penerbit forda press bogor, 2017

318
Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Upload: others

Post on 14-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

PenerbitFORDAPRESSBogor,2017

Page 2: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 3: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

HUTAN RAKYAT MANGLID

Status Riset dan Pengembangan

Editor:

Mohamad Siarudin

Aris Sudomo

Yonky Indrajaya

Triyono Puspitojati

Nina Mindawati

Penerbit:

FORDA PRESS

Bogor, 2017

Page 4: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

HUTAN RAKYAT MANGLID:

Status Riset dan Pengembangan

Editor:

Mohamad Siarudin, Aris Sudomo, Yonky Indrajaya, Triyono Puspitojati,

dan Nina Mindawati

Penerbit:

FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)

Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Jawa Barat

Telp/Fax. +62 251 7520093

Copyright © 2016, 2017 Penulis

Cetakan Pertama, Desember 2016

Cetakan Kedua, Desember 2017

vi + 308 halaman; 182 x 257 mm

ISBN 978-602-6961-14-3

Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat

Telp +62 265 771352, Fax +62 265 775866

Perpustakaan Nasional RI ., Data Katalog Dalam Terb itan (KDT) Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan / editor, M. Siarudin, A.

Sudomo, Y. Indrajaya, T. Puspitojati, N. Mindawati. -- Bogor : Forda Press, 2017. vi + 308 hlm. : ill. ; 25,7 cm. -- ISBN 978-602-6961-14-3 1. Hutan Rakyat 2. Manglid 3. Status Riset dan Pengembangan I. Editor II. Forda Press III. Bunga Rampai 333.75

Page 5: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | iii

KATA PENGANTAR

(Cetakan Kedua)

Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis kayu yang banyak

ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis tersebut potensial sebagai

back-up species untuk peningkatan produktivitas hutan rakyat. Bahkan, berdasarkan

potensinya, jenis tersebut dijadikan ikon pengembangan hutan rakyat di Kabupaten

Ciamis, Jawa Barat. Usaha hutan rakyat manglid ini terbukti memberikan

keuntungan ekonomi. Namun demikian, pengelolaan hutan rakyat manglid tersebut

perlu ditingkatkan produktivitasnya, salah satunya dengan mengelolanya berdasar-

kan kaidah scientific based knowledge.

Sejak tahun 2006, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agro-

forestry [sebelumnya bernama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry] Ciamis

bersama petani di berbagai kabupaten di Provinsi Jawa Barat telah melakukan

penelitian manglid dari berbagai aspek, antara lain budi daya, sistem agroforestri,

sosial ekonomi dan kebijakan hutan rakyat, pengelolaan dan lingkungan, serta aspek

lainnya. Pengelolaan hutan rakyat manglid dengan input scientific based knowledge

diharapkan mampu memberikan alternatif bagi petani dan pengambil kebijakan

kehutanan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan memerhatikan berbagai

kendala teknis budi daya, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pengelolaan yang

dihadapi petani.

Buku ini merupakan salah satu jawaban dalam mengimplementasikan ilmu

pengetahuan yang berasal dari rangkaian kegiatan penelitian manglid. Tentunya,

tujuan penelitian jenis kayu manglid tersebut adalah memberikan acuan ilmiah

dalam meningkatkan produktivitas kayu rakyat sehingga berkontribusi bagi keber-

lanjutan produksi kayu rakyat. Buku ini menguraikan beberapa hasil kajian ataupun

penelitian yang telah dilakukan dan telah dikelompokkan menjadi beberapa bab,

antara lain tentang:

1. Taksonomi dan ekologi manglid;

2. Sistem silvikultur hutan rakyat manglid;

3. Manajemen optimal tegakan manglid;

Page 6: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

iv | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

4. Manfaat lingkungan hutan rakyat manglid;

5. Karakteristik kayu dan pengolahan kayu manglid; dan

6. Kondisi sosial ekonomi petani hutan rakyat dan pemasaran manglid.

Kami menyambut gembira karena buku ini telah memasuki cetakan kedua

(2017) yang mana hal ini menggambarkan bahwa informasi ilmiah yang dituangkan

dalam buku ini memang sangat dibutuhkan oleh pengguna. Beberapa uraian pada

buku cetakan kedua ini pun telah disempurnakan. Namun demikian, kami pun

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dan penyajian isi buku

ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari para pembaca tetap sangat kami hargai.

Penyempurnaan terhadap isi buku ini tentunya akan terus dilakukan dengan

memerhatikan perkembangan informasi dan hasi-hasil di lapangan.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penulis, Editor, dan

Mitra Bestari atas peran sertanya sehingga terbitnya buku “Hutan Rakyat Manglid”

cetakan kedua ini. Harapan kami, semoga buku ini bermanfaat bagi para pihak dan

pembaca yang memerlukannya.

Ciamis, Desember 2017

Kepala Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi

Agroforestry

Bagus Novianto, S.Hut., MP.

NIP

Page 7: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

I. PENDAHULUAN 3-7

II. TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID

Status Taksonomi dan Morfologi Manglid

Aji Winara, Aditya Hani, & Levina Augusta G. Pieter

11-18

Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada Hutan

Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Budiman Achmad

19-31

Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta Potensinya

untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah Priangan Timur

Asep Rohandi & Gunawan

33-48

III. BUDI DAYA MANGLID

Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca)

Aris Sudomo

51-70

Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus

campanulatus BI) pada Sistem Agroforestri Manglid

Aris Sudomo

71-82

Hama dan Penyakit Manglid

Endah Suhaendah & Aji Winara

83-96

IV. MANAJEMEN OPTIMAL TEGAKAN MANGLID

Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,

Tasikmalaya, Jawa Barat

Yonky Indrajaya

99-113

Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon terhadap Daur Optimal Tegakan

Manglid dalam Proyek Aforestasi

Yonky Indrajaya

115-129

V. KAJIAN LINGKUNGAN TEGAKAN MANGLID

Struktur Tegakan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola Agroforestri

Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa Barat

M. Siarudin & Yonky Indrajaya

133-150

Page 8: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

vi | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestri Manglid di Desa Tenggerharja,

Kecamatan, Sukamantri, Kabupaten Ciamis

Wuri Handayani

151-170

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Edy Junaidi

171-189

VI. PENGOLAHAN HASIL KAYU MANGLID

Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid

M. Siarudin & Ary Widiyanto

193-204

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

(Magnolia champaca)

M. Siarudin

205-216

Pengawetan Kayu Manglid

Endah Suhaendah & M. Siarudin

217-224

VII. SOSIAL EKONOMI DAN PEMASARAN MANGLID

Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid (Manglietia glauca Bl.) pada

Usaha Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Budiman Achmad & Dian Diniyati

227-238

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada Pemilikan

Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Dian Diniyati & Tri Sulistyati Widyaningsih

239-255

Analisis Finansial Agroforestri Manglid dan Empat Jenis Tanaman

Bawah di Priangan Timur

Yonky Indrajaya & Aris Sudomo

257-276

Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca) di Kabupaten

Tasikmalaya

Soleh Mulyana

277-298

VIII. PENUTUP

Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan 302-308

Page 9: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

PENDAHULUAN

BAB I

Page 10: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 11: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 3

Pendahuluan

Pembangunan kehutanan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pem-

bangunan hutan rakyat yang perkembangannya semakin pesat dan kontribusinya

cukup nyata dalam turut serta memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan rumah

tangga. Seiring dengan permintaan kayu yang terus meningkat dan laju degradasi

hutan yang masih cukup besar, hutan rakyat pun menempati posisi strategis.

Kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan

produksi kayu dari hutan, baik alam maupun tanaman, hanya sekitar 45,8 juta

m3/tahun, yang berarti terjadi defisit sebesar 11,3 juta m3/tahun pada tahun 2006

(Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Dengan demikian,

keberadaan hutan rakyat yang tersebar di berbagai lahan masyarakat menjadi

potensial dikembangkan untuk memberikan manfaat; baik secara sosial, ekonomi

maupun lingkungan. Dalam hal ini dicontohkan hutan rakyat di Jawa yang memiliki

luas sekitar 778.253,26 ha atau 49,6% dari total luas hutan rakyat di Indonesia

(1.560.229 ha). Produksi log dari hutan rakyat di Jawa mencapai 32,47% dari total

produksi log nasional. Stok hutan rakyat sebesar 3.284.700 m3/ha dan hutan

tanaman sebesar 6.534.800 m3/ha, sedangkan stok hutan alam sebesar 31.448.900

m3/ha (Anonim, 2005; Wardhana, 2005).

Perkembangan hutan rakyat saat ini dihadapkan pada beberapa permasalahan

sehingga produktivitasnya relatif masih rendah, contohnya di wilayah Jawa Barat.

Permasalahan tersebut disebabkan antara lain oleh serangan hama penyakit,

kurangnya dukungan IPTEK, lahan relatif sempit, serta kurangnya sarana dan

prasarana produksi. Pembangunan hutan rakyat cenderung mengarah ke jenis yang

sedang tren di masyarakat (sengon, mahoni, dan jati) dan cenderung monokultur.

Penanaman satu spesies terus-menerus menjadikannya rentan terhadap serangan

hama dan penyakit, serta berkurangya ketersediaan hara sehingga menurunkan

produktivitas tanaman. Contoh konkretnya adalah hutan rakyat monokultur sengon

yang banyak terserang karat tumor. Serangan hama dan penyakit terhadap sengon

telah berada pada ambang yang mengkhawatirkan sehingga menurunkan nilai

ekonomis sengon. Oleh karena itu, pembangunan hutan rakyat memerlukan spesies

alternatif; baik secara monokultur, campuran maupun agroforestri.

Page 12: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

4 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Masyarakat petani hutan rakyat umumnya mengembangkan jenis-jenis kayu

yang mudah didapat, telah tumbuh, mempunyai nilai pasar, cepat tumbuh, dan

mereka sukai. Hal ini yang menyebabkan jenis-jenis yang dikembangkan di setiap

daerah berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Jenis-jenis kayu hutan rakyat

tersebut terkadang bersifat lesser known species sehingga ketersediaan ilmu pengeta-

huan dan teknologi (IPTEK) relatif terbatas.

Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dijadikan back-up spesies pada

hutan tanaman, khususnya hutan rakyat adalah manglid. Jenis manglid (Magnolia

champaca) tergolong ke dalam famili Magnoliaceae. Jenis ini dianggap mudah

pemasarannya dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit sehingga potensial

memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kualitas kayu manglid relatif lebih

bagus dibandingkan dengan kayu-kayu yang telah berkembang di masyarakat (seperi

sengon, mahoni, dan jabon). Kayu manglid digunakan sebagai bahan konstruksi

ringan, kayu pertukangan, barang kerajinan, dan perabot rumah tangga/mebeler,

serta potensial sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Contoh potensi tersebut

adalah hutan rakyat manglid di Tasikmalaya, yang mana pada umur 8 tahun

memiliki pertumbuhan batang lurus monopodial dengan persentase tajuk aktif rata-

rata 21,45%. Pertumbuhannya dapat mencapai tinggi 12,96 m dan diameter 13,94

cm. Manglid umur 16 tahun mempunyai riap tertinggi 13,25 m3/ha/tahun

(Indrajaya, 2016; Sudomo, 2011).

Manglid merupakan jenis andalan setempat di Jawa Barat. Jenis ini menun-

jukkan prospektif untuk dikembangkan di hutan rakyat. Oleh karena itu, landasan

IPTEK untuk pengembangannya sangat diperlukan. Landasan IPTEK merupakan

hal yang penting dalam pegelolaan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat. Hal ini

disebabkan peningkatan produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat ditem-

puh dengan temuan IPTEK. Hasil penelitian dapat menjadi alternatif pilihan bagi

masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat manglid.

Buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan

hutan rakyat manglid di Jawa Barat yang menggambarkan aspek teknis budi daya,

pengelolaan, pengolahan hasil, sosial ekonomi dan pemasaran, serta lingkungan.

Buku ini diharapkan dapat berkontribusi dalam diskusi pengelolaan hutan rakyat

Page 13: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

P e n d a h u l u a n

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 5

jenis potensial yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang jenis manglid

dari berbagai aspek dapat menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan sektor

kehutanan terutama di daerah, pengusaha hutan rakyat, dan akademisi.

Buku ini terdiri atas delapan bab yang dimulai dari Bab I sebagai penda-

huluan dan diakhiri Bab VIII yang merangkum keseluruhan uraian dalam masing-

masing bab. Sementara itu, Bab II–VII menguraikan hasil-hasil penelitian dan

kajian tentang seluruh aspek yang mendasari dipilihnya jenis manglid sebagai alter-

natif spesies untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Barat, termasuk teknik budi

daya dan kemanfaatannya. Penjelasan masing-masing bab terhadap topik bahasan

tentang manglid diuraikan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan yang membahas hutan rakyat manglid di Jawa Barat

secara umum beserta sistematika penyampaian buku ini.

Bab II membahas taksonomi, morfologi, sebaran alami, dan potensi peman-

faatan tegakan manglid untuk sumber benih. Bab ini menyajikan informasi

tentang (a) morfologi daun, warna bunga, batang, dan bentuk tajuk yang berguna

untuk membedakan tanaman manglid dengan tanaman kayu-kayuan lainnya; (b)

perkembangan pertumbuhan manglid yang berguna untuk meningkatkan

produktivitasnya; (c) sebaran populasi manglid di wilayah Jawa Barat bagian

timur yang berguna untuk menentukan kesesuaian tempat tumbuh dan wilayah

pengembangannya; dan (d) potensi pemanfaatan hutan rakyat manglid untuk

sumber benih.

Bab III membahas aspek budi daya manglid dan pola interaksinya dengan

tanaman lain. Bab ini menyajikan informasi tentang (a) teknik perbanyakan

manglid (penanganan benih, perkecambahan, penyapihan, pemberian naungan,

dan stek pucuk); (b) jarak tanam; (c) pengendalian hama dan penyakit; dan (d)

pola interaksi manglid dengan beberapa jenis tanaman bawah. Informasi tersebut

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membudidayakan manglid

secara monokultur, campuran, dan agroforestri.

Page 14: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

6 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Bab IV membahas daur optimal hutan rakyat manglid. Bab ini menyajikan infor-

masi tentang daur optimal biologis dan ekonomi tegakan manglid, dengan atau

tanpa tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon. Informasi

tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan daur

manglid yang paling menguntungkan.

Bab V membahas manfaat lingkungan hutan rakyat agroforestri manglid dalam

bentuk kompleks dan sederhana. Bab ini menyajikan informasi mengenai

cadangan karbon dan hasil air hutan rakyat manglid. Informasi tersebut dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan hutan rakyat

manglid yang menghasilkan manfaat lingkungan tinggi.

Bab VI membahas informasi dasar dan pengolahan kayu manglid. Bab ini

menyajikan informasi tentang sifat fisik dan pemesinan kayu manglid, rendemen

penggergajian kayu manglid, dan pengawetan kayu manglid. Informasi tersebut

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pemanfaatan

kayu manglid.

Bab VII membahas manfaat sosial ekonomi dan kelayakan finansial hutan rakyat

manglid, serta pemasaran kayu manglid. Bab ini menyajikan informasi tentang

(a) kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap total pendapatan dari hutan

rakyat; (b) kelayakan finansial hutan rakyat manglid yang dikelola dalam bentuk

campuran dan agroforestri; dan (c) pemasaran kayu manglid. Informasi tersebut

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan rakyat

manglid dan membantu petani memasarkan hasilnya sehingga berkontribusi

nyata terhadap pendapatan petani.

Bab VIII merupakan penutup buku ini yang menyampaikan rangkuman status

riset dari hasil-hasil penelitian manglid pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,

bagian akhir bab ini juga menyampaikan pengembangan dan implikasi kebijakan

yang mungkin dirancang berdasarkan status riset hutan rakyat manglid.

Page 15: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

P e n d a h u l u a n

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 7

Daftar Pustaka

Anonim. (2005). Hutan rakyat Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi

III(32).

Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. (2006). Data potensi hutan rakyat

di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,

Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di

hutan rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten

Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan

Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.

Wardhana, S. (2005). Peta potensial aktual hasil hutan Indonesia sebagai penghara

industri kehutanan.

Page 16: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 17: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

II

TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID

TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID

BAB II

Page 18: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 19: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 11

Status Taksonomi dan Morfologi Manglid

Aji Winara1, Aditya Hani1, & Levina Augusta G. Pieter1

ABSTRAK

Manglid merupakan salah satu kayu unggulan hutan rakyat di Jawa Barat bagian timur.

Penamaan manglid secara ilmiah masih simpang siur dan terkadang tertukar dengan jenis

lain sehingga diperlukan identifikasi jenis secara ilmiah dari beberapa jenis manglid yang

dikenal oleh masyarakat. Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense LIPI menunjukkan bahwa

semua manglid yang dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.)

Baill. ex Pierre. dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas,

yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Selain itu, terdapat variasi

morfologi manglid pada bagian daun, bunga, batang, dan tajuk.

Kata kunci: manglid, taksonomi, morfologi, Jawa Barat

I. Pendahuluan

Manglid telah dikenal di Jawa Barat khususnya bagian timur sebagai komo-

ditas kayu pertukangan asli atau lokal yang banyak dikembangkan di hutan rakyat.

Jenis manglid dikenal oleh masyarakat yang meliputi beberapa variasi morfologi.

Contohnya, masyarakat Sodonghilir, Tasikmalaya, mengenal beberapa jenis manglid

dengan sebutan manglid bodas, manglid bulu, dan manglid tanduk. Hal ini pun ber-

dampak pada kesimpangsiuran dalam memilih jenis variasi manglid yang berkualitas

untuk dibudidayakan. Selain itu, tataran penelitian juga memunculkan permasalahan

penamaan manglid yang kerap tertukar dengan jenis baros (Manglietia glauca) yang

saat ini sedang direvisi menjadi Magnolia blumei. Padahal, manglid dan baros

memiliki perbedaan secara morfologi sehingga tergolong spesies yang berbeda,

meskipun keduanya masih tergabung dalam genus yang sama, yaitu Magnolia.

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box

5 Ciamis 46201; Email: [email protected]

Page 20: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter

12 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Manglid memiliki banyak penamaan nama latin. Heyne (1987) menyebutkan

bahwa manglid yang dikenal secara lokal di Jawa Barat terdiri atas manglid baros

(Manglietia glauca BL.), manglid bodas (Michelia montana BL.), dan manglid atau

baros (Michelia velutina). Sosef et al. (1998) dalam buku Prosea 5 dan Nooteboom

(1988) dalam buku Flora Malesiana menyebutkan bahwa dalam Bahasa Sunda,

manglid atau manglit adalah jenis Michelia montana atau sinonim dari Magnolia

montana, atau disebut juga cempaka jahe karena salah satu ciri M. montana adalah

bagian kayu terasnya mengeluarkan aroma seperti jahe, sedangkan Michelia

champaca var. pubinervia disebut sebagai baros atau manglis (Jawa).

Penamaan jenis tumbuhan secara ilmiah yang merujuk pada nama daerah

terkadang cukup membingungkan karena ada beberapa kesamaan nama daerah

untuk jenis yang berbeda secara taksonomi. Oleh karena itu, untuk memastikan

penamaan manglid secara ilmiah, pengumpulan sampel herbarium manglid

dilakukan di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, yang selanjutnya dilakukan

identifikasi jenis oleh Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Biologi (Puslitbang Biologi), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di

Bogor.

II. Metodologi

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April–Mei 2015. Lokasi penelitian

adalah Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis; Kecamatan Pagerageung,

Ciawi, dan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain gunting stek, perlengkapan pembuatan her-

barium, dan kamera. Sementara itu, bahan yang digunakan antara lain alkohol dan

sampel herbarium manglid yang meliputi daun, bunga, dan buah.

Page 21: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 13

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan teknik eksplorasi dan identifikasi morfologis.

Eksplorasi tegakan manglid dilakukan untuk mengumpulkan sampel herbarium

lengkap berdasarkan pada perbedaan variasi morfologi manglid. Setiap tegakan

manglid dikumpulkan sampel herbariumnya sebanyak lima buah untuk kemudian

dilakukan pengeringan oven pada suhu 70ºC selama tiga hari. Identifikasi jenis

dilakukan oleh Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI, sedangkan pertelaan

morfologi manglid dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestry, Ciamis.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Taksonomi Jenis

Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI menunjuk-

kan bahwa semua variasi morfologi tanaman yang dikenal oleh masyarakat dengan

nama manglid teridentifikasi secara taksonomi dengan nama jenis Magnolia

champaca (L.) Baill. ex Pierre dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi

hingga tingkat varietas, yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar &

Noot. Keduanya memiliki perbedaan morfologi daun dan batang sebagaimana

Gambar 1, 2, dan 3. Menurut Nooteboom (1988), jenis Magnolia champaca terdiri

atas dua varietas atau penamaan di bawah subspesies, yaitu Magnolia champaca var.

champaca dan Magnolia champaca var. pubinervia. Demikian pula dalam dokumen-

tasi herbarium beberapa komunitas herbarium internasional (www.theplantlist.org)

dan indeks nama tumbuhan internasional (www.ipni.org).

Jenis M. champaca var. champaca dikenal dengan nama perdagangan kayu

cempaka atau dalam bahasa daerah disebut campaka bodas (Sunda) atau kantil

(Jawa). Varietas ini memiliki kekhasan pada struktur kayu berupa kayu teras yang

berwarna lebih terang dan bunganya yang sangat wangi. Sementara itu, manglid

dengan nama latin M. champaca var. pubinervia memiliki struktur kayu teras lebih

gelap dan bunga yang tidak terlalu wangi. Kayu manglid juga tidak mengeluarkan

Page 22: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter

14 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

aroma bau jahe sehingga jenis manglid tidak tergolong cempaka gunung (Sunda)

atau Michelia montana sinonim Magnolia montana.

Secara umum, jenis M. champaca tergolong genus Magnolia, famili Magno-

liaceae, ordo Magnoliales, kelas Magnoliopsida, divisi Magnoliophyta, dan kerajaan

Plantae. Jenis tumbuhan yang tergolong famili Magnoliaceae terdapat 223 jenis dan

25 jenis di antaranya terdapat di Indonesia dengan status konservasi belum ter-

evaluasi (Rozak, 2012).

Beberapa genus yang termasuk famili Magnoliaceae telah mengalami peng-

gabungan, yaitu genus Michelia, Manglietia, Kmeria, Elmerrilia, Pachylarnax, dan

Magnolia menjadi genus Magnolia. Revisi ini didasarkan pada kedekatan secara

DNA di antara semua genus tersebut (Figlar & Nooteboom, 2004). Sebelum

mengalami revisi, jenis Magnolia champaca dikenal dengan nama jenis Michelia

champaca dan demikian pula dengan Michelia champaca var. pubinervia. Setelah

adanya penelitian mengenai sekuensi DNA jenis-jenis dalam famili Magnoliaceae

yang dilakukan oleh Kim et al. (2001) dan Azuma et al. (2001), nama latin spesies

manglid mengalami revisi dari Michelia champaca menjadi Magnolia champaca dan

nama varietas manglid menjadi Magnolia champaca var. pubinervia. Meskipun hasil

identifikasi morfologis dari beberapa sampel herbarium manglid teridentifikasi

sebagai M. champaca dan M. champaca var. pubinervia, penamaan manglid dapat

dilakukan hingga nama jenis, yaitu M. champaca dengan membedakan penamaan

kayu perdagangan dengan jenis cempaka.

B. Morfologi Jenis

Hasil eksplorasi manglid yang terdapat pada hutan rakyat ditemukan beberapa

variasi morfologi manglid, meskipun secara taksonomi masih tergolong satu jenis,

yaitu Magnolia champaca. Perbedaan yang nyata tampak pada variasi bentuk daun

dan pertumbuhan sehingga manglid dikenal oleh masyarakat menjadi lima variasi.

Meskipun demikian, variasi tersebut masih dalam jenis yang sama secara morfologis

sehingga hanya menunjukkan rentang bentuk morfologi.

Page 23: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 15

1. Batang dan Tajuk

Habitus manglid tergolong pohon dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter

180 cm. Batangnya silindris dengan permukaan licin hingga berlentisel, serta ter-

dapat bercak abu-abu dan cokelat kemerahan (Gambar 1). Batang manglid yang

teridentifikasi hingga tingkat varietas (M. champaca var. pubinervia) tergolong licin

dan berbercak putih abu-abu (Gambar 1a), sedangkan batang manglid yang teriden-

tifikasi hingga tingkat jenis (M. champaca) tergolong licin berbercak cokelat keme-

rahan dan berlentisel (Gambar 1b, 1c, dan 1d).

Gambar 1. Morfologi batang Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca

(b, c, dan d)

Gambar 2. Bentuk tajuk Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca (b)

Bentuk tajuk manglid terdiri atas dua bentuk, yaitu membulat (Gambar 2a)

dan bulat mengerucut (Gambar 2b). Bentuk tajuk yang bulat mengerucut memiliki

batang yang berlentisel (kasar) (Gambar 1d), sedangkan manglid yang memiliki

tajuk membulat memiliki batang yang licin atau tidak berlentisel. Manglid dengan

bentuk tajuk bulat mengerucut memiliki cabang cenderung mudah lepas (self

a b c d

a b

Page 24: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter

16 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pruning), sedangkan manglid dengan bentuk tajuk membulat memiliki cabang yang

lebih kuat.

2. Daun

Secara morfologi, daun manglid berbentuk menjorong dengan tingkat men-

jorong bervariasi (Gambar 3). Ukuran daun 10–30 x 4–10 cm; ujung pangkal daun

membaji dan ujung daun sering melancip pendek atau melonjong dengan ukuran 7–

(13–25) mm; duduk daun spiral. Stipul atau daun penumpu seluruhnya berbulu

padat. Warna daun hijau tua hingga hijau kekuningan dengan permukaan daun

bagian atas licin agak mengkilap hingga kusam agak kasar. Ranting dan tulang, serta

urat daun bagian bawah berbulu; tulang daun lebih menonjol dari urat daun; urat

daun berjumlah 14–23 pasang. Tangkai daun dengan panjang luka bekas stipul

mencapai 0,3–0,7 kali dari panjang stipul dan panjang tangkai daun 14–(36–40)

mm.

Gambar 3. Morfologi daun Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca

(b dan c)

3. Bunga

Bunga berwarna kuning terang hingga oranye tua; tepal 15 buah dengan

ukuran panjang 20–45 mm; stamen 6–8 mm dengan jarak konektif hingga 1 mm,

berjumlah 30; panjang gynofor 3 mm dengan bulu padat. Bunga memiliki bau wangi

yang khas, namun tidak sewangi bunga cempaka. Pembungaan manglid biasanya

terjadi pada bulan Januari hingga April.

a b c

Page 25: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 17

Gambar 4. Morfologi bunga Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca

(b dan c)

4. Buah

Buah manglid bertipe kapsul bertekstur kasar benjol-benjol dengan panjang

5–15 cm (Gambar 5). Buah tersusun dalam tandan yang terdiri atas 10–15 karpel

yang akan merekah saat masak (Gambar 5b) dan di dalam karpel terdapat biji. Buah

muda berwarna hijau (Gambar 5a) dan buah matang berwarna merah (Gambar 5b

dan 5c). Biji manglid memiliki tekstur berdaging dan benih yang keras berwarna

hitam.

Gambar 5. Morfologi buah manglid: buah muda (a); buah matang (b); biji muda dan

matang (c)

IV. Kesimpulan

Secara taksonomi, jenis manglid tergolong spesies Magnolia champaca (L.)

Baill. ex Pierre. dengan tingkat varietas Magnolia champaca var. pubinervia (Blume)

Figlar & Noot. Terdapat beberapa variasi manglid di hutan rakyat yang memiliki

perbedaan pertelaan morfologi daun, warna bunga, batang, dan bentuk tajuk.

a c b

a b c

Page 26: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter

18 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Daftar Pustaka

Azuma, H., García-Franco, J. G., Rico-Gray, V., & Thien, L. B. (2001). Molecular

phylogeny of the Magnoliaceae: the biogeography of tropical and temperate

disjunctions. American Journal of Botany, 88(12), 2275-2285.

Figlar, R. B., & Nooteboom, H. P. (2004). Notes on Magnoliaceae IV. Blumea-

Biodiversity, Evolution and Biogeography of Plants, 49(1), 87-100.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan

Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Kim, S., Park, C.-W., Kim, Y.-D., & Suh, Y. (2001). Phylogenetic relationships in

family Magnoliaceae inferred from ndhF sequences. American Journal of

Botany, 88(4), 717-728.

Nooteboom, H. P. (1988). Magnoliaceae. Flora Malesiana ser. I, vol 103. Leiden,

The Netherlands.

Rozak, A. H. (2012). Status taksonomi, distribusi dan kategori status konservasi

magnoliaceae di indonesia. Buletin Kebun Raya, 15(2), 81-92.

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). PROSEA 5 (3) Timber trees:

lesser known species: Backhuys Publishers, Leiden.

Page 27: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 19

Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada

Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Budiman Achmad1

ABSTRAK

Manglid adalah jenis pohon yang banyak dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Kabu-

paten Tasikmalaya, tetapi sarana pendukungnya masih lemah. Penelitian ini bertujuan

mengetahui perkembangan tegakan manglid dan potensi kelestarian hasilnya. Penelitian

dilakukan pada bulan Maret–Juli 2011 di tiga desa, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal,

dan Karyabakti, Kabupaten Tasikmalaya. Pengambilan data dilakukan dengan cara inven-

tarisasi terhadap 20 blok hutan rakyat sehingga total ada 60 blok hutan rakyat. Data dimensi

tegakan dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya cukup

besar ditandai dengan tingginya porsi manglid pada hampir semua hutan rakyat di semua

lokasi penelitian. Akan tetapi, perkembangan pohon manglid terancam tidak berkelanjutan

karena potensi keunggulan manglid terhambat karena terlalu tingginya kepadatan populasi

dan terlalu sempitnya rata-rata pemilikan hutan. Untuk meningkatkan peluang kelestarian

hutan berbasis manglid di Kabupaten Tasikmalaya, kepadatan tegakan perlu dikurangi,

terutama di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Sementara untuk Desa Sepatnunggal,

struktur tegakan manglid perlu diperbaiki dengan meningkatkan populasi tegakan muda.

Kata kunci: hutan rakyat, kelestarian, manglid, Tasikmalaya.

I. Pendahuluan

Hutan rakyat dan kelestarian hasil adalah isu yang tidak bisa dipisahkan.

Pengembangan jenis tanaman pada hutan rakyat selalu dikaitkan dengan perkiraan

waktu panen atau daur, sedangkan pemilihan jenis tanaman tertentu selalu dihu-

bungkan dengan tujuan pengembangannya. Manglid adalah jenis pohon cepat tum-

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Ciamis; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4

Pamalayan, Ciamis; Email: [email protected]

Page 28: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

20 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

buh (fast growing species) yang mempunyai postur batang relatif lurus, tetapi

daurnya lebih panjang dibandingkan dengan sengon. Pengembangan manglid pada

hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya ditujukan sebagai tabungan jangka panjang

dan sekaligus untuk konservasi pada lahan-lahan miring.

Pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya tergolong sempit, yaitu rata-rata

0,1–0,36 ha. Sempitnya lahan hutan tidak memungkinkan petani mengandalkan

pendapatan hanya dari hasil hutan saja, tetapi harus juga mempunyai sumber

pendapatan yang lain. Beberapa sumber pendapatan petani hutan di Kabupaten

Tasikmalaya, antara lain dari sektor jasa, sawah, hutan, kolam ikan, ternak, dan

kiriman keluarga. Dari beberapa sumber pendapatan tersebut, pendapatan dari sek-

tor hutan rakyat bukan menjadi sumber utama, tetapi dari sektor jasa. Kondisi

tersebut mengisyaratkan bahwa pengelolaan hutan rakyat di Tasikmalaya butuh

pemilihan jenis yang sesuai dengan karakter sosial ekonomi petani dan biofisiknya.

Oleh sebab itu, pengembangan jenis manglid pada hutan rakyat perlu dievaluasi

kesesuaiannya dengan karakter tersebut.

Kontribusi pendapatan petani dari tegakan manglid tidak lebih baik dari

kontribusi pendapatan dari tegakan sengon. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Diniyati et al. (2011) menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan yang cukup besar

dari manglid hanya berasal dari Desa Tanjungkerta, yaitu 56,71%. Sementara itu,

sumbangan pendapatan dari tegakan manglid di Desa Sepatnunggal dan Karyabakti

masih lebih rendah daripada tegakan sengon. Hal tersebut disebabkan oleh daur

ekonomi manglid yang rata-rata mencapai dua kali lebih lama dibandingkan dengan

daur ekonomi sengon.

Berdasarkan penjelasan di atas, hal yang menarik untuk dikaji adalah

bagaimana perkembangan tegakan manglid di Kabupaten Tasikmalaya dan seberapa

besar potensi kelestariannya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui

perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya dalam

hubungannya dengan pemanfaatannya secara lestari.

Page 29: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 21

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya pada tiga desa terpilih yang

mewakili wilayah pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnung-

gal dan Karyabakti. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena banyak dikembangkan

hutan rakyat dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, agroforestri, dan

polikultur. Selain itu, lokasi tersebut terdapat pula kelompok tani yang berhubungan

dengan hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011.

B. Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian terdiri atas dua sasaran, yaitu petani dan informan kunci

sebagai subjek pelaku (responden), sedangkan tegakan hutan rakyat sebagai objek

aktivitas.

1. Petani dan Informan Kunci

Unit analisis yang dijadikan sebagai responden, yaitu:

- Petani hutan rakyat anggota kelompok tani. Pemilihan responden dilakukan

secara acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah responden

untuk setiap desa sebanyak 20 orang.

- Informan kunci yang mengetahui dan memahami tentang hutan rakyat di

setiap lokasi penelitian. Pemilihan informan kunci dilakukan secara sengaja

(purposive sampling) dengan teknik penilaian (judgment) (Sarwono, 2006).

Jumlah informan kunci untuk seluruh lokasi penelitian sebanyak 7 orang.

2. Tegakan Hutan Rakyat

- Pemilihan tegakan dilakukan secara stratified random sampling berdasarkan

luas kepemilikan lahan. Dari setiap responden, sebanyak satu blok hutan

dipilih berdasarkan kriteria luas lahan tersebut sehingga setiap desa diperoleh

20 objek hutan yang berlainan luasannya.

Page 30: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

22 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

- Pelaksanaan sensus potensi tegakan, termasuk inventarisasi tanaman bawah.

Parameter yang diukur adalah tinggi dan diameter pohon, serta jumlah dan

jenis tanaman bawah.

C. Analisis Data

Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi atau gambar untuk

mengetahui kondisi petani, pemanfaatan lahan, dan hutan rakyat. Tujuan pengo-

lahan data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca

dan diinterpretasikan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000; Singarimbun

& Efendi, 1989). Potensi tegakan dihitung menggunakan rumus:

Vp = Lbds x h x f

Lbds = 0.25 π D2

Yang mana:

Vp = volume pohon

Lbds = luas bidang dasar

h = tinggi pohon

f = faktor bentuk pohon (0,7)

π = 3,1415

D = diameter setinggi dada

Data yang telah dikelompokkan dalam bentuk tabulasi dan gambar dianalisis

dengan teknik kualitatif (deskriptif). Teknik kualitatif yakni mengolah dan meng-

analisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur,

dan mempunyai makna (Sarwono, 2006).

III. Hasil dan Pembahasan

A. Potensi dan Kerapatan Tegakan Manglid

Hasil observasi lapangan di tiga lokasi penelitian memperoleh data yang

menunjukkan bahwa tanaman penyusun hutan rakyat dapat dikelompokkan menjadi

Page 31: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 23

tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah, dan tanaman obat. Terdapat

kecenderungan bahwa semakin tinggi tempat tumbuh, semakin berkurang jumlah

jenis pohon yang tumbuh. Berdasarkan jumlahnya, jenis pohon yang paling banyak

dijumpai pada hutan rakyat adalah di Desa Karyabakti, yaitu 53 jenis. Desa

Karyabakti mempunyai ketinggian tempat tumbuh 600 m di atas permukaan laut

(dpl). Sementara itu, jenis pohon yang paling sedikit dijumpai pada hutan rakyat

adalah di Desa Tanjungkerta, yaitu 26 jenis. Desa ini berada pada ketinggian 900 m

dpl.

Petani di Kabupaten Tasikmalaya hanya memiliki hutan dengan luas rata-rata

0,10–0,36 ha. Padahal, Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tang-

gal 20 Januari 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan rakyat adalah

hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuk

tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya >50%, dan/atau pada tanaman

tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman/ha. Berdasarkan

ketentuan tersebut, hanya hutan rakyat yang ada di Desa Sepatnunggal saja yang

memenuhi kriteria dan dapat disebut sebagai hutan rakyat.

Meskipun luas lahan yang dimiliki petani di Desa Karyabakti dan Tanjung-

kerta sangat sempit, yakni hanya 0,10 ha dan 0,11 ha, tetapi minat petani untuk

menanam pohon di kedua desa tersebut sangat tinggi. Hal ini dicerminkan oleh

tingginya populasi tanaman yang berturut-turut mencapai 1.962 pohon/ha di Desa

Karyabakti dan 1.729 pohon/ha di Desa Tanjungkerta. Hal ini kemungkinan dido-

rong oleh keinginan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dari lahan yang sempit

tersebut sehingga petani berusaha menanami lahannya dengan pohon sebanyak-

banyaknya. Sikap petani seperti itu justru menyebabkan tingginya persaingan untuk

memperoleh ruang tumbuh dan hara tanah sehingga pertumbuhan pohon semakin

tertekan.

Kondisi yang lebih ideal ditunjukkan oleh petani di Desa Sepatnunggal yang

mengembangkan sebanyak 44 jenis pohon dengan kepadatan 520 pohon/ha. Luas

rata-rata pemilikan hutan di Desa Sepatnunggal adalah tiga kali lebih luas

dibandingkan dengan luas rata-rata pemilikan hutan di Desa Karyabakti dan

Tanjungkerta, tetapi kerapatannya justru sepertiga dari kerapatan tegakan di Desa

Page 32: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

24 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tanjungkerta dan Karyabakti. Kondisi yang berkebalikan tersebut memberikan

gambaran bahwa petani di Desa Sepatnunggal kemungkinan lebih banyak

memperoleh informasi tentang pengelolaan hutan yang baik dan benar. Hal ini juga

tercermin dari keputusan petani Desa Sepatnunggal yang lebih fokus pada perba-

nyakan jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti manglid mencapai

lebih dari setengah populasi tegakan, yaitu 292 pohon/ha untuk jenis manglid dari

total 520 pohon/ha untuk semua jenis, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan banyaknya jenis dan kerapatan pohon

Lokasi penelitian Tinggi tempat

(m dpl)

Pemilikan

hutan (ha)

Jumlah

jenis

Kerapatan semua

jenis (pohon/ha)

Desa Karyabakti 600 0,10 53 1.962

Desa Sepatnunggal 700 0,36 44 520

Desa Tanjungkerta 900 0,11 26 1.729

Sumber: diolah dari data primer 2011

Salah satu faktor yang memengaruhi pengelolaan hutan adalah luas unit

usaha, yaitu harus memenuhi kriteria skala ekonomis. Oleh karena itu, perbedaan

luas pemilikan hutan memaksa petani untuk melakukan strategi pengelolaan yang

berbeda pula. Berdasarkan luas lahannya, petani hutan rakyat di Desa Sepatnunggal

lebih berpeluang mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan petani di

Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Selain disebabkan rata-rata pemilikan hutannya

lebih luas, hal ini kemungkinan juga disebabkan petani di Desa Sepatnunggal tidak

terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan saja karena mereka mem-

punyai sumber pendapatan lain yang lebih besar, seperti dari usaha dagang (sektor

jasa). Hal yang berbeda dialami oleh petani di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta

yang mana pendapatan dari sektor selain hutan relatif kecil sehingga hutan menjadi

tumpuan utama. Tingginya tingkat ketergantungan ditambah dengan kurangnya

informasi tentang pengelolaan hutan yang baik menyebabkan mereka berupaya

Page 33: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 25

mendapatkan penghasilan dari usaha hutan sebesar mungkin dengan menanam

pohon sebanyak-banyaknya.

Tabel 2. Ringkasan data potensi tegakan manglid di lokasi penelitian

Lokasi penelitian

Nilai rata-rata dari pohon Kerapatan

tegakan

(pohon/ha)

Total volume

(m3/ha)

Prioritas

ke Diameter

(cm)

Tinggi

(m)

Volume

(m3)

Desa Karyabakti 7,77 5,05 0,03 332 9,96 1

Desa Sepatnunggal 7,85 5,03 0,04 292 11,68 1

Desa Tanjungkerta 7,93 5,27 0,05 319 15,95 2

Sumber: diolah dari data primer 2011

B. Sebaran Jenis Pohon Penyusun Hutan Rakyat

Berdasarkan data sebaran jenis pohon seperti ditampilkan pada Gambar 1,

terlihat bahwa tiga jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa

Karyabakti berturut-turut adalah manglid, sengon, dan mahoni. Besarnya populasi

manglid hampir seimbang dengan populasi sengon. Ketinggian tempat tumbuh di

Desa Karyabakti sangat ideal bagi pertumbuhan hampir semua jenis pohon sehingga

wajar jika jenis tanaman yang dijumpai sangat banyak. Kesesuaian tempat tumbuh

bagi banyak jenis pohon tersebut disikapi oleh petani secara kurang bijaksana dengan

memperbanyak populasi pohon sehingga justru menghambat pertumbuhan diameter

pohon. Petani di Desa Karyabakti seharusnya melakukan penjarangan keras untuk

memberi kesempatan pada pohon agar bisa tumbuh lebih besar.

Berdasarkan data sebaran jenis pohon pada Gambar 2, hal yang hampir sama

terlihat bahwa tiga jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa Sepat-

nunggal berturut-turut adalah manglid, mahoni, dan sengon. Populasi manglid pada

hutan rakyat di Desa Sepatnunggal sangat mencolok, yakni lebih dari 40%,

sedangkan mahoni hanya 15% dan sengon kurang dari 10%. Petani di desa ini mulai

memperbanyak pohon manglid kemungkinan karena adanya isu banyaknya penyakit

Page 34: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

26 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

karat tumor yang menyerang sengon. Kemungkinan lain karena petani di desa ini

mengetahui nilai dan prospek ekonomi manglid. Hal ini terlihat dari Tabel 1 dan

Gambar 2. Meskipun jenis yang dikembangkan cukup banyak, yaitu 44 jenis pohon;

petani di Desa Sepatnunggal sudah cerdas dengan memprioritaskan jenis pohon

yang lebih bernilai ekonomi.

Gambar 1. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Karyabakti

Gambar 2. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Sepatnunggal

Page 35: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 27

Data sebaran jenis pohon pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tiga jenis

pohon yang dominan dikembangkan oleh petani di Desa Tanjungkerta berturut-

turut adalah mahoni, manglid, dan sengon. Populasi manglid di Desa Tanjungkerta

berada pada urutan kedua setelah mahoni, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan

sengon. Perbedaan populasi dari ketiga jenis pohon tersebut di hutan rakyat Desa

Tanjungkerta tidak terlalu mencolok. Hal ini menggambarkan bahwa petani di desa

ini masih mengandalkan mahoni dan sengon sebagai hasil kayu utama dari hutan

rakyat karena kedua jenis pohon tersebut telah mempunyai pasar secara jelas. Kayu

mahoni dan sengon adalah bahan baku utama pembuatan papan palet (ukuran 8 x 10

x 130 cm) bagi industri besar yang ada di Tasikmalaya dan Banjar.

Gambar 3. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Tanjungkerta

Manglid termasuk ke dalam jenis pohon yang cepat tumbuh, meskipun per-

tumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan pohon sengon. Hasil penelitian

Li-Hua et al. (2014) di Vietnam menyatakan bahwa ketinggian tempat tumbuh

yang paling sesuai untuk pohon manglid adalah 550 m dpl. Akan tetapi, menurut

World Agroforestry Center (2011), pertumbuhan mangid di Vietnam masih baik

pada tempat tumbuh dengan ketinggian 550–700 m dpl. Sementara itu, ketinggian

tempat tumbuh paling baik bagi sengon adalah 800 m dpl. Berdasarkan ketinggian

tempat tumbuh pohon manglid di lokasi penelitian menunjukkan bahwa Desa

Page 36: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

28 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Karyabakti dan Desa Sepatnunggal mempunyai ketinggian yang masih sesuai untuk

perkembangan manglid. Sebaliknya, Desa Tanjungkerta dengan ketinggian 900 m

dpl kurang sesuai untuk perkembangan manglid sehingga keputusan petani

mengembangkan pohon manglid pada hutan rakyat di Tajungkerta berpotensi

menghadapi kendala pertumbuhan. Oleh karena itu, pemilihan manglid sebagai

jenis prioritas oleh petani di Desa Karyabakti dan Sepatnunggal dinilai tepat.

Demikian halnya dengan pemilihan manglid sebagai jenis prioritas kedua setelah

mahoni oleh petani di Desa Tanjungkerta juga masih bisa ditolerir.

Menurut World Agroforestry Center (2011), pertumbuhan manglid (Mang-

lietia glauca) pada tempat tumbuh yang rendah (<400 m dpl) kurang menunjukkan

performa yang baik. Tegakan manglid umur 12–13 tahun hanya mempunyai riap

rata-rata tahunan (MAI) sebesar 8–9 m3/ha/tahun. Sementara itu, pertumbuhan

manglid umur 15–30 tahun pada ketinggian tempat tumbuh 400–700 m dpl

tergolong baik, yaitu mempunyai nilai MAI sebesar 10–14 m3/ha/tahun.

Pertumbuhan awal pohon manglid dan penutupan tajuknya relatif lambat sehingga

cocok ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, seperti jagung atau kapulaga.

Kayu manglid lebih banyak dipergunakan untuk bahan mebel sehingga

diameter rata-rata minimal yang disyaratkan adalah 20 cm. Hal ini berbeda dengan

kegunaan kayu mahoni dan sengon yang lebih banyak digunakan untuk memasok

bahan baku industri kayu gergajian ukuran kecil seperti palet (ukuran 6 x 10 x 130

cm) pada industri pengolahan di Tasikmalaya dan Banjar.

C. Potensi Kelestarian Hasil Tegakan Manglid

Luas rata-rata pemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah 0,10–0,36

ha. Untuk memperoleh hasil (pendapatan) yang berkelanjutan pada lahan yang

sempit dibutuhkan tanaman yang bisa cepat dipanen. Sementara itu, waktu panen

yang besarnya dua kali lebih lama dibandingkan dengan waktu panen sengon

menyebabkan pengembangan manglid kurang menarik sehingga minat petani

terhadap manglid terancam menurun.

Page 37: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 29

Dominasi jenis manglid di Desa Sepatnunggal yang populasinya hampir

mencapai 50% ternyata tidak didukung oleh cadangan tanaman muda yang nantinya

akan mengisi kelas diameter yang lebih tinggi. Dengan kata lain, populasi tegakan

manglid didominasi oleh pohon berukuran besar. Hal ini berbeda kondisinya dengan

manglid di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta yang menunjukkan struktur tegakan

dengan sebaran kelas diameter lebih normal (Gambar 4). Populasi anakan manglid

pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta jumlahnya lebih banyak

dibandingkan dengan populasi anakan manglid di Desa Sepatnunggal. Struktur

tegakan seperti di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta mendorong terciptanya keles-

tarian hasil, khususnya pada hutan rakyat berbasis manglid.

Gambar 4. Sebaran kelas diameter tegakan manglid di Desa Sepatnunggal, Karyabakti, dan

Tanjungkerta

Daur ekonomi tegakan manglid hampir dua kali lebih lama dibandingkan

tegakan sengon. Padahal, harga kayu manglid tidak terlalu berbeda dengan harga

kayu sengon. Berdasarkan perbandingan tersebut, pengembangan manglid secara

besar-besaran pada lahan sempit dari aspek kecepatan cash flow kurang mengun-

tungkan petani. Dengan demikian, tegakan manglid lebih sesuai ditujukan untuk

Page 38: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad

30 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

kepentingan ekonomi jangka panjang (semacam tabungan), sekaligus untuk tujuan

konservasi tanah dan air. Selain itu, pengembangan manglid di Kabupaten

Tasikmalaya yang mayoritas lahannya sempit masih mempunyai prospek yang baik

jika ditumpangsarikan dengan tanaman semusim sehingga pendapatan jangka pen-

dek tetap diperoleh petani.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara umum, perkembangan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten

Tasikmalaya tergolong cukup besar. Hal ini terbukti dari dominasi jenis tersebut di

hampir semua hutan rakyat di wilayah tersebut. Seperti halnya sengon, manglid

termasuk jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species), tetapi mempunyai masa

panen relatif lebih lama dibandingkan dengan pohon sengon.

Luas pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya yang rata-rata sempit men-

jadi faktor pembatas dari pengembangan jenis manglid. Hal tersebut disebabkan

pendapatan dari pohon manglid terlalu lama untuk menopang kebutuhan petani.

Selain itu, kerapatan tegakan manglid pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan

Tanjungkerta dinilai terlalu tinggi.

Dari aspek kelestarian hasil, manglid adalah jenis pohon yang sesuai dikem-

bangkan pada hutan rakyat melalui pola agroforestri agar diperoleh hasil yang

berkelanjutan, yaitu hasil jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Untuk lebih menjamin kelestarian hutan berbasis manglid, struktur tegakan manglid

di Desa Sepatnunggal perlu diperbaiki dengan menambah anakan. Selain itu, untuk

meningkatkan peluang kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, penga-

turan kerapatan menjadi penting dilakukan dengan cara menjarangi jenis-jenis yang

kurang bernilai ekonomi.

Page 39: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 31

B. Saran

Mengingat lahan yang dimiliki petani relatif sempit (luas rata-rata 0,10–0,36

ha), kerapatan tegakan sebaiknya dikurangi agar tersedia ruang tumbuh yang lebih

luas bagi pohon dan tanaman bawah yang menjadi sumber pendapatan jangka

pendek.

Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (2000). Pedoman survei sosial ekonomi

kehutanan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Pusat Sosial dan Ekonomi

Kehutanan dan Perkebunan, Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola

agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan

Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai

Penelitian Teknologi Agroforestry.

Li-Hua, L., Ri-ming, H., Rui-hong, N., & Zhong-guo, L. (2014). Responses of

Manglietia glauca growth to soil nutrients and climatic factors. Yingyong

Shengtai Xuebao, 25(4).

Sarwono, J. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif: Graha Ilmu,

Yogyakarta.

Singarimbun, M., & Efendi. (1989). Metode penelitian survei. Jakarta, Indonesia:

LP3ES.

World Agroforestry Center. (2011). Timber supply and demand and growth

potential of fast growing tree species in the northwest region of Vietnam.

AFLI Technical Report No. 6.

Page 40: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 41: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 33

Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta

Potensinya untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah

Priangan Timur1

Asep Rohandi2 & Gunawan2

ABSTRAK

Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis potensial dan salah satu jenis unggulan

untuk hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini sudah cukup dikenal dan banyak dibudidayakan

masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan Timur). Terbatasnya

sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas unggul dan kurangnya informasi lahan

potensial merupakan beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan jenis ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman manglid tersebar di sebagian besar wilayah

Priangan Timur, yaitu di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang. Karak-

teristik tegakan didominasi oleh hutan campuran yang berasosiasi dengan jenis tanaman

sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Tegakan didominasi

tanaman muda berumur 1–10 tahun dengan kisaran tinggi 4–36 m dan diameter 3–72 cm.

Jenis ini tumbuh pada jenis tanah latosol, andosol, campuran latosol & andosol, aluvial, dan

podsolik merah kuning pada ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/

tahun, dan kelerengan 0–45%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang cukup

potensial untuk dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari, Kecamatan

Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel, Kabupaten

Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.

Kata kunci: hutan rakyat, manglid, sebaran populasi, Priangan Timur, sumber benih

1 Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur II “Pembaruan Silvikultur untuk

Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”, di Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jalan Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Po.

Box 5 Ciamis 46201; Email: [email protected]

Page 42: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

34 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon potensial

dan telah ditetapkan sebagai salah satu tanaman unggulan hutan rakyat di Jawa

Barat, serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Rimpala, 2001).

Jenis ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, cukup dikenal, dan sudah

banyak dibudidayakan masyarakat, terutama di wilayah Jawa Barat bagian timur

(Priangan Timur). Manglid merupakan pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat

mencapai 40 m dan diameternya sebesar 150 cm (Hildebran, 1935 dalam Rimpala,

2001). Jenis ini disukai oleh masyarakat karena kayunya mengkilat; strukturnya

padat, halus, dan ringan; dan mudah dikerjakan atau diolah untuk berbagai

penggunaan. Dengan BJ 0,4, Kelas Kuat III, dan Kelas Awet II; kayu manglid dapat

digunakan sebagai bahan pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga (meja, kursi,

lemari), hiasan kayu, patung, ukiran, kayu lapis, dan pulp (Prosea, 1998 dalam

Rimpala, 2001).

Keberhasilan pengembangan jenis ini perlu didukung oleh beberapa faktor,

antara lain ketersediaan benih berkualitas unggul dalam jumlah yang cukup dan

berkesinambungan. Benih merupakan unsur strategis karena benih mengawali

pengembangan segenap fungsi hutan, dari hutan industri hingga hutan untuk

perlindungan tanah dan air, flora, fauna, dan sumber plasma nutfah lainnya, serta

untuk kesejahteraan masyarakat luas (Balai Teknologi Perbenihan, 1998). Tersedia-

nya benih bermutu genetik unggul tidak terlepas dari keberadaan sumber benih yang

telah menerapkan kaidah-kaidah pemuliaan pohon. Kondisi sumber benih pada saat

ini masih sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu,

kondisi sumber benih yang ada masih memiliki mutu yang rendah dengan potensi

produksi yang rendah pula. Pemilihan sumber benih yang tidak tepat dan mutu

benih yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal

(Nurhasybi, 2008; Nurhasybi et al., 2000; Zobel & Talbert, 1984).

Salah satu kegiatan yang berperan sangat penting dalam memberdayakan

jenis-jenis pohon yang potensial adalah pemetaan sebaran populasi sumber benih

(Danu et al., 2006; Kartiko, 2001; Zobel & Talbert, 1984). Peta sebaran populasi ini

dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan sumber benih yang tepat. Peng-

Page 43: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 35

gunaan sumber benih yang tepat merupakan salah satu dasar yang sederhana dan

mudah dalam usaha perbaikan tanaman hutan (Nienstadt & Snyder, 1974).

Garaudal et al. (1997) menjelaskan bahwa peta sebaran digunakan untuk menge-

tahui sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat

menurun jenis tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan

adanya peta ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih

diharapkan dapat mewakili potensi faktor menurun yang ada dari seluruh populasi.

Selain tersedianya benih berkualitas baik, upaya meningkatkan produktivitas

hutan memerlukan lokasi tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis-jenis yang akan

dikembangkan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Sumber benih yang

paling cocok untuk ditanam di suatu kondisi lingkungan mungkin akan tumbuh

berbeda di tempat lain. Pada kebanyakan pohon hutan, sumber benih berubah

peringkatnya jika diperbandingkan dengan kondisi lingkungan yang berbeda.

Wiradisastra (1996) menjelaskan bahwa setiap jenis memiliki perbedaan tingkat

kesesuaian terhadap lingkungan fisik sehingga dapat dipilah berdasarkan perbedaan

wilayah sebaran dengan ciri-ciri tertentu.

II. Metodologi

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga November 2010.

Kegiatan penelitian dilakukan di wilayah Priangan Timur, meliputi Kabupaten

Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, dan Kota Banjar.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi populasi tanaman manglid, Image Digital

DEM-SRTM Satelit 90 m tahun 2009, peta penunjukan tanah semidetil tahun

1974 (1:250.000), peta curah hujan liputan tahun 2001–2006 (1:250.000), peta

digital RBI tahun 2001 (1:250.000), peta land sistem Jawa tahun 2001 (1:250.000),

dan peta zonasi benih tanaman hutan Jawa dan Madura tahun 2001 (1:1.000.000).

Page 44: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

36 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Alat yang digunakan meliputi alat survey lapangan dan laboratorium, berupa

GPS (Global Positioning System), program Arc GIS, teropong, hagameter, alti-

meter, pita ukur, tambang, alat tulis, dan lain-lain.

C. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan penelitian tahap pertama yang dilakukan meliputi koordinasi dengan

pihak/instansi terkait, serta orientasi dan identifikasi lapangan. Sementara itu, kese-

luruhan penelitian pengambilan data yang dilakukan meliputi

1) data dan informasi sebaran tegakan/populasi, produktivitas tegakan manglid,

serta informasi geografi dan kondisi ekologisnya;

2) peta sebaran populasi jenis manglid untuk wilayah Priangan Timur; dan

3) peta potensi lahan jenis manglid sebagai informasi dasar untuk menentukan

lokasi pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Sebaran Hutan Rakyat Manglid

Survey dan identifikasi yang dilakukan di wilayah Priangan Timur diperoleh

hasil yang menunjukkan bahwa populasi tanaman manglid paling banyak tersebar di

wilayah Tasikmalaya, meliputi daerah Taraju, Sodong, Salawu, Singaparna, Ciawi,

Cigalontang, Pagerageung, dan Cibalong. Populasi manglid di wilayah Ciamis dan

Garut tersebar di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten

Tasikmalaya. Di Kabupaten Sumedang, populasi manglid terpusat di beberapa

daerah; sedangkan di kota Banjar, sebaran populasi manglid tidak ditemukan.

Populasi tanaman manglid sebagian besar berada pada daerah perbukitan

dengan kelerengan yang cukup curam. Lokasi lainnya yang merupakan sebaran

populasi tanaman ini adalah pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir

sungai. Tanaman manglid yang ditemukan seluruhnya merupakan hasil penanaman

(tanaman masyarakat). Tanaman tersebut tumbuh menyebar pada lahan kosong,

Page 45: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 37

hutan rakyat, pekarangan, pinggir sungai, kebun campur, pinggir jalan, ataupun

fasilitas umum lainnya. Kualitas tegakan cukup bervariasi untuk setiap lokasi, tetapi

sebagian besar kondisi tanaman cukup baik. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan

pemeliharaan yang dilakukan sudah cukup intensif, sedangkan kasus di beberapa

tempat menunjukkan kondisi tanaman yang kurang optimal karena kurangnya

tindakan pemeliharaan dan adanya serangan hama/penyakit. Secara kuantitatif,

produktivitas sebagian tegakan di setiap lokasi sulit dibandingkan karena informasi

mengenai umur tegakan tidak diketahui secara pasti, serta kondisi lingkungan dan

perlakuan yang berbeda. Begitu juga untuk sejarah pembungaan dan pembuahan

tegakan di setiap lokasi, informasinya sangat kurang karena pada saat kegiatan

survey dilakukan sudah melewati musim berbunga/berbuah dan hanya sebagian yang

diketahui berdasarkan keterangan pemilik lahan. Manglid pada hutan rakyat

tersebut pada umumnya ditanam dengan pola monokultur dan campuran (Gambar

1).

Gambar 1. Populasi tanaman manglid pola monokultur dan campuran di Kabupaten

Tasikmalaya

Tanaman yang berasosiasi dengan tegakan manglid khususnya untuk tanaman

kehutanan adalah sengon (falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla),

jati (Tectona grandis), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophylla), gmelina

(Gmelina arborea), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), khaya (Khaya anthoteca), aren

(Arenga pinata), dan bambu. Sementara itu, jenis tanaman perkebunan yang banyak

dijumpai adalah teh, nangka, petai, dan jengkol (Tabel 1).

Page 46: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

38 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Page 47: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 39

Page 48: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

40 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Kondisi Ekologis Wilayah Sebaran dan Potensi Lahan

Hasil survey memperoleh informasi kondisi ekologi lokasi sebaran populasi

tanaman manglid untuk parameter ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan, dan

kelerengan. Kondisi tempat tumbuh tanaman manglid pada beberapa lokasi seleng-

kapnya tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi agroklimat tempat tumbuh tegakan manglid di beberapa lokasi di wilayah

Priangan Timur

No. Lokasi Jenis tanah Ketinggian

(m dpl)

Curah hujan

(mm/tahun)

Kelerengan

(%)

1. Tasikmalaya Latosol, latosol & andosol,

aluvial, podsolik merah

kuning

305–894 2.000–3.500 0–45

2. Sumedang Latosol & andosol, andosol 666–1200 1.500–2.500 15–45

3. Garut Latosol, latosol & andosol 644–785 2.500–3.500 15–25

4. Ciamis Latosol & andosol 229–854 2.500–3.500 15–45

Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur

hanya tersebar di empat lokasi (kabupaten), yaitu Kabupaten Tasikmalaya,

Sumedang, Garut, dan Ciamis. Sementara itu, tegakan/populasi manglid di Kota

Banjar tidak ditemukan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor ketinggian tempat

wilayah Banjar yang hanya berada di bawah 200 m dpl. Populasi tanaman manglid

sebagian besar tersebar dan tumbuh pada lahan dengan jenis tanah latosol.

Sementara itu, bila dilihat dari ketinggian tempat, tanaman manglid di wilayah

Priangan Timur tumbuh pada ketinggian 400–800 m dpl, curah hujan 2.500–3.000

mm/tahun dengan kelerengan 15–25% (Gambar 2).

Page 49: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 41

Gambar 2. Sebaran populasi tanaman manglid di wilayah Priangan Timur pada berbagai

kondisi curah hujan

Page 50: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

42 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Karakteristik ekologis tanaman manglid yang diperoleh dapat dijadikan dasar

untuk mengetahui potensi lahan dalam pengembangan hutan tanaman manglid di

suatu wilayah. Danu et al. (2009) menyatakan bahwa peta potensi lahan merupakan

gabungan dari kondisi lokasi populasi yang diamati. Penyusunan peta potensi lahan

dapat dilakukan secara lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria,

seperti jenis tanah, ketinggian, dan curah hujan; ataupun dengan menambahkan

kriteria lainnya, seperti kelas lereng, dan kelembaban. Semakin detilnya data dasar

yang diperoleh, informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap.

Peta potensi lahan dapat dijadikan pendekatan seperti dalam konsep zonasi

benih sebagai zona penggunaan benih. Prinsip pokok dari zona penggunaan benih

menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) adalah sumber benih yang

berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda yang disebabkan oleh adanya

interaksi genotipe dan lingkungan. Tanaman dengan kualitas genetik baik akan

menghasilkan fenotipe yang baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai.

Zona penggunaan benih dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari

beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini,

pertumbuhan lebih kurang seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat

digunakan di seluruh zona.

C. Ketersediaan dan Potensi Sumber Benih Manglid

Sumber benih manglid di wilayah Jawa dan Madura hanya terdapat di dua

lokasi di Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk wilayah Priangan Timur (Tabel 3).

Keberadaan sumber benih tersebut sebanding dengan banyaknya populasi tegakan

atau hutan tanaman manglid di wilayah ini. Berdasarkan luas sumber benih dan luas

hutan tanaman manglid yang ada, sumber benih manglid masih sangat diperlukan.

Selain itu, kebutuhan benih manglid akan semakin meningkat seiring dengan

semakin besarnya minat masyarakat untuk membangun hutan rakyat jenis ini,

terutama setelah banyaknya serangan karat tumor pada tanaman sengon yang meru-

pakan kayu rakyat utama pada saat ini. Dengan demikian, benih manglid berkualitas

untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lapangan sangat diperlukan.

Page 51: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 43

Tabel 3. Sumber benih bersertifikat jenis manglid (M. glauca) di Jawa Barat sampai tahun

2010

No. Lokasi Pengelola Luas (ha) Klasifikasi sumber benih

1. Tasikmalaya PT. Synergyndo

Adimitra

1.22 Tegakan benih teridentifikasi

2. Bandung

Selatan

CV. Calakan Bina

Lingkungan

1.50 Tegakan benih teridentifikasi

Jumlah 1.72

Sumber: BPTH (2010)

Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman manglid,

keberadaan sumber benih mutlak diperlukan sebagai penghasil benih bermutu.

Nurhasybi et al. (2000) menjelaskan bahwa mutu benih sangat berpengaruh terha-

dap keberhasilan penanaman di lapangan. Kendala yang dihadapi saat ini adalah

pengadaan sumber benih masih terbatas, pertumbuhan tanaman belum optimal, riap

kayu rendah, bentuk batang tidak lurus, dan serangan hama/penyakit pada bibit di

persemaian dan tanaman di lapangan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh

pemilihan jenis dan sumber benih yang tidak tepat, serta mutu benih yang rendah.

Barner & Ditlevsen (1995) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman

diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas

sumber benih berhubungan dengan kesesuaian ekologis antara sumber benih

terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipe atau genotipe sumber benih,

metode dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan.

Pada saat ini, penggunaan benih unggul oleh masyarakat khususnya untuk

hutan rakyat masih belum optimal. Selain itu, jenis tanaman yang digunakan petani

lebih bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis cepat tumbuh, dan kayunya

disukai masyarakat setempat. Danu et al. (2004) menyatakan bahwa keragaman

tanaman yang digunakan untuk hutan rakyat sangat tinggi karena menggunakan

sistem penanaman campuran dan dari segi ekologi, hal ini sangat mendukung

perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh

Page 52: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

44 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat dan jenis yang

menjadi andalan setempat, seperti untuk jenis manglid di wilayah Tasikmalaya.

Hasil survey menemukan beberapa populasi/tegakan manglid yang memiliki

potensi untuk dijadikan sumber benih yang memenuhi syarat untuk disertifikasi,

yang mana pohon-pohon manglid tersebut berukuran besar dan sudah digunakan

oleh masyarakat setempat untuk pengadaan bibit. Tegakan manglid tersebut sangat

potensial untuk dinilai dan ditunjuk sebagai sumber benih dan pohon plus (Tabel 4).

Tabel 4. Tegakan manglid pada beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan

menjadi sumber benih

No. Lokasi Umur

(tahun)

Jumlah

pohon induk

Produktivitas tegakan

TT (m) TBC (m) D (cm)

1. Desa Wandasari, Kecamatan

Bojonggambir, Kabupaten

Tasikmalaya

15 104 18–26 14–20 14–48

2. Desa Jaya Mekar, Kecamatan

Cibugel, Kabupaten Sumedang

15 62 9–16 3–12 14–45

3. Desa Lebak Baru, Kecamatan

Cikupa, Kabupaten Ciamis

13 40 17–22 14–18 30–44

Keterangan: TT = Tinggi total; TBC = Tinggi bebas cabang; D = Diameter pohon

Penilaian tegakan yang dilakukan lebih didasarkan pada pedoman penunjukan

sumber benih Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) yang menjelaskan

bahwa kriteria umum kelayakan sumber benih meliputi aksesibilitas, jumlah pohon,

kualitas (fenotipe) tegakan, pembungaan dan pembuahan, serta keamanan dan

kesehatan. Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika semua tolok ukur

tersebut terpenuhi. Oleh karena itu, tegakan manglid di atas (Tabel 4) hanya dapat

ditunjuk sebagai sumber benih dengan kelas tegakan benih (teridentifikasi atau

terseleksi) karena asal-usul benih yang digunakan tidak diketahui.

Page 53: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 45

Apabila dilihat dari berbagai pola pengelolaan lahan, pengembangan sumber

benih manglid di lahan masyarakat terutama dapat dilakukan pada hutan rakyat

murni, hutan campur, dan perkebunan (kebun teh). Sebaliknya, untuk tipe pengelo-

laan lahan yang lain, pengembangan sumber benih sulit dilakukan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Pramono et al. (2008) bahwa untuk jenis mindi (Melia azedarach),

pengembangan sumber benih pada lahan persawahan atau tegalan yang dikelola

intensif kurang potensial karena perlakuan silvikultur berupa pruning keras akan

mengganggu produksi benih, sedangkan pada pekarangan dianggap kurang cocok

karena cenderung luas lahannya sempit dan jumlah pohonnya sedikit.

Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam

pengembangan sumber benih. Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan

titik awal dalam penyediaan benih berkualitas dari jenis manglid secara berkelan-

jutan. Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberi-

kan keuntungan, yaitu 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik

yang luas sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap

lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang memi-

liki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya sehingga dapat memberikan

peluang untuk pemanfaatan yang beragam (Danu et al., 2007). Selain itu, pem-

buatan dokumentasi benih akan mudah dengan mencantumkan kondisi tegakan,

data ekologi, asal benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya.

Benih hasil dari sumber benih ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang

sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih, dan penyelamatan

plasma nutfah atau konservasi genetik ex situ dengan hasil keragaman yang sama

dan sebaran populasi alaminya.

Manfaat lain dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan

potensial adalah membantu program koservasi sumber daya genetik di wilayahnya

(Garaudal et al., 1997). Peta sebaran digunakan untuk mengetahui sebaran geografi

dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis tanaman target,

baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta ini, pengambilan

contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat mewakili potensi

faktor menurun yang ada di seluruh populasi. Peta ini diharapkan akan membantu

Page 54: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

46 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

para pengguna dalam aplikasi kegiatan penanaman di lapangan. Selain itu, pengem-

bangan tanaman manglid, khususnya di Priangan Timur, perlu didukung oleh

berbagai pihak, di antaranya adalah Dinas Kehutanan. Kegiatan penyuluhan tentang

teknik budi daya beserta prospek pengembangan tanaman manglid perlu terus

dilakukan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Jawa-Madura berperan pen-

ting dalam pengembangan sumber benih manglid sebagai penyedia benih berkualitas

untuk meningkatkan produktivitas tegakan di lapangan. Selain pertimbangan aspek

fisik, keberhasilan pengembangan manglid memerlukan pertimbangan aspek lain-

nya, seperti aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

IV. Kesimpulan

Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur mempunyai karakteristik tipe

tegakan yang didominasi oleh hutan campuran berasosiasi dengan jenis sengon,

suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur tegakan manglid

didominasi tegakan muda umur 1–10 tahun dengan tinggi 4–36 m dan diameter 3–

72 cm. Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah

latosol, andosol, latosol dan andosol, serta aluvial dan podsolik merah kuning pada

ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/tahun, dan kelerengan

0–45%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang cukup potensial untuk

dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari, Kecamatan Bojong-

gambir, Kabupaten Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel, Kabupaten

Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.

Daftar Pustaka

Balai Teknologi Perbenihan. (1998). Program nasional sistem perbenihan

kehutanan. Bogor, Indonesia: BTP (Balai Teknologi Perbenihan).

Barner, H., & Ditlevsen, B. (1995). The strategies and procedures for an integrated

national tree seed programme for seed procurement, tree improvement and

genetic resources. Estrategias y procedimientos para un programa nacional

Page 55: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 47

integrado de semillas forestales para el abastecimiento de semillas, el

mejoramiento genético y la conservación de recursos genéticos forestales.

Programas de abastecimiento de semillas forestales: Danida Forest Seed

Centre, Turrialba (Costa Rica). CATIE, Turrialba (Costa Rica). Proyecto de

Semillas Forestales.

Danu, Nursyahbi, & Yulianti. (2004). Potensi produksi benih di Jawa. Paper

presented at the Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian Badan Litbang

Kehutanan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004, Yogyakarta.

Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2006).

Sebaran populasi tanaman hutan jenis rasamala (Altingia excelsa Noronhae)

untuk sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai

Penelitian Teknologi Perbenihan.

Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2007).

Sebaran populasi tanaman hutan jenis mimba (Azadirachta indica) untuk

sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian

Teknologi Perbenihan.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. (2001). Zona benih tanaman hutan Jawa

dan Madura. Jakarta: Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan

Sosial. Departemen Kehutanan.

Garaudal, L., Kjaer, E., T, A., & L., A. B. (1997). Perencanaan Program Nasional

untuk Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan. Technical Note No. 48-

Desember 1997. Danida Forest Seed Centre, Krogerupvej 21 DK-3050

Humlaebaek. Denmark.

Kartiko, H.P. (2001). Penyelamatan sumber daya perbenihan untuk pelestarian dan

peningkatan produktivitas tanaman hutan. Bulletin PUSBANGHUT, III(2),

183-190.

Nienstadt, H., & Snyder, E. B. (1974). Principles of genetic improvement of seed.

Nurhasybi. (2008). Beberapa permasalahan pengembangan industri benih tanaman

hutan di Indonesia. Info benih, 12(1).

Page 56: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Rohandi & Gunawan

48 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Nurhasybi, Pramono, A. A., Abidin, A. Z., Rohandi, A., & Mokodompit, S.

(2000). Peta perwilayahan 9 (sembilan) jenis tanaman hutan di Jawa. Balai

Teknologi Perbenihan. Bogor.

Pramono, A. A., Danu, Rohandi, A., Abidin, A. Z., Suartana, M., & Royani, H.

(2008). Sebaran populasi tanaman hutan jenis mindi (Melia azedarach) untuk

sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian: Balai Penelitian Teknologi

Perbenihan. Bogor.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Wiradisastra, U.S. (1996). Delineasi agro-ecological zone. Bahan Kuliah Pelatihan

Apresiasi Metodologi Delineasi Agroekologi. Bogor, 8-17 Januari 1996.

Kerjasama Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian/ AMRP dengan Fakultas Pertanian-IPB. Bogor.

Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree improvement: John Wiley &

Sons.

Page 57: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

BUDI DAYA MANGLID

BAB III

Page 58: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 59: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 51

Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca)

Aris Sudomo1

ABSTRAK

Teknik silvikultur hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) ditujukan sebagai acuan

Standard Operational Procedure (SOP) dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Acuan

ini berisi tentang ringkasan hasil-hasil penelitian teknik silvikultur manglid yang meliputi (1)

teknik perbanyakan manglid, (2) teknik silvikultur manglid pada tiga jarak tanam, dan (3)

karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid. Silvikultur hutan rakyat manglid

dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, persemaian manglid untuk menghasilkan bibit

berkualitas dapat diperoleh dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan

dengan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan pengaturan intensitas

naungan (shading net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan perbanyakan vegetatif stek

pucuk dapat dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan penggunaan hormon Rootone-F®.

Kedua, jarak tanam 2 m x 2 m memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan

dengan jarak tanam 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m hingga umur 28 bulan. Optimalisasi

pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dalam sistem agroforestri. Ketiga, manglid

sesuai ditanam pada ketinggian 300–2.200 m dpl; kelas lereng 0–40%; tipe iklim A–C; curah

hujan >1.000 mm/tahun; temperatur 15–280C; tekstur tanah ringan, sedang, dan berat; serta

kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Manglid yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah

liat masam dengan kandungan C-organik rendah, serta N dan P sangat rendah. Sistem

silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam pembangunan

hutan rakyat manglid.

Kata kunci: Magnolia champaca, hutan rakyat, silvikultur

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box

5 Ciamis 46201

Page 60: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

52 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya

mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand bahan baku

industri kayu. Terdapatnya peluang usaha pembangunan hutan rakyat tersebut

diharapkan dapat menjadi alternatif untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat

petani hutan rakyat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam usaha pembangunan

hutan rakyat ini perlu didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam

pengembangannya agar tercapai produktivitas hutan yang berkelanjutan, berkualitas,

dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk peningkatan produktivitas per

satuan luas lahan hutan rakyat adalah dengan penguasaan dan aplikasi scientific base

knowledge berupa hasil-hasil penelitian, khususnya teknik silvikultur. Hasil pene-

litian teknik silvikultur sebagai landasan ilmiah pembangunan hutan tanaman

diharapkan dapat saling melengkapi dengan experience base knowledge yang telah

dimiliki masyarakat petani hutan rakyat sehingga kombinasi teknologi yang diha-

silkan dapat menjadi alternatif pilihan dalam usaha optimalisasi produktivitas hutan

tanaman, khususnya hutan rakyat.

Komoditas jenis kayu hutan rakyat yang diusahakan masyarakat sangat bera-

gam dan terkadang bersifat lesser known species. Hal ini menyebabkan pengetahuan

tentang teknik silvikultur dari jenis tersebut relatif terbatas sehingga menjadi kendala

dalam pengembangannya. Sudah saatnya pembangunan hutan rakyat kembali pada

jenis-jenis andalan setempat yang sudah adapted di lahan-lahan masyarakat. Hal ini

dikarenakan jenis-jenis tersebut sudah terbukti dapat tumbuh dan mempunyai daya

tahan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit.

Karakteristik beberapa jenis tanaman berkayu, kondisi tapak, dan kondisi

lingkungan hutan rakyat relatif berbeda-beda. Hal ini menyebabkan teknik silvi-

kultur pada suatu jenis tertentu tidak dapat digeneralisasikan untuk diterapkan pada

semua jenis tanaman berkayu lainnya dalam pembangunan hutan rakyat. Oleh

karena itu, penguasaan teknik silvikultur diperlukan pada setiap jenis yang potensial

untuk pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.

Page 61: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 53

Teknik budi daya manglid (Magnolia champaca) sebagai salah satu komiditas

hutan rakyat masih terbatas, sementara laju pengurangan di habitatnya relatif cepat.

Manglid merupakan salah satu jenis andalan setempat Jawa Barat. Di Jawa Barat,

manglid dikembangkan melalui agroforestri pada progam social forestry dan

dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). Faktor yang

memengaruhi keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan bibit

unggul yang diperoleh dari hasil pemuliaan, kondisi lingkungan yang sesuai dengan

persyaratan tumbuh tanaman, manipulasi lingkungan, serta pencegahan hama dan

penyakit secara terpadu (Soekotjo & Naim, 2006). Oleh karena itu, penelitian

tentang teknik silvikultur dilakukan dalam rangka menyediakan alternatif pilihan

teknologi pembangunan hutan tanaman manglid.

Jenis manglid (M. champaca) sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena

selain kayunya mengkilat, strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu

manglid dengan berat kering rata-rata 0,41 memiliki Kelas Awet II dan Kelas Kuat

III–IV yang dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan jembatan, perkakas

rumah tangga (meja, kursi, lemari), kayu konstruksi, bahan bangunan rumah, pelapis

kayu dan plywood (Diniyati et al., 2005; Djajapertjunda, 2003; PIKA, 1996).

Berdasarkan pengamatan di beberapa desa di Kecamatan Salawu, Kawalu,

Taraju, dan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya; serta beberapa desa di Kecamatan

Panumbangan, Kabupaten Ciamis, jenis manglid banyak dikembangkan di hutan

rakyat. Jenis ini terbukti dapat tumbuh baik di lahan-lahan milik masyarakat dengan

batang lurus, monopodial pada awal pertumbuhan dan silindris tanpa banir, cepat

tumbuh, mempunyai nilai estetika tinggi, dan kegunaannya banyak (Djajapertjunda,

2003). Teknik-teknik silvikultur hasil penelitian ini dapat menjadi awal dalam

pengembangan hutan tanaman manglid, baik dengan sistem monokultur, campuran

maupun agroforestri. Teknik silvikultur ini diharapkan dapat dijadikan Standard

Operational Procedure (SOP) dalam pengembangan manglid di hutan rakyat.

Page 62: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

54 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

II. Metodologi

Tulisan ini merupakan sintesis hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya. Penelitian tentang silvikultur hutan rakyat manglid telah dilakukan di

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry sejak tahun 2008.

Makalah tentang aspek-aspek silvikultur manglid, mulai dari perkecambahan hingga

pemanenan, telah banyak dipublikasikan. Oleh karena itu, serpihan-serpihan hasil-

hasil penelitian tersebut menjadi penting untuk disintesis menjadi kesatuan yang

utuh yang mudah dipahami oleh pengguna. Penyusunan status riset aspek silvikultur

ini menggunakan pendekatan systematic review yang mencakup teknik kuantitatif

dan teknik kualitatif. Hasil sintesis berupa ringkasan hasil-hasil penelitian teknik

silvikultur manglid, meliputi (1) teknik perbanyakan manglid (penanganan benih,

teknik perkecambahan, teknik penyapihan, teknik pemberian naungan dan teknik

stek pucuk); (2) teknik silvikultur manglid hasil plot penelitian pada tiga jarak

tanam; (3) interaksi agroforestri manglid+jagung; dan (4) karakteristik pertumbuhan

dan tempat tumbuh manglid di hutan rakyat.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Silvikultur Manglid

1. Penanganan Benih

Pengadaan benih manglid bisa menjadi permasalahan dalam pembangunan

hutan tanaman. Hal ini disebabkan oleh (1) benih manglid merupakan jenis rekal-

sitran sehingga mudah mengalami penurunan kadar air dan daya berkecambah, dan

(2) masa berbuah manglid di Kabupaten Tasikmalaya hanya pada musim hujan

sekitar bulan November–Februari (Sudomo & Dendang, 2008). Benih manglid

mempunyai viabilitas rendah, yaitu daya simpan atau ketahanan biji manglid rendah

(tidak tahan disimpan lama) karena hanya berkisar antara 2–5 minggu, yang mana

biji akan sulit untuk tumbuh setelah lewat waktu tersebut.

Ekstraksi benih atau cara mengeluarkan benih dari buah manglid dilakukan

dengan menjemur buah yang telah masak agar menjadi pecah sehingga memudah-

Page 63: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 55

kan pengeluaran benihnya. Benih yang telah keluar dari kulit buah masih diselimuti

daging buah sehingga perlu dibersihkan dengan cara menyimpan benih di dalam

tempayan, lalu menggosoknya dengan kain. Benih bersih dari daging buah kemu-

dian dicuci bersih dan dikeringanginkan. Berat rata-rata seribu butir biji manglid

adalah 55,46 g (Sudomo & Dendang, 2008; Sudomo et al., 2010).

2. Perkecambahan Benih

Keberhasilan pembibitan manglid salah satunya ditentukan oleh keberhasilan

dalam proses perkecambahan benih. Benih manglid harus segera dikecambahkan

agar daya kecambahnya tinggi. Media perkecambahan untuk benih manglid yang

menghasilkan persentase perkecambahan mulai dari yang tertinggi adalah abu sekam

padi (51,33%), kemudian diikuti serbuk gergaji (46,67%), pasir (42,33%), tanah

(39,67%), dan cocopeat (33,33%). Persentase perkecambahan dapat ditingkatkan

dengan cara menabur benih sesegera mungkin setelah pengunduhan benih dari

pohon (Sudomo, 2009).

3. Penyapihan

Dalam proses penyapihan, penggunaan media tumbuh semai harus berkualitas

tinggi. Media semai tanah (top soil) umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang

baik, namun perlu pula dicampur dengan bahan organik untuk menghasilkan bibit

berkualitas. Ketersediaan berbagai limbah bahan organik, seperti serbuk gergaji,

serbuk sabut kelapa, sekam padi, dan kotoran hewan di sekitar lingkungan petani

hutan rakyat sangat potensial digunakan sebagai media sapih dalam pembuatan bibit

tanaman hutan.

Hasil ujicoba penggunaan berbagai media untuk penyapihan kecambah

manglid menunjukkan bahwa media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa

(1:1:1) lebih baik dibandingkan dengan media tanah+pupuk kandang (3:1),

tanah+pupuk kandang+sekam padi (1:1:1), tanah+pupuk kandang+serbuk gergaji

(1:1:1), tanah+pupuk kandang+pasir (1:1:1), dan tanah+pupuk kandang+abu sekam

padi (1:1:1). Media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1) menghasilkan

indeks mutu bibit 0,132. Penggunaan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut

kelapa (1:1:1) dapat menghasilkan bibit manglid berkualitas (Sudomo et al., 2010).

Page 64: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

56 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

4. Pemberian Naungan

Pada umumnya, intensitas cahaya sinar matahari yang diperlukan oleh setiap

jenis tanaman berbeda-beda. Bahkan, ada satu jenis tanaman yang memerlukan

intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih

muda, cahaya dengan intensitas rendah diperlukan; tetapi, cahaya dengan intensitas

tinggi justeru mulai diperlukan menjelang sapihan (Soekotjo,1976 dalam Faridah,

1996).

Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi,

sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis

sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, intensitas cahaya

optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman baik dan dapat menghasilkan

bibit berkualitas. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian

naungan (shading) sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari

dan suhu yang berlebihan. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan

menyebabkan etiolasi dan serangan penyakit, sedangkan naungan yang kurang akan

mengurangi perlindungan bibit dari sinar matahari langsung, curah hujan yang

tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang ekstrem (Smith, 1986).

Tanaman manglid yang diberikan naungan 40% memberikan hasil pertum-

buhan yang berbeda nyata terbaik dibandingkan dengan intensitas naungan lainnya

(0%, 65%, dan 75%) dengan diameter (0,367 cm) dan tinggi (18,55 cm). Naungan

40% menghasilkan berat kering batang dan daun yang tertinggi (1,819 g), namun

tidak berbeda nyata dengan naungan 65% dan 75%. Naungan tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan jumlah daun, panjang akar, berat

kering akar, dan indeks mutu bibit. Penggunaan naungan 40% pada saat penyapihan

dapat menghasilkan pertumbuhan bibit Magnolia champaca dengan baik (Sudomo,

2009).

5. Perbanyakan Vegetatif dengan Stek Pucuk

Perbanyakan vegetatif jenis manglid sangat membantu dalam kegiatan penye-

diaan bibit karena benih manglid termasuk ke dalam kelompok rekalsitran (lama

penyimpanan terbatas). Dengan demikian, kegiatan penanaman tidak akan selalu

Page 65: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 57

tergantung pada musim buah yang senantiasa berubah. Selain itu, pembiakan

vegetatif sangat diperlukan karena bibit hasil pengembangan secara vegetatif meru-

pakan duplikat induknya sehingga mempunyai struktur genetik yang sama (Na'iem,

2000).

Perbanyakan vegetatif melalaui stek pucuk manglid dengan pemberian

Rootone-F® dalam dosis 100 ppm menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibanding-

kan dengan dosis lain. Hasil tersebut dapat mencapai 2,25 tunas, panjang akar

tertinggi sebesar 8,85 cm (meningkat 34,46% dibandingkan dengan perlakuan tanpa

hormon Rootone-F®), dan jumlah akar terbanyak 6,75 buah (meningkat 40,74%

dibandingkan tanpa hormon Rootone-F®). Pemberian Rootone-F® metode oles

menghasilkan persentase hidup stek pucuk lebih tinggi dibandingkan dengan larutan

Rootone-F® dengan dosis 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Selain itu,

persentase keberhasilan stek pucuk dapat ditingkatkan melalui teknik juvenilisasi

dan penyempurnaan teknik sterilisasi (Sudomo et al., 2013).

6. Teknik Silvikultur Manglid

Perlakuan silvikultur mencakup semua tindakan yang diterapkan dalam

pengelolaan tegakan hutan atau dapat didefinisikan sebagai metode perlakuan

terhadap tegakan dan tempat tumbuh yang pelaksanaannya mengacu pada pera-

watan selama rotasi (Smith, 1986). Tindakan yang dilakukan antara lain penyiapan

lahan, pengaturan jarak tanam, pemupukan, singling, pemangkasan, dan penja-

rangan (Haygreen & Bowyer, 1996). Perlakuan silvikultur dapat diklasifikasikan

menjadi empat kelompok, yaitu perlakuan nutrisi/hara (termasuk pemupukan),

pengaturan jumlah tanaman (awal tanam dan penjarangan), teknik penanaman, dan

pemangkasan tajuk (Zobel, 1992).

a. Penyiapan Lahan

Komponen penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan

tanah untuk menyediakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan tanaman yang

akan ditanam. Tujuan dari pembersihan lahan adalah menghilangkan tanaman

nonkomersial dan gulma-gulma pengganggu pertumbuhan tanaman. Pengolahan

tanah dilakukan secara minimal sebatas pada lubang tanam. Hal ini bertujuan

Page 66: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

58 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

menjaga serasah tetap pada lahan dan menghindari kerusakan tanah. Pada lahan

hutan rakyat, tanaman/gulma yang telah tumbuh liar sering dijumpai sehingga perlu

pembersihan yang lebih intensif. Meskipun demikian, pemindahan biomassa dari

lahan akan mengurangi kesuburan tanah sehingga sisa tanaman hasil pembabatan

tetap diletakkan pada lahan tersebut. Daun-daun hasil pembersihan lahan diharap-

kan dapat terdekomposisi dan selanjutnya menjadi pupuk penambah hara bagi lahan

tersebut.

b. Penanaman

Aspek penting dalam penanaman adalah pengaturan jarak tanam, ukuran

lubang tanam, dan pemberian pupuk dasar. Pada dasarnya, upaya memberikan ruang

tumbuh optimal pada tanaman muda sangatlah penting karena kondisi pertum-

buhan awal tanaman akan menentukan perkembangan selanjutnya dari pohon terse-

but (Daniel et al., 1979). Pertumbuhan tinggi dapat dipengaruhi oleh penetapan

jarak tanam di lapangan, yang mana jarak tanam yang rapat akan memberikan

respons yang nyata terhadap parameter pertambahan tinggi. Apabila jarak tanam

rapat, tanaman akan berusaha untuk mendapatkan jumlah sinar matahari yang

melimpah untuk pertumbuhannya sehingga mendorong kompetisi untuk mencapai

ketinggian tertentu dalam mendapatkan sinar matahari (Mahfudz, 2006).

Pada jarak tanam lebih lebar, manglid akan cenderung memiliki banyak

percabangan, sedangkan jarak tanam rapat mempunyai pengaruh yang baik terhadap

kelurusan batang. Jarak tanam rapat menyebabkan cabang-cabang bawah mati dan

memacu pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan

diameter dan tinggi manglid yang signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak

tanam lainnya hingga umur 28 bulan (menghasilkan tinggi sekitar 3,07 m dan

diameter 4,67 cm) (Sudomo & Mindawati, 2011). Tegakan manglid di hutan rakyat

dengan jarak tanam 2 m x 2 m tanpa penjarangan hingga umur 8 tahun menghasil-

kan batang lurus, pertumbuhan cabang kecil, diameter terhambat, dan persentase

tajuk aktif hanya sekitar 21,45% (Sudomo, 2011).

Pembuatan lubang tanam dengan dimensi ukuran panjang x lebar x dalam

adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm. Pemupukan dilakukan jika lahan atau media tidak

Page 67: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 59

mampu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tanaman. Tujuan pemberian pupuk

adalah merangsang pertumbuhan dengan menambah ketersediaan hara sehingga

meningkatkan perkembangan tajuk dan memperbesar permukaan untuk fotosintesis

(Haygreen & Bowyer, 1996). Pemberian pupuk dasar pada tanaman manglid dapat

berupa pupuk kandang >2 kg/lubang tanaman yang diberikan 1–2 minggu sebelum

tanaman/anakan manglid ditanam (Sudomo & Mindawati, 2011).

c. Pemeliharaan

Tujuan kegiatan pemeliharaan adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman

melalui perbaikan lingkungan tempat tumbuh. Kegiatan pemeliharaan dapat dilaku-

kan melalui pembersihan gulma, pembalikan tanah (penggemburan tanah), pemu-

pukan lanjutan, pemangkasan cabang, dan penjarangan. Hasil penelitian menunjuk-

kan bahwa pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (urea, TSP,

dan KCL) terhadap tanaman tumpang sari jagung berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan tanaman manglid pada pola tanam agroforestri manglid dan jagung

(Puspitodjati et al., 2009). Pertumbuhan dapat dioptimalkan melalui pemupukan

lanjutan setelah pupuk dasar diberikan setelah anakan berumur satu bulan di

lapangan sehingga kanopi segera menutup. Hal ini akan terbawa hingga akhir daur

(6–8 tahun) (Hardiyanto, 2005).

Pemangkasan cabang merupakan penghilangan tajuk aktif dan dilakukan

untuk menghasilkan batang lurus yang tinggi dengan sedikit cabang dan terbebas

dari mata kayu. Meskipun demikian, intensitas tajuk aktif yang dipangkas harus

pada titik optimal sehingga tidak mengganggu fotosintesis. Titik optimal adalah

menyisakan jumlah tajuk efektif dan efisien untuk fotosintesis sehingga tidak

terdapat beban tajuk berlebih yang mengurangi pertumbuhan. Pemangkasan

manglid sebaiknya dilakukan pada saat manglid masih relatif muda sehingga

pengerjaannya mudah dan murah. Optimalisasi pemangkasan dapat dilakukan untuk

meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu manglid. Selain itu, pohon yang

memiliki cabang besar cenderung menjadi bengkok (Maclaren, 2002). Tanaman

manglid berumur 28 bulan dengan jarak tanam 2 m x 2 m, yang mana tajuk telah

bersentuhan tetapi belum terjadi pruning alami, masih tetap diperlukan tindakan

pemangkasan untuk menghilangkan mata kayu. Pada kasus Acacia mangium,

Page 68: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

60 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman berumur enam bulan dengan

menyisakan tajuk aktif sebanyak 60% (Sudomo et al., 2007).

Penjarangan merupakan kegiatan penebangan terhadap pohon-pohon yang

jelek. Tanaman manglid pada jarak tanam rapat perlu dilakukan penjarangan agar

memberikan ruang pertumbuhan; sedangkan pada jarak tanam lebar, penjarangan

dilakukan sesuai kebutuhan agar pertumbuhannya optimal.

d. Pertumbuhan Manglid di Lapangan Hingga Umur 28 Bulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan pertumbuhan tinggi manglid

yang ditanam pada jarak tanam rapat diikuti oleh pertumbuhan diameter sehingga

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih lebar

hingga umur 28 bulan. Jarak tanam 2 m x 2 m memberikan pertumbuhan tinggi dan

diameter signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 2 m dan 3 m

x 3 m. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan tinggi 3,068 m dan

diameter 4,673 cm pada umur 28 bulan (Sudomo et al., 2010). Dengan jarak tanam

2 m x 2 m, pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan seiring dengan

meningkatnya umur tegakan agar pertumbuhan dapat optimal.

7. Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Manglid

Sistem silvikultur hutan rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

sistem tebang habis permudaan buatan, sistem tebang pilih permudaan alam, dan

sistem tebang habis permudaan terubusan. Aplikasi sistem silvikultur pada hutan

rakyat bisa berbeda-beda tergantung kondisi tegakan dan pola tanam. Pola tanam di

hutan rakyat ada yang monokultur, campuran, dan agroforestri. Pada hutan rakyat

campuran, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang pilih permudaan

alam. Petani memilih pohon yang telah layak ditebang dan membiarkan terjadi

permudaan alami dengan jenis yang regenerasi alamnya bagus. Berbeda halnya pada

hutan monokultur, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang habis

permudaan buatan. Keuntungan dari permudaan buatan adalah kemungkinan untuk

mengatur kerapatan, jarak tanam, komposisi jenis, dan penggunaan bibit unggul

secara lebih tepat dibandingkan dengan metode permudaan lain (Hadiwinoto,

1999).

Page 69: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 61

Manglid mempunyai kemampuan membentuk terubusan yang banyak sehing-

ga permudaan manglid dalam pembangunan hutan rakyat potensial dilakukan

dengan sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan. Berdasarkan penga-

matan manglid di hutan rakyat Desa Sindang Barang, Kecamatan Panumbangan,

Kabupaten Ciamis; terdapat petani yang menggunakan sistem silvikultur tebang

habis permudaan terubusan. Terubusan yang terbentuk pada setiap tonggak pohon

bekas tebangan dapat mencapai 2, 3, atau lebih batang baru. Petani hutan rakyat

tidak melakukan seleksi ataupun singling terhadap batang-batang baru tersebut. Hal

yang disarankan adalah menyeleksi dan memilih satu batang baru hasil terubusan

yang tumbuh baik dan lurus sehingga potensial menghasilkan pertumbuhan yang

lebih cepat dan menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik.

8. Agroforestri Berbasis Manglid

Manglid adalah pohon yang dapat tumbuh baik dengan persentase tajuk aktif

relatif kecil (21,45%) hingga umur delapan tahun sehingga sangat baik dalam

memberikan ruang tumbuh bagi tumbuhan bawah dalam pola tanam agroforestri.

Petani hutan rakyat di beberapa desa di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten

Ciamis, telah mengombinasikan manglid dengan tanaman bawah, seperti jagung,

kapolaga, tales, dan jahe. Oleh karena itu, dukungan kebijakan diperlukan untuk

mengembangkan manglid sebagai ikon pengembangan hutan rakyat dengan sistem

agroforestri agar peningkatan kesejahteraan hutan rakyat tercapai.

Agroforestri potensial diimplementasikan di daerah-daerah yang padat pen-

duduknya sebagai suatu pola tanam untuk mengembalikan fungsi ekologi dan

ekonomi dari lahan-lahan terdegradasi. Seiring dengan bertambahnya jumlah pen-

duduk, luas lahan terdegradasai dan kebutuhan pangan pun semakin meningkat

sehingga agroforestri berbasis tanaman pangan menjadi pilihan strategis. Jagung

merupakan salah satu jenis tanaman bawah yang potensial dikembangkan pada lahan

kering karena mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Dalam rangka pengembangan hutan rakyat manglid dengan pola agroforestri,

penelitian tentang teknik agroforestri manglid dan jagung telah dilakukan. Hasil-

hasil penelitian tersebut disajikan sebagai berikut (Puspitodjati et al., 2009):

Page 70: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

62 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

a. Agroforestri manglid dan jagung hingga umur 6–10 bulan mempunyai pengaruh

yang positif terhadap pertumbuhan manglid. Pertumbuhan tinggi manglid

agroforestri lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi manglid mono-

kultur.

b. Agroforestri manglid dan jagung hingga umur manglid 6–10 bulan memberikan

pengaruh terhadap penurunan produktivitas jagung. Rata-rata produksi jagung

agroforestri sebesar 7.005,8 kg/ha (jagung pipil kering) atau lebih rendah diban-

dingkan dengan produksi jagung monokultur yang mencapai 8.213,5 kg/ha.

Meskipun demikian, pengusahaan agroforestri manglid dan jagung masih diang-

gap menguntungkan untuk diusahakan dengan pendapatan bersih tahunan setara

dengan Rp7.020.000–7.560.000/ha/tahun.

c. Pengelolaan lahan dengan pola agroforestri manglid dan jagung perlu digalakkan

karena menguntungkan, yaitu meningkatkan produksi pangan dari hutan rakyat

dan menjaga kesuburan lahan.

d. Pengembangan jagung varietas hibrida lebih menguntungkan dibandingkan

dengan varietas lokal sehingga layak diterapkan dan direkomendasikan dalam

sistem agroforestri manglid dan jagung.

B. Karakteristik Tempat Tumbuh Manglid di Hutan Rakyat

Manglid dapat tumbuh dengan baik di Kampung Babakan Lame, Desa

Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya. Di lokasi ini, tekstur tanah

tipe liat berat karena kandungan liatnya lebih dari 60%. Tanah liat sangat lekat dan

jika kering akan menjadi sangat keras. Semakin halus liat tanah, semakin besar air

yang dapat diikat oleh tanah. Pada usaha tani lahan kering, kelembaban hendaknya

dipertahankan agar tanah tetap kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Dengan

demikian, pertumbuhan tanaman dengan baik dapat terjamin (Kartasapoetra &

Sutedjo, 2005). Manglid tumbuh baik pada hutan campuran yang lembab konstan,

yaitu pada tanah yang subur dan sering dijumpai di daerah pegunungan dengan

ketinggian 300–2.200 m dpl (Djajapertjunda, 2003). Hutan rakyat manglid di

Kampung Babakan Lame tersebut berada pada ketinggian 585 m dpl. Faktor

kelembaban dan temperatur relatif penting karena berpengaruh terhadap tanah

Page 71: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 63

sebagai media tumbuh manglid. Apabila kelembaban kurang, tanah liat akan sangat

keras dan menghambat pertumbuhan tanaman manglid. Namun, kenyataan pada

lokasi tersebut menunjukkan pertumbuhan manglid yang relatif baik. Hal ini

menunjukkan bahwa tanah liat dapat menghasilkan pertumbuhan manglid yang

bagus jika didukung lingkungan yang relatif lembab.

Struktur tanah pada lahan hutan rakyat pada umumnya adalah remah sedang

dan tanah yang memiliki kondisi ini umumnya agak bergumpalan. Struktur remah

ini merupakan keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian. Pada

struktur ini, terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk

pernapasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara

(Kartasapoetra & Sutedjo, 2005).

Sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kampung Babakan Lame memiliki

kandungan C-organik pada seluruh horizon yang tergolong rendah, serta unsur N

dan P sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa manglid yang telah tumbuh

ternyata dapat toleran pada tanah dengan ketersediaan C-organik, N, dan P rendah.

Unsur K adalah satu-satunya unsur makro dalam tanah pada lokasi pertumbuhan

manglid yang termasuk kategori sedang hingga tinggi. Hal inilah yang menyebabkan

pertumbuhan akar tanaman manglid tampak tumbuh lebat menyebar di tanah.

Ketersediaan unsur K dengan kondisi lingkungan yang relatif lembab menyebabkan

manglid relatif dapat tumbuh dengan baik. Unsur K sangat penting untuk perkem-

bangan akar, pengaktifan enzim, proses fisiologis dan metabolisme tanaman, daya

tahan kekeringan, dan sebagainya (Tira & Murtiningsih, 2006).

Lokasi hutan rakyat manglid di Kampung Babakan Lame, Desa Cikubang,

Kecamatan Taraju berdekatan dengan Kecamatan Salawu yang mempunyai tujuh

bulan basah dan lima bulan kering dengan curah hujan 2.945,5 mm pada tahun 2008

(Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, 2009). Berdasarkan data kesesuaian

tempat tumbuh, manglid dapat tumbuh dengan kesesuaian I pada ketinggian 300–

2.200 m dpl, kelas lereng 0–40%, tipe iklim A–C, curah hujan >1.000 mm/tahun,

jumlah bulan kering 2–6 bulan, temperatur 15–280C, tekstur tanah ringan hingga

sedang dan berat, pH tanah 4,5–6,5 (asam, sedang, dan netral), tebal solum dalam

hingga sangat dalam (101–150 cm), drainase tanah baik, kesuburan tanah rendah–

Page 72: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

64 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

tinggi, salinitas <4, kedalaman sulfidik >150 cm (Dirjen Bina Pengembangan Hutan

Tanaman, 2007; Djajapertjunda, 2003).

Hasil pengamatan terhadap tegakan manglid yang ditanam dengan jarak

tanam 2 m x 2 m menunjukkan bahwa pada umur delapan tahun, manglid dapat

mencapai tinggi 12,96 m dan batang bebas cabang 10,09 m sehingga rata-rata

pertumbuhan tingginya sebesar 1,62 m/tahun. Meskipun demikian, jarak tanam

yang relatif rapat (2 m x 2 m) dan tanpa penjarangan hanya mendorong pertum-

buhan tinggi, sedangkan pertumbuhan diameter relatif kecil 13,94 cm sehingga

diperlukan penjarangan (Sudomo, 2011; Sudomo & Mindawati, 2011).

Petani hutan rakyat di Kampung Babakan Lame tidak melakukan penja-

rangan terhadap tegakan manglid. Hal ini disebabkan petani beranggapan akan

merasa rugi jika mengurangi jumlah pohon per satuan hektare. Meskipun demikian,

mereka melakukan pruning sangat intensif sehingga menyisakan persentase tajuk

aktif yang relatif sedikit (rata-rata 21,45%), bahkan bisa lebih rendah lagi pada bebe-

rapa pohon manglid (Sudomo, 2011). Tindakan pruning yang dilakukan oleh petani

bertujuan agar pertumbuhan manglid semakin tinggi dengan batang bebas cabang

tinggi, tetap lurus, dan sedikit mata kayu.

Pertumbuhan akar manglid kebanyakan bersifat menyebar secara horizontal

dan dangkal. Tipe perakaran manglid dan kandungan bahan organik pada top soil

yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan horizon di bawahnya menye-

babkan pertumbuhan akar relatif dangkal dari permukaan tanah. Meskipun demi-

kian, batang manglid menunjukkan pertumbuhan yang kokoh atau tidak mudah

roboh. Banyaknya akar serabut yang disokong dengan akar tunggang ternyata relatif

memberikan daya tahan pohon manglid dari terpaan angin. Hal ini terbukti dari

jarangnya pohon manglid yang roboh, walaupun dengan ketinggian lebih dari 10 m.

Bahkan, terdapat beberapa individu pohon manglid yang relatif terpisah jauh dengan

pohon lainnya dapat tumbuh kokoh menjulang tinggi dengan persentase tajuk aktif

kurang dari 21% (Sudomo, 2011).

Page 73: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 65

C. Kontribusi dan Prospektif Silvikultur Hutan Rakyat Manglid Terhadap

Pembangunan Kehutanan

Program-program kehutanan saat ini lebih mengedepankan masyarakat agar

mandiri sebagai subjek dalam pengelolaan hutan lestari. Selain itu, kegiatan reha-

bilitasi hutan dan lahan kritis terus dilaksanakan melalui pembangunan hutan rakyat,

hutan desa, dan lain-lain. Salah satu jenis tanaman kehutanan yang dapat dikem-

bangkan dengan pola tersebut adalah manglid.

Berdasarkan karakteristik pertumbuhannya, manglid mempunyai prospek

yang baik untuk dikembangkan di hutan rakyat sebagai alternatif pilihan atau

tambahan jenis-jenis potensial lainnya. Sebagai jenis andalan setempat, manglid

relatif telah adapted, disukai masyarakat, dan bernilai pasar. Dibandingkan dengan

jenis exotic lainnya yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit, manglid

relatif lebih tahan dari serangan tersebut atau intensitas serangannya lebih rendah

sehingga dapat dijadikan sebagai jenis alternatif atau pengganti yang potensial dalam

pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.

Saat ini, pengetahuan teknik silvikultur manglid telah tersedia, mulai dari

pembibitan hingga penanaman. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam pembuatan

SOP dalam pembangunan hutan tanaman. Standard Operational Procedure ini

selanjutnya dapat menjadi acuan implementasi teknologi alternatif budi daya

tanaman hutan bagi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Teknik-teknik

tersebut dapat pula disinergikan dengan pengetahuan lokal masyarakat dalam

mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Menurut Na’iem dan Sabarnurdin (2002), untuk memperoleh kelestarian pro-

duktivitas suatu pertanaman dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada

persiapan lahan, pengendalian vegetasi liar, cara tanam yang tepat, penggunaan

pupuk, dan pemilihan materi genetik tanaman. Terkait dengan hal tersebut,

beberapa elemen silvikultur intensif berikut menjadi penting untuk diperhatikan agar

kelestarian produksi tetap terjaga (Davidson, 1996 dalam Naiem & Sabarnurdin,

2002), yaitu 1) pemilihan spesies, provenan, famili dan pohon elite; 2) kualitas semai

yang baik; 3) persiapan lahan dan pengendalian gulma; 4) penggunaan pupuk; 5)

jarak tanam; 6) pengelolaan yang tepat; dan 7) dana yang tersedia.

Page 74: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

66 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Silvikultur intensif belum sepenuhnya berjalan di masyarakat, terutama dalam

pembangunan hutan rakyat. Faktor-faktor internal yang menjadi kendala belum

berjalannya silvikultur intensif tersebut, antara lain keterbatasan modal, kegiatan

hutan rakyat masih dianggap sekedar usaha sampingan, pengelolaan masih bersifat

subsisten, keterbatasan luasan lahan, serta minimnya pengetahuan dan penyuluhan

silvikutur intensif. Selain penyebab faktor internal, faktor eksternal pun turut

memengaruhi pelaksanaan silvikutur intensif di masyarakat, yaitu belum tersedianya

bibit unggul dan SOP yang menyeluruh dalam pengelolaan hutan rakyat.

Konsep pengelolaan hutan rakyat manglid pada masa depan, selain dengan

silvikultur intensif, dapat pula dilengkapi dengan silvikultur agroforestri. Hal ini

disebabkan oleh belum berjalannya silvikultur intensif di masyarakat, sedangkan

praktik agroforestri telah berjalan di masyarakat. Aplikasi teknologi baru harus

menyesuaikan dengan praktik yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Sinergitas

antara pengetahuan lokal masyarakat dengan sceintific base knowledge dapat diapli-

kasikan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat manglid.

IV. Kesimpulan

Persemaian manglid untuk menghasilkan bibit berkualitas dapat diperoleh

dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan media

tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan intensitas naungan (shading

net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat dilakukan dengan

teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F®.

Jarak tanam 2 m x 2 m dapat digunakan dalam mengembangkan hutan

tanaman manglid pada awal tanam. Peningkatan pertumbuhan awal manglid

dilakukan dengan pemberian pupuk kandang >2 kg/tanaman sebagai pupuk dasar.

Optimalisasi pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dan penjarangan untuk

mendapatkan batang berkualitas dan memberikan ruang tumbuh tanaman bawah

dalam pola tanam agroforestri.

Manglid sesuai ditanam pada ketinggian 300–2.200 m dpl, kelas lereng 0–

40%, tipe iklim A– C, curah hujan >1.000 mm/tahun, temperatur 15– 280C, tekstur

Page 75: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 67

tanah ringan hingga sedang dan berat, dan kesuburan tanah rendah–tinggi. Manglid

yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah liat masam dengan kandungan C-

organik rendah, serta unsur N dan P sangat rendah.

Manglid potensial sebagai tanaman pokok dalam pola tanam agroforestri

untuk pembangunan hutan rakyat. Optimalisasi produktivitas lahan hutan rakyat

dapat dilakukan dengan agroforestri manglid dan jagung.

Sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan

dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap

terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.

Daftar Pustaka

Daniel, T. W., Helms, J. A., & Baker, F. S. (1979). Principles of silviculture:

McGraw-Hill Book Company.

Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2009). Data curah hujan tahun 2008 di

Kabupaten Tasikmalaya.

Diniyati, D., Suyarno, Kuswantoro, D. P., Badrunasar, A., Fauziyah, E.,

Sulistyawati, T., & Mulyati, E. (2005). Teknik perbanyakan tanaman manglid

dengan biji. Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis.

Dirjen Bina Pengembangan Hutan Tanaman. (2007). Laporan akhir penyusunan

sistem informasi spasial kesesuaian jenis hutan tanaman. In H. B. Santoso, S.

Bustomi, Hendromono & Subardja (Eds.): Kementerian Kehutanan.

Djajapertjunda. (2003). Mengembangkan hutan milik di Jawa. Sumedang:

Alqaprint. Jatinangor.

Faridah, E. (1996). Pengaruh intensitas cahaya, mikoriza dan serbuk arang pada

pertumbuhan alam Dryobalanops sp. Buletin Penelitian Kehutanan. Fakultas

Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta(29).

Hadiwinoto, S. (1999). Bahan ajar kuliah silvikultur hutan tanaman. Fakultas

Kehutanan UGM Yogyakarta.

Page 76: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

68 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hardiyanto, E. (2005). Beberapa isu silvikultur dalam pengembangan hutan

tanaman. Paper presented at the Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas

Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an

introduction.

Kartasapoetra, A. G., & Sutedjo, M. (2005). Teknologi konservasi tanah dan air:

PT Rineka Cipta, Jakarta.

Maclaren, P. (2002). Wood quality of radiata pine on farm sites–a review of the

issues. Forest Farm Forest Manage Coop. Report(80).

Mahfudz. (2006). Variasi pertumbuhan beberapa klon jati hasil stek pucuk pada dua

jarak tanam di Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(1).

Na'iem, M. (2000). Prospek perhutanan klon jati di Indonesia. Prosiding Seminar

Nasional Status Silvikultur di Indonesia Saat ini. Wanagama I, 1-2 Desember

2000. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Na’iem, M., & Sabarnurdin, M. S. (2002). Agroforestry dalam pengelolaan intensif

sumber daya lahan. Paper presented at the Seminar Nasional. PT Perhutani

(Persero) Agrokompleks UGM SEANAFE (PAFI).

PIKA. (1996). Mengenal sifat-sifat kayu Indonesia dan penggunaannya: Penerbit

Kanisius, Yogyakarta.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,

Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk

peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid

(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian

Kehutanan Ciamis.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Smith, D. (1986). The practice of silviculture: John Wiley and Sons.

Page 77: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 69

Soekotjo, & Naim, M. (2006). SILIN: Menunju hutan yang prospektif , sehat, dan

lestari. In Y. Fakultas Kehutanan UGM (Ed.), Warta Kagama Edisi Perdana.

Sudomo, A. (2009). Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit

manglid (Manglieta glauca BI.). Tekno Hutan Tanaman, 2(2), 59-66.

Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di

hutan rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten

Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan

Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.

Sudomo, A., & Dendang, B. (2008). Budi daya manglid. Ciamis: Balai Penelitian

Kehutanan Ciamis.

Sudomo, A., & Mindawati, N. (2011). Pertumbuhan manglid pada tiga jarak tanam

dan tiga jenis pupuk di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tekno Hutan Tanaman.

Sudomo, A., Permadi, P., & Rahman, E. (2007). Kajian kontrol silvikultur hutan

tanaman terhadap kualitas kayu pulp. Informasi Teknis. Vol.5 No.2. Balai

Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Yogyakarta.

Sudomo, A., Rahman, E., & Mindawati, N. (2010). Mutu bibit manglid pada tujuh

media sapih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(5).

Sudomo, A., Rohandi, A., & Mindawati, N. (2013). Pengaruh zat pengatur tumbuh

Rootone-F pada stek pucuk manglid (Manglietia Glauca Bl.). Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 57-63.

Tira, L., & Murtiningsih. (2006). Karakteristik lahan bekas tambang batu kapur di

Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Info Hutan, III(3).

Zobel, B. (1992). Silvicultural effects on wood properties. IPEF International, 2,

31-38.

Page 78: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 79: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 71

Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada Sistem Agroforestri Manglid

Aris Sudomo1

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh sistem agroforestri terhadap produktivitas

dan kualitas umbi suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada lahan hutan rakyat. Pene-

litian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Suka-

mantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Uji coba dimulai dengan penanaman suweg

di bawah tegakan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) umur 32 bulan. Rancangan

percobaan menggunakan split-plot design dengan main plot tiga intensitas pruning tegakan

manglid (0%, 50%, dan 75%) dan subplot tiga jarak tanam manglid (2 m x 2 m; 2 m x 3 m,

dan 3 m x 3 m), serta dengan pembanding tanaman suweg. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa interaksi intensitas pruning dengan jarak tanam pohon berpengaruh nyata terhadap

produksi suweg. Produksi berat basah dan berat kering umbi terbesar (2.097,6 gram dan

484,08 gram) didapatkan pada perlakuan intensitas pruning pohon manglid 75% berjarak

tanam 3 m x 3 m dengan intensitas cahaya 87,52% lebih baik dibandingkan dengan

monokultur suweg pada tempat terbuka yang hanya menghasilkan berat basah 834,25 gram

dan berat kering 204,88 gram. Nilai rata-rata kandungan protein umbi pada sistem

agroforestri (>2%) lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur suweg (1,9%).

Sebaliknya, rata-rata kandungan karbohidrat umbi pada agroforestri (<25%) lebih rendah

dibandingkan dengan monokultur suweg (26,04%).

Kata kunci: suweg, Amorphophallus campanulatus BI, hutan rakyat, agroforestri

I. Pendahuluan

Sistem agroforestri dinilai potensial untuk memperbaiki kebutuhan bahan

pangan masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan pangan, diversifikasi produk,

dan menjamin ketersediaan bahan pangan secara berkesinambungan. Menurut

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box

5 Ciamis 46201; Email: [email protected]

Page 80: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

72 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Suhardi (2011), potensi pengembangan jenis tanaman pangan di bawah tegakan

hutan rakyat di Jawa berasal dari jenis umbi-umbian, antara lain suweg, ubi kayu,

garut, talas, kimpul, dan ubi jalar. Selain dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan

pangan, suweg juga dapat ditingkatkan sebagai bahan baku industri keripik, kue, dan

lain-lain. Tepung suweg dapat dimanfaatkan dalam pembuatan cookies sehingga

dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu sebagai bahan baku pem-

buatan cookies. Keunggulan umbi suweg adalah kandungan serat pangan dan

protein yang cukup tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 13,71% dan 7,20% dengan

kandungan lemak yang rendah sebesar 0,28%, serta nilai Indeks Glisemik yang

cukup rendah sehingga baik untuk kesehatan (Faridah, 2005). Tanaman suweg

dapat ditanam di bawah pohon atau pada intensitas cahaya matahari rendah

(Handono, 2013; Richana & Sunarti, 2004).

Agroforestri telah diaplikasikan masyarakat berdasarkan eksperience base

knowledge sehingga potensial adapted di masyarakat. Agroforestri dengan scientific

base knowledge bertujuan mengoptimalkan penggunaan lahan melalui kombinasi

tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Sinergitas antarkomponen tanaman

dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur sehingga terdapat kondisi berbagi

sumber daya (air, unsur hara, dan sinar matahari) dan tidak kompetitif antar-

komponen, bahkan saling menguntungkan. Menurut Sabarnurdin et al. (2004),

dasar penguat dari sistem berbagi sumber daya (SBS) dalam agroforestri adalah

dinamika ruang yang didasarkan pada kuantifikasi perkembangan tajuk ke arah

bidang olah. Huxley (1999) menyatakan bahwa tindakan pengaturan cahaya dalam

sistem agroforestri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 1) menghilangkan

cabang mati dan terkena penyakit untuk tujuan meningkatkan kualitas kayu; 2)

memanipulasi ukuran dan bentuk tajuk untuk memelihara produktivitas biomassa,

serta menjaga kompetisi dengan tanaman bawah; dan 3) melakukan pruning atau

penjarangan untuk menjaga produksi buah, daun, cabang [untuk kayu bakar], dan

sebagainya. Pengaturan jarak tanam dan pruning dalam praktik agroforestri menjadi

faktor penting karena jarak tanam pohon yang lebih lebar akan menambah luas

bidang olah untuk tanaman bawah. Selain untuk pemeliharaan pohon, pruning

diperlukan untuk meningkatkan intensitas cahaya yang masuk ke bawah kanopi.

Page 81: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 73

Penelitian ini bertujuan mengetahui produktivitas dan kualitas umbi suweg pada

sistem agroforestri manglid dibandingkan dengan sistem monokultur suweg.

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat yang secara administratif

termasuk dalam wilayah Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten

Ciamis, Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006’550’’ dan E 108022’900’’.

Lahan hutan rakyat tersebut berada pada ketinggian ±894 m dpl, temperatur 20,4–

310C, dan kelembaban 62,13–89,75%. Curah hujan di Desa Tenggerraharja adalah

2.071 mm/tahun dan termasuk ke dalam tipe C (agak basah) berdasarkan klasifikasi

iklim Schmith & Ferguson (BP3K, 2012). Penelitian dilakukan mulai bulan

November 2012 hingga Juni 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan manglid umur 32

bulan (dengan tiga macam jarak tanam), benih suweg lokal, insektisida, pupuk kan-

dang, pupuk kimia (NPK dan urea), dan lain-lain. Alat yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah oven, cangkul, sabit, tambang, drum, meteran, ember, kaliper,

timbangan, kamera, termohigrometer, GPS, luxmeter, alat tulis, dan lain-lain.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan sistem agroforestri melalui kegiatan yang dimulai

dari penyiapan lahan dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah

sedalam 10–30 cm. Jarak tanam suweg adalah 120 cm x 80 cm. Pembuatan lubang

tanam dengan ukuran 40 cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Pupuk dasar pada saat

penanaman suweg adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 800 g/lubang. Penyiangan

dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah suweg berumur 2 bulan dan 4

Page 82: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

74 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

bulan. Dosis pemupukan lanjutan menggunakan urea dan NPK (1:2) sebanyak 70

g/tanaman. Penyiangan dilakukan setiap 3 bulan sekali.

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split-Plot Design dengan main

plot adalah tiga intensitas pruning, yaitu P0 (0%), P1 (50%), dan P2 (75%); serta

subplot adalah tiga jarak tanam, yaitu S1 (2 m x 2 m), S2 (2 m x 3 m), dan S3 (3 m x

3 m). Masing-masing perlakuan tersebut ditanami suweg. Plot terdiri dari border

dan sampel yang diukur pada tanaman Magnolia champaca adalah 7 x 7 tanaman

sehingga plot bersih yang diukur adalah 5 x 5 tanaman manglid. Total tanaman

Magnolia champaca adalah 49 x 3 intensitas pruning x 3 jarak tanam = 441 tanaman.

Sebagai kontrol atau pembanding, penanaman monokultur suweg dilakukan pada

luasan 10 m x 10 m.

E. Pengamatan Kondisi Lapangan

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada setiap unit percobaan masing-

masing sembilan titik, yaitu tiga titik di bawah pohon, tiga titik di antara pohon, dan

tiga titik di tengah-tengah diagonal pohon. Sebagai pembanding, pengukuran

intensitas cahaya dilakukan pada tempat terbuka. Pengukuran suhu dan kelembaban

dilakukan setiap pagi, siang, dan sore hari selama dua bulan. Data curah hujan

selama 10 tahun didapatkan dari data sekunder Badan Penyuluhan Pertanian,

Peternakan, dan Kehutanan di Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) Kecamatan

Sukamantri, Kabupaten Ciamis.

F. Analisis Data

Pengukuran produktivitas tanaman dilakukan dengan penimbangan berat

basah dan berat kering umbi. Analisis kandungan kimia karbohidrat dan protein

umbi dilakukan di laboratorium dengan mengambil sampel umbi hasil panen pada

setiap unit percobaan.

Data produksi kemudian dianalisis dengan analisis varians atau uji F. Kemu-

dian, apabila berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan

Page 83: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 75

taraf uji 95%. Data kandungan karbohidrat dan protein umbi dianalisis mengunakan

statistik sederhana dengan merata-ratakan hasil pada setiap perlakuan.

III. Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pengaruh pruning dan jarak tanam

manglid, serta interaksi keduanya berbeda nyata terhadap produksi berat basah dan

berat kering umbi. Selanjutnya, uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui rata-

rata terbaik dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, berat basah dan berat kering umbi suweg pada sistem

agroforestri berbeda nyata lebih baik pada kombinasi pruning 75% dengan jarak

tanam 3 m x 3m dan kombinasi pruning 0% dengan jarak tanam 3 m x 3 m diban-

dingkan dengan monokultur. Intensitas cahaya di bawah sistem agroforestri tersebut

adalah 87,52% dan 67,61%. Produksi umbi lebih baik pada sistem agroforestri

dibandingkan dengan sistem monokultur. Pertumbuhan suweg yang memerlukan

naungan ringan terbantu oleh keberadaan tajuk tanaman manglid dalam mengurangi

intensitas cahaya matahari. Tanaman suweg tumbuh di bawah naungan atau di

bawah tegakan tanaman tahunan, seperti jati, kopi, dan ekaliptus (Richana, 2012).

Hasil panen terbaik dihasilkan pada sistem agroforestri dengan intensitas

pruning tegakan manglid sebesar 75% dan jarak tanam 3 m x 3 m (intensitas cahaya

87,52%). Hal ini disebabkan oleh intensitas sinar matahari yang lebih rendah di

bawah tegakan manglid sehingga penguapan berkurang. Pada tempat terbuka, inten-

sitas sinar matahari terlalu tinggi sehingga menyebabkan penguapan lebih tinggi.

Tanaman suweg pada intensitas cahaya yang optimal akan lebih efektif berfoto-

sintesis untuk menghasilkan biomassa tanaman. Penangkapan cahaya, air, dan

nutrisi tergantung jumlah, areal permukaan, distribusi, dan keefektifan dari elemen

individual dalam kanopi atau sistem perakaran dari spesies atau kombinasinya (Ong

& Kho, 2015). Hasil panen merupakan hasil penimbunan berat kering dalam waktu

tertentu, seberapa efisien tanaman memanfaatkan radiasi matahari, dan berapa lama

tanaman tersebut dapat mempertahankan pemanfaatan tersebut, yang secara efisien

menentukan berat kering hasil panen tanaman tersebut (Gardner et al., 2003).

Page 84: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

76 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 1. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan pruning, jarak tanam, dan interaksinya

terhadap produktivitas suweg

No. Perlakuan Intensitas

cahaya (%)

Berat basah umbi

(gram/tanaman)

Standar

Deviasi

Berat kering umbi

(gram/tanaman)

Standar

Deviasi

1. Monokultur suweg 100 834,3 bcd 392,6 204,9 bcd 97,9

2. Intensitas pruning

0% x JT 2 x 2 m

24 619,1 cde 366,6 141,2 de 76,0

3. Intensitas pruning

0% x JT 2 x 3 m

28 540,0 de 199,1 126,3 de 39,8

4. Intensitas pruning

0% x JT 3 x 3 m

35 1.094,0 b 528,0 254,6 b 129,6

5. Intensitas pruning

50% x JT 2 x 2 m

46 273,8 e 89,0 66,3 e 20,9

6. Intensitas pruning

50% x JT 2 x 3 m

62 676,8 cd 383,5 150,0 cde 87,1

7. Intensitas pruning

50% x JT 3 x 3 m

66 623,7 cde 317,0 171,7 bcd 81,3

8. Intensitas pruning

75% x JT 2 x 2 m

17 541,8 de 354,2 133,9 de 102,2

9. Intensitas pruning

75% x JT 2 x 3 m

68 949,5 bc 449,6 241,0 bc 108,0

10. Intensitas pruning

75% x JT 3 x 3 m

88 2.097,6 a 776,9 484,1 a 206,2

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; JT = jarak tanam

Page 85: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 77

(b)

Gambar 1. Produksi suweg: berat basah umbi/tanaman (gram) (a) dan berat kering umbi/

tanaman (gram) (b)

Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan pati umbi suweg menunjuk-

kan bahwa sistem agroforestri menghasilkan umbi dengan kandungan pati lebih

rendah, tetapi lebih tinggi untuk kandungan proteinnya (Gambar 2). Hal ini dise-

babkan oleh intensitas sinar matahari di tempat terbuka (monokultur suweg) lebih

tinggi sehingga hasil fotosintesis berupa karbohidrat lebih tinggi pula. Pati

merupakan bahan organik polisakarida pertama yang diproduksi dari reaksi antara

(a)

Page 86: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

78 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah melalui proses fotosintesis

dengan memanfaatkan energi radiasi sinar matahari (Hodge & Osman, 1976).

Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme sehingga menye-

babkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al.,

1994; Sopandie et al., 2003). Berkurangnya intensitas cahaya menurunkan aktivitas

PGA-kinase dan penurunan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo

toleran naungan dibandingkan dengan genotipe peka. Pada intensitas cahaya rendah

terjadi gangguan translokasi sehingga gula total dan pati menurun pada seluruh

bagian tanaman (Soverda, 2002).

Kandungan protein umbi suweg pada sistem agroforestri manglid lebih tinggi

dibandingkan dengan sistem monokultur suweg. Dalam hal ini, nitrogen (N) berpe-

ran sebagai unsur utama pembentuk protein. Sharma (2006) dalam Akhila & Beevy

(2011) menyatakan bahwa profil protein pada sebagian besar jenis tanaman semusim

tergantung pada kondisi lingkungan dan kondisi penyimpanan. Naungan menyebab-

kan terjadinya akumulasi N pada organ-organ tanaman tertentu, salah satunya pada

biji. Norton et al., (1991) menyatakan bahwa naungan dapat menurunkan produksi

hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman. Youkhana & Idol

(2009) menyatakan bahwa mulsa hasil pruning juga dapat meningkatkan kandungan

C dan N tanah, serta menurunkan kepadatan tanah, terutama pada lapisan tanah

bagian atas (hingga 20 cm). Sistem agroforestri lebih menjaga kehilangan N-tanah

akibat aliran permukaan dibandingkan dengan sistem monokultur. Penurunan kadar

nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis, baik melalui kandungan kloro-

fil maupun enzim fotosintetik, sehingga menurunkan fotosintat (pati) yang terben-

tuk, yang selanjutnya akan menurunkan pula bobot basah umbi dan bobot kering

umbi (Djukri & Purwoko, 2003). Amorphophallus termasuk tanaman yang tahan

kering, menyukai tempat teduh, dan tanah gembur (Richana, 2012).

Page 87: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 79

Gambar 2. Persentase kandungan protein (a) dan pati umbi (b) pada silvikultur agrofrestry

dan monokultur suweg

Lott et al. (2009) menyatakan bahwa manfaat utama dari naungan pohon

adalah untuk melindungi dari temperatur yang tinggi, terutama di daerah tropis.

Tanaman umbi-umbian pada umumnya mempunyai kemampuan hidup yang baik

(a)

(b)

Page 88: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

80 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

ketika ditanam di bawah naungan. Keberadaan manglid dalam sistem agroforestri

akan mengurangi sumber daya sinar matahari, unsur hara, dan air. Meskipun demi-

kian, tanaman suweg dengan pemeliharaan lebih intensif akan tercukupi unsur hara

dan cahaya sehingga pertumbuhannya tetap optimal. Naungan optimal yang diperlu-

kan suweg adalah 50–60% (Jansen et al., 1996 dalam Richana, 2012). Peningkatan

produktivitas lahan dapat dilakukan jika menggunakan kombinasi antara pohon

dengan tanaman jenis C3 (Muthuri et al., 2005). Suweg merupakan tanaman C3

sehingga mempunyai adaptasi yang baik terhadap naungan. Hal yang sama ditun-

jukkan dari penelitian salah satu jenis umbi, yaitu kimpul (Xanthosoma sagittifolium

(L.) Schott) yang menghasilkan pertumbuhan tinggi terbaik dengan jumlah klorofil

daun tanaman kimpul pada naungan 75%. Respons yang berbeda ditunjukkan oleh

tanaman kedelai yang ternaungi. Sopandie dan Trikoesoemaningtyas (2015) mela-

porkan bahwa hasil kedelai menurun rata-rata 30–60% pada kondisi cekaman

naungan Naungan sebesar 50% mengakibatkan umur panen lebih cepat, batang

lebih tinggi, jumlah polong isi lebih sedikit, ukuran biji lebih kecil, dan bobot biji

menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan yang tanpa naungan

(Susanto & Sundari, 2011).

IV. Kesimpulan

Sistem agroforestri mampu meningkatkan produksi suweg, berat basah, berat

kering umbi, dan kandungan protein umbi melalui perlakuan pruning intensitas 75%

dengan jarak tanam manglid 3 m x 3 m. Oleh karena itu, penanaman suweg dalam

skala usaha akan lebih produktif hasilnya jika ditanam dengan sistem agroforestri.

Daftar Pustaka

Akhila, H., & Beevy, S. S. (2011). Morphological and seed protein characterization

of the cultivated and the wild taxa of Sesamum L.(Pedaliaceae). Plant

Systematics and Evolution, 293(1-4), 65-70.

Page 89: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 81

Djukri, & Purwoko, B. S. (2003). Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi

tanaman talas(Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian, 10(2), 17-

25.

Faridah, D. (2005). Sifat fisiko-kimia tepung suweg (Amorphophallus campanulatus

B1.). J. Teknol. dan Industri Pangan, 16(3), 254-259.

Gardner, F. P., Pearce, R. B., & Mitchell, R. L. (2003). Physiology of crop plants.

Physiology of crop plants.

Handono, A. (2013). Pemanfaatan tepung umbi suweg (Amorphophallus C) sebagai

substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan penambahan

kuning telur (Skripsi), Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur, Surabaya.

Hodge, J., & Osman, E. (1976). Carbohydrates. In D. R. Fennema & M. Dekker

(Eds.), Food Chemistry. New York, Basel: Inc. New York dan Basel.

Huxley, P. (1999). Tropical agroforestry: Blackwell Science.

Lott, J., Ong, C., & Black, C. (2009). Understorey microclimate and crop

performance in a Grevillea robusta-based agroforestry system in semi-arid

Kenya. Agricultural and Forest Meteorology, 149(6), 1140-1151.

Muthuri, C., Ong, C., Black, C., Ngumi, V., & Mati, B. (2005). Tree and crop

productivity in Grevillea, Alnus and Paulownia-based agroforestry systems

in semi-arid Kenya. Forest ecology and management, 212(1), 23-39.

Norton, B., Wilson, J., Shelton, H., & Hill, K. (1991). The effect of shade on

forage quality. Forages for plantations crops.(Eds. M. Shelton and W. Stür).

ACIAR Proceedings(32), 83.

Ong, C., & Kho, R. (2015). A framework for quantifying the various effects of tree-

crop interactions. Tree–crop interactions, 2nd edition: agroforestry in a

changing climate. CAB International, Wallingford, 1-23.

Richana, N. (2012). Araceae & Dioscorea Manfaat Umbi-umbian Indonesia.

Nuansa. Bandung, 95.

Page 90: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

A. Sudomo

82 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Richana, N., & Sunarti, T. C. (2004). Karakterisasi sifat fisiko kimia tepung umbi

dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal

pascapanen, 1(1), 29-37.

Sabarnurdin, M. S., Suryanto, P., & Aryono, W. (2004). Dinamika tegakan mahoni

(Swietenia macrophylla King) dalam sistem pertanaman lorong (Alley

cropping). Ilmu Pertanian, 11(1), 63-73.

Sopandie, D., Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, & Sahardi. (2003).

Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati, 10, 71-75.

Sopandie, D., & Trikoesoemaningtyas, T. (2015). Pengembangan tanaman sela di

bawah tegakan tanaman tahunan. Buletin Iptek Tanaman Pangan, 6(2).

Soverda, N. (2002). Karakteristik fisiologi fotosintetik dan pewarisan sifat toleran

naungan pada padi gogo. (Disertasi), Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suhardi. (2011). Mandiri pangan sejahterakan masyarakat: KAGAMA.

Susanto, G. W. A., & Sundari, T. (2011). Perubahan karakter agronomi aksesi

plasma nutfah kedelai di lingkungan ternaungi. J. Agron. Indonesia, 39(1),

1-6.

Youkhana, A., & Idol, T. (2009). Tree pruning mulch increases soil C and N in a

shaded coffee agroecosystem in Hawaii. Soil biology and Biochemistry,

41(12), 2527-2534.

Page 91: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 83

Hama dan Penyakit Manglid

Endah Suhaendah1 & Aji Winara1

ABSTRAK

Upaya peningkatan produktivitas manglid tidak terlepas dari berbagai masalah, salah satunya

adalah serangan hama dan penyakit. Kemampuan mengenali jenis hama dan penyakit sangat

penting agar upaya pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara

efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis hama dan penyakit

manglid, serta pengendaliannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa

jenis hama manglid, yaitu hama perusak daun kumbang Sastra sp. dan Sorolopha camarotis,

serta hama pengisap kutu putih Hammamelistes sp. dan Urostylis sp. Jenis penyakit manglid

yang ditemukan antara lain penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar, serta bercak

daun. Pengendalian yang sesuai untuk hama pengisap Hammamelistes sp. dan Urostylis sp.

adalah dengan penggunaan insektisida yang spesifik berbahan aktif Bacillus thuringiensis.

Untuk jenis hama perusak daun Sastra sp. dan Sorolopha camarotis, pengendalian yang

sesuai adalah dengan menggunakan musuh alaminya dan jika diperlukan, insektisida dapat

digunakan. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan

melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau pada

tanaman di tingkat lapangan.

Kata kunci: hama, insektisida, manglid, pengendalian, penyakit

I. Pendahuluan

Manglid saat ini menjadi salah satu kayu lokal unggulan yang banyak dikem-

bangkan oleh pegiat hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat bagian timur (Priangan

Timur). Pengembangan silvikultur manglid dilakukan melalui berbagai macam pola

tanam; baik monokultur, heterokultur maupun agroforestri. Kejadian serangan hama

dan penyakit menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh para

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 92: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

84 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pegiat hutan manglid sehingga kerugian secara ekonomi akibat hama dan penyakit

dapat dihindari.

Pengetahuan tentang jenis hama dan penyakit, serta upaya pengendaliannya

belum banyak dikaji dan dilaporkan secara umum. Hal ini tidak berarti manglid be-

bas dari serangan hama dan penyakit. Seperti jenis tanaman hutan lainnya, manglid

merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang tidak luput dari serangan hama dan

penyakit. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama dan penyakit dapat

mengakibatkan kematian, kerusakan sebagian dari pohon, penurunan pertumbuhan

pohon, serta kerusakan biji dan buah (Gillott, 2005; Sumardi & Widyastuti, 2007).

Serangga merupakan kelompok hama paling berat yang menyebabkan keru-

sakan hutan (Anggraeni et al.,, 2006; Sumardi & Widyastuti, 2007). Terjadinya

ledakan hama disebabkan karena ekosistem yang disederhanakan. Hal ini menye-

babkan terjadinya kelimpahan makanan yang kondusif bagi perkembangan hama.

Perkembangan hama dipengaruhi oleh komposisi tanaman, umur, atau tempat

tumbuh, seperti ketinggian, intensitas cahaya, dan struktur tanah (Wainhouse,

2005).

Kemampuan untuk mengantisipasi ledakan hama melalui informasi kejadian

hama dan deteksi ledakan pada stadium awal perkembangan hama dapat dengan

signifikan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian hama. Beberapa

metode pengendalian hama sudah tersedia, antara lain pengendalian mekanis,

biologis, dan kimiawi. Setiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan

sehingga harus diseimbangkan antara keunggulan dan kekurangan tersebut melalui

kombinasi metode yang paling sesuai (Gillott, 2005; Wainhouse, 2005).

Tanaman dikatakan sehat atau normal jika dapat melaksanakan fungsi-fungsi

fisiologisnya sesuai dengan genetik terbaik yang dimilikinya. Tanaman akan menjadi

sakit jika diganggu oleh patogen (penyebab penyakit) atau oleh keadaan lingkungan

tertentu sehingga fungsi fisiologis tanaman terganggu yang menyebabkan terjadinya

penyimpangan dari keadaan normal, (Agrios, 1996). Perkembangan penyakit

tanaman dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu adanya patogen, kerentanan tanaman,

dan kondisi lingkungan yang mendukung (Anggraeni & Lelana, 2011).

Page 93: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 85

Kejadian penyakit dapat merugikan secara ekonomi jika terjadi ledakan

penyakit hingga tingkat epidemik. Ledakan penyakit dapat terjadi jika didukung

oleh patogen yang virulen, lingkungan yang mendukung patogen, dan tanaman

inang yang lemah.

Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan agar kejadian penyakit tidak

merugikan secara ekonomi atau berpotensi dapat menyebar luas. Metode pengen-

dalian penyakit tanaman bervariasi tergantung dari jenis patogen, jenis inang, dan

interaksi keduanya. Berbagai cara pengendalian dapat dikelompokkan ke dalam

pengendalian dengan implementasi peraturan perundang-undangan dan kegiatan

kultur teknis, hayati, fisik, dan kimiawi yang tergantung pada sifat agensia yang

digunakan (Agrios, 1996).

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengidentifikasi jenis-jenis hama

dan penyakit yang menyerang manglid, serta mencari cara pengendaliannya yang

efektif dan efisien. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam program

pembangunan hutan manglid, baik di hutan tanaman maupun di hutan rakyat.

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sodonghilir, Pagerageung, dan

Bojonggambir yang semuanya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya,

Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dari tahun 2012 hingga 2015.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tanaman manglid,

mikoriza, serta insektisida hayati dan kimia. Alat yang digunakan berupa kantong

plastik, alat tulis, jaring serangga, sprayer, roll meter, kamera, kain kasa, pinset, kuas,

killing bottle, cawan petri, dan botol kecil.

Page 94: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

86 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

C. Metode Pelaksanaan

1. Identifikasi Jenis Hama

Pada seiap lokasi pengamatan dibuat plot-plot pengamatan dengan pengam-

bilan sampel sebesar 10% dari luas pengamatan. Plot pengamatan berukuran 20 m x

20 m. Pada setiap petak, pengamatan menggunakan jaring serangga. Serangga-

serangga yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam killing bottle yang selan-

jutnya dilakukan pemilahan koleksi dan identifikasi.

2. Identifikasi Jenis Penyakit

Identifikasi jenis penyakit dilakukan secara morfologis melalui isolasi patogen

dan postulat Kohc, atau melalui identifikasi gejala penyakit bagi penyakit yang telah

dikenal sebelumnya. Identifikasi penyakit mengacu pada Agrios (2004).

3. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit

Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Kajian dilakukan untuk

menguji beberapa jenis pestisida yang efektif mengandalikan hama dan penyakit

manglid.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Hama pada Manglid

1. Jenis-Jenis Hama Manglid

a. Hama Pengisap (Urostylis sp.)

Hama ini merupakan hama kepik yang mengisap tanaman manglid. Hama ini

diklasifikasikan dalam ordo Hemiptera, famili Urostylidae, dan genus Urostylis.

Famili Urostylidae biasanya berbentuk memanjang dengan ukuran panjang sekitar

3,5–14 mm, serta memiliki kaki panjang dan kepala kecil. Urostylide tersebar di Asia

bagian selatan dan timur, serta mencapai utara ke timur Palearctic dan arah barat

daya ke Papua New Guinea. Urostylidae terdiri dari dua subfamili dan sekitar enam

genus dengan lebih dari 80 spesies yang telah dikenal (Ren & Lin, 2003). Stadium

Page 95: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 87

serangga yang menjadi hama merupakan stadium nimfa dan dewasa. Serangga ini

memakan getah tanaman. Stadium dewasa dari Urostylis sp. berwarna cokelat,

sedangkan stadium nimfanya berwarna kuning kehijauan (Gambar 1). Gejala

serangan hama ini adalah rontoknya bagian pucuk tanaman dan tangkai pucuk

berwarna cokelat. Bahkan, serangan yang parah menyebabkan tanaman kering dan

mati. Menurut Hosain & Nizam (2004), jenis Urostylis punctigera dilaporkan

menyerang Michelia campaca L. yang menyebabkan kerusakan cukup berarti pada

pola monokultur.

Gambar 1. Urostylis sp. pada stadium dewasa (a) dan stadium nimfa (b), serta gejala

serangannya (c)

b. Hama Penggulung Daun

Hama penggulung daun merupakan jenis serangga hama dari ordo Lepidop-

tera, famili Tortricidae, genus Sorolopha, dan spesies Sorolopha camarotis. Famili

Tortricidae adalah salah satu famili yang terbesar dari Microlepidoptera dengan

sekitar 1.200 jenis dan terbanyak anggotanya adalah ngengat. Kelompok ini

beranggotakan sejumlah hama yang penting (Borror & Johnson, 1996). Sorolopha

camarotis pernah dilaporkan menyerang Michelia campaca (Diakonoff, 1973).

Stadium serangga yang menyerang tanaman manglid adalah stadium larva. Imago

meletakkan telur pada permukaan daun, kemudian larva instar awal menggerek

masuk ke dalam jaringan daun. Larva pun hidup berkembang dan makan di dalam

gulungan daun (Gambar 2). Rusaknya daun tersebut dapat menyebabkan terham-

batnya pertumbuhan manglid.

a b c

Page 96: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

88 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gambar 2. Sorolopha camarotis. A. larva, b. imago.

c. Hama Penghisap batang (Hamamelistes sp.)

Hama penghisap batang atau hama kutu putih termasuk ke dalam ordo

Hemiptera, famili Aphididae, dan genus Hamamelistes. Ciri khas hama ini adalah

tubuhnya ditutupi malam atau lapisan lilin berwarna putih yang berfungsi sebagai

pelindung (Borror et al., 1996; Kalshoven & Van der Laan, 1981) (Gambar 3).

Tubuh kutu lunak berwarna cokelat kemerah-merahan dan berukuran kecil (±1

mm). Kutu putih bersifat partenogenesis sehingga dapat menghasilkan keturunan

yang banyak dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan populasi hama dalam satu

pohon manglid sangat banyak sehingga pohon menjadi merana, bahkan mati.

Kutu putih mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Kutu berada di batang

pohon, cabang, ranting, hingga ke pucuk. Kutu menyerang manglid mulai dari umur

satu tahun hingga umur tegakan akhir daur. Kerusakan pada tanaman manglid

terjadi jika populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi pada manglid yang berumur

muda, antara lain daun berwarna kuning, rontok, dan kering. Pada pohon besar,

dampak kerusakan kutu terlihat pada warna tajuk menjadi hijau kusam dan tipis

karena daun yang rontok. Penampakan yang berbeda jika dibandingkan dengan po-

hon besar yang sehat, yaitu tajuknya lebat dan berwarna hijau pekat. Serangan ini

terjadi pada musim kemarau.

Penyebaran dan fluktuasi populasi kutu putih dipengaruhi oleh adanya

penghalang berupa bentang alam (jurang/bukit), ada atau tidaknya vegetasi lain, dan

musim. Tegakan manglid yang memiliki penghalang bentang alam dan vegetasi lain

a b

Page 97: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 89

yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan tegakan manglid

pada bentang alam terbuka dan sedikit atau tidak memiliki vegetasi lain. Serangan

kutu putih meningkat pada musim kemarau. Namun demikian, kutu putih masih

terdapat pada tegakan manglid pada musim hujan, meskipun populasinya terbatas.

Pada serangan berat, tanaman menjadi merana, kemudian mati.

Gambar 3. Kutu putih Hamamelistes sp.

d. Hama Kumbang (Sastra sp.)

Hama kumbang yang menyerang manglid termasuk ke dalam ordo Coleop-

tera, famili Chrysomelidae, subfamili Galerucinae, genus Sastra, dan spesies Sastra

sp. Hama ini merupakan hama pemakan daun. Hama berukuran ±2 cm dan berwar-

na hijau kekuningan. Ciri khas hama ini adalah meninggalkan bekas gigitan berupa

lubang-lubang di daun seperti jala (Gambar 4).

Page 98: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

90 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gambar 4. Sastra sp

Hama kumbang Sastra sp termasuk ke dalam golongan hama minor atau

hama yang relatif kurang penting karena kerusakan yang diakibatkan oleh hama

tersebut masih dapat ditoleransi, baik oleh tanaman maupun petani (Untung, 2006).

Hal yang perlu diperhatikan untuk hama ini adalah monitoring perkembangan hama

karena cara pengelolaan ekosistem tertentu dapat memungkinkan hama minor

berubah status menjadi hama utama.

2. Pengendalian Hama

Untuk mengendalikan suatu hama, ekologi dari hama tersebut harus dipelajari

terlebih dahulu, selanjutnya ekologi populasi, kemudian baru diciptakan atau

direncanakan suatu teknik pengendaliannya. Konsep pengendalian hama pada saat

ini adalah membiarkan hama dalam populasi yang berada di bawah ambang

kerusakan ekonomi.

Maksud dari pengendalian hama adalah memperbaiki kuantitas dan kualitas

hasil produksi tanaman yang diusahakan. Sementara itu, tujuan dari pengendalian

hama adalah mencegah terjadinya kerugian ekonomi dan menaikkan nilai produksi

dari tanaman yang diusahakan. Usaha pengendalian dilakukan apabila biaya yang

dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan hama

(Anggraeni, 2012). Untuk mencapai tujuan pengendalian hama, kegiatan pengen-

dalian terintegrasi atau terpadu harus dilakukan (Yunasfi, 2007).

Page 99: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 91

Menurut Gillott (2005), berdasarkan pada strategi ekologi hama, pemilihan

pengendalian hama tergantung dari posisi hama pada spektrum. Spektrum hama

tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Hama r (r Pests)

Hama pada spektrum ini memiliki potensi rata-rata peningkatan populasi

yang disebabkan oleh tingginya kemampuan menghasilkan telur dan generasi yang

pendek. Spektrum ini juga memiliki kemampuan migrasi yang luas, mencari sumber

makanan baru, dan preferensi makanan yang lebih luas. Pengendalian dengan

insektisida yang spesifik dapat mengendalikannya dalam yang waktu singkat.

Kelompok yang termasuk hama r adalah belalang, aphid, lalat, dan lalat rumah.

b. Hama K (K Pests)

Spektrum ini memiliki ciri menghasilkan telur yang yang lebih rendah dan

generasi yang lebih panjang. Kemampuan migrasinya pun rendah dan ditemukan

pada suatu habitat dengan periode waktu yang lama. Teknik pengendalian yang

sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian dengan teknik budi daya dan

pengendalian secara genetik.

c. Hama Menengah (Intermediate Pests)

Sebagian besar hama termasuk ke dalam golongan spektrum hama menengah,

seperti hama perusak daun dan perusak akar. Hama memiliki potensi reproduksi

yang relatif tinggi. Hama ini memiliki musuh alami yang relatif banyak sehingga

teknik pengendalian yang sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian

secara biologis dengan menggunakan musuh alami dan bisa ditambah dengan

pengendalian menggunakan insektisida jika dianggap penting.

Berdasarkan paparan di atas, jenis hama pengisap Urostylis sp dan hama kutu

putih Hammamelistes sp termasuk ke dalam kategori hama r sehingga pengendalian

yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan penggunaan insektisida yang

spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insektisida berbahan

Page 100: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

92 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

aktif Bacillus thuringiensis dengan dosis 5 ml/liter cukup efektif mengendalikan

Urostylis sp. dan Hammamelistes sp.

Jenis hama perusak daun, yaitu hama penggulung daun Sorolopha camarotis

dan hama kumbang Sastra sp., termasuk jenis hama menengah (intermediate pests).

Pengendalian yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan menggunakan

musuh alami (secara biologis) dan jika diperlukan dapat menggunakan insektisida.

Berdasarkan pengamatan, musuh alami Sorolopha camarotis yang ditemukan, antara

lain semut (Polyrhachis spp.), tawon (Polytes sp.), dan laba-laba; sedangkan musuh

alami Sastra sp. yang ditemukan adalah laba-laba (Suhaendah, 2014). Oleh karena

itu, upaya konservasi musuh alami diperlukan agar musuh alami tersebut dapat

berperan secara optimal dalam mengendalikan hama. Menurut Aminatun (2009),

terdapat beberapa cara konservasi musuh alami, antara lain:

1) Pengurangan frekuensi pestisida.

2) Penggunaan pestisida yang yang ramah lingkungan.

3) Penanaman bunga sebagai sumber nektar.

4) Penyemprotan air gula atau protein untuk menarik musuh alami.

5) Perilaku tidak merusak sarang lebah.

6) Penanaman tanaman alternatif sebagai tempat bagi serangga (nonhama) mangsa.

7) Budi daya dengan pola tumpang sari atau tumpang gilir.

8) Penggunaan tanaman penutup tanah sebagai tempat berlindung musuh alami.

B. Penyakit pada Manglid

1. Jenis-Jenis Penyakit Manglid

a. Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Busuk Akar

Pada skala persemaian, bibit manglid dapat terserang penyakit busuk pangkal

batang (Gambar 5a), sedangkan tegakan manglid di masyarakat dapat terserang

penyakit busuk akar (Gambar 5b). Jenis patogen yang menyebabkan penyakit busuk

pangkal batang dan busuk akar belum diketahui secara pasti. Secara umum, penyakit

busuk pangkal batang dan penyakit akar biasanya disebabkan oleh patogen tular

Page 101: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 93

tanah yang besifat parasit fakultatif , yaitu dapat bertahan hidup sebagai saprofit di

dalam tanah dan menjadi parasit apabila menginfeksi tanaman inang yang masih

hidup (Anggraeni & Lelana, 2011). Penyakit akar banyak menyerang hutan

tanaman yang biasanya disebabkan oleh daya adaptasi tanaman yang rendah

terhadap lingkungan baru atau tertular oleh tanaman lainnya. Adapun beberapa

patogen yang menyebabkan penyakit akar, seperti busuk akar merah pada akasia dan

sengon oleh fungi Ganoderma pseudoferreum, busuk akar putih pada akasia oleh

fungi Rigidoporus microporus, dan penyakit busuk akar pada eukaliptus oleh fungi

Phytophtora dan Botryodiplodia (Widyastuti et al., 2005).

Gambar 5. Gejala penyakit pada manglid: busuk pangkal batang (a), busuk akar (b), dan

bercak daun (c)

b. Penyakit Bercak Daun

Selain penyakit akar, tegakan manglid dapat terserang suatu gejala penyakit

lain yaitu bercak daun (Gambar 5c) dengan kejadian penyakit masih tergolong

ringan dan tidak menyebabkan kematian pohon. Meskipun tidak menyebabkan

kematian, penyakit bercak daun banyak menyebabkan tanaman manglid menjadi

kerdil karena terhambatnya proses fotosintesis pada daun. Adapun patogen penye-

bab penyakit ini belum diketahui hingga saat ini. Pada genus yang sama, yaitu

Magnolia elegans , dilaporkan terserang oleh penyakit bercak daun yang disebabkan

oleh fungi Colletotricum sp. (Irawan et al., 2015).

b c a

Page 102: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

94 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

2. Pengendalian Penyakit Manglid

Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan

melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau

pada tanaman di tingkat lapangan. Pemberian Trichoderma spp. untuk mencegah

patogen tular tanah yang biasa menyebabkan penyakit akar dan busuk pangkal

batang. Hal ini mengacu pada beberapa hasil penelitian Berlian et al. (2013) dan

Sunarwati dan Yoza (2010) yang menyatakan bahwa Tricoderma spp. efektif untuk

mengendalikan beberapa patogen tular tanah, seperti penyakit busuk pangkal akar

pada durian dengan mekanisme antagonis berupa parasitisme dan lisis dinding sel.

Selain itu, pemupukan dengan menggunakan pupuk biologis dari fungi mikoriza

arbuskula dapat pula dilakukan untuk membantu ketahanan inang terhadap

serangan penyakit. Fungi mikoriza dapat membantu tanaman dalam penyediaan

unsur hara dan air, terutama ketika terjadi cekaman air dan hara makro yang terjerap

pada tanah.

IV. Kesimpulan

Pembangunan hutan manglid memiliki potensi gangguan berupa kejadian

serangan hama dan penyakit, baik pada tingkat persemaian maupun tegakan.

Terdapat beberapa hama yang tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi

karena dapat menyebabkan kematian tegakan, yaitu hama pengisap Hamamelistes

sp. dan Urostylis sp. Upaya pengendalian hama tersebut dapat dilakukan secara

kuratif dengan penyemprotan insektisida biologis jenis Bacillus thuringiensis.

Sementara itu, serangan penyakit yang berpotensi merugikan adalah busuk akar pada

tegakan hingga menyebabkan kematian. Adapun upaya pengendaliannya dapat

menggunakan agen antagonis Tricoderma spp.

Daftar Pustaka

Agrios, G. N. (1996). Ilmu penyakit tumbuhan. Gajah Mada Universitas Press,

Yogyakarta.

Page 103: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hama dan Penyakit Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 95

Aminatun, T. (2009). Teknik konservasi musuh alami untuk pengendalian hayati.

UNY, Mei, 61-69.

Anggraeni, I. (2012). Penyakit karat tumor pada sengon dan hama cabuk lilin pada

pinus: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor, Badan Litbang

Kehutanan

Anggraeni, I., Intari, S. E., & Darwiati, W. (2006). Hama dan penyakit hutan

tanaman. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Anggraeni, I., & Lelana, N. (2011). Diagnosis penyakit tanaman hutan: Pusat

Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Berlian, I., Setyawan, B., & Hadi, H. (2013). Mekanisme antagonisme

Trichoderma spp. terhadap beberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan,

32(2), 74-82.

Borror, D., A, T. C., & Johnson, N. (1996). Pengenalan pelajaran serangga: Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Diakonoff, A. (1973). The South Asiatic Olethreutini:(Lepidoptera Tortricidae)

(Vol. 1): Brill Archive.

Gillott, C. (2005). Entomology: Springer Science & Business Media.

Hosain, M. K., & Nizam, M. Z. U. (2004). Michelia champaca L Species

Description Part III. In B. Institute of Forestry and Environmental Sience

(Ed.).

Irawan, A., Anggraeni, I., & Christita, M. (2015). Identifikasi penyebab penyakit

bercak daun pada bibit cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H. Keng) dan

teknik pengendaliannya. Jurnal Wasian, 2(2), 87-94.

Kalshoven, L. G. E., & Van der Laan, P. (1981). Pests of crops in Indonesia. Pests

of crops in Indonesia.(Revised).

Page 104: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & A. Winara

96 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Ren, S.-Z., & Lin, C.-S. (2003). Revision of the Urostylidae of Taiwan, with

descriptions of three new species and one new record (Hemiptera-

Heteroptera: Urostylidae). Formosan Entomol, 23, 129-143.

Suhaendah, E. (2014). Musuh alami hama pada agroforestry mnaglid (Manglieta

glauca Bl.). Paper presented at the Seminar Nasional Agroforestry V, Ambon.

Sumardi, & Widyastuti, S. (2007). Dasar-dasar perlindungan hutan: Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Sunarwati, D., & Yoza, R. (2010). Kemampuan Trichoderma dan Penicillium

dalam menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit busuk akar

durian. Paper presented at the Seminar Nasional Program dan Strategi

Pengembangan Buah Nusantara, Solok.

Untung, K. (2006). Pengantar pengendalian hama terpadu. Universitas Gadjah

Mada Press. Yogyakarta.

Wainhouse, D. (2005). Ecological methods in forest pest management: Oxford

University Press on Demand.

Widyastuti, S., Sumardi, & Harjono. (2005). Patologi hutan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Yunasfi. (2007). Permasalahan hama, penyakit, dan gulma dalam pembangunan

hutan tanaman industri dan usaha pengendaliannya. Medan: Dep.

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Page 105: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

MANAJEMEN OPTIMAL TEGAKAN MANGLID

BAB IV

Page 106: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 107: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 99

Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,

Tasikmalaya, Jawa Barat

Yonky Indrajaya1

ABSTRAK

Penentuan daur tebang dari suatu hutan tanaman termasuk hutan rakyat merupakan langkah

penting dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengusahaan

hutan tanaman. Penelitian ini bertujuan menganalisis daur optimal hutan rakyat manglid di

Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu

manglid pada semua daur. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran pertumbuhan

tegakan manglid dan wawancara dengan petani manglid. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur Faustmann

tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat suku bunga, dan

tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann, sedangkan peningkatan biaya

pembangunan hutan akan memperpanjang daur Faustmann.

Kata kunci: manglid, hutan rakyat, daur optimal, daur Faustmann, keuntungan

I. Pendahuluan

Jenis manglid (Magnolica champaca) banyak dikembangkan oleh masyakarat

di Tasikmalaya karena pohon ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya

padat, halus, ringan, dan mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Keputusan

waktu memanen merupakan keputusan penting bagi pengusaha atau petani hutan

manglid untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sementara itu, Darusman

dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa penentuan waktu tebang umumnya

didasarkan pada kebutuhan petani (daur butuh) yang belum tentu memberikan

keuntungan maksimal.

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis

46201; Email: [email protected]

Page 108: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

100 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Rimbawan pada umumnya menggunakan metode kulminasi maksimum atau

daur biologis dalam menentukan daur optimal suatu tegakan hutan tanaman, yaitu

waktu di mana riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment/MAI) sama dengan

riap tahun berjalan (Current Annual Increment/CAI) (Amacher et al., 2009;

Bettinger et al., 2009). Namun, penentuan daur optimal ini pun belum tentu

memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani. Penentuan daur finansial

Faustmann merupakan metode yang paling tepat dalam menentukan daur optimal

suatu tegakan hutan dalam konteks teori kapital (Samuelson, 1976). Beberapa

penelitian tentang penentuan daur beberapa jenis tegakan telah dilakukan

menggunakan metode Faustmann, di antaranya di Amerika (van Kooten et al.,

1995; Chang, 2001), Eropa (Tassone et al., 2004; Olschewski & Benitez, 2010), dan

Indonesia (Indrajaya, 2013; Indrajaya & Siarudin, 2013).

Tulisan ini bertujuan menganalisis daur optimal tegakan manglid yang

dibudidayakan oleh masyarakat di Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya,

Provinsi Jawa Barat. Daur optimal biologis dan finansial akan dibahas dalam tulisan

ini untuk memberikan gambaran perbedaan keduanya. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengelola hutan tanaman manglid

agar mendapatkan keuntungan yang maksimal.

.

II. Metodologi

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Kawalu merupakan kecamatan yang terletak di wilayah Kota

Tasikmalaya yang memiliki luas sekitar 42,77 km2 dan terdiri dari 10 kelurahan.

Penggunaan lahan di Kecamatan Kawalu sebagian besar merupakan lahan pertanian,

yaitu sawah seluas 1.247 ha dan kebun campuran seluas 1.050 ha (terdiri dari 42 ha

pekarangan, 663 ha tegalan, dan 345 ha hutan rakyat). Di lahan kebun campuran

inilah para petani umumnya menanam jenis kayu-kayuan yang salah satu jenisnya

adalah manglid. Rata-rata temperatur di lokasi penelitian adalah 20–34o C dengan

rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2.072 mm dan rata-rata jumlah hari hujan

sebanyak 82 hari (Puspitodjati et al., 2009). Kondisi tempat tumbuh di lokasi

Page 109: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 101

penelitian relatif cocok untuk manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat

(2002).

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan meliputi (1) data pertumbuhan tegakan manglid,

yaitu tinggi dan diameter, serta populasi pohon manglid dalam satu hektare; dan (2)

data ekonomi, yaitu total biaya dan pendapatan (seperti biaya pembangunan hutan

tanaman manglid, biaya pemanenan, dan harga kayu), serta data tingkat suku bunga

riil dalam 10 tahun terakhir. Pengukuran tinggi dan diameter pohon manglid dila-

kukan sejak tahun 2010 hingga 2014 pada tiga petak ukur yang masing-masing

berukuran 625 m2. Untuk menambah data pertumbuhan, pengukuran juga dilakukan

di luar plot penelitian, yaitu di lahan masyarakat dengan umur berbeda (8 tahun dan

10 tahun). Estimasi volume pohon diperoleh dengan persamaan:

(1)

Dalam persamaan di atas, nilai V adalah volume pohon (m3), D adalah

diameter pohon (m), H adalah tinggi total pohon (m), dan f adalah faktor angka

bentuk pohon (tidak memiliki satuan). Mengingat belum adanya studi tentang

faktor angka bentuk pohon manglid, faktor angka bentuk yang digunakan dalam

penelitian ini adalah faktor angka bentuk pohon jabon, yaitu 0,47 (Krisnawati et al.,

2011a). Hal ini karena secara fisiologis pohon manglid mirip dengan pohon jabon.

Untuk mengetahui volume tegakan manglid pada kelas umur >10 tahun,

pemodelan hubungan dibuat antara umur A (dalam bulan) dengan diameter D (cm)

dan tinggi H (meter) (Siarudin et al., 2014), yaitu:

(2)

(3)

Untuk mengestimasi jumlah pohon per hektare, perhitungan menggunakan

data kematian pohon dan intensitas penjarangan yang dilakukan di plot penelitian.

Page 110: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

102 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Estimasi jumlah pohon per hektare setelah dikurangi dengan tingkat kematian yang

terjadi diperoleh dengan persamaan:

(4)

Mengingat tingkat kerapatan yang cukup tinggi pada saat penanaman, pen-

jarangan dengan intensitas yang bervariasi perlu dilakukan. Intensitas penjarangan

yang dianjurkan untuk tegakan manglid yang diperuntukkan sebagai kayu

pertukangan nilainya hingga sebesar 50% pada tahun ke-5, ke-9, dan ke-15 (Chat,

2002). Dalam penelitian ini, pengurangan jumlah pohon per hektare diasumsikan

sebanyak 5,1% dari jumlah pohon pada tahun sebelumnya dan mengikuti rata-rata

tingkat kematian pohon manglid dari umur 0–4 tahun di lokasi penelitian. Pohon

yang dijarangi termasuk pohon yang mati dan tertekan. Kayu hasil penjarangan

diasumsikan tidak dijual sehingga tidak diperhitungkan sebagai pendapatan dalam

perhitungan keuntungan.

Data ekonomi (seperti biaya pembangunan hutan, biaya pemanenan, dan

harga kayu) dan teknik pengelolaan hutan rakyat manglid (seperti jarak tanam)

diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap petani. Tingkat suku bunga riil

diperoleh dari data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia.

C. Penentuan Daur Optimal Tegakan Manglid

1. Daur Biologis

Daur biologis merupakan daur yang digunakan untuk memperoleh hasil

produksi kayu yang maksimal (Bettinger et al., 2009). Daur ini dihitung berdasarkan

riap volume rata-rata tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan

(CAI) = [S merupakan stok kayu pada waktu T]. Daur biologis

banyak digunakan oleh para rimbawan dengan argumentasi bahwa pohon secara

alami akan mencapai puncak pertumbuhannya, kemudian akan tua dan mati.

Page 111: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 103

2. Daur Finansial

Penentuan daur finansial atau daur Faustmann dilakukan dengan mengguna-

kan pendekatan Net Present Value (NPV) dari tegakan manglid dalam rotasi tak

terhingga (Amacher et al., 2009). Apabila memperhitungkan seluruh biaya dan

pendapatan dari seluruh rotasi, keuntungan yang diperoleh dapat maksimal.

Persamaan NPV untuk rotasi tak terhingga atau daur Faustmann adalah sebagai

berikut:

(5)

(6)

Dalam rumus di atas, nilai p adalah harga kayu neto biaya penebangan per m3,

C adalah biaya pembangunan hutan tanaman manglid, dan i merupakan suku bunga

riil. Kondisi untuk daur optimal Faustmann adalah ketika keuntungan marginal dari

menunda penebangan setara dengan biaya kesempatan yang disebabkan oleh

penundaan tersebut, yaitu:

(7)

Terminologi menunjukkan jumlah nilai dari lahan dan stok

kayu pada waktu pemanenan. Apabila diganti dengan terminologi dari

sisi kanan persamaan (5) dan menata kembali persamaan (7), persamaan (8) pun

akan diperoleh. Persamaan (8) ini digunakan untuk memberikan ilustrasi secara

grafis, sebagai berikut:

(8)

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan faktor-faktor

eksogen (seperti suku bunga riil, harga kayu, dan produksi) terhadap daur optimal

finansial Faustmann.

Page 112: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

104 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

III. Hasil dan Pembahasan

A. Daur Biologis

Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) maka

dapat dibuat model pertumbuhan volume tegakan manglid. Jarak tanam awal

tegakan manglid adalah 2 m x 2 m sehingga jumlah pohon pada saat penanaman

sebanyak 2.500 pohon/ha. Hasil dari estimasi pertumbuhan volume per hektare

tegakan manglid dapat disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur

(tahun)

Dbh

(cm)

Tinggi

total (m)

Populasi

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

CAI

(m3/ha)

MAI

(m3/ha)

0 - - 2.500 - - -

1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93

2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22

3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14

4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74

5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08

6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20

7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14

8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91

9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54

10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04

11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45

12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75

13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98

14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13

15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21

16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25

17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23

18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17

19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07

20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95

Page 113: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 105

Umur

(tahun)

Dbh

(cm)

Tinggi

total (m)

Populasi

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

CAI

(m3/ha)

MAI

(m3/ha)

21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79

22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61

23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41

24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19

25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96

Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada, MAI = riap rata-rata tahunan, CAI = riap tahun

berjalan

Berdasarkan Tabel 1, pertumbuhan tegakan manglid di lokasi penelitian

relatif lambat dengan riap rata-rata tahunan (MAI) tertinggi sebesar 13,25 m3/tahun

pada tahun ke-16. Padahal, jenis hutan rakyat lain seperti jabon dapat mencapai nilai

MAI hingga 30 m3 pada tahun ke-3 (Indrajaya & Siarudin, 2013) atau sengon yang

dapat mencapai nilai MAI hingga 20 m3 pada tahun ke-9 (Krisnawati et al., 2011b).

Daur biologis tegakan manglid di lokasi penelitian adalah 16,5 tahun, yaitu ketika

nilai rata-rata riap volume tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan

(CAI), seperti disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Daur biologis optimal tegakan manglid

Page 114: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

106 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Mengingat pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan

jenis hutan rakyat yang lain (sengon dan jabon), daur biologisnya pun menjadi relatif

lebih panjang. Daur biologis optimal tegakan sengon sekitar 5–7 tahun pada kualitas

tempat tumbuh (bonita) II–IV (Indrajaya, 2013). Sementara itu, daur biologis

optimal tegakan jabon adalah lima tahun (Indrajaya & Siarudin, 2013).

B. Daur Finansial

Daur finansial ditentukan menggunakan pendekatan daur Faustmann dengan

beberapa asumsi, yaitu (1) pemanenan tegakan manglid dilakukan secara tebang

habis; (2) permudaan dilakukan pada tahun yang sama dengan penebangan melalui

bibit; (3) tingkat harga, suku bunga riil, dan pertumbuhan pohon telah diketahui

dan tetap (Indrajaya & Siarudin, 2013). Berdasarkan wawancara dengan responden,

harga kayu manglid adalah Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan Rp50 ribu/m3.

Dengan demikian, estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid sebesar

Rp18,8 juta/ha seperti dijelaskan dalam Lampiran 1. Suku bunga riil yang

digunakan dalam perhitungan sebesar 4% yang merupakan rata-rata suku bunga riil

selama 10 tahun terakhir (World Bank, 2013). Berdasarkan perhitungan meng-

gunakan persamaan (8), daur finansial optimal tegakan manglid adalah 13,5 tahun

(Gambar 2).

Gambar 2. Daur optimal finansial tegakan manglid

Page 115: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 107

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tahun ke-13,5, petani akan memperoleh

hasil yang maksimal apabila menebang tegakan manglidnya dibandingkan dengan

menebang pada tahun ke-16,5 (daur biologisnya). Pertumbuhan yang relatif lambat

pada tegakan manglid ini menyebabkan daur optimal finansial lebih pendek diban-

dingkan dengan daur biologisnya. Hal ini serupa dengan jenis-jenis hutan tanaman

yang relatif lambat pertumbuhannya seperti Douglas fir di Amerika (Perman et al.,

2003). Namun, kondisi ini berbeda dengan jenis hutan rakyat yang lain yang dikem-

bangkan di Indonesia, seperti sengon atau jabon, yang mana pertumbuhannya relatif

cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya (Indrajaya, 2013;

Indrajaya & Siarudin, 2013).

C. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji seberapa sensitif hasil dari

perhitungan daur Faustmann dipengaruhi oleh parameter-parameter yang diguna-

kan sebagai input. Parameter input ini merupakan parameter eksogen, yaitu

parameter yang tidak dipengaruhi oleh parameter di dalam model optimasi. Salah

satu parameter ini adalah harga kayu. Harga kayu manglid yang digunakan dalam

analisis sensitivitas ini adalah Rp500 ribu dan Rp1,5 juta.

Gambar 3. Daur Faustmaan tanaman manglid pada beberapa tingkat harga kayu

Page 116: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

108 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gambar 3 menunjukkan bahwa peningkatan harga kayu manglid akan mem-

perpendek daur Faustmann. Sebaliknya, penurunan harga akan memperpanjang

daur Faustmann. Harga kayu yang semakin tinggi akan menyebabkan nilai sekarang

menjadi lebih tinggi dan kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari daur

berikutnya akan menjadi lebih tinggi sehingga keputusan untuk mempercepat pema-

nenan kayu menjadi pilihan yang tepat.

Parameter eksogen lain yang kemungkinan dapat berubah adalah tingkat suku

bunga riil yang disebabkan oleh perubahan kondisi makro ekonomi yang berakibat

pada berubahnya tingkat inflasi. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis

sensitivitas ini adalah 1% dan 7%. Daur Faustmann pada beberapa tingkat suku

bunga disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat suku bunga

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 1%, daur Faustmann

sama dengan daur biologisnya, yaitu 16,5 tahun. Sementara itu, pada tingkat suku

bunga 7%, daur Faustmann menjadi 11,5 tahun. Selain harga kayu dan tingkat suku

bunga riil, parameter eksogen yang mungkin berubah adalah biaya pembangunan

hutan. Daur Faustmann pada beberapa biaya pembangunan hutan dapat disajikan

dalam Gambar 5. Dalam analisis sensitivitas ini, perhitungan diujicobakan pula bila

Page 117: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 109

biaya pembangunan hutan manglid naik menjadi Rp2 juta dan Rp35 juta. Gambar 5

menunjukkan bahwa peningkatan biaya pembangunan hutan dapat menyebabkan

daur Faustmann menjadi lebih panjang.

Gambar 5. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa biaya pembangunan hutan

Selain itu, penanaman hutan tanaman manglid umumnya dilakukan secara

monokultur sehingga tegakan manglid relatif rentan terhadap serangan hama dan

penyakit. Analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi kayu telah pula dilaku-

kan di hutan alam (Yuniati, 2011). Apabila diasumsikan penurunan produksi sebesar

25% dan 50%, nilai NPV pun akan berkurang. Daur Faustmann pada beberapa

penurunan produksi kayu manglid disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan produksi kayu manglid sebesar

25% dan 50% akan memperpendek daur Faustman berturut-turut menjadi 10,5 dan

6,5 tahun. Semakin tinggi tingkat penurunan produksi kayu, keputusan untuk

mempercepat waktu pemanenan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh.

Page 118: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

110 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gambar 6. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat penurunan produksi

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur

Faustmann tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat

suku bunga, dan tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann.

Sebaliknya, peningkatan biaya pembangunan hutan akan memperpanjang daur

Faustmann.

B. Saran

Petani manglid sebaiknya menggunakan daur Faustmann agar dapat mem-

peroleh keuntungan yang maksimal. Daur biologis ataupun daur butuh tidak

memberikan keuntungan yang maksimal karena tidak mempertimbangkan faktor

ekonomi dalam penentuan daurnya. Penelitian manajemen optimal hutan manglid

yang dilakukan menggunakan pola agroforestri menarik untuk dilakukan mengingat

banyak pula pengusahaan manglid menggunakan pola ini.

Page 119: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 111

Daftar Pustaka

Amacher, G.S., Ollikainen, M., Koskela, E., 2009. Economics of forest resources.

MIT Press, Cambridge, Mass.

Bettinger, P., Boston, K., Siry, J.P., Grebner, D.L., 2009. Forest management and

planning. Academic Press, Burlington USA.

Chang, S.J., 2001. One formula, myriad conclusions, 150 years of practicing the

faustmann formula in central Europe and the USA. Forest policy and

economics 2.

Chat, N.B., 2002. Manglietia glauca B1 (M. conifera Dandy). In: Sam, D.D.,

Nghia, N.H. (Eds.), Use of Indigenous Tree Species in Reforestation in

Vietnam. Agricultural Publishing House-Forest Science Institute of Vietnam,

Hanoi Vietnam.

Darusman, D., Hardjanto, 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. In, Prosiding

seminar hasil penelitian hasil hutan. Badan Litbang Kehutanan.

Indrajaya, Y., 2013. Penentuan daur optimal hutan tanaman sengon/Paraserianthes

falcataria (L.) Nielsen dengan metode Faustmann. Jurnal Penelitian

Agroforestry 1, 31-40.

Indrajaya, Y., Siarudin, M., 2013. Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan

Pekenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman

10, 201-211.

Krisnawati, H., Kallio, M., Kanninen, M., 2011a. Anthocephalus cadamba Miq.:

Ekologi, Silvikultur, Produktivitas. CIFOR, Bogor.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M., 2011b. Paraserianthes

falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor

Indonesia.

Olschewski, R., Benitez, P.C., 2010. Optimizing joint production of timber and

carbon sequestration of afforestation projects. J Forest Econ 16, 1-10.

Page 120: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

112 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Perman, R., Ma, Y., McGilvray, J., Common, M., 2003. Natural resource and

environmental economics. Third Edition. Pearson Education Limited,

England.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,

Rahmawan, B., Setiawan, I., 2009. Intensifikasi hutan rakyat untuk

peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid

(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). In. Balai Penelitian Kehutanan

Ciamis, Ciamis.

Samuelson, P.A., 1976. Economics of Forestry in an Evolving Society. Econ Inq 14,

466-492.

Siarudin, M., Indrajaya, Y., Handayani, W., Badrunasar, A., Nurochmah, Y., 2014.

Laporan Hasil Penelitian "Pemanfaatan Lahan Agroforestry untuk

Mendukung Mekanisme REDD+". In. Balai Penelitian Teknologi

Agroforestry, Ciamis.

Tassone, V.C., Wesseler, J., Nesci, F.S., 2004. Diverging incentives for afforestation

from carbon sequestration: an economic analysis of the EU afforestation

program in the south of Italy. Forest policy and economics 6, 567-578.

van Kooten, G.C., Binkley, C.S., Delcourt, G., 1995. Effect of Carbon Taxes and

Subsidies on Optimal Forest Rotation Age and Supply of Carbon Services.

American Journal of Agricultural Economics 77, 365-374.

World Bank, 2013. World Bank Indicator. In: Bank, W. (Ed.), 1960-2012.

Yuniati, D., 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman

Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,

Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8, 239-249.

Page 121: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 113

Lampiran 1. Estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid per hektare

Komponen biaya Satuan Harga

(Rp) Jumlah

Total

(Rupiah)

I. Biaya Bahan

a. Bibit Buah 1.000 2.500 2.500.000

b. Pupuk organik Kilogram 200 12.500 2.500.000

II. Biaya Operasional

a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000

b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000

c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000

d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000

e. Pengangkutan bahan (bibit,

pupuk, ajir)

HOK 30.000 30 900.000

Total Biaya 18.800.000

Page 122: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 123: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 115

Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon Terhadap Daur Optimal

Tegakan Manglid dalam Proyek Aforestasi

Yonky Indrajaya1

ABSTRAK

Salah satu jenis tanaman pohon yang banyak ditanaman di lahan masyarakat di Jawa Barat,

khususnya di wilayah Priangan Timur adalah jenis manglid (Magnolia champaca).

Penentuan rotasi tebang hutan rakyat pada umumnya dilakukan menggunakan rotasi tebang

butuh atau ditebang pada saat masyarakat membutuhkan dana untuk keperluan tertentu.

Penentuan daur finansial Faustmann dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila

hanya memperhitungkan penjualan kayu sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Selain

dapat menghasilkan kayu, hutan tanaman juga dapat menyerap karbon dari atmosfer. Tulisan

ini bertujuan mengetahui pengaruh tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan

karbon apabila hutan tanaman manglid dibangun dengan tujuan penyerapan karbon

(contohnya proyek aforestasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tambahan

pendapatan jasa lingkungan karbon akan memperpanjang rotasi tebang tegakan manglid.

Semakin tinggi harga karbon, semakin panjang rotasi tebang tegakan manglid.

Kata kunci: manglid, daur optimal, aforestasi, jasa lingkungan, karbon

I. Pendahuluan

Salah satu jenis pohon yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Jawa

Barat, khususnya di wilayah Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia champaca).

Jenis ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan, dan

mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Pada umumnya, penentuan waktu

tebang tegakan hutan rakyat, termasuk manglid, dilakukan pada saat masyarakat

sedang membutuhkan dana yang cukup besar (Darusman & Hardjanto, 2006),

misalnya untuk membayar sekolah anak, keperluan pernikahan anak, atau untuk

keperluan pembangunan rumah sendiri. Dari perspektif ekonomi, daur yang hanya

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis

46201; Email: [email protected]

Page 124: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

116 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

mempertimbangkan waktu kebutuhan sebagai faktor penentu belum tentu memberi-

kan keuntungan yang maksimal kepada petani.

Waktu tebangan umumnya ditentukan berdasarkan metode daur biologis

(Amacher et al., 2009), yaitu waktu panen adalah ketika riap rata-rata tahunan

(Mean Annual Increment/MAI) sama dengan riap tahun berjalan (Current Annual

Increment/ CAI). Daur tebangan ini sebenarnya belum memberikan keuntungan

yang maksimal bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai satu-satunya sumber

pendapatan. Samuelson (1976) dalam reviewnya tentang aspek ekonomi kehutanan

menyatakan bahwa teori Faustmann merupakan teori ekonomi kehutanan yang

paling tepat dalam analisis memaksimalkan keuntungan dari suatu tegakan hutan

tanaman. Daur ini memperhitungkan semua pendapatan yang diperoleh dan biaya

yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan tanaman, yaitu tidak hanya pada satu

daur, namun hingga daur tak terhingga.

Selain dapat memproduksi kayu, hutan tanaman juga berperan dalam penye-

rapan karbon dari atmosfer selama pertumbuhannya sehingga berpotensi untuk

digunakan sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim (Solomon, 2007). Penanaman

pohon hutan pada lahan hutan yang kosong dapat memberikan kontribusi yang

signifikan dalam penyerapan karbon di udara. Beberapa penelitian telah banyak dila-

kukan di Eropa dan Amerika terkait dengan penjualan jasa lingkungan karbon

dalam hutan tanaman (Foley & Galik, 2009; Galinato & Uchida, 2011; Huang &

Kronrad, 2006; Olschewski & Benitez, 2010; Susaeta et al., 2014; Tassone et al.,

2004; van Kooten et al., 1995). Hasilnya adalah penambahan pendapatan dari jasa

lingkungan karbon akan memperpanjang daur optimalnya. Penelitian tentang

pengaruh jasa lingkungan karbon tegakan manglid dengan cara memperpanjang

daur dari daur optimalnya dengan metode Verified Carbon Standard (VCS) telah

dilakukan oleh Indrajaya dan Sudomo (2015). Penelitian tersebut menggunakan

asumsi bahwa tegakan manglid telah ada dan dikelola dengan manajemen tertentu.

Tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon dilakukan dengan cara

memperpanjang daur tebangan yang tergantung dari harga karbon. Dengan

demikian, perhitungan baseline karbon tersimpan adalah jumlah karbon tersimpan

Page 125: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 117

pada daur optimal bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai sumber penda-

patannya.

Tulisan ini bertujuan menganalisis pengaruh tambahan pendapatan yang

dapat diperoleh dari penjualan jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal hutan

tanaman manglid yang ditanam pada lahan kosong atau melalui proyek aforestasi.

Berbeda dengan penelitian Indrajaya dan Sudomo (2015), tulisan ini membahas

hutan tanaman manglid yang ditanam dengan tujuan untuk mendapatkan

keuntungan dari penjualan jasa lingkungan karbon yang dimulai dari penanaman.

Oleh karena itu, baseline yang digunakan dalam penelitian ini adalah nol.

II. Metodologi

A. Lokasi

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Pada wilayah ini, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.072 mm dan jumlah hari

hujan rata-rata sebanyak 82 hari dengan temperatur rata-rata sebesar 20–34oC

(Puspitodjati et al., 2009). Lokasi penelitian ini cocok sebagai tempat tumbuh

manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat (2002).

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data pertumbuhan

tegakan manglid (seperti perubahan dimensi pohon manglid dan populasinya) dan

data ekonomi tegakan manglid, yaitu data biaya dan pendapatan yang terkait dengan

pengelolaan hutan tanaman manglid (seperti biaya pembangunan hutan tanaman

manglid, biaya pemanenan, harga kayu, dan tingkat suku bunga riil).

Metode memaksimalkan keuntungan dengan penentuan waktu tebang (daur)

optimal Faustmann digunakan untuk mengetahui pengaruh tambahan pendapatan

jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal tegakan manglid dalam proyek

aforestasi. Pendekatan model Faustmann merupakan perhitungan Net Present Value

(NPV) dengan memperhitungkan seluruh biaya dan pendapatan dari seluruh daur

Page 126: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

118 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

sehingga keuntungan yang diperoleh maksimal. Pendekatan ini menotasikan p

sebagai harga kayu neto biaya penebangan per m3, K sebagai biaya pembangunan

hutan tanaman manglid, S sebagai stok kayu berdiri, dan r sebagai suku bunga riil.

Dengan demikian, perhitungan NPV pada rotasi tak terhingga dapat dituliskan

sebagai berikut:

(1)

Apabila harga karbon per ton CO2 eq. dinotasikan sebagai dan jumlah

karbon tersimpan dalam biomassa hutan sebagai C, perhitungan NPV karbon pada

rotasi tak terhingga dapat dituliskan sebagai berikut:

(2)

Selanjutnya, persamaan dalam memaksimalkan keuntungan dari kayu dan

karbon dapat dituliskan sebagai berikut:

(3)

Pembayaran jasa lingkungan karbon dimulai ketika > , yaitu ketika

karbon tersimpan dalam biomassa proyek lebih tinggi daripada rata-rata karbon

tersimpan dalam biomassa baseline. Pembayaran karbon dihentikan ketika

, yaitu pada saat akumulasi karbon tersimpan dalam biomassa yang

dikreditkan sama dengan rata-rata karbon tersimpan dalam biomassa dalam satu

daur dalam proyek. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Indrajaya dan Sudomo (2015), yang mana baseline yang digunakan pada

penelitian mereka adalah jumlah rata-rata karbon tersimpan dalam biomassa dengan

hanya memperhitungkan pendapatan dari kayu dalam satu daur. Sebaliknya, baseline

yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah karbon tersimpan dalam

biomassa pada tanah kosong yang diasumsikan sebesar nol.

Page 127: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 119

Perhitungan berat biomassa tegakan manglid di atas permukaan tanah dilaku-

kan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005),

yaitu:

(4)

Dalam rumus tersebut, nilai p merupakan berat jenis manglid, yaitu 0,45

(Zanne et al., 2009). Proporsi karbon tersimpan dalam biomassa adalah sebesar 0,47

(IPCC, 2006). Selanjutnya, jumlah CO2 eq. yang merupakan unit karbon yang

diperjualbelikan diperoleh dengan cara mengalikan nilai karbon tersimpan dalam

biomassa dengan bilangan 44/12, yaitu rasio berat molekul CO2 terhadap unsur C.

III. Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan jenis-jenis

hutan rakyat yang banyak dikembangkan di masyarakat, seperti jabon (Krisnawati et

al., 2011a) dan sengon (Krisnawati et al., 2011b).

Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur

(tahun)

Dbh

(cm)

Tinggi

total (m)

Populasi

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

CAI

(m3/ha)

MAI

(m3/ha)

0 - - 2.500 - - -

1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93

2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22

3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14

4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74

5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08

6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20

7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14

8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91

9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54

Page 128: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

120 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Umur

(tahun)

Dbh

(cm)

Tinggi

total (m)

Populasi

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

CAI

(m3/ha)

MAI

(m3/ha)

10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04

11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45

12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75

13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98

14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13

15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21

16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25

17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23

18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17

19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07

20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95

21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79

22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61

23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41

24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19

25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96

Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)

Hutan tanaman manglid dibangun dengan biaya sebesar Rp18,8 juta/ha,

sedangkan harga jual kayu manglid sebesar Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan

Rp50 ribu/m3 (Indrajaya & Sudomo, 2015). Suku bunga riil rata-rata tahun 2003–

2013 sebesar 4% (World Bank, 2013). Dengan demikian, NPV dengan hanya

mempertimbangkan kayu sebagai sumber pendapatan berdasarkan perhitungan

menggunakan persamaan (1) dapat disajikan dalam Tabel 2.

Page 129: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 121

Tabel 2. NPV rotasi tak terhingga hutan tanaman manglid

Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp) Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp)

0 - 13 211.515.477

1 (466.728.284) 14 211.859.381

2 (164.640.727) 15 210.669.169

3 (39.354.719) 16 208.224.349

4 35.648.170 17 204.759.085

5 86.908.814 18 200.470.778

6 123.987.712 19 195.526.555

7 151.433.909 20 190.068.309

8 171.825.764 21 184.216.697

9 186.808.499 22 178.074.364

10 197.522.461 23 171.728.586

11 204.805.794 24 165.253.461

12 209.300.939 25 158.711.749

Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)

Apabila pengusahaan hutan manglid hanya mempertimbangkan kayu sebagai

sumber pendapatan, NPV tertinggi sebesar Rp211.859.381 dapat diperoleh pada

daur 14 tahun (Tabel 2). Sementara itu, daur Faustmann sedikit lebih pendek

dibandingkan dengan daur biologisnya, yaitu 16 tahun (Indrajaya, 2016). Estimasi

jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tegakan manglid berdasarkan persamaan

(4) disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa

tegakan manglid terus meningkat dari mulai penanaman hingga umur 25 tahun.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrajaya dan Sudomo (2015), yaitu

memperpanjang daur selama 1 tahun dari daur Faustmann (menjadi 15 tahun),

jumlah karbon rata-rata tersimpan dalam biomassa hutan manglid akan bertambah

sebanyak 19 ton CO2 eq./ha. Mengingat baseline dalam penelitian ini adalah tanah

kosong yang karbon tersimpannya diasumsikan sebesar nol, perhitungan additionality

Page 130: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

122 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

dimulai pada tahun ke-1, yaitu sebesar 4 ton CO2/ha. Jumlah karbon yang lebih

tinggi dari baseline inilah yang disebut dengan istilah Verified Carbon Unit (VCU).

Dengan demikian, pembayaran jasa lingkungan karbon pada proyek aforestasi

manglid melalui penjualan VCU dapat dimulai ketika jumlah rata-rata karbon

tersimpan dalam biomassa proyek pada tahun t lebih tinggi dari baseline. Pada kasus

proyek aforestasi dengan hutan manglid, VCU pertama dapat dijual pada tahun ke-

1, yaitu sebanyak empat VCU.

Tabel 3. Karbon tersimpan dalam biomassa tegakan hutan manglid dan kredit karbon yang

dapat diperoleh

Umur

(tahun

ke)

Karbon

tersimpan

(CO2 eq.)

Nilai

rata-rata

CO2

dalam

daur

CO2 per

hektare

baseline

Karbon

dikreditkan

(CO2/ha)

Additio-

nality

(CO2/ha)

Perubahan karbon

tersimpan karena

pertumbuhan

tegakan manglid

(CO2/ha)

Unit karbon

terverifikasi

1 2 3 4=2-3 5=1-3 6 7

1 4 4 0 4 4 4 4

2 14 9 0 14 10 10 10

3 29 16 0 29 15 15 15

4 50 24 0 50 20 20 20

5 74 34 0 74 24 24 24

6 102 45 0 102 28 28 28

7 132 58 0 132 30 30 30

8 165 71 0 165 33 33 33

9 199 85 0 199 34 34 34

10 234 100 0 234 35 35 35

11 269 116 0 269 36 36 36

12 305 131 0 305 36 36 36

13 340 147 0 340 35 35 35

14 375 164 0 375 35 35 35

15 410 180 0 410 34 34 34

16 443 196 0 443 33 33 33

17 475 213 0 475 32 32 32

18 505 229 0 505 31 31 31

19 534 245 0 534 29 29 29

20 562 261 0 562 28 28 28

Page 131: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 123

Umur

(tahun

ke)

Karbon

tersimpan

(CO2 eq.)

Nilai

rata-rata

CO2

dalam

daur

CO2 per

hektare

baseline

Karbon

dikreditkan

(CO2/ha)

Additio-

nality

(CO2/ha)

Perubahan karbon

tersimpan karena

pertumbuhan

tegakan manglid

(CO2/ha)

Unit karbon

terverifikasi

21 588 277 0 588 26 26 26

22 612 292 0 612 24 24 24

23 634 307 0 634 22 22 22

24 655 321 0 655 21 21 21

25 674 335 0 674 19 19 19

Pembayaran karbon dihentikan ketika jumlah total karbon yang dapat dikre-

ditkan telah tercapai. Misalnya, jumlah total karbon yang dikreditkan sebesar 234

ton CO2/ha pada tahun ke-10. Dengan demikian, ketika jumlah karbon yang dapat

dikreditkan tercapai pada tahun ke-10, pembayaran pun dihentikan.

Harga karbon sangat bervariasi dalam pasar karbon sukarela, yaitu antara

USD1 hingga lebih dari USD100 per ton CO2 eq. (Peters-Stanley et al., 2012).

Harga karbon yang digunakan dalam penelitian ini sebesar USD5–30/ton CO2 eq.

Nilai tukar rupiah diasumsikan USD1=Rp10.461 (nilai tukar rupiah terhadap dolar

pada tahun 2013) (World Bank, 2013). Berdasarkan persamaan (2), besaran NPV

karbon hutan tanaman manglid pada beberapa harga karbon dapat disajikan dalam

Tabel 4.

Tabel 4. NPV karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq.

(dalam Rp/ha)

Umur

(tahun ke)

NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:

pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30

1 4.913.372 9.826.743 19.653.486 29.480.229

2 8.865.176 17.730.353 35.460.705 53.191.058

3 12.514.610 25.029.220 50.058.440 75.087.660

4 15.829.211 31.658.422 63.316.844 94.975.266

5 18.804.113 37.608.225 75.216.450 112.824.676

6 21.448.651 42.897.303 85.794.605 128.691.908

Page 132: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

124 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Umur

(tahun ke)

NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:

pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30

7 23.779.471 47.558.942 95.117.883 142.676.825

8 25.816.849 51.633.698 103.267.397 154.901.095

9 27.582.627 55.165.254 110.330.508 165.495.763

10 29.098.991 58.197.983 116.395.966 174.593.949

11 30.387.748 60.775.495 121.550.991 182.326.486

12 31.469.884 62.939.769 125.879.537 188.819.306

13 32.365.319 64.730.638 129.461.276 194.191.914

14 33.092.763 66.185.525 132.371.051 198.556.576

15 33.669.657 67.339.314 134.678.629 202.017.943

16 34.112.164 68.224.328 136.448.656 204.672.983

17 34.435.184 68.870.368 137.740.736 206.611.104

18 34.652.401 69.304.801 138.609.603 207.914.404

19 34.776.333 69.552.667 139.105.333 208.658.000

20 34.818.400 69.636.801 139.273.601 208.910.402

21 34.788.986 69.577.972 139.155.945 208.733.917

22 34.697.509 69.395.018 138.790.035 208.185.053

23 34.552.488 69.104.976 138.209.953 207.314.929

24 34.361.612 68.723.225 137.446.449 206.169.674

25 34.131.801 68.263.603 136.527.205 204.790.808

Tegakan manglid telah dapat menyerap karbon dibandingkan dengan baseline

(nilai awal nol) pada tahun ke-1 sehingga VCU dapat diterbitkan dan NPV karbon

pada proyek aforestasi manglid mulai positif pada tahun ke-1. Hal ini sedikit

berbeda dengan penelitian Indrajaya dan Sudomo (2015) yang mana NPV karbon

mulai positif pada tahun ke-8 karena baseline dalam penelitian mereka lebih tinggi

dari penelitian ini. Semakin panjang daur, semakin tinggi NPV karbonnya karena

semakin banyak karbon yang diserap oleh hutan manglid dan dapat dijual sebagai

VCU. Besaran NPV juga semakin tinggi dengan semakin tingginya harga karbon.

Besaran NPV produksi bersama kayu dan karbon dapat disajikan dalam Tabel 5.

Page 133: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 125

Tabel 5. NPV produksi bersama kayu dan karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10,

20, dan 30 /ton CO2 eq. (dalam Rp/ha)

Umur

(tahun ke)

NPV total

USD5 USD10 USD20 USD30

14 244.952.144 278.044.907 344.230.432 410.415.958

15 244.338.826 278.008.484 345.347.798 412.687.113

16 242.336.512 276.448.676 344.673.004 412.897.332

17 239.194.269 273.629.453 342.499.821 411.370.189

18 235.123.179 269.775.579 339.080.381 408.385.182

19 230.302.888 265.079.222 334.631.888 404.184.555

20 224.886.709 259.705.110 329.341.911 398.978.711

21 219.005.683 253.794.669 323.372.642 392.950.614

22 212.771.873 247.469.382 316.864.399 386.259.417

23 206.281.074 240.833.562 309.938.538 379.043.515

24 199.615.073 233.976.686 302.699.910 371.423.135

25 192.843.550 226.975.352 295.238.954 363.502.557

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada tingkat harga karbon USD5 dan USD10

per ton CO2 eq., daur optimal masih sama dengan jika hanya mempertimbangkan

kayu sebagai pendapatan, yaitu 14 tahun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian

serupa dengan proyek karbon sukarela VCS dengan cara memperpanjang daur, atau

dengan baseline jumlah karbon rata-rata (Indrajaya & Sudomo, 2015). Hasil ini juga

sejalan dengan hasil penelitian Diaz-Balteiro dan Rodriguez (2006) di Spanyol yang

mana pada tingkat harga karbon yang relatif rendah, daur optimal relatif sama

dengan daur Faustmann. Sementara itu, pada tingkat harga karbon USD20/ton

CO2 eq., daur optimal menjadi lebih panjang satu tahun, yaitu menjadi 15 tahun.

Pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur menjadi lebih panjang dua

tahun, yaitu 16 tahun. Hal ini juga sama dengan penelitian Indrajaya & Sudomo

(2015) yang mana pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur optimal

tegakan manglid menjadi 16 tahun.

Page 134: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

126 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Penambahan tambatan karbon dalam biomassa tegakan manglid dengan cara

memperpanjang daur sangat tergantung pada tingkat harga karbon. Dalam skema

VCS, jumlah karbon yang dapat dikreditkan adalah selisih antara rata-rata karbon

tersimpan dalam biomassa proyek dengan rata-rata karbon tersimpan dalam

biomassa baseline. Apabila jumlah karbon yang dapat dikreditkan merupakan selisih

antara jumlah karbon tersimpan dalam biomassa dalam proyek pada tahun ke-t

dengan baseline (kolom 4 dalam Tabel 3), jumlah karbon yang dapat dikreditkan

menjadi jauh lebih banyak. Oleh karenanya, melalui metode perhitungan tersebut,

daur optimal produksi bersama kayu dan karbon menjadi lebih panjang

dibandingkan dengan metode VCS. Beberapa penelitian yang menggunakan

pendekatan ini telah dilakukan, antara lain oleh Galinato dan Uchida (2011) di

Filipina dan Tanzania, Olschewski dan Benitez (2010) di Spanyol, dan Tassone et

al. (2004) di Italia. Selain itu, penelitian serupa juga telah dilakukan di Indonesia

seperti yang dilakukan oleh Indrajaya dan Siarudin (2014) pada jenis jabon di Garut,

Jawa Barat.

IV. Kesimpulan

Tambahan jasa lingkungan karbon dapat memperpanjang daur optimal

manglid. Daur optimal hutan tanaman manglid pada proyek aforestasi pada tingkat

harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq. berturut-turut adalah 14, 14, 15,

dan 16 tahun. Selain itu, perhitungan jumlah karbon metode VCS memiliki jumlah

karbon yang dapat dikreditkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan metode

aktual perbedaan jumlah karbon tersimpan pada waktu t dengan baseline.

Daftar Pustaka

Amacher, G. S., Ollikainen, M., & Koskela, E. (2009). Economics of forest

resources. Cambridge, Mass.: MIT Press.

Chat, N. B. (2002). Manglietia glauca Bl (M. conifera Dandy). In D. D. Sam & N.

H. Nghia (Eds.), Use of indigenous tree species in reforestation in Vietnam.

Page 135: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 127

Hanoi, Vietnam: Agricultural Publishing House-Forest Science Institute of

Vietnam.

Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., . . . Kira, T.

(2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance

in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.

Darusman, D., & Hardjanto. (2006). Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Paper

presented at the Prosiding seminar hasil penelitian hasil hutan.

Diaz-Balteiro, L., & Rodriguez, L. C. (2006). Optimal rotations on Eucalyptus

plantations including carbon sequestration—a comparison of results in Brazil

and Spain. Forest ecology and management, 229(1), 247-258.

Foley, T. G., & Galik, C. S. (2009). Extending rotation age for carbon

sequestration: a cross-protocol comparison of North American forest offsets.

Forest ecology and management, 259(2), 201-209.

Galinato, G. I., & Uchida, S. (2011). The effect of temporary certified emission

reductions on forest rotations and carbon supply. Canadian Journal of

Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 59(1), 145-164.

Huang, C.-H., & Kronrad, G. D. (2006). The effect of carbon revenues on the

rotation and profitability of loblolly pine plantations in East Texas. Southern

Journal of Applied Forestry, 30(1), 21-29.

Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,

Tasikmalaya, Jawa Barat.

Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2014). Optimasi produksi kayu dan karbon pada

tegakan jabon (Neolamarckia cadamba Miq.) di Kecamatan Pakenjeng,

Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2).

Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2015). Pengaruh tambahan pendapatan jasa

lingkungan karbon terhadap daur optimal tegakan manglid di Jawa Barat.

Paper presented at the AFOCO Workshop "Pengembangan mata

pencaharian alternatif untuk masyarakat lokal dalam upaya menghadapi

dampak perubahan iklim", Bogor.

Page 136: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya

128 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas

inventories: IPCC.

Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011a). Anthocephalus cadamba

Miq.: Ekologi, silvikultur, produktivitas. Bogor: CIFOR.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011b). Paraserianthes

falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor

Indonesia: CIFOR.

Olschewski, R., & Benitez, P. C. (2010). Optimizing joint production of timber and

carbon sequestration of afforestation projects. Journal of Forest Economics,

16(1), 1-10. doi: DOI 10.1016/j.jfe.2009.03.002

Peters-Stanley, M., Hamilton, K., Marcello, T., Orejas, R., Thiel, A., & Yin, D.

(2012). Developing dimension: state of the voluntary carbon markets 2012.

Ecosystem marketplace & Bloomberg new energy finance.

Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,

Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk

peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid

(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian

Kehutanan Ciamis.

Samuelson, P. A. (1976). Economics of forestry in an evolving society. Economic

Inquiry, 14(4), 466-492.

Solomon, S. (2007). Climate change 2007-the physical science basis: Working

group I contribution to the fourth assessment report of the IPCC (Vol. 4):

Cambridge University Press.

Susaeta, A., Chang, S. J., Carter, D. R., & Lal, P. (2014). Economics of carbon

sequestration under fluctuating economic environment, forest management

and technological changes: An application to forest stands in the southern

United States. Journal of Forest Economics, 20(1), 47-64.

Tassone, V. C., Wesseler, J., & Nesci, F. S. (2004). Diverging incentives for

afforestation from carbon sequestration: an economic analysis of the EU

Page 137: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 129

afforestation program in the south of Italy. Forest policy and economics, 6(6),

567-578. doi: Doi 10.1016/S1389-9341(03)00006-6

van Kooten, G. C., Binkley, C. S., & Delcourt, G. (1995). Effect of carbon taxes

and subsidies on optimal forest rotation age and supply of carbon services.

American Journal of Agricultural Economics, 77(2), 365-374. doi:

10.2307/1243546

World Bank. (2013). World Bank Indicator.

Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,

M., R.B., ... , Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.

Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.

Page 138: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 139: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

KAJIAN LINGKUNGAN TEGAKAN MANGLID

BAB V

Page 140: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 141: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 133

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola

Agroforestri Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa

Barat1

M. Siarudin2 & Yonky Indrajaya2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur tegakan dan mengukur cadangan karbon hutan

rakyat pola agroforestri berbasis manglid (Manglieta champaca). Pengukuran dilakukan pada

18 plot yang mewakili pola Agroforestri Sederhana Manglid (ASM) dan Agroforestri

Kompleks Manglid (AKM) pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan mangacu pada metode Rapid Carbon

Stock Appraisal (RaCSA) dengan beberapa analisis tambahan. Hasil penelitian menunjuk-

kan bahwa agroforestri manglid secara rata-rata memiliki komposisi yang seimbang antara

basal area manglid dan pohon asosiasi. Namun demikian, dominasi jenis manglid tampak

bervariasi yang ditunjukkan nilai rasio luas bidang dasar (BA) pohon manglid terhadap BA

total yang relatif tinggi sebesar 0,75 pada tegakan ASM dan hanya 0,42 pada tegakan AKM.

Tegakan agroforestri manglid didominasi oleh kelas diameter 5–10 cm dan terjadi penu-

runan jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola ASM memiliki sebaran

jumlah manglid yang relatif seragam antarkelas diameter dibandingkan dengan pola AKM.

Nilai rata-rata karbon tersimpan pada tegakan agroforestri manglid di lokasi penelitian

sebesar 145 ton/ha, yang terdiri atas 44 ton/ha karbon di atas permukaan tanah dan 101

ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Tegakan AKM memiliki cadangan karbon total

di atas permukaan tanah lebih tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permu-

kaan yang lebih rendah dibandingkan tegakan ASM.

Kata kunci: agroforestri sederhana, agroforestri kompleks, manglid, struktur tegakan, karbon

1 Tulisan sudah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Agroforestry Volume 2 Nomor 1, Agustus 2014 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 142: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

134 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya merupakan salah satu sentra pengem-

bangan jenis pohon manglid (Magnolia champaca). Jenis ini banyak dikembangkan

di hutan rakyat dengan pola agroforestri, baik dalam pola agroforestri sederhana

yang ditanam secara teratur dengan kombinasi tanaman bawah maupun dalam

bentuk agroforestri kompleks yang terdiri atas berbagai pohon asosiasi. Tegakan

manglid di hutan rakyat Tasikmalaya tersebar pada daerah dengan ketinggian 305–

894 m di atas permukaan laut (dpl) dengan kelerengan 0–45% (Rohandi et al., 2010)

dengan jumlah tanaman diperkirakan sekitar 130.000–150.000 batang (Mulyana &

Diniyati, 2013). Potensi lahan untuk tanaman manglid di seluruh wilayah Priangan

Timur mencapai ±560.000 ha dengan kriteria sesuai dan sangat sesuai (Rohandi et

al., 2010).

Sistem penggunaan lahan dengan pola agroforestri pada hutan rakyat, selain

memiliki berbagai manfaat ekonomi langsung untuk masyarakat, sistem ini juga

memiliki manfaat jasa lingkungan seperti penyerapan karbon. Sistem agroforestri

telah dikembangkan untuk mengurangi laju emisi karbon, baik di negara berkem-

bang maupun di negara maju (Nair et al., 2009).

Beberapa penelitian tentang karbon tersimpan pada lahan masyarakat di

Indonesia telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Penelitian di Lampung

menunjukkan bahwa total karbon tersimpan di pekarangan pada semua pool karbon

berkisar antara 56–174 ton/ha dengan rata-rata sebesar 107 ton/ha (Roshetko et al.,

2002). Hasil penelitian lainnya menunjukkan nilai rata-rata dan kisaran karbon di

atas permukaan tanah bervariasi, seperti agroforestri kebun campuran di Bekasi

sebesar 62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestri kemenyan di Kabupaten

Tapanuli Utara sebesar 51–66 ton/ha (Antoko, 2011); agroforestri di Langkat

sebesar 57–63 ton/ha; dan agroforestri kebun campuran di Lampung dengan besaran

rata-rata 43 ton/ha (Yuwono et al., 2012).

Besarnya karbon tersimpan dalam biomassa tergantung pada sistem agro-

forestry yang diterapkan, serta struktur dan fungsi yang ada dalam pola ini (Albrecht

& Kandji, 2003). Informasi mengenai struktur tegakan dan karbon tersimpan pada

tegakan hutan rakyat pola agroforestri berbasis tanaman manglid masih sangat

Page 143: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 135

terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur tegakan dan mengukur

cadangan karbon pada hutan rakyat pola agroforestri berbasis manglid di Kabupaten

Tasikmalaya. Secara khusus, tulisan ini juga membahas perbedaan struktur tegakan

dan karbon tersimpan antara pola agroforestri kompleks dan agroforestri sederhana

berdasarkan kriteria Hairiah et al. (2006). Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi informasi dasar untuk pengembangan agroforestri manglid di hutan rakyat

dalam mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

II. Metodologi

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengamatan dan pengukuran tegakan agroforestri manglid dilakukan di

Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Cikalong dan Sodonghilir (Kecamatan

Sodonghilir), Desa Sukarasa (Kecamatan Salawu), serta Desa Pedang Kamulyan dan

Girimukti (Kecamatan Bojonggambir). Pemilihan lokasi didasarkan pada hasil

penelitian sebelumnya yang mana oleh Rohandi et al. (2010) disebutkan bahwa

daerah ini merupakan beberapa sentra manglid di Kabupaten Tasikmalaya.

Analisis biomasa dilakukan di laboratorium Balai Penelitian dan Pengem-

bangan Teknologi Agroforestry, Ciamis; sedangkan analisis tanah dilakukan di

laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penelitian

dilakukan pada bulan Maret–Desember 2013.

B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pengukuran struktur tegakan dan cadangan karbon pada penelitian ini meng-

gunakan prosedur Rapid Carbon Stock Appraisal (RaCSA) (Hairiah et al., 2011).

Pengukuran biomassa dilakukan pada lima pool, yaitu biomassa pohon, biomassa

tanaman bawah, nekromassa berkayu, nekromasa tidak berkayu (serasah), dan bahan

organik tanah. Plot pengukuran terdiri atas plot utama berukuran 5 m x 40 m dan

enam subplot berukuran 50 cm x 50 cm dalam setiap plot utama (Gambar 1).

Sejumlah 18 plot pengukuran dilakukan di lokasi penelitian yang mewakili tegakan

Page 144: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

136 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

agroforestry manglid sederhana (sembilan plot) dan tegakan agroforestri manglid

kompleks (sembilan plot). Kriteria agroforestri sederhana dan kompleks mengacu

kepada Hairiah et al. (2006).

Pengukuran biomasa pohon dilakukan pada plot utama untuk pohon dengan

diameter setinggi dada (diameter at breast height/DBH) 5–30 cm. Apabila di dalam

plot terdapat pohon dengan DBH >30 cm, lebar plot utama diperluas menjadi 20 m

x 100 m untuk mengukur pohon-pohon dengan DBH tersebut. Setiap pohon dalam

plot pengukuran dicatat jenisnya dan diukur DBH. Identifikasi jenis dilakukan

dengan melibatkan pengenal jenis dari penduduk lokal. Jenis pohon dari famili

Arecaceae (palma) diukur pula tinggi pohonnya karena dipersyaratkan dalam

persamaan allometric perhitungan biomassa. Biomassa di atas permukaan tanah per

pohon dihitung dengan persamaan allometric umum (Chave et al., 2005):

2 3exp( 1.499 2.148ln( ) 0.207(ln( )) 0.028(ln( ))AGB D D D (1)

Keterangan: = kerapatan kayu atau berat jenis kayu; D = DBH

Data berat jenis kayu yang digunakan dalam perhitungan persamaan (1)

adalah berat jenis kayu masing-masing jenis pohon yang teridentifikasi dengan

merujuk pada data berat jenis Global Wood Density Database dari Zanne et al.

(2009) atau Seng (1990). Kandungan karbon diasumsikan sebesar 0,47 dari berat

biomassanya (IPCC, 2006). Kandungan karbon akar diperhitungkan sebagai 20%

dari kandungan karbon di atas tanah (IPCC, 2006).

Pengukuran nekromasa berkayu dilakukan pada plot yang sama dengan

pengukuran pohon. Nekromasa berkayu dapat berupa pohon yang mati berdiri,

tunggul pohon bekas tebangan/pohon roboh, atau batang pohon mati yang rebah.

Pengukuran nekromassa dengan diameter 5–30 cm dilakukan pada plot 5 m x 20 m,

sedangkan nekromasa berdiameter >30 cm diukur pada plot 20 m x 100 m. Setiap

nekromasa yang ditemukan diukur volumenya (dengan mengukur diameter dan

tinggi atau panjang batang) dan diukur tingkat kelapukannya. Sampel sejumlah ±300

gram diambil untuk diukur berat keringnya di laboratorium.

Page 145: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 137

Gambar 1. Plot pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan agroforestri manglid

Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan nekromasa tidak berkayu (sera-

sah) dilakukan pada subplot 50 cm x 50 cm. Tumbuhan bawah dan nekromasa tidak

berkayu yang diambil dari subplot ditimbang sebagai berat basah, kemudian diukur

berat keringnya di laboratorium.

Sampel tanah untuk pengukuran kandungan C-organik tanah dilakukan pada

subplot yang sama dengan pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan nekromasa.

Jenis sampel tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk mengukur

kandungan C-organik tanah dan sampel tanah tidak terganggu untuk mengukur

berat isi (BI) tanah. Pengambilan sampel tanah terganggu dan tidak terganggu

dilakukan pada tiga kedalaman, yaitu kedalaman 0–10 cm, 10–20 cm, dan 20–30

cm. Analisis kandungan C-organik menggunakan metode spektrofotometri,

sedangkan pengukuran berat isi tanah menggunakan metode parafin.

Struktur tegakan manglid ditentukan melalui analisis tambahan dari data

dasar pengukuran pada plot utama dan subplot. Beberapa parameter yang dianalisis

adalah luas bidang dasar (basal area/BA) pohon manglid dan pohon asosiasinya,

Page 146: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

138 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

sebaran pohon berdasarkan kelas diameter, serta keragaman jenis pohon dan

tumbuhan bawah.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Struktur Tegakan Hutan Rakyat Agroforestri Berbasis Manglid

1. Basal Area

Hutan rakyat dengan pola agroforestri berbasis manglid terdapat dalam

berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon. Sebagian petani menanam

manglid dan berbagai jenis pohon lainnya dalam satu struktur yang kompleks,

termasuk tanaman musiman di bawah tegakan untuk memanfaatkan ruang kosong

di antara pohon-pohon. Umumnya, pola demikian terjadi pada petani yang tidak

memiliki waktu banyak untuk melakukan pemeliharaan hutannya secara intensif.

Sebagian petani menanam manglid secara khusus dengan jarak tanam yang teratur

dan memberikan ruang yang cukup untuk tanaman bawah/musiman yang juga

dikelola secara intensif. Pohon-pohon asosiasi selain manglid tidak banyak, bahkan,

dalam satu hamparan tertentu hanya ditanam pohon manglid dan tanaman bawah

saja.

Dalam penelitian ini, berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon

yang ditanam diklasifikasikan ke dalam agroforestri kompleks dan agroforestri

sederhana menurut jumlah jenis pohon yang ditanam dan luas bidang dasar (BA)

dari pohon utama (Hairiah et al., 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa, BA pohon

manglid dan pohon asosiasi secara total relatif seimbang, nilai rata-rata masing-

masing adalah 10,04 m2/ha dan 10,09 m2/ha. Namun demikian, nilai BA manglid

pola agroforestri sederhana hampir tiga kali lipat lebih besar daripada BA jenis

pohon lainnya, yaitu masing-masing 9,29 m2/ha dan 3,61 m2/ha. Sebaliknya, BA

manglid pola agroforestri kompleks lebih kecil, yaitu hanya 10,09 m2/ha, sedangkan

pohon asosiasi mencapai 16,57 m2/ha.

Page 147: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 139

Tabel 1. Kerapatan tegakan dan keragaman jenis pada hutan rakyat pola agroforestri

manglid

Nomor

plot

BA

manglid

BA

pohon

asosiasi

BA

total

Rasio BA

manglid &

BA total

Jumlah

jenis

pohon

Jumlah

pohon/

plot*

Kerapatan

pohon

(pohon/ha)

Jenis

agroforestri**

1 7,93 4,33 12,26 0,65 5 16 800 AF-K

2 7,17 23,87 31,04 0,23 8 34 1.700 AF-K

3 12,11 18,49 30,60 0,40 7 32 1.600 AF-K

4 18,17 23,43 41,60 0,44 14 37 1.850 AF-K

5 12,72 10,37 23,09 0,55 6 45 2.250 AF-K

6 11,69 13,65 25,34 0,46 5 24 1.200 AF-K

7 9,49 11,53 21,02 0,45 12 32 1.600 AF-K

8 11,80 19,54 31,35 0,38 14 36 1.800 AF-K

9 6,08 23,89 29,97 0,20 8 36 1.800 AF-K

10 9,44 - 9,44 1,00 1 11 550 AF-S

11 13,92 1,24 15,16 0,92 4 16 800 AF-S

12 6,69 6,42 13,11 0,51 4 31 1.550 AF-S

13 8,45 0,31 8,76 0,96 2 14 700 AF-S

14 8,31 10,10 18,40 0,45 4 13 650 AF-S

15 9,95 4,59 14,55 0,68 4 21 1.050 AF-S

16 4,37 5,26 9,63 0,45 3 14 700 AF-S

17 10,17 - 10,17 1,00 1 10 500 AF-S

18 12,30 4,59 16,89 0,73 3 27 1.350 AF-S

AF-K 10,80

(3,66)

16,57

(6,97)

27,36

(8,22)

0,42

(0,14)

8,67

(3,77)

32,44

(8,28)

1.622

(413,91)

AF –S 9,29

(2,84)

3,61

(3,49)

12,90

(3,56)

0,75

(0,23)

3,00

(1,41)

17,44

(7,33)

872

(366,67)

Rata-

rata

10,04

(3,27)

10,09

(8,54)

20,13

(9,65)

0,58

(0,25)

5,83

(4,02)

24,94

(10,82)

1.247

(541,10)

Keterangan: * Ukuran plot = 5 m x 40 m; ** menurut kriteria Hairiah et al. (2006); AF-S = agroforestri

sederhana; AF-K = agroforestri kompleks; BA = luas bidang dasar; angka dalam kurung menunjukkan

nilai simpangan baku

Perbandingan BA total seluruh pohon menunjukkan bahwa pola agroforestri

kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan BA pada agroforestri sederhana, yaitu

masing-masing 27,36 m2/ha dan 12,90 m2/ha. Nilai BA ini relatif sama dengan hasil

Page 148: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

140 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

penelitian di DAS Konto, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dilaporkan oleh

Kurniawan et al. (2010), yang mana BA pada agroforestri kopi kompleks sebesar

28,4 m2/ha dan agroforestri kopi sederhana sebesar 12,1 m2/ha. Tingginya BA pada

pola agroforestri kompleks manglid ini disebabkan jumlah kerapatan tegakan yang

lebih banyak, yaitu rata-rata sebesar 1.622 pohon/ha, sedangkan pada agroforestri

sederhana hanya 872 pohon/ha.

2. Sebaran Pohon Berdasarkan Diameter

Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata sebaran pohon terbanyak pada kelas

diameter 5–10 cm dan menurun pada kelas diameter yang lebih besar. Pola yang

sama terjadi pada sebaran jumlah pohon pola agroforestri kompleks, yang mana

jumlah pohon didominasi oleh kelas diameter kecil (5–10 cm), kemudian jumlah

pohon menurun pada kelas diameter yang lebih tinggi. Berbeda dengan pola

agroforestri sederhana, jumlah pohon pada kelas diameter 10–20 tampak cukup

mendominasi, disusul kelas diameter 5–10 cm, kelas diameter 20–30 cm, dan sangat

sedikit (4 pohon/ha) pada kelas diameter >30 cm.

Gambar 2. Sebaran pohon berdasarkan kelas diameter

dbh 5-10 cm dbh 10-20 cm dbh 20-30 cm dbh 30 cm up

AF kompleks 872,22 533,33 222,22 19,44

AF sederhana 227,78 461,11 83,33 4,44

rata-rata 550,00 497,22 152,78 11,94

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

800,00

900,00

1000,00

Jum

lah

po

ho

n (

po

ho

n/h

a)

Page 149: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 141

Secara umum, hal yang dapat diketahui bahwa pola agroforestri kompleks

memiliki jumlah pohon yang lebih tinggi daripada pola agroforestri sederhana,

termasuk pada semua kelas diameter. Hal ini konsisten dengan perhitungan nilai

basal area total, yang mana pola agroforestri kompleks lebih tinggi daripada pola

agroforestri sederhana (Tabel 1).

3. Keragaman Jenis Pohon dan Tanaman Bawah

Keragaman jenis pohon pada pola agroforestri kompleks lebih tinggi, yaitu

jumlah rata-rata sebanyak 8 jenis pohon dalam satu plot pengamatan; sedangkan

pada pola agrofrestry sederhana hanya 3 jenis pohon. Secara total, jenis-jenis pohon

tersebut terdiri atas pohon penghasil kayu-kayuan sebesar 54%, pohon penghasil

buah-buahan 32%, dan pohon penghasil bukan kayu sebesar 14%. Jenis pohon

penghasil kayu yang dominan di lokasi penelitian selain manglid antara lain mahoni

(Swietenia mahagony), sengon (Paraserianthes falcataria), suren (Toona sureni),

afrika (Maesopsis eminii), tisuk (Hibiscus macrophyllus), dan gmelina (Gmelina

arborea) (Tabel 2). Sementara itu, jenis penghasil buah-buahan antara lain manggis

(Garcinia mangostana), kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), limus

(Mangifera foetida), nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (mangifera indica),

sirsak (Annona muricata), rambutan (Nephelium lappacium), petai (Parkia

spesiosa), dan jengkol (Archidendron pauciflorum). Penghasil hasil hutan bukan

kayu antara lain cengkeh (Syzigium aromaticum), aren (Arenga pinnata), dan pinang

(Pinanga patula).

Tabel 2. Kerapatan pohon setiap jenis pada tegakan agroforestri manglid

No. Jenis pohon Pohon/

ha

No. Jenis pohon Pohon/

ha

1. Manglid (Manglietia champaca.) 594 6. Afrika (Maesopsis eminii) 42

2. Mahoni (Swietenia sp.) 144 7. Kelapa (Cocos nucifera) 22

3. Sengon (Paraserianthes

falcataria)

103 8. Cengkeh (Syzigium

aromaticum)

17

4. Suren (Toona sureni) 69 9. Rambutan (Nephelium

lappaceum)

17

5. Manggis (Garcinia mangostana) 53 10. Tisuk (Hibiscus macrophyllus) 17

Page 150: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

142 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

No. Jenis pohon Pohon/

ha

No. Jenis pohon Pohon/

ha

11. Bencoy (Baccaurea racemosa) 14 24. Alpukat (Persea americana) 3

12. Huru (Actinodaphne procera) 14 25. Angsana (Pterocarpus indicus) 3

13. Aren (Arenga pinnata) 11 26. Gmelina (Gmelina arborea) 3

14. Jengkol (Archidendron

pauciflorum)

11 27. Jambu batu (Psidium guajava) 3

15. Jambu air (Syzigium aquea) 8 28. Kipare (Glochidion

macrocarpum)

3

16. Limus (Mangifera foetida) 8 29. Kisamping (Evodia latifolia) 3

17. Nangka (Artocarpus

heterphyllus)

8 30. Kokosan (Lansium aqueum) 3

18. Duku (Lansium domesticum) 6 31. Mara (Macaranga tanarius) 3

19. Durian (Durio zibethinus) 6 32. Mareme (Glochidion

arborescens)

3

20. Kiacret (Spathodea

campanulata)

6 33. Melinjo (Gnetum gnemon) 3

21. Mangga (Mangifera indica) 6 34. Pinang (Pinanga patula) 3

22. Petai (Parkia speciosa) 6 35. Pongporang (Oroxylum

indicum)

3

23. Sirsak (Annona muricata) 6 36. Puspa (Schima wallichii) 3

Tabel 3. Ketersediaan jenis tanaman bawah pada tegakan pola agroforestri manglid

No. Jenis tanaman bawah Ketersediaan pada plot pengamatan (%)

1. Teh (Camelia sinensis) 72,2

2. Kapol (Elettaria cardamomun) 61,1

3. Pisang (Musa sp.) 22,2

4. Singkong (Manihot esculenta) 16,7

5. Nanas (Ananas comocus) 16,7

6. Talas (Colocasia esculenta) 11,1

7. Salak (Salacca zalacca) 11,1

8. Kunyit-kunyitan (Curcuma spp.) 5,6

9. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 5,6

Tanaman bawah yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah teh (Camelia

sinensis) dan kapolaga (Elettaria cardamomun) (Tabel 3). Tanaman teh terdapat

Page 151: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 143

pada sekitar 70% lokasi pengamatan, terutama terkonsentrasi di daerah Kecamatan

Bojonggambir. Sementara itu, tanaman kapolaga terdapat pada sekitar 60% lokasi,

terutama di daerah Kecamatan Sodonghilir dan Salawu. Berdasarkan hasil

wawancara dengan masyarakat, jenis kapolaga banyak dipilih karena tahan naungan,

mudah penanaman dan pemeliharaannya, serta harga buah kapol relatif stabil.

Sementara di Kecamatan Bojonggambir, daerah ini merupakan daerah kebun teh

yang sudah ada sejak zaman Belanda, baik pada lahan yang dikelola oleh PT

Perkebunan Nusantara maupun pada lahan-lahan milik masyarakat. Mengingat

tanaman teh memerlukan intensitas cahaya tinggi, pohon manglid hanya ditanam

pada pinggiran ataupun di tengah lahan dengan kerapatan rendah, yaitu <700

pohon/ha. Sebagian masyarakat menganggap harga teh sudah tidak prospektif

sehingga mereka menanam manglid dengan kerapatan hingga 1.800 pohon/ha dan

membiarkan tanaman teh tidak produktif.

B. Cadangan Karbon pada Hutan Rakyat Pola Agroforestri Manglid

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa karbon tersimpan pada hutan rakyat

pola agroforestri berbasis manglid di lokasi penelitian berada pada kisaran 98–200

ton/ha atau rata-rata sebesar 145 ton/ha (terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas

permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah). Nilai kisaran

cadangan karbon pada penelitian ini lebih tinggi dari agroforestri kopi di DAS

Konto yang dilaporkan Kurniawan et al. (2010) dengan kisaran karbon total 99–111

ton/ha (Tabel 4).

Tabel 4. Karbon tersimpan pada agroforestri manglid

Plot

AGC (ton/ha) BGC (ton/ha) Total

AGC+

BGC Pohon TB NB NTB Total

AGC AP ATB COT

Total

BGC

1 22,8 0,4 0,0 0,5 23,6 4,6 0,1 69,3 73,9 97,6

2 59,8 0,5 0,4 1,1 61,8 12,0 0,1 40,2 52,3 114,0

3 88,0 0,3 0,0 0,6 89,0 17,6 0,1 51,3 69,0 158,0

4 106,2 0,4 0,0 1,4 108,0 21,2 0,1 65,4 86,7 194,7

5 40,3 0,5 0,0 2,0 42,8 8,1 0,1 75,9 84,0 126,8

6 63,4 0,1 0,0 2,0 65,5 12,7 0,0 91,7 104,4 169,9

Page 152: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

144 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Plot

AGC (ton/ha) BGC (ton/ha) Total

AGC+

BGC Pohon TB NB NTB Total

AGC AP ATB COT

Total

BGC

7 42,4 0,1 0,5 1,1 44,1 8,5 0,0 77,4 85,9 130,1

8 75,6 0,2 0,0 0,7 76,5 15,1 0,0 75,9 91,0 167,5

9 25,2 0,2 0,0 0,6 26,0 5,0 0,0 67,4 72,5 98,5

10 17,7 0,5 0,0 1,8 20,1 3,5 0,1 116,6 120,2 140,3

11 32,2 0,7 0,0 0,7 33,7 6,4 0,1 114,2 120,7 154,4

12 25,3 0,3 0,0 0,7 26,3 5,1 0,1 125,9 131,0 157,3

13 14,8 0,2 0,0 1,6 16,7 3,0 0,0 117,1 120,1 136,8

14 56,6 6,0 0,0 1,2 63,8 11,3 1,2 124,2 136,7 200,6

15 28,1 0,4 0,0 0,8 29,3 5,6 0,1 113,7 119,4 148,7

16 16,5 0,2 0,0 1,8 18,5 3,3 0,0 144,6 148,0 166,5

17 20,1 0,1 0,0 1,0 21,2 4,0 0,0 91,9 95,9 117,1

18 27,2 0,4 0,0 0,9 28,5 5,4 0,1 96,4 101,9 130,4

AF-K 58,2

(28,4)

0,3

(0,1)

0,1

(0,2)

1,1

(0,6)

59,7

(28,4)

11,6

(5,7)

0,1

(0,0)

68,3

(15,1)

80,0

(15,0)

139,7

(34,3)

AF-S 26,5

(12,7)

1,0

(1,9)

0

1,2

(0,5)

28,7

(14,3)

5,3

(2,5)

0,2

(0,4)

116,1

(15,7)

121,5

(16,1)

150,2

(24,1)

Rata-

rata

42,3

(26,9)

0,6

(1,4)

0,0

(0,1)

1,1

(0,5)

44,2

(27,1)

8,5

(5,4)

0,1

(0,3)

92,2

(28,8)

100,8

(26,2)

144,9

(29,3)

Keterangan: AGC=C-organik di atas permukaan tanah; BGC=C-organik di bawah permukaan tanah;

TB=tumbuhan/tanaman bawah; NB=nekromasa berkayu; NTB=nekromasa tidak berkayu; AP=akar

pohon; ATB=akar tumbuhan/tanaman bawah; COT=C-organik tanah 0-30 cm; AF-S=agroforestri

sederhana; AF-K=agroforestri kompleks; angka dalam kurung menunjukkan nilai simpangan baku.

Besaran cadangan karbon bervariasi antarlokasi, yang mana cadangan karbon

rata-rata di atas permukaan tanah sebesar 17–108 ton/ha (rata-rata 44 ton/ha). Hasil

penelitian ini lebih tinggi dari kisaran karbon tersimpan dalam biomassa di Jawa

Barat, yaitu 2–80 ton/ha (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, 2010).

Beberapa hasil penelitian lainnya juga menunjukkan rata-rata dan kisaran karbon di

atas permukaan tanah yang berbeda, seperti agroforestri kebun campuran di Bekasi

sebesar 62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestri kemenyan di Kabupaten

Tapanuli Utara sebesar 51–66 ton/ha (Antoko, 2011); dan agroforestri di Langkat

sebesar 57–63 ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian pada agroforestri kebun cam-

puran di Lampung oleh Yuwono et al. (2012)menunjukkan nilai rata-rata yang

hampir sama, yaitu 43 ton/ha.

Page 153: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 145

Tabel 4 memperlihatkan bahwa karbon di atas permukaan tanah terbesar

terdapat pada Plot 4 yang berlokasi di Desa Cikalong Kecamatan Sodonghilir.

Lokasi ini mewakili salah satu agroforestri kompleks yang cukup padat dengan basal

area mencapai 41,6 m2/ha dan terdapat 14 jenis pohon yang menjadi komponen

penyusunnya (Tabel 1). Sementara itu, Plot 13 memperlihatkan bahwa karbon di

atas permukaan tanah memiliki nilai terkecil yang merupakan tegakan agroforestri

manglid sederhana berumur muda dengan basal area hanya 8,76 m2/ha.

(a) (b)

Gambar 3. Persentase komponen penyusun karbon tersimpan di atas permukaan tanah (a);

dan karbon tersimpan di bawah permukaan tanah (b)

Tingginya karbon tersimpan pada tegakan dengan basal area pohon tertinggi

disebabkan sebagian besar komponen karbon tersimpan tersebut berasal dari pohon.

Gambar 3 menunjukkan bahwa karbon pohon menyumbang karbon total di atas

permukaan tanah sebesar 42,34 ton/ha (95,84%), disusul bagian nekromassa tidak

berkayu sebesar 1,15 ton/ha (2,60%), biomassa tumbuhan bawah sebesar 0,64 ton/ha

(1,46%), dan nekromassa berkayu sebesar 0,05 ton/ha (0,11%). Nilai tersebut seban-

ding dengan laporan Kurniawan et al. (2010) di DAS Kalikonto Hulu, Kabupaten

Malang, yang mana persentase karbon dari pohon, nekromassa dan tumbuhan

bawah masing-masing sebesar 93,11%, 5,31%, dan 1,54%.

Karbon tersimpan di bawah permukaan tanah juga tampak bervariasi berkisar

antara 52,4–148 ton/ha dengan rata-rata 100,8 ton/ha (Tabel 4). Sebagian besar

karbon tersimpan tersebut berada dalam bentuk C-organik tanah pada kedalaman

0–30 cm, yaitu sebesar 92,2 ton/ha (91,47%), disusul akar pohon sebesar 8,5 ton/ha

Page 154: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

146 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

(8,40%), dan akar tumbuhan bawah sebesar 0,1 ton/ha (0,13%). Kisaran karbon

tanah pada penelitian ini sebanding dengan laporan Nair et al. (2009), yang mana C

tanah pada kedalaman 0–45 cm pada agroforestri Psedotsuga sp. dan Trifolilum sp.

di Amerika sebesar 95,89 ton/ha; demikian juga dengan karbon tanah pada

kedalaman 0–40 cm pada agroforestri kopi ternaungi sebesar 92,27 ton/ha.

Penelitian ini juga sesuai dengan laporan Roshetko et al. (2002) yang menunjukkan

bahwa karbon yang tersimpan di dalam tanah relatif lebih besar dibandingkan

dengan yang tersimpan di dalam biomassa tumbuhan.

Berdasarkan perbandingan antara kedua pola tersebut, pola agroforestri kom-

pleks diketahui memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih

tinggi, yaitu sebesar 23,6–108 ton/ha (rata-rata 59,7 ton/ha); sedangkan pola

agroforestri sederhana hanya sebesar 16,7–63,9 ton/ha (rata-rata 28,7 ton/ha). Nilai

karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestri manglid ini lebih rendah daripada

hasil penelitian di Sulawesi Tengah oleh Wardah et al. (2011), yang mana karbon di

atas permukaan tanah pada agroforestri kompleks berkisar antara 98,46–110,93

ton/ha dan agroforestri sederhana berkisar antara 42,42–83,55 ton/ha. Namun

demikian, nilai karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestri manglid ini lebih

tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kurniawan et al. (2010), yang mana

karbon di atas permukaan tanah pada agroforestri multistrata sebesar 43,35 ton/ha

dan agroforestri sederhana sebesar 24,7 ton/ha.

Tingginya cadangan karbon pada pola agroforestri kompleks disebabkan

jumlah individu pohon yang lebih banyak, yaitu rata-rata sebesar 1.622 pohon/ha,

sedangkan pola agroforestri sederhana hanya 872 pohon/ha. Jumlah individu pohon

yang lebih sedikit pada agroforestri sederhana merupakan bagian dari pengaturan

untuk memberikan ruang lebih bagi tanaman bawah. Hal ini terlihat dari jumlah

cadangan karbon tumbuhan bawah pada agroforestri sederhana yang lebih tinggi,

yaitu 1 ton/ha, sedangkan pola agroforestri kompleks hanya sebesar 0,29 ton/ha.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tumbuhan bawah pada pola agroforestri

sederhana tampak lebih terpelihara secara intensif, sedangkan tumbuhan bawah pada

agroforestri kompleks lebih sering hanya menempati ruang lantai hutan yang tersisa

dan bercampur dengan rumput liar.

Page 155: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 147

Nekromassa tidak berkayu pada agroforestri kompleks ataupun sederhana

relatif seimbang, yaitu masing-masing sebesar 1,12 ton/ha dan 1,18 ton/ha. Semen-

tara itu, nekromassa berkayu jarang sekali ditemukan, kecuali dalam bentuk tunggul

pohon dan batang rebah pada beberapa lokasi di lahan agroforestri kompleks.

Sebagian besar tunggul pohon mengalami terubusan kembali sehingga tidak dikate-

gorikan sebagai nekromassa berkayu. Nekromassa berkayu berupa ranting pohon

(diameter >5 cm) yang jatuh atau pohon mati berdiri jarang ditemukan karena

diduga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar sehingga tidak tertinggal

di lahan hutan.

Cadangan karbon di bawah permukaan tanah pada sistem agroforestri seder-

hana lebih tinggi, yaitu sebesar 121,5 ton/ha; sedangkan pada agroforestri kompleks

hanya sebesar 80 ton/ha. Tingginya nilai cadangan karbon di bawah permukaan

tanah pada agroforestri sederhana ini disebabkan tingginya nilai C-organik tanah

pada sistem ini (116,1 ton/ha). Hal ini diduga bahwa nilai C-organik tanah yang

tinggi pada sistem agroforestri sederhana disebabkan adanya pengolahan lahan yang

lebih intensif, terutama berkaitan dengan lebih terbukanya ruang untuk budi daya

tanaman bawah. Terdapatnya budi daya tanaman bawah menyebabkan petani aktif

menyiapkan lahan dan memupuk tanamannya. Menurut Mutuo et al. (2005),

manajemen lahan yang baik pada sistem agroforestri dapat berkontribusi pada

mitigasi emisi CO2 dari tanah. Sementara itu, menurut Lal (2005), kegiatan di

antara beberapa pengelolaan lahan yang dapat memperbaiki cadangan karbon tanah

adalah persiapan lahan dan pemupukan.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Agroforestri manglid dikembangkan masyarakat secara umum karena memi-

liki komposisi yang seimbang antara basal area manglid dan pohon asosiasi. Namun

demikian, dominasi jenis manglid tampak bervariasi yang ditunjukkan oleh nilai

rasio basal area manglid terhadap basal area total yang relatif tinggi, yaitu sebesar

0,75 pada pola agroforestri sederhana dan hanya 0,42 pada pola agroforestri

Page 156: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

148 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

kompleks. Tegakan agroforestri manglid didominasi oleh kelas diameter 5–10 cm

dan terjadi penurunan jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola

agroforestri sederhana memiliki sebaran jumlah manglid yang relatif seragam

antarkelas diameter dibandingkan dengan pola agroforestri kompleks.

Rata-rata karbon tersimpan pada hutan rakyat pola agroforestri berbasis

manglid di lokasi penelitian ini sebesar 145 ton/ha, terdiri atas 44 ton/ha karbon di

atas permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Pola

agroforestri kompleks memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih

tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan tanah yang lebih

rendah dibandingkan dengan pola agroforestri sederhana.

B. Saran

Informasi karbon tersimpan dalam beberapa tipe agroforestri manglid dapat

menjadi salah satu referensi dalam menentukan arah pembangunan Kabupaten

Tasikmalaya menuju pembangunan yang berorientasi ekonomi dan rendah emisi.

Penelitian lebih lanjut tentang analisis ekonomi berbagai pola agroforestri berbasis

manglid perlu dilakukan. Selain itu, kajian lebih mendalam tentang keanekaragaman

jenis juga dapat dilakukan untuk melengkapi informasi hasil penelitian ini.

Daftar Pustaka

Adinugroho, W. C., Indrawan, A., & Supriyanto, H. S. A. (2012). Kontribusi

Sistem Agroforestri Terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali Bekasi.

(Master), Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor.

Albrecht, A., & Kandji, S. T. (2003). Carbon sequestration in tropical agroforestry

systems. Agriculture, ecosystems & environment, 99(1), 15-27.

Antoko, B. S. (2011). Nilai insentif karbon hutan rakyat kemenyan berbasis

voluntary carbon market di Kabupaten Tapanuli Utara. (Master), Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Page 157: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 149

Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., ..., & Kira,

T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and

balance in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.

Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R. R., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran cadangan

karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. World Agroforestry Centre–

ICRAF, South East Asia Regional Office, Bogor, Indonesia.

Hairiah, K., Rahayu, S., & Berlian, I. (2006). Layanan lingkungan agroforestri

berbasis kopi: cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik

tanah (studi kasus dari Sumberjaya, Lampung Barat). AGRIVITA, 28(3),

298-309.

IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas

inventories: IPCC.

Kurniawan, S., Prayogo, C., Widianto, M., Lestari, N. D., Aini, F. K., & Hairiah,

K. (2010). Estimasi karbon tersimpan di lahan-lahan pertanian di DAS

Konto, Jawa Timur. RACSA (Rapid Carbon Stock Appraisal). Working

paper 120. World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.

Lal, R. (2005). Forest soils and carbon sequestration. Forest ecology and

management, 220(1), 242-258.

Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid

(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten

Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional

Agroforestry, Malang.

Mutuo, P. K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C., & Verchot, L. (2005). Potential

of agroforestry for carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas

emissions from soils in the tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems, 71(1),

43-54.

Nair, P. K. R., Kumar, B. M., & Nair, V. D. (2009). Agroforestry as a strategy for

carbon sequestration. Journal of plant nutrition and soil science, 172(1), 10-

23.

Page 158: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & Y. Indrajaya

150 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,

I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk

pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur

Laporan Hasil Penelitian RISTEK.

Roshetko, J. M., Delaney, M., Hairiah, K., & Purnomosidhi, P. (2002). Carbon

stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be

targeted for increased carbon storage? American Journal of Alternative

Agriculture, 17(03), 138-148.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for

practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Timu Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. (2010). Cadangan karbon pada

berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Bogor: Puslitbang Hutan

dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.

Wardah, B., Toknok, B., & Zulkahidah. (2011). Carbon Stock of Agroforestry

Systems at Adjacent Buffer Zone of Lore Lindu National Park, Central

Sulawesi. Journal of Tropical Soils, 16(2), 123-128.

Yuwono, S., Hilmanto, R., & Qurniati, R. (2012). Estimasi total penyerapan karbon

tersimpan pada sistem agroforestry di Desa Sumber Agung untuk mendukung

RAN GRK. Paper presented at the Seminar Agroforestry III.

Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,

M., R.B., ..., & Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.

Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.

Page 159: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 151

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestri Manglid

di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten

Ciamis

Wuri Handayani1

ABSTRAK

Sistem agroforestri yang mencerminkan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mem-

pertahankan fungsi hidrologi DAS, seperti memperbaiki kualitas air. Sistem agroforestri

merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks. Perbedaan jenis dan umur tanaman,

teknik pengelolaan, tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau konservasi), serta iklim

dan topografi akan dapat menghasilkan interaksi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu,

peran agroforestri menjadi bersifat spesifik. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi hidro-

logi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis tanaman bawah yang diuji-

cobakan di bawah tegakan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap

paramater hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Hasil penelitian

menunjukkan intersepsi tajuk tegakan manglid umur 3–4 tahun termasuk tinggi, yaitu

dengan pemangkasan 75% sebesar 31% dan tanpa pemangkasan sebesar 29%. Infiltrasi pada

agroforestri manglid dan monokultur termasuk ke dalam kriteria sangat cepat. Penerapan

pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi meningkat dibandingkan tanpa

pemangkasan. Pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran permukaan dan erosi

lebih rendah daripada monokultur. Sebaliknya, pola agroforestri manglid+suweg dan

manglid+talas menghasilkan erosi dan aliran permukaan lebih besar daripada pola mono-

kultur.

Kata kunci: manglid, agroforestri, monokultur, intersepsi, aliran permukaan, erosi

I. Pendahuluan

Berkurangnya luas tutupan hutan dengan segala penyebabnya telah mengaki-

batkan penurunan peran hutan sebagai pengatur tata air. Padahal, beberapa hasil

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 160: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

152 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

penelitian menunjukkan bahwa hutan mampu mengurangi potensi banjir dan men-

jadi pengendali (regulator) puncak banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS),

mengatur pasokan air (hasil air), memelihara kualitas air, serta mengendalikan erosi

dan longsor (Hardwinarto, 2009; Kayo et al., 2009; Mulyana et al., 2009;

Murdiyarso & Kurnianto, 2009; Sukresno, 2009). Kondisi hutan yang memiliki

peran pengaturan tata air yang baik adalah hutan dengan tajuk berlapis (Gintings,

2006; Supangat et al., 2008). Oleh karena itu, sistem agroforestri yang mencermin-

kan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mempertahankan fungsi hidrologi

DAS, seperti memperbaiki kualitas air (Noorwidjk et al., 2004; Supangat et al.,

2008).

Sistem stratifikasi tajuk menyerupai hutan dari segi pengaturan air akan ber-

dampak terhadap peningkatan infiltrasi tanah, pengendalian aliran permukaan dan

erosi, pengurangan penguapan tanaman bawah, pengurangan banjir dan melalui

intersepsi pohon (Gintings, 2006; Mahendra, 2009; Noorwidjk et al., 2004; Octavia,

2010; Pramono & Wahyuningrum, 2009). Sebagian besar air hujan yang jatuh pada

lahan bervegetasi akan tertahan pada daun-daun atau tajuk tanaman (intersepsi) dan

menguap kembali ke atmosfer selama dan beberapa saat setelah hujan (Purwanto &

Ruitjer, 2004). Sisa air hujan yang lolos dari cegatan tajuk (air lolos tajuk/through

fall) dan air yang melalui dahan atau batang (aliran batang/stem flow) bersama-sama

akan mencapai tanah atau lantai tegakan sebagai hujan efektif (net presipitation).

Sebaliknya, intersepsi merupakan bagian dari air hujan yang tidak pernah mencapai

permukaan tanah dan tidak berkontribusi terhadap limpasan permukaan, tetapi

bersama-sama dengan transpirasi lebih berperan sebagai komponen dari evapo-

transpirasi (Onozawa et al., 2009; Xiao & McPherson, 2011). Oleh karena itu,

intersepsi merupakan informasi yang penting terkait dengan upaya mengurangi

aliran permukaan, sedangkan air lolos tajuk dan aliran batang berperan dalam pem-

berian kelembaban tanah, pengisian air tanah, atau penghasil aliran permukaan.

Pada lahan agroforestri, aliran permukaan akan tertahan oleh tanaman bawah

dan memberi kesempatan dalam pengisian air tanah melalui infiltrasi. Beberapa

hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah hutan, laju infiltrasi pada agroforestri

atau kebun campuran lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan

Page 161: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 153

lainnya (Agustina et al., 2012; Sofyan, 2006). Sistem agroforestri juga dapat dikate-

gorikan sebagai penerapan konservasi tanah dengan metode vegetatif yang memberi-

kan hasil lebih efektif dalam mengendalikan erosi (Pramono & Wahyuningrum,

2009). Potensi agroforestri terletak pada kemampuannya dalam menyediakan dan

memelihara penutup lahan. Selama musim hujan, serasah dapat mengurangi erosi

pada tingkat tertentu, meskipun tanpa tambahan tindakan konservasi tanah. Namun

demikian, besarnya aliran permukaan dan erosi juga sangat tergantung pada pertum-

buhan tanaman semusim sebagai penutup lahan. Utami et al. (2004) menambahkan

bahwa dengan sistem agroforestri yang terdiri dari beberapa jenis pohon dan tanam-

an bawah, penebangan serentak dapat dihindari. Selain itu, serasah yang berlimpah

dan lebih kaya dihasilkan pula yang selanjutnya akan terdekomposisi sebagai sumber

bahan organik dan unsur hara tanah.

Agroforestri juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kegiatan yang mendu-

kung rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan pengayaan tanaman. Menurut

Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, rehabilitasi

hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan mening-

katkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya

dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Agroforestri yang memprak-

tikkan kegiatan penanaman vegetasi dan membentuk strata tajuk merupakan bagian

dari penyelenggaraan konservasi tanah dan air melalui metode vegetatif dan

mendukung UU Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air secara

tidak langsung.

Beberapa keuntungan sistem agroforestri telah diuraikan di atas. Namun,

sistem agroforestri merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks sehingga

muncul pertanyaan: akankah selalu dihasilkan keuntungan-keuntungan seperti yang

diuraikan tersebut? Perbedaan jenis dan umur tanaman, teknik pengelolaan lahan

(jarak tanam, penjarangan, intensitas pemangkasan, intensitas pemupukan, perla-

kuan serasah, sistem pemanenan), tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau

untuk konservasi), serta iklim dan topografi tentunya akan menghasilkan interaksi

dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, peran agroforestri menjadi bersifat

spesifik. Pada DAS Citanduy yang termasuk DAS prioritas, banyak dijumpai hutan

Page 162: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

154 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

rakyat yang di antaranya menggunakan sistem agroforestri, seperti dengan jenis

tanaman kayu manglid yang cukup dominan dan tanaman pangan sebagai tanaman

bawahnya. Lalu, bagaimanakah kondisi hidrologi (intersepsi, aliran permukaan,

erosi, dan infiltrasi) yang dipengaruhi oleh sistem agroforestri berbasis manglid pada

jarak tanam, umur, dan perlakuan pemangkasan tertentu, serta dengan jenis-jenis

tanaman pangan yang ditanam di wilayah tersebut? Penelitian ini bertujuan

mengkaji kondisi hidrologi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis

tanaman bawah yang diujicobakan di bawah tegakan.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri,

Kabupaten Ciamis. Secara geografis, lokasi penelitian berada pada titik koordinat

7o3,9’LS dan 108o13,8’ BT, atau tepat pada hulu DAS Citanduy Hulu dengan

ketinggian 894 m dpl. Jenis tanah lokasi penelitian adalah latosol. Curah hujan rata-

rata tahunan (10 tahun) sebesar 2.359 mm dan termasuk tipe C (agak basah)

menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Penelitian dilakukan sejak akhir

tahun 2012 hingga 2014.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunkan dalam kegiatan penelitian adalah plot hutan rakyat

manglid dengan sistem agroforestri dengan tanaman pangan ganyong, suweg, dan

talas. Tegakan manglid ditanam sejak awal tahun 2010 dengan jarak tanam 2 m x 2

m dan belum dilakukan penjarangan. Alat yang digunakan antara lain karet talang,

penampung air, selang, lem, kertas saring, botol sampel. Peralatan lainnya adalah

plot erosi, penakar curah hujan, double ring infiltrometer, dan timbangan analitik.

C. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap paramater

hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Plot erosi diba-

Page 163: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 155

ngun di tengah populasi manglid yang terbagi menjadi dua hamparan (blok), yaitu

manglid tanpa perlakuan pemangkasan dan dengan pemangkasan 75%. Pada setiap

blok, petak perlakuan dibuat untuk membandingkan 1) monokultur manglid, 2)

manglid+ganyong, 3) manglid+suweg yang masing-masing dilakukan dengan dua

kali ulangan (2012–2013). Pada tahun 2014, pengamatan dilanjutkan dengan

mengganti tanaman ganyong yang telah mencapai masa panen dengan tanaman

talas. Jumlah pohon sampel untuk pengamatan intersepsi, aliran batang, dan air lolos

tajuk sebanyak sembilan pohon pada tegakan manglid tanpa pemangkasan dan

sembilan pohon pada tegakan manglid dengan pemangkasan 75%. Pengukuran

infiltrasi tanah dilakukan di dalam setiap plot pada kondisi musim kemarau.

Pengolahan data dilakukan dengan mengkuantifikasi data hasil pengukuran

ke dalam persamaan-persamaan yang umum dan pendekatan neraca air. Selanjutnya,

nilai parameter hidrologi yang telah diperoleh dianalisis deskriptif dan disajikan

dalam bentuk tabel dan grafik.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Intersepsi

Pengamatan intersepsi pada tegakan manglid dengan perlakuan pemangkasan

75% telah dimulai sejak Oktober 2012, sedangkan perlakuan tanpa pemangkasan

baru dilakukan pada bulan Mei 2013 (Tabel 1). Pemangkasan diberikan untuk

tujuan meningkatkan pertumbuhan vegetasi pohon. Pemangkasan menyebabkan

perubahan struktur vegetasi, seperti lebar tajuk, tebal tajuk, dan kerapatan cabang.

Menurut Zinke (1967), air lolos tajuk dipengaruhi oleh tebalnya tajuk, jenis-jenis

pohon yang membentuk tegakan, bentuk daun dan tata letak daun pada cabang,

serta suhu dan kecepatan angin pada saat itu. Jadi, pemangkasan juga akan berdam-

pak terhadap intersepsi air hujan oleh tajuk.

Page 164: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

156 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Page 165: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 157

Page 166: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

158 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hasil pengukuran intersepsi pada bulan Mei 2013 hingga Desember 2014

menunjukkan nilai intersepsi tegakan manglid dengan pemangkasan lebih rendah

2% daripada nilai intersepsi tegakan tanpa pemangkasan (Gambar 1). Nilai

intersepsi pada tegakan dengan pemangkasan sebesar 27% (1.266,1 mm) dan pada

tegakan tanpa pemangkasan sebesar 29% (1.368,7 mm). Pemangkasan menyebabkan

penurunan tebal dan luas permukaan tajuk sehingga air hujan yang terintersepsi pada

permukaan tajuk juga semakin berkurang. Sebaliknya, pemangkasan meningkatkan

air lolos tajuk dan aliran batang, masing-masing 1% dan 1,4%. Air lolos tajuk pada

tegakan dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 70% (3.294,9 mm) dan tanpa

pemangkasan sebesar 69% (3.257,1 mm). Sementara itu, aliran batang pada tegakan

dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 3,5% (163,6 mm) dan tanpa pemang-

kasan sebesar 2,1% (97,2 mm). Pemangkasan menghasilkan peningkatan ruang

antartajuk yang memudahkan air hujan untuk lolos melalui ruang antartajuk.

Menurut Asdak et al., (1998), bertambahnya diameter batang akan meningkatkan

jumlah aliran batang. Hal ini terbukti pula pada hasil penelitian karena pemang-

kasan telah meningkatkan rata-rata tinggi dan diameter batang sehingga aliran

batang menjadi lebih tinggi pada tegakan dengan pemangkasan daripada tanpa

pemangkasan. Pemangkasan intensitas 75% menghasilkan tegakan dengan rata-rata

tinggi sebesar 4,4 m dan diameter 57 cm, sedangkan pada tegakan tanpa pemang-

kasan diperoleh rata-rata tinggi sebesar 3,5 m dan diameter 51 cm.

Nilai intersepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang tanaman manglid pada umur

empat tahun lebih rendah dibandingkan dengan umur tiga tahun, baik pada tegakan

pemangkasan 75% maupun tanpa pemangkasan. Pada tahun 2013, curah hujan lebih

tinggi daripada tahun 2014 sehingga hal ini juga dapat memengaruhi besaran inter-

sepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang pada tanaman manglid. Pada tegakan

manglid dengan pemangkasan pada umur tiga tahun (14 bulan pengamatan),

intersepsi yang dihasilkan sebesar 37% (1.898,5 mm), air lolos tajuk sebesar 59%

(3.059,6 mm), dan aliran batang 4,5% (234,3 mm). Setelah mencapai umur empat

tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun menjadi 23% (659,1 mm), air

lolos tajuk meningkat menjadi 73% (2.132,9 mm), dan aliran batang menjadi 4,1%

(119,6 mm). Sementara itu, tegakan manglid tanpa pemangkasan pada umur tiga

tahun (tujuh bulan pengamatan) menghasilkan nilai intersepsi sebesar 37% (666,3

Page 167: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 159

mm), air lolos tajuk 61% (1.111,3 mm), dan aliran batang 2% (35,4 mm).

Kemudian, pada umur empat tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun

menjadi 24% (702,4 mm), air lolos tajuk meningkat 74% (2.145,8 mm), dan aliran

batang menjadi 2,1% (61,8 mm).

Gambar 1. Air lolos tajuk, aliran batang dan intersepsi pada tegakan manglid dengan

pemangkasan (P75) dan tanpa pemangkasan (P0)

Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, beberapa nilai intersepsi hutan

atau beberapa jenis vegetasi dapat diketahui, antara lain hutan klimaks sebesar 25–

35% (Soejoko et al., 1998); pinus 15,7%, puspa 13,7%, dan agathis 14,7% (Rusdiana

et al., 2002); jati umur dua tahun 38,1% dan umur tiga tahun 40,3%, jati tumpang

sari 32,5% (Hendrayanto et al., 2002); dan A. loranthifolia Sal. 41,75%

(Heryansyah, 2008). Pada penelitian ini, jenis manglid umur 3–4 tahun dengan

pemangkasan 75% menghasilkan nilai intersepsi sebesar 31% dan pada tegakan

tanpa pemangkasan sebesar 29% (Tabel 1). Dengan demikian, nilai intersepsi

tegakan manglid mendekati hutan klimaks seperti yang dikemukakan Soejoko et al.

(1998) atau beberapa jenis pohon hutan lainnya.

0

10

20

30

40

Mei

Jun

iA

gtSe

pO

ktN

ov

Des

Jan

Feb

Mrt

Ap

ril

Mei

Jun

iJu

liSe

pO

ktN

ov

Des

mm

Aliran batang P75% Aliran batang P0%

0

1,000

2,000

3,000

4,000

Air lolos tajuk Aliran batang Intersepsi

mm

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

0

50

100

150

200

250

Mei

Jun

iA

gtSe

pO

ktN

ov

Des

Jan

Feb

Mrt

Ap

ril

Mei

Jun

iJu

liSe

pO

ktN

ov

Des

mm

Intersepsi P75% Intersepsi P0%

0

200

400

600

Mei

Jun

iA

gtSe

pO

ktN

ov

Des

Jan

Feb

Mrt

Ap

ril

Mei

Jun

iJu

liSe

pO

ktN

ov

Des

mm

Air lolos tajuk P75% Air lolos tajuk P0%

Page 168: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

160 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Infiltrasi

Pengukuran infltrasi dengan menggunakan double ring infiltrometer merupa-

kan pengukuran sesaat untuk memperoleh persamaan infiltrasi yang dapat

digunakan untuk memprediksi besarnya air hujan yang terserap ke dalam tanah

selama durasi hujan telah diketahui. Kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan

dapat memengaruhi jumlah air hujan yang melimpas di atas permukaan tanah (aliran

permukaan). Namun, kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan akan berkurang

secara bertahap setelah tanah berangsur-angsur menjadi jenuh.

Hasil pengukuran infiltrasi, baik pada plot tegakan manglid dengan pemang-

kasan 75% maupun tanpa pemangkasan, termasuk kriteria sangat cepat (>25

cm/jam) (Tabel 2). Pada plot tegakan manglid dengan pemangkasan, nilai infiltrasi

awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola monokultur, diikuti

agroforestri manglid+ganyong dan terakhir agroforestri manglid+suweg (Tabel 2 dan

Gambar 2). Infiltrasi pada pola agroforestri manglid+ganyong memiliki rentang nilai

yang sangat lebar. Sementara itu, pada plot tegakan tanpa pemangkasan, nilai

infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola agroforestri

manglid+suweg, diikuti monokultur manglid dan agroforestri manglid+ganyong.

Tabel 2. Nilai parameter infiltrasi hasil pengukuran pada plot penelitian

Pola tanam Ulang-

an

Infiltrasi (cm/jam)

Plot manglid dengan pemangkasan 75% Plot manglid tanpa pemangkasan

fc fo Persamaan fc fo Persamaan

Manglid+ganyong 1 90 132 90 + (132-90).e-4,634 t 102 153 102 + (153-102).e-7,287 t

2 15 30 15 + (30-15).e-4,666 t 60 81 60 + (81-60).e-4,708 t

Manglid+suweg 1 72 126 72 + (126-72).e-5,382 t 45 69 45 + (69-450).e-3,850 t

2 90 120 90 + (120-90).e-2,911 t 21 45 21 + (45-21).e-2,616 t

Monokultur

Manglid

1 19,5 33 19,5 + (33-19,5).e-3,476 t 78 117 78 + (117-78).e-2,63 t

2 7,2 150 7,2 + (15-7,2).e-3,527 t 45 75 45 + (75-45).e-3,422 t

Keterangan: fc=infiltrasi konstan, fo=infiltrasi awal, t=waktu

Page 169: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 161

Gambar 2. Grafik rata-rata infiltrasi pada pola agroforestri manglid+ganyong, agroforestri

manglid+suweg, dan monokultur manglid

Infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa sifat fisik tanah, seperti kandungan bahan

organik, porositas tanah, berat isi tanah, dan tekstur. Pada beberapa kasus, perakaran

tanaman pohon dapat memengaruhi infiltrasi karena pembentukan lubang-lubang

tanah oleh akar, baik yang sudah mati maupun yang masih tumbuh. Sementara itu,

sifat-sifat fisik tanah dapat dipengaruhi melalui vegetasi tanaman dalam jangka

waktu yang lama. Dengan demikian, pengaruh tanaman terhadap infiltrasi pada

dasarnya bersifat tidak langsung. Melalui perlakuan vegetasi yang dapat memper-

baiki sifat tanah, kapasitas infiltrasi pun diharapkan dapat ditingkatkan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pola tanam tidak menghasilkan perbedaan infiltrasi

yang jelas; namun demikian, sifat tanah yang ada mampu menghasilkan kemampuan

infiltrasi yang tergolong cepat (Gambar 2).

C. Aliran Permukaan dan Erosi

Penurunan nilai intersepsi dan peningkatan air lolos tajuk ataupun aliran

batang akibat pemangkasan akan berimplikasi pada peningkatan aliran permukaan

(run-off) dan erosi di bawah tegakan, terutama pada curah hujan tinggi. Penanaman

di bawah tegakan dapat membantu menahan limpasan air hujan pada permukaan

tanah sehingga memperbesar kesempatan air hujan untuk terserap terlebih dulu ke

dalam tanah melalui proses infiltrasi. Kemampuan tanaman bawah tegakan dalam

menahan dan mengurangi laju aliran permukaan tergantung pada jenis dan karak-

teristik tanaman.

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90

Infi

ltra

si (

cm

/ja

m)

Menit ke-

Pemangkasan 75%

Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90

Infi

ltra

si (

cm

/ja

m)

Menit ke-

Tanpa pemangkasan

Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur

Page 170: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

162 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Pengamatan aliran permukaan dan erosi di bawah tegakan manglid dibagi

menjadi dua periode. Periode tahun 2013 dilakukan pengamatan aliran permukaan

dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestri dengan jenis tanam-

an bawah ganyong dan suweg. Periode tahun 2014 dilakukan pengamatan aliran

permukaan dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestri dengan

jenis tanaman bawah talas dan suweg.

Tabel 3. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun

2012-2013

Tahun dan bulan Hujan

(mm)

Aliran permukaan (mm)

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur

2012 Oktober 136,2 3,18 3,77 3,56

November 409,8 10,39 8,84 9,68

Desember 838,9 19,82 20,84 23,70

2013 Januari 600,0 16,88 19,21 11,37

Februari 299,1 9,75 12,59 9,07

Maret 521,9 14,02 26,03 11,20

April 573,6 39,61 139,37 55,46

Mei 300,5 4,76 36,94 6,90 4,68 7,10 5,04

Juni 244,0 13,39 41,86 13,55 5,77 9,25 8,28

Agustus 10,0 0,02 0,04 0,01 0,11 0,07 0,06

September 133,0 1,40 0,70 0,15 1,20 1,35 1,11

Oktober 125,0 0,78 0,97 0,37 0,54 0,52 0,50

November 393,0 2,15 2,72 1,04 3,33 2,55 2,18

Desember 607,5 5,97 32,10 1,81 4,72 2,63 4,41

Σ Mei–Desember

2013 1.813,0 28,47 115,33 23,84 20,36 23,47 21,59

Σ Oktober 2012–

Desember 2013 5.192,4 142,11 345,98 147,89

Berdasarkan perbandingan aliran permukaan periode tahun 2013 pada pola

agroforestri dan monokultur manglid (baik tanpa pemangkasan maupun dengan

pemangkasan 75%), aliran permukaan terendah terdapat pada plot agroforestri

Page 171: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 163

manglid+ganyong yang diikuti plot monokultur, sedangkan nilai tertinggi pada plot

agroforestri manglid+suweg (Tabel 3 dan Gambar 3). Pada tegakan manglid dengan

pemangkasan (14 bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot agroforestri

manglid+ganyong sebesar 142,11 mm, plot monokultur manglid sebesar 147,89

mm, dan plot agroforestri manglid+suweg sebesar 345,98 mm. Sementara itu, pada

tegakan manglid tanpa pemangkasan (tujuh bulan pengamatan), aliran permukaan

pada plot agroforestri manglid+ganyong sebesar 20,36 mm, plot monokultur

manglid sebesar 21,59 mm, dan plot agroforestri manglid+suweg sebesar 23,47 mm.

Hal ini menunjukkan bahwa agroforestri manglid+ganyong dapat menurunkan

aliran permukaan lebih baik daripada monokultur. Sebaliknya, agroforestri

manglid+suweg menghasilkan aliran permukaan lebih besar daripada monokultur.

Perlakuan pemangkasan menyebabkan aliran permukaan meningkat dibandingkan

tanpa pemangkasan (Gambar 3).

Gambar 3. Perbandingan aliran permukaan di bawah tegakan manglid dengan pola agro-

forestri dan monokultur

Karakteristik tanaman ganyong memiliki rumpun yang lebat sehingga menye-

babkan air hujan tertahan oleh tajuk (intersepsi) dan mengurangi kesempatan air

hujan menjadi aliran permukaan. Selain itu, kondisi ini juga dapat melindungi tanah

dari tumbukan hujan sehingga dapat menurunkan erosi. Di sisi lain, pemanenan

ganyong dapat menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi karena lantai

tegakan menjadi terbuka, terutama pada tegakan dengan pemangkasan. Pada

agroforestri manglid+suweg ataupun monokultur, penutupan oleh tajuk relatif

142.1

346.0

147.9

20.4 23.5 21.6

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid

Alira

n p

erm

ukaan

(m

m)

Tahun 2012-2013

27.6

78.5

20.627.3 27.0

16.7

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid

Aliran

perm

ukaan

(m

m)

Tahun 2014

Pemangkasan 75%

Tanpa pemangkasan

Page 172: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

164 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

kurang rapat sehingga air hujan akan jatuh langsung ke tanah dan berpeluang

meningkatkan aliran permukaan. Pada plot agroforestri manglid+suweg, terdapat

kegiatan pengolahan tanah pada masa tanam atau masa pemeliharaan suweg. Hal ini

akan menghasilkan sejumlah besar pelepasan partikel tanah permukaan yang hanyut

oleh aliran permukaan selama hujan sehingga erosi (accelarated erosion) pun

meningkat. Di sisi lain, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan pemadatan

tanah, terutama pada jenis tanah liat, sehingga menyebabkan penurunan daya atau

kapasitas tanah menyerap air dan meningkatkan aliran permukaan. Pada pola

monokultur, pengolahan tanah jarang dilakukan; bahkan, gulma rumput dan serasah

daun pun lebih sering dibiarkan daripada dilakukan penyiangan. Rumput dan

serasah ini memiliki kemampuan untuk mengurangi energi kinetik hujan memecah

agregat tanah dan menahan energi mekanik air hujan di atas permukaan tanah

sehingga akan menurunkan aliran permukaan dan erosi.

Hasil pengamatan periode tahun 2014 pada tegakan dengan pemangkasan

(Tabel 4 dan Gambar 3) menunjukkan bahwa aliran permukaan terendah terdapat

pada plot monokultur (20,64 mm) yang diikuti oleh plot agroforestri manglid+talas

(27,62 mm), sedangkan nilai tertinggi pada plot agroforestri manglid+suweg (78,49

mm). Pada tegakan tanpa pemangkasan, aliran permukaan terendah juga dihasilkan

oleh plot monokultur (16,72 mm), tetapi aliran permukaan tertinggi dihasilkan oleh

plot agroforestri manglid+talas (27,26 mm). Sementara, plot agroforestri manglid+

suweg (27,0 mm) menduduki peringkat kedua. Pemangkasan juga menyebabkan

aliran permukaan di bawah tegakan manglid lebih tinggi daripada di bawah tegakan

tanpa pemangkasan.

Page 173: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 165

Tabel 4. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun

2014

Bulan Hujan

(mm)

Aliran permukaan (mm)

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur

Januari 449,05 9,01 22,44 2,56 6,32 4,66 2,72

Febuari 346,00 3,84 11,82 2,31 3,88 2,21 1,67

Maret 408,50 5,39 23,37 2,99 4,34 1,74 2,81

April *) 498,00 3,76 13,82 7,71 5,00 1,80 3,49

Mei 114,50 0,75 1,52 1,13 1,04 0,89 0,78

Juni 101,50 0,57 0,40 0,43 0,72 0,52 0,51

Juli 98,50 0,35 0,51 0,32 0,58 0,71 0,77

September 34,00 0,06 0,04 0,04 0,07 0,18 0,21

Oktober 21,00 0,03 0,02 0,03 0,14 0,14 0,11

November 336,00 1,33 1,80 1,03 2,59 1,80 1,85

Desember 396,50 2,52 2,76 2,09 2,58 12,37 1,81

Jumlah 2.803,6 27,62 78,49 20,64 27,26 27,00 16,72

Keterangan: *) Jumlah hujan dan aliran permukaan yang dicantumkan tidak termasuk empat hari

kejadian hujan yang tidak tercatat

Proses erosi dimulai dari terlepasnya agregat tanah menjadi partikel-partikel

tanah lepas yang disebabkan oleh adanya tumbukan hujan atau pengolahan tanah.

Partikel-partikel tersebut lalu terbawa aliran permukaan. Oleh karena itu, besaran

erosi kerap kali mengikuti besaran aliran permukaan. Pengamatan periode tahun

2013 di bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan

menunjukkan bahwa jumlah erosi yang dihasilkan dari plot agroforestri manglid+

ganyong adalah yang paling rendah dibandingkan dengan plot monokultur manglid

dan plot agroforestri manglid+suweg (Tabel 5 dan Gambar 4). Pada tegakan

manglid dengan pemangkasan, plot agroforestri manglid+ganyong menghasilkan

erosi sebesar 2,54 ton/ha, monokultur manglid sebesar 5,7 ton/ha, dan agroforestri

manglid+suweg mencapai 10,99 ton/ha. Pada tegakan manglid tanpa pemangkasan,

plot agroforestri manglid+ganyong menghasilkan erosi sebesar 0,07 ton/ha,

monokultur manglid sebesar 0,10 ton/ha, dan agroforestri manglid+suweg sebesar

0,24 ton/ha.

Page 174: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

166 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 5. Erosi di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun 2012–2013

Tahun dan bulan Hujan

(mm)

Erosi (ton/ha)

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur

2012 Oktober 136,2 0,01553 0,01548 0,09767

November 409,8 0,19082 0,18834 0,40309

Desember 838,9 1,14748 5,80515 2,54472

2013 Januari 600,0 0,50312 0,76193 0,46484

Februari 299,1 0,14180 0,39219 0,17211

Maret 521,9 0,12192 0,59794 0,19452

April 573,6 0,31868 2,75772 1,70531

Mei 300,5 0,01732 0,14142 0,02165 0,01317 0,03553 0,02025

Juni 244,0 0,06329 0,24655 0,08533 0,02982 0,17765 0,05678

Agustus 10,0 0,00007 0,00008 0,00003 0,00050 0,00022 0,00034

September 133,0 0,00466 0,00193 0,00075 0,00270 0,00297 0,00268

Oktober 125,0 0,00269 0,00113 0,00032 0,00214 0,00163 0,00255

November 393,0 0,00785 0,00902 0,00289 0,01184 0,01234 0,00969

Desember 607,5 0,00957 0,06605 0,00265 0,01218 0,00732 0,00984

Σ Mei–Desember

2013 1.813,0 0,10545 0,46619 0,11363 0,07235 0,23765 0,10212

Σ Oktober 2012–

Desember 2013 5.192,4 2,54480 10,98495 5,69588

Gambar 4. Perbandingan jumlah erosi di bawah tegakan manglid dengan pola agroforestri

dan monokultur

2.54

10.99

5.70

0.07 0.24 0.100.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid

Alira

n p

erm

ukaan

(m

m)

Tahun 2012-2013

0.07

0.38

0.050.08

0.03 0.03

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid

Alira

n p

erm

ukaan

(m

m)

Tahun 2014

Pemangkasan 75%

Tanpa pemangkasan

Page 175: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 167

Seperti halnya pada aliran permukaan, hasil pengamatan pada periode 2014 di

bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan menun-

jukkan bahwa jumlah erosi terendah dihasilkan dari plot monokultur manglid.

Jumlah erosi ini juga lebih rendah dibandingkan dengan plot agroforestri manglid+

talas dan plot agroforestri manglid+suweg (Tabel 6 dan Gambar 4). Perlakuan

pemangkasan juga menyebabkan erosi yang terjadi di bawah tegakan meningkat.

Tabel 6. Erosi di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun 2014

Bulan Hujan

(mm)

Erosi (ton/ha)

Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan

Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur

Januari 449,05 0,0270 0,0718 0,0037 0,0306 0,0093 0,0042

Febuari 346,00 0,0068 0,0707 0,0029 0,0063 0,0029 0,0020

Maret 408,50 0,0032 0,0993 0,0096 0,0107 0,0045 0,0022

April 498,00 0,0176 0,0863 0,0273 0,0064 0,0043 0,0090

Mei 114,50 0,0011 0,0193 0,0014 0,0067 0,0028 0,0019

Juni 101,50 0,0015 0,0022 0,0007 0,0015 0,0005 0,0040

Juli 98,50 0,0006 0,0056 0,0008 0,0019 0,0026 0,0023

September 34,00 0,0001 0,0002 0,0003 0,0002 0,0004 0,0004

Oktober 21,00 0,0000 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0003

November 336,00 0,0019 0,0082 0,0038 0,0073 0,0030 0,0022

Desember 396,50 0,0083 0,0201 0,0034 0,0036 0,0024 0,0015

Jumlah 2.803,6 0,0681 0,3840 0,0542 0,0755 0,0329 0,0301

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Pemangkasan mengurangi intersepsi air hujan oleh tajuk, tetapi sebaliknya

meningkatkan air lolos tajuk (through fall). Pengaruh pemangkasan terhadap

penambahan tinggi dan diameter batang pohon menyebabkan aliran batang (stem

flow) yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan tanpa perlakuan pemangkasan.

Nilai intersepsi tegakan manglid umur 3–4 tahun termasuk tinggi, baik pada tegakan

Page 176: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

168 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

manglid yang diberi perlakuan pemangkasan (31%) maupun tanpa pemangkasan

(29%).

Kapasitas infiltrasi pada pola agroforestri dan monokultur manglid termasuk

sangat cepat sehingga penanaman tanaman bawah tidak berpengaruh banyak

terhadap perbaikan sifat tanah yang terkait dengan infiltrasi.

Penerapan pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi di

bawah tegakan meningkat. Pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran

permukaan dan erosi lebih rendah daripada monokultur manglid. Sementara itu,

pola agroforestri manglid+suweg dan manglid+talas menghasilkan aliran permukaan

dan erosi yang lebih besar daripada monokultur manglid. Pola monokultur manglid

memiliki pengolahan lahan minimal yang mana rumput dan serasah menutup rapat

permukaan tanah sehingga dapat menekan aliran permukaan dan erosi lebih baik.

B. Saran

Agroforestri manglid+ganyong dapat diterapkan sebagai model konservasi

tanah dan air yang bersifat adaptif. Hal ini karena selain memelihara lingkungan,

pola ini juga mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat petani selama

menanti hasil kayu. Aplikasi pemangkasan perlu dilakukan secara hati-hati, misalnya

dengan menyertakan tindakan konservasi tanah dan air untuk mengantisipasi

terjadinya peningkatan air lolos tajuk yang berimplikasi pada peningkatan aliran

permukaan dan erosi. Ditinjau dari nilai intersepsi manglid, tanaman ini bermanfaat

diterapkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi sehingga dapat

mengurangi banjir tanpa memengaruhi secara signifikan cadangan air tanah.

Daftar Pustaka

Agustina, D., Setyowati, D. L., & Sugiyanto. (2012). Analisis kapasitas infiltrasi

pada beberapa penggunaan lahan di Kelurahan Sekaran, Kecamatan

Gunungpati, Kota Semarang. Geo Image, 1(1).

Page 177: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 169

Asdak, C., Jarvis, P., Van Gardingen, P., & Fraser, A. (1998). Rainfall interception

loss in unlogged and logged forest areas of Central Kalimantan, Indonesia.

Journal of hydrology, 206(3), 237-244.

Gintings, N. (2006). hutan, tata air dan kelestarian DAS citatih. . Paper presented

at the Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan

Daerah Aliran Sungai Citatih-Cimandiri., Bogor.

Hardwinarto, S. (2009). Sumbangan hutan terhadap hasil air. Paper presented at the

Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung

DAS, Bogor.

Kayo, S. D. M., Ilyas, M. A., Setiadi, D., & Satriana, E. (2009). Hutan sebagai

pengendali (regulator) puncak banjir pada daerah aliran sungai. Paper

presented at the Workshop Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam

Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.

Mahendra, F. (2009). Sistem agroforestri dan aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mulyana, N., Kusmana, C., Abdulah, K., & Prasetio, L. B. (2009). Hubungan luas

tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa

DAS di Indonesia. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan

Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Bogor.

Murdiyarso, D., & Kurnianto, S. (2009). Peranan vegetasi hutan dalam mengatur

pasokan air. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan

dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.

Noorwidjk, M. v., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., B.Verbist, &

Farida. (2004). Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi

daerah aliran sungai. AGRIVITA, 26(1).

Octavia, D. (2010). Peran sistem agroforestry dalam pengelolaan daerah aliran

sungai dan implikasinya dalam mitigasi perubahan iklim. Paper presented at

the Ekspose Hasil Litbang, Surakarta.

Page 178: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

W. Handayani

170 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Onozawa, Y., Chiwa, M., Komatsu, H., & Otsuki, K. (2009). Rainfall interception

in a moso bamboo (Phyllostachys pubescens) forest. Journal of Forest

Research, 14(2), 111-116.

Pramono, I. B., & Wahyuningrum, N. (2009). Model pengendalian run-off dan

erosi dengan metode vegetatif (Studi Kasus Sub DAS Dungwot). Paper

presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam

Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.

Purwanto, E., & Ruitjer, J. (2004). Hubungan antara hutan dan fungsi DAS.

Dampak Hidrologi Hutan, Agroforestri dan Pertanian Lahan Kering sebagai

Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan. Prosiding

Lokakarya di Padang, Singkarak, Sumatera Barat, Indonesia. World

Agroforestry Center.

Sofyan, M. (2006). Pengaruh berbagai penggunaan lahan terhadap laju infiltrasi

tanah.

Sukresno. (2009). Peran hutan dalam pengendalian tanah longsor. Paper presented

at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS, Surakarta.

Supangat, A. B., Junaedi, A., Kosasih, Nasrun, & Frianto, D. (2008). Kajian Tata

Air Hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian.

Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Kuok.

Utami, S. R., Widianto, & Suprayogo, D. (2004). Apakah penghutanan kembali

dapat memulihkan fungsi hidrologis hutan alam? . Paper presented at the

Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan

Seminar Nasional Degradasi Hutan dan Lahan, Yogyakarta.

Xiao, Q., & McPherson, E. G. (2011). Rainfall interception of three trees in

Oakland, California. Urban Ecosystems, 14(4), 755-769.

Zinke, P. J. (1967). Forest interception studies in the United States: Forest

Hydrology. Oxford, UK: Pergamon Press.

Page 179: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 171

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Edy Junaidi1

ABSTRAK

Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) memengaruhi

fungsi hidrologinya. Perkembangan penanaman tanaman manglid pada hutan rakyat di Jawa

Barat akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan, terutama kondisi hidrologi tempat

tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan

manglid terhadap hasil air yang disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons

hidrologi dengan tipe penggunaan lahan lainnya. Analisis respons hidrologi menggunakan

model hidrologi Soil and Water Assessment Toll (SWAT). Keberadaan tutupan lahan

kebun campuran manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS. Peningkatan hujan

dan debit berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan dan berkorelasi positif terhadap

sumbangan yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan kebun

campuran manglid mempunyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai

dengan tutupan lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.

Kata kunci: tata air, kebun campuran manglid

I. Pendahuluan

Dalam pendekatan hidrologis, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan

wilayah yang dibatasi punggung bukit (pemisahan topografi) di mana air hujan yang

jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan kelebihannya dialirkan melalui

sungai kecil ke sungai utama. Menurut Pawitan (2004), DAS sebagai satuan hidro-

logi lahan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu 1) mengumpulkan curah hujan, 2)

menyimpan air hujan yang terkumpul dalam sistem-sistem simpanan air DAS, dan

3) mengalirkan air sebagai limpasan. Ketiga fungsi hidrologi DAS tersebut berinter-

aksi dalam suatu sistem DAS yang merupakan sistem simpanan massa air, serta

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Ciamis,

Jawa Barat 46201; Email: [email protected]

Page 180: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

172 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

hubungan masukan hujan dan keluaran limpasan DAS. Sebagai suatu sistem, terda-

pat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain di dalam DAS. Kom-

ponen tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) komponen biofisik

yang bersifat alami dan menunjukkan karakteristik yang dimiliki setiap DAS; dan 2)

komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam per-

soalan, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan, dan

tatanannya.

Keberadaan tutupan lahan pada suatu DAS merupakan salah satu komponen

biofisik yang penting. Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem DAS akan

memengaruhi fungsi hidrologi DAS. Penelitian tentang dampak perubahan tutupan

lahan terhadap respons hidrologi telah banyak dilakukan (Andréassian, 2004;

Bruijnzeel, 2004). Pola agroforestri (wanatani) merupakan salah satu bentuk tutupan

lahan yang mulai berkembang dan diterapkan pada lahan masyarakat. Pola ini

merupakan alternatif bentuk tutupan lahan yang terdiri dari campuran tanaman

keras (pepohonan atau semak) dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak

dalam satu bidang lahan. Komposisi tanaman yang beragam pada agroforestri ini

menyebabkan agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada

tutupan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong.

Berdasarkan fakta tersebut, para ahli berpendapat bahwa strata tegakan yang menye-

rupai pola hutan pada pola agroforestri menguntungkan secara lingkungan. Hasil

kajian Junaidi (2013) menunjukkan bahwa pola agroforestri memiliki kemampuan

mempertahankan fungsi hidrologi DAS yang menyerupai hutan.

Tanaman manglid merupakan salah satu tanaman kayu pertukangan yang

banyak ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa Barat. Pada umumnya, jenis ini

ditanam pada tutupan lahan kebun campuran bersama dengan tanaman kayu lainnya

dan tanaman semusim (pola agroforestri). Keberadaan tanaman ini semakin berkem-

bang yang secara langsung akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan,

terutama kondisi hidrologi tempat tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji

pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan manglid terhadap hasil air yang

disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons hidrologinya dengan

tipe penggunaan lahan lainnya.

Page 181: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 173

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di DAS Citanduy Hulu yang merupakan salah satu

sub-DAS pada DAS Citanduy, Jawa Barat. Daerah Aliran Sungai Citanduy Hulu

terletak pada hulu DAS Citanduy yang secara Geografi terletak pada 7o7’–7o17’ LS

dan 108o4’–108o24’ BT (Gambar 1). Luas DAS Citanduy Hulu sekitar 72.409,5 ha.

Panjang rata-rata sungai utama sekitar 7,4 km dengan gradien 1,02% (agak rendah)

(Puspitojati et al., 2012).

Gambar 1. Loaksi Penelitian

Iklim DAS Citanduy Hulu termasuk Golongan II (daerah agak basah)

berdasarkan klasifikasi iklim Mohr (1993) dan tipe hujan golongan C (agak basah)

berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson (1951). Sebagian besar wilayah

DAS Citanduy Hulu berada pada kisaran curah hujan >2.000 mm/tahun dan

termasuk dalam kriteria tinggi. Sementara itu, luas wilayah DAS yang berada pada

Page 182: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

174 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

kisaran curah hujan <2.000 mm/tahun hanya sekitar 12% dari luas DAS, tepatnya di

sekitar hilir DAS Citanduy Hulu (Junaidi & Maryani, 2013).

B. Metode Penelitian

Pendugaan tata air dilkukan dengan menggunakan model Soil and Water

Assessment Toll (SWAT). Proses pendugaan tata air yang disimulasikan oleh

model SWAT, meliputi infiltrasi, aliran bagian permukaan, aliran lateral, evaporasi,

transpirasi, pergerakan air tanah, dan routing perjalanan aliran (Menking et al.,

2003). Model SWAT merupakan model matematik berbasis fisik yang dirancang

sebagai model hidrologi spasial terdistribusi yang terintegrasi dengan Geographical

Information System (GIS) dan Digital Elevation Model (DEM) dengan tampilan

antarmuka pengguna secara grafis (GUI). Model ini berdasarkan hydrologic respons

units (HRUs) yang dibentuk dari kombinasi tata guna lahan, jenis tanah, dan

topografi (Olivera et al., 2006; Omani et al., 2007). Evaluasi operasionalisasinya

berbasis pada skala waktu harian dan mampu mensimulasi dan menduga dampak

kegiatan-kegiatan praktik pengelolaan lahan jangka panjang (Arnold et al., 2010;

Douglas-Mankin et al., 2010).

Kegiatan pelaksanaan penelitian menggunakan model SWAT meliputi

beberapa tahapan, yaitu:

1. Persiapan Model

Terdapat tiga jenis data yang digunakan dalam model SWAT pada penelitian

ini, yaitu data spasial iklim dan hidrologi (Tabel 1). Data iklim dan spasial

digunakan sebagai input model, sedangkan data hidrologi digunakan untuk proses

kalibrasi dan validasi model.

Page 183: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 175

Tabel 1. Data spasial, iklim, dan hidrologi yang terdapat di DAS Citanduy Hulu

No. Tipe data Sumber data Keterangan

1.

Peta Jaringan Sungai

(skala 1:50.000)

Bakosurtanal

Peta Rupa Bumi Indonesia

2.

DEM

US Geoological Survey Shuttle Radar Topography

Mission (SRTM) untuk

Z_59_14.tiff dengan resolusi

spasial 90 x 90 m

3.

Peta landuse (skala

1:250.000)

BP DAS Cimanuk-

Citanduy

Klasifikasi citra Landsat TM

tahun 2009

4.

Peta jenis tanah

(skala 1:250.000)

BP DAS Cimanuk-

Citanduy

5. Data curah hujan

harian

Balai Pengelolaan

Sumber Daya Air

Citanduy, Balai Besar

Wilayah Sungai Citanduy

Sembilan stasiun penakar curah

hujan tahun 2009 dan 2010

6.

Data temperatur

harian

Balai Besar Wilayah

Sungai Citanduy

Empat stasiun temperatur tahun

2009 dan 2010

7.

Data iklim

Balai Besar Wilayah

Sungai Citanduy

Dua stasiun klimatologi selama

lima tahun (2005–2009) (data

curah hujan, temperatur,

kecepatan angin, dan intensitas

penyinaran)

8.

Data debit sungai

Balai Besar Wilayah

Sungai Citanduy

SPAS Sindangrasa pengamatan

tahun 2009

2. Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model dilakukan untuk menduga nilai parameter-parameter dalam

model sehingga hasil simulasi debit oleh model mendekati nilai debit yang

sebenarnya (Kobold et al., 2008). Terdapat 24 parameter yang harus dikalibrasi

dalam SWAT. Sementara itu, validasi bertujuan mengevaluasi kemampuan model

dalam mendekati kondisi DAS yang sebenarnya. Kriteria yang digunakan validasi

model yaitu Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), perbandingan rata-rata debit prediksi

dan rata-rata debit observasi, serta koefisien determinasi.

Page 184: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

176 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

C. Analisis Data

Hasil model untuk analisis berupa output HRUs yang merupakan luaran

model untuk data input tahun 2010. Data dikompilasi dalam bentuk grafik dan tabel

yang dianalisis secara deskriptif.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Tutupan Lahan DAS Citanduy Hulu

Hingga tahun 2009, kondisi tutupan lahan pada DAS Citanduy Hulu dido-

minasi oleh sawah (29% luas DAS) dan kebun campuran (26%). Sementara itu, luas

lahan hutan (meliputi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas)

yang terdapat pada DAS Citanduy Hulu sekitar 20,73% (Tabel 2). Sebaran tutupan

lahan dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 2. Kondisi tutupan lahan existing DAS Citanduy Hulu tahun 2009

No. Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)

1. Semak belukar 553,80 0,76

2. Hutan poduksi 887,90 1,23

3. Hutan produksi terbatas 4.974,30 6,87

4. Hutan lindung 9.146,70 12,63

5. Pemukiman 7.730,30 10,68

7. Kebun Campuran dominan Sengon 4.734,51 6,54

8. Keun Campuran Pengelolaan baik 11,41 0,02

9. Kebun Campuran Pengelolaan sedang 1.950,58 2,69

10. Kebun Campuran Pengelolaan buruk 9.800,50 13,53

11. Kebun Campuran dominan Manglid 2.046,30 2,83

12. Sawah 20.676,10 28,55

13. Tambak 12,70 0,02

14. Tubuh air 420,50 0,58

15. Pertanian lahan kering 9.462,50 13,07

16. Rawa 1,30 0,00

T o t a l 72.409.40

Page 185: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 177

Gambar 2. Tutupan lahan DAS Citanduy Hulu tahun 2009

Page 186: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

178 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hasil survei menunjukkan bahwa tutupan lahan kebun campuran diklasifi-

kasikan menjadi lima macam, yaitu kebun campuran dominan sengon, kebun

campuran dominan manglid, kebun campuran pengelolaan manajemen baik, kebun

campuran pengelolaan manajemen sedang, dan kebun campuran pengelolan mana-

jemen buruk. Untuk kebun campuran pengelolan manajemen, kriteria meliputi

komposisi penanaman, komposisi tegakan, dan pengunaan teknik konservasi. Pada

tutupan lahan di DAS Citanduy Hulu, kebun campuran didominasi oleh tutupan

lahan kebun campuran pengelolaan buruk (13,5%). Hal ini ditandai oleh komposisi

penanaman yang tidak jelas jarak tanamnya, komposisi tegakan dengan jenis

tanaman yang beragam, dan teknik konservasi tanah yang kurang diperhatikan.

Sementara itu, kebun campuran dominan tanaman sengon dan tanaman manglid

mempunyai luasan 6,5% dan 2,8% dari luas DAS.

B. Kalibrasi dan Validasi Model Hidrologi

Kalibrasi bertujuan untuk menentukan nilai sekelompok parameter sehingga

hasil simulasi debit model mendekati nilai debit sebenarnya. Sementara itu, validasi

dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam mendekati kondisi DAS

sebenarnya. Evaluasi kemampuan model menggunakan kriteria statistik. Metode

statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi) dan

koefisien Nash-Sutcliffe (ENS). Santhi et al. (2001) menunjukkan hasil simulasi

dikriteriakan baik jika rata-rata debit hasil simulasi berada pada kisaran -15% hingga

+15% dari rata-rata debit hasil observasi, nilai ENS ≥0,5, dan R2 ≥0,6. Data yang

digunakan untuk proses kalibrasi dan validasi model ini adalah data debit dari

Sungai Sindangrasa. Proses kalibrasi menggunakan data bulan Januari–Juni 2009,

sedangkan proses validasi model menggunakan data bulan Juli–Desember 2009.

Hasil perhitungan untuk koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) adalah 0,76 dan hasil

perhitungan untuk nilai Dv adalah -14,96%. Sementara itu, berdasarkan grafik XY

scatter, hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X), dan debit bulanan

observasi (nilai Y), diperoleh nilai R2 adalah 0,79.

Page 187: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 179

C. Kondisi Hidrologi

1. Kondisi Tata Air DAS Citanduy Hulu

Secara umum, kondisi hidrologi DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rata-rata

tahunan evapotranspirasi sebesar 66,1 mm (23%), aliran permukaan sebesar 121,6

mm (43%), aliran bawah permukaan sebesar 83,3 mm (29%), dan aliran dasar sebe-

sar 50,0 mm (18%) dengan total curah hujan bervariasi antara 2794,5–3429,2 mm.

Hasil simulasi memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan debit

sungai dan kecenderungan naik pada evapotranspirasi (Gambar 3). Berdasarkan

tutupan lahan kondisi existing, kondisi ini memperlihatkan adanya tren kenaikan

hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah permukaan dan aliran dasar.

Sementara itu, sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan memper-

lihatkan tren penurunan.

Gambar 3. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air di DAS Citanduy Hulu

Page 188: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

180 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hasil analisis pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa semakin besar debit dan

tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah permukaan dan aliran dasar yang

dihasilkan akan semakin besar. Sebaliknya, semakin besar debit yang dihasilkan dan

curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang dihasilkan semakin kecil.

Gambar 4. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS

Citanduy Hulu

2. Kontribusi Tutupan lahan Kebun Campuran Manglid terhadap Tata Air DAS

Citanduy Hulu

Dampak sumbangan debit tutupan lahan kebun campuran dominan manglid

(KC Manglid) terhadap sungai dibandingkan dengan tipe tutupan lahan dikelom-

pokkan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) perbandingan sumbangan debit tutupan

lahan KC manglid dengan beberapa tutupan lahan hutan, 2) perbandingan sum-

bangan debit tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran

yang lain, dan 3) perbandingan sumbangan debit tutupan lahan KC manglid dengan

Page 189: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 181

tutupan lahan areal penggunaan lain (sawah, pemukiman, pertanian lahan kering,

dan semak belukar).

Gambar 5. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan

beberapa tutupan lahan hutan terhadap sumbangan debit sungai

Gambar 5 memperlihatkan sumbangan debit beberapa tutupan lahan hutan

dibandingkan dengan tutupan lahan KC manglid terhadap debit sungai. Hasil ana-

lisis menunjukkan tutupan lahan hutan produksi (HP) memberikan hasil sumbangan

debit bulanan terbesar pada Sungai Citanduy dibandingkan dengan tutupan lahan

KC manglid dan tutupan lahan hutan yang lain (hutan produksi terbatas [HP

Terbatas], hutan lindung, dan hutan konservasi). Secara umum, tren sumbangan

debit pada KC manglid mempunyai kemiripan dengan HP Terbatas.

Hasil analisis menunjukkan sumbangan debit terhadap debit sungai. Untuk

perbandingan tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran

yang lain, tutupan lahan kebun campuran dominan sengon (KC sengon) menyum-

bangkan debit terbesar dibandingkan KC manglid dan kebun campuran tipe yang

lain. Gambar 6 menunjukkan tutupan lahan KC manglid memberikan sumbangan

Page 190: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

182 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

debit terbesar kedua terhadap debit sungai dibandingkan dengan tipe tutupan lahan

kebun campuran yang lain.

Gambar 6. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan

beberapa tutupan lahan kebun campuran terhadap sumbangan debit sungai

Gambar 7. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan

beberapa tipe tutupan lahan terhadap sumbangan debit sungai

Page 191: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 183

Berdasarkan Gambar 7, tutupan lahan KC manglid memberikan sumbangan

debit yang paling kecil terhadap debit sungai dibandingkan dengan tutupan lahan

tipe lain (sawah, pertanian lahan kering, dan pemukiman). Sumbangan debit

bulanan terbesar terhadap debit sungai berasal dari tutupan lahan sawah, pertanian

lahan kering, pemukiman, dan KC manglid). Sementara itu, tutupan lahan semak

belukar berkontribusi terhadap debit sungai yang paling sedikit.

Pengaruh tutupan lahan KC manglid terhadap kondisi hidrologi DAS

Citanduy dapat dilihat pada Gambar 8. Tutupan lahan KC manglid memper-

lihatkan bahwa semakin besar debit dan tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah

permukaan dan aliran dasar yang dihasilkan akan lebih besar. Sebaliknya, semakin

besar debit yang dihasilkan dan curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang

dihasilkan semakin kecil. Pengaruh tutupan lahan KC manglid memberikan hasil

yang positif terhadap debit sungai karena sumbangan debit pada tutupan lahan KC

manglid yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih berkorelasi positif

terhadap kenaikan debit dan hujan. Namun, apabila dibandingkan dengan aliran

permukaan, kenaikan curah hujan dan debit berkorelasi negatif.

Gambar 8. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS

Citanduy Hulu

Page 192: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

184 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Secara umum, Gambar 8 menunjukkan bahwa tutupan HP, sawah, dan KC

sengon berkontribusi positif terhadap debit sungai. Apabila dilihat dari trennya,

kenaikan debit sungai oleh hujan berkolerasi negatif terhadap aliran permukaan,

tetapi berkorelasi positif terhadap aliran lateral dan dasar. Tutupan lahan KC sengon

dan sawah perlu diwaspadai karena memberikan kontribusi aliran permukaan

semakin besar pada debit sungai dengan semakin tingginya debit. Selain itu,

sumbangan debit sungai yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar berkorelasi

positif terhadap kenaikan hujan dan debit, namun kenaikan lebih rendah diban-

dingkan dengan tipe penggunaan lain.

3. Komponen Hasil Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

Secara umum, kondisi neraca air tutupan lahan KC manglid terhadap sum-

bangan aliran DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rata-rata tahunan evapotranspirasi

sebesar 19%, aliran permukaan sebesar 42%, aliran bawah permukaan sebesar 3,5%,

dan aliran dasar sebesar 28,8% dengan total curah 2934,9 mm.

Hasil simulasi memperlihatkan bahwa tutupan lahan KC manglid menun-

jukkan adanya tren stabil untuk hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah

permukaan, aliran dasar dan aliran permukaan yang mana tidak terjadi kenaikan atau

penurunan (Gambar 9, 10, dan 11).

Berdasarkan Gambar 9, tren perubahan masing-masing komponen hasil air

oleh keberadaan KC manglid [dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan

hutan] memberikan sumbangan lebih besar yang berasal dari aliran permukaan,

tetapi sumbangan lebih kecil yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar terhadap

aliran sungai. Keberadaan tutupan lahan hutan lindung ternyata menunjukkan tren

penurunan sumbangan yang signifikan berasal dari aliran permukaan, tetapi sum-

bangan yang berasal dari aliran lateral dan dasar menunjukkan tren yang meningkat.

Page 193: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 185

Gambar 9. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun

campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan hutan

Perbandingan komponen penyumbang aliran sungai untuk tutupan lahan KC

manglid terhadap tutupan lahan kebun campuran lainnya dapat dilihat pada Gambar

10. Secara umum, keberadaan tutupan KC manglid menunjukkan tren sumbangan

yang berasal dari aliran permukaan aliran lateral dan aliran dasar tidak jauh berbeda

dengan tutupan lahan kebun campuran yang lain (KC sengon, KC pengelolaan baik,

KC pengelolaan sedang, dan KC pengelolaan jelek). Namun, semakin baik mana-

jemen pengelolaan kebun campuran [dilihat dari komposisi penanaman, komposisi

tegakan, dan penggunaan teknik konservasi tanah] akan menurunkan sumbangan

aliran sungai yang berasal dari aliran permukaan, tetapi meningkatkan sumbangan

yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar.

Page 194: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

186 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gambar 10. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun

campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan tipe lain

Tren perbandingan sumbangan masing-masing komponen untuk tutupan

lahan KC manglid dibandingkan dengan tutpan lahan lain (pertanian, pemukiman,

sawah, dan semak belukar) dapat dilihat pada Gambar 11. Tren sumbangan terha-

dap aliran sungai untuk KC manglid dan semak belukar hampir sama. Tutupan

lahan KC manglid memberikan tren sumbangan aliran sungai yang lebih rendah

berasal dari aliran permukaan, tetapi tren sumbangan aliran sungai yang lebih tinggi

berasal dari aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan tipe tutupan lahan

sawah, pemukiman, dan pertanian. Selain itu, hasil analisis menunjukkan tutupan

lahan pertanian menghasilkan tren sumbangan berasal dari aliran permukaan lebih

tinggi dan tren sumbangan berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih rendah

dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain.

Page 195: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 187

Gambar 11. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun

campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan kebun campuran tipe lain

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa keberadaan tutupan lahan KC

manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS Citanduy. Peningkatan hujan

dan debit berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan yang disumbangkan oleh

tutupan lahan KC manglid dan berkorelasi positif terhadap sumbangan yang berasal

dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan KC manglid mem-

punyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai dengan tutupan

lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.

Page 196: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Junaidi

188 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Daftar Pustaka

Andréassian, V. (2004). Waters and forests: from historical controversy to scientific

debate. Journal of hydrology, 291(1), 1-27.

Arnold, J., Allen, P., Volk, M., Williams, J., & Bosch, D. (2010). Assessment of

different representations of spatial variability on SWAT model performance.

Transactions of the ASABE, 53(5), 1433-1443.

Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: not seeing the

soil for the trees? Agriculture, ecosystems & environment, 104(1), 185-228.

Douglas-Mankin, K., Srinivasan, R., & Arnold, J. (2010). Soil and Water

Assessment Tool (SWAT) model: Current developments and applications.

Transactions of the ASABE, 53(5), 1423-1431.

Junaidi, E. (2013). Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran

sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 41-53.

Junaidi, E., & Maryani, R. (2013). Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi

pada suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan

Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel,

Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(2), 122-

239.

Kobold, M., Sušelj, K., Polajnar, J., & Pogačnik, N. (2008). Calibration techniques

used for HBV hydrological model in Savinja catchment. Paper presented at

the XXIVth CONFERENCE OF THE DANUBIAN COUNTRIES.

Menking, K., Syed, K., Anderson, R., Shafike, N., & Arnold, J. (2003). Model

estimates of runoff in the closed, semiarid Estancia basin, central New

Mexico, USA. Hydrological sciences journal, 48(6), 953-970.

Olivera, F., Valenzuela, M., Srinivasan, R., Choi, J., Cho, H., Koka, S., & Agrawal,

A. (2006). ARCGIS‐ SWAT: A geodata model and GIS interface for

SWAT1. JAWRA Journal of the American Water Resources Association,

42(2), 295-309.

Page 197: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 189

Omani, N., Tajrishy, M., & Abrishamchi, A. (2007). Modeling of a river basin

using SWAT model and GIS. Paper presented at the 2nd International

Conference on Managing Rivers in the 21st Century: Solutions Towards

Sustainable River Basins. Riverside Kuching, Sarawak, Malaysia.

Puspitojati, T., Junaidi, E., Sanudin, Ruhimat, I. S., Kuswantoro, D. P., Indrajaya,

Y., & Widiyanto, A. (2012). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas.

Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.

Santhi, C., Arnold, J. G., Williams, J. R., Dugas, W. A., Srinivasan, R., & Hauck,

L. M. (2001). validation of the swat model on a large RWER basin with

point and nonpoint sources1: Wiley Online Library.

Page 198: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 199: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

PENGOLAHAN HASIL KAYU MANGLID

BAB VI

Page 200: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 201: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a k y a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 193

Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid

M. Siarudin1 & Ary Widiyanto1

ABSTRAK

Sifat fisik dan pemesinan kayu merupakan informasi yang penting sebagai dasar pemanfaatan

kayu. Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Sampel

kayu diambil dari hutan rakyat di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa

Barat. Pembuatan contoh uji dan pengujian sifat fisik mengacu pada British Standard (BS)

Nomor 373, sedangkan sifat pemesinan mengacu pada prosedur ASTM D1666-64. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kayu manglid memiliki kadar air segar rata-rata 168,77%,

kadar air kering udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume

kering udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat

perubahan dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal

1,51%, penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio

penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial

memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian menurun

pada bagian ujung. Sementara, pola sebaran kadar air segarnya pada arah radial menurun

secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit. Berat jenis kayu manglid pada arah

aksial memiliki pola sebaran menurun dari bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat

pada bagian ujung batang. Pola sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara

konsisten dari bagian dekat empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah

aksial dan radial bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering

udara dan perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan

yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki

mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran, dan pembubutan.

Kata kunci: sifat fisik, sifat pemesinan, aksial, radial, manglid

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 202: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

194 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Jenis manglid termasuk jenis yang banyak dibudidayakan pada lahan-lahan

milik petani di daerah Jawa Barat. Jenis ini sangat disukai di Jawa Barat dan Bali

karena kayunya mengkilat dan strukturnya padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu

gubalnya tipis dan berwarna putih, kayu teras yang masih segar berwarna cokelat

dengan sedikit warna hijau yang tampak jelas; setelah kering angin warna bervariasi

antara cokelat muda hingga kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007).

Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III–IV dan keawetannya termasuk kelas

II (Seng, 1990). Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan

(berat jenis 0,41) sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku

pembuatan jembatan, perkakas rumah, barang-barang hiasan, serta patung dan

ukiran yang banyak ditemukan di daerah Bali (Sosef et al., 1998). Kegunaan kayu

Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), bangunan

rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood, serta diharapkan dapat

dijadikan bahan baku pulp. Di Jawa Barat, Manglid dikembangkan melalui

agroforestri pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam

pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sekitar hutan (Rimpala, 2001).

Meskipun manglid sudah menjadi salah satu komoditas andalan di Jawa Barat

bagian timur, sesungguhnya jenis ini belum dikenal sebagai jenis komersial secara

luas. Sosef et al. (1998) mengelompokkan manglid ke dalam jenis kurang dikenal

(lesser known timber) yang mana informasi mengenai sifat-sifat dasar kayunya

masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik

dan sifat pemesinan kayu manglid yang berasal dari hutan rakyat di Kabupaten

Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

dasar untuk pengembangan pemanfaatan kayu manglid sesuai dengan karakteristik

fisik dan pemesinannya.

Page 203: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 195

II. Metodologi

A. Lokasi Penelitian

Sampel pohon manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir,

Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pembuatan sampel uji

dan pengujian sifat fisik dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Agroforestry, Ciamis. Sementara itu, pembuatan sampel

uji dan pengujian sifat pemesinan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga batang pohon manglid

yang berumur 10–15 tahun. Ketiga sampel pohon tersebut memiliki rata-rata tinggi

total 28 m, diameter setinggi dada 37,7 cm, tinggi bebas cabang 12,9 m, dan

diameter pada ketinggain bebas cadang 28 cm. Peralatan yang digunakan dalam

penelitian ini, antara lain gergaji rantai (chain saw), gergaji circle, timbangan

analitik, oven, sigmad, dan unit peralatan pengujian sifat pemesinan kayu.

C. Prosedur Kerja

Sampel pohon manglid diambil bagian batang bebas cabang pada tiga kedu-

dukan aksial (pangkal, tengah dan ujung). Bagian-bagian tersebut dipotong secara

melintang berbentuk piringan setebal 3 cm untuk bahan contoh uji kerapatan dan

kadar air, dan piringan setebal 5 cm untuk bahan contoh uji perubahan dimensi

kayu. Pada setiap piringan diambil tiga bagian arah radial, yaitu dekat hati, tengah,

dan dekat kulit. Gambar skema pengambilan sampel kayu manglid disajikan pada

Gambar 1.

Parameter sifat fisika kayu yang diukur dalam penelitian ini adalah kerapatan

kayu, kadar air segar, kadar air kering udara, dan perubahan dimensi kayu. Peru-

bahan dimensi kayu terdiri atas penyusutan tangensial, penyusutan radial, penyu-

sutan longitudinal, serta rasio penyusutan tangensial dan radial (T/R). Standar

(Bottom)

Page 204: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

196 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pembuatan ukuran dan pengujian contoh uji dalam penelitian ini menggunakan

British Standard (BS) Nomor 373 (Anonim, 1957).

Uji pemesinan dilakukan dengan menggunakan papan manglid berukuran 125

cm x 12 cm x 2 cm sejumlah 15 lembar. Kondisi papan yang digunakan sebagai

contoh uji tersebut dalam keadaan kering udara dan dipilih yang bebas cacat, baik

cacat alami, cacat fisik, maupun cacat biologis. Parameter sifat pemesinan yang diuji

adalah penyerutan (planing), pembentukan (moulding), pemboran (boring), dan

pembubutan (turning). Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM D1666-64

yang dimodifikasi menurut Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Sementara itu,

klasifikasi kelas mutu sifat pemesinan mengacu kepada Rahman dan Malik (2008).

III. Hasil dan Pembahasan

A. Sifat Fisik

Karakteristik sifat fisik kayu manglid secara umum tidak berbeda dengan jenis

tanaman cepat tumbuh lainnya (Tabel 1). Hasil pengukuran di laboratorium menun-

jukkan bahwa kadar air segar rata-rata kayu manglid adalah 168,77% atau dengan

kata lain, berat air dalam kayu manglid sesaat setelah penebangan lebih besar

daripada berat kayunya sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen dan

Bowyer (1996) bahwa berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar

daripada berat bahan kayu kering. Besarnya nilai kadar air segar tersebut merupakan

informasi penting karena berkaitan langsung dengan berat kayu gelondong sehingga

dapat dijadikan pertimbangan dalam merancang pemanenan dan pengangkutan

dolok manglid.

Rentang kadar air segar kayu manglid terendah dan tertinggi tersebut cukup

besar. Pohon manglid memiliki kisaran kadar air segar sekitar 62,65–273,77%. Jika

diperhatikan, kadar air terendah didapat pada contoh uji bagian ujung dekat kulit,

sedangkan kadar air segar tertinggi pada contoh uji bagian tengah dekat hati. Hal ini

berbeda dengan pendapat Haygreen dan Bowyer (1996) bahwa kadar air pada

bagian dekat kulit pada umumnya lebih besar daripada bagian tengah. Variasi

Page 205: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 197

kandungan air segar pada manglid diduga berkaitan dengan variasi kerapatan

kayunya (Gambar 1 dan Gambar 2).

Tabel 1. Karakteristik sifat fisik kayu manglid

Sifat fisik Nilai rata-

rata Nilai kisaran

Kadar air segar (%) 168,77 62,65–273,77

Kadar air kering udara (%) 14,63 13,57–17,03

BJ segar 0,35 0,29–0,42

BJ KU 0,36 0,30–0,45

BJ KT 0,38 0,30–0,47

Penyusutan longitudinal (%) 1,51 0,22–3,40

Penyusutan radial (%) 4,08 2,38–9,29

Penyusutan tangensial (%) 5,84 1,82–9,43

T/R (%) 1,54 0,56–2,91

Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ

KT=berat jenis pada volume kering tanur; T/R=rasio penyusutan tangensial dengan radial

Kadar air kering udara rata-rata adalah 14,63% dengan kisaran 13,57–17,03%.

Dengan demikian, terjadi penurunan sebesar 154,14% kadar air sejak penebangan

hingga mencapai kadar air seimbang. Sementara itu, berat jenis kering udara rata-

rata adalah 0,36 dengan kisaran 0,30–0,45. Nilai berat jenis tersebut sedikit lebih

rendah daripada berat jenis manglid menurut Seng (1990), yaitu rata-rata 0,41

dengan kisaran 0,32–0,58.

Penyusutan total pada arah longitudinal rata-rata 1,51% dengan kisaran 0,22–

3,40%. Penyusutan pada arah radial rata-rata 4,08% dengan kisaran 2,38–9,29%,

sedangkan penyusutan tangensial rata-rata 5,84% dengan kisaran 1,82–9,43%. Rasio

T/R rata-rata 1,54 dengan kisaran 0,56–2,91.

B. Variasi Sifat Fisik Kayu Manglid pada Arah Aksial dan Radial

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar air segar dan berat jenis

berbeda sangat nyata (taraf kepercayaan 99%) pada arah aksial ataupun radial,

Page 206: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

198 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

sedangkan nilai penyusutan dan rasio T/R kadar air kering udara relatif seragam.

Sementara itu, interaksi arah aksial dan arah radial tidak menunjukkan perbedaan

sifat-sifat fisik yang nyata. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) (Tabel

2), nilai kadar air segar pada arah aksial berbeda nyata antara bagian ujung batang

dengan bagian pangkal dan tengah, sedangkan bagian pangkal dan tengah relatif

seragam. Sementara itu; pada arah radial, perbedaan nyata kadar air segar terjadi

antara semua bagian, baik dekat kulit, tengah, maupun dekat hati.

Tabel 2. Hasil uji BNT kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial

Keterangan: BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-masing arah yang diikuti oleh

huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%

Tabel 3. Hasil uji BNT berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial

Arah

BJ segar BJ KU BJ KT

Rata-rata BNT0,05

Rata-

rata BNT0,05 Rata-rata BNT0,05

Aksial

Tengah 0,3200 A 0,3356 A 0,3500 A

Pangkal 0,3511 B 0,3700 B 0,3889 B

Ujung 0,3722 B 0,3867 B 0,4089 B

Radial

Hati 0,3289 A 0,3422 A 0,3567 A

Tengah 0,3444 AB 0,3578 A 0,3756 A

Kulit 0,3700 B 0,3922 B 0,4156 B

Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ

KT=berat jenis pada volume kering tanur; BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-

masing arah yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%

Arah Rata-rata (%) BNT0,05

Aksial

Ujung 139,7589 A

Pangkal 175,9644 B

Tengah 190,5844 B

Radial

Ujung 90,0733 A

Pangkal 184,5144 B

Tengah 231,7200 C

Page 207: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 199

175.9

6

190.5

9

147.6

7

-

50

100

150

200

250

P T U

Kad

ar A

ir S

eg

ar

(%)

(Fre

sh

mo

istu

re c

on

ten

t)

Arah Aksial (Axial )

231.7

2

184.5

2

90.0

7

-

50

100

150

200

250

300

H T S

Kad

ar A

ir S

eg

ar

(%)

(Fre

sh

mo

istu

re c

on

ten

t)

Arah Radial (Radial)

0.3

4 0.3

6

0.3

9

0.30

0.32

0.34

0.36

0.38

0.40

0.42

H T S

Bera

t Jen

is (

Sp

ecif

ic g

ravit

y)

Arah Radial (Radial)

0.3

7

0.3

4

0.3

8

0.30

0.32

0.34

0.36

0.38

0.40

P T U

Bera

t Jen

is (

Sp

ecif

ic g

ravit

y)

Arah Aksial (Axial)

Hasil uji BNT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa berat jenis manglid pada

arah aksial berbeda antara bagian tengah dengan bagian pangkal dan ujung,

sedangkan bagian pangkal dengan ujung relatif seragam. Sementara itu; pada bagian

radial, berat jenis manglid pada bagian dekat kulit berbeda nyata dengan bagian

dekat hati dan tengah.

Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit

Gambar 1. Variasi kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial

Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit

Gambar 2. Variasi berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial

Kadar air segar kayu manglid yang tertinggi pada arah aksial adalah pada

bagian tengah, kemudian lebih rendah berturut-turut pada bagian pangkal dan

ujung. Meskipun demikian; sebagaimana hasil uji lanjut pada Tabel 2, bagian

P Ta U P Tr U

P Ta U P Tr U

Page 208: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

200 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pangkal dan tengah relatif seragam. Kadar air segar kayu manglid pada arah radial

terdapat kecenderungan menurun secara teratur dari arah empulur/hati ke arah kulit/

sisi. Kadar air segar pada bagian dekat hati mencapai 231,72%, sedangkan pada

bagan tengah dan dekat kulit berturut-turut 184,52% dan 90,07% (Gambar 1).

Gambar 2 memperlihatkan pola sebaran berat jenis kayu manglid pada arah

aksial, yaitu bagian tengah memiliki berat jenis paling rendah dibandingkan dengan

bagian pangkal dan ujung; sedangkan berdasarkan uji BNT (Tabel 3), berat jenis

bagian pangkal dan ujung relatif seragam. Tingginya berat jenis pada bagian pangkal

sesuai dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1996) bahwa kebanyakan kayu

bulat pada bagian pangkal memiliki berat jenis yang lebih tinggi daripada bagian

batang di atasnya. Sementara itu, tingginya berat jenis pada bagian ujung yang

ditemukan pada penelitian ini belum dapat dipastikan penyebabnya. Salah satu

kemungkinannya adalah banyaknya bekas percabangan yang ada di sekitar tajuk

yang sudah mengalami kerontokan alami. Bekas-bekas cabang ini diduga banyak

mengandung lignin yang menambah berat jenis kayunya. Namun demikian,

penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan fenomena ini.

Sebaran berat jenis kayu manglid pada arah radial memiliki kecenderungn

meningkat dari arah hati ke arah kulit (Gambar 2). Berat jenis kayu manglid rata-

rata pada bagian dekat hati hanya 0,34, sedangkan pada bagian tengah dan bagian

dekat kulit berturut-turut 0,36 dan 0,39. Rendahnya berat jenis pada bagian dekat

hati dapat dijelaskan dengan adanya fenomena kayu juvenil. Haygreen dan Bowyer

(1996) dan Panshin dan Zeeuw (1980) mengemukakan bahwa sebagian besar sel-sel

kayu berdinding tipis sehingga akan menghasilkan kerapatan yang rendah.

Nilai kadar air segar dan berat jenis kayu manglid memiliki pola sebaran yang

saling berlawanan, baik pada arah aksial maupun radial (Gambar 1 dan Gambar 2).

Kecenderungan yang berlawanan antara kadar air segar dan berat jenis ini diduga

berkaitan dengan sifat porositas kayu yang mana pori-pori yang besar pada bagian

kayu dengan kerapatan rendah menyebabkan air bebas yang tinggi. Menurut

Panshin dan de Zeew (1980), air dalam kayu terletak di dalam dinding sel sebagai

air terikat dan air di dalam rongga sel sebagai air bebas. Rendahnya berat jenis pada

bagian dekat hati memungkinkan banyaknya air bebas pada rongga sel.

Page 209: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 201

C. Sifat Pemesinan

Tabel 4 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang

berasal dari dolok diameter. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu

manglid dari dolok manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik hingga

sangat baik, atau kelas mutu I hingga II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan

pengampelasan yang sangat baik atau kelas mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa

dolok manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang memerlukan tampilan

permukaan yang indah, seperti mebel dan kerajinan. Sementara itu, sifat

pembentukan yang baik memungkinkan dolok manglid diameter kecil untuk diman-

faatkan sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan

terbatas, seperti profil dan papan sambung. Papan manglid dapat dijadikan papan

sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang memerlukan sifat

pembentukan yang baik.

Tabel 4. Sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil

Jenis cacat Sifat pemesinan (%)

Penyerutan Pembentukan Pengampelasan Pemboran Pembubutan

Serat berbulu 11 23,33 7,33 11 25

Serat patah 0 - - - 14

Serat terangkat 0 0 - - -

Tanda serpih 7 0 - - -

Bekas garukan - - 6,33 - -

Penghancuran - - - 27 -

Kelicinan - - - 0 -

Penyobekan - - - 0 -

Kekasaran - - - - 0

Total cacat (%) 18 23,33 13,66 38 39

Bebas cacat (%) 82 76,67 86,34 62 61

Kelas mutu I II I II II

Mutu pemesinan Sangat baik Baik Sangat baik Baik Baik

Page 210: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

202 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Sifat pemboran yang baik memungkinkan aplikasi pemboran papan manglid,

seperti penyambungan dengan pasak atau dowel. Sementara itu, sifat pembubutan

yang baik memungkinkan pemanfaatan manglid untuk pembuatan kerajinan dengan

aplikasi pembubutan.

Meskipun demikian, Tabel 5 memperlihatkan pula bahwa cacat terbanyak (39

buah) atau bebas cacat terkecil (61%) terdapat pada proses pembubutan. Hal ini

terjadi dengan ditemukannya banyak serat berbulu dan serat tegak yang dimung-

kinkan terjadi akibat proses penggergajian yang tidak sejajar arah serat. Davis (1962)

dalam Asdar (2010) mengemukakan cara mencegah dan mengatasi permasalahan

cacat kayu yang terjadi selama proses pemesinan dengan penggunaan pisau yang

tajam, kadar air di bawah 12%, dan grinding bevel 30–40. Cacat serat patah dapat

dicegah dengan menambah jumlah keratan per inci (knife cuts per inch) dan untuk

menghilangkannya diperlukan pengampelasan yang lebih banyak dibandingkan

untuk menghilangkan serat terangkat dan serat berbulu. Untuk menghindari tanda

garukan selama proses pengampelasan, jenis ampelas yang digunakan harus

disesuaikan dengan tekstur kayu. Semakin halus teksturnya, semakin halus pula

ampelas yang harus digunakan. Menurut Szymani (1989) dalam Asdar (2010), serat

patah pada kayu yang seratnya bergelombang atau berpadu dapat diatasi dengan

mengurangi sudut kerat pisau menjadi 15 atau bahkan 10.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Kayu manglid memiliki kadar air segar rata-rata 168,77%, kadar air kering

udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering

udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat peru-

bahan dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal

1,51%, penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio

penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial

memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian

Page 211: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 203

menurun pada bagian ujung. Sementara itu, pola sebaran kadar air segar pada arah

radial menurun secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit.

Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran menurun dari

bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang. Pola

sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat

empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial

bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan

perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan

yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta

memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,

dan pembubutan.

B. Saran

1. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinannya, kayu manglid dapat dimanfaatkan

sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan konstruksi ringan, seperti

mebel dan produk kerajinan.

2. Perlakuan pengeringan diperlukan untuk mempercepat kayu mencapai kadar air

yang diinginkan, dengan memperhatikan cacat pengeringan yang timbul

(melengkung, memuntir, membusur, dan lain-lain).

Daftar Pustaka

Abdurachman, A. J., & Karnasudirdja, S. (1982). Sifat permesinan kayu-kayu

Indonesia Laporan No 160. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan.

Anonim. (1957). Standard methods of testing small clear specimens of timber. In L.

N. British Standard House (Ed.), British Standar Institution. Decorporated

by Royal Charter. .

Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-

Jenis Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Page 212: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin & A. Widiyanto

204 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Asdar, M. (2010). Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr. Juss.) MJ

Roemer) dan kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Penelitian Hasil

Hutan, 28(1), 18-28.

Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an

introduction.

Panshin, A. J., & Zeeuw, C. d. (1980). Textbook of wood technology: McGraw-

Hill Book Co.

Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri

perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for

practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East

Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.

Page 213: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 205

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid

(Magnolia champaca)

M. Siarudin1

ABSTRAK

Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis yang banyak dikembangkan di hutan rakyat

Jawa Barat, namun informasi mengenai pengolahan pascapanen jenis ini masih terbatas.

Penelitian ini bertujuan mengukur karakteristik dolok dan hasil penggergajian kayu manglid.

Bahan yang digunakan adalah 34 dolok manglid yang berasal dari hutan rakyat di Desa

Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan rentang diameter 19,25–40,5 cm.

Karakteristik bentuk dolok yang diamati adalah kebundaran, keruncingan, dan keleng-

kungan. Pola penggergajian yang diterapkan adalah dengan pola satu sisi dan pola semi-

perempatan (17 dolok untuk masing-masing pola penggergajian). Hasil penelitian menun-

jukkan bahwa dolok manglid dengan rata-rata diameter 29 cm memiliki nilai kebundaran

92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Hasil penggergajian kayu

manglid menunjukkan nilai rendemen, efisiensi menggergaji, produktivitas, dan rata-rata

lebar papan pada pola satu sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, dan 17,75 cm;

sedangkan nilai pada pola semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%, 0,53 m3/jam, dan

7,94 cm. Hasil uji-t menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian

semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam, namun berbeda sangat nyata

pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang dihasilkan. Pola pengger-

gajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang

lebih lebar dibandingkan denga pola semiperempatan.

Kata kunci: pola penggergajian, pola satu sisi, pola semiperempatan, dolok, manglid

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 214: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

206 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon yang saat

ini banyak dikembangkan pada hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini relatif cepat

tumbuh dan dapat mencapai tinggi maksimum 40 m, serta batang bebas cabang 25

m dengan garis tengah mencapai 150 cm (Rimpala, 2001). Manglid umumnya

berbatang lurus dan silindris tanpa banir, serta lingkaran tahunnya tampak jelas.

Manglid tumbuh baik pada ketinggian 900 m dpl hingga 1.700 m dpl dalam hutan

campuran yang lembab, yaitu pada tanah yang subur dan selalu lembab. Berdasarkan

beberapa laporan eksplorasi, tanaman manglid tersebar pada ketinggian 1.000–2.200

m dpl. Saat ini, manglid dikembangkan melalui agroforestri pada progam social

forestry dan dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala,

2001). Menurut Djam'an (2006), manglid di Jawa Barat sudah banyak dibudidaya-

kan dengan masa penebangan setiap 35 tahun dan memberikan hasil 12,1 m³/ha.

Jenis manglid sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena selain kayunya

mengkilat; strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu gubalnya tipis dan

berwarna putih; kayu teras yang masih segar berwarna cokelat dengan sedikit warna

hijau yang tampak jelas, setelah kering angin warnanya bervariasi antara cokelat

muda dan kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007). Kekuatan kayunya

digolongkan dalam kelas III–IV dan keawetannya termasuk kelas II (Seng, 1990).

Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan (berat jenis 0,41)

sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,

perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran (Sosef et al., 1998).

Kegunaan kayu Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi,

lemari), bangunan rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood. Untuk

tujuan kegunaan tersebut, hampir semua dolok manglid digergaji menjadi kayu

gergajian.

Proses penggergajian pada dasarnya terdapat dua macam/pola, yaitu pola satu

sisi (life sawing) dan pola semiperempatan (semi-quarter sawing). Pola satu sisi

ditandai oleh irisan gergaji menyinggung lingkaran tahun setiap kali mengiris kayu,

sedangkan pola perempatan tegak lurus atau hampir tegak lurus. Pada kayu yang

Page 215: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 207

memiliki lingkaran tahun yang tampak jelas, pola perempatan menampilkan orien-

tasi seratan yang indah (fancy) pada permukaan kayu (Rachman & Balfas, 1989).

Pemanfaatan manglid untuk memenuhi kebutuhan kayu perlu didukung

hasil-hasil penelitian sehingga dapat lebih optimal. Penelitian ini bertujuan menge-

tahui karakteristik penggergajian manglid pada pola penggergajian satu sisi dan pola

semiperempatan.

II. Metodologi

A. Bahan dan Peralatan

Penelitian dilakukan pada industri penggergajian kayu rakyat di Desa Karang-

kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 34 dolok kayu manglid yang diperoleh dari

hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya,

Jawa Barat. Diameter dolok bervariasi dari 19,25 cm hingga 40,5 cm dengan

panjang ±2 m.

Peralatan yang digunakan adalah mesin gergaji ban (band saw), alat ukur

waktu (stop watch), meteran, dan lain-lain. Spesifikasi mesin gergaji yang digunakan

adalah merk Dong Fang® model MJ-339 H dengan diameter pulley 36”. Sementara

itu, spesifikasi bilah gergaji yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Lebar bilah : 70 mm

- Tebal bilah : 1,4 mm

- Jarak gigi gergaji : 32 mm

- Tinggi gigi gergaji : 7,5 mm

- Tebal titik baja : 2,6 mm

Page 216: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

208 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Prosedur Kerja

Dolok manglid dikelompokkan ke dalam dua kelompok dengan mempertim-

bangkan keragaman diameter pada masing-masing kelompok. Kelompok pertama

sejumlah 17 dolok dibelah dengan pola satu sisi, sedangkan kelompok kedua dengan

jumlah yang sama dibelah dengan pola semiperempatan (Gambar 1). Proses

pembelahan, perataan sisi, dan pemotongan ujung hingga diperoleh papan persegi

dengan ketebalan seragam (3 cm) untuk kedua kelompok dolok dilakukan dengan

menggunakan mesin gergaji pita dan operator yang sama. Pengamatan dan

pengukuran dilakukan sebelum, selama, dan sesudah proses pembelahan dolok.

a b

Gambar 1. Pola penggergajian: pola satu sisi (a) dan pola semiperempatan (b)

Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengukuran dimensi dolok

Dimensi dolok diukur sebelum proses pembelahan dilakukan. Parameter-

parameter yang diukur adalah diameter pangkal dan diameter ujung, panjang dolok,

keruncingan, kebundaran, dan kesilindrisan.

2. Pengukuran Waktu Efektif dan Waktu Total

Waktu efektif diukur pada saat proses pembelahan dan perataan sisi/ujung,

yaitu setiap kali saat bilah gergaji menempel kayu hingga saat bilah lepas dari kayu.

Waktu total diukur pada setiap dolok, yaitu mulai saat dolok berada di atas meja

penggergajian hingga pembelahan dan perataan pingir/ujung selesai dilakukan.

Page 217: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 209

3. Pengukuran Dimensi Papan

Papan gergajian yang dihasilkan diukur lebar, panjang, tebal (seragam 3 cm),

kemudian ditentukan volumenya.

4. Pengamatan Distribusi Lebar Papan

Pengamatan distribusi lebar papan dilakukan dengan mengelompokkan lebar

papan ke dalam beberapa kelas lebar, yaitu 3–5 cm, 6–10 cm, 11–15 cm, 16–20 cm,

21–25 cm, 26–30 cm, 31–35 cm, dan >35 cm. Masing-masing kelas lebar papan

tersebut dihitung jumlah papannya.

C. Pengolahan Data

Data hasil pengukuran diolah mejadi beberapa variabel dengan rumus sebagai

berikut:

1. Volume Dolok

PDV 2..4/1dolok

Keterangan: V dolok=volume dolok (m3); D=diameter dolok; П=3,14; P=panjang dolok (m)

2. Angka Bentuk Dolok

Rumus kebundaran:

100211

d

dK atau 100

432

d

dK (dipilih nilai terkecil)

Keterangan: K1=kebundaran bontos pangkal (%); K2=kebundaran bontos ujung (%); d1=diameter

bontos pangkal terpendek (cm); d2=diameter bontos pangkal tegak lurus d1 (cm); d3=diameter

bontos ujung terpendek (cm); d4=diameter bontos ujung tegak lurus d3 (cm)

Rumus keruncingan (taper):

P

dudpT

Keterangan: T=keruncingan (cm/m); dp=diameter bontos pangkal (cm)=(d1+d2)/2; du=diameter

bontos ujung (cm)=(d3+d4)/2; P=panjang dolok (m)

Page 218: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

210 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Rumus kelengkungan:

100D

yL

Keterangan: L=kelengkungan (%); y=jarak penyimpangan lengkung log (cm); D=rata-rata diame-

ter dolok (cm)=(d1+d2+d3+d4)/4

3. Rendemen

100dolokpapan

V

VR

Keterangan: R=rendemen (%); V papan=volume papan (m3); V dolok=volume dolok (m3)

4. Efisiensi Menggergaji

100total

W

WeE

Keterangan: E=efisiensi menggergaji (%); We=waktu efektif (jam); Wtotal=waktu total (jam)

5. Produktivitas

totalpapan

W

VP

Keterangan: P=produktivitas (m3/jam); V papan=volume papan (m3); W total=waktu total (jam)

6. Distribusi Lebar Papan

Jumlah papan pada setiap kelas lebar papan dihitung persentasenya, kemudian

dibandingkan dengan total papan yang dihasilkan masing-masing pola pengger-

gajian. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.

Data-data yang telah diolah dianalisis dengan uji-t dua sampel independen

(Independent-Samples t-Test) untuk mengetahui perbedaan antara kedua pola

penggergajian. Sampel dolok yang digunakan untuk kedua pola penggergajian

diasumsikan memiliki keragaman yang seimbang atau homogen sehingga dilakukan

uji Levene terlebih dahulu untuk keseimbangan keragaman (Levene’s Test for

Equality of Variances). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software

SPSS 13.

Page 219: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 211

III. Hasil dan Pembahasan

A. Dimensi, Angka Bentuk, dan Rendemen

Dimensi dan angka bentuk dolok merupakan salah satu faktor yang menentu-

kan rendemen penggergajian. Tabel 1 menunjukkan rata-rata diameter dolok

manglid sebesar 29,26 cm dengan volume rata-rata 0,14 m3/dolok, kelengkungan

6,72%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kebundaran 92,18%.

Nilai kelengkungan dolok manglid memiliki kisaran yang cukup tinggi, yaitu

1,34–23,93% (rata-rata 6,72%). Namun demikian, nilai kelengkungan dolok

manglid umumnya relatif rendah <10% dan hanya ada dua dolok dengan nilai

kelengkungan >20% karena kondisi spesifik pada individu pohon sampel yang

diambil.

Tabel 1. Dimensi dolok dan angka bentuk dolok kayu manglid penggergajian pola satu sisi

No. Parameter Satuan Penggergajian pola satu sisi

Rata-rata Kisaran

1. Diameter batang cm 29,26 19,25–40,50

2. Volume dolok m3 0,14 0,06–0,27

3. Kebundaran % 92,18 62,07–100,00

4. Keruncingan cm/m 1,06 0,00–3,25

5. Kelengkungan % 6,72 1,34–23,93

Nilai keruncingan dolok manglid berkisar 0–3,25 cm/m. Dolok dengan nilai

keruncingan rendah (bahkan berbentuk silindris atau keruncingan 0 cm/m) pada

umumnya didapat pada batang bagian bawah atau sekitar pangkal, sedangkan bagian

ujung relatif lebih runcing. Nilai kebundaran rata-rata 92,18% menunjukkan bahwa

dolok manglid cukup bundar mendekati 100%. Meskipun terdapat satu batang

dengan kebundaran <70%, hampir seluruh dolok yang ada memiliki kebundaran

>80%, bahkan beberapa di antaranya mencapai 100%.

Page 220: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

212 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Rendemen

Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen pada pola penggergajian satu sisi

menghasilkan rendemen berkisar antara 49,60–73,11 % dengan rata-rata 62,69%.

Rendemen pada pola penggergajian semiperempatan berkisar antara 51,71–71,33%

dengan rata-rata 63,50% dan berbeda nyata secara statistik. Hal ini serupa dengan

hasil penelitian Rahman dan Balfas (1989) yang menyimpulkan bahwa rendemen

penggergajian pada rasamala (Altingia excelsa Noronha) relatif tinggi, yaitu sekitar

62%.

Tabel 2. Rendemen dua pola penggergajian

Pola penggergajian Rendemen (%)

Minimum Maksimum Rata-rata

Penggergajian satu sisi 49,60 73,11 62,69

Penggergajian semiperempatan 51,71 71,33 63,46

Perhitungan volume dolok total sejumlah 2,46 m3 pada pola satu sisi mengha-

silkan volume papan sebanyak 1,57 m3, sedangkan pola semiperempatan menghasil-

kan volume papan sebanyak 1,46 m3 dari total dolok 2,29 m3. Volume papan rata-

rata per dolok pada kedua pola penggergajian tersebut sama, yaitu 0,09 m3/dolok.

C. Efisiensi Menggergaji

Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi menggergaji pada pola satu sisi lebih

besar daripada pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik. Pada

pola penggergajian satu sisi, waktu total rata-rata proses pembelahan adalah 6,15

menit/dolok dengan waktu efektif gergaji membelah sebesar 47,82% atau 2,88

menit. Sementara itu, pada pola semiperempatan, dari total waktu rata-rata 9,67

menit per dolok hanya 4,02 menit waktu efektifnya atau 41,25%. Rendahnya

efisiensi pada pola semiperempatan disebabkan pola ini membutuhkan penempatan

dolok yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan pola satu sisi pada saat proses

pembelahan.

Page 221: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 213

Tabel 3. Efisiensi menggergaji pada dua pola penggergajian

Pola penggergajian Nilai rata-rata per dolok

We (menit) Wtotal (menit) E (%)

Penggergajian satu sisi 2,88 6,15 47,82

Penggergajian semiperempatan 4,02 9,67 41,25

Keterangan: We=waktu efektif; W total=waktu total; E=efisiensi menggergaji

Waktu efektif dan waktu total pada pola semiperempatan tampak lebih tinggi

dibandingkan dengan pola satu sisi. Hal ini menunjukkan bahwa selain penempatan

log untuk pembelahan pada pola semiperempatan lebih rumit, pola ini juga

membutuhkan lebih banyak lintasan pembelahan (Gambar 1). Hal ini dapat

dijelaskan bahwa meskipun rendemen kedua pola tersebut relatif seragam, pola

semiperempatan membutuhkan waktu yang lebih besar sehingga efesiensinya lebih

rendah dari pola satu sisi. Sebagaimana dikemukakan Rahman dan Malik (2008),

pola semiperempatan memerlukan waktu lebih banyak selama produksi untuk

mendapatkan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat, namun papan yang

dihasilkan lebih stabil dan penampilan yang lebih cantik.

D. Produktivitas

Tabel 4 menunjukkan bahwa produktivitas pola satu sisi lebih tinggi diban-

dingkan dengan pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.

Produktivitas pola semiperempatan hanya 0,53 m3/jam, sedangkan pola satu sisi

mencapai 0,92 m3/jam atau 0,39 m3/jam lebih tinggi daripada pola semiperempatan.

Produktivitas penggergajian manglid yang cukup tinggi pada pola satu sisi serupa

dengan hasil penelitian Rachman dan Balfas (1993) dalam Sutigno et al. (2000)

pada jenis mangium (Acacia mangium Willd) yang menunjukkan bahwa rata-rata

produktivitas penggergajian pada jenis tersebut dapat mencapai 0,906 m3/jam.

Page 222: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

214 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 4. Produktivitas pada dua pola penggergajian

Pola penggergajian Produktivitas (m3/jam)

Minimum Maksimum Rata-rata

Penggergajian satu sisi 0,62 1,23 0,92

Penggergajian semi perempatan 0,46 0,68 0,53

E. Distribusi Lebar Papan

Hasil pengukuran lebar papan menunjukkan bahwa pola penggergajian satu

sisi menghasilkan papan dengan kisaran lebar 6–33,5 cm atau rata-rata 17,75 cm.

Pola penggergajian semiperempatan menghasilkan papan dengan kisaran lebar 3–22

cm atau rata-rata 7,94 cm. Dengan demikian, hasil ini dapat diketahui bahwa pola

penggergajian satu sisi menghasilkan papan yang lebih lebar daripada pola semi-

perempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.

Gambar 2. Distribusi lebar papan pada dua pola penggergajian

Pada Gambar 2 dapat diamati bahwa sebaran lebar papan pada pola peng-

gergajian satu sisi tertinggi pada lebar 16–20 cm (27%) dan tidak terdapat lebar

papan <6 cm. Pada pola ini, terdapat papan pada kelas lebar 21–25 dan 26–30 cm

sebanyak masing-masing 15% dari total papan. Sementara itu, sebaran lebar papan

pola semiperempatan tertinggi pada lebar 6–10 cm dengan jumlah mencapai 160

papan atau 52% dan tidak terdapat papan dengan lebar >20 cm. Jumlah lebar papan

0

17

2427

15 15

1 0

29

52

15

4

0 0 0 00

10

20

30

40

50

60

3-5 6-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 >35

lebar papan (cm)

pers

en

tase (

%)

pola satu sisi pola semi perempatan

Page 223: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 215

dengan lebar 3–5 cm pada pola ini bahkan cukup tinggi, yaitu mencapai 89 papan

atau 29%, sedangkan pada pola satu sisi tidak didapat lebar papan pada kelas ini.

Dengan kata lain, pola satu sisi memiliki kecenderungan menghasilkan papan yang

lebih lebar dibandingkan dengan pola semiperempatan. Hal ini seperti hasil

penelitian (Rahman, 1991) pada jenis sengon (Paraserianthes falcataria) bahwa pola

satu sisi menghasilkan papan lebih lebar, yaitu 61% papan dengan lebar 15–17,5 cm,

sedangkan pola semiperempatan menghasilkan 42% papan dengan lebar 10–12,5

cm.

Papan yang dihasilkan dari pola satu sisi berjumlah 149 papan, sedangkan

pola semiperempatan menghasilkan 310 papan atau 108% lebih banyak dari jumlah

papan pada pola satu sisi. Perbedaan jumlah yang cukup menyolok tersebut mem-

perlihatkan kecenderungan lebar yang berbeda sangat nyata, mengingat rendemen

kedua pola penggergajian tersebut relatif seragam secara statistik.

IV. Kesimpulan

Dolok manglid dengan diameter rata-rata 29 cm memiliki nilai kebundaran

92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Nilai rendemen, efisien-

si menggergaji, produktivitas, dan rata-rata lebar papan pada pola penggergajian satu

sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, 1,18 liter/m3, dan 17,75 cm;

sedangkan pada pola penggergajian semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%,

0,53 m3/jam. 1,72 liter/m3, dan 7,94 cm. Pola penggergajian satu sisi dan pola

penggergajian semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam,

namun berbeda sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar

papan yang dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan

produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang lebih lebar dibandingkan dengan

pola semiperempatan.

Page 224: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

M. Siarudin

216 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Daftar Pustaka

Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-

Jenis Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat

dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/

06VI/06VIMengenal%20manglid.htm:

Rachman, O., & Balfas, J. (1989). Pengaruh peracunan triklopir dan pola

penggergajian terhadap sifat penggergajian kayu rasamala (Altingia excelsa

Noronha). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 6(5), 292-298.

Rahman, O. (1991). Pengaruh pengerasan mata gergaji dan pola penggergajian

terhadap karakteristik penggergajian kayu sengon (Paraseianthes falcataria).

Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(4), 163-169.

Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri

perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for

practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East

Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.

Sutigno, P., Haryanto, Y., & Rahayu, T. (2000). Sari hasil penelitian mangium dan

tusam Puslitbang Hasil Hutan. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan, Badan

Litbang Kehutanan.

Page 225: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 217

Pengawetan Kayu Manglid

Endah Suhaendah1 & M. Siarudin1

ABSTRAK

Kayu manglid (Magnolia champaca) dikenal masyarakat Jawa Barat sebagai bahan baku kayu

untuk bangunan. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah

rentan terhadap serangan jamur dan rayap. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh

konsentrasi dan lama perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet tembaga-

khrom-boron (cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Kegiatan penelitian

dilaksanakan pada bulan November–Desember 2008. Sampel kayu berasal dari pohon di

hutan rakyat Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat.

Percobaan disusun secara faktorial dengan tiga perlakuan lama perendaman (1 hari, 3 hari,

dan 7 hari) dan tiga perlakuan konsentrasi bahan pengawet (konsentrasi 10%, 15%, dan 20%)

dengan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh nyata

terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid dengan kecenderungan peningkatan

penetrasi seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan pengawet dan lama perendaman.

Berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kebutuhan pembangunan

perumahan dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang disa-

rankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari atau konsentrasi

20% dengan lama perendaman tiga hari.

Kata kunci: pengawet CCB, manglid, pengawetan, rendaman dingin, SNI

I. Pendahuluan

Manglid merupakan salah satu bahan baku kayu untuk bangunan yang dikem-

bangkan di hutan rakyat. Jenis ini dikembangkan di Jawa Barat melalui pola

agroforestri pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam

pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,

Jawa Barat; Email: [email protected]

Page 226: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & M. Siarudin

218 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

sekitar hutan (Rimpala, 2001). Kayu manglid di Jawa Barat dan Bali sangat disukai

karena sifat kayunya mengkilat dengan strukturnya yang padat, halus, ringan, dan

kuat. Keuntungan dari kayu manglid adalah ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41

sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,

perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran yang mana peruntukan

ini banyak ditemukan di daerah Bali (Djam'an, 2006). Selain itu, kayu manglid

termasuk ke dalam Kelas Kuat III–IV dan Kelas Awet II (Seng, 1990). Namun

demikian, kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah rentan

terhadap serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah retak dan kurang stabil.

Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan

mutu dan masa pakai (service life). Salah satu langkah strategis yang dapat diterap-

kan adalah memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen

kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu yang sesuai dengan standar

teknis yang berlaku. Pengawetan kayu sudah sejak lama mendapat perhatian dari

pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai peraturan, namun kesadaran

masyarakat untuk memakai kayu awetan masih rendah (Batubara, 2006). Teknik

pengawetan yang ada saat ini dianggap masih kurang efektif dan hanya bisa

membuat kayu awet selama lima tahun. Padahal, pengawetan kayu dapat menghasil-

kan penghematan, paling tidak sebesar 50% dari total konsumsi kayu saat ini.

Apabila kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun, jumlah kayu yang digunakan dapat

dihemat hampir 7 juta m3/tahun yang nilainya setara dengan hutan seluas 140.000

ha (Antaranews, 2016). Berdasarkan hal tersebut, teknik pengawetan yang efektif,

efisien, dan sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku

sangat diperlukan.

Pengawetan merupakan proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan

pengawet ke dalam kayu untuk meningkatkan kelas awet suatu jenis kayu (Batubara,

2006). Jenis kayu yang diawetkan adalah kayu dengan keawetan alami rendah, yaitu

kayu Kelas Awet III, IV, dan V, serta kayu gubal dari Kelas Awet I dan II (Seng,

1990). Walaupun manglid merupakan jenis kayu dalam kelompok Kelas Awet II,

bagian gubal dari kayu manglid tetap memerlukan pengawetan.

Page 227: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Pengawetan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 219

Metode pengawetan kayu bermacam-macam, mulai dari yang sederhana

hingga pengawetan vakum-tekan. Namun, metode vakum-tekan masih dianggap

mahal dan kurang praktis untuk mengawetkan kayu bagi keperluan perumahan

rakyat. Metode rendaman dingin merupakan salah satu proses pengawetan seder-

hana untuk mengawetkan kayu kering dan setengah kering yang umum digunakan

sebagai bahan konstruksi rumah dan gedung (SNI, 1999). Pada metode ini, kayu

direndam dalam bak pengawetan dan dibiarkan terendam hingga nilai retensi yang

dikehendaki tercapai (Barly, 2009).

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh konsentarsi larutan dan lama

perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet tembaga-khrom-boron

(cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengawetan kayu manglid untuk

perumahan dan gedung yang memenuhi standar pengawetan berdasarkan kriteria

SNI.

II. Metodologi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu manglid (Magnolia

champaca), bahan pengawet kayu impralit CCB, pereaksi uji tembaga dengan

khrom Azurol S. Peralatan yang digunakan antara lain bak perendam, gelas ukur

(untuk menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet), dan gergaji (untuk

pengambilan contoh kayu yang diawetkan).

Sampel kayu manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Keca-

matan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat. Pemotongan contoh uji dan

perlakuan pengawetan dilaksanakan di Bengkel Kerja dan Laboratorium Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Ciamis.

Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin

menggunakan CCB dengan perlakuan lama perendaman dan konsentrasi larutan.

Lama perendaman meliputi tiga perlakuan, yaitu 1 hari, 3 hari, dan 7 hari; sedang-

kan konsentrasi bahan pengawet meliputi tiga perlakuan yaitu, konsentrasi 10%,

Page 228: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & M. Siarudin

220 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

15%, dan 20%. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 27

kombinasi perlakuan (sembilan perlakuan dan tiga ulangan).

Contoh uji berukuran 15 cm x 2,5 cm x 30 cm. Penembusan bahan pengawet

diukur dengan memotong melintang contoh uji pada bagian tengahnya dan dibiar-

kan selama dua minggu dalam suhu kamar. Kedalaman penetrasi bahan pengawet

impralit CCB dapat diamati dengan menyemprotkan atau melaburkan pereaksi uji

tembaga dengan khrom Azurol S (terdiri dari 0,5 g konsentrat chrom azurol, 5 g

natrium acetat, dan 80 ml air) pada penampang melintang contoh uji hasil pemo-

tongan. Adanya unsur tembaga ditunjukkan oleh warna biru, sedangkan bagian yang

tidak mengandung tembaga berwarna jingga. Uji penetrasi boron terdiri dari a) dua

gram ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol dan b) 20 ml asam klorida pekat dan

80 ml alkohol yang dijenuhkan dengan asam salisilat (13 g/100 ml).

Data dianalisis dengan uji beda nyata untuk melihat pengaruh konsentrasi dan

lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet dengan menggunakan klasifi-

kasi tersarang (Steel & Torrie, 1960). Variabel-variabel perlakuan yang berpengaruh

nyata dilakukan uji lanjut dengan prosedur Tukey.

III. Hasil dan Pembahasan

Nilai penetrasi rata-rata pada perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB

dan lama perendaman, serta sidik ragamnya disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Uji lanjut terhadap nilai penetrasi yang signifikan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan penetrasi

bahan pengawet dengan peningkatan konsentrasi larutan ataupun lama perendaman.

Penetrasi bahan pengawet pada perendaman 7 hari mencapai rata-rata 5,89 mm,

sedangkan rendaman 1 hari dan 3 hari berturut-turut hanya 3,03 mm dan 4,61 mm.

Sementara itu, perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB 20% menghasilkan rata-

rata penetrasi tertinggi sebesar 5,69 mm, sedangkan perlakuan konsentrasi 15% dan

10% menghasilkan rata-rata penetrasi yang sama, yaitu sebesar 3,92 mm. Selanjut-

nya, hasil analisis keragaman pada Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan konsentrasi

Page 229: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Pengawetan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 221

bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata (taraf kepercayaan

99%) terhadap penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid.

Tabel 1. Nilai rata-rata penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid

Konsentrasi

larutan CCB

Penetrasi bahan pengawet (mm) sesuai lama perendaman Rata-rata

1 hari 3 hari 7 hari

10% 2,92 4,42 4,42 3,92

15% 2,50 4,17 5,08 3,92

20% 3,67 5,25 8,17 5,69

Rata-rata 3,03 4,61 5,89

Tabel 2. Sidik ragam pengaruh konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman terha-

dap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid

Sumber keragaman Derajat

bebas

Jumlah

kuadrat

Kuadrat

tengah

F

hitung Nilai-p

Konsentrasi 2 18,963 9,481 10,089 0,001**

Lama perendaman 2 36,977 18,488 19,672 0,000**

Konsentrasi dan

lama perendaman

4 9,079 2,270 2,415 0,087tn

Galat percobaan 18 16,917 0,940

Keterangan: **=berpengaruh sangat nyata; tn=tidak berpengaruh nyata

Tabel 3. Uji lanjut Tukey perlakuan pengawetan CCB pada manglid

Perlakuan Subset

1 2 3

Konsentrasi 10% 3,92

Konsentrasi 15% 3,92

Konsentrasi 2 % 5,69

Rendam 1 hari 3,03

Rendam 3 hari 4,61

Rendam 7 hari 5,89

Page 230: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & M. Siarudin

222 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Hasil uji lanjut pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi bahan penga-

wet 10% dan 15% menghasilkan penetrasi yang tidak berbeda nyata, sedangkan

konsentrasi 20% berbeda nyata dibandingkan dengan kedua kosentrasi lainnya. Hal

ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi di bawah 5 mm cukup

menggunakan konsentrasi bahan pengawet 10%, sedangkan untuk mencapai pening-

katan penetrasi lebih tinggi diperlukan peningkatan konsentrasi menjadi 20%. Hasil

ini diharapkan akan berdampak pada kekuatan kayu manglid dalam menangkal

serangan jamur karena keberadaan senyawa CCB. Senyawa tembaga dalam bahan

pengawet berguna untuk mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang

disebabkan oleh jamur pelunak. Senyawa boron dimaksudkan untuk mencegah

serangan serangga dan jamur yang toleran terhadap tembaga, sedangkan senyawa

khrom dimaksudkan untuk mengikat tembaga dan boron di dalam kayu (fiksasi)

(Abdurrahim, 2000)

Perlakuan lama perendaman masing-masing saling menghasilkan penetrasi

bahan pengawet yang berbeda nyata dengan kecenderungan peningkatan penetrasi

dengan meningkatnya lama perendaman. Adanya kecenderungan meningkatnya

penetrasi dengan peningkatan lama perendaman sesuai dengan pernyataan

Abdurrahim (2006) bahwa lama perendaman berkaitan dengan kesempatan kayu

berhubungan dengan larutan bahan pengawet. Sebelum saluran dalam kayu berupa

noktah tertutup seluruhnya oleh bahan pengawet yang berfiksasi akibat bahan

pengawet kontak dengan lignin, larutan bahan pengawet dapat masuk terus ke

dalam kayu karena sifat higroskopisitas kayu.

Persyaratan penetrasi bahan pengawet menurut SNI untuk perumahan dan

gedung adalah minimal 5 mm, baik penggunaan di bawah atap maupun di luar atap

(SNI, 1999). Berdasarkan kriteria tersebut, pengawetan kayu manglid menggunakan

larutan CCB yang disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dengan lama

perendaman 7 hari, atau konsentrasi 20% dengan lama perendaman 3 hari.

Page 231: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Pengawetan Kayu Mangl id

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 223

IV. Kesimpulan

Manglid termasuk ke dalam jenis kayu dengan Kelas Awet II. Namun demi-

kian, bagian gubal dari kayu ini tetap harus diawetkan agar masa pakainya menjadi

lebih lama. Salah satu cara pengawetan yang efektif dan efisien untuk kayu manglid

adalah metode rendaman dingin dengan bahan pengawet tembaga-khrom-boron

(CCB). Konsentrasi CCB 20% dengan lama rendaman 3 hari atau konsentrasi CCB

15% dengan lama rendaman 7 hari menunjukkan nilai penestrasi yang sesuai dengan

persyaratan SNI.

Daftar Pustaka

Abdurrahim, S. (2000). Manfaat pengawetan kayu perumahan dan gedung. Paper

presented at the Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, Bogor.

Abdurrahim, S. (2006). Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet

CCB secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Paper presented at the

Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Antaranews. (2016). Teknologi pengawetan kayu mampu hemat konsumsi kayu 7

juta m3 tiap tahun. Retrieved 12 April 2016, http://www.antaranews.com/

berita/73022/teknologi-pengawetan-kayu-mampu-hemat-konsumsi-kayu-7-

juta-m3-tiap-tahun

Barly. (2009). Standarisasi pengawetan kayu dan bambu serta produknya. Paper

presented at the PPI Standarisasi, Jakarta.

Batubara, R. (2006). Teknologi pengawetan kayu perumahan dan gedung dalam

upaya pelestarian hutan. In F. P. Dep. Kehutanan, Universitas Sumatera

Utara (Ed.). Medan: Dep. Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat

dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/

06VI/ 06VIMengenal%20manglid.htm:

Page 232: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

E. Suhaendah & M. Siarudin

224 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for

practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).

SNI. (1999). Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung (Vol. Standar

Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999). Jakarta: Badan Standarisasi

Nasional (BSN).

Steel, R. G., & Torrie, J. H. (1960). Principles and procedures of statistics.

Principles and procedures of statistics.

Page 233: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

SOSIAL EKONOMI DAN PEMASARAN MANGLID

BAB VII

Page 234: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 235: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 227

Kontribusi Pendapatan dari Kayu Manglid (Manglietia glauca Bl.) pada Usaha Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya

Budiman Achmad1 & Dian Diniyati1

ABSTRAK

Jenis pohon dominan yang dikembangkan oleh petani pada hutan rakyat di Kabupaten

Tasikmalaya adalah manglid dan sengon. Namun demikian, popularitas kayu manglid di

pasar masih kalah dari popularitas kayu sengon. Kayu manglid sebenarnya dapat memberikan

kontribusi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon. Tujuan

penelitian adalah memperoleh informasi tentang kontribusi pendapatan dari kayu manglid

sebagai bahan kebijakan pengembangan kayu manglid. Penelitian dilaksanakan pada bulan

Maret–Juli 2011 di tiga desa pada Kabupaten Tasikmalaya dengan responden sebanyak 49

orang. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara terstruktur. Data yang

terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjuk-

kan bahwa agroforestri menjadi pola tanam yang dikembangkan petani pada hutan rakyat.

Terdapat 6 pola tanam di Desa Sepatnunggal, 5 pola tanam di Desa Karyabakti, dan 4 pola

tanam di Desa Tanjungkerta. Kontribusi pendapatan pohon manglid terhadap total

pendapatan usaha hutan rakyat menempati urutan kedua setelah pohon sengon, yaitu

berturut-turut adalah 56,71% (Desa Tanjungkerta), 32,69% (Desa Sepatnunggal), dan

21,52% (Desa Karyabakti). Petani menilai bahwa pendapatan yang diperoleh dari pohon

manglid dua kali lebih lama dibandingkan dengan pendapatan dari pohon sengon.

Kata kunci: agroforestri, hutan rakyat, kontribusi pendapatan, manglid, sengon

I. Pendahuluan

Tidak diragukan lagi bahwa hutan menjadi sumber pendapatan penting bagi

sebagian besar petani di Jawa Barat. Pentingnya sumber daya tersebut bagi kesejah-

teraan rumah tangga petani di negara berkembang juga telah banyak dilaporkan

(Gatiso & Wossen, 2014; Wunder et al., 2014; Dash et al., 2016). Untuk menilai

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis,

Jawa Barat 46201; Email: [email protected] dan [email protected]

Page 236: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

228 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

tingkat kepentingan sumber daya yang berasal dari hutan, ukuran berupa

kontribusi pendapatan digunakan.

Manglid (Manglietia glauca) merupakan salah satu pohon yang sangat besar

manfaatnya dan mampu tumbuh baik pada kondisi minim pemeliharaan (Narendra

et al., 2013). Kayu manglid banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu

lapis, mebel, lantai, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olah raga dan

musik, patung ukiran dan kerajinan tangan, veneer mewah, alat gambar, pensil, dan

moulding (Khaiwani, 2012). Sementara itu, ekstrak daunnya mempunyai potensi

untuk dimanfaatkan sebagai biomedicine alam yang baik (Zhong-feng & Xian-yan,

2011). Pohon manglid termasuk dalam kelompok jenis yang pertumbuhannya cepat

(fast growing species), yaitu bisa dipanen pada umur <10 tahun dengan kualitas kayu

termasuk ke dalam Kelas Awet II dan Kelas Kuat III–IV.

Meskipun manfaat kayu manglid cukup luas, keberadaannya di hutan rakyat

masih kalah populer dengan kayu sengon. Diniyati et al. (2011) menyatakan bahwa

petani lebih menggemari tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dibandingkan

dengan kayu manglid. Hal ini karena pendapatan dari kayu sengon lebih cepat

dibandingkan dengan kayu manglid, yaitu dengan perkiraan satu kali memanen

manglid setara dengan dua kali memanen sengon. Namun demikian, kondisi

tersebut tidak menyurutkan petani di beberapa tempat untuk menanam kayu

manglid, salah satunya adalah petani di Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini disebabkan

permintaan pasar terhadap kayu berkualitas tinggi masih kuat. Petani menyiasati

tanamannya dengan mencampur manglid (untuk tabungan jangka panjang) dengan

sengon dan kayu afrika (untuk pendapatan jangka pendek). Menurut Mulyana dan

Diniyati (2013), Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu sentra kayu manglid

di Jawa Barat yang tersebar pada 12 wilayah kecamatan (30,77%). Wilayah-wilayah

yang menjadi sentra kayu manglid tersebut memiliki kesamaan kondisi topografi,

yaitu perbukitan atau pegunungan dengan kemiringan 20–60%, temperatur udara

18–250C, dan terletak pada ketinggian rata-rata di atas 350 m dpl.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, tulisan ini mengulas informasi tentang

kontribusi pendapatan dari usaha hutan rakyat manglid dengan harapan informasi

ini dapat digunakan sebagai bahan kebijakan dalam pengem-bangan kayu manglid.

Page 237: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 229

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011. Lokasi penelitian berada

pada tiga kecamatan yang mewakili wilayah pengembangan Tasikmalaya, yaitu Desa

Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) di wilayah utara, Desa Sepatnunggal

(Kecamatan Sodonghilir) di wilayah tengah, dan Desa Karyabakti (Kecamatan

Parungponteng) di wilayah Selatan.

B. Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah petani yang mengembangkan pola tanam

agroforestri pada hutan miliknya. Pemilihan responden dilakukan dengan cara

sengaja (purposive sampling), yaitu petani yang memiliki hutan dengan luas ≤0,25

ha dan mengembangkan pohon manglid. Jumlah total responden sebanyak 49 orang

dengan perincian 20 orang di Desa Tanjungkerta, 9 orang di Desa Sepatnunggal,

dan 20 orang di Desa Karyabakti.

C. Analisis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yang langsung

diperoleh dari responden, yaitu pendapatan (hasil penjualan produk hutan rakyat)

yang diterima petani dari hutan rakyat setiap tahunnya. Data diperoleh dengan cara

observasi dan wawancara menggunakan kuisioner.

Pendapatan dari hutan merupakan gabungan dari berbagai hasil produk

tanaman, seperti tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan

tanaman obat. Perhitungan ini sebagaimana yang digunakan oleh Diniyati &

Achmad (2015) dengan rumus sebagai berikut:

Yang mana: P hr = pendapatan total dari hutan rakyat (Rp/tahun)

P ky = pendapatan dari kayu (Rp/tahun)

P tp = pendapatan tanaman perkebunan (Rp/tahun)

P bb = pendapatan dari buah-buahan (Rp/tahun)

P to = pendapatan tanaman obat-obatan (Rp/tahun)

Page 238: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

230 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Pendapatan dari kayu merupakan penjumlahan dari berbagai jenis tanaman

kayu yang ditanam oleh petani, sebagaimana rumus berikut:

Yang mana: P ky = pendapatan dari kayu (Rp/tahun)

P ky1, 2, 3 …n = pendapatan dari berbagai jenis kayu (Rp/tahun)

Kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap pendapatan total hutan rakyat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Yang mana: K ky = kontribusi pendapatan kayu manglid (%)

P ky m = pendapatan kayu manglid (Rp/tahun)

P hr = pendapatan total hutan rakyat (Rp/tahun)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian

Topografi di Kabupaten Tasikmalaya bervariasi, yaitu sebesar 50% kondisinya

datar–berombak, 40% berombak–bergelombang, serta 10% bergelombang–berbukit

dengan ketinggian tempat rata-rata 700 m dpl. Temperatur udara di wilayah ini

berkisar antara 18oC (malam hari) dan 27oC (siang hari), serta kelembaban udara

sekitar 60–80% (Hadiatulloh, 2010; Enda, 2011). Kondisi lingkungan seperti itu

sangat cocok untuk pengembangan hutan rakyat. Terlebih lagi, lahan sebagai faktor

pendukung utama untuk pengembangan hutan rakyat juga tersedia cukup luas, yaitu

masing-masing seluas 311 ha (Desa Karyabakti), 103 ha (Desa Tanjungkerta), dan

1.914 ha (Desa Sepatnunggal) (Desa Tanjungkerta, 2010; Desa Karyabakti, 2010;

Desa Karyabakti, 2010).

Berdasarkan kondisi lingkungan wilayah tersebut, jenis tanaman yang cocok

dikembangkan adalah tanaman kayu. Tanaman kayu yang saat ini banyak dikem-

bangkan petani di Kabupaten Tasikmalaya adalah mahoni (Swietenia macrophylla),

jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), afrika (Maesopsis eminii),

Page 239: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 231

pinus (Pinus merkusii), rimba campuran, dan bambu (Bambusa sp). Mayoritas

penduduk Kabupaten Tasikmalaya bekerja pada sektor pertanian dan kehutanan

(Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, 2010). Pengembangan hutan rakyat

di lokasi penelitian dilakukan dengan pola agroforestri. Berdasarkan hasil penelitian,

berbagai bentuk pola agroforestri ditemukan, sebagaimana terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bentuk pola tanaman hutan rakyat

No. Pola tanam Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti

1. Tanaman kayu + tanaman buah

2. Tanaman kayu + tanaman buah +

tanaman perkebunan

3. Tanaman kayu + tanaman buah +

tanaman perkebunan + tanaman obat

4. Tanaman kayu + tanaman perkebunan

+ tanaman buah + tanaman obat +

tanaman pangan

5. Tanaman kayu + tanaman buah +

tanaman obat

6. Tanaman kayu + tanaman buah +

tanaman pangan

Sumber: hasil pengolahan data primer 2015

Variasi pola tanam hutan rakyat yang paling banyak dilakukan oleh petani ada

di Desa Sepatnunggal (6 pola tanam) dan yang paling sedikit dilakukan oleh petani

di Desa Tanjungkerta (3 pola tanam). Banyaknya variasi pola tanam di Desa

Sepatnunggal dipengaruhi oleh luasnya lahan yang diperuntukkan untuk usaha

hutan rakyat, yaitu 1.914 ha.

B. Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid terhadap Total Pendapatan Petani

Jenis tanaman yang dikembangkan pada hutan rakyat di lokasi penelitian

tidak hanya terbatas pada tanaman kehutanan saja, tetapi juga termasuk tanaman

buah, perkebunan, pangan, dan obat. Setiap jenis tanaman tersebut memberikan

kontribusi pendapatan yang berlainan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.

Page 240: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

232 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 2. Nilai rata-rata pendapatan dari usaha hutan rakyat bagi petani responden

No. Kelompok tanaman

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

Pendapatan

(Rp) (%)

Pendapatan

(Rp) (%)

Pendapatan

(Rp) (%)

1. Tanaman kayu 4.161.354 77,05 7.886.667 61,58 1.386.125 36,06

2. Tanaman buah 272.000 5,04 231.222 18,20 561.900 14,62

3. Tanaman perkebunan 188.250 3,49 3.046.889 15,67 704.500 18,33

4. Tanaman obat 183.500 3,40 1.548.000 2,91 1.151.650 29,96

5. Tanaman pangan 595.625 11,03 624.444 1,65 39.500 1,03

Total 5.400.729 100,00 13.337.222 100,00 3.843.675 100,00

Sumber: diolah dari data primer 2011

Berdasarkan data dan informasi yang ada pada Tabel 2 diketahui bahwa

pendapatan dari hasil penjualan kayu memberikan kontribusi yang paling besar,

yaitu 77,05% (Desa Tanjungkerta), 61,58% (Desa Sepatnunggal), dan 36,06% (Desa

Karyabakti). Besarnya kontribusi dari tanaman kayu ini menunjukkan bahwa

tanaman kayu sudah menjadi pendapatan rutin bagi rumah tangga petani. Hal ini

dikarenakan jumlah tanaman kayu yang ada di lokasi penelitian sangat bervariasi

(Diniyati & Fauziyah, 2012) sehingga memudahkan petani untuk melakukan

penebangan setiap tahun. Selain itu, petani kayu juga telah mempunyai jaringan

yang baik dengan pasar (Mulenga et al., 2011). Tanaman kayu di lokasi penelitian

dijadikan sebagai penerimaan rutin dan tidak hanya dijadikan sebagai tanaman

tabungan. Kayu manglid biasanya dikembangkan bersama-sama dengan jenis pohon

lain yang lebih cepat tumbuhnya, seperti sengon, sehingga pendapatan petani bisa

diatur sebagai pendapatan jangka panjang dan jangka pendek.

Nilai kontribusi pendapatan dari tanaman kayu merupakan penjumlahan dari

berbagai jenis tanaman kayu yang telah ditebang pada waktu yang bersamaan.

Kontribusi pendapatan dari berbagai tanaman kayu dan bambu untuk setiap lokasi

seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

Kontribusi tanaman kayu di setiap lokasi penelitian berasal dari berbagai jenis

kayu. Jenis tanaman kayu yang telah memberikan pendapatan kepada petani hampir

sama untuk semua lokasi penelitian, sedangkan yang membedakan adalah jumlah-

Page 241: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 233

nya. Pendapatan kayu di Desa Sepatnunggal berasal dari 5 jenis (sengon, mahoni,

manglid, tisuk, dan bambu); pendapatan kayu di Desa Tanjungkerta berasal dari 4

jenis (sengon, mahoni, manglid, dan suren); dan pendapatan kayu di Desa

Karyabakti berasal dari 5 jenis kayu (sengon, mahoni, manglid, bambu, dan suren).

Gambar 1. Kontribusi pendapatan tanaman kayu dan bambu terhadap total pendapatan

hutan rakyat

Kayu manglid dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya secara tidak merata.

Populasi kayu manglid di lokasi penelitian tertinggi di Desa Tanjungkerta, diikuti

Desa Sepatnunggal dan Desa Karyabakti. Hal ini berdampak pula pada kontribusi

kayu manglid yang beragam di ketiga desa tersebut. Kontribusi pendapatan kayu

manglid yang paling besar adalah di Desa Tanjungkerta (56,71%) dan yang paling

kecil adalah di Desa Karyabakti (21,52%). Selain disebabkan jumlah kayu manglid

yang ditanam berlainan, penyebab dari besar atau kecilnya kontribusi kayu manglid

ini adalah volume penebangan yang dilakukan petani tidak sama.

Rata-rata jumlah tanaman manglid untuk luasan ≤0,25 ha di Desa Sepat-

nunggal sebanyak 38 pohon, Desa Tanjungkerta sebanyak 35 pohon, dan Desa

Karyabakti sebanyak 27 pohon. Semakin banyak jumlah pohon manglid yang

ditanam oleh petani, semakin tinggi pula kontribusi pendapatan yang dihasilkan.

Demikian juga sebaliknya, jumlah pohon manglid yang sedikit menyebabkan

kontribusi pendapatan juga rendah. Jumlah pohon manglid di Desa Karyabakti

Page 242: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

234 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

paling sedikit dibandingkan dengan desa lainnya sehingga kontribusi pendapatannya

pun paling rendah. Untuk kondisi luas garapan yang sempit, kontribusi pendapatan

dari hutan sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi sendiri sehingga mengakibat-

kan petani tergolong subsisten (Gatiso, 2017).

Tinggi atau rendahnya kontribusi pendapatan dari kayu manglid ini juga

dipengaruhi oleh umur panen. Semakin tua kayu manglid, nilainya pun akan

semakin mahal. Sayangnya, para petani sangat jarang sekali memanen kayu manglid

pada umur tebang; petani biasanya sudah memanen kayu manglid pada saat masih

muda. Tindakan ini dilakukan karena petani memerlukan modal nafkah. Menurut

Saraswati dan Dharmawan (2014), modal nafkah adalah aset yang digunakan oleh

rumah tangga untuk melakukan aktivitas nafkahnya. Salah satu modal nafkah adalah

modal alam yang dimiliki oleh petani, di antaranya adalah jumlah kepemilikan kayu.

Kontribusi kayu manglid di Desa Sepatnunggal dan Desa Karyabakti menem-

pati urutan kedua, yang mana kontribusi tertingginya berasal dari kayu sengon.

Besarnya kontribusi kayu sengon disebabkan jumlah tanaman kayu sengon lebih

banyak dibandingkan tanaman kayu manglid. Selain itu, sengon tergolong pada

jenis yang lebih cepat pertumbuhannya. Frekuensi pemanenan sengon untuk kurun

waktu yang sama lebih tinggi dari frekuensi pemanenan kayu manglid sehingga

kumulatif hasilnya lebih tinggi.

Jenis tanaman kayu sengon dan manglid di lokasi penelitian mengalami

persaingan dalam perkembangannya. Terdapat kecenderungan bahwa petani lebih

memilih menanam sengon dibandingkan dengan tanaman manglid. Hal ini

ditunjukkan oleh sikap petani terhadap pengembangan kayu manglid, yaitu petani

umumnya tidak menanam lagi manglid (setelah panen kayu manglid), melainkan

diganti dengan tanaman sengon. Penyebab utama pergeseran jenis tanaman yang

ditanam petani adalah faktor ekonomi, yanag mana masa panen sengon lebih cepat

dibandingkan dengan masa panen manglid sehingga penerimaan pendapatan sengon

lebih cepat. Selain itu, harga sengon hampir sama dengan harga kayu manglid.

Alasan petani menanam kayu manglid dan sengon di lokasi penelitian disajikan

dalam Tabel 3.

Page 243: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 235

Tabel 3. Alasan petani menanam kayu manglid dan sengon

No. Alasan menanam Sengon Manglid

Jumlah % Jumlah %

1. Cepat menghasilkan uang 32 53,33 2 3,33

2. Harga jual kayu mahal 0 0,00 9 15,00

3. Tabungan 0 0,00 6 10,00

4. Budi daya 13 21,67 14 23,33

5. Ikut orang lain 2 3,33 10 16,67

6. Manfaat tanaman (bahan bangunan) 7 11,67 10 16,67

7. Konservasi 3 5,00 5 8,33

8. Tidak berpendapat 1 1,67 0 0,00

9. Banyak penyakit 2 3,33 0 0,00

10. Tidak berpenyakit 0 0,00 4 6,67

Total 60 100,00 60 100,00

Sumber: hasil pengolahan data primer 2011

Alasan petani menanam manglid dan sengon karena kedua jenis pohon

tersebut mudah tumbuh dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

Namun, terdapat kecederungan bahwa tanaman kayu manglid lebih diutamakan

sebagai tabungan, sedangkan tanaman kayu sengon cenderung untuk kebutuhan

harian. Dengan demikian, petani lebih menyukai mengembangkan tanaman sengon

karena dapat memperoleh hasil lebih cepat. Besaran kontribusi kayu manglid

terhadap total pendapatan petani disajikan pada Tabel 4.

Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan keluarga petani untuk

masing-masing lokasi penelitian adalah sebesar 9,20% (DesaTanjungkerta), 6,82%

(Desa Sepatnunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti). Apabila dilihat dari kontribusi

terhadap total pendapatan keluarga petani, kontribusi pendapatan dari kayu manglid

ternyata masih kecil. Kecilnya kontribusi kayu manglid disebabkan oleh kontribusi

hasil hutan rakyat secara keseluruhan terhadap total pendapatan keluarga yang juga

masih kecil, yaitu masing-masing sebesar 21,06% (Desa Tanjungkerta), 35,31%

(Desa Sepatnunggal), dan 25,93% (Desa Karyabakti). Kondisi topografi di ketiga

desa lokasi penelitian memaksa petani untuk melakukan pemanenan pohon secara

lebih hati-hati dibandingkan dengan lahan yang bertopografi landai. Hal ini

berdampak pada pendapatan dari pohon manglid relatif rendah.

Page 244: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

236 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 4. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan petani

No. Sumber pendapatan

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) %

1. Jasa 7.865.250 30,67 14.110.000 37,35 5.738.800 38,72

2. Sawah 4.955.876 19,32 5.634.600 14,92 1.550.150 10,46

3. Hutan Rakyat 5.400.729 21,06 13.337.222 35,31 3.843.675 25,93

Kayu sengon 1.029.896 4,02 4.847.778 12,83 801.958 5,41

Kayu Mahoni 733.958 2,86 383.333 1,01 277.667 1,87

Kayu manglid 2.360.000 9,20 2.577.778 6,82 298.250 2,01

Kayu Suren 37.500 0,15 0 0 7.500 0,05

Kayu tisuk 0 0 27.778 0,07 0 0

Bambu 0 0 5.000 0,13 750 0,01

Nonkayu 1.239.375 4,83 5.450.556 14,43 2.457.550 16,58

4. Kolam ikan 236.550 0,92 132.700 0,35 45.000 0,30

5. Ternak 287.083 1,12 327.000 0,87 389.500 2,63

6. Keluarga 6.902.850 26,91 4.231.600 11,20 3.253.750 21,95

Total 25.648.338 100,00 37.773.122 100,00 14.820.875 100,00

Sumber: hasil pengolahan data primer 2011

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Manglid merupakan jenis pohon dominan kedua setelah sengon pada hutan

rakyat di Kabupaten Tasikmalaya. Kontribusi pendapatan dari kedua jenis pohon

tersebut terhadap total pendapatan hutan rakyat paling besar dibandingkan dengan

jenis pohon lainnya. Kontribusi pendapatan dari pohon manglid paling besar

dijumpai di Desa Tanjungkerta. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan

hutan rakyat berturut-turut sebesar 56,71% (Desa Tanjungkerta), 32,69% (Desa

Sepatnunggal), dan 21,52% (Desa Karyabakti). Sementara itu, kontribusinya

terhadap total pendapatan keluarga petani masih kecil, yaitu sebesar 9,20%

(DesaTanjungkerta), 6,82% (Desa Sepatnunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti).

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian nilai pendapatan sesuai jenis tanaman, posisi kayu

manglid ternyata masih berada jauh di bawah tanaman sengon. Untuk meningkat-

Page 245: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 237

kan pendapatan petani, diversifikasi perlu dilakukan terhadap jenis tanaman yang

dikembangkan. Sementara itu, upaya untuk meningkatkan pamor manglid dapt

dilakukan melalui pemberian insentif, seperti pembagian bibit kualitas prima,

penyediaan sarana pasar, dan informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.

Daftar Pustaka

Dash, M., Behera, B., & Rahut, D. B. (2016). Determinants of household collection

of non-timber forest products (NTFPs) and alternative livelihood activities in

Similipal Tiger Reserve, India. Forest Policy and Economics, 73, 215–228.

Desa Tanjungkerta. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat

Perkembangan Desa. Kecamatan Pagerageung. Kabupaten Tasikmalaya.

Desa Karyabakti. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat

Perkembangan Desa. Kabupaten Tasikmalaya.

Desa Tanjungkerta. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat

Perkembangan Desa. Kecamatan Pagerageung. Kabupaten Tasikmalaya.

Diniyati, D., Widyaningsih, T.S., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011).

Pola Agroforestry di Hutan Rakyat Penghasil Kayu Pertukangan (Manglid).

Laporan Hasil Penelitian 2011. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.

Ciamis. Tidak diterbitkan.

Diniyati, D. & Fauziyah, E. (2012). Pemilihan Jenis Tanaman Penyusun Hutan

Rakyat Pola Agroforestry Berdasarkan Keputusan Petani di Kabupaten

Tasikmalaya. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III, tanggal 29 Mei

2012 di Yogyakarta, 421-427. Kerjasama BPTA Ciamis, Fakultas Kehutanan

dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,

dan Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE). Ciamis.

Diniyati, D. & Achmad, B. (2015). Kontribusi Pendapatan Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) pada Usaha Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten

Tasikmalaya. Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(1), 21–29.

Enda. (2011). Rencana Kerja Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan

Pagerageung Tahun 2011. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Kecamatan

Pagerageung.

Page 246: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

B. Achmad & D. Diniyati

238 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Gatiso, T.T. & Wossen, T. (2014). Forest dependence and income inequality in

rural Ethiopia: Evidence from Chilimo-Gaji community forest users.

International Journal of Sustainable Development and World Ecology, 22(1), 1–11.

Gatiso, T.T. (2017). Households’ dependence on community forest and their

contribution to participatory forest management: evidence from rural

Ethiopia. Environment, Development and Sustainability (iDiv), 1–17.

http://doi.org/10.1007/s10668-017-0029-3

Hadiatulloh, Y. (2010). Programa Penyuluhan: Pertanian Perikanan dan Kehu-

tanan. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Keca-

matan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Tidak Diterbitkan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. (2010). Kabupaten Tasikmalaya

Dalam Angka 2009. Katalog BPS: 1403.3206. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya.

Mulenga, B.P., Richardson, R.B., Mapemba, L., & Tembo, G. (2011). The

Contribution of Non-Timber Forest Products to Rural Household Income in

Zambia. Working Paper No. 54 Food Security Research Project Lusaka,

Zambia (Downloadable at: http://www.aec.msu. edu/fs2/zambia/index.htm)

Mulyana, S. & Diniyati, D. (2013). Potensi Wilayah Sebaran Kayu Manglid

(Manglieta glauca Bl.) pada Hutan Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten

Tasikmalaya dan Ciamis. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri, 679-684.

Kerjasama BPTA Ciamis, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, World

Agroforestry Centre (ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia. Ciamis.

Narendra, B.H., Roshetko, J.M., Tata, H.L., & Mulyoutami, E. (2013). Prioritizing

Underutilized Tree Species for Domestication in Smallholder Systems of

West Java. Small-Scale Forestry, 12(4), 519–538. http://doi.org/10.1007/

s11842-012-9227-x.

Saraswati, Y. & Dharmawan, A.H. (2014). Resiliensi Nafkah Rumah Tangga

Petani Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Sodality: Jurnal

Sosiologi Pedesaan, 02(01), 63–75, http://ejournal.skpm. ipb.ac.id/index.php/

sodality/article/download/ 332/272. Diakses pada tanggal 10 Januari 2016.

Wunder, S., Angelsen, A., & Belcher, B. (2014). Forests, Livelihoods, and Conser-

vation: Broadening the Empirical Base. World Development, 64(S1), S1–S11.

Zhong-feng, Z. & Xia-yan, Z. (2011). GC/MS Analysis on Benzene/Alcohol

Extractives of Manglietia glauca Leaves for Biomedicine Engineering. Adv.

Mat. Res., 213, 475–478. http://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMR.213.475.

Page 247: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 239

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada

Pemilikan Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Dian Diniyati1 & Tri Sulistyati Widyaningsih1

ABSTRAK

Analisis finansial pembangunan hutan rakyat manglid dengan berbagai pola tanam perlu

dilakukan untuk mengetahui kelayakan investasi usaha sebagai bentuk agribisnis yang handal

sehingga menjadi bisnis dan investasi yang menguntungkan, berkesinambungan, dan dapat

menjadi penggerak ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran

informasi kelayakan finansial usaha hutan rakyat kayu jenis manglid yang memberikan

dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan masyarakat.

Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Maret–Juli 2011 di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu

di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodong-

hilir), dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng). Data dikumpulkan melalui

wawancara terhadap 49 orang responden dengan pemilikan lahan luas hutan rakyat sekitar

0,01–0,25 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan untuk usaha hutan rakyat di

Desa Tanjungkerta dan Karyabakti rata-rata <0,25 ha, sedangkan kepemilikan lahan di Desa

Sepatnunggal sekitar 0,25–0,5 ha. Keuntungan pengusahaan hutan rakyat di Desa

Tanjungkerta sebesar Rp770.717 dengan nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya

sebesar 1,31; Desa Sepatnunggal sebesar Rp4.275.748 dengan nilai perbandingan

pendapatan terhadap biaya sebesar 1,65; dan Desa Karyabakti sebesar Rp2.556.662 dengan

nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya sebesar 2,88.

Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, hutan rakyat, pendapatan

I. Pendahuluan

Kepemilikan lahan petani dimanfaatkan untuk beragam fungsi. Hal ini seba-

gaimana dinyatakan oleh Diniyati (2009) dan Fauziyah (2009) bahwa kepemilikan

lahan oleh petani memiliki beberapa karakteristik, yaitu luasannya sangat beragam;

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis,

Jawa Barat 46201; Email: [email protected]

Page 248: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

240 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

perolehannya dari warisan, membeli, atau garapan; letaknya tidak dalam satu ham-

paran; dan pemanfaatannya bermacam-macam, antara lain untuk perumahan, sawah,

hutan rakyat, kebun, dan kolam. Biasanya, lahan petani yang berfungsi sebagai

hutan rakyat merupakan lahan yang tidak bisa difungsikan untuk kegiatan usaha lain

dan luasannya sempit atau terbagi menjadi beberapa bagian yang lebih sempit.

Walaupun sempit, petani umumnya mengusahakan hutan rakyat dengan pola

agroforestri, yaitu pencampuran antara tanaman hutan dengan tanaman jenis

lainnya. Hal ini dilakukan agar pemanfaatan lahan lebih optimal, baik secara

ekonomi maupun ekologi. Dengan pola tanam agroforestri, petani dapat

memperoleh hasil secara harian, mingguan, bulanan, musiman, dan tahunan

(Achmad et al., 2011).

Kabupaten Tasikmalaya memiliki topografi berkisar antara 25–800 m dpl

(BPS, 2011). Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2009 adalah 271.525

ha dan penggunaan lahannya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu 1) lahan

pertanian (lahan sawah dan lahan bukan sawah), dan 2) lahan bukan pertanian

(hutan negara, rumah/bangunan, dan lainnya). Berdasarkan data dari BPS (2011),

penggunaan lahan untuk kegiatan nonsawah lebih luas dibandingkan untuk sawah.

Hal ini berarti bahwa wilayah Tasikmalaya lebih berkembang usaha lahan kering

(lahan bukan sawah) dan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan hutan rakyat

ternyata paling luas dibandingkan dengan lahan sawah dan lahan negara. Tanaman

kayu yang ada di hutan rakyat berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perke-

bunan Kabupaten Tasikmalaya adalah sengon, mahoni, maesopsis, manglid,

gmelina, dan jati. Namun, tanaman kayu dominan yang banyak ditemukan pada

hutan rakyat milik petani di Kabupaten Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia

champaca).

Kayu manglid sangat disukai karena sifat kayunya mengkilat dengan struk-

turnya yang padat, halus, ringan, dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan ke dalam

Kelas Kuat III dan keawetannya masuk ke dalam Kelas Awet II sehingga jenis kayu

tersebut sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, dan

barang kerajinan. Keuntungan dari kayu manglid yang ringan dengan berat jenis

(BJ) 0,41 adalah mudah dikerjakan. Pengeringan kayu membutuhkan waktu empat

Page 249: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 241

bulan dengan cara kering angin, dan dengan ketebalan papan 40 mm mencapai 320–

580 kg/m³ dan kadar air 15% (Djam'an, 2006).

Walaupun pengembangan tanaman kehutanan ini sangat mendukung kondisi

topografi wilayah Kabupaten Tasikmalaya, pelaksanaannya ternyata masih banyak

kendala. Petani menanam bibit tanaman kehutanan belum sesuai dengan yang

dianjurkan pemerintah, antara lain pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit

belum dilakukan dengan baik, pemberian pupuk yang tidak sesuai dengan

kebutuhan, perluasan dan peremajaan tanaman kehutanan belum dilakukan, dan

tingkat pendidikan penduduk yang tergabung dalam kelompok tani yang masih

rendah. Hal ini dapat berimbas terhadap kondisi penyerapan inovasi dan kurangnya

wawasan petani dalam berorganisasi di bidang kehutanan (Enda, 2011).

Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran

informasi kelayakan finansial hutan rakyat kayu pertukangan jenis manglid sehingga

memberikan dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap

pendapatan masyarakat. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan

bagi penggiat usaha hutan rakyat manglid.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebanyak tiga

desa dalam tiga kecamatan dipilih sebagai lokasi penelitian yang mewakili wilayah

pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung

(termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian utara); Desa Sepatnunggal,

Kecamatan Sodonghilir (termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian

tengah), dan Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng (wilayah pengembangan

Tasikmalaya bagian selatan). Di ketiga wilayah ini banyak terdapat lahan hutan

rakyat yang diusahakan dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, polikultur,

dan agroforestri, serta terdapat kelompok tani yang berhubungan dengan hutan rak-

yat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011.

Page 250: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

242 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Unit analisis yang dijadikan responden pada penelitian adalah petani hutan

rakyat anggota kelompok tani. Responden diperlukan untuk mengetahui kondisi

petani pemilik dan kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian. Pemilihan responden

dilakukan secara sengaja berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat dan faktor

pola usaha tani yang dilakukannya. Petani yang dijadikan responden adalah petani

yang memiliki hutan rakyat dengan luas <0,25 ha. Total responden sebanyak 49

orang. Pengambilan data fisik tanaman dilakukan dengan cara sensus potensi

tegakan hutan rakyat, yang mana dilakukan inventarisasi tegakan dan tanaman

bawah. Inventarisasi tegakan tersebut dilakukan dengan mengukur tinggi dan

diameter pohon, serta menghitung jumlah dan jenis tanaman bawah.

C. Jenis, Pengumpulan, dan Analisis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Data primer yang dikumpulkan

dari responden adalah data ekonomi usaha hutan rakyat manglid, meliputi biaya dan

manfaat pengusahaan hutan tanaman selama daur yang ditetapkan, curahan tenaga

kerja, penggunaan barang modal, dan data-data ekonomi lainnya yang terkait.

Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan meliputi data dari desa, perusahaan,

dan instansi pemerintah. Data sekunder dikumpulkan untuk menjadi pedoman awal

dalam penelitian sekaligus melengkapi informasi agar diperoleh data dan informasi

yang cukup untuk mendukung penelitian.

Data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dan dibahas untuk menda-

patkan informasi tentang nilai finansial dari hutan rakyat manglid berdasarkan data

biaya dan manfaat yang telah didapat sesuai dengan daur pengusahaan dengan

menggunakan kriteria investasi, yaitu nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit/

Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR). Daur manglid yang

digunakan adalah 15 tahun. Suku bunga investasi yang diacu sebesar 14,95%

menurut Bank Umum berdasarkan rata-rata suku bunga pada tahun 2002–2009.

Harga yang dipakai adalah harga yang diterima oleh petani (harga pasar).

Page 251: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 243

Pendapatan adalah seluruh hasil yang diterima oleh petani dari usaha hutan rakyat

manglid yang dimilikinya.

Adapun rumus-rumus yang dipakai dalam analisis finansial tersebut adalah

sebagai berikut (Clive et al., 2007):

nt

tt

tt

i

CBNPV

1 )1( (1)

Keterangan: Bt merupakan manfaat kotor pada tahun ke-t; Ct merupakan biaya kotor pada

tahun ke-t; n merupakan umur ekonomis usaha; dan i merupakan discount rate yang berlaku.

PVCost

PVBenefitBCR

(2)

1

21

112 )()( i

NPVNPV

NPViiIRR

(3)

III. Hasil dan Pembahasan

A. Profil Pola Usaha Tani Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang dimiliki petani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan

Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir), dan Desa Karyabakti

(Kecamatan Parungponteng) memiliki profil seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan diketahui jenis-jenis tanaman

dominan penyusun hutan rakyat di ketiga lokasi penelitian, yaitu:

1. Tanaman kehutanan: afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, tisuk

2. Tanaman perkebunan: aren, cengkeh, kelapa, kopi, melinjo, teh

3. Tanaman buah: durian, jambu biji, jengkol, kweni, mangga, manggis, nangka,

petai, pisang, rambutan, sirsak

4. Tanaman pangan: singkong, talas

5. Tanaman obat: kapulaga

Page 252: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

244 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 1. Profil hutan rakyat di lokasi penelitian

No. Uraian Desa Tanjungkerta

Strata III

Desa Sepatnunggal

Strata III

Desa Karyabakti

Strata III

1. Jumlah petani (orang) 20 9 20

2. Luas lahan rata-rata

(ha)

0,11 0,17 0,08

3. Jenis tanaman

4. Tanaman kehutanan

(jenis dan jumlah pohon)

Afrika (9), mahoni

(38), manglid (32),

dan sengon (22)

Afrika (2), gmelina

(5), mahoni (28),

manglid (118),

sengon (29), dan

tisuk (12)

Afrika (4), mahoni

(13), manglid (27),

sengon (26), dan

tisuk (7)

5. Tanaman perkebunan

(jenis dan jumlah pohon)

Cengkeh (3), melinjo

(1), kelapa (1),

Cengkeh (3) Aren (1)

6. Tanaman buah (jenis

dan jumlah pohon)

durian (1), jengkol

(1), nangka (2), petai

(2), Mangga (1),

rambutan (2),

alpukat (1), pisang

(4), dan kweni (1)

Durian (1), jengkol

(2), mangga (7),

petai (5)

Durian (1), jengkol

(2), mangga (1),

manggis (2), nangka

(2), petai (2), pisang

(2), rambutan (1),

dan sirsak (1)

7. Tanaman pangan (jenis) Talas, singkong - -

8. Tanaman obat (jenis) - Kapulaga Kapulaga

Sumber: hasil analisis data primer 2011

Perhitungan analisis finansial dilakukan terhadap tanaman yang dominan

ditanam oleh masyarakat. Transek horizontal pola tanam tanaman pangan dan obat-

obatan tertera pada Gambar 1, sedangkan transek horizontal pola tanam untuk

tanaman kehutanan atau tanaman kayu tertera pada Gambar 2.

Tanaman buah yang diperhitungkan dalam analisis finansial adalah petai dan

jengkol yang terdapat di semua lokasi penelitian, sedangkan durian dan mangga

diabaikan karena seringkali bibitnya berasal dari pemberian pemerintah dan hasilnya

untuk konsumsi keluarga atau tidak dijual. Tanaman perkebunan juga diabaikan

dalam perhitungan analisis finansial karena jarang ditanam oleh semua responden.

Page 253: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 245

Bulan

10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

Gambar 1. Transek horizontal pola tanaman pangan dan obat pada hutan rakyat di Desa

Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti

TAHUN TAHUN TAHUN

0 5 10 15

Gambar 2. Transek horisontal pola tanaman kehutanan/kayu-kayuan pada hutan rakyat di

Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti

B. Analisis Biaya Hutan Rakyat

Biaya usaha hutan rakyat yaitu seluruh biaya input yang dikeluarkan untuk

pengelolaan lahan usaha hutan rakyat sejak awal pengelolaan hingga panen. Biaya

tersebut meliputi biaya tetap, seperti pajak atau sewa lahan dan biaya peralatan usaha

tani (Andayani, 2009). Selain itu, terdapat biaya tidak tetap, yaitu biaya yang

dikeluarkan untuk melakukan proses produksi secara langsung, seperti biaya tenaga

kerja dan biaya sarana produksi pengusahaan komoditas tanaman pada periode

tertentu. Uraian di bawah ini akan menyajikan biaya yang dikeluarkan selama jangka

analisis 15 tahun, baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap.

Sengon

Tisuk

Manglid

Mahoni

Afrika

Gmelina

talas, singkong

kapulaga

Sengon Sengon

Tisuk

Page 254: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

246 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

1. Biaya Pajak Lahan Usaha

Besarnya biaya pajak lahan merupakan biaya tetap yang harus dibayarkan

petani setiap tahunnya yang berbeda menurut luas pemilikan lahan dengan rentang

Rp2.000–15.000/tahun untuk lahan di Desa Tanjungkerta, Rp3.000–10.000/tahun

untuk lahan di Desa Sepatnunggal, dan Rp5.000–15.000/tahun untuk lahan di Desa

Karyabakti. Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh responden per tahun tertera

pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya pajak lahan pada hutan rakyat di lokasi penelitian

Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

Total pajak (Rp/tahun) 127.500,00 60.000,00 136.000,00

Rata-rata (Rp/tahun) 6.375,00 6.666,67 6.800,00

Sumber: Hasil analisis data primer 2011

2. Biaya Peralatan Usaha Tani

Biaya peralatan termasuk biaya tetap pengusahaan hutan rakyat. Dalam

melakukan usaha tani, petani menggunakan berbagai peralatan usaha tani, antara

lain cangkul, garpu tanah, linggis, parang, golok, kored, balincong, congkrang/

parang panjang, sprayer, gergaji, kapak, sabit, embrat, sepatu, dan topi yang

diperoleh dengan cara membeli. Biaya peralatan usaha tani hutan rakyat yang

dikeluarkan oleh responden setiap tahun di setiap lokasi tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Biaya peralatan usaha tani pada hutan rakyat di lokasi penelitian

Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

Total biaya (Rp/tahun) 1.381.481,77 985.600,63 1.544.646,35

Rata-rata (Rp/tahun) 69.074,04 109.511,18 77.232,32

Sumber: hasil analisis data primer 2012

Page 255: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 247

Seluruh responden tidak mengalokasikan anggaran untuk biaya pemeliharaan

peralatan usaha tani setiap tahunnya. Apabila peralatan tersebut rusak, petani akan

membeli peralatan yang baru, memperbaikinya, atau meminjam ke tetangga.

3. Biaya Pengusahaan Tanaman

Biaya pengusahaan tanaman, meliputi biaya tenaga kerja sejak pembersihan

lahan, pembuatan lubang tanam, pemupukan sebelum penanaman, pembuatan ajir

dan pemasangan ajir, penanaman, pemupukan pertama dan kedua setelah pena-

naman, pembersihan rumput pertama dan kedua, pemberantasan hama penyakit

tumbuhan pertama dan kedua, penyulaman, penjarangan, pemangkasan, hingga

pemanenan. Selain itu, terdapat pula biaya sarana produksi yang meliputi biaya

pengadaan bibit tanaman, bahan ajir, pupuk, dan obat pemberantas hama/penyakit

tanaman. Biaya-biaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Biaya tenaga kerja; untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat, petani biasa

menggunakan tenaga kerja sendiri dan keluarga. Apabila lahan yang dimiliki

sangat luas, petani biasanya memburuhkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mem-

bayar buruh tani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) sebesar

Rp25.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja

wanita), sedangkan upah tenaga buruh di Desa Sepatnunggal (Kecamatan

Sodonghilir) dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar

Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp15.000/orang/hari (tenaga kerja

wanita). Jam kerja satu hari, yaitu mulai pukul 07.00–13.00 WIB dan disebut

dengan istilah sabedug.

b. Biaya bibit tanaman; petani biasa memperoleh bibit tanaman dengan cara

membeli dari pedagang bibit keliling, memperoleh bantuan dari pemerintah,

menyemai sendiri, ataupun meminta ke keluarga atau tetangga. Daftar harga

bibit tanaman di lokasi penelitian tertera pada Tabel 4.

Page 256: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

248 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 4. Daftar harga bibit dan daur rata-rata pengusahaan tanaman hutan rakyat

No. Jenis tanaman Harga (Rp/batang)

dan asal bibit Daur rata-rata (tahun)

1. Sengon 500 5

2. Mahoni 600 15

3. Manglid 1.000 10

4. Gmelina 1.000 12

5. Tisuk 600 7

6. Afrika 500 15

7. Jengkol Pemberian Panen setiap tahun, mulai

menghasilkan di tahun ke-11

8. Petai Pemberian Panen setiap tahun, mulai

menghasilkan di tahun ke-11

9. Talas Pemberian 1 tahun

10. Singkong Pemberian 1 tahun

11. Kapulaga 1.000 Panen 40 hari sekali mulai umur 1,5

tahun hingga 2 tahun

Sumber: hasil analisis data primer 2011

c. Biaya ajir; pembuatan ajir dilakukan dengan bahan dari bambu. Mayoritas res-

ponden menyatakan tidak menggunakan ajir ketika melakukan penanaman.

Tanaman yang menggunakan ajir pada umumnya adalah tanaman kehutanan

dan perkebunan, seperti afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, dan tisuk

dengan biaya satu hari tenaga kerja pria untuk pembuatan ajir. Bambu biasanya

diperoleh dengan menebang di kebun sendiri atau membeli seharga Rp5.000/

batang.

d. Biaya pupuk; petani biasanya menggunakan pupuk kandang, urea, NPK, KCL,

dan poska. Pemupukan secara umum dilakukan tiga kali, yaitu sekali sebelum

penanaman dan dua kali setelah penanaman. Pemupukan secara intensif dilaku-

kan petani untuk tanaman kapulaga, sedangkan tanaman kehutanan dan buah

hanya dipupuk di awal pengusahaan (hingga umur 2–3 tahun). Pemupukan

selanjutnya didapat dari pupuk tanaman kapulaga.

Page 257: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 249

e. Biaya obat hama dan penyakit tanaman; mayoritas petani menyatakan tidak

melakukan penyemprotan hama dan penyakit tanaman. Penyemprotan dilaku-

kan jika memang ada hama atau penyakit saja, yaitu menggunakan decis atau

round up.

Rekapitulasi biaya pengusahaan tanaman yang dikeluarkan oleh petani

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Biaya tidak tetap pengusahaan hutan rakyat (Rp)

Kegiatan Tahun

ke

Nilai pendapatan (Rp)

Desa

Tanjungkerta

Desa

Sepatnunggal

Desa

Karyabakti

1. Biaya tetap

a. Pajak/sewa lahan 1-15 127.500,00 60.000,00 136.000,00

b. Alat 1.381.480,77 985.600,63 1.544.646,35

c. Pemeliharaan alat 0,00 0,00 0,00

2. Biaya tidak tetap/ variabel 1.508.980,77 1.045.600,63 1.680.646,35

a. Biaya tenaga kerja

- Pengolahan lahan sebelum

penanaman

1 2.941.250,00 1.520.000,00 2.297.500,00

- Pembuatan lubang tanam

dan pemupukan sebelum

penanaman

1 1.296.250,00 782.000,00 725.000,00

- Penanaman 1 850.000,00 827.000,00 700.000,00

- Pemupukan 1 setelah

penanaman

1 570.000,00 225.000,00 1.955.000,00

- Pemupukan 2 setelah

penanaman

2 115.000,00 120.000,00 30.000,00

- Pemupukan 3 setelah

penanaman

3 25.000,00 0,00 30.000,00

- Pembersihan rumput 1 1 1.900.000,00 6.585.000,00 1.365.000,00

- Pembersihan rumput 2 2 1.575.000,00 3.240.000,00 920.000,00

- Pembersihan rumput 3 3 810.000,00 1.140.000,00 435.000,00

- Pembersihan rumput 4 4 545.000,00 360.000,00 245.000,00

- Pembersihan rumput 5 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00

Page 258: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

250 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Kegiatan Tahun

ke

Nilai pendapatan (Rp)

Desa

Tanjungkerta

Desa

Sepatnunggal

Desa

Karyabakti

- Pemberantasan HPT 1 1 165.000,00 37.000,00 115.000,00

- Pemberantasan HPT 2 2 0,00 12.000,00 45.000,00

- Pemberantasan HPT 3 3 0,00 0,00 30.000,00

- Pemberantasan HPT 4 4 0,00 0,00 30.000,00

- Penjarangan 3 125.000,00 0,00 90.000,00

- Pemangkasan 3 388.750,00 279.000,00 80.000,00

- Pemanenan 5, 7, 12,

15

0,00 0,00 0,00

Jumlah tahun 1 7.722.500,00 9.976.000,00 7.157.500,00

Jumlah tahun 2 1.690.000,00 3.372.000,00 995.000,00

Jumlah tahun 3 1.223.750,00 1.419.000,00 575.000,00

Jumlah tahun 4 545.000,00 360.000,00 275.000,00

Jumlah tahun 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00

b. Biaya sarana produksi

- Bibit 1 551.000,00 1.833.500,00 1.655.333,33

- Ajir 1 337.500,00 75.000,00 141.100,00

- Pupuk sebelum penanaman 1 1.823.750,00 295.000,00 634.500,00

- Pupuk 1 setelah penanaman 1 1.628.000,00 228.000,00 1.107.500,00

- Pupuk 2 setelah penanaman 2 117.500,00 28.000,00 5.000,00

- Pupuk 3 setelah penanaman 3 45.000,00 0,00 30.000,00

- Obat HPT 1 1 142.000,00 70.000,00 320.000,00

- Obat HPT 2 2 0,00 30.000,00 60.000,00

- Obat HPT 3 0,00 0,00 40.000,00

- Obat HPT 4 0,00 0,00 40.000,00

Jumlah tahun 1 4.482.250,00 2.501.500,00 3.858.433,33

Jumlah tahun 2 117.500,00 58.000,00 65.000,00

Jumlah tahun 3 45.000,00 0,00 70.000,00

Jumlah tahun 4 0,00 0,00 40.000,00

Sumber: hasil analisis data primer 2011

Page 259: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 251

C. Analisis Pendapatan Hutan Rakyat

Analisis pendapatan hutan rakyat dilakukan terhadap semua jenis tanaman

yang dominan diusahakan oleh petani di lahan hutan rakyatnya. Pendapatan meru-

pakan hasil riil yang diperoleh petani secara rutin dan dijual secara komersial. Per-

hitungan pendapatan hutan rakyat di setiap lokasi penelitian sebagaimana Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi pendapatan hutan rakyat di lokasi penelitian

No. Sumber pendapatan

hutan rakyat

Tahun

ke

Nilai pendapatan (Rp)

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

1. Sengon 5, 10, 15 7.500.000,00 14.280.000,00 9.480.833,00

2. Tisuk 7 0,00 250.000,00 0,00

3. Manglid 10 2.879.500,00 11.350.000,00 2.491.667,00

4. Gmelina 12 0,00 0,00 0,00

5. Mahoni 15 8.600.000,00 2.800.000,00 2.203.333,00

6. Afrika 15 0,00 0,00 0,00

7. Tanaman perkebunan 11–15 250.000,00 6.930.000,00 5.190.000,00

8. Tanaman buah 11–15 2.410.000,00 190.000,00 6.603.000,00

9. Tanaman pangan 2–4 895.000,00 0,00 60.000,00

10. Tanaman obat 3–15 1.870.000,00 734.000,00 12.540.000,00

Sumber: hasil analisis data primer 2011

D. Perhitungan Analisis Finansial

Perhitungan analisis finansial dalam pengusahaan hutan rakyat di lokasi pene-

litian menggunakan parameter analisis keuntungan berdasarkan nilai nominal dan

analisis kelayakan finansial berdasarkan nilai manfaat bersih (Net Present Value/

NPV), rasio biaya (Benefit Cost Ratio/BCR), dan nilai discount rate yang membuat

NPV 0 (Internal Rate of Return/IRR). Untuk melakukan analisis finansial, kajian

ini menggunakan tingkat suku bunga investasi menurut Bank Umum berdasarkan

rata-rata suku bunga pada tahun 2002–2009, yaitu 14,95%. Rekapitulasi hasil

analisis kelayakan finansial terdapat pada Tabel 7.

Page 260: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

252 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 7. Prospek finansial pengusahaan hutan rakyat per daur

No. Komponen nilai

finansial hutan rakyat

Besar nilai finansial (Rp/daur)

Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti

1. Biaya 53.539.211,55 51.777.009,52 51.691.561,87

2. Pendapatan 100.190.000,00 102.382.000,00 255.302.500,00

3. Keuntungan 46.650.788,45 50.604.990,48 203.610.938,10

4. NPV 120.705,54 (1.686.509,37) 47.106.848,65

5. B/CR 1,00 0,94 2,88

6. IRR 0,10% -1,19% 33,49%

Tabel 7 memperlihatkan bahwa pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjung-

kerta dapat dikatakan impas, yaitu nilai NPV-nya positif, nilai B/CR-nya sama

dengan 1, dan nilai i <r. Pengusahaan hutan rakyat di Desa Sepatnunggal dianggap

tidak layak dengan nilai NPV negatif, nilai B/CR <1, dan nilai i <r. Sementara itu,

pengusahaan hutan rakyat di Desa Karyabakti mampu memberikan hasil finansial

yang cukup baik. Hal tersebut terlihat dari hasil nilai NPV >0, nilai B/CR >1, dan

nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku (i >r) sebagai syarat suatu usaha

dinyatakan memberikan hasil yang menguntungkan. Demikian juga dengan hasil

penelitian Diniyati et al. (2013) yang menyatakan bahwa usaha hutan rakyat pola

agroforestri di Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis, yang dilakukan pada

luasan <0,25 ha tidak layak secara finansial. Menurut Jariyah & Wahyuningrum

(2008) dari beberapa jenis tanaman hutan rakyat yang diusahakan pada luasan <0,25

ha memberikan nilai kelayakan yang tertinggi adalah albasia, yaitu untuk lokasi di

Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan kisaran nilai B/CR sekitar 2,73–13,46,

nilai IRR 13–38% dan nilai NPV Rp7.996.351–65.420.565/ha, sedangkan tanaman

jati lebih banyak menunjukkan nilai tidak layak. Widyaningsih & Achmad (2012)

juga menyatakan bahwa nilai finansial dari hutan rakyat mahoni dan albasia pada

luasan <0,5 ha pada tingkat suku bunga 18% menghasilkan nilai yang layak.

Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat yang

dilakukan pada lahan sempit (<0,25 ha) dan menggunakan tanaman kehutanan

dominan yang berdaur menengah dan panjang akan memberikan hasil tidak layak.

Page 261: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 253

Hal ini berkaitan dengan tingkat penerimaan petani. Apabila tanamannya berdaur

menengah dan panjang, petani akan lama mendapatkan hasil dari kayunya.

Sebaliknya, penggunaan tanaman yang berdaur pendek akan memberikan hasil

pendapatan yang lebih cepat.

Terdapatnya nilai NPV yang lebih besar di Desa Karyabakti dibandingkan

dengan dua desa lainnya disebabkan oleh rendahnya biaya yang dikeluarkan respon-

den untuk pengelolaan hutan rakyat di desa ini. Hampir semua responden di Desa

Karyabakti mengerjakan sendiri hutan rakyatnya; berbeda halnya dengan di Desa

Sepatnunggal yang kebanyakan mengelola hutan rakyat dengan cara diburuhkan

sehingga menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pengusahaan hutan

rakyat. Selain itu, responden di Desa Karyabakti menggunakan pupuk kandang dari

hasil ternaknya untuk memupuk pohon di hutan rakyatnya sehingga tidak perlu

membeli pupuk dari toko yang harus mengeluarkan modal.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Pengusahaan hutan rakyat pola agroforestri dengan luas lahan <0,25 ha mem-

berikan hasil yang beragam. nilai NPV tertinggi terdapat pada pengusahaan hutan

rakyat di Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar Rp47.106.848,65

dengan nilai B/CR 2,88, dan nilai IRR 33,49%. Sebaliknya, pengusahaan hutan

rakyat di Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir) diperoleh nilai NPV sebesar

Rp(1.686.509,37) dengan nilai B/CR 0,94 dan nilai IRR -1,19%. Sementara itu,

pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung)

diperoleh nilai NPV sebesar Rp120.705,54 dengan nilai B/CR 1,00 dan nilai IRR

0,10%. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan apabila akan

mengembangkan usaha hutan rakyat pada luasan <0,25 ha. Hal ini karena pemilihan

jenis tanaman ini sangat menentukan kelayakan usaha hutan rakyat.

Page 262: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

D. Diniyati & T.S. Widyaningsih

254 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

B. Saran

Berdasarkan hasil perhitungan finansial, terdapat nilai NPV yang negatif

sehingga perlu peningkatan pada aspek manajemen hutan rakyat seperti pemeliha-

raan tanaman agar dapat lebih meningkatkan produktivitas dan hasil panen. Selain

itu, pengayaan tanaman perlu dilakukan melalui pemanfaatan lahan bawah tegakan,

terutama bagi petani yang sama sekali belum menerapkannya.

Daftar Pustaka

Achmad, B., Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno.

(2011). Pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Analisis

ekonomi dan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu

pertukangan Laporan Hasil Penelitian. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi

Agroforestry.

Andayani, W. (2009). Konsep ekonomi kehutanan dan implementasinya dalam

pengembangan hutan tanaman [Press release]

BPS. (2011). Kabupaten Tasikmalaya dalam angka: BPS Kabupaten Tasikmalaya.

Clive, G., Simanjuntak, P., Sabur, L. K., Maspaitella, P., & Varley, R. (2007).

Pengantar evaluasi proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Diniyati, D. (2009). Bentuk insentif pengembangan hutan rakyat di wilayah

ekosistem Gunung Sawal, Ciamis. (Master), Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Diniyati, D., Achmad, B., & Santoso, H. (2013). Analisis finansial agroforestry

sengon di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan

Panjalu). Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 13-30.

Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat

dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/

06VI/ 06VIMengenal%20manglid.htm:

Page 263: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 255

Enda. (2011). Rencana kerja penyuluh kehutanan dan perkebunan Kecamatan

Pagerageung tahun 2011: Pemda Kabupaten Tasikmalaya.

Fauziyah, E. (2009). Analisis skim kredit dan modal sosial dalam pengembangan

usaha hutan rakyat. (Master), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Jariyah, N. A., & Wahyuningrum, N. (2008). Karakteristik hutan rakyat di Jawa.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 5(1).

Widyaningsih, T. S., & Achmad, B. (2012). Analisis finansial usahatani hutan

rakyat pola wanafarma di Majenang, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 9(2), 105-120.

Page 264: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 265: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 257

Analisis Finansial Agroforestri Manglid dan Empat Jenis

Tanaman Bawah di Priangan Timur

Yonky Indrajaya1 & Aris Sudomo1

ABSTRAK

Agroforestri dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun ketahanan pangan.

Salah satu bentuk agroforestri yang kini prospektif untuk dikembangkan adalah dengan

tanaman bawah palawija pada tahap awal dan dengan umbi-umbian pada agroforestri tingkat

lanjut. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengusahaan agroforestri manglid secara

finansial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah membangun plot agroforestri

bersama petani dan mencatat semua biaya yang diperlukan, serta hasil yang diperoleh dari

tanaman semusim selama pembangunan awal agroforestri manglid. Kriteria penilaian

kelayakan usaha yang digunakan adalah NPV, IRR, dan B/CR. Hasil yang diperoleh dari

penelitian ini adalah 1) pengusahaan agroforestri manglid-palawija-umbi layak diusahakan

secara finansial dengan nilai NPV sebesar Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2;

2) tanaman bawah tegakan tidak memberikan kontribusi positif terhadap NPV; 3) penu-

runan produksi kayu manglid hingga 30% akan menyebabkan pengusahaan agroforestri

manglid menjadi tidak layak secara finansial; dan 4) pada tingkat suku bunga 8%, agroforestri

manglid menjadi tidak layak secara finansial

Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, manglid, tanaman bawah

I. Pendahuluan

Agroforestri dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun

ketahanan pangan (Atangana et al., 2014). Penentuan pola agroforestri sangat

tergantung pada kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pola agroforestri akan

menjadi menarik untuk diusahakan oleh petani dibandingkan dengan pola mono-

kultur karena agroforestri dengan interaksi yang terjadi antara pohon dan tanaman

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,

Jawa Barat 46201; Email: [email protected]

Page 266: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

258 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

semusim memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan lebih baik bagi lingkungan

(Jose & Gordon, 2008).

Di Indonesia, sistem agroforestri telah berkembang cukup pesat dengan

berbagai istilah lokal (Cahyono & Indrajaya, 2011). Salah satu bentuk agroforestri

yang diusahakan di Jawa Barat adalah agroforestri manglid. Manglid (Magnolia

champaca) merupakan salah satu jenis yang telah terbukti tumbuh baik di hutan

rakyat wilayah Priangan Timur, Provinsi Jawa Barat (Puspitojati et al., 2013). Kayu

manglid potensial digunakan untuk bahan bangunan, furnitur, dan kerajinan. Nilai

kegunaan dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan masyarakat menanam

manglid di lahan hutan rakyat. Jenis tanaman bawah yang umumnya ditanam di

bawah tegakan manglid antara lain kacang tanah, jagung, suweg, ganyong, cabe, dan

kapulaga.

Masyarakat mengaplikasikan agroforestri berdasarkan pengetahuan berbasis

pengalaman (Cahyono & Indrajaya, 2011). Tujuan masyarakat mengaplikasikan

agroforestri adalah sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan sebagai

kegiatan sampingan untuk tabungan. Hal ini berimplikasi pada input teknologi yang

rendah atau ala kadarnya. Input produksi yang ala kadarnya tentu akan berpengaruh

terhadap hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, analisis usaha agroforestri menjadi

penting dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha agroforestri.

Analisis finansial terhadap berbagai komoditas pertanian ataupun komoditas

kehutanan berdasarkan budi daya yang terdapat di masyarakat telah banyak

dilakukan (Indrajaya & Sudomo, 2013; Kusumedi & Jariyah, 2010; Siregar et al.,

2007). Indrajaya & Sudomo (2013) dan Kusumedi & Jariyah (2010) dalam

penelitiannya pada agroforestri sengon-kapulaga menyatakan bahwa agroforestri

sengon-kapulaga layak diusahakan secara finansial dengan proporsi pendapatan yang

lebih tinggi berasal dari komoditas kayu. Sementara itu, analisis finansial agroforestri

kayu pertukangan dengan tanaman pangan belum banyak diteliti; padahal, praktik

ini telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan

menganalisis agroforestri manglid dan empat jenis tanaman pangan secara finansial.

Page 267: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 259

II. Metodologi

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal hutan rakyat yang secara administratif terma-

suk dalam wilayah Kecamatan Sukamantri (Kabupaten Ciamis) dan Kecamatan

Kawalu (Kota Tasikmalaya), Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006’550’’

dan E 108022’900’’. Lahan hutan rakyat tersebut tergolong lahan kering dengan

ketinggian ±894 m dpl, temperatur udara 20,4–31oC , kelembaban 62,13–89,75%,

dan curah hujan mencapai 2.071 mm/tahun. Berdasarkan kriteria Schmidth &

Ferguson, tipe curah hujan di lokasi penelitian termasuk tipe C (agak basah) (Balai

Penyuluhan Pertanian, 2012).

Gambar 1. Lokasi penelitian

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Uji coba pola agroforestri yang diterapkan adalah tegakan manglid dengan

beberapa tanaman bawah, yaitu jagung, kacang tanah, ganyong, dan suweg yang

dilakukan secara intensif. Data seluruh input produksi (meliputi bahan tanaman,

Page 268: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

260 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pupuk, peralatan, dan tenaga kerja) dan output produksi (meliputi kayu manglid dan

tanaman bawah yang dipanen) diperoleh dengan perhitungan langsung sejak

pembangunan plot hingga pemanenan tanaman bawah (umur pohon manglid 0–52

bulan). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai peralatan

habis pakai sehingga tidak dihitung biaya penyusutannya.

Analisis kelayakan finansial agroforestri manglid dengan beberapa tanaman

bawah dilihat dengan menggunakan kriteria Net Present Value (NPV),

Benefit/Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Thompson &

George, 2009). Penelitian tentang analisis finansial usaha kehutanan telah banyak

dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha kehutanan dengan kriteria investasi

NPV, B/CR, dan IRR (Ginoga et al., 2005; Kusumedi & Jariyah, 2010; Yuniati,

2011). Kriteria NPV merupakan jumlah profit (total penerimaan tB dikurangi

dengan total pengeluaran tC ) yang terdiskon dengan faktor diskonto (1 )ti dalam

kurun waktu tertentu (t), pada tingkat suku bunga i, seperti disajikan dalam

persamaan berikut:

0

NPV(1 )

Tt t

tt

B C

i

(1)

Kriteria B/CR merupakan perbandingan dari total penerimaan terdiskon

selama kurun waktu proyek dibagi dengan total pengeluaran terdiskon selama kurun

waktu proyek. Nilai B/CR akan memberikan gambaran estimasi pengembalian

dalam rupiah dari investasi yang ditanamkan.

0

0

(1 )BCR=

(1 )

Tt

tt

Tt

tt

B

i

C

i

(2)

Kriteria IRR merupakan discount rate yang mana nilai NPV sama dengan

nol. Nilai IRR menunjukkan nilai aktual pengembalian investasi suatu proyek.

NPV1IRR= 2 1

NPV1 NPV2i i i

(3)

Page 269: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 261

Analisis finansial dilakukan selama daur manglid optimal 16 tahun (Indrajaya,

2014) dengan penanaman tanaman bawah hingga tanaman manglid berumur 52

bulan pada tingkat suku bunga riil sebesar 4% (World Bank, 2013). Analisis

sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada perhitungan

aliran kas akibat perubahan yang terjadi pada parameter kunci dari perhitungan.

Parameter penelitian yang diperkirakan berpotensi untuk mengalami perubahan

adalah penurunan produksi (baik manglid maupun tanaman bawah tegakannya) dan

perubahan tingkat suku bunga.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Estimasi Biaya Agroforestri Manglid

1. Estimasi Biaya Manglid

Tanaman manglid ditanam dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Bibit manglid

diperoleh dengan cara pembelian dengan harga Rp1.000/batang. Sebelum dilakukan

penanaman, pembersihan lahan memerlukan tenaga kerja sebanyak 250 hari orang

kerja (HOK), dengan nilai 1 HOK sebesar Rp30.000. Waktu kerja 1 HOK

terhitung mulai pukul 8.00 (pagi) dan berakhir pada pukul 12.00 (siang). Sebelum

dilakukan penanaman, pemupukan dasar dilakukan menggunakan pupuk kandang

dengan dosis ±5 kg/lubang tanam dan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 60 HOK.

Harga pupuk kandang adalah Rp200/kg. Kegiatan penanaman dilakukan dua

minggu sejak pemberian pupuk dasar/pupuk kandang dengan tenaga kerja sebanyak

60 HOK. Pemeliharaan tanaman manglid dilakukan dengan cara penyiangan

seluruh lahan dengan tenaga kerja sebanyak 60 HOK. Estimasi biaya penanaman

manglid disajikan dalam Tabel 1.

Estimasi volume tegakan manglid dilakukan dengan menggunakan persamaan

estimasi volume yang dibuat juga di lokasi penelitian yang sama (Indrajaya, 2014)

sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Page 270: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

262 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 1. Estimasi biaya penanaman tegakan manglid

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)

1. Biaya bahan

a. Bibit buah 1.000 2.500 2.500.000

b. Pupuk organik kilogram 200 12.500 2.500.000

2. Biaya operasional

a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000

b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000

c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000

d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000

e. Pengangkutan bahan HOK 30.000 30 900.000

Total biaya 18.800.000

Tabel 2. Estimasi volume per hektare tegakan manglid

Umur

(tahun)

Diameter

(cm)

Tinggi

(m)

Populasi

(pohon/ha)

Volume

(m3/ha)

CAI

(m3/ha)

MAI

(m3/ha)

0 - - 2.500 - - -

1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93

2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22

3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14

4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74

5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08

6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20

7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14

8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91

9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54

10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04

11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45

12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75

13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98

14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13

15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21

16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25

Keterangan: MAI=riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment); CAI= riap tahun berjalan

(Current Annual Increment)

Page 271: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 263

Pada tahun ke-16, total volume tegakan manglid diperkirakan sebanyak >200

m3/ha. Harga jual kayu manglid adalah Rp1 juta/m3. Tabel 2 menunjukkan estimasi

volume tegakan manglid hingga umur 16 tahun. Daur biologis tegakan manglid

berdasarkan Tabel 1 adalah ±16 tahun, yaitu keadaan di mana nilai CAI sama

dengan MAI. Oleh karena itu, analisis finansial agroforestri manglid dilakukan

hingga umur 16 tahun.

2. Estimasi Biaya Kacang Tanah

Pada agroforestri awal tanaman manglid, naungan relatif belum terbentuk

atau kondisi lapangan masih terbuka. Penanaman kacang tanah pada plot manglid

dilakukan bersamaan dengan penanaman manglid dengan jarak tanam 0,2 m x 0,3

m. Persiapan lahan pada penanaman kacang tanah meliputi pembersihan dan

pengolahan tanah. Hal ini dilakukan dengan pembersihan lahan dan mencangkul

tanah sedalam ±40 cm dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah tersebut memer-

lukan tenaga kerja sebanyak 325 HOK/ha. Setelah pengolahan tanah, penyebaran

pupuk kandang dilakukan sebanyak 5.848 kg/ha. Tenaga kerja yang diperlukan

untuk pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk kandang agar

merata sekitar 19 HOK/ha. Penanaman kacang tanah dimulai dengan pembuatan

bedengan di antara tanaman manglid dengan diselingi saluran drainase sedalam 25–

30 cm dengan lebar 20 cm. Benih kacang tanah yang digunakan berasal dari varietas

lokal yang ditanam dengan cara ditugal sedalam 2–3 cm dengan jarak ±20 cm

sebanyak 2 buah/lubang tanam. Pada penanaman kacang tanah, tenaga kerja yang

diperlukan sebanyak 122 HOK/ha.

Pemupukan lanjutan dilakukan dua kali, yaitu pada 15 hari dan 35 hari setelah

tanam. Pemupukan campuran urea dan NPK (4:3) pada saat kacang tanah berumur

15 hari dengan dosis 10 gram/tanaman dan berjarak 2 cm dari kacang tanah.

Penyiangan dilakukan pada saat pemupukan anorganik atau tanaman kacang tanah

berumur 15 hari, kemudian dilanjutkan pada umur 35 hari setelah tanam.

Penyiangan dan pemupukan dilakukan dua kali dan masing-masing membutuhkan

tenaga kerja sebanyak 99 HOK/ha.

Page 272: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

264 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 3. Estimasi biaya pengelolaan kacang tanah dengan jarak tanam 0,2 x 0,3 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)

1. Biaya bahan

a. Bibit kg 13.000 100 1.300.000

b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522

c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571

d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429

e. Curacron Botol 58.000 5 282.651

2. Biaya tenaga kerja

a. Pembersihan dan pengolahan

lahan

HOK 30.000 325 9.746.589

b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795

c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971

d. Penyiangan ke-1 dan

pemupukan lanjutan 1

HOK 30.000 99 2.984.893

e. Penyiangan ke-2 dan

pemupukan lanjutan 2

HOK 30.000 99 2.984.893

f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647

Total biaya 27.839.961

3. Estimasi Biaya Jagung

Jenis tanaman pertanian yang ditanam pada daur kedua atau saat manglid

berumur enam bulan adalah jagung. Bibit jagung hibrida Bisi-2 yang ditanam adalah

sebanyak 15 kg/ha dengan harga bibit adalah Rp51.000/kg. Pupuk dasar yang

diberikan pada tanaman jagung adalah pupuk organik (kandang) dan pupuk lanjutan

nonorganik (urea dan NPK). Penyiapan lahan dilakukan dengan pembersihan lahan

dan mencangkul tanah sedalam 30–40 cm dan membalikkannya. Tenaga kerja untuk

kegiatan penyaiapan lahan ini sebanyak 325 HOK/ha. Penyebaran pupuk kandang

secara merata ke areal penanaman sebanyak 5 ton/ha. Tenaga kerja untuk

pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk merata ke areal

penanaman sebanyak 19 HOK/ha. Penanaman jagung dilakukan dengan jarak

tanam 0,3 m x 0,8 m dan membentuk lubang tanam dengan tugal. Setiap lubang

Page 273: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 265

tanam diberi dua butir jagung dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Kegiatan

penanaman ini memerlukan tenaga kerja sebanyak 122 HOK/ha.

Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiangan, pemupukan, dan pengguludan

pada barisan jagung. Penyiangan dan penimbunan jagung dilakukan pada saat

pemupukan anorganik umur 15 hari dan dilanjutkan pada umur 35 hari setelah

tanam. Penyiangan dan pengguludan dilakukan dengan mencangkul tanah di sela-

sela barisan jagung. Rumput atau gulma dan tanah hasil penyiangan ditimbunkan

atau diurugkan pada pupuk. Satu kali proses pemeliharaan, yaitu penyiangan,

pengguludan, dan pemupukan lanjutan ini dalam satu paket diperlukan tenaga kerja

sebanyak 99 HOK/ha. Rincian kegiatan dan biaya budi daya jagung pada

agroforestri manglid di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Estimasi biaya pengelolaan jagung dengan jarak tanam 0,3 x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)

1. Biaya bahan

a. Bibit kg 51.000 15 765.000

b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522

c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571

d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429

e. Curacron Botol 58.000 5 282.651

2. Biaya tenaga kerja

a. Pembersihan dan pengolahan

lahan

HOK 30.000 325 9.746.589

b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795

c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971

d. Penyiangan ke-1 dan

pemupukan lanjutan 1

HOK 30.000 99 2.984.893

e. Penyiangan ke-2 dan

pemupukan lanjutan 2

HOK 30.000 99 2.984.893

f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647

Total biaya 27.304.961

Page 274: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

266 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Dengan input produksi seperti disajikan dalam Tabel 4, hasil produksi jagung

di bawah tegakan manglid di lokasi penelitian sebesar 7.006 kg/ha. Harga jagung

pipilan kering adalah Rp2.150/kg sehingga total pendapatan yang diperoleh dari

penanaman jagung sebesar Rp15.062.470. Oleh karena itu, kegiatan penanaman

jagung ini mengalami defisit sebesar Rp(12.242.491) [tanda kurung berarti minus]

atau pengusahaan jagung di lokasi penelitian dengan input produksi yang ada

mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan temuan Hadi (2009) di Jambi yang

menanam jagung Bisi-2 di bawah tegakan kelapa yang mendapatkan hasil positif

dari jagung sebesar Rp1.042.250/ha/musim.

4. Estimasi Biaya Ganyong

Penanaman ganyong dilakukan pada saat manglid berumur 32 bulan dan

dipanen pada saat manglid berumur 40 bulan (durasi 8 bulan). Penyiapan lahan

dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah sedalam 30–40 cm. Jarak

tanam untuk penanaman ganyong masing-masing adalah 120 cm x 80 cm. Kegiatan

penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan tanah memerlukan

tenaga kerja sebanyak 162 HOK/ha. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran 40

cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Penanaman ganyong dilakukan dengan menaruh

mata tunas di bagian atas dan menimbunnya dengan tanah. Tenaga kerja untuk

kegiatan penanaman ganyong sebanyak 81 HOK/ha. Pupuk dasar pada saat

penanaman ganyong adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 4.167 kg/ha atau dengan

dosis 800 gram/lubang. Tenaga kerja untuk pemberian pupuk kandang sebanyak 81

HOK/ha. Penyiangan dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah

ganyong berumur dua dan empat bulan. Dosis pemupukan menggunakan urea dan

NPK (1:2) sebanyak 70 gram/tanaman. Kegiatan penyiangan, pemupukan lanjutan,

dan pengguludan memerlukan tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.

Page 275: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 267

Tabel 5. Estimasi biaya pengelolaan ganyong dengan jarak tanam 1,2 m x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)

1. Biaya bahan

a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000

b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222

c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167

d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333

e. Curacron Botol 58.000 5 282.651

2. Biaya tenaga kerja

a. Pembersihan dan pengolahan

lahan

HOK 30.000 162 4.873.294

b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647

c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647

d. Penyiangan ke-1 dan

pemupukan lanjutan 1

HOK 30.000 68 2.046.784

e. Penyiangan ke-2 dan

pemupukan lanjutan 2

HOK 30.000 68 2.046.784

f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386

Total biaya 20.856.915

5. Estimasi Biaya Suweg

Penyiapan lahan untuk penanaman suweg adalah mencangkul tanah sedalam

30–40 cm dan membalikkan tanah hasil cangkulan. Jarak tanam yang digunakan

penanaman suweg adalah 1,2 m x 0,8 m. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran

40 cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Tenaga kerja untuk kegiatan penyiapan lahan

dan penanaman masing-masing diperlukan sebanyak 162 HOK/ha dan 81

HOK/ha. Pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang sebanyak 800

gram/lubang tanam. Kegiatan pemberian pupuk kandang per lubang tanam ini

memerlukan tenaga kerja sebanyak 81 HOK/ha. Pemeliharaan meliputi penyiangan,

pengguludan, dan pemupukan lanjutan dilakukan pada saat tanaman berumur dua

bulan dan empat bulan setelah tanam. Satu kali kegiatan pemeliharaan memerlukan

tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.

Page 276: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

268 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 6. Estimasi biaya pengelolaan suweg dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m

Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)

1. Biaya bahan

a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000

b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222

c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167

d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333

e. Curacron Botol 58.000 5 282.651

2. Biaya tenaga kerja

a. Pembersihan dan pengolahan

lahan

HOK 30.000 162 4.873.294

b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647

c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647

d. Penyiangan ke-1 dan

pemupukan lanjutan 1

HOK 30.000 68 2.046.784

e. Penyiangan ke-2 dan

pemupukan lanjutan 2

HOK 30.000 68 2.046.784

f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386

Total biaya 20.856.915

B. Analisis Finansial Agroforestri Manglid

Berdasarkan estimasi biaya pada bagian sebelumnya, analisis tentang biaya

yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh selama 16 tahun pengusahaan agroforestri

manglid dapat disajikan dalam Tabel 7. Harga setiap satuan biaya dan pendapatan

disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, aliran kas selama daur (16 tahun) disajikan

dalam Tabel 9.

Page 277: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 269

Tabel 7. Input-output pengelolaan agroforestri manglid dengan beberapa tanaman bawah

selama 16 tahun

Uraian input-output Satuan Tahun ke-

1 2 3 4 5–15 16

I. Input

1. Bahan tanam

- Bibit manglid batang 2.500

- Bibit kacang tanah kg 100

- Bibit jagung kg 15

- Bibit ganyong kg

5.200

- Bibit suweg kg

5.200

2. Pupuk dan obat-obatan

- Kandang kg/ha 24.196

8.334

- Urea kg/ha 952

486

- NPK kg/ha 833

972

- Herbisida botol/ha 10

10

3. Tenaga kerja (manglid)

- Persiapan lahan HOK 250

- Pemupukan HOK 60

- Penanaman HOK 60

- Penyiangan HOK 60

- Pengangkutan bahan HOK 30

4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)

- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 650

650 324

- Pemberian pupuk kandang HOK 38

38 162

- Penanaman HOK 244

244 162

- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 198

198 136

- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 198

198 136

- Pemanenan HOK 162

162 116

II. Output

1. Tanaman bawah tegakan

- Kacang tanah kg 1.410

1.410

- Jagung kg 7.006

7.006

- Ganyong kg

6.667

- Suweg kg

4.565

2. Kayu manglid m3 211.95

Page 278: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

270 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 8. Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial

Uraian input-output Satuan Harga (Rp)

I. Input

1. Bahan tanam

- Bibit manglid batang 1.000

- Bibit kacang tanah kg 13.000

- Bibit jagung kg 51.000

- Bibit ganyong kg 350

- Bibit suweg kg 350

2. Pupuk dan obat-obatan

- Kandang kg/ha 233

- Urea kg/ha 3.000

- NPK kg/ha 3.000

- Herbisida botol/ha 58.000

3. Tenaga kerja (manglid)

- Persiapan lahan HOK 30.000

- Pemupukan HOK 30.000

- Penanaman HOK 30.000

- Penyiangan HOK 30.000

- Pengangkutan bahan HOK 30.000

4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)

- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 30.000

- Pemberian pupuk kandang HOK 30.000

- Penanaman HOK 30.000

- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 30.000

- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 30.000

- Pemanenan HOK 30.000

II. Output

1. Tanaman bawah tegakan

- Kacang tanah kg 8.000

- Jagung kg 3.000

- Ganyong kg 2.000

- Suweg kg 2.000

2. Kayu manglid m3 800.000

Page 279: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 271

Tabel 9. Aliran kas pengusahaan agroforestri manglid daur 16 tahun (x 1.000)

Uraian input-output Tahun ke-

1 2 3 4 5–15 16

I. Input

1. Bahan tanam

- Bibit manglid 2.500

- Bibit kacang tanah 1.300

- Bibit jagung 765

- Bibit ganyong

1.820

- Bibit suweg

1.820

2. Pupuk dan obat-obatan

- Kandang 5.638

1.942

- Urea 2.856

1.458

- NPK 2.499

2.916

- Herbisida 580

580

3. Tenaga kerja (manglid)

- Persiapan lahan 7.500

- Pemupukan 1.800

- Penanaman 1.800

- Penyiangan 1.800

- Pengangkutan bahan 900

4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)

- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah 19.500

19.500 9.720

- Pemberian pupuk kandang 1.140

1.140 4.860

- Penanaman 7.320

7.320 4.860

- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 5.940

5.940 4.080

- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 5.940

5.940 4.080

- Pemanenan 4.860

4.860 3.480

Total pengeluaran 74.638

44.700 41.616

II. Output

1. Tanaman bawah tegakan

- Kacang tanah 11.280

11.280

- Jagung 21.017

21.017

- Ganyong

13.333

- Suweg

9.130

2. Kayu manglid

169.560

Total penerimaan 32.297

32.297 22.463

169.560

Profit 42.340

12.403 19.153

169.560

Page 280: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

272 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Berdasarkan Tabel 9, nilai NPV agroforestri manglid-kacang tanah, jagung,

ganyong dan suweg adalah Rp22.420.000 dengan nilai IRR 6% dan nilai B/CR 1,2.

Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa semua kriteria investasi telah terpenuhi

yang berarti pengusahaan agroforestri manglid layak secara finansial. Namun

demikian, tanaman bawah tegakan yang dimaksudkan menjadi tambahan penda-

patan petani dalam pola agroforestri justru berkontribusi negatif terhadap NPV.

Pengusahaan tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang cukup tinggi

tidak diikuti dengan hasil yang tinggi. Dengan demikian, pengusahaan tanaman

bawah tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg merugi.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel eksogen

dalam model terhadap hasil analisis. Variabel yang diuji dalam analisis sensitivitas

adalah jika produksi kayu manglid ataupun tumbuhan bawahnya turun 15% dan

30%. Selain itu, pengaruh tingkat suku bunga terhadap hasil agroforestri manglid

juga diuji. Hasil dari analisis sensitivitas penurunan produksi agroforestri manglid

disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Analisis sensitivitas AF manglid pada beberapa penurunan produksi

Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai

Kacang tanah 0,15 NPV 19.289

IRR 6%

B/CR 1,13

0,30 NPV 16.158

IRR 5%

B/CR 7,44

Jagung 0,15 NPV 16.186

IRR 6%

B/CR 1,11

0,30 NPV 10.752

IRR 5%

B/CR 1,07

Ganyong 0,15 NPV 21.249

IRR 6%

B/CR 1,11

Page 281: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 273

Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai

0,30 NPV 19.001

IRR 6%

B/CR 1,13

Suweg 0,15 NPV 21.249

IRR 6%

B/CR 1,14

0,30 NPV 20,079

IRR 6%

B/CR 1,14

Manglid 0,15 NPV 8.841

IRR 5%

B/CR 1,14

0,30 NPV (4.739)

IRR 3%

B/CR 1,34

Keterangan: Nilai NPV x 1.000

Penurunan produksi tumbuhan bawah tegakan (kacang tanah, jagung,

ganyong, dan suweg) hingga 30% tidak menyebabkan pengusahaan agroforestri

manglid menjadi tidak layak karena kontribusi pendapatan yang cukup besar dari

kayu manglid. Secara umum, tumbuhan bawah tegakan kayu manglid merugi atau

berkontribusi negatif terhadap NPV sehingga penurunan produksi hanya akan

menambah kerugian agroforestri manglid. Penurunan produksi kayu manglid

sebesar 30% akan menyebabkan nilai NPV yang negatif dan nilai IRR yang lebih

rendah dari suku bunga yang digunakan dalam perhitungan. Oleh karena itu,

penurunan produksi kayu manglid sebanyak 30% akan menyebabkan pengusahaan

agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finansial.

Pengaruh perubahan tingkat suku bunga terhadap hasil yang diperoleh dari

agroforestri manglid disajikan dalam Tabel 8. Pada tingkat suku bunga 2%, yang

mana lebih rendah dari suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini (4%), nilai

NPV menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp52.624.000. Sementara itu, pada tingkat

suku bunga 8%, pengusahaan agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finan-

Page 282: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

274 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

sial yang ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp(13.634.000) [tanda kurung berarti

minus].

Tabel 11. Analisis sensitivitas agroforestri manglid pada perubahan tingkat suku bunga

Kriteria Tingkat suku bunga

2% 6% 8%

NPV (x Rp1.000/ha) 52.624 1.219 (13.634)

IRR 6,14% 6,14% 6,14%

B/CR 1,34 1,01 0,90

Keterangan: tanda kurung berarti minus

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu

1) pola agroforestri manglid secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPV

Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2 ; (2) penanaman tumbuhan bawah

tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg tidak memberikan kontribusi

positif terhadap nilai NPV; 3) penurunan produksi kayu manglid hingga 30% akan

menyebabkan pola agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finansial; dan 4)

pada tingkat suku bunga 8%, agroforestri manglid menjadi tidak layak secara

finansial.

B. Saran

Pengusahaan agroforestri manglid dan beberapa tanaman bawah pada pene-

litian ini menunjukkan adanya peran tanaman bawah yang kurang memberikan

kontribusi positif terhadap nilai NPV. Hal ini karena produksi tanaman bawah yang

tidak berkontribusi positif terhadap nilai NPV. Oleh karena itu, pemeliharaan yang

lebih intensif terhadap tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang lebih

efisien dapat berpotensi untuk meningkatkan nilai NPV agroforestri manglid.

Page 283: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 275

Daftar Pustaka

Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Tropical Agroforestry:

Springer.

Balai Penyuluhan Pertanian, P. d. K. (2012). Kecamatan Sukamantri.

Cahyono, S. A., & Indrajaya, Y. (2011). Agroforestri tradisional Indonesia berbasis

kearifan lokal: Masa depan yang terancam. Paper presented at the Seminar

nasional hari lingkungan hidup, UNSOED Purwokerto.

Ginoga, K. L., Wulan, Y., & Djaenudin, D. (2005). Karbon dan peranannya dalam

kelayakan usaha hutan tanaman jati (Tectona Grandis) di KPH Saradan, Jawa

Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, 2, 183-202.

Hadi, R. (2009). Teknik optimalisasi pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa

di daerah pasang surut Jambi. Buleting Teknik Pertanian, 14(1).

Indrajaya, Y. (2014). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,

Tasikmalaya, Jawa Barat.

Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2013). Analisis finansial agroforestry sengon dan

kapulaga di Desa Payungagung, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Jurnal

Agroforestry.

Jose, S., & Gordon, A. M. (2008). Ecological knowledge and agroforestry design: an

introduction. In S. Jose & A. M. Gordon (Eds.), Toward agroforestry design:

An ecological approach. Springer.

Kusumedi, P., & Jariyah, N. A. (2010). Analisis finansial pengelolaan agroforestry

dengan pola sengon kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wadaslintang,

Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,

7(2), 93-100.

Puspitojati, T., Sudomo, A., & Rohandi, A. (2013). Peningkatan produktivitas

lahan melalui pola agroforestry kayu pertukangan dengan tanaman pangan.

Page 284: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Y. Indrajaya & A. Sudomo

276 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Siregar, U. J., Rachmi, A., Massijaya, M. Y., Ishibashi, N., & Ando, K. (2007).

Economic analysis of sengon (Paraserianthes falcataria) community forest

plantation, a fast growing species in East Java, Indonesia. Forest policy and

economics, 9, 822-829.

Thompson, D., & George, B. (2009). Financial and economic evaluation of

agroforestry. In I. Nuberg, B. George & R. Reid (Eds.), Agroforestry for

natural resource management. Collingwood Australia: CSIRO Publishing.

World Bank. (2013). World Bank Indicator.

Yuniati, D. (2011). Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman

Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,

Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 239-249.

Page 285: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 277

Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca)

di Kabupaten Tasikmalaya

Soleh Mulyana1

ABSTRAK

Pemasaran merupakan kegiatan akhir sebagai penentu keberhasilan dalam suatu usaha,

begitu pula terhadap budi daya kayu. Para petani dalam memasarkan kayu manglid masih

berupa pohon berdiri di kebunnya. Kajian ini bertujuan mengetahui pola saluran pemasaran

berikut margin pemasaran yang terjadi di Kabupaten Tasikamalaya yang merupakan salah

satu wilayah sentra kayu manglid di Priangan Timur. Metode snowball dan wawancara digu-

nakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, sedangkan parameter Setyaningsih (2008)

digunakan untuk mengetahui margin pemasaran. Hasil kajian mendapatkan delapan pola

saluran pemasaran kayu manglid sampai ke konsumen, yaitu enam pola untuk wilayah

Kabupaten Tasikmalaya dan dua pola saluran pemasaran untuk memenuhi konsumen ke

wilayah Bandung. Margin pemasaran tertinggi sebesar 58,90% dan terkecil sebesar 4,76%;

margin keuntungan tertinggi sebesar 33,33% dan terkecil sebesar 2,38%; efisiensi pemasaran

pada saluran I sebesar 16,79%, sedangkan Farmer Share tertinggi sebesar 69,93%.

Kata kunci: kayu manglid, pola saluran pemasaran, margin pemasaran

I. Pendahuluan

Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu daerah yang dikenal sebagai

sentra penghasil komoditas kayu manglid yang tumbuh secara alami. Heyne (1987)

menyatakan bahwa manglid merupakan salah satu jenis kayu khas Pulau Jawa dan

paling banyak ditemukan di daerah Jawa Barat. Wilayah JawaTengah tidak umum

dijumpai pohon manglid, bahkan jarang sekali dijumpai pohon jenis ini di Jawa

Timur. Pada beberapa daerah, kayu manglid terkenal dengan beberapa nama, antara

lain jatuh, madang limpaung (Sumatra); baros, manglid, cempaka bulus (Sunda atau

Jawa). Hasil penelitian Rohandi et al. (2010) menunjukkan bahwa kayu manglid di

1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis,

Jawa Barat 46201; Email: [email protected]

Page 286: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

278 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Priangan Timur tersebar pada jenis tanah lotosol, andosol, alluvial, dan podsolik

merah kuning pada ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/

tahun, dan kelerengan 0–45%. Kayu manglid dikembangkan dan dijadikan komo-

ditas unggulan melalui agroforestri pada progam pengembangan hutan rakyat dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001).

Pemasaran sangat memegang peranan penting dalam kegiatan usaha, begitu

pula pada pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri. Proses pemasaran merupakan

kegiatan menyelaraskan antara kepentingan petani (produsen) dengan keinginan

konsumen. Selama proses kegiatan pemasaran dari produsen ke konsumen, terben-

tuk suatu rantai tata niaga. Setyaningsih dalam Sundawati (2008) menyebutkan

terdapatnya suatu alur pemasaran, yaitu suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh

arus barang-barang, aktivitas, dan informasi dari produsen ke konsumen dengan

melibatkan komponen yang membentuk suatu rantai pemasaran, yaitu produk,

pelaku, aktivitas, dan input. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat akan

memperpanjang alur pemasaran sehingga berpengaruh terhadap posisi tawar di

tingkat petani (produsen) atau besarnya harga yang harus ditanggung konsumen.

Menurut Achmad et al. (2006), pemasaran komoditas hasil hutan rakyat

masih menghadapi beberapa permasalahan, antara lain 1) produk dihasilkan oleh

petani dalam unit-unit kecil; 2) produksi tergantung pada musim dan kebutuhan

sosial ekonomi produsen; 3) produk yang dihasilkan tidak dapat dijual secara

langsung atau sulit dilakukan penjualan langsung ke konsumen akhir; 4) produk

bersifat ruah atau memakan tempat (bulky); 5) untuk jenis-jenis tertentu produk

hanya bisa dijual di suatu tempat tertentu.

Informasi pasar dan berfungsinya pasar dengan baik sangat diperlukan untuk

mengarahkan produk guna memenuhi peluang pasar dan menambah pendapatan

para petani. Sebagaimana ditegaskan Achmad et al. (2009), apabila pemasaran dapat

dilakukan secara langsung oleh pemilik komoditas kepada pengguna, efisiensi

pemasaran yang optimal bisa dicapai sehingga pendapatan produsen akan

meningkat. Sementara itu, Kotler (2002) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

Page 287: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 279

1. Saluran distribusi langsung, yaitu saluran distribusi di mana penyaluran produk

dari produsen langsung ke tangan konsumen tanpa melalui perantara atau

penyalur.

2. Saluran distribusi tidak langsung, yaitu perusahaan dalam mendistribusikan

produknya menggunakan penyalur agen perantara dan juga pengecer sebelum

sampai ke tangan konsumen.

Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, serta desakan kebutuhan para

petani menjadi kendala dalam memenuhi bentuk produk sebagaimana permintaan

konsumen. Keadaan ini menjadikan pemasaran komoditas kayu manglid masih

berupa pohon berdiri di kebunnya. Hal inilah yang menjadi peluang usaha dengan

munculnya berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Tujuan kajian ini adalah

mengetahui tingkatan lembaga pemasaran, pola saluran pemasaran, dan margin

pemasaran terhadap produk komoditas kayu manglid yang terjadi di Kabupaten

Tasikmalaya.

II. Metodologi

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kabupaten Tasikmalaya terpilih sebagai lokasi penelitian karena sebagai salah

satu sentra kayu manglid dan pemasok di wilayah Priangan Timur. Kegiatan kajian

dilakukan dimulai pada bulan April 2013.

B. Penentuan Responden

1. Para petani terpilih secara sengaja (purposive sampling) sebagai pengelola hutan

rakyat pola agroforestri komoditas kayu manglid.

2. Lembaga pemasaran berdasarkan penelusuran (snowball sampling) mulai dari

tingkat dusun, kecamatan, hingga kabupaten yang terlibat dalam pemasaran

komoditas kayu manglid berdasarkan informasi awal dari para petani.

Page 288: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

280 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer

diperoleh dari hasil wawancara bersama petani dan lembaga pemasaran dengan

menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner. Sementara itu, data sekunder

diperoleh dari berbagai sumber, antara lain laporan dari instansi terkait ataupun hasil

kegiatan penelitian sebelumnya sebagai referensi.

D. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui

karakteristik para petani, lembaga pemasaran, dan pola saluran pemasaran. Semen-

tara, margin pemasaran dianalisis menggunakan parameter margin pemasaran,

margin keuntungan, dan tingkat efisiensi pemasarannya (Setyaningsih, 2008)

dengan uraian sebagai berikut:

Margin pemasaran (marketing margin) untuk setiap lembaga pemasaran

diperoleh dengan menggunakan rumus:

Mj = Pj – Pf atau Mj = ∑ B + ∆

Keterangan: Mj = margin pemasaran pada tingkat lembaga pemasaran ke-j

Pj = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-j

Pf = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-f (sebelum lembaga

pemasaran ke-j)

B = biaya pemasaran

∆ = keuntungan lembaga pemasaran

Page 289: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 281

Margin keuntungan (profit margin) diperoleh dengan menggunakan rumus:

Keterangan: Ski, Sbi = bagian keuntungan yang diterima lembaga pemasaran

Sp = besarnya kontribusi harga yang diterima produsen

bi = biaya tata niaga ke-i

ki = keuntungan ke-i

Pr = harga ditingkat konsumen (user)

Pf = harga ditingkat produsen (farm)

Tingkat efisiensi pemasaran menggunakan rumus:

III. Hasil dan Pembahasan

A. Produksi Kayu Manglid

Berdasarkan data sekunder diperoleh produksi kayu bulat (log) selama tiga

tahun (2010–2012) (Dishutbun Kabupaten Tasikmalaya, 2013) sebagaimana disaji-

kan pada Gambar 1. Grafik pada Gambar 1 menunjukan bahwa keadaan produksi

kayu albasia menempati posisi tertinggi, sedangkan kayu manglid berada pada

urutan kedua dari yang terkecil sebelum pinus. Mengingat perbandingan daur

ekonomis manglid dengan albasia 1:3 (15 tahun:5 tahun), para petani cenderung

membudidayakan albasia. Hal ini mengakibatkan tempat tumbuh kayu manglid

secara alami ataupun budi daya terdegradasi oleh jenis albasia.

Page 290: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

282 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Gambar 1. Grafik produksi log kayu manglid (m3) tahun 2010–2012

B. Karakteristik Lembaga Pemasaran

Petani (produsen) secara umum memasarkan kayu masih dalam keadaan

pohon berdiri di kebunnya, sedangkan permintaan konsumen sudah berupa sawn

timber atau barang jadi siap pakai. Keadaan ini membuat peluang usaha munculnya

berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Berdasarkan data, informasi awal, dan hasil

penelusuran terhadap lembaga pemasaran yang terlibat dalam komoditas kayu

manglid, ternyata dijumpai berbagai lembaga pemasaran, antara lain penyiar

(informan), bandar pengepul, industri penggergajian, pedagang kayu gergajian

antarkota, industri barang jadi, dan toko material/los kayu (pengecer) dengan

berbagai kegiatan dan peranan yang dilakukannya, yaitu:

1. Produsen (petani): peranannya sebagai pemilik dan pengelola hutan rakyat yang

menghasilkan produk komoditas kayu manglid.

2. Penyiar (imforman): peranannya sebagai pencari dan pemberi informasi tentang

lokasi, harga, kondisi fisik, dan dimensi setiap jenis pohon (diameter, volume,

dan keadaan lapangan). Informasi ini kemudian disampaikan kepada lembaga

pemasaran lain atau yang telah memiliki kerja sama dengannya dengan harapan

akan mendapatkan komisi dari pembeli.

Page 291: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 283

3. Industri penggergajian: merupakan pemilik modal dan peralatan mesin pengger-

gajian yang berperan sebagai pembeli kayu berupa pohon/log secara langsung dari

patani atau melaui lembaga penyiar (informan), ataupun dari pedagang penge-

pul. Peranannya adalah merubah bahan baku log menjadi kayu gergajian (sawn

timber), kemudian dijual kembali secara langsung ke konsumen akhir, yaitu ke

lembaga pemasaran berikutnya (pedagang kayu gergajian antarkota, los kayu/toko

material, dan industri barang jadi).

4. Industri barang jadi: merupakan pemilik modal dan pembeli bahan baku (sawn

timber) dari industri pergajian. Bermodalkan peralatan dan keahliannya, pelaku

ini dapat merubah bentuk kayu menjadi barang siap pakai (seperti pintu panel

dan mebel) yang kemudian dijual kembali ke konsumen akhir atau toko mebel.

5. Los kayu (toko material): merupakan pemilik modal dan tempat berjualan, yaitu

sebagai pembeli kayu gergajian untuk dijual kembali ke konsumen akhir, baik

dalam jumlah yang besar maupun secara eceran. Peranananya sangat membantu

bagi konsumen yang memerlukan kayu gergajian dalam jumlah sedikit.

6. Pedagang kayu gergajian: merupakan pemilik modal dan sebagai pembeli kayu

gergajian dari industri penggergajian untuk dijual kembali ke lembaga pemasaran

berikutnya (los kayu atau industri barang jadi), terutama lintas kota, kabupaten,

atau provinsi. Peranannya sangat membantu industri penggergajian dalam

memasarkan dan memasok los kayu (toko material) dan industri barang jadi yang

berada di pusat perkotaan.

C. Pola Saluran Pemasaran

Hasil penelusuran data dan wawancara yang dibuat dalam bentuk pola saluran

pemasaran (alur tata niaga) produk kayu manglid sebagaimana disajikan pada

Gambar 2. Gambar ini menunjukan bahwa terdapat delapan pola saluran pema-

saran kayu manglid yang melibatkan beberapa tingkatan lembaga pemasaran. Pola

saluran pemasaran yang terjadi untuk sampai ke konsumen di Kabupaten

Tasikmalaya terdapat enam pola saluran pemasaran, sedangkan dua pola saluran

pemasaran tambahan untuk memenuhi konsumen di wilayah Bandung.

Page 292: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

284 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Sumber: hasil penelusuran terhadap lembaga pemasaran 2013

Gambar 2. Bagan saluran pemasaran kayu manglid mulai dari Kabupaten Tasikmalaya sampai ke

Bandung.

D. Pemasaran

1. Harga Kayu Manglid

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, harga kayu manglid ketika

masih berdiri di kebun dan harga kayu gelondongan (log) di pinggir jalan disajikan

pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya kisaran harga dikarenakan

harga masih berubah tetapi tetap di kisaran tersebut. Perubahan harga tergantung

pada keadaaan topografi dan jauh dekatnya transportasi ke industri penggergajian

ataupun konsumen.

8

7

8

7

7,8

3,6 3,6

2,5 2,4

1,4

P

E

T

A

N

I

Penyiar

(informan)

Industri

Gergajian

Los Kayu

/Toko

Material

Konsumen

Akhir

Industri

Barang

Jadi

Pedagang

Kayu

Gergajian

Los Kayu

/Toko

Material

Industri

Barang

Jadi

Ke Bandung

Kabupaten Tasik dan Ciamis

1,2,3

4,5,6

Page 293: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 285

Tabel 1. Kisaran harga kayu manglid sesuai kelas diameter di kebun dan log di pinggir jalan

No.

Kelas diameter

bebas cabang

batang

(Ø cm)

Tinggi

bebas

cabang

(m)

Harga

pohon masih berdiri

di kebun (Rp/m3)

Panjang

kayu

gelondongan

(m)

Harga

gelondongan (log) di

pinggir jalan (Rp/m3)

1. 10–15

≥4

150.000–250.000 1,3–1,6 300.000–450.000

2. 16–19 250.000–300.000 1, 3–2,0 500.000–600.000

3. 20–25 400.000–500.000 2,0–3,0 700.000–900.000

4. 26–30 600.000–900.000 2,0–3,0 1.000.000–2.000.000

5. 31-up 1.000.000- 1.500.000 2,0–3,0 1.000.000–2.000.000

Sumber: hasil pengolahan data 2013

2. Biaya Pemasaran

Hasil olah data biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran

disajikan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran komoditas kayu manglid Wilayah

Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya.

Lembaga pemasaran

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)

Produksi &

administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)

a b c (a+b)/cx100%

Produsen (Petani)

- Produksi 157.724 - 1.000.000

Jumlah 157.724 1.000.000 15,77

Industri penggergajian 1 m3 log

- 1 m3 log 1.000.000

- Penebang+transportasi/m3 50.000 - -

- Administrasi 15.000 - -

- KayuBakar - - 10.000

- Gesek 175.000 - -

- Bahbir - - 20.000

- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000

Jumlah 240.000 1.000.000 1.430.000 86,71

Page 294: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

286 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Lembaga pemasaran

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)

Produksi &

administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)

a b c (a+b)/cx100%

Los Kayu (toko material)

- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000

- Administrasi 10.000 - -

- Transportasi 25.000

- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2,1 juta 1.470.000

Jumlah 35.000 1.400.000 1.470.000 97,62

Industri barang jadi

- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000

- Pembuatan 6 buah pintu panel

@Rp250.000 1.500.000 - -

- Transportasi 100.000 - -

- Pintu panel jadi 6 buah @Rp750.000 - - 4.500.000

Jumlah 1.600.000 1.400.000 4.500.000 66,67

Industri penggergajian via penyiar

- 1 m3 log 1.000.000

- Komisi 2,5% penyiar (imforman) 25.000

- Penebang+transportasi 50.000 - -

- Administrasi 15.000 - -

- Kayu bakar - - 10.000

- Gesek 175.000 - -

- Bahbir - - 20.000

- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000

Jumlah 240.000 1.025.000 1.430.000 88,46

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan besarnya biaya-biaya yang dikeluarkan

setiap lembaga pemasaran kayu manglid per m3. Biaya terkecil terdapat pada

produsen sebesar 15,17%; sedangkan lembaga pemasaran ≥60%, industri

penggergjian sekitar 86,71–88,71%, los kayu sekitar 93,33–97,62%, dan industri

barang jadi sekitar 66,67–79,69% dari nilai harga jual di setiap lembaga pemasaran.

Page 295: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 287

Tabel 3. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kayu manglid ke wilayah Bandung

Lembaga pemasaran

Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)

Produksi &

administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)

a b c (a+b)/cx100%

Pedagang kayu gergajian antarkota

- Kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000

- Transportasi ke Bandung 150.000 - -

- Administrasi 25.000 - -

- Timbangan, pungutan, dll (8 m3/

truk) Rp150.000

18.750

- -

- Bongkar muat 30.000 - -

- Jual 0,7 m3 - - 1.925.000

Jumlah 223.750 1.400.000 1.925.000 84,35

Los Kayu (toko material) - 1.925.000 -

- Administrasi 10.000

- Transportasi 25.000

- Jual 0,7 m3 - 2.100.000

Jumlah 35.000 1.925.000 2.100.000 93,33

Industri barang jadi - 1.925.000 -

- Pembuatan 6 buah pintu panel

@Rp300.000

1.800.000

- -

- Transportasi 100.000 - -

- Pintu panel jadi 6 buah @Rp800.000 - - 4.800.000

Jumlah 1.900.000 1.925.000 4.800.000 79,69

Sumber: hasil pengolahan data 2013

3. Analisis Margin Pemasaran (Marketing Margin)

Margin pemasaran pada setiap pola saluran pemasaran dipengaruhi oleh

banyaknya lembaga pemasaran atau panjang pendek alur tata niaganya. Hasil

pengolahan data margin pemasaran disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6.

Page 296: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

288 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 4. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran I-III

Uraian kegiatan Saluran I Saluran II Saluran III

Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %

Produsen (Petani)

- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50

- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22

Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72

Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72

Industri penggergajian

- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22

- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33

- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11

- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89

Total Biaya 1.240.000 86,71 1.240.000 84,35 1.240.000 27,56

Harga jual

- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22

- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44

- Kayu gergajian (rendemen

70% dari 1 m3)

1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11

Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78

Keuntungan 190.000 13,29 190.000 12,93 190.000 4,22

Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56

Los kayu (toko material)

- Beli kayu gergajian

(rendemen 70% dari 1 m3)

1.400.000 95,24

- Administrasi 10.000 0,68

- Transportasi 25.000 1,70

Total Biaya 1.435.000 97,62

- Harga jual 1.470.000 100,00

Keuntungan 35.000 2,38

Margin pemasaran 70.000 4,76

Industri barang jadi

- Beli kayu gergajian

(rendemen 70% dari 1 m3)

1.400.000 31,11

- Biaya produksi pintu

6xRp250.000

1.500.000 33,33

- Transportasi 100.000 2,22

Total Biaya 3.000.000 66,67

- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100,00

Keuntungan 1.500.000 33,33

Margin pemasaran 3.100.000 68,89

Sumber: hasil pengolahan data 2013

Page 297: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 289

Tabel 5. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada setiap saluran IV–VI

Uraian kegiatan Saluran IV Saluran V Saluran VI

Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %

Produsen (Petani)

- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50

- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22

Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72

Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72

Industri penggergajian

- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22

- Komisi 2,5% penyiar 25.000 1,75 25.000 1,70 25.000 0,56

- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33

- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11

- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89

Total Biaya 1.265.000 88,46 1.265.000 86,05 1.265.000 28,11

Harga Jual

- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22

- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44

- Kayu gergajian (rendemen

70% dari 1 m3)

1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11

Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78

Keuntungan 165.000 11,54 165.000 11,22 165.000 3,67

Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56

Los kayu (pengecer)

- Beli kayu gergajian

(rendemen 70% dari 1 m3)

1.400.000 95,24

- Administrasi 10.000 0,68

- Transportasi 25.000 1,70

Total Biaya 1.435.000 97,62

- Harga jual 1.470.000 100

Keuntungan 35.000 2,38

Margin pemasaran 70.000 4,76

Industri barang jadi

- Beli kayu gergajian

(rendemen 70% dari 1 m3)

1.400.000 31,11

- Biaya produksi pintu

6xRp250.000

1.500.000 33,33

- Transportasi 100.000 2,22

Total Biaya 3.000.000 66,67

- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100

Keuntungan 1.500.000 33,33

Margin pemasaran 3.100.000 68,89

Page 298: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

290 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 6. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran VII & VIII

Uraian kegiatan Saluran VII Saluran VIII

Rp/m3 % Rp/m3 %

Produsen (Petani)

- Produksi 157.724 7,51 157.724 3,29

- Harga jual 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83

Keuntungan 842.276 40,11 842.276 17,55

Margin pemasaran 842.276 40,11 842.276 17,55

Industri penggergajian

- Beli kayu 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83

- Administrasi 15.000 0,71 15.000 0,31

- Penebangan+transportasi 50.000 2,38 50.000 1,04

- Penggergajian/gesek 175.000 8,33 175.000 3,65

Total Biaya 1.240.000 59,05 1.240.000 25,83

Harga Jual

- Kayu bakar 10.000 0,48 10.000 0,21

- Bahbir 20.000 0,95 20.000 0,42

- Kayu gergajian (rendemen 70% dari 1 m3) 1.400.000 66,67 1.400.000 29,17

Jumlah 1.430.000 68,10 1.430.000 29,79

Keuntungan 190.000 9,05 190.000 3,96

Margin pemasaran 430.000 20,48 430.000 8,96

Pedagang kayu gergajian antarkota

- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000 66,67 1.400.000 29,17

- Administrasi 25.000 1,19 25.000 0,52

- Transportasi 150.000 7,14 150.000 3,13

- Timbangan, pungutan, dll (8 m3/truk)

Rp150.000 18.750 0,89 18.750 0,39

- Bongkar muat 30.000 1,43 30.000 0,63

Total Biaya 1.623.750 77,32 1.623.750 33,83

- Harga jual Rp2.750.000/m3 (0,7 m3) 1.925.000 91,67 1.925.000 40,10

Keuntungan 301.250 14,35 01.250 6,28

Margin pemasaran 525.000 25,00 525.000 10,94

Page 299: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 291

Uraian kegiatan Saluran VII Saluran VIII

Rp/m3 % Rp/m3 %

Los kayu (Pengecer)

- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.925.000 91,67

- Administrasi 10.000 0,48

- Transportasi 25.000 1,19

Total Biaya 1.960.000 93,33

- Harga jual Rp3 juta/m3 (0,7 m3) 2.100.000 100

Keuntungan 140.000 6,67

Margin pemasaran 175.000 8,33

Industri barang jadi

- Beli kayu gergajian (0,7 m3)

1.925.000 40,10

- Biaya produksi pintu 6xRp300.000

1.800.000 37,50

- Transportasi

100.000 2,08

Total Biaya

3.825.000 79,69

- Harga jual 6xRp800.000

4.800.000 100,00

Keuntungan

975.000 20,31

Margin pemasaran 2.875.000 59,90

Tabel 4, 5, dan 6 menunjukkan margin pemasaran pada setiap pola saluran

pemasaran kayu manglid yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya sampai ke wilayah

Bandung, sebagi berikut:

Pola saluran pemasaran I; yang mana margin produsen (petani) sebesar 58,90%,

sedangkan industri penggergajian 30,07% dari nilai harga jual Rp1.430.000.

Keadaan ini dikarenakan bahan baku diperoleh secara langsung dari petani,

kemudian diproses menjadi kayu gergajian dan pemasaraannya langsung ke

konsumen akhir.

Pola saluran pemasaran II; komoditas kayu gergajian harus melewati dua lembaga

pemasaran sebelum ke konsumen akhir. Margin tertinggi masih pada produsen

sebesar 57,30%, sedangkan terendah pada los kayu (toko material) sebesar 4,76%

pada Saluran V dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.470.000.

Pola saluran pemasaran III; kayu manglid mengalami proses produksi yang kedua

untuk dijadikan produk baru. Margin pemasaran tertinggi diperoleh industri

Page 300: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

292 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian

9,56% dari nilai harga jual Rp4.500.000 /m3 setelah berubah bentuk menjadi

enam buah pintu panel.

Pola saluran pemasaran IV; yang mana konsumen akhir secara langsung menda-

patkan layu gergajian dari industri penggergajian. Margin pemasaran tertinggi

diperoleh produsen sebesar 58,90%, sedangkan industri penggergajian

memperoleh 30,07% dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.430.000/m3.

Biaya produksi yang ditanggung oleh industri penggergajin lebih besar yaitu

88,46% dibandingkan dengan saluran I sebesar 86,71% dengan selisih 1,75%.

Besarnya biaya produksi dikarenakan adanya biaya komisi yang harus diberikan

kepada imforman sebesar 1,75%.

Pola saluran pemasaran ke V; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen

sebesar 57,30%, sedangkan terkecil diterima los kayu (toko material) sebesar

4,76% dari nilai harga jual Rp1.470.000/m3.

Pola saluran pemasaran ke VI; margin pemasaran tertinggi diperoleh industri

barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian

9,56% dari nilai harga jual sebesar Rp4.500.000/m3 setelah berubah bentuk

menjadi enam buah pintu panel.

Pola saluran pemasaran ke VII; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen

sebesar 40,11%, kemudian pedagang kayu gergajian antarkota sebesar 25%,

sedangkan terkecil diperoleh los kayu (toko material) sebesar 8,33% dari nilai

harga jual Rp2.100.000/m3.

Pola saluran pemasaran ke VIII; margin pemasaran tertinggi terdapat pada

lemabaga industri barang jadi sebesar 59,90%, sedangkan yang terkecil pada

lembaga industri penggergajian 8,96% dari nilai harga jual Rp4.800.000/m3

setelah berubah bentuk menjadi enam buah pintu panel.

4. Analisis Margin Keuntungan (Profit Margin)

Margin keuntungan lembaga pemasaran pada setiap saluran pemasaran komo-

ditas kayu manglid disajikan pada Tabel 7.

Page 301: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 293

Tabel 7. Margin keuntungan lembaga pemasaran kayu manglid setiap saluran pemasaran

Saluran Pemasaran

Nilai (Rp/m3) Persentase

(%) Keterangan Produksi, administrasi,

& tata niaga Penjualan Keuntungan

Saluran Pemasaran I

Pemasaran di

Kabupaten

Tasikmalaya

dan

Kabupaten

Ciamis

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90

Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 13,29

Saluran Pemasaran II

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30

Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 12,93

Los kayu (pengecer) 1.410.000 1.470.000 60.000 2,38

Saluran Pemasaran III

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72

Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 4,22

Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33

Saluran Pemasaran IV

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90

Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,75

Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,54

Saluran Pemasaran V

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30

Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,70

Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,22

Loas kayu (pengecer) 1.435.000 1.470.000 35.000 2,38

Saluran Pemasaran VI

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72

Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 0,56

Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 3,67

Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33

Saluran Pemasaran VII

Pemasaran

ke

Bandung

Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 40,11

Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 9,05

Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 14,35

Los kayu (pengecer) 1.960.000 2.100.000 140.000 6,67

Page 302: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

294 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Saluran Pemasaran

Nilai (Rp/m3) Persentase

(%) Keterangan Produksi, administrasi,

& tata niaga Penjualan Keuntungan

Saluran Pemasaran VIII

Produsen (Petani) 157.724 1.000.000 842.276 17,55

Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 3,96

Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 6,28

Industri barang jadi (1 m3) 3.825.000 4.800.000 975.000 20,31

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 7 menunjukkan bahwa produsen mendapat keuntungan dari hasil pen-

jualan komoditas kayu manglid sebesar Rp842.276/m3 dan ini terjadi pada semua

saluran pemasaran. Keadaan ini terjadi karena produsen memasarkan komoditas

kayu manglid dalam kondisi masih berupa pohon berdiri. Persentase keuntungan

produsen sangat bervariasi, yaitu sebesar 17,55–58,90%. Hal ini disebabkan adanya

perubahan bentuk pada lembaga pemasaran tertentu sehingga nilai jual ke konsumen

menjadi tinggi. Persentase keuntungan terkecil bagi produsen di bawah 20%

terdapat pada saluran pemasaran III dan VI (18,72%), serta VIII (17,5%); sedangkan

persentase terbesar terdapat pada saluran pemasaran I dan IV (58,90%), II dan V

(57,30%), serta saluran VII (40,11%). Lembaga pemasaran yang mendapatkan keun-

tungan tertinggi adalah industri barang jadi sebesar Rp1.500.000 (33,33%) yang

terdapat pada saluran pemasaran III dan VI di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan

Kabupaten Ciamis. Sementara itu, keuntungan Rp975.000 (20,31%) terdapat pada

saluran pemasaran VIII untuk pemasaran ke Bandung. Keuntungn terkecil diperoleh

lembaga pemasaran los kayu (toko material) sebesar Rp35.000 (2,38%) yang terdapat

pada saluran II dan V di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.

5. Bagian Petani (Farmer Share)

Bagian petani adalah indikator perbandingan harga yang harus dibayarkan

konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani). Semakin tinggi margin

pemasaran maka semakin rendah bagian produsen (petani) karena analisis farmer

share memiliki hubungan negatif dengan margin pemasaran. Besaran persentase

Page 303: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 295

farmer share pada setiap saluran pemasaran untuk komoditas kayu manglid disajikan

pada Tabel 8.

Tabel 8. Bagian petani (farmer share) komoditas kayu manglid setiap saluran pamasaran

Saluran Pemasaran Harga di tingkat

produsen (Petani) (Rp)

Harga di tingkat

konsumen (Rp) Persentae (%)

Saluran Pemasaran I 1.000.000 1.430.000 69,93

Saluran Pemasaran II 1.000.000 1.470.000 68,03

Saluran Pemasaran III 1.000.000 4.500.000 22,22

Saluran Pemasaran IV 1.000.000 1.430.000 69,93

Saluran Pemasaran V 1.000.000 1.470.000 68,03

Saluran Pemasaran VI 1.000.000 4.500.000 22,22

Saluran Pemasaran VII 1.000.000 2.100.000 47,62

Saluran Pemasaran VIII 1.000.000 4.800.000 20,83

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 8 menunjukkan bahwa harga produk di tingkat petani pada semua pola

saluran pemasaran tetap. Besaran persentase farmer share tergantung pada jumlah

lembaga pemasaran yang terlibat dan bentuk produk olahan akhir. Persentase

farmer share tertinggi terdapat pada saluran I dan IV sebesar 69,93% yang mana

industri penggergajian menjual produk olahan langsung ke konsumen. Sementara

itu, persentase terkecil terdapat pada saluran VIII sebesar 20,83% karena bahan baku

dari petani mengalami dua kali proses pengolahan sebelum sampai ke konsumen.

6. Analisis Efisiensi Pemasaran (Mark-up on Selling)

Berdasarkan hasil analisis margin pemasaran, total keuntungan pada setiap

pola saluran pemasaran, total biaya pemasaran, dan farmer share; efisien pemasaran

dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Page 304: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

296 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Tabel 9. Perbandingan efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran komoditas kayu

manglid

Uraian Saluran Pemasaran

I II III IV V VI VII VIII

Total margin pemasaran (%) 93,41 91,31 97,17 88,97 91,31 97,17 93,92 97,35

Total biaya pemasaran (%) 16,79 18,70 40,88 18,54 20,40 41,44 22,31 49,25

Total keuntungan (%) 72,19 72,61 56,27 70,44 70,90 55,72 70,18 48,10

Farmer share (%) 69,93 68,03 22,22 69,93 68,03 22,22 47,62 20,83

Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013

Tabel 9 menunjukkan bahwa total biaya pemasaran terkecil sebesar 16,79%

dengan farmer share tertinggi 69,93% dan biaya pemasaran terkecil terdapat pada

saluran I yang mana industri penggergajian secara langsung menjual ke konsumen.

Sementara itu, farmer share terendah sebesar 20,83% dengan total biaya pemasaran

49,25% terdapat pada saluran VIII dikarenakan komoditas kayu manglid lintas kota/

kabupaten membutuhkan biaya pemasaran cukup tinggi. Dengan demikian, pola

saluran pemasaran I ternyata lebih efisien dari kedelapan saluran pola pemasaran

komoditas kayu manglid.

IV. Kesimpulan

Keterbatasan tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan para petani

(produsen) menyebabkan pemasaran komoditas kayu manglid masih berupa pohon

berdiri di kebunnya. Keadaan ini memberikan peluang usaha dengan munculnya

berbagai tingkat lembaga pemasaran.

Terdapat delapan pola saluran pemasaran dalam proses produk kayu manglid

sampai ke konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang memiliki peranan sangat

penting adalah 1) industri penggergajian yang dapat merubah bentuk dasar dari kayu

gelondongan (log) menjadi kayu gergajian (sawn timber) sehingga dapat digunakan

secara langsung atau sebagai bahan baku industri lainnya, dan 2) industri barang jadi

Page 305: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 297

yang dapat merubah kayu gergajian menjadi barang siap pakai (pintu panel, mebel,

kerajinan, dan lain-lain).

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran komo-

ditas kayu manglid adalah sebagai berikut, petani sebesar 15,17%, industri pengger-

gajian sebesar 86,71–88,71%, los kayu sebesar 93,33–97,62%, dan industri barang

jadi sebesar 66,67–79,69% dari nilai harga jual. Margin pemasaran (marketing

margin) komoditas kayu manglid tertinggi diperoleh produsen sebesar 58,90% yang

terdapat pada pola saluran pemasaran I dan IV, sedangkan terkecil diperoleh los

kayu (toko material) sebesar 4,76% pada pola saluran pemasaran II dan V. Margin

keuntungan tertinggi diperoleh lembaga pemasaran industri barang jadi sebesar

33,33% pada pola saluran pemasaran III dan VI, sedangkan terkecil diperoleh los

kayu (toko material) sebesar 2,38% pada pola saluran pemasaran II dan V. Efisiensi

saluran pemasaran komoditas kayu manglid yang lebih efisien dari delapan saluran

adalah pada saluran I dengan total biaya pemasaran terkecil 16,79% dan farmer share

terbesar 69,93%.

Daftar Pustaka

Achmad, B., Mulyana, S., & Kuswantoro, D. P. (2006). Kajian implementasi tata

usaha dan tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Garut. Paper presented at the

Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Sosekjak, Bogor.

Achmad, B., Mulyana, S., Puspitojati, T., Darsono, & Sutrisna, N. (2009). Kajian

pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan rakyat Laporan Hasil Penelitian.

Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan

Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Kotler, P. (2002). Manajemen pemasaran: Milenium Prenhalindo.

Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan

hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.

Page 306: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

S. Mulyana

298 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,

I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk

pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur

Laporan Hasil Penelitian RISTEK.

Setyaningsih, L. (2008). Analisis rantai pemasaran produk agroforestry. Bogor:

World Agroforestry Center (ICRAF).

Sundawati, L. (2008). Pengembangan dan kelestarian agroforestry: Pemasaran

produk-produk agroforestry: World Agroforestry Center (ICRAF).

Page 307: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

PENUTUP

BAB VIII

Page 308: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 309: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 301

Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan

I. Pendahuluan

Keberadaan jenis manglid pada hutan rakyat di wilayah Priangan Timur men-

jadi awal untuk pengembangannya dari skala tradisional menjadi agribisnis yang

profesional. Masyarakat telah mengenal, menanam, memasarkan, dan memanfaat-

kan jenis ini secara tradisional. Hasil-hasil penelitian pada buku ini menjadi satu

tahapan untuk mendukung perbaikan pengelolaan hutan rakyat manglid menuju

arah yang lebih profesional berbasis informasi ilmiah.

Bab terakhir pada buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian yang

diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya. Berdasarkan status riset tersebut, ulasan

ini disusun terkait peluang pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi

kebijakannya. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani/

praktisi kehutanan khususnya hutan rakyat skala kecil dan menengah, peneliti/

akademisi, dan pengambil kebijakan.

II. Hutan Rakyat Manglid: Status Riset

Jenis manglid telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial ekonomi dan

budaya para petani di Jawa Barat bagian timur. Namun demikian, penamaan jenis

berdasarkan nama lokal seringkali rancu dan tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan

dalam kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Contohnya masyarakat di Tasikmalaya,

mereka mengenal beberapa sebutan untuk manglid, seperti manglid bodas, manglid

bulu, dan manglid tanduk. Masyarakat juga mengenal nama baros dan cempaka

yang secara morfologis memiliki kemiripan dengan manglid. Sebutan yang berbeda-

beda ini dapat menimbulkan kesimpangsiuran yang perlu diperjelas melalui

identifikasi secara ilmiah. Winara et al. menyebutkan bahwa jenis manglid yang

dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.) Baill. ex

Pierre. Selain itu, terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat

varietas, yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Hasil

Page 310: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

302 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

pengamatan juga menunjukkan adanya variasi morfologi manglid pada bagian daun,

bunga, batang, dan tajuk.

Hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur telah berkembang dengan

baik. Achmad menggambarkan dominasi jenis manglid ini di berbagai wilayah di

Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penelitian Rohandi & Gunawan,

tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah latosol,

andosol, latosol dan andosol, alluvial, dan podsolik merah kuning pada ketinggian

400–1.200 m dpl dengan curah hujan 1.500–3.500 mm/tahun dan kelerengan 0–

45%.

Sebagaimana umumnya karakteristik hutan rakyat, tanaman manglid

seringkali ditanam masyarakat bersama jenis-jenis lainnya. Hal ini dibahas oleh

Rohandi & Gunawan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur

mempunyai karakteristik tipe tegakan yang didominasi hutan campuran berasosiasi

dengan jenis sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur

tegakan didominasi tegakan muda umur 1–10 tahun, tinggi sekitar 4–36 m, dan

diameter 3–72 cm. Sementara itu, hasil penelitian Achmad di beberapa wilayah di

Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat manglid sekitar

10–16 m3/ha.

Achmad juga membahas keterbatasan lahan milik petani yang menjadi faktor

pembatas perkembangan jenis manglid. Masyarakat cenderung menanam manglid

terlalu rapat sehingga pertumbuhan individu pohon menjadi lebih rendah. Achmad

pun menggarisbawahi peluang pola tanam agroforestri jenis manglid ini yang

dikombinasikan dengan tanaman bawah untuk diversifikasi pendapatan petani.

Teknik budi daya manglid umumnya dilakukan oleh petani secara tradisional

berdasarkan pengalamannya. Oleh karena itu, input teknologi pada aspek budi daya

ini merupakan salah satu faktor yang penting untuk mendukung peningkatan

produktivitas hutan rakyat manglid. Sudomo menguraikan beberapa hasil

penelitiannya, mulai dari persemaian, penanaman di lapangan, hingga pemanenan.

Menurut Sudomo, bibit berkualitas di persemaian dapat diperoleh melalui beberapa

tahapan, yaitu penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan

media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan perlakuan intensitas

Page 311: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 303

naungan sebesar 40%. Sementara itu, peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat

dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F®.

Pengaturan ruang tumbuh melalui penentuan jarak tanam 2 m x 2 m menurut

Sudomo memberikan hasil pertumbuhan manglid. Pemeliharaan tanaman manglid

berupa pemangkasan perlu dilakukan untuk mendapatkan batang berkualitas dan

memberi ruang tumbuh tanaman bawah dalam pola tanam agroforestri. Sistem

silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam

pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap

terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.

Jenis manglid juga dapat dikembangkan sebagai tanaman pokok dalam pola

tanam agroforestri. Bahkan, Sudomo membahas bahwa agroforestri manglid+jagung

menghasilkan pertumbuhan tinggi manglid yang lebih baik. Sementara itu, sistem

sistem silvikultur agroforestri manglid+suweg dilaporkan mampu meningkatkan

persentase kandungan protein umbi.

Pembangunan hutan manglid tidak terlepas dari adanya potensi gangguan

serangan hama dan penyakit. Suhaendah & Winara membahas beberapa hama yang

tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan kema-

tian tegakan, yaitu hama penghisap Hamamelistes sp. dan Urostylis sp. Kedua jenis

hama ini dapat dikendalikan secara kuratif dengan penyemprotan insektisida bio-

logis jenis Bacillus thuringiensis. Sementara itu, serangan penyakit yang berpotensi

merugikan hingga menyebabkan kematian adalah busuk akar pada tegakan. Pengen-

dalian busuk akar ini dapat dilakukan dengan menggunakan agen antagonis

Tricoderma spp.

Penentuan waktu penebangan manglid merupakan salah satu pertimbangan

yang penting untuk menghasilkan produksi yang optimal. Indrajaya mengulas bahwa

berdasarkan daur biologis, tegakan manglid akan optimal dipanen pada umur 16,5

tahun. Namun demikian, hasil analisis dengan pendekatan Faustmann (daur

ekonomi) menunjukkan bahwa keuntungan akan diperoleh secara optimal dengan

menebang manglid pada umur 13,5 tahun. Pertumbuhan yang relatif lambat pada

tegakan manglid ini diduga yang menjadi penyebab daur optimal finansial lebih

pendek dibandingkan dengan daur biologisnya. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis

Page 312: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

304 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

lain yang sering ada di hutan rakyat seperti sengon atau jabon, yang mana pertum-

buhannya relatif cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya.

Daur optimal pemanenan manglid dapat berubah jika ada komponen peng-

hasilan lainnya selain kayu manglid. Indrajaya menganalisis pengaruh adanya

penghasilan tambahan yang diperoleh dari jasa lingkungan perdagangan karbon

terhadap daur optimal manglid. Menurut Indrajaya, tambahan pendapatan jasa

lingkungan karbon akan memperpanjang daur tebangan tegakan manglid. Daur

optimal hutan tanaman manglid apabila hanya mempertimbangkan kayu sebagai

satu-satunya pendapatan adalah 14 tahun, pada tingkat harga karbon sebesar USD5,

10, 20, dan 30/ton CO2 eq., daur optimal produksi bersama kayu dan karbon

dengan metode VCS pada proyek aforestasi berturut-turut 14, 14, 15, dan 16 tahun.

Selain itu, harga karbon juga akan memengaruhi daur, yang mana semakin tinggi

harga karbon menyebabkan semakin panjang daur tebang tegakan manglid.

Tegakan manglid selain memberikan manfaat secara ekonomi, tanaman ini

juga dapat berperan dalam menyerap karbon dioksida di udara dan mengatur tata

air. Siarudin & Indrajaya membahas pola agroforestri manglid di Tasikmalaya dan

menemukan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas dan di bawah

permukaan tanah pada agroforestri manglid berturut-turut sebesar 44 ton/ha dan

101 ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian aspek hidrologi yang diuraikan

Handayani diketahui bahwa pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran

permukaan dan erosi lebih rendah daripada monokultur; sebaliknya, pola

agroforestri manglid +suweg dan manglid+talas menghasilkan erosi dan aliran

permukaan lebih besar daripada pola monokultur. Rendahnya erosi dan aliran

permukaan pola agrofrestry manglid+suweg diduga disebabkan tingkat pengolahan

lahan yang rendah. Kondisi ini akan menghasilkan rumput dan serasah yang dapat

menutup rapat permukaan tanah sehingga dapat menekan proses erosi dan aliran

permukaan. Pada skala lansekap, Junaidi dalam penelitiannya di DAS Citanduy

Hulu menemukan bahwa tutupan lahan manglid berkontribusi positif terhadap tata

air DAS dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya (pemukiman, pertanian, dan

sawah). Sumbangan aliran sungai yang berasal dari tutupan lahan manglid sebagian

Page 313: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 305

besar berasal dari aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan sumbangan

yang berasal dari aliran permukaan.

Penanganan pascapanen merupakan salah satu tahapan penting dalam penge-

lolaan hutan rakyat manglid untuk mencapai produktivitas yang optimal. Siarudin &

Widiyanto mengawali pembahasan pada bagian ini dengan menyampaikan

informasi dasar sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Menurut Siarudin &

Widiyanto, sifat-sifat tersebut antara lain kadar air segar kayu manglid 168,7% dan

berat jenis kering tanur 0,38, nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%,

penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio penyu-

sutan tangensial dan radial 1,54. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial

bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan

perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan

yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta

memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,

dan pembubutan. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinan tersebut, kayu manglid

cukup sesuai untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus

dan konstruksi ringan, seperti mebel dan produk kerajinan.

Kayu manglid memiliki karakteristik dolok yang relatif lurus, silindris, dan

bundar sehingga memudahkan dalam proses pengerjaan kayunya, terutama di

penggergajian. Menurut Siarudin, dolok manglid memiliki nilai kebundaran

92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Uji coba pola peng-

gergajian menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian

semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam (62–63%), namun

berbeda sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang

dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas

yang lebih tinggi dengan papan yang lebih lebar dibandingkan dengan pola semi-

perempatan. Berdasarkan hal ini, penggergajian pola satu sisi cukup disarankan

untuk tujuan menghasilkan papan lebar, sedangkan pola penggergajian semi-

perempatan dapat menjadi alternatif untuk menghasilkan papan dengan tampilan

serat yang lebih indah (fancy).

Page 314: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

306 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

Walaupun beberapa ahli telah mengelompokkan kayu manglid ke dalam kelas

awet II, serangan agen perusak kayu (terutama rayap) merupakan salah satu

tantangan dalam penggunaan kayu manglid. Upaya pencegahan kerusakan kayu

melalui perlakuan pengawetan sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan

masa pakai. Suhaendah & Siarudin menyampaikan hasil penelitiannya bahwa

perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh

nyata terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid, yaitu terdapatnya

kecenderungan peningkatan penetrasi dengan meningkatnya konsentrasi larutan

pengawet dan lama perendaman. Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan

dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang

disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari, atau

konsentrasi 20% dengan lama perendaman tiga hari.

Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengem-

bangan kayu manglid. Dalam konteks hutan rakyat, kontribusi pendapatan dari kayu

manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat dibahas oleh Diniyati untuk

kasus di Tasikmalaya. Dalam penelitiannya, Achmad & Diniyati menemukan bahwa

kontribusi pendapatan kayu manglid di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan

Karyabakti berturut-turut sebesar 56,7%, 32,7%, dan 21,5%. Pada penelitian

Diniyati & Widyaningsih di lokasi yang sama, nilai NPV dari pengusahaan hutan

rakyat manglid dengan luasan <0,25 ha di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan

Karyabakti berturut-turut sebesar Rp770.717, Rp4.275.748, dan Rp2.556.662

dengan nilai B/CR berturut-turut sebesar 1,31; 1,65; dan 2,88. Sementara itu,

Indrajaya & Sudomo dalam penelitiannya di Ciamis dan Tasikmalaya menemukan

bahwa nilai NPV pola agroforestri manglid-palawija-umbi sebesar Rp22.420.000

dengan nilai IRR sebesar 6% dan nilai B/CR sebesar 1,2. Hasil penelitian dalam

bagian ekonomi manglid menunjukkan bahwa jenis ini masih layak secara finansial

pada pola hutan rakyat dengan luasan kecil ataupun dengan pola agroforestri.

Pada bagian hilir pengelolaan kayu manglid, aspek pemasaran telah dibahas

oleh Mulyana. Penelitian Mulyana menunjukkan bahwa terdapat delapan saluran

pemasaran kayu manglid yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu enam saluran

untuk konsumsi di dalam Kabupaten Tasikmalaya dan dua saluran untuk peme-

Page 315: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]

H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 307

nuhan kebutuhan di wilayah Bandung. Margin pemasaran petani tertinggi sebesar

58,9%, yaitu pada saluran pertama yang mana petani menjual kayu manglid kepada

industri penggergajian yang selanjutnya menjualnya ke konsumen akhir. Margin

pemasaran terkecil sebesar 4,76% diperoleh oleh los kayu pada saluran ke-5. Bagian

petani tertinggi adalah 69% yang diperoleh ketika petani menjual kayu manglid

langsung kepada penggergajian yang hasilnya langsung dipasarkan kepada konsumen

akhir.

III. Pengembangan dan Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil status riset ini, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

dalam pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi kebijakannya, antara lain:

1. Kejelasan taksonomi jenis manglid diperlukan agar kajian-kajian ilmiah yang

berkaitan dengannya dapat mendukung pengembangan jenis ini secara lebih

intensif.

2. Data dan informasi potensi dan sebaran manglid memudahkan pembuatan

dokumentasi benih yang mencantumkan kondisi tegakan, data ekologi, asal

benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya. Melalui hasil

eksplorasi manglid ini, pemerintah dapat memfasilitasi pembangunan sumber

benih, bank benih, dan penyelamatan plasma nutfah atau konservasi genetik ex

situ dengan keragaman yang sama dan sebaran populasi alaminya.

3. Penggunaan kayu manglid perlu dilakukan secara tepat sesuai dengan karak-

teristik sifat dasarnya, yaitu untuk penggunaan kontruksi ringan dan pem-

buatan mebel. Selain itu, pengguna kayu perlu didorong untuk meningkatkan

kualitas kayu melalui perlakuan pengeringan dan pengawetan sehingga

hasilnya diharapkan dapat mengantisipasi risiko cacat kayu dan meningkatkan

masa pakai kayu.

4. Pemerintah perlu memfasilitasi peningkatan kapasitas petani dalam hal teknik

budi daya, pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk kayu manglid,

pengolahan limbah tebangan dan limbah pengolahan kayu manglid, serta

penguatan kelembagaan pemasaran.

Page 316: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

308 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan

5. Jenis manglid dapat dikembangkan dalam pola agroforestri dikombinasikan

dengan berbagai jenis tanaman bawah yang sesuai dan bernilai ekonomi tinggi.

Hal ini dimaksudkan agar petani dapat mengatur jarak tanam manglid lebih

lebar sehingga mengurangi persaingan nutrisi dan cahaya antarpohon, selain

memberi ruang untuk penanaman tanaman bawah. Keberadaan tanaman

bawah juga diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan jangka pen-

dek dan menengah bagi petani. Selanjutnya, adanya penghasilan tambahan

tersebut diharapkan dapat memberikan keleluasaan bagi petani untuk menung-

gu manglid dapat dipanen pada waktu yang optimal secara ekonomi.

6. Mengingat manglid tumbuh pada dataran tinggi (400–1.200 m dpl) dengan

curah hujan tinggi (1.500–3.500 mm/tahun), pemilihan tanaman bawah yang

sesuai dibudidayakan bersama dengan manglid dengan pola agroforestri adalah

tanaman dataran tinggi yang basah. Secara umum, terdapat tiga kelompok

tanaman bawah yang disarankan untuk dikembangkan bersama dengan

manglid. Pertama; tanaman semusim kacang-kacangan dan serealia, seperti

kedelai, kacang tanah, kacang hijau, padi, jagung, dan sorgum. Tanaman

bawah ini sesuai dibudidayakan pada saat permudaan hutan. Kedua; tanaman

umbi-umbian dan obat-obatan, seperti talas, iles-iles, kencur, kunyit, jahe, dan

kapulaga. Tanaman bawah tersebut diketahui tahan naungan sehingga dapat

dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid. Ketiga; tanaman perdu

tahan naungan, seperti kopi robusta dan kopi arabika. Tanaman ini dapat

dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid.

Page 317: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017
Page 318: Penerbit FORDA PRESS Bogor, 2017

Diterbitkan untuk:

BALAIPENELITIANDANPENGEMBANGANTEKNOLOGIAGROFORESTRYBADANPENELITIAN,PENGEMBANGAN,DANINOVASI

KEMENTERIANLINGKUNGANHIDUPDANKEHUTANAN

KOMENTAR TOKOH TENTANG BUKU MANGLID

Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan is an excellent addition to

the natural resources, forestry, and agroforestry literature. Manglid ( Magnolia champaca and related species) are versatile indigenous species, primarily used as

timber and ornamentals. Unfortunately, the species have not received sufficient

attention, with little tree improvement or domestication work undertaken to date.

is timely volume compiles important knowledge and will certainly expand the use

and contribution of manglid to forest landscape restoration and livelihood enhancement.

James M. Roshetko, PhD Leader Trees, Agroforestry Management and Market Unit World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program Hutan atau kebun pepohonan yang dikelola oleh petani mempunyai kontribusi yang

cukup signifikan dalam mempertahankan fungsi lingkungan dan penghidupan petani

itu sendiri sehingga perlu dikembangkan lebih luas. Kehadiran buku “Hutan Rakyat

Manglid” yang disusun oleh Tim BPPTA Ciamis sangatlah ‘tepat waktu’ dan patut

dimiliki oleh para peneliti maupun praktisi di bidang kehutanan dan agroforestri,

sekaligus sebagai acuan dalam memahami seluk-beluk permasalahan yang umum

muncul dalam mengelola hutan rakyat. Buku ini merupakan rangkum an hasil

penelitian yang mengulas secara komprehensif aspek-aspek yang terkait dengan

pengelolaan hutan rakyat manglid, mulai dari aspek budi daya dan pengelolaan, sosial

ekonomi dan pemasaran, hingga aspek lingkungan. Buku ini dapat menjadi contoh

bagaimana menyampaikan berbagai hasil penelitian menjadi satu kajian yang terpadu.

Betha Lusiana, PhD

Senior Researcher

World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program