pendidikan agama islam bagi mualaf di pesantren...

179

Click here to load reader

Upload: phamdiep

Post on 02-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI MUALAF

DI PESANTREN PEMBINAAN MUALLAF

YAYASAN AN-NABA CENTER INDONESIA

Tesis

Oleh :

Hidayatus Syarifah

NIM : 21150110000017

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M/1438 H

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Tesis dengan judul "Pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf diPesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesi a" yang ditulis olehHidayatus Syarifah dengan NIM 211501 10000017, telah diujikan pada UjianPromosi Tesis oleh Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UINSyarif Hidayatullah Jakartapada Senin, 21 Agustus 2017. Tesis ini telah diperbaiki sesuaisaran dari penguji sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan(M.Pd.) pada Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, Agustus 2011

Ketua Prograln

Nama lE)r.Ho Sapiudin Shidiq, .Ag.

NIP :196703282000031001

PenguJl I

Nama :Prof Dr.Rusmin Tumanggor,M.A.NIP :

PenguJl

Nama :E)r.Akhmad Sodiq,M.AgNIP :197107091998031001

Tanggal

Tanggal

Z, 201

Tanggal

slo l,r

PenguJl

NamaNIP

PembimNamaNIP I

III

Dr.Nuraenl Ahmad,M.Hum.19521231 1984032001

bingE)r.Ho Sapiudin Shidiq,M.Ag.

196703282000031001

Mengetahui,Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah n Keguruan hrif Hidayatullah J akarta

Tanda Tangan

NIP:19550421 1982031007

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NamaTempat/Tanggal Lahir

NIMProdi

Judul Tesis

Dosen Pcmbimbing

Hidayatus SyarifahBojonegorol 02 Mei 1992211501 I 00000r7Magister Pendidikan Agama IslamPendidikan Agama Islam Bagi Mualaf di Fesantren PembinaanMuallafY ayasan an-Naba Center IndonesiaDr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag.

NIM.21150110000017

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dansaya bertanggungjawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuatsebagai salah satu syarat memperoleh gelir Magister Pendidikan (Nd.Pd.).

Jakart a, 25 Agustus 201 7Mahasiswa Ybs.

Hidayatus Syarifah

i

ABSTRAK

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI MUALAF DI PESANTREN PEMBINAAN

MUALLAF YAYASAN AN-NABA CENTER INDONESIA

Penelitian ini dilatar belakangi oleh distingsi dalam pelaksanaan pendidikan Agama

Islam bagi mualaf. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Pendidikan Agama

Islam bagi mualaf yang dilaksanakan di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba

Center Indonesia, menguraikan faktor pendukung dan penghambatnya serta

mengidentifikasi implikasinya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

pendekatan analisis untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan pendidikan Agama

Islam bagi kaum mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center

Indonesia. Penelitian dilaksanakan dengan triangulasi teknik pengumpulan dan pengolahan

data.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan

an-Naba Center Indonesia memberikan pembinaan berupa pembiayaan santri untuk

menempuh pendidikan formal di luar dan non formal di dalam pesantren. Penelitian

difokuskan kepada pendidikan non formal karena cukup menarik. Pendidikannya

merupakan pendidikan lintas usia, bertujuan dakwah dengan memberikan materi ilmu

kristologi dan muhadharah sebagai tambahan materi lainnya, mengintegrasikan metode

pembelajaran dalam pendidikan formal dan non formal, mengkombinasikan pendekatan

religus kristologi dan pendekatan scientific, serta tanpa adanya report harian ataupun

rapor. Berbagai problematika tidak luput dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan tersebut,

namun pembelajaran tetap dapat berlangsung secara efektif karena didukung adanya

faktor-faktor pendukung seperti minat belajar yang tinggi, kompetensi guru yang terpenuhi

dan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu, efektifitas pelaksanaan pendidikan Agama

Islam tersebut dapat dirasakan dari output yang dihasilkan. Diantaranya yaitu perubahan

karakter, militansi Islam, menjadi juru dakwah Islam, hafal dan cinta al-Quran, lebih

mengenal hakikat Tuhan dan Islam serta semakin percaya diri terhadap identitas

keislamannya. Kemudian, tentunya problematika yang ada diperlukan saran diantaranya

penambahan materi pembelajaran baik bersifat pengetahuan maupun pengembangan diri,

melaksanakan program relawan untuk membantu dan/ atau mendampingi ustadz dalam

melaksanakan pembelajaran dan mencari donatur tetap serta pendirian unit usaha mandiri.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Mualaf, Pesantren Mualaf

ii

ABSTRACT

ISLAMIC EDUCATION FOR MUALAF IN PESANTREN PEMBINAAN

MUALLAF YAYASAN AN-NABA CENTER INDONESIA

This research based on the distinguish of the implementation of Islamic education for

mualaf. The objective of the the study is describe the Islamic Education for mualaf at the

Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan An-Naba Center Indonesia, describes the

supporting factors, obstacles and identify the implications. This research is a qualitative

research with analytical approach. It is to know more about the implementation of Islamic

education for mualaf in Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan An-Naba Center Indonesia.

The study was conducted with triangulation of data collection and processing techniques.

The results obtained from this research is Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan An-

Naba Center Indonesia provide coaching in the form of financing santri (student) for

formal education outside and non formal in boarding. The study focused on non-formal

education because it is quite interesting. Education is a cross-age education aimed at

preaching by giving christology and muhadharah materials in addition to other materials,

integrating learning methods in formal and non-formal education, combining religious-

christology- approaches and scientific approaches, also without any daily reports or report.

Various problems are not avoided in the implementation of the education, but the learning

can still be effective because it was supported by some factors such as high learning

interest, teacher competence, and adequate facilities. Therefore, the effectiveness of the

implementation of Islamic education can be felt from the output. They are character

changing, Islamic militancy, Islamic missionaries, memorized and love Qur'an, more

familiar with the nature of God and Islam and increasingly confident in his Islamic

identity. Then, of course there are problems that require suggestions such as the addition of

learning materials, both in the form of knowledge and self-development, implementing

volunteer programs to assist and accompanying teachers in carrying out learning and

seeking a permanent donor and the establishment of independent business units.

Keywords: Islamic Education, Muslim convert (mualaf), Pesantren mualaf.

iii

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah mengalih aksarakan suatu tulisan ke dalam aksara lain.

Misalnya, dari aksara Arab ke aksara Latin.

Berikut ini adalah Surat keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 - Nomor: 0543 b/u/1997 tentang Transliterasi

Arab-Latin yang peneliti gunakan dalam penulisan Tesis ini.

A. Konsonan

ARAB NAMA Latin KETERANGAN RUMUS*

- - - Alif

- Ba B Be

- Ta T Te

a Es dengan titk di atas 1e60 & 1e61 - Jim J Je

a Ha dengan titik di bawah 1e24 & 1e25 - Kha Kh Ka dan ha

- Dal D De

al Zet dengan titik di atas 017b & 017c

- Ra R Er

- Zai Z Zet

- Sin S Es

- Syin Sy Es dan ye

ad Es dengan titik di bawah 1e62 & 1e63 a De dengan titik di bawah 1e0c & 1e0d a Te dengan titik di bawah 1e6c & 1e6d

a Zet dengan titik di

bawah 1e92 & 1e93

_ Ain Koma terbalik di atas

Gain G Ge

Fa F Fa

Qaf Q Qi

Kaf K Ka

Lam L El

Mim M Em

Nun N En

Wau W We

Ha H Ha

_ Hamzah Apostrof

Ya Y Ye *

Rumus hanya dipergunakan untuk font yang tidak ada di kibor komputer gunanya

untuk mempermudah. Rumus dioperasikan dengan cara mengetik kode yang tersedia

lalu klik alt+x (kode pertama untuk huruf kapital dan kode kedua untuk huruf kecil).

v

B. Vokal 1. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

Fat ah A A Kasrah I I

ammah U U Contoh:

suila : kataba dan :

2. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

Fat ah dan ya sakin Ai A dan I Fat ah dan wau sakin Au A dan U

Contoh:

= kaifa dan : aula

3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan Rumus

Fat ah dan alif A dengan garis di atas 100 & 101 Kasrah dan ya I dengan garis di atas 12a & 12b

ammah dan wau U dengan garis di atas 16a & 16b Contoh:

yaqlu : qla dan : qla :

C. Ta Matrbu ah 1. Transliterasi untuk ta matrbu ah hidup

Ta matrbu ah yang hidup atau yang mendapat harakat Fat ah, Kasrah, dan ammah, transliterasinya adalah T/t.

2. Transliterasi untuk ta matrbu ah mati Ta matrbu ah yang mati atau mendapat harakat sakin, transliterasinya adalah h.

Contoh:

: al ah. 3. Transliterasi untuk ta matrbu ah jika diikuti oleh kata yang menggunakan kata

sandang al- dan bacaannya terpisah maka ta matrbu ah ditransliterasikan dengan h.

Contoh:

rau : ah al-a fl al-Madnah al-Munawwarah :

D. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydd) Transliterasi Syaddah atau Tasydd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan tanda tasydd (), dalam transliterasi dilambangkan dengan

huruf yang sama (konsonan ganda).

Contoh:

rabban :

vi

nazzala :

E. Kata sandang alif-lam Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan hurug alif-lam

marifah . Namun dalam transliterasi ini, kata sandang dibedakan atas kata

sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf

qamariyah.

1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai

dengan bunyi yaitu diganti huruf yang sama dengan huruf yang mengikuti

kata sandang tersebut.

Contoh:

ar-rajulu :

as-sayyidah :

2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan

aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Huruf sandang

ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan tanda

sambung (-). Aturan ini berlaku untuk kata sandang yang diikuti oleh huruf

syamsiyah maupun kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah.

Contoh:

al-qalamu :

al-falsafah :

F. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah yaitu menjadi apostrof () hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Bila hamzah terletak di awal kata,

hamzah tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

an-nauu : umirtu : syaiun :

G. Huruf Kapital Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi

huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti

keterangan-keterangan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak

menggunakan huruf kapital kecuali jika terletak di awal kalimat.

Contoh:

Wam Muhammadun ill rasl :

Ab Na r al-Farbl Al-Gazl

Syahru Rama n al-la unzila fh al-Qurn

H. Laf al-Jallah () Kata Allah yang didahului dengan partikel seperti huruf jar dan huruf lainnya,

atau berkedudukan sebagai mu f ilaih (frasa nomina), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

Contoh:

dnullh :

billh :

vii

Adapun ta matrbu ah di akhir kata yang betemu dengan laf al-jallah, ditransliterasikan dengan huruf t.

Contoh:

hum f ra : matillah

I. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah, dan kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau

kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat

yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau

sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara

transliterasi di atas. Misalnya kata al-Quran dari al-Qurn, Sunah dari sunnah. Kata

al-Quran dan sunah sudah menjadi bahasa baku Indonesia maka ditulis seperti bahasa

Indonesia. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks

Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh.

Contoh:

F ill al-Qurn As-Sunnah qabl at-tadwn

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. Sang

pemilik langit dan bumi beserta isinya. Sang pemberi limpahan rahmat, hidayah, inayah,

nikmat dan karunia kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah

kepada baginda alam, sang revolusioner sejati yang menuntun umatnya menuju jalan

penuh keridhaan Allah swt. dan khotaman nabiyyin yaitu baginda Nabi Muhammad saw.

Dan kepada keluarganya, para sahabatnya, tabiat tabiin, ulama salafussholih, para

syuhada, para sholihin dan seluruh kaum muslimin serta muslimat sampai kepada umatnya

saat ini. Mudah-mudahan di akhirat kelak kita semua mendapatkan ridho Allah swt. dan

syafaat Nabi Muhammad saw. Amin.

Penyelesaian tesis ini merupakan prasyarat untuk menyelesaikan studi pada Program

Magister Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan

dan kesulitan yang dihadapi. Namun berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak,

hambatan dan kesulitan tersebut dapat terlewati. Dalam kesempatan ini, penulis

menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah

memberikan dukungan berupa arahan, bimbingan, dan lainnya selama proses penyelesaian

tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya tersebut penulis

sampaikan kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A beserta jajarannya.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A beserta jajarannya.

3. Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam, Dr. H. Sapiudin Shidiq, M. Ag. beserta jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dengan

memuaskan.

4. Pembimbing, Dr. H. Sapiduin Shidiq, M.Ag. yang telah memberikan bimbingan, arahan, wawasan dan nasehat dengan penuh kesabaran, ketekunan serta

keikhlasan.

5. Seluruh Dosen Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu baik secara tersirat maupun tersurat kepada penulis.

6. Ustadz Syamsul Arifin Nababan, selaku pendiri dan pengasuh Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia, yang telah bersedia

memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.

7. Ustadz Idham Chalid, Ustadz Abdul Aziz Laia, Ukhti Khoirun Nisa, ukhti Nur Hidayah Rumahorbo dan akhi Annas Mansur Zebua yang telah bersedia

memberikan informasi kepada penulis tentang semua permasalahan yang terdapat

dalam tesis ini.

8. Ayahanda H. Imam Suyuti, ibunda Umi Saidah, adinda Muhammad Ubbadur Rahman al-Alawi dan adinda Fakhira Muzniya Syarifa serta seluruh keluarga

tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, pelajaran hidup, nasehat,

dan dukungan lainnya baik dari segi riil maupun materiil.

9. Dr. Jejen Musfah, MA dan Tanenji, MA yang telah memberikan arahan, motivasi dan nasehat kepada penulis.

10. Staff Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muslikh Amrullah, S.Pd. yang telah membantu dan memberikan layanan akademik dengan sangat

baik dan juga dukungan serta motivasi kepada penulis.

ix

11. Seluruh sahabat seperjuangan baik dari prodi MPAI, MPBI, MPBA, dan MP yang telah memberikan kenangan indah, semangat dan motivasi saat berada di bangku

perkuliahan kepada penulis.

12. Kepada seluruh santri Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia, yang telah bersedia menerima penulis dengan sangat ramah dan penuh

kasih sayang selama penulis berada di pesantren.

13. Kepada IhyaUlumuddin, S.Pd.I yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi dengan sabar dan penuh kasih sayang kepada penulis.

14. Kepada semua pihak yang ikut andil dan telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya kepada mereka yang telah penulis sebutkan, hanya doa yang dapat

dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, semoga Allah swt. yang membalasnya dengan

balasan yang berlipat ganda. Amin.

Jakarta, 25 Agustus 2017

Penulis,

Hidayatus Syarifah

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian ............................................................................ 9 2. Tujuan .................................................................................. 15 3. Dasar .................................................................................... 17 4. Ruang Lingkup .................................................................... 19 5. Urgensi ................................................................................ 22 6. Kurikulum ........................................................................... 22 7. Proses Pembelajaran ............................................................ 23 8. Evaluasi ............................................................................... 29

B. Mualaf 1. Pengertian ............................................................................ 30 2. Makna Konversi Agama ...................................................... 32 3. Tahapan Konversi Agama ................................................... 33 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mualaf ........................ 34 5. Fase Mualaf Menjadi Muslim ............................................. 36

C. Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf ....................................... 40 D. Kajian yang Relevan .................................................................. 42 E. Kerangka Konseptual ................................................................. 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 46 B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ................................................ 46 C. Data dan Sumber Data ............................................................... 46 D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 47 E. Teknik Analisa Data .................................................................. 48 F. Uji Keabsahan Data ................................................................... 49

xi

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Lokasi Penelitian 1. Letak Lokasi Penelitian ....................................................... 50 2. Sejarah Singkat .................................................................... 50 3. Visi dan Misi ....................................................................... 51 4. Program Pesantren ............................................................... 52 5. Keadaan Pendidik ................................................................ 53 6. Keadaan Peserta Didik ........................................................ 54 7. Keadaan Sarana dan Prasarana ............................................ 56

B. Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf

a. Tujuan ............................................................................ 58 b. Materi ............................................................................. 60 c. Metode .......................................................................... 70 d. Evaluasi ......................................................................... 78

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf ................................................................ 79

3. Implikasi Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf ................. 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................ 93 B. Saran .......................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 95

LAMPIRAN

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Pesantren Pembinaan Muallaf

Yayasan an-Naba Center Indonesia ....................................................... 52

Tabel 4.2 Daftar Pendidik Pesantren Pembinaan Muallaf

Yayasan an-Naba Center Indonesia ....................................................... 53

Tabel 4.3 Sarana dan Prasarana Pesantren Pembinaan Muallaf

Yayasan an-Naba Center Indonesia ....................................................... 57

Tabel 4.4 Daftar Buku Pendidikan Agama Islam di Pesantren Pembinaan

Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia ......................................... 69

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ............................................................................ 44

Gambar 3.1 Tiga Komponen Analisa Data ............................................................... 48

Gambar 3.2 Teknik Triangulasi Data ........................................................................ 49

Gambar 4.1 Data Peserta Didik Pesantren Pembinaan Muallaf

Yayasan an-Naba Center Indonesia Berdasarkan Usia ......................... 55

Gambar 4.2 Data Peserta Didik Pesantren Pembinaan Muallaf

Yayasan an-Naba Center Indonesia Berdasarkan Jenjang Pendidikan .. 56

Gambar 4.3 Kerangka Hasil Penelitian ..................................................................... 91

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Referensi

Lampiran 2 Pedoman Observasi

Lampiran 3 Pedoman Wawancara

Lampiran 4 Pedoman Studi Dokumen

Lampiran 5 Laporan Hasil Observasi

Lampiran 6 Transkip Wawancara

Lampiran 7 Data Santri Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center

Indonesia

Lampiran 8 Dokumentasi/ Foto-Foto

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Menjadi mualaf merupakan pilihan bagi seseorang. Proses tersebut mengalami

berbagai fase yang kadang menyulitkan dalam pemenuhan keyakinannya. Walaupun

hidayah merupakan mutlak atas kehendak Allah swt., namun fitrah dan akal manusia

juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan untuk mengubah keyakinannya

tersebut. Nabi Muhammad saw. sangat memperhatikan mualaf. Seperti pada masa kota

Mekah oleh Nabi Muhammad saw. pada tahun 8 H., Nabi Muhammad saw. memberi

keamanan kepada Safwan bin Umayyah selama masa konversi batinnya hingga Safwan

menentukan pilihannya kepada Islam. Selain itu, Nabi Muhammad saw. juga

memberikan beberapa ekor unta kepada Safwan setelah Safwan menjadi mualaf. Hal

tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan keberadaan mualaf dan

memperlakukan mualaf dengan sangat baik, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah

saw.

Perhatian Islam terhadap mualaf salah satunya dikarenakan kondisi mualaf itu

sendiri. Beberapa kondisi mualaf tersebut merupakan pengalaman mualaf mulai dari

sebelum, ketika dan setelah masuk Islam. Secara umum, kondisi mualaf tersebut

diuraikan sebagai berikut: Pertama, hidayah. Pintu hidayah merupakan mutlak atas

kehendak Allah swt. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Athaillah pada bab I Hikmah

ke-8 yang dikutip oleh Sajari bahwa apabila Allah swt. telah membukakan pintu

perkenalan Diri-Nya kepada hamba, maka tidaklah patut untuk mengacuhkannya. Hal

tersebut tidak lain karena Allah swt.tidak akan membukakan pintu tersebut kecuali

Allah swt. lah yang telah berkhendak (Sajari, 2012: 77-78). Meskipun hidayah adalah

mutlak atas kehendak Allah, namun manusia juga haruslah berusaha untuk dirinya atau

orang lain agar meraih hidayah tersebut.

Kedua, keputusan. Fase pemenuhan hidayah bahwa ketika seseorang memilih untuk

bertuhankan Allah swt. dan bernabikan Muhammad saw., maka diharuskan baginya

untuk melafalkan dua kalimat syahadat tauhid dan rasul. Melalui syahadat itulah

seseorang telah membuka pintu pertama untuk kemudian masuk dan menjadi seorang

muslim. Kedua kalimat syahadat tersebut juga memiliki makna yang luas dan

mendalam serta merupakan komitmen bagi muslim untuk terus menyembah hanya

kepada Allah swt., mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dijelaskan oleh Alim (2011: 127) bahwa persyaratan utama seseorang menjadi muslim

adalah pengucapan dua kalimat syahadat, yang mana tidak hanya diucapkan melalui

lisan, namun dengan kesungguhan hati dan tiada keraguan di dalamnya. Terakhir,

pengalaman. Pengalaman hidup mualaf juga mempengaruhi pembinaan agamanya.

Perbedaan pengalaman hidup mualaf tersebut dapat dibuktikan melalui karya

monumental beberapa mualaf berupa buku teks baik dalam bentuk novel, cerita pendek,

atau lainnya. Para mualaf tersebut menceritakan secara detail terkait awal mula ia ingin

mengenal Islam, mendalami Islam hingga kemudian mengimani dan ikut menjadi

muslim.

Salah satu contoh mualaf adalah Jeffrey Lang seorang profesor Matematika dari

Universits San Francisco. Pengalamannya mulai dari sebelum hingga menjadi mualaf

diceritakannya dengan detail di dalam buku karyanya. Lang mendapat hidayah secara

perlahan-lahan dan bahkan dalam rentang waktu yang sangat lama. Hal tersebut

bermula dari mimpi selama kurang lebih sepuluh tahun hingga akhirnya ia mengalami

2

hal sesuai mimpinya pada saat awal dirinya menjadi muslim. Mimpi tersebutlah yang

mendorong dirinya untuk menemukan Tuhan yang sejati (Lang, 2008; Noakes, 1995:

354). Selain Jeffrey Lang, berbagai testimoni mualaf Indonesia juga banyak

diungkapkan dalam buku-buku baik yang telah memiliki izin terbit nasional maupun

izin terbit khusus lembaga. Seperti Ustadz Ali Akbar yang sebelumnya menjadi

penganut Katolik yang taat. Keputusannya masuk Islam bukan perkara mudah, namun

melalui beberapa fase dan rintangan. Diawali dari kegoyahan batin dan keingintahuan

yang besar terhadap Islam, hingga akhirnya ia menemukan jawaban atas semua

permasalahannya dalam al-Quran dan memutuskan masuk Islam. Setelah masuk Islam,

berbagai rintanganpun mulai berdatangan seperti ancaman pembunuhan oleh pihak

prajurit daerahnya dan lain sebagainya. Meskipun demikian, kemtaban hatinya untuk

memeluk Islam tidak kembali tergoyahkan dan ingin terus menkaji al-Quran.

Keteguhan tersebut menghantarkannya menjadi seorang pendakwah dan ustadz, yang

selain memberikan inspirasi, teladan juga menyebarkan manfaat kepada sesama

(Nababan, 2015: 1-26).

Selain pengalaman di atas, mualaf generasi pertama atau pada zaman Nabi

Muhammad saw., sahabat dan tabi tabiin dapat dilacak melalui berbagai kajian

keilmuan keagamaan. Mayorias dai mualaf-mualaf tersebut juga mengalami beberapa

tekanan. Seperti contoh tekanan yang dilakukan oleh Abu Jahal. Bagi mualaf dari

kalangan terpandang, Abu Jahal menawarkan sejumlah uang dan kedudukan. Namun

mualaf yang bukan dari kalangan terpandang, diberikan ancaman dan penyiksaan.

Kedua hal tersebut mempunyai tujuan agar mualaf dapat kembali merubah keyakinan

dan keluar dari agama Islam. Selian itu, intimidasi dari berbagai kalangan juga

dirasakan oleh mualaf pada masa Rasulullah saw. Seperti Mushab bin Umair yang

diusir oleh ibunya setelah status kemualafannya, paman Utsman bin Affan pernah

diselubungi tikar daun kurma dan diasapi dibawahnya, Bilal bin Rabbah diseret dengan

tali di lehernya dan dipukuli dengan tongkat serta dijemur ditengah terik matahari

seraya diletakkan batu besar di dadanya, Ammar bin Yassir diseret ke tengah padang

pasir yang panas membara dan menyiksa kedua orang tuanya hingga meninggal, serta

masih banyak lagi (al-Mubarakfuri, 2016: 106-110).

Meskipun kondisi mualaf banyak mendapatkan tekanan, namun tidak menyurutkan

tekad dan kegigihannya dalam mempertahankan keislamannya. Banyak peran mualaf

bagi Islam. Seperti contoh, pada masa sahabat Umar bin Khattab yaitu Kaab al-Ahbar

dan Wahab bin Munabbih. Keduanya merupakan tokoh Yahudi yang masuk Islam.

Kaab memiliki posisi luar biasa dan disegani banyak sahabat. Sahabat-sahabat besar

nabi Muhammad itu sering mengambil pendapat dari Kab al-Ahbar, terutama yang

berkaitan dengan penafsiran al-Quran yang membutuhkan penjelasan dari sumber-

sumber Yahudi seperti Talmudz, Taurat, dan yang lainnya. Kemudian Wahab bin

Munabbih dijadikan sebagai sumber memahami teks-teks al-Quran yang membutuhkan

penjelasan dari Taurat, misalnya dalam QS. 2:35-39 yang menjelaskan tentang larangan

terhadap nabi Adam dan istrinya untuk mendekati pohon di dalam sorga (At-Thabari,

2000: th.). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa menjadi mualaf bukan pilihan

yang mudah. Hidayah yang diterima akan mendorong alasan seseorang masuk Islam.

Keputusan yang dipilih akan mendorong niat, tekad dan usaha mualaf dalam

mempelajari dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Pengalaman hidup yang dijalani

akan mendorong pola pikir dan keyakinannya terhadap Islam.

3

Kemudian, mualaf merupakan bagian dari penduduk yang beragama Islam atau

disebut muslim yang sebelumnya memeluk agama lain bukan Islam. Di Indonesia

khususnya, muslim merupakan mayoritas. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui data

statistik yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada tahun 2010.

Dari data tersebut dapat diketahui jumlah masyarakat beragama Islam sejumlah

207.176.162 dari 237.641.326 jumlah seluruh penduduk Indonesia (BPS RI, 2010: 1).

Berdasarkan data di atas, Indonesia sebagai negara yang notabene muslim memiliki

peluang besar untuk menyebarluaskan agamanya. Saat ini, Mualaf Center Indonesia

(MCI) sebagai salah satu lembaga yang menaungi pembinaan mualaf telah mencatat

kurang lebih 2.854 orang bersyahadat sebagai muslim melalui MCI di berbagai wilayah

Indonesia selama tahun 2016. Hal tersebut mengalami kenaikan sekitar 5-6 persen dari

tahun-tahun sebelumnya. Adapun peningkatan jumlah mualaf tertinggi ada pada tahun

2006. Sedangkan pada tahun 2007 hingga 2009 sempat mengalami penurunan. Namun,

pertumbuhan jumlah mualaf kembali meningkat pada tahun 2010 (Republika, 2017: 1).

Kemudian, ketua Mualaf Center Indonesia yakni Steven Indra memberikan penegasan

dalam Republika, bahwa mulai tahun 2011 hingga sekarang atau kurang lebih lima

tahun terakhir sudah lebih dari 10.000 orang masuk Islam (Republika, 2017: 2).

Melihat peluang perkembangan Islam khususnya di Indonesia dengan banyaknya

jumlah mualaf di Indonesia, tentunya perlu pembentukan lembaga khusus. Lembaga

tersebut harus dapat menaungi, membina dan mengarahkan dengan segenap hati

terhadap masyarakat yang ingin mulai mengenal, mendalami dan mengimani Tuhan

Yang Maha Esa yakni Allah swt. Melalui lembaga khusus pembinaan mualaf tersebut,

proses pembelajaran mualaf dapat dilaksanakan secara optimal.

Pendirian lembaga keagamaan yang fokus dengan pembinaan mualaf juga telah ada

di Indonesia. Lembaga-lembaga keagamaan tersebut tidak lain adalah lembaga yang

bergerak dalam dakwah dan kepedulian terhadap mualaf. Selain sebagai perantara kaum

non-muslim untuk melafalkan dua kalimat syahadat, melalui lembaga-lembaga ini juga

para mualaf diberikan pemahaman, pembinaan, dan pendidikan tentang Islam. Namun

demikian, lembaga khusus bagi pembinaan mualaf di Indonesia tersebut masih sangat

minim dan belum diketahui pasti jumlahnya. Berdasarkan observasi peneliti melalui

internet bahwa lembaga pembinaan mualaf yang telah berbentuk fisik pesantren di

wilayah Jabodetabek hingga saat ini baru berdiri dua pesantren yaitu Pondok Pesantren

Yayasan Pembinaan Muallaf an-Naba Center Indonesia, Ciputat Banten dan Pondok

Pesantren Attaibin, Cibinong Bogor. Sedangkan, lembaga pembinaan mualaf lainnya

masih secara individual maupun kelompok masyarakat di masjid-masjid besar, seperti

Masjid Agung Istiqlal dan Masjid Agung Sunda Kelapa.

Selain itu, pemerintah sendiri belum secara khusus mendirikan lembaga

pembinaan bagi mualaf. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Agama

Lukman Hakim Saifuddin pada Republika bahwa, kementerian Agama memang belum

memiliki lembaga khusus yang menangani masalah pembinaan dan pemberdayaan

mualaf. Hal ini dikarenakan, program pemerintah meliputi semua warga negara tanpa

membedakan mualaf atau tidak. Namun, ia menilai jika lembaga tersebut dikelola oleh

MUI atau ormas islam maka akan lebih tepat (Republika, 2015: 3).

Berdasarkan data di atas, eksistensi kehadiran dan efisiensi peran lembaga

pembinaan sangat penting dalam membina mualaf, khususnya di Indonesia. Pemerintah

dan masyarakat juga harus bekerjasama dan saling mendukung. Dengan demikian,

perkembangan jumlah mualaf yang cukup pesat, haruslah dibarengi dengan pendirian

4

lembaga pembinaan yang mencukupi. Terlebih lagi, lembaga pembinaan mualaf dalam

wujud pesantren.

Melalui pesantren, Pendidikan Agama Islam bagi mualaf dinilai dapat terlaksana

dengan efektif. Hal ini dikarenakan pesantren tidak hanya sebagai tempat mengasah

pengetahuan dan kemampuan, namun juga sebagai miniatur kehidupan Islam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dengan menyepakati arti mualaf adalah orang yang

baru masuk Islam, maka mualaf dianggap sama sekali belum memiliki pengetahuan

tentang Islam secara haq. Padahal konsekuensi keputusan memilih Islam sebagai

agamanya adalah bukan sekedar mengucap syahadat, namun harus mengikuti seluruh

amalan, hukum dan tata cara kehidupan Islam. Oleh karena itu, untuk memenuhi

kewajiban terhadap konsekuensi tersebut, maka mualaf harus secara ekstra mempelajari

dan mendalami pengetahuan keislaman. Melalui pesantren inilah, kebutuhan mualaf

dalam pemenuhan pengetahuan dan pendalaman Islam dapat tercapai. Dengan

demikian, mualaf dapat menanamkan konsep Islam selain sebagai pengetahuan juga

sebagai kulturnya.

Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa menjadi mualaf yang baik dan taat pastinya

memiliki faktor pendukung yang beragam, seperti keuletan, minat dan semangat tinggi

dalam diri mualaf itu sendiri. Faktor lainnya juga dapat membantu dalam proses

tersebut seperti peran lingkungan mualaf. Sehingga pola pembinaan terhadap mualaf

menjadi hal pokok untuk kemudian dipertimbangkan, diputuskan dan dilaksanakan

dengan matang guna mendapatkan tujuan yang sebenarnya yakni menjadi muslim yang

hakiki dan mendalami Islam dengan benar sesuai apa yang telah ditunjukkan Allah swt.

Selain itu, kondisi mualaf sebagaimana dipaparkan sebelumnya juga dapat berpengaruh

terhadap pola pembinaan dan pendidikan Agama Islam bagi mualaf oleh lembaga

pembinaan terkait.

Pola pembinaan mualaf diperlukan penyesuaian terhadap kondisi mualaf dan

ketepatan dalam pembinaannya. Demikian juga, pola pembinaan yang dikehendaki

terdapat penyeragaman kurikulumnya oleh berbagai lembaga pembinaan mualaf yang

ada. Artinya penyebaran pendidikan mualaf di berbagai lembaga pembinaan di

Indonesia, tetap memiliki satu arah tujuan. Implementasi nilai-nilai Islam terhadap

mualaf juga tidak hanya dikehendaki atau dikhususkan pada satu pemahaman/ aliran

saja. Begitu juga proses pembelajaran bagi mualaf tidaklah mudah. Sangatlah

diperlukan pendidik yang benar-benar ahli, kuat dan benar untuk dapat melaksanakan

pembinaan secara sepenuhnya terhadap mualaf. Ditegaskan oleh Ketua Umum

Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) yaitu Syarif Tanudjaja dalam Republika,

bahwa saat ini proses pembinaan mualaf masih berdiri sendiri dan belum profesional.

Sehingga program pembinaan mualaf secara nasional sangat diperlukan adanya.

Penyeragaman yang dimaksud merupakan satu kesatuan tentang kurikulum, sertifikasi

mualaf, dan lain sebagainya. Dengan demikian, meskipun proses pembinaan mualaf

dilakukan oleh siapa saja, namun tetap memiliki pedoman dalam skala nasional dengan

teknis pembinaan disesuaikan dengan daerah dan wilayah masing-masing. Hal ini

dinilai akan berdampak positif selain kepada mualaf itu sendiri juga bagi lembaga

pembinaan mualaf tersebut. Karena lembaga dapat memiliki legal formal dan

memudahkan hubungan dengan lembaga pemerintah (Republika, 2014: 1-4). Dengan

demikian, penyeragaman pedoman pembinaan mualaf dalam skala nasional sangatlah

diperlukan. Penyeragaman kurikulum pendidikan pembinaan mualaf ini memiliki

banyak aspek yang harus dikembangkan. Sehingga kematangan dalam konsep dan

implementasi dapat terlaksana. Tentunya peran serta pemerintah dan kerjasama antar

5

pemerintah dengan masyarakat serta/ atau masyarakat dengan masyarakat sangat

dibutuhkan.

Dalam hal pembinaan mualaf, pada zaman nabi Muhammad saw. dapat dijadikan

contoh. Sebagaimana di kemukakan oleh al-Mubarakfuri (2016: 87-89) bahwa mualaf

generasi pertama atau disebut assabiqunal awwalun pada zaman rasulullah diantaranya

Khadijah binti Khuwailid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.

Setelahnya disusul oleh Bilalbin Rabbah, Abu Ubaidah Amir bin al Jarrah, Abu

Salamah bin Abdul Assad, al-Arqam bin abil Arqam, Utsman bin Mazhun dan dua

saudaranya, Ubaidah bin al Harits, Said bin Zaid, Fathimah binti al Khaththab,

Khabbab bin al Aratt, Abdullah bin Masud dan masih banyak lagi. Golongan tersebut

memeluk Islam melalui dakwah Nabi Muhammad saw. secara diam-diam dan

mendapatkan pendidikan Agama Islam dari rasulullah secara sembunyi-sembunyi juga

selama tiga tahun. Setelah diturunkan firman Allah swt. dalam QS. al-Hijr ayat 94 yang

merupakan perintah Allah swt. untuk menyampaikan ajaran Islam secara terang-

terangan, maka nabi Muhammad saw. pun melaksanakannya. Berbagai ancaman dan

penindasan diterima nabi Muhammad saw. dan umat Islam, serta mualaf sebagai wujud

penolakan dan upaya penghentian dakwah Islam.

Secara umum, pendidikan Islam masa Rasulullah saw. dibedakan menjadi 2 tahap,

baik dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, maupun dari segi isi dan materi

pendidikannya, yaitu : (1) tahap/fase Makkah, sebagai awal pembinaan pendidikan

Islam, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya, (2) tahap/fase Madinah, sebagai fase

lanjutan pembinaan/pendidikan Islam dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya

(Zuhairini, 2008: 14-18). Pada fase makkah, pendidikan agama dilaksanakan oleh

Rasulullah saw. meliputi: (1) pendidikan keagamaan; (2) pendidikan aqliyah dan

ilmiah; (3) pendidikan akhlak dan budi pekerti; dan (4) pendidikan jasmani atau

kesehatan. Sedangkan pendidikan agama Rasulullah saw. pada fase Madinah meliputi:

(1) pembentukan dan pembinaan masyarakat baru (aspek sosial politik); pendidikan

sosial dan kewarganegaraan; (3) pendidikan anak (Zuhairini, 2008: 27; Yunus, 2008:

26; al-Mubarakfuri, 2016: 79). Pendidikan yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad

saw. tersebut dapat dijadikan gambaran dan contoh dalam menerapkan pendidikan

agama Islam kepada mualaf. Hal ini dikarenakan pada masa tersebut merupakan

generasi awal berkembangnya agama Islam dan masa umat manusia banyak yang

beralih keyakinan kepada Islam. Dengan demikian, pembinaan dan pendidikan agama

Islam yang dilaksanakan pada masa Rasulullah saw. dilaksanakan dengan memberikan

pengetahuan dan praktik yang mendasar dan berangsur-angsur kepada mualaf. Dengan

kata lain bahwa pendidikan dilaksanakaan secara dinamis dan komprehensif.

Terdapat beberapa penelitian terkait pendidikan bagi kaum mualaf, salah satunya

adalah yang telah dilakukan Ramlah Hakim. Hakim (2013: 1) menjelaskan bahwa di

Sulawesi Selatan, dalam pembinaan terhadap mualaf bersifat fluktuatif, yang ditandai

dengan aktivitas yang sifatnya insidentil. Keberadaan Mualaf menjadi sistematis karena

dalam berbagai aktivitas pembinaannya, diprakarsai oleh berbagai elite keagamaan

melalui berbagai yayasan/ormas keagamaan dan majelis taklim. Namun, beberapa

organisasi yang tadinya didirikan untuk merespon kepentingan mualaf seperti Nahdlatul

Ulama (NU), Muhammadiyah, pemerintah daerah bersama Kementerian Agama yang

sifatnya temporer hilang karena politik. Hal tersebut mengakibatkan kecenderungan

ideologis yang dianut para mualaf masih konsisten dengan doktrin Islam yang inklusif-

moderat.

6

Kemudian, Neny Noviza juga melakukan penelitian terhadap mualaf. Sebagaimana

dijelaskan oleh Noviza (2015: 185) bahwa pada subyek yang ditelitinya yaitu mualaf

Tionghoa Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Ho Palembang yang telah melakukan

konversi agama karena faktor yang berbeda-beda. Adapun faktor yang terkuat adalah

lingkungan. Ketiga Subyek mengalami semua tahapan konversi agama antara lain masa

tenang, masa ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan masa tentram, dan masa

ekspresi konversi. Adapun Sumber subyek dalam mempelajari agama barunya adalah

dari teman, buku, kemudian pemuka agama yang ada di Mesjid Al-Islam Muhammad

Cheng Ho. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi mualaf berdasarkan penelitian ini

adalah penyesuaian diri terhadap agama baru tentang cara beribadah dan terhadap

lingkungan keluarga dan pekerjaan.

Selanjutnya, terdapat penelitian tesis yang berjudul Pendidikan Agama Islam bagi

Mualaf pada basecamp Meratus di Kaki Pegunungan Meratus. Pada penelitian ini

memberikan pengetahuan tentang konsep pendidikan Agama Islam yang diterapkan

kepada mualaf di basecamp Meratus. Di dalamnya dijabarkan tentang tujuan, materi,

metode dan problematika yang ada. Basecamp tersbeut didirikan karena rasa solidaritas

dari pendidik terhadap warga di Pegunungan Meratus, khususnya mualaf. Dalam

pelaksanaan pendidikan Agama Islam, materi yang diajarkan berkisar tentang praktik-

praktik ibadah. Sementara metode yang digunakan yaitu metode ceramah, demonstrasi

dan praktik. Selian itu, problematika tidak luput dari pelaksanaan pendidikan

agamaIslam tersebut seperti minimnta saran dan prasarana, kemampuan baca tulis al-

Quran siswa, lingkungan fisik dan sosial (Nuthpaturahman, 2017: vi).

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, diperlukan kehadiran dan kontribusi kuat

serta pola pembinaan yang sesuai oleh lembaga pembinaan agama Islam bagi mualaf.

Kokohnya lembaga tersebut dapat menghantarkan mualaf untuk dapat memahami,

mendalami dan mengimplementasikan Islam selain sebagai agamanya juga sebagai

jalan hidupnya.

Kemudian, dalam tesis ini akan dilakukan penelitian terkait pembinaan mualaf

dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini dianggap menarik karena

beberapa hal yaitu: Pertama, adanya pendidikan bagi mualaf tentu sangat berbeda

dengan yang lain. Perlu pendekatan, metode, taktik dan aspek lainnya yang secara

khusus disiapkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak secara serta merta masyarakat

umum mampu memberikan pembinaan terhadap mualaf. Kedua, semangat, tekad, dan

nilai-nilai positif dalam diri mualaf itu sungguh luar biasa dan patut diteladani. Seperti

perjuangan mualaf dalam merubah keyakinan, merubah kehidupan dan lain sebagainya.

Hal ini merupakan perjuangan yang tidak mudah dan mengingatkan kita kepada

perjuangan baginda Rasulullah saw. dalam memperjuangkan Islam di atas segala-

galanya dan kepada semua umatnya. Artinya, semangat juang mualaf dapat dijadikan

ibrah dalam kehidupan beragama umat muslim lainnya. Terakhir, adanya lembaga

pendidikan dengan model pesantren khusus mualaf sangat menarik baik dari segi

eksistensi maupun kinerjanya. Beberapa hal yang menarik pesantren mualaf

diantaranya adanya penciptaan strategi khusus yang berbeda dengan pesantren pada

umumnya, menjadi ladang pahala umat muslim lainnya, memberi pelajaran kepada

kita bahwa sesama umat muslim harus saling membantu dan mengasihi, serta

pengabdian terhadap Allah swt. menjadi sorotan utama dalam hal ini. Demikianlah

beberapa alasan peneliti tertarik melakukan penelitian ini.

Selanjutnya, penelitian ini dilaksanakan di sebuah lembaga pendidikan pesantren

khusus pembinaan mualaf yang berada di wilayah Jabodetabek. Pesantren mualaf ini

7

telah lama didirikan dan program pendidikan juga telah dilaksanakan hingga kini.

Pondok pesantren khusus mualaf ini bernama Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan

an-Naba Center Indonesia. Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center

Indonesia merupakan salah satu lembaga pendidikan kegamaan yang khusus menaungi

mualaf. Namun, lembaga juga diperuntukkan bagi kaum dhuafa. Dakwah dan nilai

sosial adalah pondasi awal berdirinya pesantren. Pesantren ini didirikan oleh Ustadz

Syamsul Arifin Nababan yang juga dikenal sebagai ustadz, dai dan ulama, yang

mendedikasikan hidupnya dalam dakwah Islam. Sebelumnya beliau adalah seorang

pendeta dan penginjil yang gigih menyebarkan misi Kristen di kawasan Tapanuli,

Sumatera Utara dan sekitarnya. Pendirian Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-

Naba Center Indonesia bermula dari keprihatinan Ustadz Syamsul Arifin Nababan yang

mendapati para mualaf terlantar dan tidur di kolong-kolong Masjid Istiqlal Jakarta.

Kondisi mualaf tersebut sangat memprihatinkan karena setelah masuk Islam, mereka

terusir dari rumah dan hidup tanpa perlindungan orang tua atau keluarga. Alasan terkuat

memilih Islam sebagai agama mualaf karena keyakinan bahwa iman Islam sangat cocok

dalam memenuhi gemuruh batin akan kebenaran ajaran Islam (Brosur Ponpes, th: 1).

Dalam beberapa aspek, Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center

Indonesia dapat dijadikan model bagi pesantren lainnya. Diantaranya dalam aspek

kebersihan sangat dikagumi oleh pondok pesantren Darussalam. Pesantren Pembinaan

Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia dinilai telah secara utuh menerapkan

kalimat Kebersihan adalah sebagian dari iman (Republika, 2015: p. 3). Demikianlah

gambaran singkat tentang Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center

Indonesia sebagai tempat penelitian. Selanjutnya, setelah pemaparan-pemaparan terkait

problematika mualaf baik dari aspek diri mualaf, konsep pembinaan maupun peran

lingkungan pendidikannya, serta alasan menarik dilaksankaan kajian penelitian ini,

maka penelitian tesis ini akan diberikan judul yaitu Pendidikan Agama Islam bagi

Mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang dapat

diidentifikasi terdiri dari permasalahan-permasalahan yaitu:

a. Perhatian dan kepedulian masyarakat yang masih rendah terhadap mualaf, sehingga perkembangan dakwah Islam untuk mualaf masih belum optimal.

b. Pengetahuan mualaf yang masih minim tentang ajaran Islam, sehingga pemahaman dan pendalaman Islam harus secara ekstra dibina mulai dasarnya.

c. Implementasi Pendidikan Agama Islam bagi mualaf yang belum optimal, sehingga kualitas pemahaman dan pendidikan mualaf belum sepenuhnya sesuai,

menyeluruh dan mendalam terhadap nilai-nilai Islam yang diharapkan.

d. Lembaga dakwah untuk mualaf yang belum memadai dalam pemberian fasilitas baik bersifat materi maupun non materi kepada mualaf, sehingga pembinaan

terhadap mualaf kurang sistematis.

e. Beragamnya faktor-faktor yang melatarbelakangi mualaf melakukan konversi agama, sehingga perlu pengetahuan dan pendekatan khusus dalam pembinaan

agama mualaf.

f. Implikasi Pendidikan Agama Islam bagi mualaf yang masih rendah, sehingga Pendidikan Agama Islam yang diberikan kepada mualaf harus ditingkatkan

kualitasnya baik dari materi maupun non materi.

8

2. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, nampak bahwa masalah-masalah

tersebut sangat penting untuk dijawab. Namun permasalahan tersebut masih sangat

luas dan diperlukan pembatasan. Pembatasan masalah yang akan dikaji dan diteliti

dalam tesis ini adalah tentang implementasi Pendidikan Agama Islam untuk mualaf

dan implikasi Pendidikan Agama Islam bagi kaum mualaf di Pesantren Pembinaan

Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.

3. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah pokok dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana Pendidikan Agama Islam bagi mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia?

b. Apa faktor pendukung dan penghambat Pendidikan Agama Islam bagi mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia?

c. Apa implikasi Pendidikan Agama Islam bagi mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan memahami beberapa

hal, yaitu:

a. Mendeskripsikan Pendidikan Agama Islam bagi mualaf yang diterapkan di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.

b. Menguraikan faktor pendukung dan penghambat Pendidikan Agama Islam bagi mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.

c. Mengidentifikasi implikasi Pendidikan Agama Islam bagi mualaf di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.

2. Manfaat Penelitian Penelitian ini tentu diharapkan memiliki manfaat bagi penulis, lembaga terkait

dan lainnya baik secara teori maupun praktis.

Secara teori, penelitian ini diharapkan mampu menambah cakrawala

pengetahuan dan wawasan khususnya tentang pendidikan agama Islam bagi kaum

mualaf.

Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi gambaran bagi peneliti lainnya

untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih baik lagi.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

lembaga pendidikan mualaf khususnya di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan

an-Naba Center Indonesia berkenaan dengan Pendidikan Agama Islam bagi kaum

mualaf.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

a. Pengertian Pendidikan dan Agama Para pakar telah memberikan definisi terkait pengertian pendidikan agama

Islam dalam berbagai teori. Namun sebelumnya akan diulas pengertian

pendidikan dan agama. Tatang (2012: 17) dalam buku berjudul Ilmu Pendidikan

berpendapat bahwa pendidikan memiliki makna secara teoritis dan praktis yaitu

sebagai berikut: a) pendidikan berarti mengajarkan segala hal yang bermanfaat

bagi kehidupan manusia, baik terhadap aktivitas jasmani, pikiran maupun

terhadap ketajaman dan kelembutan hati nuraninya; b) pendidikan dapat berbasis

pada kebudayaan masyarakat, nilai-nilai agama, serta visi dan misi lembaga

pendidikan; dan c) pendidikan dapat berjalan, baik secara formal maupun

informal. Sedangkan dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan

yaitu:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas tahun 2003).

Makna pendidikan sangatlah luas, namun dapat dipersempit dengan

mengambil pemahaman dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di

atas. Pendidikan merupakan proses pengajaran yang dilaksanakan dengan sadar

dan dengan rencana sistematis terhadap segala nilai-nilai positif yang kemudian

memberikan manfaat bagi kehidupan pelaku pendidikan baik melalui lembaga

formal maupun informal. Hakikat arti pendidikan adalah kinerja, baik dikatakan

sebagai usaha maupun proses pengajaran. Keduanya tentu memiliki guna

mengembangkan potensi atau fitrah peserta didik dan diwujudkan dengan

pembelajaran yang aktif dan inovatif. Melalui potensi yang dimiliki peserta didik

itulah, dapat kemudian dikembangkan dan diambil manfaat bagi diri peserta

didik maupun lingkungannya.

Selanjutnya, setelah memahami pengertian pendidikan, maka berikut akan

dikemukakan pengertian agama menurut beberapa pakar. Secara etimologi,

agama bermakna sistematis, yang kemudian dapat dimaknai bahwa dengan

adanya agama dapat membuat segala sesuatu menjadi sistematis. Sebagaimana

dikemukakan oleh Nasution (1979: 9) dalam bukunya yang berjudul Islam

Ditinjau dari Beberapa Aspeknya bahwa kata agama tersusun dari dua kata yakni

a yang berarti tidak dan gama yang berarti pergi. Dari kedua kata tersebut

didapatkan pengertian bahwa agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi

secara turun temurun. Sedangkan menurut Anshari (1983: 5) dalam buku Ilmu,

Filsafat dan Agama, kata agama juga terdiri dari dua kata yang berasal dari

bahasa sansekerta, yakni a berarti tidak dan gama berarti kacau. Dengan kata lain

bahwa agama adalah tidak kacau, tidak kocar-kacir, teratur.

10

Secara terminologi, agama merupakan sebuah kepercayaan yang berkaitan

dengan hal ghaib dan dijadikan sebagai sistem dalam budaya, ritual dan sikap

hidup. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat beberapa pakar yaitu: Sidi Gazalba

sebagaimana dikutip oleh Alim (2011: 30) dalma bukunya yang berjudul

Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian

Muslim mendefinisikan agama sebagai kepercayaan manusia pada hubungan

yang Kudus, dihayati sebagai hakikat gaib, hubungan mana menyatakan diri

dalam bentuk serta sistem kultus dan ritus serta sikap hidup berdasarkan doktrin

tertentu. Hal senada yang disebutkan oleh Mahfud (2011: 3) dalam bukunya

yang berjudul Al-Islam; Pendidikan Agama Islam bahwa di dalam agama

mengandung makna yang luas, yang di dalamnya tidak hanya berlingkup pada

kepercayaan saja, namun meliputi seluruh sikap, tingkah laku, tata pergaulan dan

segala yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Dalam buku Primitive

Culture, Taylor (1871: 387) memberikan definis bahwa religion is the belief in

spiritual being... may broadly be defined as acceptance of obligations toward

powers higher than man him self.

Pendapat Taylor tersebut bermakna bahwa agama merupakan sebuah

kepercayaan dalam bentuk spiritual. Agama secara luas didefinisikan sebagai

proses penerimaan terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan lebih dari dirinya

(manusia). Hal tersebut dapat diintrepetasikan bahwa agama memegang

kekuasaan penuh untuk mendasari segala sesuatu tentang diri manusia dalam

menjalankan kehidupan dan mengeksistensikan dirinya.

Senada dengan pendapat diatas, Nasution (1979: 10) memaparkan bahwa

agama dapat diberi definisi sebagaimana berikut:

a) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib

yang harus dipatuhi; b) pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang

menguasai manusia; c) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang

mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia

yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; d) kepercayaan pada

suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; e) suatu sistem

tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib; f)

pengakuan terhadap kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada

suatu kekuatan gaib; g) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari

perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang

terdapat dalam alam sekitar manusia; dan h) ajaran yang diwahyukan Tuhan

kepada manusia melalui seorang Rasul.

Definisi oleh Nasution dapat dimaknai bahwa agama itu bersifat gaib yang

kemudian oleh manusia diberikan pengakuan untuk dipercayai sepenuh hati,

dipatuhi dan dijalankan. Adanya pengakuan tersebutlah yang akan menentukan

pola tingkah laku dan pengambilan keputusan kehidupan manusia. Akhirnya

segala pengakuan tersebut dimanifestasikan ke dalam kepatuhan terhadap wahyu

Tuhan kepada manusia melalui Rasul-Nya.

Sementara itu, Ismail dan Mutawalli (2012: 27) dalam bukunya yang

berjudul Cara Mudah Belajar Filsafat, bahwa pengertian agama berdasarkan

pemikir Eropa yaitu segala bentuk kepercayaan manusia, termasuk yang bersifat

khurafat (tahayyul) dan banyak berkembang sejak zaman kuno dalam masyarakat

11

primitif dan masyarakat beradab. Pendapat ini memberikan kesan bahwa agama

merupakan warisan masyarakat primitif dan masyarakat beradab. Sehingga,

pendapat ini dinilai kurang tepat dalam pemaknaan agama.

Agama dapat dipahami sebagai tombak pengendali kehidupan, yang

mengatur rohani juga jasmani manusia di muka bumi. Sangat nihil manusia hidup

apabila tidak memiliki agama. Ateisme dinilai tidak cocok dimiliki oleh manusia,

karena kebutuhan manusia baik spiritualitas maupun realitas kehidupan secara

sepenuhnya menjadi faktor dari adanya agama.

Kemudian, Tilaar (2005: 123) berpendapat bahwa agama merupakan ruang

pendidikan yang bersifat paling pribadi dan mendalam dalam kemerdekaan

manusia. Lebih lanjut Tilaar mengemukakan bahwa agama merupakan

penghayatan dan tanggung jawab pribadi dari makhluk ciptaan-Nya kepada sang

Pencipta (Tilaar, 2005: 123). Dengan demikian, agama adalah hal mutlak urusan

pribadi seseorang kepada Tuhannya. Manusia berhak memilih dan menyakini

agama manapun tanpa intervensi dan campur tangan dari orang lain.

Terdapat empat unsur dalam agama yang dijelaskan oleh Nasution,

sebagaimana dikutip oleh Alim (2011: 33-34) yakni: a) unsur kepercayaan

terhadap kekuatan gaib; b) unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat tergantung pada hubungan baik dengan

kekuatan gaib tersebut; c) unsur respons yang bersifat emosional dari manusia;

dan d) unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk

kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama

yang bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untukk menyelenggarakan

upacara dan sebagainya. Keempat unsur agama tersebut memberikan

pemahaman bahwa agama mencakup kepercayaan kepada hal gaib yang

mempengaruhi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dunia akhirat seseorang.

Atas dasar kepercayaan itulah, untuk kemudian manusia memberikan respons

secara emosional yang diwujudkan dalam pemikiran dan pola tingkah laku di

kehidupannya. Kepercayaan itu juga dinilai sarat dengan adanya kepercayaan

terhadap kitab suci, tempat peribadatan dan tempat lainnya yang berhubungan

dengan agamanya, upacara peribadatan dan lain sebagainya pada masing-masing

agama yang ada.

Pendapat lain dikemukakan oleh Alim (2011: 34), agama mempunyai lima

aspek yang terkandung di dalamnya yakni: a) aspek asal usulnya yaitu agama

samawi dan ardli; b) aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan manusia

agar hidup bahagia; c) aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan pada kekuatan

gaib dan hubungan baik terhadapnya serta terkait respon emosional manusia; d)

aspek pemasyarakatannya yaitu agama telah diwariskan secara turun temurun;

dan e) aspek sumbernya yaitu kitab suci. Pendapat tersebut memberikan

pemahaman bahwa agama memiliki ragam aspek, yang menjadi satu kesatuan

utuh untuk mengartikan agama. Secara luas, kelima aspek tersebut ditinjau mulai

dari asal usul, tujuan, ruang lingkup, pemasyarakatan dan sumbernya. Dengan

kata lain, agama manusia berasal dari agama samawi ataupun ardli, yang

bertujuan untuk pencapaian kebahagiaan manusia, berkaitan dengan keyakinan-

keyakinan, diturunkan turun temurun dan memiliki kitab suci sebagai panduan

keagamaannya.

Sementara itu, dalam sebuah jurnal di paparkan tentang identitas agama bagi

muslim itu memiliki tiga tingkatan yakni agama sebagai sumber identitas, agama

12

sebagai pilihan identitas dan agama sebagai pendeklarasian identitas (Peek, 2005:

223). Dalam hal ini, agama dijadikan identitas seorang muslim dengan

mengalami perubahan pemaknaan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap

kehidupan muslim sehari-harinya, sehingga timbul tingkatan terhadap

pemaknaan agama tersebut.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa agama

merupakan kompleksitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, agama yang

dipahami kepercayaan bersifat gaib dan untuk kemudian merupakan jalan selama

hidup manusia, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia

maupun dengan alam.

b. Pengertian Pendidikan Agama Islam Setelah dikemukakan tentang pengertian pendidikan dan agama secara

spesifik, berikut akan dikemukakan tentang pengertian pendidikan Agama Islam.

Pendidikan Agama Islam dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Hal

tersebut dapat dilihat dari kelembagaan dalam pembinaan agama Islam dan dapat

pula dilihat dari kurikulumnya yakni sebagai mata pelajaran tentang pendidikan

agama Islam. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kadi (2006: 312) dalam jurnalnya

bahwa education was articulated in two forms: institutions and compilations.

Pengertian Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah lembaga/ institusi

diantaranya seperti terkait dengan kuttab, masjid dan madrasah. Sedangkan

sebagai compilations, meliputi pernyataan-pernyataan, risalah dan buku-buku

(Kadi, 2006: 313-318). Dalam makna compilations tersebut lebih akrab dikenal

dan dipahami sebagai kurikulum.

Istilah pendidikan agama Islam dan pendidikan islam memiliki perbedaan

secara substansial. Ditegaskan oleh Muhaimin (2007: 6-7) bahwa "pendidikan

agama islam merupakan bavian dari pendidikan islam." Dalam hal ini, makna

pendidikan islam sangatlah luas, sedangkan pendidikan agama Islam hanya

bagian dari salah satu aspek dalam pendidikan Islam. Tafsir dalam Mardia (2015:

11) juga mengemukakan bahwa perbedaan tersebut yaitu, PAI dibakukan sebagai

sebuah kegiatan mendidik agama Islam, sedangkan PAI sebagai mata pelajaran

lebih cocok menggunakan istilah tanpa pendidikan karena materi yang diajarkan

adalah agama Islam bukan Pendidikan Agama Islam. Meskipun demikian, istilah

yang ditawarkan Tafsir tersebut baik Pendidikan Agama Islam maupun Agama

Islam dikaitkan dengan mata pelajaran, bukan sebagai hal krusial dan

mempengaruhi kualitas proses penyampaian materinya. Dengan kata lain, baik

agama Islam maupun Pendidikan Agama Islam secara substansi memiliki tujuan

akhir yang sama yakni memberikan materi-materi agama Islam guna kelak

manusia/ anak didik dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta

memberikan manfaat dalam pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pendidikan Agama Islam dapat dimaknai secara luas dan mendalam. Tidak

hanya terbatas pada pemahaman peserta didik terhadap agama Islam, namun juga

dalam implementasi kehidupannya. Lebih dari itu, juga melalui pendidikan

agama Islam dapat menjadi mediasi dalam membina persatuan dan kesatuan

keragaman bangsa. Dengan kata lain, aspek toleransi antar umat beragama

menjadi satu hal pokok dalam pendidikan agama Islam. Diperkuat oleh pendapat

beberapa pakar tentang pengertian pendidikan Agama Islam yaitu: Alim (2011:

13

6) memberikan definisi bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan program

yang terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,

menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam serta diikuti tuntutan untuk

menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar

umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Senada dengan

pendapat tersebut, pengertian Pendidikan Agama Islam lebih lanjut dikemukakan

oleh GBPP SMU yang dikutip oleh Hawi (2013: 19) yaitu usaha sadar untuk

menyiapkan siswa dalam menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan

agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengarahan atau latihan dengan

memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan

kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan kesatuan

nasional.

Sementara itu, Arifin (2003: 7) menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam

merupakan suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan

yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman

bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.

Berdasarkan pendapat ini, pendidikan agama Islam bermakna komprehensif dan

mendalam. Agama dimaknai sebagai bekal manusia dalam menjalankan

kehidupan dunianya dan mendapatkan manfaat kelak di akhirat. Singkatnya,

agama adalah tombak kehidupan dunia dan akhirat. Pendapat senada

dikemukakan oleh Tilaar bahwa pendidikan pemerdekaan keyakinan manusia di

dalam hubungannya dengan sang Pencipta (Tilaar, 2005: 123). Pendapat ini

memberikan keyakinan bahwa agama melalui pendidikan berarti memerdekakan

pilihan manusia terhadap keyakinannya terhadap Tuhan. Setelah manusia

memilih, maka melalui pendidikan yang ditempuhnya, mulai dipelajari dan

diperdalam terkait keyakinan agama yang telah dipilihnya. Dengan kata lain,

pendidikan agama merupakan pendidikan dalam pemenuhan kebutuhan agama

manusia berlandaskan kebebasan memilih. Dalam hal ini, campur tangan Sang

Pencipta terhadap agama manusia tampaknya tidak terlalu signifikan. Namun,

pada dasarnya pendapat Tilaar tersebut tidak dikerucutkan terhadap pandangan

satu agama yang ada di dunia. Terlepas dari takdir yang telah Sang Pencipta

tentukan terhadap agama manusia, pada dasarnya manusia memang yang

menjalani kehidupan di dunia. Tuhan telah memberikan pilihan jalan, namun

manusialah yang akan menentukan pilihannya. Keyakinan manusia kepada

Tuhan menjadi salah satu yang harus dipilih manusia.

Selaras juga dengan pendapat-pendapat di atas, menurut Arifin (2003: 22)

yaitu pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa

secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan

(kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal

pertumbuhan dan perkembangannya. Senada dengan pendapat-pendapat

sebelumnya, pendapat Arifin tersebut menitikberatkan bimbingan dan arahan

kepada anak didik tentang Islam. Pendidikan yang diberikan baik dalam hal

pengajaran, pemahaman dan/ atau peneladanan juga harus sesuai dengan masing-

masing karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Pertumbuhan

dan perkembangan menjadi pertimbangan penting guna pencapaian tujuan

pendidikan Islam yang dilakukan.

Pendidikan Islam sudah seharusnya tidak sekedar mengajarkan, namun juga

penerapan oleh anak didik menjadi hal utama tujuannya. Dapat dikatakan, sukses

14

atau tidaknya pendidikan adalah dengan melihat output yang dihasilkan baik

dalam sisi akademis maupun non akademis seperti personality, keterampilan dan

lain sebagainya. Diperkuat oleh Daradjat (2012: 86) bahwa Pendidikan Agama

Islam yaitu usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak

setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama

Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life). Selain itu,

Marimba (1989: 19) juga mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan

Agama Islam yaitu bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum Islam

menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Secara

substansi pendapat ini sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya yakni

membentuk kepribadian Islam. Namun perspektif berbeda yang dikemukakan

oleh Marimba dengan pendapat lainnya adalah terkait peran jasmani seseorang.

Selain rohani, jasmani dianggap penting dalam pembentukan karakter atau

kepribadian seseorang. Dengan demikian, keseimbangan antara jasmani dan

rohani dalam bimbingan agama Islam seseorang akan mampu membentuk

kepribadian sesuai ukuran Islam.

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Halstead (2004: 523-524) dalam

jurnal bahwa pendidikan Agama Islam memiliki prinsip-prinsip yaitu individual

development, social and moral education, serta acquisition of knowledge.

Pendidikan agama Islam dalam ketiga prinsip ini mempunyai arti sebagai

pengembang individu (anak) dengan bimbingan yang positif, penanaman nilai-

nilai sosial dan moral kepada anak, serta pemerolehan pengetahuan khususnya

tentang Islam. Sedangkan Langgulung mengemukakan terkait pendidikan Islam

yang dikutip oleh Muhaimin (2012: 36) bahwa tercakup dalam delapan

pengertian yaitu: 1) al-tarbiyah al diniyah; 2) talim al din; 3) al-talim al-diny;

4) al-talim al-islamy; 5) tarbiyah al muslimin; 6) al tarbiyah fi al Islam; 7) al

tarbiyah inda al muslimin; dan 8) al tarbiyah al-Islamiyah. Tidak berbeda

dengan pendapat-pendapat sebelumnya, pendapat Langgulung tersebut dapat

ditarik pengertian pendididikan Islam secara garis besar yakni tercakup dengan

pendidikan, agama, Islam, dan muslim. Sementara itu, Kazmi (2003: 288)

memberikan penegasan bahwa pendidikan atau lebih khususnya pendidikan

Islam haruslah menjadi tradisi pendidikan, bukan pendidikan tradisional.

Berdasarkan pendapat tersebut, pengertian tradisi pendidikan dan pendidikan

tradisional memiliki perbedaan makna. Apabila pendidikan dikatakan sebuah

tradisi, maka pendidikan (Islam) dapat secara turun temurun dilaksanakan

dengan/ atau konsep pendidikan (Islam) secara utuh maupun pengembangan.

Sedangkan pendidikan tradisional lebih mengarah kepada konsep pendidikan

dengan sistem pada zaman dahulu. Sistem tersebut cenderung tidak mengalami

pengembangan atau perubahan, namun dengan mempertahankan sistem yang

lama.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat diambil pemahaman bahwa

pendidikan agama Islam dalam sebuah lembaga merupakan salah satu bentuk

pembinaan agama Islam bagi satu atau sekumpulan orang guna memberikan

pemahaman, pengajaran, pendidikan serta pendalaman materi dan nilai-nilai

kegamaan untuk dapat diimplementasikan pada kehidupannya. Kemudian

Pendidikan Agama Islam sebagai kurikulum merupakan salah satu mata

pelajaran agama Islam bagi siswa yang diajarkan oleh seorang atau lebih guru

dalam suatu instansi sekolah, guna siswa dapat mempelajari, mendalami, dan

15

mampu menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-harinya. Selain

sebagai sarana pengenalan agama juga sebagai pandangan hidup siswa.

2. Tujuan Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam memiliki tujuan terhadap hakikat dan realitas

keberadaannya. Tidak luput juga seperti segala hal yang memiliki tujuan. Tujuan

akhir pendidikan agama Islam adalah penyelesaian misi manusia dan keberhasilan

manusia menjalani hidupnya di dunia serta keberhasilan dalam hal kebahagiaan di

akhirat kelak. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat pakar tentang tujuan pendidikan

Agama Islam yaitu: Arifin (2003: 28) mengemukakan bahwa tujuan akhir

pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi cita-cita ajaran Islam itu sendiri,

yang membawa misi bagi kesejahteraann umat manusia di dunia dan akhirat.

Senada dengan pendapat tersebut, al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Sholeh

(2006: 78-79) bahwa al-Ghazali secara eksplisit menempatkan dua hal penting

sebagai orientasi pendidikan yakni: a) mencapai kesempurnaan manusia untuk

mendekatkan diri kepada Allah swt.; dan b) mencapai kesempurnaan manusia untuk

meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sementara secara spesifik Winch dan

Gingell (2008: 9) mendeskripsikan tujuan pendidikan yakni ... they determine the

character of everything else: institutions, curriculum, pedagogy and assessment.

Makna dari pendapat tersebut yaitu pendidikan bertujuan untuk menentukan

pencapaian karakter baik melalui institusi, kurikulum, pedagogik dan penilaian.

Dalam hal ini, pendidikan meliputi segala aspeknya memiliki tujuan akhir

pencapaian karakter peserta didik. Sedangkan menurut Gregory sebagaimana dikutip

oleh Sharp bahwa arah pendidikan berfokus kepada pelengkapan pikiran guna

memahami fisik, sosial, dan budaya dunia. Dalam redaksinya yaitu ...education is

concerned with equipping minds to make sense of the physical, social and cultural

world (Sharp, 2006: 5). Dengan demikian, secara umum pendidikan bertujuan

untuk pengembangan diri manusia baik secara jasmani maupun rohani yang terukur

melalui rancangan dan penilaian, sehingga dapat mencapai manfaat yaitu

kebahagiaan dunia dan akhirat.

Senada dengan hal di atas, Peters mengemukakan pendapatnya tentang arah

pendidikan sebagaimana dikutip juga oleh Sharp (2006: 5) bahwa ...term education

it brings with it the implication that there is an intention to transmit, in a morally

acceptable way, something considered worthwhile. Maknanya, pendidikan

membawa dampak terhadap transformasi keinginan, melalui cara yang dapat

diterima secara moral, sesuatu yang dianggap berharga. Dengan kata lain,

pencapaian tujuan pendidikan mengarah kepada kehendak individu yang berharga

dan penuh moral. Hal ini menunjukkan bahwa aspek moralitas sangat diutamakan

baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun hasil akhir pendidikan. Sementara itu,

Arifin (2005: 92) mengemukakan bahwa secara umum fungsi pendidikan yaitu

mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkat sosial yang

berbeda. Pendidikan di sini memiliki peran besar dalam perkembangan dunia baik

dari segi kebudayaan maupun peradabannya. Pendidikan dimaknai sebagai penentu

globalisasi dunia ke arah yang positif.

Kemudian pendidikan pada level individu diartikan oleh Arifin (2005: 92) yaitu

....membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakhlak

mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi

16

dan transformasi dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia

pekerja menjadi manusia pemikir. Pendapat ini mempersempit penjabaran tehadap

fungsi umum pendidikan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Inti dari

pendidikan adalah perubahan individu manusia, dalam hal ini adalah peserta didik

ke arah yang lebih baik lagi. Perubahan tersebut tidak hanya dari segi personality

namun juga dalam jasmani.

Sedangkan, lebih terperinci yakni sesuai dengan penetapan empat kompetensi

inti dalam kurikulum nasional, maka Pendidikan Agama Islam memiliki tujuan

untuk meningkatkan kemampuan sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan

menjalankan ajaran agama Islam (Sutrisno, 2015: 150). Sementara itu, Daradjat

(2012: 30-33) mengemukakan bahwa terdapat empat tujuan pendidikan Islam yakni:

a) tujuan umum yaitu tujuan pendidikan Islam haruslah dikaitkan dengan tujuan

pendidikan nasional dan tujuan institutional lembaga yang menyelenggarakan

pendidikan tersebut; b) tujuan akhir yaitu yang sesuai dengan QS. Ali Imran ayat

102 yang mengandung pengertian bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah

terwujudnya insan kamil yang kelak akan meninggal dunia dan menghadap

Tuhannya dalam keadaan muslim; c) tujuan sementara yaitu tujuan yang akan

dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan

dalam suatu kurikulum formal atau dengan kata lain anak didik telah menunjukkan

ketakwaannya meskipun dalam standar minimal; dan d) tujuan operasional yaitu

anak didik telah dituntut untuk memiliki suatu kemampuan atau keterampilan

tertentu. Tujuan pendidikan Agama Islam menurut Daradjat tersebut secara

kompleks dan mendalam dengan melihat berbagai sudut pandang tujuannya. Seluruh

aspek tujuan pendidikan Agama Islam tersebut berkorelasi penuh dalam kehidupan

manusia dan terlaksana di tri pusat pendidikan yakni keluarga, sekolah dan

lingkungannya. Manusia sebagai pelaku kehidupan menjalani pendidikan Agama

khususnya Islam pada tri pusat pendidikan tersebut untuk kemudian dapat mencapai

kualitas diri yang sempurna selama hidupnya baik soft skill maupun hard skillnya.

Tidak berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, beberapa ciri tujuan

pendidikan Islam dikemukakan oleh Nata (1997: 53-54) dalam bukunya yaitu: a)

mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-

baiknya; b) mengarahkan manusia melaksankaan tugas kekhalifahannya di muka

bumi dengan niat ibadah kepada Allah swt.; c) mengarahkan manusia agar

berkakhlak mulia; d) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani;

dan e) mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat. Sementara itu, Arifin mengemukakan sebagaimana dikutip oleh Hawi

(2013: 20) bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina dan mendasari

kehidupan anak dengan nilai-nilai syariat Islam secara benar sesuai dengan

pengetahuan agama. Hawi (2013: 21) sendiri memberikan pendapat bahwa untuk

membentuk manusia yang mengabdi kepada Allah, cerdas, terampil, berbudi pekerti

luhur, bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat guna tercapainya

kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua pendapat tersebut memberikan pemahaman

bahwa tujuan pendidikan Islam yakni membimbing manusia, khususnya peserta

didik untuk berjalan lurus di dunia dan mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.

Daulay (2004: 164) juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah

terkait dengan otak (knowledge), hati (value) dan tangan (psikomotorik) peserta

didik yang mana ditujukan agar peserta didik dapat berperilaku dan bertindak sesuai

dengan tuntutan agamanya. Sedangkan dalam konsep Islam, menurut Mahfud (2011:

17

145) adalah harus mengarah kepada hakikat pendidikan itu sendiri, yang mana

meliputi berbagai aspek yaitu tujuan dan tugas hidup manusia, sifat-sifat dasar

manusia, tuntutan masyarakat dan aspek lainnya. Pendapat yang telah dikemukakan

oleh Arifin, Hawi, Daulay dan Mahfud tersebut memiliki kesamaan persepsi dalam

merumuskan tujuan pendidikan agama Islam. Selain itu juga selaras dengan

pendapat pakar yang telah dikemukakan sebelumnya. Pemahaman yang dapat

diambil dari tujuan pendidikan agama Islam adalah pemenuhan misi akhir

kehidupan yakni mencapai kebahagiaan dunia akhirat dan penyempurnaan kualitas

diri manusia baik yang bersifat soft skill maupun hard skill yang melibatkan seluruh

komponen diri seperti otak, hati, tangan dan juga melibatkan komponen

lingkungannya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat diambil pemahaman terkait tujuan

pendidikan agama Islam. Secara umum, tujuan pendidikan agama Islam aadalah

mengarahkan manusia, khususnya peserta didik dalam memahami, mendalami dan

mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya , yang

terbentuk kualitas diri baik secara soft skill maupun hard skill. Kemudian, mendapat

kebahagiaan di akhirat kelak merupakan tujuan akhirnya.

3. Dasar Pendidikan Agama Islam Pendidikan Islam sebagai ilmu pengetahuan, tentu memiliki dasar-dasar sebagai

bekal pemahaman pengetahuan kepada manusia dan manusia dapat mengamalkan

dalam kehidupannya. Minarti (2013: 41) menyebutkan bahwa dasar-dasar

pendidikan Islam dibagi menjadi dua yakni a) dasar ideal, meliputi al-Quran,

sunnah (hadist), alam semesta dan ijtihad; dan b) dasar operasional, meliputi dasar

historis, dasar sosial, dasar ekonomi, dasar politik dan administratif, dasar psikologis

serta dasar filosofis. Sedangkan Mardia (2015: 16-17) mengemukakan bahwa dasar

Pendidikan Agama Islam yaitu: a) dasar yuridis, meliputi dasar ideal dan struktural/

konstitusional; dan b) dasar religius (agama). Secara rinci akan dijabarkan

sebagaimana berikut:

Pertama, dasar yuridis. Merupakan dasar pendidikan yang pelaksanaannya

bersumber dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung ataupun tidak

yang meliputi: a) dasar ideal, merupakan sebuah dasar yang diperoleh dari falsafah

negara Indonesia yakni Pancasila sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa.

Dalam TAP MPR No. II/MPR/1999 disebutkan bahwa:

Dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan

kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan yang Maha Esa, dan oleh

karena itu manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan yang Maha

Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab.

Selanjutnya, b) dasar struktural/ konstitusional, yang tertera dalam Undang-

Undang Dasar (UUD) tahun 1945 Bab XI pasal 29 bahwa: (1) Negara berdasar atas

Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan

kepercayaannya itu; dan (3) dasar operasional, sebagai dasar pelaksanaan yang

diambil dari TAP MPR RI. Di dalamnya memuat peraturan secara langsung tentang

18

implementasi pendidikan agama. Selain itu, beberapa dasar Pendidikan Islam

sebagaimana dikemukakan Minarti yaitu terdiri dari: (1) Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 Pasal 29, yang menegaskan bahwa adanya eksistensi pendidikan Islam

diberikan ruang ekspresi untuk mengembangkan diri secara proporsional menjadi

sistem pendidikan yang solutif; dan (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dapat dilihat pada pasal 15, 2 dan 30

(Minarti, 2013: 57-61).

Kedua, Dasar religius (agama). Merupakan dasar yang bersumber dari ajaran

Islam yakni yang tercantum dalam al-Quran dan Hadist. Dasar religius tersebut

antara lain: a) QS. Ali Imran (4) ayat 104, yang berbunyi:

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

yang munkar[217];

merekalah orang-orang yang beruntung. [217]

Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan

munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Selanjutnya, b) QS. An-Nahl (16) ayat 125, yang berbunyi:

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang

tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang

mendapat petunjuk. [845]

Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan

antara yang hak dengan yang bathil.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Agama Islam memiliki

dasar normatif yang terkandung dalam sumber-sumber hukum Islam yakni al-

Quran dan hadist. Selain itu, juga memiliki dasar yuridis yang tercakup dalam

peraturan undang-undang sebagai bentuk penyeragaman dasar secara kenegaraan.

Melalui dasar-dasar tersebut, pendidikan Agama Islam dapat dilaksanakan dengan

terstruktur dan terarah.

19

4. Ruang Lingkup Kajian terkait ruang lingkup Pendidikan Aga