pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron berat testis diameter tubulus...

13
1 PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK Tesis, Januari 2012 Rika Sri Wahyuni PENGARUH ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON BERAT TESTIS DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS dan SPERMATOGENESIS TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) ABSTRAK Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik pria maupun wanita sekitar 80% dari 400 juta pasangan. Saat ini, angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. Kelainan pada pria memberi kontribusi 30% dan 20% disebabkan kelainan kedua belah pihak pasangan. Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak menyadari bahwa makanan yang dimakan sehari-hari juga dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Salah satu makanan tersebut adalah kedelai, kedelai mengandung isoflavon yang memiliki sifat estrogen like dan antiandrogenik sehingga dapat menyebabkan infertilitas pada pria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh isoflavon terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus ). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan post test only control group design, terhadap tikus putih jantan dengan berat 150250g. Sampel terdiri dari 25 ekor tikus yang dibagi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Kelompok perlakuan diberikan isoflavon dengan dosis masing-masing 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04mg diberikan peroral selama 48 hari. Kemudian tikus dikorbankan, diambil darah dan testisnya. Dilanjutkan dengan melakukan pengukuran kadar hormone testosterone, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis. Kemudian hasilnya dianalisa dengan menggunakan One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparrison jenis Bonferroni. Hasil penelitian didapat bahwa dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap kadar hormon testosteron dibandingkan kelompok kontrol. Pada berat testis penurunan yang signifikan terlihat pada dosis 3,78mg, pada diameter tubulus seminiferus penurunan signifikan baru terlihat pada dosis 5,04mg dibandingkan kelompok kontrol. Terjadi penurunan sel spermatogonium secara signifikan pada dosis 2,52mg, penurunan sel spermatosit yang signifikan terdapat pada dosis 5,04mg, sedangkan pada sel spermatid dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan. Dari hasil ini disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus novergicus). Kata Kunci: Isoflavon Kedelai, Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus, Spermatogenesis

Upload: viean25

Post on 08-Aug-2015

144 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

1

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

Tesis, Januari 2012

Rika Sri Wahyuni

PENGARUH ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON BERAT

TESTIS DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS dan SPERMATOGENESIS TIKUS PUTIH

JANTAN (Rattus norvegicus)

ABSTRAK

Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik pria maupun wanita

sekitar 80% dari 400 juta pasangan. Saat ini, angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta

pasangan di Indonesia. Kelainan pada pria memberi kontribusi 30% dan 20% disebabkan kelainan kedua

belah pihak pasangan. Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak menyadari bahwa makanan yang dimakan

sehari-hari juga dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Salah satu makanan tersebut adalah kedelai,

kedelai mengandung isoflavon yang memiliki sifat estrogen like dan antiandrogenik sehingga dapat

menyebabkan infertilitas pada pria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh isoflavon terhadap

kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis pada tikus putih

jantan (Rattus norvegicus ).

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan post test only control group design, terhadap tikus

putih jantan dengan berat 150–250g. Sampel terdiri dari 25 ekor tikus yang dibagi 5 kelompok yaitu

kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Kelompok perlakuan diberikan isoflavon

dengan dosis masing-masing 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04mg diberikan peroral selama 48 hari.

Kemudian tikus dikorbankan, diambil darah dan testisnya. Dilanjutkan dengan melakukan pengukuran kadar

hormone testosterone, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis. Kemudian hasilnya

dianalisa dengan menggunakan One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparrison jenis

Bonferroni.

Hasil penelitian didapat bahwa dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap

kadar hormon testosteron dibandingkan kelompok kontrol. Pada berat testis penurunan yang signifikan

terlihat pada dosis 3,78mg, pada diameter tubulus seminiferus penurunan signifikan baru terlihat pada dosis

5,04mg dibandingkan kelompok kontrol. Terjadi penurunan sel spermatogonium secara signifikan pada dosis

2,52mg, penurunan sel spermatosit yang signifikan terdapat pada dosis 5,04mg, sedangkan pada sel spermatid

dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan.

Dari hasil ini disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar

hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus

novergicus).

Kata Kunci: Isoflavon Kedelai, Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus,

Spermatogenesis

Page 2: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

2

PENDAHULUAN

Infertilitas merupakan masalah yang

dialami pria dan wanita diseluruh dunia.

Infertilitas adalah pasangan yang menjalani

hubungan seksual secara teratur tanpa

perlindungan selama 12 bulan dan tidak terjadi

kehamilan. Kasus infertilitas sejak beberapa tahun

terakhir meningkat (Llewellyn, 2001). Menurut

Siswono (2003) dalam Afriani (2010)

menyebutkan di negara-negara maju seperti

Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik

pria maupun wanita sekitar 80% dari 400 juta

pasangan, dan Kurniawan (2009) menyebutkan

berdasarkan survey keseharan rumah tangga

(1996) diperkirakan ± 3,5 juta pasangan (7 juta

orang) mengalami infertil. Saat ini, para ahli

memastikan angka infertil meningkat mencapai

15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di

Indonesia.

Dahulu perhatian terfokus hanya pada

pihak wanita saja sebagai penyebab ketidak

suburan pasangan. Saat ini diketahui kelainan

pada pria memberi kontribusi 30% dan 20%

disebabkan kelainan kedua belah pihak pasangan.

Oleh sebab itu faktor pria atau suami memegang

kontribusi 50% pada pasangan infertil atau

dengan kata lain baik suami maupun isteri

mempunyai kontribusi yang sama (Trilsky, 2008).

STUDY PROGRAM OF BIOMEDICINE Thesis, January 2012 Rika Sri Wahyuni THE EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE GIVEN ON ESTRADIOL AND PROGESTERONE HORMONE LEVEL ON FEMALE WHITE RATTS (Rattus norvegicus)

ABSTRACT

The countries like America, and Japan, it was found that the cases of infertile men and women

were about 80% from 400 million couples. Today, many experts ensure that the rate number of infertility

increases 15% -20% of approximately 50 million couples in Indonesia. The abnormalities also happen to

men contributed 30% and 20% due to the abnormalities of both couples. Society, especially men, do not

realize that the foods daily consumed are also one of the infertility factors. One of these foods are

soybeans, soybean contains isoflavone with estrogen-like and antiandogenik, which can cause men’s

infertility. This study aims at finding out the effect of soybean isoflavone on testosterone hormone level

with testis weight of diameter of seminiferous tubules and spermatogenesis in male white rats (Rattus

norvegicus).

This research approach is post test only control group design, treated to the male white rats

weighing 150-250g. The sample consisted of 25 rats, which were divided into 5 groups: control group

(K), treatment group of P1, P2, P3 and P4. The treatment groups were orally given a dose of isoflavones

for each, 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg and 5,04mg for 48 days. After 48 days of treatment the rats were

sacrificed, their blood and testes were taken. Then, the results were analyzed by using One Way ANOVA

and continued by multiple comparison test typed Benferroni.

The finding of the study showed a dose of 1.26 mg has shown a significant decline in

testosterone levels than the control group. In a significant reduction of testicular weight seen at doses of

3.78 mg, the diameter of seminiferous tubules decreased significantly look at a dosage of 5.04 mg than

the control group. A decline in spermatogonial cells was significantly at doses of 2.52 mg, a significant

decrease in spermatocyte cells contained in the 5.04 mg dose, whereas at doses of 1.26 mg spermatids

cells have shown a significant decline.

From the results, it is concluded that there is significant effect of soybean isoflavones on levels

of the hormone testosterone with testis weight of diameter of seminiferous tubule and spermatogenic. It

is suggested to carry out a further research on the effect of isoflavones on sperm quality of Leydig cells,

Sertoli cells, estrogen hormone levels and cholesterol in male rats.

Key Words: Soybean Isoflavone, Hormone Levels of Testosterone, Testis Weight, Diameter of

Seminiferous Tubules, Spermatogenesis

Page 3: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

3

Analisis yang dilaporkan oleh beberapa klinik

yang meliputi jumlah pasien yang banyak dalam

dua dekade yang lalu adalah faktor laki-laki

(produksi sperma cacat, kesulitan inseminasi)

30%-40%, faktor ovulasi 5%-25%, faktor tuba

atau uterus 15%-25%, faktor servik/imunologik

5%-10%, tidak dapat dijelaskan setelah

investigasi 10%-25% (Llewellyn, 2001).

Hasil penelitian terkini menjelaskan

bahwa adanya kemungkinan efek yang merugikan

dari toksin lingkungan, seperti dari tumbuhan

terhadap fungsi reproduksi (Brandell, 2000).

Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak

menyadari bahwa makanan yang dimakan sehari-

hari juga dapat menjadi faktor penyebab

infertilitas.

Di Indonesia, kedelai merupakan salah

satu komoditi pangan utama setelah padi dan

jagung. Hasil penelitian yang dilakukan Muchtadi

menyimpulkan bahwa produk olahan kedelai yang

paling banyak dikonsumsi oleh penduduk

golongan menengah dan bawah adalah tahu dan

tempe. Selain itu, kedelai juga mengandung

isoflavon, yang merupakan salah satu senyawa

fitokimia (Muchtadi, 2010)

Kandungan isoflavon pada kedelai

berkisar 2-4 mg/g kedelai. Senyawa isoflavon

tersebut pada umumnya berupa senyawa

kompleks atau konjugasi dengan senyawa ikatan

glukosa.Selama proses pengolahan, baik melalui

proses fermentasi maupun proses non-fermentasi,

senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi,

terutama melalui proses hidrolisa, sehingga dapat

diperoleh senyawa senyawa isoflavon bebas yang

disebut aglikon (Prawiroharsono, 1998)

Isoflavon memiliki kemiripan struktur

kimia dengan estrogen pada mamalia. Cincin

fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting

pada kebanyakan komponen isoflavon yang

berfungsi untuk berikatan dengan reseptor

estrogen. Isoflavon mampu berikatan dengan

Reseptor Estrogen (RE), dengan sifatnya yang

agonis ataupun antagonis. Isoflavon sebagai

senyawa estrogen like, mengawali kerjanya

dengan cara meniru cara kerja estrogen (Winarsi,

2005).

Isoflavon dapat berikatan dengan

receptor estrogen di hipofisis anterior untuk

menstimulus pengeluran Follicle Stimulating

Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)

sesuai dengan poros hipotalamus-hipofisis-tetis.

Hipotalamus mensintesis Gonadotropin-Releasing

Hormon (GnRH), dan mensekresinya ke dalam

portal hipotalamus-hipofisis. Setelah mencapai

hipofisis anterior GnRH merangsang pelepasan

LH maupun FSH. LH diambil oleh sel-sel leydig

yang berikatan pada reseptor spesifik membran

dan menyebabkan sekresi androgen. Sebaliknya,

peningkatan kadar androgen akan menghambat

sekresi LH dari hipofisis anteriror melalui suatu

efek langsung pada hipofisis dan suatu efek

penghambat pada tingkatan hipotalamus. Baik

hipotalamus maupun hipofisis memiliki reseptor

androgen dan estrogen. Namun demikian, efek

inhibisi utama androgen terhadap hipotalamus

tampaknya terutama diperantarai oleh estradiol

yang dapat dihasilkan lokal dari aromatisasi

testosteron. Sedangkan FSH terikat reseptor

spesifik pada sel-sel sertoli ditubulus seminiferus

dan merangsang pembentukan Androgen Binding

Protein (ABP). FSH penting untuk mengawali

spermatogenesis, namun pematangan spermatozoa

tidak hanya memerlukan efek FSH saja, tetapi

juga efek testosteron. Kerja utama FSH pada

spermatogenesis mungkin terjadi melalui

stimulasi pembentukan ABP, yang

memungkinkan kadar testosteron intratubular

yang tetap tinggi (Greenspan, 1998)

Salah satu dampak negatif yang

ditimbulkan adalah adanya penurunan kadar

testosteron yang menyebabkan penurunan kualitas

spermatozoa yang diperoleh dari hasil penelitian

yang dikutip dari penelitian Weber dalam

Karahalil (2006) menyimpulkan bahwa kadar

testosteron dan androestenidion, serta berat

prostat pada tikus jantan dewasa Sprague-Dawley

yang diberi diet kaya fitoestrogen dalam jangka

pendek menurun secara signifikan.

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa

pemberian tepung kedelai sebagai sumber

fitoestrogen kepada kelinci (dosis 246 dan 490

mg/kg bb) berpengaruh menurunkan aspek

reproduksi khususnya kualitas spermatozoa,

spermatogenesis dan luas jaringan interstisial

(Kuntana, 2009)

Mitchel (2001) menyebutkan bahwa

konsumsi isoflavon pada pria umur 18-46 tahun

dengan dosis 40-70 mg/hari dilaporkan tidak akan

mempengaruhi kualitas spermatozoa, sedangkan

Astuti (1999) menyatakan pada pemberian

genistein (salah satu bentuk isolate isoflavon

murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat

badan/hari dilaporkan menyebabkan perubahan

pada berat testis, serta berkurangnya volume

lumen pada tubuli seminiferus dan terganggunya

spermatogenesis (Astuti, 2009)

Akhir-akhir ini, senyawa fitoestrogen

banyak menarik perhatian masyarakat, khususnya

dalam dunia medis, karena banyaknya laporan

dari beberapa peneliti bahwa konsumsi makanan

berbasis tanaman kaya fitoestrogen sangat

bermanfaat untuk kesehatan (Winarsi, 2005).

Namun karena ia juga bersifat estrogen like

peneliti bermaksud untuk melihat pengaruh

isoflavon kedelai terhadap kadar hormon

testosteron, berat testis, diameter tubulus

Page 4: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

4

seminiferus dan spermatogenesis pada tikus jantan

karena kedelai dan produknya mengandung

isoflavon dan banyak dikonsumsi oleh seluruh

lapisan masyarakat.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

experimental, dengan rancangan penelitian

posttest only control group design yaitu

rancangan yang digunakan untuk mengukur

pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen

dengan cara membandingkan kelompok tersebut

dengan kelompok kontrol (Daniel, 1999)

Populasi dalam penelitian ini adalah

tikus putih betina (Rattus novergicus) yang

terdapat pada Unit Pemeliharaan hewan

percobaan (UPHP), dengan pertimbangan tikus

adalah mamalia coba atau sering disebut dengan

hewan laboratorium. Hewan laboratorium tersebut

digunakan sebagai model untuk penelitian

sebelum diperlakukan pada manusia.

Tahap Persiapan

Pada awal penelitian, tikus dikondisikan

secara seksama untuk mendapatkan berat badan

dan kriteria inklusi yang sesuai. Sebelum

dilakukan intervensi, tikus pada tiap kelompok

diadaptasikan terlebih dahulu selama 1minggu.

Setelah itu, tikus dibagi menjadi 5 kelompok,

yaitu 1 kelompok kontrol negatif, dan 4

kelompok perlakuan, yang dikandangkan secara

terpisah. Tiap kelompok diberi perlakuan sesuai

dengan prosedur yang telah ditentukan

sebelumnya dan isoflavon yang telah dilarutkan

diberikan dengan dosis 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg

dan 5,04mg per 200gr berat badan tikus secara

oral selama 48 hari, kemudian pembedahan dan

pengambilan sampel darah dan testis tikus untuk

dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut

Tahap Pelaksanaan

1. Memberikan perlakuan dengan cara

memberikan larutan isoflavon pada masing

– masing kelompok perlakuan secara

berulang dengan dosis 1,26mg, 2,52mg,

3,78mg dan 5,04 mg selama 48 hari (selama

satu tahap spermatogenesis tikus).

2. Setelah hari ke-48 disiapkan untuk

dilakukan pembedahan :

Kadar Hormon Testosteron :

1. Sebelum pembedahan hewan, dilakukan

pembiusan dengan cara meletakkan obat pada

dasar stoples, kemudian hewan dimasukkan

dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah

kehilangan kesadarannya lalu dikeluarkan

dan dapat mulai dibedah.

2. Darah diambil dari vena cava inferior,

kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur

3. Gelas ukur yang berisikan darah diletakkan di

rak tes tube dan diamkan selama kurang lebih

10 menit

4. Setelah dilakukan sentrifus 3000 RPM

selama 15 menit untuk memisahkan serum

darah

5. Serum darah kemudian dipisahkan ke gelas

ukur yang baru dan selanjutnya dilakukan

pengukuran kadar hormone dengan metode

ELISA

Berat Testis :

1. Pengambilan organ testis dilakukan dengan

membuka kulit tubuh di daerah testis dengan

posisi telentang.

2. Organ testis diambil dengan cara memotong

bagian epididimis

3. Testis dibersihkan dari jaringan ikat dan

lemak serta pembungkusnya

4. Kemudian testis ditimbang dengan timbangan

elektronik kemudian dimasukan kedalam

cairan fiksatif dan dilabelisasi

Diameter Tubulus Seminiferus dan

Spermatogenesis

Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan

metode parafin dan matoksilin - Eosin.

Diameter Tubulus Seminiferus

Pengukuran diameter tubulus seminiferus

dilakukan dengan menggunakan alat micrometer

yaitu dengan mengukur jarak terdekat antara 2

titik berseberangan pada garis tengahnya.yang

terpendek dan mengukur jarak terjauh antara titik

yang berseberangan, kemudian dibagi dua. Kedua

titik tersebut berada pada batas antara membrana

basalis dan sel spermatogenik..Tiap masing

masing preparat diukur miminal 10 tubulus Hasil

pengukuran dinyatakan dalam satuan mikro meter

(µm) (Sarno,2000).

Spermatogenesis

Pemeriksaan dilakukan pada tubulus

seminiferus dengan pengamatan mikroskop

elektrik pada pembesaran 400x dan diamati dalam

5 lapangan pandang (mulai dari kiri atas bergeser

ke kanan atas, bergeser ke tengah, bergeser ke kiri

bawah dan bergeser ke kanan bawah pada setiap

preparat dari testis kiri dan kanan kemudian

dirata-ratakan.

1. Jumlah sel spermatogonium : jumlah sel

dengan bentuk bulat, dekat membran basal,

inti berbentuk lonjong dengan kromatin

Page 5: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

5

haslus dan selaput inti tipis yang diamati dan

dhitung dibawah mikroskop

2. Jumlah sel spermatosit : jumlah sel

berbentuk bulat, besar, inti gelap dengan

kromosom terlihat jelas yang diamati dan

dihitung dibawah mikroskop

3. Jumlah sel spermatid : jumlah sel berbentuk

bulat, lebih kecil dari spermatosit, inti bulat,

pucat dan terang yang diamati dan dihitung

dibawah mikroskop

HASIL

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi, Laboratorium

Biomedik dan Laboratorium Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

pada bulan Agustus-November 2011. Penelitian

ini terdiri atas 5 kelompok dengan pemberian

dosis isoflavon yang bervariasi pada masing-

masing kelompok tikus putih jantan. Minimal

berat badan tikus yang digunakan adalah 191gram

dan maksimal 200gram. Rata-rata berat badan

tikus yang digunaan pada masing-masing

kelompok, baik kelompok kontrol, kelompok P1,

P2, P3 dan P4 adalah 195gram dan rata-rata

pemberian isoflavon pada masing-masing

kelompok (P1, P2, P3 dan P4) adalah 1,97cc

dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Pada P1

pemberian 1,97cc setara dengan 1,26mg

isoflavon, P2 pemberian 1,97cc setara dengan

2,56mg, P3 pemberian 1,97cc setara dengan

3,78mg dan P4 pemberian 1,97cc setara dengan

5,04 mg.

Hasil penelitian pengaruh isoflavon kedelai

terhadap kadar hormon testosteron, berat testis,

diameter tubulus seminiferus dan

spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus

novergicus) dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

5.1. Kadar Hormon Testosteron

Tabel 5.1. Uji Normalitas Kolmogorov-

Smirnov Kadar Hormon

Testosteron (ng/ml) Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus) pada

kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Kadar Hormon Testosteron (ngr/ml)

Mean 3,91

SD 1,46

p 0,13

Dari tabel 5.1 terlihat bahwa data kadar

hormon testosteron terdistribusi normal (p>0.05)

dengan rata-rata 3,91ng/ml dan standar deviasi

1,46ng/ml. Kemudian dilanjutkan dengan uji

ANOVA untuk melihat adakah pengaruh

pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar

hormon testosteron

Tabel 5.2. Hasil Uji ANOVA Kadar

Hormon Testosteron (ng/ml)

Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan

Kelompok

Perlakuan

Rata-rata

(ng/ml) SD p

Kontrol 6,51 0,49 0,001

P1 4,14 0,42

P2 3,20 0,31

P3 2,95 0,12

P4 2,73 0,36

Tabel 5.2 menunjukkan adanya penurunan

rata-rata kadar hormon testosteron pada kelompok

yang diberi isoflavon dibandingkan dengan

kelompok yang tidak diberi isoflavon (kontrol)

pada tikus putih jantan (Rattus novergicus). Rata-

rata kadar hormon testosteron pada kelompok

kontrol adalah 6,51ng/ml, P1 4,14ng/ml, P2

3,20ng/ml, P3 2,95ng/ml dan P4 2,73ng/ml. Dari

hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001

(p<0.05) yang berarti ada pengaruh pemberian

isoflavon kedelai terhadap kadar hormon

testosteron. Untuk melihat signifikasi antar

kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post

Hoc Bonferroni

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mean

of

Kad

ar

Ho

rmo

n t

esto

ste

ron

7.00

6.00

5.00

4.00

3.00

2.00

Grafik 5.1. Hasil Uji Multiple Comparisons

Bonferroni Kadar Hormon

Testosteron (ng/ml) Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus) pada

kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Dari grafik 5.1 diketahui bahwa antara

kelompok kontrol dengan kelompok P1,

kelompok kontrol dengan kelompok P2,

kelompok kontrol dengan kelompok P3,

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

a

a

\

a

a

a

a

a

b

b

b

Page 6: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

6

kelompok kontrol dengan kelompok P4 dan antara

kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1

dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan

kelompok P4 menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0.05), sedangkan antara kelompok

P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan

kelompok P4 dan antara kelompok P3 dengan

kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang

bermakna (p>0.05)

5.2. Berat testis

Tabel 5.3. Uji Normalitas Kolmogorov-

Smirnov Berat Testis (g) Tikus

Putih Jantan (Rattus novergicus)

pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan

Berat Testis (g)

Mean 1,14

SD 0,10

p 0,99

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa data

berat testis terdistribusi normal (p>0.05) dengan

rata-rata 1,14g dan standar deviasi 0,10g.

Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk

melihat adakah pengaruh pemberian isoflavon

kedelai terhadap berat testis

Tabel 5.4. Hasil Uji ANOVA Berat Testis

(g) Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan

Kelompok

perlakuan

Rata-rata

(g) SD p

Kontrol 1,26 0,08 0,001

P1 1,19 0,09

P2 1,13 0,05

P3 1,09 0,03

P4 1,03 0,08

Dari tabel 5.4 dapat dilihat adanya penurunan

rata-rata berat testis pada kelompok yang diberi

isoflavon dibandingkan dengan kelompok yang

tidak diberi isoflavon (kontrol). Rata-rata berat

testis pada kelompok kontrol 1,26g, P1 1,19g, P2

1,13g, P3 1,09g dan P4 1,03g. Dari hasil uji

ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001

(p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh

pemberian isoflavon kedelai terhadap berat testis.

Untuk melihat signifikasi antar kelompok

perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc

Bonferroni

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mean

of

Bera

t te

sti

s

1.30

1.25

1.20

1.15

1.10

1.05

1.00

Grafik 5.2. Hasil Uji Multiple Comparisons

Bonferroni Berat Testis (g) Tikus

Putih Jantan (Rattus novergicus)

pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan yang telah

diberi Isoflavon

Dari grafik 5.2 dapat dilihat tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok kontrol dengan kelompok P1,

kelompok kontrol dengan P2, tetapi terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok

kontrol dengan kelompok P3, kelompok kontrol

dengan kelompok P4. Antara kelompok P1

dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan

kelompok P3 tidak terdapat perbedaan yang

bermakna tetap antara kelompok P1 dengan

kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna.

Antara kelompok P2 dengan kelompok P3,

kelompok P2 dengan kelompok P4, dan antara

kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat

perbedaan yang bermakna (p>0.05).

5.3. Diamter Tubulus Seminiferus

Tabel 5.5. Uji Normalitas Kolmogorov-

Smirnov Diameter Tubulus

Seminiferus (µm) Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus) pada

kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Diameter Tubulus Seminiferus (µm)

Mean 130

SD 10,10

p 0,70

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa data

diameter tubulus seminiferus terdistribusi normal

(p>0.05) dengan rata-rata 130µm dan standar

deviasi 10,10 µm. Kemudian dilanjutkan dengan

uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh

pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter

tubulus seminiferus

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

b b

a

a

b

b

a b

b

b

Page 7: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

7

Tabel 5.6. Hasil Uji ANOVA Diameter

Tubulus Seminiferus (µm) Tikus

Putih Jantan (Rattus novergicus)

setelah pada kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan

Kelompok

Perlakuan

Rata-rata

(µm) SD p

Kontrol 140 14,13 0,037

P1 134 8,96

P2 128 5,53

P3 126 5,83

P4 122 5,83

Dari tabel 5.6 terlihat adanya penurunan

rata-rata diameter tubulus seminiferus pada

kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Rata-rata diameter

tubulus seminiferus kelompok kontrol 140µm, P1

134µm, P2 128µm, P3 126µm dan P4 122µm.

Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar

0,037 (p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh

pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter

tubulus seminiferus. Untuk melihat signifikasi

antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji

Post Hoc Bonferroni

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mea

n o

f D

iam

eter

Tu

bu

lus

Sem

inif

eru

s

140.00

135.00

130.00

125.00

120.00

Grafik 5.3. Hasil Uji Multiple

Comparisons Bonferroni

Diameter Tubulus

Seminiferus (µm) Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus)

setelah Diberi Perlakuan

Dari grafik diatas dapat dilihat hanya

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P4

yang terdapat perbedaan bermakna (p<0.05),

sedangan antara kelompok kontrol dengan

kelompok P1, kelompok kontrol dengan P2,

kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok P1

dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan

kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4,

antara kelompok P2 dengan kelompok P3,

kelompok P2 dengan P4 dan antara kelompok P3

dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan

yang bermakna (p>0.05)

5.4. Spermatogenesis

Tabel 5.7. Uji Normalitas Kolmogorov-

Smirnov Sel Spermatogenik (sel)

Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan

Spermatogenesis

Spermatogo

nium

(sel)

Spermato

sit

(sel)

Spermatid

(sel)

Mean 14 39 84

SD 4 8 16

P 0,59 0,35 0,75

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa data

spermatogenesis terdistribusi normal, baik pada

sel spermatogonium, spermatosit maupun

spermatidnya (p>0.05) dengan rata-rata sel

spermatogonium 14 sel, sel spermatosit 39 sel

dan spermatid 84 sel dan standar deviasi sel

seprmatogonium 4 sel, sel spermatosit 8 sel dan

sel spermatid 16. Kemudian dilanjutkan dengan

uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh

pemberian isoflavon kedelai terhadap

spermatogenesis

Tabel 5.8. Hasil Uji ANOVA Jumlah Sel

Spermatogenik Tikus Putih

Jantan (Rattus novergicus) pada

kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Kelp

Perl.

Sel Spermatogenik

Spermatogonium Spermatosit Spermatid

Rata-rata

± SD p

Rata-rata

± SD p

Rata-rata

± SD p

K 20 ± 4 0,001 46 ± 10 0,048 109 ±8 0,001

P1 17 ± 3 42 ± 2 91 ± 5

P2 14 ± 2 38 ± 8 80 ± 5

P3 11 ± 2 37 ± 4 77 ± 4

P4 10 ± 1 32 ± 9 68 ± 7

Dari tabel 5.8 dapat dilihat adanya

penurunan rata-rata jumlah sel spermatogenik,

baik jumlah sel spermatogonium, jumlah sel

spermatosit maupun jumlah sel spermatid pada

kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Dari hasil uji ANOVA

diperoleh p value secara berurutan untuk sel

spermatogonium, spermatosit dan spermatid

sebesar 0,001, 0,048 dan 0,001 (p<0.05) yang

menunjukkan ada pengaruh pemberian isoflavon

kedelai terhadap spermatogenesis. Untuk melihat

signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan

dengan uji Post Hoc Bonferroni

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

b

b

b

a

b b

b

b

b

b

Page 8: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

8

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mea

n o

f S

per

mat

og

on

ium

20

18

16

14

12

10

Grafik 5.4. Hasil Uji Multiple Comparisons

Bonferroni sel spermatogonium

(sel) Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) setelah Diberi

Perlakuan

Grafik 5.4 menunjukkan bahwa antara

kelompok kontrol dengan kelompok P1 tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tetapi

antara kelompok kontrol dengan kelompok P2,

kelompok kontrol dengan kelompok P3,

kelompok kontrol dengan P4 menunjukkan

perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P1

dengan kelompok P2 tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna tetapi antara kelompok

P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan

kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna.

Sedangkan antara kelompok P2 dengan kelompok

P3, kelompok P2 dengan kelompok P4 dan antara

kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mean

of

Sp

erm

ato

sit

50

45

40

35

30

Grafik 5.5. Hasil Uji Multiple Comparisons

Bonferroni sel spermatosit (sel)

Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) setelah Diberi

Perlakuan

Pada grafik 5.5 terlihat bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok

kontrol dengan kelompok P4 (p<0.05), tetapi

tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok kontrol dengan kelompok P1,

kelompok kontrol dengan kelompok P2,

kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok

P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan

kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok

P4, antara kelompok P2 dengan kelompok P3,

kelompok P2 dengan kelompok P4, begitu juga

antara kelompok P3 dengan kelompok P4

(p>0.05)

Kelompok Perlakuan

P4P3P2P1Kontrol

Mea

n o

f S

pe

rma

tid

110

100

90

80

70

60

Grafik 5.6. Hasil Uji Multiple Comparisons

Bonferroni Spermatid (sel) Tikus

Putih Jantan (Rattus novergicus)

pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan yang telah

diberi Isoflavon

Grafik 5.6 menunjukkan terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok

kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol

dengan kelompok P2, kelompok kontrol dengan

kelompok P3 dan kelompok kontrol dengan

kelompok P4. Antara kelompok P1 dengan

kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang

bermakna, tetapi antara kelompok P1 dengan

kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4

terdapat perbedaan yang bermakna. Antara

kelompok P2 dengan kelompok P3 tidak terdpat

perbedan yang bermakna tetapi antara kelompok

P2 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang

bermakna. Antara kelompok P3 dengan

kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang

bermakna

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

b a

a

a

b

a

a

b

b

b

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

b

b

b

a

b

b

b

b

b

b

Keteranngan :

a = p<0.05

b = p≥0.05

a

a a

a

b a

a

b

a

b

Page 9: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

9

DISKUSI

6.1. Kadar Hormon Testosteron

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

kadar hormon testosteron mengalami penurunan

sesuai dengan makin tinggi dosis isoflavon yang

diberikan pada tikus. Setelah dilakukan analisis

data dengan uji statistic One Way Anova

menunjukkan perbedaan kadar hormon

testosterone yang bermakna (p<0.05) antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan

P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan

yang signifikan antara kelompok kontrol dengan

masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan

dengan uji Multiple Comparison Bonferroni,

didapatkan perbedaan yang signifikan antara

kelompok kontrol dengan perlakuan P1-P4, P1

dengan P3-P4 (P<0.05), antara P1 dengan P2, P2

dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna

(P>0.05).

Terjadinya penurunan kadar hormon

testosteron disebabkan oleh isoflavon yang

bersifat estrogen like dan juga bersifat

antiandrogenik. Isoflavon mengawali kerjanya

dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga

mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang

terdapat pada hipofisis anterior.

Pada pria, testis juga memproduksi

estrogen dalam jumlah yang sedikit tetapi

bermakna, tetapi sebagian besar hormon estrogen

dihasilkan dari reaksi aromatisasi perifer hormon

testosteron dan androstenedion. Hormon ini

diduga berperan serta dalam pengaturan FSH

sebagai inhibin (Murray, 2003)

Secara fisiologis dalam system portal

HHT, hipotalamus mensekresikan GnRH untuk

menstimulus hipofisis anterior mensekresikan

FSH dan LH, namun karena isoflavon yang

berikatan dengan reseptor estrogen menyebabkan

sekresi FSH menurun begitu juga dengan sekresi

LH. Jika sekresi LH terhambat, maka

pertumbuhan dan pematangan sel leydig serta

kemungkinan jumlah sel leydig berkurang

sehingga sekresi hormon testosteron akan

berkurang. Hal ini disebabkan karena sel leydig

merupakan tempat terjadinya proses

steroidogenesis yang menghasilkan tetsosteron,

jika jumlah/fungsinya berkurang maka

produksinyapun akan berkurang (Hanum, 2010).

Selain itu, isoflavon juga menghambat

kerja enzim 17-β-hidroksisterodoksidorektase,

yang dibutuhkan untuk sintesis testosteron.

Testosteron berasal dari prekursor kolesterol,

kolesterol mengandung 27 atom karbon, setelah

hidroksilasi dari kolesterol pada atom C20

dan

atom C22

terjadi pemecahan rantai samping

menjadi bentuk pregnenolon dan asam isocaproat,

pemecahan ini di samping adanya enzim 20β

hidroksilasi dan 22β hidroksilasi juga adanya

peran LH dalam meningkatkan aktivitas enzim

(Jacob, 1994). Selanjutnya konversi pregnenolon

menjadi testosteron membutuhkan beberapa

enzim, yaitu 3β-hidroksisteroid dehidrogenase,

17α-hidroksilase dan 17-β-

hidroksisteroidoksidorektase (Murray, 2003).

Berarti dengan demikian jika LH menurun maka

pemecahan rantai samping menjadi bentuk

pregnenolon dan asam isocaproat akan terganggu

sehingga pregnenolon tidak terbentuk dan

selanjutnya testosteronpun tidak terbentuk. Begitu

juga dengan gangguan pada enzim 17-β-

hidroksisterodoksidorektase, meskipun

pregnenolon terbentuk namun tidak dapat

dikonversi menjadi testosteron.

6.2. Berat testis

Dari hasil penelitian didapatkan berat

testis tikus mengalami penurunan sesuai dengan

makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada

tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji

statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan

rata-rata berat testis yang bermakna (p<0.05)

antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui

perbedaan yang signifikan antara kelompok

kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka

dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison

Bonferroni, tidak didapatkan perbedaan yang

signifikan antara kelompok kontrol dengan

perlakuan P1-P2, P1 dengan P2-P3, P2 dengan

P3-P4, dan P3 dengan P4 (p>0.05), tetapi

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

kelompok kontrol dengan P3-P4, P1 dengan P4

(p<0.05)

Penurunan rata-rata berat testis diduga

disebabkan oleh pemberian isoflavon pada dosis

tinggi mengakibatkan terhambatnya

perkembangan sel leydig atau berkurangnya

jumlah sel leydig yang disebabkan oleh sekresi

LH yang terhambat akibat efek anti androgenik

dari isoflavon. Dugaan lain penurunan berat testis

juga disebabkan oleh menurunnya FSH dan kadar

hormon testosteron yang memiliki fungsi penting

dalam proses spermatogenesis

Spermatogenesis pada dasarnya

merupakan proses yang dikendalikan oleh system

saraf melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis

(HHT), dan dapat berjalan normal jika hubungan

atau poros antara hipotalamus-hipofisis-testis

yang membentuk system neuro endokrin tersebut

berjalan normal. Hormon atau anti hormon yang

dapat mengganggu poros HHT pada dasarnya

akan mengganggu spermatogenesis (Tadjudin,

1986). Apabila testosteron di dalam sel leydig

berkurang maka akan mengakibatkan pembelahan

Page 10: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

10

meiosis terganggu, sehingga pembentukan

spermatid dan seterusmya juga akan terganggu.

Dugaan ini didukung oleh hasil parameter

spermatogenesis pada penelitian ini

Penyusutan berat testis telah dilaporkan

berhubungan dengan penyusutan dimensi tubuli

seminiferi sebagai tempat utama berlangsungnya

proses spermatogenesis untuk menghasilkan

spermatozoa (Fritz, 2003). Tubulus seminiferus

merupakan bagian utama massa testis, yaitu

sekitar 80% (Sherwood, 2001).

6.3. Diameter Tubulus Seminiferus

Dari hasil penelitian didapatkan diameter

tubulus tikus mengalami penurunan sesuai dengan

makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada

tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji

statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan

diameter tubulus seminiferus yang bermakna

(p<0.05) antara kelompok kontrol dengan

kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk

mengetahui perbedaan yang signifikan antara

kelompok kontrol dengan masing-masing

perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple

Comparison Bonferroni, didapatkan perbedaan

yang signifikan hanya antara kelompok kontrol

dengan P4 (p<0.05), tetapi menunjukkan

perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok-

kelompok lainnya (p>0.05)

Tubulus seminiferus merupakan bagian

utama dari masa testis (80%) yang merupakan

tempat berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel

endokrin yang mengeluarkan testosteron (sel

leydig) terletak dijaringan ikat antra tubulus-

tubulus seminiferus. Sel leydig mengandung

enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang

diperlukan untuk sintesis testosteron. Setelah

disekresikan testosteron yang baru disekres diikat

oleh ABP yang disekresikan oleh sel sertoli

masuk ke lumen tubulus seminiferus untuk proses

spermatogenesis (Sherwood, 2001)

Penurunan diamter tubulus seminiferus

pada penelitian ini diduga karena terhambatnya

sekresi LH dihipofisis anterior untuk menstimulus

pertumbuhan dan jumlah sel leydig sehingga

sekresi testosteron berkurang, dan adanya hambat

17-β-hidroksisteroidoksidoreduktase pada sel

leydig unuk produksi testosteron oleh isoflavon

sehingga terjadi penurunan kadar hormon

testosteron. Kurangnya hormon testosteron dan

FSH inilah diduga menyebabkan atropi atropi

tubulus seminiferus.

6.4. Spermatogenesis

Aktivitas spermatogenesis tikus putih

jantan yang diberi perlakuan isoflavon dengan

dosis yang berbeda menunjukkan penurunan

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini

dapat diketahu dengan menghitung jumlah

anggota sel spermatogenik rata-rata dalam tubulus

seminiferus testis, yang merupakan indikator

terganggunya spermatogenesis. Setelah dilakukan

analisis data dengan uji statistic One Way Anova

menunjukkan perbedaan jumlah sel-sel

spermatogenik yang bermakna (p<0.05) antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan

P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan

yang signifikan antara kelompok kontrol dengan

masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan

dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, pada

sel spermatogonium didapatkan perbedaan yang

signifikan antara kelompok control dengan P2-P4,

P1 dengan P3-P4 (P<0.05) tetapi tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

kelompok control dengan P1, P1 dengan P2, P2

dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 (P>0.05), pada

sel spermatosit perbedaan yang signifikan terdapat

antara control dengan P4 (p<0.05) dan antara

kelompok-kelompok lain tidak terdapat perbedaan

yang bermakna, sedangkan pada pada sel

spermatid perbedaan yang signifikan terlihat

antara kelompok kontrol dengan P1-P4, P1

dengan P3-P4, P2 dengan P4 (p<0.05), dan tidak

terdapat perbedaan signifikan antara P1 dengan

P2, P2 dengan P3 dan P3 dengan P4 (P>0.05)

Spermatogenesis adalah suatu proses

perkembangan spermatogonia dari epithelium

tubuli seminiferi yang mengadakan proliferasi dan

selanjutnya berubah menjadi spermatozoa. Pada

mamalia, spermatogenesis berlangsung dalam

tubulus seminiferus testis dan berlangsung terus

secara berkesinambungan sepanjang masa

reproduksi (de Kretser dan Kerr, 1997).

Testosterone dan FSH memiliki peranan

penting dalam proses spermatogenesis. FSH

menstimulus sel sertoli untuk mensisntesis ABP

yang berfungsi mengikat testosterone yang

disekresikan oleh sel leydig untuk dibawa ke

lumen tubulus seminiferus yang digunakan dalam

proses spermatogenesis. Penurunan pada kadar

FSH dan testosterone menyebabkan terganggunya

proses spermatogenesis bahkan menyebabkan

dapat menyebabkan atropi pada sel-sel

spermatogenik.

Pernyataan ini didukung oleh Hafez

(2000) yang menyatakan bahwa hormon yang

terutama berperan dalam sistem reproduksi jantan

adalah hormon testosteron. Secara umum hormon

ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan

spermatogonium, perkembangan spermatosit

primer dan sekunder serta diferensiasi spermatid

menjadi spermatozoa atau dengan kata lain

hormon testosteron berperan utama dalam

spermatogenesis.

Selain menghambat hipofisis anterior

untuk mensekresikan LH, isoflavon juga

Page 11: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

11

diketahui dapat menghambat 17-β-

hidroksisteroidoksidoreduktase, enzim yang

dibutuhkan dalam sintesis androstenodion

menjadi testosteron, sehingga pada defisiensi

enzim tersebut mengakibatkan penurunan kadar

testosteron (Karahalil, 2006).

KESIMPULAN dan SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai

pemberian isoflavon terhadap kadar hormon

testosteron, berat testis, diameter tubulus dan

spermatogenesis dapat disimpulkan :

1. Terdapat penurunan yang bermakna kadar

hormon testosteron tikus putih jantan

(Rattus novergicus) pada pemberian

isoflavon dosis 1,26mg

2. Terdapat penurunan yang bermakna berat

testis tikus putih jantan (Rattus novergicus)

pada pemberian isoflavon dosis 3,78mg

3. Terdapat penurunan yang bermakna

diameter tubulus seminiferus tikus putih

jantan (Rattus novergicus) pada pemberian

isoflavon dosis 5,04mg

4. Terdapat penurunan yang bermakna sel

spermatogonium tikus putih jantan (Rattus

novergicus) pada pemberian isoflavon

dosis 2.52mg, penurunan yang bermakna

sel spermatosit pada pemberian isoflavon

dosis 5,04mg dan penurunan yang

bermakna sel spermatid pada pemberian

isoflavon dosis 1,26mg

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan

kesimpulan diatas maka disarankan untuk

peneliti selanjutnya agar melakukan pemeriksaan

selanjutnya mengenai sel leydig, sel sertoli, kadar

hormon estrogen, FSH, LH, kolesterol serta

kualitas spermatozoa

DAFTAR PUSTAKA

Adlercreutz H, Markkanen H, Watanabe S, 1993.

Plasma Concentration of Phytoestrogen in

Japanese Men. Lancet

Astuti, 2009. Kualitas Spermatozoa Tikus Jantan

yang Diberi Tepung Kedelai Kaya

Isoflavon, Fakultas Pertanian Universitas

Lampung, 41(4):180-186

Attanassova N, Mckinnel, et al, 2000.

Comparative Effects of Neonatal Exposure

of Male Rats to Potent and Weak

(environmental) Estrogens on

Spermatogenesis at Puberty and The

Relationship to adult testis size and

Fertility : Evidence for Stimulatory Effects

of Low Estrogen levels. The Endocrine

Society, 141(10):3898-3905

Bardin, CW, Cheng CY, musto, NA. Gunsalus,

GL. 1988, The Sertoli Cell. In E Knobil

and, JD. Neill (eds). The psysiology of

Reproduction. Vo; 1. Raven Press New

York

Brandell, Schllegel, 2000. Evaluatin of male

infertility, In : Keel BA, May JV, De Jonge

CJ, editors, Handbook of Assisted

Reproduction Laboratory, Boca Raton,

Florida, CRC Press, LCC:77-94

Brzozowski AM et al, 1997. Molecular basis of

Agonism and Antagonism in the Estrogen

Receptor. Nature (Lond), 389 :753-758

Budisantoso, Hieronymus. 1994. Susu dan Yogurt

Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Carnerro and Kelly, 1998. Sistem Reproduksi

Pria, dalam (Tambayong J, Alih Bahasa).

Histology Dasar, Edisi VIII, Jakarta,

Penerbit Buku Kedokteran Jakarta, EGC

Cunningham AR, Klopman G, Rosenkranz HS,

1997 A. Dichotomy in the Lipophilicity of

Natural Estrogen, Xenoestrogens and

Phytoestrogens. Environ Health Perspect

De Kretser, D.M, 1997. Evaluation of Male

Gonadal Function. In : P.J. Rowe and E.M.

Vikhlyaeva (eds)

De Kretser and Kerr, JB, 1997. The Cytology of

The Testis. In : E. Knobil and JD Neill

(eds). The Psysiology of reproduction. Vol.

I. Raven Press. New York

Fritz WA, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA,

2002. Dietary Genistein Down-Regulates

Androogen and Estrogen Receptor

Expression in The Rat Prostate, Moll Cell

Endocrinol, 186:89-99

Ganong, WF. 1998. Fisiologi Kedokteran.

Diterjemahkan oleh Andrianto J. Oswari

(ed) Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran

EGC

Greenspan, Baxter, 1998. Endokrinologi Dasar

dan Klinik,Ed IV, alih bahasa : Caroline

Wujaya, maulany, Sonny Samsudin,

Jakarta, EGC

Page 12: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

12

Gultekin E, Yildiz F, 2006. Introduction to

Phytoestrogen, In : Yildiz F, Editor,

Phytoestrogen in Functional food, Boca

Raton, Florida, CRC Press Taylor &

Francis Group LLC

Hadley, M.E, 1992. Endocrynology, Prentice-

Hall, Inc, Simon dan Schuster Company

Englewood

Hanum M, 2010. Biologi Reproduksi, Nuha

medika, Yogyakarta

Hall, P.F, 1988. Steroid synthesis : Organization

and Regulation. In : E. Knobil dan J.D.

Neill (eds). The Physiology of

Reproduction. Vol.1. Raven Press, New

York

Hafez E, 1996. Human Semen and Fertility

Regulation in Men. The CV. Mosbyuni

Hess, RA. 1999. Spermatogenesis, Overview in

Encyclopedia of Reproduction 4

Hodgson, Y, D.M. Robertson, D.M. de Kretser,

1983. The Regulation of Testicular

Function, In : Greep, R.O, Reproductive

Physiology IV, International Review of

Physiology Vol.27, Univercity Park Press,

Baltimore

Junqueira, LC dan J. Carneiro, 1995. Basic

Histology (Histologi Dasar). Terjemahan

Adji Dharma. Edisi Ketiga. Penerbit EGC,

Jakarta

Kang KS, Che JH, and Lee YS, 2002. Lack of

Adverse Effects in the F1 Offspring

maternally Exposed to Genistein at human

Intake Dose Level, Food Chem Toxical,

40:43-51

Karahalil B, 2006. Benefits and risk of

Phytoestrogens, in : Yildiz F, Editor,

Phytoestrogen in functional foods, Boca

Raton, Florida, CRC Press Taylor &

Francis Group LLC, 33-210

Khaidir,2006. Studi Literatur Penilaian Tingkat

Fertilitas dan Penatalaksanaannya pada

Pria, Jurnal Kesehatan Masyarakat

Kim H, Peterson TG, Barnes S, 1998. Mechanism

of action of the Soy Isoflavone Genestein :

Emerging Role of its Effect Through

Transforming Growth factor beta

Signaling, Am J Clin Nutr, Am J Clin

Nutr, 68:1418S-1425S

Kuczynski, H.J, 1982. Fertility Controle in the

Male, A Development Perspective. In:

F.X.A

Kuntana, 2009. Jurnal Bionatura : Pengaruh

Pemberian Phytoestrogen terhadap

Kualitas Spermatozoa, Spermatogenesis

dan Luas Jaringan Interstisial pada kelinci

(Oryctolagus Cuniculus), 11(1):47-58

Kurniawan, 2009. Infertilitas Pasutri,

http://www.ujung-

dunia.co.cc/2009/06/infertilitas-pasangan-

suami-istri-kesehatan.html, [19 Mei 2011]

Leclerq G, Heuson JC, 1979. Physiological and

Pfarmacological Effect of Estrogen in

Breast Cancer. Biochem Biophys Acta

Llewellyn D, 2001. Dasar-dasar Obstetri dan

Ginekologi Ed VI, Jakarta, Hipokrates

Mitchell JH, Elizabeth C, Kinnibeurgh D, Provan

A, Collins AR, Irvin Ds, 2001. Effect of

Phytoestrogen Food Supplement on

Reproducting Health in Normal Males,

Clin SCI, 100(6):8-613

Muchtadi D, 2010. Kedelai Komponen Bioaktif

untuk Kesehatan. Penerbit Alpabeta

Bandung

Murray K, 2003. Biokimia Harper, Alih Bahasa

Andry Hartono, Ed, 25, Jakarta, EGC

Nasution, A W, 1993. Biologi Kedokteran

(Reproduksi) Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas padang

Nasution A W, 1999. Andrologi, Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas Padang

Norris, D.O, 1990. Vertebrate Endocrynology,

Lea and Febiger, Philadelphia

Prawiroharsono, 1998. Benarkah Tempe Sebagai

Anti Kanker, Jurnal Kedokteran dan

Farmasi Medika, No. 12 Tahun ke-14,

Desember 1998

Ross, M.H and E.J. Reith, 1985. Histology, A

Text and Atlas, Prentice – Hall. Inc, New

York

Page 13: Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron Berat Testis Diameter Tubulus Seminiferus Dan Spermatogenesis Tikus Putih Jantan Rattus Norvegicus 3

13

Rudolf S, 1986. The Anatomy of Laboratory Rat,

Baltimore : The Williams and Wilking

Company

Rugh, 1997. The Mouse is reproduction and

development Mineopolis : Burgess

Saryono, 2008. Biokimia Reproduksi, Untuk

Kebidanan, Keperawatan, Kedokteran dan

Kesehatan Masyarakat (Kespro). Mitra

cendekia Press, Yogyakarta

Schmidl MK, Labuza TP, 2000. Essentials of

Function Foods, Aspen Publishher, Inc,

GAitherburg, Maryland

Setchell KDR, Borriello SP, Hulme P, et al, 1984.

Non steroid Oestrogen of Dietary Origin :

Possible Roles in Hormon Dependent

Disease, AM J Clin Nutr

Setchell KDR, Adlercreutz H, 1988. Mammalian

Lignans and Phytoestrogens. Recent

Studies on Their Formation, Metabolism

and Biological Role in health and Disease,

In: Role of The Gut Flora in Toxicity and

Cancer (Rowland IR, ed), Ac Press,

London, UK

Setchell KDR, 1998. Phytoestrogens :

Biochemistry, Physiology, and Implication

for Human Health of Soy Isoflavon, Am J

Clin Nutr

Sherwood, 1995, Human Physiology from Cell to

Systems, Second Edition, West Publishing

Company, San Fransisco

Sherwood, 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke

Sistem, Ed. 2, Jakarta, EGC

Siswono, 2003. Infertilitas pada Pria. Dalam

Afriani, 2010. Gambaran Kecemasan

Pasangan Infertile yang Berkunjung ke RS

Adenan Adenin, Fk Keperawatan USU

Tadjudin, MK. 1986, Cara Keluarga Berencana

Hormonal pada Pria. Prosiding kongres

Nasional1. Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia. Jakarta.

Van, Tienhoven. 1993. Reproductive Physiology

of vertebrata. Second Edition, Cornell

University Press. London

Wilson, J.D, 1996. Androgens, In : Goodman and

Gilman’s The Pharmacological Basis of

Therapeutics, Nineth Edition, International

Edition.

Winarsi, 2005. Isoflavon, Berbagai Sumber, Sifat

dan Manfaatnya pada Penyakit

Degeneratif, Yogyakarta, UGM University

Press

Yanwirasti, 2008. Langkah-langkah Pokok

Penelitian Biomedik, Fakultas Kedokteran

Universitas andalas Padang

Zaneveld, L.J.D and Chatterton, R.T, 1982,

Biochemistery of Mammalian

Reproduction, A Wiley-Interscience

Publication, John Wiley and Sons, New

York.