pencabutan peraturan uu

56
Pencabutan peraturan UU ELASA, 03 DESEMBER 2013 Pertanyaan: Siapa yang Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi? Apakah yang melatarbelakangi Komisi Yudisial (KY) tidak mempunyai kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)? Lalu siapakah yang berwenang mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi? FIKRI S Jawaban: TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mahkamah Konstitusi (“MK”) mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”’). Susunan MK itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU 8/2011 adalah terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.Hakim MK diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Penjelasan lebih lanjut mengenai hakim MK dapat Anda simak dalam artikel Kelengkapan Hakim dan Keabsahan putusan MK. Tentang Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial Berikutnya kami akan menjelaskan tentang pengawasan hakim. MenurutPasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU KY”), Komisi Yudisial (“KY”) merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Adapun tugas dan wewenang KY terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang

Upload: aditya-setiawan

Post on 16-Aug-2015

258 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pencabutan Peraturan UU

Pencabutan peraturan UU

ELASA, 03 DESEMBER 2013

Pertanyaan:

Siapa yang Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi?Apakah yang melatarbelakangi Komisi Yudisial (KY) tidak mempunyai kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)? Lalu siapakah yang berwenang mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi?FIKRI S

••

Jawaban:TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.

 Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 Mahkamah Konstitusi (“MK”) mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”’). Susunan MK itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU 8/2011 adalah terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.Hakim MK diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Penjelasan lebih lanjut mengenai hakim MK dapat Anda simak dalam artikel Kelengkapan Hakim dan Keabsahan putusan MK.

 Tentang Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial

Berikutnya kami akan menjelaskan tentang pengawasan hakim. MenurutPasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU KY”), Komisi Yudisial (“KY”) merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.

 Adapun tugas dan wewenang KY terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU 18/2011”), yakni:

a.    mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;b.    menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;c.    menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dand.    menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

 

Page 2: Pencabutan Peraturan UU

Dalamrangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang disebut dalam Pasal 13 huruf b UU 18/2011, KY mempunyai tugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.

 Perlu diketahui, hakim yang dimaksud dalam undang-undang ini adalahhakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan(Pasal 1 angka UU 18/2011”). Jadi, pengawasan hakim MK tidak termasuk dalam lingkup wewenang KY.

 Alasan Hakim MK Tidak Diawasi oleh KY

Lalu timbul pertanyaan mengapa hakim MK tidak termasuk hakim yang diawasi oleh KY? Untuk menjawab ini, kita mengacu pada Putusan MKNomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian UU KY dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) terhadap UUD 1945 (“Putusan MK 005/2006”).

 Dalam Putusan MK 005/2006 tersebut, MK menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan obyek pengawasan KY dengan alasan hakim konstitusi bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa. Bila hakim biasa tak terikat dengan jangka waktu, tidak demikian dengan hakim konstiitusi yang diangkat hanya untuk jangka waktu lima tahun.

 Dalam sebuah tulisan yang diakses dari laman resmi Mahkamah Kosntitusi dikatakan bahwa terdapat empat hal penting dalam putusan ini, salah satunya adalah hakim konstitusi tidak termasuk wilayah pengawasan KY.

 Tidak masuknya hakim konstitusi dalam wilayah pengawasan KY adalah berdasarkan tinjauan sistematis dan penafsiran “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

 Selain itu, dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY, maka kewenangan MK sebagai pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi terganggu dan tidak dapat bersikap imparsial, khususnya jika ada sengketa kewenangan antara KY dengan lembaga lain.

 Yang berwenang Mengawasi Hakim MK

Kemudian pertanyaan Anda berikutnya adalah siapa yang berwenang mengawasi hakim MK itu? Terkait dengan ini, MK telah menerbitkanPeraturan MK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi (“Peraturan MK 2/2013”). Peraturan itu memuat tugas dan wewenang, keanggotaan, masa tugas, panitia seleksi, dan mekanisme kerja Dewan Etik yang memiliki fungsi utama mengawasi perilaku hakim konstitusi.

 Dalam artikel MK Terbitkan Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusidikatakan bahwa  Dewan etik ini bertugas menerima laporan masyarakat atau temuan, mengumpulkan informasi, dan menganalisis laporan dugaan pelanggaran perilaku hakim konstitusi terkait putusan MK.

 Jadi, menjawab pertanyaan Anda, yang berwenang mengawasi hakim MK adalah Dewan Etik Hakim Konstitusi. Adapun tugas Dewan Etik Hakim Konstitusi berdasarkan Pasal 3 Peraturan MK 2/2013 adalah:

a.   Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi supaya hakim tidak melakukan pelanggaranb.    Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penelaahan laporan dan informasi tentang perilaku hakimc.    Memeriksa hakim terlapor atau hakim yang diduga melakukan pelanggarand.    Menyampaikan laporan dan informasi yang dikumpulkan, diolah, dan ditelaah tentang perilaku hakim terlapor atau hakim yang diduga melakukan pelanggarane.    Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap bulan kepada Mahkamah

Page 3: Pencabutan Peraturan UU

 Namun, sekedar informasi untuk Anda, sebelum Peraturan MK 2/2013diterbitkan, presiden telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang salah satunya mengatur tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (“MKHK”).

 Dalam artikel Ketua MK Enggan Tanggapi Kritikan Soal Dewan Etikdikatakan bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi dan MKHK merupakan dua organ pengawasan yang memiliki fungsi menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan kedua organ tersebut.Bedanya, pembentukkan MKHK melibatkan unsur KY dan kesekretariatannya berada di KY.  

 Akan tetapi, saat ini Perpu 1/2013sedang diuji materiil di MK. Secara materil, pihak yang memohon uji materi itu menilai Perppu bertentangan dengan UUD 1945 khususnya keterlibatan   KY dalam proses seleksi dan pengawasan hakim konstitusi. Berita lebih lanjut mengenai pengujian perpu ini dapat Anda simak dalam artikel Pengujian Perppu MK Mulai Disidangkan.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Dasar 19452.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi4.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial5.    Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial6.    Peraturan MK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi

 Referensi:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/BMK%20Juni-Juli%202006.pdf, diakses pada 3 Desember 2013 pukul 12.41 WIB

 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/pmk/pmk_no.2_2013_ttg_Dewan_Etik.pdf, diakses pada 3 Desember 2013 pukul 13.25 WIB

 

SENIN, 21 OKTOBER 2013

Pertanyaan:

Prosedur Penolakan dan Pencabutan PerpuBerdasarkan teori perundang-undangan bahwa sebuah peraturan perundang-undangan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi atau melalui putusan pengadilan. Pertanyaannya adalah apabila terjadi penolakan terhadap perpu

Page 4: Pencabutan Peraturan UU

bentuk hukum apa yang akan dipakai untuk membatalkan perpu tersebut?ROMI SAPUTRA

••

Jawaban:TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 

Dalam hal ihwal kegentingan yang mamas, Presiden berhak menetapkanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(“UU 12/2011”). Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai PERPU dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut:

-      Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)-      Syarat-Syarat Penetapan Perpu oleh Presiden

 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas,Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya yangberjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya,mengatakan bahwa PERPU jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan berikutnya. Apabila PERPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan   Undang-Undang (UU).   Sedangkan,   apabila

Page 5: Pencabutan Peraturan UU

PERPU itu   tidak disetujui   (ditolak) oleh DPR, akan dicabut (hal. 94). Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”):

“DPR mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.”

 Perlu Anda ketahui, proses pembahasan PERPU apakah nantinya disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) UU 12/2011. Nantinya, DPR lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu PERPU tersebut melalui keputusan rapat paripurna. Dalam Pasal 272 Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan diatur bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam hal cara musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Begitupula saat pembahasan suatu PERPU, persetujuan atau penolakan PERPU itu dibuat dalam bentuk Keputusan Rapat Paripurna DPR.

Page 6: Pencabutan Peraturan UU

 Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak PERPU yang bersangkutan, PERPU tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 ayat [5] UU 12/2011). Di sini kami perlu meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan. Mengacu pada pasal Pasal 52 ayat (5) UU 12/2011, maka istilah benar yang digunakan adalah mencabut dan menyatakan tidak berlaku. Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan terhadap suatu PERPU itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi: 

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

 

Page 7: Pencabutan Peraturan UU

Dari pasal-pasal di atas dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau Presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan PERPU. RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU. Sebagai contoh dapat kita temui dalam UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(“UU 3/2010”). Dalam bagian konsiderans UU ini dikatakan bahwa PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PERPU 4/2009”) yang diajukan oleh Presiden tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna pada 4 Maret 2010. Kemudian, Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan PERPU 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan PERPU 4/2009 tidak berlaku. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya PERPU yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan PERPU, yaitu Undang-Undang. Presiden atau DPR lah yang mengajukan RUU tentang Pencabutan PERPU yang dotolak oleh DPR itu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Page 8: Pencabutan Peraturan UU

Dasar hukum:1.    Undang-Undang Dasar 19452.    Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  3.    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah4.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi5.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 Referensi:Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta. http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-17, diakses pada 17 Oktober 2013 pukul 14.24 WIB

 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

==================================================================

PERAturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya Undang-undangSiapakah yang berhak mencabut UU jika UU tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi? Terima

Page 9: Pencabutan Peraturan UU

kasih.  DANI YUNITO

••

Jawaban:M. NAUFAL FILEINDI, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Saudara.

 

Untuk kepentingan artikel ini, istilah ‘mencabut’ adalah proses untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, ‘tidak berlaku’ adalah sebuah keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya, suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang setara, misal: Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mencabut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 102 UU 12/2011 berikut ini: 

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik

Page 10: Pencabutan Peraturan UU

Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

 Di sisi lain, jika kata dicabut dimaknai sebagai keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebuah “pencabutan” bisa dilakukan pelaku kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (“UU”) terhadap UU diajukan ke Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat [1] UUD 1945), sedangkan untuk menguji UU terhadap UUD 1945 diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat [1] UUD 1945). Pengadilan-pengadilan tersebut dapat menyatakan bahwa suatu perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa ada dua cara untuk menyatakan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU, tidak berlaku. Apabila dalam keadaan yang pertama, yang berhak mencabut UU adalah yang memiliki kewenangan untuk membentuk UU, yaitu DPR bersama Presiden. Apabila suatu UU sudah mencabut UU sebelumnya, maka secara langsung UU yang dicabut tidak berlaku lagi begitu UU yang baru mulai berlaku. Dalam keadaan kedua pun ketentuan-ketentuan dalam UU yang sudah dinyatakan tidak berlaku akan otomatis tidak berlaku lagi karena sudah dinyatakan

Page 11: Pencabutan Peraturan UU

inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945) oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final, sehingga tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Demikian jawaban dari saya, semoga menjawab pertanyaan Saudara. 

 Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452.    Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

 

SENIN, 21 OKTOBER 2013

Pertanyaan:

Prosedur Penolakan dan Pencabutan PerpuBerdasarkan teori perundang-undangan bahwa sebuah peraturan perundang-undangan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi atau melalui putusan pengadilan. Pertanyaannya adalah apabila terjadi penolakan terhadap perpu bentuk hukum apa yang akan dipakai untuk membatalkan perpu tersebut?ROMI SAPUTRA

••

Jawaban:TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(“UU 12/2011”). Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai PERPU dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut:

-      Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

Page 12: Pencabutan Peraturan UU

-      Syarat-Syarat Penetapan Perpu oleh Presiden Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas,Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya yangberjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya,mengatakan bahwa PERPU jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan berikutnya. Apabila PERPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan   Undang-Undang (UU).   Sedangkan,   apabila PERPU itu   tidak disetujui   (ditolak) oleh DPR, akan dicabut  (hal. 94).

 Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”):

“DPR mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.”

 Perlu Anda ketahui, proses pembahasan PERPU apakah nantinya disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) UU 12/2011. Nantinya, DPR lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu PERPU tersebut melalui keputusan rapat paripurna.

 Dalam Pasal 272 Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan diatur bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam hal cara musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Begitupula saat pembahasan suatu PERPU, persetujuan atau penolakan PERPU itu dibuat dalam bentuk Keputusan Rapat Paripurna DPR.

 Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak PERPU yang bersangkutan, PERPU tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 ayat [5] UU 12/2011). Di sini kami perlu meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan. Mengacu pada pasal Pasal 52 ayat (5) UU 12/2011, maka istilah benar yang digunakan adalah mencabut dan menyatakan tidak berlaku.

 Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan terhadap suatu PERPU itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi:

 (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

 Dari pasal-pasal di atas dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau Presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan PERPU. RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU.

 Sebagai contoh dapat kita temui dalam UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(“UU 3/2010”). Dalam bagian konsiderans UU ini dikatakan bahwa PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Page 13: Pencabutan Peraturan UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PERPU 4/2009”) yang diajukan oleh Presiden tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna pada 4 Maret 2010. Kemudian, Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan PERPU 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan PERPU 4/2009 tidak berlaku.

 Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya PERPU yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan PERPU, yaitu Undang-Undang. Presiden atau DPR lah yang mengajukan RUU tentang Pencabutan PERPU yang dotolak oleh DPR itu.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:1.    Undang-Undang Dasar 19452.    Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  3.    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah4.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi5.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 Referensi:Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta. http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-17, diakses pada 17 Oktober 2013 pukul 14.24 WIB

 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

SENIN, 09 DESEMBER 2013

Pertanyaan:

Bisakah WNA Mengajukan Permohonan Uji Materiil ke MK?Bagaimana tentang pengujian undang-undang oleh warga negara asing di Mahkamah Konstitusi? Adakah kemungkinan WNA dapat mengujinya?  IRVINSIHOMBING

••

Page 14: Pencabutan Peraturan UU

Jawaban:LETEZIA TOBING, S.H.

Dalam pertanyaan Anda, Anda menyebutkan mengenai pengujian undang-undang oleh warga negara asing (“WNA”) ke Mahkamah Konstitusi (“MK”), oleh karena itu kami beranggapan bahwa yang Anda maksud adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).

 Ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusisebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”), bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap UUD 1945.

 Mengenai adakah kemungkinan WNA dapat melakukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, harus dilihat dulu persyaratan untuk dapat menjadi pemohon. Mengenai persyaratan pemohon, dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a.    perorangan warga negara Indonesia;b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;c.    badan hukum publik atau privat; ataud.    lembaga negara.

 Dari uraian Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut dapat kita lihat bahwa WNA tidak dimungkinkan untuk meminta pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

 Hal ini dapat dilihat dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) terhadap UUD 1945. Uji materiil ini dilakukan terkait ancaman hukuman mati yang terdapat dalam UU Narkotika.

 Sebagaimana diuraikan dalam artikel yang berjudul Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus dikatakan bahwa uji materiil terhadap hukuman mati yang diancamkan dalam UU Narkotika itu diajukan oleh lima pemohon yang terdiri atas dua berkas terpisah.

 Berkas pertama diajukan oleh dua terpidana mati warga negara Indonesia (“WNI”) yakni Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani serta dua warga negara Australia terpidana mati kasus Bali Nine, Myuran dan Andrew Chan.Sementara berkas kedua dimohonkan oleh satu terpidana mati kasus Bali Nine lainnya yang juga warga negara Australia, Scott Anthony Rush.

 MK hanya memeriksa pokok permohonan uji materiil yang diajukan oleh dua WNI, Edith dan Rani. Dalam putusannya MK menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh WNA warga negeri Kangguru, yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, serta Scott Anthony Rush.

 MK berpendapat, Pasal 51 ayat (1) UU MK telah secara tegas dan jelas menyatakan, yang dapat mengajukan permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 adalah perorangan atau kelompok WNI yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945.

 Meski pintu untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap UUDtertutup, MK menyatakan, para ekspatriat masih dapat memperoleh perlindungan hukum melalui upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Page 15: Pencabutan Peraturan UU

 Melihat dari ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan putusan MKtersebut, dapat dilihat bahwa WNA tidak dapat mengajukan permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 Dasar Hukum:Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusisebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

    Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Pertanyaan:

Apakah Putusan MK Dapat Diubah?Apakah keputusan MK dapat diubah?LUKMAWANSYAH

••

Jawaban:TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 Sebelumnya, kami perlu meluruskan bahwa istilah tepat yang digunakan bukanlah keputusan, melainkan putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”).

 Pengaturan tentang MK dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”’).

 Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang berbunyi:

 “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1.    menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452.    memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19453.    memutus pembubaran partai politik4.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

 

Page 16: Pencabutan Peraturan UU

Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) (Penjelasan Pasal 10 ayat [1] UU 8/2011)

 Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jelas kiranya dari penjelasan pasal di atas dapat kita ketahui bahwa putusan MK itu tidak dapat diubah karena sifatnya yang final dan mengikat. Artinya, terhadap putusan MK tidak bisa diajukan upaya hukum.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Dasar 19452.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

 SELASA, 18 OKTOBER 2011

Pertanyaan:

Apakah Putusan MK Bisa Di-Judicial Review?Apakah dapat dilakukan judicial review terhadap sebuah keputusan MK ?MARIATY IBENZ

••

Jawaban:ALI SALMANDE, S.H.

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Bila merujuk kepada UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi setidaknya ada lima kewenangan yang dimiliki oleh MK.

 Lima kewenangan tersebut adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment). Simak kewenangan MK lebih lanjut di sini.

 

Page 17: Pencabutan Peraturan UU

Pasal 24C UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap lima kewenangan itu. Artinya, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tak bisa diajukan upaya hukum lain, termasuk judicial review.

 Lagipula, judicial review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

 Ini bisa disimpulkan bahwa judicial review hanya bisa dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan, bukan putusan pengadilan. Karenanya, putusan MK tak bisa dijadikan sebagai objek judicial review.

 

Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:1.      Undang-Undang Dasar 19452.      Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

SABTU, 05 MARET 2011

Pertanyaan:

Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji MateriilApakah perbedaan dari judicial review dengan hak uji materiil? Karena menurut saya sama saja, tapi pengajuannya berbeda. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sedangkan hak uji materiil ke Mahkamah Agung.NERVE_GAS

••

Jawaban:DIANA KUSUMASARI, S.H., M.H.

Page 18: Pencabutan Peraturan UU

Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsingdan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilahpembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58). Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1]UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):

1.         perorangan warga negara Indonesia;2.         kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;3.         badan hukum publik atau privat; atau4.         lembaga negara.

 Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agunguntuk pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum:

1.         Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi2.         Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

SELASA, 14 AGUSTUS 2012

Page 19: Pencabutan Peraturan UU

Pertanyaan:

Bagaimana Bentuk Perlindungan untuk Konsumen Rokok?Di manakah letak perlindungan untuk konsumen apabila produk itu (rokok) nyata-nyata membahayakan bagi konsumen itu sendiri? Bagaimana wujud perlindungan tersebut?WILMA

••

Jawaban:DIANA KUSUMASARI, S.H., M.H.

Hukum perlindungan konsumen di Indonesia saat ini secara umum didasarkan pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(“UUPK”). Khusus mengenai perlindungan bagi pengguna rokok dapat kita temui pengaturannya dalam PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (“PP 18/2003”).

 Dalam bagian menimbang PP 18/2003 disebutkan bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengamanan. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan menerbitkan PP 18/2003 ini.

 Pemerintah telah menentukan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan ini dilaksanakan dengan beberapa pengaturan berikut (Pasal 3 PP 18/2003):

a.    kandungan kadar nikotin dan tar;b.    persyaratan produksi dan penjualan rokok;c.    persyaratan iklan dan promosi rokok;

d.    penetapan kawasan tanpa rokok.

 Lebih jauh untuk melaksanakan PP 18/2003 ini diterbitkan beberapa peraturan teknis sebagai berikut:

1.    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Cara Uji Kandungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok.2.    Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.3.1.3322 Tahun 2004 tentang Tata Laksana Produk Rokok yang Beredar dan Iklan; dan3.    Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

 Jadi, jika yang Anda tanyakan adalah wujud dari perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok, pemerintah telah menetapkan batasan-batasan yang antara lain adalah:

1.    Setiap orang yang memproduksi rokok wajib memiliki izin di bidang perindustrian (Pasal 10 PP 18/2003). Sehingga tidak semua orang bisa memproduksi rokok untuk dikonsumsi masyarakat luas.2.    Setiap orang yang memproduksi rokok dilarang menggunakan bahan tambahan dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan (Pasal 11 ayat [1] PP 18/2003).3.    Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian berkewajibanmenggerakkan, mendorong dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi   untuk menghasilkan produk tanaman tembakau dengan risiko kesehatan seminimal mungkin (Pasal 12 PP 18/2003).4.    Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian berkewajibanmenggerakkan, mendorong dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi rokok untuk menghasilkan produk rokok dengan risiko kesehatan seminimal mungkin (Pasal 13 PP 18/2003).5.    Iklan dan promosi rokok hanya boleh dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 16 ayat [1] PP 18/2003).

Page 20: Pencabutan Peraturan UU

6.    Dalam setiap iklan rokok harus dicantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan yakni “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” (Pasal 18 jo Pasal 8 ayat [2] PP 18/2003). Lebih jauh simak artikelLangkah Hukum Jika Terjadi Pelanggaran Iklan Rokok.7.    Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan (Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa peringatan kesehatan adalah berupa tulisan dan dapat disertai gambar. Pasal ini pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh Nurtanto Wisnu Brata beserta sebelas rekannya yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah. Dalam putusannya, MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Lebih jauh simak artikel Produsen Rokok Harus Cantumkan Gambar Peringatan.

 Ketentuan-ketentuan tersebut adalah contoh wujud perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok secara khusus dan bagi masyarakat secara umum.

 Pada sisi lain, meskipun telah terdapat bermacam regulasi berkaitan dengan rokok, namun hak masyarakat atas informasi bahaya rokok dinilai belum benar-benar terpenuhi. Dalam artikel Hak Masyarakat atas Informasi Bahaya Rokok Belum Terjamin misalnya, Arini Setiawati dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, mencontohkan satu informasi yang kurang disosialisasikan kepada masyarakat, yaitu tentang asap tembakau yang mengandung kurang lebih dari 4000 zat kimia. Di luar itu, lanjut Arini, masyarakat juga belum diberikan pemahaman yang cukup tentang ancaman penyakit di balik kegiatan merokok, yaitu setidaknya ada sembilan jenis penyakit kanker, tiga penyakit jantung serta pembuluh darah, dan tiga penyakit paru-paru yang dapat disebabkan rokok.

 Pemerintah dapat memperingati dan memberikan batasan-batasan untuk melindungi pengguna rokok maupun masyarakat di antaranya seperti yang telah disebutkan di atas dan dengan menetapkan kawasan tanpa rokok seperti yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkanPergub DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokoksebagaimana telah diubah dengan Pergub DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010. Lebih jauh simak artikel Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Kawasan Dilarang Merokok.

 Jadi, perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok memang telah diberikan oleh pemerintah sebagaimana telah diuraikan di atas. Tetapi, mengenai kesadaran bahwa rokok akan berisiko bagi kesehatan pribadi konsumen rokok ada pada masing-masing individu.

 Demikian sepanjang yang kami ketahui.

 Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;2.    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;3.    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Cara Uji Kadungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok;4.    Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;5.    Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.1.3322 Tahun 2004 tentang Tata Laksana Produk Rokok yang Beredar dan Iklan.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

===============================Pertanyaan:

Page 21: Pencabutan Peraturan UU

Perlindungan Hukum bagi PasienBagaimana perlindungan hukum terhadap pasien secara keperdataan dalam perjanjian teraupetik antara dokter (pihak rumah sakit) dengan pasien? Bagaimana cara mengajukan gugatannya?ANONIM

••

Jawaban:SHANTI RACHMADSYAH, S.H.

 Secara umum, terapeutik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,berarti berkaitan dengan terapi. Ada beberapa pendapat mengenai definisi perjanjian terapeutik (kadang ditulis “teraupetik”), atau dikenal juga dengan transaksi terapeutik: 

1.      Hermien Hadiati Koeswadji, dalam makalah “Beberapa Permasalahan Mengenai Kode Etik Kedokteran” yang disampaikan dalam dalam Forum Diskusi oleh IDI Jawa Timur:

“Transaksi teraupetik adalah transaksi (perjanjian/verbintenis) untuk mencari/menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.”

 2.      Dr. Veronica Komalawati, dalam buku “Peranan Informed Consent dalam Transaksi Teraupetik”:

“Transaksi teraupetik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medik secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran.”

 Jadi, perjanjian terapeutik adalah mengenai hubungan hukum antara dokter dan pasiennya. Perjanjian terapeutik, sebagaimana halnya perjanjian lainnya, juga harus tunduk pada pengaturan mengenai perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal terjadi sengketa antara dokter dan pasien, maka pasien berhak untuk mengajukan gugatan, baik kepada lembaga peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. 

Apabila gugatan diajukan ke pengadilan umum, artinya Anda mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, dan tata caranya sama dengan mengajukan gugatan perdata biasa. Apabila kepada lembaga penyelesaian sengketa konsumen, artinya Anda mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Page 22: Pencabutan Peraturan UU

 

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. 

SELASA, 13 AGUSTUS 2013

Pertanyaan:

Langkah Hukum Jika Dokter Salah DiagnosisSalam buat semua. Apa ada hukumnya jika ada dokter yang salah mendiagnosa penyakit pasien? Pada waktu itu adik saya umur 13 tahun divonis kena penyakit TBC. Dengan pengalaman dokter tahu tentang penyakit ini namun tidak disertai pemeriksaan lab uji dahak, tes mantuk dan dokter itu sudah vonis penyakit TBC dan memberikan obat TBC dan adik saya sudah minum obat ini selama sebulan. Karena kami masih ragu kami periksakan ke dokter paru lain dan menganjurkan tes dahak dan tes mantuk hasilnya dari kedua tes menunjukkan bukan penyakit TBC yang seperti dokter pertama katakan. Kami sekeluarga sangat menyesalkan tindakan dokter yang langsung memberikan obat TBC yang takutnya menimbulkan efek samping, apa lagi sudah diminum selama sebulan.ARMADILL

••

Jawaban:TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 Menurut laman kamuskesehatan.com, definisi diagnosis adalah identifikasi sifat-sifat penyakit atau kondisi atau membedakan satu penyakit atau kondisi dari yang lainnya. Penilaian dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik, tes laboratorium, atau sejenisnya, dan dapat dibantu oleh program komputer yang dirancang untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan.Selain itu, masih bersumber pada laman yang sama, definisi salah diagnosis adalah kesalahan dalam diagnosis setelah pemeriksaan klinis atau prosedur diagnostik teknis dilakukan.

 Jika mengacu pada definisi diagnosis di atas, apabila dokter yang menangani adik Anda telah melakukan pemeriksaan fisik terhadap adik Anda, meskipun pemeriksaan fisik tersebut tidak dilakukan bersamaan dengan tes laboratorium, lalu dokter memberikan penilaian terhadap penyakit adik Anda, maka tindakan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai diagnosis.

 Diagnosis suatu penyakit merupakan salah satu bentuk praktik kedokteran. Hal ini sesuai dengan yang disebut dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter gigi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Salah satu praktik kedokteran yang dimaksud adalah menegakkan diagnosis sebagaimana yang disebut dalamPasal 35 ayat (1) huruf d. Adapun dokter yang berwenang untuk melakukan praktik kedokteran itu sendiri menurut Pasal 29 ayat (1) UU Praktik Kedokteran adalah setiap dokter dan dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat

Page 23: Pencabutan Peraturan UU

tanda registrasi dokter gigi.

 Mengenai tindakan keluarga Anda memeriksakan penyakit adik Anda ke dokter lain, menurut kami hal tersebut wajar dilakukan. Mengutip pendapatKetua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia, Wawang S. Sukarya, dalam artikel Pemenuhan Hak Pasien Masih Diskriminatif, seorang pasien berhak bertanya lebih dalam mengenai penyakit yang dideritanya. Apabila merasa tidak puas, pasien dapat meminta second opinion kepada dokter lain untuk membandingkan diagnosis yang diberikan dokter sebelumnya.

 Sebelum menjawab apa sanksi hukum bagi dokter yang melakukan kesalahan diagnosis, terlebih dahulu kami akan menjelaskan tentang kesalahan diagnosis jika ditinjau dari praktiknya. Menurut M.Y.P. Ardianingtyas, S.H., LL.M dan Dr. Charles M. Tampubolon dalam artikelKesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?, kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik. Penjelasan lebih lanjut mengenai apakah kesalahan diagnosis itu merupakan malpraktek atau bukan dapat Anda simak dalam artikel tersebut.

 Menjawab pertanyaan Anda tentang apa sanksi hukum bila dokter salah mendiagnosis penyakit pasiennya, kami juga bersumber pada artikel tersebut. Di sana dikatakan bahwa setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.

 Dalam artikel Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan Pasien korban Malpraktik dikatakan bahwa MKEK adalah lembaga penegak KODEKI di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia).Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokterandan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

 Jadi, yang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter adalah lembaga khusus bernama MKDKI tersebut, termasuk menentukan apakah kesalahan diagnosis terhadap penyakit adik Anda tersebut merupakan tindakan malpraktik atau bukan. Penentuan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi ini dituangkan dalam bentuk keputusan yang dibuat oleh MKDKI. Keputusan ini dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin (lihat Pasal 69 UU Praktik Kedokteran).

 Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Pasal 69 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin yang dimaksud dapat berupa:

a.    pemberian peringatan tertulis;b.    rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atauc.    kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

 Namun, jika keluarga Anda sebagai pihak dari pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut, berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran pasien dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan pengaduannya itu tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

 Jadi, apabila adik Anda mengadukan secara tertulis kepada MKDKI atas kerugian yang dideritanya, maka hak untuk melapor adanya tindak pidana dan menggugat secara perdata masih dapat dilakukan. Penjelasan lebih lanjut mengenai upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh adik Anda atas kerugian yang dideritanya dapat Anda simak dalam artikel Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan Pasien Korban Malpraktik.

Page 24: Pencabutan Peraturan UU

 Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.

 Dasar hukum:Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

MKDKIOPINI | 20 December 2013 | 07:43 Dibaca: 35   Komentar: 0   0

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Dalam RUU Praktek Kedokteran (sudah diundangkan September 2004 menjadi UU no 29 tentang Praktik Kedokteran), diusulkan adanya pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis yaitu suatu peradilan khusus dilingkungan peradilan umum yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa medik. Setelah dibahas di DPR, bab mengenai Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medik dalam peradilan umum tidak dimasukkan dalam Undang-Undang.

Dalam upaya untuk penegakkan disiplin kepada dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran maka melalui Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dibentuklah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesi (MKDKI), seperti yang tercantum dalam Bab VIII Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada KKI.

Keanggotaan MKDKI terdiri dari tiga orang dokter dan tiga orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, tiga orang dokter dan tiga orang dokter gigi yang mewakili asosiasi rumah sakit dan tiga orang sarjana hukum. Ada persyaratan tertentu untuk menjadi anggota MKDKI, seperti yang diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 29 tahun 2009 tentang praktik kedokteran:

Ayat (2):

a. warga negara Indonesia;

b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d. Berkelakuan baik;

e. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;

f. Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau tanda registrasi dokter gigi;

g. Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10

Page 25: Pencabutan Peraturan UU

(sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan

h. Cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Tugas dari MKDKI adalah menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi. Disamping itu, tugas MKDI yang lain adalah menyusun pedoman dan tatacara penangan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.

Dalam hal adanya pengaduan adanya kerugian atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran, maka Pasal 66 Undang-Undang No 29 tahun 2004 mengaturnya seperti berikut:

Ayat (1): Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat menagjukan secar tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Ayat (2): Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: a. identitas pengadu; b. nama dan alamat tempat praktek dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan c. alasan pengaduan.

Ayat (3): Pengaduan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menhilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwewenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi maka MKDKI memeriksa dan memberi keputusan. Apabila ditemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan pengaduan tersebut ke organisasi profesi dalam hal ini ke Majelis Kehormatan Etik Indonesia (MKEK). Keputusan yang dibuat oleh MKDKI sehubungan dengan ditemukannya pelanggaran disiplin, mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia. Keputusan yang diberikan dapat dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin, pasal 69 ayat (3):

1. Pemberian peringatan tertulis

2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP.

(rekomendasi pencabutan STR atau SIP sementara selama-lamanya 1 tahun, atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP tetap atau selama-lamanya)

3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi.

( dapat berupa: pendidikan formal, pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang, sekurang-kurangnya 3 bulan dan paling lama 1 tahun).

Pendisiplinan dokter dilakukan melalui MKDKI atau MKEK dan hanya dibatasi pada hal disiplin dan etika saja, yang bagi pasien atau keluarga jelas hal ini bukanlah topik yang mudah diketahui dan dipahami. Sehingga pembuktian ada tidaknya pelanggaran disiplin atau etika menjadi “sulit dimengerti” oleh pasien, disamping itu putusan yang diambil dalam pendisiplinan ini hanya

Page 26: Pencabutan Peraturan UU

bersifat administratif yang umumnya tidak berhubungan langsung dengan pasien, sehingga pasien atau keluarga “kurang puas” dengan putusan yang diberikan.

BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN

1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten

2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi lain yang sesuai.

(rujukan bisa tidak dilakukan bila: kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk, keberadaan tenaga medis lain atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit dijangkau atau didatangkan, atas kehendak pasien).

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

(delegasi kepada tenaga kesehatan harus sesuai kompetensi dan ketrampilan mereka, tanggung jawab tetap pada dokter)

4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.

5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien.

6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.

8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.

(http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/12/05/persetujuan-tindakan-kedokteran-informed-consent-616733.html)

10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.

12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.

Page 27: Pencabutan Peraturan UU

(dalam kondisi sakit terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan/futile menurut state of the art ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi dengan tetapi memberikan perawatan yang layak )

13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tatacara prektik kedokteran yang layak.

14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang diakui pemerintah.

15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

(alasan dokter atau dokter gigi untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada pasien: pasien melakukan intimidasi kepada dokter, pasien melakukan kekerasan kepada dokter, pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan)

17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

(alas an pembenaran: permintaan MKDKI, Majelis hakim dalam sidang pengadilan, sesuai peraturan perundang-undangan)

18. Membuat keterangan medic yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.

19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.

20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.

21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien di tempat praktek.

22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.

23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/ alat kesehatan.

24. Mengiklankan kemampuan/ pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan

25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alcohol serta zat adiktif lainnya.

26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP)

Page 28: Pencabutan Peraturan UU

dan/ atau sertifikat yang tidak sah.

27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medic.

28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

Dr. Tince P.Soemoele, MH=================

MKEK dan MKDKIPublished : 03.19 Author : Akademik Ibnu Sina FK UNILA

Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran, dibentuklah MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)

MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.2. Menetapkan sanksi disiplin.

MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen

Tujuan penegakan disiplin adalah :1. Memberikan perlindungan kepada pasien.2. Menjaga mutu dokter / dokter gigi.3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran / kedokteran gigi.

Anggota MKDKI terdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum.

Page 29: Pencabutan Peraturan UU

PENANGANAN PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN dapat diunduh di siniLabih lengkap tentang MKDKI dapat diunduh di siniHimpunan buku MKDKI dapat diunduh di sini

Semetara tentang MKEK, yaitu :

Bagian XIIIMajelis MajelisPasal 29Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)

1. Statusa. MKEK adalah badan otonom IDI yang bertanggung jawab mengkoordinasi kegiataninternal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan danpengawasan penerapan etika kedokteranb. Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional danstrategis, MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah PimpinanPusat.c. MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang.d. MKEK di tingkat cabang dibentuk apabila dianggap perlu atas pertimbangan danpersetujuan dari MKEK wilayah.e. MKEK bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarahcabang sesuai dengan tingkat kepengurusanf. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDIg. Kepengurusan MKEK sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dananggotah. MKEK wilayah dan cabang mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah danpengurus cabang, sesuai dengan tingkat kepengurusan.

2. Tugas dan wewenang

Page 30: Pencabutan Peraturan UU

a. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semuakeputusan yang ditetapkan muktamar.b. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etikkedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisiluhur kedokteran.c. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.d. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar,pengurus wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium KedokteranIndonesia.e. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan denganetik profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.f. Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarahcabang.

3. Tatacara Pengelolaana. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah danmusyawarah cabang.b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dandikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar,musyawarahwilayah, dan musyawarah cabang.20e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul sertapermintaan.f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lainyang ditentukan sendiri oleh MKEK.

Lebih lengkap tentang MKEK dapat diunduh di sini

Page 31: Pencabutan Peraturan UU

Mendesak, Reformasi Sistem KesehataninShare

JAKARTA - Masih adanya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan.

Desakan itu muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, juga RDP Umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi, Selasa (15/1).

Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam RDP dan RDP Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespons. Pengelola RS mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu dan Anak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan.

Tempat mengadu

Wakil Ketua Komisi IX DPR yang memimpin sidang, Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat/ DKI Jakarta II), mengatakan, kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah.

Page 32: Pencabutan Peraturan UU

Jika ada dugaan kelalaian medik, kata Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran KKI M Toyibi, masyarakat dapat mengadu ke MKDKI-KKI atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)-IDI. Pelanggaran yang ditangani MKDKI menyangkut disiplin. Sanksi berupa peringatan tertulis hingga pencabutan STR sementara yang membuat dokter tak bisa praktik.

Pelanggaran yang ditangani MKEK terkait etika. Selain ke MKDKI dan MKEK, korban juga dapat mengadu ke polisi/pengadilan secara pidana atau perdata. Ketiga proses dapat berjalan simultan di ketiga lembaga.

Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada 2006-2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter. "Kurangnya komunikasi dokter dan pasien memunculkan banyak ketidakpuasan layanan," katanya.

Dari 121 dokter itu, hanya 57 orang yang terbukti melanggar disiplin. Dari jumlah itu, hanya 26 dokter yang dicabut sementara STR-nya. Jika tak kompeten, dokter sebaiknya merujuk.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia NTT Marthen L Mullik mengatakan, kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu buruknya manajemen RS. Karena itu, RS tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan.

Anggota Komisi IX DPR Endang Agustini Syarwan Hamid (Partai Golongan Karya/Jawa Timur V) menambahkan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Pasien datang untuk mencari kesembuhan dan dokter adalah manusia biasa yang bisa salah.

Menyikapi terus adanya kasus kelalaian medik, Ketua Umum IDI Zaenal Abidin mengatakan pentingnya pembinaan tenaga kesehatan oleh setiap organisasi profesi dan pemerintah, baik dalam persoalan etika, disiplin, maupun kompetensi. "Dokter juga dilindungi hukum saat bekerja sesuai standar profesi," katanya.(MZW)

Mendesak, Reformasi Sistem KesehataninShare

JAKARTA - Masih adanya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan.

Page 33: Pencabutan Peraturan UU

Desakan itu muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, juga RDP Umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi, Selasa (15/1).

Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam RDP dan RDP Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespons. Pengelola RS mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu dan Anak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan.

Tempat mengadu

Wakil Ketua Komisi IX DPR yang memimpin sidang, Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat/ DKI Jakarta II), mengatakan, kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah.

Jika ada dugaan kelalaian medik, kata Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran KKI M Toyibi, masyarakat dapat mengadu ke MKDKI-KKI atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)-IDI. Pelanggaran yang ditangani MKDKI menyangkut disiplin. Sanksi berupa peringatan tertulis hingga pencabutan STR sementara yang membuat dokter tak bisa praktik.

Pelanggaran yang ditangani MKEK terkait etika. Selain ke MKDKI dan MKEK, korban juga dapat mengadu ke polisi/pengadilan secara pidana atau perdata. Ketiga proses

Page 34: Pencabutan Peraturan UU

dapat berjalan simultan di ketiga lembaga.

Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada 2006-2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter. "Kurangnya komunikasi dokter dan pasien memunculkan banyak ketidakpuasan layanan," katanya.

Dari 121 dokter itu, hanya 57 orang yang terbukti melanggar disiplin. Dari jumlah itu, hanya 26 dokter yang dicabut sementara STR-nya. Jika tak kompeten, dokter sebaiknya merujuk.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia NTT Marthen L Mullik mengatakan, kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu buruknya manajemen RS. Karena itu, RS tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan.

Anggota Komisi IX DPR Endang Agustini Syarwan Hamid (Partai Golongan Karya/Jawa Timur V) menambahkan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Pasien datang untuk mencari kesembuhan dan dokter adalah manusia biasa yang bisa salah.

Menyikapi terus adanya kasus kelalaian medik, Ketua Umum IDI Zaenal Abidin mengatakan pentingnya pembinaan tenaga kesehatan oleh setiap organisasi profesi dan pemerintah, baik dalam persoalan etika, disiplin, maupun kompetensi. "Dokter juga dilindungi hukum saat bekerja sesuai standar profesi," katanya.(MZW)

Pertanyaan:

Langkah-langkah yang Dapat Dilakukan Pasien Korban MalpraktikApakah kekuatan hukum dari Kodeki, sehingga apabila seorang dokter dituduh melakukan malpraktik, dokter tersebut harus terlebih dahulu diperiksa oleh MKEK,  apakah dokter itu telah melanggar Kodeki?  ANDREW HUTAPEA

••

Jawaban:KARTIKA FEBRYANTI DAN DIANA KUSUMASARI

Dari yang kami ketahui, dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:

Page 35: Pencabutan Peraturan UU

a.      Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;b.      Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); danc.      Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.

 Secara spesifik terkait dengan yang Anda tanyakan adalah mengenai Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini dapat kita lihat padapenjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) jo Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).

 Pasal 8 Huruf f UU Praktik KedokteranEtika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Pasal 24 UU Kesehatan

a)     Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.b)     Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.c)     Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

  

Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.”

 Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).

 Sehingga, dapat kami simpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki)merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada organisasi profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap anggota pada organisasi profesi tersebut.

 Terkait dengan malpraktik, menurut Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwi dalam artikelKelalaian Tenaga Kesehatan Tidak Dapat Dipidana, sebenarnyakelalaian tenaga kesehatan dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab, dalam tiga paket undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter bisa dipidana.

 Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam ketiga undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan.

Page 36: Pencabutan Peraturan UU

Namun, dalam artikel yang sama, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser tidak sepakat jika kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik Kedokteran (lihat Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.

 Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat saja langsung mengajukan gugatan perdata. Seperti halnya yang dilakukan oleh Shanti Marina yang menggugat dokter Wardhani dan RS Puri Cinere atas dasar Perbuatan Melawan Hukum berupa malpraktik. Lebih jauh simak MA Menangkan Pasien Korban Malpraktik.

 Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga kesehatan yakni:

a.      Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;b.      Melakukan mediasi;c.      Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana.

 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;2.      Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;3.      Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

 Setiap artikel dan jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

  

Temukan Dokter Tak Beretika? Laporkan Saja ke Majelis Kode EtikOleh KusmiyatiPosted: 16/12/2013 19:00

TOPIK #MKEK dan MKDI #Lembaga Kedokteran

(mulheremae.com.br)

Liputan6.com, Jakarta : Belajar dari kasus dokter Ayu cs di Manado, para dokter dan rumah sakit kini mulai berupaya menjawab harapan publik terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas dan profesional.

Page 37: Pencabutan Peraturan UU

"Kasus yang melibatkan rekan sejawat kami itu menjadi pukulan dan pembelajaran kami. Untuk itu kami berharap antara pasien dan dokter memiliki komunikasi yang baik, mungkin ada dokter yang etikanya kurang atau pelayanan rumah sakit kurang, tegur saja," kata Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dr. Prijo Sidipratomo, Sp. Rad saat ditemui Liputan6.com, ditulis Senin (16/12/2013).

Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (POGI), dr. Nurdadi Shaleh juga mengatakan hal yang sama ketika dokter yang tidak beretika, pasien berhak menegurnya yang akan kemudian ditangani MKEK dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

"Dokter itu memang diajari etika namun kan tidak semuanya sama, ada yang etikanya baik atau tidak. Bila memang pasien tidak puas dengan perilaku atau pelayanan dokter dan rumah sakit silakan keluhkan langsung ke kami. Nanti bila memang terbukti ada pelanggaran etika maka MKEK dan MKDI akan menanganinya," kata Nurdadi.

Seperti pemberitaan sebelumnya, para dokter mengatakan ketika ada masalah sebaiknya pasien melaporkan hal tersebut ke MKEK dan MKDI bukan lebih dahulu ke pihak kepolisian sampai Mahkamah Agung (MA).

"Kalau ada kasus yang melibatkan antara dokter dan pasien laporkan dulu ke MKEK dan MKDI, bukan tidak memperbolehkan ke polisi langsung. Namun kami sudah punya Badan atau lembaga yang memang kompeten mengurus hal ini," kata Nurdadi.

Lalu, Apakah MKEK dan MKDI itu?

Menurut Prijo, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki sistem pengawasan dan penilaian terkait pelaksanaan etik profesi dan kedisiplinan profesi. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.

"Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 tahun 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran," kata Prijo.

Prijo mengatakan setiap wilayah itu memiliki MKEK sehingga masyarakat tidak sulit untuk melaoprkan bila ada kasus yang terkait dengan etika dokter. "Kalau MKEK itu ada di setiap wilayah jadi sepertinya tidak sulit. Kalau MKDI memang baru ada dua di Jakarta dan Semarang. MKEK dan MKDI itu sudah eksis 50

Page 38: Pencabutan Peraturan UU

tahun yang lalu," ujar Prijo.

MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya. MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK kemudian akan diberikan sanksi bila memang terbukti dokter tersebut bersalah.

Prijo juga menambahkan mungkin masyarakat masih kurang paham dengan MKDI dan MKEK sehingga ketika ada kasus langsung melaporkan ke pihak kepolisian. "MKEK dan MKDI ini sudah lama sekali ada, dan memang kalau ada dokter yang bersalah kami akan menghukumnya. Jangan berpikir karena sama-sama dokter kami akan membela, kalau salah ya kami akan memberikan sanksi. Pernah ada tapi memang tidak disiarkan ke media karena saat sidang akan mengumbar tentang riwayat penyakit pasien, maka kami tidak gembor-gemborkan," kata Prijo

Nurdadi juga mengatakan tidak hanya MKEK dan MKDI, IDI juga memiliki Komite Medis yaitu Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI). "Pasien yang memang tdiak puas dengan pelayanan ruamh sakit dan dokter IDI memiliki lembaga atau badan MKEK, MKDI dan MAKERSI. Saran dan kritik dari pasien itu kami bahas, jadi kalau ada keluhan segera dikomunikasikan," kata Nurdadi.

Ketua MAKERSI, dr. Umar Wahid berharap semua komite di rumah sakit berjalan efektif dan segera membahas bila ada keluhan dari pasien. "Kalau ada kotak saran atau kritik, bisa disampaikan di sana atau langsung ke komite yang pengurus komitemya itu orang-orang terpilih dan kompeten menangani kode etik profesi dokter. Bila komunikasi antara pasien dan dokter terjaga maka masalah dapat diminimalisir," ujar Umar.

(Mia/Abd)

KELALAIAN MEDIK

Mendesak, Reformasi Sistem KesehatanRabu, 16 Januari 2013 | 09:06 WIB

Dibaca: -

Komentar: -|

Page 39: Pencabutan Peraturan UU

Share:

ShutterstockIlustrasiTERKAIT:

• 10 Kesalahan Diagnosis Paling Sering pada Anak• Minim, Sosialisasi Pengaduan Kasus Malapraktik• Cegah Malapraktik Secara Cerdas• Tidak Mudah Menuding Dokter Malapraktik

JAKARTA, KOMPAS - Masih adanya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan.

Desakan itu muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, juga RDP Umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi, Selasa (15/1).

Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam RDP dan RDP Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespons. Pengelola RS mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu dan Anak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan.

Page 40: Pencabutan Peraturan UU

Tempat mengadu

Wakil Ketua Komisi IX DPR yang memimpin sidang, Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat/ DKI Jakarta II), mengatakan, kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah.

Jika ada dugaan kelalaian medik, kata Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran KKI M Toyibi, masyarakat dapat mengadu ke MKDKI-KKI atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)-IDI. Pelanggaran yang ditangani MKDKI menyangkut disiplin. Sanksi berupa peringatan tertulis hingga pencabutan STR sementara yang membuat dokter tak bisa praktik.

Pelanggaran yang ditangani MKEK terkait etika. Selain ke MKDKI dan MKEK, korban juga dapat mengadu ke polisi/pengadilan secara pidana atau perdata. Ketiga proses dapat berjalan simultan di ketiga lembaga.

Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada 2006-2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter. ”Kurangnya komunikasi dokter dan pasien memunculkan banyak ketidakpuasan layanan,” katanya.

Dari 121 dokter itu, hanya 57 orang yang terbukti melanggar disiplin. Dari jumlah itu, hanya 26 dokter yang dicabut sementara STR-nya. Jika tak kompeten, dokter sebaiknya merujuk.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia NTT Marthen L Mullik mengatakan, kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu buruknya manajemen RS. Karena itu, RS tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan.

Anggota Komisi IX DPR Endang Agustini Syarwan Hamid (Partai Golongan Karya/Jawa Timur V) menambahkan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Pasien datang untuk mencari kesembuhan dan dokter adalah manusia biasa yang bisa salah.

Menyikapi terus adanya kasus kelalaian medik, Ketua Umum IDI Zaenal Abidin mengatakan pentingnya pembinaan tenaga kesehatan oleh setiap organisasi profesi dan pemerintah, baik dalam persoalan etika, disiplin, maupun kompetensi. ”Dokter juga dilindungi hukum saat bekerja sesuai standar profesi,” katanya.(MZW) 

Page 41: Pencabutan Peraturan UU