pemberian ekstrak benalu mangga terhadap perubahan ...dalam beberapa penelitian benalu yang...
TRANSCRIPT
i
Pemberian Ekstrak Benalu Mangga terhadap Perubahan
Histologis Hepar Tikus yang Diinduksi Kodein
skripsi
disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi
Oleh
Sekar Maya Wijaya Mandrasari
4411409023
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul
“Pemberian Ekstrak Benalu Mangga terhadap Perubahan Histologis Hepar Tikus
yang Diinduksi Kodein" disusun berdasarkan hasil penelitian saya dengan arahan
dosen pembimbing. Sumber informasi atau kutipan yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Skripsi ini belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi manapun.
Semarang, Mei 2014
Sekar Maya Wijaya Mandrasari
4411409023
iii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul
“Pemberian Ekstrak Benalu Mangga terhadap Perubahan Histologis Hepar Tikus
yang Diinduksi Kodein " disusun oleh
nama : Sekar Maya wijaya Mandrasari
NIM : 4411409023
Telah dipertahankan dihadapan siding Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang pada tanggal Rabu, 7
Mei 2014
Penguji Utama
Dr. drh. R. Susanti, MP
NIP. 196903231997032001
Anggota Penguji/ Anggota Penguji/
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Lisdiana, M.Si Dr. Ning Setiati, M.Si
NIP. 195911191986032001 NIP. 195903101987032001
iv
ABSTRAK
Mandrasari, SMW. 2014. Pemberian Ekstrak Benalu Mangga terhadap
Perubahan Histologis Hepar Tikus yang Diinduksi Kodein. Skripsi, Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Lisdiana, M.Si., Dr. Ning
Setiati, M.Si
Kodein dapat menyebabkan kerusakan struktur hepar. Berdasarkan uji
pendahuluan, kerusakan struktur hepar akibat kodein terjadi pada paparan kodein
dosis 12mg/ekor. Kuersetin adalah senyawa aktif yang terkandung dalam benalu
mangga (Dendrophthoe petandra). Kuersiten mampu bertindak sebagai
antioksidan dan hepatoprotektor. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemberian ekstrak benalu mangga terhadap perubahan histopatologi hepar tikus
yang diinduksi kodein.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pola the post
test only control group design. Sebanyak 20 ekor tikus wistar dibagi menjadi 5
kelompok yaitu, kelompok kontrol, kelompok K(kodein 12 mg/ekor selama 7
hari); kelompok KB1 (kodein 12 mg/ekor selama 7 hari, benalu 22 mg/ekor
selama 14 hari); kelompok KB2 (kodein 12 mg/ekor selama 7 hari, benalu 44
mg/ekor selama 14 hari); dan kelompok KB3 (kodein 12 mg/ekor selama 7 hari,
benalu 88 mg/ekor selama 14 hari). Setelah perlakuan selesai tikus dibedah,
diambil heparnya kemudian dibuat preparat mikroanatomi dengan pewarnaan HE.
Kemudian preparat mikroanatomi hepar diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 400x dengan membandingkan perubahan struktur histopatologi hepar
tikus pada 5 kelompok menggunakan literatur dan atlas hispatologi
Hasil penelitan menunjukan ada perubahan struktur mikroanatomi sel
hepar kelompok K dengan paparan kodein dosis 12mg/ekor berupa inflamasi
periportal dan degenerasi. Pada pemberian kodein dosis 12mg/ekor dan benalu
dosis bertingkat menunjukan perubahan struktur mikroanatomi sel hepar berupa
inflamasi periportal, degenerasi dan nekrosis. Derajat kerusakan sel hepar pada
kelompok tikus yang diberi benalu dosis bertingkat mengalami penurunan tidak
bermakna (p>0,05) pada tingkat degenersai dan inflamasi periportal, tetapi pada
kelompok tikus yang diberi benalu dosis bertingkat ditemukan adanya nekrosis.
Hal ini disebabkan adanya kandungan antioksidan lain yang ikut pada proses
ekstraksi diberikan dengan dosis tinggi, sehingga aktivitas antioksidan berubah
menjadi prooksidan yang menyebabkan menurunya glutation dan berdampak pada
kerusakan sel hepar.
Dari hasil penelitian disimpulkan pemberian ektrak benalu mangga tidak
memberikan perubahan secara signifikan (p>0,05) pada perbaikan kerusakan
pada sel hepar.
Kata Kunci : kodein, benalu mangga, hepar, tikus
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Pemberian Ekstrak Benalu Mangga terhadap
Perubahan Histologis Hepar Tikus yang Diinduksi Kodein”.
Dalam menyusun skripsi penulis menyadari masih banyak kekurangan
mengingat keterbatasan waktu dan pengetahuan penulis. Namun dengan segala
upaya, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk dapat menimba ilmu di Universitas ini.
2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi izin penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Ketua Jurusan Biologi yang telah membantu sehingga mendapat kemudahan
dalam menyusun skripsi.
4. Dr. Lisdiana, M.Si, sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan, pengarahan
dan dorongannya selama ini.
5. Dr. Ning Setiati, M.Si, sebagai pembimbing II untuk bimbingan, pengarahan
dan dorongannya selama ini.
6. Dr. drh. R Susanti, M.P, sebagai dosen penguji untuk waktu dan kesabaran
yang sangat berarti, tanpanya penulisan skripsi ini tidak menjadi lebih baik.
7. dr. Meira Dewi K.A. Msi. Med, SpPA dan dr. Ika Pawitra Miranti, MKes,
SpPA, atas bimbingan dan pengarahan dalam pelaksaan penelitian ini.
8. Teknisi Laboratorium FMIPA UNNES, Pak ngatiman, Mbak Tika dan Mbak
Endah yang sudah banyak membantu pada penelitian ini.
9. Mbak Rini, Bu Yuli dan semua staf di Rumah Sakit Karyadi Semarang yang
telah membantu dalam penelitian skripsi ini
vi
10. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf pengajar Jurusan Biologi, untuk ilmu yang
diberikan pada penulis.
11. Orang tuaku, yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang, doa dan
dukungannya baik secara materil maupun moral.
12. Kakakku tersayang Sekar Ayu atas bantuan, dukungan dan doanya baik secara
materil maupun moral.
13. Sahabatku Titi, Putri, Erna, Oshi, Janah, dan Linda terima kasih atas bantuan
yang tidak sedikit, dukungan dan doanya dalam melasanakan penelitian ini.
14. Teman-teman Bionix’09, terima kasih untuk kebersamaan, kerjasama dan
dukungannya.
15. Terima kasih untuk adik-adik angkatan 2010 atas doa dan bantuan kalian.
16. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini,
maka segala kritik maupun saran yang bersifat membangun akan penulis terima
dengan senang hati.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Semarang, Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................................... ii
PENGESAHAN .......................................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 3
C. Penegasan Istilah ................................................................. 3
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 4
E. Manfaat Penelitian .............................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka ................................................................
1. Stuktur dan Fungsi hepar .............................................. 5
2. Farmakinetika dan Metabolisme Kodein ..................... 9
3. Metabolisme Kodein ..................................................... 11
4. Benalu Mangga (Dendrophthoe petandra) .................. 13
B. Hipotesis ............................................................................. 15
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 16
B. Populasi dan Sampel .......................................................... 16
C. Variabel Penelitian ............................................................. 16
D. Rancangan Penelitian ......................................................... 17
E. Alat dan Bahan ................................................................... 17
F. Prosedur Penelitian ............................................................ 18
G. Pengambilan Data .............................................................. 20
H. Metode Analisa Data .......................................................... 20
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................. 22
B. Pembahasan ........................................................................ 26
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................... 33
B. Saran ................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 34
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 39
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Tabel matriks penelitian .................................................................. 17
2. Tingkat kerusakan mikroanatomi hepar tikus ................................. 23
3. Nilai perubahan struktur histologi pada sel hepar pada semua
kelompok ......................................................................................... 24
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. PL. struktur mikroanatomi hepar (Zhang 1999) .......................... 6
2. Struktur interlobular hepar (Zhang 1999) .................................... 6
3. Gambaran histopatologi hepar mencit yang diinduksi kodein
dengan dosis 8 mg/kg BB ............................................................ 9
4. Metabolisme kodein ..................................................................... 13
5. Dendrophthoe petandra ............................................................... 14
6. Histopatologi sel hepar ............................................................. 23
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Konversi dosis kodein .................................................................. 39
2. Konversi dosis ektrak benalu ....................................................... 40
3. Pembuatan preparat histopatologi ................................................ 41
4. Tabel pengambilan data ............................................................... 44
5. Data skoring perubahan histologi hepar tikus ............................. 45
6. Perhitungan skoring perubahan histopatologi hepar tikus ........... 46
7. Foto kegiatan penelitian ............................................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepar merupakan kelenjar pencernaan yang berperan penting dalam
proses metabolisme dan detoksifikasi berbagai macam senyawa, termasuk
obat (Hastuti 2006). Peran tersebut didukung oleh hepatosit sebagi penyusun
utama hepar.Hepatosit tersusun radier dalam lobulus hepar dan diantara sel
dibatasi oleh sinusoid.Metabolisme obat bertujuan untuk mengubah obat yang
non polar menjadi polar agar mudah dieksresikan melalui ginjal atau
empedu.Obat adalah sediaan dan paduan-paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi dan menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosa (PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993).Kodein
merupakan salah satu jenis obat, sebagian besar pengguanan kodein dalam
obat dikombinasikan dengan paracetamol phenyltoloxomine dan
asetosal.Beberapa contoh obat yang mengadung kodein dalah coditam dan
codipront.
Proses metabolisme obat umumnya terjadi melalui dua fase, yaitu
reaksi fase tahap I dan reaksi fase tahap II. Reaksi fae I terdiri dari oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan
akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif (Setiawati dkk., 2007).
Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen dan
hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak
aktif.Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochromeP450 (CYP).Reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi
melalui enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT), terutama terjadi dalam
mikrosom hati.
Kodein yang diberikan secara oral memiliki efek samping lebih tinggi
daripada secara parental. Kodein yang diberikan melalui oral akan melewati
saluran pencernaan kemudian diabsrobsi oleh usus (Willian 2004). Di dalam
usus obat akan mengalami absrobsi secara tidak lengkap sehingga menembus
2
dinding usus menuju hepar melalui vena porta kemudian obat akan
dimetabolisme di hepar (Katzung 2001).
Proses metabolisme kodein berlangsung melalui tiga jalur yaitu
glukuronidasi, N-demettilasi, dan O-demetilasi. Jalur utama kodein adalah
glukurodinasi dengan enzim UDP-GT2B7 dan UDP-GT2B4 (Clausen et al,
2008).Morphine-3-glukuronida(M3G) dan Morphine-6-gluckronida (M6G)
merupakan metabolit dominan kodein. Konsentrasi morfin-3-glukuronida,
dan morfin-6-glukuronida secara subtansial dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan ekrsesi sebagai aktivitas opioid (Gasche et al, 2004).
Penumpukan metabolisme terdetimetilasi dapat mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal dan hati dengan penggunaan dosis tinggi daan jangka yang
lama.Kerusakan hepar (hepatoksitas) dapat diamati dari perubahan struktur
mikroanatomi.
Hepatotoksitas dapat diatasi oleh bahan yang mengandung flavonoid,
seperti benalu.Benalu merupakan tanaman semparasit yang banyak ditemuan
menempel pada tumbuhan inang. Dalam beberapa penelitian benalu yang
mengandung kadar flavonoid cukup tinggi terdapat pada Scurulla sp. dan
Dendrophthoe pentandra. Dendrophthoe pentandra memiliki kadar kuersetin
yang lebih tinggi dibandingkan Scurulla sp. Kuresetin merupakan salah satu
jenis flavonoid dan bertindak dalam meningkatkan glutathion di dalam sel,
sedangkan xenobiotik pada makromolekul seluler mengkosongkan glutathion
lebih cepat. Hal tersebut menunjukkan kuersetin memiliki kemungkinan
mencegah kerusakan sel-sel yang disebabkan oleh radikal bebas, karena
dengan diproduksisnya glutationin, akan memebentuk kompleks yang kurang
berbahaya (Durgoet al, 2007)
Berdasarkan uraian diatas, menjadi dasar untuk mengetahui kerusakan
hepar akibat induksi kodein peroral dan pengaruh ekstrak benalu
Dendrophthoe pentandra terhadap perubahan histopatologi hepar yang
diinduksi kodein peroral.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana histopatologi hepar tikus setelah diinduksi kodein dengan
dosis tinggi peroral?
2. Bagaimana perubahan histopatologi hepar tikus yang diinduksi
kodeinsetelah pemberian benalu mangga?
C. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya penafsiran yang salah terhadap judul
penelitian ini, maka perlu diberi penegasan istilah sebagai berikut :
Ektrak benalu, zat yang dimurnikan dari zat asal. Bahan ini dipisahkan
dari zat asal dengan cara melarutkannya ke dalam air atau pelarut organik
seperti etanol. Dalam penelitian ini benalu dibuat dengan cara maserasi
mengguanakan pelarut etanol 70%.
Kodein, merupakan alkaloida yang berasal dari opium dan disentesis
secara kormesial dari morfin.Kodein digunakan sebagai obat batuk yang
bekerja menekan pusat batuk di Medula oblongata.Selain itu, kodein juga
dimanfaatkan sebagai obat pasca operasi, obat anti-diare dan obat nyeri yang
diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol atau asetosa. Dalam
penelitian ini kodein yang digunakan merupakan kodein murni dalam bentuk
tablet dengan komposisi 20mg. Kodein yang akan disondekan ke tikus,
dilarutkan dalam air pada dosis pengenceran telah ditentukan.
Histopatologi Hepar,preparat yang dibuat dari irisan organ hati dengan
tujuan untuk mengamati struktur mikroanatomi sel hepar. Struktur
mikroanatomi sel hepar meliputi, lobulus dan hepatosit.Pada penelitian ini
untuk membuat preparat histopatologi hepar, organ dipotong melintang dan
difiksasi dengan formalin.Pembuatan preparat dilakukan secara embedding.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Histopatologi hepar tikus setelah diinduksi kodein dengan dosis tinggi
peroral.
4
2. Perubahan histopatologi hepar tikus yang diinduksi kodein setelah
pemberian benalu mangga.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori untuk menerangkan
pengaruh kodein terhadap perubahan histopatologi hepar.
2. Sebagai bahan informasi mengenai efek ekstrak benalu mangga terhadap
perubahan histopatologi hepar tikus yang diinduksi kodein per-oral
3. Penelitian ini dapat menjadi landasan teoritik untuk penelitian lebih lanjut.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur dan Fungsi Hepar
1. Struktur Hepar
Hepar merupakan salah satu kelenjar pencernaan yang memiliki peran
dalam proses metabolisme dan detoksifikasi berbagai macam senyawa. Hepar
terletak di bagian kanan abdomen dibawah diafragma dan pemukaannya
dibungkus oleh kapsul jaringan fibrosa (Lumongga 2008).Secara anatomi hepar
terdiri dari 4 lobus, yaitu lobus kanan, lobus kiri, lobus kuadratus, dan lobus
kuadalis.Tiap lobus dibentuk oleh lobulus yang berbentuk prisma polygonal
sebagai unit fungsional hepar (Junqueira dan Carneiro 1980).
Hepatosit merupakan penyusun utama yang tersusun radier di dalam
lobulus hepar.Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hepar dalam
metabolisme (Maulida et al, 2013).Hepatosit memiliki satu atau dua inti sel
berbentuk bulat dengan kromatin tersebar di bagian perifernya.Sitoplasma
hepatosit bersifat eosinofilik dengan retikulum endoplasma tersebar di
dalamnya. Retikulum endoplasma memiliki peran penting dalam proses invansi
dan detokfikasi. Pemberian obat tertentu meningkatkan reaksi retikulum
endoplasma halus di hati disertai peningkatan aktivitas enzim yang berperan
dalam konjugasi obat tersebut (Junqueira dan Carneiro 1980).
Hepatosit dibatasi oleh sinusoid diantara selnya.Sinusoid merupakan
pembuluh yang melebar tidak teratur dan terdiri dari satu lapisan sel-sel
endotel.Sel-sel endotel yang terletak berdekatan dengan sinusoid hati
dipisahkan oleh celah disse.Pada sinusoid terdapat sel kupffer, sebagai sistem
makrofag yang bersifat fagosit.Selain itu, sel kupfer memiliki peran dalam
pengangkutan eritrosit yang sudah mati dan zat asing keluar dari sirkulasi
(Junqueira dan Carneiro 1980).
Pada struktur penghubungnya terdapat venula (cabang dari vena porta),
arteriol, duktus (bagian dari sistem saluran empedu), dan pembulu-pembulu
limfe.Cabang-cabang vena porta dan ateri hepatika mentranspor darah melalui
6
kanalis porta menuju vena sentralis melalui sinusoid dan lobulus (Faiz dan
Moffat 2003).Saluran empedu berperan sebagai kanalikuli yang kecil sekali
yang dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan (Hernawati 2010).Kanalikuli
merupakan bagian dari sistem duktus bilaris dan merupakan celah tubuler yang
dibatasi oleh membran plasma dari dua hepatosit.Kanakuli bilaris membentuk
anatomis yang kompleks dan berkembang di sepanjang lobulus hati.Duktus
dibatasi oleh epitel kuboid dan memiliki jaringan penghubung yang menyatu
dan membesar menjadi duktus hepatosit (Junqueira dan Carneiro
1980).Gambar mikroanatomi hepar ditunjukan pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1 PL. Struktur mikroanatomi hepar (Zhang 1999)
Gambar 2 Strukturinterlobular hepar (Zhang 1999)
7
2. Fungsi Hepar
Hepar berperan penting dalam proses metabolisme berbagai macam
senyawa, dan detoksifikasi (Hastuti 2006). Selain itu, hepar memiliki fungsi
mengatur keseimbangan cairan dalam elektrolit, biosintesis senyawa-senyawa
dalam tubuh, penyimpanan, perubahan, pemecahan molekul yang disekresikan,
ekresi bahan bersama empedu dan pembentukan serta pemecahan komponen
darah.Berdasarkan fungsi struktural, fungsi sel hepar dibagi menjadi dua yaitu,
fungsi sel epitel dan fungsi sel kupper (Hadi 2002). Fungsi sel epitel
diantaranya sebagi pusat metabolisme (hidratarang, protein, lemak, dan
empedu), sebagai penyimpan hasil metabolisme, sekresi empedu dan proses
detoktifikasi. Fungsi sel kupper sebagai sel edotel memiliki fungsi sistem
retikulo endotelial diantaranya, menguraikan HB menjadi billirubin, fagositosis
bakteri dan makromolekuler, membentuk α-globulin dan imun tubuh (Hadi
2002).
Zat toksik yang masuk dalam tubuh akan didetoksifikasi oleh hepar
dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisa, atau konjugasi. Asam glukuronat,
glycine asam sulfat, asam asetat, sitein, dan glutation merupakan zat yang
digunakan dalam konjugasi. Kandungan asam glukoronat didalam urine yang
meningkat ditemukan pada sel hati yang mengalami kerusakan, dikarenakan
hati kekurangan enzim konjugasi, sedangkan detoksifikasi obat pada hati
dengan cara oksidasi. Obat pada umumnya diubah menjadi zat yang larut
dalam air dan dikeluarkan melalui urine (Junqueira dan Carneiro 1980).
Pemberian obat secara oral akan melewati saluran pencernaan dan
diabsrobsis oleh usus. Di dalam usus obat akan mengalami absrobsi tidak
lengkap sehingga menembus dinding usus menuju hepar melalui vena porta
dan dimetabolisme di hepar. Metabolisme obat terjadi dalam sel mikrosom
melalui enzim yang sangat kompleks yang merubah obat tidak larut dalam air
menjadi larut dalam air (Hadi 2002). Hepar dapat mengalami kerusakan akibat
induksi obat dengan dosis berlebih.Kerusakan hepar ditandai dengan adanya
perubahan struktur mikroanatominya. Dampak obat terhadap kerusakan hepar
melalui 3 jalur yaitu merubah sintesa protein atau merubah metabolisme
8
lainyang esensiil dalam sel hepar, merubah aliran darah ke hepar sehingga
timbul nekrosis jaringan hepar, dan merubah metabolisme lemak (Hadi 2002).
Perubahan struktur sel hepar dapat bersifat reversible dan
irreversible.Perubahan struktur sel degenerasi merupakan perubahan yang
bersifat reversible dimana sel mengalami perubahan struktur
normal.Degenerasi yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan
kematian sel (nekrosis).Nekrosis adalah perubahan yang prosesnya bersifat
irreversible (Maulida et al, 2013).
Degenerasi merupakan cedera karena toksik dan dapat menyebabkan
pembengkakan atau edema hepatosit.Degenerasi sel dapat berupa degenerasi
parenkimatosa, hidropik dan melemak.Degenerasi parenkimatosa merupakan
bentuk degenerasi teringan dan bersifat reversibel.Degenerasi parenkinosa
terjadi akibat kegagalan oksidasi yang menyebabkan air tertimbun dalam sel
sehingga transportasi protein terganggu (Tamad et al, 2011).Pada degenerasi
parenkimatosa sel sitoplasma mengalami pembengkakan dan timbul granula
akibat endapan protein.
Degenerasi hidropik sel pada dasarnya sama dengan degenerasi
parenkimnosa, tetapi derajat degenerasinya lebih besar jika diabandingkan
degenerasi parenkimatosa (Tamad et al, 2011). Degenarasi hidropik ditandai
dengan sitoplasma pucat, mengalami vakuolisasi, dan vakuola tampak jernih
karena adanya penimbunan cairan dalam sel dan kemudian air memasuki
vakuola-vakuola tersebut (Hastuti 2006). Apabila kemudian terjadi robekan
membran plasma dan terjadi perubahan inti maka jejas sel menjadi ireversibel
dan sel mengalami nekrosis (kematian).
Nekrosis, adalah kematian sel atau jaringan pada makluk hidup.Terlihat
pada perubahan mikroanatominya.Inti sel menjadi lebih padat (piknotik) dan
dapat hancur bersegmen segmen (karioreksis) kemudian sel menjadi esinofilik
(Amalina 2009). Menurut luas kerusakannya terdpat beberapa macam nekrosis
diantaranya:
a. Nekrosis fokal, adalah kematian sebuah sel atau
kelompok kecil sel dalam satu lobus.
9
VP
b. Nekrosis zonal, adalah kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis zonal
dapat dibedakan menjadi nekrosis sentral, midzonal, dan perifer.
c. Nekrosis masif, yaitu nekrosis yang terjadi pada daerah yang luas.
Pada Gambar 3 dapat dilihat kerusakan sel hepar mencit (Mus muskulus) akibat
pemberian kodein per oral dengan dosis 8mg/BB.
Gambar 3 Gambaranhistopatologi hepar mencit yang diinduksi kodein dengan
dosis 8 mg/kg BB (Dok. Pribadi) ( ) : sel kupper () sel hepatosit
B. Farmokinetika dan Metabolisme Kodein
1. Farmokinetika Kodein
Kodein merupakan salah satu jenis alkaloida yang berasal dari opium dan
disentesis secara kormesial dari morfin (Katzung 2001). Struktur kimia kodein
adalah 7,8-didehidro-4, 5α-epoksii-3-metoksi-17-metilmorfin-6α-ol phospat
hemihidrat (Edebi et al. 2011). Di beberapa negara kodein digunakan sebagai
obat, dikarekan efek samping yang ditimbulkan kodein lebih rendah
dibandingkan jenis opioid lainya (Ferreiróset al. 2009). Kodein digunakan
sebagai obat batuk, obat anti-diare dan obat nyeri yang diperkuat melalui
kombinasi dengan parasetamol atau asetosal (Tjay dan Rahardja 2007). Selain
itu, kodein yang digunakan pada pengobatan penyakit ringan dan sedang
dikombinasikan dengan obat lain seperti contoh, aspirin, obat non-steroidal
anti-inflammasi (NSAIDs) dan dipenhidramin (Madadi dan Koren 2008). Uji
10
klinik terkontrol memperlihatkan keefektifan kodein dalam batuk angkut dan
kronis.
Kodein bekerja menekan pusat batuk di medula oblongata sebagai obat
batuk (Cattania dan Cuzzocrea 2011).Kodein mengikat reseptor tepi hanya
berpengaruh kurang dari maksimal bahkan ketika terikat pada semua reseptor
(Katzung 2001).Penggantian pada grup atau kelompok hidroksil C3 dan C6 dari
kodein mengubah sifat-sifat farmakonetika secara signifikan.Pengantian metil
pada fenolik hidroksil pada C3 mengurangi suseptibilitas molekul terhadap
metabolisme hepatis lintas-pertama dengan konjugasi glukuronida pada posisi
ini (Katzung 2001).Oleh karena itu obat-obatan seperti kodein mempunyai
rasio oral yang lebih tinggi dibandingkan dengan rasio parenteral.
Pada pemberian secara parental 30 mg kodein sesuai dengan 2,4 mg
morpium. Dosis sebagai analgetikum dan obat batuk pada dewasa adalah 15-60
mg setiap 6 jam (100 mg dosis tunggal paling tinggi dan 300 mg dosis harian
yang paling tinggi). Sedangkan dosis analgetikum pada anak-anak 0,5 mg/kg
setiap 6-8 jam dan untuk batuk 0.2-0,3 mg/kg setiap 6-8 jam (Staf pengajar
Universitas Srwijaya, 2004). Pada dosis berlebih kodein yang diberikan dapat
mengakibatkan efek yang tidak diinginkan.Efek toksik langsung adalah depresi
nafas, mual, muntah, pusing, berkembangnya toleransi dan ketergantungan.
Farmakonetika memiliki tiga proses utama yaitu absropsi, distribusi, dan
eliminasi. Absropsi kodein lebih cepat melalui jalur oral dibandingkan melalui
jalur perental (William et al. 2001).Kodein adalah hasil dari susbtitusi gugus
metil dengan gugus hidroksil karbon nomor 3 morfin.Adanya gugus metil ini
membatasi metabolisme hepar yang pertama (first-pass metabolism) dan
perhitungan untuk efektivitas kodein ketika diberikan secara oral. Waktu paruh
eliminasi pada kodein setelah pemberian oral adalah 3,0 sampai 3,5 jam
(Yudhowibowo, et al 2011). Absropsi lebih cepat pada waktu konsentrasi
plasma puncak sekitar 0,5 jam setelah pemberian kodein. Kodein memiliki
volume distribusi sebesar 3,6 liter kg-1
dan klirens sebesar 0,85 liter min-1
(William et al. 2001). Meskipun penyerapan melalui jalur pencernaan lebih
11
cepat, opioid yang masuk merupakan subjek untuk metabolisme lintas pertama
di hati yang dapat mengakibatkan efek hepatik (William et al. 2001).
Pada distribusiya kodein terikat pada protein plasma dan mengalir keluar
dari darah secara cepat, menempati jaringan-jaringan yang prefusinya besar
dengan kosentrasi yang tinggi.Pada persenyawaan hidroksil aromatis C3
digantikan, sehingga kodein lebih mudah melewati sawar darah otak. Metabolit
polar akan disekresikan melalui urin (William et al, 2001).
Mekanisme potensial kerja kodein berbeda dengan reseptor opioid atau
non opioid.Kodein memiliki efek analgensik langsung atau metabolit aktif
yang dimetabolisme menjadi morfin (Ferreiróset al. 2009).Agonis opioid
menghasilkan analgensik dengan mengikat reseptor khusus, yang terletak pada
daerah otak dan korda spinalis yang terlibat dalam transmisi dan modulasi
nyeri.Kodein sendiri pada metabolisme kodeine-6-glukuroida dan narkodin
berikatan dengan µ reseptor (Kirchheiner et al, 2006).Selain itu kodein juga
berikatan pada reseptor delta dan kappa.Ketiga reseptor tersebut merupakan
anggota dari famili reseptor yang terhubung dengan protein G dan
menunjukkan sekuens asam amino homologis yang signifikan.Kodein memiliki
aktifitas kerja yang lebih rendah dan lambat jika dibandingkan dengan morfin
(Katzung 2001).
2. Metabolisme Kodein
Sekitar 50% dari kodein dimetabolisme di meristem ginjal dan hati
(William et al. 2004).Kodein memiliki rasio oral lebih tinggi dibandingkan
dengan rasio parental, dikarenakan dilindungi oleh grup metil pada kelompok
hidroksil aromatik C3. Efek CNs dari opiates dikarenakan adanya reseptor µ-
opioid. Kodein merupakan opioid dengan aktifitas reseptor µ-opioid yang
rendah.Pengikatan kodein yang dimetabolisme ke µ-opioid reseptor digunakan
untuk memprediksi potensi analgensik (Madadi dan Koren 2008).Metabolisme
kodein berlangsung kompleks melalui tiga jalur yaitu, glukoronidasi, N-
demetilasi, dan O-demetilasi.Jalur utama metabolisme kodein melibatkan jalur
glukoronidasi yang memetabolisme kodein menjadi kodein-6
12
glukuronida.Enzim yang bekerja dalam metabolime tersebut adalah UDP-
GT2B7 dan UDP-GT2B4 (Clausen et al, 2008). Sekitar 10-15% dari kodein
dimetabolisme menjadi narkodein melalui N-demetilasi oleh enzim sitrokrom
P450 3A4 (CYP3A4),yang kemudian melalui glukoronidasi dimetabolisme
menjadi norkodein-6-glukuronida. Sekitar 5-15% kodein dimetabolisme oleh
enzim sitrokrom P450 2D6 (CYP2D6) menjadi morfin melalui O-demetilasi
(Madadi dan Koren 2008, Clausen et al, 2008).
Enzim CYP2D6 digunakan sebagai dasar mengenai respon metabolisme
aktif terhadap analgensik kodein, kemudian morfin dimetabolisme melalui
jarur glukoronidasi menjadi Morfin-3-glukuronida (M3G) dan Morfin-6-
glukuronida (M6G).M6G menunjukkan subtansi lebih besar pada efek
analgensiknya (Shord 2009). Aktivitas CYP2D6 yang rendah sekitar 1%
ditunjukan oleh adanya mikrosom fetal hepar. Penumpukan metabolisme
terdetimetilasi dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan hati dengan
penggunaan dosis tinggi dan berkali-kali. Bagian kodein yang tidak
dimetabolisme akan disekresikan melalui urin. Antara 5% dan 15% kodein
diekskresikan tidak berubah dalam urin (Ferreiros et al, 2009).
Morfin-3-glukuronida (M3G) dan Morfin-6-glukuronida (M6G)
merupakan metabolit dominan kodein menjadi morfin dengan UGT2B7 yang
berperan dalam siklusnya.Enzim ini terikat di retikulum endoplasmic dan
terdapat sebagian besar di bagian sisiluminal dari hati atau organ lainnya.
Secara keseluruhan produksi M3G lima kali lebih tinggi dibandingkan M6G
(Madadi dan Koren 2008). Tidak teridentifikasinya UGTsakan mengakibatkan
perubahan endogin morfin menjadi M3G, M6G dan C6G dalam homogenitas
otak manusia. Dimana proposi endogen morfin yang keluar dari otak sebagai
konjugasi sulfat tidak seimbang.M3G memiliki potensi rendah pada µ
reseptor.M3G yang dideteksi dalam jaringan tikus memiliki potensi analgensik
yang rendah, sedangkan M6G memiliki potensi analgensik yang efektif.
O-dementilasi, biotransformasi kodein menjadi morfin dikatalisis oleh
polimorphik sitrokrom P450 (CYP2D6).Morfin pada glukoronidasi selanjutnya
diubah menjadi M6G yang merupakan metabolik aktif dan M3G merupakan
13
metabolik inaktif (Eissing et al, 2012). Dengan adanya duplikasi gen
CYP2D6. Interaksi obat memberikan efek toksik, ditambah melalui O-
demetilasi menjadi morfin dan N-demetilasi menjadi norkodein oleh CYP3A4
dan glukoronidasi. Efek dari kodein terkait dengan produksi konsentrasi
morfin setelah pemberian kodein. Konsentrasi morfin, morfin-3-glukuronida,
dan morfin-6-glukuronida secara subtansial menyebabkan adanya kerusakan
pada jaringan ekrsesi dan morfin-6-glukuronida sebagai aktivitas opioid
(Gasche et al, 2004). Glutation dapat berkonjugasi dengan epoksid yang
terbentuk akibat oksidasi dari halogen aromatik.Epoksida ini bersifat sangat
elektrofilik yang sangat reaktif.Metabolit ini dapat bereaksi dengan unsur-unsur
sel dan menyebabkan kematian sel.
Metabolisme kodein dapat dilihat pada Gambar 4.
Glukuronidasi
Gambar 4Metabolisme kodein (Madadi dan Koren 2008 , William et al, 2001)
kodeine-6-Glikuronida
N-DEMETILASI
UGT2B7
Morfin-3-glukuronida
Morfin-6-glukuronida
nomorfin
CYP3A4
norkodein 6 glukuronida
O-demetilasi
+
glucuronidasi
N-demetilasi
+
glucuronidasi
O-DEMETILASI
KODEIN
Pengikatan kovalen dengan Makromolekul Sel
Kerusakan sel
CYP2D6
morfin
narkodein
nomorfin
14
C. Benalu Mangga (Dendrophthoe petandra)
Benalu merupakan tumbuhan semiparasit yang tersebar pada daerah
tropis.Jenis benalu yang umumnya ditemukan di daerah tropis berasal dari
famili Loranthaceae, salah satu spesiesnya benalu mangga (Dendrophthoe
petandra).Benalu mangga merupakan benalu yang tumbuh pada cabang pohon
mangga yang sudah tua sebagai inangnya.Benalu mangga umumnya hidup di
hutan hujan dan perkebunan dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl (Uji
et al, 2007).Ciri morfologinya yaitu, tumbuhan perdu, bercabang banyak, dan
daun berbentuk ovoid dengan tulang daun menyirip.Bunga merupakan bunga
tandan yang terdiri dari 6-12 bunga, kelopak mereduksi, dan warna bunga
mula-mula hijau menjadi kuning sampai orange.Buah berbentuk ovoid,
termasuk monokotil dan biji dilapisi oleh lapisan lengket.Benalu mangga
terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5Dendrophthoe petandra (Dok. Pribadi)
Berikut sistematika benalu mangga (Van Steenis 1975):
Divisi
Subdivisi
Kelas
Subkelas
Bangsa
Keluarga
Genus
Spesies
: Tracheophyta
: Euphyllophytina
: Magnoliopsida
: Rosidae
: Santalales
: Loranthaceae
: Dendrophthoe
: Dendrophthoe petandra
15
Benalu banyak dimanfaatkan sebagai antiradang, analgensik, antivirus,
antikanker, imunitas dll.Kandunan senyawa yang terdapat pada ekstrak benalu
adalah flavonoid, asamamino, karbohidrat, tanin, alkonoid dan saponin (Katrin
2005).Flavonoid merupakan senyawa antioksidan utama yang ditemukan pada
benalu.Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralkan dan melawan
bahan toksik (radikal bebas) dan menghambat terjadinya oksidasi pada sel
sehingga menggurangi kerusakan sel (Simanjuntak et al, 2004). Pada penelitian
Artanti 2009, ektrak etanol daun benalu menunjukkan adanya aktivitas
antioksidan bervariasi dengan IC50 = 6,4 s/d 38,7 µg/ml.
Kuersetin merupakan senyawa flavonoid utama yang terdapat pada
benalu. Benalu mangga memiliki kadar kuersetin lebih tinggi dibandingkan
dengan benalu teh. Kadar kuersetin pada benalu mangga sebesar 39,8mg/g
sedangkan benalu teh hanya 9,6 mg/g (Endharti et al,2013). Hasil uji BNT
pada penelitian Artanti 2009, menunjukkan ekstrak etanol benalu mangga tidak
menunjukkan adanya efek toksik (LD50>1000µg/mL).Kuersetin dapat
digunakan sebagai antiinflamasi dan anti alergi sehingga dapat menaikkan
imunitas (Endharti et al,2013).Kuersetin dapat mengikat radikal bebas
sehingga dapat mencegah atau mengurangi dampak dari radikal bebas itu
sendiri. Kuersetin bertindak dalam meningkatkan total glutation di dalam sel
Hal tersebut menunjukkan kuersetin memiliki kemungkinan mencegah
kerusakan sel-sel yang disebabkan oleh radikal bebas, karena dengan
diproduksisnya glutationin, akan membentuk kompleks yang kurang berbahaya
(Durgoet al, 2007).
B. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada kerusakan mikroanatomi sel hepar pada pemberian kodein peroral
dengan dosis tinggi (12mg/ekor)
2. Ada perbaikkan pada pemberian ekstrak benalu mangga terhadap
perubahan histopatologi hepar tikus yang diinduksi kodein.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan dan Laboratorium
Struktur Jaringan Hewan Jurusan Biologi FMIPA UNNES selama 5 bulan dari
bulan oktober 2013 sampai bulan febuari 2014.
B. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah tikus yang diperoleh
dari pemeliharaan tikus Labaratorium Biologi FMIPA UNNES.
Sampel penelitian diambil secara acak dari populasi sebanyak 20 ekor
tikus wistar jantanusia 2 bulan, dengan berat badan sekitar 150-200 gram,
sehat dan tidak cacat secara anatomi.
C. Variabel Penelitian
Ada 3 macam variabel dalam penelitian ini yaitu :
1. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah perubahan struktur
mikroanatomi hepar tikus.
2. Variabel bebas
Variabel bebas berupa pemberian ekstrak benalu dengan dosis berbeda dan
kodein dengan dosis harian tertinggi pada masing-masing kelompok
perlakuan.
3. Variabel kendali
Variabel kendalinya adalah strain tikus, jenis kelamin, umur, berat badan,
jenis pakan dan ukuran kondisi lingkungan kandang.
17
D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental dengan pola the
post test only control group design. Tikus wistar jantan sebanyak 20 ekor
dibagi menjadi5 kelompok penelitian (Tabel 1) dan mendapatkan pakan dan
minum standart.
Tabel 1 Tabel matriks penelitian
Kel Jumlah Kodein (mg/ekor) Benalu (mg/ekor)
Hari ke 1-7 Hari ke 7-21
K0 4 0 0
K 4 12 0
KB1 4 12 22
KB2 4 12 44
KB3 4 12 88
Ket:
K0 = kontrol(dosis kodein 0 mg/ekor, benalu 0 mg/ekor)
K = perlakuan kodein (dosis kodein12 mg/ekor, benalu 0mg/ekor)
KB1 = perlakuan kodein benalu 1(dosis kodein12 mg/ekor, benalu 22
mg/ekor)
KB2 = perlakuan kodein benalu 2 (dosis kodein12 mg/ekor, benalu 44
mg/ekor)
KB3 = perlakuan kodein benalu 3 (dosis kodein12 mg/ekor, benalu 88
mg/ekor)
E. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan terdiri dari:
1. Alat dan bahan yang digunakan untuk ekstraksi benalu mangga adalah
blender, kertas saring dan penyaring , beker gelas, aluminum foil, rotary
evaporator, benalu dan etanol 70 %.
2. Alat dan bahan yang digunakan untuk perlakuan penelitian dengan
pemberian benalu mangga yang diinduksi oleh kodein adalah tikus, kodein,
ekstrak benalu, akuades, sonde lambung spuit, kandang tikus, dan wadah
minum.
3. Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi
hepar tikus adalah alat bedah, papan bedah, staining jar, piring panas,
mikrotom, mikroskop, klorofom, formalin 10%, FAA dalam alkohol 70%,
alkohol, alkohol xilol, xilol murni, xilol parafin, parafin, albumin meyer,
dan kanada balsam.
18
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian pada penelitian meliputi persiapan penelitian dan
perlakuan penelitian untuk mengetahui perubahan histopatologi hepar tikus
pada pemberian benalu mangga yang diinduksi oleh kodein.
1. Persiapan penelitian
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, menyiapkan
hewan uji, membuat larutan stok kodein, membuat ekstrak benalu mangga,
menentukan dosis kodein dan benalu mangga yang akan digunakan.
a. Persiapan hewan uji
Persiapan hewan uji dengan membagi 20 ekor tikus wistar menjadi5
kelompok perlakuan yang diletakkan pada kandang tikus.Kemudian
tikus diaklimatisasi selama 5 hari dan diberi pakan minum secara
libitum.
b. Pembuatan ektrak benalu mangga
Membuat ekstrak benalu mangga dilakukan dengan cara
maserasi.Teknik ekstraksi maserasi digunakankarena merupakan teknik
ekstraksi yang mudah dan sederhana dengan hasil produk yang baik,
selain itu teknik ekstrak maserasi mempunyai keunggulan tidak merusak
senyawa yang tidak tahan terhadap panas. Maserasi adalah proses
ekstraksi dengan cara perendaman serbuk dalam air atau pelarut organik
sampai meresap yang akan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat
yang terkandung didalamnya akan larut (Daut et al, 2011). Pelarut yang
digunakan dalam ekstraksi adalah etanol 70%.Pelarut etanol digunakan
karena senyawa kuersetin merupakan senyawa flavonoid golongan flavol
yang memiliki sifat praktis tidak larut air dan lebih larut pada senyawa
alkohol dan pelarut organik (Daut et al, 2011). Metode ekstraksi yaitu,
daun benalu mangga yang telah dikeringkan dan dihaluskan, direndam
dalam etanol 70% di dalam beker gelas yang ditutup dengan kertas
aluminium foil selama 24 jam. Kemudian larutan ekstrak dipisahkan
dengan kertas saring dan dievoporasi dengan rotari evaporator untuk
menguapkan pelarutnya hingga menjadi bentuk pasta. Ekstrak benalu
19
mangga yang berbentuk pasta kemudian ditimbang dan dilarutkan dalam
air.
c. menentukan dosis kodein dan benalu mangga
Dosis kodein yang digunakan adalah 2x dosis harian tertinggi pada
manusia yaitu 300 mg (Bircher dan Lotterer, 1993) dikonversikan ke
dosis tikus menjadi menjadi 0,018 x 2 x300 = 12 mg/ ekor.Kodein yang
digunakan dalam penelitian berupa tablet 20 mg yang dilarutkan dengan
akuades. Dosis ekstrak benalu pada penelitian inimengacu pada
penelitian Gusviani et al(2002) adalah dosis yang digunakan pada
mencit sebesar 156 mg/kg BB, kemudian dikonversi pada dosis tikus
(Lampiran 4). Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah 1x, 2x,
dan 4x dosis yang telah dikonversikan yaitu,22 mg/ ekor, 44 mg/ ekor,
88 mg/ ekor.
2. Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian meliputi, memberikodein secara peroral dengan
dosis 12 mg/ekor pada semua kelompok perlakuan(K, KB1, KB2,
KB3)selama 7 hari. Pemberian dilakukan pada hari ke 1sampai hari
ke7.Kemudian dilanjutkan memberi ekstrak benalu secara peroral pada
kelompok KB1 dengan dosis 22 mg/ekor, KB2 dengan dosis 44 mg/ekor,
dan KB3 dengan dosis 88 mg/ekorselama 14 pada hari ke 7 sampai hari ke
21. Setelah perlakuan selesai dilaksanakan tikus dibedah untuk diambil
hepar kemudian difiksasi dengan formalin dan dibuat preparat
mikroanatomidan diwarnai dengan HE.Cara pembuatan preparat
mikroanatomihepar tikus terdapat pada Lampiran 3.Setelah preparat
mikroanatomi hepar selesai dibuat, preparat mikroanatomi hepardiamati di
bawah mikroskop.
20
G. Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan setelah perlakuan penelitian selesai
dilakukan.Data yang diambil dari penelitian ini berupa gambaran mikroskopik
preparat mikroanatomi hepar tikus dan skoring derajat kerusakan struktur
mikroanatomi hepar tikus.
Gambaran mikroskopik preparat mikroanatomi hepar tikus, diperoleh
dari pengamatan preparat mikroanatomi sel hepar melalui miskroskop dengan
perbesaran 400x terhadap seluruh kelompok kontrol dan perlakuan.Hasil
pengamatan kemudian didokumentasikan dengan kamera.
Skoring derajat kerusakan struktur mikroanatomi hepar tikus diperoleh
dari pengamatan preparat mikroanatomi sel hepar dengan perbesaran 400x
melalui lima lapangan pandang yang berbeda pada seluruh kelompok kontrol
dan perlakuan. Skoring yang digunakan berdasarkan tingkat kerusakan sel
hepar meliputi inflamasi portal, nekrosis dan degenerasimenurut metode
Ishak/Modifed Histology Activity Index (HAI - Knodell Score).Perhitungan
skoring dapat dilihat pada Lampiran 4. Setiap lapangan pandang dinilai skor
tiap sel, kemudian dihitung rerata skor perubahan histopatologi hepar dari lima
lapangan pandang masing-masing kelompok perlakuan.
H. Analisis Data
Data yang diperoleh berupa perbedaan gambaran histopatologi hepar
tikus pada tiap kelompok, kemudian dianalisis secara dikriptif dan analitik
dengan membandingkan perubahan struktur histopatologi hepar tikus pada 5
kelompok menggunakan literatur dan atlas hispatologi (Zhang 1999; Ferrell
dan Kakar 2011).
Data yang dianalisa secara deskriptif berupa gambaran hasil perubahan
preparat mikroanatomi hepar tikus pada masing-masing kelompok, sedangkan
data yang dianalisa secara analitik berupa nilai hasil skoring derajat
histopatologi hepar. Nilai skoring yang diperoleh, kemudian diolah dengan
menggunakan program computer SPSS for windows versi 16.0.Data diuji
normalitasnya denga uji Kolmogorov-Smirnova. Apabila didapatkan distribusi
21
data yang normal, maka dilakukan uji beda menggunakan One Way Anova dan
dilanjutkan dengan analisis post hoc, tetapijika distribusi data yang didapatkan
tidak normal, maka dilakukan uji beda dengan menggunakan uji Kruskal
Walis dan dilanjutkan dengan uji post hoc yaitu Mann Whitney.
22
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental dengan pola
penelitian the post test only control group design. Tikus wistar sebanyak 20
ekor dibagi menjadi kelompok kontrol dan 4 kelompok yaitu, kelompok K
(kodein 12 mg/ekor); kelompok KB1 (kodein 12 mg/ekor, benalu 22
mg/ekor); kelompok KB2 (kodein 12 mg/ekor, benalu 44 mg/ekor); dan
kelompok KB3 (kodein 12 mg/ekor, benalu 88 mg/ekor). Data yang diambil
berupa gambaran hasil pengamatan mikroskopik preparat mikroanatomi hepar
tikus dan skoring derajat perubahan struktur mikroanatomi hepar tikus.
Data gambaran histopatologi hepar tikus tiap kelompok, dianalisis secara
dikriptif dan analitik dengan membandingkan perubahan struktur histopatologi
hepar tikus pada 5 kelompok menggunakan literatur dan atlas hispatologi
(Zhang 1999; Ferrell dan Kakar 2011).Gambaran mikroantomi sel hepar pada
kelompok kontrol menunjukkanstruktur penyusun sel hepar normal, batas
sinusoid jelas, tidak ada vakuola tidak ditemukan adanya nekosis dan
degenerasi.Pada kelompok K (kodein 12 mg/ ekor) terdapat kerusakan
struktur hepar berupa inflamasi periportal, degenerasi albuminosa, degenerasi
hidropik dan degenerasi melemak.Kerusakan struktur hepar pada pemberian
kodein 12mg/ekor dan benalu dosis bertingkat berupa inflamasi periportal,
degenerasi hidropik, degenerasi melemak, nekrosis. Pada kelompok KB1
(kodein 12mg/ekor dan benalu 22mg/ekor)terdapat nekrosis dengan inti
pikotik (inti menjadi lebih padat dan warna menjadi lebih gelap), dan terlihat
sel radang mengelilingi sel nekrosis. Degenerai ditandai dengan perubahan
pada sitoplasma.Degenerasi albuminosa ditandai dengan sitoplasma menjadi
keruh dan membengkak.Pada degenarasi hidropik ditandai dengan sitoplasma
mengalami vakuolisasi dan degenerasi melemak ditandai dengan vakuola–
vakuola yang berisi lemak dan mendesak inti ke tepi sel.Gambar
mikroanatomi sel hepar pada kelompok kontrol dapat dilihat pada Gambar 6.
23
Gambar 6 Histopatologi sel hepar, (Hp N) hepatositnormal; (Snd) sinusoid; (sal
E) saluran empedu; (VP) vena porta; (Inf P) inflamasi periportal;
(DA) degenerasi albuminosa; (DH) degenerasi hidropik; (DM)
degenerasi melemak; (Ne)nekrosis; (Inf) inflamasi/peradangan
KB1
KB2 KB3
Hp N
Sn
d
Inf P
Sal.
E
DH
D
M
DA
DA
DH
Ne
Inf
D
M
DH
DH
Inf P
VP
Keterangan
K0 = kontrol (kodein 0 mg/ekor,
benalu 0mg/ekor)
K =perlakuan kodein (kodein12
mg/ekor, benalu 0mg/ekor)
KB1 = perlakuan kodein benalu
1(kodein 12mg/ekor, benalu
22 mg/ekor)
KB2 = perlakuan kodein benalu 2
(kodein 12mg/ekor, benalu
44mg/ekor)
KB3 = perlakuan kodein benalu 3
(kodein 12mg/ekor, benalu
88mg/ekor)
D
M
Inf
DH
D
M
K
K0
24
Data skoring derajat perubahan struktur mikroanatomi hepar tikus diuji
normalitas pada skoring kerusakan hepar dengan uji Kolmogorov-Smirnov
didapatkan data dengan ditribusi tidak normal, maka data dihitung dengan uji
kruskall wallis dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok.Tingkat kerusakan mikroantomi hepar tikus dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2Tingkat kerusakan mikroanatomi hepar tikus
Kelompok Inflamasi periportal Degenenerasi Nekrosis
Kontrol + 0 0
K ++ +++ 0
KB1 ++ +++ +
KB2 ++ +++ +
KB3 ++ +++ +
Keterangan:
0 = tidak ada kerusakan
+ = kerusakan bersifat ringan
++ = kerusakan bersifat sedang
+++ = kerusakan bersifat berat
K0 = kontrol (kodein 0 mg/ekor, benalu 0 mg/ekor)
K = perlakuan kodein (kodein12 mg/ekor, benalu 0mg/ekor)
KB1 = perlakuan kodein benalu 1(kodein 12 mg/ekor, benalu 22 mg/ekor)
KB2 = perlakuan kodein benalu 2 (kodein 12 mg/ekor, benalu 44mg/ekor)
KB3 = perlakuan kodein benalu 3 (kodein 12 mg/ekor, benalu 88mg/ekor)
Pada kelompok kontrol ditemukan adanya inflamasi periportal, tetapi
kerusakan selnya masih bersifat ringan. Pada kelompok K(kodein 12mg/ekor)
terdapat kerusakan hepar berupa degenerasidan inflamasi periportal,
sedangkan pada kelompok kodein 12mg/ekor dan benalu dosis bertingkat,
terdapat perubahan struktur mikroanatomi sel hepar berupa, inflamasi
periportal, nekrosis dan degenerasi.Nekrosis yang ditemukan tingkat
kerusakannya masih bersifat ringan.Untuk mengetahui nilai perubahan
struktur histologi sel hepar dapat dilihat pada Tabel 3.
25
Tabel 3 Nilai perubahan struktur histologi pada sel hepar pada semua
kelompok
Kelompok Inflamasi
periportal Degenerasi Nekrosis
K0 0,40±0,50a 0,00±0,00
a 0,00±0,00a
K 1,50±0,50a b 3,00±0,00
a b 0,00±0,00a
KB1 1,30±0,47a b 2,85±0,67
a b 0,55±0,51a b
KB2 1,30±0,51a b 2,85±0,49
a b 0,30±0,47a b
KB3 1,50±0,51a b 2,50±0,89
a b 0,40±0,43a b
Hasil uji Mann-WhitneyU, (a) bermakna dengan kelompok kontrol jika p<0,05dan (b) tidak
bermakna antar perlakuan jika p>0,05
Keterangan:
K0 = kontrol (kodein 0 mg/ekor, benalu 0 mg/ekor)
K = perlakuan kodein (kodein12 mg/ekor, benalu 0mg/ekor)
KB1 = perlakuan kodein benalu 1(kodein 12 mg/ekor, benalu 22 mg/ekor)
KB2 = perlakuan kodein benalu 2 (kodein 12 mg/ekor, benalu 44mg/ekor)
KB3 = perlakuan kodein benalu 3 (kodein 12 mg/ekor, benalu 88mg/ekor)
Pada kelompok perlakuan kodein 12mg/ekordan benalu dosis bertingkat,
terdapat perubahan struktur mikroanatomi sel hepar berupa, inflamasi
periportal, nekrosis dan degenerasi. Inflamasi periportal ditemukan pada semua
kelompok. Terdapat peningkatan secara signifikan (p<0,05) pada nilai rerata
inflamsi periportal kelompok kontrol ke kelompok perlakuan kodein dosis
12mg/ekor. Pada kelompok tikus yang diberi kodein dan benalu dosis
bertingkat, tingkat inflamasi periportal menurun secara tidak signifikan
(p>0,05) dari kelompok K (kodein dosis 12mg/ekor)(mean=1,50) ke kelompok
KB1 (kodein 12mg/ekor dan benalu 22mg/ekor)(mean=1,30) dan kelompok
KB2 (kodein 12mg/ekor dan benalu 44mg/ekor) (mean=1,30). Pada kelompok
perlakuan KB3 (kodein 12mg/ekor dan benalu 88mg/ekor) rerata inflamasi
sama dengan kelompok K(kodein dosis 12mg/ekor)(mean=1,50).
Degenerasi hanya ditemukan pada kelompok perlakuan kodein dosis
12mg/ekor dan kelompok perlakuan kodein 12mg/ekor benalu dosis bertingkat.
Pada kelompok tikus yang diberi kodein dan benalu dosis bertingkat, tingkat
degenerasi menurun secara tidak signifikan (p>0,05) dari kelompok K( dosis
12mg/ekor)(mean=3,00) ke kelompok KB1 (kodein 12mg/ekor dan benalu
22mg/ekor)(mean=2,80), kelompok KB2(kodein 12mg/ekor dan benalu
26
44mg/ekor) (mean=2,80) dan kelompok KB3 (perlakuan kodein 12mg/ekor
benalu 88mg/ekor) (mean=2,50).
Nekrosis pada kelompok kontrol dan kelompok K(kodein dosis
12mg/ekor) tidak ditemukan, tetapi ditemukkan pada kelompok perlakuan
kodein dosis 12mg/ekor benalu dosis bertingkat. Pada kelompok tikus yang
diberi kodein 12mg/ekor dan benalu dosis bertingkat, tingkat nekrosis menurun
secara tidak signifikan (p>0,05) dari kelompok KB1 ( kodein dosis 12mg/ekor
dan benalu 22mg/ekor) (mean=0,55) ke kelompok KB2 (kodein 12mg/ekor
dan benalu 44 mg/ekor) (mean=0,30) dan mengalami peningkatan secara
signifikan (p>0,05) pada kelompok KB3 (kodein 12mg/ekordan benalu
88mg/ekor) (mean=0,40), tetapi lebih rendah dari kelompok KB1(kodein dosis
12mg/ekordan benalu 22mg/ekor).
B. PEMBAHASAN
1. Pengaruh histopatologi Hepar yang Diinduksi Kodein
Kodein merupakan salah satu jenis alkaloida yang berasal dari
opium (Katzung 2001), dan digunakan sebagai obat batuk, obat anti-diare
dan obat nyeri yang diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol atau
asetosal (Tjay dan Rahardja 2007).Kodein yang diberikan secara oral,
masuk melalui sistem pencernaan kemudian diabsrobsi oleh usus (Willian
2004). Di dalam usus obat akan mengalami absrobsi secara tidak lengkap
sehingga menembus dinding usus menuju hepar melalui vena porta
kemudian obat akan dimetabolisme di hepar (Katzung 2001). Pemberian
kodein secara oral pada dosis tinggi dapat menyebabkan cedera sel
hepar.Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensial yang terjadi
karena hepar merupakan pusat metabolik dari obat dan bahan-bahan asing
yang masuk melalui sistem gastroinstestinal.
Pada hasil penelitian dengan pemberian kodein 12 mg/ekor, sel
hepar mengalami perubahan bermakna (p<0,05) dengan kelompok kontrol
pada degenerasi dan inflamasi periportal. Tabel nilai perubahan struktur
histologi pada sel hepatosit kelompok kodein 12mg/ekor, menunjukkan
27
kerusakan degenerasi meluas pada seluruh luas pandang. Kerusakan
degenerasi yang ditemukan pada hasil pengamatan preparat mikroanatomi
sel hepar kelompok kodein 12mg/ekor adalah degenerasi albuminosa,
degenerasi hidropik dan melemak, sedangkan tingkat infalamsi periportal
pada kelompok kodein 12mg/ekor kerusakannya bersifat sedang.
Degenerasi merupakan tanda awal kerusakan hati akibat toksin
yang bersifat sementara (reversible)dan sel masih dapat pulih atau normal
kembali apabila paparan toksin dihentikan (Harada et al, 1999).
Degenerasi ditandai dengan perubahan sitoplasma sel karena cairan sel
bertambah dan membengkak, tetapi inti sel dapat mempertahankan
integritas selama sel tidak mengalami cedera yang parah. Degenerasi
albuminosa disebut juga degenerasi parenkimatosa merupakan degenerasi
teringan yang ditandai dengan terjadi kekeruhan, pembekakkan sitoplasma
dan sitoplasma berglanula.Terjadinya degenerasi albuminosa dikarenakan
sel yang terkena jejas tidak mampu mengeliminasi air sehingga tertimbun
di dalam sel sehingga mengalami pembengkakkan dan nampak
berglanula.(Hapsari 2010).Degenerasi hidropik ditandai dengan sitoplasma
mengalami vakuolisasi dan vakuola-vakuola nampak jernih.Degenerasi
hidropik kondisi dimana sel menerima cairan lebih banyak dari normalnya
dan terakumulasi dalam sitoplasma sel sehingga sitoplasma sel
membengkak. Degenerasi melemak pada hati menunjukkan
ketidakseimbangan proses metabolisme, sehingga terjadi perubahan
morfofologi dan penurunan fungsi hepar akibat akumulasi lemak dalam
sitoplasma. Degenerasi melemak ditandai dengan vakuola–vakuola yang
berisi lemak dan mendesak inti ke tepi sel (Mulyono, et al 2006).
Radang (inflamasi) merupakan mekanisme pertahanan tubuh
disebabkan adanya respons jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak
baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh.Pengaruh-
pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi fisika, kimia, bakteri,
parasit, asam, basa kuat dan bakteri.Zona periportal merupakan daerah
yang paling dekat dengan suplai vaskuler dari traktus portalis. Pada
28
daerah zona periportal terdapat vena porta yang berfungsi membawa
nutrient, vitamin, bahkan zat toksik dari saluran cerna ke hati Oleh karena
zona periportal akan terpapar oleh kodein lebih dahulu dan memberikan
respon berupa sel radang.
Mekanisme kerusakan sel hepar karena obat melibatkan enzim
sitrokom p-450 yang menyebabkan adanya ikatan kovalen obat dengan
protein intrasel. Hal itu berakibat terjadinya difungsi intraseluler berupa
hilangnya gradient ion, penurunan kadar ATP, dan disrupsi aktin pada
permukaan hepatosit yang menyebabkan pembekakan sel dan berakhir
dengan kematian sel. Efek analgensik kodein tergantung pada
pembentukan morfin dan M6G pada proses metabolismenya.
Biotransformasi kodein menjadi morfin dikatalisis oleh polimorfik
sitrokrom P450 (CYP2D6) melalui O-demetilasi. Morfin pada
glukoronidasi selanjutnya diubah menjadi M6G sebagai metabolik aktif
dan M3G sebagai metabolik inaktif (Eissing et al, 2012). Efek dari
kodein terkait dengan produksi morfin pada metabolisme kodein yang
dapat menyebabkan hepatotoksitas. Konsentrasi morfin, morfin-3-
glukuronida, dan morfin-6-glukuronida secara subtansial menyebabkan
adanya kerusakan pada jaringan ekrsesi (Gasche et al, 2004).
Meningkatnya pembentukan morfin pada metabolisme kodein
dikarenakan kontribusi jalur CYP2D6 yang besar, sehingga secara tidak
langsung paparan M6G dipengaruhi oleh pembentukan morfin yang
tinggi.Hal tersebut berdampak pada aktifitas UGT2B7 rendah.Induksi
morfin menyebabkan penurunan tingkat glutation. Dengan tidak adanya
glutation, metabolit reaktif akan mengadakan reaksi dengan gugus
nukleofilik yang terdapat pada makromonekul sel dan dapat berakibat
pada hepatotoksisitas (Katzung 2001).
Cedera hati akut diawali oleh lesi biokemik akan menyebabkan
perubahan metabolisme yang berakibat pada perubahan struktur dan
perubahan fungsi hepar. Penimbunan hasil metabolit reaktif dan toksik
menyebabkan terganggunya permeabilitas selaput, homeostatis osmosa,
29
keutuhan enzim dan kofaktor yang selanjutnya akan membebani sel
tersebut dan menyebabkan jejas sel dan disfungsi (Wulandari 2008).
Induksi kodein menyebabkan penurunan tingkat glutation.Hal ini dapat
menyebabkan penurunan pada produksi ATP yang berakibat pada
penurunan fungsi Na+K
+ATPase sehingga terjadi akumulasi Na
+
interaseluler. Akumulasi Na+ menyebabkan tekanan osmotik di intrasel
meningkat dan mendorong perpindahan air secara pasif mengikuti gradient
konsentrasi sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan sel atau
degenerasi sel. Jika pembengkakan sel berat dan dalam mencangkup
seluruh mitokondria dalam sel, maka sel gagal mempertahankan struktur
dan fungsi sel yang berakhir pada nekrosis hepatosit.
Pada hasil penelitian tidak ditemukan adanya nekrosis, tetapi rerata
derajat perubahan inflamasi periportal dan degenerasi paling tinggi yaitu
1,50 dan 3, jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan
pemberian kodein dan ekstrak benalu mangga peroral. Hal ini mungkin
disebabkan karena morfin dan M6G sebagai efek analgensik dari kodein
hanya 0-15% dimetabolisme oleh kodein dan sekitar 50-70% kodein akan
dimetabolisme melalui jalur glukoronidasi menjadi kodein-6-glikuronida
oleh enzim UGT2B7. Kodein-6-glikuronida merupakan metabolik inaktif,
karena itu aktivitas UGT2B7 memiliki protektif terhadap intoksikasi
opioid setelah pemberian kodein daripada meningkatkan efek samping
M6G (Eissing et al, 2012).Kerusakan yang terjadi pada hepar dipengaruhi
oleh jenis bahan, mekanisme kerja, lamanya paparan dan frekuensi
konsentrasi zat yang tinggi.
2. Histopatologi Hepar Tikus setelah Pemberian Ekstrak Benalu Mangga
(Kodein Per Dendrophthoe petandra) yang Diinduksi Oral
Induksi kodein pada dosis tinggi dapat menyebabkan
hepatotoksitas.Sekitar 10% kodein yang diberikan mengalami demetilasi
di hepar menjadi morfin, yang bertanggung jawab untuk efek analgesia
pada kodein (Yudhowibowoet al, 2011). Meningkatnya morfin pada hasil
30
metabolisme kodein menyebabkan penurunan tingkat glutation. Dengan
tidak adanya glutation, metabolit reaktif akan mengadakan reaksi dengan
gugus nukleofilik yang terdapat pada makromonekul sel dan dapat
berakibat pada hepatotoksisitas (Katzung 2001).
Senyawa utama flavonoid yang terkandung pada benalu mangga
adalah kuersetin.Aktivitas kuersetin pada benalu mampu menangkap
radikal bebas dan memperbaiki kerusakan jaringan hepar. Selain itu
ekstrak benalu mempunyai efek farmakologi sebagai antiinflamasi.
Kuersetin lebih selektif menghambat COX (siklooksigenase) dari pada
lipooksigenase. Pada penelitian sebelumnya penggunaan kuersetin
maupun benalu dapat memperbaiki kerusakan mikroanatomi hepar.
Kuersetin bertindak meningkatkan glutation di dalam sel. Hal ini
menunjukkan kuersetin mampu memperbaiki sel hepar yang rusak akibat
paparan kodein, karena dengan diproduksinya glutationakan membentuk
kompleks yang kurang berbahaya (Durgoet al, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok tikus kodein
12mg/ekor dan benalu dosis bertingkat terdapat perubahan sel hepar
berupa, degenerasi, nekrosis, dan inflamasi periportal. Hasil perhitungan
rerata pada inflamasi periportal menunjukkan pada kelompok kodein KB1
(12mg/ekor benalu 22mg/ekor) dan KB2 (kelompok kodein 12mg/ekor
benalu 44mg/ekor)tingkat inflamasi periportal menurun secara tidak
signifikan (p>0,05) jika dibandingkan dengan kelompok K (kodein dosis
12mg/ekor). Tetapi pada pada kelompok KB3 (kodein 12mg/ekor benalu
88mg/ekor) rerata inflamasi sama dengan kelompok K (kodein dosis
12mg/ekor) (mean=1,50). Radang (inflamasi) merupakan mekanisme
pertahanan tubuh disebabkan adanya respons jaringan terhadap pengaruh-
pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh.
Kuersetin yang terkandung dalam benalu mangga dapat digunakan sebagai
antiinflamasi. Hal ini dapat dilihat pada kelompok KB1 (kodein
12mg/ekor benalu 22mg/ekor) dan kelompok KB2 (kodein 12mg/ekor
benalu 44mg/ekor) tingkat inflamasi menurun.
31
Pada kelompok tikus yang diberi kodein dan benalu dosis bertingkat,
tingkat degenerasi menurun secara tidak signifikan (p>0,05) dari kelompok
perlakuan K (kodein dosis 12mg/ekor) (mean=3,00) ke kelompok KB1
(kodein 12mg/ekordan benalu 22mg/ekor) (mean=2,80), kelompok KB2
(kodein 12mg/ekor benalu 44mg/ekor)(mean=2,80) dan kelompok
KB3(kodein 12mg/ekor benalu 88mg/ekor)(mean=2,50). Degenerasi
ditandai dengan perubahan sitoplasma sel karena cairan sel bertambah dan
membengkak, tetapi inti sel dapat mempertahankan integritas selama sel
tidak mengalami cedera yang parah. Hasil pengamatan menemukan adanya
degenerasi hidropik dan melemak.Degenerasi hidropik kondisi dimana sel
menerima cairan lebih banyak dari normalnya dan terakumulasi dalam
sitoplasma sel sehingga sitoplasma sel membengkak.Degenerasi hidopik
ditandai adanya vakuola di stoplasma, tetapi vakuola tidak mengandung
lemak maupun glikogen. Degenerasi lemak pada hati menunjukkan
ketidakseimbangan proses metabolisme, sehingga terjadi perubahan
morfologi dan penurunan fungsi hepar akibat akumulasi lemak dalam
sitoplasma. Degenerasi melemak ditandai dengan vakuola –vakuola yang
berisi lemak dan mendesak inti ke tepi sel (Mulyono, et al
2006).Degenerasi yang berlangsung terus-menerus akan menyebabkan
kematian sel (nekrosis).
Hasil pengamtan Nekrosis ditemukanpada >1/3 seluruh luas pandang
pada kelompok tikus yang diberi kodein 12 mg/ekor dan benalu dosis
bertingkat. Tingkat nekrosis menurun secara tidak signifikan (p>0,05) dari
kelompok KB1(kodein dosis 12mg/ekor dan benalu 22mg/ekor) ke
kelompok KB2 (kodein 12mg/ekordan benalu 44 mg/ekor) dan mengalami
peningkatan secara signifikan (p>0,05) pada kelompok KB3(kodein
12mg/ekor dan benalu 88mg/ekor), tetapi lebih rendah dari kelompok
KB1(kodein dosis 12mg/ekordan benalu 22mg/ekor). Nekrosis adalah
hepatosit, inti sel yang mati terlihat lebih kecil, padat dan kemudian sel
menjadi eosinofilik.Secara histopatologi, nekrosis ditandai dengan adanya
32
sel radang. Kematian sel nekrosis dikarenakan adanya kerusakan sistem
membran sel yang menyebabkan lisis dan kematian sel.
Pada hasil penelitian degenerasi dan inflamasi periportal mengalami
penurunan secara tidak sigifikan, tetapi nekrosis ditemukan pada kelompok
pemberian kodein dan benalu dosis bertingkat. Hal ini dikarenakan karena
pada proses ekstraksi benalu mangga terdapat senyawa selain kuersetin.
Ekstraksi benalu mangga dilakukan dengan cara maserasi. Maserasi adalah
proses ekstraksi dengan cara perendaman serbuk dalam air atau pelarut
organik sampai meresap yang akan melunakkan susunan sel, sehingga zat-
zat yang terkandung didalamnya akan larut (Daut et al, 2011). Pada hasil
ekstrak benalu mangga terdapat senyawa antioksidan selain kuersetin yaitu
saponin, alkanoid dan tanin. Senyawa antioksidan saponin, alkonoid dan
tanin yang terdapat dalam benalu mangga pada dosis tinggi akan
mengalami perubahan menjadi prooksidan. Konsentrasi antioksidan yang
diberikan berpengaruh pada laju oksidasi. Pengaruh jumlah konsentrasi
pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel
yang akan diuji. Pada konsentrasi tinggi aktivitas antioksidan berubah
menjadi prooksidan yang dapat merusak sel (Suryani et al, 2013). Ketika
dosis antioksidan dan prooksidan tidak seimbang atau kadar antioksidan
tinggi sedangkan prooksidan rendah, maka tubuh akan membentuk
senyawa prooksidan untuk menyeimbangkan kadarnya dengan antioksidan,
dan hal ini akan membuat sel-sel radikal bebas tidak bisa diperbaiki lagi.
Aktifitas prooksidan juga dapat menurunkan tingkat glutation yang dapat
mengakibatkan hepatoksisitas. Kuersetin pada benalu mangga bertindak
memperbaiki sel hepar yang rusak akibat paparan kodein, karena dengan
diproduksisnya glutation akan membentuk kompleks yang kurang
berbahaya (Durgo et al, 2007), tetapi kandungan antioksidan lain yang
terdapat pada benalu mangga seperti saponin, alkonoid dan tannin pada
konsentrasi tinggi aktivitas antioksidan berubah menjadi prooksidan.
Sehingga tubuh tidak dapat menyeimbangkan yang mengakibatkan
hepatoksisitas.
33
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulankan sebagai
berikut:
1. Pemberian kodein dosis 12mg/ekor menyebabkan kerusakan struktur
mikroanatomi sel hepar berupa degenerasi dan inflamasi periportal.
2. Pada stuktur sel hepar yang diberikan kodein 12mg/ekor dan ekstrak
benalu mangga dengan dosis bertingkat terdapat kerusakan sel hepar
degenerasi, inflamasi dan nekrosis.
B. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan, perlu diperhatikan dosis tanaman
herbal sebagai hepatoprotektif dan antioksidan, karena jika tidak sesuai maka
antioksidandapat berubah menjadi prooksidan. Selain itu cara ekstraksi dalam
penelitian harus diperhatikan untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan
dalam penelitian.
34
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyanti DA. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat
Antimalaria Quassia indicaterhadap Toksikopatologi Organ Hati dan
Ginjal Mencit (Mus musculus)[SKRIPSI]. Bogor: fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Amalia N. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Valerian (Valeriana Officinalis)
terhadap Hepar Mencit BALB/C [Karya Tulis Ilmiah]. Semarang: Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang.
Artanti N, Firmansyah T, Darmawan A. 2012. Bioactivities Evaluation of
Indonesian Mistletoes (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.) Leaves Extracts.
Journal of Applied Pharmaceutical Science;1:24-27.
Artanti N,. Widayanti R, Fajriah S. 2009. Aktivitas Antioksida dan Toksisitas
Ekstrak air dan Etanol Daun Benalu (Dendrophthoe pentandra L. Miq)
yang tumbuh pada berbagai inang. JKTI;11(1).39-42.
Bircher J, Lotterer E. 1993. Kumpulan Data Klinik Farmakologik.Widodo U,
penerjemah; Widharto PH, editor. Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press. Terjemahan dari: Klinisch-Pharmakologische Datensammlung.
Bounauli N. 2010. Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per
Oral terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar [Karya Tulis
Ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Semarang.
Catania MA, Cuzzocrea S. 2011. Pharmacological and clinical overview of
cloperastine in treatment of cough.Therapeutics and Clinical Risk
Management;7:83–92.
Clausen MH, Weinmann W, Auwärter V, Ferreirós N, Trittler R, Müller C, Pahl
A, Furga AS, Hentschel R. 2008. Drug dosing error with drops—severe
clinical course of codeine intoxication in twins.Eur Journal Pediatr 2009
168:819–824.
Daud MF, Radiyah ER, Rismawati E. 2011. Pengaruh Perbedaan Metode
Ekstraksi terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji
Berdaging Putih.Prosiding SNaPP2011 Sains, Teknologi, dan
Kesehatan:55-62
Durgo K, Vukovi L, Rusak G, Osmak M, FranekiJ. 2007. Effect of Flavonoids on
Glutathione Level, LipidPeroxidation and Cytochrome P450 CYP1A1
Expression in Human Laryngeal Carcinoma Cell Lines.Food Technol.
Biotechnol;45(1):69–79.
Edebi VN, Ebeshi BU, Anganabiri E. 2011. Simultaneous assay of codeine
phosphate and diphenhydramine hydrochloride in cough mixtures by zero-
order derivative UV spectrophotometry.African Journal of Pure and
Applied Chemistry;5(5):104-110.
Eisssing T, Lippert J, Willman S. 2012. Pharmacogenomics of Codeine,
Morphine, and Morphine-6-Glucuronide Model-Based Analysis of the
35
Influence of CYP2D6 Activity, UGT2B7 Activity, Renal Impairment, and
CYP3A4 Inhibition. Mol Diagn Ther;16(1): 43-53.
Faiz O, Moffat David. 2003, At a Glance Series Anatomy. Rahmalia A,
Penerjemah. Safitri A, Editor. Jakarta:Erlangga Terjemahan dari:Anatomy at
a Grance. 40 hlm.
Ferreirós N, Dresen S, Clausen MH, Auwaerther V, Thierauf A, Müller C,
Hentschel R, Trittler R, Skopp G, Weinmann W. 2009. Fatal and severe
kodeine intoxication in 3-year-old twins—interpretation of drug and
metabolite concentrations.Journal Legal Med;123:387–394.
Gasche Yuan, Daali Y, Fathi M, Chiappe A, Cottini S, Dayer P, Desmueles J.
2005. Kodein Intoxication Associated with Ultrapid CYP2D6 Metabolism.
The New England Journal of Medicine;351(27):2827-2831.
Gusviani W, Gana A, Sukraso. 2002. Kandungan Kuersitrin pada Beberapa Jenis
Benalu. Penelitian Obat Bhan Alam. Sekolah Farmasi ITB.
Hadi S. 2002. Gastroenterologi. Bandung: PT Alumi Bandung. 403-749 Hlm.
Harada T, Enomoto A, Boorman GA, Maronpot RR. Liver and Gallbladder.In:
Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas.Edisi
1.Cache River Press.119-136 Hlm.
Harwood M, Danielewska-Nikiel B, Borzelleca JF, Flamm GW, William GM,
Lines TC. 2007. A critical review of the data related to the safety of
quercetin and lack of evidence of in vivo toxicity, including lack of
genotoxic/carcinogenic properties. Food and Chemical Toxicologyjournal
45 : 2179–2205.
Hastuti US. 2006. Pengaruh Berbagai Dosis Citrinin terhadap Kerusakan Struktur
Hepatosit Mencit (Mus musculus) pada Tiga Zona Lobulus Hepar.Jurnal
Kedokteran Brawijaya;22(3):121-124.
Hernawati.2010. Gambaran Efek Toksik Etanol pada Sel Hati. Jakarta:Jurusan
Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Hermanns M. 2009. Drug dosing error with drops—severe clinical course of
kodeine intoxication in twins.Eur Journal Pediatri;168:819–824.
Hoaken PNS, Stewart SH. 2003.Drugs of abuse and the elicitation of human
aggressive behavior.Addictive Behaviors 2003;28:1553-1554.
Ikawati M, Wibowo AE, Octa NS, Adelina S. 2008. Pemanfaatan Benalu sebagai
Antikanker.Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Junqueira LC, Carneiro J. 1980. Histologi Dasar. Dharma A, penerjemah.
Jakarta:Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Basic
Histopathology.342-356 Hlm.
Katrin, Soemardji AA, Soeganda AG, Soediro I. 2005.Toksisitas akut isolat fraksi
n-hexana dan etanol daun Dendrophthoe pentandra (L.)Miq.yang mempunyai
aktivitas imunostimulan. Majalah Farmasi Indonesia 8(4): 227 – 231.
36
Katzung BG. 2001. Famalogi Dasar dan Klinik buku 1. Sjabana D et al,
penerjemah. Jakarta: Salemba Medika. Terjemahan dari: Basic and Clinical
Pharmacology.
Katzung BG. 2001. Famalogi Dasar dan Klinik buku 3. Sjabana D et al,
penerjemah. Jakarta: Salemba Medika. Terjemahan dari: Basic and Clinical
Pharmacology.
Kirchheiner J, Schmidt H, Tzvetkov M, Keulen J, Lotsch J, Roots J, Brockmoller
J. 2006. Pharmacokinetics of Kodeine and its Metabolite Morphine in Ultra-
Rapid Metabolizers Due to CYP2D6 Duplication.The Pharmacogenomics
Journal 7:257-265.
Laurence DR, Bacharach AL. 1964.Evaluation of Drug Activities:
Pharmacometrics. New York: Academic press.
Lumongga F. 2008. Struktur Liver. Medan:USU Respository.
Madadi P, Koren G. 2008. Pharamcogenatic Insight into Kodeine Analgesia :
Implication to Pediatric kodein use. Pharmocogenomics;9(9):1267-1284
Maulida A, Ilyas S, Hutahaeans. 2013. Pengaruh pemberian vitamin c dan e
terhadap gambaran histologis hepar mencit (Mus musculus L.) yang
Dipajankan Monosodium Glutamat (msg). Saintia Biologi;1(2):15-20.
Mitchell RN, Kumar, Abba, Fausto. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit
Robbins dan Cotran Edisi 7. Hartono A, penerjemah. Tania I et al, Editor.
Jakarta:Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Pocket Companion to
Robbin and Cotran Pathologic Basis of disesase 7 edition. 509-43 Hlm
Mulyono A, Ristiyanto, Soesanti N. 2006 Karakteristik Histopatologi Hepar Tikus
Got Rattus norvegicus Infektif Leptospira sp. Jurnal Vektora 1(2):84-92
Robinson G, Robinson S, McCarthy P, Cameron C. 2010. Misuse of Over-the-
Counter Kodeine-Containing Analgesics: Dependence and Other Adverse
Effects. Journal of the New Zealand Medical Association;1317(123):59-64
Schmitz G. Lepper H. Heidrich M. 2001. Farmakologi dan Toksikologi edisi 3.
Jakarta:Buku Kedokteran EGC.
Simanjuntak P, Parwati T, Lenny LE, Tamat SR, Maurwani R. 2004. Isolasi dan
Isentifikasi Antioksidan dari Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana (Korth)
Danser).Journal Ilmu Kefarmasian Indonesia;2(1):19-24
Sherly Y, Widita H, Ardita IG, Soemohardjo S. 2006. Peran Biopsi Hepar dalam
Menegakkan Diagnosis Ikterus Obstruktif Ekstra Hepatik.Journal Peny
Dalam;7(3):203-213.
Shiha G, Zalata K. 2011.Ishak versus METAVIR: Terminology, Convertibility and
Correlation with Laboratory Changes in Chronic Hepatitis C.Egypt:Internal
medicine department & pathology department, Mansoura faculty of
medicine.
37
Shord SS. Cavallari LH. Gao W. Jeong HY. Devo K, Patel SR, Camp HR, Labott
SM, Molokie RE. 2009. The pharmacokinetics of codeine and its
metabolites in Blacks with sickle cell disease. Eur Journal Clinic
Pharmacology 65:651–658.
Sugiono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung:CV Alfabet.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi edisi 2. Jakarta:Buku
Kedokteran EGC.
Suryani N, Endang T, Aulanni'am. 2013.Pengaruh Ekstrak Metanol Biji Mahoni
terhadap Peningkatan Kadar Insulin, Penurunan Ekspresi TNF-α dan
Perbaikan Jaringan Pankreas Tikus Diabetes. Jurnal Kedokteran
Brawijaya27(3):137-14.
Suyanti L. 2008. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus pada Pemberian
Fraksi Asam Amino Non-Protein Lamtoro Merah (Acacia villosa) pada Uji
Toksisitas Akut[SKRIPSI].Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Oliver P, Marécha Kl, Llau ME, Mestre ML, Michel CD, Montastruc JL,
2009.Use of Kodeine and Non Kodeine Cough Suppressants A Survey
among a French Network of Community Pharmacists.Clin Drug Invest;
22(6):399-402.
Tamad FSU, Hidayat ZS, Sulistiyo H. 2011. Gambaran Histopatologi Hepatosit
Tikus Putih Setelah Pemberian Jintan Hitam Dosis 500mg/Kgbb,
1000mg/Kgbb, dan 1500mg/Kgbb Selama 21 Hari (Subkronik). Mandala of
Health;5(3):1-5.
Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingannya. Jakarta:PT Elex Media Komputindo. 351Hlm.
Uji T, Sunaryo, Racman E. 2007. Keanekaragaman Jenis Benalu Parasit Pada
Tanaman Koleksi di Kebun Raya Eka Karya, Bali. Berkala Penelitian
Hayati;13:1-5
Van Steenis. 1975 .Flora untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta:Pradnya Paramita.
Widowati W, Mozef T, Risdian C, Ratnawati H, Tjahjani S, Sandra F. 2011. The
Comparison of Antioxidative and Proliferation Inhibitor Properties of Piper
betle L., Catharanthusroseus [L] G.Don, Dendrophtoe petandra L.,
Curcumamangga Val. Extracts on T47D Cancer Cell Line. Journal of
Biochemistry and Bioinformatics;1(2):22-28.
Williams DG, Dicknson A, Fitzgerald M, Howard RF. 2004. Developmental
Regulation of Kodeine Analgesia in the Rat.Anesthesiology;100(1):92-97.
Willian DG, Hatch DJ, Horward RF. 2001.Kodeine Phosphate in Paediatric
medice.British Journal;86(3):413-421.
Wulandari T, Harini M, Listyawati S. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sambiloto
(Andrographis paniculata) terhadap Struktur Mikroanatomi Hepar dan
38
Kadar Glutamat Piruvat Transaminase Serum Mencit (Musmusculus) yang
Terpapar Diazinon.Bioteknologi 4(2):53-58.
Yudhowibowo II, Satoto HH, Sasongko H. 2011. Obat – Obat Anti Nyeri.Jurnal
Anestesiologi Indonesia 3(3):179-205.
Zhang S. 1999. An Atlas of Histology. New York: Springer-Verlag New York.
39
LAMPIRAN - LAMPIRAN
40
Lampiran 1. Konversi dosis kodein
Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah dosis kodein harian tertinggi
pada manusia dewasa yaitu 300 mg (Bircher dan Lotterer, 1993). Untuk
mengetahui dosis kodein yang diberikan pada tikus maka dosis pada manusia
dengan bobot rata-rata 70 kg dikonversikan ke dosis pada tikus dengan bobot
rata-rata 200 gram, maka :
0,018x300 = 6 mg/ 200gram BB
Dosis yang digunakan 2x dosis harian tertinggi yaitu:
6mg/200gram BB x 2 = 12mg/200gram BB
Tabel 1. Angka Konversi Dosis pada Hewan
(Laurence dan Bacharach 1964)
Mencit Tikus Marmot Kera Kelinci Anjing Manusia
Mencit 20g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9
Tikus 200g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0
Marmot 400g 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5
Kelinci 500g 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2
Kera 4000g 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1
Anjing 12000g 0,008 0,06 0,10 0,22 0,521 1,0 3,1
Manusia 70000g 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,161 0, 32 1,0
41
Lampiran 2. Konversi dosis ektrak benalu
Dosis ekstrak benalu yang digunakan pada mencit yang adalah dosis 156 mg/kg
BB (Gusviani et al, 2002).
Menetukan dosis ekstrak benalu yang digunakan dalam penelitian:
Dosis yang digunakan pada mencit dengan bobot 20 gram
156mg/kg BB =
= 3,12mg/20 gram BB
Maka dosis dikonversikan pada tikus dengan bobot 200 gram
Dosis dikonversikan untuk mendapatkan dosis pada tikus menjadi 3,12 x 7,0 = 22
mg/ 200 gr BB. Dosis yang digunakan :
Dosis 1 : 22 x 1 = 22 mg/200gr BB
Dosis 2 : 22 x 2 = 44 mg/200gr BB
Dosis 3 : 22 x 4 = 88 mg/200gr BB
Tabel 1. Angka Konversi Dosis pada Hewan
(Laurence dan Bacharach 1964)
Mencit Tikus Marmot Kera Kelinci Anjing Manusia
Mencit 20g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9
Tikus 200g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0
Marmot 400g 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5
Kelinci 500g 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2
Kera 4000g 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1
Anjing 12000g 0,008 0,06 0,10 0,22 0,521 1,0 3,1
Manusia 70000g 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,161 0, 32 1,0
42
Lampiran 3. Pembuatan preparat histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi :
1. Mengambil dan menfiksasi hepar tikus dalan tremos atau plastik
dengan fiksatif FAA dalam alcohol 70% selama 24 jam.
2. Mencuci hepar tikus dengan alcohol 70%.
3. Mendehidrasi dengan alcohol bertingkat dari alcohol 80%, 90%,
dan absolut masing-masing selama 60 menit.
4. Mendealkhoholisasi bertingkat dengan larutan alkohol xilol 3:1,
1:1, 1:3 dan dilanjutkan dengan xilol muni I dan II masing-masing selama 60
menit.
5. Menfitrasi sediaan dengan menganti xilol murni dengan xilol
paraffin (1:9), paraffin murni I dan II masing-masing selama 60 menit pada
suhu 600 C di oven.
6. Menselubungi atau embedding sediaan dengan paraffin murni
cair pada Petridis yang sebelumnya telah diolesi dengan sedikit gliserin.
Membiarkanya membeku selama 24 jam sehingga diperoleh blok paraffin
yang di dalamnya berisis bahan yang akan diiris.
7. Mentriming bahan yang sudah membeku sehingga berbentuk
trapesium dengan bahan organ hepar tepat ditengah sisi trapesium yang
pendek dengan posisi irisan melintang.
8. Menempelkan blok parafin berbentuk trapesium di atas holder
pada sisi panjang trapesium melekat pada holder, dengan bantuan pisau dan
parafin panas. Dan membiarkannya membeku kembali.
9. Mengirisis blok parafin dengan menggunakan mikrotom rotari
dengan ketebalan 5-10µm, sehingga dihasilkan koupes.
10. Menempelkan koupes pada gelas benda dengan bantuan albumin meyer
dan air di atas hot plate.
11. Mendeparafinasi sediaan dengan cara memasukan gelas benda ke dalam
stanning jar berisi xilol murni I dan II selama 10-15 menit.
12. Mewarnai sediaan dengan cara gelas benda dengan koupes yang
menempel dimasukan ke dalam staning jar berisi medium zat warna. alkohol
43
xilol 1:3, 1:1, 3:1, alkohol absolut, 90%, 80% dan 70% masing-masing
selama 2 menit. Mewarnai koupes dengan safranin (1% dalam alcohol 70%)
dalam stanning jar selama 2 jam.
13. Mendehidrasi dengan alcohol bertingkat dari alcohol 80%, 90%, dan
absolut masing-masing selama 2 menit.
14. Mendealkhoholisasi bertingkat dengan larutan alkohol xilol 3:1, 1:1,
1:3 dan dilanjutkan dengan xilol muni I dan II masing-masing selama 2
menit.
15. Mounting, meneteskan 1 tetes kanada balsam dan menutupnya dengan
deck glass secara perlahan dan memberikan label pada preparat.
16. Mengamati preparat di bawah miskroskop dengan berbesaran kuat.
17. Mendonkumentasi hasil dengan kamera kemudian menganalisis
hasilnya
44
Lampiran 4. Tabel pengambilan data
1. Gambaran reaksi inflamasi periportal
Kelompok
Tikus
Lapang Pandang
1 2 3 4 5
K0
K
KB1
KB2
KB3
Skor 1: ringan
2 : sedang
3 : berat
2. Luas kerusakan sel hepar (degenerasi)
Kelompok
Tikus
Lapang Pandang
1 2 3 4 5
K0
K
KB1
KB2
KB3
Skor 1: sd 1/4 luas lapang pandang
2 : sd 1/2 luas lapang pandang
3 : sd seluruh luas lapang pandang
3. Luas kerusakan sel hepar (nekrosis)
Kelompok
Tikus
Lapang Pandang
1 2 3 4 5
K0
K
KB1
KB2
KB3
Skor 1: sd 1/3 luas lapang pandang
2 : 1/3-2/3 luas lapang pandang
3 : lebih dari 2/3 luas lapang pandang
Keterangan:
K0 = kontrol (dosis kodein = 0 mg/200gr BB, dosis benalu 0 mg/200gr BB)
K = perlakuan kodein (dosis kodein = 12 mg/200gr BB, dosis benalu 0mg/200gr
BB)
KB1 = perlakuan kodein benalu 1(dosis kodein = 12 mg/200gr BB, dosis benalu 22
mg/200gr BB)
KB2 = perlakuan kodein benalu2 (dosis kodein = 12 mg/200gr BB, dosis benalu 44
mg/200gr BB)
KB3 =perlakuan kodein benalu 3 (dosis kodein = 12 mg/200gr BB, dosis benalu 88
mg/200gr BB)
45
Lampiran 6. Data skoring perubahan histologi hepar tikus
Keterangan
In P = Inflamasi Periportal
Deg = Degenerasi
Ne = Nekrosis
K0 = Kontrol (kodein 0 mg/ekor, benalu 0 mg/ekor)
K = perlakuan kodein (kodein12 mg/ekor, benalu 0mg/ekor)
KB1 = perlakuan kodein benalu 1(kodein 12 mg/ekor, benalu 22 mg/ekor)
KB2 = perlakuan kodein benalu 2 (kodein 12 mg/ekor, benalu 44mg/ekor)
KB3 = perlakuan kodein benalu 3 (kodein 12 mg/ekor, benalu 88mg/ekor)
Kelompok
Lapang Pandang
I II III IV V
InP Deg Ne InP Deg Ne InP Deg Ne InP Deg Ne InP Deg Ne
K0
1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0
K
1 1 3 0 1 3 0 1 3 0 2 3 0 1 3 0
2 1 3 0 2 3 0 1 3 0 2 3 0 1 3 0
3 2 3 0 1 3 0 2 3 0 1 3 0 2 3 0
4 2 3 0 2 3 0 2 3 0 1 3 0 2 3 0
KB1
1 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 3 1 1 3 0
2 1 0 0 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 3 0
3 1 3 1 2 3 1 1 3 1 1 3 1 1 3 1
4 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1
KB2
1 1 2 0 1 1 0 1 3 0 1 3 0 1 0 3
2 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 0 3
3 2 3 1 2 3 1 1 3 0 1 3 0 2 0 3
4 1 3 0 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 1 3
KB3
1 2 3 1 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 1 3
2 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 3 0 1 0 3
3 2 3 0 1 3 1 1 3 1 1 3 1 2 0 3
4 2 1 0 1 1 0 2 1 0 2 1 0 1 0 1
46
Lampiran 7. Perhitungan skoring perubahan histopatologi hepar tikus.
1. Nilai Perubahan Inflamasi Periportal Struktur Histologi pada Sel Hepatosit
Tests of Normality
KELOMPOK
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
PERLAKUAN 0 .387 20 .000 .626 20 .000
1 .335 20 .000 .641 20 .000
2 .438 20 .000 .580 20 .000
3 .438 20 .000 .580 20 .000
4 .335 20 .000 .641 20 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel Hasil uji statistik perbandingan antar kelompok
Kelompok Ko K KB1 KB2 KB3
Ko - 0,000a 0,000
a 0,000
a 0,000
a
K 0,000a
- 0,202b 0,202
b 1,000
b
KB1 0,000a 0,202
b - 1,000
b 0,202
b
KB2 0,000a 0,202
b 1,000
b - 0,202
b
KB3 0,000a 1,000
b 0,202
b 0,202
b -
Hasil uji Mann-Whitney U bermakna(a) jika p<0,05 ; jika tidak bermakna (
b)
p>0,05
47
2. Nilai Perubahan Degenerasi Struktur Histologi pada Sel Hepatosit
Tests of Normalityb,c
KELOMPOK
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
PERLAKUAN 2 .538 20 .000 .236 20 .000
3 .520 20 .000 .354 20 .000
4 .463 20 .000 .544 20 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. PERLAKUAN is constant when KELOMPOK = 0. It has been omitted.
c. PERLAKUAN is constant when KELOMPOK = 1. It has been omitted.
Tabel Hasil Uji statistik perbandingan antar kelompok
Kelompok Ko K KB1 KB2 KB3
Ko - 0,000a 0,000
a 0,000
a 0,000
a
K 0,000a
- 0,317b 0,317
b 0,018
b
KB1 0,000a 0,317
b - 0,594
b 0,102
b
KB2 0,000a 0,152
b 0,594
b - 0,180
b
KB3 0,000a 0,018
b 0,102
b 0,180
b -
Hasil uji Mann-Whitney U bermakna(a) jika p<0,05 ; jika tidak bermakna (
b)
p>0,05
48
3. Nilai Perubahan Nekrosis Struktur Histologi pada Sel Hepatosit
Tabel Hasil Uji Statistik Perbandingan Antar Kelompok
Kelompok Ko K KB1 KB2 KB3
Ko - 1,000b 0,000
a 0,000
a 0,002
a
K 1,000b
- 0,000a 0,009
a 0.002
a
KB1 0,000a 0,000
a - 0,183
b 0,429
b
KB2 0,009a 0,009
a 0,183
b - 0,513
b
KB3 0,002a 0,002
a 0,429
b 0,513
b -
Hasil uji Mann-Whitney U bermakna(a) jika p<0,05 ; jika tidak bermakna (
b)
p>0,05.
Tests of Normalityb,c,d
kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
PERLAKUAN P1 .361 20 .000 .637 20 .000
P2 .438 20 .000 .580 20 .000
P3 .387 20 .000 .626 20 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. There are no valid cases for PERLAKUAN when kelompok = .000. Statistics cannot be computed
for this level.
c. PERLAKUAN is constant when kelompok = KODEIN. It has been omitted.
d. PERLAKUAN is constant when kelompok = KONTROL. It has been omitted.
49
Lampiran 8. Foto kegiatan penelitian
kodein
Daun benalu mangga kering
Tikus diinduks peroral
Ekstrak benalu mangga
50
Tempat kandang tikus dan penelitian
Proses Pembedahan dan Pengambilan Organ Hepar
Proses pengirisan organ untuk membuat histopatologi
51
1