pendahuluan 1.1 latar belakang...

26
10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18 hingga negara tersebut memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Menurut Gopal (2009), penjajahan India mulai pada tahun 1757 dengan Pertempuran Plassey yang memberi kemenangan pada British East India Company, sebuah perusahaan Inggris yang sangat besar di India, sehingga perusahaan ini memiliki kuasa untuk mengontrol Diwani Bengali. Kemudian pada tahun 1857 terjadi perang kemerdekaan pertama yang dikenal oleh Inggris sebagai Sepoy Mutiny. Sederetan peristiwa besar yang berkaitan dengan pendudukan penjajah terjadi di India hingga pada tahun 1945, yaitu saat Perang Dunia II berakhir. Pada tahun 1947 India memperoleh kemerdekaan, dan Inggris tidak lagi memegang kekuasaan. India akhirnya menjadi negara republik pada tahun 1950 dan, pada tahun 1952, mengadakan pemilihan umum pertama. Serangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa India memiliki pengalaman kolonial: India pernah dijajah dan dikuasai oleh pihak kolonial. Penguasa kolonial pernah mengatur segala aspek dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa India merupakan masyarakat pascakolonial. Karena begitu lamanya pendudukan Inggris di India, dan begitu kuatnya pengaruh kolonial Inggris terhadap masyarakat India, masyarakat India masih mau menerima dan mengalami pengaruh kebudayaan kolonial – meskipun Inggris

Upload: doannhan

Post on 11-Mar-2019

248 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18

hingga negara tersebut memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Menurut Gopal

(2009), penjajahan India mulai pada tahun 1757 dengan Pertempuran Plassey

yang memberi kemenangan pada British East India Company, sebuah perusahaan

Inggris yang sangat besar di India, sehingga perusahaan ini memiliki kuasa untuk

mengontrol Diwani Bengali. Kemudian pada tahun 1857 terjadi perang

kemerdekaan pertama yang dikenal oleh Inggris sebagai Sepoy Mutiny. Sederetan

peristiwa besar yang berkaitan dengan pendudukan penjajah terjadi di India

hingga pada tahun 1945, yaitu saat Perang Dunia II berakhir. Pada tahun 1947

India memperoleh kemerdekaan, dan Inggris tidak lagi memegang kekuasaan.

India akhirnya menjadi negara republik pada tahun 1950 dan, pada tahun 1952,

mengadakan pemilihan umum pertama. Serangkaian peristiwa ini menunjukkan

bahwa India memiliki pengalaman kolonial: India pernah dijajah dan dikuasai

oleh pihak kolonial. Penguasa kolonial pernah mengatur segala aspek dalam

masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa India merupakan masyarakat

pascakolonial.

Karena begitu lamanya pendudukan Inggris di India, dan begitu kuatnya

pengaruh kolonial Inggris terhadap masyarakat India, masyarakat India masih

mau menerima dan mengalami pengaruh kebudayaan kolonial – meskipun Inggris

Page 2: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

11

sudah tidak berkuasa lagi di sana. Besarnya pengaruh kolonial Inggris ini bisa

dilihat dengan sangat jelas dari bahasa yang digunakan. Menurut Kulper (2011:

16), salah satu peninggalan kolonial di India adalah aturan Inggris untuk

menggunakan bahasa Inggris di lingkungan formal. Hal ini menjadikan India

sebagai salah satu negara terbesar yang menggunakan bahasa Inggris, yang

menunjukkan betapa kuatnya kontrol kolonial sehingga mampu menguasai negara

dengan bahasa. Dalam hal pendidikan, misalnya, penerapan kurikulum di India

sudah bergaya Barat seperti dinyatakan oleh Stein (2010: 233): These educational

developments are usually referred to as ‘western’ , meaning schooling based upon

the curricula of upper schools, colleges and professional (e.g. law) schools in

Britain, with English the medium of instruction. (Perkembangan pendidikan

mengacu ke arah “kebarat-baratan”, yang berarti bahwa pengajaran berdasarkan

kurikulum sekolah yang lebih tinggi, sekolah profesi misalnya hukum yang ada di

Inggris yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantarnya). Kutipan ini

jelas menunjukkan bahwa, setidaknya dalam bidang pendidikan, konsep ‘western’

menjadi rujukan, sampai pada tataran kurikulum yang berlaku di Inggris. Jika

dikaitkan dengan cakupan teori pascakolonial, salah satu kemungkinan

perhatiannya menurut Lo and Helen (1998) dalam Faruk (2007) adalah pada

kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa terhadap

kebudayaan penjajah, baik sebagai efek penjajahan yang masih berlangsung

sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam

bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global). Maka India juga

termasuk dalam cakupan tersebut karena di masa pascakolonial ini India masih

Page 3: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

12

menjalani budaya peninggalan penjajah. Dengan kata lain, India termasuk salah

satu masyarakat yang masih menjalani kebudayaan yang ditinggalkan oleh

penjajah Eropa, dalam konteks ini Inggris.

Meskipun India merupakan masyarakat dan kebudayaan bekas jajahan

Eropa, orang-orang India tidaklah pasif. Masyarakat pascakolonial India tetap

melestarikan budaya nenek moyang, disamping menjalankan budaya peninggalan

penjajah. Menurut Sigh (2005: 132), di akhir kolonialisme India bisa

memodernkan dirinya sendiri dengan budaya yang dimiliki, meskipun India tetap

mengambil sisi intelektual kolonial. Masyarakat pascakolonial India juga

menanggapi peninggalan penjajah dengan cara meniru atau melakukan mimikri.

Sebagaimana diungkapkan oleh Homi K. Bhabha (1994: 86), the discourse of

mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry

must continually produce its slippage, its excess, its difference. Dari situ dapat

dilihat bahwa wacana mimikri dibangun dari suatu ambivelensi: supaya efektif,

mimikri secara terus-menerus menciptakan keterpelesetan, keberlebihan dan

perbedaan. Dalam bidang sastra, seperti ditulis dalam bukunya Upamayu Pablo

Mukerjee (2010: 3) bahwa masyarakat pascakolonial India menulis karya sastra

dalam bahasa Inggris, sehingga muncul Indian English Novel. Tulisan

kontemporer dalam bahasa Inggris tersebut, selain berisi kondisi masyarakat

pascakolonial sendiri, juga mengandung kritikan terhadap rezim kolonial yang

pernah berkuasa. Berbagai pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat India,

sebagai masyarakat bekas jajahan, tetap aktif, tidak diam menerima pembentukan

dan peninggalan penjajah. Aktivitas ini terwujud melalui kritikan terhadap rezim

Page 4: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

13

kolonial, yang menunjukkan bahwa masyarakat merasa tertekan dengan rezim

tersebut.

Respon aktif yang ditunjukkan masyarakat India tersebut menjadikan

masyarakat India sebagai masyarakat yang berlapis atau dualistik. Artinya,

mereka menjalankan tradisi India sendiri sekaligus konsep peninggalan kolonial.

Sementara itu, tradisi maupun kolonial memiliki aturan masing-masing, yang

suatu ketika aturan tersebut cenderung menjadi tekanan bagi masyarakat India

sendiri.

Salah satu Indian English Novel yang tampaknya sarat dengan nilai-nilai

kehidupan masyarakat pascakolonial India yang dualistik ini adalah The God of

Small Things karya Arundhati Roy. Novel ini adalah novel pascakolonial yang

ditulis oleh Roy, seorang aktivis perempuan India, pada tahun 1996, kemudian

mendapatkan penghargaan terbaik dari Booker Prize pada tahun 1997. Seperti

diungkapkan oleh Tickell (2007: 3), The God of Small Things [is] set in the

southern Indian state of Kerala and divided, chronologically, between the late

1960s and the early 1990s, seting yang diambil adalah Kerala (India) pada akhir

tahun 1960an sampai awal tahun 1990an. Karena Arundhati Roy dilahirkan dari

seorang ibu dari Kerala, India Selatan, yang beragama Kristen Siria dan ayah asli

Bengali yang beragama Hindu, dia mengalami ketegangan budaya yang berbeda

dari kedua orang tuanya, yaitu Kerala dan Bengali. Selain itu, ia menyaksikan

kondisi masyarakat India pasca-kemerdekaan, termasuk konflik yang terjadi

karena pengaruh kolonial. Kedua hal ini mempengaruhi penulisan novel The God

of Small Things. Seperti yang diungkapkan salah satu juri pada saat

Page 5: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

14

penganugrahan Booker Prize, With extraordinary linguistic inventiveness,

Arundhati Roy funnels the history of South India through the eyes of seven-year-

old twins. The story she tells is fundamental as well as local… (Thampi,

2000:130). Yang dimaksud dengan fundamental sekaligus lokal adalah bahwa

kehidupan yang dilukiskan novel ini tidak terbatas hanya pada ruang dalam

kehidupan masyarakat secara luas, tetapi juga lokal, ruang domestik dalam

keluarga.

Setelah penerbitannya, karya ini banyak dikaji, baik dari sisi isu sosial

masyarakat maupun dari sisi kolonialisme dan pascakolonialisme, sebab – jika

dikaitkan dengan sejarah India pada masa pasca-penjajahan Inggris – secara

umum novel ini memotret kehidupan masyarakat India pasca-kemerdekaan.

Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

sebagian besar peristiwa dari akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1990-an,

maka kehidupan masyarakatpun tidak akan jauh dari apa yang terjadi dalam

sejarah India sebenarnya.

Patchay (2007) meneliti novel ini dalam disertasinya. Kajiannya

menunjukkan adanya penderitaan karena memori atau kenangan masa lalu

karakternya. Ia mengatakan bahwa The God of Small Things berada dalam

cakupan pascakolonial karena setingnya mengambil India sebagai masyarakat

pascakolonial dan menunjukkan dampak hilangnya sejarah suatu keluarga yang

disebabkan bukan hanya karena efek kolonialisme, tetapi juga banyak dipengaruhi

oleh relasi keluarga dalam struktur budaya India (Patchay: 152). Selain itu, ia

menyatakan bahwa Roy mencari puing-puing kehancuran dua rumah yang

Page 6: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

15

diceritakan (Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah) serta karakter-karakternya

dan pada saat bersamaan menggali memori masa lalu. Dapat disimpulkan bahwa

penelitian ini fokus pada hilangnya sejarah masa lalu dan pengalaman buruk yang

dialami karakter dalam relasi kehidupan keluarganya dalam masyarakat

pascakolonial. Namun demikian, penelitian ini tidak melihat adanya korelasi

antara hilangnya sejarah masa lalu – yang berkaitan dengan sejarah India- dengan

jejak-jejak kolonial. Rumah Ayemenem sebagai rumah “keinggris-inggrisan”

tidak dibahas sebagai dampak kolonial, dan Rumah Sejarah sebagai sesuatu yang

hilang atau hilangnya masa lalu tidak dibahas pula sebagai manifestasi terhadap

tidak bisa kembalinya masyarakat India kepada budaya asli.

Sementara itu, penelitian dalam tesis Sun Siao Jing (2009: 5) melihat

adanya signifikansi hal-hal kecil yang terjadi di Rumah Ayemenem. Dengan re-

mapping hal-hal kecil dalam rumah tersebut, ia meneliti interelasi antara place,

people dan space. Place yang dimaksud dalam penelitian tersebut diidentifikasi

oleh sejarah dan pengalaman personal, bukan oleh perubahan lanskap.

Pengalaman personal tersebut akan menghasilkan space kehidupan atau life space

sehingga life space ini masih mengandung sense place. Meskipun lanskap yang

diceritakan dalam tiga tempat utama dalam novel ini (yaitu Rumah Ayemenem,

Sungai Menachal, dan Rumah Sejarah) mengalami perubahan, namun bagi si

kembar, Rahel dan Estha, Rumah Ayemenem tetaplah seperti place yang dulu

mereka kenal sebelum meninggalkannya. Pikiran mereka tentang Rumah

Ayemenem telah dibentuk oleh peristiwa sejarah, pengalaman dan kenangan masa

lalu, yaitu kematian Velutha (kalangan kelas bawah yang dekat dengan mereka).

Page 7: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

16

Sedangkan space di sini adalah life space atau ruang kehidupan. Life space ini

terbentuk dari hal-hal kecil dalam Rumah Ayemenem yang memiliki

signifikansinya sendiri. Misalnya, smell atau ‘aroma’ yang berbeda-beda bagi tiap

karakter. Aroma parfum mewah Margareth adalah kecemburuan Mamachi

terhadap Chacko. Smell yang mereka rasakan menciptakan spaces atau ruang-

ruang yang mereka miliki sendiri.

Penelitian pertama membahas masyarakat pascakolonial India, terutama

relasi hubungan keluarga dalam keluarga India (yaitu Rumah Ayemenem dan

Rumah Sejarah) yang berhadapan dengan struktur kebudayaan India dan puing-

puing rumah-rumah tersebut. Namun, dalam kajian ini belum dibahas secara

spesifik kondisi rumah sebagai ruang tempat relasi keluarga tersebut berlangsung,

sebagai lingkungan dengan struktur budaya India (Timur), dan mengapa

kehancuran itu terjadi pada masyarakat pascakolonial. Sedangkan penelitian

kedua mencoba mencari hubungan antara place (Rumah Ayemenem, Sungai

Menachal, Rumah Sejarah), space dan orang-orang yang menghuni place tersebut.

Meskipun penelitian ini telah menyinggung masalah space, ruang yang dimaksud

adalah ruang kehidupan yang merupakan hasil interaksi pengalaman manusia

dengan place atau tempat tertentu, sehingga – seperti halnya penelitian pertama, –

penelitian kedua ini juga belum spesifik membicarakan space atau ruang,

misalnya yang berupa rumah (sebagai tempat orang tinggal) atau ruang lain di luar

rumah, ataupun kaitannya dengan kolonialisme Ingris di India. Sungai dibahas

karena menyimpan kenangan yang menimbulkan sense of place untuk membentuk

life space, sementara dalam novel sungai sering dijadikan tempat pelanggaran atas

Page 8: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

17

aturan rumah, tempat di mana mereka keluar dari batas-batas yang ada di rumah.

Sesuatu dianggap sebagai pelanggaran berarti ada sesuatu yang dilanggar, ada

border yang dilewati dan order yang ditentang.

Dengan melihat fenomena bahwa masyarakat India adalah masyarakat

yang dualistik dalam struktur ruang pascakolonial, di mana aturan ganda, Barat

dan Timur, yang dimiliki menyebabkan masyarakat India cenderung tertekan,

maka muncul permasalahan tentang bagaimana masyarakat India bisa keluar dari

atau bertahan dalam aturan kolonial dan tradisi yang ada. Untuk mengetahui

adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial India, maka

dilakukan penelitian terhadap novel The God of Small Things karena –

sebagaimana dijelaskan di atas – novel ini secara sekilas membicarakan kondisi

masyarakat pascakolonial yang menjalankan konsep Timur atau tradisi India dan

Barat atau kolonial. Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan belum

menyentuh adanya konsep ruang yang mengontrol atau memberi batas-batas pada

masyarakat beserta reaksi yang muncul akibat adanya kontrol tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan

bagaimana Barat dan Timur representasikan dalam struktur ruang dalam novel

The God of Small Things, dengan rincian pertanyaan riset sebagai berikut:

1. Bagaimana Barat dan Timur direpresentasikan dalam struktur ruang di

dalam dan di luar rumah dalam novel The God of Small Things karya

Arundhati Roy?

Page 9: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

18

2. Bagaimana strategi spasial pascakolonial dalam menyiasati munculnya

dampak yang ditimbulkan oleh representasi tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua jenis tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan

praktis. Tujuan teoretis dari penelitian ialah untuk mengungkapkan kondisi rumah

dalam novel The God of Small Things dalam konteks ruang pascakolonial.

Sementara, tujuan praktis penelitian ini adalah menghasilkan karya tulis yang

diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, pengajar, peneliti dan

siapapun yang berkecimpung dalam dunia sastra terutama pascakolonial ruang.

Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi inspirasi untuk

penelitian selanjutnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sudah banyak penelitian yang mengangkat novel The God of Small Things

karya Arundhati Roy; beberapa diuraikan di bawah. Pertama, ada skripsi Vita

Irawati (2003) yang berjudul Caste Sytem as a Social Phenomenon in Arundhati

Roy’s The God of Small Things. Dengan menggunakan pendekatan ekstrinsik

yang melihat sistem kasta dan komunisme yang berkembang di India, penelitian

ini menitikberatkan beberapa karakter yang dianggap berkaitan dengan sistem

kasta dalam cerita novel. Dari hasil pembahasan tentang sistem kasta pada

karakter yang dipilih, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pandangan

terhadap sistem kasta yang berkembang di India dalam novel. Terdapat dua tokoh

Page 10: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

19

yang masih mempertahankan sistem kasta, meskipun mereka hidup dalam

keluarga Kristen Siria yang tidak mengenal kasta. Terdapat dua karakter lagi yang

berasal dari kasta berbeda (tinggi dan rendah) yang melakukan pelanggaran

terhadap sistem kasta dengan saling mencintai (love relation). Dua karakter yang

lain, penganut sistem komunisme, justru menunjukkan dukungan kuat terhadap

sistem kasta, walaupun komunisme itu sendiri menghendaki kesamaan kedudukan

manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menunjukkan

bahwa penerapan sistem kasta terhadap karakter dalam novel tidaklah mutlak:

kasta masih bisa dilanggar, bisa dinegosiasi. Tindakan tidak setia terhadap kasta,

melanggar, ataupun setia terhadap kasta memiliki dasar. Ketika kasta merupakan

tradisi, maka dalam masyarakat pascakolonial seperti India, sudah tentu tradisi itu

akan dibaca dengan makna yang berbeda dari bacaan kolonial. Namun, penelitian

ini tidak banyak membahas kolonialisme ataupun pascakolonialisme, sementara di

India, sebagai negara pascakolonial, sudah pasti terdapat ruang-ruang yang

dipengaruhi kolonialisme. Dengan demikian, penelitian ini belum menyentuh

konsep ruang, yang merupakan unsur penting dalam pascakolonial dan berkaitan

erat dengan sistem kasta yang melekat pada tubuh dan kehidupan masyarakat

pascakolonial India.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Winda Chandra Hantari (2008)

yang berjudul Patterns of Domination in Arundhati Roy’s The God of Small

Things: A Postcolonial Study. Hantari mengkaji novel ini dengan mencari pola

dominasi serta konflik yang berkaitan dengan isu ras, bangsa, dan budaya. Dengan

menggunakan teori Jameson mengenai karya sastra sebagai alegori bagi cerita

Page 11: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

20

sebuah bangsa serta pendekatan pascakolonial Leela Gandhi yang menyatakan

bahwa pascakolonialisme adalah kajian yang membuka, mengingat kembali dan

mempertanyakan masa lalu, penelitian ini memfokuskan bagaimana Roy, melalui

novelnya, mereproduksi, mempertanyakan, dan menggugat kolonialisme dengan

melihat pengalaman salah satu tokoh, Estha. Temuan dari penelitian tersebut

adalah, pertama: Roy menyajikan dominasi yang terjadi bagi mereka yang tidak

memiliki kekuasaan sebagai konsekuensi dari kediaman total, sikap pasif atau

ketidakmampuan mereka untuk melawan secara langsung pemilik kekuasaan

dominan. Kedua: Roy menunjukkan kemunafikan dalam usaha pelestarian

beberapa sistem; sistem tradisional yang dikawinkan dengan sistem Barat

tampaknya menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam meneguhkan dominasi

kekuasaan. Ditunjukkan pula bagaimana praktik dominasi menimbulkan trauma.

Trauma yang dialami tokoh ini merupakan representasi kondisi negara India.

Penelitian yang dilakukan oleh Sara Gillis (2009) yang berjudul

Hybridized Identity and “Going Native” in Arundhati Roy’s The God of Small

Things and Paul Theroux’s The Elephanta Suitei fokus pada hibriditas yang gagal,

atau unsustainability hibridity. Ia hanya melihat tokoh-tokoh yang tidak mampu

menentukan identitas mereka dengan pasti, dan jika dilihat dari hasil

pembahasannya, peneliti tersebut hanya mengangkat tokoh yang berada di Rumah

Ayemenem. Rumah Ayemenem yang diceritakan dalam novel merupakan rumah

keinggris-inggrisan yang tampak menunjukkan sistem kolonialisme di dalamnya,

dengan memperlihatkan sejarah nenek moyang yang mewariskan rumah tersebut,

yaitu pendeta Kristen. Sementara, dalam novel The God of Small Things, juga

Page 12: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

21

disebutkan adanya tokoh yang menempati rumah di luar Ayemenem dan tetap

memegang tradisi asal mereka, yaitu sistem kasta. Terdapat pula ruang di luar

rumah sebagai tempat yang bisa dimasukkan semua kalangan (kecuali Sophie

Mol), yaitu sungai; dalam penelitian ini, sungai tidak dibahas.

Penelitian keempat adalah disertasi yang ditulis oleh Priya Menon pada

tahun 2010 dengan judul Liminal Resistances: Local Subjections in My Story,

Vidheyan, and The God of Small Things. Penelitian ini menggunakan pijakan teori

pascakolonial yang fokus pada resistensi liminal dan dilaksanakan melalui

perbandingan tiga novel. Penelitian tersebut mengamati “the workings and

creative subversions”: suatu wacana hegemonik terhadap kasta, kelas sosial,

gender dan warna kulit dalam the local milieu of Kerala, India. Penelitian ini

hanya menyinggung resistensi liminal atau kaum terpinggirkan dalam masyarakat

pascakolonial; ia belum menyentuh konsep ruang, yang merupakan unsur penting

dalam memahami isu-isu pascakolonial. Dengan demikian, seolah akan tampak

bahwa pascakolonialisme hanya sebatas kaum liminal yang termarjinalkan dan

upaya resistensi atau perlawanannya saja, padahal cakupan teori pascakolonial

memiliki tiga kemungkinan perhatian yaitu pertama pada kebudayaan masyarakat

yang pernah mengalami penjajahan Eropa terhadap kebudayaan penjajah, baik

sebagai efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial

maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme

(internal maupun global), kedua respon perlawanan atau wacana tandingan dari

masyarakat terjajah terhadap penjajah, ketiga segala bentuk marginalitas yang

Page 13: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

22

diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme. (Lo and Helen 1998 dalam Faruk

2007).

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Umar dalam tesisnya pada

tahun 2011, yaitu Kritik Sosial dalam Novel The God of Small Things karya

Arundhati Roy dan Saman Karya Ayu Utami: Sebuah Studi Banding

membandingkan The God of Small Things dan Saman untuk mencari – dan

akhirnya menemukan – persamaan dalam kritik sosialnya. Penelitian ini

menunjukkan adanya kritik sosial terhadap budaya patriarki, kritik sosial terhadap

politik, kritik sosial terhadap diskriminasi ras, kritik sosial terhadap pencitraan

wanita dalam masyarakat, dan kritik sosial terhadap dogma agama.

Sementara itu, disertasi Patchay (2007) yang berjudul “The Struggle of

Memory against Forgetting:” Contemporary Fictions and the Rewriting of

Histories membahas lima novel pascakolonial; salah satunya adalah The God of

Small Things. Yang dibahas adalah hilangnya sejarah masa lalu serta kenangan

pahit tokoh dalam relasi keluarga di Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah.

masyarakat pascakolonial.

Sedangkan, penelitian dalam tesis Sun Siao Jing (2009) yang berjudul Re-

mapping the Small Things: Place and Life Space in Arundhati Roy’s The God of

Small Things menyinggung konsep place dan space serta hubungan dengan

manusia dalam place tersebut. Namun pembahasan ini menggunakan perspektif

yang berbeda dari apa yang disampaikan oleh Upstone. Place yang dimaksud

bukanlah tempat (rumah tinggal) yang tetap dan berbatas, melainkan suatu place

yang dibentuk oleh pengalaman sejarah individu. Sementara itu, space yang

Page 14: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

23

dimaksud adalah space kehidupan yang terbentuk karena interaksi antara place

dan manusianya, yang kemudian menciptakan pengalaman kehidupan serta life

space (ruang kehidupan). Space setiap manusia akan berbeda, tergantung pada

pengalaman kehidupannya terhadap place yang ditempati dan bertinteraksi.

Dari beberapa penelitian terhadap novel The God of Small Things yang

diuraikan di atas, jelas bahwa sebagian besar membahas kondisi sosial, yaitu

masalah kelas, gender, budaya patriarki, dan kasta – termasuk juga isu

pascakolonial yang berkaitan dengan pola dominasi. Sementara itu, isu tentang

ruang domestik yang melihat bahwa kondisi rumah dan kehidupan di dalam

rumah maupun di sekitar rumah juga memiliki kaitan dengan pascakolonial

sebagai ruang yang cair dan terjadinya chaos, sejauh pengamatan peneliti belum

pernah diangkat.

1.5 Landasan teori

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan

pascakolonialisme, khususnya rumah pascakolonial. Teori ini diuraikan pertama

kali Sara Upstone. Di sini, akan diuraikan beberapa pengertian tentang

kolonialisme, pascakolonialisme, dan selanjutnya konsep ruang, termasuk chaos

dan post-space, menurut Upstone, serta rumah sebagai salah satu level ruang.

1.5.1 Kolonialisme

Terdapat banyak pendapat tentang kolonialisme. Pertama, secara umum

kolonialisme didefinisikan sebagai penguasaan atas kontrol terhadap tanah dan

Page 15: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

24

barang milik pihak lain. Sedangkan, pada kolonialisme modern penguasaan

tersebut tidak terbatas pada tindakan perampasan atas benda-benda dan kekayaan

milik wilayah yang dikuasai, tetapi di dalamnya terdapat upaya penstrukturan

kembali bangunan perekonomian bangsa yang dikuasai, yang mengakibatkan

adanya aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah

yang dikuasai (Lombaa, 2005: 8-9 dalam Dwiwardani, 2013: 18). Berdasarkan

pendapat pertama, dapat dikatakan bahwa kontrol kolonial meliputi teritori atau

wilayah, isi dalam wilayah tersebut, serta struktur bangunan perekonomian bangsa

yang dijajah. Berkaitan dengan kontrol atas teritori tersebut, pendapat kedua

dinyatakan oleh Upstone (2009: 4) bahwa kolonialisme sebagai klaim terhadap

wilayah atas nama penyebaran agama, pengembangan perekonomian, dan

pengembangan wilayah (labenstrum) melihat kecocokan wilayah jajahannya

sebagai empire, dan empire sebagai tujuan klaim atas wilayah tersebut.

1.5.2. Pascakolonialisme

Salah satu pengertian pascakolonial dirumuskan Stephen Slemon, sebagai

berikut.

‘Pascakolonialisme’ adalah sesuatu yang saat ini digunakan dalam berbagai bidang, menggambarkan seperangkat posisi subjek yang heterogen, bidang-bidang profesional, dan aktifitas-aktifitas kritis. Istilah ini digunakan untuk suatu cara menata kritik dari sejumlah bentuk historisisme Barat; sebagai paduan istilah untuk gagasan ‘kelas’ yang diperbaharui, sebagai bagian dari posmodernisme dan postrukturalisme (dan sebaliknya, sebagai kondisi yang darinya dua struktur logika dan kritik kultural itu sendiri tampak muncul); sebagai nama bagi kondisi pribumi semasa pengelompokan-pengelompokan nasional pada masa sesudah kemerdekaan, sebagai penanda kultural non-residensi bagi kader intelektual dunia ketiga; sebagai sisi yang tak terhindarkan dari wacana kekuasaan kolonial yang terpatahkan dan ambivalen; sebagai bentuk oposisional ‘praktik pembacaan’ ; dan sebagai

Page 16: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

25

nama bagi kategori aktifitas ‘sastra’ yang tumbuh dari suatu energi politik yang baru dan ramah yang berlangsung dalam apa yang disebut studi sastra ‘Commonwealth’ (dalam Ashcroft dkk., 1995: 45; lo Gilbert, 1998: 1; dalam Dermawan, 2010: 29).

Rumusan tersebut jelas menunjukkan bahwa istilah ‘pascakolonialisme’

digunakan dalam berbagai bidang dan dengan berbagai tujuan. Dalam Dermawan

(2010: 27) dijelaskan pula bahwa konsep dasar pascakolonial ini, berdasarkan

pemikiran Said (1979) yang menggugat wacana tentang Timur sebagai suatu

produksi ilmu pengetahuan yang memiliki landasan ideologis dan kepentingan-

kepentingan kolonial. Didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai

modus penyebaran pengetahuan, wacana tersebut menciptakan mitos dan stereotip

tentang Timur yang dikontraskan dengan Barat. Hal ini merupakan cermin negatif

untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Dari penjelasan

tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana tentang Timur lebih rendah dari Barat

sehingga perlu diberadabkan oleh Barat. Salah satu wilayah Timur tersebut, antara

lain, adalah India.

Berkaitan dengan anggapan bahwa Timur adalah produksi ilmu

pengetahuan yang memiliki landasan ideologis dan kepentingan kolonial, maka

hal senada dikemukakan oleh Lombaa (2005: 16). Dinyatakan bahwa

pascakolonialisme merupakan kontestasi atas dominasi kolonial dan warisan-

warisan kolonialisme. Dalam kata lain, dominasi kolonial dan warisan-warisan

kolonialisme itu akan dibongkar oleh konsep pascakolonial. Akan ditunjukkan

bahwa kolonial yang mewariskan keteraturan sebenarnya tidak benar-benar bisa

mewujudkan keteraturan yang diidamkan, dan masih ada jejak masa lalu yang

Page 17: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

26

dimiliki bangsa terjajah. Karena itu, terjadi kontestasi atau pertentangan-

pertentangan yang, pada akhirnya, memunculkan keberagaman.

Sedangkan, pendekatan pascakolonial yang akan digunakan di sini adalah

pendekatan pascakolonial menurut Sara Upstone dalam bukunya Spatial Pilotics

in the Postcolonial Novel. Pendekatan pascakolonial menurut Upstone

menekankan pada politik ruang, dalam artian pascakolonial yang telah dipahami

sebagai masa dimana suatu wilayah pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial,

dan kolonial telah meninggalkan wilayah tersebut, oleh Upstone dianggap masih

ada ruang-ruang kolonial yang ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun

secara fisik kolonial sudah tidak berada lagi pada ruang terjajah. Ruang-ruang

tersebut oleh Upstone dikelompokkan menjadi beberapa level mulai dari bangsa,

perjalanan, kota, rumah dan tubuh, dimana pada setiap ruang tersebut terdapat

unsur politik yang ingin diungkap. Pendekatan pascakolonial yang fokus pada

ruang oleh Upstone, akan dijelaskan dalam poin berikut ini.

1.5.3 Ruang dalam Pandangan Pascakolonialisme

Berkaitan dengan konsep ruang, Sara Upstone dalam bukunya Spatial

Politics in the Postcolonial Novel menawarkan pembacaan atas novel

pascakolonial yang menitikberatkan konsep-konsep alternatif tentang politik

ruang, yang tidak semata-mata berakar pada politik suatu bangsa, tetapi juga

merefleksikan beraneka ruang yang mengonstruksi pengalaman kolonial (Upstone,

2009:1). Pengalaman kolonial yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang

terjadi pada daerah yang pernah diduduki, atau mengalami kolonialisme Barat.

Page 18: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

27

Hal ini berkaitan dengan konsep kolonialisme tentang penguasaan teritori.

Berkaitan dengan pengertian kolonialisme sebagai penguasaan teritori, maka

penguasa kolonial ingin menanamkan kuasanya dan melestarikan kekuasaannya

dengan berbagai strategi. Strategi penting yang digunakan adalah melakukan

kontrol terhadap wilayah kekuasaan serta masyarakatnya. Upaya kontrol ini

dimanfaatkan untuk mewujudkan dan melanggengkan wilayah teritori jajahannya,

baik pada tingkat bangsa, ruang-ruang publik (misalnya kota), maupun sampai ke

ruang-ruang domestik seperti tempat tinggal dan ruang-ruang pribadi (seperti

individu).

Dalam bukunya, Upstone menjelaskan strategi kontrol tersebut dengan

konsep batas. Oxford English Dictionary menjelaskan bahwa koloni bukan hanya

mencakup sebuah komunitas masyarakat tertentu, namun juga wilayah dari

komunitas tersebut (Upstone, 2009: 4). Dari pengertian tersebut, bisa dikatakan

bahwa wilayah tertentu merupakan batas teritori, yang digunakan pihak kolonial

untuk menguasai koloninya. Ini dapat dilakukan melalui penenerapan pemetaaan

yang jelas dan pasti, dalam rangka melanggengkan kekuasaannya.

Konsep ruang berbatas ini ditanamkan pada masyarakat sebagai sesuatu

yang tetap, terkontrol, absolut, dan natural. Dengan adanya konsep batas yang

tampak absolut, tidak dapat digoyahkan oleh kelompok-kelompok lokal, wilayah

teritori dengan batas-batasnya menjadi sesuatu yang harus dihargai sebagai

sebuah keberadaan yang sah (legitimate entity), dan statusnya yang absolut

menghancurkan berbagai preferensi dari masyarakat sebelumnya, serta praktik-

praktik kesukuan yang telah ada (Upstone, 2009: 4–5). Konsep tentang batas yang

Page 19: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

28

ditanamkan pada masyarakat dan memiliki tujuan untuk melakukan kontrol,

mempertahankan stabilitas, serta menghindarkan berbagai resistensi, terjaga

dengan adanya penerimaan dan persetujuan masyarakat bahwa batas bersifat

alamiah. Dengan demikian, seolah masyarakat tidak menyadari adanya konstruksi

kolonial tentang batas tersebut. Kondisi inilah yang akan menjadikan masyarakat

homogen, sehingga mudah dikontrol.

Namun demikian, upaya homogenisasi tersebut tidak sepenuhnya berhasil,

karena masih ada jejak-jejak dari elemen masa lampau. Meskipun upaya ini

merupakan suatu totalisasi untuk sebuah tujuan, ia tidak pernah mencapai

totalisasi. Apa yang telah ‘tertulis’ sebelumnya berusaha dimunculkan kembali,

mungkin dengan representasi baru: penghapusan selalu meninggalkan bekas

(Upstone, 2009: 6-7).

Dalam pandangan pascakolonial, ruang lebih bersifat cair, berbeda dengan

harmonisasi dan idealisasi ala kolonial (Upstone, 2009: 11). Sara Upstone

menawarkan gagasan bahwa penulis-penulis pascakolonial menciptakan ruang

sebagai tempat berbagai kemungkinan dan resistensi, dengan merebut kembali

kecairan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial dalam gagasan ruang

berbatasnya dan dengan memberi lokasi-lokasi fungsi-fungsi politis (Upstone,

2009: 11). Ini berarti bahwa penulis pascakolonial ingin mengungkapkan chaos

yang ada, dan membuka peluang untuk suatu perlawanan atau resistensi terhadap

konstruksi kolonial.

Dikatakan pula bahwa pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi

teritori, memberi penawaran bahwa ruang seharusnya direklamasi, suatu

Page 20: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

29

pandangan yang pada awalnya mengandung berbagai pebedaan dan melihat ruang

di luar pemikiran kolonial, di mana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi

atas apa yang telah berlalu sebelumnya, namun negosiasi (Upstone, 2009: 13).

Berbeda dengan pandangan kolonial, pandangan pascakolonial melihat ruangan

berisi suara-suara heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi

penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upsotone, 2009: 13). Suara-suara

heterogen dan pengalaman inilah yang memunculkan chaos. Penyingkapan chaos

tersebut tidak untuk menghilangkan semua stabilitas yang ada, melainkan lebih

pada upaya pemanfaatannya dalam membongkar pandangan yang dianggap tetap

dan menanamkan pola-pola pemahaman dan pengalaman-pengalaman yang baru

sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak bisa didapatkan dalam konsep

kolonial maupun tradisi, atau pula dari konsep Barat dan Timur yang sudah

dibatas-batasi tersebut; ini, pada akhirnya, memunculkan post-space. Menurut

Upstone (2009: 15), post-space merupakan konsep yang berada di luar batas-batas

kolonial maupun bata-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-

batas tersebut muncul; ia juga bisa dikatakan suatu ruang yang hibrid, cair dan

bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. Dalam subbab berikut akan

diuraikan pengertian ruang pascakolonial, yang akan digunakan sebagai dasar

pembahasan novel.

1.5.4 Ruang Pascakolonial dalam Rumah

Dalam lingkup yang lebih kecil, rumah (bagi kepentingan kolonial)

merupakan salah satu konstruksi yang berperan untuk menjalankan fungsi politis

Page 21: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

30

dalam menegakkan nilai-nilai kolonial, dan peran ini ditampilkan pada rumah

secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi (Upstone, 2009: 115). Apolitisasi

yang dimaksud di sini adalah rumah dieksklusikan dari konteks yang lebih besar:

rumah bukanlah pembawa pesan ideologi negara, meskipun pada dasarnya

penguasa kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara

kolonial dengan berbagai startegi. Strategi yang digunakan untuk menanamkan

wacana tersebut dalam pemikiran masyarakat koloninya adalah dengan

menjadikan rumah sebagai lokasi yang tetap, berakar, stabil, antitesis dari

perjalanan. Kecairan dari rumah dikaburkan. Hirarki spasial, spesialisasi atas

rumah dan batas-batas yang jelas, serupa dengan bagaimana daerah koloni dibagi

dalam wilayah-wilayah terirori. Akuisisi teritori dan keterkaitannya dengan

kekerasan digantikan dengan konsep pembentukan rumah sebagai sebuah proses

yang natural. Misalnya, dalam kutipan pendek di novel disebutkan bahwa

“Comrade K. N. M. Pillai was essentially a political man. A professional

omeletteer”, yang mengindikasikan bahwa Comrade bukanlah sekedar pembuat

telor dadar. Yang penting di sini ialah perlakuan dia terhadap telor yang akan di

buat dadar: harus di pecah terlebih dahulu, sama halnya dengan sikap dia ketika

akan menguasai teritori orang lain. Dengan demikian, ia melakukan kekerasan

(meski tidak secara langsung). Sedangkan, harmoni yang ideal tentang rumah

dimunculkan dengan mempropagandakan pandangan bahwa rumah adalah lokasi

penanaman nilai-nilai dan tingkah laku yang dianggap krusial untuk membentuk

dan mempertahankan identitas nasional, serta merupakan perlindungan yang

diperlukan dari perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang tak terduga (Upstone,

Page 22: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

31

2009: 117). Di sini jelas sekali bahwa kekuasaan kolonial ingin menciptakan

konstruksi rumah dengan batas-batas, dengan hirarki, yang dianggap natural.

Di sisi lain, kritik pascakolonial mengaitkan rumah dengan pertarungan

politis, sebagai ruang domestik lokasi terjadinya upaya resistensi dengan dimensi

politis yang radikal (Upstone, 2009: 16). Bila representasi kolonial atas rumah

mengaburkan ketidakteraturan dan memisahkan rumah dari politik di ruang publik,

maka representasi pascakolonial justru menampilkan ketidakteraturan dan status

politis dari rumah. Dapat dikatakan bahwa pascakolonial ini benar-benar ingin

mengungkapkan bahwa rumah (sebagai ruang domestik) menolak isolasi rumah

dari lingkungan yang lebih besar, misalnya nation, karena pascakolonial

menganggap bahwa pertarungan politis tersebut ada.

Berkaitan dengan hirarki dan divisi-divisi yang diterapkan oleh kekuasaan

kolonial dalam rumah, tampak bahwa rumah memiliki sekat-sekat, batas-batas

yang sudah tetap. Dengan ini, maka rumah pascakolonial akan mengungkap

bahwa dalam hirarki serta batas rumah kolonial terdapat ketidakteraturan dan

chaos (Upstone, 2009: 124). Misalnya, dalam teks novel disebutkan bahwa ruang

belajar bukan saja tempat untuk belajar, bisa juga untuk melakukan opresi

terhadap anggota keluarga yang lain. Pertengkaran bisa terjadi di mana saja, dan

dalam suasana yang seharusnya tenang untuk belajar justru diciptakan riuh dengan

penyiksaan. Pappachi beating Mammachi in the study (Roy, 1997: 29).

Dapat dikatakan pula bahwa pascakolonial juga ingin mengungkapkan

chaos dalam rumah terjadi karena ‘tidak semua penghuni rumah mendukung ideal

kolonial’ (Upstone, 2009:128). Ketegangan yang tejadi dalam rumah hendak

Page 23: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

32

diungkap, dan kecairan pun akan dimunculkan. Misalnya, kamar digunakan untuk

tidur, baik malam maupun istirahat siang, tetapi tidak semua penghuni rumah

dibentuk untuk selalu teratur dan patuh jadwal tidur siang di kamar. Bisa saja

mereka istirahat di ruang tamu atau di luar rumah, atau bahkan tidak mau tidur

siang.

Chaos yang muncul pada rumah juga bisa digambarkan dengan

pelanggaran atas geometri. Hal ini karena penguasa kolonial menganggap fungsi

geometri dalam konstruksi sebuah rumah sangat penting (Upstone, 2009: 130).

Geometri dibuat dengan bentuk-bentuk yang simetris, yang pada akhirnya

mengantarkan pada order dan homogenitas, di mana homogenitas ini akan

memudahkan penguasa kolonial dalam melakukan kontrol atas jajahannya.

Pandangan pascakolonial beranggapan bahwa dibalik order dan homogenitas

tersebut muncul chaos, yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk rumah yang

asimetris.

Dengan demikian, jelas bahwa rumah pascakolonial tidak lagi untuk

melayani kepentingan kolonial, tetapi untuk melayani tujuan-tujuan lain yang

akhirnya merusak relasi kekuasaan yang telah dibangun oleh konsep kolonial

(Upstone, 2009: 131). Dari sini, maka akan muncul chaos, yang pada akhirnya

bisa membuka potensi untuk alternatif makna baru misalnya, ruang tidur atau

kamar bisa dibentuk menjadi suatu galeri, misalnya karena penghuni kamar

tersebut ingin keluar dari aturan, ingin menciptakan dunianya sendiri dengan

mengubah fungsi ruang yang dimiliki.

Page 24: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

33

1.6 Metode Penelitian

Karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan

kenyataan (Poedjawijatna, 1982: 16-17 dalam Faruk, 2012: 23), cara perolehan

atau pengetahuan metode penelitian harus sesuai dengan kenyataan adanya objek

yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan

objek itu. Kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan

pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-

variabel yang ditentukan atas dasarnya.

Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoritik,

diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus

dianalisis sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap

merepresentasikan hubungan antar-fakta sebagaimana yang dinyatakan dalam

teori dan hipotesis (Faruk, 2012: 22). Dengan demikian, terdapat dua langkah

yang harus dilakukan, yaitu langkah pengumpulan data dan analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan data

Data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif, karena tidak berupa

angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari

sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu

dengan sesuatu yang lain (Ahimsa-Putra, 2009: 18 dalam Dwiwardani). Data

dalam penelitian ini berupa satuan-satuan tekstual yang dikumpulkan dengan

metode kajian pustaka, dengan objek material The God of Small Things karya

Arundhati Roy. Satuan tekstual diambil dari keseluruhan isi novel, mulai dari bab

Page 25: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

34

1 sampai bab 21, karena cerita berkelanjutan. Satuan tekstual tersebut kemudian

diseleksi menurut konsep ruang pascakolonial, terutama yang berkaitan dengan

rumah, dengan melihat representasi Barat dan Timur yang muncul.

1.6.2 Metode Analisis data

Faruk (2012: 25) menyatakan bahwa metode analisis data merupakan

seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran

manusia. Ini karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk

mencari hubungan antar data yang tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu

sendiri. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mencari satuan-

satuan tekstual untuk melihat hubungan antara satuan-satuan tekstual yang

signifikan di dalam teks The God of Small Things, sesuai dengan konsep ruang

pascakolonial. Sebelum menentukan ruang pascakolonial yang muncul, dirunut

terlebih dahulu dari konstruksi ruang yang ada yang merepresentasikan Barat

maupun Timur, baik di dalam maupun di luar rumah, yang diceritakan dalam

novel. Kemudian dijelaskan bagaimana konstruksi ruang tersebut mengatur

kehidupan masyarakat, lalu dipaparkan pula dampak yang muncul akibat adanya

pembatasan Barat maupun Timur karena keinginan masyarakat untuk keluar dari

batas-batas yang diperoleh dengan cara membuat oposisi antara batas ataupun

order dengan chaos. Upaya untuk keluar tersebut lah dimungkinkan dalam chaos

ataupun post-space.

Page 26: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71337/potongan/S2-2014... · Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan

35

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari empat bab, sebagai berikut:

Bab I berisi pengantar, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika penyajian.

Bab II berisi pemaparan tentang struktur ruang di dalam rumah dalam

novel The God of Small Things, ruang yang dijelaskan berkaitan dengan batas-

batas baik fisik maupun non fisik (atau order dan border), dan pemaknaan atas

ruang yang memunculkan batas-batas baik aturan Barat maupun Timur yang

kemudian memunculkan chaos.

Bab III berisi pembahasan tentang struktur ruang di luar rumah

Ayemenem. Seperti halnya pada bab 2 di atas, bab ini membahas tentang batas-

batas yang memicu terjadinya chaos namun berada pada ruang di luar rumah.

Bab IV meliputi pembahasan tentang startegi pascakolonial (baik di dalam

maupun di luar rumah), chaos ataupun post-space yang muncul pada ruang (baik

di dalam maupun di luar rumah) yang disebabkan karena adanya batas-batas yang

mengontrol kehidupan manusia di dalamnya serta paparan tentang ruang alternatif

yang ditawarkan oleh penulis novel.

Bab V adalah kesimpulan penelitian dan refleksi.