pendeteksian pewarna tekstil
TRANSCRIPT
1
PENDETEKSIAN PEWARNA TEKSTIL
DALAM MAKANAN SECARA SEDERHANA
Oleh : Zufri Hasrudy Siregar, M.Eng
PENDAHULUAN
Makanan yang dihasilkan oleh industri-industri selain
mengandung bahan utama yang bergizi, juga mengandung zat-zat
tambahan yang tidak mengandung nilai gizi. Zat-zat tambahan ini
meliputi zat pewarna, zat penyedap, zat pemanis, zat pengharum, dan zat
pengawet. Zat – zat tambahan inilah yang disebut zat aditif.
Menurut Fransiska Zakaria (1992 : 13) pemakaian zat aditif pada
makanan dan minuman diijinkan selama zat tersebut berfungsi untuk
mempertahankan kualitas gizi makanan dan mempertinggi mutu atau
stabilitas dengan mengurangi kerusakan makanan. Sedangkan menurut
Zainal Asikin ,dkk (1986: 136) pemakaian zat aditif diperbolehkan selama
zat tersebut dapat berfungsi untuk membuat makanan lebih menarik,
tetapi tidak untuk menutupi kelemahannya dan memang zat tersebut
diperlukan pada proses pengolahan bahan makanan tersebut. Jadi jelaslah
bahwa pemakaian zat aditif tidak diijinkan jika dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan konsumen.
2
Penelitian yang dilakukan YLKI tahun 1990 terhadap beberapa
makanan jajanan di sekitar SD Jakarta Selatan , Semarang, dan Surabaya
membuktikan bahwa beberapa makanan jajanan seperti pisang molen dan
manisan kedondong ternyata mengandung zat pewarna terlarang methanil
yellow (Intisari, 1991). Hasil pengujian yang dilakukan oleh Lembaga
Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang menunjukkan
bahwa dari 58 sampel makanan di Kotamadya Semarang yang biasa
disukai anak-anak SD, seperti es dan makanan jajanan lainnya, 43,1%-nya
mengandung rhodamine B (salah satu zat pewarna tekstil) dan 12,07%
mengandung methanil yellow, keduanya termasuk zat pewarna yang
berbahaya untuk makanan (Jawa Pos, 28 Januari 1991).
Hasil penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Sihombing
yang dimuat dalam Warta Konsumen No. 163 (1987 : 14) membuktikan
bahwa rhodamine B dan methanil yellow bersifat racun dan karsinogenik
terhadap tikus dan mencit, sedangkan Irving Sax menyatakan bahwa
auramine bersifat karsinogenik bagi manusia menurut hasil eksperimen
yang dilakukannya. Penelitian oleh Miller (1986) melengkapi informasi
tentang bahaya zat pewarna terlarang terhadap kesehatan manusia, yaitu
zat pewarna butter yellow yang dapat menyebabkan kanker hati (Subandi,
2000 : 239-241).
Berdasarkan berbagai fakta yang ada di lapangan tersebut, maka
perlu bagi masyarakat untuk dibekali cara pendeteksian zat pewarna yang
3
berbahaya bagi kesehatan berupa langkah-langkah sederhana yang dapat
dilakukan sekalipun oleh masyarakat awam.
ZAT PEWARNA
Pada dasarnya, alam sudah menyediakan segala sesuatu yang
diperlukan manusia, termasuk kebutuhan akan zat pewarna. Zat pewarna
yang berasal dari alam disebut zat pewarna alami. Zat pewarna alami
lebih aman penggunaannya, karena tidak mempunyai efek samping yang
menbahayakan bagi konsumen yang mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat warna tersebut. Akan tetapi zat pewarna alami telah
bergeser penggunaannya, karena zat pewarna ini mudah sekali memudar
dan kurang cemerlang warnanya, sehingga makanan menjadi kurang
menarik.
Kurkumin merupakan zat pewarna alami yang diperoleh dari
kunyit. Zat ini dipakai dalam minuman yang tidak mengandung alkohol,
seperti sari buah, margarin dan mentega. Warna hijau secara alami dapat
diperoleh dari daun dan buah, seperti daun suji, dan daun pandan. Zat
warna ini disebut dengan klorofil. Sedangkan untuk warna merah dapat
diperoleh dari tomat, orange dari wortel, coklat dari karamel.
Adanya kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, manusia
berusaha mendapatkan bahan pewarna yang praktis yang identik dengan
zat warna aslinya yang dikenal dengan zat pewarna sintetis. Zat pewarna
4
sintetis lebih mudah diperoleh dan praktis dalam penggunaannya. Bahan
pewarna sintetis yang didapatkan tidak hanya untuk makanan, tetapi
juga untuk kepentingan industri lain seperti pewarna tekstil, cat, kertas,
kulit dan sebagainya. Pada kenyataannya, pada industri kecil penggunaan
zat ini tidak dapat dikontrol, sehingga berakibat zat pewarna yang bukan
untuk makan dan berbahaya bagi tubuh manusia digunakan untuk
mewarnai makanan.
Pada umumnya bahan pewarna yang berbahaya harganya
memang lebih murah daripada pewarna yang diijinkan untuk makanan
dan kemasannyapun kurang baik (dibungkus kertas atau plastik),
sedangkan bahan pewarna yang diijinkan umumnya dikemas dalam botol
dari gelas. Hasil penelitian yang dilakukan Subandi (Agustus – September
1990) di 6 pasar Kotamadya Malang, menunjukkan bahwa dari 58 sampel
yang diperiksa, 41 sampel (78,9%) menggunakan rhodamine B, 5 sampel
(9,6%) menggunakan pewarna merah lain yang tidak diijinkan untuk
makanan dan hanya 6 sampel (11,5%) yang menggunakan pewarna yang
diijinkan untuk makanan.
Pada industri kecil, zat warna tekstil masih banyak digunakan
sebagai pewarna makanan. Menurut Ircham Machfoedz dan Rishadi
(Kedaulatan Rakyat, 30 Maret 1989), zat pewarna tekstil yang masuk pada
kategori berbahaya adalah : rhodamine B (warna merah), methanil yellow
(warna kuning) dan melachite green (warna hijau).
5
Zat pewarna sintetis yang diijinkan untuk pewarna makanan oleh
FDA (Food and Drug Administration) ada 8, yaitu : alura red (merah),
erythrosine (merah), brilliant blue FCF (biru), indigo carmine (biru), sunset
yellow FCF (kuning), tartrazine (kuning), fast green FCF (hijau) dan benzil
violet (ungu). Sedangkan menurut Hardojo (1987) selain ke-8 zat pewarna
tersebut, masih ada 4 zat pewarna yang diijinkan oleh Permenkes RI, yaitu
amaranth (merah), green S (hijau), ponceau 4R (merah), dan quinoline yellow
(kuning).
PENDETEKSIAN ZAT PEWARNA TEKSTIL
Cara yang sederhana dapat digunakan untuk mendeteksi zat
warna adalah dengan menggunakan kromatografi kertas, karena daya
kelarutan antara zat pewarna makanan dengan zat pewarna tekstil
berbeda. Zat pewarna tekstil tidak mudah larut dalam air. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut air ( PAM, air destilasi, atau air sumur bor).
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Buatlah larutan dari zat pewarna yang dicurigai dalam air sehingga
mencapai konsentrasi 1,0 mg/mL atau 1 g/L.
2. Teteskan larutan tersebut pada ujung kertas saring yang berukuran 20 x
20 cm kira-kira pada 2 cm dari ujung kertas saring. Jumlah tetesan
antara 1 – 2 tetes.
6
3. Masukkan ke dalam gelas yang telah diisi air secukupnya (1 – 1,5 cm
dari dasar gelas). Gantungkan kertas saring dengan posisi ujung yang
ada tetesan larutan yang akan dideteksi tersebut di bawah sampai
menyentuh air dalam gelas. Air akan terhisap secara kapiler atau
merambat ke atas kertas saring. (Catatan : penggantungan kertas saring
dapat dilakukan dengan sepotong kayu atau sedotan minuman lalu
dijepit dengan penjepit kertas di kanan kirinya).
4. Biarkan air merambat sampai ¾ tinggi gelas.Baru kemudian kertas
diangkat dan dikeringkan di udara.
5. Seluruh analisa dapat selesai kurang dari 1.5 jam. Jika zat pewarna yang
dicurigai memang zat pewarna tekstil, maka zat pewarna tersebut
praktis tidak bergerak dari tempat pertama diteteskan, karena zat
pewarna tekstil sukar larut dalam air.
Cara ini sangat praktis untuk mengecek atau mengidentifikasi zat
pewarna yang akan digunakan sebagai pewarna makanan yang kita buat.
Pendeteksian juga dapat dilakukan terhadap makanan yang dicurigai
mengandung zat pewarna tekstil, seperti makanan yang warnanya
mencolok. Langkah awal untuk pendeteksian adalah dengan
mencelupkan/melarutkan makanan tersebut ke dalam air beberapa saat
sampai terjadi perubahan warna pada air, kemudian air yang telah
berwarna tersebut siap untuk dideteksi secara kromatografi kertas.
7
PENUTUP
Demikianlah cara sederhana untuk mendeteksi zat warna sintetis
yang dapat dilakukan dengan mudah, aman, cepat, dan praktis. Dengan
cara ini diharapkan konsumen dapat melakukannya sendiri bila melihat
makanan yang mengandung zat pewarna yang mencurigakan sebelum
dikomsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Asnely MZ. (1991). Mendeteksi Zat Pewarna Tekstil Secara Sederhana.Kompas. Tanggal 28 November 1991.
Fransiska Zakaria. (1992). Komponen Kimia Berbahaya. Materi PelatihanSingkat : Keamanan, Standar, dan Peraturan Pangan. PAU Pangandan Gizi IPB.
Hardojo. (1987). Salinan Permenkes RI No. 235/MenKes/Per/VI/79 tentangBahan Tambahan Makanan. Surabaya : Kanwil DepKes Jawa Timur.
Ircham Machfoedz dan Rishadi. (1989). Zat Pewarna Tekstil Berbahaya PadaMakanan. Kedaulatan Rakyat. Tanggal 30 Maret 1989.
N. Irving Sax. (1979). Dangerous Properties of Industrial Materials. New York: Van Nostrand Reinhold Co.
Subandi. (2000). Penggunaan Pewarna Terlarang Sebagai Pewarna Makanandan Minuman di Indonesia. Malang : Jurnal MIPA danPengajarannya.
Zainal Asikin, dkk. (1986). Penuntun Belajar Kimia : Teori dan 444 soal.Jakarta : Penerbit Widjaja.