pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai...

49
i PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU 802008120 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2013

Upload: vutuyen

Post on 17-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

i

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG

BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL

DALAM PERIODE EMPTY-NEST

Oleh:

MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU

802008120

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar

Sarjana Psikologi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2013

Page 2: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya
Page 3: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

ii

Page 4: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

iii

Page 5: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

iv

Page 6: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

v

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG

BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM

PERIODE EMPTY-NEST

Maria Nugraheni Mardi Rahayu

Chr. Hari Soetjiningsih

Aloysius L. S. Soesilo Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian

yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena

kematian suami pada periode empty-nest, mencakup anteseden kesepian,

perasaan yang muncul saat kesepian, serta respon terhadap perasaan

kesepian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

kualitatif dan partisipan penelitian ini berjumlah tiga orang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kesepian yang dialami oleh ketiga partisipan muncul

karena adanya kesenjangan antara harapan terhadap keberadaan orang-orang

yang dikasihi dengan kenyataan yang terjadi. Anteseden kesepian yang

dialami oleh partisipan antara lain ialah terminasi, perpisahan fisik,

perubahan situasi, kekhawatiran akan stigma masyarakat, kondisi kesehatan

partisipan, dan pengalaman masa kecil yang terbiasa dikelilingi banyak

orang. Selain anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor yang

membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara berlarut-larut, yaitu

perubahan perkembangan, kondisi lingkungan yang akrab dan mendukung,

kehadiran teman atau orang lain yang dipercaya, dan memiliki pekerjaan dan

aktivitas yang produktif. Perasaan yang muncul saat para partisipan merasa

kesepian antara lain kekosongan dalam hidup, perasaan tidak berguna,

pemikiran tentang kematian dan kesendirian saat meninggal, merindukan

kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-

masa yang telah berlalu. Respon partisipan terhadap perasaan kesepian ialah

dengan melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan

kesepian yaitu peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama

dan keyakinan.

Kata kunci: wanita, orangtua tunggal, kematian pasangan hidup, periode

empty nest, pengalaman kesepian.

Page 7: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya
Page 8: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

1

PENDAHULUAN

Dalam proses pengasuhan anak, orangtua akan diperhadapkan pada

proses untuk melepaskan, yaitu ketika anak-anak telah beranjak dewasa

dan meninggalkan rumah untuk membangun kehidupannya sendiri.

Tahap transisi orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari

rumah dikenal dengan istilah empty-nest period atau periode sarang

kosong (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Laswell dan Laswell (1987)

mengemukakan bahwa kepergian anak terakhir dari rumah merupakan

fase empty-nest dalam kehidupan keluarga. Marks, Bumpass, dan Jun

(dalam Papalia dkk., 2009) menyatakan bahwa proses tersebut biasanya

mendekati atau mencapai puncaknya ketika orangtua memasuki usia

dewasa madya.

Masa empty-nest dapat dianggap sebagai salah satu kejadian

penting dan menantang yang dihadapi saat dewasa madya (Clelland &

Chaytors, 1981). Fase ini dapat menimbulkan berbagai emosi yang

bertentangan. Beberapa orangtua menganggap masa empty-nest sebagai

masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang

tidak bisa dilakukan saat memiliki tanggungjawab mengasuh anak

(DeGenova & Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian

anak-anak yang sudah dewasa dapat memberi peluang adanya bulan

madu kedua (Papalia dkk., 2009). Akan tetapi bagi orangtua lain fase ini

terasa lebih sulit dilalui karena mereka beranggapan bahwa tugas mereka

sebagai orangtua berakhir (Papalia dkk., 2009). Anggapan ini membuat

banyak orangtua menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif ketika

masa tersebut hampir tiba. Akibatnya masa tua menjadi masa yang tidak

menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang kehilangan makna hidup

setelah bertahun-tahun dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan

anak-anak.

Hasil penelitian Lai (2002) menunjukkan bahwa masa empty-nest

menimbulkan berbagai perasaan yang campur aduk dan rumit pada ibu,

Page 9: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

2

antara lain sedih, merasa hidup kembali, bertanya-tanya tentang diri

sendiri, merasa rindu pada anak-anak, menyesuaikan diri dengan

perubahan, mengatasi kecemasan, serta mencari dukungan dari orang-

orang di sekitar.

Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan istri

akan sangat diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah tangga

menjadi lebih baik, serta memperkuat pernikahan. Ketika anak-anak telah

pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orangtua akan

memiliki waktu yang lebih banyak dan dapat melakukan aktivitas-

aktivitas bersama. Kemudian mereka juga dapat saling mendukung untuk

melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi, serta mengatasi

kesepian dan kekosongan yang kerap kali muncul pada periode ini. Hal

ini dapat membuat para ibu menjadi lebih mudah merelakan kepergian

anak-anaknya dan menikmati keberhasilan menjadi orangtua.

Di lain sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini tidak sedikit

wanita yang menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam mengasuh

anak-anaknya. Mereka tidak memiliki pasangan (suami) yang dapat

bersama-sama menghadapi transisi ini. Ada beberapa peristiwa yang

menyebabkan seorang wanita menjadi orangtua tunggal, antara lain

adalah kematian pasangan hidup, perceraian, perpisahan, atau

ditinggalkan oleh pasangannya tanpa tanggung jawab atau bantuan untuk

merawat anak (Kotwal & Prabhakar, 2009). Dari berbagai peristiwa

tersebut kematian pasangan hidup merupakan kejadian yang paling

traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa pun

(DeGenova & Rice, 2005). Hoyer dan Roodin (2003) menyatakan bahwa

dalam peringkat kejadian yang menyebabkan stres, kematian pasangan

hidup secara konsisten merupakan kejadian yang paling menyebabkan

stres.

Hal ini menjadi lebih rumit ketika kematian suami terjadi ketika

istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa dewasa

Page 10: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

3

madya. Berk (2012) memaparkan bahwa kehilangan pasangan hidup di

masa dewasa awal atau pertengahan merupakan sebuah peristiwa tidak

biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Ketika hal ini terjadi, tidak

jarang di antara mereka menjadi terpuruk dalam duka cita, kesulitan

keuangan, merasa kesepian, merasakan gangguan fisik dan mengalami

gangguan psikologis (Santrock, 1999).

Selain bergelut dengan perasaan kehilangan, individu yang

kehilangan pasangan hidupnya pada usia muda dan paruh baya seringkali

harus menanggung peran lebih besar dalam menghibur orang lain,

terutama anak-anak (Lopata, dalam Berk, 2012). Kemudian mereka pun

harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orangtua tunggal

dalam mengasuh anak-anaknya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal

harus mengambil tanggung jawab untuk berperan sebagai ayah dan ibu

sekaligus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kotwal dan Prabhakar (2009)

di India menunjukkan bahwa wanita yang menjadi orangtua tunggal

melaporkan bahwa mereka merasa kesepian, tidak memiliki harapan,

mengalami depresi, serta kesulitan dalam mengambil tanggung jawab

merawat anak-anak sendirian. Ketika masa-masa sulit mengasuh anak

telah dilalui, wanita yang menjadi orangtua tunggal pada saatnya akan

mengalami masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan rumah

sehingga kekosongan dalam rumah pun akan semakin terasa (Andriyani,

2007). Dalam masa ini, perasaan kesepian menjadi semakin sulit

terelakkan.

Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu

rasakan pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri penting (Sears,

Freedman, & Peplau, 1985). Kesepian dapat berlangsung ketika

seseorang mengalami hubungan yang memuaskan sampai perubahan

tertentu terjadi dalam hidupnya, seperti terpisah dari teman dan orang

yang dicintai, atau mengakhiri hubungan yang penting karena kematian,

Page 11: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

4

perceraian atau perpisahan. Lebih lanjut, Perlman dan Peplau (1981)

menyatakan bahwa kesepian akan lebih dirasakan oleh seseorang kurang

dari enam tahun pertama setelah perpisahan. Perpisahan dengan orang

terdekat dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat kepuasan

terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan ketakutan

bahwa hubungan tersebut akan semakin melemah karenanya (Perlman &

Peplau, 1981).

Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman

emosi yang sering ditemui pada wanita yang berperan sebagai orangtua

tunggal dalam periode empty-nest. Peristiwa kematian pasangan hidup

yang diikuti dengan perpisahan dengan anak-anaknya yang telah dewasa

merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan kesepian.

Ketika mengalami kesepian, individu akan cenderung merasakan

keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient

boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression)

(Rubenstein, Shaver, dan Peplau, 1979). Hal ini tidak berarti bahwa

kesepian akan terasa sama setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja

memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula

(Lopata, 1969 dalam Sinaga, 2007).

Individu tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja,

tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan kesepian

yang ia rasakan. Dalam mengatasi perasaan tersebut, setiap individu

memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) menyatakan terdapat enam

jenis strategi koping yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi

kesepian. Keenam strategi tersebut adalah refleksi dan penerimaan

(reflection and acceptance), pengembangan dan pemahaman diri (self-

development and understanding), jaringan dukungan sosial (social

support network), menjaga jarak dan penyangkalan (distancing and

Page 12: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

5

denial), agama dan iman (religion and faith), serta peningkatan aktivitas

(increased activity).

Kesepian merupakan pengalaman subyektif dan tentunya dirasakan

berbeda-beda oleh setiap orang yang mengalaminya. Penelitian yang

mengkaji mengenai pengalaman kesepian telah dilakukan melalui

berbagai metode penelitian dan juga dalam berbagai kelompok sosial

yang memiliki resiko tinggi mengalami kesepian. Meskipun demikian,

masih perlu dilakukan penelitian yang dapat mendeskripsikan secara

detail pengalaman kesepian yang dialami oleh kelompok sosial yang

memiliki resiko tinggi mengalami kesepian, yang salah satunya ialah

pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode

empty-nest.

Peplau (1982) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian

mengenai pengalaman kesepian terdapat beberapa kunci pertanyaan yang

perlu dipaparkan lebih lanjut, diantaranya adalah anteseden dari perasaan

kesepian yang dialami, perasaan dan pikiran yang sering muncul pada

orang-orang yang mengalami kesepian, dan strategi koping yang sering

dilakukan serta dampak dari satu strategi koping dibandingkan dengan

yang lain. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian

untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita

yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, yang

mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi

koping terhadap kesepian.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah

penelitian ini adalah: Seperti apakah pengalaman kesepian pada wanita

yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest yang

mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi

koping terhadap kesepian?

Page 13: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

6

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua

tunggal dalam periode empty-nest yang mencakup anteseden kesepian,

perasaan saat kesepian serta strategi koping terhadap kesepian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan

ilmiah untuk perkembangan teori-teori psikologi khususnya dalam bidang

psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai

pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai

orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Bagi wanita yang berperan

sebagai orangtua tunggal dan keluarga, hasil penelitian ini dapat

bermanfaat untuk memberikan deskripsi pengalaman kesepian sehingga

dapat lebih mampu mengatasi kesepian yang dialami serta membangun

komunikasi yang baik.

TINJAUAN PUSTAKA

Kesepian

Sears dkk., (1985) menyatakan kesepian (loneliness) berbeda

dengan kesendirian (aloneness). Kesepian merupakan pengalaman

subjektif, tergantung interpretasi orang tersebut terhadap berbagai situasi.

Sedangkan kesendirian merupakan kondisi objektif yang dapat diamati.

Hawkley (2006) mendefinisikan kesepian sebagai pengalaman yang

menyebabkan stres yang muncul ketika hubungan sosial seseorang yang

diterima kurang dalam kuantitas, dan lebih lagi dalam kualitas,

dibandingkan dengan yang diharapkan.

Selaras dengan hal tersebut, Perlman dan Peplau (1982)

mengemukakan bahwa kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif

yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri

pentingnya. Lebih lanjut Perlman dan Peplau (1981) mengemukakan

bahwa kesepian memiliki tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yang

pertama kesepian merupakan hasil dari kekurangan dalam hubungan

Page 14: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

7

sosial seseorang. Kedua, kesepian merupakan fenomena subyektif (bukan

merupakan sinonim dari isolasi obyektif, dimana seseorang bisa sendirian

tanpa merasa kesepian). Ketiga, kesepian merupakan hal yang tidak

menyenangkan dan menimbulkan distres.

Terdapat beberapa hal yang dapat dipakai untuk membedakan

jenis-jenis kesepian. Menurut Weiss (dalam Perlman & Peplau, 1981)

terdapat 2 tipe kesepian, yang didasarkan pada kurangnya keterlibatan

sosial. Dua tipe kesepian yang dikemukakan oleh Weiss yaitu kesepian

emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness).

Pada perkembangan selanjutnya, Perlman dan Peplau (1981)

menyatakan bahwa waktu juga dapat digunakan sebagai dasar untuk

membedakan jenis kesepian. Kesepian dapat dipandang sebagai

“keadaan” sementara yang mungkin dihubungkan dengan kejadian

spesifik seperti pindah ke dalam komunitas baru. Kesepian dapat juga

dipandang sebagai “sifat” yang lebih kronis. Individu dapat merasakan

“pengalaman” kesepian dalam jangka waktu yang relatif yang singkat,

atau individu tersebut merupakan “orang yang kesepian”.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subyektif yang tidak

menyenangkan dan dapat menimbulkan distres yang terjadi karena

adanya kekurangan hubungan sosial yang dicapai dibandingkan dengan

yang diharapkan baik dalam kuantitas maupun kualitas.

1. Dimensi Kesepian

De Jong Gierveld (1998) mengemukakan bahwa kesepian merupakan

fenomena yang multidimensi. Lebih lanjut De Jong Gierveld

mengemukakan tiga dimensi kesepian, yaitu bentuk keterpisahan sosial,

perspektif waktu, dan dimensi emosi.

Page 15: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

8

2. Anteseden Kesepian

Menurut Perlman dan Peplau (1981) anteseden kesepian dapat

dibedakan menjadi dua yaitu kejadian-kejadian yang memicu munculnya

kesepian (precipitating events) dan faktor-faktor penyerta individu untuk

menjadi kesepian (predisposing factors). Kejadian yang memicu

munculnya kesepian terbagi menjadi dua kategori yaitu perubahan pada

pencapaian hubungan sosial seseorang yang terdiri dari terminasi,

perpisahan fisik, dan perubahan status, dan perubahan dalam hasrat

seseorang akan hubungan sosial yang terdiri dari perubahan

perkembangan, perubahan situasional, dan perubahan dalam ekspektasi.

Sedangkan faktor penyerta individu merupakan faktor-faktor yang ada

dalam diri individu seperti karakteristik personal, kepribadian, budaya

dan situasi sosial yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk

mengalami kesepian.

3. Perasaan yang muncul saat Kesepian

Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang. Berdasarkan survei

yang dilakukan oleh Rubenstein dkk., (1979) terdapat empat jenis

perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu keputusasaan

(desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient boredom),

pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression).

Keempat jenis perasaan kesepian ini menunjukkan adanya

peningkatan dari ketidakpuasan yang terkadang muncul pada satu situasi

sosial, menjadi lebih kronis dan keidakpuasan yang lebih intens, dan pada

akhirnya, jika hal tersebut tidak menjadi lebih baik, akan menjadi

kebencian diri (self-hatred) dan mengasihani diri (self-pity).

4. Respon terhadap Kesepian

Seperti perasaan yang muncul saat kesepian, respon atau reaksi

individu terhadap pengalaman kesepian juga berbeda-beda. Rubenstein

dkk., (1979) menyatakan bahwa saat mengalami kesepian, ada beberapa

orang yang menjadi pasif (sad passivity). Di sisi lain, ada pula orang

Page 16: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

9

yang aktif melakukan kegiatan (active solitude) dalam usaha melupakan

kesepian mereka. Selain itu, ada pula orang yang melakukan kontak

sosial (social contact) saat mengalami kesepian atau dengan

menghabiskan uang (spending money) yaitu dengan berbelanja.

Penelitian lain yang mengkaji tentang bagaimana seseorang

memberikan respon terhadap rasa kesepian, khususnya melalui strategi

koping, dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) yang menghasilkan

enam jenis strategi koping terhadap kesepian, yaitu:

a. Refleksi dan penerimaan (Reflection and acceptance)

b. Pertumbuhan dan pemahaman diri (Self-Development and

understanding)

c. Agama dan keyakinan (Religion and faith)

d. Jaringan dukungan sosial (Social Support Network)

e. Pemisahan dan penyangkalan (Distancing and denial)

f. Peningkatan aktivitas (Increased activity)

Wanita yang berperan sebagai Orangtua Tunggal

Menurut Duval dan Miller (dalam Sinaga, 2007), orangtua tunggal

didefinisikan sebagai orangtua yang secara sendirian membesarkan anak

tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya.

Sedangkan Kotwal dan Prabhakar (2009) mendefinisikan keluarga

dengan orangtua tunggal sebagai keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah

tunggal yang merawat sendiri anak-anak mereka. Dengan demikian

dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah

keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah tunggal yang merawat sendiri

anak-anak mereka tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab

pasangannya, yang disebabkan oleh meninggalnya pasangan atau karena

perceraian.

Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi antara lain karena

kematian salah satu orangtua atau perceraian (Papalia dkk., 2009). Dari

kedua penyebab tersebut peristiwa kematian pasangan hidup merupakan

Page 17: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

10

kejadian yang paling traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang

pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005).

Matlin (2008) menyatakan bahwa lebih banyak wanita yang

kehilangan pasangan hidupnya karena kematian dibandingkan pria. Hal

ini disebabkan antara lain karena harapan hidup wanita cenderung lebih

panjang dibandingkan pria, wanita cenderung menikah dengan pria yang

lebih tua darinya, dan lebih sedikit wanita yang memutuskan untuk

menikah kembali setelah pasangannya meninggal dibandingkan dengan

pria.

Peristiwa kematian pasangan hidup akan menjadi lebih berat ketika

terjadi ketika istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa

dewasa madya. Menurut Berk (2012), kematian pasangan hidup di masa

dewasa awal atau pertengahan merupakan suatu peristiwa yang tidak

biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Kemudian wanita yang

kehilangan pasangan hidupnya pun harus menghadapi kenyataan bahwa

mereka adalah orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, yang

menuntut mereka untuk berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus.

Periode Empty-Nest

Kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua

mereka adalah sesuatu yang wajar dalam siklus kehidupan berkeluarga.

Anak-anak yang telah dewasa pada masanya akan mulai membangun

kehidupannya sendiri. Masa ini biasa dikenal dengan istilah empty-nest

period, atau periode sarang kosong. Clelland dan Chaytors (1981)

menyatakan bahwa masa empty-nest adalah masa dalam kehidupan

orangtua ketika anak-anak telah mulai beranjak dewasa dan

meninggalkan rumah mereka. Senada dengan itu, Papalia dkk. (2009)

mendefinisikan periode sarang kosong sebagai sebuah tahap transisi

orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah orangtua.

Masa empty-nest dianggap sebagai salah satu kejadian yang

penting dan menantang yang perlu dihadapi oleh individu pada usia

Page 18: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

11

dewasa madya (Clelland & Chaytors, 1981). Pada masa ini, orangtua

akan merasakan berbagai emosi-emosi yang bertentangan. Beberapa

orangtua menganggap masa empty-nest membuat mereka menjadi lebih

bahagia dibandingkan masa-masa sebelumnya (Lee, dalam DeGenova &

Rice, 2005) dan sebagian lainnya berpendapat bahwa masa itu menjadi

sesuatu yang mengesalkan (Lewis, Volk & Duncan, dalam DeGenova &

Rice, 2005).

Orangtua yang menganggap masa ini membuat mereka menjadi

lebih bahagia, akan merasakan masa empty-nest sebagai masa kebebasan

dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa

dilakukan saat memiliki tanggung jawab mengasuh anak (DeGenova &

Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang

sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya bulan madu kedua

(Papalia dkk., 2009).

Pada pasangan yang identitasnya bergantung pada peran

orangtua, masa empty-nest akan terasa lebih sulit untuk dilalui (Papalia

dkk., 2009). Mereka beranggapan bahwa tugas sebagai orangtua berakhir

sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani

kehidupan mereka masing-masing. Tidak jarang orangtua merasakan

kesepian, kesedihan, dan perasaan kosong akan rumah mereka yang

terasa menjadi semakin sepi (Shakya, 2009). Akibatnya masa tua menjadi

masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang

merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah bertahun-tahun dirinya

memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak (Papalia dkk., 2009).

Meskipun demikian, sebenarnya kepergian anak-anak yang telah

dewasa dari rumah orangtua mereka tidak menandai akhir menjadi

orangtua. Sebaliknya, hal ini merupakan masa peralihan ke tahapan baru

hubungan antara orangtua dengan anak-anak yang sudah dewasa (Papalia

dkk., 2009).

Page 19: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

12

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini

disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga menghasilkan

karakteristik yaitu, wanita yang suaminya meninggal pada saat ia berusia

dewasa madya (40-65 tahun), pada saat pengambilan data anak-anak

telah pergi dari rumah untuk berkuliah, atau bekerja, atau telah menikah,

dan tinggal di kota yang berbeda dengan ibunya, dan rentang waktu anak

terakhir yang meninggalkan rumah orangtuanya dengan pengambilan

data tidak lebih dari 6 tahun. Dalam penelitian ini sumber data akan

disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan penelitian akan dipilih

oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan penelitian yang

sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Berdasarkan

karakteristik tersebut peneliti memperoleh tiga partisipan penelitian yang

bersedia terlibat dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode

pengumpulan data, yaitu wawancara semi-terstruktur dan observasi.

Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri dari empat

tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012), yaitu:

1. Pengumpulan data

2. Reduksi data

3. Display data

4. Kesimpulan

Pengujian keabsahan data digunakan untuk memastikan kebenaran

dari data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti akan

menggunakan teknik trianggulasi dan member check.

Page 20: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

13

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita yang

menjadi orangtua tunggal sejak suami mereka meninggal dan saat

pengambilan data sedang berada dalam periode empty-nest, yaitu Ibu

Kenanga, Ibu Lavender dan Ibu Seruni (nama samaran). Berikut akan

dijabarkan gambaran partisipan dalam tabel di bawah ini:

Ibu Kenanga (P1) Ibu Lavender (P2) Ibu Seruni (P3)

Usia 52 tahun 64 tahun 58 tahun

Pekerjaan Ibu rumah tangga Karwayan swasta

(13ension)

Guru SMA

Jumlah anak 2 orang anak

perempuan

2 orang anak (laki-laki

dan perempuan)

2 orang anak

perempuan

Tempat

tinggal anak

Tangerang Jakarta Jakarta

Agama Kristen Kristen Kristen

Lama suami

meninggal

6 tahun 8 tahun 6 tahun

Lama tinggal

sendiri

1 tahun 2 tahun 2 tahun

Tabel 1. Gambaran Partisipan

Peristiwa Kematian Pasangan Hidup dan Peran sebagai Orangtua

Tunggal

Ketiga partisipan penelitian kehilangan pasangan hidup masing-

masing saat mereka berada pada usia dewasa madya (40-65 tahun).

Kesedihan dan dukacita akibat kehilangan sosok yang penting dalam

hidup mereka menjadi perasaan yang tidak terhindarkan. Kekagetan atas

kepergian suami yang sedemikian cepat dan tiba-tiba juga dirasakan oleh

ketiga partisipan. DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan bahwa

Page 21: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

14

kematian pasangan hidup merupakan salah satu kejadian yang paling

traumatis pada usia berapa pun. Selain itu, Schaie dan Willis (dalam

Sawitri, 2007) juga menyatakan bahwa kematian suami pada masa

dewasa madya merupakan episode yang mungkin terlalu cepat dalam

kehidupan individu.

Dalam menghadapi dukacita atas kematian pasangan hidup mereka,

para partisipan merasa amat terbantu dengan kehadiran serta dukungan

dari keluarga serta teman-teman terdekat. Partisipan pertama (Ibu

Kenanga) berusaha menjadi tegar dan kuat dalam menghadapi kehilangan

ini untuk anak-anaknya. P1 juga merasa bersyukur dengan adanya

dukungan dari keluarganya serta teman-teman dekatnya. Demikian pula

dengan partisipan kedua (Ibu Lavender) yang merasa sangat terbantu

dengan adanya salah seorang saudara yang bersedia tinggal di Salatiga

dan menemaninya melewati masa-masa berduka, sementara kedua

anaknya harus kembali melanjutkan studi mereka di luar kota. Partisipan

ketiga (Ibu Seruni) juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran

keponakan yang bersedia tinggal di rumahnya untuk menemaninya

selama beberapa waktu setelah suaminya meninggal.

Selain menghadapi dukacita, kehilangan sosok penting yang

dicintai juga menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan para

partisipan. Kepergian suami yang berperan sebagai tulang punggung

keluarga membuat para partisipan mengalami perubahan kondisi

keuangan, terutama pada P1 dan P2 yang masih harus menghidupi anak-

anak yang belum mandiri. Dalam menghadapi perubahan kondisi

keuangan keluarga tersebut, baik P1 maupun P2 mampu menemukan

jalan keluar untuk menghidupi keluarganya dan menyesuaikan diri

dengan perubahan yang ada. Berbeda dengan P3 yang memiliki

pekerjaan tetap dan anak-anaknya telah bekerja tidak mengalami

kesulitan dalam kondisi keuangan keluarganya.

Page 22: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

15

Kepergian suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga tentu

juga membawa perubahan dalam kehidupan keluarga. Ketiadaan sosok

kepala rumah tangga yang seringkali menjadi pengambil keputusan

dalam keluarga mendorong para partisipan berusaha untuk mengambil

peran tersebut dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Dalam

menghadapi berbagai perubahan ini, para partisipan juga merasa terbantu

dengan anak-anak mereka yang dapat bekerja sama dan memahami

kondisi keluarga.

Periode Empty-Nest sebagai tahap dalam kehidupan berkeluarga

Dalam kehidupan berkeluarga, ada masanya ketika anak-anak yang

telah dewasa memutuskan untuk pergi dari rumah dan membangun

kehidupannya sendiri. Masa tersebut dikenal dengan istilah periode

empty-nest. Kepergian anak-anak dari rumah orangtuanya dapat didorong

oleh beberapa hal diantaranya melanjutkan pendidikan di luar kota,

memperoleh pekerjaan di kota lain, atau menikah dan membangun rumah

tangganya sendiri. Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan

penelitian. Anak-anak para partisipan yang telah dewasa kemudian

memutuskan untuk tinggal di luar kota dan meninggalkan rumah

orangtua mereka.

Peristiwa kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah

orangtua mereka menimbulkan berbagai perasaan yang berbeda-beda

bagi ketiga partisipan. P1 merasa sangat kehilangan terutama ketika anak

bungsunya menyusul kakaknya untuk tinggal di luar kota karena

memperoleh pekerjaan di kota tersebut. P1 merasa bahwa ia dan anak

bungsunya masih saling membutuhkan dan belum bisa berpisah. Akan

tetapi P1 juga tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki

anaknya, sehingga ia berusaha untuk merelakan anak bungsunya pergi.

Perasaan sedih dan kehilangan dirasakan oleh P1 saat berpisah dengan

anak bungsunya. Di sisi lain P1 juga merasa bahagia karena anak-

anaknya kini telah dewasa dan dapat membangun kehidupannya sendiri.

Page 23: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

16

Berbeda dengan P1, P2 tidak merasa berkeberatan saat anak-

anaknya melanjutkan pendidikan maupun bekerja di luar kota, bahkan di

luar negeri. Pengalaman merantau dan jauh dari orangtua saat muda

membuat P2 tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki anak-

anaknya dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk

mengambil keputusan dalam hidup. Demikian pula dengan P3. Sejak

masa pengasuhan, P3 dan suaminya memberikan kelonggaran kepada

anak-anaknya dalam mengambil keputusan. Sebagai orangtua, P3 dan

suami hanya memberikan nasehat atau pandangan kepada anak-anaknya,

akan tetapi tidak memaksakan keinginan mereka pada anak-anak.

Demikian pula halnya saat anak-anak P3 memutuskan untuk bekerja di

luar kota, P3 menilai anak-anaknya telah dewasa dan menghormati

keputusan yang diambil oleh anak-anaknya.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh P3 beberapa tahun

sebelumnya, yaitu pada saat anak bungsunya ingin melanjutkan

pendidikan di luar kota setelah lulus SMP. P3 yang merasa anaknya

belum cukup dewasa dan mandiri sebenarnya merasa keberatan dan

khawatir. Ia juga merasa sangat kehilangan karena tidak dapat berjumpa

dengan anaknya setiap hari. Akan tetapi karena telah berjanji, P3 tetap

mengijinkan anaknya bersekolah di luar kota dan tinggal di rumah

saudara. P3 juga sebenarnya merasa keberatan saat anak sulungnya akan

menerima pekerjaan di luar Jawa karena dirasa terlalu jauh serta memiliki

kondisi daerah yang kurang nyaman. Meskipun pada akhirnya P3

menyerahkan keputusan kepada anaknya, perasaan keberatan dan tidak

rela tetap dirasakan oleh P3. Jarak yang terlalu jauh dan kondisi

lingkungan yang kurang sehat menjadi faktor yang membuat P3 merasa

tidak rela, dan lebih lega saat anaknya memutuskan untuk menolak

pekerjaan tersebut.

Saat anak-anak mulai meninggalkan rumah, sebenarnya para

partisipan mengaku memiliki harapan untuk dapat tinggal berdekatan

Page 24: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

17

atau bersama-sama dengan anak-anak. Meskipun demikian, ketiga

partisipan penelitian menyadari bahwa anak-anak mereka telah dewasa

dan memiliki kehidupan masing-masih serta membuat mereka tidak lagi

tinggal di rumah orangtuanya. Demikian halnya dengan para partisipan

yang juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan

pertimbangan-pertimbangan tersebut ketiga partisipan memutuskan untuk

tetap tinggal di rumah dan melanjutkan pekerjaan atau aktivitas yang

dimiliki meskipun harus sendiri. Perasaan tidak ingin meninggalkan

rumah yang telah ditempati bertahun-tahun dan memiliki kenangan

bersama orang yang dicintai juga menjadi alasan ketiga partisipan tidak

memilih tinggal bersama dengan anak-anak mereka.

Seperti yang dialami oleh ketiga partisipan, hal serupa

dikemukakan oleh Gonyea, Hudson, dan Seltzer (1990, dalam Papalia

dkk., 2009) bahwa “tua di rumah sendiri” merupakan sebuah hal yang

masuk akal bagi mereka yang mampu mengatur diri sendiri atau hanya

membutuhkan sedikit bantuan, memiliki pendapatan yang cukup untuk

perawatan rumah dan keperluan sehari-hari, serta merasa bahagia di

lingkungannya dan ingin mandiri, memiliki privasi, tetap dekat dengan

teman-teman. Ketiga partisipan menyampaikan bahwa mereka memiliki

pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri, memiliki teman-

teman yang dekat, merasa nyaman dengan lingkungan yang ditempati,

serta memiliki kondisi kesehatan yang masih baik. Pada P2, meskipun

mulai mengalami penurunan kondisi fisik seiring bertambahnya usia,

namun ia masih dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Selain itu

P2 juga memperoleh bantuan dari pembantu rumah tangga untuk

melakukan pekerjaan rumah tangga.

Hubungan dengan Anak-anak yang Telah Dewasa

Meskipun berpisah dengan anak-anak yang telah dewasa, kemajuan

teknologi memudahkan para partisipan untuk tetap berkomunikasi

dengan anak-anak mereka. Berbagai fasilitas komunikasi yang ada

Page 25: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

18

dimanfaatkan oleh para partisipan untuk berkomunikasi dengan anak-

anak meskipun dipisahkan oleh jarak. Hal ini selaras dengan yang

dikemukakan oleh DeGenova dan Rice (2005) bahwa orangtua terutama

ibu, secara konsisten memiliki derajat tinggi dalam melakukan

komunikasi dengan anggota keluarga yang lain termasuk anak-anak yang

telah menikah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa biasanya wanita lansia

lebih dekat dengan anak-anak mereka, dibandingkan dengan pria lansia

meskipun telah tinggal di tempat yang berbeda. Diungkapkan oleh

Papalia dkk., (2009) bahwa hal tersebut dipengaruhi antara lain karena

peran sebagai ibu membuat mereka melewatkan waktu lebih banyak

dalam pengasuhan sejak kecil sehingga menciptakan kedekatan antara

keduanya.

Kendati demikian, para partisipan menyadari kesibukan dan

tanggung jawab anak-anak mereka, sehingga para partisipan berusaha

untuk menyesuaikan waktu untuk berkomunikasi. P1 mengaku tidak

memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. P1

memutuskan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya saat merasa

ingin namun tetap menyesuaikan dengan waktu kesibukan anak-anaknya.

Demikian pula P2 dan P3, yang lebih sering berkomunikasi dengan anak-

anaknya di malam hari ataupun akhir pekan supaya tidak mengganggu

pekerjaan anak-anaknya.

Meskipun tidak lagi tinggal bersama, kedekatan para partisipan

dengan anak-anak mereka dirasakan tetap sama oleh para partisipan.

Anak-anak partisipan yang telah dewasa masih sering menceritakan hal-

hal yang dialami kepada ibunya, baik dalam pekerjaan ataupun

permasalahan yang sedang dihadapi. Demikian juga sebaliknya, para

partisipan juga tidak segan untuk menceritakan hal-hal yang mereka

alami kepada anak-anak. Kedekatan yang terbangun antara para

partisipan dengan anak-anak mereka yang telah dewasa tidak terlepas

dari hubungan baik yang terbentuk sejak masa pengasuhan.

Page 26: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

19

P1 mengaku merasa dekat dengan anak-anaknya dan memiliki

hubungan yang terbuka. Akan tetapi di sisi lain, P1 juga menyadari

bahwa kedua anaknya membatasi pembicaraan mereka pada hal

kesehatan dan pekerjaan namun lebih tertutup dalam masalah pribadi.

Menurut P1, anak-anaknya memang cenderung tertutup untuk hal-hal

tertentu. Oleh sebab itu, P1 mencoba untuk memancing anak-anaknya

supaya menceritakan hal-hal yang belum diceritakan tanpa memaksa

mereka.

Sedangkan P2 merasa anak-anaknya sangat terbuka kepadanya dan

menceritakan hal-hal yang mereka alami baik dalam pekerjaan maupun

hubungan dengan orang lain. P2 mengungkapkan bahwa sejak kecil

mereka memang sering bercerita kepada ibunya mengenai hal-hal yang

dialami di sekolah atau di lingkungan rumah. P2 menilai bahwa

keterbukaan tersebut juga nampak dari hubungan antara kedua anaknya

yang tidak ragu untuk bercerita atau meminta saran kepada satu sama

lain.

Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh P3, yang menilai bahwa

anak sulungnya lebih terbuka kepada orangtuanya dibandingkan dengan

anak bungsunya. P3 menilai bahwa kurang terbukanya anak bungsu

kepada orangtuanya antara lain karena anak bungsunya telah tinggal di

luar kota sejak remaja. Keterbatasan fasilitas untuk berkomunikasi saat

itu membuat mereka jarang berbicara panjang lebar dan hanya bertemu

satu minggu sekali. Sedangkan anak sulung yang tinggal di rumah hingga

selesai kuliah lebih terbiasa berdiskusi dengan kedua orangtuanya.

Secara umum ketiga partisipan memiliki hubungan yang baik dan

dekat dengan anak-anak mereka bahkan ketika anak-anak telah dewasa

dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Hal tersebut tidak terlepas

dari hubungan yang terbentuk sejak anak-anak masih dalam pengasuhan

kedua orangtuanya. Belsky (dalam Lasswell & Laswell, 1987)

mengungkapkan bahwa orangtua yang dulu hangat dan mendukung saat

Page 27: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

20

di masa kanak-kanak pertengahan dan remaja lebih berpeluang memiliki

kontak dan kedekatan dengan anak mereka di masa dewasa awal.

Pengalaman Kesepian

Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan

kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama anak-

anak dan terlebih lagi setelah pasangan hidup tiada, menimbulkan

perasaan kesepian dalam diri para partisipan pada waktu-waktu tertentu.

Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Sears dkk., (1985)

mengungkapkan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif

individu, yaitu tergantung pada interpretasi individu terhadap berbagai

situasi yang dialaminya. Kesepian berbeda dengan kesendirian, yang

merupakan kondisi objektif yang dapat diamati. Selaras dengan

pandangan tersebut, ketiga partisipan dalam penelitian ini mempunyai

pandangannya masing-masing terhadap pengalaman kesepian yang

mereka alami.

P1 memandang bahwa perasaan kesepiannya tidak selalu muncul

setiap ia sendirian di rumahnya. Bagi P1, perasaan kesepian ia rasakan

ketika tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan yang harus dilakukan saat

berada di rumah sendiri. Tidak memiliki kegiatan dan teman di rumah

membuat P1 sering memikirkan ketidakhadiran orang-orang yang

disayanginya dan pemikiran tersebut memunculkan perasaan kesepian

pada diri P1.

Perasaan kesepian yang dirasakan P1 juga muncul karena adanya

kesenjangan antara harapan dengan apa yang ia alami. Meskipun

merelakan anak-anaknya tinggal di luar kota, P1 sebenarnya memiliki

keinginan untuk dapat selalu berkumpul dan dekat dengan keluarganya,

terutama dengan anak bungsunya. Ketika anak bungsunya memutuskan

untuk tinggal di luar kota, sebenarnya P1 masih meyakini bahwa ia dan

anak bungsunya masih saling membutuhkan. Karena tidak ingin

menghalangi masa depan dan kesempatan yang dimiliki anaknya, P1

Page 28: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

21

berusaha merelakan anaknya pindah ke luar kota. Akan tetapi perpisahan

tersebut tetap membuatnya merasa sedih dan kesepian jika mengingat hal

tersebut. Perasaan kesepian yang dialami oleh P1 merupakan kesepian

emosional, yang muncul karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim.

Sedangkan bagi P2, kesepian dirasakan ketika ia tidak dapat

berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya pada waktu-waktu

yang ia harapkan yaitu pada saat hari raya keagamaan seperti paskah atau

natal. Sudah menjadi tradisi bagi keluarga P2 bahwa hari-hari raya

merupakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi

setelah anak-anaknya bekerja di luar kota, tidak setiap hari libur mereka

dapat berkumpul dikarenakan kesibukan masing-masing sehingga ketika

pada hari-hari tersebut ia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya

partisipan merasa kesepian. Kenangan akan kebersamaan keluarganya

menimbulkan perasaan kehilangan dalam diri P2.

Hal serupa juga dirasakan oleh P3. Kebiasaan berkumpul pada

saat hari raya keagamaan membuat partisipan merasa tidak lengkap jika

tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Perasaan kesepian juga

dirasakan oleh P3 saat ia harus menghadapi suatu masalah sendirian. P3

yang terbiasa memperoleh bantuan dari suaminya merasa kehilangan

teman berdiskusi dan kesepian saat harus menyelesaikan masalah atau

mengambil keputusan sendirian.

Dari pandangan ketiga partisipan tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa perasaan kesepian yang dialami oleh wanita yang

berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty nest tidak selalu

muncul, namun merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada

waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama saat harapan

partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihinya pada saat-saat

tertentu tidak terpenuhi. Rubenstein dan Shaver (dalam Peplau, 1982)

mengemukakan bahwa kesepian seperti rasa lapar, yang merupakan

sinyal alami yang memberitahu bahwa salah satu kebutuhan penting tidak

Page 29: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

22

terpenuhi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kesepian merupakan respon

terhadap kekurangan dua kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan

keintiman yaitu hubungan yang dekat dengan satu atau lebih orang yang

istimewa dan kebutuhan akan komunitas yaitu perasaan memiliki pada

jaringan dengan teman-teman atau rekan.

Selain itu perasaan kesepian juga muncul saat partisipan

mengingat atau memikirkan kembali kenangan-kenangan mereka

bersama dengan orang-orang yang dikasihi namun telah tiada atau

berpisah. Kenangan bersama dengan orang-orang yang dikasihi dapat

menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi sesuatu

yang menimbulkan perasaan kesepian serta kesadaran bahwa masa-masa

tersebut telah berlalu.

Anteseden Kesepian

Perlman dan Peplau (1981) menyebutkan bahwa anteseden

kesepian dapat dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian-kejadian

yang memicu kesepian dan faktor-faktor penyerta kesepian.

Kejadian yang memicu perasaan kesepian

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kejadian-kejadian yang

memicu kesepian (precipitating events) yang dialami oleh para partisipan

antara lain adalah terminasi (termination), perpisahan fisik (physical

separation), dan perubahan situasional (situational changes) yang akan

dipaparkan berikut ini:

a. Terminasi (termination)

Berakhirnya hubungan emosional yang dekat merupakan salah satu

penyebab yang paling umum dalam munculnya perasaan kesepian.

Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan setelah kepergian

pasangan hidup mereka. Kematian pasangan hidup yang telah menikah

dan hidup bersama dengan mereka selama bertahun-tahun menimbulkan

perasaan kehilangan dan kekosongan tiba-tiba dalam diri ketiga

partisipan. Ketidakhadiran sosok suami di rumah yang telah ditempati

Page 30: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

23

keluarga mereka selama bertahun-tahun tentu dapat menimbulkan

perasaan kesepian pada ketiga partisipan.

Bagi P3 perasaan kekosongan tersebut terutama juga diperkuat

karena selama beberapa tahun ia hanya tinggal berdua dengan suaminya

setelah anak pertama mereka bekerja di luar kota lalu menikah dan anak

kedua melanjutkan pendidikan di kota lain. Meskipun anak kedua masih

rutin pulang ke rumah beberapa kali dalam satu bulan, P3 lebih banyak

melewatkan waktu di rumah hanya berdua dengan suaminya.

Selain itu, P3 dan suaminya juga sering mengikuti berbagai

aktivitas bersama-sama. Oleh karena itu kepergian suami yang begitu

tiba-tiba menimbulkan perasaan kesepian pada diri P3. Bahkan pada

awal-awal kematian suaminya, P3 seringkali lupa bahwa suaminya sudah

meninggal dan masih menunggu suaminya pulang ke rumah. Keyakinan

bahwa ada Tuhan yang tetap menjaganya meski suaminya telah tiada

membuat P3 merasa lebih kuat dan dapat menyesuaikan diri dengan

kepergian suaminya.

b. Perpisahan fisik (physical separation)

Selain terminasi, perpisahan fisik dengan anak-anak sebagai orang-

orang yang dekat dan disayangi, juga memicu munculnya perasaan

kesepian pada diri partisipan. Perpisahan fisik tentu mengurangi

frekuensi interaksi antara para partisipan dengan anak-anak mereka. Jarak

yang cukup jauh antara tempat tinggal para partisipan dengan tempat

tinggal anak-anak mereka membuat mereka tidak dapat bertemu setiap

hari dan hanya bertemu tiga atau empat kali dalam setahun serta hanya

berkomunikasi melalui telepon atau surat elektronik.

Perpisahan fisik membuat para partisipan tidak dapat berjumpa

dengan anak-anak atau cucu mereka kapan pun mereka ingin. Meskipun

dapat berkomunikasi melalui telepon, hal tersebut tentu tidak sama jika

dibandingkan dengan kepuasan yang dirasakan para partisipan saat

bertemu secara langsung dengan orang-orang yang dikasihi.

Page 31: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

24

c. Perubahan situasi (situational changes)

Perubahan situasi juga merupakan pemicu perasaan kesepian yang

dialami oleh para partisipan. Seperti yang telah dikemukakan oleh

Perlman dan Peplau (1981), bahwa hasrat seseorang untuk bersama

dengan orang lain bukan merupakan sesuatu yang konstan. Demikian

halnya yang dirasakan oleh para partisipan. Harapan untuk dapat bersama

anak-anak dan orang-orang yang dikasihi muncul lebih kuat dalam diri

para partisipan pada situasi-situasi tertentu. Keinginan P1 untuk bersama

dengan anak-anaknya muncul lebih kuat saat ia sendirian di rumah dan

tidak memiliki kegiatan. Bagi P1 pada saat-saat seperti itu ia merasa lebih

nyaman jika ada orang lain yang bisa menemaninya. Kenangan akan

kebersamaan dengan anak-anak dan suami di waktu lampau membuat P1

menyadari bahwa saat ini ia telah sendiri dan hal tersebut menimbulkan

perasaan kesepian.

Hal yang berbeda dirasakan oleh P2 dan P3 yang memiliki

keinginan untuk bersama keluarganya (anak-anak) saat hari-hari raya

keagamaan. Berbeda dengan P1 yang selalu dapat berkumpul bersama

anak-anak di hari raya atau libur, P2 dan P3 tidak selalu bisa berkumpul

dengan anak-anaknya pada waktu-waktu tersebut. Kesibukan pekerjaan

dan kegiatan P2 dan P3 serta anak-anaknya membuat mereka tidak selalu

dapat berkumpul bersama. Sedangkan pada waktu-waktu yang lampau,

berkumpul bersama dengan keluarga di waktu-waktu istimewa sudah

menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga, sehingga ketika para partisipan

yang telah kehilangan suaminya tidak dapat berkumpul dengan anak-

anak di waktu yang diinginkan menyebabkan perasaan rindu dan juga

kesepian. Bahkan ketika P3 ditemani oleh anggota keluarganya yang lain

pun perasaan kekosongan akibat tidak dapat bertemu langsung dengan

anak-anaknya masih tetap terasa.

Bagi P3, keinginan untuk bersama orang lain terutama suami dan

anak-anaknya juga muncul saat ia harus menghadapi suatu permasalahan

Page 32: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

25

sendirian. P3 sudah terbiasa dengan bantuan dan nasehat dari suaminya

saat mengalami suatu masalah atau harus mengambil keputusan, sehingga

ketidakhadiran suami di saat-saat penting tersebut membuatnya merasa

sangat kesepian dan merindukan suaminya. Tidak jarang pula P3 masih

mengharapkan dan mengangankan suaminya masih ada di sampingnya.

Pemikiran tersebut membuat partisipan semakin merasa kesepian dan

sendirian.

Faktor penyerta perasaan kesepian

Selain kejadian yang memicu, terdapat pula faktor-faktor penyerta

(predisposing factors) kesepian pada para partisipan. Faktor penyerta

kesepian merupakan faktor yang lebih berisfat personal seperti

kepribadian, nilai, juga karakteristik demografis dari individu yang

mengalami kesepian yang dapat berkontribusi terhadap perasaan kesepian

yang dialami.

Setelah suaminya meninggal, P1 memiliki kekhawatiran terhadap

pandangan negatif orang-orang disekitarnya yang dapat muncul jika ia

terlalu sering bepergian atau dikunjungi oleh tamu pria yang bukan

keluarga atau teman dari gereja yang sama. Dengan adanya kekhawatiran

tersebut, P1 membatasi kegiatannya di luar rumah dan hanya bepergian

untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rutin yang sering diikutinya atau

untuk berbelanja.

Untuk mencegah munculnya pandangan negatif dari orang-orang

disekitarnya, P1 juga membatasi orang-orang yang boleh berkunjung ke

tempat tinggalnya. P1 kerap kali menghindari percakapan dengan pria

yang tidak terlalu dekat dan tidak mengatakan kondisi keluarganya yang

sebenarnya. P1 bahkan tidak terlalu sering mengunjungi keluarganya

yang berada di Salatiga jika tidak ada keperluan yang terlalu mendesak.

Penelitian yang dilakukan Susanti (2010) menegaskan bahwa terdapat

stigma masyarakat terhadap status “janda” yang seringkali dianggap

sebagai makhluk lemah dan pantas untuk digoda. Adanya stigma

Page 33: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

26

masyarakat tersebut terhadap status “janda” menimbulkan kekhawatiran

pada diri P1 jika ia bisa mengalami kejadian buruk seperti dipandang

rendah digoda oleh orang asing jika mereka mengetahui statusnya.

Dengan adanya kekhawatiran tersebut, P1 mengurangi

kesempatannya untuk berinteraksi dengan orang lain serta lebih banyak

meluangkan waktu sendiri di rumah jika tidak ada kegiatan yang harus

diikuti.

Berbeda dengan P1, kondisi kesehatan P2 yang semakin menurun

membuatnya memutuskan untuk mengurangi kegiatan yang

mengharuskannya bepergian jauh atau melakukan aktivitas yang berat.

Selain itu karena tidak memiliki kendaraan pribadi, P2 terkadang

memutuskan untuk tidak menghadiri ibadah atau pertemuan jika

dilakukan di tempat yang jauh dari rumahnya atau jika tidak ada

tumpangan dari teman. Keterbatasan kondisi fisik dan fasilitas yang

dimiliki, membuat interaksi P2 dengan orang lain berkurang

dibandingkan dengan saat ia masih dalam kondisi fisik yang lebih baik.

Hal tersebut membuat P2 lebih sering berada di rumah.

Sedangkan pada P3, faktor penyerta yang berkontribusi pada

perasaan kesepian yang dialami ialah perasaan terbiasa bersama dengan

orang lain. Lahir dalam keluarga yang besar dan memiliki enam saudara

membuat P3 lebih terbiasa hidup bersama banyak orang. Selain itu pada

masa kecil, keluarga P3 tinggal bersama orangtua ibunya sehingga ia

nyaris tidak pernah sendirian. Pengalaman masa kecil tersebut juga

berlanjut hingga P3 berkeluarga. P3 mengaku bahwa ia tidak pernah

benar-benar hidup sendiri dan kurang mandiri. Dengan pengalaman

kehidupan seperti itu, P3 lebih merasa nyaman jika bisa bersama dengan

orang lain dan kurang terbiasa dengan kesendirian, terutama setelah

suaminya meninggal.

Selain terdapat kejadian-kejadian yang memicu perasaan kesepian

maupun faktor penyerta kesepian, ternyata ditemukan pula beberapa

Page 34: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

27

faktor yang membuat partisipan tidak merasa kesepian secara terus

menerus atau mengalami kesepian kronis. Faktor yang pertama ialah

perubahan perkembangan (developmental changes). Perlman dan Peplau

(1982) mengemukakan bahwa perubahan perkembangan akan berdampak

pada harapan akan hubungan sosial, yang dapat memicu timbulnya

kesepian. Para partisipan yang sedang berada dalam masa dewasa madya,

bahkan sudah mendekati masa dewasa akhir menyadari bahwa anak-anak

mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing.

Berada dalam masa dewasa madya membuat ketiga partisipan juga

menyadari bahwa pada waktunya setiap orangtua akan melepaskan anak-

anaknya yang telah dewasa dan merangkai masa depan. Kesadaran

tersebut membuat para partisipan tidak ingin menjadi penghalang bagi

anak-anak untuk membangun kehidupannya sendiri. Berbagai

pengalaman hidup yang telah dilalui juga memberikan pengaruh pada

para partisipan sehingga mereka memahami bahwa tanggungjawab dan

pekerjaan anak-anak mereka membuat mereka harus berpisah, seperti

saat mereka mulai meninggalkan orangtua mereka dulu.

Perubahan perkembangan yang dialami oleh partisipan juga

diiringi dengan bertambahnya pengalaman hidup. Dalam pengalaman

hidupnya, P3 seringkali diingatkan oleh suaminya bahwa manusia tidak

bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkan, sehingga setiap manusia

harus belajar untuk menerima keadaan yang ada dan senantiasa

bersyukur. Melalui pengalaman hidup tersebut, P3 belajar untuk berusaha

menerima kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan

dan tetap bersyukur.

Meskipun memiliki harapan untuk dapat tinggal bersama atau lebih

sering bertemu dengan anak-anak mereka, ketiga partisipan memiliki

pendapat bahwa masa ini merupakan masa bagi anak-anaknya untuk

membangun kehidupannya sendiri. Para partisipan tidak ingin

menghambat atau menghalangi masa depan anak-anak mereka. Dengan

Page 35: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

28

adanya kesadaran tersebut maka terciptalah penerimaan akan kondisi dari

periode yang sedang mereka alami saat ini sehingga para partisipan tidak

berlarut-larut memikirkan keterpisahan mereka dengan anak-anak.

Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal juga menjadi salah satu

faktor yang membuat para partisipan tidak selalu merasa kesepian. Baik

P1 dan P3 tinggal di lingkungan yang sama selama bertahun-tahun dan

mengenal baik tetangga-tetangga di sekitarnya. P1 dan P3 pun terlibat

secara aktif dalam aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.

Bahkan P3 mengaku ia sangat bersyukur dengan keberadaan tetangga-

tetangga dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para

tetangganya. Kedekatan tersebut juga tampak dari kesediaan tetangga di

sekitar rumah P3 untuk membantu jika terdapat pekerjaan perawatan

rumah yang tidak dapat dikerjakan oleh P3 setelah suaminya meninggal.

Sedangkan pada P1, ia memiliki hubungan yang baik dengan para

tetangganya serta memiliki teman baik yang tinggal tidak jauh dari

rumahnya. Keberadaan tetangga yang membantu saat P1 dan P2

mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan membuat mereka

merasa nyaman tinggal di lingkungan tersebut dan terlebih lagi membuat

mereka tidak merasa sendiri.

Berbeda dengan P1 dan P3, kondisi lingkungan sekitar tempat

tinggal P2 tidak tampak terlalu akrab dan hangat. Hal tersebut nampak

dari jarak rumah satu dengan yang lainnya yang tidak terlalu rapat, serta

pagar-pagar tinggi yang ada di setiap rumah. Selain itu, P2 juga mengaku

ia tidak banyak terlibat dalam kegiatan di lingkungan tersebut, yang juga

jarang dilakukan. Namun, P2 memiliki pembantu rumah tangga yang

tinggal bersamanya di pagi hingga sore hari. Selain membantu dalam

mengerjakan pekerjaan rumah tangga, P2 juga menilai bahwa kehadiran

pembantu rumah tangga juga menjadi teman untuk bercakap-cakap.

Meskipun hubungan antara P2 dengan pembantu rumah tangganya tidak

Page 36: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

29

sangat dekat, tetapi kehadiran pembantu rumah tangga cukup untuk

membuat P2 merasa terbantu dan memiliki teman di rumah.

Memiliki hobi juga menjadi faktor lain yang membuat P1 dan P2

tidak merasa kesepian, bahkan menjadi salah satu strategi koping saat

mengalami kesepian. Dengan memiliki hobi, P1 dan P2 memiliki

kegiatan yang dapat dilakukan di rumah saat tidak memiliki pekerjaan

yang harus dilakukan dengan demikian mereka tidak memiliki waktu

untuk melamun dan memikirkan kesendirian.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan yang dialami oleh P3 yang

tidak memiliki hobi khusus namun masih memiliki pekerjaan dan

berbagai kesibukan. Pekerjaan sebagai guru SMA membuat P3 harus

berada di sekolah dari pagi hingga siang. Selain mengajar, P3 juga

menjadi pendamping siswa yang mengikuti lomba penelitian atau

olimpiade mata pelajaran sehingga membuatnya berada di sekolah hingga

sore hari pada waktu-waktu tertentu. Tidak jarang pula P3 masih harus

melanjutkan pekerjaannya di rumah sehingga menurutnya tidak ada

waktu untuk menganggur atau melamun.

Di sisi lain kesibukan pekerjaan juga membuat frekuensi

interaksinya dengan keluarga besar maupun kawan lama menjadi

berkurang. Padatnya aktivitas juga membuatnya tidak dapat mengunjungi

anak-anaknya meskipun sudah merasa sangat rindu sehingga hal ini juga

dapat menjadi pemicu kesepian yang dialami oleh P3.

Perasaan yang Muncul saat Kesepian

Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang, demikian halnya

yang dirasakan oleh ketiga partisipan. Saat mengalami kesepian, P1

merasa sangat merindukan kehadiran orang-orang yang disayanginya.

Kesepian juga membuat P1 merasakan kekosongan dalam hidupnya dan

muncul perasaan tidak berguna. P1 yang merasa masih muda dan

seharusnya masih dapat melakukan sesuatu dan tidak hanya berada di

Page 37: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

30

rumah membuatnya merasa tidak berguna. Meskipun demikian, P1 juga

merasa lebih tenang karena memiliki waktu untuk sendiri.

Saat mengalami kesepian P2 juga memiliki keinginan untuk

bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Selain itu perasaan

kesepian seringkali memunculkan pemikiran tentang kematian dalam diri

P2. Pemikiran tentang kematian membuat P2 merasa khawatir jika suatu

saat ia meninggal saat sendirian dan tidak ada orang lain yang

mengetahui. Pemikiran tersebut tentunya menimbulkan perasaan yang

tidak menyenangkan dan membuat P2 merasa tidak nyaman dengan

kesendirian terutama saat akan beristirahat di malam hari.

Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 dan P3,

namun dengan cara yang berbeda. Pemikiran tentang kematian yang

dialami oleh P1 muncul saat memikirkan harapannya akan masa depan.

P1 menyatakan akan siap “dipanggil Tuhan” ketika anak bungsunya

sudah menikah, sehingga tanggung jawabnya sebagai orangtua telah

selesai. Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 ketika ia

mengingat almarhum suaminya. P1 mengingatkan diri sendiri bahwa

suaminya sudah bahagia di surga, sehingga ia tidak perlu bersedih lagi.

Sedangkan bagi P3 pemikiran tentang kematian telah menjadi topik

percakapannya dengan suami semasa hidup. Melalui percakapan-

percakapannya dengan suami mengenai kematian, P3 tidak memiliki

kekhawatiran tentang kematian. P3 meyakini bahwa Tuhan telah

merencanakan hidup setiap manusia dan manusia hanya menjalaninya.

Seperti dua partisipan yang lain, saat mengalami kesepian P3

merasakan keinginan untuk ditemani oleh orang lain, terutama suaminya.

P3 yang kerap mengalami kesepian saat harus menyelesaikan masalahnya

sendiri, merasa sangat merindukan kehadiran suaminya dan berharap

suaminya masih hidup. P3 juga berpikir bahwa jika suaminya masih

hidup ia tidak akan merasa kesepian seperti yang dirasakannya, dan hal

tersebut menimbulkan perasaan sedih dalam diri P3. P3 juga merasakan

Page 38: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

31

kekosongan dan kurang lengkap saat harus melewatkan perayaan

keagamaan tanpa anak-anaknya meskipun ia sedang bersama dengan

sanak keluarganya yang lain.

Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang

muncul saat partisipan mengalami kesepian ialah kekosongan yang

muncul dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan tidak

berguna, pemikiran tentang kesendirian saat meninggal, dan timbulnya

keinginan untuk bersama orang lain, terutama keluarga. Selain itu

kenangan akan masa-masa yang telah berlalu juga sering menjadi muncul

saat para partisipan merasa kesepian, meskipun pada beberapa situasi

kenangan justru menjadi salah satu pemicu timbulnya perasaan kesepian.

Strategi Koping untuk meringankan perasaan kesepian

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga partisipan menyadari

akan perasaan kesepian yang dialami. Kesadaran tersebut ditunjukkan

dari kemampuan partisipan untuk menjelaskan hal-hal yang memicu

perasaan kesepiannya, serta apa yang dirasakan saat mengalami kesepian.

Dengan menyadari perasaan kesepian yang dialami, partisipan memiliki

kesadaran untuk melakukan strategi koping yang dapat meringankan

perasaan kesepian. Saat merasa kesepian, para partisipan berusaha untuk

melakukan sesuatu sehingga perasaan kesepian yang dialami bisa

menjadi lebih ringan. Dari keenam strategi koping terhadap kesepian

yang dikemukakan oleh Rokach dan Brook (1998), terdapat tiga strategi

koping yang diterapkan oleh partisipan, yaitu:

a. Peningkatan aktivitas

Rokach dan Brook (1998) mengemukakan bahwa peningkatan

aktivitas menekankan pada usaha individu mencurahkan perhatian pada

pekerjaan serta mengikuti kegiatan tambahan yang dapat membuat waktu

yang seringkali dilewatkan sendirian menjadi lebih menyenangkan,

produktif, dan berarti, atau bahkan dapat meningkatkan kontak dan

hubungan sosial. Pada P1 dan P2 yang tidak memiliki pekerjaan tetap

Page 39: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

32

peningkatan aktivitas dilakukan dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan

sosial atau mengerjakan hobi.

Dengan adanya kegiatan sosial di lingkungan seperti Posyandu dan

PKK, P1 dapat memiliki kegiatan yang produktif serta meningkatkan

interaksinya dengan orang lain. P1 menjelaskan bahwa ia memiliki

beberapa teman yang dekat melalui keikutsertaan dalam kegiatan

tersebut. Selain itu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan

masyarakat menimbulkan perasaan menyenangkan dan berguna dalam

diri P1. Meskipun bagi P1 apa yang dilakukan olehnya tidak seberapa,

tetapi hal tersebut menimbulkan perasaan dibutuhkan dan dihargai

sehingga ia memiliki penghargaan yang lebih baik pada dirinya.

Sedangkan bagi P2, peningkatan aktivitas dilakukan dengan

mengikuti program penyediaan tempat tinggal (homestay) bagi

mahasiswa dari luar negeri yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di

Salatiga. Melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, P2 tidak

hanya memperoleh tambahan pendapatan namun juga aktivitas untuk

mempersiapkan kebutuhan mahasiswa asing. Selain itu P2 juga merasa

senang karena ada orang lain yang menemaninya di rumah selama

beberapa waktu serta dapat mempelajari lagi kemampuan bahasa asing

yang dimilikinya.

Selain kegiatan-kegiatan tersebut P1 dan P2 memilih untuk

mengerjakan hobi mereka masing-masing di waktu luang yang dimiliki.

P1 yang memiliki hobi menjahit serta berkebun mengaku bahwa dengan

adanya hobi tersebut ia bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan

yang lebih produktif. Dengan hobi menjahit, P1 bisa menciptakan

beberapa benda yang memanfaatkan kain-kain perca atau yang tidak

terpakai. Ketika melihat hasil karyanya, P1 merasa senang dan bangga

akan dirinya sendiri.

Perasaan serupa juga dialami oleh P2 melalui hobi yang berbeda,

yaitu memasak. Dalam waktu-waktu luangnya, P2 mencoba berbagai

Page 40: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

33

resep masakan yang baru dipelajarinya atau yang sedang ingin ia buat.

Melalui hobi itu pula, P2 dapat memperoleh tambahan pendapatan

dengan membuat kue-kue yang dipesan oleh teman-temannya.

Memiliki aktivitas atau hobi membuat wanita yang berperan

sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest dapat merasa bahwa

masa tua bisa menjadi tetap produktif dan menimbulkan perasaan

dihargai dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dihargai dan masih

dapat melakukan hal yang berguna dapat meringankan perasaan kesepian

yang dialami oleh individu.

b. Jaringan dukungan sosial

Berkomunikasi orang lain di saat merasa kesepian merupakan salah

satu strategi koping yang dilakukan oleh P2 dan P3. Rokach dan Brook

(1998) menjelaskan bahwa strategi koping ini menekankan pada usaha

individu untuk meningkatkan keterlibatan dan interaksi sosial dengan

orang lain. Saat merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak,

P2 berusaha untuk berkomunikasi melalui telepon dengan anak-anaknya.

Hal ini juga dilakukan saat P2 tidak dapat berkumpul di hari-hari raya

bersama dengan kedua anaknya, yang menimbulkan perasaan kesepian

pada dirinya. Meskipun berkomunikasi melalui telepon tentu tidak

memberikan kepuasan yang sama dengan jika bertemu secara langsung,

tetapi dapat sedikit meringankan perasaan kesepian yang dialami oleh P2.

Serupa dengan yang dialami oleh P2, P3 juga memilih untuk

berkomunikasi dengan anak-anaknya melalui telepon saat merasa

kesepian. P3 juga tidak segan untuk menceritakan masalah atau

pergumulan yang membuatnya merasa kesepian kepada anak-anaknya.

Selain itu, saat merasa kesepian P3 juga menceritakan pergumulannya

kepada sahabat yang sudah sangat dekat dengan keluarganya. Meskipun

anak-anak atau sahabat kadang kala tidak dapat memberikan solusi secara

konkret terhadap masalahnya, P3 tetap merasa lebih lega setelah

bercakap-cakap dengan orang lain.

Page 41: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

34

Keberadaan orang lain di sisi individu saat mengalami kesepian

memiliki peran penting dalam membantu meringankan perasaan

kesepian. Interaksi dengan orang lain yang dekat dan memberikan

perhatian menimbulkan perasaan tidak sendiri dan dicintai pada individu

yang mengalami kesepian. Dengan merasa tidak sendiri serta dicintai

oleh orang lain, individu akan merasa lebih nyaman dan meringankan

perasaan kesepian yang dialami.

c. Agama dan keyakinan

Agama dan keyakinan sebagai salah satu strategi koping terhadap

kesepian menekankan pada perasaan memiliki dan bersekutu yang

muncul melalui keterlibatan dalam kegiatan kerohanian serta kekuatan

dan ketentraman batin yang diperoleh individu melalui keyakinan pada

Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi (Rokach & Brook, 1998). Strategi

koping ini merupakan strategi koping yang dianggap paling baik oleh

ketiga partisipan penelitian. Baik P1, P2 maupun P3 menyampaikan

bahwa melakukan ibadah dan berdoa membuat mereka memperoleh

ketenangan batin yang tidak diperoleh dari kegiatan yang lain.

Saat mengalami kesepian, ketiga partisipan memilih untuk berdoa

dan mencurahkan apa yang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi

serta segala kekhawatiran kepada Tuhan. Ketiga partisipan, yang

semuanya beragama Kristen Protestan, juga memiliki keyakinan yang

sama yaitu bahwa segala sesuatu telah diatur dan dipersiapkan oleh

Tuhan bagi kehidupan umatnya. Para partisipan juga meyakini bahwa

mereka akan diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan hingga

kematian menjemput. Dengan keyakinan tersebut ketiga partisipan

memperoleh ketenangan batin, ketentraman, serta kekuatan untuk

menjalani kehidupannya dan mengatasi masalah-masalah yang mereka

temui.

Selain melakukan ibadah dan berdoa secara pribadi, para partisipan

juga terlibat dalam komunitas keagamaan. Bahkan ketiga partisipan tidak

Page 42: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

35

hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di komunitas

keagamaan masing-masing, namun juga terlibat secara aktif dalam

pelayanan gerejawi. P1 menyampaikan bahwa setelah pasangan hidupnya

meninggal dan anak-anak telah dewasa serta meninggalkan rumah, ia

ingin mengabdikan hidupnya melalui pelayanan gerejawi. Demikian pula

dengan P3, yang kini tidak hanya mengikuti paduan suara gerejawi tetapi

juga mengemban tugas sebagai majelis jemaat di gereja.

Meskipun mengurangi keikutsertaan dalam pelayanan gereja

karena kondisi kesehatan yang semakin menurun, P2 tetap terlibat dalam

kegiatan-kegiatan di gereja sesuai dengan kemampuannya.

Terlibat dalam komunitas keagamaan membuat para partisipan

merasa memiliki komunitas yang membangun serta teman bahkan

saudara seiman yang dapat menjadi tempat berbagi. Perasaan tersebut

tampak dari perilaku para partisipan yang tidak segan untuk menceritakan

permasalahan yang sedang dihadapi kepada teman dekat yang berasal

dari komunitas yang sama. Perasaan kesepian juga menjadi terasa lebih

ringan dan dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa teman-teman

mereka turut mendoakan dan memberikan dukungan sehingga mereka

memperoleh kekuatan rohani.

Kegiatan kerohanian serta keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan

yang lebih tinggi dapat memberikan ketenangan batin individu yang

mengalami kesepian. Keyakinan kepada Tuhan yang senantiasa

membantu dan memberikan kekuatan juga memunculkan perasaan

bersyukur dalam diri individu. Melalui perasaan bersyukur, individu

dapat menerima pengalaman-pengalaman yang pada mulanya dinilai

pahit dan mengambil makna positif.

Page 43: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

36

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam

penelitian ini diperoleh kesimpulan mengenai pengalaman kesepian yang

dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtunggal dalam periode

empty-nest yang akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Kehilangan pasangan hidup merupakan salah satu pengalaman

yang menimbulkan rasa kaget, dukacita dan kesedihan yang

mendalam dalam diri para partisipan. Adanya dukungan keluarga

dan kerabat dirasakan sangat membantu para partisipan dalam

menyesuaikan diri dengan kondisi yang mereka alami.

2. Setelah menghadapi perasaan dukacita karena kehilangan pasangan

hidup, para partisipan kemudian juga harus menghadapi periode

empty-nest. Menyadari bahwa anak-anak telah tumbuh dewasa dan

memiliki kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik

membuat para partisipan merelakan kepergian anak-anak mereka.

Meskipun terdapat perasaan kesedihan dan kehilangan, para

partisipan memiliki kesadaran bahwa periode empty-nest

merupakan bagian dan tahapan dalam kehidupan sehingga mereka

dapat menerima hal tersebut dengan baik.

3. Harapan untuk dapat tinggal bersama atau berdekatan dengan anak-

anak dirasakan oleh para partisipan. Akan tetapi pekerjaan dan

tanggung jawab para partisipan dan anak-anak mereka

mengharuskan mereka untuk berpisah dan tinggal di kota yang

berlainan. Para partisipan masih dalam kondisi kesehatan yang

masih baik serta memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan

sehari-hari. Para partisipan penelitian juga memiliki keinginan

untuk dapat berdekatan dengan teman-teman dan tetangga serta

tidak ingin meninggalkan rumah yang telah ditempati keluarga

selama bertahun-tahun. Pertimbangan-pertimbangan tersebut

Page 44: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

37

membuat para partisipan penelitian memutuskan untuk tetap

tinggal di rumah, meskipun harus hidup sendiri.

4. Meskipun tinggal berjauhan dengan anak-anak, para partisipan

penelitian tetap berusaha untuk membangun komunikasi yang baik

dengan anak-anak mereka. Kemajuan teknologi sangat membantu

para partisipan penelitian untuk berinteraksi dengan anak-anak

meskipun berada di tempat yang jauh. Meskipun telah beranjak

dewasa dan tinggal di tempat yang berbeda, anak-anak para

partisipan tidak segan untuk menceritakan masalah atau kejadian

yang mereka alami kepada ibunya. Dengan adanya komunikasi

yang rutin dan keterbukaan, hubungan yang baik tetap terjalin

antara para partisipan penelitian dengan anak-anak mereka.

5. Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan

kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama

keluarga menimbulkan perasaan kesepian pada diri para partisipan

pada waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama

saat harapan partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihi

pada saat-saat tertentu tidak dapat terpenuhi. Kesenjangan antara

harapan dengan kenyataan menimbulkan perasaan kesepian dalam

diri para partisipan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa

perasaan kesepian yang dirasakan oleh para partisipan cenderung

mengarah pada kesepian emosional yaitu kesepian yang muncul

karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim.

6. Anteseden perasaan kesepian yang dialami oleh partisipan

dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian yang memicu

kesepian dan faktor penyerta kesepian. Kejadian yang memicu

kesepian antara lain terdiri dari terminasi atau berakhirnya

hubungan emosional, perpisahan fisik dengan orang-orang yang

dikasihi, dan perubahan situasi yaitu hasrat untuk bersama dengan

orang lain yang berubah sesuai dengan situasi yang dialami.

Page 45: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

38

Sedangkan faktor penyerta kesepian merupakan faktor yang lebih

bersifat personal. Dalam penelitian ini ditemukan faktor penyerta

kesepian dalam diri para partisipan antara lain kekhawatiran akan

stigma masyarakat yang membuat partisipan membatasi pergaulan,

kondisi kesehatan partisipan yang mulai menurun seiring

pertambahan usia yang membuat partisipan mengurangi

keterlibatan dalam komunitas, dan pengalaman masa kecil yang

terbiasa dikelilingi banyak orang.

7. Selain adanya anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor

yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara

berlarut-larut, yaitu perubahan perkembangan, kondisi lingkungan

yang akrab dan mendukung, kehadiran teman atau orang lain yang

dipercaya, dan memiliki pekerjaan atau hobi dan aktivitas yang

produktif.

8. Saat partisipan mengalami kesepian, perasaan-perasaan yang

muncul dalam diri partisipan antara lain ialah kekosongan dalam

hidup, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kematian dan

kesendirian saat meninggal, merindukan kehadiran orang-orang

yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-masa yang

telah berlalu.

9. Respon terhadap perasaan kesepian ditunjukkan melalui adanya

usaha untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan perasaan

kesepian yaitu strategi koping terhadap kesepian. Strategi koping

terhadap kesepian yang diterapkan oleh partisipan adalah

peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama dan

keyakinan. Dengan strategi koping tersebut partisipan dapat

membuat waktu sendirian menjadi lebih menyenangkan, produktif,

menimbulkan perasaan yang menyenangkan, dibutuhkan, dihargai,

dan berguna sehingga meningkatkan penghargaan terhadap diri

Page 46: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

39

sendiri, serta memperoleh ketenangan batin dan kedamaian yang

diperoleh melalui kegiatan religius.

SARAN

Bagi peneliti selanjutnya

Pengalaman kesepian merupakan pengalaman yang tidak terlepas

dari pengaruh budaya atau nilai yang dianut oleh individu. Dalam

penelitian ini faktor budaya serta nilai-nilai yang dianut oleh individu

masih kurang tergali dan tidak menjadi fokus penelitian. Bagi peneliti

selanjutnya disarankan untuk dapat meneliti dengan lebih mendalam

hubungan antara budaya dengan pengalaman kesepian. Selain itu,

penelitian ini hanya meneliti pengalaman kesepian pada wanita atau ibu

yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest.

Bagi peneliti selanjutnya dapat pula mengkaji dan meneliti lebih

lanjut mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh pria atau ayah

yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, atau

pada kedua orangtua. Dalam penelitian ini, metode observasi kurang

dapat menghasilkan data yang maksimal dikarenakan pengalaman

kesepian merupakan fenomena psikologis yang sulit untuk diamati. Maka

dari itu selain menerapkan metode pengambilan data dengan wawancara

dan observasi, peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat menerapkan

metode pengambilan data yang lain sehingga bisa memeroleh data yang

lebih lengkap dan mendalam.

Salah satu metode pengambilan data yang disarankan peneliti

untuk penelitian selanjutnya antara lain penggunaan skala psikologi yang

dapat mengukur tingkat kesepian pada partisipan penelitian sebelum

melakukan wawancara. Dengan menggunakan skala pengukuran

kesepian, peneliti selanjutnya dapat memperoleh gambaran mengenai

tingkat kesepian yang dialami partisipan penelitian dan dapat menggali

lebih dalam pengalaman kesepian partisipan melalui wawancara.

Page 47: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

40

Bagi partisipan dan pembaca khususnya wanita yang berperan

sebagai orangtua tunggal yang akan atau sedang berada dalam

periode empty-nest

Melalui penelitian ini, peneliti hendak memberikan saran agar

wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest

sebaiknya tetap memiliki kegiatan atau hobi untuk dilakukan di masa tua.

Dengan memiliki kegiatan atau hobi, pembaca dapat lebih menikmati

waktu luang yang dimiliki dan tidak larut dalam perasaan kesepian.

Terlibat secara aktif dalam suatu komunitas sosial atau pelayanan

keagamaan juga baik untuk dilakukan. Turut serta dalam kegiatan sosial

atau pelayanan keagamaan dapat membantu pembaca untuk menjalin

relasi yang baik dengan orang lain serta menimbulkan penghargaan diri

yang positif. Saran lain untuk pembaca ialah perlunya menyadari

perasaan-perasaan yang dialami serta mencari solusi atau melakukan

strategi koping yang positif.

Bagi keluarga dan kerabat wanita yang berperan sebagai orangtua

tunggal dalam periode empty-nest

Meskipun tidak lagi tinggal bersama, komunikasi antar anggota

keluarga tetap perlu untuk dipertahankan serta ditingkatkan. Komunikasi

yang baik dan terbuka dapat mencegah munculnya perasaan kesepian,

juga dapat membantu para wanita yang berperan sebagai orangtua

tunggal dalam periode empty-nest untuk meringankan perasaan kesepian

yang dialami. Selain komunikasi, kesempatan untuk berkumpul bersama

dengan keluarga pada waktu-waktu istimewa juga perlu untuk diadakan

sehingga para wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dapat

menikmati momen istimewa bersama orang-orang yang dikasihi.

Bagi organisasi sosial dan keagamaan

Melalui penelitian ini, organisasi sosial dan keagamaan disarankan

untuk dapat menyediakan kegiatan yang produktif untuk orangtua,

terutama wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, yang memasuki

Page 48: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

41

masa empty-nest. Selain itu organisasi sosial dan keagamaan disarankan

untuk melibatkan secara aktif wanita yang berperan sebagai orangtua

tunggal dalam periode empty-nest dalam kegiatan atau pelayanan yang

ada.

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, E. W. (2007). Tingkat kecemasan menghadapi periode empty-

nest pada wanita single parent. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga:

Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

Berk, L. E. (2012). Development through lifespan jilid 2 (Edisi Kelima).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brooks, J. (2009). The process of parenting (8th Ed). New York: McGraw-

Hill International Edition.

Clelland, W., & Chaytors, G. (1981). The role of family physicians in

„empty-nest‟ transitions. Canadian Family Physician, 27, 1827-1830.

DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate relationships, marriages,

and families (6th Ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

De Jong Gierveld, J. (1998). A review of loneliness: concept and definitions,

determinants and consequences. Clinical Gerontology, 8, 73-80.

De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness

and social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), Cambridge

handbook of personal relationships (pp. 485-500). Cambridge:

Cambridge University Press.

Hawkley, L. (2007). Loneliness. In R. F. Baumeister & K. D. Vohs (Eds.),

Encyclopedia of social psychology (pp. 532-534). Newbury Park, CA:

Sage.

Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu

sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hoyer, W. J & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging (5th ed).

New York: McGraw-Hill.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kotwal, N., & Prabhakar, B. (2009). Problem faced by single mother.

Journal of Social Science, 21(3), 197-204.

Lai, Hui-Ling. (2002). Transition to the empty-nest: a phenomenological

study. Diakses dari http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/

content/91-3/11.pdf tanggal 2 Januari 2012.

Lasswell, M. & Lasswell, T. (1987). Marriages and family. Belmont:

Wadsworth Publishing Company.

Liu, Li-Juan, & Guo, Q. (2008). Life satisfaction in a sample of empty-nest

elderly: a survey in the rural area of mountainous county in China.

Quality Life Research, 17, 823-830.

Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6th Ed). Belmont:

Thomson Higher Education.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda.

Page 49: Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6772/2/T1_802008120_Full... · kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya

42

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Perkembangan

manusia jilid 2 (Edisi 10). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Peplau, L. A. (1982). In search of intimacy: a report on loneliness and what

to do about it. Journal of Psychosocial Nursing and Mental Health

Services, 20(11), 38-39.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social psychological

theory of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and

attraction (pp. 99-108). Oxford, England: Pergamon.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social psychology of

loneliness. In S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal relationships in

disorder (pp. 31-56). London: Academic Press.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A.

Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current

theory, research, and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley

Interscience Publication.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana

Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Rokach, A., Orzeck, T., & Neto, F. (2004). Coping with loneliness in old

age: A cross cultural comparison. Current psychology: Development,

Learning, Personality, Social, 23(2), 124-137.

Rokach, A., & Brook, H. (1998). Coping with Loneliness. Journal of

Psychology, 132(1), 107-127.

Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979). Loneliness. Human

Nature, 2, 58-65.

Sawitri, D. R. (2007). Menjalani hidup sepeninggal suami: kenangan,

perjuangan, dan harapan. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id

/8588/1/MenjalaniHidupSepeninggalSuami.pdf pada tanggal 4

September 2011.

Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985). Psikologi sosial jilid 1

(Edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Setyowanti. (2009). Perbedaan tingkat kesepian pada pensiunan ditinjau dari

jabatan sebelum pensiun (manager dan mon-manager). Skripsi (tidak

diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya

Wacana.

Shakya, D. R. (2009). Empty nest syndrome – an obstacle for alcohol

abstinence. Journal of Nepal Health Research Council, 7(15), 135-

137.

Sinaga, H. J. (2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai

orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan. Skripsi

(tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera

Utara.

Spence, D., & Lonner, T. (1971). The empty nest : A transition within

motherhood. The Family Coordinator, 10, 369-375.

Sugiyono. (2010). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Susanti, H. (2010). Penyesuaian diri janda jawa. Skripsi (tidak diterbitkan.

Salatiga: Fakutlas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.