pengaruh anestesi lokal saat pencabutan...
TRANSCRIPT
i
PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI
TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY
Ida Ayu Eka Putri
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.024
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2014
PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI
TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Oleh :
Ida Ayu Eka Putri
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.024
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
drg. Hendri Poernomo,M.Biotech drg. Putu Sulistiawati Dewi
NPK : 827 003 222 NPK : 827 408 303
iii
Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara
pembuatan skripsi dengan judul: “PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT
PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL‟S PALSY” yang telah
dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 25
Februari 2014.
Maka atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan.
Denpasar, 25 Februari 2014
Tim Penguji Skripsi
FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar
Ketua,
drg. Hendri Poernomo,M.Biotech
NPK : 827 003 222
Anggota : Tanda Tangan
1. drg. Putu Sulistiawati Dewi 1……………..
2. drg. Durra Mufida 2……………..
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
drg. P.A.Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID.
NIP 19590512 198903 2 001
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Anestesi Lokal Saat Pencabutan Gigi Terhadap Terjadinya
Bell‟s Palsy” ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) pada Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaswati Denpasar.
Mengingat keterbatasan penulis maka penulis sangat menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini tidak mungkin berjalan lancar tanpa bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. drg. Hendri Poernomo,M.Biotech selaku dosen pembimbing I dan selaku
dosen penguji atas segala upaya dan bantuan beliau yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam mewujudkan skripsi ini
sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
2. drg. Putu Sulistiawati Dewi selaku dosen pembimbing II dan selaku dosen
penguji atas segala bimbingan dan petunjuk yang diberikan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. drg. Durra Mufida selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji serta
memberikan koreksi dan masukan kepada penulis
v
4. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
5. Ayah Ibu dan keluarga yang selalu memberikan dorongan moril maupun
material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Candra Yoga yang selalu memberikan semangat, perhatian dan doa.
7. Wanda, Dian, Nindia Ayu, Manik, Isma, dan teman-teman Cranter serta
semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, atas dorongan
dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mohon maaf sebesar-besarnya jika ada kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Penulis berharap
semoga karya tulis ini berguna bagi pembacanya.
Denpasar, 25 Februari 2014
Penulis
vi
PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI
TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY
ABSTRAK
Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower
motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lain. Penyebab yang pasti
dari kejadian ini belum diketahui, namun penyebab terjadinya bell’s palsy di
bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi setelah penyuntikan
anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi. Pada penderita bell’s palsy yang
disebabkan adanya kesalahan pemberian anastesi lokal sewaktu pencabutan gigi
maka kepada pasien harus dijelaskan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah
agen anastesi lokal hilang. Hal ini dapat dihindarkan dengan memberikan
kedalaman suntikan yang tepat.
Kata kunci: Bell’s palsy, kelemahan wajah, anestesi lokal
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN ... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB II ANESTESI LOKAL .......................................................................... 5
A. Pengertian Anestesi ..................................................................... 5
B. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal .............................. 5
C. Persiapan Pra Anestesi ................................................................ 7
D. Komplikasi Anestesi Lokal .............................................................. 8
1. Kerusakan Jarum .................................................................... 8
2. Parestesi ................................................................................. 8
3. Trismus .................................................................................. 9
4. Luka Jaringan Lunak .............................................................. 9
5. Hematoma ..................................................................................... 9
viii
6. Nyeri ...................................................................................... 10
7. Rasa Terbakar ........................................................................ 10
8. Infeksi .................................................................................... 10
9. Edema .................................................................................... 11
10. Pengelupasan Jaringan ........................................................... 11
11. Lesi Intraoral Post Anestesi ................................................... 11
12. Paralisis Nervus Fasialis ....................................................... 12
BAB III BELL‟S PALSY ................................................................................ 14
A. Pengertian ................................................................................... 14
B. Etiologi ........................................................................................ 15
C. Tanda Dan Gejala ........................................................................ 20
D. Gambaran Klinis .......................................................................... 21
E. Diagnosis Banding ....................................................................... 22
F. Komplikasi ................................................................................... 23
G. Perawatan dan Prognosis ............................................................. 25
BAB IV PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI
TERHADAP TERJADINYA BELL‟S PALSY ................................ 28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 32
A. Simpulan ...................................................................................... 32
B. Saran ............................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Gambaran Bell‟s Palsy ................................................................ 15
Gambar 3.2 Kelumpuhan Bell (Bell‟s Palsy) (A) Waktu istirahat, (B)
Penderita setelah diminta untuk memperlihatkan giginya, (C)
Penderita setelah diminta untuk menutup matanya .................... 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dokter bedah bernama Sir
Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan
dengan kelainan pada saraf wajah (Lowis dan Gaharu 2012).
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau
gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi
wajah yang akan bersifat permanen. Karena itu, perlu diketahui oleh dokter agar
tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang
mungkin didapatkan (Lowis dan Gaharu 2012).
Bell’s palsy adalah sebuah kelainan dan gangguan neurologi pada nervus
cranialis VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Paralyse bell hampir selalu terjadi unilateral, namun demikian
dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral (Attaufiq
2011).
2
Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang menyebabkan kelemahan
atau paralysis, ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas muskular pada kedua sisi
wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa
diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah menjadi asimetris
karena sudut mulut dan sudut mata turun ke bawah sehingga tidak simetris dengan
wajah yang tidak terkena. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum
maka pada bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi
tidak seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Attaufiq 2011).
Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar
pada pasien. Kelumpuhan saraf wajah karena bawaan, neoplastik, akibat dari
infeksi, trauma, eksposur beracun, penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum
dari kelumpuhan wajah unilateral bell’s palsy disebut kelumpuhan wajah
idiopatik. Penyebab yang pasti dari kejadian ini belum diketahui, namun bisa
terjadi akibat reaktivasi herpes simpleks atau herpes zoster pada ganglion
genikulata, edema atau iskhemia syaraf, dan kerusakan syaraf akibat autoimun
(Attaufiq 2011).
Bell’s palsy terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari
(maksimal 7 hari). Penderita juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa
bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang-
kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi
dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara
parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi
kelumpuhan komplit (Elsevier 2007).
3
Prevalensi bell’s palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data
yang dikumpulkan didapatkan frekuensi bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh
kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–50 tahun, peluang terjadinya pada
wanita dan pria sama. Pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terkena
udara dingin atau angin berlebihan (Annsilva 2010).
Bell’s palsy ditandai dengan onset akut unilateral paralisis nervus cranialis
7. Ini sering dikaitkan dengan nyeri telinga dan tahap prodromal virus. Trauma
nervus cranialis 7 dapat terjadi akibat patah tulang temporal, laserasi saraf wajah
atau setelah operasi iatrogenik. Ramsay Hunt Syndrome ditandai dengan tiba-tiba
mengalami sakit, erupsi vesicular pada saluran pendengaran eksternal dan daun
telinga, gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Tumor yang terlibat
dalam fasial palsy ditandai dengan hilangnya perlahan-lahan sensasi dan fungsi
motorik dengan kurangnya peningkatan setelah tiga bulan. Infeksi penyebab fasial
palsy termasuk virus, otitis media, HIV, tuberkulosis dan penyakit limfosit.
Penyebab saraf pusat termasuk lesi yang melibatkan area motor wajah dan
myasthenia gravis (Owsley dkk. 2012).
Kemungkinan penyebab terjadinya bell’s palsy di bidang kedokteran gigi
dapat disebabkan oleh komplikasi setelah penyuntikan anestesi pada Waktu
pencabutan gigi, adanya infeksi di daerah mulut dan trauma pada waktu operasi
sendi temporomandibula, operasi glandula parotis, dan fraktur pada ramus
mandibula. Perawatan yang dilakukan pada penderita ini adalah istirahat,
fisioterapi, dan pemberian obat-obatan (Milala 2001). Diagnosis penyebab lain
dari fasial palsy meliputi: bell’s palsy, trauma, herpes zoster oticus (Ramsay Hunt
Syndrome), tumor, infeksi, dan lesi system saraf pusat (Owsley dkk. 2012).
4
Maka pada penulisan ini yang akan dibahas mengenai bagaimana
mengenali Terjadinya bell’s palsy, mencegah dan mengatasi komplikasi setelah
penyuntikan anestesi lokal pada saat melakukan pencabutan gigi.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini, yaitu
“Bagaimana pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya
bell‟s palsy?”
C. Tujuan Kajian Pustaka
Tujuan dari penulisan kajian pustaka ini adalah untuk mengetahui
pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi terhadap terjadinya bell‟s palsy.
D. Manfaat Kajian Pustaka
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, yaitu :
1. Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai pengaruh anestesi lokal saat
pencabutan gigi terhadap terjadinya paralisis fasialis perifer.
2. Untuk meningkatkan ketrampilan operator dalam mengatasi komplikasi
setelah anestesi pada saat melakukan pencabutan gigi.
3. Memberikan masukan kepada pembaca khususnya dokter gigi dan mahasiswa
untuk lebih memperhatikan dalam melakukan pencabutan serta komplikasi
yang terjadi.
5
BAB II
ANESTESI LOKAL
A. Pengertian Anastesi
Anestesi berasal dari kata yunanian yang berarti tidak atau tanpa dan
aesthētos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasa. Secara umum
berarti suatu tindakan yang menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Penggunaan istilah anestesi untuk pertama kali digunakan oleh Oliver
Wendel Holmes Sr pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan (Latief dkk. 2001).
Anestesi lokal didefinisikan sebagai tindakan yang menghilangkan rasa
nyeri atau sakit untuk sementara, tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi
lokal digunakan untuk mengurangi nyeri sehingga pasien merasa nyaman saat
dilakukan tindakan dan dokter gigi mampu bekerja dengan baik serta dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab nyeri pada wajah (Malamed dan
Stanley 2004).
B. Indikasi dan Kontra Indikasi Anestesi Lokal
Anestesi lokal telah digunakan secara luas di bidang kedokteran umum
dan gigi. Komplikasi serius dari anestesi lokal jarang terjadi, tetapi kejadian fatal
akibat pemberian anestesi lokal telah dilaporkan. Komplikasi pemakaian anestesi
lokal berkisar dari gejala ringan yang terjadi akibat absorbsi sistemik anestesi
lokal pada pemberian yang benar dan sesuai dosis sampai gejala berat pada sistem
6
saraf pusat (SSP) dan toksisitas pada jantung akibat penyuntikkan intravaskuler
yang tidak disengaja yang dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan toksisitas sistemik anastesi
lokal, diantaranya faktor risiko yang ada pada pasien, obat-obatan penyerta, lokasi
penyuntikkan dan teknik anestesi, jenis obat anestesi, total dosis yang digunakan,
kecepatan pengenalan tanda intoksikasi dan keadekuatan pengelolaan (Rindarto
dan Sutiyono 2009).
Dalam bidang kedokteran gigi, secara umum anestesi lokal diindikasi
untuk berbagai tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak
tertahankan oleh pasien, diantaranya ekstraksi gigi, apikoektomi, gingivektomi,
gingivoplasti, bedah periodontal, pulpektomi, pulpotomi, alveoplasti, implan gigi,
perawatan fraktur rahang, reimplantasi gigi avulsi, perikoronitis, kista, bedah
tumor, bedah odontoma, penjahitan dan flapping pada jaringan mukoperiosteum
(Malamed dan Stanley 2004).
Kontraindikasi dari pemberian anestesi lokal, antara lain adanya
infeksi/inflamasi akut pada daerah injeksi apabila melakukan anestesi secara
injeksi (hindari bloking saraf alveolaris inferior gigi pada dasar mulut atau area
retromolar), penderita hemofilia, Christmas Disease, Von Willebrand Disease,
alergi, penderita hipertensi yang tidak terkontrol, penderita penyakit hati/liver dan
penderita usia lanjut perlu diperhatikan adanya kelainan hati dan ginjal (Malamed
dan Stanley 2004).
7
C. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra anestesi ini mencakup tiga persiapan,yaitu persiapan diri,
persiapan alat dan bahan, dan persiapan pasien. Persiapan diri harus sehat fisik
dan psikis, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknik anestesi yang memadai
dan memiliki mental yang baik untuk mengatasi apabila terjadi keadaan yang
mengancam jiwa pasien (Malamed dan Stanley 2004).
Persiapan alat dan bahan anestesi yang biasa digunakan adalah syringe
untuk menyutikkan bahan atau agen anestesi lokal ke daerah yang akan dianestesi.
Hal ini perlu diperhatikan agar penyuntikan berjalan cepat dan lancar. Kemudian
siapkan mukosa yang akan disuntik, dan siap dilakukan penyuntikan langsung
pada daerah yang dikehendaki (Malamed dan Stanley 2004).
Evaluasi pra anestesi dilakukan melalui anamnesis serta evaluasi kondisi
fisik pasien. Dalam anamnesis pasien ditanyakan tentang riwayat penyakit yang
pernah atau sedang diderita. Penyakit-penyakit yang umumnya ditanyakan kepada
pasien dalam evaluasi pra anestesi adalah kelainan jantung, hipotensi, diabetes,
gagal ginjal, penyakit liver, alergi terhadap obat, hipertensi, rematik, asma,
anemia, epilepsi, serta kelainan darah. Obat-obatan yang sedang dikonsumsi,
riwayat alergi, dan beberapa keluhan-keluhan yang mungkin dialami oleh pasien.
Dalam evaluasi pra anestesi ini pula ditanyakan tentang ketakutan pasien sebelum
dilakukan anestesi sehingga keadaan psikologis pasien dapat dievaluasi (Baart dan
Brand 2008).
Pemeriksaan fisik pra anestesi yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual
untuk mengobservasi adanya kelainan pada postur tubuh pasien, gerakan tubuh,
8
bicara, dan evaluasi tanda vital serta status kesehatan fisik (Malamed dan Stanley
2004).
D. Komplikasi Anastesi Lokal
Menurut Baart dan Brand (2008) bahwa terdapat beberapa komplikasi
anastesi lokal pada saat pencabutan, yaitu :
1. Kerusakan Jarum
Penyebab umum patahnya jarum adalah gerakan tiba-tiba yang tidak
terduga pada pasien saat jarum memasuki otot atau kontak periosteum. Jika pasien
berlawanan dengan arah jarum maka tekanan yang adekuat ini akan menyebabkan
patah jarum. Penyebab utamanya adalah kelemahan jarum dengan
membengkokkannya sebelum di insersi ke dalam mulut pasien.
Perawatan jika terjadi jarum patah adalah pasien diharapkan tetap tenang
dan jangan panik, instruksikan pasien untuk tidak bergerak, jaga mulut pasien agar
tetap terbuka, gunakan bite block dalam mulut pasien. Jika patahan masih terlihat,
coba untuk mengambilnya.
2. Parestesi
Pasien merasa mati rasa selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari
setelah anestesi lokal. Penyebabnya karena trauma pada beberapa saraf, injeksi
anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau cairan sterilisasi yang
menyebabkan iritasi sehingga dapat mengakibatkan edema dan sampai menjadi
parastesi.
Parastesi dapat sembuh sendiri dalam waktu 8 minggu dan jika kerusakan
pada saraf lebih berat maka parastesi dapat menjadi permanen, namun jarang
terjadi. Perawatan pada pasien yang mengalami parastesi adalah yakinkan kembali
9
pasien dengan berbicara secara personal, jelaskan bahwa parastesi jarang terjadi
hanya 22% telah dilaporkan yang berkembang menjadi parastesi, periksa
pasien untuk menentukan derajat dan luas parastesi, jelaskan pada pasien bahwa
parastesi akan sembuh sendiri dalam waktu 2 bulan. Jadwal ulang pertemuan
setiap 2 bulan sampai adanya pengurangan reaksi sensori. Jika ada, maka
konsultasi ke bagian Bedah Mulut.
3. Trismus
Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot rahang
dengan pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci). Etiologinya karena
trauma pada otot atau pembuluh darah pada fossa infra temporal. Kontaminasi
alkohol dan larutan sterlisasi dapat menyebabkan iritasi jaringan kemudian
menjadi trismus. Hemoragi juga penyebab lain trismus.
4. Luka jaringan lunak
Trauma pada bibir dan lidah biasanya disebabkan karena pasien tidak hati-
hati menggigit bibir atau menghisap jaringan yang teranastesi. Hal ini
menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang siginifikan. Kejadian ini sering
terjadi pada anak-anak handicapped.
5. Hematoma
Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah blok
nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma yang terjadi
setelah blok saraf alveolar inferior dapat dilihat secara intraoral sedangkan
hematoma akibat alveolar blok posterior superior dapat dilihat secara extraoral.
10
Komplikasi hematoma juga dapat berakibat trismus dan nyeri.
Pembengkakan dan perubahan warna pada region yang terkena dapat terjadi
setelah 7 sampai 14 hari.
6. Nyeri
Penyebab nyeri dapat terjadi karena teknik injeksi yang kurang hati-hati,
jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple, deposisi cepat pada obat anestesi
lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan, jarum dengan mata kail (biasanya
akibat tertusuk tulang). Nyeri yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan
kecemasan pasien, menciptakan gerakan tiba-tiba pada pasien dan menyebabkan
jarum patah.
7. Rasa terbakar
Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada daerah
palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga menyebabkan rasa
terbakar.
Jika disebabkan karena pH, maka akan menghilang sejalan dengan reaksi
anestesi. Namun jika disebabkan karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi dan
obat anastesi yang terlalu hangat dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
dapat berkembang menjadi trismus, edema, bahkan parastesi.
8. Infeksi
Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum administrasi
anastesi. Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan membran mukosa.
Ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan persiapan yang tidak tepat
dapat menyebabkan infeksi.
11
9. Edema
Pembengkakan jaringan merupakan manifestasi klinis adanya beberapa
gangguan. Edema dapat terjadi karena trauma selama injeksi, infeksi, alergi,
hemoragi, jarum yang teriritasi, hereditary angioderma.
Edema dapat menyebabkan rasa nyeri dan disfungsi dari region yang
terkena. Angioneurotik edema yang dihasilkan akibat topikal anestesi pada
individu yang alergi dapat membahayakan jalan napas. Edema pada lidah, faring,
dan laring dapat berkembang pada situasi gawat darurat.
10. Pengelupasan jaringan
Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan menyebabkan
beberapa komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses steril. Penyebab
deskuamasi epitel, antara lain aplikasi topikal anestesi pada gusi yang terlalu
lama, sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan, adanya reaksi pada area
topikal anestesi. Penyebab abses steril, antara lain iskemi sekunder akibat
penggunaan lokal anestesi dengan vasokonstriktor (norepineprin), biasanya
berkembang pada palatum keras. Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau
abses steril sehingga ada kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena.
11. Lesi intraoral post anastesi
Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal timbul
ulserasi pada mulut mereka terutama di sekitar tempat injeksi. Gejala awalnya
adalah nyeri. RAS atau herpes simplex dapat terjadi setelah anestesi lokal.
Recurrent aphthous stomatitis merupakan penyakit yang paling sering dari pada
herpes simplex, terutama berkembang pada gusi yang tidak cekat dengan tulang.
Biasanya pasien mengeluh adanya sensitivitas akut pada area ulse.
12
12. Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis
yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan
selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Berbagai
penyebab kelumpuhan wajah meliputi kelainan genetik, komplikasi dari operasi,
bell’s palsy, trauma, Infeksi herpes simpleks atau herpes zoster, penyakit lyme,
stroke dan gangguan sistem saraf pusat, tumor, penyakit sistemik, infeksi,
penyebab miscellaneous (Facial Paralysis And Bells Palsy 2014).
Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian supranuklear,
nuklear, infranuklear (perifer) dari nervus tersebut. Paralisis perifer (bell’s palsy)
adalah jenis yang paling umum dari hilangnya fungsi saraf fasialis (75%).
Paralisis ini dapat terjadi pada segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50
tahun (Duus 1994 cit. Milala 2001).
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung
kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus ini biasanya
bersifat sementara di bidang kedokteran gigi. Penyebab paralisis nervus fasialis
belum diketahui secara pasti. Etiologi dari paralisis nervus fasialis tergantung
pada lokasi lesi dari nervus fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono
cit. Milala 2001). Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan
injeksi anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum
secara posterior menembus kedalam badan glandula parotid sehingga hal ini
menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008).
Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah utama
yaitu estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada treatment khusus
13
kecuali menunggu sampai aksi dari obat menghilang. Masalah lainnya adalah
pasien tidak dapat menutup satu matanya secara sadar, refleks menutup pada mata
menjadi hilang dan berkedip menjadi susah. Paralisis nervus fasialis adalah istilah
umum yang diberikan untuk pasien yang kehilangan kemampuan untuk
memindahkan satu sisi wajah mereka. Bell’s palsy adalah bagian spesifik dari
pasien yang memiliki kelumpuhan wajah tersebut (Malamed dan Stanley 2004).
14
BAB III
BELL’S PALSY
A. Bell’s Palsy
Bentuk yang paling umum dari kelumpuhan wajah adalah bell palsy yang
disebabkan oleh peradangan pada saraf wajah. Peradangan ini menyebabkan saraf
membengkak dan mencegah saraf melewati sinyal antara otak dan otot-otot wajah.
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan/paralisis nervus fasialis perifer atau
kelumpuhan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh
keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya (Lowis dan Gaharu 2012).
Menurut Singhi (2003) Sir Charles Bell adalah orang pertama yang
meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti
tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Nama Bell diambil untuk diagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Lokasi cedera nervus fasialis pada bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Bell’s
palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai kelainan neurologi
lainnya (Marsk 2010). Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu
serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh
atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen (Lowis dan Gaharu
2012).
15
Gambar 3.1. Gambaran Bell‟s Palsy (Dikutip dari http://www.moveforwardpt.com/)
Wajah menjadi asimetris karena sudut mulut dan sudut mata sebelah kanan turun
ke bawah. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum maka pada
bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi tidak
seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Jessie 2014). (Gambar 3.1)
Menurut Singhi (2003) insiden bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari
semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Menurut Tiemstra (2007) prevalensi
rata-rata berkisar antara 10–30 pasien 100.000 populasi per tahun dan meningkat
sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita
hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah
menderita penyakit ini.
B. Etiologi
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis
yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan
selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Kelumpuhan
nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian supranuklear, nuklear, infranuklear
16
(perifer) dari nervus tersebut. Paralisis perifer (bell’s palsy) adalah jenis yang
paling umum dari hilangnya fungsi saraf fasialis (75%). Paralisis ini dapat terjadi
pada segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50 tahun (Duus 1994 cit.
Milala 2001).
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung
kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus fasialis perifer
(bell’s palsy) ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi. Etiologi
dari paralisis nervus fasialis tergantung pada lokasi lesi dari nervus fasialis
(perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono cit.Milala 2001). Paralisis nervus
fasialis perifer dapat disebabkan karena kesalahan injeksi anestesi lokal yang
seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum secara posterior menembus
ke dalam badan glandula parotid sehingga hal ini menyebabkan paralisis (Baart
dan Brand 2008).
Secara umum etiologi dari paralisis nervus fasialis ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut : (Milala 2001)
1. Kongenital
a. Anomali kongenital (sindroma mobius)
b. Trauma lahir (fraktur tengkorak, pendarahan intrakranial sebagai akibat
pemakaian alat forceps)
2. Didapat
a. Trauma (fraktur pada ramus mandibula)
b. Penyakit tulang tengkorak
c. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
17
d. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus (iskhemia
dari saraf)
e. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
Faktor-faktor penyebab paralisis nervus fasialis yang berhubungan dengan
dunia kedokteran gigi, adalah: (Murniati 1991 cit. Milala 2001)
1. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi,
dimana terjadi paralysis facialis yang bersifat sementara (bell’s palsy)
disebabkan oleh :
a. Infiltrasi obat anestesi yang berlebihan pada anestesi blok infraorbital yang
menyebabkan paralysis otot ekstra-okular
b. Jarum suntik melewati daerah batas posterior, mengenai kelenjar parotis
memblokir daerah serviko fasial atau kortiko temporal dari nervus fasialis
c. Kesalahan penyuntikan yang menyebaban terblokirnya serabut motoris
pada quadratus labii inferior dan otot triangularis, menyebabkan paralysis
bibir bawah.
2. Adanya sumber infeksi di daerah mulut (radang parotis/mumps)
3. Trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula ( misalnya, trauma pada
bagian kondilus mandibula akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis
pada bagian atas )
4. Trauma sewaktu pembuangan tumor glandula parotis ( terpotongnya nervus
fasialis) dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah
5. Fraktur pada ramus mandibula yang dapat mengakibatkan putusnya saraf
fasialis.
18
Perbedaan lokasi kerusakan saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang
berbeda, yaitu : (Chusid, 1993 cit. Milala 2001)
1. Paralisis perifer
Lesi-lesi yang memutuskan saraf fasialis (misalnya bell’s palsy)
secara primer nampak sebagai paralisis neuron motorik bawah pada otot-
otot ekspresi muka. Baik gerak refleks maupun gerak sadar pada otot-otot
fasial hilang. Kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos). Waktu
penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata nampak
terputar ke atas (tanda bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup,
apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh.
Keluhan dari gejala berikutnya bergantung kepada lokasi lesi
sebagai berikut :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul
diantara pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Penderita tidak dapat
bersiul, mengedip, atau mengatupkan mata dan mengerutkan dahi.
Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka
air mata akan keluar terus-menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan lidah) dan
salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
19
menunjukan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis melibatkan muskulus stapedius
Gejala dan tanda klinik seperti pada poin a dan b ditambah dengan
adanya hiperakusis
d. Lesi yang melibatkan ganglion genikulatum
Gejala dan tanda klinik sepeti pada poin a, b, c disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi
pasca herpes di membrane timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt
adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster
di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlihat di membrane timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengan tuli sebagai
akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang
juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
2. Paralisis Nuklear
Gejala-gejala bell’s palsy ditambah hemiplegia kontralateral
(akibat terkenanya system pyramidal) dengan paralisis nervus VI dan
terkadang nervus VIII (Sidharta 1995).
20
3. Paralisis Supranuklear
Paralisis pada daerah supranuklear ini mengakibatkan adanya
kelumpuhan terhadap pengaruh gerakan sadar, namun dapat berkontraksi
atas pengaruh emosional atau mimik. Sudut mulut sisi yang lumpuh
tampak lebih rendah. Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar. Jika
kedua sudut mulut diangkat, maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat
terangkat. Otot wajah bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang
berarti. Tanda dari bell (lagoftalmos dan elevasi bola mata) tidak dapat
dijumpai (Sidharta 1995).
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot- otot wajah
pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba, beberapa jam sampai beberapa hari
(maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak
atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang
diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan
berubahnya pengecapan (Singhi 2003).
Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien bell’s palsy adalah
adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien
kesulitan melakukan gerakan-gerakan volunter, seperti saat gerakan aktif maupun
pasif, tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi
wajah yang sehat, sulit bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung dan otot-otot
yang terkena, yaitu muskulus frontalis, muskulus orbicularis oculi, muskulus
orbicularis oris, muskulus zygomaticus dan muskulus nasalis. Selain tanda-tanda
21
motorik terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah
bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal-tebal
di wajahnya (Singhi 2003).
Gambar 3.2. Kelumpuhan Bell (Bell‟s Palsy) (A) Waktu istirahat, (B) Penderita setelah diminta
untuk memperlihatkan giginya, (C) Penderita setelah diminta untuk menutup matanya (Sumber:
Peripheral Left Cranial Nerve 7 Bell's Palsy 2005).
D. Gambaran Klinis
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya
kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin,
saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah
satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis
dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi
wajah yang terkena ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan
menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari
sudut bibir, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar
22
serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya
maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka disebut
(lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda
dari bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata) karena kedipan mata yang
berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan
epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan
gusi sisi yang lumpuh. Tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila
paresisnya benar-benar bersifat bell’s palsy (Sabirin 1990 dan Sidharta 1985).
(Gambar 3.2)
E. Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat berupa stroke bila disertai kelemahan
anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontra lateral, kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya, sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain, seperti hemiparesis atau neuritis optika dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya (Lowis dan Gaharu 2012).
Kelainan perifer yang ditemukan dapat berupa suatu otitis media supuratif
dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto
mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi, herpes zoster otikus bila ditemukan
adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan
23
pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella
zoster,sindroma Guillain Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan
akut,kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral, tumor
serebello pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII,
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula) dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia (Lowis dan Gaharu
2012).
F. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada pasien bell’s palsy merupakan kumpulan
gejala sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Beberapa komplikasi yang
sering terjadi akibat bell’s palsy :
1. Kontraktur otot wajah
Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam keadaan istirahat,
tetapi akan terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai dengan lebih
dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang
sehat. Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat
(Widowati 1993).
2. Sinkenesis
Pasien yang telah mengalami kelumpuhan wajah dapat menghasilkan
sinkenesis yang merupakan hilangnya kemampuan untuk mengontrol otot-otot
24
individu wajah. Sinkenesis dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per
satu atau tersendiri selalu timbul gerakan bersama. Misalnya bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,
kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang
salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-
serabut otot yang salah (Sabirin 1990).
3. Hemifacial spasm
Hemifacial spasm timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara
spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada
stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat
mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat
spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian (Sabirin 1990).
4. Crocodile Tears Syndrome
Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan bell’s palsy yaitu sindroma
air mata buaya (crocodile tears syndrome) yang merupakan kesalahan regenerasi
saraf salivarius menuju ke glandula lakrimalis. Manifestasinya berupa keluarnya
air mata pada sisi lesi saat pasien makan (Djamil 2003).
Mekanisme yang tepat untuk menjelaskan bell’s palsy setelah prosedur
gigi masih belum jelas. Kelumpuhan saraf wajah setelah bedah mulut sangat
jarang dilaporkan dalam literatur. Meskipun penyebab sebenarnya dari bell’s
palsy tidak diketahui, tetapi ada beberapa mekanisme yang diusulkan adalah
peradangan pada saraf wajah, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun.
Prosedur bedah seperti anestesi lokal, ekstraksi gigi, infeksi, prosedur pra
25
prostetik, eksisi tumor atau kista, operasi TMJ, pengobatan bedah patah tulang
wajah dan bibir sumbing adalah salah satu penyebabnya (Akal dkk. 2009).
Menurut Vasconcelos dkk. (2006) juga melaporkan tiga mekanisme, di mana
prosedur gigi dapat merusak struktur saraf, yaitu trauma langsung ke saraf akibat
kesalahan penyuntikan, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan
toksisitas anastesi lokal.
Bell’s palsy akibat pencabutan gigi sangat jarang terjadi. Kelumpuhan
wajah yang terjadi akibat komplikasi pencabutan gigi adalah akibat dari kerusakan
jaringan karena hembusan udara ke dalam jaringan pada saat pembedahan melalui
ruang wajah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk tidak menggunakan kekuatan
udara yang tinggi saat membersihkan tempat pencabutan. Berhati-hati
menggunakan irigasi air agar dapat meminimalkan risiko cedera saraf (Bobbitt
dkk. 2000).
G. Perawatan dan Prognosis
Adapun perawatan yang dilakukan terhadap penderita bell’s palsy adalah :
1. Istirahat
Perawatan ini dilakukan misalnya apabila bell’s palsy terjadi karena
kesalahan dalam pemberian anestesi sewaktu pencabutan gigi. Pasien yang
menderita komplikasi ini harus ditenangkan dan diberi tahu bahwa fungsi normal
dari penampilan wajah akan kembali segera setelah efek agen anestesi lokal
hilang, sekitar 3-4 jam. Namun apabila komplikasi ini mengenai suplai saraf ke
kelopak mata atas sebaiknya pasien diinstruksikan menutup kelopak mata dan
26
memakai bantalan pelindung atau penutup mata. Hal ini dapat dihindari dengan
cara memberikan anestesi dengan kedalaman yang tepat (Milala 2001).
2. Pemberian Obat-Obatan
Obat-obatan yang diberikan adalah kortikosteroid dan antiviral. Menurut
Tiemstra (2007) mengatakan bahwa kortikosteroid sangat bermanfaat dalam
mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan
mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan untuk
antiviral dapat digunakan acyclovir yang berguna untuk menghambat replikasi
DNA virus (Yodhian 1994).
3. Pengobatan Secara Fisioterapi
Bell’s palsy juga dilakukan perawatan mata, fisioterapi dan massage.
Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada
kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air
mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu
tidur. Fisioterapi dimulai pada hari kelima onset penyakit. Fisioterapi dapat
dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid.
Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh
(Noback 2005).
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah dapat dilakukan sedini
mungkin. Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh). Dengan pemberian massage wajah ini akan terjadi
27
peningkatan vaskularisasi dengan mekanisme pumping action pada vena sehingga
memperlancar sirkulasi darah dan limfe. Efek rileksasi dapat dicapai dan
elastisitas otot dapat tetap terpelihara serta mencegah timbulnya perlengketan
jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah (Noback 2005).
Prognosis bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien
dan derajat kelumpuhan. Perjalanan alamiah bell’s palsy bervariasi dari perbaikan
komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar
80-90% pasien dengan bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-
60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus
fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat serta 8% kasus dapat
rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan bell’s
palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat) dan kasus
dengan penyengatan kontras yang jelas (Lowis dan Gaharu 2012).
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
Untuk menentukan prognosis, House Brackmann Facial Nerve Grading System
dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan
prognosis pasien bell’s palsy (Lowis dan Gaharu 2012).
28
BAB IV
PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI
TERHADAP TERJADINYA BELL’S PALSY
Menurut Baart dan Brand (2008) komplikasi anastesi lokal saat
pencabutan gigi dapat disebabkan karena kerusakan jarum, parestesi, trismus, luka
jaringan lunak, hematoma, nyeri, rasa terbakar, infeksi, edema, pengelupasan
jaringan, lesi intraoral post anastesi, dan paralisis nervus fasialis.
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung
kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus fasialis perifer
(bell’s palsy) ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi (Baart dan
Brand 2008). Kelumpuhan nervus fasialis pada saat anestesi lokal dapat terjadi
jika jarum telah menembus kapsul kelenjar parotis. Saraf cranial ketujuh yang
terkandung dalam kelenjar parotis yang menyediakan fungsi motorik melalui lima
cabang, yaitu temporalis, zygomatic, bukal, mandibular dan serviks. Penempatan
jarum ke parotis dapat terjadi jika ada kelebihan insersi pada saat blok saraf
alveolar inferior. Hasil anestesi dari cabang-cabang saraf ini termasuk
kelumpuhan sementara atau unilateral, terdapat kelumpuhan pada otot-otot
ekspresi wajah (Daniel 1998).
Kelumpuhan saraf fasialis untuk injeksi anestesi lokal bersifat sementara.
Risiko yang terdapat pada penderita bell’s palsy adalah membuat orang menjadi
kurang percaya diri. Hal ini sangat menyiksa diri karena wajah menjadi asimetris
karena sudut mulut dan sudut mata turun ke bawah sehingga tidak simetris dengan
wajah yang tidak terkena. Mata tidak bisa berkedip, mata berair, bila tersenyum
29
maka pada bagian yang lumpuh tetap tidak bergerak sehingga senyum menjadi
tidak seimbang antara sudut kiri dan sudut kanan (Attaufiq 2011).
Adapun pencegahan untuk kelumpuhan saraf wajah akibat komplikasi
anestesi lokal, yaitu ikuti prinsip-prinsip dasar teknik injeksi anestesi lokal yang
berhubungan dengan cedera atau luka, hindari kelebihan insersi pada jarum, tidak
diperbolehkan melakukan suntikan untuk blok saraf alveolar inferior, kecuali
tulang telah terhubung pada kedalaman yang tepat (Daniel 1998).
Untuk penanganan kelumpuhan saraf wajah, yaitu meyakinkan pasien
bahwa kelumpuhan ini bersifat sementara, disarankan pasien untuk menggunakan
penutup mata sampai kembali fungsi motorik, jika pasien menggunakan lensa
kontak sarankan untuk melepasnya. Penanganan yang tepat akan memberikan
pemulihan pasien dari peristiwa bell’s palsy ini (Daniel 1998).
Mekanisme yang tepat untuk menjelaskan bell’s palsy setelah prosedur
gigi masih belum jelas. Kelumpuhan saraf wajah setelah bedah mulut sangat
jarang dilaporkan dalam literatur. Meskipun penyebab sebenarnya dari bell’s
palsy tidak diketahui, tetapi ada beberapa mekanisme yang diusulkan adalah
peradangan pada saraf wajah, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun.
Prosedur bedah seperti anestesi lokal, ekstraksi gigi, infeksi, prosedur
praprostetik, eksisi tumor atau kista, operasi TMJ, pengobatan bedah patah tulang
wajah dan bibir sumbing adalah juga salah satu penyebabnya (Akal dkk. 2009).
Pada prosedur bedah anestesi lokal, di sisi lain jarum dapat mengenai salah
satu pembuluh darah kecil yang berjalan dalam epineurium menyebabkan
perdarahan di dalam saraf yang menghasilkan kompresi dan fibrosis. Kompresi ini
bisa terjadi cukup cepat (dalam waktu 20 sampai 30 menit) sehingga kerusakan
30
akan terjadi pada saat anestesi lokal. Dengan demikian, pasien akan menyadari
meningkatnya tekanan pada saraf dan kerusakan yang dihasilkan (Pogrel 1995).
Menurut Bobbitt dkk. (2000) bell’s palsy akibat pencabutan gigi sangat
jarang terjadi. Kelumpuhan wajah yang terjadi akibat komplikasi pencabutan gigi
adalah akibat dari kerusakan jaringan karena hembusan udara ke dalam jaringan
pada saat pembedahan melalui ruang wajah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk
tidak menggunakan kekuatan udara yang tinggi saat membersihkan tempat
pencabutan. Berhati-hati menggunakan irigasi air agar dapat meminimalkan risiko
cedera saraf.
Menurut Vasconcelos dkk. (2006) juga melaporkan tiga mekanisme,
dimana prosedur gigi dapat merusak struktur saraf, yaitu trauma langsung kesaraf
dari jarum, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan toksisitas
anestesi lokal. Trauma langsung tampaknya tidak mungkin karena banyak pasien
melaporkan mengalami trauma pada saraf ketika mereka merasakan sengatan
sensasi listrik pada suntikan jarum. Namun, hampir semua gejala ini
menyelesaikan sepenuhnya tanpa ada kerusakan sisa saraf.
Adapun faktor-faktor penyebab paralisis nervus fasialis yang berhubungan
dengan dunia kedokteran gigi, adalah : (Murniati 1991 cit. Milala 2001)
1. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada waktu pencabutan gigi,
dimana terjadi paralysis facialis yang bersifat sementara (bell’s palsy)
disebabkan oleh :
a. Infiltrasi obat anestesi yang berlebihan pada anestesi blok infraorbital
yang menyebabkan paralysis otot ekstra-okular
31
b. Jarum suntik melewati daerah batas posterior, mengenai kelenjar
parotis memblokir daerah serviko fasial atau kortiko temporal dari
nervus fasialis
c. Kesalahan penyuntikan yang menyebabkan terblokirnya serabut
motoris pada quadratus labii inferior dan otot triangularis,
menyebabkan paralysis bibir bawah.
2. Adanya sumber infeksi di daerah mulut (radang parotis/mumps)
3. Trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula (misalnya, trauma pada
bagian kondilus mandibula akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis
pada bagian atas)
4. Trauma sewaktu pembuangan tumor glandula parotis (terpotongnya nervus
fasialis) dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah
5. Fraktur pada ramus mandibula yang dapat mengakibatkan putusnya saraf
fasialis.
32
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari kajian penulis tentang pengaruh anestesi lokal saat pencabutan gigi
terhadap terjadinya bell’s palsy, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan,
yaitu:
1. Bell's palsy adalah suatu kondisi yang bersifat self limiting (bisa sembuh
dengan sendirinya) dan hanya sementara. Penyebab terjadinya bell’s palsy
di bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh komplikasi setelah
penyuntikan anestesi pada waktu pencabutan gigi, adanya infeksi di daerah
mulut dan trauma pada waktu operasi sendi temporomandibula, operasi
glandula parotis, fraktur pada ramus mandibula, peradangan pada saraf
wajah, neuropati iskemik, dan reaksi autoimun.
2. Orang pada semua kelompok umur dapat terkena bell’s palsy, namun yang
paling sering terkena adalah usia paruh baya. Lebih sering terjadi pada
wanita dari pada pria. Pada anak-anak, kejadian ini biasanya dikaitkan
dengan infeksi virus, penyakit lyme, atau sakit telinga.
3. Perawatan yang dilakukan pada bell’s palsy diantaranya ialah istirahat,
misalnya pada penderita bell’s palsy yang disebabkan adanya kesalahan
pemberian anastesi sewaktu pencabutan gigi maka kepada pasien harus
dijelaskan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah agen anastesi lokal
hilang. Hal ini dapat dihindarkan dengan memberikan kedalaman suntikan
33
yang tepat. Selain itu perawatan yang dapat dilakukan pada penderita
bell’s palsy adalah fisioterapi, dan pemberian obat-obatan.
B. Saran
1. Dokter gigi juga perlu mengetahui gambaran anatomi dan penjalaran saraf
fasialis sehingga dapat dihindari kemungkinan terjadinya masalah dalam
melakukan tindakan di daerah rongga mulut dan sekitarnya.
2. Informasi mengenai syndrome bell’s palsy akibat komplikasi anestesi pada
saat pencabutan masih kurang, diharapkan untuk kedepannya dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai penyakit ini sehingga dapat diketahui
penyebab-penyebab lain dan penanganannya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Akal UK, Sayan NB, Aydogan S, Yaman Z. 2000,„Evaluation of the neurosensory deficiencies
of oral and maxillofacial region following surgery‟, Int J Oral MaxillofacSurg vol. 29
hlm. 331-6.
A. Latief, Kartini Surjadi, M. Ruswan Dachlan. 2001,‟Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed.IV.
Penerbit FK UI : Jakarta, hlm.181-184
Annsilva. 2010,‟ Bell‟s Palsy Case Report, [Online]. Available:
http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell-palsy-case-report/ [04 April 2010]
Attaufiq M.H. 2011, Waspada Bell‟s Palsy, [Online]. Available: http://livebeta.kaskus.us
Bobbitt, TD., Subach, PF., Giordano, LS., Carmony BR. 2000,„Partial facial nerve paralysis
resulting from an infected mandibular third molar‟, J Oral MaxillofacSurg, vol. 58, 6825.
Cawthorne, T. 1950,„The Pathology and Surgical Treatment of Bell‟s Palsy in: Section of
Otology. Proceeding of the Royal Society of Medicine, Vol. 44 hlm. 565-72.
Daniel, A. Haas., DDS., PhD. 1998,‟is an associate professor and head of anesthesia, Faculty of
Dentistry, and associate professor in the Department of Pharmacology, Faculty of
Medicine, at the University of Toronto. CDA Journal, Vol. 26, No. 9, September.
Reprinted with permission
David Owsley D.M.D, Jay P. Goldsmith D.M.D, 2012,‟Bell's Palsy Following Primary Tooth
Extraction A Case Report, The New York State Dental Journal, hlm. 32-33
Della N.T. Milala. 2001,‟Paralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran
Gigi, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan
Djamil, Y. 2003,‟Paralisis Bell, Kapita Selekta Neurologi, Editor: Harsono, Yogjakarta, Gadjah
Mada University Press hlm. 297-300
Duus P. 1994,‟Diagnosa Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala, Alih Bahasa:
Ronardy D.H., Jakarta, EGC, hlm. 112-9
Elsevier. 2007,‟Textbook of Oral and Maxiillofacial Surgery, hlm. 464-92
Facial Paralysis and Bells Palsy. 2014, [Online]. Available:
http://www.carolinafacialplasticsurgery.com/facial-paralysis-2/
Handoko, Lowis dan Maula, N. Gaharu. 2012, „Bell’s Palsy, diagnosis dan tata laksana di
Pelayanan Primer‟, J Indon Med Assoc, Vol. 62, No. 1, hlm. 32-37
J.A. Baart, H.S. Brand. 2008. Local Anesthesia in Dentistry‟, United Kingdom: WileyBlackwell.
35
Jessie, M. VanSwearingen, PT., PhD. 2014,‟Physical Therapist's Guide to Bell Palsy‟, American
Physical Therapy Association, [Online]. Available: http://www.moveforwardpt.com/
Lumbantobing, SM. 2004,‟Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, hlm. 55-60
Malamed dan Stanley, F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th
ed. St. Louis : Elsevier.
Marsk E, Hammarstedt L, Berg et al. 2010,‟Early Deterioration in Bell‟s Palsy : Prognosis and
Effect of Prednisolone. Otology &Neurotology, Vol. 31, hlm. 1503-07
Murniati N. 1991, „Paralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran Gigi,
Bandung, Jurnal Kedokteran Gigi, Vol. III, No.1, hlm. 31-3
Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. 2005,‟Cranial nerves and chemical
senses. In: Strominger NL, editor. The humannervous system: structure and function. 6th
Ed. New Jersey: Humana Press hlm. 253.
Peripheral Left Cranial Nerve 7 Bell's Palsy, [Online]. Available:
http://meded.ucsd.edu/clinicalimg/neuro_central_cn7_palsy2.htm [ 25 Agustus 2005].
Pogrel, MA., Bryan, J., Regezi JA. 1995,‟Nerve damage associated with inferior alveolar nerve
blocks. J Am Dent Assoc, Vol. 126, hlm. 1150-1155.
Rath, B., Linder, T., Cornblath, D. 2007,‟All That Palsies is not Bell‟s – The Need to Define
Bell‟s Palsy as an Adverse event following immunization, Vol. 26, hlm. 1-14
Rindarto dan Doso Sutiyono. 2009,‟ Pengelolaan Intoksikasi Bupivakain, Jurnal Anestesiologi
Indonesia, Vol. I, No. 03
Sabirin, J. 1990,‟Bell‟s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, hlm. 171-81
Sidharta, P. 1985,‟Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat,
hlm. 311-317
Sidharta, P. 1995,‟Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, Jakarta : Dian Rakyat, hlm. 303-
317
Singhi, P. Jain, V. 2003,‟Bell‟s Palsy in Children. Seminar in Pediatric Neurotology, vol. 10, no.
4, hlm. 289-97
Tiemstra JD, Khatkhate N. 2007,‟Bell‟s Palsy, Diagnosis and Management‟, American Family
Physicia, Vol. 76 no. 7 hlm. 997-1002
36
Thamrinsyam. 1991,‟Beberapa Kontroversi Bell‟s Palsy. Dalam : Thamrinsyamdkk. Bell‟s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, hlm. 1-75.
Vasconcelos, BCDE., Bessa-Nogueira, RV., Maurette, PE., AguiarCarneiro, SCS. 2006,‟Facial
nerve paralysis after impacted lower third molar surgery: A literature review and case
report, Med Oral Patol Oral Cir Bucal, Vol. 11, hlm. 175-8
Widowati, Trilastiti. 1993,‟Manfaat stimulasi listirk pada penderita Bell‟s Palsy, FK Undip.
Semarang
Yodhian, L.F. 1994,‟Catatan Kuliah Farmakologi UNSRI, bag.3, Editor : Syamsur Munaf,
Jakarta, EGC, hlm. 105-17