 20 bar dengan waktu reaksi tertentu (10, 20, 30, 45, 60 menit) dan ada/tidaknya penambahan larutan buffer.

Rumput Galah memiliki klasifikasi sebagai berikut: Divisio: Spermatophyta, Sub Divisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo/Bangsa: Glumiflorae, Family/Suku: Gramineae, Marga: Saccharum, dan Jenis: Saccharum spontaneum Linn. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini masih berkerabat dekat dengan tebu (Saccharum officinarum). Saccharum spontaneum Linn memiliki kandungan selulosa sebanyak 41-45% berat, hemiselulosa terkandung 29-31% berat lignoselulosa, dan lignin sebanyak 16-18% berat dari lignoselulosa (Ramirez) dan derajat kekristalan (CrIB) sebesar 60,68% dan 66,60% masing-masing untuk daun dan batang.

Sebagaimana pada penelitian sebelumnya, saat digunakan bahan baku bagasse, hasil analisa menunjukkan adanya pengurangan hemiselulosa sebanyak 10,46% untuk variabel tanpa penambahan larutan buffer dan, 10,49% untuk sebaliknya. Pengurangan lignin sebesar 23,16% untuk variabel tanpa penambahan larutan buffer dan 22,24% dengan penambahan larutan buffer. Pengurangan selulosa pada batang hanya 1,28% dan 1,42% berturut-turut untuk variabel tanpa penambahan larutan buffer dan dengan penambahan larutan buffer. Chang dan Holtzapple (2000) menyatakan bahwa perlakuan awal yang efektif adalah yang dapat mengurangi kandungan lignin sebesar 10%. Pengurangan kadar lignin akan mengakibatkan laju hidrolisa meningkat dan juga akan berdampak terhadap daya serap dari enzim.

Gambar 7. Hasil pencitraan SEM penampang melintang bahan: (A) Batang Saccharum spontaneum Linn sebelum perlakuan LHW, (B) Batang Saccharum spontaneum Linn setelah perlakuan LHW (200oC, 20 bar, 60 min), (C) bagasses sebelum perlakuan LHW dan (D) bagasses setelah perlakuan LHW (110oC, 3 bar, 20 min).

A B

C D

Page 11: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 11

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Perbedaan hasil antara LHW pada kondisi rendah (110oC, 3 bar) dan tinggi (200oC, 20 bar) terlihat pada Gambar 7. Gambar 7A memperlihatkan struktur sel Rumput Galah sebelum diberikan perlakuan LHW dan untuk bagasse ditampilkan pada Gambar 7C. Terlihat dengan jelas adanya bentuk poligonal bersekat diidentifikasi sebagai parenkim (P), sedangkan bagian serat yang bergerombol diidentifikasi sebagai vaskular (vb) pada struktur sel Rumput Galah namun tidak demikian dengan bagasse. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya wax dan lignin yang masih terdapat pada bagasse, mengingat bagasse adalah batang tebu (Saccharum officinarum sp.) yang keluar setelah stasiun giling pada pabrik tebu. Struktur sel setelah perlakuan LHW ditampilkan pada Gambar 7B dan 7D. Pada kondisi operasi yang lebih tinggi (200oC, 20 bar) kerusakan struktur sel yang terjadi lebih besar dan parah dibandingkan pada kondisi operasi rendah (110oC, 3 bar), sehingga kondisi operasi yang lebih tinggi lebih memperbesar aksessibel area bahan untuk proses enzimatik selanjutnya. Semakin besar aksessibel area yang ada, diharapkan glukosa yang dihasilkan akan semakin meningkat sehingga pada akhirnya akan memperbesar perolehan yield etanol.

Kadar glukosa-xilosa pada hirolisat bervariasi (data tidak ditunjukkan), kadar glukosa tertinggi, sebesar 0,02884%-b, diperoleh dari hidrolisat pada variabel daun dengan penambahan larutan buffer dan waktu operasi 30 menit. Sedangkan untuk batang, kadar glukosa tertinggi pada penambahan larutan buffer dan 45 menit waktu operasi. Perlakuan yang dilakukan pada suhu tinggi (200-230oC) dan tekanan tinggi (20-25 bar), dimana pada kondisi tersebut air berada pada keadaan subkritis dan air dapat bertindak sebagai asam, sehingga glukosa dengan mudah dapat terdekomposisi menjadi senyawa inhibitor, seperti 5-hidroximetil furfural (Yu dkk., 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diambil kesimpulan bahwa proses Liquid Hot Water dapat menyebabkan berkurangnya kandungan hemiselulosa dan lignin pada Saccharum spontaneum Linn serta tidak menghasilkan senyawa inhibitor (HMF, furfural, dan senyawa turunan phenol) pada hidrolisat; kenaikan waktu operasi memperbesar %removal hemiselulosa dan lignin dari Saccharum spontaneum Linn. Kadar monosakarida (glukosa) terbesar pada hidrolisat terdapat pada daun, dengan waktu operasi 30 menit yaitu sebanyak 0,02884%, dengan penambahan larutan buffer dan kerusakan struktur terbesar akibat proses treatment terjadi pada daun dengan waktu operasi 60 menit. Metode LHW dengan kondisi operasi yang lebih tinggi, mampu menekan terbentuknya gula-gula sederhana dan tidak menghasilkan senyawa-senyawa inhibitor. Kesimpulan Hasil penelitian memberikan kesimpulan sebagai berikut: semakin tinggi konsentrasi asam (H2SO4) dan waktu hidrolisa maka yield glukosa yang diperoleh akan semakin besar, yield glukosa maksimal sebesar 59,1378 g glukosa/g bagasse diperoleh pada kondisi 155oC, 10 bar dengan konsentrasi H2SO4 0,75 (w/w) selama 45 menit; tahap detoksifikasi mengakibatkan penurunan kandungan glukosa 15–25 %, asam formiat 25–30% dan senyawa phenol monomer sebesar 20–25%; dan kedua metode detoksifikasi yang digunakan tidak memberikan hasil yang signifikan (perbedaan yang terjadi berkisar 2–5%) terhadap penurunan kandungan.

Perlakuan terhadap bagasse dengan metode LHW memberikan kandungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode asam, glukosa sebesar 7,7715-215,4825 g/L di dalam hidrolisat atau yield glukosa 0,3886-10,7741 g glukosa/ g bagasse. Suhu dan tekanan operasi serta penambahan larutan buffer mempengaruhi perolehan glukosa di dalam hidrolisa.

Perlakuan LHW pada suhu dan tekanan lebih tinggi (hingga 200oC dan 20 bar) memperbesar kerusakan struktur sel bahan serta meminimalkan perolehan glukosa di dalam hidrolisat. Hidrolisat hasil LHW tidak terdapat furfural, HMF dan senyawa-senyawa turunan fenol. DAFTAR PUSTAKA Baig dkk., 2006. Conversion of Extracted Rice Bran & Isolation of Pure Bioethanol by means of Supercritical

Fluid Technology, Universitat Hamburg, Hamburg. Bobleter, Ortwin., 1994. Hydrothermal Degradation of Polymer Derived from Plants, Polymer Sciences, 19,

pp.797-841. Del Campo, I., Alegria, I., Zazpe, m., Echeverria, M., Echeverria, I., 2006. Diluted acid hydrolysis

pretreatment of agri-food wastes for bioethanol production. Industrial Crops and Products, 24: 214–221.

Page 12: “Pengaruh Metode Pretreatment pada Bahan …personal.its.ac.id/files/pub/3306-orchidea-chem-eng-E-10.pdf · MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA ... hidrolisa asam dan liquid hot

E10- 12

MAKALAH SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA SOEBARDJO BROTOHARDJONO

“ Ketahanan Pangan dan Energi “

Surabaya, 24 Juni 2010

ISSN 1978 - 0427

Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002. Optimizing acid-hydrlysis: a critical step for production of ethanol from mixed wood chips. Biomass and Bioenergy, 22: 401–404.

Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y.Y., Holtzapple, M., Ladisch, M., 2005. Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Technol., 96, 673-686.

Mosier, N., dan Hendrickson, R., Optimization of pH Controlled Liquid Hot Water of Corn Stover, Purdue University.

Mussatto, S.I., Roberto, I.C., 2004. Alternatives for detoxification of dilute-acid lignocellulosic hydrolyzates for use in fermentative process: a review. Bioresource Technology, 93, 1-10.

Palmqvist, E., Hahn-Hägerdal, B., 2000. Review paper. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates. II: inhibitors and mechanisms of inhibition. Bioresource Technology, 74, 25-33.

Perez, J., Ballesteros, I., “Optimising Liquid Hot Water Pretreatment Conditions to Enhance Sugar Recovery from Wheat Straw for Fuel-Ethanol Production”, Fuel, 87, pp.3640-3647, 2008.

Sun, Y., Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technol., 83, 1-11.

Szczodrak, J., Fiedurek, J., 1996. Technology for conversion of lignocellulosic biomass to ethanol. Biomass Bioenerg., 10, 367-375.

Taherzadeh, Mohammad J., dan Karimi, Keikhosro, Pretreatment of Lignocellulosic Wastes to Improve Ethanol and Biogas production: A Review, International Journal of Molecular Sciences, 9, pp.1621-1651, 2008.