pendidikan anak tuna rungu

14
Pendidikan Anak Tuna Rungu BAB I PENDAHULUAN Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari. Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan,

Upload: nie-ntu-enie

Post on 12-Feb-2015

83 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan Anak Tuna Rungu

Pendidikan Anak Tuna Rungu

BAB I

PENDAHULUAN

 

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab

orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka

berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau

bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan

dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41

dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan

Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli

Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang

berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar

sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat

itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati,

dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam

kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat

berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan,

sedang, berat sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua

kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar

pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain

melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan

pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan

orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :

Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima

rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat

dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan

Page 2: Pendidikan Anak Tuna Rungu

sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan

pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat

bantu mendengar.

Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara

nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang

mendengar dikatakan sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).

Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka

dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan

pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal

ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang

dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap

memerlukan pelayanan khsusus.

Page 3: Pendidikan Anak Tuna Rungu

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan

anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:

1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu

dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat

menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu

berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu

mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di

dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas

inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.

2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki

guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping

tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama

dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.

3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat

mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang

diberikan dapat dipahami dengan mudah.

4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu

seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan

prinsip kekonkritan.

5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak

berkebutuhan khusus.

6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi

bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan

terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan.

Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan

khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).

Page 4: Pendidikan Anak Tuna Rungu

Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya.

Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan

untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap

informasi.

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari

mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga

tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan

benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas

kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas

secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-

kaidah percakapan.

1. Kegiatan Percakapan

Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal

reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan.

Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau

conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation

(Uden, 1977).

Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk

mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara

yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru

(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk

mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap

menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap

(anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan,

imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.

Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada

awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau

gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang

kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak

menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan

sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna

Page 5: Pendidikan Anak Tuna Rungu

dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk

tulisan yang kemudian dibacanya.

Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang

ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca

merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu

menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan

konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang

pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan

demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung

secara serempak.

Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti

teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu,

prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas

regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung.

Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang

tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang

diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke

dalam substansi materi yang akan diberikan.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan

selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan,

karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak

akan bermanfaat.

B.     Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam

berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya.

Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak

tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak

dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari

pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika

sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan

kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya

yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan

Page 6: Pendidikan Anak Tuna Rungu

sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu

yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini

merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak

memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan

bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang

disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan

bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak

tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat

diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.

Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau

kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai

dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu

adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan

melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga

ke pengetahuan umum.

Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan

pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju

kecakapan hidup.

Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih

menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum

yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing

peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh

menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada

program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan

keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:

1.      Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain

pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya

merajut jaring, jala dan sebagainya;

2.      Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat

menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan

sebagainya.

Page 7: Pendidikan Anak Tuna Rungu

3.      Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan,

sablon, mengukir atau membatik.

Sarana Pendidikan

C.     Alat Pendidikan Khusus

Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu

khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama

masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak

tunarungu antara lain:

1)      Audiometer

Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan

audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa

pendengaran anak.

2)      Alat bantu mendengar (hearing aid)

Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan

(group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-

latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

3)      Cermin

Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah

cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang

kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan,

vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.

4)      Alat bantu wicara (speech trainer)

Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan

mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih

mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya.

Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.

 Alat Peraga

Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat

peraga tradisional seperti:

1)      Miniatur binatang-binatang

2)      Miniatur manusia

3)      Gambar-gambar yang relevan

Page 8: Pendidikan Anak Tuna Rungu

4)      Buku perpustakaan yang bergambar

5)      Alat-alat permainan anak

Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata

pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat

keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :

1)      Alat pertukangan

2)      Alat pertanian

3)      Alat perbengkelan

4)      Alat tenun

5)      Alat masak memasak

6)      Alat jahit menjahit

7)      Alat salon kecantikan

8)      Alat potong rambut (barber shop)

9)      Komputer

Page 9: Pendidikan Anak Tuna Rungu

BAB III

KESIMPULAN

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan

dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41

dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan

Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan

anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:

1)      Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup

2)      Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus

3)      Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu

4)      Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran

5)      Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus

6)      Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak

tunarungu antara lain:

1)      Audiometer

2)      Alat bantu mendengar (hearing aid)

3)      Alat bantu wicara (speech trainer)

4)      Cermin

Page 10: Pendidikan Anak Tuna Rungu

DAFTAR PUSTAKA

Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi

Rama, Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak

Tunarungu, Jakarta

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi

Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta

Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan

Karya Bakti, Wonosobo

Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu,

Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta