abstrak - digilib.its.ac.id · cara pemahaman bahasa pada anak tuna rungu berbeda dengan cara...

14
Desain bahasa gambar untuk anak tuna rungu Dany A.B. Utono Jurusan Desain Produk Industri ,FTSP ITS. Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111. Telp/Fax (031) 5931147 ABSTRAK Cara pemahaman bahasa pada anak tuna rungu berbeda dengan cara pemahaman pada anak normal. Perbendaharaan kata dalam bahasa tidak dapat dijelaskan melalui pembelajaran secara audio karena ketidakmampuan tuna rungu dalam mendengar. Salah satu cara pembelajaran bahasa pada anak tuna rungu adalah dengan memaksimalkan indra penglihatan sebagai alat dalam menerima rangsangan informasi bahasa, dan penggunaan bahasa isyarat sebagai cara melatih komunikasi bahasanya. Rangsangan informasi tersebut berupa visualiasi kata-kata ke dalam bentuk gambar-gambar sebagai pengganti cara-cara audio pada anak normal. ABSTRACT Way of understanding the language in deaf children different ways of understanding in normal children. Vocabulary in language learning can not be explained through the audio because of the inability of the deaf to hear. One way of learning the language of the deaf child is to maximize the sense of sight as a tool in receiving stimulus language information, and use sign language as a way to train the language of communication. Stimulus information in the form of visualization of words into the form of images in lieu of the ways the audio in normal children KATA KUNCI Tuna rungu, bahasa isyarat, visual PENDAHULUAN Ciri utama anak tuna rungu dalam belajar bahasa adalah dengan membiasakan anak dalam memahami bentuk makna kata. Makna kata jika pada anak normal dapat kita beri pengertiannya dengan menjelaskan artian dari kata tersebut secara audio, atau melalui cara berbicara dan mendengar secara terus menerus hingga anak memahami secara pasti makna kata tersebut. Namun hal ini akan berbeda caranya jika diterapkan pada anak tuna rungu yang memiliki gangguan atau hambatan pada indra

Upload: trandang

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Desain bahasa gambar untuk anak tuna rungu Dany A.B. Utono 

Jurusan Desain Produk Industri ,FTSP ITS.

Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111. Telp/Fax (031) 5931147

ABSTRAK

Cara pemahaman bahasa pada anak tuna rungu berbeda dengan cara pemahaman pada anak

normal. Perbendaharaan kata dalam bahasa tidak dapat dijelaskan melalui pembelajaran

secara audio karena ketidakmampuan tuna rungu dalam mendengar. Salah satu cara

pembelajaran bahasa pada anak tuna rungu adalah dengan memaksimalkan indra penglihatan

sebagai alat dalam menerima rangsangan informasi bahasa, dan penggunaan bahasa isyarat

sebagai cara melatih komunikasi bahasanya. Rangsangan informasi tersebut berupa visualiasi

kata-kata ke dalam bentuk gambar-gambar sebagai pengganti cara-cara audio pada anak

normal.

ABSTRACT

Way of understanding the language in deaf children different ways of understanding in normal

children. Vocabulary in language learning can not be explained through the audio because of

the inability of the deaf to hear. One way of learning the language of the deaf child is to

maximize the sense of sight as a tool in receiving stimulus language information, and use sign

language as a way to train the language of communication. Stimulus information in the form of

visualization of words into the form of images in lieu of the ways the audio in normal children

KATA KUNCI Tuna rungu, bahasa isyarat, visual

PENDAHULUAN Ciri utama anak tuna rungu dalam belajar bahasa adalah dengan membiasakan anak

dalam memahami bentuk makna kata. Makna kata jika pada anak normal dapat kita

beri pengertiannya dengan menjelaskan artian dari kata tersebut secara audio, atau

melalui cara berbicara dan mendengar secara terus menerus hingga anak memahami

secara pasti makna kata tersebut. Namun hal ini akan berbeda caranya jika

diterapkan pada anak tuna rungu yang memiliki gangguan atau hambatan pada indra

pendengaran mereka. Secara alami, anak tuna rungu akan berusaha memaksimalkan

sisa indra pada tubuh mereka yang masih berfungsi secara maksimal untuk dapat

menerima respon dari luar tubuh mereka, salah satu bentuk rangsangan adalah

berupa informasi bahasa yang dapat mereka terima dengan indra penglihatan

mereka.

Tujuan Makalah ini mencoba mengangkat permasalahan cara-cara anak tuna rungu dalam

memahami bahasa. Bagaimana mengatasi permasalahan anak tuna rungu dalam

menambah perbendaharaan kata yang tidak dapat diatasi dengan cara-cara yang

umumnya dilakukan pada anak normal. Serta cara-cara penyampaian bahasa ke

dalam bentuk gambar, bagaimana desain gambar yang tepat untuk disampaikan

kepada anak tuna rungu dengan tidak mengurangi makna bahasa yang ingin diartikan

dalam bentuk gambar. Pendekatan desain yang digunakan adalah dengan

menggunakan karakteristik anak dalam mengenali bentukan visual dan dasar-dasar

desain komunikasi visual.

Masalah Masalah yang diangkat adalah : Bagaimana mengartikan bahasa kata tulisan ke

dalam bentuk bahasa gambar? Lalu bagaimana bentukan visual tepat yang

disesuaikan dengan usia anak tuna rungu?

Pembahasan Penguasaan bahasa sangat penting bagi seorang individu untuk dapat menguasai

ilmu pengetahuan yang ingin diperolehnya selain sebagai alat utama dalam

berkomunikasi. Namun hingga saat ini pengertian teori mengenai bahasa belum ada

yang baku, banyak pendapat mengenai teori bahasa yang berbeda-beda bergantung

pada latar belakang keilmuan yang dirumuskan oleh para ilmuwan. Menuru ilmu

linguistik, sebagai ibunya bahasa, definisi bahasa adalah “ a system of communication

by symbols, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of

certain group or community, using vocal symbols processing arbitrary conventional

meanings.” 1 Sedang menurut pada ahli antropologi, “Sandi konseptual sistem

pengetahuan, yang memberikan kesanggupan kepada penutur-penuturnya guna

menghasilkan dan memahami ujaran.2

Jika kita merujuk pada definisi bahasa di atas, maka penggunaan bahasa hanya

dapat dilakukan jika organ pendengaran dan berbicara kita berfungsi, sehingga

informasi yang berupa simbol sandi konseptual secara vokal dapat tersampaiakn

kepada penerima pesan. Bahasa juga terbatas penggunaan pada suatu komunitas

dimana bahasa tersebut diangkat untuk disetujui dan dipahami bersama

pengertiannya. Karena itulah kita mengenal perbedaan bahasa bergantung pada tiap

kebudayaan atau kelompok manusia yang menggunakannya. Bahasa dapat bersifat

arbitrer atau mana suka, asalkan makna kata tersebut dapat diterima secara

komunitas dan disetujui sebagai bentuk bahasa.

Namun syarat bahasa ternyata tidak hanya terbatas pada penggunaan organ

pendengaran dan bicara saja, jauh sebelum bahasa lisan terbentuk manusia telah

mengenal bentuk bahasa lain, yakni bahasa tubuh dimana komunikasi menggunakan

alat gerak tubuh untuk membentuk simbol tertentu yang membentuk makna tertentu.

Penggunaan bahasa tubuh tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk bahasa isyarat

sebagai bentuk komunikasi kaum tuna rungu. Kaum tuna rungu tidak mampu

memanfaatkan alat bicara mereka sehingga mereka akan menggunakan alat gerak

tubuh yang lain untuk mengekspresikan maksud mereka, dan penerima akan

menerima simbol-simbol tubuh tersebut sebagai sebuah pesan. Bahasa isyarat

merupakan alat komunikasi utama pada kaum tuna rungu dimana ciri bahasa tersebut

memanfaatkan indra penglihatan dan alat gerak tubuh.

Gambar 1. Bahasa Isyarat huruf.Sumber : Kamus SIBI                                                             1 Alwasilah, A.Chaedar.1990. Linguistik. Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa. Hlm. 82. 2  Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga. Hlm. 79. 

Bahasa isyarat berkembang dan memiliki karakteristik yang berlainan pada

tiap negara. Di Indonesia, bahasa isyarat yang telah diberlakukan secara nasional

adalah SIBI atau Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia

dikembangkan menurut kaidah-kaidah pengembangan sistem yang isyarat yang

merupakan salah satu kriteria untuk membuat sistem isyarat yang tepat guna bagi

pelajar tuna rungu, yaitu3 :

‐ Sistem isyarat harus secara akurat dan konsisten mewakili tata bahasa/

sintaksis bahasa indonesia yang paling banyak digunakan oleh masyarakat

indonesia.

‐ Tiap isyarat dalam sistem yang disusun harus mewakili satu kata dasar yang

berdiri sendiri atau tanpa imbuhan, tanpa menutup kemungkinan adanya

beberapa perkecualian bagi dikembangkannya isyarat yang mewakili satu

makna.

‐ Sistem isyarat yang disusun harus mencerminkan situasi sosial, budaya, dan

ekologi bangsa indonesia.

‐ Sistem isyarat harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan

kejiwaan siswa.

‐ Sistem isyarat harus disesuaikan dengan perkembangan bahasa siswa,

termasuk metodologi pengajaran.

‐ Sistem isyarat harus memperhatikan isyarat yang sudah ada dan banyak

dipergunakan oleh kaum tuna rungu.

‐ Sistem isyarat harus mudah dipelajari dan digunakan oleh siswa, guru, orang

tua siswa, dan masyarakat.

‐ Isyarat dirancang harus memiliki kelayakan dalam wujud dan maknanya.

Artinya wujud isyarat harus secara visual memilliki unsur pembeda makna

yang jelas, tetapi sederhana dan indah/ menunjukkan sifat yang luwes

(memiliki kemungkinan untuk dikembangkan), jelas dan mantap (tidak

berubah-ubah artinya).

Berdasar pada ciri-ciri kaum tuna rungu dalam berkomunikasi, yakni menggunakan

bahasa isyarat. Maka dapat kita simpulkan bahwa cara utama kaum tuna rungu dalam

memahami makna bahasa adalah dengan memahami hal-hal yang mereka lihat.

Seringnya mereka terbiasa melihat bentuk simbol isyarat secara berulang akan

membentuk makna bahasa dalam diri mereka dan jika simbol tersebut digunakan

dalam satu komunitas kaum tuna rungu yang sama maka hal itu sudah menjadi

bentuk bahasa. Perbedaan bentuk makna bahasa pada orang normal ternyata juga

                                                            3 Kamus SIBI

terjadi pada kaum tuna rungu. Antara komunitas kaum tuna rungu satu dengan kaum

tuna rungu lainnya juga terjadi perbedaan istilah dalam penggunaan bahasa isyarat,

hal ini terjadi karena adanya perbedaan budaya dimana tuna rungu tersebut tinggal.

Proses pemahaman bahasa bagi tuna rungu harus dimulai sejak dini. Peran orang

tua sangat besar pengaruhnya terhadap proses perkembangan bahasa bagi anak

tuna rungu. Menurut Dr.Endang Purbaningrum M.Kes. “ Masih banyak penyandang

tuna rungu di Indonesia yang tidak diintervensi bahasa oleh orang tua sejak dini,

kebanyakan orang tua tidak memahami kondisi anaknya yang tuna rungu.”4 Minimnya

pengetahuan orang tua terhadap kondisi tuna rungu mengakibatkan tuna rungu

terlambat dalam mendalami bahasa.

Simbol-simbol visual yang akan dijadikan referensi untuk diajarkan pada anak tuna

rungu harus disesuaikan dengan ciri budaya dimana anak tuna rungu tersebut tinggal.

Penggunaan gambar yang akan digunakan untuk menjelaskan makna kata juga harus

disesuaikan dengan karakteristik budaya anak tuna rungu tersebut. Hal ini

dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi anak tuna rungu dengan hal-hal yang

dilihatnya dan mereka alami di lingkungan tempat tinggalnya.

Secara garis besar unsur-unsur yang terdapat pada media visual terdiri atas garis,

bentuk, warna, dan tekstur (Azhar Arsyad, 1997:109-110).

‐ Garis, adalah kumpulan dari titik-titik. Dengan demikian terdapat banyak jenis

garis, diantaranya adalah :

Gambar 2. Macam-macam garis. Sumber visualiasi penulis

‐ Bentukan sebuah garis juga dapat menimbulkan persepsi tertentu pada

penglihatnya. Bentukan garis yang hitam tebal akan menimbulkan sifat keras

dan kuat bentukan garis yang tipis akan menimbulkan sifat lembut dan halus.

Garis putus-putus akan menimbulkan kesan bayangan atau menandakan

adanya sebuah pergerakan dari tempat semula.Garis dapat dibentuk untuk

                                                            4 Wawancara Dr.Endang Purbaningrum M.Kes., dosen jurusan pendidikan luar biasa UNESA

menunjukan ekspresi wajah manusia yang digunakan untuk menunjukan sifat-

sifat manusia.

Gambar 3. Bentukan garis dapat membentuk ekspresi

‐ Bentuk, adalah sebuah konsep simbol yang dibangun atas garis-garis

atau gabungan garis dengan konsep-konsep lainnya. Seperti pada contoh di

bawah ini : Hubungan garis-garis yang tampak pada gambar tersebut tampak

menjadi sebuah bentu yakni “mobil”.

Gambar 3. Gabungan garis membentuk simbol “mobil”. sumber visualisasi penulis

‐ Warna, digunakan untuk memberi kesan pemisahan atau penekanan,

juga untuk membangun keterpaduan, bahkan dapat mempertinggi tingkat

realisme dan menciptakan respon emosional tertentu.

Gambar 4. Warna dapat menciptakan kesan emosional. Sumber visualisasi penulis

‐ Tekstur, digunakan untuk menimbulkan kesan kasar dan halus, juga untuk

memberi penekanan seperti halnya warna.

Simbol pesan visual untuk pembelajaran hendaknya memiliki prinsip kesederhanaan,

keterpaduan, dan penekanan (Azhar Arsyad,1997:105-108).

‐ Kesederhanaan, secara umum ia mengacu kepada jumlah elemen yang

terkandung dalam suatu visual. Jumlah elemen yang lebih sedikit memudahkan

siswa menangkap dan memahami pesan yang disajikan visual itu. Pesan atau

informasi yang panjang atau rumit harus dibagi-bagi ke dalam beberapa bahan

visual yang mudah dipahami. Demikian pula teks yang menyertai bahan visual

harus dibatasi ( misalnya antara 15 sampai dengan 20 kata). Kata-kata harus

memakai huruf yang sederhana dengan gaya huruf yang mudah terbaca dan

tidak terlalu beragam dalam satu tampilan atau serangkaian tampilan visual.

Kalimat-kalimatnya juga harus ringkas tetapi padat dan mudah dimengerti.

‐ Penekanan, meskipun penyajian visual dirancang sesederhana mungkin,

seringkali konsep yang ingin disajikan memerlukan penekanan terhadap salah

satu unsur yang menjadi pusat perhatian siswa. Dengan menggunakan ukuran,

hubungan-hubungan, perspektif, warna, atau ruang penekanan dapat diberikan

kepada unsur terpenting.

‐ Keterpaduan, mengacu kepada hubungan yang terdapat di antara elemen-

elemen visual yang ketika diamati akan berfungsi secara bersama-sama.

Elemen-elemen itu harus saling terkait dan menyatu sebagai suatu keseluruhan

sehingga visual itu merupakan suatu bentuk menyeluruh yang dapat dikenal

yang dapat membantu pemahaman pesan dan informasi yang dikandungnya.

Elemen warna dalam visualiasis yang diterapkan pada anak tuna rungu juga dapat

mempengaruhi mood anak dalam belajar. Warna-warna yang sesuai akan mampu

menarik minat anak dan merangsang rasa ingin tahu anak menjadi tinggi.

Penyesuaian warna dilakukan dengan menggunakan warna-warna yang menjadi

warna favorit anak atau sesuai dengan psikologi warna anak. Kita dapat

menggunakan warna-warna cerah dengan kombinasi warna playful dan warna

tambahan yang disesuaikan dengan situasi dan ciri fungsi media yang diterapkan.

Gambar 5. Kombinasi warna playful

Bentuk pembelajaran bahasa yang digambarkan juga harus disesuaikan dengan level

usia anak dalam menangkap makna sebuah gambar. Level pembelajaran ini sama

halnya dengan level pembelajaran bahasa pada anak normal dimana tahapan-

tahapannya terjadi secara berurutan. Sehingga jika diperlihatkan dalam diagram level

usia tersebut dapat digambarkan seperti berikut.

Gambar 6. Skala perkembangan bahasa anak tuna rungu

Level ini digunakan untuk membentuk pola bahasa pada anak tuna rungu. Level usia

tersebut adalah :

‐ Untuk anak tuna rungu usia 0-6 tahun dapat dikenalkan terlebih dahulu

terhadap bentukan huruf dan angka sebelum beranjak kepada pengenalan

kata-kata. Bahasa isyarat huruf dan angka dapat dikenalkan pada tahap usia

ini.

Gambar 7. Isyarat angka dan isyarat huruf

‐ Selanjutnya menginjak usia 6-10 tahun pengenalan kata-kata dasar dengan

penjelasan gambar dengan ciri single picture atau gambar-gambar tunggal

yang mewakili satu kata.

Gambar 8. Gambar tunggal dengan makna kata dan isyarat tunggal.

‐ Menginjak usia 10-12 tahun, anak tuna rungu sudah dianggap mampu untuk

memahami bentukan gambar bercerita dengan penjelasan kata dalam bentuk kalimat

sederhana. Pola kalimatnya mengikuti struktur pola kalimat dalam bahasa Indonesia.

Yakni dengan struktur Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK).

Gambar 7. Gambar bercerita dengan kalimat sederhana

‐ Pada usia 12 – 16 tahun, memasuki masa remaja, anak tuna rungu sudah mampu

untuk memahami kalimat dalam sebuah paragraf bercerita. Penggunaan gambar

penjelas sudah semakin minim karena perbendaharaan kata sudah dianggap cukup.

Dan anak tuna rungu sudah mulai belajar berbahasa melalui pengalaman langsung

dengan dunia sekitarnya.

‐ Usia 16 tahun ke atas perkembangan bahasa sudah cukup pesat dan hanya perlu

penambahan istilah-istilah kiasan dalam bahasa Indonesia yang dapat mereka peroleh

denga berinteraksi dengan orang-orang normal. Kecakapan berbahasa akan

bertambah seiring denga seringnya aktivitas komunikasi.

Hal-hal yang menjadi batasan pada pembelajaran bahasa pada anak tuna rungu

dimana ada kata-kata yang tidak dapat dijelaskan dengan gambar adalah berasal dari

karakteristik bahasa Indonesia yang unik, sehingga ada beberapa syarat untuk

beberapa jenis kata yakni :

1. Kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dapat diterjemahkan ke dalam

bentuk bahasa gambar adalah kata benda dan kata kerja yang memiliki ciri

kata tersebut dapat langsung diidentifikasi wujudnya dan langsung menunjuk

pada maksud kata tersebut.

Contoh :

a. Kata benda, hewan “gajah” dapat langsung ditunjukan ciri bentuk hewan

gajah dalam gambar.

b. Kata kerja, “berlari kata dasar lari” dapat langsung ditunjukan makna

kata lari dalam gambar.

2. Untuk kata-kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki imbuhan

awalan,sisipan dan akhiran. Agar tidak terjadi pemaknaan yang

membingungkan anak tuna rungu maka imbuhannya akan dihilangkan dan

digunakan kata dasarnya saja.

Contoh :

Kata “memakai” maka imbuhan “me-“nya akan dihilangkan dan hanya

digunakan kata dasar “pakai”.

3. Beberapa kosakata dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa ciri kata yang

unik yang sulit untuk dijelaskan dalam bentuk visual, terutama kata-kata

abstrak, dimana kata tersebut memiliki beberapa kriteria, yakni :

a. Tidak dapat digambarkan detailnya karena tidak ada wujudnya ( seperti

kata “Tuhan”, “hantu”, “mimpi’).

b. Tidak dapat digambarkan tetapi dapat dirasakan dengan indra tubuh yang

lain ( seperti kata “bau”,”wangi”,”udara”).

c. Kata penghubung dan awalan, yang baru dapat memiliki arti jika ada

kalimat lain yang menyertainya (seperti kata “dan”,”di-“,”ke-“).

d. Kata-kata kiasan dalam bahasa Indonesia dimana memiliki pemaknaan

kata yang buka sebenarnya/ sebuah konotasi. (seperti “keras kepala",”naik

darah”).

e. Kata-kata yang memiliki makna ganda (seperti “bisa ular” dengan “bisa

bersepeda”) untuk jenis kata ini perlu dijelaskan dengan gambar penjelas

tambahan agar tahu jika ada makna lain dari kata tersebut.

4. Jika kata benda dapat langsung digambarkan wujud bendanya, sedangkan

dalam bahasa Indonesia ada beberapa jenis kata yang tidak dapat

digambarkan wujud bendanya namun masih dapat dipahami maknanya jika

digambarkan dalam cara tertentu. Jenis kata-kata ini adalah :

a. Kata sifat ekspresi (seperti “marah”,”sedih”, “senang”). Jenis kata sifat ini

dapat digambarkan melalui mimik wajah yang menggambarkan ekspresi

dari kata-kata yang kita maksudkan pada karakter yang kita gambarkan.

Warna juga dapat membantu memberikan sentuhan ekspresi (misalnya :

merah menandakan marah, kuning menandakan sakit).

b. Kata sifat tekstur (seperti kata “halus”, “keras”, “cair”). Jenis kata sifat ini

dapat kita gambarkan dengan teknik “tebal-tipis” pada outline gambar

benda yang kita gambarkan, sehingga akan terlihat perbedaan sifat tekstur

dari benda-benda yang digambarkan tersebut.

c. Kata waktu atau keterangan waktu (seperti kata “malam”, “siang”, “pagi”).

Jenis kata ini jika tidak dapat menunjukan wujud waktu (seperti

menggambarkan sebuah jam) dapat kita gambarkan dengan teknik

pewarnaan dari ciri-ciri warna langit pada waktu/hari tertentu. Atau dengan

menambahkan benda-benda di langit.

Daftar rujukan Alwasilah, A.Chaedar.1990. Linguistik. Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa. Hlm.

82.

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer Edisi

Kedua. Jakarta. Erlangga. Hlm. 79.

Kamus SIBI