pembentukan sikap

24
PEMBENTUKAN SIKAP Pembentukan sikap sosial anak dapat terjadi melalui: (1) pengalaman yang berulang-ulang atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik); melalui imitasi (peniruan yang terjadi tanpa disengaja atau sengaja); (2) sugesti, yaitu seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya; (3) identifikasi, yaitu seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi/badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; (4) meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai, yang sering terjadi antara anak dengan ayah, pengikut dengan pimpinan, peserta didik dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan. Pembentukan sikap sosial anak mengandung tiga komponen, yaitu: kognitif (konseptual), afektif (emosional), konatif (perilaku atau action component). Komponen kognitif yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap. Komponen afektif yaitu yang berhubungan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Komponen konatif yaitu komponen yang berkaitan dengan kecenderungan untuk berperilaku terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Sarwono (2000:95) mengemukakan bahwa pembentukan sikap sosial anak dapat melalui empat macam cara: Adopsi: Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lam kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, sseorang yang sejak lahir sampai ia dewasa

Upload: siska-ciie-cewelibra-part-ii

Post on 05-Jul-2015

2.772 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

PEMBENTUKAN SIKAP Pembentukan sikap sosial anak dapat terjadi melalui: (1) pengalaman yang berulang-ulang atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik); melalui imitasi (peniruan yang terjadi tanpa disengaja atau sengaja); (2) sugesti, yaitu seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya; (3) identifikasi, yaitu seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi/badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; (4) meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai, yang sering terjadi antara anak dengan ayah, pengikut dengan pimpinan, peserta didik dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan. Pembentukan sikap sosial anak mengandung tiga komponen, yaitu: kognitif (konseptual), afektif (emosional), konatif (perilaku atau action component). Komponen kognitif yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap. Komponen afektif yaitu yang berhubungan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Komponen konatif yaitu komponen yang berkaitan dengan kecenderungan untuk berperilaku terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Sarwono (2000:95) mengemukakan bahwa pembentukan sikap sosial anak dapat melalui empat macam cara:

Adopsi: Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulangulang dan terus menerus, lam kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, sseorang yang sejak lahir sampai ia dewasa tinggal di lingkungan yang fanatik Islam, ia akan mempunyai sikap negatif terhadap daging babi. Diferensiasi: Dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersediri lepas dari jenisnya. Terhadap obyek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. Misalnya, seorang anak kecil mula-mula takut kepada tiap orang dewasa yang bukan ibunya, tetapi lamakelamaan ia dapat membeda-bedakan antara ayah, paman, bibi, kakak, yang disukainay dengan orang asing yang tidak disukainya. Integrasi: Pembentukan sikap ini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tersebut. Misalnya, seorang dari desa sering memdengar tentang kehidupan kota, ia pun sering membaca surat kabar yang diterbitkan di kota kawan-kawan yang datang dari kota membawa barang-barang yang bagus dan bercerita tentang keindahan kota. Setelah beberapa waktu, maka dalam diri orang dewasa tersebut timbul sikap positif terhadap kota dan hal-hal yang berhubungan dengan kota, sehingga pada akhirnya ia terdorong untuk pergi ke kota. Trauma: Adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman-

pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap. Misalnya, orang yang sekali pernah jatuh dari sepeda motor, selamanya tidak suka lagi naik sepeda motor. Sikap selain dapat terbentuk oleh pengalaman-pengalaman yang objektif atau oleh sugesti-sugesti, juga dapat terbentuk karena prasangka. Prasangka adalah penilaian terhadap sesuatu hal berdasarkan fakta dan informasi yang tidak lengkap. Jadi, sebelum orang tahu benar mengenai sesuatu hal, ia sudah menetapkan pendapatnya mengenai hal tersebut dan atas dasar itulah ia akan membentuk sikap. Tulisan ini bersambung pada INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA

PEMBENTUKAN SIKAP (BAGIAN I)Pengaruh sosial sering membentuk sikap kita jauh sebelum kita pernah berjumpa dengan objek sikap tersebut (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:317). Pengaruh sosial yang dimaksud menurut Azwar (1995:30) adalah faktor-faktor yang akan membentuk sikap manusia, yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan agama, serta faktor emosi dalam diri individu. a. Pengalaman Pribadi Penelitian yang dilakukan oleh Fabrigar, et al (dalam Ramdhani, 2009) menyatakan bahwa jumlah informasi atau luasnya knowledge yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek sikap menentukan kekuatan perubahan sikap yang dialami individu. Oskamp (dalam Ramdhani, 2009) mengungkapkan dua aspek yang secara khusus memberi sumbangan dalam membentuk sikap; pertama adalah peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang merubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua yaitu munculnya objek secara berulang-ulang (repeated exposure). b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting Menurut Ali (2000:36), seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan rangkaian interaksi antar perorangan dalam kehidupannya di dalam keluarga, dengan teman sebaya, teman akrab atau pernikahan, melalui contoh-contoh yang bersifat formal dan informal yang berlangsung relatif cukup lama. Interaksi antar perorangan ataupun kelompok akan berpengaruh besar terhadap komponen kognitif, afektif, dan konatif seseorang. Begitu juga dengan sikap. Pada umumnya, individu cenderung untuk memilih sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting (Azwar, 1995:32). Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu merupakan orang yang kuat dan penting (Sears, D, O,. Freedman, J, L., & Peplau, L, A., 1985:143). Salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk sikap kita adalah kita mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses pembelajaran sosial (social learning). Pembelajaran sosial merupakan suatu proses dimana kita mengadopsi informasi baru, tingkah laku atau sikap dari orang lain

(Baron, R, A., & Byrne., 2004:123). Dengan kata lain, banyak pandangan kita dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan mengobservasi tingkah laku mereka (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:123). Sikap dapat terbentuk bahkan ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan tertentu pada anak mereka. Proses ini disebut pembelajaran melalui observasi (observational learning) yang terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:125). Sikap anak cenderung cocok dengan sikap orang tua mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:317). Senada dengan Calhoun, Ali (2000:39) mengatakan bahwa sikap dan perilaku anak relatif lebih dominan diwarnai oleh sikap dan perilaku orangtuanya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya (Ramdhani, 2009). Peran orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anakanaknya terutama yang berkenaan dengan sikap, perhatian, dorongan, dan reaksi dalam mendidik dan membesarkan anaknya dapat membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku anak-anaknya (Ali, 2000:39). Dari orangtualah anak atau para remaja belajar tentang nilai dan norma-norma yang dapat membentuk dan menentukan sikap dan perilaku anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak cenderung mewarisi sikap orang tua mereka, tetapi anak remaja dan menjelang dewasa lebih dipengaruhi teman sebaya mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319). Dalam masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung mengganti keluarga sebagai kelompok acuan individu?yaitu, kelompok yang normanya kita jadikan alat untuk menilai diri sendiri (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319). Bahkan Ramdhani (2009) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa orang tua dan teman sebaya berpengaruh besar dalam membentuk dan merubah sikap seseorang. REFERENSI Ali, M. 2000. Sikap, Intensi, dan Perilaku Asimilasi Siswa (Perspektif Psikologi Sosial). Makalah. Pontianak: FKIP UNTAN. Azwar, S. 1995. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R, A., & Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Calhoun, J, F., & Acocella, J, R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press. Ramdhani, N. 2009. Pembentukan dan Perubahan Sikap. Avaliable: http:/neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wp-content/uploads/2009/09/bab2a1attitude.pdf

Proses Pembentukan SikapOPINI | 06 December 2010 | 08:01 422 3 1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik Mengapa orang Jawa memiliki sikap kemayu, lembut, sopan dll dan bertingkah laku yang sering kali berbeda dengan sikapnya ? Bagaimana proses pembentukan sikap itu sendiri ? Para Psikolog Sosial menyakini bahwa sikap adalah hasil dari proses belajar. Sebagian besar psikolog sosial memfokuskan perhatiannya pada bagaimana pembentukan sikap. Namun demikian hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh orang tua kepada anaknya yakni bersifat genetik (Baron, 2003). Proses pembentukan sikap menurut Baron terjadi dengan sistem adopsi dari orang lain yakni melalui satu proses yang disebut proses pembelajaran sosial. Dalam proses inipun dilalui dalam beberapa proses lainnya antara lain : 1. Classical conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu stimulus, yang awalnya netral menjadi memiliki kapasitas untuk membangkitkan reaksi melalui rangsangan yang berulang kali dengan stimulus lain. Dengan kata lain satu stimulus menjadi sebuah tanda bagi kehadiran stimulus lainnya (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini seorang anak yang awalnya biasa saja menyaksikan Ibunya bersikap marah terhadap suku bangsa tertentu namun karena sikap sang Ibu tersebut dilakukan berulang kali maka terjadilah proses classical conditioning pada diri sang anak. Sang anak yang awalnya netral menjadi ter-stimulasi untuk bersikap negatif seperti yang dilakukan Ibunya. Dalam hal ini anak memperlajari bagaimana bersikap dari orang terdekatnya. 1. Instrumental conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana respon yang menimbulkan hasil positif atau mengurangi hasil negarif yang diperkuat (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa mengambil contoh anak yang tidak memahami apa-apa tentang partai politik misalnnya maka akan bersikap sama dengan orang tuanya. Dalam perspektif behavior, tingkah laku sang anak adalah buah dari reinforcement. Dengan memberikan senyuman, pujian atau hadiah kepada anak yang telah melakukan dukungan kepada salah satu partai politik (padahal ia baru berusia 3 tahun) seperti yang menjadi dambaan orang tuanya maka akan membentuk sikap anak sama dengan sikap orang tuanya tersebut. Proses adopsi sikap seperti ini dinamakan instrumental condioning. 1. Pembelajaran melalui observasi adalah Salah satu bentuk belajar di mana individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi terhadap orang lain (Robert A Baron, 2003). Proses ini terjadi hanya dengan memperhatikan tingkah laku orang lain. Contohnya seorang anak yang melihat

ayahnya memukul Ibunya maka sikap dan perbuatan tersebut akan menurun pada anaknya meski sang ayah melarang anaknya melakukan kekerasan kepada siapapun. Dalam hal ini sang anak seringkali belajar apa yang dilakukan orang tuanya, bukan apa yang dikatakan oleh orang tuanya. 1. Perbandingan Sosial adalah Proses di mana kita membandingkan diri kita dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap kenyataan sosial benar atau salah (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa melihat bagaimana anggota masyarakat menentukan siapa pemimpinnya dalam satu komunitas di pedesaan cenderung sama karena mereka memiliki kecenderungan untuk memperbandingkan diri mereka masing-masing dengan orang lain untuk menentikan apakah pandangan dan sikapnya terhadap siapa yang akan dipilihnya benar atau salah (Festinger, 1954). Dalam masyarakat desa berbeda pandangan dan sikap dengan lingkungannya akan anggap aneh dan tidak lazim dan bahkan mendapat resiko dikucilkan. Dalam banyak kasus, sikap terbentuk dari informasi sosial yang berasal dari orang lain, dan keinginan kita sendiri untuk menjadi serupa dengan orang yang kita sukai atau hormati. Pertanyaannya adalah apakah setiap sikap kita akan menjelma menjadi perilaku kita ? Ternyata jawabnya tidak demikian. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang dikenal dengan budaya ketimuran, banyak dari sikap kita tidak menjelma menjadi perilaku kita. Seperti misalnya sikap marah kita pada pimpinan di kantor karena sistem yang kita anggap tidak adil, tidak selamanya kita apresiasikan dalam perilaku marah. Atau contoh yang paling dekat adalah sikap kita mencintai makanan berlemak dan berkoresterol tinggi tidak serta merta membuat kita membabi buta ketika berhadapan dengan makanan tersebut. Argumennya beragam mulai dari ketakutan kita mengidap penyakit diabetes, jantung maupun untuk menjaga agar tubuh kita tetap ideal dan tidak mengalami kegemukan.

PEMBENTUKAN SIKAPDiintisarikan dari: Krech, D.; Crutchfield, R.S.; & Ballachey, E.L. (1982). Individual in Society. Chapter 6: The Formation of Attitudes. Berkeley: McGraw-Hill International Book Company. Oleh Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Sikap berkembang dalam proses pemuasan keinginan Dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya dalam upayanya untuk memuaskan keinginannya, individu mengembangkan sikap. Dia mengembangkan sikap positif terhadap orang dan obyek yang memuaskan keinginannya. Individu akan mengembangkan sikap negatif terhadap obyek dan orang yang menghambat

pencapaian tujuan-tujuannya. Sikap individu dapat memberi nilai instrumental tambahan baginya. Dia mengembangkan sikapnya dalam merespon terhadap situasi masalah - dalam upayanya untuk memuaskan keinginan tertentu. Selama sikapnya itu merupakan sistem yang bertahan lama, sikapnya tersebut akan terus dipertahankannya dan mungkin akan dipergunakannya untuk memecahkan berbagai masalah - untuk memuaskan berbagai keinginannya. Misalnya, seorang anak mungkin akan mengembangkan sikap positif terhadap politik sekedar untuk menyenangkan ayahnya yang seorang politisi profesional; sebagai seorang dewasa, sikap tersebut mungkin akan dipergunakannya untuk memuaskan keinginannya akan kekuasaan, atau untuk memperoleh prestise, atau untuk mendapatkan kekayaan materi, atau untuk membantu orang lain. Peranan keinginan dalam pengembangan sikap terungkap jelas dalam kasus sikap sosial yang penting untuk dipahami, yaitu sikap purbasangka rasial (racial prejudice). Prejudice dapat berfungsi sebagai pembenaran atas sikap permusuhan patologis (pathological hostility), merasionalisasikan keinginan dan perilaku yang secara budaya tak dapat diterima yang terselubung dalam aspirasi yang sesuai dengan budaya, mengelola keinginan yang terepresi, meningkatkan perasaan kehormatan diri, melindungi self dari ancaman terhadap harga diri, membantu orang menjadi kaya, memberi penjelasan yang "logis" mengapa orang tetap miskin. -----------------------------Sikap individu dibentuk oleh informasi yang terdedah kepadanya Sikap tidak hanya dikembangkan dalam proses pemuasan keinginan; sikap juga dibentuk oleh informasi yang terdedah (exposed) kepada individu. Akan tetapi, informasi jarang merupakan faktor penentu suatu sikap kecuali dalam konteks sikapsikap lain. Informasi baru sering dipergunakan untuk membentuk sikap yang sejalan dengan sikap-sikap terkait yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, terutama karena responsif terhadap informasi, sikap itu dapat "valid" dalam arti bahwa komponen kognisi dari sikap itu dapat sejalan dengan fakta-fakta tentang obyek sikap itu. Andaikata tidak demikian, maka individu tidak akan dapat mengatasi secara efektif banyak permasalahan yang dihadapinya sebagai seorang anggota masyarakat yang kompleks. Akan tetapi,tidak semua sikap itu mencerminkan fakta secara benar. Sikap-sikap tertentu dapat berkembang sangat menyimpang dari fakta; misalnya takhyul, khayalan, purbasangka (prejudice). Karena sikap-sikap seperti ini sering mengakibatkan munculnya tindakan sosial yang menyusahkan, maka analisis tentang sebab-sebab terjadinya ketidaksejalanan antara fakta dan keyakinan tersebut perlu mendapat prioritas tinggi. Beberapa dari analisis tersebut adalah sebagai berikut: 1) Banyak sikap yang dimiliki individu kekurangan validitas karena mereka tidak terinformasi secara cukup baik. Informasi yang mereka miliki tidak memadai untuk menggambarkan fakta-fakta yang esensial. Kalaupun beberapa fakta yang dimiliki individu itu benar, tetapi kurangnya pengetahuan tentang fakta-fakta lain yang terkait dapat mendistorsi fakta-fakta yang benar tersebut. Sikap dibentuk oleh banyak fakta; dan makna satu fakta tidak pernah terlepas dari fakta-fakta lain yang terkait. Faktafakta yang terdistorsi itu dapat mengakibatkan terbentuknya keyakinan yang salah. 2) Individu yang mempunyai keinginan kuat yang harus dipenuhi dengan mengembangkan sikap-sikap yang tepat berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya

dari lingkungan kehidupannya yang kompleks, dia sangat bergantung pada berbagai otoritas untuk mendapatkan isi kognisi dari sikapnya itu. Otoritas-otoritas ini kadangkadang tidak dapat dipercaya, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sengaja bermaksud mendistorsi sikap individu itu. 3) Individu itu sendiri sering kali tidak cukup terpelajar untuk dapat mempersepsi substansi fakta yang ada; dan bila dia mempersepsi fakta-fakta itu berdasarkan pemahamannya sendiri, dia beresiko membuat persepsi yang salah. 4) Kemungkinan lainnya, bila individu itu tidak dapat memperoleh fakta yang dibutuhkannya, (baik dari otoritas maupun dari tangan pertama), karena merasa perlu mengembangkan sikap tertentu, dia akan menciptakan "fakta" sendiri. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa terjadinya takhyul, khayalan, dan purbasangka itu terkait dengan reliabilitas otoritas yang kita andalkan (guru, surat kabar, buku, televisi, radio), berbagai pengalaman yang telah kita jalani, dan tingkat pemuasan keinginan-keinginan kita yang paling penting. -----------------------------Afiliasi kelompok individu turut menentukan pembentukan sikapnya Afiliasi individu dengan berbagai kelompok memainkan peranan vital dalam pembentukan sikap-sikapnya. Baik kelompok di mana individu menjadi anggotanya maupun kelompok di mana individu tidak menjadi anggotanya - tetapi dia ingin masuk ke dalamnya - berperan penting dalam membentuk sikap-sikapnya. Tetapi individu tidak secara pasif menyerap sikap-sikap yang dianut oleh berbagai kelompok di mana dia menggabungkan diri. Sebagaimana halnya dengan kognisi, sikap berkembang secara selektif dalam proses pemuasan keinginan. Individu akan memilih di antara berbagai sikap yang ditawarkan kepadanya yang dapat memuaskan keinginannya. Dan setiap individu berafiliasi dengan banyak kelompok, yang mungkin menganut sikap-sikap yang kongruen ataupun inkongruen. Oleh karenanya, dampak pengaruh kelompok terhadap pembentukan sikap itu bersifat tak langsung dan kompleks. -----------------------------Sikap individu mencerminkan kepribadiannya Salah satu dampak pengaruh kelompok terhadap perkembangan sikap adalah terbentuknya keseragaman sikap di kalangan anggota berbagai kelompok sosial. Tetapi di dalam keseragaman itu juga terdapat keanekaragaman. Faktor utama yang mengakibatkan keanekaragaman itu adalah adanya perbedaan kepribadian di kalangan individu. Individu cenderung menerima sikap yang sesuai dengan kepribadiannya sebagai sikapnya sendiri. Hal ini berlaku untuk bermacam-macam sikap seperti etnosentrisme, sikap beragama, sikap politik, dan sikap terhadap masalah-masalah internasional. Akan tetapi, kepribadian individu bukan merupakan sistem yang terintegrasi secara sempurna, dan individu mungkin akan mengambil sikap-sikap yang inkonsisten atau kontradiktif karena adanya pengajaran dari bermacam-macam otoritas dalam bidang yang berbeda-beda, karena afiliasinya dengan kelompok-kelompok yang saling

bertentangan, dan karena adanya bermacam-macam keinginan yang bertentangan. Jadi manusia itu dapat mengabdi kepada banyak majikan. Labels: Psikologi Sosial

Ada 4 hal penting yang mempengaruhi sikap seseorang : 1. Temperamen bawaan (atau orang biasa menyebutnya karakter) 2. Lingkungan 3. Pengetahuan 4. Pengalaman Penjelasannya : 1. Ada hubungan antara temperamen bawaan kita dengan sikap kita a. Kolerik, umumnya memperlihatkan sikap tekun dan agresif b. Sanguinis, umumnya memperlihatkan sikap positifm dan selalu melihat sisi cerah kehidupan c. Melankolis, umumnya mawas diri, tetapi kadang bersikap negatif d. Plegmatis, umunya bersikap "easy going" Pertanyaannya, apakah kita "pure" seorang melankolis/kolerik/sanguinis/ plegmatis?? Jawabnya, kita semua memiliki semua temperamen dasar tersebut, cuma ada temperamen yang mendominasi, maka kita mencederung mempunyai temperamen yang mendominasi tersebut. 2. Lingkungan Hal ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi sikap kita. Lingkungan keluarga dan pergaulan yang baik cenderung akan membentuk kita untuk bersikap baik, demikian sebaliknya. Mau contoh....lihatlah kamu saat ini, sikap2 postif apa yang telah menjadi bagian dari dirimu, dan sikap2 negatif apa yang juga menjadi bagian dirimu Lihat kebelakang, telusuri .... lingkungan mana yang mempengaruhinya??? 3. Pengetahuan Semakin banyak yang kita tahu, semakin kita dapat memahami apa yang terjadi TAHU menjadi PAHAM, PAHAM membentuk SIKAP kita.. 4. Pengalaman Orang bijak mengatakan 'pengalaman adalah guru yang baik' mengapa karena dalam pengalaman kita menerapkan semua bekal point 1-3 diatas sehingga pengalaman yang baik maupun yang buruk akan membentuk sikap kita Masalahnya adalah APAKAH KITA MAU MERUBAH SIKAP KITA????

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap: 1. Pengalaman pribadi Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional 2. Kebudayaan Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan 3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers) yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting. 4. Media massa Media massa berupa media cetak dan elektronik Dalam penyampaian pesan, media massa membawa pesan-pesan sugestif yang dapat mempengaruhi opini kita Jika pesan sugestif yang disampaikan cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal hingga membentuk sikap tertentu 5. Institusi / Lembaga Pendidikan dan Agama Institusi yang berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang 6. Faktor Emosional Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego. Dapat bersifat sementara ataupun menetap (persisten/tahan lama) Contoh: Prasangka (sikap tidak toleran, tidak fair) Sumber: Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2123523-faktor-faktor-yangmempengaruhi-pembentukan/#ixzz1JBEJ5QMA

Anak Usia Prasekolah Sebaiknya Diarahkan pada Pembentukan Sikap Mendiknas Bambang Sudibyo mengingatkan bahwa anak pada usia dini tak pantas dibebani pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Pada usia prasekolah, anak-anak hendaknya justru lebih banyak diarahkan pada pembentukan sikap daripada dijejali pengetahuan dan keterampilan. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika sejumlah SD melakukan uji baca-tulis dan berhitung pada calon murid. Jika itu terus terjadi, sama saja sekolah bersangkutan menghambat layanan wajib belajar," kata Bambang di Palangkaraya, Jumat (17/3), dalam Rapat Koordinasi Pembangunan bidang Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Rapat yang antara lain mengagendakan sinergi rehabilitasi bangunan sekolah tersebut dibuka Gubernur

Kalteng Agustin Teras Narang, dihadiri bupati/wali kota se-Kalteng. Wacana utama yang mewarnai rapat tersebut adalah sejauh mana meningkatkan angka partisipasi sekolah pada semua jenjang, termasuk menggairahkan semangat belajar pada diri peserta didik sejak usia dini. Ditemui seusai acara, Mendiknas mengatakan, adalah kekeliruan mendasar jika pengelola TK, SD, dan orangtua murid terjebak paradigma intelegensi akademik semata dalam menakar tumbuh kembang anak. Saat ini memang ada kecenderungan orangtua-terutama ibu-ibu rumah tangga bangga jika melihat anaknya sudah bisa baca-tulis dan berhitung pada usia prasekolah. Padahal, kata Mendiknas, selain kecerdasan akademik masih banyak jenis kecerdasan lain yang mestinya dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam diri anak pada usia prasekolah. Prestasi seorang anak tak mesti terpaku pada kemampuan baca-tulis dan berhitung, tetapi bisa juga dilihat pada aspek kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya serta mengendalikan emosi. "Ironisnya, lembaga pengelola TK-SD yang mestinya meluruskan paradigma tersebut malah ikut mengeksploitasi kesalahkaprahan paradigma yang berkembang di masyarakat," katanya. Sebetulnya, lanjut Bambang, yang utama adalah bagaimana menumbuhkan pada anak perasaan senang berimajinasi, menggugat, dan menggali hal-hal kecil di sekitarnya. Jika anak sudah memiliki rasa senang untuk hal-hal seperti itu, maka ke depan akan tumbuh rasa senang untuk belajar. Ini artinya terjadi penumbuhan minat dan potensi akademik pada waktu yang dibutuhkan, yakni ketika tantangan dan tuntutan makin besar. Dalam kaitan dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan basil rumusan Badan Standar Nasional Pendidikan yang dijadwalkan tertuang dalam peraturan menteri, akhir Maret ini, menurut Mendiknas, kedua standar tersebut sudah memperhitungkan pengurangan beban belajar pada jenjang SD, termasuk masa-masa transisi di kelas IIII. Dalam hal ini, pembelajaran di kelas awal SD tak selamanya harus dalam bentuk formal di depan kelas, bisa juga dengan bermain di halaman sekolah dan lingkungan yang sesuai. (CAS/NAR).

Mengapa orang Jawa memiliki sikap kemayu, lembut, sopan dll dan bertingkah laku yang sering kali berbeda dengan sikapnya ? Bagaimana proses pembentukan sikap itu sendiri ? Para Psikolog Sosial menyakini bahwa sikap adalah hasil dari proses belajar. Sebagian besar psikolog sosial memfokuskan perhatiannya pada bagaimana pembentukan sikap. Namun demikian hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh orang tua kepada anaknya yakni bersifat genetik (Baron, 2003). Proses pembentukan sikap menurut Baron terjadi dengan sistem adopsi dari orang lain yakni melalui satu proses yang disebut proses pembelajaran sosial. Dalam proses inipun dilalui dalam beberapa proses lainnya antara lain : 1. Classical conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana satu stimulus, yang awalnya netral menjadi memiliki kapasitas untuk membangkitkan reaksi melalui rangsangan yang berulang kali dengan stimulus lain. Dengan kata lain satu stimulus menjadi sebuah tanda bagi kehadiran stimulus lainnya (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini seorang anak yang awalnya biasa saja menyaksikan Ibunya bersikap marah terhadap suku bangsa tertentu namun karena sikap sang Ibu tersebut dilakukan berulang kali maka terjadilah proses classical conditioning pada diri sang anak. Sang anak yang

awalnya netral menjadi ter-stimulasi untuk bersikap negatif seperti yang dilakukan Ibunya. Dalam hal ini anak memperlajari bagaimana bersikap dari orang terdekatnya. 1. Instrumental conditioning adalah Bentuk dasar dari pembelajaran di mana respon yang menimbulkan hasil positif atau mengurangi hasil negarif yang diperkuat (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa mengambil contoh anak yang tidak memahami apa-apa tentang partai politik misalnnya maka akan bersikap sama dengan orang tuanya. Dalam perspektif behavior, tingkah laku sang anak adalah buah dari reinforcement. Dengan memberikan senyuman, pujian atau hadiah kepada anak yang telah melakukan dukungan kepada salah satu partai politik (padahal ia baru berusia 3 tahun) seperti yang menjadi dambaan orang tuanya maka akan membentuk sikap anak sama dengan sikap orang tuanya tersebut. Proses adopsi sikap seperti ini dinamakan instrumental condioning. 1. Pembelajaran melalui observasi adalah Salah satu bentuk belajar di mana individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi terhadap orang lain (Robert A Baron, 2003). Proses ini terjadi hanya dengan memperhatikan tingkah laku orang lain. Contohnya seorang anak yang melihat ayahnya memukul Ibunya maka sikap dan perbuatan tersebut akan menurun pada anaknya meski sang ayah melarang anaknya melakukan kekerasan kepada siapapun. Dalam hal ini sang anak seringkali belajar apa yang dilakukan orang tuanya, bukan apa yang dikatakan oleh orang tuanya. 1. Perbandingan Sosial adalah Proses di mana kita membandingkan diri kita dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap kenyataan sosial benar atau salah (Robert A Baron, 2003). Dalam proses ini kita bisa melihat bagaimana anggota masyarakat menentukan siapa pemimpinnya dalam satu komunitas di pedesaan cenderung sama karena mereka memiliki kecenderungan untuk memperbandingkan diri mereka masing-masing dengan orang lain untuk menentikan apakah pandangan dan sikapnya terhadap siapa yang akan dipilihnya benar atau salah (Festinger, 1954). Dalam masyarakat desa berbeda pandangan dan sikap dengan lingkungannya akan anggap aneh dan tidak lazim dan bahkan mendapat resiko dikucilkan. Dalam banyak kasus, sikap terbentuk dari informasi sosial yang berasal dari orang lain, dan keinginan kita sendiri untuk menjadi serupa dengan orang yang kita sukai atau hormati. Pertanyaannya adalah apakah setiap sikap kita akan menjelma menjadi perilaku kita ? Ternyata jawabnya tidak demikian. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang dikenal dengan budaya ketimuran, banyak dari sikap kita tidak menjelma menjadi perilaku kita. Seperti misalnya sikap marah kita pada pimpinan di kantor karena sistem yang kita anggap tidak adil, tidak selamanya kita apresiasikan dalam perilaku marah. Atau contoh yang paling dekat adalah sikap kita mencintai makanan berlemak dan berkoresterol tinggi tidak serta merta membuat kita membabi buta ketika berhadapan dengan makanan tersebut. Argumennya beragam mulai dari ketakutan kita mengidap penyakit diabetes, jantung maupun untuk menjaga agar tubuh kita tetap ideal dan tidak mengalami kegemukan.

. Media Massa Menurut Azwar (1995:34) berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Adanya informasi mengenai sesuatu hal yang dimuat oleh media memberikan landasan bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Rahayuningsih (2008) mengatakan bahwa pesan sugestif yang dibawa oleh media, apabila cukup kuat akan memberikan dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Televisi khususnya dianggap memiliki pengaruh sangat besar terhadap sikap (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:319). Berbagai riset menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa membangun sikap masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang wanita (Ramdhani, 2009). e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Institusi berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang (Rahayuningsih, 2008). Menurut Azwar (1995:35) apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam keadaan seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi faktor yang menentukan sikap. f. Pengaruh Faktor Emosional Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego, dapat bersifat sementara ataupun menetap (persisten/tahan lama) (Rahayuningsih, 2008). Azwar (1995:37) mencontohkan bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka. Berbeda dengan Azwar, Garrett (dalam Abror, 1993:110) mengungkapkan ada dua faktor utama yang menentukan pembentukan dan perubahan sikap yaitu faktor psikologis dan faktor kultural. Faktor psikologis seperti motivasi, emosi, kebutuhan, pemikiran, kekuasaan dan kepatuhan, kesemuanya merupakan faktor yang memainkan peranan dalam menimbulkan atau mengubah sikap seseorang; sedangkan faktor kultural atau kebudayaan seperti: status sosial, lingkungan keluarga dan pendidikan juga merupakan faktor yang berarti yang menentukan sikap manusia. Teori serupa diungkapkan oleh Chaiken (dalam Ramdhani, 2009), ia mengemukakan bahwa sikap terbentuk dan berubah dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memungkinkan masuknya berbagai proses subjektif dalam rangka memelihara hubungan interpersonal. Dengan demikian variabel psikologis dan kultural selalu saling mempengaruhi dalam rangka menimbulkan, memelihara atau mengubah sikap. REFERENSI Abror, A, R. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana

Calhoun, J, F., & Acocella, J, R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Program Kelas Karyawan Universitas Mercu Buana Jakarta bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mempunyai waktu luang mengikuti pendidikan hari hari kerja. Program Kelas Karyawan Universitas Mercu Buana Jakarta menyelenggarakan pendidikan untuk Jenjang Pendidikan Sarjana (S1), Pascasarjana (S2) dan Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK). - Waktu kuliah dapat dipilih Kelas Sore (Senin - Jumat) atau Kelas Sabtu Minggu. - Biaya studi sangat terjangkau dan dapat diangsur sesuai kemampuan mahasiswa. - Kampus dapat dipilih yaitu Kampus Meruya atau Kampus Menteng. - Disediakan Bus Kampus antar jemput untuk daerah Bekasi, Depok dan Tangerang. - Mahasiswa yang dari luar kota disediakan Penginapan (Mess) Program Sarjana (S1): Syarat Mahasiswa: Lulusan SMU, SMK, D3, Akademi atau yang sederajat Program Studi: Manajemen, Akuntansi, Psikologi, Public Relation, Marketing Communications, Visual Communication, Broadcasting, Design Graphis, Arsitektur, Design Interior, Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Industri, Teknik Informatika, Sistem Informasi, komunikasi Program Profesi Akuntansi (PPAK): Syarat Mahasiswa: Lulusan S1 Akuntansi Program Pascasarjana (S2): Syarat Mahasiswa: Lulusan S1, D4 atau yang sederajat Program Studi: Magister Manajemen Keuangan, Magister Manajemen SDM, Magister Manajemen Pemasaran, Magister Manajemen Operasi/Produksi. Magister Manajemen Industri, Magister Manajemen Telekomunikasi, Magister Ilmu Komunikasi, Magister Akuntansi

Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif. Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap.

Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak, pandangan seseorang tentang semua itu, tidak bisa dirubah. Kita mungkin hanya dapat mengetahui dari prilaku yang bersangkutan oleh karena itu, nilai pada dasarnya adalah standar perilaku sesorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pendangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma norma yang berlaku. Dougla Graham (Golu 2003) menyatakan 4 faktor merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai nilai tertentu : Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma norma hokum. Integralist : Kepatuhan yang di dasarkan pada kesadaran dan pertimbangan pertimbangan yang rasional. Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa basi. Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri. Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, system nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan diarakhan. Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalu pembentukan sikap, yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Golu (2005) menyimpulkan tentang nilai tersebut : Nilai tidak bisa di ajarkan tetapi di ketahui dari penampilannya. Pengembangan dominan efektif pada nilai tidak bisa di pisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa di bina. Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu. Sikap adalah kecendrungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecendrungan untuk menerima atau menolak suatu objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatif). Proses Pembentukan Sikap. Pola Pembiasaan. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaa benci dari anak tersebut yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya.

Modeling. Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontohan. Salah satu karakteristik anak didik yang sadang berkembang adalah keinginan untuk malakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku perilaku yang di peragakan atau di demonstrasikan oleh orang yang menjadi idamannya. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya di milai dari perasaan kagum. Model Strategi Pembelajaran Sikap. Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui situasi ini di harapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. a. Model Konsiderasi. Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepribadian terhadap orang lain. b. Model Pengembangan Kognitif. Model ini banyak di ilhami oleh pemeikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur angsur menurut aturan tertentu. c. Tehnik Mengklarifikasikan Nilai. Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat diartikan sebagai tehnik pengajaran untuk memebantu siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di aggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada akhirnya nilai nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif. Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarnakan : Sulit melakukan control karna banyak factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya di tentukan oleh factor guru, akan tetapi juga factor lain terutama factor lingkungan. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berdeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses lama. Pengaruh kemajuan tekhnologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa di pungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum cocok dengan budaya local menerobos dalam setiap ruang kehidupan. DAFTAR PUSTAKA

Joni T. Rakaa (1980) Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : P3G. Wina Sanjaya (2008) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana.