pendidikan berwawasan multikultural sebagai...

168
PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME (Studi di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor) Tesis Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam Oleh: Ihwanul Mu’adib NIM: 21151200000017 Pembimbing: Prof. Dr. H. M. Suparta, MA oleh: KONSENTRASI/PEMINATAN PENDIDIKAN ISLAM SEKOLAH PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1438 H

Upload: others

Post on 24-Nov-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL

SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME

(Studi di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah

Nurul Iman Parung-Bogor)

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang

Ilmu Agama Islam

Oleh:

Ihwanul Mu’adib

NIM: 21151200000017

Pembimbing:

Prof. Dr. H. M. Suparta, MA

oleh:

KONSENTRASI/PEMINATAN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M/1438 H

Page 2: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

ii

Page 3: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

iii

Page 4: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

iv

Page 5: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

v

ABSTRAK

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman Parung Bogor memahami bahwa pendidikan multikultural mampu menjadi

alternatif dalam membendung radikalisme. Dikatakan alternatif karena tujuan

utama pendidikan multikultural bukanlah deradikalisasi, melainkan

persamaan/kesetaraan hak, toleransi dan keadilan. Kesimpulan tersebut didapat

setelah peneliti melakukan penelitian tentang kondisi latar belakang berdirinya

pondok pesantren, biografi pendiri, jumlah santri yang mencapai 10.378 dengan

latar belakang yang majemuk (Jawa, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB,

Flores, Kalimantan, Aceh, Singapura, Malaysia, dll)\, model kurikulum, hubungan

kerja sama antar pesantren dengan lembaga luar pesantren baik negeri maupun

swasta, dan yang berbeda agama serta sikap pesantren terhadap kasus-kasus radikal

yang muncul selama beberapa tahun terakhir.

Melalui tulisan ini, penulis sependapat dengan Ainurrofiq Dawam (2006)

yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan

yang menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Berikutnya, H>.A.R

Tilaar (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural bertujuan untuk

menciptakan sikap anak didik yang humanis, demokratis, dan toleransi antar

sesama manusia walaupun beragam dan berbeda latar belakang. Selain itu, tulisan

ini juga sependapat dengan James Bank (2008) yang mengatakan bahwa

pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours di mana

pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan

(anugerah Tuhan/ Sunnatulla>h). Namun, Penelitian ini tidak sefaham dengan

pendapat Charis Boutieri (2013) yang menyatakan bahwa pendidikan agama tidak

dapat mewujudkan pendidikan yang humanis dan akomodatif yang menghargai

perbedaan dan keragaman. Kemudian, Louis Ernesto Mora (2014), David B.

Skillicorn (2012) yang menyatakan bahwa agama mengantarkan manusia menjadi

fundamental, radikal, dan mendorong manusia berpikir yang irasional.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan

fenomenologi, sosiologi, dan antropologi. Pendekatan tersebut digunakan untuk

memahami bagaimana proses pendidikan dan pengembangan lembaga yang

berlangsung di pesantren tersebut melalui keterlibatan peneliti, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Penulis melakukan observasi ke pesantren

tersebut untuk memperoleh data-data melalui dokumentasi, wawancara, dan

pengamatan langsung terhadap kehidupan para santri. Dari hasil observasi tersebut

penulis melakukan analisis kritis.

Sumber data primer penelitian ini adalah dokumentasi dan observasi secara

langsung terhadap proses pendidikan di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau karya tulis ilmiah

lainya, website, berita, majalah, koran, dan lain sebagainya. Kemudian, untuk

teknik analisa data adalah dengan analisis deskriptif.

Page 6: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

vi

Kata Kunci:pendidikan, multikulturalisme, deradikalisasi, pondok pesantren,

budaya.

ABSTRACT

This research concluded that boarding school of al-Ashriyyah Nurul Iman

Parung Bogor understood a multicultural education can be an alternative for

stemming of radicalism. It is said to be an alternative because the main purpose of

multicultural education is not deradicalization, but equality / equality of rights,

tolerance and justice. The conclusion is obtained after the researcher conducted

research on the background condition of the founding boarding school, biography

of founder, amount of students reaching 10.378 with a pluralistic background

(Java, Palembang, Lampung, Madura, Papua, NTB, Flores, Kalimantan, Aceh,

Singapore, Malaysia, etc.), curriculum model, relationships of the boarding school

between inside and outside institutions of boarding school, the institutions which

different religious and the reaction of boarding school to radical cases that have

occured since the last years.

Through this research, the researcher agree with Ainurrofiq Dawam (2006)

who said that a multicultural education is an educational model that respects the

meaning of a humanize human or humanity. Then, H> .A.R Tilaar (2004) which

states that a multicultural education aims to create a humanist, democratic, and

tolerant attitude among humans despite they have a diverse backgrounds. In

addition, this research also agree with James Bank (2008) which said that a

multicultural education as an education for people of colours where multicultural

education wants to explore differences as a necessity (grace of God / Sunnatulla>h).

But, This research disagree with Charis Boutieri (2013) argues that religious

education can not achieve a humanistic and accommodative education that respect

differences and diversity. Then, Louis Ernesto Mora (2014), David B. Skillicorn

(2012) who declare that religion makes a human being to fundamental, radical, and

encourages irrational thinking.

This research uses qualitative method through approach of

phenomenology, sociology, and anthropology. The approach is used to understand

how the process of education and institutional development that in this boarding

school through the involvement of researcher, either directly or indirectly. In

practice, the researcher make observations in this boarding school to obtain data

through documentations, interviews, and the direct observation to the living of the

students. From the results of these observations the researcher makes critical

analysis.

The primary data source of this research is the documentation and

observation directly to the educational process at al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic

boarding school. While the secondary data is books or other scientific papers,

websites, news, magazines, newspapers, and etc. Then, for the technique of data

analysis is a descriptive analysis.

Page 7: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

vii

Keywords: Education, Multiculturalism, Deradicalization, Boarding School,

Culture.

ملخصة نور الامان تفهم تربة متعدد قد استنتج هذا البحث ان المعهد العصر

بدل لأن اقال إنه / نزعة التطرف. كون بدلا ف القضاء على التطرفتأن الثقافات

لأقامة ها هدفولكن متعدد الثقافات لس نزع عن التطرف ، لتربةالهدف الرئس ل

ةتم الحصول على الاستنتاج بعد ملاحظ. المساواة ف الحقوق والتسامح والعدالة

۱۰ صل إلى الطلاب عدد, وسرة المؤسسهذا المعهد, وحالة الخلفة ل الباحث

)جاوا,فالمبانج, لامفونج, مادورا, فافوا, وخارج البلاد(, وشكل مع خلفة تعددة

البلاد ومؤسسة الدنة المختلفة سفارة بن هذا الهعد و ةعلاقات التعاون, والمناهج

.الماضةة السنف إلى حالات التطرفة الت نشأت المعهد تجاوب وغرها, و

ن أقال الذي (٢) عن الرفق دواممع وافق الباحث، وف هذا البحث

مع . ثم وافقنسانم معنى الإنسان الإدع تتعلم ال شكل متعدد الثقافات ه تربةال

تجعل الطلاب الذن متعدد الثقافات تربةنص على أن ال الذي () ه. ا. ر. تلأر

. متنوعةالبن البشر على الرغم من خلفات هموتسامح ,ودمقراط ,إنسان لهم

تربة ه متعدد الثقافات تربةن الوغر ذالك, وافق مع جمس ا. بانك الذي قال أ

ان تكون مستلزمات )فضل من الاختلافاتتستطلع وجود حث, متنوعال للناس

اله/سنة الله(.

أن قال الذي( ۰)حارس بوتري وافق مع لا الباحث ثم ف هذا البحث,

إنسانا و الت لس لها ةالدن تربةال .لمتنوعاتواالاختلافات احترام ضافة تعلما

سكلقورن( ، دفد ب. ۱ستو مورا )لوس إرن معوافق لا وغر ذالك

غر تفكرا، و اتطرفو ،االبشر أساس جعل( الذي نص على أن الدن ۱)

.منطق

الظواهر وعلم الاجتماع بتقربهذا البحث الطرقة النوعة عملست

إشراك ب ةوتطور المؤسس التربةة مل لفهم ع عمل هذا التقرب ست. ووالأنثروبولوج

من الناحة العملة ، قوم . أو غر مباشركان ، إما مباشر هذا المعهد لباحث فا

والملاحظة المباشرة ة,ق والمقابلوثتالبلحصول البانات المعهد ف ةبملاحظ الباحث

.قوم الباحث تحلل نقدي ةالملاحظنتجة من لحاة الطلاب.

والملاحظة مباشرة إلى مصدر البانات الأساس لهذا البحث هو التوثق

أن البانات الثانوة ه الكتب أو ثممان. الإرة نور صالع المعهدالعملة التعلمة ف

Page 8: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

viii

غرها من الأوراق العلمة ، والمواقع ، والأخبار ، والمجلات ، والصحف ،

ذلك. ثم ، لأسلوب تحلل البانات عن طرق التحلل الوصفغرو

الثقافة المعهد,ة, تعدد الثقافات, نزعة التطرف,: الترببحثالكلمة ال

Page 9: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

ALA-LC ROMANIZATION TABLES

q = ق z = ز a = ا

k = ك s = س b = ب

l = ل sh = ش t = ت

m = م s }= ص th = ث

n = ن d} = ض j = ج

h = ه,ة t} = ط h} = ح

w = و z} = ظ kh = خ

y = ع = ‘ ي d = د

gh = غ dh = ذ

f = ف r = ر

Diftong Vokal Panjang Vokal Pendek

aw = و a> = ا a =

ay = ي i> = ي i =

u> = و u =

Ta’ Marbu>t}ah (ة) Transliterasi ta’ marbutah di akhir kata bila dimatikan ditulis h.

Contoh: مرأة : mar’ah, مدرسة : madrasah

Ketentuan ini tidak digunakan pada kata-kata arab yang sudah terserap ke

dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali

dikehendaki lafal aslinya.

Shaddah

Shaddah/tashdid dalam transliterasi ini di lambangkan dengan huruf, yaitu

huruf yang sama dengan huruf bershaddah tersebut.

Contoh: ربنا : rabbana, شول : shawwal.

Kata Sandang Alif + Lam

Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.

Contoh: القلم: al-Qalam

Page 10: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

vi

Apabila diikuti huruf shamsiyyah ditulis dengan menggandeng huruf

shamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l-nya.

Contoh: الشمس : al-Shams, الناس : al-Na>s.

Pengecualian Transliterasi

Adalah kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa

Indonesia, seperti الله, asma>’ al-Husna>, dan ibn, kecuali menghadirkanya dalam

konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

Page 11: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillah> al-Rahma>n al-Rahi>m, al-Hamdulilla>h rabbi al-‘Alami>n, wa al-S}ala>tu wa al-Sala>mu ‘ala> sayyidina> Muhammadin wa ‘ala> alihi wa s}ah}bihi ajma’i>n. Segala puji dan shukur ke Hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, berkat rahmat,

karunia, serta inayah-Nya penelitian ini dapat dilaksanakan hingga selesai. S}alawat

dan salam semoga tercurah kepada baginda Rasulillah SAW., seorang manusia

mulia sebagai suri tauladan sekaligus pencerah dan isnpirator seluruh umat

penduduk alam. Semoga kita dapat menindak lanjuti perjuanganya dan

meneladaninya sehingga dapat meraih syafaatnya.

Selanjutnya, penelitian yang berjudul ‚Pendidikan Berwawasan

Multikultural sebagai Upaya Kontra Radikalisme (Studi di Pon-pes al-Ashriyyah

Nurul Iman Parung Bogor),‛ ini bukan sepenuhnya merupakan jerih payah seorang

diri pribadi, tetapi dalam penelitian ini telah melibatkan banyak pihak, baik dalam

penemuan ide awal hingga dalam proses penelitian serta penulisan tesis ini. Oleh

karena itu, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi dan mengucapkan

banyak terima kasih, terutama kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, wakil direktur Prof.

Dr. Ahmad Rodoni, MM., ketua program S3 Prof. Dr. Didin Saepudin,

MA., dan ketua program S2 Dr. JM. Muslimin, MA.

3. Pembimbing tesis Prof. Dr. M. Suparta, MA., yang penuh perhatian dan

ketelitian dalam menelaah, mengoreksi, mendiskusikan, dan

memberikan arahan tesis.

4. Prof. Dr. Azyumardi, MA., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof.

Dr. Husni Rahim, Prof. Dr. Bambang Pranowo (almarhum), Prof. Dr.

Armai Arif, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Ridwan Lubis, Dr.

Amelia Fauzia, Dr. Nurul Azkia, Dr. Abd. Rozak, M.Si., Dr. Arif

Mufraini yang ikut terlibat berkontribusi memberikan pandangan-

pandanganya serta perbaikan tesis ini dalam konsultasi pribadi maupun

di dalam kelas serta dalam ujian-ujian, mulai dari seminar proposal,

WIP I, WIP II, Ujian Komprehensif tulis dan lisan hingga ujian

pendahuluan.

5. Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin

Salim (almarhum) dan penerus perjuangan beliau Ummi Waheeda binti

Abdul Rahman, M.Si., pribadi yang selalu menginspirasi penulis

sekaligus tempat melakukan objek penelitian.

6. Direktur Utama Yayasan Bulan Purnama Irfandi Ahmad, SHI. MH.

yang telah memberikan beasiswa dalam menyelesaikan pendidikan ini.

7. Ketua CEM periode 2014-2016 Irvan Budi Rachman, MM., Ketua CEM

Periode 2016-2019 Deshir Mauludin yang telah memberikan support

dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Page 12: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

viii

8. Semua guru besar, para dosen, dan staf SPs. UIN Jakarta yang telah

memberikan ilmunya yang tulus ikhlas. Staf akademik yang telah

memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan sehingga dalam

proses penulisan tesis ini berjalan lancar. Staf perpustakaan SPs. UIN

Jakarta yang telah memberikan pelayananya yang baik ketika

mengakses literatur-literatur.

9. Ayahanda Masruhan dan Ibunda Rofi’ah yang dengan tulus ikhlas

mendorong, mendo’akan, dan menginspirasi dalam melakukan

pendidikan ini. Tidak lupa Min’amus Sukri dan Nur Khanifatul Afi

selaku adik dari penulis yang terus giat memotivasi. Terkhusus Nur

Lailatul Nikmah yang menjadi teman setia untuk berdiskusi dan

memotivasi.

10. Semua teman seperjuangan SPs UIN Jakarta angkatan 2015/ganjil yang

tidak saya sebutkan satu persatu yang ikut terlibat dalam berdiskusi,

mengoreksi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini. Lebih khusus

teman satu kampung dan satu asrama Kang Abdul Azis, Muhammad

Syafii, Muhammad Shohib, Samsudin, Ayun, Muhzen, Umam, Sukron,

serta tidak lupa kepada Kang Ali Muttakin , Kang Ghufron Maksum,

dan Kang Nadhif Ali Ash’ari yang banyak direpotkan dalam penelitian

ini terutama dalam mencari data.

Kepada mereka, selain saya haturkan penghargaan tinggi dan ucapan

terima kasih saya sampaikan jazakumulla>h ahsan al-Jaza>’. Selanjutnya, saya ingin menyampaikan bahwa tesis ini masih banyak

kekurangan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca

sangat diharapkan untuk melengkapi segala kekurangannya. Semoga tesis ini

dengan segala kelemahan dan kelebihanya dapat memberikan manfaat, terutama

terkait dengan pengembangan pendidikan, umumnya di Indonesia dan khususnya di

lingkungan pesantren.

Jakarta, 2 Mei 2018

Ihwanul Muadib

Page 13: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i

Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme .............................................................. ii

Persetujuan Pembimbing ................................................................................ iii

Pernyataan Telah Verifikasi ........................................................................... iv

Abstrak ........................................................................................................... v

Abstract ........................................................................................................... vi

vii ............................................................................................................ الولخص

Pedoman Trasliterasi ...................................................................................... viii

Kata Pengantar ............................................................................................... x

Daftar Isi ......................................................................................................... xii

Daftar Singkatan ............................................................................................ xiii

Daftar Bagan dan Tabel ................................................................................. xiii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah .................................................................... 10

2. Perumusan Masalah ..................................................................... 10

3. Pembatasan Masalah ................................................................... 10

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................................ 11

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 11

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13

2. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 15

3. Sumber Data Penelitian ............................................................... 17

4. Proses Analisis Data .................................................................... 18

BAB II : PESANTREN, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL,

DAN DERADIKALISASI

A. Pesantren dan Perkembangan Ragam Pesantren ................................ 20

B. Multikulturalisme dalam Tinjauan Islam ........................................... 23

Page 14: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

x

C. Diskursus Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

1. Pengertian Multikulturalisme ...................................................... 23

2. Sejarah Multikulturalisme ........................................................... 29

3. Pengertian Pendidikan Multikultural .......................................... 33

4. Orientasi Pendidikan Multikultural ............................................. 38

D. Masyarakat Sipil (Santri) Sarana Efektif Deradikalisasi ................... 44

BAB III : KIPRAH PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH

NURUL IMAN DALAM MEMPERJUANGKAN NILAI-

NILAI MULTIKULTURAL

A. Letak Geografis dan Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman ................................................................... 51

B. Visi Misi Pesantren dan Profil Kiyai Pendiri Pesantren .................... 55

C. Latar belakang Santri dan Pengurus Pesantren .................................. 61

D. Membuka Kerja Sama yang Inklusif.

1. Berbeda Agama, saling mengasihi .............................................. 66

2. Mendakwahkan kebaikan, menjaga citra baik Agama Islam ....... 70

3. Kemandirian Ekonomi Pesantren ................................................. 73

E. Output dan Outcome Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ................. 76

1. Mengembangkan Pemikiran Sang Kiyai ..................................... 77

2. Santri memberdayakan ekonomi mandiri .................................... 79

BAB IV : IMPLEMENTASI PENDIDIKAN

BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI

UPAYA KONTRA RADIKALISME DI PONDOK PESANTREN

AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN

A. Kebijaksanaan Pesantren Dalam Upaya Pengembangan

Pendidikan Multikultural ................................................................... 82

B. Doktrin yang dikembangkan Pesantren ............................................. 82

1. Kurikulum Pesantren Penentu Output dan Outcome Pesantren .. 85

2. Mengaji Gejala-Gejala Radikalisme dan Pencegahanya .............. 95

C. Proses Pembentukan Santri yang Berpaham Multikultural ............... 100

1. Pola Pengajaran Kitab Kuning, Membentuk Santri yang

berpaham Multikultural dan Anti Radikalisme ............................ 101

2. Pendidik/Guru yang Inklusif sebagai Uswah Hasanah

semangat multikultural .............................................................. 104

3. Semangat Multikultural dalam Berbagai Kegiatan

Ekstrakurikuler Santri .................................................................. 106

Page 15: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

xi

4. Majelis Muh}a>d}arah, Ajang Melatih Kepercayaan Diri ................ 108

5. Santri Wajib Militer, Menanamkan Jiwa Nasionalisme .............. 110

6. Pola Pengasuhan Santri di Asrama .............................................. 112

D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Pondok Pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman ......................................................................................... 114

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 120

B. Saran .................................................................................................. 121

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 122

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 16: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

xii

DAFTAR SINGKATAN

AICIS : Annual International Conference on Islamic Studies

AMINEF : The American Indonesian Exchange Foundation

BANSER ; Barisan Serba Guna

BAP : Berita Acara Perkara

BNPT : Badan Nasonal Penanggulangan Terorisme

BPS : Badan Pusat Statistik

CTITF : Counter Terrorism Implementation Task Force

FPI : Front Pembela Islam

GP ANSOR : Gerakan Pemuda Ansor

HAM : Hak Asasi Manusia

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

IKSANI : Ikatan Keluarga Santri al-Ashriyyah Nurul Iman

MLB : Muktamar Luar Biasa

MTQ : Musabaqah Tilawatil Qur’an

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

NU : Nahdhatul Ulama’

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PERPPU ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

PILGUB : Pemilihan Gubernur

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa

PON-PES : Pondok Pesantren

SARA : Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan

SD : Sekolah Dasar

SDM : Sumber Daya Manusia

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

TOSERBA : Toko Serba Ada

TK : Taman Kanak-Kanak

TPQ : Taman Pendidikan al-Qur’an

UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

UU : Undang-Undang

WASP : White Anglon-Saxon Protestan

WAMIL : Wajib Militer

Page 17: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 : Gambar lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman berbentuk telapak kaki ........................................... 55

Gambar 3.2 : Foto Habib Saggaf bersama Gusdur

(KH. Abdurrahman Wahid) saat MLB PKB di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................. 60

Gambar 3.3 : Foto santri al-Ashriyyah Nurul Iman saat berkunjung ke

Lembaga AMINEF untuk berdiskusi tentang pertukaran

budaya ......................................................................................... 69

Gambar 4.1 : Foto santri saat berhalaqah membahas kitab kuning ................. 104

Gambar 4.2 : Foto pencaksilat dan takwondo santri al-Ashriyyah

Nurul Iman ................................................................................. 108

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Latar belakang santri berdasarkan klasifikasi asal daerah .......... 62

Tabel 3.2 : Pemetaan Input-Proses-Output-Outcome santri

al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 77

Tabel 4.1 : Klasifikasi kitab kelas I’da>d ....................................................... 91

Tabel 4.2 : Klasifikasi kitab kelas Ula> ......................................................... 91

Tabel 4.3 : Klasifikasi kitab kelas Wust}a> ..................................................... 91

Tabel 4.4 : Klasifikasi kitab kelas ‘Ulya> ...................................................... 91

Tabel 4.5 : Rutinitas kegiatan keseharian santri .......................................... 149

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 : Skema Snowball sampling ......................................................... 18

Bagan 2.1 : Standar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural ........ 42

Bagan 2.2 : Hubungan pendidikan multikultural dengan deradikalisasi ....... 48

Bagan 4.1 : Hubungan Impelementasi pendidikan multikultural

dan proses deradikalisasi di pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman ................................................................................. 100

Bagan 4.2 : Manajemen sarana prasarana di poondok pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman ............................................................ 116

Bagan 4.3 : Skema pengambilan keputusan / kebijakan di pondok pesan-

tren al-Ashriyyah Nurul Iman .................................................... 118

Page 18: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arus globalisasi memiliki pengaruh besar terhadap perubahan pola hidup

manusia, mulai dari sosial budaya, politik, hukum, ekonomi dan sikap keagamaan.

Hubungan manusia satu dengan lainya yang berbeda bangsa dan negara menjadi

terbuka semakin luas karena perkembangan teknologi yang semakin pesat. Dengan

teknologi itu mereka mudah untuk bertukar informasi. Perubahan pola hidup

seperti ini menimbulkan berbagai masalah baru dalam kehidupan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar

di dunia1. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan tersebut

ditandai dengan beragamnya etnis, suku, agama, budaya dan adat istiadat yang

terdapat didalamnya.2 Dari Sabang sampai merauke terdapat beragam masyarakat

dengan latar belakang yang berbeda dan unik tersebut memiliki potensi kekuatan

yang dapat menjadi modal sosial pembangunan bangsa Indonesia dan memiliki

potensi timbulnya konflik dan gesekan-gesekan sosial yang dapat mengancam

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika keragaman tersebut

tidak disikapi dengan baik.

Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh

penduduk 359 suku dan 726 bahasa. Mengacu pada PNPS no. 1 tahun 1965 yang

telah ditolak judicial review nya oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor

140/PUU-VII/2009, Indonesia memiliki lima agama3. Kemudian pada masa

Presiden Abdurrahman Wahid, konghucu menjadi agama keenam. Meski hanya

enam, di dalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran dalam

bentuk organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan, hidup dan

berkembang di Indonesia.4

Multikultural secara sederhana berarti kebudayaan yang beragam.

Multikultural tidak hanya menyangkut masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar

1Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) yang dirilis pada tanggal 1 Juli 2015,

Indonesia memiliki jumlah penduduk dengan total 255,461,700 jiwa, 3,47 % dari penduduk

dunia. Jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yakni tahun 2010, Indonesia

memiliki peningkatan sekitar 20 juta jiwa di mana pada tahun 2010 jumlah penduduk

Indonesia sebanyak 238.518.800. Lihat

http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274. diakses pada tanggal 25 oktober 2016 2Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme: Pandangan Baru PAI di

Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011), 13. 3Menurut undang-undang tersebut, agama yang resmi diakui pemerintah adalah

Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Meskipun hanya lima yang diakui secara resmi,

tetapi pemerintah tetap memberikan kebebasan bagi penganut kepercayaan di luar lima

agama tersebut, seperti Shinto, sunda wiwitan, kejawen, darmo gandul, dan lain

sebagainya. 4Husni Mubarok, ‚Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensi,

Sosial dan Institusional‛, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-

September 2010:33

Page 19: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

2

golongan) melainkan keragaman yang lebih luas, seperti kemampuan fisik maupun

nonfisik, umur, status sosial, dan lain sebagainya. Multikulturalisme merupakan

sebuah konsep atau ide yang menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam

kesederajatan atau kesetaraan. Artinya setiap individu diperlakukan sama, tidak

ada diskriminasi dan pengebirian hak-hak.

Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional menyebutkan ‛Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan

berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,

nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa‛.5 Bunyi pasal tersebut

mengindikasikan bahwa pandangan multikulturalisme menjadi salah satu bahan

pertimbangan khusus dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pada konteks

ini dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah

untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut

agama dan budaya yang berbeda.6 Harapan yang lebih jauh lagi, penganut agama

dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju

dengan adanya sikap ketidak-toleranan (intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan

negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan

hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Adanya kenyataan bahwa Indonesia memiliki corak masyarakat dengan

berbagai keragamannya menjadi salah satu pendorong munculnya gagasan tentang

pendidikan multikultural sebagai salah satu model pendidikan di masa mendatang.

Menurut Muhaemin El-Mahady dikatakan: ‛Kenyataan yang tak dapat ditolak

bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman sosial,

kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain sehingga masyarakat

dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat

‚multikultural.‛ El-Mahady lebih lanjut mengatakan bahwa realitas multikultural

tersebut mendorong adanya kebutuhan yang mendesak untuk merekonstruksi

kembali ‚kebudayaan nasional Indonesia‛ atau ‚budaya bangsa‛ yang dapat

menjadi ‚integrating force‛ yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, suku

bangsa, dan budaya tersebut.7

Sepertinya Indonesia belum maksimal mengelola kemajemukan yang ada.

Terlihat banyak aksi radikal dan teror merebak di Indonesia, seperti akhir 2015

sampai tahun 2016 ini banyak sekali muncul kasus radikal, di antaranya kasus bom

Sarinah, kasus kelompok Gafatar, kasus pemberontakan yang mengatasnamakan

pendirian negara Islam, pembakaran Gereja di Singkil Aceh, dan isu-isu adu domba

antar sekte-sekte agama. Banyaknya konflik tersebut menunjukkan bahwa bangsa

ini belum sepenuhnya memahami arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit di

antara manusia yang hendak meniadakan kebhinekaan (plurality) dan

5Lihat UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB III

tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pada pasal 4. 6Henry Alexis RudolfTilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global

Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 123. 7Herimanto, Triyanto, Musa Pelu, Pengembangan Model Pembelajaran Budi

Pekerti Berbasis Multikultural, Journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/download/2880/2404, diakses 22 Mei 2016

Page 20: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

3

menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman (uniformity). Ironisnya para

teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah

agama (Islam).8

Fenomena aksi radikal tersebut sejalan dengan pernyataan Tahir Abbas

dalam penelitianya terhadap fenomena politik atas fundamentalisme dan

radikalisme agama di Eropa Barat, khususnya di Inggris. Kesimpulan dari

penelitian Tahir Abbas tersebut adalah aksi radikal didorong oleh faktor internal

penganut agama dalam memahami ayat-ayat jihad dalam al-Qur’a>n.9 Sikap

eksklusif cenderung mebuat manusia merasa paling benar, sehingga tidak mau

menerima argumen atau ide gagasan dari luar, apalagi jika argumen tersebut

datang dari kelompok atau agama yang berbeda denganya. Terbukti, terjadinya

penolakan kemodernan yang datang dari Barat oleh kelompok Boko Haram di

Nigeria. Kelompok ini menggunakan doktrin-doktrin agama untuk melegitimasi

jihad melawan kebijakan pemerintah.10

Maraknya aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di dunia

internasional maupun di Indonesia sedikit banyak telah menempatkan umat Islam

sebagai pihak yang dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan

sasaran tuduhan sebagai sumber utama terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh

sebagian orang Islam. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia semisal madrasah

ataupun pondok pesantren, juga tidak lepas dari tuduhan yang mendiskreditkan

tersebut.11

Lembaga pendidikan Islam di Indonesia tertua dalam sejarah Indonesia

ini seringkali dipersepsikan sebagai markas atau sentral pemahaman Islam yang

sangat fundamental yang kemudian menjadi akar bagi gerakan radikal yang

mengatasnamakan Islam.12

Pendidikan dan lembaga pendidikan menduduki posisi strategis sebagai

penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal –deradikalisasi– dari gerakan

Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya

lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren)

telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada peserta didik sehingga

8Indriyani Ma’rifah, Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya

Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)

XII IAIN Sunan Ampel Surabaya 5-8 November 2012:227 9Tahir Abbas, A Theory of Islamic Poltical Radicalism in Britain: Sociology,

Theology and International Political Economy, Contemporary Islam, vol. 1, issue 2 (2007):

109 -122 10

Three Anonymous, The Popular Discourse of Salafi Radicalism and Salafi

Counter-Radicalism in Nigeria: A Case Satudy of Boko Haram , Journal Religion in Africa 42 (2012) : 118 - 144

11Ahmad Darmadji, ‚Pondok Pesantren dan Deradikalisasi Islam di Indonesia,‛

Millah, vol. XI, no. 1 (2011): 236-251. 12

Andik Wahyun Muqoyyidin, ‚Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural

untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam,‛ Jurnal Pendidikan Islam, vol. 1, no. 2 (2012

M/1434 H): 131-151.

Page 21: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

4

hal ini memicu seorang Jusuf Kalla sempat melontarkan ide pengambilan sidik jari

dari semua santri.13

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) ada 19

pesantren terindikasi mengajarkan benih radikalisme.14

Pondok pesantren yang

seharusnya menjadi penebar Islam rahmatan li al‘a>lami>n tetapi malah terindikasi

benih ajaran radikal. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian besar bagi pemerhati

pendidikan Islam agar fenomena Islamofobia15 di dunia internasional tidak semakin

menjadi-jadi.

Pemerintah telah mengatur tentang tindak pidana terorisme melalui

Undang-Undang No 15 Tahun 2003. Dari Undang-Undang ini pemerintah telah

menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 tentang

pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang

ditandatangani Presiden tanggal 16 Juli 2010. Pertimbangan lain yang mendasari

terbitnya Perpres ini menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan

Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto bahwa terorisme masih tetap

merupakan ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat membahayakan

keamanan bangsa dan negara, terorganisasi mempunyai jaringan luas, serta

13

Niken Widya Yunita, ‚Sidik Jari Santri, Kalla Soroti Sikap Sensitif Tanpa Alasan,‛ detikNews. Rabu, 7 Desember 2005.

http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/07/time/132014/idnews/493843/idkanal/10.

14Sembilan belas pondok pesantren menurut BNPT terindikasi mendukung

radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas,

Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar,

Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman,

Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat,

Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam,

Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang. lihat

www.bnpt.go.id, lihat juga https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme/

15Islamofobia merupakan istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan

diskriminasi pada agama Islam dan muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an,

tetapi menjadi lebih populer setelah terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001 di

Amerika. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia

sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga pada semua muslim. Dibuktikan

bahwa Islamofobia juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan

memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di

dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan

budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang

bengis dari pada berupa suatu agama. Langkah-langkah telah diambil untuk peresmian

istilah ini pada bulan Januari 2001 di "Stockholm International Forum on Combating

Intolerance". Di sana Islamofobia dikenal sebagai bentuk intoleransi seperti Xenofobia dan

Antisemitisme. Lihat Robert Spencer, ‚There really isn't a phenomena like "Islamophobia"

- at least no more than there was a "Germanophobia" in hating Hitler or "Russiaphobia" in

detesting Stalin." - Historian Victor Davis Hanson, in the The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades), Regnery Publishing, Page. 200. Lihat juga Sandra Fredman,

Discrimination and Human Rights, Oxford University Press, p.121.

Page 22: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

5

mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga

memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi.16

Dalam rangka memperkuat upaya penanggulangan radikalisme dan

terorisme, pemerintah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang ormas.17

Di

dalam Perppu tersebut dijelaskan bahwa semua ormas dilarang melakukan tindakan

permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan,

penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; melakukan

tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau

merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan melakukan kegiatan yang menjadi

tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dengan adanya perppu ini, diharapkan ormas-ormas yang

terindikasi memiliki aktivitas radikal dan teror dapat segera ditindak secara tegas

agar tidak dapat tumbuh subur di Indonesia.

Menurut Imam Mustofa selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok

Pesantren UII Yogyakarta, kurang efektifnya langkah-langkah untuk memutus

mata rantai radikalisme dan terorisme di antaranya disebabkan oleh pendekatan

yang cenderung militeristik yang mengedepankan proses hukum. Langkah ini pada

dasarnya hanya mendorong langkah dari tengah, belum menelisik jauh dan

mengoptimalkan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik dan

pendekatan agama.18

Menurut Neil J. Smelser ada tiga faktor yakni ekonomi, politik dan agama

dapat memengaruhi perilaku seseorang sehingga dapat menimbulkan gerakan

terorganisir dan terlibat terorisme.19

Faktor ini akan menjadi faktor pemicu

terjadinya tindakan radikal dan mengarah pada upaya terorisme bila direkatkan

dengan doktrin-doktrin keagamaan seperti jiha>d fi sabi>lillah, dan da’wah amar ma’ru >f nahi> munkar.20

Menurut M. Khusna Amal, proses deradikalisasi akan lebih efektif jika

melibatkan pondok pesantren.21

Hal ini karena, pertama pesantren di sinyalir

sebagai sarang teroris, persoalan ini mencuat setelah tragedi Legian Bali atau yang

16

Ruslan Burhani, ‚Pemerintah Terbitkan PERPRES Pembentukan BNPT,‛

https://www.antaranews.com/berita/214146/pemerintah-terbitkan-perpres-pembentukan-bnpt, 30 Juli 2010. Diakses pada 5 Oktober 2016.

17Lihat Perpu No. 2 Tahun 2017, Lihat juga http://setkab.go.id/inilah-perppu-no-

22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang-organisasi-kemasyarakatan/ 18

Imam Mustofa, detik,com, 2010, dalam Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi

Agama melalui Pendidikan Multikultural Inklusiv (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo

Sukoharjo),‛ PROFETIKA Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2 (2014): 246-260. 19

Imam Mustofa ‚Teorisme:Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal

sebagai Respon Terhadap Imperialisme Modern),‛ Jurnal Religia, vol. 15, no. 1 (2012): 65-

87. 20

M. Habib Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis dan Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar, 2007).

21M. Khusna Amal, Kontestasi dan Negosiasi Agama, Lokalitas dan Harmoni

Sosial di Kota Padalungan, dalam Jurnal Harmon, Volume VII, (Jakarta: Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, 2008).

Page 23: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

6

terkenal dengan Bom Bali I dan Bom Hotel JW Mariot yang melibatkan Amrozi

beserta kelompoknya yang memiliki hubungan kental dengan pesantren al-Mukmin

Ngruki Sukoharjo. Bahkan, Amerika Serikat dan media Barat mengklaim beberapa

pondok pesantren sebagai sarang teroris. Di antaranya Pesantren Hidayatullah yang

terletak 35 km dari Kota Balikpapan Kalimantan Timur dan pesantren al-Mukmin

Ngruki Solo Jawa Tengah. Amerika menuduh Abu Bakar Baasyir memiliki

jaringan kuat sebagai otak beberapa pengeboman di beberapa tempat tadi.22

Dengan adanya klaim sarang teoris kepada pesantren mengakibatkan

reputasi lembaga pendidikan Islam menjadi negatif. Perlu adanya terobosan baru

dalam mengelola lembaga pendidkan Islam untuk memperbaiki reputasi tersebut di

mata dunia internasional. Salah satunya adalah penerapan pendidikan yang

berwawasan multikultural. Melalui penerapan konsep pendidikan multikultural,

pesantren akan dianggap lembaga pendidikan Islam yang berideologi terbuka.

Ideologi terbuka seyogianya akan mudah menerima perbedaan.

Ide tentang membumikan pendidikan multikultural menjadi komitmen

internasional sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh UNESCO pada bulan

Oktober 1994 di Kota Jenewa. Di dalam rekomendasi itu memuat empat pesan,

Pertama, pendidikan harus senantiasa mengembangkan kemampuan untuk

mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis

kelamin, masyarakat dan budaya serta mengedepankan kemampuan untuk

berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan

seyogianya menguatkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan

penyelesaian-penyelesaian yang memperkuat perdamaian, persaudaraan dan

solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan harus senantiasa

meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa

kekerasan. Keempat, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan

rasa, sikap damai dalam diri dan pikiran peserta didik sehingga mereka mampu

memperkuat kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara

keragaman.

Konsep pendidikan multikultural sendiri memiliki banyak arti. Menurut

Andersen dan Cusher pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan

mengenai keragaman.23

Sedangkan James Bank mendefinisikan pendidikan

multikultural sebagai pendidikan untuk people of colours. Artinya pendidikan

multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah

Tuhan/sunnatullah).24

Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan

multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan

22

Rohmat Suprapto, ‚Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural

Inklusivisme (Studi pada Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo‛ http://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/2001

23Andersen dan Cusher dalam Choirul Mahfud,Pendidikan Multikultural.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 167. 24

James Bank dalam Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006), 168.

Page 24: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

7

ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia

yang kompleks dan beragam secara kultur. Pendidikan multikultural juga

merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,

status sosial, ekonomi, serta pengecualian dalam proses pendidikan.25

Setelah dikaji konsep pendidikan multikultural, agaknya memang relevan

untuk dijadikan konsep pendidikan di Indonesia. Namun, disisi lain ada kritik

terhadap pendidikan multikultural. Kritik ini disampaikan oleh Prihanto dalam

tulisanya yang berjudul ‚Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme‛. Ia

mengatakan bahwa pendidikan multikultural mengajarkan untuk menghargai

keragaman budaya, etnis, ras, suku dan aliran-aliran kegamaan. Jika yang diajarkan

hanya toleransi tentunya tidak bermasalah. Namun, bila dianalisis secara

paradigmatis, pendidikan model ini mengalami problem teologis. Sebab bukan

sekedar toleransi yang diajarkan, tetapi faham pluralisme yang berbasis pada

relativisme.26

Selain itu, kritik terhadap multikulturalisme juga datang dari Jerman. Pada

17 Oktober 2010, Seorang Kanselir Jerman, Angela Markel mengatakan bahwa

praktek multikulturalisme telah gagal. Markel menambahkan, adalah sebuah ilusi

bahwa orang Jerman dan pekerja asing bisa hidup berdampingan secara damai.

Dalam komentar Markel, ‚it had been an illusion to think that Germans and foreign workers could live happily side by side.‛ Meskipun demikian, Markel

mengakui bahwa Jerman terbuka untuk imigran, tetapi sikap utamanya adalah

sejalan dengan Horst Seehofer, yang satu pekan sebelumnya menyerukan agar

Jerman melarang bertambahnya imigran dari Turki dan Arab. Bahkan, Seehofer

menyatakan, ‚Multiculturalism is dead.‛27

Azyumardi Azra merespon hal tersebut dengan menyatakan bahwa Praktek

Multikulturalisme masih menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak

Negara Eropa. Meskipun sebenarnya, perkembangan demografi dan sosial-budaya

di negara-negara Eropa sangat membutuhkan penerapan multikulturalisme dalam

kehidupan warga negara yang kian beragam. Ia juga sempat menyampaikan bahwa

Kanselir Jerman Angela Merkel belum lama ini pernah menyatakan,

multikulturalisme telah gagal di banyak wilayah benua ini.28

Munculnya persepsi perihal kegagalan multikulturalisme di Negara Eropa

disebabkan oleh tidak terjadinya akulturasi dan akomodasi budaya secara

signifikan di antara para warga. Para imigran yang bertambah banyak, datang dari

Afrika dan Asia Barat dan Asia Selatan sejak 1950an membuat masyarakat Eropa

25

Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content. (Canada: Pearson, 2001).

26Prihanto, Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme (ISLAMIA,

VOLUME IX, No. 1. 2014), 45. 27

Angela Merkel declares death of German multiculturalism, http://www.guar

dian.co.uk/ world/2010/oct/17/angelamerkel- germany-multiculturalismfailures). Diakses

pada 20 April 2017. 28

Azyumardi Azra, ‚Multikulturalisme Indonesia dan Eropa‛,

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/04/16/n44s1l-multikulturalisme-indonesia-dan-eropa. Diakses pada 20 April 2017

Page 25: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

8

secara etnis dan agama menjadi beragam. Namun, sebenarnya kaum imigran yang

saat ini telah menjadi banyak tersebut sudah memasuki generasi ketiga, tetap

masih sulit untuk berbaur dengan penduduk pribumi lokal; mereka cenderung hidup

dalam perkampungan (enclave) miskin dan kumuh.

Sementara fenomena krisis atau kesulitan ekonomi yang terjadi di

sejumlah negara Eropa Selatan seperti Yunani, Italia, Spanyol atau Portugal

membuat kaum imigran menjadi ‘kambing hitam’. Mereka dituduh telah merampas

pekerjaan warga lokal, merusak tatanan sosial-budaya, dan mengganggu

keseimbangan demografi keagamaan. Sikap anti-migran yang berbaur dengan

Islamo-fobia segera mengejawantahkan diri dalam politik dengan munculnya

kelompok politik partai ultra-kanan di beberapa negara Eropa.

Azyumardi Azra menegaskan bahwa multikulturalisme adalah sebagai

pandangan dunia yang mengakui dan menerima keragaman budaya. Lebih lanjut, ia

menyatakan bahwa kehidupan multikultural merupakan sunnatullah yang harus

dirawat dan dijaga, termasuk di Negara Indonesia. Cara merawat dan menjaganya

adalah membumikan pandangan multikulturalisme kepada masyarakat. Upaya

yang paling efektif menjaga dan merawat multikulturalisme adalah melalui

pendidikan. Ada dua model yang dapat dikembangkan, pertama pendidikan dengan

mengedepankan multikulturalisme yang saling terintegrasi dan yang kedua mata

pelajaran khusus yang memuat nilai-nilai multikultural.29

Penelitian ini menggambarkan penyelenggaraan pendidikan di sebuah

pesantren. Pesantren tersebut telah menerapkan pendidikan yang berwawasan

multikultural. Nama pesantren tersebut adalah pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman Parung Bogor. Penulis tertarik untuk menjadikan pesantren ini sebagai

objek penelitian karena pesantren ini memiliki santri yang berlatar belakang

majemuk, jumlah santri yang mencapai 10.378 dan berasal dari ras, suku, strata

sosial yang berbeda30

. Selain itu, pesantren tersebut juga bersikap inklusif, terbukti

dengan dilakukannya kerja sama dengan umat agama lain, sebagai contoh umat

agama Budha yang tergabung dalam Yayasan Budha Tzuchi, umat Agama Hindu

yang tergabung dalam Yayasan Gandhi Sevaloka, juga berbagai lembaga

pemerintah dalam negeri maupun luar negeri dan berbagai lembaga swasta.

Kerja sama yang terjalin antar lembaga itu terlaksana dengan baik dan

harmonis. Satu sama lain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang

universal. Hal itu dapat dilihat bahwa pondok pesantren tersebut selalu

mengundang pihak Budha Tzuchi ketika sedang berlangsung kegiatan-kegiatan

besar pondok pesantren (maulid nabi, haflah akhir sanah, harlah pondok pesantren

bahkan haul pendiri pondok pesantren). Begitupun sebaliknya saat ada kegiatan

Waisak atau kegiatan sakral lainya yang diselenggarakan oleh pihak Budha Tzuchi,

29

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia (Yogyakarta:

Kanisius, 2007). 30

Informasi ini didapat berdasarkan pengamatan langsung oleh penulis saat di

pesantren tersebut. Santri di pesantren tersebut ada yang berasal dari Jawa, Sunda, Aceh,

Papua, NTB, Flores, Kalimantan, NTT, Sulawesi, Palembang, Lampung, Jambi. Selain itu

juga ada yang memiliki latar belakang broken home, anak pejabat negara, anak kiyai, anak

pengusaha, anak petani, dan lain sebagainya.

Page 26: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

9

pondok pesantren tersebut selalu menyempatkan hadir memenuhi undangan

tersebut. Hal serupa juga di lakukan oleh pondok pesantren dengan umat agama

Hindu, yang bekerja sama melalui Yayasan Gandhi Sevaloka. Telah berdiri asrama

megah di pesantren tersebut yang merupakan bantuan dari Yayasan Gandhi

Sevaloka.

Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

multikultural. Nilai-nilai multikultural menjadi hal wajib yang harus dilaksanakan

dalam pendidikan multikultural. Yaitu, berupa sikap menghargai perbedaan (non-diskriminatif), toleransi, kesetaran, demokrasi dan keadilan. Karena sejak lahir

semua manusia memiliki hak yang sama. Hal itu dibuktikan dengan proses

penerimaan seluruh santri yang mendaftar tanpa mempertimbangkan latar belakang

suku, ras, status sosial, dll. Kemudian, memberikan fasilitas yang sama, membekali

santri dengan berbagai kompetensi melalui ragam pelatihan dan kegiatan

ekstrakurikuler.

Pesantren ini juga mengutuk –radikalisme agama– aksi atau tindakan

radikal dalam mendakwahkan agama Islam. Tidak sepakat dengan tindakan-

tindakan kekerasan yang mengatasnamakan jihad membela agama. Sikap yang

tegas pernah disampaikan oleh pendiri pesantren Habib Saggaf bin Mahdi dalam

menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan mengutuk aksi radikal. Ketika terjadi

kerusuhan yang melibatkan Ormas FPI di Monas pada tahun 2008, beliau sangat

mengutuk sikap FPI yang anarki. Lebih dari itu, beliau menilai sikap FPI tersebut

bukan mencerminkan sikap seorang muslim. Contoh lain adalah, beliau juga tidak

setuju dengan adanya persekusi terhadap orang-orang Ahmadiyah. Mereka

merupakan warga Negara Indonesia yang berhak mendapatkan hak yang sama

sebagai warga Negara yaitu kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Dalam

hal perbedaan pemahaman keagamaan itu bisa didiskusikan dengan baik.31

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, antropologi dan

sosiologi. Melalui pendekatan ini penulis dapat mengamati segala kegiatan

pesantren dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural sebagai upaya

deradikalisasi. Kegiatan pesantren yang akan diteliti adalah sistem pendidikan

pesantren yang meliputi kurikulum, ekstra kurikuler, seleksi penerimaan santri,

pembagian asrama (tempat tinggal), bimbingan konseling, kerja sama lembaga,

petuah-petuah (fatwa-fatwa) pimpinan pesantren, dll. Tujuan mengamati kegiatan

pesantren adalah untuk melihat ada atau tidaknya sikap driskiminasi dan radikal.

Jika ditemukan sikap tersebut maka pesantren dinyatakan gagal

mengimplementasikan pendidikan multikultural. Begitupun sebaliknya.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang timbul

dalam pembahasan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

31

Dokumentasi video wawancara seorang wartawan yang meminta pendapat Habib

Saggaf tentang aksi anarki dan persekusi terhadap Ahmadiyyah dan aksi kerusuhan di

Monas yang melibatkan Ormas FPI. Penulis menemukan video ini dari salah seorang santri.

Page 27: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

10

a. Maraknya aksi radikal di Indonesia yang muncul dengan dalih jihad

atau menegakan ajaran Islam.

b. Ada beberapa pesantren yang terindikasi mengajarkan benih radikal.

c. Masih sedikit pesantren yang mengampanyekan pendidikan

multikultural. Sekalipun sebenarnya, pesantren telah melaksanakan

pendidikan multikultural.

d. Deradikalisasi akan lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan

kultural (pendidikan), tidak hanya struktural (produk hukum/aparat

keamanan).

e. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menolak segala bentuk

ajaran dan tindakan radikalisme.

f. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menggunakan pendekatan

berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka

masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

terhadap konsep pendidikan multikultural?

2. Bagaimana implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural

sebagai upaya kontra radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman?

3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural?

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang penulis uraikan dan

perincikan di atas, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini penulis

membatasi masalah penelitian pada implementasi pendidikan yang bermuatan

multikultural di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dan upaya

deradikalisasi terhadapa santri di pondok pesantren tersebut.

C. Tujuan Penelitian

Penulisan ini diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menelaah lebih jauh tentang pemahaman pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap konsep pendidikan

multikultural.

2. Mengetahui dan mendiskusikan lebih jauh tentang implementasi

pendidikan yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra

radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.

3. Mengetahui dan menelaah kendala-kendala yang dihadapi oleh pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam melaksanakan pendidikan

yang berwawasan multikultural sebagai upaya kontra radikalisme.

Page 28: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

11

D. Manfaat / Signifikansi Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan

ganda, yakni teoritis dan praktis. Kegunaan teoritis terkandung dalam materi

kajian yang disajikan penulis sebagai referensi untuk para pembaca. Selain itu

diharapkan tulisan ini menambah wawasan, pengetahuan serta pertimbangan para

ahli pendidikan dalam mendidik generasi penerus bangsa yang memiliki karakter

memanusiakan manusia.

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan memiliki

pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang dapat meredam adanya konflik-

konflik sehingga tidak terjadi tindakan radikal.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Kajian mengenai pendidikan multikultural memang telah banyak dilakukan

oleh akademisi, baik dalam bentuk penelitian individu ataupun kelompok, berupa

karya ilmiah, buku-buku dan artikel. Berdasarkan penelusuran, penulis menemukan

beberapa literatur yang membahas tema pendidikan multikultural yang bisa

dijadikan sebagai suatu bahan dan perbandingan oleh penulis dalam penelitian ini.

Literatur-literatur yang penulis maksud adalah sebagai berikut:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Hasan Aydin yang berjudul

‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛. Dalam penelitian

ini ia menyatakan bahwa sekolah-sekolah Turki sudah mengembangkan kurikulum

pendidikan multikultural. Faktor pengembangan itu karena di Turki sendiri banyak

siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda ditambah meningkatnya

masyarakat imigran. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan dengan kurikulum

multikultural mampu menjaga prinsip keadilan global (global justice). Selain itu,

kurikulum multikultural dapat menguatkan hubungan siswa yang berlatar belakang

status ekonomi dengan status sosial yang berbeda. Aydin hanya mengfokuskan

penelitiannya pada pengembangan kurikulum pendidikan multikultural di sekolah

Turki, tidak menguraikan secara detail implementasi dari kurikulum pendidikan

multikultural tersebut.32

Kedua, karya Nuryadin ‚Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren

Karya Pembangunan Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya‛ menyimpulkan bahwa

pesantren tersebut menanamkan nilai-nilai demokrasi, nilai toleransi, nilai

humanisme dan nilai inklusif dengan berbagai sisinya seperti keadilan, kerja sama,

penghargaan, gotong royong, persaudaraan, kebebasan berkreasi santri dan

perdamaian. Penelitian ini hanya berfokus pada temuan penanaman nilai-nilai

pendidikan multikultural di pesantren tersebut melalui pendekatan fenomenologi.33

Ketiga, karya Muhammad A.S. Hikam ‚Peran Masyarakat Sipil Indonesia

Membendung Radikalisme‛ menyimpulkan bahwa upaya penanggulangan

32

Hasan Aydin, ‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛,

Mediterranean Journal of Social Sciences, 3.3 (2012): 227-286 33

Nuryadin, Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan

Puruk cahu Kabupaten Murung Raya‛ (Tesis Program Magister Pendidikan Islam Program

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014).

Page 29: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

12

radikalisme melalui pendekatan budaya sangat strategis untuk terus dikembangkan

di Indonesia. Buku ini menunjukan bahwa pentingnya peranan masyarakat sipil

dalam mencegah adanya tindakan-tindakan radikal tapi belum menyebutkan peran

spesifik pondok pesantren.34

Keempat, karya Chairil Mahfud ‚Pendidikan Multikultural‛ menyimpulkan

pendidikan multikultural mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat

bahwa konflik bukan merupakan hal yang baik untuk dibudidayakan. Sehingga

pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan menghargai

perbedaan. Buku ini lebih spesifik menjelaskan konsep pendidikan multikultural

tidak membedah suatu kasus tertentu35

Kelima, karya Ainurrofiq Dawam ‚Pendidikan Multikultural‛yang

mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah model pendidikan yang

menjunjung tinggi arti sebuah memanusiakan manusia. Buku ini hanya mengupas

landasan filosofis pendidikan multikultural yaitu meliputi hakikat manusia,

dimensi manusia dan kebutuhan manusia. Buku ini juga tidak merupakan hasil dari

sebuah studi kasus.36

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong,

Hui-Hua Chen yang berjudul ‚The Necessity of Multicultural Education in

Indonesia‛. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa di Indonesia sangat perlu

diterapkan pendidikan multikultural. Melihat fakta yang ada, Indonesia memiliki

keragaman suku, budaya, ras, bahasa, adat istiadat, pandangan politik. Oleh karena

itu Indonesia memiliki semboyan ‚Bhineka tunggal Ika‛. Dalam penelitian ini

disajikan data sejarah munculnya pendidikan multikultural di Amerika Serikat

kemudian dijadikan rujukan untuk Indonesia. Selain itu juga dibahas bagaimana

mempertahankan keragaman di Indonesia.37

Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Anna Christina Abdullah yang

berjudul ‚Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs‛.

Penelitian membahas isu-isu dan tantangan pendidikan multikultural untuk anak

usia dini. Dipaparkan strategi pelaksanaan pendidikan multikultural untuk anak

usia dini. Penelitian ini berasumsi bahwa pendidikan multikultural adalah sangat

penting untuk mengantisipasi adanya konflik. Oleh karena itu, harus dimulai sejak

pendidikan usia ini.38

Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Yesim Orbalas. Dalam

disertasinya yang berjudul ‚Perspectives on Multicultural Education: Case Studies

34

Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme (Jakarta: Kompas, 2016).

35Chairil Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).

Cet-5. 36

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: LKIS, 2014). 37

Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong, Hui-Hua Chen, The Necessity of Multicultural Education in Indonesia(International Journal of Education and Research, Vol. 2 No. 10.

Oktober 2014), 317-328. 38

Anna Christina Abdullah, Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs (CICE Hiroshima University, Journal of International Coorperation In Education, Vol. 12 No. 1, 2009), 159-175.

Page 30: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

13

of A German and An American Female Minority Teacher‛. Orbalas telah

menguraikan tentang pengalaman dua orang guru perempuan yang minoritas yang

telah mengimplementasikan pendidikan multikultural. Selain itu berupaya

menguraikan perbedaan dan kesamaan kedua guru tersebut dalam menerapkan

pendidikan multikultural di ruang kelas. Dalam disertasi ini, orbalas menyimpulkan

bahwasanya penerapan pendidikan multikultural di ruang kelas disebabkan oleh

adanya I’tikad/keyakinan yang kuat dari pribadi pendidik. Jadi, perspektif pendidik

tentang pendidikan multikultural memengaruhi aktifitas belajar mengajar di

kelas.39

Di dalam penelitian ini tidak ditemukan bagaimana sistem implementasi

pendidikan multikultural secara utuh.

Dari beberapa literatur sebelumnya yang telah penulis sajikan, penulis

memandang ada hal yang belum dibahas oleh peneliti sebelumnya, yaitu tentang

implementasi pendidikan multikultural di pondok pesantren yang memiliki latar

belakang santri yang majemuk sebagai upaya membendung radikalisme. Oleh

karena itu penulis mencoba membahas implementasi pendidikan multikultural

sebagai upaya deradikalisasi.

Terkait dengan objek penelitian yaitu pondok pesantren yang memiliki

kesamaan dengan penelitian karya Nuryadin penulis meyakini adanya hasil yang

berbeda karena beberapa faktor, yaitu lokasi pondok pesantren yang berbeda,

jumlah santri dan pengaitan dengan adanya tindakan deradikalisasi. Penelitian

Nuryadin hanya menemukan nilai-nilai multikultural yang telah dilaksanakan di

lokasi penelitian tidak dikaitkan dengan upaya deradikalisasi. Begitupula dengan

pendekatan yang akan dipakai, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

fenomenologi, sosiologi dan antropologi.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menekankan studi

lapangan (field research) sebagai sumber perolehan data utama. Jenis kualitatif

dipilih karena penelitian ini berangkat dari realitas sosial yang dinamis, kompleks

dan membutuhkan pemahaman holistik dan hubungan gejala yang bersifat

interaktif.40

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi,

sosiologi41

, dan antropologi42

. Pendekatan fenomenologi adalah sebuah tradisi

39

Yesim Orbalas, Perspectives on Multicultural Education: Case Studies of A German and An American Female Minority Teacher, PhD. Dissertation, Georgia State

University, Georgia (2008). 40

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:

Alfabeta, 2012), 8. 41

Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dari perspektif sosiologi yang dapat

digunakan dalam menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang

pendidikan. Di antaranya seperti yang disampaikan oleh Abu Ahmadi dalam bukunya

Sosiologi Pendidikan yaitu pendekatan individu, sosial, interaksi dan teori medan. Lihat

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007).

Page 31: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

14

penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan memiliki fokus

pada pengalaman hidup seseorang/manusia. Pendekatan fenomenologi menjadikan

pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami tentang sosial budaya, politik

atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi. Penelitian ini akan

mendiskusikan tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari

suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari struktur

utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan

dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian". Peneliti memulai kajiannya

dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan

dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui

suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna

dari pengalaman informan.43

Sementara penggunaan pendekatan sosiologi dalam pendidikan adalah

untuk mengetahui prosess interaksi sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah

sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosiol kultural yang terdapat dalam

lingkungannya atau masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan. Penggunaan

pendekatan sosiologi juga akan membantu peneliti dalam memperoleh data yang

akurat karena pada prinsipnya dalam pendekatan sosiologi ada teknik memperoleh

data dengan pendekatan individu (the individual approach). Dalam pendekatan

individu tersebut ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu internal (primer) yang

mencakup faktor biologis dan psikologis. Selain itu ada faktor eksternal (sekunder)

yang meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Seorang individu menurut

sosiologi tidak dapat lepas dari dua faktor tersebut.44

Selain pendekatan individu ada juga pendekatan sosial (the societal approach). Titik tekan pendekatan ini adalah masyarakat dengan berbagai lembaga,

kelompok, organisasi dan aktivitasnya. Secara kongkrit pendekatan sosial ini

membahas aspek-aspek atau komponen dari kebudayaan manusia, seperti keluarga,

tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya. Jadi jelas di sini yang menjadi gejala primer

42

Secara umum, Antropologi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha

menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk

memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Sedangkan

Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan

memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan

pendekatan Antropologi. Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses

transmisi budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.

Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan pemahaman

dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan formal dan

pendidikan informal. Lihat Nasution, Antropologi Pendidikan ( Jakarta : Bumi Aksara.

2004). 43

Andrean Perdana, ‚Pendekatan Fenomenologi Penelitian Kualitatif,‛

http://www.andreanperdana.com/2014/05/pendekatan-fenomenologipenelitian-kualitatif.html diakses 22 Mei 2016

44Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta. 2007) 35-36

Page 32: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

15

adalah kelompok masyarakat, sedangkan individu merupakan gejala sekunder

saja.45

Terakhir adalah pendekatan interaksi (the interaction approach). Dalam

pendekatan interaksi ini fokus perhatianya adalah penggabungan dari pendekatan

individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada kenyataannya

menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu saling

mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu dan

masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling

menyempurnakan.46

Kesimpulanya adalah sosiologi pendidikan tidak semata-mata

hanya mempelajari individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.

Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi

budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi.

Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan

pemahaman dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan

formal dan pendidikan informal.47

Oleh karena itu, pendekatan antropologi dalam

penelitian pendidikan juga sangat penting. Mengingat G.D. Spindler berpendirian

bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan

adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan

dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam

lingkungan sosial budayanya.48

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data, Penelitian ini menggunakan studi pustaka,

observasi, wawancara, dan dokumentasi. Di lokasi penelitian penulis melakukan

pengamatan atau observasi tentang proses pendidikan yang dilakukan lembaga

pesantren ini. Menurut Sugiyono ada tiga jenis observasi49

yaitu:

1. Observasi partisipatif

Penulis mengamati apa yang dikerjakan orang-orang (santri ataupun

pengurus) disekitar pesantren, mendengarkan apa yang diucapkan, dan

berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi ini digolongkan menjadi

partisipasi pasif.

2. Observasi terus terang

Penulis menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa sedang

melakukan penelitian.

3. Observasi tak berstruktur

Observasi ini dilakukan dengan cara tidak menggunakan pedoman

observasi. Oleh karena itu, peneliti dapat melakukan pengamatan bebas.

Tiga observasi di atas dipakai oleh peneliti dalam mengumpulkan data.

Observasi tersebut berguna untuk peneliti agar dapat memahami konteks data

45

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 41 46

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, 44 47

Nasution, Antropologi Pendidikan (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), 36. 48

Hasojo, Pengantar Antropologi (Bandung : Bina Cipta, 1984), 25. 49

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:

Alfabeta, 2012), 12.

Page 33: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

16

dalam keseluruhan situasi sosial, mendapatkan pengalaman langsung, melihat hal-

hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, menemukan hal-hal yang tidak akan

terungkapkan oleh responden dalam wawancara, menemukan hal-hal diluar

persepsi responden, memperoleh kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi

sosial yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu tempat,

pelaku, dan aktivitas, event, time, goal, dan feeling.

Dalam pelaksanaan obeservasi ini akan dibuatkan format atau blanko

pengamatan sebagai instrumenya. Format/blanko tersebut disusun berisi item-item

tentang kejadian atau tingkah laku yang akan diteliti di lokasi penelitian. Dari

format ini akan diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah

sekedar mencatat, tetapi juga mempertimbangkan efektif atau tidaknya poin-poin

yang diobservasi. Selain itu juga dilakukan penilaian kepada skala bertingakat.

Misalnya, mengobservasi reaksi penonton televisi bukan hanya mencatat rekasi

tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut dengan memberikan skala penilaian

dengan sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

peneliti.50

Di antara poin-poin yang akan menjadi pedoman observasi adalah sebagai

berikut:

Apa yang saya kerjakan pada saat berada di pondok pesantren?

Bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren?

Apa yang dilakukan oleh pimpinan, ustadz, santri, alumni dan pengurus

di pesantren dalam hal pengembangan pendidikan?

Apa pendapat penduduk di sekitar pesantren terhadap pesantren?

Adapun untuk lebih lengkapnya mengenai instrumen observasi akan dipaparkan

selanjutnya menjadi sebuah lampiran dalam laporan penelitian.

Setelah melakukan observasi, peneliti melakukan dokumentasi data-data

tertulis pesantren yang mendukung tema penelitian. Data-data tersebut berupa

pelaksanaan pendidikan di pesantren, foto-foto kegiatan, video, berita di website

dan lain sebagainya yang dapat dijadikan data sekunder. Setelah semua dilakukan

dengan baik akan dilakukan tahapan selanjutnya yaitu wawancara.

Wawancara (interview), teknik ini merupakan salah satu penyelidikan

ilmiah yang menggunakan verbal dalam proses komunikasi untuk mendapatkan

data yang berhubungan dengan tema penelitian. Menurut Antonio wawancara

sebagai teknik investigasi secara ilmiah untuk mendapatkan informasi yang

dinginkan.51

Penulis dalam hal ini melakukan wawancara terhadap subjek

penelitian di pesantren dengan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan

sebelumnya.52

Data dokumentasi yang telah didapatkan akan dilakukan

50

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek., (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2006), 229. 51

Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in

Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.

52Penulis memperlakukan informan sebagai teman diskusi yang bebas dan terbuka

yang tidak terbatas pada pertanyaan yang sudah direncanakan saja. Dengan cara ini,

informan dapat memberikan informasi seluas-luasny sehingga penulis mendapatkan

Page 34: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

17

trianggulasi53

dengan data yang dihasilkan dari wawancara dan observasi, karena

menurut Antonio trianggulasi data bertujuan untuk saling menguatkan dan

merekatkan.54

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data

primer adalah yang berkaitan langsung dengan topik penelitian dan digali langsung

dari sumber pertama. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap objek

penelitian dan hasil pengamatan langsung terhadap aktifitas santri di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Data primer yang didapatkan bisa berupa

implementasi, peranan pondok pesantren, dan nilai-nilai multikultural yang

diterapkan. Sementara data sekunder merupakan data pendukung yang didapatkan

bukan langsung dari sumber pertama, misalnya dari buku, website, berita, majalah,

koran, dan lain sebagainya.

Objek kajian55

dalam penelitian ini adalah seluruh elemen pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor. Sementara informan yang

peneliti wawancara adalah orang-orang atau individu-individu yang dianggap

mengetahui dan memahami apa yang menjadi masalah dalam penelitian ini.

Informan dalam penelitian ini tidak bersifat acak, informan dicari secara sengaja,

maksudnya peneliti menentukan sendiri informan yang diambil karena

pertimbangan tertentu. Pertimbangannya lebih pada kemampuan informan untuk

memasok informasi selengkap mungkin kepada peneliti. Jadi, informan tidak

diambil secara acak, tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Kemudian, untuk

menggali informasi yang lebih dalam, peneliti mengumpulkan data dari satu

informan kepada informan lain yang memenuhi kriteria melalui wawancara

mendalam, kemudian berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi, terjadi replikasi

atau pengulangan variasi informasi, ataupun mengalami titik jenuh informasi.

Dengan kata lain informasi yang diberikan oleh informan berikutnya tersebut sama

saja dengan apa yang diberikan oleh para informan sebelumnya. Teknik pencarian

informasi yang mendalam. Dalam proses wawancara penulis melakukan transkripsi yaitu

pencatatan terhadap informasi yang telah didapat dari informan. Lihat Elizabeth Charters,

‚The Use of Think-aload Methods in Qualitative Research An Introduction to Think-aload

Methods‛, Brock Education 12, 2 (2003):78-79 53

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan

melalui sumber lainnya (Moleong, 2005:330) 54

Antonio Sandu, Simona Ponca, and Elena Unguru, ‚Qualitative Methodology in

Analyzing Edzucational Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.

55Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi dinamakan

situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan

aktivitas (activity). Lihat Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Malang: UMM

Press, 2010). Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 8. Lihat http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/teknik-sampling-pada-penelitian.html.

Page 35: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

18

informan ini bermula pada satu orang informan, kemudian informan tersebut

diminta rekomendasi untuk memberikan pandangan tentang informan berikutnya.

Begitu seterusnya sehingga jumlah informan semakin banyak dan jumlah data

semakin akurat.56

Berikut skemanya:

4. Proses Analisis Data

Analisis data sebagai proses pemilahan dan pengelompokan data empiris

yang selanjutnya menjadi sebuah kumpulan informasi ilmiah yang tersusun dan

terstruktur secara sistematis menjadi laporan hasil penelitian. Dalam proses

analisis data, teknik yang dilakukan adalah analisis data sebelum ke lapangan dan

analisis di lapangan.

Sebelum datang ke lapangan, peneliti melakukan analisis data. Yakni

menganalisis data hasil studi pendahuluan ataupun data sekunder seperti hasil data

dari website atau dokumentasi yang ada. Dari analisis ini dapat menentukan fokus

pencarian data selanjutnya. Kemudian, analisis data dilakukan pada saat

pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data pada waktu yang

berbeda. Pada saat peneliti melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan

analisis, sehingga jika didapatkan pertanyaan yang kurang mendalam maka peneliti

akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai didapatkan jawaban yang memuaskan.

Kemudian proses pemilahan atau pengategorian data menggunakan model

seperti yang dijelaskan M. Atho Mudzhar, yaitu analisis komparatif konstan.

Analisis ini adalah analisis terhadap setiap kategori data yang muncul dengan cara

membandingkanya satu sama lain. Memperbandingkan setiap datum untuk

memunculkan berbagai kategori. Kemudian memperbandingkan, mengintegrasikan

56

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:

Alfabeta, 2012), 61.

A Informan Pertama

Pilihan A

D E

B

F G

C

I H

Bagan 1.1: Tentang pengambilan informan

Page 36: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

19

kategori-kategori untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.

Tujuan membandingkanya adalah untuk memverifikasi.57

57

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 47-54.

Page 37: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

20

BAB II

PESANTREN, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, DAN DERADIKALISASI

Akhir-akhir ini pendidikan di lembaga pesantren menjadi perhatian yang

sangat serius. Hal itu dikarenakan pesantren dinilai selalu mengikuti pola

perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pesantren juga menjadi

laboratorium sosial peserta didik (red:santri) untuk berlatih mandiri, kreatif,

berdisiplin, berdemokrasi, bertoleransi, bekerja sama, berkeskpresi, menyelesaikan

konflik, menggali ilmu pengetahun, dan tentunya ilmu agama. Kesemuanya itu,

tentunya sangat dibutuhkan oleh generasi penerus bangsa untuk menghadapi

tantangan di zaman yang serba cepat perubahannya ini. Perubahan sosial yang

sangat cepat tadi, tentunya sangat rawan menimbulkan konflik dan tindakan

radikal. Pendidikan mutikultural di pesantren mencoba menjadi alternatif untuk

menetralisir adanya fenomena konflik dan tindakan radikal tersebut.

Bab ini berupaya untuk menyajikan beberapa hal terkait dengan pesantren,

multikulturalisme dalam tinjauan Islam, pendidikan multikultural, dan

deradikalisasi. Termasuk di dalam bab ini, juga dikaji peran masyarakat sipil dalam

membendung radikalisme dan teorisme.

A. Pesantren dan Perkembangan Ragam Pesantren

Pembahasan tentang pesantren1 akan terus menarik perhatian khalayak

luas. Lembaga pendidikan Islam ini memilki daya tarik tersendiri untuk

1Makna pesantren dapat dilacak dari akar kata ‚santri‛ yang diimbuhi awalan ‚pe‛

dan akhiran ‚an‛. Kata ‚santri‛ sendiri, menurut Profesor John sebagaimana dikutip

Zamakhsyari Dhofier berasal dari bahasa Tamil yang bermakna Guru mengaji; dan menurut

C.C. Berg berasal dari kata India shastri yang bermakna orang yang tahu buku-buku suci

Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Sementara itu, shastri berasal dari kata shastra, berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau pengetahun.

Nurcholis Majid menjelaskan bahwa asal usul kata ‚santri‛ itu ada (sekurang-kurangnya)

dua pendapat yang bisa dijadikan acuan. Pertama, kata santri itu berasal dari perkataan

sastri sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya melek huruf. Kedua, artinya orang

perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, artrinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap.

Menurt Clifford Geertz, perkataan santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti

sempit, santri adalah seorang murid atau sekolah agama yang disebut pondok atau

pesantren. Kata pesantren itu sendiri diambil dari akar kata santri yang berarti tempat

untuk para santri. Dalam arti yang luas dan umum, santri adalah bagian penduduk Jawa

yang memeluk agama Islam secara benar-benar – bersembahyang, pergi ke masjid hari

Jum’at dan seterusnya. Dari akar kata inilah, kemudian kata pesantren diartikan sebagai

tempat tinggal para santri untuk menuntut ilmu-ilmu agama, yang lazim disebut dengan

istilah pondok. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. 6, 18. Nurkholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 19-20. Clifford Geertz, The Religion of Java, terjemahan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat

Page 38: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

21

diperbincangkan. Ia menempati posisi strategis dalam sumbangsih peningkatan

sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya

menampakkan wajah keaslian (indigenous) Indonesia, tetapi juga menampakkan

wajah keislaman, sebab lembaga yang serupa dengan pesantren telah ada di

Indonesia sejak zaman sebelum masuknya Islam (Hindu-Budha). Islam hadir

meneruskan dan mengislamkannya.2

Di Indonesia, pesantren biasa disebut lembaga pendidikan tradisional.3

Lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan sebutan pesantren pada

kenyataanya kini sangat beragam. Lembaga itu memperlihatkan potret sebuah

lingkungan pendidikan dengan segala unsurnya, yang secara tradisional

berkembang sebagai pusat kegiatan pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi> al-

di>n). Sementara itu, lembaga pendidikan serupa, karena berangkat dari unsur-unsur

modern, tidak disebut sebagai sebuah lembaga pesantren. Kenyataan keragaman

pandangan tentang pesantren menuntut pencarian kriteria yang mungkin

mempersatukan penyebutan pesantren, jika lembaga pendidikan ini masih akan

terus dikembangkan. Kenyataan memang membuktikan bahwa sistem pendidikan

pondok pesantren yang berkembang secara dinamis hingga dewasa ini tetap

diterima oleh masyarakat.4

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang asal usul lembaga pendidikan

yang disebut pesantren. Pendapat pertama menyatakan bahwa pesantren

merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau

masa kekuasaan Hindu-Budha. Pendapat ini, antara lain diungkapakan oleh

Brugmans, Manfred Ziemiek, Nurcholis Madjid dan Denis Lombard. Brugmans

dalam kajiannya mengenai asal usul pesantren menyimpulkan bahwa pesantren

adalah bentuk lembaga pendidikan khas berasal dari India yang sebagian

dipengaruhi oleh orang-orang Islam.5

Jawa (Jakarta: Dunia Pustaka, 1983), cet. Ke-2, 268. Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:

Asta Buana Sejahtera, 2009), 1. 2Nurcholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam

Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: LP3ES,

1985), 3. Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 2. Amin Haedari,

Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global (Jakarta:

IRD Press, 2004), 3. 3Istilah tradisional disini menurut penulis karena pesantren merupakan wajah asli

(indigenous) pendidikan Indonesia. Berbeda dengan istilah sekolah yang diperkenalkan oleh

Belanda. 4Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap

Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 53. 5I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie, dalam Selo

Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: UGM Press, 1981), 275.

Page 39: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

22

Ziemek menyatakan bahwa pesantren merupakan hasil perkembangan

secara paralel dari lembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-

berabad lamanya.6 Hampir senada dengan Ziemek, Nurcholis Madjid menyatakan

bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam

yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, lalu Islam meneruskan dan

meng-Islamkanya.7 Kesamaan antara pesantren dan lembaga pra-Islam, menurut

Lombard terletak pada tempatnya yang jauh dari keramaian; Ikatan guru-murid

sama dengan kiyai-santri yaitu kebapakan; dan terpeliharanya komunikasi antar

pesantren.8

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Van Bruinessen, dia menyatakan

bahwa pesantren memiliki kecenderungan sama dengan sistem pendidikan Islam di

Timur Tengah. Didalam tesisnya, ia mengungkapkan Al-Azhar dan riwaq-nya

merupakan model yang diambil pesantren pada abad ke-18/19 M.9 Ia juga

menyatakan bahwa di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok muncul lembaga sejenis

pesantren pada abad ke-20 M. Namun, pesantren Tegalsari Jawa Timur merupakan

salah satu pesantren tertua yang didirikan pada tahun 1742.10

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, pesantren tetap menjadi lembaga

pendidikan yang konsisten membangun karakter bangsa Indonesia yang beradab.

Pada proses perkembanganya pesantren mencoba berakulturasi dengan model-

model pendidikan di luar pesantren, sehingga menjadi beragam. Hal ini melahirkan

klasifikasi terhadap pesantren itu sendiri. Di antaranya adalah pesantren salafiyah,

pesantren khalafiyah, pesantren tradisional, pesantren modern, pesantren

konvensional, pesantren kontemporer, pesantren entrepreneur.11

Jenis-jenis pesantren tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Mulai dari

corak kurikulum sampai dengan lulusan (out put) yang dihasilkan. Hal itu

dikarenakan visi yang diusung berbeda meskipun masih dalam satu nafas syi’a>r

agama Islam. Titik sentral yang menentukan model pesantren dan lulusan

pesantren adalah seorang kyai atau pimpinan pesantren. Kyai dituntut memiliki

6Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1983), 16-17.

7Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:

Paramadina, 1997), 3. 8Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III (Jakarta; Gramedia, 1997), 86.

Menurut Pegeaud, pesantren adalah sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh di

Pegunungan dan berasal dari sejenis zaman pra-Islam semacam mandala dan asrama. Lihat

Th. G. Th. Pigeaud, Literature of Java: Descriptive List of Javanese Manuscripts Jilid I (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967), 77.

9Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan,

1995), Cet. ke-1, 24. 10

Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat (Jakarta:Asta Buana Sejahtera, 2009), 53.

11Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap

Perilaku Keagamaan Masyarakat, 55.

Page 40: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

23

kapasitas pribadi yang sarat dengan bobot kualitatif. Bobot kualitatif inilah yang

menjadikan sosok kyai pesantren sebagai rujukan bagi santri dan masyarakat.12

Pesantren identik dengan budaya kekeluargaanya. Hubungan batin antara

santri dan kyai sangat kuat sebagaimana seorang anak dan orang tuanya. Hal ini

diperkuat dengan adanya doktrin bahwa hubungan santri dan kyai sampai nanti di

akhirat sehingga apa yang diajarkan dan dicontohkan kyai akan melekat kuat pada

santri.

B. Multikulturalisme Dalam Tinjauan Islam.

Kemajemukan dan keragaman budaya adalah sebuah fenomena yang tidak

mungkin dihindari. Kita hidup di dalam keragaman budaya dan merupakan bagian

dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam

setiap seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan.

Kemajemukan dilihat dari agama yang dipeluk dan faham-faham keagamaan yang

diikuti, oleh Tuhan juga tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justru diberi ruang

untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi.13

Al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Maidah ayat 48:

رات بلوكم ف ما آتاكم فاستبقوا الخ كن ل ة واحدة ول لجعلكم أمه ولو شاء اللهه‚Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi

Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,

maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan‛ (Q.S. al-Maidah, 5:48).

Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan dan kemajemukan itu

adalah sunnatullah (keputusan Allah). Tugas manusia adalah berbuat baik dengan

maksimal tanpa memandang perbedaan. Bersinergi dan bekerjasama membangun

peradaban untuk mewujudkan kemakmuran. Tidak malah saling menjatuhkan

apalagi bermusuhan. Jika permusuhan terjadi maka seorang manusia telah gagal

mengamalkan nilai-nilai dalam al-Qur’an.

Di samping itu, kita juga menghadapi kenyataan adanya berbagai agama

dengan umatnya masing-masing, bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi

orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan

seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita

harus belajar toleran tehadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas

dasar dan semangat pluralisme agama.14

Agama Islam mendidik pemeluknya agar dapat menjadi manusia yang

berakhlak mulia dan dapat menghargai keragaman budaya di sekitarnya. Hal

12

Achmad Fatoni, Peran Kyai Pesantren dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), 3. Cet. ke-1. 13

Mudjahirin Thohir, ‚Nasionalisme Indonesia: Membingkai Pluralitas dalam

Kedamaian‛, dalam Zudi Setiawan, Nasionalisme NU (Semarang: Aneka Ilmu), 300. 14

Johan Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan Agama (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004), 61.

Page 41: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

24

tersebut senada dengan prinsip yang ada dalam multikulturalisme. Dalam literatur

Islam, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan

tradisi (‘urf) yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan

kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komonitas. Hal

ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan dalam Islam yang

berdasarkan ‘urf yang berlaku. Sabda Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai

salah satu dalil dari bentuk concern Islam terhadap ‘urf adalah:

حسن الله عند فهو حسنا المسلمون رآه ما‚apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan

kebaikan menurut Allah‛ (HR. Ahmad).

Secara garis besar dalam agama Islam terdapat dua aspek yang saling

melengkapi. Pertama, aspek luar, lahiriyah, simbol, kulit, dan bentuk formalisme

yang kemudian menjadi identitas dan sekaligus alat untuk memperkenalkan dirinya

kepada manusia. Aspek ajaran yang bersifat lahiriyah ini dalam ajaran Islam,

misalnya terlihat pada ajaran yang terdapat dalam rukun Islam mulai dari shahadat

yaitu pengakuan bahwa hanya Allah sajalah sebagai Tuhan yang wajib disembah

dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, salat, puasa, zakat,

dan haji. Kedua, aspek dalam, batiniyah, substansi, dan isi, yaitu pesan moral, etika

dan nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam ajaran yang bersifat lahiriyah tersebut.

Shahadat mengajarkan agar manusia memiliki komitmen yang kokoh untuk

senantiasa berorientasi pada nilai-nilai luhur dan universal yang berasal dari Tuhan.

Selanjutnya dalam salat terdapat ajaran tentang perlunya membangun

komitmen dan hubungan vertikal dengan Tuhan dalam rangka pencerahan spiritual

sehingga terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar, dan ketika salat tersebut

dilaksanakan secara berjama'ah, maka didalamnya terdapat ajaran tentang

pentingnya hidup bermasyarakat, saling mengenal, dan peduli terhadap lingkungan.

Dalam ajaran puasa terdapat ajaran agar manusia senantiasa merasa dekat dengan

Allah, mampu mengendalikan hawa nafsu, peduli terhadap orang yang selalu

kelaparan. Kemudian dalam berzakat terdapat pesan ajaran tentang pentingnya

membangun hidup yang seimbang antara pemenuhan terhadap kepentingan diri

sendiri dan kepentingan orang lain. Kemudian dalam ibadah haji terdapat ajaran

tentang pentingnya budaya memahami keragaman budaya, saling kenal mengenal

dengan berbagai bangsa di dunia, serta menjadi manusia yang senantiasa berakhlak

mulia.15

Dengan demikian di balik aspek lahiriah dari agama terdapat aspek

batiniyah yang pada intinya ajaran tentang moral, etika, dan budi pekerti. Atas

dasar ini, kiranya cukup berasalan apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa

15

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),

cet. X, 78 – 80.

Page 42: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

25

inti ajaran agama adalah moral yang bertumpu pada hubungan vertical dengan

Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia.16

Dilihat dari segi fungsinya ajaran moral dan etika tersebut ada yang terkait

dengan Tuhan dan dengan manusia. Di antara ajaran moral dan etika yang terkait

dengan manusia, khususnya dalam rangka mewujudkan konsep pendidikan

multikultural adalah ajaran tentang keadilan, musyawarah, egaliter, dan toleransi.

Ajaran tentang keadilan ini termasuk ajaran yang amat ditekankan dalam

Islam. Dalam al-Qur’an, kata adil dijumapi dalam banyak konteks ayat. Misalnya

dalam adil dalam konteks berpoligami (Q.S. al-Nisa’, 4:3, 129, dan 135); dalam

konteks etika profesi (Q.S. al-Maidah, 5:8) yakni seseorang tidak boleh berlaku

tidak adil yang disebabkan atas kebencianya kepada seseorang yang akan menjadi

objek atas kebijakanya; dalam konteks ketaqwaan yakni adil mendekatkan

seseorang kepada ketaqwaan (Q.S. al-Maidah, 5:8); dalam konteks sebagai seorang

juru tulis atau notaris (Q.S. al-Baqarah, 2:282); dalam konteks sebagai syarat

seorang hakim memutuskan sebuah perkara (Q.S. al-Nisa, 4:58); dalam konteks

sebagai akhlak yang mulia sebagaimana akhlak berbuat baik kepada para karib

kerabat (Q.S. al-Nahl, 16:90); dalam konteks sebagai syarat seorang yang

mendamaikan orang yang bertengkar (Q.S. al-Hujurat, 49:9). Dari keseluruhan

ayat-ayat tersebut terlihat bahwa keadilan digunakan dalam konteks hubungan

dengan orang lain.

Selanjutnya ajaran musyawarah, yakni sikap yang memerhatikan pendapat

orang lain dalam memutuskan perkara. Ajaran musyawarah ini dekat dengan ajaran

tentang demokrasi dalam arti bukan demokrasi yang liberal, melainkan ajaran

demokrasi yang dibatasi oleh hukum yang berdasarkan ketuhanan dan

kemanusiaan. Di dalam al-Qur’an ajaran musyawarah dihubungkan dengan

memutuskan suatu perkara (Q.S. Ali Imran, 3:159); dan al-Syura, 43:38) bahkan

juga musyawarah digunakan pula ketika akan menghentikan (menyapih) seorang

anak dari menyusu sebelum dua tahun (Q.S. al-Baqarah, 2:223).

Adapun ajaran egaliter terkait dengan sikap menganggap sederajat dengan

orang lain yang berbeda agama, bahasa, suku, budaya, dan lain sebagainya. Mereka

yang mengamalkan ajaran egaliter tidak akan merendahkan orang lain yang

disebabkan karena perbedaan-perbedaan tersebut. Ajaran ini misalnya dijumpai

pada Q.S. al-Hujurat, 49:13. Berdasarkan ayat ini maka perbedaan yang terdapat di

masyarakat bukanlah untuk dipertentangkan atau untuk saling mengalahkan,

melainkan untuk saling disinergikan. Dengan cara demikian, maka kekurangan

yang ada pada orang lain dapat kita tutupi dengan kelebihan yang ada pada kita,

dan kelebihan pada orang lain dapat menutupi kekurangan pada diri kita.

Kenyataan hidup menunjukkan bahwa berbagai kebutuhan hidup yang diperlukan

oleh seseorang hanya dapat dipenuhi dengan bantuan orang lain.

16

Fazlur Rahman, Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cet. 1, 90.

Page 43: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

26

Ajaran tentang egaliter tersebut juga diperlukan dalam menyikapi

pluralisme agama, budaya, jenis kelamin, kebangsaan, suku, etnis, dan lain

sebagainya yang selanjutnya membawa kepada ajaran tentang toleransi. Ajaran ini

dapat dijumpai dalam Q.S. al-Kafirun, 109:6. Ajaran ini selanjutnya akan

membawa kepada kehidupan yang penuh toleransi dan harmoni.

Hadits nabi pun menjelaskan bahwa semua manusia itu sama di mata

Tuhan meskipun ia berkulit hitam dan berstatus sosial rendah. yang membedakan

hanya ketaqwaan.

كم واحد وإنه أباكم واحد ألا لا فضل لعرب اس ألا إنه ربه ها النه ا أ على قال رسول الله

ولاأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلاه على عرب و لا أعجم أعجم

قوى )رواه أحمد( بالته

‚Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian juga

satu, ketahuilah tidak ada keutamaan dari orang arab terhadap non arab, dan juga

tidak ada keutamaan orang non arab dari orang arab kecuali ketakwaannya.‛ (HR.

Imam Ahmad).

Multikulturalisme juga senada dengan tujuan agama yang berbunyi:

‚Tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kepentingan umum melalui

perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar (al-daruriyyah) serta

pemenuhan kepentingan (al-hajiyyat) dan penghiasan (tahsiniyyah) mereka.‛17

Dari

konsep inilah kemudian tercipta sebuah konsep al-daruriyyah al-khamsah (lima

dasar kebutuhan manusia), yang meliputi jiwa (al-nafs), akal (al-aql), kehormatan

(al-‘irdh), harta benda (al-mal), dan agama (al-din).18

C. Diskursus Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

1. Pengertian Multikulturalisme

Konsep Multikulturalisme berangkat dari sebuah perbedaan dan

kemajemukan di dalam kehidupan sosial. Dengan adanya multikulturalisme ini

perbedaan dan kemajemukan bukan merupakan masalah tersendiri. Perbedaan

dalam bahasa Inggris disebut dengan diversity. Kata tersebut memiliki arti

berjenis-jenis atau adanya ketidaksamaan/keanekaragaman di antara satu sama

lainya.19

Kata lain yang maknanya dekat dengan diversity adalah kata plurality.

Istilah ini secara bahasa bermakna majemuk atau banyak. Majemuk ini dapat

diartikan adanya dua sampai tiga hal atau lebih.20

Dalam bahasa Arab makna

17

Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 198. 18

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, hlm. 102.

19John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia An English-

Indonesian Dictionary (Jakarta: PT. Gramedia), 191. 20

John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesian Dictionary, 435.

Page 44: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

27

perbedaan keanekaragman, keanekaragman, bermacam-macam, ketidaksamaan

disebut dengan kata al-mukhtalif/al-mukha>lafah/al-munawwi’u.21Adanya

perbedaan dan kemajemukan di dunia ini merupakan suatu hal yang tidak dapat

terhindari, karena keberadaanya secara alamiah. Dalam konteks sosial budaya,

James A. Banks menyebutkan perbedaan itu ada 8 kategori, yaitu perbedaan

gender, orientasi seksual, agama/keyakinan, abilitas dan disabilitas, bahasa,

kelompok ras, identitas etnik, dan kelas sosial.22

Mendifinisikan Multikulturalisme bukan hal yang mudah. Tokoh-tokoh

didalamnya memiliki pandangan-pandangan tersendiri. H.A.R. Tilaar

mengungkapkan didalam kata multikulturalisme mengandung dua pengertian yang

sangat kompleks yaitu ‚multi‛ yang berarti plural, ‚kulturalisme‛ berisi pengertian

kultur atau budaya.23

Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, sedangkan

pluralisme sendiri tidak hanya mengakui akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis

tetapi pengakuan tersebut mempunyai implikasi didalam bidang politik, sosial dan

ekonomi.

Masih menurut H.AR Tilaar, perbedaan dan kemajemukan itu selain

karena beragam budaya juga karena kekayaan yang ada dalam Negara itu sendiri,

seperti di Indonesia ini. Indonesia adalah Negara yang mempunyai tiga kekayaan

yang luar biasa. Kekayaan itu adalah kekayaan sumber daya alam, kekayaan

budaya, dan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia. Kekayaan Indonesia

itu mampu menjadikan rakyat selalu eksis dan dinamis dalam segala kehidupan.

Kekayaan alam sebagai penyangga kehidupan, terhitung ada 17.000 pulau yang ada

di Nusantara. Kemudian, kekayaan budaya menunjukkan identitas bangsa. Sejarah

Indonesia mempunyai banyak budaya karena banyak penduduk dunia bermigrasi di

kepulauan Nusantara. Mulanya, kelompok-kelompok dari gelombang migrasi

manusia pada manusia purba berdatangan ke kepulauan Nusantara dan membawa

keanekaragaman kebudayaan. Karena secara geografis Nusantara sangat strategis

yang diapit oleh benua Australia dan Asia serta samudera Pasifik dan samudera

Hindia, sehingga menjadi lokasi perdagangan dunia terutama hasil bumi. Melalui

kepentingan inilah para kolonial berdatangan memperebutkan kekuasaan di

Nusantara. Atas kedatangan mereka kita mengenal kebudayaan-kebudayaan yang

ditinggalkan seperti kebudayaan Hindu-Budha, Islam, China, dan kebudayaan

Barat yang dibawa oleh kolonialisme Barat. Ditambah lagi dengan adanya

asimilasi dan akulturasi budaya asli dan budaya asing sehingga menjadilah

beraneka ragam kebudayaan yang ada ini.24

21

Ahmad Warson Munawwir, AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 363.

22James A. Banks, An Introduction Multicultural Education, 26.

23H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam

Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 82. 24

H.A.R. Tilaar, ‚Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, dan Nasionalisme dalam

Sistem Pendidikan Nasional.‛ Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional yang

Page 45: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

28

Sedangkan James. T Collins menambahkan bahwa kemajemukan dan

keragaman itu karena kompleksitas masyarakat. Ia menjelaskan kompleksitas

masyarakat ini seperti yang terjadi di Indonesia sejak empat puluh ribu tahun yang

lalu. Ia membuktikan kompleksitas itu tampil pada profil kebahasaan di Indonesia.

menurutnya, Indonesia memiliki 706 bahasa. Jumlah ini merupakan jumlah yang

mencengangkan karena hampir 10% bahasa di dunia diturunkan di Indonesia.

Wilayah Indonesia semakin ke Timur semakin banyak bahasa yang dtemui. Papua

adalah wilayah terbanyak, yaitu terdapat 256 bahasa. Disusul Maluku 128 bahasa,

Sulawesi 114 bahasa, Nusa Tenggara 73, Kalimantan 74, Jawa 17, dan Sumatera

49 bahasa. Sebab keanekaragaman bahasa di kepulauan Nusantara ini karena

adanya migrasi dua manusia purba, yakni migrasi Australo Melanesia dan migrasi

Austronesia. Dua arus penyebaran jenis manusia purba tersebut berpengaruh pada

pembentukan budaya dan bahasa Nusantara hingga sekarang.25

Menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh Parekh, Multikulturalisme

adalah suatu gagasan ideal yang hendak diwujudkan dan mengakomodasi

keberagaman kelompok kultur dalam masyarakat majemuk secara adil dan fair.26

Multikultural mengakomodasi seluruh interes kelompok-kelompok kultur dalam

berbagai aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup, dalam mencapai nilai-nilai sosial di

masyarakat. Parekh menambahkan, multikultural sebagai cultural diversity

merupakan keanekaragaman budaya yang berbeda dan terjadi secara alamiah.

Sebab terjadinya keragaman budaya karena adanya perbedaan suku, agama, bahasa,

dan tradisi di tengah-tengah masyarakat. Sebab lain, karena adanya arus

globalisasi.

Arus globalisasi meningkatkan migrasi masyarakat nasional maupun

internasional. Menurutnya, masyarakat yang beragam/majemuk seperti itu

cenderung terjadi diskriminasi sosial. Misalnya, Tidak ada kesamaan hak, tidak

adanya kebebasan hak, perlakuan tidak adik oleh kelompok mayoritas kepada

minoritas, dan diskriminasi sosial oleh ras/suku yang berkasta tinggi terhadapa

ras/suku yang berkasta rendah. Dalam masyarakat yang multikultur, upaya yang

bisa dilakukan agar tidak terjadi adanya diskriminasi tersebut adalah dengan

melalui 1) asimilasi, 2) inetgrasi, 3) common belonging, dan 4) kebijakan sosial.27

bertema Pendidikan Bebasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia di Syahida Inn, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4-6 November 2014.

25James T. Collin, ‚Keragaman Bahasa dan Kesepakatan Masyarakat: Pluralitas

dan Komunikasi.‛ Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional yang bertema

Pendidikan Bebasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia di

Syahida Inn, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4-6 November 2014. 26

Bhikhu Parekh, National Culture and Multiculturalism, dalam Kenneth

Thompson (ed), Media and Cultural Regulation (London: Sage Publication, 1977), 164. 27

Bhikhu Parekh, Unity and Diversity in Multicultural Societies (Geneva:

International Institute for Labour Studies, 2005), 1-20.

Page 46: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

29

Charles Taylor mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah

politik pengakuan (the politics of recognition).28

Taylor menjelaskan bahwa salah

satu masalah dalam multikulturalisme adalah pentingnya pengakuan terhadap

identitas kultural bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan (subaltern).29

Dia

mengemukakan perlunya bentuk-bentuk politik cultural yang mampu menampung

semua identitas kultural secara harmonis, dimana beragam kultur hidup dalam

kedamaian dan kesejahteraan, dinamis, terbuka pada perubahan, baik dari dalam

maupun dari luar. Masih menurut Taylor, pengakuan bukan sekadar ungkapan

sopan santun terhadap sesama, tetapi yang penting adalah pengakuan akan

identitas kulturalnya. Tuntutan akan pengakuan merupakan kebutuhan dasar

manusia.

Jurgen Habermas mengomentari penjelasan Charles Taylor tentang

multikulturalisme. Habermas mengungkapkan bahwa perlindungan yang sama

dibawah hukum saja belum cukup dalam suatu demokrasi konstitusional. Kita

harus menyadari bahwa persamaan hak di bawah hukum juga harus disertai dengan

kemampuan untuk mengerti bahwa kita sendiri adalah penulis (authors) dari

hukum-hukum tersebut yang mengikat kita. Komentar Habermas ini menunjukan

bahwa sistem (hukum) yang mengikat kita tidak mengahpuskan kondisi sosial dan

budaya yang berbeda-beda. Untuk mencegah adanya konflik yang disebabkan oleh

diskursus perbedaan-perbedaan Habermas menganjurkan agar seluruh warga

Negara dipersatukan oleh mutual respect terhadap hak-hak orang lain.30

Perkembangan kebutuhan akan recognition berasal dari filsuf Jean-Jacques

Rousseau. Melalui tulisanya yang berjudul Dicourse Inequality, Rousseau

mengritik tajam sistem kehormatan hirarkis yang disebutnya preferences. Menurut

Rousseau preferences tersebut merupakan akar dari korupsi dan ketidakadilan. Hal

itu disebabkan oleh pemberian penghargaan kepada sesuatu yang prefential.

Sebaliknya di dalam suatu masyarakat republic, semua orang mempunyai hak yang

saya sehingga pandangan preferential tersebut tidak akan muncul. Rousseau

menekankan adanya pengakuan keunikan identitas seseorang.31

Senada dengan

gagasan multikulturalisme, adalah temuan Immanuel Kant tentang politik

28

Amy Gutman, Multikulturalism, Examining the Politics of Recognition dalam

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 82.

29Menurut Spivak, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang mengalami

penindasan oleh kelas penguasa. Gayatri Spivak menjelaskan mengenai eksploitasi kaum

tertindas dengan menggunakan analisis Marxis. Spivak menekankan bahwa eksploitasi

terhadap kaum tertindas disebabkan adanya dominasi struktural. Dominasi struktural

tersebut muncul dari suatu sistem pembagian kerja internasional. Lihat

http//:postkolonialweb.org/poldiscourse/spivak/spivak2/html 30

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 79.

31H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam

Transformasi Pendidikan Nasional, 80.

Page 47: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

30

kesamaan martabat manusia (equal dignity of human rights). Temuan Kant

didasarkan pad ide bahwa sesama manusia mempunyai martabat yang sama.32

Parsudi Suparlan menjelaskan, anatara konsep multikulturalisme dengan

konsep keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa adalah

berbeda. Konsep kebudayaan suku-bangsa merupakan ciri masyarakat majemuk,

sedangkan multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam

kesederajatan. Kajian mengenai multikulturalisme tentunya tidak akan terlepas

dari kajian yang mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini,

yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja

dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip

etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.33

Multikulturalisme lahir

dari benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi

manusia, dan prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial-politik.34

Multikulturalisme juga berkaitan erat dengan epistemologi. Berbeda

dengan epistemologi filsafat yang menekankan kepada asal-usul ilmu pengetahuan.

Sementara epistemologi di dalam sosiologi menekankan pada perkembangan ilmu

pengetahuan di dalam kaitanya dengan kehidupan sosial. Multikulturalisme dalam

epistemologi sosial mempunyai makna yang lain. Dalam epistemologi sosial, tidak

ada kebenaran yang mutlak. Hal itu berarti ilmu pengetahuan selalu mengandung

arti nilai. Di dalam suatu masyarakat, yang benar adalah yang baik bagi

masyarakat itu. Yang benar tidak akan mendahului yang baik.35

Pasang surut pengertian multikulturalisme dapat dibedakan sebagai

berikut. Pertama, Pengertian multikulturalisme secara tradisional, dalam

pengertian ini multikulturalisme mempunyai dua ciri utama yaitu: 1) Kebutuhan

terhadap pengakuan (the need of recognition), 2) Legitimasi keragaman budaya

atau pluralisme budaya. Selain itu, multikulturalisme dalam pengertian tradisional

baru fokus pada hal-hal yang esensial dalam memperjuangkan kelakuan budaya

yang berbeda (the other).

Pengertian multikulturalisme berkembang sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahun. Perkembangan paham multikulturalisme ini diistilahkan dengan

32

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 80.

33Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Keynote

Address Simposium III Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana,

Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. 34

Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural

Approach. (Oxford: Blackwell, 1996). 35

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 83.

Page 48: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

31

gelombang kedua36 Paham multikulturalisme menampung berbagai jenis pemikiran

baru sebagai berikut:37

Pertama, studi cultural (cultural studies)38

antara lain melihat secara kritis

masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas

kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan

kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalisasi, feminisme dan masalah-

masalah kontemporer seperti toleransi antar kelompok dan agama.

Kedua, poskolonialisme. Pemikiran ini mengusung sebuah tujuan untuk

melihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahanya yang telah

meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah.

Pandangan paham kolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali nilai-nilai

indigenous di dalam budaya sendiri, disisi lain ada upaya untuk membanggakan

budaya asing (mensejajarkan budaya asing dengan nilai-nilai indigenous). Menurut

Bill Aschroft sebagai pelopor kajian poskolonial menyatakan bahwa,

poskolonialisme sebagai ‚Deals with the effects of colonization on cultures and

societies‛. Artinya poskolonialisme mengedepankan kajian terhadap efek atau

pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat tertentu dengan cara

mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme.39

Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata melahirkan budaya global yang

memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Revitalisasi budaya local merupakan

upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultur budaya dunia.

Keempat, feminisme dan posfeminisme. Gerakan feminisme yang semula

berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini

meningkat ke arah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan

bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan

laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksankan semua tugas

dan pekerjaan di dalam masyarakat.

Kelima, teori ekonomi politik neo-Marxisme. Teori ini terutama

memfokuskan kepada struktur kekuasaan didalam suatu masyarakat yang

didominasi oleh kelompok yang kuat. Teori neo-Marxisme dari Antonio Gramsci

mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa revolusi oleh

intelektual organis yang dapat mengubah suatu masyarakat, antara lain di dalam

memerhatikan kelompok-kelompok yang termarginalisasi.

36

Ram Mahalingam McCarthy, Multicultural Curriculum (2000), 15. Lihat juga:

Simon During, The Cultural Study Reader (1999). 37

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 83.

38Mengenai studi kultural dan perkembanganya lihat Lawrence Grossberg, Cary

Nelson, Paula Treicher. Cultural Studies (1992). 39

Zulkifli Hi Manna, Perspektif Poskolonialisme dalam Hubungan Internasional. Lihat http://www.haryoprasodjo.com/2014/05/perspektif-poskolonialisme-dalam.html

diakses pada 20 April 2017

Page 49: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

32

Keenam, pos-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan bahwa

perlunya dekonstruksi dan rekontruksi masyarakat yang telah mempunyai struktur-

struktur yang telah mapan yang biasanya hanya untuk melanggengkan struktur

kekuasaan yang ada. Setelah memperhatikan perkembangan dari multikulturalisme

di atas, dapat dikemukakan beberapa tantangan multikulturalisme dewasa ini:40

Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial,

dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama negara-negara berkembang perlu

mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan

mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasinya sehingga dapat berdiri

sama tegak dengan dunia Barat.

Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya

untuk mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang

xenophobia41 dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme

yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu di dalam era globalisasi.

Ketiga, proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme,

karena gelombang dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-

bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Memang tidak ada budaya yang

statis, namun masyarakat yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat

berpijak dan dia akan disapu bersih oleh gelombang dahsyat globalisasi.42

Masyarakat tersebut akan kehilangan pribadinya, identitasnya dan hanya sekedar

pemain-pemain atau konsumen dari imperialism baru yang dibawa oleh globalisasi.

2. Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme ini adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh

kelompok-kelompok yang berbeda-beda seperti penduduk asli, imigran, minoritas

bangsa, perempuan dan kelompok lainya. Gerakan-gerakan ini menentang

ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok kultur yang mayoritas, dan menuntut

kesamaan di wilayah publik.43

40

H.A.R. Tilaar, Multikulturalism, Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 85.

41Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari

negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk

dari keirasionalan dan ketidakmasukakalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya

"orang asing", dan phobos, artinya "ketakutan"). 42

Bung Karno sangat mengagumi ungkapan Dr. Sam Ratulangi yang gandrung

memelihara budayanya sebagai pegangan dalam perjuangan nasionalnya yang mengatakan

‚Ons hart trekt naar de top van Klabat, maar onze voeten brengan ons tot Airmadidi.‛

Amanat PYM Presiden RI Soekarno pada penyerahan secara simbolis patung DR. G.S.J.J

Ratulangie, dalam penutupan Musyawarah Kawanua (Gedung Pemuda, 18 Agustus 1960). 43

Melani Budianta. ‛Multiculturalism: In Search of a Critical Framework for

Assessing Diversity in Indonesia‛ dalam Kamanto Sunarto dkk (ed) ‛Multiculturalism

Education in Indonesia and Southeast Asia‛ Jurnal Antropologi Indonesia (Depok, 2004),

24-25.

Page 50: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

33

Multikultulisme ini berkembang di Amerika Serikat pada pertengahan

tahun 1960, dilatarbelakangi oleh kelompok kulit hitam Amerika, yang menuntut

perlakuan yang sama sebagai orang Amerika dan menuntut kompensasi

ketidakadilan yang telah mereka rasakan44

, Selanjutnya multikulturalisme

menyebar ke Eropa. Multikulturalisme menuntut kebijakan pemerintah dalam dwi

bahasa, yaitu kelompok pengguna bahasa Ingris dan kelompok pengguna bahasa

Perancis.

Kebudayaan di Amerika didominasi oleh kaum imigran putih dengan

budaya WASP45

(White Anglo-Saxon Protestant), yaitu kebudayaan putih (White),

dari bangsa yang berketurunan British (Anglo-Saxon), dan yang beragama Kristen

Protestan. Nilai-nilai WASP inilah yang menguasai mainstream kebudayaan di

Amerika Serikat. Melalui penguasaan mainstream kebudayaan tersebut, terjadilah

segresi dan diskriminasi bukan hanya dalam bidang ras tetapi juga dalam bidang

agama, budaya dan gaya hidup (life style). Kelompok yang paling

didiskriminasikan adalah kelompok Afrika-Amerika. Korban dari politik

diskriminasi tersebut adalah kelompok non-WASP, yaitu kelompok Indian (Native

America), kelompok Chicano (dari Negara-negara latin terutama Mexico), dan

pada akhir abad ke-20 dari kelompok Asia-Amerika.

Respon yang telah dilakukan untuk menghadapi masyarakat yang bersifat

melting pot46 tersebut adalah melalui dikembangkannya berbagai praktik

44

Rida Ahida, Keadilan Multikultural ( Jakarta: Ciputat Press, 2008), 60. 45

WASP adalah istilah sosiologis Amerika Utara yang berasal dari singkatan

White Anglo-Saxon Protestant. WASP adalah sebuah julukan yang mengacu pada kaum

berkulit putih di Amerika ,yang umumnya merupakan keturunan British, dan menganut

agama Kristen protestan. Istilah ini menyiratkan sekelompok masyarakat elit tertutup yang

memiliki kekayaan dan gelar hak istimewa di Amerika Utara dan Northwestern. Pada

awalnya, istilah ini dibawa oleh orang-orang British yang merasa lebih superior dari bangsa

manapun. Kemudian, istilah ini ikut berkembang di Amerika namun, istilah ini tidak

diperuntukan bagi kelompok minoritas pendatang seperti Yahudi, kaum kulit hitam,

penduduk Indian asli Amerika, penduduk beragama katolik dan masyarakat Asia. Istilah ini

juga digunakan di Australia dan Kanada untuk elit yang sama. Dalam hampir seluruh

sejarah Amerika, kaum WASP ini banyak memerintah bangsa Amerika dan bahkan

keturunan WASP ini menjadi founding father kemerdekaan Amerika. Lihat http://mahrita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75748-Sistem%20Politik%20Amerika-WHITE%20ANGLOSAXON%20PROTESTANT:%20Terkikisnya%20Sebuah%20Superioritas.html, diakses pada 2 Mei 2017

46Lebih jauh Alo Liliweri menjelaskan bahwa ada banyak ragam budaya hidup di

daerah-daerah perbatasan antar Negara, antar-suku bangsa, antar-etnik, antar-ras, dan

antar-geografis. Di sinilah muncul situasi dan kondisi masyarakat yang memiliki

keragaman budaya. Istilah methaphors digunakan untuk menggambarkan kebudayaan

campuran (mixed culture). Ada beberapa istilah yang menggunakan methapor yaitu:

Pertama, melting pot adalah masyarakat yang masih memelihara keunikan budaya untuk

membedakan keturunan mereka dengan orang lain atau bangsa lain. Dalam konsep ini

masing-masing etnis dengan budayanya menyadari adanya perbedaan antara sesamanya.

Namun, dengan perbedaan tersebut mereka dapat membina hidup bersama dengan baik dan

Page 51: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

34

pendidikan yang berusaha menggaet kelompok-kelompok suku bangsa tersebut di

dalam suatu kebudayaan mainstream yang didominasi oleh WASP. Namun

demikian, pendekatan pendidikan yang diskriminatif tersebut mulai berubah,

karena pengaruh perkembangan politik dunia seperti HAM, deklarasi hak asasi

manusia dari PBB (Universal Declaration of Human Rights tahun 1948). Demikian

pula, gerakan human right (human right movement) yang mengglobal.

Perubahan pandangan terhadap hak asasi manusia telah semakin meluas

dan menyangkut hak asasi wanita dalam gerakan feminisme. Semua pengaruh yang

dijelaskan di atas menghasilkan suatu bentuk pendidikan yang ingin membongkar

politik segresi tersebut. Praktik-praktik pendidikan untuk menanamkan rasa

persatuan bangsa mulai gencar dilaksanakan seperti menghilangkan sekolah-

sekolah segregasi, mengajarkan budaya dari ras-ras yang lain di semua sekolah

pemerintah, dan studi-studi etnis yang hidup dalam masyarakat Amerika. Praktik-

praktik tersebut dikaji dan disempurnakan. Banyak sekali konsep yang telah

dicobakan dan masing-masing mempunyai nilai positif maupun negatif.

Pada dekade tahun 1940-an dan 1950-an telah lahir suatu konsep

pendidikan yang disebut pendidikan inter-kultural dan inter-kelompok (inter-

cultural and inter-group education). Pada hakikatnya inter-cultural education

tersebut merupakan suatu upaya cross culture education, yaitu mencari nilai-nilai

universal yang dapat diterima oleh kelompok masyarakat. Pendidikan interkultural

pada dasarnya mempunyai dua tema pokok, yaitu:

sehat. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa melting pot terdapat kekuatan untuk mensintesiskan

kebudayaan dari masing-masing kelompok. Kedua, tributaries yaitu menggambarkan aliran

sungai yang airnya merupakan campuran air dari sungai-sungai kecil lain. Aliran sungai itu

menuju kearah yang sama, ke sebuah muara. Hal ini menggambarkan bahwa sungai itu

merupakan lintasan dari sejumlah budaya yang terus mengalir. Masyarakat yang dibangun

dari beberapa individu memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki oleh individu

lain. Keanekaragaman karakteristik spesifik ini mengarah pada suatu muara yaitu

bercampurnya berbagai karakteristik. Bervariasinya karakteristik tersebut sebenarnya

sebagai media aliran berkembangnya kebudayaan yang akan dibangun. Berbeda dengan

melting pot, pada tributaries keberbedaan antar suku tetap dipandang memiliki arti yang

berbeda. Dengan demikian, setiap keberbedaan itu tetap dipertahankan meskipun berada

pada tujuan yang sama untuk mengembangkan dan mempertahankan budaya masing-

masing. Ketiga, tapestry adalah bagaikan dekorasi pakaian yang terbentuk dari sehelai

benang. Konsep ini diambil untuk menggambarkan kebudayaan Amerika yang dekoratif.

Analog yang dapat disampaikan antara lain kain yang terdiri dari satu warna kurang

memberikan hasrat bagi pemakainya. Dengan demikian, kain yang multiwarna sebagai

perpaduan dekoratif akan memperkaya seni dekorasi tersebut. Keempat, garden salad/salad bowl adalah kebudayaan ibarat mangkuk yang berisi campuran salad. Pada konsep ini yang

ada masing-masing kelompok etnis memperjuangkan keberhasilan kelompoknya sendiri.

Dapat saja masing-masing kelompok etnis hidup berdampingan tetapi tidak peduli satu

dengan yang lainya. Masing-masing masyarakat mengurus dirinya sendiri dan dapat hidup

bersama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok lainnya. Olehnya, Garden Salad/Salad Bowl tidak memperdulikan adanya komitmen untuk mengetahui dan saling

berbagi antar unsure-unsur kebudayaan yang dimiliki kelompok lain.

Page 52: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

35

(1) Melalui pendidikan interkultural, seorang tidak malu terhadap latar belakang

budayanya. Percaya diri dalam mengekspresikan budayanya. Seperti

diketahui, mainstream budaya di Amerika seperti WASP telah

menyepelekan budaya kelompok minoritas.

(2) Perlu dikembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan ras, agama, dan

budaya. Dalam rangka pengembangan sikap toleransi, dianjurkan program

asimilasi budaya. Dalam kaitan ini yang dipentingkan adalah adanya

persamaan dan bukan meletakkan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Oleh

sebab itu, di dalam program pendidikan dikembangkan dua hal, yaitu:

a) Masalah prasangka (prejudice). Berbagai penelitian dan praktik untuk

mencari akar dari prasangka, baik prasangka ras maupun prasangka

agama. Seyogianya prasangka buruk harus diminimalisir, bahkan

dihilangkan.

b) Mencari cara efektif untuk maengubah tingkah laku dalam mengatasi

prasangka-prasangka tersebut.

Berbagai langkah yang dikampanyekan dalam pendidikan interkultural

dipusatkan untuk mengubah tingkah laku individu, bukan mempelajari konflik

antar kelompok. Padahal yang sering terjadi dalam masyarakat yang multi ras

adalah konflik kelompok. Hal ini memang masih diabaikan dalam program

pendidikan interkultural. Pendidikan di dalam pendekatan interkultular berarti

membina hubungan baik antar manusia yang demokratis. Masyarakat Amerika

adalah masyarakat demokratis yang memberikan nilai penting terhadap pluralitas

dengan hak-haknya, termasuk hak-hak minoritas sebagai warga negara.

Istilah multikulturalisme memiliki beberapa konotasi, yaitu demografi

deskriptif,47

ideologi normatif,48

dan kebijakan politik.49

Untuk memproteksi

keberadaan kelompok-kelompok minoritas maka PBB menetapkan satu kebijakan

dalam bentuk deklarasi tentang hak angggota-anggota minoritas nasional atau

etnik, religius, dan linguistik, yang berbeda dari populasi mayoritas masyarakat.50

Dalam sejarahnya, kebijakan multikulturalisme pernah menjadi perdebatan

panas di Negara Barat pada tahun 1960. Perdebatan tersebut hingga memakan

47

Dari aspek demografi deskriptif, istilah multikulturalisme yang menggambarkan

eksistensi dari kelompok-kelompok yang berbeda secara linguistik, kultural dan etnik pada

satu masyarakat atau negara, dari aspek ini diketahui bahwa masyarakat multikultural

terjadi karena proses penaklukan, migrasi, atau konsolidasi secara geografi dan politik. 48

Dari aspek ideologi normatif, multikulturalisme mengakui eksistensi

keberagaman kelompok-kelompok kultural mereka, untuk berpartisipasi dalam masyarakat

dan untuk menikmati akses penuh terhadap prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai

bersama yang berlaku pada masyarakat. 49

Aspek kebijakan politik, multikulturalisme menunjuk pada kebijakan-kebijakan

spesifik yang dikembangkan untuk merespon dan mengatur keberagaman kelompok-

kelompok kultur dalam berbagai bentuk. 50

Will Kymlicka, Liberalism and The Politicization of Ethnicity, dalam Julia

Stapleton (ed) Group Rights (Briston :Thoemmes Press,1995),26.

Page 53: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

36

waktu yang lama. Puncaknya adalah pada tahun 1990-an. Perdebatanya terfokus

pada dampak positif dan dampak negatif dari kebijakan multikulturalisme.

Dampak negatifnya akan mengikis demokrasi liberal. Kebebasan masyarakat

imigran bisa mengikis hak, kebabasan, dan kebudayaan masyarakat asli yang

mayoritas. Selain itu, kebijakan multikulralisme sangat tidak ideal karena

rumusanya sangat normative. Teori multikulturalisme secara normatif tidak

memadahi tentang hubungan etnis dengan politik. Namun, Will Kymlicka

membantah asumsi itu. Kymlicka mengatakan bahwa kebijakan multikulturalisme

sangat mendukung terhadap demokrasi liberal bukan malah mengikis. Beberapa

bukti empiris yang ia sajikan adalah Kanada dan Australia berhasil menerapkan

kebijakan multikulturalisme. Masyarakat asli dan imigran mempunyai kesempatan

yang sama dan mencintai terhadap negaranya. Menurut Kymlicka kebijakan

multikultural adalah untuk menormalkan keragaman dan perbedaan.51

Dalam

perkembanganya kebijakan multikulturalisme di Barat masuk pada ranah

pendidikan, sehingga konsep pendidikan yang berbasis multikultural menjadi

penting dan menjadi kebijakan nasional.52

Di Kanada, konsep multikulturalisme masuk dalam kebijakan politik sejak

tahun 1970. Dengan kebijakan tersebut Negara Kanada mampu menumbuhkan

solidaritas bermasyarakat pada rakyatnya, bertoleransi, kesetaraan tanpa adanya

diskriminasi sehingga menjadi efektif dalam mengatasi konflik horisontal.53

Di

Eropa juga demikian. Multikulturalisme masuk ke dalam kebijakan pemerintah

sebagai upaya untuk membangun kewarganegaraan yang menekankan pada

penerimaan terhadap perbedaan. Utamanya, adalah kesamaan (equality) terhadap

warga Negara. Ada empat upaya multikulturalisme yang dikembangkan untuk

Negara-negara di Eropa, yaitu 1) anti diskriminasi, 2) penerimaan terhadap

terbukanya perubahan dan pencampuran etnis atau identitas, 3) pluralitas, dan 4)

inklusivisme.54

Sebelum multikulturalisme menjadi kebijakan politik di Barat, konsep

yang lebih dahulu berkembang adalah ‚melting polt‛ dan ‚salad bowl‛. Melting

pot adalah peleburan budaya-budaya yang berbeda, masing-masing melebur

menjadi satu ke dalam budaya penerima dan menjadi kebudayaan yang satu.

51

Will Kymlicka, ‚Testing the Multiculturalist Hypothesis: Normative Theories

and Social Sciences Evidence.‛ Canadian Journal of Political Science, vol. 43, no.2 (2010):

257-271. 52

Irham, ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural, Studi Kasus Pendidikan Agama

Islam di SMA Plus Pembangunan Jaya, BIntaro.‛ Tesis Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pacasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2016): 29-31.

53Li Wei, ‚Integration of Multicultural Education into English Teaching and

Learning, A Case in Liaoning Police Academy.‛ Theory and Practice in Language Studies, vol.3, no. 4 (2013): 612-619.

54Pieter Bevelander and Raymond Taras, ‚The Twilight of Multiculturalism?

Finding Euorope.,‛ dalam Challenging Multiculturalism: European Models of Diversity, ed., Raymond Taras (Udinburgh University Press, 2013), 44.

Page 54: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

37

Strategi ini tidak berhasil sehingga konflik horizontal tidak tertangani bahkan

semakin tumbuh. Sementara itu, salad bowl (tempat salada) memandang bahwa

masing-masing budaya asal tidak dihilangkan namun diakomodasikan, diberikan

kesempatan untuk berkontribusi mengembangkan kebudayaanya di suatu bangsa.

Dua teori tersebut sama-sama tidak berhasil.55

3. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pentingnya multikulturalisme adalah untuk mengetahui dan memahami

budaya di lingkungan orang/kelompok, karena budaya sebagai cara melihat dunia

atas pemikiran, emosi, dan perilaku yang terjadi. Di sinilah pentingnya wawasan

dan konsep multikulturalisme dalam pendidikan, karena untuk mengeksplorasi

ruang publik dalam memperkaya talenta/kemampuan yang bervariasi, budaya,

sejarah, dan pengalaman-pengalaman yang merepresentasikan perbedaan.

Berikutnya membantu mengembangkan identitasnya yang positif, kritis, menjadi

warga yang demokratis, mampu melihat tantangan dunia atas terjadinya fenomena

rasisme, kemiskinan, kekerasan dan hak asasi manusia serta membangun

inklusifitas peserta didik.56

Isu pendidikan multikultural memang telah lama diperbincangkan oleh

para pakar pendidikan. Meskipun demikian bahasan tentang pendidikan

multikultural tidak pernah habis. Selalu muncul kajian baru yang merupakan

pengembangan dari pendidikan multikultural. Masyarakat Indonesia tentunya

sangat mengapresiasi gagasan pendidikan multikultural ini, mengingat masyarakat

Indonesia secara objektif adalah masyarakat yang heterogen dan plural. Heterogen

dan pluralnya masyarakat Indonesia minimalnya dapat dilihat dari eksistensi

keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama) dan budaya (kultur).

Istilah multikultural berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau

peradaban. Dalam pendidikan multikultural selalu muncul dua kata kunci yaitu

pluralitas dan kultural.57

Pemahaman terhadap pluralitas itu sendiri adalah

mencakup segala perbedaan dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa

terlepas dari tema aliran (agama), ras (etnis), suku, dan budaya. Akar pendidikan

multikultural, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ellis, dkk. dalam buku

Introduction to the Foundation of Education berasal dari perhatian seorang pakar

pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (1803-1890 M) yang secara intensif

55

David Howes and Costance Classen, Ways of Sensing Understanding The Sense in Society (New York: Routledge, 2014), 80-81. Lihat juga Eva Kolb, The Evolution of New York City’s Multiculturalism: Melting Pot or Salad Bowl: Immigrants in New York from the 19th Century Until The End of the Gilded Age (Norderstedt: BoD, 2009).

56Ratna Ghosh dan Mariuszz Galezynski, Redefining Multicultural Education

Inclusion and The Rigt To Be Different, Third Edition (Toronto: Canadian Scholar’s Press

Inc, 2014), 1-25. 57

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural (Jogjakarta: INSPEAL, 2006), 74.

Page 55: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

38

menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik

ditinjau dari aspek budaya, etnis dan agamanya.58

Pendidikan yang memerhatikan

secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi

munculnya pendidikan multikultural.

Secara etimologis, pendidikan multikultural terdiri atas dua terma. Yaitu

pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses

pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, perbuatan, dan cara-

cara yang mendidik.59

Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata

dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur (culture)60

yang berarti

kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan, sedangkan awalannya adalah multi

58

Athur K Ellis, dkk. Introduction to the Foundations of Education (New Jersey:

Prentice-Hall, 1981). 59

Sebagaimana dikutip oleh Fuad Ihsan (2005: 4-5) dalam kajian dan pemikiran

tentang pendidikan ada 2 istilah yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan

dalam dunia pendidikan yaitu; Pedagogik yang berarti pendidikan dan pedagonik yang

berarti Ilmu pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia muda.

Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Ki Hadjar Dewantara

merumuskan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti

(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang

mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam

masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh

lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia

dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial, dan perkembangan

individu yang optimum. Untuk lebih lengkap tentang pengertian pendidikan dan ruang

lingkupnya baca buku (Imam Barnadib, 1982), (Noeng Muhadjir, 1987), (Zahara Idris dan

Lisma Jamal, 1992). 60

Alo Liliweri M.S. (2003: 7-9), dalam bukunya ‚Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya‛, mengutip lebih dari lima makna kebudayaan. Pertama, menurut Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Inter-cultural Communication in the Global Workplace mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang

dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu

berisi apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap

mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu prilaku yang harus diterima

oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain. Kedua, kebudayaan, dalam arti

yang luas, adalah perilaku yang telah tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu

yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial

(disosialisasikan), tidak sekedar sebuah catatan ringkas, tetapi dalam bentuk

prilaku melalui pembelajaran sosial (Social Learning). Ketiga, kebudayaan adalah

komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah ketrampilan kelompok, pengetahuan,

sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan

dalam masyarakat melalui institusi. Untuk memperdalam tentang kebudayaan dan

ruang lingkupnya lebih lanjut baca (T.O. Ihromi,1996), (Van Peursen, 1985),

(Achdiat M. Miharja, 1977), (Suwardi Endraswara, 2003), dan lain sebagainya.

Page 56: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

39

yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian, multikultural berarti

keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun,

disini lebih ditekankan pada arti keragaman budaya sebagai ejawantah dari

keragaman latar belakang seorang.61

Dalam bahasan terminologis pendidikan multikultural berarti proses

pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan

heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran

(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai

implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara

umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan

demikian, pendidikan multikultural menghendaki adanya penghormatan dan

penghargaan setinggi-tinginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana

pun dia datangnya dan berbudaya apa pun. Harapanya secara sekilas adalah

terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,

kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari

jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.62

Menurut pendapat Andersen dan Cusher bahwa pendidikan multikultural

adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Menurut definisi ini

keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai

objek studi. Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran

yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.63

Kemudian, James Banks

mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of

colour. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai

keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah).64

Selanjutnya, bagaimana kita mampu

menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.

Sleeter mendefinisikan pendidikan multikultural berupa sekumpulan proses

yang dilakukan oleh sekolah untuk menentang kelompok yang menindas.65

Sejalan

dengan pemikiran di atas, Muhaimin el Ma’hady berpendapat bahwa secara

sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang

61

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 75. 62

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 75. Lihat juga Rustam Ibrahim,

‚Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, Dan Relevansinya Dengan Tujuan

Pendidikan Islam.‛ ADDIN, vol. 7, no. 1, Februari (2013): 137. 63

Andersen dan Cusher, ‚Multicultural and Intercultural Studies‛ dalam C. Marsh

(ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney: Prentice-Hall, 1994), 320. 64

James Banks, ‚Multicultural Education: Historical Development, Dimensions,

And Practice‛, Review of Research in Education, 1993, hlm. 3. 65

Sleeter, dalam G. Burnett, Varieties of Multicultural Education: an Introduction, (Eric learinghouse on Urban Education, Digest, 1994), hlm. 1.

Page 57: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

40

keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural

lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan66

Selanjutnya, M. Ainul Yaqin memahami pendidikan multikultural sebagai

strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan

cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti

perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan dan umur agar

proses belajar menjadi mudah.67

John W. Santrock mendefinisikan pendidikan

multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi

prespektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular.68

Mundzier Suparta dalam bukunya Islamic Multicultural Education,

mencatat lebih dari sepuluh definisi tentang pendidikan multikultural69

, Di

antaranya adalah; (a) Pendidikan Multikultural adalah sebuah filosofi yang

menekankan pada makna penting, legitimasi dan vitalitas keragaman etnik dan

budaya dalam membentuk kehidupan individu, kelompok maupun bangsa. (b)

Pendidikan Multikultural adalah menginstitusionalkan sebuah filosofi pluralisme

budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip

persamaan (equality), saling menghormati dan menerima, memahami dan adanya

komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial. (c) Pendidikan Multikultural adalah

sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai-nilai

demokratis yang mendorong berkembangnya pluralisme budaya; dalam hampir

seluruh bentuk komprehensifnya. (d) Pendidikan multikultural merupakan sebuah

komitmen untuk meraih persamaan pendidikan, mengembangkan kurikulum yang

menumbuhkan pemahaman tentang kelompok-kelompok etnik dan memberangus

praktik-praktek penindasan. (e) Pendidikan Multikultural merupakan reformasi

sekolah yang komprehensif dan pendidikan yang paling dasar untuk semua anak

didik, menentang semua bentuk diskriminasi dan intruksi yang menindas,

mengharmonisasikan hubungan antar personal di dalam kelas dan memberikan

prinsip-prinsip demokratis keadilan sosial.

Hilda Hernandez dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher’s

Guide to Content and Process menjelaskan bahwa pendidikan mulltikultural

sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang

dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks

dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas

66

Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2016), 176. Cet.

ke-8. 67

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). 25.

68John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta:

Kencana, 2007), 184. 69

Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: Al Ghazali Center, 2008), 37.

Page 58: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

41

dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-

pengecualian dalam proses pendidikan.70

Menurut pendapat Blum, pendidikan multibudaya sarat dengan

penghargaan, penghormatan dan kebersamaan dalam suatu komunitas yang

majemuk. Lebih lanjut Blum menegaskan bahwa pendidikan multibudaya meliputi

sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah

penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi

penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti

menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan

mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai

bagi anggota-anggotanya sendiri.71

Blum membagi tiga elemen dalam pendidikan multibudaya. Pertama,

menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya

seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk memahami serta belajar

tentang etnik/kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya. Ketiga, menilai dan

merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang

keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat

seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara .72

4. Orientasi Pendidikan Multikultural

Dari beberapa paparan yang telah disajikan, secara sederhana pendidikan

multikultural, dapat didefenisikan sebagai ‚pendidikan untuk/tentang keragaman

kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan

masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan‛.

Pendidikan multicultural yang mencoba mengantisipasi berbagai

perbedaan dari yang hanya sekedar berbeda, berhadapan (vis-a-vis), bertolak

belakang/berpisahan (dikotomis) sampai yang saling berlawanan (konfrontative).

Pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah realita tidak dapat dipungkiri

eksistensinya di dunia ini. Bisa dikatakan bahwa heterogenitas dan pluralitas

adalah sebuah hukum alam (natural law/sunnatullah). Sebagai sebuah hukum alam,

eksistensinya tidak dapat digugat sama sekali. Tugas manusia adalah mengatur

berbagai perbedaan tersebut.

Pendidikan multikultural sebagaimana dijelaskan di muka, merupakan

sebuah pendidikan alternatif yang menjunjung tinggi dan menghargai berbagai

70

Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process (Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company, 1989), 4.

71A. Lawrence Blum, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras,

Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry

May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih

Bahasa: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 16. 72

A. Lawrence Blum, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, 19.

Page 59: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

42

perbedaan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural diharapkan memiliki

orientasi yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan

multikultural nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-

nilai dasar multikulturalisme. Orientasi yang seharusnya dibangun dan

dipertahankan meliputi:73

Pertama, orientasi kemanusiaan. Kemanusiaan atau humanisme merupakan

sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan.

Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan,

dan agama. Pada dasarnya setiap manusia secara inheren memiliki nilai-nilai

kemanusiaan. Yaitu nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani yang paling dalam.

Nurani adalah hakim yang paling jujur, adil, berwawasan, dan tidak berkepentingan

apa-apa kecuali kepentingan kemanusiaan itu sendiri.

Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal inilah kemudian

dibangun institusi pendidikan yang tidak bersifat eksploitatif, mendominasi,

kompetisi sebebas-bebasnya. Orientasi yang demikian ini diharapkan

memunculkan manusia yang humanis tanpa kehilangan jati dirinya sendiri.

Kedua, orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme

merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan

heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang

tidak ada batasnya. Tentunya kebersamaan yang dibangun di sini adalah

kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif.

Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-masing pihak

merasa tidak merugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, Negara, bahkan

merugikan Agamanya.

Dengan kebersamaan yang sangat paripurna inilah diharapkan muncul

manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang mendalam, dan terbuka.

Tidak ada kebersamaan yang hakiki ketika masing-masing pihak memiliki hidden

agenda sendiri-sendiri. Karena yang akan terjadi adalah kesalingcurigaan dari

masing-masing pihak.

Ketiga, orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan

sebuah kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini

hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Khususnya oleh partai poliltik.

Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh

siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku

menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. Orientasi pendidikan

multikultural yang berorientasi kesejahteraan ini bukan berarti harus terjebak pada

pemenuhan kebutuhan materi yang berlebih dan sama banyaknya oleh semua

orang. Melainkan yang menjadi orientasinya adalah bahwa masyarakat secara sadar

dan tidak dipaksa mengatakan bahwa diri mereka telah sejahtera.

73

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, 78.

Page 60: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

43

Dengan demikian, bisa saja ada seseorang yang meskipun secara materi

dan ekonomi itu pas-pasan atau cukup, akan tetapi dia merasa sejahtera. Rasa

sejahtera ini diharapkan dimiliki oleh semua anggota masyarakat. Tentunya dengan

perlakuan yang manusiawi. Manusia pada dasarnya sudah merasa sejahtera ketika

kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi, dihargai dan diakui oleh orang lain dan

diberlakukan sebagai manusia.

Keempat, orientasi proporsional. Proporsional merupakan sebuah nilai

yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat

proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif,

tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Ketetapan di sini tidak diartikan sebagai

ketepatan yang bersifat rigid dalam arti hanya menggunakan salah satu

pertimbangan, misalnya pertimbangan kualitas intelektual, atau kuantitasnya,

melainkan ketepatan yang ditinjau dari semua sudut pandang, khususnya yang

berkaitan langsung dengan nilai proporsional, sehingga semua pihak dapat

menerima dengan baik, lapang dada, dan tidak menimbulkan kasak-kusuk di

belakang.

Kelima, orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan

heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara

fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang

diyakini oleh sekelompok orang. Misalnya kebenaran yang didasarkan pada hasil

metode ilmiah dengan melalui hipotetiko-logiko-verifikatif, sehingga kaum

positivis tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang tidak sama

atau tidak sepakat bahkan menolak kebenaran positif tersebut. Pemaksakan

kehendak untuk menerima pendapat, pemikiran, teori, kebijakan, sistem politik,

sistem ekonomi, sistem budaya, sistem pendidikan dan sebagainya adalah tidak

sesuai dengan pendidikan multikultural.

Jika sikap-sikap tersebut tidak dieliminir, maka penghilangan generasi

suatu kelompok sampai yang tak berdosa sekalipun akan sering muncul.

Penghapusan etnik, penganut agama, kelompok masyarakat, atau bahkan

penghilangan Negara tertentu akan menjadi fenomena yang biasa dan wajar.

Padahal semua itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai

orientasi utama pendidikan multikultural ini.

Keenam, orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Dominasi dan

hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja

kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh

para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis dan neoliberalis. Hegemoni bukan

hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang pelayanan terhadap masyarakat.

Karena dewasa ini, yang menjadi penguasa dan menjadi perhatian utama adalah

kaum berduit. Jutawan, miliarder, atau bahkan triliuner menjadi impian semua

orang, sehingga merekalah yang akan mendapatkan pelayanan very important

(VIP), sementara kaum cilik, miskin, terbelakang, kalah kompetisi, dan bodoh

Page 61: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

44

selalu disisihkan bahkan dilecehkan. Model interaksi sosial yang demikian inilah

yang diharapkan dibangun dalam pendidikan multikultural.

Dari uraian orientasi pendidikan multikultural yang telah dipaparkan, jika

semua itu dapat dilaksankan dengan baik dalam ssistem pendidikan Negara ini

maka sikap fanatisme buta, fundamentalisme picik, radikalisme, anarkhisme

membabi buta, bahkan terorisme dapat dihindari atau bahkan dihilangkan sama

sekali. Tentunya semua itu memerlukan tanggapan, dukungan, bantuan, tahapan,

dan tindakan real untuk melaksanakan pendidikan multikultural dengan sebaik-

baiknya. Reduksi kemanusiaan (dehumanisasi) yang selama ini terus muncul harus

dicegah dengan tindakan nyata, akan tetapi tidak melalui kekerasan dan

anarkhisme yang menjadi ciri khas dehumanisasi itu sendiri.

Orientasi-orientasi tersebut, tentunya berangkat dari hakikat ontologi

pendidikan multikultural sendiri. Keterkaitan antara hakikat dan orientasi perlu

terus dijaga. Sebab kesenjangan yang selama ini terjadi disebabkan oleh adanya

kesenjangan antara slogan pendidikan yang mampu mengentaskan seluruh umat

manusia, namun pada kenyataanya justru telah terjadi eksploitasi yang sangat luar

biasa dan besar-besaran. Sampai-sampai manusia itu sendiri tereduksi di dalamnya

tanpa mampu keluar dari lingkaran setan (the satanic circle) modernisasi dan

liberalisasi.

Lihua Geng memberikan analisis kritis terhadap pendidikan multikultural

yang tidak hanya membentuk sikap harmonis dan dapat saling menghargai antara

sesama siswa yang berbeda latar belakang. Namun juga membentuk siswa mampu

berpikir kritis di tengah-tengah perbedaan.74

Begitu pula Aneta Barakoska

menambahkan pendidikan multicultural sebagai proses penyadaran untuk

mengakui terhadap perbedaan pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.75

Selain itu penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat menciptakan

pengaruh ke dalam empat factor yaitu; (1) gerakan hak asasi manusia, (2)

meningkatnya kesadaran kesukuan, (3) analisis lebih kritis terhadap buku teks dan

bahan-bahan lainya, (4) hilangnya kepercayaan terhadap pandangan/teori tentang

kekurangan budaya. Sedangkan karakteristiknya adalah proses pendidikan yang

berkelanjutan dan dinamis, proses pembelajaran yang kritis antara guru dan murid,

anti rasisme, integrasi atas semua komponen pendidikan, meresap dalam proses

pendidikan secara keseluruhan. semua itu menjadi sangat penting bagi siswa yang

minoritas maupun mayoritas untuk meciptakan keadilan sekolah.76

74

Lihua Geng, ‚Reflection on Multiculture Education Under The Background of

Globalization,‛ Higher Education Studies, vol. 3, no. 6 (2013): 53-57. 75

Aneta Barakosa, ‚Multiculturalism As Important Characteristic of

Contemporary Education,‛ IJCRSEE, vol. 1, no. 1 (2013),

http://ijcrsee.com/index.php/ijcrsee/article/view/5/47, (accessed May 30, 2017). 76

Hasan Arslan, ‚Multicultural Education: Approaches, Dimesions and Principles,‛

in Multicultural Education From Theory to Practice, eds. Hasan Arslan dan Georgeta Rata

(Newcastle: Camridge Scholars Publishing, 2013), 18.

Page 62: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

45

James A. Banks lebih merinci ada delapan karakter yang menunjukkan

sebagai sekolah multikultural; (1) sikap, persepsi, kepercayaan, dan tindakan staf

sekolah yang menunjukkan inklusif. Staf sekolah mempunyai harapan tinggi dan

bersikap positif kepada semua siswa; (2) formulasi kurikulum pendidikan yang

mencerminkan pengalaman, budaya, dan berbagai perspektif kelompok etnik,

budaya yang berbeda; (3) model pembelajaran yang sesuai dengan karakter belajar,

budaya dan motivasi siswa; (4) staf sekolah menunjukkan adanya penghormatan

terhadap bahasa dan dialek asli siswa: (5) materi pembelajaran menunjukkan

konsep, situasi, keadaan yang mencerminkan dari berbagai perspektif kelompok

ras, budaya dan etnik; (6) hal yang menjadi ukuran evaluasi belajar adalah

kepekaan terhadap budaya dan menunjukkan proporsionalitas terhadap bakat

siswa; (7) budaya dan kurikulum sekolah mencerminkan perbedaan; (8) guru

konseling di sekolah mempunyai harapan tinggi kepada semua siswa terhadap

tujuan positif karir mereka.77

James A. bank menyatakan Ada lima dimensi yang harus dikembangkan di

dalam pendidikan multikultural. (1) adanya integrasi konten dalam program

pembelajaran; (2) proses konstruksi pengetahuan; (3) pengurangan prasangka

buruk; (4) kesetaraan pendidikan; (5) pemberdayaan struktur sosial dan budaya

sekolah.78

Kelima dimensi ini tentu sebagai dasar dalam pengembangan pendidikan

multicultural, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan dimensi-dimensi lain

yang tak terbatas.

Selain itu James A. Bank juga menguraikan standar dalam

menyelengarakan pendidikan multikultural. Dalam menyelenggarakan pendidikan

ini ada 8 standar yang tidak boleh ditinggalkan. Pertama adanya pengumuman atas

kebijakan sekolah yang mengembangkan pendidikan multikultural dan mendukung

perbedaan. Standar awal ini dapat memberikan kesadaran para pengelola

pendidikan untuk menyiapkan segala unsur kependidikan yang mengarah pada

tujuan dari pendidikan multikultural. Kedua, staf sekolah, termasuk bagian

administrasi, guru, konselor dan karyawan sekolah mencerminkan keberagaman.

Cerminan ini dapat menjadi pembelajaran terhadap warga sekolah dalam interaksi

bersama di lingkungan sekolah. Ketiga, harapan dan sikap staf sekolah yang positif

terhadap perbedaan. Keempat, bentuk kurikulum yang transformatif dan lebih

fokus pada aksi. Kelima, partisipasi wali murid dalam menyediakan dan

memberikan jaringan kepada anak didik dalam memperluas pengetahuan terutama

dalam konteks budaya. Keenam, strategi pembelajaran yang sesuai dengan

kebutuhan, interaktif dan kooperatif. Ketujuh, menyiapkan bahan pembelajaran

yang menunjukkan pengalaman atas keragaman dan perbedaan. Kedelapan,

77

James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, (Allyn and Bacon,

2002), 36-38. 78

James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, 30-35.

Page 63: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

46

memonitor selalu atas program pendidikan yang dijalankan.79

Berikut adalah bagan

standar implemntasi dari pendidikan multikultura

Selanjutnya menurut H.A.R. Tilaar, implementasi pendidikan multicultural

dapat melalui lima program prioritas. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan

sebagai pusat budaya. Lembaga pendidikan selain sebagai pusat belajar dan

mengajar (intellectual development) juga merupakan pusat penghayatan dan

pengembangan budaya local, nasional maupun global. Kedua, melalui pendidikan

kewargaan. pendidikan ini titik tolaknya budaya dalam lingkungan peserta didik

yang kemudian akan bermuara kepada nilai-nilai budaya nasional. Ketiga, melalui

kurikulum pendidikan multicultural. Otonomi sekolah memberikan kesempatan

untuk menyusun kembali kurikulum yang berbasis multikultural yang sesuai

dengan kebutuhan. Keempat, kebijakan penyebaran informasi. Kebijakan ini

79

James A. Banks, An Indroduction Multicultural Education, 111-120.

Bagan 2.1: Standar dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural.

Kebijakan dalam mendukung

Pendidikan Multikultural

Sikap Staf sekolah yang positif

atas keragaman peserta didik

Kurikulum yang Transformatif

dan berbasis aksi

Strategi pembelajaran yang

konstruktif, partisipatif dan

kooperatif

Staf Sekolah yang beragam latar

belakang

Partisipasi Wali Murid dalam

mendukung pendidikan

multikultural

Bahan Pengajaran yang mengarah

pada multikultural

Memonitor setiap komponen

program pendidikan

Page 64: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

47

penting karena dapat member petunjuk bagi anak didik untuk memilih dan

menerima informasi-informasi baik dari guru, buku-buku, dan teknologi

informatika. Kelima, melalui pendidikan guru. Kompetensi guru dalam hal ini

signifikan sekali pengarugnya terhadap penanaman nilai-nilai multikultural anak

didik.80

D. Masyarakat Sipil (santri) Sarana Efektif Deradikalisasi.

Deradikalisasi bukan hanya dikembangkan dalam pengertian sebagai upaya

rehabilitasi, tetapi juga sebagai upaya kontra ideologi atau deideologisasi

(deideologization). Dengan demikian, program deradikalisasi dapat melakukan

pencegahan semenjak dini terhadap pengaruh-pengaruh ideologi radikal.

Deradikalisasi tidak hanya ditekankan pada para pendukung gerakan terorisme,

para mantan pelaku terror dan mereka yang menjadi tahanan saja. Namun,

deradikalisasi juga harus diperluas kepada organisasi ataupun lembaga masyarakat

sipil yang memiliki posisi strategis.81

Seperti sekolah, pesantren, ormas-ormas,

organisasi kepemudaan, karang taruna, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, penanganan radikalisme yang terlalu bertumpu pendekatan

legal formal dan bersifat represif yang selama ini dilakukan oleh pemerintah perlu

ditinjau ulang, karena logika pendekatan melalui mekanisme hukum berlawanan

dengan logika yang dianut oleh para teroris. Dalam 12 tahun terakhir pemerintah

sudah menangkap 750 lebih tersangka teroris dan 70 lebih ditembak mati,

termasuk para gembongnya. Sanksi pidana fisik tidak membuat pelaku berhenti,

tetapi para teroris bertindak jauh melampaui rasa takut terhadap ancaman

hukuman tersebut. Mengingat bahwa kekerasan yang dilakukan saat ini pada

umumnya berdasarkan ideologi agama, maka diperlukan pula gambaran etnis

berdasarkan aspek kultural religinya.82

Memang ada yang mengatakan bahwa

sekarang ini perang melawan radikalisme dan terorisme sudah memasuki kawasan

yang lebih subtantif, yakni tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah

memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan

pikiran. Itulah perang gagasan dan ideologi tentang terorisme dan counter of

terorism.

Deradikalisasi merupakan suatu strategi yang didasari oleh suatu

pemahaman konseptual untuk menangani masalah terorisme. Konsep ini

merefleksikan adanya suatu kebutuhan untuk melakukan perubahan dalam

penanggulangan terorisme. Strategi yang sebelumnya sangat didominasi oleh hard

80

H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tangtangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, 223-232.

81Muhammad A.S. Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung

Radikalisme (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2013), 80. 82

Dhyah Madya Ruth, Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), 2.

Page 65: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

48

power menjadi keseimbangan yang sinergis dengan soft power . Kata deradikalisasi

berasal dari kosa kata bahasa inggris, ‚radical‛ (radix= yang berkaitan dengan

akar) dan ‛deradicalization‛.83

Deradikalisasi tidak terlepas dari kata ‚radikal,

radikalisasi, dan radikalisme‛. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

radikal berarti ‚secara mendasar, amat keras menuntut perubahan, maju dalam

berpikir atau bertindak‛.84

Radikalisasi berarti suatu proses dalam berpikir

dan/atau bertindak, menuntut perubahan secara cepat dan mendasar. Radikalisme

berarti suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan

sosial dan politik dengan cara kekerasan atau sikap ekstrem dalam suatu aliran

politik.85

Radikalisme merupakan fakta sosial yang spektrumnya merentang dari

lingkungan makro (global), lingkungan messo (nasional) maupun lingkungan mikro

(lokal). Kajian mengenai radikalisme lebih banyak memberi perhatian kepada

proses radikalisasi dan akibat-akibat radikalisme. Dalam pendekatan tersebut,

berupaya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu atau kelompok

bertindak radikal. Mereka memandang bahwa keyakinan, latar belakang

pendidikan, kondisi sosial dan ekonomi menjadi faktor-faktor yang membentuk

proses radikalisasi. Selain itu tindakan radikal, seringkali dipandang sebagai

pilihan rasional bagi sekelompok orang. Tindakan radikal melibatkan mobilisasi

sumber daya dan kesempatan politik yang dibingkai dengan kerangka tertentu,

misalnya agama.86

Istilah radikalisme tidak jarang dimaknai berbeda di antara kelompok

kepentingan, dalam lingkup kelompok keagamaan, radikalisme merupakan

gerakan-gerakan keagamaan yang bersusaha merombak secara total tatanan sosial

dan politik yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan.87

Radikalisme agama

bertolak dari gerakan politik yang mendasarkan diri pada suatu doktrin keagamaan

yang paling fundamental secara penuh dan literal bebas dari kompromi, penjinakan

dan reinterpretasi (penafsiran).88

Sedangkan dalam studi ilmu sosial radikalisme

diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar

sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya.

Berdasarkan telaah arti radikalisme tersebut, radikalisme sesungguhnya merupakan

83

Muhammad A.S. Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme, 81.

84Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

1995, hlm. 808. 85

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995, hlm. 808.

86Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi

Kasus, (Jakarta: Gading Publishing, 2012). 87

A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007), 33.

88Azyumardi Azra, ‚Memahami Gejala Fundamentalisme‛ Jurnal Ulumul Qur’an,

IV, no. 3 (1993): 5.

Page 66: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

49

konsep yang netral dan tidak bersifat pejorative (melecehkan). Karena perubahan

yang besifat radikal bisa dicapai melalui cara damai dan persuasive, tetapi bisa

juga dengan kekerasan.89

Deradikalisasi merupakan upaya untuk menghilangkan, meniadakan atau

paling tidak menetralisasi radikalisme. Di dalam konteks penanggulangan

terorisme, deradikalisasi pada awalnya dimaksudkan sebagai upaya untuk

membujuk teroris dan pendukungnya untuk meninggalkan penggunaan kekerasan.90

Namun demikian, istilah deradikalisasi juga mempunyai perkembangan arti. Kata

tersebut diartikan sebagai pemutusan atau ‚disengagement‛ dan deideologisasi

atau ‛deideologization‛. Pemutusan berarti meninggalkan atau melepaskan aksi

terorisme atau tindakan kekerasan. Hal ini berarti deradikalisasi mempunyai tujuan

untuk melaksanakan reorientasi sebagaimana dikonseptualisasikan oleh John

Horgan, yakni bahwa pemutusan adalah perubahan-perubahan sosial dan kognitif

dalam arti meninggalkan berbagai norma sosial, nilai, perilaku dan aspirasi yang

diikuti bersama dengan suatu cara yang hati-hati sementara individu yang

bersangkutan masih menjadi seorang anggota dari suatu jejaring teroris.91

Pengertian deradikalisasi yang berarti kontra ideologi umumnya mengacu

pada upaya menghentikan pemahaman dan penyebaran ideologi yang dimiliki

teroris.92

Deradikalisasi menjadi suatu kegiatan yang lebih fokus pada netralisasi

pengaruh pemikiran radikal, sehingga ia juga memiliki tujuan kontra radikalisme.

Menurut Counter Terrorism Implementation Task Force (CTITF), deradikalisasi

adalah program kebijakan yang ditujukan kepada pelaku dan napi terorisme,

dengan cara memberikan paket-paket bantuan sosial, hokum, politik, pendidikan

dan ekonomi.93

Pengertian deradikalisasi yang telah disebutkan di atas memang cenderung

digunakan dalam kebijakan pemerintah untuk melawan teororis. Namun, pada

dasarnya masih perlu upaya pengembangan lebih jauh agar lebih inklusif dan tidak

terbatas pada kelompok teroris atau mantan teroris. Hal ini disebabkan bahwa

upaya netralisasi ideologi pada hakikatnya adalah upaya memperkuat benteng

pertahanan ideologis dari warga Negara, terutama sebagai penetrasi terhadap

pengaruh ideologi radikal yang dibawa dan dipropagandakan oleh kelompok

radikal. Oleh karena itu, kelompok-kelompok, lembaga-lembaga strategis dalam

89

Ismail Hasani, dkk. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama / Berkeyakinan (Jakarta: Pustaka

Masyarakat Setara, 2010), 19. 90

International Crisis Group, ‛Deradicalization and Indonesian Prisons‛: Asia

Report. No. 42, 19 November 2007. Dikutip dalam R. Petrus Golose, 81. 91

John Horgan, Journal of the Terorism Research Initiative, 2010, 82. 92

Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: YPKIK, 2010), 85.

93Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan

Menyentuh Akar Rumput, 82 .

Page 67: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

50

masyarakat juga merupakan sasaran program deradikalisasi, bahkan harus lebih

diintensifkan dan diperluas sosialisasinya sebagai bentuk tindakan preventif sejak

dini.

Dalam pelaksanaan program deradikalisasi yang dimulai pada tahun 2005,

sasaran yang diutamakan adalah para tawanan teroris dan keluarganya. Masyarakat

sipil yang dilibatkan adalah kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang

langsung memiliki hubungan dengan ideologi radikal. Misalnya saja seperti ormas

Islam dan tokoh-tokoh Islam, baik yang berafiliasi dengan kelompok moderat,

modernis maupun fundamentalis. Menurut Golose, program deradikalisasi

memiliki enam tujuan yaitu 1) melakukan counter-terrorism; 2) mencegah proses

berkembangnya radikalisme; 3) mencegah adanya provokasi, penyebaran

kebencian, dan permusuhan antar umat beragama; 3) mencegah masyarakat dari

indoktrinasi; 5) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham

teror; 6) memperkaya pemahaman atas khazanah perbandingan paham.94

Keberadaan dan peran masyarakat sipil dalam sejarah Indonesia memang

cukup panjang, bahkan sebelum kemerdekaan dicapai. Masyarakat sipil Indonesia

(MSI) modern dapat dikatakan mulai tumbuh bersamaan dengan munculnya

organisasi dan gerakan-gerakan mandiri dalam masyarakat kolonial ketika proses

industrialisasi diperkenalkan. Benih-benih MSI modern tersebut juga telah ada dan

dapat ditemukan dalam tradisi budaya yang menunjukkan ciri-ciri kemandirian,

keswasembadaan dan kesukarelaan. Sebagai contohnya tradisi lumbung desa,

tradisi tanah perdikan, lembaga pendidikan pesantren, budaya gotong royong,

arisan, musyawarah desa, dan lain sebagainya. Benih-benih tradisi seperti inilah

yang menjadi dasar munculnya etos kemandirian dan ketahanan masyarakat yang

dapat dipergunakan untuk menghadapi tekanan dan ancaman pihak luar pada

situasi dan kondisi krisis, baik yang datang dari alam maupun buatan manusia.

MSI modern berkembang yang bermula dari masa penjajahan memiliki akar budaya

asli Indonesia yang berfungsi sebagai wahana persemaian gagasan dan gerakan

nasionalisme, anti kapitalisme dan juga semangat anti penjajahan.95

Deradikalisasi akan berjalan baik dengan adanya landasan budaya yang

memiliki perspektif multikulturalisme. Melalui pemahaman multikulturalisme

diharapkan tidak ada lagi berbagai stereotip yang membedakan secara tajam antara

‚kami‛ dan ‚mereka‛, di mana ‚kami‛ adalah yang unggul atau superior,

sedangkan ‚mereka‛ adalah asor/hina. Karena menurut Parsudi Suparlan melalui

perspektif multikulturalisme akan tercipta persamaan hak antar kelompok-

kelompok suku, bangsa, ras, gender dan agama.96

94

Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput, 116.

95Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003), 98 -130. 96

Parsudi Suparlan, Ilmu Kepolisian (Jakarta: YKIK, 2008), 347.

Page 68: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

51

Santri yang identitasnya identik dengan semangat keagamaan memiliki

kedudukan tersendiri. Ia cenderung mudah untuk menerima doktrin agama dan

dengan kuat memegang doktrin itu. Sementara, sejatinya doktrin agama yang

diasumsikan oleh beberapa gelintir orang merupakan faktor internal dan eksternal

dalam menyebabkan konflik sosial, justru memiliki semangat multikulturalisme.

Pernyataan ini selalu mengusik ketika agama dipahami sebagai pemicu

permasalahan sosial yang perlu dihindari dalam pembangunan sosial dan

kebudayaan atau peradaban bangsa. Bahwa secara teologis sebenarnya agama tidak

mengajarkan berbuat keburukan yang bertolak belakang dengan semangat

multikulturalisme. Namun, jika ada pemeluk agama yang berbuat keburukan, hal

itu bukan karena ajaran agama yang salah. Melainkan pemeluk agama yang gagal

paham terhadap ajaran agama. Sepaham dengan pernyataan Franz Magnis Suseno

yang menyatakan bahwa, penganut agama yang berbuat radikal atas nama agama

bukan karena ajaran agama yang radikal. Melainkan penganut agama tersebut yang

salah mengartikan ajaran agama.97

Multikulturalimse dengan sendirinya akan mengantarkan kepada terjadinya

deradikaliasi agama. Proses deradikalisasi adalah proses pembalikan dari

radikalisasi. Radikalisasi dimulai dari perekrutan, pengidentifikasian diri,

indoktrinasi, dan jihad yang disesatkan. Sedangkan proses deradikalisasi dimulai

dari identifikasi dan klasifikasi ajaran-ajaran agama Islam, fokus penanganan

terpadu, disengagement dengan pendekatan humanis, soul approach (pendekatan

jiwa) dan deideologi, multikulturalisme dan kemandirian.98

97

Franz Magnus Suseno, ‚Religious Harmony in Religious Diversity: The Case in

Indonesia,‛ in Religious Harmony: Problems, Practice and Education, ed. Micahel Pye,

Edith Franke, Alef Theria Wasim, and Abdurrahman Mas’ud (Berlin: Walter de Gruyter

GmbH & Co, 2006), 27-34. 98

Petrus R. Golose, Deradikalisasi Terorisme; Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu, 2009), 63.

Page 69: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

52

Bagan 2.2: Hubungan Pendidikan Multikultural dengan Deradikalisasi

Abdurrahman Kasdi mengungkapkan bahwa pada dasarnya, watak dan

karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang

damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini, tidak

menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan

pesantren dengan kebudayaan lokal.99

Toleransi dan multikulturalisme pesantren

oleh Nikii Keddie, pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah

yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia

Tenggara.100

Setidaknya, seorang santri telah mengetahui dan menyadari bahwa contoh

sikap yang selaras dengan paham multikultural telah diimplementasikan oleh

Rasulullah saw. melalui konsep masyarakat madani di Madinah. Mulyadhi

Kartanegara menguraikan nilai-nilai madani multikultural yang menyokong

tegaknya masyarakat kosmopolitan meliputi: pertama, inklusivisme, yaitu

keterbukaan diri terhadap ‚unsur luar‛ melalui kemampuan melakukan apresiasi

dan seleksi secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang

memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab

99

Abdurahman Kasdi, ‚Pendidikan Multikultural di Pesantren, Membangun

Kesadaran Keberagamaan yang Inklusif‛, dalam Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-

Desember (2012): 211-222. 100

Nikki R. Keddie, ‚Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East:

Coparative Reflections‛, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 (1987): 34.

Pendidikan Multikutural:

Keadilan Sosial,

kesetaraan (equality)

dan Hak Asasi

Manusia

Karakter Demokratis,

pluralis dan Humanis

Penolakan Rasisme,

Seksisme, Prejudice,

Stereotipe, dan

etnosentrisme

Keterampilan Aksi

Sosial

Global Vilage

Deradikalisasi:

Toleransi

Meluruskan

Pemahaman Jihad

Menjunjung tinggi

nilai-nilai

kemanusiaan

Menghilangkan

ketimpangan ekonomi

Pembekalan

keterampilan kerja

Page 70: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

53

lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama. Termasuk ke dalam

humanisme di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya.

Ketiga, toleransi, yaitu adanya kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam

menyikapi perbedaan. Keempat, demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan

berpikir dan penyampaian kritik.101

Dalam konteks aktor radikalisme, wacana yang berkembang dipahami

sebagai sekelompok orang yang kebanyakan terdidik dari pendidikan pesantren.

Akibatnya, tumbuh dalam pemahaman publik bahwa pesantren merupakan tempat

pendidikan bagi calon teroris. Fakta ke-Indonesia-an menunjukkan bahwa

pendidikan pesantren tidak mengajarkan tentang radikalisme. Isu radikalisme yang

mengaitkannya dengan pesantren telah membuat opini publik terhadap pesantren

menjadi buruk. Keberadaan kurikulum pengajaran seringkali menjadi faktor utama

keterlibatan pesantren dalam radikalisme.102

Santri adalah bagian dari pesantren, ia merupakan harapan output dan

outcome yang akan merealisasikan segala visi misi pesantrenya. Untuk

mengcounter, menetralisasi atau bahkan menghilangkan stigma tentang pesantren

sebagai tempat pengkaderan teroris, maka perlu adanya upaya memberikan

pengetahuan yang komprehensif tentang aksi-aksi radikal, teror, konsep tawassuth

(tidak memihak atau moderasi), tasammuh (toleransi), tawa>zun (menjaga

keseimbangan dan harmoni), tashawwur (musyawarah), adl (bersikap adil dalam

beraksi maupun bereaksi), dan pemahaman Islam sebagai agama rahmatan li

al‘a>lami>n.

Pesantren mempunyai sikap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam

secara substantif dan inklusif-humanis sesuai kondisi lokalitas-kultural Islam

Indonesia yang damai.103

Pesantren sebagai ujung tombak syi’a>r Islam sebagai

agama rahmatan li al-’a>lami>n memiliki visi yang lebih jauh, yaitu menciptakan

perdamaian antar sesama manusia dan toleran terhadap berbagai macam

perbedaan. Dengan demikian radikalisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam,

dan bukanlah sebagai sebuah ajaran yang dikembangkan oleh pesantren.

101

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), 80-91.

102Nuhrison M. Nuh (ed.), Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya

Damai, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010), 3. 103

Terminologi pesantren mengindikasikan bahwa pesantren secara kultural lahir

dari budaya Indonesia, dari sinilah barangkali Nurcholis Madjid berpendapat, secara

historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian

Indonesia. Lihat, Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 62.

Page 71: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

54

BAB III

KIPRAH PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN DALAM

MEMPERJUANGKAN NILAI-NILAI MULTIKULTURAL

Nilai-nilai multikultural sebenarnya telah membudaya di Nusantara jauh

sebelum munculnya konsep multikulturalisme Barat. Masyarakat Nusantara telah

terbiasa hidup berdampingan damai di tengah perbedaan budaya, ras, agama, suku,

dan bangsa. Sudah sepatutnya, generasi selanjutnya untuk terus merawat dan

melestarikan pandangan/nilai-nilai multikultural. Selain untuk mewujudkan

perdamaian, nilai-nilai multikultural memang sudah menjadi sunnatullah dalam

kehidupan di alam semesta.

Bab ini akan menguraikan kiprah pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman dalam memperjuangkan dan melestarikan nilai-nilai multikultural. Bagian

awal bab ini menguraikan terkait profil pondok pesantren mulai dari letak

geografis, sejarah berdirinya, visi misi dan profil kiyai pendiri pesantre. Kemudian,

disajikan data latar belakang santri dan pengurus pesantren. Tidak ketinggalan juga

dijelaskan tentang hubungan pondok pesantren dengan umat agama lain. Terakhir,

dijelaskan juga kiprah para lulusan/alumni dari pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman.

A. Letak Geografis dan Sejarah berdirinya Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman

Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dibangun di atas lahan yang

mencapai 75 hektar. Pondok Pesantren tersebut beralamatkan di Desa Waru Jaya

Kec. Parung Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat. Pesantren didirikan pada 16 Juni

1998, tetapi baru terdaftar secara resmi di kantor Departemen Agama pada tanggal

12 Maret 1999 dengan nomor: MI-10/1/PP/007/825/1999.1 Pesantren ini termasuk

kategori pesantren modern2 yang didirikan oleh As-Syekh Habib Saggaf bin Mahdi

bin Syekh Abi bakar bin Salim (almarhum).

Pesantren, sebenarnya adalah lembaga perkotaan, sebab pusat-pusat

kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di Pulau Jawa, terletak di pesisir

sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Pondok pesantren sebagai tempat mencari

ketenangan, justru terletak di tengah kesibukanya. Seperti Sinagog Yahudi, atau

biara Budha di Asia Tenggara. Bukan seperti biara Kristen di Timur Tengah

1http://www.nuruliman.or.id/sejarah-pesantren diakses pada 5 September 2017.

2Pesantren modern adalah anti-tesa dari Pesantren salaf. Istilah Pesantren modern

ini pertama kali dipopulerkan oleh Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor

Ponorogo. Pesantren modern disebut juga dengan Pesantren Kholaf atau ‘Ashriyyah yang

berarti modern, antonim dari salaf. Ciri dari Pesantren modern diantaranya Penekanan pada

bahasa Arab dan bahasa Inggris percakapan, memakai buku-buku literatur bahasa Arab

kontemporer (bukan klasik/kitab kuning), memiliki sekolah formal dibawah kurikulum

Diknas dan/atau Kemenag dari SD/MI MTS/SMP MA/SMA maupun sekolah tinggi, dan

tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.

Lihat http://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern-dan-pesantren-salaf/ diakses pada 7

September 2017.

Page 72: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

55

dahulu, yang umumnya terletak di tengah kesepian gurun. Kuatnya watak pondok

pesantren ini masih tampak nyata, walau selama dua – tiga ratus tahun terakhir ini

ia digusur ke pedalaman oleh perkembangan sejarah. Yaitu oleh gabungan

konfrontasi sosial-ekonomis melawan Kompeni Belanda, dan tekanan-tekanan

kraton pusat di pedalaman. Watak kekotaan masih dapat dilihat pada keceptan

komunikasi di kalangan pondok pesantren, dan cara-cara memobilisasi pendapat

umum melalui penyadaran massal dalam rapat-rapat umum dan sebagainya.3

Selaras dengan penjelasan di atas, pada saat pertama kali Pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman berdiri, Desa Waru Jaya4 masih identik dengan kategori

desa terpencil. Kenyataan itu didasarkan pada mayoritas masyarakat yang

berpenghasilan rendah dengan hanya mengandalkan penjualan daun melinjo beserta

buahnya dan ikan air tawar, ditambah dengan kondisi pendidikan masyarakat desa

tersebut yang masih sangat rendah pada masa itu.5 Meskipun berada di daerah

terpencil, watak kekotaanya terlihat saat pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

berkembang secara pesat. Belum sampai pada usia ke-10, pesantren tersebut sudah

menampung puluhan ribu santri dari berbagai pelosok daerah Negara Indonesia

(Aceh, Padang, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa, NTB, NTT, Irian Jaya,

Sulawesi, Kalimantan, dan daerah lainya), bahkan ada yang dari luar negeri

(Singapura, Malaysia).

Perkembangan pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, menurut hemat peneliti

tidak lepas dari letak strategis wilayah Kecamatan Parung. Letak pesantren

berjarak hanya sekitar 15 km dari pusat kota Kecamatan Parung. Daerah Parung

merupakan jalur antar Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi

Banten. Selain itu, jarak pesantren dari terminal lebak bulus Jakarta Selatan sekitar

60 km. Jarak yang dapat ditempuh hanya sekitar 45 – 60 menit saja. Akses ini

memudahkan para santri dan wali santri untuk mengunjunginya.

Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah Habib

Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim, namun karena makin banyaknya

santri yang berminat maka dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu)

yang berukuran 4 x 5 meter di areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak

belukar dan rumput ilalang. Seiring banyaknya santri yang berminat hingga kobong

tersebut tidak lagi mencukupi untuk ditempati. Mulailah, beliau membangun

3Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren: Dari Masa Lalu ke Masa Depan,

https://santri.or.id/pondok-pesantren-dari-masa-lalu-ke-masa-depan/ 4Menurut Habib Saggaf selaku pendidiri Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman,

Waru berarti wara’ (berhati-hati dalam bersikap agar terhindar dari sesuatu yang bersifat

haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau subhat), sedangkan Jaya berarti

Sukses, Sejahtera. Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan pesantren, maka terlihat

keselarasanya. Santri dituntut untuk bersikap wara’ agar dapat meraih kesuksesan di masa

depan (dunia dan akhirat). Hasil wawancara dengan salah seorang pengurus pesantren

bernama Ustadz Ali Mutakin pada tanggal 25 September 2017 di pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman. 5https://www.nuruliman.or.id/sejarah-pesantren diakses 5 September 2017

Page 73: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

56

gedung asrama di samping kobong tersebut, diawali dengan membangun gedung H.

Isya dengan luas 15x12 M2 pada tahun 2000.6

Animo masyarakat untuk menimba ilmu di pesantren ini tidak terbendung.

Perkembangan terus berlanjut, dari tahun ke tahun, peningkatan jumlah santri

begitu drastis yang pada akhirnya muncul asrama-asrama baru yang menjadi objek

penampungan para santri, seperti asrama Gandhi Sevaloka7 dengan luas 15x12 M2,

lalu disusul dengan dibangunya asrama Hb. Umar dengan luas 15x12 M2 yang

masih pada tahun 2000.

Program utama sebuah pesantren adalah implementasi ilmu akhirat.

Namun, untuk menunjang kehidupan dunia, pesantren memberikan pembekalan

IPTEK bagi santrinya. Oleh karenanya, sarana ibadah menjadi prioritas utama

selain asrama santri. Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman membangun sarana ibadah

berupa Mushola Syaukat dengan luas 32.5 x 9.50 M2 yang terletak di depan pintu

gerbang pondok.

Peningkatan jumlah Santri yang begitu drastis menarik perhatian orang-

orang dermawan untuk ikut andil dalam mengembangkan pesantren. Mereka

menjadi donatur dalam pembangunan berbagai sarana prasana lainya. Asrama

Hanif (perkomplekan putra) dengan luas 12 x 6 M2 , Asrama H. Qosim

(perkomplekan putra) dengan luas 12 x 6 M2, asrama Olga Fatma (perkomplekan

putra) dengan luas 20 x 12 M2, asrama Anwariyyah (perkomplekan putra) dengan

luas 56 x 12 M2, tiga lokal asrama (perkomplekan putri), asrama dengan tiga belas

kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putri) dan

dua tempat ibadah (Masjid) perkomplekan putra dengan luas 36x36 M2 (diberi

nama Masjid Thaha) dan di area perkomplekan putri dengan luas 30x20 M2 (diberi

nama Masjid Siti Fatimah). Nama-nama bangunan tersebut disandarkan pada

orang-orang yang telah mendermakan hartanya sebagai bentuk apresiasi dari

pimpinan pesantren terhadap para donatur.

Selain itu ada gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putra) dengan

jumlah dua puluh enam ruangan, merupakan bantuan dari Yayasan Budha Tzu

Chi8. Satu ruang dipakai untuk laboratorium bahasa, satu ruang dipakai untuk

6H. Isya merupakan salah satu donatur tetap pesantren sekaligus teman akrab

Habib Saggaf. Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al

Ashriyyah Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. Lihat juga M. Suparta,

‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah Nurul Iman Parung

Bogor‛, Hikmah Journal of Islamic Studies Vol. XI, No. 2, (2015): 49-80. 7Asrama ini merupakan bantuan dari Yayasan Gandhi Sevaloka. Sebuah lembaga

yang didirikan oleh komunitas orang India yang ada di Indonesia. Mayoritas mereka

beragama Hindu. 8Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi adalah sebuah organisasi nirlaba yang

bergerak di bidang sosial kemanusiaan, antara lain: amal sosial, kesehatan, pendidikan,

budaya humanis, pelestarian lingkungan, donor sumsum tulang, bantuan internasional, dan

relawan komunitas. Tzu Chi yang kini berpusat di Hualien, Taiwan, didirikan oleh

Master Cheng Yen, seorang biksuni, pada 14 April 1966, setelah dia terinspirasi oleh guru

sekaligus mentornya, Master Yin Shun (Yin Shun Dao Shi) dengan harapan yang besar:

"demi ajaran Budha dan demi semua makhluk". Berbeda dengan komunitas Buddhis pada

Page 74: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

57

laboratorium komputer dan satu ruangan dipakai untuk laboratorium multimedia,

sisanya dijadikan ruang kelas belajar santri putra. Bangunan kampus hijau dengan

sepuluh ruangan, merupakan bantuan dari H. Abdurrahman, seorang dermawan dari

negeri Singapura. Bangunan Rusunawa merupakan bantuan dari Menpera (Mentri

Perumahan Rakyat) yang saat itu dijabat oleh Bapak Djan Farid. Gedung

Taekwondo dengan luas 60x40 M2 merupakan bantuan dari Mr. Park Young Su,

salah seorang non-Muslim dari korea selatan yang peduli terhadap pendidikan bela

diri santri.9 Bangunan kampus kaca

10 dengan luas 70x50 M2 yang difungsikan

untuk ruang kuliah, merupakan bantuan dari Tokoh Pluralisme sekaligus Presiden

Indonesia ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gusdur.

Hubungan Gusdur dan Habib Saggaf dipertemukan pada sebuah keakraban tentang

toleransi antar umat beragama sebagai pembawa misi Islam Rahman lil ‘Alamin.

Nama al-Ashriyyah Nurul Iman berasal dari bahasa Arab, al-‘Ashriyyah

bermakna modern atau up to date11

, yang tujuanya menjadi pusat pembinaan

pendidikan agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern sehingga

mampu menjawab tantangan era globalisasi. Nurul Iman berasal dari kosa kata

bahasa Arab, nu>r yang berarti cahaya, dan al-Ima>n bermakna keimanan. Oleh

karena itu, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman diharapkan mampu

menciptakan generasi yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu

pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan

yang tinggi.

Menurut Habib Saggaf pemilihan lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman memiliki folosofi tersendiri. Pada tahun 2008 secara tidak sengaja

ditemukan gambar lokasi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang

berbentuk telapak kaki kiri. Padahal, gambar telapak kaki itu tidak pernah didesain

oleh Habib Saggaf. Gambar tersebut diambil dari satelit. Menurut penuturan

beliau, makna dari fenomena gambar telapak kaki kiri itu adalah pondok pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman merupakan langkah awal dalam memajukan generasi

penerus bangsa. Sebagaimana setiap orang ketika hendak melangkahkan kaki akan

lebih mendahulukan kaki kirinya. Berikut adalah gambar lokasi pondok pesantren

yang berbentuk telapak kaki kiri.

umumnya yang lebih memfokuskan diri pada penerangan dan meditasi, Tzu Chi

memfokuskan pada lingkungan sosial. 9Berkat bantuan gedung taekwondo tersebut, santri al-Ashriyyah Nurul Iman

mampu meraih prestasi taekwondo nasional dan internasional. Tidak hanya membantu

penyediaan asrama gedung taekwondo, dari pihak korea selatan juga menyediakan tenaga

pengajar taekwondo dari Negara korea selatan secara gratis. Sampai saat ini hubungan

tersebut tetap harmonis. Bahkan, taekwondo Nurul Iman telah sering diundang untuk

tampil di salah satu stasiun TV Swasta. 10

Istilah kampus kaca disandarkan pada kaca yang digunakan sebagai penyekat

antara ruangan sehingga hampir seluruh rungan dikelilingi kaca. 11

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), Cet. XIV, 937.

Page 75: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

58

Gambar 3.1: Gambar Lokasi Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

berbentuk telapak kaki

B. Visi Misi Pesantren dan Profil Kiyai Pendiri Pesantren

Dalam menentukan arah kebijakan untuk mencapai cita-cita yang ideal,

sebuah lembaga tentu memiliki sebuah visi misi. Pondok Pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman memiliki visi misi sebagai berikut:

1. Visi : ‚Membangun manusia seutuhnya serta menciptakan generasi

masa depan yang islami, cerdas, unggul, percaya diri dan berjiwa

mandiri‛.

2. Misi : Membekali santri dengan pengetahuan agama Islam sehingga

santri memiliki kualitas spiritual yang tinggi

Menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti yang luhur bagi santri,

sehingga santri memiliki kepekaan sosial yang baik dan mampu

menciptakan solusi di tengah masyarakat.

Membekali santri dengan berbagai ilmu pengetahuan umum

dengan sebaik-baiknya sehingga santri dapat menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam mebangun daya intelektualitas

yang tangguh.

Menggali talenta dan jiwa kepemimpinan santri melalui berbagai

kegiatan ekstrakurikuler sehingga santri menjadi agent of change

yang unggul di masa mendatang.

Membekali santri dengan berbagai keterampilan berproduksi untuk

membangun jiwa kewirausahaan agar santri dapat menjadi motor

penggerak kehidupan sosial-ekonomi yang baik di masa mendatang

Page 76: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

59

Tentunya, visi misi tersebut di atas berdasarkan intisari dari ajaran al-

Qur’an dan al-Hadi>th yang pendiri pesantren fahami. Bahwa kedua sumber utama

ajaran agama Islam tersebut tidak pernah mendikotomikan ilmu agama dan ilmu

umum. Santri harus mampu menjadi generasi yang memiliki IMTAQ (Iman dan

Taqwa) yang kuat dan unggul dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).

Harapanya, santri memiliki kemantapan dalam merespon kehidupan global (arus

globalisasi).

Melihat visi misi pesantren tersebut di atas memang tidak diketahui secara

jelas bahwa pesantren tersebut mengembangkan pendidikan berbasis multikultural.

Pendidikan multikultural lebih ditunjukkan pada keteladanan-keteladanan dari

sang kiyai. Peneliti menduga, hal ini dikarenakan pesantren masih agak awam

dengan model pesantren atau sekolah yang beistilahkan multikultural secara

formal. Namun, dari segi nilai-nilai multikultural, pesantren telah memahami dan

melaksanakanya secara komprehensif sebagaimana yang diteladankan sang kiyai.12

Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menunjukkan keseriusanya

dalam mendakwahkan model pendidikan dengan konsep pesantren kepada dunia

internasional. Terbukti, nama pondok pesantren diubah menjadi Islamic boarding school.13

Usai perubahan nama, pesantren memiliki motto‚ Free and Quality Education Supported by Entrepreneurship‛. Motto tersebut memiliki harapan

bahwa pendidikan di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman harus tetap gratis dan

berkualitas tinggi sampai kapanpun.

Motto pesantren di atas juga menunjukkan bahwa pesantren memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak-anak generasi penerus bangsa dari

berbagai daerah untuk melanjutkan pendidikanya secara gratis. Kesempatan

tersebut diperuntukan bagi siapapun tanpa memandang ras, suku, bangsa, latar

belakang sosial, aliran keagamaan, tradisi, kepercayaan, agama dan golongan. Di

dalam kegiatan sehari-hari, semua santri diperlakukan sama. Mendapatkan fasilitas

dan kesempatan yang sama. Tidak ada penggolongan fasilitas keseharian santri

(makan, minum, asrama, MCK, dll) dan fasilitas pendidikan (ruang kelas, ruang

laboratorium, kursus, dll). Kebijakan pesantren ini merupakan wujud dari

12

Menurut peneliti, salah satu kekurangan manajemen pesantren adalah tidak

dicantumkanya visi misi pesantren di website pondok pesantren. Padahal, di era digital ini

informasi tersebut sangat diperlukan bagi wali santri yang ingin memondokkan anaknya.

Adapun menurut Ibrahim salah seorang pengurus pesantren bidang humas menyampaikan

bahwa nilai-nilai multikultural sudah tercakup dalam misi poin dua yaitu

‚menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti yang luhur bagi santri, sehingga santri memiliki

kepekaan sosial yang baik dan mampu menciptakan solusi di tengah masyarakat‛. 13

Kebijakan ini diambil oleh Istri dari Habib Saggaf bin Mahdi yaitu Ummi

Waheeda binti Abdul Rahman selaku pimpinan pesantren usai Habib Saggaf bin Mahdi

wafat. Semula pondok pesantren tersebut bernama YAPPANI (Yayasan Pondok Pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman), diubah menjadi YANIIBS (Yayasan al-Ashriyyah Nurul Iman

Islamic Boarding School). Perubahan ini terjadi pada tahun 2011 dengan akta notaris

nomor 18 dan notaris H. Bambang Suprianto, S.H, M.H.

Page 77: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

60

penyetaraan pendidikan bagi generasi penerus bangsa, sehingga dalam cita-cita

jangka panjang dapat tercipta kehidupan yang sejahtera.14

Pesantren ini memiliki lembaga pendidikan formal mulai dari PAUD

(Pendidikan Anak Usia Dini), TK (Taman Kanak-Kanak), SD (Sekolah Dasar),

SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) sampai

Perguruan Tinggi. Selain pendidikan formal juga dikembangkan pendidikan non-

formal seperti kursus menjahit, kursus bahasa asing, kursus komputer, kursus tata

boga, kursus beladiri taekwondo dan pencaksilat, dan lain sebagainya.

Untuk mencapai visi misinya, pesantren mengembangkan sebuah kegiatan

agar para santri mengenali dan mencintai budaya khas dari daerah mereka berasal.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler yang ada di

pesantren. Mulai dari jenis tarian masing-masing daerah, seni musik, seni drama,

nama khas panggilan santri, bahasa daerah sampai jenis makanan. Hal ini sesuai

dengan penjelasan James A. Bank tentang delapan karakter yang menunjukkan

sebagai sekolah multikultural.15

Pesantren memiliki konsep integrasi keilmuan agama dan umum.

Menyeimbangkan antara spiritual dan intelektual santri. Spiritual santri diperkuat

dengan berbagai kegiatan yang meliputi sholat dan wirid berjama’ah, tadarus al-

qur’an, melakukan do’a bangun dan sebelum tidur secara berjama’ah, belajar tafsir

al-qur’an, belajar kitab-kitab klasik (fiqh, tajwi>d, tauhid, hadi>th, tasawwuf, us}u>l al-fiqh, balaghah, nahwu, sharf, bahasa arab, dll). Sedangkan intelektual santri

diperkuat dengan kurikulum umum yang berstandarkan nasional pada masing-

masing jenjang pendidikan (PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan PT), ditambah

pendidikan kemandirian ekonomi (pelatihan manajemen usaha, pelatihan akuntasi,

pelatihan desain, pelatihan berbagai bidang usaha, dll).

Santri yang masih berada pada jenjang SD, SMP, dan SMA, di asrama

tempat mereka menetap, dibuat kelompok dibawah dua orang ustadz

pembimbing16

. Kedua ustadz tersebut bertugas mengabsen disetiap waktu sholat,

waktu makan, dan waktu tidur. Kemudian, memberikan mufrodat (vocabulary)

bahasa asing, mengajari baca qur’an, menyimak hafalan santri, memberikan arahan

14

Hal ini senada dengan penjelasan Ainurraofiq Dawam tentang orientasi

pendidikan multikultural yaitu orientasi kesejahteraan. Dengan memberikan kesempatan

anak-anak dari keluarga yang kurang mampu (kurang sejahtera) untuk mengikuti

pendidikan di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang membekali para santri dengan

berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, diharapkan kesejahteraan keluarga tersebut

dapat meningkat. Senada juga dengan penjelasan James A. Bank tentang lima dimensi

pendidikan multikultural, diantaranya adalah kesetaraan pendidikan. Lihat penjelasan

peneliti pada BAB II tentang orientasi pendidikan multikultural dan dimensi pendidikan

multikultural. 15

Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang delapan karakter yang

menunjukkan sebagai sekolah multikultural. 16

Untuk santri PAUD dan TK rata-rata berasal dari anak dari ustadz yang

mengajar dipesantre, sehingga santri pada tingkatan tersebut belum sepenuhnya berada di

pesantren. Ustadz yang membimbing masing-masing kelompok SD, SMP, dan SMA

berasal dari santri tingkat mahasiswa yang sudah semester 6.

Page 78: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

61

ketika santri dalam kelompok tersebut memiliki berbagai masalah, memberikan

laporan pada orang tua/wali santri terkait perkembangan santri tersebut selama di

pesantren.

Selain visi misi yang mantap, magnet pesantren ini terletak pada kharisma

kewibawaan kiyai. Pendiri pesantren, Habib Saggaf bin Mahdi adalah salah

seorang ulama Indonesia keturunan arab yang lahir di Dompu Nusa Tenggara Barat

pada hari rabu 15 Agustus 1945. Putra dari pasangan Habib Mahdi dan Syarifah

Balqis.17

Pendidikanya di Dompu diselesaikan sampai tingkat SMP (Sekolah

Menengah Pertama). Usai lulus SMP, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Da>r al-Hadi>th Malang Jawa Timur

18. Pilihanya ke pesantren tersebut berawal dari sebuah

nasehat dari salah seorang ulama besar dari Bondowoso Jawa Timur Habib Soleh

bin Ahmad Al-Muhdhar,‚Nanti kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu‛. Nasihat itu disampaikan usai ‚meneliti‛

kaki Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun. Namun, Saggaf muda masih

ragu. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah belajar di pesantren (mondok). Mendengar

perintah itu, kepala Saggaf seperti mau pecah, teapi ia tetap membulatkan

tekadnya pergi juga ke pesantren asuhan Habib Abdul Qadir Bal Faqih al-‘Alawy

tersebut.19

Pertama kali Habib Saggaf diterima di Pesantren Da>r al-Hadi>th, Habib

Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih memberikan arahan ‚Kamu musti belajar baca al-Qur’an,‛ seraya memegang kuping Saggaf. Sontak, sakit kepala dan keraguan

Habib Saggaf hilang. ‚Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini,‛ Ungkap Habib Saggaf muda. Habib Saggaf pun menempuh

pendidikan di sana dengan cemerlang. Hanya dua tahun tujuh bulan, ia sudah

mampu mengajar fiqh dan nahwu. Setelah 13 tahun berlalu ia dinyatakan lulus oleh

gurunya tersebut.

Sepulang dari Malang, Habib Saggaf menimba ilmu keluar negeri di

berbagai Negara. Di Baghdad berguru pada Syekh Nadhim ‘Arsy al-Baghdadi. Di

Aljazair berguru pada Syekh Balqaid al-Jazair. Habib Saggaf juga memperdalam

ilmu tareqat di Irak. Guru tarekatnya di Irak yang beraliran Syadziliyah,

merekomendasikannya belajar tareqat qadiriyyah naqsyabandiyah pada Syekh

Muslih Abdurrahman di Mranggen, Kabupaten Demak. Usai menyelesaikan

pendidikanya di berbagai Negara, Habib Saggaf kembali ke Dompu, Propinsi Nusa

Tenggara Barat untuk mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Habib

17

Kedua orang tuanya merupakan penduduk asli kelahiran Dompu NTB. Namun

kakek dari pihak ayah yang bernama Habib Idrus adalah seorang pedagang asli Hadhra

Maut yang mengembara sampai ke Indonesia. 18

Salah seorang tokoh nasional sekaligus pakar tafsir Indonesia yang pernah

belajar di Pondok Pesantren tersebut adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. 19http://www.wartaislami.com/2016/02/habib-sagaf-bin-mahdi-ulama-

pejuang.html. Diakses pada 10 September 2017. Lihat juga

https://www.kompasiana.com/ihsanaceh/biografi-habib-saggaf-bin-mahdi-bin-syekh-abu-bakar-bin-salim-ramadhan-menulis-9_552b0c5c6ea834411b552cf9. Diakses pada 10

September 2017. Lihat juga http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=96138 . Diakses pada 10

September 2017.

Page 79: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

62

Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-Ashriyyah Nurul Iman.

Sebelum ke Parung, Habib Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas

Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei

Darussalam dan Afrika.

Kedalaman keilmuan Habib Saggaf memberikan pengaruh besar pada sikap

keagamaannya. Beliau termasuk ulama yang selalu meneladankan toleransi antar

umat beragama, layaknya Gusdur. Jalinan hubunganya yang harmonis pada non-

muslim menunjukkan bahwa beliau memberikan teladan pada santrinya untuk

selalu bersikap toleran, cinta damai, saling menghargai, dan saling menghormati.

Di dalam sebuah ceramah agama yang bertempat di Jepara20

, beliau

menceritakan sebuah kisah. Suatu saat ada orang yang beragama Hindu bertamu ke

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Tamu tersebut lantas diajak ke Masjid untuk

diperkenalkan pada santri sebagai wujud keteladanan dalam toleransi. Tamu yang

beragama Hindu tersebut kaget. Baru kali ini dia diajak oleh orang Islam untuk

masuk masjid. Dia lantas bertanya pada Habib Saggaf ‚kenapa habib ajak saya masuk masjid sedangkan saya orang Hindu?‛. Habib Saggaf menjelaskan dengan

gaya yang santai ‚karena engkau dicintai Allah Swt‛. Tamu tersebut bertambah

kaget dan penuh kegelisahan dengan penjelasan Habib Saggaf. Dia kembali

meminta penjelasan kepada Habib Saggaf apa maksud dari dicintai Allah tersebut.

Habib Saggaf menjelaskan ‚engaku dicintai Allah karena engkau diciptakan sebagai manusia, jika engkau tidak diciptakan sebagai manusia engkau pasti dijadikan anjing, babi ataupun binatang lainya‛. Setelah mendengarkan penjelasan

itu, tamu tersebut bersujud kemudian bersyahadat untuk memeluk agama Islam.21

Pandangan Habib Saggaf tentang Islam Rahmatan lil ‘Alami>n, selalu

beriringan dengan pandangan Gusdur. Pernyataan ini diperkuat dengan sikap beliau

menentang FPI (Front Pembela Islam). Pada Tahun 2008, ribuan santri yang

tergabung ke dalam Pasukan Khusus al-Ashriyyah (PASKHAS) disiapkan dengan

dibekali doa antipeluru (kekebalan) serta diminta untuk membuat senjata yang

terdiri dari pentungan kayu dan alat-alat bela diri lainnya untuk menghadapi

serangan FPI. ‚Kalian pada hari ini saya kumpulkan karena negara sedang dalam ancaman. Kalian dilarang mengikuti tindakan FPI yang dipimpin oleh provokator Habib Rizieq Shihab, yang telah mengadu-domba anak bangsa sendiri itu,‛ tandas

Habib dengan berapi-api dan disambut Allahu Akbar oleh ribuan santri itu.22

20

Video ceramah Habib Saggaf bin Mahdi di Jepara saat acara peringatan maulid

Nabi Muhammad SAW. 21

Model dakwah yang sangat ramah selalu dicontohkan Habib Saggaf. Selalu

mengajarkan intisari dari ajaran Agama Islam bukan hanya normatif saja. Dengan

pendekatan yang ramah akan lebih menarik perhatian non-muslim. Bahwa semua manusia

dimulyakan (red:dicintai) oleh Allah Swt. Sesuai dengan penjelasan al-Isra’:70.

هم عل ولق لن ت وفضه ب ن ٱلطه هم م هم فى ٱلبر وٱلبحر ورزقن منا بنى ءادم وحملن ن خلقنا تفضلا د كره مه ى كثر م22

Kegiatan apel ini dilaksanakan sebagai respon Habib Saggaf terhadap aksi-aksi

FPI yang terindikasi radikal. Lihat

https://news.okezone.com/read/2008/06/03/1/115282/siaga-hadapi-fpi-santri-habib-saggaf-dibekali-doa-antipeluru. Diakses pada 10 Juli 2017 Lihat Juga

http://www.buntetpesantren.org/2008/06/habib-segaf-negara-teracam.html. Dikases pada

Page 80: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

63

Habib Saggaf menilai, karena keberadaan FPI bangsa ini, memukuli dan

menganiaya anak bangsa sendiri. Sehingga tidak ada kedamaian dan tidak pula ada

toleransi, yang ada adalah permusuhan dan pertumpahan darah. Jadi, FPI ini

organisasi bejat, merusak citra Islam dan merusak kebhinnekaan. Bahkan mereka

itu merampas dan merampok hak orang lain. Sementara yang namanya Habib itu

tidak ada yang bejat tetapi selalu menebarkan kedamaian, mengikuti ketauladanan

Nabi Muhammad Saw.

Habib Saggaf juga menanggapi pernyataan Habib Rizieq yang menyebut

Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid

(Gus Dur) sebagai orang yang buta mata dan buta hati. Menurutnya, pernyataan itu

sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang pimpinan ormas Islam, apalagi

seorang Imam Besar.23

Akhlak orang Islam seharusnya santun, ramah, lemah

lembut, mencintai sesama, memberikan rasa selamat dan menenteramkan. Senada

dengan Habib Saggaf, menurut Cak Fuad yang merupakan dosen Sastra Arab di

Universtas Malang bahwa definisi muslim adalah orang yang menjamin bahwa

sesama muslim dan semua manusia akan selamat dari tangan dan lidahnya.24

Dalam arti, seorang disebut muslim jika dia memastikan bahwa dia tidak akan

menyakiti baik itu dengan ucapanya apalagi dengan perilakunya. Berikut adalah

teladan kemuliaan akhlak Habib Saggaf pada Gusdur. Peristiwa ini disaksikan oleh

santri al-Ashriyyah Nurul Iman dan para kader Partai Kebangkitan Bangsa dalam

acara Muktamar Luar Biasa (MLB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gambar 3.2: Foto Habib Saggaf Bersama Gusdur

10 Juli 2017. Lihat Juga http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-

serbu-fpi. Diakses pada 10 Juli 2017. 23

Lihat http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-serbu-fpi. Diakses pada 10 Juli 2017. Pernyataan ini juga disaksikan oleh santri yang mengikuti apel

siap siaga menghadapi FPI. Wawancara dengan salah seorang santri yang berasal dari

Purbalingga Jawa Tengah Edi Trisnanto pada 11 Juli 2017. 24

Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey: Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib (Jakarta: Kompas, 2012), 120.

Page 81: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

64

Habib Saggaf wafat pada 12 November 2010. Kini kepemimpinan beliau

digantikan oleh Istri Beliau Ummi Waheeda binti Abdul Rahman. Meskipun beliau

kurang produktif dalam menulis, tetapi sikap keteladanan beliau mewakili pesan-

pesan perjuangan beliau dalam membumikan nilai-nilai pluralisme,

multikulturalisme yang berimplikasi pada toleransi dalam bingkai kehidupan yang

sangat beragam. Dari keteladan itu, para santri diharapkan mampu meneruskan

segala perjuangan dan pemikiran-pemikiran yang beliau ajarkan untuk mewujudkan

kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.

C. Latar Belakang Santri dan Pengurus Pesantren

Predikat masyarakat yang multikultural memang tidak melulu hanya

disandarkan pada masyarakat yang berlatar belakang agama yang berbeda saja.

Melainkan dapat juga dari suku, ras, bahasa, aliran politik, pendidikan, dan status

sosial. Demikian juga, Santri Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memiliki

latar belakang status sosial yang beragam atau multikultur. Mulai dari keluarga

petani, konglomerat, pejabat, kiyai hingga habaib.

Jumlah santri dari sejak beridiri (tahun 1998) sampai tahun 2010 selalu

meningkat di awal tahun ajaran baru penerimaan santri. Berawal dari satu orang

santri yang berasal dari daerah wonogiri sampai menjadi puluhan ribu dari berbagai

daerah pelosok negeri. Namun, dalam prosesnya dalam setiap tahun ajaran tidak

semuanya betah hingga lulus. Mereka yang rata-rata gugur ditengah perjalanan

menuntut ilmu dikarenakan memandang faktor sarana prasarana pesantren yang

belum memadai.

Sampai saat ini jumlah santri sebanyak 10.378 yang terdiri dari 5.871

santri putra dan 4.507 santri putri. Jumlah tersebut berasal dari berbagai daerah.

Berikut tabel jumlah santri berdasarkan latar belakang daerah asal.

Page 82: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

65

Tabel 3.1: Latar belakang santri berdasarkan daerah asal.

No Propinsi

Jumlah

Jumlah Total

Putra Putri

1 Bangka Belitung 228 137 365

2 Bali 10 5 15

3 Banten 98 83 181

4 Bengkulu 34 23 57

5 D.I Yogyakarta 513 353 866

6 DKI Jakarta 593 473 1066

7 Gorontalo 10 8 18

8 Jawa Barat 925 830 1755

9 Jambi 15 11 26

10 Jawa Tengah 1062 732 1794

11 Jawa Timur 560 621 1181

12 Kalimantan Barat 43 28 71

13 Kalimantan Selatan 34 23 57

14 Kalimantan Tengah 18 12 30

15 Kalimantan Timur 41 28 69

16 Kepulauan Riau 88 68 156

17 Lampung 78 57 135

18 Luar Negeri 4 3 7

Page 83: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

66

No Propinsi

Jumlah

Jumlah Total

Putra Putri

19 Maluku 34 23 57

20 Maluku Utara 43 28 71

21

Nanggroe Aceh

Darussalam 135 132

267

22 Nusa Tenggara Barat 45 30 75

23 Nusa Tenggara Timur 36 24 60

24 Papua Barat 15 10 25

25 Papua Tengah 30 20 50

26 Papua Timur 21 14 35

27 Riau 73 41 114

28 Sulawesi Selatan 46 31 77

29 Sulawesi Tengah 36 24 60

30 Sulawesi Tenggara 43 28 71

31 Sulawesi Utara 80 53 133

32 Sumatra barat 284 240 524

33 Sumatra Selatan 290 182 472

34 Sumatra Utara 306 132 438

Jumlah 5.871 4.507 10.378

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah santri terbanyak berasal dari

Jawa Tengah sebanyak 1794 atau 16,7% dari total 10.378 santri, kemudian Jawa

Barat sebanyak 1755 atau 16,4%, Jawa Timur 1181 atau 11 % dan seterusnya.

Namun, untuk data latar belakang santri dari status sosial (anak pejabat, kiyai,

Page 84: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

67

habaib, dan konglomerat) yang berbeda belum pernah dibuat oleh pesantren. Tidak

ditemukan alasan yang pasti atas tidak adanya klasifikasi data yang berlatar

belakang sosial tersebut.25

Dalam proses penerimaan santri, semua anak yang mendaftarkan diri

diterima sebagai anak didik. Semua anak diberikan kesempatan yang sama untuk

menimba ilmu di pesantren. Proses tes seleksi santri bukan untuk menentukan

diterima atau tidak, melainkan untuk mengklasifikasikan kemampuan santri dalam

bidang ilmu agama. Dari hasil tes tersebut dapat diklasifikasikan tingkat

pendidikan ibtida’, wust }o, dan ‘ulya>. Tes yang digunakan berupa membaca al-

qur’an dan membaca kitab klasik.

Perbedaan latar belakang daerah asal yang beragam memiliki tantangan

tersendiri bagi santri dan pengurus pesantren. Rentan konflik dikalangan santri.

Menurut Abdul Latif seorang santri dari Jawa Tengah menjelaskan bahwa santri

yang sering memicu konflik hingga berujung pada kekerasan fisik adalah santri

yang berasal dari Palembang dan Flores, sikap mereka yang cenderung sama-sama

keras. Keras dalam intonasi berbicara dan juga watak.26

Konflik seperti ini

biasanya diselesaikan oleh pengurus pesantren bagian keamanan. Dibuatkan Berita

Acara Perkara (BAP), diselidiki permasalahan intinya, dihadirkan saksi-saksi,

disidangkan, kemudian dijatuhkan saknsi.27

Menurut Ibnu Mukti selaku ketua harian kepesantrenan, dalam

menghadapi santri yang beragam latar belakang diperlukan sikap yang luwes.

Dalam menyelesaikan masalah diperlukan penyelidikan yang mendalam, sehingga

tercipta sebuah keadilan. Tidak mengadili/menjatuhi sanksi karena membenci atau

menyayangi, tetapi karena keadilan. Siapa yang bermasalah harus dihukum. Ia juga

menjelaskan tindakan preventif yang ia lakukan agar tidak terjadi konflik antar

santri. Biasanya ia lakukan selepas sholat jama’ah isya’ dengan memberikan arahan

kepada seluruh santri agar tidak melanggar peraturan pesantren dan menjalankan

apa yang telah diperintahkan pesantren dengan durasi waktu sekitar 10 menit.28

Sementara menurut penuturan kepala sekolah SD, SMP, dan SMA bahwa

santri yang beragam itu harus dibina dengan baik. Masing-masing mereka

mempunyai potensi tersendiri. Tidak benar jika mereka diperlakukan secara

diskriminatif. Ketiga kepala sekolah ini dalam memimpin lembaganya belum

terlalu fokus pada standar sekolah yang multikultural, semuanya berjalan alamiah

25

Sumber data Bagian Administrsai Umum Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman

Islamic Boarding School. Diperoleh dari Ustadz Ibrahim bagian humas pesantren pada 10

Agustus 2017. 26

Wawancara dengan santri bernama Abdul Latif Mahasiswa semester 5 Sekolah

Tinggi Agama Islam Nurul Iman pada tanggal 12 Agustus 2017. 27

Wawancara dengan pengurus pesantren ketua bagian kemananan Muhammad

Miftah pada 15 Agustus 2017. 28

Wawancara dengan pengurus pesantren ketua kepesantrenan Ibnu Mukti pada 15

Agustus 2017.

Page 85: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

68

mengikuti kebijakan pimpinan pesantren. Hal ini dikarenakan kebijakan

pengembangan sepenuhnya dipegang oleh pimpinan pesantren.29

Namun, terkait dengan kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah

sesuai standar kurikulum nasional. Ketiga jenjang sekolah tersebut telah

memberlakukan kurikulum 2013. Dalam menerapkan kurikulum 2013 ini masih

sangat banyak kendala, terutama sarana prasarana dan tenaga pengajar.

Kebanyakan, para pengajar tidak mengajar sesuai dengan background ijazah S1

nya. Ada lulusan fakultas syari’ah mengajar matematika, ekonomi. Ada lulusan

pendidikan bahasa arab mengajar kimia, fisika, bahasa Indonesia dan lain

sebagainya. Ada lulusan fakultas ushu>l al-Din mengajar sejarah. Yang sesuai

dengan spesifikasi ijazah S1 nya adalah yang mengajar bahasa arab.

Hal ini dikarenakan seluruh pengajar diambil dari lulusan Sekolah Tinggi

pada pesantren tersebut yang notabenya hanya memiliki tiga fakultas yakni

fakultas tarbiyah program studi bahasa arab, fakultas syari’ah program studi ahwal

al-Syakhshiyyah, dan fakultas ushul al-Din program studi qur’an hadith. Meskipun

begitu, prestasi dari anak didik di sekolah tersebut tidak mengecewakan.

Disisi lain, santri yang beragam latar belakang daerah itu, memiliki ragam

motivasi juga saat memilih pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai tempat

menimba ilmu. Ada faktor karena gratisnya, ada faktor karena terpesona dengan

kekharismaan Habib Saggaf, ada faktor karena ingin bisa berbahasa asing, ada

faktor ingin kuliah, ada faktor ingin bisa mendalami agama dan berwirausaha, dan

lain sebagainya. Secara garis besar, pengurus pesantren belum menjumpai motivasi

santri yang mondok di al-Ashriyyah Nurul Iman berdasarkan pendidikan

multikultural yang dikembangkan pesantren.30

Berikutnya terkait dengan pengurus pesantren. Berdasarkan penuturan dari

Ibrahim, seluruh pengurus pesantren memiliki latar belakang daerah yang berbeda

pula. Mereka yang menjadi pengurus tidak diambil dari orang luar pesantren.

melainkan dari santri yang sudah menyelesaikan pendidikan strata satu (S1).

Mengingat peraturan pesantren bahwa semua santri yang sudah menyelesaikan

pendidikan strata satu (S1) tidak dinyatakan lulus sebelum menempuh masa

pengabdian dua tahun. Konsekuensinya apabila tidak menyelesaikan pengabdian

selama dua tahun maka tidak mendapatkan berkas ijazah dari berbagai jenjang

sekolah yang selama ini ditempuh di pesantren tersebut.

Berkaitan dengan penempatan tugas santri yang akan menempuh masa

pengabdian, disesuaikan dengan kompetensi masing-masing yang dimiliki. Ada

yang ditempatkan di sekolah sebagai guru dan tenaga administrasi di masing-

masing jenjang sekolah (baik sekolah umum maupun diniyyah), ada yang

ditugaskan sebagai pengelola unit-unit usaha (koperasi, percetakan, pertanian, daur

ulang sampah, peternakan, pabrik roti, konveksi, pabrik air minum, dan lain

29

Wawancara dengan M. Asep selaku kepala sekolah SD, Mahbub Zuhri selaku

kepala sekolah SMP dan Ahmad Ramadhan selaku kepala sekolah SMA pada tanggal 20

September 2017. 30

Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10

Agustus 2017

Page 86: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

69

sebagainya), ada yang ditugaskan sebagai bagian keamanan, kepesantrenan,

konsumsi (dapur), dan ada yang ditugaskan sebagai instruktur dalam berbagai

pelatihan atau lembaga kursus.

Usai menyelesaikan pengabdian dua tahun, santri dinyatakan lulus.

Sebagian besar santri memilih keluar untuk mempraktikan dan mengembangkan

ilmu yang telah didapatkan di masyarakat atau di lembaga pendidikan lainya.

Sebagian lagi ada yang menetap di pesantren menjadi pegawai tetap yayasan.

Santri yang menetap di pesantren biasanya menikah dengan santri putri, kemudian

keduanya menjadi pegawai tetap yayasan.31

D. Membuka Kerjasama yang Inklusif

1. Berbeda Agama, Saling Mengasihi

Dalam Islam, bermu’amalah dengan siapa saja dengan tidak memandang

latar belakang agama, ras, suku, golongan, ataupun bangsa pada prinsipnya

diperbolehkan.32

Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman melakukan kerjasama

dengan lembaga mana saja tanpa memandang latar belakang yang beragam itu.

Selagi kerjasama tersebut bertujuan untuk kebaikan seluruh umat manusia.

Menurut Habib Saggaf yang berbeda itu seharusnya saling melengkapi dan saling

mengasihi, bukan malah saling memusuhi. Agama itu keyakinan pribadi dengan

Tuhan, satu sama lain tidak boleh saling memaksakan untuk mengikuti agama

yang mereka yakini.33

Ada lima wasiat Habib Saggaf yang menjadi pedoman para santri dan

pengurus pesantren. Wasiat ini ditulis di berbagai tempat sudut pesantren. Di buku

aurad (wirid) santri, di papan pengumuman yang terletak di taman pesantren, di

buku album santri yang akan lulus, di mading sekolah, di mading asrama, dll. Lima

wasiat itu adalah:

1. Selalulah bertaqwa kepada Allah Swt., taat kepada-Nya dan Rasul-Nya

atas apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.

2. Bersihkan hati dari penyakit dan kotoranya.

3. Senantiasa berdzikir dan membaca sholawat atas Rasulullah Saw.

4. Bacalah al-Qur’an, hafalkan, pelajari arti dan tafsirnya.

5. Tanamkanlah kasih sayang kepada semua makhluk.

Wasiat yang kelima inilah yang menjadi dasar para santri untuk senantiasa

menjalin hubungan yang baik, damai, harmonis tanpa memandang bangsa, ras,

suku, agama, status sosial, aliran keagamaan, pendidikan, dan lain sebagainya.

31

Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10

Agustus 2017 32

Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh al-ashlu fi al-mu’a>malah al-iba>hah illa ma> dalla ‘ala tahrimihi

33Habib Saggaf dalam sebuah pengajian tafsir bersama para santri menjelaskan

makna dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256.

ق ف الل ب ن ه ؤ و ىت اغ الط ب ف ر ك ن و ف غ ل ا ن ه د ش لر ا ن ب ت د ق ن د ل ا ف اه ر ك إ ل ك س و ت اس د

ن ل ع ع و س الل و ا ه ل ام ص ف ن ا ل ى ق ث ى ل ا ة و ر ع ل ا ب

Informasi ini didapat dari hasil pengamatan peneliti pada dokumentasi video pengajian

tafsir Habib Saggaf bersama para santri.

Page 87: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

70

Wasiat yang kelima ini pula yang menjadi dasar peneliti bahwa Habib Saggaf telah

menanamkan nilai-nilai multikultural pada santri.

Pada suatu kesempatan, sekitar tahun 2010 ketika Duta Besar Negara

Amerika Serikat berkunjung ke pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, Habib Saggaf

menyampaikan orasi pemahaman tentang multikultural. Beliau menjelaskan makna

dari al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13.

ل ائ ب ق ا و وب ع م ش اك ن ل ع ج ى و ث ن أ ر و ك ن ذ م م اك ن ق ل ا خ نه اس إ ا النه ه ا أ ر ب م خ ل ع

نه اللهه م إ اك ق ت أ د اللهه ن م ع ك م ر ك نه أ وا إ ف ار ع ت ل

Bahwa manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mejaga

hubungan yang baik, mengikat persaudaraan, menebarkan kedamaian dan

keharmonisan. Jika ada seorang muslim yang melakukan perbuatan yang memecah

belah umat manusia dan memunculkan permusuhan antar bangsa satu dengan yang

lainya maka perbuatan tersebut tidak ada dalam tuntunan al-Qur’an. Beliau

meminta pada Duta Besar Negara Amerika agar Negara Amerika memberantas

segelintir orang yang mengatasnamakan Islam tetapi melakukan aksi teror sampai

keakar-akarnya. Mereka tidak hanya menjadi teroris pada bangsa-bangsa dan

agama-agama selain Islam di dunia tetapi juga menjadi teroris pada agama Islam

sendiri. Beliau juga meminta agar peringatan tragedi 11 September 2001 dengan

pembakaran al-Qur’an34

secara serentak tidak dilakukan, karena justru akan

merusak persaudaraan antar bangsa dan agama.

Agama Islam jelas memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong

atau bekerjasama dalam hal kebaikan. Perintah itu terdapat dalam al-Qur’an yang

merupakan kitab pedoman yang paling primer bagi umat muslim. Seperti dalam

surat al-Hujura>t ayat 13 yang telah penulis sebutkan di atas. Al-Qurtubi> menafsiri

ayat tersebut bahwa perbedaan yang diciptakan oleh Allah agar manusia

menciptakan kebaikan ditengah-tengah perbedaan.35

Sayyid Qutb menyatakan

bahwa perbedaan dimaksudkan agar manusia dapat melakukan hal yang sistematis

dan tidak saling bermusuhan.36

Ayat ini sangat cukup sekali untuk menjadi dasar

dalam pengembangan dimensi multikultural.

Habib Saggaf juga menyampaikan bahwa Yahudi dan Bani Israil adalah

keturunan Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf dan Nabi Isa, sedangkan Nabi

Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail yang merupakan saudara sebapak dari

Nabi Ishak. Yahudi, Bani Israil dan Muslim adalah saudara, pemutarbalikan sejarah

lah yang menjadikanya saling bermusuhan. Dalam penutupan orasinya Habib

Saggaf meminta agar Negara Amerika selalu menjalin hubungan yang baik dengan

34

Lihat http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2010-09-09/jones-rencana-bakar-al-quran-jadi-dilakukan/76152, di akses pada 1 September 2017. Lihat juga

https://news.detik.com/berita/d-1413707/pemerintah-as-didesak-gagalkan-aksi-bakar-al-

quran-di-florida, diakses pada 1 September 2017 35

Abi> Abdilla>h Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi> Bakrin al-Qurtubi>, al-Ja>mi’ al-Ahka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa a>yi al-Furqan, al-Juz al-Ta>si’ ‘Ashara (Beirut: al-Resalah Publisher, 2006 M/1427 H) 413.

36Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an, jilid 19-20 (Kairo: Da>r al-Shuru>q, t.t), 2764.

Page 88: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

71

Negara Indonesia, sering mengunjungi ulama-ulama Indonesia yang

berpengetahuan luas (moderat). Beliau juga memimpin ikrar para santri dengan

ucapan ‚Kami Cinta Amerika, Rakyat Amerika adalah saudara-saudara kami‛.37

Salah seorang santri bernama wisnu telah membuktikan, bahwa dengan

menjalin kasih sayang dan hubungan yang harmonis meskipun berbeda agama akan

membawa kesejahteraan dalam hidup. Pengalaman itu ia rasakan ketika pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan bantuan seorang guru bahasa

jepang yang notabenenya beragama non-muslim. Wisnu merupakan salah seorang

santri yang terdaftar sebagai peserta pelatihan bahasa Jepang. Dengan sangat

antusias, pelatihan itu dia ikuti sampai mecapai tingkat mahir. Usai pelatihan

tersebut, santri yang telah mahir bahasa Jepang mendapatkan kesempatan

menempuh pendidikan di Negara Sakura tersebut. Ia sangat bersyukur

mendapatkan kesempatan itu. Ia akan manfaatkan kesempatan itu untuk belajar

banyak hal di Jepang, mulai dari ekonomi sampai teknologi yang kemudian akan ia

gunakan untuk mengabdi pada bangsa Indonesia.38

Pada tahun 2013, Robert Jacobs Weber seorang warga Negara Amerika

yang beragama Yahudi diperbantukan oleh lembaga AMINEF (American

Indonesian Exchange Foundation), sebuah lembaga dibawah naungan keduataan

besar Amerika Serikat. Ia ditugaskan sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris di

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia tinggal menetap di pesantren

selama kurang lebih enam bulan. Ia berbaur langsung dengan para santri. Hal ini

membuat para santri antusias untuk berdiskusi tentang banyak hal. Mulai dari

masalah sosial, politik, budaya, agama, ekonomi. Robert dan para santri saling

bertukar informasi, membangun komunikasi interpersonal. Satu sama lain

mendapatkan banyak pelajaran tentang sikap untuk kepribadian maupun kehidupan

sosial.

Hubungan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dengan kedutaan

Amerika tetap berjalan baik sampai sekarang. Kerjasama yang dilakukan berupa

pertukaran informasi budaya dan pertukaran pelajar. Prinsip kerjasama ini

dibangun sesuai dengan dimensi pendidikan multikultural menurut James A. Bank

yaitu pengurangan prasangka buruk.39

Keduanya saling membangun kepercayaan,

saling setara, tidak saling mendominasi dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan yang universal.40

Berikut adalah dokumentasi peneliti saat santri al-

Ashriyyah Nurul Iman menghadiri kegiatan di kantor At America pada tanggal 28

September 2017.

37

Orasi Habib Saggaf ketika berpidato dihadapan para santri dan Kedutaan Besar

Negara Amerika Serikat pada tanggal 30 Juli 2010 di Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman. Peneliti mendapatkan video rekaman ini dari salah seorang santri yang bernama

Muhammad Syafi’i. 38

Wawancara dengan Wisnu, salah seorang santri yang antusias belajar bahasa

Jepang. Pada tanggal 5 Mei 2017. 39

Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang dimensi pendidikan multikultural

menurut James A. Bank 40

Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang orientasi pendidikan multikultural

menurut Ainurrofiq Dawam

Page 89: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

72

Gambar 3.3: Foto Santri al-Ashriyyah Nurul Iman saat berkunjung ke

Kedubes Amerika

Selain itu, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman juga melakukan

kerjasama dengan lembaga yang berbeda agama yaitu kedutaan besar Negara

Jepang, Korea Selatan, India, Yayasan Budha Tzuchi. Kesemuanya itu terjalin

dengan baik. Tercatat, ketika pesantren mengadakan acara keagamaan seperti

perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, Acara Haul Habib Saggaf, Peringatan

Isra’ Mi’raj, dll. maupun kegiatan non-keagamaan seperti perayaan hari lahir

pesantren, wisuda santri, pernikahan santri secara masal, dll., mereka diundang

untuk menghadiri acara tersebut. Begitupun sebaliknya, sebagai contoh saat

Yayasan Budha Tzuchi mengadakan perayaan Waisak para santri diminta untuk

menghadiri acara tersebut.

Dari hasil kerjasama tersebut, pesantren banyak mendapatkan manfaat.

Diantaranya mendapatkan bantuan gedung dua lantai dengan 24 ruangan dari

Yayasan Budha Tzuchi, bantuan sarana prasarana instalasi air minum dari

Kedutaan Jepang, bantuan gedung dari Yayasan Gandhi Sevaloka, bantuan

pertanian, bantuan perikananan, MCK, dan lain sebagainya.41

Namun, pada intinya

tujuan utama kerjasama tersebut bukanlah bergulirnya bantuan untuk pesantren,

tetapi untuk membumikan prinsip bahwa meskipun berbeda agama tetap saling

mengasihi.

Kebijakan yang diambil pesantren ini menimbulkan kontroversi di

kalangan ulama’-ulama’ pimpinan pondok pesantren. Tidak canggung, kesan

41

Wawancara dengan Ibrahim selaku pengurus pesantren bagian humas pada 10

Agustus 2017

Page 90: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

73

negatif berupa label murtad disematkan kepada sosok Habib Saggaf. Ia juga dinilai

membawa santrinya pada jurang kemurtadan. Namun, kesan negatif tersebut tidak

membuat Habib Saggaf merubah kebijakan pesantren, sehingga tetap menjalin

bekerjasama dan menjaga hubungan baik dengan Yayasan Budha Tzuhi serta umat

agama lainya. Menurut Habib Saggaf, ia berjalan pada kebenaran sesuai aturan

agama Islam. Bahwa, dalam fiqh diterangkan boleh menerima bantuan dari non-

Muslim. Sebenarnya poin utamanya adalah bukan menerima bantuan, tetapi

menjalin hubungan yang harmonis antar sesama manusia meskipun berbeda agama,

suku, ras, aliran kepercayaan, aliran politik dan status sosial.

2. Mendakwahkan Kebaikan, Menjaga Citra Baik Islam

Di dalam Agama Islam ada sebuah perintah yang ditujukan bagi para

pemeluknya untuk mendakwahkan pesan-pesan yang bersumber dari ayat-ayat al-

Qur’an dan Hadith.42

Pesan-pesan tersebut tentunya menyeru kepada kebaikan.

Seperti menyeru manusia untuk saling tolong menolong, jujur, dermawan, cinta

damai, menghindari pertikaian, melarang pengrusakan, saling menghormati, dan

lain sebagainya. Namun, dalam mendakwahkan kebaikan, cara berdakwahnya harus

dengan cara yang baik pula. Dengan cara yang baik, Agama Islam akan terjaga

citra baiknya.

Kita ketahui bersama, akhir-akhir ini dunia internasional dihebohkan oleh

sekelompok orang yang mengatasnamakan Jihad untuk mendirikan Negara Islam.

Kelompok tersebut dikenal dengan nama Islamic State of Iraq And Syiria (ISIS).43

Mereka gemar melakukan tindakan kekerasan dan teror. Cita-cita mulia Agama

Islam yang mengusung pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alami>n) rusak oleh tindakan-tindakan kelompok tersebut. Hal ini mengakibatkan

penilaian negatif masyarakat internasional kepada Agama Islam, sehingga Islam

menjadi tersudutkan dan disebut sebagai Agama teroris.44

Hal ini menjadi fokus pondok pesantrean al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai

lembaga pendidikan Islam. Pesantren memiliki tanggung jawab penuh untuk

menjaga citra baik Islam. Oleh karena itu, pesantren ini memberikan pemahaman

dakwah kepada santrinya secara komprehensif. Langkah tersebut dituangkan dalam

Sampaikanlah/ajarkanlah dari apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw‚ بلغوا عن ولو آة42Walau Satu Ayat.

43Negara Islam Irak dan Syam (NIIS atau ISIL; Arab: الدولة الإسلامة ف العراق والشام‎),

juga dikenal dengan nama Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS ), Negara Islam

Irak dan asy-Syam, Daesh, atau Negara Islam (NI atau IS), adalah kelompok

militan ekstremis. Kelompok ini dipimpin oleh dan didominasi oleh anggota

Arab Sunni dari Irak dan Suriah. Hingga Maret 2015, NIIS menguasai wilayah

berpenduduk 10 juta orang di Irak dan Suriah. Lewat kelompok lokalnya, NIIS juga

menguasai wilayah kecil di Libya, Nigeria, dan Afghanistan. Kelompok ini juga beroperasi

atau memiliki afiliasi di berbagai wilayah dunia, termasuk Afrika Utara dan Asia Selatan. 44

Lihat http://www.islamnusantara.com/islam-dituduh-teroris-karena-perilaku-

muslim-itu-sendiri/. Diakses pada 16 Juli 2017. Lihat juga http://www.voa-

islam.com/read/christology/2014/05/24/30570/piore-vogel-tangkis-tuduhan-teroris-pada-

islam-1500-orang-jerman-bersyahadat/#sthash.eaF2TP7k.dpbs. Diakses pada 16 Juli 2017

Page 91: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

74

sebuah lembaga kader dakwah (LKD). Di dalam lembaga ini diramu sebuah

kurikulum dan metode cara dakwah yang ramah. Menurut Abdul Rauf, LKD

memiliki komitmen tinggi untuk mendakwahkan Islam dengan cara-cara yang

santun dan ramah, tidak mudah memberikan stigma bid’ah, syirik, kafir, dan

memanfaatkan seni budaya.45

Abdul Rauf menambahkan, LKD tersebut mewarisi pesan Habib Saggaf

bahwa metode dakwah yang tepat menurut ajaran al-Qur’an dan Hadith adalah

dakwah dengan ramah dan santun. Dalam sebuah pengajian tafsir bersama para

santri, beliau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk

berdakwah dengan cara yang ramah dan santun. Beliau megutip al-Qur’an surat

T}a>ha> ayat 44 dan surat al-Nah}l ayat 125. Dua ayat ini memiliki kedudukan kuat

sebagai prinsip dalam berdakwah.46

Senada dengan beliau, Quraish Shihab menjelaskan tafsir surat al-Nah}l ayat 125. Menurutnya, ayat ini menjelaskan tiga macam metode dakwah yang

harus disesuaikan dengan objek sasaran dakwah. Pertama, metode hikmah

diperuntukkan bagi cendikiawan yang memiliki intelektual tinggi,

yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.

Kedua, metode mau’idzhah diperuntukkan bagi masyarakat awam,

yakni memberikan nasehat dan contoh-contoh yang

menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Ketiga, metode jidal ahsan diperuntukkan bagi ahlu al-Kitab dan penganut agama-agama

lain, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan

umpatan.47

M. Quraish Shihab juga mengutip pendapat pakar tafsir al-Biqa>’i yang

menggarisbawahi bahwa al-hakim, yakni yang memiliki hikmah, harus yakin

sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia

tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan

tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. Kemudian, lebih lanjut beliau

menjelaskan al-mau’iz}ah (الموعظة), terambil dari kata (وعظ) wa’az}a yang

berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar

kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedang,

kata )جادلهم) ja>dilhum terambil dari kata (جدال) jida>l yang bermakna diskusi atau

bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalil mitra diskusi dan menjadikannya

tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun

hanya oleh mitra bicara. Ditemukan di atas bahwa mau’izhah hendaknya

disampaikan dengan (حسنة) h}asanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan

kata (احسن) ah}san/yang terbaik, bukan sekedar baik. Keduanya berbeda dengan

hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’iz}ah ada yang

45

Wawancara dengan Abdul Rauf selaku Ketua LKD pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman pada 4 September 2017. 46

Dokumentasi Kajian Tafsir bersama Habib Saggaf, peneliti simak pada tanggal 5

September 2017 47

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2011), Cet. IV, Jilid. 6, hlm. 774.

Page 92: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

75

baik dan ada yang tidak baik, sedangkan jidal ada tiga macam, yang baik, yang

terbaik, dan yang buruk.

Masih menurut M. Quraish Shihab, mau’iz}ah baru dapat mengena pada

hati sasaran dakwah, apabila apa yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan

dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat hasanah. Kalau

tidak demikian, maka sebaliknya, yakni yang bersifat buruk, dan ini yang

seharusnya dihindari. Mengenai jida>l, M. Quraish Shihab menjelaskan

bahwa jida>l terdiri dari tiga macam. Pertama, jida>l buruk yakni menyampaikan

argumen dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang

menggunakan dalil-dalil yang tidak benar.‛ Kedua,jida>l baik yakni menyampaaikan

argumen dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil walaupun dalil tersebut

hanya yang diakui oleh lawan. Ketiga, jida>l terbaik yakni menyampaikan argumen

dengan baik dan benar lagi membungkam lawan.48

Adapun Surat T}a>ha> ayat 44 tersebut memberikan penegasan terhadap surat

al-Nahl ayat 125, bahwa sebagai juru dakwah/utusan, Nabi Musa dan Nabi Harun

diperintahkan agar dalam menyampaikan risalah-Nya kepada Fir'aun memakai

bahasa dan tutur kata yang lemah lembut, santun, beradab, tidak membual

(mengada-ada), tidak keras ucapannya dan tidak kasar sikapnya. Meskipun, Fir'aun

adalah orang yang sangat membangkang dan sangat takabur. Ucapan yang lembut

dapat membuat orang lain menerima, sedangkan ucapan yang keras dapat membuat

orang lain menjauh.

Dakwah bukan hanya menjadi tugas para santri yang tergabung dalam

LKD saja, tetapi juga keseluruhan santri. Dakwah dipahami sebagai sebuah

kegiatan yang dilakukan tidak hanya di panggung saja memberikan ceramah.

Namun, dipahami sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dalam semua lini

kehidupan, misalnya melalui dunia literasi, seni musik, seni lukis, seni kaligrafi,

cerpen, perfilman, dan lain sebagainya. Dengan pemahaman seperti ini diharapkan

seluruh alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mampu berdakwah

sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki.

Sebuah pengalaman menarik disampaikan oleh Takayuki Miyano49

. Selama

tinggal di Jepang, dia merasa agama Islam itu buruk (red:teroris, kekerasan, dll).

Kemudian, pandangan itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia

mengenal Islam di Indonesia, khususnya di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.

Perkenalanya dengan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dimulai dari

sebuah perusahaan tempat ia bekerja. Perusahaan tersebut menjalin kerjasama

dengan pesantren berupa penyediaan teknologi penyaringan air minum dengan

karbon aktif. Seiring dengan frekuensinya berkunjung ke pondok pesantren yang

begitu sering, ia merasa nyaman dan tenteram saat bercengkrama dengan para

48

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an , 776

49Seorang Warga Negara Jepang yang memutuskan menjadi Muallaf ketika

mengenal Islam Indonesia, khusunya saat dia mengenal pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

Parung Bogor.

Page 93: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

76

santri dengan suasana pesantren. Kemudian, ia tertarik untuk belajar agama

Islam.50

Setelah ia belajar beberapa hal yang prinsipil dalam Islam, ia sadar bahwa

agama Islam itu luar biasa, mengatur pribadi menjadi manusia yang mulia dan

mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia. Kemudian, ia memutuskan

untuk memeluk agama Islam. Ia sangat bersyukur mengenal agama Islam dan dapat

memeluknya. Bahkan ia berkeinginan untuk menyebarluaskan agama Islam di

Jepang. Oleh Ummi Waheeda, ia dinikahkan dengan salah seorang santri putri

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman guna memperkuat gairah

mendakwahkan agama Islam di Jepang.

E. Kemandirian Ekonomi Pesantren

Memang tidak mudah menahkodai sebuah pondok pesantren yang

memiliki jumlah santri yang mencapai 10.000 dengan pembiayaan gratis. Biaya

gratis tersebut meliputi biaya pendidikan, makan, asrama, dan kesehatan. Tetapi

tugas berat itu telah dipikul oleh Habib Saggaf bin Mahdi (almarhum) selama 12

tahun (1998-2010), yang kini diteruskan oleh istri beliau Ummi Waheeda.

Setidaknya, jika diasumsikan bahwa kebutuhan makan satu orang santri selama

satu hari adalah Rp. 15.000,-, maka selama satu hari pesantren tersebut harus

menyiapkan uang sejumlah Rp. 150.000.000,-. Selama satu bulan kurang lebih akan

menghabiskan Rp. 4.500.000.000,-. Jumlah tersebut baru untuk kebutuhan makan,

belum kebutuhan operasional lainya. Oleh karena itu, diperlukan kemandirian

ekonomi yang kuat dengan segala sistem dan strateginya untuk menopang

kebutuhan pesantren.

Sejarah pesantren yang awalnya berada jauh dari perkotaan, kini mulai

banyak pesantren yang berdiri di pusat kota. Minat masyarakat terhadap pesantren

juga berasal dari kalangan masyarakat yang berekonomi beragam. Pesantren

dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan berbagai

ilmu-ilmu agama dan umum tetapi juga membentuk karakter manusia yang

berakhlakul karimah sehingga terbentuk manusia yang mumpuni dalam bidang

agama dan umum dengan akhlak yang mulia. Bahkan dalam perkembangan pada

saat ini sudah banyak pesantren yang mengembangkan orientasinya di samping

pengajaran pendidikan agama juga memberdayakan ekonominya dengan

mengeksplorasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimilikinya

serta membentuk jiwa entrepreneurship pada santrinya.51

Dalam kenyataanya keberadaan pondok pesantren di Indonesia pada

umumnya mempunyai dua modal utama dalam perekonomian, yaitu modal berupa

tanah sebagai sumber daya yang luas dan tenaga santri yang merupakan tenaga

kerja dalam perekonomian. Kelebihan-kelebihan inilah yang dimiliki oleh pondok

pesantren di Indonesia dan apabila dapat dimanfaatkan secara optimal akan

50

Youtube (Eagle Documentary): Selaras Di Bawah Atap Pesantren (METRO TV) Pesantren Nurul Iman Ciseeng Bogor. Di akses pada 6 Juni 2017.

51M. Suparta, ‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah

Nurul Iman Parung Bogor,‛Hikmah Journal of Islamic Studies, vol. XI, no. 2 (2015): 49-80.

Page 94: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

77

menumbuhkan potensi perekonomian yang sangat besar. Hal inilah yang coba

dimanfaatkan oleh pendiri pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman untuk

memberdayakan potensi perekonomian yang dimiliki pesantren dalam rangka

kemandirian pesantren di bidang ekonomi.

Sumber pendanaan untuk biaya operasional pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman seluruhnya berasal dari hasil usaha pesantren, baik mandiri yang

dilakukan oleh pesantren, maupun berbentuk kerjasama dengan pihak luar. Sumber

dana dari usaha pesantren adalah hasil dari unit-unit wirausaha yang menghasilkan

produk dan jasa, seperti daur ulang sampah, konveksi, pabrik roti, susu kedelai,

percetakan, air mineral kemasan hexagonal (ointika), perikanan, peternakan dan

lain-lain. Sedangkan sumber dana yang berasal dari kerjasama dengan pihak luar

adalah meliputi; menyewakan lahan seluas 200 hektar di wilayah Karawang dan

kerjasama permodalan tambang batu bara di Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur dan Sumatera.

Dana modal wirausaha pada tahap awal diperoleh dari hasil daur ulang

sampah. Misalnya untuk membeli mesin pembuat roti dan donat, mesin pembuat

tahu dan unit wirausaha lainya yang berasal dari hasil daur ulang sampah.

Sedangkan dana untuk pembangunan fisik pesantren, seperti asrama, masjid, ruang

belajar dan sebagainya lebih banyak diperoleh dari sumbangan para dermawan,

baik dalam bentuk fisik bangunan maupun uang tunai melalui rekening pesantren.

seluruh dana/keuangan bermuara ke pesantren dan pengelolaan keuangan dikontrol

dan dipegang oleh pimpinan pondok pesantren.52

Sumber dana pesantren pada umumnya diklasifikasikan kedalam dua

kategori, yaitu kontribusi santri, sumbangan pihak lain (individu, lembaga swasta,

dan pemerintah), dan unit usaha pesantren. Dalam hal ini, pendanaan pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman bersumber dari sumbangan pihak lain dan unit usaha

pesantren.

Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan sumber pembiayaan

operasional terbanyak dari usaha yang dimilikinya. Dari sektor daur ulang sampah

yang merupakan sayap usaha rintisan awal, pesantren mendapatkan pemasukan

sekitar 10 juta setipa bulan. Usaha yang cukup dinamis adalah TOSERBA (Toko

Serba Ada) milik pesantren yang omzetnya mencapai 240 juta setiap bulanya.

Hasil pertanian yang selama ini dimanfaatkan langsung oleh pesantren terutama

untuk sayuran yang dimasak untuk kebutuhan santri. Usaha lain yang cukup besar

menyumbang kas pesantren adalah bisnis roti yang setiap hari omzetnya mencapai

10 juta lebih. Produksi tahu, tempe, dan kedelai bisa menghasilkan pendapatan

untuk pesantren sekitar 120 juta setiap bulanya. Sumber pendapatan besar lainya

untuk pesantren adalah pengahsilan dari saham yang dimiliki pesantren di

perusahaan tambang batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Pengelolaan bidang usaha pesantren umumnya dilakukan sendiri oleh pihak

pesantren. Santri yang dilibatkan hanya sebagai pembantu pengelola yang

berfungsi sebagai kegiatan ektrakurikuler pesantren. Keterlibatan santri hanya

52

Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah

Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017

Page 95: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

78

sebatas sebagai sebuah pembelajaran untuk menjadi seorang entrepreneurship.

Santri yang telah lulus S1 diwajibkan mengabdi selama dua tahun di pesantren.

Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk peran pengabdian salah satunya di

bidang wirausaha pesantren. Meski demikian, peran pimpinan pesantren masih

sangat dominan dalam menentukan kegiatan usaha pesantren. Pengelolaan usaha

dilakukan secara modern dengan menggunakan sistem real time information.

Dengan jaringan informasi actual melalui jaringan internet, semua kegiatan usaha

dapat dipantau oleh pengasuh pesantren.

Distribusi hasil usaha pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman umumnya

digunakan untuk kepentingan pesantren. Hasil usaha pertanian dan perikanan

terutama sekali digunakan untuk konsumsi santri. Demikian halnya dengan

koperasi dan TOSERBA yang menyediakan bahan kebutuhan yang diperlukan oleh

santri dan dewan guru. Manfaat usaha yang dapat dirasakan pihak luar pesantren

sudah cukup banyak, di antaranya paving block, black diamond, sabun padat dan

cair, entertainment, dan air minum mineral dalm kemasan sudah diedarkan kepada

pihak luar meskipun masih dalam jumlah terbatas. Hasil produksi pesantren hanya

dipasarkan kepada pihak yang telah menjalin kerjasama atau memesan. Jadi,

pemasaranya belum sampai pada konsumen umum.

Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman ke depan akan banyak memperluas

jenis usaha di bidang perkebunan karena kepemilikan lahan yang begitu luas dan

permintaan pasar terhadap kayu jenis tertentu. Perlu langkah-langkah

mengembangkan jenis usaha baru dan memperluas usaha yang sudah ada. Peluang

pengembangan usaha di pesantren ini cukup besar karena beberapa dukungan,

antara lain; pertama, tuntutan internal untuk pengembangan usaha guna menutupi

biaya penyelenggaraan pesantren yang seluruhnya gratis. Kedua, jaringan

kerjasama yang sudah dijalin selama ini dengan beberapa perusahaan, lembaga,

pemerintah, dan individu. Ketiga, jaringan alumni yang tersebar di seluruh

Indonesia bahkan mancanegera menjadi modal bagi pengembangan usaha

pesantren. Keempat, tenaga kerja gratis dari santri-santri yang mengabdi

merupakan modal besar bagi pengembangan pesantren. Kelima, pengaruh

almarhum Habib Saggaf masih ada terutama kepada individu dan organisasi atau

lembaga tertentu.

Dalam kegiatan pelaksanaan wirausaha pesantren juga terdapat nilai-nilai

multikultural yang dijalankan oleh para santri. Jika dalam aktifitas keseharian,

antar santri diarahkan untuk berkeja sama satu sama lain untuk melakukan piket

kebersihan, mengerjakan tugas pelajaran, menyelesaikan masalah, menyukseskan

sebuah acara (event), dan lain sebagainya, maka di dunia bisnis (unit usaha)

mereka dituntut untuk bekerjasama bahu membahu melaksanakan tugas masing-

masing untuk suksesnya bisnis tersebut. Mereka yang berasal dari suku dan bahasa

yang berbeda harus belajar menghormati dan menghargai pendapat dalam

memusyawarhkan strategi pengelolaan, pemasaran dan manajemen keuangan.

Jujur, bertanggung jawab, loyal, toleran, kompak menjadi modal utama untuk

kesuksesan dalam menjalankan sebuah wirausaha.

Page 96: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

79

F. Output dan Outcome Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

Keberhasilan pendidikan pesantren dapat diukur melalui output yang

dihasilkan. Jika output (alumni) yang dihasilkan sesuai dengan visi misi yang telah

dicanangkan maka pendidikan di pesantren tersebut dikatakan berhasil. Selain itu,

keberhasilan pendidikan pesantren dapat dilihat dari alumni yang terus berkarya di

masyarakat sebagai upaya mengembangkan ilmu yang telah didapatkan dari

pesantren. Mereka tidak stagnan, tetapi terus berkreasi, berinovasi, menyesuaikan

perkembangan zaman.

Menurut Lauren Kalauge Output adalah hasil langsung dan segera dari

pendidikan. Margaret C, Martha Taylor dan Michael Hendricks menambahkan

bahwa output adalah jumlah atau unit pelayanan yang telah diberikan atau jumlah

orang-orang yang telah dilayani. Sedangkan menurut NEA output adalah hasil dari

aktifitas, kegiatan atau pelayanan dari sebuah program, yang diukur dengan

menggunakan takaran volume/banyaknya.53

Masih menurut Lauren Kalauge, outcome adalah efek jangka panjang dari

proses pendidikan misalnya penerimaan di pendidikan lebih lanjut, prestasi dan

pelatihan berikutnya, kesempatan kerja, penghasilan serta prestise lebih lanjut.

Adapun menurut Margaret C, Martha Taylor dan Michael Hendricks outcome

adalah respon partisipan terhadap pelayanan yang diberikan dalam suatu program.

Sedangkan menurut NEA adalah dampak, manfaat, dan harapan perubahan dari

sebuah kegiatan atau pelayanan suatu program. Secara sederhana dikatakan bahwa

output adalah hasil yang dicapai dalam jangka pendek, sedangkan outcome adalah

hasil yang terjadi setelah pelaksanaan kegiatan jangka pendek atau dengan kata

lain outcome adalah hasil yang dicapai dalam jangka panjang.54

Berikut ini,

peneliti mencoba membuat table input-proses-output-outcome pesantren.

53http://www.academia.edu/12539621/MAKALAH_INPUT , diakses pada 25 Juli

2017. Lihat juga Sifa Siti Mukrimah, 53 Metode Belajar dan Pembelajaran Plus Aplikasinya (Bandung: Bumi Siliwangi, 2014), 13.

54Sifa Siti Mukrimah, 53 Metode Belajar dan Pembelajaran Plus Aplikasinya, 14.

Page 97: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

80

Tabel 3.2: Pemetaan Input-Proses-Output-Outcome

INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME

Santri memiliki

latar belakang

daerah asal dan

status sosial

yang beragam.

Background

Tenaga

Pengajar tidak

sesuai dengan

Mata Pelajaran

yang diampu di

sekolah formal

Sarana Prasana

yang masih

belum

sebanding

dengan jumlah

santri

Kurikulum yang

terintegrasi

(Ilmu Agama

dan Ilmu umum)

Pembiayaan

yang Gratis

Santri diajarkan

bela Negara.

Wajib

mengikuti

program

WAMIL (Wajib

militer)

Kegiatan

Ekstrakurikuler

yang beragam

(pencaksilat,

kesenian dan

olah raga)

Pengenalan

budaya-budaya

antar santri

yang berbeda

daerah asal

Penanaman

wawasan

multikulturalis

me, pluralisme

dan

inklusivisme

melalui kajian

kitab-kitab

klasik.

Pembelajaran

dan praktik

berwirausaha.

Pembelajaran

tentang

teknologi

informasi dan

komunikasi

Santri memiliki

rasa optimisme

dan percaya diri

yang kuat,

karena telah

memiliki ilmu

agama dan

pengetahuan

umum yang

cukup.

Santri

mempunyai

sikap toleransi

yang tinggi.

Tidak mudah

terprovokasi

dan tidak

melakukan hate speech.

Santri memiliki

jiwa

nasionalisme

yang tinggi dan

dibalut dengan

spiritual yang

tinggi pula.

Santri mampu

menjuarai

berbagai

kompetisi

olahraga, lomba

baca kitab,

cerdas cermat,

lomba qira’ah

(MTQ),

kesenian, dll.

Partisipasi aktif

santri dalam

aktifitas politik.

Baik politik

praktis (partai

politik/ aparatur

Negara) maupun

politik

kebangsaan

(ikut aktif

dalam ormas-

ormas ataupun

LSM).

Membuka

lembaga

pendidikan baik

berupa

pesantren, TPQ,

sekolah maupun

lembaga

pendidikan

formal yang

mengajarkan

pentingnya

pendidikan

multikultural.

Mendirikan

usaha-usaha

kreatif dan

mandiri

sehingga dapat

membuka

lapangan

pekerjaan.

1. Mengembangkan Pemikiran Kiyai

Alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang terdata sampai

saat ini adalah 2.747 santri dengan rincian 1.528 santri putra dan 1.219 santri putri

yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun alumni yang tidak terdaftar masih

Page 98: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

81

banyak lagi. Alumni yang tidak terdata biasanya disebabkan oleh tidak tuntas

dalam proses pendidikan sampai lulus strata satu (S1). Meskipun tidak tuntas

sampai pendidikan sarjana, mereka tetap memiliki kecintaan yang kuat terhadap

pondok pesantren. Hal ini sesuai dengan ciri khas pesantren, bahwa santri akan

memiliki hubungan batin yang sangat kuat kepada kiyainya meskipun telah

menjadi alumni.55

Menurut Hasan Ayatullah, mayoritas alumni pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman memilih untuk menjadi pengajar dan pendidik di daerah

mereka asal. Baik di lembaga pendidikan formal seperti sekolah, madrasah

diniyyah, dan TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) maupun non-formal seperti guru

ngaji di mushola dan majelis ta’lim. Selain itu, sebagian dari alumni memilih untuk

berkarir menjadi karyawan, politisi tingkat desa sampai pusat, berdagang dan ikut

aktif menjadi kader salah satu ormas Islam yang moderat. Ada beberapa alumni

juga yang sudah merintis pondok pesantren di daerah Bekasi, Cibubur, Lampung,

dan Palembang.56

Berbekal nilai-nilai pendidikan multikultural yang mereka dapatkan

semasa menjadi santri, mereka mampu berkiprah di masyarakat dengan baik.

Menurut Idris dan Iing Ibrahim, sebagai alumni harus mampu mengembangkan

ilmu yang telah didapatkan di pesantren dan membawa manfaat yang nyata (real function) bagi masyarakat setempat. Alumni harus kreatif dan inovatif menyikapi

potensi dan kebutuhan masyarakat, sehingga apa yang diperjuangkan tepat guna.

Dengan begitu, outcome dari pesantren terlihat jelas.57

Berdasarkan data yang peneliti peroleh, ada beberapa alumni pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terlibat dalam program bina kawasan (Bantuan

Insentif dan Pembinaan Agama dan Keagamaan Islam di Wilayah Perbatasan).58

Program ini bertujuan untuk membina pendidikan masyarakat didaerah perbatasan

yang tersebar di beberapa daerah. Data ini menunjukan bahwa menurut kemenag,

output dari pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dinilai mampu mengemban

tugas tersebut dengan membumikan nilai-nilai multikultural yang telah mereka

terima dari pesantren. Nilai-nilai multikultural tersebut mereka integrasikan

dengan pengetahuan agama dalam membina masyarakat perbatasan.

Sementara menurut pengakuan Edi Trisnanto, ia merasakan manfaat dari

pendidikan multikultural yang telah diajarkan oleh Habib Saggaf. Selama

bergabung dalam sebuah organisasi ‛Jaringan Gusdurian‛, ia menyadari bahwa apa

yang telah ia dapatkan selama menjadi santri di pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman memiliki titik temu dengan apa yang dikampanyekan oleh organisasi

tersebut. Memperjuangkan manusia-manusia yang tertindas, korban dari

55

Lihat penjelasan peneliti pada BAB II tentang pesantren. 56

Wawancara dengan Hasan Ayatullah selaku Ketua IKSANI (Ikatan Keluarga

Santri al-Ashriyyah Nurul Iman) pada 16 September 2017. 57

Wawancara dengan Idris dan IIng Ibrahim selaku salah seorang alumni yang saat

ini telah mendirikan pesantren dengan jumlah santri 40 orang secara gratis di daerah Bekasi

dan Cibubur. Wawancara ini dilakukan pada 18 September 2017. 58

Bedasarkan Surat dari Kemenag a.n. Direktur Jenderal Direktur Pendidikan

Agama Islam No 2459/Dj.I/Dt.I.IV/Hm.01.1/09/2017.

Page 99: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

82

diskriminasi. Menjalin kasih sayang dalam bingkai kemanusiaan tanpa memandang

agama, suku, ras, pilihan politik, aliran keagamaan dan kepercayaan. Menolak

gerakan Islam yang radikal. Ia juga mengajak alumni-alumni yang lain untuk

bergabung dalam organisasi tersebut.59

Fuad Al Ansori menambahkan bahwa alumni pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman harus berjuang sesuai dengan apa yang telah Habib Saggaf

tanamkan. Ia sendiri memilih menjadi kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah di

daerah Bogor. Selain itu ia juga aktif sebagai kader GP ANSOR.60

Ia yakin bahwa

banyak alumni yang tergabung dalam organisasi tersebut di berbagai daerah. Hal

itu didasarkan bahwa doktrin yang Habib Saggaf tanamkan pada santrinya tentang

pengamalan Islam yang moderat begitu kuat.

Menarik untuk dicermati pula, menyikapi isu SARA yang sempat ramai di

arena pertarungan PILGUB DKI Jakarta. Alumni yang memiliki hak pilih di

Jakarta cenderung menolak hasutan yang membawa agama dalam panggung

politik. Muhammad Yakut menyayangkan atas beredarnya berita tidak akan

disholatkan jenazah orang muslim yang memilih pemimpin non-muslim (pasangan

Ahok-Djarot). Ia mengajak alumni area DKI Jakarta untuk menyikapi PILGUB

DKI Jakarta dengan melihat kejujuran, kemampuan, dan integritas dari masing-

masing pasangan calon. Tidak menggunakan isu agama untuk membuat

provokasi.61

Sayangnya, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman belum memiliki

data valid tentang aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan alumni untuk

mengembangkan dan menjungjung tinggi ajaran pesantren tentang pendidikan

multikultural. Hal ini mengakibatkan peneliti tidak mampu menganilis lebih dalam

lagi. Namun, sejauh ini peneliti belum menemukan data bahwa alumni pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terlibat dalam kasus-kasus radikal.

2. Santri Memberdayakan Ekonomi Mandiri

Salah satu faktor tumbuh suburnya faham radikalisme adalah masalah

kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan

yang memadai. Orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan cenderung mudah

melakukan tindakan radikal yang berujung kriminal. Pendidikan di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mengarahkan santri-santrinya untuk menjadi

pengusaha dan membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan begitu, alumni

diharapkan mapan secara ekonomi dengan memberdayakan ekonomi mandiri dan

mengikis faktor munculnya radikalisme.

Menurut Zulkifli Hasan selaku ketua MPR RI kemiskinan dapat menjadi

salah satu faktor pemicu munculnya gerakan radikalisme. Orang miskin biasanya

akses terhadap pendidikan dan kesehatan rendah, tidak punya tabungan dan tidak

59

Wawancara dengan Edi Trisnanto salah seorang alumni yang berasal dari

Purbalingga Jawa Tengah pada 11 Juli 2017. 60

Wawancara dengan Fuad Al Ansori, salah seorang alumni yang berasal dari

Bogor Jawa Barat pada 12 Juli 2017. 61

Wawancara dengan Muhammad Yakut, Ketua IKSANI area DKI Jakarta pada 9

September 2017.

Page 100: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

83

punya investasi. Ketidakberdayaan karena keterbatasan itu selain kerap membuat

kualitas seseorang jadi rendah, juga dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat

yang ada di lingkungan orang tersebut. Saat mau sekolah tidak bisa, uang juga

tidak punya, orang jadi tidak punya harapan. Ketika itu kemiskinan bisa jadi

gerakan radikal.62

Hal serupa diuangkapkan oleh Ketua BPS (Badan Pusat Statistik)

Suhariyanto, bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia bisa mengakibatkan

timbulnya radikalisme. Sebab, salah satu munculnya radikalisme adalah tingginya

jumlah penduduk miskin di suatu negara. Seperti diketahui, radikalisme adalah

suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan

perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan

cara-cara kekerasan. Dengan adanya ketimpangan tersebut, penduduk miskin di

Indonesia merasa tersisihkan dari negara. Akibatnya, mereka akan dengan mudah

dipengaruhi oleh oknum-oknum yang menginginkan adanya perpecahan di Tanah

Air.63

Seperti diketahui, gini ratio64

di daerah perkotaan pada September 2016

sebesar 0,409, menurun tipis 0,001 poin dibanding Maret 2016 sebesar 0,410.

Sedangkan dibanding September 2015, gini ratio ini menurun 0,010 poin dari

sebelumnya sebesar 0,419. Sementara itu, gini ratio di daerah pedesaan pada

September 2016 sebesar 0,316, menurun 0,011 poin dibanding Maret 2016 sebesar

0,327. Angka ini juga menurun 0,013 poin dibanding September 2015 yang

mencapai 0,329.

Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ketua BNPT Komisaris

Jenderal Suhardi Alius, ia mengatakan bahwa radikalisme di era modern

menyerang masyarakat yang tanggap teknologi. Penyebaran paham radikal di

sosial media begitu masif. Jadi sudah bergeser dari sekedar masalah variabel

kemiskinan atau kurangnya pendidikan.65

Latar belakang alumni pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman yang

berasal dari berbagai daerah di Indonesia memiliki keuntungan tersendiri. Jaringan

yang terbentuk antar alumni diberbagai daerah merupakan modal yang dapat

dimanfaatkan dalam mengembangkan dunia usaha mereka. Masing-masing dari

mereka dapat bertukar barang dagangan khas daerah mereka. Misalnya, alumni

62

Ilham Tirta, Ketua MPR: Kemiskinan Bisa Memicu Radikalisme,

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/07/29/ottbez361-ketua-mpr-

kemiskinan-bisa-memicu-radikalisme. Diakses pada 5 Februari 2017. 63

Siti Nur Azzura, BPS sebut kemiskinan bisa timbulkan radikalisme,

https://www.merdeka.com/uang/bps-sebut-kemiskinan-bisa-timbulkan-radikalisme.html. Diakses pada 5 Februari 2017.

64Rasio Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan

distribusi penduduk. ... Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan

sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan

sempurna. 65

Yohanes Paskalis, BNPT: Pemicu Radikalisme tidak lagi kemiskinan dan

pendidikan, https://nasional.tempo.co/read/815363/bnpt-pemicu-radikalisme-tak-lagi-

kemiskinan-dan-pendidikan. Diakses pada 5 Februari 2017

Page 101: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

84

pekalongan yang punya usaha batik dapat menyuplai alumni yang tinggal di

Kalimantan, Aceh maupun Papua.

Sejauh ini peneliti menemukan banyak alumni yang telah membuka usaha

secara mandiri. Ada yang jadi pengusaha bubur ayam, ayam bakar, fried chiken,

pecel lele, madu Sumbawa, batik, percetakan, kaligrafi, figura, toko sembako, agen

gas, laundry, nasi goreng, travel haji dan umroh, peternakan, fashion dan masih

banyak lagi. Menurut peneliti, hal ini merupakan sebuah keberhasilan pendidikan

pesantren dalam menanamkan ruh kewirausahaan.66

Namun yang disayangkan,

seperti yang peneliti sampaikan sebelumnya, manajemen pesantren belum memiliki

data valid terkait kegiatan alumni, sehingga pondok pesantren belum bisa

memetakan secara pasti outcome dari pendidikan pesantren tersebut.

Dengan adanya implementasi kemandirian ekonomi tersebut, para alumni

sudah terbebas dari salah satu faktor penyebab terjerumusnya kedalam faham

radikalisme dan terorisme. Mereka tidak gampang terpengaruh mengikuti faham

radikalisme dan terorisme karena iming-iming harta benda. Namun, memang untuk

terhindar dari radikalisme dan terorisme tidak cukup hanya sampai pemberdayaan

ekonomi saja, tetapi juga dalam hal lain seperti pemahaman toleransi secara

komprehensif, penggunaan media sosial yang sehat, sadar pemberitaan provokasi

dan hate speech dan lain sebagainya.

66

Berdasarkan penelusuran peneliti pada aktifitas alumni dengan sistem purposive sampling dan teknik snowball sampling. Lihat penjelasan peneliti pada bagan 1 BAB 1.

Page 102: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

85

BAB IV

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL

SEBAGAI UPAYA KONTRA RADIKALISME DI PONDOK PESANTREN AL-

ASHRIYYAH NURUL IMAN

Pendidikan multikultural merupakan model penddidikan yang dapat

menjadikan manusia memiliki semangat humanis, demokratis, adil, toleransi,

gotong royong, dan terjaminya hak-hak manusia. Sementara kontra radikalisme

merupakan sebuah usaha untuk menepis benih-benih radikalisme yang timbul

akibat hilangnya semangat humanis, tidak adanya keadilan, minimnya toleransi,

dan tidak terjaminya hak-hak manusia. Kemudian, dapat ditarik kesimpulan bahwa

kontra radikalisme berlawanan dengan radikalisme dan sejalan dengan pendidikan

multikultural. Semakin baik pelaksanaan pendidikan multikultural maka akan

semakin mendukung proses kontra radikalisme dan deradikalisasi.

Bab ini akan menjelaskan implementasi pendidikan berwawasan

multikultural dan kontra radikalisme di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman. Pertama kali yang akan dibahas adalah kebijaksanaan pesantren dalam upaya

pengembangan pendidikan berwawasan multikultural. Kemudian, dibahas tentang

elaborasi kitab kuning terhadap radikalisme dan pencegahanya. Selain itu, juga

dibahas implementasi pendidikan mutikultural melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Terakhir, dibahas tentang kendala-kendala yang dihadapi pesantren serta kebijakan

yang dilakukan.

A. Kebijaksanaan Pesantren Dalam Upaya Pengembangan Pendidikan

Berwawasan Multikultural

Menurut pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara

yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk merealisasikan amanat dari

undang-undang tersebut diperlukan berbagai upaya dan inovasi yang tertuang

dalam berbagai kebijakan pendidikan baik dilingkungan sekolah umum maupun

dilingkungan sekolah agama (pesantren).

Penentu sebuah kebijakan pesantren adalah seorang pimpinan pesantren,

dalam hal ini seorang kiyai atau penggantinya. Tidak jarang kebijakan yang

diambil oleh seorang pimpinan pesantren bersifat otoriter. Hal itu disebabkan oleh

kewibawaan kiyai yang disegani para santri dan pengurus pesantren, sehingga apa

yang telah menjadi keputusan seorang kiyai sudah berdasarkan pertimbangan akal

dan spiritual.1 Namun, tidak sedikit kiyai atau pimpinan pesantren yang bersikap

demokratis, ia memberlakukan sebuah kebijakan berdasarkan atas evaluasi,

1Seorang kiyai atau pimpinan pesantren sebelum memberlakukan sebuah kebijakan

biasanya melaksanakan munajat meminta petunjuk kepada Allah Swt. tidak hanya bedasar

pertimbangan logika saja.

Page 103: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

86

informasi, usulan ataupun laporan yang disampaikan oleh para pengurus pesantren

dalam sebuah musyawarah antara kiyai pimpinan pesantren beserta jajaran

pengurus pesantren.

Di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, dalam menentukan kebijakan

menggunakan metode kolaborasi antara kedua model pengambilan kebijakan

tersebut di atas. Demokratisasi sebuah kebijakan dinilai baik untuk memberikan

kebebasan berekspresi, menuangkan ide dan berkarya bagi masing-masing jajaran

pengurus pesantren. Sementara, munajat seorang pimpinan pesantren dalam

pengambilan sebuah kebijakan juga diperlukan sebagai ciri khas sebuah pendidikan

agama (pesantren). Selain itu, aspirasi wali murid juga menjadi pertimbangan

dalam pengambilan sebuah kebijakan. Berikut alur sebuah penentuan kebijakan di

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.

Untuk menopang keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural yang

ada di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, pimpinan pesantren membuat kebijakan

sebagai berikut:

a) Bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah baik luar negeri

maupun dalam negeri. Seperti dengan Kementrian Perindustrian,

Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan, Kemenrsitek Dikti,

Kemenhan, Kemendagri, Kedubes Amerika, Kedubes Jepang, Kedubes

Korea Selatan, dan lain sebagainya. Kerja sama yang terbentuk

mencerminkan sikap inklusif. Kerja sama yang terjalin bisa di bidang

pendidikan (pertukaran pelajaran), pertukaran budaya, pemberian

bantuan sarana prasarana, dan lain sebagainya. Melalui kerja sama ini

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dapat mentransformasikan

nilai-nilai universal kemanusian dan mencerminkan sikap Islam yang

menjunjung tinggi kasih sayang.

Bagan 4.3: Skema Pengambilan Kebijakan di Pondok Pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman

Informasi/Keluhan/

Usulan Wali Santri

Pengurus

Pesantren

Pimpinan

Pesantren

Kebijakan

Tinjauan Ulang

Oleh Pimpinan

Pesantren

Revisi Kebijakan

Page 104: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

87

b) Bekerja sama dengan lembaga non-pemerintah. Seperti Yayasan Budha

Tzuchi (Agama Budha), Yayasan Gandhi Sevaloka (agama Hindu),

Universitan di Taiwan, Universitas di Malaysia, dan berbagai pondok

pesantren di seluruh Indonesia. Pesantren al-Ashriyyan Nurul Iman

memiliki pemahaman bahwa kerja sama dengan umat agama lain tidak

akan merubah akidah. Justru sebagai lahan dakwah. Sebelum pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman berdiri, Habib Saggaf selaku pendiri telah

mempraktikan dengan bergaul dengan orang yang berbeda agama.

Beliau berpesan kepada santrinya agar memperbanyak teman. Pepatah

bilang banyak teman banyak rizki. Dari kerja sama ini mendapatkan

bantuan beras, pelatihan pertanian, asrama, dan lain sebagainya.

c) Memberikan kebebasan pada santri untuk mempelajari berbagai

budaya di Indonesia maupun dunia. Santri al-Ashriyyah Nurul Iman

memandang budaya itu sebagai produk manusia. Adakalanya ia baik,

adakalanya ia buruk (bertentangan syari’at). Untuk mengenali mana

baik dan mana yang buruk diperlukan penelitian dan pengematan. Oleh

karena itu santri al-Ashriyyah Nurul Iman diberikan kebebasan untuk

mempelajari budaya-budaya lain di luar dirinya. Bukan untuk

diduplikasi tapi diambil manfaatnya. Apabila budaya itu baik maka

harus dikembangkan, sedangkan apabila budaya itu buruk maka harus

dihindari dan dicari solusi untuk pencegahan persebaran budaya

tersebut.

d) Mengajarkan cara berdemokrasi yang baik melalui berbagai pemilihan

ketua organisasi, mengajarkan penyampaian pendapat dengan santun

dan menaati pemerintah. Santri merupakan salah satu generasi penerus

masa depan masyarakat, bangsa, dan Negara. Oleh karenanya, santri

harus tau betul cara berdemokrasi yang sesuai dengan kearifan lokal

agar tidak terjadi konflik antar sesame gara-gara merebut tahta dalam

proses berdemokrasi. Diajarkan menghargai perbedaan pendapat,

menyampaikan pendapat, dan tidak menyebarkan berita bohong (hoax)

apalagi fitnah.

e) Mengajarkan berprasangka baik dan mengurangi prasangka buruk

terhadap siapapun, meskipun berbeda ras, suku, agama, bangsa, dll.

Dalam Islam, berprasangka buruk itu dilarang. Prasangka buruk

merupakan bagian dari dosa. Selain itu, prasangka buruk juga akan

menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang tak berdasar sehingga

menyebabkan ketidakharmonisan yang berujung perpecahan. Dengan

demikian prasangka buruk menjadi hambatan untuk menjalin

hubungan yang harmonis antar sesame manusia. Agama Islam

mengedepankan berprasangka baik.

f) Memberikan pendidikan yang integratif dan holistik. Sudah menjadi

kebutuhan yang primer apabila manusia ingin menjadi manusia yang

hidup damai sentosa dan sejahtera. Kuncinya adalah berilmu. Berilmu

agama yang cukup dan pengetahuan umum yang mumpuni. Harus

mampu menggabungkan atau mengkolaborasikan ilmu agama dan

Page 105: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

88

umum. Keduanya saling membutuhkan dan melengkapi. Tidak dapat

sempurna jika keduanya tidak seimbang. Oleh karenanya, di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman selain diajarkan ilmu agama juga

diajarkan ilmu umum serta pelatihan-pelatihan wirausaha sampai

mahir. Selain itu juga dijarkan cara bermasyarakat yang baik.

Demikianlah wujud dari implementasi pendidikan yang integrative dan

holistik.

g) Memberikan pelayanan yang sama rata terhadap seluruh santri, tidak

ada diskriminasi meskipun berasal dari status sosial yang berbeda.

Sudah sepatutnya di sebuah lembaga pendidikan tidak mengotak-

ngotakan seorang siswa. Mereka harus diajarkan saling pengertian dan

saling merasakan. Tujuanya, agar satu sama lain terjadi ikatan

kekeluargaan yang sangat kuat. Istilah orang jawa ‚mangan ora mangan seng penting ngumpul‛. Melalui penyamarataan fasilitas inilah

mereka dapat hidup saling guyub, rukun, saling bahu membahun,

tolong menolong. Tidak timbul kecemburuan antar santri. Kalau pun

toh ada kecemburuan itupun berangkat dari faktor eksternal pesantren,

misalnya santri yang berasal dari keluarga kaya lebih sering dijenguk

dan mendapat kiriman dari keluarganya.

h) Menghormati bahasa dan dialek asli santri dari setiap daerah. Bahasa

daerah menjadi kekayaan lokal masing-masing individunya. Setiap

individu tentunya harus bangga terhadap kekayaan yang ia miliki serta

sudah menjadi kewajibanya untuk melestarikan bahasa daerah tersebut.

Di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terdapat kebijakan

penggunaan bahasa daerah di waktu tertentu. Misalnya pada hari libur

atau saat pukul 21.00 WIB sampai dengan 04.00 WIB. Harapan dengan

kebijakan ini masing-masing santri dapat melestarikan kekayaan

daerah asalnya dan juga mampu mempelajari bahasa daerah teman

santri lainya.

i) Mengundang umat agama lain (non-muslim) untuk menghadiri acara

kegiatan keagamaan, misalnya maulid nabi, isra’ mi’raj, idul adha, dll

dan memperbolehkan masuk masjid. Kegiatan ini dimaksudkan untuk

memberikan teladan toleransi kepada santri secara praktik atau biasa

disebut dengan internalisasi. Santri harus terlibat langsung dengan

orang non-muslim agar mereka dapat benar-benar mempraktekkan

toleransi antar umat beragama.

j) Melakukan penyeleksian terhadap penerimaan tenaga pendidik.

Pendidik merupakan salah satu faktor penunjang dan penentu

berhasilnya anak didik. Oleh karenanya perlu penyeleksian yang ketat

terhadap kualitas dan mutu pendidik. Penyeleksian dilakukan oleh guru

yang sudah memiliki kompetensi yang mumpuni beserta pengurus

sekolah. Setelah dinyatakan oleh lulus oleh tim seleksi baru

dihadapkan pada ketua yayasan. Keputusan akhir ada pada pihak

yayasan.

Page 106: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

89

k) Memberikan pelatihan pada guru dalam menyiapkan dan

menyampaikan seperangkat materi yang diajarkan pada santri.

Pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu dan kualitas

guru. Biasanya mengundang narasumber yang sudah sangat ahli di

bidangnya. Misalnya dari dinas pendidikan, pakar pendidikan, dan lain

sebagainya yang sesuai dengan tema pelatihan yang diagendakan.

l) Memperbolehkan santri menghadiri acara keagamaan umat agama lain.

Menghadiri acara umat agama lain bukan berarti setuju dengan

keyakinan mereka. Melainkan sebuah pendidikan untuk menajamkan

rasa toleransi, menghargai, dan menghormati. Jika mereka mau

berkunjung ke acara keagamaan pondok pesantren, maka santripun

harus menghormati dan menghadiri undangan acara keagamaan

mereka.

m) Mengirimkan santri ke daerah-daerah tertinggal di berbagai negeri

untuk mengajar dan menebarkan nilai-nilai multikultural. Dakwah

merupakan kewajiban seorang santri. Dakwah dapat dilakukan dalam

berbagai kegiatan sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Bisa

dengan mengajar, bermusik, melukis, menggambar, dan lain

sebagainya. Santri yang dikirim ke daerah perbatasan merupakan santri

yang memiliki kompetensi mengajar dan memiliki kompetensi

kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini bertujuan agar mereka

dapat membaur dan mudah diterima di lingkungan masyarakat daerah

perbatasan. Kegiatan ini merupakan kegiatasn kerja sama dengan

kemenag RI. Daerah perbatasan yang dimaksud adalah papua,

Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Batam, dan lain sebagainya.

Melalui berbagai kebijakan tersebut diharapkan pendidikan multikultural

mampu merealisasikan transformasi pendidikan dengan memberikan pengaruh

terhadap perubahan sosial. Paul C. Gorski, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan

multikultural adalah sebagai proses transformasi. Ada tiga bagian transformasi

yang dilakukan, yaitu: transformasi pendidikan terhadap diri pribadi (the transformation of self), tarnsformasi pendidikan di sekolah (the transformation of school and schooling), dan tarnsformasi pendidikan di lingkungan masyarakat (the transformation of society). Ketiga tujuan transformasi ini dimasukkan dalam

rumusan kurikulum pendidikan dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran

terhadap segala aspek pendidikan, seperti persiapan guru, materi pendidikan,

kurikulum, ruang kelas, praktik konseling, dan assessment.2 Demikianlah beberapa proses transformasi pendidikan yang dilakukan

melalui pengimplementasian pendidikan multikultural, sebagai upaya untuk

mewariskan pada generasi muda kemampuan intelektual umum dan keagamaan

yang memadai juga jiwa sosial kemanusian yang cukup tinggi. Pendidikan sebagai

usaha restorasi budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan

sebagai penyelenggara pendidikan formal tetapi juga keluarga dan mayarakat. Pada

2Paul C. Gorski, Multicultural Education and The Internet Intersection and

Integrations (New York: McGraw-Hill, 2005), 12-15.

Page 107: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

90

akhirnya, setiap pendidikan harus mempersiapkan generasi muda untuk

mengarungi kehidupan masa depan yang terdiri dari: 1) kemampuan untuk mencari

nafkah, 2) kemampuan untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna, dan 3)

kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.

B. Doktrin yang dikembangkan Pesantren

Dalam mendidik santri di bidang Ibadah, pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman memilih Madzhab Syafi’i sebagai amaliah sehari-hari. Di bidang

Teologi memilih Ash’ariyyah Maturidiyyah. Meskipun begitu, pondok pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman tetap mengembangkan pengetahuan perbandingan

madzhab. Sedangkan dalam bermu’amalah tidak melulu hanya merujuk pada

Madzhab Syafi’i melainkan juga Madzhab Hanafi, Maliki maupun Hambali.3

Melalui luasnya pemahaman/cara pandang dibidang fiqh yang bersumber dari

beragam madzhab tersebut mampu berimplikasi pada santri untuk bersikap

moderat, tidak mudah menjustifikasi, tidak mendiskriminasi dan tidak

mendiskreditkan.

Berdasarkan pengakuan warga sekitar, pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

mengajarkan kepada santrinya untuk berhubungan baik kepada sesama apalagi

kepada tetangga4, dalam hal ini warga kampung sekitar pesantren. Mereka sangat

tidak keberatan untuk membantu warga kampung sekitar pesantren jika dimintai

pertolongan, bahkan sebelum dimintai pertolonganpun mereka sigap membantu.

Misalnya, saat terjadi musibah yang menimpa warga sekitar, menghadiri undangan

pengajian dan membagi-bagi sembako atau daging kurban meskipun warga sekitar

pesantren tersebut dalam segi aliran keagamaan berbeda paham dengan pesantren.

Misalnya, ada warga sekitar yang menolak penggunaan speaker (aspek/anti speaker) di mushola/masjid/saat pelaksanaan pengajian/ibadah sedangkan di

3Misalnya pendapat tentang pembolehan wanita haidh membaca al-Qur’an.

Sebenarnya Jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin

Hambal) mengatakan bahwa wanita haid haram membaca al-Qur’an (termasuk menghafal

dan setoran). Sedangkan Imam Malik memperbolehkan wanita haidh membaca, menghafal

dan setoran al-Qur’an agar tidak terjadi kekosongan ibadah dalam waktu yang lama selama

masa haidh. Dalam hal ini praktik yang terjadi di pondok pesantren al-Ashriyyah mengikuti

pendapat Imam Malik. Begitupun dalam hal menerima bantuan dari non-muslim, pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman lebih memilih pendapat yang memperbolehkan karena

untuk menjalin kasih sayang dalam keberlangsungan kehidupan. 4Sikap tersebut didasarkan pada sebuah hadi>th dibawah ini:

عن أب هررة رض الله عنه : أن رسول الله صلى الله عله وسلم قال : من كان ؤمن بالله والوم الآخر ، فلقل خرا أو لصمت ، ومن كان ؤمن بالله والوم الآخر ، فلكرم جاره

‚Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau

diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati

tetangganya‛

Page 108: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

91

pesantren menggunakan speaker. Mereka tetap hidup berdampingan dan saling

bertoleransi.5

Sikap yang moderat selalu beriringan dengan nilai-nilai multikultural.

Terkait pendidikan multikultural, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

memahaminya sebagai sebuah usaha/langkah/kegiatan dalam membina/mendidik

manusia agar memiliki wawasan yang luas, holistik dan integratif, cerdas,

berketerampilan yang cakap, kreatif, bertoleransi tinggi dan menebarkan kasih

sayang dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap perbedaan latar belakang

baik agama, ras, suku, bangsa, status sosial, aliran keagamaan dan aliran politik

serta selalu bersikap inklusif atas dasar bahwa seluruh santri pasti memiliki salah

satu dari multiple intelligences6 (kecerdasan majemuk).7

Semua santri yang mendaftarkan diri di pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman semua diterima. Tidak dilakukan tes formal sebagaimana yang

dilakukan oleh sekolah-sekolah elit.8 Kebijakan itu didasarkan pada konsep

multiple intelligences. Bahwa kecerdasan seseorang tidak bisa dibatasi dengan

indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Sebab setelah

diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis), tidak

statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya

menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi satu tahun

lagi. Menurut Gardener, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Padahal

kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang. Sumber kecerdasan seseorang

adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya

(kreativitas) dan kebiasaanya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).

9

Dalam bukunya yang terkenal ‚Smart Baby, Clever Child‛, Valentine

Dmitriev mengatakan ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang

menjadikan beberapa orang lebih pandai dari pada orang lain. Faktor itu adalah

keturunan dan lingkungan. Tidak banyak yang bisa dilakukan orang tua untuk

mengubah warisan gen seorang bayi, tetapi sangat banyak yang bisa dilakukan

untuk mengoptimalkan faktor lingkungan guna meningkatkan potensi

5Wawancara dengan Pak Capung selaku warga kampung sekitar Pondok Pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman pada 15 September 2017. 6Dalam buku Konsep dan Makna Pembelajaran dipaparkan delapan kecerdasan

majemuk (multiple intelligences) yaitu kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan

logika/matematika, kecerdasan spasial/visual, kecerdasan tubuh/kinestetik, kecerdasan

musical/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan spiritual.

Delapan kecerdasan tersebut dilontarkan oleh Howard Gardner. Lihat Syaiful Sagala,

Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung: Alfabeta, 2013), 86. 7Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah

Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. 8Rata-rata sekolah yang diminati oleh banyak murid dan orang tua murid,

melakukan seleksi dengan tes formal yang ketat, seperti Sekolah Dwi Warna, Madania,

Pesantren Gontor, dll. 9Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di

Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), 71, cet. IX.

Page 109: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

92

perkembangan seorang anak. Otak tumbuh sebagai hasil dari informasi yang

diterima, disimpan, dan diprosesnya. Dengan kata lain otak tumbuh melalui proses

yang disebut ‚belajar‛.10

Dengan sistem yang telah dirancang, pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman meyakini bahwa semua santri nantinya akan jadi orang

cerdas sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Kebijakan pesantren tersebut sesuai dengan prinsip yang disampaikan oleh

H.A.R Tilaar. Menurutnya ada tiga prinsip yang harus ada dalam pendidikan

multikultural. Pertama, pendidikan multikultural berdasarkan atas pedagogik

kesetaraan (equity pedagogic). Prinsip ini bukan hanya mengakui akan hak asasi

manusia melainkan hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, dan kelompok

bangsa. Kedua, pendidikan multikultural ditujukan untuk mewujudkan manusia

Indonesia yang cerdas. Ketiga, pendidikan multikultural mampu mengambil dan

memanfaatkan peluang dari globalisasi.11

Oleh karenanya pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman bersikap inklusif pada siapapun atau lembaga apapun yang

memiliki cita-cita luhur mengangkat harkat dan martabat manusia.

Pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap

pendidikan multikultural juga sesuai dengan empat pilar dalam multikulturalisme

yaitu demokrasi, persamaan, kebebasan, dan pluralisme.12

Dalam hal demokrasi,

para santri dididik melalui berbagai pemilihan umum seperti pemilihan Ketua Osis,

Ketua BEM, Ketua Forum Mahasiswa, Ketua Pondok, Ketua Konsulat13

, dan

bidang-bidang yang lain. Melalui pemilihan tersebut santri diajarkan bagaimana

merumuskan dan menyampaikan visi misi dalam memimpin sebuah organisasi,

memengaruhi orang lain, melatih pengambilan keputusan, dan berpolitik secara

sehat. Dalam hal persamaan/kesetaraan, santri diberikan fasilitas yang sama baik

makan, minum, tempat tidur, MCK, tempat belajar, dan tempat berolahraga.

Dalam hal kebebasan, santri diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi

yang ia miliki, misalnya dengan cara bermusik, mengikuti bela diri, dan menekuni

bidang keilmuan tertentu. Tidak ada paksaan kepada santri yang belajar di

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, ketika telah menjadi alumni harus menjadi

seorang Ulama, Politisi, Seniman, ataupun lainya. Sedangkan dalam hal pluralisme,

santri diajarkan untuk berinteraksi dengan non-muslim secara langsung. Mereka

dilatih untuk bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial secara baik dengan non-

muslim.

Menurut Ummi Waheeda, pendidikan model seperti ini –yang oleh para

pakar disebut dengan pendidikan multikultural– telah dipraktikkan oleh Habib

10

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia, 73.

11H.A.R Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalm

Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), 216-222. 12

Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam (Depok: Rajawali Pers, 2014), 235-

254. 13

Sebuah organisasi santri yang memiliki latar belakang daerah yang sama,

misalnya konsulat Kesip (Keluarga Santri Pekalongan), IKSAB (Ikatan Santri Bogor),

ISNAD (Ikatan Santri Asal Demak), INSAP (Ikatan Santri Asala Purwodadi), HISBAN

(Himpunan Santri Asal Banyumas), ORTIM (Organisasi Orang Timur), dll.

Page 110: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

93

Saggaf sejak pertama kali pesantren didirikan. Pendidikan multikultural di al-

Ashriyyah Nurul Iman diberlakukan bukan sebagai respon setelah maraknya

fenomena radikalisme. Bahkan, pendidikan mutlikultural harus tetap dilestarikan

meskipun fenomena radikalisme telah hilang, karena sudah sepatutnya antar

manusia saling menjaga keharmonisan satu sama lain, gotong royong dan saling

tolong menolong tanpa adanya rasa saling curiga dan berburuk sangka, meskipun

berbeda Agama, Suku, Ras, Bangsa, dan Negara. Istilah pendidikan multikultural

hanya menjadi rumusanya saja.

Dalam pendidikan multikultural yang diterapkan di pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman juga mempunyai upaya memperdalam dan memperluas

komunikasi interpersonal ataupun internasional pada persoalan ekonomi, budaya

maupun persoalan sosial lainya terhadap segala perbedaan. Perbedaan budaya tidak

akan menjadikan sebuah permasalahan bahkan dapat menjadi kesempatan untuk

memperkaya pengalaman. Tentu pengalaman tersebut dapat bermanfaat untuk

pengembangan kehidupan sosial. Salah satu contoh di China proses integrasi

multikulturalisme melalui pengajaran bahasa Inggris menjadi efektif sebagai

jembatan transmisi budaya yang baik dari Barat maupun dari Timur. Melalui

pengajaran bahasa Inggris tersebut dapat menjadi jembatan untuk memberikan

kepahaman kepada siswa agar saling mengenal budaya Barat dan Timur.14

1. Kurikulum Penentu Output-Outcome Pesantren

Kurikulum merupakan salah satu aspek penting di dalam sebuah lembaga

pendidikan. Kurikulum diibaratkan sebagai sebuah rel dimana gerbong lembaga

pendidikan itu berjalan dan sampai pada tujuanya. Kurikulum direncanakan sesuai

dengan tujuan lembaga pendidikan didirikan, sehingga menopang visi misinya.

Sebagai contoh di dalam masyarakat yang demokratis, kurikulum menjadi media

untuk mempersiapkan pengalaman belajar anak didik agar mampu bersikap dan

berpikir merdeka terhadap orang lain. Kemudian, untuk menumbuhkan sikap

penghargaan dan toleransi, pengakuan dan penerimaan terhadap perbedaan,

kemajemukan, dan pengayaan kehidupan individu yang berkaitan dengan kelas

sosial dan ras. Selanjutnya, untuk pemberdayaan politik dan sosial serta menerima

keragaman pemikiran.15

Dalam bahasan Arab, istilah kurikulum diartikan dengan manhaj, yakni

jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui pendidik/guru dengan peserta

didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-

nilai.16

Al-Khauly menjelaskan al-Manhaj sebagai perangkat rencana dan media

untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan

14

Li Wei, ‚Integrating of Multiculture Education into English Teaching and

Learning: A Case Study in Lioning Police Academy‛ Theory and Practice in Language Studies, vol. 3, no. 4 (2013): 612-619

15A.V. Kelly, The Curriculum: Theory and Practice, 6

th Edition (London: SAGE

Publication, 2009), 8. 16

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 1.

Page 111: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

94

yang diinginkan.17

Sementara menurut Kemp, Morrison dan Ross, sebuah

kurikulum menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampilan

yang termuat dalam suatu program pendidikan.18

H.A.R Tilaar mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah infomasi dan

pengalaman yang disampaikan kepada anak didik. Menurutnya, kurikulum harus

direncanakan berdasarkan kebutuhan siswa sehingga dapat mengeksplorasi potensi,

skill yang dimiliki masing-masing siswa. Jika penentuan kurikulum secara uniform yaitu dari atas kebawah atau dari pemerintah ke sekolah, maka akan mengabaikan

hal-hal yang menjadi kebutuhan anak didik. Pola uniform dalam perencanaan

kurikulum dapat menjadi sebuah indoktrinasi melalui metode pemaksaan dan

kemudian diukur melalui suatu standar. Kurikulum yang demikian ini bertentangan

dengan prinsip kurikulum yang berpusat pada anak didik atau masyarakat. Sudah

tentu kurikulum seperti ini tidak mengakui otonomi individu, sehingga merupakan

suatu penindasan terhadap kreatifitas anak didik. Sebaiknya kurikulum ditentukan

bukan dari atas ke bawah melainkan dari bawah ke atas.19

Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan sangat berperan dalam

mengantarkan peserta didik pada tujuan pendidikan yang diharapkan. Untuk itu,

kurikulum merupakan kekuatan utama yang memengaruhi dan membentuk proses

pembelajaran. Kesalahan dalam penyusunan kurikulum akan menyebabkan

kegagalan suatu pendidikan dan pendzaliman terhadap peserta didik.20

Herman H.

Home memberikan dasar bagi penyusunan kurikulum atas tiga macam, yaitu:

1. Dasar Psikologis, digunakan untuk memenuhi dan mengetahui

kemampuan yang diperoleh dan kebutuhan peserta didik (the ability and needs of children).

2. Dasar Sosiologis, digunakan untuk mengetahui tuntutan masyarakat

(the legitimate demands of society) terhadap pendidikan.

3. Dasar Filosofis, digunakan untuk mengetahui nilai yang akan dicapai

(the kind of universe in which we live).21

Bila dianalisis lebih jauh, dasar kurikulum yang ditawarkan di atas belum

lengkap untuk dijadikan dasar kurikulum pendidikan Islam, dalam hal ini

pesantren. Sebab dalam pendidikan Islam ada usaha-usaha untuk mentransfer dan

menanamkan nilai-nilai agama (ilahiah) sebagai titik sentral tujuan dan proses

17

Muhammad Ali al-Khauly, Qa>mus al-Tarbiyah: Injilizy-Araby (Beirut-Libanon:

Da>r al-‘a>lim lil al-Malayin, 1981). 18

Kemp, JE. Morrison, G.R. dan Ross, S.M., Designing Effective Instruction (USA: Macmillan College Publishing Company, inc., 1994). Dalam Muhaimin,

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 2.

19H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik

Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 356-358. 20

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 310.

21Herman H. Home dalam Oemar Muhammad al-Toumy al-Shaibani, Falsafah

Pendidikan Islam. Diterjemahkan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485.

Page 112: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

95

pendidikan Islam. Oleh karena itu, al-Shaibany memberikan kerangka dasar yang

jelas tentang kurikulum Islam, yaitu:

1. Dasar Agama. Dasar ini hendaknya menjadi ruh dan target tertinggi

dalam kurikulum. Dasar agama dalam kurikulum pendidikan Islam

jelas harus didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah dan sumber-sumber

yang bersifat furu’ lainya.

2. Dasar Falsafah. Dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan

Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum

mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk

nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari

segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.

3. Dasar Psikologis. Dasar ini memberikan landasan dalam perumusan

kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta

didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memerhatikan

kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta

didik dengan lainya.

4. Dasar Sosial. Dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum

pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung

ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaanya, baik dari segi

pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni

dan sebagainya. Sebab tidak ada suatu masyarakat yang tidak

berbudaya dan tidak ada suatu kebudayaan yang tidak berada pada

masyarakat. Kaitanya dengan kurikulum pendidikan Islam sudah tentu

kurikulum harus mengakar terhadap perubahan masyarakat dan

perkembanganya.22

Dengan berlandaskan kepada dasar-dasar tersebut, diharapkan kurikulum

pendidikan Islam akan dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan

pendidikan.

Selanjutnya ada pula tujuan pendidikan diformulasi dengan berlandaskan

keyakinan atas suatu aliran kepercayaan dan agama. Misalnya, Calvinisme dan

Shintoisme. Calvinisme dengan ajaran inti Protestan yang melahirkan tujuan

pendidikan yang menekankan kerja keras dan berhemat cermat. Ajaran ini lahir

dari pandangan Max Weber. Adapun Sintoisme yang memercayai Kaisar Jepang

adalah keturunan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami) telah melahirkan

keyakinan dikalangan rakyatnya sebelum perang dunia II bahwa rakyat harus

mengabdi kepada Kaisar seperti mengabdi kepada Amiterasu Omi Kami. Dalam

kehidupan sehari-hari, pandangan ini berimplikasi pada kepatuhan kepada

pemimpin dan rasa tanggung jawab yang besar sebagai inti dari ajaran Bosido yang

menjadi falsafah hidup mereka.

Terbentuknya warga Negara pragmatis yaitu warga Negara Comunist Marxist yang mampu bekerja keras, hemat, cermat dan warga Negara yang berjiwa

Basido. Tentunya, tidak serta merta (otomatis), melainkan melalui pendidikan dan

22

Oemar Muhammad al-Toumy al-Shaibani, Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan Hasan Langgulung, 520-522.

Page 113: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

96

latihan yang memakan waktu lama. Dengan kata lain, mereka harus melalui

lembaga pendidikan yang didalamnya termuat paket pengajaran (kurikulum) yang

serasi dengan tujuan yang akan dicapai.23

Falsafah pendidikan Islam tentunya berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber

utamanya dan otomatis menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam

penyusunan kurikulumnya. Muhammad Fadhil al-Jamili mengemukakan bahwa al-

Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat pendidikan

dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya, kurikulum pendidikan Islam

disusun sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadith untuk melengkapinya. Di dalam al-

Qur’an dan al-Hadith ditemukan kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai

pedoman operasional dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Kerangka

tersebut adalah: (1) Tauhid dan (2) Perintah membaca.24

Menurut para ilmuan muslim, mereka banyak memberikan pandangan

tentang apa saja yang harus diketahui dan dipelajari oleh manusia selaku hamba

Allah, selaku anggota masyarakat, dan selaku pribadi berakhlak mulia. Diantaranya

adalah:

1. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok ilmu yaitu:

a) Ilmu yang tercela. Banyak atau sedikit, ilmu ini tidak ada manfaatnya

bagi manusia, baik di dunia dan di akhirat; misalnya ilmu sihir, nujum,

dan perdukunan. Nilai ilmu ini, jika dipelajari maka akan membawa

mudharat dan akan meragukan kebenaran adanya Allah. Oleh karena itu

jauhilah ilmu tersebut.

b) Ilmu yang terpuji. Banyak atau sedikit, ilmu ini akan membawa

manfaat di dunia dan di akhirat. Misalnya ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu

tajwid dan ilmu agama lainya. Ilmu ini bila dipelajari akan menjadikan

jiwa menjadi suci, bersih, dan terhindar dari kerendahan dan keburukan.

Dengan ini, manusia dapat mendekatkan diri pada Allah.

c) Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu yang tidak boleh didalami, karena

ilmu ini akan membawa kepada kegoncangan iman. Misalnya, ilmu

filsafat. Ilmu hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang telah

memiliki keimanan yang kuat dan dasar pikir yang matang.

Dari klasifikasi ilmu di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua

kelompok ilmu yang dilihat dari kepentinganya, yaitu: (1) ilmu fardhu ‘ain (wajib).

Wajib diketahui oleh semua orang muslim, yatitu ilmu agama; ilmu yang

bersumberkan dari kitab suci Allah dan Sunnah Rasulullah. (2) ilmu fardhu

kifayah. Tidak diwajibkan bagi setiap muslim. Ilmu ini bermanfaat untuk

keberlangsungan kehidupan dan memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu

23

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, 312.

24Muhammad Fadhil al-Jamili dalam Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam:

Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, 314.

Page 114: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

97

hitung (matematika), ilmu astronomi, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu

pertanian, ilmu industri, ilmu dagang, dan bidang ilmu sosial dan sain lainya.25

2. Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu:

a) Ilmu Lisan, yaitu ilmu lughah, nahwu, baya>n dan adab (sastra) atau

bahasa yang tersusun secara puitis (sha’ir).

b) Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.

Ilmu ini berupa membaca al-Qur’an dan tafsirnya, mempelajari sanad

hadith dan perselisihanya, serta metode istimbath qanun-qanun fiqh. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah

yang diwajibkan atas manusia. Sedangkan untuk memahami al-Qur’an

peserta didik hendaknya mempelajarinya melalui ilmu-ilmu tafsir, ilmu

hadith, ilmu ushul fiqh yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-

hukum Allah.

c) Ilmu Aqli, yaitu ilmu yang dapat mengembangkan daya pikir atau

kecerdasanya, seperti filsafat dan semua ilmu pengetahuan aqli lainya.

Termasuk dalam kategori ilmu ini adalah ilmu mant}iq (logis), ilmu

alam, ilmu teknik, ilmu hitung, tingkah laku (psikologi), astronomi,

kesehatan/ kedokteran. Terkait ilmu nujum, Ibnu Khaldun

menganggapnya sebagai ilmu fasid, karena ilmu ini dipergunakan untuk

meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan.

Hal itu merupakan sesuatu yang keliru dan berlawanan dengan ilmu

tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali

Allah sendiri.26

3. Ibnu Sina’ membagi ilmu pengetahuan pada dua jenis, yaitu: pertama, ilmu

nadhari (teoritis). Yaitu ilmu alam, ilmu riyadhi (ilmu urai atau matematika)

dan ilmu ilahi (ketuhanan); ilmu yang mengandung i’tibar tentang wujud

kejadian alam dan isinya melalui pengalisaan yang jelas dan jujur sehingga

diketahui siapa penciptanya. Kedua, ilmu amali (praktis) yaitu ilmu yang

membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari segi tingkah laku

individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak yang membicarakan tingkah

laku manusia, ilmu siya>sah (politik), filsafat dan berbagai cabangnya yang

bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu menurut kemampuan akalnya.

Disamping itu, secara teoritis filsafat bertujuan untuk menyempurnakan jiwa

melalui hakekat kebenaran ilmu yang diperoleh. Sementara secara praktis

filsafat bertujuan menyempurnakan jiwa manusia yang dimunculkan melalui

amal perbuatan. Tujuan pertama adalah pengetahuan yang haq. Sedangkan

tujuan yang kedua adalah menuju kepada ma’rifat (mengetahui) atas nilai-

nilai kebaikan.27

25

Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul

Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003), h.30-31. 26

Ibnu Khaldun dalam Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Terj. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).

27Ibnu Sina’ dalam Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis

Sistem Pendidikan Islam, 320.

Page 115: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

98

Dari paparan tentang klasifikasi ilmu oleh ilmuan muslim dapat

disimpulkan bahwa tidak dapat dipertentangkan antara ilmu agama dan ilmu

umum. Keduanya diperlukan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan, serta antara

keduanya saling menguatkan. Sebagaimana telah dibahas di BAB III, bahwa

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memadukan antara sistem pendidikan

salafiyah yang merujuk pada pembahasan kitab klasik serta sistem pendidikan

modern yang merujuk pada kurikulum yang ditetapkan oleh Kementrian

Pendidikan Republik Indonesia. Disamping itu, karena pendidikan di pesantren ini

adalah pendidikan padat karya, maka santri juga belajar membuat roti, tahu, tempe,

kecap, susu kedelai, mie telor, sabun, tata cara menjahit, air mineral, percetakan,

peternakan, animasi video, dan perakitan komputer.

Adapun kurikulum yang berlaku di sekolah formal (SD, SMP, dan SMA) di

lingkungan pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman adalah kurikulum 2013.

Sedangkan kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi adalah sesuai dengan SN-

DIKTI (Standar Nasional Pendidikan Tinggi). Semua kurikulum tersebut sesuai

dengan penjelasan A.V. Kelly. Ia mengkategorikan sebagai berikut, pertama

kurikulum formal. Kurikulum ini tercermin dalam bentuk dokumen kurikulum

sekolah, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), bentuk penilaian, dan

rujukan belajar. Kedua, hidden kurikulum, kurikulum ini berbeda dengan kurikulum

formal, yakni berupa interaksi secara fisik, personal, maupun sosial antar siswa,

dan guru di lingkungan sekolah. Ketiga, kurikulum informal, kurikulum ini berupa

aktifitas siswa seperti olahraga, pengembangan diri, kejurnalisan, pencaksilat,

kelompok diskusi dan lain sebagainya. Kurikulum ini biasa disebut dengan

kurikulum ekstra. Semua kurikulum tersebut di dalam lembaga sekolah disebut

dengan ‚total kurikulum‛ (the total curriculum).28

Kurikulum tersebut dieksplorasi

untuk menanamkan nilai-nilai multikultural kepada santri.

Sedangkan kurikulum salafnya berbasis pada pembelajaran kitab kuning.

Meliputi fan/bidang al-Qur’an (Tafsir dan Tajwid), hadi>th dan us}u>l al-hadi>th,

Aqidah, Akhlak dan Tasawwuf, Fiqh dan us}u>l al-fiqh, Lughah (Gramatikal dan

Praktikal). Kitab-kitab yang diajarkan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1: Klasifikasi Kitab Kelas I’da>d

No Fan/Bidang Keilmuan Nama Kitab

1. Al-Qur’an Turutan

2. Fiqih Praktis Fas}a>latan

3. Imla’ Kita>bati>

Tabel 4.2: Klasifikasi Kitab Kelas Ula>

No Fan/Keilmuan Nama Kitab

1. Al-Qur’an/Tajwi>d Tuhfat al-At}fa>l, Hida>yat al-Mustafi>d

2. Hadi>th Arba’i >n al-Nawawi>

3. Aqidah Aqi>dat al-Awwa>m

28

A.V. Kelly, The Curriculum: Theory and Practice, 9-13.

Page 116: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

99

4. Akhlak Al-Akhlak Li al-Bani>n

5. Fiqih Safi>nat al-Najat, Sulam al-Taufi>q

6. Lughah Jurumiyyah, Imrit}i, Amthilat al-Tas}rifiyyah

7. Tarikh Khulas}ah Nur al-Yaqi>n

Tabel 4.3: Klasifikasi Kitab Kelas Wust}a>

No Fan/Keilmuan Nama Kitab

1. Al-Qur’an/Tajwid Naz}a>m Jazariyyah

2. Hadi>th Bulugh al-Mara>m, al-Baiquni>,

3. Aqidah Nur al-Z}ala>m

4. Akhlak

Ta’lim al-Muta’alli>m

5. Fiqih

Taqri>b, Fathu al-Qari>b, Mabadi’ Awwaliyah, Fathu al-Mu’i>n

6. Lughoh /Nahwu Mutammimah, al-Kailani, Husnu al-S}iya>ghah

Tabel 4.4: Klasifikasi Kitab Kelas ‘Ulya>

No. Fan/Keilmuan Nama Kitab

1. Al-Qur’an Tafsi>r al-Jala>lain, Tafsi>r al-S}a>wi> al-Tibya>n fi Hamlat al-Qur’an

2. Hadi>th Riya>dh al-S}a>lihi>n, Minhat al-Mughi>th

3. Aqidah Umm al-Bara>hin

4. Akhlak Kifa>yat al-Atqiya>

5. Fiqih Fathu al-Mu’i>n, al-Bayan.

6. Lughoh Al-Fiyyah ibn Ma>lik, Jauhar al-Maknu>n

Selain kitab yang tertera di atas masih ada kitab yang dipelajari secara halaqah.

Misalnya al-Hikam, Bida>yat al-Hida>yah, Fathu al-Wahha>b, Bida>yat al-Murtashidi>n, Kifa>yah al-Akhya>r, al-Umm, Tafsi>r Ibn Kathi>r, dan lain sebagainya.

Dengan mempelajari kitab kuning dari berbagai fan keilmuan, santri

diharapkan memiliki wawasan keislaman yang komprehensif, sehingga tidak

mudah terjebak dalam interpretasi yang sempit dan ekslusif. Mereka juga dituntut

untuk mendiskusikan lebih lanjut fan keilmuan yang telah diajarkan, kemudian

mengelaborasikan dengan kitab-kitab yang tidak terdaftar dalam kurikulum dari

masing-masing fan. Misalnya jika fan fiqh diajarkan menggunakan kitab fathu al-Mu’i >n maka santri diwajibkan juga membaca dan mendiskusikan kitab fathu al-Wahha>b, Syarh al-Muhadhdhab, Bughyat al-Murtashidi>n, Kifa>yah al-Akhya>r, dan

lain sejenisnya. Secara tidak langsung, mereka diajarkan untuk bersikap inklusif

Page 117: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

100

dengan cara mengetahui berbagai perbedaan pendapat dari masing-masing ulama

lintas madzhab.29

Santri juga diarahkan untuk berpartisipasi dalam memahami dan

mengapresiasi kultur lain yang berbeda dengan dirinya. Praktik dari metode ini

yaitu mengikutsertakan peserta didik memilih buku bacaan (kitab) bersama-sama

dan melakukan aktivitas bersama. Selain itu, siswa juga diajak mengapresiasi

event-event keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat. Pengampu pendidikan (pimpinan pesantren, kepala sekolah, atau guru)

bisa melibatkan peserta didik di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan

dengan event-event tersebut. Dalam hal tertentu peserta didik juga dapat

dilibatkan untuk mendalami sebagian kecil dari kepelbagaian dari setiap tradisi

kebudayaan maupun keagamaan. Metode ini disebut dengan metode kontribusi

dalam pelaksanaan pendidikan multikultural.30

Implementasi dari metode

kontribusi tersebut yaitu, santri al-Ashriyyah Nurul Iman menghadiri undangan

perayaan Hari Waisak yang dilaksanakan oleh Yayasan Budha Tzuchi, Pertukaran

Informasi Budaya di Kedutaan Amerika Serikat juga berdiskusi dengan mahasiswa

Amerika, Taiwan, Malaysia, Jepang, Korea yang berkunjung ke pondok pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman.

Untuk melatih santri agar memiliki rasa simpati dan empati diantaranya

melalui pengelompokan asrama. Santri tidak dikelompokkan berdasar asal daerah,

tetapi dicampur (mix) dengan berbagai daerah. Dengan begitu, mereka akan

mengenali karakter budaya yang berbeda-beda di luar dirinya. Mereka dilatih

membangun kerja sama dan berdemokrasi dengan orang yang berbeda suku,

karakter, ras, status sosial melalui kebersamaan yang mereka jalin di asrama.

Misalnya, memilih kepengurusan asrama, membagi tugas kepengurusan asrama,

gotong royong membersihkan, memperindah, dan menciptakan lingkungan asrama

yang sehat.

Selain diajarkan pengetahuan agama dan umum, santri al-Ashriyyah Nurul

Iman juga dilatih untuk berdisiplin dalam berbagai aktifitas. Program WAMIL

(Wajib Militer)31

menjadi pendukung upaya membudayakan disiplin. Melalui

pembudayaan disiplin, santri diharapkan menjadi pribadi yang tangguh dan mampu

bersaing didunia global. Berikut adalah tabel aktifitas keseharian santri.

2. Mengaji Gejala-gejala Radikalisme dan Pencegahanya

Mengaca pada sejarah perkembanganya, di dalam Islam terdapat

aliran/kelompok/sekte yang ekstrem.32

Kelompok ekstrem ini cenderung

29

Wawancara dengan Ghufron Maksum selaku Ketua Bidang Pendidikan Diniyyah

pada 16 September 2017 30

Allison Cumming, McCann dalam ‚Multicultural Education Connecting Theory

to Practice‛(Vol. 6, Issue B Feb., NCSAAl, 2003), dalam http://icrp-online.com/2015/12/21/ragam-pendekatan-dalam-pendidikan-multikultural-bagian-i/

31Lihat tabel 2 pada BAB III yang menggambarkan input-proses-output-outcome

32Sebagai contoh adalah peristiwa terbunuhnya Sahabat Ali oleh orang Islam

sendiri yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Ia mengklaim bahwa Sahabat Ali telah

kufur karena mengingkari hukum Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan lebih

Page 118: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

101

menggunakan cara-cara yang radikal untuk mewujudkan cita-citanya. Sebab aliran

ekstrem ini pulalah muncul konflik yang berkepanjangan di dalam keberlangsungan

kehidupan antar Negara-negara dunia.33

Kemudian, mucullah fenomena

Islamophobia yang memandang Islam bukan sebagai agama yang rahmatan lil ‘a>lamin>. Hal ini, tentunya tidak sesuai dengan harapan Nabi Muhammad Saw

selaku Rasul pembawa ajaran Islam. Oleh karenanya, santri selaku generasi penerus

perjuangan Rasul Muhammad Saw harus mampu meng-counter kelompok ekstrem

tersebut dengan mengetahui pola ajaran, sejarah munculnya, motif dan strategi

gerakanya secara komprehensif.

Radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang

mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan penghancuran secara

total, dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru dan berbeda.34

Biasanya

cara yang digunakan bersifat revolusioner, yakni menjungkirbalikkan nilai-nilai

yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.35

Radikalisme dapat terjadi pada pemeluk agama manapun, termasuk pemeluk

agama Islam. Secara sederhana radikalisme Islam diartikan sebagai segala

perbuatan yang berlebihan dalam beragama.36

Menurut Akbar S. Ahmed,

radikalisme Islam merupakan ekspresi vulgar dalam beragama yang cenderung

memakai kata-kata kasar serta kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya,

bahkan kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan

memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan

menjijikkan.37

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1)

intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2) fanatik

(selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif

(membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung

menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).38

meyakini kesepakatan bersama antara Sahabat Ali dan Sahabat Muawiyyah (arbitrase).

Kelompok dari Abdurrahman ibn Muljam tersebut yang merupakan cikal bakal dari

kelompok ekstrem dalam Islam. Lihat Ibrahim al-Quraibi, Al-Syifa>’ fi> Ta>rikh Khulafa>’ .

diterjemah oleh Faris Khairul Anam (Jakarta: Qisthi Press, 2009), 843. 33

Terlepas dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung

jawab terhadap kelompok ekstrem ini, kenyataanya kelompok ini menimbulkan keresahan

di masyarakat nasional dan internasioanl. Misalnya adalah kelompok yang disebut dengan

wahabiyyah dan ISIS. 34

Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Ayat al-

Qur’an dan Hadith‛, dalam Jurnal Religia, Vol. 13, No. 1, April 2010, h. 83. 35

Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama (Jakarta-Magelang: Nizam Press & Anima Publishing: 2002), h. 5.

36Muhammad Harfin Zuhdi, Fundamentalisme, h. 88.

37Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M.

Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), h.171. 38

BNPT, ‚Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS‛,

belmawa.ristekdikti.go.id/.../Strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf. diakses pada 5 Oktober 2017

Page 119: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

102

Berbeda dengan keterangan sebelumnya, Abdul Wahid menyatakan bahwa

meskipun klaim para radikalis agama itu didasarkan pada al-Qur’an dan Hadi>th.

Namun, sebenarnya radikalisme adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan

tempat, waktu, dan kemampuan pelaku yang bersangkutan, dan tidak menutup

kemungkinan adanya kepentingan seseorang pribadi atau golongan. Jadi gerakan

radikalisme atas nama Islam tidak lepas dari berbagai kepentingan, dan tidak murni

merupakan gerakan keagamaan.39

Proses radikalisasi dapat bermula dari sumbu

mana pun. Mungkin dapat menyala dari problem ekonomi, politik, atau

keputusasaan yang sangat dari pelakunya, yang kemudian mendapatkan semangat

dari agamanya. Peneliti lebih condong pada penjelasan Abdul Wahid, menurut

peneliti pendapat tersebut adalah pendapat yang proporsional, sehingga tidak

terlalu menyudutkan umat Islam dan Agama Islam itu sendiri.

Agama Islam bukan agama yang mengajarkan radikalisme. Radikalisme

atas nama agama Islam itu hanya dilakukan oleh sebagian kelompok, sehingga

tidak tepat jika kemudian digunakan untuk men-generalisir ajaran agama Islam.

Munculnya paradigma terhadap ajaran agama Islam sebagai agama yang

mengajarkan radikalisme adalah karena rendahnya pemahaman terhadap Islam.

Menurut Azyumardi Azra orang yang memandang Islam sebagai agama yang

mengajarkan radikalisme merupakan korban dari berita media massa. Orang

tersebut tergolong masyarakat floating mass, yaitu massa mengambang yang

sikapnya berubah-ubah sesuai dengan apa yang terjadi. Mulai dari tingkat resmi

sampai pada tingkat media massa.40

Akhir-akhir ini menjadi sangat popular bahwa kalangan generasi muda

sangat rentan dari pengaruh ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh

kelompok radikal baik secara langsung maupun melalui media online. Karena

itulah, upaya membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan

kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting

untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama, lembaga

pendidikan. Melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum yang telah

tersistem agar dapat memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran

pada generasi muda. Kedua, keluarga. Melalui peran keluarga, orang tua

diharapkan dapat menanamkan rasa cinta dan kasih sayang kepada generasi muda

dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas.

Melalui peran tokoh masyarakat dari masing-masing komunitas di lingkungannya,

diharapkan mampu mengarahkan kepada generasi muda untuk menciptakan ruang

kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian.

Radikalisme dapat mengakibatkan terorisme. ia merupakan tindakan

kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa

didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata.

39

Abdul Wahid, Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UNY, 2009), 19.

40Azyumardi Azra, ‚Sikap Barat Terhadap Radikalisme Islam‛, dalam Tarmizi

Taher, Meredam Gelombang Radikalisme (Jakarta: CMM (Center for Mederate Muslim,

2003), 49.

Page 120: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

103

Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan,

keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam

mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan

seluruh komponen masyarakat dalam memerangi radikalisme dan terorisme demi

keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan

sejahtera.

Pada era reformasi sekarang ini, ancaman radikalisme-terorisme tidak lepas

dari kehendak untuk mengubah ideologi nasional Pancasila. Mereka ingin

membentuk Negara kebangsaan menjadi sebuah Negara Islam Indonesia sebagai

bagian dari Khilafah Islamiah atau Pan Islamisme. Gerakan-gerakan yang dulu

telah mengalami kekalahan seperti DI/TII dan NII kemudian melakukan

metamorfosis menjadi gerakan dan organisasi baru seperti Jamaah Islamiyah,

Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhid, dan sebagainya. Ditambah lagi

dengan masuknya organisasi dari luar negeri yang memiliki cita-cita yang hampir

serupa, seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin yang kemudian menancapkan

pengaruhnya dalam kalangan umat Islam Indonesia bersama pengaruh ideologi

wahabismenya.41

Seluruh kekuatan politik yang ada, baik dalam ranah masyarakat politik

(political society), misalnya lembaga-lembaga politik seperti partai-partai politik,

lembaga perwakilan rakyat pusat ataupun daerah, maupun ranah masyarakat sipil

(civil society), seperti ormas, LSM, cendekiawan, media, kelompok professional,

bisnis, pekerja, petani, dan lainya harus bersatu-padu melawan ideologi radikal.

Persatuan tersebut penting agar apa yang telah terjadi pada masa lalu akan dapat

diulang lagi, yaitu pemberantasan ancaman eksistensial terhadap NKRI. Meskipun

pada saat ini ancaman tersebut memiliki karakter yang lebih internasional dan

menggunakan ideology agama (Islam). Hal tersebut tidak akan terlampau berbeda

pada sejarah NKRI sebelumnya.

Menurut Golose, deradikalisasi memiliki enam tujuan, yaitu 1) melakukan

counter terrorism; 2) mencegah proses radikalisme; 3) mencegah provokasi,

penyebaran kebencian (hate speech) dan permusuhan antar umat beragama; 4)

mencegah masyarakat dari indoktrinasi; 5) meningkatkan pengetahuan masyarakat

untuk menolak paham teror; dan 6) memperkaya khazanah atas perbandingan

faham.42

Dengan tujuan yang berlingkup luas ini, maka subjek deradikalisasi tentu

saja idealnya bukan hanya Polri, tetapi mencakup pemangku kepentingan yang

lebih luas. Contohnya, seperti penyidik kasus terorisme, tokoh agama, mantan

41

Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009). Ken Komboy, The Second Front: Inside the Deadliest Terrorist Network in Asia (Jakarta: Equinox, 2006). Bambang

Abimanyu, Teror Bom di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2005), 161-228. Muhammad A.S.

Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme (Jakarta: Kompas

Media Nusantara, 2013), 147. 42

Petrus R Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Manyentuh Akar Rumput (Jakarta: YKIK, 2010), 116. Lihat juga Muhammad AS. Hikam,

Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme: Deradikalisasi (Jakarta:

Kompas, 2016), 89.

Page 121: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

104

anggota JI, para tersangka napi yang telah sadar serta kooperatif dan memiliki

keinginan kuat untuk membantu.

Bagi Ummi Waheeda, munculnya radikalisme salah satunya adalah karena

faktor kemiskinan. Ia menyatakan, dalam suatu kesempatan ia pernah diundang

oleh kementrian dalam negeri untuk memberikan materi penguatan ekonomi

kepada eks-narapidana. Melalui pengalamanya tersebut, ia merekomendasikan

kepada pemerintah untuk memberikan bantuan dan pelatihan ekonomi kepada

orang-orang miskin. Ia memberikan contoh program trasmigrasi yang diberlakukan

di zaman Presiden Soeharto. Hal itu akan mengurangi angka kemiskinan meskipun

tidak menjamin terhapusnya radikalisme, karena faktor radikalisme di zaman

digital saat ini sudah sangat kompleks, bukan hanya sekedar masalah kemiskinan

atau kesenjangan ekonomi.

Lebih lanjut menurut Ummi Waheeda, sebuah pesantren menjadi radikal

atau tidak tergantung pimpinanya. Oleh karena itu, oleh Ummi Waheeda selaku

pimpinan pesantren, santri al-Ashriyyah Nurul Iman dibina sejak dini untuk

mengenali gejala-gejala radikalisme. Kegiatan seminar tentang deradikalisasi dan

radikalisme sering diadakan untuk para mahasiswa di pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman. Melalui kegiatan seminar tersebut, santri dapat mengetahui

akar dari radikalisme dan cara pencegahanya/deradikalisasi. Sementara pembinaan

tentang radikalisme dan deradikalisasi kepada santri yang masih duduk di bangku

SD, SMP dan SMA belum begitu intensif. Santri SD, SMP dan SMA hanya

ditekankan tentang nilai-nilai toleransi, bertutur kata yang lemah lembut dan

santun, menebar perdamaian, menghindari konflik dan kekerasan, dan

menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah.43

Selain itu, semua santri al-Ashriyyah Nurul Iman diajarkan untuk taat pada

pemerintah44

, mencintai tanah air, mengenang dan meneladani perjuangan para

pahlawan kemerdekaan dan menghindari adanya kegiatan demonstrasi.45

Dalam

menyelesaikan masalah lebih mengutamakan adanya upaya diplomasi terhadap

pemerintah. Upaya diplomasi dinilai lebih dapat memenangkan hati dan pikiran.46

Para santri juga dihimbau agar tidak mengikuti organisasi-organisasi yang

cenderung terindikasi radikal. Upaya lain yang ditempuh adalah penggunaan media

sosial yang cerdas dan menfilter informasi-informasi yang mengundang provokasi.

Di sisi lain, untuk mencegah adanya tindakan-tindakan radikal, pesantren

memberlakukan peraturan bahwa jika ada santri yang melakukan tindakan

43

Wawancara dengan Ahmad Ramadhan selaku Kepala Sekolah SMA al-

Ashriyyah Nurul Iman pada tanggal 17 Oktober 2017. 44

Pesan Habib Saggaf yang disampaikan kepada santri dalam sebuah ceramah,

bahwa setiap warga Negara diwajibkan untuk taat pada pemerintah termasuk didalamnya

adalah santri. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Nisa>’ ayat 59.

Keterangan ini diperoleh dari hasil dokumentasi ceramah Habib Saggaf. 45

Kegiatan Demontrasi dinilai cenderung menimbulkan kerusuhan, merusak

fasilitas umum, dan hal negatif lainya meskipun baru-baru ini pada tahun 2016 ada aksi

demonstrasi 411 dan 212 yang tertib dan rapi. 46

Internasitional Crisis Group, ‚Deradicalization and Indonesian Prisons ‛, Asia Report, No. 142, 19 November 2007, h.11.

Page 122: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

105

kekerasan akan mendapatkan sanksi berupa dikeluarkan dan diserahkan kepada pihak berwajib. Peraturan ini diharapkan dapat memberikan shock therapy pada

santri agar tidak mudah melakukan tindakan-tindakan kekerasan dalam

menyelesaikan masalah. Di setiap tingkatan sekolah terdapat bagian Bimbingan

Konseling (BK) yang siap menampung segala macam problem, memediasi dan

membantu mencari solusi. Sementara, bagian keamanan juga tidak boleh

melakukan tindakan kekerasan atas dasar menindak santri yang melakukan

pelanggaran peraturan pondok pesantren. Mereka harus menggunakan cara-cara

kemanusiaan.

Bagan 4.1: Hubungan Implementasi Pendidikan Multikultural

dan Deradikalisasi

Sayangnya, menurut peneliti pesantren ini belum memanfaatkan media

digital secara maksimal untuk meng-counter gerakan radikalisme. Padahal, di

pondok pesantren tersebut telah ada website, TV yang berbasis aplikasi, fanpage,

dan instagram. Jika media digital tersebut dimanfaatkan secara maksimal maka

akan lebih terlihat usaha pesantren dalam menangkal radikalisme terhadap

Nilai-Nilai

Multikultural

Pengurus Pesantren

Merumuskan/Membuat

Konsep

Deradikalisasi

Santri

Seminar, Training

Guru, Pemutaran

Film, dll

Berpengetahuan Luas Cinta Damai Toleran Inklusif Demokratis

Page 123: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

106

masyarakat luas, bukan hanya santri di pesantren tersebut saja. Dalam kacamata

peneliti, pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman belum begitu fokus menyusun konten

terhadap pola dakwah media digital.

C. Proses Pembentukan Santri yang Bepaham Multikultural

Perlu usaha yang sangat keras dan sistematis untuk membentuk santri yang

berhaluan multikultural. Dimulai dari apa yang diajarkan, sistem pengajaran, dan

pendidik/guru yang mengajarkan. Berikut adalah sedikit gambaran proses yang

dilakukan oleh pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman untuk membentuk

santrinya agar berhaluan multikultural.

1. Pola Pengajaran Kitab Kuning, Membentuk Santri yang Berpaham

Multikultural dan Anti Radikalisme

Berkembang luasnya gerakan radikal-transnasional di Tanah Air tak lepas

dari perubahan orientasi umat Islam terhadap sumber pengetahuannya setelah

menurunnya minat umat Islam terhadap kitab kuning. Padahal kitab kuning sejak

berabad-abad yang lalu telah menjadi sumber rujukan pengetahuan Islam. Kitab ku

ning adalah sumber utama umat Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Para ulama

telah menumpahkan seluruh pengetahuannya dalam kitab kuning sehingga umat

Islam dapat memahami ajaran Islam dengan baik. Tetapi, pada zaman seperti

sekarang ini umat Islam mulai meninggalkan kitab kuning. Ini karena sulitnya

mereka mengakses pengetahuan dalam kitab kuning akibat tidak memiliki

seperangkat ilmu pengetahuan yang memadai.47

Disamping itu, kemudahan masyarakat mengakses pengetahuan

keagamaan melalui internet juga menjadikan mereka lebih sering menggunakan

internet. Akibatnya, pengetahuan mereka menjadi sangat instan dan dangkal, tidak

memiliki pondasi yang kuat. Anak-anak muda muda zaman sekarang rata-rata lebih

memilih mencari pengetahuan Islam dengan jalan melalui akses internet dari pada

datang kepada seorang guru/kiyai untuk belajar kitab kuning. Pada gilirannya

mereka tidak mampu memfilter pengetahuan yang justru bertolak pemahaman

dengan ajaran Islam yang selama ini mereka pahami dan lestarikan. Mereka pun

mudah dipengaruhi oleh ajaran untuk berbuat kekerasan atas nama agama dan

cenderung gampang mengkafirkan dan membid’ahkan. Di sinilah, pintu masuk

bagi pembentukan pemahaman keagamaan yang radikal. Aksi terorisme juga

banyak dipengaruhi oleh paham keagamaan yang tersebar di internet.

Tradisi mengaji kitab kuning telah menjadi ciri khas sebuah pondok

pesantren. begitupun pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, sebagaimana telah

disebutkan pada pembahasan sebelumnya mengenai kitab-kitab yang diajarkan di

pesantren tersebut. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang substansi dari

kitab kuning sebagai ajaran yang harus dilestarikan untuk melestarikan nilai-nilai

multikultural dan menepis radikalisme. Dari kitab kuning diajarkan sikap inklusif

47

Khamami Zada, ‚Kitab Kuning dan Tantangan Radikalisme‛, https://rmi-

jateng.org/iqro/1117-kitab-kuning-dan-tantangan-radikalisme-bagian-2-habis. Diakses pada

5 Oktober 2017.

Page 124: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

107

terhadap segala bentuk perubahan zaman, konsep jiha>d, penegakan keadilan,

mengklarifikasi kebenaran berita hoax, pemerataan ekonomi, toleransi, berbangsa

dan bernegara.

Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, kitab kuning dinilai

dapat membendung berkembangnya pemahaman radikal di Indonesia. Pernyataan

ini diperkuat oleh Ketua Asosiasi Pesantren se-Indonesia Rabithah Ma'ahid

Islamiyah (RMI) PBNU, Abdul Ghaffar Rozin. Ia mengatakan, dengan adanya

pemahaman kitab kuning yang komprehensif dapat mencegah tersebarnya

radikalisme di Indonesia. Kitab kuning memberikan pemahaman yang benar

dengan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan hadith melalui konteks yang sesuai

dengan zamannya. Salah satu munculnya radikalisme adalah karena adanya

penafsiran yang salah terhadap al-Qur’an, sehingga membutuhkan pengkajian

terhadap kitab kuning yang dikarang oleh ulama terdahulu. Misalnya terkait ayat

peperangan, ayat tersebut harus dilihat konteksnya. Salah satu cara

mengkontekstualisasikanya adalah dengan melihat pendapat para imam-imam yang

terdapat dalam kitab kuning.48

Salah satu ajaran dari kitab kuning adalah menjalin persaudaraan hubungan

yang harmonis dan tidak saling menyakiti antar sesama manusia dengan tidak

memandang latar belakang agama, status sosial, suku, bahasa, ras, budaya dan

bangsa. Misalnya dapat dilihat dalam kitab tafsir tentang surat al-Hujurat ayat 13.

Selain itu, terdapat juga terdapat dalam kitab hadith, Nabi menyatkan bahwa:

ه وسلم قال : من آذى ذم الله عنه أن رسول الله صلى الله عل ا فأنا خصمه ومن كنت عن ابن مسعود رض

امة )أخرجه الخطب ف تارخ بغداد وم الق 49(خصمه خصمته ‚Dari Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‚Siapa yang

menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya.

Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya

pada hari kiamat‛

Konsekuensi dari hadith di atas adalah, orang Islam harus memberikan

hak-hak yang mendasar dalam kehidupan kepada non-muslim sebagaimana ia

memberikan hak-hak yang mendasar pada saudaranya yang muslim. Misalnya

kesempatan bekerja, kesempatan berkompetisi, berpolitik, hidup sejahtera,

keamanan, kenyamanan, kepemilikan rumah, tanah, terpenuhinya sarana ibadah,

dan lain sebagainya. Sehingga jika dari mereka ada yang membutuhkan

pertolongan maka harus dengan sigap membantunya. Bukan malah melakukan

tindakan diskriminasi karena berbeda agama. Sebab, mendiskriminasi merupakan

menyakiti, apalagi sampai mengintimidasi.

Dalam sebuah hadith lain dijelaskan:

48

Andri Saubani, ‚Lomba Kitab Kuning Dinilai Bisa Bendung Radikalisme‛,

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/12/01/p0ajif409-

lomba-kitab-kuning-dinilai-bisa-bendung-radikalisme. Diakses pada 20 September 2017. 49

Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad: Tarikh Madi>nah al-Sala>m (Beirut-Lebanon: Da>r al-Gharab al-Islami,2001). Juz 8, 370.

Page 125: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

108

وجد من مسرة أربع ة ، وإنه رحها ل جد رح الجنه ة ، لم مهن عاما )رواه من قتل قتلا من أهل الذ

50النسائ(

‚Barang siapa membunuh ahli dzimmah maka ia tidak akan bisa menghirup bau

surga, sesungguhnya bau surga itu bisa dihirup dari jarak tempuh empat puluh

tahun‛

Hadith ini memberikan penekanan yang kuat bagi orang Islam agar tidak semena-

mena terhadap kafir dzimmi (non-muslim). Memastikan keselamatan mereka

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjelasan tersebut senada dengan

nilai-nilai pendidikan multikultural yang disampaikan oleh Abdullah Aly yaitu: al-Musha>warah (berdialog/musyawarah), al-Musa>wah (persamaan), al-‘Adl (keadilan), al-Ta’a>ruf (saling mengenal), al-Ta’a>wun (saling tolong menolong), al-Tasa>muh (saling toleransi), al-Rahmah (saling menyayangi), al-Ihsa>n (berbuat

baik), dan al-Salam wa al-‘Afwu (resolusi konflik dan rekonsiliasi).51

Di sisi lain, melalui pola pengajaran kitab kuning, santri al-Ashriyyah

Nurul Iman diarahkan untuk memberikan penilaian yang salah/keliru terhadap

orang Islam yang mengatasnamakan jiha>d, kemudian melakukan pengeboman,

penghancuran maupun pembantaian terhadap non-muslim. Tindakan yang mereka

lakukan atas nama jiha>d tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut Ummi Waheeda, jiha>d adalah bagian dari kewajiban orang

muslim. Jihad dimaknai sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh bukan hanya

sebatas perang fisik saja melainkan juga non-fisik. Seperti halnya jiha>d dalam

memberantas kebodohan dan kemiskinan. Ia menegaskan bahwa tidak setuju

dengan adanya ajakan untuk pergi berperang melawan kezaliman orang kafir,

misalnya di Palestina dan Myanmar.52

Tindakan pergi ke Palestina atau Myanmar

untuk ikut berperang justru akan memperkeruh suasana. Ia mendukung upaya

diplomasi yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia (RI).

Salah seorang santri bernama Abdul Latif yang berasal dari Grobogan Jawa

Tengah menyampaikan bahwa ‚makna jihad yang diajarkan kepada kami selaku santri adalah jihad melawan hawa nafsu kami agar selalu rajin belajar, menaati segala peraturan pondok, menaati peraturan pemerintah, mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah kami kuasai, menyayangi sesama manusia baik yang muslim maupun non-muslim, tidak melakukan kerusuhan dan pengrusakan‛.53 Konsep jihad tersebut dirasa sesuai dengan al-Qur’an dan Hadith yang telah

dijelaskan oleh para ulama di masa lalu. Misalnya dalam kitab Fathu al-Mu’in dijelaskan bahwa salah satu bentuk jiha>d adalah memberikan perlindungan (daf’u dhararin ma’su>min) kepada setiap warga masyarakat, muslim ataupun non muslim,

50

Abu Abd Rahman Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>i, Kitab Sunan al-Kubra> Juz IV (Libanon: Da>r al-Kita>b), 221.

51Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), 124. 52

Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku Pimpinan Pesantren Al Ashriyyah

Nurul Iman di Parung Bogor 14 September 2017. 53

Wawancara dengan Abdul Latif, santri yang berstatus mahasiswa Sekolah

Tinggi Agama Islam Nurul Iman semester 5, pada 23 Agustus 2017.

Page 126: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

109

yang memiliki kepribadian baik. Perlindungan tersebut mencakup pemberian

makan, pakaian, tempat tinggal, termasuk kesehatan.54

Sama halnya pengelaborasian kitab kuning tentang respon terhadap berita-

berita provokatif yang belum jelas kebenaranya (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) juga diajarkan kepada santri al-Ashriyyah Nurul Iman. Dua hal tersebut

(hoax dan hate speech) juga merupakan sumber radikalisme dan terorisme selain

pemahaman jiha>d yang dangkal. Menurut Ali Mutakin selaku guru bidang fiqh,

dalam kesempatan tertentu ia memberikan kajian tematik tentang isu-isu

radikalisme, nilai-nilai multikultural, hoax, hate speech, ketimpangan sosial,

pemerataan ekonomi, dan lain sebagainya kepada santri. Meskipun materi yang

disampaikan belum begitu dalam, setidaknya telah memberikan sedikit stimulan

wawasan kepada santri. Hal ini merupakan salah satu strategi dalam menangkal

radikalisme dan pelestarian nilai-nilai multikultural melalui kajian kitab kuning.55

Adapun kitab-kitab yang diajarkan di pesantren ini telah peneliti sajikan

pada tabel daftar kitab dari masing-masing jenjang kelas diniyyah. Memang benar

adanya tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kitab kuning terdapat ajaran yang jika

dipahami secara dangkal akan menimbulkan radikalisme. Misalnya, orang yang

tidak melaksanakan sholat jum’at tiga kali berturut-turut maka dihukumi murtad.

Jika murtad maka halal untuk dibunuh. Contoh lain, adalah adanya rajam

(dilempari batu) sampai mati bagi pelaku zina muhson (yang sudah beristri/suami),

potong tangan bagi pelaku pencurian, dan lain sebagainya. Dalam menyikapi hal

ini pesantren al-Ashriyyah mengajarkan hukum fiqh kepada santrinya dengan

pendekatan tasawuf dan konteks hukum kenegaraan. Bahwa dalam konteks

tasawuf seseorang mendapat hidayah bisa dalam hitungan detik, bisa jadi seketika

pelaku maksiat tersebut usai melakukan dosa langsung melakukan taubat. Ada

sebuah ungkapan dari Imam Malik bin Anas bahwa:

ا م ه ن ب ع مه ج ن م ، و ق د ن ز ت د ق ف قه ف ت م ل و ف وه ص ت ن م ، و ق سه ف ت د ق ف ف وه ص ت م ل و ه قه ف ت ن م

ق قه ح ت د ق ف “Barang siapa yang mendalami hukum fiqh tanpa mendalami tasawuf maka ia

menjadi fasik, dan barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami hukum

fiqh maka dia menjadi zindik, sedangkan orang yang mampu mengkolaborasikan

keduanya maka ia menemukan kebenaran sejati‛.56

Sementara dalam konteks kenegaraan memandang bahwa hukum di Negara

Indonesia adalah berdasarkan KUHP bukan berdasarkan hukum Islam sehingga

secara formal adakalanya hukum Islam tidak selaras dengan KUHP namun secara

substansi dapat dikompromikan atau diselaraskan. Melalui pendekatan seperti ini

54

Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fathu al-Mu’i>n bi Syarh Qurrati al-‘Ain (Surabaya: Dar al-Ilm), 133.

55Wawancara dengan Ali Mutakin selaku guru bidang fiqh di pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman pada 6 september 2017. 56 195ص 3حاشة العلامة العدوي على شرح الإمام الزرقان على متن العزة ف الفقه المالك، ج

Page 127: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

110

diharapakan santri akan memiliki pandangan yang luwes dalam menerapkan

hukum-hukum fiqh.57

2. Pendidik/Guru yang Inklusif sebagai Uswah Hasanah semangat

multikultural.

Seorang pendidik memiliki kewajiban tidak hanya mentransformasikan

pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut untuk

menginternalisasikan nilai-nilai (value/qi>mah) pada peserta didik. Bentuk nilai

yang ditransfromasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi: nilai etis, nilai

pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius. Selain itu dalam pendidikan

Islam seorang pendidik harus menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari

karakteristik kepribadiannya sebagai uswah h}asanah bagi peserta didik.58

Secara faktual, pelaksanaan transformasi pengetahuan dan internalisasi

nilai pada peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat di

tengah kehidupan masyarakat yang kompleks, apalagi di era globalisasi informasi.

Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus yang melecehkan

keberadaan pendidik di sekolah, di luar sekolah maupun dalam kehidupan sosial

masyarakat yang demikian luas. Semua elemen pendidikan baik dari tenaga

pendidik maupun tenaga kependidikan harus bahu membahu menemukan formula

yang tepat untuk keberhasilan pendidikan. Pendidik dimaknai tidak hanya seorang

guru tetapi juga meliputi orang tua anak didik.

57

Rekaman Video pengajian Tafsir Jalalain Habib Saggaf bin Mahdi. 58

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 207.

Gambar 4.1: Santri Berhalaqah Membahas Kitab Kuning

Page 128: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

111

Di sebuah lembaga pendidikan guru merupakan aspek pertama yang harus

dipersiapkan untuk melaksanakan proses pendidikan agar sesuai dengan tujuan.59

Jika pendidik memiliki kemampuan dan sikap yang sesuai dengan yang diinginkan

maka tujuan pendidikan akan mudah tercapai. Misalnya, pendidik yang memiliki

sikap inklusif dapat mendukung pelaksanaan pelaksanaan pendidikan

multikultural. Pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam menentukan guru

yang memiliki kriteria inklusif berawal dari proses perekrutan tenaga pendidik.

Dalam hal ini kriteria seorang pendidik tidak sembarangan, pelamar sebagai calon

guru yang mempunyai kemampuan secara akademis tetapi tidak memiliki sikap

dan pemikiran yang inklusif maka tidak dapat diterima. Untuk menguatkan sikap

inklusif tenaga pendidik, guru diberikan upgrading tentang penguatan nilai-nilai

multikultural.

Guru merupakan uswah h}asanah bagi seorang murid. Dalam istilah

peribahasa dikenal ‚buah tidak jauh dari pohonya‛. Konsep uswah h}asanah dalam

Islam dimulai dari ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad

merupakan suri tauladan yang harus diikuti. Bahwa segala tindakan, tutur kata, dan

sikap Nabi mencerminkan teladan bagi umat.60

Dengan demikian orang yang

meneladani Nabi akan menjadi orang yang seperti disebut dalam al-Qur’an,

memiliki akhlak yang agung.61

Menurut al-Qurtubi yang dimaksud dengan kata

akhlak dalam surat al-Qalam ayat 4 tersebut adalah adab atau budi pekerti yang

mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an. Dalam sebuah hadith dijelaskan bahwa

sesungguhnya peran Nabi diutus adalah untuk memperbaiki akhlak. Guru selain

sebagai uswah h}asanah juga berperan untuk merubah akhlak atau budi pekerti

seorang murid, sehingga menjadi penting paham inklusif yang dianut dan menjadi

sikap seorang guru. Perilaku murid merupakan reperesentasi dari gurunya.

Pentingnya mempersiapkan guru yang memiliki paham dan sikap inklusif

dalam pelaksanaan pendidikan multikultural adalah sesuai dengan pandangan

Abuddin Nata. Ia menjelaskan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan

disyaratkan memiliki karakter sebagai tenaga professional yang mempunyai

kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian, dan peka sosial. Selain itu juga

memiliki wawasan multikultural: wawasan demokrasi, kesamaan, kebebasan,

pluralisme, toleransi, pengendalian diri, kematangan emosi, keluasan pandangan

tentang kesatuan kemanusiaan dan kebangsaan yang dibangun dari pemahaman

agama yang inklusif, progresif, actual, dan kontekstual. Lebih lanjut Abuddin Nata

juga menguraikan cara mewujudkan tenaga pendidik dan kependidikan yang

memiliki kemampuan di atas melalui empat cara. Pertama, merekrut tenaga

59

Irham, ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural: Studi Kasus Pendidikan Agama

Islam Di SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro,‛

http://www.purisdiki.id/2017/08/pendidikan-berwawasan-multikultural.html diakses pada

3 Maret 2017. 60

Tafsir al-Ah}zab ayat 21 dalam Abi> Abdillah Muh}ammad Ibn Ahmad Ibn Abi>

Bakrin al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima> Tadhammanahu min al-Sunnah wa a>yi al-Furqa>n, al-Juz al-Ta>si’ ‘Ashara (Bayrut: al-Resalah Publisher,

2006 M/1427 H), 107-108. 61

Qs. Al-Qalam ayat 4: وانك لعلى خلق عظم

Page 129: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

112

pendidik dan kependidikan yang memiliki kesadaran multikultural. Kedua,

memberikan pembinaan dan pelatihan terkait dengan motivasi, niat dan komitmen

yang kuat dalam rangka menjadi tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki

kompetensi di atas. Ketiga, mendorong pendidik untuk menggunakan pendekatan

interdisipliner dalam melakukan kajian atau pembelajaran. Keempat, memberikan

pembinaan dan pelatihan terkait teaching skill, soft skill, dan pedagogic skill.62 Pandangan Abuddin Nata ini menunjukkan bahwa tenaga pendidik dan

kependidikan yang inklusif merupakan syarat utama penyelenggaraan pendidikan

multikultural.

Melalui kemampuan guru dalam mengelaborasikan nilai-nilai multikultural

terhadap setiap mata pelajaran yang diampu, penanaman sikap multikultural pada

santri menjadi sangat efektif. Misalnya saja, di dalam mata pelajaran bahasa

Indonesia yang memiliki tema membuat paragraf yang baik sesuai EYD, seorang

guru bisa menentukan tema yang harus dikerjakan murid berupa tema nilai-nilai

toleransi, keadilan, persamaan, hak asasi manusia, demokrasi, dan lain sebagainya.

Begitupun di dalam mata pelajaran lainya. Melalui pernyataan ini dapat

disimpulkan bahwa, seorang guru merupakan bagian dari ujung tombak penanaman

nilai-nilai multikultural pada santri.

3. Semangat Multikultural dalam Berbagai Kegiatan Ekskul Santri

Generasi bangsa yang hidup di awal abad 21 ini, memiliki corak yang

berbeda sekali dengan kehidupan abad-abad sebelumnya. Abad ini ditandai oleh

perubahan yang berjalan sangat cepat, kompleks, sulit diprediksi dan

kompetitif. Oleh karena itu, abad ini membutuhkan kecakapan individu (soft competence) yang dapat digunakan para generasi bangsa untuk merespon tuntutan

perubahan yang cepat itu dengan segala kompleksitas persoalannya.

Data hasil proyeksi penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

menunjukkan populasi penduduk Indonesia saat ini lebih didominasi oleh

kelompok umur produktif yakni antara 15-64 tahun. Kondisi ini yang menunjukkan

bahwa Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yaitu suatu periode

terjadinya ledakan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang bisa menopang

penduduk usia non-produktif (0-14 dan 65+). Untuk memaksimalkan peluang dari

bonus demografi tersebut, perlu ditopang pendidikan yang berkualitas. Diantaranya

pembekalan berbagai kompetensi pada anak didik melalui kegiatan ekstrakurikuler

di berbagai lembaga pendidikan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ada banyak sekali

kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Di

antaranya: pencaksilat, tari tradisional/tarian daerah, tari modern (modern dance),

music, kursus bahasa asing, dan lain sebagainya. Melalui ragam ekskul tersebut

diharapkan santri dapat menemukan potensi dan bakat yang ia miliki. Pesantren

mempunyai keyakinan bahwa semua santri memiliki kecerdasan yang berbeda satu

sama lain dan memiliki keunikan tersendiri. Hal ini didasarkan pada teorinya

62

Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, 271-273.

Page 130: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

113

Howard Gardner63

tentang multiple intelligences yang telah dijelaskan

sebelumnya. Ragam kegiatan ekskul merupakan implementasi dari teori tersebut.

Melalui penyadaran multiple intelligences, santri dituntut untuk tidak

memandang dirinya sebagai orang yang cerdas sedangkan diluar dirinya sebagai

orang yang bodoh melainkan dituntut untuk memandang sama-sama memiliki

kecerdasan yang unggul. Bisa jadi salah seorang santri pandai dalam matematika

namun belum tentu ia pandai memainkan alat musik dan bernyanyi, begitupun

sebaliknya. Bisa jadi salah seorang santri pandai menulis sebuah artikel tapi belum

tentu ia pandai berpidato dan lain sebagainya. Dengan begitu, mereka akan sadar

bahwa kecerdasan mereka itu beragam, satu sama lain saling melengkapi dan

membutuhkan. Sudah sewajarnya mereka hidup berdampingan dengan saling

membantu dengan ragam kecerdasan yang mereka miliki itu.

Sebagai contoh, Berkacalah pada sejarah nusantara. Tanah nusantara ini

memiliki potensi sumber daya alam yang sangat bagus. Ia memiliki tanah yang

subur dan laut yang luas beserta kandunganya. Seharusnya, masyarakat nusantara

hidup makmur dan sejahtera. Namun, budaya masyarakat nusantara yang

cenderung bertani dan nelayan, sehingga kalah maju dengan budaya masyarakat

Arab, India dan Cina yang cenderung berdagang. Hingga sampai saat ini secara

ekonomi masyarakat nusantara kalah sejahtera dengan para saudagar dari Arab,

India dan Cina tersebut. Untuk mengejar ketertinggalan itu masyarakat nusantara

harus mempelajari dan melestarikan budaya dagang para saudagar Arab, India dan

Cina yang notabenenya bukan budaya nusantara. Pada akhirnya, dapat disimpulkan

bahwa mempelajari budaya bangsa lain akan memberikan kebaikan dalam hidup.

Tentunya setelah melalui proses verifikasi budaya yang sangat teliti.

Dalam hal kaitanya antara ragam ekstrakurikuler dengan pendidikan

multikultural adalah kebebasan santri mempelajari budaya diluar dirinya. Misalnya

santri yang berasal dari Aceh bebas belajar silat Cimande, santri yang berasal dari

Jawa Tengah bebas belajar Tari Saman ataupun Tari Jaipong, santri yang berasal

dari Palembang bebas belajar Bahasa Jepang, Mandarin, Inggris, Jawa, Sunda,

Madura dan lain sebagainya. Kebebasan belajar tersebut memberikan peluang

kepada santri untuk memiliki berbagai kompetensi di berbagai bidang. Tujuan

kegiatan ekskul tersebut sejalan dengan pendidikan multikultural yang bertujuan

untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah sikap dan keterampilan yang

diperlukan dalam lingkungan budaya entik mereka, budaya nasional dan antar

budaya lainnya. Seorang peserta didik dari Irian Jaya misalnya, bukan hanya harus

akrab dengan budaya kelompok etniknya sendiri, tetapi juga harus mampu

membaur dan akrab dengan budaya etnik lain di luar kelompoknya.64

Pelaksanaan ekskul untuk mendorong santri agar mengenal budaya-budaya

diluarnya dan membekali santri agar memiliki berbagai kompetensi di berbagai

63

Howard Gardner adalah tokoh pendidikan dan psikologi terkenal yang

mencetuskan teori tentang kecerdasan majemuk atau multiple intelligences. Lihat

Ladidlaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya ( Jakarta: Grasindo, 2004), 158-159.

64Ilyas Rifa’i, ‚Tantangan Pendidikan Multikultural Dalam Era Globalisasi Di

Indonesia‛, Jurnal Islamica Vol. 2 No. 2 Tahun 2015.

Page 131: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

114

bidang adalah sesuai dengan pendapat A. Lawrence Blum yang terbagi dalam tiga

elemen: pertama, menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan

menilai warisan budaya seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk

memahami serta belajar tentang etnik/kebudayaan selain kebudayaanya. Ketiga,

menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri.

Perwujudanya dengan cara memandang keberadaan dari kelompok-kelompok

budaya yang berbeda dalam masyarakat sebagai suatu hal yang positif untuk

dihargai dan dilestarikan.65

Selain menumbuhkan potensi santri, ragam kegiatan ekskul ini juga

merupakan perwujudan dari kesetaraan/persamaan (equality/al-Musa>wah) dalam

pelaksanaan pembelajaran di pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Setiap santri

mempunyai peluang yang sama/setara untuk menggali ilmu dan potensi yang ingin

dicapainya. Di sisi lain ragam kegiatan ekskul juga meningkatkan keakraban dan

keharmonisan antar santri yang berbeda jenjang kelas ataupun asrama. Mengingat

jumlah santri yang mencapai ribuan dan padatnya aktifitas mengakibatkan sulitnya

untuk bertatap muka satu sama lain kecuali dalam satu kegiatan, sehingga yang

awalnya tidak kenal karena berbeda jenjang/ruang kelas ataupun berbeda asrama

kemudian saling mengenal di kegiatan ekskul tersebut. Berikut salah satu bentuk

kegiatan ekstrakurikuler.

Gambar 4.2: Kegiatan Ekstrakurikuler Bidang Silat

4. Majelis Muha>dharah, Ajang Melatih Kepercayaan Diri.

Nilai-nilai moral adalah energi positif yang sangat berpengaruh dalam

nenentukan keberhasilan hidup seseorang di mana pun ia berada. Nilai-nilai moral

itu antara lain: jujur, rasa percaya diri, motivasi, kerja keras, tanggung jawab,

inisitaif, perhatian, kemauan bekerja sama, saling menghargai, disiplin, dan lain-

lain. Rasa percaya diri adalah perasaan mampu untuk melakukan sesuatu.66

Namun

65

Lihat penjelasan peneliti tentang pendapat A. Lawrence Blum pada BAB II. 66

William Damon (Ed.), Bringing in a New Era in Character Education (Stanford:

Hoover Institution Press, Stanford University, 2002). Dalam Endah Tri Priyatni,

Page 132: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

115

sebenarnya percaya diri itu bukan sekedar perasaan mampu tetapi sebuah

keyakinan kuat bahwa ia mampu melakukan sesuatu. Rasa percaya diri merupakan

salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang

yang percaya diri, yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki

pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka

tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya.67

Sikap percaya diri merupakan modal utama setiap orang dalam menggeluti

profesinya. Melalui sikap percaya diri, seseorang mampu untuk mengambil

tindakan yang sesuai dan tepat terhadap suatu masalah yang dihadapi. Di dalam

Islam juga diajarkan untuk memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi.

Misalnya, petunjuk al-Qur’an yang tercantum dalam surat Ali Imran ayat 139 dan

Surat Fushilat ayat 30.68

Selain itu sikap percaya diri juga merupakan salah satu

dari pendidikan karakter bangsa yang menjadi bagian dalam rencana pembangunan

nasional non-fisik. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.

17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

Tahun 2005–2025, yang menetapkan prioritas pembangunan nasional dalam kurun

waktu dua puluh tahun. Prioritas yang ditentukan adalah mewujudkan masyarakat

Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab

berdasarkan falsafah Pancasila.

Sikap percaya diri membuat seseorang tidak akan merasa termarginalkan

dalam lingkunganya. Justru ia akan mengisi lingkunganya dengan kekhasan budaya

yang ia miliki. Oleh karena itu, dalam pendidikan multikultural seorang siswa

diarahkan agar memiliki rasa percaya diri terhadap masing-masing budaya lokal

(local wisdom) yang mereka miliki.69

Dengan begitu, akan terwujud kehidupan

masyarakat heterogen yang satu sama lain tidak menghegemoni, tidak bersikap

‚Internalisasi Karakter Percaya Diri Dengan Teknik Scaffolding”, Jurnal Pendidikan Karakter No.2, 2013. https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1437

67Endah Tri Priyatni, ‚Internalisasi Karakter Percaya Diri Dengan Teknik

Scaffolding”, Jurnal Pendidikan Karakter No.2, 2013.

https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/1437 68

Surat Ali Imran ayat 139:

تم الأعلون إن كنتم مؤمنن ولا تهنوا ولا تحزنوا وأن ‚Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal

kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang

beriman‛.

Surat Fushilat ayat 30:

هم الملائكة ألاه تخافوا ولا تحزنوا وأبشر إنه الهذن ل عل ثمه استقاموا تتنزه ة الهت كنتم قالوا ربنا اللهه وا بالجنه

توعدون Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka

meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan

mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah

mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". 69

Dalam hal ini adalah budaya-budaya luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan yang bersifat universal.

Page 133: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

116

etnosentris yang eksklusif.70

Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap

lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa kebudayaan

tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain akan melahirkan fasisme, nativisme, dan

chauvinisme.71

Di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, setiap satu bulan sekali

diadakan kegiatan muha>dharah. Sebuah kegiatan kontes pertunjukan bakat.

Biasanya dalam kegiatan tersebut santri dapat menunjukkan bakat/potensinya dan

melatih rasa percaya diri tampil di hadapan publik. Kegiatan yang ditampilkan bisa

berupa pantomime, musik band, nasyid, tari-tarian, pembacaan puisi, ceramah

bahasa asing, demo silat dan lain sebagainya. Petugas yang menjadi pengisi

kegiatan muha>dharah dijadwal secara bergantian menurut asrama atau konsulat

(asal daerah). Tugas utamanya adalah menyediakan MC, Pertunjukan Bakat, dan

Ceramah. Sedangkan PIC (person in charge) yang bertugas untuk menyediakan

tempat beserta infrastruktur kegiatan muha>dharah dipegang oleh pengurus harian

kepesantrenan.

Menurut Muhammad Rizal, salah seorang santri dari Aceh. Ia menilai

kegiatan muha>dharah ini sangat bermanfaat bagi santri. Ia pernah menjadi MC

dengan menggunakan bahasa Inggris pada saat kegiatan tersebut. Sedangkan

teman-temanya yang lain bertugas menampikan kebudayaan khas asal Aceh (Tari

Saman). Ia dan teman-temanya merasa terbangun rasa percaya dirinya tampil

dihadapan ribuan santri, sehingga menjadikan mereka tidak lagi gugup (nervous) saat diminta untuk tampil di masyarakat luas. Terbukti, mereka sering

memenangkan perlombaan dan diminta untuk mengisi berbagai acara di daerah

Jabodetabek.72

Sementara menurut Mahfudhi seorang santri yang berasal dari

Demak Jawa Tengah, ia merasa sangat bersyukur dapat belajar di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Ia dapat mempelajari berbagai budaya di

Indonesia melalui teman-temanya yang berasal dari daerah tersebut.73

Kegiatan muha>dharah merupakan wujud internalisasi (bukan indoktrinasi)

dari pembentukan sikap percaya diri kepada santri. Internalisasi artinya siswa

difasilitasi -melalui kegiatan muha>dharah- agar dapat mengalami, merasakan

70

Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan

menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya. Etnosentrisme dapat juga

diartikan fanatisme suku bangsa. Dalam etnosentrisme, ukuran yang dipakai adalah ukuran-

ukuran masyarakatnya, maka orang akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai

lebih tinggi dari kebudayaan kelompok masyarakat lain. Segi positif Etnosentrisme

diantaranya : dapat menjaga kestabilan dan keutuhan budayanya, dapat mempertinggi

semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta dapat memperteguh rasa cinta

terhadap kebudayaan atau bangsa. 71

Syafiq A. Mughni, Pendidikan Berbasis Multikulturalisme: Dalam Pengantar Buku Pendidikan Multikultural Karya Chairil Mahfudh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2016), xiii, cet. 8. 72

Wawancara dengan Muhammad Rizal, santri yang berasal dari Aceh pada 23

Agustus 2017. 73

Wawancara dengan Ahmad Mahfudhi, santri yang berasal dari Demak pada 23

Agustus 2017.

Page 134: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

117

keberhasilan dalam melakukan sesuatu kemudian siswa diminta mengungkapkan,

menceritakan, merefleksikan bagaimana siswa dapat melakukan keberhasilan itu.

Ini adalah teknik internalisasi bukan indoktrinasi. Rasa percaya diri itu

ditumbuhkan, digali dari pengalaman siswa, bukan diajarkan (indoktrinasi).

5. Santri Wajib Militer, Menanamkan Jiwa Nasionalisme

Mencintai tanah air merupakan kewajiban setiap warga Negara Indonesia.

terlebih bagi seorang santri. Slogan h}ubbu al-Wat}an min al-I>ma>n menjadi

pegangan hidup seorang santri. Terbukti dengan adanya resolusi jihad (fatwa) yang

dicetuskan oleh KH. Hasyim Ash’ari untuk memerangi kaum penjajah adalah fard}u ‘ain74

, santri berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang terancam.75

Fatwa tersebut membuktikan bahwa seorang panutan santri (red:kiyai) selalu

mengajarkan cinta tanah air (nasionalisme).

Multikulturalisme menopang Nasionalisme. Multikulturalisme memiliki

cita-cita keadilan dan kesetaraan. Sementara nasionalisme memiliki cita-cita

bersatu padunya seluruh warga Negara. Persatuan tidak akan dapat terbentuk tanpa

adanya keadilan dan kesetaraan. Dalam menanamkan sikap nasionalisme, tentunya

dalam konteks Indonesia juga harus menanamkan sikap multikulturalisme. Karena

keduanya berjalan beriringan dan saling menguatkan.

Berawal dari sebuah harapan agar santri memiliki sikap yang disiplin,

patuh, tangguh, berkarakter serta cinta tanah air. Pada tahun 2012, pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman telah mewajibkan santrinya untuk mengikuti

Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Program ini wajib diikuti oleh

seluruh santri tingkat SMA dan Perguruan Tinggi (mahasiswa). Untuk siswa SMA,

PPBN diberikan ketika mereka memasuki masa orientasi siswa (MOS) selama lima

hari. Sedangkan untuk mahasiswa, PPBN dilakukan selama 11 hari, yang dimulai

dari semeseter satu secara bergantian.76

Sebenarnya, sebelum program PPBN ini diberlakukan, pada tahun 2006

pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman telah bekerja sama dengan Danrindam.

Melalui kerja sama tersebut pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman mengirim

tiga puluh santri ke Rindam Jaya Jakarta untuk dilatih bela Negara (Belneg).

Selama di Rindam Jaya mereka dididik selama tiga hari tentang kedisiplinan dan

wawasan kebangsaan. Program tersebut berjalan lancar secara periodik sampai

pada tahun 2013. Sampai tahun tersebut santri yang dididik langsung oleh TNI-AD

tercatat lebih kurang 1000 santri. Dari kader yang dilatih langsung oleh TNI-AD

tersebut kemudian menularkan wawasan kepada santri lainya.

Santri yang berasal dari latar belakang daerah yang berbeda memiliki

peluang dan kekuatan tersendiri dalam mengasah sikap nasionalismenya. Mereka

dihadapkan pada fakta dan realitas miniatur ke-Indonesiaan. Wawasan kebangsaan

74

Dalam Terminologi Islam, fardhu ‘ain memiliki arti wajib bagi setiap orang yang

telah mukallaf. 75

Fatwa Resolusi Jihad terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 yang melatar

belakangi pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. 76

Budianto, ‚Al-Ashriyyah Nurul Iman Wajib Militer: Wujud Persiapan Indonesia

Menjadi Negara Maju‛, Majalah Nurul Iman, vol. 11 (2014),52-55.

Page 135: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

118

yang mereka dapatkan dari pelatihan bela Negara, lebih lanjut dapat mereka

elaborasikan pada diskusi dengan santri lainya yang beragam tersebut. Dengan

demikian santri akan sangat matang sikap nasionalismenya juga

multikulturalismenya.

Selain itu, sikap nasionalisme juga akan memberikan angin segar pada

program deradikalisasi. Fenomena yang terjadi saat ini, aksi-aksi radikal muncul

karena kurangnya sikap nasionalisme. Kaum radikalis lebih mendahulukan

kepentingan golongan, bahkan kepentingan pribadi sehingga menanggalkan

kepentingan bersama dalam sebuah komunitas Negara. Aksi radikal umumnya juga

dilakukan oleh kaum pemberontak pada pemimpin sebuah Negara yang sah. Hal itu

menunjukkan minimnya sikap nasionalisme yang dimiliki oleh kaum pemberontak

(kaum radikalis) tadi.

Secara konseptual, tahapan yang telah dilakukan oleh pondok pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman untuk membentuk santri yang berhaluan multikultural telah

tepat. Namun, secara praktikal ditemukan data bahwa hasil yang didapatkan masih

sangat jauh dari ekpektasi tujuan pendidikan multikultural itu sendiri. Sebagai

contohnya, banyak lulusan santri yang masih mempersoalkan memilih pemilih non-

Muslim dalam arena pertarungan politik. Masih banyak santri yang masih takut

untuk menyuarakan semangat multikultural di tengah gelombang Islamisme

masyarakat urban yang sangat kuat. Takut distigma liberal, sekuler, lebih membela

kafir dari pada muslim dan lain sebagainya.

6. Pola Pengasuhan Santri di Asrama

Asrama merupakan salah satu bagian dari proses pendidikan santri selain

di kelas. Di asrama sebuah hidden curriculum berlangsung. Jika di kelas merupakan

tempat pembelajaran ilmu yang teoritis, maka di asrama merupakan tempat

pembelajaran praktis yang lebih tepatnya disebut dengan proses pembentukan

karakter santri.

Jika dilihat dari latar belakang daerah asal (suku), santri diasramakan

secara random. Hal ini bertujuan agar satu sama lain dapat saling melakukan

perkenalan dan pertukaran budaya dari masing-masing suku. Selain itu, juga

bertujuan agar santri dapat saling memahami, menghormati, dan menghargai watak

dari masing-masing daerah yang berbeda tadi. Misalnya, santri asal jawa yang

terkenal lemah lembut harus memahami dan tidak mudah tersinggung dengan

santri asal Palembang atau Medan (Batak) yang terkenal dengan nada bicaranya

yang keras dan kasar.

Adapun klasifikasi jenjang pendidikan tetap dibedakan, sehingga santri

dengan jenjang SD, SMP, dan SMA berasrama secara terpisah. Meskipun dalam

satu jenjang, pembagian asrama tidak sama dengan pembagian kelas di sekolah.

Misalnya, Ahmad adalah seorang santri asal jawa tingkat SMP kelas VII A, tidak

mesti harus satu asrama dengan Mahmud, santri tingkat SMP kelas VII A. Jadi,

semaksimal mungkin dilakukan pengasramaan secara random, mengingat jumlah

santri yang mencapai 10.000, juga agar sosialisasi santri satu sama lain berjalan

maksimal sehingga tidak terjadi sukuisme.

Page 136: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

119

Santri dibuat kelompok-kelompok belajar, kelompok makan, dan kelompok

piket kebersihan. Melalui pengelompokan tersebut, bermaksud melatih kerja sama

antar santri. Interaksi antar santri di asrama menggunakan bahasa arab, inggris,

mandarin, dan bahasa daerah masing-masing santri. Penggunaan bahasa tersebut

dijadwalkan pada waktu-waktu tertentu.

Pola kepemimpinan juga terbentuk di asrama. Satu asrama yang berisikan

lebih kurang 300 santri secara demokratis melakukan pemilihan ketua asrama

setiap satu tahun sekali. Salah satu santri yang terpilih menjadi ketua asrama harus

membuat tim kepengurusan yang solid agar asrama tersebut dapat menjadi asrama

percontohan asrama lainnya. Di setiap triwulan dilakukan penilaian dan

penghargaan kepada asrama terbaik dengan katagori kebersihan, keindahan,

kedisiplinan, dan prestasi warga asrama tersebut (misalnya, pemenang lomba baca

kitab kuning, lomba mengisi kolom mading, dll).

Khusus di Asrama SD, SMP, dan SMA dipimpin oleh santri yang sudah

senior (mahasiswa semester akhir atau pengabdian). Masing-masing kelompok di

asrama SD, SMP, dan SMA dibina oleh seorang mahasiswa tingkat akhir, sehingga

mampu memberikan pengarahan dan mampu menjadi konsultan dalam

penyelesaian segala macam persoalan yang menimpa salah satu anggota dari

kelompok tersebut. Biasanya disebut dengan pembimbing. Tugas pembimbing

diantaranya adalah menerima setoran hafalan, mengabsen kehadiran salat di

Masjid, mengabsen saat hendak tidur, dan memberikan laporan progres kepada

wali santri.

Seorang ketua asrama juga memiliki otoritas dalam membuat peraturan di

asrama yang ia pimpin. Misalnya terkait dengan jadwal penguncian pintu, jadwal

pemakaian lampu, jadwal pemakaian kamar mandi, larangan melakukan kekerasan,

himbauan agar selalu menghargai perbedaan, dan pemberian sanksi pada santri

yang melanggar peraturan yang telah disepakati. Dalam pembuatan peraturan ini,

seorang ketua asrama juga harus berkoordinasi dengan pengurus harian pesantren

bagian keasramaan. Ia harus melaporkan segala kebijakan yang telah ia lakukan.

Hal ini bertujuan agar peraturan di asrama sejalan dengan visi misi pesantren.

Ada beberapa kegiatan menarik yang dilakukan di asrama. Misalnya,

kegiatan muh}adharah}, kegiatan peringatan Maulid Nabi, peringatan isra’ mi’raj,

tasyakuran kelulusan, kegiatan haflah akhir sanah, dll. Semua kegiatan tersebut

dilakukan agar hubungan antar santri semakin akrab. Dalam kegiatan tersebut,

turut mengundang perwakilan-perwakilan asrama lain, pengurus harian pesantren,

dan dewan guru. Selain ceramah agama, kegiatan tersebut juga bermuatan

menampilkan budaya-budaya khas daerah dan hiburan-hiburan seperti musik band,

sholawat rebana, komedi, pantomim, dan lain sebagainya.

Terkadang, di asrama juga terjadi gesekan (konflik) antar santri yang

berbeda suku. Konflik tersebut terjadi biasanya karena faktor dicurinya makanan,

baju, dan kebutuhan pribadi lainya. Namun, menurut ketua asrama konflik tersebut

selalu hanya berlangsung antar individu saja tidak melibatkan kelompok daerah.

Apabila ada kasus seperti itu, pemberian sanksi yang berat diserahkan kepada

bagian keamanan pesantren. Sementara, sanksi yang berikan oleh ketua asrama

adalah berupa sanksi sosial berupa piket kebersihan selama satu minggu penuh dan

Page 137: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

120

sanksi administratif berupa rekomendasi agar dipindahkan di asrama lainya.

Sanksi administratif tersebut merupakan jalan terakhir apabila kesalahan tersebut

dilakukan secara berulang-ulang.

Untuk menghindari kejenuhan dan memaksimalkan interaksi sosial antar

santri, pola perpindahan asrama dilakukan setahun sekali. Semaksimal mungkin

dilakukan pengacakan agar santri yang jumlahnya 10.000 tersebut dapat saling

mengenal satu sama lainya. Sebenarnya, kebijakan seperti ini mengundang pro dan

kontra antar santri. Mereka yang kontra berargumen bahwa mereka harus

beradaptasi dengan asrama baru mereka lagi. Menurut mereka proses adaptasi

tersebut menghambat proses belajar mereka. Sementara, santri yang pro terhadap

kebijakan tersebut mengungkapkan bahwa adaptasi dengan asrama baru memang

mengganggu proses belajar tetapi tidak begitu lama, justru yang terpenting adalah

satu sama lain saling mengenal agar ikatan persaudaraan sesama santri semakin

kuat. Harapanya, persaudaraan tersebut terjalin tidak hanya semasa menjadi santri

saja tetapi sampai menjadi alumni dan sampai di surga. Dengan begitu, menjadi

sangat kokoh pergerakan santri setelah menjadi alumni, satu sama lain saling

membantu, baik dalam dunia pendidikan maupun berwirausaha.

D. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pesantren

Setiap program yang diberlakukan di lembaga manapun, tentunya tidak

lepas dari kendala-kendala yang melingkupi. Oleh karena itu, diperlukan strategi

atau alternatif untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Begitupun, di pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman. Berdasarkan penelusuran peneliti, didapatkan

data tentang kendala-kendala pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman dalam

memaksimalkan pendidikan multikultural. Secara umum dijelaskan sebagai

berikut:

a) Kompetensi Guru

Guru di pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman kebanyakan memiliki

latar belakang yang tidak sesuai dengan bidang kajian yang diampunya, misalnya

guru sosiologi, matematika ataupun fisika berlatar belakang pendidikan sarjana

hukum Islam atau sarjana pendidikan bahasa Arab. Meskipun begitu, ada juga guru

yang sesuai dengan bidang yang diampunya seperti kitab fiqh, Nahwu, Sharf,

Tauhid, Tajwid, dan lain sebagainya. Minimnya kompetensi guru menyebabkan

tidak maksimalnya penyampaian dan pengelaborasian mata pelajaran yang diampu

terhadap nilai-nilai multikultural kepada santri.

Dalam implementasi pendidikan multikultural, elaborasi nilai-nilai

multikultural di setiap mata pelajaran itu sangat penting, karena menurut James

Bank pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan

satu dengan yang lainya. Pertama, content integration, yaitu mengintegrasikan

berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar,

generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge contruction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke

dalam sebuah mata pelajaran (displin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu

menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka

menfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya

Page 138: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

121

ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik

ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.77

Sebagai alternatifnya, pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

mendatangkan seorang pakar untuk memberikan training kepada guru yang tidak

sesuai bidangnya. Biasanya juga dengan melakukan kerja sama dengan Dinas

Pendidikan untuk memberikan pelatihan. Dari pelatihan-pelatihan tersebut

diajarkan metode pembelajaran, membuat materi pembelajaran, menjadi konsultan

siswa (Bimbingan Konseling) dan lain sebagainya.

b) Sarana dan Prasarana

Pendidikan yang bermutu dapat dihasilkan melalui transformasi sebuah

sistem pendidikan yang didukung oleh komponen input yang bermutu pula. Salah

satu komponen input tersebut adalah sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana

merupakan komponen penting dalam pelaksanaan pendidikan sehingga perlu

dilakukan pengadaan dan pengelolaan sedemikian rupa terhadapnya. Menurut

Bafadal, sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot

yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Sedangkan

prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak

langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.78

Pondok pesantren ini memberlakukan biaya gratis kepada seluruh santri

tanpa terkecuali. Nilai positifnya adalah sangat membantu orang-orang yang

terkendala dalam biaya pendidikan. Namun, disisi lain pesantren tidak bisa cepat

merespon perkembangan zaman terutama dibidang IPTEK karena kesulitan

menyediakan sarana prasarana yang memadai. Misalnya, belum tersedianya

perpustakaan yang lengkap, minimnya fasilitas internet bagi guru dan siswa,

laboratorium untuk siswa SMA program IPA, ruang kelas siswa yang tidak

sebanding dengan jumlah siswa, dan biaya-biaya pengembangan pendidikan

lainnya.

Salah satu alternatif yang ditempuh adalah menjadikan teras asrama

sebagai ruang belajar atau pembelajaran dilakukan secara bergantian (shifting).

Kemudian, memanfaatkan instrument-instrumen yang sederhana untuk melakukan

praktik sains dan bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk membantu

penyediaan sarana prasarana. Sementara itu, dalam melakukan pengadaan sarana

prasarana pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman memberlakukan skema

berikut.

77

James A. Bank, An Introduction to Multikultural Education (Allyn & Bacon,

Incorporated, 1999), 30-35. 78

Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 2.

Page 139: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

122

Bagan 4.2: Skema Manajemen Saran Prasarana di Ponpes al-Ashriyyah

Nurul Iman

c) Sumber Daya Manusia (SDM) Santri yang Majemuk

Setiap orang yang mendaftarkan diri di pondok pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman tidak ada yang ditolak. Semua diterima. Tak heran jika jumlah santri

mencapai puluhan ribu. Kebijakan tersebut, berangkat dari sebuah cita-cita luhur

pesantren untuk memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh manusia dalam

memperoleh pendidikan. Tidak peduli mereka cacat fisik ataupun mental. Memang

sudah sepatutnya sebuah lembaga pendidikan menempa manusia yang belum pintar

menjadi pintar, bukan malah melakukan penyeleksian dengan berbagai instrumen

dan argumentasinya dalam rangka mencari bibit unggul.

Sesuai dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Paolo Freire. Kemudian,

kritik yang Ivan Illich dan Everett Reimer justru lebih radikal yaitu lembaga-

lembaga yang sudah ada ini harus digusur alias dibubarkan semua. Menurut

keduanya sekolah bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi lembaga penindasan

rakyat kecil, lembaga yang melestarikan feodalisme, lembaga yang melanggengkan

kolonialisme, lembaga yang menjunjung tinggi status quo, bahkan lembaga yang

mengabadikan sistem persaingan model hukum rimba.

Everett Reimer mengemukakan melalui bukunya yang berjudul School Is Dead: Alternative in Education (1971) bahwa lembaga pendidikan saat ini

(red:sekolah) bagi kebanyakan orang merupakan institusi pendukung privilege (hak

istimewa/kehormatan), bahkan pada waktu yang sama merupakan instrumen

1. Pengadaan

Analisis Kebutuhan

Analisis Anggaran

Seleksi

Keputusan

Pemerolehan

2. Pendistribusian

Pengalokasian

Pengadaan/Pembangunan

Membangun Kemitraan

3. Penggunaan dan

Pemeliharaan

4. Inventarisasi

5. Penghapusan/Pengkajian

ulang

Page 140: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

123

bersama bagi mobilitas vertikal masyarakat. Sistem pelembagaan pendidikan

hanya membuat banyak anak-anak (khususnya keturunan kaum miskin struktural)

di dunia tidak dapat menikmati pendidikan. Hal ini disebabkan oleh adanya tinkat

kompetitifnya sangat tinggi, sementara mereka (rakyat miskin) tidak memiliki

modal dan bekal yang cukup.79

Sementara, Ivan Illich dengan bukunya yang berjudul Deschooling Society (1971) menghendaki sekolah-sekolah yang telah muncul dan berkembang di

Negara-negara ketiga dibubarkan saja. Hal ini disebabkan karena sekolah-sekolah

tersebut tidak mampu lagi membawa perubahan apa-apa pada masyarakat. Selain

itu, lanjut Illich, lembaga-lembaga inilah yang menjadi agen resmi bagai abadinya

hegemoni sistem pendidikan yang mempertahankan kemapanan atau status quo. Akibatnya masyarakat yang telah termarginalkan tidak akan pernah terlepas dari

terkaman kemiskinan structural yang terus dipertahankan lewat berbagai

kurikulum dan pembaruan yang katanya membawa kepada pemberdayaan

masyarakat yang tinggi.80

Dua argumen di atas, penulis sajikan sebagai kritik atas

fenomena ketimpangan pendidikan bagi kaum miskin dan kaum kayaBukan berarti

penulis setuju atas wacana yang digulirkan untuk membubarkan lembaga

pendidikan. Di sisi lain fenomena banyaknya santri yang diterima oleh pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman menjadi kendala bagi pengurus pesantren untuk

menciptakan formula yang tepat agar tidak terjadi ketimpangan yang tinggi bagi

kemampuan santri baik dari segi kognitif, afektif, maupun kinestetik. Sebenarnya,

menurut penulis hal tersebut bisa di atasi dengan cepat bila terdapat sumber

pendanaan yang memadai. Karena melalui pendanaan yang memadai segala bentuk

sarana prasarana dan instrument-instrumen pendukung proses pembelajaran dapat

diwujudkan.

79

Everett Reimer, School Is Dead: Alternative in Education (New York: Garden

City Dobelday, 1971). 80

Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper and Row, 1971).

Page 141: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

124

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara implisit kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendidikan

multikultural mampu menjadi alternatif dalam membendung radikalisme.

Dikatakan alternatif karena tujuan utama pendidikan multikultural bukanlah

deradikalisasi, melainkan persamaan/kesetaraan hak, toleransi dan keadilan.

Adapun secara rinci, kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman tentang

pendidikan multikultural adalah sebuah usaha/langkah/kegiatan dalam

membina/mendidik manusia agar memiliki wawasan yang luas, holistik dan

integratif, cerdas, berketerampilan yang cakap, kreatif, bertoleransi tinggi

dan menebarkan kasih sayang dengan tidak melakukan diskriminasi

terhadap perbedaan latar belakang baik agama, ras, suku, bangsa, status

sosial, aliran keagamaan dan aliran politik serta selalu bersikap inklusif

atas dasar bahwa seluruh santri pasti memiliki salah satu dari multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Hal itu dibuktikan dengan proses

penerimaan seluruh santri yang mendaftar tanpa mempertimbangkan latar

belakang suku, ras, status sosial, agama, aliran kepercayaan, dll. Kemudian,

memberikan fasilitas yang sama, membekali santri dengan berbagai

kompetensi melalui ragam pelatihan dan kegiatan ekstrakurikuler, dan

melibatkan santri dalam berbagai kegiatan bersama umat agama lain.

2. Implementasi pendidikan berwawasan multikultural di pondok pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai upaya kontra radikalisme adalah melalui

pengarusutamaan pemahaman nilai-nilai multikultural melalui kajian kitab

kuning, memberikan pemahaman pada guru agar selalu menyelipkan ajaran

multikultural disetiap mata pelajaran yang diajarkan, berinteraksi secara

langsung dengan pemeluk agama lain dan menjalin kerja sama denganya,

membentuk LKD (Lembaga Kader Dakwah) untuk memberikan

pemahaman pada santri agar menyampaikan materi dakwah secara santun,

tidak menebar kebencian (hate speech), tidak provokatif dan penuh damai,

memberikan pendidikan dan wawasan nasionalisme, serta memberikan

pembekalan berbagai jenis kompetensi dan skill dalam

berwirausaha/entrepreneur agar santri tidak mudah tergiur oleh ajaran

radikalisme dengan iming-iming uang.

3. Kendala-kendala yang dihadapi pesantren, yaitu pertama, kompetensi guru

yang belum sesuai dengan spesifikasi keilmuan mata pelajaran yang

diampu. Hal ini mengakibatkan seorang guru kesulitan untuk

mengelaborasikan materi yang diajarkan dengan nilai-nilai multikultural.

Kedua, sarana prasarana penunjang pendidikan. Tidak sebandingnya sarana

prasarana penunjang pendidikan dengan jumlah santri mengakibatkan

sebagian santri tidak kebagian ruang kelas untuk belajar. Ketiga, Sumber

Daya Manusia (SDM) santri yang majemuk. Beragam santri yang berasal

Page 142: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

125

dari berbagai daerah dan memiliki SDM yang berbeda-beda menyebabkan

kesulitan untuk mencari formula konsep dan media pembelajaran yang

tepat. Tentunya kendala yang terakhir ini berkaitan erat dengan kendala

poin pertama dan kedua.

B. Saran

Penelitian ini juga dapat digunakan pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

dalam memaksimalkan pendidikan multikultural yang telah dilaksanakan.

Misalnya manajemen alumni agar aktif berkontribusi untuk kemajuan pondok

pesantren, memaksimalkan media digital sebagai media dakwah pesantren dalam

mengampanyekan nilai-nilai multikultural, dan menyiapkan konten-konten dakwah

Islam rahmatan lil ’a>lami>n yang lebih inovatif.

Melihat kendala-kendala yang terjadi di pesantren al-Ashriyyah Nurul

Iman peneliti memiliki saran agar lebih mengutamakan kualitas dari pada kuantitas

santri. Manajemen kurikulum pesantren agar dikelola lebih profesional, seperti

standar kelulusan, test masuk pesantren, pengaturan rombongan belajar (rombel),

skala prioritas pengadaan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Melalui

manajemen yang professional diharapkan agar lahir alumni-alumni yang memiliki

kualitas intelektual yang baik dan jiwa religiusitas yang tinggi.

Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi berbagai

pesantren di seluruh Indonesia untuk menerapkan pendidikan berwawasan

multikultural. Pola kerja sama inklusif dengan lembaga apapun patut dijadikan

contoh oleh pesantren-pesantren lain.

Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Agama Republik Indonesia

dan Kementrian Pendidikan Nasional harus mengapresiasi adanya lembaga

pendidikan model pesantren seperti ini. Untuk itu, dua kementrian ini harus lebih

intens dalam memberikan perhatian terutama dukungan pada segi anggaran

pembangunan sarana prasarana belajar. Tentunya, agar pondok pesantren tidak

hanya tempat untuk memperbaiki moral generasi bangsa saja, tetapi juga tempat

untuk mencetak generasi yang handal dalam sains dan teknologi.

Page 143: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

126

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Utama Penelitian

Berita-berita media cetak dan online tentang Pondok Pesantren al-Ashriyyah

Nurul Iman.

Dokumentasi foto-foto kegiatan Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.

Dokumentasi Video Ceramah atau Pengajian Habib Saggaf selaku pendiri

sekaligus peletak dasar paham multikultural di Pondok Pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman.

Observasi dengan terlibat dalam kegiatan santri di Pondok Pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman Wawancara dengan Ummi Waheeda selaku pimpinan Pondok Pesantren al-

Ashriyyah Nurul Iman.

Wancara santri, pengurus pesantren, alumni dan wali santri Pondok Pesantren

al-Ashriyyah Nurul Iman.

Wawancara warga sekitar Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman.

Website Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman: www.nuruliman.or.id

B. Buku-Buku

Abdullah, Abdurrahman Saleh. Education Theorycal-Qur’anic Outlook, Terj.

H. M. Arifin dan Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Ahida, Rida. Keadilan Multikultural. Jakarta: Ciputat Press, 2008.

Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.

Ahmed, Akbar S.. Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M.

Siroz. Bandung: Mizan, 1993.

Ainani, Ali Khalil Abu. Falsafat al-Tarbiyah fi Qur’an al-Kari>m. Kairo: Da>r al-

Fikr al-Araby, 1980.

Al-Bantany, Muhmmad ibn Umar Al-Nawawi. Luba>b al-Hadi>th. Terj. Misbah

ibn Zain al-Mus}t}afa. Tanqi>h} al-Qaul al-H}athi>th. Surabaya: al-Hidayah,

tt.

Al-Maliky, Ahmad al-Sha>wy. Ha>shiyat al-‘Alla>mat al-Sha>wy ‘ala al-Tafsi>r al-Jala>lain, al-Mujallad al-Awwal. Semarang: Thaha Putera, tt.

Al-Khauly, Muhammad Ali. Qa>mus al-Tarbiyah: Injilizy-Araby. Beirut-

Libanon: Da>r al-‘a>lim lil al-Malayin, 1981.

Al-Ghazali. Ihya>’ Ulum al-Di>n. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

. Mi’ra>j al-Sa>liki>n. Kairo: al-T>saqa>fa>t al-Isla>miyah, 1964.

Al-Malibari, Zainuddin ibn Abdul Aziz. Fathu al-Mu’in bi Syarkh Qurrati al-‘Ain. Surabaya: Da>r al-Ilm. tt.

Al-Nasa>I, Abu Abd Rahman Ahmad ibn Syu’aib. Kitab Sunan al-Kubra> Juz IV. Libanon: Da>r al-Kita>b, tt.

Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Page 144: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

127

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2006.

Arslan, Hasan. ‚Multicultural Education: Approaches, Dimensions and

Principles.‛ In Multicultural Education From Theory to Practice, eds.

Hasan Arslan and Georgeta Rata. Newcastle: Camridge Scholars

Publishing, 2013.

Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius, 2007.

. ‚Sikap Barat Terhadap Radikalisme Islam‛, dalam Tarmizi Taher,

Meredam Gelombang Radikalisme (Jakarta: CMM (Center for

Mederate Muslim, 2003.

Bafadal, Ibrahim. Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Baidhawi, Zakiyudin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:

Erlangga, 2007.

Banks, James A. An Introduction Multicultural Education. Boston: Pearson,

2008.

. ‚Multicultural Education: Character and Goals.‛ In Multicultural Education Issues and Perspective. Ed. James A. Banks, Cherry A.

McGee Banks, 25. Seventh Edition. Haboken: RRD Crawfordsville,

2008.

Brugmans, I.J.. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie,. Groningen : Wolters, 1938.

Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Cet. IX. Bandung: Mizan Pustaka, 2011.

Chirzin, M. Habib. Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis dan Fundamentalis. Yogyakarta: Pilar, 2007.

Dawam, Ainurrofiq. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: LKIS, 2014.

Day, Richard J.F. Multiculturalism and The History of Canadian Diversity. Canada: University of Toronto Press, 2000.

Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Departemen pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Cet. Ke-6. Jakarta: LP3ES, 1994.

During, Simon. The Cultural Study Reader. Routledge, 2007.

Echols, John M. dan Hassan Shadili. Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT. Gramedia.

Fatoni, Achmad. Peran Kyai Pesantren dalam Partai Politik. Cet. Ke-1.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Fay, Brian. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell, 1996.

Page 145: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

128

Geertz, Clifford. The Religion of Jawa, terjemahan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,

Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Cet. Ke-2. Jakarta:

Dunia Pustaka, 1983.

Ghosh, Ratna dan Mariuszz Galezynski. Redefining Multicultural Education Inclusion and The Rigt To Be Different, Third Edition. Toronto:

Canadian Scholar’s Press Inc, 2014.

Gorski, Paul C.. Multicultural Education and The Internet Intersection and Integrations. New York: McGraw-Hill, 2005.

Grossberg, Lawrence. Cary Nelson, Paula Treicher. Cultural Studies.

Routledge, 1992.

Hanggulung, Hasan. Beberapa Tinjauan dalam Pendidikan Islam. Kuala

Lumpur: Pustaka Antara, 1981.

Hasojo. Pengantar Antropologi. Bandung : Bina Cipta, 1984.

Hasani, Ismail. dkk. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama / Berkeyakinan.

Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010.

Ha>zimi, Khalid bin Hamid. Usu>l al-Tarbiyah al-Islamiyah. Riyadh: Da>r ‘A>lim

al-Kutub, 2000 M/1420 H.

Hernandez, Hilda. Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process. Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company, 1989.

Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press, 2004.

Hikam, Muhammad A.S., Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme. Jakarta: Kompas, 2016.

Illich, Ivan. Deschooling Society. New York: Harper and Row, 1971.

Jackson, Robert. Rethinking Religious Education and Plurality Issues in Diversity and Pedagogy. London: Routledge Falmer, 2004.

Juergensmeyer, Marx. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Jakarta-Magelang: Nizam Press & Anima

Publishing: 2002.

Kartenegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontsruksi Amali dalam Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Kelly, A.V. The Curriculum: Theory and Practice. 6TH Edition. London: SAGE

Publication, 2009.

Kymlicka, Will. Liberalism and The Politicization of Ethnicity, dalam Julia

Stapleton (ed) Group Rights. Briston :Thoemmes Press,1995.

. Multiculture Citizenship. New York: Oxford University Press, 1995.

K Ellis, Athur. dkk. Introduction to the Foundations of Education. New Jersey:

Prentice-Hall, 1981.

Kolb, Eva. The Evolution of New York City’s Multiculturalism Melting Pot Or Salad Bowl: Immigrants in New York from the 19th Century Until the End of The Gilded Age. Norderstedt: BoD, 2009.

Langgulung, Hasan. Teori-Teori Kesehatan Mental: Perbandingan Psikologi Modern dan Pendekatan Pakar Pendidikan Islam. Kejang Selangor:

Pustaka Huda, 1992.

Page 146: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

129

Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih Bahasa: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

Lebor, Adam. Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integrasi. Terj. Yuliani Liputo, Cet. Ke-1. Bandung: Mizan, 2009.

Lombard, Denis. Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III. Jakarta: Gramedia, 1997.

Mahfud, Chairil. Pendidikan Multikultural. Cet. Ke-5. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011.

Mahalingam, Ram Cameron McCarthy, Ram. Multicultural Curriculum : New

Directions for Social Theory, Practice, and Policy. Routledge, 2000.

Makassary, Ridwan dan Suparto, ed. Cerita Sukses Pendidikan Multikultural di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2010.

Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme: Pandangan Baru PAI di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011.

Madjid, Nurkholis. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:

Paramadina, 1997.

. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Dawam

Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta: LP3ES, 1985.

Madya Ruth, Dhyah. Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme.

Jakarta: Lazuardi Birru, 2010. M. Nuh, Nuhrison. (ed.). Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya

Damai. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.

Mughni, Syafiq A.. Pendidikan Berbasis Multikulturalisme: Dalam Pengantar Buku Pendidikan Multikultural Karya Chairil Mahfudh. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2016.

Mudzar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Nata, Abuddin. Pendidikan Islam di Era Global (Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multiiman, Pendidikan Agama, Moral, dan Etika). Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2005.

. Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2010.

Parekh, Bhikhu. National Culture and Multiculturalism, dalam Kenneth

Thompson (ed), Media and Cultural Regulation. London: Sage

Publication, 1977.

. Unity and Diversity in Multicultural Societies. Geneva: International

Institute for Labour Studies, 2005.

Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 46 Tahun 2010 tentang pembentukan

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2017

tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Page 147: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

130

Pigeaud, Th. G. Th.. Literature of Java: Descriptive List of Javanese Manuscripts Jilid I. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967.

R. Golose, Petrus. Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK, 2010.

Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2004.

Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.

Reimer, Everett. School Is Dead: Alternative in Education. New York: Garden

City Dobelday, 1971.

Rubaidi, A.. Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2003.

Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Cet. Ke-6. Jakarta: SAS Foundation

dan LTN PBNU, 2012.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:

Alfabeta, 2012.

Sumardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press,

1981.

Suparta, Mundzier. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat. Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009.

. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas pendidikan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: Al Ghazali Center, 2008.

Suparlan, Parsudi. Ilmu Kepolisian. Jakarta: YKIK, 2008.

Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Syaibany, Umar Muhammad al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Alih

bahasa Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Susari. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikultural studi Kasus di SMU N 8 Kota Tangerang. Tangerang Selatan: 2012.

Tilaar, Henry Alexis Rudolf. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:

Grasindo, 2004.

. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Taylor, Charles, Amy Gutmann, and Charles Taylor. Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton, N.J: Princeton

University Press, 1994.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.

Van Bruinessen, Marti. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Cet. Ke-1.

Bandung: Mizan, 1995.

Page 148: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

131

Wahid, Abdul. Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UNY, 2009.

Wahid, Abdurrahman (ed). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.

W. Santrock, John. Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. Jakarta:

Kencana, 2007.

Warson Munawwir, Ahmad. AL-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Wiktorowicz, Quintan. Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. Jakarta: Gading Publishing, 2012.

Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Ziemek, Manfred. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1983.

C. Jurnal-Jurnal Nasional dan Internasional

Abbas, Tahir. A Theory of Islamic Poltical Radicalism in Britain: Sociology,

Theology and International Political Economy, Contemporary Islam,

vol. 1, issue 2. 2007.

Abdullah, Anna Christina. Multicultural Education in Early Childhood: Issues and Challengs (CICE Hiroshima University, Journal of International Coorperation In Education, Vol. 12 No. 1, 2009), 159-175.

Abdurahman.‛The Transformation of Religious Learning in Oman: Tradition

and Modernity.‛ JRAS 3, 21, 2 (2011): 147-157

Amal, M. Khusna. ‚Kontestasi dan Negosiasi Agama, Lokalitas dan Harmoni

Sosial di Kota Padalungan‛, dalam Jurnal Harmon, Volume VII.

Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008.

Anonymous, Three. The Popular Discourse of Salafi Radicalism and Salafi

Counter-Radicalism in Nigeria: A Case Satudy of Boko Haram ,

Journal Religion in Africa 42 (2012) : 118 – 144

Andersen dan Cusher, ‚Multicultural and Intercultural Studies‛ dalam C.

Marsh (ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney:

Prentice-Hall, 1994), 320.

Arslan, Hasan. ‚Multicultural Education: Approaches, Dimesions and

Principles,‛ in Multicultural Education From Theory to Practice, eds.

Hasan Arslan dan Georgeta Rata (Newcastle: Camridge Scholars

Publishing, 2013), 18.

Aydin, Hasan. ‚Multicultural Education Curriculum Development in Turkey‛,

Mediterranean Journal of Social Sciences, 3.3 (2012): 227-286

Azra, Azyumardi. ‚Memahami Gejala Fundamentalisme: Jurnal Ulumul Qur’an‛ IV, no. 3 (1993): 5.

Page 149: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

132

Barakosa, Aneta. ‚Multiculturalism As Important Characteristic of

Contemporary Education,‛ IJCRSEE, vol. 1, no. 1 (2013),

http://ijcrsee.com/index.php/ijcrsee/article/view/5/47, (diakses pada 30

Mei 2017).

Blumenfeld, Warren J. ‚How Comprehensive Is Multicultural Education?: A

Case for LGBT Inclusion.‛ Journal of Multiculturalism in Education, vol. 5, no. 2 (2010): 1-20.

Budianta, Melani. ‛Multiculturalism: In Search of a Critical Framework for

Assessing Diversity in Indonesia‛, (2004).

Banks, James A.. ‚Multicultural Education: Historical Development,

Dimensions, And Practice‛, Review of Research in Education, 1993,

hlm. 3.

Charis Boutieri, ‚Inheritance, Heritage, and the disinherited: Ambiguities of

Religious Pedagogy in the Moroccan Public School.‛ Anthropology & Education Quarterly, vol. 44, no. 4 (2013): 363-380,

http://www.jstor.org/stable/24028938 (accessed May 5, 2016).

Choudhury, Cyra Akila. ‚Ideology, Identity, and Law in The Production of

Islamophobia.‛ Dialect Anthropol 39 (2015): 47-61,

http://link.springer.com/article/10.1007/s10624-014-9357-y (Accessed

May 17, 2016).

Cliteur, Paul. ‚State and Religio Agains, The Backdrop of Religious

Radicalism.‛ Icon, vol. 10, no. 1, (2012): 127-152,

http://icon.oxfordjournals.org/ (Accessed May 17, 2016).

Duderija, Adis. ‚Constructing the Religious Self and the Other: Neo-

Traditional Salafi Manhaj.‛ Islam and Christian-Muslim Relations, vol. 21, issues 1 (2010): 75-93,

http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09596410903481879

(accessed June 6, 2016).

Fred Dervin, Martina Paatela-Nieminen, M.-Kaisa Kuoppala, Anna-Leena

Riitaoja.Multicultural Education in Finland -Renewed InterculturalCompetences to the Rescue?. International Journal of

Multicultural Education. Vol. X, No. X, 2012.

Geng, Lihua. ‚Reflection on Multiculture Education Under The Background

of Globalization,‛ Higher Education Studies, vol. 3, no. 6 (2013): 53-

57.

G. Burnett. Varieties of Multicultural Education: an Introduction, (Eric

learinghouse on Urban Education, Digest, 1994), hlm. 1.

Herimanto, Triyanto, Musa Pelu. ‚Pengembangan Model Pembelajaran Budi Pekerti Berbasis Multikultural.‛ Journal.uny.ac.id/index.php/jipsindo/article/download/2880/2404. Diakses 16 Mei 2016

Huntingtong, Samuel P. ‚ The Clash of Civilizations?, ‚ Foreign Affairs, vol. 72, no. 3 (1993): 22-49.

Page 150: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

133

Homabadi, Jalal Vahabi and Ahmad Bahrami. ‚ Basic Principles of Islamic Education.‛ Journal of Social Issues & Humanities, vol. 2, issues 2 (2014): 241-243.

Hoon, Chang-Yau. ‚Mapping ‘Chinese’ Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class, and Religion.‛ Asia Pacific Educ. Rev. (2011): 403-410.

Ibrahim, Rustam. ‚Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, Dan

Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam.‛ ADDIN, vol. 7, no. 1, Februari (2013): 137.

Kim, Dohwon. ‚Transformation and Globalization Foreign Language Classroom Environment in Higher Education.‛ Journal of Transformatif Learning, vol. 2, no. 1 (2013): 69-75.

Kymlicka, Will. ‚Testing The Liberal Multiculturalist Hypothesis: Normative Theories and Social Sciences Evidence.‛ Canadian Journal of Political Science, 43:2 (2010): 257-271.

Lubis, Maimun Aqsha, Ramlee Mustapha, and Abdullah Awang Lapoh. ‚Integrated Islamic Education in Brunei Darussalam: Philosophical Issues and Challenges.‛ Journal of Islamic and Arabic Education, 1 (2), (2009): 51-60.

Ma’rifah, Indriyani. ‚Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam: Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam,Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel

Surabaya 5-8 November (2012): 227

Mubarok, Husni. ‚Memahami Kembali Arti Keragaman: Dimensi Eksistensi,

Sosial dan Institusional‛, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, IX (35) Juli-September (2010): 33.

Muqoyyidin, Andik Wahyun. Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam

Volume II, Nomor 1, Juni 2013 M/1434 H.

Okoye, Ogo-Johnson. ‚Does Multiculture Education Improve Students’ Racial

Attitudes? Implication for Closing the Achievement Gap.‛ Journal of Black Studies, vol. 42, no. 8 (2011): 1252-1274.

Polat, Soner. ‚The Attitudes of School Directors to the Multiculture Education

in Turkey.‛ Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 2, no. 2

(2011): 385-393.

Prihanto, Kritik atas Konsep Pendidikan Multikulturalisme (ISLAMIA,

VOLUME IX, No. 1. 2014), 45.

Sandu, Antonio. dkk. ‚Qualitative Methodology in Analyzing Edzucational

Phenomena‛, RomanianJournal for Multidimensional Edzucation EBSCO , year 2, no. 5 (2010): 126 -127.

Shaikh, Khanum. ‚Gender, Religious Agency, and The Subject of al-Huda

International.‛ Meridians, vol. 11, no. 2 (2011): 62-90.

Page 151: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

134

Suparlan, Parsudi. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Keynote

Address Simposium III Internasional Jurnal Antropologi Indonesia,

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.

Suparta, M. ‚Manajemen Ekonomi Pondok Pesantren: Studi PP al-Ashriyyah

Nurul Iman Parung Bogor,‛ Hikmah Journal of Islamic Studies, vol.

XI, no. 2, (2015): 49-80.

Sunarto, Kamanto. dkk (ed). ‛Multiculturalism Education in Indonesia and

Southeast Asia‛ Jurnal Antropologi Indonesia (Depok, 2004), 24-25.

Suprapto, Rohmat. Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural Inklusivisme, jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/.../1198/1251

Srimulyani, Eka. ‚Islamic Schooling in Aceh: Change, Reform, and Local Context.‛ Studia Islamika, vol. 20, no.3, (2013): 467-487.

Wei, Li. ‚ Integration of Multikultural Education into English Teaching and Learning, A Case Study in Liaoning Police Academy.‛ Theory and Practice in Language Studies, vol. 3, no. 4 (2013): 612-619.

Yani, Zulkarnain. ‚Bacaan Aktivis Rohis: Studi Kasus di SMA Negeri 3 dan 4 Kota Medan.‛ Penamas, vol. 27, no. 1 (2014): 47-62

Yeni Rachmawati, Pai, Yi-Fong, Hui-Hua Chen, The Necessity of Multicultural Education in Indonesia (International Journal of

Education and Research, Vol. 2 No. 10. Oktober 2014), 317-328.

D. Tesis dan Disertasi

Enlaila, Nur. ‚Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural.‛

Tesis Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Irham. ‚Pendidikan Berwawasan Multikultural, Studi Kasus Pendidikan

Agama Islam di SMA Plus Pembangunan Jaya, BIntaro.‛ Tesis

Program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pacasarjana Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Nuryadin. ‚Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan

Puruk cahu Kabupaten Murung Raya.‛ Tesis Program Magister

Pendidikan Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, 2014.

Ozabrlas, Yesim. ‚Perspective On Multicultural Education: Case Studies of A

German And An American Female Minority Teacher.‛ Ph.D.

Dissertation, Georgia State University, Georgia, 2008.

Sukardja, Ahmad. ‚Pengamalan Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian

Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Islam

yang Majemuk.‛ Disertasi PPs. IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,

1993.

Wahid, Din. ‚Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantrens in

Contemporary Indonesia.‛ Ph.D. Dissertation, Utrecht University,

Belanda, 2014.

Page 152: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

135

E. Internet

Anonym. http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/teknik-sampling-pada-

penelitian.html

Anonym. http://www.wartaislami.com/2016/02/habib-sagaf-bin-mahdi-ulama-

pejuang.html. Diakses pada 10 September 2017

Anonym. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2010-09-09/jones-

rencana-bakar-al-quran-jadi-dilakukan/76152. Di akses pada 1

September 2017.

Anonym. http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=96138 . Diakses pada 10

September 2017

Anonym. http://www.andreanperdana.com/2014/05/pendekatan-

fenomenologipenelitian-kualitatif.html. 22 Mei 2016

Anonym. http://www.haryoprasodjo.com/2014/05/perspektif-poskolonialisme-

dalam.html diakses pada 20 April 2017

Anonym. http://mahrita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75748

Sistem%20Politik%20Amerika

WHITE%20ANGLOSAXON%20PROTESTANT:%20Terkikisnya%20

Sebuah%20Superioritas.html, diakses pada 2 Mei 2017

Azra, Azyumardi. Multikulturalisme Indonesia dan Eropa.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/04/16/n44s1l-

multikulturalisme-indonesia-dan-eropa. Diakses pada 20 April 2017

Burhani, Ruslan. www.antaranews.com. Presiden terbitkan Kepres tentang

BNPT 16 Juli 2010. Diakses 30 Juli 2010

http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1274

Nif. http://www.nu.or.id/post/read/12608/ribuan-santri-di-bogor-siap-serbu-fpi.

Diakses pada 10 Juli 2017

Partogi, Jacksen. https://id.scribd.com/doc/89205342/Pemikiran-Gayatri-

Spivak-Tentang-Subaltern-Dan-Refleksinya-Pada-Kasus-Diskriminasi-

Terhadap-Bangsa-Moro-Di-Filipina. diakses pada 17 April 2017

Republika Newsroom. ‚Perlu Deradikalisasi Pemahaman Islam di Ponpes.‛

Jumat, 6 Februari 2009. http://www.republika.co.id/berita/dunia-

islam/islam-nusantara/09/02/06/2987.

Santosa, M. Budi. https://news.okezone.com/read/2008/06/03/1/115282/siaga-

hadapi-fpi-santri-habib-saggaf-dibekali-doa-antipeluru. Diakses pada 10

Juli 2017

Sulis, Muhammad Ihsan. https://www.kompasiana.com/ihsanaceh/biografi-

habib-saggaf-bin-mahdi-bin-syekh-abu-bakar-bin-salim-ramadhan-

menulis-9_552b0c5c6ea834411b552cf9. Diakses pada 10 September

2017

Page 153: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

136

Ulwan, M. Nashihul. http://www.portal-statistik.com/2014/02/teknik-

pengambilan-sampel-dengan-metode.html 22 Mei 2016

van/fay. https://news.detik.com/berita/d-1413707/pemerintah-as-didesak-

gagalkan-aksi-bakar-al-quran-di-florida, diakses pada 1 September 2017

Wahid, Abdurrahman. Pondok Pesantren: Dari Masa Lalu ke Masa Depan. https://santri.or.id/pondok-pesantren-dari-masa-lalu-ke-masa-depan/.

Diakses pada 5 April 2016

www.bnpt.go.id

Yunita, Niken Widya. Sidik Jari Santri, Kalla Soroti Sikap Sensitif Tanpa

Alasan. detikNews. Rabu, 7 Desember 2005.

http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/07/

time/132014/idnews/493843/idkanal/10.

Youtube (Eagle Documentary): Selaras Di Bawah Atap Pesantren (METRO TV) Pesantren Nurul Iman Ciseeng Bogor. Di akses pada 6 Juni 2017.

Zal. http://www.buntetpesantren.org/2008/06/habib-segaf-negara-teracam.html.

Dikases pada 10 Juli 2017.

Page 154: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

137

GLOSARIUM

Akhla>q al-Kari>mah : Perilaku yang baik dan mulia.

Budha Tzuchi : Sebuah Yayasan Kemanusian yang diprakarsai

oleh seorang biksu asal Taiwan yang bernam

Master Cheng Yen.

Dekadensi Nilai : Penurunan dan kemeorosotan nilai-nilai sosial

budaya dan nilai-nilai keagamaan di era

globalisasi.

Desain : Rancangan

Deradikalisasi : Proses atau upaya untuk menghilangkan

radikalisme.

Ekstrakurikuler : Kegiatan non-pelajaran formal yang dilakukan

peserta didik, umumnya diluar jam belajar

kurikulum standar. Kegiatan ekstrakurikuler ini

bertujuan agar dapat mengembangkan

kepribadian, bakat, dan kemampuanya di

berbagai bidang di luar bidang akademik.

Gandhi Sevaloka : Sebuah Yayasan yang menghimpun orang-orang

Hindu.

Globalisasi : Integrasi internasonal karena terbukanya arus

pemikiran, sosial budaya, ideologi, agama,

produk industri, dan lain sebagainya dari

masyarakat global.

Hak Asasi Manusia : Hak yang dilindungi secara internasional (yaitu

deklarasi PBB Declaration of Human Rights),

seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak

untuk memiliki, hak untuk mengeluarkan

pendapat;

Implementasi : Pelaksanaan atau penerapan ke ranah praktis.

Inklusif : Sikap keberagamaan yang mempunyai pandangan

bahwa diluar agama yang dianutnya mempunyai

kebenaran, meskipun tidak sepenuhnya tidak

seperti kebenaran yang dianutnya. Selain itu,

dapat dimaknai sebagai berpikir terbuka. Artinya,

berpikir melebihi batas-batas disiplin ilmu

tertentu (multidisiplineris, transdisiplineris),

berpikir realistis, logis, ekologis, merdeka dan

historis.

Integrasi : Adanya keterpaduan, penyatuan/penggabungan.

Page 155: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

138

Kearifan Lokal : Bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak

dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu

sendiri. Biasanya diwariskan secara turun

temurun dari satu generasi ke generasi melalui

cerita mulut ke mulut.

Keberagamaan : Ekspresi lahiriah dalam bentuk perilaku maupun

pemahaman dan keyakinan orang yang beragama

yang merupakan respon atas ajaran agama.

Kemajemukan : Adanya dua sampai tiga hal atau lebih. Arti ini

menunjukkan banyak. Dalam bahasa Inggris

disebut plurality.

Komprehensif : Menyeluruh.

Kurikulum : Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu.

Keadilan Sosial : Kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang

bersatu secara organis sehingga setiap anggota

masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan

nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada

kemampuan aslinya;

Multikulturalisme : Faham atau pandangan yang menekankan untuk

mengakui dan menghargai perbedaan dan

kemajemukan budaya, agama, ras, tradisi, bahasa,

idiologi, suku, aliran kepercyaan, aliran politik,

status sosial, dan keyakinan.

Nasionalisme : Rasa cinta tanah air.

Parung : Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor Jawa

Barat.

Pendidikan Multikultural : Program pendidikan yang berupaya

mengembangkan nilai-nilai multikultural pada

anak didik. Pendidikan ini berupaya mengakui

perbedaan dan kemajemukan dan menanamkan

toleransi, demokrasi, memberikan keadilan

pendidikan tanpa ada diskriminasi,

memberdayakan semua potensi anak didik serta

mengembangkan keberagaman sesuai dengan

keyakinan masing-masing anak didik.

Pendidikan Diniyyah : Program pendidikan yang materi ajarnya

bersumber dari kitab-kitab klasik atau yang biasa

disebut dengan kitab kuning (kitab gundul).

Pendidikan Padat Karya : Program Pendidikan yang mengajarkan

Page 156: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

139

kemampuan berkarya atau menjurus pada

keahlian dalam suatu bidang pekerjaan tertentu,

misalnya: membuat roti, menjahit, kursus

komputer.

Persamaan : Keadaan yang sama atau yang serupa dengan

yang lain; persesuaian;

Perbedaan : Adanya ketidaksamaan/keanekaragaman antara

satu dengan lainya. Dalam bahasa Inggris sering

disebut diversity. Radikalisme : Paham atau aliran yang menginginkan perubahan

atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara

kekerasan atau drastis

RPP : Merupakan singkatan dari Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran, rencana kegiatan pembelajaran

tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP

dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan

kegiatan pembelajaran peserta didik sebagai

upaya untuk mencapai kompetensi dasar.

Santri : Anak didik yang berada dilingkungan dan terikat

dengan pesantren.

Silabus : Rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata

pelajaran /tema tertentu yang meliputi standar

kompetensi, kompetensi dasar, materi inti,

kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian

(evaluasi), alokasi waktu, dan bahan/sumber/alat

ajar.

Sunnatullah : Hukum alam.

Terorisme : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan

ketakutan dalam usaha mencapai tujuan

(terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;

Toleransi : Kesadaran untuk menghargai, menghormati atas

segala perbedaan dan kemajemukan, baik yang

berupa pendirian, pendapat, pandangan,

keyakinan, tradisi, budaya, dan agama yang

berbeda.

Transformasi : Perubahan dari kerangka acuan (keyakinan,

pemahaman, pandangan, idiologi) menjadi

tindakan nyata.

UNESCO : Singkatan dari United Nations Educational

Scientific and Cultural Organization.

Unsur-Unsur Pendidikan : Seluruh komponen di dalam dunia kependidikan,

seperti: staf pendidik, staf administrasi dan

semua karyawan sekolah, kurikulum, sarana dan

prasarana, anak didik, guru, media belajar, ruang

Page 157: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

140

belajar, dan yang lainya yang berhubungan

dengan pendidikan.

Wajib Militer : Program pendidikan kedisiplinan dan wawasan

kebangsaan.

Page 158: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

141

DAFTAR INDEKS

A

Adab · 90, 105

Adat Istiadat · 2, 13

Agama · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 20,

21, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 31, 34,

35, 36, 37, 38, 40, 44, 45, 47, 48,

49, 50, 52, 55, 56, 57, 58, 60, 62,

65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,

74, 78, 79, 80, 84, 88, 89, 90, 91,

93, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103,

105, 115, 116, 117, 118

Akhlak · 61, 74, 91, 105

Al-Ashriyyah Nurul Iman · 1, 9, 10,

11, 17, 18, 52, 53, 54, 55, 56, 57,

58, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 70,

71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80,

81, 83, 84, 85, 86, 91, 93, 99, 101,

102, 103, 104, 105, 106, 108, 110,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 118,

119, 120, 128

Al-Ghazali · 89, 120

Al-Hadith · 89

Aliran Kepercayaan · 2, 10, 71, 89,

118

Al-Khauly · 87, 120

Al-Qur’an · 57, 59, 67, 68, 71, 72, 73,

79, 83, 88, 89, 90, 91, 92, 96, 97,

99, 101, 102, 104, 105, 109, 120,

124

B

Budaya · 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 12, 13, 14,

15, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,

31, 33, 34, 35, 37, 40, 41, 42, 43,

47, 50, 52, 54, 58, 69, 72, 78, 85,

86, 93, 98, 102, 107, 109, 110, 112,

116, 117

Budha · 2, 9, 21, 22, 24, 52, 54, 70,

71, 93, 116

Budha Tzuchi · 9, 70, 93, 116

D

Demokratis · 1, 3, 32, 34, 37, 83, 86,

115

Deradikalisasi · 1, 4, 6, 10, 11, 14,

20, 44, 46, 47, 48, 83, 98, 99, 118

Diskriminasi · 3, 5, 25, 30, 33, 37, 80,

84, 103, 116, 118

E

Ekstrakurikuler · 78, 94, 108

Etika · 26

G

Gandhi Sevaloka · 9, 54, 70, 116

Globalisasi · 2, 25, 28, 29, 55, 57, 85,

104

Guru · 20, 60, 104, 105, 112

H

H.A.R. Tilaar · 23, 24, 25, 26, 27, 28,

43, 44

Hak Asasi Manusia · 3, 27, 31, 34,

41, 85

Harmonis · 9, 25, 40, 55, 60, 67, 69,

71, 102

Hindu · 2, 9, 20, 21, 22, 24, 54, 60,

116

Humanis · 1, 38, 48, 50, 54, 83

Page 159: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

142

I

Ibnu Khaldun · 90

Ibnu Sina · 90, 91

Ilmuan Muslim · 89, 91

Imigran · 8, 12, 29, 32

Indonesia · 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 13,

21, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 34, 36,

44, 45, 47, 48, 49, 50, 53, 54, 55,

59, 66, 69, 73, 74, 76, 78, 81, 85,

87, 91, 97, 98, 99, 102, 103, 106,

107, 109, 110, 111, 116, 119, 121,

122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,

129

J

James Bank · 1, 7, 112

Jiha>D · 6, 102, 103, 104

K

Keadilan · 1, 10, 12, 26, 36, 37, 41,

65, 83, 102, 103, 111, 118, 125

Keamanan · 5, 11, 35, 65, 67, 100,

103

Kebijakan · 4, 25, 29, 32, 33, 40, 42,

43, 46, 56, 66, 71, 83, 115, 116,

117

Keragaman · 1, 2, 3, 7, 8, 9, 13, 21,

24, 25, 27, 30, 32, 34, 35, 36, 37,

38, 42, 87

Kesetaraan · 1, 3, 33, 41, 58, 85, 86,

108, 111, 118

Konflik · 2, 3, 7, 11, 12, 13, 20, 26,

31, 33, 44, 48, 65, 96, 99, 103

Kyai · 22, 23

M

Menyayangi · 65, 102, 103

Multikultural · 1, 3, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 18, 20, 25, 32, 34, 35,

36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 49, 52,

57, 58, 62, 65, 66, 68, 69, 76, 78,

79, 80, 83, 84, 85, 86, 91, 93, 101,

102, 103, 104, 105, 107, 109, 112,

116, 117, 118, 119, 120

Mundzier Suparta · 21, 22, 36

N

Nasionalisme · 47, 78, 111

Non-Muslim · 60, 69, 80, 83, 86, 102,

103, 104, 116

O

Otoriter · 115

P

Pendidikan · 1, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22,

30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,

40, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 50, 53,

54, 55, 57, 58, 59, 62, 65, 66, 67,

69, 71, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 93,

97, 98, 103, 104, 105, 106, 107,

109, 112, 113, 114, 115, 116, 117,

118, 119, 121, 124

Pendidikan Islam · 4, 5, 7, 20, 21, 22,

71, 88, 89, 104

Percaya Diri · 56, 72, 78, 108, 109,

110

Persamaan · 1, 26, 31, 37, 47, 85,

103, 108, 118

Pesantren · 1, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12,

14, 16, 17, 20, 21, 22, 44, 47, 49,

50, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60,

62, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72,

Page 160: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

143

73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,

82, 83, 84, 85, 86, 88, 91, 93, 99,

100, 101, 102, 104, 105, 106, 108,

110, 111, 112, 113, 114, 115, 116,

118, 119, 120, 129

R

Radikalisme · 1, 4, 5, 6, 10, 12, 14,

20, 40, 44, 45, 46, 47, 50, 80, 81,

82, 83, 86, 96, 97, 98, 99, 101, 102,

104, 118

Rekonsiliasi · 103

S

Santri · 1, 5, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17,

20, 22, 23, 44, 49, 52, 53, 54, 55,

56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,

65, 66, 67, 69, 70, 72, 73, 74, 75,

76, 78, 79, 80, 83, 84, 85, 91, 92,

93, 95, 96, 99, 100, 101, 103, 104,

106, 107, 108, 110, 111, 112, 113,

114, 115, 116, 117, 118, 120, 129

Sejahtera · 10, 39, 58, 62, 98, 103,

107

Status Sosial · 3, 8, 10, 12, 37, 41,

62, 64, 67, 71, 78, 84, 93, 102, 116,

118

Suku · 2, 6, 8, 9, 10, 13, 25, 26, 30,

31, 34, 35, 38, 47, 52, 57, 62, 67,

71, 76, 80, 84, 85, 93, 102, 109,

116, 118

T

Terorisme · 4, 5, 6, 40, 44, 46, 82, 98,

99, 102, 104, 124

Toleransi · 1, 7, 8, 10, 12, 27, 31, 50,

55, 60, 61, 62, 78, 82, 83, 87, 99,

102, 103, 105, 118

Tolong Menolong · 68, 71, 86, 103

Page 161: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

144

LAMPIRAN – LAMPIRAN

Kegiatan Baksos Kesehatan Dan Serah Terima Bantuan Beras Oleh

Yayasan Budha Tzu-Chi Di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman

Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka

Habib Saggaf Menerima Kunjungan Band

HIP HOP Remarkable Current dari

Amerika

Page 162: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

145

Kegiatan anak-anak PAUD

Kegiatan Pelatihan Menjahit dan

Kursus Bahasa

Penulis bersama para santri, pengurus, pimpinan dan pengasuh pondok

pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman

Page 163: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

146

Habib Saggaf Menerima Kunjungan

Pengusaha Etnis Tionghoa

Ummi Waheeda Menerima Kunjungan

Ibu Negara Korea Selatan

Habib Saggaf Menerima Kunjungan Presiden

Bank Dunia Paul Wolfowitz Dari Amerika

Habib Saggaf Menerima Kunjungan Tamu

Korea

Santri al-Ashriyyah Nurul Iman menghadiri

undangan Yayasan Budha Tzuchi

memperingati hari santri bersama Wakil

Presiden Jusuf Kalla

Page 164: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

147

Tabel 4.5: Aktifitas Keseharian Santri

No Hari Waktu Jenis Kegiatan

1.

Sabtu-Kamis

03.30-04.00 WIB

Qiyamul lail, Pembacaan

Aurad Harian, Persiapan

Sholat Subuh,

2. 04.00-06.00 WIB

Sholat Subuh Berjamaah,

Pembacaan Aurad Harian,

Belajar Kelompok, Tahfidz,

dan Senam Pagi

3. 06.00-07.00 WIB

Persiapan Sekolah Formal,

Sarapan Pagi, dan sholat

dhuha

4. 07.00-12.00 WIB Sekolah Formal

5. 12.00-14.00 WIB

Sholat Dzuhur Berjamaah,

Pembacaan Aurad Harian,

Belajar Kelompok,

Pemberian

Vocabulary/Mufrodat harian, Makan Siang, dan

persiapan sekolah diniyyah

6. 14.00-16.00 WIB Sekolah Diniyyah

7. 16.00-17.00 WIB

Sholat Ashar Berjamaah dan

Pembacaan Aurad Harian,

Pemberian

Vocabulary/Mufrodat harian

8. 17.00-18.00 WIB

Pendidikan Padat Karya

(Kursus), Ekstrakurikuler,

dan Belajar Kelompok

9. 18.00-20.00 WIB

Sholat Maghrib Berjamaah,

Sholat Isya’ Berjamaah,

Pembacaan Aurad Harian,

Belajar Kelompok,

Pemberian Nasehat

(disampaikan oleh Pimpinan

Pesantren/Dewan

Asatidz/Pengurus Pesantren)

dan Tahfidz

10. 20.00-21.30 WIB

Makan Malam, Pendidikan

Padat Karya (kursus),

Belajar kelompok, dan

persiapan tidur.

11. 21.30-03.30 WIB Istirahat (tidur).

Page 165: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

148

No Hari Waktu Jenis Kegiatan

12. Jum’at -

Sekolah Formal dan

Diniyyah Libur.

Begitupun percakapan

dengan bahasa asing juga

libur. Di hari aktif santri

wajib berbahasa asing

(Arab, English, Mandarin,

Jepang).

Setelah Sholat Subuh

Berjamaah ada kegiatan

‚JUMSIH‛ (Jum’at

Bersih) untuk

mengajarkan santri

bersikap bersih dan

terhindar dari berbagai

penyakit.

Adapun Kegiatan

WAMIL (Wajib Militer)

biasanya juga

dilaksanakan di hari

Jum’at, Sabtu dan

Minggu secara bergantian

sesuai dengan kelompok

santri.

Hari libur ini, biasanya

juga dimanfaatkan oleh

santri untuk berkumpul

dengan organisasi-

organisasi yang mereka

geluti guna melatih jiwa

leadership mereka.

Kegiatan Ibadah (Sholat

Berjamaah, Pembacaan

Aurad berjalan

sebagaimana hari-hari

aktif).

Selain itu, di malam

jum’at (kamis malam)

santri bersama-bersama

mengikuti pembacaan

maulid Nabi Besar

Muhammad Saw.

Page 166: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

149

Daftar Pertanyaan Wawancara Pimpinan Pesantren, Ummi Waheeda, S.Psi.

M.Si.

1. Apa visi visi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman? Apakah

mengusung pendidikan multikultural?

2. Bagaimana pemahaman pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman terhadap

konsep dan implementasi pendidikan multikultural? Bentuknya seperti apa?

3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan

pendidikan multikultural?

4. Apakah kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren ini menumbuhkan

segala potensi yang dimiliki santri?

5. Kebijakan apa saja yang dilakukan pesantren untuk melestarikan pendidikan

multikultural?

6. Budaya-budaya apa saja yang dibangun pesantren untuk mendukung

implementasi pendidikan multikultural?

7. Bagaimana strategi pondok pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman agar para

santri dari masing-masing daerah percaya diri, bangga dan faham dengan

budaya masing-masing, kemudian dengan kebangganya tersebut tidak timbul

gesekan (konflik) antar santri karena perbedaan latar belakang daerah, suku,

bahasa, watak dan lain sebagainya?

8. Bagaimana hubungan pesantren dengan non-Muslim? Apakah santri pernah

terlibat dalam kegiatan bersama-sama dengan non-muslim? Baik kegiatan

keagamaan maupun kegiatan sosial?

9. Apakah pesan Abah dalam lima wasiat abah “kasihilah semua mahluk”

merupakan wujud dari pendidikan multikultural?

10. Apakah pendidikan multikultural dapat menjadi pilihan alternatif dari

program deradikalisasi?

11. Bagaimana pandangan Ummi terkait adanya pesantren yang terindikasi

radikal dan mengajarkan benih-benih radikalisme terorisme? Menurut data

BNPT ada sekitar 19 pesantren.

12. Langkah Apa saja yang telah ditempuh pesantren sebagai upaya pencegahan

terhadap santri agar tidak bersikap radikal dan teror?

13. Bagaimana pandangan pesantren nurul iman tentang jihad? Misalnya dalam

kasus Muslim Rohingnya yang tertindas atau Palestina? Apakah santri Nurul

Iman boleh berangkat ke sana untuk ikut berperang melawan kekejaman yang

terjadi?

Daftar Pertanyaan Wawancara Santri

1. Apa yang melatarbelakangi anda memilih pondok pesantren ini sebagai

tempat mencari ilmu?

2. Di pesantren ini apakah anda diajarkan tentang nilai-nilai multikultural?jika

iya, bentuknya seperti apa?

3. Pernahkah anda mengalami konflik dengan teman yang berlatar belakang

suku yang berbeda? Bagaimana anda meyelesaikanya?

4. Bagaimana sikap anda terhadap orang yang berbeda latar belakang dengan

anda? Misalnya beda agama, suku, ras, umur, maupun status sosial?

Page 167: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

150

5. Apakah anda mengerti tentang radikalisme? Jika iya, bagaimana anda

menyikapinya?

6. Apakah anda pernah terlibat kegiatan (misalnya menghadiri acara

keagamaan, atau acara sosial) yang berbaur dengan orang non-muslim?

7. Bagaimana sikap anda terhadap ISIS dan Teororis?

8. Apakah di pesantren ini anda diajarkan untuk percaya diri dan cinta terhadap

budaya anda? Bagaimana anda mengekspresikanya?

9. Bagaimana anda memahami materi yang ada dalam kitab kuning agar

bersikap inklusif?

10. Bagaimana anda memahami cara berdakwah?

Daftar Pertanyaan Wawancara Alumni 1. Apa yang anda kerjakan setelah menjadi alumni?

2. Ormas apa yang anda ikuti? Kenapa alasanya?

3. Adakah koordinasi ataupun konsolidasi antar alumni? Bentuknya seperti apa?

4. Bagaimana anda memandang isu SARA?

5. Sejauh mana peran alumni dalam membendung isu SARA dan Radikalisme?

6. Sejauh ini apakah ada alumni nurul iman yang terindikasi radikal?

7. Bagaimana peta persebaran alumni nurul iman melanjutkan perjuangan

pendidikan multikultural di seluruh daerah Indonesia?

Daftar Pertanyaan Wawancara Guru dan Pengurus

1. Bagaimana perlakuan pesantren terhadap santri yang memiliki latar belakang

yang beragam, baik suku, ras, dan status sosial?

2. Apa saja strategi yang dilakukan pesantren agar pengurus dan pengajar tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai multicultural?

3. Bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dengan kajian kitab

kuning sebagai upaya pencegahan radikalisme?

4. Bagaimana anda mengelaborasi nilai-nilai multikultural dalam sebuah

kebijakan peraturan atau ketika mengajarkan sesuatu mata pelajaran?

5. Bagimana anda mengelaborasikan mata pelajaran yang anda ampu dengan

nilai-nilai multikultural?

6. Bagaimana pandangan anda tentang pembentukan Negara khilafah misalnya

yang sering dikampanyekan oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan ISIS?

Page 168: PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL SEBAGAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Sayyiduna Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim (almarhum)

151

BIODATA PENULIS

Ihwanul Muadib, merupakan anak pertama

dari tiga saudara dari pasangan Bapak Masruhan dan

Ibu Siti Rofi’ah. Dilahirkan pada 14 September 1989

di sebuah desa dekat dengan Makam Ki Ageng Selo

(Syekh Abdurrahman) yang merupakan Guru Para

Raja Jawa Kerajaan Mataram, yang terletak di

Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Merantau ke

Jakarta untuk menimba ilmu guna membangun

peradaban desa dimana penulis dilahirkan. Selain

kuliah penulis memiliki rutinitas mengais rahmat

ilahi untuk mandiri dan berdikari menyediakan jasa

percetakan.

Memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di Madrasah Ibtidaiyyah

Miftahul Ulum Pojok II. Kemudian pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan

menengah pertama di Madrasah Tsanawiyyah Al-Hikmah Pulokulon. Pada tahun

2004 melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pulokulon. Di sela-

sela aktifitas pendidikan formal penulis menempuh pendidikan diniyyah ula> hingga

wust}a> sekaligus menjadi santri kalong di sekitar kampung dimana penulis

dilahirkan. Tahun 2007 penulis memantapkan hati untuk ngangsu kaweruh di

sebuah pondok pesantren asuhan salah seorang keturunan Rasulullah Saw. yakni

Habib Saggaf bin Mahdi. Sebuah pondok pesantren yang sederhana namun mampu

menampung ribuan santri secara gratis, baik biaya pendidikan maupun biaya hidup.

Terletak di Ds. Waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Tahun 2011 penulis dinyatakan lulus dan mendapat gelar S.Pd.I di

bidangan pendidikan bahasa arab dari Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman

(STAINI) Parung Bogor. Usai lulus, penulis menjadi tenaga pendidik (guru) dan

tenaga kependidikan (Ka. Bag TU) di SMA al-Ashriyyah Nurul Iman sampai tahun

2014. Pada tahun 2015, melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan pengkajian Islam dengan konsentrasi

pendidikan Islam. Selama menjadi mahasiswa penulis telah melahirkan artikel

meluruskan pemahaman keutamaan membaca al-Qur’an yang dimuat di Buletin

Lazis Cendana Residence dan Tafsir Surat Yusuf: Ngaji Tafsir Bersama Habib Saggaf. Menjadi sangat membanggakan apabila karya tulis ini mampu menggugah

kreativitas dan inovasi para pemerhati pendidikan terutama terkait upaya kontra

radikalisme dan rekonsiliasi konflik. Harapan kedepan, seluruh elemen pendidikan

agar mampu bersinergi untuk mewujudkan segala cita-cita pendidikan Indonesia.