penerimaan keluarga penderita hiv melalui …eprints.umm.ac.id/57192/2/skripsi.pdfdengan teknik...
TRANSCRIPT
PENERIMAAN KELUARGA PENDERITA HIV MELALUI
KONSELING KELUARGA DENGAN TEKNIK HUMANISTIK
SKRIPSI
Oleh :
Virgina Dwiki Zilma Zuraida
201410230311137
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
PENERIMAAN KELUARGA PENDERITA HIV MELALUI
KONSELING KELUARGA DENGAN TEKNIK HUMANISTIK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
Virgina Dwiki Zilma Zuraida
201410230311137
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Virgina Dwiki Zilma Zuraida
Nim : 201410230311137
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal, 24 Oktober 2019
Dan dinyatakan memenuhi syarat kelengkapan
memperoleh gelar Sarjana (S1) Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
SUSUNAN DEWAN PENGUJI:
Ketua/ Pembimbing I, Sekretaris/ Pembimbing II,
Dr. Rr. Siti Suminarti Fasikhah, M.Si Putri Saraswati, S.Psi, M.Psi
Penguji 1, Penguji 2,
Hudaniah, S.Psi, M.Si Hanif Akhtar, S.Psi., MA.
Mengesahkan
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang,
M. Salis Yuniardi, M.Psi., PhD
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Virgina Dwiki Zilma Zuraida
NIM : 201410230311137
Fakultas/Jurusan : Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul :
Penerimaan Keluarga Penderita HIV melalui Konseling Keluarga dengan
Teknik Humanistik
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam
bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan
sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan
Hak bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Malang, 6 November 20192
Mengetahui, Yang menyatakan,
Ketua Program Studi
Susanti Prasetyaningurm, S.Psi., M.Psi Virgina Dwiki Zilma Zuraida
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Penerimaan Keluarga Penderita HIV melalui Konseling Keluarga
dengan Teknik Humanistik” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan dan dalam proses
penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bimbingan dan
petunjuk serta bantuan dalam bentuk apapun kepada penulis. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak M.Salis Yuniardi, S.Psi., M.Psi., Ph.D selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang.
2. Ibu Susanti Prasetyaningurm, S.Psi., M.Psi selaku Ketua Program Studi.
3. Ibu Dr. Rr. Siti Suminarti Fasikhah, M.Si dan Ibu Putri Saraswati M.Psi.,
selaku dosen pembimbing.
4. Keluarga tersayang, alm.Papa, mama, nenek, mbak Septi dan mas One, serta
Fari dan Fira yang selalu ada dan selalu memberikan dukungan untuk saya.
5. Teman – teman tercinta dan tersayang Revin, Sonia, Ratri, Nadia, Arif, Tasya,
Putri, Ade, Hasna, mbak Anis, mbak Sabrina, Eli, dan mas Riyadi, tempat
berkeluh kesah dan selalu membantu dan menyemangati dalam proses
pengerjaan skripsi
6. Teman – teman Fakultas Psikologi khususnya kelas F angkatan 2014 yang
selalu bersama selama masa suka dan duka dalam perkuliahan.
7. Kepada Bu Sasa Puskesmas Turen, seluruh keluarga subjek penelitian dan
perkumpulan HIV Puskesmas Turen yang telah membantu kelancaran
penelitian ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga
kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangat diharapkan oleh penulis. Meski
demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti secara
khusus, dan bagi pembaca pada umumnya.
Malang,
Penulis
Virgina Dwiki Zilma Zuraida
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i
SURAT PERNYATAAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vi
ABSTRAK .................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ...................................................................................... 2
Rumusan Masalah ................................................................................ 5
Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
LANDASAN TEORI .................................................................................. 5
Penerimaan Keluarga ........................................................................... 5
Konseling Keluarga Humanistik ......................................................... 9
Penerimaan Keluarga dan Konseling Keluarga Humanistik ............... 11
Kerangka Berpikir ............................................................................... 12
Hipotesa ............................................................................................... 12
METODE PENELITIAN ............................................................................ 13
Rancangan Penelitian ........................................................................... 13
Subjek Penelitian ................................................................................. 14
Variabel dan Instrumen Penelitian ....................................................... 14
Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ........................ 15
Prosedur dan Analisa Data ................................................................... 16
HASIL PENELITIAN ................................................................................ 17
DISKUSI ..................................................................................................... 19
SIMPULAN DAN IMPLIKASI ................................................................. 23
REFERENSI ............................................................................................... 24
LAMPIRAN ................................................................................................ 27
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rancangan Penelitian .................................................................... 13
Tabel 2. Alternatif Jawaban Skala Penerimaan Keluarga ........................... 15
Tabel 3. Kriteria Penerimaan Keluarga ........................................................... 15
Tabel 4. Validitas dan Reliabilitas Skala Penerimaan Keluarga ................. 16
Tabel 5. Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................... 17
Tabel 6. Perbandingan Skor Penerimaan Keluarga Sebelum dan Setelah
Proses konseling ............................................................................ 17
Tabel 7. Deskriptif Uji Wilcoxon Data Pre test dan Post test ..................... 18
Tabel 8. Perbandingan Persentase Skor Pre test dan Post test pada Setiap
Karakteristik .................................................................................. 18
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Blue Print Skala Penerimaan Keluarga .................................. 27
Lampiran 2. Skala Penerimaan Keluarga .................................................... 30
Lampiran 3. Skor Pre test dan Post test ....................................................... 34
Lampiran 4. Tabel Presentase Per Karakteristik ......................................... 37
Lampiran 5. Hasil Analisis Uji Wilcoxon .................................................... 39
Lampiran 6. Tabel Tahapan Konseling ....................................................... 41
Lampiran 7. Lembar Observasi .................................................................... 52
Lampiran 8. Informed Consent ................................................................... 57
Lampiran 9. Hasil Uji Plagiasi .................................................................... 59
1
PENERIMAAN KELUARGA PENDERITA HIV MELALUI
KONSELING KELUARGA DENGAN TEKNIK HUMANISTIK
Virgina Dwiki Zilma Zuraida
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Penerimaan keluarga merupakan sebuah kondisi dimana sebuah keluarga dapat
memahami kondisi anggota keluarganya yang ditandai dengan sikap menyayangi,
memberikan perhatian, menyediakan kebutuhan, serta memiliki perasaan bahagia
ketika merawat keluarganya. Subjek penelitian ini adalah sebuah keluarga yang
memiliki penerimaan yang rendah terhadap keluarganya yang sedang menderita
HIV. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan keluarga adalah dengan
konseling keluarga dengan pendekatan humanistik. Konseling keluarga humanistik
merupakan sebuah proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli dengan
melibatkan anggota keluarga yang dalam prosesnya konseli akan didorong untuk
menemukan solusi permasalahannya sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah konseling keluarga humanistik dapat meningkatkan
penerimaan pada keluarga penderita HIV. Subjek dalam penelitian ini adalah
sebuah keluarga berjumlah enam orang yang memiliki penerimaan yang rendah
pada keluarganya yang menderita HIV. Penelitian ini menggunakan desain
penelitian pra eksperimen dengan model One Group Pre Test and Post Test. Hasil
penelitian yang telah diuji dengan uji Wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan secara signifikan pada subjek setelah diberikan perlakuan konseling
dimana nilai p < 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konseling keluarga
humanistik dapat meningkatkan penerimaan pada keluarga penderita HIV
Kata kunci:Konseling keluarga humanistik, penerimaan keluarga, penderita HIV
Family acceptance can be described as a condition where a family can understand
their family member’s condition signed by a good affection, caring, and happy
feelings while take care of their family members. The subjects of this research were
a family who has a low family acceptance to their family member with HIV
condition. There are many ways to increase tha family acceptance, one of them is
by giving a family counseling with humanistic approach. Humanistic family
counseling is an intervention by counselor to counselee, that will involving their
family members during process and effort the counselee to figure out their own
problem and solution. The objective of this study was to verify whether family
counseling could increase the family acceptance. The subjects on this research is
one family with six members that have a low score of family acceptance to their sick
family member. Design of this research was a pre experimental design with One
Group Pre Test and Post Test model. Research results using Wilcoxon showed there
was a significant increasing in family acceptance level after counseling where p < 0.05. Therefore, it can be concluded that humanistic family counseling could
increase the family acceptance among HIV patient.
Keywords: Humanistic family counseling, family acceptance, HIV patient
2
HIV (the Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terkena penyakit (Avert, 2018).
Meskipun saat ini sudah terdapat obat Antiretroviral untuk mengurangi resiko
penyakit yang ditimbulkan oleh HIV, HIV saat ini masih menimbulkan keresahan
di kalangan masyarakat dunia dikarenakan belum ditemukan penyembuhnya
(Kompas, 2017 dalam Afandy, 2017). Sejak ditemukan pada tahun 1983, saat ini
sudah terdapat kurang lebih 21.000.000 orang yang didiagnosa memiliki HIV,
7.000.000 orang yang sudah dalam tahap AIDS, dan 4.500.000 yang telah
meninggal dikarenakan AIDS di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia sudah
terdapat sekitar 730.000 jiwa penderita HIV yang tersebar di seluruh wilayah
Nusantara tidak terkecuali Malang Raya (UNAIDS, 2018). Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Kota Malang (2017), sudah terdapat 3800 orang yang didiagnosa
memiliki HIV per tahun 2017 dan jumlah tersebut masih terus bertambah. Hal
tersebut menjadikan kota Malang sebagai kota kedua dengan jumlah pengidap HIV
terbanyak setelah kota Surabaya.
Pada penderita HIV isu kesehatan bukanlah satu-satunya permasalahan yang
mereka hadapi. Menurut Sharma (2016) permasalahan yang dapat dihadapi oleh
penderita HIV antara lain terkait masalah kesehatan mental dan juga sosial. Bagi
penderita HIV, terutama yang baru terdiagnosa, akan sangat mungkin bagi mereka
untuk menolak keadaan bahwa mereka terjangkit HIV, dan hal tersebut akan
membuat mereka mengalami kecemasan atau bahkan depresi. Stigma dari
masyarakat dimana mereka menganggap bahwa HIV adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh tindakan tidak terpuji juga membuat penderita HIV akan merasa
bersalah dan terkucilkan dari lingkungan. Permasalahan sosial tidak hanya
bersumber pada masyarakat, melainkan juga dapat berasal dari keluarga. Pada
pasangan, permasalahan HIV dapat menuntun kepada kegagalan sebuah hubungan
dikarenakan perasaan bersalah dan menyalahkan pada penderita HIV tersebut
(Sharma, 2016). Kemudian pada keluarga dimana terdapat anak atau saudara yang
terjangkit HIV, akan ada anggota keluarga yang akan merasa tidak nyaman
dikarenakan kecemasan untuk ikut tertular, maupun permasalahan ekonomi
dikarenakan pengobatan yang harus dilakukan seumur hidup oleh penderita HIV.
Hal tersebut akan menjadi beban terutama pada keluarga dengan tingkat
perekonomian menengah ke bawah (Sharma, 2016). Permasalahan yang menjadi
fokus peneliti adalah bagaimana keluarga sebagai living system pada penderita HIV.
Individu yang terdiagnosa mengidap HIV/AIDS memerlukan perhatian khusus
terutama dari keluarganya yang merupakan support system utama bagi penderita
HIV. Sejak lahirnya seorang anak, keluarga memiliki tanggung jawab sebagai
penyedia kebutuhan dan dukungan baik dukungan emosional, informasi,
instrumental, dan penilaian. Dukungan tersebut akan memiliki hubungan terkait
well-being seorang anak tidak terkecuali ketika seorang anak tersebut terjangkit
HIV (Pacheco BP, Gomes GC, Xavier DM, Nobre CMG, Aquino DR, 2016). Anak
dengan HIV/AIDS memerlukan dukungan keluarga untuk mendukung
perkembangan sosial maupun emosional mereka. Anggota keluarga perlu mengerti
bagaimana merawat keluarga yang terkena HIV, perencanaan dan penanggulangan
3
yang tepat untuk mendukung keberlangsungan hidup penderita HIV, juga dukungan
emosional dan penerimaan terkait kondisi keluarganya yang terjangkit HIV
(Pacheco BP, Gomes GC, Xavier DM, Nobre CMG, Aquino DR, 2016).
Asesmen telah dilakukan pada seorang remaja perempuan yang baru saja
didiagnosa mengidap HIV dan juga keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, nenek,
dua orang kakaknya dan neneknya. Berdasarkan hasil asesmen yang telah
dilakukan, diketahui bahwa remaja tersebut merasa sudah dapat menerima
kondisinya sebagai penderita HIV. Namun, remaja tersebut merasa bahwa
meskipun keluarganya tidak membencinya dan tetap merawatnya, tetapi
keluarganya jarang mengajak untuk bercakap-cakap, sedikit menjaga jarak serta
selalu terlihat murung sejak mengetahui bahwa dirinya terkena HIV. Bagi penderita
HIV, penerimaan keluarga sangat penting, namun terdapat beberapa hal yang
menyebabkan anggota keluarga merasa sulit untuk menerima keadaan dari anggota
keluarga yang mengidap HIV. Menurut hasil asesmen yang dilakukan pada anggota
keluarga penderita HIV, dapat diketahui permasalahan utama yang membebani
mereka adalah karena permasalahan sosial
“...menakutkan rasanya, kalau saya ingat orang-orang itu lihat anak saya. Saya
digunjingkan dan diolok-olok itu seperti sudah hal biasa. Tentu saja saya sakit hati
tapi tidak bisa berbuat apa-apa cuma bisa ‘sambat’ dan marah di rumah...”.
Mengutip pernyataan dari ibu penderita HIV yang telah diasesmen sebelumnya,
dapat diketahui bahwa ibu dari penderita HIV tersebut takut akan diskriminasi dari
warga sekitar yang menganggap bahwa penderita HIV dan keluarganya harus
dijauhi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Da Silva LMS,
Tavares JSC (2015) yang menyebutkan bahwa keluarga pada umumnya tidak akan
mendiskusikan penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya dikarenakan takut
akan stigma sosial dan juga diskriminasi. Dikarenakan hal tersebut, keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan penyakit HIV akan merasa terisolasi dan
sendirian karena mereka tidak mendapatkan dukungan dari tetangga, dan teman
sehingga mereka terpaksa untuk menanggung beban penuh sendirian atau bersama
keluarganya saja. Permasalahan kedua yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki
pasien pengidap HIV adalah karena sulitnya merawat pasien HIV
“.. anak saya itu hampir setiap beberapa jam sekali mengeluh sakit kepala, sakit
perut, muntah. Saya sering terbangun tengah malam karena melihat anak saya
kesakitan. Pokoknya kondisi rumah semakin gak karuan sejak HIV”. Menurut ayah
penderita HIV tersebut, dapat diketahui bahwa anggota keluarga merasa terbebani
dengan kondisi anaknya yan sedang mengalami HIV. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Da Silva LMS, Tavares JSC (2015) yang
menyebutkan bahwa keluarga pasien pengidap HIV harus menghadapi keluhan
penderita HIV terutama pada fase awal diagnosis dan hal tersebut bukan merupakan
hal yang mudah karena keluarga akan menghadapi kesulitan-kesulitan terkait
dengan perannya sebagai perawat anggota keluarga yang terkena HIV
Permasalahan lain yang dirasakan oleh anggota keluarga terhadap anak yang
mengidap HIV adalah karena masalah ekonomi. Berdasarkan hasil asesmen
diketahui bahwa keluarga subjek adalah keluarga dengan golongan menengah
bawah. Ayah subjek bekerja di bengkel motor dan Ibu subjek adalah seorang buruh
4
pabrik. Subjek juga memiliki seorang kakak yang belum bekerja dan seorang kakak
yang juga menjadi buruh pabrik. Kemudian ada neneknya yang dari kecil merawat
subjek. Meskipun saat ini sudah terdapat bantuan dari pemerintah untuk pengobatan
HIV/AIDS, keluarga subjek menjelaskan bahwa terdapat beberapa obat yang harus
dibeli tanpa adanya bantuan dari pemerintah dan menurut penuturan dari keluarga
tersebut, obat yang harus dibeli tidaklah murah.
Menurut Coopersmith (1967), penerimaan orang tua akan tercermin melalui
perhatian mereka terhadap anaknya, peduli dan peka terhadap kepentingan-
kepentingan anak, serta mengungkapkan kasih sayang kepada anak. Berdasarkan
hasil asesmen yang dilakukan oleh peneliti, orang tua subjek belum mencerminkan
sikap penerimaan yang seharusnya ada pada setiap diri orang tua terhadap anaknya.
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Johnson dan Medinnus (1967) bahwa
ketika orang tua memiliki sikap penerimaan terhadap anaknya, orang tua akan
merawat dan mengasihi anaknya dengan penuh kebahagiaan. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara pada asesmen yang telah dilakukan pada orang tua
subjek, orang tua subjek merasa terbebani dan takut terkait kondisi subjek yang
mengidap HIV. Mereka menunjukkan sikap mengeluh, dan mengacuhkan anggota
keluarganya yang mengidap HIV. Sikap yang seperti itulah yang menyebabkan
adanya konflik dalam keluarga. Menurut Rubin (dalam Lestari, 2012) ada beberapa
cara untuk mengelola sebuah masalah, salah satunya adalah pengacuhan (inaction)
seperti yang dilakukan keluarga tersebut ketika asesmen. Sehingga berdasarkan
pemaparan tersebut diketahui bahwa orang tua subjek belum memiliki penerimaan
terhadap subjek.
Anggota keluarga seringkali menemui kesulitan dan keterbatasan dalam hal
menyediakan kepedulian serta merawat anggota keluarga lain yang sakit. Oleh
karena itu, praktisi kesehatan baik fisik maupun mental harus peduli baik kepada
penderita HIV maupun dengan keluarganya (Da Silva LMS, Tavares JSC, 2015).
Porter (dalam Jersid, 1975) mengungkapkan bahwa ada empat bentuk penerimaan
keluarga, yaitu : (1) menunjukkan perasaannya kepada anak atau anggota keluarga
dan mengakui bahwa mereka mempunyai hak untuk mengetahuinya, (2)
beranggapan bahwa setiap anak unik dan berharga walaupun memiliki
keterbatasan, (3) menilai bahwa anak dapat mandiri dan dapat menjadi sesuatu yang
berharga nantinya, (4) mencintai anak tanpa pamrih. Ditinjau dari pernyataan
tersebut, peneliti mengetahui bahwa keluarga subjek belum menunjukkan
penerimaan keluarga sepenuhnya kepada anggota keluarganya yang saat ini sedang
menderita HIV.
Berdasarkan asesmen, peneliti bermaksud untuk menggunakan perlakuan dimana
perlakuan tersebut diharapkan dapat membantu keluarga subjek perlakuan tersebut
melibatkan kedua belah pihak, baik penderita HIV tersebut, dan juga keluarganya.
Intervensi yang akan dilakukan oleh peneliti adalah konseling keluarga. Menurut
Nurhayati (2011) konseling keluarga adalah pemberian bantuan kepada keluarga
dalam hal interaksi antar anggota keluarga sehingga keluarga tersebut dapat
mengatasi masalah keluarga dan berfokus pada kesejahteraan seluruh anggota
keluarga. Walker, 1992 (dalam Sharma, 2016) menuturkan bahwa terapi keluarga
pada keluarga yang memiliki anggota yang menderita HIV harus menekankan
5
bahwa keluarga sejatinya adalah living system yang harus merawat dan
mempedulikan anggota keluarganya yang sedang HIV/AIDS. Konseling keluarga
akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan humanistik. Konselor
menggunakan teknik client centered counseling dimana konseling akan terfokus
pada konseli sebagai bagian dari keluarga dan sebagai individu. Pendekatan ini
dikembangkan oleh Carl Rogers pada sekitar tahun 1950 dimana pendekatan ini
didasarkan pemahaman bahwa setiap manusia merupakan individu yang
mengambil kontrol penuh terhadap diri mereka sendiri, bersifat subjektif, tidak
statis dan memiliki motivasi ke arah aktualisasi diri (Corey, 2013).
Menurut Carl Rogers, client centered counseling melibatkan penerimaan, rasa
hormat, pemahaman, menenangkan hati, memberi dorongan, memberi pertanyaan
terbatas, dan perefleksian pernyataan serta perasaan konseli (McLeod, 2014).
Peneliti menggunakan teknik client centered counseling karena pendekatan ini
sesuai dengan kondisi yang sedang dialami oleh konseli. Dengan teknik ini
diharapkan keluarga subjek dapat memahami dan menerima kondisi anaknya yang
sedang mengidap penyakit HIV, mengambil keputusan yang tepat dalam menjaga
dan mendukung anaknya, serta berperan dengan benar sebagai keluarga yang
seharusnya menjadi living support anggota keluarga lainnya terlepas dari kondisi
anaknya yang sedang mengidap HIV.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah yaitu apakah
konseling konseling keluarga dapat meningkatkan penerimaan keluarga pada
keluarga penderita HIV. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
konseling keluarga humanistik dapat meningkatkan penerimaan keluarga pada
keluarga penderita HIV. Kemudian, secara teoritis penelitian ini dapat menambah
wawasan dalam ilmu psikologi, khususnya tentang penggunaan intervensi
konseling keluarga pada penderita HIV dan keluarganya untuk meningkatkan
penerimaan keluarga. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya bagi keluarga penderita HIV
agar lebih memperhatikan dan menerima kondisi dari keluarganya yang mengidap
HIV sehingga tidak terpuruk dengan keadaannya. Bagi peneliti selanjutnya,
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk acuan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang psikologi.
Penerimaan Keluarga
Keluarga pada dasarnya adalah pemegang peranan penting dalam living system.
Keluarga memiliki fungsi untuk melindungi anggotanya, menyayangi mereka, dan
menyediakan kebutuhan dasar, serta memberikan dukungan pada setiap individu
dalam keluarga tersebut (Schiamberg, 1983). Menurut Achmad (2006), komponen
utama pembentuk sebuah hubungan yang baik adalah adanya dukungan dan sikap
penerimaan terlepas dari kondisi keluarganya. Tetapi dalam kenyataanya, tidak
semua anggota keluarga dapat menerima keadaan anggota keluarga lainnya yang
sedang dalam keadaan khusus, terutama yang merugikan mereka dan tidak sesuai
dengan norma dan aturan di keluarga tersebut (Gordon, 1999).
6
Sebuah keluarga dapat dikatakan mempunyai penerimaan keluarga yang baik
apabila peduli dan menyayangi anak terlepas dari kondisi anak tersebut (Hurlock,
2001). Penerimaan keluarga juga dapat diartikan dengan sikap perhatian kepada
anak, peka terhadap kepentingan-kepentingan anak, serta relasi yang penuh dengan
rasa bahagia ketika merawat dan membesarkan anak (Coopersmith, 1976). Saat
sebuah keluarga memiliki orang terdekat yang tidak sesuai dengan harapan mereka,
maka akan terdapat dua kemungkinan yaitu menerima atau tidak menerima. Sikap
penerimaan keluarga adalah keadaan dimana keluarga dapat menerima kondisi
anggota keluarganya yang tidak sesuai dengan harapan mereka (Gargiulo, 1985
dama Fauziah, 2010). Uraian tersebut didukung oleh pernyataan Wenworth (1985)
bahwa penerimaan akan terjadi jika keluarga mampu terbiasa dan bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami keluarganya. Tetapi lebih
lanjut diungkapkan bahwa sebelum menerima keadaan anggota keluarganya,
individu tersebut harus bisa menerima kondisi dirinya sendiri sehingga mereka akan
lebih mudah memahami kondisi orang-orang terdekatnya terutama keluarga
(Jersild, 1975)
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan
keluarga adalah suatu kondisi dimana sebuah keluarga dapat menerima kondisi
anggota keluarganya yang ditandai dengan sikap menyayangi, memberikan
perhatian, menyediakan kebutuhan-kebutuhan anggota keluarganya serta memiliki
perasaan bahagia dalam merawat anak dan anggota keluarganya yang lain. Kubler-
Ross (1969) dalam teorinya Five Stages of Grief, mengemukakan bahwa setiap
orang akan melewati beberapa tahap yang akan mereka lalui untuk mencapai tahap
menerima. Tahapan tersebut adalah denial (penolakan), anger (rasa marah),
bargaining (menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan).
Kemudian dengan mengadaptasi teori dari Kubler Ross tersebut, Gargiulo (1985)
dalam bukunya Working with Parents of Exceptional Children menerangkan
beberapa tahapan dari proses penerimaan diri orangtua terhadap anaknya yang
memiliki keterbatasan. Tahapan tersebut antara lain :
1. Shock (merasa terkejut)
Ketika seorang anggota keluarga mengalami sebuah gangguan, keluarga
terutama orang tua akan merasa terkejut dan tidak siap menrima kondisi
anaknya yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Pada tahapan ini mereka
akan merasa tidak berdaya atas kondisi tersebut (Gargiulo, 1985, dalam
Fauziah, 2010)
2. Denial (penolakan)
Pada fase ini, keluarga akan menolak atas kekurangan yang terjadi pada anggota
keluarganya. Biasanya mereka akan mencari pembenaran lewat para ahli bahwa
anaknya sedang dalam keadaan yang baik (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah,
2010).
3. Grief and depression (duka dan depresi)
Ketika keluarga sudah mengetahui kebenaran bahwa anggota keluarganya
sedang sakit, maka mereka akan merasakan duka dan kesedihan karena anaknya
tidak seperti harapan mereka di masa lalu. Nantinya mereka juga akan
merasakan depresi karena menganggap diri sendiri gagal membesarkan anak
dan anak tersebut tumbuh tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan
(Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010).
7
4. Ambivalence (pertentangan)
Saat seorang anak terkena gangguan, umunya anggota keluarga akan merasakan
pertentangan batin. Pada satu sisi mereka merasa bersalah dan gagal sehingga
hal tersebut akan memunculkan perasaan-perasaan negatif pada anak. Namun
pada saat yang sama mereka merasa bahwa mereka harus tetap ada untuk
mendukung dan merawat anak serta memberikan kasih sayang tulus kepada
anaknya (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010).
5. Guilt (merasa bersalah)
Orang tua terkadang akan merasa bersalah atas apa ynag terjadi pada anaknya.
Mereka akan merasa bertanggung jawab dan menganggap bahwa dialah yang
menyebabkan semua terjadi pada anaknya. Pada tahap ini terkadang muncul
pemikiran-pemikiran “andai saja...” (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010).
6. Anger (rasa marah)
Pada tahap ini anggota keluarga yang memiliki anak yang mempunyai
gangguan akan merasa marah dan memiliki pemikiran mengapa harus dirinya
yang mengalami kondisi tersebut. Selain itu kemungkinan lain adalah terjadinya
displacement. Displacement adalah kondisi dimana rasa marah akan ditujukan
pada orang lain, umunya orang terdekat (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010)
7. Shame and embarassment (merasa malu)
Perasaan malu atas anak yang sedang sakit akan timbul ketika lingkungan sosial
menolak, mengasihani, atau bahkan mengejak kondisi anak tersebut. Reaksi
yang seperti itu akan membuat harga diri keluarga turun karena memiliki anak
yang tidak sesuai harapan (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010)
8. Bargaining (menawar)
Pada tahap ini orang tua akan berusaha melakukan penawaran pada pihak
manapun. Fase ini adalah cara ketika orang tua memiliki harapan dapat
membuat kesepakatan dengan Tuhan, para ahli, maupun siapapun. Keluarga
akan berusaha semaksimal mungkin dan sebaik yang mereka bisa asalkan
anaknya bisa kembali seperti sedia kala (Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010)
9. Adaptation and reorganization (membiasakan diri dan menata diri)
Tahap ini merupakan tahap yang membutuhkan waktu. Keluarga sedikit demi
sedikit mulai merasa nyaman dengan kondisi anggota keluarganya yang sakit
dan sudah mulai berusaha menata kembali perasaannya (Gargiulo, 1985, dalam
Fauziah, 2010)
10. Acceptance and adjusment (penerimaan dan penyesuaian)
Fase ini merupakan fase akhir atau bisa dikatakan tujuan akhir dari seluruh
tahapan sebelumnya. Secara sadar orang tua akan mulai memahami, menerima
dan mencari pemecahan masalah. Keluarga tidak hanya menerima kondisi
anggota keluarganya yang sedang sakit, tetapi juga berusaha menerima diri
sendiri dan akan menyesuaikan atas perubahan yang telah dialaminya
(Gargiulo, 1985, dalam Fauziah, 2010)
Hurlock (2002) memaparkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
penerimaan keluarga terhadap anak dengan kebutuhan khusus. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tersebut antara lain:
1. Tanggapan orang tua kepada anak akan mempengaruhi sikap orang tua tersebut
2. Semua orang tua memiliki konsep “anak idaman” yang diinginkan bahkan
sebelum anak tersebut lahir
8
3. Tipe pengasuhan orang tua akan mempengaruhi sikap orang tua terhadap
anaknya
4. Problem solving yang dipilih orang tua merefleksikan bagaimana orang tua
memperlakukan anak
5. Harapan orang tua sebagai wujud keinginan individu kepada anaknya
Sikap keluarga saat menghadapi anggota keluarganya yang sedang mengalami
kondisi yang tidak baik sangat menentukan kondisi anak tersebut. Jika orang tua
menujukkan sikap negatif seperti penolakan, rasa marah dan lain sebagainya, anak
cenderung akan bersikap menolak pula. Tetapi ketika keluarga dan orang tua
bersikap positif, maka sebaliknya anak akan menunjukkan sikap positif juga. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Marijani (2003) bahwa sikap orang tua sangat
mempengaruhi kondisi anak, apabila orang tua menunjukkan sikap menolak, akan
timbul sikap anak yang sulit diarahkan. Orang tua dan keluarga sebagai living
support anggota keluarga lainnya sudah pasti harus menunjukkan sikap menerima
anak tanpa syarat agar tercipta kondisi keluarga yang sehat dan harmonis (Pacheco
BP, Gomes GC, Xavier DM, Nobre CMG, Aquino DR, 2016). Terdapat empat
bentuk dukungan yang dapat diberikan keluarga pada anggotanya yang sedang
dalam kondisi sakit (Norbeck, 2000):
1. Dukungan emosional
Setiap individu, terlebih individu yang sedang sakit akan memerlukan empati
khususnya dari orang terdekatnya. Dukungan emosional yang dapat diberikan
adalah adanya sikap menerima, memiliki komitmen akan perawatan individu
yang sedang sakit, melakukan social involvement terlebih kepada para ahli agar
penyakit dapat tertangani dengan baik, serta memiliki kasih sayang
2. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan diperlukan setiap individu untuk menciptakan dan
mengembangkan harga diri positif. Dukungan yang dapat diberikan antara lain
affirmation yaitu sikap penegasan atau secara aktif mencari informasi tentang
hal-hal yang perlu dilakukan untuk perawatan. Kemudian listening atau
mendengarkan arahan tenaga ahli secara aktif serta discussion atau
mendiskusikan permasalahan terkait perawatan anggota keluarga yang sakit
3. Dukungan informasi
Sebuah keluarga yang memiliki anggota yang sedang sakit harus aktif mencari
informasi terkait penyakit yang sedang diderita. Informasi-informasi tersebut
terkait seputar penyakit, manajemen tindakan perawatan, respon terhadap
permasalahan, pengambilang keputusan, serta alternatif perawatan yang
diperlukan
4. Dukungan instrumental
Pada individu yang sakit, perawatan yang dilakukan bukan hanya sebatas
diserahkan seutuhnya pada praktisi kesehatan. Keluarga juga harus
memberikan dukungan berupa sumber daya, waktu, care help yang berupa
pemberian bantuan fisik dan pengawasan, dukungan finansial, serta dukungan
aktifitas.
9
Kemudian, mendukung pernyataan tersebut, Soewadi (2003) lebih lanjut
menyebutkan bentuk penerimaan orang tua terhadap anak yang sedang sakit adalah:
1. Mengerti dengan keadaan anak apa adanya
2. Paham tentang kondisi anak, dapat menerima kondisi anak yang sakit
3. Sadar akan kelebihan dan kekurangan anak atas apa yang bisa dan tidak bisa
dilakukannya
4. Mengupayakan kebutuhan dan perawatan anak
5. Paham tentang sebab-sebab kondisi anak
6. Tidak merasa rendah diri karena kondisi anak yang berbeda dengan orang lain
7. Mendekatkan diri dengan anak agar tercipta ikatan batin yang kuat
8. Mencintai anak tanpa syarat
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga yang memiliki
sikap penerimaan yang baik kepada anak yang sedang sakit adalah menerima
kondisi anak apa adanya, merasa bahagia merawat anak, tidak merasa rendah diri
dan tidak takut akan anggapan orang lain tentang anaknya, mengupayakan
kesembuhan dan perawatan anak, serta memiliki kesadaran penuh bahwa anak
harus disayangi dan dicintai terlepas dari kondisi anak
Konseling Keluarga Humanistik
Konseling keluarga adalah sebuah metode yang difokuskan dan disusun untuk
memecahkan masalah-masalah dalam keluarga dalam usahanya untuk
menyelesaikan masalah pribadi klien (Golden dan Sherwood, dalam Latipun,
2001). Sedangkan menurut Crane (dalam Latipun, 2001) konseling keluarga
merupakan proses intervensi pada orang tua klien selaku individu yang memiliki
pengaruh besar dalam menetapkan sistem-sistem dalam keluarga, dengan kata lain
menentukan arah perilaku anggota keluarganya. Konseling keluarga dilakukan
karena konselor menganggap bahwa masalah klien bukan semata karena masalah
pribadi melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain dalam keluarga. Proses
konseling akan terwujud dalam komunikasi antara konselor dan konseli, yang
dimana konselor akan menggunakan teknik-teknik tertentu dan hal tersebut
bertujuan untuk memperlancar komunikasi antar individu serta memungkinkan
konseli menemukan penyelesaian atas masalah yang sedang dibahas dalam kegiatan
konseling (Winkel, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling keluarga
merupakan sebuah proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli dengan
melibatkan anggota keluarga untuk membantu menyelesaikan permasalahan
konseli.
Prinsip-prinsip yang harus ada dalam konseling keluarga adalah (Perez, dalam
Hasnida 2008) :
1. Tidak ada anggota lain yang kedudukannya lebih tinggi dari anggota keluarga
yang lain atau dalam kata lain kedudukan setiap anggota keluarga adalah sejajar
2. Diagnostik permasalahan keluarga tidak perlu diperhatikan
3. Konselor melibatkan diri selama intervensi berlangsung
10
4. Konselor mengupayakan agar semua anggota keluarga yang mengikuti
konsleing agar melibatkan diri secara aktif sehingga tercipta “intra family
involved”
5. Hubungan antara konselor dengan konseli bersifat sementara
6. Supervisi dilakukan secara aktual
Konseling keluarga dalam praktiknya memiliki tujuan yaitu menyembuhkan
permasalahan antara anggota keluarga dan diharapkan agar keluarga dapat melihat
realitas dengan mengesampingkan persepsi sehingga anggota keluarga dapat
mengembangkan struktur hubungan baru yang baik (Minuchin, dalam Latipun
2008). Tujuan-tujuan lain dalam konseling keluarga antara lain:
1. Agar anggota keluarga dapat belajar menghargai dinamika antar anggota
keluarga’
2. Membantu anggota keluarga agar menyadari fakta bahwa ketika ada anggota
keluarga yang mengalami masalah, maka hal tersebut akan mempengaruhi
persepsi dan interaksi anggota keluarga yang lain
3. Agar anggota keluarga bersama-sama dapat mengusahakan keseimbangan dan
keselarasan dalam keluarganya
4. Meningkatkan penghargaan antar anggota keluarga.
Pada penelitian ini konseling keluarga akan dilakukan menggunakan pendekatan
humanistik yaitu Client Centered Theraphy. Model pendekatan tersebut merupakan
hasil pemikiran Carl Rogers, dimana client centered theraphy merupakan teknik
terapi yang berpusat pada klien, yang dimana hubungan konselor dan klien akan
diwarnai kehangatan, rasa percaya, dan konseli diberikan kesempatan untuk
mengambil dan bertanggung jawab terhadap keputusannya, karena pada model
pendekatan ini tugas konselor adalah membantu konseli dalam mengenali
masalahnya sendiri hingga pada akhirnya dapat menemukan solusi bagi dirinya
sendiri (Corey, 2009). Pendekatan ini memandang bahwa seseorang yang memiliki
permasalahan pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi
masalahnya sendiri sehingga konseliakan dibiarkan untuk menemukan solusi
mereka sendiri terhadap masalah yang tengah mereka hadapi.
Peran dan fungsi harus dimiliki konselor dalam konseling keluarga dengan
pendekatan humanis antara lain :
1. Konselor menerima konseli secara netral dan apa adanya dengan segala masalah
yang dihadapinya.
2. Konselor harus memiliki sikap yang sejalan antara kata dan perbuatannya.
3. Konselor memahami dunia konseli yang dilihat dari sudut pandang konseli
dengan empati.
4. Konselor harus bersikap objektif.
5. Konselor mengembangkan penghargaan emosional antar anggota keluarga
6. Konselor menyerahkan keputusan akhir dan solusi di tangan klien
7. Konselor memfasilitasi klien untuk bebas mengungkapkan pandangannya
8. Konselor berusaha menghilangkan pembelaan diri dari keluarga agar
terciptanya konseling yang kondusif
9. Konselor menjadi penengah dari permasalahan keluarga serta menyampaikan
maksud dan pesan yang ingin diutarakan oleh klien dan anggota keluarganya
11
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konseling keluarga humanistik merupakan
sebuah proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli dengan melibatkan
anggota keluarga, yang dalam prosesnya konseli bersama keluarganya akan
didorong untuk menemukan solusi permasalahannya sendiri
Penerimaan Keluarga dan Konseling Keluarga Humanistik
Sebuah keluarga dapat dikatakan mempunyai penerimaan keluarga yang baik
apabila peduli dan menyayangi anak terlepas dari kondisi anak tersebut (Hurlock,
2001). Penerimaan keluarga juga dapat diartikan dengan sikap perhatian kepada
anak, peka terhadap kepentingan-kepentingan anak, serta relasi yang penuh dengan
rasa bahagia ketika merawat dan membesarkan anak (Coopersmith 1976). Menurut
uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan keluarga adalah
suatu kondisi dimana sebuah keluarga dapat menerima kondisi anggota keluarganya
yang ditandai dengan sikap menyayangi, memberikan perhatian, menyediakan
kebutuhan-kebutuhan anggota keluarganya serta memiliki perasaan bahagia dalam
merawat anak dan anggota keluarganya yang lain
Agar tercapainya penerimaan keluarga yang baik, maka diperlukan sebuah
intervensi berupa konseling keluarga. Pendekatan yang akan dipakai oleh konselor
dalam konseling keluarga adalah dengan pendekatan humanistik. Dalam teori
humanistik, permasalahan yang terjadi merupakan akibat dari pilihan seseorang,
bukan permasalahannya. Pilihan-pilihan tersebut menjadi sebuah faktor penentu
yang mempengaruhi tindakan dan pemikiran seseorang. Pada konseling keluarga
humanistik tersebut, konselor akan mengarahkan dan memfasilitasi para konseli
agar secara aktif menyampaikan pendapatnya kepada masalah yang dihadapi dalam
keluarga sehingga para anggota keluarga yang mengikuti proses konseling akan
mengetahui pemikiran dan pendapat anggota yang lain dan secara bersama-sama
menemukan solusi bagi permasalahan mereka.
Pada kegiatan konseling keluarga, akan terdapat interaksi antara konselor dengan
konseli dimana konselor akan berempati terhadap masalah yang sedang dihadapi
klien sehingga terciptanya hubungan yang terapeutik. Selain itu juga akan ada
interaksi antar konseli agar mereka dapat mengetahui apa yang sedang dirasakan
oleh anggota keluarganya. Dengan cara tersebut diharapkan orang tua dan anggota
keluarga subjek berempati pada penderitaan anggota keluarganya sehingga
terciptanya penerimaan keluarga yang baik. Berdasarkan uraian di atas, maka
intervensi menggunakan metode konsling keluarga dengan pendekatan humanistik
dianggap efektif dalam membentuk penerimaan keluarga pada pasien HIV
12
Kerangka Berpikir
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, keluarga penderita HIV tersebut akan diberi
perlakuan berupa konseling keluarga dengan pendekatan humanistik dan
diharapkan keluarga dari penderita HIV tersebut akan mengalami perubahan berupa
meningkatnya penerimaan akan kondisi keluarganya
Hipotesa
Konseling keluarga humanistik mampu meningkatkan penerimaan keluarga pada
keluarga dari penderita HIV.
KELUARGA DARI PENDERITA HIV
Penerimaan keluarga :
1. Shock
2. Denial
3. Grief and Depression
4. Ambivalence
5. Guilt
6. Anger
7. Shame and Embarassment
8. Bargaining
9. Adaptation and reorganization
10. Acceptance and Adjusment
Konseling Keluarga Humanistik :
1. Tahap Orientasi dan Eksplorasi: membangun rapport, pre-test,
mengemukakan tujuan dan manfaat serta peraturan konseling
2. Tahap Transisi : kesiapan konsli dan gambaran proses konseling
3. Tahap Working Stage 1 &2 : penjelasan dan pembahasan masalah
4. Evaluasi : Kesimpulan seluruh kegiatan, pemaparan hasil konseling
5. Penutupan : post test dan feedback, dan menyampaikan
perkembangan permasalahan konseli
6. Follow up : memantau perkembangan permasalahan konseli
Penerimaan meningkat
MENERIMA
TIDAK MENERIMA
13
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Peneliti akan menggunakan jenis penelitian eksperimen karena peneliti ingin
mengetahui bagaimana konseling keluarga dengan pendekatan humanistik dapat
meningkatkan dan membentuk penerimaan keluarga pada keluarga dari penderita
HIV. Eksperimen adalah cara untuk mengetahui hubungan sebab dan akibat antara
faktor-faktor yang sengaja dimunculkan oleh peneliti dengan cara mengurangi atau
mengeliminasi faktor lain yang dapat mengganggu jalannya eksperimen, hal
tersebut dimaksudkan karena eksperimen bertujuan untuk melihat dampak dari
sebuah perlakuan (Arikunto, 2013).
Dalam praktiknya peneliti akan menggunakan desain penelitian Pre Experimental
Design dimana penelitian akan dilaksanakan tanpa adanya kelompok kontrol dan
yang diutamakan adalah perlakuan yang diberikan tanpa pengendalian terhadap
variabel-variabel yang berpengaruh (Arikunto, 2013). Model penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian adalah One Group Pre Test and Post Test. Rancangan
penelitian tersebut merupakan salah satu model dari Pre Experimental Design
dimana rancangan eskperimen hanya akan dilaksanakan pada satu kelompok.
Sebelum diberikan perlakuan, terlebih dahulu akan diberikan pre test. Setelah
perlakuan selesai dilaksanakan, kemudian akan diberikan post test. Hal tersebut
ditujukan agar peneliti mengetahui perbedaan dan efektifitas dari perlakuan yang
telah dilakukan
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Rancangan Penelitian
X1 ------ T ------ X2
Keterangan:
X1 = pengukuran sebelum perlakuan/intervensi (pre test)
T = perlakuan/intervensi
X2 = pengukuran setelah perlakuan/intervensi (post test)
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan perlakuan yang nantinya akan dilihat
pengaruh yang terjadi sebagai dampak dari perlakuan yang diberikan. Adapun tahap
pelaksanaannya sebagai berikut:
1. Pre test
Tujuan dari pre test adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan dari keluarga
penderita HIV sebelum dilakukan perlakuan berupa konseling keluarga dengan
pendekatan humanistik
2. Perlakuan
Tujuan dari perlakuan adalah untuk meningkatkan penerimaan dari keluarga
penderita HIV dengan konseling keluarga dengan pendekatan humanistik 3. Post test
Tujuan dari post test adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan dari keluarga
penderita HIV setelah dilakukan perlakuan berupa konseling keluarga dengan
pendekatan humanistik
14
Subjek Penelitian
Pengambilan subjek dilakukan menggunakan teknik purposive sampling dimana
pengambilan sampel sesuai dengan yang dikehendaki dengan tujuan penelitian
(Latipun, 2015). Peneliti melakukan wawancara kepada para pengurus LSM yang
menaungi perkumpulan HIV di Puskesmas Turen serta self report kepada para
ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) dan keluarganya di LSM tersebut. Peneliti
kemudian menentukan bahwa Peneliti kemudian menemukan bahwa subjek adalah
sebuah yang memiliki penerimaan yang rendah pada anggota keluarganya yang
mengidap HIV.
Variabel dan Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yakni variabel bebas (X) dan variabel
terikat (Y). Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah konseling keluarga
humanistik dan variabel terikatnya (Y) adalah penerimaan keluarga.
Konseling keluarga dengan pendekatan humanistik adalah sebuah proses
pemberian perlakuan pada sebuah keluarga yang memiliki penerimaan yang rendah
pada salah satu anggota keluarganya yang sedang mengidap HIV. Melalui
pendekatan humanistik, konselor berperan sebagai pemberi fasilitas dan penengah
agar para konseli dapat dengan bebas mengemukakan pendapatmya. Tujuan dari
konseling keluarga ini adalah agar antar anggota keluarga dapat mengetahui
pemikiran masing-masing serta bersama-sama menemukan solusi terbaik untuk
permasalahan yang sedang mereka hadapi yaitu dalam upaya meningkatkan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya yang sedang mengidap HIV.
Penerimaan keluarga adalah suatu kondisi yang sedang diupayakan melalui proses
konseling pada sebuah keluarga yang memiliki anggota yang sedang mengidap
HIV. Mereka kurang dapat menerima kondisi tersebut yang ditandai dengan sikap
kurang menyayangi dan memberikan perhatian, sacara minimal menyediakan
kebutuhan-kebutuhan, serta memiliki perasaan kurang bahagia dalam merawat
anggota keluarganya yang sedang mengidap HIV. Keluarga tersebut terdiri dari
kedua orang tua dan tiga orang anak yang salah satunya sedang mengidap HIV.
Diharapkan dengan penerimaan keluarga yang baik akan memberikan dampak yang
baik pula bagi penderita HIV tersebut.
Data penelitian didapatkan dari instrumen penelitian yaitu Skala Penerimaan
Keluarga yang disusun oleh Rizqy Fauziah (2010) pada skripsinya. Skala ini
memiliki 28 item yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen
penelitian ini menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2012), skala Likert
diperuntukkan untuk mengukur pendapat, sikap, dan persepsi seseorang maupun
sekelompok orang mengenai sebuah fenomena sosial (Sugiyono, 2012). Dalam
skala penerimaan keluarga yang disusun oleh Rizqy Fauziah (2010) terdapat 4
pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS
(Sangat Tidak Setuju). Skor empat pilihan jawaban dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
15
Tabel 2.Alternatif Jawaban Skala Penerimaan Keluarga
No Jawaban Pernyataan
Favorable Unfavorable
1. Sangat Setuju(SS) 3 0
2. Setuju (S) 2 1
3. Tidak Setuju (TS) 1 2
4. Sangat Tidak Setuju (STS) 0 3
Pada penelitian ini menggunakan skala penerimaan keluarga dimana kelas interval
skala tersebut adalah rentangan skor 0-3. Rentangan skor tersebut mewakili 4
kriteria penerimaan keluarga yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah.
Pada aspek shock, denial, grief, ambivalence, guilt, anger, shame, dan bargaining,
presentase berbanding terbalik dengan aspek atau perilaku yang tertera. Hal tersebut
dapat diartikan bahwa semakin besar presentase, maka aspek atau perilaku yang
ditunjukkan akan semakin kecil atau semakin sedikit. Kemudian untuk aspek
adaptation dan acceptance, presentase berbanding lurus dengan aspek atau perilaku
yang tertera. Hal tersebut berarti semakin besar presentase, maka aspek atau
perilaku yang ditunjukkan juga akan semakin besar atau semakin banyak.
Kemudian, penentuan kriteria akan didasarkan pada perhitungan skor dengan cara
sebagai berikut.
Tabel 3. Kriteria Penerimaan Keluarga
No Skor Interval Klasifikasi
1. 64 ≤ Skor ≤ 84 76% ≤ % ≤ 100% Sangat Tinggi
2. 43 ≤ Skor ≤ 63 50% ≤ % ≤ 75% Tinggi
3. 22 ≤ Skor ≤ 42 25% ≤ % ≤ 50% Rendah
4. 0 ≤ Skor ≤ 21 0% ≤ % ≤ 25% Sangat Rendah
Indeks Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian
Peneliti menggunakan skala penerimaan keluarga yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya oleh Fauziah (2010) menggunakan SPSS 17 for Windows dengan
formula Pearson’s Product Moment dan diperoleh r tabel sebesar 0,334. Dengan
mengacu kepada hasil tersebut, dari 70 item yang diujikan, tersisa 28 item yang
valid yang selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat penerimaan keluarga.
Uji reliabilitas dilakukan Fauziah (2010) menggunakan rumus Alpha Cronbach
dengan taraf signifikasi sebesar 5%. Selanjutnya diperoleh r hitung sebesar 0.8193.
Adapun dengan melihat taraf signifikan sebesar 5% dengan N=35 maka diperoleh
nilai rtabel sebesar 0.334. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa rhitung
lebih besar dari rtabel, yang berarti bahwa instrumen skala penerimaan keluarga yang
telah diuji reliabel.
16
Prosedur dan Analisa Data
Penelitian yang akan dilakukan memiliki beberapa tahap, antara lain :
Persiapan, pada tahap ini peneliti meminta izin kepada lembaga yang menanungi
perkumpulan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) yang kemudian dilanjutkan
dengan melakukan asesmen awal berupa wawancara kepada kepala lembaga,
pengurus, dan dilanjutkan dengan para pasien. Peneliti memilih subjek dengan cara
direkomendasikan beberpa orang yang tampak bermasalah oleh para pengurus dan
kemudian peneliti menggali lebih dalam permasalahan-permasalahan yang sedang
dihadapi oleh beberapa pasien. Berdasarkan hasil wawancara pada asesmen awal
yang dilakukan kepada 7 orang, peneliti memutuskan untuk meneliti lebih lanjut
permasalahan yang sedang dihadapi oleh sdr. R dimana subjek merasa bahwa
keluarganya kurang menerima kondisinya saat ini yang sedang menjadi pasien HIV.
Selanjutnya, peneliti melakukan asesmen lanjutan kepada keluarga subjek yang
terdiri dari kedua orang tua, nenek dan dua saudara subjek..
Intervensi, peneliti menentukan untuk memakai metode intervensi berupa
konseling keluarga karena berdasarkan asesmen permasalahan subjek bersumber
dari permasalahan keluarga. Kegiatan konseling akan dilakukan dalam beberapa
kali pertemuan. Peneliti menggunakan teknik konseling keluarga dimana proses
konseling akan dibagi menjadi enam tahap yaitu tahap orientasi, tahap transisi,
tahap working stage 1, working stage 2, tahap penutupan, dan evaluasi (lihat
lampiran)
Analisa dan hasil, setelah kegiatan konseling usai dilaksanakan, peneliti akan
membuat analisa dari keseluruhan kegiatan konseling yang telah dilakukan.
Kemudian konseli akan mengolah data hasil pre test dan post test menggunakan
program SPSS for windows 21 dengan teknik analisis non-parametrik karena subjek
kurang dari 30 orang. Uji yang akan dilakukan adalah uji Wilcoxon untuk
mengetahui pengaruh atas kegiatan konseling terhadap penerimaan keluarga para
konseli.
Diskusi dan kesimpulan, peneliti kemudian menggunakan hasil uji yang telah
dilakukan untuk kemudian dibahas dan dikaitkan dengan teori yang ada.
Selanjutnya peneliti akan menyimpulkan keseluruhan hasil penelitian untuk
menetahui apakah hipotesa peneliti dapat diterima atau tidak
17
HASIL PENELITIAN
Hasil dari penelitian penerimaan keluarga penderita HIV melalui konseling
keluarga dengan teknik humanistik adalah sebagi berikut:
Tabel 5. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek Usia Jenis Kelamin
P
SW
BS
YI
S
R
55 tahun
54 tahun
26 tahun
24 tahun
73 tahun
19 tahun
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Menurut tabel 5, diketahui bahwa subjek penelitian berjumlah enam orang dan
berhubungan keluarga. Rentang usia dari 19 tahun hingga 73 tahun. Jenis kelamin
subjek adalah dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Keenam subjek
merupakan konseli dalam konseling keluarga dengan peneliti sebagai konselor.
Namun hanya lima orang yang diberikan skala Penerimaan Keluarga untuk Pre-test
dan Post-test, tidak termasuk subjek pasien HIV karena peneliti ingin mengukur
tingkat penerimaan keluarga pasien HIV tersebut. Berikut adalah hasil pre test dan
post test para subjek :
Tabel 6. Perbandingan Skor Penerimaan Keluarga Sebelum dan Setelah
proses konseling
No. Subjek Pre test Post test
Jumlah Skor Kategori Jumlah Skor Kategori
P 35 Rendah 61 Tinggi
SW 37 Rendah 63 Tinggi
BS 25 Rendah 71 Sangat Tinggi
YI 31 Rendah 74 Sangat Tinggi
S 36 Rendah 71 Sangat Tinggi
Berdasarkan tabel 6, semua subjek mengalami kenaikan skor setelah diberikan
perlakuan berupa konseling keluarga dengan teknik humanistik. Subjek P dan SW
yang merupakan ayah dan ibu subjek mengalami peningkatan dari skor yang masuk
dalam kategori rendah manjadi kategori tinggi. Kemudian BS, YI dan S yang
merupakan kakak-kakak dan nenek subjek mengalami peningkatan dari skor yang
masuk kategori rendah menjadi skor yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
Kemudian setelah didapatkan hasil pre test dan post test di atas, peneliti mengujinya
dengan uji Wilcoxon. Berikut adalah deskriptif uji Wilcoxon dari pre test dan post
test
18
Tabel 7. Deskriptif uji Wilcoxon data pre test dan post test
N Rata-Rata Skor Penerimaan Keluarga
P Pre test Post test
5 32.80 68.00 0.042
Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa rata-rata skor penerimaan keluarga berubah
dari 32,80 yang masuk dalam kategori rendah menjadi 68,00 yang masuk dalam
kategori sangat tinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan skor
penerimaan keluarga setelah diberikan perlakuan. Peningkatan tersebut didukung
dengan hasil uji Wilcoxon dengan nilai probabilitas sebesar 0.042 yang berarti
terdapat peningkatan yang signifikan karena nilai P < 0.05. Kemudian berikut
adalah perbandingan presentase skor pada setiap aspek penerimaan keluarga
sebelum dan sesudah diberikan perlakuan
Tabel 8. Perbandingan Presentase Skor Pre Test dan Post Test pada Setiap
Aspek
No. Aspek
Pre test Post test
Skor
(%) Kategori
Skor
(%) Kategori
1 Shock 67% Tinggi 83% Sangat Tinggi
2 Denial 64% Tinggi 84% Sangat Tinggi
3 Grief 42% Rendah 64% Tinggi
4 Ambivalence 28% Rendah 73% Tinggi
5 Guilt 23% Sangat Rendah 70% Tinggi
6 Anger 33% Rendah 80% Sangat Tinggi
7 Shame 37% Rendah 80% Sangat Tinggi
8 Bargaining 43% Rendah 90% Sangat Tinggi
9 Adaptation 30% Rendah 90% Sangat Tinggi
10 Acceptance 38% Rendah 90% Sangat Tinggi
Berdasarkan tabel 9, perlu diketahui bahwa pada aspek shock, denial, grief,
ambivalence, guilt, anger, shame, dan bargaining, presentase berbanding terbalik
dengan aspek atau perilaku yang tertera. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
semakin besar presentase, maka aspek atau perilaku yang ditunjukkan akan semakin
kecil atau semakin sedikit. Kemudian untuk aspek adaptation dan acceptance,
presentase berbanding lurus dengan aspek atau perilaku yang tertera. Hal tersebut
berarti semakin besar presentase, maka aspek atau perilaku yang ditunjukkan juga
akan semakin besar atau semakin banyak. Dapat diketahui dari tabel 8 bahwa
seluruh aspek mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah diberikan
perlakuan.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa skor
penerimaan keluarga mengalami peningkatan setelah diberikan perlakuan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterim yaitu konseling keluarga dapat
meningkatkan penerimaan pada keluarga penderita HIV
19
DISKUSI
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
penerimaan pada keluarga penderita HIV setelah diberikan perlakuan berupa
konseling keluarga dengan teknik humanistik. Peningkatan tersebut dibuktikan
dengan perbedaan yang cukup siginifikan antara rata-rata skor pre test dan post test.
Rata-rata skor pre test adalah 32.80 dan masuk dalam kategori rendah. Sedangkan
arat-rata skor post test adalah 68.00 dan masuk dalam kategori tinggi. Selain itu,
peningkatan dan keefektifan perlakuan yang dilakukan juga dibuktikan dengan
hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon dimana nilai P = 0.042 atau kurang dari
batas normal yaitu 0.05. Hal tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan
setelah diberikan perlakukan berupa konseling keluarga
Selanjutnya peneliti akan membahas mengenai proses penerimaan keluarga
penderita HIV. Pada awal proses konseling, tepatnya pada tahap orientasi, peneliti
memberikan pre test berupa skala penerimaan keluarga yang terdiri dari sepuluh
aspek penerimaan yaitu shock (merasa terkejut), denial (penolakan), grief (duka),
ambivalence (pertentangan), guilt (rasa bersalah), anger (kemarahan), shame
(merasa malu), bargaining (menawar), adaptation (penyesuaian), serta acceptance
(penerimaan). Seluruh keluarga pada umumnya melewati tahapan-tahapan
penerimaan tersebut, yang berbeda adalah tingkatan dan kadar penerimaan yang
mereka rasakan terhadap anggota keluarganya yang sedang HIV. Berdasarkan hasil
analisis, pada aspek shock dan denial masing-masing mendapatkan presentase 67%
dan 64%. Keduanya masuk dalam kategori tinggi. Pada saat peneliti memulai
proses konseling, semua konseli sudah melewati tahap keterkejutan dan
penyangkalan. Para konseli menuturkan bahwa mereka sudah tidak merasa terkejut
maupun menyangkal kondisi dari keluarga mereka karena sudah lebih dari 6 bulan
sejak subjek R didiagnosa mengidap HIV. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Wardhani (2013) dimana dijelaskan bahwa semakin lama pasien mengalami sakit,
makan tingkat penerimaan akan semakin besar pula karena keluarga sudah mulai
beradaptasi. Kemudian setelah diberikan perlakuan, presentase kedua aspek
tersebut juga meningkat masing-masing adalah 83% dan 84% yang masuk dalam
kategori sangat tinggi.
Setelah tahapan denial, terdapat tahap berduka atau grief. Pada aspek grief,
presentase yang didapatkan adalah 42% dan masuk dalam kategori rendah.
Meskipun grief termasuk tahapan awal dalam penerimaan dan mungkin sudah
dilewati oleh keluarga tersebut, namun pada kenyataannya skor pre test semua
subjek pada aspek grief masuk dalam kategori rendah. Hal tersebut berkaitan
dengan hilangnya harapan keluarga atas kondisi ideal yang mereka harapkan
tercipta dalam keluarga mereka. Selama proses konseling, hampir pada setiap sesi
ibu, nenek dan kakak perempuan korban selalu menangis, dan sesekali kakak laki-
laki dan ayah subjek juga tampak menangis meskipun tidak sesering yang lain.
Menurut Kubler-Ross (2008) bahwa ketika seseorang sampai pada tahap grief atau
berduka, maka akan muncul aspek lain yang mengikuti kemunculan rasa berduka
tersebut, di antaranya adalah pertentangan dan juga rasa bersalah. Presentase skor
dalam aspek pertentangan adalah 28% dan masuk dalam kategori rendah. Bentuk
perilaku pertentangan (ambivalence) yang muncul adalah merasakan kebingungan
20
atas apa yang harus dilakukan. Biasanya mereka akan menyalahkan keadaan,
merasakan ketakutan atas konsekuensi yang akan dihadapi selanjutnya atau bahkan
menyalahkan diri sendiri (guilt). Dapat diketahui bahwa presentase aspek guilt atau
rasa bersalah adalah 23% dan masuk dalam kategori sangat rendah. Melalui proses
konseling, peneliti menyimpulkan bahwa semua konseli merasa sangat bersalah
karena sudah gagal mendidik dan menjaga anggota keluarga mereka sehingga
sampai terkena penyakit yang sangat parah. Rasa bersalah pada umumnya
memakan waktu yang relatif lama. Meskipun sudah mencapai tahapan selanjutnya
biasanya rasa bersalah akan tetap ada meskipun nantinya akan menghilang seiring
dengan penerimaan yang semakin meningkat (Kubler-Ross, 2008)
Selanjutnya, terdapat aspek anger atau kemarahan yang dirasakan keluarga
terhadap masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap ini, terdapat dua cara untuk
melampiaskan kemarahan yang sedang dirasakan. Yang pertama adalah dengan
marah dan kecewa terhadap diri sendiri karena tidak berhasil menjaga keluarganya,
dan yang kedua adalah dengan displacement atau peralihan sasaran kemarahan
(Kubler-Ross, 2008). Biasanya sasaran kemarahan adalah orang terdekat, para ahli
yang mendiagnosa dan merawat, atau bahkan menyalahkan anggota keluarganya
yang sakit. Berdasarkan hasil pre test, presentase aspek kemarahan adalah 33% dan
masuk dalam kategori rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata konseli
masih merasa marah dan kecewa terhadap masalah yang sedang mereka hadapi.
Pada saat sesi konseling, tampak bahwa para konseli terbawa emosi dan terkadang
saling menyalahkan satu sama lain atas kondisi yang sedang menimpa keluarganya.
Nampak bahwa kakak sulung korban, BS, merupakan konseli yang selama proses
konseling terlihat paling menunjukkan kemarahannya. BS merasa bahwa dirinya
sudah gagal menjadi kakak yang baik dan kemudian marah terhadap diri sendiri.
Pada sesi lain konseling, sesekali BS dan juga ayah subjek, P, akan menunjukkan
kemarahannya secara verbal pada subjek R karena mereka menganggap R lalai
dalam menjaga nama baik keluarga. Ibu, nenek, dan kakak perempuan subjek juga
terkadang menampakkan emosi serta kekesalannya namun tidak diutarakan.
Notoadmodjo (2003) menjelaskan bahwa bentuk kemarahan pada proses
penerimaan merupakan wujud dari kekecewaan karena terdapat anggota yang
melanggar norma dalam keluarga dan menjadikan keluarga tersebut tidak ideal
seperti yang diharapkan.
Ketika membicarakan mengenai menjaga nama baik keluarga seperti yang
dikeluhkan oleh para konseli terhadap subjek R yang menderita HIV, perasaan yang
dirasakan selain marah adalah perasaan malu (shame). Sebagai makhluk sosial yang
hidup di tengah masyarakat, tentu saja para subjek akan peduli dengan apa yang
dipikirkan orang lain tentang kondisi anggota keluarganya.Selain dampak dari
penyakit HIV itu sendiri yang memang sangat berbahaya untuk tubuh, hal lain yang
ditakutkan oleh penderita HIV adalah diskriminasi dari masyarakat karena
anggapan bahwa HIV adalah penyakit yang didapatkan dari perbuatan yang tidak
baik. Kekhawatiran akan dikucilkan oleh masyarakat tidak hanya berdampak pada
kehidupan sosial penderita itu sendiri, melainkan juga berdampak pada keluarga
dan orang terdekatnya. Gargiuolo (dalam Fauziah, 2010) menuturkan bahwa sikap
lingkungan yang negatif akan menurunkan harga diri orang tua dan keluarga karena
mereka dianggap sudah gagal mendidik keluarganya dengan baik. Pada tahap
21
shame ini, presentase yang diperoleh dari hasil pre test adalah sebesar 37%
(kategori rendah) yang berarti bahwa keluarga masih merasa malu atas kondisi
subjek R yang mendeirta HIV. Bahkan ayah subjek sesekali melarang R untuk
terlalu sering keluar rumah karena takut akan diskriminasi masyarakat sekitar.
Aspek lain yang muncul dalam proses penerimaan adalah bargaining atau tawar
menawar. Pada tahap bargaining, keluarga akan berusaha untuk menenangkan diri
sendiri dengan pengandai-andaian “seandainya saja...”, “apabila saya lebih ...”, dan
pengandaian lainnya yang dimaksudkan untuk menghibur dan menenangkan diri
(Kubler-Ross, 2008). Pada fase bargaining ini, pada umumnya keluarga akan
mencoba berdoa lebih taat dan meminta serta membuat perjanjian kepada Tuhan
agar masalahnya dimudahkan. Berdasarkan hasil konseling, dapat diketahui bahwa
yang paling sering melakukan pengandaian adalah ayah dan ibu subjek. Mereka
sering membandingkan masa lalu dan masa sekarang dan berandai-andai jika saja
keadaan kembali seperti sedia kala. Hal tersebut sesuai dengan nilai pre test dimana
ayah dan ibu subjek memiliki skor aspek bargaining terendah dibandingkan
anggota keluarga yang lain. Secara keseluruhan, aspek bargaining memperoleh
presentase 43% dan masuk dalam kategori rendah.
Tahap akhir yang merupakan tujuan dari seluruh aspek yang telah dibahas adalah
adaptasi dan penerimaan. Pada pre test, kedua aspek tersebut masuk dalam kategori
rendah dengan masing-masing presentase yaitu 30% dan 38%. Kedua aspek
tersebut tentu saja dipengaruhi oleh aspek-aspek sebelumnya yang merupakan
indikator dari sebuah penerimaan. Dikarenakan rata-rata aspek sebelumnya masuk
dalam kategori rendah, maka skor untuk aspek adaptasi dan penerimaan juga ikut
rendah.
Dapat diketahui bahwa keluarga subjek R pada awalnya belum sepenuhnya
menerima kondisi R yang sedang menderita HIV. Norbeck (2000) mengatakan
bahwa ketika keluarga telah menerima kondisi anaknya yang memiliki kebutuhan
khusus, maka keluarga tersebut akan secara maksimal memberikan dukungan-
dukungan yang diperlukan. Namun pada praktiknya, keluarga subjek kurang
memberikan dukungan-dukungan tersbut sehingga hal tersebut berdampak pada
subjek R yang merasa dirinya dikucilkan dalam keluarganya sendiri. Setelah
diberikan perlakuan berupa konseling keluarga yang berlangsung selama enam sesi,
diketahui bahwa semua subjek mengalami peningkatan dalam hal penerimaan
keluarga. Berdasarkan pada skor post test, ayah dan ibu subjek berada dalam
kategori penerimaan yang tinggi setelah diberikan perlakuan. Sedangkan tiga orang
yaitu kedua kakak subjek dan juga nenek subjek berada dalam kategori penerimaan
keluarga yang sangat tinggi. Menurut Wardhani (2013) saudara kandung dan
extended family seperti nenek atau bibi akan memiliki kemampuan penerimaan
lebih baik dengan proses penerimaan yang lebih singkat dibandingkan dengan
orang tua dari anak yang sakit. Teori tersebut sesuai dengan hasil yang telah
didapatkan oleh peneliti bahwa kakak serta nenek subjek memiliki skor penerimaan
yang lebih tinggi setelah perlakuan. Waku yang mereka perlukan untuk mulai
menerima kondisi dari keluarganya yang sedang HIV lebih siingkat dibandingkan
dengan ayah dan ibu subjek. Hal tersebut dikarenakan setiap orang tua memiliki
harapan-harapan yang tinggi atas anaknya serta adanya konsep anak idaman yang
22
diinginkan orang tua bahkan sebelum anak mereka lahir (Hurlock, 2000).
Kemudian ketika anak mereka mengalami kondisi di luar perkiraan, mereka akan
merasa kecewa dan kurang dapat menerima. Besarnya kasih sayang akan
berbanding lurus dengan kekecewaan yang akan mereka rasakan ketika anak
mereka tidak memenuhi konsep “anak idaman” yang mereka inginkan. Kemudian
lebih lanjut disampaikan oleh Wardhani (2013) bahwa pada umumnya ibu (wanita)
akan lebih kuat secara mental maupun fisik jika dibandingkan dengan ayah (laki-
laki) dalam lingkungan yang kurang menguntungkan maupun kurang
menyenangkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dimana kedua skor baik
pre test maupun post test ibu lebih besar daripada ayah subjek.
Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan keluarga subjek pada anggota
keluarganya yang sedang mengidap HIV adalah karena cara pemecahan masalah
dalam keluarga mereka. Melalui proses konseling, peneliti mengetahui bahwa
dalam keluarga subjek, mereka jarang sekali membicarakan permasalahan mereka.
Apabila terdapat permasalahan dalam keluarga mereka, rata-rata setiap orang hanya
akan memendamnya sendiri atau melampiaskannya dengan cara menghindari
sumber masalah maupun menunjukkan emosi mereka tanpa membahas solusi atas
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Berdasarkan hasil pre test diketahui
bahwa semua konseli memiliki tingkat penerimaan keluarga yang rendah sebelum
diberikan perlakuan. Rendahnya tingkat penerimaan mereka salah satunya adalah
karena pemilihan problem solving dalam keluarga mereka. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Hurlock (2002) dimana problem solving dan tipe pengasuhan
yang dipiilih dalam keluarga akan merefleksikan bagaimana mereka bersikap
terhadap keluarganya Ketika keluarga memilih untuk membiarkan permasalahan
tanpa mencari solusi, hal tersebut juga akan mempengaruhi penerimaan mereka.
Kemudian, faktor-faktor lain yang mempengaruhi penerimaan di antaranya adalah
karena kurangnya pengetahuan mereka tentang penyakit HIV itu sendiri.
Berdasarkan hasil asesmen dan juga pembicaraan lebih lanjut ketika proses
konseling, keluarga sering kali melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan kepada anak mereka. Salah satu contohnya adalah membedakan tempat
cuci baju, makanan, dan beberapa perbedaan lainnya. Keluarga melakukan hal
tersebut dikarenakan mereka takut akan tertular serta sebagai hukuman bagi anak
mereka karena sudah mempermalukan nama keluarga. Notoadmojo (2003)
mengutarakan bahwa pendidikan dan pengetahuan akan berpengaruh dalam
kesejahteraan individu yang membawa ke arah kesejahteraan keluarga. Selain itu,
faktor lainnya adalah karena perekonomian. Obat anti retrorival (ARV) yang
diperlukan penderita HIV untuk dikonsumsi dengan rutin guna mencegah adanya
komplikasi memiliki harga yang cukup mahal. Meskipun dari pemerintah sendiri
sudah menyediakan tunjangan dan bantuan lainnya, ada beberapa obat yang harus
dibeli secara mandiri. Karena kondisi itu lah yang menyebabkan keluarga merasa
sangat direpotkan atas kondisi anaknya dan hal tersebut juga mempengaruhi
penerimaan keluarganya. Selain faktor-faktor di atas, faktor yang juga sangat
penting yang mempengaruhi penerimaan keluarga adalah karena anggapan dan
stereotype masyarakat atas penyakit HIV. Hawari (2003) lebih lanjut mengutarakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan orang dengan sakit parah
adalah karena anggapan masyarakat. HIV sendiri dipandang masyarakat sebagai
23
penyakita yang sangat memalukan dan timbul atas konseskuensi perbuatan yang
tidak terpuji. Anggapan masyarakat itulah yang turut andil dalam penerimaan
keluarga karena mereka berfikiran jika masyarakat juga tidak menerima, maka
keluarga juga akan sulit untuk menerima kondisi tersebut. Dampaknya, penderita
HIV akan merasa terisolasi dan terdiskriminasi karena lingkungan tempat tinggal
yang tidak bersahabat.
Konseling keluarga humanistik yang telah dilakukan diketahui telah meningkatkan
penerimaan keluarga pada penderita HIV tersebut. Selain rata-rata skor penerimaan
keluarga yang meningkat dari 32.80 (kategori rendah) menjadi 68.00 (kategori
tinggi), presentase semua aspek dalam penerimaan juga ikut meningkat. Proses
konseling yang sudah dilakukan telah berhasil mengembangkan penghargaan
emosional antar anggota keluarga dan hal tersebut juga berpengaruh kepada pola
pikir dan juga penerimaan keluarga terhadap subjek R yang menderita HIV.
Menurut penuturan para konseli, dengan adanya fasilitas konseling, mereka bisa
secara bebas menyampaikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan tanpa perlu
takut tidak dihiraukan. Konseli juga berpendapat bahwa solusi-solusi yang mereka
temukan sendiri dibantu dengan anggota keluarganya sangat membantu mereka di
kehidupan sehari-hari khususnya dalam memberikan dukungan yang maksimal
bagi anggota keluarga mereka yang sedang sakit. Penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan penerimaan keluarga setelah diberi perlakuan
konseling keluarga dengan teknik humanistik. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai
probabilitas uji Wilcoxon (p = 0.042, p <0.05). Sehingga hal tersebut membuktikan
bahwa konseling keluarga dengan teknik humanistik merupakan sarana yang efektif
untuk meningkatkan penerimaan pada keluarga penderita HIV.
Adapun keterbatasan dalam penelitian adalah peneliti merangkap sebagai konselor.
Hal tersebut merupakan sebuah keterbatasan dikarenakan jika peneliti menjadi
konselor, akan mungkin tercipta suasana konseling yang kurang kondusif dan bias.
Namun peneliti dalam praktiknya mengusahakan agar proses konseling tetap
berjalan kondusif dengan cara mengobservasi dan menuliskan hasil dengan
obyektif. Keterbatasan yang lain adalah konselor tidak dapat mengamati
perkembangan konseli secara rutin.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Melalui hasil penelitian eksperimen yang telah dilakukan, diketahui bahwa terdapat
kenaikan yang signifikan pada penerimaan keluarga setelah dilakukannya
konseling keluaga dengan teknik humanistik (nilai p = 0.042 ; p < 0.05). Dengan
analisis tersebut membuktikan bahwa pengaplikasian konseling keluarga dengan
pendekatan humanistik mampun meningkatkan penerimaan keluarga penderita
HIV. Implikasi yang diharapkan peneliti pada lembaga-lembaga yang menaungi
ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) serta pemerintah melalui Dinas Kesehatan,
agar dapat memberikan bantuan bukan hanya kepada ODHA melainkan juga
kepada keluarga dari ODHA itu sendiri. Bantuan yang diberikan dapat berupa
konseling keluarga maupun sosialisasi tentang tata cara merawat ODHA.
Kemudian, perlu juga untuk memberikan informasi seputar HIV dan AIDS serta
24
bagaimana berinteraksi dengan ODHA kepada masyarakat umum. Pemberian
informasi tersebut bertujuan agar mengurangi diskriminasi masyarakat terhadap
ODHA dikarenakan informasi yang salah. Implikasi bagi peneliti-peneliti
selanjutnya agar menggali faktor-faktor lain yang mungkin dapat meningkatkan
penerimaan keluarga pada ODHA. Selain itu, diharapkan peneliti selanjutnya juga
mengkaji faktor-faktor selain penerimaan keluarga yang dapat bermanfaat bagi
ODHA agar dapat hidup dengan nyaman tanpa takut menerima respon yang negatif
dari sekitarnya.
REFERENSI
Achmad. (2006). Psikologi Keluarga, Jurnal Psikologi UNDIP Vol.3 No. 1.
Afandy, Y. (2017). Penerimaan diri pada penderita HIV/AIDS di Yogyakarta.
Jurnal Psikologi, 3-5.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Avert. (2019, April 4). What are HIV and AIDS. Diambil kembali dari 20 Agustus
2018: https://www.avert.org/about-hiv-aids/what-hiv-aids
Clarke, J. (2017, March 16). Five Stage of Grief by Kubler Ross. Diambil kembali
dari 2019: https://verywellmind.com/five-stages-of-grief-4175361
Coopersmith, S. (2002, Desember 4). The antecedents of self esteem. Diambil
kembali dari 2012: https://www.vermind.com/self-esteem-and-the-
implications-7348294
Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
DaSilva LMS; Tavares JSC. (2015). The family's role as a support network for
people living with HIV/AIDS. A review Brazilian psychological research,
112-143.
Fauziah, R. (2010). Hubungan Antara Penerimaan Orangtua pada Konsep diri
dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja Penyandang Tunadaksa.
Skripsi, 50-62.
Gargiuolo, R. M. (1985). Working with Parents of Exceptional Children : A Guide
for Professional. Boston: Houghton Mifflin Company.
Gordon, M. B. (1999). beginning and Beyond Foundation in Child Education.
New York: Delmer Publisher.
25
Hawari, D. (2003). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hurlock, E. B. (2001). Adolescent Development. Tokyo: International Student
Edition.
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Jersild. (1975). Child Psychology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Kubler-Ross, E. (2008). On Life After Death Revised. USA: Celestial Arts.
Latipun. (2001). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana.
Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: RIneka Cipta.
Marijani. (2003). Penerimaan Orang Tua Kandung pada Anak Penyandang Cacat.
Jurnal Psikologi, 32-40.
McLeod, S. (2014). Carl Rogers. Diambil kembali dari 2018:
https://www.simplypsychology.org/carl-rogers.html
Nawawi, A. (2010). Konseling Keluarga yang Memiliki Anak Berkebutuhan
Khusus. Skripsi, 42--49.
Nelson, R. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Nelson-Jones, R. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Norbeck, E. (1974). Human Life's Development. Boston: Rinehart and Winston
Inc.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurhayati, E. (2011). Bimbingan Konseling & Psikoterapi Inovatif. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Pacheco BP; Gomes GC; Xavier DM; Nobre CMG; Aquino. (2016). Difficulties
and facilities of the family to take care for children with HIV/AIDS.
Journal of Psychology, 52-64.
Puspitawati, H. (2013). Konsep dan Teori Keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 4-8.
26
Ramli, M. (2017). Pendekatan Konseling. Penunjang PLPG, 7-10.
RC Johnson; GR Medinnus. (1967). Child Psychology Behavior and
Development. Diambil kembali dari 2016: https://wearepsychology/child-
psychology-and-behavior/8348
Schiamberg, L. (1983). Human Development and Family Studies. Boston: Tufts
University.
Sharma, P. (2016). Family Based Counseling in HIV/AIDS. International Journal
of Scientic Development and Research, 34-45.
Sri, E. (2018, Mei 5). Penderita HIV AIDS di Kota Malang. Diambil kembali dari
2018: https://malangkota.go.id/tag/dinkes-kota-malang/hiv-aids-malang
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
UNAIDS. (2017, Agustus 4). UNAIDS Regions Country Indonesia. Diambil
kembali dari 5 September 2018:
http://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia
Wahyunik, S. (2017, 9 27). Jumlah Penderita HIV-AIDS di Malang menempati
Posisi 2 di Jawa Timur. Diambil kembali dari 2018:
http://suryamalang.tribunnews.com/2017/09/27/jumlah-penderita-hiv-aids-
kota-malang-tempati-posisi-2-di-jatim
Wardhani, R. S. (2013). Penerimaan Keluarga Pasien Skizofrenia yang Menjalani
Rawat Inap. Skripsi, 6-9.
Winkel, W. (2007). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: PT. Grasindo.
27
LAMPIRAN 1
BLUE PRINT SKALA
PENERIMAAN KELUARGA
28
BLUEPRINT SKALA PENERIMAAN KELUARGA
No Dimensi Indikator
Nomor
Butir Jumlah
F UF
1. Shock tidak percaya
ketidakberdayaan - 1, 17 2
2. Denial rasionalisasi dengan
mengonfirmasi kepada
pihak profesional
23 7, 12 3
3. Grief and
depression
kecewa
sedih
ketidakmampuan mengelak kenyataan
penarikan diri dari anak
-
4,
20,
24
3
4. Ambivalence
perasaan saling
bertentangan
berharap anak tiada
13,
25 3, 5 4
5. Guilt
karma
obsesif
membayar kesalahan masa lalu
- 8, 18 2
6. Anger
mempertanyakan kehadiran anak
merasa anak seorang pengganggu
21 6 2
7. Shame and
embarrasment
tidak membawa anak keluar rumah
penarikan sosial dari teman-temannya
harga diri ibu rendah
menyadari adanya perubahan dalam hidup
14 2 2
8. Bargaining mengadakan perjanjian
dengan Tuhan/pihak lain 9 19 2
9. Adaption and
reorganization
merasa nyaman
percaya diri dalam merawat anak
bertanggungjawab
15,
22,
27
11 4
29
10.
Acceptance
and
adjustment
mengenali kecacatan anak
memahami masalah yang dihadapi
mencari solusi
menghargai anak
menunjukkan rasa sayang secara fisik dan verbal
menurunkan idealisme
tentang anak
mengikutsertakan dalam acara keluarga
10,
16,
28
26 4
Jumlah 12 16 28
30
LAMPIRAN 2
SKALA PENERIMAAN
KELUARGA
31
SKALA PENERIMAAN KELUARGA
Nama : Usia :
L/P :
Pengantar
Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang yang akan melakukan penelitian dengan judul “Penerimaan Keluarga
Penderita HIV melalui Konseling Keluarga dengan Teknik Humanistik”. Dengan
ini saya meminta partisipasi anda untuk mengisi kuisioner yang terlampir berikut
ini. Atas perhatian dan kesediaan Anda untuk berpartisipasi, saya ucapkan terima
kasih.
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda centang () pada jawaban yang Anda pilih menurut keadaan
diri Anda yang sebenarnya. Terdapat 4 (empat) pilihan jawaban untuk mewakili
keadaan diri Anda, yaitu:
SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
TS : Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai
Contoh:
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Saya selalu riang gembira
Hal tersebut menunjukkan anda setuju bahwa anda adalah orang yang selalu riang
gembira.
32
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Saya merasa tidak percaya bahwa ada
anggota saya yang sakit keras.
2. Saya tidak memperbolehkan keluarga saya
yang sakit untuk keluar rumah karena hal
tersebut sangat memalukan
3. Saya merasa tidak seharusnya saya memiliki
keluarga yang sakit parah
4. Saya merasa tidak ada tempat bersandar atas
masalah saya
5. Saya merasa ragu untuk menemani keluarga
saya yang sakit
6. Saya merasa kondisi anggota keluarga saya
yang sakit akan merugikan keluarga saya
yang lain
7. Saya yakin penyakit keluarga saya dapat
disembuhkan
8. Saya merasa gagal menjadi keluarga yang
baik bagi anggota keluarga saya yang sakit
9. Saya merasa bahwa semua yang terjadi
adalah takdir Tuhan
10. Saya berusaha menghibur dan menguatkan
anggota keluarga saya yang sakit
11. Saya tidak percaya diri merawat keluarga
saya yang sakit
12. Saya merasa dokter tidak jujur kepada saya
tentang penyakit anggota keluarga saya
13. Saya bersedia merawat keluarga saya yang
sakit
14. Saya tetap merasa bangga terhadap keluarga
saya meskipun sedang sakit parah
33
15. Saya merasa harus melakukan sesuatu untuk
kesembuhan anggota keluarga saya yang
sakit
16. Saya menyediakan kebutuhan-kebutuhan
anggota keluarga saya yang sakit
17. Saya merasa tidak berdaya mengingat ada
anggota keluarga saya yang sakit
18. Saya yakin keluarga saya yang sakit
membenci saya karena tidak mengurusnya
dengan baik
19. Saya berharap bisa menggantikan posisi
keluarga saya yang sakit
20. Saya merasa terpuruk atas kondisi keluarga
saya yang sakit
21. Saya tidak merasa terbebani dengan kondisi
keluarga saya yang sakit
22. Saya merasa perawatan keluarga saya yang
sakit adalah tanggungjawab saya
23. Saya sadar bahwa penyakit yang diderita
anggota keluarga saya adalah penyakit yang
parah
24. Saya merasa kecewa atas penyakit yang
diderita keluarga saya
25. Saya harus selalu ada untuk keluarga saya
yang sakit
26. Saya enggan membantu anggota keluarga
saya yang sakit untuk merawat penyakitnya
27. Saya merasa nyaman merawat keluarga saya
yang sakit
28. Saya menyayangi anggota keluarga saya
dengan sepenuh hati terlepas dari penyakit
yang sedang dideritanya
34
LAMPIRAN 3
SKOR PRE TEST DAN POST TEST
35
Perbandingan skor Skala Penerimaan Keluarga sebelum dan sesudah
konseling
No. Subjek Pre test Post test
Jumlah Skor Kategori Jumlah Skor Kategori
P 35 Rendah 61 Tinggi
SW 37 Rendah 63 Tinggi
BS 25 Rendah 71 Sangat Tinggi
YI 31 Rendah 74 Sangat Tinggi
S 36 Rendah 71 Sangat Tinggi
Kriteria skor skala Penerimaan Keluarga
No Skor Interval Klasifikasi
1. 64 ≤ Skor ≤ 84 76% ≤ % ≤ 100% Sangat Tinggi
2. 43 ≤ Skor ≤ 63 50% ≤ % ≤ 75% Tinggi
3. 22 ≤ Skor ≤ 42 25% ≤ % ≤ 50% Rendah
4. 0 ≤ Skor ≤ 21 0% ≤ % ≤ 25% Sangat Rendah
Skor pre test
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
P 2 2 0 1 1 2 2 1 2 0 0 2 1 1 2
SW 2 2 0 2 1 2 2 1 2 1 0 2 2 1 2
BS 2 1 0 2 0 0 2 0 2 0 0 2 0 0 1
YI 2 1 0 1 2 1 2 0 2 0 1 1 1 0 1
S 2 2 0 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 0
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Jumlah
1 2 2 0 1 1 2 2 1 1 1 0 2 35
1 2 1 0 1 1 1 2 1 2 1 0 2 37
1 2 0 1 1 1 1 2 0 1 0 1 2 25
2 2 0 1 0 1 1 2 1 2 1 1 2 31
2 2 1 1 1 0 1 3 1 1 1 2 2 36
Skor post test
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
P 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3
SW 3 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 3 3
BS 2 2 2 3 2 3 3 2 3 3 2 3 2 3 3
YI 3 3 2 3 2 3 2 2 3 2 3 2 3 2 3
S 3 3 2 3 2 2 3 2 2 3 3 2 3 2 3
36
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Jumlah
2 2 2 3 2 2 2 3 1 2 3 2 3 61
3 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 3 3 63
3 2 2 3 2 3 3 3 1 3 3 2 3 71
3 3 2 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 74
2 3 3 3 2 2 3 3 1 2 3 3 3 71
37
LAMPIRAN 4
TABEL PRESENTASE PER
KARAKTERISTIK
38
TABEL PROSENTASE PER KARAKTERISTIK
SKALA PENERIMAAN KELUARGA
Aspek Pre Test Jml.
Aspek skor
skor
max % Kategori
P SW BS YI S
Shock 4 4 4 4 4 2 20 30 67% Tinggi
Denial 6 6 6 5 6 3 29 45 64% Tinggi
Grief 3 4 3 2 4 3 19 45 42% Rendah
Ambivalence 3 5 1 5 3 4 17 60 28% Rendah
Guilt 3 2 0 0 2 2 7 30 23% Sangat Rendah
Anger 3 3 1 2 1 2 10 30 33% Rendah
Shame 3 3 1 1 3 2 11 30 37% Rendah
Bargaining 2 2 3 3 3 2 13 30 43% Rendah
Adaptation 4 3 3 4 4 4 18 60 30% Rendah
Acceptance 4 5 3 5 6 4 23 60 38% Rendah
Aspek Post Test Jml.
Aspek skor
skor
max % Kategori
P SW BS YI S
Shock 4 5 4 6 6 2 25 30 83% Sangat Tinggi
Denial 7 7 9 7 8 3 38 45 84% Sangat Tinggi
Grief 5 5 6 7 6 3 29 45 64% Tinggi
Ambivalence 8 8 9 10 9 4 44 60 73% Tinggi
Guilt 4 4 4 4 5 2 21 30 70% Tinggi
Anger 4 4 6 6 4 2 24 30 80% Sangat Tinggi
Shame 4 5 5 5 5 2 24 30 80% Sangat Tinggi
Bargaining 5 5 6 6 5 2 27 30 90% Sangat Tinggi
Adaptation 10 10 10 12 12 4 54 60 90% Sangat Tinggi
Acceptance 10 10 12 11 11 4 54 60 90% Sangat Tinggi
39
LAMPIRAN 5
HASIL ANALISIS UJI WILCOXON
40
HASIL ANALISIS UJI WILCOXON
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Post Test - Pre Test Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 5b 3.00 15.00
Ties 0c
Total 5
a. Post Test < Pre Test
b. Post Test > Pre Test
c. Post Test = Pre Test
Test Statisticsb
Post Test -
Pre Test
Z -2.032a
Asymp. Sig. (2-
tailed) .042
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
41
LAMPIRAN 6
TABEL TAHAPAN KONSELING
42
Tahap Orientasi dan Eksplorasi
Pengantar
Pada sesi ini konselor dan konseli akan melakukan perkenalan kembali secara
lebih mendalam guna membangun rapport agar kegiatan konseling berjalan
dengan efektif. Kemudian konseli dibantu dengan konselor akan
mengungkapkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek pada konseling yang
akan dilakukan. Diharapkan dengan adanya konseling keluarga ini, keluarga
subjek dapat menerima kondisi subjek yang sedang mengalami HIV dan
mendukung sepenuhnya serta melaksanakan tugas-tugas dan peran sebagai
keluarga seutuhnya. Selain itu, konseli (keluarga subjek) juga dibagikan skala
penerimaan keluarga yang akan dipakai sebagai pretest. Pada sesi ini konselor
juga akan menjelaskan tata tertib konseling yang harus dilaksakanakan oleh
konseli guna kelancaran dan keefektifan proses konseling
Tujuan
- Membangun rapport antara konselor dengan konseli serta antar konseli
- Menentukan tujuan konseling
- Menentukan tata tertib konseling
- Melaksanakan pre test
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Lembar Observasi
- Informed Consent dan Riwayat Hidup
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral / snack
- Tisu
Prosedur Pembukaan dan pembangunan rapport
Pada sesi ini, konselor mempersilakan para konseli
untuk duduk di tempat yang telah disediakan
kemudian konselor membuka sesi ini dengan salam,
perkenalan, doa bersama, dan menanyakan kabar
konseli. Kemudian, konselor akan memberikan
lembar persetujuan (Informed Consent), form riwayat
hidup, serta skala penerimaan keluarga untuk pre test
Orientasi dan Eksplorasi
Pada sesi ini, konseli dibantu oleh konselor
menjelaskan tujuan dan manfaat dari kegiatan
konseling. Konselor juga menanyakan kembali
kesiapan dari para konseli untuk mengikuti
konseling serta menjelaskan tata tertib dari kegiatan
yang harus dilaksanakan oleh konseli. Kemudian,
konselor akan mengulas kembali hasil asesmen untuk
kemudian dikoreksi apabila ada hal-hal yang kurang
sesuai.
43
Penutup
Konselor merangkum dan menyimpulkan hasil
kegiatan serta memberikan arahan untuk sesi
selanjutnya
Evaluasi - Konselor dapat menjalin hubungan yang baik
dengan konseli
- Konselor serta konseli dapat membentuk
dinamika kelompok yang baik
- Konseli dapat mengetahui tujuan, manfaat, serta
tata tertib dari kegiatan konseling
- Konselor mendapatkan gambaran tentang tingkat
penerimaan keluarga konseli melalui pre-test
Tahap Transisi
Pengantar
Pada sesi transisi, konselor aka mengulang kembali tata tertib kegiatan konseling
dan juga menanyakan kesiapan para konseli untuk melanjutkan konseling. Selain
itu, konselor juga menekankan kembali peran konseli serta aspek-aspek lain
dalam tahap perkenalan jika perlu. Kemudian, konselor akan menginformasikan
garis besar kegiatan konseling yang akan dilakukan
Tujuan
- Mengetahui kesediaan dan kesiapan konseli untuk proses konseling
- Menjelaskan kembali peran konseli serta hal-hal lain yang belum dimengerti
- Memberikan garis besar kegiatan konseling
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli.
Transisi Konselor menegaskan kembali tata tertib serta hal-
hal lain yang masih kurang dimengerti. Kemudian
konselor akan menanyakan kesiapan konseli
mengikuti kegiatan konseling. Pada tahap ini
44
konselor juga memberikan gambaran umum akan
kegiatan konseling yang akan dilakukan
Penutup
Konselor memberikan kesimpulan atas kegiatan yang
telah dilakukan. Kemudian konselor mengucapkan
terima kasih dan menjelaskan gambaran dari sesi
selanjutnya
Evaluasi - Konselor dan konseli dapat membangun
hubungan dan dinamika kelompok yang lebih
baik
- Konseli siap untuk mengikuti kegiatan konseling
dengan mengetahui tata tertib serta tujuan
konseling
- Konseli dapat mengerti gambaran proses
konseling yang akan dilakukan
Tahap Working Stage 1
Pengantar
Pada sesi ini, konseli secara bergiliran akan menyampaikan masalah yang sedang
dihadapi di hadapan konselor dan konseli yang lain (anggota keluarga).
Kemudian konselor bersama dengan konseli akan menentukan permasalahan
siapa yang perlu dibahas terlebih dahulu. Setelah menentukannya, konseli
tersebut akan kembali menjelaskan secara lebih mendalam untuk kemudian
ditanggapi oleh konseli yang lain. Konselor juga mempersilakan adanya sesi
tanya jawab antar konseli terkait masalah yang sedang dibahas selama hal
tersebut relevan. Apabila konseli terkait sudah menemukan jalan keluar dari
permasalahan, akan dilanjutkan dengan konseli yang lain.
Tujuan
- Konseli memaparkan masalah yang akan dibahas
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli yang lain
- Konseli menyelesaikan permasalahan dibantu dengan konseli yang lain
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
45
Working Stage 1
Pada sesi ini, konseli akan memaparkan masalah
yang sedang dihadapi kemudian bersama konselor
dan konseli yang lain membahas lebih lanjut
permasalahan yang dibahas. Apabila ada
permasalahan lain, konselor akan mempersilakan
konseli untuk memaparkannya dan kemudian akan
dibahas bersama dengan mempertimbangkan
tanggapan dari konseli yang lain.
Tahapan yang akan dilalui dalam sesi working stage
adalah :
1. Konselor mempersilakan konseli secara
bergantian mengemukakan permasalahan
terkait adanya anggota keluarga yang sedang
mengidap HIV
2. Konselor merefleksikan pernyataan-
pernyataan konseli dan merelasikannya
dengan hasil pre-test untuk mengetahui
konseli berada pada tahap mana dalam
penerimaan keluarga.
3. Konselor mempersilakan semua konseli
secara bergantian untuk menanggapi
pemaparan dari salah satu konseli yang telah
selesai mengutarakan masalahnya.
4. Konselor mengarahkan konseli untuk
mencari solusi permasalahannya dibantu
dengan konseli yang lain agar sampai pada
tahap penerimaan
5. Tahapan-tahapan tersebut diulangi hingga
setiap konseli mendapatkan kesempatan yang
sama dan mendapatkan solusi
Penutup
Konselor memberikan kesimpulan atas kegiatan yang
telah dilakukan. Kemudian konselor mengucapkan
terima kasih dan memberikan gambaran tentang sesi
selanjutnya
Evaluasi - Konseli dapat menjelaskan permasalahan yang
sedang dialami
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli lain
yang secara aktif mengemukakan pendapatnya
- Konseli menemukan solusi atas permasalahan
yang sedang dialami
46
Tahap Working Stage 1
(pertemuan 1)
Pengantar
Pada sesi ini, konseli secara bergiliran akan menyampaikan masalah yang sedang
dihadapi di hadapan konselor dan konseli yang lain (anggota keluarga).
Kemudian konselor bersama dengan konseli akan menentukan permasalahan
siapa yang perlu dibahas terlebih dahulu. Setelah menentukannya, konseli
tersebut akan kembali menjelaskan secara lebih mendalam untuk kemudian
ditanggapi oleh konseli yang lain. Konselor juga mempersilakan adanya sesi
tanya jawab antar konseli terkait masalah yang sedang dibahas selama hal
tersebut relevan. Apabila konseli terkait sudah menemukan jalan keluar dari
permasalahan, akan dilanjutkan dengan konseli yang lain.
Tujuan
- Konseli memaparkan masalah yang akan dibahas
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli yang lain
- Konseli menyelesaikan permasalahan dibantu dengan konseli yang lain
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
Working Stage 1
Pada sesi ini, konseli akan memaparkan masalah
yang sedang dihadapi kemudian bersama konselor
dan konseli yang lain membahas lebih lanjut
permasalahan yang dibahas. Apabila ada
permasalahan lain, konselor akan mempersilakan
konseli untuk memaparkannya dan kemudian akan
dibahas bersama dengan mempertimbangkan
tanggapan dari konseli yang lain.
Pada sesi ini, merupakan tahap pertama dalam
working stage 1 dimana konselor akan berusaha
memaksimalkan san serta menopang eksplorasi diri
dari klien. Konseling akan berpusat pada
pemanfaatan potensi individu untuk menilai
pengalanannya, membuatnya untuk memperjelas dan
mendapatkan insight dari pengalamannya
47
Penutup
Konselor memberikan kesimpulan atas kegiatan yang
telah dilakukan. Kemudian konselor mengucapkan
terima kasih dan memberikan gambaran tentang sesi
selanjutnya
Evaluasi - Konseli dapat menjelaskan permasalahan yang
sedang dialami
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli lain
yang secara aktif mengemukakan pendapatnya
- Konseli menemukan solusi atas permasalahan
yang sedang dialami
Tahap Working Stage 1
(pertemuan 2)
Pengantar
Pada sesi ini, konseli secara bergiliran akan menyampaikan masalah yang sedang
dihadapi di hadapan konselor dan konseli yang lain (anggota keluarga).
Kemudian konselor bersama dengan konseli akan menentukan permasalahan
siapa yang perlu dibahas terlebih dahulu. Setelah menentukannya, konseli
tersebut akan kembali menjelaskan secara lebih mendalam untuk kemudian
ditanggapi oleh konseli yang lain. Konselor juga mempersilakan adanya sesi
tanya jawab antar konseli terkait masalah yang sedang dibahas selama hal
tersebut relevan. Apabila konseli terkait sudah menemukan jalan keluar dari
permasalahan, akan dilanjutkan dengan konseli yang lain.
Tujuan
- Konseli memaparkan masalah yang akan dibahas
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli yang lain
- Konseli menyelesaikan permasalahan dibantu dengan konseli yang lain
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
48
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
Working Stage 1
Pada sesi ini, konseli akan memaparkan masalah
yang sedang dihadapi kemudian bersama konselor
dan konseli yang lain membahas lebih lanjut
permasalahan yang dibahas. Apabila ada
permasalahan lain, konselor akan mempersilakan
konseli untuk memaparkannya dan kemudian akan
dibahas bersama dengan mempertimbangkan
tanggapan dari konseli yang lain.
Pada sesi ini, merupakan tahap kedua dalam working
stage 1 dimana konselor akan membantu untuk
menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-
pengalaman sebelumnya ke dalam proses konseling.
Kemudian mengintegrasikannya pada pengalaman
konseli lain
Penutup
Konselor memberikan kesimpulan atas kegiatan yang
telah dilakukan. Kemudian konselor mengucapkan
terima kasih dan memberikan gambaran tentang sesi
selanjutnya
Evaluasi - Konseli dapat menjelaskan permasalahan yang
sedang dialami
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli lain
yang secara aktif mengemukakan pendapatnya
- Konseli menemukan solusi atas permasalahan
yang sedang dialami
Tahap Working Stage 1
(pertemuan 3)
Pengantar
Pada sesi ini, konseli secara bergiliran akan menyampaikan masalah yang sedang
dihadapi di hadapan konselor dan konseli yang lain (anggota keluarga).
Kemudian konselor bersama dengan konseli akan menentukan permasalahan
siapa yang perlu dibahas terlebih dahulu. Setelah menentukannya, konseli
tersebut akan kembali menjelaskan secara lebih mendalam untuk kemudian
ditanggapi oleh konseli yang lain. Konselor juga mempersilakan adanya sesi
49
tanya jawab antar konseli terkait masalah yang sedang dibahas selama hal
tersebut relevan. Apabila konseli terkait sudah menemukan jalan keluar dari
permasalahan, akan dilanjutkan dengan konseli yang lain.
Tujuan
- Konseli memaparkan masalah yang akan dibahas
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli yang lain
- Konseli menyelesaikan permasalahan dibantu dengan konseli yang lain
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
Working Stage 1
Pada sesi ini, konseli akan memaparkan masalah
yang sedang dihadapi kemudian bersama konselor
dan konseli yang lain membahas lebih lanjut
permasalahan yang dibahas. Apabila ada
permasalahan lain, konselor akan mempersilakan
konseli untuk memaparkannya dan kemudian akan
dibahas bersama dengan mempertimbangkan
tanggapan dari konseli yang lain.
Pada sesi ini, merupakan pertemuan ketiga dalam
working stage 1 dimana konselor akan melakukan
redefinisi dengan mirroring dan diharapkan konseli
mencapai penerimaan diri serta menerima orang lain.
Konslei juga diharapkan menjadi individu yangdapat
mencari solusi serta sadara akan pentingnya
hubungan timbal balik
Penutup
Konselor memberikan kesimpulan atas kegiatan yang
telah dilakukan. Kemudian konselor mengucapkan
terima kasih dan memberikan gambaran tentang sesi
selanjutnya
50
Evaluasi - Konseli dapat menjelaskan permasalahan yang
sedang dialami
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli lain
yang secara aktif mengemukakan pendapatnya
- Konseli menemukan solusi atas permasalahan
yang sedang dialami
Tahap Working Stage 2
Pengantar
Pada tahap working stage 2 merupakan lanjutan dari working stage 1. Hanya saja
pada sesi ini, proses konseling sudah mulai lebih terfokus pada solusi dan rencana
pengaplikasiannya pada kehidupan sehari-hari. Konseli akan kembali
menjelaskan secara lebih mendalam untuk kemudian ditanggapi oleh konseli
yang lain. Konselor juga mempersilakan adanya sesi tanya jawab antar konseli
terkait masalah yang sedang dibahas selama hal tersebut relevan. Kemudian,
konseli akan membahas solusi-solusi yang sudah diutarakan untuk kemudian
nantinya diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari
Tujuan
- Mengetahui output dari kegiatan konseling yang telah dilakukan
sebelumnya
- Mengetahui permasalahan yang akan dibahas
- Mendapatkan solusi atas masalah yang sedang dihadapi
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
Working Stage 2
Pada tahap ini, konselor menanyakan kepada konseli
atas solusi permasalahan yang sudah didapatkan pada
sesi sebelumnya. Kemudian jika masih terdapat
masalah lain yang belum dibahas, konselor akan
mempersilakan konseli untuk mengemukakan
permasalahan tersebut untuk kemudian ditanggapi
51
oleh konseli lain dan mendapatkan solusi atas
permasalahan yang sedang dihadapi.
Tahapan konseling pada working stage 2 adalah :
1. Konselor bersama konseli melanjutkan
membahas permasalahan yang belum sempat
terselesaikan pada pertemuan sebelumnya
2. Apabila semua konseli sudah mendapatkan
kesempatan yang sama untuk mengutarakan
permasalahannya, konselor akan mulai
membahas solusi-solusi dari para konseli
3. Konselor membuka sesi tanya jawab antar
konseli untuk mengonfirmasi apakah
informasi yang diterima sudah sesuai.
4. Konselor membahas solusi yang sudah
didapat untuk kemudian diaplikasikan oleh
konseli dalam kehidupan sehari-hari
Penutup
Konselor menyimpulkan kegiatan konseling yang
telah dilakukan kemudian memaparkan kembali
solusi-solusi yang telah didapat untuk kemudian
diaplikasikan oleh konseli. Setelah itu, konselor
mengucapkan terima kasih dan menjelaskan tentang
kegiatan selanjutnya
Evaluasi - Konseli dapat mengungkapkan permasalahan
yang sedang dihadapi
- Konseli mendapatkan tanggapan dari konseli
yang lain
- Konseli mendapatkan solusi atas
permasalahannya
Tahap Penutupan
Pengantar
Pada sesi ini, konselor menanyakan kepada konseli tentang solusi yang didapat
pada tahap working stage. Kemudian konselor mempersilakan konseli untuk
mengungkpan perasaan berupa kesan pesan dan manfaat yang didapat dari
kegiatan konseling
Tujuan
- Konseli menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi
- Konseli mengetahui pentingnya hubungan keluarga
- Konseli merasakan manfaat dari kegiatan konseling
Alat dan Bahan - Daftar hadir
- Alat tulis
- Alat dokumentasi
52
- Air mineral
- Tisu
Prosedur Pembukaan
Konselor mempersilakan konseli untuk duduk di
tempat yang telah disediakan. Konselor memberikan
salam, berdoa, dan kemudian menanyakan kabar
konseli
Penutup
Konselor menanyakan kepada konseli terkait solusi
yang sudah didapatkan dari pembahasan
sebelumnya. Kemudian konselor memastikan bahwa
permasalahan konseli dan keluarga sudah teratasi.
Selanjutnya, konselor mempersilakan konseli untuk
mengemukakan kesan pesan dan manfaat dari
kegiatan yang telah dilakukan serta memberitahukan
bahwa kegiatan konseling telah berakhir. Konselor
mengucapkan terima kasih dan juga apresiasi kepada
konseli.
Evaluasi - Konseli dapat menerapkan solusi yang telah
didapatkan
- Tercipta dinamika yang baik dalam keluarga
konseli
Tahap Evaluasi
Evaluasi Evaluasi
Pada sesi ini, konselor mengobservasi dan
memastikan bahwa solusi sudah dapat terlaksana.
Kemudian konselor akan memberikan skala
penerimaan keluarga untuk dijadikan post test
sehingga konselor mengetahui keefektifan kegiatan
konseling yang telah dilakukan
53
LAMPIRAN 7
LEMBAR OBSERVASI
54
LEMBAR OBSERVASI
KEGIATAN KONSELING KELUARGA
NO NAMA (Inisial) URAIAN
1. P
Subjek adalah ayah dari pasien HIV tersebut.
Subjek menyambut konselor dengan hangat
dan selalu menyediakan kebutuhan
konseling. Namun, pada saat awal konseling
subjek terlihat kurang bersemangat
mengikuti kegiatan konseling. Setelah
diskusi lebih lanjut diketahui bahwa subjek
merasa malu membicarakan
permasalahannya. Selain itu, subjek dalam
kesehariannya juga tidak terbiasa
mengutarakan apa yang sedang dirasakannya
kecuali kepada istrinya. Tetapi seiring
dengan berjalannya proses konseling, ayah
subjek lambat laun mulai aktif mengutarakan
pendapat serta menanggapi permasalahan
yang sedang dialami oleh anggota
keluarganya. Beberapa saat subjek tampak
tidak begitu mempedulikan anaknya yang
mengidap HIV. Terlihat ketika anggota
keluarganya yang lain mengutarakan
permasalahannya, subjek akan
menanggapinya. Namun ketika giliran
anaknya yang sedang sakit, subjek tetap
menanggapi namun sangat singkat. Hal
tersebut berlangsung hingga working stage 1.
Saat working stage 2 terlihat bahwa subjek
lebih kooperatif dan menanggapi dengan baik
pendapat anaknya yang sedang sakit.
2. SW
Subjek adalah ibu dari pasien HIV tersebut.
Seperti halnya suaminya, subjek selalu
menyambut konselor dengan hangat. Dari
awal proses konseling, subjek terlihat
sesekali menangis karena mengingat keadaan
anaknya. Subjek lebih banyak menangis
ketika tahap working stage dimana subjek
memaparkan semua yang dirasakannya di
hadapan keluarganya. Subjek berkali-kali
mengutarakan bahwa subjek merasa sangat
sedih atas apa yang menimpa putri
bungsunya dan merasa bahwa tidak ada yang
bisa dia lakukan sebagai seorang ibu. Namun
berbeda dari suaminya, subjek dari awal
sudah aktif menanggapi pendapat konseli
lain, serta mengutarakan pendapat dan
55
perasaannya meskipun diselingi dengan
tangisan. Selama kegiatan konseling, pada
awalnya subjek terlihat tidak pernah
memandang anaknya yang mengidap HIV.
Namun setelah subjek mengutarakan
perasaanya pada working stage 1 dan 2,
subjek terlihat sesekali melihat anaknya
dengan tatapan sedih. Subjek merasa harus
lebih bersikap sebagai seorang ibu dan tidak
membedakan anaknya
3. BS
Subjek adalah kakak laki-laki dan sekaligus
kakak sulung dari penderita HIV tersebut.
Pada setiap proses konseling subjek terlihat
selalu letih dan malas-malasan. Subjek juga
kurang aktif dalam mengutarakan
pendapatnya. Namun ketika konselor terus
menerus melibatkan subjek dalam proses
konseling serta mendorong subjek untuk aktif
mengutarakan pendapatnya, subjek
menanggapinya dengan baik dan sesekali
mengucapkan mohon maaf karena capai
seusai pulang kerja. Namun subjek juga
mengutarakan bahwa meskipun dia capai, dia
akan selalu mengikuti proses konseling dari
awal hingga akhir karena subjek sebagai
kakak sulung merasa harus mengambil
bagian dalam kesejahteraan keluarganya.
Selama proses konseling, khususnya working
stage, ketika subjek diminta untuk
mengutarakan pendapatnya subjek terlihat
menunjukkan emosi marahnya kepada
adiknya karena sudah terkena penyakit yang
parah akibat pergaulan bebas. Namun
sekalipun subjek marah, subjek tidak pernah
menggunakan kata-kata kasar dan tidak mau
melihat adiknya. Namun setelah berdiskusi
dengan keluarganya dan setelah melalui
proses konseling, subjek mengutarakan
bahwa subjek marah bukan karena membenci
adiknya. Hal tersebut hanya bentuk
kekecewaan seorang kakak kepada adiknya.
4. YI
Subjek adalah kakak perempuan dan
sekaligus kakak kedua dari penderita HIV tersebut. Pada setiap kegiatan konseling,
subjek terlihat selalu antusias dan aktif
mengutarakan pendapatnya serta
menanggapi konseli yang lain. Ketika proses
konseling, fokus subjek sesekali teralihkan
56
dengan anaknya yang masih bayi. Namun hal
tersebut hanya berlangsung antara 1-5 menit
dan tidak mengganggu jalannya konseling
karena anak dari subjek selalu dijaga oleh
ayahnya selama proses konseling
berlangsung. Subjek juga menunjukkan
kesedihannya atas kondisi adiknya dengan
cara menangis, namun tidak seperti ibu
subjek yang terkadang menangis tidak
terkendali, subjek dapat mengontrol
kesedihannya dan selalu menguatkan ibunya.
Selama proses konseling, subjek juga selalu
menenangkan kakak laki-laki subjek ketika
subjek merasa kakaknya terlalu emosi kepada
adiknya yang megidap HIV.
5. S
Subjek adalah nenek dari penderita HIV
tersebut. Pada awal konseling subjek merasa
ragu untuk mnegutarakan permasalahannya
terkait perasaan terhadap cucunya yang
sedang mengidap HIV. Subjek merasa bahwa
dirinya tidak menjaga subjek dengan baik
sehingga cucunya dapat terkena penyakit
HIV tersebut. Namun setelah konselor
melibatkan subjek terus menerus dan secara
aktif menanyakan pendapat, subjek selalu
menanggapi meskipun masih tampak
keraguan dalam jawabannya. Subjek selalu
mengasuh cucunya dari kecil ketika orang
tuanya bekerja. Subjek mengutarakan bahwa
subjek merasa sangat sedih karena cobaan
yang menimpa cucunya dan juga
keluarganya. Namun dari pernyataan yang
didapatkan dari proses konseling, subjek juga
merasa bahwa subjek sangat kecewa dan
berfikir dengan tidak mempedulikan cucunya
akan membuat cucunya jera. Namun di akhir
sesi subjek merasa bahwa yang perbuatannya
salah.
6. R
Subjek adalah pokok dari proses konseling
ini. Subjek merupakan seorang remaja yang
saat ini sedang mengidap HIV. Selama proses
konseling, subjek selalu berperan aktif ketika
diminta. Namun ketika tiba giliran subjek untuk menanggapi pernyataan dari ayah atau
kakak laki-laki subjek, subjek terlihat ragu
dan selalu menjawab dengan singkat karena
subjek merasa takut untuk dimarahi. Selama
proses konseling berlangsung, subjek
57
berkali-kali mengucapkan mohon maaf
karena dirinya telah menyebabkan
keluarganya malu dan mencoreng nama baik
keluarga. Subjek juga banyak menangis
terlebih ketika dia meminta keluarganya agar
lebih memperhatikan dirinya dan tidak
membencinya karena penyakit yang
dideritanya. Konselor memperhatikan bahwa
subjek sudah dapat menerima dirinya yang
sedang mengidap HIV. Namun yang
membuat subjek masih merasa bersedih
adalah karena keluarganya yang kurang
mendukung. Pada akhir sesi konseling,
subjek sudah banyak tersenyum dan terlihat
sudah berbincang dengan keluarganya
dengan nyaman.
58
LAMPIRAN 8
INFORMED CONSENT
59
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
KESEDIAAN TERTULIS (INFORMED CONCENT)
Nama saya adalah Virgina Dwiki Zilma Zuraida NIM :
(201410230311137),yang saat ini menjadi mahasiswa program pendidikan Sarjana
Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Saya adalah
mahasiswa yang sedang menempuh skripsi dengan dosen pengampu Dr. Rr. Siti
Suminarti Fasikhah, M.Si dan Putri Saraswati, M. Psi
Pada kesempatan ini, saya mohon kesediaan anda sebagai subjek atau testee saya.
Untuk proses ini, anda tidak dipungut biaya apapun. Namun, saya juga tidak
diwajibkan untuk menyampaikan hasil pemeriksaan ini kepada Anda, karena dalam
hal ini saya sebagai Mahasiswa masih dalam tahap pembelajaran.
Saya akan mempresentasikan hasil pemeriksaan psikologi ini kepada dosen
pengampu dan saran yang saya berikan TANPA menyebutkan informasi yang bisa
dikaitkan secara langsung dengan diri Anda. Sehingga kerahasiaan identitas Anda
akan tetap dijamin, sehingga saya menjamin tidak akan ada dampak negatif dari
proses ini untuk nama baik Anda dan keluarga Anda.
Setelah membaca penjelasan tertulis diatas, saya menyadari bahwa, Virgina Dwiki
Zilma Zuraida NIM : (201410230311137), nomor Handphone 081291541071 adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang, dibawah bimbingan dosen pembimbing Dr.
Rr. Siti Suminarti Fasikhah, M.Si dan Putri Saraswati, S.Psi, M.Psi.. Saya
memutuskan untuk (Bersedia/TidakBersedia*) berpartisipasi dalam kegiatan ini
(*coretsalahsatu
Malang, ……………...............2019
Konselor Konseli
(________________) (_______________)
60
LAMPIRAN 9
HASIL UJI PLAGIASI
61