pemberian asi dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko
TRANSCRIPT
TESIS
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK
RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
PADA BALITA DI PUSKESMAS II
DENPASAR SELATAN
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK
RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
PADA BALITA DI PUSKESMAS
II DENPASAR SELATAN
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI
NIM 1392161005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK
RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
PADA BALITA DI PUSKESMAS II
DENPASAR SELATAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI
NIM 1392161005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 22 JULI 2015
Pembimbing I,
Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH
NIP. 194810101977021001
Pembimbing II,
dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH
NIP. 196809141999032001
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 22 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No. : 2106/UN14.4/HK/2015, Tanggal 13 Juli 2015
Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
Anggota :
1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH
2. Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K)
3. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH
4. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : Ni Kadek Ethi Yudiastuti
NIM : 1392161005
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis : Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai
Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Puskesmas II
Denpasar Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,
tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Denpasar, 22 Juli 2015
Ni Kadek Ethi Yudiastuti
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa karena
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyeselesaikan hasil penelitian yang
berjudul “Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai Faktor Risiko
Pneumonia pada Balita di Puskesmas II Denpasar Selatan” ini tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr.Dewa
Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program
magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini.Terima kasih sebesar-
besarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri,
MPH selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah
memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan dan
fasilitasyang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K) atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program
magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
selaku ketua PS MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Koordinator Peminatan
Epidemiologi Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS
MIKM UNUD. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji
tesis ini, yaitu Ibu Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K), Bapak dr. Pande
Putu Januraga, M.Kes, DrPH, dan Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH,PhD
yang telah memberikan masukan dan koreksi.
vii
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri
Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Ibu dr. A.A.A.A
Candrawati selaku Kepala Puskesmas II Denpasar Selatan yang telah memberikan
ijin penelitian, Ibu Ayu Nilawati selaku pemegang Program P2 ISPA dan seluruh
staf Puskesmas II Denpasar Selatan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
yang memberikan informasi dan bantuan dalam pengumpulan data. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada surveyor dalam membantu
pengambilan data dan semua responden yang telah memberikan ijin mengambil
data sehingga penelitian ini dapat selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada
civitas akademika Akademi Kebidanan Kartini Bali atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan serta dukungan moral dan
material. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk suami,
anak, orang tua, mertua, keluarga, para sahabat serta teman-teman seperjuangan
MIKM angkatan Vuntuk dukungannya.
Denpasar, 22 Juli 2015
Ni Kadek Ethi Yudiastuti
viii
ABSTRAK
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI
FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS
II DENPASAR SELATAN
Kematian balita akibat pneumonia masih tinggi karena faktor risikonya
masih ada dan belum teratasi dengan baik.Puskesmas II Denpasar Selatan
memiliki cakupan pneumonia sebesar 15,93% termasuk cakupan tertinggi nomor
dua pada tahun 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan
risiko faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah terhadap
kejadian pneumonia pada balita.
Desain penelitian kasus kontrol dengan 60 kasus dan 60 kontrol. Kasus
adalah balita yang terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0-59
bulan dan tercatat di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret
2015 sedangkan kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat
penelitiaan. Data dikumpulkan dengan wawancara, observasidan pengukuran
dengan menggunakan kuisioner, hygrometer, luxmeter dan rollmeter.Analisis
univariat, bivariat, multivariat dengan Stata SE 12.1.
Analisis bivariat menunjukkan frekuensi ISPA berulang, pemberian ASI
(ASI eksklusif, durasi ASI, inisiasi menyusu dini) dan lingkungan fisik rumah
(ventilasi, kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian) sebagai faktor risiko
kejadian pneumonia pada balita. Analisis multivariat didapatkan faktor risiko
yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita adalah
durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan OR=5,24 (95% CI: 1,96–14,01),
pencahayaan alami OR=2,72 (95% CI: 1,05–7,00), tingkat kepadatan hunian
OR=3,11 (95% CI: 1,18 – 8,19), tidak mendapatkan imunisasi Hib dan
pneumokokus sesuai anjuran IDAI OR=3,68 (95% CI: 1,11-12,17), frekuensi
ISPA >1 kali OR=10,14 (95% CI: 3,6 – 28,02).
Variabel durasi ASI, pencahayaan alami dan kepadatan hunian rumah
yang tidak memenuhi syarat,tidak mendapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus
sesuai anjuran IDAI, serta mengalami ISPA >1 kali sebagai faktor risiko
pneumonia balita.
Kata kunci : Pneumonia, Balita, Pemberian ASI, Lingkungan Fisik Rumah,
Denpasar
ix
ABSTRACT
BREASTFEEDING AND HOUSE PHYSICAL ENVIRONMENT AS RISK
FACTORS OF PNEUMONIA AMONG UNDER – FIVE CHILDREN AT
PUBLIC HEALTH CENTER II OF SOUTH DENPASAR
Under-five mortality due to pneumonia remains high because the presence
of risk factors has not been controlled properly. PHC II of South Denpasar had
pneumonia coverage of 15.93% which was the second highest coverage in 2012.
This study aims to determine the role of breast-feeding history and house physical
environment risk factors for pneumonia in under-five children.
A case-control study was conducted involving 60 cases and 60 controls.
Cases were under-five children who were diagnosed with pneumonia by PHC
doctors, aged between 0-59 months and recorded in the register between1
January, 2014 and31 March 31 2015, while controls were a healthy children aged
under 5 years old who visited the PHC during the study. Data were collected
through interviews, observation and measurement using questionnaires,
hygrometer, luxmeter and rollmeter. Univariate, bivariate, and multivariate
analyses were performed by Stata SE 12.1.
Bivariate analysis showed that the frequency of recurrent respiratory
infection, breastfeeding (exclusive breastfeeding, duration of breastfeeding, early
initiation of breastfeeding) and physical environment of the house (ventilation,
humidity, lighting, crowding in houses) significantly associated with the incidence
of pneumonia in under-five children. Futhermore, multivariate analysis found that
statistically significant risk factors for pneumonia in under-five children are the
duration of breastfeeding less than two months OR = 5.24 (95% CI: 1.96 - 14.01),
natural lighting OR = 2.72 (95 % CI: 1.05 - 7.00), crowded housing OR = 3.11
(95% CI: 1.18 - 8.19), no Hib and pneumococcal immunizations as recommended
by IDAI OR = 3.68 (95 % CI: 1.11 - 12.17), frequency of ARI>1 times OR =
10.14 (95% CI: 3.6 - 28.02).
Duration of breastfeeding, natural lighting and overcrowded housing, not
Hib and pneumococcal immunizations, as well as experiencing ARI> 1 times are
risk factors for pneumonia among under-five children.
Keywords : Pneumonia, Under-Five Children, Breastfeeding, House Physical
Environment, Denpasar
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM……………………………………………………….. i
LEMBAR PERSYARATAN GELAR……………………………………. ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………….. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………. v
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………........ viii
ABSTRACT………………………………………………………………. ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………........ x
DAFTAR TABEL……………………………………………………........ xii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………........ xv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………........ 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………........ 5
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 6
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………….. 6
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………. 6
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 8
2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita.......................... 8
2.1.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi ........................... 8
2.1.2 Riwayat Penyakit.... …………………………………… 11
2.1.3 Pemberian ASI yang Kurang Memadai……………....... 12
2.1.4 Defisiensi Vitamin A....................................................... 17
2.1.5 Pemberian Imunisasi yang Tidak Lengkap…………….. 18
2.1.6 Paparan Asap Rokok…………………………............... 19
2.1.7 Lingkungan Fisik Rumah…………………………........ 21
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN……………………………………………………………...
30
3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………........ 30
3.2 Konsep Penelitian ……………………………………………... 33
3.3 Hipotesis………………………………………………………... 34
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………... 35
4.1 Rancangan Penelitian…………………………………………... 35
xi
4.2 Definisi Kasus dan Kontrol……………………………………..
4.2.1 Subyek Kasus………………………………...................
4.2.2 Subyek Kontrol………………………………................
36
36
36
4.3 Sumber Kasus dan Kontrol……………………………………. 37
4.3.1 Populasi Kasus……………………………………......... 37
4.3.2 Populasi Kontrol………………………………………... 37
4.4 Besar Sampel Kasus dan Kontrol………………………………. 37
4.4.1 Jumlah dan Besar Sampel…………………………........ 37
4.4.2 Teknik Pemilihan Sampel dan Matching......................... 39
4.5 Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel
Independent……………………………………………………..
4.5.1 Metode Pengumpulan Data……………………………..
4.5.2 Instrumen Penelitian…………………………………….
39
39
40
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… 40
4.7 Identifikasi Variabel Penelitian……………………………........ 40
4.7.1 Variabel Dependent…………………………………......
4.7.2 Variabel Independent.......................................................
40
40
4.7.3 Definisi Operasional…………………………………… 42
4.8 Prosedur dan Etika Penelitian………………………………….. 48
4.9 Pengolahan dan Analisis Data……………………………. 49
4.9.1 Pengolahan Data……………………………………….. 49
4.9.2 Analisis Data………………………………………........ 54
BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………. 55
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian…………………………… 55
5.2 Karakteristik Sampel…………………………………………… 56
5.3 Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita. 57
5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita………………………………
65
BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………… 68
6.1 Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Wilayah
Puskesmas II Denpasar Selatan…………………………………
68
6.2 Keterbatasan Penelitian ………………………………………... 74
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 75
7.1 Simpulan ………………………………………………………. 75
7.2 Saran …………………………………………………………… 75
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………….…………………………………. 82
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
4.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian…………………………... 37
4.2 Definisi Operasional…………………………………………….... 41
5.1 Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita di Wilayah
Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015……………..............
56
5.4 Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol …………… 57
5.5 CrudeOR Lingkungan Fisik Rumah dengan pada Kasus dan
Kontrol………………………………………………....................
59
5.4 Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan
Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A pada Kasus dan
Kontrol……………………………………………………………
61
5.5 Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan
Kontrol……………........................................................................
63
5.6 Adjusted OR Faktor Risiko Pneumonia pada Kasus dan
Kontrol……………………………………………………………
65
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APHA : American Public Health Association
ASI : Air Susu Ibu
Balita : Bawah lima tahun
BB/U : Berat badan / Umur
BBLR : Berat badan lahir rendah
CI : Confidence Interval
CO2 : Karbondioksida
Depkes : Departemen Kesehatan
Ditjen PP & PL : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
DPT : Dipterri, Pertussis, dan Tetanus
GATS : Global Adult Tobacco Survey
Hib : Haemophilus influenza type b
IgA : Imunoglobulin A
IMCI : Integrated Management of Childhood Illness
IMD : Inisiasi Menyusu Dini
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
IPD : Invasive Pneumococcal Disease
Kemenkes : Kementerian Kesehatan
KIA-KB : Kesehatan ibu dan anak
MDG’s : Millennium Development Goals
O2 : Oksigen
xiv
OR : Odds ratio
P2 : Pemegang program
PCV : Pneumococcal Conjugate Vaccine
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RI : Republik Indonesia
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RS : Rumah Sakit
SDKI : Survei Dasar Kesehatan Indonesia
TBC : Tuberkulosis
UNICEF : United Nations International Children’s Emergency Fund
WHO
: World Health Organization
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pedoman Wawancara dan Observasi
2 Hasil Analisis Bivariat dan Multivariat dengan STATA
3 Surat Ijin Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah penyebab kematian utama pada balita di dunia termasuk
Indonesia.United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF)
menyatakan bahwa pada tahun 2011 terjadi 1,3 juta kematian dimana 14% dari
keseluruhan kematian anak bawah lima tahun (Balita) disebabkan oleh pneumonia
(Subanada, 2014). Prediksi kasus baru dan insiden pneumonia balita paling tinggi
terjadi pada 15 negara, mencakup 115,3 juta (74%) dari 156 juta kasus di seluruh
dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di enam negara, mencakup 44%
populasi balita di dunia. Keenam negara tersebut adalah India 43 juta, China 21
juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-masing enam
juta kasus per tahun (Rudan dkk, 2008).
Strategi untuk penatalaksanaan kasus (case-management) dalam rangka
menurunkan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan
pneumonia telah dilakukan oleh WHO sejak 1980-an. Pedoman kemudian
dikembangkan dan diintegrasikan ke program Integrasi Tatalaksana Balita Sakit
(Integrated Management of Childhood Illness/IMCI), yang juga memasukkan
pedoman untuk pelayanan kesehatan primer dan tatalaksana kasus di rumah sakit.
Program ini telah terlaksana lebih dari 25 tahun tetapi angka kematian anak
karena pneumonia masih tinggi. Hal ini merupakan tantangan untuk semua
pihak,terutama dalam usaha mencapai tujuan Millennium Development Goals
2
(MDG’s) nomor empat, yaitu menurunkan kematian anak (balita) sebesar dua
pertiga diantara tahun 1990 dan 2015 (Kemenkes, 2010).
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) menyatakan pada tahun 2007 sebesar 15,5%
penderita pneumonia meninggal dunia atau 83 balita meninggal setiap hari dan
menjadi penyebab nomor dua dari keseluruhan kematian balita di Indonesia.
Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) menyatakan terjadi peningkatan
kejadian pneumonia balita dari tahun 2002 – 2007 yaitu 7,6% menjadi 11,2%
(Kemenkes RI, 2010).
Bali merupakan propinsi nomor dua dengan kejadian pneumonia tertinggi di
Indonesia pada tahun 2007 sebesar 11,1% (Kemenkes RI, 2010). Denpasar
merupakan kabupaten/kota dengan cakupan pneumonia tertinggi nomor empat di
Bali sebesar 18,73%, sedangkan Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan
puskesmas nomor dua dengan cakupan pneumonia tertinggi sebesar 15,93% pada
tahun 2012 (Dinkes Kota Denpasar, 2013).
Tingginya pneumonia pada balita oleh karena faktor risikonya masih ada.
Departemen Republik Indonesia (Depkes RI) dan beberapa penelitian tentang
pneumonia menyatakan faktor risiko pneumonia pada balita antara lain: umur,
jenis kelamin, pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi rendah, status gizi, berat
badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) yang kurang memadai,
status imunisasi, defisiensi vitamin A, faktor lingkungan fisik rumah (lantai,
dinding, ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan), kepadatan hunian kamar
tidur, polusi udara (Depkes RI, 2004).
3
Beberapa penelitian berkaitan dengan riwayat pemberian ASI sebagai
faktor risiko pneumonia pada balita. Pemberian ASI yang memadai dapat
mengurangi morbiditas serta mortalitas akibat pneumonia karena dapat
mengurangi kejadian infeksi terhadap saluran pernapasan serta menurunkan
tingkat keparahan infeksi selama masa bayi dan balita, pemberian ASI yang tidak
memadai sebagai salah satu faktor risiko pneumonia pada balita (Lamberti, dkk.,
2013; Victora, dkk, 1994; Fonseca, dkk., 1996; Sugihartono dan Nurjazuli, 2012;
Mokoginta, dkk., 2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah,
dkk., 2012;Kramer, 1988; Ogundele, 1999; Arifeen, dkk., 2001; Franks, dkk.,
1982; WHO, 2014; Horta, dkk., 2007).
Studi kasus kontrol pada bayi dan balita tentang ASI eksklusif dengan
pneumonia dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna (Farmani, 2011;
Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008). Banyak penelitian tentang pemberian ASI
dikaitkan dengan pneumonia pada balita yang telah dilakukan di Indonesia,
namun belum ada yang secara mendalam menggali pemberian ASI sebagai faktor
risiko pneumonia. Penelitian di Puskesmas II Denpasar Selatan, pada instrumen
bagian pertanyaan ASI hanya ada di karakteristik untuk menanyakan apakah ASI
eksklusif atau tidak (Farmani, 2011).Pemberian ASI eksklusif tidak hanya
ditanyakan apakah memberikan ASI saja selama enam bulan atau tidak, tetapi ada
beberapa hal yang perlu ditanyakan terkait pola pemberiannya.Hal tersebut seperti
pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) pada saat lahir, pemberian kolostrum,
kebijakan/peraturan tentang pemberian ASI eksklusif. Sejalan dengan hal ini,
maka sudah ada beberapa program atau kebijakan yang telah diambil/ditetapkan
4
oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan cakupan ASI eksklusif
ini.Kenyataannya tetap saja dari tahun ke tahun cakupan ASI eksklusif di
Indonesia masih di bawah target.
Balita yang tinggal dalam rumah yang padat penghuninya (Victora dkk.,
1994;Yuwono,2008; Pramudiyani dan Prameswari, 2011; Farmani, 2011;
Pamungkas, 2012) tidak ada jendela serta tidak membuka jendela kamar dan
ventilasi kamar (Anwar dan Dharmayanti, 2014;Yuwono, 2008; Pramudiyani dan
Prameswari, 2011), jenis lantai yang membuat lembab (Yuwono, 2008;
Sugihartono dan Nurjazuli, 2012), kondisi dinding dan rumah yang lembab
(Yuwono, 2008), dan kurangnya pencahayaan alami ke dalam ruang tidur
(Farmani, 2011) sebagai faktor risiko pneumonia pada balita.
Peran faktor lingkungan sebagai faktor risiko juga disampaikan oleh
petugas surveilans dan pemegang program P2 ISPA di Puskesmas II Denpasar
Selatan yang mengatakan bahwa wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan
merupakan daerah yang cukup padat baik dari segi bangunan maupun penduduk.
Penderita pneumonia sebagian besar adalah penduduk pendatang dimana mereka
tinggal di kos-kosan yang huniannya padat dan sempit (Footnotes, 2014).Faktor
yang berkaitan dengan lingkungan fisik rumah ini masih ada yang
inkonsisten.Luas ventilasi (Farmani, 2011; Sunyataningkamto,dkk., 2004),
kelembaban rumah (Farmani, 2011; Sinaga, 2008) jenis lantai yang tidak
memenuhi syarat (Farmani, 2011), tingkat kepadatan penghuni di dalam rumah
(Zuraidah, 2002) tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian pneumonia
pada bayi dan anak balita.
5
Faktor lain sebagai faktor risiko pneumonia pada balita adalah status
imunisasi, status gizi, defisiensi vitamin A, riwayat BBLR, dimana Kota Denpasar
faktor-faktor tersebut relatif cukup baik. Data dari Profil Dinas Kesehatan Kota
Denpasar cakupan imunisasi di Kota Denpasar untuk tahun 2012 dan 2013 semua
telah melebihi target yang ditentukan, cakupan status gizi balita berdasarkan berat
badan/umur (BB/U) masih terdapat dua balita (0,15%) gizi buruk, sedangkan
sebesar 3,43% mengalami gizi kurang walaupun tidak melebihi target Kota
Denpasar yaitu 15%. Cakupan pemberian vitamin A di Kota Denpasar tahun 2013
yaitu 100% yang berarti sudah memenuhi target. Berdasarkan data dari pemegang
program Kesehatan Ibu dan Anak – Keluarga Berencana (KIA-KB) Dinas
Kesehatan Kota Denpasar jumlah kasus BBLR yang terjadi pada tahun 2013
sebanyak 181 kasus. Berdasarkan data dari pemegang program Penanggulangan
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (P2 ISPA) Dinas Kesehatan Kota
Denpasar bahwa orang tua perokok merupakan faktor risiko utama terjadinya
pneumonia di Kota Denpasar pada tahun 2011 dan 352 orang yang telah
dilakukan care seeking. Data yang didapat ini hanya berdasarkan pertanyaan yang
diberikan kepada orang tua yang anaknya menderita pneumonia saja.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian pneumonia masih tinggi begitu juga kematiannya. Penelitian
tentang hubungan ASI, lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko pneumonia
pada balita telah banyak dilakukan, namun ada beberapa hal yang masih tidak
konsisten. Berdasarkan latar belakang yang telah disusun maka rumusan
6
masalahnya adalah apakah pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah
meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Umum
Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor
risiko kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan.
1.3.2 Khusus
1. Mengidentifikasi pemberian ASI (status ASIeksklusif, durasi pemberian
ASI, pemberian ASI dua tahun, status inisiasi menyusu dini, pemberian
kolostrum), dan lingkungan fisik rumah (jenis lantai, keadaan dinding, luas
ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan dan kepadatan hunian).
2. Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor
risiko kejadian pneumonia pada balita.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pemegang kebijakan
Hasil studi ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun
tata laksana pencegahan dan penanggulangan pneumonia pada balitadi wilayah
Puskesmas II Denpasar Selatan.
1.4.2 Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat tentang faktor risiko pneumonia sehingga kejadian pneumonia
pada balita bisa dicegah dan ditanggulangi.
7
1.4.3 Manfaat akademik
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian
pneumonia pada balita
2. Dapat menjadi acuan dan data dasar bagi penelitian berikutnya, terutama
yang berkaitan dengan pneumonia pada balita.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut
pada bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes RI, 2002). Faktor risiko
sangat besar pengaruhnya terhadap morbiditas maupun mortalitas pneumonia
pada balita.
2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita
Faktor risiko adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
munculnya kondisi sehat atau sakit (Stanhope dan Lancester, 2002).Faktor risiko
pneumonia sudah diketahui, namun untuk menekan kematian oleh karena
pneumonia masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal untuk memberantas
faktor risiko tersebut.
2.1.1 Faktor sosial ekonomi dan demografi
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi
utama dalam penyakit pernapasan.Hubungan korelasi negatif antara status sosial
ekonomi dengan morbiditas saluran pernapasan.Status ekonomi secara umum
yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga,
banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Machmud,
2006).Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial
ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup
9
sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat
memengaruhi upaya pencarian pengobatan. Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) untuk Kota Denpasar tahun 2014 adalah Rp 1.656.900,- (Depnaker,
2013). Kejadian pneumonia 1,81 kali lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota
yang penduduknya miskin (Trihono dan Gitawati, 2009). Status ekonomi
berhubungan dengan pneumonia balita dimana anak yang berasal dari status sosial
ekonomi rendah mempunyai risiko terkena pneumonia sebesar 2,39 kali (95% CI :
1,39 – 4,09) dibandingkan anak yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi.
Anak dari status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko terkena pneumonia
2,15 kali (95% CI : 1,25 – 3,70) dibandingkan dari anak dari status sosial ekonomi
tinggi (Hananto, 2004).
Negara-negara berkembang memiliki gambaran tentang adanya perbedaan
tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu
(Machmud, 2006). Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh
melalui jenjang pendidikan. Peran seorang ibu penting dalam pemeliharaan
kesehatan balita selalu berusaha agar anaknya tetap sehat. Ibu yang berpendidikan
baik akan mempunyai wawasan yang cukup dalam pemeliharaan balita (Depkes
RI, 2003). Pendidikan ibu berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia
pada balita (OR : 5,31; 95% CI : 2,18 – 12,98) ini berarti balita yang ibunya
memiliki pendidikan rendah mempunyai risiko 5,31 kali untuk terkena pneumonia
dibandingkan balita yang ibunya memiliki pendidikan tinggi (Fanada, dkk., 2012).
Faktor umur ikut berperan dalam penyakit yang diderita oleh anak.Risiko
untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur di bawah dua tahun.Anak
10
umur di bawah dua tahun lebih besar risikonya terkena pneumonia dibandingkan
yang lebih tua karena status imun/kekebalan anak di bawah dua tahun belum
sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry,
2008). Menurut Depkes risiko untuk terkena pneumonia adalah umur kurang dari
dua tahun. Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP&PL) dan Profil Kesehatan Indonesia proporsi kasus
pneumonia pada kelompok umur kurang dari satu tahun dari tahun 2007 sampai
2009 sekitar 35% dari semua kasus pneumonia pada balita (Kemenkes RI, 2010).
Hasil penelitian yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kasus pneumonia
lebih dominan pada anak kurang dari satu tahun. Umur memiliki hubungan
dengan kejadian pneumonia pada balita (Regina dkk., 2013). Umur balita ≤ 12
bulan berpeluang 4,18 kali terkena pneumonia dibandingkan balita umur > 12
bulan sampai dengan < 60 bulan (Hartati (2011), begitu juga dinyatakan anak ≤12
bulan mempunyai risiko untuk terjadi pneumonia 2,27 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak usia >12 bulan (Hananto (2004).
Pedoman P2 ISPA menyebutkan jenis kelamin laki-laki adalah faktor
risiko yang memengaruhi kejadian pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini
disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan
dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara
anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, 2004). Secara umum hampir
semua penelitian menyatakan secara konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih
berisiko terkena pneumonia, walaupun ada beberapa yang dinyatakan tidak ada
hubungan yang bermakna.
11
Jenis kelamin laki-laki lebih besar risiko untuk terkena pneumonia
daripada perempuan (Anwar & Dharmayanti, 2014; Sugihartono & Nurjazuli,
2012; Annah, dkk., 2012). Sebesar 56% penderita pneumonia yang dirawat di RS
adalah laki-laki berdasarkan penelitian di Uruguay tahun 1997-1998 (Machmud,
2006). Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian
pneumonia pada balita dimana laki-laki memiliki peluang 1,24 kali lebih besar
terkena pneumonia daripada balita perempuan (Hartati, 2011). Hasil yang sama
juga terdapat pada penelitian yang lain bahwa balita laki-laki mempunyai risiko
1,11 kali dibandingkan perempuan untuk terkena pneumonia namun secara
statistik tidak ada hubungan yang bermakna (Herman 2002).
2.1.2 Riwayat penyakit (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan atas akut biasa disebut ISPA ringan atau bukan
pneumonia. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA) lebih banyak menyerang
anak karena mekanisme pertahanan tubuhnya masih sangat lemah. Seorang balita
rata-rata mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI,
2002). Penelitian di Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam Semarang,
mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara infeksi saluran pernapasan
dengan kejadian pneumonia (OR : 2,13; 95% CI : 0,78-5,64) (Sugihartono dan
Nurjazuli, 2012).
Keadaan anak saat lahir ikut berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak selanjutnya selain riwayat ISPA yang berulang, salah satunya
adalah BBLR. Berat badan lahir rendah ialah keadaan dimana bayi berat badan
kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram). Bayi dan balita dengan
12
BBLR lebih berisiko terhadap kematian bahkan sejak masa awal kehidupannya.
Hal ini disebabkan zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna
(Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bayi 0-4
bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita
pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008). Penelitian di Sumatera Selatan
mendapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat BBLR memiliki risiko
1,90 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan riwayat balita yang lahir
dengan berat badan normal namun secara statistik tidak bermakna (OR : 1,90 ;
95% CI :0,72-4,90) (Herman, 2002).
2.1.3 Pemberian ASI yang kurang memadai
Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan
berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI
dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO membuktikan
bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan angka kematian
anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut (Tumbelaka dan
Karyanti, 2008). Air susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya
tahan tubuh bayi dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi
perlindungan kepada tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di
dalamnya serta asupan nutrisi untuk beraktivitas (Roesli, 2005).
Air susu ibu terbukti sebagai minuman sekaligus makanan yang luar biasa
manfaatnya karena seorang ibu yang dalam keadaan kekurangan gizi, maka ASI
tetap mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi
infeksi melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati,
13
2008). Imunoglobulin ASI tidak diabsorpsi bayi tetapi berperan memperkuat
sistem imun lokal usus. Air susu ibu juga meningkatkan immunoglobulin A
(sIgA) pada mukosa traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi. Ini disebabkan
faktor pertumbuhan dan hormon sehingga dapat merangsang perkembangan
sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis media,
pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi yang
mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (Matondang, dkk,.
2008).
Pemberian ASI yang dianjurkan adalah bayi diberikan ASI saja tanpa
makanan atau minuman tambahan termasuk air putih selama enam bulan, ini
disebut dengan pemberian ASI eksklusif (Matondang, dkk., 2008). Hal ini
disebabkan kandungan dalam ASI yang sudah sebagian besar terdiri dari air
(87,5%) dan walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas bayi
tidak akan dehidrasi karena sudah minum ASI (Hendarto dan Pringgadini, 2008).
Satu bulan pertama ASI mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi dan energi bayi,
setelah enam bulan memberikan separuh atau lebih, dan selama tahun kedua
mencukupi 1/3 atau lebih kebutuhan nutrisi bayi (Proverawati dan Rahmawati,
2010).
Kolostrum adalah cairan susu kental yang berwarna kekuning-kuningan
yang dihasilkan oleh sel alveoli payudara ibu dengan jumlah yang tidak terlalu
banyak tetapi kaya zat gizi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum
merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7
(Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat antibodi terutama sIgA. Kolostrum
14
memiliki lebih dari 50 proses pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor
pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008). Kolostrum
dapat membunuh kuman dalam jumlah besar karena mengandung sel darah putih
dan protein imunoglobulin.Kolostrum dihasilkan pada saat sistem pertahanan
tubuh bayi paling rendah sehingga dapat dikatakan bayi menerima imunisasi yang
pertama dalam kehidupannya (Roesli, 2005).Banyak zat antibodi dan faktor
imunosupresif terkandung dalam kolostrum yang mencegah terjadinya stimulasi
berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono,
2008).Beberapa daerah di Indonesia sengaja membuang kolostrum karena
dianggap dapat berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan anak.
Inisiasi menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah
lahir dengan membiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibunya, paling tidak selama
satu jam segera setelah lahir (Roesli, 2008). Manfaat IMD bagi bayi adalah
mengkoordinasikan reflek hisap, telan dan napas bayi; meningkatkan kecerdasan;
memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena ASI merupakan makanan dengan
kualitas dan kuantitas yang optimal; memberi kekebalan pasif kepada bayi melalui
kolostrum; meningkatkan bounding attachment antara ibu dan bayi; merangsang
kolostrum segera keluar serta mencegah hipotermi. Manfaat bagi ibu adalah
meningkatkan keberhasilan produksi ASI; merangsang produksi oksitosin dan
prolaktin; dan meningkatkan ikatan batin ibu dan bayi (Sidi, dkk., 2004).
Pemberian ASI saja selama enam bulan tanpa diselingi makanan atau
cairan apapun, misal pisang, bubur susu, biskuit, susu formula (Wiji 2013).
Laporan Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breast
15
Feeding dalam (Wiji 2013) menyatakan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif
selama enam bulan memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap
penyakit infeksi dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif hanya empat
bulan. World Health Organization (WHO) dan UNICEF merekomendasikan
menyusui setiap kali bayi mau, ASI secara eksklusif selama enam bulan dan
apabila ASI diperah jangan memberikan dengan botol atau dot, menyusui dalam
satu jam pertama setelah bayi dilahirkan(Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Hasil penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara riwayat
pemberian ASI dengan kejadian pneumonia (OR : 8,96; 95% CI: 2,84 – 23,23).
Balita berisiko 8,96 kali lebih besar terkena pneumonia bila mengkonsumsi ASI
tidak eksklusif dibanding dengan balita yang mengkonsumsi ASI
eksklusif(Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Bayi di bawah enam bulan yang tidak
diberi ASI eksklusif berisiko lima kali untuk mengalami kematian akibat
pneumonia dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (UNICEF-WHO,
2006). Bayi yang diberi ASI tidak eksklusif mempunyai risiko terjadinya
pneumonia pada umur 4-24 bulan sebesar 4,89 kali (95% CI : 2,86 - 8,36)
dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Naim, 2000).
Sebaliknya penelitiandi Puskesmas II Denpasar Selatan menunjukkan hasil tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian
pneumonia pada bayi dan anak balita, tidak memberikan ASI eksklusif bukan
merupakan faktor risiko kejadian pneumonia (OR : 3,51; 95% CI : 0,73 – 16,79)
(Farmani, 2011).
16
Setelah bayi berumur enam bulan diberikan makanan tambahan dan ASI
diteruskan pemberiannya sampai usia anak dua tahun atau lebih(Wiji 2013).
Menurut penelitian (Heriyana, dkk, 2005) lamanya pemberian ASI berhubungan
dengan kejadian pneumonia (OR : 7,95; 95% CI : 1,78 - 35,48).
Frekuensi menyusui yang semakin sering dapat meningkatkan produksi
ASI, mencegah payudara nyeri serta sakit karena penumpukan dan penggumpalan
ASI, dan meminimalkan kemungkinan bayi menjadi kuning karena proses
pembentukan hati yang belum matur. Bayi yang baru lahir disusui sampai merasa
puas atau bila diperhitungkan dengan waktu sebaiknya setiap dua sampai tiga jam
sekali. Menyusui minimal lima menit pada masing-masing payudara pada hari
pertama setelah melahirkan dan frekuensinya semakin ditingkatkan setiap hari
sehingga dapat meningkatkan produksi ASI yang berkualitas. Frekuensi menyusui
bayi tidak perlu dibatasi dan durasi menyusui kurang lebih 20 menit untuk
masing-masing payudara mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bayi
(Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan belum mampu menerima
makanan karena saluran pencernaan yang belum sempurna dan kekebalan tubuh
pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Pemberian makanan tambahan
diberikan ketika bayi sudah mencapai usia enam bulan. Makanan sangat rentan
tercemar kuman, pemberian makanan yang terlalu dini kepada bayi akan
berpotensi menimbulkan infeksi karena bayi belum mampu mencernanya dengan
baik sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan bayi akan mudah
terinfeksi penyakit (Depkes RI, 2004).
17
Volume ASI setelah minggu-minggu pertama kurang lebih 450-650 ml,
berkurang sedikit dari sejak minggu pertama kelahiran bayi. Setiap hari sebanyak
600 ml susu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Jumlah tersebut dapat
dicapai dengan menyusui bayi selama empat sampai enam bulan pertama, oleh
karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan
gizinya. Setelah berumur enam bulan bayi perlu mendapatkan makanan tambahan
karena volume pengeluaran ASI mulai menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi
tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
2.1.4 Defisiensi vitamin A
Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi
saluran pernapasan dari infeksi kuman.Vitamin A dapat melindungi tubuh dari
infeksi organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini
termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar
tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan
antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa
toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen
dan virus (Umardani dalam Setiarsih, 2014).
Program pemberian vitamin A setiap enam bulan untuk balita telah
dilaksanakan di Indonesia. Hasil penelitian di Indramayu menunjukkan
peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan
vitamin A(Sutrisna B.,1993). Tidak ada perbedaan bermakna insiden dan beratnya
pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dengan yang tidak, hanya
18
waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A
(Kartasasmita, 1993).
2.1.5 Pemberian imunisasi yang tidak lengkap
Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam penyakit
adalah melalui pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan
risiko untuk terkena pneumonia.Anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi
campak mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami kematian akibat
pneumonia, terutama pada anak yang sedang menderita pneumonia.Cara pertama
vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung
yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib)
dan cara kedua imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan
pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya campak dan pertussis).
Pemberian imunisasi diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas akibat pneumonia (Djaya, 1999).
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia
adalah vaksin pertussis (ada dalam DPT), campak, Hib (Haemophilus influenzae
type b) dan Pneumococcus (PCV).Pertussis dan campak telah masuk ke dalam
program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.Haemophilus
influenzae type b(Hib) dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO namun
belum semua negara memasukkannya ke dalam program nasional karena
harganya yang mahal.Vaksin Hib dan pneumokokus dapat mencegah kematian
1.075.000 anak setahun(Kemenkes RI, 2010).
19
Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan telah memasukkan
vaksin Hib ke dalam program imunisasi dasar yaitu pentavalen mulai tahun 2014,
namun untuk wilayah Bali mulai tahun 2013.Vaksin pentavalen kedudukannya
menggantikan vaksin kombo yang sekarang tidak ada lagi. Pemberian vaksin
pentavalen sama dengan vaksin kombo yaitu pada umur bayi dua bulan, tiga
bulan, empat bulan untuk imunisasi dasar. Untuk imunisasi lanjutan vaksin
pentavalen diberikan pada umur anak paling cepat 18 bulan sampai tiga tahun.
Hasil penelitian mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
anak yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status
DPT dan campak lengkap. Balita yang status campak dan DPT tidak lengkap
berpeluang sebesar 1,16 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang
statusnya lengkap (95% CI: 0,73 – 1,84) (Hananto, 2004).
2.1.6 Paparan asap rokok
Prevalensi masyarakat dengan kelompok umur ≥ 15 tahun yang sudah
melakukan aktivitas merokok setiap hari di Indonesia adalah 28,2%, dimana 1,7%
kelompok umur 5 – 9 tahun sudah pernah merasakan merokok untuk pertama kali
(Riskesdas, 2010). Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 juga menyatakan
bahwa jumlah orang dewasa yang terpapar asap rokok di dalam rumah sebesar
78,4%, hal ini sangat berdampak pada anak-anak yang tinggal satu rumah dengan
perokok karena anak menjadi perokok pasif sehingga mengalami peningkatan
risiko terkena radang saluran pernapasan, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma
serta kelambatan pertumbuhan paru-paru.
20
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan
kegiatan manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah
kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok
(Achmadi, 2011). Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan
di dekat balita tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan.
Merokok pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu
pernapasan anak.
Variabel merokok sebagai variabel independent dalam suatu penelitian
mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak merokok.
Paparan rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi, antara lain
dari jenis perokok (perokok aktif atau perokok pasif), jumlah rokok yang dihisap
(dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari), jenis rokok yang dihisap (keretek,
cerutu atau rokok putih, pakai filter atau tidak), cara menghisap rokok (menghisap
dangkal, di mulut saja atau isap dalam), alasan mulai merokok (sekedar ingin
hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian, sebagai gaya, meniru orang tua), umur
mulai merokok (sejak umur 10 tahun atau lebih). Berdasarkan hal tersebut jenis
perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan jika merokok kurang dari 10
batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per
hari, perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari (Buston, 2007).
Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan
merokok dengan pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,70 (Yuwono, 2008),
begitu juga penelitian oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan OR sebesar
5,74 (95% CI : 1,78 – 18,49).
21
2.1.7 Faktor lingkungan fisik rumah
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga. Kontruksi rumah dan lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan
berbagai jenis penyakit khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Kondisi
fisik rumah sangat memengaruhi terhadap kejadian pneumonia.
Kelembaban kandungan uap air dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan
pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang
meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit.
Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia saling berpengaruh
terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan etiologi pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi
tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan
biasanya akan mudah menderita sakit infeksi saluran napas karena situasi tersebut
(Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor kelembaban udara meliputi keadaan bangunan yaitu dinding,
iklim dan cuaca. Air hujan masuk dan meresap melalui pori-pori dinding
sehingga akan mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan. Kelembaban
udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kelembaban di dalam
rumah menurut Departemen Pekerjaan Umum dapat disebabkan oleh tiga faktor
yaitu kelembaban yang naik dari tanah (rising damp), merembes melalui dinding
(percolating damp) dan bocor melalui atap (roof leaks) (Dinas Pekerjaan Umum,
2006).
22
Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999 menyatakan syarat-
syarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah tingkat kelembaban
udara dalam rumah yang dianggap baik adalah sebesar 40-70% serta lantai dan
dinding harus kering. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah
higrometer, digantung pada papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat
berapa angka kelembaban yang tertera pada alat tersebut kemudian melakukan
pencataan hasil. Higrometer adalah perangkat untuk menentukan kelembaban
atmosfer yang dapat menunjukkan kelembaban relatif (persentase kelembaban di
udara), kelembaban mutlak (jumlah kelembaban) atau keduanya. Beberapa
higrometer standar hanya mampu menginformasikan dua keadaan seperti pada
kondisi udara kering atau basah. Jenis higrometer lainnya merupakan bagian dari
perangkat yang disebut humidistats, yang digunakan untuk mengontrol pelembab
udara atau pengering untuk mengatur kelembaban udara (Keman, 2005).
Tingkat kelembaban berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita
dengan OR sebesar 2,90 dimana balita yang menempati rumah dengan
kelembaban tinggi berisiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita yang
menempati kondisi rumah dengan kelembaban normal (Yulianti,dkk., 2002).
Tingkat kelembaban berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia.Balita
memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,80 kali lebih besar apabila tinggal
pada rumah yang kelembabannya kurang atau lebih dari syarat yang ditetapkan
dibandingkan yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban memenuhi syarat
(Yuwono, 2008). Sebaliknya dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna
23
antara kelembaban rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (Pramudiyani
dan Prameswari, 2011).
Kurangnya ventilasi berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam
ruangan yang merupakan media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan
patogen. Fungsi lain ventilasi adalah untuk menjaga ruangan dalam kelembaban
optimum dan membuat ruangan di dalam rumah terhindar dari kontaminasi
bakteri yang dapat membahayakan (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi memiliki
fungsi yang penting terutama untuk mengatur O2 yang masuk ke ruangan
sehingga aliran udara dalam rumah tetap segar dan terjaga dengan baik yang
dibutuhkan oleh penghuni. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan meningkatnya
kadar CO2 dan menipisnya kadar O2 yang berarti bahwa kadar racun yang dibawa
oleh O2 meningkat dan berbahaya bagi para penghuninya (Notoatmodjo, 2007).
Ventilasi dapat dibagi menjadi dua, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi
buatan.Prinsip kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara secara
alamiah melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding
ruangan rumah. Ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat
elektronik seperti kipas angin atau mesin penghisap udara. Kelemahan ventilasi
alamiah yaitu peluang masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih
tinggi dibandingkan ventilasi buatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
No.829 Tahun 1999, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal
10% luas lantai (Keman, 2005). Ventilasi diukur dengan menggunakan rollmeter,
dengan kategori dikatakan tidak memenuhi standar yaitu ukuran ventilasi tidak
24
sesuai dengan standar bangunan nasional, dikatakan standar bila ukuran ventilasi
sesuai dengan dua atau lebih standar bangunan nasional.
Hasil penelitian yang dilakukan di Cilacap menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada
anak balita (OR : 6,30). Anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko 6,30 kali terkena pneumonia dibandingkan anak
balita dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Hasil penelitian
yang sama juga didapatkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan
kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,91). Hal ini menunjukkan kondisi rumah
balita yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,91 kali
terkena pneumonia dibandingkan balita dengan ventilasi rumah yang memenuhi
syarat (Sinaga, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan di Kota Salatiga
mendapatkan kondisi ventilasi yang buruk memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 21,21 (Siti Zuraidah,
2002) dan penelitian lain juga didapatkan hal yang sama dengan OR sebesar 33,00
(Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006).
Kondisi lantai yang lembab menyebabkan pertumbuhan yang cepat dari
bakteri patogen, virus maupun jamur sehingga dapat menimbulkan penyakit pada
penghuninya. Jenis lantai yang baik menurut Kepmenkes Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah yang
kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari bahan tanah pada saat musim hujan
akan menjadi lembab oleh karena itu sebaiknya tidak digunakan lagi. Penyebab
pneumonia pada balita sangat bervariasi, mulai dari bakteri Streptococcus
25
pneumoniae dan Haemophyilus influenza, virus maupun fungi (jamur) (Depkes
RI, 2000). Lantai perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen,
dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Lantai sebaiknya dinaikkan kira-kira
20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air masuk ke dalam rumah.
Beberapa penelitian yang terkait dengan jenis lantai dengan kejadian
pneumonia pada balita. Jenis lantai berhubungan dengan kejadian pneumonia
(Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Jenis lantai mempunyai asosiasi yang
signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas,
2006). Balita mempunyai risiko menderita pneumonia sebesar 3,90 kali lebih
besar saat tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat
dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat
(Yuwono, 2008). Begitu juga penelitian lain dengan OR sebesar 10,53 dan 95%
CI : 2,61– 42,44 (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012).
Faktor kelembaban rumah juga dipengaruhi oleh dinding rumah.Fungsi
dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk
melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga
sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk
mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp
(kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab
kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat
dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok.
Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising
damp) (Depkes RI, 1994). Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap
26
segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan
tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi.
Salah satu hasil penelitian menyatakan kondisi dinding rumah mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia. Besarnya risiko menderita
pneumonia dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,90 artinya anak balita yang
tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki
risiko terkena pneumonia sebesar 2,90 kali lebih besar dibandingkan anak balita
yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah memenuhi syarat (Yuwono,
2008).
Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup.
Pencahayaan yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan
ketidaknyamanan serta merupakan media yang baik untuk bibit penyakit
berkembang biak. Sebaliknya pencahayaan alami yang berlebihan dapat
menyilaukan mata.Sebagian energi pancaran sinar matahari terdiri atas cahaya
ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi (lapisan ozon) dan polutan
atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi terbatas kisarannya yaitu
280-390 nm. Sinar matahari pada keadaan tertentu memiliki kapasitas membunuh
bakteri (Radji, M, 2010).
Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang
terbuka.Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk
mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk dan membunuh kuman
penyebab penyakit.Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-
27
bakteri patogen yang hidup dalam rumah seperti bakteri TBC. Bakteri
streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari
dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010).
Keputusan Menteri Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999
menyatakan pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak
menyilaukan mata (Keman, 2005). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat
yaitu bila cahaya matahari dapat memasuki ruangan sedangkan yang tidak
memenuhi syarat jika matahari tidak mampu memasuki ruangan. Jendela kamar
tidur sebaiknya menghadap ke timur sehingga mendapatkan cahaya matahari yang
optimal ketika pagi hari. Idealnya proporsi jalan masuknya cahaya alami ke dalam
rumah adalah 15-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan
(Notoatmodjo,2007). Sebaiknya memakai genteng kaca agar dapat mengatur jarak
masuknya cahaya.
Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah luxmeter. Cara
penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan
diperiksa, lihat dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah
Indonesia melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa untuk
kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal
satu jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal delapan
jam.
Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru
Kota Medan menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan
28
kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,90) dimana balita dengan tingkat
pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,90 kali terkena
pneumonia dibandingkan balita dengan tingkat pencahayaan alami yang
memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada
penelitian lain dengan nilai OR sebesar 22,00 (Wijo Basuki, 2004).
Selain keadaan rumah yang tidak lembab, proporsi antara luas bangunan
dan jumlah penghuni merupakan salah satu syarat rumah sehat. Jumlah penghuni
yang terlalu banyak dalam rumah tentu membuat tidak nyaman yaitu
menimbulkan rasa sesak. Kondisi tersebut dapat mengganggu kesehatan sebagai
akibat kurangnya konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan
penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi.
Syarat bangunan yang nyaman dan tidak membuat sesak kalau memenuhi
luas 2,5-3 m2/orang (Notoatmodjo, 2007). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.829 Tahun 1999 tentang kriteria rumah sehat bahwa
kepadatan hunian yang dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m2 untuk
dua orang (Keman, 2005). Winslow dan American Public Health Association
(APHA) menyatakan aturan untuk kamar tidur dari segi jumlah yang akan
dibangun dan pengaturan di dalamnya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin
anak. Ukuran tempat tidur anak usia kurang dari lima tahun minimal 4,5 m2 dan 9
m2
untuk anak yang berumur lebih dari lima tahun. Sleeping density dapat dipakai
untuk menentukan kepadatan hunian, yang dihitung berdasarkan jumlah kamar
tidur yang ada dibagi dengan jumlah penghuni dalam rumah. Hasil yang didapat
dari perhitungan tersebut dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori baik apabila
29
hasilnya ≥ 0,7, kategori cukup bila kepadatan 0,5 – 0,7, dan kurang apabila
kepadatan < 0,5 (Dinas Pekerjaan Umum, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarmasin menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita
(OR : 3,06) dimana anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali
terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan
yang ideal (Yulianti,dkk., 2002). Hasil yang sama mengenai hubungan antara
tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR :
6,90 dan OR : 2,70 (Sinaga, dkk., 2008; Yuwono, 2008). Sebaliknya penelitian
yang lain didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 0,92) yang berarti balita
yang tinggal dalam rumah dengan kondisi tidak padat penghuni mempunyai efek
perlindungan sebesar 0,92 kali terhadap pneumonia (Sudirman, 2003).
30
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan tinjauan pustaka ada beberapa faktor yang berhubungan
dengan kejadian pneumonia pada balita. Pneumonia sangat berbahaya karena
merupakan salah satu penyebab kematian utama pada balita. Pneumonia pada
balita perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus yaitu dengan
pengobatan dan pencegahan pneumonia. Hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah timbulnya pneumonia balita adalah dengan memperkecil faktor risiko
pneumonia pada balita.
Penyebab utama pneumonia pada balita yaitu infeksi oleh mikroorganisme
seperti virus dan bakteri serta dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut secara
umum dapat dikelompokkan menjadi faktor anak, faktor ibu, faktor lingkungan
dan faktor sosial ekonomi.Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, faktor-faktor
penyebab pneumonia pada balita sebagai berikut.
Daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan seorang balita terkena
pneumonia, dimana daya tahan tubuh dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,
pemberian ASI, status imunisasi, status gizi, riwayat penyakit sebelumnya dan
adanya paparan dengan asap rokok. Anak dengan umur di bawah dua tahun lebih
besar risiko terkena pneumonia karena status kerentanan anak di bawah dua tahun
belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam
Tantry, 2008). Jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena pneumonia karena
31
diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
perempuan atau adanya perbedaan daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan
perempuan (Sunyataningkamto, dkk., 2004).
Air susu ibu mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan
mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan imunoglobulin
(Munasir dan Kurniati, 2008). Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas
kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi
granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan
mikronutrien (Sunyataningkamto, dkk., 2004). Vitamin A bermanfaat untuk
meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi
kuman.Pemberian imunisasi pneumokokus, Hib, DPT dan campak dapat
menurunkan risiko untuk terkena pneumonia.
Kelembaban udara dalam rumah yang meningkat berpotensi sebagai
tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2007).Tingkat
kelembaban rumah berpengaruh terhadap kejadian pneumonia karena dapat
meningkatkan mikroorganisme (Streptococcuspnemoniae &
Hemophylusinfluenzae) di lingkungan rumah. Tingkat kelembaban ini dipengaruhi
oleh luas ventilasi rumah, jenis lantai rumah, kondisi dinding rumah, suhu, tingkat
kepadatan hunian, dan kondisi pencahayaan di dalam rumah. Luas lubang
ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
persyaratan kesehatan perumahan menyatakan lantai yang baik adalah kedap air
dan mudah dibersihkan, lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena
32
saat musim hujan akan lembab. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuni akan menimbulkan rasa sesak karena kurangnya konsumsi O2
dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah satu
penghuni yang menderita penyakit infeksi.
Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri
patogen dalam rumah, selain itu bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat
mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh
sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). Tingkat sosial ekonomi turut serta
memengaruhi pencahayaan di dalam rumah. Mikroorganisme tersebut ada pada
lingkungan rumah yang tingkat kelembabannya tidak memenuhi syarat maka
terjadi infeksi (mikroorganisme ini masuk ke dalam tubuh manusia) dan
menyebabkan kejadian pneumonia. Namun tidak semua pasti akan
terjadipneumonia tetapi juga dipengaruhi oleh kuman penyebab (keadaan
keganasan dan jumlah kuman) dan juga oleh daya tahan tubuh seperti yang
dijelaskan di atas.
33
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka konsep penelitian ini sebagai
berikut.
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Pada penelitian ini yang diteliti sebagai variabel independent adalah
pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah. Variabel lain tetap diambil datanya
namun tidak dimasukkan ke dalam hipotesis dan tidak menutup kemungkinan
variabel tersebut bisa menjadi signifikan karena ikut dianalisis.
Pneumonia pada
balita
1. Faktor Anak :
- Jenis kelamin
- Umur
- Riwayat BBLR
- Riwayat sakit ISPA
- Status gizi
- Status imunisasi
- Status vitamin A
2. Faktor Perilaku :
- Pemberian ASI (Status pemberian
kolostrum, Status ASI eksklusif,
Durasi ASI, Pemberian ASI dua
tahun, Inisiasi menyusu dini)
3. Faktor Lingkungan
- Lingkungan fisik rumah (Lantai,
Dinding, Luas ventilasi,
Pencahayaan alami, Kelembaban,
Kepadatan hunian)
- Paparan asap rokok di dalam rumah 4. Faktor sosio-ekonomi
- Pendidikan ibu
- Penghasilan keluarga
34
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan konsep penelitian di atas
sebagai berikut.
3.3.1 Pemberian ASI meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita.
3.3.2 Lingkungan fisik rumah meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada
balita.
35
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case
control, untuk mempelajari faktor pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah
terhadap kejadian pneumonia pada balita di puskesmas II Denpasar Selatan.
Skema penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Case Control
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa penelitian ini meneliti dan melihat
hubungan faktor risiko dan penyakit pneumonia pada balita dengan cara
membandingkan kelompok kasus balita yang menderita pneumonia dengan
kelompok kontrol balita yang tidak pneumonia di masa lalu dan saat penelitian.
Terpapar faktor risiko
Penderita
pneumonia Tidak terpapar faktor risiko
Terpapar faktor risiko
Bukan penderita
pneumonia
Tidak terpapar faktor risiko
36
4.2 Definisi Kasus dan Kontrol
4.2.1 Subyek kasus
Subyek kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah balita yang
terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0 - 59 bulan dan tercatat
di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah
kerja puskesmas II Denpasar Selatan.
1. Kriteria inklusi :
a. Balita (0 – 59 bulan) yang mengalami pneumonia pada 01 Januari 2014
sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan
b. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi
a. Pernah memperbaiki rumah (mengecat tembok, mengganti lantai,
menambahkan ventilasi dll) dari sebelum anak terkena pneumonia sampai
saat penelitian
b. Balita yang sakit berat/kronis atau mengalami kelainan kongenital mayor
c. Data tidak lengkap
4.2.2 Subyek kontrol
Subyek kontrol yang dipakai dalam penelitian ini adalah balita sehat yang
diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk imunisasi atau diajak oleh orang
tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah kerja puskesmas II Denpasar
Selatan.
37
4.3 Sumber Kasus dan Kontrol
4.3.1 Populasi kasus
Populasi target untuk kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita
pneumonia pada balita yang berada di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya
adalah balita yang menderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar
Selatan pada tanggal 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015.
4.3.2 Populasi kontrol
Populasi target untuk kontrol dalam penelitian ini adalah semua balita
yang tidak menderita pneumonia di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya adalah
balita yang tidak menderita pneumonia serta berdomisili di wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Selatan pada saat penelitian.
4.4 Besar Sampel Kasus dan Kontrol
1.6.1 Jumlah dan besar sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah balita yang mengalami pneumonia
pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Selatandengan jumlah yang dipakai dihitung berdasarkan rumus pada
buku Sudigdo (2011) sebagai berikut.
Keterangan :
n = ukuran masing-masing sampel dari kedua kelompok sampel
P1 = perkiraan proporsi efek pada kelompok kasus
P2 = perkiraan proporsi efek pada kontrol (dari pustaka)
38
P2 yang dipergunakan didapatkan dari Riskesdas (2010), dimana untuk proporsi
ibu yang memberikan ASI eksklusif adalah 15,3% dan proporsi penduduk
Indonesia yang memiliki rumah sehat hanya 24,9%.
P = ½ (P1+P2)
Zα = tingkat kemaknaan (1,96 ; dengan menggunakan α = 0,05)
Zβ = power (0,84 ; dengan menggunakan β = 0,20)
Berdasarkan rumus dan data yang telah ditentukan di atas maka sampel
yang diperoleh berdasarkan OR penelitian terdahulu.
Tabel 4.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian
Nama peneliti dan
variabel
Outcome OR P2 P1 n1=n2 2n
Naim, 2000
Pemberian ASI tidak
eksklusif
Kejadian
pneumonia pada
balita
4,89 0,15 0,47 23 46
Mokoginta dkk.,2013
Pemberian ASI tidak
eksklusif
Kejadian
pneumonia pada
balita
4,47 0,15 0,44 27 54
Yuwono, 2008
Kepadatan hunian
Kejadian
pneumonia pada
balita
2,7 0,25 0,48 60 120
Yuwono, 2008
Jenis lantai
Kejadian
pneumonia pada
balita
3,9 0,25 0,57 30 60
Sinaga, dkk., 2008
Ventilasi
Kejadian
pneumonia pada
balita
2,9 0,25 0,50 50 100
Sinaga, dkk., 2008
Pencahayaan alami
rumah
Kejadian
pneumonia pada
balita
2,9 0,25 0,50 50 100
Yulianti, dkk., 2002
Kelembaban rumah
Kejadian
pneumonia pada
balita
2,9 0,25 0,50 50 100
Berdasarkan perhitungan di atas jumlah sampel terbesar yang didapatkan
adalah 120 yang terdiri dari 60 kasus dan 60 kontrol.
39
4.4.1 Teknik pemilihan sampel dan prosesmatching
1. Pemilihan sampel kasus dan kontrol
Peneliti merekap data kasus pneumonia balita di Puskesmas II Denpasar
Selatan pada periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 serta melakukan
pengelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Pemilihan kasus dilakukan
secara total sampling, dengan pertimbangan untuk menghindari kehilangan
sampel karena ada yang pindah atau tidak ditemukannya kasus.
Pemilihan kontrol memakai puskesmas based. Cara memilih kelompok
kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk
imunisasi atau diajak oleh orang tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah
kerja puskesmas II Denpasar Selatan.
2. Memiripkan kasus dan kontrol (matching)
Matching yang digunakan adalah jenis frequency matching, dimana hanya
memiripkan dengan variabel umur dan jenis kelamin antara kasus dengan kontrol.
4.5 Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel Independent (faktor
risiko)
4.5.1 Metode pengumpulan data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer tentang faktor risiko
yang diperoleh dengan wawancara kepada ibu balita dan observasi serta
pengukuran untuk data lingkungan fisik rumah dimana pengukuran menggunakan
digital thermo-hygrometer, rollmeter/meteran digital, luxmeter, alat hitung, dan
alat tulis. Data sekunder yang dipergunakan adalah register balita sakit di wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Selatan periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret
2015.
40
4.5.2 Instrumen penelitian
Peneliti mempergunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan data
pola pemberian ASI dan memakai lembar observasi untuk mendapatkan data
tentang lingkungan fisik rumah. Sebelum kuesioner dipakai untuk penelitian telah
dilakukan uji coba terlebih dahulu kepada sebanyak sepuluh ibu balita dengan
tujuan kuesioner yang dipakai dapat dipahami setiap item pertanyaannya.
Pertanyaan yang tidak dimengerti oleh responden saat uji coba dan perlu
ditambahkan sudah dilakukan perbaikan, sehingga kuisioner dikatakan sudah
dapat meminimalkan kesalahan dalam pengumpulan data. Selain itu dengan uji
coba yang dilakukan diharapkan persepsi antara peneliti dengan responden sama
sehingga didapatkan data yang valid.
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar
Selatan, pada bulan Maret sampai Mei 2015. Puskesmas II Denpasar Selatan
dipilih menjadi tempat penelitian karena cakupan pneumonia di puskesmas ini
paling tinggi nomor dua untuk Denpasar pada tahun 2013 dan melanjutkan
penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang pneumonia pada balita.
4.7 Identifikasi Variabel Penelitian
4.7.1 Variabel dependent
Variabel dependent pada penelitian ini adalah pneumonia pada balita.
4.7.2 Variabel independent
Variabel independent pada penelitian ini adalah pemberian ASI
(pemberian kolostrum, status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, pemberian
41
ASI dua tahun, dan status IMD), lingkungan fisik rumah (lantai rumah, dinding,
luas ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan kepadatan hunian).
42
4.7.3 Definisi Operasional
Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara
Pengumpulan
Data
Skala Skala Analisis
1 2 3 4 5 6 7
1 Umur balita Umur balita yang ditanyakan kepada ibu
melalui wawancara berdasarkan tanggal
lahir
Pedoman
wawancara
Wawancara Interval Interval (bulan):
4= 0 – 11
3= 12 – 23
2= 24 – 35
1= 36 – 47
0= 48 – 59
2 Jenis kelamin Jenis kelamin yang dilihat pada sampel saat
penelitian
Pedoman
wawancara
Observasi Nominal Kategori
0= Perempuan
1= Laki-laki
3 Pendidikan
ibu
Pendidikan formal terakhir yang pernah
diikuti oleh ibu balita yang ditanyakan
melalui wawancara
Pedoman
wawancara
Wawancara Ordinal Kategori :
2= Rendah (≤SD)
1= Menengah (SMP,SMA)
0= Tinggi (Diploma/
Sarjana)
4 Penghasilan
keluarga
Penghasilan kotor rata-rata dalam satu bulan
dari orang tua yang ditanyakan melalui
wawancara, berdasarkan UMR Kota
Denpasar tahun 2014.
Pedoman
wawancara
Wawancara Numerik
(dalam rupiah)
Kategori :
0= Tinggi (≥Rp 1.656.900)
1= Rendah (<Rp 1.656.900)
43
1 2 3 4 5 6 7
5 Berat Badan
Lahir
Berat badan anak waktu lahir yang
ditanyakan melalui wawancara.
Pedoman
wawancara
Wawancara Numerik Kategori :
0= Normal (≥2500)
1= BBLR (<2500)
6 Riwayat sakit
ISPA
berulang
Riwayat panas, batuk, pilek dalam enam
bulan terakhir yang dialami oleh balita,
berapa kali terkena dan kapan terakhir kali
terkenayang ditanyakan melalui wawancara.
Balita yang tidak terkena ISPA dalam enam
bulan terakhir, pada sub variabel baru
frekuensi ISPA berulang dengan 120 sampel
masuk ke dalam kategori 0-1 kali.
Pedoman
wawancara
Wawancara Nominal dan
numerik
Kategori :
ISPA berulang
0= Tidak
1= Ya
Frekuensi ISPA (n=108)
0= 1x
1= >1x
Frekuensi ISPA berulang
(n=120)
0= 0-1x
1= >1x
7 Status gizi Berat badan balita sebelum terkena
pneumonia yang dilihat pada KMS atau
berat badan balita terakhir yang ditanyakan
melalui wawancara bagi yang tidak punya
KMS. Status gizi berdasarkan BB/U dan
pengelompokkan sesuai WHO-2005.
Pedoman
wawancara/
KMS
Wawancara Numerik Kategori :
0= Gizi baik (-2SD s/d 2 SD)
dan gizi lebih (>2SD)
1= Gizi kurang (< -2SD) dan
gizi buruk (< -3SD)
8 Status
imunisasi
Kelengkapan imunisasi DPT Hb
combo/pentavalen, campak, Hib,
pneumokokus yang didapat balita
berdasarkan rekomendasi Kemenkes/IDAI
yang dilihat pada KMS atau ditanyakan
kepada ibu melalui wawancara.
Pedoman
wawancara/
KMS
Wawancara Nominal Kategori :
Status imunisasi dasar
(Kemenkes)
0= Lengkap sesuai umur
1= Tidak lengkap
Status imunisasi Hib dan
Pneumokokus (IDAI)
0= Ya
1= Tidak
44
1 2 3 4 5 6 7
9 Status
pemberian
vitamin A
Vitamin A yang didapatkan balita setiap
bulan Februari dan Agustus berdasarkan
KMS atau ditanyakan kepada ibu melalui
wawancara.
Pedoman
wawancara/
KMS
Wawancara Nominal Kategori :
0= Dapat
1= Tidakdapat
10 Paparan asap
rokok di
dalam rumah
Paparan asap rokok terhadap balita di dalam
rumah yang ditanyakan kepada ibu melalui
wawancara meliputi adanya anggota
keluarga yang merokok dan dilakukan saat
mengajak atau berdekatan dengan anak,
berapa batang merokok saat mengajak anak,
tempat merokok, berapa batang merokok
setiap hari. Kategori “tidak” pada ada
anggota keluarga yang merokok di rumah
masuk ke dalam kategori “ya” pada sub
variabel baru “tidak terpapar asap rokok”.
Pedoman
wawancara
Wawancara Nominal dan
interval
Kategori :
Ada yang merokok di rumah
0= Tidak
1= Ada
Tempat merokok
0= Luar rumah
1= Dalam rumah
Merokok dekat anak
0= Tidak
1= Ya
Lama merokok (bulan)
0= ≤ 6
1= > 6
Tidak terpapar asap rokok
0= Ya
1= Tidak
Interval :
Rata-rata merokok sehari dan
saat mengajak anak
11 Pemberian
ASI
Pemberian ASI yang dilakukan oleh ibu
kepada balitanya melalui wawancara yang
meliputi a) berapa lama memberikan ASI
saja, ASI + susu formula, atau susu formula
saja, b) apakah saat balita lahir dilakukan
inisiasi menyusu dini, c) apakah
memberikan kolostrum, d) apakah
memberikan ASI sampai umur balita dua
Pedoman
wawancara
Wawancara Interval dan
nominal
Kategori :
Kolostrum
0= Ya
1= Tidak
Pemberian ASI dua tahun
0= Ya, 1= Tidak
Durasi pemberian ASI enam
bulan pertama
0= ≥2 bulan
45
1 2 3 4 5 6 7
tahun, e) durasi pemberian ASI enam bulan
pertama
1= < 2 bulan
Jenis pemberian
0= ASI
1= ASI + susu formula
2= Formula saja
Status ASI eksklusif
0= Ya
1= Tidak
IMD
0= Ya
1= Tidak
12 Lantai Keadaan lantai
rumah berdasarkan hasil observasi serta
wawancara tentang kebersihan lantai,
dengan asumsi lantai rumah tetap seperti
awal sebelum terkena pneumonia.
Lembar
Observasi
Observasi,
pengukuran dan
wawancara
Interval dan
Nominal
Kategori :
Jenis lantai
0= Bukan tanah
1= Tanah
Ketinggian lantai (cm)
0= ≥20
1= <20
Menyapu dalam sehari (kali)
0= ≥3
1= <3
Mengepel dalam seminggu
(kali)
0= ≥4
1= <4
13 Dinding Keadaan dinding rumah berdasarkan hasil
observasi, dengan asumsi dinding rumah
tidak pernah diperbaiki (jenis dindingnya
tetap, tidak pernah dicat atau dibersihkan)
tetap seperti awal sebelum terkena
pneumonia.
Lembar
observasi
Observasi Nominal Kategori :
Jenis dinding
0= Memenuhi syarat (tidak
mudah terbakar
1= Tidak memenuhi syarat
46
1 2 3 4 5 6 7
(mudah terbakar)
Keadaan dinding
0= Bersih
1= Berjamur
14 Ventilasi Lubang keluar masuknya udara baik yang
bersifat tetap
maupun sementara (lubang udara kecuali
pintu) dengan
membandingkan luas bidang ventilasi dan
luas lantai, menurutKeputusan Menkes RI
No829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu ≥ 10 %
dari luas lantai. Dengan asumsi keadaan
ventilasi sebelum terkena pneumonia
dengan sekarang sama (tidak pernah
diperbaiki, yang semula tidak ada sekarang
ada, dll)
Rollmeter/
digital meteran
Observasi dan
pengukuran
Rasio (dalam
%)
Kategori :
0= Memenuhi syarat (≥10%
luas lantai)
1= Tidak memenuhi syarat
(<10% luas lantai)
15 Kelembaban Pengukuran menggunakan alat hygrometer
terhadapbanyaknya uap air yangterkandung
dalamrumah pada tempat di
mana penghunimenghabiskan sebagian
waktunya pada sianghari (Notoadmojo,
2007). Dengan asumsi kelembaban rumah
sama dengan dulu sebelum terkena
pneumonia. Menanyakan kepada ibu dimana
anak biasanya beraktivitas pada siang hari,
lalu melakukan pengukuran di ruangan
tersebut dengan mengukur di lima titik yaitu
di setiap sudut ruangan dan di bagian
tengah, lalu hasil masing-masing titik
dijumlahkan dan dibagi lima. Hasil rata-rata
lima titik tersebut yang menjadi hasil akhir
kelembaban.
mini digital
thermo-
hygrometer
Pengukuran Rasio (dalam
%)
Kategori :
0= Memenuhi syarat(40% -
70%)
1= Tidak memenuhi syarat
(<40% atau > 70%)
47
1 2 3 4 5 6 7
16 Pencahayaan
alami Pengukuran pencahayaan pada ruangan
yang sebagian besar aktivitas balita
dilakukan disana pukul 09.00- 12.00
wita. Pengukuran dilakukan di lima titik
yaitu setiap sudut ruangan dan bagian
tengah lalu hasil tiap titik dijumlahkan
dan dibagi lima. Hasil rata-rata dari lima
titik adalah hasil akhir dari pencahayaan.
Menurut Keputusan Menteri Republik
Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999
pencahayaan alami dan atau buatan
langsung maupun tidak langsung
menerangi seluruh ruangan dengan
intensitas cahaya minimal 60 lux serta
tidak menyilaukan mata (Keman, 2005).
Luxmeter Pengukuran Rasio (dalam
lux)
Kategori :
0= Memenuhi syarat (60 – 120
lux)
1= Tidak memenuhi syarat
(<60 atau >120 lux)
17 Kepadatan
hunian
Membandingkan antara jumlah penghuni
dengan luas bangunan. Menurut Kepmenkes
RI No:
829/Menkes/VII/1999 bahwa rumah sehat
apabila setiap orang menempati 9 m2 luas
rumah, diukur berdasarkan jumlah orang per
luas rumah. Dengan asumsi jumlah
penghuni masih sama dengan dulu dan
rumah tidak ada diperluas bangunannya.
Lembar
observasi,
rollmeter/
digital 8eteran
Observasi,
wawancara dan
pengukuran
Ordinal Kategori :
0= Memenuhi syarat (≥ 9 m2
/orang dari luas rumah)
1= Tidak memenuhi syarat (<
9 m2/orang dari luas rumah)
18 Kejadian
pneumonia
Balita yang terdiagnosis pneumonia oleh
dokter puskesmas pada periode 01 Januari
2014 sampai 31 Maret 2015
Register
Puskesmas II
Denpasar
Selatan
Dokumentasi Nominal Kategori :
0= Kontrol
1= Kasus
48
4.8 Prosedur dan Etika Penelitian
Sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan, peneliti telah mengajukan
permohonan surat ijin penelitian dari Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Pertama kali surat tersebut dibawa ke Dinas Perijinan Propinsi Bali, ditunggu
sampai ada surat balasan. Surat balasan dari Dinas Perijinan lalu dibawa ke badan
Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kota
Denpasar. Mendapat balasan dari Kesbangpolinmas Kota Denpasar lalu ke Dinas
Kesehatan Kota Denpasar. Dinas Kesehatan Kota Denpasar melakukan disposisi
ke Puskesmas II Denpasar Selatan sebagai tempat penelitian. Peneliti mengurus
ethical clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
karena penelitian ini melibatkan masyarakat sebagai partisipan.
Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam pengumpulan data sebagai
berikut.
1. Peneliti memastikan alamat rumah sampel kasus di lapangan berdasarkan data
yang telah diberikan oleh pemegang program P2 ISPA Puskesmas II
Denpasar Selatan.
2. Setelah memastikan beberapa alamat sampel kasus, peneliti memulai
pengambilan data dengan kunjungan rumah untuk melakukan wawancara dan
observasi lapangan.
3. Sampel kontrol didapatkan langsung di Puskesmas, dimana kebetulan pada
saat penelitian ada balita sehat yang datang ke Puskesmas. Ibu balita
49
ditanyakan oleh pewawancara apakah bersedia untuk dijadikan responden
dalam penelitian ini. Apabila setuju baru dilanjutkan ke langkah selanjutnya.
4. Peneliti menjelaskan atau memberikan partisipan untuk membaca lembar
informasi yang mencantumkan tujuan dan cara pengambilan data yang
dilaksanakan.
5. Partisipan yang sudah memahami tentang penjelasan yang diberikan maka
diminta untuk membaca atau dijelaskan tentang isi dari inform consent.
6. Responden yang bersedia untuk berpastisipasi dalam penelitian ini, dimohon
untuk menandatangani inform consent sebagai bukti bahwa telah menyetujui
untuk dijadikan partisipan dalam penelitian ini.
7. Peneliti memulai bertanya dan melakukan observasi saat partisipan telah siap
diwawancara.
8. Saat pelaksanaan wawancara dan observasi rumah dilakukan
pendokumentasian.
9. Bagi responden yang rumahnya belum dilakukan observasi dan pengukuran,
dilakukan perjanjian bahwa akan ada yang melakukan kunjungan rumah
untuk melakukan observasi dan pengukuran lingkungan fisik rumah.
4.9 Pengolahan dan Analisis Data
4.9.1 Pengolahan data
Setelah pengumpulan data selesai, pengolahan data dilakukan dalam
beberapa tahap yaitu meliputi editing, coding, entry, dan tabulating data.
50
1. Editing
Editing dilakukan untuk melihat kelengkapan, kejelasan, kesalahan, dan
konsistensi data identitas responden dan lingkungan fisik rumah. Mendatangi
kembali rumah responden kalau ada data yang kurang. Kelompok kasus dan
kontrol yang belum dilakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan
fisik rumah pewawancara melakukan perjanjian untuk melakukan kunjungan
rumah. Hal ini dilakukan karena alat hygrometer dan luxmeter yang dipakai
peneliti hanya ada satu.
2. Coding
Memberikan kode pada masing-masing data untuk memudahkan proses
pengolahan selanjutnya. Semua kode untuk setiap kategori variabel sudah ada
pada skala analisis definisi operasional. Umur balita 0 – 59 bulan dibuat dalam
skala numerik dengan rentang 12 bulan masing-masing kelompok umur.
Pendidikan ibu dibuat tiga kategori yaitu rendah (≤SD), menengah (SMP, SMA),
dan tinggi (diploma/sarjana). Riwayat sakit ISPA berulang menjadi dua yaitu
ISPA berulang (tidak/ya) dan dari jawaban ya pada riwayat ISPA ada sub variabel
frekuensi ISPA dalam enam bulan terakhir dengan 108 sampel.Frekuensi ISPA
dalam enam bulan terakhir memakai median karena data tidak berdistribusi
normal (dengan dua kategori 1 kali dan >1 kali). Setelah dilakukan analisis
bivariat ternyata frekuensi ISPA lebih sensitif bila dipakai untuk mengukur
riwayat ISPA sehingga dibuatkan sub variabel baru untuk dimasukkan kedalam
model, yaitu frekuensi ISPA berulang dimana yang tidak mengalami ISPA
berulang dimasukkan dalam kategori frekuensi 0-1 kali sehingga sampel yang
51
dianalisis tetap 120. Status imunisasi dibuat berdasarkan rekomendasi Kemenkes
dan IDAI.Berdasarkan Kemenkes dibuat kategori status imunisasi lengkap/tidak
lengkap sesuai umur, sedangkan status imunisasi Hib dan Pneumokokus
berdasarkan IDAI kategori ya/tidak. Balita yang belum mendapatkan imunisasi
karena umurnya belum memenuhi syarat dimasukkan kedalam status imunisasi
lengkap sesuai umur.
Status gizi balita menurut BB/U sesuai kriteria WHO-Anthro 2005 adalah
sebagai berikut. Status gizi baik= -2SD s/d 2 SD, gizi lebih = >2SD, gizi kurang =
< -2SD, dan gizi buruk = < -3SD, namun untuk kebutuhan analisis dibuat dalam
dua kategori yaitu gizi baik dan lebih serta gizi kurang dan buruk. Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa balita yang pneumonia lebih besar peluangnya
memiliki faktor risiko status gizi kurang dan buruk, oleh karena itu status gizi
lebih digabungkan ke status gizi baik bukan ke malnutrisi.Sebelumnya telah
dicoba memakai tiga kategori yaitu gizi baik dan lebih menjadi satu kategori
kemudian gizi kurang dipisahkan dengan gizi buruk. Namun dengan tiga kategori
ini ada kolom yang kosong yaitu pada kasus tidak ada yang gizi buruk sehingga
tidak memungkinkan untuk dipakai. Paparan asap rokok yaitu a) ada yang
merokok di rumah (tidak/ada), b) tempat merokok (luar/dalam rumah), c)
merokok dekat anak (tidak/ya), d) lamanya merokok (≤6/>6 bulan). Setelah
dilakukan analisis bivariat ternyata merokok dekat anak lebih sensitif bila dipakai
untuk mengukur paparan asap rokok terhadap pneumonia sehingga dibuatkan sub
variabel baru untuk dimasukkan ke dalam model, yaitu tidak terpapar asap rokok
dengan kategori ya/tidak. Kategori tidak pada sub variabel ada yang merokok di
52
rumah dimasukkan dalam kategori ya pada sub variabel tidak terpapar asap rokok
sehingga sampel yang dianalisis tetap 120.
Pemberian ASI menjadi enam sub variabel yaitu a) memberikan kolostrum
(ya/tidak), b) jenis pemberian (ASI saja, ASI + susu formula, formula saja), c)
status ASI eksklusif (ya/tidak), d) durasi ASI enam bulan pertama (≥2/<2 bulan),
e) pemberian ASI dua tahun ((≥2/<2 tahun), f) inisiasi menyusu dini (ya/tidak).
Status ASI eksklusif saat analisis bivariat didapatkan hasil yang signifikan tetapi
saat dimasukkan ke dalam model menjadi tidak signifikan, kemudian dicoba
mencari cut off point dari variabel pemberian ASI yang lain yaitu durasi ASI
dicari rata-rata pemberian ASI enam bulan pertama, dan didapatkan rata-rata
pemberian sebanyak dua bulan. Sub variabel durasi akhirnya dibuatkan kategori
pemberian ≥2 /< 2 bulan dan saat dianalisis bivariat dan multivariat didapatkan
hasil signifikan. Awalnya durasi dicoba dengan memakai numerik tetapi tidak
signifikan. Balita yang berumur di bawah enam bulan dan saat penelitian masih
diberikan ASI saja termasuk kedalam status ASI eksklusif, tetapi umur di bawah
enam bulan dan sudah diberikan susu formula atau makanan pendamping lainnya
dikategorikan tidak ASI eksklusif. Sub variabel jenis pemberian ASI untuk
kategori pemberian ASI saja, bisa menjadi status tidak ASI eksklusif karena ada
ibu yang memberikan ASI saja tetapi tidak sampai umur balita enam bulan.
Variabel lantai menjadi empat sub variabel yaitu a) jenis lantai (bukan
tanah/tanah), b) ketinggian lantai (≥20/< 20 cm) pengkategorian berdasarkan
syarat ketinggian minimal lantai dari halaman rumah oleh Dinas Pekerjaan
Umum, c) menyapu dalam sehari (≥3/< 3 kali), d) mengepel dalam seminggu (≥4 /
53
<4 kali). Sub variabel menyapu dan mengepel dibuat berdasarkan median karena
data tidak berdistribusi normal. Sub variabel ketinggian lantai, menyapu dan
mengepel muncul karena untuk sub variabel jenis lantai tidak memenuhi syarat
untuk dimasukkan dalam model, namun ketinggian lantai, menyapu, dan
mengepel juga tidak signifikan saat analisis bivariat. Dinding rumah dibuat
menjadi dua sub variabel yaitu jenis dinding (tidak mudah terbakar/mudah
terbakar) dan kondisi dinding (bersih/berjamur). Variabel kelembaban dan
pencahayaan alami memakai lima titik saat pengukuran yang bertujuan untuk
mengukur setiap sudut rumah. Lima titik yang dimaksud adalah kedua
sudut/bagian pojok rumah bagian kanan dan kiri serta bagian tengah diukur,
kemudian dicatat hasil dari masing-masing titik pengukuran. Hasil dari masing-
masing titik pengukuran dijumlahkan lalu dibagi lima. Hasil rata-rata tersebutlah
yang menjadi hasil akhir dari pengukuran yang dilakukan.
3. Entry
Seluruh data yang telah diberikan kode kemudian dilanjutkan dengan
memasukkan data-data ke komputer. Peneliti memasukan semua data yang
didapat ke program Microsoft Excel terlebih dahulu sebelum menganalisis data ke
STATA.
4. Tabulating
Proses tabulasi dilakukan dengan mengelompokkan data hasil penelitian
yang serupa dan menjumlahkannya dengan cara teliti dan teratur ke dalam tabel
yang telah disediakan.
54
4.9.2 Analisis data
Analisis data dilakukan dengan program STATA, meliputi analisis
univariat, bivariat, dan multivariat.
1. Analisis univariat
Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
proporsi dari berbagai variabel bebas maupun variabel terikat.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan regresi logistik untuk menghitung nilai
crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik yang
digunakan yaitu :
a. Ho : OR = 1, jika variabel independent bukan merupakan faktor risiko.
b. Ha : OR > 1, jika variabel independent merupakan faktor risiko dan
OR < 1 sebagai faktor protektif.
Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan menggunakan power
sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan (α = 0,05).
3. Analisis multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui peran variabel
pengganggu terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan
menggunakan uji regresi logistik, dengan melihat hasil analisis bivariat yang
mempunyai kemaknaan statistik (P < 0,25). Untuk uji kemaknaan kaitan antara
variabel yang diteliti terhadap variabel terpengaruh dilihat dari p–value< 0,05.
Selanjutnya untuk memperkirakan besarnya risiko variabel bebas terhadap
variabel terikat dilaksanakan penghitungan adjusted odds ratio (OR).
55
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan salah satu dari 11 puskesmas di
Kota Denpasar yang terletak di Jalan Danau Buyan III Kelurahan Sanur.Wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Selatan terdiri dari dua kelurahan dan dua desa yaitu
Kelurahan Sanur, Kelurahan Renon, Desa Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja yang
terdiri dari 34 banjar. Kondisi wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan
secara umum merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat serta banyak
terdapat tempat-tempat umum yang dipergunakan untuk sekolah, sarana
kesehatan, pertokoan/perdagangan, tempat industri, dan lainnya. Mobilitas
penduduk di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan cukup tinggi. Banyak
penduduk pendatang yang tinggal di rumah kos dan saat suami/keluarga sudah
selesai bekerja atau harus pindah lagi ke tempat lain maka penduduk tersebut
tidak berdomisili lagi di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan. Hal ini
menyulitkan juga bagi petugas puskesmas apabila ada penyakit yang perlu
dilakukan kunjungan rumah.
Wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan cukup tinggi ini mempunyai
jumlah penduduk 53.699 jiwa pada tahun 2014. Jumlah balita di wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Selatan pada tahun 2014 adalah 5.370 orang. Target
penderita pneumonia balita yang dipakai oleh pemegang program adalah 10% dari
populasi balita, sehingga target penderita pneumonia balita di wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2014 adalah 537 orang. Jumlah balita di
56
Kelurahan Sanur 1.678 orang, Desa Sanur Kaja 927 orang, Desa Sanur Kauh
1.465 orang dan Kelurahan Renon 1.300 orang. Pemegang program P2 ISPA
melakukan kunjungan rumah penderita pneumonia balita dalam rangka care
seeking program P2 ISPA apabila ada balita yang mengalami pneumonia. Balita
yang mengalami pneumonia tidak semua melakukan pengobatan ke puskesmas
karena masih ada beberapa fasilitas kesehatan yang ada di Kota Denpasar baik
yang berada di wilayah Puskesmas II Denpasar atau di luar wilayah sehingga
cakupan pneumonia balita tidak 100%.
5.2 Karakteristik Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah 60 balita yang mengalami pneumonia
pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 dan 60 balita sehat yang saat
penelitian datang ke Puskesmas II Denpasar Selatan. Sampel kasus didapatkan
dari 100 total balita yang mengalami pneumonia, sedangkan sampel kontrol dari
balita yang datang ke puskesmas saat penelitian. Rata-rata umur balita adalah 28
bulan dengan standar deviasi (SD) =13,29, rentang 2 – 59 bulan. Median umur
balita 26 bulan dengan Interval Quartil Range (IQR) = 17,5 – 38. Kelompok umur
balita paling banyak pada kelompok kasus yaitu 12 – 23 bulan sebesar 36,7%
sedangkan kelompok kontrol umur 24 – 35 bulan sebesar 31,7%. Berdasarkan
Tabel 5.1 karakteristik ibu dan balita semua sudah komparabel (p>0,05).
57
Tabel 5.1 Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita pada Kasus dan Kontrol
Variabel Kasus (N=60)
n (%)
Kontrol (N=60)
n (%)
Nilai p
Umur ibu (tahun)
<20 1 (1,7) 1(1,7) 0,785
20 – 24 7 (11,7) 7(11,7)
25 – 29 17 (28,3) 18 (30)
30 – 34 21 (35) 18 (30)
35 – 39 12 (20) 10 (16,7)
≥40 2(3,3) 6 (10)
Pendidikan ibu
Tinggi (Diploma/sarjana) 13 (21,7) 11 (18,3) 0,834
Menengah (SMP/SMA) 41 (68,3) 44 (73,3)
Rendah (≤SD) 6 (10) 5 (8,3)
Penghasilan (Rupiah)
≥ 1.656.900 50 (83,3) 51 (85) 0,803
<1.656.900 10 (16,7) 9 (15)
Umur balita (bulan)
0 – 11 4 (6,7) 7 (11,7) 0,382
12 – 23 22 (36,7) 14 (23,3)
24 – 35 21 (35) 19 (31,7)
36 – 47 9 (15) 14 (23,3)
48 – 59 4 (6,7) 6 (10)
Jenis kelamin balita
Laki-laki 32 (53,3) 30 (50) 0,715
Perempuan 28 (46,7) 30 (50)
5.3 Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita
Faktor risiko ditentukan berdasarkan nilai p, nilai OR, dan 95% CI dengan
menggunakan analisis regresi logistik.Karakteristik sosio demografi karena semua
sudah komparabel maka tidak dilakukan analisis bivariat.
Crude OR pemberian ASI diperlihatkan pada Tabel 5.2dimana dapat
diinformasikan bahwa variabel status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, dan
IMD secara statistik memiliki hubungan signifikan dengan batas bawah 95% CI
>1. Variabel yang dimasukkan ke dalam model tidak hanya yang signifikan tetapi
juga yang nilai p<0,25. Semua variabel pemberian ASI masuk ke model kecuali
jenis pemberian karena kalau dikelompokkan kembali menjadi dua kategori akan
menjadi status ASI eksklusif.
58
Tabel 5.2Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol
Variabel Kasus
(n=60)
n (%)
Kontrol
(n=60)
n(%)
Crude
OR
95% CI Nilai p
Kolostrum
Ya 36 (60) 44 (73,3)
Tidak 24 (40) 16 (26,7) 1,83 0,85 – 3,96 0,123
Jenis pemberian
ASI 18 (30) 32 (53,3)
ASI + Susu formula 33 (55) 23 (38,3) 2,55 1,16 – 5,59 0,019
Formula saja 9 (15) 5 (8,3) 3,20 0,93 – 11,02 0,065
p group
0,035
Status ASI Eksklusif
Ya 12 (20) 23 (38,3)
Tidak 48 (80) 37 (61,7) 2,49 1,10 – 5,64 0,029
Durasi ASI (bulan)
≥ 2 17 (28,3) 33 (55)
< 2 43 (71,7) 27 (45) 3,09 1,45 – 6,59 0,004
Pemberian ASI 2 tahun
(tahun)
≥ 2 11 (18,3) 17 (28,3)
< 2 49 (81,7) 43 (71,7) 1,76 0,74 – 4,17 0,198
IMD
Ya 17 (28,3) 32 (53,3)
Tidak 43 (71,7) 28 (46,7) 2,89 1,36 – 6,16 0,006
Informasi yang didapatkan juga dari Tabel 5.2 bahwa sebesar 40%
kelompok kasus dan 26,7% kelompok kontrol tidak memberikan kolostrum pada
balita. Balita yang diberikan susu formula saja semenjak kelahirannya sampai saat
pengumpulan data dilakukan pada kelompok kasus sebesar 15% sedangkan pada
kelompok kontrol 8,3%. Alasan yang dikemukakan oleh ibu kenapa memberikan
susu formula semenjak kelahiran balita adalah semuanya (100%) ibu menjawab
air susu tidak mau keluar. Masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI
eksklusif kepada balita yaitu sebesar 80% pada kelompok kasus dan 61,7%
kelompok kontrol. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang
tidak diberikan ASI eksklusif dibandingkan balita yang diberikan ASI eksklusif
dengan OR sebesar 2,49 (95% CI : 1,10 – 5,64) Ibu yang memberikan ASI
59
eksklusif kurang dari dua bulan pada kelompok kasus adalah 71,7% sedangkan
kelompok kontrol 45%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang
diberikan ASI saja kurang atau sama dengan dua bulan dibandingkan balita yang
diberikan ASI lebih dari dua bulan dengan OR sebesar 3,09 (95% CI : 1,45 –
6,59). Pada kelompok kasus 71,7% ibu tidak melakukan IMD pada balitanya saat
lahir, sedangkan pada kelompok kontrol 46,7%. Risiko terjadinya pneumonia
lebih tinggi pada balita yang tidak dilakukan IMD dibandingkan balita yang
dilakukan IMD dengan OR sebesar 2,89 (95% CI : 1,36 – 6,16). Data yang
didapatkan pada kelompok kasus sebesar 83,3% dan kelompok kontrol 76,7%
tidak memberikan ASI sampai umur anak dua tahun. Secara statistik pemberian
ASI sampai umur dua tahun tidak didapatkan hasil signifikan.
Crude OR lingkungan fisik rumah diperlihatkan pada Tabel 5.3.Informasi
yang dapat disampaikan dari Tabel 5.3 bahwa jenis lantai dan dinding di wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Selatan 100% sudah memenuhi syarat. Untuk
ketinggian lantai yang seharusnya ≥20 cm dari halaman rumah menurut Dinas
Pekerjaan Umum, masih ada 3,3% pada kelompok kasus dan 1,7% pada kontrol
memiliki ketinggian lantai <20 cm dari halaman rumah (seluruhnya yang
memiliki ketinggian <20 cm ini adalah yang tinggal di rumah kos). Pada
penelitian didapatkan 26,7% kelompok kasus dan 20% kelompok kontrol
memiliki dinding dalam kondisi berjamur dan tidak ada yang berlumut. Pada
penelitian juga didapatkan hasil median menyapu tiga kali dalam sehari (IQR : 2 –
3) interval 1 – 14 kali, sedangkan median mengepel empat kali dalam seminggu
(IQR : 3 – 7) interval 1 – 14 kali. Pada kelompok kasus sebesar 43,3% menyapu
60
<3 kali sehari sedangkan pada kelompok kontrol 41,7%. Untuk frekuensi
mengepel <4 kali dalam seminggu pada kelompok kasus sebesar 46,7%,
sedangkan kelompok kontrol 48,3%.
Tabel 5.3Crude OR Lingkungan Fisik Rumah pada Kasus dan Kontrol
Variabel Kasus
(n=60)
n(%)
Kontrol
(n=60)
n(%)
Crude
OR
95% CI Nilai
p
Jenis lantai
Bukan tanah 60 (100) 60 (100)
Ketinggian lantai
≥ 20 cm 58 (96,7) 59 (98,3)
< 20 cm 2 (3,3) 1 (1,7) 2,03 0,18 – 23,06 0,556
Menyapu lantai dalam sehari (kali)
≥ 3 34 (56,7) 35 (58,3)
< 3 26 (43,3) 25 (41,7) 1,07 0,52 – 2,21 0,854
Mengepel lantai dalam seminggu
(kali)
≥ 4 32 (53,3) 31 (51,7)
< 4 28 (46,7) 29 (48,3) 0,94 0,46 – 1,92 0,855
Jenis dinding
Memenuhi syarat (tidak mudah
terbakar)
60 (100) 60 (100)
Kondisi dinding
Bersih 44 (73,3) 48 (80)
Berjamur 16 (26,7) 12(20) 1,45 0,62 – 3,41 0,389
Luas ventilasi rumah
Memenuhi syarat (≥ 10% dari
luas lantai)
16 (26,7) 28 (46,7)
Tidak memenuhi syarat 44 (73,3) 32 (53,3) 2,41 1,12 – 5,17 0,024
Kelembaban
Memenuhi syarat (40 – 70%) 33 (55) 48 (80)
Tidak memenuhi syarat 27(45) 12 (20) 3,27 1,45 – 7,37 0,004
Pencahayaan alami
Memenuhi syarat (60 – 120 lux) 33 (55) 44 (73,3)
Tidak memenuhi syarat 27(45) 16 (26,7) 2,25 1,05 – 4,84 0,038
Kepadatan hunian
Memenuhi syarat (≥9 m2/orang) 14 (23,3) 28 (46,7)
Tidak memenuhi syarat 46 (76,7) 32 (53,3) 2,88 1,31 – 6,30 0,008
Variabel luas ventilasi, kelembaban rumah, pencahayaan alami dan
kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan dengan batas bawah 95%
CI >1. Variabel lingkungan fisik rumah yang dimasukkan ke dalam model hanya
61
empat variabel yang signifikan tersebut, karena variabel yang lain tidak ada
memenuhi syarat untuk p<0,25.
Hasil penelitian didapatkan pada kelompok kasus sebesar 73,3% luas
ventilasi tidak memenuhi syarat sedangkan pada kelompok kontrol 53,3%. Risiko
terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan luas
ventilasi tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,41 (95% CI : 1,12 – 5,17).
Kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus ditemukan
45% sedangkan kelompok kontrol 20%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi
pada balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat
dengan OR sebesar 3,27 (95% CI : 1,45 – 7,37). Pencahayaan alami yang tidak
memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 45%, sedangkan kelompok
kontrol 26,7%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal
di rumah dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar
2,25 (95% CI : 1,05-4,84). Kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat
pada kelompok kasus sebesar 76,7%, sedangkan kelompok kontrol 53,3%. Risiko
terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,88 (95% CI : 1,31
– 6,30).
Crude OR riwayat ISPA, riwayat BBLR, status gizi, paparan asap rokok,
status imunisasi dan vitamin A diperlihatkan pada Tabel 5.4.
62
Tabel 5.4Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan
Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A
pada Kasus dan Kontrol
Variabel Kasus
n (%)
Kontrol
n(%)
Crude
OR
95% CI Nilai p
ISPA berulang
Riwayat ISPA (n=120)
Tidak 4 (6,7) 8 (13,3)
Ya 56 (93,3) 52 (86,7) 2,15 0,61 – 7,58 0,232
Frekuensi (n=108)
1x 8 (14,3) 30 (57,7)
>1x 48 (85,7) 22 (42,3) 8,18 3,23 – 20,71 0,001
Frekuensi ISPA berulang
(n=120)
0 - 1x 12 (20) 38 (63,3)
>1x 48 (80) 22 (36,7) 6,91 3,04 – 15,72 0,001
Riwayat BBLR (n=120)
Normal (≥ 2500 gram) 58 (96,7) 57 (95)
BBLR 2 (3,3) 3 (5) 0,66 0,11 – 4,07 0,650
Status Gizi (n=120)
Baik & lebih 57 (95) 52 (86,7)
Kurang& buruk 3 (5) 8(13,3) 0,34 0,09 – 1,36 0,127
Paparan asap rokok
Ada yang merokok (n=120)
Tidak 26 (43,3) 26 (43,3)
Ada 34 (56,7) 34 (56,7) 1,00 0,49 – 2,06 1,000
Tempat (n=68)
Luar rumah 27 (79,4) 31 (91,2)
Dalam rumah 7 (20,6) 3 (8,8) 2,68 0,63 – 11,39 0,182
Dekat anak (n=68)
Tidak 29 (85,3) 24 (70,6)
Ya 5 (14,7) 10 (29,4) 0,41 0,12 – 1,38 0,150
Lamanya (bulan) (n=68)
≤6 1 (2,9) 0 (0) omitted
>6 33 (97,1) 34 (100)
Tidak terpapar asap rokok
(n=120)
Ya 55 (91,7) 50 (83,3)
Tidak 5 (8,3) 10 (16,7) 0,45 0,15 – 1,42 0,175
Status imunisasi (Kemenkes)
(n=120)
Lengkap 58 (96,7) 60 (100)
Tidak lengkap 2 (3,3) 0 (0) empty 0,154
Status imunisasi pneumokokus
dan Hib(IDAI) (n=120)
Ya 8 (13,3) 15 (25)
Tidak 52 (86,7) 45 (75) 2,17 0,84 – 5,58 0,109
Status Vitamin A (n=120)
Dapat 56 (93,3) 54 (90)
Tidak dapat 4 (6,7) 6 (10) 0,64 0,17 – 2,40 0,512
63
Kelompok kasus yang pernah mengalami ISPA dalam enam bulan terakhir
sebesar 93,3% dan kelompok kontrol 86,7%. Frekuensi ISPA >1 kali pada jumlah
sampel 108 di kelompok kasus sebesar 85,7% dan 42,3% pada kelompok kontrol.
Frekuensi ISPA berulang >1 kali pada jumlah sampel 120 di kelompok kasus
sebesar 20% dan kontrol 63,3%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada
balita yang mengalami ISPA berulang >1 kali dalam enam bulan dengan OR
sebesar 6,91 (95% CI : 3,04 – 15,72). Riwayat BBLR 3,3% pada kelompok kasus
dan 5% pada kelompok kontrol. Status gizi kelompok kasus masih terdapat 5%
balita yang mengalami gizi kurang dan buruk, sedangkan kelompok kontrol
13,3%. Kelompok kasus yang tidak mendapatkan vitamin A sebesar 6,7% dan
kelompok kontrol 10%.
Kelompok kasus maupun kontrol masing-masing sebesar 56,7% memiliki
anggota keluarga yang merokok. Dari 68 balita yang terpapar asap rokok di
rumah, sebesar 20,6% pada kelompok kasus dan 8,8% kelompok kontrol anggota
keluarga merokok di dalam rumah. Riwayat merokok saat mengajak anak pada
kelompok kasus 14,7% dan kelompok kontrol 29,4%. Anggota keluarga yang
memulai merokok > 6 bulan yang lalu pada kelompok kasus sebesar 97,1% dan
100% pada kontrol. Bapak dari balita adalah anggota keluarga yang paling banyak
merokok pada kedua kelompok, dimana pada kelompok kasus sebesar 46,7% dan
kontrol 53,3%. Rata-rata rokok yang dihisap dua batang per hari pada saat
merokok dekat anak.Rata-rata jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga
yang merokok adalah 10 batang per hari.
64
Status imunisasi balita berdasarkan Kemenkes didapatkan status imunisasi
yang tidak lengkap sesuai umur pada kelompok kasus 3,3% sedangkan pada
kelompok kontrol semuanya lengkap. Imunisasi yang tidak lengkap pada
kelompok kasus ini karena balita yang umur dua bulan sedang sakit sehingga
belum diberikan imunisasi DPT combo/pentabio I oleh pihak puskesmas.Satu
balita umur 11 bulan tidak mendapatkan imunisasi campak karena pada saat umur
sembilan bulan sakit dan sampai saat pengambilan data balita tidak dicarikan
imunisasi karena takut anaknya sakit lagi setelah diimunisasi. Balita yang tidak
mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) sebesar 86,7% pada kelompok kasus dan 75% kelompok
kontrol. Untuk data kelengkapan imunisasi balita ditampilkan pada Tabel 5.5 di
bawah.
Tabel 5.5Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan Kontrol
Vaksin Umur (tahun) Kasus n(%) Kontroln(%)
DPT combo ≤ 1 3 (75) 9 (100)
>1 56 (100) 51 (100)
Hib ≤ 1 2 (50) 8 (88,9)
>1 50 (89,3) 36 (70,6)
Pneumokokus ≤ 1 0 (0) 2 (22,2)
>1 8 (13,3) 13 (25,5)
Campak ≤ 1 1 (25) 5 (55,6)
>1 55 (98,2) 51 (100)
Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat diinformasikan bahwa satu orang
(25%) balita umur ≤1 tahunyang tidak mendapatkan imunisasi DPT
Combo/pentabio karena sedang sakit. Dari 24 balita yang tidak mendapatkan
imunisasi Hib 4,2% tidak mendapatkan karena sakit dan sisanya 95,8% karena
memang tidak dicarikan pada program pentabio yang ada dan tidak tahu ada
65
imunisasi pentabio lanjutan. Dari 97 balita yang tidak mendapatkan imunisasi
Pneumokokus.semuanya (100%) mengatakan bahwa tidak tahu tentang imunisasi
tersebut dan tidak mencarikan karena biayanya yang mahal (belum termasuk ke
dalam imunisasi dasar). Dari tujuh balita yang tidak mendapatkan imunisasi
Campak bahwa satu balita (14,3%) umur ≥1 tahun pada kasus yang tidak dapat
imunisasi campak karena waktu umur sembilan bulan sakit dan tidak dicarikan
sampai sekarang, sisanya 85,7% karena belum umur.
5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita
Analisis multivariat dilakukan secara bersama-sama pada variabel dengan
nilai p < 0,25 pada analisis bivariat yang bertujuan untuk mengetahui variabel
yang paling berpengaruh terhadapkejadian pneumonia pada balita. Variabel yang
dilakukan analisis multivariat tidak hanya variabel independent saja tetapi juga
faktor risiko lain yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita seperti
kerangka berpikir yang telah dibuat. Variabel yang dilakukan analisis multivariat
yaitu pemberian ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, durasi ASI, pemberian ASI
dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (luas ventilasi, pencahayaan alami,
kelembaban, dan kepadatan hunian dalam rumah), frekuensi ISPA berulang, status
gizi, tidak terpapar asap rokok dan status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI).
Analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut.
66
Tabel 5.6Adjusted ORFaktor Risiko Pneumonia
Variabel Adjusted
OR
95% CI Nilai p
Durasi ASI < 2 bulan 5,24 1,96 – 14,01 0,001
Pencahayaan alami tidak memenuhi syarat
(<60atau >120 lux)
2,72 1,05 – 7,00 0,038
Kepadatan hunian tidak memenuhi syarat
(< 9 m2/orang)
3,11 1,18 – 8,19 0,022
Status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI) 3,68 1,11 – 12,17 0,033
Frekuensi ISPA berulang >1 kali 10,14 3,67 – 28,02 0,0001
Analisis multivariat dilakukan dengan metode backward dengan cara
mengeluarkan variabel secara bertahap yaitu langkah 1; ASI eksklusif, langkah 2;
pemberian ASI dua tahun, langkah 3; kolostrum, langkah 4; tidak terpapar asap
rokok, langkah 5; kelembaban, langkah 6; luas ventilasi rumahdan langkah
7;status gizi, langkah 8; IMD.
Berdasarkan analisis multivariat yang telah dilakukan faktor risiko luas
ventilasi dan kelembaban rumah terbukti signifikan pada analisis bivariat, tetapi
setelah dimasukkan ke dalam model tidak signifikan lagi. Faktor risiko yang
terbukti signifikan serta meningkatkan kejadian pneumonia pada balita yaitu
durasi ASI kurang dari dua bulan, pencahayaan alami, kepadatan hunian, status
imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI serta frekuensi total ISPA
berulang. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang diberikan
ASI kurang dari dua bulan dengan OR sebesar 5,24 (95% CI : 1,96 – 14,01).
Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah
dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,72 (95%
CI : 1,05 – 7,00). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang
tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar
3,11 (95% CI : 1,18 – 8,19). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita
67
yang tidak mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran IDAI
dengan OR sebesar 3,68 (95% CI : 1,11-12,17). Risiko terjadinya pneumonia
lebih tinggi pada balita yang mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan dengan
OR sebesar 10,14 (95% CI : 3,67-28,02).
68
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015
Variabel independent yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian
pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan yaitu durasi pemberian
ASI kurang dari dua bulan, lingkungan fisik rumah (pencahayaan alami dan
kepadatan hunian). Faktor risiko lainnya yang juga terbukti signifikan dan
meningkatkan kejadian pneumonia adalah status imunisasi Hib dan pneumokokus
sesuai anjuran IDAI serta frekuensi ISPA berulang.
Variabel pemberian ASI yang didapatkan hasil signifikan serta
meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada analisis multivariat hanya
durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan. Tidak memberikan ASI eksklusif
pada penelitian ini tidak sebagai faktor risiko pneumonia balita. Hasil penelitian
terkait durasi ASI yaitu yang dilakukan di Brazil dimana mendapatkan pemberian
ASI tanpa susu formula dapat memberikan proteksi pada balita, khususnya pada
bulan pertama kehidupan (Cesar, dkk.,1999). Demikian juga systematic review
yang dilakukan di USA dinyatakan bahwa balita yang pneumonia lebih besar
peluangnya memiliki faktor risiko pemberian ASI eksklusif kurang dari lima
bulan pertama dibandingkan balita yang tidak pneumonia (Lamberti, dkk., 2013).
Hal ini juga sejalan dengan cakupan pemberian ASI berdasarkan umur, semakin
bertambah umur bayi cakupan pemberian ASI semakin rendah. Umur nol bulan
cakupan pemberian ASI 39,8%, umur satu bulan 32,5%, umur dua bulan 30,7%,
69
umur tiga bulan 25,2%, umur empat bulan 26,3% dan umur lima bulan 15,3%
(Riskesdas, 2010). Hal ini menunjukkan ASI eksklusif enam bulan masih sangat
sulit dijalankan oleh ibu-ibu yang memiliki bayi. Dalam kaitannya dengan
pneumonia, studi ini mendapatkan pentingnya pemberian ASI setidaknya dalam
dua bulan pertama kehidupan tetapi sangat penting untuk memberikan ASI penuh
dalam enam bulan pertama sesuai dengan kebijakan yang telah diambil oleh
pemerintah terkait hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini juga
sejalan bila dilihat dari cakupan ASI eksklusif. Cakupan ASI eksklusif di Bali
tahun 2013 adalah 69,3% lebih tinggi dari cakupan nasional (54,3%), Kota
Denpasar cakupannya tahun 2012 adalah 68,6% dan Puskesmas II Denpasar
Selatan tahun 2013 sebesar 73,6% dimana sama-sama belum mencapai target
yang ditentukan sebesar 75%. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang
dilakukan didapatkan sebagian besar responden yaitu 62,5%, tidak memberikan
ASI eksklusif pada balita.
Pencahayaan alami pada penelitian ini secara statistik terbukti signifikan
serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita. Penelitian ini
sependapat dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sentosa
Baru Kota Medan dan wilayah kerja Puskesmas I Banjarnegara dimana balita
dengan kondisi pencahayaan alami yang tidak baik berpeluang menderita
pneumonia dibandingkan balita dengan kondisi pencahayan yang baik (Sinaga,
dkk.,2008;Wijo Basuki, 2004). Pencahayaan alami selain dipengaruhi oleh tata
letak rumah juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuni rumah untuk membuka
jalan masuknya cahaya. Padatnya bangunan dalam suatu lahan juga dapat
70
mempengaruhi intensitas pencahayaan matahari yang masuk ke dalam ruangan.
Kondisi inilah yang sebagian besar dimiliki oleh sampel sehingga saat peneliti
melakukan observasi dan pengukuran dalam ruangan pencahayaan alami yang
diperoleh kurang atau minim. Cahaya matahari selain untuk penerangan dapat
juga untukmembunuh bakteri-bakteri patogen yang hidup dalam rumah, seperti
bakteri streptococcus pneumoniae dimanamemiliki sifat mampu bertahan selama
beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung
(Radji, M, 2010). Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui
dinas pekerjaan umum telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar
matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila
penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam (Dinas Pekerjaan
Umum, 2006).
Variabel lingkungan fisik rumah yang didapatkan hasil signifikan dan
meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada penelitian ini selain
pencahayaan alami adalah kepadatan hunian rumah. Penelitian ini sependapat
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yulianti, dkk.,2000; Yuwono, 2008;
Sinaga, dkk., 2008) dinyatakan balita yang berada dalam tingkat kepadatan hunian
yang tidak memenuhi syaratberisiko lebih tinggi menderita pneumonia
dibandingkan dengan balita yang tinggal pada kepadatan hunian yang memenuhi
syarat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa semakin banyak
penghuni dalam ruangan maka risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan
lebih cepat (Depkes RI, 2000). Saat penelitian ditemukan sebagian besar dalam
satu kamar tidur ditempati oleh tiga sampai empat orang yaitu oleh kedua orang
71
tua dengan satu dan atau dua anaknya tetapi dalam kamar tersebut ditambahkan
satu tempat tidur lagi. Hal ini bertentangan dengan Kepmenkes RI nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa satu kamar tidur sebaiknya tidak lebih dari dua
orang kecuali anak dibawah lima tahun. Kepadatan hunian dalam rumah yang
tinggi dapat meningkatkan paparan dan risiko penularan antar anggota keluarga
terutama penyakit dengan media penularan udara. Perbandingan antara jumlah
penghuni dengan luas lantai yang tidak ideal terutama pada tempat tinggal
kontrakan atau kos yang pada umumnya kurang memiliki halaman akan
memperpanjang paparan balita dengan kondisi fisik maupun daya tahan tubuh
yang tidak baik.
Imunisasi yang dapat mencegah untuk terjadinya pneumonia adalah
Pertussis yang terdapat dalam imunisasi DPT Combo 1-3 (sekarang telah diganti
menjadi Pentabio 1-3), Hib (sekarang sudah termasuk ke dalam imunisasi dasar
yaitu di Pentabio), campak, dan pneumokokus.Status imunisasi yang dipakai
dalam penelitian ini selain imunisasi dasar (DPT dan campak) adalah pemberian
imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI.Berdasarkan hasil analisis
multivariat didapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI
terbukti signifikan serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada
balita.Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Annah, dkk. (2012) di
RSUD Salewangan, Maros, Makassar, Yafanita (2012) di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dan Fanada (2012) di Puskesmas Kenten Palembang yang menyatakan
anak dengan status imunisasi tidak lengkap berpeluang menderita pneumonia
lebih besar daripada anak dengan status imunisasi lengkap. Namun penelitian lain
72
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara anak yang status imunisasi DPT
dan campak tidak lengkap dengan yang status imunisasinya lengkap (Hananto,
2004),.Namun penelitian-penelitian tersebutbelum memakai pemberian imunisasi
Hib dan Pneumokokus,yang dipakai adalah kelengkapan imunisasi DPT dan
campak atau imunisasi dasar. Hal ini dikarenakan untuk kedua vaksin tersebut
belum masuk ke program imunisasi dasar di Indonesia, tetapi untuk imunisasi Hib
semenjak tahun 2013 mulai dimasukkan kedalam imunisasi dasar pada Pentabio
(gabungan antara DPT-Hb dan Hib) untuk empat daerah di Indonesia yaitu Jawa
Barat, Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Untuk seluruh wilayah
Indonesia baru diberlakukan mulai tahun 2014.Hasil penelitian di Gambia
(Afrika), dengan pemberian imunisasi pneumokokus terjadi penurunan kasus
pneumonia sebesar 37%, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah
sakit sebesar 15%, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16%. Hal ini
membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk menurunkan kematian
pada anak karena pneumonia (Kemenkes, 2010).
Faktor risiko frekuensi ISPA >1 kali dalam enam bulan dalam penelitian
ini terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa seorang balita rata-rata mengalami
batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002). Hal ini juga
didukung dari cakupan penderita ISPA pada balita di kota Denpasar pada tahun
2013 adalah 26,8%, dan sebesar 7,05% yang pneumonia. Proporsi balita yang
mengalami ISPA di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2013 sebesar
63,7% dan 13,54% yang pneumonia (Dinkes Kota Denpasar, 2013). Pada
73
penelitian ini ditemukan 58,3% balita mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan,
hampir mirip dengan penelitian di Jawa Tengah yang menemukan 42,8%
mengalami satu kali ISPA dalam tiga bulan (Ellyana dan Candra, 2009). Kejadian
ISPA berulang masih tinggi, mengakibatkan sebagian besar menjadi pneumonia
apabila tidak ditanggulangi dengan cepat.
Faktor risiko yang tidak memiliki hubungan signifikan pada penelitian
yaitu riwayat BBLR, status gizi, status vitamin A, paparan asap rokok, pemberian
ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun dan IMD),
lingkungan fisik rumah (jenis lantai, kondisi dinding, luas ventilasi dan
kelembaban). Penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian antara lain di
RSUD Salewangan Maros Makassar menyatakan bahwa suplemen vitamin A
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan pneumonia pada balita (Annah,
dkk., 2012). Penelitian di Denpasar menyatakan tidak ada hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan pneumonia pada balita (Farmani,
2013).Penelitian di Sumatera Selatan menyatakan riwayat BBLR secara statistik
tidak signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Herman, 2002).
Penelitian di Denpasar, Trenggalek, dan Lampung menyatakan tidak ada
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan pneumonia
pada balita(Farmani, 2011; Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Yuwono, 2008; Sugihartono
dan Nurjazuli, 2012) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara paparan
asap rokok dengan kejadian pneumonia pada balita. Penelitian (Mokoginta, dkk.,
2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah, dkk., 2012) yang
74
menyatakan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dapat meningkatkan risiko
kejadian pneumonia pada balita. Jenis lantai (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas,
2006; Sugihartono dan Nurjazali, 2012), jenis dinding (Yuwono, 2008), ventilasi
(Yuwono, 2008; Sinaga,dkk, 2008), kelembaban (Yuwono, 2008; Yulianti, dkk,
2002; Siti Zuraidah, 2002) mendapatkan hubungan yang bermakna dengan
kejadian pneumonia pada balita.
6.2 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang dapat dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini
sebagai berikut.Secara umum adanya recall bias data karena mengandalkan
ingatan, tetapi hal ini berusaha diminimalkan dengan melihat data di KMS dan
mengulang kembali pertanyaan yang susah diingat responden dan sebisa mungkin
memberi contoh atau penjelasan yang bisa dimengerti. Kemungkinan adanya
measurement error tetapi hal ini sudah berusaha diminimalkan dengan melakukan
uji coba kuesioner sebelum dipakai untuk sampel penelitian dan memberikan
persamaan persepsi/menjelaskan tentang kuesioner yang dipakai kepada surveyor
serta sudah dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang dipakai pengukuran
lingkungan fisik rumah. Jumlah sampel yang dipakai masih sedikit dan penelitian
ini hanya dilakukan di satu puskesmas sehingga hasil penelitian belum bisa
digeneralisasi ke populasi yang lebih luas terutama untuk penderita pneumonia
balita di rumah sakit yang memiliki karakteristik atau kondisi program yang
berbeda, tetapi sudah bisa menggambarkan seluruh balita yang ada di wilayah
Puskesmas II Denpasar Selatan.
75
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dalam penelitian ini variabel yang terbukti sebagai faktor risiko
pneumonia pada balita yaitu balita yang telah diberikan ASI kurang dari dua
bulan, yang telah tinggal di rumah dengan pencahayaan alami dan kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat, tidak mendapatkan imunisasi Hib serta
pneumokokus sesuai anjuran IDAI dan telah mengalami ISPA lebih atau sama
dengan satu kali dalam enam bulan. Variabel pemberian ASI (kolostrum, status
ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (jenis
lantai, dinding, luas ventilasi dan kelembaban), status BBLR, status gizi, status
vitamin A, dan paparan asap rokok tidak terbukti sebagai faktor risiko pneumonia
pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan.
7.2 Saran
Untuk pemegang kebijakan maupun petugas kesehatan di Puskesmas II
Denpasar Selatan agar memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk
meningkatkan pemberian ASI eksklusif, meningkatkan sanitasi lingkungan,
menjaga daya tahan tubuh balita agar tidak mudah terserang ISPA dan
meningkatkan cakupan imunisasi.
76
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Annah, I., Nawi, N. & Ansar, J., 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Anak
Umur 6-59 Bulan di RSUD Salewangan Maros Tahun 2012, hal.1-14.
Anwar, A. & Dharmayanti, I., 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Kesehatan Masyarakat Nasional, 8.
Arifeen, Black & Antelman, 2001. Exclusive Breastfeeding Reduce Acute
Respiratory Infection and Diarrhea Death Among Infants in Dhaka Slums.
Pediatrics.
Basuki, W. 2004. Faktor Ekstrinsik Lingkungan Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Puskesmas I
Banjarnegara Tahun 2004. Diunduh:
http://eprints.undip.ac.id/20832/1/2150.pdf(Accessed: 2014, Desember 15)
Buston, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Cesar, J.A.,dkk,. 1999. Impact Of Breast Feeding On Admission For Pneumonia
During Postneonatal Period in Brazil: Nested CaseControlStudy. Papers.
BMJ : Volume 318. Brazil : Departamento Materno Infantil, Fundaça.o
Universidade do Rio Grande, RioGrande do Sol
Depkes RI. 1994. Bina Lingkungan Sehat. Jakarta : Kecakapan Khusus Saka
Bhakti Husada.
Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1537.A/Menkes/SK/XII/2002 TentangPedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada
Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI .
Depkes RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dinas Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat. Jakarta
: Departemen Pekerjaan Umum RI.
77
Dinkes. 2013. Profil Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2012. Denpasar : Dinas
Kesehatan Kota Denpasar.
Djaja, S. 1999. Prevalensi Pneumonia dan Demam pada Bayi dan Anak Balita.
Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.26, No.4
Direktorat Jenderal PP dan PL, Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman
Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia.
Jakarta : Depkes RI.
Ellyana dan Candra. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita.
Journal of Nutritional and Health. Vol.1, No.1
Fanada, M., Muda, W. & Selatan, B.D.P.S., 2012. Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2012.
Farmani, P.I., 2011. Hubungan Pencahayaan Alami terhadap Kejadian
Pneumonia pada Bayi dan Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas II
Denpasar Selatan Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Udayana
Fonseca, W. et al., 1996. Risk factors for childhood pneumonia among the urban
poor in Fortaleza , Brazil : a case-control study. , 74(2), hal.199–208.
Franks, Taber & Glezen, 1982. Breastfeeding and Respiratory Virus Infection.
Pediatrics.
Hananto M, 2004. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Balita di 4 Propinsi di Indonesia" (tesis). Jakarta :
Universitas Indonesia.
Hartati, S., 2011. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta". (tesis).
Jakarta : Universitas Indonesia.
Heriyana, Amiruddin, R. & Ansar, J., 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian
Pneumonia Pada Anak Kurang Dari 1 Tahun di RSD Labuang Baji Kota
Makasar 2005. J Med Nus, 26, hal.149–155.
Herman, 2002. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia
pada Anak Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan".
Jakarta : Universitas Indonesia.
IDAI, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. edisi ke-4. Satgas Imunisasi IDAI
Indah, E. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Aditya Bakti. Bandung. 1991
78
Indrawani, Y.M. 2008. Penyakit Kurang Gizi. In: Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Kartasasmita, C., 1993. "Morbidity and risk factors for acute respiratory infections
(ARI) in Underfive children, in Cikutra, an urban area in the municipality
of Bandung, Indonesia" (dissertation). PhD disertation Catholic University
of Leuven, Faculty of Medicine.
Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal
Kesehatan Kesling, 2 (1): 29-42, Diunduh dari:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-04.pdf (Accessed: 2014,
Desember 15)
Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Buletin
Jendela Epidemiologi, Vol. 3.Jakarta : Kemenkes RI
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
Kramer, 1988. Infant Feeding Infection and Public Health. Pediatrics.
Kristina, R.H, 2000. Analisis Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak Balita
di Kabupaten Dati II Boyolali. Tesis. Yogyakarta : UGM.
Kusharisupeni, 2008. Gizi Dalam Daur Kehidupan (Prinsip-prinsip Dasar). In:
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta :RajaGrafindo Persada.
Lamberti, L.M. dkk., 2013. Breastfeeding for reducing the risk of pneumonia
morbidity and mortality in children under two: a systematic literature
review and meta-analysis. BMC public health, 13 Suppl 3(Suppl 3), p.S18.
Diunduh dari:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3847465&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 12, 2014].
Machmud, R. 2006. Pneumonia Balita di Indonesia dan Peranan Kabupaten
dalam Menanggulanginya. Jakarta : Andalas University Press.
Matondang C.S., Munatsir Z., Sumadiono. 2008. Aspek Imunologi Air Susu Ibu.
In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N (eds). Buku Ajar Alergi-
Imunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, hal.189-202.
79
Mokoginta, D., Arsin, A. & Sidik, D., 2013. Faktor Risiko Kejadian Pnemonia
Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar.
Munasir Z. dan Kurniati N. 2008. Air Susu Ibu dan Kekebalan Tubuh. In : IDAI.
Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, hal.69-79.
Naim, K., 2000. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif terhadap Kejadian pneumonia
pada anak umur 4-24 bulan di Kabupaten Indramayu. Jakarta : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta
Nurjazuli & Widyaningtyas, R., 2006. Faktor Risiko Dominan Kejadian
Pneumonia Balita. (Online). http://eprints.undip. ac.id/16162/1/1290.pdf.
Ogundele, 1999. Complement-Mediated Bactericidal activity of Human Milk to a
Serum-Susceptible Strain of E.Coli 0111. J of App Microb.
Pamungkas, D.R., 2012. Analisis Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di 4
Propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Analisis Data Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2007). Jakarta : Universitas Indonesia.
Pradhana, A., 2010. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Usia 6 Bulan - 5 Tahundi RSUD DR. Muwardi
Surakarta.
Pramudiyani, N.A. & Prameswari, G.N., 2011. Hubungan Antara Sanitasi Rumah
dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Kesehatan Masyarakat,
6(2), hal.1–78.
Proverawati, A. & Rahmawati, E., 2010. Kapita Selekta ASI & Menyusui.
Yogyakarta : Nuha Medika
Radji, M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta : EGC
Regina, R., Kun S, K. & Suharyo, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Miroto
Semarang Tahun 2013.
Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, C.H., 2008. Epidemiology
and Etiology of Childhood Pneumonia. Bull World Health Organ,
hal.408–416.
80
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi Ke-4. Jakarta: CV. Sagung Seto. hal.146.
Setiarsih, D., 2014. Paper Penyakit Infeksi dan Nutrisi.
Sinaga, L. A., Suhartono., & Yusniar, H. D. (2009). Analisis Kondisi Rumah
Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 8 (1): 26-34. Diunduh dari :
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81092634.pdf
Stanhope, M. dan Lancaster, J. 2002. Community & Public Health Nursing.
Philadelpia : Mosby
Subanada, I.B. 2014. Pneumonia : Dari Pendekatan MTBS hingga Diagnosis
Klinis. Denpasar : Su-Bagian Respirologi , Bagian /SMF Ilmu Kesehatan
Anak, FK Unud /RSUP Sanglah, UKK Respirologi IDAI. Bahan
symposium yang diadakan Dinkes Propinsi Bali (Sabtu, 8 Nopember
2014).
Sudirman, M. 2003. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Faktor
Risiko Lainnya dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kota Bekasi.
Jakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Sugihartono & Nurjazuli, 2012. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 11(1), hal.82–86.
Sulistyowati, R. (2010). Hubungan Antara Rumah Tangga Sehat Dengan
Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kabupaten Trenggalek. Diunduh dari
: http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=17189
Sumadiono. 2008. Imunologi Mukosa. In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N.
(eds). Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI, hal.94-102.
Sunyataningkamto, 2004. The Role of Indoor Air Pollution and Other Factors in
the Incidence of Pneumonia in Under Five Children. Paediatrica
Indonesiana, 44, hal.1–2.
Sutrisna B., 1993. Risk factors for Pneumonia in children under 5-years of age
and a model for its control. Summary of dissertation University of
Indonesia.
Syam, T.F. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesakitan Pneumonia
pada Balita Usia 0-59 Bulan di Propinsi NTB (Analisis Data Sekunder
81
Survei Data Dasar HSS GTZ 2007). (skripsi). Depok : Program Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Trihono & Gitawati, R., 2009. Hubungan antara Penyakit Menular dengan
Kemiskinan di Indonesia. Penyakit Menular Indonesia, 1.1, hal.38–42.
Tumbelaka A.R. dan Karyanti M.R. 2008. Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi.
In : IDAI. Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal.83-97.
UNICEF. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Children. New York : WHO
Victora, C.G. et al., 1994. Risk Factors for Pneumonia Among Children in a
Brazilian Metropolitan Area. Pediatrics, 93, hal.977–985.
WHO, 2014. Short-term effects of breastfeeding : a systematic review on the
benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality.
Wiji, R.N., 2013. ASI dan Panduan Ibu Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika
Yafanita, I.N. 2012. Faktor Risiko Status Gizi dan Status Imunisasi terhadap
Kejadian Pneumonia pada Balita di RSUD DR. Soetomo
Surabaya.http://alumni.unair.ac.id/detail.php?id=44657&faktas=Kedokter
an. Diakses tanggal 5 Maret 2015
Yulianti, I., Djauhar, I. & Suharyanto, S., 2002. Faktor Risiko Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita di Kota Banjarmasin. Berita Kedokteran
Masyarakat, XVIII, hal.99–104.
Yushananta, P. (2008).Analisis Pneumonia pada Balita Di Kota Bandar Lampung
Tahun 2007. Diunduh
dari:http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22084856.pdf
Yuwono, T.A., 2008. Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di wilayah Kerja
Puskesmas Kawungan Kabupaten Cilacap.
Zuraidah, S. 2002. Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Kaitannya Dengan
Tipe Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Lord dan Cebongan
Kota Salatiga. Diunduh dari :
http://eprints.undip.ac.id/14108/1/2002MIKM1404.pdf
82
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI
FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS
II DENPASAR SELATAN
A. IDENTIFIKASI RESPONDEN
1. Nomor urut responden
2. Nama responden
3. No Hp
4. Nama suami/KK
5. Alamat
B. KETERANGAN PEWAWANCARA
6. Nama pewawancara
7. Tgl/bln/thn wawancara
8. Hasil kunjungan
a. Wawancara selesai
b. Nama responden tidak dikenal
c. Tempat tinggal kosong
d. Wawancara ditolak
e. Responden tidak ada di rumah
f. Nama KK tidak dikenal
g. LAINNYA, Jelaskan__________________
9. Lama wawancara
Jam ____ s/d Jam_____ (___menit)
10. Tanda tangan pewawancara
C. PEMERIKSA
11. Nama pemeriksa
12. Tgl/bln/thn diperiksa
13. Tanda tangan pemeriksa
CATATAN :
LEMBAR PENJELASAN
PASTIKAN TIDAK ADA ORANG LAIN YANG MENDENGARKAN PERCAKAPAN
SELAMA PROSES WAWANCARA BERLANGSUNG
83
LEMBAR PENJELASAN
Selamat pagi/siang/malam, kami adalah tim peneliti terkait pneumonia
pada balita mahasiswa S2 IKM Universitas Udayana. Kami bermaksud untuk
melaksanakan kegiatan terkait pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai
faktor risiko pneumonia pada balita. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengidentifikasi status pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah, mengetahui
hubungan pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada balita dan mengetahui
hubungan riwayat lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada
balita.
Saudara terpilih sebagai orang yang akan diwawancarai dalam kegiatan
ini. Oleh karena itu, kami mohon keikutsertaan Saudara dalam kegiatan ini.
Keikutsertaan dalam kegiatan ini bersifat sukarela, dijamin kerahasiaannya dan
Saudara berhak untuk keluar atau mundur kapan pun bila menginginkannya. Kami
akan menghormati keputusan tersebut.Jika Saudara bersedia untuk ikutserta dalam
kegiatan ini, maka kami akan melakukan wawancara singkat dengan
menggunakan kuesioner tentang pola pemberian ASI kepada anak. Wawancara
kurang-lebih 15-20 menit. Saudara berhak untuk tidak menjawab pada pertanyaan
manapun.Observasi dan pengukuran dengan lembar observasi, alat hygrometer,
luxmeter dan meteran tentang lingkungan fisik rumah. Observasi kurang-lebih 10
menit. Saudara berhak untuk menolak bila tidak ingin dilakukan observasi
terhadap lingkungan rumah Saudara.
Jika Saudara bersedia, maka Saudara/pewawancara akan menandatangani
formulir persetujuan yang telah disiapkan. Jika ada masalah, baik terkait
ketidaknyamanan selama proses pelaksanaan kegiatan dalam penelitian ini,
Saudara dapat menghubungi kami yaitu Ni Kadek Ethi Yudiastuti di No HP
085737368914, Komisi Etik (0361) 244534.Apakah Saudara bersedia untuk ikut
serta sebagai responden dalam kegiatan ini?
1. Ya Minta responden untuk membaca pernyataan ikut serta dalam kegiatan
dan pewawancara menandatangai formulir tersebut
2. Tidak Catat pada formulir harian dan lanjut ke responden berikutnya
Alasan: ___________________________________________________
84
LEMBAR/FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Kode Responden:_________ Nama Petugas Lapangan: __________________
Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai faktor risiko
pneumonia pada balita.
Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya (atau
telah dibacakan untuk saya), dan saya telah memahami tujuan penelitian ini dan
sifat pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan pada saya.
Saya menyadari bahwa:
1. Saya akan berpartisipasi dalam studi faktor risiko pneumonia pada balita
2. Saya akan diwawancarai oleh petugas lapangan selama 15-20 menit dan
dilakukan observasi dan pengukuran pada rumah kurang lebih 10 menit
3. Identitas saya akan dilindungi dengan cara menggunakan kode. Kode ini akan
muncul pada kuesioner yang menyimpan semua informasi yang saya berikan,
tetapi nama saya tidak akan disebutkan di sana.
4. Jawaban-jawaban saya akan dijaga kerahasiaannya dengan upaya maksimal
sepanjang waktu.
5. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan
diri kapanpun saya mau.
6. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun.
7. Saya memahami para peneliti adalah orang yang berpengalaman dalam bidang
ini, dan akan melakukan setiap langkah yang bisa dilakukan untuk melindungi
kerahasiaan saya.
Nama [kode]: ____________________________________________
Tanda tangan[kode]:_______________________Tanggal:______/______/______
Pernyataan oleh Petugas Lapangan
Saya________________________________ menyatakan bahwa, sepanjang
pengetahuan saya, responden sepenuhnya mengerti tujuan dan sifat dari
keterlibatan mereka dalam penelitian ini dan secara sukarela menyetujui untuk
berpartisipasi untuk diwawancarai dan dilakukan observasi pada rumahnya.
Tanda tangan: ______________ Tanggal: _____/_______/_______
85
I. KARAKTERISTIK IBU DAN BALITA
1.
Berapa umur Ibu?
____________ tahun
2.
Apa pendidikan terakhir yang pernah ibu
tempuh?
1. Tidak sekolah
2. Tamat SD/sederajat
3. Tamat SMP/sederajat
4. Tamat SMA/SMK/sederajat
5. Tamat Diploma/Sarjana
3. Siapa nama anak terakhirIbu? (cek dengan
nama yang dipegang yang telah diambil dari
register)
4.
Tanggal/bulan/tahun berapa anak Ibu lahir?
________/________/________
5.
Dimana tempat ibu melahirkan?
1. Di RS pemerintah
2. Di RS swasta
3. Di klinik bersalin
4. Di Bidan
5. Di rumah
6. Lainnya (sebutkan)
__________
6.
Jenis kelaminanak
1. Laki-laki
2. Perempuan
7. Berapa penghasilan secara rata-rata Ibu dan
Bapak dalam satu bulan?
Rp_________________
8. Riwayat sakit ISPA :
a. Apa anak Ibu pernah menderita sakit
panas, batuk, dan pilek dalam 6 bulan
terakhir?
1. Pernah, terakhir kali kena
saat usia_____
2. Tidak
3. Tidak tahu/lupa
b. Berapa kali semenjak 6 bulan yang lalu
sampai saat ini anak Ibu pernah terserang
panas, batuk dan pilek?
________kali
9.
Berapa berat badan anak Ibu sewaktu lahir?
________gram
10.
Berapa berat badan anak pada waktu timbang
terakhir?(cross check dengan KMS)
_________kg
11. Apakah anak Ibu pernah mendapatkan
imunisasi? (cross check dengan KMS)
a. DPT Combo (kandungannya DPT dan
Hb)
1. Ya (DPT combo 1, 2, 3) usia
_______
2. Tidak
3. Lupa
86
4. Lainnya, jelaskan_________
b. Pentabio (kandungannya DPT, Hb, dan
Hib)
1. Ya (1,2,3, lanjutan)
usia____
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,jelaskan_________
c. Hib
1. Ya, usia ____
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,jelaskan_________
d. Campak
1. Ya, usia ____
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,jelaskan_________
e. Pneumococcus 1. Ya, usia ____
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,jelaskan_________
_
12. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan vitamin
A dalam satu tahun terakhir?(cross check
dengan KMS)
1. Sudah (lanjut ke pertanyaan
12 a)
2. Tidak
3. Lupa
a. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan
vitamin A untuk bulan Februari?
1. Sudah
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,
Jelaskan_______________
b. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan
vitamin A untuk bulan Agustus?
1. Sudah
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,
jelaskan________________
13. Riwayat paparan asap rokok:
a. Apakah ada yang merokok di rumah ini
Bu?
1. Ada, sebutkan
siapa:_________
2. Tidak (lanjutkan ke
pertanyaan14)
b. Sejak kapan ayah/ibu/kakak/paman/dll
merokok?
1. <6 bulan yang lalu
2. ±6 bulan yang lalu
87
3. >6 bulan
4. Lupa
c. Kalau ada yang merokok, dimana
biasanya merokok?
1. Dalam rumah/ruangan
2. Luar rumah/ruangan
3. Lainnya,Jelaskan________
___
d. Apakah saat merokok di dekat anak? 1. Ya
2. Tidak
3. Kadang –kadang
e. Berapa batang merokok saat mengajak
anak?
______ batang
II. PEMBERIAN ASI
14. Apakah saat melahirkan anak ibu dilakukan
inisiasi menyusu dini atau anak langsung
diberikan menetek pada ibu semasih ibu dalam
proses persalinan atau dalam periode 1 jam
setelah melahirkan?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17
a)
2. Tidak(lanjut ke pertanyaan
15)
3. Lupa/tidak tahu(lanjut ke
pertanyaan 15)
15. Kapan ibu meneteki pertama kali anaknya
setelah melahirkan?
________jam setelah
persalinan
16. Apakah Ibu memberikan susu formula
sebelum memberikan ASI pertama kali kepada
anak saat itu?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17
c)
2. Tidak (lanjut ke pertanyaan
17 a)
3. Lupa/tidak tahu (lanjut ke
pertanyaan 17 e)
17. Status pemberian ASI :
a. Apakah Ibu memberikan ASI saja
semenjak anak lahir sampai bulan-bulan
pertama kelahirannya?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17
b)
2. Tidak (lanjut ke pertanyaan
17 c)
b. Berapa lama Ibu memberikan ASI saja
kepada anak?
_____bulan (lanjut ke
pertanyaan 18)
c. Apakah Ibu memberikan susu formula saja
semenjakanak lahir?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17
d)
2. Tidak (lanjut ke pertanyaan
17 e)
88
d. Sampai saat ini apakah masih memberikan
susu formula? (lanjut ke pertanyaan 18)
1. Masih
2. Tidak
e. Apakah Ibu memberikan ASI plus susu
formula semenjak anak lahir?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17
f)
2. Tidak (lanjut ke pertanyaan
17 g)
f. Dari kapan memberikan ASI plus susu
formula pada anak?
_______jam/hari/bulan* (coret
yang tidak dipakai)
g. Kalau begitu apa yang Ibu berikan pada
anak dari semenjak kelahirannya?
1. Air putih
2. Air tajin (air rendaman
beras)
3. Bubur
4. Pisang
5. Lainnya,
Jelaskan_______________
___
18. Apakah ibu memberikan ASI yang pertama
kali keluar yang masih berwarna kuning
(dalam waktu 3 hari pertama melahirkan?)
1. Ya
2. Tidak
3. Lupa
4. Lainnya,
jelaskan_______________
19. Apakah saat ini Ibu masih memberikan ASI
pada anak? (pertanyaan untuk ibu yang
memiliki balita umur kurang dari 2 tahun)
1. Ya
2. Tidak (lanjut ke
pertanyaan 20)
20.
Sampai umur berapa anak diberikan ASI?
(pertanyaan untuk semua responden)
____________hari/bulan/tahun
* (coret yang tidak dipakai)
III. LINGKUNGAN FISIK RUMAH
1. Keadaan Lantai
a. Bahan lantai rumah
1. Tanah
2. Bata merah
3. Semen
4. Tegel PC
5. Tegel teraso/keramik
6. Lainnya, JELASKAN
______________________
89
b. Ketinggian lantai dari halaman
_________cm
c. Luas lantai kamar tidur
___________ m2
d. Luas lantai ruang keluarga
___________ m2
e. Berapa kali mengepel lantai dalam satu
minggu?
___________kali
f. Berapa kali menyapu lantai dalam sehari?
____________kali
2. Keadaan dinding
a. Bahan dinding rumah
1. Bambu (gedeg)
2. Tembok tanah
3. Papan / triplek
4. Tembok bata merah/batako
tanpa plester
5. Tembok plester
6. Semi permanen
7. Bahan lainnya, JELASKAN
_______________________
b. Kondisi dinding 1. Lumutan
2. Berjamur
3. Bersih
4. Lainnya (JELASKAN)
______________________
3. Ventilasi
a. Terdapat ventilasi yang terbuka
1. Ada
2. Tidak
b. Tempat ventilasi ada yang saling
berhadapan/kedua ventilasi arahnya 1800
1. Ada
2. Tidak
c. Luas ventilasi di kamar tidur
___________ m2
d. Luas ventilasi di ruang keluarga
___________ m2
90
4. Kelembaban
a. Kamar Tidur
Titik 1, hasilnya ______%
Titik 2, hasilnya ______%
Titik 3, hasilnya ______%
Titik 4, hasilnya ______%
Titik 5, hasilnya ______%
b. Ruang Keluarga
Titik 1, hasilnya ______%
Titik 2, hasilnya ______%
Titik 3, hasilnya ______%
Titik 4, hasilnya ______%
Titik 5, hasilnya ______%
5. Pencahayaan Alami
a. Kamar Tidur
Titik 1, hasilnya _____lux
Titik 2, hasilnya _____lux
Titik 3, hasilnya _____lux
Titik 4, hasilnya _____lux
Titik 5, hasilnya _____lux
b. Ruang Keluarga
Titik 1, hasilnya _____lux
Titik 2, hasilnya _____lux
Titik 3, hasilnya _____lux
Titik 4, hasilnya _____lux
Titik 5, hasilnya _____lux
6. Tingkat Kepadatan Hunian
a. Luas bangunan
___________ m2
b. Jumlah penghuni
____________orang
c. Jumlah kamar tidur
____________kamar
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI IBU
SEMUA INFORMASI DIPASTIKAN KERAHASIAANNYA DAN HANYA
DIGUNAKAN UNTUK PENINGKATAN KESEHATAN PADA BALITA
TERUTAMA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT PNEUMONIA
92
Lampiran 2
1. Analisis Bivariat
a. logistic cc i.kel_riwayat_ispa Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 1.51
Prob > chi2 = 0.2195
Log likelihood = -82.423975 Pseudo R2 = 0.0091
----------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-----------------+----------------------------------------------------------------
2.kel_riwayat_~a | 2.153846 1.382642 1.20 0.232 .6120596 7.579414
_cons | .5 .3061862 -1.13 0.258 .1505628 1.660437
----------------------------------------------------------------------------------
b. logistic cc i.riwayat_bblr Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 0.21
Prob > chi2 = 0.6467
Log likelihood = -83.072636 Pseudo R2 = 0.0013
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.riwayat_~r | .6551724 .610443 -0.45 0.650 .1055034 4.068596
_cons | 1.017544 .1897801 0.09 0.926 .7059879 1.466591
------------------------------------------------------------------------------
c. logistic cc i.gizi_new
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 2.59
Prob > chi2 = 0.1077
Log likelihood = -81.883802 Pseudo R2 = 0.0156
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.gizi_new | .3421053 .2407186 -1.52 0.127 .0861432 1.358621
_cons | 1.096154 .2102063 0.48 0.632 .7527297 1.596261
------------------------------------------------------------------------------
d. logistic cc i.kel_status_imunisasi Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 2.67
Prob > chi2 = 0.1022
Log likelihood = -81.842561 Pseudo R2 = 0.0161
--------------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
---------------------+----------------------------------------------------------------
1.kel_status_imuni~i | 2.166667 1.04612 1.60 0.109 .8410291 5.581786
_cons | .5333333 .233492 -1.44 0.151 .226123 1.257919
--------------------------------------------------------------------------------------
e. logistic cc i.vit_a_2klp Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 0.21
Prob > chi2 = 0.6479
Log likelihood = -83.073397 Pseudo R2 = 0.0013
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.vit_a_2klp | 1.232108 .5639732 0.46 0.648 .5023753 3.021827
_cons | .9591837 .1958351 -0.20 0.838 .6428554 1.431167
93
f. logistic cc i.kel_rokok
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = -0.00
Prob > chi2 = 1.0000
Log likelihood = -83.177662 Pseudo R2 = -0.0000
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.kel_rokok | 1 .3684381 0.00 1.000 .4857188 2.058804
_cons | 1 .2773501 0.00 1.000 .5806563 1.722189
------------------------------------------------------------------------------
g. logistic cc i.asi_eks
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 6.01
Prob > chi2 = 0.0142
Log likelihood = -80.173753 Pseudo R2 = 0.0361
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.asi_eks | 2.769042 1.180738 2.39 0.017 1.200526 6.38686
_cons | .4782609 .1753251 -2.01 0.044 .2331438 .9810831
------------------------------------------------------------------------------
h. logistic cc i.kel_asi_2bln
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 8.90
Prob > chi2 = 0.0029
Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776
_cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117
------------------------------------------------------------------------------ i. logistic cc i.kel_asi_2bln
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 8.90
Prob > chi2 = 0.0029
Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776
_cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117
------------------------------------------------------------------------------ j. logistic cc i. kategori_ASI_2th
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 1.69
Prob > chi2 = 0.1940
Log likelihood = -82.334001 Pseudo R2 = 0.0101
----------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-----------------+----------------------------------------------------------------
1.kategori_ASI~h | 1.761099 .7744766 1.29 0.198 .7437928 4.169805
_cons | .6470588 .2503813 -1.12 0.261 .303088 1.381398
----------------------------------------------------------------------------------
94
k. logistic cc i.asi_14 (IMD)
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 7.86
Prob > chi2 = 0.0051
Log likelihood = -79.247959 Pseudo R2 = 0.0472
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
2.asi_14 | 2.890756 1.11601 2.75 0.006 1.356423 6.160668
_cons | .53125 .1594401 -2.11 0.035 .2950083 .9566734
------------------------------------------------------------------------------
l. logistic cc i.vent_pake
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 5.22
Prob > chi2 = 0.0224
Log likelihood = -80.569039 Pseudo R2 = 0.0314
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.vent_pake | 2.40625 .9387199 2.25 0.024 1.12014 5.169032
_cons | .5714286 .1790809 -1.79 0.074 .3091737 1.05614
------------------------------------------------------------------------------
m. logistic cc i.lembab_pake
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 8.71
Prob > chi2 = 0.0032
Log likelihood = -78.820412 Pseudo R2 = 0.0524
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.lembab_p~e | 3.272727 1.355347 2.86 0.004 1.453445 7.369212
_cons | .6875 .1554668 -1.66 0.098 .4413545 1.070922
------------------------------------------------------------------------------
n. logistic cc i.pencahayaanKT
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 4.42
Prob > chi2 = 0.0355
Log likelihood = -80.966514 Pseudo R2 = 0.0266
-------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
1.pencahaya~T | 2.25 .8788471 2.08 0.038 1.046416 4.837943
_cons | .75 .1727123 -1.25 0.212 .4775776 1.177819
-------------------------------------------------------------------------------
o. logistic cc i.padat_pake
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(1) = 7.28
Prob > chi2 = 0.0070
Log likelihood = -79.53583 Pseudo R2 = 0.0438
------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.padat_pake | 2.875 1.150474 2.64 0.008 1.312251 6.298815
_cons | .5 .1636634 -2.12 0.034 .2632382 .9497102
------------------------------------------------------------------------------
95
2. Analisis Multivariat
Logistic cc i.analisis_ispa i.kel_status_imunisasi i. kel_asi_2bln
i.pencahayaanKT i.padat_pake
Logistic regression Number of obs = 120
LR chi2(5) = 49.46
Prob > chi2 = 0.0000
Log likelihood = -58.448095 Pseudo R2 = 0.2973
--------------------------------------------------------------------------------------
cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
---------------------+----------------------------------------------------------------
1.analisis_ispa | 10.1441 5.258404 4.47 0.000 3.672617 28.01892
1.kel_status_imuni | 3.678891 2.245697 2.13 0.033 1.112039 12.17066
1.kel_asi_2bln | 5.236493 2.628366 3.30 0.001 1.957919 14.0051
1.pencahayaanKT | 2.718137 1.312729 2.07 0.038 1.054829 7.004232
1.padat_pake | 3.109179 1.535941 2.30 0.022 1.180729 8.187305
_cons | .0106984 .0104818 -4.63 0.000 .001568 .0729936
--------------------------------------------------------------------------------------
96
Lampiran 3
SURAT IJIN PENELITIAN