pendidikan anak tuna rungu
TRANSCRIPT
Pendidikan Anak Tuna Rungu
BAB I
PENDAHULUAN
Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab
orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka
berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau
bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan
dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41
dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan
Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli
Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang
berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar
sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat
itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati,
dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam
kehidupan sehari-hari.
Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat
berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan,
sedang, berat sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua
kelompok.
Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar
pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain
melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.
Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan
pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan
orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :
Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima
rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat
dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan
sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan
pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat
bantu mendengar.
Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara
nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang
mendengar dikatakan sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).
Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka
dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan
pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal
ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang
dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap
memerlukan pelayanan khsusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan
anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat
menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu
mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di
dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas
inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki
guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping
tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama
dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.
4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan
prinsip kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi
bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan
terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan.
Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan
khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya.
Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan
untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap
informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari
mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga
tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan
benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas
kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas
secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-
kaidah percakapan.
1. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal
reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan.
Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau
conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation
(Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk
mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara
yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru
(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk
mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap
menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap
(anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan,
imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada
awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau
gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang
kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak
menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan
sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna
dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk
tulisan yang kemudian dibacanya.
Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang
ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca
merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu
menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan
konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang
pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan
demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung
secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti
teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu,
prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas
regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang
tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang
diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan
selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan,
karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak
akan bermanfaat.
B. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam
berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya.
Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak
tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak
dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari
pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika
sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan
kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya
yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan
sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu
yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini
merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak
memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan
bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang
disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan
bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak
tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat
diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.
Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau
kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai
dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu
adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan
melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga
ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan
pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju
kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih
menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum
yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing
peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh
menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada
program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan
keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya
merajut jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan
sebagainya.
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan,
sablon, mengukir atau membatik.
Sarana Pendidikan
C. Alat Pendidikan Khusus
Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu
khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama
masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.
Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak
tunarungu antara lain:
1) Audiometer
Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan
audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa
pendengaran anak.
2) Alat bantu mendengar (hearing aid)
Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan
(group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-
latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.
3) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah
cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang
kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan,
vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.
4) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan
mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih
mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya.
Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
Alat Peraga
Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat
peraga tradisional seperti:
1) Miniatur binatang-binatang
2) Miniatur manusia
3) Gambar-gambar yang relevan
4) Buku perpustakaan yang bergambar
5) Alat-alat permainan anak
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata
pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat
keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :
1) Alat pertukangan
2) Alat pertanian
3) Alat perbengkelan
4) Alat tenun
5) Alat masak memasak
6) Alat jahit menjahit
7) Alat salon kecantikan
8) Alat potong rambut (barber shop)
9) Komputer
BAB III
KESIMPULAN
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan
dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41
dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan
Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan
anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1) Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup
2) Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus
3) Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu
4) Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran
5) Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus
6) Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif
Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak
tunarungu antara lain:
1) Audiometer
2) Alat bantu mendengar (hearing aid)
3) Alat bantu wicara (speech trainer)
4) Cermin
DAFTAR PUSTAKA
Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi
Rama, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak
Tunarungu, Jakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi
Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan
Karya Bakti, Wonosobo
Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu,
Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta