penerapan pidana denda oleh hakim pasca berlakunya

23
Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Lestari Hotmaida Sianturi, Nathalina Naibaho Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Pidana denda adalah salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP. Menurunnya nilai rupiah mengakibatkan penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda. Pada tahun 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA). Salah satu pengaturannya adalah bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim belum menerapkan pidana denda meskipun nilai rupiah telah disesuaikan. Dalam menerapkan PERMA ini, Hakim mengalami beberapa kendala, salah satunya mengenai hierarki PERMA yang lebih rendah dari KUHP. Penelitian ini juga menjabarkan tentang RUU KUHP versi 2013 berusaha untuk mengatasi kendala yang dialami hakim dalam menerapkan PERMA. Title: Application of Fine Punishment by Judges After The Validity of Supreme Court Regulation Number 2 Year 2012 Abstrack Fine punishment is one of the main punishments, which is regulated in Article 10 of Indonesian Criminal Code, it is used as an alternative punishment or as a sole punishment in Book II and Book III of the Criminal Code. The decreasing value of Rupiah caused law enforcers unwilling to apply the fine punishment. In the year of 2012, the Supreme Court released Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 year 2012 about The Limitation Adjustment for Light Criminal Offense and The Amount of Fine in Criminal Code (KUHP). One of its arrangement is that the maximum amount of fine regulated in Criminal Code is to be multiplied by 1.000 (a thousand) times. The typology of this research is descriptive analysis in normative juridical characteristic. The research shows that have not yet applied the fine punishment even when the Rupiah‟s value has been adjusted. In applying this PERMA, Judges experienced some problems, one of which is the hierarchial position of PERMA that is lower than KUHP. This research also explains about the 2013 version of the New Criminal Code Draft (RUU KUHP 2013 version) that tried to settle the problems experienced by Judges in applying PERMA. Key words: fine punishment; PERMA; RUU KUHP 2013 version Pendahuluan Sanksi pidana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan ancaman sanksi pidana. KUHP selain mengenal perampasan kemerdekaan, juga mengenal pidana denda sebagai sanksi pidana pokok. Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

Lestari Hotmaida Sianturi, Nathalina Naibaho

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Pidana denda adalah salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai

pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP. Menurunnya nilai rupiah

mengakibatkan penegak hukum enggan untuk menerapkan pidana denda. Pada tahun 2012, Mahkamah Agung

telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA). Salah satu pengaturannya adalah bahwa maksimum

hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Tipologi penelitian

ini adalah deskriptif analitis yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim belum

menerapkan pidana denda meskipun nilai rupiah telah disesuaikan. Dalam menerapkan PERMA ini, Hakim

mengalami beberapa kendala, salah satunya mengenai hierarki PERMA yang lebih rendah dari KUHP.

Penelitian ini juga menjabarkan tentang RUU KUHP versi 2013 berusaha untuk mengatasi kendala yang dialami

hakim dalam menerapkan PERMA.

Title: Application of Fine Punishment by Judges After The Validity of Supreme Court

Regulation Number 2 Year 2012

Abstrack

Fine punishment is one of the main punishments, which is regulated in Article 10 of Indonesian Criminal Code,

it is used as an alternative punishment or as a sole punishment in Book II and Book III of the Criminal Code. The

decreasing value of Rupiah caused law enforcers unwilling to apply the fine punishment. In the year of 2012, the

Supreme Court released Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 year 2012 about The Limitation

Adjustment for Light Criminal Offense and The Amount of Fine in Criminal Code (KUHP). One of its

arrangement is that the maximum amount of fine regulated in Criminal Code is to be multiplied by 1.000 (a

thousand) times. The typology of this research is descriptive analysis in normative juridical characteristic. The

research shows that have not yet applied the fine punishment even when the Rupiah‟s value has been adjusted. In

applying this PERMA, Judges experienced some problems, one of which is the hierarchial position of PERMA

that is lower than KUHP. This research also explains about the 2013 version of the New Criminal Code Draft

(RUU KUHP 2013 version) that tried to settle the problems experienced by Judges in applying PERMA.

Key words: fine punishment; PERMA; RUU KUHP 2013 version

Pendahuluan

Sanksi pidana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana. Bukan

merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan

ancaman sanksi pidana. KUHP selain mengenal perampasan kemerdekaan, juga mengenal

pidana denda sebagai sanksi pidana pokok. Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 2: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

pidana denda dalam hukum pidana positif Indonesia, terdapat dalam ketentuan Pasal 10

KUHP, yang menyatakan bahwa:1

1. Pidana pokok, terdiri dari:

a) Pidana mati

b) Pidana penjara

c) Pidana kurungan

d) Pidana denda

e) Pidana Tutupan

2. Pidana tambahan, terdiri atas:

a) Pencabutan hak-hak tertentu

b) Perampasan barang-barang tertentu

c) Pengumuman keputusan hakim.

Dari beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan, pidana perampasan kemerdekaan

yaitu pidana penjara atau pidana kurungan paling tidak disukai pelaku tindak pidana .2

Berdasarkan urutan, terkesan bahwa pidana denda adalah pidana pokok yang paling ringan.

Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas menyatakan demikian. Ternyata prakteknya

di pengadilan, pidana perampasan kemerdekaan yaitu pidana penjara dan kurungan masih

merupakan pilihan utama para hakim. Hal ini disebabkan karena pidana denda dianggap

kurang memenuhi rasa keadilan dari masyarakat korban.

KUHP Indonesia yang merupakan ciptaan Pemerintah Kolonial Belanda berlaku

mulai 1 Januari 1918 setelah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946,

mengalami perubahan sangat sedikit. Ancaman pidana denda sudah tidak sesuai lagi seiring

dengan terjadinya inflasi. Pembuat undang-undang (DPR bersama pemerintah) sangat lalai

dalam hal ini. Selama ini, pidana denda yang ditentukan dalam KUHP dan Undang-Undang di

luar KUHP belum mendapat perhatian dari aparat penegak hukum. Jenis pidana denda ini

tidak semenarik pidana perampasan kemerdekaan yang dianggap lebih mempunyai efek jera.

Padahal sebenarnya banyak permasalahan dan pertanyaan akibat dari sistem pemasyarakatan

dalam penjara (lembaga pemasyarakatan). Penerapan pidana denda masih merupakan

alternatif terakhir di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyak putusan pengadilan yang

lebih mengutamakan penjatuhan pidana penjara dibanding penjatuhan pidana denda.

Padahal berdasarkan hasil-hasil penelitian sering diungkapkan bahwa pidana denda

merupakan jenis sanksi pidana yang lebih efektif dan lebih penting sebagai alternatif dari

1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, (Bandung: Citra Umbara, 2007), Pasal. 10.

2 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2007), hlm. 6.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 3: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

pidana pencabutan kemerdekaan.3 Namun, bukan berarti tidak ada pandangan yang kontra

terhadap eksistensi pidana denda. Kelemahan/ segi negatif yang sering diajukan ialah bahwa

pidana denda lebih menguntungkan yang kaya.

Banyak faktor yang menyebabkan hakim di Indonesia jarang menjatuhkan pidana

denda. Sanksi denda yang demikian di dalam KUHP yang mungkin menjadi salah satu faktor

para hakim jarang menjatuhkan pidana denda. Padahal akan dirasakan kurang efektif apabila

terhadap tindak-tindak pidana berupa pencurian, pencurian ringan, penggelapan, penggelapan,

penggelapan ringan, penipuan ringan, penadahan, penadahan ringan serta tindak pidana lain

yang mengancamkan pidana denda sebagai alternatif dijatuhkan pidana denda yang

jumlahnya sudah tidak sesuai lagi .

Salah satu kebijakan legislatif tersebut adalah KUHP Indonesia pernah mengalami

sedikit Perubahan dengan dikeluarkan Perpu Nomor 6 Tahun 1960 tentang Beberapa

Perubahan Dalam KUHP. Ketentuan yang diubah dalam Perpu tersebut yang perlu mendapat

perhatian adalah terkait dengan Tindak Pidana Ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 3644,

3735, 379

6, 384

7, 407 ayat (1)

8, dan 482

9 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara Tindak

3 Misalnya: R. Hood, Research on the effectiveness of punishment and treatments, 1967: 79; Hall

Williams, The English Penal System in Transition, 1970: 288: R.M. Jackson, Enforcing the law, 1972: 307;

Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana di Indonesia, 1974:21.

4 Pasal 364 KUHP yang berbunyi: “Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir

4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah

rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh

lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.

5 Pasal 373 KUHP yang berbunyi: “Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila yang

digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan

ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh

rupiah.

6 Pasal 379 KUHP yang berbunyi: “Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang

diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima

rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda

paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

7 Pasal 384 KUHP yang berbunyi: “Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383, diancam dengan

pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah, jika jumlah

keuntungan yang di peroleh tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.

8 Pasal 407 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 406

jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidana penjara paling lama tiga

bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

9 Pasal 482 KUHP yang berbunyi: “Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam

karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak

sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang

dirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 4: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Pidana Ringan dengan dikeluarkannya Perpu tersebut diubah menjadi dua ratus lima puluh

rupiah yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima rupiah. Hal ini didasarkan pada

penyesuaian nilai barang yang mengalami kenaikan.

Akan tetapi, pada selang waktu dikeluarkannya Perpu Nomor 16 Tahun 1960 sampai

dengan akhir tahun 2011 Pembuat Undang-Undang belum dilakukan penyesuaian nilai rupiah

pada batasan tindak pidana Ringan dalam KUHP tersebut. Hal ini tentu berimplikasi pada

tidak efektifnya pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan dalam KUHP karena

hampir tidak ada kasus-kasus yang memiliki objek perkara bernilai dua ratus lima puluh

rupiah. Beberapa kasus dengan nilai objek perkara tidak seberapa namun harus disidangkan

dan diganjar dengan hukuman perampasan kemerdekaan demi untuk menjamin kepastian

hukum. Banyak perkara pencurian ringan yang dilakukan oleh golongan marjinal diadili di

pengadilan. Hal ini menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Perkara-perkara tersebut

semakin disorot saat proses peradilan tindak pidana pencurian ringan bersamaan dengan kasus

korupsi. Pejabat Negara yang „mencuri‟ uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar hanya

dihukum beberapa bulan saja bahkan ada yang dibebaskan.

Mengingat proses perubahan KUHP oleh Pemerintah dan DPR akan memakan waktu

yang sangat lama. Hal tersebut belum menjadi prioritas Pemerintah dan DPR. Untuk itu

Mahkamah Agung memandang perlu menerbitkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)

Nomor 2 Tahun 2012 untuk menyesuaikan nilai uang yang menjadi batasan tindak pidana

ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Untuk melakukan penyesuaian nilai rupiah tersebut

Mahkamah Agung berpedoman pada harga emas yang berlaku pada sekitar tahun 1960

tersebut.

Selain mengatur tentang tindak pidana ringan (Bab I), PERMA tersebut juga mengatur

tentang tentang Denda (Bab II) yaitu:

“Pasal 3: Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP

kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan

menjadi 1.000 (seribu) kali.”

“Pasal 4: dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan Pasal-Pasal

KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 di

atas”

Dengan penyesuaian seluruh nilai uang yang ada dalam KUHP terhadap pasal-pasal

tindak pidana ringan maupun terhadap denda diharapkan kepada seluruh Pengadilan untuk

memperhatikan implikasi terhadap penyesuaian ini. Namun, Peraturan Mahkamah Agung

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 5: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

tidak otomatis disamakan dengan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7

ayat (1) UU 12/2011 (Pasal 7 ayat (1) berbicara tentang “jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-Undangan”).10

Oleh karena itu untuk mengetahui upaya penerapan pidana denda oleh hakim pasca

ditetapkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ini, maka penulis melakukan penelitian dengan

mengumpulkan data-data yang terkait di lingkungan Pengadilan Negeri Depok dan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penulis juga melakukan wawancara dengan 3 orang hakim

dan 2 orang ahli hukum pidana untuk melengkapi informasi yang diperoleh. Pada saat Penulis

melakukan wawancara dengan Para Hakim, Penulis mendapatkan petunjuk untuk melakukan

analisis terhadap 6 (enam) putusan.

Berdasar pada latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji

tentang penerapan pidana denda oleh hakim pasca berlakunya PERMA Nomor 2 Tahun 2012,

kendala-kendala yang dihadapi hakim Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan saat berupaya menerapkan PERMA tersebut serta rumusan pidana denda di

dalam RKUHP dalam menanggulangi kendala tersebut. Berdasarkan Permasalahan yang telah

diuraikan, maka diambil rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yakni sebagai

berikut :

1. Bagaimana penerapan pidana denda oleh hakim pasca berlakunya PERMA Nomor 2

Tahun 2012 ?

2. Apakah kendala-kendala yang dialami oleh hakim dalam upaya penerapan pidana

denda pasca berlakunya PERMA Nomor 2 Tahun 2012?

3. Apakah rumusan pidana denda di dalam RKUHP dapat menanggulangi kendala

tersebut?

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian berbentuk yuridis normatif yaitu

suatu penelitian yang menekankan penggunaan hukum positif dan norma hukum tertulis.11

10 Indonesia, Ibid., Pasal 7 ayat 1, adalah ”Jenis dan hierarki PeraturanPerundang-undangan terdiri

atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2010), hal. 29.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 6: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Selanjutnya alat pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi studi dokumen12

atau studi

kepustakaan dan wawancara sebagai pelengkap. Wilayah penelitian adalah Pengadilan negeri

Depok dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tipologi Penelitian ini adalah deskriptif

analitis. Ditinjau dari segi sifat, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena

memberikan gambaran bagaimana penerapan pidana denda oleh hakim pasca berlakunya

PERMA Nomor 2 Tahun 2012. Dilihat dari segi bentuk, tipe penelitian ini adalah analitis

karena mengkaji penerapan pidana denda oleh hakim pasca berlakunya PERMA Nomor 2

Tahun 2012 dan penulis juga menemukan beberapa putusan.

Nomor putusan Pengadilan yang dianalisis dalam skripsi ini diantaranya: Nomor

59/Pid.B/2013/PN.Dpk, Nomor 371/Pid/Sus/2012/PN.Dpk, Nomor 01/Pid.S/

2013/PN.Jkt.Sel, Putusan Sela Nomor 631/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel, Nomor 12/Pid.C/2014/PN-

RAP, Nomor 11/Pid.B/2012/PN.SLK. Putusan-putusan tersebut dipilih berdasarkan petunjuk

yang diberikan oleh Hakim pada saat wawancara di Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang dalam penelitian ini adalah buku-buku,

peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, makalah, artikel atau bahan lain yang

berhubungan dengan penelitian.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan wawancara.

Wawancara dilakukan kepada beberapa orang Hakim di Pengadilan Negeri Depok ( Hakim

Muh. Djauhar Setyadi Dan Hakim Moehammad Pandji Santoso) dan Hakim di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan (Achmad Dimyati R.S.). Studi kepustakaan dilakukan dengan

penelusuran literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian. Untuk melengkapi penelitian

ini penulis melakukan wawancara dengan pakar hukum pidana. Data yang diperoleh dari

penelitian ini, baik data primer hasil wawancara maupun data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, sekunder, maupun primer dideskripsikan untuk kemudian dianalisis sehingga

pada akhirnya akan dihasilkan laporan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Pembahasan

A. Pengaturan Pidana Denda di Indonesia

Jenis pidana di dalam KUHP dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun

perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah:

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 7: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif) sedangkan

penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Maksudnya impertatif, yaitu

menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok, sesuai dengan yang diancamkan pada

tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan. Sifat imperatif ini

sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, dimana dalam

rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada 2 kemungkinan, ialah :

a. Pertama diancamkan satu jenis pidana pokok saja

b. Kedua, tindak pidana yang diancamkan dengan dua atau lebih jenis pidana

pokok, yang artinya hakim harus memilih salah satu saja.

2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana,

tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis

pidana pokok, artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara

terpisah dengan pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap

diperlukan suatu tindakan pelaksanaan.13

Jenis-jenis pidana yang diatur Pasal 10 KUHP meliputi :

A. Pidana Pokok

1. Pidana Mati

2. Pidana Penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana Denda

B. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman keputusan hakim

Pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diancamkan dan

terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena

melanggar ketentuan hukum pidana yang berlaku. Jika pidana ,ati adalah suatu pidana yang

ditujukan kepada nyawa orang, pidana penjara dan kurungan kepada kebebasan/ kemerdekaan

orang, maka pidana denda tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar

sejumlah uang tertentu.

13 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, bagian 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 26-27.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 8: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Sejak terbentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, pidana denda telah banyak

mengalami perkembangan. Untuk memudahkan penulis dalam menjabarkan perkembangan

tersebut. Maka penulis perkembangan tersebut menjadi tiga periode, yaitu:

1. Periode KUHP;

Penetapan ancaman jumlah (besarnya) pidana denda dalam KUHP menerapkan

perumusan “minimum umum” (algemene minima) dan “maksimum khusus”

(speciale maxima). Minimum umum pidana denda, berdasarkan Pasal 30 ayat (1)

ditetapkan sebesar Rp 25 sen. Sedangkan maksimum khususnya ditetapkan sendiri-

sendiri dalam rumusan delik yang terdapat dalam Buku II dan III dengan jumlah yang

bervariasi.

2. Periode Perpu. No.18 tahun 1960;

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 18 Tahun 1960 tentang

Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam ketentuan pidana lainnya

yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Mengingat Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum

denda itu menjadi : 15 x 25 sen = Rp. 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).

3. Periode PERMA No. 2 Tahun 2012.

Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal

303 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 303 bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi

1000 (seribu) kali. Dengan penyesuaian seluruh nilai uang yang ada dalam KUHP

terhadap pasal-pasal tindak pidana ringan maupun terhadap denda diharapkan kepada

seluruh Pengadilan untuk memperhatikan implikasi terhadap penyesuaian ini. Namun

penerapan PERMA ini mendapatkan respon yang beragam. Dimana terdapat pihak

yang pro dan pihak yang kontra.

Penetapan pidana denda dalam KUHP diancamkan dengan berbagai bentuk

perumusan. Mulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan (buku II). Selain diatur dalam

Buku II KUHP, pidana denda juga diatur di dalam Buku III KUHP. Pidana yang

mendominasi dalam Buku III KUHP adalah pidana denda yang diancamkan dengan sistem

tunggal terdiri dari 40 pasal (50%). Di urutan kedua adalah pidana denda yang diancamkan

alternatif dari pidana kurungan terdiri dari 34 pasal (42%). Pidana kurungan yang diancamkan

dengan sistem tunggal hanya terdapat dalam 6 pasal (7,5 %) dari keseluruhan pasal dalam

Buku III. Sesuatu yang wajar karena tindak pidana yang terdapat dalam Buku III merupakan

jenis pelanggaran bukan kejahatan. Berbeda dengan Buku II (Kejahatan), dimana pidana

penjara masih sangat dominan (68,67%).

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 9: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Denda merupakan merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh

para hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia. Setiap jenis sanksi pidana apa

pun pada prinsip mengandung kebaikan di satu sisi dan kelemahan di sisi lainnya. Padahal

Dari segi ekonomi, tidak disangkal lagi bahwa pelaksanaan pidana penjara bila dihitung dari

biaya yang mesti dikeluarkan (social cost) begitu besar, karena dengan dipenjara seorang

pelaku (terpidana) harus dibiayai dan harus disediakan fasilitas bangunan-bangunan untuk

menempatkan mereka dalam lembaga tersebut. Dan ini seringkali menimbulkan masalah

keuangan bagi negara.

Keadaan buruk akibat penerapan pidana penjara, ternyata tidak hanya disebabkan

pidana penjara jangka waktu lama saja. Pidana penjara jangka pendek (pidana penjara jangka

waktu di bawah satu tahun) mempunyai akibat lebih buruk lagi, karena selain harus menerima

seluruh kemungkinan akibat buruk yang dapat terjadi terhadap pidana penjara jangka panjang

(pidana penjara jangka waktu di atas satu tahun) , maka pidana penjara jangka pendek tidak

mempunyai peluang yang memadai untuk dilakukan pembinaan/rehabilitasi dibanding pidana

penjara jangka panjang.

Sehingga sebagai upaya untuk mengefektifkan kembali pidana denda, Mahkamah

Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun

2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

B. Pidana denda dan Pengaturannya Pasca PERMA Nomor 2 Tahun 2012

Langkah yang diambil MA dengan mengeluarkan PERMA merujuk pada keseluruhan

peraturan yang dibuat sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi non hukum yang terjadi di

luar proses peradilan yang dilatarbelakangi :

1. tudingan masyarakat terkait dengan kinerja pengadilan yang dinilai bersikap tidak adil

tanpa pemahaman yang utuh atas criminal justice system. Masyarakat hanya melihat

proses persidangan yang mengadili para terdakwa yang dinilai masyarakat hanya

melakukan kejahatan „kecil‟ apabila dibandingkan dengan korupsi milyaran rupiah.

2. peraturan ini tidak hanya berbicara mengenai batasan penyesesuai batasan jumlah

denda, namun ada itikad baik dari MA untuk memperbaiki proses peradilan. Upaya

memperbaiki proses peradilan berdasarkan kewenangan MA hanya dapat diterapkan di

lingkungan pengadilan. Peraturan ini tidak mampu secara hukum menjangkau pihak

lain yang berada pada sistem peradilan pidana seperti penyidik maupun penuntut.

Melalui PERMA ini Mahkamah Agung ingin menyatakan bahwa inilah cara kita

mengintepresikan UU yang peningggalan kolonial itu. Perma tersebut juga merupakan

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 10: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

jawaban MA terhadap kritik yang dilakukan oleh masyarakat atas berbagai kasus tindak

pidana ringan, seperti pencurian sandal, dua biji kakao yang dibawa sampai dipengadilan,

bahkan ada perkara yang sampai ke MA. Ibaratnya biaya yang dikeluarkan untuk

melaksanakan proses peradilan tersebut jauh lebih mahal dari nilai perkara atau kerugian yang

diakibatkan pidana itu sendiri.

Nilai denda dalam KUHP dinilai sudah tidak sesuai dengan nilai rupiah saat ini. Hal

ini menyebabkan penjatuhan pidana denda tidak dilirik oleh Hakim. Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 2012 berusaha menyesuaikan nilai uang dalam KUHP dengan nilai

uang pada tahun 2012. Melihat pengaturan dalam PERMA, penulis berpendapat bahwa

Indonesia memang membutuhkan perubahan terkait dengan nilai uang dalam KUHP. Namun

dikeluarkannya peraturan ini melahirkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, praktisi

hukum, dan masyarakat. Pro dan kontra tersebut terkait eksistensi peraturan mahkamah agung

di dalam perundang-undangan Indonesia dan ruang lingkup yang diatur oleh PERMA yang

seolah-olah mengubah ketentuan dalam KUHP dan KUHAP yang merupakan undang-

undang.

Untuk lebih mengefektifkan PERMA ini, perlu diterapkan bahkan pada tingkat

penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu PERMA harus ditindaklanjuti dengan

mengeluarkan nota kesepakatan bersama (NKB). Dalam tujuan NKB tersebut dinyatakan,

untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana ringan,

mengefektifkan pidana denda, dan mengatasi permasalahan kelebihan kapasitas Lapas atau

Rutan untuk mewujudkan keadilan berdimensi Hak Asasi manusia.

C. Penerapan Pidana Denda Oleh Hakim

Hakim belum menerapkan pidana denda pasca berlakunya PERMA terhadap pasal-

pasal di dalam KUHP. Namun menerapkan pidana denda berdasarkan undang-undang khusus

dan PERDA. Hal ini Penulis temukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Penulis di

Pengadilan Negeri Depok, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan analisis putusan. Penulis

akan menjabarkannya menjadi 3 (bagian) yaitu:

a. Penerapan PERMA oleh Hakim di Pengadilan Negeri Depok.

Pengadilan Negeri Depok berlokasi di Jalan Boulevard, Sektor Anggrek Komplek

Perkantoran Kota Kembang No. 7 Depok, Jawa Barat. Pada tahun 2014 Pengadilan ini masih

berusia 8 tahun. Pengadilan Negeri Depok di resmikan oleh Ketua Mahkamah Agung pada

tanggal 6 Februari 2006. Pengadilan ini adalah pecahan dari Pengadilan Negeri Cibinong

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 11: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 20 Juli 2005 Nomor: 20 Tahun

2005 Tentang pembentukan Pengadilan Negeri Depok, Pengadilan Negeri Kota Agung,

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura.14

Hingga saat ini Kota Depok tidak memiliki Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Pembangunan LP kelas II A Cilodong Depok dimulai sejak tahun 2011, tetapi pembangunan

tersebut belum selesai hingga tahun 2014. Narapidana yang berasal dari Depok ditampung di

LP Kelas II A Pondok Rajeg, Cibinong Bogor. LP saat ini mengalami kelebihan muatan.

Menurut Kepala LP Pondok Rajeg, ada beberapa faktor yang menyebabkan warga binaan

terus meningkat, yaitu angka kriminalitas di wilayah Depok yang terus meningkat.15

Dari data

yang Penulis dapatkan bahwa jumlah tindak kejahatan sejak tahun 2012 di jajaran Polresta

Depok meningkat 6,19 persen. Jika tahun 2011 jumlah kasus adalah 3.445 kasus, pada tahun

2012 menjadi 3.658 kasus.16

Penulis telah menguraikan pada Bab.1 bahwa berdasarkan

penelusuran putusan yang tersedia di Direktori Mahkamah Agung17

diperoleh gambaran

bahwa kejahatan yang banyak terjadi di Depok adalah kejahatan terhadap harta kekayaan.

Namun, Hakim di Pengadilan Negeri Depok belum tertarik untuk menerapkan

PERMA Padahal dengan meminimalisir penjatuhan pidana penjara dapat mengurangi

kelebihan kapasitas yang dialami oleh LP Pondok Rajeg Cibinong, mengingat Kota Depok

belum memilik LP sendiri. Meskipun kejahatan terhadap harta kekayaan sering terjadi di

Depok, Hakim tidak pernah menjatuhkan pidana denda berdasarkan KUHP. Pidana denda

dijatuhkan hanya terhadap tindak pidana yang diancam berdasarkan undang-undang khusus

(misalnya Undang-Undang Narkotika, UU Perlindungan Anak, dan lain-lain), dan

pelanggaran PERDA (Peraturan Daerah) karena nilai nya dianggap realistis untuk diterapkan.

Bagi Hakim pidana denda masih sebagai pidana tambahan. Untuk tindak pidana pelanggaran

seperti pelanggaran minuman keras, Hakim lebih cenderung menggunakan PERDA.

14 Pengadilan Negeri Depok, Sejarah Pengadilan Negeri Depok, http://pn-depok.go.id/page/sejarah-

pengadilan-negeri-depok, diunduh 26 Mei 2014.

15

Penghuni Lapas Bogor Over Load, http://www.indopos.co.id/2014/03/penghuni lapas-bogor-

load.html#.UxrzNic-q0U diunduh 8 Februari 2014

16

Angga, Tindak Pidana di Depok Meningkat, www.poskotanews.com/2012/12/ 29/tindak-kejahatan-

di-depok-meningkat , diunduh 21 Februari 2014

17

Direktori Mahkamah Agung, http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pn-

depok/direktori/pidana, diunduh 8 Maret 2014

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 12: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Hakim memiliki cara tersendiri untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan

yang mengalami over kapasitas. Untuk tindak pidana kejahatan di dalam KUHP yang

dianggap ringan, daripada menjatuhkan pidana denda, Hakim lebih memilih menjatuhkan

pidana penjara bersyarat. Pidana penjara bersyarat sering dijatuhkan pada tindak pidana yang

dianggap ringan oleh Hakim. Nilai uang di dalam KUHP menjadi salah satu alasan utama

bagi Hakim Pengadilan Negeri Depok ragu untuk menerapkan pidana denda yang diancamkan

secara alternatif di dalam KUHP.18

Menurut Penulis, PERMA seharusnya mampu menjadi

jawaban atas keraguan Hakim tersebut. Namun, hingga saat ini Pengadilan Negeri Depok

belum menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012. Berdasarkan hasil

wawancara kepada Hakim, penelusuran perkara dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara

Pengadilan Negeri Depok19

.

b. Penerapan PERMA oleh Hakim di Pengadilan Jakarta Selatan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (disingkat: PN Jaksel) merupakan sebuah lembaga

peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Untuk

memulai penelitian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Penulis terlebih dahulu melakukan

penelusuran putusan untuk mengetahui gambaran tindak pidana yang paling sering ditangani

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan penelusuran putusan yang tersedia di

direktori Mahkamah Agung20

, Penulis mendapatkan gambaran bahwa kejahatan yang banyak

terjadi di Jakarta Selatan adalah pencurian, penipuan, penggelapan yang termasuk kejahatan

terhadap harta kekayaan . Gambaran tersebut sama dengan jenis kejahatan yang sering terjadi

di Depok. Sebagian besar kejahatan tersebut diancam dengan pidana penjara alternatif denda,

atau pidana denda.

Pidana denda dijatuhkan hanya pada tindak pidana narkotika, lalu lintas, dan tindak

pidana yang diatur di dalam undang-undang khusus karena nilai uang yang diancamkan

cukup realistis untuk diterapkan karena telah disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Berbeda dengan nilai uang di dalam KUHP, nilainya sudah tidak sesuai lagi dengan

18 Hasil wawancara Penulis dengan Hakim M. Djauhar Setyadi di Pengadilan Negeri Depok, tanggal 25

April 2014.

19

Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Depok, http://cts.pn-

depok.go.id/index/index.php , diunduh 26 Mei 2014.

20

Direktori Mahkamah Agung, http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pn-jakarta-

selatan/direktori/ pidana , 10 Juni 2014.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 13: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

perkembangan zaman. Hakim semakin ragu untuk menerapkan pidana denda karena

kejahatan terhadap harta kekayaan yang marak terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan banyak dilakukan oleh masyarakat tidak mampu.21

Hakim belum berminat menerapkan pidana denda berdasarkan PERMA. Tidak hanya

terkait dengan penyesuaian nilai uang di dalam KUHP (Pasal 3 PERMA), tetapi keseluruhan

hal yang diatur di dalam PERMA. Untuk mengatasi masalah beban LP yang melampaui

kapasitas, hakim menyatakan akan menjatuhkan pidana penjara dengan masa penjara dengan

masa percobaan (pidana bersyarat). Pidana denda dijatuhkan hanya pada tindak pidana

narkotika, lalu lintas, dan tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang khusus dimana

nilai pidana uang telah sesuai dengan perkembangan zaman.

c. Penerapan PERMA berdasarkan analisis putusan

Penulis akan melakukan analisis terhadap 6 (enam) putusan dari pengadilan negeri

yang berbeda. Putusan ke-1 dan ke-2 berasal dari PN Depok, Putusan ke-3 dan ke-4 berasal

dari PN Jakarta Selatan, sedangkan putusan ke-5 dan ke-6 berasal dari Pengadilan lain (luar

Pulau Jawa). Pemilihan putusan yang dianalisis dilakukan berdasarkan petunjuk para hakim

pada saat wawancara.

1. Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 59/Pid.B/2013/PN.Dpk

Putusan ini relevan dengan hasil wawancara Hakim di Pengadilan Negeri Depok, hakim

lebih cenderung memilih menjatuhkan putusan dengan pidana penjara dan untuk tindak

pidana yang dianggap ringan diputus dengan pidana bersyarat.

2. Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 371/Pid/Sus/2012/PN.Dpk

Dalam perkara ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan pidana penjara

dan pidana denda. Selain menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 15 (lima

belas) hari, juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

subsidair 2 (dua) bulan kurungan. Adanya ketentuan bilamana denda tidak dibayar

subsidair (diganti) 2 (dua) bulan kurungan merupakan pencerminan bahwa Majelis Hakim

tidak dapat menjamin efektifitas pelaksanaan pidana denda. Sanksi denda menjadi tidak

produktif bila dilihat dari penerapan pada praktik peradilan yang menjadikan pidana denda

21 Hasil wawancara Penulis dengan Hakim Achmad Dimyati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

tanggal 3 Juni 2014.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 14: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

sebagai baying-bayang dari pidana penjara atau kurungan. Terlebih lagi dengan

disediakannya pidana kurungan pengganti denda bagi yang tidak mampu atau tidak mau

membayar denda, Dalam hal apabila pidana denda yang dijatuhkan relatif tinggi maka

terpidana akan cenderung memilih pidana kurungan pengganti daripada membayar denda.

3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 01/Pid.S/2013/PN.Jkt.Sel.

Dalam perkara ini majelis hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.12.000.000,- (dua

belas juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 20 (dua puluh) hari. Pidana denda yang dijatuhkan relatif tinggi,

hal ini dapat membuat terpidana akan cenderung memilih pidana kurungan pengganti

yang hanya 20 (dua puluh) hari daripada membayar denda.

4. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 631/ Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel

Putusan ini menjadi gambaran hasil penelitian yang dilakukan Penulis di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan. Hakim belum memahami hal-hal yang diatur di dalam PERMA.

Hal ini menjadi wajar karena Hakim yang menjadi narasumber Penulis menyatakan belum

membaca secara utuh naskah PERMA, hakim mendapatkan informasi dari media massa.

5. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 12/Pid.C/2014/PN-RAP

Dari putusan ini terlihat gambaran Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat memiliki

kecenderungan yang sama dengan Hakim Pengadilan Negeri Depok dan Hakim di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim lebih memilih pidana percobaan (pidana

bersyarat) sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan terhadap perkara-

perkara yang melanggar ketentuan KUHP. Walaupun hakim telah memperhatikan

PERMA dan menjadikannya sebagai dasar pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan,

Hakim belum tertarik untuk menerapkan pidana denda.

6. Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 11/Pid.B/2012/PN.SLK

Dalam putusan ini terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara Hakim. Dari

putusan ini hakim anggota satu menginginkan terdakwa dikenakan pidana denda sebesar

Rp. 100.000. Memang nilai tersebut kurang berkeadilan mengingat nilai kerugian akibat

tindak pidana adalah sekitar Rp. 475.000,- (empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Ancaman pidana denda yang seyogyanya harus memberikan nestapa bagi terpidana maka

nilai ancaman pidana denda hendaknya harus lebih besar dari kerugian yang timbul akibat

tindak pidana. Menurut Penulis ketentuan pada Pasal 3 PERMA tersebut seharusnya

bukan dilipatgandakan menjadi 1.000 kali akan tetapi dilipatgandakan menjadi 10.000 kali

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 15: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

sesuai dengan pertimbangan maupun penjelasan umum dalam PERMA tersebut sehingga

antara pertimbangan, penjelasan umum dan ketentuan pasal menjadi konsisten.

Berdasarkan 6 (enam) putusan yang telah dianalisis, terdapat kecenderungan bahwa

apabila Hakim mempergunakan PERMA sebagai dasar hukum/pertimbangan, tidak serta

merta membuat Hakim menjatuhkan pidana denda. PERMA digunakan hanya untuk

memperingan hukuman bagi terdakwa. Hakim tetap menjatuhkan pidana penjara atau pidana

bersyarat. Ternyata PERMA belum mampu mempengaruhi para hakim untuk menjatuhkan

pidana denda walaupun nilainya telah disesuaikan.

Hakim tidak menerapkan PERMA, bukan tanpa alasan. Hakim menyatakan betapa

PERMA ini menjadi „buah simalakama‟ bagi mereka. Untuk mempermudah pemahaman akan

kendala-kendala tersebut, Penulis akan menjabarkannya menjadi 5 (lima) bagian besar

sebagai berikut :

1. Secara hierarki kedudukan PERMA lebih rendah dari KUHP.

Hakim berpendapat bahwa yang diatur di dalam PERMA ini sangat bagus, tetapi legalisasinya

tidak kuat dibandingkan KUHP yang merupakan undang-undang. PERMA sifatnya hanya

sebagai pedoman bagi Hakim, sehingga pengaturan tentang pidana denda ini seharusnya

diatur di peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang. . Pada Pasal 7

Ayat (1) Undang-Undang tersebut mengenal jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

sebagai:

a. Undang-Undang Dasar 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Letak kedudukan peraturan Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) Undang-

Undang No. 12 tahun 2011 mengenal jenis peraturan perundang-undangan selain yang

dimaksud pada Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 16: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan

Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. . Pengakuan Perma sebagai peraturan

perundang-undangan tidak disertai penempatannya dalam hierarki perundang-undangan di

dalam Pasal 7 Ayat (1).

Terkait dengan kendala ini, Suhariyono menyatakan apa yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung untuk menyesuaikan nilai rupiah sangat logis. Seharusnya PERMA ini dilaksanakan/

diterapkan oleh Hakim karena akan sangat membantu Hakim. PERMA ini ada karena tuntutan

masyarakat yang merasa di perlakukan sewenang-wenang karena nilai rupiah di dalam KUHP

yang belum disesuaikan. Apalagi jika pelaku tindak pidana tersebut adalah anak. Daripada

Hakim harus memasukkan anak tersebut ke dalam penjara yang berakibat merusak masa

depan anak tersebut.22

2. Tindak pidana dilakukan oleh masyarakat yang tidak mampu.

Terdakwa yang melakukan tindak pidana terhadap harta kekayaan adalah mereka yang secara

ekonomi kurang mampu. Sehingga sekalipun dijatuhkan pidana denda, mereka tetap saja akan

memilih pidana subsidernya yaitu penjara atau kurungan. Terkait dengan kendala ini,

Mardjono Reksodiputro berpendapat pemasyarakatan idenya adalah mendidik supaya dapat

kembali ke masyarakat. Hanya sekarang penjara bukan tempat pendidikan lagi. Kapasitasnya

sudah berlebihan, tempat yang seharusnya untuk 1.000 orang diisi 5.000 orang. Bahkan

awalnya si terpidana yang tertangkap karena menghisap ganja ketika dimasukkan ke dalam

penjara, dia belajar bagaimana meracik ganja dan mengedarkan ganja. . Satu hal yang penting

adalah, orang kaya masuk penjara tidak akan merasakan sakit, orang miskin masuk penjara

rasanya sakit, terlebih lagi orang kaya yang dimiskinkan.23

Jadi baik bagi masyarakat tidak

22 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 23 (2)

menyatakan bahwa: “pidana pokok yang dapat djatuhkan kepada anak Nakal ialah: a. Pidana

penjara, b. pidana kurungan, c. pidana denda, d.pidana pengawasan”. Berbeda dengan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 71 menyatakan

bahwa : “pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat; c.

pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan penjara. Undang-Undang ini akan berlaku pada

bulan Agustus 2014. Pada saat UU ini berlaku berarti tidak diperbolehkan penjatuhan pidana denda

bagi anak.

23

Hasil wawancara Penulis dengan Mardjono Reksodiputro di Universitas Indonesia Pasca Sarjana

Krimonologi, tanggal 16 Mei 2014

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 17: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

mampu, maupun masyarakat mampu, pidana denda tetap dapat menimbulkan efek jera.

Dalam hal ini Hakim berperan untuk menyesuaikan pidana denda dengan penghasilan si

Terpidana.

3. Sosialisasi yang dilakukan tidak merata.

Saat ini dapat dikatakan bahwa PERMA hanya di atas kertas saja, Hakim belum pernah

mendapatkan surat himbauan dan petunjuk teknis untuk menerapkannya. Selama ini tidak ada

sosialisasi yang dilakukan secara formal, informasi yang diperoleh terkait PERMA ini hanya

pada saat diskusi sesama hakim di Pengadilan Negeri Depok, website Mahkamah Agung dan

Website Pengadilan Negeri Depok. Hal ini membuat Hakim enggan menerapkan PERMA24

Hak serupa juga disampaikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bahwa

sosialisasi yang diperoleh hanya sebatas pembicaraan di dalam forum Hakim.25

Agar Hakim

tidak dibingungkan tentang pelaksanaan PERMA, Mahkamah Agung seharusnya mengadakan

sosialisasi di semua Pengadilan di Indonesia, sehingga PERMA ini dapat diefektifkan dan

tidak menjadi peraturan yang tertulis tanpa adanya penerapan.

4. PERMA harus melibatkan berbagai unsur menurut criminal justice system.

Sejak dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pada saat Kejaksaan melimpahkan perkara

ke Pengadilan dengan menuntut pidana penjara, tidak serta merta Hakim dapat mengubahnya

dengan pidana denda. Saat ini NKB telah ada tetapi sosialisasinya tidak ada. Hakim belum

pernah menemukan tuntutan pidana denda yang menggunakan PERMA sebagai dasar hukum.

Terkait dengan hal tersebut, Suhariyono berpendapat bahwa untuk melaksanakan PERMA ini

harus melibatkan semua pihak di dalam sistem peradilan pidana. NKB yang telah ada sangat

diperlukan dan memang harus dilaksankan semua pihak. Saat ini yang harus dilakukan adalah

melakukan sosialisasi terus menerus dan memerintahkan semua pihak terutama Kejaksaan

untuk melaksanakan Nota Kesepakatan Bersama ini.26

Mardjono Reksodiputro menyatakan

bahwa dengan adalanya NKB, berarti tinggal menunggu “perintah” dari Jaksa Agung kepada

jajarannya agar dalam surat dakwaan berdasarkan kepada PERMA dan NKB.

24 Hasil wawancara dengan Hakim Moehammad Pandji Santoso di Pengadilan Negeri Depok, tanggal

14 Mei 2014.

25

Hasil wawancara Penulis dengan Hakim Achmad Dimyati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

tanggal 3 Juni 2014.

26

Hasil wawancara Penulis dengan Suhariyono AR di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

tanggal 28 Mei 2014.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 18: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Berbagai kendala yang dihadapi hakim menjadi alasan bagi penegak keadilan ini

untuk tidak „menghidupkan‟ pidana denda berdasarkan PERMA. Oleh karena itu untuk lebih

mengoptimalkan upaya penerapan pidana denda maka di dalam RUU KUHP disusun dengan

mengutamakan pidana denda.

Dalam proses penyusunan RUU KUHP, tim RUU Hukum Pidana juga harus

menetapkan ancaman pidana setiap tindak pidana yang bersangkutan dengan berdasarkan

suatu “sistem pemidanaan” tertentu. Dalam hal ini Tim telah berpegang pada pedoman, antara

lain:27

1. Mempergunakan ancaman pidan amati secara selektif dank arena itu mencantumkan

pidana mati sebagai “pidana khusus”;

2. Lebih banyak mempergunakan ancaman pidana denda dan untuk mempermudah

perubahan nilai denda karena inflasi uang, maka dipergunakan sistem “kategori

denda”, dan

3. Membatasi penggunaan ancaman pidana penjara jangka pendek dengan “mengganti”

pidana denda dibawah dua tahun dengan ancaman pidana denda.

Pola pidana denda yang ditentukan dalam RUU KUHP 2013 diatur dalam Pasal 80

hingga Pasal 85 RUU KUHP versi 2013. Rumusan pidana denda dalam RUU KUHP versi

2013 nampaknya dapat menanggulangi kendala-kendala yang dihadapi oleh para hakim.

Karena terkait pengaturan pidana denda, RUU KUHP memberikan perhatian khusus. Pidana

denda ditentukan berdasarkan kategori, pertimbangan kemampuan terpidana, pidana denda

yang dapat dibayar secara dicicil dan apabila pidana denda tidak dapat dibayar dapat diambil

harta atau pendapatan terpidana atau diganti dengan pidana kerja sosial dan lain-lain. Dengan

sistem kategori di dalam RUU KUHP akan sangat mempermudah dalam hal apabila terjadi

perubahan nilai rupiah. Dengan mengubah satu Pasal maka seluruh ketentuan pidana denda di

dalam KUHP dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. RUU KUHP menetapkan

bahwa perubahan tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan RUU

KUHP ini cukup memadai untuk diterapkan karena karena dapat mengatasi permasalahan

perubahan nilai uang yang selama ini menjadi penghambat penerapan pidana denda.

Namun, Hakim menilai bahwa RUU KUHP memiliki kelemahan. Ketentuan pidana

pengganti di dalam Pasal 83 RUU KUHP dinilai terlalu rendah. Hakim kuatir jika pidana

penggantinya terlalu ringan maka terpidana lebih memilih pidana pengganti, mengingat

27 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana : Kumpulan Karangan Buku Keempat, Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm. 6.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 19: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

terpidana yang berasal dari kalangan tidak mampu. Seharusnya pidana pengganti yang

ditawarkan oleh RUU KUHP harus lebih berat, agar terpidana bersedia membayar denda.

Agar pidana denda tetap dapat dilaksanakan walaupun terpidana berasal dari kalangan tidak

mampu, RUU KUHP dalam Pasal 82 mengatur bahwa pidana denda dapat dicicil dalam

jangka waktu sesuai dengan putusan Hakim.

Penutup

A. Kesimpulan

1. Hakim belum menerapkan pidana denda pasca berlakunya PERMA terhadap pasal-pasal

di dalam KUHP. Namun menerapkan pidana denda berdasarkan undang-undang khusus

dan PERDA. Hal ini Penulis temukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Penulis

di Pengadilan Negeri Depok, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan analisis putusan.

2. Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala sekaligus alasan hakim untuk tidak

menerapkan pidana denda di dalam KUHP dengan menjadikan PERMA sebagai

pertimbangan yaitu:

a. Secara hierarki kedudukan PERMA lebih rendah dari KUHP.

b. Tindak pidana dilakukan oleh masyarakat yang tidak mampu

c. Sosialisasi yang dilakukan tidak merata. Saat ini dapat dikatakan bahwa PERMA

hanya di atas kertas saja, Hakim belum pernah mendapatkan surat himbauan dan

petunjuk teknis untuk menerapkannya.

d. Untuk menerapkan PERMA harus melibatkan berbagai unsur menurut criminal justice

system, sejak dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

3. Rumusan pidana denda dalam RUU KUHP versi 2013 nampaknya dapat menanggulangi

kendala-kendala yang dihadapi oleh para hakim. Karena terkait pengaturan pidana denda,

RUU KUHP memberikan perhatian khusus. Pidana denda ditentukan berdasarkan

kategori, pertimbangan kemampuan terpidana, pidana denda yang dapat dibayar secara

dicicil dan apabila pidana denda tidak dapat dibayar dapat diambil harta atau pendapatan

terpidana atau diganti dengan pidana kerja sosial dan lain-lain. Dengan sistem kategori di

dalam RUU KUHP akan sangat mempermudah dalam hal apabila terjadi perubahan nilai

rupiah. Dengan mengubah satu Pasal maka seluruh ketentuan pidana denda di dalam

KUHP dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, Hakim menilai bahwa

RUU KUHP memiliki kelemahan. Ketentuan pidana pengganti di dalam Pasal 83 RUU

KUHP dinilai terlalu rendah. Hakim kuatir jika pidana penggantinya terlalu ringan maka

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 20: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

terpidana lebih memilih pidana pengganti, mengingat terpidana yang berasal dari kalangan

tidak mampu.

B. Saran

Terkait dengan penerapan pidana denda terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh

hakim. Berdasarkan hasil penelitian, Penulis dapat memberikan beberapa saran dengan

harapan agar keberadaan PERMA mampu mengefektifkan pidana denda, antara lain:

1. Agar Hakim memiliki keyakinan untuk menerapkan pidana denda, maka PERMA

perlu diperkuat dengan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang

kedudukan dan hierarkinya jelas misalnya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (PERPU).

2. Mahkamah Agung harus memberikan penjelasan asal-usul bahwa nilai pidana denda

dikali 1.000. Hakim menyatakan bahwa tersebut masih terlalu rendah untuk

diterapkan. Pasal 3 PERMA seharusnya bukan dilipatgandakan menjadi 1.000 kali

akan tetapi dilipatgandakan menjadi 10.000 kali. Sehingga antara pertimbangan,

penjelasan umum dan ketentuan pasal menjadi konsisten.

3. PERMA harus diedarkan dan disosialisasikan secara merata ke seluruh Pengadilan di

Indonesia, dan Mahkamah Agung perlu memberikan petunjuk lebih lanjut tentang

teknis pelaksanaan PERMA.

4. Penerapan PERMA harus melibatkan berbagai unsur menurut criminal justice system,

sejak dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. NKB yang telah ada harus

disosialisasikan oleh setiap lembaga. Bila diperlukan Kepala Kejaksaan Agung

memberikan perintah kepada jajarannya untuk menerapkan PERMA dan NKB.

5. Ketentuan pidana pengganti yang diatur di dalam RUU KUHP dinilai terlalu ringan

oleh hakim dikuatirkan Terpidana akan memilih menjalankan pidana pengganti denda,

oleh karena itu pada saat RUU tersebut dibahas di DPR, sebaiknya ketentuan tentang

pidana pengganti dirumuskan ulang.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 21: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Abdussalam, R. Hukum Penentensier. Jakarta: PTIK, 2003.

Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003.

Bakhri, Syaiful. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Total Media, 2009.

Chazawi, Adami. Bagian 1: Pelajaran Hukum Pidana, cet. 5. Jakarta: PT RajaGrafindo,

2010.

Departemen Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Laporan Akhir

Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan Perundang-Undangan di Luar

Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010.

Fitriasih, Surastini.Et al. Pengaruh Nilai Mata Uang dalam Perumusan Ketentuan Pidana

Terhadap Sistem Pemidanaan: Implementasi. PERMA Nomor 2 Tahun 2012 dalam

Praktik Peradilan. Laporan Akhir Hibah Riset Madya Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2013.

Hamzah, Andi. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP. Jakarta:

Penerbit Universitas Trisakti, 2011.

________.Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita,

1986.

Harahap, Yahyah. “Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana). Bandung: Citra Umbara, 2007.

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2010..

Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogjakarta: Bumi Aksara, 2007.

Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1985.

Muladi dan Nawawi, Barda, Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit

Alumni, 1984.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana- Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari KUHP

Belanda dan Pidananya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2003.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 22: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

Reksodiputro, Mardjono. Pembaharuan Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Buku

Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas

Indonesia, 1995.

Saleh, K. Wantjik. Pelengkap KUHP: Undang-Undang Pidana Baru dan Perubahan

KUHP. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1983.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Utrecht. Hukum Pidana II: Rangkaian Sari Kuliah. Surabaya: Pustaka Tintamas, 1987.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985, LN. Nomor

73 Tahun 985, TLN. Nomor 3316.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan

Nomor 12 Tahun 2011, LN. Nomor. 83, TLN. Nomor 5234.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 16 tahun 1960

tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-undang melalui Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1961;

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 tahun 1960

tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang- Undang Hukum

Pidana dan Ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945

sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1961

Indonesia, Nota Kesepakatan Bersama Ketua MA, jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri

Hukum dan HAM RI tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), No. 131/KMA/SKB/X/2012,

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014

Page 23: Penerapan Pidana Denda oleh Hakim Pasca Berlakunya

No. M.HH-)&.HM. 03.02 Tahun 2012,No.KEP-06/E/EJP/10/2012, dan No.

B/39/X/2012, tanggal 17 Oktober 2012.

Indonesia. “Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tahun 2013.

Wawancara

Wawancara dengan Hakim Achmad Dimyati pada 3 Juni 2014 dari Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta.

Wawancara dengan Hakim M. Djauhar Setyadi, pada tanggal 25 April 2014 di Pengadilan

Negeri Depok, Depok.

Wawancara dilakukan dengan Hakim Moehammad Pandji Santoso, pada tanggal 14 Mei

2014 di Pengadilan Negeri Depok, Depok.

Wawancara dengan Suhariyono AR, pada tanggal 28 Mei 2014 di Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Wawancara dilakukan dengan Mardjono Reksodiputro, pada tanggal 16 Mei 2014 di

Universitas Indonesia Pasca Sarjana Krimonologi, Jakarta.

Jurnal/Makalah/Artikel

Redaksi. “PERMA Tipiring: Mengurai: “Benang Kusut” Peradilan.” Desain Hukum Vol

12 No. 3, ( Tahun 2012)

Sahetapy, J.E. “Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” Majalah

Hukum Pro justitia (Tahun VIII Nomor 3, Juli 1989): 22.

Wiwiho, Jamal. “Reformasi Peradilan di Indonesia dan PERMA No. 02 Tahun 2012

Tentang Tindak Pidana Ringan.” Desain Hukum Vol 12 (No. 3 Tahun 2012).

Internet

Direktori Mahkamah Agung.” http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/.”

Diakses 8 Maret 2014.

Indopos.”Penghuni Lapas Bogor Over Load,” http://www.indopos.co.id/ 2014/03/penghuni

lapas-bogor-load.html#.UxrzNic-q0U. Diakses 8 Februari 2014

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, http://www.pn-jakartaselatan.go

.id/index.php?option=com_content&view=article&id=238&Itemid=344. Diakses

pada 27 Mei 2014.

Pengadilan Negeri Depok, http://pn-depok.go.id/page/sejarah-pengadilan- negeri- depok.

Diakses 26 Mei 2014.

Pengadilan Negeri Depok, Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri

Depok, http://cts.pn-depok.go.id/index/index.php . Diakses 26 Mei 2014.

Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Depok, “http://cts.pn- depok.go.id

/index/index.php.” diakses 10 Juni 2014.

Penerapan pidana..., Lestari Hotmaida Sianturi, FH, 2014