pendidikan ketakwaan dalam al-qur’an oleh: heri surikno

24
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021 PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno Abstrak Kata takwa sudah lumrah dalam kehidupan pendidikan, khususnya di Indonesia. Takwa merupakan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diserapnya kata takwa dari ajaran Islam menjadi bagian pendidikan nasional perlu dikaji dari perspektif al-Quran dan Hadis, sehingga dapat secara maksimal diterapkan dalam seluruh aktivitas pendidikan tersebut. Al-Qur’an mengambil kata takwa sebanyak 259 kali dengan beragam derivasi dan makna. Aspek kuantitas ini juga sebagai isyarat bahwa secara kualitas, takwa mesti dipahami secara utuh. Baik dari sisi definisi, sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis, ragam perintah takwa dalam al-Qur’an, proses menuju takwa dan sifat orang yang bertakwa serta impilkasinya dalam pendidikan. Memahami pendidikan takwa dan implikasinya dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi ayat-ayat tentang takwa, membaginya berdasarkan tematik pembahasan dan memahami isi kandungannya dari perspektif tafsir dan mencari hubungan dan implikasinya dalam pendidikan. Kata Kunci: Pendidikan Ketakwaan, Al-Qur’an A. Pendahuluan Takwa merupakan salah satu tema penting yang dibicarakan al-Qur’an. Banyaknya ayat yang membicarakan ketakwaan mesti dilihat secara utuh agar diperoleh makna yang dalam dari maksud dan kandungannya. Sudah banyak ulama tafsir melalui kitab-kitabnya berusaha menjelaskan ayat-ayat takwa tersebut, namun secara umum mereka menguraikan secara tahlili. Begitu juga penjelasan dari beberapa orang pakar al-Qur’an seperti Izutsu Toshihiko dan Dawam Raharjo. Isutzu Toshihiko misalnya, seperti yang dikutip oleh Irsyadunnas, ia mencoba membahas konsep takwa melalui konsep semantik studi. Dia berspekulasi bahwa konsep takwa dimunculkan oleh al-Qur’an sebagai gebrakan terhadap bangsa Arab agar mereka menurunkan rasa takaburnya yang berlebihan, sehingga ia berkesimpulan bahwa pengertian takwa mengandung 1

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN

Oleh: Heri Surikno

Abstrak

Kata takwa sudah lumrah dalam kehidupan pendidikan, khususnya diIndonesia. Takwa merupakan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktubdalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional. Diserapnya kata takwa dari ajaran Islam menjadi bagian pendidikannasional perlu dikaji dari perspektif al-Quran dan Hadis, sehingga dapat secaramaksimal diterapkan dalam seluruh aktivitas pendidikan tersebut. Al-Qur’anmengambil kata takwa sebanyak 259 kali dengan beragam derivasi dan makna.Aspek kuantitas ini juga sebagai isyarat bahwa secara kualitas, takwa mestidipahami secara utuh. Baik dari sisi definisi, sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis,ragam perintah takwa dalam al-Qur’an, proses menuju takwa dan sifat orang yangbertakwa serta impilkasinya dalam pendidikan. Memahami pendidikan takwa danimplikasinya dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasiayat-ayat tentang takwa, membaginya berdasarkan tematik pembahasan danmemahami isi kandungannya dari perspektif tafsir dan mencari hubungan danimplikasinya dalam pendidikan.

Kata Kunci: Pendidikan Ketakwaan, Al-Qur’an

A. Pendahuluan

Takwa merupakan salah satu tema penting yang dibicarakan al-Qur’an.

Banyaknya ayat yang membicarakan ketakwaan mesti dilihat secara utuh agar

diperoleh makna yang dalam dari maksud dan kandungannya. Sudah banyak

ulama tafsir melalui kitab-kitabnya berusaha menjelaskan ayat-ayat takwa

tersebut, namun secara umum mereka menguraikan secara tahlili.

Begitu juga penjelasan dari beberapa orang pakar al-Qur’an seperti Izutsu

Toshihiko dan Dawam Raharjo. Isutzu Toshihiko misalnya, seperti yang dikutip

oleh Irsyadunnas, ia mencoba membahas konsep takwa melalui konsep semantik

studi. Dia berspekulasi bahwa konsep takwa dimunculkan oleh al-Qur’an sebagai

gebrakan terhadap bangsa Arab agar mereka menurunkan rasa takaburnya yang

berlebihan, sehingga ia berkesimpulan bahwa pengertian takwa mengandung

1

Page 2: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

suasana takut yang merupakan batin agama yang paling mendasar dari

keseluruhan sistem etika dalam al-Qur’an.1

Hal yang sama dilakukan oleh Dawam Raharjo yang mengangkat dan

membicarakan persoalan takwa dalam satu topik khusus, namun penjelasannya

lebih bersifat umum. Penjelasan di atas masih bersifat belum spesifik dalam kajian

khusus tentang takwa.

Penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu Pertama; menghitung dan

mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan takwa berdasarkan

klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an, kedua, mengelompokkan dan memberi makna

berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna takwa. Ketiga;

menjelaskan hubungan makna takwa yang dimaksud dalam al-Qur’an dengan

yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan.

B. Pendidikan Ketakwaan dalam al-Quran

1. Pengertian Takwa

Kata takwa berasal dari bahasa Arab, Ittaqa-Yattaqi-Ittiqaan, yang berarti

takut,2 keinsyafan (Consciousness). Lebih luas pengertian takwa adalah

memelihara diri dari ancaman siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-

Nya dan menjauhi larangan-Nya.3 Dapat dikatakan juga bahwa takwa adalah

keinsyafan mengikuti dengan kepatuhan dan ketaatan, melaksanakan perintah-

perintah Allah serta menjauhi larangan-laranganNya.

Secara etimologi, term takwa yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 259

kali4 dengan segala derivasinya mengandung makna yang cukup beragam, di

antaranya, memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan5.1 Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Taqwa), (Jurnal Penelitian Agama, Vol XII, Nomor 3 tahun 2013), h. 3

2 Abboed S. Abdullah, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1998), h. 50

3 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

2004), h. 735.

4 Muhammad Fuad Abdul al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1945), h. 758-761

5 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-masyriq, ttt), h. 915

2

Page 3: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Namun demikian ragam arti tersebut masih tetap mengacu pada satu makna, yaitu

antisipasi diri terhadap dunia luar. Al-Raghib al-Alfahani, dalam bukunya Mu’jam

Muradat Alfaz al-Qur’an, menjelaskan bahwa kalimat takwa mengandung arti

memelihara diri dari hal-hal yang akan membawa kepada kemudharatan6.

Muhammad Abduh, dalam kitab Tafsir al-Manar, juga menyatakan bahwa

kalimat takwa, secara etimologi, dapat diartikan menjauhkan diri dari

kemudharatan atau menolaknya7. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kalimat

takwa sering disandarkan kepada kalimat Allah (ittaqullah), sehingga artinya

menjadi menjauhkan diri dari Allah8. Arti semacam ini jika dipahami secara

tekstual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang memerintahkan

manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka makna yang sesungguhnya,

yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah, adalah menjauhkan diri dari siksaan atau

azab Allah. Karena, menurut sebagian ulama tafsir, dalam kalimat ittaqullah

tersirat kata yang mengandung siksaan atau azab. Hal itu bisa dilihat dalam surat

al-Baqarah/2: 196, 203, al-Maidah/5: 4,7,8. Tafsiran senada juga diuraikan oleh

Quraish Shibah dalam menafsirkan surat al-Baqarah: 183 bahwa takwa adalah

terhindar dari segala macam sangsi dan dampak buruk, baik duniawi maupun

ukhrawi.9

Usaha menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah tersebut dapat

dilakukan dengan cara “meninggalkan larangan Allah dan sekaligus melaksanakan

perintah-Nya” (imtisal al-awamirillah waajtinab al-nawahihi)10. Hal ini pun dapat

terlaksana jika dalam diri seseorang muncul perasaan takut yang merupakan awal

dari kearifan terhadap azab yang dimiliki Allah. Lebih luas takwa menurut Syeikh

Abdul Qadir Al-Jilani, orang yang bertakwa adalah orang yang tidak lepas dari

perbuatan mensucikan diri; orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya

6 Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 568

7 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 124-125

8 Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Amanah seperti yang dikutip oleh Irsyadunnas

9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 377

10 Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 55

3

Page 4: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

dalam semua hal yang diridhai Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan

yang dimurkai Allah.11

Takwa menurut Abu Ja’far yaitu mentaati semua perintah dan menjauhi

larangan dan melaksanakan ibadah dengan mengesakannya karena takut

mendapatkan kemarahanNya sebab orang yang bertakwa adalah orang yang

mendapatkan ridha Allah. Sedangkan menurut Mujahid takwa berarti mentaati

Allah SWT.12 Dalam konteks ini, Tabataba’i menjelaskan bahwa takwa itu

memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi,

yaitu potensi berbuat baik (ta’at) dan poteni berbuat jahat (ma’siat). Dua potensi

tersebut tidak dapat terkumpul pada satu waktu. Manusia takwa adalah manusia

yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (ta’at) yang ada dalam dirinya,

dengan cara berbuat ihsan13.

Pendapat ini tampaknya disepakati oleh Buya Hamka, dimana beliau

menjelaskan dalam tafsirnya Al-Azhar, bahwa dalam kalimat takwa terkandung

arti yang lebih komprehensif, yaitu cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha,

sabar, berani dan lain-lain. Intiya, kata Buya Hamka, ungkapan takwa

mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah SWT, dengan

memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi

karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah.14

Pengertain yang diberikan oleh Buya Hamka di atas memberikan indikasi

bahwa takwa tidak hanya mengandung arti antisipasi diri terhadap hal-hal yang

dapat membawa kepada kemudhratan, akan tetapi juga mengandung arti memiliki

semangat keberagamaan (religius spirit) yang tinggi untuk selalu ingin

memperbaiki hidup dan kehidupannya, baik dalam bentuk vertikal (hubungan

dengan Allah) maupun dalam bentuk horizontal (hubungan dengan manusia).

11 Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-Risalatul as-Sufiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), Cet.3, h. 51

12 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H), h. 233

13 Muhammad Husen Tabataba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-‘Alamiy, 1991), h. 375

14 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 122-123

4

Page 5: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Mencermati beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam

takwa terandung pengertian pengendalian diri oleh manusia akan dorongan

emosinya dan penguasaan terhadap kecenderungan hawa nafsunya. Hal ini berarti

bahwa seorang yang bertakwa akan memenuhi dorongan-dorongan emosinya

hanya sebatas yang diperkenankan oleh agama. Selain itu, dalam ungkapan takwa

juga terkandung perintah kepada manusia agar mereka senantiasa melakukan

aktivitas-aktivitas yang baik yang membawa kepada kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat, seperti: bersikap adil dalam bertindak dan berbuat, suka

membantu orang-orang yang membutuhkan secara moril atau materil, mau

mengembangkan potensi diri atau intelektualitas demi mencapai kehidupan yang

baik dan bermanfaat.

2. Dasar Utama Takwa

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang bernilai mukjizat, yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantara malaikat Jibril a.s.

yang tertulis dalam mashahif, diriwayatkan dengan cara mutawatir, dan yang

membacanya terhitung ibadah.15 Di dalam al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip

besar yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan

yang berhubungan dengan amal yang disebut syariah.

Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan

dalam al-Qur’an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan.

Ini menunjukan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua

amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya

sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan

lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal

shaleh (syari’ah).16

Di antara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman

bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di

15 Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an, Terj. Muh. Qadirun Nur, Al-Ikhtisar fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 3

16 Zakiah Daradjat, dkk, Op., Cit., h. 19-20

5

Page 6: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

akhirat kelak. M. Quraish Shihab,17 dalam Wawasan al-Qur’an menyebutkan

secara lebih rinci tentang tujuan diturunkan al-Qur’an menjadi delapan,

diantaranya adalah:

1) Untuk membersihkan dan mensucikan jiwa

2) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan

4) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang

kehidupan bermasyarakat dan bernegara

5) Untuk membasmi kemaksiatan material dan spiritual, kebodohan,

penyakit dan penderitaan, serta pemerasan manusia atas manusia

6) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan

7) Untuk menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada

kebaikan dan mencegah kemungkaran

8) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan

suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan

Nur Ilahi.

Petunjuk al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan Mahmud Syaltut, yang

dikutip oleh Hery Noor Aly dapat dikelompokan menjadi tiga pokok,18 yaitu:

1) Petunjuk tentang akidah dan kepercayaan yang harus dianut

oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan dan kesaan Tuhan

serta kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.

2) Petunjuk mengenai syari’at dan hokum dengan jalan

menerangkan dasar-dasar hukum yang harus di ikuti oleh

manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

3) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan

menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang hanya

di ikuti oleh manusia dalam kehidupan, baik individual maupun

kolektif.

17 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet.XI, h. 12-13

18 Hery Noor Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 33

6

Page 7: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Petunjuk mengenai pelaksanaan takwa di dalam al-Qur’an sebagaimana

firman Allah surat Al-Ahzab ayat 21 disebutkan:

ô ôô )©9 ô ô%ô . ô ô ô 3ô9 ôô ô ô ôô ô ôô ô «!ô# ô ô ôôô ôô& ×ôôô |ô ô ô `ôô ôô 9 ôô%ô.

(#ôô_ôôôô ©!ô# ôô ôôôôô 9ô#ôô ôôô ô ô ô ô# ôôô.ôôôô ©!ô# #ô ôôôô ô. ôôôô

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yangbaik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Dari dalil ini dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan

bagi seluruh manusia, karena segala tingkah lakunya selalu mencerminkan

ketakwaan dan diharapkan umatnya mencontoh perbuatan atau tingkah laku yang

mulia tersebut, karena beliau memiliki budi pekerti yang agung. Sebagaimana

firman Allah dalam surat Al-Qalam ayat 4:

ô7¯ô ô)ôô 4ôô ?ôô ô9 ô ,ô=ôô 5ôôôô ôô ôôô

Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

b. Hadis

Hadis ialah segala perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah

SWT. yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang

lain yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau membiarkan saja kejadian atau

perbuatan itu berjalan.Hadis merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qur’an.

Hadis berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala

aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang

bertakwa.19

Kalau dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang

merupakan sumber pokok Islam, maka hadis adalah penjelasan pelaksanaan dari

pada sumber pokok itu, bahkan merupakan contoh-contoh yang jelas, hingga

mudah untuk dilaksanakannya. Dengan demikian hadis itulah yang mensyarahkan

dan menjelaskan hal-hal yang belum dipahami dalam al-Qur’an. Sering kali

manusia kesulitan dalam memahami al-Qur’an dan ini dialami oleh pada sahabat

sebagai generasi pertama al-Qur’an.

19 M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet.4, h. 3

7

Page 8: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Karenanya mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah SAW. Yang

diberi otoritas tersebut. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 44:

ôô»ôôôô ôô7ô9ôô ô/ ô ôô /ôô9ô#ôô 3 !ôôôô9ôôôô&ôô ô7ôôô9ô) ôôô 2ôô %!ô# ôô ôôô ô7ôô ô9

ô¨ô¨ô=ô9 ôôô ôôôô ôôô ôôô ô ôôô9ô) ôôôô ¯=ôôô9ôô ôôô ôô©3ôô ôô ôô ôôôô

Artinya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kamiturunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umatmanusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supayamereka memikirkan.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa as-Sunah berkedudukan sebagai

penjelas bagi al-Qur’an. Dan di dalam as-Sunah tersebut banyak sekali yang

menerangkan bagaimana cara bertakwa yang benar. Dalil tersebut dapat dipahami

bahwa Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia. Diharapkan

umatnya untuk mencontoh perbuatan beliau, dalam arti taat kepada Allah dan

Rasulnya.

Sedangkan hadis Nabi tentang perintah untuk bertakwa adalah sebagai

berikut: "Dari Abi Dzar, Nabi bersabda : takwalah engkaulah kepada Allah di

mana saja engkau berada, dan ikutkanlah (iringilah) suatu perbuatan jahat dengan

kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapus kejahatan itu. Dan berakhlaklah

dengan sesama manusia dengan cara berakhlak yang baik" (HR. Al-Tirmidzi)

3. Perintah Bertakwa dalam al-Qur’an

Perintah bertakwa dalam al-Qur’an disebutkan dengan beragam bentuk.

Hasil penelitian Irsyadunnas menunjukkan bahwa perintah bertakwa dalam al-

Qur’an dengan menggunakan beberapa bentuk yaitu dengan fiil amar, lam amar,

istifham, kalimat tarajji, dan jumlah khabariyah yang mengandung insya’iyah.20

Berikut penulis jelaskan secara rinci.

a. Perintah dalam bentuk fiil amar

Banyak ayat yang menggunakan fiil amar sebagai bentuk perintah agar

bertakwa kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 54 kali.

Antara lain surat al-Maidah ayat 35:

20 Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Taqwa), (Jurnal Penelitian Agama, Vol XII, Nomor 3 tahun 2013), h. 5

8

Page 9: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dancarilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlahpada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (al-Maidah:36)

Dalam ayat tersebut terdapat tiga kalimat perintah, yaitu ittaqullah

(bertakwalah kepada Allah SWT), ibtaghu ilaihi al-washilah (carilah jalan yang

bisa mendekatkan diri kepadaNya) dan jaahiduu fi sabilillah (berjihadlah di jalan

Allah SWT). Redaksi ayat tersebut seakan memberikan penegasan yang sama

antara perintah bertakwa dengan perintah wasilah dan jihad. Pertautan ketiga

kalimat tersebut diungkapkan oleh Imam Syaukani bahwa takwa merupakan

puncak dari segala sesuatu atau tujuan dari setiap amal kebaikan manusia.

Mencari wasilah dan jihad di jalan Allah SWT merupakan bahagian dari amal

kebaikan yang harus dilaksanakan oleh manusia.21

Perintah bertakwa dalam ayat ini disebutkan setelah menetapkan hukum

dan jalan taubat terhadap orang-orang yang memerangi Allah SWT dan rasulNya.

Maka orang yang beriman diperintahkan supaya bertakwa kepada Allah SWT

dengan cara bertaubat dan memohon ampun terhadap segala perbuatan dosa yang

telah mereka perbuat dalam bentuk suka berperang dan membuat kerusakan.22

Pendapat di atas menjadi penegas bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai

oleh orang yang benar-benar melaksanakan perintah Allah SWT dan

meninggalkan laranganNya. Puncak dari kebahagiaan atau kesuksesan itu adalah

tercapainya derajat ketakwaan.

b. Dengan menggunakan lam amar

Perintah bertakwa dalam al-Qur’an yang menggunakan lam amar terdapat

satu ayat yaitu surat Annisa ayat 9:

Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah SWT orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang merekakhawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah

21 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 57

22 Abi Fadhl Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusy al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab’i al-Matsani Jilid III, (Beirut: Dar Kutub al-‘Amaliyah, 2001), h. 294

9

Page 10: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

mereka bertakwa kepada Allah SWT dan hendaklah merekamengucapkan perkataan yang benar. (Q. S An-Nisa: 6)

Dalam ayat di atas terdapat tiga perintah yaitu walyakhsyallazina, fal

yattaqullah dan wal yaquulu. Menurut Rasyid Ridha bahwa ayat ini sebagai

penegas supaya jangan sampai merampas harta anak yatim yang mengakibatkan

mereka terlantar, sengsara atau bahkan miskin setelah mereka (wali) meninggal

seperti halnya mereka akan sedih ketika meninggalkan anak-anak mereka dalam

kondisi lemah, miskin dan terlantar.23

Perintah terkahir adalah wal yaqulu qaulan syadid, maka hendaklah

berbicara (memperlakukan) mereka dengan perlakuan yang baik. Menurut Imam

al-Zamakhsyari bahwa yang dimaksud dengan qaulan syadid adalah perkataan

baik dan menyenangkan, seperti yang mereka dapatkan dari orang tua mereka.

Juga mangandung makna berlaku adil terhadap mereka dalam pemeliharaan harta

mereka.24 Rasyid Ridha mempertegas bahwa perintah tersebut mengisyaratkan

agar dalam pemeliharaan anak yatim senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai

keadilan dan kemaslahatan serta menjauhkan diri dari sikap pemeras dan

perampas.25

c. Dengan menggunakan istifham

Perintah bertakwa dengan menggunakan istifham disebutkan dalam al-

Qur’an sebanyak lima kali. Surat al-A’raf: 65, surat Yunus: 31, surat al-

Mukminun: 23, 32 dan ayat 87. Untuk melihat salah satu kandungan salah satu

ayat tersebut contohnya surat al-A’raf: 65:

Artinya: dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka,

Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kalitidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamutidak bertakwa kepada-Nya?(Q. S. al-A’raf: 65)

23 Muhammad Rasyid Ridha, Op., Cit., h. 400

24 Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wal ‘Uyun al-Aqawil fiWujuh al-Ta’wil, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), h. 504

25 Muhammad Rasyid Ridha, Op., Cit., h. 400

10

Page 11: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Ayat di atas ditutup dengan kalimat afala tattaqun, maka mengapa kamu

tidak bertakwa. Dalam kajian bahasa Arab, kalimat afala terdiri dari tiga kata atau

huruf yaitu a, fa dan la. A merupakan huruf istifham (hamzah istifham) yang

artinya apakah (yang menyebabkan). Fa huruf zaidah dan la huruf nafi yang

artinya maka kamu tidak mau. Gabungan ketiga kata tersebut bermakna maka

apakah yang menyebabkan kamu tidak mau bertakwa.

Ayat ini berisi tentang ajaran tauhid, perintah untuk mengabdi atau

menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena tidak ada Tuhan yang patut

disembah kecuali Allah SWT. Lalu ayat ini ditutup dengan afala tataqun,

mengapa kamu tidak mau bertakwa kepada Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain

Dia.26 Penggunaan istifham dengan fungsi amar dalam ayat ini bertujuan untuk

memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir dan merenungi tentang

isi kandungan ayat itu.

d. Dengan kalimat tarajji

Kalimat lain yang menunjukkan perintah bertakwa kepada Allah SWT

disebutkan sebanyak 12 kali dalam al-Qur’an. Surat al-Baqarah: 21, 51, 64, 69,

179, 183, 187, surat al-An’am: 153, surat al-A’raf: 164, 171, surat Rum: 113 dan

surat Luqman: 28. Contoh penjelasannya pada surat al-An’am ayat 153.

Artinya: dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang

lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamudari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah SWT agarkamu bertakwa. (Q. S al-An’am: 153)

Kalimat kunci dari ayat di atas adalah la’allakum tattaqun, mudah-

mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa. Menurut kaidah bahasa Arab, kata

la’alla termasuk dalam kelompok huruf tarajji yang fungsinya menuntut sesuatu

yang baik dan mungkin dilakukan (pengharapan). Maka mudah-mudahan kamu

betakwa berarti suatu pengharapan yang lebih mendekati kepada tercapainya

tujuan yang dimaksud yaitu derajat takwa.

26 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358

11

Page 12: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya untuk

mengikuti shirat al-mustaqim. Perintah ini begitu tegas sehingga Allah SWT

langsung menyebutkan antitesisnya yaitu larangan mengikuti jalan-jalan yang

tidak diredhai oleh Allah SWT. Ketegasan tersebut dapat dipahami bahwa kalimat

la’alla yang berfungsi tarajji lebih dekat maknanya kepada amar.

e. Dengan menggunakan jumlah khabariyah yang mengandung insya’iyah

Dalam al-Qur’an cukup banyak jumlah khabariyah yang mengandung

insya’iyyah antara lain terdapat dalam surat al-A’raf ayat 26:

ôôôô

Artinya: Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkankepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indahuntuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik.yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tandakekuasaan Allah SWT, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.S. al-A’raf: 36)

Menurut Wahbah al-Zuhailiy bahwa pakaian (libas) merupakan kebutuhan

mendasar bagi manusia, selain pangan dan papan.27 Bahkan untuk membedakan

manusia waras dan tidak waras, salah satunya adalah pakaian. Dengan kata lain

pakaian adalah suatu pertanda bagi seseorang untuk pantas disebut manusia waras.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Allah SWT memberitahukan kepada

manusia bahwa di antara pakaian-pakaian yang sudah dikenali, ada pakaian yang

paling bagus, cantik dan menawan, baik bagi si pemakai atau orang lain. Pakaian

itu adalah pakaian takwa. Imam al-Maraghi mengutip pendapat Ibnu Abbas

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pakaian takwa adalah iman dan amal

saleh.28

Dengan makna seperti itu dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah

khabariyah libas al-takwa zalika khair dapat dipahami dengan makna insyaiyah.

Bahkan makna inipun bisa meningkat menjadi makna amar kalau melihat isi

kandungannya.

27 Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir Jilid VIII, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’astar, 1991), h. 169

28 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358

12

Page 13: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

4. Jalan Takwa

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat dipahami sebagai pedoman agar

bisa mencapai derajat takwa. Antara lain:

a. Surat al-Baqarah ayat 21:

Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan

orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (Q. S al-Baqarah: 21)

Pada ayat di atas, manusia diperintahkan supaya hanya menyembah

kepada Allah SWT. Menurut Quraish Shihab manusia dalam beribadah dibagi

pada tiga macam, yaitu orang bertakwa, kafir dan munafik.29 Ibadah dalam

pengertiannya adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak

kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang engan penguasaan

yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau, sedangkan menurut Ibnu Abbas seperti

yang dikutip oleh at-Thabari, bahwa menyembah dalam arti menghambakan diri

hanya kepada Allah dan mengesakanNya dalam melaksanakan ibadah bukan pada

berhala dan tuhan-tuhan lainnya.30

Tanda seseorang yang berhasil dalam ibadah dapat dilihat dari tiga aspek,

yaitu Pertama, tidak menganggap apa yang ada pada dirinya sebagai sebagai

milik pribadi, tetapi milik yang kepadaNya dia mengabdi, Kedua, semua aktifitas

yang dilakukannya berkisar pada apa yang diperintahkanNya dan menghindari apa

yang dilarangnya, Ketiga, kepastian untuk melakukan atau menghindari sesuatu

tidak dapat ia lakukan kecuali atas kehendakNya, karena ia meyakini bahwa jiwa

raganya berada dalam kekuasaanNya.

Ibadah yang dilakukan manusia kegunaannya bukanlah untuk kepentingan

Tuhan yang disembah tapi untuk kepentingan hamba itu sendiri yaitu agar ia

bertakwa serta terhindar dari siksa dan sangsi Allah SWT, baik di dunia maupun

ddi akhirat. Maka melaksanakan ibadah dengan niat agar menjadi hamba yang

bertakwa dengan harapan agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat menyiksa

hamba tersebut.

29 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 117

30 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 232

13

Page 14: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Perintah beribadah dalam ayat di atas juga mengindikasikann bahwa Allah

SWT menciptakan hamba-hambaNya agar mereka menyembahNya sambil

memberi mereka kebebasan memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan

dan agar mereka bertakwa. Dengan demikian, mereka sebenarnya berada dalam

posisi yang diharapkan memperoleh ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan

memilih antara taat atau durhaka.31

b. Al-Baqarah ayat 63

Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami

angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):"Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu daningatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa".( Q.S. al-Baqarah: 63)

Menurut Imam al-Maraghi bahwa ayat ini berisi tentang peringatan Allah

SWT kepada Bani Israil agar mereka mengamalkan Taurat dengan cara

mempelajarinya secara sungguh-sungguh karena dengan cara itu mereka akan

memperoleh kekuatan iman, melahirkan kesadaran selalu diawasi oleh Allah

SWT. Lebih lanjut ayat ini mempertegas dengan kalimat ”wazkuruu ma fiih”

sebagai penjelas bahwa mempelajari Taurat mesti dengan cara mentadabburi

maknanya serta mengamalkan semua ketentuan yang berlaku di dalamnya.32

Ayat ini memberikan isyarat yang sangat jelas, bahwa kehadiran kitab suci

bukan sekedar untuk dibaca, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandugannya dan

diamalkan dengan harapan dapat mengantar kepada ketakwaan.33 Itulah rahasia

penutup ayat dengan “la’allakum tattaquun”, agar kamu bertakwa. Dengan jalan

mempelajari kitab suci, memahami maknanya dan mengamalkan isi

kandungannya akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah SWT, yakni

terhindar dari segala macam sanksi dan bencana di dunia dan di akhirat. Bahkan

dalam satu riwayat an-Nasa’I melali Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi SAW

bersabda “Sesungguhnya salah seorang manusia yang paling bejat adalah seorang

31 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 119-120

32 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 136-137

33 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 210

14

Page 15: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

fasik yang membaca al-Qur’an sedang dia tidak memperhatikan sesuatu darinya”

yakni tidak mengamalkannya.

c. Al-Baqarah ayat 183

ôôôôô

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasasebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agarkamu bertakwa (Q. S al-Baqarah: 183)

Puasa ramadhan diwajibakan pada bulan Sya’ban tahun ke 2 Hijriah dan

terhitung sebagai salah satu rukun Islam.34 Kewajiban berpuasa dilandasi oleh

Hadis Nabi riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar ia berkata: aku mendengar nabi

SAW bersabda: Islam itu dibangun atas lima dasar yaitu syahadat, melaksanakan

shalat, membayar zakat, haji ke baitullah dan puasa ramadhan.

Perintah melaksanakan puasa ditujukan kepada orang yang memiliki iman

walau seberat apapun. Undangan untuk melaksanakannya mengajak setiap

mukmin secara sadar untuk mematuhi ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan

mesra, hai orang-orang yang beriman.35

Penting dan banyaknya manafaat yang diperoleh ketika melaksanakan

puasa ditandai dengan tidak disebutkannya siapa yang memberi perintah sehingga

kalaupun bukan Allah SWT yang memberikan perintah, maka manusia sendiri

yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Puasa yang bermakna menahan

diri, dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau

perempuan, sehat atau sakit, orang modern yang hidup di masa ini, maupun

manusia primitif yang hidup di masa lalu, bahkan perorangan atau kelompok.

Sehingga puasa tidak hanya diwajibkan untuk manusia yang hidup hari ini tetapi

juga pada umat terdahulu sebelum kamu.

Perintah berpuasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak

berdialog pada masa turunnya ayat ini, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu,

34 Muhammad Sayyid Thantawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-Nahdhah, 1997), h. 380

35 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 376

15

Page 16: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

walaupun rincian cara pelaksanaannya berbeda-beda. Meskipun sebagian umat

tersebut berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama

mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk nabi.

Kewajiban puasa tersebut betujuan agar kamu bertakwa. Seolah-olah Allah

SWT berkata pada hambanya “Kami wajibkan untukmu berpuasa dan orang-

orang sebelumnya supaya ibadah wajib itu bisa mengangkat derajatmu menjadi

orang yang bertakwa dan takut kepadaNya”36 yaitu terhidar dari segala macam

sangsi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi, tetapi tentu harus

dikerjakan sesuai dengan adab, rukun dan syaratnya.

d. Al-Baqarah ayat 178-179

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdekadengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita denganwanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan darisaudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan carayang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat)kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yangdemikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suaturahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Makabaginya siksa yang sangat pedih. 179. dan dalam qishaash itu ada(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yangberakal, supaya kamu bertakwa. (Q. S. al-Baqarah: 178-179)

Ayat ini menegaskan bahwa melalui ketetapan hukum qishash terdapat

jaminan kelangsungan hidup bagi manusia. Karena pengetahuan terhadap hukum

membunuh secara tidak sah, ia terancam pula untuk dibunuh. Maka pastilah ia

tidak akan melakukan perbuatan membunuh itu. Bisa jadi tidak semua orang

memahami hikmah dibalik kewajiban ini, hanya orang yang memiliki dan

menggunakan akal yang jernih mengetahuinya. Itulah alasan ayat ini ditutup

dengan menyeru wahai Ulul Albab (orang-orang yang berakal).37

Ulul Albab adalah orang yang memiliki akal murni yang tidak diselubungi

oleh ide dan pikiran yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang

36 Muhammad Sayyid Thantawi, Op., Cit., h. 381

37 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 369

16

Page 17: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

merenungkan ketetapan Allah SWT dan melaksanakannya diharapkan dapat

terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini maka pasti ada kerancuan

dalam cara berpikirnya38.

Pendapat di atas dapat dijadikan sebagai landasan bahwa memiliki pikiran

yang jernih dan tidak rancu dalam memahami ketetuan Allah seperti hukum

qishash adalah jalan yang dapat menghantarkan seseorang menjadi manusia

bertakwa. Takwa dalam arti dua kategori yaitu takut membunuh oang lain karena

beratnya akibat yang akan ditanggung yaitu qishash dan kedua, takut kepada

Allah dengan cara menjauhkan diri dari berbuat dosa, namun ketika pembunuhan

sudah terjadi maka melaksanakan ketentuan Qishash supaya mendapatkan ridha

Allah SWT dan supaya terhindar dari siksaanNya.

5. Sifat Orang yang Bertakwa

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat dikategorikan sebagai gambaran

sikap yang menjadi ciri khas dimiliki oleh orang yang bertkwa. Pada penjelasan

berikut, penulis paparkan beberapa ayat yang terkait dengan itu. Antara lain:

a. Al-Qur’an surat al-Baqarah: 2-5

Artinya: 2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi

mereka yang bertakwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yangghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezkiyang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. dan mereka yangberiman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamudan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta merekayakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. mereka Itulah yang tetapmendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orangyang beruntung. Q. S al-Baqarah: 2-5)

Pada ayat di atas secara gamblang disebutkan sifat yang dimiliki oleh

orang yang bertakwa, antara lain: Pertama, percaya kepada yang gaib. Imam al-

Maraghi menjelaskan maksud beriman dengan yang gaib adalah mengimani dan

membenarkan sesuatu yang gaib seperti surga dan neraka dan hal lain yang sudah

38 Abi ‘Ali al-Fadhl bin Husain bin Fadhl al-Thubrusi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 1997), h. 384

17

Page 18: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

dijelaskan dalam al-Qur’an seperti malaikat, hari berbangkit, dan hari kiamat.39

Lebih lanjut Quraish Shihab membagi hal gaib pada gaib mutlak yang tidak dapat

diungkap sama sekali dan gaib yang bersifat relatif.40 Gaib mutlak apabila tidak

diketahui hakikatnya, tidak dapat dilihat dan diraba tetapi diinformasikan oleh al-

Qur’an dan Hadis.

Kedua, mendirikan shalat. Pengertian yuqiimuna bukan hanya dengan

makna mendirikan tetapi melaksanakan shalat secara benar dan

berkesinambungan. Menurut Quraish Shihab, hal itu karena tidak ditemukan

dalam kitab-kitab tafsir bahwa makna yuqimu adalah mendirikan, tetapi selalu

dengan penjelasan bahwa shalat mesti dikerjakan sesuai dengan ha-haknya, sesuai

rukun, syarat dan sunnahnya seperti yang diajarkan oleh Rasul SAW.41

Ketiga, menafkahkan sebagain rezki yang dimiliki. Ayat ini

mengisyaratkan bahwa orang bertakwa hendaknya bekerja dan berkarya sebaik

mungkin sehingga dapat memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka

pendek dan jangka panjangnya serta dapat membantu orang lain, baik dikeluarkan

karenahukum wajib atau sunat. Makna lain dari ayat ini, bahwa harta yang

dinafkahkan itu baru sebagin rezki Alllah yang telah diperolehnya, sementara

rezki yang diterimanya tiada terhingga.

Keempat, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad

yaitu al-Qur’’an dan kitab yang diturunkan kepada nabi sebelumnya seperti

Taurat, Injil dan Zabur. Pengetahuan terhadap al-Qur’an mesti dilakukan secara

terperinci agar dapat memahami agama dengan mudah, sedangkan pengetahuan

terhadap kitab selain al-Qur’an boleh secara garis besar dan tidak terperinci.42

Kelima, meyakini adanya hari akhir. Hari akhir adalah hari dimana semua

amal perbuatan akan diberikan ganjaran dan balasan. Termasuk di dalamnya hari

mengimani hari perhitungan, mizan, meniti shirat, surga dan neraka. Yakin artinya

pengetahuan yang mantap tentang sesuatu tanpa ada keraguan dan dalih yang lain.

39 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 150

40 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 89

41 Ibid., h. 90

42 Ahmad Mstafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 44

18

Page 19: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Oleh karena itu ilmu Allah tidak dapat disebut dengan yakin karena diawali oleh

keraguan, lain halnya dengan keyakinan manusia yang terlebih diawali oleh

keraguan sehingga apabila sudah datang keyakinan maka hilanglah keraguan itu.

b. Al-Baqarah ayat 177:

*

Artinya : bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatukebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah berimankepada Allah SWT, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepadakerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yangmemerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, danmenunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabilaia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orangyang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yangbertakwa.

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, maksud ayat ini, bahwa kebajikan dan ketaatan yang mendekatkan diri

kepada Allah bukan dengan menghadapkan wajah dalam shalat ke arah timur dan

barat tanpa makna, tetapi yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan itu dengan

keimanan kepada Allah dan lain-lain yang disebutkan dalam ayat ini. Menurut

Quraish Shihab, ayat ini ditujukan kepada Ahli kitab yang tetap berkeras untuk

menghadap ke al-Quds Yerussalem dan kesukaan mereka mengecam dan

mencemooh kaum muslimin yang berlaih kiblat ke Mekah, juga dapat ditujukan

kepada kaum muslimin yang menganggap bahwa kebahagiaan hanya dapat

dicapai dengan melaksanakan shalat menghadap arah Ka’bah, tetapi harus

sejatinya juga menghadirkan kalbu.43

Mengkaitkannya dengan sifat orang yang bertakwa, maka dapat diambil

kesimpulan pada beberapa hal, antara lain, Pertama, beriman kepada Allah dan

hari akhir dengan sebenar-benarnya iman sehingga meresap dalam jiwa dan

membuahkan amal shale. Juga percaya pada malaikat, kitab-kitab dan nabi.

Kedua, kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain seperti

43 M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 365

19

Page 20: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

memberikan harta yang dicintai dengan tulus kepada kerabat, anak yatim, orang

miskin, musafir dan orang yang meminta-minta. Juga memberi untuk tujuan

memerdekakan hamba sahaya, yakni manusia yang diperjualbelikan dan atau

ditawan oleh musuh maupun yang hilang kebebasannya akibat peganiayaan.

Ketiga, melaksanakan kewajiban ibadah seperti shalat dengan semua

rukun dan syaratnya dan membayar zakat sesuai dengan ketentuan dan tidak

menunda-nunda. Keempat, orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.

Kelima, orang yang sabar yakni tabah, menahan diri dan berjuang dalam

mengatasi kesempitan yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi, penderitaan

dan dalam peperangan.

6. Implikasi Takwa dalam Pendidikan

Secara filosofis, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya

mewariskan nilai, sehingga dengan nilai ini bisa membantu dalam menjalani

proses kehidupannya, yang sekaligus juga untuk menghasilkan, mengisi,

memelihara, dan memperbaiki peradabannya. Dalam konteks ini, maka dasar

pendidikan berkaitan dengan kepentingan dan cita-cita kemanusiaan universal.

Dalam prosesnya, pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi

manusiawi baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi

itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Atas dasar itu, setiap pendidikan yang sedang berlangsung untuk

mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang

tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan dalam

memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’

masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap

masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma

pendidikan sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan

terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma pendidikan itu, maka bangsa

Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius yang diakumulasikan dalam

rumusan Pancasila dan UUD’45. Seharusnya, dari paradigma inilah sistem

pendidikan Indonesia terumuskan.

20

Page 21: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta

tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja

hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus

menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses,

maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip takwa yang berimplikasi

kepada pendidikan, diantaranya :

Pertama, Dasar takwa adalah al-Qur’an yang berfungsi sebagai pemberi

petunjuk kepada jalan yang lurus. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan

petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut

Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan

mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang

berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah

pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu

beribadah.

Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada

dasarnya takwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu

membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun

peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu

sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi

dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas

serta keahliannya.

Ketiga, oleh karena itu, nilai-nilai takwa bukan saja sejalan dengan

hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi

paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah,

proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan

yang berparadigma takwa.

Keempat, sejalan dengan paradigma takwa itu, maka tujuan ideal

pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang

memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini

tiada lain adalah manusia takwa, yang secara serasi dan seimbang mesti

dikembangkan melalui pendidikan

7. Penutup

21

Page 22: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa takwa merupakan kalimat

penting dalam al-Qur’an. Perintah bertakwa umpamanya, disampaikan dengan

redaksi yang beragam dan menjadi tanda pentingnya pemahaman tentang kalimat

takwa dalam al-Qur’an. Perintah bertakwa disajikan dalam berbagai bentuk,

antara lain, fi’il amar, lam amar, istifham, kalimat tarajji, jumlah khabariyah

yang mengandung makna isnyaiyyah.

Selain itu pemahaman tentang cara supaya bisa mencapai derajat takwa,

juga tidak kalah pentingnya, agar salah satu derajat kemuliaan sebagai hamba

Allah dapat diperoleh. Jalannya adalah melaksanakan ibadah semata-mata karena

Allah, membaca, mempelajari dan mentadabburi al-Qur’an, melaksanakan puasa

dan memiliki pemikiran yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Lebih jauh

dapat dipahami juga tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang yang

bertakwa, seperti beriman kepada Allah, shalat dengan penuh keyakinan dan lain-

lain.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al-Alusy al-Baghdadi, Abi Fadhl Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fiTafsir Qur’an al-‘Azhim wa al-sab’I al-Matsani, Beirut: Dar Kutubal-‘Amaliyah, 2001

Aly, Hery Noor, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Al-Ashfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1972

22

Page 23: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Al-Baqiy, Muhammad Fuad Abdul, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an,Beirut: Dar al-Fikr, 1945 al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi,Beirut: Dar al-Fikr, ttt

Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H

Abdullah, Abboed S. Kamus Istilah Agama Islam, Jakarta: Ikhwan, 1998

Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar,Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th

Al-Zuhailiy, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’astar, 1991

Al-Thubrusi, Abi Ali al-Fadhl bin Hasan bin al-Fdhl, Majma’ al-Bayan fi Tafsiral-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1997

Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/ 1415 H

Al-Zamakhsyari, Muhammad Ibnu Umar, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wal‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Beirut: Dar al-Fikr, 1977

Al Jailani, Syeikh Abdul Qadir, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-Risalatul as-Sufiyyah, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002

Ash-Shidieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PustakaRizki Putra, 1999

23

Page 24: PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN Oleh: Heri Surikno

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Ash-Shabuni, Syeikh Muhammad Ali, Ikhtisar Ulumul Qur’an, Terj. Muh.Qadirun Nur, Al-Ikhtisar fi Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amani, 2001

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988

Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Takwa), JurnalPenelitian Agama, Vol XII, Nomor 3 Tahun 2013

Kasir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, ttt

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola, 2004

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan keserasian al-Qur’an,Jakarta: Lentera hati, 2002

-------, Wawasan Al- Qur’an, Bandung: Mizan, 2000

Tabataba’i, Muhammad Husen, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Muassasahal-‘Alamiy, 1991

24