penerapan asurans syariah untuk mewujudkan ethical banking di

13
1 Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di Perbankan Syariah: Gagasan dan Tantangan* oleh Dewi Fatmawati, M.Ec. Rijadh Djatu Winardi, M.Sc., CFE. Mahfud Sholihin, Ph.D. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Abstrak Ethical banking adalah praktik perbankan yang memperhatikan dampak investasi dan pinjaman terhadap masyarakat dan lingkungan. Praktik perbankan ini beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan pembangunan berkesinambungan. Bagi bank syariah konsep ethical banking adalah label yang melekat pada mereka. Karena identitas syariah secara langsung juga mencakup konsep etika. Taat syariah berarti harus menjunjung etika. Label etis bagi perbankan syariah ini tentunya semestinya dikaitkan dengan praktik bisnis yang dilaksanakan. Label ini mengharuskan perbankan syariah untuk meyakinkan nasabah mereka mengenai keetisan bisnis mereka. Sudut pandang masyarakat telah beralih dari ‘trust everything and audit nothing ke trust nothing and audit everything’ (Kasim et.al, 2013). Oleh karena itu konsep audit mengenai keetisan perbankan syariah sangatlah penting. Dengan kata lain, syari atau tidaknya dan etis tidaknya sebuah perbankan syariah harus dipastikan karena masyarakat semakin skeptis pada label syariah dan etis. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan konsep asurans/jaminan syariah yang seharusnya ada dalam praktik perbankan syariah. Dimulai dari pembahasan konsep etika dalam bisnis syariah, konsep asurans syariah, dan terakhir akan dibahas mengenai tantangan penerapan asurans syariah di Indonesia. Kata kunci: ethical banking, perbankan syariah, asurans syariah, audit syariah, reviu syariah *Artikel ini merupakan salah satu artikel dalam Buku Pemikiran Etika dalam Ekonomika dan Bisnis: Pengajaran dan Implikasi, yang diterbitkan oleh Beta Offset Yogyakarta kerjasama dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Upload: hoangdieu

Post on 12-Jan-2017

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

1

Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di Perbankan Syariah:

Gagasan dan Tantangan*

oleh

Dewi Fatmawati, M.Ec.

Rijadh Djatu Winardi, M.Sc., CFE.

Mahfud Sholihin, Ph.D.

Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Ethical banking adalah praktik perbankan yang memperhatikan dampak investasi dan pinjaman

terhadap masyarakat dan lingkungan. Praktik perbankan ini beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip

keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan pembangunan berkesinambungan. Bagi bank syariah

konsep ethical banking adalah label yang melekat pada mereka. Karena identitas syariah secara

langsung juga mencakup konsep etika. Taat syariah berarti harus menjunjung etika. Label etis bagi

perbankan syariah ini tentunya semestinya dikaitkan dengan praktik bisnis yang dilaksanakan.

Label ini mengharuskan perbankan syariah untuk meyakinkan nasabah mereka mengenai keetisan

bisnis mereka. Sudut pandang masyarakat telah beralih dari ‘trust everything and audit nothing ke

trust nothing and audit everything’ (Kasim et.al, 2013). Oleh karena itu konsep audit mengenai

keetisan perbankan syariah sangatlah penting. Dengan kata lain, syar’i atau tidaknya dan etis

tidaknya sebuah perbankan syariah harus dipastikan karena masyarakat semakin skeptis pada label

syariah dan etis. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan konsep asurans/jaminan syariah yang

seharusnya ada dalam praktik perbankan syariah. Dimulai dari pembahasan konsep etika dalam

bisnis syariah, konsep asurans syariah, dan terakhir akan dibahas mengenai tantangan penerapan

asurans syariah di Indonesia.

Kata kunci: ethical banking, perbankan syariah, asurans syariah, audit syariah, reviu syariah

*Artikel ini merupakan salah satu artikel dalam Buku Pemikiran Etika dalam Ekonomika dan Bisnis:

Pengajaran dan Implikasi, yang diterbitkan oleh Beta Offset Yogyakarta kerjasama dengan Fakultas

Ekonomika dan Bisnis UGM

Page 2: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

2

A. Pendahuluan

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Muslim untuk mengamalkan ajaran agama di

dalam seluruh aspek kehidupan, bisnis dengan label syariah atau Islam pun makin berkembang.

Dimulai dengan maraknya berdiri bank-bank umumsyariah sebagai alternatif dari bank

konvensional pasca krisis moneter 19971, kini berkembang jenis bisnis Islam yang lain seperti

asuransi syariah, hotel syariah, travel syariah dan masih banyak lainnya termasuk bisnis makanan

dan minuman halal. Namun demikian, tidak sedikit yang meragukan kesyariahan bisnis-bisnis

tersebut. Bahkan sebagian menuding bahwa label Islam atau syariah yang disematkan pada produk

atau jasa tersebut tidak lain hanyalah sebagai bagian dari strategi pemasaran untuk menjaring

konsumen Muslim yang merupakan populasi terbesar di Indonesia. Terlebih lagi, persaingan bisnis

yang semakin sengit dapat menjerumuskan para pelaku bisnis syariah untuk lebih fokus terhadap

pencapaian laba maksimal dan mengesampingkan asas ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan etika

Islami.

Sebagai sebuah bisnis yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat, menjadi bisnis

yang benar-benar syar’i dan etis adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan bagi lembaga

keuangan syariah (LKS) seperti perbankan syariah (Ahmad, 2011). Islam sangat menjunjung

tinggi etika sehingga label syariah yang melekat pada LKS sudah seharusnya membuat bisnis yang

etis merupakan identitas bagi mereka. Dalam Islam, padanan istilah yang dekat dengan etika

adalah akhlak. Akhak yang baik merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam. Bisnis dengan

identitas syariah juga harus menunjukan nilai-nilai etika Islami dalam operasional mereka. Dengan

demikian praktik bisnis perbankan syariah seharusnya menjadi sebuah praktik ethical banking

(Wilson, 2005). Untuk memastikan penerapan nilai-nilai Islam termasuk etika Islami dalam bisnis

perbankan syariah mutlak diperlukan sebuah sistem penjaminan (asurans) yang dilakukan oleh

pihak independen baik dari internal maupun eksternal bank syariah. Tulisan ini mencoba untuk

menguraikan konsep asurans syariah yang seharusnya ada dalam praktik perbankan syariah.

Dimulai dari pembahasan konsep etika dalam bisnis syariah, konsep asurans syariah, dan terakhir

akan dibahas mengenai tantangan penerapan asurans syariah di Indonesia.

B. Identitas Etis Perbankan Syariah

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan, kebiasaan ini bisa baik

maupun buruk. Sedangkan dalam Islam, etika sering dikaitkan dengan kata akhlak -bentuk jamak

dari khuluk- yang berarti perangai, tabiat, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Ali (2004) dan Alma

(2003) menyatakan bahwa letak perbedaan antara etika dan akhlak adalah etika merupakan cabang

dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau

buruk, dan ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah suatu ilmu

pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran dari

Allah dan Rasul sehingga etis tidaknya suatu perbuatan ditentukan oleh aturan yang sudah ada

dalam sumber hukum Islam yaitu Alquran dan Hadits. Oleh karena itu, dipandang dari sumbernya,

1 Tercatat terdapat 10 Bank Umum Syariah yang berdiri paska krisis moneter tahun 1997. Sebelum itu telah berdiri

Bank Muamalat pada tahun 1991 yang merupakan Bank Umum Syariah pertama di Indonesia.

Page 3: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

3

akhlak Islami bersifat tetap dan berlaku selama-lamanya, sedangkan etika belaku selama masa

tertentu di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak Islami bersifat mutlak, sedang etika

besifat relatif (nisbi).

Dalam Islam diajarkan prinsip-prinsip dalam menjalankan bisnis agar sesuai dengan tujuan

penetapan hukum Islam (maqashid syariah). Tujuan hukum Islam ini adalah dalam rangka

mencapai kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia baik di dunia maupun

akhirat. Hal ini dilakukan dengan memelihara kebutuhan dharuriat (primer) mereka dan

menyempurnakan kebutuhan hajiyat (sekunder) dan tahsiniat (tersier). Oleh karena itu, ajaran

dalam hukum Islam tidak hanya terbatas pada petunjuk dalam melaksanakan ibadah mahdoh

(hubungan antara makhluk dan penciptanya) tetapi juga mencakup pedoman dalam berinteraksi

(mu’amalah) dengan sesama manusia dan alam sekitar. Rice (1999) menyatakan bahwa Islam

seringkali dipahami secara sempit dan keliru dalam penafsiran konsep-konsepnya. Padahal ajaran

Islam sangat luas meliputi juga aspek-aspek sistem sosial-ekonomi secara menyeluruh tidak

terbatas pada aspek ibadah. Banyak sekali pembahasan Islam tentang etika dalam melakukan

kegiatan ekonomi termasuk jual-beli dan utang-piutang.

Untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam konteks bisnis perbankan syariah, Haniffa

dan Hudaib (2007) telah mengemukakan sedikitnya lima hal yang menjadi identitas etis (ethical

identity) perbankan syariah. Identitas inilah yang membedakan bank syariah dengan praktik bank

umum (konvensional). Kelima identitas tersebut adalah:

1. Berlandaskan filosofi dan nilai-nilai Islam

Prinsip-prinsip utama dalam Islam meliputi tauhid, keadilan dan khilafah (Rice, 1999; Uddin,

2003). Nilai-nilai ini harus dipahami dan dijadikan pedoman agar bisnis yang dijalankan dapat

sesuai aturan yang digariskan sesuai ketentuan Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sehingga kehadiran bisnis tersebut dapat menjadi perantara dalam mewujudkan kemaslahatan

umat manusia di dunia maupun di akhirat kelak.

Tauhid

Tauhid merupakan landasan utama dalam Islam dan dapat terbagi menjadi tauhid uluhiyah dan

tauhid rububiyah. Tauhid uluhiyah adalah keyakinan bahwa Allah merupakan pencipta tunggal

alam semesta ini dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi. Dia jugalah pemilik

semua yang ada di langit dan di bumi termasuk harta benda. Manusia hanya menerima titipan

pengelolaan harta agar harta tersebut dipergunakan sebaik mungkin untuk kemaslahatan

masyarakat banyak. Sedangkan tauhid rububiyah merupakan keyakinan bahwa Allah yang

menentukan dan membagi rejeki kepada setiap manusia di muka bumi ini. Allah dapat memberi

rejeki yang banyak dan berlebih kepada seseorang, sedangkan orang lain bisa jadi hanya mendapat

rejeki yang cukup atau bahkan kurang. Hal ini Diaa lakukan sesuai kemauan dan kehendakNya

dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghalanginya. Tugas manusia adalah berdoa dan

berusaha dalam rangka mencari dan menjemput rejeki Allah tersebut. Prinsip tauhid juga

mengandung pengertian bahwa semua manusia adalah sama, diciptakan oleh tuhan yang Maha Esa

dari tanah liat. Mereka saling bersaudara sehingga harus saling menghormati dan menjaga antara

yang satu dengan yang lain.

Page 4: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

4

Keadilan

Prinsip keadilan ini berkaitan dengan pengakuan atas hak dan kewajiban yang sama bagi setiap

orang. Islam sangat melarang praktek perbudakan dan segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi

terhadap kaum lemah oleh orang yang lebih kuat atau berkuasa. Dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang adil, pemerolehan kekayaan dengan cara yang produktif melalui aktivitas bisnis

maupun aktivitas lainnya menjadi mutlak diperlukan. Dan untuk menjaga hak masing-masing

individu dalam melakukan bisnis atau transaksi, setiap orang tidak diperbolehkan untuk berbohong,

berbuat curang atau melakukan hal buruk lainnya yang dapat merugikan orang lain. Mereka harus

menepati janji, menjunjung tinggi segala komitmen yang telah dibuat, dan memberikan hak orang

lain tanpa mengurangi sedikit pun.

Khilafah

Khilafah mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan dan ditempatkan di bumi untuk

menjadi khalifatullah atau wakil Allah yang mempunyai tugas untuk memakmurkan dan

mengambil manfaat segala apa yang ada di dalamnya. Tidak dibenarkan bagi manusia untuk

membuat kerusakan di muka bumi, yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai bencana bagi

manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia diharuskan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk

memanfaatkan segala sumber daya tanpa merusak apa yang ada di dalamnya. Hal ini dilakukan

dalam rangka mencapai kemakmuran dan kebaikan untuk seluruh umat manusia. Konsep ini sangat

relevan dengan bisnis termasuk perbankan syariah, dimana bisnis harus dilakukan bukan hanya

sekedar mencari keuntungan semata namun harus memperhatikan aspek lingkungan dan juga

pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development).

2. Penyediaan produk dan jasa yang bebas bunga (riba)

Pelarangan bunga (riba) merupakan hal pembeda utama antara perbankan syariah dengan

perbankan konvensional. Pembebanan bunga kepada debitor dan pembayarannya kepada kreditor

sebagaimana praktik lazim yang terjadi di perbankan konvensional sangat dilarang dalam ajaran

Islam. Pengharaman riba secara jelas disebutkan dalam empat ayat dari surat yang berbeda dalam

Alquran 2 . Salah satu ayat mengutuk praktik riba, dan menempatkannya sama saja dengan

memberikan harta orang lain secara tidak sah. Ayat lainnya menegaskan bahwa riba

menghilangkan berkah Tuhan dalam harta. Untuk menghindari riba, perbankan syariah

menggunakan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dan juga mark-up dalam produk dan jasa yang

ditawarkannya. Sistem bagi hasil berlaku pada transaksi musyarakah dan mudharabah, sedangkan

mark-up dapat diterapkan dalam transaksi seperti murabahah, ijarah, salam dan lain sebagainya.

3. Pembatasan hanya pada transaksi atau perjanjian yang diperbolehkan Islam

Bisnis perbankan syariah tidak hanya harus terbebas dari praktik riba, tetapi bank syariah juga

tidak boleh mendanai aktivitas atau hal-hal yang dilarang (haram) dalam Islam seperti

perdagangan minuman berakohol dan daging babi. Sudah sepatutnya bank syariah mendorong dan

memprioritaskan produksi barang pokok yang memenuhi hajat kebutuhan masarakat Muslim.

2 QS Al-Baqarah (2:275-81), Ali Imran (3:130), An-Nisa (4:161), dan Ar-Rum (30:39).

Page 5: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

5

Selain itu, bank syariah juga tidak diperbolehkan terlibat dalam transaksi yang mengandung unsur

maysir (judi) dan gharar (spekulasi).

4. Fokus pada tujuan pembangunan dan sosial

Sebagai institusi Islam, perbankan syariah diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat

yang adil dan makmur melalui peranannya dalam membayar serta menyalurkan zakat, infaq,

shodaqoh dan dana pinjaman kebaikan (qardul hasan) kepada masyarakat yang membutuhkan.

Pemberian ini dilakukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal setiap warga serta

menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat sehingga kaum miskin pun dapat menjalani

kehidupan spiritual dan material yang normal secara bermartabat dan memuaskan.

5. Adanya Dewan Pengawas Syariah

Untuk memastikan bahwa praktik dan aktivitas perbankan syariah tidak bertentang dengan etika

dan ajaran Islam, perbankan syariah diharapkan mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS).

DPS dapat beranggotakan para ahli hukum Islam, yang bertindak sebagai penjamin dan penasihat

syariah yang independen. DPS merupakan salah satu elemen dalam sistem tata kelola (governance

system) perbankan syariah sehingga unsur ini tidak akan dijumpai dalam perbankan konvensional.

C. Perbankan Syariah dan Ethical Banking

Sebelum muncul praktek perbankan syariah, telah ada konsep tentang ethical banking yang

merupakan salah satu alternatif lain dari sistem perbankan konvensional. Walaupun ethical

banking sering didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli terdahulu, hampir semua definisi

mencakup pengertian bahwa ethical banking adalah sistem perbankan yang beroperasi

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan pembangunan

berkesinambungan (sustainable development). Berdasarkan kemiripan prinsip-prinsip yang

menjadi landasan operasi perbankan syariah dan ethical banking, dan juga persamaan karakteristik

antara keduanya maka tidaklah mengherankan jika muncul argumen bahwa perbankan syariah

merupakan bentuk dari ethical banking yang paling mudah dipraktikan, paling maju dan paling

dapat diterima di kalangan masyarakat. Perbankan syariah adalah sebuah manifestasi dari standar-

standar atau prinsip yang ada dalam ethical banking. Sehingga tidak mengejutkan bahwa

perkembangan perbankan syariah selama dua dasawarsa terakhir ini sangatlah pesat, salah satu

penyebabnya adalah karena kerinduan masyakarat akan sistem perbankan yang mengedepankan

nilai-nilai etika dalam operasionalnya dan tidak semata-mata mengejar keuntungan. Tabel berikut

ini menjelaskan perbedaan karakteristik antara perbankan konvensional dan ethical banking yang

dalam hal ini dikaitan dengan perbankan syariah.

Tabel 1: Karakteristik Perbankan Konvensional dan Ethical Banking

Sistem Perbankan Konvensional Sistem Ethical Banking/Perbankan Syariah

Mencari keuntungan finansial Mencari kesinambungan finansial dan sosial

(melalui pembayaran dan penyaluran zakat dan

shodaqoh)

Page 6: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

6

Mendukung industri senjata, dan industri

yang mencemari lingkungan, dan

mengeksploitasi anak-anak

Berinvestasi pada aktivitas yang mendorong

kesejahteraan masyarakat dan lingkungan

(hanya membiayai produk atau aktivitas yang

halal)

Memberikan pinjaman kepada siapa pun yang

memiliki penjamin atau jaminan

Memberikan pinjaman kepada mereka yang

membutuhkan, dan untuk proyek-proyek yang

meringankan penderitaan masyarakat (dapat

melalui qardul hasan- zero interest)

Keputusan dibuat untuk kepentingan

pemegang saham

Keputusan dibuat untuk kepentingan para

pemangku kepentingan (stakeholders utama

adalah Allah SWT)

Ditujukan kepada mereka yang mempunyai

uang dan tidak peduli uang tersebut

digunakan untuk apa

Ditujukan kepada mereka yang membutuhkan

kesempatan dan berkeinginan bahwa uang

mereka digunakan untuk hal yang bermanfaat

Tidak mempunyai peluang untuk memilih

sarana investasi uang mereka

Mempunyai pilihan kemana uang mereka akan

diinvestasikan (nasabah perbankan syariah

belum bisa memilih jenis investasi preferensi

mereka)

Tidak memberikan informasi tentang apa

yang dilakukan bank terhadap uang dari

deposan

Memberikan informasi tentang semua proyek

dan investasi yang dilakukan bank dengan

dana dari deposan (perbankan syariah belum

optimal dalam melaksanakan hal ini)

Tetap memberikan imbalan dalam bentuk

bunga ke perusahaan walaupun perusahaan

tersebut tidak bertanggung jawab terhadap

lingkungan sosial

Memberikan imbalan (rewards) dan

mendukung organisasi yang terlibat dalam

kegiatan sosial (misal penyaluran zakat)

Sumber: Saidi, 2009

D. Asurans Syariah dan Urgensinya Mengawal Bisnis yang Etis

Ethical banking menjadi label yang melekat pada perbankan syariah. Label ini tentunya

diharapkan dikaitkan dengan praktik bisnis yang benar-benar dilakukan. Perbankan syariah harus

meyakinkan nasabah mengenai keetisan bisnis mereka. Banyak usaha yang dilakukan, salah

satunya melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS merupakan salah satu komponen pokok

dalam usaha memastikan keetisan bisnis sebuah bank syariah. Peran DPS sangat dominan dalam

memastikan bahwa perbankan syariah menunjukan derajat etika tertinggi. Ini penting mengingat

kepercayaan publik terhadap identitas syariah cenderung lebih sensitif dibandingkan dengan

identitas konvensional. Jika sebuah bank syariah melakukan tindakan yang tidak etis maka

kepercayaan publik terhadap bank tersebut akan rusak bahkan hilang. Terlebih lagi, penelitian

menunjukan bahwa bertindak etis memiliki manfaat salah satunya bisa mendatangkan tenaga kerja

yang lebih berkomitmen, pengakuan yang lebih dari nasabah serta mendatangkan nilai bagi

pemegang saham dalam jangka panjang (Central Bank of Bahrain, 2013).

Untuk menjaga kepercayaan publik maka fokus utama perbankan syariah adalah memastikan

bahwa bisnis mereka sesuai dengan aturan syariah. Namun demikian, diperlukan usaha keras untuk

melakukannya. Usaha kepatuhan syariah adalah usaha bersama seluruh organ di dalam institusi

Page 7: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

7

syariah. Untuk itu diperlukan sebuah tata kelola syariah (shariah governance) yang akan menjamin

terwujudnya proses check and balance terhadap ketaatan syariah pada institusi keuangan syariah.

Tata kelola syariah sendiri menurut Islamic Financial Service Board (2009) adalah:

A set of institutional and organisational arrangements through which IFIs ensure that

there is an effective independent oversight of Shariah compliance over the issuance of

relevant Shariah pronouncements, dissemination of information and an internal Shariah

compliance review

Kepatuhan syariah merupakan salah satu tujuan diterapkannya tata kelola syariah. Tata kelola

syariah mengatur bagaimana organ-organ dalam perbankan syariah berperan untuk mencapai

kepatuhan syariah. Sebuah kepatuhan tidak akan tercapai dengan sendiri, diperlukan sebuah

mekanisme untuk menjamin ketaatan. Munculah konsep asurans syariah yang berarti sistem

penjaminan ketaatan syariah dan merupakan bagian dari tata kelola syariah.

Sampai saat ini belum ada panduan dan rerangka tata kelola tersendiri untuk perbankan syariah.

Aturan tata kelola syariah seperti tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.12/13/ DPbS

tanggal 30 April 2010 masih memiliki kekurangan yakni belum menekankan pada pelaksanaan

operasi sesuai dengan aturan syariah (Pratiwi, 2015). Hal ini berbeda dengan tiga rerangka yang

telah disusun oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions

(AAOIFI), Islamic Financial Services Board (IFSB), dan Bank Negara Malaysia (BNM), dimana

ketiga aturan tersebut telah mengarah pada konsep ekonomi syariah (makro) bukan lagi korporasi

(mikro). Dikhawatirkan bahwa absennya aturan tentang tata kelola syariah yang jelas membuat

lembaga keuangan syariah tidak beritikad untuk melaksanakan prinsip syariah secara serius.

Dampaknya masyarakat akan menilainya bahwa antara lembaga keuangan syariah dengan

lembaga keuangan konvensional tidak berbeda.

Corak tata kelola syariah di Indonesia masih mirip dengan tata kelola korporat pada umumnya.

Konsep asurans syariah belum terlalu terlihat dan belum ditekankan. Jika dibandingkan antara

organ-organ sesui tata kelola yang umum di Indonesia dengan dengan tata kelola versi AAOFI,

IFSB, dan BNM maka versi terakhir dinilai lebih lengkap karena di dalamnya terdapat pengaturan

organ-organ dalam perbankan syariah yang mencerminkan corak ekonomi syariah (Nazri, 2013).

Tabel berikut ini berisi perbandingan wujud organ yang umum dan yang spesifik dalam tata kelola

syariah.

Tabel 2: Organ Umum dan Organ Spesifik dalam Tata Kelola Syariah

Fungsi Organ Umum Organ Spesifik

Tata Kelola Dewan Direksi Komite Syariah

Pengendalian Divisi Audit Internal, Auditor

Eksternal

Reviu Syariah oleh Komite

Syariah, Audit Syariah oleh

internal atau auditor eksternal

Ketaatan Divisi Kepatuhan Hukum dan

Keuangan

Divisi Ketaatan Syariah

Page 8: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

8

Manajemen Risiko Divisi Manajemen Risiko

(Risiko Pasar, Kredit, dan

Operasional)

Manajemen Risiko

Kepatuhan Syariah

Sumber: Nazri (2013)

Asurans syariah penting untuk menghadapi risiko ketidakpatuhan pada syariah. Ketidakpatuhan

pada syariah adalah salah satu risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah yang merupakan bagian

dari risiko operasional perbankan syariah. Risiko ketidakpatuhan syariah adalah risiko yang timbul

dari kegagalan bank untuk memenuhi aturan syariah dan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh

dewan yang relevan dengan syariah (Islamic Financial Service Board, 2009). Mengingat dampak

kerugian reputasi maka perbankan syariah seharusnya menempatkan risiko ketidakpatuhan syariah

sebagai risiko yang layak diperhatikan. Namun demikian, dalam tata kelola perbankan syariah di

Indonesia, belum ada organ yang secara khusus menangani risiko ini. Berbeda dengan tata kelola

versi AAOFI, IFSC, dan Bank Negara Malaysia yang telah mengatur adanya organ tata kelola

berupa manajemen risiko ketidakpatuhan syariah. Selain itu, di Indonesia sendiri juga belum ada

panduan baku dalam pengelolaan risiko ketidakpatuhan syariah.

Tambahan pengaturan berupa organ-organ spesifik seperti di tabel 2 di atas dinilai lebih lengkap

dan lebih bisa menjamin ketaatan pada aturan-aturan syariah. Organ-organ tersebut merupakan

bagian dari asurans syariah yang sayangnya sekali lagi belum nampak pada tata kelola syariah di

Indonesia. Idealnya sebuah bank syariah memiliki empat lapis pertahanan dalam menghadapi

risiko ketidakpatuhan pada syariah. Empat lapis pertahanan tersebut adalah bagian dari asurans

syariah. Jika diilustrasikan, maka empat lapis pertahanan dalam asurans syariah terhadap risiko

ketidakpatuhan syariah seperti yang ditunjukan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3: Empat Lapis Pertahanan Asurans Syariah

Lapis Pertama Manajemen Lini (Termasuk

Kepala Divisi Bisnis,

Manajer Cabang, dan semua

karyawan)

Bertanggung jawab untuk

pengawasan terus menerus

dan pengendalian pada

tingkat harian

Lapis Kedua Departemen Manajemen

Risiko Operasi

Menetapkan dan menjaga

rerangka risiko operasional

dan risiko ketidakpatuhan

syariah, melaporkan, dan

mengendalikan risiko pada

tingkat bank secara

keseluruhan

Lapis Ketiga Unit Ketaatan dan Kepatuhan

Syariah bersama DPS/

Komite Syariah

Menyediakan jaminan

independen kepada dewan

direksi dan manajemen

bahwa proses manajemen

risiko telah

diimplementasikan secara

efektif

Page 9: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

9

Lapis Keempat Auditor Internal dan atau

Auditor Eksternal

Menyediakan jaminan

independen melalui reviu

syariah dan audit syariah

Sumber: Shafii (2015)

Dari keempat lapis di atas, umumnya perbankan syariah di Indonesia telah memiliki lapis pertama

dan kedua, tetapi belum seluruhnya menerapkan lapis ketiga. Untuk lapis keempat, sampai saat ini

belum dilaksanakan dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Padahal reviu syariah dan audit

syariah pada lapis keempat memiliki tingkat jaminan dan tingkat independensi yang lebih tinggi

jika dibandingkan tiga lapis lainnya. Selanjutnya artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai

asurans syariah. Bahasan difokuskan pada reviu syariah dan audit syariah karena konsep inilah

yang paling minim pembahasan di Indonesia baik secara konsep maupun praktik.

E. Reviu Syariah dan Audit Syariah

Telah dibahas sebelumnya bahwa menjadi etis adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan bagi

lembaga syariah. Oleh karena itu, pelaksanaan audit yang menjamin bahwa perbankan syariah

telah bertindak etis menurut aturan syariah menjadi penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikuatkan

dengan perubahan sudut pandang masyarakat yang telah beralih dari ‘trust everything and audit

nothing ke trust nothing and audit everything’ (Kasim et.al, 2013). Syariah atau tidaknya sebuah

perbankan syariah harus dipastikan karena masyarakat semakin skeptis pada label syariah yang

melekat.

Konsep asurans konvensional dinilai tidak cukup mengakomodasi kebutuhan bisnis dari

perbankan syariah. LKS seperti perbankan syariah mengarahkan tujuan bisnis lebih dari sekedar

keuntungan namun juga pada pencapaian maqashid syariah. Untuk mengakomodasi keperluan di

atas maka dimensi dan lingkup dari asurans konvensional harus diperluas. Diperlukan lebih dari

asurans atas kewajaran laporan keuangan. Asurans yang dilaksanakan seharusnya bisa

mengevaluasi proses pencapaian maqashid syariah dari perbankan syariah. Konsep asurans

syariah berupa reviu syariah dan audit syariah adalah jawaban dari perluasan tersebut. Audit

syariah menempati posisi yang penting begitu juga reviu syariah karena merupakan proses yang

obyektif dan independen dalam menilai ketataan pada syariah. Hal ini ditunjukan dengan adanya

proses peninjauan pada proses tata kelola syariah berupa pengauditan pada ketaatan akan prinsip

syariah. Dalam audit syariah dilakukan beberapa hal seperti memastikan bahwa kontrak sesuai

dengan syariah, penggunaan konsep mu’amalah yang sesuai, pada pada akhirnya bisa mengarah

ke maqashid syariah.

Definisi audit syariah menurut Haniffa (2010) adalah proses sistematis obyektif untuk

mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai pernyataan tentang agama dan tindakan sosial

ekonomi dalam rangka untuk memastikan tingkat korespondensi antara pernyataan dari kerangka

pelaporan keuangan yang berlaku, termasuk kriteria yang ditentukan berdasarkan prinsip syariah

yang direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah dan mengkomunikasikan hasilnya kepada

semua pihak yang bekepentingan. Sedangkan definisi menurut AAOFI (Kasim et.al, 2013) adalah

Page 10: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

10

pemeriksaan tingkat kepatuhan suatu institusi keuangan syariah dalam semua kegiatannya dengan

syariah. Pemeriksaan ini meliputi kontrak, perjanjian, kebijakan, produk, transaksi, memorandum,

dan laporan keuangan. Tujuan dari audit syariah adalah untuk memastikan ketaatan lembaga

syariah terhadap aturan syariah. Dengan adanya audit syariah maka lembaga keuangan syariah

selain juga harus taat pada standar akuntansi, aturan regulator, juga harus taat terhadap fatwa,

aturan dan panduan dari dewan pengawas syariah.

Sedangkan reviu syariah adalah penilaian reguler pada kepatuhan syariah dan operasi perbankan

syariah oleh petugas syariah yang memenuhi syarat untuk memastikan bahwa kegiatan dan operasi

dari perbankan syariah tidak bertentangan dengan syariah (Bank Negara Malaysia, 2010). Secara

konsep reviu syariah lebih intensif dibandingkan dengan audit syariah. Lalu siapakah yang

sebaiknya melaksanakan kedua bentuk asurans syariah di perbankan syariah? Pada awalnya

Dewan Pengawas Syariah merupakan salah satu mekanime tata kelola yang paling penting untuk

menjamin ketaatan syariah. Namun peran DPS mulai diragukan dari segi independensi dan

keahlian dalam asurans. Oleh karena itu DPS perlu bekerja bersama dengan unit ketaatan syariah

untuk melaksanakan reviu syariah. Internal Shariah Compliance Unit (ISCU) atau unit ketaatan

syariah adalah unit yang terpisah dan independen dari unit bisnis utama. Sedangkan pelaksanaan

audit syariah idealnya dilaksanakan oleh auditor eksternal. Akan tetapi karena masih belum

memungkinkan maka auditor internal bisa melaksanakan fungsi ini. Praktik ini dilaksanakan oleh

negara Malaysia sebagai solusi minimnya sumber daya auditor eksternal yang mampu

melaksanakan audit syariah. Tabel di bawah ini membandingkan pelaksanaan reviu syariah dengan

audit syariah secara lebih rinci.

Tabel 4: Perbandingan Reviu Syariah dan Audit Syariah

Pembeda Reviu Syariah Audit Syariah

Pelaksana Internal Shariah Compliance Unit

(ISCU) bekerja bersama

DPS/Komite Syariah

Auditor Internal/Audit Eksternal

Waktu

Pelaksanaan

Reguler Periodik

Fokus Ketaatan syariah Adanya pengendalian terhadap

ketaatan syariah

Lingkup Operasi harian dan mencakup

seluruh operasi bisnis

Audit LK, pengendalian kepatuhan

syariah, dan kecukupan tata kelola

Sumber: Rahman (2015)

F. Isu Implementasi Asurans Syariah di Indonesia

Beberapa isu implementasi asurans syariah akan dibahas berikut ini. Ada yang berpendapat bahwa

fungsi asurans syariah sebaiknya dilekatkan pada dewan pengawas syariah. Namun ada

permasalahan seperti independensi dari dewan pengawas syariah. Dewan pengawas syariah

merupakan sebuah organ internal yang bekerja dan dibayar oleh bank syariah. Dikhawatirkan akan

timbul isu independensi dan juga memunculkan kemungkinan konflik kepentingan karena DPS

Page 11: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

11

memeriksa hasil kebijakannya sendiri. Masalah kompetensi juga penting untuk diperhatikan

karena DPS tidak memiliki keterampilan untuk melakukan asurans meskipun mereka memiliki

pengetahuan dan kualifikasi di bidang syariah.

Perbankan syariah diatur secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Demikian juga tata

kelola di dalam bank syariah akan memperhatikan dan mengikuti rerangka tata kelola perbankan

syariah yang disusun regulator. Dorongan penerapaan asurans syariah akan semakin kuat jika

regulator mewajibkan atau menghimbau adanya praktik tersebut. Namun, saat ini di dalam tata

kelola perbankan syariah di Indonesia belum terdapat perhatian pada isu asurans syariah.

Mencontoh negara Malaysia yang telah menerbitkan Shariah Governance Framework pada tahun

2010, maka Indonesia juga sebenarnya perlu melakukan hal serupa. Rerangka ini penting salah

satunya untuk menjamin ketaatan syariah di perbankan syariah.

Penerapan asurans syariah terutama audit syariah adalah proses yang panjang. Perlu diingat bahwa

tahapan audit syariah di Indonesia barulah tahapan konsep belum berwujud praktik. Sebelum

masuk ke praktik audit syariah, penting untuk menentukan mengenai definisi, lingkup, dan konsep

audit syariah. Selanjutnya ketiga hal tersebut dituangkan dalam dokumen seperti tata kelola

perbankan syariah. Dokumen lain yang perlu ada adalah standar audit syariah. Peran serta profesi

akuntan publik sangatlah penting disini.

Masalah lain adalah pada sumber daya manusia seperti belum adanya sertifikasi bagi auditor

syariah. Sertifikasi penting untuk menilai kompetensi seseorang. Dampaknya, belum banyak

sumber daya manusia yang kompeten dalam melaksanakan audit syariah. Akademisi juga

memiliki peran yang penting untuk mengkaji isu audit syariah dalam konteks negara Indonesia.

Sampai saat ini audit syariah dan reviu syariah masih menjadi area yang belum banyak tersentuh

untuk penelitian (Lahsasna et.al, 2013).

G. Penutup

Perbankan syariah memiliki identitas tersendiri yang membedakan dengan institusi lainnya.

Identitas itulah yang menjadi subyek dari asurans syariah. Identitas syariah perlu dijaga agar

nasabah tidak kehilangan kepercayaan kepada perbankan syariah. Namun, usaha penjaminan di

Indonesia masih belum diperhatikan. Penjaminan baik secara internal dari bank syariah maupun

oleh pihak eksternal yang independen seperti oleh kantor akuntan publik belum diatur dalam tata

kelola syariah di Indonesia. Diharapkan ke depan ada inisiasi untuk menyusun tata kelola syariah

di Indonesia yang mengakomodasi praktik asurans syariah. Untuk itu dukungan dari banyak pihak

diperlukan untuk menyukseskan praktik asurans syariah untuk mewujudkan ethical banking di

perbankan syariah di Indonesia.

Daftar Pustaka

Ahmad, Habib. (2011) Defining Ethics in Islamic Finance: Looking Beyond Legality. [Daring].

Dalam: 8th International Conference on Islamic Economics and Finance, Doha, 19-21

Page 12: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

12

December 2011. Tersedia di: http://conference.qfis.edu.qa/app/media/290. [Diakses 6 Juli

2015]

Ali, M. D. (2004). Pendidikan Agama Islam. Raja Grafindo Persada.

Alma, B. (2003). Dasar-dasar Etika Bisnis Islami. Alfabeta

Bank Negara Malaysia (2010). Shariah Governance Framework. [Daring]. Tersedia di:

http://www.bnm.gov.my/guidelines/05_shariah/02_Shariah_Governance_Framework_201

01026.pdf. [Diakses 6 Juli 2015]

Central Bank of Bahrain (2013). Islamic Banks Must Exhibit The Highest Ethical Standards -

Concludes Waqf Fund Roundtable. [Daring]. Tersedia di: https://www.cbb.gov.bh/page-p-

islamic_banks_must_exhibit_the_highest_ethical_standards_-

_concludes_waqf_fund_roundtable.html [Diakses 6 Juli 2015]

Haniffa, R., & Hudaib, M. (2007). Exploring the ethical identity of Islamic banks via

communication in annual reports. Journal of Business Ethics, 76(1), 97-116.

Islamic Financial Service Board (2009). Guiding Principles on Sharī`Ah Governance Systems

For Institutions Offering Islamic Financial Services. [Daring]. Tersedia di:

http://www.ifsb.org/standard/IFSB-10%20Shariah%20Governance.pdf [Diakses 6 Juli

2015]

Kasim, Nawal., Htya, Sheila Nu., and Salman, Syed Ahmad. (2013) Comparative Analysis on

AAOIFI, IFSB and BNM Shari’ah Governance Guidelines. [Daring]. International Journal

of Business and Social Science, 4 (15). Tersedia di:

http://ijbssnet.com/journals/Vol_4_No_15_Special_Issue_November_2013/28.pdf

[Diakses 6 Juli 2015]

Lahsasna, Achene., Ibrahim, Shahul Hameed Haji Mohamed., and Alhabshi, Datuk Syed

Othman. (2013). Shariah Audit: Evidence & Methodology in Islamic Finance. [Daring].

Tersedia di: http://www.inceif.org/wp-

content/uploads/2013/12/Shari%E2%80%99ah_Audit_Evidence_and_Methodology_A_S

hari%E2%80%99ah_Perspective.pdf. [Diakses 6 Juli 2015]

Nazri, Mohammad. (2013) Shariah Governance Framework- Shariah Compliance Risk

Management. [Daring]. Dalam: 4th Asia Islamic Banking Conference, Kuala Lumpur, 10

Juni 2013. Tersedia di: http://www.bankislam.com.my/en/Documents/cinfo/2013-

4thAsiaIslamicBankingConference-CRM.pdf. [Diakses 6 Juli 2015]

Pratiwi, Fuji. (2015) Syariah Butuh Tata Kelola Tersendiri. Republika Online, 8 January 2015.

[Daring]. Tersedia di: http://www.republika.co.id/berita/koran/syariah-

koran/15/01/08/nhugof1-syariah-butuh-tata-kelola-tersendiri [Diakses 6 Juli 2015]

Rahman, Abdul Rahim Abdul (2015) Shariah Audit in Practice. [Catatan Penyaji]. Pelatihan

Audit Syariah, dilaksanakan 4-5 Juni, STIE Tazkia.

Rice, G. (1999). Islamic ethics and the implications for business. Journal of business

ethics, 18(4), 345-358.

Saidi, T. A. (2009). Relationship between ethical and Islamic banking systems and its business

management implications. South African Journal of Business Management, 40(1), 43-49.

Shafii, Zurina (2015) The Concept of Shariah Assurance. [Catatan Penyaji]. Pelatihan Audit

Syariah, dilaksanakan 4-5 Juni, STIE Tazkia.

Page 13: Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di

13

Uddin, S. J. (2003). Understanding the framework of business in Islam in an era of globalization:

a review. Business Ethics: A European Review, 12(1), 23-32.

Wilson, Rodney (2005). Parallels Between Islamic and Ethical Banking. [Daring]. Journal of

Islamic Banking and Finance. Tersedia di:

http://lib.iium.edu.my/mom2/cm/content/view/view.jsp?key=T4LILgsTWwFWwhgI9ZPE

RXILBwvWivuO20091221111416390. [Diakses 6 Juli 2015]