penerapan undang-undang nomor 08 tahun 1999 …repository.uinjambi.ac.id/1913/1/skripsi m. janto...
TRANSCRIPT
PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KOSMETIK YANG TIDAK
MEMILIKI IZIN EDAR OLEH BPOM PROVINSI JAMBI
SKRIPSI
SHE. 151802
PEMBIMBING :
Drs. A. FARUK, MA
PIDAYAN SASNIFA, SH., M.Sy
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
1440H/2019M
M. JANTO HARIYADI
MOTTO
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (Qs. An-nisa [4] : 29).
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah..Alhamdulillah..Alhamdulillahirobbil’alamin.. Sujud syukurku kusembahkan kepadamu Tuhan yang Maha Agung nan
Maha Tinggi nan Maha Adil nan Maha Penyayang, atas takdirmu telah kau jadikan aku manusia yang senantiasa berpikir, berilmu, beriman dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini. Semoga keberhasilan ini menjadi satu langkah awal bagiku untuk meraih cita-cita besarku.
Bapak Jasni dan Ibu Siti Asmah,
Mereka adalah orang tua hebat yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang Terimakasih atas
pengorbanan, nasehat dan do’ayang tiada hentinya kalian berikan kepadaku selama ini. Dan abangku tersayang
heriyansah, dan kakakku tersayang ranita, NURweni, dan sumiati
Terima kasih atas dukungan sertado’a kalian, Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian.
Keluarga besar Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015 yang telah mengenalkanku arti sebuah keluarga,
sahabat dan arti kebersamaan.
Untuk Guru-guruku: Semoga Allah selalu melindungimu dan meninggikan derajatmu di dunia dan di akhirat, terimakasih
atas bimbingan dan arahan selama ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga
di dunia dan bernilai di akhirat. Aamiin.
Hanya sebuah karya kecil dan untaian kata-kata ini yang dapat
Kupersembahkan kepada kalian semua,, Terimakasih beribu terimakasih
kuucapkan..
Atas segala kekhilafan salah dan kekuranganku,
Kurendahkan hati serta diri menjabat tangan meminta beribu-ribu kata maaf
tercurah. Skripsi ini kupersembahkan.
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul“Analisis Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Kosmetik yang Tidak Memiliki
Izin Edar oleh BPOM Provinsi Jambi”. Berdasarkan latar belakang masalah
maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999 mengatur perlindungan terhadap konsumen
(pembeli) dalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian lapangan(field research) dan penelitian kualitatif normatif, dengan
menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder yang didapat
dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara
(interview) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut
dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif normatif. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diperoleh hasil dan kesimpulan sebagai berikut : Analisis
penerapan undang-undang nomor 08 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
tidak sesuai dengan hukum yang ada, dikarnakan banyaknya masalah yang dihadapi
konsumen khususnya kota Jambi, salah satunya masih ada pedagang-pedagang kaki
lima yang berani secara terang-terangan menjual minyak rambut pomade yang tidak
memiliki kualitas izin edar dari BPOM, dan BPOM juga telah melakukan cara
untuk menerapkan undang-undang perlindungan konsumen dengan cara, sosialisasi,
mediasi, dan penyuluhan. Namun dalam penerapannya masih terdapat kendala,
yaitu : kurangnya jumlah SDM dan terbatasnya dana dan anggaran. Untuk
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara, yaitu : melalui jalur BPSK dan
melalui peradilan umum.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Izin Edar
KATA PENGANTAR
بِسْــــــــــــــــــمِ الِله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah wasyukurillah, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hamba-Nya,
sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan Islam.
Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang banyak
memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
Skripsi ini berjudul“ANALISIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP KOSMETIK YANG TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR OLEH BPOM
PROVINSI JAMBI” dapat terselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S.1) Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
Semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini merupakan rangkaian
ikhtiar penulis yang ditujukan kepada kita semua sebagai muslim terutama kepada
para pelaku bisnis yang berusaha menjadikan aktivitas pekerjaan bisnis sebagai
wujud amal ibadah dalam rangka menjalan kanfungsi hidup yang sebenarnya yakni
hanya beribadah kepada Allah SWT.
Diharapkan dengan tersusunnya skripsi ini menjadi bagian yang
terintegrasikan dalam menemukan bentuk sistem bisnis didalam sistem ekonomi
yang Islami yang secara ideal berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan bersama
sebagai bukti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, yang dalam hal ini melalui bisnis
yang Islami.
Patut kiranya penulis menyampaikan ucapkan terimakasih kepada semua
pihak dalam memberikan bantuan sehingga tersusunnya skripsi ini seperti yang
dihadapan pembaca, terutama sekali kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak H. HermantoHarun, Lc., M.HI., Ph.D, selaku Wakil Dekan I bidang
Akademik Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayanti, M.HI, selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi
Umum, Perencanaan dan Keuangan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
5. Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI, selaku Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan
dan Kerjasama Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Ibu Maryani, S.Ag., M.HI dan Ibu Pidayan Sasnifa, SH., M.Sy, selaku Ketua
dan Sekertaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak Drs. A. Faruk, MA dan Ibu PidayanSasnifa, SH., M.Sy,selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu dosen, dan seluruh karyawan/karyawati Fakultas Syariah UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Kepala perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi beserta stafnya serta
Kepala Perpustakaan Wilayah Jambi.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung maupun
tidak langsung.
Namun disamping itu, penulis berkeyakinan bahwa tak ada gading yang
takretak. Begitu juga dengan skripsi ini niscaya masih ada kekurangan dan masih
dirasa belum sempurna. Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk
menberikan kontribusi pemikiran maupun saran demi kesempurnaan skripsi ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ....................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Batasan Masalah ......................................................................... 5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 5
E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
F. Kerangka Teori ........................................................................... 7
G. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 18
BAB II METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..................................................................... 20
B. Instrument Pengumpulan Data .................................................... 23
C. Metode Penyajian Data ............................................................... 25
D. Metode Analisis Data .................................................................. 25
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 26
F. Jadwal Penelitian ........................................................................ 27
BAB III GAMBARAN UMUM KANTOR BPOM PROVINSI JAMBI
A. Sejarah Berdirinya Kantor BPOM Provinsi Jambi ..................... 28
B. Struktur Kantor BPOM Provinsi Jambi ...................................... 30
C. Visidan Misi BPOM Provinsi Jambi ........................................... 32
D. Sumber Daya Manusia ................................................................ 33
E. Budaya Organisasi ...................................................................... 36
F. Data Umum Wilayah Kerja......................................................... 41
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin
Edar Oleh BPOM Provinsi Jambi ............................................... 45
B. Kandala Yang Dihadapi Di Dalam Menerapkan Undang-UndangNomor
08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam
Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar Oleh BPOM Provinsi Jambi
49
C. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Sesuai Dengan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999 .................................................. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 60
B. Saran .......................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. Struktur Kantor BPOM Provinsi Jambi………………………… 30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka
kebutuhan hidup manusia kian berkembang pula. Tidak hanya kebutuhan akan
sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan saja. Kebutuhan akan
mempercantik diri pun kian menjadi prioritas utama dalam menunjang penampilan
sehari-hari. Salah satu cara untuk mengubah penampilan atau mempercantik diri
yaitu dengan menggunakan kosmetik.
Kosmetikadalah panduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar
badan (epidermis,rambut,kuku,bibirdan organ kelamin luar) gigi dan rongga mulut
untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan supaya tetap
dalam keadaan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut Ahmadi Miru dalam bukunya yang
berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
menyatakan bahwa: Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-
kosmetik dalam memenuhi kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk
pelaku usaha, baik kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang
tidak berizin edar dari pemerintah. Kegiatan seperti ini sering dijadikan lahan bisnis
bagi pelaku usaha yang mempunyai etika buruk akibat posisi konsumen yang lemah
karna tidak adanya perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari
konsumen.1
1 Ahmad Miru. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011).Hlm.32.
Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa : Berbagai cara dilakukan
oleh pelaku usaha untuk memasarkan produk kosmetik yang diproduksi oleh
mereka, misalnya yaitu dengan mencantumkan bahwa produk kosmetik tersebut
buatan luar negeri yang di impor langsung ke Indonesia.2
Dari kedua pendapat tersebut kita dapat melihat bahwa pelaku usaha akan
melakukan apa saja yang dapat dijadikannya ladang usaha untuk mendapatkan
keuntungan yang besar. Pengetahuan yang kurang dari masyarakatlah yang menjadi
peluang bagi pelaku usaha untuk memasarkan produknya.
Permasalahan yang dihadapi konsumen bertambah banyak di masa era
globalisasi dan teknologi serta krisis ekonomi ini, beban konsumen bertambah berat
dengan harga kebutuhan-kebutuhan mereka yang tinggi, walaupun kualitasnya
masih dipertanyakan.Penipuan berat, ukuran, penggantian tanggal kadaluwarsa,
pemalsuan, produk-produk ilegal beredar di pasaran.Semuanya itu sangat
merugikan konsumen.
Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) mengatakan ada sejumlah
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, antara lain berupa Bahan Kimia Obat
(BKO) tersebut antara lain seperti obat-obatan jenis antibiotik, deksamateson,
hingga hidrokuinon.
Berdasarkan hasil pengawasan Balai POM Jambi, ditemukan kosmetik tanpa
izin edar 354 item, yang memiliki label halal 111 item, dan yang tidak memiliki
labeb halal 1300 item. Dilakukan pemusnahan terhadap produk kosmetik tanpa izin
edar jadi sebanyak 2.289 item dengan perkiraan nominal Rp. 650.897.500 dengan
2Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani.Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000). Hlm. 24.
digilas menggunakan alat berat dan pembakaran dihalaman kantor Balai POM
Jambi oleh Kepala Balai POM di Jambi. Kosmetik yang banyak di edarkan di
pasaran tanpa izin edar dan mengandung bahan berbahaya yang masih beredar di
pasaran di antaranya, kosmetik bermerk Temulawak Widya Day Cream dan Night
Cream, Mirocell Night Cream, Icome Night Cream.Kosmetik ini mengandung
merkuri yang bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh bahkan bisa menyebabkan
kanker.3
Kosmetik tidak hanya digemari kaum hawa saja tetapi juga digemari oleh
sebagian kaum adam, seperti penggunaan minyak rambut(pomade). Pada era
perdagangan bebas sekarang banyak minyak rambut (pomade) yang beredar
dipasaran dengan berbagai jenis merek.Untuk kosmetik jenis minyak rambut
(pomade) yang beredar di Provinsi Jambi sebanyak kurang lebih 931 produk, yang
memiliki izin edar kurang lebih hanya 600 produk, dan yang illegal sebanyak 200
produk. Pomade yang banyak diedarkan di pasaran Kota Jambi di antaranya, merk
Brutal Bull, Suavecito, Kucle Pomade, King Pomade, King Power, Smith, Prince,
Rap Rap, Hair Grom, dan masih banyak merk lainnya.4
Keinginan kaum adam untuk meningkatkan daya tarik dirinya banyak di
manfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi
atau memperdagangkan minyak rambut(pomade) yang tidak memenuhi persyaratan
untuk diedarkan kepada masyarakat. Kebanyakan kaum adam sangat tertarik akan
produk yang mempunyai harga murah. Mereka tidak melihat apakah produk
tersebut tidak memenuhi persyaratan serta tidak terdaftar dalam BPOM.
3 Dr. Ir. Wisnu Cahayadi M.SI. Bahan Tambahan Pangan (Jakarta Sinar Grafika 2010).
Hlm. 35-37. 4Wawncara dengan saudara Sigit sebagai penjual pomade di Kota Jambi.15 Oktober 2019.
Kosmetik tersebut mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau karna
tidak adanya nomor izin, tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya
tanggal kadaluwarsa produk. Karna harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan
mudah sehingga minyak rambut(pomade) tanpa izin edar ini mudah dikonsumsi
oleh masyarakat. Ketidaktahuan konsumen akan efek samping yang ditimbulkan
dari kosmetik tersebut menjadi alasan masyarakat untuk tetap memakainya.
Kemudian permasalahan yang dihadapi konsumen khususnya kota Jambi,
banyaknya pedagang-pedagang kali lima yang berani secara terang-terangan
menjual minyak rambu (pomade) yang tidak memiliki standar kualitas izin edar dari
BPOM, sedangkan pelaku usaha tersebut mengetahui akan bahaya atau dampak dari
pemakaian kosmetik yang tidak memiliki izin edar, dan pelaku usaha tersebut juga
mengetahui tentang larangan menjual kosmetik yang tidak memiliki izin edar tetapi
mereka belum mengetahui sangsi apa yang akan mereka dapat apabila melakukan
hal tersebut.Kemudian peneliti mewancarai salah satu penjual pomade di Kota
Jambi yang bernama Sigit, yaitu:
Sigit mengatakan sudah mengetahui tentang izin edar kosmetik, mengenai
segi hukum, kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan dari kosmetik yang
tidak memiliki izin edar, Sigit beralasan menjual pomade yang tidak
memiliki izin edar tersebut karena banyak disukai, digemari, dan diminati
konsumen karna harganya yang terjangkau.5
Hukum perlindungan kosumen merupakan masalah yang menarik dan
menjadi perhatian Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat di lihat dari peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 08
Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen.Perlindungan konsumen merupakan
hal yang sangat perlu untuk terus dilakukan karna berkaitan dengan upaya
5Ibid. 2 Februari 2019.
mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya
transaksi perdangan pada zaman modern saat ini.6
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka dari itu sangat baik untuk
diteliti guna menambah pemahaman konsumen dan produsen terhadap perlindungan
konsumen sesuai dengan Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 Pasal 62 Ayat (1)
pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, 9,
10, 13, ayat (2), Pasal 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana
penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 2000.000.000,00 (dua
milyar), dan ketidak sesuaian yang dilakukan oleh penjual dengan ketentuan yang
berlaku, serta analisis penerapan Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 dalam
masalah ini yang dimuat dalam skripsi yang berjudul PENERAPAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN TERHADAP KOSMETIK YANG TIDAK MEMILIKI IZIN
EDAR OLEH BPOM PROVINSI JAMBI.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diperoleh pokok masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar oleh
BPOM Provinsi Jambi?
6M.Sadar, dkk.Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Jakarta Barat: Akademia,
2012).Hlm.1.
2. Apa saja kendala yang dihadapi di dalam menerapkan Undang-Undang Nomor
08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap kosmetik yang tidak
memiliki izin edar oleh BPOM Provinsi Jambi?
3. Bagaimana penyelesaian sengketaperlindungan konsumen berdasarkan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999?
C. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tepat pada sasaran dan tidak terlalu meluas serta tidak
menyalahi sistematika penulisan karya ilimiah sehingga membawa hasil yang di
harapkan, maka dalam penelitian ini penulisannya hanya membahas mengenai
Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Terhadap Jenis Kosmetik Pomade di Kota Jambi yang tidak Memiliki
Izin Edar. Awal penelitian skripsi ini dimulai pada tahun 2017 dan diselesaiakan
pada tahun 2019.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis yaitu:
Untuk menjelaskan bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
mengatur perlindungan terhadap konsumen (pembeli) dalam kosmetik yang tidak
memiliki izin edar.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Ingin mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar.
2. Ingin mengetahui apa saja kendala yang dihadapi di dalam menerapkan
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar.
3. Ingin mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
berdasarkan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999.
E. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, adapun manfaat yang ingin diperoleh dari
penulian skripsi ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian
dengan pengembangan ilmu hukum ekonomi syariah. Manfaat teoritis dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan dibidang Ilmu Hukum Syariah khususnya Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur, referensi, dan
bahan-bahan informasi ilmiah.
c) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap peneliti-peneliti
sejenisnya pada tahapan selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulis hukum ini yang berkaitan dengan
pemecahan masalah. Dengan adanya skripsi ini dapat dijadikan sebagai masukan
untuk pihak-pihak terkait seperti:
a. Bpom dan kepolisian Provinsi Jambi untuk lebih tegas lagi dalam memberikan
sanksi terhadap pelaku usaha yang nakal serta lebih giat lagi untuk mengadakan
sosialisasi serta pendidikan yang cukup terhadap kosumen.
b. Bagi Masyarakat, dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat sebagai
konsumen semakin menyadari hak-haknya sebagai kosumen.
c. Bagi Penulis, diharapkan bisa menjadi tambahan ilmu, khususnya dalam bidang
hukum perlindungan kosumen.
F. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum ini bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam
suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tentu hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan
hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki
otoritas tertinggi untuk menetukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum
lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.7
7 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu hukum, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 53.
2. Teori Pertanggung Jawaban
Teori pertanggung jawaban dalam peruatan melanggar hukum dibagi
menjadi beberapa teori, yatu:
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja, tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga
merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan
mengakibatkan kerugian.
b. Tanggung jawab aibat perbuatan melanggar hukum dilakukan kerana kelalaian,
didasarkan pada konsep kesalahan yang berakibat dengan moral dan hukum
yang sudah bercampur baur.
c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan, didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja
maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahan tetap bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.8
3. PengertianPenerapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian penerapan
adalah perbuatan menerapkan. Sedangkan menurut beberapa ahli berpendapat
bahwa, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekan suatu teori, metode, dan
hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang
diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun
sebelumnya.9
8 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Cipta Aditya Bakti. Hlm.
503. 9http//www.Kamus On_line.blogspot.com.24 Mei 2016.
4. Pengertian Kosmetik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian mengenai kosmetik,
yaitu:
Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajar, kulit, rambut, dan
sebagiannya seperti bedak dan pemerah bibir.10
Menurut Syarif M. Wasitaatmadja, mengemukakan mengenai pengertian
kosmetik, yaitu:
Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos” berarti keterampilan
menghias, sedangkann”kosmos” berarti hiasan.11
5. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
a. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda).Secara harfiah arti kata consumer
adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.12
Menurut UU No 8 Tahun 1999 dijelaskan bahwa konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tindak untuk diperdagangkan.13
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka. 11
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press, Hlm
26-27. 12
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Sinar Grafika,
2008). Hlm. 2. 13
Undang-undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).(Jakarta:
Visimedia, 2007). Hlm. 3.
Menurut Kotler, konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga untuk
tujuan penggunaan personal,produsen adalah individu atau organisasi yang
melakukan pembelian untuk tujuan produksi.14
b. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
menyebutkan sejumlah hak konsumen.
Hak konsumen itu adalah :
a) Hak atas kenyamanan, kemanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjian;
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
14
Ade Maman Suherman.Aspek Hukum dalam Ekonomi Global Edisi Revisi.(Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005). Hlm. 99.
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apa bila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.15
Sedangkan Kewajiban konsumen adalah:
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /ataujasa.
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.16
c. PerlindunganKonsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 menyatakan: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.17
Masyarakat umumnya telah menyebut tentang Hukum Konsumen, terutama
sekali Hukum Perlindungan Konsumen. Tetapi dalam tata hukum di Indonesia,
Hukum Konsumen dan/ atau Hukum Perlindungan Konsumen tersebut belum di
kenal. Begitu pula di kalangan ahli hukum, bahkan tentang eksistensinya pun belum
ada kesepakatan. Keadaan agak berubah setelah hadirnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UU No.8 Tahun 1999) pada tanggal 20 April 1999 yang
15
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta:Bhuana Ilmu Populer). Hlm. 6. 16
Ibid. Hlm. 7. 17
Ibid. Hlm. 3.
baru. Lalu Undang-Undang ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 April 2000, itu
pun sekiranya pemerintah baru nanti tidak mengubah dan/atau memberikan
pengaturan lain.18
d. Pengertian Produsen
Produsen merupakan makluk hidup yang dapat membuat makanannya
sendiri.Produsen juga dapat dikatakan sebagai makluk hidup yang mampu
mengubah zat anorganik menjadi zat organik.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Produsen disebut
sebabai pelaku usaha yang mempunyai hak.
Hak pelaku usaha itu adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hokum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hokum
sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.19
Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha.
Kewajiban pelaku usaha adalah:
18
Az. Nasution. Ibid. Hlm. 33. 19
Ibid. Hlm. 7.
1. Beritikad baik dalam melakukan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau di perdagangkan
berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan pada kosumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimamfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.20
6. Pengertian dan Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
a. Pengertian BPSK
BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat
diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses beperkara berjalan
cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara
yang nilai kerugiannya kecil.Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal dan
20
Ibid. Hlm. 8.
kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa
tidak diperkenalkan.Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan
dengan hukum yang berlaku.21
b. Peran BPSK
Badan ini dibentuk di setiap daerah Tingkat II (Pasal 49) BPSK dibentuk
untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 ayat (1)), dan
badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan
pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-
banyaknya 5 (lima) orang, yang semuanya diangkat dan bentuk oleh Menteri
(Perindustrian dan Perdangan). Keanggota badan terdiri atas ketua merangkap
anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota dengan dibentuk oleh sebuah
sekretaris (Pasal 50 jo. 51).
Tugas dan Wewenang BPSK (Pasal 52) meliputi:
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi;
2. Memberikan konsultasi perlindungan kosumen;
3. Pengawasan klausul baku;
4. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran Undang-Undang
ini;
5. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan atau tertulis, tentang dilanggarnya
perlindungan konsumen;
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen;
21
Marianus Gaharpung, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha, Jurnal Yustika, Vol. 3 No. 1 Juli 2000. Hlm. 43.
7. Memanggil pelaku usaha pelanggar;
8. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran itu;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menhadirkan mereka tersebut huruf g apabila
tidak mau memenuhi panggilan;
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat-alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen;
12. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran Undang-Undang;
13. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha pelanggaran Undang-
Undang.
c. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
Pada penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga BPSK ini diawali
dengan prasidang, yang tujuanny adalah untuk menggali informasi sejauh mana dari
masing-masing pihak. Hal ini juga karena didasarkan pada pengertian bahwa
penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan tidak berjenjang, yaitu jika konsumen
dan pelaku usaha telah memilih salah satu metode di BPSK, maka tidak boleh
memilih metode lainnya untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen.
Namun menurut pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo di dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menentukan adanya pemisahan
tugas anggota BPSK sehingga para anggota BPSK dapat bertidak sebagai aribitator,
konsiliator, maupun mediator.
Berdasarkan Pasal 52 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwa BPSK akan menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalan melalui
mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yaitu:
1. Mediasi
Media merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat
serta melibatkan pihak netral yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi
antara para pihak untuk membantu mereka dalam mencapai kompromi atau
kesepakatan.22
Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan kesepakatan para
pihak untuk menyelesaiakan sengketa melalui mediasi.
Jasa yang diberikan mediator adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian
sengketa. Peran mediator sangat terbatas, yaitu hanya menolong para pihak
untuk mencari jalan keluar dar sengketa yang sedang yang mereka hadapi,
sehingga hasil penyelesaian sepenuhnya ada pada kesepakatan para pihak.
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara
pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi,
sehingga masing-masing pihak tidak tidak perlu saling mempertahankan fakta
dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan
kebenaran masing-masing. Sehingga pembuktian tidak lagi menjadi beban yang
memberatkan para pihak.23
Keuntungan lain dalam mediasi sebagai jalan untuk menyelesaikan sengketa
adalah biaya yang murah, bersifat rahasia, saling memberikan keuntungan bagi
22
Mulyana W. Kusuma, 1994, Should Court-Annexed Alternative Dispute Resolution
Mechanisms Mandatory?. Jurnal Ilmiah Hukum Era Hukum, Nomor 1. Hlm. 5. 23
Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 393.
para pihak, tidak ada pihak yang kalah atau menang, selalu terjalin hubungan
baik antara para pihak yang bersengketa.
2. Konsiliasi
Konsiliasi ini juga dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
dengan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan arbitrase yaitu menyerahkan kepada
pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang
disampaikan oleh para pihak, akan tetapi pendapat dari konsiliator tidak
mengikat sebgaimana yang ada pada arbitrase.24
Ketidak terikatan para pihak
terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang
dihadapi para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaian sangat tergantung pada
kesukarelaan para pihak.
3. Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyampaikan sesuatu perkara berdasarkan kebijaksanaan. Arbitrase
merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai
yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaiakan
sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum
final mengikat.
Penyelesaian sengketa dengan langkah arbitrase ini adalah salah satu cara
mempercepat penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui lembaga BPSK,
yang putusannya dinyatakan final dan mengikat. Namun Undang-Undang
Perlindungan Konsumen masih membuka kemungkinan pihak yang keberatan
24 Aulia Muthiah, 2015, Aspek Hukum Dagang dan Pelaksanaanya di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Baru. Hlm. 233.
atas putusan tersebut untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri,
hanya saja pihak yang tidak puas atas putusan pengadilan negeri dan juga dapat
melakukan upaya kasasi ke mahkamah agung dalam tempo waktu 14 hari.25
Berdasarkan tahapan yang ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian
sengketanya maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian ini sama saja dengan
jalur litigasi, perbedaan hanya terletak pada tidak dikenalnya upaya hukum
banding terhadap putusannya, sehingga putusan BPSK jika ada pihak yang
keberatan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
G. Tinjauan Pustaka
Mendukung penyusunan yang lebih komprehensif, penyusun melakukan
penelaahan awal terhadap pustaka atau karya-karya terdahulu yang relevan dengan
topik yang akan diteliti. Masalah perlindungan kosumen terhadap kosmetik yang
tidak memiliki izin edar sebenarnya sudah banyak yang menyoroti dan mengkaji,
terutama kajian disajikan dalam bentuk buku.
Selain itu penyusun juga menemukan beberapa judul dalam skripsi Cahaya
Setia Nuarida Triana mahasiswa angkatan 2011 Universitas Jenderal Soedirman
Fakultas Hukum Purwakerto tentang “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Terhadap Peredaran Kosmetik yang Mengandung Bahan Merkuri di Kabupaten
Banyumas”. Pada penelitian ini hanya membahas tentang penegakan hukum
terhadap banyaknya osmetik yang mengandung bahan berbahaya khususnya di
Kabupaten Banyumas.26
25
Pasal 58 Ayat 2 UUPK yaitu: Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sebagai yang
dimaksud Pada Ayat (1), Para Pihak dalam Waktu Paling Lambat 14 Hari dapat Mengajukan Kasasi
ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. 26
Cahaya Setia Nuarida Triana, 2011. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap
Peredaran Kosmetik Yang Mengandung Bahan Berbahaya di Kabupaten Banyumas.Skripsi
Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Hukum, Purwakerto.
Kemudian pada skripsi yang disusun oleh Avis Sartika Fakultas Hukum
Universitas Lampung, yang berjudul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku
Usaha Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya di Provinsi Lampung”. Pada
penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pada tahap aplikasi terdapat pihak
kepolisian dalam hal ini Polda Lampung melakukan tindakan yang diperlukan untuk
menyelesaikan kosmetik yang mengadung bahan brbahaya dengan melakukan tahan
yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengumpulan barang bukti, penyitaan,
lalu diajukan ke pengadilan.27
Kemudian yang terakhir Muhammad Yahya Muhayat Fakultas Syariah dan
Hukum Uin Alaudin Makasar. “Perlindungan Terhadap Konsumen dari Peredaran
Obat Ttradisional Berbahaya Kimia/Zat Berbahaya Berdasarkan UU.No.8 Tahun
1999”.Penulis menganalisis mengenai ketentuan hukum tentang perlindungan
konsumen dan implementasi saksi hukum bagi pedagang, produsen, obat tradisional
berbahaya kimia di Kota Makasar.28
Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang lainnya adalah
penelitian ini lebih menekankan pada Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 Tentang Perlindungan konsumen yang tidak Memiliki Izin Edar oleh BPOM
Provinsi Jambi.
Penyusun ini tidak terlepas dari beberapa karya para penulis di atas. Hanya
saja dari penelusuran penyusun belum ditemukan penyusunan yang memfokuskan
pada Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
27
Avis Sartika, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha Kosmetik yang
Mengandung Bahan Berbahaya di Provinsi Lampung (Skripsi Fakultas Hukum 2017). 28
Muhammad Yahya Muhayat,”Perlindungan Terhadap Konsumen dari Peredaran Obat
Ttradisional Berbahaya Kimia/Zat Berbahaya Berdasarkan UU.No.8 Tahun 1999”.Skripsi (Makasar:
Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin, 2012). Hlm 10.
Konsumen Terhadap Kosmetik yang tidak Memilikin Izin Edar oleh BPOM
Provinsi Jambi.
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
lapangan dengan kualitatif normatif.Pentingnya jenis data karena diprolehnya
temuan dilapangan mengenai kaitan masalah yang diangkat dalam judul ini.
Pendekatan ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data yang berdasarkan pada
instrument pengumpulan data.
Penelitian ini juga bersifat deskriptif, metode ini adalah metode yang
menggambarkan suatu data yang akan dibuat, baik oleh penulis maupun secara
kelompok. Ciri-ciri metode deskriptif adalah memusatkan diri pada masa sekarang
dan masalah-masalah yang aktual, dan kemudian data yang dikumpulkan disusun,
dijelaskan, dan dianalisis.29
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan jenis pustaka (Library
research), yaitu suatu penyusun dengan cara menghimpun, menuliskan, mengedit,
dan mengklarifikasikan, mereduksi dan menjadikan data dan informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan diteliti. Data dan informasi tersebut diproleh
dari berbagai sumber tertulis seperti buku-buku ilmiah, laporan penyusunan,
karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertai, peraturan-peraturan, ensiklopedia, dan
sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lainnya yang terkait dengan
Analisis Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
29
Sayuti Una, (ED.). Pedoman Penulis Skripsi (Edisi Skripsi). (Jambi: Syariah Press, 2012).
Hlm.251.
Penulis ini juga menggunakan pendekatan yurisdis. Pendekatan yuridis
empiris penulis gunakan untuk melihat objek hukum karena berkaitan dengan
produk oerundang-undangan yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analisis, yang mana
penulisan hukum ini merupakan atau menggambarkan suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikaitkan
dengan teori hukum dan praktik yang menyangkut objek masalah, yaitu peran Balai
besar POM dalam melakukan pengawasan sebagai wujud perlindungan kepada
konsumen terhadap penggunaan obat dan makanan yang mengandung zat adiktif.
2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini
dilikukan dua cara pengumpulan data, yaitu data primer dan data skunder.30
1) Data Primer
Data primer yaitu data yang diproleh langsung dari sumber pertama.31
Dalam penelitian ini yaitu data yang diproleh langsung dari hasil wawancara yang
dilakukan peneliti di Kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi
Jambi. Data primer disini merupakan data pokok yang diproleh melalui hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis lapangan. Data yang termasuk dalam
penelitian ini adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang berkenaan
30
Soerjono Soekanto dan Siti Mamudji, Penelitian Normatif,(Jakarta : Rajawali Press,
1995).Hlm.35. 31
Amiruddin dan Zainul Asiki, Pengaturan Metode Hukum, (Jakarta : PR Grafindo
Persada).Hlm.30.
dengan penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Data Skunder
Data skunder diproleh melalui studi keputusan , yaitu mempelajari literatur
karangan para ahli hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Data skunder dalam penelitin ini
meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang melindungi kekuatan mengikat. Adapun yang
digunakan sebagai bahan hukum primer yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian ini yang berupa berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengawasan Balai Besar POM dan perlindungan konsumen yaitu:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
2. Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan, Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
3. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen (LPND).
4. Keputusan Kepala Badan Pengas Obat dan Makanan Nomor
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
b. Bahan Hukum Skunder
Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum primer
dan dapat membentuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer, misalnya:
1. Keputusan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
2. Bahan-bahan karya para sarjana.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
skunder, misalnya:
1. Kamus Hukum
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Data-data yang diperoleh tersebut selanjutnya merupakan landasan teori
dalam melakukan analisis data serta pembahasan masalah. Data skunder ini
diperlukan untuk lebih melengkapi data primer yang diperoleh melalui penelitian
lapangan.
B. Instrumen Pengumpulan Data
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, peneliti menggunakan
penelitian lapangan. Terkait itu dengan pengumpulan data adalah sebagai berikut:
a) Observasi
Metode dengan mendatangi tempat peneliti lapangan guna mendapatkan
data yang valid bagi peneliti, dan peneliti ini observasinya dilakukan secara
langsung kepada petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 dilapangan, dengan
meneliti dan mengamati sejauh mana penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 sesuai dengan wujud undang-undang tersebut satu pihak.
b) Wawancara
Metode dengan tanya jawab langsung kepada pihak yang terlibat dalam
penelitian ini wawancara ini dilakukan dengan pihak guna mengetahui secara
langsung tentang penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Dimana yang menjadi informan yaitu pegawai BPOM,
penjual pomade, dan konsumen pomade.
c) Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam
bentuk-bentuk dokumen. Dokumen yang diproleh dari kantor Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Jambi yang dikelola untuk melengkapi
penelitian-penelitian yang berupa dokumen.
C. Metode Penyajian Data
Data yang telang terkumpul akan diolah melalui proses editing, yaitu
memeriksa atau meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Dalam editing juga dilakukan
perbetulan data yang keliru, menambahkan data yang kurang, melengkapi data yang
belum lengkap. Apabila data yang diperoleh dipandang sudah memenuhi tujuan
penelitian maka langkah selanjutnya adalah menyusun data tersebut secara
sistematis dan sesuai dengan penulisan skripsi yang benar.
D. Metode Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
analisis normatif kuantitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara
sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas.
Metode kualitatif digunakan karena data yang diperoleh adalah data
deskriktif, yaitu apa yang telah diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Dengan menganalisis data yang telah terkumpul tersebut kemudian diuraikan dan
dihubungkan antara data yang satu dengan yang lain secara sistematis, untuk
selanjutnya data tersebut disusun dan disajikan dalam bentuk penukisan hukum.
Dalam metode kuantitatif tidak perlu diperhitungkan data dari kemampuannya
mewakili keadaan yang nyata kehidupan sahri-hari.32
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penyusunan proposal ini, penyusun
menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berbicara mengenai gambaran umum tentang kosmetik, yang di
awali dengan pembahasan tentang pengertian kosmetik, pengertian konsumen, dan
hukum perlindungan konsumen.
Bab ketiga merupakan laporan penyusunan mengenai pelaksanaan Undang-
Undang tentang perlindungan konsumen di kota Jambi, yang meliputi: penjualan
kosmetik (pomade/minyak rambut) yang tidak memiliki izin edar dari BPOM.
32
Soerjono Soekanto dan Siti Mamudji, Ibid.Hlm.35.
Bab keempat merupakan analisis Undang-Undang hukum perlindungan
konsumen, yang menjadi kajian dalam bab ini adalah Undang-Undang Hukum
Perlindungan Konsumen dalam bab ketiga. Adapun teori-teori yang penyusun
gunakan untuk membahas bab ketiga adalah teori-teori yang penyusun tulis dalam
bab pertama dengan tetap merujuk pada teori-teori hukum perlindungan konsumen
secara umum.
Bab kelima adalah penutup, berisi kesimpulan dari seluruh uraian
sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan saran-saran sebagai upaya perbaikan
dalam pelaksanaan Undang-Undang Hukum Perlindungan Konsumen terhadap
kosmetik yang tidak memiliki izin edar di kota Jambi.
F. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini di susun untuk menjadi pedoman ketika penelitian
dilaksanakan. Dengan adanya jadwal penelitian akan mudah mempersiapkan
langkah-langkah penelitian yang akan dilaksanakan nantinya lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut :
No
Kegiatan
2018/2019
Feb
ruari
Maret
April
Mei
Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
judul
2 Pembuatan
proposal
3 Perbaikan
proposal dan
seminar
4 Surat izin
riset
5 Pengumpulan
data
6 Pengolahan
data
7 Pembuatan
laporan
8 Bimbingan
dan perbaikan
9 Agenda dan
ujian skripsi
10 Perbaikan dan
penjilidan
BAB III
GAMBARAN UMUM KANTOR BPOM PROVINSI JAMBI
A. Sejarah Berdirinya Kantor BPOM Provinsi Jambi
Pembentukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BPOM ) Provinsi
Jambi diawali oleh terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia ( BPOM RI ). BPOM sebenarnya sudah terbentuk pada zaman belanda
dulu dengan nama De Dient De Valks Gezonheid ( DVG ) di bawah naungan
perusahaan farmasi milik belanda. DVG sendiri berperan sebagai lembaga yang
bertugas memproduksi obat-obatan kimia sekaligus sebagai pusat penelitian farmasi
kala itu. Pada tahun 1964, DVG yang merupakan bakal cikal terbentuknya BPOM
ini resmi menjadi milik pemerintah Indonesia dan berubah nama menjadi
Inspektorat Farmasi.33
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Direktorat Jendral Farmasi
dibantu oleh:
1. Lembaga farmasi nasional dengan tugas melaksanakan tugas pengujian dan
penelitian dibidang kefarmasian.
2. Pabrik farmasi depertement kesehatan.
3. Depot farmasi pusat.
4. Sekolah menengah farmasi depertement kesehatan.
Pada tahun 1975, pemerintah mengubah direktorat jendral farmasi menjadi
direktorat jendral pengawas obat dan makanan, dengan tugas pokok melaksanakan
pengaturan dan pengawasan obat, makanan, kosmetika dan alat kesehatan, obat
tradisional, narkotika serta bahan berbahaya.Untuk melaksanakan tugas tersebut,
33
Wawancara dengan Bapak Supriyadi, bagian Certifikasi Layanan Konsumen, 17
Desember 2018.
pada direktorat ini dibentuk unit pelaksana teknis yaitu pusat pemeriksaan obat dan
makanan dipusat dan balai pengawas obat dan maknan di seluruh provinsi.
Berdasarkan keputusan presiden No 166 tahun 2000 yang kemudian diubah
dengan kepres No 103/2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,
susunan organisasi, dan tata kerja lembaga pemerintahan non depertement (LPND)
yang bertanggung jawab kepada presiden dan dikordinasikan dengan menteri
kesehatan.34
Pembentukan Badan POM ini ditindak lanjuti dengan keputusan kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan No :02001/SK/KBPOM, tanggal 26 februari
2001 tentang organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, setelah
mendapatkan persetujuan menteri Negara pendayagunaan aparatur Negara No :
3/M.PAN/2/2001 tanggal 01 Februari 2001. Setelah keputusan ini dikeluarkan
Badan POM menjadi Badan yang ditunjukan indenpedensinya dalam mengawasi
peredaran Obat dan Makanan ditengah masyarkat serta menjamin kesahatan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan keputusan tersebutlah maka terbentuklah badan
pengawasan obat dan makanan ( BPOM ) provinsi Jambi di bawah naungan BPOM
RI pada tanggal 31 Januari 2001 yang terletak di Jl. RM. Nur Atmadibrata No.11,
Telanaipura, Kota Jambi.
34
Wawancara dengan Bapak Sarino, bagian Certifikasi dan layanan Informasi, 17 Desember
2018.
B. Struktur Kantor BPOM Provinsi Jambi
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan
di Jambi berdasarkan Keputusan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor 14 tahun
2014, tanggal 17 oktober 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
dan Teknis di lingkungan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Gambar I. Struktur Kantor BPOM Provinsi Jambi
Masing-masing Seksi dan Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas pokok
dan fungsi sebagai berikut:35
35
Laporan Tahunan BPOM Provinsi Jambi, tahun 2015.
KEPALA
Drs.H.Ujang Supriatna,Apt
NIP.196006091989031002
KEPALA TATA USAHA
Marhamah,SE
NIP.196035311 1965522001
KEPALA TERANOKOKO
Drs. Lenggo vivirianty,Apt
NIP.196704011995032001
KEPALA PANGAN&BB
Drs.Hj.tessy mulyani,Apt
NIP.196511191995032001
KEPALA SERLIK
Drs.H.Syartuni
NIP.16214323 11919951001
KEPALA PEMERIKSAAN
Drs.Hj.Emili,Apt.
NIP.1967040229953422001
KEPALA MIKROBIOLOGI
Drs.Armelny romita,S.SI,Apt
NIP.196810141997032001
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
1. Seksi Pengujian Produk Terapik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik, dan
Produk Komplemen.
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan program evaluasi dan
penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu di bidang terapik, narkotika, obat tradisional, kosmetika dan
produk komplemen.
2. Seksi Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencan dan program evaluasi dan
penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu di bidang pangan dan bahan berbahaya.
3. Seksi Pengujian mikrobiologi
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan program evaluasi dan
penyusunan laporan pelaksnaan mpemeriksaan laboraturium,pengujian dan
penilaian mutu secara mikrobiologi.
4. Seksi pemeriksaan dan penyidikan.
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan program evaluasi dan
penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh
untuk pengujian, pemeriksaan sarana produksi,disttribusi,sarana pelayanan
kesehatan serta penyidikan pelanggaran hukum di bidang produk terapetik,
narkotika,psikotropika,zat adiktif,obat tradisional,kosmetik, produk komplemen,
pangan dan bahan berbahaya.
5. Seksi sertifikasi dan layanan informasi konsumen.
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan program evalasi dan
penyusunan laporan pelaksanan sertifikasi produk, sarana produksi dan
distribusi tertentu dan layanan informasi konsumen.
6. Subbagian Tata usaha.
Mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi di lingkungan
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Jambi.
7. Kelompok jabatan fungisonal.
Mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan
fungsional yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Kelompok jabatan fungsional terdiri dari jabatan fungsional
pengawasfsrmasi dan makanan, penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan
bidang keahlianya.
C. Visi dan Misi Kantor Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Provinsi Jambi.
Sebagai arah dalam melaksanakan kegiatannya Badan Pengawasan Obat dan
Makanan di Jambi mempunyai Visi dan Misi sesuai dengan keputusan kepala
Badan POM RI No. HK.04.1.21.03.15.1644 Tahun 2015 tentang pernyataan Visi
dan Misi Badan Pengawasan Obat dan Makanan sebagai Berikut:36
1. Visi BPOM Provinsi Jambi
Obat dan makanan aman meningkatkan kesehatan masyarakat dan daya
saing bangsa.37
36
Ibid.Hlm. 3. 37
Ibid. Hlm. 3.
2. Misi BPOM Provinsi Jambi
a. Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis resiko untuk
melindungi masyarakat.
b. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan
obat dan makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.
c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan badan pengawas obat dan makanan.38
D. Sumber Daya Manusia
Berdasarkan analisis beban kerja jumlah kebutuhan pegawai Balai
Pengawas Obat dan Makanan di Jambi seharusnya berjumlah 86 (delapan puluh
enam) orang. Namun sampai dengan 31 Desember 2014 jumlah pegawai di BPOM
Jambi baru 68 (enam puluh delapan) orang PNS yang terdistribusi pada:39
1. Sub Bagian Tata Usaha 18 (delapan belas) orang yang terdiri dari apoteker 3
(tiga) orang. Sarjana Ekonomi 1 (satu) orang, Sarjana Hukum 2 (dua) orang,
Sarjana Teknologi Pangan 1 (satu) orang, DIII Komputer 1 (satu) orang, DIII
Akuntansi 1 (satu) orang, SMF 2 (dua)orang, Analis Kesehatan 1(satu) orang,
SLTA Umum 2 (dua) orang, SLTA Kejuruan 3 (tiga) orang dan SD 1 (satu)
orang.
2. Seksi Pengujian Teranokoko berjumlah 18 (delapan belas) orang yang terdiri
dari apoteker 11 (sebelas) orang, Sarjana Kimia 2 (dua) orang. D3 Farmasi/
Kimia 2 (dua) orang, SMF 3 (tiga) orang.
3. Seksi Pengujian Pangan dan bahan Berbahaya 10 (sepuluh) orang terdiri dari
Apoteker 6 (enam) orang, SMF 3 (tiga) orang, SMAK 1 (satu) orang.
38
Ibid. Hlm. 3. 39
Ibid. Hlm. 14.
4. Seksi Pengujian Mikro Biologi 6 (enam) orang yang terdiri dari Apoteker 2
(dua) orang, Sarjana Biologi 1 (satu) orang, DIII Farmasi/ Kimia 1 (satu) orang,
SMF 3 (tiga) orang,
5. Seksi Pemeriksaan 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari Apoteker 4 (empat
orang), Sarjana Hukum 1 (satu) orang , Sarjana Komputer 1 (satu) orang, SMF 3
(tiga) orang, dan SAKMA 1 (satu) orang,
6. Seksi Serlik 6 (enam) orang yng terdiri dari Apoteker 4 (empat) orang, SMF 1
(satu) orang, D3 Kimia 1(satu) orang.
Selain PNS, juga dibantu dengan 16 (enam belas) orang tenaga honorer
(administrasi, pengemidi, cleaning servise dan satpam). Ditinjau dari segi golongan
kepangkatan terbagi menjadi : golongan II sebanyak 10 (sepuluh) orang (14,71 %),
golongan III sebanyak 48 (empat puluh delapan) orang (70,59 %), golongan IV
sebanyak 10 (sepuluh) orang (14,70 %). Selama tahun 2014 terdapat beberapa
perubahan pada komposisi pegawai yaitu penambahan 2 (dua) orang CPNS
Apoteker, 4 (empat) orang mutasi pegawai antar seksi.40
Dalam upaya pengembangan dan peningkatan kompetensi pegawai pada
tahun 2014 ditugaskan pegawai Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di
Jambi untuk mengikuti pelatihan teknis dan manajemen sebanyak 174 (sertus tujuh
puluh empat) orang secara rinci dapat dilihat pada lampiran tabel.
Berdasarkan tingkat usia pegawai Balai pengawas Obat dan Makanan di
Jambi terdiri dari usia 20-24 tahun berjumlah 1 (satu) orang, usia 25-29 tahun 8
(delapan) orang, usia 30-34 tahun 15 (lima belas) orang, usia 35-39 tahun 6 (enam)
40
Ibid. Hlm. 16.
orang, usia 40-44 tahun 11 (sebelas) orang, usia 45-49 tahun 13 (tigabelas) orang
dan usia 50-54 tahun 12 (duabelas) orang, diatas 54 tahun 2 (orang).
Berdasarkan golongan pegawai balai Pengawas Obat dan Makanan di Jambi
terdiri dari Gol. II a berjumlah 1 (satu) orang, Gol. II c berjumlah 2 (dua) orang,
Gol. II II derjumlah 7 (tujuh) orang, Gol. III a berjumlah 6 (enam) orang, Gol. III b
berjumlah 22 (dua puluh dua) orang, Gol. III c berjumlah 10 (sepuluh) orang, Gol.
III d berjumlah 10 (sepuluh) orang, Gol. IV a berjumlah 6 (enam) orang dan Gol. IV
b berjumlah 1 (satu) orang.
Berdasarkan tingkat pendidikan pegawai Balai Pengawas Obat dan Mkanan
(BPOM) di Jambi berjumlah 68 (enam puluh delapan) orang terdiri dari S2
sebanyak 1 (satu) orang, Apoteker 29 (dua puluh sembilan) orang, S1 Biologi 1
(satu) orang, S1 Teknologi Pangan 1 (satu) orang, S1 Hukum 3 (tiga) orang, S1
Kimia 2 (dua) orang, S1 Ekonomi 1 (satu) orang, S1 Komputer 1 (satu) orang, D3
Komputer 1 (satu) orang, D3 1 (satu) orang, D3 Farmasi/ Kimia 4 (empat)orang,
SMF 14 (empat belas) orang, SMAK/ SAKMA 3 (tiga) orang, SLTA Umum 3
(tiga) orang, SLTA Kejuruan 2 (dua) orang, dan SD 1 (satu) orang.
E. Budaya Organisasi
Untuk membangun organisasi yang efektif dan efesien, Balai Pengawas
Obat dan Makanan di Jambi dikembangkan nilai-nilai dasar budaya organisasi
sebagai berikut :
1. Profesionalisme
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan
komitmen yang tinggi.
2. Integritas
Konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan, dalam menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur dan keyakinan.
3. Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas nasional dan internasional.
4. Kerjasama Tim, Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi
yang baik.
5. Inovatif, Mampu melaksanakan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan
teknologi terkini.
6. Responsif / Cepat Tanggap, Antisipasif dan responsif dalam mengatasi masalah.
Selain itu Balai pengawas Obat dan Makanan di Jambi juga mempunyai
komitmen, yaitu :
a. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas korupsi dan kolusi, dan
nepotisme.
b. Penegakan hukum disegala bidang
c. Keterbukaan
d. Kemitraan. 41
Kegiatan utama Badan POM Provinsi Jambi:
1. Program pengawasan keamanan pangan, kemasan pangan dan bahan berbahaya.
Tujuan dari program ini dalah untuk menjamin agar produk pangan yang
beredar di provinsi Jambi layak dan aman untuk dikonsumsi serta menekan
serendah mungkin akibat penggunaan produk kemasan pangan dan bahan
berbahaya, dilaksanakan dengan kegiatan :
41
Ibid. Hlm. 16.
a. Pemantapan penyelenggaraan pemeriksaaan terhadap sarana produksi dan
distribusi pangan dan bahan berbahaya.
b. Pemantapan sistem sampling produk pangan dan kemasan pangan.
c. Penerapan cara produksi makanan yang baik pada industri pangan.
2. Program pengawasan mutu, kasiat dan keamanan produk terapetik / obat yang
beredar di Jambi memenuhi syarat mutu, keamanan dan khasiat.42
Kegiatan utama yang dilakukan dalam program ini adalah :
a. Pemantapan penyelenggaraan pemeriksaan terhadap sarana produksi dan
distribusi Produk Treapetik / Obat.
b. Pemantapan sistem sampling Produk Treapetik / Obat.
c. Perluasan jangkauan monitoring iklan dan label produk.
d. Perluasan cakupan pengawasan peredaran produk treapetik termasuk penertiban
distribusi obat keras pada sarana yang tidak berwenang.
3. Program pengawasan mutu, keamanan dan khasiat / manfaat obat tradisional,
sublemen kesehatan dan kosmetik.
Program ini bertujuan untuk menjamin agar obat tradisional, sublemen
kesehatan dan produk kosmetik yang beredar di provinsi jambi memenuhu syarat
mutu, keamanan dan khasiat.
Kegiatan utama yang dilakukan dalam program ini adakah :
a. Pemantapan penyelenggaranaan pemeriksaan terhadap sarana produksi dan
distribusi produk obat tradisional, sublemen kesehatan, dan kosmetik.
b. Pemantapan sistem sampling obat tradisional, sublemen kesehatan, dan produk
kosmetik.
42
Ibid. Hlm. 16.
c. Perluasan jangkauan monitoring iklan dan label produk.
4. program perketatan pengawasan narkotika, psikotropika, zat adiktif, (NAPZA)
perkursor dan / rokok.43
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengendalian penyaluran
narkotikam psikitropika dan perkursor yang digunakan untuk pengobatan dan
mencegah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan perkursor.
Kegiatan utama yang dilakukan dalam program ini adalah :
a. Intenfikasi audit administrasi disemua tingkat pelayanan kesehatan.
b. Penertiban administrasi pencatatan dan pelaporan di seluruh mata rantai
pengadaan dan pengelolaan.
c. Memperkokoh jaringan kerjasama lintas sektor untuk mencegah kebocoran
pendistribusian NAPZA.
d. Peningkatan cakupan sampling NAPZA dan rokok serta pengawasan label dan
iklan rokok yang beredar.
5. program penyidikan dan penegakan hukum dibidang obat dan makanan, program
ini bertujuan untuk pengembangan, penelusuran dan penegakan hukum dalam
kasus pelanggaran dibidang obat dan makanan serta membentuk koordinasi
operasi dengan instansi terkait (Dinas Kesehatan, Dinas Perlindungan,
Perdagangan, dan Kepolisian).
Kegiatan utama yang dilakukan dalam program ini adalah :
a. Pelaksanaan pengembangan penelusuran dan tindak lanjut deteksi dini.
b. Penelusuran kasus pemalsuan, peredaran gelap dan pelanggaran.
43
Ibid. Hlm. 16.
c. Operasi gabungan daerah.
d. Operasi gabungan nasional.
e. Kegiatan operasi pasar dalam negeri bebas produk ilegal.44
Kegiatan prioritas Badan POM Provinsi Jambi
Kegiatan prioritas Balai Pengawas Obat dan Makanan di Jambi pada tahun
2015 adalah sebagai berikut :
Sampling dan pengujian sampel obat, obat tradisional, kosmetika, sublemen
kesehatan, pangan dan bahan berbahaya.
1. Meningkatkan sistem mutu laboraturium sesuai dengan ISO/ IEC 17025 : 2005.
2. Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat, obat tradisional, kosmetika,
sublemen kesehatan, pangan dan bahan berbahaya.
3. Pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif / rokokdan obat
bahan berbahaya.
4. Pengawasan iklan dan label produk obat, kosmetika, obat tradisional sublemen
kesehatan, dan makanan.
5. Surveilan, audit IRTP dalam rangka izin pencantuman halal dan piagam bintang
keamanan pangan kantin sekolah.
6. Peningkatan penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan makanan.
7. Peningkatan pemberdayaan konsumen / masyarakat melalui penyuluhan dan
penyebaran informasi.
8. Peningkatan koordinasi dengan stakeholder terkait.
9. Perkuatan infrastuktur untuk mendukung program pengawasan obat dan
makanan.
44
Ibid. Hlm. 16.
10. Melaksanakan Revitalisasi Mobil Laboraturium Keliling dalam rangka Rapid
Test Kit Bahan Berbahaya pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dan
Pangan Jajanan Pasar.
11. Melaksanakan SATGAS Pemberantasan Produk Ilegal.
12. Implementasi ISO 9001 : 2008 mengenai Quality Managemen System (QMS).
13. Penerapan sistem pengendalian interen pemerintah.
14. Sampling obat dan sarana pelayanan pemerintah.
15. Pengawasan saran adan sampling produk pangan fortifikasi.
16. Gerakan keamanan pangan desa.45
F. Data Umum Wilayah Kerja
Provinsi Jambi merupakan bagian dari pulau sumatra yang terletak di bagian
wilayah timur. Letak geografis Provinsi Jambi berada pada 0045’ sampai 2
045’
Lintang Selatan dan antara 101010
0 sampai 104
055’ Bujur Timur yang berbatasan
dengan :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Prvinsi Riau dan Kepulauan Riau;
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan;
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatra Selatan;
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat dan Bengkulu.46
Secara administratif luas wilayah Provinsi Jambi ± 53.435 km2
dengan luas
daratan 50.160,05 km2 dan diperairan 3.274,95 km
2 yang terdiri dari 9 (sembilan)
kabupaten, 2 (dua) kota, 183 kabupaten, 1.553 desa/kabupaten dengan rincian
sebagai berikut :
45
Ibid.Hlm. 17. 46
Ibid. Hlm. 9.
1. Kabupaten Kerinci : 3.335,27 km2
2. Kabupaten Bungo : 4.659 km2
3. Kabupaten Tebo : 6.461 km2
4. Kabupaten Merangin : 7.679 km2
5. Kabupaten Sarolangun : 6.184 km2
6. Kabupaten Batang Hari : 5.804 km2
7. Kabupaten Muaro Jambi : 5.326 km2
8. Kab. Tanjung Jabung Barat : 4.649,85 km2
9. Kab. Tanjung Jabung Timur : 5.445 km2
10. Kota Jambi : 205,43 km2
11. Kota Sungai Penuh : 391,5 km2
Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jambi yang terletak di Jl.
RM Nur Atmadibrata No. 11 Telanaipura Jambi menempati lahan seluas 3.976 m2
termuat dalam Surat Hak Pakai Tanah milik pemda Provinsi Jambi sesuai dengan
surat perjanjian antara pemerintah Provinsi Jambi dengan Balai Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) di Jambi No. 2969/SPP/Gub/BPKAD/2014 dan
No.PR.02.02.89.11.14.1995 tanggal 30 Oktober 2014.47
Dan Luas tanah untuk rumah dinas/mes 802 m2 yang terletak di komplek
RSU Jambi(berdasarkan izin pemakaian dari PEMDA Provinsi Jambi sesuai SK.
Gubernur Jambi No. 3096/SPP/Gub/BPKAD/2014 dan No.02.02.89.11.14.1995
Tanggal 30 Oktober 2014. Hal tersebut diatas sesuai SK. Gubernur Jambi No.
580./Kep.Gub/BPKAD/2014 Tanggal 18 November 2014.48
47
Ibid. Hlm. 12. 48
Ibid. Hlm. 12.
Luas bangunan
Gedung Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jambi terbagi atas
tujuh gedung, luas keseliruhan 2.745 m2 yang terdiri dari :
1. Gedung Kantor (A) : 764 m2
2. Gedung Lab. Pengujian Pangan dan BB (B) : 450 m2
3. Gedung Lab. Pengujian Teranokoko (C) : 860 m2
4. Gedung Lab. Pengujian Mikrobiologi (D) : 510 m2
5. Gedung Regensia (E) : 40 m2
6. Gedung Regensia : 30 m2
7. Rumah Genset (F) : 21 m2
8. Instalasi Pengolah Air Limbah : 60 m2
a. Adapun sumber Energi Listrik :
Jumlah KVA seluruhnya 105 KVA terbagi untuk :
1. Gedung Utama/kantor
2. Gedung Pengujian Pangan dan BB
3. Gedung Pengujian Mikrobiologi
4. Gedung Pengujian Terapetik
Sementara sumber air bersih yang digunakan sebagai penunjang sarana
lingkungan dan untuk menunjang penyelenggaraan laboratorium serta keperluan air
bersih berasal dari PDAM.
Sedangkan sarana komunikasi yang dimiliki yang dimiliki Balai Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) di jambi berupa 4 bulan telepon di gedung utama,
dengan rincian:
1. Ruang Ka. Balai
2. Ruang Umum Telp./ Fax dan PABX
3. Ruang Seksi Serlik telp. Dan Fax
4. Ruangan IT untuk Line Internet (Private Vitural Network)
Kendaraan Dinas Roda empat berjumlah 7 (tujuh) unit terdiri dari 3 (tiga)
mobil laboratorium keliling terdiri dari 2 (dua) unit jenis minibus ELF Isuzu
pengadaan tahun 2013 dan 1 (satu) unit Suzuki APV hibah dari Badan POM RI
pada tahun 2008. Sedangkan kendaraan operasional lainnya sejumlah 4 (empat) unit
terdiri dari 2 (dua) unit Innova pengadaan tahun 2014 dan 2005, 1 (satu) unit
Toyota Kijang Kapsung pengadaan 1997 dan Isuzu Panther pengadaan tahun 2002.
Kendaraan dinas roda dua berjumlah 4 (empat) Unit yaitu 1 unit Honda Supra
pengadaan tahun 1997, 1 (satu) unit Honda Supra X pengadaan tahun 2004 dan 2
(dua) unit Honda Supra X 125 CC pengadaan tahun 2007.49
49
Ibid. Hlm. 14.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Terhadap Kosmetik Yang Tidak Memiliki Izin Edar Oleh
BPOM Provinsi Jambi
Pada latar belakang masalah, masih belum dapat dikatakan penerapan
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang hukum perlindungan konsumen ini
yang khususnya membahas tentang izin edar kosmetik pomade di kota Jambi.
Kemudian yang peneliti ketahui bahwa Kosmetik sudah menjadi salah satu
kebutuhan manusia untuk meningkatkan penampilan sehari-hari, sehingga dalam
hal ini masayarakat perlu di lindungi terhadap produk kosmetik yang tidak
memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan, keselamatan, dan izin edar. Di
antara kosmetik tersebut ialah minyak rambut yang digunakan oleh anak-anak
maupun orang tua, tentu hal ini badan penjamin obat dan makanan (BPOM)
mempunyai peran yang penting akan perlindungan konsumen.
Didalam melaksanakan upaya penerapan undang-undang perlindungan
konsumen, BPOM berwenang melalui pengawasan sebagaimana yang diatur pada
pasal 34 ayat (1) undang-undang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa:
1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen
dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan kosumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.50
Maka dari itu perlu pengawasan dan penerapan Undang-Undang Nomor 08
Tahun 1999, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat (1)
menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan
oleh:
1. Pemerintah
2. Masyarakat
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.51
Adapun upaya penerapan perlindungan konsumen dapat di lihat pada Pasal 3
Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
50
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta:Bhuana Ilmu Populer). Hlm. 21. 51
Ibid. Hlm. 20.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan
konsumen.52
Dari hasil wawancara yang peneliti dapatkan dilapangan, adapun cara
penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 mengatur perlindungan terhadap
konsumen dalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar, seperti yang dikemukakan
oleh bapak Sarino pada bagian sertifikasi dan informasi layanan konsumen beliau
mengatakan bahwa langkah pertama dilakukan dengan menyediakan :
1. Sosialisasi
Adapun langkah pertama penerapan undang-undang tentang izin edar kosmetik
ini ialah pihak BPOM melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan
yang pertama memberikan informasi kepada masyarakat untuk dapat
mengetahui bahaya kosmetik yang tidak memiliki izin edar, dan
mengembangkan pengetahuan masyarakat terhadap bahaya dampak dari
pemakai kosmetik yang tidak memiliki izin edar. Adapun sosialisasi yang
pernah dilakukan oleh BPOM ialah, melakukan seminar, dan melakukan
wawancara langsung terhadap masyarakat.
2. Media
Bpom juga melakuakan sosialisasi melalui media sosial, contohnya seperti
youtobe dan media cetak seperti Koran, brosur-brosur, dan majalah-majalah
kesehatan.
3. Penyuluhan
Adapun upaya yang ketiga adalah melakukan penyuluhan secara turun langsung
ke tempat pembuatan kosmetik (pomade) dengan harapan agar para produsen
52
Ibid. Hlm. 5.
mengetahui cara produksi kosmetik yang baik dan benar agar nantinya tidak ada
konsumen yang dirugikan oleh kosmetik yang tidak memenuhi standar layak
izin edar.53
Kemudian ada yang sama juga dikemukakan oleh Ibu Esi sebagai pegawai
pelayanan konsumen juga mengatakan adapun upaya penerapan yang dilakukan
oleh BPOM sama halnya dengan dikemukakan oleh bapak Sarino yaitu diantaranya
seperti sosialisasi, media, dan penyuluhan sebagai berikut:
Tujuan BPOM melakukan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada
masyarakat akan bahaya dan dampak yang di timbulkan oleh kosmetik yang
tidak memiliki standar kualitas yang baik, kemudia BPOM juga melakukan
sosialisasi melalui media, seperti media sosial, media cetak, dan media
gambar. Kemudian BPOM juga melakukan penyuluhan dengan cara turun
langsung kedalam produksi pembuatan kosmetik agar nantinya produsen tau
bagaimana kosmetik yang layak di edarkan.54
Akan tetapi dari fakta yang didapatkan di lapangan peneliti melakukan
wawancara dengan penjual pomade atau produsen yang bernama saudara Nabawi
di Simpang Rimbo mengatakan:
Nabawi mengatak belum mengetahui bagaimana perlindungan hukum
terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar baik dari segi hukum, dan
kesehatan. Karena saya tidak paham dan tidak tahu mengenai proses
membuat surat izin edar.
Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman produsen didalam melakukan
izin edar usahanya khususnya di kota Jambi. Arifin sebagai penjual pomade kota
Jambi juga berpendapat hampir sama dengan Nabawi, yaitu :
53
Wawancara dengan Bapak Sarino Sebagai Pegawai BPOM Provinsi Jambi, Bagian
Sertifikasi Layanan Informasi dan Konsume .17 Desember 2018. 54Wawancara dengan Ibu Esi Sebagai Pegawai BPOM Privinsi Jambi, Bagian Pelayanan
konsumen.6 Mei 2019.
Arifin juga mengatakan tidak terlalu paham dengan proses izin edar
tersebut, untuk melakukan proses izin edar di nilai terlalu sulit dan memakan
waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit.55
Kemudian Sigit salah satu dari penjual pomade mengatakan:
Sigit mengatakan sudah mengetahui tentang izin edar kosmetik, mengenai
segi hukum, kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan dari kosmetik yang
tidak memiliki izin edar, Sigit beralasan menjual pomade yang tidak
memiliki izin edar tersebut karena banyak disukai, digemari, dan diminati
konsumen karna harganya yang terjangkau.56
B. Kendala Yang Dihadapi Di Dalam Menerapkan Undang-Undang Nomor 08
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam Kosmetik
Yang Tidak Memiliki Izin Edar Oleh BPOM Provinsi Jambi
Dari hasil peneliti dapatkan dilapangan pihak BPOM mengatakan salah satu
kendala yang dihadapi didalam menereapkan undang-undang perlindungan
konsumen ialah dari segi pendanaan, karena seperti yang diketahui luasnya wilayah
Provinsi Jambi khususnya Kota Jambi tentu membutuhkan pendanaan yang begitu
cukup juga banyak.
Bapak Sarino mengatakan kami dari pihak BPOM belum bisa bekerja secara
maksimal karna kurangnya dari segi pendanaan, ini merupakan salah satu
faktor sulitnya kami untuk melakukan tugas karna minimnya pendanaan
untuk sarana maupun prasarana. Kemudian kendala selanjutnya ialah
kurangnya pembinaan dan pengawasan serta kurangnya koordinasi aparat
penanggung jawab, rendahnya tingkat kesadaran dan tingkat pengetahuan
konsumen terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan
kurangnya respon masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.57
Dilain waktu peneliti juga melakukan wawancara dengan Ibu Marhamah,
beliau mengatakan bahwa :
55
Wawancara dengan saudara Nabawi dan Arifin sebagai penjual pomade di Kota jambi. 2
Februari 2019. 56
Wawncara dengan saudara Sigit sebagai penjual pomade di Kota Jambi.2 Februari 2019. 57
Wawancara dengan Bapak Sarino Sebagai Pegawai BPOM Provinsi Jambi,Bagian
Sertifikasi Layanan Informasi dan Konsumen.17 Desember 2018.
Ada dua faktor kendala yang dihadapi BPOM di dalam menerapkan
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan terhadap
Konsumen, faktor pertama yaitu faktor internal dan faktor yang kedua
eksternal yaitu:
1. Faktor internal
a. Kurangnya Jumlah sumber Daya Manusia
Data yang ada pada saat ini jumlah sumber daya manusia atau pegawai
BPOM Provinsi Jambi berkisar kurang lebih 68 orang, tentu dengan jumlah
yang terbatas ini mempengaruhi pelaksanaan tugas pengawasan oleh BPOM
Provinsi Jambi. Apalagi ditambah dengan wilayah kerja Provinsi Jambi
yang luas mencapai kurang lebih 53.435 km yang terdiri dari 9 kabupaten
dan dua kota, dengan luasannya cakupan yang dimiliki oleh BPOM Provinsi
Jambi tidak sebanding dengan besarnya cakupan pengawasan secara
menyeluruh sarana produksi dan distribusi yang ada diseluruh Provinsi
Jambi, sehingga berpengaruh pada intensitas pengawasan.
b. Terbatasnya Dana dan Anggaran
Anggaran yang digunakan terbatas sehingga fungsi pengawasan tidak bisa
berjalan dengan baik, dengan terbatasnya dana yang dimiliki oleh BPOM
Provinsi Jambi menjadi salah satu kendala efektivitasnya kinerja BPOM
dalam upaya penerapan dan pengawasan undang-undang perlindungan
konsumen terhadap kosmetik yang tidak memiliki izin edar khususnya di
kota Jambi.
2. Faktor eksternal
Masih rendahnya kesadaran hukum produsen dan konsumen dalam
memahami konteks pengetahuan tentang Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen mengenai izin edar
kosmetik (pomade) khususnya di Kota Jambi.58
Peneliti mendapatkan tanggapan dari hasil wawancara produsen penjual
pomade di kota Jambi.
Sigit mengatakan sudah mengetahui larangan mengedarkan kosmetik yang
tidak memiliki izn edar, tetapi masih mengedarkan kosmetik (pomade) yang
tidak memiliki izin edar dengan alasan tingginya permintaan konsumen di
karenakan harganya yang terjangkau.59
Kemudian hasil wawancara dari konsumen yaitu:
1. Putra selaku konsumen yang menggunakan kosmetik yang tidak
memiliki izin edar menjelaskan karena harga yang relatif terjangkau,
58
Wawancara dengan Ibu Marhamah Sebagai Pegawai BPOM Provinsi Jambi, Bagian
Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi. 13 April 2019. 59
Wawncara dengan saudara Sigit sebagai penjual pomade di Kota Jambi.2 Februari 2019.
kalau merek yang telah memiliki izin edar tentu harganya tinggi kami
tidak sanggup untuk membelinya. 60
2. Agung selaku konsumen juga berpendapat sama dengan Putra, Agung
beralasan menggunakan pomade yang tidak memiliki izin edar karena
mudah di cari dimana saja dan harga yang cukup murah, bagi Agung
pomade yang tidak memiliki izin edar tidak terlalu jauh berbeda dengan
yang memiliki izin edar hanya terletak pada kemasannya saja yang lebih
menarik atau bagus.61
3. Santo selaku konsumen yang menggunakan kosmetik yang memiliki izin
edar mengatakan karena kualitas lebih diutamakan dari pada harga dan
pengguna lebih merasa puas jika memakai produk yang memiliki izin
edar. Untuk apa kita takut mengeluarkan uang lebih tetapi diri kita tidak
aman apabila menggunakan produk yang tidak bermutu.62
Dari wawancara di atas dapat dilihat bahwa kesadaran hukum yang rendah
atau tinggi pada produsen dan konsumen mempengaruhi pelaksanaan hukum,
kesadaran hukum yang rendah akan menjadi kendala dalam pelaksanaan penerapan
hukum, baik berupa tingginya tingkat pelanggaran hukum maupun kurang
berpartisipasinya produsen dan konsumen dalam pelaksanaan penerapan hukum.
C. Penyelesaian SengketaPerlindungan Konsumen Sesuai Dengan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999
Sengketa dipandang sebagai fenomena kekerasan sehingga sengketa selalu
dipandang sebagai sesuatu yang buruk, jadi setiap orang akan selalu mencoba untuk
menghindari terjadinya sengketa. Sebelum masyarakat mengenal hukum tertulis
sengketa sudah biasa terjadi dalam hubungan antar masyarakat, sehingga mereka
menyelesaikan sengketa ini dengan cara hukum adat berdasarkan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat setempat. Bisa dengan cara musyawarah atau dengan cara
penerapan sanksi. Namun ketika masyarakat sudah mengenal hukum tertulis mereka
mulai menggunakan cara-cara yang formal yaitu dengan bantuan lembaga
60
Wawncara dengan Saudara Putra Sebagai Konsumen Pomade yang tidak Memiliki Izin
Edar di Kota Jambi.11 Februari 2019. 61
Wawancara dengan Saudara Agung Sebagai Konsumen Pomade yang tidak Memiliki Izin
Edar di Kota Jambi.3 Maret 2019. 62
Wawancara dengan Saudara Santo Sebagai Konsumen Pomade yang Meiliki Izin Edar di
Kota Jambi.24 Maret 2019.
Peradilan, karena dengan penyelesaian sengketa diakui oleh pemerintah dan
dianggap lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan.
Penyelesaian sengketa secara patut merupakan harapan setiap individu
sedang berkasus. Salah satunya adalah kasus antara konsumen dengan pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa di bidang konsumen merupakan kebijakan yang baik dalam
upaya pemberdayaan (emporwerment system). Upaya pembedayaan konsumen
merupakan bentuk kesadaran mengenal karakteristik khusus dunia konsumen, yaitu
adanya perbedaan kepentingan yang tajam antara pihak yang berbeda posisi
tawarnya (bargaining position).63
Pengertian sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukan perbedaan
pendapat, maka terjadilah apa yang dimaksud dengan sengketa.
Dengan fenomena ini maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen
sebagai payung hukum bagi konsumen dan pelaku usaha mengatur bagaimana cara
penyelesain sengketa konsumen agar setiap hak-hak yang telah dirugikan mendapat
ganti yang sesuai dengan harapan konsumen tersebut.
Berdasarkan pada uraian di atas maka sesungguhnya dapat kita perhatikan
bahwa permasalahan perlindungan konsumen merupakan masalah yang cukup luas
dan konfleks tidak hanya berhubungan dengan pelaku usaha dan konsumen saja
namun untuk memberikan perlindungan konsumen secara maksimal dan
63
NTH Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Jakarta: Panta Rei. Hlm. 202.
penyelesaian permasalahan konsumen yang adil diperlukan pihak-pihak lain yang
terkait seperti pemerintah dan anggota-anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Sengketa ini dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau
menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak
memenuhi kewajibannya, seperti konsumen tidak mendapat barang yang sesuai
dengan pesanannya, atau bisa jadi pelaku usaha tidak mendapat pembayaran yang
sempurna dari konsumen. Sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha pada
umumnya didasarkan kepada hal-hal yang tidak dikehendaki bahkan tidak diduga
oleh konsumen sebelumnya. Dari berbagai macam penyebab timbulnya sengketa,
dapat berasal dari dua hal yaitu: pertama, pelaku usaha tidak melaksanakan
kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Kedua pelaku
usaha atau konsumen tidak mentaati isi perjanjian.Adapun cara penyelesaian
sengketa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
Pada penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga BPSK ini diawali
dengan prasidang, yang tujuannya adalah untuk menggali informasi sejauh mana
dari masing-masing pihak. Hal ini juga karena didasarkan pada pengertian bahwa
penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan tidak berjenjang, yaitu jika konsumen
dan pelaku usaha telah memilih salah satu metode di BPSK, maka tidak boleh
memilih metode lainnya untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen.
Namun menurut pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo di dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menentukan adanya pemisahan
tugas anggota BPSK sehingga para anggota BPSK dapat bertidak sebagai aribitator,
konsiliator, maupun mediator.64
Berdasarkan Pasal 52 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwa BPSK akan menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalan melalui
mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yaitu:
1. Mediasi
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak
mengikat serta melibatkan pihak netral yaitu mediator, yang memudahkan
negosiasi antara para pihak untuk membantu mereka dalam mencapai kompromi
atau kesepakatan.65
Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului
dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaiakan sengketa melalui
mediasi.Jasa yang diberikan mediator adalah menawarkan dasar-dasar
penyelesaian sengketa. Peran mediator sangat terbatas, yaitu hanya menolong
para pihak untuk mencari jalan keluar dar sengketa yang sedang yang mereka
hadapi, sehingga hasil penyelesaian sepenuhnya ada pada kesepakatan para
pihak.
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara
pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi,
sehingga masing-masing pihak tidak tidak perlu saling mempertahankan fakta
dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan
kebenaran masing-masing. Sehingga pembuktian tidak lagi menjadi beban yang
memberatkan para pihak.66
64 Aulia Muthiah, 2018, Hukum Perlindungan Konsumen,Puataka Baru Press. Hlm. 215. 65
Mulyana W. Kusuma, 1994. Ibid. Jurnal Ilmiah Hukum Era Hukum, Nomor 1. Hlm. 5. 66
Yahya Harahap, 1997. Ibid.Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 393.
Keuntungan lain dalam mediasi sebagai jalan untuk menyelesaikan sengketa
adalah biaya yang murah, bersifat rahasia, saling memberikan keuntungan bagi
para pihak, tidak ada pihak yang kalah atau menang, selalu terjalin hubungan
baik antara para pihak yang bersengketa.
2. Konsiliasi
Konsiliasi ini juga dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
dengan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan arbitrase yaitu menyerahkan kepada
pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang
disampaikan oleh para pihak, akan tetapi pendapat dari konsiliator tidak
mengikat sebgaimana yang ada pada arbitrase.67
Ketidak terikatan para pihak
terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang
dihadapi para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaian sangat tergantung pada
kesukarelaan para pihak.
3. Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyampaikan sesuatu perkara berdasarkan kebijaksanaan. Arbitrase
merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai
yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaiakan
sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum
final mengikat.
Penyelesaian sengketa dengan langkah arbitrase ini adalah salah satu cara
mempercepat penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui lembaga BPSK,
67
Aulia Muthiah, 2015. Ibid. Hlm. 233.
yang putusannya dinyatakan final dan mengikat. Namun Undang-Undang
Perlindungan Konsumen masih membuka kemungkinan pihak yang keberatan
atas putusan tersebut untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri,
hanya saja pihak yang tidak puas atas putusan pengadilan negeri dan juga dapat
melakukan upaya kasasi ke mahkamah agung dalam tempo waktu 14 hari.68
Berdasarkan tahapan yang ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian
sengketanya maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian ini sama saja dengan
jalur litigasi, perbedaan hanya terletak pada tidak dikenalnya upaya hukum
banding terhadap putusannya, sehingga putusan BPSK jika ada pihak yang
keberatan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum
Sengketa konsumen di sini dibatasi pada sengketa perdata. Maksudnya suatu
sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena perbuatan sang hakim,
melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat baik
itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas
hukum perdata yang tidak dapat bekerja diantara para pihak secara sukarela.
Sebagaimana pendapat Bapak Satjipto Rahardjo yang saya kutip, beliau
mengatakan :69
“Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses
pradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan
kehakiman, prosedur beperkara dan sebagainya”.
68
Pasal 58 Ayat 2 UUPK yaitu: Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sebagai yang
dimaksud Pada Ayat (1), Para Pihak dalam Waktu Paling Lambat 14 Hari dapat Mengajukan Kasasi
ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. 69
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, 1986, hlm. 70 dalam
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.Citra Aditya Bakti,
2003. Hlm. 308-313.
Istilah “prosedur beperkara” didahului dengan pendaftaran surat gugatan di
kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Sebelumnya, itu berarti surat
gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti dan cermat. Pasal 45
ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan: ketentuan Pasal 46
ayat (3), masalah itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Sebelum menyusun gugatan, kuasa hukum terlebih dahulu menerima
pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan hukum mewakili
kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat kuasa yang
secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu diberikan (surat kuasa
khusus). Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian kuasa dapat
mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebelum penyusunan surat gugatan hendaknya dipertimbangkan beberapa
hal. Pertama, menggali fakta-fakta dari konsumen termasuk siapa saja dari
produsen yang terlibat dalam sengketa tersebut. Sebelum kuasanya ditangani kuasa
hukum biasanya pada waktu mengadu ke organisasi konsumen atau instansi yang
berkompeten, konsumen sudah membuat kronologis permasalahan atas instansi
sendiri, baik secara lisan atau tertulis. Konsumen sangat dianjurkan untuk
membuatnya secara tertulis. Kuasa hukum sebaiknya tidak menunjukan sikap yang
paling tahu atas permasalahan konsumen. Bukankah yang mengalami fakta-fakta
itu, konsumen sendiri. Jadi kuasa hukum diharapkan tidak menambahkan fakta-
fakta yang sebenarnya tidak dialami kosumen.
Kedua, mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk di sini
surat-surat dan saksi-saksi. Hasil penelitian/pengujian laboratorium untuk
komoditas tertentu, seperti makanan/minuman, otomotif/kendaraan, air minum
(PAM), dan listrik (PLN), sebenarnya dapat membantu
mengungkapkan/membuktikan dalil-dalil gugatan konsumen.
Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali sejauh mungkin hal-
hal apa saja yang sudah dilakukan konsumen, misalnya menyurati produsen,
wawancara dengan media masa/elektronik atau menulis surat pembaca di media
masa. Ini penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya gugatan balik
berupa pencemaran nama baik dari produsen.
Keempat, menyangkut kompetensi/kewengan mengadili secara absolute
(atribusi kekuasaan kehakiman di antara peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, atau peradilan tata usaha negara) maupun kewengan mengadili
secara relatif (di antara peradilan sejenis, mana yang berwenang mengadili).
Kompetensi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan sejenis untuk
mengadili tergugat sesuai ketentuan Pasal118 HIR. Prinsip yang berlaku, yaitu
gugatan diajukan pada pengadilan negeri di daerah hukum tergugat berdiam
(berdomilisi atau jika domisilinya tidak diketahui, diajukan di tempat tinggal
tergugat sebetulnya). Tempat tinggal seseorang dapat dilihat dari Kartu Tanda
Penduduk (KTP)nya.
Sanski yang diberikan kepada pelaku usaha yang mengedarkan produk yang
tidak memiliki izin edar dapat dilihat pada pasal 62, yaitu :
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,
pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11,
pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan asal 17 ayat (1) huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggara yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 mengatur perlindungan
terhadap konsumen dalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar, yaitu :
sosialisasi, mediasi, dan penyuluhan.
2. Kendala yang di hadapi dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 Tentang Perlindungann Konsumen terhadap kosmetik yang tidak memiliki
izin edar, yaitu :
a. Faktor Internal
1) Kurangnya jumlah SDM
2) Terbatasnya dana dan anggaran
b. Faktor Eksternal
Masih rendahnya kesadaran hukum produsen dan konsumen dalam
memahami konteks pengetahuan tentang Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen mengenai izin edar kosmetik (pomade)
khususnya di Kota Jambi.
3. Penyelesaiaan Sengketa Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 08 Tahun 1999, yaitu : Penyelesaian sengketa melalui peradilan umum
dan penyelesaian konsumen melalui BPSK.
B. Saran
1. Produsen
Adapun saran bagi produsen yang masih saja mengedarkan kosmetik yang
tidak memiliki izin edar, yaitu untuk tidak lagi mengedarkan barang-barang yang
masih sifatnya ilegal, karna dampak dari pemakaian barang kosmetik yang masih
ilegal dapat membuat kerusakan-kerusak pada saraf-saraf dan organ dalam tubuh
yang memakai kosmetik yang terdapat bahan kimia berbahaya, dan meningkatkan
kesadaran hukum bagi produsen yang masih mengedarkan kosmetik yang tidak
memiliki izin edar.
2. Konsuemen
Adapau saran bagi konsumen adalah untuk lebih berhati-hati dalam membeli
produk-produk yang tidak jelas standar kualitas, mutu, dan keamanannya, kemudian
meningkatkan kesadaran dalam diri konsumen agar tidak lagi membeli atau
memakai produk kosmetik yang tidak memiliki izin edar.
3. BPOM
Adapun saran bagi BPOM ialah lebih sering melakukan razia kepada
pedagang-pedangan kaki lima, minimal satu minggu sekali atau satu bulan sekali
atau enam bulan sekali, agar hukum dapat diterapkan dengan semestinya, dan
supaya tidak ada lagi korban dalam pemakaian kosmetik yang tidak memiliki izin
edar.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global Edisi Revisi,. Bogor:
Ghalia Indonesia. 2015.
Ahmadi Miru. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2011.
Amiruddin dan Zainul Asiki. Pengaturan Metode Hukum. Jakarta : PR Grafindo
Persada.
Aulia Muthiah. Aspek Hukum Dagangdan Pelaksanaanya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Baru. 2015.
Az Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit
Media. 2007.
Cahaya Setia Nuarida Triana. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap
Peredaran Kosmetik Yang Mengandung Bahan Berbahaya di Kabupaten
Banyumas. Skripsi Universitas Jenderal Soedirman Fakultas
Hukum.Purwakerto. 2011.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika. 2008.
Dian Uly Meinar. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran
Produk Kosmetik Yang Tidak Memenuhi Standar Mutu Menurut Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.Skripsi
Fakultas HukumUniversitas Sumatra Utasa.Medan. 2014.
Gunawan Widjajadan Ahmad Yani. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2000.
http//www.Kamus On_line.blogspot.com.24 Mei 2016.
I Gede Adi Satria Wiguna. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk
Alat Kecantiakan. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.
Denpasar. 2013.
Laporan Tahunan BPOM Provinsi Jambi.tahun 2015.
Marianus Gaharpung, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha,JurnalYustika, Vol. 3 No. 1 Juli 2000.
Mulyana W. Kusuma. Should Court-Annexed Alternative Dispute Resolution
Mechanisms Mandatory?.Jurnal Ilmiah Hukum Era Hukum, Nomor 1. 1994.
M. Sadar, dkk. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta Barat:
Akademia. 2012.
NTH Siahaan. Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Jakarta: Panta Rei. 2005.
Pasal 58 Ayat 2 UUPK yaitu: Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sebagai yang
dimaksud PadaAyat (1), Para Pihak dalam Waktu Paling Lambat 14 Hari
dapat Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, 1986, hlm. 70
dalam Yusuf Shofie.2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-
Instrumen Hukumnya..Citra Aditya Bakti,
Sayuti Una, (ED.). Pedoman Penulis Skripsi (Edisi Skripsi 0). Jambi: Syariah Press.
2012.
Soerjono Soekanto dan Siti Mamudji. Penelitian Normatif, Jakarta : Rajawali Press.
1995.
Syarif M. Wasitaatmadja. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Depok: UI Press. 1997.
Undang-undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK).Jakarta: Visimedia. 2007.
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta:Bhuana Ilmu Populer.2017.
Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997.
DOKUMENTASI PENELITIAN
BPOM Provinsi Jambi
Produsen (Penjual) Pomade
Lampiran Informan Penelitian
Agung sebagai konsumen pemode
Arifin sebagai penjual pemode
Esi sebagai bagian pelayanan konsumen di BPOM
Mahamah sebagai bagian kepala seksi informasi dan komunikasi di BPOM
Nabawi sebagai penjual pomade
Putri sebagai konsumen pomade
Santo sebagai konsumen pomade
Sarino sebagai bagian sertifikasi layanan informasi dan konsumen di BPOM
Sigit sebagai penjual pomade
Supriyadi sebagai sertifikasi layanan konsumen di BPOM
DAFTAR RIWAYAT
(CURRUCULUM VITAE)
Nama Lengkap : M. JantoHariyadi
Tempat/Tanggal/Lahir : TelukNilau, 25 November 1996
Email/Surel :[email protected]
No. Telepon/Hp : 082371981527
Alamat : Jl.Lamtoro, RT.021 Desa TelukNilau, Kec.
Pengabuan, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prov.
Jambi.
Pendidikan Formal
a. SDN 112/V Pengabuan Tahun 2002-2008
b. SMPN 1 Pengabuan Tahun 2008-2011
c. SMAN 1 Pengabuan Tahun 2011-2014
d. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Tahun 2015-2019
Moto hidup:
Menjadidirisendiri