pencabutan gugatan oleh ibu terhadap...
TRANSCRIPT
PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI
KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN
(Studi terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)
Oleh :
SITI PUJIATI NIM : 104044201490
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO: 608//Pdt.G/2007/PA.JP) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah.
Jakarta, 17 September 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (..........................) NIP. 195003061976031001 2. Sekretaris: Kamarusdiana, S.Ag., M.H (..........................) NIP. 197202241998031003 3. Pembimbing I: Dr. Hj. Mesraini, M.Ag (..........................) NIP.150 326 895 4. Pembimbing II: Dra. Hj. Halimah Ismail (..........................) NIP.150 075 192 5. Penguji I: Dr. Afifi Fauzi Abbas, MA (..........................) NIP. 195609061982031004 6. Penguji II: Kamarusdiana, S.Ag., M.H (..........................) NIP. 197202241998031003
PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN
MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
SITI PUJIATI NIM: 104044201490
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag Dra. Hj. Halimah Ismail NIP.150 326 895 NIP.150 075 192
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2009
Siti Pujiati
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis sampaikan kepada Allah SWT atas
kehendak dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam tak lupa pula penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri
tauladan dalam setiap aktivitas kehidupan beserta keluarga dan para sahabatnya.
Alhamdulillah atas rahmat Allah SWT, penulis mengucapkan terima
kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu
do'a dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian
skripsi ini. Dengan rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-
dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ketua Program Studi, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan
Sekretaris Program Studi Bapak Kamarusdiana S.Ag, MH. yang selalu
memberikan dorongan semangat dan dukungan kepada penulis.
3. Ibu Dra. Hj. Halimah Ismail dan Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dosen
pembimbing yang dengan sabar telah memberikan waktu luang, tenaga serta
pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
i
4. Bapak Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA dan Bapak Kamarusdiana S.Ag, MH,
dosen penguji skripsi yang telah menguji penulis dalam sidang munaqasah
dan dengan tulus memberi bimbingan kepada penulis dalam merevisi skripsi
ini.
5. Seluruh dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu yang sangat
bermanfaat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat
mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan.
6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat beserta staf dan jajarannya yang telah
membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan
untuk penelitian ini.
7. Pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan
perpustakaan utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi
studi pustaka.
8. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. Muhammad Muin dan Alm. Siti Rofiatun
atas segala pengorbanan, jerih payah dan cinta kasihnya baik berupa moril
maupun materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk
keberhasilan studi penulis.
9. Keluarga besar penulis, kakak-kakakku mba Siti Marfi’ah, mba Siti
Chalimah, mba Siti Murtiningsih S.E., mba Siti Suhartini,
mas Serka. Bambang Eddi Gufron, mas Edy Slamet Hariyanto. Kakak-kakak
ii
iii
iparku Bang H. Jaelani, mas Paino, mas Edi Nursantoso S.E., mas Yoga
sudarmadji, Teteh Dian Sundawati, terima kasih atas dukungan kalian semua
baik moril maupun materil. Serta keponakan-keponakanku yang selalu
memberikan canda tawa di hari-hariku.
10. Sahabat-sahabatku beserta keluarganya: Kesy, Kak Muslim IKALUIN, Hj.
Hanna, Bouw, Riana, Restifa, Ade Puspita, Riska, Rieda, Dyah, Senja, Iis,
Febri, Aprilia, Eka C.N., Novia, Dede syahri, Masdar dan seluruh rekan-
rekan seperjuangan jurusan Administrasi Keperdataan Islam (AKI) atas
persahabatan, perhatian, canda tawa, kekompakan dan dukungan kalian baik
dalam suka maupun duka, bersama kalian hidup jadi semakin berwarna.
11. IKALUIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Keputrian Remaja Masjid
Darunni'mah (RISDA) Jaksel, Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terutama seluruh angkatan Nobile, Ikatan Alumni SMU
Darul Ma'arif Jakarta Selatan 2004. Serta semua pihak yang telah
memberikan bantuannya kepada penulis hingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan khazanah keilmuan yang ada khususnya dalam bidang
perdata Islam.
Jakarta, 27 Agustus 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ………………………………………….…….……………... i
Daftar Isi ………………………………………………………….……..…… iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………….…………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………..... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………............... 7
D. Metode Penelitian ……………………………................... 7
E. Review Studi Terdahulu ..................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ………………………..................... 12
BAB II PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
NO:608/Pdt.G/2007/PA.JP
A. Duduk Perkara .................................................................... 13
B. Temuan Fakta di Persidangan ............................................ 17
C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim ......................... 18
D. Putusan Hakim .................................................................... 23
BAB III ANALISIS TERHADAP PENCABUTAN GUGATAN OLEH
IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI
ANAK PASCA PERCERAIAN (PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA JAKARTA PUSAT No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP )
A. Analisis Duduk Perkara ................................................... 25
iv
B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim ......... 33
C. Analisis Putusan Hakim ................................................... 44
D. Analisis Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu
Terhadap Ayah Dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca
Perceraian (Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No:
608/Pdt.G/2007/PA.JP)............................................... 49
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………………...………………..…………… 54
B. Saran ………………………...………………..………….. 55
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Hidup
berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah,
termasuk manusia. Allah Swt menciptakan manusia berpasang-pasangan dan
menjadi berkembang biak yang berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur'an surat al-Nisa (4) ayat 1 :
⌧ ☯
⌧ )٤:١ /النساء(
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (Q.S. Al-Nisa/4:1)
1
2
Perkawinan pada manusia diatur oleh syariat agama. Perkawinan
merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah.1 Di atas pundak
suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Yang
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku
menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain”.2
Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan,
pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan,
bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.3 Kewajiban menafkahi
itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau
punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada
tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya
pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan
Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami, dijelaskan:
“(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
1 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. 4, h. 400. 2 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet. ke-2, jilid ke-
9, h. 28. 4 Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta:
FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 55-56.
3
c. Biaya pendidikan bagi anak.” 5
Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah
tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman
bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.
Nilai perkawinan dalam Islam merupakan ibadah dan mitsaqan ghalidz
(perjanjian suci). Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal, maka suatu perkawinan seharusnya berlangsung abadi. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa sering antara para pihak
yang terikat dalam perkawinan sudah tidak lagi ada kecocokan di antara mereka,
yang memicu pertengkaran dan konflik terus-menerus hingga tidak dapat
didamaikan lagi.
Dalam kondisi tersebut, perkawinan telah kehilangan maknanya. Namun,
suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan
bercerai, tetapi jika mereka sudah tidak dapat mempertahankan mahligai
perkawinannya lagi, maka perceraian adalah jalan keluar terakhir yang dapat
ditempuh.
Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa:
5 Departemen Agama R.I., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I., 2004), h. 158.
4
"perkawinan dapat putus karena: a. kematian,
b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan".
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di
antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari
hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
Setelah perkawinan tersebut putus atau terjadinya perceraian, maka tidak
serta merta urusannya selesai begitu saja, akan tetapi terdapat akibat-akibat
hukum yang perlu diselesaikan oleh pihak-pihak yang bercerai, diantaranya
adalah nafkah anak pasca perceraian.
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV tentang pemeliharaan anak
pasal 105 poin c disebutkan bahwa: dalam hal terjadi perceraian:
“a. ..., b. ..., c. biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”.
Serta KHI pasal 149 juga menegaskan:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. ...,
b. ..., c. ..., d. memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun”. Ditegaskan pula dalam KHI bab XVII pasal 156 poin d:
“Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”.
5
Selanjutnya, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan di antaranya adalah
Sub b:
“bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari
putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara.6 Dalam bidang hukum acara di
pengadilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum acara yang bersumberkan dari syariat Islam. Hal ini disamping untuk
mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar putusan yang
dihasilkan telah mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah swt,
karena diproses dengan acara yang diridhoi pula.7
Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No:
608/Pdt.G/2007/PA.JP., penggugat mencabut tuntutan mengenai nafkah anak
pasca perceraian dari gugatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis
mengapa penggugat melakukan pencabutan tuntutan tersebut dari gugatan dan
6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809 7 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 14.
6
apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan
dan tepat dengan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis sangat tertarik untuk
menelitinya dalam bentuk skripsi dengan judul: “PENCABUTAN GUGATAN
OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI
ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah, agar dalam
pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan maka
penulis membatasi masalah pencabutan gugatan oleh ibu terhadap ayah dari
kewajiban menafkahi anak pasca perceraian studi terhadap kasus di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dengan merujuk dan mengkaji putusan No.
608/Pdt.G/2007/PA.JP. Dengan demikian, penulis mengambil judul tentang
Pencabutan Gugatan oleh Ibu Terhadap Ayah dari Kewajiban Menafkahi Anak
Pasca Perceraian (Analisis Putusan No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP).
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa tuntutan nafkah anak dicabut oleh penggugat ?
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No:
7
608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan dan tepat dengan perundang-
undangan yang berlaku ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian:
a. Untuk mengetahui penyebab pencabutan tuntutan nafkah anak dari
gugatan penggugat.
b. Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan
hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No:
608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan dan tepat dengan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Manfaat Penelitian:
a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan
ilmiah di bidang hukum perdata yang berwawasan ke-Islam-an.
b. Dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas, khususnya
mengenai pengetahuan tentang kewajiban menafkahi anak pasca
perceraian.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat normatif dan empiris, penelitian normatif yaitu
dengan mempelajari data berupa buku-buku dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pembahasan masalah. Penelitian empiris
yang diperoleh dari hasil lapangan.
8
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
"Data primer adalah data yang diambil langsung, tanpa perantara, dari
sumbernya",8 dalam hal ini data yang akan diperoleh berasal dari putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP.
b. Data Sekunder
"Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari
sumbernya",9 yakni data yang memberikan penjelasan mengenai data
primer yang didapat dari para informan yang terdiri dari hakim
Pengadilan Agama Jakarta Pusat, panitera dan lainnya yang mengetahui
permasalahan ini. Dokumen-dokumen seperti Al-Qur’an, Hadist, buku-
buku ilmiah, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan
literatur-literatur yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Studi Dokumenter
8 Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA-LAN Press, 2000), cet.
Pertama, h. 86. 9 Ibid, h. 87.
9
Studi dokumentasi perkara terhadap putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat Nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP. Penulis juga melakukan
pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas.
2. Wawancara (Interview)
Wawancara yaitu peneliti memperoleh data dengan cara mengajukan
beberapa pertanyaan kepada narasumber. Tanya jawab dilakukan secara
tatap muka langsung dengan pihak terkait seperti hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, panitera dan lainnya yang mengetahui permasalahan
ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, diterapkan analisa secara kualitatif. Jadi,
dengan teknik ini penulis berusaha menganalisis dengan cara
mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh, menguraikan dan
mendeskripsikan putusan perkara, kemudian penulis melakukan interpretasi
hingga menghasilkan kesimpulan.
Mengenai teknik penulisan, penelitian skripsi ini berpedoman pada
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam penelusuran pustaka yang penulis lakukan, penulis menemukan
adanya kajian yang secara umum membahas tema nafkah anak yaitu:
10
1. Skripsi dari Juju Sunariah tahun 2004 yang berjudul “Cerai Talak dan
Implikasinya terhadap Nafkah Anak dan Istri: Studi Kasus di Kecamatan
Picung Kabupaten Pandeglang Banten”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Faktor-faktor yang menyebabkan suami tidak memberi nafkah (nafkah
iddah) pada bekas istrinya dan tidak membayar biaya hadanah anak-anaknya
yang ada di masyarakat kecamatan Picung adalah karena minimnya
pemahaman masyarakat terhadap akibat hukum yang harus dilaksanakan
akibat cerai talak. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan yang
lemah, hampir berkisar 50%. Kurang adanya penyuluhan mengenai
menajemen keluarga dari instansi terkait sebagai bekal ilmu keluarga, faktor
ini sekitar 20%. Serta latar belakang ekonomi lemah yaitu sekitar 30%.
Skripsi ini menggunakan metode kualitatif, studi kepustakaan dan
lapangan. Wawancara langsung sebagai data primer, dan angket (random
sampling).
2. Skripsi yang ditulis oleh Masripattunnisa tahun 2004 dengan judul:
“Pelaksanaan Putusan Perceraian dan Pengaruhnya Terhadap Nafkah Iddah
dan Biaya Anak: Studi Kasus di Kecamatan Gunung Putri Bogor, Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Proses perceraian mereka diputuskan dalam sidang keluarga dan itu pun
dilalui dengan sangat mudah. Nafkah, baik itu nafkah iddah atau nafkah untuk
biaya perawatan atau pengasuhan anak-anak, kebanyakan dari para mantan
suami tidak pernah memberi atau membayar nafkah iddah pada mantan
11
istrinya juga para mantan suami tidak pernah memberikan biaya untuk
perawatan atau pengasuhan anak secara rutin.
Skripsi ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, penelitian
kepustakaan dan lapangan.
3. Skripsi yang ditulis oleh Cici Indriani tahun 2006 dengan judul “Dampak
Perceraian Cerai Talak di Luar Prosedur Peradilan Agama Terhadap Nafkah
Iddah dan Nafkah Anak: Studi Kasus di Desa Purwadadi Barat Kecamatan
Subang”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Skripsi ini meneliti fenomena yang terjadi dalam masyarakat khususnya
masyarakat desa Purwadadi Barat kec. Purwadadi kab. Subang. Banyak
perceraian yang terjadi dengan cara mudah tanpa melalui prosedural hukum
yang berlaku serta tidak memikirkan akibatnya di kemudian hari terutama
terhadap nafkah istri yang berada pada masa iddah talak raj'i dan nafkah anak
pasca perceraian.
Berdasarkan penelitian Cici Indriani di desa Purwadadi Barat kec.
Purwadadi kab. Subang, tindakan atau upaya yang dilakukan seorang istri jika
mantan suaminya tidak memenuhi nafkah iddah, dan upaya untuk pemenuhan
biaya untuk anak yang dilakukan oleh mantan istri juga minim sekali. Dengan
alasan yang beragam diantaranya rasa malu karena menganggap masing-
masing (mantan suami-istri tersebut) telah memiliki kehidupan sendiri. Jika
adapun alasan mantan istri meminta biaya hadanah pada mantan suaminya
tidak lebih alasannya adalah untuk biaya sekolah.
12
Dari ketiga karya di atas, penelitian yang dikaji tersebut adalah kajian
mengenai nafkah anak yang dibahas secara umum dan singkat yang digabungkan
dengan pembahasan nafkah iddah. Berbeda dengan kajian di atas, penulis di sini
mencoba meneliti pencabutan gugatan nafkah anak oleh ibu terhadap ayah dari
kewajiban menafkahi anak pasca perceraian serta menganalisa duduk perkara,
pertimbangan hakim serta putusan hakim dalam putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP di dalam skripsi ini.
F. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, penulis membagi isi
skripsi ini menjadi lima bab. Adapun pembagiannya sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan. Bab ini merupakan pendahuluan yang di dalamnya
diuraikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review
Studi Terdahulu serta Sistematika Penulisan.
BAB II: Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No:608/Pdt.G/2007/PAJP
Bab ini menjelaskan tentang Duduk Perkara, Pertimbangan Hukum
Hakim, dan Putusan Hakim.
BAB III: Studi Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah
dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP).
Bab ini menjelaskan mengenai Analisis Duduk Perkara, Analisis
Pertimbangan Hukum Hakim, Analisis Putusan Hakim dan Analisis
13
Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah dari
Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP).
BAB IV: Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO:
608/Pdt.G/2007/PA.JP
A. Duduk Perkara
Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor:
608/Pdt.G/2007/PA.JP. identitas Penggugat dan Tergugat adalah: 1
1. Penggugat
Nama (Dirahasiakan Oleh PA.JP. dengan alasan privasi penggugat),
Umur 31 tahun, Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Jl. Kp.Rawa Selatan
I Rt.009/04 No.29 Kelurahan Kampung Rawa Kecamatan Johar Baru Kodya
Jakarta Pusat.
2. Tergugat
Nama (Dirahasiakan Oleh PA.JP. dengan alasan privasi tergugat), Umur
33 tahun, Karyawan Swasta, Jl.Gg.Langgar Rt.013/06 No. 36, Kelurahan
Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Pada waktu yang telah ditetapkan Tergugat hadir menghadap di
persidangan, namun dalam persidangan selanjutnya tidak lagi menghadiri
persidangan, meskipun telah diperintahkan dan dipanggil secara patut untuk
menghadap di persidangan.
1 Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608//Pdt.G/2007/PA.JP, h.1
14
15
Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 07 Desember 2007
yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan register
nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP, pada pokoknya telah mengemukakan sebagai
berikut:
Pada tanggal 30 September 1997, Penggugat dengan Tergugat
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat (kutipan akta nikah nomor:
398/01/X/1997 tanggal 30 September 1997);
Setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal
di rumah kediaman bersama orangtua Tergugat di alamat Tergugat tersebut di
atas. Selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun
sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 2 orang anak bernama: Lovenda
yang lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati yang lahir
tanggal 15 juni 2003.2
Kurang lebih sejak bulan Juli 2003 ketemtraman rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat mulai goyah, disebabkan:
a. Tergugat sejak bulan Juli 2003 tidak memberikan keuangan rumah
tangga, padahal Tergugat mempunyai pekerjaan dan sebagai
penanggung jawab kepala rumah tangga, di sisi lain Tergugat jarang
pulang ke rumah dengan alasan yang beragam-ragam, hal tersebut
menimbulkan perselisihan terus menerus;
2 Ibid, h. 2.
16
b. Tergugat setiap ada keributan dalam rumah tangga ada akhlak yang
tidak baik dan juga mempunyai temporer yang tidak baik, baik
perbuatan maupun ucapan karena sering berkata kasar bahkan
memukul fisik Penggugat, oleh sebab itu menimbulkan tekanan psikis
Penggugat terus menerus;
c. Tergugat juga sering selingkuh dengan wanita lain, hal tersebut
diketahui oleh penggugat lewat HP, oleh sebab itu untuk membentuk
rumah tangga sakinah tidak tercapai, maka Penggugat minta cerai;
d. Tergugat dan Penggugat pada bulan September ada keributan dalam
rumah tangga akhirnya Penggugat pergi meninggalkan Tergugat
pulang ke rumah orang tua dan sejak itu telah putus hubungan lahir
dan batin.
e. Karena anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat masih kecil
dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu, maka Penggugat
mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar anak tersebut
berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;
f. Karena anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat masih sangat
memerlukan biaya hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan dan lain-
lain, maka penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
agar menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut
sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta rupiah) perbulan melalui Penggugat;
17
g. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat
perkara ini.
Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Pusat segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
1. Mengabulkan gugatan penggugat;
2. Menceraikan Penggugat dari Tergugat;
3. Menyatakan dan menetapkan anak hasil dari perkawinan Penggugat dan
Tergugat yang bernama: 1.Lovenda, lahir tanggal 23 Desember 1997,
2.Adinda Dwi Satriawati, lahir tanggal 15 juni 2003, berada dalam
asuhan dan pemeliharaan Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut di atas
sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulannya kepada
Penggugat;
5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
6. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya.
B. Temuan Fakta di Persidangan
Penggugat untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya mengajukan alat
bukti tertulis berupa:3
3 Ibid, h. 4
18
a) Foto copy kutipan akta nikah nomor: 398/01/X/1997 tanggal 30 September
1997;
b) Surat keterangan kelahiran anak yang bernama Lovenda lahir pada tanggal
23 Desember 1997;
c) Surat keterangan kelahiran anak yang bernama Adinda Dwi Satriawati lahir
pada tanggal 15 juni 2003.
Selain itu, penggugat juga mengajukan saksi-saksi, masing-masing
bernama:
1) Diwan Bin Siir, yang dibawah sumpahnya pada pokoknya menerangkan
bahwa:
a. Saksi kenal dengan Pernggugat karena saksi adalah Pak De Penggugat;
b. Saksi tahu Penggugat akan bercerai dengan Tergugat;
c. Saksi sudah mendamaikan mereka tetapi tidak berhasil.
2) Rasiti Binti Kasiran, yang dibawah sumpahnya pada pokoknya
menerangkan bahwa:
a. Saksi kenal dengan Penggugat karena saksi adalah ibu kandung
Penggugat;
b. Saksi tahu Penggugat akan bercerai dengan Tergugat;
c. Saksi sudah mendamaikan mereka tetapi tidak berhasil.
C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat, pada
pokoknya sebagaimana tersebut diatas;
19
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P-1) foto copy kutipan akta nikah
dihubungkan P-2 dan P-3 foto copy kutipan akte kelahiran anak dan keterangan
saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat sebagai
isteri dan suami yang sah yang menikah pada tanggal 30 September 1997 dan
telah dikaruniai dua orang anak;
Menimbang, bahwa yang menjadi alasan gugatan penggugat pada
pokoknya rumah tangganya sudah tidak ada keharmonisan karena Tergugat
bertemperamen kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering memukul, jarang
pulang ke rumah dan puncaknya antara penggugat dan tergugat telah berpisah
rumah tinggal sampai dengan sekarang;
Menimbang, bahwa penggugat selain menuntut perceraian juga menuntut
hak pengasuhan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23
Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir pada tanggal 15 Juni 2003;
Menimbang, bahwa Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun
telah diperintahkan dan dipanggil untuk menghadap di persidangan.
Menimbang, bahwa penggugat telah menghadirkan dua orang saksi yang
bernama DIWAN BIN SIIR dan RASITI BINTI KASIRAN;
Menimbang, bahwa berdasarkan yang terjadi dalam persidangan terdapat
fakta-fakta sebagai berikut :
20
• Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah dan telah dikaruniai
anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi
Satriawati lahir pada tanggal 15 Juni 2003 (lahir 22 mei 2002);
• Bahwa berdasarkan keterangan saksi DIWAN BIN SIIR dan RASITI BINTI
KASIRAN rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis
lagi dikarenakan Tergugat bertemperamen tinggi suka memukul bila ribut,
tergugat jarang pulang ke rumah dan saat ini Penggugat dan Tergugat sudah
pisah rumah dan tidak memberikan nafkah lagi kepada penggugat;
• Bahwa saksi-saksi telah berusaha memberikan nasehat kepada penggugat
untuk kembali rukun dengan tergugat tetapi tidak berhasil;
• Penggugat tetap bertekad akan bercerai dengan tergugat.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim setelah mengkonstatir dan
mengkualifikasifir perkara tersebut. Majelis akan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut;
Menimbang, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat (miitsaqon gholiidon) untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2 Kompilasi Hukum Islam).
Tetapi dalam rumah tangga penggugat dengan tergugat, hak dan kewajiban sudah
tidak bisa dilaksanakan karena tergugat jarang pulang ke rumah dan puncaknya
antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah;
21
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, kiranya rumah
tangga ideal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 juncto Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang diinginkan semua
keluarga yakni rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, dalam rumah
tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak lagi terwujud;
Menimbang, bahwa penggugat dengan tergugat sejak semula telah
membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis tetapi kemudian terjadi
perselisihan dan pertengkaran dikarenakan tergugat jarang pulang ke rumah, suka
memukul bila terjadi keributan dan puncaknya antara penggugat dengan tergugat
telah berpisah rumah sehingga mereka tidak melaksanakan kewajiban.
Sebagaimana layaknya suami dan isteri. Hal ini berarti telah melanggar perintah
Allah dalam surat Al-Nisa 19 “wa ‘aasyiruuhunna bil ma’rufi” (dan pergaulilah
isteri-isterimu secara patut). Bagaimana mungkin pergaulan secara patut telah
dilaksanakan, apabila antara mereka sudah tidak saling melaksanakan kewajiban;4
Menimbang, bahwa apabila rumah tangga Penggugat dan tergugat tetap
dipertahankan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan antara mereka
berdua, tidak ada saling melakukan kewajiban, tidak ada saling menghormati dan
pada gilirannya mereka akan saling menyalahkan satu sama lain;
Menimbang, bahwa karena itu Majelis Hakim menilai “menolak
kemudharatan, harus lebih didahulukan daripada mencari dan memperoleh
kemaslahatan (dar-ul mafaasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolihi)”;
4 Ibid, h. 7
22
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang
membenarkan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah tidak harmonis
lagi sering terjadi perselisihan yang terus-menerus, maka berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas penggugat cukup beralasan dan tidak
bertentangan dengan hukum, dan sesuai dengan pasal 19 huruf (f ) PP No.9
Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ), karenanya gugatan
penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat
terhadap penggugat;
Menimbang, bahwa mengenai gugatan penggugat agar ditetapkan sebagai
pihak yang mengasuh dan memelihara dua orang anak yang bernama Lovenda
lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 Juni
2003 (lahir 22 mei 2002), tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya
karena tidak lagi menghadiri persidangan dan berdasarkan bukti P-2 dan P-3
terbukti bahwa anak tersebut belum memayyiz, berada dalam pengasuhan dan
pemeliharaan Penggugat serta Tergugat tidak pernak menengok anaknya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, majelis hakim berpendapat anak penggugat masih di bawah umur/kecil
dilihat secara psikologis maupun biologis anak yang bernama Lovenda lahir
tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 Juni 2003
(lahir 22 mei 2002) harus ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan
penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri;
23
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan
penggugat selebihnya dicabut oleh penggugat maka majelis hakim tidak
mempertimbangkan lebih lanjut;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan
penggugat telah dikabulkan sebagian dan selebihnya dicabut;
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan maka
berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan
atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada
penggugat;
Mengingat pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974, dan
dalil-dalil hukum syara’ serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dalam perkara ini;
D. Putusan Pengadilan
Setelah melalui proses dan prosedur. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat memberikan keputusan yang pada pokoknya mengadili:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain shugro Tergugat kepada Penggugat;
3. Menetapkan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23
Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 juni 2003, berada
dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;
4. Menyatakan gugatan Penggugat selebihnya dicabut;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini.
24
Demikianlah putusan ini dijatuhkan pada hari kamis tanggal 17 April
2008 Masehi bertepatan dengan tanggal 10 Rabiul Akhir 1429 Hijriyah, oleh
ELVIN NAILANA,SH,MH., selaku Ketua Majelis, Drs.ABDURRAHIM, M.H.,
dan Drs.FAIZAL KAMIL, S.H., M.H., selaku Hakim Anggota, putusan
dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan dibantu oleh
Drs.ALI USMAN HASIBUAN,SHI., selaku Panitera Pengganti serta dengan
dihadiri oleh Penggugat dan diluar hadirnya Tergugat.5
5 Ibid, h. 8-9
BAB III
STUDI TERHADAP PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP
AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN
(PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO:
608/Pdt.G/2007/PA.JP )
A. Analisis Duduk Perkara
Secara umum, kekuasaan (competency) peradilan dapat dibedakan
menjadi dua: kekuasaan relatif (relative competency) dan kekuasaan absolut
(absolute competency). 1 Kekuasaan relatif berkaitan dengan wilayah, sementara
kekuasaan absolut berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan
seseorang) dan perkara. Kewenangan (kompetensi) absolut dan relatif Peradilan
Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53 Undang-undang No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Kompetensi absolut adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi Pengadilan yang menyangkut
pokok perkara itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama pasal 49 bidang-bidang yang menjadi kompetensi
absolut Pengadilan Agama meliputi perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syari’ah.
1 http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=941&Itemid=54
diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 jam 13.00 wib.
25
26
Sedangkan kompetensi relatif adalah kewenangan atau kekuasaan untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang
berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari
keadilan. Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya
(kota) atau di ibukota Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah
Pemerintah Kota atau Kabupaten.
Berdasarkan wilayah hukum suatu Pengadilan Agama, maka tempat
Penggugat atau permohonan cerai gugat yang diajukan kepada Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila
Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
Tergugat ( suami ), maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat. Apabila penggugat
bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan Penggugat
kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman
Tergugat, apabila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan Penggugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat2.
2 Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan
Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), cet-1, h.59.
27
Menurut penulis, jika ditinjau berdasarkan kompetensi absolut dan relatif
maka duduk perkara ini telah memenuhi kedua kompetensi tersebut. Berdasarkan
kompetensi absolut, perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP merupakan perkara gugat
cerai yang di dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006
Tentang Pengadilan Agama termasuk bidang perkawinan. Sedangkan berdasarkan
kompetensi relatif, perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP termasuk perkara gugat
cerai sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta
Pusat yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat di
Kelurahan Kebon kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat.
Setelah membaca dalam duduk perkara ini dapat dipahami bahwa
permasalahan antara Pengugat dengan Tergugat yang mendasari gugatan (posita)
yaitu rumah tangga mereka sudah tidak ada keharmonisan karena Tergugat
sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga sejak bulan Juli 2003 tidak
memberikan keuangan rumah tangga, padahal Tergugat mempunyai pekerjaan,
jarang pulang ke rumah dengan alasan yang beragam-ragam, bertemperamen
kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering memukul, hal tersebut menimbulkan
perselisihan terus menerus, dan puncaknya antara Penggugat dan Tergugat telah
berpisah rumah tinggal sampai dengan sekarang dan sejak saat itu sudah tidak ada
hubungan lahir dan batin.
Mengenai kebutuhan rumah tangga baik lahir maupun batin merupakan
kewajiban seorang suami sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga, karena
ketika seseorang sudah berstatus sebagai suami maka ia tidak boleh
28
mementingkan dirinya sendiri, karena ini akan menanamkan kebencian di hati
isteri dan memutuskan tali cinta kasih antara suami isteri.
Di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-
anaknya. “Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan
yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan
lain-lain”.3
Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan,
pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan,
bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.4 Kewajiban menafkahi
itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau
punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada
tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya
pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.5
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat
dalam beberapa ayat maupun hadis Rasulullah, di antaranya adalah: Surat al-
Baqarah/2: 233 dan al-Thalaq/65:7:
… …
3 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet. ke-2, jilid ke-
9, h. 28. 5 Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta:
FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 55-56.
29
Artinya: “…Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…”
(QS. Al-Baqarah/2 :233) Dalam ayat lain disebutkan:
☺
Artinya:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.Al-Thalaq /65:7)
Nafkah merupakan hak istri dan anaknya sekaligus sebagai kewajiban
yang dibebankan kepada seorang suami. Kewajiban yang dibebankan kepada
suami tersebut di antaranya yaitu memberi nafkah sesuai dengan kemampuan
serta mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang, pangan dan papan. 6
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan
Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami dijelaskan:
“(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
6 BP4 DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah (Jakarta: Badan Penasehat Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan Propinsi DKI Jakarta), h. 23.
30
c. Biaya pendidikan bagi anak.”
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam bab XVII pasal 156 poin d:
“ Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”.7
Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah
tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman
bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga pasal 9 ayat (1) menegaskan yang dimaksud dengan
penelantaran rumah tangga yaitu:
“1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”
Terdapat pula sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:
“bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;
7 Ibid, h. 183.
31
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Selanjutnya, Tergugat setiap ada keributan dalam rumah tangga ada
akhlak yang tidak baik dan juga mempunyai temporer yang tidak baik, baik
perbuatan maupun ucapan karena sering berkata kasar bahkan memukul fisik
Penggugat, oleh sebab itu menimbulkan tekanan psikis Penggugat terus menerus.
Perbuatan Tergugat tersebut dapat dikategorikan ke dalam kekerasan
dalam rumah tangga. Ditegaskan dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No. 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga:
Pasal 6 : “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.
Pasal 7 : “Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, kekerasan fisik dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan kekerasan nyata yang dapat dilihat dan dapat
dirasakan oleh tubuh yang biasanya berupa penghilangan nyawa seseorang.
a. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang,
memukul, membenturkan ke benda lain, bahkan sampai melakukan
percobaan pembunuhan atau melakukan pembunuhan dan semua
perbuatan yang dapat mengakibatkan sakit yang mengakibatkan sakit
32
yang menimbulkan ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari,
pingsan, luka berat pada tubuh korban, luka yang sulit disembuhkan atau
yang menimbulkan kematian, kehilangan salah satu panca indera, luka
yang mengakibatkan cacat, dan kematian korban.
b. Kekerasan fisik ringan, seperti menampar, menarik rambut, mendorong,
dan perbuatan lain yang mengakibatkan cidera ringan dan rasa sakit
serta luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang
mengarah pada serangan terhadap mental atau psikis seseorang, bisa berbentuk
ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang tinggi, penghinaan dan
ancaman, kekerasan terhadap jiwa atau rohani yang berakibat mengurangi
bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.8
Tergugat juga sering selingkuh dengan wanita lain, hal tersebut
diketahui oleh penggugat lewat HP, oleh sebab itu untuk membentuk rumah
tangga sakinah tidak tercapai, maka Penggugat minta cerai. Puncaknya
Tergugat dan Penggugat pada bulan September ada keributan dalam rumah
tangga, akhirnya Penggugat pergi meninggalkan Tergugat pulang ke rumah
orang tua dan sejak itu telah putus hubungan lahir dan batin.
8 Faqihuddin Abdul Kadir dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismali Hasani, Referensi
Bagi Hakim Pengadilan Agama tentang kekerasan dalam rumah tangga, (Komnas Perempuan: 2008), h.32
33
Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah meninggalkan kewajiban
suami istri. Nusyuz dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya,
yang dengan tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberi haknya.
Sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya.
B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutuskan
Perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari
putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara.9
Dalam menangani sebuah perkara, tugas dan kewajiban hakim yang
pertama adalah mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, hal ini sejalan dengan
tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu mengajarkan menyelesaikan masalah
setiap perselisihan melalui jalan pendekatan (islah) sebagaimana firman Allah
SWT dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 10:
☺ ☺
⌧
Artinya:
9 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809
34
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah ( perbaikilah hubungan ) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. ( Al Hujurat/49:10 )
Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan
kepada hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang
berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1 dan 2, yang
berbunyi:
”(1) dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”
Karena itu layak sekali apabila para hakim Pengadilan Agama (PA)
menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan. Sebab bagaimanapun seadil-
adilnya putusan, akan lebih baik dan lebih adil sebuah hasil perdamaian. Akan
ada pihak yang merasa dikalahkan dan dimenangkan. Peran hakim sebagai juru
damai pihak-pihak yang bertikai terbatas hanya sampai anjuran, nasehat,
penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta
kedua belah pihak.10
Kewajiban mendamaikan dalam perkara diupayakan pada awal
persidangan, namun dalam perkara perceraian kewajiban mendamaikan
diupayakan hingga putusan dijatuhkan dalam hal ini meskipun para pihak
10 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1993), cet. Ke-3, h. 48
35
menjawab bahwa tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian
sudah dilakukan berkali-kali, hakim tetap meminta agar dicoba lagi.11 Sesuai
dengan ketentuan PP no. 9 Tahun 1975, pasal 31 ayat 1 dan 2:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Demikian pula dalam pasal 82 ayat 1 dan 4 undang-undang no. 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah oleh undang-undang nomor 3 Tahun 2006 yang
menjelaskan pada ayat 1 yaitu:
”pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.
Pada ayat 4 dijelaskan bahwa:
”selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.
Dalam kasus putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.
608/Pdt.G/2007/PA.JP majelis hakim yang diketuai oleh Elvin Nailana S.H,M.H
telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat namun upaya ini tidak
berhasil, sehingga proses hukum selanjutnya terus berjalan.
Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir,
mengkualifikasir dan kemudian mengkonstitutir. Mengkonstatir artinya hakim
harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para
11 Soeroso, Praktik hukum acara perdata tata cara dan proses persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika), h.41
36
pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui
pembuktian.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu
fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum
pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi
dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukannya.
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Alat bukti). Surat
sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu: akta dan surat-surat
lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat
bukti dan belum tentu ditandatangani. Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam,
yaitu: akta otentik dan akta di bawah tangan.12
Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian. Akta otentik ialah surat yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut
ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari
12 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 1996), cet-1, h. 143-144
37
yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang menjalankan
tugasnya.
Akta otentik sebagai alat bukti status dalam perkawinan. Perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk kemudian mendapatkan Akta Nikah
(pasal 7 KHI).
Tentang fotokopi dapat disimpulkan dari putusan MA tanggal 1 April
1976 No. 701 K/Sip/1974, bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti
apabila fotokopi itu disertai “keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah dari
mana ternyata bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 169-172 HIR dan Pasal 306-309 R.Bg.
Saksi ialah orang yang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan
tersebut.
Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan bukti (P-1) foto copy
kutipan akta nikah dihubungkan P-2 dan P-3 foto copy kutipan akta kelahiran
anak dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti antara Penggugat dan
Tergugat sebagai isteri dan suami yang sah yang menikah pada tanggal 30
September 1997 dan telah dikaruniai dua orang anak.
38
Menimbang, bahwa Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun
telah diperintahkan dan dipanggil untuk menghadap di persidangan.
Majelis Hakim menimbang bahwa penggugat dengan tergugat sejak
semula telah membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis tetapi kemudian
terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan tergugat jarang pulang ke
rumah, suka memukul bila terjadi keributan dan puncaknya antara penggugat
dengan tergugat telah berpisah rumah sehingga mereka tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana layaknya suami dan isteri. Hal ini berarti telah melanggar
perintah Allah dalam surat Al-Nisa 19:
... ☺ ...
Artinya:
“... dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...” (QS. Al-Nisa:4/19)
Bagaimana mungkin pergaulan secara patut telah dilaksanakan, apabila
antara mereka sudah tidak saling melaksanakan kewajiban. Apabila rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat tetap dipertahankan, akan mengakibatkan hal-hal
yang tidak diinginkan antara mereka berdua, tidak ada saling melakukan
kewajiban, tidak ada saling menghormati dan pada gilirannya mereka akan saling
menyalahkan satu sama lain.
39
Karena itu majelis hakim menilai “menolak kemudlaratan harus lebih
didahulukan daripada mencari dan memperoleh kemaslahatan (daf-ul mafasid
moqoddamun ‘alaa jalbil mashoolihi).”13
Menolak mafsadah lebih baik dari meraih maslahat, sebab menolak
mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
14 َعلَى َجْلِب اْلَمَصا ِلِحُمقدََ ُمِدا ِسَفمََ اْلُعْفَد
“Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”.
Tentang ukuran yang lebih konkret dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh
Imam Al-Ghazali dalam al-Musthashfa, Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
dan ulama yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Apabila
disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah:
a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqasihid al-syari’ah, semangat ajaran,
dalil-dalil kulli dan dalil qath’i baik wurud maupun dalalahnya.
b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
13 Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608//Pdt.G/2007/PA.JP, h. 7 14 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), h.29
40
d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan
kepada sebagian kecil masyarakat.15
Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim ini telah sesuai
berdasarkan kaidah tersebut.
Majelis Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan keterangan saksi-
saksi yang membenarkan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah tidak
harmonis lagi sering terjadi perselisihan yang terus-menerus, maka berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Penggugat cukup beralasan dan tidak
bertentangan dengan hukum, dan sesuai dengan pasal 19 huruf (f ) PP No.9
Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ):
Perceraian dapat terjadi karena alasan: “ f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
karenanya gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu
bain shugro tergugat terhadap penggugat.
Selain menuntut perceraian dengan suaminya, dalam gugatannya
Penggugat juga mengajukan tuntutan agar pengasuhan dan pemeliharaan anak
berada di tangan Penggugat. Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat
sebagai ibu dari anak-anak tersebut, karena selain tergugat dalam hal ini tidak
mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan juga
tidak pernah menengok anaknya. Majelis hakim berpendapat anak penggugat
masih belum mumayyiz, dilihat secara psikologis mapun biologis anak yang
15 Ibid, h.29-30
41
masih kecil masih memerlukan belaian kasih sayang ibunya dan biasanya lebih
dekat dengan ibunya. Telah sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf (a) KHI
sehingga ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat sampai
anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri.
Dalam Pasal 105 huruf (a) KHI BAB XIV tentang pemeliharaan anak
disebutkan bahwa dalam hal terjadi perceraian:
“ a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Akibat dari terjadinya perceraian adalah pengasuhan anak atau hak
hadhonah. Kewajiban melakukan hadhonah terletak di pundak orangtua. Prinsip
tersebut hanya akan berjalan lancar apabila kedua orangtua tetap dalam hubungan
suami isteri.
Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak sebelum mummayiz dan lebih
bisa memperhatikan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang
amat membutuhkan untuk hidup di dekat ibunya. Imam syafi’i berpendapat
apabila kedua orang tua berpisah dan keduanya berada dalam satu daerah, maka
ibu lebih berhak terhadap anak selama ia belum menikah dan masih kecil16.
16 Imam Syafi’I, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam,2004), h. 434.
42
هذاآا ن بطني له و عا ء و ان ابنى يا ر سو ل ا هللا : ان امراة قا لت: بن عمر وعن عبد ا هللا
ل اهللا لقنى وأراد أن ينتزعه مني فقا ل لها ر سوطري له حواء وان ا باه جله سقاء وح ثد بي
) واحمد ابو داوده اورو( أنت أحق به ما لم تنكحي : ا اهللا عليه و سلمىصل Artinya:
“Di dalam hadis Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, di mana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya lalu Rasulullah bersabda: ’kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain’.” (H.R. Daud dan Ahmad.
Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya yaitu mengenai tuntutan biaya
nafkah anak telah dicabut oleh Penggugat maka Majelis Hakim tidak
mempertimbangkan lebih lanjut.17
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan Penggugat telah
dikabulkan sebagian dan selebihnya dicabut. Yang dicabut adalah mengenai
tuntutan biaya nafkah anak. Keterangan dari berita acara persidangan yang
penulis dapatkan, tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai alasan
penggugat mencabut tuntutan nafkah anak dalam berita acara persidangan
maupun dalam putusan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap
majelis hakim yang menangani perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, menurut Drs.
Faisal Kamil,SH,MH, pencabutan gugatan mengenai nafkah anak pasca
perceraian dilakukan oleh Penggugat (sang ibu) agar mempercepat proses
persidangan.
17 Ibid, h. 8
43
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan maka
berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan
atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada
penggugat.
Pasal 89
(1) biaya perkara dalam sidang perkawinan dibebankan kepada
penggugat atau pemohon. (2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan
persetujuan Mahkamah Agung.
Pasal 91
(1) jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus dimuatdalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu
pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam
44
perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.
Mengingat pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan dalil-dalil hukum syara’ serta peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dalam perkara ini.
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
C. Analisis Putusan Majelis Hakim dalam Perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP
Dalam bidang hukum acara di pengadilan agama, hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum acara yang bersumberkan dari syariat
islam. Hal ini disamping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum
acara juga agar putusan yang dihasilkan telah mendekati kebenaran dan keadilan
yang diridhoi Allah swt, karena diproses dengan acara yang diridhoi pula.18
Sesuai dengan ketentuan PP no.9 Tahun 1975 pasal 31:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
18 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 14.
45
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 82 ayat 1 dan 4 undang-undang no.7 Tahun 1989 sebagimana telah
diubah oleh undang-undang nomor 3 Tahun 2006 yang menjelaskan pada ayat 1
yaitu:
“Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak”. Pada ayat 4 dijelaskan bahwa: “selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.19
Berdasarkan fakta yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP, hakim telah berusaha mendamaikan
Penggugat dengan Tergugat namun upaya ini tidak berhasil, melainkan Penggugat
tetap bertekad akan bercerai dengan tergugat sehingga proses hukum selanjutnya
terus berjalan.
Setelah melalui proses dan prosedur. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat memberikan keputusan yang pada pokoknya mengadili:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain shugro Tergugat kepada Penggugat;
19 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama Undang-undang RI No.3 Tahun 2006,
(Jakarta: Sinar Grafika), h.62.
46
3. Menetapkan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23
Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 juni 2003, berada
dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;
4. Menyatakan gugatan Penggugat selebihnya dicabut;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini.
Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagian, karena di dalam
proses persidangan salah satu gugatan dicabut oleh Penggugat yaitu gugatan
nafkah anak.
Selanjutnya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan cerai dengan
menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat terhadap penggugat, dengan
mempertimbangkan pasal 19 huruf (f) PP No.9 Tahun 1975 dalam poin f
dinyatakan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. jo pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam huruf (f ).
Tergugat hanya hadir di sidang pertama tetapi pada sidang-sidang
selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan keputusan
juga tidak hadir. Dengan demikian putusan tersebut dinamakan putusan
contradictoir.20
20 Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta:CV. Rajawali, 1991), cet.1, h.
103
47
Putusan kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan atau
diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam
pemeriksaan atau putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat
maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan kontradiktoir
dapat dimintakan banding.21
Menurut pasal 212 Rv, jika seseorang yang semula hadir pada sidang yang
lalu, tetapi kemudian pada sidang berikutnya tidak hadir, hal itu tidak dapat
dijadikan alasan menjatuhkan putusan verstek, tetapi putusan itu dianggap sebagai
putusan kontradiktoir,22 jika ternyata pada saat putusan diucapkan, tergugat
tersebut tetap tidak hadir, putusan yang dijatuhkan adalah kontradiktoir bukan
putusan verstek.23
Jika ditinjau dari aspek keadilan hukum, putusan yang dijatuhkan Hakim
telah memenuhi sisi keadilan hukum bagi Penggugat dengan Tergugat. Karena
Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun telah diperintahkan dan
dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan. Dengan demikian,
Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi
menghadiri persidangan.
Selanjutnya Majelis Hakim menetapkan dua orang anak yang bernama
Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir
21 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama , h.251 22 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 394. 23 Ibid, h. 395.
48
tanggal 15 juni 2003, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat. Menurut
penulis, jika di tinjau dari aspek kegunaan hukum, keputusan hakim tersebut telah
memenuhi aspek tersebut karena tergugat dalam hal ini tidak mengajukan
keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan berdasarkan bukti P-2
dan P-3 terbukti bahwa anak tersebut belum memayyiz, berada dalam pengasuhan
dan pemeliharaan Penggugat serta Tergugat tidak pernah menengok anaknya;
keputusan hakim tersebut berguna bagi pemeliharaan dan pendidikan anak.
Putusan Majelis Hakim yang berikutnya yaitu menyatakan gugatan
Penggugat selebihnya dicabut. Gugatan yang dicabut adalah mengenai tuntutan
biaya nafkah anak.
Jika di tinjau dari aspek kepastian hukum, berdasarkan fakta yang terdapat
dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP
mengenai pencabutan gugatan Penggugat mengenai tuntutan biaya nafkah pasca
perceraian menurut penulis telah memenuhi aspek kepastian hukum karena
Penggugat mempunyai hak untuk mencabut kembali gugatan.
Dalam putusan terakhir Majelis Hakim membebankan kepada Penggugat
untuk membayar biaya perkara ini. Biaya perkara dalam hal ini dibebankan
kepada Penggugat. Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata pada umumnya,
yang menetapkan bahwa biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah.
Oleh karena dalam sengketa perkawinan dan perceraian tidak ada pihak yang
kalah maupun yang menang, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat
selaku pencari keadilan.
49
Mengenai putusan Majelis Hakim yang membebankan biaya perkara
kepada Penggugat adalah hal yang sudah tepat karena dalam lingkup Peradilan
Umum untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2
UU 14/1970, 121 atay 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 R.Bg ); biaya
perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan
para pihak serta biaya materai.
Sedangkan dalam lingkup Peradilan Agama sesuai dengan pasal 54 yang
berbunyi :
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalan lingkungan Pengadilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Pasal 89
(1) biaya perkara dalam sidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.
Berdasarkan analisis yang sudah penulis uraikan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa keputusan majilis hakim telah sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.
D. Analisis Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah Dari
Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP )
50
Pada tahap pembacaan gugatan terdapat beberapa kemungkinan dari
Penggugat yaitu mencabut gugatan, mengubah gugatan, mempertahankan
gugatan, jika Penggugat mempertahankan gugatannya maka sidang dilanjutkan ke
tahap berikutnya.
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses
berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Pihak penggugat
mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung.24
Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum hakim menjatuhkan
putusan.25 Pada prinsipnya pencabutan gugatan dalam pemeriksaan pengadilan
oleh pihak penggugat dibolehkan, karena diteruskan atau tidaknya pemeriksaan
suatu perkara gugatan di pengadilan, tergantung kepada kehendak penggugat.
Akan tetapi, "pencabutan" suatu gugatan tidak menghilangkan hak penggugat
untuk menggugat lagi, apalagi kalau pencabutan dilakukan sesudah berselang
lama perkara gugatan itu berada dalam pemeriksaan pengadilan dan sudah banyak
biaya dikeluarkan, sehingga pencabutan itu akan membawa kerugian bagi
tergugat, maka dalam prakteknya di pengadilan, pencabutan dalam keadaan yang
demikian itu hanya akan dibolehkan apabila tergugat tidak berkeberatan.26
24 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 81. 25 Abdul kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000, h.66. 26 Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Universitas Trisakti, 2005
51
Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No:
608/Pdt.G/2007/PA.JP ini, di dalam duduk perkara karena anak hasil perkawinan
Penggugat dan Tergugat masih sangat memerlukan biaya hidup sehari-hari,
pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penggugat memohon agar Ketua Pengadilan
Agama Jakarta Pusat menghukum Tergugat sebagai ayah dari anak-anak untuk
membayar nafkah anak tersebut di atas sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
setiap bulannya kepada Penggugat.
Namun, selama proses persidangan yang berlangsung Penggugat
mencabut gugatan mengenai nafkah anak tersebut dan tetap mempertahankan
gugatan yang lainnya. Tergugat hanya hadir di sidang pertama tetapi pada sidang-
sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan
keputusan juga tidak hadir.
Memang, jika di tinjau dari aspek kepastian hukum, berdasarkan fakta
yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.
608/Pdt.G/2007/PA.JP mengenai pencabutan gugatan Penggugat mengenai
tuntutan biaya nafkah pasca perceraian menurut penulis telah memenuhi aspek
kepastian hukum karena Penggugat mempunyai hak untuk mencabut kembali
gugatan.
Berdasarkan keterangan dari berita acara persidangan yang penulis
dapatkan, tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai alasan penggugat
mencabut tuntutan nafkah anak dalam berita acara persidangan maupun dalam
putusan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap majelis hakim
52
yang menangani perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, tidak terdapat alasan yang
pasti melainkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan saja yang dapat
dijadikan sebagai alasan untuk mencabut gugatan, seperti karena adanya
kesepakatan antara Penggugat (sang ibu) dengan Tergugat (sang Bapak) dari si
anak, sakit atau cacat permanen, dan gila.
Sedangkan menurut Drs. Faisal Kamil,SH,MH, pencabutan gugatan
mengenai nafkah anak pasca perceraian dilakukan oleh Penggugat (sang ibu) agar
mempercepat proses persidangan.
Menurut penulis, gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada
Tergugat telah dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan
dan tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri persidangan
berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun demikian, hal tersebut
tidak menutup kemungkinan si ibu dapat menuntut kembali kepada si bapak
mengenai nafkah anak. Ibu dapat mengajukan ke pengadilan agama untuk
menuntut perkara perdata Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah
anak.
Tidak hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri
mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
53
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada Tergugat telah
dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan karena
tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri
persidangan berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun
demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan si ibu dapat
menuntut kembali kepada si bapak mengenai nafkah anak. Ibu dapat
mengajukan ke pengadilan agama untuk menuntut perkara perdata
Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah anak. Tidak
hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri
mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77,
bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a.
Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baateriil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
54
55
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam memutuskan perkara dengan
perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, menurut penulis telah sesuai dan
sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.
3. Putusan Hakim dalam memutuskan perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP
telah memenuhi nilai-nilai keadilan hukum, kegunaan hukum dan
kepastian hukum baik bagi Penggugat maupun Tergugat. Putusan
Hakim termasuk putusan kontradiktoir karena Tergugat hanya hadir
pada sidang pertama dan tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya
sampai sidang putusan Tergugat meskipun telah diperintahkan dan
dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan. Dengan
demikian, Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya
karena tidak lagi menghadiri persidangan.
B. Saran
1. Hendaknya instansi pemerintah terutama Pengadilan Agama, BP4,
KUA, dan yang lainnya memberikan penyuluhan serta lebih
mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai perceraian dan akibat
hukumnya terutama tentang hak anak-anak pasca perceraian orang tua
mereka, agar masa depan anak-anak lebih terjamin.
2. Hendaknya pemerintah, para ulama dan akademisi ikut juga berperan
aktif dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum
masyarakat tentang hukum keluarga dan perdata Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qur’an Al – Karim Abdul Kadir, Faqihuddin dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismali Hasani,
Referensi Bagi Hakim Pengadilan Agama tentang kekerasan dalam rumah tangga, Komnas Perempuan: 2008.
Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Universitas Trisakti, tt. Abu Bakar, Muhammad, Terjemah Subulussalam III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995,
Cet.1. Amandemen Undang-undang Peradilan Agama Undang-undang RI No.3 Tahun
2006, Jakarta: Sinar Grafika. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 1996, cet-1. Ayyub, Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, Cet. 5. BP4 DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, Jakarta: Badan Penasehat Pembinaan
dan Pelestarian Perkawinan Propinsi DKI Jakarta. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I,. 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bandung:
Balai Pustaka, 1989, Cet. 11. Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, Cet.2. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional berdasarkan UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Medan: C.V. Zahir Trading Co., 1975, Cet. 1.
56
57
Muhammad, Abdul kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, Jakarta:
Prenada Media, 2004. Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP. Rasyid, Chatib, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:CV. Rajawali, 1991,
cet.1. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Terjemah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996, Cet. ke-2,
Jilid ke-9. Soeroso, Praktik hukum acara perdata tata cara dan proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, tt. Sutarmadi, A., Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga,
Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. diakses pada tanggal 26 Desember
2008 pukul 15.37 WIB. http://pedulihakanak.wordpress.com/2009/03/11/undang-undang-perlindungan-anak-
no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/, diakses pada tanggal 17 April 2009, jam 11.40 wib.
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=941&Itemid
=54, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009, jam 13.00 wib