penanganan perdarahan
DESCRIPTION
Makalah IBM 2TRANSCRIPT
PENANGANAN PERDARAHAN / HEMOSTASIS DAN
PENGELOLAAN NUTRISI PENDERITA TRAUMA
OROMAKSILOFASIAL
DISUSUN OLEH:
RIKI INDRA KUSUMA
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Drg. Endang Syamsudin, Sp.BM.
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS
BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGIUNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen pasien yang mengalami trauma jarang dijumpai pada pusat trauma mayor
dimana sumber dayanya tidak terbatas, namunjustru dijumpai pada perumahan yang
terpencil, kantor, jalan raya, atau daerah-daerah lain dengan sumber daya yang terbatas yang
biasanya tidak dapat menangani pasien dengan trauma yang kompleks dan frekuensi yang
besar. Kunci penatalaksanaan pasien trauma biasanya melibatkan mobilisasi dari pasien-
pasien tersebut dan penyaluran ke pusat trauma untuk penanganan lebih lanjut. Ketika trauma
yang kompleks terjadi, pasien tersebut sering membutuhkan penanganan medis darurat atau
kematian dapat terjadi (Fonseca, 2005).
Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena mereka
menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu hanya terdiri atas
fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan mengimobilisasi suatu rahang.
Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur mandibula dan maksila masih tidak banyak
berubah, hanya tekniknya yang berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik
radiografis yang berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak
dapat dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan sampai
hal yang terkecil. Dengan tersedianya antibiotik dan peralatan yang khusus, membuat
pendekatan per oral pada perawatan fraktur fasial menjadi aman dan layak dilakukan
(Pedersen, 1996).
Trauma yang terdapat pada regio maksilofasial memerlukan perhatian khusus.
Trauma oromaksifasial dapat menimbulkan perdarahan, sehingga memerlukan tindakan di
dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian (Tatiana Parsa, 2001,
Fonseca, 1999 ; David, 1995). Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara baik di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi
cacat serta meringankan penderitaan dari penderita.Keadaan ini selain membutuhkan
pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana yang memadai, juga
dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna.
Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah wajah yang
bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian kedua adalah daerah
tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface
yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal,
fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le
Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio
maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada mandibula.
Insidensi trauma maksilofasial sering terjadi terutama yang berhubungan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor.
Kematian pada penderita dengan trauma oromaksilofasial salah satunya dapat
disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat diatasi, sehingga memerlukan tindakan di dalam
ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian (Tatiana Parsa, 2001, Fonseca, 1999 ;
David, 1995).
Distribusi umur pasien trauma menunjukkan bahwa pasien trauma berumur antara 17
dan 24 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki yang paling dominan terluka pada kecelakaan
motor dan oleh karena kekerasan (luka tembak, luka tusuk dan perkelahian). Kelompok
utama yang kedua dari pasien trauma berumur antara 35 dan 44 tahun dan didominasi oleh
laki-laki yang terluka karena kecelakaan motor. Kelompok ketiga tertinggi dari pasien trauma
berumur antara 75 dan 85 tahun dan kebanyakan adalah wanita yang terluka karena jatuh atau
oleh karena kecelakaan motor.Kelompok umur ini adalah kelompok yang paling sering
dijumpai oleh spesialis bedah mulut untuk evaluasi dan pengobatan luka fasial (Fonseca,
2005).
Berikut ini akan dibahas mengenai penanganan perdarahan/hemostasis dan
pengelolaan nutrisi pada kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial sebelum dilakukan
penanganan definitif lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENANGANAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan
trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple). Sehingga tahap-tahap penangannnya
bersamaan dengan penanganan trauma yang lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma
adalah sebagai berikut (Raymond, 1991):
1.Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit
a. Mempertahankan jalan napas
b. Menghentikan perdarahan eksternal
c. Stabilisasi fraktur
d. Stabilisasi tulang belakang
e. Tranportasi cepat (Ambulatory)
2. Resusitasi dan pananganan primer
a. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b. Resusitasi cairan
c. Pemantauan
3. Diagnosis dan penanganan sekunder
a. Pemeriksaan fisik menyeluruh
b. Radiografi
c. Pemeriksaan Laboratorium
d. Resusitasi dan pemantauan lanjut
4. Perawatan Definitif
a. Pembedahan
b. Perawatan non operatif
c. Nutritional support
5. Rehabilitasi
B. TINJAUAN UMUM PERDARAHAN
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah kedalam ruang
ekstravaskuler, karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah.Berbagai macam perdarahan
yang dibagi menurut pembuluh darah yang terluka, waktu perdarahan, lokasi perdarahan, dan
penyebab perdarahan, yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Menurut pembuluh darah yang terluka, perdarahan dapat dibagi menjadi:
a. Perdarahan arteri, dengan ciri-ciri warna darah cerah terang karena mengandung
oksigen dan perdarahan memancar dengan aliran yang terputus-putus sesuai dengan
denyut jantung.
b. Perdarahan vena, dengan ciri-ciri warna darah merah gelap karena mengandung
karbondioksida dan darah yang keluar mengalir tetap.
c. Perdarahan kapiler, dengan ciri-ciri warna darah antara darah arteri dan vena, dan
darah merembes dari permukaan luka.
2. Menurut waktu terjadinya perdarahan, dibagi menjadi:
a. Perdarahan primerjika terjadi pada waktu terputusnya pembuluh darah karena
trauma; operasi.
b. Perdarahan intermediatejika terjadi dalam 24 jam.
c. Perdarahan sekunderjika terjadi setelah 24 jam.
3. Menurut lokasiperdarahan, maka dibagi menjadi:
a. Perdarahan eksternaljika darah keluar dari kulit atau jaringan lunak dibawahnya.
b. Perdarahan internaljika arah tidak keluar, tetapi masuk kejaringan sekitarnya.
4. Menurut penyebab terjadinya perdarahan maka dibagi menjadi:
a. Perdarahan mekanik yaitu perdarahan terjadi akibat trauma mekanik atau kecelakaan
b. Perdarahan spontan/biokemis yaitu perdarahan terjadi akibat kelainan atau gangguan
mekanisme hemostasis, dapat terjadi karena kelainan pembuluh darah, kelainan
trombosit dan kelainan mekanisme pembekuan darah.
C. HEMOSTASIS
Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari pembuluh darah yang
mengalami kerusakan secara spontan.Gangguan faktor hemostasis akan mengakibatkan
terjadinya perdarahan atau trombosis. Perdarahan yaitu darahkeluar dari pembuluh darah.
Trombosis yaitu darah membeku dipembuluh darah.Hemostasis dapat dibagi menjadi:
1. Hemostasis primer, yang termasuk didalamanya adalahpembuluh darahdan trombosit.
2. Hemostasis sekunder, yang termasuk didalamanya adalah faktor pembekuandan anti
pembekuan.
Pencegahan kehilangan darah yang banyak merupakan hal yang penting untuk
menjaga kapasitas transpor oksigen pada pasien tersebut. Akan tetapi pengontrolan
hemostasis penting dikarenakan oleh adanya alasan-alasan yang penting juga. Salah satunya
adalah menurunnya visibilitas yang dikarenakan perdarahan yang tidak terkontrol. Masalah
lainnya yang disebabkan oleh perdarahan adalah terbentuknya hematoma. Hematoma
memberikan tekanan pada luka, mengurangi vaskularitas; hematoma tersebut meningkatkan
tarikan pada tepi luka dan berfungsi sebagai media kultur, yang memungkinkan terjadinya
infeksi pada luka (Hupp, 2008).
Evaluasi faal hemostasis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yang akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Percobaan Pembendungan (Tes Rumpel Leede)
Menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan
kepada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang
kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes kedalam jaringan
sekitarnya sehingga nampak titik merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut
petekia.
2. Masa perdarahan
Menilai kemampuan vaskuler dan trombosit untuk menghentikan perdarahan.
3. Hitung jumlah trombosit
Perdarahan tidak terjadi jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jumlah trombosit
kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan
terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/ul.
4. Masa Protrombin Plasma (Protrombine Time/PT)
Menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor
pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen.
5. Masa tromboplastin parsial teraktivitas (Activitated Parsial Tromboplastin Time/APTT)
Menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor
pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protrombin dan fibrinogen
6. Trombine Time (TT)
Perubahan fibrinogen menjadi firbin
7. Pemeriksaan Penyaringan untuk Faktor XIII
Digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan fibrin.
Tabel 1. Tes Koagulasi
Jenis Tes Nilai Normal Kegunaan
Waktu perdarahan 2-7 menit Mengamati fungsi vaskular dan
platelet,deteksi penyakit willebrand
Hitung platelet 150.000-400.000/mm³ Deteksi trombositosis , trombositopenia
Waktu protrombin 12-14 Detik Lebih lama bila berkaitan dengan defisiensi
faktor-faktor I,II,V,VII,X.Mungkin abnormal
pada penyakit hati,defisiensi vitamin K,terapi
warfarin sodium(Coumadin),Penggunaan
aspirin, dan anti-radang non-steroid lain.
Paruh waktu
tromboplastin
60-70 detik Lebih lama,bila ada defisiensi faktor
pembekuan darah, kecuali VII Hemofilia
Tabel 2. Faktor Pembekuan Darah
Faktor Peranan pada pembekuan darah Tes
I Fibrinogen Prekursor fibrin PT
II Protrombin Proensim,diaktifkan oleh tromboplastin PT
III Tromboplastin Diperlukan untuk merubah protrombin
menjadi thrombin
PTT
IV Kalsium
V Proaccelerin
VI Tidak lagi digunakan
VII Proconvertin
VIII Faktor antihemofilik (AHF)
IXKomponenPlasma
tromboplastin
X Faktor Stuart Prower
XIAntesedentromboplastin
plasma
XII Faktor Hageman
XIII Faktor stabilisasi fibrin
Diperlukan pada semua tahap
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan untuk mengubah protrombin
menjadi thrombin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Diperlukan dalam pembentukan tromboplastin
dan perubahan dari protrombin menjadi thrombin
Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin
Mengawali proses pembekuan darah in vitro
Merubah fibrin menjadi polimer fibrin
PTT
PT
PTT
PT
PTT
PTT
PTT
PTT
PTT
PTT
PT : Waktu protrombin
PTT : Paruh waktu tromboplastin
D. PENANGGULANGAN PERDARAHAN KARENA TRAUMA
Kehilangan darah akut dari sistem peredaran darah disebut juga sebagai
hemoragi.Pada orang dewasa dengan berat badan yang ideal, volume darah normal (liter)
adalahsebanyak 7% dari berat badan (kilogram). Maka dari itu, seorang laki-laki dengan
beratbadan 70 kg memiliki volume darah kurang lebih 5L. Pada individu yang menderita
obesitas,volume darah tidak meningkat secara spesifik. Pada anak-anak, volume darah secara
umumtinggi per satuan berat, 8% hingga 9% dari berat badan. Hemoragi dapat secara
eksternalmaupun internal ke dalam kavitas tubuh. Hemoragi eksternal biasanya dapat
dikontroldengan melakukan penekanan secara langsung ke luka yang ada. Tekanan yang
digunakanuntuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang
digunakanmenjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi sebaiknya
dressingtambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka formasi clot yang
telahterbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan kembali. Tekanan yang kuat
dapatdiaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk mengontrol perdarahan. Akan tetapi,
haltersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan langsung pada luka saja tidak efektif
(Fonseca, 2005).
Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga digunakan.
PASGsdan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya digunakan untuk
meningkatkantekanan darah pada kasus hipotensi yang parah, memberikan keadaan yang
merugikan padabeberapa situasi karena menyebabkan luka vaskular.Sebagai spesialis bedah
mulut dan maksilofasial, kita mengetahui adanya suplaivaskular yang banyak ke daerah muka
dan leher. Aspek negatif dari suplai darah tersebutadalah hemoragi mayor dapat disebabkan
oleh luka pada kulit kepala yang besar, fraktur nasalatau tengah wajah, dan luka tembus pada
leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkankehilangan darah dalam jumlah besar pada
waktu yang singkat karena perembesan darahpada galea dan lapisan jaringan ikat yang
renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepatdiatasi dengan dijahit menggunakan 2.0
nonresobable atau staples tanpa memperhatikankosmetik pasien. Tekanan langsung
kemudian dapat dilakukan pada luka untuk mengontrolhemoragi dan meminimalkan
pembentukan hematoma. Ketika pasien sudah stabil, jahitandapat dilepaskan dari luka dan
penutupan lapisan luka secara kosmetik dapat dilakukan (Fonseca, 2005).
Fraktur nasal dan tengah wajah dapat menyebabkan robeknya arteri ethmoidal.
Kebanyakan hemoragi dari fraktur fasial dapat dikontrol dengan tekanan langsung
ataupacking. Perdarahan internal arteri maksilaris yang disebabkan fraktur dinding
posteriormaksila, yang dapat terjadi pada fraktur Le Fort I dan II, dapat dikontrol dengan
tekanan dari gauze packing selama beberapa waktu. Epinephrine dan cairan trombin dapat
jugaditambahkan pada gauze packing dan kepala dapat juga dinaikkan untuk
mendapatkanhemostasis. Ketika pengontrolan langsung pembuluh darah diperlukan,
visualisasi yang adekuat dari pembuluh darah diperlukan. Penjepitan tanpa melihat pembuluh
darah dapatmenyebabkan perdarahan dari pembuluh darah dan jaringan lunak, sekaligus
dapatmenyebabkan kemungkinan rusaknya nervus. Pada kasus yang langka, ligasi dari
arterikarotis eksternal mungkin diperlukan. Akan tetapi, hal ini biasanya tidak efektif jika
digunakan sendiri saja dikarenakan sirkulasi kolateral dari wajah. Embolisasi dari
perdarahandengan cara intervensi secara radiologi oleh radiologis ,jika tersedia, merupakan
cara yangterbaik untuk mengatasi perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan
menggunakan metodeyang telah disebutkan di atas (Fonseca, 2005).
Daerah internal yang potensial untuk tempat terjadinya perdarahan termasuk
ronggadada, abdomen, retroperitoneum, dan ekskremitas. Pemeriksaan fisik dan radiografis
sangatmenolong dalam mengidentifikasi hemoragi ke dalam area tersebut. Hipovolemi yang
terusmenerus tanpa adanya perdarahan eksternal atau ke dalam rongga dada dapat
menunjukkanadanya hemoragi abdominal atau hemoragi pada daerah fraktur. Fraktur pelvis
dapatmenyebabkan kehilangan darah sekitar 1000 ml sampai 2000 ml, fraktur femur 500
mlhingga 1000 ml, fraktur tibia 250 ml hingga 500 ml, dan tulang-tulang kecil lainnya 125
mlhingga 250 ml. Pengontrolan perdarahan internal tidak dilakukan pada saat survei
primer,kecuali jika hemoragi tersebut menyebabkan keadaan yang merugikan pada sistem
pulmonaldan kardiovaskular. Perdarahan internal dapat dikontrol dengan menggunakan
fiksasisekunder dari fraktur, oklusi vaskular melalui mekanisme perlindungan,
refraksi,pembentukan clot, dan operasi eksplorasi (Fonseca, 2005).
Hemostasis luka dapat diperoleh dengan empat cara. Yang pertama adalah
denganmembentuk mekanisme hemostasis natural. Hal ini biasanya diperoleh dengan
mengunakanfabric sponge untuk memberikan tekanan pada pembuluh darah atau meletakkan
hemostatpada pembuluh darah. Kedua metode tersebut menyebabkan stasis dari darah pada
pembuluhdarah, yang pada akhirnya menyebabkan koagulasi. Beberapa pembuluh darah
kecilkebanyakan hanya memerlukan tekanan selama 20 hingga 30 detik, dan pembuluh
darahbesar memerlukan 5 hingga 10 menit penekanan yang kontinu. Ahli bedah dan
asistensebaiknya “mencolek” bukan mengusap dengan spons untuk menghilangkan darah
yangterekstravasasi. Mengusap dapat membuka kembali pembuluh darah yang telah
tersumbatdengan beku darah (Hupp, 2008).
Cara kedua untuk memperoleh hemostasis adalah dengan menggunakan panas untuk
menyebabkan ujung dari pembuluh darah yang terpotong sehingga bersatu (koagulasitermal).
Panas biasanya diaplikasikan melalui tegangan listrik yang dipusatkan oleh ahlibedah pada
pembuluh yang mengeluarkan darah dengan memegang pembuluh darah denganinstrumen
metal, seperti hemostat, atau dengan menyentuh pembuluh darah dengan tipelektrokauter.
Tiga kondisi harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan penggunaankoagulasi termal.
Pertama, pasien harus berhubungan dengan tanah, sehingga arus listrikdapat memasuki
tubuh. Kedua, tip cauter dan intrumen metal lainnya yang disentuh oleh tipkauter tidak boleh
menyentuh pasien pada titik lainnya selain pada area pembuluh darah yangberdarah. Jika
tidak, arus listrik dapat mengalir ke arah yang tidak diinginkan danmenyebabkan luka bakar.
Syarat yang ketiga untuk koagulasi termal adalah pembuangansemua darah atau cairan yang
terakumulasi di sekitar pembuluh darah yang akan dikauter. Cairan bertindak sebagai
penghalang energi dan mencegah sejumlah besar panas mencapaipembuluh darah untuk
menyebabkan penutupan (Hupp, 2008).
Cara ketiga untuk membantu terjadinya hemostasis bedah adalah dengan
pengikatandengan benang. Jika pembuluh darah besar telah terpotong, setiap ujungnya dijepit
denganmenggunakan hemostat. Ahli bedah kemudian mengikat pembuluh darah tersebut
denganbenang non-resorbable. Jika pembuluh darah dapat dibebaskan dari jaringan ikat
sekitarnyasebelum dipotong, dua hemostat dapat di letakkan pada pembuluh darah, dengan
jarak yangcukup di anataranya untuk memotong pembuluh darah. Ketika pembuluh darah
telah terputus, benang diikatkan pada setiap ujungnya dan hemostat dilepaskan (Hupp, 2008).
Cara keempat untuk mendapatkan hemostasis adalah dengan meletakkan substansi
vasokonstriktif, seperti epinefrin, pada luka atau dengan pengaplikasian prokoagulan,
sepertitrombin atau kolagen, pada luka (Hupp, 2008).
E. PENANGANAN SEBELUM KE RUMAH SAKIT
Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu menyelamatkan
jiwa penderita sebelum mendapatkan penanganan yang lebih lanjut di rumah sakit.
Perawatan penderita cedera akut dengan faktur pada daerah wajah, pertama kali harus
ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan jalan nafas dan pernafasan, dan
sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta kontrol perdarahan (Kruger, 1984; Rowe,
1994).
Perdarahan pada penderita dengan trauma oromaksilofasial dapat terjadi secara
internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di rumah sakit.
Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada perdarahan eksternal. Cara
mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka dan jika perdarahan masih
berlangsung terus dilakukan pengikatan (ligasi). Perdarahan yang keluar dari hidung dapat
diatasi dengan meletakan tampon di lubang hidung depan dan belakang (Hutchison, 1996).
Gambar 1. Penanganan Perdarahan Hidung
Penanganan awal apabila terjadi perdarahan arteri adalah dengan penekanan.
Penekanan diperoleh dari penekanan langsung dengan jari atau dengan kasa. Sering dengan
hanya melakukan sudah bisa berhasil mengatasi perdarahan. Jika keluarnya darah sangat
deras, misalnya terpotongnya arteri, maka diklem dengan hemostat. Melakukan klem pada
daerah perdarahan dimulut sangat sukar dan melakukan pengikatan (ligasi) bahkan lebih sulit
lagi. Untungnya hanya dengan melakukan klem saja sudah cukup diinduksi untuk membuat
beku darah. Apabila tersedia,dapat digunakan elektrokoagulasi dari pembuluh yang diklem
sehingga tidak perlu diikat Alternatif yang lain yang biasa digunakan hanya pada
pembedahan adalah menggunakan klip hemostatik pada pembuluh darah. Sesudah
mengontrol perdarahan Intra-operatif, maka dapat diputuskan untuk meneruskan atau
menghentikan prosedur.
Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan memerlukan
waktu lebih dari 30 menit, atau perdarahan berat melebihi 50 cc permenit. Pergunakan cairan
hipertonik (Raymond, 1991).
Gambar 2. Penjepitan pembuluh darah dengan arteri klem
Faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah kondisi fisik dan mental pasien
(tanda-tanda vital), perkiraan jumlah darah yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan
untuk mengontrol perdarahan.Seringkali trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan
trauma pada bagian tubuh lain (trauma multiple), misalnya trauma mengenai cerebro
kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota gerakan lainnya. Pada keadaan ini kita
mendahulukan penanganan trauma yang paling mengancam jiwa.
Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial pendekatan awal sedikit berbeda
dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan
kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-
keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa penderita (Basoeseno
dan Purwanto, 1996).
Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut,
hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur
nasalis, fraktur maksila).Penanganan perdarahan eksternal pada trauma oromaksilo fasial
sudah harus dilakukan saat sebelum tiba di rumah sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya
dilakukan bersamaan dengan penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh darah secara acak
harus dihindari karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf.
F. SYOK HIPOVOLEMIK
Syok adalah ketidakmampuan sirkulasi darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik.
Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-
trauma ada syok. Syok hipovolemik adalah suatu kondisi medis yang timbul akibat
penurunan sirkulasi volume darah, penyebab syok yang paling sering dan semua jenis syok
memiliki komponen hipovolemik.
Etiologi syok hipovolemik adalah kehilangan darah/perdarahan (trauma, perdarahan
GIT, dan hematoma); kehilangan Plasma (luka bakar); kehilangan cairan dan elektrolit
(muntah, diare, keringat, pancreatitis, dan asites).
Gejala syok hipovolemik antara lain adalah inadekuat perfusi organ, kehilangan darah
10-15%, perubahan tanda vital karena adanya mekanisme kompensasi, takikardia, ketolamin
(+) dingin, ekstrimitas lembabdan keterlambatan capillary filling, urine output<0,5 ml/kg
BB/jam.
Pemeriksaan laboratorium penunjang yang dilakukan untuk menetapkan diagnosis
adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit (seperti Na, K, Cl, HCO3, BUN,
kreatinin dan kadar glukosa), PT, APTT, analisa gas darah dan pemeriksaan urin rutin (pada
pasien dengan trauma). Selain itu golongan darah dan cross matched juga perlu diperiksa
(Kolecki, 2001).
Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan memperhatikan
keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang melemah, nafas yang cepat,
dan perabaan pada daerah akral dari ektremitas. Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai
dengan keadaan klinis.
Tabel 3. Klasifikasiperdarahan (Fonseca and Wolker, 1991)
KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV
Kehilangan
Darah (mL)
< 750 750-1500 1500-2000 > 2000
% Kehilangan
Darah
< 15 % 15-30% > 40%
Nadi N N > 120 > 140
Tekanan
Darah
N N/(postural) Menurun Menurun
Tekanan Nadi N
Capilary Refill ≤ 3o Memanjang Memanjang Memanjang
Respirasi N 20-30 > 30 > 35
Urine
(ml/jam)
≥30 cc/mnt 20-30 cc/mnt 5-15 cc/mnt Tidak ada urine
Status Mental Sedikit cemas Cemas Sangat cemas
dan bingung
Bingung atau
letargi
Resusitasi
Cairan
Kristaloid Kristaloid Kristaloid &
Darah
Kristaloid
&Darah
Apabila darah belum tersedia pada kelas III dan IV sementara dapat diganti dengan
tambahan 0,5 L (PP) dan 2,0 L (RL) untuk kelas III, 1,0 L (PP) dan 3,0 L (RL). Keberhasilan
terapi dapat dilihat dari perbaikan gejala klinik tersebut di atas (kesadaran, denyut nadi,
napas, muka, tangan/kaki, tensi dan urine). Menghentikan perdarahan mutlak harus
dilakukan.
Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu
dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe cairan yang digunakan
adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk ekspansi volume plasma, dan
merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan Cardiac Output dan volume O2. Namun
koloid efek udema parunya kurang dan harga cairan ini mahal.
Kristaloid sangat baik untuk dehidrasi (kehilangan cairan ekstraseluler) atau
perdarahan ringan. Selain itu juga dapat memberikan efek pada ekspansi cairan intravaskular
tetapi menyebabkan ekspansi berlebihan pada cairan interstisiel. Kristaloid efektif, apabila
tidak terdapat peningkatan permeabilitas kapiler dan harga cairan ini murah.
FLUID THERAPY
RESCUCITATION MAINTENANCE
COLLOID CHRYSTALLOID ELLECTROLYTES NUTRITION
REPLACE ACUTE LOSS(HEMORRAGHE, GI LOSS)
REPLACE NORMAL LOSS ( IWL, URINE FAECAL ) NUTRITION
Bagan 1. Resusitasi Cairan
Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti cairan yang
hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah mengembalikan volume
intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang adekuat, serta penggantian cairan yang
hilang dilakukan melalui pipa lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula
usus,respirasi dsb.Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut:
1. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl 0,9% atau
RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema parudiperhatikan.
Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit untuk memulihkan tekanandarah,
tekananvena sentral, dan diuresis.
2. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen plasma (FFP)
tiap 5 unit darah.
Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat diberikan
1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital, kemudian pengecekan
elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya.
Beberapa kriteria perfusi jaringan yang telah baik antara lain adalah nadi <100
x/menit; kesadaran sudah membaik; produktif urine 1-2cc/kgBB/jam; bagian-bagian akral
yang terjadinya lembab sudah jadi kering; akral yang sianosis telah berubah menjadi merah;
akral yang dingin telah jadi hangat.Pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan
pertimbangan berdasarkan keadaan umum penderita (kadar Hb dan Ht), jumlah perdarahan
yang terjadi, sumber perdarahan telah teratasi atau belum, keadaan hemodinamik (tensi dan
nadi), jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan, hasil serial pemeriksaan kadar
Hb dan Ht, dan usia penderita.
H. PENGELOLAAN NUTRISI PENDERITA TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Diantara banyak fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan menuju
saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi
makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia, infeksi, deformitas congenital,
dan injuri(trauma). Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat mengeliminasi
permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur ini juga membatasi
kemampuan mulut sementara waktu.Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh
mengalami rangkaian perubahan hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini
berakibat menurunnya daya tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan
luka gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot.Oleh
karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat
inap di rumah sakit.
Respon neuroendokrin,merupakan suatu refleks neurofisiologi yang dirangsang oleh
proses trauma, meliputi susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi, terutama jaras
spinothalamicus dan formatioretikularis dengan pengolahan akhir timbul pada medula
oblongata, thalamus dan hipothalamus. Kemudian respon eferen dimulai pada hipotalamus,
hipofise dan SSO. Aktivitas SSO merangsang kenaikan simpatis dimana kadar katekolamin
plasma meningkat.
Respon kardiovaskuler, meliputi peningkatan nadi (takikardia), kenaikan curah
jantung (cardiac output), mobilisasi darah dari perifer serta vasokonstriksi perifer.
Respon metabolik mencakup kenaikan kadar glukosa dan asam lemak bebas (FFA)
plasma serta rangsangan pengeluaran kortisol, katekolamin serta glukagon. Ketiga hormon ini
berkombinasi untuk meningkatkan glukoneogenesis serta lipolosis untuk mobilisasi cadangan
energi. Ada tiga fase respon metabolik trauma, yaitu:
1. Phase Ebb
Ditandai dengan terjadinya hipovolemi dengan rangsangan adrenal dan simpatis yang
berlangsung sekitar 24 jam. Pada phase ini metabolisme tubuh akan menurun serta
tubuh kehilangan sensitivitas terhadap sekitar. Kebutuhan kalori pada phase ini sekitar
5000 kkal. Kortisol tubuh akan meningkat dan demikian pula kadar gula darah. Sumber
energi berasal dari glikogen dan trigliserida untuk menghasilkan glukosa dan asam
lemak. Adanya penghambat simpatis terhadap pengeluaran insulin dari pankreas serta
pengeluaran glukokortikoid menambah resistensi insulin di jaringan perifer. Fase ini
akan memanjang bila terjadi perdarahan pasca bedah.
2. Phase Flow (Katabolisme)
Ditandai oleh oksidasi protein otot untuk menghasilkan glukagon yang sangat penting
untuk pembakaran di otak dan jaringan rusak yang sedang sembuh. Hormon pengatur
stres antara lain: katekolamin, glukagon dan kortisol dalam plasma menurun. Kadar
gula darah biasanya menurun < 200 mg % bila nutrisi tidak adekuat maka jaringan
tubuh akan mulai dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan energi. Fase ini berlangsung
sekitar 3 x 24 jam.
3. Phase Anabolisme atau Konvalesen
Pada phase ini tubuh mulai melakukan pemulihan pada sel-sel yang
mengalamikerusakan akibat katabolisme sehingga diperoleh kalori yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pada hari ke 7 – 10 bisa diberikan. Lemak diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan asam lemak bebas dan menambah kalori dimana jumlah cairan
dibatasi.
Berikut adalah pasien – pasien dengan kondisi yang memerlukan konsultasi, rujukan dan
intervensi nutrisi:
1. Setiap pasien yang mengalami trauma atau sakit dengan kondisi yang kritis, seperti luka
bakar, fraktur dan infeksi HIV.
2. Setiap pasien dengan penyakit kronis sehingga asuhan nutrisi merupakan komponen
penting dalam perawatannya. Pasien- pasien tersebut mencakup gagal ginjal baik akut
maupun kronis, diabetes mellitus, dispilidemia, malnutrisi, penyakit arteri koronaria,
penyakit hati, penyakit hipertensi yang baru didiagnosis, penyakit kanker dengan
penurunan berat badan , malnutrisi, ataupun gangguan asupan nutrisi, penyakit paru
obstruktif yang menahun ( PPOM ) dengan penurunan berat badan.
3. Setiap pasien yang memerlukan dukungan energi khusus, apakah parentel ataupun
enteral
4. Setiap pasien dengan anemia nutrisi
5. Setiap pasien dengan deplesi simpanan protein yang bermakna ( misalnya albumin <
3,0) yang disertai defisiensi nutrisi
6. Setiap pasien dengan penurunan bert badan yang bermakna sebelum masuk rumah sakit
7. Setiap pasien yang dilaporkan pengunaan megadosis suplemen nutrient atau yang sama
sekali menghindari konsumsi kelompok makanan tertentu dari dalam dietnya selama
waktu yang lama ( > 1 bulan)
I. KEBUTUHAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Penentuan status gizi penderita penting untuk menentukan jumlah, lama, dan
komposisi yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan apakah termasuk
malnutrisi ringan, sedang atau berat. Tahapan dalam menilai status gizi adalah sebagai
berikut:
1. Anamnesa
Penyakit kronis juga alkoholisme dapat berhubungan dengan malnutrisi energi dan
protein juga disertai dengan devisiensi vitamin dan mineral.Operasi yang baru
dilakukan seperti gastrectomy atau reseksi ileum dapat mempredisposisi malabsorpsi
dan terjadi defisiensi vitamin ataupun mineral.Penyakit yang diderita misalnya pada
hati dan ginjal seringkali berhubungan dengan defisiensi protein, vitamin dan trace
elemen.
2. Pemeriksaan klinis dan laboratorium
3. Pemeriksaan fisik, meliputi:
a. Kulit : Kualitas, tekstur, rash, folikel, hiperkeratosis, deformitas dan kuku
b. Rambut : Kualitas, tekstur, kerontokan
c. Mata : Keratokonjunctivitis, rabun senja
d. Mulut : Cheilosis, glossitis, atrofi mukosa, kelainan pada gigi
e. Abdomen :Hepatomegali
f. Rectum : Warna feses
g. Neurologis :Neuropathy perifer
h. Ekstrimitas : Ukuran otot, kekuatan otot, edema
Tabel 4. Klasifikasi Malnutrisi
Clinical and Laboratory Parameters
Extent of Malnutrition
Mild Moderate Severe
Albumin (g/dL)2 2.8 - 3.2 2.1-2.7 <2.1
Transferrin (mg/dL)2 200 - 250 100-200 <100
Total lympochyte count (cells/μL)2 1200 - 2000 800-1200 <100
Creatinine/height Index (%)3 60 - 80 30-60 <40
Ideal body weight (%) 80 - 90 70-80 <70
Usual body weight (%) 85 - 95 75-85 <75
Weight loss/unite time < 5%/month
<7,5%/3 months
< 10%/6 months
< 2%/week
< 5%/month
< 7,5%/3 months
< 10%/6 months
> 2%/week
Skin tests (No. reactive + No. placed)
4/4
(normal)
1 - 2/4
(weak)
0/0
(anergic)
Normal antrophometric measurements
Tricep skin fold (mm)4
Midarm circumference (cm)
Male
12.5
29.3
Female
16.5
28.5
J. MENGHITUNG KEBUTUHAN NUTRISI
Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik adalah
sama dengan pemakaian energi total (Total Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan
basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama
proses asimilasi nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik.
Kebutuhan kalori basal didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan
Harris-Benedict.Menurut persamaan Harris – Benedict laju metabolisme basal bisa dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
HARRIS–BENEDICT METHOD FORDETERMINING ENERGY REQIUREMENTS
Pria
BEE = 66.47 + [13.57 x weight (kg)] + [5.0 x height (cm) – [6.67 x age (yrs) = _______kcals/day
Wanita
BEE = 665.1 + [9.56 x weight (kg)] + [1.85 x height (cm) – [4.68 x age (yrs) = _______kcals/day
BEEjuga dapat ditetapkan dengan menggunakan 12Lcal/lb untuk pria dan 11 kcal/lb
untuk wanita, atau 5.4 kcal/kg untuk pria and 5.0 kcal/kg untuk wanita.
Untuk menghitung kebutuhan energi total, kebutuhan energi dasar (Basal Energy
Expenditure/BEE) harus dikaitkan dengan Activity Factor (AF) dan Injury Factor (IF)/stress
factor(L. Morse, Maricopa Medical Center, Phoenix, AZ, 1993).
ACTIVITY AND INJURY FACTOR
Activity Factors (AF) 1.2 Confined to bed
1.3 Ambulatory
Injury Factors(IF)1.0 – 1.2 Non-stressed on ventilator
1.1 – 1.2 Congestive heart failure
1.1 – 1.2 Minor surgery
1.13 Fever, per 1o C
1.15 – 1.13 Skeletal trauma
1.2 – 1.4 Mild to moderate infection
1.3 – 1.5 Majorabdominal/thoracic surgery
1.35 – 1.55 Multiple trauma
1.4 – 1.6 Closed head injury
1.4 – 1.6 Stressed ventilator dependent
1.5 Liver failure, cancer
1.5 – 1.8 Sepsis
Jadi Total kalori yang dibutuhkan pasien = BEE x AF x IF
Contoh perhitungan :
Seorang wanita, usia 30 tahun, berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm. penderita dirawat
karena perdarahan epidural.
BEE = 655,1 + (9,56 x 40) + (1,85 x 150) – (4,68 x 30) = 1174,6 kcal/hari
Activity Factor = 1,2
Injury Factor trauma kepala = 1,5
Total energi yang dibutuhkan = 1174,6 x 1,2 x 1,5 = 2114,28 kcal/hari
Terdapat pula cara estimasi kebutuhan kalori yang sederhana dengan menggunakanrumus 3–
4–5 dari I.D Syttrar yaitu:
1. 30 kkal/kgBB/hari: kebutuhan basal, mempertahankan berat badan, tidak disertai
demam, pasca bedah ringan/sedang.
2. 40 kkal/kg BB/hari : malnutrisi sedang, infeksi berat, sepsis.
3. 50 kkal/kg BB/hari :luka bakar > 40%, malnutrisi berat, pasca bedah dengan penyulit.
Secara keseluruhan, respon fisiologis terhadap trauma merupakan peningkatan proses
biokimia dan metabolik normal, sehingga biasanya terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi
yang cukup besar. Bila tidak mendapat dukungan nutrisi yang adekuat, pasien akan banyak
kehilangan berat badan dan terjadi komplikasi yang seringkali fatal. Tujuan utama terapi
dukungan nutrisi adalah menjaga agar penurunan berat badan seminimal mungkin dengan
harapan dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas maupun mortalitas.
Kebutuhan energi/kalori total sehari dapat dihitung dari penjumlahan kebutuhan
kalori basal (BMR), faktor stress, aktivitas fisik dan spesific dynamic action (SDA).
Rumusan yang dugunakan adalah sebagai berikut:
KK = Kebutuhan kalori total
KKB = Kebutuhan kalori basal
FS = Faktor stress
AF = Aktivitas fisik
SDA = Spesific dynamic action
Faktor stress dinilai berdasarkan penilaian status gizi dan status metabolik. Untuk
memudahkan, faktor stress dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu derajat stress ringan (10-
30%); derajat stress sedang (31-50%); dan derajat stress berat (51%). Trauma digolongkan ke
KK = KKB + FS + AF + SDA
dalam stress sedang, sehingga besarnya faktor stress untuk trauma adalah 31-50%. Faktor
stress trauma multipel adalah 50%. Apabilapasien harus di tempat tidur, aktivitas fisik hanya
10%; sedangkan bila tidak di tempat tidur, aktivitas fisik adalah 20%.SDA dari makanan
tergantung jenis makanan yang diberikan. SDA nutrisi parenteral adalah 0% sedangkan SDA
untuk formula enteral dan makanan peroral kira-kira 10-20%.
Pada trauma terjadi katabolisme protein yang relatif konstan yaitu 10-20% dari
keluaran energi. Masukan protein untuk orang sehat (0,8-1 g/kgBB/hr) tidak mencukupi
kebutuhan pasien yang mengalami trauma oleh karena adanya peningkatan protein turnover.
Kebutuhan protein bagi pasien dengan trauma bila tidak terdapat gangguan ginjal dan hati
adalah 1,5-2 g/kgBB/hr, dengan rasio kalori non-nitrogen : nitrogen = 100:1.
Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
pemberian emulsi lemak sebesar 30-40% dari kalori total merupakan jumlah yang optimal.
Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial, perlu diberikan asam lemak
esensial sebanyak 4-8% dari kalori total sehari.
Karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi. Banyaknya karbohidrat yang
diberikan adalah kebutuhan kalori total dikurangi yang berasal dari lemak. Pada pasien
dengan trauma, karbohidrat merupakan 40% dari kalori total sehari.
Kebutuhan cairan adalah ± 1500 ml per m2 luas permukaan tubuh per hari, kemudian
ditambahkan bila terdapat peningkatan insensible loss melalui keringat, diare, atau selang
makanan.Garam fisiologis dan elektrolit intrasel harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.
Kadar kalium, fosfor dan magnesium dalam plasma dan seluruh tubuh perlu dipertahankan
agar tetap normal supaya didapat respon yang diharapkan dengan pemberian dukungan
nutrisi.
Oleh karena terjadi peningkatan metabolisme, maka kebutuhan vitamin B meningkat.
Kebutuhan tiamin dan niasin berkaitan dengan masukan kalori. Pada trauma, terjadi
peningkatan ekskresi seng (zinc) yang dianggap berasal dari katabolisme di jaringan otot.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya defisiensi seng, sehingga pasien trauma perlu
mendapatkan suplementasi trace elemen ini.
Untuk dapat melakukan peran dan fungsinya dalam tubuh, zat-zat gizi mengalami
proses metabolisme secara bertahap yaitu :
1. Pencernaan (digestion)
2. Penyerapan (absorption)
3. Perubahan (degradation)
4. Penggunaan oleh organ / sel (utilisation)
5. Pengeluaran zat sisa (excretion)
Masing-masing tahap metabolisme dilakukan oleh organ-organ yang berbeda, seperti
tahap pencernaan dan penyerapan dilakukan oleh organ saluran cerna. Perubahan terutama
dilakukan oleh hati; penggunaan oleh semua organ; pengeluaran zat sisa terutama oleh ginjal
dan saluran cerna bagian bawah.Fungsi utama saluran cerna adalah pencernaan dan
penyerapan dengan mensekresi enzim-enzim spesifik untuk masing-masing zat gizi. Saluran
cerna bagian atas terutama mengabsorpsi zat-zat gizi utama; sedangkan saluran cerna bagian
bawah terutama mengabsorpsi air, mineral dan beberapa vitamin.Hati merupakan organ yang
penting pada proses degradasi zat-zat gizi karena merupakan organ utama yang akan
memetabolisme zat-zat gizi dan mensekresi enzim yang berperan dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak serta bertanggung jawab terhadap 20% metabolisme basal.
Hati mensintesis beberapa protein plasma yang penting dan garam empedu serta berperan
dalam detoksikasi.Gangguan penyekit hati dapat dikelompokkan menjadi penyakit hati akut
seperti pada hepatitis virus dan penyakit hati kronis seperti pada sirosis hati. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang paling besar dan juga sebagai organ pengatur keseimbangan
cairan tubuh. Gangguan pada ginjal akan menyebabkan gangguan pada ekskresi sisa-sisa
hasil metabolisme terutama metabolisme protein serta gangguan cairan dan elektrolit.
K. PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
Terapi nurisi enteral adalah terapi pemberian nutrisimelalui saluran cerna dengan
menggunakan selang/kateter khusus, carapemberian dapat melalui hidung-lambung
(nasogastritic route) atau hidung–usus (nasoduodenal atau naso jejunal route). Pemberian
nutrisi juga bisa dilakukan dengan cara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral.
Keuntungan nutrisi enteral dibandingkan parenteral antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bersifat fisiologis
Nutrisi enteral bersifat fisiologis, sebab makanan masuk ke dalam tubuh melalui
saluran cerna yang normal, sehingga fungsi dan struktur alat cerna tetap dipertahankan.
Sebaliknya, nutrisi parenteral total dapat menyebabkan atrofi mukosa usus halus dan
pankreas terutama pada pemberian yang lama karena makanan masuk ke dalam hati
melampaui alat cerna (by pass dari luar ke dalam hati).
2. Lebih efektif
Nutrisi enteral lebih efektif. Ini terbukti dengan kenaikan berat badan yang cepat dan
keseimbangan N yang cepat menjadi positif. Selain itu, peningkatan imunitas tubuh
akan cepat ditemukan pada pemberian nutrisi enteral.
3. Komplikasi kurang
Komplikasi nutrisi enteral jauh lebih rendah bila dibandingkan nutrisi parenteral.
Nutrisi parenteral selain membutuhkan pemantauan yang ketat, komplikasi-komplkasi
berupa sepsis, trombosis, hematom, pneumothoraks serta gangguan metabolik berupa
hipoglikemi atau hiperglikemi tak jarang ditemukan.
4. Kalori tinggi mudah dicapai
Dengan nutrisi enteral kebutuhan kalori tinggi lebih dari 3000 kkal/hari dapat dengan
mudah dipenuhi yang dengan parenteral amat sulit mencapainya tanpa komplikasi dan
pengawasan yang ketat. Kalori tinggi ini diperlukan pada penderita dengan
hipermetabolik seperti sepsis, trauma ganda, atau luka bakar. Selain itu, pemberian
kalori tinggi dengan nutrisi parenteral sering menimbulkan perlemakan hati yang tidak
dijumpai pada nutrisi enteral.
5. Tekniknya mudah
Pemasangan sonde lambung dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap dokter maupun
perawat tanpa persyaratan sterilitas yang ketat. Sedangkan pemberian parenteral harus
diberikan melalui vena besar yang letaknya profundal dengan sterilitas tinggi. Itupun
hanya dapat dilakukan oleh dokter yang terlatih.
6. Biaya murah
Rata-rata nutrisi enteral lebih murah 10-20 kali dari nutrisi parenteral.
Untuk menghindari intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi
sebaiknya suatu nutrisi enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa, atau paling tinggi
kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total karbohidrat.Nutrisi enteral yang bebas dari
bahan-bahan yang mengandung purin dan kolesterol.
Syarat-syarat nutrisi enteral adalah:
1. Memiliki kepadatan kalori tnggi
Karena nutrisi enteral harus diberikan melalui sonde kecil, maka ia harus berbentuk cair
agar mudah melalui sonde. Agar dalam bentuk cair ini nutrisi enteral tetap memiliki
kalori yang cukup, maka ia harus memiliki kepadatan kalori tinggi. Sehingga, dengan
volume yang tidak terlalu besar, jumlah kalori sudah dapat tercapai. Kepadatan kalori
yang ideal adalah 1 kkal/ml cairan.
2. Kandungan nutrisinya seimbang
Artinya, dalam jumlah minimal untuk kebutuhan sehari (2000 kkal) harus sudah
mengandung semua komponen nutrisi esensial seperti protein, asam amino, lemak,
vitamin, elektrolit dan elemen-elemen lain sesuai dengan jumlah kebutuhan.
3. Memiliki osmolaritas yang sama dengan osmolaritas cairan tubuh
Suatu nutrisi enteral yang memiliki osmolaritas yang tinggi mudah menimbulkan diare
sebab cairan tubuh akan ditarik masuk ke dalam lumen usus. Oleh karena itu,
osmolaritas yang ideal adalah 350-400 m Osmol, sesuai dengan osmolaritas cairan
ekstraseluler.
4. Mudah diabsorpsi
Bahan-bahan baku suatu nutrisi enteral seharusnya terdiri atas komponen-komponen
yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan
untuk dapat diabsorpsi. Dengan kata lain, molekul-molekulnya berukuran kecil.
5. Tanpa atau kurang mengandung serat dan laktosa
Suatu nutrisi enteral hendaknya memiliki sedikit atau tanpa mengandung serat agar
efektif dan efisien. Nutrisi enteral yang banyak mengandung serat akan bersifat bulk
yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi defekasi.
Prosedur teknik pemberian nutrisi enteral / diet sonde akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pemilihan sonde
Sebelum tahun 1980-an sonde yang tersedia umumnya terbuat dari polietilen, PVC atau
lateks. Kekurangan dari sonde-sonde ini selain diameternya besar, sonde mudah
menjadi kaku setelah zat pelemasnya habis (setelah 24 jam pemakaian), juga tidak
tahan terhadap pengaruh cairan lambung maupun duodenum. Sonde yang menjadi kaku
akan sangat mengganggu penderita karena selain terasa tidak enak juga dapat
menimbulkan erosi atau perlukaan saluran napas atau saluran cerna.Saat ini sonde-
sonde yang dipakai untuk nutrisi enteral terbuat dari silikon atau poliuretan yang selain
diameternya kecil (2,5 mm), kelemasan dan kelenturannya bertahan lama serta tahan
terhadap pengaruh cairan lambung dan cairan duodenum.
2. Teknik pemberian nutrisi enteral
Teknik pemberian secara tetes merupakan yang paling aman. Pola lama yang
memberikan secara bolus mengandung banyak komplikasi berupa muntah, regurgitasi
sampai aspirasi ke dalam paru, terutama pada penderita yang kesadarannya menurun
atau pada penderita yang berbaring. Guna mengurangi komplikasi-komplikasi di atas,
sebaiknya penderita diposisikan setengah duduk selama pemberian nutrisi enteral.
Untuk menjaga ketepatan dan ketetapan tetes cairan nutrisi enteral dapat digunakan
portable pump. Guna menjaga toleransi penerimaan usus, kadar cairan nutrisi enteral
sebaiknya dinaikkan secara bertahap. Dimulai dengan pengenceran ½ pada hari
pertama, kemudian pengenceran 2/3 pada hari kedua dan takaran penuh pada hari
ketiga dan seterusnya, sambil mengawasi dan mengevaluasi keluhan maupun gejala-
gejala yang timbul.
Kebutuhan metabolisme basal dapat dihitung dengan indeks BROCA, sebagai berikut:
Dimana indeks stress:
Paska bedah + 10% BMR
Fraktur multipel + 25-30% BMR
Sepsis, tiap kenaikan 1° +10% BMR
Jadi, seorang dengan tinggi badan 165 cm tanpa stress memiliki BMR (165-100)x20 =
1300 kkal. Dengan menambah 10-20% dari kebutuhan BMR dapat diperoleh kebutuhan
kalori pada saat aktivitas yang sangat terbatas. Sedangkan pada suatu keadaan katabolik yang
tinggi diperlukan penambahan 30-100% dari kebutuhan BMR.
Kemajuan atau kemunduran keadaan umum penderita dievaluasi setiap harinya
termasuk keseimbangan cairan dan elektrolitnya bila ada fasilitas. Pengukuran berat badan
atau lingkar lengan atas (LLA) setiap minggu merupakan parameter yang objektif.Selain itu,
pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan, antara lain pemeriksaan darah (Hb, Ht,
leukosit), serum (glukosa, ureum, protein total, albumin total), volume dan urin rutin.
Indikasi pemberian nutrisi enteral adalah:
1. Indikasi bedah, yakni pasca bedah: mulut, esofagus, lambung, saluran empedu, dan
kolon.
2. Indikasi non bedah: anoreksia, depresi berat, trauma kepala/otak, luka bakar yang luas,
sepsis, penderita kanker, malabsorpsi/maldigesti, fistula, penderita dengan kebutuhan
kalori ekstrim.
Kontrandikasi pemberian nutrisi enteral apabila pasien muntah-muntah, ileus, perdarahan
gastrointestinal yang akut, peritonitis, dan atoni paska bedah.
BMR = Indeks Stress (Tinggi Badan – 100) x 20
Komplikasi nutrisi enteral, antara lain akan diuraikan sebagai berikut:
1. Komplikasi mekanik
Komplikasi mekanik berhubungan dengan sondenya sendiri yang dapat mengalami
dislokasi atau penyumbatan.
2. Komplikasi kimiawi
Hal ini berhubungan dengan osmolaritas serta komposisi kimiawi cairan nutrisi enteral
yang terlalu tinggi. Rasa mual sampai muntah dan kram perut atau diare merupakan
gejala yang menonjol.
3. Komplikasi bakteriologik
Kontaminasi dengan bakteri gram negatif pada waktu penyediaan nutrisi enteral atau
kantong plastiknya dapat menimbulkan syok septik.
4. Komplikasi metabolik
Dehidrasi hipertonik dapat terjadi bila komposisi nutrisi enteralnya memilki osmolaritas
yang tinggi. Pemberian kadar secara bertahap dapat mengurangi komplikasi ini.
Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara
pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral (nutrisi
parenteral total).Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap penderita yang akibat
penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi penderita tersebut tidak mau makan,
tidak cukup makan, tidak bisa makan dan tidak boleh makan. Secara umum dapat
dikelompokkan berdasarkan keadaan kondisi saluran pencernaan (gastriontestinal tract),
yaitu:
1. Bila saluran cerna mengalami obstruksi
2. Bila saluran cerna terlalu pendek
3. Bila terdapat fistula pada saluran cerna.
4. Bila saluran pencernaan tidak berfungsi.
Prinsip pemberian nutrisi parenteral adalah mempertahankan keseimbangan tekanan
osmotik sehingga volume interalumen tetap, mempertahankan tekanan hidrostatik, dan
mengatasi kehilangan plasma.
Tujuan Pemberian Nutrisi Parenteral adalah supaya mempertahankan volume dan
perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara
hemostatik metabolik umum, menyediakan intake bagi kebutuhan metabolisme secara
parenteral.
Kondisi-kondisi yang membutuhkan nutrisi parenteral anatara lain, ileus obstruksi,
peritonitis, fistula enterokutan, sindrom malabsorpsi berat, vomitus, diare berat, malnutrisi
protein atau protein-kalori, dan keganasan.
Indikasi nutrisi parenteral adalah fungsi saluran cerna terganggu (tidak mampu
mencerna atau menyerap makanan), NPO > 3-5 hari, dan suplemen terhadap nutrisi enteral.
Sedangkan kontra indikasi nutrisi parenteral adalah:
1. Pasien pasca bedah, trauma dalam phase Ebb (24 jam pertama)
2. Pasien yang masih mengalami hemodinamik krisis, seperti syok, defisit cairan ekstra
seluler yang belum terkoreksi dan demam tinggi (hipertermi).
3. Pada pasien dengan penyakit terminal (keganasan) atau keadaan vegetatif (brain death).
4. Pasien yang mengalami gagal nafas (kecuali dibantu dengan bantuan nafas mekanik
dengan ventilator).
5. Komplikasi teknis berkaitan dengan pemasangan kateter seperti pneumothoraks, emboli
udara.
6. Komplikasi infeksi ditandai oleh demam seperti pada flebitis, infeksi pada tempat.
Adapun akses yang digunakan untuk nutrisi parenteral, yaitu:
1. Nutrisi Parenteral Perifer
Larutan standar yang diberikan untuk nutrisi parenteral total melaui vena sentral
memilki tekanan osmotik hampir 2000 mOsm/L. Sifat-sifat fisik dari larutan demikian
mendorong terjadinya trombosis vena perifer, dan baru setelah dilakukan kateterisasi
pada vena cava superior pemberian menjadi praktis dan aman untuk larutan
hiperosmolar demikian bisa digunakan pada pasien bedah. Larutan nutrisi yang hanya
sedikit hipertonik (antara 600 dan 900 m)sm/L) bisa disiapkan dengan mencampur
proporsi sesuai dari asam amino, dekstrosa dan emulsi lemak. Campuran nutrien ini
memiliki desnitas kalori rendah dan memasok hanya 2500 kcal dalam 3 L larutan. Bila
volume cairan besar, larutan-larutan demikian bisa diberikan melalui vena perifer untuk
jangka pendek(kira-kira satu minggu).
2. Nutrisi Parenteral Sentral
Perkembangan kateterisasi vena sentral telah memungkinkan pemberian larutan
hipertonik dengan aman. Campuran glukosa, lemak dan asam amino diberikan melalui
kateter vena sentral yang ujungnya berada dalam vena cava superior. Larutan yang
digunakan untuk nutrisi via vena sentral (TPN) biasanya memiliki densitas 1 kcal/ml,
dan kebutuhan akan air serta elektrolit diresepkan secara individual. Kunci keberhasilan
dari cara ini terletak pada insersi serta perawatan kanul vena sentral.
Pendekatan yang digunakan pada pemberian nutrisi parenteral adalah 4 Tepat – 1 Waspada:
Tepat pasien
Setiap pasien yang tidak cukup atau tidak mendapat intake oral seharusnya segera
mendapat nutrisi parenteral (NPE). Dosis NPE total harus diberikan lebih lambat (mulai hari
ketiga) karena beban metabolismenya besar. Hal ini berlaku pada pasien trauma, sepsis,
paska bedah ekstensif, preeklampsia, eklampsi, dsb.
Tepat indikasi
Dosis NPE parsial dapat diberikan sangat dini, yaitu 24 jam setelah trauma atau krisis
kegawatan dapat diatasi. Periode 24 jam ini adalah masa ebb-phase, masa stabilisasi dimana
kadar stres hormon masih tinggi. Sel-sel resisten insulin dan kadar gula meningkat. Makin
berat kondisi pasien, makin lambat NPE total dapat dimulai. Sebelum keadaan tenang
tercapai, NPE total hanya akan menambah stres bagi tubuh pasien. Fase tenang ini ditandai
dengan menurunnya kadar kortisol, katekolamin dan glukagon.
Tepat obat/substrat
Bahan nutrisi yang digunakan adalah karbohidrat, asam amino, emulsi lemak, mineral
dan vitamin.
Tepat dosis
Quebbeman (1982) menemukan pada pasien trauma berat dan sepsis yang mengalami
katabolisme, resting energy expenditure berkisar 1000 kkal/m2/hari. Ini setara dengan 1700
kkal pada pasien 70 kg dengan luas tubuh 1,73 m2 atau kira-kira 25 kkal/hari. Agar imbang N
tidak terlalu negatif, minimal diberikan 20 kkal/kg/hari. Dosis yang tepat harus diukur. Dosis
kemudian dapat ditingkatkan bertahap dengan memperhatikan perubahan kadar gula darah,
keadaan umum pasien, pemeriksaan kadar kalium dan natrium.
Untuk menghindari hiperglikemi, peningkatan glukosa 5% menuju 20% harus dilakukan
secara bertahap “start low, go slow”. Beban glukosa merangsang pankreas mengeluarkan
insulin. Jika larutan glukosa diselingi cairan lain maka besar kemungkinan kadar gula darah
berfluktuasi karean overshoot insulin dari waktu ke waktu. Agar fluktuasi kadar gula darah
bervariasi seminimal mungkin, larutan karbohidrat dibagi rata dalam 24 jam.
Waspada efek samping
Berbeda dengan orang sehat yang dapat mengatur keseimbangan makan dan
kebutuhannya sendiri, pasien dengan bantuan nutrisi khusus terpaksa menerima semua yang
diberikan. Jika pilihan atau dosis tidak tepat, atau cara memberikan keliru, penyulit yang
timbul akan menyebabkan morbiditas bahkan kematian.Penyulit yang sering dijumpai adalah
hiperglikemi. Hiperglikemi umumnya terjadi jika pola “start low, go slow” tidak diikuti.
Kelainan ini dapat disertai hyperosmolar state dan diuresis osmotik. Pada kasus yang ekstrim
dapat terjadi koma.Tromboflebitis karena iritasi mudah diikuti radang. Osmolaritas plasma
300 mOsm. Makin tinggi osmolaritas, makin mudah terjadi tromboflebitis, bahkan
tromboemboli. Vena perifer dapat menerima sampai 900 mOsm. Untuk cairan > 900-1000
mOsm jika perlu lebih dari 5 hari, seharusnya digunakan vena sentral (vena cava, subclavia,
jugularis) dimana darah mengalir secara cepat sehingga kecepatan tetesan cairan NPE yang
pekat tidak sempat merusak vena. Cairan 900-1000 mOsm untuk jangka pendek 3-5 hari
masih dapat diberikan lewat vena tangan tapi jangan memberikan lewat vena kaki. Vena kaki
mudah mengalami deep vein thrombosis dan tromboemboli. Osmolaritas dapat dikurangi
dengan mencampur cairan menggunakan infus set bercabang.
Adapun komposisi yang ideal dari nutrisi parenteral adalah kombinasi antara karbohidrat
(KH), protein, lemak, dan cairan dan elektrolit (vitamin, mineral). Semuanya akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Karbohidrat
Karbohidrat sebagai sumber kalori utama yang layaknya selalu tersedia 40-60% dari
total kalori (1 gr KH = 4kkal). Rekomendasi dari American Society for Parenteral &
Enteral Nutrition (ASPEN, 1993) untuk pemberian karbihidrat dalam keadaan normal
adalah 25 – 30 kcal/kg/hari. Karbohidrat tersimpan dalam tubuh dalam bentuk glikogen
dihati dan otot. Sumber kalori karbihidrat dapat berupa dextrosa, fruktosa, maltosa,
sorbitol dan xylitol. Glukosa/ dextrosa adalah sumber kalori yang paling fisiologis.
Dosis maksimal bagi kebanyakan penderita adalah 6-7,5gr/kgbb/hari. Pemberian kalori
dengan glukosa yang melebihi kebutuhan ternyata tidak bermanfaat, bahkan justru
merugikan sebab akan menyebabkan kadar co2 dalam tubuh meningkat.
2. Protein
Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan enzim, karena itu pemberiannya harus
dilindungi oleh pemberian kalori yang cukup agar protein tidak digunakan sebagai
sumber energi. Kebutuhan protein (asam amino) dapat dihitung secara tidak langsung
dengan menghitung jumlah nitrogen yang dokonsumsi oleh tubuh. Menghitung
nitrogen secara laboratorium relatif mahal biayanya. Secara kasar dapat diperkirakan
dengan menghitung jumlah ureum dalam urine 24 jam, dengan rumus sebagai berikut
a. Menghitung energi konsumsi
Konsumsi nitrogen (mg/24 jam) = ureum urine (mmol) / 24jam x 28 + 4000 mg.
Kebutuhan protein=konsumsi nitrogen x 6,25
b. Cara yang lebih mudah untuk menghitung kebutuhan asam amino adalah dengan
memperkirakan besar kecilnya stress metabolik yang terjadi.
Perbandingan kebutuhan protein (AA) dan kalori perhari:
Protein (AA) Kalori
Tanpa stress metabolik 1 gr/kgbb/hari 30 kcal/kgbb/hari
Dengan stress metabolik 2 gr/kgbb/hari 40 kcal/kgbb/hari
Contoh perhitungan kebutuhan protein. Misal berat badan pasien 60 kg dengan sepsis
Dengan menggunakan tabel dengan stress metabolik
Kebutuhan kalori = 60 x 40 kcal = 2400 kcal/hari
Kebutuhan AA = 60 x 2 = 120 gr/hari
3. Lemak
Cairan emulsi lemak diberikan dalam nutrisi parental bertujuan untuk mencegah
defisiensi asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori. Untuk memenuhi kebutuhan
kalori, cairan emulsi lemak diberikan 1-3 gr/kgbb atau dalam proporsi 25 – 40% dari
kalori total perhari. Pemberian lebih dari 60% dari kalori total dapat menyebabkan
ketoasidosis. Karena osmolaritasnya yang rendah, pemberian cairan emulsi lemak dapat
diberikan pada nutrisi parental perifer.
4. Cairan, Elektrolit, Trace Elements, dan Vitamin
Dalam merencanakan komposisi carain untuk terapi nutrisi pareneral, harus selalu
diperhatikan dan diperhitungkan akan kebutuhan terhadap elektrolit, trace element, dan
vitamin baik yang larut dalam air maupun lemak. Kebutuhan ini terutama harus
diberikan bila terapi nutrisi parenteral berlangsung lama. Besarnya kebutuhan
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.
Kebutuhan air dewasa : 30-50 ml/kgbb/hari
Kebutuhan Natrium : 2-4 mg/kgbb/hari atau 100-200 meg/hari
Kebutuhan Kalium : 1-2 mg/kgbb/hari atau 50-100 meg/hari
BAB III
PEMBAHASAN
Hemoragi adalah penyebab utama keadaan hipovolemik pada pasien yang mengalami
luka multisistem. Kebanyakan pasien tersebut memiliki beberapa tingkatan dari syok
hipovolemik. Tingkatan tersebut dapat diukur melalui respon fisiologi terhadap hemoragi.
Respon fisiologi ini dapat dikategorikan berdasarkan persentasi dari kehilangan akut darah.
Respon tekanan darah awal terhadap kehilangan volume intravaskular tidak memiliki hubungan
yang linear (Fonseca, 2005).
Pada dewasa sehat kehilangan 15% volume darah pertama diklasifikasikan sebagai
hemoragi kelas I. Gejala klinis minimal pada kelas I ini. Dalam kondisi yang tidak kompleks,
peningkatan denyut nadi minimal dengan peningkatan kontraktilitas dari jantung dan
peningkatan vasokonstriksi vena dan arteri dapat menjaga tekanan darah. Hemoragi kelas II
diklasifikasikan sebagai kehilangan volume darah sebanyak 15-30%. Gejala klinis meliputi
takikardia (denyut nadi >100 pada orang dewasa), takipneu, dan penurunan tekanan darah.
Tekanan sistolik biasanya tidak berubah, tetapi tekanan diastol meningkat karena peningkatan
dari katekolamin. Hemoragi kelas III diklasifikasikan sebagai kehilangan 30-40% volume
darah. Biasanya hal ini diikuti dnegan takikardia, takipneu, perubahan status mental penderita,
dan turunnya tekanan sistolik. Pada kasus yang tidak kompleks, kehilangan darah sebanyak ini
secara konsisten menyebabkan tekanan darah sistolik menurun. Pada pasien yang lebih tua,
dengan mekanisme kompensasi yang kurang efisien, penurunan tekanan darah dapat terjadi
setelah kehilangan darah sebanyak 10-15%. Hemoragi kelas IV didefinisikan sebagai
kehilangan darah sebanyak >40%, dan hal ini merupakan keadaan yang mengancam nyawa.
Pasien dapat terkena serangan jantung bila kehilangan darah sebanyak ini. Gejala klinis
meliputi takikardia, penurunan tekanan darah sistolik yang secara substansial, tekanan darah
yang sangat sempit (tidak adanya tekanan darah diastol), kurangnya urine output, dan
perubahan status mental pasien yang banyak. Perlu diperhatikan bahwa tekanan darah pasien
dapat turun tiba-tiba setelah pemeriksaan awal ketika mekanisme kompensasi mereka telah
gagal karena kehilangan darah yang terus-menerus. Sulit dilakukan perubahan tekanan darah,
karena pada kebanyakan kasus batas bawah dari tekanan ydarah pasien tidak diketahui. Sebagai
contoh, pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan tekanan sistol sebesar 120 mmHg dapat
menunjukkan gejala kehilangan darah yang signifikan, sedangkan atlet muda yang sehat dapat
memiliki tekanan sistol sebesar 90 mmHg (Fonseca, 2005).
Salah satu indikator dari rendahnya perfusi jaringan pada pemerikssaan awal adalah
perfusi kulit. Kompensasi fisiologi awal pada kehilangan volume intravaskular adalah
vasokonstriksi pada pembuluh darah di kulit dan otot. Kapiler-kapiler pada kulit adalah yang
pertama kali berhenti bekerja sebagai respon terhadap hipovolemik yang dikarenakan stimulus
dari sistem saraf simpatik dan kelenjar adrenal melalui pelepasan hormon epinefrin dan nor
epinefrin. Pelepasan katekolamin menyebabkan keluarnya keringat dan kulit terasa dingin dan
lembab pada saat palpasi. Ekskremitas bawah adalah yang pertama terkena, dengan tanda-tanda
pertama dari hipovolemi adalah terasa dinginnya kaki dan regio patella. Capillary fill time
dapat diukur dengan menggunakan “blanch test”, yang dimana memberikan ukuran kehilangan
darah ke pembuluh kapiler. Dengan tes tersebut, tekanan diaplikasikan ke kuku-kuku jari, kuku
ibu jari, atau emninesia hipothenar dari tangan untuk mengevakuasi darah dari daerah tersebut
dan kemudian tekanan langsung dilepaskan. Waktu yang diperlukan untuk jarinagn kembali ke
warna normalnya mengindikasikan waktu yang diperlukan untuk darah kembali ke pembuluh
kapiler. Waktu kurang dari 2 detik biasanya ditemukan pada pasien normovolemik dan
mengindikasikan aliran darah normal ke pembuluh kapiler (Fonseca, 2005).
Hemoragi dapat secara ekternalmaupun internal ke dalam kavitas tubuh. Hemoragi
eksternal biasanya dapat dikontroldengan melakukan penekanan secara langsung ke luka
yang ada. Tekanan yang digunakanuntuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu.
Ketika dressing yang digunakanmenjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan
dilepaskan, tetapi sebaiknya dressingtambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan
maka formasi clot yang telahterbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan
kembali. Tekanan yang kuat dapatdiaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk
mengontrol perdarahan. Akan tetapi, haltersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan
langsung pada luka saja tidak efektif (Fonseca, 2005).
Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga digunakan.
PASGsdan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya digunakan untuk
meningkatkantekanan darah pada kasus hipotensi yang parah, memberikan keadaan yang
merugikan padabeberapa situasi karena menyebabkan luka vaskular.Sebagai spesialis bedah
mulut dan maksilofasial, kita mengetahui adanya suplaivaskular yang banyak ke daerah muka
dan leher. Aspek negatif dari suplai darah tersebutadalah hemoragi mayor dapat disebabkan
oleh luka pada kulit kepala yang besar, fraktur nasalatau tengah wajah, dan luka tembus pada
leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkankehilangan darah dalam jumlah besar pada
waktu yang singkat karena perembesan darahpada galea dan lapisan jaringan ikat yang
renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepatdiatasi dengan dijahit menggunakan 2.0
nonresobable atau staples tanpa memperhatikankosmetik pasien. Tekanan langsung
kemudian dapat dilakukan pada luka untuk mengontrolhemoragi dan meminimalkan
pembentukan hematoma. Ketika pasien sudah stabil, jahitandapat dilepaskan dari luka dan
penutupan lapisan luka secara kosmetik dapat dilakukan (Fonseca, 2005).
Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu
dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe cairan yang digunakan
adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk ekspansi volume plasma, dan
merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan Cardiac Output dan volume O2. Namun
koloid efek udema parunya kurang dan harga cairan ini mahal.
Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti cairan yang
hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah mengembalikan volume
intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang adekuat, serta penggantian cairan yang
hilang dilakukan melalui pipa lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula
usus,respirasi dsb.Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut:
3. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl 0,9% atau
RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30–60 menit, udema parudiperhatikan.
Pada orang dewasa 2–3 liter RL selama 20–30 menit untuk memulihkan tekanandarah,
tekananvena sentral, dan diuresis.
4. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen plasma (FFP)
tiap 5 unit darah.
Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat diberikan
1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30–60 menit, dan memonitor tanda vital, kemudian pengecekan
elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya.
Salah satu fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan menuju saluran
cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi makanan
melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia, infeksi, deformitas congenital, dan
injuri(trauma). Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan
ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut
sementara waktu.Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian
perubahan hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya
tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas
usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot.Oleh karena itu pasien dengan
trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap di rumah sakit.
Penentuan status gizi penderita penting untuk jumlah lama dan komposisi yang harus
diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan apakah termasuk malnutrisi ringan, sedang
atau berat.Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik adalah
sama dengan pemakaian energi total (Total Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan
basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama
proses asimilasi nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik.Kebutuhan kalori basal
didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan Harris-Benedict.Nutrisi
parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara pemberian dapat
melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral (nutrisi parenteral
total).Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap penderita yang akibat penyakitnya
membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup
makan, tidak bisa makan dan tidak boleh makan.Tujuan pemberian nutrisi parenteral ini
adalah untuk mempertahankan volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan
cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, dan menyediakan
intake bagi kebutuhan metabolisme secara parenteral.
BAB IV
KESIMPULAN
Trauma oromaksilo fasial dapat menyebabkan kematian jika dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang banyak.Sebelum melakukan perawatan fraktur
perlu diperhatikan keadaan darurat medik yang harus ditangani lebih dulu.Untuk penderita
dengan trauma oromaksilofasial perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran
pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa
penderita (Basoeseno dan Purwanto, 1996).
Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut,
hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur
nasalis, fraktur maksila).Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik.
Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-
trauma ada syok. Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat
membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat.
Perawatan pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan terapi nutrisi yang
benar.Pengukuran kebutuhan nutrisi pasien trauma bergantung dari rumus yang didasarkan oleh
berbagai faktor yang mempengaruhi, dimana untuk menentukan jenis nutrisi yang akan
diberikan kepada pasien tersebut diperlukan kerjasama dengan ahli gizi sehingga benar benar
sesuai dengan kebutuhan gizi yang telah ditentukan sebelumya.Pemberian nutrisi untuk pasien
rawat inap dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu peroral, enteral dan parenteral. Pemberian
nutrisi yang adekuat akan membantu proses penyembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Andry Hartono,dr, Sp.GK,2006,Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi kedua; EGC,IKAPI.
Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman Penatalaksanaan
Praktis. Edisi Revisi.
Fonseca, R.J. Robert. V.W. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma 2nd ed. Vol 1, W.B.
Saunders Company. Philadelphia.
Fonseca, R.J., dkk. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma3rd ed. Vol 1, W.B. Saunders
Company. Philadelphia.
Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B. Saunders
Company, Philadelphia, Co.
Hupp, J.R., Ellis III, E., Tucker, M.R. 2008. Contamporary Oral and Maxillofacial Surgery.
5th ed. Mosby Elsevier. St. Louis.
Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2nd ed BMJ Publishing Group,
London.
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg. Purwanto, drg.
Basoeseno, EGC. Jakarta.
Roesli, Ruly,dkk, 1997,Dasar-dasar Terapi Nutrisi Parenteral pada Dewasa dan Anak;
Kelompok Studi Terapi Cairan, Enteral, dan Parenteral, Bandung.
Schultz, 1988. Facial Injuries. 3th ed. Year book medical publisher. London.