pemilihan kode dalam tuturan lisan oleh siswa di...
TRANSCRIPT
PEMILIHAN KODE DALAM TUTURAN LISAN OLEH
SISWA DI SMA AL-HUDA JAKARTA BARAT
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
NURFI LAELI AZ ZAHRA
1111013000008
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PEMILIHAN KODE DALAM TUTURAN LISAN OLEH SISWA DI SMA
AL-HUDA JAKARTA BARAT
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Nurfi Laeli Az Zahra
1111013000008
Dibawah Bimbingan
Dr. Nuryani, M.A.
NIP.19820628 200912 2 003
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
NurfiLaeliAz Zahra, NIM: 1111013000008. “Pemilihan Kode Dalam Tuturan
Lisan Oleh Siswa di SMA Al-Huda Jakarta Barat”. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Pembimbing: Dr. Nuryani, M.A.
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari adanya
proses komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan pada
kalangan siswa jaman sekarang yaitu adanya modifikasi gaya bahasa. Modifikasi
gaya bahasa yang disebut juga dengan bahasa slang merupakan variasi ujaran
yang bercirikan dengan kosakata yang baru ditemukan dan cepat berubah yang
dipakai kaum muda dan kelompok sosial untuk berkomunikasi. Permasalahan
yang diteliti adalah bagaimana bentuk-bentuk kode dalam tuturan lisan oleh siswa
di SMA Al-Huda Jakarta Barat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
pemilihan kode dalam tuturan lisan oleh siswa di SMA Al-Huda Jakarta Barat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif dengan tinjauan etnografi yaitu metode yang digunakan sebagai acuan
dasar untuk memberikan struktur konteks, metode ini mengamati bahwa bahasa,
makna, serta pemakainya, struktur, serta norma-norma sosiokultural dalam
pemakaian bahasa.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pada kegiatan belajar mengajar dan
kegiatan diluar kelas menggunakan pemilihan kode dan gaya bahasa yang
berbeda-beda, terlihat ketika mereka berkomunikasi dengan guru dengan adanya
rasa sopan, berbeda halnya berkomunikasi dengan teman. Adanya perbedaan
menunjukan pemilihan kode dalam berkomunikasi sudah cukup baik, namun
masih ada beberapa anak yang menggunakan kata kasar terhadap mitratutur. Hal
tersebut merupakan salah satu penanda bahwa mereka menggunakan pemilihan
kode sesuai dengan siapa mereka bertutur dan dimana lokasi mereka bertutur.
Kata kunci : modifikasi, gaya bahasa, pemilihan kode, etnografi, tuturan lisan.
ii
ABSTRACT
Laeli Nurfi Az Zahra, NIM: 1111013000008. “The election code in the speech
is Spoken By students at the Al-Huda High School West Jakarta”. The
Department of education of language and literature faculty of Tarbiyah
Indonesia and teacher training, University Islamic State Jakarta, 2017.
Supervisor: Dr. Nuryani, M.A.
Language use in everyday life is inseparable from the existence of the
communication process. One of the frequently used forms of communication
among students today, namely the existence of a modified style of language.
Modify the style of the language also with language slang variation of speech
characterized by vocabulary with newly discovered and quickly changing
wornyoung people and social groups to communicate. The issues examined was
how the Forms code in speech is spoken by students at the Al-Huda high school
West Jakarta. This study aims to describe the election code in the speech is
spoken by students at the Al-Huda high school West Jakarta. Research methods
used in this research is descriptive qualitative method with preview ethnographic
method that is used as a reference basis for giving the structure the context of this
method, observed that the language, meaning, and structure of the wearer, as well
as the norms of language usage in sosiokultural.
Based on the results of the research, that on the teaching and learning activities
and activities outside the classroom use of the election code and different
language style, visible when they communicate with the teacher that looks
different is the case with courteous, communicate with friends. This showed the
election code in communicating is already quite good, but there are still some
children who used harsh words against the partner said. It is one of the markers
that they use appropriate code selection with whom they speak and where they
speak.
Keywords: style modification, election code, ethnography, oral speech.
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dankarunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat
beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya hingga kepada umat hingga akhir
zaman. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pada program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Judul yang penulis ajukan
adalah“Pemilihan Kode Dalam Tuturan Lisan Oleh Siswa di SMA Al-Huda
Jakarta Barat”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
,bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A,. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam NegeriS yarif Hidayatullah Jakarta.
3. Toto Edidarmo, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Nuryani, M.A, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
mencurahkan perhatian, bimbingan, doa dan nasehat yang sangat berarti bagi
penulis.
5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan
mengajarkan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
6. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Joko Sulistiyono dan Ibu Karsiti yang
telah mendidik, memperjuangkan dan mencurahkan kasih sayangnya
terhadap penulis.
iv
7. Suami yang penulis cintai Tri Bambang Pamungkas yang telah mendukung
dan mendoakan di saat penulis mengerjakan skripsi ini.
8. Sahabat yang penulis cintai Ana Pratiwi Putri, Devi Ramadhani, Siti
Nurpadillah, Syahid Maulana yang telah mendukung dan mendoakan dengan
cinta disaat penulis mengerjakan skripsi ini.
9. Sahabat seperjuangan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A
angkatan 2011.
10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas
dukungan dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.
Wassalamualaikum wr. wb
Jakarta, 27 Desember2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4
C. Batasan Masalah................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sosiolinguistik ....................................................................................... 6
B. Pemilihan Kode ..................................................................................... 11
C. Variasi Bahasa ....................................................................................... 16
D. Bahasa Slang dan Prokem ..................................................................... 20
E. Tuturan Lisan ......................................................................................... 25
F. Penelitian yang Relevan ......................................................................... 27
vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................... 31
B. Subjek Penelitian .................................................................................. 31
C. Metode Penelitian................................................................................. 31
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 33
E. Metode Analisis Data ........................................................................... 35
F. Instrumen Analisis ............................................................................... 36
BAB IV PEMBAHASAN
A. Sejarah SMA Al-Huda Jakarta ............................................................. 39
1. Profil Sekolah ................................................................................. 39
2. Tujuan Sekolah............................................................................... 40
3. Visi ................................................................................................. 40
4. Misi ................................................................................................ 40
5. Program Pembiasaan ...................................................................... 40
6. Kegiatan Ekstrakulikuler ................................................................ 41
7. Fasilitas .......................................................................................... 41
B. Hasil Analisis ....................................................................................... 42
1. Rekaman ......................................................................................... 42
a. Rekaman 1.1 ............................................................................. 42
b. Rekaman 1.2 ............................................................................. 60
c. Rekaman 1.3 ............................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 101
B. Saran ................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 103
UJI REFERENSI
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gaya bahasa saat ini sungguh memperhatikan, pemakaian bahasa
Indonesia yang baik dan benar semakin menurun di kalangan pelajar. Padahal
menggunakan bahasa Indonesia merupakan wujud dari kecintaan terhadap
tanah air Indonesia. Idealnya, bangsa Indonesia dari segala generasi harus
mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan
maupun tulisan.
Mengingat semakin berkembangnya arus komunikasi, banyak
ditemukan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia, seperti
munculnya bahasa slang, bahasa komunikasi kelompok bermain atau bahasa
prokem, dan bahasa SMS. fenomena remaja sekarang ini, biasanya saat
mereka berkomunikasi dengan teman sebayanya cenderung menggunakan
bahasa slang di setiap pemilihan kode dalam tuturan dan tidak memperhatikan
keadaan dengan siapa dan dimana mereka menggunakan bahasa tersebut.
Banyak kalangan pelajar lebih senang menggunakan bahasa slang dari
pada bahasa Indonesia. Fenomena seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi,
karena hal ini dapat merusak kebakuan dan merancukan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia harus tetap berkembang, seharusnya malu jika tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, karena kita pemiliknya.
Fenomena ini sering dijumpai dalam pergaulan sehari-hari, contohnya di
sekolah, saat jam pelajaran kita menggunakan bahasa Indonesia, tetapi saat
kembali bercengkrama dengan teman–teman, kita lupa akan bahasa Indonesia.
Contohnya perkataan berikut “kita cus ke kantin kuy, udah laper nih tapi mau
beli makanan yang murah jangan yang mehong, soalnya dompet lagi sekarat”
dengan arti yang dimaksud yaitu “kita pergi ke kantin yuk, udah laper nih tapi
mau beli makan yang murah jangan yang mahal, soalnya lagi gak ada uang
banyak”.
2
Saat ini bahasa kaum remaja menggunakan bahasa sehari-hari, tetapi
kosakatanya sudah dimodifikasi, misal hurufnya dibolak-balik atau kata-
katanya cukup disingkat dan masih banyak cara mereka memodifikasinya.
Dari bahasa yang digunakannya ini ada sejumlah kosakata yang dapat kita
pahami tetapi ada juga sebagian kosakata yang tidak dipahami, hal ini bisa
membingungkan masyarakat ketika sedang berkomunikasi atau sebagai
pendengar yang sama sekali tidak mengetahui dan tidak memahami sedikitpun
bahasa khas remaja, hal ini menunjukan bahwa terdapat variasi bahasa yang
cukup sering digunakan, hal tersebut dapat merusak bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Sekarang ini muncul lah modifikasi gaya bahasa atau variasi bahasa,
bahasa slang dapat dikatakan fenomenal karena cukup menyita perhatian,
munculnya bahasa slang ini tampak jelas pada bahasa lisan yang sering
digunakan oleh masyarakat, khususnya di kalangan remaja karena bahasa
slang ini dianggap sebagai sebuah kreativitas pada kosakata, biasanya jika
tidak menggunakan bahasa tersebut mereka akan dikatakan ketinggalan
zaman.
Bahasa slang memang tidak pernah tetap, sesuai dengan remaja yang
masih berperilaku labil, perubahan bahasa slang tidak dapat diramalkan kapan
akan bergantinya dengan bahasa slang yang lain dan terbaru. Biasanya jika
kita tanyakan bahasa apa yang digunakan oleh remaja itu mereka tentunya
akan menjawab bahasa anak gaul yang tidak lain adalah bahasa prokem.
Kebanyakan dari mereka yang menggunakan pemilihan kode dengan bahasa
slang tidak begitu mengerti dan memahami pentingnya berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, walaupun itu dalam lingkup sekolah yang basisnya
untuk mendidik para siswa yang nantinya menjadi penerus bangsa.
Dengan adanya sarana komunikasi HP juga telah merusak bahasa
Indonesia. Salah satu fasilitasnya, yaitu SMS (Short Message Service) dengan
segala bentuk singkatannya untuk memperingan biaya. Contohnya, “Ass. Lg
ap? Aq lg bc buku, u bsk jgn maen k rmh aq y, coz ortu lg ada d rmh. Gmn klo
kita ktmu d t4 biasa jm 4an” dengan arti yang dimaksud yaitu
3
“Assalamualaikum. Lagi apa? Aku lagi baca buku, kamu besok jangan main
ke rumah aku ya, soalnya orangtua lagi ada di rumah. Gimana kalau kita
ketemu di tempat biasa jam empat”. Selain fasilitas SMS, kini juga ada
fasilitas BBM (Black Berry Messeger) dan Whatsapp yang sedikit banyak
menyumbang kerusakan bahasa Indonesia, meskipun dalam penggunaan
fasilitas ini kita tidak dipungut biaya karena sudah termasuk dalam pulsa
internet.
Dari sini timbul permasalahan, karena bahasa Indonesia adalah bahasa
yang hidup dan mempunyai sebuah aturan yang baku dalam penggunaannya,
namun dari praktiknya sering terjadi penyimpangan dari aturan yang baku
tersebut. Hal ini terjadi salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan.
Faktor ini mengakibatkan daerah yang satu berdialek berbeda dengan dialek di
daerah yang lain.
Jika tidak ditanggulangi, hal ini akan menimbulkan kerancuan pada
bahasa Indonesia, dalam dunia pendidikan menggunakan bahasa yang baik
dan benar adalah hal yang terpenting. Berbicara merupakan salah satu alat
komunikasi paling efektif. Hal tersebut mendorong orang untuk belajar
berbicara dan membuktikan bahwa berbicara akan lebih efektif dibandingkan
dengan bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Maka bagi siswa bicara tidak
sekedar prestasi akan tetapi juga berfungsi untuk mencapai tujuannya.
Seseorang yang memiliki kemampuan berbicara akan lebih mudah
dalam menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain, keberhasilan
menggunakan ide itu sehingga dapat diterima oleh orang yang mendengarkan
atau diajak berbicara. Begitu juga pada kemampuan menulis, pemakaian
singkatan di dalam menggunakan SMS kerap kali membuat siswa menjadi
terbawa arus dalam menuliskan kata-kata baku, seperti menulis surat, catatan
dan sebagainya. Terkadang pemakaian kata yang tak baku pada layanan SMS
seringkali menimbulkan keraguan atau makna ganda bagi si penerima, tak
heran pesan yang di kirim lewat SMS bisa menghasilkan arti yang berbeda
dari yang kita maksudkan.
4
Bahasa slang sebagai salah satu variasi bahasa yang digunakan di
kalangan remaja dan merupakan bahasa yang sangat unik dan has sehingga
menarik untuk diteliti dan dicermati. Oleh karena itu, untuk mengetahui
pemilihan kode tutur lisan dalam berkomunikasi dengan objek yang
digunakan pada siswa di sekolah Al-Huda, penulis akan melakukan
pengamatan dengan judul “Pemilihan Kode dalam Tuturan Lisan oleh
Siswa di SMA Al-Huda Jakarta Barat”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka, identifikasi
masalah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran siswa SMA Al-Huda dalam menggunakan
pemilihan kode tuturan lisan yang tepat pada saat berkomunikasi.
2. Munculnya gaya bahasa baru yang telah dimodifikasi oleh siswa SMA Al-
Huda pada saat berkomunikasi dengan lawan tutur.
3. Terdapat beberapa faktor yang menentukan pemilihan kode tuturan lisan
yang dilakukan oleh siswa di SMA Al-Huda.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis hanya membatasi
permasalahan pada pemilihan kode dalam tuturan lisan oleh siswa SMA Al-
Huda Jakarta Barat.
D. Rumusan Masalah
Dengan melihat batasan masalah di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana bentuk-bentuk kode dalam tuturan lisan siswa SMA Al-
Huda Jakarta Barat?
5
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
Mendeskripsikan pemilihan kode dalam tuturan lisan oleh siswa di
SMA Al-Huda Jakarta Barat.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua manfaat yaitu manfaat
praktis dan manfaat teoretis sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat praktis
a. Manfaat bagi peneliti
Sebagai uji coba dan menerapkan pengetahuan tentang
pemilihan kode dalam tuturan lisan untuk meneliti lebih lanjut.
b. Manfaat bagi guru
Untuk menambah informasi tentang pemahaman pemilihan kode
dalam tuturan lisan pada siswa yang terjadi di sekolah agar
dapat diterapkan bagaimana penggunaan pemilihan kode yang
benar.
2. Manfaat teoretis
Penelitian yang dilakukam ini diharapkan dapat bermanfaat dan
menjadi salah satu sumbangan untuk kemajuan dan perkembangan
ilmu bahasa, yakni bidang sosiolinguistik, khususnya mengenai
pemilihan kode tutur. Dengan adanya penelitian yang menunjang
konsep pemilihan kode tutur, ilmu sosiolinguistik ini dapat
berkembang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah
satu tambahan sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya yang
berhubungan kajian mengenai pemilihan bahasa.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Sosiolinguistik
Bahasa memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia yang tidak
perlu diragukan lagi. Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Tetapi bahasa juga diperlukan untuk menjalankan segala aktivitas hidup
manusia. Bahasa mungkin bukan satu-satunya alat komunikasi manusia, selain
juga terkenal isyarat, aneka simbol, kode, bunyi, semua itu akan bermakna setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Berbicara bahasa sebagai alat
komunikasi akan terkait erat dengan sosiolinguistik, yaitu cabang ilmu bahasa
yang mempelajari pemakaian bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan
kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi di dalam masyarakat.1
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan
suatu alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan
pandangan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem
lambang, berupa bunyi, bersifat arbiter, produktif dinamis, dan beragam.
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta merupakan dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan
yang dimaksud pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi
dalam situasi kongkret. Dengan demikian, dalam sosiolinguistik, bahasa tidak
dilihat secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi didalam
masyarakat. Di dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang individu yang
terpisah, tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena, itu bahasa dan
pemakainya tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan
kegiatnnya di dalam masyarakat atau dipandang secara sosial.2
Berdasarkan teori di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara
1I Dewa Putu Wijana, dan Muhammad Rohmadi. Sosiolinguistik, Kajian Teori dan
Analisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 2 2Aslinda, dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2007), h. 6
7
bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual
terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang
alami.
Sosiolingustik dapat didefinisikan sebagai kajian tentang bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat, sosiolinguistik ilmu yang interdisipliner yang
menunjukan bahwa ia terdiri atas bidang sosiologi dan linguistik. Dalam
sosiolinguistik kata sosio adalah aspek utama dalam penelitian dan merupakan ciri
umum bidang ilmu tersebut. Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab
bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya berkembang dalam
suatu masyarakat tertentu.3
Pada kutipan yang ada, maka disimpulkan bahwa sosiolinguistik
merupakan kajian mengenai bahasa dan masyarakat, karena bahasa berfungsi di
tengah mayarakat.
Sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan
bahasa dalam aspek segi sosial tertentu, bahwa yang dipersoalkan dalam
sosiolinguistik adalah, who speak, what language, to whom, when, and to what
end. Pengetahuan sosiolinguitik dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa
yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu.4
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis simpulkan sosiolinguistik
memberikan pengetahuan dalam kemampuan masyarakat menggunakan aturan-
aturan bahasa dalam situasi yang bervariasi. Selain itu sosiologi juga memberikan
pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek segi sosial
tertentu, dan dapat juga dimanfaatkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Linguistik teoretis memandang bahwa variasi bahasa yang ada, baik yang
berstatus parole, menurut konsepsi de Saussure, etic menurut konsepsi Pike, dan
performance menurut konsepsi Chomsky dipandang sebagai perwujudan dari
language, emic, dan competence yang sama. Unsur-unsur itu bervariasi karena
3 Fathur Rokhman, SosiolinguistikSuatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam
Masyarakat Kultural, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 1-3 4Ibid, h., 4-6
8
memasuki konteks yang berbeda-beda dalam sistem bahasa yang
bersangkutan.Variasi bahasa yang bersangkutan itu tidak hanya ditemukan dalam
tataran fonologi, tetapi juga didalam tataran di atasnya. Dalam tataran morfologi,
alomorf-alomorf juga merupakan variasi bahasa yang berkonteks lingual.5
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Wijana I Dewa Putu, dapat
disimpulkan bahwa pada variasi bahasa dalam linguistik teoretis memiliki unsur-
unsur language, emic, dan competence yang sama, hal ini mengemukakan bahwa
unsur-unsur itu bervariasi karena memasuki konteks yang berbeda dalam sistem
bahasa yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan masyarakat, kajian bahasa dapat dikaitkan
dengan ilmu sosiologi, sehingga menghasilkan gabungan ilmu sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara ilmu
sosiologi dan linguistik. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat, sedangkan
kajian linguistik adalah bahasa. Oleh karena itu, ilmu yang menggarap masalah-
masalah kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan
kultural dinamakan sosiolinguistik.6
Pada kutipan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah
bidang ilmu yang mempelajari dan membahas aspek-aspek kebahasaan baik ciri
maupun variasinya serta hubungannya dalam masyarakat.
Bahasa adalah gejala yang sangat berubah-ubah dan bahwa hubungan sifat
berubah-ubah ini dengan masyarakat mungkin sama banyaknya dengan
hubungannya dengan bahasa. Bahasa bukanlah kode yang sederhana dan tunggal
yang digunakan dengan cara yang sama oleh semua orang dalam semua situasi.7
Bahasa mempunyai sifat yang tak menentu, karena pada setiap periode
terlahir kosakata-kosakata baru yang mewarnai bahasa, selain itu bahasa juga
dapat berubah-ubah sesui dengan situasional yang ada, misalkan dalam keadaan
formal maupun non formal penggunaan bahasa haruslah sesuai.
5I Dewa Putu Wijana, dan Muhammad Rohmadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.
8 6Ibid., h. 9
7Peter Trudgill, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar, (England: Clays Ltd, 1995), h. 36
9
Bahasa mempunyai dimensi kemasyarakatan yang telah disadari oleh para
ahli bahwa dimensi kemasyarakatan ini memberikan makna kepada bahasa, dan
dimensi kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan
hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan
penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan
tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan bahasa. Dalam kajian
sosiolinguistik, bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat, boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik membahas aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat
dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).8
Sebagaimana yang dikutip oleh Nababan P.W.J maka, disimpulkan bahwa
adanya dimensi kemasyarakatan menimbulkan ragam-ragam bahasa yang
berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan penuturnya
dalam penggunaan bahasa, terdapat pula variasi bahasa yang berkaitan dengan
faktor kemasyarakatan (sosial), dan dalam pengertian masyarakat terdapat aspek
yang mendasar yaitu dengan adanya anggota kelompok masyarakat yang hidup
secara berkelompok, dan adanya anggota kelompok masyarakat yang hidup
bersama dengan adanya sebuah hokum dan adat dari suatu kebiasaan dalam
berbahasa.
Bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain dapat
dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal, bahasa dikaji berdasarkan
struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, dan
sintaksis.Kajian semacam ini dapat dilakukan dalam disiplin linguistik tanpa
melibatkan faktor-faktor di luar bahasa.Berbeda dengan kajian internal, kajian
bahasa secara eksternal turut melibatkan faktor-faktor lain yang berada di luar
bahasa dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa oleh penutur dalam kelompok
sosial masyarakat.9
Jika dipahami maka, alat komunikasi dan alat interaksi dapat dikaji secara
internal dan eksternal. Kajian internal yaitu hanya meliputi struktur intern bahasa
8 P.W.J Nababan, Sosiolinguistik suatu pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia 1984), h. 1
9Abdul Chaer, dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta 2004), h. 1
10
saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, dan struktur
sintaksisnya, kajian intern ini tidak ada kaitannya dengan masalah di luar bahasa,
sedangkan kajian eksternal berarti kajian itu ada kaitannya dengan factor-faktor
yang berada di luar bahasa. Seperti pemakaian bahasa oleh para penutur di dalam
kelompok sosial kemasyarakatan.
Masalah-masalah sosiolinguistik yang berkaitan dengan bahasa dan
masyarakat cukup luas, dalam konferensi sosiolinguistik pertama di University of
California, Los Angles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi
dalam penelitian sosiolinguistik. Tujuh dimensi yang dirusmuskan tersebut yaitu:
(1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat
dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4)
analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi
dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Terdapat dua manfaat kajian sosiolinguistik. Pertama, kajian sosiolinguistik
bermanfaat dalam memberikan pengetahuan bagaimana cara memakai bahasa.
Manfaat ini sejalan dengan yang dirumuskan oleh Fishman mengenai
sosiolinguistik, yakni “ who speak, what language, to whom, when, and to what
end”. Pengetahuan bahasa yang dimiliki seseorang dapat dimanfaatkan dalam
berkomunikasi atau berinteraksi.10
Berdasarkan tujuh dimensi yang dirumuskan dalam konferensi
menyatakan, bahwa masalah-masalah sosiolinguistik yang meliputi a) identitas
sosial dari penutur, jadi maksud dari dimensi tersebut yaitu identitas penutur ang
dapat berupa anggota keluarga, teman, guru, murid, tetangga, identitas penutur
dapat mempengaruhi pilihan kode tutur. b) identitas sosial dari pendengar yaitu,
harus dilihat dari pihak penutur, maka identitas pendengar dapat berupa keluarga,
guru, murid. c) lingkungan sosial yaitu tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa
ruang keluarga, di kelas, di kantor, di halte, tempat peristiwa tutur terjadi dapat
mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. d) analisis sinkronik dan
diakronik biasanya digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan
10
Ibid., h. 5
11
mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat. e) penilaian
sosial, yaitu setiap penutur mempunyai kelas sosial, maka berdasarkan kelas sosial
itu mempunyai penilaian tersendiri terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang
berlangsung. f) tingkah variasi atau linguistik, yaitu adanya variasi pada bahasa
dan di dalam variasi itu dihasilkan dari dialek, varietas, dan ragam yang
mempunyai fungsi sosialnya masing-masing. g) dimensi terakhir, merupakan
topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi
masalah-masalah praktis dalam masyarakat, misalnya masalah pengajaran bahasa,
pembakuan bahasa, penerjemahan dan sebagainya.
Sosiolinguistik memberikan pemahaman dengan menunjukan bahasa,
ragam bahasa, gaya bahasa apa yang harus dipakai ketika berbicara dengan orang
tertentu. Kedua, sosiolinguistik bermanfaat dalam pengajaran bahasa. Pengajaran
bahasa yang memanfaatkan buku-buku hasil kajian deskriptif dapat menimbulkan
kesulitan dalam mengajarkan ragam bahasa baku karena dalam buku tersebut juga
terdapat contoh-contoh ragam tidak baku. Dengan bantuan sosiolinguistik, para
pengajar dapat menjelaskan bahwa dalam berbahasa terdapat ragam baku dan
tidak baku.11
Dari penjelasan di atas, bahwa sosiolinguistik memberikan pemahaman
etika dalam berkomunikasi yang benar, dan dalam ilmu sosiolinguistik kita bisa
tahu contoh-contok ragam bahasa baku dan tidak baku.
B. Pemilihan Kode
Pemilihan kode tutur (speech code choice) bisa disamakan dengan
pemilihan bahasa (language choice). Pemakaian istilah “kode tutur” dilakukan
agar dapat istilah netraluntuk merujuk pada kode yang berupa bahasa, dialek, atau
ragam. Hal iu dilakukan mengingat kode-kode tutur yang diteliti dalam penelitian
ini belum dibuktikan secara ilmiah sebagai bahasa yang berbeda. Kajian
sosiolinguistik ada karena adanya pemilihan dalam pemakaian bahasa. Pemilihan
11
Ibid., h. 6
12
kode tutur berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat yang diteliti merupakan
masyarakat bilingual atau multilingual.12
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan kode
tutur meneliti masyarakat bilingual dan multilingual yang merujuk pada bahasa,
dialek, dan ragam.
Pemilihan kode tutur ini dapat dipandang sebagai perilaku kehidupan
soasial, dalam hal ini adalah perilaku berbahasa. Pemilihan kode tutur (speech
code choice) atau yang dikenal dengan pemilihan bahasa (language choice)
muncul pada situasi diglosia yang memungkinkan masyarakat menjadi
dwibahasawan, baik secara aktif maupun pasif. Kondisi ini mendukung
masyarakat secara umum atau seorang penutur secara khusus mempunyai
repertoar lebih dari satu kode tutur, sehingga dalam berkomunikasi dengan orang
lain, ia akan melakukan pemilihan kode tutur terutama pada mitra tutur yang
berbeda pada bahasa pertamanya.13
Berdasarkan pemahaman yang ada, perlu diperhatikan terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi pemilihan kode yaitu, situasi, kepada siapa kita
berkomunikasi, dan usia,
Mengungkapkan munculnya pemilihan kode tutur berkaitan dengan
kondisi kebahasaan yang diglosik yang memungkinkan masyarakat menjadi
dwibahasawan (bilingual) atau aneka bahasawan (multilingual). Seorang penutur
mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur yang ketika berkomunikasi dengan
orang lain, ia akan melakukan pemilihan kode tutur yang sesuai. Pada situasi ini
seorang penutur dapat melakukan alih kode sesuai dengan situasi saat peristiwa
tutur berlangsung.14
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fashold dapat dilakukan
berdasarkan tiga disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi,
pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Pendekatan sosiologi,
12
Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sosiolinguistics, (New York: Basil Blackwell,
1998), h. 59 13
Sumarsono, dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.
201 14
Ibid., h. 202
13
seperti yang yang telah dilakukan Fishman melihat adanya konteks institusional
tertentu yang disebut domain, di mana satu variasi bahasa cenderung lebih tepat
untuk digunakan daripada variasi lain. Domain dipandang sebagai konstelasi
faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan; seperti keluarga, tetangga,
teman, transaksi, pemerintahan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.15
Dari kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa
ditentukan berdasarkan dengan siapa kita berkomunikasi, waktu, dan tempat tutur.
Dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah apa yang disebut peristiwa
tutur, yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Dell
Hymes bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila
huruf-huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan
komponen itu adalah:
S = Setting and scene
P = Participants
E = Ends : puspose and goal
A = Act sequence
K = Key : tone spirit of act
I = Instrumentalities
N = Norms of interaction and interpretation
G = Genres
1. Seting and scene
Disini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi
psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, san situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
15
Ibid., h. 153
14
Contoh: ketika terdapat seorang anak yang sedang berbicara kepada
temannya di lapangan pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam
keadaan situasi yang ramai, hal ini tentu berbeda dengan pembicaraan
sorang anak yang terdapat di ruang perpustakaan pada waktu banyak
orang membaca dalam keadaan sunyi.
2. Participants
Adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai
pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib
sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar
peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahsa yang
digunakan.
Contoh: seorang anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda
ketika berbicara kepada orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan
kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.
3. Ends
Merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi diruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu
kasus perkara, namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu
mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan
si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak
bersalah, sedangkan hakim memberikan keputusan yang adil.
Contoh: dalam peristiwa tutur di ruang kuliah, ibu dosen yang cantik
itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami
mahasiswanya, namum, barangkali di antara para mahasiswa tersebut
ada yang datang hanya untuk memandang wajah bu dosen yang
cantik.
15
4. Act sequence
Mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana
penggunaannya, dan hubungan antra apa yang dikatakan dengan topik
pembicaraan.
Contoh: bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa,
dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang
dibicarakan.
5. Key
Mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan.
Contoh: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.Hal ini dapat juga
ditunjukan dengan gerak tubuh dan isyarat.
6. Instrumentalities
Mengacu pada jalur bahasa yang digunakan.
Contoh: seperti lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan,
seperti bahasa, dialek, ragam, atau register.
7. Norm of interaction interpretation
Mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
Contoh: yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan
sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari
lawan bicara.
8. Genre
Mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
16
Faktor-faktor yang yang memengaruhi pemilihan bahasa, dikatakan bahwa
ketika kita berbicara, kita harus secara konstan melakukan macam-macam
pertimbangan: dengan siapa kita berbicara, bagaimana cara menyampaikannya,
kalimat-kalimat, kata-kata dan intonasi yang seperti apa yang harus dilakukan dan
sebagainya.16
Seperti yang telah dinyatakan oleh Wardough, adanya komponen
SPEAKING maka pada setiap proses komunikasi yang terjadi terdapat beberapa
macam pertimbangan seperti dengan siapa kita berbicara dan bagaimana cara
penyampaiannya, hal ini dilakukan karena adanya faktor kesantunan.
C. Variasi Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Pertama, dari segi
pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis, dalam ragam
lisan unsur-unsur bahasa yang digunakan cenderung sedikit dan sederhana.
Kedua, didasarkan pada tingkat keresmian situasi pemakaiannya, ragam bahasa
dibedakan menjadi ragam resmi (ragam resmi) dan ragam tidak resmi (ragam non
formal).17
Ragam bahasa sebagai suatu piranti untuk menyampaikan makna sosial
yang tidak biasa disampaikan melalui kata-kata dengan makna harfiah.
Variasi dalam penggunaan bahasa seringkali bersifat sistematis, namun
sekalipun bahasa bersifat sistematis, bahasa tetap bisa digunakan secara kreatif
dan inovatif. Penggunaan bahasa juga berbeda-beda tergantung pada situasi, yaitu
apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau informal, siapa yang diajak
bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan kata-kata itu.18
Bahasa yang sistematis atau bisa dikatakan teratur dan logis, ternyata
bahasa juga bahasa juga bisa digunakan secara kreatif dan inovatif yaitu dengan
adanya modifikasi pada kosakata, selain itu bahasa yang kreatif da inovatif
digunakan pada situasi informal atau bahasa yang digunakan pada situasi tidak
16
Achmad HP, dan Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 157 17
Fathur Rokhman. op.cit., h. 14 18
Linda Thomas, dan Shan Waering, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 17
17
resmi, berbeda halnya dengan situasi formal bahasa yang digunakan pada situasi
resmi, ciri dari kedua ragam ini adalah tingkat kebakuan pada bahasa yang
digunakan.
Perbedaan bahasa menghasilkan ragam-ragam bahasa yang disebut dengan
istilah-istilah yang berlainan. Ragam bahasa yang sehubungan dengan daerah atau
lokasi geografis disebut dialek, ragam bahasa yang sehubungan dengan situasi
berbahasa dan tingkat formalitas disebut fungsiolek, dan ragam bahasa yang
dihasilkan oleh perubahan bahasa yang sehubungan dengan perkembangan waktu
dan perbedaan itu masih dianggap ragam dalam suatu bahasa disebut analog
kronolek.19
Menurut P.W.J Nababan, dapat disimpulkan bahwa ragam bahasa adalah
varian dari sebuah bahasa, menurut pemakaiannya yang disebabkan berbagai
faktor yang terdapat didalam masyarakat.
Dapat juga kita membagi variasi dalam bahasa atas dua macam
berdasarkan sumber perbedaan itu, yaitu variasi internal (atau variasi sistemik),
variasai eksternal (variasi ekstra sistemik). Variasi yang berhubungan dengan
faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri kita sebut variasi eksternal. Dari
variasi tersebut yang sehubungan dengan daerah asal penutur, kelompok sosial,
situasi berbahasa, dan zaman penggunaan bahasa itu, adalah teermasuk variasi
eksternal, sebab faktor-faktor “penyebab” atau korelatif itu adalah di luar sistem
bahasa itu sendiri.20
Pembagian pada variasi yang telah dijelaskan bahwa adanya perbedaan-
perbedaan bahasa di setiap daerah, situasi, dan perubahan bahasa yang
sehubungan dengan waktu itu semua yang disebut dengan variasi bahasa.
Menurut Aslinda dan Lenisyafyahya “dalam proses komunikasi yang
sebenarnya, setiap penutur bahasa tidak pernah setia pada satu ragam/dialek
tertentu saja. Karena setiap penutur pasti mempunyai kelompok sosial dan hidup
19
P.W.J Nababan, op.cit., h. 13 20
Ibid., h. 14
18
dalam tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat dipastikan setiap penutur
memiliki dua dialek.”21
Variasi bahasa memiliki pola yang menyerupai pola umum, yaitu pola-
pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalisis secara deskriptif
dan pola-pola yang dibatasi oleh makna. Dapat dikatakan bahwa pada saat
terjadinya proses komunikasi, penutur tidak hanya menggunakan satu ragam
bahasa saja, tetapi setiap penutur mempunyai kelompok sosial tertentu dan hidup
di daerah tertentu, maka dari itu penutur memiliki lebih dari satu ragam bahasa.
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal
tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa.
Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan
kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia
terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai
identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari
kelompok sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati
dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah
seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya
berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa
yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul sebagai akibat
dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan
situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena
kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang
beraneka ragam. Lebih sederhana, mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa
merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat
ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20
% atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai
40%-60%, maka keduanya dua dialek, dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas
keduanya hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.
21
Aslinda, dan Leni Syafyahya, op.cit., h. 17
19
Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa
yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola
yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk
berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu
tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status,
dan pemakaiannya/ragam.22
Dari kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa timbul
karena adanya kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang mereka gunakan
sesui dengan situasi konteks sosial.
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud
dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik dibatasi
oleh sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan
adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih
dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah
secara geografis.
Menurut Pateda Mansoer “variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara
diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah
dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang
menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu”.23
Hal ini disebabkan
oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat pemakai bahasanya.
Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
Penjelasan mengenai variasi dari segi waktu, maka dapat disimpulkan
bahwa secara historis bahasa mengalami perubahan yang disebabkan oleh
perkembangan masyarakat dalam pengunannya, dari tahun ke tahun variasi bahasa
mengalami perubahan pesat, perbuhan tersebut ditandai dengan adanya kosakata-
kosakata baru.
Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah
pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi
bahasa dilihat dari segi penutur dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang
22
Mansoer Pateda, Sosiolinguistik, ( Bandung: Angkasa, 1987), h. 90 23
Ibid., h. 57
20
dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi,
dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol
(peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status
sosial, dan umur.24
Berdasarkan pembagian dari segi penutur di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa variasi bahasa terjadi karena faktor tempat tinggal, hal ini menyebabkan
adanya dialek yang berbeda tetapi masih bisa dipahami oleh pengguna. Selain itu
juga dapat dilihat dari segi situasi yang dipakai oleh pengguna, misalnya dalam
keadaan situasi resmi atau tidak resmi.
D. Bahasa Slang dan Prokem
Dalam masyarakat kita, terutama di kalangan remaja kota terdapat gejala
penggunaan kata-kata pada anak remaja yang khas. “Kata-kata ini adalah kata-
kata slang yaitu kata-kata yang non standar yang informasi dan disusun secara
khas atau dapat juga dikatakan sebagai kata-kata biasa yang diubah secara arbiter
(semaunya) atau kata-kata kiasan yang khas, untuk bertanya atau jenaka yang
dipakai dalam percakapan”.25
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Keraf Groys, perkembangan
bahasa dengn penggunaan kata-kata slang ini bukan merupakan suatu peristiwa
bahasa tetapi sudah menjadi gejala sosial. Karena bahasa ini tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat. Bahasa slang ini tampaknya semakin spontan
dan bebas, bermacam-macam istilah baru dilontarkan dalam berkomunikasi dan
bermain-main.
Sebagai pencetusan identitas diri, bahasa ini tidak dapat bertahan lama,
bahasa slang mengandung dua kekurangan, yaitu pertama hanya sedikit yang
dapat hidup terus, kedua, pada umumnya bahasa slang menimbulkan ketidak
sesuaian, bahasa slang yang satu tumbuh secara popular akan segera hilang dari
pemakaian.26
24
Ibid., h. 58 25
Groys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Nusa Indah, 1981), h. 108 26
Ibid., h. 109
21
Maka penggunaan bahasa slang dalam penyampaian pesan dimaksudkan
agar dapat menciptakan suasana akrab ketika berkomunikasi sehingga bisa
menarik perhatian dan tidak membosankan lawan tutur.
Terdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di dalam
masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang digunakan pada
situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan bahasa baku, bahasa formal.
“Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana
pembicaraan atau komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh
suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum, dan lain-
lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas,
perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain”.27
Dapat disimpulkan bahwa situasi resmi akan memunculkan suasana
penggunaan bahasa resmi juga. Begitu juga dengan situasi tidak resmi, pada
situasi ini kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat
keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi,
penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau
formal. Kaidah dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian.
Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang yang diajak
bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi
remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam
tidak resmi tersebut, selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah
bahasa gaul.
Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa
gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di
lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia
perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk
kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata.
27
Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistics : The Study of Societies’ Language,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 30
22
Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh
tren dan perkembangan zaman. Maka dari itu, setiap generasi akan memiliki ciri
tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini,
bahasalah sebagai representatifnya.
Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara slang, dan
prokem. “Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa
slank, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pemakai
narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang
digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari
campur tangan orang lain”. Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak
resmi.28
Dari penjelasan mengenai fungsi bahasa gaul di atas, menjelaskan bahwa
bahasa slang sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh
setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya bahasa gaul remaja
berkembang seiring dengan perkembangan zaman, maka bahasa gaul dari masa ke
masa berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja digunakan dalam
lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti
bahwa bahasa gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya.
Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa
tersebut.
Slang merupakan bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur asli
dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan antarteman,
atau dalam media seperti teve, film dan besar kemungkinan dalam novel saat
memaparkan suasana sosial tertentu.29
Berdasarkan kutipan mengenai penggunaan dari bahasa slang, maka dapat
disimpulkan bahwa perkembangan bahasa slang pada remaja pesat dan sering
sekali terdapat bahasa baru yang diciptakannya.
Selanjutnya, menyatakan bahwa penggunaan slang adalah memperkaya
kosa kata bahasa dengan mengkomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru.
28
Ibid., h. 31 29
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 15
23
Pemakaian slang dengan kosakata yang sama sekali baru sangat jarang ditemui.
Slang merupakan kawasan kosakata, bukan gramar atau pengucapan.30
Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa slang terdapat
modifikasi pada kosakata.
Bahasa Slang dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai
oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai
usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosakata yang serba baru
dan berubah-ubah31
.
Dari penjelasan di atas mengenai rumusan bahasa slang, maka dapat
disimpulkan bahwa bahasa slang selalu berubah-ubah dan selalu mempunyai
makna baru yang bertujuan rahasia. Setiap periode bahasa semakin beragam
Seperti contoh berikut “ubas” yang berarti „sabu‟ biasanya kosakata ini dipakai
untuk seorang pemakai narkotika pada tahun 1970an, contoh yang seperti itu
merupakan rangkaian kata yang dibalik, selain itu terdapat pula kata “jaim” yang
berarti jaga perilaku, “alay” yang berarti anak layangan namun banyak yang
mengartikan dengan sikap seseorang yang mempunyai gaya terlalu berlebihan,
kosakata seperti itu banyak digunakan pada kaum remaja sekarang ini.
Slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosakata yang baru
ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan
profesional untuk komunikasi di dalamnya.32
Disimpulkan bahwa bahasa slang modifikasi dari kosakata yang ada untuk
menjadikannya kosakata baru. Seperti contoh berikut “kuy” yang berarti „yuk‟,
“tebir” yang berarti „ribet‟, contoh yang seperti itu merupakan rangkaian kata
yang dibalik, selain itu terdapat pula kata “kepo” yang berarti ada rasa ingin tahu,
“lebay” yang berarti sikap seseorang yang terlalu mendramatisir, kosakata seperti
itu banyak digunakan pada kaum remaja sekarang ini.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa
pemendekan kata, penggunaan kata alam diberi arti baru atau kosakata yang serba
30
Ibid., h. 17 31
P.W.J Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, (Cetakan ke-4), (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka, 1993), h. 11 32
Ibid., h. 38
24
baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata
bunyi, kosakata yang lazim diapakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan
ada yang berbeda makna sebenarnya.Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai
bahasa sandi, yaitu bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja
tertentu.33
Hal tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa, slang merupakan variasi
bahasa yang cepat berubah dan kosakatanya berkembang pesat di kalangan
remaja. Biasanya bahasa slang ini digunakan untuk berkomunikasi antar teman.
Sarana komunikasi seperti ini diperlukan oleh kalangan remaja untuk
menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok lain atau agar pihak
lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu
tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya.
Tumbuh kembang bahasa seperti itu selanjutnya disebut sebagai perilaku bahasa
dan bersifat universal. Artinya bahasa-bahasa seperti itu akan ada pada kurun
waktu tertentu (temporal) dan di dunia mamapun sifatnya akan sama (universal).
Bahasa prokem adalah bahasa santai para remaja, yang artinya remaja
cendrung memakai bahasa tersebut dalam peristiwa komunikasi yang santai,
khususnya yang berkaitan dengan topic pembicaraan. Bahasa prokem juga dipakai
para remaja sebagai identitas diri, khususnya oleh remaja kota.34
Sebagaimana yang telah dikutip, maka dapat disimpulkan bahwa hal
tersebut dimaksudkan agar bahasa prokem ini hanya dapat dimengerti oleh para
remaja, dengan demikian mereka dapat berkomunikasi sesame mereka secra
leluasa, tanpa dimengerti oleh orang di luar mereka.
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang
hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu.Pembentukan kata dan maknanya
sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya.Bahasa prokem
berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan
33
Bernard Spolsky, Sociolinguistics, (Cetakan ke-4), (Oxford: Oxford University Press,
2003), h. l 40 34
Dell Hymes, Ethnography, Linguistics, Narrative Inequality, (USA: Taylor & Francis
Inc, 1996), h. 165
25
menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota
kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan
tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai
dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di
kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di
luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain
yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi,
kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah
tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan
berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
E. Tuturan Lisan
Apabila kita berbicara pada percakapan, maka tidak terlepas dari
karakteristik bahasa lisan sebagai medium dalam percakapan. Di dalam interaksi
komunikasi, peranan bahasa lisan itu sangat penting. Ada empat alasan mengapa
lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu faktor kejelasan karena pembicara
menambahkan unsur lain berupa tekanan dan gerak anggota badan agar pendengar
mengerti apa yang dikatakannya, faktor kecepatan, faktor efisiensi.35
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa
lisan merupakan bahasa yang primer bagi linguistik, bahasa yang paling banyak di
pakai pada setiap orang saat ini, seseorang yang berinteraksi pasti akan terjalin
komunikasi satu sama lain, seperti halnya komunikasi yang terjadi pada
kehidupan sehari-hari. Bahasa lisan lebih mudah dan cepat dipahami, dapat secara
langsung apa yang ingin dibicarakan kepada orang yang kita tuju dan lebih efisin
penggunaannya, hal ini terkait karena dalam bahasa lisan sudah mengandung
intonasi, tekanan, mimik, dan gera ktubuh si pembicara.
Dalam pemakaian bahasa lisan, sarana-sarana suprasegmental memberi
sumbangan yang berarti terhadap keberhasilan suatu komunikasi (percakapan).
35
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),
h. 3
26
Sarana suprasegmental itu antara lain gejala intonasi yang berupa aksen, tekanan
kata, tinggi rendahnya nada, dan keras lembutnya suara.36
Dalam bahasa lisan,
meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak begitu lengkap,
kita telah dapat menangkap maknanya dengan melihat intonasi kalimatnya, keras
lembutnya suara, tempo cepat dan lambatnya, serta gerak gerik tangan, mata, dan
anggota tubuh lainnya.37
Dapat disimpulkan bahwa, sarana suprasegmental mempengaruhi jalannya
bahasa lisan, karena pada setiap terjadinya komunkasi penggunaan intonasi,
tekanan, tinggi rendahnya nada, dan keras lembutnya suara membuat lawan tutur
mengerti dan cepat dalam merespon pada topik pembicaraan.
Terdapat beberapa hal yang terdapat pada bahasa lisan yaitu:
1) Bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua, teman yang
berbicara yang berada di depan pembicara.
2) Di dalam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, tidak selalu
di tanyakan, unsure-unsur itu kadang dapat di tinggalkan. Hal ini
disebabkan oleh bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh
gerak, mimik, pandangan, dan intonasi.
3) Bahasa lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu.
4) Bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang
pendeknya suara.38
Dari deskriptif sejumlah pakar bahasa lisan misalnya, Labov, Sinclair dan
Coulthard, Ochs, Cicourel, Goffman, terdapat gambaran karakteristik bahasa lisan
yaitu:
1.) Kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa
tulis karena bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap,
bahkan sering berupa urutan frasa-frasa sederhana, bahasa lisan secara
khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat, dalam percakapan
36
M.A.K Halliday, Spoken and Writen Language, (New York: Oxford University Press,
1990), h. 79 37
Zaenal Arifin, dan Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia, (Jakarta: Akapres,
1995), h. 15 38
Ibid., h. 16
27
lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi dan biasanya
berbentuk kalimat deklaratif aktif.
2.) Dalam bahasa tulis dapat seperangkat penanda meta bahasa untuk
menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika) yang disebut logical
connectors juga seperti di samping itu, biarpun, dan selain itu. Dalam
bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan,
tetapi, lalu serta jika.
3.) Kalimat bahasa tulis secara umum berstruktur S-P, sedangkan dalam
bahasa lisan umumnya berstruktur topik-komentar.
4.) Dalam tuturan informal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang
terjadi.
5.) Dalam obrolan suasana akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk
pandangan untuk membantu suatu acuan.
6.) Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
7.) Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
8.) Penutur sering mengahsilkan sejumlah pengisi (filler) misalnya,
baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, dan juga.39
F. Penelitian yang Relevan
Pada dasarnya bahasa selalu berkembang, tidak hanya statis melainkan
dinamis. Hal ini yaitu bahasa gaul yang menjadi gaya hidup atau life style di
kalangan siswa atau remaja saat ini dalam kehidupan sosialnya. Agar peneliti bisa
berkembang, maka adanya perlu referensi yang tekait mengenai masalah ini
diantaranya.
Studi mengenai “Pemakaian Bahasa Prokem: Studi kasus di SMA 8
Jakarta”40
. Pada studi ini, menunjukan bahwa bahasa prokem telah bertahan dari
tahun 70-an hingga saat ini, banyaknya para remaja menggunakan bahasa prokem
selain itu bahasa prokem ini telah beredar di cerita fiksi seperti dalam Ali Topan,
39
Achmad HP, dan Alek Abdullah, Linguistik Umum, ( Jakarta: Erlangga, 2012), h. 155 40
Erni Catur Westi, “Pemakaian Bahasa Prokem: Studi kasus di SMA 8 Jakarta”, Skripsi,
Depok, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Indonesia, 1991
28
Detektif Partikelir, Teguh Esa dan dalam kumpulan cerpen serial “Lupus”, selain
itu bahasa prokem banyak beredar pula dalam siaran radio-radio swasta yang di
gemari para remaja seperti Prambors dan Mustang. Pemakaian bahasa prokem
para remaja dilakukan dengan menggunakan model etnografi komunikasi yang
dikemukakan oleh Dell Hymes.Dengan menyebarkan daftar pertanyaan
(kuesioner) untuk mengumpulkan data pemakaian bahasa prokem, dalam
penelitian ini penulis mengambil bahasa prokem dari Sembilan kumpulan cerpen
serial “Lupus” karya Hilman Wijaya.
Berdasarkan analisis data banyaknya pelajar yang menggunakan bahasa
prokem terdapat 70% dari 100 responden yang dipilih secara acak, mereka
menggunakan bahasa tersebut saat sedang berkumpul dengan teman-teman yang
lain, banyak yang mereka ketahui arti dari bahasa prokem yang telah disajikan
dari kumpulan cerpen serial “Lupus”. Dari metode yang digunakan dalam
penelitian ini menyimpulkan bahwa pelajar yang menggunakan bahasa perokem
biasanya saat bersama teman-teman ngumpul bareng, teman rumah, serta teman di
sekolah. Selain itu lokasi yang juga menentukan bahasa prokem itu di pakai atau
tidaknya, banyaknya bahasa prokem yang mereka ketahui 60% dari siaran radio
dan televisi, dan 40% dari buku fiksi yang beredar saat ini. Adapun kesamaan
dengan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah adanya penggunaan
bahasa slang pada siswa pada setiap komunikasi yang terjalin di lingkungan
sekolah. Pembedanya adalah pada pengumpulan data yang digunakan, pada
penelitian ini penulis menggunakan metode teknik simak bebas libat cakap lalu
dilanjutkan dengan teknik catat dan rekam di sini penulis melakukan penyadapan
terhadap siswa saat berkomunikasi yang sedang berlangsung pada saat itu, dan
untuk mengetahui hasil dari analisis data penulis menggunakan metode
SPEAKING Dell Hymes, dari metode tersebut terdapat delapan komponen
terjadinya peristiwa tutur. sedangkan penelitian tersebut menggunakan metode
penyebaran kuesioner yang berada di lingkungan sekolah, lalu pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner hanya sebatas kepada siapa bahasa tersebut digunakan,
pemahaman dari bahasa prokem tersebut, bahasa prokem seperti apa yang sering
digunakan.
29
Penelitian sejenis kedua, “Evektifitas Bahasa Slang Dalam Iklan Radio
Terhadap Tinggkat Pengetahuan Khalayak Pendengar”.41
Penelitian ini
membahas tentang proses pembentukan kata gaul yang dipakai di dalam iklan
produk komersial radio, makna atau pesan yang terdapat di dalam iklan yang
memakai bahasa gaul serta pengaruh positif dan negatif dari pemakaian bahasa
gaul pada iklan produk komersial radio adalah berupa dampak posoitif yaitu
menambah perbendaharaan kosakata konsumen seagai pemakai bahas Indonesia
dan menciptakan suasana santai, dekat, dan akrab dalam komunikasi. Dampak
negatif yang ditimbulkan antra lain, konsumen sebagai pemakai bahasa Indonesia
akan lebih menyukai menggunakan bahas gaul dalam setiap situasi dalam
komunikasi, konsumen sebagai pemakai bahas Indonesia secara perlahan akan
melupakan bahas baku yang menjadi dasar untuk dapat berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar.
Metode yang digunakan yaitu eksperimen untuk menyelidiki pengaruh
kondisi, selain itu dalam penelitian si penulis bertujuan untuk mengukur
hubungan sebab akibat pada dua jenis bahasa percakapan dan jenis pesan dalam
iklan terhadap khalayak pendengar.Adapun kesamaan dengan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah adanya penggunaan bahasa slang. Pembedanya
adalah bahasa slang yang digunakan dalam skripsi tersebut melalui iklan di radio,
selain itu metode yang digunakan berupa eksperimen, terdapat dua jenis
ekperimen yaitu eksperimen laboratorium dan eksperimen lapangan dengan
subyek penelitian di ambil 60 siswa, berbeda dengan skripsi ini yang
memfokuskan pada komunikasi yang terjalin antara penutur dan lawan tutur,
sehingga dapat mengetahui tujuan dari pertuturan tersebut dngan menggunakan
delapan komponen dalam metode SPEAKING Dell Hymes.
Penelitian sejenis ketiga adalah, “Fenomena Ragam Bahasa Pergaulan
Mahasiswa FIS UNJ”.42
Penelitian ini membahas ragam bahasa gaul yang dipakai
41
Rossy Hardiningsih Hasan, “Evektifitas Bahasa Slang Dalam Iklan Radio Terhadap
Tinggkat Pengetahuan Khalayak Pendengar”, Skripsi, Depok, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Indonesia, 1992 42
Ivan Solihudin, “Fenomena Ragam Bahasa Pergaulan Mahasiswa FIS UNJ”, Skripsi,
Jakarta, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negri Jakarta, 2012
30
oleh mahasiswa UNJ dalam berinteraksi sosial, penelitian ini fokus terhadap
bagaimana fungsi dan makna dalam menggunakan bahasa pergaulan, dengan
melihat keseharian mahasiswa UNJ dalam kehidupan sosial di lingkungan gedung
FIS dan proses penyebaran di lingkungan mahasiswa FIS UNJ, fungsi dan makna
bahasa pergaulan di artikan oleh mahasiswa berbeda-beda, karena dipengaruhi
oleh kelompok atau golongan tertentu, status sosial tertentu dan lainnya. Sehingga
bahas pergaulan tidak hanya bahasa yang digunakan untuk keseharian saja dalam
berinteraksi, namun ada sesuatu lain didalamnya.
Metode yang digunakan adalah fenomenologi, dalam skripsi tersebut si
peneliti menghimpun data berkenaan dengan pendapat, pendirian sikap, penilaian,
dan pemberian makna sebagai pengalaman dalam kehidupan sosial. Subjek
penelitannya makasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNJ, teknik pengumpulan data
yang digunakan yaitu metode triangulasi data dengan di lanjuti tiga teknik
wawancara, yaitu wawancara terstruktur, wawancara tidak terstruktur, dan
wawancara berkelompok. Adapun kesamaan dengan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah adanya penggunaan bahasa slang serta dokumentasi
penelitian tersebut sebagian dari hasil observasi. Pembedanya adalah pada skripsi
tersebut subjeknya adalah mahasiswa UNJ yang menjadi trend setter di fakultas,
metode yang digunakan yaitu triangulasi data dengan menggunakan teknik
wawancara, sedangkan data yang digunakan yaitu berupa data primer yang
diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder
didapatkan melalui data-data statistic akademik UNJ, berupa Koran, majalah,
internet, dan pustaka.
Berdasarkan referensi-referensi tersebut tersirat suatu pengkajian studi
mengenai bahasa gaul. Dalam penelitian ini yang diangkat oleh penulis yaitu
penelitian yang berfokus pada mendeskripsikan pemilihan kode dalam tuturan
lisan dalam pemggunaan bahasa gaul, dengan melihat banyaknya siswa dan
remaja yang menggunakan bahasa gaul dalam kehidupan sosial di sekolah dan
proses penyebaran di lingkungan kelas. Pemilihan kode bahasa gaul digunakan
oleh siswa berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh tempat tinggal dan golongan
tertentu.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 - Desember 2016.
Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah di SMA Al-Huda Jl. Utama Raya
No. 2, Cengkareng, Jakarta Barat. Dengan jumlah siswa kseluruhan 778 siswa.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua siswa SMA Al-Huda tanpa dibatasi
kelas dan jurusan. Hal ini dilakukan supaya data tuturan dapat diambil pada
semua siswa yang berada di dalam maupun di luar kelas.
C. Metode Penelitian
Peneliti tertarik terhadap fenomena ini, karena melihat siswa di
sekolah SMA Al-huda sebagian besar menggunakan bahasa gaul dalam
berinteraksi sosial. Begitu pun teman-teman peneliti, yang setiap harinya
menggunakan bahasa gaul dalam berinteraksi. Oleh karena itu, peneliti
sebagai “key instrument” (instrument kunci), yaitu sebagai pengumpul data
utama penelitian melakukan “observer as participant”, yang turun langsung
ke lapangan untuk meneliti keberadaan fenomena bahasa gaul di kalangan
siswa, terutama siswa kelas SMA Al-Huda. Menurut Creswell, “peran peneliti
dalam kualitatif adalah sebagai instrument utama dalam mengumpulan data
melakukan observasi partisipasi di lapangan”.1
Pada kasus ini peneliti menggunakan metode etnografi. Etnografi
sendiri adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat suatu
1Jhon W. Creswell. Reasrch Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hal., 152
32
etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, dan
bahasa.2
Metode etnografi digunakan sebagai acuan dasar untuk memberikan
struktur konteks, metode ini mengamati bahwa bahasa, makna serta
pemakaiannya, struktur tuturan atau genrenya serta pilihan-pilihan fungsi
bahasa cenderung diatur norma-norma sosiokultural yang berjalan dan berlaku
dalam kelompok etnis pemakai bahasa itu.3
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Studi etnografi
(ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya
kelompok sosial atau sistem. Etnografi sendiri adalah uraian dan penafsiran
suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut
dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah
sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses etnografi
melibatkan pengamatan terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan
tersebut peneliti terlibat dalam percakapan subjek yang akan diteliti melalui
wawancara terhadap siswa yang menjadi subjek maka peneliti menggunakan
pendekatan dengan subjek penelitian dengan waktu satu bulan, hal ini untuk
mempelajari arti atau makna dengan subjek penelitian dari setiap bahasa yang
digunakan.
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.
Tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup
dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw
Malinowski.
“ Bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk
asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan
pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian
etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan
2Sumarsono, dan Paina Partana. Sosiolinguistik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h.,
309 3 Tagor Pangaribuan. Paradigma Bahasa. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008). h., 119
33
cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat,
tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat. Hasil dari
penelitian komprehensif etnografi adalah suatu naratif deskriptif yang
bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan
seluruh aspek-aspek kehidupan dan mendeskripsikan kompleksitas
kehidupan tersebut “.4
Meskipun keberadaan bahasa gaul terbilang sulit untuk ditemukan
secara terperinci, karena penutur atau pengguna bahasa gaul ini berbeda-beda.
Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat peneliti untuk meneliti
keberadaan ragam bahasa gaul siswa kelas SMA Al-Huda .
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode simak, metode
pengumpulan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan
untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.
Metode ini menggunakan teknik dasar yang berwujud teknik sadap.Teknik
sadap disebut dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan
diwujudkan dengan penyadapan.5
Sebelum melakukan pengumpulan data langkah pertama yang penulis
lakukan adalah melakukan pendekatan dengan calon informan agar pada saat
proses pengumpulan data informan tidak merasa canggung. Dalam upaya
mendapatkan data yang dilakukan penulis yaitu dengan cara menyadap
penggunaan bahasa informan, penyadapan penggunaan bahasa dimaksudkan
agar penulis tahu bawa bahasa gaul apa saja yang digunakan informan,
penyadapan penggunaan bahasa secara lisan dengan sosoknya yang sedang
menyadap pemakaian bahasa dalam sebuah percakapan.
Peneliti menggunakan pedoman teknik simak bebas libat cakap yang
arrtinya penulis berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa dan hanya
4Spradley James P. Metode Etnografi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2006). hal., 5
5Mahsun. Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan -5,
2011). h., 92
34
menyimak dialog dari percakapan informan. Selanjutnya pengamatan
disesuaikan dari kondisi informan itu sendiri, sehingga data yang diperoleh
terfokus. Penyesuaian ini perlu dilakukan dalam berfikir setiap inforan
berbeda-beda. Perbedaan pemikiran informan, memberikan variasi data bagi
peneliti. Jadi, teknik ini digunakan dengan dasar pemikiran bahwa perilaku
berbahasa hanya dapat benar-benar dipahami jika peristiwa berbahasa itu
sedang berlangsung dalam situasi sebenarnya yang berada dalam konteks yang
lengkap. Dalam menyadap perilaku orang-orang yang akan terlibat dalam
peristiwa tutur tersebut, penulis tidak hanya sekedar menyadap dan
menyaksikan, penulis harus mencatat hal-hal yang relevan, terutama bentuk
perilaku setiap partisipan di dalam peristiwa tutur. Dalam praktik penelitian
simak bebas libat cakap diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik
catat dan dapat dibantu dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam.
A. Merekam
Dalam merekam, penulis mencatat atau mengabadikan melalui peranti
rekam, hal inidigunakan sebagai bahan bandingan, disini penulis akan
merekam aktifitas komunikasi siswa di lingkungan sekolah, seperti di
mushola, di dalam kelas, dan di kantin sekolah..
B. Mentranskripsi
Dalam mentranskripsi, penulis memindahkan apa yang telah direkam
dalam suatu komunikasi dengan mengubahnya dari data rekaman
menjadi data yang tertulis, Agar data yang diperoleh tidak keliru.
C. Mendeskripsi
Penulis akan memaparkan secara jelas komunikasi dari informan
dengan menggunakan metode SPEAKING Dell Hymes
Untuk memudahkan pencatatan, sebagai teknik lanjutan yang harus
menyertai penerapan teknik simak bebas libat cakap, penulis membuat lembar
penyimakan, yang berisi kolom-kolom tempat mencatat. Lembar penyimakan
yang akan dibuat oleh penulis berisi hal-hal berikut:
a. Tanggal penyimakan
b. Topik pembicaraan (masalah sehari-hari/bukan)
35
c. Lokasi tempat penyimakan
d. Orang yang terlibat dalam peristiwa tutur (uraian tentang orang
pertama, keda, ketiga, dan seterusnya tergantung pada jumlah
yang terlibat. Uraian masing-masing berisi, status kekerabatan,
umur, bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur tersebut)
e. Kata atau diksi yang berupa kata slang
Lokasi penelitian yang merupakan suatu hal yang tidak asing bagi
peneliti yaitu SMA AL-Huda. Observasi yang dilakukan penulis yaitu
obsevasi partisipastif atau peneliti turun langsung kelapangan untuk
mengamati perilaku dan aktifitas individu-individu di lokasi penelitian.
E. Metode analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupa deskripsi
mengenai aspek-aspek linguistik sebagai pengungkap kebudayaan, dalam
penelitian kualitatif yang mendasarkan diri pada paradigma metodologis
induktif. Konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi dikembangkan atas dasar
kejadian yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian kualitatif kegiatan
penyediaan data merupakan kegiatan yang berlangsung secara simultan
dengan kegiatan analisis data. Prosesnya berbentuk siklus, hal ini tentu tidak
lepas pula dari hakikat penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami
fenomena social teermasuk fenomena kebahasaan yang diteliti. Analisis
kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan
penempatan data pada konteksnya masing-masing dan seringkali
melukiskannya pada bentuk kata-kata.6
6Ibid, hal. 256
36
F. InstrumenAnalisis
No Konteks Tuturan Bentuk
Kata S P E A K I N G Bentuk
1. Guru
sedang
mengajar
pelajaran
bahasa
Arab di
kelas dan
mem
berikan
pertanyaa
n kepada
siswa
G
:mohon
perhatian
nya, ibu
ingin
bertanya
ada yang
tau
mengenai
puisi
lama dan
puisi
baru?
Coba
kamu
yang
duduk di
pinggir
kanan,
tolong
jelaskan
Tau
percakap
an ini
terjadi
pada
kegiatan
belajar
mengajar
di dalam
kelas,
dengan
situasi
yang
tenang.
Peserta
pada saat
tuturan
berlangsu
ng adalah
guru
mata
pelajaran
bahasa
Arab
dengan
siswa.
Tujuan
tuturan
adalah
untuk
menanyak
an
pemahama
n siswa
terhadap
materi
pelajaran
saat itu.
Urutan
tindakan
pada saat
tuturan
berlangsu
ng secara
verbal
dengan
menanyak
an
pemahama
n materi
pelajaran
yang
sedang di
bahas.
Tuturan
di
sampaika
n secara
serius.
Tuturan
berlangsu
ng secara
lisan.
Norma
pada saat
tuturan
berlangsu
ng siswa
memiliki
etika
dengan
adanya
rasa sopan
dan santun
saat
berbicara
dengan
seorang
guru.
Bentuk
penyampa
ian pada
tuturan
adalah
pertanyaa
n.
Tidak
baku
2. M :saya
bu?
Baku
3. G : iya Baku
37
kamu
4. M : Puisi
lama
yaitu
puisi
yang
terikat
sama
aturan-
aturan,
seperti
jumlah
kata
dalam 1
baris,
rima, dan
banyakny
a suku
kata, bu.
Kalo
puisi
baru,
puisi
yang
tidak
terikat
oleh
aturan-
aturan.
Kalo Tidak
Baku
5. G : iya, Baku
38
betul
sekali
penjelasa
n kamu
mengenai
puisi
lama dan
puisi
baru,
berarti
kamu
sudah
mulai
paham
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah SMA Al-Huda Jakarta
1. Profil sekolah
Sekolah Menengah Atas (SMA) AL- Huda Cengkareng Jakarta Barat
berdiri pada tanggal 28 Agustus 1978. SMA Al-Huda Cengkareng Jakarta
Barat dibawah naungan yayasan Al-Huda Islamic Edication Center
Metropolitan (AIECM) jakarta yang sekarang ini dipimpin oleh Bapak
Drs. KH. KPA. Nukman Muhasyim.
Seiring dengan berjalannya waktu maka sudah beberapa kali mengalami
pergantian kepala sekolah. Adapun orang – orang yang pernah menduduki
jabatan kepala sekolah sebagai berikut :
1. H. Ahmad Syafi’ih (1978-1983)
2. Oding Syaripudin (1983-1984)
3. Joko Waluyo (1984-1985)
4. Sunarto (1985-1999)
5. Amsir (1999-2000)
6. H. Mursyahid Halwan (2000-2005)
7. Muhammad Umar (2005-2013)
8. Muhidin (2013-sekarang)
Saat ini SMA Al-Huda telah mendapat kepercayaan besar dari
masyarakart, hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa yang tercatat dan aktif
pada tahun pelajaran 20014-2015 mencapai 684 (Enam ratus delapan
puluh empat) siswa. SMA Al-Huda sebagai sekolah swasta yang
berwawasan Islam, maka kami bertekat ingin menanamkan nilai – nilai
Islam agar para siswa memiliki akhlaqulkarimah, menguasai sain dan
berprestasi.
40
2. Tujuan sekolah
a. Terbentuknya struktur organisasi dan mekanisme kerja yang jelas.
b. Terwujudnya pengelolaan administrasi sekolah yang trasnparan
dan akuntabel berbasis IT.
c. Meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik di tingkat
Kabupaten, Provinsi dan Nasional.
d. Bertambahnya jumlah lulusan SMA Al- Huda diberbagai
perguruan tinggi berkualitas.
e. Terciptanya kehidupan warga SMA Al- Huda yang religius melalui
perilaku yang tawadhu dan bersahaja.
3. Visi
Berahkakul qarimah, Cerdasdan Berprestasi berdasarkan Iman dan
Taqwa
4. Misi
a. Meningkatkan pemahaman terhadap ajaran islam.
b. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama islam, budaya
dan bangsa.
c. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara aktif, kreatif,
menyenangkan, kontekstual, dan bermakna.
d. Mendorong dan membantu setiap peserta didik untuk mengenali
potensi dirinya.
5. Program Pembiasaan.
a. Tadarus dan shalat Dhuha bersama.
b. Shlata Dzuhur berjamaah.
c. Shalat Jum’at.
d. Keputrian dan keputraan.
e. Imam shalat Dzuhur berjamaah.
41
6. Kegiatan Ekstrakurikuler
a. Pramuka.
b. Qiroah.
c. Teater.
d. Futsal.
e. Basket.
f. Volley.
g. Pencak Silat.
7. Fasilitas
a. Ruang kelas dilengkapi dengan LCD,
b. Lab bahasa,
c. Lab Komputer,
d. Perpustakaan,
e. Masjid,
f. Aula,
g. Lapangan futsal,
h. Lapangan volley,
i. Lapangan basket.
42
B. Hasil Analisis
1. Rekaman
a. Rekaman 1.1
Tanggal : 16-02-2016
Topik : Cari tahu status teman melalui sosial media
Lokasi : Di dalam toilet perempuan
Status : Teman sekelas
Orang yang terlibat : Antar teman
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari
No. Konteks Tuturan Bentuk
Kata S P E A K I N G Bentuk
1. Terdapat
tiga orang
anak
perempuan
yang sedang
di toilet,
Perempuan 1:
Lu kenapa? Lu
Percaka
pan ini
terjadi
pada
saat tiga
orang
peremp
uan
yang
Peserta
pada
saat
tuturan
berlangs
ung
adalah
peremp
uan 1,
Tujuan
tuturan
adalah
untuk
mencari
tahu
status
teman
melalui
Urutan
tindaka
n pada
saat
tuturan
berlangs
ung
secara
Tuturan
disampa
ikan
secara
penasar
an dan
ada rasa
ingin
Tuturan
berlangs
ung
secara
lisan
dengan
bentuk
tutur
mengacu
pada kata
Norma
pada saat
tuturan
berlangs
ung
secara
santai,
sebagaim
ana
Bentuk
penyam
paian
pada
tuturan
adalah
terdapat
nya rasa
ingin
Tidak
baku
2.
Perempuan 2:
si Zahra tuh,
ngituin gue
tadi.
Gue Tidak
baku
43
mereka
bercakap-
cakap
sambil
ngaca dan
berdandan.
Emang si Misa
putus ya?
(sambil lihat
Hp)
sedang
berada
di
dalam
toilet,
ketika
masih
terdapat
jam
pelajara
n,
keadaan
di toilet
pada
saat
tuturan
berlangs
ung
menjadi
sedikit
berisik.
peremp
uan 2,
dan
permpu
an 3.
sosial
media.
verbal .
tahu.
tidak
baku.
ketika
sedang
berkomu
nikasi
dengan
teman.
tahu.
3.
Perempuan 1:
gak tau,
enggak lah..
Gak Tidak
baku
4.
Perempuan 2:
Nih dia
statusnya
sibuk (sambil
menunjukan
hp-nya)
Baku
5.
Perempuan 3:
Gak, status
doang yaelah
yaelah
Slang
6.
Perempuan 2;
Heeh, songong
bet lu
songong
Bet
Lu
Tidak
baku dan
slang
44
7.
Perempuan 1:
Hehehehe
(tertawa usil)
Baku
8.
Perempuan 2:
Songong mulu,
jealous gua
liatnya
Songong
Mulu
Jealous
Gua
Tidak
baku
9.
Perempuan 1:
Coba liat
fotonya?
(dengan nada
penasaran)
Liat Tidak
baku
10. Perempuan 2:
Gak ada Gak
Tidak
baku
11.
Perempuan 3:
Coba liat DP
nya
Baku
12. Perempuan 2: Gak Tidak
45
Gak ada baku
13.
Perempuan 1:
Kok, statusnya
gak ada nama
lu?
Gak
Lu
Tidak
baku
14. Perempuan 2:
Kepo lu Kepo Slang
15. Perempuan 1:
Apaan? Baku
16.
Perempuan 2:
Gue, udah liat
goblok
Gue
Goblok
Tidak
baku
17.
Perempuan 1:
Haah, apaan
sih lu
Lu Tidak
baku
18.
Perempuan 3:
Tau ah, gelap
(kesal dengan
perempuan ke
1 yang tulalit)
Baku
46
19.
Perempuan 2:
Lagian alay
ngomongnya.
Kan tadi gue
udah cerita-
cerita
Alay
Gue
Udah
Slang
dan
Tidak
baku
20.
Perempuan 1:
Gak sih, tadi lu
kaga cerita
sama gua
Lu
Kaga
Gua
Tidak
baku
21.
Perempuan 3:
Emang lu gak
denger?
Lu
Gak
Tidak
baku
22. Perempuan 1:
Jiiiih, belom Belom
Tidak
baku
23.
Perempuan 2:
Rese aja lu
bocahnya
Ayo dong
(sambil
mengajak
Lu Tidak
baku
47
temannya ke
kelas)
24.
Perempuan 1:
Jangan mau,
jangan mau
Baku
25.
Perempuan 3:
Enakan di sini
nih
Baku
26.
Perempuan 1:
Jangan mau
bego, jangan
mau
Bego Tidak
baku
27.
Perempuan 2:
Ayo masuk,
gue pengen ke
kelas
Gue
Pengen
Tidak
baku
28.
Perempuan 3:
Entar dulu,
gue pengen
kencing
Entar
Gue
pengen
Tidak
baku
29. Perempuan 2: Lebay Slang
48
Ah, lebay lu,
bukannya dari
tadi
Lu dan tidak
baku
30.
Perempuan 3:
Tungguin
dong..
Baku
31.
Perempuan 2:
Iiiih, males
banget gue
nungguin lu
Gue Tidak
baku
32.
Perempuan 1:
Yeeeeh
(sambil
meledek )
Baku
33.
Perempuan 3:
Yaudah, gue
gak jadi lah
kalo gitu
Gue
Gak
Kalo
Tidak
baku
49
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
Perempuan 1 : Lu kenapa?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-
kata yang diucap perempuan 1 mengandung bentuk dialek
Jakarta, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang bukan sebenarnya, seperti pada kata Lu (kamu).
Perempuan 2 : si Zahra tuh, ngituin gue tadi.
Emang si Misa putus ya? (sambil lihat
Hp)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-
kata yang diucap siswa mengandung bentuk dialek Jakarta,
kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata yang bukan
sebenarnya, seperti pada kata Gue (saya).
Perempuan 1 : gak tau, enggak lah..
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-
kata yang diucap perempuan 1 mengandung bentuk dialek
Jakarta, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang bukan sebenarnya, seperti pada kata Enggak (tidak).
50
Perempuan 2 : Nih dia statusnya sibuk (sambil
menunjukan hp-nya).
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 2 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 3 : Gak, status doang yaelah.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap perempuan 3 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Yaelah
(yasudah).
Perempuan 2 : Heeh, songong bet lu .
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Songong
(tidak sopan), Bet (kata singkatan yang berarti banget atau
sangat), dan Lu (kamu).
Perempuan 1 : Hehehehe (tertawa usil).
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
51
Perempuan 2 : Songong mulu, jealous gua liatnya .
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dialek, dan campur kode di dalamnya. Seperti pada
kata Songong (tidak sopan), Mulu (selalu), dan Jealous
(cemburu).
Perempuan 1 : Coba liat fotonya? (dengan nada
penasaran).
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Liat
(lihat).
Perempuan 2 : Gak ada.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gak
(tidak).
52
Perempuan 3 : Coba liat DP nya
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 2 : Gak ada
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gak
(tidak).
Perempuan 1 : Kok, statusnya gak ada nama lu?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gak
(tidak), dan Lu (kamu).
Perempuan 2 : Kepo lu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung kosakata slang di
dalamnya. Seperti pada kata Kepo (rasa ingin tahu).
53
Perempuan 1 : Apaan?
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 2 : Gue, udah liat goblok
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gue
(saya), Goblok (sangat bodoh) dan Liat (lihat).
Perempuan 1 : Haah, apaan sih lu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu).
Perempuan 3 : Tau ah, gelap (kesal dengan perempuan
ke 1 yang tulalit)
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
54
Perempuan 2 : Lagian alay ngomongnya. Kan tadi gue
udah cerita-cerita
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), kosakata slang dan dialek di dalamnya. Seperti pada
kata Gue (saya), Udah (sudah), dan Alay (anak layangan).
Perempuan 1 : Gak sih, tadi lu kaga cerita sama gua
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu), Kaga (tidak), dan Gua (saya)
Perempuan 3 : Emang lu gak denger?.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 3 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu), dan Gak (tidak).
Perempuan 1 : Jiiiih, belom
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
55
yang diucap oleh perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Belom
(belum).
Perempuan 2 : Rese aja lu bocahnya
Ayo dong (sambil mengajak temannya ke
kelas)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu).
Perempuan 1 : Jangan mau, jangan mau
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 3 : Enakan di sini nih
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
56
Perempuan 1 : Jangan mau bego, jangan mau
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Bego
(sangat bodoh).
Perempuan 2 : Ayo masuk, gue pengen ke kelas
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gue
(saya), dan Pengen (ingin).
Perempuan 3 : Entar dulu, gue pengen kencing
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 3 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Entar
(nanti), Gue (saya), dan Pengen (ingin).
Perempuan 2 : Ah, lebay lu, bukannya dari tadi
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
57
(sinonim), kosakata slang dan dialek di dalamnya. Seperti pada
kata Lu (kamu), dan Lebay (sesuatu yang berlebihan).
Perempuan 3 : Tungguin dong..
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 2 : Iiiih, males banget gue nungguin lu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gue
(saya).
Perempuan 1 : Yeeeeh (sambil meledek )
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh perempuan 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Perempuan 3 : Yaudah, gue gak jadi lah kalo gitu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh perempuan 2 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gue
(saya), Gak (tidak), dan Kalo (kalau).
58
Berdasarkan dialog di atas penulis mendeskripsikan secara jelas
mengenai hasil rekaman.
Latar dan suasana yang terjadi yaitu saat jam pelajaran namun, terdapat
3 orang perempuan yang berada di toilet sekolah, keadaan toilet pada saat
itu sunyi, terdapat percakapan antar siswa perempuan tersebut, dengan
memulai percakapan dengan adanya rasa ingin tahu dan mencari bukti
untuk mengetauhui status teman mereka yang lain melalui sosial media, di
sini siswa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sehari-hari.
Peserta yang ada pada saat tuturan berlangsung yaitu (perempuan 2),
lawan tutur (perempuan 2, dan 1).
Tujuan penuturan pada dialog, terdapat komunikasi verbal yang terjadi
pada saat mereka mencari tahu status teman melalui sosial media.
Urutan tindakan pada saat tuturan berlangsung berupa komunikasi
verbal, dalam tuturan tersebut isi pesan yang disampaikan yaitu adanya
rasa ingin tahu yang besar terhadap status temannya yang lain melalui
sosial media yang ada.
Tuturan disampai kandengan intonasi yang santai dan disampaikan
secara sedikit adanya candaan saat di dalam toilet, pada dialog tersebut
siswa memiliki rasa simpati yang terjadi oleh temannya yang ingin tahu
status temannya yang lain, disini siswa menggunakan intonasi nada yang
santai dan tidak terdapat intonasi nada yang tinggi.
59
Norma yang digunakan pada saat tuturan berlangsung siswa memiliki
etika sebagaimana adanya rasa santai pada saat berkomunikasi dengan
teman sebaya.
Tuturan yang berlangsung pada saat itu berupa lisan, karena pada
rekaman ini siswa sedang berkomunikasi dengan teman yang lainnya
dengan adanya rasa penasaran dan ingin tahu mengenai hasil dari mencari
status temannya yang lain yang mengacu pada bentuk kata tidak baku.
Bentuk tuturan yang disampaikan penutur adalah bentuk rasa ingin
tahu mengenaistatus teman yang lainnya.
60
a. Rekaman 1.2
Tanggal : 27-02-2016
Topik : Razia sepatu di sekolah
Lokasi : Kantin sekolah
Status : Teman
Orang yang terlibat : Antar teman
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari
No. Konteks Tuturan Bentuk
kata S P E A K I N G Bentuk
1. Percakapan
antar teman
yang terdiri
dari tiga
orang , pada
topik
percakapan
tersebut
Orang1: Kok,
lu gak pake
sepatu? Sepatu
lu mana deh?
Lu
Gak
Pake
Percakap
an Ini
terjadi
pada saat
jam
istirahat
di kantin
sekolah
peserta
pada
saat
tuturan
berlangs
ung
adalah
orang 1,
Tujuan
tuturan
adalah
menany
akan
dan
mengun
gkapkan
Uutan
tindaka
n pada
saat
tuturan
berlangs
ung
secara
tuturan
disampa
ikan
secara
santaina
mun
terdapat
rasa
Tuturan
berlangs
ung
secara
lisan
dengan
bentuk
tutur
norma
pada saat
tuturan
berlangs
ung
secara
santai
dan
bentuk
penyam
paian
pada
tuturan
adalah
pengadu
an atas
Tidak
baku
61
mereka
membahas
mengenai
razia sepatu
yang terjadi
di dalam
kelas.
dengan
situasi
yang
riuh dan
ramai,
terdapat
tiga
orang
siswa
perempu
an yang
sedang
membah
as
mengena
i razia
yang tadi
pagi
telah
terjadi.
orang 2,
dan
orang 3,
yang
merupa
kan
siswa
peremp
uan.
rasa
kekesal
an .
verbal,
untuk
mengun
gkapkan
dan
menany
akan
mengen
ai razia
sepatu.
kesal.
menga
cu pada
penggu
naan
bahasa
tidak
baku
dan
diseling
i bahasa
slang.
menunju
kan
adanya
rasa
kekesala
n.
apa
yang
telah di
alami.
2. Orang 2:
Diambil sama
anak osis.
Baku
3. Orang 3:
Dibilangin sih
gak percaya,
mampus lu.
Lu
Gak
Tidak
baku
4. Orang 2:
Sial… Baku
5. Orang 1: Lu
kaga ditanyain
sama guru
piket?
Kaga
Lu
Tidak
baku
6. Orang 2:
Tanyain lah,
yaudah gua
bilangnya itu
diambil sama
anak osis,
hahaha bego
ya…
Gua
Bego
Tidak
baku
62
7. Orang 1: Terus
kalo gue
dipanggil juga
gimana, gara-
gara itu sepatu
?
Kalo
Gue
Tidak
baku
8. Orang 2:
Yaudah biarin
aja, pusing
amat lu
Lu Baku
9. Orang 1:
Mahal bego
(dengan wajah
kesal)
Bego Tidak
baku
10. Orang 3:
Mampus lu,
makan tuh
sepatu, hahaha
(sambil
meledek)
Lagian sok-
sokan sih jadi
Mampus
Sok-
sokan
Tidak
baku
dan
slang
63
orang.
11. Orang 2:
Yaelah, beli
lagi lah.
Lagian sebel
banget gue
sama anak osis
gayanya
tengil.
Yelah
Gue
Tengil
Tidak
baku
12. Orang 1: Siapa
sih, siapa
namanya?
Baku
13. Orang 3: Anak
kelas berapa? Baku
14. Orang 2: Mana
gua tau Gua
Tidak
baku
15. Orang 1:
Tandain bego,
biar gak tengil.
Bego
Tengil
Tidak
baku
64
16. Orang 2; Liat
aja sih, kalo
emang itu
orang rese lagi
mah belom gue
labrak aja.
Kalo
Rese
Belom
Labrak
Tidak
baku
17. Orang 3:
Labrak aja,
labrak jangan
takut bego.
Labrak
Bego
Tidak
baku
18. Orang 1: Laper
nih, mau pesen
apa ya gua.
Lu mau apa?
(menanyakan
orang ke 2 dan
3).
Gua Tidak
baku
19. Orang 3:
Pengen yang
Baku
65
pedes nih, mie
ayam apa
bakso ya?
(bingung).
20. Orang 1:
Buruan ah,
mau apa.
Baku
21. Orang 2: Gue
batagor aja lah. Gue
Tidak
baku
22. Orang 3:
Bakso lah,
sambel tiga
sendok ya.
Baku
23. Orang 1:
Makan bakso
apa sambel lu?
Mencret aja
mampus lu.
Lu
Mampus
Tidak
baku
24. Orang 3: Boam
lah, berisik lu
(kesal).
Boam
Lu
Slang
66
66
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
(pada saat di kantin sekolah, terdapat 3 orang yang baru saja
duduk di bangku kantin)
Orang 1 : Kok, lu gak pake sepatu? Sepatu lu mana deh?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), dan slang di dalamnya. Seperti pada kata Lu (kamu),
pake (pakai), dan Gak (tidak).
Orang 2 : Diambil sama anak osis.
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 2 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 3 : Dibilangin sih gak percaya, mampus lu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 3 mengandung persamaan kata
(sinonim), di dalamnya. Seperti pada kata Lu (kamu) dan Gak
(tidak).
67
Orang 2 : Sial…
Kata yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk kata
baku, hal ini terlihat pada kata “Sial” yang diucap oleh orang 2
tercantum dalam kamus KBBI yang mempunyai makna “rasa
kemalangan yang tertimpa oleh seseorang”.
Orang 1 : Lu kaga ditanyain sama guru piket?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu) dan Kagak (tidak).
Orang 2 : Tanyain lah, yaudah gua bilangnya itu diambil
sama anak osis, hahaha bego ya…
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 2 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata
Gua (saya) dan Bego (sangat bodoh).
Orang 1 : Terus kalo gue dipanggil juga gimana, gara-
gara itu sepatu ?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
68
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata
Gue (saya) dan Kalo (kalau).
Orang 2 : Yaudah biarin aja, pusing amat lu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 2 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu).
Orang 1 : Mahal bego (dengan wajah kesal)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata Lu
(kamu).
Orang 3 : Mampus lu, makan tuh sepatu, hahaha (sambil
meledek) Lagian sok-sokan sih jadi orang.
Kata yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk kata
tidak baku, hal ini terlihat pada kata “Mampus” yang diucap
oleh orang 3 tercantum dalam kamus KBBI yang mempunyai
makna “sebuah akhir dari ketiadaan ” dan kata “Sok-sokan”
yang mempunyai makna “banyak tingkah atau kelakuan”.
69
Orang 2 : Yaelah, beli lagi lah.
Lagian sebel banget gue sama anak osis gayanya
tengil
. Kata yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk kata
tidak baku, hal ini terlihat pada kata “Tengil” yang diucap oleh
orang 2 tercantum dalam kamus KBBI yang mempunyai makna
“sebuah gaya yang membuat kesal” dan kata “Yaelah” yang
mempunyai makna “yasudah dalam kepasrahan” dan dialek
Jakarta seperti pada kata Gue (saya).
Orang 1 : Siapa sih, siapa namanya?
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 3 : Anak kelas berapa?
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 2 : Mana gua tau
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 2 mengandung persamaan kata
70
(sinonim) dan dialek Jakarta, di dalamnya. Seperti pada kata
Gua (saya).
Orang 1 : Tandain bego, biar gak tengil.
. Kata yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk kata
tidak baku, hal ini terlihat pada kata “Tengil” yang diucap oleh
orang 1 tercantum dalam kamus KBBI yang mempunyai makna
“sebuah gaya yang membuat kesal” dan dialek Jakarta seperti
pada kata Bego (sangat bodoh).
Orang 2 : Liat aja sih, kalo emang itu orang rese lagi mah
belom gue labrak aja.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 2 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek jakarta di dalamnya. Seperti pada kata
Gue (saya), Belom (belum), Kalo (kalau), Rese (mengganggu),
dan Labrak (memarahi) .
Orang 3 : Labrak aja, labrak jangan takut bego.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 3 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek jakarta di dalamnya. Seperti pada kata
Bego (sangat bodoh), dan Labrak (memarahi) .
71
Orang 1 : Laper nih, mau pesen apa ya gua. Lu mau
apa? (menanyakan orang ke 2 dan 3).
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek jakarta di dalamnya. Seperti pada kata
Gua (saya).
Orang 3 : Pengen yang pedes nih, mie ayam apa bakso
ya? (bingung).
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 1 : Buruan ah, mau apa.
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 1 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 2 : Gue batagor aja lah.
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 2 mengandung persamaan kata
(sinonim) dan dialek jakarta di dalamnya. Seperti pada kata
Gua (saya).
72
Orang 3 : Bakso lah, sambel tiga sendok ya.
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata baku, karena kalimat yang diucap oleh orang 3 tidak
bersifat slang, dialek, maupun sinonim.
Orang 1 : Makan bakso apa sambel lu? Mencret aja
mampus lu.
Kata yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk kata
tidak baku, hal ini terlihat pada kata “Mampus” yang diucap
oleh orang 1 tercantum dalam kamus KBBI yang mempunyai
makna “sebuah akhir dari ketiadaan ” dan memiliki sinonim
kata dialek Jakarta seperti pada kata Lu (kamu).
Orang 3 : Boam lah, berisik lu (kesal).
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh orang 1 mengandung persamaan kata
(sinonim), kosakata slang dan dialek jakarta di dalamnya.
Seperti pada kata Lu (kamu) dan Boam (singkatan dari bodo
amat).
73
Berdasarkan dialog di atas penulis mendeskripsikan secara jelas
mengenai hasil rekaman
Latar dan suasana yang terjadi pada saat jam istirahat sekolah pukul
09.30, tuturan berlangsung di kantin sekolah yang terdiri dari tiga orang
siswa perempuan, pada topik percakapan tersebut mereka membahas
mengenai razia sepatu yang salah seorang dari mereka alami tadi pagi.
Suasana pada saat itu amat riuh dan ramai.
Peserta yang ada saat tuturan berlangsung yaitu orang 1 (perempuan
sebagai penutur), orang 2 (perempuan lawan tutur), orang 3 (perempuan
mitra tutur).
Tujuan tuturan pada dialog terdapat komunikasi verbal yang
mengungkapkan rasa kekesalan dan pertanyaan mengenai razia sepatu.
Urutan tindakan pada saat tuturan berlangsung berupa komunikasi
verbal, isi pesan yang disampaikan yaitu mengungkapkan rasa kekesalan
dan pertanyaan mengenai razia sepatu yang telah dialami oleh seorang dari
mereka. Dialog yang terjadi sesuai sebagaimana jika berdialog dengan
teman yang merupakan percakapan biasa sehari-hari.
Tuturan yang disampaikan secara santai dengan intonasi yang agak
jengkel, kesal dan akrab.
Tuturan yang terjadi pada antar teman berupa lisan dengan adaanya
penggunaan bahasa tidak baku dan diselingi kosakata slang.
Norma pada saat tuturan berlangsung antara penutur dan lawan tutur
memiliki etika sebagaimana kita berbicara kepada teman sebaya dengan
74
menggunakan bahasa tidak baku yang sedikit kasar atau menyinggung
perasaan.
Bentuk komunikasi yang terjadi yaitu bentuk pengaduan atas apa yang
telah dialami salah satu dari tiga siswa perempuan tersebut.
75
a. Rekaman 1.3
Tanggal : 16-02-2016
Topik : liburan akhir semester
Lokasi : koridor sekolah
Status : Teman
Orang yang terlibat : Teman sekelas
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari yang diselipi bahasa slang
No. Konteks Tuturan Bentuk
kata S P E A K I N G Bentuk
1. Sekumpula
n siswa
yang sedang
menikmati
jam istirahat
di koridor
kelas dan
berbincang-
bincang
mengenai
Orang 2:
eeeh, lu yang
waktu ke
puncak kaga
inget ya?
Lu
kaga
Percaka
pan ini
terjadi
saat jam
istirahat
pukul
09.30
WIB
yang
berlokas
Peserta
pada
saat
tuturan
terjadi
adalah
teman
sekelas
yang
terdiri
Tujuan
tuturan
adalah
untuk
mengaja
k teman
lain
liburan
akhir
semeste
Urutan
tindaka
n pada
saat
tuturan
berlangs
ung
secara
verbal,
untuk
Tuturan
di
sampaik
an
secara
santai,
akrab
dan
diseling
i
Tuturan
berlangs
ung
secara
lisan
dengan
bentuk
tutur
mengac
u pada
Norma
pada saat
tuturan
berlangsu
ng secara
santai,
terdapat
candaan
agar
terciptan
Bentuk
penyam
paian
pada
tuturan
adalah
ajakan
dan
pereenc
Slang
2. Orang 1:
kapan sih gue
gak inget pas
Gue
Slang
76
rencana
liburan
akhir
semester
ke puncak,
tai…!
i di
koridor
kelas,
dengan
situasi
yang
ramai
dan
penuh
dengan
candaan
dari 3
orang
siswa
laki-
laki,
dan 2
orang
siswa
peremp
uan.
r.
merenca
nakan
dan
mengaja
k teman
lain
liburan
pada
akhir
smester.
candaan
dialek
betawi,
bahasa
yang
kasar
dan
bahasa
slang.
ya
suasana
keakraba
n.
anaan
3. Orang 3:
yang kapan
sih?
Baku
4. Orang 1:
yang waktu
itu
Baku
5. Orang 2:
yang dikasih
nasi basi,
kampret !
Kampret Slang
6. Orang 3:
weeeeh, mati
lu basi (sambil
tertawa)
Weeh
Lu
Slang
7. Orang 2:
apaan siiih?
Baku
8. Orang 4:
nasigoreeeeng
…
Baku
9. Orang 1: Goblok Tidak
77
ini lagi nasi
goreng, goblok
!
baku
10. Orang 3:
bukan, nasi
uduk, nasi
uduk
Baku
11. Orang 2:
nasi biasa,
bego !
Bego Tidak
baku
12. Orang 1:
makanya kalo
orang lagi
ngobrol
dengerin
Kalo Tidak
baku
13. Orang 4:
weeeh, selow
dong
Selow Slang
14. Orang 1:
nanti liburan
semester ke
puncak yuk?
Baku
15. Orang 2:
ke Borobudur
Baku
78
aja
16. Orang 1:
pada mau gak?
Baku
17. Orang 2:
naik apa?
Baku
18. Orang 1:
gampang laah,
naik hiba
utama
Baku
19. Orang 3:
naik blue bird
aja, blue bird
Baku
20. Orang 2:
ke anyer aja
Baku
21. Orang 1:
ke puncak aja
lah
Gimana, pada
mau gak?
Baku
22. Orang 5:
gak lah, nanti
Tilep Baku
79
ditilep semua
duitnya
23. Orang 1:
ya kaga lah,
asalkan duit
nya kalo udah
kekumpul
bayar terus
langsung
mesen bis
Duit
Kaga
Udah
Mesen
Bis
Tidak
baku
24. Orang 5:
apaan? Apaan? Baku
25. Orang 2:
diiih, kepo
Kepo Slang
26. Orang 1:
weeh cong,
anak-anak
pada ngajakin
liburan
semester 2 ke
Cong Slang
80
puncak
27. Orang 6:
ayoooo Baku
28. Orang 1:
Kikan mau
gak? Liburan
semester 2 ke
puncak
Baku
29. Orang 5:
ngapain? Baku
30. Orang 1: ke
puncak
ngapain?
Nyanyi…(sam
bil tertawa)
Baku
31. Orang 5:
naik apa?
Baku
32. Orang 3:
naik apa tuh?
Naik pesawat
apa helicopter?
Hahaha
(tertawa)
Baku
33. Orang 1: Kaga Tidak
81
jadi kaga? baku
34. Orang 3:
kaga, nanti gue
diomelin emak
gue
Kaga
Gue
Slang
35. Orang 1:
yaaah, kan
anak SMA
mah udah
bebas
Gimana pada
jadi gak?
Udah
Tidak
baku
36. Orang 5:
naik mobil aja,
mobil siapa
gitu
Baku
37. Orang 4:
naik losbak
Baku
38. Orang 6:
norak lu,
norak!
Norak Tidak
baku
39. Orang 2: Baku
82
naik kereta aja
40. Orang 1:
naik kereta
ribet, tolol !
Gimana? Mau
pergi pagi
pulang sore
apa pergi pagi
pulang pagi?
Apan ginep?
Nginep
Tolol
Tidak
baku
41. Orang 5:
masuk lah kuy,
masuk
(mengajak
anak-anak
masuk kelas)
Kuy Slang
83
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
(pada saat dikoridor sekolah, dan waktu menunjukan jam
istirahat)
Orang 2 : eeeh, lu yang waktu ke puncak kaga inget ya?
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
slang, dan dialek. Seperti pada kata Lu (kamu), dan Kaga
(tidak).
Orang 1 : kapan sih gue gak inget pas ke puncak, tai…!
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat bentuk kata slang, dan dialek. Seperti
pada kata Gue (saya), dan Gak (tidak).
Orang 3 : yang kapan sih?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
84
Orang 1 : yang waktu itu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 2 : yang dikasih nasi basi, kampret !
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat kata hinaan. Seperti pada kata “Kampret”
yang mempunyai makna “Kelalawar kecil pemakan serangga”
Orang 3 : weeeeh, mati lu basi (sambil tertawa)
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat bentuk kata slang. Seperti pada kata Lu
(kamu).
Orang 2 : apaan siiih?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
85
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 4 : nasi goreeeeng…
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : ini lagi nasi goreng, goblok !
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat kata hinaan. Seperti pada kata “Goblok”
yang mempunyai makna “Bodoh sekali”.
Orang 3 : bukan, nasi uduk, nasi uduk
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
86
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 2 : nasi biasa, bego !
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat kata hinaan. Seperti pada kata “Bego”
yang mempunyai makna “Sangat bodoh”.
Orang 1 : makanya kalo orang lagi ngobrol dengerin
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Kalo (kalau), Dengerin
(mendengarkan).
Orang 4 : weeeh, selow dong
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat bentuk kata slang. Seperti pada kata
Selow (santai).
lalu mereka bernyanyi-nyanyi, tidak lama kemudian salah satu
dari mereka merencanakan liburan akhir semester 2
87
Orang 1 : nanti liburan semester kepuncak yuk?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 2 : ke Borobudur aja
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : pada mau gak?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
88
Orang 2 : naik apa?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : gampang laah, naik hiba utama
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 3 : naik blue bird aja, blue bird
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
89
Orang 2 : ke anyer aja
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : ke puncak aja lah
Gimana, pada mau gak?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Gak (tidak).
Orang 5 : gak lah, nanti ditilep semua duitnya
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Gak (tidak), Tilep
(menyimpan suatu barang atau uang secara diam-diam).
90
Orang 1 : ya kaga lah, asalkan duitnya kalo udah
kekumpul bayar terus langsung mesen bis
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
dan dialek di dalamnya. Seperti pada kata Kaga (tidak), Kalo
(kalau), Udah (sudah), mesen (pesan), Bis (bus).
Orang 5 : apaan? Apaan?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 2 : diiih, kepo
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung bentuk kata slang di
dalamnya. Seperti pada kata Kepo (rasa ingin tahu).
91
Orang 1 : weeh cong, anak-anak pada ngajakin liburan
semester 2 ke puncak
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
dan slang di dalamnya. Seperti pada kata Cong (sapaan gaul
pengganti nama).
Orang 6 : ayoooo
Kata yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan bentuk
kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata yang
diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang dan
dialek, kata yang diucapkan oleh siswa merupakan kata yang
sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata (sinonim).
Orang 1 : Kikan mau gak? Liburan semester 2 ke puncak
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Gak (tidak).
Orang 5 : ngapain?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
92
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : kepuncak ngapain? Nyanyi…(sambil tertawa)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Disusul dengan teman-teman yang lain tertawa
Orang 5 : naik apa?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
93
Orang 3 : naik apa tuh? Naik pesawat apa helikopter?
Hahaha (tertawa)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : jadi kaga?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Kaga (tidak).
Orang 3 : kaga, nanti gue diomelin emak gue
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim),
dialek dan slang di dalamnya. Seperti pada kata Kaga (tidak),
Emak (ibu), Gue (saya).
94
Orang 1 : yaaah, kan anak SMA mah udah bebas
Gimana pada jadi gak?
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Udah (sudah) Gak (tidak).
Orang 5 : naik mobil aja, mobil siapa gitu
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung persamaan kata (sinonim)
di dalamnya. Seperti pada kata Aja (saja).
Orang 4 : naik losbak
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
95
Orang 6 : norak lu, norak!
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata tidak baku, hal ini terlihat bahwa dari setiap kata
yang diucap oleh siswa mengandung slang di dalamnya.
Seperti pada kata Lu (kamu), dan Norak (sangat berlebihan,
kurang serasi).
Orang 2 : naik kereta aja
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Orang 1 : naik kereta ribet, tolol !
Gimana? Mau pergi pagi pulang sore apa pergi
pagi pulang pagi? Apa nginep?
Kalimat yang digunakan pada tuturan ini merupakan bentuk
kata tidak baku, karena kalimat yang diucap oleh siswa bersifat
tidak formal, terdapat kata hinaan. Seperti pada kata “Tolol”
yang mempunyai makna “sangat bodoh”.
96
Orang 5 : masuk lah kuy, masuk (mengajak anak-anak
masuk kelas)
Kalimat yang digunakan pada tuturan tersebut merupakan
bentuk kata baku, hal ini terlihat bahwa setiap dari kata-kata
yang diucap oleh siswa tidak mengandung bentuk kata slang
dan dialek, kalimat yang diucapkan oleh siswa merupakan kata
yang sebenarnya dan tidak menggunakan persamaan kata
(sinonim).
Berdasarkan dialog di atas penulis mendeskripsikan secara jelas
mengenai hasil rekaman
Latar dan suasana yang terjadi pada percakapan antar teman sekelas
yang terdiri dari enam orang, pada saat jam istirahat pukul 09.30 WIB ,
mereka berkumpul di koridor sekolah, topik pada percakapan tersebut
mereka berbincang mengenai liburan akhir semester 2, pada percakapan
kali ini, di selipi bahasa slang dan tutur kata yang kasar terhadap teman
kelas.
Peserta pada saat tuturan berlangsung yaitu orang 1 (laki-laki sebagai
penutur, orang 2 (laki-laki sebagai lawan tutur), orang 3 (perempuan
sebagai lawan tutur), orang 4 (perempuan sebagai mitra tutur), orang 5
(sebagai lawan tutur), orang 6 (laki-laki sebagai mitra tutur).
Tujuan tuturan pada komunikasi tersebut berupa rencana dan ajakan
teman untuk mengisi liburan akhir smester dua.
97
Urutan tindakanpada saat tuturan berlangsung disampaikan berupa
komunikasi verbal, isi pesan yang disampaikan yaitu merencanakan
liburan akhir semester serta mengajak teman-teman lain untuk ikut liburan.
Tuturan disampaikan dengan menggunakan bahasa kasar, santai,
akrab, sertaterdapat pula candaan dan gurauan.
Tuturan berlangsung berupa lisan dengan adanya dialek betawi, serta
di selingi bahasa slang dan bahasa yang kasar, kasar.
Norma yang digunakan penutur dan lawan tutur pada saat tuturan
berlangsung kurang memiliki etika, karena sebagaiman kita berbicara
kepada teman sebaya seharusnya tidak menggunakan bahasa yang kasar
untuk bahasa sehari-hari dan tidak boleh menyinggung perasaan teman.
Bentuk penyampaian pada komunikasi yang terjadi yaitu berupa suatu
rencana dan ajakan untuk mengisi liburan akhir semester bersama teman.
98
Variasi Pemilihan Kode
No. Slang Tidak baku Baku
1. Lu Kamu
2. Gue Saya
3. Gak Tidak
4. Yaelah Yasudah sih
5. Songong Tidak tahu adat
6. Bet
Singkatan dari kata
“Banget”
7. Mulu Selalu
8. Liat Lihat
9. Kepo
Rasa “ingin tahu yang
berlebih/ingin mencampuri
urusan orang”
10. Goblok Sangat bodoh
11. Alay
Singkatan dari “anak
layangan”
12. Udah Sudah
13. Kaga Tidak
14. Belom Belum
15. Pengen Ingin
16. Bego Sangat bodoh
99
17. Entar Nanti
18. Lebay Sesuatu yang “berlebihan”
19. Kalo Kalau
20. Pake Pakai
21. Mampus Mati
22. Sok-sokan Banyak gaya
23. Tengil menyebalkan
24. Rese Mengganggu
25. Labrak Memarahi
26. Boam
Singkatan dari “bodo amat
atau dalam arti masa
bodoh dan tidak peduli”
27. Kampret
Kelalawar kecil pemakan
serangga
28. Selow Santai
29. Tilep
“Menyimpan suatu
barang/uang secara diam-
diam”
30. Duit Uang
31. Mesen Memesan
32. Bis Bus
34. Cong
100
34. Norak
Sangat berlebihan, kurang
serasi
35. Nginep Menginap
36. Tolol Sangat bodoh
37. Kuy Kata “yuk” yang di balik
Sintesis :
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
pemilihan kode yang digunakan oleh siswa SMA Al-huda Jakarta, seperti
yang telah dikelompokan dengan menggunakan table di atas maka, dapat
disimpulkan bahwa adanya variasi pemilihan kode yang digunakan siswa
untuk berkomunikasi lebih sering menggynakan kosakata tidak baku.
101
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang pemilihan kode dalam tuturan
lisan di SMA Al-Huda Jakarta Barat, maka dapat disimpulkan bahwa ketika
berada di luar kelas, banyak siswa yang berkomunikasi dengan lawan tutur
dan mitra tutur dengan menggunakan kosakata tidak baku di dalamnya.
Adapun kosa kata yang digunakan sebagai berikut:
1. Kosa kata tidak baku
a. Kata gue, yaitu saya
b. Kata lu, yaitu kamu
c. Kata kaga, yaitu tidak
d. Kata emak, yaitu ibu
e. Kata tolol, yaitu sangat bodoh
2. Kosa kata slang
a. Kata kepo, yaitu rasa ingin tahu
b. Kata selow, yaitu santai
c. Kata kuy, yaitu yuk
d. Kata alay, yaitu anak layangan
B. Saran
Berdasarkan simpulan mengenai pemilihan kode dalam tuturan lisan
oleh siswa SMA Al-huda jakarta, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:
1. Untuk Guru
Kepada para pengajar bidang studi bahasa dan sastra Indonesia, penelitian
ini dapat membantu guru dalam mengajar keterampilan kebahasaan,
khususnya keterampilan berbicara.
102
2. Untuk calon guru
Kepada calon mata pelajaran bahasa Indonesian di sekolah, disarankan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta berusaha untuk
meningkatkan keterampilan menggubakan bahasa Indonesia lisan maupun
tulisan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, dan Alek Abdullah. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga, 2012.
Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka,
2003.
Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akapres,
1995.
Aslinda, dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika
Aditama, 2007.
Catur Westi, Erni. “Pemakaian Bahasa Prokem: Studikasus di SMA 8 Jakarta”.
Skripsi. Depok. Jurusan Sastra Indonesia. Universitas Indonesia, 1991.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004.
Halliday, M.A.K. Spoken and Writen Language. New York: Oxfrord University
Press, 1990.
Hardiningsih, Hasan Rossy. “Evektifitas Bahasa Slang Dalam Iklan Radio
Terhadap Tinggkat Pengetahuan Khalayak Pendengar”. Skripsi. Depok.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Indonesia, 1992.
Hymes, Dell. Ethnography, Linguistics, Narrative Inequality. USA: Taylor &
Francis Ltd, 1996.
James, P. Spradley. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2006.
Jendra, Made IwanIndrawan. Sociolinguistics: The Study of Societies’ Language.
Yogyakarta: Graha llmu, 2010.
Jhon W. Creswell. Reasrch Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Mahsun. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan -
5. 2011.
Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik suatu pengantar. Jakarta: PT. Gramedia, 1984.
104
Pateda, Mansoer. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa, 1987.
Pangaribuan, Tagor. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: graham Ilmu, 2008.
Rokhman Fathur. Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam
Masyarakat Kultural. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Solihudin, Ivan. “Fenomena Ragam Bahasa Pergaulan Mahasiswa FIS UNJ”.
Skripsi. Jakarta. Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negri
Jakarta, 2012.
Spolsky, Bernard. Sociolinguistics. Cetakan ke-4. Oxford: Oxford University
Press, 2003.
Sumarsono, dan Paina Partana. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
Thomas Linda, dan Waering Shan. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Trudgill, Peter. Sosiolinguistics: An Introduction to Language and Society.
England: Penguin Books, 1995.
Wardough, Ronald. An Introduction to Sosiolinguistics. New York: Basil
Blackwell, 1988
Wijana, I Dewa Putu, Rohmadi Muhammad. Sosiolinguistik, Kajian Teoridan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
a. Rekaman 1.1
Tanggal : 16-02-2016
Topik : Cari tahu status teman melalui
sosial media
Lokasi : Di dalam toilet perempuan
Status : Teman sekelas
Orang yang terlibat : Antar teman
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
Perempuan 1 : Lu kenapa?
Perempuan 2 : si Zahra tuh, ngituin gue tadi.
Emang si Misa putus ya? (sambil lihat Hp)
Perempuan 1 : gak tau, enggak lah..
Perempuan 2 : Nih dia statusnya sibuk (sambil menunjukan hp-nya)
Perempuan 3 : Gak, status doang yaelah.
Perempuan 2 : Heeh, songong bet lu .
Perempuan 1 : Hehehehe (tertawa usil).
Perempuan 2 : Songong mulu, jealous gua liatnya .
Perempuan 1 : Coba liat fotonya? (dengan nada penasaran).
Perempuan 2 : Gak ada.
Perempuan 3 : Coba liat DP ny
Perempuan 2 : Gak ada
Perempuan 1 : Kok, statusnya gak ada nama lu?
Perempuan 2 : Kepo lu
Perempuan 1 : Apaan?
Perempuan 2 : Gue, udah liat goblok
Perempuan 1 : Haah, apaan sih lu
Perempuan 3 : Tau ah, gelap (kesal dengan perempuan ke 1 yang tulalit)
Perempuan 2 : Lagian alay ngomongnya. Kan tadi gue udah cerita-cerita
Perempuan 1 : Gak sih, tadi lu kaga cerita sama gua
Perempuan 3 : Emang lu gak denger?.
Perempuan 1 : Jiiiih, belom
Perempuan 2 : Rese aja lu bocahnya Ayo dong (sambil mengajak temannya ke
kelas)
Perempuan 1 : Jangan mau, jangan mau
Perempuan 3 : Enakan di sini nih
Perempuan 1 : Jangan mau bego, jangan mau
Perempuan 2 : Ayo masuk, gue pengen ke kelas
Perempuan 3 : Entar dulu, gue pengen kencing
Perempuan 2 : Ah, lebay lu, bukannya dari tadi
Perempuan 3 : Tungguin dong..
Perempuan 2 : Iiiih, males banget gue nungguin lu
Perempuan 1 : Yeeeeh (sambil meledek )
Perempuan 3 : Yaudah, gue gak jadi lah kalo gitu
a. Rekaman 1.2
Tanggal : 27-02-2016
Topik : Razia sepatu di sekolah
Lokasi : Kantin sekolah
Status : Teman
Orang yang terlibat : Antar teman
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
(pada saat di kantin sekolah, terdapat 3 orang yang baru saja duduk di bangku
kantin)
Orang 1 : Kok, lu gak pake sepatu? Sepatu lu mana deh?
Orang 2 : Diambil sama anak osis.
Orang 3 : Dibilangin sih gak percaya, mampus lu
Orang 2 : Sial…
Orang 1 : Lu kaga ditanyain sama guru piket?
Orang 2 : Tanyain lah, yaudah gua bilangnya itu diambil sama anak osis,
hahaha bego ya…
Orang 1 : Terus kalo gue dipanggil juga gimana, gara-gara itu sepatu ?
Orang 2 : Yaudah biarin aja, pusing amat lu
Orang 1 : Mahal bego (dengan wajah kesal)
Orang 3 : Mampus lu, makan tuh sepatu, hahaha (sambil meledek) Lagian
sok-sokan sih jadi orang.
Orang 2 : Yaelah, beli lagi lah. Lagian sebel banget gue sama anak osis
gayanya tengil
Orang 1 : Siapa sih, siapa namanya?
Orang 3 : Anak kelas berapa?
Orang 2 : Mana gua tau
Orang 1 : Tandain bego, biar gak tengil.
Orang 2 : Liat aja sih, kalo emang itu orang rese lagi mah belom gue labrak
aja.
Orang 3 : Labrak aja, labrak jangan takut bego.
Orang 1 : Laper nih, mau pesen apa ya gua. Lu mau apa? (menanyakan
orang ke 2 dan 3).
Orang 3 : Pengen yang pedes nih, mie ayam apa bakso ya? (bingung).
Orang 1 : Buruan ah, mau apa.
Orang 2 : Gue batagor aja lah.
Orang 3 : Bakso lah, sambel tiga sendok ya.
Orang 1 : Makan bakso apa sambel lu? Mencret aja mampus lu.
Orang 3 : Boam lah, berisik lu (kesal).
a. Rekaman 4.3
Tanggal : 16-02-2016
Topik : Liburan akhir semester
Lokasi : Koridor sekolah
Status : Teman
Orang yang terlibat : Teman sekelas
Bahasa yang digunakan : Bahasa sehari-hari yang
diselipi bahasa Prokem
Pada rekaman tersebut penulis mencatat dialog sebagai berikut:
(pada saat dikoridor sekolah, dan waktu menunjukan jam istirahat)
Orang 2 : eeeh, lu yang waktu ke puncak kaga inget ya?
Orang 1 : kapan sih gue gak inget pas ke puncak, tai…!
Orang 3 : yang kapan sih?
Orang 1 : yang waktu itu
Orang 2 : yang dikasih nasi basi, kampret !
Orang 3 : weeeeh, mati lu basi (sambil tertawa)
Orang 2 : apaan siiih?
Orang 4 : nasi goreeeeng…
Orang 1 : ini lagi nasi goring, goblok !
Orang 3 : bukan, nasi uduk, nasi uduk
Orang 2 : nasi biasa, bego !
Orang 1 : makanya kalo orang lagi ngobrol dengerin
Orang 4 : weeeh, selow dong
lalu mereka bernyanyi-nyanyi, tidak lama kemudian salah satu dari mereka
merencanakan liburan akhir semester 2
Orang 1 : nanti liburan semester kepuncak yuk?
Orang 2 : ke Borobudur aja
Orang 1 : pada mau gak?
Orang 2 : naik apa?
Orang 1 : gampang laah, naik hiba utama
Orang 3 : naik blue bird aja, blue bird
Orang 2 : ke anyer aja
Orang 1 : ke puncak aja lah
Gimana, pada mau gak?
Orang 5 : gak lah, nanti ditilep semua duitnya
Orang 1 : ya kaga lah, asalkan duitnya kalo udah kekumpul bayar terus
langsung mesen bis
Orang 5 : apaan? Apaan?
Orang 2 : diiih, kepo
Orang 1 : weeh cong, anak-anak pada ngajakin liburan semester 2 ke
puncak
Orang 6 : ayoooo
Orang 1 : Kikan mau gak? Liburan semester 2 ke puncak
Orang 5 : ngapain?
Orang 1 : kepuncak ngapain? Nyanyi…(sambil tertawa)
Disusul dengan teman-teman yang lain tertawa
Orang 5 : naik apa?
Orang 3 : naik apa tuh? Naik pesawat apa helicopter? Hahaha (tertawa)
Orang 1 : jadi kaga?
Orang 3 : kaga, nanti gue diomelin emak gue
Orang 1 : yaaah, kan anak SMA mah udah bebas
Gimana pada jadi gak?
Orang 5 : naik mobil aja, mobil siapa gitu
Orang 4 : naik losbak
Orang 6 : norak lu, norak!
Orang 2 : naik kereta aja
Orang 1 : naik kereta ribet, tolol !
Gimana? Mau pergi pagi pulang sore apa pergi
pagi pulang pagi? Apa nginep?
Orang 5 : masuk lah yuk, masuk (mengajak anak-anak masuk kelas)