pembentukan akhlak anak usia dini menurut ibn miskawaih

19
396 PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH Rosnita Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: [email protected] Abstrak: Selama era Reformasi, sistem pendidikan nasional sedang menghadapi sejumlah problem. Dalam aspek tujuan pendidikan nasional, misalnya, lembaga- lembaga pendidikan tampak belum bisa mencapai tujuan pendidikan nasional secara utuh. Pembentukan akhlak mulia dalam diri anak sebagai salah satu bagian dari tujuan pendidikan nasional masih menjadi persoalan. Banyak faktor penyebab problem ini, antara lain adalah kurangnya peran orangtua dan guru dalam membentuk akhlak anak sejak usia dini. Tulisan ini akan menyajikan pandangan Ibn Miskawaih tentang urgensi pembentukan akhlak anak sejak usia dini. Kajian ini menemukan bahwa seorang anak akan mampu menampilkan akhlak mulia manakala pendidik, baik orangtua maupun guru, mampu memahami kejiwaan anak sembari mulai mengajari dan membiasakan anak dengan akhlak mulia sejak kecil, serta memilih lingkungan yang sehat secara moral untuk anak tersebut. Abstract: Early Childhood Character Building in the View of Ibn Miska- waih. During the reformation era, the national education system is apparently facing some problems. On the goal of national education, for instance, educational institutions have not achieved their goals in the true sense. The noble character building in the child as part of the national education objective has yet become problem. There are a number of factors that led to these problems, some of which are the minor role of the parents and teachers in building child’s character since early childhood. This writing cast some lights on the importance of child character building since early childhood in Ibn Miskawaih’s view. This study finds that a child will be able to be acquainted with noble character when educators, whether parents or teachers, are capable of understanding the child’s psychological state and begin teaching to live with it since childhood. Also contributed to the character building success is choosing healthy environment morally for the child. Kata Kunci: akhlak, anak usia dini, Ibn Miskawaih

Upload: miqot-jurnal-ilmu-ilmu-keislaman

Post on 26-Jul-2016

225 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

396

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINIMENURUT IBN MISKAWAIH

RosnitaFakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera UtaraJl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371

e-mail: [email protected]

Abstrak: Selama era Reformasi, sistem pendidikan nasional sedang menghadapisejumlah problem. Dalam aspek tujuan pendidikan nasional, misalnya, lembaga-lembaga pendidikan tampak belum bisa mencapai tujuan pendidikan nasionalsecara utuh. Pembentukan akhlak mulia dalam diri anak sebagai salah satu bagiandari tujuan pendidikan nasional masih menjadi persoalan. Banyak faktor penyebabproblem ini, antara lain adalah kurangnya peran orangtua dan guru dalam membentukakhlak anak sejak usia dini. Tulisan ini akan menyajikan pandangan Ibn Miskawaihtentang urgensi pembentukan akhlak anak sejak usia dini. Kajian ini menemukanbahwa seorang anak akan mampu menampilkan akhlak mulia manakala pendidik,baik orangtua maupun guru, mampu memahami kejiwaan anak sembari mulaimengajari dan membiasakan anak dengan akhlak mulia sejak kecil, serta memilihlingkungan yang sehat secara moral untuk anak tersebut.

Abstract: Early Childhood Character Building in the View of Ibn Miska-waih. During the reformation era, the national education system is apparentlyfacing some problems. On the goal of national education, for instance, educationalinstitutions have not achieved their goals in the true sense. The noble characterbuilding in the child as part of the national education objective has yet become problem.There are a number of factors that led to these problems, some of which are theminor role of the parents and teachers in building child’s character since early childhood.This writing cast some lights on the importance of child character building sinceearly childhood in Ibn Miskawaih’s view. This study finds that a child will be ableto be acquainted with noble character when educators, whether parents orteachers, are capable of understanding the child’s psychological state and beginteaching to live with it since childhood. Also contributed to the character buildingsuccess is choosing healthy environment morally for the child.

Kata Kunci: akhlak, anak usia dini, Ibn Miskawaih

Page 2: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

397

PendahuluanDi Indonesia, pendidikan Islam merupakan sub-bagian dari sistem pendidikan

nasional. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan “untuk berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1 Dengan demikian, pendidikan Islamsebagai bagian dari sistem pendidikan nasional juga berupaya menggapai misi tujuanpendidikan nasional tersebut.

Berdasarkan rumusan undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuanpendidikan nasional ini mencakup tiga dimensi pendidikan, yaitu pendidikan jasmani,pendidikan akal dan pendidikan akhlak. Dikatakan mencakup pendidikan jasmani dikarena-kan tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan peserta didik yang sehat. Disebutmencakup pendidikan akal adalah karena pendidikan nasional bertujuan membentukpeserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Sedangkan dikatakan mencakup pendidikanakhlak adalah karena pendidikan nasional memiliki misi untuk melahirkan peserta didikyang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiridan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari urutan teks,tampak bahwa pendidikan nasional mengutamakan pendidikan akhlak, yang dibuktikandari pernyataan awal tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk berkembangnya potensipeserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YangMaha Esa, berakhlak mulia...” Dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional tidak hanyamemerhatikan integrasi pendidikan akal semata, tetapi juga pendidikan jasmani danpendidikan akhlak.

Akan tetapi, banyak fakta menjadi bukti kuat bahwa lembaga-lembaga pendidikandi Indonesia belum mampu mencapai tujuan pendidikan nasional secara maksimal.Kegagalan tersebut mencakup kegagalan dalam pendidikan akal, pendidikan jasmanidan pendidikan akhlak. Kegagalan dalam pendidikan akal, misalnya, dapat dilihat darikualitas sumber daya manusia Indonesia dalam skala global. Sampai tahun 2007, HumanDevelopment Index (HDI) Indonesia masih menempati posisi 107 dari 174 negara. Selainitu, World Competitiveness Yearbook menempatkan peringkat daya saing sumber dayamanusia Indonesia dari urutan ke-39 pada tahun 2007 dan menjadi urutan ke-46 dari47 negara pada akhir abad XX.2 Menurut laporan International Educational Acheivement(IEA) diketahui bahwa kemampuan membaca peserta didik Sekolah Dasar di Indonesiaberada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sedangkan kemampuan matematika

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

1Lihat Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20tahun 2003, h. 4.

2Al Rasyidin, “Isu-isu Krusial dalam Pendidikan Nasional: Belajar Memetakan Masalah,”dalam Jurnal Pemikiran Islam dan Kependidikan al-Ta’lim, Vol. XII, No. 22, 2005.

Page 3: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

398

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

peserta didik Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Indonesia berada pada urutan ke-39dari 42 negara dan kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berada pada urutan ke-10 dari 42 negara peserta.3 Berbagai data ini membuktikan bahwa tujuan nasional dalamcakupan pendidikan akal belum tercapai secara maksimal.

Kegagalan dalam bidang pendidikan jasmani dapat diketahui dari sejumlah laporanberikut. Asosiasi Toilet Indonesia pada tahun 2011 melaporkan bahwa kebersihan toiletumum di Indonesia menduduki peringkat 12 terburuk dari 18 negara di Asia, bahkanIndonesia berada di bawah Vietnam.4 Pada tahun 2010, Badan Perencanaan PembangunanNasional melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-3 dalam urutan negaradengan layanan sanitasi terburuk di Asia Tenggara. Dilaporkan bahwa sebanyak 70 jutawarga Indonesia masih membuang air sembarangan.5 Sementara itu, Kementerian Pariwisatamelaporkan bahwa tingkat kebersihan Indonesia menempati peringkat 120 dari 139negara dunia. Artinya, Indonesia adalah negara terjorok di urutan ke-19 di dunia.6 Dataini menjadi indikator kuat bahwa penyelenggaraan pendidikan jasmani di Indonesia belummenuai hasil maksimal.

Kegagalan dalam pendidikan akhlak dapat dilihat dari sejumlah fakta tentang perilakupeserta didik di Indonesia. Berdasarkan laporan penelitian Komisi Nasional PerlindunganAnak tahun 2010 diketahui bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan;93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman; 21,2 persen remaja SMP mengakupernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno.7 Selain itu,perilaku korupsi juga menjadi indikator lain bahwa pendidikan akhlak di Indonesia masihmandul. Data dari Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menyebutkan bahwaIndonesia menjadi negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik.8 LaporanTransparency International (TI) tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia masih beradasatu kelompok dengan negara-negara terkorup di dunia seperti Argentina, Meksiko, Surinamedan Tanzania. Sedangkan laporan KPK menyebutkan bahwa Kementerian Agama sebagailembaga yang mengurusi masalah keagamaan menjadi lembaga paling korup di Indonesia.9

Data-data ini menjadi bukti lain bahwa tujuan pendidikan nasional, yang salah satunyaadalah menciptakan peserta didik yang berakhlak mulia, belum tercapai secara maksimal,dan para pendidik berbagai institusi pendidikan di Indonesia masih perlu merealisasikankonsep pendidikan akhlak secara baik dan benar.

3Program Pembangunan Nasional 2000-2004 (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 166; FachruddinAzmi, “Sertifikasi Guru: Telaah Urgensinya terhadap Kompetensi dan Profesionalisme Guru Agama,”dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. XXXIII, No. 1, Januari-Juni 2009, h. 139.

4"Toilet Umum di Indonesia Tergolong Terburuk di Asia,” dalam Kompas (14 Oktober 2011).5"Sanitasi Buruk, Kerugian Triliunan,” dalam Kompas (21 Oktober 2010).6"Indonesia, Negara Terjorok ke-19 di Dunia,” dalam Kompas (13 April 2012)7"62,7 Persen Remaja SMP Tidak Perawan,” dalam Kompas (13 Juni 2010).8"Survei PERC: Indonesia Terkorup di Asia Pasifik,” dalam Kompas (22 Februari 2012).9"Indonesia Masih Negara Terkorup,” dalam Suara Karya (2 Desember 2011).

Page 4: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

399

Berdasarkan tinjauan faktual di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikannasional Indonesia belum tercapai secara maksimal. Berbagai data di atas menjadi indikatorlain bahwa bangsa Indonesia, khususnya sejumlah besar peserta didiknya, belum memilikiakhlak mulia. Perilaku para peserta didik dan pejabat pemerintahan sebagai out put institusipendidikan masih jauh dari akhlak mulia. Melihat problem ini, pihak pemerintah melaluiKementrian Pendidikan Nasional (KEMENDIKNAS) dan Kementrian Agama (KEMENAG)telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi sejumlah problem pendidikanini, meski hasilnya belum menggembirakan.

Tampaknya, kegagalan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan pendidikannasional adalah belum adanya sinergi antara pendidikan keluarga, pendidikan sekolahdan pendidikan masyarakat. Dalam tataran praktik, pemerintah masih hanya mengandalkanpendidikan sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, padahal pendidikan sekolahmembutuhkan peran pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Kegagalan pendidikanformal seperti sekolah dan madrasah sejauh ini, salah satunya, adalah karena pendidikaninformal seperti lingkungan keluarga belum maksimal dalam menjalankan perannya.

Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional akan berhasil tercapai secara maksimalmanakala pendidik dalam keluarga maupun dalam lingkungan sekolah, baik orangtuamaupun para guru, telah memahami dan mampu mengaplikasikan teori pembentukanakhlak bagi anak usia dini. Teori ini penting diketahui bahwa akhlak anak mulai dan harusdibentuk bukan ketika mereka beranjak remaja apalagi dewasa, melainkan ketika merekamasih berusia masih dini.

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 28 telah disebutkan bahwa pendidikananak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usiadini bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dalamhal ini, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usiadini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman PenitipanAnak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini diselenggarakanbagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun, dan bukan merupakan prasyarat untukmengikuti pendidikan dasar.10

Perilaku menyimpang anak bangsa selama ini lebih dikarenakan oleh belum maksimal-nya implementasi teori pembentukan akhlak anak sejak usia dini oleh orangtua danguru. Pada dasarnya, teori tersebut telah dikenalkan sejak lama oleh salah seorang filosofakhlak Muslim, yakni Ibn Miskawaih. Tulisan ini akan mencoba untuk menganalisis pemikir-annya tentang teori pembentukan akhlak mulia bagi anak usia dini. Harapannya, teoriini mampu dipahami dan diaplikasikan secara nyata oleh pendidik Muslim di Indonesia,

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

10Lihat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, h. 9, 30.

Page 5: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

400

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

baik orangtua maupun guru, dalam rangka membentuk akhlak mulia anak usia dini, sebagaisalah satu dari agenda tujuan pendidikan nasional.

Ibn Miskawaih: Filosof Akhlak MuslimDalam dunia pemikiran Islam, menurut Nasr dan Amin, Ibn Miskawaih dikenal sebagai

penulis karya filsafat etika terkemuka,11 meski tidak banyak ahli mengikuti dan melanjutkanusaha Ibn Miskawaih dalam mengembangkan teori akhlak.12 Padahal, teorinya tentangakhlak sangat bagus dan terus menjadi inspirasi para ahli pendidikan Islam. Rajendra Prasadbahkan mensejajarkan Ibn Miskawaih dengan para filosof etika terkemuka seperti al-Fârâbî, Ibn Sînâ dan al-Thûsî.13 Apresiasi ini menunjukkan kebesaran Ibn Miskawaihdalam bidang akhlak.

Ibn Miskawaih dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H/932 M,14 dan wafatdi Isfahan, Iran, pada 9 Shafar 421 H15/1030 M.16 Ia adalah seorang penganut mazhabSyi‘ah. Mazhab ini adalah mazhab yang cukup berkembang di Persia sejak era DinastiBuwaihi, bahkan sampai sekarang.

Ibn Miskawaih menghabiskan waktu muda dengan mempelajari karya-karya dalamberbagai bidang. Ia belajar sejarah dengan mengkaji kitab Tarîkh al-Thabârî di bawah asuhanAbû Bakar Ahmad ibn Kâmil al-Qâdhî (w. 960 M). Dalam bidang filsafat, ia berguru kepadaIbn al-Khammar yang menguasai karya-karya Aristoteles17 dan al-Hasan bin Siwâr yangmumpuni dalam bidang filsafat dan kedokteran.18 Para gurunya tersebut dikenal sebagaimufasir terkemuka ajaran Aristoteles.19 Ia juga diketahui menguasai ilmu bahasa, ilmukedokteran, ilmu fikih, hadis, matematika, musik, dan ilmu militer.20 Dengan demikian,ia mumpuni dalam banyak bidang, meskipun ia lebih dikenal sebagai pakar filsafat akhlak.

11Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: StateUniversity of New York Press, 2006), h. 112, 139; Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj.Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 149.

12Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Filsafatnya (Yogyakarta: Nur Cahaya,1988), h. 4.

13Rajendra Prasad (ed.), A Historical-Developmental Study of Classical Indian Philosophyof Morals (New Delhi: Center for Studies in Civilizations, 2009), h. 518.

14M. Luthfi Jum‘ah, Tarîkh Falsafah al-Islâm (Mesir: t.p., 1927), h. 304.15Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ibn Miskawaih,” dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi

Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 162.16Muhammad Iqbal, Metafisika Persia, terj. Joebar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), h. 50.17Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56.18Abdul Aziz Dahlan, “Filsafat,” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 195-196; MuhsinLabib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 110.

19Ary Nilandari, Memahat Kata Memugar Dunia (Bandung: MLC, 2005), h. 43.20Ahmad Amîn, Zuhr al-Islâm, Juz II (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arâbî, 1969), h. 66.

Page 6: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

401

Ibn Miskawaih mengenyam pendidikan ketika dunia Islam mengalami kemajuanpesat, dan karya-karya berbagai peradaban sangat mudah diperoleh. Selama belajar, iamenelaah seluruh karya filsafat dari berbagai peradaban seperti Yunani, Persia, India danRomawi.21 Tidak salah bila berbagai pemikiran tokoh-tokoh dari berbagai peradaban itumemberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Ibn Miskawaih, khususnya pemikirannyadalam bidang akhlak. Dalam bidang ini, ia mengkombinasikan pemikiran Plato, Aristoteles,dan Galen dengan al-Qur‘an dan hadis.22

Selama kehidupannya, Ibn Miskawaih hidup dalam lingkungan dinasti Buwaihi,bahkan mendapat posisi terhormat. Ia pernah bekerja kepada al-Muhallabi, seorang wazirpangeran Buwaihi, Mu‘iz al-Daulah di Baghdad.23 Selain itu, ia cukup akrab dengan Ibnal-‘Amîd di Ray, wazir dari Rukn al-Daulah, salah seorang saudara Mu’iz al-Daulah. Ibnal-‘Amîd adalah tokoh sastra terkenal dan pustakawan. Pada saat itu, Ibn al-‘Amîd diangkatmenjadi wazir oleh Rukn al-Daulah. Akibat kedekatan dengan Ibn al-‘Amîd, Ibn Miskawaihmendapat kedudukan terhormat di ibukota pemerintahan dinasti Buwaihi tersebut.24 Padatahun 970 M, al-‘Amîd wafat, lalu Abû al-Fath diangkat menjadi wazir. Ibn Miskawaihtetap memeroleh kedudukan terhormat sampai Abû al-Fath wafat tahun 976 M. Akan tetapi,jabatan wazir diambil alih oleh oposisi Abû al-Fath, yakni al-Shahib ibn ‘Abbad. Akibatnya,Ibn Miskawaih tersingkir dan segera meninggalkan Ray dan berangkat menuju Baghdaduntuk bekerja kepada penguasa Dinasti Buwaihi, yakni ‘Adhud al-Daulah. Pada masa ini,Ibn Miskawaih diangkat sebagai bendahara dinasti Buwaihi, bahkan sampai pada kekuasaanShamsham al-Daulah (w. 998 M) dan Baha’ al-Daulah (w. 1012 M).25

Selama periode ini, Ibn Miskawaih menyaksikan para petinggi dinasti saling berebutpengaruh, dan berkuasa tanpa memperhatikan akhlak. Ia menyaksikan bahwa kemajuandinasti Buwaihi dalam bidang ilmu dan teknologi tidak diimbangi dengan kemajuan danintegritas akhlak. Ia sadar bahwa semua ini terjadi karena lemahnya sistem politik, kurangnyaperhatian penguasa terhadap akhlak, sehingga akhlak masyarakat ikut mengalami dekadensidibuktikan merajalelanya kejahatan dan kemaksiatan. Tampaknya, kondisi ini membuatIbn Miskawaih mengambil peran sebagai agen perubah kondisi masyarakat dengan menuliskarya-karya dalam bidang akhlak.

Karenanya, meski disibukkan oleh berbagai aktifitas dalam lingkungan istana, IbnMiskawaih tetap produktif menulis hingga menghasilkan banyak karya seperti Tahdzîbal-Akhlâq, Tajârib al-Umâm, Uns al-Farid, al-Fauz al-Akbâr, al-Fauz al-Ashgâr, al-Jami‘, al-

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

21SM. Ziauddin Alawi, Muslim Educational Thought in Middle Ages (New Delhi: AdamPublishers and Distributors, 1988), h. 30.

22Ibid.23Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ibn Miskawaih,” h. 162.24Oliver Leaman, “Ibn Miskawaih,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),

The History of Islamic Philosophy (London-New York: Kegal Paul, 2003), h. 252.25Labib, Para Filosof, h. 110-111.

Page 7: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

402

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Siyâ’, Tartîb al-Sa‘âdah, al-Mustaufa, Kitab al-Asyribah, Ajwibah wa As’ilah fî al Nafs waal-‘Aql, Risâlah fî al-Lazzah wa al-Alam fî Jauhar al-Nafs, al-Jawâb fî al-Masâ’il al-Tsalas,Risâlah fî Jawâb fî Su’al ‘Alî ibn Muhammad Abû Hayyan al-Shûfî fî Haqîqah al-‘Aql danThaharah al-Nafs.26 Menurut Watt, buku-buku Ibn Miskawaih banyak digunakan olehpara tokoh belakangan seperti al-Ghazâlî,27 seorang yang menulis kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.Gagasan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak terdapat dalam kitab Tahdzîb al-Akhlâq.

Anwar Jundi mengungkap bahwa Ibn Miskawaih ahli dalam banyak bidang, antaralain, sejarah, filsafat, kimia dan logika. Sedangkan keahliannya dalam bidang sastra danprosa sangat memukai para pujangga semasanya.28 Kemampuannya dalam bidang kedokteranjuga mengimbangi kemampuannya dalam bidang kedokteran.29

Tujuan Pendidikan AkhlakIbn Miskawaih menjabarkan konsep pendidikan akhlak secara luas dalam karyanya

yang berjudul Tahzib al-Akhlâq. Dalam kitab tersebut, ia menegaskan bahwa akhlak adalahsuatu keadaan jiwa dan keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir dan diper-timbangkan terlebih dahulu.30 Ia membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis, yaitualamiah dan bertolak dari watak, dan tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Menurutnya,akhlak itu alami sifatnya, namun akhlak juga dapat berubah cepat atau lambat melaluidisiplin serta nasehat-nasehat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karenadipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus akanmenjadi akhlak.31 Dengan demikian, sesuai dengan definisi tersebut, akhlak anak usiadini bertolak dari wataknya dan ia dapat berubah melalui latihan dan pembiasaan.

Berdasarkan karya Ibn Miskawaih, setidaknya ada tiga tujuan pendidikan akhlak.Pertama. Mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berperilakuterpuji dan sempurna sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia. Kedua. Mengangkat

26Abdurrahman Badawi, “Miskawaih,” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy,Vol. I (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963), h. 469-470; Corbin, History of Islamic Philosophy,h. 176.

27William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: EdinburghUniversity Press, 1985), h. 1985), h. 70-71.

28Anwar Jundi, Pancaran Pemikiran Islam, terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1985),h. 131.

29Muhammad Syarif Khan dan Muhammad Anwar Salim, Muslim Philosophy and Philosophers(New Delhi: SB Nangia, 1994), h. 67.

30Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, trans. CK Zurayk (Beirut: American UniversityPress, 19680, h. 6-7; Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama TentangFilsafat Etika, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1997), h. 56; Tim Pengembang Ilmu Pendidikan,Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 21; Alawi, MuslimEducational, h. 31.

31Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, h. 6-7.

Page 8: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

403

manusia dari derajat yang paling tercela, derajat yang dikutuk oleh Allah SWT. Ketiga.Mengarahkan manusia menjadi manusia yang sempurna (al-insân al-kâmil).32 Dalamkonteks ini, tujuan pendidikan akhlak anak usia dini adalah menumbuhkan dan membentukperilaku mulia dalam diri anak agar dapat menjadi manusia sempurna, sehingga anakdapat menjadi manusia mulia di hadapan Allah SWT.

Ibn Miskawaih telah menegaskan bahwa kesempurnaan manusia memiliki hierarki.Kesempurnaan manusia terdiri atas dua macam: kesempurnaan kognitif dan kesempurnaanpraktis. Kesempurnaan kognitif akan terwujud apabila manusia mendapatkan banyakilmu sehingga pandangan dan kerangka berpikir manusia menjadi benar. Sedangkankesempurnaan praktis ialah kesempurnaan akhlak. Dalam hal ini, kesempurnaan kognitifberkenaan dengan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpakesempurnaan praktis, dan kesempurnaan praktis tidak lengkap tanpa kesempurnaanteoritis, karena Islam menghendaki ilmu sebagai permulaan dan perbuatan sebagai akhir.Dalam hal ini, kesempurnaan manusia terwujud manakala kesempurnaan teoritis danpraktis saling mendukung.33 Dalam perspektif ini, kesempurnaan anak usia dini sebagaiseorang manusia terletak pada kemampuan anak mencapai kesempurnaan kognitif (ilmu)dan kesempurnaan praktis (akhlak). Artinya, ilmu dan akhlak menjadi indikator kesem-purnaan seorang anak.

Konsep Ibn Miskawaih tentang manusia sempurna (al-insân al-kâmil) dapat dilacakdalam kitab Tahzîb al-Akhlâq. Ia menulis bahwa manusia terdiri atas dua unsur: tubuh danjiwa. Tubuh manusia terdiri atas materi dan bentuk. Tubuh manusia dan segala potensinyamemeroleh ilmu pengetahuan melalui panca indera. Karenanya, tubuh membutuhkaninderanya. Selain itu, tubuh juga memiliki keinginan terhadap hal-hal yang bersifat inderawi.Apabila keinginan tersebut terpenuhi, maka kekuatan tubuh akan bertambah dan tubuhakan menjadi sempurna. Sementara itu, jiwa tidak cocok dengan hal-hal material.Apabila jiwa berhasil menjauhi hal-hal material, maka ia akan semakin sempurna. Dalamhal ini, jiwa memiliki kecenderungan kepada selain hal-hal material. Jiwa mendambakansesuatu hal yang lebih mulia dari hal-hal material. Jiwa ingin menjauhkan diri dari segalakenikmatan jasmani, dan berharap memeroleh kenikmatan akal. Kesenangan jiwa adalahbahwa ia ingin mengetahui hakikat Ketuhanan.34 Dengan demikian, secara substansi, tubuhdan jiwa berbeda, dan keduanya memiliki perbedaan kecenderungan.

Dengan kata lain, menurut Ibn Miskawaih, karena manusia terdiri atas dua unsur(tubuh dan jiwa), maka kebahagiaan meliputi kedua unsur tersebut. Artinya, kebahagiaanterdiri atas dua tingkat, yakni kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan jiwa. Menurutnya,kebahagiaan seorang manusia berada pada salah satu dari dua tingkatan tersebut. Pertama.

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

32Ibid, h. 60-63.33Ibid, h. 64-65.34Ibid., h. 35-37; Alawi, Muslim Educational, h. 29.

Page 9: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

404

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Ketika manusia itu berada pada tingkatan hal-hal jasmani menyatu dengan keadaan-keadaanrendah mereka dan berbahagia di dalamnya. Keadaan-keadaan rendah ini diartikan sebagaisegala hal yang dapat dijangkau oleh indera. Kedua, ketika manusia itu mencari hal-halmulia, berupaya mendapatkan, menyukai, dan merasa puas dengannya. Ketika manusiaitu berada pada tingkatan ruhani, dekat dengan hal-hal spiritual, dan berbahagia di dalamnya.Bersamaan dengan ini, manusia mengamati dan menelaah hal-hal material, mengambilpelajaran darinya, merenungkan tanda-tanda kebesaran Ilahi dan bukti-bukti kearifan,mengikuti contoh-contohnya, mengaturnya, melimpahkan bermacam-macam kebaikanpadanya, dan memandunya memeroleh kebaikan demi kebaikan sebatas kesanggupannya.Jadi, seorang manusia akan bahagia bila ia berada pada salah satu dari dua tingkatan itu.35

Tetapi, menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia itu terletak pada kebahagiaanjiwa, bukan kebahagiaan jasmani.36 Dalam hal ini, pendidik, baik orangtua maupun guru,bertugas membimbing anak agar meraih kebahagiaan jiwa dengan melatih untuk tidaktergantung kepada dan mulai meminimalisir kebahagiaan jasmani, sebab akhlak muliaakan tumbuh sepanjang anak hanya lebih memerhatikan kebahagiaan jiwa daripadakebahagiaan jasmani.

Ibn Miskawaih membagi kekuatan jiwa seorang manusia menjadi tiga jenis: kekuatanakal (al-quwwah al-nâthiqah/the rational faculty), kekuatan syahwat (al-quwwah syahwiyyah/the concupiscent faculty), dan kekuatan ghadab (al-quwwah al-ghadabiyyah/the irasciblefaculty). Al-quwwah al-nathiqah adalah sebuah fakultas yang berkaitan dengan berpikirdan mempertimbangkan sesuatu. Fakultas ini dinamakan fakultas raja dan fakultas inimenggunakan otak sebagai sarananya. Sementara al-quwwah syahwiyyah adalah sebuahfakultas yang berkaitan dengan marah, berani, ingin berkuasa, menghargai diri, danmenginginkan kehormatan. Fakultas ini dinamakan fakultas binatang dan organ tubuhyang digunakannya adalah hati. Kemudian, al-quwwah al-ghadabiyyah adalah sebuahfakultas yang berkenaan dengan nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnyamakanan dan minuman, serta bersetubuh. Fakultas ini dinamakan fakultas binatang buasdan menggunakan organ jantung adalah sarananya.37 Para pendidik harus memahamidengan benar bahwa anak usia dini sebagai manusia memiliki ketiga kekuatan jiwa inidan mereka harus mengetahui fungsi serta kekuatan dan kelebihan setiap kekuatan,karena hal tersebut sangat berkaitan dengan pembentukan akhlak anak.

Ibn Miskawaih menghendaki jiwa anak menjadi jiwa sempurna. Kesempurnaanjiwa akan tersebut terletak pada kecenderungannya kepada jiwa itu sendiri, yakni ilmu,dan tidak cenderung pada keinginan jasmani. Kebajikan jiwa diukur dari sejauh manajiwa anak mengupayakan kebajikan dan menginginkannya. Kesempurnaan ini akanterus meningkat ketika jiwa anak memperhatikan jiwanya sendiri serta berusaha keras

35Ibid, h. 95-97.36Ibid, h. 64-65.37Ibid, h. 43-44; Alawi, Muslim Educational Thought, h. 30.

Page 10: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

405

menyingkirkan segala rintangan bagi pencapaian tingkat kesempurnaan ini. Tetapi, IbnMiskawaih mengakui bahwa pencapaian tingkat kesempurnaan ini memiliki banyakpenghambat. Penghambat ini tidak lain adalah segala hal yang bersifat jasmani dan inderawi.Apabila penghambat ini berhasil dihadapi oleh jiwa anak sehingga suci dari segala perbuatantercela, maka kesempurnaan akan tercapai.38 Jadi, kesempurnaan jiwa anak akan terwujudmanakala jiwanya telah suci dari nafsu jasmani. Dengan begitu, pendidik harus membimbingdan memotivasi anak agar cenderung kepada ilmu dan kecenderungan tersebut hanyaakan muncul manakala anak tidak cenderung kepada kenikmatan jasmani. Karenanya,pendidik harus mulai sejak dini mengurangi ketergantungan anak terhadap kenikmatanjasmani karena ketergantungan tersebut akan mengurangi anak cinta terhadap ilmu,dan pada akhirnya, jiwa anak tidak akan mencapai kesempurnaan. Jadi, pendidik harusmulai menyucikan jiwa anak dari nafsu jasmani dan hal ini menjadi syarat mutlak pem-bentukan akhlak anak.

Menurut Ibn Miskawaih, jiwa anak akan bisa menjadi sempurna manakala jiwanyaberhasil melahirkan kebajikan-kebajikan. Menurutnya, tiga kekuatan jiwa manusia,yakni al-quwwah al-nâthiqah, al-quwwah syahwiyah, dan al-quwwah ghadâbiyah, mampumelahirkan berbagai sifat keutamaan, asalkan al-quwwah al-nâthiqah mampu menjadipemimpin dari dua kekuatan jiwa lainnya (al-quwwah syahwiyah dan al-quwwah ghâdabiyah).Adapun jumlah keutamaan tersebut adalah sama dengan jumlah kekuatan jiwa manusiadan kebalikan dari keutamaan-keutamaan ini. Menurut Ibn Miskawaih, ketika jiwa berpikircenderung kepada ilmu, maka jiwa ini akan mencapai sikap arif. Kemudian, ketika aktifitasjiwa kebinatangan dikendalikan oleh jiwa berpikir, dan jiwa itu tidak tenggelam dalammemenuhi keinginannya sendiri, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sederhanayang diiringi oleh kebajikan dermawan. Sedangkan ketika jiwa amarah memadai danmematuhi segala aturan yang ditetapkan oleh jiwa berpikir serta tidak bangkit pada waktuyang tidak tepat, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi kebajikansikap berani. Dari ketiga kebajikan itu, akan muncul satu kebajikan lain sebagai pelengkapdan penyempurna tiga kebajikan itu, yakni kebajikan sifat adil dan sikap adil ini berhubungandengan tepat antara kebajikan satu dengan kebajikan lainnya.39 Dengan demikian, kesem-purnaan jiwa manusia terletak pada sejauh mana jiwa manusia memunculkan empatkeutamaan (kebajikan) manusia, yakni sikap arif, sederhana, berani, dan adil. Dalam konteksini, maka pendidik harus melatih sejak dini kekuatan akal anak sehingga akal menjadipemimpin dan pengendali jiwa kebinatangannya. Hal ini dapat dilakukan dengan caramembiasakan anak untuk cenderung dan cinta kepada ilmu sejak dini sehingga anak akanmulai menjadi arif, sederhana, berani dan adil.

Menurut Ibn Miskawaih, keempat keutamaan ini memiliki lawannya. Lawan darikeempat keutamaan ini ada empat, yakni bodoh, rakus, pengecut dan lalim. Keempat

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

38Ibid, h. 39.39Ibid, h. 44.

Page 11: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

406

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

sifat ini dapat dikatakan sebagai penyakit jiwa dan menimbulkan banyak kepedihan sepertiperasaan takut, sedih, marah, berbagai jenis cinta, dan keinginan.40 Dengan melatih akalanak, dan memulai serta terus menanamkan kecintaan kepada ilmu ke dalam dirinya,dengan melatih anak untuk mengurangi dan menikmati nafsu jasmani, maka anak akanmemiliki keutamaan-keutamaan tersebut dan menghancurkan lawan-lawan dari semuakeutamaan tersebut.

Dalam kitab Tahzîb al-Akhlâq, Ibn Miskawaih telah memberikan definisi dari empatkeutamaan tersebut, dan berbagai macam dari keempat keutamaan itu. Pertama. Kearifanadalah keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui. Kearifan ini memiliki bagian-bagianseperti pintar, ingat, berpikir, cepat memahami dan benar pemahamannya, jernih pikiran,serta mampu belajar dengan mudah. Kedua. Sederhana adalah keutamaan dari bagian hawanafsu. Ketiga. Keberanian adalah keutamaan jiwa amarah. Keberanian ini dibagi menjadibeberapa bagian, yakni besar jiwa, ulet, tegar, tabah, menguasai diri, perkasa serta uletdalam bekerja. Sederhana ini memiliki bagian-bagian yakni rasa malu, tenang, dermawan,integritas, puas, loyal, berdisiplin diri, optimis, kelembutan, anggun berwibawa dan warak.Keempat. Keadilan adalah kebajikan jiwa yang timbul akibat menyatunya tiga kebajikantersebut. Keadilan ini dibagi atas beberapa bagian, yakni bersahabat, bersemangat, sosial,silaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam kerjasama, jeli dalam memutuskanmasalah, cinta kasih, beribadah, jauh dari rasa dengki, memberi imbalan terbaik meskisedang ditimpa keburukan, berpenampilan lembut, berwibawa dalam segala bidang,menjauhkan diri dari bermusuhan, tidak menceritakan hal yang tidak layak, mengikutiorang-orang yang berkata dengan benar, tidak bicara tentang sesama Muslim bila tidakada kebaikannya, menjauhi diri dari kata-kata buruk, tidak suka banyak bicara apalagiuntuk menjatuhkan seseorang, tidak peduli pada perkataan orang kikir waktu berbicaradi depan umum, mendalami masalah seseorang yang perlu dibantu, dan mengulangpertanyaan bila belum jelas.41 Dengan demikian, tiga kekuatan jiwa manusia tersebutmampu melahirkan empat keutamaan dan turunan dari empat keutamaan tersebutmanakala kekuatan berpikir menjadi pengendali dua kekuatan jiwa lain. Artinya, pendidikharus mampu mendidik kekuatan berpikir (akal) anak agar mampu mengendalikan duakekuatan jiwa anak lainnya.

Ibn Miskawaih menegaskan bahwa berbagai keutamaan tersebut juga tidak akanbisa dicapai manakala anak diasingkan dari masyarakat. Sebab, keutamaan-keutamaanitu hanya akan diperoleh manakala anak tersebut bersosialisasi dengan masyarakat. Anakmemerlukan sebuah komunitas terbaik agar ia bisa mencapai kebahagiaan. Seorang anakharus bergaul dengan manusia lain sebab mereka akan dapat melengkapi eksistensinyaserta kemanusiaannya. Tanpa berinteraksi dengan suatu masyarakat, maka anak itu

40Ibid, h. 45.41Ibid, h. 45-50.

Page 12: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

407

tidak akan mampu memiliki dan membiasakan keutamaan.42 Tetapi, anak harus beradadalam masyarakat yang berakhlak, karena hal tersebut dapat menjadi sarana bagi anakuntuk mengenal akhlak mulia, apalagi setiap anak suka meniru orang dewasa.

Pembentukan Akhlak Anak Usia DiniDalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 pasal 28 menjelaskan bahwa pendidikan

anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar baik melalui jalur pendidikanformal (sekolah), nonformal (masyarakat), maupun informal (keluarga). Pendidikan anakusia dini ini diselenggarakan untuk anak, sejak lahir sampai berusia enam tahun.43 Denganpendidikan anak usia dini ini, diharapkan seluruh potensi anak dapat berkembang denganbaik, baik potensi jasmani maupun ruhaninya.

Dalam periode ini, pembentukan akhlak seorang anak sangat penting. KegagalanSejumlah lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang salahsatunya adalah akhlak mulia, adalah karena pendidikan keluarga gagal dalam menjalan-kan perannya dalam menanamkan akhlak mulia sejak dini. Semestinya, akhlak muliamulai diajarkan dan dibiasakan oleh anak sejak berusia dini, bukan ketika anak tersebutsudah beranjak dewasa.

Dalam hal ini, Ibn Miskawaih telah memberikan pedoman-pedoman tentang pendidikanakhlak anak berusia dini. Menurutnya, seorang pendidik, baik orangtua maupun guru,harus memahami bahwa jiwa seorang anak ibarat sebagai mata rantai antara jiwa binatangdengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak, jiwa binatang berakhir, sementarajiwa manusia mulai muncul. Karenanya, anak-anak harus dididik mulai dengan menye-suaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaknidaya keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididikdalam hal adab makan, minum dan berpakaian. Sementara daya berani diterapkan untukmengarahkan daya marahnya. Sedangkan daya berpikir dilatih dengan menalar, sehinggaanak akan dapat mengendalikan berbagai tingkah laku.44

Ibn Miskawaih menyatakan bahwa seorang pendidik, baik orangtua maupun guru,harus menyadari bahwa akhlak anak-anak muncul sejak awal pertumbuhannya. Merekatidak akan menutupi setiap perilakunya secara sengaja dan sadar, sebagaimana dilakukanorang dewasa. Seorang anak terkadang merasa malas untuk memperbaiki akhlaknya.Akhlak mereka juga bervariasi, mulai dari yang berkarakter keras sampai yang berkarakterpemalu. Kadang-kadang, akhlak anak-anak itu baik, tetapi ada juga yang berakhlak burukseperti kikir, keras kepala dan dengki. Keberadaan berbagai karakter anak ini menjadi bukti

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

42Ibid, h. 54; Khan dan Salim, Muslim Philosophy, h. 68.43Lihat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, h. 9, 30.44Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, h. 60; Alawi, Muslim Educational Thought,

h. 32-33.

Page 13: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

408

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

bahwa anak-anak memiliki tingkatan karakter yang tidak sama. Dengan kata lain, sebagianmereka tanggap dan sebagian lainnya tidak, sebagian mereka lembut dan sebagian lagi keras,sebagian mereka baik dan sebagian lain buruk, dan sebagian mereka berada pada posisitengah di antara dua kubu ini. Sebagai pendidik, maka orangtua dan guru harus mendisiplin-kan akhlak mereka. Jika berbagai tabiat buruk diabaikan, tidak didisiplinkan bahkantidak dikoreksi, maka mereka akan tumbuh berkembang mengikuti tabiat buruknyatersebut. Selama hidupnya, kondisi akhlaknya tidak akan berubah dan mereka akan me-muaskan diri sesuai dengan selera tabiatnya.45 Dengan demikian, pendidik mesti mendisiplin-kan akhlak anak sejak usia dini, sebab pembiaran terhadap tabiat anak akan membuatmereka terbiasa dengan tabiat buruk.

Dalam hal ini, seorang pendidik harus menyadari bahwa jika seorang anak sudahdididik dengan kenikmatan jasmani sejak usia dini, sehingga jiwa dan raganya telah terbiasadengan hal-hal yang bersifat jasmani itu, maka hal ini sangat membahayakan anak.Pendidik hendaknya mengajari anak bahwa semua kesenangan dan kenikmatan jasmanitersebut sebagai kesengsaraan dan kerugian, bukan sebagai kebahagiaan dan keberun-tungan. Pendidik hendaknya mengajari anak agar menjauhkan dirinya dari kenikmatanjasmani secara perlahan-lahan.46

Dengan demikian, seorang pendidik harus mampu memahami jiwa anak-anak secaraumum. Pendidik harus paham bahwa seorang anak memiliki sifat pemalu. Ia akan menun-dukkan kepalanya ke bawah dan takut, serta tidak berani menatap wajah orang dewasa.Sebab mereka sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk. Rasa malunya itu meru-pakan pengekangan diri yang terjadi karena anak itu khawatir jika ada keburukan yangmuncul dari dalam dirinya. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan dan cocok untukdibina.47 Bila demikian, pendidik harus mulai membina dan membiasakan anak denganakhlak mulia.

Kemudian, Ibn Miskawaih memberikan pedoman bahwa syariat agama dapat menjadifaktor penting lain untuk meluruskan akhlak seorang anak. Syariat agama dapat mem-biasakan anak untuk melakukan perbuatan yang baik. Syariat agama mampu memper-siapkan diri anak untuk menerima kebijaksanaan, mengupayakan kebajikan dan mencapaikebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang benar. Sebagai pendidik, orangtua danguru harus mendidik anak-anak agar selalu menaati syariat agama agar mereka memilikitingkah laku yang baik. Hal ini dilakukan melalui nasehat, serta pemberian ganjarandan hukuman. Jika anak telah membiasakan diri dengan perilaku ini, dan kondisi initerus berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari perilaku mereka itu.48 Dalam

45Ibid, h. 50.46Ibid, h. 70-71.47Ibid, h. 72.48Ibid, h. 59-60.

Page 14: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

409

hal ini, seorang pendidik hendaknya mendidik anak untuk senantiasa mengikuti syariatagama agar terbiasa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, membaca buku-bukuakhlak agar akhlak mulia terinternalisasi secara baik dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional,dan mempelajari matematika sehingga terbiasa dengan perkataan dan argumentasi yangbenar dan tepat.

Ibn Miskawaih memberikan pedoman lain bahwa seorang pendidik, baik orangtuamaupun guru, harus mengetahui kekurangan-kekurangan tubuh dan jiwa dengan berbagaikebutuhannya, agar dapat melenyapkan berbagai kekurangan tersebut dalam diri anakserta dapat memperbaikinya. Seorang pendidik harus mengetahui kekurangan-kekuranganjasmani dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk dapat melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan-kebutuhan jasmani seorang anak antaralain makanan, minuman dan pakaian. Karena itu, seorang pendidik harus mengarahkananak-anaknya agar memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan arif. Pendidik harus meng-ajarkan anak agar jangan melampaui batas dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalamkonteks jiwa, maka seorang pendidik harus mengetahui kekurangan-kekurangan jiwadan kebutuhan-kebutuhan dasarnya untuk dapat melenyapkan berbagai kekurangantersebut lalu memperbaikinya. Kebutuhan-kebutuhan jiwa tersebut antara lain penge-tahuan, mendapatkan objek-objek pikiran, membuktikan kebenaran pendapat, dan menerimakebenaran. Seorang pendidik harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa anakini, serta mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.49

Dalam hal ini, menurut Ibn Miskawaih, seorang pendidik juga harus mampu men-jauhkan diri anak dari berbagai penyakit jiwa. Pendidik harus mampu mengidentifikasipelbagai penyakit jiwa serta cara penyembuhannya. Penyakit-penyakit jiwa itu tidak lainadalah lawan dari kebajikan-kebajikan jiwa. Penyakit-penyakit jiwa itu adalah sepertibodoh, rakus, pengecut, dan lalim. Ibn Miskawaih membagi lagi kejahatan dan kehinaanmenjadi delapan bagian. Jumlah ini dua kali jumlah kebajikan yang empat. Kedelapanbagian itu adalah sembrono, pengecut, memperturutkan hawa nafsu, bodoh, tolol, lalim,dan berwatak budak. Kedelapan penyakit jiwa anak ini, sebagai tanda keburukan jiwa,sangat bertolak belakang dengan empat kebajikan sebagai tanda kesehatan jiwa.50

Ibn Miskawaih menegaskan bahwa penyakit jiwa manusia memiliki bentuk-bentukyang lain. Pertama. Sifat marah. Penyebab marah ini adalah sombong, cekcok, mental peminta,canda tawa, mengolok-olok, mengejek, berkhianat, suka kemasyhuran dan bersaing diri.Sifat marah ini menimbulkan hal-hal buruk seperti menyesal, mengharap dihukum cepatatau lambat, perubahan tempramen serta kepedihan. Sifat marah ini dapat disembuhkandengan cara menyingkirkan sebab-sebab marah, melemahkan daya marah, mencabut

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

49Ibid, h. 669-67050Ibid, h. 162-195.

Page 15: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

410

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

substansi marah dan melindungi diri dari akibat-akibatnya. Selain itu, sifat marah dapatdisembuhkan melalui cara menghentikan sikap melampaui batas.

Kedua. Sifat takut. Sifat ini disebabkan oleh sejumlah hal, yakni merasa bakal terjadisesuatu yang buruk, serta takut pada kejadian-kejadian yang akan terjadi. Sebenarnyakejadian ini baru sebatas kemungkinan saja sehingga bisa terjadi dan bisa tidak terjadi.Karena itu jangan ditetapkan di dalam hati bahwa hal itu pasti terjadi, karena hal inimembuat takut. Selain itu, sifat takut disebabkan oleh pilihan buruk dan dosa sendiri.Hal ini dapat disembuhkan dengan jalan mengekang diri untuk tidak mengulangi perbuatanitu, tidak melakukan perbuatan bahaya, dan meninggalkan semua perbuatan keji.

Ketiga. Sifat sedih. Sifat ini disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang sangat disukaiatau gagal mendapatkan sesuatu yang dicari. Hal ini karena seseorang serakah, mengikutinafsu jasmani, dan merasa rugi ketika salah satu dari itu semua gagal diperoleh. Penyem-buhannya dilakukan melalui memberikan pemahaman tentang hakikat dirinya dan men-jelaskan bahwa seluruh alam semesta akan hancur karena tidak kekal. Jika hal ini telahdilakukan, maka seseorang yang terkena penyakit sedih hati tidak akan sedih lagi. Jikasudah demikian, maka ia akan mengarahkan tujuannya bukan kepada hal-hal jasmaniahlagi, melainkan ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.51

Dalam hal ini, Ibn Miskawaih menghendaki agar seorang pendidik menjauhkan anak dariberbagai penyakit jiwa ini dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dan solusi mengatasiberbagai penyakit jiwa tersebut.

Selain itu, Ibn Miskawaih telah memberikan pedoman bahwa seorang pendidik, baikorangtua maupun guru, harus menyadari bahwa kehidupan utama anak-anak memerlukandua syarat, yakni syarat kejiwaan dan syarat sosial. Kedua syarat tersebut akan diuraikandi bawah ini:

Syarat KejiwaanMenurut Ibn Miskawaih, syarat kejiwaan adalah upaya menumbuhkan watak cinta

anak usia dini terhadap kebaikan. Penumbuhan watak cinta tersebut sangat mudah bagianak yang berbakat baik, tetapi sulit bagi anak-anak tidak berbakat. Bagi anak yang tidakberbakat, penumbuhan watak cinta anak usia dini tersebut bisa dilakukan dengan caralatihan dan pembiasaan diri agar cenderung pada kebaikan.52 Dengan demikian, seorangpendidik, baik orangtua maupun guru, harus mulai mengajari, melatih dan membiasakananak agar suka melakukan kebaikan sejak dini.

Ibn Miskawaih memberikan beberapa cara praktis mengenai pembiasaan dalammelakukan kebaikan kepada anak usia dini. Pertama, pendidik harus membiasakan anak

51Ibid, h. 162-195.52Ibid., h. 60.

Page 16: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

411

untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Kedua, seorang pendidik harus mengajarianak agar berpakaian baik dan sesuai dengan jenis kelaminnya serta memakai pakaianputih. Ketiga, pendidik hendaknya memerintahkan seorang anak agar menghapal pelajaran-pelajaran dan syair-syair berkenaan dengan sikap terpuji. Keempat, pendidik hendaknyamengajari anak tentang adab makan dan minum yang baik, terutama mengajari anakbahwa tujuan makan adalah bukan demi kenikmatan semata, melainkan demi kesehatan.Makan tidak boleh berlebihan dan melampaui batas. Pendidik harus memberi anak banyakmakan pada malam hari, sebab makan pada siang hari akan membuat anak menjadi malas,mengantuk dan otaknya menjadi lamban. Kelima, pendidik hendaknya mengajari anakagar tidak menyembunyikan perbuatan buruknya. Keenam, pendidik harus mengajarianak agar anak itu tidak tidur terlalu lama dan tidur di tempat mewah, karena akibatnyamembuat otak anak menjadi tumpul dan mematikan pikirannya. Pendidik harus mem-biasakan anak hidup sederhana. Ketujuh, pendidik harus mengajari anak berolah ragaseperti berjalan, bergerak dan berkuda. Pendidik harus mengajari anak agar tidak berjalansecara tergesa-gesa dan tidak bersikap angkuh. Kedelapan, pendidik harus mengajari anakagar tidak memanjangkan rambut bila anak tersebut laki-laki, tidak boleh memakai pakaianyang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tidak boleh memakai perhiasan, tidak mem-banggakan kedua orangtuanya, tidak boleh sombong, dan keras hati. Kesembilan, pendidikharus mengajari anak agar tidak meludah, menguap dan membuang ingus ketika sedangbersama orang lain. Pendidik harus membiasakan anak tidak berbohong dan tidak bolehbersumpah. Kesepuluh, pendidik harus mengajari anak agar membiasakan untuk tidakbanyak bicara dan hanya menjawab pertanyaan. Hendaknya anak itu mendengarkankata-kata orangtua dan diam di hadapan orang dewasa. Anak diajari agar tidak berkatakotor, sumpah, menuduh, dan bicara senonoh. Anak harus dibiasakan dengan kata-katabaik dan bermuka manis kepada orang lain. Anak mesti diajari untuk mandiri. Kesebelas,pendidik harus mengajari anak agar ketika dipukul guru tidak boleh mengadu dan tidakboleh meminta perlindungan orang lain, karena tindakan itu hanya pantas dilakukanpara budak. Keduabelas, pendidik tidak boleh menakuti anak. Anak harus diberi semangat,dan diberikan hadiah bila berbuat baik. Upayakan mereka agar mereka benci kepada perhiasandan agar mereka lebih takut pada keduanya ketimbang takut pada hewan buas. Ketigabelas,pendidik harus membiasakan anak agar taat kepada orangtua dan gurunya, dan memper-kenankan anak bermain dengan permainan baik. Keempatbelas, pendidik harus memujianak ketika anak tersebut melakukan kebaikan dan akhlak mulia.53 Dalam hal ini, gagasanIbn Miskawaih tentang cara membiasakan anak melakukan kebaikan mesti dilakukansedini mungkin, sebelum anak beranjak dewasa.

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

53Ibid, h. 162-195; Alawi, Muslim Educational, h. 34.

Page 17: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

412

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Syarat SosialMenurut Ibn Miskawaih, syarat sosial adalah bahwa pendidik harus memilih teman-

teman terbaik untuk anak berusia dini. Caranya adalah dengan menjauhkan anak darilingkungan pergaulan dengan teman-temannya yang berakhlak buruk dan menjauhkananak dari lingkungan keluarga pada saat-saat tertentu, dan memasukkan mereka kelingkungan sosial yang baik.54 Karena itu, pendidik harus memilih teman bergaul yangberakhlak mulia untuk anaknya. Seorang anak tidak boleh dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang berakhlak tercela, karena orang-orang seperti itu akan merusak jiwanya.Sebab, jiwa anak masih begitu sederhana karena belum mampu menerima gambar apapun dan belum mempunyai pendapat untuk mengubahkan dari satu keadaan kepadakeadaan lain. Jika jiwa anak itu telah menerima perilaku tertentu, maka anak ini akantumbuh sesuai dengan jiwa seperti perilaku yang diterimanya. Sebab itu, jiwa seoranganak harus diupayakan agar mencintai kebaikan dan membenci keburukan.55

Dalam hal ini, salah satu metode dari Ibn Miskawaih dalam mendidik jiwa agarmenjadi sempurna adalah tidak bergaul dengan orang-orang yang jiwanya tidak berakhlak.Jika seseorang ingin mendidik jiwanya, maka orang tersebut harus menjauhi orang-orang keji, suka berbuat dosa, bangga, dan tenggelam dalam dosa. Bergaul dengan orang-orang seperti mereka akan membuat jiwa anak menjadi kotor, dan jiwa kotor tidak dapatdibersihkan kecuali melalui waktu yang sangat lama. Karenanya, seseorang harus bergauldengan orang yang berjiwa mulia, suka mencari dan ingin memiliki kebajikan, rindu dansuka kepada ilmu.56 Prinsip dasar ini menghendaki bahwa seorang pendidik harus menjauhkananak dari orang-orang yang berakhlak tercela dan mereka hanya boleh bergaul denganorang-orang yang berakhlak mulia dan berilmu.

PenutupPendidikan nasional memiliki tujuan mulia dan ideal. Sistem pendidikan nasional

hendak mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta ber-tanggung jawab. Pemerintah Indonesia telah menelurkan banyak kebijakan demi men-dukung pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut, meskipun capaian-capaianpemerintah belum menuai hasil maksimal. Buktinya, pembangunan akhlak anak bangsamasih menjadi sebuah problem pendidikan tersendiri dan belum terselesaikan. Perumusankonsep pendidikan karakter yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Nasional menjadiagenda penting belakangan ini demi mewujudkan anak bangsa yang berkarakter. Namunkonsep ini baru beberapa tahun saja dicetuskan, sehingga hasilnya belum bisa dilihat.

54Ibid., h. 60.55Ibid, h. 72-74.56Ibid, h. 162-164.

Page 18: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

413

Dalam perspektif pendidikan Islami, gagasan pendidikan karakter (akhlak) telahlama digagas oleh Ibn Miskawaih. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan Islamseharusnya telah lama memainkan peranan dalam membentuk karakter anak bangsa,mengingat gagasan akhlak Ibn Miskawaih telah lama dikenal oleh pendidik-pendidikMuslim. Namun, gagasan tersebut kurang direalisasikan secara baik, sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam modern belum begitu sukses melahirkan peserta didik yangberkarakter mulia.

Deskripsi pembentukan akhlak anak usia dini menurut Ibn Miskawaih memberikanpelajaran bahwa pendidik Muslim, baik orangtua maupun guru, harus mampu menanam-kan dan membiasakan akhlak mulia dalam diri anak sejak dini. Terlebih dahulu, parapendidik harus memahami hakikat kejiwaan anak-anak, lalu mulai mengajarkan, mena-namkan dan membiasakan akhlak mulia dalam diri mereka. Poin penting dari gagasanIbn Miskawaih adalah bahwa pengajaran, nasehat, pembiasaan, pendisiplinan, pemberianhukuman dan ganjaran sangat penting dilakukan oleh pendidik kepada anak sejak dini.Dalam hal ini, pendidik harus mulai mengajari dan membiasakan anak untuk berakhlakmulia dan menjauhi akhlak tercela, membiasakan anak untuk mulai menaati syariat agama,dan tidak membiarkan anak hidup bersama dengan manusia-manusia yang tidak berakhlak.Mendidik akhlak anak sejak usia dini akan lebih berhasil daripada mendidik anak ketikasudah beranjak remaja.

Pustaka AcuanAlawi, SM. Ziauddin. Muslim Educational Thought in Middle Ages. New Delhi: Adam

Publishers and Distributors, 1988.

Al Rasyidin. “Isu-isu Krusial dalam Pendidikan Nasional: Belajar Memetakan Masalah,”dalam Jurnal Pemikiran Islam dan Kependidikan al-Ta’lim, Vol. XII, No. 22, 2005.

Azmi, Fachruddin. “Sertifikasi Guru: Telaah Urgensinya terhadap Kompetensi danProfesionalisme Guru Agama,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.XXXIII, No. 1, Januari-Juni 2009.

Amîn, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Amîn, Ahmad. Zuhr al-Islâm, Juz II. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbî, 1969.

Basyir, Ahmad Azhar. Ibn Miskawaih: Riwayat Hidup dan Filsafatnya. Yogyakarta: NurCahaya, 1988.

Badawi, Abdurrahman. “Miskawaih,” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy,Vol. I. Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963.

Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London: Kegan Paul, 1983.

De Boer, T.J. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publication, t.t.

Dahlan, Abdul Aziz. “Filsafat,” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis DuniaIslam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.

Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

Page 19: PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH

414

MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. “Ibn Miskawaih,” dalam Dewan Redaksi EnsiklopediIslam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.

Iqbal, Muhammad. Metafisika Persia, terj. Joebar Ayoeb. Bandung: Mizan, 1990.

Ibn Miskawaih. The Refinement of Character, trans. CK Zurayk. Beirut: American UniversityPress, 1968.

Ibn Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika,terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1997.

Jum‘ah, M. Luthfi. Tarîkh Falsafah al-Islâm. Mesir: t.p., 1927.

Jundi, Anwar. Pancaran Pemikiran Islam, terj. Afif Mohammad. Bandung: Pustaka, 1985.

Khan, Muhammad Syarif dan Muhammad Anwar Salim. Muslim Philosophy and Philosophers.New Delhi: SB Nangia, 1994.

Kompas. 21 Oktober 2010.

Kompas. 13 April 2012.

Kompas. 13 Juni 2010.

Kompas. 22 Februari 2012.

Labib, Muhsin. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta: Al-Huda, 2005.

Leaman, Oliver. “Ibn Miskawaih,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),The History of Islamic Philosophy. London-New York: Kegan Paul, 2003.

Nilandari, Ary. Memahat Kata Memugar Dunia. Bandung: MLC, 2005.

Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present. New York: StateUniversity of New York Press, 2006.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Prasad, Rajendra (ed.). A Historical-Developmental Study of Classical Indian Philosophy ofMorals. New Delhi: Center for Studies in Civilizations, 2009.

Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Suara Karya. 2 Desember 2011.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: Imperial BhaktiUtama, 2007.

Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003,h. 4.

Watt, William Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh UniversityPress, 1985.