pengaruh gaya hidup terhadap persepsi kota surabaya

10
PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA Rully Damayanti Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra- Surabaya E-mail : [email protected] ABSTRACT Understanding environment is a psychological process between the environment and the observer. According to Lynch (1960), the observers identify, organize, and give meaning to the environment they contacted with, especially environment with strong visual character. Pierre von Meiss (1986) believes that environment elements with strong visual character will give specific meaning to its surrounding through its identity, such as emphasis, chaotic, repetition and geometric character. The case study, Surabaya city, is a historical city known as Kota Pahlawan, which is very well known as its city icon of Tugu Pahlawan, Patung Suro-Boyo, Hotel Majapahit and Balaikota. The paper will identify current environment understanding (perception) based on research with respondents from students at 7 th semester in three years. The research undertook mental map survey and discussion with the respondents to identify the human perception to Surabaya city in this contemporary living. The mental map survey was conducted by Lynch in 1950-1960 in order to formulized the theory of ‘Imageable City’. The research result shows that there is a change in terms of landmark of the city, the change is driven by the lifestyle of youth generation in Surabaya. The perception of the city is really depending upon the observer’ routine activity inside the city. The final results of the research are specific characteristics of landmark and path that are the respondents believe as the most little effort to remember as elements of reference in orientating their activity inside the city. Keywords: imageability, perception, path, landmark 1. LATAR BELAKANG Kota merupakan produk budaya yang sangat beragam satu dengan yang lainnya, karena jaringan pembentuknyapun sangat beragam. Menurut Mumford (1968), kota sangat spesifik terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik, tetapi Lynch percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang dikenal pada suatu kota (Lynch 1960). Secara historis, pusat perdagangan Surabaya sudah ditata untuk memiliki penanda atau ikon sebagai identitas kawasan (Dick 2002). Surabaya hingga kini diyakini memiliki ikon-ikon lingkungan yang juga memberikan karakter kuat terhadap perjuangan masyarakat Surabaya. Diantaranya adalah Tugu Pahlawan, Patung Suro-Boyo, Hotel Majapahit dan Gedung Balaikota. Kota Surabaya telah berumur lebih dari 700 tahun, dan tentunya telah memberikan makna dan arti tertentu bagi warga maupun pendatangnya. Kekuatan ekonomi Surabaya, yang didukung dengan lengkapnya segala fasilitas perdagangan, pendidikan, perkantoran dan juga perumahan, semakin lama semakin berkembang. Fasilitas tersebut memberikan penanda atau ikon bagi kota Surabaya seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota mengarah ke kota modern. Paper ini ditulis berdasarkan penelitian dengan fokus pertanyaan penelitian: apakah ikon-ikon kota ini masih dikenali oleh generasi muda saat ini? Apakah ikon-ikon tersebut masih memberikan makna bagi pengamat kota, khususnya generasi muda? Pertanyaan ini akan memberikan refleksi terhadap perencanaan kota dan juga strategi pengembangan kota agar tetap menjaga identitas yang semestinya ada dan senantiasa dilestarikan.

Upload: dohanh

Post on 15-Jan-2017

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Rully Damayanti

Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra- Surabaya

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Understanding environment is a psychological process between the environment and the observer. According to Lynch (1960), the observers identify, organize, and give meaning to the environment they contacted with, especially environment with strong visual character. Pierre von Meiss (1986) believes that environment elements with strong visual character will give specific meaning to its surrounding through its identity, such as emphasis, chaotic, repetition and geometric character. The case study, Surabaya city, is a historical city known as Kota Pahlawan, which is very well known as its city icon of Tugu Pahlawan, Patung Suro-Boyo, Hotel Majapahit and Balaikota. The paper will identify current environment understanding (perception) based on research with respondents from students at 7th semester in three years. The research undertook mental map survey and discussion with the respondents to identify the human perception to Surabaya city in this contemporary living. The mental map survey was conducted by Lynch in 1950-1960 in order to formulized the theory of ‘Imageable City’. The research result shows that there is a change in terms of landmark of the city, the change is driven by the lifestyle of youth generation in Surabaya. The perception of the city is really depending upon the observer’ routine activity inside the city. The final results of the research are specific characteristics of landmark and path that are the respondents believe as the most little effort to remember as elements of reference in orientating their activity inside the city.

Keywords: imageability, perception, path, landmark

1. LATAR BELAKANG

Kota merupakan produk budaya yang sangat beragam satu dengan yang lainnya, karena jaringan pembentuknyapun sangat beragam. Menurut Mumford (1968), kota sangat spesifik terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik, tetapi Lynch percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang dikenal pada suatu kota (Lynch 1960).

Secara historis, pusat perdagangan Surabaya sudah ditata untuk memiliki penanda atau ikon sebagai identitas kawasan (Dick 2002). Surabaya hingga kini diyakini memiliki ikon-ikon lingkungan yang juga memberikan karakter kuat terhadap perjuangan masyarakat Surabaya. Diantaranya adalah Tugu Pahlawan, Patung Suro-Boyo, Hotel Majapahit dan Gedung Balaikota. Kota Surabaya telah berumur lebih dari 700 tahun, dan tentunya telah memberikan makna dan arti tertentu bagi warga maupun pendatangnya. Kekuatan ekonomi Surabaya, yang didukung dengan lengkapnya segala fasilitas perdagangan, pendidikan, perkantoran dan juga perumahan, semakin lama semakin berkembang. Fasilitas tersebut memberikan penanda atau ikon bagi kota Surabaya seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota mengarah ke kota modern.

Paper ini ditulis berdasarkan penelitian dengan fokus pertanyaan penelitian: apakah ikon-ikon kota ini masih dikenali oleh generasi muda saat ini? Apakah ikon-ikon tersebut masih memberikan makna bagi pengamat kota, khususnya generasi muda? Pertanyaan ini akan memberikan refleksi terhadap perencanaan kota dan juga strategi pengembangan kota agar tetap menjaga identitas yang semestinya ada dan senantiasa dilestarikan.

Page 2: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Menurut Lynch di bukunya A Theory of Good City Form (1981), menyatakan bahwa komponen dari city-senses yang berkaitan erat dengan form/ bentuk (arsitektur) adalah sense of place dan sense of formal structure. City senses ini adalah salah satu dari dimensi yang harus dipenuhi suat kota untuk menjadi kota ideal. Sense of place adalah segala sesuatu yang kasat mata dan memiliki makna, karena berkaitan erat dengan budaya. Hal ini dapat menghadirkan atau mengembalikan memori dan perasaan tertentu terhadap sesuatu yang kasat mata di area perkotaan. Sedangkan sense of formal structure berkaitan erat dengan kemampuan seseorang terhadap orientasi di dalam setting kota (mental map). Lynch sendiri berpendapat melalui bukunya Image of The City (1960) dan A Theory of Good City Form (1981) bahwa pengenalan terhadap elemen fisik yang kasat mata (legible) berpengaruh kuat kepada pengenalan identitas kota. Untuk itu, penelitian ini dibatasi kepada pengenalan landmark dan struktur kota Surabaya. 2. TEORI IMAGEABLE CITY

Teori Imageable City oleh Kevin Lynch pada prinsipnya adalah pengembangan hasil penelitian yang berasal dari keilmuan psikologi lingkungan. Pada tahun 1950 Kevin Lynch mencoba memformulasikan persepsi lingkungan khususnya terhadap kota melalui penelitiannya. Temuan Lynch dari penelitian ini dianggap paling signifikan dalam ilmu persepsi lingkungan (arsitektur dan perkotaan) karena teknik/ metode yang dipakai melalui mental map yang dianggap paling mampu mengkaitkan antara ide abstrak (persepsi) dan ide nyata melalui pemahaman struktur kota (master-plan). Penelitian Lynch ini difokuskan pada orientasi manusia di skala lingkungan yang relatif luas dengan mengenali simbol dalam lingkungan yang familiar (Von Meiss 1986). Penelitian Lynch dilaksanakan dalam waktu hampir sepuluh tahun di tiga kota Amerika, yaitu: Boston, Los Angeles dan Jersey, tahun 1950 sampai 1960. Simbol atau image atau elemen lingkungan kota ini diperlukan sebagai arahan dalam bergerak dan untuk menemukan arah (way finding), disamping itu juga dapat memberikan keamanan secara emosi. Menurut Gibson (1950) kemampuan ini merupakan kebutuhan mendasar dari semua makhluk hidup didalam lingkungannya.

”Our thesis is that we are now able to develop our image of the environment by operation on the external physical shape as well as by an internal leraning process, indeed, the complexity of our environment now compels us” (Lynch, 1960, hal.12)

Menurut Lynch, dalam menandai lingkungannya, faktor kekuatan visual (imageability/ apparency) menjadi sangat dominan. Semakin kuat faktor visual, semakin kuat pula elemen tersebut diingat/ dipahami oleh si-pengamat. Karena secara prinsip ada tiga hal dari elemen kota yang akan diingat oleh pengamat, yaitu: elemen yang memberikan indentitas, elemen yang mengarah kepada pola kota, dan elemen yang memberikan makna (baik kepada individu maupun secara sosial). Untuk itu, Lynch hanya akan fokus kepada elemen kota visual yang memberikan makna bagi si-pengamat.

Menurut Lynch di buku A Theory of Good City Form (1981), ada beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan dalam menghadirkan kota yang ideal, yang disebut sebagai dimensi (dimensions). Dimensi tersebut yaitu: vitality, senses, fit, access, control, efficiency dan justice. Di dalam senses sendiri, mencakup tiga hal, yaitu: sense of place, sense of event/ occasion, dan sense of formal structure. Di dalam buku ini, Lynch menyatakan bahwa tidak hanya melalui kekuatan visual saja kota dianggap sebagai kota ideal, tetapi dari banyak faktor lain yang mempengaruhi, diantaranya kemampuan kota memenuhi kebutuhan dasar penghuni, ketersediaan fasilitas penghuni untuk beraktifitas dan juga rasa terhadap ruang-ruang kota yang bermakna. Sense of place sendiri adalah segala sesuatu yang kasat mata dan memiliki makna, karena berkaitan erat dengan budaya. Sedangkan sense of formal structure berkaitan erat dengan kemampuan seseorang terhadap orientasi di dalam setting kota (mental map), selain itu dipengaruhi oleh kegiatan sehari-hari dan budaya seseorang.

Page 3: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Jika dikaitkan dengan teori ’Imageable City’, kualitas visual pada suatu kota terletak pada kekuatan sense of place dan sense of formal structure yang dihadirkan oleh elemen-elemen kota tersebut. Kualitas visual ini yang dikatakan Lynch mampu menjadikan suatu kota tersebut ideal dan nyaman untuk ditinggali. Elemen-elemen kota yang memiliki kualitas visual yang baik, pasti mampu menghadirkan sense of place dan sense of formal structure yang baik pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa kota tersebut memiliki kualitas visual yang baik. Menurut Lynch (1960), ada lima elemen kota mendasar yang mampu memberikan kualitas visual bagi kota. Elemen yang diteliti Lynch adalah: path, edges, nodes, landmark dan distrik. Elemen-elemen inilah yang dianggap sebagai lima elemen utama yang paling kasat mata dan terasa di kawasan kota. Semakin kuat kelima elemen ini, semakin kuat kualitas visual kotanya, yang berarti semakin baik kotanya memberikan kualitas imageable terhadap pengamat. 3. METODE PENELITIAN

Penelitian yang menjadi dasar paper ini adalah penelitian kuantitatif terbatas atau sederhana, data kuantitatif dipakai untuk membuat kesimpulan peta mental secara argumentatif berdasarkan diskusi dan penelaahan literatur. Responden adalah 82 mahasiswa semester 7 Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, khususnya mahasiswa Mata Kuliah Arsitektur Kota selama tiga tahun ajaran (6 kelas). Teknik penelitian dijabarkan berdasarkan tahapan: Tahap persiapan; proses pengumpulan data literatur. Buku-buku Lynch ditelusuri secara mendalam, termasuk teknik peta mental yang sudah diaplikasikan beserta kemungkinan kendala yang ada. Tahap pengumpulan data: tahap pengambilan data dari mahasiswa. Pelaksanaan pengumpulan data dibagi dalam beberapa tahap yaitu:

- Penggambaran peta mental. Dalam waktu terbatas (maks.15 menit) mahasiswa diminta untuk menggambarkan peta Surabaya keseluruhan.

- Pengisian angket. Secara acak, diambil 10% dari responden untuk mengisi angket untuk mengetahui alasan mengapa responden mengatakan fasilitas-fasilitas tertentu (5 tertinggi) merupakan fasilitas yang mudah mereka ingat.

- Diskusi mendalam dengan beberapa responden, untuk menggali lebih dalam data yang didapat dari angket dan peta mental.

Tahap rekapitulasi data dan analisa; tahap merekapitulasi peta mental, angket dan hasil diskusi. 82 peta mental ditabulasi kedalam tabel dan peta mental keseluruhan.

Gambar 1. Beberapa hasil mental map responden

Page 4: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

4. PATH DAN LANDMARK SURABAYA

Gambar 2. Mental map Surabaya

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa jalan tertentu menjadi utama (digambar oleh

sebagian besar responden) yaitu A.Yani, Raya Darmo, Urip Sumoharjo dan Basuki Rahmad. Keempat jalan ini merupakan jalan menerus yang menjadi aksis kota, yang memanjang dari utara ke selatan dan sebaliknya. Kekuatan pola jalan yang lurus dan menghubungkan pusat kota dengan luar kota menjadi faktor referensial utama bagi pengamat. Sebagian besar dari pengamat pada penelitian ini adalah berkendara mobil atau motor, sehingga kekuatan jalan ini menjadi sangat signifikan karena merupakan jalur keseharian sirkulasi pengamat yang mengandalkan keempat jalan ini. Pengamat merasakan kekuatan elemen ini dari memasuki kota Surabaya dari utara di bundaran Waru, seolah-olah disambut nodes sebagai awalan dari jalur utama ke pusat kota. Disepanjang jalan ini sangat terasa kontinyuitasnya karena jalan ini tidak terputus dan diselingi nodes-nodes minor pada setiap persimpangannya.

Jalan juga mudah dikenali jika memiliki kekhususan dalam pemanfaatan lahan disekitarnya. Seperti jalan Basuki Rahmad, Kedungdoro dan Blauran. Basuki Rahmad memiliki keunikan karena jalan tersebut dilingkupi bangunan tinggi, bernilai ekonomi tinggi, dan fungsi yang relatif sama yaitu perkantoran, hotel dan toko. Kedungdoro sendiri sangat unik dengan dominan jajaran retail peralatan mobil dan restoran. Sedangkan Blauran sejak jaman dahulu sudah terkenal karena toko-toko emasnya, disepanjang jalan berjajar toko emas formal dan juga yang informal (kaki lima). Karakter dari ketiga jalan ini yaitu kesamaan fungsi lahan disekitarnya membuat pengamat mudah untuk mengingat, sehingga menjadi kekuatan referensial dalam berorientasi.

Page 5: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Tabel 1: Tabel path kota Surabaya berdasarkan kekuatan referensial

Karakter jalan yang juga penting bagi pengamat adalah karakter spasial. Semakin kuat karakter spasialnya, semakin kuat juga jalan itu dipakai dalam berorientasi. Karakter ekstrim (lebar sekali atau sempit sekali) akan mudah diingat. Seperti contoh jalan A.Yani yang sangat lebar, dan jalan Siwalankerto yang sempit. Karena Siwalankerto adalah cabang pertama dari A.Yani, maka kekontrasan itu semakin terasa. Karakter spasial biasanya juga didukung karakter façade dari bangunan sekitarnya. Jalan Embong malang terasa semakin lega dan longgar karena bangunan di sisi kiri (satu arah dari utara) relatif bangunan berlantai banyak, sedangkan disisi kanan adalah bangunan rendah satu lantai. Façade sekitar juga bisa terbentuk dari jajaran pohon yang dominan, seperti di jalan Raya Darmo. Pohon-pohon besar yang seolah-olah memberikan naungan bagi kendaraan yang melintas, memberikan pemahaman visual tersendiri bagi pengamat.

Gambar 3. Suasana jalan di Surabaya dengan karakter referensial yang kuat

Path juga mudah diingat karena kekuatan tujuan (destination) dari jalan tersebut. Contoh yang jelas adalah jalan Yos Sudarso, sebagian jalan ini adalah satu arah dan menuju jelas kepada satu ending yaitu kantor Walikota Surabaya (juga sebagai landmark yang kuat). Kekuatan arah dari suatu jalan ditentukan juga dari panjang dan pola jalan. Jika jalan terebut cukup panjang dan berliku-liku, maka pengamatan terhadap tujuan (destination) menjadi melemah. Berbeda dengan jalur utama Surabaya yaitu A.Yani (dan jalan-jalan kelanjutannya), tujuannya terasa yaitu CBD Surabaya di Tunjungan Plaza. Hal ini lebih didukung karena terasa gradasi façade sekitar dari arah Waru menuju pusat kota, yaitu dari bangunan rendah dan renggang menuju bangunan tinggi dan padat. Kesan menuju distrik yang semakin bernilai ekonomi tinggi sangat terasa karena perbedaan ini.

Page 6: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Jalan ini terus terjaga identitasnya hingga nodes Blauran (meskipun melemah) dan terus mengarah ke selatan menuju klimaks yang lain yaitu Tugu Pahlawan. Kekuatan Tugu Pahlawan sebagai klimaks kurang kuat karena jalan yang mengarahkannya terlalu sempit dan berbelok menuju klimaks.

Tabel 2: Tabel landmark kota Surabaya berdasarkan kekuatan referensial

Faktor yang paling mempengaruhi landmark memiliki kekuatan referensial bagi pengamat dalam berorientasi di dalam lingkungan kota adalah kekuatan internal dari landmark tersebut. Yang dimaksud kekuatan internal adalah fasilitas yang terdapat didalamnya, seperti tingkat kelengkapan fasilitas, tingkat modern fasilitas, dan tingkat kepentingan dari fasilitas tersebut. Seperti contoh pada Tunjungan Plaza (TP), pusat perbelanjaan ini adalah yang telengkap di Surabaya, sehingga semakin banyak orang mengingat TP sebagai pusat perbelanjaan terlengkap (dan mungkin juga sering dikunjungi karena kelengkapannya) maka semakin banyak pengamat yang menyebut TP sebagai elemen kota dengan kekuatan referensial yang sangat kuat (dapat dilihat di peta mental). Galaxy Mall selain diingat karena kekuatan visualnya, juga karena kekuatan internal pada tingkat kemodernan fasilitas. Grahadi dan Balai Kota dikenal sebagai landmark kota karena faktor kepentingan dari fsailitas itu sendiri; sebagai pusat pemerintahan dan rumah tinggal pemimpin pemerintahan Kotamadya.

Landmark yang juga dianggap memiliki kekuatan visual sebagai referensi lingkunganya adalah yang cenderung memiliki kekontrasan terhadap lingkungan. Kekontrasan bisa tercipta karena ketinggian bangunan yang berbeda dengan lingkungannya, seperti pada bangunan BRI Tower dan Galaxy Mall. BRI Tower merupakan bangunan tertinggi di kawasannya yang sebagian besar bangunan dengan ketinggian sedang dengan fungsi bisnis. Selain itu Galaxy Mall karena ketinggian dan ukurannya yang sangat kontras dengan settingnya di kawasan perumahan Dharmahusada.

Karakter kontras lainnya bisa didapat melalui bentuk, langgam, warna dan material bangunan. Seperti contoh pada bangunan Grahadi dan Balai Pemuda, dimana kedua bangunan ini memiliki kekhasan pada tatanan arsitekturalnya dibandingkan dengan sekitarnya. Grahadi berlanggam arsitektur kolonial dengan sempadan bangunan depan yang cukup lebar dengan tatanan taman yang formal. Balai Pemuda memiliki keunikan bentuk arsitektural dengan bentuk lengkung sebagai fokus disertai dengan bangunan yang berkarakter terbuka dari segala arah. Keunikan-keunikan inilah yang membuat kedua bangunan tersebut menjadi salah satu landmark Surabaya yang cukup signifikan.

Page 7: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

Gambar 4. Landmark kota Surabaya dengan karakter referensial yang kuat

Selain faktor kekuatan visual, faktor yang juga mempengaruhi kekuatan referensial landmark adalah lokasi. Jika kekuatan visual dari landmark tersebut relatif lemah (tidak kontras terhadap lingkungan), tetapi diimbangi dengan lokasinya yang vital dari lingkungan tersebut, maka dapat dikatakan kekuatan referensial landmark tersebut menjadi kuat. Seperti contoh pada Kebun Binatang Surabaya (KBS), Tugu Pahlawan dan City of Tomorrow (Cito). KBS terletak di lokasi yang sangat strategis yaitu di penghujung Jl. Darmo sebagai terusan dari Jl. A.Yani yang merupakan jalur utama Surabaya. Tugu Pahlawan dan Cito selain memiliki kekuatan kontras visual yang kuat, faktor lokasi juga sangat kuat. Tugu Pahlawan yang sangat kuat karena lokasinya yang seolah-olah berada di alun-alun, ruang terbuka yang luas setelah kepadatan bangunan dari arah selatan ke utara. Cito sendiri terletak di Bundaran Waru yang merupakan nodes pertama memasuki kota Surabaya dari arah utara.

Dapat dilihat dari keseluruhan landmark yang disebutkan oleh responden, ada beberapa yang disebutkan sedikit sekali atau bisa dikatakan memiliki kekuatan referensial relatif lemah meskipun secara visual bangunan tersebut memiliki kekuatan arsitektural yang lebih dari pada bangunan lainnya. Seperti contoh bangunan Wisma Dharmala, bangunan ini memiliki keunikan dalam bentuknya, yaitu bangunan tinggi yang berjenjang kearah belakang dan pada tiap lantainya memiliki tritisan sehingga berkesan bangunan tinggi yang tropis. Hanya kurang dari seperempat responden yang menganggap Dharmala sebagai penanda lingkungannya. Kekuatan referensial sesuatu juga sangat tergantung dengan jalur/path yang dilewati, apakah sesuai dengan kekuatan jalan sebagai jalur transportasi utama dan arah melihat pengamat di atas kendaraan. Dharmala sendiri terletak di sisi kanan jalan jalan dua arah dimana arus terbanyak dari arah selatan ke utara. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan Dharmala kurang dianggap kekuatannya dalam mengenal lingkungan kota karena berada berlawanan dengan arah transportasi teramai dan terutama di kota Surabaya.

Kekekuatan referensial yang timbul karena kekuatan visual yang kontras juga bisa tercipta dari image yang negatif, kesan negatif yang disandingkan dengan kesan positif maka elemen berkesan negatif itu bisa memiliki kekuatan referensial yang kuat. Seperti contoh pada TP, selain karena kekuatan positifnya karena kekontrasan bentuk bangunan, kekuatan lokasi dan juga fasilitas bangunan tersebut, juga karena jalan menuju TP seringkali macet sehingga banyak orang mengingat fasilitas ini karena penanda image negatif yang tercipta. Contoh yang lain adalah Vida, dimana pusat perbelanjaan ini pada saat hujan eringkali banjir yang cukup tinggi. Karena kesan negatif inilah, pengamat menjadi ekstra perhatian kepada landmark tersebut dalam berorientasi di lingkungannya. 5. GAYA HIDUP DAN PERSEPSI KOTA

Kehidupan kontemporer saat ini banyak dipengaruhi teknologi dan globalisasi. Efek dari globalisasi diantaranya: mobilitas besar-besaran (hyper-mobility), komunikasi global, dan proses penetralan terhadap arti ruang dan jarak (Sassen 2001), adalah faktor-faktor

Page 8: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

penting yang mempengaruhi ikon-ikon kota. Seiring dengan perubahan inilah, persepsi terhadap kota juga berubah. Pada jaman ini manusia lebih cenderung untuk menyukai sesuatu yang praktis dan cepat, begitupula hal-hal yang menyangkut kesehariannya, termasuk dalam berperilaku. Menurut Talcot Parsons, terdapat empat hirarki dalam manusia berbudaya yaitu: sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku. Lifestyle atau gaya hidup adalah suatu perilaku yang diulang-ulang dalam kurun waktu tertentu menjadi suatu kebiasaan. Karena gaya hidup sangat berkaitan dengan keputusan dalam kegiatan keseharian dan budaya seseorang, maka pembahasan pengaruh gaya hidup dimulai pada karakter budaya dan gaya hidup dari responden.

Seperti yang dijelaskan di Metode Penelitian, responden adalah mahasiswa Arsitektur semester 7, usia antara 20-22 tahun, sebagian besar berasal dari kehidupan ekonomi keluarga menengah keatas, dan berkendara dengan mobil dalam mobilitasnya. Anak muda dengan karakter ini kegiatan kesehariannya pasti berkaitan erat dengan sekolah dan hiburan atau rekreasi. Seperti yang dapat dilihat di mental map, semua pengamat menyebutkan kampusnya sebagai landmark utama kota karena yang setiap hari mereka kunjungi, meskipun landmark tertinggi adalah Tunjungan Plaza (TP).

Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan TP menjadi landmark utama. Selain faktor eksternal (kekuatan visual: kontras), juga faktor internal (seperti kelengkapan dan kemodernan fasilitas). Karena faktor internal inilah, anak muda dengan karakter seperti diatas memilih untuk melakukan kegiatan rekreasinya di tempat ini. Berdasarkan diskusi mendalam, ada yang menyatakan karena tidak adanya fasilitas lain selengkap TP, tidak ada yang semodern TP dan tidak ada yang semudah TP pencapaiannya. Tetapi terlebih daripada itu, budaya ’ngemall’ sudah menjadi gaya hidup anak muda dengan karakter tersebut. Setiap mereka memiliki waktu luang, mereka akan lebih memilih untuk ’ngemall’ baik bersama keluarga maupun teman-teman. Mall sudah menjadi tempat wajib untuk bersosialisasi. Selain itu, hampir seluruh responden meyakini bahwa budaya ’ngemall’ ini bukan dari generasi mereka saja, tetapi sudah terbentuk dari kecil, karena orang tua mereka selalu memberikan pilihan untuk ke mall sebagai tempat rekreasi (sangat sedikit yang mengatakan diajak ke pantai Kenjeran, museum Mpu Tantular atau KBS).

Menjadi menarik di temuan penelitian bahwa KBS adalah landmark tertinggi kedua setelah TP. Setelah dilakukan diskusi mendalam, hanya sekitar satu hingga dua kali dalam hidup responden mengunjungi KBS. Dapat disimpulkan disini, KBS menjadi penanda lebih karena faktor lokasi yang strategis sehingga mudah diingat untuk menjadi penanda lingkungan. Hal ini juga sama dengan Tugu Pahlawan, Balai Pemuda dan Balaikota.

Berdasarkan pemahaman citra kota yang telah diteliti, pengamat kota Surabaya mempersepsikan struktur kota sebagai sesuatu yang linier sejalan dengan path utama yaitu aksis A.Yani-Darmo-Basuki Rahmad. Pemahaman referensial pengamat pada aksis utama ini juga sejalan dengan pengenalan banyaknya landmark kota yang dianggap kuat disepanjang aksis ini. Pertumbuhan kotapun selalu sejalan dengan generator perkotaan yang ada disepanjang jalan ini, dimana hampir seluruh kegiatan pengamat tergantung dengan keberadaan aksis tersebut. Dari analisis urban ekonomi, dapat dibuktikan juga, semakin kuat aksis tersebut berarti semakin tinggi pula nilai dan intensitas lahan disekitarnya (Balchin 2000).

Begitu pula persepsi yang diperoleh dari penelitian, mayoritas pengamat merasakan dengan cukup kuat kualitas spasial dan facade dari aksis ini, juga kualitas tujuan (destination) menuju kearah pusat kota. Kualitas ini diperoleh dari perubahan kepadatan, ketinggian dan fungsi bangunan yang melingkupinya, yaitu menjadi semakin padat, tinggi dan bersifat komersial. Karakter refensial ini menurut Lynch (1960) yang membuat path/ jalan menjadi elemen kota yang paling mudah untuk dikenali dan diingat, karena kekuatan struktur formalnya. Persepsi yang tercipta di kawasan sebelah selatan Kantor Walikota juga melemah, bahkan tidak dikenali sama sekali kecuali beberapa landmark dikawasan tersebut (THR, ITC, JMP dll). Demikian pula halnya dengan sisi timur dan barat jalur utama, hanya sedikit sekali yang memiliki persepsi kuat untuk berorientasi. Banyak hal

Page 9: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

yang menyebabkan hal ini, yang terutama adalah karena kecenderungan manusia untuk lebih mengenali sesuatu yang berkaitan erat dengan struktur-formal lingkungan. Dapat dilihat di peta mental, pengenalan path disepanjang jalur utama cukup dominan dan pengenalan terhadap landmark juga cukup detail.

Gambar 3. Diagram hubungan gaya hidup dan persepsi kota

Diagram diatas adalah kesimpulan dari penelitian yang menjadi dasar paper ini.

Berangkat dari pemahaman lifestyle yang lahir dari budaya hingga kekuatan persepsi terhadap path dan landmark. Pengujian persepsi kota Surabaya melalui teknik yang dipakai Lynch, menunjukkan bahwa pengenalan terhadap path/ jalan dan landmark berguna bagi pengamat untuk kepentingan berorientasi di lingkungan kota, memori masa lalu, peran sosial, dan kepuasan emosi. Landmark dan path yang memiliki kekuatan referensial yang kuat adalah bukan semata-mata karena kekuatan visual dan spasialnya saja, tetapi lebih kepada keterikatannya terhadap masa lalu (seringnya ke fasilitas tersebut atau terkait dengan nilai historis kota), dan peran sosialnya yang tercermin dalam kekuatan internal dari fasilitas itu. Sedikit pengamat yang mengkaitkan dengan kepuasan emosi dalam mengenali elemen referensial kota, karena ternyata beberapa menyatakan bahwa kekontrasan terkadang membuat sesuatu itu mudah diingat. Kontras dalam hal negatifpun bisa menjadi kekuatan referensial, yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa memiliki kepuasan emosi yang rendah. 6. KESIMPULAN

Persepsi kota Surabaya yang telah teridentifikasi dan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Persepsi kota dipengaruhi erat oleh perilaku seseorang, dimana perilaku adalah runtutan dari sistem budaya.

2. Landmark kota Surabaya yang memiliki kekuatan referensial terkuat adalah: Tunjungan Plaza, Kebun Binatang Surabaya dan Pakuwon Trade Centre.

3. Path kota Surabaya yang memiliki kekuatan referensial terkuat adalah: A.Yani, Raya Darmo dan Basuki Rahmad.

4. Kekuatan referensial landmark kota tergantung dari beberapa karakter diantaranya: kekontrasan dengan lingkungan, keunikan arsitektur, aksesibilitas lokasi, kekuatan internal fasilitas, dan arah path/ jalan.

5. Kekuatan referensial path kota tergantung dari beberapa karakter diantaranya: menerus (continuous), tujuan yang terdefinisi (langsung terlihat atau bertahap), pemanfaatan lahan disekitar, karakter spasial, dan karakter façade.

Penelitian yang menjadi dasar paper ini adalah penelitian awal yang selanjutnya perlu dikembangkan lagi, seperti memperluas responden, baik dalam usia, strata sosial dan ekonomi. Karena faktor-faktor ini cenderung memiliki pengaruh kuat dalam pengamat mempersepsikan kota. Penemuan dari penelitian ini merupakan awalan bagi temuan-temuan selanjutnya, untuk dapat merumuskan citra kota Surabaya pada jaman ini.

Page 10: PENGARUH GAYA HIDUP TERHADAP PERSEPSI KOTA SURABAYA

7. DAFTAR PUSTAKA Balchin, P. I., David; Chen, Jean, Urban Economics; a global perspective, New York,

Palgrave, 2000 Dick, Howard, 2002, Surabaya, city of work, Ohio University Center for International

Studies, Ohio Gibson, James.J, 1950, The Perception of the Visual World, Greenwood Press Publisher,

Westport Lynch, Kevin, 1960, The Image of the City, MIT Press, Cambridge Lynch, Kevin, 1981, A Theory of Good City Form, MIT Press, Cambridge Mumford, Lewis, 1968, The Urban Prospects, Harcourt Brace & World Inc, New York Sassen, Saskia, 2001, The Global City, Princeton University Press, New Jersey Von Meiss, Pierre, 1986, Elements of Architecture: from form to place, Van Nostrand

Reinhold Publisher, New York

------------